PENGEMBANGAN MODEL PENENTUAN PRIORITAS PERBAIKAN TERHADAP MODE KEGAGALAN KOMPONEN DENGAN METODOLOGI FMEA, FUZZY DAN TOPSIS YANG TERINTEGRASI Mochammad Basjir 1, Hari Supriyanto 2, Mokh. Suef 3 Magister Teknik Industri - Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Email : 1
[email protected], 2
[email protected], 3
[email protected] ABSTRAK Ada beberapa kelemahan yang terjadi ketika melakukan penentuan prioritas dan rekomendasi perbaikan terhadap kegagalan dengan FMEA seperti menilai faktor-faktor risiko dalam bahasa klasik, mengasumsikan tiga faktor risiko yaitu severity, occurance dan detection memiliki tingkat kepentingan yang sama, mengabaikan risiko di antara peringkat yang sama dan mengabaikan tingkat kepentingan anggota tim penilai. Dalam penelitian ini, dikembangkan metode fuzzy pada FMEA dimana ketiga faktor risiko akan dievaluasi dalam bentuk linguistik beserta peringkat fuzzy-nya. Bobot kepentingan anggota tim akan diperhitungkan. Untuk melakukan perangkingan atau peringkat prioritas dalam tindakan korektif berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan, digunakan metode TOPSIS. Pengembangan metode fuzzy dan TOPSIS pada FMEA dari penelitian ini akan diujikan di lantai produksi pabrik furniture dimana terdapat dua puluh satu mode kegagalan yang teridentifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peringkat prioritas dari fuzzy-FMEA memperbaiki peringkat prioritas FMEA. Peringkat prioritas dari TOPSIS memperbaiki peringkat prioritas dari FMEA dan peringkat prioritas fuzzy-FMEA. Hasil peringkat prioritas dan rekomendasi yang diberikan oleh TOPSIS sesuai dengan kondisi riil dari perusahaan. Kata Kunci : prioritas perbaikan, failure mode effect and analysis (FMEA), teori fuzzy, TOPSIS
ABSTRACT Some weaknesses exist when determination of priorities and recommendation of improvement against failure by FMEA such as assessing risk factors in classical language, three risk factors namely severity, occurance and detection were assumed to have the same importance, ignored the risks among the same rank and ignored the importance of assessors level of interest. The fuzzy method for FMEA was developed during this research where three risk factors were going to be evaluated in linguistic forms with fuzzy rating. The importance level of team member will be considered. In order to rank or priority level in corrective action based on given criteria, TOPSIS method was used. Fuzzy method which was development and TOPSIS in FMEA from this research were going to be tested in production floor of furniture factory where twenty one identified failure modes exist.. The results of the research show that priority ranking by fuzzy-FMEA method was able to revise priority ranking result from FMEA method. The ranking priority by TOPSIS method revise priority ranking result from FMEA and fuzzy-FMEA method. The results of the ranking of priorities and recommendations given by TOPSIS in accordance with the real conditions of companies. Keyword : the ranking priority, improvement recommendation, failure mode effect and analysis (FMEA), fuzzy theory, TOPSIS
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Dalam rangka untuk menghindari segala bentuk kegagalan dalam produksi dan proses pengembangan, juga memperkirakan masalah dan menemukan cara yang paling ekonomis untuk menghentikan kegagalan tersebut, digunakan metode FMEA sebagai strategi pencegahan. Teknik FMEA diterapkan untuk menganalisis kemungkinan terjadinya kegagalan, dengan tujuan untuk meningkatkan faktor keamanan dan pada akhirnya tercapai kepuasan pelanggan. Dewasa ini, metode FMEA merupakan salah satu tool yang dapat diterima dengan baik dalam menganalisa realibility dan safety dari peralatan karena bersifat visible dan mudah digunakan. Namun, tim FMEA akan mengalami kesulitan dan tampak kelemahan-kelemahan dari metode FMEA ketika menerapkannya dalam industri nyata (Yeh et all, 2007; Wang et all, 2009). Kelemahan-kelemahan tersebut adalah : (1) Informasi pada FMEA dinyatakan dalam bentuk linguistik seperti “few”, “moderate” atau “high”. Dengan demikian sulit bagi konvensional FMEA untuk mengevaluasi secara tepat reliability dan safety dari produk atau proses (2) Pada FMEA konvensional, penilaian ketiga parameter severity (S), occurance (O), dan detection (D) diasumsikan memiliki tingkat kepentingan yang sama. Bagaimanapun, tingkat kepentingan antara (S), (O), dan (D) secara relatif berbeda. (3) Risk Priority Number (RPN) dihitung untuk menentukan peringkat prioritas dalam tindakan perbaikan atau langkah pencegahan pada FMEA. Akan tetapi, untuk nilai yang sama dari RPN mungkin menimbulkan representasi risiko yang berbeda. (4) Ketika melakukan penilaian dalam FMEA, keragaman dan kemampuan para anggota tim FMEA sangat penting untuk dipertimbangkan. Dalam penelitian ini, untuk meningkatkan kinerja FMEA dalam menilai faktor-faktor risiko menggunakan metode fuzzy. Dalam FMEA konvensional, penilaian faktor-faktor failure mode yaitu faktor severity (S), faktor occurance (O) dan faktor
detection (D) yang diterapkan dalam natural language akan menghasilkan informasi yang tidak tepat (ambigue) dan bersifat samar (vague) (Yeh et all., 2007). Penggunaan teori fuzzy memberi fleksibilitas untuk menampung ketidakpastian akibat samarnya informasi yang dimiliki maupun unsur preferensi yang subjektif yang digunakan dalam penilaian terhadap mode kegagalan yang terjadi. Untuk melakukan tindakan yang direkomendasikan dalam alternatif prioritas perbaikan terhadap mode kegagalan yang teridentifikasi, kadangkala dihadapkan pada kriteria-kriteria dalam pelaksanakannya. Kriteria-kriteria tersebut adalah tingkat risiko, economic cost, kemudahan spare part, economic safety dan maintenance personal ability. Setelah kriteria-kriteria tersebut dinilai oleh manajemen yang terlibat dalam proses, dalam perhitungan selanjutnya diperlukan perangkingan atau penilaian prioritas terhadap alternatif mode kegagalan yang teridentifikasi berdasarkan kriteriakriteria tersebut dengan menggunakan metode TOPSIS. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka perumusan masalah yang muncul dari penelitian ini adalah bagaimana pengembangan pendekatan FMEA dengan mengintegrasikan metode fuzzy dan TOPSIS dapat meningkatkan kinerja FMEA dalam penentuan prioritas terhadap failure mode yang terjadi secara tepat dan efisien. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengembangkan model penentuan prioritas terhadap mode kegagalan potensial dengan pendekatan FMEAfuzzy dan TOPSIS. 2. Menguji cobakan model yang dikembangkan pada kondisi nyata di lapangan 3. Memberikan rekomendasi tindakan perbaikan terhadap kegagalan yang terjadi berdasarkan prioritas dan kriteriakriteria yang dihasilkan dengan metode TOPSIS. 1.4 Batasan Penelitian
