Pengembangan Pribadi Generasi Muda Sunda Melalui Pendidikan Karakter Berorientasi Budaya Sebuah Pendekatan Psikologi H.D. Bastaman
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
1
Kita awali dengan sebuah kisah yang sering diceritakan di lingkungan pesantren. Begini ceritanya: Waktu Nabi Yakub a.s. mendapat berita dari putera-puteranya bahwa Yusuf putera yang paling dikasihi tewas dimangsa singa gurun, beliau hanya berdiam diri dan berserah kepada Allah SWT. Malam harinya dengan kekuatan ruhani kenabian dan atas izin Allah SWT beliau menghadirkan roh dari singa gurun itu. Kemudian Nabi Yakub as bertanya kepada singa gurun itu: “Hai singa gurun, betulkah engkau telah memangsa anakku Yusuf?” Singa gurun itu menjawab: “Wahai Nabiyullah aku tidak memangsa puteramu Yusuf”. Nabi Yakub a.s.bertanya kembali : “Hai Singa gurun, betulkah engkau telah memangsa anakku Yusuf”? dan singa gurun menjawab : “Wahai Nabiyullah aku tidak memangsa puteramu Yusuf”. Dan untuk ketiga kalinya Nabi Yakub a.s. mengajukan pertanyaan serupa, dan singa gurun tetap menjawabnya dengan jawaban sama. Kemudian Nabi Yakub as bertanya: “Beranikah engkau bersumpah dengan sumpah terberat?” Dan singa gurun mengangkat sumpah yang dianggap paling berat zaman itu: “Wahai Nabiyullah aku bersumpah dengan sumpah yang seberat-beratnya yaitu bila aku benar telah memangsa puteramu Yusuf, semoga Allah SWT menakdirkan aku untuk hidup kembali di akhir Kurun 14 Hijriah kelak”. Sekalipun kisah tersebut besar kemungkinan benar-benar sekedar cerita, tetapi moral ceritanya mengisyaratkan dahsyatnya kondisi akhir kurun 14 Hijriah, sehingga seekor singa, hewan yang tidak berhisab berani mengangkat sumpah yang dianggap paling berat pada saat itu yakni dihidupkan kembali pada akhir Kurun14 Hijriah. TANDA-TANDA ZAMAN Saat ini akhir kurun 14 Hijriah telah kita lewati dan kita sedang menjalani sebagian kurun 15 Hijriah dan baru saja melewati dasa warsa pertama Abad 21 Masehi. Abad 21, seperti diramalkan para futurolog sejak sejak 40 tahun yang lalu, ditandai oleh kemajuan pesat sains dan teknologi canggih yang sudah dirintis sejak ahir Abad 20 yang menjanjikan berbagai kemajuan dan kemudahan serta gaya hidup modern yang serba memukau. Sekalipun masa depan merupakan misteri dan ramalan para futurolog belum tentu benar (karena hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui masa depan), tetapi tanda-tandanya sudah dapat kita saksikan saat ini. Bioteknologi, Internet, dan Pasar Bebas dengan Ecommerce-nya yang melewati batas antar negara merupakan primadona abad XXI telah menjadi realitas. Demikian pula temuan-temuan ilmiah, khususnya bidang psikologi dan neuroscience telah menghasilkan beragam kecerdasan manusia yang luar biasa: IQ, EQ, SQ, dan ESQ. Pada awal abad ini munculnya pula sebuah aliran psikologi baru “The Positive Psychology” yang dirintis Martin Seligman dan menelaah kekuatan, kemuliaan dan hal-hal positif pada manusia dan tidak terlalu memfokuskan pada aspek-aspek patologi dan kelemahan manusia. Tetapi di lain pihak Abad 21 ditandai pula oleh berbagai kemelut dalam hampir seluruh bidang kehidupan manusia yang mewujud dalam krisis-krisis pribadi-keluarga-politik-ekonomi-sosialbudaya-agama bersamaan dengan peperangan antar negara dan perang saudara yang tak habishabisnya, pencemaran lingkungan akibat industrialisasi yang mengabaikan AMDAL, terkuras habisnya kekayaan bumi terutama bahan bakar, krisis multidimensi berkepanjangan merupakan contoh-contoh sisi kelam Abad 21 yang akan tetap mewarnai abad ini. Selain itu perubahan tata nilai yang serba cepat menuntut efisiensi dan efektivitas dalam segala hal mulai “makanan siap saji” sampai “kepribadian instan” yang konon hanya dengan mengikuti program pelatihan beberapa hari mewujudkan “kepribadian baru” yang “siap pakai”. Sering kita bergidik bulu roma mengamati berbagai keberingasan, arogansi, kebohongan publik dan pencurian besar-besaran yang dilakukan mereka yang seharusnya menjadi pemegang amanah dan panutan masyarakat. Fenomena lain di era modern ini adalah mendangkalnya penghayatan keagamaan dan melunturnya nilai-nilai tradisi serta terhapusnya fungsi insting akibat dominasi pemikiran rasional. 1 Ini berarti manusia masa kini seakan-akan tidak tahu lagi apa yang diinginkan dan tidak jelas apa yang seharusnya dilakukan. Semuanya menunjukkan bahwa mereka kehilangan sesuatu yang hakiki, 1
Agama dan tradisi mengandung unsur normatif yakni menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan manusia, sedangkan insting menunjukkan dorongan aktual yaitu apa yang sebenarnya diinginkan manusia saat ini.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
2
khususnya kehilangan makna dan tujuan hidup. Kehilangan makna hidup ini menyuburkan corak kehidupan yang serba hampa (existential vaccuum) dan tak bermakna (meaningless life) yang bila dibiarkan berlarut-larut akan mewujudkan tiga pola kondisi kejiwaan: konformisme, autoritarianisme dan neurotisisme.2 Itulah antara lain “tanda-tanda jaman” yang mencakup sisi terang dan sisi kelam era modern.
Benar sekali sinyalemen para filosof, ilmuwan, budayawan dan pakar-pakar ilmu kemanusiaan yang menandai terjadi perubahan pola krisis kemanusiaan masa kini yaitu dari problem of man menjadi man as problem. Ini berarti pada masa kini sumber segala bencana tidak lain adalah manusia sendiri, dalam artian telah terjadi krisis kemanusiaan, antara lain berwujud krisis karakter yang tidak lain adalah krisis akhlak. Dan krisis akhlak inilah yang menyebabkan Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak, dalam artian memperbaiki akhlak yang buruk dan mengembangkan akhlak mulia. 3 Bahkan kalau kita cermati, berbagai maksiat besar yang menyebabkan diutusNya para nabi pada zamannya masing-masing seakan-akan tertumpah sekaligus saat sekarang. Manifestasi Krisis Karakter Bagaimana krisis karakter mewujud pada tataran personal dan sosiokultural saat ini? Pada tataran personal krisis karakter tanda-tandanya antara lain sebagai berikut: -
Tidak jelasnya nilai-nilai, makna dan tujuan hidup Hidup serba hampa dan cemas jauh dari rasa tenteram Tak jelas apa yang diinginkan dan apa yang seharusnya dilakukan Tahu apa yang salah, tetapi tak berusaha menghindarinya, bahkan merasa bangga atas perbuatan salahnya Melakukan kebohongan, ancaman, menyerang dan tindakan kriminal lainnya. Melakukan berbagai rekayasa unuk meraih tujuan pribadi dan menyelamatkan diri Kurang peduli pada lingkungan dan diri sendiri Menipisnya rasa salah dan rasa malu Melarikan diri dari masalah hidup kepada minuman keras dan zat adiksi.
Sedangkan pada tataran sosial-budaya bila kita cermati berbagai kemelut kemanusiaan dan krisis karakter dewasa ini mewujud sekurang-kurangnya dalam 9 (sembilan) pola: - Totaliter (merasa benar sendiri & tak menghargai masukan) - Agresivitas (keberingasan & merusakan lingkungan/orang lain/diri sendiri) - Konformistis (ikut-ikutan & tak ada pendirian) - Fanatisme (memonopoli kebenaran & tipis toleransi terhadap perbedaan) - Eskapisme (melarikan diri dari masalah & menyalahkan pihak lain) - Manipulasi (penyalahgunaan wewenang & pencurian/korupsi) - Hipokrit (munafik & kebohongan/kepura-puraan) - Neurosisme (cemas, depresi, hampa, jemu, pasif, apatis) - Patologi sosial (pelacuran, perjudian, penjualan wanita dan anak-anak) Dan krisis karakter ini pada dasarnya terkait dengan tidak jelasnya Jati Diri dan kurang berfungsinya hati nurani. Dengan demikian tak mengherankan apabila korupsi sulit diatasi, arogansi menjadi-jadi, ketidakpuasan memicu keberingasan, dan penyalahgunaan wewenang makin berkembang, karena yang sebenarnya terganggu adalah manusianya sendiri. Dan kondisi ini diperkirakan akan makin berat dan makin dahsyat, sehingga dapat kita pahami mengapa singa gurun berani mengangkat sumpah untuk dihidupkan kembali di zaman ini. Dan kita semua saat ini telah hidup di masa itu, bahkan sedang menjalani Kurun XV Hijrah dan Abad XXI Masehi. 2
Viktor Frankl, pendiri Logoterapi, menunjukkan 3 pola krisis yaitu: totalitarianism, compromism dan neuroticism. Penulis menambahkan pola lainnya berdasarkan kajian dan pengamatan. 3 “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak” (HR Malik; Ahmad;Baihaqi; Muslim).
