PENGEMBANGAN SISTEM CARA PRODUKSI MAKANAN ENTERAL YANG BAIK (CPMEB) DAN APLIKASINYA DI RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD JAKARTA
AMIROH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Pengembangan SistemCara Produksi Makanan Enteral yang Baik (CPMEB) dan Aplikasinya di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini.Saya menyatakan bahwa saya telah mendapatkan izin tertulis dari instansi tempat pengambilan data.
Bogor, Januari 2013 Amiroh
ABSTRACT AMIROH. Development of Good Manufacturing Practices System for enteral food and its application at Gatot Soebroto Hospital Jakarta. Under the supervision of WINIATI P. RAHAYU and RATIH DEWANTI-HARIYADI.
Hospital formula enteral food is a ready to eat (RTE) food categorized as a special food because it is targeted specifically for group of people with health risk. Therefore, the safety of this enteral food needs to be controlled more stringenly than other RTE food. One of the basic food safety management that can be applied is GMP (Good Manufacturing Practices). Presently guidelines for good processing method for enteral food is not available yet. This research was aimed to develop a GMP system for enteral food or CPMEB (Cara Produksi Makanan Enteral yang Baik) consisting a guideline as well as the auditing system, and its application in Gatot Soebroto Hospital Jakarta. The system was development based on the Indonesian Health Ministry Regulation Number: 1096/MenKes/PER/VI/2011 on hygiene and food services sanitation; The National Agency of Drug and Food Control Regulation2011 Number: HK.03.1.23.12.11.10720 on the guidelines for the production of processed food products for baby powder formula and advanced powder formula; The National Agency of Drug and Food Control Decree2003 Number: HK. 00.05.5.1639 on the guidelines for food production for home industry; and other relevant references. Based on the literature review and trials, the CPMEB guideline and its audit system applicable to the enteral production unit of the hospital were developed. Thirteen aspects were defined for the requirements; including four main aspects. The main aspects were criteria with higher priority. The aspects belong to this group were the production room, production equipment, process control and workers' hygiene. The rest of the aspects include building and its facilities, sanitation facility, raw materials storage, monitoring management, pest control, enteral food distribution, training, and patient feeding. The trial at Gatot Soebroto hospital shows that the enteral food production unit can be categorized as good; with improvements needed for several aspects such as: production equipment storage, hygiene and sanitation maintenance, blender handling sanitation procedure, process control for type of container, volume of container, production notes, enteral food storage, food distribution and training. Keywords: aspects, the CPMEB guideline, enteral food, main aspects.
RINGKASAN
AMIROH.Pengembangan Sistem Cara Produksi Makanan Enteral yang Baik (CPMEB)
dan
Aplikasinya
di
RSPAD
Gatot
Soebroto
Ditkesad
Jakarta.Dibimbing oleh WINIATI P. RAHAYU dan RATIH DEWANTIHARIYADI.
Makanan enteral yaitu semua makanan cair yang dimasukkan ke dalam tubuh lewat saluran cerna, baik melalui mulut (oral), selang nasogastrik, maupun selang melalui lubang stoma gaster (gastrotomi) atau lubang stoma jejunum (jejunostomi). Konsumen (pasien) yang mengonsumsi makanan enteral mempunyai kondisi kesehatan lebih rendah dibandingkan pasien lain. Berdasarkan hasil penelitian Oliveira et al (2001) penerapan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control point) dapat menurunkan jumlah bakteri pada makanan enteral di rumah sakit dari 105 CFU/mL menjadi < 101 CFU/mL. Hal tersebut mengindikasikan bahwa perlu diterapkan sistem pengendalian keamanan pangan.Sebelum diterapkan sistem HACCP, industri pengolahan pangan harus sudah mampu menerapkan sistem GMP (Good Manufacturing Practices) atau CPPB (Cara Produksi Pangan yang Baik). Saat ini pedoman cara produksi makanan enteral yang baik (CPMEB) belum tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengembangkan pedoman dan panduan audit Cara Produksi Makanan Enteral yang Baik (CPMEB). Pedoman CPMEB diperlukan sebagai pedoman unit penyedia makanan enteral di rumah sakit untuk memproduksi makanan enteral yang aman, bermutu dan layak untuk dikonsumsi secara konsisten. Panduan audit CPMEB digunakan untuk mengevaluasi pemenuhan persyaratan CPMEB. (2) Mengaplikasikan panduan audit CPMEB yang dikembangkan dalam penelitian untuk mengevaluasi pemenuhan persyaratan CPMEB unit penyedia makanan enteral RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad. Hasil audit dijadikan acuan untuk menentukan skala prioritas dalam rangka perbaikan sarana produksi. (3) Menyusun rekomendasi untuk pemenuhan persyaratan CPMEB pada unit penyedia makanan enteral RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad berdasarkan hasil audit. Penelitian dilakukan di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta melalui 4 (empat) tahap sebagai berikut : (1) Menyusun pedoman dan panduan audit CPMEB. (2) Melaksanakan uji coba hasil pengembangan pedoman dan audit CPMEB di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. (3) Mengaplikasikan panduan audit CPMEB di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. (4) Menyusun rekomendasi untuk pemenuhan persyaratan CPMEB di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. Mekanisme penyusunan dilakukan melalui pengkajian bahan pustaka yang relevan untuk menyusun pedoman CPMEB. Pustaka tersebut antara lain Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1096/MenKes/PER/VI /2011 tentang higiene sanitasi jasaboga; Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tahun
2011 Nomor: HK.03.1.23.12.11.10720 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik untuk Formula Bayi dan Formula Lanjutan Bentuk Bubuk; Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tahun 2003 Nomor: HK. 00.05.5.1639 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga; hasil penelitian Oliveira et al (2000) dan (2001). Berdasarkan kajian bahan pustaka ditetapkan aspek dan parameter beserta persyaratan yang berpengaruh terhadap pengendalian keamanan makanan enteral. Penyusunan panduan audit CPMEB didasarkan pada pedoman pemeriksaan sarana produksi perusahaan pangan industri rumah tangga (IRT) tahun 2003. Oleh karena itu susunan panduan audit sarana produksi pada unit penyedia makanan enteral rumah sakit terdiri dari pendahuluan yang berisi penjelasan tentang persiapan yang harus dilakukan oleh auditor sebelum melaksanakan audit; formulir pemeriksaan sarana produksi; kriteria penilaian masing-masing parameter; cara penilaian; dan tindak lanjut/saran perbaikan. Cara penilaian dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan bobot pada aspek dan selanjutnya menentukan cara penetapan kategori atau menyimpulkan hasil pemeriksaan. Pedoman dan audit yang tersusun diuji cobakan dan disempurnakan sehingga tersusun pedoman dan panduan audit CPMEB yang siap untuk digunakan. Hasil kajian bahan pustaka menghasilkan 13 (tiga belas) aspek yang menjadi persyaratan CPMEB draf 1. Aspek yang dimaksud adalah (1) Bangunan dan Fasilitas (2) Ruang Produksi (3) Peralatan Produksi (4) Fasilitas Sanitasi (5) Penyimpanan bahan baku (6) Pengendalian Proses (7) Manajemen Pengawasan (8) Pengendalian Hama (9) Higiene Karyawan (10) Penyaluran Makanan (11) Pelatihan (12) Pemberian Makanan Enteral kepada Pasien (13) Pencatatan dan Dokumentasi. Beberapa parameter penyusun aspek dipersyaratkan lebih ketat dibandingkan pangan siap saji karena makanan enteral termasuk pangan kategori khusus yaitu pangan yang ditujukan bagi orang sakit.Persyaratan yang diperketat antara lain pada aspek pengendalian proses untuk parameter jenis wadah dan parameter volume wadah; aspek ruang produksi untuk parameter kondisi ruangan dan parameter letak ruangan. Penentuan bobot pada aspek dalam rangka menyusun panduan audit CPMEB draf 1 menghasilkan bahwa yang termasuk aspek utama yaitu higiene karyawan; penyimpanan; peralatan produksi; dan ruang produksi. Penetapan kategori hasil pemeriksaan CPMEB dilakukan dengan cara menghitung nilai total dan sebaran nilai aspek. Penetapan kategori dikelompokkan ke dalam kategori baik (B); cukup (C); dan kurang (K). Kriteria kategori B bila nilai total minimal 35 dengan sebaran aspek, seluruh aspek utama bernilai B dan minimal 5 (lima) aspek yang lain juga memperoleh nilai B serta tanpa ada nilai K (4B dan 5B-4C); kategori C bila nilai total minimal 30 dengan sebaran aspek, seluruh aspek utama bernilai baik dan minimal 9 (sembilan) aspek yang lain memperoleh nilai C serta tanpa ada nilai K (4B dan 9C); dan kategori K bila tidak mencapai nilai cukup. Hasil uji coba pedoman dan panduan audit CPMEB menunjukkan perlu adanya (1) penyempurnaan persyaratan dan kriteria penilaian beberapa aspek dan parameter, (2) perubahan aspek penyimpanan menjadi aspek penyimpanan bahan baku, (3) perubahan kelompok aspek utama. Kelompok aspek utama hasil penyempurnaan terdiri dari ruang produksi; peralatan produksi; pengendalian proses; dan higiene karyawan.
Hasil aplikasi pedoman dan panduan audit CPMEB di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta menunjukkan bahwa unit penyedia makanan enteral rumah sakit tergolong dalam kategori baik (B), dengan beberapa saran perbaikan. Aspek dan parameter yang perlu diperbaiki antara lain aspek peralatan produksi untuk parameter penyimpanan peralatan, pemeliharaan kebersihan dan sanitasi, serta prosedur penanganan sanitasi blender; aspek pengendalian proses untuk parameter jenis wadah, volume wadah, keterangan produksi, dan penyimpanan makanan enteral; aspek penyaluran makanan untuk parameter kondisi makanan saat penyaluran; dan aspek pelatihan. Berdasarkan hasil aplikasi pedoman dan audit CPMEB di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta direkomendasikan beberapa hal yaitu melengkapi rak piring tertutup dan kompor di ruang produksi; memperbaiki hot & cool thermobox; mengadakan blender tahan panas; menggunakan wadah dengan volume satu porsi dan mudah disanitasi; selalu menempelkan keterangan produksi pada wadah; dan mewajibkan penanggung jawab dan seluruh penjamah makanan enteral mendapatkan kursus higiene sanitasi jasaboga dan keamanan pangan. Setelah persyaratan CPMEB unit penyedia makanan enteral (dapur sonde) di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta terpenuhi sebaiknya distribusi makanan enteral dilakukan secara sentralisasi agar pengawasan pengendalian keamanan makanan enteral lebih mudah dilakukan.Selanjutnya penerapan keamananan pangan dapat ditingkatkan melalui penerapan HACCP.Draf CPMEB yang tersusun ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembuatan peraturan CPMEB di Indonesia.
Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGEMBANGAN SISTEM CARA PRODUKSI MAKANAN ENTERAL YANG BAIK (CPMEB) DAN APLIKASINYA DI RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD JAKARTA
AMIROH
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Teknologi Pangan pada Program Studi Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc
Judul Tugas Akhir
: Pengembangan Sistem Cara Produksi Makanan Enteral yang Baik (CPMEB) dan Aplikasinya di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta
Nama Mahasiswa
: Amiroh
Nomor Pokok
: F 252100185
Program Studi
: Teknologi Pangan
Menyetujui , Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Ketua
Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Profesi Teknologi Pangan
Prof. Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Tugas akhir ini berjudul Pengembangan Sistem Cara Produksi Makanan Enteral yang Baik (CPMEB) dan Aplikasinya di RSPAD GatotSoebroto Ditkesad Jakarta, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Teknologi Pangan. Penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS dan Dr. Ir. Ratih DewantiHaryadi, MSc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan pemahaman akan kaidah-kaidah ilmiah mulai dari awal penyusunan hingga selesainya tesis ini. 2. Prof. Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc dan Prof. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc sebagai tim penguji yang telah memberikan masukan berharga bagi penyempurnaan tesis ini. 3. Kepala RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta yang telah memberikan izin bagi peneliti untuk melaksanakan penelitian di dapur sonde Unit Gizi RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. 4. Kepala Unit Gizi RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta Letkol Ckm Prima Haris, S.Sos serta pembimbing lapang Mayor Ckm Ishiko Herianto, SPd, M.Kes. 5. Sdr. Nathan Nael Hery Susanto, S.Gz, Letda Erna Rumdani, AMG, Sdri. Cipa Aipa AMd serta seluruh karyawan Unit Gizi yang telah membantu pelaksanaan penelitian. 6. Ibu Fatikhaturohmah AMd, yang selalu memberikan semangat selama berlangsungnya studi ini. 7. Keluarga tercinta, yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materiil dalam penyelesaian tugas akhir ini. 8. Mbak Siwi dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas ini dan kepada pihak-pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Januari 2013 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Brebes, tepatnya di kecamatan Ketanggungan Timur pada tanggal 20 Juni 1958 anak dari almarhum Fadholi Wahab dan almarhumah Bachriyah. Penulis merupakan anak ke lima dari delapan bersaudara. Lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri Tegal pada tahun 1977 dan melanjutkan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi dan Mekanisasi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1978 dan lulus tahun 1982. Pada tahun itu juga penulis bekerja di Balai Besar Industri Hasil Pertanian (BBIHP) yang sekarang telah berubah nama menjadi Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor. Tahun 1983 penulis pindah ke Surabaya dan mengajar di Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surabaya.Tahun 1988 penulis pindah ke Mataram dan mengajar di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Universitas Muhamadiyah Mataram.Akhir tahun 1991 pindah ke Jakarta dan tahun 1993 mengajar diAkademi Gizi Yayasan Pendidikan MH.Thamrin sekaligus diberi tanggung jawab sebagai Pembantu Direktur bidang administrasi dan keuangan. Tahun 2005, setelah Akademi Gizi dan Akademi Kesehatandi lingkungan Yayasan Pendidikan MH.Thamrin bergabung menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan MH.Thamrin (STIKes MH.Thamrin) penulis diberi tanggung jawab sebagai Pembantu Ketua Sekolah Tinggi bidang adminstrasi dan keuangan.Tahun 2010 bulan November bersamaan dengan diterimanya penulis untuk melanjutkan kuliah di Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulisdiberi tanggung jawab sebagai Ketua Program Studi Diploma III Gizi STIKes MH.Thamrin Jakarta sampai sekarang.
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRACT................................................................................................ ii RINGKASAN............................................................................................. iii KATA PENGANTAR ............................................................................... ix DAFTAR ISI ............................................................................................. xi DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xvi I.
PENDAHULUAN............................................................................ A. LATAR BELAKANG ............................................................. B. TUJUAN .................................................................................. C. RUANG LINGKUP ................................................................. D. MANFAAT PENELITIAN .....................................................
1 1 3 3 4
II.
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. A. MAKANAN ENTERAL ......................................................... B. PANGAN SIAP SAJI (PSS) ................................................... C. KEAMANAN PANGAN ........................................................ D. GMP (Good Manufacturing Practices) ...................................
5 5 7 7 8
III.
METODOLOGI A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ................................ B. BAHAN PENELITIAN............................................................ C. METODE PENELITIAN ......................................................... 1. Penyusunan pedoman CPMEB .......................................... a. Pengkajian bahan pustaka untuk penentuan CPMEB.. b. Penetapan aspek dan parameter ...................................
13 13 13 13 15 15 17
2. Penyusunan panduan audit CPMEB................................... a. Penentuan bobot pada aspek ...................................... b. Penetapan kategori hasil pemeriksaan.........................
17 17 18
3. Uji coba pedoman dan panduan audit CPMEB di rumah sakit ………………………………………………………
19
4. Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB…..
20
5. Aplikasi panduan audit CPMEB pada unit penyedia makanan enteral di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta ................................................................................
20
Halaman
IV.
6. Penyusunan rekomendasi untuk pemenuhan persyaratan CPMEB pada unit penyedia makanan enteral di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.........................................
21
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... A. PENYUSUNAN PEDOMAN CPMEB .................................... Penetapan aspek dan parameter .........................................
23 23 23
B. PENYUSUNAN PANDUAN AUDIT CPMEB……………… 1. Penentuan bobot pada aspek .............................................. 2. Penetapan kategori hasil pemeriksaan ...............................
26 26 30
C. HASIL UJI COBA PEDOMAN DAN PANDUAN AUDIT CPMEB DI RUMAH SAKIT
33
1.
Gambaran unit penyedia makanan enteral di rumah sakit X……………………………………………… a. Penanggung jawab unit penyedia makanan enteral .... b. Tata letak unit penyedia makanan enteral .................. c. Bahan baku, peralatan dan proses produksi .............. d. Distribusi produk dan pengawasan ............................ e. Pengendalian hama ....................................................
33 33 34 34 36 36
Gambaran unit penyedia makanan enteral di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta....................................... a. Penanggung jawab unit penyedia makanan enteral ... b. Tata letak unit penyedia makanan enteral .................. c. Bahan baku dan peralatan .......................................... d. Jenis dan proses produksi ........................................... e. Alur pemesanan bahan baku dan distribusi produk.... f. Perawatan kebersihan dan sanitasi ............................. g. Pengendalian hama ....................................................
36 37 38 39 40 41 45 45
3.
Uji coba pedoman CPMEB ...............................................
46
4.
Uji coba panduan audit CPMEB .......................................
47
D. PENYEMPURNAAN PEDOMAN DAN PANDUAN AUDIT CPMEB ……………………………………………...
55
E. APLIKASI PANDUAN AUDIT CPMEB PADA UNIT PENYEDIA MAKANAN ENTERAL DI RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD JAKARTA ... 1. Peralatan produksi ............................................................. 2. Pengendalian proses ..........................................................
59 61 63
2.
Halaman 3. Penyaluran makanan ......................................................... 4. Pelatihan karyawan ...........................................................
65 66
F. REKOMENDASI UNTUK PEMENUHAN PERSYARATAN CPMEB DI RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD JAKARTA……………………….
66
1. Aspek peralatan produksi .................................................. 2. Aspek pengendalian proses ............................................... 3. Aspek pelatihan .................................................................
67 67 68
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... A. KESIMPULAN ........................................................................ B. SARAN ....................................................................................
69 69 70
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... LAMPIRAN ..............................................................................................
73 77
V.
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5.
Tabel 6.
Peraturan pemerintah dan pustaka yang terkait dengan penyusunan pedoman dan panduan audit CPMEB .................
16
Perbandingan kelompok yang sangat berpengaruh terhadap keamanan pangan pada CPPSSB 2011, CPPB-IRT 2003 dan pustaka pendukung ..................................................................
26
Cara penilaian akhir yang diterapkan pada CPPSSB-2011, CPPB-IRT 2003 serta yang dirancang untuk CPMEB ...........
31
Hasil uji coba pemeriksaan sarana pada unit makanan cair di rumah sakit X dan dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.......................................................................
47
Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB berdasarkan uji coba yang dilakukan di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta................................
56
Hasil evaluasi penerapan pedoman CPMEB di dapur sonde RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta……………………
59
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Tahapan penelitian…………………………………............
14
Gambar 2.
Tahap penyusunan pedoman dan panduan audit CPMEB…
14
Gambar 3.
Skema proses pembuatan makanan saring tanpa susu dan makanan cair formula susu (makanan cair rumah sakit)…... Skema proses pembuatan makanan cair formula susu untuk diet lambung 1 dan formula WHO…………………..
Gambar 4.
43 44
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan jasaboga ………………………………………………...
78
Formulir pemeriksaan sarana produksi perusahaan pangan industri rumah tangga (IRT) ................................
81
Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1096/ Men.Kes/Per/VI/201 (CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung ...................................
82
Pedoman cara produksi makanan enteral yang baik (CPMEB) di rumah sakit draf 1 dan draf 2 .....................
111
Panduan audit sarana produksi pada unit penyedia makanan enteral rumah sakit draf 1 dan draf 2 ..............
119
Lampiran 6.
Denah ruang produksi makanan cair di rumah sakit X.....
136
Lampiran 7.
Denah dapur Unit Gizi RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta................................................................
137
Denah unit penyedia makanan enteral (dapur sonde) di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta ........................
138
Prosedur pembuatan makanan enteral formula WHO (diet tinggi kalori tinggi protein) .....................................
139
Prosedur penyajian (rekonstitusi) makanan enteral formula WHO ..................................................................
140
Prosedur pmbuatan makanan enteral formula rumah sakit ..................................................................................
141
Prosedur makanan enteral formula rumah sakit (diet hati)...................................................................................
142
Alur pemenuhan makanan pasien ....................................
143
Lampiran 1.
Lampiran 2.
Lampiran 3.
Lampiran 4.
Lampiran 5.
Lampiran 8.
Lampiran 9.
Lampiran 10.
Lampiran 11.
Lampiran 12.
Lampiran 13.
Halaman Lampiran 14.
Alur permintaan bahan baku di pengolahan makanan enteral/sonde ....................................................................
144
Lampiran 15.
Prosedur pemeriksaan kualitas telur (candling) ...............
145
Lampiran 16.
Prosedur tes kit metanil yellow ........................................
146
Lampiran 17.
Prosedur tes kit rhodamin B .............................................
147
Lampiran 18.
Prosedur tes kit boraks .....................................................
148
Lampiran 19.
Prosedur tes kit formalin ..................................................
149
Lampiran 20.
Laporan hasil uji film/plastik pembungkus......................
150
Lampiran 21.
Laporan hasil pemeriksaan kualitas air bersih secara fisik...................................................................................
151
Laporan hasil pemeriksaan kualitas air bersih secara kimiawi ............................................................................
152
Laporan hasil pemeriksaan kualitas air bersih secara bakteriologi .....................................................................
153
Hasil pemantauan pekerjaan pest control pengendalian kucing ...............................................................................
154
Lampiran 22.
Lampiran 23.
Lampiran 24.
1.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan, terutama bagi orang yang sedang sakit (pasien). Makan bagi seorang pasien merupakan salah satu terapi untuk memulihkan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak. Kebutuhan zat gizi seorang yang sedang sakit sering lebih besar karena pada saat sakit terdapat peningkatan hormon stres yang memerlukan tambahan energi. Di lain pihak, banyak kendala atau kesulitan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi karena pasien tidak mau makan (selera makan kurang) atau tidak mampu makan karena penyakitnya. Hal tersebut dapat diatasi dengan memberikan makanan yang berbentuk lunak atau cair. Makanan cair adalah makanan yang mempunyai konsistensi cair hingga kental. Makanan ini diberikan kepada pasien yang mengalami gangguan mengunyah, menelan dan mencernakan makanan disebabkan oleh menurunnya kesadaran, suhu badan meningkat, rasa mual, muntah, pasca perdarahan saluran cerna, serta pra dan pasca bedah. Makanan cair dapat diberikan secara oral atau enteral. Jalur pemberian makanan melalui oral adalah jalur asupan zat gizi melalui jalan normal sebagaimana mestinya, sedangkan jalur pemberian makanan melalui enteral adalah jalur asupan zat gizi melalui selang nasogastrik, gastronomi maupun jejunostomi. Jalur ini tidak melalui proses menelan. Cara ini diberikan apabila asupan oral tidak memungkinkan tetapi sistem saluran cerna masih bekerja dengan baik. Namun jika tingkat gangguan atau kegagalan fungsi usus menyebabkan pemberian makanan enteral pun tidak dapat dilakukan atau tidak memadai, maka pemberian makanan dilakukan melalui pembuluh darah yang disebut dengan pemberian secara parenteral. Ditinjau dari cara pembuatannya, ada 2 (dua) jenis makanan enteral yaitu makanan enteral yang diproduksi oleh rumah sakit dan yang diproduksi oleh industri pangan. Makanan enteral formula rumah sakit (FRS) dalam bentuk semi
2
padat hasil blender ataupun makanan cair, diper`
siapkan
untuk
langsung
dikonsumsi sehingga dapat diklasifikasikan sebagai pangan siap saji, sedangkan makanan enteral komersial (FK) yaitu yang diproduksi oleh industri pangan, tersedia dalam bentuk bubuk dan dijual dalam kemasan sehingga diklasifikasikan sebagai pangan olahan. Selain memenuhi kebutuhan gizi, makanan yang dikonsumsi pasien harus terjamin keamanannya. Bahkan jaminan keamanan makanan enteral seharusnya lebih baik dibandingkan makanan lain di rumah sakit karena kondisi sistem imun pasien yang mengonsumsi makanan enteral jauh lebih rendah dibandingkan pasien yang mampu mengonsumsi makanan padat. Menurut hasil penelitian Oliveira et al. (2001) bahwa sebelum unit penyedia makanan enteral di rumah sakit menerapkan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), hasil analisis mikrobiologi pada makanan enteral menunjukkan adanya coliform, Enterococcus sp. dan mikroba aerobik mesofilik sejumlah 105 CFU/mL. Jumlah tersebut berada diatas persyaratan (> 104 CFU/mL). Sesudah diterapkan HACCP, hasil analisis mikrobiologi menunjukkan perbedaan yang nyata yaitu jumlah mikroba menjadi < 101 CFU/mL. Oleh karena itu sangat diperlukan pengendalian keamanan pangan untuk produksi makanan enteral di rumah sakit. Industri pengolahan pangan yang akan menerapkan sistem keamanan pangan model HACCP harus merencanakan, merancang/mendisain dan mengimplementasikan suatu program persyaratan kelayakan dasar atau sering disebut dengan istilah pre-requisite program. Secara umum pre-requisite program adalah hal-hal yang berkaitan dengan operasi sanitasi dan higiene pangan suatu proses produksi atau penanganan pangan yang dikenal dengan GMP (Good Manufacturing Practices). GMP merupakan suatu pedoman bagi industri pangan tentang cara berproduksi makanan dan minuman yang baik untuk menjamin agar produk yang dihasilkannya aman, bermutu dan layak untuk dikonsumsi secara konsisten. Pedoman cara produksi pangan siap saji yang baik telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1096/MenKes/PER/VI/2011 tentang higiene sanitasi jasaboga. Makanan enteral FRS, dapat diklasifikasikan sebagai pangan siap saji yang diproduksi oleh
3
rumah sakit sehingga berdasarkan peraturan menteri kesehatan tersebut di atas unit penyedia makanan enteral FRS, termasuk ke dalam jasaboga golongan B (jasaboga yang melayani kebutuhan masyarakat khusus). Oleh karena itu cara produksi makanan enteral FRS yang baik dapat mengacu pada persyaratan higiene sanitasi jasaboga golongan B. Tetapi karena jaminan keamanan makanan enteral harus lebih baik dibandingkan makanan lain di rumah sakit maka persyaratan keamanan pangan untuk produksi makanan enteral FRS juga harus mengacu pada produk sejenis yang mempunyai risiko tinggi terhadap gangguan kesehatan, misalnya pedoman cara produksi formula bayi yang baik. Saat ini pedoman cara produksi makanan enteral yang baik (CPMEB) di Indonesia belum tersedia. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dikembangkan pedoman CPMEB. Pedoman perlu disertai dengan sistem auditnya agar evaluasi pemenuhan persyaratan keamanan pangan dapat dilakukan dengan mudah dan terukur dengan jelas. Untuk mengkaji apakah pedoman yang dikembangkan dapat diaplikasikan di rumah sakit, perlu dilakukan uji coba. Dalam hal ini uji coba dilaksanakan di rumah sakit X Jakarta Timur dan di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta sebelum pelaksanaan aplikasi. Rumah sakit tersebut dipilih karena keduanya merupakan rumah sakit besar di wilayah Jakarta yang setiap harinya memproduksi makanan enteral dan telah mempunyai ruang khusus untuk memproduksi makanan enteral.