Batasan adalah :
dalam
penelitian
ini
1. Melakukan
pengembangan model penentuan prioritas terhadap mode kegagalan potensial yang terjadi dengan metode FMEA yang diintegrasikan dengan metode fuzzy dan TOPSIS. 2. Obyek penelitian dalam penerapan model yang dikembangkan dilakukan pada proses produksi di PT. Gatra Mapan. 1.5 Kontribusi/Manfaat Penelitian Kontribusi yang dapat diharapkan dalam penelitian ini adalah : 1. Memperoleh prioritas perbaikan dan rekomendasi perbaikan terhadap kegagalan yang terjadi dengan metode FMEA-fuzzy dan TOPSIS. 2. Memperoleh masukan mengenai pengembangan model penentuan prioritas dan rekomendasi perbaikan dengan metode FMEA-fuzzy dan TOPSIS untuk memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja perusahaan dalam mencegah atau mengurangi kegagalan yang terjadi. 2 Landasan Teori 2.1 Terminologi Failure Mode Effect and Analysis (FMEA)
FMEA merupakan suatu tool penilaian yang penting untuk mengevaluasi potensi kegagalan yang kritis ketika sebuah kegagalan terjadi. Dalam rangka menganalisa dari failure mode yang terjadi, perlu dipahami beberapa terminologi yang berhubungan dengan penggunaan FMEA. Terminologi tersebut adalah : 1. Component Komponen dari sistem atau alat yang yang dianalisa 2. Potential failure mode Potential failure mode menggambarkan cara dimana sebuah produk atau proses bisa gagal untuk melaksanakan fungsi yang diperlukan sebagai gambaran keinginan, kebutuhan dan harapan dari internal dan eksternal customer. Penting untuk mempertimbangkan dan mencatat setiap potential failure mode yang terjadi dibawah kondisi operasi tertentu dan dibawah kondisi pemakaian tertentu (Pillay et all., 2003). 3. Failure Effect
4.
5.
6.
7.
8.
Dampak atau akibat yang ditimbulkan jika komponen tersebut gagal seperti disebutkan dalam potential failure mode. Dampak dari failure merupakan konsekuensi merugikan dari pengaruh failure tertentu yang mempengaruhi sistem atau subsistem lainnya. Beberapa failure dapat berdampak pada personal atau environment safety dan melanggar berbagai regulasi produk (Pillay et all., 2003). Severity (S) Severity merupakan kuantifikasi seberapa serius kondisi yang diakibatkan jika terjadi kegagalan yang akibatnya disebutkan dalam Failure Effect. Menurut tingkat keseriusan, severity dinilai pada skala 1 sampai 10. Causes Adalah apa yang menyebabkan terjadinya kegagalan pada komponen, subsistem atau sistem Occurance (O) Tingkat kemungkinan terjadinya kegagalan. Ditunjukkan dalam 10 level (1,2,...,10) dari yang hampir tidak pernah terjadi (1) sampai yang paling mungkin terjadi atau sulit dihindari (10). Detection (D) Menunjukkan tingkat kemungkinan lolosnya penyebab kegagalan dari kontrol yang sudah dipasang. Levelnya juga dari 1-10, dimana angka 1 menunjukkan kemungkinan untuk lewat dari kontrol (pasti terdeteksi) sangat kecil, dan 10 menunjukkan kemungkinan untuk lolos dari kontrol (tidak terdeteksi) adalah sangat besar Risk Priority Number (RPN) Merupakan hasil perkalian bobot dari severity, occurance dan detection RPN = S(1/3) X O(1/3) X D(1/3) Hasilnya dapat digunakan untuk menentukan komponen dan failure mode yang paling menjadi prioritas. Untuk analisis FMEA yang lengkap, juga perlu mencantumkan action serta rencana yang dilakukan untuk menghindari atau menghilangkan kegagalan, serta perubahan nilai SEVERITY (S), OCCURRENCE (O), dan DETECTION
(D) jika memang terjadi perubahan setelah merancang suatu rencana. 2.2 Teori Fuzzy
2.2.1 Himpunan Crisp (Tegas) Menurut Yan et all. (1994), himpunan crisp A didefinisikan oleh elemenelemen yang ada pada himpunan itu. Jika a
∈ A, maka a bernilai 1. Namun, jika a ∉ A, maka a bernilai 0. Notasi A = {x P(x)}
keanggotaan trapesium. Dalam penelitian ini, hanya digunakan fungsi keanggotaan dengan bentuk fungsi keanggotaan segitiga dan trapesium. Suatu fungsi keanggotaan fuzzy disebut fungsi keanggotaan segitiga jika mempunyai tiga buah parameter, yaitu p,q,r ∈ R dengan p
menunjukkan bahwa A berisi elemen x dengan sifat P adalah benar. Jika XA merupakan fungsi karakteristik A dengan sifat P, maka dapat dikatakan bahwa P(x) benar jika dan hanya jika XA(x) = 1
2.2.2 Himpunan Fuzzy Menurut Yan et all. (1994) himpunan fuzzy didasarkan pada gagasan untuk memperluas jangkauan fungsi karakteristik pada himpunan crisp sedemikian hingga fungsi tersebut akan mencakup bilangan real pada interval [0,1]. Nilai keanggotaannya menunjukkan bahwa suatu elemen dalam semesta pembicaraan tidak hanya berada pada nol (0) dan satu (1), namun juga nilai yang terletak di antaranya. Dengan kata lain, nilai kebenaran suatu pernyataan tidak hanya bernilai benar atau salah. Nilai satu (1) menunjukkan benar, nilai nol (0) menunjukkan salah dan masih ada nilai-nilai yang terletak antara benar dan salah. Himpunan fuzzy mempunyai 2 atribut, yaitu Linguistik dan Numerik. Linguistik merupakan penamaan suatu grup yang mewakili suatu keadaan atau kondisi tertentu dengan menggunakan bahasa alami, seperti tinggi (high), rendah (low), besar (big), dan bagus (good). Numeris adalah suatu nilai atau angka yang menunjukkan ukuran dari suatu variabel, seperti 40, 120, dan 325 (Kusumadewi dan Purnomo, 2004).
