PENGEMBANGAN MODEL MATEMATIK PROSES DEKAFEINASI BIJI KOPI ROBUSTA DALAM REAKTOR KOLOM TUNGGAL
SUKRISNO WIDYOTOMO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Pengembangan Model Matematik Proses Dekafeinasi Biji Kopi Robusta Dalam Reaktor Kolom Tunggal adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 19 Agustus 2011
Sukrisno Widyotomo NIM. F161050021
ABSTRACT SUKRISNO WIDYOTOMO. Development of mathematical model for Robusta coffee decaffeination process in a single column reactor. Under the supervision of HADI K. PURWADARIA, ATJENG M SYARIEF, and SUPRIHATIN Consumers drink coffee not as nutrition source, but as refreshment drink. For coffee consumers who have high tolerance for caffeine, coffee may warm up and refresh their bodies. However high caffeine content in coffee beans may cause health problems to consumers who are susceptible to caffeine. One of the efforts for coffee market expantion is product diversification to decaffeinated coffee. The general objective of this research was to optimize decaffeination process of robusta coffee in single column reactor with leaching method. The specific objectives of this research were to study process characteristic of Robusta coffee decaffeination in single column reactor using acetic acid as solvent, to develop mathematical model for predicting decaffeination time with leaching method, and to optimize process decaffeination of robusta coffee using developed model. Temperature (T) and concentration (c) of solvents were both variables analysed in decaffeination process. Mathematical model validation was checked by comparing prediction time (t-predict) versus observation time (t-obsr). Mathematical model was valid if the result showed that determination coefficient value (R2) > 0.75. Coffee decaffeination was processed using vertical single column reactor. A simple mathematic model for caffeine kinetic description during the extraction process (leaching) of coffee bean was developed. A non-steady diffusion equation coupled with a macroscopic mass transfer equation for solvent was developed and then solved analytically. The kinetic of caffeine extraction from coffee bean was expressed by: c − 0.3 d t (det) = − (( 2 ).(4.4106.c 0.01282 exp( −1041.82 / T ) )(−3.3319d + 10.302)) −1 ln AS − 2π c 0 . 3 A0 where d was coffee beans diameter (m), c was solvent concentration (%), T was solvent temperature (K), and cAS was caffeine content at-t (%). In the first step of decaffeination process, coffee beans was steamed during 1.5 hours using water vapour, and continued with leaching process using acetic acid, effluent of fermented cocoa beans, and tertiary solution of fermented cocoa pulp as solvents. Linier regression analysis showed that t-obsr = 0.8914. t-predict + 0.5045 with R2 0.9326 for acetic acid, t-obsr = 0.771.t-predict + 2.8137 with R2 0.9556 for effluent of fermented cocoa beans, and t-obsr = 0.8825.t-predict + 2.8354 with R2 0.7727 tertiary solution of fermented cocoa pulp as solvents. Response Surface Methodology (RSM) showed that optimum condition for coffee beans decaffeination was 0.4976%/hours decaffeination rate and 4.99 hours decaffeination time with 100oC solvent temperature and 69% solvent concentration using acetic acid as solvent; 0.3426%/hours decaffeination rate and 5.68 hours decaffeination time with 100oC solvent temperature and 55% solvent concentration using effluent of fermented cocoa beans as solvents; and 0.3016%/hours decaffeination rate and 6.57 hours decaffeination time with 100oC solvent temperature and 70% solvent concentration using tertiary solution of fermented cocoa pulp as solvent. The developed mathematical model can be used in designing single column reactor for coffee decaffeination process, to predict decaffeination time and rate, and decaffeination process in optimum condition using acetic acid, effluent of fermented cocoa beans, and tertiary solution of fermented cocoa pulp. Keywords: robusta coffee, mathematical model, decaffeination process, single column reactor
ABSTRAK SUKRISNO WIDYOTOMO. Pengembangan Model Matematik Proses Dekafeinasi Biji Kopi Robusta Dalam Reaktor Kolom Tunggal, di bawah bimbingan HADI K. PURWADARIA, ATJENG M SYARIEF, dan SUPRIHATIN Kopi diminum oleh konsumen bukan sebagai sumber nutrisi melainkan sebagai minuman penyegar. Untuk penikmat kopi yang memiliki toleransi tinggi, kafein akan membuat tubuh menjadi lebih segar dan hangat. Tingginya kadar kafein di dalam biji kopi diduga dapat menyebabkan keluhan terutama bagi penikmat kopi yang memiliki toleransi rendah terhadap kafein. Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan optimasi proses dekafeinasi biji kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal dengan metode pengurasan (leaching). Tujuan khusus penelitian adalah karakterisasi proses dekafeinasi biji kopi robusta dengan pelarut asam asetat dalam reaktor kolom tunggal, pengembangan model matematik pendugaan waktu proses dekafeinasi biji kopi robusta dengan metode pengurasan (leaching), optimasi laju pelarutan kafein biji kopi robusta dengan menggunakan model matematik yang dikembangkan. Suhu (T) dan konsentrasi pelarut (c) adalah variabel yang diteliti dalam proses dekafeinasi. Validasi dilakukan dengan membandingkan data waktu proses prediksi (t-prediksi) yang diperoleh dari hasil model matematik yang dibangun dengan data waktu proses observasi (t-observasi) yang diperoleh dari hasil percobaan. Model simulasi dikatakan valid apabila diperoleh nilai koefisien determinasi (R2)>0.75. Proses dekafeinasi biji kopi dilakukan dalam reaktor kolom tunggal berbentuk silinder tegak. Model matematik untuk menggambarkan kinetika kafein selama proses ekstraksi (pengurasan) dalam biji kopi telah dikembangkan. Persamaan difusi pada kondisi tak mantap (non steady) yang berkaitan dengan persamaan perpindahan massa makroskopik untuk pelarut telah dikembangkan dan diselesaikan secara analitis. Kinetika ekstraksi kafein dari dalam biji kopi dapat diekspresikan dengan persamaan berikut :
t (det) = − ((
c − 0.3 d ).(4.4106.c 0.01282 exp( −1041.82 / T ) )(−3.3319d + 10.302)) −1 ln AS 2 2π c A0 − 0.3
Dalam hal ini d adalah diameter biji kopi (m), c adalah konsentrasi pelarut (%), T adalah suhu pelarut (K), dan cAS adalah kadar kafein yang pada kondisi-t (%). Pada tahap awal dekafeinasi dilakukan proses pengukusan biji kopi selama 1.5 jam dengan media uap air, dan dilanjutkan dengan proses pelarutan kafein dengan senyawa asam asetat teknis, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao. Garis linier regresi yang terbentuk dari validasi model matematik dengan pelarut asam asetat, limbah fermentasi biji kakao, dan pelarut tersier pulpa kakao masing-masing adalah t-obsr = 0.8914. t-pred + 0.5045 dengan R2 0.9326; t-obsr = 0.771.t-pred + 2.8137 dengan R2 0.9556; dan t-obsr = 0.8825.t-pred + 2.8354 dengan R2 0.7727. Hasil analisis RSM menunjukkan bahwa kondisi optimum proses dekafeinasi dengan pelarut asam asetat diperoleh pada suhu dan konsentrasi pelarut masing-masing 100oC dan 69% dengan laju dan waktu pelarutan kafein masing-masing 0.4976%/jam dan 4.99 jam; dengan limbah cair fermentasi biji kakao pada suhu dan konsentrasi pelarut masing-masing 100oC dan 55% dengan laju dan waktu pelarutan kafein masing-masing 0.3426%/jam, dan 5.68 jam, dan dengan pelarut tersier pada suhu dan konsentrasi pelarut masing-masing 100oC dan 70% dengan laju dan waktu pelarutan kafein masing-masing 0.3016%/jam dan 6.57 jam. Model matematika yang terbentuk dapat digunakan dalam perancangan reaktor kolom tunggal untuk proses dekafeinasi, memprediksi waktu dan laju proses dekafeinasi biji kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal, serta melakukan proses produksi kopi rendah kafein pada kondisi optimum proses yang telah ditetapkan dengan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao. Kata kunci : kopi robusta, model matematik, proses dekafeinasi, reaktor kolom tunggal
RINGKASAN Kopi diminum oleh konsumen bukan sebagai sumber nutrisi melainkan sebagai minuman penyegar. Untuk penikmat kopi yang memiliki toleransi tinggi, kafein akan membuat tubuh menjadi lebih segar dan hangat. Tingginya kadar kafein di dalam biji kopi diduga dapat menyebabkan beberapa keluhan terutama bagi penikmat kopi yang memiliki toleransi rendah terhadap kafein. Salah satu upaya peningkatan nilai tambah kopi dan konsumsi domestik kopi Indonesia adalah melalui diversifikasi produk biji kopi menjadi kopi rendah kafein. Dekafeinasi merupakan suatu proses pengurangan kandungan kafein di dalam suatu bahan pertanian. Selama ini teknologi proses dekafeinasi bersumber dari teknologi impor baik dari aspek hardware maupun software-nya. Aturan paten menyebabkan metode dan karakteristik proses, serta mutu produk akhir yang dihasilkan dari proses dekafeinasi dengan pelarut organik seperti etil asetat tidak dapat dipublikasikan untuk umum. Hal tersebut menyebabkan harga kopi rendah kafein di dalam negeri menjadi sangat mahal dan kemungkinan berdampak pada menurunnya minat untuk minum kopi. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia telah melakukan penelitian proses dekafeinasi dalam reaktor kolom tunggal dengan pelarut air. Namun perlakuan suhu pelarut yang tinggi mengakibatkan terjadinya penurunan cita rasa yang cukup signifikan. Pengembangan proses dekafeinasi dilakukan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor dengan menggunakan pelarut etil asetat. Produk yang dihasilkan berupa kopi rendah kafein dengan cita rasa seduhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan pelarut air. Salah satu tahapan penting dalam proses pengolahan primer kakao sebagai penghasil bahan baku dengan standar mutu yang telah ditetapkan untuk diolah menjadi makanan dan minuman cokelat adalah fermentasi. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa limbah cair fermentasi biji kakao yang dihasilkan selama proses fermentasi dalam peti kayu mencapai 15-18% (b/b). Senyawa kimia yang terdapat dalam limbah cair tersebut diprediksi didominasi oleh asam asetat. Ketebalan lapisan pulpa (lendir) sangat berperan pada pembentukan senyawa asam selama proses fermentasi berlangsung. Pada tahap awal telah dilakukan karakterisasi proses fermentasi pulpa kakao dengan metode batch. Senyawa kimia
yang terdapat di dalam pelarut tersier hasil fermentasi pulpa kakao diprediksi didominasi oleh senyawa etanol, dan asam asetat. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan pemanfaatan limbah cair fermentasi biji kakao dan pulpa kakao sebagai pelarut kafein dalam biji kopi antara lain meningkatkan nilai ekonomi limbah cair dan pulpa, meningkatkan pendapatan petani kopi dan kakao, produk yang dihasilkan tidak memberikan dampak negatif bagi kesehatan manusia, dan menekan serendah mungkin dampak negatif limbah pengolahan kakao ke lingkungan. Pada penelitian ini dilakukan pengembangan model matematik proses dekafeinasi biji kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal. Tujuan spesifik adalah sebagai berikut : 1. Karakterisasi proses dekafeinasi biji kopi robusta dengan pelarut asam asetat dalam reaktor kolom tunggal 2. Pengembangan model matematik pendugaan waktu proses dekafeinasi biji kopi robusta dengan metode pencucian (leaching) 3. Optimasi laju pelarutan kafein biji kopi robusta dengan menggunakan model matematik yang dikembangkan Bahan yang digunakan adalah biji kopi pasar jenis Robusta tingkat mutu IV hasil pengolahan kering (dry process) dengan kadar air biji kering antara 1314%. Sebagai pelarut senyawa kafein akan digunakan asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao. Alat utama yang digunakan adalah reaktor kolom tunggal yang berfungsi sebagai tempat belangsungnya proses dekafeinasi dengan ukuran diameter dan panjang masing-masing 300 mm dan 1200 mm. Sumber panas yang digunakan adalah kompor bertekanan (burner) berbahan bakar gas cair atau LPG. Parameter perlakuan yang digunakan dalam pengembangan model dan karakterisasi proses dekafeinasi adalah suhu dan konsentrasi pelarut. Suhu pelarut dikaji dalam 6 tingkat, yaitu 50oC, 60 oC, 70 oC, 80oC, 90oC dan 100oC. Konsentrasi pelarut asam asetat dikaji dalam 6 tingkat, yaitu 0% (air murni), 10%, 30%, 50%, 80% dan 100%. Analisis fisik, kimia, energi panas dan organoleptik dilakukan terhadap biji kopi selama proses dekafeinasi dengan menggunakan pelarut asam asetat.
Penelitian pengembangan model matematik proses dekafeinasi biji kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal telah dilakukan. Model matematik untuk menggambarkan kinetika kafein selama proses ekstraksi (pengurasan) dalam biji kopi telah dikembangkan. Persamaan difusi pada kondisi tak mantap (non steady) yang berkaitan dengan persamaan perpindahan massa makroskopik untuk pelarut telah dikembangkan dan diselesaikan secara analitis. Kinetika ekstraksi kafein dari dalam biji kopi dapat diekspresikan dengan persamaan berikut :
Ap .t
− k L . c AS − c A V = exp c A0 − c A
, dalam hal ini k f = g .c . exp a
(
− Ea ) R g .T
, Dk =
r2
π
2
.k f dan k L =
Dk r
Difusivitas massa internal kafein dapat diprediksi dari model untuk digunakan dengan menggunakan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persamaan yang terbentuk mampu menerangkan kinetika proses ekstraksi kafein dari biji kopi. Nilai difusivitas kafein (Dk) biji kopi dengan pelarut asam asetat antara 1.38–4.08x10-7m2/detik, dan nilai koefisien laju pelarutan (kf) mengikuti persamaan berikut :
k f (det −1 ) = 4.4106.c 0.01282 . exp( −1041.82 / T ) . Model matematik untuk memprediksi waktu pelarutan (t-0,3) senyawa kafein dari kondisi awal cA0 sampai 0.3% dalam biji kopi adalah,
t (det) = − ((
c − 0.3 ).(4.4106.c 0.01282 exp( −1041.82 / T ) )(−3.3319d + 10.302)) −1 ln AS π c A0 − 0.3 r
2
Dekafeinasi dalam reaktor kolom tunggal diawali dengan proses pengukusan biji kopi dengan uap air selama 1.5 jam dan kemudian dilanjutkan dengan proses pelarutan. Proses pengukusan berakibat pada pengembangan panjang biji 8.6-9.5%, pengembangan lebar biji 12.2-13.3%, pengembangan tebal biji 18.3-20.6% peningkatan kadar air menjadi 55.45%, peningkatan diameter aritmatik 8-13%, dan peningkatan diameter geometrik 9-18%. Proses pengukusan tidak mengakibatkan perubahan yang nyata dari nilai sperisitas biji kopi yaitu antara 0.87-1.12. Nilai densitas kamba biji kopi meningkat sebesar 7-8%. Pada suhu pelarut 50oC, kadar kafein 0.3% bk diperoleh setelah proses pelarutan berlangsung selama 8 jam jika menggunakan konsentrasi pelarut 100%, dan 10 jam jika menggunakan konsentrasi pelarut 10%. Pada suhu pelarut 100oC, kadar
kafein 0.3% bk diperoleh setelah proses pelarutan berlangsung selama 4 jam jika menggunakan konsentrasi pelarut 100%, dan 7 jam jika menggunakan konsentrasi pelarut 10%. Validasi model yang terbentuk dengan menggunakan senyawa asam asetat menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2) dari grafik nilai koefisien laju pelarutan observasi terhadap prediksi dan waktu dekafeinasi observasi terhadap prediksi masing-masing sebesar 0.9328 dan 0.9326. Validasi model yang dilakukan dengan metode test-run berdasarkan matrik perlakuan RSM dengan menggunakan pelarut limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2) dari grafik waktu dekafeinasi observasi terhadap prediksi masing-masing sebesar 0.9556 dan 0.7727. Laju pelarutan kafein dan waktu observasi optimum dengan pelarut asam asetat sebesar 0.497%/jam dan 4.99 jam diperoleh pada suhu dan konsentrasi pelarut masing-masing 100oC dan 69%. Pada kondisi tersebut diperoleh seduhan kopi rendah kafein dengan nilai aroma, flavor, body dan bitterness masing-masing sebesar 3.2; 2.7; 2.8; dan 1.6; sedangkan nilai finish appreciation (FA) sebesar 2.8. Laju pelarutan kafein optimum sebesar 0.3426%/jam diperoleh pada waktu 5.68 jam proses dekafeinasi dengan menggunakan pelarut limbah cair fermentasi biji kakao pada suhu 100oC dan konsentrasi pelarut 55%. Pada kondisi tersebut diperoleh seduhan kopi rendah kafein dengan nilai aroma, flavor, body dan bitterness masing-masing sebesar 3; 2.4; 2.5; dan 1.8; serta nilai finish appreciation (FA) sebesar 2.7. Dengan menggunakan pelarut tersier pulpa kakao, laju pelarutan kafein optimum diperoleh sebesar 0.3016%/jam pada waktu 6.57 jam proses, suhu 100oC dan konsentrasi pelarut 70%. Pada kondisi tersebut diperoleh seduhan kopi rendah kafein dengan nilai aroma, flavor, body dan bitterness masing-masing sebesar 3.1; 2.5; 2.7; dan 1.5; serta nilai finish appreciation (FA) sebesar 2.6. Simpulan umum dari penelitian ini adalah telah diperoleh model matematik yang dapat digunakan secara umum untuk memprediksi waktu pelarutan kafein dari dalam biji kopi robusta dengan menggunakan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao, dan pelarut tersier pulpa kakao dalam
reaktor kolom tunggal. Nilai difusivitas kafein (Dk) tertinggi diperoleh pada pelarutan biji kopi dengan pelarut asam asetat, yaitu sebesar 4.08x10-7 m2/detik, dengan laju pelarutan kafein 0.497%/jam pada suhu dan konsentrasi pelarut masing-masing 100oC dan 69%, dan lama proses 4.99 jam. Saran yang dapat disampaikan untuk pengembangan lanjut penelitian dekafeinasi biji kopi dalam reaktor kolom tunggal adalah : 1. Penerapan model matematika disarankan untuk disain proses dekafeinasi kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal menggunakan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao, dan larutan tersier hasil fermentasi pulpa kakao. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang mempelajari pengaruh tingkat pengembangan volume biji kopi pada berbagai tekanan pengukusan terhadap penurunan kadar kafein dan cita rasa mutu kopi rendah kafein yang dihasilkan. 3. Kajian peningkatan skala proses produksi limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao perlu dilakukan agar diperoleh kondisi proses yang spesifik dengan mutu yang konsisten. Kata kunci: kopi robusta, model matematik, proses dekafeinasi, reaktor kolom tunggal
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN MODEL MATEMATIK PROSES DEKAFEINASI BIJI KOPI ROBUSTA DALAM REAKTOR KOLOM TUNGGAL
SUKRISNO WIDYOTOMO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2011
Judul Disertasi: Pengembangan Model Matematik Proses Dekafeinasi Biji Kopi Robusta Dalam Reaktor Kolom Tunggal Nama : Sukrisno Widyotomo NIM : F161050021
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi K. Purwadaria, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Atjeng M. Syarief, M.SAE Anggota
Prof. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.Eng Anggota
Diketahui Ketua Program Pascasarjana Ilmu Keteknikan Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal ujian : 19 Agustus 2011
Tanggal lulus : 19 Agustus 2011
Penguji Luar Komisi I. Pada Ujian Tertutup 1. Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB 2. Dr. Leopold Oscar Nelwan, S.TP, M.Si Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB II. Pada Ujian Terbuka 1. Dr. Ir. Astu Unadi, M.Eng Kepala Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Badan Litbang Pertanian 2. Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Agr Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
PRAKATA Alhamdulillahirobbil’aalamiin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah proses dekafeinasi kopi, dengan judul Pengembangan Model Matematik Proses Dekafeinasi Biji Kopi Robusta Dalam Reaktor Kolom Tunggal. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia yang telah memberi ijin untuk menunaikan tugas belajar program S3 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 2. Prof. Dr. Ir. Hadi K. Purwadaria, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing disertasi dan telah memberikan bimbingan untuk menyelesaikan disertasi. 3. Prof. Dr. Ir. Atjeng M. Syarief, M.SAE selaku anggota komisi pembimbing disertasi dan telah memberikan bimbingan untuk menyelesaikan disertasi. 4. Prof. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl-Eng selaku anggota komisi pembimbing disertasi dan telah memberikan bimbingan untuk menyelesaikan disertasi. 5. Dr. Ir. Astu Unadi, M.Eng; Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc; Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Agr dan Dr. Leopold Oscar Nelwan, S.TP, M.Si selaku penguji luar komisi atas kesempatan waktu dan saran-saran yang telah diberikan untuk perbaikan disertasi 6. Keluargaku tercinta, istriku Kristi Puji Widayanti, S.TP dan ketiga putra-putriku Amartia Safira Nur Shabrina, Anindya Nabila Nur Haniya dan Adyatma Farhanditya Nur Hafizhan Widyotomo atas doa, dorongan semangat dan kasih sayangnya selama menempuh studi S3. 7. Orang tua dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya 8. Keluarga besar Kelompok Peneliti Pascapanen Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 9. Rekan-rekan semua yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu atas semua bantuannya. Penulis menyadari bahwa proses masih panjang, dan disertasi ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, 19 Agustus 2011
Sukrisno Widyotomo
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Juli 1970 sebagai anak kedua dari pasangan Sumarno dan Suryati. Penulis menikah dengan Kristi Puji Widayanti, S.TP dan dikaruniai 3 orang anak, yaitu Amartia Safira Nur Shabrina, Anindya Nabila Nur Haniya dan Adyatma Farhanditya Nur Hafizhan Widyotomo. Pendidikan sarjana ditempuh di Progam Studi Teknik Pertanian, Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM, lulus pada tahun 1996. Pada tahun 2000 mendapatkan kesempatan menempuh program magister pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian, Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa ARMP-II, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Republik Indonesia tahun anggaran 2000-2002. Program magister diselesaikan di bulan September 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2005. Penulis bekerja sebagai staf Peneliti di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur sejak tahun 1997 dengan jabatan saat ini sebagai Peneliti Madya. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah rekayasa proses dan alat mesin pengolahan kopi dan kakao. Beberapa karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi penulis telah dipublikasikan : (1) “Karakteristik proses dekafeinasi kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal dengan pelarut etil asetat” dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah Pelita Perkebunan Vol. 25 No. 2 tahun 2009, (2) “Karakterisasi fisik kopi pasca pengukusan dalam reaktor kolom tunggal”. dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah Pelita Perkebunan Vol. 26 No.1 tahun 2010, (3) ”Karakteristik suhu dan energi proses pengukusan biji kopi dalam reaktor kolom tunggal” dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah Pelita Perkebunan Vol. 26 No. 3 tahun 2010, dan (4) ”Pengembangan model matematik laju penurunan kafein dalam biji kopi dengan metode pengurasan” dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah Pelita Perkebunan Vol. 27 No. 2 tahun 2011. Jurnal Ilmiah Pelita Perkebunan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia telah terakreditasi dengan peringkat A berdasarkan SK Kepala LIPI No. 173/AU1/P2MBI/08/2009 tertanggal 28 Agustus 2009, dan ISSN 0215-0212.
PENDAHULUAN Latar Belakang Kopi diminum oleh konsumen bukan sebagai sumber nutrisi melainkan sebagai minuman penyegar. Untuk penikmat kopi yang memiliki toleransi tinggi, kafein akan membuat tubuh menjadi lebih segar dan hangat. Tingginya kadar kafein di dalam biji kopi diduga dapat menyebabkan keluhan terutama bagi penikmat kopi yang memiliki toleransi rendah terhadap kafein. Salah satu upaya peningkatan nilai tambah kopi dan konsumsi domestik kopi Indonesia adalah melalui diversifikasi produk biji kopi menjadi kopi rendah kafein. Dekafeinasi merupakan suatu proses pengurangan kandungan kafein di dalam suatu bahan pertanian. Penelitian yang berkaitan dengan proses dekafeinasi biji kopi telah banyak dilakukan (Katz, 1997; Sivertz & Desroiser, 1979; Cahyono, 1987; Ratna & Anisah, 2000; Rusmantri, 2002). Selama ini teknologi proses dekafeinasi bersumber dari teknologi impor baik dari aspek hardware maupun software-nya. Aturan paten menyebabkan metode dan karakteristik proses, serta mutu produk akhir yang dihasilkan dari proses dekafeinasi dengan pelarut organik seperti etil asetat tidak dapat dipublikasikan untuk umum. Hal tersebut menyebabkan harga kopi rendah kafein di dalam negeri menjadi sangat mahal dan kemungkinan berdampak pada menurunnya minat untuk minum kopi. Reaktor kolom tunggal merupakan kolom tegak yang didisain untuk proses dekafeinasi biji kopi dengan metode pengurasan (leaching). Reaktor kolom tunggal memiliki disain yang sangat sederhana sehingga mudah dan murah dalam hal manufakturing, pengoperasian, dan perawatannya. Penelitian proses dekafeinasi dalam reaktor kolom tunggal dengan pelarut air telah dilakukan oleh Mulato et al. (2004) dan Lestari (2004), namun perlakuan suhu pelarut yang tinggi mengakibatkan terjadinya penurunan cita rasa yang cukup signifikan. Proses dekafeinasi dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut organik, seperti etil asetat dan asam asetat (Sivertz & Desroiser, 1979). Pengembangan proses dekafeinasi dalam reaktor kolom tunggal telah dilakukan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor dengan menggunakan pelarut etil asetat. Produk yang dihasilkan berupa kopi rendah
2
kafein dengan cita rasa seduhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan pelarut air pada suhu 100oC (Widyotomo et al., 2009). Salah satu tahapan penting dalam proses pengolahan primer kakao sebagai penghasil bahan baku dengan standar mutu yang telah ditetapkan untuk diolah menjadi makanan dan minuman cokelat adalah fermentasi. Fermentasi bertujuan untuk membentuk cita rasa khas cokelat dan mengurangi rasa pahit serta sepat yang ada di dalam biji kakao. Lendir atau pulpa kakao mengandung senyawa gula antara 8-14%, dan air 80-90% (Wood & Lass, 1985). Selama proses fermentasi biji kakao terbentuk senyawa asam asetat. Senyawa asam asetat sampai pada batas tertentu diperlukan dalam proses pembentukan cita rasa cokelat. Jumlah asam asetat yang berlebihan selama proses fermentasi akan menimbulkan cita rasa asing yang tidak disukai konsumen (Biehl, 1989). Limbah cair fermentasi biji kakao merupakan salah satu alternatif sumber pelarut organik yang dapat digunakan dalam proses dekafeinasi biji kopi. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa limbah cair yang dihasilkan selama proses fermentasi biji kakao dalam peti kayu berkapasitas 40 kg/batch mencapai 15% (b/b). Fermentasi biji kakao dalam peti fermentasi berkapasitas 625 kg/batch (shallow boxess) selama 5 hari dengan pembalikan dilakukan satu kali setelah 48 jam proses berlangsung akan menghasilkan limbah cair sebanyak 20% (Mulato, 2001). Ketebalan lapisan pulpa sangat berperan pada pembentukan senyawa asam selama proses fermentasi berlangsung (Lopez & Pasos, 1984). Pengurangan pulpa diperlukan jika biji diselimuti lebih dari 0.6 ml pulpa (Meyer et al., 1989; Biehl, 1989). Penelitian teknik prapengolahan biji kakao dengan metode pengurangan pulpa secara mekanis untuk mempersingat waktu fermentasi dan menurunkan tingkat kemasaman biji telah dilakukan oleh Atmawinata et al. (1998). Pemerasan pulpa secara mekanis memberikan beberapa keuntungan antara lain proses pengurangan lendir dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, dan pulpa hasil pemerasan terkonsentrasi pada satu tempat sehingga memudahkan dalam penanganan proses selanjutnya. Pada tahap awal telah dilakukan karakterisasi proses fermentasi pulpa kakao untuk menghasilkan senyawa etil alkohol dan asam asetat. Senyawa kimia
3
yang terdapat di dalam pelarut tersier hasil fermentasi pulpa kakao diprediksi didominasi oleh senyawa etanol, dan asam asetat (Purwadaria et al, 2007; 2008). Kadar etanol dan asam asetat yang dihasilkan dari proses fermentasi pulpa kakao masing-masing 9.1-13.5% (v/v), dan 2.6-7.8% (v/v) tergantung pada suhu, aerasi dan waktu fermentasi (Pairunan, 2009; Haumasse, 2009; Asep, 2008). Aplikasi metode fermentasi pulpa kakao untuk menghasilkan pelarut tersier skala laboratorium masih terkendala jika dilakukan pada skala praktek di lapangan karena diperlukan scalling up peralatan dan proses serta uji kelayakan yang lebih mendalam. Pengembangan proses fermentasi pulpa kakao menjadi larutan tersier pulpa kakao harus terus dilakukan sampai diperoleh tahapan yang sederhana sehingga dapat diterapkan dengan mudah pada skala praktek di lapangan (Widyotomo et al., 2011; Widyotomo, 2008). Limbah cair fermentasi biji kakao dan larutan tersier pulpa kakao didominasi oleh senyawa organik yang dapat digunakan sebagai pelarut kafein dari biji kopi. Dampak positif yang diperoleh antara lain meningkatkan nilai ekonomi pulpa kakao, meningkatkan pendapatan petani kopi dan kakao, produk yang dihasilkan tidak memberikan dampak negatif bagi kesehatan manusia, dan menekan serendah mungkin dampak negatif limbah pengolahan kakao ke lingkungan. Dekafeinasi kopi merupakan proses ekstraksi padat-cair, dimana kafein berpindah dari matrik padatan biji kopi ke pelarut. Representasi matematika dari proses tersebut masih sangat terbatas untuk memperkirakan difusi kafein dari dalam biji kopi dengan menggunakan solusi analitik hukum Fick kedua pada koordinat bundar dan dengan asumsi kondisi batas yang tetap (Bichsel, 1979; Hulbert et al., 1998; Spiro & Selwood, 1984; Udaya-Sankar et al., 1983). Kajian model matematik kinetika dekafeinasi dari dalam biji kopi dengan metode perebusan alami dan konveksi paksa menggunakan pelarut air pada suhu 90oC telah dilakukan oleh Espinoza-Perez et al. (2007). Model matematik yang dapat digunakan untuk memprediksi waktu dan laju pelarutan kafein yang tepat dalam proses dekafeinasi biji kopi dengan menggunakan reaktor kolom tunggal belum pernah dilakukan. Untuk mencapai persyaratan kopi rendah kafein sesuai standar perdagangan yang telah ditetapkan
4
sangat diperlukan metode penentuan waktu pelarutan yang tepat agar proses dapat berlangsung lebih efisien. Pemanfaatan limbah cair fermentasi biji kakao, dan larutan tersier pulpa kakao sebagai pelarut kafein belum pernah dilakukan. Selain itu, penggunaan limbah cair pengolahan kakao tersebut akan berdampak positif pada sistem pengelolaan kakao nihil limbah (zero waste). Sinergi yang terjalin dengan baik antara komoditas kopi dan kakao akan memberikan nilai tambah, dan daya saing produk kedua komoditas tersebut yang lebih besar di pasaran. Penelitian ini akan membahas pengembangan model matematik untuk memprediksi waktu dan laju pelarutan kafein dari dalam biji kopi dengan menggunakan reaktor kolom tunggal. Kajian proses dekafeinasi biji kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal tersebut ditekanan pada penggunaan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan larutan tersier pulpa kakao. Proses dekafeinasi berlangsung dalam dua tahapan utama, yaitu pengembangan volume biji dengan metode pengukusan (steaming) dan pelarutan kafein dari dalam biji kopi dengan metode pengurasan (leaching).
Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan optimasi proses dekafeinasi biji kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal berdasarkan model pelarutan kafein dengan metode pengurasan (leaching). Tujuan spesifik dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Karakterisasi proses dekafeinasi biji kopi robusta dengan pelarut asam asetat dalam reaktor kolom tunggal 2. Pengembangan model matematik pendugaan waktu proses dekafeinasi biji kopi robusta dengan metode pengurasan (leaching) 3. Optimasi laju pelarutan kafein biji kopi robusta dengan menggunakan model matematik yang dikembangkan
5
Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari pengembangan model matematik dan optimasi waktu dekafeinasi biji robusta dengan beberapa pelarut organik, seperti asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan larutan tersier pulpa kakao diantaranya adalah sebagai pendukung dalam perancangan proses dekafeinasi biji kopi pada skala produksi besar yang optimum dengan pelarut organik dengan mutu akhir kopi rendah kafein yang baik. Selama ini teknologi proses dekafeinasi bersumber dari teknologi impor baik dari aspek hardware dan software-nya. Pengembangan proses dekafeinasi biji robusta dalam reaktor kolom tunggal dengan menggunakan pelarut organik diharapkan akan lebih mudah diterapkan baik di sentra perkebunan kopi dan kakao Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA Produksi, Harga dan Konsumsi Kopi Dunia Kopi merupakan salah satu minuman penyegar yang sangat populer di dunia yang dikonsumsi bukan sebagai sumber nutrisi tetapi terkait dengan cita rasa dan aroma yang khas. Aspek mutu yang berhubungan dengan sifat fisik, kimiawi, kontaminasi dan kebersihan biji kopi harus diawasi secara ketat karena berpengaruh pada cita rasa, dan kesehatan konsumen. Sebagai salah satu produsen kopi terbesar di dunia, Brasil memiliki peranan yang cukup dominan dalam perdagangan kopi sehingga sampai batas tertentu memiliki peranan yang signifikan dalam penentuan harga kopi dunia (Susila, 1999). Pada tahun 2008, produksi kopi Brasil mencapai 2315 ribu ton yang diikuti oleh Vietnam, Colombia, Indonesia dan India masing-masing sebesar 1018 ribu ton, 769 ribu ton, 361 ribu ton dan 277 ribu ton (Gambar 1). Perdagangan dan perkembangan industri kopi dunia, sedang dan akan terus mengalami perubahan sebagai akibat liberalisasi perdagangan yang berpangkal dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT) Putaran Uruguay yang ditandatangani pada tanggal 15 Desember 1993. Secara garis besar perubahan produksi atau stok akan segera diikuti oleh perubahan harga. Perubahan harga umumnya tidak secara cepat dapat diikuti dan direspon dengan baik oleh perubahan produksi atau konsumsi. Arabika dan Robusta merupakan dua jenis kopi yang paling populer, baik di pasar domestik maupun internasional. Kopi Arabika dikenal memiliki cita rasa lebih baik jika dibandingkan dengan kopi Robusta. Namun demikian, kopi Robusta memiliki body atau kekentalan yang lebih kuat jika dibandingkan dengan kopi Arabika. Industri kopi pada umumnya menggunakan kedua jenis kopi tersebut dalam perbandingan tertentu agar diperoleh cita rasa yang prima. Kopi Arabika digunakan sebagai sumber cita rasa, sedangkan kopi Robusta digunakan sebagai campuran untuk memperkuat body (Ismayadi, 1998a, 1998b; Sulistyowati & Wahyudi, 1998). Dalam kurun waktu 11 tahun terakhir, harga biji kopi Arabika di pasar New York lebih tinggi 30 - 106 US cent/lb jika dibandingkan dengan harga kopi Robusta. Harga kopi Robusta dan Arabika tertinggi yang pernah dicapai
8
masing-masing sebesar 86.6 US cent/lb dan 106 US cent/lb, sedangkan harga terrendah masing-masing sebesar 27.5 US cent/lb dan 65.3 US cent/lb (Gambar 2). Tahun 2008 Produksi
Ekspor
% 100
Nilai, 000 ton ....
2.000
80 1.500 60 1.000 40 500
Nilai ekpor terhadap produksi, %.............
120
2.500
20
0
Brasil
Colombia
Vietnam
Indonesia
India
Gambar 1. Negara utama produsen kopi di dunia (AEKI, 2010)
200
Harga, US cents/lb .........
180
Arabika
Robusta
160 140 120 100 80 60 40 20 0 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun
Gambar 2. Harga kopi Arabika dan Robusta di pasar New York (ICO, 2010)
Konsumsi kopi dunia antara tahun 2003-2008 menunjukkan peningkatan sebesar 633 ribu ton dengan tingkat produksi yang berfluktuasi antara 6538-7738 ribu ton (Gambar 3). Hal tersebut menunjukkan adanya potensi dan peluang yang cukup besar dalam pemasaran produk kopi di pasaran internasional baik untuk jenis Arabika maupun Robusta.
9
Konsumsi dan produksi kopi dunia, 000 ton ...............
8.000 7.800
Konsumsi
Produksi dunia
7.600 7.400 7.200 7.000 6.800 6.600 6.400 6.200 6.000 5.800 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 3. Konsumsi dan produksi kopi dunia (AEKI, 2010)
Produksi, Harga dan Konsumsi Kopi Indonesia Kopi merupakan salah satu penghasil sumber devisa Indonesia, dan memegang peranan penting dalam pengembangan industri perkebunan. Dalam kurun waktu 20 tahun luas areal dan produksi perkebunan kopi di Indonesia, khususnya perkebunan kopi rakyat mengalami perkembangan yang sangat signifikan (Gambar 4). Produksi kopi memiliki keterkaitan yang kuat dengan jumlah luas tanaman menghasilkan (Susila, 1999). Pada tahun 1980, luas areal dan produksi perkebunan kopi rakyat masing-masing sebesar 663 juta hektar dan 276 juta ton, dan pada tahun 2009 terjadi peningkatan luas areal dan produksi yang cukup signifikan masingmasing sebesar 1241 juta hektar dan 676 juta ton (Ditjendbun, 2010).
Produksi perkebunan kopi
Luas area perkebunan kopi
1.200
90
800
80
700
40
600
30 400 20 200
PR
PBN/PBS
10 -
1980 1982
1984 1986
1988 1990 1992
1994 1996
Tahun
1998 2000 2002
2004 2006
2008 2010
35 PR, 000 ton ...
50
600
PBN/PBS, 000 hasss
PR, 000 ha ....
60 800
45 40
70 1.000
50
500
30
400
25 20
300
15 200 10 100
PR
PBN/PBS
5
-
1980
1982 1984 1986
1988 1990
1992 1994
1996 1998
2000 2002
2004 2006 2008
Tahun
Gambar 4. Luas area dan produksi perkebunan kopi di Indonesia
2010
PBN/PBS, 000 ton .....
1.400
10
Perkembangan luas areal dan produksi juga terjadi pada perkebunan negara maupun swasta nasional, namun dengan laju pertumbuhan yang masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan perkembangan perkebunan kopi rakyat (Gambar 4). Peningkatan luas areal terjadi pada tahun 1998 sebesar 85 ribu hektar, namun luasan tersebut kembali menurun pada tahun-tahun berikutnya sampai pada kisaran luas lahan 50-60 ribu hektar sampai dengan tahun 2009. Pada tahun 1975, ekspor kopi Indonesia sebesar 128 401 ton dengan nilai USD 777.53 per ton biji kopi. Walaupun terjadi peningkatan jumlah ekspor yang terjadi pada tahun 2005 sebesar 445 829 ton, namun nilai jual biji kopi pada tahun tersebut sebesar USD 1130.11 per ton biji kopi masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai jual biji kopi pada tahun 1977 dengan nilai USD 3737.02 per ton biji kopi (Ditjenbun, 2010). Zuhri (2010) melaporkan bahwa pada tahun 2009, volume ekspor kopi Indonesia mencapai 410 000 ton dengan nilai US$ 777 juta, lebih rendah jika dibandingkan dengan volume ekspor tahun 2008 yang mencapai 469 000 ton dengan nilai US$ 991 juta. Lebih lanjut Yusianto et al. (2005) melaporkan bahwa ekspor kopi Arabika Indonesia mencapai 28 ribu ton/tahun atau hanya 8.28% dari total ekspor kopi Indonesia. Delapan puluh dua persen luasan areal perkebunan kopi Indonesia didominasi oleh kopi jenis Robusta, sedangkan sisanya sebesar 18% berupa kopi Arabika. AEKI (2010) melaporkan bahwa pada tahun 2003-2007 total ekspor kopi Arabika Indonesia mencapai 255 ribu ton dengan nilai US$ 553 juta, dan 1177 ribu ton dengan nilai US$ 1145 juta (Gambar 5). Harga kopi Robusta di pasaran domestik maupun internasional lebih murah jika dibandingkan dengan kopi Arabika (Gambar 6), kendati volume Arabika di pasar dunia mencapai 70%, sedangkan kopi Robusta hanya 30%. Berbeda dengan kondisi di Indonesia, produksi kopi Robusta mencapai 80%, sedangkan Arabika hanya 20% dari total produksi kopi (Barani, 2009). Biji kopi yang dihasilkan oleh petani kopi Indonesia dikenal dengan sebutan ”kopi asalan” karena umumnya memiliki mutu yang rendah dengan nilai cacat lebih dari 225 (Misnawi & Sulistyowati, 2006). Wijaya (2003) melaporkan bahwa dari 280 405 ton kopi Robusta yang diekspor Indonesia ke mancanegara dalam kurun waktu 1997-2001, sebanyak 35354 ton/tahun atau 12.6% diantaranya
11
bermutu grade VI yang mulai dilarang diperdagangkan di pasar internasional berdasarkan resolusi ICO (International Coffee Organization) No.147. 400
2003
2004
2005
2006
2007
350 300 250 200 150 100 50 0 Volume, ton
Nilai, 000US$
Volume, ton
Robusta
Nilai, 000US$ Arabika
Gambar 5. Volume dan nilai ekspor kopi Indonesia (AEKI,2010) Harga kopi di pasar domestik 18.000
25.000
16.000 14.000 12.000 15.000 10.000 8.000 10.000
Robusta, Rp/kg .....
Arabika, Rp/kg .......
20.000
6.000 4.000
5.000 Arabika
Robusta
2.000 -
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 6. Harga kopi Arabika dan Robusta di pasar domestik
Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak 225 juta jiwa, dan beberapa kawasan wisata yang cukup banyak tersebar di beberapa wilayah merupakan dua sumber utama yang dapat meningkatkan peluang pasar kopi domestik. Tingkat konsumsi kopi per kapita penduduk Indonesia sampai dengan tahun 1999 diperkirakan hanya berkisar 0.5-0.65 kg/jiwa per tahun atau setara dengan 70000 ton/tahun, jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat konsumsi penduduk di negara Denmark, Swedia, dan Norwegia yang telah mencapai 8-15 kg/jiwa per
12
tahun. Sedangkan tingkat konsumsi kopi penduduk Jepang 5 kg/jiwa pertahun, dan Brazil 4-5 kg/jiwa per tahun. Negara lain dengan tingkat konsumsi 1-3.5 kg per kapita per tahun antara lain Eropa Timur, Kanada, Inggris, dan Jepang (USDA, 2000). Dewasa ini kalangan pengusaha kopi memperkirakan tingkat konsumsi kopi di Indonesia telah mencapai 800 gram/kapita/tahun, dan dalam kurun waktu 20 tahun ke depan diperkirakan konsumsi kopi telah mencapai 1300 gram/kapita/tahun (Indonesian Business Today, 2010). Peningkatan luas areal dan produksi kopi Indonesia yang didominasi oleh kopi Robusta dari perkebunan rakyat serta peluang pasar dunia merupakan potensi besar dalam peningkatan kesejahteraan petani Indonesia. Resistensi produk terhadap fluktuasi harga pasar kopi internasional perlu ditingkatkan dengan pengembangan diversifikasi produk kopi yang memberikan bernilai tambah. Bahan baku yang tersedia cukup dan relatif murah serta semakin banyaknya produk impor di pasaran domestik, upaya diversifikasi kopi perlu segera dilakukan dengan memanfaatkan teknologi dan sumber daya lokal agar memiliki harga produk yang kompetitif dan bernilai tambah. Jumlah penduduk Indonesia yang semakin bertambah, harga produk yang lebih terjangkau pada level menengah ke bawah, semakin meningkatnya kunjungan wisatawan mancanegara ke daerah wisata Indonesia, dan segmen pasar penikmat kopi yang rentan terhadap kafein belum dapat menikmati kopi karena alasan kesehatan merupakan potensi serapan pasar produk kopi di dalam negeri.
Kopi Rendah Kafein Paradigma baru penikmat dan peminum kopi adalah sebagai minuman yang dapat memberikan rasa nikmat, segar dan menyehatkan. Kesadaran manusia terhadap kesehatan berdampak pada penurunan minat untuk mengkonsumsi kopi. Kopi mengandung kafein yang diduga mempunyai efek yang kurang baik bagi kesehatan, terutama bagi penikmat kopi yang rentan terhadap kafein (Ensminger et al., 1995; Dua, 2000; Wahyuni, 2005). Bagi penikmat kopi yang memiliki toleransi tinggi, kafein akan bermanfaat sebagai perangsang dalam melakukan berbagai aktivitas (Depkes, 2006; Rozanah, 2004; Widyotomo & Mulato, 2003).
13
Kopi bubuk dapat dikatakan rendah kafein jika memiliki kadar kafein antara 0.1-0.3% (Charley & Weaver, 1998). Ditjenbun (2010) melaporkan bahwa pada tahun 2008 volume ekspor Indonesia untuk biji kopi rendah kafein, dan bubuk kopi rendah kafein masing-masing sebesar 33 ton dan 185 ton dengan nilai US$ 99 ribu dan US$ 652 ribu. Sedangkan volume dan nilai impor produk yang sama masing-masing sebesar 4 ton biji kopi rendah kafein bernilai US$ 16 ribu, dan 19 ton bubuk kopi rendah kafein bernilai US$ 46 ribu (Gambar 7). 1200 Decafein
Kopi Bubuk
Kopi Bubuk decafein
1000
Nilai ...
800
600
400
200
0 Volume, ton
Nilai, 000 US$ Ekspor
Volume, ton
Nilai, 000 US$ Impor
Gambar 7. Nilai ekspor-impor kopi rendah kafein tahun 2008 (Ditjendbun, 2010)
Salah satu upaya strategi untuk mengurangi ketergantungan pasar komoditas kopi primer terhadap rendahnya harga di pasaran luar negeri adalah perluasan pasar melalui pendekatan pengembangan diversifikasi produknya. Pengembangan diversifikasi produk kopi dinilai akan memberikan insentif ekonomis bagi negara antara lain peningkatan nilai tambah yang lebih besar pada produk-produk pertanian, peluang lapangan kerja di pedesaan, pengembangan industri terkait dan peningkatan konsumsi per kapita di dalam negeri yang saat ini masih rendah. Nilai tambah dapat diperoleh dengan cara mengkonversi biji kopi asalan yang semula bernilai Rp. 9 000,- - Rp. 12 000,-/kg menjadi produk kopi rendah kafein. Kopi rendah kafein impor tersedia di Indonesia, tetapi harganya tidak terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah. Selama ini teknologi proses dekafeinasi bersumber dari teknologi impor baik dari aspek hardware dan software-nya. Hal tersebut menyebabkan harga kopi rendah kafein di dalam negeri sangat mahal dan kemungkinan berdampak pada menurunnya minat untuk minum
14
kopi. Hasil survey di pasaran lokal menunjukkan bahwa harga 100 g kopi instan rendah kafein sebesar Rp. 76 500,-. Daya saing yang lebih tinggi akan dimiliki oleh kopi rendah kafein produk lokal jika dibandingkan dengan produk impor karena bahan baku tersedia cukup banyak dan murah, proses produksi semaksimal mungkin memanfaatkan sumber daya lokal, nilai tambah lain dapat diperoleh berupa senyawa kafein, dan memperluas pasar dengan memberikan alternatif bagi peminum kopi yang rentan terhadap kafein.
Dekafeinasi Kopi Biji kopi atau sering disebut sebagai kopi beras (green beans) dalam dunia perdagangan merupakan bentuk akhir dari proses pengolahan primer (Clarke & Macrae, 1989). Kafein (C8H10N4O2) atau 1.3.7-trimetil-2.6 dioksipurin merupakan salah satu senyawa alkaloid yang sangat penting yang terdapat di dalam biji kopi. Kafein yang terkandung di dalam biji kopi kering Robusta dan Arabika masingmasing sebesar 1.16-3.27% bobot kering, dan 0.58-1.7% bobot kering. Sedangkan kafein yang terkandung di dalam biji kopi sangrai sebesar 2% bobot kering untuk kopi Robusta, dan 1% bobot kering untuk kopi Arabika (Clifford, 1985; Wilbaux, 1963; Spiller, 1999). Clarke & Macrae (1989), dan Sivetz & Desroiser (1979) melaporkan bahwa kafein tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aroma kopi, dan hanya memberikan rasa pahit sekitar 10-30% dari seduhan kopi (Morton, 1984). Johnson & Peterson (1974) melaporkan bahwa kafein dalam kondisi murni berupa serbuk putih berbentuk kristal prisma hexagonal, dan merupakan senyawa tidak berbau, serta berasa pahit (Sivetz & Desroiser, 1979). Kafein berbentuk kristal panjang mirip benang kusut, berwarna putih, mengkilat, mudah larut dalam pelarut organik (kloroform, eter, benzene), tetapi sukar larut dalam petroleum eter. Kristal kafein akan meleleh pada suhu 236°C, mulai menyublim pada suhu 120°C, dan sempurna pada suhu 178°C pada tekanan atmosfer. Kafein dapat membentuk kristal dengan satu molekul air, dan anhidrous jika dipanaskan pada suhu di atas 80°C (Spiller, 1999). Kafein dalam bentuk hidrous (hydrate) akan stabil pada suhu di bawah 52°C, dan pada bentuk anhidrous akan stabil pada suhu di atas 52°C. Kafein mudah larut dalam air, dan
15
mudah bereaksi dengan asam membentuk garam yang larut dalam air dan alkohol (Macrae, 1985). Kafein yang bereaksi dengan basa akan membentuk presipitat garam. Presipitat yang tidak larut juga terbentuk jika kafein bereaksi dengan garam dari logam berat seperti Hg dan Pt (Hadiyanto, 1994). Kafein dapat berkaitan dengan potasium klorogenat menjadi garam klorogenat secara kompleks yang memiliki sifat tidak larut dalam air (Mabbett, 1999). Kafein berbentuk dasar heterosiklis yang memiliki sifat pharmakologi (Sivetz & Desrosier, 1979). Rumus bangun kafein dapat dilihat pada Gambar 8, dan keberadaan kafein terdeteksi di dalam sitoplasma disekitar lipid (Gambar 9).
Gambar 8. Rumus bangun kafein (C8H10N4O2) (Clarke & Macrae, 1989)
Gambar 9. Keberadaan kafein terdeteksi sebagai spot-spot kecil (↑ ↑) dalam sitoplasma di sekitar lipid (Clifford & Willson, 1985). Proses pelarutan senyawa kafein dari dalam biji kopi diawali oleh pemecahan ikatan senyawa komplek kafein, dan asam klorogenat akibat perlakuan panas. Senyawa kafein menjadi bebas dengan ukuran, dan berat molekul yang lebih kecil. Kafein menjadi mudah bergerak, mudah berdifusi melalui dinding sel,
16
dan selanjutnya larut dalam air. Kafein yang terdapat di dalam sitoplasma dalam keadaan bebas (Sivetz & Desroiser, 1979), sedang selebihnya terdapat dalam kondisi terikat sebagai senyawa alkaloid dalam bentuk senyawa garam komplek kalium klorogenat dengan ikatan ionik (Clifford, 1985). Ikatan komplek ini menyebabkan kafein tidak dapat bergerak bebas di dalam jaringan biji kopi (Baumann et al., 1993; Horman & Viani, 1971). Pengaruh energi panas dapat menyebabkan ikatan tersebut terputus sehingga mudah larut dalam air. Pada industri pangan, proses dekafeinasi dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut air, organik, dan anorganik (Toledo, 1999). Katz (1997) melaporkan bahwa proses dekafeinasi pertama kali dilakukan di Jerman pada tahun 1990 dengan menggunakan pelarut kloroform, benzene, dan metil klorida. Namun pelarut tersebut ternyata dapat bersifat racun (toksik). Proses dekafeinasi yang dilakukan di Swiss menggunakan pelarut air yang dibuat jenuh dengan gula dari peptida. Daya larut kafein dalam pelarut sintetik relatif tinggi, namun dengan alasan harga, potensi polusi lingkungan, dan pengaruh negatif terhadap kesehatan menyebabkan pelarut sintetik harus digunakan secara cermat (Clarke & Macrae, 1989; Katz, 1997). Sivertz & Desroiser (1979) melaporkan bahwa proses dekafeinasi telah dilakukan dengan pelarut organik seperti metilen klorida, 1.2diklor etana, asam karboksilat 5-hidroksi triptamida, mono-diester gliserol-tri asetat, ester polihidrik alkohol, asam karboksilat, di-tri klor etana, asam asetat, ester etilen, triklortrifluroetan, PE, n-heksan, dan flouronasi-HC. Sedangkan proses dekafeinasi dengan pelarut anorganik dilakukan dengan menggunakan CO2 cair, gas NO2, gabungan air dan CO2 cair. Di Indonesia, proses dekafeinasi dengan sistem perebusan menggunakan pelarut alkali telah banyak dilakukan (Cahyono, 1987; Ratna & Anisah, 2000; Rusmantri, 2002). Cahyono (1987) melaporkan bahwa dengan semakin tinggi penggunaan alkali (NaOH), maka penurunan kafein akan semakin besar. Penurunan kadar kafein terbesar yaitu 37.7% diperoleh pada pelarut alkali 2%. Ratna & Anisah (2000) melaporkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan kadar kafein dalam biji kopi sebesar 69.5% atau dalam kopi bubuk
17
sebesar 0.57% dalam proses dekafeinasi dengan pelarut alkali (NaOH) 0.6% adalah selama 15 menit (Spiller, 1999). Kelarutan kafein dalam air maupun dalam pelarut organik akan meningkat dengan naiknya suhu. Kelarutan kafein dalam air pada berbagai suhu dapat dilihat pada Gambar 10. Spiller (1999) melaporkan bahwa kafein juga dapat larut dalam suasana alkalis, dan kelarutan kafein akan meningkat pada pH di atas 6. Rusmantri (2002) melaporkan bahwa dengan semakin tinggi suhu perebusan yang digunakan dalam proses dekafeinasi, maka akan semakin tinggi pula tingkat pelarutan kafein. Perebusan pada suhu 100°C dengan pH pelarut 8 akan dapat menurunkan kafein dalam kopi bubuk sebesar 70.32%, tetapi pada pH pelarut 9 penurunan kafein lebih rendah yaitu 55.89%. Senyawa alkali yang digunakan untuk memberikan kondisi basa berupa air kapur, dan larutan kapur tersebut memiliki sifat penghambat rambatan panas, sehingga pada perlakuan pH pelarut 9 maka proses dekafeinasi menjadi kurang efektif. 80
Kelarutan kafein, g/100g H2 O
70 60 50 40 30 20 10 0 0
20
40
60
80
100
120
Suhu air, °C
Gambar 10. Kurva kelarutan kafein dalam air (Macrae, 1985; Spiller, 1999)
Reaktor Kolom Tunggal Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia telah melakukan kegiatan penelitian produksi kopi rendah kafein dalam beberapa tahun terakhir dengan tujuan untuk memperoleh nilai tambah biji kopi, memperluas pasar dan meningkatkan konsumsi domestik serta untuk mendapatkan paket teknologi dari segi alat dan proses yang mudah dan murah agar produk yang dihasilkan dari aspek harga dapat terjangkau oleh konsumen secara luas (Widyotomo et al., 2009; Mulato et al., 2004).
18
Penelitian proses dekafeinasi biji kopi dalam reaktor kolom tunggal secara intensif telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (Widyotomo et al., 2009; Purwadaria et al., 2007, 2008; Mulato et al., 2004). Reaktor kolom tunggal terdiri dari dua komponen utama. Komponen pertama adalah kompartemen untuk menempatkan biji kopi yang akan diproses, dan dihubungkan langsung dengan komponen kedua, yaitu kompartemen pembangkit uap air panas pada tahapan pengukusan (steaming) yang sekaligus sebagai tempat senyawa pelarut pada tahapan pelarutan (leaching). Proses dekafeinasi dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama adalah pengukusan biji kopi di dalam kolom pada suhu 100°C selama beberapa menit. Tahap berikutnya adalah pelarutan kafein dari dalam biji kopi yang telah mengembang dengan menyemprotkan pelarut pada tumpukan biji kopi dengan pelarut air pada suhu 100oC (Mulato et al., 2004), atau sirkulasi pelarut yang dijaga secara kontinu dengan menggunakan pompa sirkulasi (Widyotomo et al., 2009). Teknik dekafeinasi dengan menggunakan pelarut air memiliki beberapa keuntungan, antara lain : rata-rata hasil ekstraksi cukup tinggi, kafein yang diperoleh lebih murni, dan penggunaan panas lebih rendah. Apabila dekafeinasi dengan menggunakan uap air, maka harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kontak langsung antara uap air dengan udara luar. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari terjadinya oksidasi (Sivetz & Desroiser, 1979). Dekafeinasi biji kopi dalam reaktor kolom tunggal telah dilakukan dengan ratio berat biji kopi dan pelarut air sebesar 1 : 2. Kadar kafein dalam biji kopi yang semula 2.46 % turun menjadi 0.45 % setelah proses berlangsung 6 jam. Pemanasan lanjut mampu menurunkan kadar kafein sampai 0.30 %, namun cita rasa dan aroma seduhan kopinya juga berubah negatif secara signifikan (Mulato et al., 2004; Lestari, 2004). Pengembangan proses dilakukan oleh Widyotomo et al. (2009) dengan menggunakan pelarut organik etil asetat teknis konsentrasi 10%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar kafein 0.3% diperoleh setelah proses dekafeinasi berlangsung antara 8-12 jam tergantung pada suhu pelarut dan ukuran biji kopi.