B. TUJUAN 1. Mengembangkan pedoman Cara Produksi Makanan Enteral yang Baik (CPMEB) termasuk panduan auditnya. 2. Mengaplikasikan panduan audit CPMEB yang dikembangkan dalam penelitian untuk unit penyedia makanan enteral RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. 3. Menyusun rekomendasi untuk pemenuhan persyaratan CPMEB pada unit penyedia makanan enteral RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
4
C. RUANG LINGKUP Ruang lingkup penelitian ini adalah mengembangkan pedoman CPMEB dan panduan audit khususnya untuk FRS dan rekonstitusi FK. Pengembangan pedoman CPMEB dan panduan auditnya mengacu pada Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) dari pangan lain yang sejenis dan relevan. Pedoman dan panduan audit diuji cobakan, disempurnakan kemudian diaplikasikan di lapangan yakni di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
D. MANFAAT PENELITIAN Tersedianya
pedoman CPMEB
dapat digunakan sebagai rujukan oleh
unit penyedia makanan enteral di rumah sakit untuk memproduksi makanan enteral yang aman, bermutu dan layak untuk dikonsumsi secara konsisten. Evaluasi pemenuhan persyaratan CPMEB menggunakan panduan audit. Terevaluasinya
pemenuhan
persyaratan
CPMEB
dapat
dijadikan
untuk menentukan skala prioritas dalam rangka perbaikan sarana produksi.
acuan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MAKANAN ENTERAL Pemberian makanan yang tepat pada pasien akan meningkatkan kualitas hidup, mencegah malnutrisi serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Ditinjau dari teksturnya makanan dapat berupa makanan padat, lunak ataupun cair. Sedangkan jalur pemberian makanan dapat melalui oral, enteral dan parenteral (Almatsier 2005). Pada kondisi tertentu kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi dalam bentuk makanan padat bahkan kadang-kadang tidak dapat melalui jalur oral yaitu jalur normal melalui mulut. Jika hal ini terjadi maka pemberian makanan enteral dapat menjadi pilihan. Menurut Escot-Stump (1998) yang dimaksud makanan enteral yaitu semua makanan cair yang dimasukkan ke dalam tubuh lewat saluran cerna, baik melalui mulut (oral), selang nasogastrik, maupun selang melalui lubang stoma gaster (gastrotomi) atau lubang stoma jejunum (jejunostomi). Disamping itu, dikenal pula makanan yang diberikan melalui parenteral yaitu pemberian makanan melalui vena dalam bentuk cairan formula khusus (Almatsier 2005). Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemberian nutrisi enteral ialah jalur masuknya makanan, ukuran pipa makanan yang digunakan, volume formula yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasien, toleransi sistem saluran cerna dan kondisi klinis pasien (Lukito et al. 2008). Makanan enteral dapat diklasifikasikan berdasarkan penggunaan pada situasi klinik yaitu makanan enteral standar yang digunakan untuk pasien dengan fungsi saluran cerna yang normal dan makanan enteral spesifik yang digunakan pada pasien dengan kondisi penyakit yang membutuhkan nutrisi khusus misalnya kelainan ginjal, diabetes mellitus dan kondisi kritis (Lukito et al. 2008) Berdasarkan formulanya makanan enteral juga dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis formula yaitu formula rumah sakit (FRS) dan formula komersial (FK). Makanan enteral FRS, dibuat dari beberapa bahan pangan yang diracik dan dibuat di rumah sakit dengan menggunakan blender. Konsistensi larutan, kandungan zat-zat gizi, dan osmolaritas dapat berubah pada setiap
6
pembuatan dan rentan terhadap kontaminasi. Sedangkan makanan enteral FK, berupa bubuk yang siap dicairkan atau berupa cairan yang dapat segera dipakai. Nilai gizinya bermacam-macam sesuai kebutuhan; konsistensi dan osmolaritasnya tetap; praktis menyiapkannya dan tidak mudah terkontaminasi (Simadibrata 2009). Ditinjau dari jenis diet dan
bahan bakunya, Simadibrata (2009)
mengelompokan makanan enteral FRS menjadi: 1). Makanan cair tinggi energi dan tinggi protein dengan bahan baku terdiri dari susu full cream, susu skim, susu rendah laktosa, telur, glukosa, gula pasir, tepung beras, minyak kacang dan sari buah; 2). Makanan cair rendah laktosa dengan bahan baku terdiri dari susu rendah laktosa, telur, gula pasir, maizena dan minyak kacang; 3). Makanan cair tanpa susu (bebas laktosa) dengan bahan baku terdiri dari telur, kacang hijau, wortel jeruk, tepung beras dan gula pasir; dan 4). Makanan khusus untuk penyakit hati, rendah protein untuk penyakit ginjal, rendah purin untuk penyakit gout dan diet diabetes. Berdasarkan konsistensinya, Almatsier (2005) mengelompokkan makanan cair menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu makanan cair jernih, makanan cair penuh dan makanan cair kental. Ada dua formula makanan cair penuh yaitu formula rumah sakit (FRS) dan formula komersial (FK). Makanan cair penuh formula rumah sakit terdiri dari: 1) Formula dengan susu full cream atau skim diperuntukkan bagi pasien dengan gangguan lambung, usus halus tetapi kolon bekerja normal; 2) Makanan hasil blender bila pasien memerlukan tambahan makanan berserat; 3) Formula rendah laktosa untuk pasien yang tidak tahan terhadap laktosa (laktose intolerance); dan 4) Formula tanpa susu untuk pasien yang tidak tahan protein susu. Mahan et. al (2012) mensyaratkan makanan enteral sebagai berikut: 1) Memiliki kepadatan kalori tinggi dengan kepadatan ideal yaitu 1 kcal/mL; 2) Kandungan nutrisinya seimbang yaitu memenuhi kebutuhan energi per hari dan kebutuhan komponen gizi yang lain; 3) Osmolaritas makanan enteral sesuai dengan osmolaritas cairan tubuh; 4) Komponen penyusun bahan baku makanan enteral mudah diabsorpsi sehingga sedikit atau tanpa memerlukan pencernaan; dan 5) Tanpa atau kurang mengandung serat maupun laktosa. Sedangkan
7
USFDA (1995) menetapkan batas maksimum mikroba aerobik dalam pangan rumah sakit baik dalam bentuk cair maupun tepung yaitu 104 CFU/g dan Moffit et al. (1997) menyatakan bahwa CFU/g makanan enteral equivalen ke CFU/mL.
B. PANGAN SIAP SAJI (PSS) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan menyebutkan bahwa pangan siap saji adalah makanan dan/atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan (BPOM 2004). Pada umumnya, pengendalian mutu dan keamanan pangan siap saji meliputi empat tahap, yaitu saat pembelian dan penerimaan bahan pangan; saat penyimpanan; penyiapan dan pengolahan; dan penyajian pangan (Rahayu 2010 ). Menurut Rahayu (2010) ada delapan prinsip penanganan pangan siap saji yang dapat diaplikasikan untuk menjaga keamanan pangannya yaitu praktek higiene karyawan yang ketat; pengendalian waktu dan suhu pengolahan; memastikan bahan pangan segar disimpan terpisah dengan pangan siap konsumsi; memastikan kebersihan dan sanitasi permukaan kerja yang kontak dengan pangan; memasak hingga atau lebih besar dari suhu internal minimum pangan; mempertahankan suhu pangan panas pada suhu sama atau lebih dari 60 0C atau suhu pangan dingin pada 5 0C atau lebih rendah; mendinginkan pangan matang yang panas hingga 5 0C dalam waktu selambatnya 4 jam; memanaskan kembali pangan untuk disajikan selama lebih dari 15 detik pada suhu internal 74 0C dalam selang waktu dua jam.
C. KEAMANAN PANGAN Definisi keamanan pangan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Bahaya adalah suatu faktor yang keberadaannya pada bahan pangan dapat menimbulkan masalah kesehatan konsumen yaitu meliputi bahaya biologis, kimia atau fisik (BPOM 2004).
8
Bahaya biologis berasal dari benda hidup; umumnya mikroba, yang keberadaannya pada bahan pangan menimbulkan masalah kesehatan konsumen. Mikroba yang dimaksud adalah mikroba patogen yang dapat menyebabkan diare, sakit perut, muntah sampai gagal ginjal dan dapat menyebabkan kematian (Hariyadi & Dewanti-Hariyadi 2011). Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi bahaya biologis yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri dari pH, kadar air, aktivitas air (aw), nutrien, senyawa anti mikroba, struktur biologis dan lain-lain. Faktor ekstrinsik terdiri dari suhu, kelembaban, gas (karbon dioksida, ozon, sulfur dioksida ) dan lain-lain (Winarno 2011b). Bahaya kimia adalah segala bahan kimia yang bersifat racun; sehingga mengancam kesehatan manusia. Bahaya kimia ini dapat berasal dari bahan pangan sendiri, maupun berasal dari luar. Bahaya kimia yang berasal dari bahan itu dapat berasal dari proses metabolisme bahan ataupun hasil metabolisme mikroba yang berada pada bahan pangan tersebut. Sedangkan bahaya kimia yang berasal dari luar, dapat digolongkan dalam bahan bahaya yang masuk secara sengaja (intentionally) ataupun yang secara tidak sengaja ditambahkan (non-intentionally) pada bahan pangan (Hariyadi & Dewanti- Hariyadi 2011). Bahaya fisik bisa berupa fisik bahan pangan itu sendiri ataupun bahan fisik lain yang keberadaannya dapat mengancam keselamatan konsumen. Bahaya fisik benda asing dapat berupa pecahan atau patahan tulang, logam, kaca, batang kayu yang dapat menyebabkan kesehatan atau kecelakaan bagi konsumen. Bahaya fisik yang disebabkan oleh kondisi fisik bahan pangan itu sendiri, misalnya tekstur dan ukuran produk (Hariyadi & Dewanti-Hariyadi 2011). D. GMP (Good Manufacturing Practices) GMP adalah persyaratan minimum sanitasi dan pengolahan untuk menjamin pangan yang diroduksinya aman dan bermutu. Tujuan dan perlunya menerapkan GMP adalah untuk memberikan panduan tata cara khusus (Specific Codes) yang diperlukan bagi setiap rantai pangan, proses pengolahan, atau penanganan komoditi bahan pangan untuk mencegah terjadinya kesalahan dan meningkatkan prinsip pelaksanaan persyaratan higiene yang spesifik bagi masing-masing bidang tersebut (Winarno 2011a). Panduan tata cara khusus produksi pangan yang baik dituangkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor
9
75/M-IND/PER/7/2010 yaitu tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (Good Manufacturing Practices). Ruang lingkup pedoman tersebut meliputi lokasi, bangunan, fasilitas sanitasi, mesin dan peralatan, bahan, pengawasan proses, produk akhir, laboratorium, karyawan, pengemas, label dan keterangan
produk,
penyimpanan,
pemeliharaan
dan
program
sanitasi,
pengangkutan, dokumen dan catatan, pelatihan, penarikan produk dan pelaksanaan pedoman (Kementerian Perindustrian 2010). Cara produksi pangan yang baik untuk pangan siap saji menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan yaitu cara produksi yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara mencegah tercemarnya pangan siap saji oleh cemaran biologis, kimia dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan; mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik patogen, serta mengurangi jumlah jasad renik lainnya; dan mengendalikan proses antara lain pemilihan bahan baku, penggunaan bahan tambahan pangan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan serta cara penyajian (BPOM 2004). Pedoman cara produksi pangan siap saji yang baik tersebut dituangkan dalam
Peraturan
Menteri
1096/MenKes/PER/VI/2011
Kesehatan
tentang
Higiene
Republik Sanitasi
Indonesia
Nomor
Jasaboga.
Menurut
peraturan tersebut jasaboga adalah usaha pengelolaan makanan yang disajikan di luar tempat usaha atas dasar pesanan yang dilakukan oleh perseorangan atau badan usaha. Pengelolaan makanan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penerimaan bahan makanan mentah atau terolah, pembuatan, pengubahan bentuk, pengemasan, pewadahan, pengangkutan dan penyajian (Kementerian Kesehatan 2011). Peraturan tersebut menggolongkan jasaboga kedalam tiga kelompok yaitu golongan A, B dan C. Jasaboga golongan A merupakan jasaboga yang melayani kebutuhan masyarakat umum, golongan B melayani kebutuhan masyarakat dalam kondisi tertentu dan golongan C melayani kebutuhan masyarakat di dalam alat angkut umum internasional dan pesawat udara (Kementerian Kesehatan 2011).
10
Pelayanan jasaboga golongan B meliputi a) asrama haji, asrama transito atau asrama lainnya, b) industri, pabrik, pengeboran lepas pantai, c) angkutan umum dalam negeri selain pesawat udara dan d) fasilitas pelayanan kesehatan. Jasaboga golongan ini akan mendapatkan sertifikat kelaikan fisik higiene sanitasi antara lain bila telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan minimal 90,2 % dan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap pangan yang dihasilkan menunjukkan cemaran kimia pada makanan negatif; bakteri E.coli 0/gram contoh; dan tidak dijumpai adanya mikroba patogen pada penjamah makanan yang diperiksa dengan cara usap dubur/rectal swab (Kementerian Kesehatan 2011). Makanan enteral FRS diproduksi oleh unit penyelenggara makanan pada pelayanan kesehatan. Oleh karena itu pedoman cara produksi makanan enteral FRS yang baik mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1096/MenKes/PER/VI/2011
tentang
Higiene
Sanitasi
Jasaboga
khususnya untuk jasaboga golongan B. Persyaratan tersebut meliputi persyaratan teknis higiene dan sanitasi, cara pengolahan makanan yang baik dan kursus higiene
sanitasi
makanan
bagi
pengusaha/pemilik/penanggungjawab
dan
penjamah makanan yang bekerja di jasaboga. Persyaratan tersebut terdiri dari beberapa parameter. Parameter yang dimaksud tercantum pada Lampiran 1 yaitu uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan jasaboga (Kementerian Kesehatan 2011). Berdasarkan hasil penelitian Oliveira et. al (2000) menyebutkan bahwa blender yang dipergunakan untuk merekonstitusi makanan enteral menjadi penyebab utama terjadinya kontaminasi. Oleh karena itu disarankan pencucian blender dilakukan dengan cara membongkar peralatan dan diikuti dengan sanitasi menggunakan disinfektan, setiap kali selesai proses. Sumber kontaminasi yang lain yaitu higiene karyawan, wadah makanan enteral, air atau lingkungan. Oliveira et al. (2001) juga menyebutkan bahwa hasil penelitian yang dilakukan terhadap penerapan HACCP makanan enteral di rumah sakit menemukan bahwa rata-rata suhu lemari pendingin yang dipergunakan untuk menyimpan makanan enteral siap konsumsi menunjukkan suhu diatas yang disarankan, yaitu di atas 7 0C. Menurut Jay et al. (2005) bahwa suhu untuk penyimpanan dingin idealnya adalah 4,4 0C atau diantara 0 dan 7 0C. Hasil
11
penelitian itu juga menyarankan agar sistem distribusi makanan enteral ke pasien dilakukan dengan sistem sentralisasi. Ruang pengolahan dibagi menjadi dua dengan jendela sebagai penghubungnya. Ruang pertama dipergunakan untuk membersihkan dan mensanitasi peralatan dan ruang kedua hanya untuk mempersiapkan dan memblender makanan enteral (Oliveira et al. 2001).
12
III.
METODOLOGI
A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2012 meliputi tahap penyusunan pedoman dan panduan audit CPMEB, pelaksanaan uji coba dan aplikasi panduan audit. Uji coba pedoman dan audit dilaksanakan di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. Aplikasi panduan audit CPMEB dan evaluasi pemenuhannya
dilaksanakan di RSPAD Gatot
Soebroto Ditkesad Jakarta setelah pelaksanaan uji coba.
B. BAHAN PENELITIAN Bahan penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain : (1)
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
:
1096/MenKes/PER/VI/2011 tentang higiene dan sanitasi jasa boga (CPPSSB2011) (2) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tahun 2011 Nomor: HK.03.1.23.12.11.10720 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik untuk Formula Bayi dan Formula Lanjutan Bentuk Bubuk ( CPPOB Formula Bayi-2011b) (3) Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tahun 2003 Nomor: HK. 00.05.5.1639 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT 2003).
C. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan melalui pengkajian bahan pustaka tentang pangan enteral dan peraturan terkait di Indonesia sehingga tersusun pedoman CPMEB beserta panduan auditnya. Pedoman dan panduan audit diujicobakan di dua rumah sakit dan berdasarkan hasil uji coba dilakukan penyempurnaan. Aplikasi panduan audit pemenuhan persyaratan CPMEB dilakukan menggunakan panduan audit yang telah disempurnakan. Tahapan penelitian tergambar pada Gambar 1 sedangkan tahap penyusunan pedoman dan panduan audit CPMEB tercantum pada Gambar 2.
14
Pengkajian bahan pustaka
Uji coba di RS X
Uji coba di RSPAD Gatot Soebroto
Penyempurnaan
Penerapan di RSPAD Gatot Soebroto
Hasil Evaluasi
REKOMENDASI
Gambar 1. Tahapan penelitian
. Pustaka dan peraturan yang terkait Aspek dan parameter
Persyaratan PEDOMAN CPMEB
- Kriteria penilaian - Pembobotan - Penetapan kategori
PANDUAN AUDIT
Gambar 2. Tahap penyusunan pedoman dan panduan audit CPMEB
15
1.
Penyusunan pedoman CPMEB Penyusunan pedoman dilakukan melalui dua tahap yaitu pengkajian bahan
pustaka dan peraturan yang terkait; serta penetapan aspek dan parameter yang dianggap sebagai penentu keamanan makanan enteral.
a.
Pengkajian bahan pustaka untuk penentuan CPMEB Bahan pustaka dan peraturan yang terkait untuk penyusunan pedoman
CPMEB tertera pada Tabel 1. Perihal yang mendasari penetapan bahan pustaka dan peraturan tersebut adalah sebagai berikut ini: Makanan enteral FRS dan FK yang telah direkonstitusi termasuk kelompok pangan siap saji karena setelah diolah langsung dikonsumsi. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa pangan siap saji adalah makanan dan atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan (BPOM 2004). Peraturan pemerintah yang mengatur tentang cara produksi pangan siap saji yang baik (CPPSSB) tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1096/MenKes/PER/VI/2011 tentang higiene sanitasi jasaboga, Unit pengelola makanan enteral termasuk jasaboga golongan B, sehingga CPPSSB yang menjadi acuan terutama adalah yang ditujukan untuk jasaboga golongan B. Makanan enteral FRS dan FK yang telah direkonstitusi, termasuk pangan dengan kategori khusus karena konsumennya adalah populasi berisiko terhadap gangguan kesehatan yaitu orang sakit dengan daya tahan tubuh terbatas. Oleh karena itu bahan pustaka yang ke dua adalah peraturan cara produksi pangan yang baik untuk produk dengan kategori khusus. Dalam hal ini pustaka yang dipergunakan yaitu Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tahun 2011 Nomor: HK.03.1.23.12.11.10720 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik untuk Formula Bayi dan Formula Lanjutan Bentuk Bubuk (BPOM 2011b). Perusahaan yang memproduksi formula bayi umumnya adalah perusahaan besar sedangkan produksi makanan enteral sangat sederhana baik proses maupun peralatannya. Oleh karena itu mengacu juga pada Pedoman Cara Produksi Pangan
16
yang Baik untuk Industri Rumah Tangga tahun 2003. Peraturan tersebut tercantum dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tahun 2003 Nomor: HK. 00.05.5.1639 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT) (BPOM 2003). Disamping itu juga karena unsur pada pedoman CPPB-IRT 2003 terdeskripsi dengan jelas dibandingkan pada CPPSSB-2011 dan pedoman pemeriksaan sarana produksinya tersusun secara simpel, praktis dan mudah dipahami.
Tabel 1. Peraturan pemerintah dan pustaka yang terkait dengan penyusunan pedoman dan panduan audit CPMEB.
No.
1
Bahan Pustaka
Utama Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1096/MenKes/PER/VI/2011
Perihal/judul
Penyusun/penulis, tahun terbit
Higiene sanitasi jasaboga
Kementerian Kesehatan, 2011
2.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tahun 2011 Nomor: HK.03.1.23.12.11.10720.
Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik untuk Formula Bayi dan Formula Lanjutan Bentuk Bubuk
Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2011
3.
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tahun 2003 Nomor: HK. 00.05.5.1639
Pedoman Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT).
Badan Pengawas Obat dan Makanan 2003
Microbiological quality of reconstituted enteral formulation used in hospital.
Oliveira MH, Bonelli R, Aidoo KE, Batista CRV, 2000
Application of Hazard Analysis Critical Control Pointsystem to enteral tube feeding in hospital.
Oliveira MR, Batista CRV, Aidoo KE, 2001.
1.
2.
Pendukung J Nutrition 16: 729-733
J Human Nutr Dietetic 14:397-403
17
b. Penetapan aspek dan parameter Penetapan aspek dan parameter yang menjadi persyaratan CPMEB dilakukan dengan cara menyandingkan, mengkaji dan menggabungkan bahan pustaka yang tertera pada Tabel 1. Aspek dan parameter pada CPPSSB-2011 disebut dengan uraian, item atau obyek pemeriksaan. Obyek pemeriksaan yang harus dinilai tercantum pada formulir 3 peraturan tersebut. Formulir tersebut berjudul uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan jasaboga seperti tercantum pada Lampiran 1. Ada beberapa obyek pemeriksaan yang tercantum pada pedoman dan berpengaruh terhadap persyaratan CPMEB tetapi tidak tercantum pada formulir 3. Obyek tersebut ikut disandingkan untuk dikaji. Aspek dan parameter yang terdapat pada CPPOB Formula Bayi-2011 tidak tersusun khusus dalam satu formulir tetapi masih dalam bentuk uraian pedoman. Oleh karena itu dalam rangka menyandingkan dengan aspek dan parameter dari pedoman yang lain diambil inti sari yang tercantum dalam pedoman. Aspek dan parameter pada CPPB-IRT 2003 disebut dengan group dan unsur. Group dan unsur yang harus diperiksa tercantum dalam formulir pemeriksaan sarana produksi perusahaan pangan industri rumah tangga (IRT). Formulir yang dimaksud dapat dilihat pada Lampiran 2. Aspek dan parameter yang berasal dari pustaka pendukung yaitu faktor yang berdasarkan penelitiannya mempengaruhi keamanan makanan enteral. Kumpulan aspek dan parameter hasil kajian, selanjutnya dilengkapi dengan persyaratan-persyaratan yang dapat mengendalikan keamanan makanan enteral sehingga tersusun pedoman. Pedoman yang tersusun disebut pedoman CPMEB draf 1.
2.
Penyusunan panduan audit CPMEB. Penyusunan panduan audit CPMEB dalam hal ini yaitu menyusun panduan
audit sarana produksi unit penyedia makanan enteral di rumah sakit dan disusun berdasarkan pedoman CPPB-IRT 2003. Maksud dan tujuannya adalah agar evaluasi pemenuhan persyaratan CPMEB dapat dilakukan dengan mudah dan terukur. Susunan panduannya yaitu sebagai berikut: pendahuluan yang berisi
18
penjelasan tentang persiapan yang harus dilakukan oleh auditor
sebelum
melaksanakan audit; formulir pemeriksaan sarana produksi; kriteria penilaian masing-masing parameter; cara penilaian; dan tindak lanjut/saran perbaikan. Pada uraian cara penilaian, diperlukan skala penilaian (bobot) setiap aspek dan cara menentukan kategori atau menyimpulkan hasil pemeriksaan. Oleh karena itu perlu diuraikan metode penentuan bobot dan penetapan kategori atau pengambilan kesimpulan hasil pemeriksaan.
a.
Penentuan bobot pada aspek. Penentuan bobot pada CPMEB dimaksudkan untuk menentukan kelompok
aspek utama yaitu aspek-aspek yang dianggap mempunyai peluang risiko keamanan makanan enteral lebih besar dibandingkan aspek yang lain. Pembobotan yang diterapkan CPPSSB-2011 yaitu dengan memberikaan bobot pada setiap obyek pemeriksaan dengan bobot terendah 1 (satu) dan tertinggi 5 (lima). Obyek pemeriksaan yang berbobot 3, 4 dan 5 harus segera diperbaiki jika ternyata mengalami penyimpangan (Kementerian Kesehatan 2011). Dengan kata lain obyek pemeriksaan yang berbobot 3, 4 dan 5 adalah obyek pemeriksaan yang dianggap sangat berpengaruh terhadap pengendalian keamanan makanan jasaboga. Sedangkan dalam pedoman pemeriksaan sarana produksi perusahaan pangan IRT 2003 ditentukan bahwa ada 4 (empat) aspek yang dianggap lebih penting dibandingkan dengan 8 (delapan) aspek lainnya. Keempat aspek ini dikategorikan sebagai kelompok utama dalam pemeriksaan (BPOM 2003). Penentuan
aspek
utama
pada
CPMEB
dilakukan
dengan
cara
menyandingkan dan mengkaji kelompok yang sangat berpengaruh terhadap keamanan makanan jasaboga pada CPPSSB 2011 yaitu obyek pemeriksaan yang berbobot 3, 4 dan 5; kelompok utama pada CPPB-IRT 2003; dan pustaka pendukung terkait makanan enteral di rumah sakit. Selanjutnya kelompok hasil kajian dan gabungan, disebut kelompok aspek utama untuk persyaratan CPMEB.
b. Penetapan kategori hasil pemeriksaan. Penetapan kategori hasil audit sarana produksi unit penyedia makanan enteral di rumah sakit dikaji dari yang diterapkan pada CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT
19
2003. Pada CPPSSB-2011 penilaian dilakukan terhadap obyek pemeriksaan. Nilai berkisar antara 0 dan 5 tergantung bobot obyek pemeriksaan. Obyek pemeriksaan yang berbobot 1 diberi penilaian 0 atau 1. Obyek pemeriksaan yang berbobot 2 diberi penilaian 0, 1 atau 2 dan seterusnya sesuai keadaan di lapangan. Dalam pedoman tersebut tidak tercantum penjelasan tentang kriteria penilaian masingmasing obyek pemeriksaan. Sedangkan dalam pedoman pemeriksaan sarana produksi perusahaan pangan IRT 2003 penilaian dilakukan pada unsur. Penilaian didasarkan pada sejauh mana kondisi yang dinilai memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Kondisi baik diberi nilai B atau 3, kondisi cukup diberi nilai C atau 2 dan kondisi kurang diberi nilai K atau 1. Petunjuk nilai B, C atau K terdeskripsi dalam kriteria penilaian unsur. Selanjutya penilaian terhadap parameter direkapitulasi dan dirata-ratakan menjadi penilaian aspek. Cara penilaian parameter dan aspek CPMEB dibuat mirip dengan yang termuat dalam CPPB-IRT 2003 karena penilaian unsur dalam CPPB-IRT 2003 lebih terdiskripsi dengan baik dan mudah diterapkan dibandingkan penilaian obyek pemeriksaan yang terdapat dalam CPPSSB 2011. Pedoman dan panduan audit sarana produksi unit penyedia makanan enteral di rumah sakit yang tersusun (draf 1) selanjutnya di ujicobakan di rumah sakit .
3.
Uji coba pedoman dan panduan audit CPMEB di rumah sakit. Uji coba pedoman CPMEB dilakukan di dua rumah sakit. Uji coba pertama
dilakukan di rumah sakit yang kondisinya mirip dengan kondisi rumah sakit yang akan dijadikan tempat penelitian yaitu rumah sakit X di Jakarta Timur. Kemiripan tersebut yaitu tersedianya ruangan khusus untuk produksi makanan enteral. Uji coba ke dua dilakukan di rumah sakit yang akan dijadikan tempat penelitian dan dilakukan sebelum pelaksanaan penelitian yang sebenarnya yakni di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. Petugas yang akan melaksanakan penilaian harus telah mempelajari dan menguasai draf pedoman cara produksi makanan enteral yang baik (CPMEB) dan panduan auditnya. Data uji coba diperoleh dari wawancara dengan petugas dan juga peninjauan langsung di unit penyedia makanan cair di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
20
Di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta belum ada tim audit khusus untuk memonitor proses produksi makanan enteral. Oleh karena itu uji coba pedoman CPMEB di rumah sakit X dilakukan oleh 2 (dua) orang ahli gizi yang bertanggungjawab memonitor pelaksanaan produksi makanan cair. Sesuai tanggungjawabnya satu orang melakukan uji coba pada aspek pengolahan dan yang lain pada aspek higiene dan sanitasi. Penilaian dua orang tersebut dikompilasi menjadi satu. Di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta juga dilakukan oleh 2 (dua) orang ahli gizi. Satu orang pernah bertanggungjawab mengawasi pelaksanaan proses makanan enteral dan satu orang lainnya masih aktif melaksanakan tanggungjawab tersebut. Hasil penilaian tidak dikompilasi karena masing-masing ahli gizi berwenang memonitor seluruh aspek proses produksi makanan enteral.
4.
Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB Berdasarkan hasil uji coba pedoman CPMEB, diinventarisasi aspek dan
parameter yang belum cocok untuk mengevaluasi penerapan CPMEB; yang tidak mudah dipahami oleh petugas terkait; dan yang menimbulkan persepsi berbeda antar penilai. Selanjutnya aspek dan parameter tersebut disempurnakan sehingga tersusun pedoman dan panduan audit CPMEB draf 2.
5. Aplikasi panduan audit CPMEB pada unit penyedia makanan enteral di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. Aplikasi panduan audit CPMEB dimaksudkan untuk mengevaluasi pemenuhan persyaratan CPMEB pada unit penyedia makanan enteral di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. Pelaksanaan evaluasi menggunakan panduan audit sarana produksi pada unit penyediaan makanan enteral di rumah sakit draf 2 seperti yang tercantum pada Lampiran 5. Hasil evaluasi dibandingkan dengan persyaratan standar yang telah dikembangkan yaitu pedoman CPMEB draf 2. Evaluasi dilakukan terhadap kesenjangan antara hasil pemeriksaan dan persyaratan. Data diperoleh dengan cara mengamati keadaan nyata di unit penyedia makanan enteral, wawancara dan pencatatan data yang ada di rumah sakit.
21
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa tim audit internal CPMEB di RSPAD Gatot Soebroto Dirkesad Jakarta secara resmi belum ada, tetapi ada karyawan yang diberi tugas untuk melakukan pengecekan, pengawasan dan evaluasi. Karyawan ini bertanggungjawab untuk memberikan masukan perbaikan penerapan CPMEB. Oleh karena itu pelaksanaan audit pada penelitian ini dilakukan oleh karyawan tersebut ditambah 2 (dua) orang yang pernah bertugas sebagai penanggungjawab pelaksanaan dapur sonde dan peneliti. Selanjutnya hasil penilaian tersebut dirata-ratakan sebagai hasil akhir evaluasi.
