PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY UNTUK PENGHALUSAN PENGETAHUAN MATEMATIKA MAHASISWA CALON GURU MELALUI PENGAJUAN PERTANYAAN
A. Pendahuluan Suatu fenomena pembelajaran yang belakangan ini disoroti banyak pihak adalah perilaku pebelajar mengajukan pertanyaan. Mengerti atau tidak tentang suatu materi mereka cenderung diam. Perilaku bertanya bagi pebelajar terkait dengan beberapa hal, antara lain; (i) penyajian materi, (ii) pengelolaan pembelajaran, dan (iii) pendekatan pembelajaran. Edwards, C.H. (1997) mengatakan an even more difficult problem is the development of materials that require students to create their own questions and hypotheses for investigation and then to engage in investigations of their own design. Arend R.I. (1997: 9) mengatakan bahwa much of a teacher work is aimed at helping students acquire procedural knowledge-how to do something. Hasil observasi terhadap mahasiswa baru masukan 2007/2008 tentang pengalaman belajar matematika di SMA, diketahui bahwa 35% dari 80 mahasiswa mengatakan, dalam mengajar guru memberikan rumus, contoh penggunaan rumus, dan minta siswa mengerjakan soal. Pada pemetaan awal kemampuan mahasiswa baru Jurusan Matematika, ditemukan bahwa persentase rata-rata mahasiswa yang mampu menyelesaikan soal tingkat analisis hanya 3.67%. Sedangkan persentase rata-rata mahasiswa yang mampu menyelesaikan soal rutin 58.13%. Pada uji coba model diperoleh bahwa, mahasiswa dapat menggunakan pengetahuan prosedural untuk mengerjakan inquiry. Rata-rata nilai inquiry mahasiswa dalam tiga uji coba disajikan dalam tabel berikut. Tabel 1 Nilai Inquiry Mahasiswa dalam Tiga Uji Coba Uji Coba
Uji Coba
Uji Coba III
2 I Rata-rata kelas Standar Deviasi
II 73.42
80,37
81,96
3.94
9,137
3,67
Namun, ketika diminta merefleksi dan memaknai hasil yang telah diperoleh, sebagian besar mahasiswa mengalami kesulitan. Situasi serupa juga terjadi ketika mahasiswa diminta membuat pertanyaan tertulis yang logis dan dilengkapi argumen. Pertanyaan pebelajar dapat menjadi alat deteksi tentang kedalaman berpikirnya. Ini sesuai dengan pendapat Elder, dkk dalam
yang mengatakan bahwa a mind with no questions is a mind that is not intellectually alive. If your mind is not actively generating questions, you are not engaged in substantive learning. Perilaku dan kemampuan bertanya adalah kemampuan yang sangat penting, terlebih bagi calon guru. Principles and Standards for School Mathematics (2000: 377), menegaskan faculty in two-year and four-year colleges and universities have significant impact on school mathematics, through their work with students who will become teachers. Dalam pembelajaran, pertanyaan berfungsi sebagai kontrol. Di awal pembelajaran, pertanyaan berguna untuk mengecek kesiapan dan memfokuskan perhatian siswa serta menjaga kesinambungan materi. Cotton, K. (2001) menemukan bahwa: (1) posing questions before reading and studying material is effective for students who are older, high ability, or known to be interested in the subject matter, (2) questions which focus student’s attention on salient elements in the lesson result in better comprehension than questions which do not. Selama pembelajaran, pertanyaan merupakan pusat aktivitas. Menurut Lewis, K. G. (1999) the ability to ask and answer questions is central to learning. Callahan and Clarke (1988) (dalam Camp,W. G.) mengatakan bahwa we use questioning during a class to stimulate thinking, assess student progress, check on teacher clarity, motivate students to pay attention, maintain classroom control,
3 provide repetition, emphasize key points, and many more things. Pada akhir pembelajaran pertanyaan digunakan untuk refleksi hasil yang diperoleh atau proses yang telah dilakukan. Berdasar uraian di atas, salah satu fungsi pertanyaan adalah “alat” berpikir mendalam. Berpikir mendalam melalui salah satu dari delapan operasi kognitif ditandai oleh pertanyaan yang relevan dengan operasi itu. Delapan operasi kognitif itu adalah comparing, classifying, inducing, deducing, analyzing error, constructing support, abstracting, and analyzing perspective (Marzano, R.J. 1992: 68-69). Berpikir mendalam adalah proses penghalusan atau perluasan pengetahuan, karena penghalusan dan perluasan pengetahuan adalah the aspect of learning that involves examining what is known at a deeper, more analytical level. Penghalusan pengetahuan adalah fokus penelitian ini. Proses penghalusan diawali dari inquiry untuk membangun pengetahuan awal. Dari hasil inquiry itu mahasiswa melakukan refleksi dengan membuat pertanyaan tertulis yang logis disertai argumen. Jawaban pertanyaan itu akan memberikan penghalusan pengetahuan awal, yaitu diperoleh pengetahuan yang memiliki kebenaran koheren. Untuk melaksanakan pembelajaran dengan karakteristik ini, diperlukan model pembelajaran dan perangkat yang relevan. Karena itu, pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah pengembangan dan hasil pengembangan model pembelajaran Inquiry yang valid, praktis, dan efektif untuk peng-halusan pengetahuan matematika mahasiswa calon guru melalui pengajuan pertanyaan?” Agar tidak terjadi penafsiran ganda terhadap beberapa istilah, maka pengertian istilah itu perlu ditegaskan. 1. Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang memuat prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. 2. Menurut National Science Education Standards (NSES) ada sepuluh jenis Inquiry, yaitu; (1) observing, (2) classifying and sequencing, (3) communicating, (4) measuring, (5) predicting, (6) hypothesizing, (7) inferring, (8) defining, controlling, and manipulating
