PENGEMBANGAN MODEL PREDIKSI MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) BERBASIS PADA HASIL ANALISIS DATA REAL TIME MULTIVARIATE MJO (RMM1 DAN RMM2)
LISA EVANA
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ii
ABSTRACT LISA EVANA. Prediction Model Development Madden Julian Oscillation (MJO) based on the results of data analysis Real Time Multivariate MJO (RMM1 and RMM2). Under direction of SOBRI EFFENDY and EDDY HERMAWAN. Background of this research is the importance of study on the Madden Julian Oscillation, the dominant oscillation in the equator area. MJO cycle showed by cloud cluster growing in the Indian Ocean then moved to the east and form a cycle with a range of 40-50 days and the coverage area from 10N-10S. Method that used to predict RMM is Box-Jenkins based on ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) statistical analysis. The data used RMM daily data period 1 Mar ch 1979 –1 March 200 9 (30 years). RMM1 and RMM2 is an index for monitoring MJO. This is based on two empirical orthogonal functions (EOFs) from the combined average zonal 850hPa wind, 200hPa zonal wind, and satellite-observed Outgoing Longwave Radiation (OLR) data. The results in form of the Power Spectral Density (PSD) graph Real Time Multivariate MJO (RMM) and long wave radiation (OLR = Outgoing Longwave Radiation) at the position 100°BT, 120°BT, and 140°BT that show the wave pattern (spectrum pattern) and clearly shows the oscillation periods. There is a close relation between RMM1 with OLR at the position 100oBT that characterized the PSD value about 45 day. Through Box-Jenkins method, the prediction model that close to time series data of RMM1 and RMM2 is ARIMA (2,1,2), that mean the forecasts of RMM data for the future depending on one time previously and the error one time before. Prediction model for RMM1 is Z t = 1.681 Z t-1 – 0.722 Z t-2 + 0.041 Z t-3 - 0.02 at- 1 - 0.05 a t-2.. Prediction model for RMM2 is Z t = 1.714 Z t-1 – 0.764 Z t-2 - 2 + 0.05 Z t-3 - 0.109 at-1 - 0.05 at- 2.. The flood case in Jakarta January-February 1996 and 2002 are one of real evidence that made the MJO prediction important. MJO with active phase dominant cover almost the entire Indonesia west area at that moment.
Keywords: MJO, RMM1 and RMM2, OLR, Power Spectral Density, ARIMA, Rainfall
iii
RINGKASAN LISA EVANA. Pengembangan Model Prediksi Madden Julian Oscillation (MJO) Berbasis pada Hasil Analisis Data Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2). Dibimbing oleh SOBRI EFFENDY dan EDDY HERMAWAN. Latar belakang penelitian ini adalah pentingnya kajian mengenai Madden Julian Oscillation yang merupakan osilasi dominan di kawasan ekuator. Siklus MJO ditunjukan berupa gugus-gugus awan tumbuh di Samudera Hindia lalu bergerak ke arah timur dan membentuk suatu siklus dengan rentang 40-50 hari dan dengan cakupan daerah 10 LU -10 LS. Metode yang digunakan untuk prediksi Real Time Multivariate MJO adalah metode analisis statistik Box-Jenkins berbasis ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average). Data yang digunakan berupa data RMM harian periode 1 Maret 1979–1 Maret 2009 (30 tahun). RMM1 dan RMM2 adalah suatu indeks untuk memonitoring MJO. Hal itu didasarkan pada dua fungsi ortogonal empiris (EOFs) dari gabungan rata-rata angin zonal 850hPa, angin zonal 200hPa, dan data keluaran satelit berupa radiasi gelombang panjang (OLR=Outgoing Longwave Radiation). Hasil yang diperoleh berupa grafik Power Spektral Density (PSD) Real Time Multivariate MJO (RMM) dan radiasi gelombang panjang (OLR=Outgoing Longwave Radiation) pada posisi 100°BT, 120°BT, dan 140°BT yang memperlihatkan periode osilasi fenomena Madden Julian Oscilltaion (MJO). Terdapat keterkaitan yang erat antara RMM1 dan RMM2 dengan OLR pada posisi 100oBT yang dicirikan dengan adanya nilai PSD sekitar 45 harian. Melalui Metode Box-Jenkins, model prediksi yang mendekati untuk data deret waktu RMM1 dan RMM2 adalah ARIMA (2,1, 2), artinya prakiraan data RMM pada waktu mendatang tergantung dari data dua waktu sebelumnya dan galat dua waktu sebelumnya. Untuk RMM1 model prediksi yang diperoleh adalah Z t =1,681 Z t-1 – 0,722 Zt-2 + 0,041 Z t-3 - 0,02 at-1 - 0,05 at-2. Model prediksi untuk RMM2 adalah Z t =1,714 Z t-1 – 0,764 Zt-2 + 0,05 Z t-3 - 0,109 at-1 - 0,05 at-2. Kejadian banjir di Jakarta pada bulan Januari-Februari tahun 1996 dan 2002 merupakan salah satu bukti nyata bahwa prediksi MJO penting dilakukan. MJO dengan fase aktif saat itu dominan meliputi hampir seluruh kawasan barat Indonesia.
Kata k unci : MJO, RMM1 dan RMM 2, OLR, Power Spectral Density, ARIMA, Curah Hujan
iv
PENGEMBANGAN MODEL PREDIKSI MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) BERBASIS PADA HASIL ANALISIS DATA REAL TIME MULTIVARIATE MJO (RMM1 DAN RMM2)
LISA EVANA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
v
Judul skripsi : Pengembangan Model Prediksi Madden Julian Oscillation (MJO) Berbasis pada Hasil Analisis Data Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2). Nama : Lisa Evana NRP : G24050622
Disetujui:
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si NIP. 19641124 199003 1 001
Dr. Ir. Eddy Hermawan , M.Sc NIP. 19620128 199003 1 003
Diketahui: Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Dr. Drh. Hasim, DEA NIP. 19610328 198601 1 00 2
Tanggal Lulus:
vi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Pengembangan Model Prediksi Madden Julian Oscillation (MJO) Berbasis pada Hasil Analisis Data Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan di program studi mayor Meteorologi Terapan Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, I nstitut Pertanian Bogor. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si selaku pembimbing I yang telah memberikan masukan dan pengarahan kepada penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Eddy Hermawan, M.Sc selaku pembimbing II yang telah berbagi ilmu pengetahuannya, sangat sabar, pengertian, dan sungguh besar andilnya atas terselesainya tugas akhir ini. Selanjutnya penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Ahmad Bey, Ibu Ana Turyanti, Bapak Sonni Setiawan, dan Pak Perdinan yang telah memberikan masukan, saran, serta ilmu pengetahuan kepada Penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 2. Bapak Idung Risdiyanto selaku pembimbing akademik yang telah banyak memberikan masukan dan saran kepada Penulis. 3. Alm. Bapak Imam Santosa atas segala kebaikan, kesabaran, keceriaan yang seringkali diperlihatkan sewaktu mengajar. Penulis sungguh merasa sangat kehilangan. 4. Ibu Ida, Pak Trimo, serta segenap pegawai di Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika wilayah II Ciputat atas pemberian data curah hujan. 5. Pak Terson, Ibu Juniarti Visa (Bu Ina) dan Ibu Sinta atas segala masukan, saran, dan perhatiannya selama Penulis penelitian di LAPAN Bandung. 6. Papa, Mama, Ce Vivie, Tira, Sandi, Susan, dan Nicko atas dukungan, semangat,dan perhatian yang begitu besar hingga saat ini. 7. Teman-teman KMB IPB 42 yang telah menjadi sahabat yang baik. 8. Dewy Suryani Ullva dan Franz Sahidi sebagai sahabat Penulis yang menjadi teman belajar dan berangkat kuliah bareng, Yohanes Ariyanto yang telah memberikan banyak masukan dan membantu Penulis dalam tugas akhir ini. 9. Mbak Ium dan Veza yang telah menjadi teman terdekat selama penelitian di Bandung. 10. Indah dan Devita yang telah membantu sewaktu seminar hasil dan memberikan banyak masukan kepada Penulis. 11. Epi, Rifa, Nancy, Tanjung, Anis, Wita dan Cici yang telah menjadi teman yang baik selama penulis di GFM. 12. Budi, Gito, Ivan, Indra, Dori, Heri, Henky, Wahyu, Irvan, Anton, Zahir, Galih, Aan, Singgih, Dani, Tigin, Yudi, Hardie, Nizar, Apit, Victor, Bang Obet, Tumpal, Ghulam atas segala perhatian dan dukungannya selama ini. 13. Kak Ining, Kak Mian, Kak Aris, Kak Midi yang telah membantu selama penelitian di LAPAN Bandung. 14. Kakak-kakak senior GFM yang telah membantu penulis selama masa perkuliahan. 15. Segenap civitas GEOMET FMIPA, Bu Indah, Mas Azis, Pak Jun, Pak Pono, Mbak Wanti, Mbak Icha, Pak Kaerun, Pak Udin, serta seluruh staf dosen dan pengajar atas bimbingan dan kuliahnya selama ini. 16. Segenap civitas LAPAN Bandung atas segala bantuannya selama Penulis melakukan penelitian. Kepada semua pihak lainnya yang telah memberikan kontribusi yang besar selama pengerjaan penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, Penulis ucapkan terima kasih. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat.
Bandung, Juni 2009
Lisa Evana
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lubuklinggau pada tanggal 5 April 1987, dari ayah Aang Gunawan dan ibu Linda. Penulis merupakan putri ke-2 dari enam bersaudara. Tahun 2005 penulis lulus dari SMA Xaverius dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Program Studi Meteorologi Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam . Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mat a kuliah Fisika Dasar pada tahun ajaran 2006/2007. Penulis cukup aktif di himpunan keprofesian atau organisasi kemahasiswaan (HIMAGRETO) sebagai anggota pada Departemen Kegiatan Ketatalaksanaan Khusus (2006-2007) dan Departemen Keilmuan dan Profesi (2007-2008). Penulis juga aktif di organisasi Keluarga Mahasiswa Buddhis Institut Pertanian Bogor (KMB IPB) sebagai kepala biro media massa bagian divisi pengembangan dan pengelolaan informasi.
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................................................
xi
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.................................................................................................................... 1.2 Tujuan ..................................................................................................................................
1 2
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Madden Julian Oscillation (MJO) ................................................................................. 2.2 Outgoing Longwave Radiation (OLR) .......................................................................... 2.3 Curah Hujan di Indonesia ................................................................................................. 2.4 Real Time Multivariate MJO seri 1 dan 2 (RMM1 dan RMM2) .............................. 2.5 Analisis Spektral ................................................................................................................ 2.6 Fungsi Autokorelasi (ACF) dan Fungsi Autokorelasi Parsial (PACF) .................... 2.7 Stasioneritas ........................................................................................................................ 2.8 Prakiraan dengan Time Series .......................................................................................... 2.8.1 Model Autoregressive (AR) ............................................................................ 2.8.2 Model Moving Average (MA) ........................................................................ 2.8.3 Model Autoregressive-Moving Average (ARMA) ...................................... 2.8.4 Model Autoregressive-Integrated-Moving Average (ARIMA) ................ 2.8.5 Keterandalan Peramalan ...................................................................................
1 3 4 5 7 8 8 9 9 10 10 10 11
III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................................................... 3.2 Alat dan Data yang digunakan......................................................................................... 3.3 Metode Penelitian) ............................................................................................................ 3.3.1 Analisis Spektral ................................................................................................ 3.3.2 Metode Korelasi Silang..................................................................................... 3.3.3 Metode Box- Jenkins .........................................................................................
11 11 11 11 11 12
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Spektral dan Korelasi Silang Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) dengan Anomali Pentad Outgoing Longwave Radiation (OLR) ................................................................................................................................... 4.2 Model Prediksi Berbasis ARIMA................................................................................... 4.2.1 Uji Stasioneritas Data ........................................................................................ 4.2.2 Identifikasi dan Penaksiran Model.................................................................. 4.2.3 Uji Diagnostik..................................................................................................... 4.2.4 Peramalan ............................................................................................................ 4.3 Model Program Penentuan Fase Pergerakan MJO ...................................................... 4.4 Analisis Jangka Panjang ................................................................................................... 4.5 Analisis Jangka Pendek.....................................................................................................
14 16 16 20 20 22 24 24 26
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ......................................................................................................................... 5.2 Saran ......................................................................................................................................
29 29
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................
30
LAMPIRAN ............................................................................................................................................
33
ix
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 7 8 9 10 11
Identifikasi m odel deret waktu AR(p), MA(q), dan ARMA (p,q) ........................................ Hubungan korelasi silang antara RMM1 dan OLR 100° BT ................................................ Hubungan korelasi silang antara RMM2 dan OLR 100° BT ................................................ Deskripsi statistik data Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) 30 tahun (1 Maret 1979-1 Maret 2009) dan data pembedaan 1 ............................................................. Mean Absolute Deviation (MAD) dan Sum Square Error (MSE) untuk model ARIMA data RMM1 dan RMM2 periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009.......................... Parameter model ARIMA (2,1,2) ............................................................................................... Perbandingan data asli, nilai prakiraan, dan nilai galat RMM1 periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009............................................................................................................................... Perbandingan data asli, nilai prakiraan, dan nilai galat RMM2 periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009............................................................................................................................... Validasi data RMM1 dengan hasil prakiraan model ARIMA (2,1,2) Periode 2 Maret 2009 – 2 Juni 2009 ............................................................................................................ Peluang kejadian curah hujan > 50 mm/hari saat MJO aktif dan tidak aktif di wilayah Jakarta, Lampung, Palembang, dan Kerinci ..............................................................
12 16 16 18 20 21 22 23 23 30
x
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Siklus MJO ..................................................................................................................................... Skema MJO di ekuatorial ............................................................................................................ Anomali OLR periode 14 Desember 2008 – 31 Mei 2009.................................................... Pola curah hujan di Indonesia..................................................................................................... Diagram fase MJO global hasil penurunan RMM1 dan RMM2........................................... Skema pendekatan Box-Jenkins ................................................................................................ Diagram alir penelitian ................................................................................................................ Power Spectral Density (PSD) RMM1, RMM2, OLR 80°BT, OLR 100°BT, OLR 120°BT, dan OLR 140°BT periode 3 Maret 1979 – 3 Maret 2009 ...................................... Power Spectral Density (PSD) RMM1 dan RMM2 Periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009 ................................................................................................................................................. Korelasi silang antara RMM1 dengan OLR 100°BT periode 3 Maret 1979 – 3 Maret 2009 ................................................................................................................................................. Korelasi silang antara RMM2 dengan OLR 100°BT periode 3 Maret 1979 - 3 Maret 2009 ................................................................................................................................................. Plot data RMM1 (a) dan RMM2 (b) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009 ...................... Fungsi Autokorelasi (ACF) RMM1 (a) dan RMM2 (b) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009 ..................................................................................................................................... Fungsi Autokorelasi Parsial (PACF) RMM1 (a) dan RMM2 (b) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009 .................................................................................................................... Plot data pembedaan 1 RMM1 (a) dan RMM2 (b) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009 ................................................................................................................................................. Fungsi Autokorelasi (ACF) pembedaan 1 RMM1 (a) dan RMM2 (b) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009......................................................................................................... Fungsi Autokorelasi Parsial (PACF) pembedaan 1 RMM1 (a) dan RMM2 (b) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009 ....................................................................................... Histogram nilai galat RMM1 (a) dan RM M2 (b) ................................................................... Plot data asli RMM1 dan RMM2 dengan hasil prediksi ARIMA (2,1,2) periode 2 Maret 2009-2 Juni 2009 ............................................................................................................... Interface program penentuan fase pergerakan MJO ............................................................... Grafik curah hujan bulanan Jakarta p eriode Januari 1995 – Desember 2008.................... Plot data RMM1/2 dengan nilai prediksi periode 1 Januari - 31 Desember 1996 (a), 2002 (b), dan 2007 (c) ................................................................................................................. Plot data RMM1/2 (a) dan diagram fase MJO (sumber: Bureau of Meteorology Research Centre, 1996) (b) periode 1 Desember 1995 – 31 Maret 1996 ....................... Plot data RMM1/2 (a) dan diagram fase MJO (sumber: Bureau of Meteorology Research Centre, 2002) (b) periode 1 Desember 2001 – 31 Maret 2002 ........................ Plot data RMM1/2 (a) dan diagram fase MJO (sumber: Bureau of Meteorology Research Centre, 2007) (b) periode 1 Desember 2006 – 31 Maret 2007 ........................ Time-longitude section anomali OLR pada 3°LU –8°LS dan 105°BT -108°BT Januari–Maret 2007 ......................................................................................................................