19
Cita rasa biji kopi rendah kafein yang dihasilkan lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan pelarut air (Widyotomo et al., 2010)
Limbah Cair Pengolahan Kakao Indonesia merupakan salah satu produsen utama kakao di dunia setelah Ghana dan Pantai Gading. Pada tahun 2005, areal perkebunan kakao Indonesia telah mencapai 1 167 046 ha dengan produksi sebanyak 748 828 ton biji kakao kering. Pada tahun 2006 diperkirakan akan naik menjadi 1 191 742 ha dengan produksi 779 474 ton biji kakao kering (Ditjendbun, 2010). Adanya program Gerakan Nasional Pengembangan Tanaman dan Mutu Kakao, maka produksi kakao Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Mataserv, 2010). Dampak negatif limbah pengolahan yang muncul perlu dikelola dengan baik agar tidak merusak lingkungan, namun memberikan manfaat positif terhadap petani kakao Indonesia. Standar Prosedur Operasional penanganan biji kakao menyebutkan bahwa fermentasi harus dilaksanakan dengan benar agar diperoleh mutu bahan baku makanan dan minuman cokelat yang baik (Rohan, 1963; Wahyudi, 1988; Clapperton, 1990; Wahyudi, 2003; Ditjen PPHP, 2006; Widyotomo & Mulato, 2007). Lapisan lendir atau pulpa yang menyelimuti permukaan biji kakao basah mengandung senyawa gula antara 8-14%, dan air 80-90% (Wood & Lass, 1985). Proses fermentasi akan berjalan dengan baik jika tersedia cukup oksigen, dan akan muncul panas yang merupakan hasil oksidasi senyawa gula di dalam pulpa. Reaksi dalam proses fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Mikroba memanfaatkan senyawa gula tersebut sebagai media tumbuh sehingga lapisan pulpa terurai menjadi cairan yang encer dan keluar lewat lubang-lubang di dasar dan dinding peti fermentasi (Rohan, 1963). Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang merupakan gula paling sederhana, melalui fermentasi akan menghasilkan etanol (2C2H5OH) dan berlanjut menjadi asam asetat (CH3COOH). Fermentasi biji kakao dalam peti fermentasi berkapasitas 625 kg/batch (shallow boxess) selama 5 hari dengan pembalikan dilakukan satu kali setelah 48 jam proses berlangsung akan menghasilkan limbah cair sebanyak 20% (Mulato, 2001).
20
C6 H12O6 ( glukosa ) Oksidasi → C2 H 5OH (ethanol ) Oksidasi → CH 3COOH (asam asetat )
Fermentasi pulpa kakao secara langsung telah dilakukan pada skala labortorium. Usaha memperoleh pulpa dari permukaan biji kakao dapat dilakukan secara mekanis, dan beberapa keuntungan yang dapat diperoleh antara lain pengurangan pulpa dapat dilakukan lebih cepat, tingkat pengurangan pulpa dapat ditentukan dengan lebih teliti, tidak memerlukan lahan yang luas, dan pulpa hasil pengurangan terkumpul dalam suatu wadah sehingga mudah diolah menjadi produk lain yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi (Atmawinata et al, 1998). Fermentasi pulpa kakao menjadi etanol dengan sistem fed-batch dalam bioreaktor selama 144 jam dengan variasi konsentrasi gula antara 16-28% (b/v) menghasilkan etanol antara 9.15-12.74% (v/v). Fermentasi pulpa kakao dengan sistem batch dalam bioreaktor dengan penambahan gula sebanyak 28% (b/v) selama 120 jam menghasilkan etanol sebanyak 13.46% (v/v). Pada fase eksponensial fermentasi pulp kakao oleh Saccharomyces cerevisiae dihasilkan laju spesifik pertumbuhan (µ) 0.0318/jam (Petrus, 2008). Fermentasi pulpa kakao secara batch dengan penambahan konsentrasi gula 15% dan penggunaan ragi roti 20% akan menghasilkan alkohol 10%. Dengan perlakuan aerasi, kadar asam asetat 4.3% akan diperoleh setelah 14 hari, dan kadar asam asetat 2.6% akan diperoleh setelah 21 hari tanpa aerasi (Haumasse, 2009). Produksi asam asam asetat sebesar 7.8% dihasilkan dari substrat etanol hasil fermentasi alkohol pada medium pulpa kakao secara kultur fed-batch (Pairunan, 2009). Aplikasi metode fermentasi pulpa kakao untuk menghasilkan pelarut tersier skala laboratorium masih terkendala jika dilakukan pada skala praktek di lapangan karena diperlukan scalling up peralatan dan proses serta uji kelayakan yang lebih mendalam. Pengembangan proses fermentasi pulpa kakao menjadi larutan tersier pulpa kakao harus terus dilakukan sampai diperoleh tahapan yang sederhana sehingga dapat diterapkan dengan mudah pada skala praktek di lapangan (Widyotomo et al., 2011; Widyotomo, 2008).
21
Difusi Massa Dalam Proses Pelarutan Kafein Pada proses perpindahan massa air dalam proses pengeringan bahan pertanian dapat dikelompokkan menjadi periode laju pengeringan konstan, dan periode pengeringan menurun. Periode laju pengeringan konstan terjadi ketika hambatan internal terhadap perpindahan air lebih kecil daripada hambatan eksternal perpindahan uap air pada permukaan bahan. Perpindahan air tersebut dikendalikan melalui mekanisme konveksi. Selama periode pengeringan menurun hambatan internal perpindahan air lebih besar daripada hambatan eksternal. Perpindahan tersebut dikendalikan oleh mekanisme difusi. Proses perpindahan massa tersebut sama dengan pelarutan senyawa kafein dari dalam biji kopi yang dikendalikan dengan mekanisme difusi (Gambar 12). Difusi molekuler adalah perpindahan molekul dari komponen campuran yang dipengaruhi perbedaan konsentrasi dalam suatu sistem fluida. Pada sistem phase tunggal, laju perpindahan massa yang disebabkan adanya difusi molekular dijabarkan dalam hukum difusi Fick (Doran, 1995; Crank, 1975; Bichsel, 1979; Hulbert et al., 1998; Spiro & Selwood, 1984; Udaya-Sankar et al., 1983).
Gambar 11. Gradien konsentrasi komponen A berpindah melalui luasan area Ap
∂c A N A ∂c = = − DAB A dt Ap dy
(2.1)
Dalam hal ini ∂cA/dt adalah laju perpindahan massa komponen A per unit area (g.mol/det.m2), NA adalah laju perpindahan massa komponen A (g.mol/det),
22
Ap adalah luas penampang perpindahan massa (m2), DAB adalah koefisien difusi biner atau difusivitas komponen A dalam campuran (m2/det), cA konsentrasi komponen A (g.mol/m3), y adalah jarak, dan ∂cA/dy adalah perubahan konsentrasi komponen A dalam jarak y. Koefisien difusi berubah tergantung pada bentuk geometri dan volume partikel/bahan (Ghosh et al., 2004). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui nilai difusivitas kopi pada beberapa kondisi proses. Sfredo et al. (2005) melaporkan bahwa diffusivitas efektif air pada buah kopi yang dikeringkan dengan pengering tipe tray getar adalah antara 0.1– 1×10−10 m2/detik pada suhu 45 °C, dan antara 0.3 – 3×10−10 m2/detik pada suhu 60 °C. Bichsel (1979) melaporkan bahwa pada kondisi percobaan optimum dekafeinasi diperoleh nilai difusivitas dalam biji kopi Robusta antara 0.5–1.3×10-6 cm2/detik. Anderson et al. (2003) melakukan penelitian kinetika difusi karbondioksida biji kopi dan kopi sangrai dengan menggunakan hukum Fick pada kondisi tak-tunak (unsteady state). Diffusivitas efektif rata-rata sebesar 5.30×10−13 m2/detik dari kisaran nilai 3.05–10.37×10−13 m2/detik. Nilai tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai diffusivitas yang diperoleh Bichsel (1979) dan Spiro & Chong (1997) yaitu 2–20×10−11 m2/detik untuk diffusi kafein di dalam biji kopi selama proses dekafeinasi. Dekafeinasi kopi merupakan proses ekstraksi phase padat-cair, yaitu perpindahan senyawa kafein dari matrik padatan biji kopi ke pelarut. Representasi matematika dari proses dekafeinasi biji kopi masih sangat terbatas untuk memperkirakan difusi kafein dengan menggunakan solusi analitik hukum Fick kedua (Bichsel, 1979; Hulbert et al., 1998; Spiro & Selwood, 1984; Udaya-Sankar et al., 1983). Persamaan yang digunakan untuk memprediksi perubahan konsentrasi kafein di dalam biji kopi berbentuk bulat selama proses perpindahan massa kafein adalah : cβ − cβe cβ 0 − cβe
=
6
∞
1 − Dβ .n 2.π 2 .t / R 2 ∑ e π 2 n =1 n 2
(2.2)
Dalam hal ini 〈cβ〉 adalah konsentrasi kafein rata-rata (g/m3), cβe adalah konsentrasi kafein setimbang (g/m3), cβ0 adalah konsentrasi kafein awal (g/m3), Dβ
23
adalah difusivitas massa (m2/detik), t adalah waktu proses (detik), dan R adalah jari-jari equivalen biji (m). Espinoza-Espinoza-Perez et al. (2007) melakukan pengembangan model matematika kinetika kafein selama proses ekstraksi phase padat-cair dalam biji kopi dengan asumsi bentuk lempeng (slab). Persamaan yang digunakan untuk memprediksi perubahan konsentrasi
kafein di dalam biji selama proses
dekafeinasi adalah : cβ − cβ i cβ 0 − cβi
=
8
π
2
∞
1
∑ (2n −1) n =1
2
e
( 2 n −1) 2 .π 2 .a ss . Ld . D β .t − 4 (1 − ε ) L2
(2.3)
Dalam hal ini 〈cβ〉 adalah konsentrasi kafein rata-rata (g/m3), cβi adalah konsentrasi kafein interface (g/m3), cβ0 adalah konsentrasi kafein awal (g/m3), Dβ adalah difusivitas massa (m2/detik), ass adalah specific surface perpindahan massa (m2/m3), ε adalah fraksi volume pelarut, t adalah waktu proses (detik), dan Ld adalah karakteristik panjang diffusi (m).
Perubahan Senyawa Kimia Pelarutan senyawa kafein biji kopi dalam reaktor kolom tunggal dilakukan dengan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao yang didominasi oleh air dan senyawa alhokol, dan asam asetat. Kafein adalah senyawa organik yang memiliki rumus kimia C8H10N4O2 atau nama kimia lain 1.3.7 trimetil 2.6 dioksipurin dengan massa molekul 194 (Ensminger et al., 1995). Posisi kafein di dalam biji kopi terdapat di bagian dinding sel dan di sitoplasma (Clifford & Willson, 1985). Kafein yang terdapat di dalam sitoplasma dalam keadaan bebas (Sivetz & Desroiser, 1979), sedangkan selebihnya terdapat pada sel dalam kondisi terikat sebagai senyawa alkaloid dalam bentuk senyawa garam komplek kalium klorogenat dengan ikatan ionik (Clifford, 1985). Proses pelarutan senyawa kafein dari dalam biji kopi diawali oleh pemecahan ikatan senyawa komplek kafein dan asam klorogenat akibat perlakuan panas. Senyawa kafein menjadi bebas dengan ukuran yang kecil (Mulato et al., 2004). Ikatan komplek tersebut menyebabkan kafein tidak dapat bergerak bebas di dalam jaringan biji kopi (Baumann et al., 1993; Horman & Viani, 1971). Pengaruh
24
energi panas dapat menyababkan ikatan tersebut terputus sehingga kafein mudah larut dalam pelarut. Berkurangnya
kadar
asam
klorogenat
selain
merupakan
indikasi
menurunnya jumlah kafein dalam biji kopi juga akan berpengaruh pada citarasa seduhan kopinya. Oleh karena komposisi senyawa kimia di dalam biji kopi telah berubah, maka nilai uji citarasa biji kopi hasil proses dekafeinasi berubah dan mengalami penurunan (Mulato et al., 2004). Dengan semakin lama proses pemanasan, maka biji kopi akan semakin mengembang sehingga akan membantu proses pelarutan kafein yang berada di dalam sitoplasma dan dinding sel. Asam klorogenat merupakan salah satu antioksidan yang terdapat di dalam biji kopi dan merupakan turunan dari 5-coffeoyllquuuc acid dengan cinamic acid, o-hydroksinamic acid, p-hidroksinarnic acid, caffeic acid, ferulic acid, isoferulic acid, dan sinapic acid (asam cinnamat, asam o-hidroksicinamat, asam phidroksicinamat, asam kaffeat, asam ferrulat, asam isoferulat, dan asam sinapat). Asam klorogenat merupakan salah satu komponen yang memberikan kontribusi terhadap sifat keasaman pada minuman kopi. Kadar asam klorogenat pada biji kopi Arabika bervariasi antara 6 - 7%, sedangkan pada Robusta sekitar 7-11%. Kadar asam klorogenat di dalam biji kopi meningkat seiring dengan peningkatan kadar kafein (Anonim, 2008; NFA, 2007; Ky et al., 2001). Perlakuan panas selama proses dekafeinasi mengakibatkan asam klorogenat mengalami hidrolisa menjadi senyawa dengan berat molekul yang lebih rendah, kemudian diikuti dengan dekomposisi asam klorogenat menjadi senyawa organik lain dan mempunyai sifat mudah terlarut dalam pelarut (Koeing, 1980). Hal tersebut menyebabkan kadar asam klorogenat dalam biji kopi turun secara bertahap selama berlangsungnya proses dekafeinasi dengan pola penurunan mirip yang terjadi dengan penurunan kadar kafein (Widyotomo et al., 2009; Mulato et al., 2004).
25
PENDEKATAN TEORITIK
Model Perpindahan Massa Kafein Perpindahan massa kafein yang terjadi selama proses pelarutan berlangsung secara difusi. Model perpindahan massa kafein dari dalam biji kopi diturunkan berdasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut : 1. Biji kopi berbentuk bulat (spherical) dan perpindahan massa kafein terjadi sepanjang jari-jari (r) 2. Perpindahan massa kafein terjadi hanya secara difusi dari dalam ke permukaan biji kopi 3. Sifat perpindahan massa kafein yang terjadi diasumsikan seragam 4. Proses difusi dapat digambarkan dengan menggunakan hukum Fick dengan difusivitas efektif yang tetap 5. Biji kopi memiliki sifat yang homogen dan selalu pada kondisi mantap (steady state)
Difusivitas Massa Kafein Proses pelarutan kafein dari dalam biji kopi dapat dianalogkan sebagai suatu proses pelepasan air pada proses pengeringan. Perpindahan senyawa kafein dari dalam massa bahan berbentuk bulat (spherical) memiliki hambatan internal yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan hambatan eksternal sehingga laju perpindahan massa kafein dapat diperkirakan dengan persamaan difusi dengan difusivitas efektif yang tetap (Espinoza-Perez et al., 2007). Hukum Fick kedua yang mempresentasikan difusi kafein untuk koordinat bundar (sphecrical) sebagai berikut : ∂c A 1 ∂ ∂c = Dk . 2 . . r 2 . A dt r dr dr
(3.1)
∂ 2c 2 ∂c ∂c A = Dk . 2A + . A dt r dr dr
(3.2)
atau
26
Asumsi-asumsi yang harus diambil meliputi simetri radial, dan tidak terjadi degradasi di dalam butiran biji kopi. Kondisi batas di pusat (r = 0) dan permukaan (r = R) biji adalah : r = 0,
∂c A = 0, t ≥ 0 dr
(3.3)
r = R, c A = c As = 0, t 〉 0
(3.4)
Di pusat butiran dengan kondisi simetri dimana fluks NA (0, t) sama dengan nol, maka kondisi awalnya adalah :
t = 0, c A = c A0 , 0 ≤ r ≤ R
(3.5)
Pelarutan Kafein Dari Dalam Biji Kopi Dekafeinasi kopi merupakan proses ekstraksi padat-cair, dan konsentrasi kafein terlarut sangat tergantung pada waktu proses. Model mekanistik untuk ekstraksi kafein harus meliputi perhitungan difusi kafein di dalam biji biji, konveksi kafein pada kondisi batas pelarut dan padatan dalam hal ini permukaan biji kopi, dan hubungan kesetimbangan yang terjadi antara konsentrasi kafein dalam biji kopi dan pelarut (Espinoza-Perez et al., 2007). Selain bentuk bulat (sperichal) dan lempeng (slab), biji kopi dapat diasumsikan dalam bentuk elipsoidal. Namun, model matematika kinetika kafein selama proses ekstraksi phase padat-cair dalam biji kopi dengan asumsi bentuk elipsoidal belum pernah dilakukan. Solusi analitis untuk profil konsentrasi keadaan tak mantap (unsteady
state) cA (r, t) diperoleh dengan teknik pemisahan variabel (Gambar 12). Rincian solusi analitik dalam koordinat bundar adalah sebagai berikut (Crank, 1975; Saravacos & Maroulis, 2001; Welty et al., 2001) :
2 R ∞ (− 1) n.π .r − Dk .n 2 t / R 2 = 1+ sin .e ∑ π .r n =1 n c As − c A0 R c A − c A0
n
r ≠ 0, n = 0,1, 2, .....
(3.6)
Keadaan batas menggunakan persamaan berikut adalah di pusat butiran bundar (r = 0), konsentrasinya adalah : c A − c A0 c As − c A0
= 1+
2 2 2R ∞ (− 1)n .e− Dk .n t / R ∑ π .r n =1
r ≠ 0, n = 0,1, 2, .....
(3.7)
27
Setelah solusi analitik untuk profil konsentrasi diketahui, maka dapat dilakukan perhitungan laju pelepasan kafein dan jumlah kumulatif pelepasan kafein per satuan waktu. Laju pelepasan kafein, WA, adalah hasil kali fluks di permukaan biji kopi (r = R) dan luas permukaan biji kopi yang berbentuk bundar (Welty et al., 2001; Bird et al., 1960). dc .(r , t ) WA (t ) = 4.π .R 2 .N Ar = 4.π .R 2 . − Dk A dr
(3.8)
Diferensiasikan profil konsentrasi, cA(r,t), terhadap koordinat radial r, tetapkan r = R, dan masukkan kembali ke dalam persamaan di atas untuk WA(t), maka akan diperoleh : ∞
WA (t ) = 8.π .R.c A0 .Dk ∑ e − Dk .n
2
.π 2 .t / R 2
(3.9)
n =1
Persamaan di atas menunjukkan bahwa laju pelepasan kafein makin lama akan semakin kecil dengan waktu yang makin bertambah sampai semua kafein yang terdapat di dalam biji kopi terlarut, dimana pada tahap tersebut WA akan menuju nol. Jumlah awal kafein (mA0) yang terdapat di dalam biji kopi adalah hasil kali konsentrasi kafein awal (cA0) dan volume (V) biji kopi, 4 m A0 = c A0 .V = c A0 . .π .R 3 3
(3.10)
Jumlah kumulatif kafein yang dilepaskan dari dalam biji kopi terhadap waktu adalah integral dari laju pelepasan kafein terhadap waktu. t
m A (t ) = ∫ W A (t ) ∂t
(3.11)
0
Integrasi persamaan di atas akan menghasilkan persamaan sebagai berikut (Anderson et al., 2003; Crank, 1975):
m A (t ) 6 ∞ 1 − Dk .n2 .π 2 .t / R2 = .∑ .e m A0 π 2 n=1 n 2
(3.12)
Solusi analitis ini dinyatakan sebagai suatu penjumlahan deret infinit yang konvergen bila “n” mendekati tak hingga. Konvergensi ke suatu nilai numerik tunggal dapat dicapai dengan melakukan penjumlahan deret hanya untuk beberapa suku, terutama jika nilai parameter tak berdimensi Dk.t/R2 relatif besar.
28
Profil pelepasan kafein sangat dipengaruhi parameter tak berdimensi 2
Dk.t/R dan jika parameter Dk dianggap tetap, maka parameter desain enjineering kritis yang dapat dimanfaatkan adalah jari-jari biji kopi R. Jika nilai jari-jari R besar, maka laju pelepasan kafein akan berkurang.
Gambar 12. Pelepasan kafein dari dalam biji kopi
Model Keseluruhan Proses Dekafeinasi Metode yang dapat digunakan untuk mengeluarkan (ekstraksi) satu komponen campuran dari zat padat dapat digolongkan dalam dua kategori. Kategori pertama adalah pengurasan (leaching) atau ekstraksi zat padat (solid extraction), dan digunakan untuk melarutkan zat yang dapat larut dari campurannya dengan zat padat yang tak dapat larut. Kategori kedua adalah ekstraki zat cair (liquid extraction) yang digunakan untuk memisahkan dua zat cair yang saling bercampur dengan menggunakan suatu pelarut yang melarutkan salah satu zat dalam campuran tersebut lebih banyak dari yang lain. Pengurasan tidak jauh berbeda dengan pengurasan zat padat hasil ekstraksi. Pada proses pengurasan, kuantitas zat mampu larut (soluble) yang dapat dikeluarkan umumnya lebih banyak dibandingkan dengan proses pengurasan filtrasi biasa, dan dalam operasi pengurasan sifat-sifat zat padat mungkin akan mengalami perubahan (Geankoplis, 1983). Pengurasan zat padat yang membentuk massa terbuka yang permeable selama proses pengurasan, pelarutnya mungkin berpengurasan (mengalir melalui rongga-rongga) dalam hamparan zat padat yang tidak teraduk. Metode tersebut
29
dapat dilakukan dalam sistem batch maupun kontinyu. Pengurasan hamparan padat stasioner (tidak bergerak) dilaksanakan di dalam tangki yang memiliki dasar berlubang yang berfungsi untuk mendukung zat padat tetapi masih dapat melewatkan pelarut keluar (McCabe et al., 1999). Geankoplis (1983) melaporkan bahwa persamaan untuk menentukan laju pengurasan (leaching) adalah sebagai berikut : V p .∂c A dt
= N A = k L . Ap (c A0 − c A )
(3.13)
Integrasi persamaan di atas dengan kondisi batas t = 0 dan cA = cA0 sampai dengan t = t dan cA = cA adalah sebagai berikut ; A .k ∂c A = p L cA0 c Vp A0 − c A
∫
cA
∫
t
t =0
dt
c AS − c A − (k . A / V ).t =e L p p c A0 − c A
(3.14)
(3.15)
Persamaan (3.15) adalah bentuk sederhana dari persamaan (3.12) dan akan terbukti mampu menggambarkan kinetika proses ekstraksi sistem padatan-cairan dalam hal ini larutan kafein-biji kopi dimana kafein akan diekstrak dari biji kopi. Dalam persamaan (3.15) V adalah volume pelarut (m3), cA0 adalah kadar kafein awal (% bk), cA adalah kadar kafein yang diinginkan (0.1 atau 0.3%), cAS adalah kadar kafein pada kondisi-t (% bk), Ap adalah luas permukaan (m2), dan t adalah waktu proses (detik). Penyelesaian persamaan tersebut secara analitis untuk memprediksi waktu pelarutan kafein (t-prediksi) dalam biji kopi adalah sebagai berikut (Espinoza-Perez et al., 2007; Doran, 1995): −1
A c −c t − prediksi = − k L . p . ln AS A V p c A0 − c A
(3.16)
Nilai laju pelarutan kafein (kf) merupakan fungsi dari konsentrasi (c) dan suhu pelarut (T) yang secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : k f = f (konsentrasi pelarut , suhu pelarut ) k f = g . c a .e
( − Ea / R g T )
ln .k L = ln .g + a. ln .c − Ea. / Rg .T
(3.17)
30
ln.kL
=y
ln.c
ln.g
=d
− Ea / Rg = b
= x1
1/T
= x2
maka bentuk persamaan liniernya adalah : y = d + a.x1 + b.x2 + E
E adalah kesalahan
E = y − (d + a.x1 + b.x2 )
(3.18) (3.19)
Pada persamaan di atas nilai kesalahan (E) merupakan selisih antara harga y pengamatan dengan harga pendekatanyang diprediksikan dari persamaan linier untuk memperoleh ketepatan persamaan prediksi dengan cara meminimalkan kuadratnya. Nilai laju pelarutan kafein (kf) dari persamaan (3.17) dapat ditentukan dengan metode grafik (Sutarsih et al., 2009) menggunakan persamaan sebagai berikut : c A .Rg = a. exp(− k f .t )
(3.20)
Gradien dari ploting ln cA.Rg terhadap waktu (t) merupakan laju pelarutan kafein (kf). Nilai difusivitas (Dk) dan koefisien perpindahan massa (kL) dapat dihitung dengan persamaan berikut, Dk =
kL =
r2
π
2
.k f =
r2
π
2
.g .c a .e
( − Ea / R g T )
Dk r
(3.21) (3.22)
Persamaan (3.21) menunjukkan bahwa selain parameter konsentrasi (c), nilai difusivitas kafein ditentukan oleh parameter suhu (T). Proses pelarutan kafein dari dalam biji kopi diasumsikan berlangsung pada suhu yang seragam dari titik pusat biji kopi sampai pada permukaan biji.
Validasi Model Matematik Laju pelarutan (kf) kafein dari berbagai konsentrasi dan suhu pelarut dianalisis dengan menggunakan multiregresi/regresi ganda software SPPS (Statistical Product and Service Solution) untuk menentukan nilai konstanta pada variabel suhu dan konsentrasi. Data laju pelarutan kafein hasil pengamatan (observasi) digunakan untuk memvalidasi model matematis laju pelarutan kafein
31
(prediksi) dalam reaktor kolom tunggal. Validasi model dilakukan dengan cara menghitung nilai koefisien determinasi (R2). Nilai R2 berkisar antara 0 dan 1. Jika nilai R2 mendekati 1 berarti keandalan data prediksi semakin baik, dan model matematik yang dibentuk dinyatakan valid.
Optimasi Proses Dengan Response Surface Methodology (RSM)
Aplikasi RSM untuk optimasi proses telah banyak dilakukan, di antaranya untuk proses penyangraian biji kakao (Misnawi et al., 2005), proses coating cokelat (Ghosh et al., 2004), sifat aerodinamik buah dan biji kopi (Afonso-Junior et al., 2007), dan optimasi proses penyangraian biji kopi robusta (Mendes et al., 2001). Optimasi proses pelarutan kafein dari dalam biji kopi Robusta dengan menggunakan reaktor kolom tunggal dilakukan dengan menggunakan rancangan Response Surface Methodology (RSM) software Echip 6.0. Kondisi optimum proses ditentukan dengan menggunakan software Response Surface Methodology (RSM) Echip versi 6.0. Disain variabel yang digunakan adalah suhu pelarut (T) antara 50-100oC, dan konsentrasi pelarut (c) antara 10-100% (v/v). Parameter response yang digunakan adalah laju pelarutan kafein (%bk/jam), dan waktu atau lama proses pelarutan observasi (t-obserasi) pelarutan kafein sampai diperoleh kadar kafein dalam biji kopi minimum 0.3% bk. Keluaran yang dihasilkan adalah diperolehnya proses dekafeinasi biji kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal pada laju pelarutan kafein yang optimum (%bk/jam).
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga jenis bahan utama, yaitu : 1. Biji kopi pasar jenis Robusta tingkat mutu IV (Gambar 13) yang berasal dari kebun percobaan Kaliwining yang berlokasi di Kabupaten Jember, Jawa Timur dengan ketinggian tempat 45 m dpl, dan beriklim C-D menurut klasifikasi Schmit & Ferguson. Metode pengolahan yang diterapkan oleh kebun percobaan Kaliwining adalah pengolahan kering (dry process) dengan kadar air biji kering antara13-14%. 2. Air 3. Larutan asam asetat teknis dengan konsentrasi 10%, 30%, 50%, 80% dan 100%. 4. Buah kakao jenis lindak yang sehat dan telah matang (Gambar 14)
Alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah : 1. Alat utama yang digunakan adalah reaktor kolom tunggal yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses dekafeinasi (Gambar 16 dan 17). Reaktor kolom tunggal dirancangbangun di Laboratorium Pascapanen, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Reaktor dibuat dari bahan aluminium tebal 2 mm dan memiliki ukuran diameter dan panjang masing-masing 300 mm dan 1200 mm. Ruang di dalam reaktor kolom tunggal dibagi dalam 2 kompartemen. Kompartemen atas berfungsi menampung biji kopi yang akan diproses dengan ukuran dimensi panjang dan diameter masing-masing 350 mm dan 300 mm. Kompartemen bawah berfungsi untuk menampung air atau pelarut dengan ukuran dimensi panjang dan diameter masing-masing 800 mm dan 300 mm. Sumber panas yang digunakan adalah kompor bertekanan (burner) berbahan bakar LPG (Liquid Petroleum Gas). Pompa sirkulasi memiliki laju aliran atau debit fluida cair sebesar 1566 liter/jam yang berfungsi untuk mensirkulasi air atau pelarut dari kompartemen penampung air atau pelarut ke kompartemen penampung biji kopi. Sketsa reaktor kolom tunggal ditampilkan pada Gambar 15 dan 16.
34
2. Alat pendukung terdiri dari seperangkat komputer untuk membangun model matematik dan optimasi proses dekafeinasi, data acquisition FLUKE dengan sensor Ni-Cr Ni tipe K yang berfungsi sebagai pencatu suhu dilengkapi seperangkat komputer dengan penyimpan data, jangka sorong, jam kendali (stopwatch), pH meter, gelas ukur, Gas Chromatography, oven, timbangan analitis dan lain-lain.