Gambar 2.1 Kurva fungsi keanggotaan segitiga (Sumber: Susilo, 2003)
Suatu fungsi keanggotaan fuzzy disebut fungsi keanggotaan trapesium jika mempunyai tiga buah parameter, yaitu p,q,r,s ∈ R dengan p < q < r < s , dan dinyatakan dengan aturan sebagai berikut :
2.2.3 Fungsi Keanggotaan Fuzzy Fungsi keanggotaan (membership function) adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam derajat keanggotaan yang memiliki interval antara 0 sampai dengan 1 (Kusumadewi dan Purnomo, 2004). Untuk mendapatkan nilai keanggotaan fuzzy digunakan pendekatan fungsi. Ada beberapa fungsi keanggotaan yang dapat digunakan, seperti fungsi-S, fungsi gauss, fungsi-p, fungsi beta, fungsi keanggotaan segitiga, dan fungsi
Gambar 2.2 Kurva fungsi keanggotaan trapesium (Sumber: Susilo, 2003)
2.3 Fuzzy-FMEA Banyak pendapat para ahli bahwa faktor-faktor S,O dan D tidak mudah untuk dievaluasi secara tepat. Upaya yang signifikan telah dibuat untuk mengevaluasi dengan cara linguistik (Wang et all., 2009).
Tabel di bawah ini akan menunjukkan istilah linguistik dan fuzzy number yang digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor tersebut dan visualisasi membership function dari masing-masing faktor tersebut. Tabel 2.1 Fuzzy ratings for severity of a failure
FMEA tradisional secara signifikan tidak memperhitungan kepentingan relatif dari faktor-faktor risk dan memperlakukannya dalam tingkat kepentingan yang sama. Untuk itu bobot kepentingan relatif dari faktor-faktor risiko akan dinilai menggunakan istilah linguistik yang dapat dilihat pada table 2.4 Tabel 2.4
Fuzzy weight untuk relatif faktor-faktor risk
kepentingan
Tabel 2.2 Fuzzy ratings for occurrence
Tabel 2.3 Fuzzy ratings for detection
Kemudian dengan mengacu pada (Wang et all., 2009) untuk melakukan penilaian faktor-faktor failure mode pada FMEA dalam bentuk fuzzy, maka dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Mengumpulkan opini subyektif terhadap anggota-anggota tim FMEA dengan persamaan di bawah ini 1 ~ RiO = n
m
~O
∑h R j =1
j
ij
=
m
m
m
m
∑ h R , ∑ h R ,∑ h R ,∑ h R j =1
j
O ijL
j =1
j
O ijM1
j =1
j
O ijM 2
j =1
j
O ijU
,
~ 1 m ~ RiS = ∑h j RijS = n j =1
m
S ijL
m
j =1
m
S ijM
j
j =1
m
S ijU
j
,
m
∑h R , ∑h R ,∑h R j =1
j
D ijL
j =1
j
D ijM
j =1
j
D ijU
,
m m m O O ~ O = hjw h w , h w , h j w OjU , ∑ ∑ ∑ ∑ j j jL j jM j =1 j =1 j =1 j =1 m m 1 m ~S m = ∑ h j w j = ∑ h j w SjL , ∑ h j w SjM ,∑ h j w SjU , n j =1 j =1 j =1 j =1 m m 1 m ~D m = ∑ h j w j = ∑ h j w DjL , ∑ h j w DjM ,∑ h j w DjU , n j =1 j =1 j =1 j =1
~O = 1 w n
~D w
j
j =1
1 ~ ~ RiD = ∑h j RijD = n j =1 m
~S w
m
∑h R , ∑h R ,∑h R
2. Normalisasi matriks perbandingan kriteria asli. Digunakan persamaan ( Deng et all., 2002 dalam Sachdeva et all., 2009) untuk mengubah setiap elemen [ xij ] yang
m
2. Menentukan fuzzy risk priority number (FRPN) untuk setiap model failure (kegagalan) dengan persamaan berikut : ~O w
~S w
diberikan di bawah ini :
3.
~D w
Berbeda dari FMEA tradisional yang mendefinisikan RPN sebagai produk sederhana dari O,S dan D tanpa mempertimbangkan bobot kepentingannya relatifnya.