4 variable in experimentation, (9) designing, constructing and interpreting models, (10) interpreting, analyzing and evaluating data. Dalam penelitian ini dipilih tiga yaitu; (1) observing, (2) hypothesizing, dan (3) interpreting, analyzing and evaluating data. 3. Model Pembelajaran Inquiry adalah model pembelajaran yang menuntut mahasiswa melakukan inquiry. 4. Pengembangan model adalah aktivitas yang dilakukan untuk memperoleh model dengan kriteria tertentu. Dalam penelitian ini, kriteria yang dipakai adalah valid, praktis, dan efektif. 5. Model pembelajaran dikatakan valid jika menurut penilaian ahli model itu memiliki validitas isi dan validitas konstruk. Validitas isi maksudnya model itu dilandasi oleh rasional teoritik yang kuat. Validitas konstruk maksudnya semua komponen model secara konsisten saling terkait. 6. Model pembelajaran dikatakan praktis jika: (1) menurut penilaian ahli dan praktisi model itu dapat diterapkan, dan (2) hasil pengamatan tentang keterlaksanaan dalam pembelajaran memenuhi kategori tinggi. 7. Model Pembelajaran dikatakan efektif jika terpenuhi empat indikator keefektifan, yaitu; (1) penguasaan bahan ajar, (2) penghalusan pengetahuan, (3) aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran, (4) respon mahasiswa. 8. Penguasaan bahan ajar (PBA) adalah nilai yang ditentukan berdasar hasil inquiry dan hasil tes penguasaan bahan ajar (TPBA). Hasil inquiry mahasiswa terekam dalam Lembar Kerja Mahasiswa (LKM). 9. Penghalusan pengetahuan adalah pemeriksaan mendalam dan analitis tentang materi yang telah dipelajari. Pemeriksaan itu dilakukan mahasiswa melalui; (1) pengajuan pertanyaan tertulis yang logis disertai argumen, (2) investigasi jawaban melalui diskusi kelompok. 10. Aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran adalah unjuk kerja yang meliputi; mengerjakan inquiry, membuat pertanyaan tertulis yang logis dilengkapi argumen, diskusi kelompok, dan mengerjakan latihan pemantapan.
5 11. Respon mahasiswa adalah skor yang diperoleh melalui “angket respon” mahasiswa terhadap; LKM, pengelolaan pembelajaran, dan pengalaman belajar. B. Kajian Pustaka Eggen, P.D. and Kauchak, D.P (1996: 11) mengatakan model pembelajaran prescriptive teaching strategies to accomplish particular instructional goals. Menurut Joyce, B. and Weil (1992, 4) model pembelajaran adalah a plan or pattern that we can use to design face to face teaching in classrooms or tutorial setting and to shape instructional materials including books, film, tape, computer mediated program, and curricula. Brent G. Wilson, & David H. Jonassen (dalam Cognitive Teaching Models: 1996) mengatakan a teaching model incorporates a complex array of instructional factors into a single working system. Dari beberapa pendapat itu, maka model pembelajaran adalah suatu kerangka yang mencakup; (1) rasional teoritik yang logis, (2) perilaku siswa belajar dan guru mengajar, (3) situasi dan tujuan pembelajaran, dan (4) bahan ajar. Aspek pertama adalah landasan teoritik yang mendasari pembuatan model. Tiga aspek berikutnya adalah komponen dari model itu. Menurut Joyce, B. & Weil, M. (1992:14-16) model itu terdiri dari komponen empat, yaitu; syntax, the social system, principles of reaction, and support system. a. Sintaks. Sintaks adalah deskripsi logis dan runtut tentang aktivitas pengajar dan pebelajar. Deskripsi itu memuat seluruh aktivitas pengajar dan pebelajar dalam pembelajaran yang dijabarkan dalam unit-unit aktivitas disebut fase. b. Sistem Sosial. Dalam sistem sosial diuraikan peran pebelajar dan pengajar, hubungan satu sama lain, serta target yang diharapkan. Fungsi managerial pengajar dalam pembelajaran ditentukan oleh sistem sosial itu. c. Prinsip Reaksi. Prinsip reaksi adalah pedoman pengajar untuk merespon performance pebelajar. Bimbingan atau bantuan pengajar terhadap pebelajar ditentukan oleh prinsip reaksi itu.
6 d. Sistem Pendukung. Sistem pendukung adalah kondisi tambahan selain situasi rutin. Syarat tambahan itu dapat berwujud fisik atau non fisik. Learning material adalah syarat tambahan yang bersifat fisik. Syarat non fisik meliputi; kesiapan psikis pebelajar, komunikasi harmonis antara pebelajar dan pengajar, dan lain-lain. Pelaksanaan model di lapangan akan membawa dampak. Dampak yang sengaja dirancang untuk terjadi akibat penerapan model itu disebut dampak instruksional. Dampak yang diperoleh karena mengalami pembelajaran itu disebut dampak pengiring. Setiap model pembelajaran bersifat khas, sehingga tidak selalu sesuai dengan situasi atau tujuan pembelajaran. Karena itu, untuk mencapai tujuan tertentu perlu dikembangkan model yang sesuai. Brent G. W. & David H. J. (1996) mengatakan “the development of teaching models constitutes a unique combination of theory construction and empirical testing”. Menurut pengertian ini, pengembangan model mencakup dua aspek, yaitu; (1) teori konstruksi, (2) pengujian secara empiris. Pembelajaran adalah inti dari aktivitas pendidikan, sehingga pengembangan model pembelajaran adalah upaya memecahkan masalah pendidikan. Karena itu, model umum pemecahan masalah pendidikan (Plomp, 1997:4-6) dapat dipakai dasar pengembangan model pembelajaran. Pengembangan model menurut Plomp secara hirarki dibagi dalam lima fase, yaitu; (1) Preliminary Investigation, (2) Design, (3) Realisation/construction, (4) Test, Evaluation, Revision, dan (5) Implementation. Kelima fase pengembangan itu disajikan dalam Gambar 1.