6. Penyusunan rekomendasi untuk pemenuhan persyaratan CPMEB pada unit penyedia makanan enteral di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil evaluasi pemenuhan CPMEB. Aspek utama menjadi prioritas untuk segera diperbaiki jika ternyata berdasarkan hasil audit ditemukan terjadi penyimpangan dari persyaratan yang seharusnya. Selanjutnya diikuti dengan perbaikan aspek lainnya.
22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
PENYUSUNAN PEDOMAN CPMEB Penetapan aspek dan parameter. Proses dan hasil penetapan aspek serta parameter CPMEB dapat dilihat
pada Lampiran 3 yang berisi perbandingan peraturan pemerintah CPPSSB-2011, CPPOB Formula bayi-2011, CPPB-IRT 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung.
Hasil kajian menunjukkan bahwa ada 13 aspek yang dianggap
sebagai penentu keamanan makanan enteral. Aspek tersebut adalah (1) Bangunan dan Fasilitas (2) Ruang Produksi (3) Peralatan Produksi (4) Fasilitas Sanitasi (5) Penyimpanan (6) Pengendalian Proses (7) Manajemen Pengawasan (8) Pengendalian Hama (9) Higiene Karyawan (10) Penyaluran Makanan (11) Pelatihan (12) Pemberian Makanan Enteral kepada Pasien (13) Pencatatan dan Dokumentasi. Aspek lokasi pada ketiga peraturan yang dijadikan acuan pada prinsipnya mensyaratkan hal yang sama yaitu berada di daerah yang jauh dari sumber kontaminasi. CPMEB tidak mensyaratkan aspek lokasi sebagai sarana yang harus diperiksa karena unit makanan enteral merupakan bagian dari unit gizi rumah sakit dan persyaratan lokasi unit gizi sudah termasuk dalam persyaratan rumah sakit. Diantara 13 aspek tersebut ada beberapa aspek yang persyaratannya mengikuti CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT 2003 karena pada prinsipnya kebutuhannya sama. Aspek yang dimaksud antara lain bangunan dan fasilitas; fasilitas dan sanitasi; manajemen pengawasan; pengendalian hama; higiene karyawan; pelatihan; serta pencatatan dan dokumentasi. Aspek
peralatan produksi; penyimpanan; dan pengendalian proses
sebagian parameter penyusunnya dipersyaratkan sama dengan CPPSSB-2011 ditambah dengan parameter khusus tentang makanan enteral. Aspek peralatan produksi untuk parameter prosedur pengelolaan sanitasi blender menjadi parameter tersendiri tidak tergabung dalam parameter pemeliharaan kebersihan dan sanitasi peralatan. Hal ini disebabkan karena berdasarkan penelitian Oliveira et al. (2000) penyebab utama terjadinya kontaminasi pada penyiapan makanan
24
enteral berasal dari blender yang dipergunakan untuk merekonstitusi makanan enteral. Oleh karena itu pengelolaan sanitasi blender diamati secara khusus. Pada aspek penyimpanan terdapat parameter makanan enteral. Kadang-kadang makanan enteral FRS maupun FK yang telah direkonstitusi tidak langsung dikonsumsi. Pada kasus seperti ini makanan enteral harus segera disimpan pada suhu antara 0 dan 7 0C seperti yang disebutkan oleh Jay et al. (2005). Suhu penyimpanan makanan enteral harus dikendalikan dan menjadi parameter kritis. Berdasarkan penelitian Oliveira et al. (2001) ditemukan bahwa rata-rata suhu lemari pendingin di rumah sakit yang dipergunakan untuk menyimpan makanan enteral siap konsumsi menunjukkan suhu diatas 70C. Tingginya suhu lemari pendingin disebabkan karena lemari pendingin sering dibuka dan ditutup karena dipergunakan untuk menyimpan makanan lain. Aspek pengendalian proses didefinisikan sebagai tahap yang harus diamati mulai dari bahan baku sampai dengan siap dikonsumsi pasien. Parameter penyimpanan makanan enteral tidak masuk ke aspek ini karena penyimpanan makanan enteral bukan proses yang harus selalu dijalani sehingga dimasukkan ke dalam aspek penyimpanan. Istilah kemasan pada CPPB-IRT 2003 menjadi wadah pada CPMEB, karena pada dasarnya makanan enteral FRS tidak dikemas tetapi ditempatkan dalam suatu wadah dan siap untuk dikonsumsi. Pengamatan terhadap wadah terbagi menjadi parameter jenis wadah; dan volume wadah. Persyaratan sanitasi wadah diperketat dengan mengacu pada CPPOB Formula bayi-2011 dalam hal panduan untuk menyiapkan dan menyajikan formula bayi, khususnya cara membersihkan dan sanitasi peralatan. Volume wadah dimunculkan dalam parameter tersendiri dan persyaratan dibuat lebih ketat yaitu hanya berisi satu porsi untuk menghindari dilakukannya penuangan. Penuangan berisiko terjadi kontaminasi. Beattie dan Anderton (2001) menyarankan agar makanan enteral yang telah direkonstitusi di dalam blender dimasukkan secara kontinyu ke dalam wadah steril tertutup. Penuangan makanan enteral dari blender secara tidak kontinyu akan meningkatkan jumlah mikroba dari ≤ 20 CFU/mL menjadi 1,8 X 103 sampai 9,3 X 103 CFU/mL. Parameter lain yang khas untuk CPMEB yaitu keterangan produksi yang harus dicantumkan pada setiap wadah. Produksi makanan enteral sangat bervariasi dan kekeliruan peruntukkan sangat membahayakan pasien oleh
25
karena itu keterangan produksi harus ditempel pada setiap wadah dan dilakukan ssecara konsisten.. Aspek
penyaluran
(distribusi)
makanan
pada
CPPB-IRT
tidak
disyaratkan secara khusus dan pada CPPSSB-2011 hanya merupakan bagian dari obyek pemeriksaan perlindungan makanan. Pada CPMEB dimunculkan dalam aspek tersendiri agar teramati secara konsisten. Pada proses pembuatan makanan enteral FRS sebagian besar tidak ada proses yang bersifat mengawet dan makanan enteral termasuk kategori pangan khusus sehingga kontaminasi harus selalu dicegah. Menurut Jorge (2000) mikroba penyebab penyakit tumbuh dan berkembang biak pada suhu 5 sampai 60 0C, sehingga untuk menjaga agar makanan aman, jangan biarkan makanan berada pada suhu tersebut lebih dari 4 jam. Pemberian makanan enteral kepada pasien harus dilakukan mengikuti langkah-langkah yang telah ditetapkan dalam Standard Operational Procedure (SOP). Isi SOP harus mengandung unsur higiene sanitasi dan harus selalu ditaati. Aspek ini tidak dipersyaratkan pada CPPSSB-2011 maupun CPPB-IRT 2003. Pada CPMEB dimunculkan pada aspek tersendiri karena berdasarkan penelitian Best (2008) walaupun makanan enteral telah tersedia dalam keadaan steril dan pedoman sistem penyajian makanan enteral juga tersedia tetapi tetap terjadi kontaminasi. Terindikasi bahwa sebagai sumber utama terjadinya kontaminasi adalah terjadinya kesenjangan antara praktek di lapangan oleh perawat sebagai petugas pemberian makanan enteral kepada pasien dengan standar yang direkomendasikan. Persyaratan aspek ruang produksi khususnya parameter kondisi ruangan dan parameter letak ruangan dibuat lebih ketat dibandingkan dengan persyaratan pada CPPSSB-2011 maupun CPPB-IRT 2003. Hal ini disebabkan karena akreditasi rumah sakit mensyaratkan ruang khusus untuk ruang sonde (terpisah dari dapur gizi). Makanan enteral termasuk pangan berkategori khusus dan ruang produksi dapat menjadi sumber kontaminasi silang yang potensial jika kebersihan dan sanitasi tidak terpelihara dengan baik sehingga ruang produksi dikondisikan sebagai
high higiene area (HHA). Persyaratan
mengacu pada persyaratan
26
CPPOB Formula bayi-2011. Hasil penyusunan pedoman CPMEB tercantum pada Lampiran 4.
B. PENYUSUNAN PANDUAN AUDIT CPMEB Hasil penyusunan panduan audit CPMEB tercantum pada Lampiran 5 yaitu panduan audit sarana produksi pada unit penyedia makanan enteral di rumah sakit. Sedangkan pembahasan penentuan bobot pada aspek dan penetapan kategori hasil pemeriksaan dibahas pada sub bab ini.
1. Penentuan bobot pada aspek. Penentuan bobot pada aspek dilakukan dengan cara menetapkan kelompok aspek utama. Penetapan kelompok aspek utama dilakukan dengan cara menyandingkan, mengkaji dan menggabungkan obyek pemeriksaan pada CPPSSB-2011, group utama pada CPPB-IRT 2003 dan titik kritis dalam HACCP. Proses dan hasil penetapan kelompok utama CPMEB dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan kelompok yang sangat berpengaruh terhadap keamanan pangan pada CPPSSB 2011, CPPB-IRT 2003 dan pustaka pendukung. CPPSSB- 2011
No. (1)
9.
11.
Obyek pemeriksaan
CPPB-IRT 2003
Pustaka pendukung
Usulan CPMEB
Group
Group & unsur
(*)
Aspek
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
AIR BERSIH Sumber air bersih aman, jumlah cukup dan bertekanan.
D.
FASILITAS CUCI TANGAN DAN TOILET Jumlah cukup, tersedia sabun, nyaman dipakai dan mudah dibersihkan.
SUPLAI AIR 1.Sumber air 2.Penggunaan air 3.Air yang kontak langsung dengan pangan.
Fasilitas sanitasi
_
27
Tabel 2. Perbandingan kelompok yang sangat berpengaruh terhadap keamanan pangan pada CPPSSB 2011, CPPB-IRT 2003 dan pustaka pendukung (lanjutan). (1)
15.
16.
(2)
(3)
(4)
KARYAWAN Semua karyawan yang bekerja bebas dari penyakit menular seperti penyakit kulit, bisul, luka terbuka dan ISPA.
G.
KESEHATAN DAN HIGIENE KARYAWAN 1.Kesehatan karyawan meliputi pemeriksaan kesehatan dan kesehatan karyawan
Tangan selalu dicuci bersih, kuku dipotong pendek, perilaku higienis dan bebas kosmetik
(5)
(6) Higiene karyawan
2.Kebersihan karyawan meliputi kebersihan badan, pakaian dan tangan serta perawatan luka. 3.kebiasaan karyawan meliputi perilaku karyawan
18.
20.
MAKANAN Sumber makanan, keutuhan dan tidak rusak.
PERLINDUNGAN MAKANAN Penanganan makanan yang potensi berbahaya pada suhu, cara dan waktu yang memadai selama penyimpanan, peracikan, persiapan penyajian dan pengangkutan makanan serta melunakkan makanan beku sebelum dimasak (thawing).
H.
PENGENDALIAN PROSES 1.Penetapan spesifikasi bahan baku. 2.Penetapan komposisi dan formulasi bahan. 3.Penetapan cara produksi yang baku. 4.Penetapan spesifikasi Kemasan. 5.Penetapan tanggal kadaluarsa dan kode produksi.
Pengendali an Proses.
_
Suhu penyimpanan makanan enteral
Penyimpan an
28
Tabel 2. Perbandingan kelompok yang sangat berpengaruh terhadap keamanan pangan pada CPPSSB 2011, CPPB-IRT 2003 dan pustaka pendukung (lanjutan). (1) 40.
24.
25.
(2) Tersedia Lemari pendingin mencapai suhu – 100C dilengkapi dengan thermometer pengontrol
(3)
(4)
Pencucian dan sanitasi blender
PERALATAN MAKAN DAN MASAK Proses pencucian melalui tahapan mulai dari pembersihan sisa makanan, perendaman, pencucian dan pembilasan Bahan racun/ pestisida disimpan tersendiri di tempat yang aman, terlindung, menggunakan label/ tanda yang jelas untuk digunakan.
26.
Perlindungan terhadap serangga, tikus, hewan peliharaan dan hewan pengganggu lainnya.
35.
Tersedia kendaraan khusus pengangkut makanan
(5)
F.
Akreditasi rumah sakit mensyaratkan ruang khusus bagi dapur sonde.
(*) Sumber : Oliveira et al (2001)
PENGENDALIAN HAMA
Peralatan produksi
Pengendalian hama
1.Hewan peliharaan 2.Pencegahan masuknya hama 3.Pemberantasan hama
_
_
_
_
(6)
Ruang pengolahan hanya untuk mempersiap kan dan memblender makanan enteral
Penyaluran makanan
Ruang produksi
29
Berdasarkan kajian data pada Tabel 2, obyek pemeriksaan pada CPPSSB-2011, group & unsur pada CPPB-IRT 2003 dan pustaka pendukung dapat dikonversikan kedalam aspek dan parameter CPMEB. Dengan demikian aspek yang kemungkinan dapat dikelompokkan dalam aspek utama CPMEB adalah
fasilitas sanitasi; higiene karyawan; pengendalian proses; penyimpanan;
peralatan produksi; pengendalian hama;
penyaluran makanan; dan ruang
produksi. Aspek fasilitas sanitasi dan aspek pengendalian hama sudah menjadi persyaratan pada penyelenggaraan makanan unit gizi secara menyeluruh sehingga tidak sulit untuk dipenuhi. Dengan demikian aspek fasilitas sanitasi dan aspek pengendalian hama tidak dijadikan sebagai aspek utama. Higiene karyawan, pada CPPSSB-2011 berbobot 5 dan pada CPPB-IRT 2003 menjadi aspek utama sehingga pada CPMEB pun perlu dimasukkan dalam aspek utama. Proses pembuatan makanan enteral sangat sederhana, distribusi pendek, konsumennya jelas, mudah dilaksanakan dan jika dibuatkan SOP mudah dipahami sehingga mudah diterapkan. Penetapan spesifikasi bahan baku sudah menjadi persyaratan pengadaan bahan baku makanan pasien secara keseluruhan. Oleh karena itu kelompok aspek pengendalian proses tidak dijadikan kelompok utama. Suhu penyimpanan makanan enteral merupakan titik kritis dalam HACCP (Oliveira et al 2001), obyek pemeriksaan perlindungan makanan pada
CPPSSB-
2011 mempunyai bobot 5 (lima) sehingga aspek penyimpanan layak dimasukkan kedalam aspek utama. Peralatan pada proses pembuatan makanan enteral sebagian besar bersentuhan langsung dengan produk dan setelah terjadi kontak tidak ada proses yang dapat membunuh mikroba sehingga aspek peralatan perlu dimasukkan dalam aspek utama. Makanan enteral umumnya dibuat 1 (satu) jam sebelum jadwal distribusi. Jarak antara ruang produksi makanan enteral ke ruang rawat inap umumnya ditempuh paling lama setengah jam dan dikonsumsi paling lama 1 (satu) jam kemudian. Waktu antara proses dan konsumsi kurang dari 4 (empat) jam sehingga risiko keamanan pangan rendah karena peningkatan jumlah mikroorganisme sedikit. Oleh karena itu aspek penyaluran tidak dimasukkan dalam aspek utama. Ruang produksi harus dikondisikan sebagai high higiene area sehingga ruang produksi harus menjadi aspek utama. Dengan
30
demikian aspek yang ditetapkan sebagai aspek utama pada pedoman CPMEB draf 1 adalah ruang produksi; peralatan produksi; higiene karyawan; dan penyimpanan.
2. Penetapan kategori hasil pemeriksaan Penetapan kategori hasil pemeriksaan dipergunakan untuk menyimpulkan pemenuhan persyaratan CPMEB. Kesimpulan didasarkan pada nilai total dan sebaran nilai aspek. Nilai aspek dihitung dengan cara menjumlahkan nilai parameter pada setiap aspek, dirata-ratakan dan dibulatkan ke atas atau ke bawah. Nilai total yaitu menjumlahkan nilai seluruh aspek dirata-ratakan dan dibulatkan ke atas atau ke bawah. Sebaran nilai aspek yaitu menentukan kategori nilai untuk aspek utama dan aspek lainnya. Penilaian akhir dikelompokkan ke dalam kategori B (baik), C (cukup) dan K (kurang). Dengan memadukan cara penilaian akhir CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT 2003, maka pada CPMEB dapat dilakukan dengan cara seperti yang tercantum pada Tabel 3. Pada CPPSSB-2011 disebutkan bahwa persyaratan higiene dan sanitasi perusahaan jasaboga golongan B dinyatakan memenuhi persyaratan jika mendapat nilai akhir minimal 83 dari nilai total 92 atau 90,2 %. Jika nilai akhir dibawah 70 % maka kepada pengusaha jasaboga diminta untuk menghentikan kegiatannya dan segera memperbaiki diri dalam waktu 24 jam. Bila tidak dapat memenuhi peringatan tersebut dapat berakibat pencabutan sementara izin usaha dari Pemerintah Daerah/Administrator Pelabuhan. Jika nilai akhir berada diantara keduanya maka harus segera memperbaiki, didahului dengan aspek utama (Kementerian Kesehatan 2011). Penilaian akhir pada CPPB-IRT 2003 diklasifikasikan menjadi tiga golongan yaitu golongan baik bila empat group utama semuanya mendapat nilai baik dan group lainnya maksimum 2 (dua) yang mendapat nilai kurang; golongan cukup bila 4 (empat) group utama mendapat nilai baik atau cukup dan group lainnya minimal 5 (lima) yang mendapat nilai cukup; golongan kurang bila tidak memenuhi kriteria cukup (BPOM 2003). Panduan penilaian akhir CPMEB disusun berdasarkan pada perpaduan antara pedoman penilaian akhir CPPSSB 2011 dan CPPB-IRT 2003.
31
Tabel
3.
Cara penilaian akhir yang diterapkan pada CPPSSB-2011, CPPB-IRT 2003 serta yang dirancang untuk CPMEB.
CPPSSB-2011
CPPB-IRT 2003
CPMEB
Kisaran nilai tergantung bobot: Bobot 1 : nilai 0 atau 1 Bobot 2 : nilai 0, 1 atau 2 Bobot 3 : nilai 0,1,2 atau 3 Dan seterusnya. Tidak terdapat penjelasan kriterian nilai.
Penilaian dikategorikan: B (baik), C (cukup) atau K (kurang). Terdapat penjelasan tentang kriteria nilai.
Penilaian dikategorikan B (baik), C (cukup) atau K (kurang). Disusun penjelasan tentang kriteria nilai.
Penetapan bobot : Obyek yang berbobot 3, 4 dan 5 harus segera diatasi jika terjadi penyimpangan (obyek utama)
Penetapan bobot : Telah ditetapkan group utama yaitu group yang menjadi prioritas utama untuk diperbaiki.
Penetapan bobot: Ditetapkan aspek utama yaitu aspek yang menjadi prioritas utama untuk diperbaiki.
Penilaian akhir Sertifikat laik higiene untuk jasaboga golongan B diberikan bila:
Penilaian akhir didasarkan atas sebaran nilai aspek utama dan aspek lainnya.
Penilaian akhir didasarkan atas nilai total dan sebaran nilai aspek utama dan aspek lainnya. Nilai total maksimal 39 (13 aspek x 3)
B (baik) jika 4 group utama semuanya mendapat nilai B dan group lainnya maksimal 2 yang mendapat nilai kurang (4B dan 6C-2K) .
B (baik) jika mencapai nilai minimal 90% dari total yaitu 35. Jika dikonversi kedalam sebaran nilai aspek yaitu bila seluruh aspek utama bernilai B dan minimal 5 (lima) aspek yang lain juga memperoleh nilai B serta tanpa ada nilai K (4B dan 5B-4C )
C (cukup) jika 4 group utama mendapat nilai B atau C dan group lainnya minimal 5 yang mendapat nilai cukup (4C dan 5C-3K).
C (cukup) jika mencapai nilai minimal 77% dari nilai total yaitu 30. Jika dikonversi ke dalam sebaran nilai aspek yaitu bila seluruh aspek utama bernilai baik dan minimal 9 (sembilan) aspek yang lain memperoleh nilai C serta tanpa ada nilai K (4B dan 9C ).
-memperoleh nilai 83 dari 92 nilai total atau mencapai nilai 90,2%. -Harus segera memperbaiki penyimpangan obyek yang berbobot 3, 4 dan 5 paling lama 10 hari.
-Jika score penyimpangan ≤15% semua penyimpangan bobot 1 & 2 harus segera diperbaiki sampai waktu pemeriksaan berikutnya. -Jika penyimpangan 16-30% objek berbobot 1 & 2 harus segera diperbaiki dengan waktu maksimal 30 hari. -Jika penyimpangan > 30% kegiatan harus dihentikan dan segera memperbaiki diri dalam waktu 24 jam. Jika tidak dilaksanakan ijin dicabut
K (kurang jika tidak memenuhi kategori cukup.
K (kurang) jika tidak mencapai nilai cukup.
32
Makanan enteral termasuk pangan dengan kategori khusus sehingga dalam penentuan penilaian akhir dibuat lebih
ketat dibandingkan dengan
pangan siap saji dan industri rumah tangga. Bentuk pengetatan mengacu pada peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.52.08.11.07235 tahun 2011 tentang Pengawasan Formula Bayi dan Formula Bayi untuk keperluan Medis Khusus pasal 6 ayat 1. Pada pasal tersebut disebutkan bahwa pelaku usaha yang memproduksi Formula Bayi dan/atau Formula Bayi untuk keperluan Medis Khusus wajib menerapkan Cara Produksi yang Baik dan Sistem Pengendalian Bahaya Pada Titik Kritis (Hazard Analysis and Critical Control Point/HACCP) (BPOM 2011a). Bentuk pengetatan pada CPMEB yaitu seluruh aspek utama harus bernilai B (baik) dan tidak diperbolehkan ada nilai K (kurang) untuk seluruh aspek lainnya. Persyaratan ini hanya dapat dipenuhi oleh rumah sakit yang pelayanan gizinya telah terakreditasi. Pemenuhan persyaratan akreditasi pelayanan gizi yaitu antara lain dapur sonde harus terpisah dari dapur gizi. Pada CPMEB terdapat 13 aspek yang harus dinilai. Total nilai akhir maksimum dicapai bila semua aspek mempunyai kategori baik (B) yaitu nilai 3. Dengan demikian total nilai akhir maksimum menjadi 39. Mengacu pada CPPSSB 2011 yaitu bahwa jasaboga golongan B akan mendapatkan sertifikat kelaikan fisik higiene sanitasi antara lain bila telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan minimal 90,2 % maka total nilai akhir minimal yang harus dicapai untuk mendapatkan kategori baik pada pemenuhan CPMEB yaitu 90% dari 39 sama dengan 35. Jika dikonversi ke dalam sebaran nilai aspek yaitu bila seluruh aspek utama bernilai B dan minimal 5 (lima) aspek yang lain juga memperoleh nilai B serta tanpa ada nilai K (4B dan 5B-4C). Mengacu pada CPPSSB 2011 kembali yaitu bahwa perusahaan/unit pengelolan tidak boleh beroperasi bila nilainya kurang dari 70 % , maka pemenuhan persyaratan CPMEB dikatakan cukup bila total nilai akhir minimal yang harus dicapai 70 % dari 39 sama dengan 27. Konversi nilai tersebut ke dalam sebaran nilai aspek menjadi 1B-3C dan 9C. CPMEB mensyaratkan seluruh aspek utama bernilai B dan tanpa nilai K oleh karena itu minimal sebaran nilai aspek yaitu 4B dan 9C=30 atau 77 % dari 39. Dengan demikian pemenuhan
33
persyaratan CPMEB dikatakan berkategori cukup bila total nilai akhir minimal 30. Jika dikonversi ke dalam sebaran nilai aspek yaitu seluruh aspek utama bernilai baik dan minimal 9 (sembilan) aspek yang lain memperoleh nilai C serta tanpa ada nilai K (4B dan 9C); dan dikatakan kurang bila belum memenuhi kategori cukup.
C. HASIL UJI COBA PEDOMAN DAN PANDUAN AUDIT CPMEB DI RUMAH SAKIT. 1.
Gambaran unit penyedia makanan enteral di rumah sakit X. a. Penanggungjawab unit penyedia makanan enteral Di lingkungan rumah sakit X yang bertanggungjawab terhadap
penyelenggaraan makanan pasien adalah instalasi gizi. Instalasi gizi memproduksi makanan dalam bentuk padat, lunak dan cair. Unit penyedia makanan enteral di rumah sakit X disebut dengan unit produksi makanan cair karena pada dasarnya makanan enteral adalah makanan dalam bentuk cair. Petugas yang mengolah makanan cair berjumlah dua orang dengan jadwal terbagi menjadi 2 (dua) shift. Shift pagi mulai pukul 07.00 sampai pukul 14.00 dan shift sore mulai pukul 13.00 sampai pukul 20.00. Dengan demikian dalam ruang tersebut hanya ada satu orang setiap shiftnya. Latar belakang pendidikan petugas tersebut yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan tataboga/gizi dengan dilengkapi pelatihan pelayanan prima yaitu pelatihan dengan materi kursus higiene sanitasi makanan. Persyaratan kesehatan karyawan dan pemeriksaan kesehatan telah ditetapkan sebagaimana mestinya yaitu dengan adanya pemeriksaan kesehatan secara rutin setahun sekali. Kebersihan karyawan dirawat dengan baik dan selalu diingatkan oleh beberapa tulisan yang ditempel di ruang produksi. Tulisan tersebut antara lain: “cuci dahulu tangan anda sebelum menjamah makanan”, “ gunakan alat pelindung diri (celemek/topi)”, “ perhatiansetiap selesai bekerja semua peralatan wajib dibersihkan”. Dalam melaksanakan tugasnya, pengolah makanan cair dimonitor oleh 2 (dua) orang ahli gizi. Satu orang ahli gizi memonitor tentang proses produksi mulai dari peracikan sampai dengan distribusi dan ahli gizi yang lain memonitor
34
penerapan higiene dan sanitasi. Racikan atau resep disusun oleh ahli gizi sesuai dengan kebutuhan diet yang direkomendasikan dokter.
b. Tata letak unit penyedia makanan enteral. Produksi makanan cair harus dalam ruang khusus yang dijaga higiene dan sanitasinya atau disebut high higiene area (HHA). Hal ini sudah diterapkan oleh rumah sakit X. Unit produksi makanan cair menempati ruang khusus yang masih berada dalam lingkungan dapur gizi. Antara ruang produksi makanan cair dan lingkungan dapur gizi dipisahkan oleh sebuah pintu. Ruang tersebut terbagi menjadi dua ruangan. Antar ruangan juga dipisahkan oleh sebuah pintu. Luas ruang pertama 7,6 m2, dipergunakan untuk pembuatan snack (tidak ada hubungannya dengan produksi makanan enteral). Ruangan ke dua adalah ruang yang benar-benar dipergunakan untuk produksi makanan enteral. Luas ruangan tersebut 10,64 m2. Sarana yang terdapat dalam ruangan ini yaitu tempat cuci tangan (wastafel), meja persiapan, meja produksi, meja distribusi, lemari gantung untuk menyimpan bahan baku kering dan peralatan serta alat pemanas air yang dilengkapi dengan filter. Luas ruangan yang dipergunakan untuk penempatan sarana seluas 3.7 m2 sehingga ruang kosong yang digunakan untuk karyawan bekerja seluas 6,94 m2. Karyawan yang bertugas dalam ruangan tersebut satu orang setiap shift, sehingga berdasarkan persyaratan luas ruang telah cukup memadai. Suhu ruangan berkisar antara 25 sampai 30 0C. Sumber penerangan selain berasal dari lampu juga berasal dari sinar yang masuk dari jendela. Ruang produksi dilengkapi dengan jendela dorong yang menghadap ke bagian ruang distribusi makanan. Ruang distribusi makanan adalah ruang dimana petugas yang akan mendistribusikan makanan antri untuk mengambil makanan yang harus didistribusikan ke pasien sesuai dengan pesanan. Denah ruang produksi makanan cair dapat dilihat pada Lampiran 6.
c.
