19
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 hal. 19-26
PENGEMBANGAN EKSPERT SISTEM BERBASIS INDEKS ENSO, DMI, MONSUN DAN MJO UNTUK PENENTUAN AWAL MUSIM Eddy Hermawan, Juniarti Visa, Trismidianto, Krismianto, Ibnu Fathrio, dan Ining Sunarsih Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jln. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 E-mail :
[email protected]
INTISARI Makalah ini tujuan utamanya adalah mengembangkan suatu model prediksi curah hujan di satu kawasan sentra produksi tanaman pangan berbasis kepada hasil analisis indeks fenomena iklim dan cuaca global, yakni ENSO, DMI, Monsun dan MJO. Selain itu juga ingin mengetahui “precursor” (indikasi awal) bila anomali datangnya awal musim penghujan/kemarau di kawasan sentra produksi tanaman pangan yang dianalisis. Berbasis hasil analisis data SST Nino 3.4 periode Januari 1950 - Januari 2009, DMI periode Maret 1958 - Agustus 2008, SOI periode Januari 1876 - Januari 2009, OLR Pentad periode 3 Januari 1978 - 25 Oktober 2009 dan Monsoon Index periode 1 Januari 1948 - 31 Desember 2008 dengan mengaplikasikan teknik analisis spektral (Power Spectral Density, PSD) menunjukkan bahwa fenomena Monsun tetap merupakan fenomena dominant yang ada di kawasan Indonesia. Hal ini terbukti bahwa Indian Summer Monsoon Index (ISMI), Australian Monsoon Index (AMI), dan Western North Pacific Monsoon Index (WNPMI) tetap merupakan osilasi dominan yang ada di tanah air. Begitupun analisis curah hujan bulanan yang ada di beberapa kawasan Sumatera Barat, osilasi dua belas (12) bulanan tetap masih mendominasi. Dengan demikian, maka dipandang perlu untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang karakteristik, mekanisme, struktur vertikal Monsun Indonesia berbasis data in-situ yang ada. Kata kunci : expert system, data iklim global, dan awal musim
I.
Pendahuluan
Ide dasar dilakukannya penelitian ini berawal ketika dipandang perlu untuk dilakukannya suatu sistem pakar (expert system) di bidang aplikasi sains atmosfer dan iklim. Sistem pakar merupakan suatu program komputer yang mengandung pengetahuan dari satu atau lebih pakar manusia mengenai suatu bidang spesifik. Jenis program ini pertama kali dikembangkan oleh periset kecerdasan buatan pada dasawarsa 1960-an dan 1970-an dan diterapkan secara komersial selama 1980-an. Bentuk umum sistem pakar adalah suatu program yang dibuat berdasarkan suatu set aturan yang menganalisis informasi (biasanya diberikan oleh pengguna suatu sistem) mengenai suatu kelas masalah spesifik serta analisis matematis dari masalah tersebut. Tergantung dari desainnya, sistem pakar juga mampu merekomendasikan suatu rangkaian tindakan pengguna untuk dapat menerapkan koreksi. Sistem ini memanfaatkan kapabilitas penalaran untuk mencapai suatu kesimpulan. Secara umum, sistem pakar adalah sistem yang berusaha mengadopsi pengetahuan manusia ke komputer yang dirancang untuk memodelkan kemampuan menyelesaikan masalah seperti layaknya seorang pakar. Dengan sistem pakar ini, orang awam pun dapat menyelesaikan masalahnya atau hanya sekedar mencari suatu informasi berkualitas yang sebenarnya hanya dapat diperoleh dengan bantuan para ahli di bidangnya. Sistem pakar ini juga akan dapat membantu aktivitas para pakar sebagai asisten yang berpengalaman dan mempunyai asisten yang berpengalaman dan mempunyai pengetahuan yang dibutuhkan. Dalam penyusunannya, sistem pakar mengkombinasikan kaidah-kaidah penarikan kesimpulan (inference rules) dengan basis pengetahuan tertentu yang diberikan oleh satu atau lebih pakar dalam bidang tertentu. Kombinasi dari kedua hal tersebut disimpan dalam komputer, yang selanjutnya digunakan dalam proses pengambilan keputusan untuk penyelesaian masalah tertentu. Oleh