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
3
Mengingat dahsyatnya kondisi Abad 21 dengan sisi terang dan sisi kelamnya, saat ini benar-benar perlu dikembangkan pribadi-pribadi berkarakter unggul berakhlak mulia yang mampu bertahan hidup (survive) dan tetap berkembang serta mampu merespon dengan tepat berbagai tantangan dan peluang abad ini. Mereka pun diharapkan mampu menjalankan fungsi kepemimpinan di masa depan untuk meraih kualitas hidup yang lebih baik. Lebih-lebih untuk generasi muda Sunda! KARAKTER Istilah “karakter” saat ini sudah mulai populer dan banyak diungkapkan dalam berbagai forum ilmiah, dunia pendidikan, dan pidato-pidato resmi pejabat dan birokrat, sekalipun dengan pemahaman yang beragam. Tulisan ini akan membahas secara umum konsep karakter untuk melatarbelakangi masalah pendidikan dan pelatihan karakter bagi generasi muda. Karakter atau watak adalah bagian dari kepribadian manusia, sedangkan kepribadian seperti dirumuskan oleh Erich Fromm adalah: “...the totality of inherited and acquired psychic qualities which are characteristic of one individual and which make individual unique”.4 Rumusan ini menunjukkan adanya unsur-unsur kejiwaan yang dibawa sejak lahir (inherited) dan ada yang diperoleh (acquired) dari pembelajaran, contoh-contoh dan pengalaman hidup. Aspek-aspek kejiwaan yang dibawa sejak lahir a.l. kecerdasan, bakat, temperamen; sedangkan yang diperoleh dari pengalaman hidup dan proses belajar a.l. pengetahuan, keterampilan, dan karakter. Karakter adalah hasil internalisasi nilai-nilai etis dari lingkungan (pola asuh, teladan, pendidikan, pengalaman hidup, dsb) yang terpadu dengan jati diri atau hakikat kemanusiaan (the human nature) yang terberi (given) pada diri manusia sebagai sifat dasar. Sifat dasar atau fitrah dalam ajaran Islam diyakini bersifat suci dan beriman5 sebagai kurniaNya. Berbeda dengan temperamen tidak apriori baik dan buruk, karakter berkaitan erat dengan penilaian baik dan buruknya atas tingkah laku seseorang berdasarkan kesesuaian dengan norma-norma sosial dan tolok ukur etika yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian berbicara tentang karakter berarti membahas aspek kepribadian manusia yang dapat dinilai baik-buruk dan patut-tidaknya perbuatan seseorang. Tentu saja banyak definisi mengenai karakter, tetapi untuk mendapatkan gambaran umum akan dikutip definisi Soemarno Soedarsono dari Yayasan Jati Diri Bangsa (YJDB) yang selama hampir setengah abad menggeluti masalah karakter.6 “Karakter merupakan nilai-nilai yang terpateri dalam diri manusia melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan dan pengaruh lingkungan, dipadukan dengan nilai-nilai dari dalam diri manusia menjadi semacam nilai
4
Fromm, Erich. Man for Himself: an inquiry into psychology of ethics. New york: Holt, Rinehart and Winston; 17th printing,1964. 5 “Semua anak itu dilahirkan di atas fitrah (dalam keadaan suci). Ibu-bapaknyalah yang meyahudikan, menasranikan dan memajusikannya” (Hr Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab: “Benar (Engkaulah Tuhan kami), kami menjadi saksi...” (QS al-A’raaf/7: 72). 6 Yayasan Jati Diri Bangsa (2008), Membangun Kembali Jati Diri Bangsa: Peran penting Karakter dan Hasrat untuk Berubah”. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia. Yayasan ini sangat peduli pada pengembangan karakter dan keteladanan serta jatidiri bangsa yang tak lain adalah Pancasila.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
4
intrinsik yang mewujud dalam daya juang yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku kita” Soemarno Soedarsono selanjutnya menjelaskan bahwa karakter harus secara sadar dan sengaja dibentuk dan ditumbuh-kembangkan terus menerus selama hidup, karena “character building is a never ending process”. Dalam hal ini masa anak-anak adalah paling baik (the golden years) untuk pendidikan karakter, karena mereka masih mudah untuk diarahkan dengan “the do’s & the don’ts” dan peneladanan. Pada masa remaja, dewasa dan masa tua pun pendidikan dan pelatihan karakter penting untuk tetap dilakukan dengan menggunakan metodololgi yang sesuai. Bukankah “character building is a never ending process”? Merujuk kepada karakter sebagai nilai intrinsik yang mewujud dalam daya juang (a striving force) yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku, maka dapat dikatakan bahwa “berkarakter” tidak cukup hanya memiliki sifat-sifat baik semata-mata, tetapi sekaligus mampu menggunakan hal-hal baik itu untuk meraih tujuan mulia melalui semangat dan suatu daya juang yang kuat. Dengan lain perkataan dalam konsep karakter ada unsur “Gut”, Keberanian atau TEUNEUNG dalam kebenaran! Perlu ditambahkan pula bahwa pengertian “berkarakter” di sini identik karakter yang baik dan kuat, sedangkan “tidak berkarakter” adalah pribadi berkarakter lemah dan buruk. Meminjam istilah agama, karakter identik dengan Akhlak yang mencakup akhlak terpuji (akhlaq’l mahmudah) dan akhlak tercela (akhlaq’l madzmummah). Seorang yang berkarakter memiliki standar moral dan kehormatan yang tinggi, berani dan lugas menyampaikan pendapat dengan baik, santun, lugas dan bertanggungjawab. Seorang pemimpin berkarakter tidak suka dikelilingi yes man dan berpura-pura, karena ia selalu menginginkan masukan yang objektif untuk mengambil keputusan yang tepat dan benar. Pribadi berkarakter tidak mempan disuap, karena hal ini dianggap merendahkan martabat dan harga dirinya. Bahkan dianggap menjual kehormatan diri! “The only thing in the world not for sale is character” ujar Antonin Scala seorang hakim tinggi di Amerika Serikat yang terkenal dengan integritasnya yang tinggi. Menjadi pribadi berkarakter tentu saja akan memberikan kebajikan dan manfaat yang besar bagi diri dan lingkungannya. Bahkan menentukan nasib masyarakat dan negaranya sesuai dengan ungkapan berikut: Law of The Harvest Sow a thought reap an action Sow an action reap a habit Sow a habit reap a character Sow a character reap a Destiny. 7 Pribadi Unggul perspektif Psikologi Para pakar psikologi kepribadian sudah sejak lama menaruh perhatian pada pengembangan kepribadian ideal yakni pribadi-pribadi dengan kesehatan fisik dan mental yang prima, kecerdasan dan etos kerja tinggi, menguasai ilmu dan teknologi canggih, pendekatan sosial yang luwes, moralitas luhur, teguhnya pendirian, kepemimpinan efektif,
7
Terjemahan “Hukum Panen: “Tanamlah pemikiran, tuailah tindakan. Tanamlah tindakan, tuailah kebiasaan; Tanamlah kebiasaan, tuailah karakter. Tanam karakter, tuailah Nasib”
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
5
dan sifat-sifat lain yang terpuji. Berbagai sebutan mereka berikan pada tipe-tipe kepribadian ideal dengan segala karakteristiknya versi masing-masing. Misalnya: 8 1. G.W Allport, seorang pakar psikologi kepribadian kaliber dunia menamakannya Kepribadian Matang (The Mature Personality ) yang ditandai oleh usaha memperluas dan mengembangkan diri (extention of the self), hubungan ramah dengan orang lain (warm relating of self to others), menerima keadaan diri (self acceptance), sikap realistis (realistic perception, skills and assignments) meyakini dan menghayati suatu filsafat hidup yang integratif (the unifying philosophy of life) dan bersikap objektif terhadap diri sendiri (self objectification). Ciri terakhir ini di dalamnya terkandung pemahaman terhadap diri sendiri (self insight) dan rasa humor (sense of humor), termasuk kemampuan bersikap humoristis terhadap diri sendiri 2. Erich Fromm, seorang Neo-Psikoanalisis mengajukan istilah Karakter Produtif (The Productive Character) yang ditandai oleh perealisasian, peningkatan serta pemanfaatan daya-daya, poteni-potensi pribadi yang terpadu pada diri manusia yaitu akal-budi (reason), cinta kasih (love), daya khayal (imagination), kesadaran diri (self awareness), dan sebagainya. Potensi-potensi terebut dimanfaatkan dalam melakukan hubungan antar priadi dengan orang lain (sosialisasi) dan juga untuk mendapatkan dan mengelola benda-benda (asimilasi). Sehubungan dengan itu Fromm mengemukakan karakter produktif yang mencakup pemikiran produktif (productive thinking), dan cinta-kasih yang produktif (productive love) serta bekerja atau berkarya secara produktif (working). Cinta kasih yang produktif ditandai oleh empat hal yaitu care (perhatian), responsibility (tanggungjawab), respect (rasa hormat) dan knowledge (pengertian). 3. A.H. Maslow, tokoh Psikologi Humanistik menyebut karakter unggul sebagai Pribadi Mengaktualisasi Diri (The Self Actualized Person) yang memiliki 15 karakteristik, antara lain: spontan, sederhana dan penuh kewajaran; mandiri; hubungan antara pribadi yang akrab, sikap demokratis; rasa humor yang tidak menyakitkan diri sendiri dan orang lain; kreativitas dan pengalaman puncak (peak experience). Bila kita perhatikan karakteristik “pribadi unggul” yang diungkapkan para pakar tersebut pada umumnya merupakan gambaran karakter ideal yakni pribadi yang sukses dalam kehidupan di dunia semata-mata dengan mengembangkan sifat-sifat pribadi dan etos kerja yang baik, pergaulan yang luwes dan ramah, kreativitas dan produktivitas tinggi yang membawa kebaikan pada lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini para pakar psikologi itu hampir tidak melibatkan dimensi kerohanian (kecuali Maslow dengan peak experience-nya) dan kalau pun mereka berbicara mengenai daya-daya spiritual (kerohanian) sama sekali bukan rohani dalam artian agama, melainkan daya insani yang lebih tinggi dari akal pikiran dan perasaan serta merupakan sumber kebajikan manusia
