Jurnal Paedagogy Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014 Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
PENGEMBANGAN SELF ADVOCACY DALAM MENINGKATKAN KESADARAN DIRI MELALUI STRUCTURE LEARNING APPROACH PADA SISIWA SMP Hariadi Ahmad (Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling FIP IKIP Mataram) Email:
[email protected] ABSTRAK
Individu sebagai makhluk sosial mempunyai dorongan dari dalam dan luar diri untuk berinteraksi. Individu memerlukan keterampilan sosial yang baik dalam berinteraksi. Rendahnya keterampilan sosial memicu terjadinya masalah pribadi sosial. Siswa sedang mengalami perubahan fisik, psikis, dan mengalami fase transisi, kebimbangan jadi diri, dan identitas diri. Perubahan perkembangan bertujuan penyesuaian diri yang positif terhadap lingkungan sekitarnya, memerlukan aktualisasi diri. Keberhasilan siswa dalam penyesuaian diri dengan baik, secara pribadi maupun sosial harus mempunyai kesempatan mengungkapkan minat dan keinginannya. Penelitian ini adalah penelitian pengembangan yang bertujuan untuk (1) menghasilkan panduan pelatihan self advocacy yang dikembangkan dengan teknik Structure Learning Approach yang memenuhi kriteria akseptabilitas (kegunaan, kelayakan, ketepatan dan kepatutan), dan (2) menghasilkan panduan pelatihan self advocacy yang efektif meningkatkan self advocacy siswa SMP. Agar pelaksanaan pelatihan self advocacy dapat mencapai hasil yang baik, maka konselor perlu memiliki kompetensi teknis khususnya dalam memimpin kelompok, budaya siswa, dan kondisi siswa. Pada penelitian selajutnya perlu dilakukan pengamatan di luar seting pelatihan, menggunakan desain dan teknik penelitian yang lain, dan pada subyek yang lebih besar dan karakteristik yang berbeda. Kata Kunci: Self Advocacy, Kesadaran Diri, Structure Learning Approach.
PENDAHULUAN Manusia sebagai makhluk sosial menyebabkan adanya dorongan dari dalam diri dan luar diri individu untuk berinteraksi dengan individu lain. Melalui interaksi sosial, setiap individu dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta memaknai hidupnya untuk kepentingan diri sendiri dan orang lain. Intraksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara orang perorangan dengan kelompok maupun antara kelompok dengan kelompok sosial lain. Individu
yang memiliki keterampilan sosial yang tinggi cenderung mendapat penerimaan sosial yang lebih baik, sedangkan individu yang memiliki keterampilan sosial yang rendah cenderung akan mendapatkan penerimaan sosial yang kurang baik. Dalam berinteraksi sosial ada beberapa keterampilan yang perlu dikuasai oleh setiap individu, salah satunya adalah keterampilan sosial yang didalamnya termasuk self advocacy (Yuan, 1994). Keterampilan self advocacy merupakan konstruk psikologis, yaitu kebutuhan bagi setiap individu dalam perkembangan yang
Halaman | 1
Jurnal Paedagogy Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014 Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
perlu dipenuhi dengan berbagai kebutuhan seperti kasih sayang, perhatian, penghargaan terhadap dirinya, dan peluang mengaktualisasikan dirinya. Self advocacy merupakan keterampilan yang dimiliki oleh individu dalam berkomunikasi secara efektif, menyampaikan pendapat, bernegosiasi, menyatakan minat, keinginan, kebutuhan, dan hak-haknya, serta kemampuan untuk mengambil keputusan dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang di ambil (Van Reusen, Bos, Schumaker, & Deshler, 1994; Van Reusen, 1996; Schreiner, 2007; Test, Fowler, Wood, Brewer, & Eddy, 2005). Keterampilan self advocacy bermanfaat bagi siswa sebagai berikut: pertama, akan memudahkan siswa dalam mengontrol perasaan. Kedua, siswa dapat membangun rasa percaya diri. Ketiga, siswa dapat mengubah rasa putus asa dan ketidakberdayaan menjadi perasaan penuh harapan. Keempat, akan memudahkan siswa dalam bersosialisasi dan menjalin hubungan dengan lingkungan, mengungkapkan apa yang diinginkan