karena itu sistem pakar umumnya dicirikan oleh: memiliki informasi yang handal, mudah dimodifikasi, dapat digunakan dalam berbagai jenis computer, dan memiliki kemampuan untuk belajar beradaptasi. Secara garis besar, banyak manfaat yang dapat diambil dengan adanya sistem pakar, antara lain: memungkinkan orang awam bisa mengerjakan pekerjaan para ahli, dapat melakukan proses secara berulang secara otomatis, menyimpan pengetahuan dan keahlian para pakar, meningkatkan output dan produktivitas, meningkatkan kualitas, mampu mengambil dan melestarikan keahlian para pakar (terutama yang termasuk keahlian langka), mampu beroperasi dalam lingkungan yang berbahaya, memiliki kemampuan untuk mengakses pengetahuan, memiliki reabilitas, meningkatkan kapabilitas sistem komputer, memiliki kemampuan untuk bekerja dengan informasi yang tidak lengkap dan mengandung ketidakpastian, sebagai media pelengkap dalam pelatihan, meningkatkan kapabilitas dalam penyelesaian masalah, dan menghemat waktu dalam pengambilan keputusan. Di samping memiliki beberapa keuntungan, sistem pakar juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain: biaya yang diperlukan untuk membuat dan memeliharanya sangat mahal, sulit ISSN 0853 - 0823
20
Eddy Hermawan, dkk/ Pengembangan Ekspert Sistem Berbasis Indeks ENSO, DMI, MONSUN dan MJO Untuk Penentuan Awal Musim
dikembangkan. Hal ini tentu saja erat kaitannya dengan ketersediaan pakar di bidangnya, dan Sistem Pakar tidak 100% bernilai benar. Berbasis konsep dasar pengertian sistem pakar di atas, maka tujuan utama kegiatan riset ini adalah mengembangkan model prediksi pola distribusi curah hujan di satu kawasan sentra produksi tanaman pangan berbasis kepada hasil analisis indeks fenomena iklim dan cuaca global, khususnya ENSO, DMI, Monsoon, dan MJO. Sementara tujuan lain adalah mengetahui “precursor” (indikasi awal) bila anomali datangnya awal musim penghujan/kemarau di kawasan sentra produksi tanaman pangan yang dianalisis. II. Landasan Teori Sistem Dinamika Atmosfer Indonesia Dinamika atmosfer Indonesia sangatlah kompleks. Tidak hanya faktor monsun yang relatif dominan berperan, juga faktor lain seperti kombinasi interaksi antara fenomena ENSO (El-Niño and Southern Oscillation), DMI (Dipole Mode Index) dan faktor lokal juga berperan besar. Belum lagi masalah fenomena MJO (Madden-Julian Oscillation) yang hingga kini mekanisme pembentukannya belum sepenuhnya diketahui dengan baik dan benar. Salah satu faktor terjadinya variabilitas iklim khususnya curah hujan antar tahunan di wilayah Indonesia adalah fenomena berskala global yang dikenal dengan nama ENSO. Secara umum feristiwa ENSO berulang antara 2 hingga 7 tahun. Di Indonesia, peristiwa ENSO diidentikkan dengan musim kering yang melebihi kondisi normalnya. Hal ini berbanding terbalik dengan peristiwa La-Niña yang justru menghasilkan curah hujan melebihi batasan normalnya (Ropelweski dan Halpert, 1987). Terdapat hubungan yang erat antara curah hujan di Indonesia dan indikator ENSO seperti dengan suhu permukaan laut (SST=Sea Surface Temperature) di wilayah Pasifik Timur (dikenal dengan daerah Niño) atau dengan Indeks Osilasi Selatan (SOI=Southern Oscillation Index) sebagaimana yang telah banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti (Haylock dan McBride 2001; Hendon, 2003; Aldrian, 2002; Gunawan dan Gravenhorst, 2005). Dalam dekade terakhir, fenomena yang mirip dengan ENSO tetapi berada di samudera Hindia telah mulai menarik perhatian para peneliti bidang atmosfer dan kelautan karena ternyata memberi dampak yang saling menguatkan atau memperlemah pengaruh ENSO. Peristiwa osilasi yang terjadi di wilayah barat Indonesia ini dikenal dengan sebutan DMI (Dipole Mode Index) setelah pertama kali