2 3 4 5 6 12 13 14 15 15 16 17 17 18 19 19 19 22 23 24 24 26 27 28 28 29
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
2 3 4 5 6
Penaksir p arameter untuk model ARIMA (1,1,1), (1,1,2), (1,1,3), (1,1,4), (1,1,5), (2,1,1), (2,1,3), (2,1,4), (2,1,5) dari data Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) .......................................................................................................................................... Hasil validasi data asli RMM dan RMM2 dengan hasil prakiraan menggunakan model ARIMA (2,1,2) Periode 2 Maret 2009 – 2 Juni 2009 ................................................. Coding progr am penentuan fase pergerakan MJO .................................................................. Coding Power Spectral Density.................................................................................................. Plot RMM1 dan RMM2 tahun 1995, 1997, 1998, 1999, 2000, 2001, 2003, 2004, 2005, 2006, 2008 ........................................................................................................................... Grafik curah hujan wilayah Jakarta periode 1 Desember – 31 Maret 1996 (a), 2002 (b), dan 2007 (c) ................................................................................................................
33 38 43 45 46 48
1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu dari tiga kawasan penting dunia sebagai lokasi terjadinya perubahan iklim global. Dua diantaranya adalah di atas daratan sekitar kawasan hutan hujan di Congo di ekuator Afrika dan kawasan Amazon di Amerika Selatan. Hal ini dimungkinkan karena kurang lebih tujuh puluh persen wilayah Indonesia didominasi oleh lautan yang menyebabkan kawasan ini diduga sebagai penyimpan bahang (panas) terbesar baik yang sensibel ataupun latent (tersembunyi) bagi pembentukkan awan-awan kumulus, seperti Cumulonimbus (Hermawan, 2002). Curah hujan di Indonesia umumnya dipengaruhi oleh fenomena sirkulasi atmosfer baik skala global, regional, maupun lokal. Salah satu fenomena global yang mempengaruhi cuaca dan iklim Indonesia adalah Madden Julian Oscillation (MJO). Madden Julian Oscillation (MJO) merupakan model osilasi dominan dari variabilitas daerah tropik (Madden dan Julian, 1971). Ia dimanifestasikan dalam skala waktu antara 30 -60 hari melalui anomali skala besar dari propagasi (penjalaran) proses konveksi ke arah timur. Fenomena MJO dapat menjelaskan variasi iklim di wilayah tropis. Fenomena MJO terkait langsung dengan pembentukan kolam panas di Samudra Hindia bagian timur dan Samudra Pasifik bagian barat sehingga pergerakan MJO ke arah timur bersama angin baratan (westerly wind ) sepanjang ekuator selalu diikuti dengan konveksi awan kumulus tebal. Awan konvektif ini menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi sepanjang penjalarannya yang menempuh jarak 100 kilometer dalam sehari di Samudra Hindia dan 500 kilometer per hari ketika berada di Indonesia. MJO melibatkan variasi angin, sea surface temperature (SST), perawanan, dan hujan. Kebanyakan curah hujan tropis adalah konvektif, dan puncak awan konvektif sangat dingin (memancarkan sedikit radiasi gelombang panjang), maka fenomena MJO akan terlihat jelas pada variasi Outgoing Longwave Radiation (OLR) yang terukur dari sensor inframerah pada satelit. Bureau of Meteorology Australia menggunakan indeks Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM 2) untuk memonitoring MJO. Indeks ini melibatkan variabel angin pada ketinggian 200 mb dan 850 mb, serta data OLR. Indeks ini dimaksudkan untuk menjelaskan secara
efisien dan ekstrak variabilitas atmosfer yang langsung berhubungan dengan MJO. Studi fenomena MJO hingga saat ini belum banyak dilakukan orang, terutama mengenai prediksi terjadinya MJO. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini yaitu dikembangkannya model prediksi MJO berbasis kepada hasil analisis data time series Real Time Multivariate MJO (RMM). Metode yang akan digunakan adalah metode Box-Jenkins atau ARIMA (Autoregresive Integrated Moving Average). Penelitian ini juga akan menganalisis keterkaitan fenomena MJO dengan curah hujan yang terjadi di beberapa kawas an barat Indonesia. Dipilihnya kawasan barat karena fenomena MJO paling dominan terjadi di Indonesia bagian barat (Hermawan, 2009). Kejadian banjir pada tahun 1996, 2002, dan 2007 merupakan salah satu bukti nyata bahwa prediksi MJO penting dilakukan. Diduga, MJO dengan fase aktif saat itu dominan meliputi hampir seluruh kawasan barat Indonesia. 1.2 Tujuan Tujuan dibuatnya tugas akhir ini adalah 1. Memodelkan data time series Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) 2. Menduga besarnya RMM1 dan RMM2 yang terjadi di atas wilayah Indonesia untuk beberapa dekade mendatang (2-3 hari dari data). 3. Menganalisis keterkaitan nilai RMM1 dan RMM2 dengan curah hujan yang terjadi di beberapa kawasan barat Indonesia (studi kasus: Jakarta, Lampung, Palembang, dan Kerinci).
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Madden Julian Oscillation (MJO) Madden Julian Oscillation (MJO) adalah osilasi/gelombang tekanan (pola tekanan tinggi-rendah) dengan periode 30-50 hari menjalar dari barat ke timur. Fenomena ini pertama kali diketemukan oleh Roland Madden dan Paul Julian (1971) ketika menganalisis anomali angin zonal di Pasifik Tropis sehingga kemudian dikenal dengan Madden Julian Oscillation (MJO). Mereka menggunakan data tekanan selama 10 tahun di Pulau Canton (2,80 LS di Pasifik) dan data angin di lapisan atas Singapura. Osilasi ini dihasilkan dari sirkulasi sel skala besar di ekuatorial yang bergerak ke timur dari laut Hindia ke Pasifik Tengah.
2
Anomali angin zonal dan kecepatan potensial di troposfer atas yang sering menyebar untuk melakukan siklus mengit ari bumi. Proses tersebut ditandai dengan perubahan tekanan permukaan dan momentum relatif angular atmosfer. MJO merupakan variasi intraseasonal (kurang dari setahun) yang terkenal di daerah tropis. Osilasi ini merupakan faktor penting saat fase aktif dan fase lemah Monsun India dan Australia, sehingga menyebabkan gelombang laut, arus, dan interaksi laut -udara. Pergerakan awan ke arah timur diasosiasikan dengan osilasi MJO. Awal dan aktivitas Monsun Asia-Australia dipengaruhi sangat kuat oleh pergerakan MJO ke timur (Yasunari 1979; Lau dan Chan 1986). Fenomena MJO terkait langsung dengan pembentukan kolam panas di Samudra Hindia bagian timur dan Samudra Pasifik bagian barat sehingga pergerakan MJO ke arah timur bersama angin baratan (westerly wind ) sepanjang ekuator selalu diikuti dengan konveksi awan kumulus tebal. Awan konvektif ini menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi sepanjang penjalarannya yang menempuh jarak 100 kilometer dalam sehari di Samudra Hindia dan 500 kilometer per hari ketika berada di Indonesia. Pergerakan super cloud cluster tentu saja berkaitan dengan pergerakan pusat tekanan rendah yang akan diikuti oleh perubahan pola angin (Seto, 2002). P ada akhir Desember 2007, ketika MJO dalam fase matang, intensitas curah hujan tinggi dan dalam waktu cukup lama (torrential rains) terjadi di laut dan pantai utara Jawa menyebabkan wilayah Jawa Tengah mengalami longsor akibat hujan deras yang terus-terusan mengguyur —yang menimbulkan korban jiwa—dan menyebabkan instabilitas atmosfer di perairan selatan Bali (Kompas, 18 Januari 2008). Dengan menggunakan analisis EAR (Equatorial Atmosphere Radar ) secara vertikal (zonal-vertikal, data angin) dapat menunjukan adanya pergerakan ke timur di permukaan dan ke barat di lapisan atas (Nurhayati, 2007) dan inilah yang disebut dengan siklus MJO serta hal tersebut sesuai dengan teori skema perpotongan MJO sepanjang ekuator. MJO juga memiliki siklus 40-50 hari. MJO mempengaruhi seluruh lapisan tropis, terlihat jelas di Pasifik Barat dan Hindia. Unsur yang dilibatkan dalam menganalisis MJO dapat berupa angin, SST (Sea Surface Temperature), perawanan, hujan, dan OLR (Outgoing Longwave Radiation). Fenomena MJO terlihat jelas pada variasi
OLR (sensor inframerah satelit), sebab curah hujan tropis adalah konvektif dengan puncak awan konvektif sangat dingin sehingga memancarkan sedikit radiasi gelombang panjang. Pergerakan awan konvektif dari barat ke timur sepanjang Pasifik Tropis ditandai konvergensi di lapisan bawah (troposfer) dan divergensi di lapisan atas (stratosfer). MJO merupakan sirkulasi skala besar di ekuator dan berpusat di Samudera Hindia dan bergerak ke timur antara 10° LU dan 10° LS. Fenomena ini juga dipengaruhi oleh inter aksi antara atmosfer dan lautan, diantaranya sea surface temperature (SST), sea level presure (SLP), angin zonal, keawanan, dan evaporasi dari permukaan lautan. Pengaruh yang nyata dari osilasi MJO adalah tidak normalnya curah hujan yang diterima di kawasan Barat Samudera Hindia dan penjalaran sisanya. Siklus MJO ditunjukan berupa gugusgugus awan tumbuh di Samudera Hindia lalu bergerak ke arah timur dan membentuk suatu siklus dengan rentang 30-60 hari dan dengan cakupan daerah 10N -10S (Matthews AJ, 2000), seperti yang ditunjukan pada Gambar 1.
Gambar 1 Siklus MJO ( Matthews A.J., 2000)
3
Gambar 1 menunjukan siklus MJO dengan interval selama 3 harian atau 22.5 derajat. Gambar tersebut menggunakan OLR sebagai salah satu cara untuk menggambarkan perjalanan siklus MJO. Siklus MJO pada fase 0 atau t=0, konveksi tumbuh dan berkembang di Samudera Hindia dan terjadi supresi (mengalami kekeringan) di Samudera Pasifik. Kedua peristiwa ini bergerak ke timur sampai fase 180 dengan lokasi yang berkebalikan (konveksi di Samudera Pasifik dan supresi di Samudera Hindia). Kondisi ini terus bergerak ke timur dan kembali ke fase 0 (konveksi di Samudera Hindia dan supresi di Samudera Pasifik). Penjalaran ini memerlukan waktu 3060 hari dengan efek basah dan kering pada daerah-daerah yang di lewatinya.
Gambar 2 Skema MJO di ekuatorial (Madden dan Julian, 1972) Gambar 2 menunjukan skema MJO di ekuatorial. Garis panah menunjukan sirkulasi meridional yang diasosiasikan dengan MJO. Garis atas menunjukkan tinggi tropopause dan garis bawah menunjukan tekanan permukaan laut (sea-level pressure, SLP). Terlihat dalam gambar tersebut munculnya awan dan posisinya bergeser ke arah timur. Periode sirkulasi MJO disimbolkan dengan huruf, dimana skema konveksi kuat ditandai oleh terbentuknya awan Cumulus dan
Cumulonimbus (Madden dan Julian, 1972). Siklus MJO bergerak ke timur berawal dari Samudra Hindia menuju Samudra Pasifik dan belahan bumi bagian barat dibagi dalam 8 f ase (Matthews AJ, 2000). F ase-8,1 daerah konveksi di belahan bumi bagian barat dan Afrika, fase-2,3 di samudra India bagian barat dan 8 tim ar, fase-4,5 di benua maritim Indonesia, fase-6,7 di kawasan Pasifik barat. 2.2 Outgoing Longwave Radiation (OLR) OLR atau radiasi gelombang panjang adalah jumlah energi yang dipancarkan bumi ke angkasa (Juniarti et al., 2002). Atmosfer dapat dikatakan hampir transparan terhadap radiasi gelombang pendek, namun tidak semua radiasi yang berasal dari matahari sampai ke bumi. Hanya sekitar 50% yang mencapai bumi, yang lainnya diserap oleh awan dan gas gas yang ada di atmosfer. Radiasi yang diserap oleh permuka an bumi kemudian dipancarkan dalam bentuk panas (radiasi gelombang panjang). Selanjutnya radiasi gelombang panjang ini diemisikan ke atmosfer, sebagian ada yang lolos ke angkasa dan sebagian lagi tertahan atau terperangkap dan diserap oleh GRK (gas rumah kaca) yang ada di atmosfer, misalnya uap air, CO2, O3, CFC, serta awan sehingga tidak dapat lolos ke angkasa. Nilai OLR diperoleh dari sensor inframerah satelit. Satelit memancarkan sensor ke awan yang paling tinggi, awan memantulkannya kembali dalam bentuk nilai Temperature Black Body (TBB). Nilai TBB ini kemudian dikonversikan ke dalam nilai OLR, melalui suatu persamaan konversi tertentu. Nilai OLR yang rendah biasanya mengindikasikan suhu yang rendah atau adanya hujan, sedangkan nilai yang tinggi menunjukkan daerah hangat di bumi. Outgoing Longwave Radiation (OLR) adalah ukuran atau nilai radiasi bumi yang memiliki panjang gelombang panjang yang terdeteksi dari luar angkasa. Deteksi ini biasa dilakukan dengan peralatan satelit. Nilai yang diukur ini menggambarkan seberapa besar perawanan menghambat keluarnya radiasi bumi tersebut. Nilai OLR merupakan nilai negatif yang menunjukkan besarnya hambatan tersebut. Semakin kecil nilai dalam skala negatif menunjukkan semakin besarnya hambatan sehingga dapat divisu alisasi sebagai semakin tingginya awan yang menghambat tersebut yang biasanya adalah awan konvektif. Secara umum pola OLR menggambarkan pola daerah daerah konvektif potensial (Aldrian, 2000).
4
Gambar
3
Anomali OLR periode 14 Desember 2008 – 31 Mei 2009 (Climate Prediction Center /NCEP, 2009)
Gambar 3 menunjukkan bagaimana fenomena MJO dapat dilihat berdasarkan anomali OLR. Warna orange merupakan positif anomali OLR, sedangkan warna biru menunjukkan negatif anomali OLR. Pada pertengahan Januari hingga pertengahan Februari terlihat adanya propagasi MJO yang ditunjukkan oleh anomali OLR (-) ke timur dari Samudera Hindia melewati Indonesia dan menuju ke Samudera Pasifik. 2.3 Curah Hujan di Indonesia Sebagian besar hujan dihasilkan oleh udara yang naik dan mengalami penurunan suhu. Berdasarkan gerakan udara naik untuk membentuk awan, tipe hujan dapat digolongkan menjadi tiga kriteria, salah satunya yaitu hujan konvektif. Hujan konvektif merupakan tipe hujan yang dihasilkan dari naiknya udara hangat dan lembab dengan proses penurunan suhu secara adiabatik (Hidayati dalam Handoko, 1993). Gaya naik ini murni diakibatkan oleh
pemanasan permukaan. Naiknya sel -sel arus lokal yang hangat dan lembab ini biasanya membentuk awan-awan tipe cumuli atau berkembang menjadi awan C umulonimbus (Cb). Letak Indonesia yang berada di antara lautan Hindia dan Pasifik dan di antara benua Asia dan Australia sangat dipengaruhi kondisi wilayah tersebut. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia mengalami dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Hujan merupakan gejala atau fenomena cuaca yang dipandang sebagai variabel tak bebas karena terbentuk dari proses berbagai unsur. Curah hujan (mm) merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) milimeter, artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu milimeter. Berdasarkan distribusi data rata-rata curah hujan bulanan, umumnya wilayah Indonesia dibagi menjadi 3 pola hujan, yaitu: 1. Pola hujan Monsun, yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau kemudian dikelompokan dalam Zona Musim (ZOM), tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan,DJF musim hujan,JJA musim kemarau). 2. Pola hujan equatorial, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kreteria musim hujan. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi ekinoks. 3. Pola hujan lokal, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola Monsun. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan Monsun. Ditinjau dari dinamika awan hujan, fluktuasi curah hujan di daerah tropis khususnya Jakarta banyak diakibatkan oleh jenis awan Cb. Hal ini karena secara umum Benua Maritim Indonesia menerima panas sensibel (insolasi) dan panas laten kondensasi akibat perubahan fase uap air dalam jumlah besar, maka jenis awan yang muncul adalah awan konfektif atau awan cumuliform.