Bahan baku, peralatan dan proses produksi
Penerimaan bahan baku di rumah sakit X didasarkan pada standar spesifikasi yang telah ditetapkan. Bahan baku makanan cair diperoleh dari gudang bahan baku yang juga menyimpan bahan baku untuk makanan lain. Tidak ada
35
standar spesifikasi yang dikhususkan untuk bahan baku makanan cair. Air yang dipergunakan untuk mengolah makanan cair sama dengan yang digunakan untuk keperluan lain dan telah memenuhi persyaratan air minum. Sebelum dipergunakan untuk mengolah makanan cair, air tersebut dilewatkan ke dalam filter dan selanjutnya masuk ke dalam alat pemanas air yang dapat memanaskan air hingga suhu 90 0C. Filter air dibersihkan secara berkala. Fasilitas sanitasi yang lain yaitu tempat sampah untuk kebutuhan seluruh dapur gizi jumlahnya cukup tetapi ada beberapa yang terbuka. Peralatan yang dipergunakan untuk memproduksi makanan cair di rumah sakit X terdiri dari dua buah gelas ukur yang terbuat dari plastik, pengaduk dari plastik, pisau, pemeras jeruk dari bahan plastik, saringan dari bahan plastik, alat penghasil air panas dan blender. Blender yang digunakan terbuat dari bahan stainless steel dengan volume cup sebesar 2,5 liter. Semua peralatan disimpan di lemari tertutup kecuali blender. Blender diletakkan di luar ruang produksi yaitu di dapur gizi, dipasang secara permanen di tempatnya, tidak dapat dipindah-pindah. Makanan enteral yang diproduksinya hanya makanan enteral FRS dengan jenis produksi dan bahan baku yang dipergunakan antara lain : a). makanan cair untuk diabetes melitus (DM), bahan bakunya adalah susu rendah lemak, susu full cream, kuning telur, tepung maizena, pemanis buatan tak berkalori dan jeruk; b) makanan cair rendah protein (RP), bahan bakunya adalah tepung maizena, gula pasir, susu full cream dan jeruk; c) makanan cair DM rendah laktosa, bahan bakunya adalah susu rendah laktosa, pemanis buatan tak berkalori dan jeruk; d) makanan cair biasa, bahan bakunya adalah susu full cream, gula pasir, kuning telur, jeruk dan beberapa jenis makanan cair yang lain dengan bahan baku hampir sama. Secara umum pengolahan makanan cair dilakukan dengan cara mencampur bahan baku kering kemudian menambahkan air panas 90 0C dan diaduk rata. Pencampuran dilakukan dalam gelas ukur plastik. Setelah pencampuran suhu makanan cair berkisar antara 70 sampai 80 0C. Proses produksi makanan cair yang prosesnya harus menggunakan blender misalnya makanan cair bebas laktosa dengan bahan baku telur, kacang hijau, wortel, jeruk, tepung beras dan gula pasir pemasakan dan pemblenderan dilakukan di luar ruang produksi karena dalam ruang produksi tidak terdapat kompor dan blender telah terpasang secara
36
permanen di luar ruang produksi. Makanan enteral siap konsumsi ditempatkan dalam plastik bening jenis PE (Polietilene) dengan volume sekitar 250 mL (untuk satu kali konsumsi). Sebetulnya tersedia alur proses produksi yang baku dan ditaati tetapi alur proses belum berupa SOP, hanya berupa catatan sederhana dalam buku besar.
d. Distribusi produk dan pengawasan Jumlah makanan enteral yang diproduksi didasarkan pada pemesanan perawat di unit ruang rawat inap ke ahli gizi di unit ruang rawat inap. Pesanan tersebut diterjemahkan ke dalam jenis diet makanan enteral dan penetapan bahan baku. Selanjutnya pesanan diserahkan ke ahli gizi unit penyelenggaraan makanan yang dalam hal ini adalah unit makanan cair untuk diolah. Hasil olahan didistribusikan sesuai dengan catatan/pesanan dari ruang rawat inap. Alat yang dipergunakan untuk mendistribusikan makanan enteral yaitu rantang. Pemberian makanan cair maupun makanan lunak kepada pasien dilakukan oleh perawat. Makanan diberikan pada jam yang telah ditentukan. Tersedia SOP pemberian makanan enteral kepada pasien.
e. Pengendalian hama Pengendalian hama untuk seluruh unit di rumah sakit X dilakukan oleh perusahaan out sourcing dibawah koordinasi urusan rumah tangga. Jika ada permasalahan, unit yang bersangkutan akan melaporkan ke urusan rumah tangga dan dilanjutkan ke perusahaan tersebut untuk ditangani.
2.
Gambaran unit penyedia makanan enteral di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. Pada tanggal 14 Mei 2009 RSPAD
Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta
mendapatkan sertifikat akreditasi sebagai pengakuan bahwa rumah sakit telah memenuhi
standar
pelayananan.
Pelayanan
yang
terakreditasi
meliputi
administrasi dan manajemen; pelayanan medis; pelayanan gawat darurat; pelayanan keperawatan; rekam medis; farmasi; K3; radiologi; laboratorim; kamar operasi; pengendalian infeksi di rumah sakit; perinatal risiko tinggi; pelayanan
37
rehabilitasi medik; pelayanan gizi; pelayanan intensif dan pelayanan darah. Pada tahun 2012 meningkatkan visinya menjadi rumah sakit berstandar internasional, rujukan utama dan rumah sakit pendidikan serta merupakan kebanggaan prajurit dan masyarakat. Dalam rangka mencapai visi rumah sakit dan mempertahankan sertifikat akreditasi, Unit Gizi menyusun misi yang isinya adalah menyelenggarakan pelayanan gizi yang berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan pasien untuk menunjang aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta meningkatkan kualitas
hidup;
meningkatkan
profesionalisme
sumber
daya
manusia;
mengembangkan penelitian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) terapan. Pelaksanaan misi antara lain berpedoman pada persyaratan akreditasi rumah sakit. Dalam akreditasi rumah sakit tahun 2005 standar 4 pedoman 1 (P1) dipersyaratkan tersedia tempat yang cukup untuk melaksanakan pelayanan gizi. Ada 12 item yang dipersyaratkan dalam standar 4 P1 tersebut, salah satu diantaranya yaitu tersedianya ruang/tempat dapur susu (item g). Dapur susu adalah suatu ruangan yang dipergunakan untuk memproduksi makanan cair baik yang dikonsumsi melalui oral maupun enteral. Dalam rangka memenuhi persyaratan akreditasi, pada tahun 2005 dibangun ruangan khusus untuk dapur susu. Di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta dapur susu ini disebut dengan dapur sonde yaitu unit yang memproduksi makanan enteral.
a. Penanggungjawab unit penyedia makanan enteral. Pengelolaan unit penyedia makanan enteral atau dalam hal ini dapur sonde, dimonitor oleh ahli gizi yang bertugas di urusan penyediaan makanan diet (Ur Diamak Diet). Petugas yang mengelola dapur sonde terdiri dari pengatur administrasi penyediaan makanan enteral /sonde dan pengatur pelayanan penyedia makanan enteral/sonde. Tugas pokok pengatur administrasi yaitu membantu menghitung macam diet dan jumlah orang yang dilayani; membantu menginventarisasi peralatan dan perlengkapan dapur enteral/sonde yang tersedia; membuat etiket makanan enteral/sonde; serta membantu dalam pencatatan dan pelaporan. Sedangkan tugas pengatur pelayanan penyedia makanan enteral /sonde
38
yaitu mengecek stok bahan dan mengambil bahan di gudang apabila bahan tersebut kurang; berkoordinasi dengan ahli gizi di Ur Diamak Diet dan pelayanan ruang rawat inap; mengolah makanan dengan jumlah sesuai pesanan dan diolah berdasarkan SOP yang ada; mempersiapkan distribusi makanan enteral yang telah diolah; membersihkan peralatan masak; dan mengecek persediaan bahan baku dan melengkapinya untuk dinas berikutnya dengan cara memesan kepada bagian gudang. Tingkat pendidikan pengatur administrasi adalah diploma tiga gizi dan tingkat pendidikan pengatur pelayanan adalah SMK jurusan tataboga. Jadwal tugas pegawai terbagi menjadi 3 (tiga) shift. Shift pertama pukul 07.00 sampai dengan pukul 15.30, shift kedua pukul 12.00 sampai dengan pukul 19.30 dan shift ketiga pukul 20.00 sampai dengan pukul 07.00. Pengatur administrasi selalu bertugas pada shift pertama dibantu oleh seorang pengatur pelayanan. Pada shift kedua dan ketiga yang bertugas hanya satu orang yaitu pengatur pelayanan penyedia makanan enteral/sonde.
b. Tata letak unit penyedia makanan enteral High higiene area sudah diterapkan di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. Dapur sonde dibangun dalam ruangan khusus yang masih terletak di dalam lingkungan dapur gizi dengan dipisahkan oleh pintu. Pintu dibuat membuka keluar. Dapur sonde terbagi menjadi tiga ruangan yaitu ruang untuk cuci tangan, ruang untuk cuci bahan baku dan peralatan serta ruang untuk pengolahan. Petugas dan siapapun yang masuk ruang tersebut alas kaki harus dilepas. Ruang cuci tangan terletak paling depan dengan ukuran 2,1 m x 1 m (2,1 m2). Ruangan ini berisi wastafel, lap basah, lap kering, sabun cuci tangan dan keset. Terdapat pedoman cara cuci tangan yang baik ditempel diatas wastafel. Ruang sebelah dalamnya sesudah ruang cuci tangan adalah ruang pengolahan. Antara ruang cuci tangan dan ruang pengolahan dipisahkan oleh sebuah pintu yang membuka ke dalam ruang pengolahan. Luas ruang pengolahan 12,8m2 dan dipergunakan untuk peralatan seluas 3,84 m2 sehingga luas ruangan yang bebas dari peralatan adalah 8,96 m2. Peralatan yang terdapat di dalamnya antara lain pendingin ruangan 1 PK; lemari penyimpanan hot & cool thermobox; tempat
39
sampah; meja persiapan sekaligus sebagai meja proses yang terbuat dari bahan stainlesteel; meja distribusi terbuat dari stainlessteel; meja kerja dan kursi; dan lemari penyimpan formulir. Di bawah meja persiapan dipergunakan untuk menyimpan telur yang sudah tertata dalam rak telur dan kontainer plastik besar. Kontainer plastik berisi gula pasir, tepung maizena, susu bubuk yang masih terkemas dan beberapa stoples. Stoples dipergunakan untuk mewadahi produk kering yang telah terbuka dari kemasannya. Di bawah meja distribusi dibuat lemari tertutup untuk menyimpan makanan enteral FK, margarin dan bahan kering lainnya yang masih terkemas utuh. Ruang cuci bahan baku dan peralatan terletak disamping ruang cuci tangan memanjang ke belakang sehingga terhubung dengan ruang pengolahan. Kedua ruangan tersebut dihubungkan oleh sebuah pintu yang terbuka ke arah ruang pengolahan. Luas ruang cuci bahan baku dan peralatan yaitu 3,8m2. Dalam ruang cuci bahan baku dan peralatan terdapat bak cuci piring terbuat dari stainlesteel yang dilengkapi dengan sabun dan sabut cuci piring; rak piring terbuka; selang pipa gas yang tidak berfungsi karena dimatikan alirannya. Lampu yang terpasang di ruang produksi ada tiga kotak setiap kotak berisi dua lampu setiap lampu mempunyai kekuatan penerangan 25 watt, ruangan terlihat cukup terang ditambah dengan cahaya matahari yang masuk ke dalam ruang produksi. Denah dapur gizi dapat dilihat pada Lampiran 7 dan denah dapur sonde dapat dilihat pada Lampiran 8.
c. Bahan baku dan peralatan Bahan baku makanan enteral diperoleh dari gudang bahan baku yang juga menyimpan bahan baku untuk makanan lain. Tidak ada standar spesifikasi yang dikhususkan untuk bahan baku makanan enteral. Bahan baku yang dipergunakan untuk memproduksi makanan enteral di dapur sonde terbagi menjadi dua yaitu bahan baku basah dan kering. Bahan baku basah antara lain daging sapi, ayam, tempe, tahu, wortel, labu siam dan telur. Bahan baku kering antara lain beras, susu full cream, susu skim, gula pasir, garam, tepung maizena, tepung beras, mineral mix, makanan enteral formula komersial. Dapur sonde selain sebagai tempat untuk memproduksi makanan enteral juga
40
kadang-kadang untuk mempersiapkan menu sarapan pagi seperti roti bakar sehingga di dalam ruangan tersebut juga tersedia bahan baku roti tawar dan margarin yang bukan untuk keperluan makanan enteral. Peralatan yang dipergunakan untuk memproduksi makanan enteral yaitu antara lain blender, timbangan digital, lemari penyimpanan hot & cool thermobox, teko plastik volume 2 liter dan 4 liter, gelas ukur plastik volume 2 liter dan 1 liter, plastik wrapping film, plastik bening jenis PE dan sendok kayu. Semua peralatan tersebut disimpan di rak piring terbuka yang terletak di ruang cuci bahan baku dan peralatan.
d. Jenis dan proses produksi Makanan enteral yang sering diproduksi dapur sonde dengan menggunakan pengelompokkan yang diterapkan oleh Almatsier (2005) yaitu makanan cair penuh FRS hasil blender dan makanan cair penuh FRS dengan susu full cream atau skim. Di dapur sonde RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta makanan cair penuh FRS hasil blender dikenal dengan nama makanan saring tanpa susu, sedangkan produk makanan cair penuh FRS dengan susu terdiri dari makanan cair rumah sakit, makanan cair formula WHO dan makanan cair diet lambung 1. Makanan cair tersebut dikonsumsi melalui rute oral atau enteral tergantung kondisi pasien. Setiap hari dapur sonde memproduksi kurang lebih 50 porsi makanan enteral siap konsumsi. Makanan enteral formula WHO (untuk pasien yang memerlukan diet tinggi energi dan tinggi protein) didistribusikan dalam bentuk kering, dikemas per porsi dalam plastik bening jenis PE dan siap untuk dicairkan. Pencairan dilakukan di ruang rawat inap. Makanan enteral FK didistribusikan masih dalam kemasan primer (kemasan sekunder dilepas). Pencairan dilakukan di ruang rawat inap dengan prosedur pencairan mengikuti petunjuk penyajian atau sesuai saran dokter. Proses pembuatan makanan enteral yang dihasilkan dapur sonde pada prinsipnya sama yaitu seluruh bahan dicampurkan, penambahan air, dimasak bila perlu, dihaluskan (diblender) bila perlu dan disaring bila perlu. Bahan baku makanan saring tanpa susu adalah beras putih giling, daging sapi atau ayam, tempe atau tahu, wortel, labu siam, sedikit kecap dan santan. Karena bahan
41
bakunya adalah bahan mentah dan tidak halus maka diperlukan pemasakan dan pemblenderan. Seluruh bahan kecuali beras dicampur menjadi satu, ditambah dengan air dan dimasak. Setelah masak, ditunggu sampai dingin kemudian ditambah nasi dan diblender. Selanjutnya hasil blenderan tersebut disaring. Bahan baku makanan cair rumah sakit yaitu susu full cream, susu rendah lemak, gula pasir, kuning telur ayam dan minyak jagung. Proses pembuatan makanan cair rumah sakit tidak melalui pemasakan karena bahan bakunya siap untuk dikonsumsi. Bahan baku kering dicampur menjadi satu, ditambah kuning telur dan minyak jagung sambil diaduk lagi sampai homogen dan ditambah air mendidih. Proses pembuatan makanan cair formula WHO juga tidak melalui pemasakan. Seluruh bahan baku yang terdiri dari susu full cream, gula pasir, minyak kelapa dan mineral mix dicampur kemudian ditambah air mendidih. Pencampuran dilakukan di ruang rawat inap. Proses pembuatan makanan cair diet lambung 1 melalui pemasakan karena salah satu bahan bakunya tidak siap untuk langsung dikonsumsi yaitu tepung maizena. Bahan baku lainnya adalah susu full cream, gula pasir. Skema proses produksi masing-masing makanan cair dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4 serta SOP dapat dilihat pada Lampiran 9, 10, 11 dan 12.
e. Alur pemesanan bahan baku dan distribusi produk Jumlah dan jenis produksi makanan enteral yang diolah di dapur sonde didasarkan pada pesanan makanan pasien di ruang rawat inap. Berdasarkan rekomendasi dari dokter, penanggungjawab ruang rawat inap memesan makanan enteral ke seksi penyedia makanan Unit Gizi kemudian dilanjutkan ke penyedia makanan diet. Pengatur administrasi penyedia makanan diet dibantu pengatur administrasi penyedia makanan enteral akan menterjemahkan kebutuhan gizi yang direkomendasikan dokter ke dalam kebutuhan bahan pangan. Selanjutnya pengatur administrasi makanan enteral menyusun bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pesanan tersebut dan pengatur pelayanan penyedia makanan enteral akan memesan bahan baku ke bagian gudang. Telur, susu, tepung maizena, tepung beras, garam, gula pasir, dipesan untuk keperluan dua hari sedangkan makanan enteral FK dipesan untuk keperluan satu minggu. Selanjutnya bahan baku tersebut disimpan di dapur sonde. Bahan baku basah seperti sayur, tempe, tahu, ayam dan
42
daging sapi disimpan di dapur gizi. Bahan baku basah datang setiap pagi dan disimpan di lemari pendingin untuk bahan yang akan diolah siang atau sore. Sayur-sayuran disimpan di lemari pendingin dengan suhu 4,50C, daging dengan suhu 5
0
C dan ayam disimpan di freezer dengan suhu 20 0 C. Tempe dan
tahu disimpan pada suhu ruang. Alur pemenuhan makanan pasien dapat dilihat pada Lampiran 13 dan alur permintaan bahan baku di pengolahan makanan enteral dapat dilihat pada Lampiran 14. Pengadaan bahan baku untuk makanan enteral bergabung dengan bahan baku untuk makanan lain. Penentuan rekanan sebagai suplier dilakukan oleh Perbekalan dan Angkutan Angkatan Darat (BEKANGAD), akan tetapi rumah sakit diberi hak untuk memeriksa kembali mutu bahan baku yang diterima. Acuan mutu bahan baku menggunakan standar spesifikasi yang telah dibuat oleh rumah sakit. Contoh prosedur pemeriksaan telur sebagai bahan baku dapat dilihat pada Lampiran 15. Selanjutnya diikuti dengan tes untuk bahan baku yang mungkin menggunakan bahan tambahan terlarang seperti rhodamin B, metanil yellow, boraks dan formalin. Tes bahan tambahan terlarang menggunakan metode screening cepat yaitu test kit. Prosedur test kit bahan tambahan terlarang bagi makanan dapat dilihat pada Lampiran 16, 17, 18 dan 19. Sistem distribusi yang diterapkan di dapur sonde menggunakan sistem desentralisasi dan sentralisasi. Desentralisasi diterapkan untuk makanan enteral FK dan makanan cair tinggi energi dan tinggi protein (formula WHO). Formula tersebut akan dicairkan di ruang rawat inap. Sentralisasi diterapkan untuk formula lain yang membutuhkan pemasakan/perebusan dalam prosesnya. Distribusi dilakukan dengan cara menempatkan makanan enteral ke dalam wadah rantang, mangkok atau botol dan ditutup dengan film/plastik pembungkus (wrapping film). Laporan hasil pengujian tentang film/plastik pembungkus dapat dilihat pada Lampiran 20. Wadah dipersiapkan oleh bagian ruang rawat inap dan dibawa ke dapur sonde satu jam sebelum makanan enteral akan disajikan. Makanan enteral akan dipindahkan ke tempat penyajian yang tersedia di ruang rawat inap. Pemberian makanan enteral kepada pasien dilakukan oleh perawat dengan mengikuti SOP yang telah ditetapkan.
43
Bahan baku *)
)
Bahan baku *
Air mendidih
Pencampuran bahan kering
Perebusan Nasi
Penambahan kuning telur Air mendidih
Penghancuran dengan blendr Pencampuran sampai merata Penyaringan PPPe Penyaringan Ampas
Makanan saring tanpa susu Ampas Penempatan di wadah
Distribusi ke pantry R. rawat inap
Pembagian per satu porsi
Pemberian kepada pasien
*) Bahan : - Daging sapi/ayam - Tempe/tahu - Wortel - Labu siam - Kecap - Santan
Makanan cair rumah sakit
Penempatan di wadah
Distribusi ke pantry R. rawat inap
Pembagian persatu porsi
Pemberian kepada pasien
*) Bahan : - Susu full cream - Susu skim - Gula pasir - Minyak jagung
Gambar 3 : Skema proses pembuatan makanan saring tanpa susu (kiri) dan makanan cair formula susu (makanan cair rumah sakit) (kanan).
44
Bahan baku per satu porsi *)
Bahan baku *) Air mendidih
Pencampuran bahan kering
Perebusan
Pencampuran
Penyaringan
Minyak goreng
Penempatandalam plastik Ampas
Makanan cair diet lambung
Distribusi ke pantry R. rawat inap Air mendidih
Penempatan di wadah Pengenceran Distribusi ke pantry R. rawat inap Penyaringan Pembagian persatu porsi
Pemberian kepada pasien
*) Bahan : - Susu full cream - Gula pasir - Tepung maizena
Ampas Makanan cair formula WHO
Pemberian kepada pasien
*) Bahan : - Susu full cream - Gula pasir - Mineral mix
Gambar 4 : Skema proses pembuatan makanan cair formula susu yaitu diet lambung 1 (kiri) dan formula WHO (kanan)
M
45
f. Perawatan kebersihan dan sanitasi Sumber air yang dipergunakan untuk pengolahan makanan cair, makanan biasa dan keperluan lain bersumber dari air tanah dan telah memenuhi persyaratan kesehatan air minum ditunjukkan dengan adanya laporan hasil pemeriksaan kualitas air bersih secara fisik pada Lampiran 21, secara kimia pada Lampiran 22, dan secara bakteriologi pada Lampiran 23. Perawatan kebersihan dan sanitasi ruang produksi dan sarana produksi makanan enteral dilakukan secara rutin oleh pengatur administrasi dan pengatur pelayanan dibantu oleh cleaning service. General cleaning (kurve) dilakukan seminggu sekali pada hari kamis dan dilakukan serentak antara dapur gizi dan dapur sonde.
g. Pengendalian hama Pengendalian hama diperlukan untuk menjaga agar lingkungan tidak menjadi sumber yang kondusif untuk pertumbuhan hama. Serangga, tikus, hewan peliharaan dan hewan pengganggu lainnya dapat menjadi sumber kontaminasi mikroba. Menurut Hariyadi dan Dewanti-Hariyadi (2011) anjing, kucing seringkali terkontaminasi oleh salmonella. Kucing juga merupakan inang bagi protozoa Toxoplasma gondii yang dapat menyebabkan toksoplasmosis pada manusia. Serangga, terutama lalat dan kecoa dapat mengkontaminasi makanan dengan berbagai patogen penyebab tifus, disentri, diare, dan lain-lain. RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta selalu melakukan penangkapan kucing yang berada di sekitar rumah sakit. Hasil pemantauan pekerjaan pest control pengendalian kucing dapat dilihat pada Lampiran 24. Pengendalian hama tikus dilaksanakan dengan cara membuat saringan hama tikus di dalam dan di luar got tempat pembuangan air limbah. Ruang produksi makanan enteral atau dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta selalu dalam keadaan bersih, tidak terlihat adanya hama serangga maupun tikus dan tidak terlihat adanya sarang hama. Beberapa usaha yang dilakukan untuk menjaga kebersihan dan sanitasi ruang produksi antara lain alas kaki karyawan selalu dilepas sebelum memasuki ruang produksi; pintu selalu tertutup dan dipampang tulisan “tutup kembali pintu”; sebelum memasuki ruang
46
pengolahan terpampang tulisan peringatan “ cucilah tangan sebelum dan sesudah melakukan pengolahan makanan”; dan “cara mencuci tangan yang baik”. .
3.
Uji coba pedoman CPMEB Uji coba pedoman CPMEB dimaksudkan untuk mengkaji apakah pedoman
dapat diterapkan di unit penyedia makanan enteral rumah sakit dan mudah dipahami oleh petugas yang terkait. Oleh karena itu pembahasan ditujukan pada aspek dan parameter yang dianggap belum cocok dan tidak mudah dipahami. Data hasil uji coba pedoman CPMEB diperoleh dari wawancara dengan penilai dan pengamatan terhadap kondisi di lapangan. Berdasarkan hasil uji coba yang telah dilakukan, aspek dan parameter yang dianggap belum cocok dan perlu penyempurnaan antara lain aspek bangunan dan fasilitas; fasilitas sanitasi; penyimpanan; dan pengendalian proses.
a. Bangunan dan Fasilitas Proses makanan cair sangat sederhana sehingga kemungkinan makanan cair jatuh ke lantai sangat sedikit. Lantai mudah dibersihkan walaupun tidak dibuat miring. Oleh karena itu pedoman yang menyatakan bahwa lantai seharusnya dibuat miring dihilangkan sedangkan pedoman lainnya tetap berlaku.
b. Fasilitas Sanitasi Pemenuhan persyaratan air minum untuk proses pengolahan maupun ingredient makanan enteral di rumah sakit tidak terlalu sulit sehingga yang semula mensyaratkan air bersih untuk proses pengolahan dan air minum untuk ingredient digabung menjadi satu yaitu memenuhi syarat kesehatan air minum. Hal ini seperti yang
tercantum pada
keputusan menteri kesehatan nomor 907/2002
tentang syarat dan pengawasan kualitas air minum.
c. Penyimpanan Pada aspek penyimpanan termasuk di dalamnya adalah pedoman penyimpanan bahan berbahaya. Hal ini mengacu pada CPPB-IRT 2003. Setelah
47
dilakukan uji coba ternyata hal ini dirasa tidak sinkron sehingga pedoman untuk penyimpanan bahan berbahaya dialihkan ke aspek pengendalian hama.
d. Pengendalian proses Pada pedoman disebutkan bahwa tujuan bank sampel adalah untuk konfirmasi bila terjadi gangguan atau tuntutan konsumen. Jumlah produksi makanan enteral di rumah sakit setiap jenisnya tidak banyak, sehingga adanya bank sampel tidak efektif. Proses produksi sangat sederhana, rantai distribusi sangat pendek yaitu dari tempat produksi, perawat langsung ke pasien. Konsumen dan petugas yang memproduksi sangat jelas karena terdokumentasi datanya sehingga tanpa bank sampelpun konfirmasi mudah dilakukan bila terjadi gangguan atau tuntutan konsumen. Oleh karena itu parameter bank sampel tidak perlu ada.
4.
Uji coba panduan audit CPMEB Uji
coba
panduan
audit
CPMEB
dimaksudkan
untuk
mengkaji
kemungkinan adanya perbedaan persepsi antar penilai terhadap panduan audit sarana unit penyedia makanan enteral yang dikembangkan. Perbedaan persepsi ditunjukkan oleh adanya perbedaan hasil penilaian audit antar penilai pada kondisi yang sama. Hasil uji coba audit secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil uji coba audit sarana pada unit makanan cair di rumah sakit X dan dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. No.
(1) I
PARAMETER
(2) BANGUNAN DAN FASILITAS 1. Kontruksi lantai 2. Kebersihan lantai 3. Kontruksi dinding 4. Kebersihan dinding 5. Kontruksi langit-langit 6. Kebersihan langit-langit 7. Kontruksi pintu, jendela, dan lubang angin.
RS I
RS II
P1 (3)
P2 (4)
P3 (5)
P4 (6)
P5 (7)
B/3 B/3 B/3 B/3 C/2 B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 C/2 B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3
B/3
B/3
B/3
B/3
48
Tabel 4. Hasil uji coba audit sarana pada unit makanan cair di rumah sakit X dan dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta (lanjutan). (1)
(2) 8.
II
III.
IV.
V.
VI.
Kebersihan pintu, jendela dan lubang angin Huruf mutu/nilai rata-rata
RUANG PRODUKSI 1. Luas ruangan 2. Kondisi ruangan 3. Letak ruangan 4. Penerangan Huruf mutu/nilai rata-rata PERALATAN PRODUKSI 1. Peralatan produksi 2. Penyimpanan peralatan 3. Pemeliharaan kebersihan dan sanitasi 4. Prosedur penanganan sanitasi blender Huruf mutu/nilai rata-rata
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
B3
B3
B3
B3
B3
B/ 2,9
B/ 2,9
B/3
B/3
B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 B/ 3
B/3 C/2 C/2. B/3 C/2,5
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3 K/1 C/2,5
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 K/1
B/3 B/3 B/3
B/3 C/2 B/3
B/3 C/2 K/1
B/3
C/2
B/3
B/3
C/2
B/3
C/2,3
B/3
B/2,8
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
C/2
FASILITAS SANITASI 1. Penggunaan air 2. Air yang kontak langsung dengan pangan 3. Tempat sampah 4. Tempat cuci tangan 5. Tempat cuci bahan baku dan peralatan 6. Alat cuci/pembersih 7. Jadwal kegiatan sanitasi Huruf mutu/nilai rata-rata
C/2 B/3 B/3
C/2 K/1 C/2
B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/ 2,9
B/3 B/3 C/2,4
B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3
PENYIMPANAN 1. Penyimpanan bahan baku 2. Tata cara penyimpanan 3. Penyimpanan makanan enteral 4. Penyimpanan bahan berbahaya Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 C/2 B/3 B/2,8
B/3 B/3 K/1 B/3 C/2,5
PENGENDALIAN PROSES 1. Penetapan spesifikasi bahan baku 2. Proses produksi makanan enteral 3. Jenis wadah 4. Volume wadah 5. Keterangan produksi 6. Bank sampel Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 K/1 B/3 B/3 K/1 C/2,3
B/3 B/3 B/3 B/ 3 K/1 B/2,6
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 C/2 B/2,7
B/3 B/3 K/1 K/1 K/1 K/1 C/1,7
49
Tabel 4. Hasil uji coba audit sarana pada unit makanan cair di rumah sakit X dan dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta (lanjutan). (1) VII.
VIII.
IX.
X.
XI.
XII.