X = [ xij ]
,
n
∑x i =1
~ ~O ~S ~D ~ ~O ~S ~D ~ ~O ~S ~D FRPNi = (RiO ) w +w +w × (RiS ) w +w +w × (RiO ) w +w +w
2.4 TOPSIS Metode TOPSIS merupakan sebuah teknik berdasarkan pada konsep pemilihan alternatif yang mempunyai jarak terpendek dari titik idealnya dan memiliki jarak terjauh dengan titik negatifnya (Hwang dan Yoon, 1981 dalam Sachdeva et all., 2009). Asumsi dasarnya adalah bahwa solusi terbaik harus sedekat mungkin ke solusi ideal dan yang terjauh dari solusi ideal negatif. Pendekatan TOPSIS memiliki beberapa kelebihan diantaranya (Wang et all., 2006). (1) Logikanya bersifat sederhana dan mudah dipahami. (2) Proses perhitungannya mudah. (3) Dengan metode ini, alternatif terbaik yang terpilih merupakan model matematika sederhana (4). Penilaian terpenting berada pada prosedur yang diperbandingkan. Langkah-langkah metodologi ini adalah (Sachdeva et all., 2009) : 1. Membangun matriks perbandingan kriteria pada TOPSIS. TOPSIS dimulai dengan membangun sebuah matriks keputusan,
xij
rij =
ij
Perhitungan bobot setiap perbandingan kritetia. Perhitungan perbandingan berat masing-masing kriteria didasarkan pada perhitungan nilai entropi dan kemudian mengubahnya menjadi berat digambarkan dalam dua langkah berikut: a. Hitung nilai entropi setiap kriteria C1,C2,...,Cn Bobot setiap kriteria dihitung menggunakan konsep entropi (Sachdeva et all., 2009). ej mewakili entropi dari kriteria j.th. ej = −
1 − ej ln n
n
∑r i =1
ij
ln rij
Dimana 1/ln n merupakan konstanta dan membuat nilai ej diantara 0 (nol) dan 1 (satu). b. Perhitungan bobot w1,w2,w3,....wn setiap kriteria. Bobot obyektif untuk setiap kriteria didapat : wj =
1 − ej m
∑ (1 − e j =1
4.
j
)
Penetapan solusi ideal positif (v+ ) dan solusi ideal negatif (v- ) untuk masingmasing perbandingan kriteria. Dalam rangka untuk menurunkan indeks kinerja dari setiap kriteria yang digunakan untuk perbandingan, penting untuk menghitung solusi ideal positif v+ dan solusi ideal negatif vdari masing-masing kriteria.
v + = ( max (ri1 ), max (ri 2 ),....., max(rin )) dari masing-masing kegagalan yang diwakili i
+ 1
i
+ 2
i
+ n
= (v , v ,...., v )
v − = ( min (ri1 ), min (ri 2 ),....., min (rin )) i
− 1
i
− 2
i
− n
= (v , v ,...., v ) 5. Perhitungan jarak pada setiap kriteria antara solusi ideal positif v+ dan solusi ideal negatif v-. Untuk menghitung jarak euclidean g dari setiap alternatif ke v1+ + dan v1− menggunakan persamaan berikut : d+ =
m
∑w j =1
d− =
j
(v +j − rij ) 2
j
(rij − v −j ) 2
m
∑w j =1
6. Perhitungan relatif Risk Priority Index (RPI) dari solusi ideal. Peringkat akhir dari alternatif-alternatif didapat dengan mengacu pada nilai relatif kedekatan terhadap solusi ideal. Untuk setiap kriteria yang dibandingkan, perhitungan risk priority index (RPI) dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
d i− RPI = + d i + d i− 2.5 Kriteria kualitatif dalam prioritas
perbaikan kegagalan
terhadap
mode
Kriteria kualitatif adalah kriteria yang tidak mempunyai nilai secara pasti, sehingga untuk mengetahui nilainya perlu dilakukan kuantifikasi terhadap kriteria kualitatif dan nantinya didapatkan nilai angka dari kriteria kualitatif. Adapun untuk kriteria kualitatif yang dijadikan pertimbangan dalam prioritas perbaikan terhadap mode kegagalan yang teridentifikasi berdasarkan root cause analysis (RCA) dan kondisi dari perusahaan adalah sebagai berikut :
1. Tingkat Risiko Menentukan tingkat risiko untuk masingmasing kegagalan yang teridentifikasi berdasarkan perhitungan nilai prioritas risiko
oleh nilai FRPN (fuzzy risk priority number). Nilai FRPN dari masing-masing kegagalan di dalamnya terkandung nilai tingkat keparahan (2.15) (severity), probabilitas terjadinya kegagalan (occurance) dan kemampuan dalam mendeteksi terjadinya kegagalan (detection). 2. Economic Safety (ES) Kriteria economic safety (ES) (2.16) berhubungan dengan personal, equipment dan keselamatan secara struktural pada setiap kegagalan. Penilaiannya didasarkan pada fungsi dari spare part (berhubungan dengan mode kegagalan). Selama pergantian spare part lebih rentan terhadap kegagalan, maka pemberian skor yang tinggi akan diberikan pada komponen dengan jumlah yang lebih pada pergantian spare part. 3. Economic Cost (EC) Menentukan kriteria economic cost pada mode kegagalan didasarkan pada penilaian kualitatif oleh personal maintenance. Berbagai aspek dipertimbangkan untuk mendapatkan nilai skor dan didasarkan pada evaluasi linguistik terhadap production loss, biaya spare part, biaya maintenance , maintenance manpower, dan lain-lain 4. Kemudahan Spare Part (SP) Spare part dari mesin merupakan kebutuhan yang paling penting jika suatu ketika mesin sedang menjalani perawatan ataupun mengalami kerusakan sehingga diperlukan penggantian terhadap spare part. Oleh karena itu kemudahan dalam mendapatkan spare part sangat dibutuhkan. 5. Maintenance Personal Ability (MA) Jika komponen dari mesin sering memerlukan preventive maintenance seperti lubricating oil, cleaning dan part replacement, maka operator harus dapat memenuhi kewajiban untuk melaksanakan kegiatan perawatan tersebut. Kemampuan perawatan oleh operator tersebut sangat berpengaruh terhadap kualitas dari perawatan dan kemampuan mesin dalam melaksanakan fungsinya. 3. PENERAPAN MODEL Pengembangan model yang dilakukan akan diuji cobakan pada proses produksi produk furniture tipe MP-4D dimana terdapat 21 kegagalan dari 5 proses permesinan yang dapat dilihat pada tabel 3.1 di bawah ini
Tabel 3.1. Potential Failure Mode No .