7
Gambar 1 Model Umum Pemecahan Masalah Pendidikan Dikutip dari Plomp: 1997 Arah pengembangan ditentukan berdasar suatu kriteria. Dalam pengembangan ini digunakan kriteria valid, praktis, dan efektif. Aspek kualitas dan representasinya disajikan dalam tabel berikut. Tabel 2 Aspek Kualitas Produk dan Representasinya Quality Validity Practicallity Effectiveness Aspects Representation Intended Consistency between Consistency between (Ideal+Formal) Intended-Perceived Intended-experiential State-of-the-art Intended-Operational Intended- Attained Internally consistent Kriteria ini mengacu kepada kriteria pengembangan kurikulum dari Akker, J.V.D., Branch, R.M., Gustafson, K., Nieveen, N., Plomp, T. (1999, 126-127). Pengembangan model pembelajaran matematika tidak dapat dipisahkan dari teori belajar matematika. Menurut Diene, Z.P (1971) belajar matematika adalah apprehension such relationships together with their symbolisation and the acquisition of the ability to apply the resulting concept to the real situation occuring in the real world. Jadi menurut Diene, belajar matematika adalah
8 memahami hubungan-hubungan dengan sistem simbolnya dan pemerolehan pengetahuan. Menurut Soedjadi dan Moesono (dalam Sutiarso, 2000: 630) belajar matematika bertujuan menata nalar, membentuk sikap, dan menumbuhkan kemampuan matematika. Karena itu, belajar matematika adalah belajar memaknai dan mengkomunikasikan ide matematika dengan bahasa yang sederhana, selain belajar simbol-simbol, prosedur, atau formulasi matematis. Pemahaman matematika menurut Alfeld, Peter (2000) adalah kemampuan komunikasi matematika meliputi; explain mathematical concepts and facts in terms of simpler concepts and facts, easily make logical connections between different facts and concepts, recognize the connection when you encounter something new (inside or outside of mathematics) that's close to the mathematics you understand, and identify the principles in the given piece of mathematics that make everything work. Dalam NCTM dan AMA ditekankan bahwa students should be able to communicate mathematically, both in written and oral forms, using mathematical and vocabulary notations. Obyek matematika bersifat mental, sehingga belajar matematika senantiasa melibatkan proses kognitif. Ahli Psikologi Kognitif, memandang belajar sebagai information processing. Alur pemrosesan informasi itu dapat digambarkan dengan Modified Waugh and Norman Cognitive model, seperti Gambar 2. Informasi yang diterima sensory storage masuk dalam sistem penyimpanan dan mengakibatkan ketidakseimbangan. Untuk mengembalikan ke keadaan seimbang, maka akan terjadi adaptasi. Adaptasi ini berpotensi mendorong munculnya pertanyaan. Pertanyaan ini berfungsi untuk menstrukturkan informasi baru agar sesuai skema yang telah ada atau merestrukturisasi skema yang telah ada agar sesuai dengan struktur informasi baru.
9
Gambar 2 Modified Waugh and Norman Cognitive Model Dikutif dari Solso, R.L hal 23 Proses adaptasi dalam pembelajaran hakekatnya adalah proses konstruksi pengetahuan. Proses konstruksi pengetahuan memerlukan kebebasan dalam mengartikulasikan ide-ide, mengujinya melalui eksperimen, dan mengkaji hubungan antara fenomena yang dikaji dan penggunaan lain dari konsep itu (Dykstra, 1996; Nesher, 1989; Julyan & Duckworth, 1996) (dalam Catherine, C. 2003). Diskusi dan mengalami bagi pebelajar sangat esensial, karena akan mendorong proses pengorganisasian internal dan abstraksi reflektif. Fosnot dan Perkins (dalam Catherine, C. 2003) mengatakan abstraksi reflektif adalah kekuatan yang dapat memotivasi belajar. Perkins (dalam Catherine, C. 2003) mengusulkan dua model konstruktivis, yaitu konstruktivis model beyond the information given (BIG) dan model without information given (WIG). Dalam model BIG konsep disampaikan langsung, contoh-contoh disediakan, pebelajar diajak dalam aktivitas yang menantang mereka menerapkan dan memperhalus pemahaman awal melalui penerapan dan contoh yang bervariasi (engage students in activities that challenge them to apply and refine their initial understanding through the use of multiple applications and examples). Dalam pendekatan model WIG, tanggung jawab sepenuhnya ada pada pebelajar. Dalam model ini pebelajar
10 ibaratnya dilepaskan dalam hutan rimba raya yang sama sekali belum dikenal dan harus mencari jalan sendiri untuk sampai tujuan. Karena itu Perkins (1992), memandang pendekatan WIG murni tidak efisien dan tidak efektif terlebih lagi kalau bahan yang diajarkan baru dan menuntut kemampuan dan pengetahuan prasyarat yang komplek. Penghalusan pengetahuan (refine knowledge) adalah salah satu dimensi dalam lima dimensi belajar Marzano, R.J. Menurut Marzano R.J. (1992:2), belajar mencakup interaksi lima tipe berpikir yang kemudian disebut Lima Dimensi Belajar. Kelima dimensi itu adalah; Attitudes and Perception, Acquiring and Integrating Knowledge, Extending and Refining Knowledge, Using Knowledge Meaningfully, Habits of Mind. Kelima dimensi itu tersusun hirarkis dan ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Lima Dimensi Belajar Dikutip dari Marzano, R.J 1992 Hal: 2 Sikap dan persepsi adalah prakondisi yang sangat menentukan perilaku siswa dalam pembelajaran. Sikap dan persepsi ini adalah dimensi pertama dan mencakup sikap dan persepsi tugas, bahan ajar, lingkungan belajar, dan pembelajaran. Tujuan pembelajaran adalah agar siswa “berpengetahuan”. Ini berarti bahwa dalam pembelajaran harus terjadi pemerolehan dan integrasi pengetahuan.