(2) MANAJEMEN PENGAWASAN 1. Penanggung jawab proses produksi 2. Pengawasan proses produksi dan higiene sanitasi Huruf mutu/nilai rata-rata
(3)
(4)
(4)
(5)
(6)
B/3
B/3
B/3
B/3
B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
PENGENDALIAN HAMA 1. Pencegahan masuknya hama 2. Pemberantasan hama Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3
HIGIENE KARYAWAN 1. Kebersihan karyawan 2. Kebersihan tangan 3. Pemeriksaan kesehatan 4. Kesehatan karyawan 5. Perilaku karyawan 6. Perhiasan dan asesoris lainnya Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 K/1 B/3 B/2,7
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
PENYALURAN MAKANAN 1. Suhu saat penyaluran makanan 2. Alat penyaluran Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3
K/1 B/3 C/2
B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3
K/1 B/3 C/2
PELATIHAN 1. Pengetahuan karyawan Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
C/2 C/2
C/2 C/2
PEMBERIAN MAKANAN ENTERAL KEPADA PASIEN 1. SOP pemberian makanan enteral kepada pasien. Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3
B/3
B/3
B/3
B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
XIII. 1. 2.
PENCATATAN DAN DOKUMENTASI Pelaksanaan pencatatan dan dokumentasi Penyimpanan catatan Huruf mutu/nilai rata-rata Total nilai
Keterangan : Kolom P1 adalah penilaian hasil kompilasi dua orang ahli gizi di rumah sakit X Kolom P2 adalah penilaian peneliti di rumah sakit X . Kolom P3 dan P4 adalah penilaian ahli gizi di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Kolom P5 adalah penilaian peneliti di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad. RS I adalah rumah sakit X. RS II adalah RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
50
Berdasarkan data pada Tabel 4,
perbedaan penilaian untuk uji coba
evaluasi pemenuhan persyaratan CPMEB di rumah sakit X (RS I) yaitu (1) aspek ruang produksi untuk parameter kondisi ruangan; dan letak ruangan, (2) aspek peralatan produksi untuk parameter pemeliharaan kebersihan dan sanitasi; dan prosedur penanganan sanitasi blender, (3) aspek fasilitas sanitasi untuk parameter tempat cuci tangan; dan tempat cuci bahan baku dan peralatan, (4) aspek penyimpanan untuk parameter penyimpanan makanan enteral, (5) aspek pengendalian proses untuk parameter jenis wadah; dan bank sampel, (6) aspek penyaluran makanan untuk parameter suhu saat penyaluran makanan. Sedangkan di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta (RS II) yaitu (1) aspek bangunan dan fasilitas untuk parameter konstruksi lantai, (2) aspek ruang produksi untuk parameter
penerangan,
(3)
aspek
peralatan
produksi
untuk
parameter
penyimpanan peralatan; pemeliharaan kebersihan dan sanitasi; dan parameter prosedur penanganan sanitasi blender, (4) aspek penyimpanan untuk parameter penyimpanan makanan enteral (5) aspek pengendalian proses untuk parameter jenis wadah; volume wadah; keterangan produksi; dan bank sampel, (5) aspek higiene karyawan untuk parameter perilaku karyawan, (6) aspek penyaluran makanan untuk parameter suhu saat penyaluran makanan, (7) aspek pelatihan untuk parameter pengetahuan karyawan. a. Bangunan dan Fasilitas Penilaian kosong pada parameter konstruksi lantai sebetulnya bukan karena perbedaan persepsi tetapi disebabkan karena ada kata-kata yang membingungkan yaitu kata “dibuat miring sehingga mudah dibersihkan”. Hal ini sudah dibahas pada hasil uji coba pedoman CPMEB.
b. Ruang Produksi Perbedaan persepsi penilaian aspek ruang produksi terdapat pada parameter kondisi ruang produksi dan parameter letak ruang produksi. Ruang produksi disyaratkan HHA. Di RS I petugas maupun tamu yang akan memasuki ruang produksi makanan cair menggunakan sandal khusus. Akan tetapi sandal tersebut sudah mulai dipakai sejak memasuki dapur di pintu depan. Hal ini memungkinan
51
adanya kotoran dari lantai dapur yang menempel di sandal dan terbawa ke dalam ruang produksi makanan cair sehingga menjadi sumber kontaminasi. Sebagian penilai menganggap hal tersebut masih memenuhi persyaratan karena dianggap sandal dalam keadaan bersih. Ewen et al. (2010) mengatakan bahwa memasuki ruang persiapan makanan sebaiknya berganti dengan seragam khusus karena pakaian yang dikenakan sebelumnya dapat membawa mikroba patogen dari luar. Dalam hal sandalpun kemungkinan demikian juga. Oleh karena itu sebaiknya memasuki ruang produksi makanan cair menggunakan sandal yang hanya digunakan untuk ruang produksi makanan cair atau alas kaki dilepas. Letak ruang produksi makanan cair di RS I sudah terpisah dengan ruang produksi makanan biasa (dapur gizi) dan dilengkapi dengan pintu pemisah. Akan tetapi pintu pemisah tersebut terbuka ke dalam ruang produksi sehingga hal ini memungkinkan debu dan kotoran dari luar dapat terbawa masuk melalui udara ke dalam ruang produksi. Sebagian penilai menganggap hal tersebut masih memenuhi persyaratan. Menurut Ewen et al. (2010) pula dikatakan bahwa penghalang fisik dapat meminimalkan mikroba yang tidak diinginkan berpindah. Penghalang fisik yang dimaksud adalah rancangan dinding dan pintu. Perbedaan penilaian pada parameter penerangan di RS II sebetulnya bukan karena perbedaan persepsi tetapi karena saat penilaian yang tidak sama. Seorang penilai menilai pada sore hari sehingga tidak ada bantuan sinar matahari dan ada sebuah lampu yang mati, sementara yang lain melakukan pada siang hari. Tentang kasus adanya lampu mati seharusnya penilaian yang paling akhir yang dipakai sedangkan untuk kasus penilaian saat ada dan tidak ada sinar matahari penilaian dilakukan dengan cara merata-ratakan penilaian yang ada.
c. Peralatan Produksi Perbedaan persepsi penilaian aspek peralatan produksi terdapat pada parameter penyimpanan peralatan, parameter pemeliharaan kebersihan dan sanitasi serta parameter prosedur penanganan sanitasi blender. Peralatan produksi makanan enteral di RS II disimpan di rak piring terbuka yang diletakkan di ruang cuci bahan baku dan peralatan yang lebih sering tertutup. Pedoman mensyaratkan bahwa peralatan harus disimpan di tempat tertutup dengan maksud agar tidak
52
terjadi kontaminasi dari debu sekitarnya. Rak yang terbuka walaupun terdapat dalam ruang tempat penyimpanan tertutup akan ada kemungkinan terkontaminasi oleh debu yang berada di sekitar ruangan. Pembersihan dan sanitasi peralatan serta prosedur penanganan sanitasi blender yang diterapkan di RS I dan RS II sama yaitu
dengan cara dicuci
menggunakan sabun cuci piring, setelah kering disimpan dalam lemari. Pada saat akan dipergunakan dibilas dengan air bersuhu 90 0C di RS I dan air mendidih di RS II. Penanganan sanitasi blender dilakukan dengan cara melepas pisaunya, dicuci dengan sabun cuci piring, dikeringkan dan dipasang pada tempatnya dengan cup tertutup. Pada saat akan digunakan dibilas dengan air bersuhu 90 0C. Perlakuan semacam itu telah memenuhi persyaratan pembersihan tetapi penerapan sanitasi belum memadai. Menurut Haryadi dan Dewanti-Haryadi (2011) yaitu bahwa secara umum, pemanasan yang baik untuk sanitasi alat dilakukan hingga permukaan alat mencapai suhu ≥ 82 0C selama beberapa menit. Jika merujuk pada CPPOB Formula bayi-2011 yaitu pada panduan untuk menyiapkan dan menyajikan formula bayi maka peralatan penyajian perlu direbus pada air mendidih selama 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) menit (BPOM 2011b). Pembilasan dengan air suhu 90 0C maupun air mendidih tidak akan membuat permukaan alat mencapai suhu ≥ 82 0C. Oleh karena itu sebaiknya alat yang permukaannya kontak langsung dengan makanan enteral dan sesudah itu tidak ada perlakuan selanjutnya terhadap makanan enteral yang dapat membunuh mikroba, peralatan tersebut direbus terlebih dahulu sebelum dipergunakan. Memperhatikan pembahasan ini, kriteria penilaian pada parameter pemeliharaan kebersihan dan sanitasi dirasa kurang. Kriteria penilaian untuk parameter pemeliharaan kebersihan dan sanitasi hanya ada B (baik) dan K (kurang). Kriteria B (baik) yaitu untuk kondisi bila pencucian dan sanitasi alat selalu menggunakan bahan pembersih dan saniter yang memadai. Kriteria K (kurang) yaitu kondisi bila pencucian dan sanitasi alat tidak selalu menggunakan bahan pembersih dan saniter yang memadai. Perlu ditambah kriteria C (cukup) yaitu untuk kondisi bila peralatannya telah dibersihkan dengan benar tetapi sanitasi belum memadai.
53
d. Fasilitas sanitasi Perbedaan persepsi penilaian aspek fasilitas sanitasi terjadi di RS I untuk parameter tempat cuci tangan dan parameter tepat cuci bahan baku dan peralatan. Persyaratan kedua parameter tersebut yang tercantum pada kriteria penilaian yaitu bahwa kedua fasilitas tersebut harus terpisah. Di RS I kedua fasilitas tersebut menyatu. Bahan baku yang dipergunakan sebagian besar bahan baku kering yang tidak perlu untuk dicuci. Peralatan yang dipergunakan juga jumlahnya sedikit dan sangat sederhana sehingga menyatunya dua fasilitas tersebut dianggap tidak menjadi masalah untuk menjaga kebersihan dan sanitasi.
e. Penyimpanan Perbedaan persepsi penilaian aspek penyimpanan terutama terjadi pada penilaian parameter penyimpanan makanan enteral. Di RS I tidak dilakukan penyimpanan makanan enteral sehingga penilaian parameter penyimpanan makanan enteral dikosongkan. Bagi unit penyedia makanan enteral yang tidak melakukan penyimpanan makanan enteral maka parameter tersebut tidak perlu dinilai dan tidak diperhitungkan dalam penilaian. Di RS II sebetulnya tidak dilakukan penyimpanan makanan enteral sejak lemari penyimpanan hot & cool thermobox tidak berfungsi. Akan tetapi ada makanan enteral siap santap yang tidak langsung didistribusikan yaitu makanan enteral tanpa laktosa yang dipergunakan untuk cadangan. Makanan enteral disimpan dalam teko plastik ditutup film/plastik pembungkus di suhu ruang (25 – 30 0C) selama dua sampai tiga jam untuk memastikan ada tidaknya pesanan tambahan. Jika tidak ada pesanan tambahan, makanan tersebut dibuang. Perbedaan penilaian terjadi pada memperkirakan lamanya makanan enteral di zona berbahaya. Pada prinsipnya makanan enteral bila tidak langsung dikonsumsi diusahakan agar suhu penyimpanan di bawah 5 0C atau di atas 65 0C untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Penyimpanan makanan enteral sangat berisiko terhadap penurunan keamanan pangan,
sehingga parameter penyimpanan
makanan enteral seharusnya dimasukkan ke dalam kelompok aspek utama. Parameter lain yang berada pada aspek penyimpanan mudah terkendali. Oleh
54
karena itu parameter penyimpanan makanan enteral dipindahkan ke aspek pengendalian proses dan dijadikan aspek utama.
f. Pengendalian proses Perbedaan persepsi penilaian aspek pengendalian proses terjadi pada parameter jenis wadah; volume wadah; keterangan produksi; dan bank sampel. Persyaratan jenis wadah yaitu inert dan mudah disanitasi. Di RS I jenis wadah yang digunakan yaitu plastik jenis PE. Plastik jenis PE yang dalam hal ini yaitu LDPE (Low Density PE) kurang tahan pada suhu tinggi (Rahayu 2004). Sedangkan mangkok, salah satu wadah makanan enteral yang digunakan di RS II diragukan ketahanan panasnya saat direbus sehingga tidak mudah disanitasi. Perbedaan persepsi pada penilaian parameter volume wadah yaitu adanya anggapan bahwa wadah yang digunakan sudah aman dari kontaminasi karena tertutup rapat setelah dilakukan penempatan. Sebetulnya ada faktor lain yang harus diperhatikan yaitu volume wadah. Semakin besar volume wadah berarti semakin sering dilakukan penuangan. Menurut Beattie dan Anderton
(2001)
penuangan merupakan salah satu penyebab terjadinya kontaminasi. Keterangan produksi harus selalu ditempel pada setiap wadah, tetapi karena di RS II ada beberapa wadah yang tidak memungkinkan untuk ditempel wadah maka kadang-kadang wadah tidak ditempel keterangan produksi. Buku catatan keterangan produksi di bagian dapur dan pada petugas distribusi makanan enteral kadang-kadang dianggap cukup untuk menghindari terjadinya kekeliruan penyaluran. Setiap petugas distribusi umumnya membawa makanan enteral lebih dari satu porsi sehingga memungkinan akan terjadi kekeliruan pemberian. Oleh karena itu keterangan produksi harus selalu ditempel di setiap wadah. Banyaknya parameter yang harus dikendalikan dengan ketat pada aspek pengendalian proses, dirasa perlu memasukkan pengendalian proses menjadi aspek utama.
g. Higiene Karyawan Pada penilaian aspek higiene karyawan sebetulnya tidak terjadi perbedaan persepsi. Perbedaan penilaian disebabkan saat pengamatan yang berbeda. Salah seorang penilai mendapati ada karyawan yang mengunyah makanan saat bekerja
55
sementara yang lain tidak melihatnya. Jika terjadi kasus seperti ini maka penilaian harus dikompilasi antar penilai.
h. Penyaluran Makanan Pada penilaian aspek penyaluran makanan sebetulnya tidak terjadi perbedaan
persepsi.
Perbedaan
penilaian
disebabkan
karena
perbedaan
menghitung perkiraan waktu makanan enteral berada di zona berbahaya. Faktor yang harus diperhatikan pada saat menilai parameter suhu penyaluran yaitu suhu dan waktu. Menurut Jorge (2000) untuk menjaga agar makanan aman, jangan biarkan makanan berada pada zona berbahaya lebih dari 4 jam. Pada panduan audit sarana produksi, belum tercantum faktor waktu. Oleh karena itu parameter untuk aspek penyaluran makanan perlu disempurnakan menjadi parameter kondisi makanan saat penyaluran makanan dan parameter kondisi alat saat penyaluran makanan.
i. Pelatihan Pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan karyawan tentang higiene dan sanitasi sangat diperlukan agar setiap karyawan selalu termotivasi untuk menerapkan hasil pelatihannya. Perbedaan persepsi untuk aspek pelatihan terletak pada hal ini. Di RS II berdasarkan informasi lisan masih ada karyawan penjamah makanan enteral atau pengatur pelayanan makanan enteral yang belum mengikuti kursus higiene dan sanitasi. Pengetahuan diperolehnya dari karyawan yang telah berpengalaman. Hal ini tentu belum termasuk kriteria baik (B).
D. PENYEMPURNAAN PEDOMAN DAN PANDUAN AUDIT CPMEB. Berdasarkan pembahasan hasil uji coba pedoman CPMEB maupun hasil uji coba panduan audit, perlu adanya penyempurnaan draf yang telah disusun. Rekapitulasi penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB dapat dilihat pada Tabel 5.
56
Tabel 5. Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB berdasarkan uji coba yang dilakukan di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. No. (1) 1.
2.
Aspek dan Parameter (2) Bangunan dan Fasilitas Konstruksi lantai
Peralatan Produksi Pemeliharaan kebersihan dan sanitasi
Justifikasi
Penyempurnaan
(3)
(4)
Kotoran yang jatuh di lantai tidak banyak sehingga lantai mudah dibersihkan walaupun tidak miring.
Konstruksi lantai B : kedap air, rata, halus tetapi tidak licin, kuat dan mudah dibersihkan. (kata “dibuat miring” pada pedoman maupun kriteria penilaian dihilangkan)
Kriteria penilaian untuk parameter pemeliharaan kebersihan dan sanitasi belum menampung penilaian yang peralatannya telah dibersihkan dengan benar tetapi sanitasi belum memadai sehingga perlu ditambah kriteria C untuk menampung hal ini.
Pemeliharaan kebersihan dan sanitasi B : sesuai kriteria semula C :pencucian alat selalu menggunakan bahan pembersih yang memadai tetapi ada sebagian alat yang belum dilakukan sanitasi secara memadai. (kriteria tambahan). K : sesuai kriteria semula
3.
Fasilitas Sanitasi Penggunaan air Air yang kontak langsung dengan pangan
Pemenuhan persyaratan air minum untuk proses pengolahan maupun ingredient makanan enteral di rumah sakit tidak terlalu sulit
Parameter penggunaan air dan parameter air yang kontak langsung dengan pangan dijadikan satu menjadi: penggunaan air B : air untuk pengolahan makanan dan untuk keperluan lain memenuhi persyaratan kesehatan air minum. K : air untuk pengolahan makanan dan untuk keperluan lain tidak memenuhi persyaratan kesehatan air minum
57
Tabel 5. Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB berdasarkan uji coba yang dilakukan di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta (lanjutan). (1)
(2)
4.
Penyimpanan Penyimpanan bahan berbahaya
Penyimpanan makanan enteral
5.
Pengendalian proses Bank sampel
(3)
(4)
Tidak sinkron dengan jenis penyimpanan yang lain.
Parameter penyimpanan bahan berbahaya dipindahkan ke aspek pengendalian hama.
Sangat berpengaruh terhadap risiko keamanan pangan sehingga perlu dimasukkan ke aspek utama sementara parameter lain pengaruhnya tidak besar. Oleh karena itu parameter penyimpanan makanan enteral dipindahkan dari aspek penyimpanan.
Parameter penyimpanan makanan enteral dipindahkan ke aspek pengendalian proses.
Aspek penyimpanan akhirnya hanya terdiri dari parameter tempat penyimpanan bahan baku dan parameter tata cara penyimpanan. Kedua parameter tersebut tidak besar pengaruhnya terhadap risiko keamanan pangan.
Aspek penyimpanan disempurnakan menjadi aspek penyimpanan bahan baku dan tidak termasuk aspek utama
Adanya bank sampel tidak efektif karena jumlah produksi tidak banyak. Proses sangat sederhana, rantai distribusi sangat pendek, konsumen dan pertugas yang memproduksi sangat jelas sehingga tanpa bank sampelpun konfirmasi mudah dilakukan bila terjadi gangguan atau tuntutan konsumen.
Parameter bank sampel dihilangkan
Parameter penyimpanan makanan enteral dari aspek penyimpanan masuk ke aspek pengendalian proses.
Ada tambahan parameter yaitu parameter penyimpanan makanan enteral
Sebagian besar parameter penyusun aspek pengendalian proses perlu dikendalikan dengan cermat
Aspek pengendalian proses dimasukkan ke dalam aspek utama.
58
Tabel 5. Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB berdasarkan uji coba yang dilakukan di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta (lanjutan). (2)
(1)
Penyaluran makanan
(3) Risiko terjadinya kontaminasi saat penyaluran makanan dipengaruhi oleh faktor suhu dan waktu. Oleh karena itu perlu penyempurnaan parameter dan kriterianya
(4) Aspek penyaluran makanan disempurnakan, menjadi terdiri dari parameter kondisi makanan saat penyaluran, dengan kriteria penilaian : B : Kondisi makanan selalu berada pada suhu < 50C atau > 650C. C : kondisi makanan berada pada suhu 5 – 650C kurang dari 4 jam. K : kondisi makanan berada pada suhu 5 – 650C lebih dari 4 jam. Parameter kondisi alat penyaluran makanan tidak mengalami perubahan kriteria.
7.
Pengendalian hama
Parameter penyimpanan bahan berbahaya dipindah ke aspek pengendalian hama
Ada tambahan parameter yaitu parameter penyimpanan bahan pemberantas hama.
Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa terjadi perubahan aspek utama. Aspek penyimpanan tidak lagi menjadi aspek utama dan aspek pengendalian proses berpindah menjadi aspek utama. Dengan demikian yang termasuk aspek utama setelah dilakukan penyempurnaan adalah aspek ruang produksi; peralatan produksi; pengendalian proses; dan higiene karyawan. Penyempurnaan selengkapnya pedoman CPMEB draf 1 menjadi draf 2 dapat dilihat pada Lampiran 4 sedangkan penyempurnaan panduan audit dapat dilihat pada Lampiran 5.
59
E. APLIKASI PANDUAN AUDIT CPMEB PADA UNIT PENYEDIA MAKANAN ENTERAL DI RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD JAKARTA. Evaluasi kesesuaian dilakukan menggunakan panduan audit sarana produksi pada unit penyedia makanan enteral di rumah sakit draf 2 seperti yang tercantum pada Lampiran 4. Hasil evaluasi dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil evaluasi aplikasi panduan audit CPMEB pada dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. No
(1) I
II
III.
IV.
ASPEK/PARAMETER
(2) BANGUNAN DAN FASILITAS 1.Kontruksi lantai 2.Kebersihan lantai 3.Kontruksi dinding 4.Kebersihan dinding 5.Kontruksi langit-langit 6.Kebersihan langit-langit 7.Kontruksi pintu, jendela, dan lubang angin 8.Kebersihan pintu, jendela dan lubang angin Huruf mutu/nilai rata-rata RUANG PRODUKSI 1. Luas ruangan 2. Kondisi ruangan 3. Letak ruangan 4. Penerangan Huruf mutu/nilai rata-rata PERALATAN PRODUKSI 1. Peralatan produksi 2. Penyimpanan peralatan 3. Pemeliharaan kebersihan dan sanitasi 4. Prosedur penanganan sanitasi blender Huruf mutu/nilai rata-rata FASILITAS SANITASI 1. Penggunaan air 2. Tempat sampah 3. Tempat cuci tangan 4. Tempat cuci bahan baku dan peralatan 5. Alat cuci/pembersih 6. Jadwal kegiatan sanitasi Huruf mutu/nilai rata-rata
HASIL PENILAIAN P1 (3)
P2 (4)
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 C/2
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3
B/3
B/3
B/3
B/ 3
B/ 2,9
B/3
B/3
B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 B/ 3
B/3 B/3 B/3 B/3 B/ 3
B/3 C/ 2 B/3 B/3 B/ 2,8
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3
B/3 C/2 B/3 B/3 B/ 2,8
B/3 C/2 B/3 B/3 B/ 2,8
B/3 C/2 C/2 C/2 C/2,3
B/2.7
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3
B/3 C/2 B/3 B/3 B/ 2,8
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/ 3
P3 (5)
HA P4 (6)
(7)
60
Tabel 6. Hasil evaluasi aplikasi panduan audit CPMEB pada dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta (lanjutan). (1) V.
VI.
VII.
VIII
IX.
X.
XI.
XII.
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
PENYIMPANAN BAHAN BAKU 1. Penyimpanan bahan baku 2. Tata cara penyimpanan Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3
B/3
PENGENDALIAN PROSES 1. Penetapan spesifikasi bahan baku 2. Proses produksi makanan enteral 3. Jenis wadah 4. Volume wadah 5. Keterangan produksi 6. Penyimpanan makanan enteral Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/ 3
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 K/1 C/2 C/2 K/1 C/ 2
B/2.8
B/3
B/3
B/3
B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
MANAJEMEN PENGAWASAN 1. Penanggung jawab proses produksi 2. Pengawasan proses produksi dan higiene sanitasi Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3
PENGENDALIAN HAMA 1. Pencegahan masuknya hama 2. Pemberantasan hama 3. Penyimpanan bahan pemberantas hama Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3
B/3
B/3
B/3
B/ 3
B/3
HIGIENE KARYAWAN 1.Kebersihan karyawan 2.Kebersihan tangan 3.Pemeriksaan kesehatan 4.Kesehatan karyawan 5.Perilaku karyawan 6.Perhiasan dan asesoris lainnya Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3 B/3
B/3
PENYALURAN MAKANAN 1.Kondisi makanan saat penyaluran 2.Kondisi alat penyaluran Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3 B/3
B/3 B/3 B/3
K/1 B/3 C/2
K/1 B/3 C/2
C/2,5
PELATIHAN 1.Pengetahuan karyawan Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3
B/3 B/3
C/2 C/2
C/2 C/2
C/2,5
PEMBERIAN MAKANAN ENTERAL KEPADA PASIEN 1. SOP pemberian makanan enteral kepada pasien Huruf mutu/nilai rata-rata
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3 B/3
B/3
61
Tabel 6. Hasil evaluasi aplikasi panduan audit CPMEB pada dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta (lanjutan). (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
B/3
B/3
B/3
B/3 B/3 B/3 B/3 38,7 36,6 B : Baik C : Cukup K : Kurang
B/3 B/3 35,3
(7)
XIII
PENCATATAN DAN DOKUMENTASI 1. Pelaksanaan pencatatan dan B/3 dokumentasi 2. Penyimpanan catatan B/3 Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 Total nilai 38,8 Keterangan : P1, P2 dan P3 : penilai dari rumah sakit P4 : peneliti HA : hasil akhir evaluasi
B/3 37,5
Berdasarkan data yang tercantum pada Tabel 6 rata-rata hasil penilaian akhir adalah 37,5 dengan sebaran nilai aspek 4B dan 7B-2C dan dikategorikan baik (B). Namun demikian masih ada beberapa aspek yang perlu disempurnakan untuk mencapai persyaratan yang maksimal. Hal ini ditunjukkan oleh kategori B untuk beberapa aspek tapi nilai belum mencapai 3 (tiga) atau bahkan masuk ke kategori C. Aspek yang dimaksud adalah aspek peralatan produksi untuk parameter penyimpanan peralatan, pemeliharaan kebersihan dan sanitasi, serta prosedur penanganan sanitasi blender;
aspek pengendalian proses untuk
parameter jenis wadah, volume wadah, keterangan produksi, dan penyimpanan makanan enteral; aspek penyaluran makanan untuk parameter kondisi makanan saat penyaluran; dan aspek pelatihan.
1. Peralatan produksi. Peralatan produksi makanan enteral disimpan pada rak piring terbuka. Rak piring ditempatkan di ruang cuci bahan baku dan peralatan yang lebih sering tertutup. Walaupun ruangan tertutup tetapi memungkinkan terjadi kontaminasi yaitu berasal dari udara disekitarnya. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya kontaminasi mikroba dari udara sekitar ke peralatan yang akan digunakan untuk mengolah makanan enteral, sebaiknya digunakan rak piring tertutup. Peralatan yang dipergunakan untuk mengolah makanan enteral terbuat dari bahan yang tidak bereaksi dengan produk (inert). Pencucian menggunakan bahan pembersih yang memadai yaitu menggunakan sabun cuci piring dan dibantu dengan sabut cuci piring. Pencucian blender juga sudah dilakukan sebagaimana
62
mestinya yaitu dengan cara membongkar peralatan untuk memastikan seluruh bagian permukaan yang kontak dengan produk tercuci dengan bersih. Akan tetapi sanitasi peralatan yang kontak dengan produk, termasuk blender belum dilakukan sebagaimana mestinya. Sanitasi dilakukan dengan cara membilas peralatan dengan air panas mendidih. Demikian juga sanitasi yang dilakukan terhadap blender. Menurut Haryadi dan Dewanti-Haryadi (2011) yaitu bahwa secara umum, pemanasan yang baik untuk sanitasi alat dilakukan hingga permukaan alat mencapai suhu ≥ 82 0C selama beberapa menit. Pembilasan dengan air mendidih tidak akan membuat permukaan alat bersuhu ≥ 82 0C. Sebaiknya alat yang permukaannya kontak langsung dengan makanan enteral dan sesudah itu tidak ada perlakuan selanjutnya terhadap makanan enteral yang dapat membunuh mikroba, peralatan tersebut direbus terlebih dahulu sebelum dipergunakan agar permukaan alat dapat mencapai suhu ≥ 82 0C. Penanganan ini seperti yang dianjurkan pada CPPOB Formula bayi-2011 terhadap botol susu bayi yang akan digunakan. Dalam ruang produksi makanan enteral RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta, tidak terdapat kompor. Kebutuhan air panas diambil dari dapur gizi yang berarti harus keluar ruang produksi dan membutuhkan waktu untuk mendapatkan air panas. Hal ini akan menyebabkan suhu air turun pada saat akan dipergunakan untuk membilas peralatan. Jika peralatan yang dibawa ke tempat sumber air panas, perjalanan dari tempat bilas ke ruang produksi setelah mensanitasi peralatan, membutuhkan waktu yang akhirnya berpeluang terjadi kontaminasi silang yang berasal dari debu ruangan. Dalam ruang cuci bahan baku dan peralatan sebetulnya tersedia aliran pipa gas yang saat ini tidak difungsikan. Pengaktifan pipa gas dan atau penambahan kompor gas akan dapat mengatasi hal tersebut. Apabila diadakan kompor gas perlu dilengkapi dengan pengisap asap kompor karena tidak ada ventilasi di ruang cuci bahan baku dan peralatan. Pada kran tempat pencucian bahan baku dan peralatan menurut informasi juga sebetulnya difasilitasi dengan pipa air panas tetapi saat ini dalam keadaan rusak. Perbaikan alat ini juga dapat mengatasi pananganan sanitasi yang belum memadai.