dan dirasakan secara langsung, menghindari munculnya ketegangan dan perasaan tidak nyaman. Kelima, dengan memiliki self advocacysiswa dapat mencari solusi dan penyelesaian dari berbagai kesulitan atau permasalahan yang dihadapi secara efektif, sehingga tidak menjadi beban. Keenam, sisiwa dapat meningkatkan kemampuan kognitif, memperluas wawasan tentang lingkungan, dapat menghargai perbedaan tata pandang dalam masyarakat, memahami kelebihan dan kekurangan diri sendiri (Van Reusen, 1994, 1996;Oregon Department of Education, 2001; Pacock, et.al, 2002). Self advocacy berkembang sejalan dengan usia seseorang, sehingga
penguasaan sikap dan perilaku pada periode-periode awal perkembangan akan memberikan dampak yang positif bagi perkembangan periode selanjutnya. Akan tetapi jika siswa tidak dilatihkan sejak dini, maka para siswa mengalami kesulitan dalam membantu diri mereka sendiri dalam berbicara sesuai dengan apa yang diinginkan, dibutuhkan dan diharapkan, dalam menyampaikan pendapat, berkomunikasi secara efektif, dan bernegosiasi dalam memperoleh hak-haknya, serta dapat bertanggung jawab atas apa yang menjadi pilihan dan keputusannya (Van Reusen, 1994, 1996; Pacock, Stan, Meagan, David, Bob, Wendy and James, 2002; Schreiner, 2007). Menurut Van Reusen (1996) hambatan adalah masalah yang paling sering dialami oleh siswa minoritas. Konselor bertugas membela para siswa dengan memupuk kemampuan self advocacy, yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk berkomunikasi atau bernegosiasi yang berhubungan dengan kepentingan, keinginan, kebutuhan dan hak. Menurut Yuan (1994) terdapat beberapa persoalan yang timbul pada siswa diantaranya rendahnya kesadaran diri dan keengganan untuk bertanya untuk meyakinkan dan meminta apa yang mereka butuhkan, yang dapat merugikan diri mereka sendiri dalam meraih keberhasilan di bidang akademik, sosial, dan lapangan pekerjaan. Dalam persiapan pengambilan keputusan, tanggung jawab yang lebih besar untuk siswa itu sendiri, sangat perlu menjadikan siswa lebih aktif dan bijaksana dalam proses belajar dan pembelajaran yang spesifik. Bimbingan dan konseling sebagai salah satu bidang layanan yang terintegral dalam keseluruhan upaya Halaman | 2
Jurnal Paedagogy Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014 Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
pendidikan di sekolah perlu menunjukkan tanggung jawab dan keperdulian secara optimal. Profesionalisme pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah dapat diketahui melalui unjuk kerja konselor. Konselor adalah tenaga ahli yang diharapkan dapat menfasilitasi peserta didik untuk mencapai kemandirian dalam berbagai bidang akademik, karir, personal serta sosial. Unjuk kerja konselor tersebut secara tegas dirumuskan sebagai salah satu sub kompetensi konselor yakni menyelengarakan bimbingan dan konseling yang memandirikan peserta didik (Dirjen PMPTK Depdiknas, 2007). Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa peran konselor sebagai tenaga profesional, tidak hanya memberikan layanan bimbingan dan konseling, tetapi juga menyelengarakan kegiatan pelatihan bagi peserta didik agar dapat mencapai tujuan perkembangan optimal peserta didik. Penyelengaraan kegiatan pelatihan bagi siswa di sekolah dapat dilakukan untuk memenuhi berbagai bidang kebutuhan siswa, seperti akademik, belajar, karir, pribadi-sosial. Program pelatihan keterampilan self advocacymerupakan program layanan terkait kebutuhan sosial pribadi yang sangat penting dan beranfaat bagi para siswa sekolah. Pelatihan keterampilan self advocacy merupakan salah satu bentuk intervensi serta pendekatan bimbingan dan konseling yang dapat dilakukan oleh konselor bagi siswa di sekolah. Konselor dapat menerapkan strategi pembelajaran terstruktur untuk membantu siswa meningkatkan keterampilan self advocacy, karena tahapan dalam startegi pembelajaran tersetruktur sangat sistematis, direktif, dan behavioristik.