Gambar 13. Biji kopi (green beans) jenis Robusta
Gambar 14. Buah kakao jenis lindak (bulk cocoa)
(a)
(b)
Gambar 15 (a) Biji kakao basah, dan (b) pulpa (lendir) kakao
35
Gambar 16. Sketsa dan ukuran dimensi reaktor kolom tunggal
36
Gambar 17. Reaktor kolom tunggal
Prosedur Produksi Limbah Cair Fermentasi Biji Kakao dan Pelarut Tersier Pulpa Kakao Tahapan produksi limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao ditampilkan pada Gambar 18. Deskripsi prosedur produksi limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao adalah sebagai berikut : Limbah cair fermentasi biji kakao Buah kakao yang sehat dan telah matang dipecah dengan menggunakan pemukul kayu atau dengan cara memukulkan buah kakao yang satu dengan yang lainnya (Gambar 14). Biji kakao basah dipisahkan dari bagian plasenta dan kulit buahnya (Gambar 15.a). Biji kakao diperam dalam peti fermentasi kotak dangkal (shallow boxes method) selama 48 jam, dan kemudian dilakukan proses pengadukan. Cairan yang keluar dari peti fermentasi ditampung dalam wadah bersih. Proses pemeraman dilanjutkan selama 72 jam. Cairan yang keluar dari peti fermentasi ditampung kembali dalam wadah bersih. Limbah pemeraman berupa cairan diambil dari satu siklus proses fermentasi biji kakao lindak yang diperam selama 5 hari, dengan proses pembalikan dilakukan satu kali setelah 48 jam proses pemeraman berlangsung. Cairan (limbah cair) segera dikumpulkan dan
37
diambil setelah proses fermentasi selesai. Tahapan proses ditampilkan pada Gambar 18. Analisis laboratorium menunjukkan bahwa limbah cair hasil fermentasi biji kakao mengandung senyawa asam asetat sebesar 1.32% (v/v). Pelarut tersier pulpa kakao Pelarut tersier pulpa kakao diperoleh melalui tahapan proses sebagaimana ditampilkan pada Gambar 18. Buah kakao lindak hasil panen yang sehat dan telah matang dipecah (Gambar 14), selanjutnya biji kakao basah dipisahkan dari bagian kulit buah dan plasentanya (Gambar 15.a). Pulpa atau lendir yang menempel dipermukaan biji basah dipisahkan dari bagian bijinya dengan menggunakan mesin pemeras lendir (cocoa depulper) (Atmawinata et al., 1998). Pulpa kakao (Gambar 15.b) sebanyak 20 kg diperam dalam wadah bersih selama 48 jam, kemudian dilakukan pengadukan. Pemeraman pulpa dilanjutkan selama 72 jam, kemudian ditambahkan larutan H2SO4 pekat sebanyak 0.05% (v/v) dan pengadukan dilakukan untuk meratakan pencampuran larutan H2SO4 dalam pulpa kakao. Pemeraman pulpa dilanjutkan selama 24 jam, dan kemudian dilakukan proses pemisahan antara bagian serat dari bagian cairnya yang kemudian disebut sebagai pelarut tersier pulpa kakao. Analisis laboratorium menunjukkan bahwa pelarut tersier pulpa kakao mengandung senyawa etanol dan asam asetat masingmasing sebesar 1.63% (v/v) dan 0.22% (v/v).
38
Buah kakao matang
Limbah cair
Pemeraman 48 jam
Pemecahan
Kulit buah, plasenta
Biji kakao basah
Pemerasan pulpa
Biji kakao basah pasca pemerasan pulpa
Pengadukan
Pulpa (lendir)
Limbah cair
Pemeraman 72 jam
Pemeraman 48 jam
Limbah cair fermentasi biji kakao
Pengeringan
Pengadukan
Pemeraman 72 jam
Penambahan H2SO4 pekat, 0.05% (v/v)
Pemeraman 24 jam
Serat
Pemisahan
Pelarut tersier
Gambar 18. Proses produksi limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao
39
Prosedur Penentuan Proses Dekafeinasi Biji Kopi Robusta Dalam Reaktor Kolom Tunggal Tahapan ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pascapanen, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Proses dekafeinasi dilakukan terhadap biji kopi (green beans) Robusta tingkat mutu IV yang telah dikelompokkan dalam beberapa ukuran, dipisahkan dari kotoran dan benda asing lainnya. Dengan menggunakan mesin sortasi (Widyotomo & Mulato, 2005), biji kopi dikelompokkan dalam beberapa ukuran sebagai berikut ; A1) diameter (δ) lebih besar dari 7.5 mm; A2) diameter (δ) lebih besar dari 6.5 mm dan lebih kecil atau sama dengan 7.5 mm; A3) diameter (δ) lebih besar dari 5.5 mm dan lebih kecil atau sama dengan 6.5 mm; dan A4) diameter (δ) lebih besar dari dan sama dengan 5.5 mm. Proses dekafeinasi dalam reaktor kolom tunggal dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama adalah proses pengukusan (steaming) biji kopi (green beans) dengan menggunakan uap air panas pada suhu 100oC (Gambar 19) di dalam reaktor kolom tunggal (Gambar 16 dan 17). Proses pengukusan dilakukan terhadap biji kopi yang telah dikelompokkan berdasarkan ukuran tertentu, yaitu A1, A2, A3 dan A4. Proses pengukusan dinyatakan selesai jika selama proses berlangsung tidak terjadi penambahan kadar air di dalam biji kopi yang signifikan. Proses pengukusan biji kopi dilakukan selama 4 jam, dan contoh biji diambil setiap interval 30 menit untuk mengetahui perubahan ukuran dimensi (panjang, lebar, tebal), peningkatan kadar air, perubahan diameter arimatik dan geometrik, perubahan sperisitas, perubahan luas permukaan, perubahan volume biji, perubahan densitas kamba. Jumlah biji kopi yang digunakan pada setiap perlakuan proses dekafeinasi dari setiap ukuran biji sebanyak 6 kg, dan volume air yang digunakan untuk setiap kali proses pengukusan (steaming) sebanyak 6 liter. Ulangan dari setiap perlakuan proses dilakukan sebanyak 3 kali. Air yang terdapat di dalam reaktor diubah menjadi phase uap dengan menggunakan sumber panas kompor bertekanan (burner) berbahan bakar LPG.
40
Biji kopi (dried coffee beans)
Kotoran (waste)
Pemilahan (sortation)
Klasifikasi berdasarkan berdasarkan ukuran (grading base on size)
mm )
mm <
Pengukusan (steaming)
≤
mm)
Pengukusan (steaming)
mm)
≤
mm <
≤
Pengukusan (steaming)
mm)
Pengukusan (steaming)
Perlakuan : waktu pengukusan (treatment : steaming time)
A1 pasca pengukusan (post steaming)
A2 pasca pengukusan (post steaming)
A3 pasca pengukusan (post steaming)
A4 pasca pengukusan (post steaming)
ANALISIS SIFAT FISIK (physical properties analysis)
Gambar 19. Diagram alur pegukusan (steaming) biji kopi dengan uap air, dan karakterisasi fisik biji kopi pasca pengukusan Setelah proses pengukusan selesai, massa air dikeluarkan dari dalam reaktor dan diganti dengan pelarut. Tahap kedua adalah proses pelarutan kafein di dalam reaktor yang sama dengan menggunakan pelarut asam asetat. Proses pelarutan senyawa kafein dari dalam biji kopi dapat terjadi karena pelarut bersirkulasi secara kontinyu dengan menggunakan pompa sirkulasi ke dalam tumpukan biji (batch system). Proses pelarutan senyawa kafein dari dalam biji kopi dilakukan dengan perlakuan parameter suhu dan konsentrasi pelarut. Pada saat menggunakan pelarut asam asetat, suhu pelarut divariasi dalam 6 tingkatan, yaitu 50oC, 60oC, 70oC, 80oC, 90oC dan 100oC, dan konsentrasi pelarut terhadap air divariasi dalam 5 tingkatan, yaitu 10%, 30%, 50%, 80% dan 100%. Setiap perlakuan dilakukan ulangan proses sebanyak 3 kali. Contoh biji kopi yang telah diproses diambil setiap waktu proses (tn) untuk dilakukan analisis kadar kafein, dan cita rasa seduhannya. Waktu proses berlangsung pada nilai n sama dengan 2
41
jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam, 6 jam, 7 jam, 8 jm, 9 jam, 10 jam, dan 11 jam. Pengamatan waktu pelarutan kafein dari dalam biji kopi dilakukan setiap interval 1 jam sampai diperoleh kadar kafein akhir dalam biji kopi sebesar 0.3% bk. Analisis energi dari proses dekafeinasi biji kopi dilakukan dari proses pelarutan dengan menggunakan senyawa asam asetat.
Gambar 20. Tahapan penelitian prosedur penentuan proses dekafeinasi Langkah pengoperasian reaktor kolom tunggal untuk proses dekafeinasi adalah sebagai berikut : 1. Kompartemen kedua diisi dengan air bersih sebanyak 6 liter 2. Kompartemen pertama diisi dengan biji kopi sebanyak 6 kg 3. Reaktor ditutup rapat 4. Kompor bertekanan (burner) berbahan bakar LPG sebagai sumber panas proses dekafeinasi dihidupkan 5. Suhu air dikondisikan pada nilai 100oC dengan cara mengendalikan panas yang dihasilkan dari kompor bertekanan 6. Proses pengukusan berlangsung
42
7. Contoh biji kopi diambil dengan interval waktu 30 menit 8. Proses pengukusan diakhiri setelah berlangsung selama 4 jam 9. Air dikeluarkan dari dalam reaktor dan diganti dengan pelarut asam asetat berkonsentrasi tertentu sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam perlakuan 10. Suhu senyawa pelarut dikondisikan pada nilai yang telah ditetapkan dalam perlakuan dengan cara mengendalikan panas yang dihasilkan dari kompor bertekanan 11. Pompa sirkulasi pelarut dihidupkan 12. Proses pelarutan kafein berlangsung 13. Contoh biji kopi diambil dengan interval waktu 60 menit 14. Pelarutan kafein dilakukan dengan lama pelarutan yang telah ditetapkan dalam perlakuan 15. Proses pelarutan kafein diakhiri sesuai dengan interval waktu pengamatan 16. Contoh kopi terdekafeinasi diambil dari dalam reaktor untuk dianalisis 17. Langkah 1-14 diulang untuk setiap perlakuan, dan contoh biji kopi pasca pelarutan di ambil pada setiap interval waktu pengamatan
Tolok ukur yang digunakan untuk analisis perubahan sifat fisik biji kopi selama proses pengukusan dan analisis energi selama proses dekafeinasi adalah sebagai berikut : a. Kadar air Kadar air biji kopi basis basah (b.b) selama proses pengukusan ditentukan dengan menggunakan metode gravimetri, yaitu pengurangan bobot biji selama 16 jam pengeringan oven yang terkontrol pada suhu 103°C + 2°C, dan perhitungannya dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Brooker et al., 1974) : Ka =
(Wi −Wt ) x100% Wi
(4.1)
Dalam hal ini Ka adalah kadar air (%), Wi adalah berat awal biji (g), Wt adalah berat biji pada waktu ke-t (g)
43
b. Diameter rerata aritmatik dan geometrik Diameter rerata aritmatik (da) dan diameter rerata geometrik (dg) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Mohsenin, 1978; Dursun & Dursun, 2005) : da =
Pb + Lb + Tb 3
(4.2)
d g = (Pb x Lb x Tb )
1/ 3
(4.3)
Dalam hal ini Pb adalah panjang biji (mm), Lb adalah lebar biji (mm), dan Tb adalah tebal biji (mm)
c. Sperisitas Sperisitas (Φ) adalah hubungan antara suatu dimensi dengan dimensi yang lain dari suatu benda yang mendekati bentuk bulat atau bola. Sperisitas (Φ) dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan yang diberikan oleh Mohsenin (1978) serta Jain & Ball (1997) sebagai berikut :
φ=
(Pb x Lb x Tb )1 / 3 Lb
(4.4)
d. Luas permukaan Luas permukaan (S) biji kopi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Jain & Ball, 1997; McCabe et al., 1986) :
S =π x d g
2
(4.5)
e. Volume Volume (V) biji kopi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Mohsenin, 1978) :
V=
π x Pb x Lb x Tb 6
(4.6)
f. Densitas kamba Densitas kamba atau bulk density (ρb) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Mohsenin, 1978) :
ρb =
mbk V
(4.7)
44
Dalam hal ini ρb adalah densitas kamba (kg/m3), mbk adalah bobot sekumpulan biji kopi (kg), dan V adalah volume sekumpulan biji kopi dalam wadah (m3) g. Kadar kafein Pengukuran kadar kafein dilakukan dengan menggunakan HPLC, dan GC MS. Pompa HPLC Shimadzu model Lc-9A dengan detektor shimadzu model spdGA (UV spectrophotometric detector). Sistem injeksi menggunakan Loop (water 717 plus autosampler). Contoh 20µl diset pada tingkat sensitivitas 0.01 AUFS menggunakan panjang gelombang serapan maksimum. Serapan maksimum untuk senyawa kafein adalah 276 nm (Ky et al., 2001; Ky et al, 1997; Williams, 1999). Penentuan kadar kafein (% berat kering atau %bk) dilakukan dalam empat tahap, yaitu persiapan larutan standard kafein, persiapan sampel, persiapan kolom, dan pengukuran (Tejasari et al., 2010; Ky et al., 2001; Ky et al, 1997; Williams, 1999). g.1 Persiapan larutan standard 100 mg kafein (USP anhydrous) dimasukkan ke dalam 100 ml labu ukur, ditambah kloroform, dilarutkan dan ditera sampai batas volume (larutan 1 mg/ml). 10 ml larutan diencerkan 1/10nya dengan penambahan 100 ml kloroform (larutan 100 µg/ml). Selanjutnya encerkan lagi 10, 20 dan 15 ml larutan di atas menjadi 100, 100 dan 150 ml dengan kloroform untuk mendapatkan konsentrasi standard 10, 20 dan 30 µg kafein/ml. Tentukan kurva hubungan antara konsentrasi dan absorbansi pada spektrofotometer (λ=276 nm), dan kloroform sebagai referensi. g.2 Persiapan sampel Sampel dimasukkan ke dalam 100 ml beaker glass, ditambah 5 ml NH4OH, dipanaskan di atas penangas air yang mendidih selama 2 menit. Larutan didinginkan, dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml, dan ditera sampai batas volume dengan H2O. Ambil 5 ml aliquot dan ditambah 6 g celite 545 dan dicampur sampai merata. Selanjutnya dipakai pada lapisan II pembuatan kolom basa. Persiapan kolom asam : glasswool diletakkan di dasar kolom ukuran 2.5×2.5 cm. Sejumlah 3 g celite 545 ditambahkan 3 ml 4N H2SO4 , diaduk dengan
45
spatula sampai menjadi adonan. Adonan dipindahkan ke dalam kolom dan dipadatkan dengan tekanan kecil. Lembaran glasswool (atau kertas saring) ditempatkan di atas celite. g.3 Persiapan kolom basa Lapisan I : sejumlah 3 g celite dicampur dengan 2 ml 2N NaOH, dan ditempatkan pada kolom. Lapisan II : setiap penambahan 2 g campuran sampel dan celite ditempatkan di atas lapisan I, diratakan dan ditekan secara berurutan sampai semua sampel berada di atas lapisan I, kompak dan homogen. Elusi dan bilas (kering) wadah beaker dengan 1 g celite dan dituangkan di atas lapisan II. g.4 Pengukuran Kolom basa ditumpangkan di atas kolom asam. Sejumlah 150 ml diethyl ether jenuh dengan H2O dilewatkan pada kolom basa lalu pada kolom asam dan buang larutannya, lalu lepaskan kolom basa. Sejumlah 50 ml diethyl ether jenuh dilewatkan pada kolom asam, dan cairannya dibuang. Sejumlah 48 ml kloroform jenuh dilewatkan secara bertahap pada kolom asam. Kolom basa dicuci dengan mencelupkan ujung kolom ke dalam cairan yang keluar dari kolom asam tersebut. Dilanjutkan dengan sisa kloroform jenuh air sampai habis. Lalu ditera dengan penambahan kloroform jenuh air ke dalam labu dan dikocok. Kuantifikasi kafein berdasarkan absorbansi pada 276 nm dengan referensi kloroform jenuh air. Lakukan scanning pada 350-250 nm. Kadar kafein dihitung sebagai sepersepuluh konsentrasi absorbansi. h. Uji cita rasa Uji citarasa kopi minimal dilakukan oleh 3 panelis ahli dengan gambaran tingkat penilaian 0 (none), 1 (low), 2 (low-medium), 3 (medium), 4 (medium-high) dan 5 (high) untuk sensoris aroma, flavor, bodi dan bitterness. Untuk finish appreciation (FA) gambaran tingkat penilaian 0 (undrinkable), 1 (very bad), 2 (bad), 3 (acceptable), 4 (good) dan 5 (very good). Tahapan uji cita rasa kopi rendah kafein hasil proses pelarutan kafein dalam reaktor kolom tunggal dengan pelarut air, asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao adalah sebagai berikut (Atmawinata, 2001) :
46
h.1 Persiapan panelis Koordinasikan pelaksanaan uji dengan para panelis, minimum jumlah panelis sebanyak 3 orang h.2 Persiapan contoh 1. Ambil cuplikan contoh secara random sebanyak 120 g 2. Beri kode sesuai nomor analisa. Hindari memberikan informasi terhadap identitas asal contoh sebelum pengujian. 3. Panaskan alat mesin sangrai sampai suhu 175oC, dan untuk kopi Robusta gunakan suhu sangrai 175oC. Sangrai biji kopi sampai tingkat sangrai sedang (medium roast). 4. Biji kopi pasca sangrai digiling sampai pada tingkat kehalusan 120 mesh. h.3 Persiapan sarana uji 1. Siapkan laboratorium uji 2. Siapkan mangkuk uji, beri kode contoh dan setiap contoh dilakukan 3 ulangan. 3. Siapkan sendok uji, air kumur, tissue, dan form isian hasil uji yang sesuai 4. Masukkan 10 g contoh bubuk kopi ke dalam mangkuk yang disediakan 5. Didihkan air penyeduh h.4 Pelaksanaan uji cita rasa 1. Informasikan kepada panelis bahwa persiapan telah selesai 2. Jika panelis sudah siap, tuangkan 150 ml air mendidih ke dalam mangkuk yang sudah berisi contoh 3. Panelis menguji dan mengisi data uji dalam form yang telah disediakan h.5 Kompilasi data 1. Kompilasikan data uji dalam form yang sudah diisi oleh panelis 2. Cetak data hasil rekapitulasi dan serahkan kepada Koordinator panelis untuk diperiksa kebenaran pemindahan dan penghitungan data h.6 Pembuatan laporan hasil uji 1. Setelah diperiksa koordinator panelis, pindahkan data ke Laporan Hasil Uji 2. Laporan Hasil Uji diperiksa dan ditandatangani oleh Koordinator panelis
47
i. Energi Selain analisis terhadap biji kopi selama proses dekafeinasi dengan pelarut asam asetat, juga dilakukan analisis kebutuhan energi untuk proses pengukusan (steaming) dan pengurasan (leaching) dengan menggunakan persamaanpersamaan sebagai berikut : i.1 Energi pengukusan teoritis (Qsteaming, kJ) Qstea min g = Qreaktor + Qconv + Qair + Qkopi + Qevaporasi
(4.8)
1. Energi untuk memanaskan reaktor (Qreaktor, kJ) Qreaktor = mreaktor × Cpreaktor × ∆T
(4.9)
Dalam hal ini mreaktor adalah massa reaktor (kg), Cpreaktor adalah panas spesifik reaktor (kJ/kg.oC), dan ∆T adalah beda suhu lingkungan dan suhu reaktor (oC). 2. Energi untuk memanaskan air (Qair, kJ) Qair = mair × Cpair × ∆T
(4.10)
Dalam hal ini mair adalah massa air yang dipanaskan (kg), Cpair adalah panas spesifik air (kJ/kg.oC), dan ∆T adalah beda suhu lingkungan dan suhu air (oC) 3. Energi untuk memanaskan biji kopi (Qkopi, kJ) Qkopi = mbk × Cpkopi × ∆T
(4.11)
Dalam hal ini m adalah massa biji kopi yang dipanaskan (kg), Cpkopi adalah panas spesifik kopi (kJ/kg.oC), dan ∆T adalah beda suhu lingkungan dan suhu biji kopi (oC) 4. Energi untuk proses penguapan air (Qevaporasi, kJ) Qevaporasi = mair × h fg .air
(4.12)
Dalam hal ini mair adalah massa air yang menguap (kg), dan hfg.air adalah panas laten penguapan air (kJ/kg) 5. Energi panas hilang melalui dinding reaktor (konveksi) (Qconv, kJ) Qconv = Areaktor × hconv × ∆T
(4.13)
Dalam hal ini Areaktor adalah luas selimut reaktor (m2), hconv adalah koefisien panas hilang (kJ/kg. oC ), dan ∆T adalah beda suhu lingkungan dan suhu reaktor (oC)
48
i.2 Energi pengukusan aktual (Qsteaming-aktual, kJ) Qstea min g − aktual = mLPG − stea min g × hLPG
(4.14)
Dalam hal ini mLPG-steaming adalah massa gas LPG yang dikonsumsi selama proses pengukusan (kg), dan h-LPG adalah kapasitas panas gas LPG (52 000 kJ/kg). i.3 Energi pelarutan teoritis (Qleaching, kJ) Qleaching = Qreaktor + Q pelarut + Qkopi + Qconv + Q pump
(4.15)
1. Energi untuk memanaskan reaktor (Qreaktor, kJ) Qreaktor = mreaktor × Cpreaktor × ∆T
(4.16)
Dalam hal ini mreaktor adalah massa reaktor (kg), Cpreaktor adalah panas spesifik reaktor (kJ/kg.oC), dan ∆T adalah beda suhu lingkungan dan suhu reaktor (oC). 2. Energi untuk memanaskan pelarut (Qpelarut, kJ) Q pelarut = m pelarut × Cp pelarut × ∆T
(4.17)
Dalam hal ini mpelarut adalah massa pelarut yang dipanaskan (kg), Cppelarut adalah panas spesifik pelarut (kJ/kg.oC), dan ∆T adalah beda suhu lingkungan dan suhu pelarut (oC) 3. Energi untuk memanaskan biji kopi (Qkopi, kJ) Qkopi = mbk × Cpkopi × ∆T
(4.18)
Dalam hal ini m adalah massa biji kopi yang dipanaskan (kg), Cpkopi adalah panas spesifik kopi (kJ/kg.oC), dan ∆T adalah beda suhu lingkungan dan suhu biji kopi (oC) 4. Energi panas hilang (Qconv, kJ) Qconv = Areaktor × hconv × ∆T
(4.19)
Dalam hal ini Areaktor adalah luas selimut reaktor (m2), hconv adalah koefisien panas hilang (kJ/kg. oC ), dan ∆T adalah beda suhu lingkungan dan suhu reaktor (oC) 5. Energi untuk pompa sirkulasi pelarut (Qpump) Q pump = Ppump × . tleaching
(4.20)
Dalam hal ini Ppump adalah daya pompa sirkulasi (kW), dan tleaching adalah waktu proses pelarutan (jam)
49
i.4 Energi pelarutan aktual (Qleaching-aktual, kJ) Qleaching −aktual = mLPG −leaching × hLPG
(4.21)
Dalam hal ini mLPG-leaching adalah massa gas LPG yang dikonsumsi selama proses pelarutan (kg), dan h-LPG adalah kapasitas panas gas LPG (52 000 kJ/kg).
i.5 Efisiensi proses pengukusan (Eff-steaming) E ff − stea min g =
Qstea min g Qstea min g − aktual
×100%
(4.22)
i.6 Efisiensi proses pelarutan (Eff-leaching) E ff −leaching =
Qleaching Qleaching − aktual
×100%
(4.23)
Dalam hal ini Qsteaming adalah jumlah energi teoritis untuk proses pengukusan (kJ), Qleaching adalah jumlah energi teoritis untuk proses pelarutan (kJ), Qsteaming-aktual adalah jumlah energi aktual untuk proses pengukusan (kJ), Qleaching adalah jumlah energi aktual untuk proses pelarutan (kJ), Eff-steaming adalah efisiensi proses pengukusan (%), dan Eff-leaching adalah efisiensi proses pelarutan (%).
j. Penurunan kafein pada lapisan tipis biji kopi Analisis penurunan kafein juga dilakukan terhadap 5 lapis biji kopi yang diproses dengan menggunakan pelarut air. Proses dekafeinasi dilakukan terhadap biji kopi (green beans) Robusta tingkat mutu IV yang telah dikelompokkan dalam beberapa ukuran, dipisahkan dari kotoran dan benda asing lainnya. Dengan menggunakan mesin sortasi (Widyotomo & Mulato, 2005), biji kopi dikelompokkan dalam beberapa ukuran sebagai berikut ; A1) diameter (δ) lebih besar dari 7.5 mm; A2) diameter (δ) lebih besar dari 6.5 mm dan lebih kecil atau sama dengan 7.5 mm; A3) diameter (δ) lebih besar dari 5.5 mm dan lebih kecil atau sama dengan 6.5 mm; dan A4) diameter (δ) lebih besar dari dan sama dengan 5.5 mm. Ketebalan setiap lapisan terdiri dari 2-3 butir biji kopi. Proses diawali dengan tahapan pengukusan (steaming) biji kopi selama 1.5 jam agar diperoleh pengembangan biji yang maksimum, dan dilanjutkan dengan
50
pelarutan kafein dengan menggunakan air pada suhu 60oC, 70oC, 80oC, 90oC, dan 100oC. Proses pengukusan dan pelarutan dilakukan terhadap biji kopi yang telah dikelompokkan berdasarkan ukuran tertentu, yaitu A1, A2, A3 dan A4. Waktu proses berlangsung pada nilai n selama 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam, 6 jam, dan 7 jam. Pengamatan waktu pelarutan kafein dari dalam biji kopi dilakukan setiap interval 1 jam. Ulangan dari setiap perlakuan proses dilakukan sebanyak 3 kali. Perubahan kadar kafein dihitung per lapisan biji dan diplotkan dalam bentuk grafik.
Pengembangan Model Matematik Waktu (t-0,3) Dekafeinasi Biji Kopi Rangkaian kegiatan penelitian selanjutnya adalah pengembangan model matematis waktu proses dekafeinasi biji kopi Robusta dalam reaktor kolom tunggal
dengan
metode
pengurasan
(leaching).
Pengembangan
model
dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Peranian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Beberapa persamaan yang mendiskripsikan proses pelarutan kafein telah dilakukan oleh Welty et al. (2001), Hulbert et al. (1998), Udaya-Sankar et al. (1983), Bichsel (1979) dan Bird et al. (1960). Mekanisme pelarutan senyawa kafein dalam reaktor kolom tunggal merupakan proses pengurasan atau pengurasan (leaching) (Mulato et al., 2004) dan persamaan (3.14) dari Geankoplis (1983) dapat digunakan untuk memprediksi waktu pelarutan dengan metode pengurasan (leaching). Beberapa asumsi yang diambil dalam proses dekafeinasi biji kopi dalam reaktor kolom tunggal adalah sebagai berikut : a) Proses dekafeinasi diasumsikan terjadi dalam siklus tertutup tanpa adanya massa yang hilang. b) Pelarutan kafein berlangsung seragam (homogen) dalam setiap lapisan biji kopi. c) Biji kopi diasumsikan sebagai benda bulat sempurna sehingga pelarutan kafein di dalam biji kopi berlangsung seragam (homogen) dalam radius yang sama.
51
Waktu prediksi (t-prediksi) pelarutan kafein yang diperlukan untuk mencapai kadar kafein akhir 0.3% bk (t-0.3) dapat dijabarkan sebagai berikut : −1
A c − 0.3 t − prediksi = − k L . p . ln AS V c − 0 . 3 p A0
(4.24)
Pada persamaan (4.24), nilai koefisien laju perpindahan massa (kL) sangat dipengaruhi oleh nilai difusivitas kafein (Dk) sebagaimana dijabarkan dalam persamaan (3.22). Difusivitas senyawa kafein (Dk) merupakan variabel penting dalam proses pelarutan. Nilai difusivitas (Dk) dalam proses pelarutan kafein biji kopi menggunakan reaktor kolom tunggal merupakan fungsi suhu pelarut (T) dan konsentrasi pelarut (c). Diasumsikan bahwa tekanan dalam reaktor selama proses pelarutan berlangsung adalah tetap. Untuk menentukan nilai difusivitas (Dk) dapat dilakukan dengan menggunakan metode grafik sebagai berikut (Sutarsih et al., 2009): c A .Rg = a. exp(− k f .t )
(4.25)
ln .(c A .Rg ) = ln .a − (k f t )
(4.26)
Ploting rasio kadar kafein ln cA.Rg terhadap waktu (t) merupakan laju pelarutan kafein (kf). Karena nilai koefisien laju pelarutan kafein merupakan fungsi dari konsentrasi (c) dan suhu pelarut (T) yang secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : k f = f (konsentrasi pelarut , suhu pelarut ) k f = g . c a .e
( − Ea / R g .T )
(4.27)
Pengalian kf dengan (r2/π2) akan diperoleh nilai difusivitas (Dk). Dk =
r2
π2
.k f
(4.28)
Tahap selanjutnya adalah menentukan nilai konstanta dari persamaan (4.27) untuk dapat menentukan nilai laju penurunan kafein (kf) dan difusivitas (Dk) dalam biji kopi yang merupakan fungsi konsentrasi (c) dan suhu (T) pelarut dengan menggunakan data-data yang diperoleh dari proses dekafeinasi dengan pelarut asam asetat. Beberapa parameter input data yang digunakan pada model matematik yang akan dikembangkan adalah kadar kafein awal (cA0, % bk), kadar
52
kafein akhir (cA, % bk), suhu pelarut (T, oC), konsentrasi pelarut (c, % bk), dan rasio volume pelarut (Vp, m3) terhadap luas permukaan biji kopi (Ap, m2). Data kadar kafein yang diperoleh dari setiap perlakuan suhu dan konsentrasi pelarut dengan menggunakan pelarut asam asetat diplotkan dalam bentuk grafik sebagaimana dijabarkan dalam persamaan (4.25) dan (4.26). Untuk mendapatkan hubungan laju pelarutan kafein terhadap suhu dan konsentrasi pelarut secara simultan dilakukan dengan membentuk persamaan berpangkat. Analisis multi regresi dilakukan dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) untuk menentukan nilai konstanta pada variabel suhu dan konsentrasi. Setelah diperoleh nilai kf, maka dapat ditentukan nilai konstanta g, a dan Ea/Rg untuk menghasilkan persamaan (4.27). Berdasarkan analisis dimensional, nilai laju pelarutan (kf, menit-1) merupakan fungsi dari konsentrasi pelarut (c, %) dan suhu pelarut (T, K) jika persamaan (3.17) menggunakan konstanta g, a dan Ea/Rg dengan nilai tetapan yang diperoleh dari hasil analisis multi regresi pelarutan kafein dengan pelarut asam asetat. Parameter lain yang digunakan dalam proses perhitungan dan dicantumkan dalam batang tubuh program adalah suhu pelarut (T, oC), suhu lingkungan (Tl, o
C), volume pelarut (Vp, ℓ), massa biji kopi (mbk, kg), diameter biji kopi rata-rata
(δ, m), massa air (mair, kg), massa reaktor (mreaktor, kg), panas jenis reaktor (Cpreaktor,
kJ/kg.oC), luas selimut reaktor (Areaktor, m2), koefisien panas hilang dari
permukaan reaktor (hconv, kJ/kg.K), panas jenis air (Cp-air, kJ/kg.oC), panas jenis kopi (Cp-kopi, kJ/kg.oC), panas jenis pelarut (Cp-pelarut, kJ/kg.oC), panas jenis reaktor (Cpr, kJ/kg.oC), berat jenis pelarut (ρpelarut, kg/m3), panas laten penguapan air (hfgair,
kJ/kg), daya pompa (Qpump, kW), efisiensi proses pengukusan (ηsteaming, %), dan
efisiensi proses pengukusan (ηleaching, %). Keluaran (output) model matematik yang dikembangkan adalah waktu dekafeinasi (t, jam), energi pengukusan (Es, kW), energi pelarutan (Ep, kW) dan kurva laju penurunan kafein biji kopi. Model matematik yang dibangun dibuat dan ditampilkan dalam software program Visual Basic 6.0.