63
2. Pengendalian proses Tersedia alur proses produksi yang baku dan dituangkan dalam SOP. Diantara prosedur makanan cair yang ada, terdapat salah satu prosedur yang perlu mendapat perhatian yaitu prosedur pembuatan makanan cair rumah sakit. Proses tersebut tidak melalui perebusan hanya menambahkan air mendidih ke dalam campuran bahan kering meskipun salah satu bahan bakunya adalah kuning telur. Menurut Blackburn et al. (2003) salah satu mikroba patogen yang dikhawatirkan berada dalam telur adalah Salmonella Enteritidis. Keberadaan mikroba tersebut berasal dari induknya, menerobos dan menjalar ke jaringan reproduksi unggas akhirnya dapat menembus telur dan anak ayam. Penambahan air mendidih ke dalam campuran bahan baku makanan enteral tanpa dilakukan perebusan hanya akan meningkatkan suhu sampai dengan 40-50 0C. Menurut Jay et al (2005) Amerika telah merekomendasi untuk menghindari konsumsi telur mentah atau setengah matang terutama pada anak-anak, orang tua dan orang sakit. Telur harus direbus pada suhu ≥ 63 0C selama 15 detik atau sampai kuning telur dan putihnya menggumpal. Jika telur akan disimpan dilakukan pada suhu ≤ 7,2 0C. Rekomendasi Chantarapanont et al. (2000) tentang cara merebus telur sehingga dapat menginaktifkan Samonella Enteritidis yaitu masukkan telur dalam air sampai dengan telur tersebut terendam oleh air, dipanaskan sampai air mendidih (100 0C), dipertahankan pada suhu tersebut selama 15 menit. Perebusan dengan cara seperti ini, akan meningkatkan suhu kuning telur mencapai 62,3 ± 2 0C. Jika tidak akan dilakukan perebusan pada proses pembuatan makanan cair rumah sakit, telur dapat diganti dengan tepung telur yang telah tersertifikasi. Wadah yang dipergunakan untuk makanan enteral antara lain rantang dengan bahan baku stainless steel, mangkok dengan bahan baku kaca, kemasan plastik kedap udara dengan bahan baku plastik jenis LDPE dan botol dengan bahan baku kaca. Ditinjau dari bahan bakunya, semua wadah yang digunakan tidak mudah bereaksi dengan produk tetapi
salah satu wadah tersebut yaitu
mangkok tidak mudah disanitasi. Mangkok terbuat dari bahan yang tidak tahan panas sehingga berisiko pecah pada saat dilakukan perebusan. Permasalahan lain berkaitan dengan wadah yaitu wadah disiapkan oleh petugas dari ruang rawat inap. Sanitasi dilakukan di masing-masing ruang rawat
64
inap dengan cara dibilas air panas, kemudian dibawa ke dapur sonde. Di dapur sonde tidak dilakukan sanitasi ulang. Tenggang waktu antara sanitasi dan pengisian maupun perjalanan dari ruang rawat inap ke dapur sonde berpeluang terjadi kontaminasi silang dari lingkungan sekitarnya. Sebaiknya wadah disanitasi di dapur sonde agar dapat segera dilakukan pengisian setelah wadah disanitasi. Wadah disyaratkan mempunyai volume satu porsi dengan tujuan agar tidak sering dilakukan penuangan. Menurut Oliveira et al. (2000) kontaminasi proses rekonstitusi makanan enteral dapat terjadi pada saat persiapan, penyimpanan, penuangan dan saat pemberian kepada pasien. Hal ini didukung oleh penelitian Beattie dan Anderton (2001) bahwa penuangan makanan enteral dari blender secara tidak kontinyu akan meningkatkan jumlah mikroba dari ≤ 20 CFU/mL menjadi 1,8 X 103 sampai 9,3 X 103 CFU/mL. Wadah makanan enteral yang dipergunakan di dapur sonde mempunyai volume bervariasi mulai dari satu sampai dengan tiga porsi. Mangkok mempunyai volume satu porsi, kemasan plastik kedap udara 1–2 porsi , rantang dan botol 2-3 porsi. Wadah yang bervolume besar seandainya diisi sedikit akan tersisa ruang kosong yang cukup banyak berarti banyak udara yang terperangkap dan udara tersebut dapat menjadi sumber kontaminasi. Seandainya dipergunakan untuk mewadahi dua atau tiga porsi berarti diperlukan tahapan tambahan berupa pemorsian dan penuangan ke tempat lain saat akan menyajikan. Permasalahan lain sehubungan dengan risiko penuangan terhadap kontaminasi yaitu bahwa wadah yang dipergunakan bukan wadah yang digunakan untuk penyajian sehingga perlu penuangan ke dalam wadah penyajian. Hal ini juga memberikan peluang terjadinya kontaminasi. Oleh karena itu berkaitan dengan wadah sebaiknya wadah mudah untuk disanitasi, volume wadah hanya untuk satu porsi dan dapat langsung dipergunakan sebagai wadah penyajian. Keterangan produksi atau dalam hal ini label yang berisi minimal keterangan nama pasien, umur, jenis kelamin, jenis diet, ruang dan kamar pasien sangat diperlukan untuk menghindari salah sasaran. Penggunaan wadah seperti yang sekarang digunakan tidak mudah untuk menempelkan label, sehingga kadang-kadang tidak ditempel keterangan produksi.
65
Sebetulnya RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta saat ini tidak melakukan penyimpanan makanan enteral. Pada saat lemari penyimpanan hot & cool thermobox berfungsi, makanan enteral disimpan di bagian yang panas (hot) apabila belum segera dikonsumsi (seperti yang tercantum pada SOP makanan enteral formula rumah sakit diet rendah laktosa pada Lampiran 11). Makanan enteral dapat diproduksi sekaligus untuk dua atau tiga frekwensi jika tersedia lemari penyimpanan yang dapat mempertahankan suhu makanan enteral di luar “danger zone”. Saat ini karena thermobox rusak, tidak dilakukan penyimpanan. Akan tetapi ada perlakuan menyimpan makanan enteral untuk mengatasi pesanan yang mendadak karena penambahan pasien. Dapur sonde selalu menyediakan cadangan makanan saring tanpa susu sebanyak 2-3 porsi. Proses pembuatan makanan saring tanpa susu yaitu perebusan, pemblenderan dan penyaringan. Blender yang tersedia di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta tidak dapat digunakan untuk meblender bahan dalam keadaan panas (70-80 0C), oleh karena itu bahan makanan saring tanpa susu yang telah direbus diturunkan suhunya menjadi sekitar 40 0C sebelum diblender. Waktu tunggu penurunan suhu sekitar satu jam. Setelah pemblenderan, dilakukan penyaringan dan selanjutnya makanan enteral yang digunakan sebagai cadangan ditempatkan dalam teko plastik, ditutup wrapping film dan disimpan pada suhu ruang selama 2-3 jam. Jika tidak ada pesanan, setelah 2-3 jam kemudian, makanan enteral tersebut dibuang. Waktu tunggu berisiko meningkatkan pertumbuhan mikroba karena berada pada zona berbahaya. Oleh karena itu tahap tersebut seharusnya dihindari dengan cara langsung dilakukan pemblenderan setelah perebusan Hal ini dapat dilakukan jika blender yang digunakan tahan terhadap panas. Perbaikan thermobox juga diperlukan agar penyimpanan makanan enteral dapat diterapkan sebagaimana mestinya sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba. . Disamping itu juga perbaikan thermobox akan dapat mengurangi jumlah makanan yang terbuang.
3. Penyaluran makanan. Penyaluran makanan enteral dari dapur sonde ke ruang rawat inap menggunakan troly. Troly selalu bersih sehingga terjamin tidak akan terjadi kontaminasi silang. Jarak antara dapur sonde ke ruang rawat inap paling pendek
66
kurang lebih 50 meter dan paling jauh 400 meter dengan waktu tempuh kurang lebih antara 5 sampai dengan 25 menit. Waktu tempuh yang lama akan menyebabkan suhu makanan turun dan menyebabkan suhu makanan berada pada “danger zone”. Hal ini akan memberikan peluang besar terjadinya peningkatan pertumbuhan mikroba. Menurut Rahayu (2010) satu diantara delapan prinsip penanganan pangan siap saji yang dapat diaplikasikan untuk menjaga keamanan pangannya yaitu mempertahankan suhu pangan panas pada suhu sama atau lebih dari 60 0 C atau suhu pangan dingin pada 5 0 C atau lebih rendah.
4. Pelatihan karyawan Pemahaman tentang pentingnya prinsip-prinsip serta praktek higiene sanitasi serta proses pengolahan makanan enteral harus dimiliki oleh penanggungjawab dan pelaksana (penjamah) unit penyedia makanan enteral. Di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta penanggungjawab dan sebagian penjamah telah mengikuti kursus higiene dan sanitasi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sebagian penjamah yang lain berdasarkan informasi lisan mendapatkan pengetahuan higiene dan sanitasi dari orang yang telah berpengalaman. Kondisi demikian berdasarkan persyaratan dikategorikan kedalam penilaian C (cukup). Agar mendapatkan kriteria B (baik), penanggungjawab dan penjamah harus telah mengikuti kursus higiene dan sanitasi sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu kursus higiene sanitasi jasaboga sesuai kurikulum yang ditetapkan dalam Permenkes Nomor : 1096/Menkes/PER/VI/2011. Berdasarkan evaluasi tersebut di atas, ada beberapa parameter yang dinilai baik tetapi berdasarkan kajian pustaka hal tersebut belum memenuhi syarat. Contoh dalam hal ini yaitu pemahaman sanitasi peralatan dan wadah. Demikian juga dengan proses pembuatan makanan cair rumah sakit yaitu proses dilakukan tanpa perebusan walaupun menggunakan kuning telur.
F. REKOMENDASI UNTUK PEMENUHAN PERSYARATAN CPMEB DI RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD JAKARTA. Dalam rangka tercapainya visi yang baru RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta yaitu menjadi rumah sakit berstandar internasional, rujukan
67
utama dan rumah sakit pendidikan serta merupakan kebanggaan prajurit dan masyarakat maka unit penyedia makanan enteral juga perlu ikut mendukung. Salah satu bentuk dukungan adalah menerapkan pemenuhan persyaratan CPMEB untuk menjamin keamanan makanan enteral secara konsisten. Berdasarkan hasil evaluasi pemenuhan persyaratan CPMEB, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut :
1. Aspek peralatan produksi a) Melakukan sanitasi peralatan yang kontak dengan produk secara memadai. Cara yang paling aman yaitu merebus peralatan sampai dengan suhu permukaan peralatan ≥ 82 0C sebelum dipergunakan. Oleh karena itu di ruang produksi perlu dilengkapi dengan kompor dan disertai pengisap asap. b) Menggunakan rak piring tertutup untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang dari debu sekitar ruangan.
2. Aspek pengendalian proses a) Menambah tahap perebusan pada proses pembuatan makanan cair rumah sakit sehingga makanan mencapai suhu 74 0C atau mengganti telur ayam segar yang digunakan dengan tepung telur tersertifikasi. b) Menggunakan wadah yang mudah disanitasi dengan volume satu porsi (200-300 mL) dan layak digunakan sebagai wadah penyajian. c) Mensanitasi wadah di ruang dapur sonde bukan di ruang rawat inap maupun di dapur gizi sehingga selesai proses sanitasi dapat langsung dilakukan pengisian. Dengan demikian tenggang waktu antara sanitasi dan pengisian
lebih
pendek
yang
akhirnya
meminimalisir
terjadinya
kontaminasi silang yang berasal dari lingkungan sekitar. d) Selalu menempelkan keterangan produksi pada setiap wadah per satu porsi untuk menghindari salah sasaran dan untuk mempermudah penelusuran apabila dibutuhkan konfirmasi dari konsumen (traceability). e) Memperbaiki lemari penyimpanan hot & cool thermobox agar makanan enteral cadangan dapat tersimpan pada suhu yang aman yaitu di luar
68
“danger zone”. Disamping itu juga untuk mengurangi jumlah makanan enteral yang terbuang. f) Menyediakan blender stainless steel yang dapat dipergunakan untuk memblender dalam keadaan panas sehingga proses pembuatan makanan saring tanpa susu tidak harus melalui tahap waktu tunggu. Tahap waktu tunggu berisiko meningkatkan pertumbuhan mikroba.
3. Aspek pelatihan a) Mewajibkan penanggung jawab dan seluruh penjamah makanan enteral mendapatkan kursus higiene sanitasi jasaboga sesuai kurikulum yang ditetapkan dalam Permenkes Nomor : 1096/Menkes/ PER/VI/2011. b). Senantiasa meningkatkan pengetahuan keamanan pangan secara umum agar selalu dapat mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1). Pedoman Cara Produksi Makanan Enteral yang baik (CPMEB) yang dikembangkan dapat digunakan sebagai pedoman pemenuhan persyaratan GMP unit penyedia makanan enteral di rumah sakit. Evaluasi pemenuhan persyaratan menggunakan pedoman audit sarana produksi pada unit makanan enteral di rumah sakit. Ada 13 (tiga belas) aspek yang harus diperiksa. 2). Setelah dilakukan uji coba, jumlah aspek yang harus diperiksa tidak mengalami perubahan tetapi aspek penyimpanan yang semula dimasukkan ke dalam kelompok aspek utama dipindahkan ke kelompok aspek bukan utama. Aspek penyimpanan diubah menjadi aspek penyimpanan bahan baku setelah memindahkan parameter penyimpanan makanan enteral ke aspek pengendalian proses dan parameter penyimpanan bahan berbahaya ke aspek pengendalian hama. Aspek pengendalian proses dipindahkan ke aspek utama. 3). Aspek dalam CPMEB yang harus diperiksa untuk mengevaluasi kondisi sarana produksi makanan enteral meliputi 13 aspek meliputi bangunan dan fasilitas;
ruang
produksi;
peralatan
produksi;
fasilitas
sanitasi;
penyimpanan bahan baku; pengendalian proses; manajemen pengawasan; pengendalian hama; higiene karyawan; penyaluran makanan; pelatihan; pemberian makanan enteral kepada pasien; serta pencatatan dan dokumentasi. Diantara 13 (tiga belas) aspek tersebut yang dimasukkan ke dalam kelompok aspek utama yaitu 4 (empat) aspek diantaranya adalah ruang produksi; peralatan produksi; pengendalian proses; dan higiene karyawan. 4). Persyaratan CPMEB yang diperketat dibandingkan dengan CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT 2003 yaitu ruang produksi khususnya untuk parameter kondisi dan letak ruang produksi; persyaratan sanitasi bagi wadah maupun peralatan yang kontak langsung dengan makanan enteral dan sesudahnya
70
tidak ada penanganan yang dapat mematikan mikroba; seluruh aspek utama harus bernilai B dan setiap parameter tidak boleh ada nilai kurang. 5). Berdasarkan hasil evaluasi pemenuhan CPMEB, unit penyedia makanan enteral di rumah sakit Gatot Soebroto dikategorikan baik (B). Namun demikian masih ada beberapa aspek yang perlu disempurnakan untuk mencapai persyaratan yang maksimal. Oleh karena itu direkomendasikan perbaikan beberapa aspek tersebut yaitu aspek peralatan produksi untuk parameter penyimpanan peralatan, parameter pemeliharaan kebersihan dan sanitasi serta parameter prosedur penanganan sanitasi blender; aspek pengendalian proses untuk parameter jenis wadah,
parameter volume
wadah, parameter keterangan produksi, parameter penyimpanan makanan enteral; aspek penyaluran makanan; serta aspek pelatihan.
B. SARAN 1) Setelah persyaratan CPMEB unit penyedia makanan enteral (dapur sonde) di rumah sakit Gatot Soebroto terpenuhi sebaiknya distribusi makanan enteral dilakukan secara sentralisasi agar pengawasan pengendalian keamanan makanan enteral lebih mudah dilakukan. Kemudian selanjutnya keamanan pangan ditingkatkan melalui penerapan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). 2) Perlu disusun SOP dan SSOP (Standard Sanitation Operation Procedures) lengkap sesuai dengan kebutuhan operasional kegiatan dapur sonde. SOP dan SSOP tersebut sebaiknya terdokumentasi dengan baik agar penerapan persyaratan CPMEB terlaksana secara kontinyu dan konsisten. 3) Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengembangkan CPMEB pada unit penyedia makanan enteral di catering diet. 4) Dengan menggunakan metode serupa perlu dikembangkan panduan audit cara produksi makanan yang baik di penyelenggara makanan rumah sakit maupun catering diet agar evaluasi pemenuhan GMP terukur dengan jelas.
71
5) Setelah diterapkan CPMEB perlu dilakukan verifikasi terhadap uji mikrobiologi produk (makanan enteral), uji sanitasi peralatan yang permukaannya kontak dengan produk dan uji sanitasi ruangan. 6) Draf CPMEB yang tersusun ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembuatan peraturan CPMEB di Indonesia.
72
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2005. Penuntun Diet. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Beattie TK, Anderton A. 2001. Decanting versus sterile pre-filled nutrient containers-the microbiological risks in enteral feeding. Int J Environ Health Res 11:81-93. http://search.proquest.com [19 Januari 2012]. Blackburn CW, McClure PJ. 2003. Foodborne pathogens hazard, risk analysis and control. Woodhead Publishing Ltd and CRC Press LLC. Best. 2008. Enteral tube feeding and infection control: how safe is our practice? Br J Nurs 17(16):1036, 1038-41 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed [11 Agustus 2012]. [BPOM]. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2003. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK. 00.05.5.1639 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT). Jakarta: Badan POM Republik Indonesia. [BPOM]. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Jakarta: Badan POM Republik Indonesia. [BPOM]. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2011a. Peraturan Kepala Badan POM Republik Indonesia Nomor HK. 03.1.52.08.11.07235 Tahun 2011 tentang Pengawasan Formula Bayi dan Formula Bayi untuk keperluan Medis Khusus. Jakarta: Badan POM Republik Indonesia. [BPOM]. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2011b. Peraturan Kepala Badan POM Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.11.10720 Tahun 2011 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik untuk Formula Bayi dan Formula Lanjutan Bentuk Bubuk. Jakarta: Badan POM Republik Indonesia. Chantarapanont W, L Slutsker, RV Tauxe, LR Beuchat. 2000. Factors influencing inactivation of Salmonella enteritidis in hard-cooked eggs. J Food Prot. 63:36-43. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed [10 Desember 2012]. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku II. Jakarta : Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Departemen Kesehatan. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Jakarta : Menteri Kesehatan.
74
Escot-Stump S. 1998. Nutrition and Diagnosis-Related Care. Williams & Wilkins. Ewen CDT, Barry SM, Judy DG, Debra S, John H, Charles AB. 2010. Outbreaks where food workers have been implicated in the spread of foodborne disease. Part 7. Barriers to reduce contamination of food by workers. J Food Prot 73 (8) 1552-1565. http://www.ingentaconnect.com/search/article [10 September 2012]. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Jakarta. Hariyadi P, Dewanti-Hariyadi R. 2011. Memproduksi Pangan yang Aman. Dian Rakyat. Jakarta. Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology, 7th edn. Springer Science + Business Media Inc . Jorge H. 2000. To keep food safe, stay out of the danger zone [abstract]. Food Mgmt 35:88-94. http://search.proquest.com [6 Agustus 2012]. Kementerian Kesehatan. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1096/Men/Kes/Per/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Jakarta: Menteri kesehatan. Kementerian Perindustrian. 2010. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 75/M-IND/PER/7/2010 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (Good Manufacturing Practices). Jakarta: Menteri Perindustrian. Lukito W, Tambunan V, Gunawan I, Ambarwati FD. (editor). 2008. Pedoman Praktis Pemilihan Formula Nutrisi Enteral. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Gizi Klinik Indonesia. Mahan LK, Escott-Stump S, Raymond JL. 2012. Krause’s Food and the nutrition care process, 13th ed. Saunders, an imprint of Elsevier Inc Moffit SK, Gohman SM, Sass KM & Faucher KJ. 1997. Clinical and laboratory evaluation of a closed enteral feeding system under cyclic feeding condtions: a microbial and cost evaluation. Nutrition 13:622-628. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed [6 Agustus 2012]. Oliveira MH, Bonelli R, Aidoo KE, Batista CRV. 2000. Microbiological quality of reconstituted enteral formulation used in hospital [abstract]. Nutrition 16:729-733. http://web.ebscohost.com/ehost [ 19 Januari 2012]. Oliveira MR, Batista CRV, Aidoo KE. 2001. Application of hazard analysis critical control point system to enteral tube feeding in hospital. J Human Nutr Dietetic 14:397-403. http://web.ebscohost.com/ehost [19 Januari 2012].
75
Rahayu WP, Arpah M. 2004. Pengetahuan Kemasan Plastik (produk industri pangan dan jasaboga). Departemen Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Rahayu WP. 2010. Keamanan Pangan untuk Mendukung Industri Jasaboga. Di dalam: Rahayu WP dkk, Keamanan Pangan Peduli Kita Bersama. IPB Press, Bogor. Simadibrata M. 2009. Nutrisi Enteral. Di dalam: Sudoyo A, Bambang S, Idrus A, Marcellus S, Siti S, editor, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. [USFDA]. US Food and Drug Administration. 1995. Compliance program guidance manual, Chapter 21 Program 7321.002. Washington DC : FDA http://www.fda.gov/ICECI/EnforcementActions/BioresearchMonitoring [22 Januari 2012]. Winarno FG. 2011a. GMP Cara Pengolahan Pangan Yang Baik. M-Brio Press, Bogor Winarno FG. 2011b. HACCP dan Penerapannya Dalam Industri Pangan. M-Brio Press, Bogor.
76
LAMPIRAN
78 Lampiran 1 : Uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan jasaboga * No
URAIAN LOKASI, BANGUNAN, FASILITAS
1
Halaman bersih, rapi, tidak becek, dan berjarak sedikitnya 500 meter dari sarang lalat / tempat pembuangan sampah, serta tidak tercium bau busuk atau tidak sedap yang berasal dari sumber pencemaran. Konstruksi bangunan kuat, aman, terpelihara, bersih dan bebas dari barangbarang yang tidak berguna atau barang sisa. Lantai kedap air, rata, tidak licin, tidak retak, terpelihara dan mudah dibersihkan.
1
Dinding dan langit-langit dibuat dengan baik, terpelihara dan bebas dari debu (sarang laba-laba)
1
Bagian dinding yang kena percikan air dilapisi bahan kedap air setinggi 2 (dua) meter dari lantai
1
Pintu dan jendela dibuat dengan baik dan kuat. Pintu dibuat menutup sendiri,membuka kedua arah dan dipasang alat penahan lalat dan bau. Pintu dapur membuka ke arah luar.
1
2
3
4
5
6
BOBOT
X
No
URAIAN PENGHAWAAN
BOBOT
8
Ruang kerja maupun peralatan dilengkapi ventilasi yang baik sehingga terjadi sirkulasi udara dan tidak pengap
1
. AIR BERSIH
1 9
Sumber air bersih aman, jumlah cukup dan bertekanan AIR KOTOR
5
10
Pembuangan air limbah dari dapur, kamar mandi, WC dan saluran air hujan lancar, baik dan tidak menggenang FASILITAS CUCI TANGAN DAN TOILET
1
11
Jumlah cukup, tersedia sabun, nyaman dipakai dan mudah dibersihkan.
3
1
PEMBUANGAN SAMPAH 12
Pencahayaan sesuai dengan kebutuhan dan tidak menimbulkan bayangan. Kuat cahaya sedikitnya 10 fc pada bidang kerja.
1
2
RUANG PENGOLAHAN MAKANAN 13
Tersedia luas lantai yang cukup untuk pekerja pada bangunan, dan terpisah dengan tempat tidur atau tempat mencuci pakaian
14
Ruangan bersih dari barang yang tidak berguna. (barang tersebut disimpan rapi di gudang) KARYAWAN
15
Semua karyawan yang bekerja bebas dari penyakit menular, seprti penyakit kulit, bisul, luka terbuka dan infeksi saluran pernafasan atas ISPA).
5
16
Tangan selalu dicuci bersih, kuku dipotong pendek, bebas kosmetik dan perilaku yang higienis.
5
17
Pakaian kerja, dalam keadaan bersih, rambut pendek dan tubuh bebas perhiasan.
1
PENCAHAYAAN 7
Tersedia tempat sampah yang cukup, bertutup, anti lalat, kecoa, tikus dan dilapisi kantong plastik yang selalu diangkat setiap kali penuh.
1
1
X
79
Lampiran 1 : Uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan jasaboga * (lanjutan) No
URAIAN MAKANAN
BOBOT
18
Sumber makanan, keutuhan dan tidak rusak.
5
19
Bahan makanan terolah dalam kemasan asli, terdaftar, berlabel dan tidak kadaluwarsa.
1
21
No. 26
27
Penanganan makanan yang potensi berbahaya pada suhu, cara dan waktu yang memadai selama penyimpanan peracikan, persiapan penyajian dan pengangkutan makanan serta melunakkan makanan beku sebelum dimasak (thawing).
5
Penanganan makanan yang potensial berbahaya karena tidak ditutup atau disajikan ulang.
4
28
65
Ruang pengolahan makanan tidak dipakai sebagai ruang tidur.
1
Tersedia 1 (satu) buah lemari es (kulkas)
4
JUMLAH
70
KHUSUS GOLONGAN A.2 29
31
Pengeluaran asap dapur dilengkapi dengan alat pembuang asap.
1
Fasilitas pencucian dibuat dengan tiga bak pencuci.
2
Tersedia kamar ganti pakaian dan dilengkapi dengan tempat penyimpanan pakaian (loker).
1
JUMLAH
74
KHUSUS GOLONGAN A.3
PERALATAN MAKAN DAN MASAK
23
BOBOT 4
KHUSUS GOLONGAN A.1
30
22
URAIAN Perlindungan terhadap serangga, tikus, hewan pelihara-an dan hewan pengganggu lainnya.
JUMLAH
PERLINDUNGAN MAKANAN 20
X
Perlindungan terhadap peralatan makan dan masak dalam cara pembersihan, penyimpanan, penggunaan dan pemeliharaan-nya.
2
Alat makan dan masak yang sekali pakai tidak dipakai ulang.
2
32
Saluran pembuangan limbah dapur dilengkapi dengan penangkap lemak ( grease trap)
1
33
Tempat memasak terpisah secara jelas dengan tempat penyiapan makanan matang.
1
34
Lemari penyimpanan dingin dengan suhu -5°C dilengkapi dengan ermometer
4
X
80 pengontrol. 24
25
Proses pencucian melalui tahapan mulai dari pembersihan sisa makanan, perendaman, pencucian dan pembilasan.
5
Bahan racun / pestisida disimpan tersendiri di tempat yang aman, terlindung, mengguna-kan label / tanda yang jelas untuk digunakan
5
35
Tersedia kendaraan khusus pengangkut makanan
JUMLAH
3
83
Lampiran 1 : Uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan jasaboga * (lanjutan) No
URAIAN KHUSUS GOLONGAN B
BOBOT
36
Pertemuan sudut lantai dan dinding lengkung (konus).
1
37
Tersedia ruang belajar.
1
38
Alat pembuangan asap dilengkapi filter (penyaring)
1
39
Dilengkapi dengan saluran air panas untuk pencucian.
2
Lemari pendingin dapat mencapai suhu – 10 °C.
4
JUMLAH KHUSUS GOLONGAN C
92
40
41
Ventilasi dilengkapi dengan alat pengatur suhu.
1
42
Air kran bertekanan 15 psi.
2
43
Lemari penyimpanan dingin tersedia untuk tiap jenis bahan dengan suhu yang sesuai dengan suhu yang sesuai kebutuhan.
4
44
Rak pembawa makanan/alat dilengkapi dengan roda penggerak.
1
JUMLAH
X
No.