5
Gambar 4 Pola curah hujan di Indonesia (Bayong dalam Kadarsah, 1999) Pada kondisi normal, daerah yang bertipe hujan Monsun akan mendapatkan jumlah curah hujan yang berlebih pada saat Monsun barat (DJF) dibanding saat Monsun timur (JJA). Pengaruh Monsun di daerah yang memiliki pola curah hujan ekuator kurang tegas akibat pengaruh insolasi pada saat terjadi ekinoks, demikian juga pada daerah yang memiliki pola curah hujan lokal yang lebih dipengaruhi oleh efek orografi . Secara umum awal musim hujan wilayah Propinsi Banten dan DKI Jakarta terjadi pada dasarian I Oktober sampai dengan dasarian III Desember (BMKG, 2009) . Def inisi BMKG, musim hujan ditandai dengan curah hujan yang ter jadi dalam satu dasarian sebesar 50 mm atau lebih yang diikut i oleh dasarian berikutnya, atau dalam satu bulan terjadi lebih dari 150 mm. Meninjau definisi tersebut berarti jika curah hujan yang terjadi kurang dari kriteria di atas, maka fase tersebut dianggap sebagai musim kemarau. Musim kemarau di suatu tempat sering diident ikan dengan kejadian kekeringan. Kekeringan sendiri merupakan suatu keadaan dimana curah hujan yang terjadi lebih rendah dari normalnya. Jenis-jenis hujan berdasarkan curah hujan (definisi BMG): • hujan sedang, 20 - 50 mm per hari • hujan lebat, 50-100 mm per hari • hujan sangat lebat, di atas 100 mm per hari Rata-rata curah hujan di Indonesia untuk setiap tahunnya tidak sama. Namun masih tergolong cukup banyak, yaitu rata-rata 2000 – 3000 mm/tahun. Begitu pula antara tempat
yang satu dengan tempat yang lain rata-rata curah hujannya tidak sama. Ada beberapa daerah yang mendapat curah hujan sangat rendah dan ada pula daerah yang mendapat curah hujan tinggi: 1. Daerah yang mendapat curah hujan ratarata per tahun kurang dari 1000 mm, meliputi 0,6% dari luas wilayah Indonesia, di antaranya Nusa Tenggara, dan 2 daerah di Sulawesi (lembah Palu dan Luwuk). 2. Daerah yang mendapat curah hujan antara 1000 – 2000 mm per tahun di antaranya sebagian Nusa Tenggara, daerah sempit di Merauke, Kepulauan Aru, dan Tanibar. 3. Daerah yang mendapat curah hujan antara 2000 – 3000 mm per tahun, meliputi Sumatera Timur, Kalimantan Selatan, dan Timur sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Tengah, sebagian Irian Jaya, Kepulauan Maluku dan sebagaian besar Sulawesi. 4. Daerah yang mendap at curah hujan tertinggi lebih dari 3000 mm per tahun meliputi dataran tinggi di Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, dataran tinggi Irian bagian tengah, dan beberapa daerah di Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba. 2.4 Real Time Multivariate MJO seri 1 dan 2 (RMM1 dan RMM2) Real Time Multivariate MJO seri 1dan 2 (RMM1 dan RMM2) adalah suatu indeks musiman untuk memonitoring MJO. Ini didasarkan pada sepasang fungsi ortogonal empiris (EOFs) dari gabungan bidang dekat akuatorial, rata-rata 850 hPa angin zonal, 200 hPa angin zonal, dan data hasil observasi satelit Outgoing Longwave Radiation (OLR). Proyeksi dari data observasi harian ke beberapa variabel EOFs, dengan siklus tahunan dan komponen interannual variabilitas dihapus menghasilkan komponen pokok (PC) seri waktu yang berbeda pada umumnya di skala waktu intraseasonal dari MJO. Sehingga proyeksi ini berfungsi sebagai filter yang efektif untuk MJO tanpa perlu waktu untuk konvensional penyaringan yang membuat PC deret waktu sebagai indeks yang efektif ( Kyong Hwan Seo, 2008). Pasangan PC deret waktu yang membentuk indeks disebut Real-time Multivariate MJO seri 1 (RMM1) dan Realtime Multivariate MJO seri 2 (RMM2). Walaupun kenyataannya RMM1 dan RMM2
6
menjelaskan evolusi dari MJO sepanjang khatulistiwa yang independen dari musim, perilaku koheren-off khatulistiwa memperlihatkan pengaruh musiman yang kuat (Wheeler dan Hendon, 2004). Wheeler dan Hendon menggambarkan perkembangan indeks untuk banyak pengamatan di Badan Meteorologi Australia. Indeks ini dimaksudkan untuk menjelaskan secara efisien dan ekstrak variabilitas atmosfer yang langsung berhubungan dengan MJO. Prediksi MJO berbasis kepada teknik atau metode Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) hingga kini digunakan oleh pihak Badan Meteorologi Australia (BoM, Australia). Secara umum RMM diaplikasikan untuk mengetahui perkembangan aktivitas MJO. Indeks ini telah digunakan oleh Wheeler and Hendon (2004) dalam analisis statistik korelasi antara MJO dengan curah hujan. RMM indeks menghasilkan sinyal secara real tim e yang menunjukkan MJO itu sendiri. Sangat penting bahwa indeks ini menunjukkan hubungan yang pasti dengan efek-efek cuaca yang terkait dengan MJO. Setelah dilakukan banyak pengujian, kombinasi dari bidang dipilih EOF untuk perwakilan MJO, yaitu OLR, 850 hPa angin zonal (u850), dan 200 hPa angin zonal (u200). MJO ditetapkan sebagai pasangan pasti dari EOFs (Xianan et al, 2008). Untuk nilai OLR, datanya diperoleh langsung dari National Centers for Environmental Prediction (NCEP), dari Juni 1974 hingga sekarang dan berkelanjutan. Data angin zonal diperoleh dari NCEP –National Center for Atmospheric Research (NCEP–NCAR) reanalysis dataset (Kalnay et al., 1996) dan tersedia untuk periode yang sama dengan OLR. OLR dan angin zonal dianalisis di atas grid 2.5° lintangbujur. Data NCEP -NCAR reanalysis dihasilkan beberapa hari (biasanya 3 hari) di belakang real time yang disebabkan waktu yang menunggu untuk mendapatkan pengamatan global yang lebih lengkap. Saat ini data tersebut diperoleh dari NOAA Climate Diagnostics Center. Data OLR biasanya lebih up-to-date yang diperoleh dari NCEP (National Centers for Environmental Prediction). Untuk mengoptimalkan sifat real time dari indeks RMM digunakanlah analisis dari model operasional Australian Bureau of Meteorology yang dinamakan Global Asimilasi dan Prediksi Sistem (G ASP), untuk menghitung perkiraan terbaru dari RMM1 dan RMM2.
Ekspansi dan kontraksi zonal dari aktivitas MJO yang terjadi dari musim ke musim dan tahun ke tahun juga ditangkap oleh dua indeks RMM, dan penggunaan indeks RMM untuk ukuran variasi global dan perubahan interannual modulasi dari MJO adalah pemikiran yang lebih baik dari beberapa studi sebelumnya. Indeks RMM tepat untuk mendiagnosis lokasi/keberadaan MJO, yaitu ditunjukkan dari diagram dua dimensi fase pergerakan MJO menggunakan RMM1 dan RMM2 (Gambar 5). Peramalan MJO dapat menggunakan indeks RMM1 dan RMM2. MJO dikatakan dalam fase aktif jika:
Gambar 5 Diagram fase MJO global hasil penurunan RMM1 dan RMM2 (Wheller dan Hendon, 2004) Data harian RMM1 dan RMM2 yang tersedia adalah dari tanggal 1 Juni 1974 berkelanjutan hingga saat ini. Terdapat 8 fase pergerakan MJO, dimana Indonesia terletak pada fase 4 dan 5. Dari Gambar 5 terlihat bahwa time-series fase 4 dan 5 merupakan fase yang yang perlu mendapat perhatian mengingat posisinya yang terletak di kawasan maritime Indonesia. MJO aktif dikatakan berada dalam fase 4 ketika nilai RMM1 lebih besar dari negatif RMM2, dengan RMM1>0 dan RMM2<0. Untuk MJO aktif yang berada pada fase 5 maka nilai RMM1>RMM2, dengan RMM1 dan RMM2 > 0. Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa ada kalanya saat memasuki phase 4 atau phase 5, index MJO berada di dalam lingkaran yang artinya bahwa aktivitas MJO melemah, begitupun sebaliknya ketika MJO berada di luar lingkaran artinya MJO dalam fase aktif.
7
2.5 Analisis Spektral Dalam pemrosesan sinyal statistik dan fisika, power spectral density (PSD) atau energy spectral density (ESD) adalah fungsi real positif frekuensi variabel yang terkait dengan proses stationary stochastic, atau deterministic fungsi waktu, yang memiliki dimensi kekuatan per Hz, atau energi per Hz. Hal ini sering disebut hanya dengan spektrum sinyal. Spektral density menangkap frekuensi dari proses stokastik dan membantu mengidentifikasi periodisitas (Mulyana, 2004). Dalam fisika, sinyal tersebut biasanya adalah suatu gelombang, seperti gelombang elektromagnetik, getaran acak, atau gelombang akuistik. Spektral densitas dari gelombang, bila dikalikan dengan faktor yang tepat, akan memberikan daya yang dibawa oleh gelombang, frekuensi per unit, yang dikenal sebagai Power Spectral Density (PSD) dari sinyal. PSD umumnya dinyatakan dalam watt per Hertz (W/Hz) atau dBm/Hz. Analisis spektral adalah penaksiran dalam kawasan frekuensi untuk menelaah periodesitas tersembunyi, yaitu periodesitas yang sulit ditemukan dalam kawasan waktu. Analisis spektral atau sewaktu-waktu dinamakan juga analisis spektrum, dikenalkan oleh A. Schuster, seorang pekerja sosial, pada akhir abad ke-20 dengan tujuan mencari periode tersembunyi dari data. Pada saat ini analisis spektral digunakan pada persoalan penaksiran spektrum untuk seluruh selang frekuensi. M. S. Bartlett dan J. W. Tukey, mengembangkan analisis spektral modern sekitar tahun ketiga abad ke-20, dan teorinya banyak digunakan para pengguna di bidang klimatologi, teknik kelistrikan, meteorologi, dan ilmu kelautan. Analisis spektral modern didasarkan pada fenomena bahwa data deret waktu merupakan hasil proses stokastik (Chatfield, 1989), sehingga setiap data deret waktu dapat disajikan dalam deret Fourier. Jika Xt , t = 1, 2, . . . , n, data deret waktu, maka Xt dapat ditulis dalam formulasi,
(2.1) t = 1, 2, ..., n dengan
Sudah dikemukakan, dalam analisis data deret waktu dan analisis Statistika lainnya, data yang akan dianalisis harus merupakan data stasioner, dan jika tidak stasioner harus distasioner dulu melalui proses diferensi. Jika dimiliki sampel data deret waktu stasioner, x1 , x2 , . . . , xn , maka dapat dibangun model spektralnya dengan persamaan
dengan u(ωt) dan v(ωt) merupakan fungsi kontinu yang tidak berkorelasi, yang didefinisikan pada selang 0 ≤ ωt ≤ π. Berdasarkan deskripsi tersebut, dapat diturunkan fungsi F(ωt) yang berkorelasi dengan u(ωt) dan v( ωt), sehingga jika r(k) fungsi autokorelasi, maka
(2.2) yang merupakan sajian spektral dalam fungsi autokorelasi. Pada persamaan ini F(ω k) = 0 , jika (ωk) < 0 , dan F(π) = σx 2 , yang merupakan varians data deret waktu. Sehingga jika didefinisikan fungsi
maka diperoleh fungsi distribusi kumulatif spekt ral, dan fungsi spektral kuasa
Jika G(ωt) dan g(ωt) ada, maka Persamaan rk dapat dinyatakan oleh
sehingga
(2.3) Karena rk fungsi genap, maka Persamaan (2.3) setara dengan
yang merupakan sajian fungsi Fourier dalam fungsi autokorelasi. Karena g(wk) = 0 , jika wk < 0 dan g(p) = sx2 , maka fungsi spektrum
8
kuasa yang setara dengan fungsi distribusi kumulatifnya, disajikan pada persamaan (2.4) yang juga merupakan fungsi Fourier dalam fungsi autokorelasi. Dari pernyataan spektral tersebut, dapat disimpulkan bahwa data deret waktu dapat dinyatakan sebagai deret Fourier yang merupakan fungsi harmonis seperti pada Persamaan (2.1), sehingga dengan membangun fungsi spektrum kuasanya, periodesitas data dapat ditentukan. Tetapi menentukannya tidak dapat dalam kawasan waktu, melainkan harus dalam kawasan frekuensi sebab fungsi spektrum kuasa merupakan fungsi dalam autokorelasi dan frekuensi. Jika dilakukan penaksiran pada fungsi spektrum kuasa, dan nilai-nilai penaksirnya dipetakan terhadap frekuensinya, maka akan diperoleh sebuah garis spektrum. Telaahan periodesitas data dilakukan terhadap frekuensi yang berpasangan dengan titi-titik puncak dari garis spektumnya.
φkk adalah koefisien korelasi dalam distribusi bivariat Zt , Zt −k yang tergantung pada Zt −1 , Z t − 2 ,..., Z t −k +1 . Dengan kata lain, menentukan
korelasi
antara dua peubah
Zt dan Zt −k dengan mengontrol peubah lainnya ( Zt −1 , Z t − 2 ,..., Z t −k +1 ). Secara umum bentuk fungsi autokorelasi adalah
ρj =φk1ρj =1 +φk2 ρj=2 +...+φkkρj −k , atau dapat ditulis ρ1 ... 1 1 ... ρ1 M M ρ k −1 ρ k − 2 ...
j =1,2,...,k
ρ k − 1 φ k1 ρ 1 ρk − 2 φ k 2 ρ 2 = M M M 1 φ k k ρ k
Fungsi autokorelasi digunakan untuk menentukan apakah secara statistik nilainya berbeda signifikan dari nol apa tidak. Untuk itu perlu dihitung simpangan bakunya dengan rumus sebagai berikut:
2.6 Fungsi Autokorelasi (ACF) dan Fungsi Autokorelasi Parsial (PACF) Koefisien autokorelasi menunjukkan keeratan hubungan nilai peubah yang sama dalam periode waktu yang berbeda (Makridakis, 1988). Fungsi autokorelasi contoh (r) untuk lag atau beda waktu k yaitu:
Seperti halnya autokorelasi yang merupakan fungsi atas lagnya, yang hubungannya dinamakan fungsi autokorelasi (ACF), autokorelasi parsial juga merupakan fungsi atas lagnya, dan hubungannya dinamakan Fungsi Autokorelasi Parsial (partial autocorrelation function, PACF). Koefisien autokorelasi parsial mengukur keeratan hubungan antara Z t dan Z t-k dengan menghilangkan pengaruh dari Zt-1, Zt-2,..., Z tk+1. Gambar dari ACF dan PACF dinamakan korelogram (correlogram) dan dapat digunakan untuk menelaah signifikansi autokorelasi dan kestasioneran data. Fungsi autokorelasi parsial pada lag ke-k dinotasikan oleh: Økk = Corr (Z 1, Z t- k | Z t-1, Z t-2,..., Z t- k+1)
Nilai ordo dari proses autoregressive dan moving average dapat diduga secara visual dari plot ACF dan PACF dari data. Plot tersebut menampilkan distribusi koefisien autokorelasi dan koefisien autokorelasi parsial (Cryer, 1986). Perlu digarisbawahi bahwa kebanyakan deret waktu bersifat tidak stasioner dan bahwa aspek-aspek AR dan MA dari model ARIMA hanya berkenaan dengan deret waktu yang stasioner. Jika dari time plot tersebut deret terlihat tidak stasioner maka perlu dilakukan pembedaan (differencing) pada data untuk menghilangkan ketidakstasionerannya. 2.7 Stasioneritas Data stasioner adalah data yang mempunyai rata-rata dan varians yang konstan sepanjang waktu. Data yang bersifat trend adalah contoh data yang tidak stasioner karena rata-ratanya berubah sepanjang waktu. Kestasioneran data merupakan merupakan kondisi yang diperlukan dalam analisis deret waktu karena dapat memperkecil kekeliruan model, sehingga jika data tidak stasioner maka harus dilakukan transformasi stasioneritas melalui proses diferensi. Berdasarkan diskripsinya, bentuk kestasioneran ada dua, yaitu stasioner kuat
9
dan stasioner lemah. Deskripsi umum kestasioneran adalah sebagai berikut, data deret Z1, Z2,... disebut stasioner kuat jika distribusi gabungan Zt1, Zt2, Z+ sama dengan distribusi gabungan Zt1+k, Zt2+k, ...,Z tn+k untuk setiap nilai t1, t2,.., tn, dan k. Sedangkan data disebut stasioner lemah, jika rata-rata hitung data konstan, E (Zt) = µ, dan autokovariansnya merupakan fungsi dari lag, ? k = f(k). Sedangkan ketidakstasioneran data diklasifikasikan atas tiga bentuk, yaitu: 1. Tidak stasioner dalam rata-rata hitung, jika trend tidak datar (tidak sejajar sumbu waktu), dan data tersebar 2. Tidak stasioner dalam varians, jika trend datar atau hampir datar tapi data tersebar membangun pola menyebar atau menyempit yang meliput secara seimbang trendnya (pola terompet). 3. Tidak stasioner dalam rata-rata hitung dan varians, jika trend tidak datar dan data membangun pola terompet. Untuk menelaah ketidakstasioneran data secara visual, tahap pertama dapat dilihat pada plot data atas waktu. Jika belum mendapatkan kejelasan, maka tahap berikutnya dapat dilakukan dengan melihat gambar plot ACF. Pada gambar ACF, jika datanya tidak stasioner maka gambarnya akan membangun pola: a. Menurun, jika data tidak stasioner dalam rata-rata hitung (tren naik atau turun) b. Alternating, jika data tidak stasioner dalam varians c. Gelombang, jika data tidak stasioner dalam rata-rata hitung dan varians (Mulyana, 2004). Apabila data yang menjadi input dari model ARIMA tidak stasioner, perlu dimodifikasi untuk menghasilkan data yang stasioner. Salah satu metode yang umum dipakai adalah metode pembedaan (defferencing). Metode ini dilakukan dengan cara mengurangi nilai data pada suatu periode dengan nilai periode sebelumnya. 2.8 Prakiraan dengan Time Series Dalam klimatologi dibedakan dua kelompok metode peramalan, yaitu metode kausal dan time series. Metode kausal mengasumsikan adanya hubungan sebab akibat antara masukan dan keluaran sistem, sedangkan metode Time Series (Box-Jenkins) memperlakukan sistem seperti suatu kotak hitam (black box) tanpa berusaha mengetahui fakor-faktor yang mempengaruhi sistem tersebut. Sistem semata-mata dianggap sebagai suatu pembangkit proses, karena
tujuan utama dari metode ini adalah ingin menduga APA yang akan datang, bukan mengetahui MENGAPA hal itu terjadi. (Bey A, 1988). ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) merupakan salah satu model peramalaan yang berbasis time series yang dikembangkan oleh Box dan Jenkins (1976), dan nama mereka sering disinonimkan dengan proses ARIMA yang diterapkan untuk analisis deret berkala, peramalan, dan pengendalian. ARIMA telah diakui mempunyai kemampuan ramalan yang cukup memuaskan untuk jangka peramalan yang panjang (Tapliyal dalam Bey, A. 1988). ARIMA adalah suatu model gabungan yang meliputi model Autoregressive (AR) (Yule, 1926) dan Moving Average (MA) (Slutzky, 1937) dalam Makridakis et al., 1988. Kata integrated disini menyatakan tingkat pembedaan (degree of defferencing). ARIMA dikatakan sebagai model yang komplek, karena selain model ini merupakan gabungan antara AR dan MA, model ini dapat dipergunakan untuk pola time series seasonal (musiman) dan nonseasonal (tidak musiman) secara bersamaan. Metode ARIMA memiliki keunggulan dibanding metode lainnya, yaitu metode BoxJenkins disusun secara logis dan secara statistik akurat, metode ini memasukkan banyak informasi dari data historis, dan metode ini menghasilkan kenaikan akurasi peramalan dan pada waktu yang sama menjaga jumlah parameter seminimal mungkin (Jarret, 1991) Metode ini menggunakan pendekatan iteratif yang mengindikasikan kemungkinan model yang bermanfaat. Model terpilih, kemudian dicek kembali dengan data historis apakah telah mendiskripsikan data tersebut dengan tepat. Model terbaik akan diperoleh apabila residual antara model peramalan dan data historis memiliki nilai yang kecil, distribusinya random, dan independen. Analisis deret waktu seperti pedekatan BoxJenkins, mendasarkan analisis pada data deret waktu yang stasioner. 2.8.1 Model Autoregressive (AR) Proses Autoregresif seperti namanya, adalah regresi pada dirinya sendiri. Proses autoregresif {Zt} orde p disingkat AR (p) memenuhi persamaan,
Zt = φ 1Zt −1 +φ2 Zt −2 +... +φ p Zt −p + at (2.5)
10
Dimana, Z t = deret waktu stasioner Ø1, ..., Øp = koefisien atau parameter dari model autoregressive Z t-1, ..., Z t-p = Nilai masa lalu yang berhubungan at = residual pada waktu t Model Autoregressive Orde Pertama AR (1) Model AR (1) memenuhi,
Zt = φZt −1 + at
(2.6)
(Cryer, 1986). 2.8.2 Model Moving Average (MA) Pada model moving average, nilai Z t bergantung error orde q sebelumnya. Moving average orde q atau disingkat MA (q) memenuhi persamaan,
Zt = at −θ1at − 1 −θ2 at−2 −...−θq at −q
(2.7)
Dimana, Z t = deret waktu stasioner ? 1, ..., ? p = koefisien atau parameter dari model moving average at-q = residual lampau yang digunakan oleh model Model Moving Average Orde Pertama MA Model MA (1) memenuhi, Zt = at − θ1at −1 (2.8) (Cryer, 1986).