Strategi pembelajaran terstuktur terdiri dari lima tahap, yaitu (a) penjelasan materi atau arahan (instruction), (b) pemberian model (modeling), (c) bermain peran (role-play), (d) pemberian umpan balik (performancefeedback), dan (e) pemberian tugas dan pemeliahraan (transfer of training and maintenance) (Sprafkin, Gershaw, dan Glodstein, 1993; selanjutnya dikembangkan oleh Thompson, 2003). Menurut Sprafkin, Gershow & Goldstein (1993), keterampilan seseorang tampak melalui serangkaian perilaku, berawal dari perilaku yang sederhana hingga ke perilaku yang kompleks. Perilaku-perilaku yang dimaksudkan meliputi: mengidentifikasi kekuatan dan kemampuan diri, sikap asertif, keterampilan negosiasi sehingga individu mampu secara efektif dalam berkomunikasi, menyampaikan pendapat, menyatakan minat, keinginan, kebutuhan dan hak-haknya tanpa mengorbankan martabat diri sendiri dan orang lain. Hasil penelitian tentang self advocacyyang dilakukan oleh: Brinckerhoff (1994) yang dikembangkan pada siswa sekolah menengah dengan tema “Developing Effective selfadvocacy skills in colege-bound students with learning disablitis”. Sebagai salah satu komponen bahan ajar self advocacy pada siswa yang mengalami kelemahan dalam belajar. Dengan menggunakan teknik role play. Pacock(2002) mengembangkan self advocacy pada 17 siswa yang mengalami kelemahan dalam belajar dengan teknik role play. Skinner (1998) melatihkan self advocacy pada siswa sekolah dasar dan menengah yang mengalami kelemahan dalam belajar dengan mengembangkan bahan ajar menggunakan teknik role play. Erlinda Halaman | 3
Jurnal Paedagogy Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014 Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
(2011) yang mengembangkan keterampilan asertif, mengembangkan keterampilan asertifbagi siswa sekolah menengah pertama dengan menggunakan teknik Structured Learning Approach. Paduan pelatihan self advocacyyang akan dikembangkan tersebut, merupakan panduan pelatihan bagi konselor dalam membantu siswa mengembangkan pengetahuan dan melatih keterampilan self advocacy. Panduan pelatihan self advocacyselain berfungsi sebagai pengembangan juga berfungsi sebagai pencegahan, yaitu untuk mencegah siswa merasa tidak mampu membela diri mereka terhadap apa yang diinginkan, dapat mengekspresikan dirinya sendiri, menghilangkan hambatan-hambatan dari dalam dan luar diri yang berupa mengidentifikasi kekurangan dan kemampuan diri, bersikap asertif, memiliki keterampilan negosiasi, berkomunikasi secara efektif, menyampaikan pendapat, minat, keinginan, dan pengambilan keputusan, serta menentuan nasib sendiri. Meskipun tujuan pengembangan panduan ini bersifat pengembangan dan prepentif, namun tidak menutup kemungkinan panduan pelatihan self advocacy berfungsi kuratif untuk membantu siswa yang sedang memiliki kurang dalam kesadaran diri, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, komunikasi dan tanggung jawab. Berdasar pada kepentingan tersebut maka upaya pengembangan panduan pelatihan self advocacy bagi siswa SMP yang dilakukan melalui penelitian ini merupakan langkah stategis dan dapat berfungsi preventif, kuratif maupun pengembangan melaui optimalisasi pelaksanaan layanan
bimbingan pribadi dan konselor bagi siswa SMP.