11 Pemerolehan dan integrasi pengetahuan itu merupakan dimensi kedua. Perluasan dan Penghalusan pengetahuan adalah dimensi ketiga. Perluasan terjadi akibat penggunaan bersama dari beberapa sifat, dan penghalusan itu akibat dari penambahan intensi. Perluasan dan penghalusan pengetahuan adalah the aspect of learning that involves
examining what is known at a deeper, more analytical level (Marzano, R. J, 1992: 68). Perluasan dan penghalusan pengetahuan melibatkan delapan operasi kognitif, yaitu; comparing, classifying, inducing, deducing, analyzing error, constructing support, abstracting, and analyzing perspective (Marzano, R.J. 1992: 68-69). Operasi kognitif ini indikasi bahwa penghalusan pengetahuan merupakan proses berpikir mendalam. Melalui proses ini konsep yang dipahami akan terinternalisasi dan bermakna sehingga dapat digunakan secara bermakna. Penggunaan pengetahuan secara bermakna adalah dimensi keempat. Kemampuan menggunakan pengetahuan secara bermakna akan menumbuhkan motivasi internal dan kebiasaan berpikir progresif. Kondisi itu memungkinkan pebelajar berpikir kritis, kreatif, dan mengatur kebiasaan berpikir. Mengatur kebiasaan berpikir secara mandiri (self regulated thinking) meliputi: memonitor pemikiran sendiri, merencanakan secara tepat, identifikasi dan menggunakan sumber-sumber yang tepat, merespon balikan secara tepat, dan menilai keefektifan tindakan.
12 Gambar 4 Penghalusan dan Perluasan Pengetahuan Self regulated thinking merupakan salah satu ciri perilaku belajar siswa dewasa. Siswa dewasa adalah pebelajar yang telah duduk di jenjang pendidikan tinggi. Kemp J.E. (dalam Asril, M. 1994: 67) memberi ciri-ciri siswa dewasa yaitu; memasuki program dengan kesiapan belajar yang tinggi, membawa banyak pengalaman ke kelas, kurang luwes dalam berinteraksi, ingin diperlakukan sesuai dengan kedewasaannya, dan mempunyai inisiatif serta mandiri. Malcom, K. (dalam Lieb, S., 1991) mencirikan enam perilaku belajar siswa dewasa, yaitu; menentukan sendiri arah dan tujuan belajarnya, memiliki seperangkat pengalaman hidup, berorientasi kepada tujuan dan relevansi, cenderung bersifat praktis, serta membutuhkan penghargaan. Kolb, D. A. (1984) membagi tahap belajar siswa dewasa dalam empat fase, yaitu; (1) berangkat dari pengalaman, (2) menggunakan pengalaman itu untuk observasi dan refleksi, (3) asimilasi observasi itu ke dalam kerangka konseptual atau dihubungkan dengan konsep dari pengetahuan terdahulu, (4) diuji dan diterapkan dalam situasi yang berbeda. Keterkaitan keempat fase itu disajikan dalam Gambar 5.
Gambar 5 Saling keterkaitan fase dalam siklus pembelajaran siswa dewasa Sumber: Kolb, D. A. : Experiential Learning.
13 Berdasar ciri-ciri siswa dewasa, ciri perilaku belajar, dan proses belajarnya, maka beberapa kelebihan siswa dewasa adalah; (1) kuat pada pendirian, (2) mempunyai inisiatif dan mandiri, (3) memiliki tujuan belajar yang jelas, (4) memiliki kemampuan refleksi, dan (5) berorientasi kepada relevansi dan kepraktisan. Kelebihan ini dipertimbangkan dalam pengembangan model. C. Metode Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian pengembangan. Produk yang dikembangkan dan kegunaannya tertuang dalam Tabel 2. Tabel 2 Produk dan Kegunaannya Produk Model Pembelajar an
Kegunaan Sebagai kerangka konseptual dan acuan mengembangkan perangkat pembelajaran Perangkat Melaksanakan model itu di Pembelajara lapangan n Mengukur kepraktisan dan keefektifan model Instrumen Menilai kualitas Model dan Perangkat, meliputi: kevalidan, kepraktisan, keefektifan
Keterangan
Untuk uji coba di lapangan
Melalui validasi ahli Melalui uji coba lapangan
Model, perangkat pembelajaran, dan instrumen dikembangkan mengikuti lima fase pemecahan masalah pendidikan (Plomp: 1997, 6-13). Dalam pengembangan ini implementasi dalam arti luas tidak dilakukan. Keterpenuhinya kriteria yang ditetapkan diukur melalui uji coba. Perangkat yang dikembangkan meliputi Rencana Pembelajaran (RP) dan Lembar Kerja Mahasiswa (LKM).