Permesinan
Failure Mode Cutter : Cutter tumpul dan oleng
1
2
3
4
Panel saw
Tabel saw
Blade Sander
Edging
Slider: Slider oleng Motor listrik: Motor listrik terbakar Cutter: Cutter tumpul dan oleng
Proses terhenti Material pecah Ukuran material tidak sesuai dengan spesifikasi (toleransi ± 2-5 mm)
Roller: Roller macet Motor listrik: Motor listrik terbakar Bearing: Bearing aus dan rusak
Material tidak dapat diproses
Roller: Roller macet Landasan sander : Landasan sander halus Heater: Suhu heater kurang 65 700C Cutter: Cutter tumpul
Ukuran material tidak sesuai dengan spesifikasi (toleransi ± 2-5 mm) Mesin berhenti bekerja
Proses terhenti karena motor listrik rusak Mesin tidak berfungsi dan proses terhenti Mesin tidak berfungsi dan proses terhenti Permukaan material kasar Lepasnya bahan laminasi Vinyl sheet sobek
Roller : Roller macet
Material tidak dapat diproses
Belt: Belt kendor atau putus
Kerusakan pada material dan proses berhenti Ukuran lubang tidak sesuai spesifikasi yang diinginkan
Valve : Valve bocor Drilling
Pecahnya material Ukuran meterial tidak sesuai dengan spesifikasi
Stopper: Stopper bergerak V – belt: v – belt putus atau kendor Bearing: Bearing rusak
Mata bor : Mata bor aus
5
Failure Effect
Software : Software error Bearing : Bearing rusak Chain dan gear : Chain dan gear aus
Tekanan angin tidak stabil sehingga kedalaman lubang tidak sesuai yang diharapkan Mesin berhenti dan proses tidak bisa berlanjut Mesin berhenti dan proses tidak bisa berlanjut Mesin berhenti dan proses tidak bisa berlanjut
Tabel 3.2 Hasil perbandingan FMEA dan fuzzy FMEA Prio ritas 1
RPN 7,612
FMEA Failure Mode Software (F19) : Software error (Drilling) Landasan sander (F12) : Landasan sander halus (Blade Sander)
2
7,230
3
6,316
4
6,073
5
6,073
6
6,000
Stopper (F5) : Stopper bergerak (Tabel Saw)
6,555
7 8 9
5,944 5,944 5,809
6,450 6,210 5,9331
10
5,769
5,763
Cutter (F14) : Cutter tumpul (Edging)
11
5,518
5,389
Roller (F8) :Roller macet (Tabel Saw)
12
5,429
5,359
Roller (F15) : Roller macet (Edging)
13
5,278
14
5,278
15
5,278
Roller (F8) :Roller macet (Tabel Saw) Roller (F15) : Roller macet (Edging) Mata bor (F17): Mata bor aus (Drilling) V – belt (F6) : v – belt putus atau kendor (Tabel Saw) Bearing (F20) : Bearing rusak (Drilling) Heater (F13) : Suhu heater kurang 65 - 700C (Edging) Slider (F2): Slider oleng (Panel Saw) Motor listrik (F9) : Motor listrik terbakar (Blade Sander) Belt (F16) : Belt kendor atau putus (Edging)
Motor listrik (F3) : Motor listrik terbakar (Panel Saw) Cutter (F4) : Cutter tumpul dan oleng (Tabel saw) Valve (F18) : Valve bocor (Drilling) Roller (F11) : Roller macet (Blade Sander)
16
4,718
Cutter (F14) : Cutter tumpul (Edging)
4,839
17
4,642
18
4,380
Chain dan gear (F21) : Chain dan gear aus (Drilling) Cutter (F4) : Cutter tumpul dan oleng (Tabel Saw)
19
4,380
Roller (F11) : Roller macet (Blade Sander)
Cutter (F1) : Cutter tumpul dan oleng (Tabel saw) Motor listrik (F3) : Motor listrik terbakar (Panel Saw) Bearing (F10): Bearing aus dan rusak (Blade Sander)
FRPN 7,432 7,389 6,852
Fuzzy FMEA Failure Mode Software (F19) : Software error (drilling) Landasan sander (F12) : Landasan sander halus (blade sander) Bearing (F10): Bearing aus dan rusak (blade sander)
6,806
Stopper (F5) : Stopper bergerak (Tabel Saw)
6,799
Mata bor (F17): Mata bor aus (Drilling)
5,283
Bearing (F7) : Bearing rusak (Tabel Saw)
5,22
Cutter (F1) : Cutter tumpul dan oleng (Panel Saw)
4,877
Slider (F2): Slider oleng (Panel Saw) Chain dan gear (F21) : Chain dan gear aus (Drilling)
4,561
Belt (F16) : Belt kendor atau putus (Edging)
4,347
Bearing (F20) : Bearing rusak (Drilling) Motor listrik (F9) : Motor listrik terbakar (Blade Sander)
4,295
20
4,380
Valve (F18) : Valve bocor (Drilling)
3,997
21
3,915
Bearing (F7) : Bearing rusak (Tabel Saw)
3,909
Heater (F13) : Suhu heater kurang 65 - 700C (Edging) V – belt (F6) : v – belt putus atau kendor (Tabel Saw)
Tabel 3.3.Prioritas perbaikan berdasarkan RPN, FRPN dan TOPSIS FMEA
Fuzzy FMEA
TOPSIS
Prio ritas
RPN
1
7,612
2
7,230
3
6,316
4
6,073
5
6,073
Bearing (F10): Bearing aus dan rusak (Blade Sander)
6,799071
Mata bor (F17): Mata bor aus (Drilling)
0,54048
6
6,000
Stopper (F5) : Stopper bergerak (Tabel Saw)
6,555858
Motor listrik (F3) : Motor listrik terbakar (Panel Saw)
0,53615
7
5,944
8
5,944
9
5,809
10
5,769
11
5,518
12
5,429
Heater (F13) : Suhu heater kurang 65 - 700C (Edging)
5,359653
Roller (F15) : Roller macet (Edging)
0,41092
13
5,278
Slider (F2): Slider oleng (Panel Saw)
5,283204
Bearing (F7) : Bearing rusak (Tabel Saw)
0,37671
14
5,278
Motor listrik (F9) : Motor listrik terbakar (Blade Sander)
5,22407