URAIAN
BOBOT
100
*) sumber : Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1096/Men/Kes/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga (Kementerian Kesehatan 2011)
X
81
Lampiran 2. Formulir pemeriksaan sarana produksi perusahaan pangan industri rumah tangga (IRT). Nama dan alamat perusahaan Jenis Pangan :
Nomor izin :
Kode: B : baik GROUP A. LINGKUNGAN PRODUKSI 1 Semak 2 Tempat sampah 3 Sampah 4 Selokan GROUP B. BANGUNAN DAN FASILITAS B.1. Ruang Produksi 1 Konstruksi lantai 2 Kebersihan lantai 3 Konstruksidinding 4 Kebersihan dinding 5 Konstruksi langit-langit 6 Kebersihan langit-langit 7 Konstruksi pintu, jendela, dan lubang angin 8 Kebersihan pintu, jendela, dan lubang angin B.2. Kelengkapan Ruang Produksi 1 Penerangan 2 PPPK B.3. Tempat penyimpanan 1 Tempat penyimpanan bahan dan produk 2 Tempat penyimpanan bahan bukan pangan GROUP C. PERALATAN PRODUKSI 1 Konstruksi 2 Tata letak 3 kebersihan GROUP D. SUPLAI AIR 1 Sumber air 2 Pengguna air
C : Cukup 3 Air yang kontak langsung dengan pangan GROUP E. FASILITAS DAN KEGIATAN HIGIENE DAN SANITASI E. 1. Alat Cuci/pembersih 1 Ketersediaan alat E.2 Fasilitas higiene karyawan 1 Tempat cuci tangan 2 Jamban/toilet E.3 Kegiatan hiegiene dan sanitasi 1 Penanggungjawab Penggunaan detergen dan 2 Disenfektan GROUP F. PENGENDALIAN HAMA 1 Hewan peliharaan 2 Pencegahan masuknya hama 3 Pemberantasan hama GROUP G. KESEHATAN DAN HIGIENE KARYAWAN G.1. Kesehatan karyawan 1 Pemeriksaan kesehatan 2 Kesehatan karyawan G.2. Kebersihan karyawan 1 Kebersihan badan 2 Kebersihan pakaian 3 Kebersihan tangan 4 Perawatan luka G.3. Kebiasaan Karyawan 1 Perilaku karyawan
Nama Pemilik/penanggungjawab : Jumlah Karyawan : Umur Bangunan : K : Kurang 2 Perhiasan dan asesoris lainnya GROUP H. PENGENDALIAN PROSES 1 Penetapam spesifikasi bahan baku 2 Penetapam komposisi dan formulasi bahan 3 Penetapam cara produksi yang baku 4 Penetapam spesifikasi kemasan 5 Penetapam tanggal kadaluarsa dan kode produksi GROUP I. LABEL PANGAN 1 Persyaratan label GROUP J. PENYIMPANAN 1 Penyimpanan bahan dan produk 2 Tata cara penyimpanan 3 Penyimpanan bahan berbahaya 4 Penyimpanan label dan kemasan 5 Penyimpanan peralatan GROUP K. MANAJEMEN PENGAWASAN 1 Penanggung jawab 2 pengawasan GROUP L. PENCATATAN DAN DOKUMENTASI 1 Pencatatan dan dokumentasi 2 Penyimpanan catatan dan dokumentasi GROUP M. PELATIHAN KARY. 1 PENGETAHUAN KARYAWAN
Lampiran 3. Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1096/ Men.Kes/Per/VI/201 (CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung CPPSSB tahun 2011 (1) LOKASI, BANGUNAN, FASILITAS Halaman bersih, rapi, tidak becek, dan berjarak sedikitnya 500 meter dari sarang lalat / tempat pembuangan sampah, serta tidak tercium bau busuk atau tidak sedap yang berasal dari sumber pencemaran. (1)
CPPOB Formula Bayi tahun 2011 (2)
CPPB-IRT tahun 2003 (3)
LOKASI Sarana produksi harus berada di daerah yang jauh dari tempat yang dapat membahayakan kesehatan.
LINGKUNGAN PRODUKSI (A) 1.Semak 2.Tempat sampah 3.Selokan
Pustaka yang mendukung (4)
Draf Formulir audit GMP makanan enteral (5)
Justifikasi (6) Persyaratan lokasi untuk unit penyedia makanan enteral merupakan bagian dari persyaratan unit gizi rumah sakit sehingga lokasi tidak menjadi aspek yang harus diamati secara khusus.
Lokasi penyimpanan peralatan dan perlengkapan harus memperhatikan kemudahan proses pembersihan dan perawatan ; dapat digunakan sesuai dengan fungsinya ; menunjang cara higiene yang baik. Sarana jalan Jalan menuju sarana produksi dan sekitarnya dibuat sedemikian rupa sehingga tidak terjadi genangan air atau debu berterbangan jika dilewati kendaraan.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
82
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) Lingkungan dan Pekarangan Ada seorang yang bertanggung jawab mencegah pencemaran di lingkungan sarana produksi
BANGUNAN DAN FASILITAS Konstruksi bangunan kuat, aman, terpelihara, bersih dan bebas dari barang-barang yang tidak berguna atau barang sisa. (2) Lantai kedap air, rata, tidak licin, tidak retak, terpelihara dan mudah dibersihkan(3) Dinding dan langit-langit dibuat dengan baik, terpelihara dan bebas dari debu (sarang laba(1)
BANGUNAN DAN FASILITAS
BANGUNAN DAN FASILITAS (B)
BANGUNAN DAN FASILITAS
Bangunan beserta fasilitasnya merupakan kontruksi yang baik; dihindari penggunaan bahan yang tidak dapat dibersihkan dengan baik dan didisinfeksi; dirancang sedemikian rupa sehingga mencegah masuk dan bersarangnya hama ; masuknya cemaran lingkungan seperti asap, debu, dll ; terhindar dari pencemaran silang dan sanitasi dapat terlaksana (2)
Ruang Produksi (B1) 1. Konstruksi lantai 2. Kebersihan lantai 3. Konstruksi dinding 4. Kebersihan dinding 5. Konstruksi langitlangit 6. Kebersihan langitlangit 7. Konstruksi pintu, jendela dan lubang angin. 8. Kebersihan pintu, jendela dan lubang angin (3)
1. Konstruksi lantai 2. Kebersihan lantai 3. Konstruksi dinding 4. Kebersihan dinding 5. Konstruksi langitlangit 6. Kebersihan langitlangit 7. Konstruksi pintu, jendela dan lubang angin. 8. Kebersihan pintu, jendela dan lubang angin (4)
(5)
Persyaratan bangunan dan fasilitas untuk produksi makanan enteral pada prinsipnya sama dengan CPPSSB-2011 dan CPPBIRT 2003 yaitu kuat, bersih dan mudah dibersihkan.
(6)
83
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) laba)(4). Bagian dinding yang kena percikan air dilapisi bahan kedap air setinggi 2 (dua) meter dari lantai (5) dan dinding lengkung (konus) (untuk golongan B) (36) PERALATAN MAKANAN Perlindungan terhadap peralatan makan dan masak dalam cara pembersihan, penyimpanan, penggunaan dan pemeliharaannya (22) Alat makan dan masak yang sekali pakai tidak dipakai ulang (23)
(1)
dengan mudah yaitu dengan cara mengatur alir proses.
PERALATAN DAN PERLENGKAPAN Peralatan dan perlengkapan yang bersentuhan dengan pangan harus dirancang sedemikian rupa sehingga mudah dibersihkan, di disinfeksi dan tidak mencemari pangan ; mudah dipindahkan atau dibongkar sehingga memudahkan perawatan ; terbuat dari bahan yang tidak beracun ; tahan untuk digunakan sesuai peruntukkannya. (2)
PERALATAN PRODUKSI (C) 1. 2. 3.
Konstruksi Tata letak Kebersihan
(3)
Oliveira et al. (2000) Penyebab utama terjadinya kontaminasi pada penyiapan makanan enteral berasal dari blender yang dipergunakan untuk merekonstitusi makanan enteral
(4)
PERALATAN PRODUKSI 1. 2. 3.
4.
Peralatan produksi Penyimpanan peralatan Pemeliharaan kebersihan dan sanitasi Prosedur penanganan sanitasi blender
(5)
Peralatan produksi makanan enteral sama seperti halnya peralatan jasaboga. Akan tetapi karena makanan enteral diperuntukkan bagi kelompok orang rentan maka selain persyaratan kebersihan dan penyimpanan pada ruang tertutup juga dipersyaratkan saniter.
(6)
84
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) Proses pencuciaan melalui tahapan mulai dari pembersihan sisa makanan, perendaman, pencucian dan pembilasan (24)
Rancangan, konstruksi dan penggunaan peralatan dan perlengkapan harus dapat mencegah pangan dari pencemaran oleh minyak pelumas, bahan bakar, pecahan-pecahan logam, air yang tercemar atau bahan pencemar lainnya. Celah antara peralatan dan perlengkapan harus terawat dan mudah dibersihkan.
Blender merupakan salah satu sumber kontaminasi yang harus mendapat perhatian oleh karena itu dicantumkan dalam parameter tersendiri tidak digabungkan dengan parameter peralatan produksi yang lain.
Oliveira et al. (2001) Pencucian blender di lakukan dengan cara membongkar peralatan dan diikuti dengan sanitasi menggunakan disinfektan, setiap kali proses
Peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk pemasakan, pemanasan, pendinginan, pembekuan dan penyimpanan harus dirancang sehingga dapat mencapai suhu yang dikehendaki.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
85
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) Perlengkapan dibagian atas tempat produksi formula bubuk harus dipasang sedemikian rupa sehingga mencegah pencemaran langsung maupun tidak langsung oleh tetesan air yang terkontaminasi dan tidak boleh menghalangi pembersihan
AIR BERSIH Sumber air bersih aman, jumlah cukup dan bertekanan (9). AIR KOTOR Pembuangan air limbah dari dapur, kamar mandi, WC dan saluran air hujan lancar, baik dan tidak menggenang (10) Fasilitas pencucian dibuat dengan tiga bak pencuci (untuk golongan A2) (30) (1)
FASILITAS SANITASI Air yang dipergunakan pada penanganan pangan adalah air yang memenuhi persyaratan air minum (sebagaimana di tetapkan dalam keputusan Men.Kes tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum) Harus tersedia pasokan air yang memenuhi persyaratan air minum dengan tekanan, jumlah dan suhu yang cukup. Harus ada sistem yang (2)
SUPLAI AIR (D)
FASILITAS SANITASI
1. Sumber air 2. Penggunaan air. 3. Air yang kontak langsung dengan pangan
1. 2.
3. 4. 5.
6. 7.
(3)
(4)
Penggunaan air Air yang kontak langsung dengan pangan Tempat sampah Tempat cuci tangan Tempat cuci bahan pangan dan peralatan Alat cuci/pembersih Jadwal kegiatan sanitasi
(5)
Fasilitas sanitasi yang diperlukan untuk produksi makanan enteral mirip dengan yang dibutuhkan untuk industri rumah tangga
(6)
86
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) Dilengkapi dengan saluran air panas untuk pencucian (untuk golongan B) (39)
terpisah untuk air yang dapat diminum dan tidak dapat diminum serta dapat diidentifikasi.
Air kran bertekanan 15 psi (untuk golongan C) (42).
Uap yang tidak bersentuhan langsung dengan pangan atau bagian dari peralatan dan perlengkapan yang bersentuhan dengan pangan tidak boleh mengandung zat atau bahan yang membahayakan kesehatan atau yang dapat mencemari pangan.
PEMBUANGAN SAMPAH Tersedia tempat sampah yangcukup, bertutup, anti lalat, kecoa, tikus dan dilapisi kantong plastik yang selalu diangkat setiap kali penuh (12)
LINGKUNGAN PRODUKSI (A) 1.Semak. 2.Tempat sampah 3.Sampah 4.Selokan
SELOKAN DAN SAMPAH
Saluran pembuangan limbah dapur dilengkapi dengan penangkap lemak ( grease trap) (untuk golongan A3) (32)
Sarana produksi harus mempunyai sistem saluran buangan dan pembuangan sampah yang efisien dan harus dirawat dan diperbaiki.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
87
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) FASILITAS CUCI TANGAN DAN TOILET Jumlah cukup, tersedia sabun, nyaman dipakai dan mudah dibersihkan (11)
FASILITAS CUCI TANGAN DI RUANG PRODUKSI Di tempat penanganan bahan yang dapat dimakan yang tidak terkemas perlu disediakan fasilitas cuci tangan dan alat pengeringnya. Harus disediakan air panas dan air dingin, sabun ; tissue atau alat pengering tangan. Bila tersedia air panas dan air dingin, perlu disediakan kran pencampur. Peralatan untuk cuci tangan sebaiknya dirancang dalam bentuk yang tidak mencemari kembali tangan yang sudah bersih atau sudah disanitasi.
(1)
(2)
FASILITAS DAN KEGIATAN HIGIENE DAN SANITASI (E). Ketersediaan alat cuci/pembersih dan terawat baik (E1) Fasilitas higiene karyawan berupa tempat cuci tangan dan jamban/toilet dalam hal ketersediaan dan jumlah (E2). Ada penanggung jawab kegiatan higiene dan sanitasi serta pengawasan dilakukan secara rutin (E3). Penggunaan deterjen dan disinfektan seperti yang dianjurkan (E3)
(3)
(4)
(5)
(6)
88
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) Tersedia keterangan cara mencuci atau mensanitasi pangan yang mudah dimengerti. Tersedia fasilitas untuk pembersihan dan disinfeksi peralatan dan perlengkapan diseluruh tempat produksi yang memerlukannya. Dalam rangka mempertahankan area risiko tinggi sebaiknya dilakukan prosedur pembersihan kering. Jika tidak dimungkinkan dapat dilakukan proses pembersihan basah yang dikontrol dengan baik disertai dengan pelaksanaan pengeringan yang tepat dan menyeluruh
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
89
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) PENCAHAYAAN Pencahayaan sesuai dengan kebutuhan dan tidak menimbulkan bayangan. Kuat cahaya sedikitnya 10 fc pada bidang kerja (7)
(1)
PENERANGAN Sarana produksi harus mendapat penerangan yang memadai dari cahaya matahari maupun lampu. Bila perlu, cahaya tersebut tidak boleh merubah warna. Intensitasnya diatur sesuai kegiatan yang dilakukan, sekurangkurangnya harus sebagai berikut : Setiap tempat : 540 Lux (50”foot candles) Ruangan kerja : 220 Lux (20”foot candles) Ruangan lain : 110 Lux (10”foot candles) Lampu dan perlengkapannya yang berada diatas pangan pada tiap tahap produksi harus dari jenis yang aman dan diberi pelindung, agar bila pecah tidak mencemari pangan.
KELENGKAPAN RUANG PRODUKSI (B2)
(2)
(3)
Penerangan
Parameter penerangan masuk kedalam aspek ruang produksi. P3K tidak dimasukkan sebagai parameter CPMEB karena sudah menjadi persyaratan dapur gizi
1.Penerangan 2.PPPK
(4)
(5)
(6)
90
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) PENGHAWAAN
VENTILASI
Ruang kerja maupun Harus tersedia ventilasi peralatan dilengkapi yang memadai untuk : ventilasi yang baik • Mencegah panas uap sehingga terjadi sirkulasi air kondensasi dan udara dan tidak pengap debu yang berlebihan (8) dan untuk menghilangkan udara yang tercemar • Pengeluaran asap dapur dilengkapi dengan alat pembuang asap (untuk golongan A2 ) (29) Alat pembuangan asap dilengkapi filter (penyaring) (untuk golongan). B (38)
•
•
Mengontrol suhu ruangan Mengontrol bau yang dapat mempengaruhi kelayakan formula bubuk Mengontrol kelembaban
Pengolahan makanan enteral sangat sederhana sehingga asap tidak banyak. Oleh karena itu ventilasi cukup berasal dari jendela, pintu dan lubang angin.
Ventilasi dilengkapi dengan alat pengatur suhu (untuk golongan C) (41)
91
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) (1) PERLINDUNGAN MAKANAN Penanganan makanan yang potensi berbahaya pada suhu, cara dan waktu yang memadai selama penyimpanan peracikan, persiapan penyajian dan pengangkutan makanan serta melunakkan makanan beku sebelum dimasak (thawing) (20) Penanganan makanan yang potensial berbahaya karena tidak ditutup atau disajikan ulang (21) Penyimpanan harus memperhatikankan prinsip FIFO dan atau FEFO (*)
(1)
(2) FASILITAS PENYIMPANAN Harus disediakan fasilitas penyimpanan pangan, ingridien dan bahan kimia non-pangan (contohnya bahan pembersih, pelumas dan bahan bakar). Fasilitas tersebut sebaiknya dirandang untuk : • Memudahkan kegiatan pembersihan dan perawatan • Mencegah masuknya hama dan hewan pengganggu lainnya • Mencegah kerusakan pangan (contohnya dengan melakukan pengaturan suhu dan kelembaban ruangan)
(2)
(3)
(4)
PENYIMPANAN (J)
Oliveira et al. (2001) menyebutkan bahwa hasil penelitian yang dilakukan terhadap penerapan HACCP makanan enteral di rumah sakit ditemukan bahwa rata-rata temperatur lemari pendingin yang dipergunakan untuk menyimpan makanan enteral siap konsumsi menunjukkan temperatur 7oC. Menurut Jay et al. (2005) suhu yang direkomendasikan untuk penyimpanan makanan enteral yang telah
1. Penyimpanan bahan dan produk 2. Tata cara penyimpanan 3. Penyimpanan bahan berbahaya 4. Penyimpanan label dan kemasan. 5. Penyimpanan peralatan
(3)
(4)
(5)
(6)
PENYIMPANAN 1.
2. 3. 4.
Tempat penyimpanan bahan baku Tata cara penyimpanan Penyimpanan makanan enteral Penyimpanan bahan berbahaya
(5)
Penyimpanan bahan baku, tata cara penyimpanan dan penyimpanan bahan berbahaya mirip dengan CPPB-IRT. Kadang-kadang makanan enteral FRS maupun FK yang telah direkonstitusi tidak langsung dikonsumsi. Pada kasus seperti ini makanan enteral harus segera disimpan pada suhu 0-70C dengan lama penyimpanan maksimal 24 jam..
(6)
92
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) Tersedia 1 (satu) buah kulkas (untuk golongan A1) (28). Tersedia lemari penyimpanan dingin dengan suhu 5oC dilengkapi dengan termometer pengontrol (untuk golongan A3) (34). Lemari pendingin dapat mencapai suhu -10oC (untuk golongan B) (40).
Bahan baku dan bahan lain harus disimpan sedemikian rupa sehingga terhindar daripencemaran, kerusakan, dan penurunan mutu. Stok bahan baku dan ingredien yang digunakan harus diatur rotasi stoknya dengan sistem First Expiry First Out (FEFO) dan atau First In First Out (FIFO) dan bahan tertentu harus disimpan dalam kondisi dingin.
TEMPAT PENYIMPANAN (B3) 1.
Tempat penyimpanan bahan dan produk 2. Tempat penyimpanan bahan bukan produk.
direkonstitusi yaitu antara 0oC sampai dengan 7oC dengan suhu optimum 4,4oC.
Lemari pendingin tersedia untuk tiap jenis bahan dengan suhu yang sesuai kebutuhan (untuk golongan C) (43)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
93
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) PRIORITAS DALAM MEMASAK Dahulukan memasak makanan yang tahan lama, makanan rawan seperti makanan berkuah dimasak paling akhir (*)
MAKANAN Sumber makanan, keutuhan dan tidak rusak (18). Bahan makanan terolah dalam kemasan asli, terdaftar, berlabel dan tidak kadaluwarsa (19).
(1)
PENERIMAAN BAHAN Penerimaan bahan harus sesuai dengan spesifikasi, harus memiliki prosedur verifikasi yang dapat memastikan kinerja pemasok. BAHAN BAKU DAN BAHAN LAIN Perusahaan harus menyiapkan pedoman tertulis untuk pelaksanaan penanganan, penyimpanan dan pengangkutan bahan baku dan bahan lain disertai dengan lembar kerja untuk pemantauan pelaksanaan kegiatan tersebut. Pedoman tersebut harus memuat cara pencegahan kerusakan melalui pengaturan suhu, kelembaban serta lainnya.
(2)
PENGENDALIAN PROSES (H)
PENGENDALIAN PROSES
1. Penetapan spesifikasi bahan baku. 2. Penetapan komposisi dan formulasi bahan. 3. Penetapan cara produksi yang baku. 4. Penetapan spesifikasi kemasan. 5. Penetapan tanggal kadaluarsa dan kode produksi.
1. Penetapan spesifikasi bahan baku 2. Proses produksi makanan enteral 3. Jenis wadah 4. Volume wadah 5. Keterangan produksi 6. Bank sampel
(3)
(4)
(5)
Produk yang bermutu berasal dari bahan baku yang bermutu dan proses yang benar oleh karena itu diperlukan spesifikasi bahan baku dan standar proses. Hasil penelitian Beattie et al. (2001) menyatakan bahwa penuangan merupakan sumber kontaminasi maka untuk mengurangi frekuensi penuangan digunakan wadah dengan volume satu kali konsumsi (porsi)
(6)
94
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) Bahan baku dan bahan lain yang disuplai harus dapat dijaga sehingga tidak dapat mengandung cemaran pada produk akhir dalam jumlah yang dapat menyebabkan penyakit pada bayi dan anak.
Setiap kali produksi unit penyedia makanan enteral akan memproduksi makanan enteral yang bervariasi tergantung diet pasien. Untuk menghindari kekeliruan pemberian, perlu ditulis keterangan produksi pada bagian luar kemasan. Keterangan yang diperlukan antara lain jam produksi, diet dan peruntukan.
Bahan baku yang disuplai oleh perusahaan tidak boleh mengandung parasit, mikroba atau toksin, bahan-bahan pencemar lainnya yang tidak dapat dikurangi jumlahnya sampai batas yang dapat diterima/aman, melalui proses sortasi, persiapan dan atau pengolahan.
(1)
(2)
Kadang-kadang makanan enteral FRS maupun FK yang telah direkonstitusi tidak langsung dikonsumsi. Pada kasus seperti ini makanan enteral harus segera disimpan pada suhu (0OC - 7 OC) dengan lama penyimpanan maksimum 24 jam.
(3)
(4)
(5)
(6)
95
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) Seperti halnya pangan siap saji, makanan enteral mempunyai peluang terkontaminasi. Bank sampel diperlukan untuk konfirmsi bila terjadi gangguan atau tuntutan konsumen.
PENGENDALIAN PROSES Waktu dan suhu pemanasan, pendinginan, proses dan penyimpanan perlu di atur dengan tepat untuk menjaga keamanan dan kualitas pangan. Seluruh tipe proses yang digunakan harus dilakukan kegiatan untuk menghindari pencemaran pada saat proses pembuatan formula bubuk. Tindakan yang efektif harus dilakukan untuk mencegah pencemaran bahan pangan secara langsung atau tidak langsung dengan bahan lain pada tahap proses yang seawal mungkin.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
96
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) Pencegahan pencemaran mikroba dapat dilakukan dengan cara : bahan baku yang belum diolah harus dipisahkan dari produk akhir, jalan masuk ke ruang produksi harus dibatasi dan dikontrol, untuk area berisiko tinggi operator harus memakai pakaian khusus termasuk alas kaki serta mencuci tangan sebelum memasuki ruangan.
PENGEMASAN
Parameter pengemasan atau dalam hal CPMEB disebut dengan wadah masuk ke dalam pengendalian proses, karena pada dasarnya wadah untuk makanan enteral merupakan wadah yang digunakan hanya dalam waktu pendek (max. 24 jam).
LABEL PANGAN (I) 1. Persyaratan label
Bahan pengemasan harus bermutu baik dan memberikan perlindungan yang cukup terhadap pencemaran.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
97
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) Kemasan harus diperiksa segera sebelum digunakan untuk menjamin kebersihannya.
Wadah harus dalam keadaan tersanitasi untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang.
Pengemasan harus dilaksanakan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya pencemaran terhadap formula bahan. Setiap kemasan harus diberikan tanda yang jelas dan permanen dalam bentuk kode atau tulisan yang menunjukkan “lot/batch” Panduan untuk menyiapkan dan menyajikan formula bayi, formula lanjutan dan formula untuk keperluan medis khusus bagi bayi.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
98
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) MANAJEMEN DAN SUPERVISI
MANAJEMEN PENGAWASAN (K)
MANAJEMEN PENGAWASAN
Pengawasan produk akhir formula bubuk harus sesuai dengan standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia atau regulasi teknis yang terkait.
1. Penanggung jawab 2. Pengawasan
1. 2.
Penanggung jawab proses produksi Pengawasan proses produksi dan higiene sanitasi
Pelaksanaan manajemen pengawasan proses produksi dan higiene sanitasi mirip pada CPPB-IRT
Mutu dan keamanan produk akhir harus dipantau secara berkala dengan melakukan pengujian organoleptik, fisik, kimia, mikrobiologi dan atau biologi.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
99
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) PROSEDUR PENARIKAN Manajemen perusahaan harus menjamin prosedur penarikan produk dilaksanakan tepat dan efektif untuk menangani bahaya keamanan pangan dan untuk melakukan penarikan produk bermasalah dengan mudah dan cepat dari peredaran. PEMELIHARAAN DAN PEMBERSIHAN SARANA PRODUKSI
(1)
Residu bahan pembersih pada permukaan perlengkapan atau peralatan yang bersentuhan dengan pangan harus dihilangkan melalui pembilasan dengan air yang memenuhi persyaratan air minum sebelum digunakan. (2)
(3)
(4)
(5)
(6)
100
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) Lantai termasuk saluran pembuangan, dinding dan bagian dari tempat produksi pangan harus dibersihkan segera setelah pekerjaan selesai atau pada waktu yang ditentukan. PROGRAM PEMBERSIHAN Program pembersihan harus mampu menjamin kebersihan semua perlengkapan, peralatan dan bangunan sarana produksi. Perlengkapan harus dikeringkan secepatnya untuk mencegah pertumbuhan pada perlengkapan. Perlengkapan yang sulit dikeringkan sehingga memungkinkan terjadi pertumbuhan mikroba, harus didisinfeksi segera sebelum digunakan. (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
101
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) Perlindungan terhadap serangga, tikus, hewan peliharaan dan hewan pengganggu lainnya (25). Ruang pengolahan makanan tidak dipakai sebagai ruang tidur (26).
(1)
SISTEM PENGENDALIAN HAMA Praktek kebersihan yang baik harus diterapkan untuk menghindari terbentuknya lingkungan yang kondusif untuk hama. Sanitasi yang baik, pemeriksaan bahan yang masuk dan pemantauan yang baik dapat meminimalkan kemungkinan serangan hama, dengan demikian mengurangi kebutuhan pestisida. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain bangunan selalu dijaga dalam keadaan terawat dan kondisi baik untuk mencegah akses hama dan menghilangkan tempat yang berpotensi untuk berkembang biak hama. (2)
PENGENDALIAN HAMA (F)
PENGENDALIAN HAMA
1. Hewan peliharaan. 2. Pencegahan masuknya hama 3. Pemberantasan hama
1.
(3)
2.
(4)
Pencegahan masuknya hama Pemberantasan hama
(5)
Cara mengendalikan hama pada prinsipnya mirip dengan CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT 2003.
(6)
102
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) Pemantauan dan deteksi harus dilakukan secara berkala terhadap tanda infestasi hama. Infestasi hama harus ditangani dengan segera dan tanpa mempengaruhi keamanan atau kelayakan pangan.
PENANGANAN DAN PENGOLAHAN LIMBAH Limbah harus ditangani sedemikian rupa untuk menghindari pencemaran terhadap pangan atau air minum.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
103
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) PEMANTAUAN KEEFEKTIFAN Pemantauan keefektifan prosedur pembersihan dan disinfeksi dilakukan secara mikrobiologi terhadap pangan dan permukaan yang bersentuhan dengan pangan.
KARYAWAN
HIGIENE KARYAWAN
Semua karyawan yang bekerja bebas dari penyakit menular, seprti penyakit kulit, bisul, luka terbuka dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) (15)
Setiap karyawan yang bersentuhan dengan pangan, dengan bagian peralatan dan perlengkapan yang bersentuhan dengan pangan dan dengan pengendalian penyakit, kebersihan dan kebiasaan karyawan untuk menjamin higiene karyawan. Kebersihan, kesehatan dan perilaku sehat karyawan harus dipersyaratkan sejak proses penerimaan. (2)
Tangan selalu dicuci bersih, kuku dipotong pendek, bebas kosmetik dan perilaku yang higienis (16) (1)
KESEHATAN DAN HIGIENE KARYAWAN (G)
HIGIENE KARYAWAN 1.
Karyawan selalu dalam keadaan sehat ditunjukkan oleh hasil pemeriksaan kesehatan secara berkala (G1) Kebersihan karyawan di tinjau dari (G2) : 1.Kebersihan badan 2.Kebersihan pakaian 3.Kebersihan tangan 4.Perawatan luka (3)
2. 3. 4. 5. 6.
(4)
Kebersihan karyawan Kebersihan tangan Pemeriksaan kesehatan Kesehatan karyawan Perilaku karyawan Perhiasan dan asesoris lainnya
(5)
Persyaratan kesehatan dan higiene karyawan pengolah makanan enteral pada dasarnya sama dengan penjamah makanan pada jasaboga maupun industri rumah tangga.
(6)
104
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) Pakaian kerja, dalam keadaan bersih, rambut pendek dan tubuh bebas perhiasan (17)
Tenaga/karyawan pengolah makanan (*): Memiliki sertifikat 1.
kursus higiene sanitasi makanan. 2. Berbadan sehat yang dibuktikan dengan surat dokter. 3. Tidak mengidap penyakit menular seperti tipus, kolera, TBC, hepatitis dan lain-lain atau pembawa kuman (carrier). 4. Setiap karyawan harus memiliki buku pemeriksaan (1)
Kebiasaan karyawan ditinjau dari perilaku karyawan dan pemakaian perhiasan (G3).
PENDIDIKAN PELATIHAN
DAN
PELATIHAN KARYAWAN (M)
Karyawan yang bertanggung jawab dalam mengidentifikasi kesalahan sanitasi atau pencemaran pangan harus memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.
Pengetahuan karyawan
(2)
(3)
PELATIHAN 1. Pengetahuan karyawan
(4)
(5)
Pelatihan karyawan diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan ktrampilan yang akhirnya mendorong karyawan untuk menerapkan hasil pelatihan. Kebutuhan pelatihan pada prinsipnya sama dengan CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT 2003.
(6)
105
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) 5. 6.
7.
kesehatan yang berlaku Semua kegiatan pengolahan makanan harus dilakukan dengan cara terlindung dari kontak langsung dengan tubuh. Perilaku selama bekerja/mengolah makanan tidak merokok,tidak makan atau mengunyah, tidak memakai perhiasan, tidak memakai peralatan dan fasilitas yang bukan untuk keperluannya, selalu mencuci tangan sebelum dan setelah bekerja dan setelah keluar dari toilet/jamban, selalu memakai pakaian kerja yang bersih, tidak banyak (1)
Penanganan pangan dan supervisor harus menerima pelatihan dan pendidikan mengenai teknik dan prinsip penanganan pangan yang baik, serta dijelaskan bahaya yang dapat timbul dari higiene karyawan yang buruk.