kehidupan nyata. Deret waktu tanpa mean yang konstan misalnya, termasuk tidak stasioner. Salah satu cara menstasionerkan data adalah melalui differencing (pembedaan). Tinjau model AR(1): Zt = φZt −1 + at (2.1 0) Terlihat dari persamaan (2.10) bahwa at tidak berkolerasi dengan Z t-1, Z t-2, .... Agar solusinya stasioner memenuhi persamaan (2.10) haruslah -1< Ø < 1. Jika Ø=1, maka persamaan (2.10) menjadi Zt = Z t−1 + a t (2.1 1) atau (2.12) ∇Z t = at dimana
∇Zt = Zt − Zt −1 Z.
adalah pembedaan
pertama dari
Proses stasioner dapat diperoleh dari hasil pembedaan data yang tidak stasioner. Variabel acak {Zt} dikatak an model integrasi autoregresif-moving average jika dibedakan sebanyak d kali dan merupakan proses ARMA yang stasioner. Disingkat ARIMA (p,d,q). Biasanya tingkat pembedaannya d=1 atau 2. Secara umum persamaan untuk model ARIMA (p,1,q),
Wt =φ1Wt−1+φ2Wt−2 +...+φpWt−p +at −θ1at−1 −θ2 at−2 −...−θqat−q (2.13) dimana
Wt = Zt − Z t −1 , sehingga
Zt −Zt −1 =φ 1( Zt−1 −Zt−2 ) +φ 2( Zt− 2−Zt − 3) +...
2.8.3 Model Autoregressive-Moving Average (ARMA) Jika diasumsikan deret waktu merupakan campuran dari autoregressive dan moving average maka modelnya menjadi,
Sehingga model ARIMA (1,1,1) memenuhi persamaan:
Zt =φ1Zt −1+φ2Zt−2 +...+φpZt−p +at −θ1at −1 −θ2 at−2 −...−θqat−q
(2.14)
(2.9)
(Cryer, 1986). Nilai ordo dari proses autoregressive dan moving average diduga secara visual dari plot PACF dan ACF dari data. Plot tersebut menampilkan distribusi koefisien autokorelasi dan koefisien autokorelasi parsial. Pola yang tampak dalam plot ACF dan PACF dapat digunakan dalam pendugaan ordo MA dan AR karena masing-masing model memiliki pola yang khusus. Secara teoritis ? k=0 bagi k > q dalam model MA(q) dan Økk=0 bagi k > p dalam model AR (p) (Cryer, 1986).
(Cryer, 1986). Dimana Z t dan at sama seperti sebelumnya, Z t adalah konstanta, Ø dan ? adalah koefisien model. {Zt} dikatakan proses campuran autoregressive moving average orde p dan q, disingkat ARMA (p,q). 2.8.4
Model Autoregressive-IntegratedMoving Average (ARIMA) Tidak selamanya data yang akan dianalisis akan menunjukkan kestasioneran. Data yang tidak stasioner seringkali didapatkan di
+φp ( Zt −p− Zt−p−1 ) +at −θ1at−1 −θ2 at−2 −...−θqat−q
11
Model ARIMA biasanya dilambangkan dengan ARIMA(p,d,q) yang mengandung pengertian bahwa model tersebut menggunakan p nilai lag dependen (orde AR), d tingkat proses pembedaan, dan q lag residual (orde MA). 2.8.5 Keterandalan Peramalan Untuk mengukur keterandalan dari suatu hasil peramalan digunakan perhitungan Mean Absolute Deviation (MAD) dan Sum Square Error (SSE). MAD mengukur rata-rata penyimpangan absolute peramalan dari data aktualnya.
Dt = Data aktual ke-t F = Data hasil peramalan ke-t n = Banyaknya data Peramalan yang terbaik adalah yang menghasilkan nilai MAD terkecil (Beasley, 2002). Sum Square Error (SSE) mengukur jumlah kuadrat dari hasil selisih nilai peramalan dengan nilai aktual.
Peramalan terbaik adalah yang menghasilkan nilai SSE terkecil.
III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bidang Permodelan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung selama bulan Maret -Juni 2009. 3.2 Alat dan Data yang digunakan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer dengan software Microsoft Office 2007, SPSS 16, Matlab versi 7.1, dan Microsoft Visual Basic 6.0. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data harian Real Time Multivariate MJO seri 1 dan 2 (RMM1 dan RMM2) periode 1 Maret 1979 - 1 Maret 2009 (30 tahun) yang diperoleh dari web-side http://www.bom.gov.au/bmrc/clfor/cfstaff/ matw/maproom/RMM/// b. Data anomali pentad Outgoing Longwave Radiation (OLR) periode 3 Maret 1979 – 3 Maret 2009 yakni pada posisi 80oBT , 100oBT, 120 oBT dan 140oBT yang diperoleh dari web-side
http://www.cpc.noaa.gov/products/precip/ CWlink/daily_mjo_index/proj_norm_orde r.ascii c. Data curah hujan harian wilayah Jakarta, Palembang, Lampung, dan Kerinci tahun 2006-2008 d. Data curah hujan bulanan tahun 19952008 (Sta. Halim Perdanakusuma, Sta. Pondok Betung, Sta. Kemayoran, Sta. Cengkareng, Sta. Tanjung Priok) 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Analisis Spektral Analisis spektral digunakan untuk mengestimasi fungsi densitas spektrum dari sebuah deret waktu. Analisis spektral merupakan modifikasi dari analisis Fourier sehingga analisis ini sesuai untuk deret waktu yang stokastik (Chatfield, 1984). Secara definisi, jika Xt adalah proses stokastik dengan fungsi autokovarians ?(k) dengan k = ..., -2, -1, 0, 1, 2, ..., maka spektrum f(?) adalah transformasi Fourier dari fungsi autokovarians, yang dalam ekspresi matematisnya adalah sebagai berikut:
Analisis spektral dalam penelitian ini digunakan untuk menampilkan periode setiap gelombang yang tersembunyi dari sebuah data deret waktu. 3.3.2 Metode Korelasi Silang Metode korelasi silang digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) dengan Outgoing Longwave Radiation (OLR) pada posisi 100°BT. Formula perhitungan korealsi silang (M akridakis, 1988) :
dimana: rxy (k) : korelasi silang ant ara deret x dan deret y pada lag ke-k
(merupakan kovarian antara deret x dan y pada lag ke-k)
(merupakan variansi silang peubah x)
12
a.
(merupakan variansi silang peubah y) 3.3.3 Metode Box- Jenkins
Membuat plot data (time plot) yang bermanfaat untuk melihat secara kasat mata apakah data stasioner atau tidak. b. Memeriksa plot dari fungsi autokorelasi (ACF) dan fungsi autokorelasi parsial (PACF) untuk melihat model dari data. Apabila ACF signifikan pada lag (lead time) q dan PACF menurun secara eksponensial, maka data dapat dimodelkan dengan model moving average derajat q (MA (q)) dan jika ACF turun secara eksponensial dan PACF signifikan pada lag p, maka data dapat dimodelkan dengan model autoregresif derajat p (AR (p)). Apabila kedua hal tersebut tidak diperoleh, ada kemungkinan model merupakan proses gabungan AR dan MA atau ARMA (p,q). Jadi untuk menentukan orde dari proses AR adalah dengan melihat PACF. Lain halnya dengan model MA untuk menentukan orde dari model ini digunakan ACF. Namun baik ACF maupun PACF dari masing-masing model harus tetap diperhatikan karena bisa saja model yang diperoleh adalah model ARMA. Oleh karena itu untuk mengidentifikasi model deret waktu lebih baik digunakan kedua-duanya yaitu ACF dan PACF. Berikut ini adalah perilaku ACF dan PACF untuk model AR (p), MA (q), dan ARMA (p,q): Tabel 1
Gambar 6 Skema pendekatan Box- Jenkins (Makridakis, 19 88) 1. Identifikasi Model Sebelum melakukan pendeferensialan terlebih dahulu dilakukan identifikasi kestasioneran data yang digunakan. Apabila data yang digunakan tidak stasioner maka dilakukan pendeferensialan sehingga didapatkan time series yang stasioner. Time series yang nonstasioner dapat diubah menjadi stasioner dengan cara mentransformasikan nilai-nilai time series tersebut. Jika time series tidak memiliki variasi musiman, maka transformasi ke bentuk yang stasioner seringkali digunakan transformasi beda pertama terhadap nilai-nilai time series asal. Jika pembedaan pertama belum menghasilkan time series yang stasioner, maka diperlukan pembedaan yang lebih komplek lagi. Dalam identifikasi model, hal pertama yang harus dilakukan adalah:
Identifikasi model deret waktu AR(p), MA(q), dan ARMA (p,q) AR (p)
MA (q)
ARMA (p,q)
EkspoACF
PACF
Cut – off pada lag ke- q
Eksponensial menurun mulai lag ke - p
Cut – off
Ekspo-
pada lag ke - p
nensial menu-
Eksponensial menurun
nensial menurun
run
mulai ke - q
lag
13
2. Pendugaan Parameter Model Untuk membantu memilih model tentative (sementara), menggunakan hasil analisis autokorelasi dan autokorelasi parsial dengan panjang lag tertentu. Setelah model time series berhasil diidentifikasi, tahap berikutnya adalah menduga parameter-parameter model tersebut berdasarkan kriteria least square. Terdapat dua cara yang mendasar untuk mendapatkan parameter-parameter tersebut: 1. Dengan cara mencoba-coba (trial and error ) yaitu menguji beberapa nilai yang berbeda dan memilih satu nilai tersebut (atau sekumpulan nilai, apabila terdapat lebih dari satu parameter yang akan ditaksir) yang meminimumkan jumlah kuadrat nilai sisa/ nilai galat (sum of squared residuals ). 2. Perbaikan secara iteratif yaitu memilih taksiran awal dan kemudian membiarkan program komputer memperhatikan penaksiran tersebut secara iteratif. (Makridakis, 19 88) 3. Pengujian atau Validasi Model Setelah model ARIMA sementara ditentukan, tahap berikutnya adalah melakukan pemeriksaan diagnostik untuk menguji kelayakan model serta jika diperlukan menyarankan perbaikan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menganalisis galat (residual). Dengan kata lain meneliti perbedaan (selisih) antara data observasi dan keluaran model. Nilai galat (kesalahan) yang tertinggal sesudah dilakukan pencocokan model ARIMA, diharapkan hanya merupakan gangguan random. Oleh karena itu, apabila plot fungsi autokorelasi dan autokorelasi parsial dari nilai galat telah diperoleh, diharapkan: a. Tidak ada autokorelasi yang signifikan. b. Tidak ada autokorelasi parsial yang signifikan. Kedua yaitu dengan mempelajari statistik sampling dari pemecahan optimum untuk melihat apakah model tersebut masih dapat disederhanakan. Asumsi-asumsi statistik yang mendasari model umum ARIMA, memberikan beberapa angka statistik yang harus dihitung setelah nilai-nilai koefisien optimum diukur. Misalnya saja, untuk setiap koefisien/ nilai parameter yang diperoleh akan terdapat galat sehingga bisa dihitung jumlah kuadrat nilai galat. Nilai koefisien yang terpilih adalah yang memiliki jumlah kuadrat nilai galat terkecil. Nilai galat dapat diperoleh dari:
at = Xt − Xˆ t
(3.1)
(Makridakis, 1988) 4. Forecasting (Prakiraan) Langkah selanjutnya yaitu melakukan prakiraan (forecasting ) jika model sudah cocok.
Gambar 7 Diagram alir p enelitian
14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Spektral dan Korelasi Silang Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) dengan Anomali Pentad Outgoing Longwave Radiation(OLR) Metode yang paling sering digunakan dalam menganalisis gelombang adalah analisis spektral. Analisis spektral berfungsi untuk memunculkan periode dari setiap osilasi yang terjadi. Setiap gelombang mempunyai periode osilasi tersendiri. Fenomena MJO terlihat jelas pada variasi OLR yang terukur dari sensor inframerah satelit (Hermawan, 2007). Berbagai penelitian telah menjelaskan tentang propagasi dan struktur vertikal MJO di atas Indonesia, namun data yang digunakan
Gambar 8
cenderung hanya menggunakan data Outgoing Longwave Radiation (OLR) dan radiosonde. Banyak cara yang dilakukan orang untuk memprediksi MJO. Satu diantaranya adalah dengan melihat perilaku data MJO indeks. Secara global fenomena MJO dapat terlihat berdasarkan metode Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) yang hingga kini digunakan pihak Badan Meteorologi Australia (BoM, Australia) dalam menganalisis fenomena MJO. RMM1 dan RMM2 adalah suatu indeks untuk memonitoring MJO yang didasarkan pada sepasang fungsi ortogonal empiris gabungan dari kecepatan angin pada 850 mb dan 200 mb, serta data Outgoing Longwave Radiation (OLR) (Wheeler dan Hendon, 2004).
Power Spectral Density (PSD) RMM1, RMM2, OLR 80°BT, OLR 100°BT, OLR 120°BT, dan OLR 140°BT periode 3 Maret 1979 – 3 Maret 2009
Hasil analisis spektral RMM1 dan RMM2 dengan OLR pada posisi 80°BT, 100°BT, 120°BT, dan 140°BT menunjukkan adanya osilasi dominan dengan periode sekitar 45 harian (Gambar 8). Nilai kerapatan spektral yang paling besar yaitu pada OLR 100°BT. Periode osilasi 45 harian dari PSD RMM dan OLR tersebut menunjukkan adanya fenomena Madden Julian Oscillation (MJO). Secara umum RMM diaplikasikan untuk mengetahui perkembangan aktivitas MJO.