sosial
oleh
METODE PENGEMBANGAN Model pengembangan yang digunakan dalam pengembangan panduan pelatihan self advocacy ini adalah modifikasi dari model Borg dan Gall (1983). Menurut Borg dan Gall, prosedur penelitian pengembangan atau Research and Development (R&D) terdiri dari dua tujuan utama, yaitu: (1) mengembangkan produk, dan (2) menguji keefektifan produk dalam mencapai tujuan. Tujuan pertama disebut sebagai fungsi pengembangan, sedangkan tujuan kedua disebut sebagai fungsi validasi. Proses pengembangan biasa berhenti sampai pada tahap dihasilkannya suatu produk melalui uji coba terbatas, hanya saja produk semacam itu tidak dapat digunakan secara luas, maka produk tersebut perlu divalidasi, langkah validasi ini dimaksudkan untuk menguragi ketidakpastian. Borg dan Gall (1983) berpendapat bahwa ada sepuluh langkah dalam penelitian dan pengembangan, yaitu: 1) Melakukan penelitian dan pengumpulan informasi (kajian pustaka, pengamatan, persiapan laporan tentang pokok permasalahan). 2) Melakukan perencanaan (mendefinisian keterampilan, perumusan tujuan, penentuan urutan pembelajaran, dan uji skala kecil). 3) Mengembangkan produk awal (menyiapkan materi pelatihan, penyusunan buku panduan dan perlengkapan evaluasi). 4) Uji lapangan awal. Ujicoba dilaksanakan pada 1-3 sekolah dengan 6- 12 subjek uji coba. Selama uji coba diadakan pengamatan, wawancara serta penyebaran angket untuk kemudian dikumpulkan dan dianalisis. 5) Melakukan revisi terhadap Halaman | 4
Jurnal Paedagogy Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014 Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
produk utama (sesuai dengan saran-saran dari hasil uji lapangan awal). 6) Melakukan uji coba lapangan utama. Data kuantitatif tentang unjuk kerja subyek prapelatihan dan pascapelatihan dikumpulkan. Hasil dinilai sesuai dengan tujuan pelatihan dan dibandingkan dengan data kelompok bila dimungkinkan. 7) Melakukan revisi terhadap produk operasional (revisi produk berdasarkan saran-saran dari hasil uji coba lapangan utama). 8) Melakukan uji coba lapangan operasional, wawancara, observasi dan koesioner (dikumpulkan dan dianalisis). 9) Melakukan revisi terhadap produk akhir (revisi produk seperti disarankan oleh hasil uji coba lapangan). 10) Mendiseminasikan dan mengimplementasikan produk. Langkahlangkah yang terdiri dari sepuluh tahapan tersebut merupakan sebuah lingkaran yang saling berhubungan. Langkahlangkah yang telah dikemukakan tersebut bukan langkah yang harus baku diikuti. Setiap pengembangan dapat memilih dan menentukan langkah yang tepat bagi penelitiannya berdasarkan kondisi dan kendala yang dihadapi (Borg dan Gall, 1983). Teknik intervensi yang digunakan dalam pelatihan self advocacy adalah Structured Learning Approach. Tahapan Structured Learning Approach terdiri dari (a) penjelasan materi, (b) pemberian model, (c) bermain peran, (d) pemberian umpan balik, dan (e) pemberian tugas, (Sprafkin, Gershaw, dan Glodstein, 1993., Thompson, 2003). Desain uji ahli dimaksudkan untuk menguji model pelatihan self advocacy yang akan dipergunakan untuk menetapkan akseptabilitas (kriteria kegunaan, kelayakan, ketepatan, dan kepatutan) panduan model pelatihan
tersebut. Penilaian dari ahli adalah uji coba pertama yang dilakukan setelah model pelatihan selesai dibuat. Tujuan untuk mengetahui kekurangankekurangan pada panduan secara teori. Data yang diperoleh pada uji ahli meliputi penilaian kriteria kegunaan, kelayakan, keteapatan, dan kepatutan dari ahli terhadap prototype model pelatihan self advocacy. Data yang diperoleh bersifat kuantitatif dan deskriptif verbal,data kuantitatif diperoleh melalui skala penilaian yang diberikan pada masing-masing ahli dan data deskriptif verbal diperoleh dari saran, komentar atau kritik yang tertulis dalam angket maupun hasil wawancara dengan ahli. Data-data diperoleh baik data deskriptif verbal dan kuantitatif akan digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mervisi dan menyempurnakan model pelatihan self