Mungkinkah tuna-karakter? Pada tahun 1923 sekelompok kecil milyarder tingkat dunia yang memiliki posisi tinggi dan kekuasaan besar bertemu di sebuah hotel paling mewah -Edgewater Beach Hoteldi Chicago. Pertemuan eksklusif itu telah menghasilkan kesepakatan diantara mereka untuk
8
Bahan-bahan dari “Kepribadian Sehat Perspektif Psikologi” (HD. Bastaman), bacaan pada pelatihan “Kepribadian Sehat” untuk peserta Program Profesi Psikologi Klinis UI.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
6
meningkatkan kesuksesan dengan jalan memperluas jaringan bisnis mereka di seluruh dunia. Tetapi apakah yang terjadi pada kelompok itu 25 tahun kemudian ? Charles Schwab -presiden dan pemilik industri baja terbesar- meninggal dalam keadaan bangkrut total. Arthur Cutten -spekulan tepung paling sukses- habis tandas kekayaannya dan meninggal dalam penjara di luar negeri. Richard Witney -presiden New York Stock Exchange terkenal- meninggal tak lama setelah keluar dari penjara Sing Sing. Albert Fall -menteri termasyhur dalam kabinet Presiden AS- mendapat pengampunan setelah bertahun-tahun hidup sebagai penghuni penjara, kemudian meninggal di rumah tanpa uang sedikitpun. Howard Hopson, -industriwan terkemuka- menjadi pasien tetap sebuah rumah sakit jiwa. Jess Livermore -dikenal sebagai “singa”nya Wall Street- bunuh diri. Leon Fraser -presiden Bank of International Settlements- bunuh diri. Ivan Krueger -pemimpin terbesar dalam monopoli perdagangan dunia- juga meninggal bunuh diri. 9 Tokoh-tokoh tersebut sudah dapat dipastikan memiliki kecerdasan dan kompetensi tinggi, kekayaan melimpah-ruah, kekuasaan hampir tak terbatas, pergaulan luas dan status sosial dengan sebutan “elitnya elit” atau crème de la crème pada jamannya. Dan mereka pun telah terbukti mampu membangun kerajaan-kerajaan bisnis kaliber internasional dengan dukungan para profesional dan ribuan karyawan yang menggantungkan hidup pada perusahaan mereka. Tetapi mengapa terjadi tragedi seperti itu? Kita tidak tahu, tetapi besar kemungkinan mereka mengidap sindroma rendah karakter (dan tinggi keserakahan), bahkan patut diragukan moralitas dan keimanannya. 10 Dari contoh kasus ini, dan banyak sekali kasus lainnya (termasuk di tanah air kita) terbukti bahwa karakter (hampir) menentukan segalagalanya seperti terungkap dalam sajak berikut: “When wealth is lost, nothing is lost when health is lost, something is lost when character is lost, everything is lost”11 Dan tragisnya saat ini (lebih-lebih di tanah air tercinta ini) masih banyak orang yang beranggapan “When wealth is lost, everythingis lost”, sehingga perlombaan menghimpun harta kekayaan makin menjadi-jadi tanpa peduli dari mana harta itu berasal dan untuk meraupnya cara apa pun dianggap sah untuk dilakukan. Selain itu “when character is lost, everything is lost” masih belum dipahami, apa lagi menyadari betapa urgen dan rawannya masalah karakter SAAT INI. Benar-benar memperihatinkan! Oleh karena itu sangat relevan untuk melakukan upaya-upaya pendidikan dan pengembangan karakter. Lebih-lebih untuk Generasi Muda! 9
Maxwell, John C., The Success Journey: The Process of Living Your Dreams. Vancouver: Thomas Nelson Publishers, 1997. 10 Tentu saja banyak perusahaan besar di mancanagara dan di Indonesiai yang benar-benar sukses, berjaya dan mempunyai nama baik yang rata-rata sudah berkiprah sekitar 40 - 50 tahunan. 11 Terjemahan bebas: “Bila kekayaan hilang, (sebenarnya) tak ada yang hilang, bila kesehatan hilang, (memang) ada yang hilang, (tetapi) bila karakter hilang, sirnalah semuanya”.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
7
Gerakan perbaikan dan pengembangan karakter Dalam konteks Al Qur’an diberitakan bahwa ketika suatu bangsa, kaum atau kelompok masyarakat di suatu tempat dilanda krisis moral dan spiritual, maka Allah menurunkan para Nabi dan Rasul untuk membenahi akhlak dan membersihkan jiwa mereka serta mengajarkan bagaimana tata hidup bermasyarakat menurut tuntunan Ilahi, sehingga mereka tidak sekehendak hati menjalani kehidupan. Saat ini pun sunatullah ini tetap berlaku, ketika suatu negara, bangsa dan masyarakat mengalami krisis dan kekacauan dalam bidang apa pun selalu terjadi gerakan “arus balik” untuk mengatasi dan memperbaikinya. Ini adalah fitrah manusia yang selalu mendambakan kebersihan, ketenteraman, kejujuran, kemurnian dan keseimbangan tinimbang kenistaan, kekacauan, kebohongan, kepalsuan dan kekacauan.
Negara tercinta yang sedang mengalami krisis multidimensi yang diperparah dengan arogansi kekuasaan, kebohongan publik, manipulasi dan korupsi yang menyengsarakan rakyat serta menimbulkan ketidakpuasan dan krisis kepercayaan kepada pengelola negara dan pemegang amanah rakyat, ditengarai bukan disebabkan dari rendahnya kecerdasan, buruknya sistem dan langkanya sumber alam, melainkan bersumber dari hal yang mendasar yaitu unsur manusianya sendiri, dalam hal ini KARAKTER-nya. Sesuai dengan sunatullah, saat ini pun bermunculan gerakan-gerakan spontan dari berbagai kelompok masyarakat yang bertujuan melakukan perbaikan moral dan memperkuat karakter pribadi dan jatidiri bangsa. Demikian pula lembaga-lembaga pendidikan formal (terutama sekolah-sekolah swasta) dan informal (misalnya pesantren) yang sejak lama telah melakukan pendidikan karakter melalui kurikulum yang sengaja dipersiapkan. Di luar negeri konon perusahaan-perusahaan besar memiliki motto “Character First” dan menyadari betapa pentingnya unsur karakter dalam mengelola bisnis berjangka panjang. Dan di kalangan pengusaha nasional kita telah terbentuk “Komunitas Pengusaha Anti Suap Indonesia” (KUPAS) yang melakukan upaya pendidikan untuk membangun pengusaha berkarakter serta memperkuat solidaritas para pengusaha anti suap menghadapi para penguasa doyan suap. Sungguh menggembirakan bahwa saat ini telah mulai disadari betapa penting dan urgennya pembangunan karakter untuk bangkit kembali dari keterpurukan. GENERASI MUDA Di beberapa negara seperti Amerika Berikat dan Eropah Barat, demikian pula China, Korea dan India, ada berbagai penamaan generasi yang umumnya dikaitkan dengan situasi dan peristiwa sosial-ekonomi-budaya-politik yang berdampak pada mereka yang lahir pada masa itu. Di negeri Paman Sam misalnya ada generasi yang dinamakan:12 - Generation/Gen X: kelahiran antara tahun 1970 – 1980 dengan karakteristik meninjau kembali atau menolak nilai-nilai tradisional. - Generation/Gen Y: kelahiran antara 1980 – 1990 sebagai awal penggunaan alat-alat teknologi canggih menjelang Abad 21 - Generation/Gen Z”: disebut juga Generation Internet yang kelahiran akhir tahun 1990 sebagai kelanjutan Gen Y. Dilihat dari usianya rata-rata Gen Y, Young Generation, dilahirkan antara tahun 1980 - 1990 dan saat ini mereka berusia antara 20 – 30 tahun. Di negara maju kehidupan mereka antara lain ditandai dengan penggunaan teknologi canggih dalam kehidupan sehari-hari (komputer, telpon selular canggih, internet, iPad dan gadget) dan berkomunikasi lebih sering melalui e-mail dan jejaring sosial (seperti Facebook, Twitter) daripada face to face. Dalam penguasaan teknologi canggih mereka lebih mahir tinimbang orang tua dan guru-guru mereka di sekolah, karena sejak kecil sudah terbiasa 12
Generasi sebelumnya: The Lost Generation (mereka yang terlibat dalam PD I), The Greatest Generation (lahir antara 1901 – 1924 dan terlibat PD II), The Silent Generation (lahir antara 1825 – 1945, mengalami “Great Depression” ), The Baby Boom Generation (lahir antara 1946 -1964, pasca PD II yang ditandai pelonjakan kelahiran bayi). Lihat “Generation” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_generations
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
8