14 Sedangkan instrumen yang dikembangkan terdiri dari lembar validasi, lembar observasi, tes, dan angket. Pengembangan model, perangkat, dan instrumen dilakukan serentak. Produk awal yang diperoleh disebut prototipe 1. Prototipe 1 divalidasi melalui validator ahli. Jika hasil validasi menunjukkan bahwa produk itu harus direvisi, maka segera direvisi. Jika revisi model berakibat kepada perangkat atau instrumen, maka revisi segera dilakukan sehingga konsistensinya tetap terjaga. Model yang telah dinyatakan valid diuji coba lapangan untuk menilai kepraktisan dan keefektifan. Aspek yang dinilai, instrumen yang digunakan, data yang direkam, dan responden disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Aspek yang dinilai, Instrumen, data yang direkam, dan responden Aspek yang dinilai Kevalidan Model dan Perangkat Kepraktisan Model
Instrume n Lembar validasi
Data yang direkam
Responden
kevalidan model dan perangkat
Ahli
Lembar keterlaksaan observasi perangkat
Pengamat
Keefektifa n Model
Tes
Subyek penelitian Pengamat
penguasaan bahan ajar Lembar Aktivitas observasi mahasiswa Angket Respon mahasiswa respon
Subyek penelitian
Subyek penelitian ini adalah mahasiswa calon guru yang duduk di tahun pertama semester II. Untuk membuat keputusan tentang kualitas produk itu, maka data dianalisis secara deskriptif. Kevalidan dinilai berdasar hasil validasi ahli, kepraktisan dan keefektifan dinilai berdasar hasil uji coba. Produk yaitu model dan perangkat dikatakan praktis, jika keterlaksanaan masuk kategori tinggi. Sedangkan keefektifannya ditentukan berdasar empat indikator berikut;
15 1. penguasaan bahan ajar baik, yaitu rata-rata penguasaan bahan ajar untuk seluruh kelas tidak kurang dari 71. 2. penghalusan pengetahuan melalui pemeriksaan mendalam dan diskusi kelompok mencapai kriteria minimal mendalam, 3. aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran minimal aktif, 4. respon mahasiswa positif. Prosedur pengembangan model dan perangkat disajikan dalam Gambar 6.
16
Gambar 6 Prosedur Pengembangan Model dan Perangkat
Keterangan:
17 D. Hasil dan Pembahasan Tujuan penelitian ini adalah memperoleh model pembelajaran yang valid, praktis, dan efektif. Pertanyaan yang logis dilengkapi argumen adalah isu sentral dan menjadi ciri khas model ini. Pertanyaan itu diajukan setiap pebelajar dan dijawab oleh pebelajar melalui diskusi kelompok. Pertanyaan dan jawaban atas pertanyaan itu digunakan untuk penghalusan pengetahuan yang diperoleh dari hasil inquiry. Setelah melalui tiga kali uji coba, maka model pembelajaran yang valid, praktis, dan efektif diperoleh. Pada uji coba I, model telah memenuhi kriteria kepraktisan, karena secara keseluruhan rata-rata keterlaksanaannya lebih dari 3. Tetapi fase Bertanya, Diskusi, dan Latihan Pemantapan tingkat keterlaksanaannya cukup. Selain itu, pada pada analisis keefektifan, hanya satu indikator keefektifan yang terpenuhi, yaitu penguasaan bahan ajar. Berdasar hasil ini, maka kriteria keefektifan belum terpenuhi, sehingga harus direvisi dan diuji coba kembali. Pada uji coba II, fase Bertanya dan Latihan Pemantapan belum mendukung kepraktisan karena rata-rata keterlaksanaannya kurang dari 3. Pada analisis keefektifan, indikator penghalusan pengetahuan belum mendukung keefektifan model, karena pemeriksaan yang dilakukan mahasiswa belum memenuhi kriteria mendalam. Pada uji coba III seluruh indikator keefektifan terpenuhi, yaitu; (1) penguasaan bahan ajar mencapai 77,79 dan standar deviasi 7,45 sehingga memenuhi kriteria baik, (2) pemeriksaan untuk penghalusan pengetahuan memenuhi kriteria mendalam karena persentase rata-rata pertanyaan logis dilengkapi argumen lebih dari 50% dan jawaban pertanyaan hasil diskusi kelompok telah disajikan dengan ilustrasi, contoh, dan memperhatikan kasus tertentu, (3) aktivitas mahasiswa memenuhi kriteria aktif, dan (4) respon mahasiswa positif. Model yang valid, praktis, dan efektif itu mempunyai lima komponen, yaitu; sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dan dampak. Sintaks itu memuat tiga aktivitas inti yaitu; membangun, penghalusan, dan internalisasi pengetahuan. Ketiga aktivitas itu dijabarkan ke
18 dalam enam fase. Fase, aktivitas tiap fase, dan tujuan tiap aktivitas disajikan dalam tabel 4. Tabel 4 Sintaks Model Pembelajaran Inquiry Tahap Pendahuluan (Awal)
Penyajia n informas i dan aktivitas Inquiry
Aktivitas 1. Apersepsi/review 2. Membentuk Kelompok 3. Membagikan Lembar Kerja 4. Menyampaikan Indikator pembelajaran 5. Pengajar menyampaikan informasi pembelajaran, 6. Mahasiswa mengerjakan Inquiry dalam LKM 7. Pengajar melakukan intervensi terbatas
Bertanya 8. Mahasiswa melakukan refleksi terhadap hasil inquiry 9. Mahasiswa membuat pertanyaan tertulis dalam LKM, 10. Mahasiswa memeriksa asal pertanyaan itu 11. Mahasiswa mendeskripsikan situasi asal pertanyaan itu. 12. Mahasiswa mengajukan pertanyaan secara verbal
Keterangan/Tujuan Menjaga kesinambungan materi Memandu aktivitas mahasiswa Mahasiswa diminta membaca dalam LKM Membangun pengetahuan Melokalisir masalah yang muncul Memeriksa secara mendalam dan analitis, hasil yang diperoleh dalam inquiry. Membangun argumen
19 Diskusi
13. Mahasiswa mendiskusikan dalam kelompok jawaban pertanyaan yang terpilih 14. Mahasiswa menulis lengkap hasil diskusi kelompok dalam LKM 15. Menunjuk mahasiswa mempresentasikan hasil diskusi 16. Melakukan intervensi dengan minta mahasiswa “fokus” pada aspek tertentu dari presentasi itu. Pemantapan 17. Mahasiswa mengerjakan soal latihan dalam LKM 18. Mahasiswa menyajikan hasil di papan Penutup 19. Mahasiswa membuat resume
Memperoleh penghalusan pengetahuan yang dibangun melalui inquiry.