Cutter (F1) : Cutter tumpul dan oleng (Panel Saw)
0,35138
Failure Mode Software (F19) : Software error (Drilling) Landasan sander (F12) : Landasan sander halus (Blade Sander) Cutter (F1) : Cutter tumpul dan oleng (Tabel saw) Motor listrik (F3) : Motor listrik terbakar (Panel Saw)
Roller (F8) :Roller macet (Tabel Saw) Roller (F15) : Roller macet (Edging) Mata bor (F17): Mata bor aus (Drilling) V – belt (F6) : v – belt putus atau kendor (Tabel Saw) Bearing (F20) : Bearing rusak (Drilling)
FRPN 7,432184 7,389841 6,852612 6,806305
6,450729 6,210983 5,933421 5,763174 5,388834
Failure Mode Software (F19) : Software error (drilling) Landasan sander (F12) : Landasan sander halus (blade sander) Bearing (F10): Bearing aus dan rusak (blade sander) Stopper (F5) : Stopper bergerak (Tabel Saw)
Cutter (F4) : Cutter tumpul dan oleng (Tabel saw) Valve (F18) : Valve bocor (Drilling) Roller (F11) : Roller macet (Blade Sander) Cutter (F14) : Cutter tumpul (Edging) Roller (F8) :Roller macet (Tabel Saw)
3.1 Analisa RPN FMEA dan RPN fuzzy
Tabel 3.2 memberikan hasil FMEA konvensional dan pendekatan teori fuzzy pada FMEA. Dari tabel 3. 2 dapat dilihat bahwa ada empat(4) kelompok yang terdiri dari sepuluh(10) mode kegagalan yang memiliki nilai RPN dan peringkat prioritas yang sama. Adanya nilai RPN yang sama tersebut dalam kondisi nyata akan menimbulkan representasi risiko yang berbeda sehingga dengan adanya nilai RPN yang sama tersebut akan membuat kesulitan para pelaku dalam menentukan peringkat prioritas risiko terhadap mode kegagalan yang terjadi. Dari tabel 3.2 juga dapat diketahui bahwa dari ke dua puluh satu mode kegagalan produksi produk furniture tipe MP-4D tidak ada nilai FRPN yang sama
RPI 0,80546 0,68199 0,65725 0,62357
0,50675 0,50370 0,49523 0,45984 0,41883
Failure Mode Software (F19) : Software error (Drilliing) Valve (F18) : Valve bocor (Drilling) Roller (F15) : Roller macet (Edging) Stopper (F5) : Stopper bergerak (Tabel Saw) Heater (F13) : Suhu heater kurang 65 - 700C (Edging) Chain dan gear (F21) : Chain dan gear aus (Drilling) Roller (F11) : Roller macet (Blade Sander) Bearing (F20) : Bearing rusak (Drilling) V – belt (F6) : v – belt putus atau kendor (Tabel Saw) Belt (F16) : Belt kendor atau putus (Edging) Cutter (F14) : Cutter tumpul (Edging) Bearing (F10): Bearing aus dan rusak (Blade sander) Motor listrik (F3) : Motor listrik terbakar (Panel Saw) Bearing (F7) : Bearing rusak (Tabel Saw)
untuk masing-masing mode kegagalan yang teridentifikasi, sehingga masing-masing kegagalan mempunyai peringkat prioritas risiko masing-masing. Hal ini disebabkan karena dalam penilaian terhadap faktor-faktor severity (S), occurance (O) dan detection (D) memperhitungkan bobot kepentingan anggota tim penilai FMEA dan bobot masing-masing faktor (S, O dan D) pada masing-masing mode kegagalan yang terjadi Mode kegagalan F3 dan F10 memiliki nilai RPN yang sama yaitu sebesar 6,073. Dengan pendekatan model yang dikembangkan, mode kegagalan F3 dan F10 memiliki peringkat fuzzy yang berbeda untuk masing-masing mode kegagalan yaitu 6 dan 3. Dengan menggunakan pendekatan fuzzy pada FMEA, akan lebih mudah bagi
pengguna untuk membedakan represantasi risiko dalam mode kegagalan yang memiliki nilai RPN yang sama. Mode kegagalan F8 dan F15 memiliki nilai RPN yang sama yaitu sebesar 5,944 dan peringkat risiko 7 dan 8. Meskipun nilai RPN untuk kedua mode kegagalan tersebut memiliki nilai yang sama, namun keduanya memiliki risiko yang berbeda. Dengan menggunakan pendekatan yang diusulkan, mode kegagalan F8 dan F10 memiliki tingkat risiko yang berbeda dan peringkat keduanya dengan pendekatan yang diusulkan diperoleh 11 dan 12. Demikian juga untuk mode kegagalan F2, F9 dan F16 memiliki nilai nilai RPN yang sama yaitu sebesar 5,278 dan peringkat risiko 13 - 15. Meskipun nilai RPN untuk kedua mode kegagalan tersebut memiliki nilai yang sama, namun keduanya memiliki risiko yang berbeda. Dengan menggunakan pendekatan yang diusulkan, mode kegagalan F2, F9 dan F16 memiliki tingkat risiko yang berbeda dan peringkat keduanya dengan pendekatan yang diusulkan diperoleh 15, 19 dan 17. Kita lihat juga mode kegagalan F4, F11 dan F18 memiliki nilai nilai RPN yang sama yaitu sebesar 4,380 dan peringkat risiko 18, 19 dan 20. Meskipun nilai RPN untuk kedua mode kegagalan tersebut memiliki nilai yang sama, namun keduanya memiliki risiko yang berbeda. Perbedaan jelas terlihat ketika metode fuzzy diterapkan pada FMEA. Dengan menggunakan pendekatan yang diusulkan, mode kegagalan F4, F11 dan F18 memiliki tingkat risiko yang berbeda dan peringkat keduanya dengan pendekatan yang diusulkan diperoleh 7, 9 dan 5. Sudah jelas bahwa peringkat risiko untuk masing-masing kegagalan dengan pendekatan metode fuzzy diberi peringkat lebih tinggi dibandingkan dengan FMEA konvensional. Peringkat yang diperoleh dari metode FMEA dapat mengakibatkan kekeliruan terutama bila data yang digunakan untuk analisis disertai dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi. 3.2 Analisa RPN, FRPN dan RPI Setelah mendapatkan nilai RPN dan urutan prioritas perbaikan, kemudian fuzzy theory dikembangkan untuk mendapatkan hasil yang tidak bias karena FMEA konvensional menghasilkan penilaian yang bias berupa subyektifitas pengambil