advocacy. Instrument pengumpulan data yang digunakan adalah mengunakan skala angket penilaian. Angket penilaian ini dikembangkan dari buku the joint committee on standards for educational Evaluation (1981). Angket ini bertujuan untuk mengumpulkan pendapat ahli tentang kegunaan, kelayakan, ketepatan dan kelayakan panduan pelatihan. Untuk mengetahui tingkat keefektifan maka dilakukan eksperimen dengan menggunakan rancangan onegroup pretest-posttest design (Isaac & Micahel, 1984; Sukmadinata, 2008:208; Setyosari dan Widijoto, 2007:131). Ciri utama rancangan ini adalah bahwa kelompok dibandingkan dengan dirinya sendiri. Perbedaan tes akhir (O2) dengan tes awal (O1) dianggap sebagai pengaruh adanya perlakuan (X). Keberhasilan sebuah perlakuan ditentukan dengan Halaman | 5
Jurnal Paedagogy Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014 Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
membandingkan skor pre-test dan posttest. Apabila ada perbedaan yang signifikan skor tes awal dan tes akhir, maka hal itu merupakan pengaruh dari Pre-test O1
perlakuan X, rancangan ini dapat digambarkan pada gambar 1 sebagai berikut:
Perlakuan X
Post-test O2
Sumber: Setyosari dan Heru, 2007:131, dan Sukmadinata, 2008:208 Gambar 1. One Group Pretest-Postest Design O1 O2 X
: Pengukuran yang diadakan sebelum pelatihan dilaksanakan : Pengukuran yang diberikan setelah mengikuti pelatihan self advocacy. : Perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Uji coba pengembangan panduan pelatihan self advocacy bagi siswa sekolah menengah pertama (SMP) ini dilaksanakan dalam tiga tahapan yaitu: pertama, dilakukan uji ahli oleh tiga orang ahli bimbingan dan konseling. Kedua uji lapangan kelompok kecil
NO 1 2 3 4
adalah seorang konselor. Uji kelompok kecil ini digunakan untuk mengetahui akseptabilitas panduan pelatihan self advocacy. Ketiga uji kelompok terbatas, yaitu 8 orang siswa SMP Negeri 16 Mataram. Hasil uji coba Pengembangan Self advocacy ini dapad dilihat pada table 1 berikut ini:
Tabel 1. Hasil Uji Coba Ahli dan Calon Pengguna Ahli Aspek Calon Bimbingan akseptabilitas Pengguna/Konselor Konseling keguaan 4 (D) 3 (C) kelayakan 3 (C) 3 (C) ketepatan 3 (C) 3 (C) kepatutan 3 (C) 4 (D)
Untuk mengetahui hasil dari pelatihan self advocacybagi siswa SMP dilakukan dengan cara melakukan tes awal (pretest) dan tes akhir (postest) meggunakan skala self advocacy. Pelaksanaan pelatihan self advocacypada siswa SMP Negeri 16 Mataram dengan menggunakan subyek penelitian
sebanyak 8 (delapan) siswa. Untuk mengetahui keberhasilan pelatihan self advocacy berdasarkan panduan yang telah dikembangkan, maka data hasil peretest dan hasil postest dianalisis dengan dua cara, yaitu analisis secara persubyek dan perkelompok, yang dapat dilihat pada table 2 berikut ini:
Halaman | 6
Jurnal Paedagogy Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014 Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
Tabel 2. Hasil Uji Coba Kelompok Kecil Komponen Self Advocacy Siswa SMP
No
SUBYEK
1 AFJ 2 AAS 3 CASK 4 DNVS 5 FNAI 6 FKH 7 IKWA 8 PDN Jumlah Rata-rata
Kesadaran Diri Pretest 99 96 92 81 99 91 96 93 747 93
Post Test 107 107 110 110 113 112 115 111 885 111
Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan Pretest 93 96 97 73 94 86 95 97 731 91
Post Test 107 107 107 103 108 102 114 105 853 107
Keterampilan Komunikasi Pre-test 98 99 91 75 86 87 90 88 714 89
Post Test 110 111 110 104 110 105 112 105 867 108
Self Advocacy
Kesadaran Tanggung Jawab Pretest 97 98 96 82 94 93 93 91 744 93
Post Test 115 110 110 105 110 111 112 108 881 110
Pretest 387 389 376 311 373 357 374 369 2936 367
Post Test 439 435 437 422 441 430 453 429 3486 436
Beda/ Peruba han
52 46 61 111 68 73 79 60 550 69
%
13,44 11,83 16,22 35,69 18,23 20,45 21,12 16,26
Tabel 3. Hasil Perolehan Skor Rata-Rata Pretest dan Posttest Hasil rata-rata skor No
Komponen Self Advocacy
1
Kesadaran Diri
2
Pemecahan Masalah Pengambilan Keputusan Keterampilan Komunikasi
3 4
Kesadaran Tanggung Jawab
Total Self Advocacy
1.