Supervisor atau penanggungjawab pengolahan PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Karyawan yang bertanggung jawab dalam mengidentifikasi kesalahan sanitasi atau pencemaran pangan harus memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Penanganan pangan dan (2)
(3)
(4)
(5)
(6)
106
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) berbicara dan selalu menutup mulut pada saat batuk atau bersin dengan menjauhi makanan atau keluar ruangan, tidak menyisir rambut di dekat makanan yang akan dan telah diolah.
supervisor harus menerima pelatihan dan pendidikan mengenai teknik dan prinsip penanganan pangan yang baik, serta dijelaskan bahaya yang dapat timbul dari higiene karyawan yang buruk. Supervisor atau penanggungjawab pengolahan Pengolahan pangan harus memiliki pengetahuan yang dibutuhkan mengenai prinsip higiene dan sanitasi pangan serta pelaksanaan cara produksi yang baik untuk dapat memperkirakan risiko yang dapat muncul dan untuk mengambil langkah penanggulangan yang diperlukan.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
107
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) Pelatihan Penyegaran Diperlukan penjadwalan pelatihan lanjutan untuk perbaikan atau penyegaran terhadap prosedur yang sudah dilakukan.
Tersedia kendaraan khusus pengangkut makanan (untuk golongan A3) (35) Rak pembawa makanan/alat dilengkapi dengan roda penggerak (untuk golongan C) (44).
(1)
TRANSPORTASI
PENYALURAN MAKANAN
Proses transportasi formula bubuk harus sesuai dengan cara distribusi pangan yang baik.
(2)
1. Suhu saat penyaluran makanan. 2. Alat penyaluran
(3)
(4)
(5)
Makanan enteral diperuntukkan bagi orang yang rentan terhadap kesehatan. Selama prosesnya tidak ada perlakuan yang ditujukan untuk mengawet. Oleh karena itu perlu dijaga agar tidak mudah terjadi kontaminasi selama penyaluran. Pencegahan dilakukan dengan cara menghindari “danger zone” dan mengusahakan sehigienis mungkin pada saat penyaluran.
(6)
108
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) Pengangkutan bahan baku maupun makanan jadi tidak bercampur dengan bahan berbahaya, beracun, menggunakan kendaraan khusus pengangkut bahan makanan yang higiene, suhu bahan makanan harus menjamin tidak terjadi kontaminasi (*)
(1)
INFORMASI PRODUK DAN PENDIDIKAN KONSUMEN Informasi produk yang dimaksud di dalam pedoman ini adalah pelabelan termasuk keterangan mengenai lot atau batch produk. Pemberian label yang jelas dan informatif memudahkan konsumen untuk memilih, menangani, menyimpan, mengolah dan mengkonsumsi produk, (2)
PEMBERIAN MAKANAN ENTERAL KEPADA PASIEN SOP pemberian makanan enteral kepada pasien.
(3)
(4)
(5)
Berdasarka penelitian Best (2008) terindikasi bahwa terjadi kesenjangan antara standar sistem penyajian makanan enteral dan praktek di lapangan sehingga diperlukan SOP untuk mengontrol bahwa pemberian makanan enteral sudah dilakukan sebagaimana mestinya.
(6)
109
Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan) sedangkan keterangan lot/batch diperlukan produsen untuk dokumentasi produk. Pendidikan konsumenperlu disusun dokumen yang bersifat edukatif mengenai cara penyiapan dan penggunaan formula bubuk untuk didistribusikan kepada seluruh konsumen. PENCATATAN DAN DOKUMENTASI Pencatatan dan dokumentasi yang harus dibuat adalah mengenai proses pengolahan dan produksi dari setiap lot/batch ; untuk verifikasi dalam rangka pengendalian proses produksi dan mengenai karyawan yang mengikuti pendidikan dan pelatihan
PENCATATAN DAN DOKUMENTASI ( L)
PENCATATAN DAN DOKUMENTASI
1.
1.
2.
Pencatatan dan dokumentasi. Penyimpanan catatan dan dokumentasi
2.
Mekanisme pencatatan dan dokumentasi mirip dengan CPPB – IRT 2003.
Pelaksanaan pencatatan dan dokumentasi. Penyimpanan catatan
`Keterangan : (*) parameter yang tercantum pada pedoman umum tetapi tidak tercantum pada formulir uji kelaikan fisik.
110
111 PEDOMAN CARA PRODUKSI MAKANAN ENTERAL YANG BAIK (CPMEB) DI RUMAH SAKIT I.
BANGUNAN DAN FASILITAS RUANG PRODUKSI Bangunan dan fasilitas ruang produksi seharusnya didesain dan dikonstruksi sedemikian rupa sehingga kuat, mudah dibersihkan serta dapat menjamin terciptanya mutu dan keamanan pangan. 1) Disain dan Tata Letak Ruang produksi seharusnya cukup luas dan mudah dibersihkan. 2) Lantai a) Lantai seharusnya dibuat dari bahan kedap air, rata, halus tetapi tidak licin, kuat, mudah dibersihkan dan dibuat miring untuk memudahkan pengaliran air. b) Lantai seharusnya dibuat dari bahan kedap air, rata, halus tetapi tidak licin, kuat, mudah dibersihkan. c) Lantai harus selalu dalam keadaan bersih dari debu, lendir dan kotoran lainnya. 3) Dinding a) Dinding seharusnya dibuat dari bahan kedap air, rata, halus, berwarna terang, tahan lama, tidak mudah megelupas, kuat dan mudah dibersihkan. b) Dinding harus selalu dalam keadaan bersih dari debu, lendir, dan kotoran lainnya. 4) Langit- langit a) Konstruksi langit-langit seharusnya didisain dengan baik untuk mencegah penumpukan debu, pertumbuhan jamur, pengelupasan, bersarangnya hama, memperkecil terjadinya kondensasi, serta terbuat dari bahan tahan lama dan mudah dibersihkan. b) Langit-langit harus selalu dalam keadaan bersih dari debu, sarang labah-labah dan kotoran lainnya. 5) Pintu, Jendela dan Lubang Angin a) Pintu dan jendela seharusnya dibuat dari bahan tahan lama, tidak mudah pecah, rata, halus, berwarna terang dan mudah dibersihkan. b) Pintu, jendela dan lubang angin seharusnya dilengkapi dengan kawat kasa yang dapat dilepas untuk memudahkan pembesihan dan perawatan.
112
c) Pintu seharusnya didisain membuka ke luar/ ke samping sehingga debu atau kotoran dari luar tidak terbawa masuk melalui udara ke dalam ruangan pengolahan. d) Pintu seharusnya dapat ditutup dengan baik dan selalu dalam keadaan tertutup. e) Lubang angin harus cukup sehingga udara segar selalu mengalir di ruang produksi. f) Lubang angin harus selalu dalam keadaan bersih, tidak berdebu dan tidak dipenuhi sarang laba-laba. II.
RUANG PRODUKSI Ruang produksi seharusnya dipersiapkan dan dirawat sedemikian rupa sehingga karyawan leluasa dalam bekerja dan senantiasa terpelihara kebersihannya dan tidak menjadi sumber kontaminasi silang. 1) Luas ruangan a) Luas ruang produksi harus sesuai dengan jumlah karyawan yang bekerja dan peralatan yang ada di ruang produksi. b) Luas lantai ruang produksi yang bebas dari peralatan, minimal dua meter persegi (2m2) untuk setiap orang pekerja. 2) Kondisi ruangan a) Ruang produksi harus selalu dijaga dalam keadaan bersih dan tersanitasi agar tidak terjadi pencemaran. b) Pintu ruang produksi harus dapat mencegah terjadinya kontaminasi. c) Hanya karyawan yang berkepentingan yang berada di dalam ruang produksi dengan selalu menerapkan higiene sesuai ketentuan. d) Tindakan pengamanan harus dilakukan terhadap pengunjung yang memasuki ruang produksi agar tidak terjadi pencemaran. e) Ruang produksi seharusnya cukup terang sehingga karyawan dapat mengerjakan tugasnya dengan teliti. 3) Letak ruang produksi a) Ruang produksi makanan enteral harus terpisah dari ruang pengolahan makanan biasa. b) Ruang produksi tidak boleh berhubungan langsung dengan toilet/jamban, peturasan dan kamar mandi.
113
III.
PERALATAN PRODUKSI Peralatan produksi yang kontak langsung dengan makanan enteral seharusnya didesain, dikonstruksi dan diletakkan sedemikian untuk menjamin mutu dan keamanan makanan enteral yang dihasilkan. a) Peralatan produksi seharusnya terbuat dari bahan yang kuat dan tidak bereaksi dengan produk. b) Permukaan yang kontak langsung dengan produk seharusnya halus, tidak bercelah, tidak mengelupas dan tidak menyerap air. c) Semua peralatan seharusnya dipelihara agar berfungsi dengan baik dan selalu dalam keadaan bersih. d) Peralatan yang kontak langsung dengan makanan enteral dan sesudahnya tidak ada perlakuan yang dapat membunuh mikroba, seharusnya dalam keadaan tersanitasi sebelum digunakan. e) Pencucian blender dilakukan dengan membongkar wadah dan telah tersanitasi sebelum digunakan. f) Sebaiknya penyimpanan peralatan dilakukan dalam ruang yang terlindung dari debu, kotoran atau pencemaran lainnya.
IV.
FASILITAS SANITASI Fasilitas sanitasi diperlukan untuk menjamin agar ruang pengolahan dan peralatan selalu dalam keadaan bersih sehingga tidak terjadi kontaminasi silang terhadap produk. 1) Air a) Air yang digunakan harus air bersih dan jumlahnya cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan proses pengolahan. b) Air yang dipergunakan sebagai ingredien harus memenuhi persyaratan air minum. c) Air yang digunakan untuk proses pengolahan maupun ingredien harus memenuhi syarat kesehatan air minum. d) Jumlah air cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan proses pengolahan. 2) Fasilitas sanitasi a) Tersedia tempat sampah yang cukup dan diletakkan sedekat mungkin dengan sumber produksi sampah. b) Tempat sampah selalu dalam keadaan tertutup. c) Sampah tidak menjadi sumber pemcemaan. d) Alat cuci/pembersih seperti sikat, pel, deterjen dan bahan sanitasi harus tersedia dan terawat dengan baik.
114
3) Kegiatan sanitasi a) Kegiatan pembersihan, pencucian dan penyucihamaan peralatan harus dilakukan secara rutin. b) Harus ada karyawan yang bertanggung jawab terhadap kegiatan pembersihan, pencucian dan penyucihamaan. V.
PENYIMPANAN BAHAN BAKU Penyimpanan yang baik dapat mempertahankan mutu dan keamanan bahan baku serta produk yang dihasilkan. Penyimpanan bahan baku dan produk a) Penyimpanan bahan baku dan produk dilakukan di tempat yang bersih. b) Penyimpanan bahan baku dan produk harus sesuai dengan persyaratan suhu penyimpanannya. c) Bahan-bahan yang mudah menyerap air harus disimpan di tempat kering, misalnya garam, gula, susu dan tepung. d) Bahan baku yang digunakan diatur stoknya dengan sistem First In First Out (FIFO) dan atau First Expiry First Out (FEFO). Penyimpanan bahan berbahaya. Bahan berbahaya seperti pemberantas serangga, tikus, kecoa, bakteri dan bahan berbahaya lainnya harus disimpan dalam ruangan terpisah dan harus selalu diawasi penggunaannya.
VI.
PENGENDALIAN PROSES Pengendalian proses dimulai dari pemilihan bahan baku sampai dengan produk siap dikonsumsi yang diperlukan untuk menjamin mutu dan keamanan pangan senantiasa konsisten pada setiap tahap. 1) Pemilihan bahan baku a) Bahan baku berasal dari tempat resmi yang terawasi. b) Pemilihan bahan baku berdasarkan standar spesifikasi yang menjamin mutu bahan. 2) Penetapan cara produksi yang baku a) Harus menentukan proses produksi makanan enteral yang baku. b) Proses produksi harus memperhatikan keamanan pangan dan pemenuhan gizi pasien. c) Harus membuat bagan alirnya atau urut-urutan prosesnya secara jelas.
115
3) Produk (makanan enteral) a) Makanan bebas dari cemaran fisik, kimia dan biologi. b) Makanan enteral harus sesuai dengan kebutuhan gizi pasien. c) Ada bank sampel untuk konfirmasi bila terjadi gangguan atau tuntutan konsumen. 4) Wadah makanan enteral a) Wadah makanan enteral terbuat dari bahan yang tidak mudah bereaksi dengan produk. b) Wadah mudah untuk disanitasi. c) Volume wadah harus sesuai dengan volume makanan enteral untuk kebutuhan satu kali konsumsi. 5) Keterangan produksi Keterangan produksi dicantumkan pada wadah diperlukan untuk memudahkan distribusi. Keterangan produksi minimal terdiri dari keterangan jam produksi, jenis diet, nama pasien. 6) Jika dilakukan penyimpanan makanan enteral siap konsumsi, a) Penyimpanan makanan enteral dilakukan di tempat yang bersih. b) Penyimpanan makanan enteral harus sesuai dengan persyaratan suhu penyimpanan. c) Lamanya penyimpanan harus menjamin makanan enteral tetap dalam keadaan aman untuk dikonsumsi. VII.
MANAJEMEN PENGAWASAN Kegiatan pengawasan terhadap seluruh tahap proses produksi dan pengendaliannya diperlukan untuk menjamin diterapkannya proses dan pengendalian yang sudah ditentukan. a) Penanggung jawab minimal harus mempunyai pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses produksi pangan yang ditanganinya. b) Kegiatan pengawasan hendaknya dilakukan secara rutin.
VIII. PENGENDALIAN HAMA Hama (tikus, serangga dan lain-lain) merupakan pembawa cemaran biologis yang dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan. Kegiatan pengendalian hama dilakukan untuk mengurangi kemungkinan masuknya hama ke ruang produksi yang akan mencemari pangan.
116
1). Pencegahan masuknya hama a). Lubang-lubang dan selokan yang memungkinkan masuknya hama harus selalu dalam keadaan tertutup. b). Bahan pangan tidak boleh tercecer karena dapat mengundang masuknya hama. 2). Pemberantasan hama a). Hama harus diberantas dengan cara yang tidak mempengaruh mutu dan keamanan pangan. b). Pemberantasan hama dapat dilakukan secara fisik seperti perangkap tikus atau secara kimia seperti racun tikus. c). Perlakuan dengan bahan kimia harus dilakukan dengan pertimbangan tidak mencemari pangan. 3). Penyimpanan bahan pemberantas hama. Bahan pemberantas hama seperti pemberantas serangga, tikus, kecoa, bakteri dan bahan berbahaya lainnya harus disimpan dalam ruangan terpisah dan harus selalu diawasi penggunaannya. IX.
HIGIENE KARYAWAN Higiene karyawan meliputi kebersihan, kesehatan dan perilaku sehat, diperlukan untuk menjamin tidak terjadi kontaminasi silang dari karyawan terhadap produk. 1) Kebersihan karyawan a) Karyawan harus selalu menjaga kebersihan badannya. b) Pakaian dan perlengkapannya (celemek, penutup kepala) hanya dipakai untuk bekerja. c) Karyawan harus menutup luka dan perban. d) Karyawan harus selalu mencuci tangan dengan sabun sebelum memulai kegiatan mengolah pangan, sesudah menangani bahan mentah atau bahan/alat yang kotor dan sesudah ke luar dari toilet/jamban. e) Tidak terjadi kontak langsung antara anggota tubuh dengan makanan 2) Kesehatan karyawan a) Karyawan memiliki sertifikat higiene sanitasi makanan. b) Berbadan sehat yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
117
c) Tidak mengidap penyakit menular seperti tipus, kolera, TBC, hepatitis, dll atau pembawa kuman. d) Setiap karyawan harus memiliki buku pemeriksaan kesehatan yang berlaku. e) Tidak diperoleh adanya carrier (pembawa kuman patogen) dibuktikan dengan hasil usap dubur (rectal swab). 3) Kebiasaan karyawan Karyawan tidak boleh bekerja sambil mengunyah, makan dan minum, merokok, menyisir rambut dekat makanan, tidak boleh meludah, tidak boleh bersin atau batuk ke arah pangan, tidak boleh mengenakan perhiasan seperti giwang, cincin, gelang, kalung, arloji dan peniti. X.
PENYALURAN MAKANAN Penyaluran makanan enteral adalah proses memindahkan makanan enteral dari tempat proses ke ruang rawat inap harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kontaminasi silang. a) Menggunakan tempat khusus penyaluran makanan enteral yang selalu dalam keadaan higienis. b) Suhu makanan enteral selama penyaluran harus diatas 65oC atau dibawah 5 oC. c) Jangan biarkan makanan berada pada suhu kisaran 5 – 650C selama lebih dari 4 (empat) jam.
XI.
PELATIHAN KARYAWAN Penanggung jawab unit penyedia dan penjamah makanan enteral harus mempunyai pengetahuan dasar mengenai prinsip-prinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses pengolahan makanan enteral agar dapat memproduksi pangan yang bermutu dan aman. a). Penanggung jawab harus sudah pernah mengikuti kursus higiene sanitasi makanan bagi pengusaha/pemilik/penanggung jawab jasaboga. b) Penjamah makanan harus sudah mengikuti kursus sanitasi makanan bagi penjamah makanan. c) Penanggung jawab tersebut harus menerapkan serta mengajarkan pengetahuan dan ketrampilannya kepada karyawan lain.
118
XII.
PEMBERIAN MAKANAN ENTERAL KEPADA PASIEN Pemberian makanan enteral kepada pasien harus selalu berdasarkan Standard Operational Procedure (SOP) yang benar agar pasien merasa nyaman dan aman. a) Standard Operational Procedure (SOP) disusun dengan mempertimbangkan kenyamanan dan keamanan pasien pada saat mengkonsumsi. b). Petugas yang bertanggungjawab memberikan makanan enteral kepada pasien harus menjaga higiene sesuai dengan yang ditentukan.
XIII. PENCATATAN DAN DOKUMENTASI Pencatatan dan dokumentasi yang baik diperlukan untuk memudahkan penelusuran masalah yang berkaitan dengan proses produksi. a). Pencatatan dan dokumentasi dilakukan pada bahan baku, jenis dan tanggal produksi serta peruntukkan produk. b). Catatan dan dokumen harus disimpan paling tidak selama satu tahun.
Keterangan :
: Keterangan ada pada draf 1 dan dihilangkan pada draf 2.
: Keterangan yang ditambahkan pada draf 2.
136
Lampiran 6 : Denah unit penyedia makanan enteral (unit produksi makanan cair) di rumah sakit X
d
e
f
g
3 c 2
b
1
a
Keterangan : Ruang 1 : ruang persiapan snack (bukan untuk keperluan makanan enteral) terdiri dari : a. Meja persiapan snack (diatasnya terdapat lemari gantung untuk menyimpan peralatan pengolahan makanan enteral). Ruang 2 : ruang pengolahan, terdiri dari : b. Meja persiapan merangkap meja kerja c. Meja distribusi d. Meja pengolahan e. Pemanas air dilengkapi difilter f. Washtafel g. Kulkas Ruang 3 : ruang distribusi (tempat petugas distribusi antri)
137
Lampiran 7. Denah dapur Unit Gizi RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.
138
Lampiran 8 : Denah unit penyedia makanan enteral (dapur sonde) di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. 11,5 i 4 9 h
3 j
k
g f
6
2 Ͻc 4
Ϲ 1
a Ͻb
e d
7
4,5
Ruang 1 : Ruang cuci tangan, terdiri dari ; a. Washtafel b. Lap basah c. Lap kering Ruang 2 : Ruang pencucian bahan baku dan peralatan d. Rak piring e. Pipa aliran gas f. Tempat pencucian bahan baku dan peralatan Ruang 3 : Ruang pengolahan g. Meja persiapan dan pengolahan h. Meja distribusi i. Meja kerja j. Rak penyimpanan formulir k. Lemari penyimpanan hot&cool thermobox Ruang 4 : ruang distribusi
139
Lampiran 9 : Prosedur pembuatan makanan enteral formula WHO (diet tinggi kalori tinggi protein) PROSEDUR PEMBUATAN FORMULA WHO NO.DOKUMEN RSPAD GATOT SOEBROTO
NO.REVISI
HALAMAN 1/1
Disetujui : A.n Kepala RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Ketua Komite Medik PETUNJUK PELAKSANAAN
TANGGAL TERBIT
dr. Hary Utomo Muhammad, Sp.Jp Brigadir Jenderal TNI PENGERTIAN
TUJUAN
Pembuatan formula WHO adalah Tahapan kegiatan pembuatan formula WHO sesuai dengan standar di dapur susu Unit Gizi RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Memberikan makanan tinggi energi, tinggi protein dan cukup vitamin,mineral secara bertahap sesuai dengan standart •
DASAR
PROSEDUR
UNIT TERKAIT
•
Pedoman tata laksana KEP pada anak di Rumah sakit Kabu[aten / Kodya Depkes RI tahun 1999 Buku bagan tata laksana anak gizi buruk buku I, depkes RI 2006
Bahan : • Susu full cream, skim. gula, minyak goreng. Peralatan : • Timbangan elektrik dengan ketelitian 0,1 gram • Alat pelindung diri (APD) • Sendok, Mangkok, Etiket • Rak penyimpanan Cara pembuatan : • Mencuci tangan sesuai dengan prosedur mencuci tangan yang benar • Menggunakan Alat Peindung Diri (APD) • Menghitung komposisi bahan sesuai dengan permintaan berdasarkan standart formula WHO • Menyiapkan alat dan bahan makanan pembuatan formula WHO • Menimbang susu, gula pasir, minyak sayur sesuai dengan standart yang telah ditentukan • Mencampur gula dan minyak sayur aduk sampai rata, kemudian masukan susu sedikit demi sedikit aduk sampai tercampur rata (kalis) • Membagi dan menimbang formula tersebut sesuai dengan jumlah yang diberikan per hari • Memasukkan formula kedalam plastic sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan • Memberikan label (nama, nomor cm, ruangan, diagnose, jenis formula) • Mendistribusikan formula ke petugas gizi ruangan • Membersihkan ruangan • Membuat pencatatan dan pelaporan Lama waktu pembuatan • Lama waktu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan formula WHO ± 15 menit • •
Dirbinyanmed RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Kepala Instalasi Rawat Inap RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
140
Lampiran 10 : Prosedur penyajian (rekonstitusi) makanan enteral formula WHO PROSEDUR PENYAJIAN DAN PENYIMPANAN FORMULA WHO NO. DOKUMEN
NO.REVISI
HALAMAN 1/1
RSPAD GATOT SOEBROTO
Disetujui : A.n Kepala RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Ketua Komite Medik PETUNJUK PELAKSANAAN
TANGGAL TERBIT dr. Hary Utomo Muhammad, Sp.Jp Brigadir Jenderal TNI
PENGERTIAN
Penyajian dan Penyimpanan formula WHO adalah tahapan kegiatan penyajian dan penyimpanan formula WHO pada pasien sesuai dietnya diruang perawatan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
TUJUAN
Menyajikan formula WHO kepada pasien sesuai dengan standart sehingga menghasilkan formula yang optimal dalam rangka perbaikan gizi pasien •
DASAR
•
Pedoman tata laksana KEP pada anak di Rumah sakit Kabu[aten / Kodya Depkes RI tahun 1999 Buku bagan tata laksana anak gizi buruk buku I, depkes RI 2006
I.
PROSEDUR
UNIT TERKAIT
Penyajian a. Mencuci tangan sesuai dengan prosedur mencuci tangan yang benar b. Menggunakan alat pelindung diri (APD) c. Menyiapkan alat penyajian yang telah dibersihkan d. Memasukan formula WHO ke dalam wadah e. Mengencerkan formula dengan air hangat sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai homogen dan mencapai volume yang ditentukan f. Menyajikan formula WHO ke pasien g. Membersihkan alat yang telah digunakan h. Membersihkan ruangan II. Penyimpanan a. Penyimpanan formula WHO ditempat yang kering pada suhu ruang • •
Dirbinyanmed RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Kepala Instalasi Rawat Inap RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
141
Lampiran 11 : Prosedur pembuatan makanan enteral formula rumah sakit PROSEDUR PROSES PRODUKSI MAKANAN ENTERAL CAIR RUMAH SAKIT RSPAD GATOT SOEBROTO
NO. DOKUMEN
NO.REVISI
HALAMAN 1/1
Disetujui : A.n Kepala RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Ketua Komite Medik PETUNJUK PELAKSANAAN
TANGGAL TERBIT
dr. Hary Utomo Muhammad, Sp.Jp Brigadir Jenderal TNI
PENGERTIAN
TUJUAN
Makanan cair adalah makanan yang mempunyai kosistensi cair hingga kental, makanan ini diberikan kepada pasien, yang mengalami gangguan mengunyah Makanan ini diberikan kepada pasien, yang mengalami gangguan mengunyah, menelan,mencerna makanan yang disebabkan oleh menurunnya kesadaran, suhu tinggi,rasa mual, muntah, pasca pendarahan saluran cerna serta pra dan pasca bedah, makanan dapat diberikan secara oral atau enteral.
DASAR
Buku Penuntun Diet edisi baru DR. Sunita Almatsier, M.Sc., tahun 2007
PROSEDUR
I. Bahan : Susu full cream, susu skim, telur ayam negeri, gula pasir, minyak jagung Air panas 100°C II. Peralatan : Timbangan elektrik dengan ketelitian 0,1 gram, kompor, saringan, gelas ukur Pengaduk kayu / sodet kayu, panci, tempat penyimpanan bahan enteral, sendok,mangkok, botol ukur untuk distribusi makanan enteral Kulkas dengan dua suhu (hot and cool), wrapping film. III. Cara pembuatan a. Timbang bahan sesuai kebutuhan b. Campurkan seluruh bahan kecuali air,aduk sampai rata c. Tambahkan air panas sesuai takaran aduk rata kembali, d. Saring masuk kedalam botol distribusi makanan cair,tutup botol dengan wrapping film. e. Tempelkan etiket sesuai permintaan ruangan IV. Lama waktu pembuatan a. Lama waktu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan makanan enteral cair ± 15 menit
UNIT TERKAIT
• •
Dirbinyanmed RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Kepala Instalasi Rawat Inap RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
142
Lampiran 12 : Prosedur makanan enteral formula rumah sakit (diet hati). PROSEDUR PROSES PRODUKSI MAKANAN ENTERAL DH I (SARI BUAH PEPAYA) RUMAH SAKIT NO. DOKUMEN
RSPAD GATOT SOEBROTO
NO.REVISI
HALAMAN 1/1
Disetujui : A.n Kepala RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Ketua Komite Medik PETUNJUK PELAKSANAAN
TANGGAL TERBIT dr. Hary Utomo Muhammad, Sp.Jp Brigadir Jenderal TNI
PENGERTIAN
Diet Hati I diberikan bila pasien dalam keadaan akut atau bila prekoma sudah dapat diatasi dan pasien sudah mempunyai nafsu makan
TUJUAN
DASAR
Buku Penuntun Diet edisi baru DR. Sunita Almatsier, M.Sc., tahun 2007
PROSEDUR
I. Bahan : a. Buah Pepaya b. Gula Pasir c. Air matang suhu ruang II. Peralatan a. Blender b. Pisau c. Talenan d. Saringan e. Timbangan elektrik dengan ketelitian 0,1 gram f. Sendok g. Mangkok h. Botol ukur untuk distribusi makanan enteral a. Kulkas dengan dua suhu (hot and cool) b. wrapping III. Cara pembuatan a. Kupas buah papaya kemudian bersihkan dan potong – potong b. Timbang bahan kecuali air c. Blender bahan kemudian tambahkan air d. Saring bahan e. Sajikan dibotol distribusi tutup dengan plastic wrapping f. Tempelkan Etiket dibotol distribusi IV. Lama waktu pembuatan a. Lama waktu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan makanan enteral DH I (Sari Buah Pepaya) ± 15 menit
UNIT TERKAIT
• •
Dirbinyanmed RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Kepala Instalasi Rawat Inap RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad
143
Lampiran 13. Alur pemenuhan makanan pasien.
144
Lampiran 14. Alur permintaan bahan baku di pengolahan makanan enteral/sonde
145
Lampiran 15. Prosedur pemeriksaan kualitas telur (candling).
145
146
Lampiran 16. Prosedur tes kit metanil yellow
147
Lampiran 17. Prosedur tes kit rhodamin B
148
Lampiran 18. Prosedur tes kit boraks
149
Lampiran 19. Prosedur tes kit formalin
150
Lampiran 20. Laporan hasil uji tentang film/plastik pembungkus.
151
Lampiran 21. Laporan hasil pemeriksaan kualitas air bersih secara fisik.
152
Lampiran 22. Laporan hasil pemeriksaan kualitas air bersih secara kimiawi
153
Lampiran 23. Laporan hasil pemeriksaan kualitas air bersih secara bakteriologi.
154
Lampiran 24. Hasil pemantauan pekerjaan pest control pengendalian kucing