keputusan. Dengan teori fuzzy yang dikembangkan pada FMEA akan diperhitungkan bobot masing-masing faktor risiko (S, O dan D) dan juga bobot kepentingan tim penilai dari FMEA. Sedangkan TOPSIS dikembangkan dalam rangka melakukan tindakan prioritas perbaikan terhadap kegagalan yang teridentifikasi berdasarkan kriteria-kriteria (tingkat risiko, economic safety, economic cost, kemudahan spare part dan maintenance personal ability). Kriteria-kriteria tersebut didapat berdasarkan root cause analysis terhadap masing-masing kegagalan dan disesuaikan dengan kondisi perusahaan. Tabel perioritas perbaikan berdasarkan FMEA, fuzzy FMEA dan TOPSIS dapat dilihat pada tabel 3.3. Dari tabel 3.3 apabila kita ambil mode kegagalan yang kritis yaitu lima kegagalan yang tertinggi, urutan prioritas perbaikan antara metode FMEA, metode fuzzy-FMEA dan metode TOPSIS berbeda. Perbedaan itu akan dijelaskan sebagai berikut : - Pada prioritas perbaikan pertama, antara metode FMEA, metode fuzzy-FMEA dan metode TOPSIS sama-sama menempatkan mode kegagalan komponen software (F19) pada proses permesinan drilling. - Pada prioritas perbaikan kedua, metode FMEA dan metode fuzzy-FMEA samasama menempatkan mode kegagalan komponen landasan sander (F12) pada proses permesinan blade sander, sedangkan metode TOPSIS menempatkan mode kegagalan komponen valve (F18) pada proses permesinan drilling. Untuk kegagalan komponen landasan sander (F12) oleh metode TOPSIS ditempatkan pada prioritas ke-20. - Pada prioritas perbaikan nomor 3, metode FMEA menempatkan kegagalan komponen cutter (F1) pada proses permesinan table saw, metode fuzzyFMEA menempatkan mode kegagalan komponen bearing (F10) pada proses permesinan blade sander, sedangkan metode TOPSIS menempatkan mode kegagalan komponen roller (F15) pada proses permesinan edging. Untuk kegagalan komponen cutter (F1) oleh metode fuzzy-FMEA ditempatkan pada
-
-
-
prioritas ke-14 dan oleh metode TOPSIS ditempatkan pada prioritas ke-17. Untuk kegagalan komponen bearing (F10), oleh metode TOPSIS ditempatkan pada prioritas ke-12. Pada prioritas perbaikan nomor 4, metode FMEA menempatkan kegagalan komponen motor listrik (F3) pada proses permesinan panel saw. Metode fuzzyFMEA dan metode TOPSIS menempatkan mode kegagalan komponen stopper (F5) pada proses permesinan tabel saw. Untuk kegagalan komponen motor listrik (F3) oleh metode fuzzy-FMEA ditempatkan pada prioritas ke-6 dan oleh metode TOPSIS ditempatkan pada prioritas ke-13. Pada prioritas perbaikan nomor 5, metode FMEA menempatkan kegagalan komponen bearing (F10) pada proses permesinan blade sander, metode fuzzyFMEA menempatkan mode kegagalan komponen mata bor (F17) pada proses permesinan drilling, sedangkan metode TOPSIS menempatkan mode kegagalan komponen heater (F13) pada proses permesinan edging. Untuk kegagalan komponen bearing (F10), oleh metode fuzzy-FMEA ditempatkan pada prioritas ke-3, dan oleh metode TOPSIS ditempatkan pada prioritas ke-12. Untuk kegagalan komponen mata bor (F17), oleh metode TOPSIS ditempatkan pada prioritas ke-18. Dari penjelasan di atas bahwa dari mode kegagalan yang kritis yaitu lima mode kegagalan dengan priortas tertinggi, hasil peringkat risiko untuk masing-masing kegagalan dengan metode FMEA dan metode fuzzy-FMEA diberi peringkat lebih rendah dibandingkan hasil peringkat risiko metode TOPSIS. Secara keseluruhan, urutan prioritas perbaikan untuk satu komponen dengan komponen yang lain dalam satu sistem pada TOPSIS memiliki urutan yang berdekatan. Hal ini terlihat pada urutan ke-1 dan ke-2 , urutan perbaikan pada komponen mesin drilling. Demikian juga pada urutan ke-3 dan 5, prioritas perbaikan pada mesin edging. Berbeda dengan prioritas perbaikan dari FMEA dan fuzzy-FMEA, dimana prioritas perbaikan antara komponen satu dengan komponen yang lain dalam satu sistem