Menginternalisasi pengetahuan yang telah diperhalus
Mendapatkan core dari materi yang telah dibahas.
20. Menyampaikan tugas atau rencana kegiatan pertemuan berikutnya. Proses membuat pertanyaan yang dilakukan mahasiswa dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Dibuat satu pertanyaan, 2. Diperiksa asal/sumber pertanyaan itu, 3. Dideskripsikan situasi asal pertanyaan itu (argumen), 4. Dibuat pertanyaan baru berdasar deskripsi situasi asal pertanyaan sebelumnya. Aktivitas mahasiswa diamati dengan melihat langsung ke tempat duduk tiap-tiap kelompok. Cara ini berpotensi kehilangan informasi. Hilangnya informasi diminimalkan
20 dengan melarang mahasiswa menghapus pekerjaan yang dianggap salah tetapi cukup dicoret tipis. Perbaikannya ditulis di samping (atas atau bawah). Dengan “strategi” ini diketahui beberapa mahasiswa “membaca” lambang secara harfiah dan tidak dibaca sebagai makna simbolis. Hasil membaca yang dituangkan dalam hasil inquiry disajikan di bawah ini.
Gambar 7 Persepsi Mahasiswa tentang Ilustrasi Matematis yang Disajikan Dalam Aktivitas Inquiry Dalam setiap tatap muka, banyak pertanyaan yang dibahas pada fase Diskusi Kelompok berkisar 5%-7% dari total pertanyaan yang dibuat oleh seluruh subyek penelitian. Persentase ini dapat memicu muncul respon negatif bagi mahasiswa untuk membuat pertanyaan. Munculnya respon itu dicegah dengan manajemen pertanyaan sebagai berikut; 1. Dipilih pertanyaan individu, bukan pertanyaan kelompok, 2. Dipilih pertanyaan yang betul-betul representasi masalah inti, 3. Pertanyaan terpilih didisplay di papan, ditawarkan kepada semua kelompok untuk disepakati. 4. Diberi kesempatan kepada setiap mahasiswa untuk memberi komentar atau tambahan, serta membandingkan dengan pertanyaan yang dibuat. Dengan manajemen itu, maka satu pertanyaan dapat mewakili beberapa pertanyaan dari beberapa mahasiswa. Dengan demikian banyaknya pertanyaan yang tidak terbahas berkurang, sehingga kemungkinan muncul respon negatif terhadap aktivitas mengajukan pertanyaan dapat dicegah. E. Kesimpulan dan Saran
21
1. Model Pembelajaran Inquiry ini dikembangkan berdasar General Model Education Problem Solving (Plomp), yang terdiri dari lima fase, yaitu; (1) preliminary investigation, (2) design, (3) realisation, (4) test, evaluation, revision, (5) implementation. Melalui lima fase itu diperoleh prototipe awal. Prototipe awal divalidasi oleh lima validator ahli. Melalui validasi ini juga dilakukan pengujian reliabilitas lembar validasi. Prototipe awal yang telah dinyatakan valid diuji coba tiga kali pada tiga kelas berbeda. Jeda waktu uji coba ke-i dan ke-i+1; i=1,2 adalah satu hari dan materi yang diajarkan sama. Tiap uji coba terdiri dari enam kali tatap muka dan dilaksanakan oleh dosen model yang sama. 2. Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka hasil pengembangan adalah Model Pembelajaran Inquiry yang valid, praktis, dan efektif. Model itu mempunyai lima komponen, yaitu; (1) Sintaks, (2) Sistem Sosial, (3) Prinsip Reaksi, (4) Sistem Pendukung, dan (5) Dampak. Kelima komponen itu disajikan pada gambar 8.
Gambar 8 Komponen Model Pembelajaran Inquiry Hasil Pengembangan
22
F. Rekomendasi Berdasar hasil analisis dan kesimpulan, maka implikasi praktis yang dapat direkomendasikan dari hasil penelitian ini adalah; 1. Hasil Inquiry yang terekam dalam LKM, menggambarkan bahwa aktivitas Inquiry memberikan keleluasaan pebelajar membangun pengetahuan sesuai dengan pengalaman belajarnya. Selain itu, dengan aktivitas inquiry yang terpusat pada pebelajar, proses terbentuknya pengetahuan akan dialami langsung. Dengan demikian, aktivitas Inquiry dapat mengakomodasi keberagaman perilaku pebelajar dalam membangun pengetahuan dan sangat sesuai dengan paradigma konstruktivis. Karena itu, aktivitas ini dapat dipilih sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang bersifat students centered. 2. Perilaku bertanya belum terbiasa dilakukan oleh sebagian besar pebelajar dalam pembelajaran. Bagi pebelajar, kemampuan dan perilaku bertanya berperan sangat penting, yaitu sebagai bagian dari proses memperoleh pengetahuan yang memiliki kebenaran koheren (Soedjadi, R. 2000: 26). Karena itu, penanaman konsep dan membangun kemampuan bertanya perlu ditangani secara simultan. 3. Fokus penelitian ini adalah penghalusan pengetahuan melalui pengajuan pertanyaan yang logis dilengkapi argumen dan diskusi kelompok. Menurut Marzano, R.J (1992: 68), penghalusan dan perluasan (refining and extending) pengetahuan adalah dua proses yang dapat dilakukan dengan operasi kognitif (cognitive operation) yang sama, yaitu; (1) comparing, (2) classifying, (3) inducing, (4) deducing, (5) analyzing error, (6) constructing support, (7) abstracting, and (8) analyzing perspective. Karena itu, peneliti yang tertarik dengan masalah ini dapat melanjutkan penelitian ini pada masalah perluasan pengetahuan. 4. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa membangun argumen dirasakan sebagai hal yang baru bagi sebagian besar mahasiswa. Membangun argumen merupakan proses berpikir reflektif dan koneksitas, sebab perlu
23 penelusuran kembali terhadap proses yang telah dikerjakan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang relevan. Bagi guru atau calon guru kemampuan ini sangat penting, sebab mereka dituntut mampu menjustifikasi algoritma penyelesaian suatu masalah. Dengan demikian, kemampuan membangun argumen harus terintegrasi dalam proses konstruksi pengetahuan atau pemecahan masalah, termasuk penyelesaian masalah yang menggunakan prosedur rutin.