bermain komputer dan mainan canggih. Hasrat kuat mereka adalah “Rich Young” yaitu sejak muda sudah kaya raya dan tidak ingin bekerja sampai tua dan kemudian pensiun dengan kondisi hidup paspasan seperti orang tua mereka. Diberitakan di Indonesia ada diantara mereka yang berhasil mengembangkan bisnis dengan memanfaatkan teknologi canggih melalui jejaring sosial, misalnya Reza Nurhilman (24 tahun) dengan keripik singkong pedas “Ma Icih”nya 13 dan Aulia Halimatussadiah (28 tahun) dengan self publishing online (nulisbuku.com) dan toko buku online-nya (kutubuku.com). 14 Demikian pula Andrew Darwis (32 tahun) dan Ken Lawadinata (25 tahun) yang sukses mengembangkan komunitas luas berbasis web. 15 Pengertian “Generasi Muda”, Gen Y atau Young Generation, dalam tulisan ini identik dengan “Dewasa Awal” (Early Adulthood) sebagai kelajutan “Remaja Akhir” (18 – 20 tahun) pada psikologi perkembangan yakni salah satu fase perkembangan kepribadian manusia yang berusia antara 20 – 30 tahun. Terutama di kota-kota besar, pada usia ini mereka biasanya mulai memasuki jenjang pendidikan tinggi dengan nilai-nilai idealisme kampus dan/atau awal membina karir di dunia kerja. Mereka pun mulai membina hubungan dengan lawan jenis untuk dilanjutkan dengan pernikahan dan mempunyai anak yang diasuh dalam sebuah keluarga baru. Mereka biasanya (mudah-mudahan) masih memiliki idealisme murni dan belum tercemari praktek kecurangan dunia kerja dan arogansi kekuasaan, khususnya manipulasi untuk kepentingan pribadi/kelompok serta korupsi yang mewabah. Perjalanan hidup mereka masih panjang dan memiliki peluang untuk menjalankan fungsi kepemimpinan di masa datang. Generasi Muda Sunda Merujuk kepada pengertian di atas, “Generasi Muda Sunda” adalah pria dan wanita berusia 20 – 30 tahun yang hidup di lingkungan masyarakat Sunda, mengenal dan menyerap nilai-nilai sosialbudaya Sunda, melakukan kebiasaan orang Sunda, dan fasih atau sekedar mengerti berbahasa Sunda dan..... merasa diri orang Sunda apa pun pertimbangannya. Tentu saja “Sunda“ di sini tidak harus asli Sunda, tetapi juga bukan orang Sunda tetapi hidup dalam lingkungan orang Sunda, menghargai dan menyerap nilai-nilai sosial budaya Sunda dan menerapkannya dalam hidup sehari-hari. Sebaliknya orang Sunda “tulen” yang tak mengenal dan menyerap nilai-nilai sosial-budayanya tampaknya tidak termasuk “orang Sunda”. 16 Dilihat dari kesejarahannya sejak penjajahan Jepang 1942 – 1945 sampai memasuki Abad 21 orang Sunda dan warga Jawa Barat lainnya mengalami pemiskinan dan kemiskinan dalam kesejahteraan hidup dan pendangkalan budaya sehubungan dengan masalah ekonomi dan politik yang tak kunjung selesai serta kehidupan budaya (hususnya kesenian daerah) yang terabaikan serta nilainilai hidup yang memudar. Akibatnya (sebagian) generasi muda Sunda sekarang seperti halnya (sebagian) orang Sunda umumnya sudah jarang menyaksikan pertunjukan kesenian tradisional, sehingga mengakibatkan kedangkalan dalam mengenal, memahami dan menghayati budayanya sendiri.17 Mereka seakan-akan terasing dari ajen-inajen atau nilai-nilai (values) sosial-budayanya sendiri yang terkandung dalam seni tradisi serta kurang memahami betapa pentingnya fungsi nilainilai itu sebagai pembangun kemantapan karakter, perekat ikatan masyarakat dan akar pengembangan kebudayaan.18 Akibatnya lebih lanjut sudah dapat diduga mereka seakan-akan kehilangan akar budaya dan kekaburan identitas diri, sehingga mudah terpukau, terbuai dan terbawa arus “modernisasi’ (baca: 13
Tempat mangkalnya berpindah-pindah yang diinformasikan melalui Facebook dan Twitter yang diburu oleh para penggemarnya. 14 Lihat “Sosok” pada Kompas, 5 Desember 2011. 15 Lihat “ Kaskus mirip sebuah negara digital” dalam ‘Kompas Kita’; Harian Kompas, 13 Desember 2011. 16 Sejalan dengan pandangan Ajip Rosidi “...pengertian manusia Sunda bagi saya adalah manusia yang dalam hidupnya menghayati serta mempergunakan nilai-nilai budaya Sunda” (Dalam “Manusia Sunda”; Kiblat Buku Utama, 2009, hal. 15) 17 Ajip Rosidi (2006). “Mengapa KIBS?” dalam Prosiding “Konferensi Internasional Budaya Sunda” (disunting oleh Ajip Rosidi, Edi S. Ekajati, A. Chaedar Alwasilah) jilid 1. Bandung: Yayasan Kebudayaan Rancage bekerjasama dengan PT Dunia Pustaka Jaya 18 Lih. “Values as the integrating forces in Personality, Society and Culture” karya Prof. Takdir Alisyahbana, Dian Rakyat, Jakarta, 1974.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
9
westernisasi) yang membanjiri kehidupan bangsa kita. Lebih-lebih dengan keterbukaan ala globalisasi yang menawarkan: Harapan (untuk perbaikan nasib dan kelimpahan materi), Kesempatan (mengaktualisasi potensi diri) dan Tantangan (kerja keras dan kerja cerdas). Sebuah tawaran yang sangat menjanjikan dan mempesona, di satu pihak menimbulkan semangat dan gairah hidup untuk meraih kesuksesan dan mengubah nasib, tetapi di lain pihak menyuburkan gaya hidup individualistis dan lebih “cinta dunia”. Dan bagi yang berhasil meraihnya akan benar-benar mendapatkan kelimpahan materi dan kemudahan hidup, tetapi sebaliknya bila tak berhasil meraihnya akan menimbulkan kekecewaan dan kehampaan hidup berkepanjangan. Dan dalam kenyataannya tampaknya jauh lebih banyak yang tidak berhasil tinimbang yang berhasil. Kondisi ini tentu saja akan memberi warna pada karakter generasi muda Sunda yang sedikit demi sedikit dan secara tak disadari mulai meninggalkan nilai-nilai tradisi, sedangkan hidup modern belum sepenuhnya tergapai. Apa yang berhasil diperoleh? Hardware, seperti penampilan, gaya hidup, konsumerisme dan pemilikan produk-produk canggih, 19 tetapi di lain pihak belum mantap menyerap software-nya yaitu sifat, sikap dan cara pikir modern, seperti: efisien, efektif, lugas, mandiri, proaktif, visioner, hasrat berpretasi tinggi (nAch), daya saing, hemat, kebiasaan menabung, cinta ilmu, senang membaca, peduli lingkungan alam serta pemanfaatan teknologi canggih untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup yang lebih baik. Disamping kerawanan tersebut, orang Sunda (termasuk generasi mudanya) sejauh pengamatan penulis memiliki kecenderungan dan dinamika kejiwaan antara lain sebagai berikut: 1. Mayoritas masyarakat Sunda menganut agama Islam, beriman dan bertakwa kepada Ilahi serta menjalankan syariat Islam. Sejalan dengan itu “olah ruhani” melalui tasauf dan tarekat cukup subur di Tatar Sunda, termasuk ada kelompok-kelompok masyarakat Sunda yang menganut kebatinan/mistisisme, bahkan sinkretisme yaitu memadukan agama (Islam) dengan mistik (Sunda). Terlepas dari kedalaman pemahaman dan penghayatannya, semuanya merupakan benteng ketahanan mental yang kokoh menghadapi berbagai goncangan kehidupan. 2. Orang Sunda memiliki rasa humor tinggi yang merupakan tanda kesehatan mental. 20 Tetapi terkadang berlebihan menimbulkan kesan kurang serius. 3. Orang Sunda sangat ramah tamah, dan murah senyum, ada ungkapan “someah hade ka semah, matak betah anu ngadon bubuara” sampai akhirnya... “jati kasilih ku junti”. 4. Masyarakat Sunda sejak dulu terbuka terhadap hal-hal baru, segala paham (mistik, nasionalisme, sosialisme, komunis) berkembang subur di Tatar Sunda. Dalam hal ini orangorang Sunda lebih banyak sebagai pengikut yang loyal, sedangkan fungsi kepemimpinan puncak sebagian besar dipegang oleh bukan oleh orang Sunda. 5. Orang Sunda berpegang pada nilai “sineger tengah” yang berarti seimbang dan tak berlebihan, tetapi di lain pihak terkesan kurang ambisius dalam mengejar suatu tujuan. 6. Orang Sunda memiliki karakter “cinta lembur” yang kuat dan kurang berjiwa petualangan (adventure) dan jarang yang berani eksis sendirian (solitair), sehingga di rantau sering mengalami “rindu pulang” (home sick) dan segera membentuk himpunan sesama orang Sunda. 7. Orang Sunda umumnya menyukai kesenian, bahkan banyak yang menonjol dalam karya dan pentas seni. Tetapi dalam percaturan politik, birokrasi, kepemimpinan nasional, sains & teknologi, mass media, kewiraswastaa, industri dan bisnis hampir tak ada yang muncul nyongcolang di pentas nasional dan internasional. Dengan merujuk ada “Teori Enam Nilai” dari Spranger, kecenderungan-kecenderungan tersebut tampaknya mengisyaratkan bahwa orang Sunda di satu pihak kuat dalam nilai-nilai Sosial (kebajikan), Seni (estetika) dan Religi (penyatuan diri) yang membawa pada kedamaian dan keseimbangan hidup.
19
Lih. “Hiperkonsumerime, Hiperteks, Hipermedia” artikel utama pada “Fokus” mengenai hasrat berlebihan untuk memiliki alat-alat canggih, terutama BBM, tanpa menyadari pengaruhnya pada cara pikir, sikap dan perilaku penggunanya. (Harian Kompas, 9 Desember 2011). 20 Kumpulan humor dan cerita humoristis terbitan PT Kiblat Buku Utama, a.l. “Buntut Oa” (Ki Cakakak); “Dulag Nalaktak” (Usep Romli); “Keom Sakedap” (Syam Ridwan); “Seuri Leutik” (Ajip Rosidi); “Urang Sunda Munggah Haji” (Maman M.S.) dan kartun “Si Mamih” (Edyana Latif). Mengenai humor dan kesehatan mental, lih. “Sura Seuri Sunda” (H.D. Bastaman.)