53
V p .dc A dt
Dk =
r2
π
2
= k L . Ap (c A0 − c A )
.k f =
r2
π2
kL =
.g .c a .e
( − Ea / Rg T )
Dk r
Gambar 21. Diagram alur penyusunan model matematik waktu pelarutan kafein
Prosedur pengukuran penurunan kadar kafein, waktu pelarutan kafein observasi (t-observasi) dan waktu pelarutan kafein prediksi (t-prediksi) dengan menggunakan pelarut asam asetat adalah sebagai berikut : Prosedur proses dekafeinasi (observasi) dengan pelarut asam asetat 1. Proses dekafeinasi dilakukan terhadap 6 kg biji kopi tanpa perlakuan pengelompokan ukuran biji (unsorted) 2. Biji kopi dimasukkan ke dalam kompartemen atas, dan air dimasukkan ke dalam kompartemen bawah reaktor kolom tunggal. 3. Kompor bertekanan (burner) berbahan bakar gas LPG dihidupkan untuk proses pengukusan 4. Biji kopi dikukus dengan uap air panas pada suhu 100oC selama 1.5 jam 5. Kompor bertekanan dimatikan, dan air dikeluarkan dari kompartemen bawah
54
6. Konsentrasi dan suhu pelarut asam asetat yang akan digunakan untuk pelarutan kafein ditentukan 7. Asam asetat dengan konsentrasi sesuai dengan perlakuan yang telah ditetapkan dimasukkan ke dalam kompartemen bawah 8. Kompor bertekanan dihidupkan untuk proses pelarutan sampai diperoleh suhu pelarut sesuai dengan perlakuan yang telah ditetapkan 9. Pompa sirkulasi dihidupkan, dan pelarut disirkulasikan ke dalam tumpukkan biji kopi secara kontinyu 10. Kadar kafein contoh biji kopi dihitung selama proses berlangsung dengan interval waktu pengambilan contoh selama 1 jam 11. Proses dekafeinasi dilanjutkan jika kadar kafein dalam contoh biji kopi masih lebih besar dari 0.3% bk 12. Proses dekafeinasi dihentikan jika kadar kafein dalam contoh biji kopi lebih kecil atau sama dengan 0.3% bk 13. Waktu pelarutan kafein observasi (t-observasi) ditentukan 14. Keluarkan biji kopi rendah kafein dari kompartemen atas setelah suhu reaktor mendekati suhu lingkungan 15. Asam asetat pasca proses dekafeinasi dikeluarkan dari kompartemen bawah 16. Langkah 1 sampai dengan 15 diulangi untuk perlakuan konsentrasi dan suhu asam asetat yang berbeda sesuai dengan perlakuan yang telah ditetapkan Prosedur proses dekafeinasi (prediksi) dengan pelarut asam asetat 1. Ditentukan nilai konsentrasi dan suhu asam asetat yang akan digunakan dalam perhitungan model matematik waktu pelarutan kafein 2. Nilai konsentrasi dan suhu asam asetat dimasukkan dalam model matematik waktu pelarutan kafein 3. Nilai laju pelarutan kafein (kf) dihitung dengan menggunakan persamaan (5.1) 4. Nilai difusivitas kafein (Dk) dihitung dengan menggunakan persamaan (5.2) 5. Nilai koefisien perpindahan massa kafein (kL) dihitung dengan menggunakan persamaan (3.22)
55
6. Nilai rasio (Ap/Vp) dihitung dengan menggunakan persamaan Ap/Vp (meter) = -3.3319d + 10.302, dalam hal ini d adalah diameter biji kopi (m) 7. Waktu pelarutan kafein prediksi (t-prediksi) ditentukan 8. Langkah 1 sampai dengan 7 diulangi untuk perlakuan konsentrasi dan suhu asam asetat yang berbeda sesuai dengan perlakuan yang telah ditetapkan
Validasi Model
Waktu pelarutan kafein prediksi (t-prediksi) yang diperoleh dari hasil perhitungan model yang dikembangkan dan kadar kafein yang diperoleh dari proses pelarutan test run divalidasi dengan cara membandingkannya dengan nilai prediksi. Validasi dilakukan dengan menghitung nilai koefisien determinasi (R2). Nilai koefisien determinasi (R2) berkisar antara 0 dan 1. Apabila nilai R2 mendekati 1 berarti keandalan data prediksi untuk menentukan waktu yang diperlukan dalam melarutkan senyawa kafein dari dalam biji kopi semakin baik, dan model yang telah dikembangkan dinyatakan valid. Validasi dilakukan dari data proses dekafeinasi biji kopi tanpa pemilahan (unsorted) dengan menggunakan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao. Tahapan validasi model matematik waktu pelarutan kafein observasi (tobservasi)
terhadap waktu pelarutan kafein prediksi (t-prediksi) dilakukan sebagai
berikut :
Waktu pelarutan kafein observasi (t-observasi) 1. Konsentrasi dan suhu pelarut yang akan digunakan untuk proses pelarutan kafein dalam reaktor kolom tunggal ditentukan 2. Proses dekafeinasi dilakukan terhadap 6 kg biji kopi Robusta tanpa perlakuan pengelompokan ukuran biji (unsorted) 3. Air dimasukkan ke dalam kompartemen bawah dan dipanaskan sampai suhu 100oC dengan kompor bertekanan (burner) 4. Biji kopi dikukus selama 1.5 jam dengan uap air panas pada suhu 100oC
56
5. Air panas segera dikeluarkan dari kompartemen bawah segera setelah proses pengukusan selesai 6. Pelarut dengan konsentrasi yang telah ditetapkan sesuai perlakuan dimasukkan ke dalam kompartemen bawah 7. Pelarut dipanaskan sampai suhu perlakuan yang telah ditetapkan 8. Pelarut disirkulasikan ke dalam tumpukan biji kopi dengan pompa sirkulasi 9. Kadar kafein contoh biji kopi dihitung selama proses dengan interval waktu pengambilan contoh selama 1 jam 10. Proses dekafeinasi dilanjutkan jika kadar kafein dalam contoh biji kopi masih lebih besar dari 0.3% bk 11. Proses dekafeinasi dihentikan jika kadar kafein dalam contoh biji kopi lebih kecil atau sama dengan 0.3% bk 12. Waktu pelarutan kafein observasi (t-observasi) ditentukan 13. Biji kopi dan pelarut dikeluarkan dari kompartemen atas dan bawah 14. Langkah 1 sampai dengan 13 diulangi untuk perlakuan konsentrasi dan suhu pelarut yang berbeda sesuai dengan perlakuan yang telah ditetapkan 15. Waktu pelarutan kafein observasi (t-observasi) dari setiap perlakuan dibandingkan dengan waktu pelarutan kafein prediksi (t-prediksi) hasil perhitungan dengan menggunakan model yang dikembangkan dalam bentuk grafik 16. Validasi model matematik waktu pelarutan kafein diketahui Waktu pelarutan kafein prediksi (t-prediksi) 1. Ditentukan nilai konsentrasi dan suhu pelarut yang akan digunakan dalam perhitungan model matematik waktu pelarutan kafein 2. Nilai konsentrasi dan suhu pelarut dimasukkan dalam model matematik waktu pelarutan kafein 3. Nilai laju pelarutan kafein (kf) dihitung dengan menggunakan persamaan (5.1) 4. Nilai difusivitas kafein (Dk) dihitung dengan menggunakan persamaan (5.2) 5. Nilai koefisien perpindahan massa kafein (kL) dihitung dengan menggunakan persamaan (3.22)
57
6. Nilai rasio (Ap/Vp) dihitung dengan menggunakan persamaan Ap/Vp (meter) = -3.3319d + 10.302, dalam hal ini d adalah diameter biji kopi (m) 7. Waktu pelarutan kafein prediksi (t-prediksi) ditentukan 8. Waktu pelarutan kafein prediksi (t-prediksi) dibandingkan dengan waktu pelarutan kafein observasi (t-observasi) dalam bentuk grafik 9. Validasi model matematik waktu pelarutan kafein diketahui
Gambar 22. Diagram alur validasi model matematik waktu pelarutan kafein Optimasi Laju Pelarutan dengan Response Surface Methodology Tujuan tahap ini adalah menentukan kondisi optimum waktu proses dekafeinasi biji kopi Robusta dalam reaktor kolom tunggal berdasarkan laju pelarutan kafein yang maksimum. Kondisi optimum proses ditentukan dengan menggunakan software Response Surface Methodology (RSM) Echip versi 6.0. Disain variabel yang digunakan adalah suhu pelarut antara 50-100oC, dan konsentrasi pelarut antara 10-100% (v/v). Parameter response yang digunakan adalah laju pelarutan kafein (%bk/jam), dan waktu observasi (t-obserasi) pelarutan kafein sampai diperoleh kadar kafein dalam biji kopi minimum 0.3% bk. Keluaran
58
yang dihasilkan adalah diperolehnya waktu proses dekafeinasi biji kopi Robusta dalam reaktor kolom tunggal yang optimum pada laju pelarutan kafein yang maksimum (%bk/jam). Dari laju pelarutan kafein yang maksimum akan diperoleh kondisi operasional suhu dan konsentrasi pelarut terbaik. Berdasarkan kondisi optimum tersebut, maka dari hasil uji cita rasa seduhan kopi rendah kafein akan diperoleh mutu seduhan kopinya, antara lain nilai aroma, flavor, body, bitterness, dan finish appreciation.
HASIL DAN PEMBAHASAN Limbah Cair Fermentasi Biji Kakao dan Pelarut Tersier Pulpa Kakao
Limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao merupakan dua jenis pelarut yang akan digunakan untuk validasi model matematik yang telah dikembangkan, dan optimasi proses dekafeinasi biji kopi Robusta dalam reaktor kolom tunggal. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa limbah cair fermentasi biji kakao mengandung senyawa asam asetat sebesar 1.32% (v/v), sedangkan pelarut tersier pulpa kakao mengandung senyawa etanol dan asam asetat masing-masing sebesar 1.63% (v/v) dan 0.22% (v/v). Limbah cair fermentasi biji kakao yang dihasilkan dalam satu siklus proses sebanyak 15-18% (b/b), sedangkan pelarut tersier yang dihasilkan sebanyak 6567% (b/b) (Widyotomo et al., 2011). Limbah cair hasil fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao ditampilkan pada Gambar 23. Proses fermentasi pulpa kakao telah dikembangkan dengan metode batch sederhana. Kendala yang dihadapi adalah proses pemisahan komponen serat halus dari pelarut tersier pulpa kakao. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serat halus yang dihasilkan dari proses fermentasi pulpa kakao antara 7 - 13% (b/b), dan pelarut tersier yang sulit dipisahkan secara manual dalam serat halus sebesar 11 21% (b/b) (Widyotomo et al., 2011).
(a)
(b)
Gambar 23. (a) Limbah cair fermentasi biji kakao, dan (b) Pelarut tersier pulpa kakao
60
Karakteristik Proses Dekafeinasi Biji Kopi Robusta Dalam Reaktor Kolom Tunggal Biji kopi Robusta yang digunakan sebagai bahan utama proses dekafeinasi dalam reaktor kolom tunggal adalah biji kopi kering hasil pengolahan kering (dry process). Biji kopi dikeringkan dengan metode kombinasi, yaitu tahap awal dengan cara penjemuran sampai diperoleh rerata kadar air 25% b.b, dan proses pengeringan dilanjutkan dengan pengering mekanis sampai diperoleh kadar air 13-14% b.b. Analisis fisik dan kimia dilakukan pada biji kopi dan kopi bubuk non dekafeinasi dan hasilnya ditampilkan pada Tabel 1. Densitas kamba biji kopi dan kopi bubuk dalam penelitian ini masingmasing berkisar antara 703-757 kg/m3 dan 350-420 kg/m3. Hal yang sama dilaporkan oleh Mulato (2002), Yusianto (2003) dan Widyotomo et al. (2010). Bersamaan dengan proses penguapan air selama proses penyangraian, beberapa senyawa volatil yang terkandung di dalam biji kopi ikut teruapkan. Peristiwa tersebut ditandai dengan penurunan kerapatan curah sebagai akibat dari perubahan fisik biji kopi sehingga berat per satuan volume menjadi lebih kecil (Sivetz & Foote, 1963; Sivetz & Desroiser, 1979; Illy & Viani, 1998). Kadar kafein kopi biji dan kopi bubuk masing-masing 2.28% b.k dan 2.2% b.k. Clifford (1985), Wilbaux (1963) dan Spiller (1999) melaporkan bahwa kafein yang terkandung di dalam biji kopi kering Robusta berkisar 1.16-3.27% b.k, sedangkan kafein yang terkandung di dalam biji kopi sangrai sebesar 2% b.k. Analisis nilai pH menunjukkan bahwa pH seduhan kopi bubuk lebih rendah jika dibandingkan nilai pH biji kopi. Proses penyangraian mengakibatkan terjadinya degradasi pada komponen-komponen biji kopi yang menghasilkan senyawa-senyawa asam (Mulato, 2002). Selama proses penyangraian, senyawa volatil akan teruapkan karena memiliki titik didih yang jauh lebih rendah daripada suhu penyangraian. Hal tersebut berakibat pada bertambahnya sejumlah ion H+ bebas di dalam seduhan (Sivetz & Desrosier, 1979; Clifford, 1985; Vincent, 1987; 1989). Nilai uji sensoris kopi Robusta menunjukkan nilai aroma, flavor, bitterness, bodi dan finish appreciation masing-masing 3.5. Hal tersebut menunjukkan bahwa biji kopi Robusta yang digunakan dalam penelitian ini
61
memiliki mutu seduhan antara medium-high dan dengan apresiasi akhir (finish appreciation) yang masih dapat diterima (acceptable) oleh konsumen.
Tabel 1. Sifat fisik dan kimia biji kopi dan bubuk kopi No.
Parameter
Satuan
Kopi biji
Kopi bubuk
1.
Kadar air
% b.b
13 - 14
2-3
2.
Densitas kamba
Kg/m3
703 - 757
350 - 420
3
3.
Volume
m /biji
6.55×10-8 – 2.21×10-7
-
4.
Luas area
m2/biji
7.85×10-5 – 1.77×10-4
-
5.
Distribusi diameter (d) biji
5.a
d < 5.5 mm
%
5.3
-
5.b
5.5 < d < 6.5 mm
%
26.9
-
5.c
6.5 < d < 7.5 mm
%
55.8
-
5.d
d > 7.5 mm
%
12
-
5.
Kafein
2.28
2.2
6.
pH
5.6
4.5
% b.k
A. Sifat fisik biji kopi pascapengukusan Pengukusan merupakan tahap awal proses dekafeinasi biji kopi dalam reaktor kolom tunggal yang bertujuan untuk mengembangkan pori-pori biji sehingga proses pelarutan kafein akan berlangsung lebih maksimum (Ensminger et al., 1994; Mulato et al., 2004; Widyotomo et al., 2010). Sumber panas kompor bertekanan (burner) berbahan bakar gas (LPG) yang digunakan mampu menyediakan energi panas untuk meningkatkan suhu air sampai mencapai titik didihnya. Uap air bebas (vaporization) bergerak cepat dan menembus tumpukan dan memanaskan permukaan biji kopi. Rambatan uap panas tersebut menyebabkan ukuran sel-sel bertambah besar dan sekaligus mengakibatkan meningkatnya porositas antar sel. Pori-pori jaringan kopi menjadi terbuka dan dimanfaatkan oleh air masuk ke dalamnya secara difusi (Mulato et al., 2004; Illi & Viani, 1998). Molekul air terperangkap di dalam sel sehingga kadar air biji kopi meningkat dan mencapai kondisi serapan maksimum dan tidak ada lagi ruang kosong yang dapat diisi air. Pada kondisi tersebut pengembangan biji telah
62
mencapai nilai maksimum, dan biji kopi telah mengalami proses pembasahan ulang (rewetting) (Mulato et al., 2004; Sivetz & Desroiser, 1979). Persentase pengembangan dimensi biji kopi yang terdiri dari ukuran panjang, lebar dan tebal ditampilkan pada Gambar 24. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase pengembangan panjang biji tertinggi 9.6% terjadi pada biji kopi dalam klasifikasi A4 (lebih kecil atau sama dengan 5.5 mm), sedangkan terendah 8.6% terjadi pada biji kopi dalam klasifikasi A1 (lebih besar dari 7.5 mm) (Gambar 24.A). Persentase pengembangan lebar biji tertinggi 13.2% terjadi pada biji kopi dalam klasifikasi A4, sedangkan terendah 12.2% terjadi pada biji kopi dalam klasifikasi A1 (Gambar 24.B). Persentase pengembangan tebal biji tertinggi 20.7% juga terjadi pada biji kopi dalam klasifikasi A4, sedangkan terrendah 18.2% terjadi pada biji kopi dalam klasifikasi A1 (Gambar 24.C). Dalam satu jam proses pengukusan biji kopi, ekspansi sel-sel biji hanya meningkat sebanyak 30% dari volume awal, dan mencapai nilai maksimum 3435% setelah proses pengukusan berlangsung selama 2 jam. Diduga fenomena tersebut terkait dengan ukuran dan jumlah sel-sel penyusun yang ada di dalam biji kopi (Mulato et al., 2004; Toledo, 1999). Pemanasan lanjut tidak menyebabkan biji pecah dan tidak menambah persentase pengembangan panjang, lebar maupun tebal biji. Diduga keberadaan air di dalam sel menyebabkan dinding-dinding sel bersifat ulet sehingga mampu bertahan dari akumulasi tekanan uap air dan gas senyawa volatil yang ada di dalamnya. Laju peningkatan kadar air biji selama proses pengukusan ditampilkan pada Gambar 25. Biji kopi memiliki kadar air awal antara 13-14% dan meningkat menjadi 35% setelah proses pengukusan berlangsung selama 30 menit. Peningkatan kadar air selanjutnya berlangsung relatif lambat dan satu jam kemudian baru mencapai nilai maksimum 55.5%. Fenomena tersebut berkaitan dengan kecepatan rambat uap air ke dalam jaringan sel biji semakin rendah. Makin tinggi kadar air dalam biji kopi, maka kecepatan rambat uap air akan menurun karena perbedaan konsentrasi air yang semakin rendah antara permukaan dan di dalam biji kopi.
63
12 Pengembangan panjang, % ..........
A1
A2
A3
A4
A
10
8
6
4
2
0 0
1
2
3
4
5
Lama pengukusan, jam
16 A1
A2
A3
A4
B
Pengembangan lebar, %..........
14 12 10 8 6 4 2 0 0
1
2
3
4
5
Lama pengukusan, jam
25
Pengembangan tebal, %.........
A1
A2
A3
A4
C
20
15
10
5
0 0
1
2
3
4
5
Lama pengukusan, jam
Keterangan : A1 = lebih besar dari 7.5 mm; A2 = antara 6.5 mm dan 7.5 mm; A3= antara 5.5 mm dan 65 mm dan A4 = lebih kecil dari 5.5 mm
Gambar 24. Pengembangan (A) panjang, (B) lebar, dan (C) tebal biji selama proses pengukusan
64
Kadar air di dalam biji kopi mencapai nilai maksimum 55.5% bb setelah proses pengukusan berlangsung selama 1.5 jam. Pada kondisi tersebut biji kopi telah mengalami proses pembasahan ulang dengan kadar air mendekati keadaan semula saat biji kopi segar baru saja dipanen (Sivetz & Desroiser, 1979). Hasil analisis penggal garis pada rentang waktu (t) 0-1.5 jam menunjukkan laju peningkatan kadar air mengikuti persamaan y = -19x2 + 57.1x +12.55 dengan nilai koefisien determinasi (R2) 0.9964. Setelah proses pengukusan berlangsung selama 1.5 jam, hasil pengukuran menunjukkan bahwa kadar air dalam biji tidak meningkat secara signifikan. Proses pengukusan yang lebih lama, 2-4 jam tidak akan memberikan perubahan kadar air yang signifikan sehingga akan memberikan dampak inefisiensi jika diterapkan karena diperlukan energi lebih banyak. Pengukusan 1 kg biji kopi dalam reaktor kolom tunggal dengan kapasitas ketel 5 liter air akan diperoleh kadar air maksimum 65-67% setelah proses berlangsung selama 2 jam (Mulato et al., 2004). Ukuran biji kopi tidak berpengaruh nyata terhadap laju peningkatan kadar air di dalam biji selama proses pengukusan. 60
Kadar air, % .....
50
40
30
20
Ka-observasi
10
Ka-prediksi
0 0
1
2
3
4
Waktu pengukusan, jam
Gambar 25. Peningkatan kadar air biji selama proses pengukusan Perubahan diameter aritmatik (da) dan diameter geometrik (dg) biji kopi selama proses pengukusan ditampilkan pada Gambar 26. Proses pengukusan berpengaruh terhadap perubahan diameter aritmatik biji kopi. Pengembangan
65
jaringan sel-sel di dalam biji kopi menyebabkan peningkatan kadar air dan terjadi pengembangan dimensi biji mendekati kondisi segar. Diameter aritmatik biji kopi pasca pengukusan meningkat antara 8-13%. Diameter aritmatik tertinggi 8.5 mm terjadi pada biji kopi dengan klasifikasi ukuran A1, sedangkan diameter aritmatik terrendah 7.9 mm terjadi pada biji kopi dengan klasifikasi ukuran A2. Chandrasekar & Viswanathan (1999) melaporkan bahwa pada kadar air biji kopi Robusta berkulit cangkang antara 24-30% diperoleh nilai diameter aritmatik 8 mm. Diameter geometrik biji kopi pascapengukusan mengalami peningkatan 918%. Diameter geometrik tertinggi 8.3 mm terjadi pada biji kopi dengan klasifikasi ukuran A1, sedangkan diameter geometrik terrendah 7.7 mm terjadi pada biji kopi dengan klasifikasi ukuran A4. Chandrasekar & Viswanathan (1999) melaporkan bahwa pada kadar air biji kopi Robusta berkulit cangkang antara 2430% diperoleh nilai diameter geometrik 7.6 mm. Perubahan ukuran diameter aritmatik dan geometrik yang relatif kecil menunjukkan bahwa pengembangan biji terjadi merata ke arah tiga sisi, yaitu panjang, lebar dan tebal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengukusan mengakibatkan biji mengalami pengembangan karena menyerap uap air, dan diameter biji relatif mendekati ukuran biji kopi berkulit cangkang pada kadar air 24-30%. Diameter aritmatik dan geometrik yang relatif tetap setelah proses pengukusan berlangsung 1 jam menunjukkan bahwa biji kopi mulai mengalami pengembangan dengan penyerapan uap air yang maksimum. Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
proses
pengukusan
tidak
mengakibatkan terjadinya perubahan yang nyata dari nilai sperisitas biji kopi (Gambar 27). Hal ini menunjukkan bahwa pascapengukusan biji kopi tetap memiliki bentuk yang sama jika dibandingkan dengan bentuk sebelum pengukusan karena pengembangan dimensi biji yang seragam. Perubahan luas permukaan biji kopi selama proses pengukusan ditampilkan pada Gambar 27. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas permukaan biji kopi pasca pengukusan meningkat 18-37%. Penambahan luas permukaan tercepat terjadi setelah 0.5 jam proses pengukusan berlangsung, yaitu 10-21%. Proses pengukusan yang lebih lama menyebabkan proses penambahan
66
luas permukaan berlangsung lambat dan mencapai titik maksimal setelah proses pengukusan berlangsung selama 1.5 jam. Pascapengukusan volume biji kopi dapat meningkat 34-35%.
9
Diameter aritmatik, mm...........
A 8,5
8
7,5
7
6,5
A1
A2
A3
A4
6 0
1
2
3
4
5
Lama pengukusan, jam
8,5
Diameter geometrik, mm... .....
B 8
7,5
7
6,5 A1
A2
A3
A4
6 0
1
2
3
4
5
Lama pengukusan, jam
Keterangan : A1 = lebih besar dari 7.5 mm; A2 = antara 6.5 mm dan 7.5 mm; A3= antara 5.5 mm dan 6.5 mm dan A4 = lebih kecil dari 5.5 mm
Gambar 26. Perubahan (A) diameter aritmatik, dan (B) geometrik biji selama proses pengukusan
67
1,2 1,15
Sperisitas, %....
1,1 1,05 1
A1
A2
A3
A4
0,95 0,9 0,85 0,8 0
1
2
3
4
5
Lama pengukusan, jam
Keterangan : A1 = lebih besar dari 7.5 mm; A2 = antara 6.5 mm dan 7.5 mm; A3= antara 5.5 mm dan 6.5 mm dan A4 = lebih kecil dari 5.5 mm
Gambar 27. Perubahan sperisitas biji kopi selama proses pengukusan
Pengukusan lanjut tidak berdampak pada peningkatan kadar air yang signifikan sehingga akan lebih berdampak pada penurunan efisiensi proses. Mulato et al. (2004) melaporkan bahwa berdasarkan uji statistik, interaksi waktu pengukusan dan ukuran biji kopi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap peningkatan volume biji kopi. Uap air yang masuk ke dalam jaringan atau pori-pori biji telah mencapai titik jenuh, dan elastisitas biji yang menyebabkan biji tidak pecah pada kondisi pengembangan maksimum. Nilai densitas kamba biji kopi pasca pengukusan mengalami perubahan 78% (Gambar 28). Biji kopi selama proses pengukusan mengalami peningkatan dimensi dan massa karena proses pengembangan biji akibat perlakuan panas dan masuknya uap air ke dalam pori-pori biji. Setelah proses pengukusan berlangsung selama 1 jam pertama, peningkatan densitas kamba biji kopi berlangsung relatif lambat dan mencapai nilai maksimum setelah proses pengukusan berlangsung selama 1.5 jam. Chandrasekar & Viswanathan (1999) melaporkan bahwa pada kadar air biji kopi Robusta berkulit cangkang antara 24-30% diperoleh nilai densitas kamba 490-520 kg/m3.
68
Perlakuan tekanan pada tahap pengukusan berdampak pada lama proses dan suhu pengukusan. Semakin tinggi tekanan yang dikenakan dalam proses, maka lama pengukusan relatif akan semakin cepat dan proses dapat dilakukan pada suhu yang lebih rendah. Selain itu, tekanan proses akan berpengaruh terhadap cita rasa mutu kopi rendah kafein yang dihasilkan. Pengembangan volume biji maksimum akan terjadi pada suhu yang relatif lebih rendah dan beberapa senyawa yang berpengaruh terhadap cita rasa relatif tidak banyak yang terikut dalam proses pelarutan kafein keluar dari matrik padatan biji kopi. 240
A
2...