24 DAFTAR PUSTAKA
Abu-Elwan, Reda. ____ The development of Mathematical Problem Posing Skills for Prospective Middle School Teachers. Mathematics Education, Sultan Qaboos University, Muscat, Sultant of Oman. Download 14 Agustus 2006. Akker, J. V.D., Branch, R.M., Gustafson, K., Nieveen, N., Plomp, T. 1999. Designing and Tools in Education and Training. Netherland. Kluwer Academic Publisher. Alfeld, Peter. 2000. Understanding Mathematics a Study Guide. Department of Mathematics. College of Science.University of Utah. Download 5 Januari 2007. Anderson, L. W., Krathwohl, D.R. 2001. A Taxonomy for Learning Teaching and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objective. USA. Addision Wesley Longman, Inc. Arend, R.I. 1997. Classroom Insruction and Management. USA. The McGraw-Hill Companies. Bell, F.H. 1978. Teaching and Learning Mathemaics (in Secondary Schools). USA. Wm.C. Brown Company Publisher. Bolla, J.I., Pah,. D.N. 1984. Panduan Pengajaran Mikro 1: Ketrampilan Bertanya Dasar dan Lanjut. (terjemahan) Depdikbud Dirjen. PPLPTK. Brent G. Wilson, & David H. Jonassen. 1996. Cognitive Teaching Models. Handbook Of Research In Instructional Technology. New York: Scholastic Press Catherine, Chen. 2003. A Constructivist Approach to Teaching: Implications in Teaching Computer Networking. Information Technology, Learning, and Performance Journal, Vol. 21, No. 2.
25 Chan, C., Lee, E., Aalst, J. V. 2001. Assessing and Fostering Knowledge Building Inquiry and Discourse: The University of Hong Kong, Eddy Lee: Raimondi College, Jan van Alst: Simon Fraser University. Download 8 Oktober 2007. Edwards, Clifford H. 1997. Promoting Student Inquiry. The Science Teacher, Vol. 64, No. 7, October 1997, pp. 18, 20-21. David A. Kolb. 1984. Experiential Learning. New York: Prentice-Hall. Diene, Zoltan P. 1971. Building up Mathematics: Diene on the Learning of Mathematics. 4th edition. London: Hutchinson Education Ltd. Ch. 2 pp: 18-40. Eggen, P.D., Kauchak, D.P. 1996. Strategy for Teacher : Teaching Content and Thinking Skill. 3rd Edition. USA. Allyn & Bacon. Gagnon, G.W., Collay, M. 2001. Designing for Learning: Six Element in Constructivist Classroom. Thousand Oaks, California. Corwin Press, INC. Gallagher, K.T. 1994. Epistemologi: Filsafat Pengetahuan. (Saduran oleh Pardono Hadi). Yogyakarta. Kanisius. Hein, G. E. 1991. Constructivist Learning Theory. CECA (International Committee of Museum Educators) Conference Jerusalem Israel, 15-22 October 1991. Huberman. 1994. Qualitative Data Analysis. 2nd Edition. USA. Sage Publication, Inc. Huberman, A.M., Miles, M.B. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Rohidi, T. R. Jakarta. UI Press. Irawan, E.B. 2006. Pengembangan Desain Pelatihan Strategi sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Mengkaji Konsep Geometri Bagi Calon Guru Matematika Sekolah Menengah. Disertasi. Tidak dipublikasikan.
26 James W. Wilson. ____. Technology in Mathematics Teaching and Learning. University of Georgia. Download 24 September 2006. James, Richard. 2000. The Skill of Questioning. www. cshe.unimelb.edu.au/pdfs/Skill_Question.pdf. Download 14 Maret 2008. Joyce, B., dkk. 1992. Models of Teaching. 4th Edition. USA. Allyn and Bacon. Joyce, B., dkk . 1992. Models of Teaching, 5th Edition. USA. Allyn and Bacon. Karron G. Lewis. 1999. Teachers and Students: A Sourcebook for UT-Austin Faculty. Center for Teaching Effectiveness The University of Texas at Austin. Cotton, K.. 2001. Classroom Questioning. School Improvement Research Series (SIRS) Northwest Regional Educational Laboratory. Download 14 April 2006. Khabibah, Siti. 2005. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Open-Ended untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa Sekolah Dasar. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Kemp. Jerrold E. 1994. Proses Perancangan Pengajaran. (Terjemahan oleh Marjohan Asril). Bandung. ITB Press. Lieb, Stephen. 1991. Principles of Adult Learning. Senior Technical Writer and Planner, Arizona Department of Health Services and part-time Instructor, South Mountain Community College Lisker, Roy. 2003. On Well-Formed Logical & Psychological Question. Ferment Press. Lorin, W., dkk. 2001. Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing. Bridged Edition. USA. Pre-Press Company. Inc.