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
10
Tetapi di lain pihak kurang merealisasikan nilai-nilai Sains (objektivitas), Politik (kekuasaan) dan Ekonomi (pemanfaatan) yang melatih nalar, mendorong kehidupan lebih dinamis dan sejahtera. Beberapa catatan mengenai karakter Generasi Muda Sunda Penulis tidak berhasil mendapatkan hasil-hasil penelitian mengenai pola kehidupan generasi muda Sunda masa kini, terutama mengenai karakter dan sistem nilai yang dominan pada mereka. Oleh karena itu penulis hanya melakukan telaah kepustakaan 21 dan menyimak beberapa artikel dari internet yang jumlahnya pun tak begitu banyak22 serta melakukan wawancara dengan beberapa tokoh yang berkecimpung dalam kegiatan generasi muda Sunda.23 Hasilnya hanyalah berupa catatan berisi kesankesan selintas yang tentu saja tidak dapat digeneralisasikan sebagai kondisi dan karakteristik generasi muda Sunda umumnya. 1. Di satu pihak ada yang mengungkapkan keluhuran nilai-nilai budaya Sunda yang a.l. tersurat dalam motto/slogan,24 tersirat dalam babasan (idioms)25 dan pustaka-pustaka lawas26. Di pihak lain ada yang mengkaji akar sejarah kondisi rawan masyarakat dan karakter negatif orangorang Sunda serta menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan. Ada juga yang menghendaki pewarisan dan revitalisasi nilai-nilai tradisi kesundaan disesuaikan dengan tuntutan jaman sekarang. 2. Hampir semua mengemukakan berbagai gagasan mengenai apa yang seharusnya dilakukan (the should), tetapi tidak menunjukkan sistem, metode, proses, ragam kegiatan dan bentuk kerjasama untuk melaksanakannya (the technical know-how). 3. Di bidang sosial-budaya terdapat keprihatinan atas menurunnya minat generasi muda terhadap bahasa Sunda, mulai berkurangnya anak-anak muda berbicara bahasa Sunda, menurunnya minat terhadap kesenian tradisi disertai perasaan tak puas terhadap karakter negatif orang Sunda sendiri yang konon cenderung lemah ambisi dan kurang keberanian, 27 peka terhadap kritik dan mudah menarik diri,28 kompak di rantau tapi “hoghag” di kampung sendiri, reaktif dan tidak proaktif, sinkretisme dengan memadukan mistik (Sunda) dengan agama (Islam), berorientasi masa lalu dan kurang realistis dan visioner, terlalu santey dan kurang kesungguhan alias “loba teuing heureuy”, feodal bermental “kumawula” dan “hayang kapake”, kurang mandiri dan kurang “teuneung” mengambil resiko, maraknya arogansi dan kebohongan publik, mewabahnya korupsi dan manipulasi, minimnya orang Sunda yang menduduki posisi kepemimpinan nasional/internasional, serta langkanya saat ini tokoh
21
Karena minimnya tulisan-tulisan mengenai masalah karakter orang Sunda ini, penulis merujuk pada tulisantulisan Ajip Rosidi yang banyak membahas karakter manusia Sunda, antara lain dalam “Urang Sunda jeung Basa Sunda” (2007); “Manusa Sunda” 2009); “Mencari Sosok Manusia Sunda” (2010); “Urang Sunda di Lingkungan Indonesia” pidato penerimaan gelar Dr (HC) dari Unpad tahun 2011. 22 Dari beberapa “blog” diperoleh artikel, antara lain tulisan H.R. Hidayat Suryalaga: “Relevansi Budaya Sunda dalam kehidupan Generasi Muda”; Zakiyuddin Ahmad: “Akar kebisuan Generasi Muda Sunda”;Yayat Hendayana: Revitalisasi Nilai Tradisi Kesundaan” dan Atep Kurnia: “Pewarisan Budaya Sunda”. 23 Wawancara dilakukan tanggal 26 - 27 Desember dengan Drs. H. Uu Rukmana MSi, birokrat, politikus, budayawan dan salah seorang perintis AMS; Apipudin, S.Sos., Sesepuh PP DAMAS dan Sdr. Hasan, Ketua Bidang Kaderisasi PP Damas; Ibu Tintin Sumarni pejabat Pemda urusan sosial dan kewanitaan, serta bincang-santey dengan R.H. Otong Toyibin Wiranatakusumah, Ketua Dewan Pembina Yayasan Keluarga Besar R.H. A.A. M. Wiranatakusumah, konsultan berbagai organisasi sosial-politik dan pemerhati kehidupan mistik Sunda. 24 Misalnya “Silih asah, silih asih, silih asuh”; “Cageur, bageur, pinter, bener” plus “teger, pangger, wanter, singer, cangker, jujur”. 25 Ada babasan yang merugikan seperti: “Daek eleh sungkan meunang” dan “Heurin ku letah” serta ada yang bak pisau bermata dua seperti “Someah hade ka semah” dan “Ngaheulakeun batur”. 26 Mis. Siksa Kanda ng Karesian, konsep Tri Tangtu, Parigeuing dan Dasa Pasanta (Zakiyuddin Ahmad). 27 Dalam bahas Sunda disebut “TEUNEUNG”, sedangkan dalam ilmu karakter dinamakan “gut”, “courage”, yang merupakan karakteristik karakter kuat. 28 Bahasa Sundanya “Gampang kasigeung, babari pundungan”.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
11
keteladanan sebagai panutan terpercaya. Belum lagi masalah kaum wanita yang terus berulang dan tak kunjung tuntas. 4. Mendambakan citra ideal sebagai orang Sunda (tentu termasuk generasi mudanya) dengan karakter yang sebagian masih terkandung dalam berbagai motto dan idiom, (“cageur, bageur, pinter, bener”, “pengkuh agamana, luhung elmuna, jembar budayana, rancage hatena”, “leuleus jeujeur liat tali”, “salat, silat, siliwangi” dsb) dan sebagian lagi lebih eksplisit berupa kompetensi dan karakter yang dianggap sesuai dengan tuntutan masa kini (cerdas, terampil, berprestasi, demokratis, santun, terbuka, lugas, dapat dipercaya, memiliki kehormatan diri, dekat dengan rakyat). Semua kualitas pribadi tersebut benar-benar baik, bahkan luhung, walaupun belum dijabarkan dalam tataran perilaku dan diamalkan dalam hidup sehari-hari. 5. Semua sepakat perlu dilakukan upaya untuk melakukan upaya pengembangan karakter, dalam artian menghilangkan (baca: mengurangi) karakter yang buruk dan meningkatkan potensi dan karakter terpuji. Ini berarti adanya kesadaran mengenai kesenjangan antara citra diri saat ini (the actual self) dengan citra diri yang diidam-idamkan (the ideal self) serta ada kehendak untuk meraih kualitas yang lebih baik. 6. Tercatat ada beberapa kondisi kejiwaan kurang baik yang perlu segera diubah menjadi lebih baik yaitu antara lain sebagai berikut: - Dari feodalistis menjadi demokratis; - Puas dengan prestasi rata-rata menjadi dorongan untuk berprestasi tinggi - Serba menurut (submissive, apatis) menjadi lugas (assertive,kreatif) - Menanti adanya tokoh teladan menjadi diri sendiri sebagai teladan - Tak kenal budaya Sunda menjadi paham budaya sendiri. - Merasa diri serba benar menjadi terbuka menghargai pandangan orang lain. - Sikap reaktif menjadi proaktif dan visioner - Banyak bercanda menjadi lebih serius - Mistis dan berorientasi masa lalu menjadi realistis berorientasi sekarang dan masa datang - Takut bersaing menjadi berani bersaing - Serba cemas dan takut sekalipun benar menjadi berani atau TEUNEUNG dalam kebenaran. Dan semua ini paling tepat dicapai melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan karakter dengan berbagai bentuk, sistem, proses dan metodologinya yang tepat.
PENDIDIKAN KARAKTER Pendidikan karakter sebenarnya sudah setua sejarah umat manusia. QS. Al-Baqarah/2: 35 mengungkapkan bahwa Nabi Adam as dan isterinya mendapat izin Allah SWT untuk tinggal dalam surga sesuka hati, hanya saja tidak diperkenankan mendekati sebuah pohon tertentu dan memakan buahnya.29 Adanya ketentuan apa yang boleh (the do’s) dan apa yang tidak boleh dilakukan (the don’ts) menunjukan bahwa Allah SWT memberikan pendidikan pertama bagi manusia pertama untuk berperilaku etis-normatif yang merupakan inti dari karakter. 30 Para orang tua sejak dahulu kala, sebelum ada lembaga pendidikan formal yang namanya “sekolah”, sudah berusaha mendidik anakanak mereka menjadi anak-anak yang baik menurut norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sosial-budaya mereka. Saat sains dan teknologi berperan besar dalam menentukan kesejahteraan suatu negara, lembaga-lembaga pendidikan formal (dari TK sampai perguruan tinggi) memusatkan perhatian pada 29
Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makan-makannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebakan kamu termasuk orang-orang zalim” QS. Al-Baqarah/2: 35. 30 Lih. “Di balik riwayat Adam a.s.: Sebuah wawasan islami mengenai manusia”. Dalam “Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami” karya HD. Bastaman. Penerbit “Yayasan Insan Kamil” bekerjasama dengan ‘Pustaka Pelajar”, Jogyakarta, 2005, cet. IV.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
12
pengembangan dan penguasaan sains dan teknologi dengan kebijakan “Pendidikan Berbasis Kompetensi”. Upaya yang baik ini, sayangnya, sering harus dibayar dengan terabaikannya pendidikan karakter yang tak kalah pentingnya dari pendidikan sains dan teknologi. Bahkan lebih penting! 31
Asas-asas pendidikan karakter Dalam perspektif psikologi, pendidikan karakter pada dasarnya mengikuti asas-asas pengembangan pribadi (personal growth) yaitu mengaktualisasikan potensi pribadi yang ada pada setiap diri dan menginternalisasi nilai-nilai positif yang berasal dari kehidupan nyata dengan menerapkan metode-metode yang sesuai. Dan proses pengembangan pribadi diawali dengan upaya mengenal kondisi diri sendiri yakni memahami kekuatan/keunggulan dan kelemahan/kekurangannya, karena pengembangan pribadi pada dasarnya berupa upaya untuk meningkatkan hal-hal positif dan mengurangi hal-hal negatif diri sendiri. Pengembangan pribadi pada orang dewasa merupakan proses pembelajaran yang dilakukan dengan sengaja dan penuh kesadaran dengan melibatkan fungsi-fungsi pemikiran (kognisi), perasaan (afeksi), kehendak (konasi) dan tindakan (aksi) dengan menerapkan metode-metode pendidikan orang dewasa (Andragogy). Disamping itu proses pengembangan pribadi memerlukan situasi kondusif serta melaksanakannya dalam sebuah program pendidikan dan pelatihan karakter.