dan
Asymp. Sig. (2tailed)
Pre test
Post Test
Beda Perubahan
%
Z tes
93
111
17
18,47
-2.524a
.012
a
.012
91
107
15
16,69
-2.524
89 93
108 110
19 17
21,43 18,41
-2.524a -2.524a
.012 .012
367
436
69
18,73
-2.521a
.012
Hasil uji ahli Bimbingan dan Konseling Uji ahli bimbingan dan konseling terdiri dari tiga ahli. Ahli pertama memberikan beberapa catatan, masukan dan saran berupa: (a) perbaikan pengetikan, (b) indikator skala penilaian ahli dan item pernyataan disederhanakan, (c) waktu pelaksanaan hendaknya dilaksanakan sepraktis mungkin, (d) materi setiap topik disempurnakan. (e) pemberian penguatan dan pemberian balikan pada kegiatan konselor hendaknya dijadikan satu. Ahli kedua memberikan catatan, komentar dan saran berupa: (a) perlu ditambahkan rubik ketercapaian penilaian pelatihan self advocacy. Berdasarkan catatan yang diberikan
2.
dari uji ahli bimbingan konseling. Ahli ketiga memberikan catatan, komentar dan saran berupa: (a) perbaikan pengetikan, (b) gambar pada sampul panduan perlu diganti. (c) susunan bagian awal panduan: pengertian, pentingnya, manfaat, prosedurumum, selanjutnya topiktopik dalam pandauan terdiri dari pelatihan, jumlah pertemuan Hasil uji konselor (calon pengguna produk) Uji konselor, diberikan kepada satu orang konselor di SMPN 23 Mataram. Hasil penilain konselor tersebut, baik secara deskriptif verbal maupun kuantitatif menunjukkan bahwa secara umum panduan pelatihan self advocacy yang dikembangan ditinjau dari segi
Halaman | 7
Jurnal Paedagogy Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014 Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
aspek kegunaan konselor menilai berguna, kelayakan konselor menilai layak, ketepatankonselor menilai tepat, dan kepatutan konselor menilai sangat patut, sehingga panduan dapat dikembangkan lebih lanjut. Pada uji konselor ini, konselor memberikan saran dan komentar. Konselor memberikan saran dan komentar berupa: (a) ditambahkan gambar-gambar yang menarik, misalnya pada materi kesadarandiri, sehingga siswa menarik membacanya. 3.
Hasil uji kelompok terbatas Uji kelompok terbatas yang dilaksanakan di SMP Negeri 16 Mataram, dengan jumlah peserta yang ikut dalam pelatihan self advocacy sebanyak 14 orang siswa, meskipun subyek yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 8 orang subyek. Pengambilan peserta pelatihan self advocacy sebanyak 14 siswa, yang terpilih secara acak, hal ini dilakukan untuk menjaga ancaman internal subyek penelitian. Uji kelompok terbatas menggunakan desain pretest-postest control group design. Siswa berjumlah 8 orang yang dipilih secara acak tanpa ada pertimbangan atau kriteria tertentu. Pemilihan secara acak dilakukan dengan anggapan bahwa semua siswa telah memiliki self advocacy meski dengan tingkatan yang berbeda. Hasil dari analisis individu atau persubyek ditemukan siswa mengalami peningkatan prosentase yang berbeda pada setiapkomponen keterampilan yang dilatihkan, misalnya pada komponen kesadaran
diri subyek AFJ sebesar 8,08%, subyek AAS sebesar 11,46%, subyek CASK sebesar 19,57%, subyek DNVS sebesar 35,80%, subyek FNAI 14,14%, subyek FKH sebesar 23,08%, subyek IKWA sebesar 19,79%, subyek PDN sebesar 19,35%.Pada komponen keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan subyek AFJ sebesar 15,05%, subyek AAS sebesar 11,46%, subyek CASK sebesar 10,31%, subyek DNVS sebesar 41,10%, subyek FNAI 14,89%, subyek FKH sebesar 18,60%, subyek IKWA sebesar 20,00%, subyek PDN sebesar 8,25%. Pada komponen keterampilan komunikasi, subyek AFJ sebesar 12,24%, subyek AAS sebesar 12,12%, subyek CASK sebesar 20,88%, subyek DNVS sebesar 38,67%, subyek FNAI 27,91%, subyek FKH sebesar 20,69%, subyek IKWA sebesar 24,44%, subyek PDN sebesar 19,32%. Pada komponen kesadaran tanggung jawab, subyek AFJ sebesar 18,56%, subyek AAS sebesar 12,24%, subyek CASK sebesar 14,58%, subyek DNVS sebesar 28,05%, subyek FNAI 17,02%, subyek FKH sebesar 19,35%, subyek IKWA sebesar 20,43%, subyek PDN sebesar 18,68%. Data pretest dan postest untuk seluruh komponen self advocacy terhadap kelompok eksperimen, terdapat peningkatan skor rata-rata antara pretest dan posttest, pada masing-masing komponen setelah diberi pelatihan self advocacy dengan teknik structured learning approach. Halaman | 8