memiliki urutan yang berjauhan. Pada FMEA, kegagalan komponen pada mesin blade sander urutan perbaikan diberi urutan ke-2 dan ke-5. Pada fuzzy-FMEA, urutan kegagalan komponen dalam satu sistem yaitu pada mesin drilling diberi prioritas ke-1 dan ke-5. Hal tersebut menunjukkan bahwa improvement yang dihasilkan oleh metode TOPSIS bersifat independen, dalam artian bahwa dalam melakukan perbaikan untuk meningkatkn kinerja sistem, hanya sistem tersebut yang di-improve tanpa mengganggu kinerja dari sistem lain. Dengan demikian, peringkat prioritas perbaikan terhadap mode kegagalan dengan metode TOPSIS sesuai dengan kondisi riil pada perusahaan. 4. Kesimpulan 1. Pengembangan model penilaian risiko terhadap mode kegagalan komponen dapat dilakukan dengan pendekatan metode fuzzy dan TOPSIS pada FMEA. 2. Penentuan prioritas perbaikan pada kegagalan komponen dengan metode fuzzy-FMEA mampu memperbaiki penentuan prioritas perbaikan dari metode FMEA. Sebagai bukti, dalam fuzzy-FMEA tidak ada mode kegagalan yang memiliki nilai RPN sama. 3. Dalam menentukan prioritas dan rekomendasi perbaikan dengan metode TOPSIS mempertimbangkan kriteriakriteria sesuai kondisi perusahaan. Kriteria-kriteria yang digunakan adalah tingkat risiko, economic safety, economic cost, kemudahan spare part dan maintenance personal ability. 4. Penentuan prioritas dan rekomendasi perbaikan terhadap mode kegagalan komponen dengan metode TOPSIS mampu memperbaiki hasil prioritas metode FMEA dan metode fuzzyFMEA. Sebagai bukti bahwa hasil prioritas perbaikan dengan metode FMEA dan metode fuzzy-FMEA ditempatkan dalam peringkat yang lebih rendah dalam urutan prioritas perbaikan dari metode TOPSIS. 5. Hasil prioritas dan rekomendasi perbaikan terhadap mode kegagalan komponen dengan metode TOPSIS lebih reliable untuk dilakukan dan sesuai dengan kondisi nyata dari perusahaan.
6. Daftar Pustaka Garcia, P. A. A., Schiru, R., Frutuoso, P. F., Melo, E. (2005), “A Fuzzy Data Envelopment Analysis Approach for FMEA”, Progress in Nuclear Energy 46, 359-373. Jenab, K., Dhillon, B. S. (2005), “GroupBased Failure Effect Analysis. International Journal of Reliability”, Quality and Safety Engineering 12(4), 291-307. Kristanto, D. (2006), Evaluasi Timbulnya Kerusakan pada Mesin CASA TPE 331 dengan pendekatan FMEA, Tugas Akhir, ITS, Surabaya. Kusumadewi, S., Purnomo. (2004), Aplikasi Logika Fuzzy untuk Pendukung Keputusan, Graha Ilmu, Yogyakarta. Manggala, D.(2010), “Mengenal Six Sigma Secara Sederhana”. http://www.beranda.net. diakses 12 Januari 2010. Mitra, A., (1988), Introduction to Quality Control, Prentice Hall, New Jersey. Novina, L. (2008), Analisa Kegagalan Pada Proses Produksi Susu Cair Indomilk (SCI) dengan Root Cause Analysis (RCA) dan Grey FMEA, Tugas Akhir, ITS, Surabaya. Pillay, A., Wang, J. (2003), “Modified Failure Mode and Effects Analysis Using Approximate Reasoning”, Reliability Engineering & System Safety 139, 379394. Pyzdek (2002), The Six Sigma HandBook, PT. Salemba Patria, Jakarta. Sachdeva, A., Kumar, D., Kumar, P. (2009), “Multi-Factor Mode Critically Analysis Using TOPSIS”, International Journal of Industrial Enineering , Vol. 5, No. 8 pp 1-9. Sharma, R. K., Kumar, D., Kumar, P. (2005), “Systematic failure mode effect analysis (FMEA) using fuzzy linguistic modelling”, International Journal of Quality & Reliability Management 22, 986-1004 Sharma, R. K., Kumar, D., Kumar, P. (2007), “Fuzzy Decision Support System for Conducting FMEA”, Reliability Engineering and System Safety 88, 3943. Shekari, A., Fallahian, S. (2007), “Improvement of Lean methodology
with FMEA”, POMS 18th Annual Conference, Texas. Susilo, F. (2003), Pengantar Himpunan & Logika Kabur serta Aplikasinya, Graha Ilmu, Yogyakarta. Tay, K. M., Lim, C. P. (2006), “Fuzzy FMEA with Guided Rule Reduction System for Prioritization of Failures”, International Journal of Quality and Reliability Management 23, 1047-1066. Teng, S. H., Yo, S. H. (1996), “Faliure Mode and Effect Analysis : An Integrated Approach for Product Design and Process Control”, International Journal of Quality and Reliability Management 13, 8-26. Wang, T. C., Chang, T. H. (2006), “Application of TOPSIS in Evaluating Initial Training Aircraft Under A Fuzzy Environment”, Experts System with Application 33, 870-880. Wang, Y. M., Chin, K. S., Poon, G. K. K., Yang, J. B. (2009), “Risk Evaluation in Failure Mode and Effects Analysis Using Fuzzy Weighted Geometric Mean”, Journal Expert Systems with Application, Vol. 36, pp. 1195-1207. Yamit, Z. (2004), Manajemen Kuantitatif untuk Bisnis. BPFE ,Yogyakarta. Yan, J., M. Ryan and J. Power. (1994), Using Fuzzy Logic Towards Intelligent Systems, Prentice Hall International, London. Yeh, R. H., Hsieh, M. H. (2007), “Fuzzy Assesment of FMEA for Sewage Plant”, Journal of the Cinese Institute of Industrial Engineers 24, 505-512.