Metode pengembangan karakter Pendidikan dan pelatihan pengembangan karakter (dan kompetensi) pada umumnya menerapkan lima ragam metode pengembangan pribadi yaitu: - Pembiasaan: membiasakan diri berbuat kebaikan dan menghindari keburukan. Proses pembiasaan (conditioning) akan menjelmakan kebiasaan (habit) dan kebisaan (ability), dan akhirnya akan menjadi terperangai dalam sifat-sifat pribadi (personal traits) yang baik. Pendidikan karakter pada anak-anak biasanya menggunakan metode ini. - Pemahaman, Penghayatan dan Penerapan: lebih dahulu secara sadar dan disengaja mencoba memahami arti dari suatu perilaku yang baik, kemudian mendalaminya dan menjiwainya, lalu secara sengaja menerapkannya secara konsisten dalam kehidupan seharihari. Metode ini lazim digunakan dalam pendidikan orang dewasa (Andragogy). - Pengalaman hidup: belajar dari pengalaman pribadi dan menyimak pengalaman orang lain mengenai akibat berperilaku baik dan buruk. - Peneladanan: menyontoh tokoh-tokoh yang dikagumi untuk mengambil sikap-sikap atau nilai-nilai kebaikan dari “idola”nya. Proses ini disebut proses identifikasi,32 yang syarat utamanya adalah harus mengenal sifat-sifat tokoh identifikasinya. Dalam pendidikan karakter perlu dihadirkan contoh-contoh perilaku terpuji dari tokoh-tokoh tertentu, dengan harapan dapat memotifasi untuk mencontoh dan meneladaninya. 33 Dan yang paling penting adalah kesediaan untuk menjadikan diri sendiri sebagai teladan bagi dirinya sendiri, keluarga dan lingkungan sekitarnya. - Peribadatan: ibadah dalam artian khusus (misalnya shalat, puasa, berdoa dsb) dan ibadah dalam artian umum (berbuat kebajikan secara ikhlas) secara sadar atau tidak sadar akan mengembangkan sikap hidup, sifat-sifat, kehendak, perilaku dan akhlak baik serta menggerus akhlak yang buruk.
31
“Knowledge is power, but character is more”, demikian salah satu motto Yayasan Jatidiri Bangsa. Proses identifikasi mengambil-alih nilai-nilai (values) batiniah, sedangkan proses imitasi (imitation) hanya meniru hal- hal lahiriah, seperti gaya dan penampilan. 33 Hadirnya tokoh teladan sebagai role model sangat penting dalam pendidikan karakter, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. 32
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
13
Unsur-unsur dan proses pengembangan karakter Pengembangan karakter -seperti halnya pengembangan pribadi- sekurang-kurangnya memerlukan 10 (sepuluh) unsur yaitu: Motivasi, Potensi diri, Tujuan, Usaha, Metode, Sarana, Lingkungan, Asas-asas sukses, Tokoh Keteladanan dan Ibadah/Doa. Proses pengembangan karakter harus diawali dengan lebih dulu ada niat atau motivasi kuat untuk berubah dan menetapkan citra diri idaman sebagai tujuan yang ingin dicapai dan memiliki tokoh teladan serta berusaha mengaktualisasikan berbagai potensi diri, kemudian melaksanakannya dengan menggunakan metode yang efektif dengan sarana yang tepat serta menerapkan asas-asas kesuksesan. Proses ini akan lebih berhasil bila mendapat dukungan lingkungan sosial, khususnya kerjasama dengan orang-orang terdekat, lebih-lebih lagi bila disertai doa dan ibadah kepada Tuhan. Dalam hal ini peranan guru, mentor, pembimbing, pemandu dan pelatih sangat menentukan keberhasilan. Tentu saja selain harus menguasai materi dan metodologi, mereka pun harus mampu berfungsi sebagai teladan karakter terpuji.
POLA PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK GENERASI MUDA SUNDA Dengan tetap menaruh hormat dan penghargaan kepada lembaga-lembaga pendidikan formal dan non-formal di Tatar Sunda, khususnya pondok pesantren dan sekolah berbasis agama, yang sejak lama telah menerapkan pendidikan karakter (atikan budi/akhlak) kepada para peserta didiknya, penulis mengajukan pola pendidikan karakter untuk generasi muda Sunda sebagai upaya berbagi konsep dan pengalaman (sharing) sebagai berikut: Pendidikan karakter untuk generasi muda Sunda, seperti halnya pendidikan karakter pada umumnya memerlukan unsur-unsur: niat/motivasi, kesadaran atas potensi diri, citra diri ideal, kegiatan terencana, metode, sarana yang mencukupi, lingkungan kondusif, asas-asas keberhasilan, tokoh keteladanan dan do’a. Di atas unsur-unsur teknis tersebut perlu ada asas yang yang memayungi, melandasi dan memberi arah pada pendidikan karakter untuk generasi muda Sunda yang penulis namakan “Panca Asas”, yaitu: 1. Pendidikan karakter untuk generasi muda Sunda harus jembar yaitu dilakukan dalam kerangka pikir ke-Indonesia-an dengan Pancasila sebagai jatidiri bangsa. 2. Pendidikan karakter untuk generasi muda Sunda berorientasi nilai-nilai budaya Sunda yang sesuai dengan tuntutan zaman dan dapat meningkatkan kebanggaan (kareueus) sebagai orang Sunda. 3. Pendidikan karakter untuk generasi muda Sunda terbuka terhadap nilai-nilai baru dan pengetahuan/teknologi yang datang dari budaya luar (senegara & mancanegara) sejauh sesuai dengan adat istiadat, hukum yang berlaku, kepatutan berperilaku dan tuntunan agama serta manfaatnya untuk masyarakat. 4. Pendidikan karakter untuk generasi muda Sunda harus menjabarkan dalam tataran perilaku konsep manusia seutuhnya berkualitas: “Hi Health, Hi Tech, Hi Touch, Hi Faith”34 . 5. Pendidikan karakter untuk generasi muda Sunda harus mampu meningkatkan iman, takwa dan amal saleh dalam rangka mendekatkan diri pada Ilahi. Selanjutnya generasi muda Sunda sebagai subjek pendidikan dan pelatihan karakter perlu memantapkan “Panca Sadar” yakni pemahaman atas beberapa aspek pribadi: 1. Sadar akan citra diri yang diidam-idamkan sebagai generasi muda Sunda 2. Sadar akan keunggulan dan kelemahan diri sendiri 3. Sadar akan faktor-faktor yang menunjang dan menghambat dari lingkungan sekitar 4. Sadar akan pendekatan dan metode pengembangan karakter 5. Sadar akan tokoh teladan sebagai citra idaman pribadi 34
“Hi Health (sehat & bugar), Hi Tech (kedalaman ilmu & ketrampilan teknologi), Hi Touch (lembut & lugas), Hi Faith (keimanan mantap & toleransi”). Penulis melengkapi “Hi Tech, Hi Touch” yang sudah ada dengan “Hi Health, Hi Faith” yang keempat-empatnya menggambarkan kualitas unggul manusia seutuhnya.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
14
Kelima kesadaran ini berkaitan erat dengan unsur penting dari proses pendidikan yaitu metode yang digunakan pada kegiatan pendidikan dan pelatihan karakter. Dan metode pendidikan karakter generasi muda Sunda seperti yang telah dibahas sebelumnya, yaitu: Pembiasaan; Pemahaman, Penghayatan dan Penerapan; Pengalaman hidup; Peneladanan; dan Peribadatan. Selanjutnya pendidikan dan pelatihan karakter untuk generasi muda Sunda harus menetapkan dengan jelas tujuan dan materi/bahan ajar yang sejalan dengan “Panca Asas” dan “Panca Sadar”, sehingga kegiatan ini komprehensif dan jelas arahnya. Pendidikan dan pelatihan karakter untuk generasi muda Sunda ini terbuka pada nilai-nilai dan pengetahuan dari luar yang bermanfaat dan tidak membatasi diri pada hal-hal yang semata-mata “serba Sunda”. Dalam hal ini tidak ada salahnya untuk menyertakan dalam pelaksanaannya “Asasasas Keberhasilan” (The Principle of Succsess)35 hasil temuan Skip Ross, seorang pengusaha bilyuner, motivator dan pengembang karakter sukses dari Amerika Serikat, yang telah dibuktikannya sendiri berhasil. Prinsip-prinsip ini bila ditelaah ternyata berupa tuntunan moral yang mengarahkan pada pembentukan citra insan berkarakter, yaitu: A. Asas-asas keberhasilan yang berkaitan dengan Pemantapan Diri. (1). Asas Keyakinan (The Principle of Faith): Sejak awal menyakini kesuksesan akan tercapai walaupun belum ada buktinya. (2). Asas Memberi (The Principle of Giving): Kalau kita memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tulus, satu saat kita akan menerimanya kembali berlipat ganda entah dari mana dan dari siapa datangnya. Ini berlaku tidak saja untuk materi tetapi juga non materi, seperti penghargaan, semangat dan keramahan. (3). Asas Menyingkirkan (The Principle of Exclusion): Singkirkan hal-hal yang tidak kita inginkan untuk memberi ruang pada apa yang kita inginkan. Usahakan untuk mengurangi/menghilangkan sifat dan kebiasaan-kebiasaan buruk, karena lambat laun akan digantikan dengan hal-hal positif yang berkembang dalam diri kita, sadar atau pun tidak disadari. (4) Asas Ucapan (The Principle of Comment): Apapun yang kita katakan secara lisan akan benar-benar terjadi. Oleh karena itu hati-hatilah dengan ucapan. Ucapan merupakan ungkapan dari pikiran dan hati, sehingga dengan mengucapkan kata-kata yang baik dan bermanfaat akan melatih pikiran dan hati menjadi bersih. Singkatnya selalu ucapkan yang baik-baik saja sebagai tanda hati yang bersih dan pikiran yang jernih. B. Asas-asas keberhasilan yang berkaitan dengan Cita-cita. (5). Asas Kreasi (The Principle of Creation): Tetapkan hal-hal yang benar-benar diinginkan, rumuskan dengan jelas dan spesifik, lalu lakukan. (6). Asas Visualisasi (The Principle of Visualization): Buat gambaran jelas dalam pikiran tentang hal-hal yang diinginkan, hayati dengan penuh perasaan, lalu fokuskan perhatian pada keinginan yang digambarkan itu. C. Asas-asas keberhasilan yang berkaitan dengan Etos Kerja. (7) Asas Tindakan (The Principle of Action): Lakukan sekarang juga. Jangan tunda-tunda! Tentu saja hal ini berlaku bagi perbuatan yang baik dan bermanfaat, termasuk mengembangkan karakter terpuji. (8). Asas Antusias (The Principle of Enthusiasm): Mencurahkan segenap daya dan upaya terhadap setiap kegiatan yang dilakukan. Antusiasme memancarkan semangat dan semangat akan mempercepat diraihnya hal-hal yang besar. Mengapa semangat? Karena kegiatan itu mengembangkan karakter terpuji sangat penting dan bermakna bagi kita. (9). Asas Disiplin Diri (The Principle of Self-discipline): Melakukan apa yang seharusnya dilakukan, terlepas dari senang dan tidaknya melakukan pekerjaan itu.