Dengan menggunakan indeks ini, dapat diperoleh pula peluang terjadinya hujan lebat di beberapa kawasan barat Indonesia (studi kasus: Kerinci, Palembang, Lampung, dan Jakarta) saat terjadinya fenomena MJO. Berdasarkan grafik PSD terlihat adanya keterkaitan antara Real Time Multivariate MJO dengan OLR pada posisi 100°BT karena diperoleh periode osilasi yang sama yaitu sekitar 40-50 hari.
15
Gambar 9
Power Spectral Density (PSD) RMM1 dan RMM2 periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009
Hasil analisis Power Spectral Density (PSD) data Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009 (Gambar 9) menunjukkan bahwa osilasi dominan dari data RMM1 dan RMM2 tersebut sekitar 40 harian, yang menunjukkan adanya fenomena MJO. Dalam penelitian ini akan ditunjukkan bahwa dalam analisis MJO di kawasan Indonesia juga dapat menggunakan data RMM1 dan RMM2. MJO memiliki peran akt if terhadap distribusi curah hujan yang terjadi di kawasan barat Indonesia (Hermawan, 2007). Pada Gambar 10 dan 11 ditunjukkan hubungan korelasi silang (cross correlation) antara RMM dan OLR pada posisi 100°BT (mewakili kawasan Barat Indonesia). MJO dominan terjadi di kawasan barat Indonesia, oleh karena itu perlu dilakukan pengujian korelasi apakah RMM memiliki keterkaitan erat dengan OLR pada posisi 100°BT. Estimasi hubungan antara RMM dan OLR dilakukan dengan menggunakan metode korelasi silang. Data yang digunakan adalah data pentad RMM dan OLR pada periode 3 Maret 1979 – 3 Maret 2009. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut:
Gambar 10 Korelasi silang antara RMM1 dengan OLR 100°BT periode 3 Maret 1979 – 3 Maret 2009 Korelasi silang antara RMM1 dan OLR 100°BT dilakukan dengan jumlah data sebanyak 2191 data (n=2191) maka selang kepercayaan adalah yaitu sebesar -0.043 sampai 0.043. Dapat dilihat dari Gambar 10 hampir semua nilai korelasi silang berada di luar selang kepercayaan.
16
Tabel 2 Hubungan korelasi silang RMM1 dan OLR 100° BT Lag
Cross
antara
Tabel 3 Hubungan korelasi silang RMM2 dan OLR 100° BT Lag
Std. a
Cross
Std.
Correlation
Errora
Correlation
Error
-7
.209
.021
-7
-.047
.021
-6
.230
.021
-6
-.198
.021
-5
.136
.021
-5
-.354
.021
-4
-.084
.021
-4
-.437
.021
-3
-.392
.021
-3
-.352
.021
-2
-.670
.021
-2
-.008
.021
-1
-.598
.021
-1
.458
.021
.640
.021
0
-.147
.021
0
1
.234
.021
1
.466
.021
2
.355
.021
2
.182
.021
3
.302
.021
3
-.046
.021
4
.176
.021
4
-.164
.021
5
.034
.021
5
-.174
.021
6
-.083
.021
6
-.121
.021
7
-.135
.021
7
-.044
.021
Dari Tabel 2 terlihat bahwa sifat korelasinya adalah linear, karena pada lag nol nilai korelasinya berada di luar batas selang, dengan nilai korelasi -0.147. Artinya terjadi korelasi negatif antara OLR dan RMM1, yang menunjukkan bahwa pada saat nilai OLR kecil, maka nilai RMM1 akan tinggi. Selanjutnya juga dilakukan analisis statistik keterkaitan antara RMM2 dengan OLR pada posisi 100°BT menggunakan metode korelasi silang. Hasil dari korelasi silang tersebut dapat dilihat pada Gambar 11 dan Tabel 3.
Gambar
11 Korelasi silang antara RMM2 dengan OLR 100°BT periode 3 Maret 1979 - 3 Maret 2009
antara
Hasil korelasi silang antara OLR 100°BT dengan RMM2 menunjukkan hasil yang berbeda dengan hasil korelasi silang antara OLR 100°BT dengan RMM1. Pada Gambar 11 terlihat bahwa pada lag ke nol nilai korelasinya melebihi batas selang, dan nilainya positif yaitu 0.64. Artinya bahwa jika nilai OLR 100°BT kecil maka nilai RMM2 juga akan kecil (mengalami penurunan). Hal ini sesuai dengan diagram dua dimensi dari Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) yang menunjukkan ketika MJO aktif melewati Indonesia barat yaitu pada fase 4 maka nilai RMM1 dan RMM2 berkebalikan (RMM1 positif, RMM2 negatif), yaitu nilai RMM1 lebih besar dari negatif RMM2, dengan RMM1>0 dan RMM2<0. 4.2 Model Prediksi Berbasis ARIMA 4.2.1 Uji Stasioneritas Data Data yang digunakan untuk membuat model prediksi ini yaitu data harian Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009. Pada penelitian ini analisis yang digunakan adalah ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average ), karena melibatkan data deret waktu, sehingga diperoleh model yang menggambarkan data deret waktu tersebut.
17
Gambar 12 menampilkan plot deret waktu dari data RMM1 dan RMM2. Berdasarkan
(a)
plot data tersebut terlihat bahwa variasi data cukup besar.
(b)
Gambar 12 Plot data RMM1 (a) dan RMM2 (b) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009 Uji stasioneritas perlu dilakukan sebelum pembentukkan model karena peramalan pada data deret waktu mensyaratkan bahwa data harus bersifat stasioner. Jumlah pembedaan data deret waktu akan menjadi nilai orde d dalam model ARIMA yang digunakan. Suatu data dikatakan stasioner apabila nilai rata-rata
(a)
dan variansnya konstan sepanjang waktu. Dengan kata lain, data stasioner tidak mengalami kenaikan atau penurunan. Data yang tidak stasioner perlu dimodifikasi (dilakukan pembedaan) untuk menghasilkan data yang stasioner.
(b)
Gambar 13 Fungsi Autokorelasi (ACF) RMM1 (a) dan RMM2 (b) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009 Kestasioneran dalam rataan dan ragam dari suatu proses deret waktu dapat dilihat secara visual dari plot data, fungsi autorelasi (ACF), dan fungsi autokorelasi parsial (PACF). Berdasarkan Gambar 12, terlihat adanya trend datar/hampir datar dan membentuk pola menyebar. Yang ke-2 untuk mengidentifikasi kestasioneran dapat dilihat
berdasarkan plot ACF data RMM1 dan RMM2 pada Gambar 13, dimana pada gambar tersebut terlihat adanya pola alternating (naik turun secara teratur). Selanjutnya yaitu mengidentifikasi kestasioneran dengan melihat plot fungsi PACF.
18
(a)
(b)
Gambar 14 Fungsi Autokorelasi Parsial (PACF) RMM1 (a) dan RMM2 (b) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009
Pada Gambar 14 terlihat jelas bahwa setelah lag pertama nilai PACF menurun drastis dan seluruh PACF setelah lag 1 tidak signifikan secara statistik. Tiga fakta tersebut menunjukkan bahwa data bersifat nonstasioner. Plot ACF dan PACF mengidentifikasikan adanya ketidakstasioneran dalam varian. Untuk
menghilangkan pola musimannya sehingga data menjadi lebih stasioner maka dilakukan pembedaan pertama. Berikut ini adalah deskriptif data asli, deskriptif data pembedaan pertama, plot ACF dan PACF pembedaan pertama. Dari plot data pembedaan pertama akan terlihat jelas apakah data telah stasioner atau belum.
Tabel 4 Deskripsi statistik data Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) 30 tahun (1 Maret 1979-1 Maret 2009) dan data pembedaan 1 N
Minimum
Maximum
Mean
Statistic
Statistic
Statisti c
Statistic
Std. Error
Variabel
RMM1
10959
-3.5079
3.9406
.003757
.0096820
RMM2
10959
-3.3625
3.8504
-.008161
.0096405
dif1_RM M1 dif1_RM M2
Std. Dev
Variance
Statistic
Statistic
1.013565 7
1.027 1.019
10958
-1.0471
.8069
.000034
.0022481
1.009216 5
10958
-.8783
1.0120
.000032
.0021556
.2353361
10958
.055 .051
.2256462
Valid N (listwise)
Setelah dilakukan pembedaan pertama ternyata terlihat pada Tabel 4 bahwa variasi data mengecil menjadi 0.055 untuk pembedaan data RMM1 dan 0.51 untuk data
RMM2, begitu pula dengan nilai standar error data yang menurun setelah dilakukan pembedaan pertama.
19
(a)
(b)
Gambar 15 Plot data pembedaan 1 RMM1 (a) dan RMM2 (b) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret2009
(a)
(b)
Gambar 16 Fungsi Autokorelasi (ACF) pem bedaan 1 RMM1 (a) dan RMM2 (b) p eriode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009
(a)
(b)
Gambar 17 Fungsi Autokorelasi Parsial (PACF) pembedaan 1 RMM1 (a) dan RMM2 (b) periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009 Hasil pembedaan pertama ternyata lebih baik, terlihat dari gambar plot data lebih
stasioner dan nilai variansinya lebih kecil dari data asli. Melalui plot ACF dan PACF data
20
asli yang dilakukan pembedaan pertama, ditentukan model sementara data RMM1 dan RMM2 periode 1 Maret 1979-1 Maret 2009. 4.2.2 Identifikasi dan Penaksiran Model Dari plot ACF (Gambar 16) dan PACF (Gambar 17) diperoleh informasi bahwa ACF RMM1 dan RMM2 signnifikan pada lag 1, 2, 3, 4, dan 5. Sedangkan PACF RMM1 dan RMM2 signifikan pada lag 1 dan 2. Dengan demikian model sementara dari plot data RMM1 dan RMM2 adalah campuran dari autoregresif, pembedaan pertama, dan moving average atau model ARIMA (p, 1, q). Dengan nilai p adalah 1 dan 2 sedangkan nilai q dipilih 1, 2, 3, 4, dan 5. Selanjutnya dilakukan estimasi terhadap lag-lag yang ada untuk mendapatkan model terbaik. Setelah
menetapkan identifikasi model sementara, selanjutnya parameter-parameter AR dan MA harus ditetapkan. Lampiran 1 menampilkan penaksir parameter untuk model-model deret waktu RMM1 dan RMM2 yang mungkin. 4.2.3 Uji Diagnostik Tahap selanjutnya yaitu uji diagnostik untuk membuktikan bahwa model tersebut cukup memadai. Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan trial and error, melihat nilai Mean Absolute Deviation (MAD) dan Sum Square Error (SSE) untuk 10 model ARIMA yang mungkin. Mean Absolute Deviation (MAD) adalah rata-rata error (galat) hasil prediksi dengan nilai aktual. Sedangkan Sum Square Error (SSE) adalah jumlah kuadrat galat hasil prediksi dengan nilai aktual.
Tabel 5 Mean Absolute Deviation (MAD) dan Sum Square Error (SSE) untuk Model ARIMA data RMM1 dan RMM2 p eriode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009
MAD
SSE
Model ARIMA RMM1 dan RMM2
RMM1
RMM2
RMM1
RMM2
(1,1,1)
0.146241
0.143841
3854.43
3817.43
(1,1,2)
0.146216
0.143818
3853.32
3817.33
(1,1,3)
0.146192
0.144398
3852.80
3826.96
(1,1,4)
0.146861
0.143691
3859.88
3815.16
(1,1,5)
0.145766
0.143683
3846.83
3815.28
(2,1,1)
0.146220
0.783519
3853.23
8941.40
(2,1,2)
0.146200
0.143817
3852.73
3816.82
(2,1,3)
0.309278
0.14377 8
5799.44
3816.48
(2,1,4)
0.153393
0.141573
3941.58
3792.73
(2,1,5)
0.147356
0.140379
3869.22
3781.25
Pemilihan model prediksi didasarkan atas besarnya MAD dan SSE masing-masing model. Berdasarkan Tabel 5 diketahui model yang memiliki nilai MAD dan SSE yang kecil yaitu ARIMA (2,1,2), yang menggambarkan orde dari AR dan Ma adalah 2, dan derajat differencing sebesar 1. Pemilihan model ini juga didasarkan pada kesederhanaan persamaan model. Dengan melihat nilai MAD dan SSE sebagai ukuran model prediksi yang terbaik, maka model ARIMA (2,1,2) layak dipilih sebagai model prediksi terbaik. Secara lengkap model ARIMA (2,1,2) dapat dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
Z t = (1+Ø1 )Z t-1 + (-Ø 1+Ø2)Z t-2 – Ø2 Z t-3– ?1 at-1 – ? 2 at-2. Berdasarkan Tabel 6 maka diperoleh model prediksi ARIMA (2,1,2) untuk RMM1 yaitu Zt = 1.681 Zt-1 – 0.722 Zt-2 + 0.041 Zt-3 – 0.02 at-1 - 0.05 at-2. Model prediksi ARIMA (2,1,2) untuk RMM2 yaitu Zt =1.714 Zt-1 – 0.764 Zt-2 + 0.05 Zt-3 - 0.109 at-1 - 0.05 at-2. Model ARIMA (2,1,2) mempunyai arti bahwa prakiraan data RMM1 dan RMM2 untuk waktu-waktu mendatang tergantung dari data RMM tiga hari sebelumnya dan galat dua hari sebelumnya.
21
Tabel 6 Parameter model ARIMA (2,1,2)
RMM1-Model_1
Estimate
SE
t
Sig.
3.883E-5
.005
.009
.993
Lag 1 (Ø1)
.681
.388
1.753
.080
Lag 2 (Ø2)
-.041
.220
-.185
.854
Constant AR
Difference MA
RMM2-Model_2
1
Lag 1 (?1)
.020
.388
.051
.960
Lag 2 (?2)
.050
.040
1.244
.213
Lag 1 (Ø1)
.714
.342
2.090
.037
Lag 2 (Ø2)
-.050
.199
-.249
.804
Lag 1 (?1)
.109
.342
.319
.750
Lag 2 (?2)
.050
.018
2.771
.006
Constant
6.982E-5
.004
.016
.987
Difference
1
AR
MA
Dengan menggunakan model ARIMA (2,1,2) maka diperoleh nilai prakiraan. Lebih jelasnya perbandingan data asli, nilai prakiraan, dan nilai galat terlihat pada Tabel 7 dan Tabel 8. Hasil ini menunjukkan bahwa
metode ARIMA dapat mengenali dengan baik pola pada data Real Time Multivariate MJO dan dapat melakukan peramalan dengan kesalahan yang relatif kecil.
Tabel 7 Perbandingan data asli, nilai prakiraan, dan nilai galat RMM1 periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009
No 1 2 3 4 5 6 7 . . . 10958 10959 10960
RMM1 (Zt) 01/03/1979 0.682 02/03/1979 0.714 03/03/1979 0.997 04/03/1979 0.861 05/03/1979 0.782 06/03/1979 0.860 07/03/1979 1.212 . . . . . . 27/02/2009 0.977 28/02/2009 1.043 01/03/2009 1.057 MAD = 0.146 SSE = 3852.73 Tanggal
Žt 1.189 0.763 0.750 0.913 . . . 0.621 1.236 1.058
Galat (at) -0.328 0.019 0.110 0.299 . . . 0.356 -0.193 0.000
22
Tabel 8 Perbandingan data asli, nilai prakiraan, dan nilai galat RMM2 periode 1 Maret 1979 – 1 Maret 2009
No 1 2 3 4 5 6 7 . . . 10958 10959 10960
RMM2 (Zt) 01/03/1979 -0.568 02/03/1979 -0.448 03/03/1979 -0.490 04/03/1979 -0.524 05/03/1979 -0.593 06/03/1979 -0.703 07/03/1979 0.753 . . . . . . 27/02/2009 -0.829 28/02/2009 -0.366 01/03/2009 -0.216 MAD = 0.144 SSE = 3816.82 Tanggal
(a)
Žt -0.526 -0.546 -0.637 -0.768 . . . -0.877 -0.742 -0.088
Galat (at) 0.003 -0.048 -0.066 0.015 . . . 0.048 0.376 -0.128
(b)
Gambar 18 Histogram nilai galat RMM1 (a) dan RMM2 (b) Gambar 18 memperlihatkan bahwa nilai galat berdistribusi normal dengan mean di sekitar nol yaitu 0.000167 untuk galat RMM1 dan -0.000471 untuk galat RMM2. Tabel 7 dan 8 memperlihatkan SSE data RMM1 sebesar 3852.73 dan SSE data RMM2 sebesar 3816.82. Ini berarti semua asumsi dalam uji diagnostik sudah terpenuhi, sehingga persamaan model ARIMA (2,1,2) bisa digunakan dalam langkah selanjutnya yaitu memperkirakan besarnya nilai RMM1 dan RMM2 untuk hari berikutnya.