27 Marzano, R.J. 1992. A Different Kind of Classroom: Teaching with Dimension of Learning. USA. Association for Supervision and Curriculum Development. Matlin, M.W. 1998. Cognition. USA. Harcourt Brace & Company. Moleong, L.J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung. Remaja Rosdakarya. Nasution, S. 2007. Metode Research. Jakarta. Bumi Aksara. NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. USA. The National Council of Teacher of Mathematics, Inc. NCTM. 1990. Juornal for Research in Mathematics Education. Monograph Number 4. USA. The National Council of Teacher of Mathematics, Inc. Newman, I. & Benz, C.R. 1998. Qualitative-Quantitative Research Methodology: Exploring the Interacive Continum. USA. Board of Trustees. Parta, I Nengah. 2008. Pemanfaatan Benda-Benda Nyata untuk Pembelajaran Integral Tentu Bagi Mahasiswa Calon Guru. Makalah. Disampaikan dalam seminar Nasional Pendidikan Matematika di Univesitas Sanata Dharma. Parta, I Nengah. 2008. Kemampuan Pre-Service Mathematics Teacher Menginvestigasi Obyek Matematika dalam Benda-Benda Nyata Dalam pembelajaran Secara Inquiry. Makalah. Disampaikan dalam seminar Nasional Pendidikan Matematika dan Matematikan Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja-Bali. Parta, I Nengah. 2008. Penghalusan Pengetahuan Matematika Calon Guru Matematika Melalui Pengajuan Pertanyaan. Makalah. Disampaikan dalam seminar nasional Matematika di Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
28 Parta, I Nengah. 2004. Pembelajaran Matematika secara Inquiry Induktif ditinjau dari Perspektif Konstruktivis. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Matematika di Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Parta, I Nengah. 2005. Karakterisasi Kemampuan Inquiry Mahasiswa Jurusan Matematika FMIPA UM dalam Pembelajaran Analisis Regresi. Makalah. Disampaikan dalam seminar nasional Matematika dan Pendidikan Matematika di Universitas Negeri Surabaya. Peter Kahn & Karen O’Rourke. 2005. Understanding Enquiry-Based http://www.nuigalway.ie/celt/pblbook/
Handbook of Learning.
Plomp, T. 1997. Educational & Training System Design. Enschede, Netherland. University of Twente. Purcell,E.J. & Varberg. 2008. Kalkulus dan Geometri Analitik. Edisi 8. Sarah N. 2005. Teacher to teacher: Using Problem Posing Dialog in Adult Literacy Education. //literacy.kent.edu/Oasis/Pubs/0300-8.htm). Download 19 Pebruari 2005. Scardamalia, Marlene, & Bereiter, Carl. (in press). Knowledge Building. In Encyclopedia of Education, Second Edition. New York: Macmillan Reference, USA. Download 9 Juli 2005. Soedjadi. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Dirjen DIKTI. Soedjadi,R. 2001. Pemanfaatan Realitas dan Lingkungan dalam Pembelajaran Matematika. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Realistic Mathematics Education di Jurusan Matematika. UNESA.
29 Soehakso. 2001. Pengaruh dan Perasn Filsafat pada Pembelajaran Math dan Sains di Jenjang Tertiair. Hand Out Matakuliah Filsafat. Stahl, Gerry. 2000. A Model of Collaborative KnowledgeBuilding. Institute of Cognitive Science & Department of Computer Science University of Colorado, Boulder, Colorado, USA. Download 12 Agustus 2007. Stigler, J.W., & Hiebert, J. 2000. The Teaching Gap: Best Ideas from the World’s Teacher for Improvng Education in the Classroom. USA. The Free Pres. Suriasumantri, J.S. 2003. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Popular. Jakarta. Sinar Harapan. Sutiarso, Sugeng. 2000. Problem Posing: Strategi Efektif Meningkatkan Aktivitas Siswa Dalam Pembelajaran Matematika. Prosiding Konperensi Nasional Matematika X. ITB, 17-20 Juli 2000. _____ 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3. Jakarta. Balai Pustaka. Camp, William G. 1993. Improving Your Teaching Through Effective Questioning Techniques. Virginia Polytechnic Institute and State University. Download 7 Juni 2007. . Essential Question. Download: 6 Pebruari 2007 http://scied.gsu.edu/Hassard/mos/7.4.html. Inquiry Model of Teaching. Download 4 Agustus 2004. "http://wik.ed.uiuc.edu/index.php/ SKEP The Psychology of Learning And Teaching Mathematics" Download: 28 Mei 2008 http://ktsp.files.wordpress.com/2006/11/matematika.pdf. KTSP. 2006.
30 http://www.mcrel.org/dbForms/catalog/index.asp. What is Diemension of Learning and How Is It Used. Download 22 Desember 2006. (http://www.ucs.mun.ca/~emurphy/.1997. Learning Theory. Download 7 Juni 2005.
Constructivist
http://pierian.com/correlation/georgia/science/scientific_inqu iryk-5.htm: Scientific Inquiry. Download 24 September 2006. ________ 2007. Kurikulum Jurusan Matematika. Program Studi Pendidikan Matematika. Universitas Negeri Malang. ______ 2007. Buku Pedoman Universitas Negeri Malang. Malang. BAAKPI. Yuwono, Ipung. 2005. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika secara Membumi. Disertasi. Tidak dipublikasikan.