Jurnal Paedagogy Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014 Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
Selanjutnya, berdasarkan hasil uji statistik wilcoxon, menunjukkan bahwa pelatihan self advocacy yang dikembangkan dengan menggunakan teknik structured learning approach, terbukti efektif meningkatkan self advocacysiswa SMP. Hal ini disebabkan karena dengan teknik structured learning approach siswa diminta untuk mengulangi perilaku/keterampilan-keterampilan yang diharapkan sampai benar-benar dikuasai dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Thorndike dalam teori belajar behavioristik mengenai hukum latihan (the law of exercise) bahwa semakin sering suatu tingkah laku diulang atau dilatihkan, maka asosiasi tersebut akan semakin kuat (Slavin, 2009). Melalui structured learning approach siswa mengamati tingkah laku yang diperankan oleh pemain dan kemudian mempraktekkan tingkah laku bersama siswa lainnya. Hal ini sesuai dengan teori belajar sosial yang dikemukakan Albert Bandura (Slavin, 2006), yaitu siswa dapat belajar dengan mengamati dan meniru tingkah laku melalu model (guru, orangtua atau orang lain). KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan hasil kajian produk pengembangan dalam penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan: 1. Menurut ketiga ahli bimbingan dan konseling dan seorang calon pengguna atau konselor, secara umum panduan pelatihan yang dikembangkan telah memenuhi kriteria akseptabilitas ditinjau dari:
2.
Aspek kegunaan, aspek kelayakan, aspek ketepatan, dan aspek kepatutan. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji wilcoxon, dapat disimpulkan bahwa pelatihan self advocacy yang dikembangkan efektif untuk meningkatkan self advocacy siswa SMP.
SARAN Dari hasil temuan dilapangan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan pelaksanaan pelatihan self advocacy, antara lain: a. Konselor perlu memiliki kompetensi teknis khususnya dalam memimpin sebuah kelompok. b. Konselor perlu mempertimbangkan budaya tiap peserta karena bisa terjadi perbedaan budaya antara peserta yang satu dengan yang lainnya. c. Konselor perlu memperhatikan kondisi fisik dan kondisi psikologis siswa sebelum pelatihan berlangsung, agar pelaksanaan pelatihan self advocacymendapatkan hasil optimal. d. Desain penelitian ini adalah one group pretest-postest design. Untuk peneliti selanjutnya dapat menggunakan desain penelitian yang lain. e. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Structure Learning Approach. Dengan tahapan sebagai berikut: (a) penjelasan materi (b) pemberian model, (c) bermain peran, (d) pemberian umpan balik, dan (e) pemberian tugas. Untuk peneliti selanjutnya dapat mengunakan teknik penelitian yang lain. f. Pengujian keefektifan pelatihan pengembangan panduan self advocacy yang dirancang baru diterapkan pada siswa SMP kelas VIII (delapan) Halaman | 9
Jurnal Paedagogy Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014 Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