di kemukakan oleh peneliti Jepang Yamanaga dan Saji di tahun 1992. DMI merupakan fenomena interaksi antara laut dan atmosfer di Samudera Hindia yang ditetapkan berasarkan selisih suhu permukaan laut di perairan sebelah timur benua Afrika dan di perairan Samudera Hindia sebelah barat pulau Sumatera. Selisih suhu permukaan laut kedua tempat tersebut disebut Indeks Dipole Mode (Dipole Mode Index, DMI). Pada saat DMI positif, maka pusat tekanan rendah berada di pantai timur Afrika yang menyebabkan bergesernya pusat pusat konveksi di wilayah Indonesia bagian barat menuju ke arah timur sehingga intensitas curah hujan di wilayah Indonesa bagian barat umumnya rendah. Sebaliknya, pada saat DMI negatif, justru pusat tekanan rendah berada di pantai barat P. Sumatera, sehingga pusat pusat konveksi bergeser ke arah pantai barat P. Sumatera, intensitas curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat umumnya akan relatif tinggi. Selain itu, Dipole Mode umumnya terjadi secara bebas, tidak saling mengikat dengan El-Niño dan Osilasi Selatan serta merupakan fenomena kopel atmosfer-laut yang unik di Samudera Hindia Tropis (Saji et al., 1999; Webster et al., 1999; Ashok et al., 2001). Kajian tentang peran El-Niño dan Dipole Mode, secara terpisah sebagai fenomena dalam sistem iklim di kawasan tropis telah banyak dilakukan. Namun perilaku dan peran fenomena tersebut secara bersama-sama, terhadap curah hujan belum banyak diketahui (Saji et al, 1999). Menganalisis variabilitas curah hujan tidak lepas dari pengetahuan tentang pola dasar curah hujan yang ada di wilayah Indonesia. Aldrian (2003) telah menggunakan data curah hujan periode 1961-1990 untuk mengelompokkan pola hujan ke dalam tiga tipe hujan yaitu tipe monsun, tipe anti monsun dan tipe dua puncak. Pengelompokan ini didasarkan pada pola distribusi curah hujan bulanan. Tipe hujan monsun, sesuai namanya dipengaruhi oleh sirkulasi monsun dengan puncak curah hujan berada pada bulan-bulan Desember-Januari-Februari (DJF) dan curah hujan rendah terjadi pada bulan-bulan JuniJuli-Agustus (JJA). Sebagian besar wilayah Indonesia memiliki pola hujan seperti ini. Pola hujan tipe anti-monsun berpola kebalikan dari tipe hujan monsun dalam arti waktu terjadinya periode curah hujan maksimum dan minimum. Daerah yang memiliki pola ini tidak seluas tipe monsun, dan terdapat di daerah Sulawesi Tengah bagian timur, Maluku dan bagian utara Papua. Pola hujan tipe dua puncak terdapat disekitar ekuator dari pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi
ISSN 0853 - 0823
Eddy Hermawan, dkk/ Pengembangan Ekspert Sistem Berbasis Indeks ENSO, DMI, MONSUN dan MJO Untuk Penentuan Awal Musim
21
Terlepas dari itu semua, yang penting adalah dapatkah keberadaan data iklim global (dalam bentuk indeks) seperti ENSO, DMI, Monsun dan MJO dapat digunakan dalam ikut mendukung penentuan awal musim di Indonesia, ”khususnya di kawasan sentra produksi tanaman pangan”. Hal ini penting dilakukan agar kejadian ekstrim kering berkepanjangan seperti yang terjadi pada tahun 1982 dan 1997 dapat diantisipasi kehadirannya. Dengan asumsi bahwa curah hujan yang terjadi atau turun di suatu wilayah dipengaruhi oleh iklim global, maka besarnya curah hujan (CH) yang akan turun di suatu wilayah merupakan fungsi dari fenomena global di atas yang dapat disederhanakan menjadi: CH = f (ENSO, DMI, Monsun, MJO) + Error Yang perlu diingat adalah adanya keterkaitan (interaksi) yang erat antara fenomena iklim global satu dengan lainnya. Kejadian ekstrim kering tahun 1997, terjadi akibat dua fenomena global yakni ElNino dan DMI+ terjadi secara simultan (bersamaan). Dengan kata lain, mereka tidaklah “independent” (bebas), melainkan saling terikat satu dengan lainnya (Gambar 1).