4.2.4 Peramalan Setelah melalui tahap identifikasi, pembedaan, dan pengujian maka diperoleh suatu model terbaik untuk memprediksi nilai RMM1 dan RMM2, yaitu model ARIMA (2,1,2). Selanjutnya model ARIMA ini digunakan untuk memprakirakan nilai RMM1 dan RMM2 untuk hari berikutnya. Validasi dengan menggunakan model ARIMA (2,1,2) untuk data RMM dari tanggal 2 Maret 2009 sampai 2 Juni 2009 dapat dilihat pada Tabel 9 dan 10.
23
Tabel 9 Validasi data RMM1 dengan hasil prakiraan m odel ARIMA (2,1,2) periode 2 Maret 2009 – 2 Juni 2009
Tabel 10 Validasi data RMM2 dengan hasil prakiraan model ARIMA (2,1,2) periode 2 Maret 2009 – 2 Juni 2009
Tanggal
RMM1 (data asli)
Nilai Prediksi RMM1
Galat
Tanggal
RMM2 (data asli)
Nilai Prediksi RMM1
Galat
02/03/2009
1,106
1,074
0,032
02/03/2009
-0,151
-0,136
-0,015
03/03/2009
0,974
1,138
-0,164
03/03/2009
0,125
-0,105
0,229
04/03/2009
0,842
0,883
-0,042
05/03/2009
0,680
0,766
-0,086
04/03/2009 05/03/2009
0,112 0,007
0,294 0,098
-0,182 -0,091
06/03/2009
0,731
0,579
0,151
06/03/2009
-0,128
-0,049
-0,079
07/03/2009
0,438
0,773
-0,335
07/03/2009
0,168
-0,205
0,373
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
. .
. .
. .
. .
29/05/2009
0,264
0,095
0,169
29/05/2009
0,535
0,252
0,282
30/05/2009
0,587
0,493
0,094
30/05/2009
0,814
0,648
0,166
31/05/2009
0,521
0,781
-0,260
31/05/2009
0,893
0,972
-0,079
01/06/2009
0,435
0,463
-0,028
02/06/2009
0,582
0,393
0,189
01/06/2009 02/06/2009
1,178 1,248
0,936 1,356
0,243 -0,107
Mean Absolute Deviation (MAD) = 0,178
Mean Absolute Deviation (MAD) = 0,148
Gambar 19 Plot data asli RMM1 dan RMM2 dengan hasil prediksi ARIMA (2,1,2) periode 2 Maret 2009 - 2 Juni 2009 Berdasarkan Gambar 19 dapat dilihat bahwa plot data prakiraan mendekati data asli dengan korelasi sebesar 0.9 83 atau 98.3% untuk RMM1 dan 0.986 atau 98. 6% untuk RMM2. Hasl prediksi dengan model ARIMA (2,1,2) ini cukup baik karena menghasilkan nilai galat yang kecil. Prediksi RMM1 dan
RMM2 ini sangat penting mengingat bahwa RMM merupakan suatu indeks untuk memonitoring MJO. MJO dibangkitkan oleh awan-awan Cumulonimbus, sehingga MJO juga berpengaruh terhadap curah hujan di Indonesia.
24
4.3 Model Program Penentuan Fase Pergerakan MJO Pada pembahasan sebelumnya telah diperoleh model statistik untuk memprediksi nilai RMM1 dan RMM2, yaitu ARIMA (2,1,2). Pergerakan MJO dari Samudera Hindia ke arah timur dibagi menjadi 8 fase. Untuk mendukung model prediksi MJO, maka
perlu juga dibuat suatu program untuk mengetahui fase pergerakan dan kekuatan MJO yang diprediksi. Model ini dibuat dengan memanfaatkan software Microsoft Visual Basic. Tampilan dari model program penentuan fase pergerakan MJO adalah sebagai berikut:
Gambar 20 Interface program penentuan fase pergerakan MJO Input dari program ini yaitu data RMM1 dan RMM2 dengan format .csv, sedangkan outputnya berupa fase pergerakan dan power MJO (lemah dan kuat ). Model ini berguna sekali mengingat cukup sulitnya menentukan fase pergerakan dan kekuatan MJO secara langsung, apalagi jika datanya banyak. Model ini sangat sederhana dan dapat digunakan oleh
siapa saja yang ingin mengetahui fase MJO. Ada beberapa syarat dari pembagian 8 fase tersebut dimana diagram fase pergerakan MJO dapat dilihat pada Bab II. Coding program ini terdapat di Lamp iran 3. 4.4 Analisis Jangka Panjang
Gambar 21 Grafik curah hujan bulanan Jakarta p eriode Januari 1995 – Desember 2008
25
Tipe curah hujan di wilayah Sumatera bagian selatan dan Jawa merupakan tipe curah hujan jenis Monsun. Periode musim hujan dan musim kemarau memiliki perbedaan yang jelas. Musim hujan terjadi pada bulan Desember, Januari, dan Februari. Sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Gambar 21 memperlihatkan distribusi curah hujan bulanan di wilayah Jakarta yang diwakili oleh Stasiun Tanjung Priok, Stasiun Halim Perdanakusuma, Stasiun Kemayoran, dan Stasiun Cengkareng dari tahun 1995 sampai tahun 2008. Pada gambar tersebut terlihat bahwa curah hujan dengan intensitas tinggi di wilayah Jakarta terjadi pada bulan Januari-Februari-Maret. Pada bulan Februari dan Maret hujan lebat terjadi hampir setiap hari. Sebagian berpendapat, ini adalah gejala alam biasa yang hampir terjadi setiap musim hujan. Bahkan ada yang menyatakan ini terkait erat dengan siklus lima tahunan yang menyebabkan Jakarta dan sekitarnya ”tenggelam” akibat curah hujan dengan intensitas cukup tinggi. Hingga saat ini belum ada penjelasan ilmiah yang secara utuh, runut, terpadu, serta mudah dimengerti masyarakat awam mengapa terjadi hujan lebat dengan intensitas tinggi. Prof. Manabu D. Yamanaka dari Universitas Kobe, Jepang pada acara ”Workshop on Toward the Establishment of Hydrological Array for Intraseasonal Variation Monsoon Automonitoring (HARIMAU) and Its Application pada tanggal 6 Februari 2007 di BPPT, Jakarta mengatakan bahwa akibat tertahannya massa udara dingin oleh gunung Salak yang ada di Bogor, menyebabkan massa udara dengan kandungan uap air tadi kembali jatuh di Jakarta dan sekitarnya. Kalaulah skenario ini benar, mestinya hanya Kota Jakarta dan sekitarnya yang akan menerima hujan lebat secara terus menerus. Namun, kenyataannya tidaklah demikian, justru curah hujan dengan intensitas tinggi lambat laun bergerak ke arah timur yang ditandai dengan banjir hampir di sepanjang Pantai Utara P. Jawa seperti Bekasi, Cikampek, Karawang (hampir seluruh Pantai Utara Jawa Barat) hingga Jawa Tengah. Jika menggunakan teori cold surge, fenomena ini menjadi sulit dijelaskan. Ada beberapa faktor lain yang menyebabkan intensitas curah hujan tinggi di daerah Jakarta. Secara geografis di utara Jakarta terbentang laut sebagai sumber uap air, sementara di bagian selatan Jakarta ada pegunungan di Bogor. Pengaruh lokal itulah
yang kemudian memberikan andil besar semakin besarnya intensitas curah hujan di Jakarta pada Januari dan Februari. Menurut Dr. Fadli Syamsudin, koodinator program Hydrometeorological Array for Intraseasonal Variation Monsoon Auto Monitoring (Harimau) Indonesia, salah satu faktor yang menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi adalah kiriman uap air jenuh dari Samudera Hindia akibat Madden Julian Oscillation (MJO). Menurut Beliau MJO dalam fase aktif memiliki korelasi terjadinya intensitas curah hujan yang tinggi terhadap wilayah yang dilaluinya. MJO merupakan osilasi dominan yang terjadi di hampir seluruh kawasan ekuator dengan nilai Power Spectral Density (PSD) berkisar antara 30 hingga 60 harian. Sejak peristiwa El-Nino pada tahun 1982-1983, variasi frekuensi rendah di wilayah tropis, baik itu waktu intraannual (kurang dari setahun) dan inter-annual (lebih dari setahun), mendapatkan banyak perhatian dan hubungannya dengan MJO berkembang dengan cepat. Dalam penelitian ini, analisis jangka panjang dilakukan dengan melihat bagaimana pengaruh MJO terhadap curah hujan di Indonesia, yaitu berdasarkan analisis data Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2). Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab II bahwa MJO dikatakan dalam fase aktif jika . Analisis jangka panjang ini hanya difokuskan pada wilayah Indonesia bagian barat (studi kasus:Jakarta), sehingga fase pergerakan MJO juga hanya difokuskan pada fase 4 dan 5 (dapat dilihat pada diagram fase pergerakan MJO di Bab II). Data RMM yang dianalisis yaitu periode Januari 1995 - Desember 2008. Plot data RMM1 dan RMM2 (data asli) dengan nilai prediksi ARIMA (2,1,2) pada periode tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5. Berikut ini plot RMM yang ditampilkan yaitu pada tahun 1996, 2002, dan 2007.
26
MJO aktif MJO aktif (a)
(b)
(c) Gambar 22 Plot data RMM1/2 dengan nilai prediksi periode 1 Januari - 31 Desember 1996 (a), 2002 (b), dan 2007 (c) Gambar 22(a) terlihat bahwa pada awal bulan Februari dan Juni 1996 MJO berada dalam fase aktif. MJO aktif yang terjadi pada bulan Februari tersebut menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi, namun tidak sama halnya dengan MJO aktif pada bulan Juni. Pada bulan Juni 1996, curah hujan di wilayah
Jakarta khususnya sangat rendah. Begitu juga pada bulan kering lainnya (Juli-Agustus), MJO yang aktif tidak menyebabkan curah hujan tinggi pada saat itu. MJO aktif yang terjadi pada bulan basah (Desember-Januari-Februari) berpeluang meningkatkan curah hujan. Hal itu dikarenakan posisi matahari pada ketiga bulan tersebut yaitu berada di sebelah selatan yang meny ebabkan penguapan tinggi. Sedangkan MJO aktif pada bulan kering (Juni-JuliAgustus) tidak menyebabkan curah hujan tinggi. Sehingga salah jika dikatakan bahwa MJO selalu menyebabkan intensitas curah hujan tinggi, karena hal itu tidak selalu, kecuali ketika matahari berada di sebelah selatan khatulistiwa. 4.5 Analisis J angka Pendek Analisis jangka pendek difokuskan pada curah hujan bulan basah (Desember -JanuariFebruari-Maret) tahun 1996, 2002, dan 2007. Curah hujan yang tinggi pada saat itu akan dianalisis apakah ada pegaruh dari fenomena Madden Julian Oscillation (MJO). Setiap Januari hingga Februari, intensitas curah hujan di wilayah Jakarta m encapai puncaknya. Hujan dengan intensitas sangat tinggi di Jakarta pada tahun 1996 terjadi pada awal Februari, mencapai 200 mm/hari. Pada tahun 2002 curah hujan tinggi terjadi pada akhir Januari (15-30 Januari), mencapai 200 mm/hari sedangkan pada tahun 2007 curah hujan tinggi mencapai 250 mm/hari terjadi pada 1-5 Februari (Lampiran 6). Tahun 1996, 2002, dan 2007 terjadi banjir besar di Jakarta. Definisi banjir dalam tulisan ini adalah banjir besar yang hampir melumpuhkan kota Jakarta. Di luar tahun tersebut, Jakarta tentu saja mengalami banjir tetapi dengan skala, dampak, dan peningkatan kerugian yang jauh lebih kecil. Penyebab banjir di Jakarta menurut Dr. Armi Susandi, MT (Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung) yaitu curah hujan tinggi, topografi Jakarta, dan Gelombang Pasang (ROB). Dalam tulisan ini hanya akan dibahas penyebab banjir dari pengaruh curah hujan tinggi. Banjir akibat hujan lebat di daerah Jakarta berpotensi terjadi pada bulan Januari dan Februari. Perlu dianalisis apa penyebab dari hujan sangat lebat pada tiga tahun itu. Diduga ada pengaruh dari fenomena MJO yang menyebabkan curah hujan lebat tersebut. Berikut ini adalah plot dari RMM1 dan RMM2 untuk mengetahui fase aktif dan lemah MJO.
27
awal Februari MJO aktif
MJO aktif
(a)
(b)
Gambar 23 Plot data RMM1/2 (a) dan diagram fase MJO (sumber: Bureau of Meteorology Research Centre, 1996) (b) periode 1 Desember 1995 – 31 Maret 1996
akhir Januari MJO aktif
MJO aktif (a)
(b)
Gambar 24 Plot data RMM1/2 (a) dan diagram fase MJO (sumber: Bureau of Meteorology Research Centre, 2002) (b) periode 1 Desember 2001 – 31 Maret 2002
awal Februari MJO lemah
MJO lemah
(a)
(b)
Gambar 25 Plot data RMM1/2 (a) dan diagram fase MJO (sumber: Bureau of Meteorology Research Centre, 2007) (b) periode 1 Desember 2006 – 31 Maret 2007
28
Diagram pergerakan MJO pada Gambar 23, 24, dan 25 (b) memperlihatkan bagaimana fase MJO ketika curah hujan tinggi pada tahun 1996, 2002, dan 2007 yang menyebabkan banjir di Jakarta. Pada awal Februari 1996 tepatnya tanggal 3, 9, 10, 11 Februari MJO berada pada fase aktif, begitu pula pada akhir Januari 2002 (Gambar 24). MJO aktif tersebut berpengaruh pada meningkatnya curah hujan. Salah satu wilayah yang terkena dampaknya yaitu Jakarta. Menurut Dr. Fadli Syamsudin, ada empat faktor pemicu curah hujan tinggi yang berdampak banjir di Jakarta dari sisi klimatologi, yaitu cold surge, fenomena MJO, El Nino/La Nina Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) dari Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, dan faktor lokal seperti Jakarta yang memiliki pola harian curah hujan yang dipengaruhi lingkungan maritim di sekitarnya juga memicu tingginya curah hujan. Pada awal Februari 2007 terjadi banjir besar akibat sangat lebatnya curah hujan harian, terutama pada tanggal 1-5 Februari. Dugaan awal yatu bahwa ada pengaruh dari fenomena MJO pada saat itu, seperti yang terjadi pada tahun 1996 dan 2002. Namun dugaan awal itu salah karena berdasarkan data RMM dan melihat diagram fase pergerakan MJO, ternyata pada awal Februari 2007 MJO berada dalam fase lemah. Nilai RMM1 dan RMM2 juga berhubungan dengan angin, sehingga pada penelitian ini dianalisis pula vektor angin saat kejadian curah hujan ekstrim tahun 2007. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Rahmat Genorwo tahun 2009, pola pergerakan angin menunjukkan adanya pergerakan vortex di Selatan Pulaw Jawa saat kejadian curah hujan ekstrim tahun 2002 dan 2007. Fenomena vortex dimulai tanggal 23 Januari 2002 hingga berakhir 26 Januari 2002 dan tanggal 1 Februari untuk periode tahun 2007. Gerak turbulensi vektor angin akan menyebabkan terjadinya curah hujan tinggi. Namun fenomena vortex bukan merupakan efek dominan penyebab curah hujan ekstrim. MJO terlihat jelas dari aktivitas awanawan Cb yang dapat dilihat berdasarkan data radiasi gelombang panjang (OLR). Untuk itu perlu dilihat bagaimana anomali OLR pada awal Februari 2007. Warna biru pada Gambar 26 menunjukkan anomali OLR negatif (MJO aktif), sedangkan warna orange menunjukkan anomali OLR positif (MJO tidak aktif).
anomali OLR (+) MJO lemah
Gambar 26 Time-longitude section anomali OLR pada 3°LU–8°LS dan 105°BT-108°BT Januari–Maret 2007 (sumber: NOAA, 2007) Pada Gambar 26 terlihat bahwa awal Februari 2007 anomali OLR positif, sehingga tidak menunjukkan adanya kumpulan awanawan tinggi (Super Cloud Cluster). Analisis data RMM dan OLR semakin menguatkan argumen penulis bahwa curah hujan tinggi di Jakarta awal Februari 2007 bukanlah disebabkan oleh fenomena MJO. Fakta ini sekaligus membantah apa yang pernah diungkapkan oleh Erwin Mulyana (2008), bahwa kejadian banjir pada Februari 2007 disebabkan oleh adanya MJO aktif. Diduga ada fenomena lain yang menyebabkan curah hujan sangat lebat pada awal Februari 2007. Hasil penelitian Peiming Wu et al. (2007), curah hujan sangat lebat yang menyebabkan banjir pada awal Februari 2007 disebabkan oleh pengaruh massa udara dingin yang bergerak dari Siberia ke kawasan ekuator melalui pesisir Jawa (cold surge ), dan adanya pengaruh dari pergerakan Monsun yang melewati ekuator.