... Luas permukaan, mm
220 200 180 160 140 120
A1
A2
A3
A4
100 0
1
2
3
4
5
Lama pengukusan, jam
400
300
3
/biji ... Volume biji, mm
B
200
100 A1
A2
A3
A4
0 0
1
2
3
4
5
Waktu pengukusan, jam
Keterangan : A1 = lebih besar dari 7.5 mm; A2 = antara 6.5 mm dan 7.5 mm; A3= antara 5.5 mm dan 6.5 mm dan A4 = lebih kecil dari 5.5 mm
Gambar 28. Perubahan (A) luas permukaan biji, dan (B) volume biji selama proses pengukusan
69
750
3
......... Densitas kamba, kg/m
800
700
650 A1
A2
A3
A4
600 0
1
2
3
4
5
Lama pengukusan, jam
Keterangan : A1 = lebih besar dari 7.5 mm; A2 = antara 6.5 mm dan 7.5 mm; A3= antara 5.5 mm dan 6.5 mm dan A4 = lebih kecil dari 5.5 mm
Gambar 29. Perubahan densitas kamba biji selama proses pengukusan B. Laju penurunan kafein pada lapisan tipis biji kopi Laju pelarutan senyawa kafein dari dalam biji pada lapisan tipis dengan pelarut air ditampilkan pada Gambar 31 dan Lampiran 1. Secara umum, senyawa kafein dalam biji kopi terlarut dalam air secara bertahap mengikuti persamaan sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2. Laju pelarutan senyawa kafein lebih cepat pada suhu pelarut yang lebih tinggi dan perbedaan kadar kafein per lapis biji kopi semakin kecil. Kafein yang diisolasi dengan metode ekstraksi, kondisi suhu pelarut akan mempengaruhi efisiensi ekstraksi kafein (Perva et al., 2006). Pelarutan senyawa kafein biji kopi klasifikasi ukuran A1 dengan pelarut air pada suhu 60oC berlangsung relatif seragam pada kisaran perubahan 0.2-0.24% per jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada klasifikasi ukuran biji yang sama, suhu yang relatif tinggi juga memberikan kisaran perubahan yang relatif seragam yaitu 0.28-0.3% per jam. Pada biji kopi dengan klasifikasi ukuran A4, perubahan kadar kafein pada perlakuan suhu pelarut 60oC dan 100oC masingmasing sebesar 0.22-0.3% per jam dan 0.2-0.32% per jam. Laju perpindahan massa kafein keluar dari lapisan biji kopi akan semakin tinggi dengan semakin
70
kecil ukuran bahan karena luas bidang kontak antara padatan dan pelarut akan semakin besar, dan jalur difusinya menjadi semakin pendek (Widyotomo et al., 2009; Mulato et al., 2004; Kirk-Othmer, 1998). Persamaan regresi yang terbentuk dari laju penurunan kafein dari lapisan tipis sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2 dapat digunakan untuk memprediksi kadar kafein biji kopi pada waktu tertentu selama proses pelarutan (7 jam) dengan menggunakan pelarut air. 2,5
1
2
3
4
5
Kada kafein, %bk ......
2
1,5
1
0,5
0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Waktu pelarutan, jam
Keterangan : A1 = lebih besar dari 7.5 mm; A2 = antara 6.5 mm dan 7.5 mm; A3= antara 5.5 mm dan 6.5 mm dan A4 = lebih kecil dari 5.5 mm
Gambar 30. Penurunan kadar kafein dari 5 lapis tipis biji kopi dengan pelarut air
71
Tabel 2. Persamaan regresi laju pelarutan kafein per lapis tipis dengan pelarut air*) Ukuran biji A1 A2 A3 A4 Persamaan R2 Persamaan R2 Persamaan R2 Persamaan Suhu 60oC 5 4 3 2 1
y=-0.0214x20.0929x+2.4 y=-0.0321x20.0264x+2.28 y=-0.0214x20.1043x+2.34 y=-0.0304x20.0475x+2.21 y=-0.0125x20.1496x+2.23
0.9085 0.9869 0.9613 0.9752 0.9818
y=-0.0161x20.1561x+2.39 y=-0.0107x20.2021x+2.42 y=-0.0161x20.1332x+2.21 y=-0.0089x20.2061x+2.29 y=-0.0071x20.2014x+2.18
0.9784
y=-0.025x20.1079x+2.34 y=-0.0125x20.1982x+2.35 y=-0.0107x20.2021x+2.32 y=-0.0089x20.3311x+2.39 y=-0.2571x+ 2.2
0.9828
0.9952 0.9872 0.9937 0.9954
y=-0,0089x20.2289x+2.47 y=-0.0125x20.3675x+2.53 y=-0.0036x20.2936x+2.34 y=-0.0214x20.4214x+2.4 y=-0.0286x20.4743x+2.46
0.9841
y=-0.0196x20.1425x+2.23 y=-0.0125x20.3704x+2.39 y=-0.0214x20.4443x+2.48 y=-0.0357x20.5529x+2.56 y=-0.0339x20.5261x+2.41
0.9809
y=-0.0036x20.275x+2.4 y=-0.0143x20.3743x+2.36 y=-0.0054x20.2975x+2.11 y=-0.0304x20.5039x+2.37 y=-0.0196x20.3975x+2.11
0.9919
y=0.0214x20.4557x+2.62 y=0.0232x20.4768x+2.55 y=0.025x20.4521x+2.32 y=0.0125x20.3304x+1.95 y=0.0125x20.3246x+1.83
0.9867
0.9749 0.9764 0.9786 0.9809
R2
y=-0.0024x20.3018x+2.4628 y=0.0036x20.3221x+2.34 y=-0.0054x20.2425x+2.13 y=0.0089x20.3511x+2.21 y=-0.0018x20.2189x+1.81
0.9997
y=0.0062x20.3309x+2.405 y=-0.0018x20.2989x+2.29 y=-0.0107x20.1936x+1.94 y=-0.0036x20.2464x+1.9 y=-0.0071x20.1929x+1.7
0.9745
0.9824 0.9670 0.9555 0.8942
Suhu 70oC 5 4 3 2 1
y=-0.025x20.105x+2.38 y=-0.0196x20.1354x+2.38 y=-0.0321x20.0521x+2.22 y=-0.0071x20.1786x+2.2 y=-0.0125x20.3104x+2.33
0.9601 0.9463 0.9772 0.9816 0.9580
0.9870 0.9952 0.9937 0.9806
0.9843 0.9857 0.9760 0.9566
0.9936 0.9895 0.9858 0.9330
Suhu 80oC 5 4 3 2 1
y=-0.0161x20.1561x+2.39 y=-0.0134x20.1848x+2.425 y=-0.0143x20.1771x+2.32 y=-0.0107x20.3321x+2.4 y=-0.0161x20.3568x+2.38
0.9784 0.9619 0.9737 0.9843 0.9770
y=-0.0089x20.2318x+2.43 y=-0.0054x20.3346x+2.49 y=-0.0054x20.3261x+2.41 y=-0.0125x20.3532x+2.33 y=-0.0196x20.3804x+2.25
0.9936
y=-0.0089x20.2061x+2.29 y=-0.0089x20.3596x+2.49 y=-0.0089x20.2089x+2.15 y=-0.0063x20.2937x+2.125 y=-0.0036x20.2064x+1.86
0.9937
0.9786 0.9887 0.9788 0.9616
0.9931 0.9909 0.9918 0.9748
y=0.0071x20.3443x+2.38 y=0.0054x20.3518x+2.35 y=0.0009x20.2791x+2.005 y=-0.0054x20.2054x+1.75 y=0.0107x20.3007x+1.74
0.9929 0.9940 0.9855 0.9611 0.9581
Suhu 90oC 5 4 3 2 1
y=-0.0089x20.2318x+2.43 y=-0.0071x20.2286x+2.35 y=-0.0125x20.2054x+2.3 y=-0.0089x20.2061x+2.19 y=-0.25719x +2.2
0.9936 0.9912 0.9965 0.9937 0.9806
0.984 0.9728 0.959 0.9488
0.9974 0.9994 0.9716 0.9818
y=0.0018x20.3154x+2.31 y=-0.0089x20.2518x+2.15 y=-0.0161x20.1304x+1.65 y=0.0036x20.2779x+1.81 y=0.0223x20.3834x+1.795
0.9828 0.9990 0.9875 0.9801 0.9383
Suhu 100oC y=-4E16x20.9895 y=-0.0107x20.9831 y=0.0143x20.9874 y=0.0937x20.2829x+2.44 0.205x+2.28 0.4029x+2.46 0.932x+2.765 4 y=-0.0098x20.9870 y=-0.0054x20.9797 y=0.0179x20.9991 y=0.0714x20.333x+2.375 0.2368x+2.21 0.425x+2.4 0.7643x+2.45 3 y=-0.0089x20.9937 y=-0.0027x20.9461 y=1E-16x20.9802 y=0.0473x20.3311x+2.29 0.2887x+2.195 0.2343x+1.82 0.5598x+2.025 2 y=-0.0107x20.9796 y=-0.0098x20.9479 y=0.0009x20.9662 y=0.0536x20.3336x+2.28 0.2973x+2.025 0.2463x+1.765 0.6007x+2.04 1 y=-0.0107x20.9601 y=-0.017x20.9356 y=0.0179x20.9440 y=0.0464x20.1793x+2.02 0.0855x+1.565 0.3479x+1.78 0.5193x+1.78 Keterangan : *) untuk rentang waktu 7 jam proses pelarutan y adalah perubahan kadar kafein lapisan ke-n (% bk), dan x adalah waktu pelarutan (jam) 5
0.9220 0.9630 0.9385 0.9649 0.9583
72
C. Karakteristik pelarutan kafein dengan pelarut asam asetat Proses pelarutan senyawa kafein dari biji kopi diawali oleh pemecahan ikatan senyawa kompleks kafein akibat perlakuan panas. Senyawa kafein menjadi bebas dengan ukuran yang lebih kecil, mudah bergerak, mudah berdifusi melalui dinding sel, dan selanjutnya ikut terlarut dalam pelarut. Kafein yang terdapat di dalam sitoplasma dalam keadaan bebas (Sivetz & Desroiser, 1979), sedang selebihnya terdapat dalam kondisi terikat sebagai senyawa alkaloid dalam bentuk senyawa garam komplek kalium klorogenat dengan ikatan ionik (Clifford, 1985b). Ikatan kompleks ini menyebabkan kafein tidak dapat bergerak bebas di dalam jaringan biji kopi (Baumann et al., 1993; Horman & Viani, 1971) sehingga energi panas dapat menyebabkan ikatan tersebut terputus dan mudah larut. Penurunan kadar kafein dalam biji kopi dengan pelarut air dan beberapa konsentrasi pelarut asam asetat pada suhu pelarut 50oC dalam reaktor kolom tunggal ditampilkan pada Gambar 31, sedangkan suhu pelarut 60oC, 70oC, 80oC, 90oC dan 100oC ditampilkan pada Lampiran 2 dan 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan semakin tinggi suhu dan konsentrasi pelarut, maka laju pelarutan kafein semakin tinggi. Gambar 31 menunjukkan bahwa kadar kafein dalam biji kopi yang semula 2.28% b.k turun cepat menjadi 0.6-1.4% b.k setelah proses pelarutan berlangsung 2 jam. Setelah itu, penurunan kadar kafein berlangsung relatif lambat dan mencapai 0.3% bk pada selang waktu pelarutan 2-9 jam tergantung suhu dan konsentrasi pelarut (Lampiran 2 dan 3). Fenomena tersebut berkaitan dengan kecepatan rambat kafein di dalam jaringan sel biji. Makin rendah kandungan kafein dalam biji kopi, maka kecepatan pelarutan kafein akan menurun karena posisi molekul kafein terletak makin jauh dari permukaan biji kopi. Pada perlakuan suhu pelarut 50oC, kadar kafein 0.3% bk diperoleh setelah proses pelarutan berlangsung selama 8 jam dengan menggunakan konsentrasi pelarut 100%, dan 10 jam jika menggunakan konsentrasi pelarut 10%. Pada perlakuan suhu pelarut 100oC, kadar kafein 0.3% bk diperoleh setelah proses pelarutan berlangsung selama 4 jam dengan menggunakan konsentrasi pelarut 100%, dan 7 jam jika menggunakan konsentrasi pelarut 10%. Charley & Weaver
73
(1998) melaporkan bahwa kopi dapat dikatakan sebagai kopi rendah kafein (decaffeinated coffee) jika mengandung kafein maksimum 0.3% b.k. Perubahan fisik biji kopi selama pengukusan merupakan langkah awal proses pelunakan jaringan di dalam biji kopi, dan menjauhnya jarak antar sel. Kondisi tersebut mempermudah molekul pelarut berdifusi ke dalam biji kopi, dan mempercepat pelarutan senyawa kafeinnya (Ensminger et al., 1995). Jumlah senyawa kafein yang dapat diekstrak dari biji kopi tergantung pada lama ekstraksi, suhu dan konsentrasi pelarut (Widyotomo et al., 2009; Mulato et al., 2004; Jaganyi & Prince, 1999; Kirk-Othmer, 1998). 2,5 0%
10%
30%
50%
80%
100%
Kadar kafein, %bk ......
2
1,5
1
0,5
0 0
2
4
6
8
10
12
Waktu pelarutan, jam
Gambar 31. Penurunan kadar kafein dalam biji kopi dari beberapa perlakuan konsentrasi pelarut asam asetat dengan suhu pelarut 50oC D. Energi proses dekafeinasi dengan pelarut asam asetat Proses dekafeinasi biji kopi dalam reaktor kolom tunggal terdiri dari dua tahapan proses. Tahap pertama adalah pengembangan volume biji kopi dengan proses pengukusan (steaming). Tahap kedua adalah proses pelarutan kafein dari dalam biji kopi dengan metode pengurasan (leaching). Energi panas merupakan faktor utama yang sangat menentukan laju peningkatan volume biji dan pelarutan kafein pada proses dekafeinasi biji kopi dalam reaktor kolom tunggal. Proses dekafeinasi akan berlangsung efisien jika energi panas yang dihasilkan oleh sumber panas, yaitu kompor bertekanan (burner) berbahan bakar LPG tesedia dalam jumlah yang cukup dan dapat diserap secara maksimum.
74
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai efisiensi panas pada proses dekafeinasi biji kopi dalam reaktor kolom tunggal berkisar antara 63-77% tergantung pada suhu pelarut dan lama proses dekafeinasi (Lampiran 4). Dengan semakin tinggi suhu pelarut, maka eneji panas yang harus dibangkitkan oleh sumber panas harus semakin tinggi. Namun demikian, dengan semakin tinggi energi panas yang dibangkitkan, efisiensi panas dari proses dekafeinasi semakin menurun (Gambar 32). Hal tersebut menunjukkan bahwa perpindahan panas yang berlangsung lebih lambat pada suhu yang rendah akan berdampak pada pemanfaatan panas yang lebih efisien. Pada proses pengukusan, suhu air meningkat secara perlahan, mengubah fase cair menjadi fase uap, bersentuhan dengan permukaan biji, masuk ke dalam pori-pori biji dan mengembangkan biji dengan interval yang relatif tetap per satuan waktu. Hal sebaliknya terjadi pada proses pemanasan dengan menggunakan suhu yang lebih tinggi. Pada tahap awal, energi panas yang dibangkitkan oleh sumber panas dapat dimanfaatkan secara maksimum. Namun pada saat suhu biji mendekati suhu air (proses pengukusan) dan suhu pelarut (proses pelarutan), maka penyerapan energi panas akan berlangsung relatif lambat sehingga energi panas yang tersedia tidak termanfaat secara maksimal. Selain itu, energi panas yang hilang akan lebih besar dengan semakin tinggi suhu permukaan reaktor kolom tunggal. Untuk meningkatkan efisiensi proses dapat dilakukan dengan menginsulasi permukaan ekstraktor dan pengendalian pembakaran LPG dalam burner bertekanan pada saat kadar air biji kopi telah mendekati kejenuhan dan pengendalian proses agar berlangsung pada suhu pelarut yang tepat. Laju pembakaran dikendalikan dengan mempertahankan debit bahan bakar pada suhu proses yang telah ditetapkan. Penggunaan burner bertekanan dengan bahan bakar LPG untuk proses penyangraian biji kopi dalam mesin sangrai tipe silinder horisontal telah dilakukan oleh Mulato (2002) dengan nilai efisiensi pembakaran mencapai 95%. Produksi panas pembakaran LPG akan mendekati nilai maksimum karena kesamaan fase dengan oksigen dan mobilitas yang tinggi sehingga proses pencampuran akan berlangsung cepat dan merata yang menyebabkan proses pembakaran berlangsung lebih sempurna (Smith & Van Ness, 1985).
75
80 78
Efisiensi, %.....
76 74 72 70 68 66
0%
10%
30%
50%
80%
100%
64 62 60 40
50
60
70
80
90
100
110
Suhu pelarut asam asetat, oC
Gambar 32. Efisiensi proses dekafeinasi dengan pelarut asam asetat pada beberapa suhu dan konsentrasi pelarut 2500 y = -0,3421x2 - 0,2759x + 77,37 R2 = 0,9878
76
71
1500
1000
66
500
61
Efisiensi, % ...
Energi, 1000 kJ .....
2000
56
0 50
60
70
80
90
100
Suhu pelarut, oC E-observasi
E-prediksi
Efisiensi
Gambar 33. Energi observasi, energi prediksi dan efisiensi dekafeinasi pada konsentrasi pelarut asam asetat 50% Tabel 3. Persamaan regresi efisiensi proses dekafeinasi Konsentrasi Persamaan regresi pelarut, % 10% Y = -0.6655X2 + 2.4459X + 71.961 30% Y = -0.664X2 +2.443X +71.935 50% Y = -0.3421X2 – 0.2759X + 77.37 80% Y = -0.432244X2 +0.3998X + 76.532 100% Y = -0.4257X2 + 0.3499X + 76.563
R2 0.9855 0.9865 0.9878 0.9852 0.9847
Nilai puncak, % 70.43 70.41 74.58 73.64 73.19
Keterangan : X adalah suhu pelarut (oC) dan Y adalah efisiensi proses dekafeinasi (%)
76
Tabel 3 menampilkan persamaan regresi yang menghubungkan antara nilai suhu pelarut terhadap efisiensi proses prediksi dari beberapa tingkatan konsentrasi pelarut. Persamaan regresi yang terbentuk berupa persamaan kuadratik dan hasil perhitungan menunjukkan bahwa konsentrasi pelarut 50% akan menghasilkan nilai efisiensi proses tertinggi, yaitu 74.58%. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9878 menunjukkan bahwa persamaan tersebut cukup valid untuk memprediksi efisiensi proses.
Model Matematik Proses Dekafeinasi Biji Kopi Dekafeinasi kopi merupakan proses ekstraksi padat-cair, dan kadar kafein terlarut sangat tergantung pada waktu proses. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laju pelarutan kafein dari dalam biji kopi ke pelarut maupun penambahan kadar kafein ke dalam pelarut akan mengikuti persamaan eksponensial Arrhenius sebagaimana dilaporkan Doran (1995), Mulato et al. (2004), Espinoza-Perez et al. (2007) dan Widyotomo et al. (2009). Selain bentuk bulat (sperichal) dan lempeng (slab), biji kopi dapat diasumsikan dalam bentuk elipsoidal. Namun, model matematika kinetika kafein selama proses ekstraksi phase padat-cair dalam biji kopi dengan asumsi bentuk elipsoidal belum pernah dilakukan. Kesetimbangan materi dan energi mutlak terjadi dalam proses tersebut sebagai fungsi suhu dan konsentrasi pelarut yang ditentukan oleh lamanya waktu proses. Model mekanistik untuk ekstraksi kafein harus meliputi perhitungan difusi kafein di dalam biji biji, konveksi kafein pada kondisi batas pelarut dan padatan dalam hal ini permukaan biji kopi, dan hubungan kesetimbangan yang terjadi antara konsentrasi kafein dalam biji kopi dan pelarut. Perpindahan senyawa kafein dari dalam massa bahan berbentuk bulat (spherical) memiliki hambatan internal yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan hambatan eksternal. Berdasarkan hal tersebut laju perpindahan massa kafein dapat diprediksi dengan persamaan difusi kondisi tak mantap (unsteady-state) yang dikontrol oleh mekanisme difusi sebagaimana ditampilkan pada persamaan (3.1) dan (3.2). Solusi analitis untuk profil konsentrasi keadaan tak mantap cA (r, t) diperoleh dengan teknik pemisahan variabel (Gambar 12). Rincian solusi analitik dalam koordinat bundar telah dijabarkan oleh Crank (1975), Saravacos &
77
Maroulis (2001), Welty et al. (2001) dan Anderson et al. (2003) sebagaimana ditampilkan pada persamaan (3.5), (3.6) dan (3.11). Solusi analitis ini dinyatakan sebagai suatu penjumlahan deret infinit yang konvergen bila “n” mendekati takhingga. Namun, konvergensi ke suatu nilai numerik tunggal sulit dicapai dengan melakukan penjumlahan deret, terutama jika nilai parameter tak berdimensi Dk.t/R2 relatif kecil. Metode pengurasan (leaching) atau ekstraksi zat padat (solid extraction) merupakan mekanisme yang digunakan dalam reaktor kolom tunggal untuk mengeluarkan (ekstraksi) senyawa kafein dari dalam partikel padat biji kopi. Pada proses pengurasan, kuantitas zat mampu larut (soluble) yang dapat dikeluarkan umumnya lebih banyak dibandingkan dengan proses pengurasan filtrasi biasa. Pelarutan senyawa kafein terjadi dengan mekanisme pengurasan atau mengalirnya senyawa pelarut melalui rongga-rongga dalam hamparan biji kopi yang tidak teraduk. Metode tersebut dilakuan dalam sistem batch di dalam silinder tegak tunggal yang memiliki dasar berlubang yang berfungsi untuk mendukung zat padat tetapi masih dapat melewatkan pelarut keluar (McCabe et al., 1999). Persamaan (3.12) digunakan untuk menentukan laju pengurasan (leaching) yang terbukti mampu menggambarkan kinetika proses ekstraksi sistem padatan-cairan dalam hal ini larutan kafein-biji kopi di mana kafein akan diekstrak dari biji kopi.
A. Mekanisme pelarutan kafein Pelarutan kafein dari dalam biji kopi merupakan proses transportasi dan transformasi. Proses tranportasi merupakan perpindahan senyawa kafein dari pusat matrik padatan sampai keluar dari permukaan biji kopi. Proses transformasi merupakan perubahan beberapa senyawa kimia karena masukannya pelarut ke dalam matrik padatan biji kopi. Mekanisme perpindahan senyawa kafein dari matrik padatan biji kopi meliputi proses difusi senyawa kafein di dalam biji biji, konveksi kafein pada kondisi batas pelarut dan padatan dalam hal ini permukaan biji kopi, dan hubungan kesetimbangan yang terjadi antara konsentrasi kafein dalam biji kopi dan pelarut. Proses dekafeinasi biji kopi Robusta dalam reaktor kolom tunggal dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengukusan (steaming) biji
78
kopi dengan uap air pada suhu 100°C. Tahap berikutnya adalah pelarutan senyawa kafein dari matrik padatan biji kopi yang telah mengembang maksimum dengan menyemprotkan pelarut pada tumpukan biji kopi, dan sirkulasi pelarut dijaga secara kontinu. Pada tahap pengukusan, air dalam bentuk uap panas bebas (vaporization) bergerak cepat menembus tumpukan, dan memanaskan permukaan biji kopi. Rambatan uap panas tersebut menyebabkan sel-sel biji kopi bertambah besar dan sekaligus mengakibatkan meningkatnya porositas antar sel. Pori-pori jaringan kopi menjadi terbuka dan dimanfaatkan oleh air masuk ke dalamnya secara difusi. Molekul air terperangkap di dalam sel sehingga kadar air biji kopi meningkat, mencapai kondisi serapan maksimum dan tidak ada lagi ruang kosong yang dapat diisi air. Pada kondisi tersebut pengembangan biji kopi telah mencapai nilai maksimum, dan biji kopi telah mengalami proses pembasahan ulang. Kelarutan senyawa kafein dalam air akan meningkat dengan semakin tingginya suhu. Perlakuan panas mengakibatkan senyawa kafein bergerak lebih cepat dan bebas dengan ukuran lebih kecil sehingga mudah berdifusi melalui dinding sel. Senyawa kafein yang terdapat di dalam sitoplasma dalam keadaan bebas, sedang selebihnya terdapat dalam kondisi terikat sebagai senyawa alkaloid dalam bentuk senyawa garam komplek kalium klorogenat dengan ikatan ionik. Ikatan komplek ini menyebabkan kafein tidak dapat bergerak bebas di dalam jaringan biji kopi. Pengaruh energi panas dapat menyebabkan ikatan tersebut terputus sehingga mudah larut dalam air. Tahap selanjutnya adalah penyemprotan senyawa pelarut secara kontinyu ke dalam tumpukan biji kopi yang telah mengalami pengembangan maksimum oleh uap air. Sifat polaritas asam asetat menyebabkan senyawa kafein yang telah terlarut dalam air berdifusi keluar menembus permukaan biji kopi. Pada kondisi demikian terjadi konveksi kafein pada kondisi batas pelarut dan padatan dalam hal ini permukaan biji kopi. Selanjunya, sirkulasi senyawa asam asetat yang kontinyu akan mengisi jaringan pori-pori di dalam biji kopi, dan melarutkan senyawa kafein yang masih terikat sebagai senyawa alkaloid dalam bentuk senyawa garam komplek kalium klorogenat dengan ikatan ionik. Kelarutan senyawa kafein dalam senyawa asam asetat akan meningkat dengan semakin tingginya suhu pelarut.
79
Laju perpindahan massa kafein akan semakin tinggi dengan semakin kecil ukuran biji kopi karena luas bidang kontak antara biji kopi dengan pelarut akan semakin besar, dan jalur difusinya semakin pendek. Kesetimbangan konsentrasi senyawa kafein di dalam biji kopi dan pelarut akan terjadi jika daya larut pelarut untuk melarutkan senyawa kafein dari dalam biji kopi sudah maksimum. Rasio antara massa biji kopi dan volume pelarut yang cukup besar akan mencegah terjadinya kondisi tersebut sehingga akan tetap terjaga proses pelarutan senyawa kafein berlangsung optimal.
B. Laju pelarutan kafein dalam biji kopi (kf) Selama proses pengurasan (leaching) terjadi proses perpindahan senyawa kafein yang terdapat di dalam pori-pori menuju permukaan biji, dan terlepas dari biji yang kemudian terikut dalam pelarut. Proses tersebut berlangsung secara difusi. Suhu dan konsentrasi pelarut merupakan dua parameter yang sangat menentukan tinggi rendahnya laju pelarutan kafein dari dalam biji kopi. Laju pelarutan kafein (kf) dihitung dari gradien kurva waktu pelarutan terhadap rasio kadar kafein yang ditunjukkan pada Gambar 34. Kurva tersebut mendiskripsikan pengaruh suhu dan konsentrasi pelarut terhadap perubahan kadar kafein di dalam biji kopi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam notasi positif, dengan semakin tinggi suhu dan konsentrasi pelarut, maka nilai laju pelarutan (kf) semakin besar (Lampiran 6). Notasi negatif pada nilai kf menunjukkan arah peluruhan. Suhu pelarut menentukan thermal driving force. Makin tinggi suhu pelarut, maka thermal driving forcenya akan semakin besar. Kondisi tersebut menyebabkan proses perpindahan panas ke dalam biji kopi semakin cepat dan laju pelarutan kafein semakin besar. Nilai laju perpindahan kafein yang selalu negatif menunjukkan bahwa terjadi proses perpindahan senyawa kafein dari dalam poripori biji kopi menuju permukaan biji dan ikut terlarut dalam senyawa pelarut. Ekstraksi padat cair (leaching) adalah proses perpindahan solute (kafein) dari padatan ke pelarut karena adanya driving force berupa perbedaan konsentrasi solute dan kelarutan solute antara padatan dengan pelarut (Brown, 1950; Treyball,
80
1980; Earley,1983). Untuk pelarut yang bersifat cair dengan semakin tinggi suhu akan menurunkan viskositasnya sehingga difusivitas akan naik (Foust, 1959). Untuk mendapatkan hubungan laju pelarutan kafein terhadap suhu dan konsentrasi pelarut secara simultan dilakukan dengan membentuk persamaan berpangkat yang dinyatakan dalam persamaan (3.11). Analisis multi regresi dilakukan dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) untuk menentukan nilai konstanta pada variabel suhu dan konsentrasi. Hasil analisis SPPS untuk menentukan persamaan laju pelarutan kafein sebagai fungsi suhu (T) dan kosentrasi pelarut (c) adalah sebagai berikut,
k f = 4.4106.c 0.01282 . exp( −1041.82 / T )
(5.1)
Nilai difusivitas kafein (Dk) dapat ditentukan dengan mengalikan nilai kf terhadap (r2/π2) sehingga diperoleh persamaan berikut, Dk =
r2
π2
× 4.4106.c 0.01282 . exp( −1041.82 / T )
(5.2)
Persamaan tersebut di atas menunjukkan bahwa hubungan konsentrasi dan difusivitas kafein ditunjukkan dengan pangkat positif. Perpindahan massa kafein atau difusivitas pelarut dalam membawa senyawa kafein akan semakin cepat dengan semakin tingginya konsentrasi pelarut. Pada rentang suhu pelarut 50100oC dan konsentrasi asam asetat 10-100% diperoleh nilai kf antara 0.18050.2865/detik. Pada rentang ukuran biji kopi antara 5.5-7.5 mm diperoleh nilai Dk antara 1.38–4.08×10-7 m2/detik. Adapun hubungan antara suhu dengan laju pelarutan kafein mengikuti pola linier dengan nilai energi aktivasi (Ea) sebesar 8.68 kJ/mol. Kelarutan bahan yang diekstraksi dan difusivitas akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Laju perpindahan massa akan semakin tinggi dengan semakin kecil ukuran bahan karena luas bidang kontak antara padatan dan pelarut akan semakin besar, dan jalur difusinya menjadi semakin pendek. Kafein yang diisolasi dengan ekstraksi menggunakan pelarut organik, dan kondisi ekstraksi seperti pelarut, suhu, waktu, pH, dan rasio komposisi pelarut dengan bahan akan mempengaruhi efisiensi ekstraksi kafein (Perva et al., 2006). Untuk pelarut yang bersifat cair dengan semakin tinggi suhu akan menurunkan viskositasnya sehingga difusivitas akan naik.