35
Ross, Skip (1978). “Say ‘Yes’ to Your Potential”. Michigan: Circle “A” Production.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
15
(10) Asas Kegigihan (The Principle of Persistence): Melakukan sesuatu terus menerus sampai tuntas sekalipun mengalami berbagai kesulitan, rintangan dan penolakan. Persistensi adalah ketekunan dan kegigihan serta sikap pantang menyerah. Lakukan hal itu dalam meraih karakter terpuji. Pada pendidikan dan pelatihan karakter bagi generasi muda Sunda ada unsur penting dan khas: Orientasi Budaya yaitu pengenalan, pemahaman dan peminatan terhadap nilai-nilai budaya Sunda yang terkandung dalam kehidupan masyarakat (adat istiadat, bahasa, kepercayaan, sistem pranata sosial, pola pencaharian, perkakas, ilmu & ketrampilan, seni, sastera), khususnya tuntunan etika yang terkandung antara lain dalam: babasan/paribasa, lelakon wayang, cerita rakyat (folklore), seni pantun, pencak silat, drama, novel, sejarah dan biografi. Tentu saja orientasi budaya ini tidak terbatas pada budaya tradisi Sunda dengan local wisdom-nya semata-mata, tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai budaya modern yang patut untuk diadaptasi dan diinternalisasi sebagai salah satu unsur pembentuk karakter generasi muda Sunda masa kini. Untuk melaksanakan Orientasi Budaya dalam pendidikan dan pelatihan karakter ini perlu disusun program pengenalan budaya dimana generasi muda mendapat kesempatan untuk sering menyaksikan berbagai sajian seni dan pengenalan ragam budaya lainnya. Mereka kemudian diminta untuk memilih dan mendalami salah satu bidang yang diminati melalui program “Minimal Sekali Sebulan” yaitu: - Berbicara dalam bahasa Sunda yang benar - Membeli dan membaca buku berbahasa Sunda - Membaca buku biografi, terutama biografi Rasulullah SAW - Mendalami karakter (dan kalau memungkinkan berjumpa) tokoh teladan - Mengunjungi lembaga-lembaga pers Sunda - Menyaksikan pertunjukan dan uraian tentang kesenian Sunda - Mempelajari sampai mahir satu jenis kesenian Sunda yang disenangi - Mengunjungi kampung Sunda dan berdialog dengan penghuninya - Mengunjungi pesantren yang ada disekitarnya - Menjadi imam dan khatib shalat Jum’at - Menyimak uraian tentang sejarah Sunda - Mengunjungi ceramah orang asing yang menghargai budaya Sunda - Berdialog dengan tokoh-tokoh budaya Sunda - Berdialog dengan tokoh-tokoh muda yang sukses - Mengunjungi musium dan situs-situs Sunda dan berbicara dengan pakarnya. - dsb. Program ini sebaiknya secara serius dilakukan untuk menimbulkan pengenalan, pendalaman dan kecintaan pada budaya Sunda, sesuai dengan ungkapan “Tak kenal maka tak sayang” atau “Mun teu wanoh moal bogoh”. Pola pendidikan karakter dengan landasan, metodologi, tujuan, orientasi budaya dan prinsipprinsip keberhasilan ini dapat diintegrasikan dalam kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan formal (sekolah)36 dan non-formal, dapat pula “dititipkan” pada semua mata pelajaran atau dijadikan topik bahasan khusus, dapat pula dalam keluarga, lingkungan kerja, lingkungan masyarakat, organisasi, diri sendiri, dsb. Dan secara utuh dapat disusun terpadu dalam sebuah program training “Pelatihan Karakter berorientasi Budaya untuk Generasi Muda Sunda”. Bagaimana sosok generasi muda Sunda yang diidam-idamkan? Lingkungan masyarakat Sunda kaya-raya dengan ungkapan-ungkapan bermakna yang menggambarkan sifat dan sikap ideal yang patut diperjuangkan sebagai karakter pribadi dan pedoman hidup bermasyarakat. Contoh: “Silih asah, silih asih, silih asuh” (Pemda Jabar); “Shalat, Silat, Siliwangi” (AMS); “Elmu luhung kasakti diri” (Damas); “Esa hilang, dua terbilang” (Kodam Siliwangi); “Cageur, Bageur, Pinter, Bener”; “Ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salebak”; “Tanjeur di juritan, Jaya di buana”; “Leuleus jeujeur, liat tali”. Ungkapan-ungkapan serupa terkandung pula dalam 36
Lih. “Pendidikan Karakter di Sekolah: Dari Gagasan ke Tindakan”; susunan gede Raka dkk. (Tim Pakar Yayasan Jati Diri Bangsa). PT Elex Media Komputindo Kompas Gramedia; Jakarta, 2011.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
16
berbagai tembang nasihat (a.l. “Eling-eling mangka eling” dan “Utamana jalma kudu rea batur”), nyanyian kepahlawanan seperti “Karatagan Pahlawan” (Mang Koko) dan madah cinta lemah cai “Degung Sunda Mekar” yang isinya antara lain mengungkapkan pandangan dunia (Weltanschauung) orang Sunda.37 Bahkan kalimat semboyan yang merupakan “kirata”, seperti “Bandung Bermartabat”, menjadi mode setiap kota dengan citra ideal kotanya melalui motto masing-masing. 38 Semuanya masih merupakan wacana yang mengandung nilai-nilai sosial-budaya yang indah dan luhung yang hanya akan merupakan kata-kata penghiburan belaka tanpa dilakukan penjabaran dan upaya internalisasi serta realisasi dalam kehidupan sehari-hari. Para pakar psikologi kepribadian, seperti telah dibahas sebelumnya, masing-masing mengemukakan citra pribadi unggul dengan segala kemampuan, sifat, sikap dan karakteristik lainnya.39 Demikian pula para pakar dan praktisi pendidikan yang sangat peduli pada masalah karakter mengemukakan berbagai karakteristik insan tangguh berkarakter terpuji. Misalnya: “Panca Budi” semboyan dari Universitas Pembangunan “Panca Budi” Medan 40; “Lima Sikap Dasar” dari Yayasan Jati Diri Bangsa 41; “Delapan Kekuatan Karakter” untuk Pendidikan Karakter di Sekolah (Tim Pakar YJDB).42 Demikian pula para pengusaha yang sadar akan pentingnya melakukan kegiatan bisnis dengan tetap berkarakter mengungkapkan berbagai sifat, sikap dan kualitas pribadi yang diyakini menentukan keberhasilan jangka panjang. Misalnya saja “Tujuh Budi Utama” 43 dari Ary Ginanjar Agustian, perintis ESQ Leadership Center, yang dijadikan “Spiritual Company” oleh para pengusaha yang tergabung dalam “KUPAS”. Sifat-sifat dan sikap mental yang dikemukakan para pakar tersebut benar-benar luhur dan terpuji serta bermanfaat dalam meraih kemenangan di dunia dan akhirat, asalkan benar-benar dapat direalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saja “jujur”, kalau benar-benar terperangai dalam perilaku pasti menjadikan hidup lebih bahagia dan banyak masalah yang dapat diselesaikan. Kembali pada pertanyaan “Bagaimana sosok generasi muda Sunda yang diidam-idamkan?”, menurut penulis generasi muda Sunda sekarang menghadapi kehidupan berat yang menuntut kemampuan menjawab tantangan globalisasi, menguasai (minimal memahami) penggunaan teknologi canggih dan kecerdikan bersaing di pasar bebas. Sebuah tantangan hidup yang berat, tetapi dengan peluang yang cukup luas. Untuk survive dalam perjoangan hidup ini mereka secara sadar harus mengembangkan diri menjadi pribadi tangguh dengan kompetensi tinggi dan karakter terpuji serta ketahanan rohani yang mantap. Oleh karena itu Ilmu, Budaya dan Agama harus selalu menjadi sumber rujukan bagi pendidikan umumnya dan pendidikan karakter khususnya. Citra ideal generasi muda Sunda bagaimana yang mampu memenuhi tuntutan itu? Menurut pendapat penulis, saat ini adalah insan yang bertipe ULIL ALBAB yaitu pribadi yang mampu melakukan sinergi antara Kompetensi, Akhlakul Karimah dan Keimanan!