29
Di daerah tropis aktivitas konveksi di atas lautan lebih aktif dibanding di daratan dengan variasi yang besar. Sebagai akibat pertumbuhan awan konvektif yang besar, maka curah hujan variasinya sangat besar, namun untuk tahun 2007, konveksi pada tanggal 1 Februari 2007 sedikit melemah. Hal yang perlu diperhatikan adalah terdapat delay waktu kejadian hujan sebelum terjadi curah hujan ekstrim tersebut, secara fisis dianalisis sebagai pengumpulan energi di atmosfer sebagai penyebab curah hujan ekstrim. Analisis jangka pendek untuk melihat peluang hujan lebat pada saat MJO difokuskan hanya di empat kota kawasan barat Indonesia, yaitu Jakarta, Palembang, Lampung, dan Kerinci pada tahun 2006, 2007, dan 2008.
sampai mencapai tingkat matang dan menjadi hujan dibutuhkan inti kondensasi, uap air, energi dalam jumlah yang besar. Sehingga jika MJO aktif tetapi tidak menimbulkan curah hujan, hal itu dikarenakan awan-awan tersebut belum mencapai inti kondensasi sehingga terus bergerak dan bergabung dengan butir awan lain dan membentuk ukuran butir yang lebih besar lagi sehingga gaya berat mampu melawan daya angkat ke atas, dan butit dapat turun sebagai hujan. Tabel 11 juga sekaligus menunjukkan bahwa MJO tidak selalu identik dengan intensitas curah hujan yang tinggi.
Tabel 11 Peluang kejadian curah hujan > 50 mm/hari saat MJO aktif dan tidak aktif di wilayah Jakarta, Lampung, Palembang, dan Kerinci
5.1 Kesimpulan 1. Melalui metode Box Jenkins, model prediksi yang mendekati untuk data deret waktu RMM1/2 adalah ARIMA (2,1,2), yang artinya bahwa prakiraan data RMM1/2 untuk waktu mendatang tergantung dari data dan galat dua hari sebelumnya. 2. Hasil validasi nilai RMM dengan nilai prediksi untuk per iode 2 Maret 2009 – 2 Juni 2009, menunjukkan bahwa nilai prediksi dengan model ARIMA (2,1,2) mendekati nilai RMM data asli, dengan rata-rata galat yang diperoleh yaitu 0.17 (RMM1) dan 0.15 (RMM2). 3. MJO fase aktif tidak selalu diikuti dengan hujan deras di Indonesia. MJO aktif berpeluang menimbulkan hujan deras di Indonesia ketika terjadi pada bulan basah (DJFM). Pada tahun 1996 dan 2002 MJO menjadi salah satu penyebab hujan deras (mencapai 200 mm/hari) yang menyebabkan banjir (studi kasus: Jakarta). Namun kejadian hujan deras yang menyebabkan banjir pada Februari 2007 terjadi ketika MJO dalam fase lemah, sehingga diduga ada fenomena lain yang menyebabkan hujan deras tersebut.
Stasiun Halim P.
Kemayoran
Tj. Priok
PD. Betung
Palembang
Lampung
Kerinci
Tahun
A (%)
B (%)
2006 2007 2008 2006 2007 2008 2006 2007 2008 2006 2007 2008 2006 2007 2008 2006 2007 2008 2006 2007 2008
1.33 0.95 0.97 2.21 3.33 2.2 1.77 3.81 2.64 0.99 2.38 3.08 1.77 2.38 3.08 2.46 4.09 2.2 0.88 1.03 0.88
2.16 3.23 0.78 2.88 3.23 0.72 0 3.23 1.45 1.8 2.58 0 2.16 3.23 2.17 0.99 1.5 0.72 0.72 0 0
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Ket: A = Peluang CH > 50 mm/hari saat MJO aktif B = Peluang CH > 50 mm/hari saat MJO tidak aktif
5.2 Saran • Untuk meningkatkan keakuratan dalam prakiraan selanjutnya, sebaiknya model diperbaharui dengan data baru yang diperoleh.
Tabel 11 menunjukkan bahwa peluang hujan lebat saat terjadinya MJO aktif adalah kecil (kurang dari 5%). Pertumbuhan awan
• Penulis menyarankan untuk menggunakan metode prediksi (berbasis statistik) yang lebih baik lagi pada penelitian selanjutnya.
30
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 18 Januari 2008. Osilasi MaddenJulian, Biang Hujan Lebat?. Kompas. http://www2.kompas.com/kompascetak/0801/18/humaniora/4173614.htm [Mei 2009]
Gernowo, Rahmat. 2009. Dinamika Atmosfer pada Curah Hujan Ekstrim dan Penerapan Modifikasi Cuaca Sistem Statis di daerah DKI Jakarta [disertasi]. Bandung: Institut Tekonogi Bandung. Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta: Pustaka Jaya.
[Anonim]. 20 Feb 2009. Banjir bandang bisa dideteksi dari cold surge dan MJO. Antara News. http://www.antara.co.id/view/?i=12351209 45&c=WBM&s= [Mei 2009]
Hermaw an, Eddy . 2002. Perbandingan antara Radar Atmosfer Khatulistiwa dengan M iddle and Upper Atmosphere Radar dalam pemantauan angin zonal dan angin meridional. Warta LAPAN 4, 1:8-16.
Aldrian, Edvin. 2000. Pola hujan rata-rata bulanan wilayah Indonesia; tinjauan hasil kontur data penakar dengan resolusi ECHAM T -42. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 1, No. 2, 2000:113123.
Hermawan E et al. 2007. Analisis Hubungan antara Propagasi dan Struktur Vertikal MJO dengan Perilaku Curah Hujan yang terjadi di atas Kototabang dan Kawasan Sekitarnya Berbasis Hasil Analisis Data EAR, BLR, Radiosonde dan NCEP/NCAR Re-analysis. Bandung: LAPAN.
As-syakur AR. 2008. Faktor penyebab banjir. http://mbojo.wordpress.com/2008/04/07/fa ktor-penyebab-banjir-2-perubahanlingkungan/ [April 2009] Beasley JE. 2002. OR-Notes. Series of Introductory Notes. UK: Imperial College. http://www.ms.ic.ac.uk/jeb/or/forecast.htm l Bey, Ahmad. 1987. Metode Kausal dan Time Series Untuk Analisis Data Iklim. Bogor: IPB. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2009. Evaluasi musim hujan dan musim kemarau 2009 Propinsi Banten dan DKI Jakarta. Tangerang: Stasiun Klimatologi Pondok Betung. Box GEP, Jenkins GM, Reinsel GC. 1976. Time Series Analysis: Forecasting and Control. San Fransisco : Holden-Day.
Jarret J. 1991. Business Forecasting Methods (2nd ed.). Oxford :Basil Blacwell. Juniarti et al. 2002. Korelasi antara Outgoing Longwave Radiation (OLR) dan Total Precipitable Water (TPW) di wilayah Indonesia periode 1996 – 1999. Kontribusi Fisika Indonesia 13:3. Kadarsah. 2007. Tiga pola curah hujan Indonesia. http://kadarsah.wordpress.com [15 Mei 2009]. Kalnay E, Coauthors. 1996. The NCEP/NCAR 40-year reanalysis project. Amer Meteorl Soc 77: 437 –471. Kyong HS. 2008. Evaluation of MJO forecast Skill from s everal statistical and dynamical forecast models. J Clim.
Bureau of Meteorology Research Centre. An RMM values up to "real time". . http://www.bom.gov.au/bmrc/clfor/cfstaff/ matw/maproom/RMM/// [10 Juni 2009]
Lau KM, Chan PH. 1986. Aspects of the 40±50 day oscillation during the northern summer as inferred from outgoing longwave radiation. Month Weather Rev 114: 1354-1367.
Chatfield C. , 1984 , The Analysis of Time Series : An Introduction. London: Chapman and Hall.
Lestari D. 2009. Cold Surge dan MJO Pemicu Banjir Bandang. Antara News 14 Februari 2009.
Cryer JD. 1986. Time Series Analysis . USA: PWS Publishers.
Madden RA, Julian P. 1971. Detection of a 40±50 day oscillation in the zonal wind in the tropical Pacific. J Atmos Sci 28: 702708.
31
Madden RA, Julian P. 1972. Description of global –Svale circulation cells in tropics with a 40-50 day period. J Atmos Sci 29:1109-1123. Madden RA, Julian P. 1994. Observations of the 40-50 day tropical oscillation. Month Weather Rev 122:814-837. Makridakis et al. 19 88. Metode dan Aplikasi Peramalan. Jilid Satu Ed ke-2. Untung SA dan Abdul B, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Forecasting, 2nd Edition. Matthews AJ. 2000. Propagation mechanisms for the Madden-Julian Oscillation. Quart J Roy Meteor Soc 126: 2637 -2652. Mulyana, 2004. Analisis Data Deret Waktu. Bandung : Universitas Padjajaran. Mulyana, Erwin. 2008. The Expert Program for Climate Prediction in Asia-Pasific. Prosiding Country Report; 22 Sept-7 Nov 2008. [NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. Monitoring and data Outgoing Longwave Radiation. http://www.cpc.noaa.gov/products/precip/ CWlink/daily_mjo_index/proj_norm_orde r.ascii [17 Juni 2009] Nurhayati N. 2007. Propagasi dan Struktur Vertikal MJO Indonesia Bagian Barat Berbasis hasil Analisis Data EAR, BLR, Radiosonde, dan NCEP/NCAR Reanalysis [skripsi]. Bogor: Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Santoso, Singgih. 2002. SPSS versi 10 Mengolah Data Statis tik Secara Profesional . Jakarta: PT. Elex Medis Komputindo Kelompok Gramedia. Seto TH. 2002. Pengamatan Osilasi Madden Julian dengan radar atmosfer equator (EAR) di Bukittinggi Sumatera Barat. Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca 3:121 -124. Sudjana. 1982. Statistika untuk Ekonomi dan Niaga. Ed ke-2. Bandung: Tarsito. Susandi, Armi. 2008. Pengaruh Kenaikan Muka Laut dan Gelombang Pasang pada
Banjir Jakarta. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Jakarta Tikno S, Nike. 2004. Penerapan model ARIMA untuk prakiraan kondisi curah hujan wilayah kasus: Sub DAS Saguling. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca 5:1. Wheeler MC, Hendon HH. 2004. An allseason real-time multivariate MJO index: development of an index for monitoring and prediction. Month Weather Rev 132:1917-1932. Wu, Peiming et al. 2007. The impact of transequatorial Monsoon flow on the formation of repeated torrential rains over Java Island. SOLA 3:93-96. Xianan et al. 2008. Assessing the skill of an all-s eason statistical forecast model for the Madden–Julian Oscillation. Amer Meteorl Soc 136:1940-1956. Yasunari T. 1979. Cloudiness fluctuations associated with the Northern Hemisphere M onsoon. J Meteor Soc Jpn 58: 225± 229.
32
LAMPIRAN
33
Lampiran 1 Penaksir parameter untuk model ARIMA (1,1,1), (1,1,2), (1,1,3), (1,1,4), (1,1,5), (2,1,1), (2,1,3), (2,1,4), (2,1,5) dari data Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2)
RMM1Model_1
Constant AR
Lag 1
Difference
RMM2Model_2
Lag 1
AR
Lag 1
MA
Lag 1
Difference
Lag 1
Difference MA AR
Lag 1
MA
Lag 1 Lag 2
Constant Difference
RMM1Model_1
Lag 1
Difference MA
Lag 1 Lag 3
AR
Lag 1
MA
Lag 1 Lag 2 Lag 3
Constant Difference
0.004
0.008
0.993
0.561
0.013
44.501
0
-0.102
0.015
-6.76
0
0.574
0.013
43.699
0
-0.032
0.016
-2.024
0.043
6.55E- 05
0.004
0.016
0.988
Estimate
SE
t
Sig.
3.88E- 05
0.005
0.009
0.993
0.61
0.021
28.571
0
-0.051
0.024
-2.154
0.031
0.043
0.017
2.576
0.01
0.63
0.021
29.332
0
0.025
0.024
1.058
0.29
0.048
0.016
2.938
0.003
6.97E- 05
0.004
0.016
0.987
Estimate
SE
t
Sig.
3.87E- 05
0.005
0.009
0.993
0.621
0.035
17.571
0
-0.042
0.037
-1.132
0.258
0.05
0.026
1.953
0.051
0.012
0.016
0.724
0.469
0.646
0.034
19.029
0
0.039
0.035
1.115
0.265
0.057
0.023
2.467
0.014
0.012
0.015
0.801
0.423
7.00E- 05
0.004
0.016
0.987
1 Lag 2
RMM2Model_2
3.60E- 05
1
Constant AR
Sig.
1 Lag 1 Lag 2
RMM2Model_2
t
1
Constant AR
SE
1
MA
Constant
RMM1Model_1
Estimate
1
34
Lampiran 1 Lanjutan
RMM1Model_1
Constant AR
Lag 1
Difference MA
Lag 3 Lag 4 AR
Lag 1
MA
Lag 1 Lag 2 Lag 3 Lag 4
Constant Difference
AR
0.008
0.993
0.049
11.073
0
-0.114 -7.85E05
0.05
-2.302
0.021
0.033
-0.002
0.998
-0.021
0.02
-1.059
0.29
-0.058
0.013
-4.335
0
0.55
0.05
11.027
0
-0.054
0.05
-1.073
0.283
0.002
0.031
0.073
0.942
-0.019
0.019
-1.004
0.315
-0.055
0.013
-4.115
0
7.19E- 05
0.004
0.017
0.987
Estimate
SE
t
Sig.
3.57E- 05
0.005
0.008
0.994
0.359
0.071
5.031
0
-0.299
0.071
-4.199
0
Lag 2
-0.12
0.047
-2.559
0.011
-0.088
0.026
-3.388
0.001
-0.105
0.017
-6.178
0
-0.076
0.014
-5.525
0
0.469
0.089
5.258
0
-0.135
0.09
-1.514
0.13
-0.047
0.054
-0.862
0.389
-0.046
0.03
-1.506
0.132
-0.071
0.02
-3.625
0
-0.025
0.016
-1.524
0.127
7.32E- 05
0.004
0.017
0.986
Lag 5 AR
Lag 1
MA
Lag 1 Lag 2 Lag 3 Lag 4 Lag 5
Difference
0.005
0.543
1
Lag 4
Constant
3.78E- 05
Lag 1 Lag 3
RMM2Model_2
Sig.
Lag 1
Difference MA
t
1
Constant RMM1Model_1
SE
1 Lag 1 Lag 2
RMM2Model_2
Estimate
1
35
Lampiran 1 Lanjutan
RMM1Model_1
Constant AR
Lag 1 Lag 2
Difference RMM2Model_2
Lag 1
AR
Lag 1 Lag 2 Lag 1
Constant Difference
RMM1Model_1
Lag 1 Lag 2
Difference MA AR
Lag 1 Lag 2
MA
Lag 1 Lag 2
Constant Difference
RMM1Model_1
Lag 1 Lag 2
Difference MA
AR
0.004
0.008
0.993
0.318
0.133
2.382
0.017
0.154
0.085
1.804
0.071
-0.345
0.132
-2.619
0.009
1.569
0.008
208.092
0
-0.608
0.008
-80.685
0
1
0.002
551.92
0
5.32E- 06
2.86E- 05
0.186
0.852
Estimate
SE
t
3.88E- 05
0.005
0.681
0.388
1.753
0.08
-0.041
0.22
-0.185
0.854
0.02
0.388
0.051
0.96
0.05
0.04
1.244
0.213
0.714
0.342
2.09
0.037
-0.05
0.199
-0.249
0.804
0.109
0.342
0.319
0.75
0.05
0.018
2.771
0.006
6.98E- 05
0.004
0.016
0.987
Estimate
SE
t
3.88E- 05
0.005
0.009
0.993
-0.388
0.03
-12.907
0
0.611
0.045
13.661
0
0.009
Sig. 0.993
Sig.
1 Lag 1
-1.049
0.025
-41.539
0
Lag 2
-0.005
0.031
-0.167
0.868
0.044
0.017
2.628
0.009
0.094
0.274
0.342
0.733
0.366
0.164
2.231
0.026
Lag 3 RMM2Model_2
3.74E- 05
1
Constant AR
Sig.
1 Lag 1 Lag 2
RMM2Model_2
t
1
Constant AR
SE
1
MA
MA
Estimate
Lag 1 Lag 2
36
Lampiran 1 Lanjutan
Estimate MA
Lag 1 Lag 2 Lag 3
Constant Difference
RMM1Model_1
Lag 1 Lag 2
Difference MA
Lag 3 Lag 4 AR
Lag 1 Lag 2
MA
Lag 1 Lag 2 Lag 3 Lag 4
Constant Difference
RMM1Model_1
Lag 1 Lag 2
Difference MA
-0.513
0.274
-1.871
0.061
0.088
0.031
2.824
0.005
0.058
0.017
3.456
0.001
7.06E-05
0.004
0.016
0.987
Estimate -1.38E05
SE 3.01E05
t
Sig.
-0.458
0.647
1.731
0.011
159.977
0
-0.768
0.01
-74.576
0
1.099
0.015
74.701
0
0.028
0.015
1.928
0.054
-0.099
0.011
-8.658
0
-0.029
0.011
-2.597
0.009
1.649
0.026
64.624
0
-0.685
0.024
-28.54
0
1.064
0.02
53.772
0
0.006
0.016
0.383
0.701
-0.059
0.014
-4.231
0
-0.011 -1.80E06
0.014 1.74E05
-0.801
0.423
-0.104
0.917
1
Constant AR
Sig.