81
Gambar 35 menunjukkan grafik scatter plot nilai observasi dan prediksi dari laju pelarutan kafein (kf) selama proses dekafeinasi dalam reaktor kolom tunggal dengan pelarut asam asetat pada rentang suhu 50-100oC dan konsentrasi pelarut 10-100%. Analisis statistik menghasilkan nilai koefisien (R2) determinasi sebesar 0.9328. Hasil tersebut menunjukkan bahwa persamaan yang telah dikembangkan valid untuk memprediksi laju pelarutan kafein dari dalam biji kopi pada proses dekafeinasi biji kopi dalam reaktor kolom tunggal dengan kisaran kondisi yang telah disebutkan. -4 -4,5
ln (cf.Rg) .
-5 -5,5 -6 -6,5
0%
10%
30%
50%
80%
100%
-7 0
2
4
6
8
10
12
Waktu pelarutan, jam
Gambar 34. Ploting rasio kadar kafein (ln cf.Rg) terhadap waktu pelarutan dari beberapa konsentrasi pelarut asam asetat dan suhu pelarut 50oC 0,31 0,29
kf-pred, 1/jam.....
0,27 0,25 0,23 0,21 y = 0,9074x + 0,0211
0,19
R2 = 0,9328
0,17 0,15 0,150
0,200
0,250
0,300
0,350
kf-obs, 1/jam
Gambar 35. Scatter plot laju pelarutan kafein observasi (kf-obs) vs prediksi (kf-pred)
82
Proses tranportasi merupakan perpindahan senyawa kafein dari pusat matrik padatan sampai keluar dari permukaan biji kopi. Proses transformasi merupakan perubahan beberapa senyawa kimia karena masukannya pelarut ke dalam matrik padatan biji kopi. Model matematik yang dikembangkan dari persamaan (3.15) hanya mempresentasikan proses transportasi atau perpindahan senyawa kafein di dalam biji kopi.
C. Waktu pelarutan kafein Perbandingan antara luas permukaan biji kopi Ap (m2) dan volume pelarut Vp (m3) ditampilkan pada Gambar 36. Persamaan yang terbentuk adalah Ap/Vp (meter) = -3.3319d + 10,302 dalam hal ini d adalah diameter biji kopi (mm). Nilai koefisien determinasi (R2) persamaan tersebut sebesar 0.9567. Kurva yang terbentuk menunjukkan bahwa dengan semakin besar diameter biji kopi (d), maka nilai (Ap/Vp) akan semakin kecil. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka diperoleh model matematik untuk memprediksi waktu dekafeinasi sampai batas maksimum 0.3% bk adalah :
t (det) = − ((
c − 0.3 (5.3) ).(4.4106.c 0.01282 exp( −1041.82 / T ) )(−3.3319d + 10.302)) −1 ln AS π c A0 − 0.3 r
2
Persamaan (5.3) terbentuk dari susbtitusi variabel kf dan Dk dari persamaan (5.1) dan (5.2) ke dalam persamaan (3.16) dan (3.22). Persamaan (5.3) akan berlaku sesuai dengan nilai analisis dimensional jika nilai konstanta g, a dan (Ea/Rg) yang terdapat dalam persamaan (4.27) dan (5.3) masing-masing bernilai 4.4106, 0.01282 dan 1041.82. Gambar 36 merupakan kurva yang terbentuk dari proses perhitungan waktu pelarutan kafein menggunakan persamaan (5.3) dengan masukan asumsi data sebagaimana ditampilkan pada Tabel 4.
83
7,0
Ap/Vp, 1/m......
6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 1,001 1,201
1,401
1,601
1,801
2,001 2,201
2,401
2,601
Diameter, m
Gambar 36. Nilai rasio Ap/Vp untuk beberapa ukuran diameter biji kopi 2,5
cAS, %bk ...
2
1,5
1
0,5
0 0
2
4
6
8
10
12
14
Waktu pelarutan, jam
Gambar 37. Kurva prediksi penurunan kadar kafein (cAS) hasil pengembangan model
84
Tabel 4. Contoh nilai masukan data model perpindahan massa kafein selama proses dekafeinasi No. Parameter Nilai Satuan Keterangan 1 2 3 4 5
Kadar kafein awal (cA0) Kadar kafein akhir (cA) Diameter biji kopi (d) Suhu pelarut (T) Konsentrasi pelarut (c)
2.28 0.3 0.0065 70 80
% bk % bk m o C %
Pengukuran Pengukuran Pengukuran Pengukuran Pengukuran
Penyelesaian dari persamaan (5.3) akan menghasilkan prediksi waktu pelarutan kadar kafein sampai batas maksimum 0.3% bk. Perhitungan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa pemrograman (software) Visual Basic 6.0. Contoh perhitungan data dijabarkan dalam Lampiran 7, sedangkan algoritma perhitungan proses dekafeinasi dijabarkan dalam Lampiran 8. Tampilan layar masukan data dan keluaran nilai perhitungan waktu pelarutan ditunjukkan pada Gambar 38. Laju pelarutan kafein (prediksi) dari dalam biji kopi akan mengikuti persamaan eksponensial (5.3) sebagaimana ditampilkan pada Gambar 37.
Gambar 38. Tampilan menu program laju pelarutan kafein
85
D. Validasi Model Matematik Proses Dekafeinasi Biji Kopi Validasi dilakukan untuk mengetahui seberapa layak nilai yang diperoleh dari proses perhitungan, yaitu waktu pelarutan prediksi untuk mencapai kadar kafein 0.3% bk (t-prediksi) terhadap kedekatan nilai dari proses pelarutan sebenarnya (t-observasi). Waktu pelarutan prediksi (t-prediksi) ditentukan dari hasil perhitungan model matematik pelarutan kafein dalam reaktor kolom tunggal (5.3), dan waktu pelarutan observasi (t-observasi) ditentukan dari proses pelarutan kafein dari dalam biji kopi secara langsung dalam reaktor kolom tunggal sampai kadar kafein maksimum 0.3% bk. Penentuan t-observasi untuk validasi model dilakukan terhadap proses dekafeinasi biji kopi Robusta tanpa perlakuan sortasi ukuran (unsorted beans). Tahap awal biji kopi dikukus (steaming) selama 1.5 jam dengan menggunakan media air, dan dilanjutkan dengan proses pelarutan kafein dengan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao. Selama proses pelarutan, contoh biji kopi diambil untuk dianalisis kadar kafein yang masih tersisa di dalam biji kopi. Titik pengamatan kadar kafein tersebut kemudian diplotkan dalam bentuk grafik bersamaan dengan laju pelarutan kafein yang terbentuk dari hasil perhitungan model matematik sebagaimana ditampilkan pada Gambar 38, 40 dan 42.
D.1 Validasi model dengan pelarut asam asetat Kurva laju pelarutan kafein yang terbentuk dari perhitungan model matematik (cAS-prediksi) disandingkan dengan kurva laju pelarutan kafein observasi (cAS-observasi) dengan pelarut asam asetat ditampilkan pada Gambar 39. Secara umum, laju pelarutan kafein yang diukur (observasi) memiliki trend yang sama dengan laju pelarutan kafein hasil perhitungan (prediksi) (Lampiran 10). Kinerja model secara umum menunjukkan kesesuaian antara nilai prediksi dan observasi terutama pada selang kadar kafein di dalam biji dari 2.28% bk sampai dengan 1% bk. Namun, setelah kadar kafein di dalam biji mencapai 1% dan terus menurun sampai 0.3% bk, angka observasi selalu lebih kecil dibandingkan angka prediksi. Hal ini dapat diterangkan bahwa bukan hanya difusivitas kafein di dalam biji kopi yang tergantung pada suhu dan konsentrasi
86
pelarut yang berpengaruh terhadap kinerja model, tetapi yang lebih penting disebabkan oleh pelarut pada periode itu telah mengandung kafein sehingga menurunkan driving force atau perbedaan konsentrasi kafein di permukaan biji dengan konsentrasi kafein di dalam pelarut sehingga model “over predict” dibandingkan data percobaan. Validasi waktu dekafeinasi dengan menggunakan pelarut asam asetat ditampilkan pada Gambar 40 yang menunjukkan bahwa garis linier regresi yang terbentuk, yaitu y = 0.8914x + 0.5045 menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9326. Hal tersebut mendiskripsikan bahwa model matematik yang telah dibangun dapat digunakan untuk memprediksi laju pelarutan kafein biji kopi dalam reaktor kolom tunggal. 2,5 cAS-pred
cAS-obsr
cAS, %bk ...
2
1,5
1
0,5
0 0
2
4
6
8
10
12
14
Waktu pelarutan, jam
Gambar 39. Penurunan kadar kafein pada perlakuan suhu 50oC dan konsentrasi pelarut 100% (asam asetat)
87
12
t-prediksi, jam .....
10
8
6
4 y = 0,8914x + 0,5045 2
R = 0,9326
2
0 2
4
6
8
10
12
t-bservasi, jam
Gambar 40. Scatter plot waktu dekafeinasi observasi dan prediksi
D.2 Validasi model dengan pelarut limbah cair fermentasi biji kakao Validasi model matematik juga dilakukan dengan cara melakukan proses dekafeinasi (test-run) menggunakan pelarut limbah cair fermentasi biji kakao. Test run proses dekafeinasi dalam reaktor kolom tunggal dengan pelarut limbah cair fermentasi biji kakao (Tabel 5) dilakukan dengan perlakuan paramater suhu dan konsentrasi pelarut yang ditentukan oleh Response Surface Methodology (RSM). Waktu proses dekafeinasi (t-prediksi) ditentukan berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan (5.3). Kurva laju pelarutan kafein yang terbentuk dari perhitungan model matematik (cAS-prediksi) disandingkan dengan kurva laju pelarutan kafein observasi (cAS-observasi) dengan pelarut limbah cair fermentasi biji kakao ditampilkan pada Gambar 41. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu observasi (t-observasi) pelarutan kafein dengan menggunakan pelarut limbah cair fermentasi biji kakao lebih tinggi jika dibandingkan dengan waktu prediksi (t-prediksi). Hal ini dapat diterangkan bahwa bukan hanya difusivitas kafein di dalam biji kopi yang tergantung pada suhu dan konsentrasi pelarut yang berpengaruh terhadap kinerja model, tetapi yang lebih penting disebabkan oleh pelarut pada periode itu telah mengandung kafein sehingga menurunkan driving force atau perbedaan
88
konsentrasi kafein di permukaan biji dengan konsentrasi kafein di dalam pelarut sehingga model “over predict” dibandingkan data percobaan. Tabel 5. Test-run percobaan dengan bantuan RSM limbah cair fermentasi biji kakao t-observasi, Laju pelarutan, Kadar kafein dari Suhu, Konsentrasi, t-prediksi, o C % jam jam %/jam t-prediksi, % bk 50 100 67 100 100 67 50 83 100
100 100 70 40 70 10 10 10 10
6.40 4.16 5.48 4.21 4.17 5.61 6.60 4.89 4.28
8 6 7 6 6 7 8 7 6
0.25 0.33 0.28 0.33 0.33 0.28 0.25 0.28 0.33
0.42 0.33 0.40 0.44 0.33 0.58 0.55 0.61 0.45
Keterangan : 1. t-prediksi (jam) adalah waktu proses dekafeinasi untuk mencapai kadar kafein 0.3% bk dengan perhitungan model matematik 2. t-observasi (jam) adalah waktu proses pengujian langsung yang diperlukan untuk mencapai kadar kafein 0.3% bk 3. laju pelarutan (%/jam) adalah persentase kafein yang terlarut dari dalam biji kopi per satuan waktu (jam)
Validasi waktu dekafeinasi dengan menggunakan pelarut limbah cair fermentasi biji kakao ditampilkan pada Gambar 42. Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh dari persamaan garis linier regresi yang terbentuk dari hubungan waktu prediksi dan waktu observasi t-obsr = 0.771.t-pred + 2.8137 adalah 0.9556. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai laju pelarutan (kf) dengan menggunakan pelarut limbah cair fermentasi biji kakao berada pada kisaran 0.1488-0.1984 per detik, nilai difusivitas kafein (Dk) sebesar 1.59×10-7-2.12×10-7 m2/detik, dan nilai koefisien perpindahan massa (kL) sebesar 4.90×10-5-6.53×10-5 m/detik tergantung pada suhu dan konsentrasi pelarut.
89
2,5
cAS-prediksi
cAS-observasi
cAS, %bk ..
2
1,5
1
0,5
0 0
2
4
6
8
10
12
Waktu pelarutan, jam
Gambar 41. Penurunan kadar kafein pada perlakuan suhu 50oC dan konsentrasi pelarut 100% (limbah cair fermentasi biji kakao) 8,5
8,0
t-obsr, jam...
7,5
7,0
6,5 y = 0,771x + 2,8137
6,0
2
R = 0,9556
5,5
5,0 4,0
4,5
5,0
5,5
6,0
6,5
7,0
t-pred, jam .
Gambar 42. Validasi waktu dekafeinasi dengan pelarut limbah cair fermentasi biji kakao D.3 Validasi model dengan pelarut tersier pulpa kakao Selain menggunakan senyawa asam asetat dan limbah cair fermentasi biji kakao, validasi model matematik juga dilakukan dengan cara melakukan proses dekafeinasi (test-run) menggunakan pelarut tersier pulpa kakao. Test run proses dekafeinasi dalam reaktor kolom tunggal dengan pelarut tersier pulpa kakao (Tabel 6) dilakukan dengan perlakuan paramater suhu dan konsentrasi pelarut yang ditentukan oleh Response Surface Methodology (RSM). Waktu proses
90
dekafeinasi
(t-prediksi)
ditentukan
berdasarkan
hasil
perhitungan
dengan
menggunakan persamaan (5.3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu observasi (t-observasi) pelarutan kafein dengan menggunakan pelarut tersier pulpa kakao lebih lama jika dibandingkan dengan waktu prediksi (t-prediksi) (Gambar 43). Hal ini dapat diterangkan bahwa bukan hanya difusivitas kafein di dalam biji kopi yang tergantung pada suhu dan konsentrasi pelarut yang berpengaruh terhadap kinerja model, tetapi yang lebih penting disebabkan oleh pelarut pada periode itu telah mengandung kafein sehingga menurunkan driving force atau perbedaan konsentrasi kafein di permukaan biji dengan konsentrasi kafein di dalam pelarut sehingga model “over predict” dibandingkan data percobaan. Sebagaimana yang terjadi pada proses pelarutan dengan menggunakan senyawa asam asetat dan limbah cair fermentasi biji kakao. Fenomena yang terjadi adalah perpindahan senyawa kafein keluar dari dalam pori-pori biji karena sifat pelarutan air yang ditingkatkan oleh kepolaran senyawa pelarut yang digunakan sehingga pada suhu yang sama akan diperoleh laju ekstraksi yang lebih tinggi. Validasi waktu dekafeinasi dengan menggunakan pelarut tersier pulpa kakao ditampilkan pada Gambar 44. Nilai koefisien determinasi (R 2) yang diperoleh dari persamaan garis linier regresi yang terbentuk dari hubungan waktu prediksi dan waktu observasi t-obsr = 0.8825.t-pred + 2.8354 adalah 0.7727. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai laju pelarutan (kf) dengan menggunakan pelarut tersier berada pada kisaran 0.1323-0.1984 per detik, nilai difusivitas kafein (Dk) sebesar 1.41×10-7-2.12×10-7 m2/detik, dan nilai koefisien perpindahan massa (kL) sebesar 4.35×10-5-6.53×10-5 m/detik tergantung pada suhu dan konsentrasi pelarut.
91
Tabel 6. Test-run percobaan dengan bantuan RSM pelarut tersier pulpa kakao t-observasi, Laju pelarutan, Kadar kafein dari Suhu, Konsentrasi, t-prediksi, o C % jam jam %/jam t-prediksi, % bk 50 50 100 67 75 100 50 67 50
6.45 6.40 4.16 5.48 5.08 4.17 6.45 5.61 6.60
55 100 100 70 100 70 55 10 10
8 9 7 8 8 6 8 8 9
0.25 0.22 0.28 0.25 0.25 0.33 0.25 0.25 0.22
0.56 0.40 0.30 0.42 0.35 0.33 0.44 0.61 0.56
Keterangan : 1. t-prediksi (jam) adalah waktu proses dekafeinasi untuk mencapai kadar kafein 0.3% bk dengan perhitungan model matematik 2. t-observasi (jam) adalah waktu proses pengujian langsung yang diperlukan untuk mencapai kadar kafein 0.3% bk 3. laju pelarutan (%/jam) adalah persentase kafein yang terlarut dari dalam biji kopi per satuan waktu (jam)
2,5
cAS-prediksi
cAS-observasi
cAS, % bk ....
2
1,5
1
0,5
0 0
2
4
6
8
10
12
Waktu pelarutan, jam
Gambar 43. Penurunan kadar kafein pada perlakuan suhu 50oC dan konsentrasi pelarut 100% (pelarut tersier)
92
9,5 9
t-obsr, jam .....
8,5 8 7,5 7 6,5 y = 0,8825x + 2,8354 R2 = 0,7727
6 5,5 5 4,00
4,50
5,00
5,50
6,00
6,50
7,00
t-pred, jam
Gambar 44. Validasi waktu dekafeinasi dengan pelarut tersier pulpa kakao
Optimasi Proses Dekafeinasi Biji Kopi Optimasi proses dekafeinasi dilakukan terhadap parameter laju pelarutan kafein (%/jam), dan waktu pelarutan kafein observasi (t-observasi, jam) dari beberapa perlakuan suhu dan konsentrasi pelarut dengan menggunakan Response Surface Methodology (RSM). Proses dekafeinasi dilakukan dengan beberapa perlakuan suhu dan konsentrasi pelarut seperti yang ditampilkan pada Tabel 5 untuk pelarut limbah cair fermentasi biji kakao, dan Tabel 6 untuk pelarut tersier pulpa kakao. Kopi diminum oleh konsumen bukan sebagai sumber nutrisi, tetapi sebagai penyegar. Dengan demikian, biji kopi dianggap bernilai ekonomis jika dapat memberikan kepada konsumen rasa senang dan kepuasan dari aroma dan flavor yang dihasilkan. Kualitas minuman kopi ditunjukkan dengan kesatuan nilai dari aroma, flavor, bodi, dan bitterness. (Davids, 1996; Mulato, 2002). Optimasi proses dilakukan untuk mengetahui kondisi laju pelarutan kafein maksimum dan waktu proses observasi terbaik serta dapat memberikan produk kopi dekafeinasi dengan cita rasa prima. Parameter mutu dari aspek cita rasa yang digunakan adalah aroma, flavor, bodi, bitterness, dan finish appreciation (FA). A. Pelarut asam asetat Hasil analisis RSM menunjukkan bahwa laju pelarutan kafein optimum sebesar 0.497%/jam (Gambar 45) dan waktu observasi optimum sebesar 4.99 jam
93
(Gambar 46) diperoleh dari proses dekafeinasi pada suhu dan konsentrasi pelarut masing-masing 100oC dan 69%. Batas bawah (low limit) dan batas atas (high limit) untuk laju pelarutan sebesar 0.465 %/jam dan 0.529 %/jam, sedangkan batas bawah (low limit) dan batas atas (high limit) untuk waktu observasi sebesar 2.9 jam dan 9.8 jam. Waktu observasi (jam) adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar kafein 0.3% bk secara eksperimental. Hasil uji cita rasa contoh biji kopi terdekafeinasi pada suhu proses 100oC dan konsentrasi pelarut 69% diperoleh nilai aroma, flavor, body dan bitterness masing-masing sebesar 3.2; 2.7; 2.8; dan 1.6; sedangkan nilai finish appreciation (FA) sebesar 2.8. Hasil anova menunjukkan bahwa hanya suhu pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap laju pelarutan kafein dari dalam biji kopi dan waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar kafein akhir 0.3% bk dalam biji kopi. Harga efek estimasi pada Tabel 7 menunjukkan besarnya pengaruh masing-masing variabel terhadap laju penurunan kadar kafein. Semakin besar harga efek estimasi suatu variabel menunjukkan semakin besar pengaruh variabel tersebut. Variabel linear konsentrasi dan interaksi antara suhu dan konsentrasi memberikan efek negatif terhadap laju penurunan kadar kafein. Sedangkan variabel suhu, variabel kuadrat suhu, dan variabel linear konsentrasi memberikan efek positif terhadap laju penurunan kadar kafein. Dengan demikian variabel linear suhu, kuadrat suhu, dan
variabel
linear
konsentrasi
akan
memberikan
pengaruh
terhadap
bertambahnya laju penurunan kadar kafein. Sedangkan variabel kuadrat konsentrasi dan interaksi antara suhu dan konsentrasi akan memberikan pengaruh terhadap berkurangnya laju penurunan kadar kafein. Tabel 7. Nilai efek estimasi dan koefisien regresi terhadap laju pelarutan kafein (asam asetat) No. Faktor Efek estimasi Koefisien regresi 1 Konstanta 0.3905 2 Suhu (L) 0.1604 3 Suhu (Q) 0.0250 4 Konsentrasi (L) 0.0168 5 Konsentrasi (Q) -0.0114 6 Suhu (L) – Konsentrasi (L) -0.0017 Keterangan : L adalah linier dan Q adalah kuadrat
0.3905 0.00321 4.007×10-5 1.868×10-4 -5.6262×10-6 -7.4119×10-7
Laju pelarutan, %/jam
94
P HI EC
20 40
% s ia r nt 80 se n ko 60
0 10
Gambar 45. Kurva RSM laju pelarutan kafein (%/jam) pada berbagai konsentrasi pelarut asam asetat dan suhu proses
. 6.0 5.5 5.0 4.5 E
IP CH
4.0 0 10
50
80
60
60
70
suh
u- o
40
80
C
20
90 10 0
ko
ns
e
a n tr
s i-
%
Gambar 46. Kurva RSM lama proses pelarutan kafein (t-observasi) pada berbagai konsentrasi pelarut asam asetat dan suhu proses Dengan menggunakan harga koefisien regresi yang terdapat dalam Tabel 7 dapat disusun suatu persamaan model matematika yang menghubungkan antara laju penurunan kadar kafein dengan variabel suhu dan variabel konsentrasi pelarut sebagai berikut:
95
Y = 0.3905 + 0.00321x1 + 1.868E −4 x2 − 7.4119E −7 x1.x2 + 4.007 E −5 x1 − 5.6262E −6 x2 X − 75 X − 50 x1 = 1 dan x2 = 2 10 20 2
2
Dalam hal ini x1 adalah variabel tak berdimensi suhu, X1 adalah variabel suhu (°C), x2 adalah variabel tak berdimensi konsentrasi, dan X2 adalah variabel konsentrasi (%)
B. Pelarut limbah cair fermentasi biji kakao Hasil analisis RSM menunjukkan bahwa laju pelarutan kafein optimum sebesar 0.3426%/jam (Gambar 47) dan waktu observasi optimum sebesar 5.68 jam (Gambar 48) diperoleh dari proses dekafeinasi pada suhu dan konsentrasi pelarut masing-masing 100oC dan 55%. Batas bawah (low limit) dan batas atas (high limit) untuk laju pelarutan sebesar 0.2714 %/jam dan 0.4139 %/jam, sedangkan batas bawah (low limit) dan batas atas (high limit) untuk waktu observasi sebesar 3.95 jam dan 7.40 jam. Waktu observasi (jam) adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar kafein 0.3% bk secara eksperimental. Hasil uji cita rasa contoh biji kopi terdekafeinasi pada suhu proses 100oC dan konsentrasi pelarut 55% diperoleh nilai aroma, flavor, body dan bitterness masing-masing sebesar 3; 2.4; 2.5; dan 1.8; sedangkan nilai finish appreciation
HIP EC
10
Laju pelarutan, %/jam
(FA) sebesar 2.7.
20
0 90
40 80
su h
u-
oC
% sia r t en ns o k 60
70
80
60 50
0 10
Gambar 47. Kurva RSM laju pelarutan kafein (%/jam) pada berbagai konsentrasi pelarut limbah cair fermentasi biji kakao dan suhu proses
Lama proses, jam
96
50 60
su
70
hu
80
- oC
90 10 0
Gambar 48. Kurva RSM lama proses pelarutan kafein (t-observasi) pada berbagai konsentrasi pelarut limbah cair fermentasi biji kakao dan suhu proses Tabel 8. Nilai efek estimasi dan koefisien regresi terhadap laju pelarutan kafein (limbah cair fermentasi biji kakao) No. Faktor Efek estimasi Koefisien regresi 1 Konstanta 0.30519 2 Suhu (L) 0.05131 3 Suhu (Q) 0.01180 4 Konsentrasi (L) 0.00511 5 Konsentrasi (Q) -0.02322 6 Suhu (L) – Konsentrasi (L) -0.00220 Keterangan : L adalah linier dan Q adalah kuadrat
0.30518 0.00103 1.888×10-5 5.676×10-7 -1.146×10-5 -9.791×10-7
Hasil anova menunjukkan bahwa hanya suhu pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap laju pelarutan kafein dari dalam biji kopi dan waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar kafein akhir 0.3% bk dalam biji kopi. Harga efek estimasi pada Tabel 8 menunjukkan besarnya pengaruh masing-masing variabel terhadap laju penurunan kadar kafein. Semakin besar harga efek estimasi suatu variabel menunjukkan semakin besar pengaruh variabel tersebut. Variabel linear konsentrasi dan interaksi antara suhu dan konsentrasi memberikan efek negatif terhadap laju penurunan kadar kafein. Sedangkan variabel suhu, variabel kuadrat suhu, dan variabel linear konsentrasi memberikan efek positif terhadap laju penurunan kadar kafein. Dengan demikian variabel
97
linear suhu, kuadrat suhu, dan variabel linear konsentrasi akan memberikan pengaruh terhadap bertambahnya laju penurunan kadar kafein. Sedangkan variabel kuadrat konsentrasi dan interaksi antara suhu dan konsentrasi akan memberikan pengaruh terhadap berkurangnya laju penurunan kadar kafein. Dengan menggunakan harga koefisien regresi yang terdapat dalam Tabel 8 dapat disusun suatu persamaan model matematika yang menghubungkan antara laju penurunan kadar kafein dengan variabel suhu dan variabel konsentrasi pelarut sebagai berikut: Y = 0.30518 + 0.00103 x1 + 5.676 E −7 x2 − 9.791E −7 x1.x2 + 1.888 E −5 x1 − 1.146 E −5 x2 2
x1 =
X 1 − 75 10
dan
x2 =
2
X 2 − 50 20
Dalam hal ini x1 adalah variabel tak berdimensi suhu, X1 adalah variabel suhu (°C), x2 adalah variabel tak berdimensi konsentrasi, dan X2 adalah variabel konsentrasi (%)
C. Pelarut tersier pulpa kakao Hasil analisis RSM menunjukkan bahwa laju pelarutan kafein optimum sebesar 0.3016%/jam (Gambar 49) dan waktu observasi optimum sebesar 6.57 jam (Gambar 50) diperoleh dari proses dekafeinasi pada suhu dan konsentrasi pelarut masing-masing 100oC dan 70%. Batas bawah (low limit) dan batas atas (high limit) untuk laju pelarutan sebesar 0.2556 %/jam dan 0.3477 %/jam, sedangkan batas bawah (low limit) dan batas atas (high limit) untuk waktu observasi sebesar 5.24 jam dan 7.90 jam. Waktu observasi (jam) adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar kafein 0.3% bk secara eksperimental. Hasil uji cita rasa contoh biji kopi terdekafeinasi pada suhu proses 100oC dan konsentrasi pelarut 70% diperoleh nilai aroma, flavor, body dan bitterness masing-masing sebesar 3.1; 2.5; 2.7; dan 1.5; sedangkan nilai finish appreciation (FA) sebesar 2.6. Hasil anova menunjukkan bahwa hanya suhu pelarut yang memberikan pengaruh nyata terhadap laju pelarutan kafein dari dalam biji kopi dan waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar kafein akhir 0.3% bk dalam biji kopi.