37
Lih. bahasan mengenai “Degung Sunda Mekar” oleh HD. Bastaman dalam Majalah Mangle No. 1961. Penulis pernah menemukan tulisan mengenai kriteria untuk calon pemimpin Sunda yang terumus dalam akronim humoristik ”SING RUMASA SUNDA EUY” yaitu: S: Sehat raga jeung jiwana, I: Intelek, visioner, aplikatif, N: Ngora keneh tur belejag, G: Gede kahayang, leber wawanen, R: Rancage jeung rapekan, U: Unggul prestasina, M: Mekarkeun Budaya Nusantara, khususna Sunda, A: Agamis tur amanah, S: Sabilulungan meungkeut persatuan bangsa, A: Ahlakna pinuji, S: Surti kana kabutuh jalma leutik, U: Urang Sunda nu nyunda, N: Nanjeurkeun Indonesia, ngaharjakeun Tatar Sunda, D: Daek cape, resep digawe, A: Anti korupsi, E: Entong nu goreng sopak, U: Ulah nu sedep nyandung, Y: Yakin aya nonoman Sunda nu nyumponan! 39 Misalnya: The Mature Personality (G.W. Allport), The Productive Person (E. Fromm), The Self-actualized Person (A.H. Maslow), The Meaningful Person (Viktor Frankl) dan The Fully Functioning Person (Carl Rogers). 40 “Berprinsip sebagai Pengabdi; Berabdi sebagai Pejuang; Berjuang sebagai Prajurit; Berkarya sebagai Pemilik; Beribadat sebagai Nabi beribadat”. 41 “Jujur; Terbuka; Berani mengambil risiko; Komitmen; Berbagi” 42 “Kejujuran; Rasa Tanggungjawab; Semangat belajar; Disiplin Diri; Kegigihan; Apresiasi terhadap kebinekaan; Semangat berkontribusi; Optimisme”. 43 “Jujur, Tanggungjawab, Visioner, Disiplin, Kerjasama, Adil dan Peduli”. 38
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
17
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (uulil albaab) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau maka peliharakanlah kami dari siksa neraka”. (QS. Ali ‘Imran/3: 190-191) Ayat itu menggambarkan bahwa Ulil Albab adalah pribadi yang senantiasa mengingat Tuhan dalam keadaan apa pun, baik dalam keadaan senang maupun susah. Selain itu ia pun senantiasa memfungsikan akal-budinya untuk mengamati, memikirkan, dan menelaah alam semesta ciptaan Tuhan, serta mampu memahami bahwa alam semesta itu tidak acak-acakan, tetapi teratur karena ada hukum-hukum yang mengaturnya (Sunatullah). Gambaran ini menunjukkan bahwa Ulil Albab adalah pribadi-pribadi yang mendapat dua kurnia sekaligus yakni kecerdasan dan keimanan atau kurnia pikir dan kurnia dzikir. Dalam tataran psikologi modern Ulul Albab adalah pribadi-pribadi beriman yang mampu memfungsikan secara optimal potensi-potensi rasional (IQ), emosional (EQ) dan spiritual (SQ). Mereka tidak saja mampu bersikap dan berpikir empiris, tetapi juga transendental serta mampu melaksanakan dengan sebaik-baiknya hubungan dengan Tuhan (hablun minallah), hubungan antar pribadi (hablun minannas) termasuk hubungan dengan diri sendiri, lingkungan sosial budaya dan lingkungan alam sekitar . Hubungan dengan sesama diwarnai oleh silaturahmi, memperhatikan kepentingan bersama, menghargai pendapat orang, menghormati martabat serta saling menunjang pengembangan potensi diri sendiri dan orang lain, serta berusaha mencegah diri dari permusuhan. Dalam bahasa psikologi hubungan mereka dengan sesama manusia ditandai oleh sikap ke-Kita-an, dan bukan ke-Kami-an atau pun ke-Aku-an. 44 Mereka sangat menghargai alam sekitar (benda, flora dan fauna), tak pernah mengabaikan atau merusaknya, berusaha melestarikan nilai-nilai budaya serta memelihara dan memanfaatkan sebaikbaiknya. 45 Bahkan rasa kagum terhadap alam semesta membuatnya kagum pula kepada Sang Pencipta alam semesta, sehingga makin meningkatkan iman dan taqwa kepadaNya.46 Dari gambaran tersebut jelas bahwa karakter Ulul Albab termasuk orang-orang yang dalam dirinya terintegrasi secara sinergik dua potensi insani yakni Kompetensi (IQ, pemikiran mendalam) dan Karakter (EQ dan Akhlakul Karimah) yang bersumber dari Keimanan yang mantap kepada Sang Pencipta (SQ). Itulah salah satu ragam pribadi tangguh yang diungkap Al Qur’an yang layak menjadi karakter Generasi Muda Sunda yang hidup di Abad Teknologi Canggih ini. Sekaligus menjadi tantangan untuk mengembangkannya melalui Pendidikan Karakter Berorientasi Budaya Sunda. Menjadikan Ulul Albab sebagai citra diri dengan karakter terpuji yang dicita-citakan, berarti kita berusaha secara optimal meraih kualitas Ulil Albab yang sesuai dengan keunikan diri kita. Skip 44
Fuad Hasan (1974). “Kita dan Kami”. Jakarta: Bintang Bulan. “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan” (QS. Al Baqarah/2: 205). “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum/30: 41). 46 Al Qur’an menggambarkan ilmuwan yang terus menerus meneliti alam ciptaan Tuhan sampai lelah, kemudian mereka menyadari bahwa alam ini merupakan kesatuan yang utuh dan tidak ada kekacauan di dalamnya (QS. Al Mulk/67: 1). Kesadaran ini diikuti dengan pengakuan tulus bahwa alam ini diciptakan Tuhan dengan sungguh-sungguh dan tidak secara “main-main” sesuai dengan firmanNya “Dan tiadalah Kami ciptakan langit-langit dan apa yang ada di antaranya secara main-main. Tiadalah Kami ciptakan keduanya kecuali dengan kebenaran, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahuinya”. (QS. Ad Dukhan/44: 38 – 39). 45
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
18
Ross mengatakan dengan pendek: “Be the Best You!”. Itu sudah cukup, karena manusia itu unik dan Tuhan telah memberikan anugerah potensi yang pas dan unik pula bagi kita masing-masing untuk kita kembangkan.
RANGKUMAN Mengapa GENERASI MUDA SUNDA? Karena mereka “pemilik masa depan”, calon-calon pemimpin yang akan membawa Tatar Sunda dan Negara tercinta RI menuju kepada Negara aman, adil, sejahtera dan diridhaiNya (Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Untuk itu mereka sejak sekarang perlu membina diri untuk meraih kualitas pribadi unggul, antara lain melalui pendidikan karakter berorientasi budaya Sunda.
KARAKTER TERPUJI atau AKHLAKUL KARIMAH! Inilah misi utama setiap utusan Tuhan, khususnya misi kerasulan Muhammad SAW yaitu menyempurnakan akhlak manusia. Akhlakul Karimah adalah “kunci pembuka Surga” karena mereka yang berakhlak mulia sangat dikasihi Allah dan RasulNya. “Jihad Akbar” seperti disabdakan Rasulullah SAW pada hakikatnya adalah pengembangan Karakter terpuji atau Akhlakul Karimah. Dalam hal ini memenangkan Jihad Akbar identik dengan keberhasilan menghilangkan akhlak tercela dan mengembangkan akhlak terpuji yang merupakan indikator kesuksesan hidup dunia akhirat. Krisis multidimensi yang saat ini melanda dunia dikatakan sebagai krisis terbesar dalam sejarah kemanusiaan. Coba perhatikan: Segala jenis kemaksiatan yang menyebabkan diturunkanNya para utusan Tuhan ke dunia seakan-akan serentak mewabah saat ini dan langsung dapat kita saksikan sendiri secara gamblang. Krisis multidimensi ini diyakini sumbernya adalah manusia sendiri yang sedang mengalami goncangan akhlak. Solusinya? Memahami agama secara keseluruhan, menguasai sains dan teknologi, menerapkan metodologi tepat dan mengembangkan Akhlakul Karimah, serta melakukan pendidikan karakter, sehingga dapat mewujudkan pribadi-pribadi tangguh dengan kompetensi tinggi, karakter terpuji/akhlak mulia atas dasar keimanan yang kokoh. ULUL ALBAB! Betapa idealnya karakter ini. Ia adalah manusia totalitas (kaaffah) yang digambarkan sebagai insan-insan penuh integritas yang berhasil mengintegrasikan nilai-nilai ilmiah dan agamis dalam dirinya. Ia mengasihi Allah dan Rasul di atas segala-galanya, dan “basah lidahnya dengan dzikrullah”, serta mendapatkan pencerahan atas kekaguman dan perenungan mengenai alam semesta ciptaanNya. Perilakunya taat syariat, iman menjadi landasan sikapnya, dan ahlaknya yang terpuji mencerminkan kesucian hatinya. Dalam otaknya tersimpan ilmu-ilmu yang bermanfaat, dalam kalbunya subur berkembang iman dan takwa yang senantiasa memberi rasa damai, adil dan makmur dalam dirinya yang kemudian melimpah ruah ke sekelilingnya. Insan ini intensif dalam menjalankan ibadah, efektif melaksanakan tugas dan menjalani hidup bermasyarakat. Ia tegak berjaya di antara sesama manusia, namun tersungkur sujud tak berdaya dengan wajah basah air mata di atas sajadah selagi munajat. Ulul Albab adalah pribadi cerdas-perkasa dan lembut hati serta memancarkan berbagai kebajikan pada keluarga dan lingkungannya. Ia adalah insan yang mendapat pencerahan dan anugerah fikir dan dzikir yang mewujud dalam raga yang sehat dan bugar (Hi Health), penguasaan ilmu dan teknologi tinggi (Hi Tech), pendekatan kemanusiaan yang luwes dan lembut (Hi Touch), dan kemantapan iman (Hi Faith). Di abad teknologi canggih ini kita benar-benar perlu mengembangkan kualitas karakter ini sebagai pribadi terpuji dan calon-calon pemimpin umat di masa depan. Terutama untuk Generasi Muda Sunda.
PENDIDIKAN KARAKTER pada hakikatnya sama dengan perjuangan hidup yakni meningkatkan kondisi kehidupan yang kurang baik menjadi lebih baik, dalam hal ini mengubah karakter tercela menjadi terpuji. Upaya ini memerlukan niat, komitmen dan perjuangan yang kuat serta pemahaman mendalam tentang potensi manusia, nilai-nilai/makna
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
19
hidup dan penguasaan sistem dan metodenya, serta kesediaan untuk menghadapi berbagai kendala dan hambatan dalam melaksanakannya. Memang tidak mudah, dan betapa beratnya sampai Allah SWT sendiri mengutus Nabi Besar Muhammad SAW untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak manusia. Ini tampaknya sejalan dengan kata-kata bermakna dan ungkapan-ungkapan sufistik sebagai berikut:47 Jangan pikirkan HAK, tetapi pikirkan bagaimana membuat JASA. Jangan pikirkan KESENANGAN, tetapi pikirkan bagaimana MEMPERJUANGKAN kesenangan itu. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Jangan pikirkan SURGA, tetapi pikirkan bagaimana membuat AMAL BAIK. Ketahuilah bahwa SURGA itu dipagari DURI, dan NERAKA dipagari ROTI. Dengan demikian pengembangan pribadi generasi muda melalui pendidikan karakter berorientasi budaya Sunda bukan pekerjaan ringan, melainkan harus dilakukan dengan niat kuat, penuh kesadaran, komitmen tinggi, gigih dan konsisten serta kerjasama antara banyak pihak terkait. Sebuah perjuangan berat, sebuah Jihad Akbar! Wallahu ‘alam bish-shawwab.
Ciputat, 15 Desember 2011
47
Dikutip dari salah satu ceramah sufistik Prof. Dr. H. Kadirun Yahya dalam bulletin “Gema Imami” Medan.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
20