1 Lag 1 Lag 2
RMM2Model_2
t
1
Constant AR
SE
Estimate
SE
t
Sig.
1.93E- 06
1.58E- 05
0.122
0.903
1.648
0.027
61.832
0
-0.688
0.025
-27.644
0
1.015
0.023
44.351
0
1 Lag 1 Lag 2 Lag 3 Lag 4 Lag 5
0.059
0.016
3.779
0
-0.075
0.014
-5.226
0
-0.066
0.014
-4.722
0
0.067
0.012
5.387
0
37
Lampiran 1 Lanjutan
Estimate RMM2Model_2
AR
Lag 1 Lag 2
MA
Lag 1 Lag 2 Lag 3 Lag 4 Lag 5
Constant Difference
SE
t
Sig.
1.718
0.015
116.059
0
-0.752
0.013
-55.896
0
1.151
0.012
93.435
0
-0.035
0.013
-2.767
0.006
-0.091
0.015
-6.115
0
-0.067
0.013
-5.069
0
0.041 -4.50E05
0.012
3.424
0.001
7.78E- 05
-0.578
0.563
1
38
Lampiran 2 Hasil validasi data asli RMM dan RMM2 dengan hasil prakiraan menggunakan model ARIMA (2,1,2) periode 2 Maret 2009 – 2 Juni 2009
No
Tanggal
RMM1 (data asli)
1
02/03/2009
1.106
2
03/03/2009
0.974
3
04/03/2009
0.842
4
05/03/2009
0.680
5
06/03/2009
0.731
6
07/03/2009
0.438
7
08/03/2009
0.272
8
09/03/2009
-0.081
9
10/03 /2009
-0.614
10
11/03/2009
-1.054
11
12/03/2009
-1.281
12
13/03/2009
-1.292
13 14
14/03/2009 15/03/2009
-1.045 -0.551
15
16/03/2009
-0.225
16 17
17/03/2009 18/03/2009
0.119 0.321
18
19/03/2009
0.761
19
20/03/2009
0.729
20
21/03/2009
0.767
21
22/03/2009
0.562
22
23/03/2009
0.129
23
24/03/2009
-0.277
24
25/03/2009
-0.817
25
26/03/2009
-1.486
26
27/03/2009
-1.903
27
28/03/2009
-2.207
28
29/03/2009
-2.377
29
30/03/2009
-2.494
30
31/03/2009
-2.758
31
01/04/2009
-2.703
32
02/04/2009
-2.334
33
03/04/2009
-1.873
34
04/04/2009
-1.440
35
05/04/2009
-1.118
36
06/04/2009
-0.864
37 38
07/04/2009 08/04/2009
-0.878 -0.559
RMM1 (Prediksi)
Galat
1.074 1.138 0.883 0.766 0.579 0.773 0.236 0.188 -0.311 -0.942 -1.315 -1.412 -1.295 -0.887 -0.244 -0.040 0.336 0.436 1.046 0.679 0.808 0.422 -0.139 -0.518 -1.156 -1.898 -2.143 -2.396 -2.477 -2.568 -2.927 -2.651 -2.102 -1.594 -1.179 -0.925 -0.710 -0.897
0.032 -0.164 -0.042 -0.086 0.151 -0.335 0.037 -0.269 -0.302 -0.112 0.034 0.120 0.250 0.336 0.019 0.159 -0.015 0.324 -0.317 0.087 -0.245 -0.293 -0.137 -0.300 -0.330 -0.005 -0.064 0.019 -0.017 -0.190 0.224 0.317 0.229 0.154 0.061 0.060 -0.168 0.337
39 Lampiran 2 Lanjutan No 39
09/04/2009
RMM1 (data asli) -0.408
40
10/04/2009
-0.463
41
11/04/2009
-0.389
42
12/04/2009
0.329
43
13/04/2009
1.045
44
14/04/2009
1.472
45
15/04/2009
2.022
46
16/04/2009
2.254
47
17/04/2009
2.174
48
18/04/2009
2.014
49
19/04/2009
1.75
50
20/04/2009
1.855
51
21/04/2009
1.713
52 53
22/04/2009 23/04/2009
1.658 1.351
54
24/04/2009
1.229
55 56
25/04/2009 26/04/2009
0.935 0.47
57
27/04/2009
-0.141
58
28/04/2009
-0.733
59
29/04/2009
-0.933
60
30/04/2009
-1.089
61
01/05/2009
-1.57
62
02/05/2009
-1.519
63
03/05/2009
-1.369
64
04/05/2009
-1.311
65
05/05/2009
-1.219
66
06/05/2009
-0.749
67
07/05/2009
-0.631
68
08/05/2009
-0.536
69
09/05/2009
-0.674
70
10/05/2009
-0.876
71
11/05/2009
-0.778
72
12/05/2009
-0.802
73
13/05/2009
-0.526
74
14/05/2009
-0.429
75
15/05/2009
-0.464
76 77
16/05/2009 17/05/2009
-0.639 -0.211
78
18/05/2009
0.074
Tanggal
RMM1 (Prediksi)
-0.341 -0.334 -0.500 -0.333 0.796 1.466 1.721 2.373 2.377 2.120 1.920 1.585 1.941 1.603 1.637 1.146 1.171 0.740 0.183 -0.519 -1.090 -1.038 -1.194 -1.881 -1.453 -1.289 -1.281 -1.158 -0.444 -0.586 -0.468 -0.770 -0.996 -0.702 -0.831 -0.338 -0.387 -0.486 -0.749 0.084
Galat
-0.068 -0.129 0.111 0.661 0.249 0.007 0.301 -0.118 -0.203 -0.107 -0.170 0.270 -0.228 0.055 -0.286 0.082 -0.237 -0.270 -0.325 -0.214 0.157 -0.052 -0.376 0.362 0.084 -0.022 0.062 0.410 -0.187 0.050 -0.206 -0.106 0.218 -0.100 0.306 -0.091 -0.077 -0.153 0.538 -0.010
40
Lanjutan Lampiran 2
19/05/2009
RMM1 (data asli) -0.125
RMM1 (Prediksi) 0.224
80
20/05/2009
-0.102
-0.265
0.163
81
21/05/2009
-0.419
-0.064
-0.355
82
22/05/2009
-0.616
-0.638
0.022
83
23/05/2009
-0.596
-0.719
0.123
84
24/05/2009
-0.690
-0.578
-0.112
85
25/05/2009
-0.522
-0.759
0.237
86
26/05/2009
-0.433
-0.403
-0.030
87
27/05/2009
-0.443
-0.390
-0.053
88
28/05/2009
-0.121
-0.451
0.331
89
29/05/2009
0.264
0.095
0.169
90
30/05/2009
0.587
0.493
0.094
91
31/05/2009
0.521
0.781
-0.260
92 93
01/06/2009 02/06/2009
0.435 0.582
0.463 0.393
-0.028 0.189
RMM2 (data asli)
RMM2 (Prediksi)
Galat -0.015
No
Tanggal
79
No
Tanggal
Gal at -0.349
1
02/03/2009
-0.151
-0.136
2
03/03/2009
0.125
-0.105
0.229
3
04/03/2009
0.112
0.294
-0.182
4
05/03/2009
0.007
0.098
-0.091
5
06/03/2009
-0.128
-0.049
-0.079
6
07/03/2009
0.168
-0.205
0.373
7
08/03/2009
0.253
0.348
-0.095
8
09/03/2009
0.207
0.291
-0.085
9
10/03/2009
0.355
0.183
0.172
10 11
11/03/2009 12/03/2009
0.288 0.341
0.449 0.242
-0.161 0.099
12
13/03/2009
0.269
0.380
-0.111
13 14
14/03/2009 15/03/2009
0.240 0.226
0.222 0.226
0.018 0.000
15
16/03/2009
0.319
0.217
0.102
16
17/03/2009
0.324
0.375
-0.050
17
18/03/2009
0.415
0.324
0.091
18
19/03/2009
0.430
0.472
-0.041
19
20/03/2009
0.757
0.436
0.320
20
21/03/2009
1.064
0.956
0.108
21
22/03/2009
0.997
1.240
-0.243
41
Lampiran 2 Lanjutan RMM2 (data asli)
RMM2 (Prediksi)
23/03/2009
1.198
0.954
0.244
24/03/2009
1.016
1.331
-0.315
24
25/03/2009
0.686
0.898
-0.212
25 26
26/03/2009 27/03/2009
0.640 0.653
0.499 0.618
0.141 0.035
27
28/03/2009
0.370
0.655
-0.284
28 29
29/03/2009 30/03/2009
0.030 -0.155
0.197 -0.167
-0.167 0.012
30
31/03/2009
-0.458
-0.263
-0.195
31
01/04/2009
-0.801
-0.645
-0.156
32
02/04/2009
-1.131
-1.003
-0.128
33
03/04/2009
-1.328
-1.328
0.000
34
04/04/2009
-1.378
-1.445
0.067
35
05/04/2009
-1.353
-1.412
0.059
36
06/04/2009
-1.668
-1.342
-0.326
37
07/04/2009
-1.929
-1.862
-0.067
38
08/04/2009
-2.136
-2.076
-0.060
39
09/04/2009
-2.351
-2.261
-0.090
40
10/04/2009
-2.480
-2.481
0.000
41
11/04/2009
-2.268
-2.558
0.290
42
12/04/2009
-2.342
-2.141
-0.201
43
13/04/2009
-2.236
-2.398
0.163
44
14/04/2009
-1.926
-2.164
0.238
45
15/04/2009
-1.175
-1.744
0.569
46
16/04/2009
-0.384
-0.728
0.344
47
17/04/2009
0.093
0.078
0.015
48
18/04/2009
0.772
0.375
0.397
49 50
19/04/2009 20/04/2009
1.177 1.272
1.188 1.414
-0.011 -0.143
51
21/04/2009
1.178
1.335
-0.157
52 53
22/04/2009 23/04/2009
1.349 1.586
1.130 1.459
0.218 0.127
54
24/04/2009
1.798
1.722
0.076
55
25/04/2009
1.913
1.923
-0.010
56
26/04/2009
2.125
1.982
0.143
57
27/04/2009
2.115
2.256
-0.140
58
28/04/2009
2.012
2.106
-0.094
59
29/04/2009
1.844
1.956
-0.111
60
30/04/2009
1.846
1.747
0.099
No
Tanggal
22 23
Galat
42
Lampiran 2 Lanjutan RMM2 (data asli)
RMM2 (Prediksi)
Galat
01/05/2009
1.760
1.850
-0.090
02/05/2009
1.289
1.704
-0.415
63
03/05/2009
1.313
1.006
0.307
64
04/05/2009
1.111
1.342
-0.230
65 66
05/05/2009 06/05/2009
1.015 1.031
0.976 0.963
0.039 0.067
67
07/05/2009
1.091
1.037
0.054
68 69
08/05/2009 09/05/2009
0.867 0.759
1.124 0.730
-0.256 0.029
70
10/05/2009
0.738
0.702
0.036
71
11/05/2009
0.568
0.724
-0.156
72
12/05/2009
0.480
0.462
0.018
73
13/05/2009
0.287
0.431
-0.144
74
14/05/2009
0.205
0.169
0.036
75
15/05/2009
0.149
0.160
-0.011
76
16/05/2009
0.356
0.112
0.244
77
17/05/2009
0.601
0.481
0.120
78
18/05/2009
0.820
0.740
0.080
79
19/05/2009
1.144
0.949
0.195
80
20/05/2009
1.468
1.340
0.128
81
21/05/2009
1.329
1.660
-0.331
82
22/05/2009
1.459
1.243
0.216
83
23/05/2009
1.153
1.551
-0.398
84
24/05/2009
0.795
0.961
-0.166
85
25/05/2009
0.637
0.593
0.044
86
26/05/2009
0.654
0.546
0.108
87
27/05/2009
0.518
0.660
-0.141
88
28/05/2009
0.350
0.431
-0.081
89 90
29/05/2009 30/05/2009
0.535 0.814
0.252 0.648
0.282 0.166
91
31/05/2009
0.893
0.972
-0.079
92 93
01/06/2009 02/06/2009
1.178 1.248
0.936 1.356
0.243 -0.107
No
Tanggal
61 62
43
Lampiran 3 Coding program penentuan fase pergerakan MJO Dim i As Integer Private Sub cmdExit_Click() End End Sub Private Sub cmdInputFile_Click() 'Listing code bawah ini digunakan untuk memilih nama file input On Error GoTo out1 txtInput.Text = " " Dialog1.DialogTitle = "open file data RMM1 dan RMM2" 'Dialog1.InitDir = CurDir Dialog1.Filter = "comma delimited (*.csv)|*.csv|all files (*.*)|*.*|" Dialog1.ShowOpen txtInput.Text = Dialog1.FileName out1: Exit Sub End Sub Private Sub cmdOutputFile_Click() 'Listing code bawah ini digunakan untuk memilih nama file output txtOutput.Text = "" Dialog1.DialogTitle = "save output" Dialog1.InitDir = CurDir Dialog1.Filter = "comma delimited (*.csv)|*.csv|all files (*.*)|*.*|" Dialog1.ShowSave txtOutput.Text = Dialog1.FileName End Sub Private Sub cmdrun_Click() Dim power As String Dim RMM1, RMM2, phase Dim i, r Open txtInput.Text For Input As #1 Open txtOutput.Text For Output As #2 i=1 While Not EOF(1) Input #1, tanggal, RMM1, RMM2 If RMM1 < RMM2 And RMM1 < 0 And RMM2 < 0 Then phase = 1 If RMM1 > RMM2 And RMM1 < 0 And RMM2 < 0 Then phase = 2 If RMM1 < (-1 * RMM2) And RMM1 > 0 And RMM2 < 0 Then phase = 3 If RMM1 > -1 * RMM2 And RMM1 > 0 And RMM2 < 0 Then phase = 4 If RMM1 > RMM2 And RMM1 > 0 And RMM2 > 0 Then phase = 5 If RMM1 < RMM2 And RMM1 > 0 And RMM2 > 0 Then phase = 6 If RMM1 > -1 * RMM2 And RMM1 < 0 And RMM2 > 0 Then phase = 7 If RMM1 < -RMM2 And RMM1 < 0 And RMM2 > 0 Then phase = 8 If Sqr((RMM1 ^ 2) + (RMM2 ^ 2)) < 1 Then power = " weak" If Sqr((RMM1 ^ 2) + (RMM2 ^ 2)) > 1 Then power = " strong"
44
Write #2, i, tanggal, RMM1, RMM2, phase, power i=i+1 Wend jmlhdata = i Close #2 Close #1 'Tabel b=i With Tabel1 ProgressBar1.Max = jmlhdata ProgressBar1.Value = 0 Open txtOutput.Text For Input As #1 While Not EOF(1) ProgressBar1.Value = ProgressBar1.Value + 1 On Error Resume Next j=1 Input #1, i, tanggal, RMM1, RMM2, phase, power j=j+1 .Rows = b .Cols = 6 .Row = 0 .Col = 0: .Clip = "i": .ColWidth(0) = 650 .Col = 1: .Clip = "tanggal": .ColWidth(1) = 850 .Col = 2: .Clip = "RMM1": .ColWidth(2) = 850 .Col = 3: .Clip = "RMM2": .ColWidth(3) = 850 .Col = 4: .Clip = "phase": .ColWidth(4) = 900 .Col = 5: .Clip = "power": .ColWidth(5) = 900
.Row = i .Col = 0: .Clip = Val(Format(i, "##")) .Col = 1: .Clip = Val(Format(tanggal, "### #####")) .Col = 2: .Clip = Val(Format(RMM1, "#.###")) .Col = 3: .Clip = Val(Format(RMM2, "#.###")) .Col = 4: .Clip = Val(Format(phase, "#")) .Col = 5: .Clip = Format(power, "$") Wend Close #1 End With End Sub
45
Lampiran 4 Coding Power Spectral Density data=xlsread('RMM_OLR',2,'l2:m1960'); [m,n]=size(data); y=data; [spec,f]= fftrl(y,t); spec=real(spec).^2+imag(spec).^2; %rms frekuensi f=1./f; figure;semilogx(f,spec);grid on set (gca,'xtick',[0 10^0 5 6 7 8 9 10 15 20 40 60 80 100 200 300 400]) xlabel('Periode (Hari)','fontweight','bold','fontsize',16) ylabel('Energi Spektral (W/m2/Hz)','fontweight','bold','fontsize',16) title('Power Spectral Density RMM1 dan RMM2 Periode 3 Maret 1979 3 Maret 2009','fontweight','bold','fontsize',14)
46
Lampiran 5 Plot RMM1 dan RMM2 tahun 1995, 1997, 1998, 1999, 2000, 2001, 2003, 2004, 2005, 2006, 2008
47
Lampiran 5 Lanjutan
48
(a)
(b)
(c) Lampiran 6 Grafik curah hujan wilayah Jakarta periode 1 Desember – 31 Maret 1996 (a), 2002 (b), dan 2007 (c)