Gambar 1. Time series data DMI vs Nino 3.4 periode Januari 1997 - Desember 1998. Apa yang menyebabkan adanya perbedaan pola distribusi curah hujan di satu wilayah sentra produksi tanaman pangan dengan wilayah lainnya hingga kini belum banyak diteliti. Belum banyak diketahui tentang perilaku interaksi yang terjadi antara fenomena iklim global yang ada, baik antara ENSO dengan Dipole Mode, ENSO dengan Monsun, ENSO dengan MJO, Dipole Mode dengan Monsun, Dipole Mode dengan MJO, ataupun antara Monsun dengan MJO. Apakah Dipole Mode di Samudra Hindia mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap perilaku curah hujan di kawasan Indonesia bagian barat, masih perlu dikaji lebih mendalam. Sampai saat ini belum ada satu model iklimpun yang mampu menjelaskan keterkaitan antara fenomena ENSO, IOD, Monsoon, dan MJO dengan pola distribusi curah hujan yang terjadi di wilayah sentra produksi tanaman pangan. Perhatian utama dalam program penelitian ini adalah ingin mengembangkan suatu model prediksi pola distribusi curah hujan di wilayah produksi tanaman pangan yang tersebar di beberapa kawasan di Indonesia bagian Barat, Tengah dan Timur. III. Data dan Metode Analisis Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data SST Nino 3.4 (Januari 1950 hingga Januari 2009, DMI (Maret 1958 hingga Agustus 2008), SOI (Januari 1876 hingga Januari 2009), OLR Pentad (3 Januari 1978 hingga 25 Oktober 2009, dan Monsoon Index (1 Januari 1948 hingga 31 Desember 2008). Sementara metode analisis yang dipakai meliputi: untuk analisis temporal, maka dilakukan analisis power spectral (PSD=Power Spectral Density) untuk mengetahui osilasi dominan dari masing-masing indeks fenomena iklim dan cuaca global, analisis statistik Box-Jenkins ARIMA untuk memodelkan data curah hujan hasil penurunan data indeks fenomena iklim dan cuaca global, sementara untuk ISSN 0853 - 0823
22
Eddy Hermawan, dkk/ Pengembangan Ekspert Sistem Berbasis Indeks ENSO, DMI, MONSUN dan MJO Untuk Penentuan Awal Musim
analisis spasial akan digunakan data satelit GPCP (Global Precipitation Climatology Project). Salah satu hasil analisis data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. PSD untuk berbagai data iklim global. IV.
Hasil dan Pembahasan
Ada tiga sirkulasi utama yang mempengaruhi terjadinya anomali curah hujan di Indonesia, yakni: Sirkulasi Hadley (U-S), Walker (T-B), dan lokal. Ketiga sirkulasi tersebut saling berinteraksi satu dengan lainnya, terutama pada saat terjadinya fenomena IOD, ENSO dan Monsoon. Kapan dan di mana fenomena itu terjadi, bilamana ketiganya saling menguatkan dan saling melemahkan serta bagaimana dampak yang ditimbulkannya terhadap anomali curah hujan di kawasan Indonesia barat nampaknya akan menjadi bagian penting dalam penelitian ini. Untuk menyederhanakan permasalahan ini, maka dilakukanlah analisis spasial, berbasis hasil analisis data GPCP selama lebih dari 27 tahun pengamatan sejak Januari 1979 hingga Desember 2006 seperti tampak pada Gambar 3.
Gambar 3. Longitude-Latitude section data GPCP selama 27 tahun pengamatan untuk wilayah Indonesia. Memang agak komplikatif untuk menjelaskannya satu per satu, seperti adanya faktor lokal yang dominan seperti keberadaan Bukit Barisan di Sumatera Barat yang menyebabkan terjadinya perbedaan curah hujan yang cukup tajam antara kawasan barat dan timur P. Sumatera. Oleh karena itu, sebagai langkah pertama dibuatlah data time series untuk curah hujan yang tersebar di Sumatera Barat seperti tampak pada Gambar 4. ISSN 0853 - 0823
Eddy Hermawan, dkk/ Pengembangan Ekspert Sistem Berbasis Indeks ENSO, DMI, MONSUN dan MJO Untuk Penentuan Awal Musim
23
Gambar 4. Data time series curah hujan yang tersebar di enam stasiun penakar curah hujan di Sumatera Barat selama tujuh tahun pengamatan. Untuk menyederhanakan analisis data di atas, maka dilakukanlah analisis spektral baik untuk data iklim global ataupun data curah hujan lokal, seperti tampak pada Gambar 5 dan 6.
Gambar 5. Power Spectral Density (PSD) untuk lima belas data iklim.
ISSN 0853 - 0823
24
Eddy Hermawan, dkk/ Pengembangan Ekspert Sistem Berbasis Indeks ENSO, DMI, MONSUN dan MJO Untuk Penentuan Awal Musim
Gambar 6. Sama dengan Gambar 5, tetapi untuk data curah hujan di sebelas stasiun di Sumatera Barat. Dari Gambar 5 dan 6 terlihat bahwa fenomena Monsoon tampaknya yang mendominasi kawasan kita, terutama untuk data curah hujan di Lubuk Gadang. Hal ini terlihat jelas dari data indeks Monsoon global seperti tampak pada Gambar 7.