sebanyak 8 siswa, sehingga belum diketahui keefektifan pelatihan self advocacy ini bila diterapkan pada siswa lain yang jumlahnya lebih besar dengan latar belakang karakteristik yang berbeda. Untuk itu bagi penelitian lanjutan dapat melakukan pengujian pelatihan terhadap subyek lain dengan karakteristik yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Borg, W. R. and Gall, M. D. 1983. Educational Research an Introduction. Longman Inc., 1560 Broadway, New York, N.Y. 10036. Brinckerhoff, L. C. 1994.Developing Effective Self-Advocacy Skills in College Bound Students with Learning Disablities. Jurnal Intervention in School and Clinic, Vol 29. No 4: 229-237. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pedidikan dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dan Siswa dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. Erlinda. M. 2011. Pengembangan Panduan Pelatihan Keterampilan Asertif Siswa SMP. Universitas Negeri Malang, Pascasarjana, Program Studi Bimbingan dan Konseling. (Tesis, tidak diterbitkan)
Friedman, H. S., Schustach, M. W. 2006. Kepribadian Toeri Klasik dan Riset Moderen. Edisi ke satu (Alih bahasa: Fransiska Dian, Maria Hani, Andreas P. Prima). Jakarta. Erlangga. Hurlock. E. B. 1995. Perkembangan Anak, jilid 2 edisi ketujuh. Jakarta. PT. Gelora Pratama. Isaac, S. & Michael, W. B (1984). Handbook In Research And Evaluation: For Education and The Behavioral Science. San Diego: California 92107 Edit Publisher. Oregon Department of Education. 2001. Self-Determination Handbook: A Resurce Guide for Teaching and Facilitating Transition and Self-Advocacy Skills. Oregon.Public Service Building. Pacock A. L., Stan. L., Meagan. K., David. W. T., Bob A., Wendy. W., and James E. M. 2002. Successful Strategies for Promoting Self-Advocacy Among Student With LD: The LEAD Group.Intervention in School and Clinic. Vol. 37 No 4: 209-216. Scheriner. M.B. 2007. Effective SelfAdvocacy: What Students and Special Educators Need to Know. Journal Intervention in School and Clinic. Vol. 42. No.5: 300 – 304. Setyosari, P., dan Widijoto, H. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang. Skinner. M. E. 1998. Promoting Self Advocacy Among College Halaman | 10
Jurnal Paedagogy Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014 Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
Students with Learning Disablities.Intervention in School and Clinic. Vol. 33. No. 5: 278-283. Slavin, R. E 2009. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktek. PT Indeks: Jakarta. Slavin, R. E. 2006. Educational Psycology: Theory and Practice: Boston: Pearson Education. Sprafkin, R. P., Gershaw, N. J. & Goldstein, A. P. 1993. Social Skills for Mental Health, a structured learning approach. Boston. Allyn and Bacon. Sukmadinata, N. S. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dengan PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Test, D.W., Fowler. C. H., Wood. W. M., Brewer. D. M., &Eddy. S. 2005. A Conceptual Framework of Self-Advocacy for Students with Disabilities.Journal Remedial and Special Education. Vol. 26, No 1: 43 – 54. The Joint Committee on Standards For Educational Evaluation. 1981. Standards for Evaluations of Educational Program, Projects, and Materials. New York: Mc Graw-Hill Book Company. Thompson, A. R. 2003. Counseling Techniques, Second Edition, New York.
Triyono.
2012. Makalah seminar Psikologi Terapan dalam Setting Pendidikan: Pengkajian dan Kerjasama Niche Profesi Bidang Pendidikan, Psikologi dan Konseling. Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang (tidak diterbitkan). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. Van Reusen, A. K. 1996. The SelfAdvocacy Strategy for Education and Transition Planning. Journal Intervention in School and Clinic. Vol. 32. No.1: 49 – 54. Van Reusen, A. K., Bos, C. S., Schumaker, J. B., & Deshler, D. D. (1994). The self advocacy strategy for education and transition planing. Lawrence, KS: Edge Enterprises. Yuan, F. 1994. Moving Toward SelfAcceptance: A Course for Students With Learning Disabilities. Intervention in School and Clinic. Vol. 29. No. 5: 301-309.
Halaman | 11
Jurnal Paedagogy Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014 Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
Halaman | 12