Gambar 7. Sama dengan Gambar 4, tetapi untuk data indeks Monsoon global. Untuk analisis lebih lanjut, maka dilakukanlah analisis wavelet untuk ketiga data indeks Monsoon global di atas, seperti tampak pada Gambar 8(a), (b), dan (c), sementara Gambar 8 (d) untuk data time series curah hujan.
ISSN 0853 - 0823
Eddy Hermawan, dkk/ Pengembangan Ekspert Sistem Berbasis Indeks ENSO, DMI, MONSUN dan MJO Untuk Penentuan Awal Musim
(a) Data ISMI (Indian Summer Monsoon Index)
(b) Data WNPMI (Western North Pacific Monsoon Index).
(c) Data AMI (Australian Monsoon Index).
(d) Data curah hujan di Lubuk Gadang
25
Gambar 8. Analisis wavelet data ISMI, WNPI, AMI, dan curah hujan di Lubuk Gadang periode Juli 2001 hingga Juli 2008. Dari rangkaian Gambar 8(a – d) terlihat bahwa ISMI dan WNPMI hampir memiliki pola yang sama (serupa), yakni dengan osilasi maksimum sekitar 12 bulanan. Sementara AMI agak berbeda pola, yakni sekitar 6 bulanan. Hal yang hingga kini menjadi tanda tanya adalah walaupun sama-sama memiliki nilai PSD sekitar 12 bulanan, namun belum tentu memiliki pola data yang sama seperti tampak pada Gambar 8 (d) untuk data curah hujan bulanan ubuk Gadang. V. KESIMPULAN Hasil analisis Power Spectral Density (PSD) selama tujuh tahun pengamatan (Juli 2001 hingga Juli 2080) menunjukkan bahwa fenomena Monsun tetap merupakan fenomena dominan yang ada di kawasan Indonesia. Hal ini terbukti bahwa Indian Summer Monsoon Index (ISMI), Australian Monsoon Index (AMI), dan Western North Pacific Monsoon Index (WNPMI) tetap merupakan osilasi dominan yang ada di tanah air. Begitupun analisis curah hujan bulanan yang ada di beberapa kawasan Sumatera Barat, osilasi dua belas (12) bulanan tetap masih mendominasi. Dengan demikian, maka dipandang perlu untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang karakteristik, mekanisme, struktur vertikal Monsun Indonesia berbasis data in-situ yang ada. VI. DAFTAR PUSTAKA Aldrian, E., 2002: Spatial Patterns of ENSO impact on Indonesian Rainfall. J. Sains & Tek. Mod. Cuaca, BPP Teknologi, 3, 5-15. Aldrian, E., R. D. Susanto, 2003, Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature, International Journal of Climatology, 23, 1435-1452 Ashok, K., Z. Guan, and T. Yamagata, 2001, Impact of the Indian Ocean Dipole and the Relationship between the Indian Monsoon Rainfall, Geophysics Reserch Letter. 28, 4499 -4502 Gunawan, D.,and G. Gravenhorst. 2005. Correlation between ENSO indices and Indonesian precipitation. Journal Meteorologi dan Geofisika, 6(4), 54-62. Haylock,M., and J.McBride, 2001: Spatial coherence and predictability of Indonesian wet season rainfall, J. Clim.,14,3882–3887. ISSN 0853 - 0823
26
Eddy Hermawan, dkk/ Pengembangan Ekspert Sistem Berbasis Indeks ENSO, DMI, MONSUN dan MJO Untuk Penentuan Awal Musim
Hendon, H.H., 2003, Indonesian Rainfall Variability : Impact of ENSO and Local Air Sea Interaction, J. Climate 16,1775-1790 Ropelewski, C.F., and M.S. Halpert, 1987 : Global and regional scale precipitation patterns associated with the El Niño/Southern Oscillation, Mon. Wea. Rev., 115, 1606-1626. Saji, N.H., B.N Goswamy, P.N Vinayachandran, 1999, Indian Ocean during 1997-1998, Nature, 401, 356 – 359 Webster, P.J., J.P. Loschnigg, A.M. Moore, and R.R. Leben, 1999, Coupled Ocean-Atmosphere Dynamics in the Indian Ocean during 1997-98, Nature, 401, 356-359.
ISSN 0853 - 0823