98
.. 0.28 0.26 0.24 P HI EC
0.22 10 0
20
90
su hu
40
80
-o C
60
70
80
60 50
0 10
ko
ns
e
a nt r
% si -
Lama proses, jam
Gambar 49. Kurva RSM laju pelarutan kafein (%/jam) pada berbagai konsentrasi pelarut tersier pulpa kakao dan suhu proses
50 60 70
su 8 hu 0 -o C
90 10 0
Gambar 50. Kurva RSM lama proses pelarutan kafein (t-observasi) pada berbagai konsentrasi pelarut tersier pulpa kakao dan suhu proses Tabel 9. Nilai efek estimasi dan koefisien regresi terhadap laju pelarutan kafein (pelarut tersier pulpa kakao) No. Faktor Efek estimasi Koefisien regresi 1 Konstanta 0.2629 2 Suhu (L) 0.0476 3 Suhu (Q) 0.0133 4 Konsentrasi (L) 0.0109 5 Konsentrasi (Q) -0.0253 6 Suhu (L) – Konsentrasi (L) 0.0149 Keterangan : L adalah linier dan Q adalah kuadrat
0.2629 9.51×10-4 2.13×10-5 1.21×10-4 -1.25×10-5 6.63×10-6
99
Harga efek estimasi pada Tabel 9 menunjukkan besarnya pengaruh masing-masing variabel terhadap laju penurunan kadar kafein. Semakin besar harga efek estimasi suatu variabel menunjukkan semakin besar pengaruh variabel tersebut. Variabel linear konsentrasi dan interaksi antara suhu dan konsentrasi memberikan efek negatif terhadap laju penurunan kadar kafein. Sedangkan variabel suhu, variabel kuadrat suhu, dan variabel linear konsentrasi memberikan efek positif terhadap laju penurunan kadar kafein. Dengan demikian variabel linear suhu, kuadrat suhu, dan variabel linear konsentrasi akan memberikan pengaruh terhadap bertambahnya laju penurunan kadar kafein. Sedangkan variabel kuadrat konsentrasi dan interaksi antara suhu dan konsentrasi akan memberikan pengaruh terhadap berkurangnya laju penurunan kadar kafein. Dengan menggunakan harga koefisien regresi yang terdapat dalam Tabel 9 dapat disusun suatu persamaan model matematika yang menghubungkan antara laju penurunan kadar kafein dengan variabel suhu dan variabel konsentrasi pelarut sebagai berikut: Y = 0.2629 + 9.51E −4 x1 + 1.216 E −4 x2 + 6.63E −6 x1.x2 + 2.13E −5 x1 − 1.25 E −5 x2 2
x1 =
X 1 − 75 10
dan
x2 =
2
X 2 − 50 20
Dalam hal ini x1 adalah variabel tak berdimensi suhu, X1 adalah variabel suhu (°C), x2 adalah variabel tak berdimensi konsentrasi, dan X2 adalah variabel konsentrasi (%).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Penelitian pengembangan model matematik proses dekafeinasi biji kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal telah dilakukan. Model matematik untuk menggambarkan kinetika kafein selama proses ekstraksi (pengurasan) dalam biji kopi telah dikembangkan. Persamaan difusi pada kondisi tak mantap (non steady) yang berkaitan dengan persamaan perpindahan massa makroskopik untuk pelarut telah dikembangkan dan diselesaikan secara analitis. Kinetika ekstraksi kafein dari dalam biji kopi dapat diekspresikan dengan persamaan berikut :
Ap .t
− k L . c AS − c A V = exp c A0 − c A
, dalam hal ini k f = g .c . exp a
(
− Ea ) R g .T
, Dk =
r2
π
2
.k f dan k L =
Dk r
Difusivitas massa internal kafein dapat diprediksi dari model untuk digunakan dengan menggunakan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persamaan yang terbentuk mampu menerangkan kinetika proses ekstraksi kafein dari biji kopi. Nilai difusivitas kafein (Dk) biji kopi dengan pelarut asam asetat antara 1.38–4.08x10-7m2/detik, dan nilai koefisien laju pelarutan (kf) mengikuti persamaan berikut :
k f (det −1 ) = 4.4106.c 0.01282 . exp( −1041.82 / T ) . Model matematik pelarutan kafein dari dalam biji kopi Robusta menggunakan reaktor kolom tunggal dengan pendekatan bentuk bulat (sperichal) adalah,
r
− ( 2 )( 4.4106.c c AS − c A =e π c A0 − c A
0.01282
exp ( −1041.81 / T ) )( −3.3319 d +10.302 ) .t
Untuk memprediksi waktu pelarutan (t-0,3) senyawa kafein dari kondisi awal cA0 sampai 0.3% dalam biji kopi adalah,
t (det) = − ((
c − 0.3 ).(4.4106.c 0.01282 exp( −1041.82 / T ) )(−3.3319d + 10.302)) −1 ln AS π c A0 − 0.3 r
2
Dekafeinasi dalam reaktor kolom tunggal diawali dengan proses pengukusan biji kopi dengan uap air selama 1.5 jam dan kemudian dilanjutkan
102
dengan proses pelarutan. Proses pengukusan berakibat pada pengembangan panjang biji 8.6-9.5%, pengembangan lebar biji 12.2-13.3%, pengembangan tebal biji 18.3-20.6% peningkatan kadar air menjadi 55.45%, peningkatan diameter aritmatik 8-13%, dan peningkatan diameter geometrik 9-18%. Proses pengukusan tidak mengakibatkan perubahan yang nyata dari nilai sperisitas biji kopi yaitu antara 0.87-1.12. Nilai densitas kamba biji kopi meningkat sebesar 7-8%. Pada suhu pelarut 50oC, kadar kafein 0.3% bk diperoleh setelah proses pelarutan berlangsung selama 8 jam jika menggunakan konsentrasi pelarut 100%, dan 10 jam jika menggunakan konsentrasi pelarut 10%. Pada suhu pelarut 100oC, kadar kafein 0.3% bk diperoleh setelah proses pelarutan berlangsung selama 4 jam jika menggunakan konsentrasi pelarut 100%, dan 7 jam jika menggunakan konsentrasi pelarut 10%. Validasi model yang terbentuk dengan menggunakan senyawa asam asetat menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2) dari grafik nilai koefisien laju pelarutan observasi terhadap prediksi dan waktu dekafeinasi observasi terhadap prediksi masing-masing sebesar 0.9328 dan 0.9326. Validasi model yang dilakukan dengan metode test-run berdasarkan matrik perlakuan RSM dengan menggunakan pelarut limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2) dari grafik waktu dekafeinasi observasi terhadap prediksi masing-masing sebesar 0.9556 dan 0.7727. Laju pelarutan kafein dan waktu observasi optimum dengan pelarut asam asetat sebesar 0.497%/jam dan 4.99 jam diperoleh pada suhu dan konsentrasi pelarut masing-masing 100oC dan 69%. Pada kondisi tersebut diperoleh seduhan kopi rendah kafein dengan nilai aroma, flavor, body dan bitterness masing-masing sebesar 3.2; 2.7; 2.8; dan 1.6; sedangkan nilai finish appreciation (FA) sebesar 2.8. Laju pelarutan kafein optimum sebesar 0.3426%/jam diperoleh pada waktu 5.68 jam proses dekafeinasi dengan menggunakan pelarut limbah cair fermentasi biji kakao pada suhu 100oC dan konsentrasi pelarut 55%. Pada kondisi tersebut diperoleh seduhan kopi rendah kafein dengan nilai aroma, flavor, body dan bitterness masing-masing sebesar 3; 2.4; 2.5; dan 1.8; serta nilai finish appreciation (FA) sebesar 2.7. Dengan menggunakan pelarut tersier pulpa kakao, laju pelarutan kafein optimum diperoleh sebesar 0.3016%/jam pada waktu 6.57
103
jam proses, suhu 100oC dan konsentrasi pelarut 70%. Pada kondisi tersebut diperoleh seduhan kopi rendah kafein dengan nilai aroma, flavor, body dan bitterness masing-masing sebesar 3.1; 2.5; 2.7; dan 1.5; serta nilai finish appreciation (FA) sebesar 2.6.
Novelty dari
penelitian
pengembangan
model
matematik
proses
dekafeinasi biji kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal adalah : 1. Telah diperoleh model matematik yang dapat digunakan secara umum untuk memprediksi waktu pelarutan kafein dari dalam biji kopi robusta dengan menggunakan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao, dan pelarut tersier pulpa kakao dalam reaktor kolom tunggal. 2. Kondisi optimum proses dekafeinasi dengan menggunakan asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao, dan pelarut tersier pulpa kakao sebagai pelarut kafein biji kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal. 3. Nilai difusivitas kafein (Dk) tertinggi diperoleh pada pelarutan biji kopi dengan pelarut asam asetat, yaitu sebesar 4.08x10-7 m2/detik, dengan laju pelarutan kafein 0.497%/jam pada suhu dan konsentrasi pelarut masingmasing 100oC dan 69%, dan lama proses 4.99 jam. Namun demikian, proses dekafeinasi dengan menggunakan pelarut asam asetat pada suhu 100oC akan berdampak negatif pada keamanan proses terutama bagi keselamatan dan kesehatan operator.
104
Saran
1. Penerapan model matematika disarankan untuk disain proses dekafeinasi kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal menggunakan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao, dan larutan tersier hasil fermentasi pulpa kakao. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang mempelajari pengaruh tingkat pengembangan volume biji kopi pada berbagai tekanan pengukusan terhadap penurunan kadar kafein dan cita rasa mutu kopi rendah kafein yang dihasilkan. 3. Kajian peningkatan skala proses produksi limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao perlu dilakukan agar diperoleh kondisi proses yang spesifik dengan mutu yang konsisten.
DAFTAR PUSTAKA AEKI (2010). Industri Kopi Indonesia. Asosiasi Ekspotir Kopi Indonesia Alfonso-Junior PC, Corre PC, Pintob FAC, Queirozb DM. 2007. Aerodynamic properties of coffee cherries and beans. Biosystems Engineering 98: 39-46. Anderson BA, Shimoni E, Liardon R, Labuza TP. 2003. The diffusion kinetics of carbon dioxide in fresh roasted and ground coffee. J Food Engineering 59: 71-78. Atmawinata O, Mulato S, Widyotomo S, Yusianto. 1998. Teknik pra-pengolahan biji kakao segar secara mekanis untuk mempersingkat waktu fermentasi dan menurunkan keasaman biji. Pelita Perkebunan 14: 48-62. Atmawinata O. 2001. Pengolahan dan kompoisis kimia biji kopi : Peranan uji citarasa dalam pengendalian mutu kopi. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember. Barani A. 2009. Orang Indonesia masih jarang minum kopi. Berita Bisnis. Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian Republik Indonesia Baumann T, Mosli SS, Schulthess BH, Aetrs RJ. 1993. Interpendence of caffeine and chlorogenic acid methabolism in coffee. Proc 15th ASIC Coll; 134-140. Bichsel B. 1979. Diffusion phenomena during the decaffeination of coffee beans. J Food Chemistry 4: 53–62. Biehl B. 1989. Fermentation and drying. 2nd. International Congress on Cocoa and Chocolate. Munich 13-15 May. 14p. Bird RB, Stewart WE, Lightfoot EN. 1960. Transport Phenomena. New York: John Wiley & Sons. Cahyono BS. 1987. Usaha penurunan kafein kopi biji dengan perebusan dalam larutan alkali dan kaitannya dengan mutu kopi bubuk yang dihasilkan (skripsi). Yogyakarta: Jurusan Pengolahan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Charley H, Weaver C. 1998. Coffea, Tea, Chocolate and Cocoa Foods. New Jersay USA: A Scientific Approach Merricee and Inprint of Prenttice Hall. Clapperton J. 1990. Forward control of cocoa flavour quality : An R&D viewpoint. Jakarta: Int. Seminar on Cocoa Markets and Quality Requirements. 29 November 1990. Clarke RJ, Macrae R. 1989. Coffee Chemistry. Vol. I, II. London and New York : Elsevier Applied Science. Clifford MN, Willson KC. 1985. COFFEE : Botany, Biochemistry, and Production of Beans and Beverage. Connecticut USA: The AVI Publsihing Company, Inc. Clifford MN. 1985a. Chemical and Physical Aspects of Green Coffee and Coffee Products. P.305-374. In: M.N. Clifford & K.C.Wilson [Eds]. Botany, Biochemistry, and Production of Beans & Beverage. Westport Connecticut: The AVI Publ.Co.Inc. Clifford MN. 1985b. Chlorogenic Acids, Coffee. Vol. I. London and New York: Elsevier Applied Science. Crank J. 1975. The Mathematics of Diffusion. Second Eds. Oxford: Clarendon Press. Davids K. 1996. Home Coffee Roasting. New York: St.Martin’s Griffin.
106
Depkes. 2006. Melawan dampak negatif kafein. Intisari. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Ditjend PPHP. 2006. Pedoman teknis pelaksanaan kegiatan pengembangan mutu dan kemitraan kakao. Departemen Pertanian: Ditjend Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Ditjendbun. 2010. Statistik Perkebunan 2008-2010: Kopi. Kementerian Pertanian Republik Indonesia: Direktorat Jenderal Perkebunan. Doran PM. 1995. Bioprocess Engineering Principles. San Diego: Academic Press Inc. Dua S. 2000. Makan untuk mengurangi stress. Jakarta: Wartaids 65, 3 April 2000. Dursun E, Dursun I. 2005. Some physical properties of caper seed. Journal of Biosys. Eng. 92: 237-245. Earle RL. 1983. Unit Operation in Food Processing. 2nd Eds. Oxford: Pergamon Press. Ensminger AH, Ensminger ME, Konlande JE, Robson JRK. 1995. The Consise Encyclopedia of Food and Nutrition. Tokyo: Boca Raton. Espinoza-Perez JD, Vargas A, Robles-Olvera VJ, Rodriguez-Jimenes GC, GarciaAlvarado MA. 2007. Mathematical modelling of caffeine kinetic during solid-liquid extraction of coffee beans. Journal of Food Engineering 81: 7278. Geankoplis CJ. 1983. Transport Processes and Unit Operations. 2nd Eds. Massachusetts USA: Allyn and Bacon, Inc., 7 Wells Avenue, Newton. Ghosh V, DudaJL, Ziegler GR, Anantheswaran RC. 2004. Difusión of moisture through chocolate flavoured confectionery coatings. Food and Bioproducts Processing 82: 35-43. Hadiyanto A. 1994. Kafein, penggunaan, efek, dan dekafeinasi (skripsi). Yogyakarta: Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Hamuasse M. 2009. Pemanfaatan pulpa kakao untuk memproduksi asam asetat dengan menggunakan ragiroti dan aerasi (tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Heldman DR, Singh RP. 1981. Food Engineering. 2nd Eds. Westport Connecticut: AVI Publishing Comp. Henderson SM, Perry RL. 1976. Agricultural Process Engineering. 3rd Eds. Westport, Connecticut: AVI Publishing Comp. Horman I, Viani A. 1971. The caffeine-chlorogenate complex of coffee, an NMR study, Proc 14th ASIC Coll, 102-111. Hulbert GJ, Biswal RN, Mehr CB, Walker TH, Collins JL. 1998. Solid/liquid extraction of caffeine from guaranawith methyl chloride. Food Science and Technology International 4: 53-58. ICO. 2010. Cocoa prices. Internacional Cocoa Organization. Illy I, Viani R. 1998. Expresso Coffee : The Chemistry and Quality. London: Academic Press Limited. Indonesian Business Today. 2010. Indonesia produsen kopi terbesar ketiga di dunia. Agriculture. 25 Juni 2010. Ismayadi C. 1998a. Upaya perbaikan mutu kopi arabika spesialti dataran tinggi Gayo, Aceh. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao 14: 45-53. Ismayadi C. 1998b. Cita rasa kopi arabika spesialti Indonesia. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 14: 165-172.
107
Jaganyi D, Prince RD. 1999. Kinetics of tea infusion : The effect of the manufacturing process on the rate of extraction of caffeine. Food Chem 64: 27-31. Jain RK, Ball S. 1997. Physical properties of pearl millet. J. Agric.Eng.Res. 66: 85-91. Johnson AH, Peterson MS. 1974. Encyclopedia of Food Technology. Vol. I. Westport Connecticut: The AVI Publ.Co.Inc.. Katz SN. 1997. Decaffeinating Coffee. American: Working Knowledge Scientific. Kirk-Othmer. 1998. Encyclopedia of Chemical Technology 4th Ed. 10: 88 Ky CL, Louarn J, Dussert S, Guyot B, Hamon S, Noirot M. 2001. Caffeine, trigonelline, chlorogenic acids and sucrose diversity in wild Coffea arabica L., and C. Canephora P. Accessions. Food Chem 75: 223-230. Ky CL, Noirot M, Hamon S. 1997. Comparison of five purification methods for chlorogenic acids in green coffee beans (Coffee ap.). J. Agric. Food.Chem 45: 786-790. Lestari H. 2004. Dekafeinasi biji kopi (Coffee canephora) varietas robusta dengan sistem pengukusan dan pelarutan (tesis). Yogyakarta: Program pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Lopez AS, Passos FML. 1984. Factors influencing cocoa beans acidity fermentation, drying and the microflora. Lome. Tongo: 9th International Cacao Research Conference, 701-704. Mabbett T. 1999. Foundations of flavour in coffee. Indian Coffee. Macrae R. 1985. Nitrogenous Components, Coffee. Volume I. London and New York: Elsevier Applied Science. Mataserv. 2010. Kakao di Indonesia 2010-2015 : Kajian Komprehensif Tentang Peta Bisnis dan Prospek Perkebunan Agro Industri dan Pasar. Jakarta: PT. Mataserv Bisnisindo. McCabe WL, Smith JC, Harriot P. 1986. Unit Operation of Chemical Engineering. New York: McGraw-Hill. McCabe WL, Smith JC, Harriott P. 1999. Operasi Teknik Kimia. Alih bahasa : E. Jasjfi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Mendes LC, De Mendez HC, Aparecida M, da Silva AP. 2001. Optimization of the roasting of robusta coffee (C. canephora conillon) using acceptability test and RSM. Food Quality and Preferente 12: 153-162 Meyer B, Biehl B, Said MB, Samarokoddy RJ. 1989. Postharvest pod storage: A method for pulp pre-conditioning during cocoa fermentation in Malaysia. J. Sci. Food Agric. 48: 285-304. Misnawi & Sulistyowati. 2006. Mutu kopi Indonesia dan peluang peningkatan daya saingnya. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 22: 127132. Misnawi, Mulato S, Widyotomo S, Sewet A, Sugiyono. 2005. Optimasi suhu dan lama penyangraian biji kakao menggunakan penyangrai skala kecil tipe silinder. Pelita Perkebunan 21: 169-183. Mohsenin NN. 1978. Physical Properties of Plant And Animal Materials. Gordon and Breach Sci. Publ., New York. Morton A. 1984. Flavours an introduction. USA: Food Science.
108
Mulato S, Widyotomo S, Lestari H. 2004. Pelarutan kafein biji kopi robusta dengan kolom tetap menggunakan pelarut air. Pelita Perkebunan 20: 97109. Mulato S, Widyotomo S, Purwadaria HK. 2007. Kinerja pembubuk mekanis tipe piringan (disk mill) untuk proses pengecilan ukuran biji kopi robusta pascasangrai. Pelita Perkebunan 23: 231-258. Mulato S, Widyotomo S, Suharyanto E. 2006. Pengolahan Produk Primer Dan Sekunder Kopi. Jember Jawa Timur: Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Mulato S. 2001. Development and evaluation of a solar cocoa processing center for cooperative use in Indonesia. Ph.D Dissertation. Institut fur Agrartechnik in den Tropen und Subtropen. The University of Hohenheim. Germany. Mulato S. 2002. Perancangan dan pengujian mesin sangrai biji kopi tipe silinder. Pelita Perkebunan 18: 31-45. Pairunan VI. 2009. Karakteristik fermentasi pulpa kakao dalam produksi asam asetat menggunakan bioreactor (tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Perva-Uzunalić A, Škerget M, Knez Z, Weinreich B, Otto F, Grőner S. 2006. Extraction of active ingredients from green tea (Camellia sinensis): Extraction efficiency of major catechins and caffeine. Food Chem 96: 597605. Petrus A. 2008. Karakteristik proses fermentasi pulp kakao untuk produksi etanol pada bioreactor (skripsi). Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Purwadaria HK, Mulato S, AM Syarief. 2008. Dekafeinasi kopi dalam reaktor kolom tunggal dengan pelarut tersier dari pulpa kakao. Bogor: Laporan Hasil Penelitian Tahun II, LPPM, Institut Pertanian Bogor. Purwadaria HK, Mulato S, Syarief AM. 2007. Dekafeinasi kopi dalam reaktor kolom tunggal dengan pelarut tersier dari pulpa kakao. Bogor: Laporan Hasil Penelitian Tahun I, LPPM, Institut Pertanian Bogor. Ratna Y, Anisah R. 2000. Dekafeinasi kopi robusta pada pembuatan kopi bubuk dengan larutan NaOH. Makalah Seminar Nasional Industri Pangan, Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rohan TA. 1963. Processing of raw cocoa for the market. FAO Agric.Stud 60: 207p. Rozanah A. 2004. Kafein dan wanita. Republika Rusmantri. 2002. Dekafeinasi kopi robusta dengan pelarut air pada berbagai suhu dan pH (tesis). Yogyakarta: Teknologi Hasil Perkebunan, Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada. Saravacos GD, Maroulis ZB. 2001. Transport Properties of Foods. USA: Marcel Dekker, Inc. Sfredo MA, Finzer JRD, Limaverde JR. 2005. Heat and mass transfer in coffee fruits drying. Journal of Food Engineering 70: 15-25. Sivetz M, Desroiser NW. 1979. Coffee Technology. Westport Connecticut: The AVI Publ. Company Inc. Sivetz M, Foote HE. 1973. Coffee Processing Technology Vol I. Westport Connecticut: The Avi Publishing Company Inc.
109
Smith JM, Van Ness HC. 1985. Introduction to Chemical Engineering Thermodynamics. 3rd ed. Kogakusha Tokyo: International Student Edition. McGraw-Hill Book Company Inc. Spiller GA. 1999. Caffeine. New York Washington DC: Boca Raton. Spiro M, Chong YY. 1997. The kinetics and mechanism of caffeine infusion from coffee: the temperature variation of the hindrance factor. Journal of the Science of Food and Agriculture 74: 416–420. Spiro M, Selwood RM. 1984. The kinetics and mechanism of caffeine infusion from coffee: the effect of particle size. Journal of the Science of Food and Agriculture 35: 915-924. Sulistyowati, Wahyudi T. 1998. Pengolahan kopi arabika rakyat. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao 14: 198-206. Susila WR. 1999. Dampak pelaksanaan putaran Uruguay terhadap beberapa aspek perdagangan kopi dunia dan dan domestik. Pelita Perkebunan 15, 33-55. Sutarsih, Rahardjo B, Hastuti P. 2009. Difusivitas air pada wortel selama penggorengan hampa. Jurnal AGRITECH 29: 184-188. Tejasari, Sulistyowati, Djumarti, Sari RAA. 2010. Mutu gizi dan tingkat kesukaan minuman kopi dekafosin instan. Jurnal Agroteknologi 4 : 91-106. Toledo RT. 1999. Fundamental of Food Process Engineering, 2nd Eds. Gathersburg Maryland: An Aspen Publication, Aspen Publisher Inc. Treyball RE. 1980. Mass-Transfer Operations. 4th Eds. Singapore: McGraw-Hill Book Company. Udaya-Sankar K, Raghavan CV, Srinivasa-Rao PN, Lakshiminarayana-Rao L, Kuppuswany S, Ramanathan PK. 1983. Studies on the extraction of caffeine from coffee beans. Journal of Food Science and Technology 20: 64-67. USDA. 2000. Tropical Product: World Markets and Trade. Circular seriesUSDA, June. Viani R, Horman I. 1974. Thermal behavior of trigonellin. J. Food. Sci. 39 : 12161217. Vincent GC. 1987. Green Coffee Processing. p. 1-33. In : Clarke RJ, Macrae R (eds.). Coffee Vol. II : Technology. London and New York: Elsevier Apll. Sci. Vincent GC. 1989. Green Coffee Processing. p. 1-34. In : Clarke RJ, Macrae R (eds.). Coffee Vol. II : Technology. London and New York: Elsevier Apll. Sci. Wahyudi T. 1988. Perisa kakao dan komponen-komponennya. Pelita Perkebunan. 4: 106 - 110. Wahyudi T. 2003. Standar prosedur operasional (SPO) penanganan biji kakao di tingkat petani, pedagang pengumpuldan eksportir. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 19: 156-167. Wahyuni T. 2005. Kafein versus kehamilan. Suara Karya. Welty JR, Wicks CE, Wilson RE, Rorrer G. 2001. Fundamentals of Momentum, Heat and Mass Transfer. John Wiley and Sons, Inc. Widyotomo S, Mulato S, Purwadaria HK, Syarief AM. 2009. Karakteristik proses dekafeinasi kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal dengan pelarut etil asetat. Pelita Perkebunan 25: 101-125.
110
Widyotomo S, Mulato S, Purwadaria HK, Syarief AM. 2010a. Karakterisasi fisik kopi pasca pengukusan dalam reaktor kolom tunggal. Pelita Perkebunan 26: 25-41. Widyotomo S, Purwadaria HK, Syarief AM, Mulato S. 2010b. Karakteristik suhu dan energi proses pengukusan biji kopi dalam reaktor kolom tunggal. Pelita Perkebunan 26, 177-191. Widyotomo S, Mulato S. 2003. Kafein : Senyawa penting pada biji kopi. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 23: 44-50. Widyotomo S, Mulato S. 2005. Kinerja mesin sortasi biji kopi tipe meja getar. Pelita Perkebunan 21: 55-72. Widyotomo S, Syarief AM, Purwadaria HK. 2011. Karakterisasi fermentasi pulpa kakao dengan metode batch. Prosiding Seminar Nasional Perteta 2011, Universitas Jember, 21-22 Juli 2011. Widyotomo S. 2008. Teknologi fermentasi dan diversifikasi pulpa kakao menjadi produk yang bermutu dan bernilai tambah. Review Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 24: 71-89. Wijaya H. 2003. Sambutan Ketua Umum BPP AEKI. Dalam : I. Bersten. 2003. Coffee, Sex, and Health. A History of Anti Coffee Crusaders and Sexual Hiysteria. Australia: Helian Books. Wilbaux R. 1963. Coffee Processing. Food and Agriculture. Roma: Organization of United Nation. Williams S. 1999. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. 1111 North Nineteenth Street, Suite 210, Arlington, Virginia 22209. USA: Association of Official Analytical Chemists, Inc. Wood GAR, Lass RA. 1985. Cacao. 4th Eds. London: Longman. Yusianto, Hulupi R, Sulistyowati, Mawardi S, Ismayadi C. 2005. Sifat fisikokimia dan cita rasa beberapa varietas kopi Arabika. Pelita Perkebunan 21 : 200-222. Yusianto. 1999. Komposisi kimia biji kopi dan pengaruhnya terhadap citarasa seduhan. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao 15: 190-202. Yusianto. 2003. Karakter fisik dan cita rasa kopi hasil penyangraian sistem pemanasan langsung. Pelita Perkebunan 19: 152-170. Zuhri S. 2010. Pasar kopi bakal langka, negara produsen perlu genjot produksi. Bisnis Indonesia. 13 Maret 2010.
Lampiran 1. Kurva penurunan kadar kafein per lapisan biji kopi ukuran A1 dengan pelarut air A1-60oC
A1-70oC 2,5
2 Kadar kafein, %bk ....
Kadar kafein, % bk .....
2,5
1,5
1
0,5
2
1,5
1
0,5
0
0 0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
3
Waktu, jam
1
2
4
5
6
Waktu, jam
3
4
5
1
2
3
4
5
A1-90oC
A1-80oC
2
2
Kadar kafein, %bk ......
2,5
2,5
1,5
1
0,5
1,5
1
0,5
0
0 0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
3
Waktu, jam
1
2
4
5
6
Waktu, jam
3
4
1
5
2
A1-100oC 2,5
Kadar kafein, %bk ....
Kadar kafein, %bk ......
7
2
1,5
1
0,5
0 0
1
2
3
4
5
6
Waktu, jam
1
2
3
4
5
7
3
4
5
7
112 Lampiran 1. Kurva penurunan kadar kafein per lapisan biji kopi ukuran A2 dengan pelarut air (lanjutan) A2-60oC
A2-70oC 2,5
2
Kadar kafein, %bk ......
Kadar kafein, %bk ......
2,5
1,5
1
0,5
2
1,5
1
0,5
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
Waktu, jam
1
2
3
4
5
1
4
5
6
7
2
3
4
5
A2-90oC
A2-80oC
2
2
Kadar kafein, %bk ......
2,5
2,5
1,5
1
1,5
1
0,5
0,5
0
0 0
1
2
3
4
5
6
0
7
1
2
3
1
2
3
4
5
1
2
3
A2-100oC 2,5
2
1,5
1
0,5
0 0
4
5
6
Waktu, jam
Waktu, jam
Kadar kafein, %bk ......
Kadar kafein, %bk .....
3
Waktu, jam
1
2
3
4
5
6
Waktu, jam
1
2
3
4
5
7
4
5
7
113 Lampiran 1. Kurva penurunan kadar kafein per lapisan biji kopi ukuran A3 dengan pelarut air (lanjutan) A3-70oC 2,5
2
2
Kadar kafein, %bk ......
Kadar kafein, %bk ......
A3-60oC 2,5
1,5
1
0,5
1,5
1
0,5
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
3
Waktu, jam
1
2
4
5
6
3
4
5
1
2
3
4
5
A3-80oC
o
2,5
2
2
Kadar kafein, %bk .....
2,5
1,5
1
A3-90 C
1,5
1
0,5
0,5
0
0
0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
3
Waktu, jam
1
2
4
5
6
Waktu, jam
3
4
5
1
2
A3-100oC 2,5
Kadar kafein, %bk ......
Kadar kafein, %bk ......
7
Waktu, jam
2
1,5
1
0,5
0 0
1
2
3
4
5
6
Waktu, jam
1
2
3
4
5
7
3
4
5
7
114 Lampiran 1. Kurva penurunan kadar kafein per lapisan biji kopi ukuran A4 dengan pelarut air (lanjutan)
A4-70oC 2,5
2
2
Kadar kafein, %bk ......
Kadar kafein, %bk ......
A4-60oC 2,5
1,5
1
1,5
1
0,5
0,5
0
0 0
1
2
3
4
5
6
0
7
1
2
3
1
2
3
4
5
6
7
Waktu, jam
Waktu, jam
4
1
5
2
3
4
5
A4-90oC
2
2
Kadar kafein, %bk ......
2,5
2,5
1,5
1
1,5
1
0,5
0,5
0
0 0
1
2
3
4
5
6
0
7
1
2
3
2
4
5
6
Waktu, jam
Wakt, jam
1
3
4
5
1
2
A4-100oC 2,5
Kadar kafein, %bk .....
Kadar kafein, %bk ......
A4-80oC
2
1,5
1
0,5
0 0
1
2
3
4
5
6
Waktu,jam
1
2
3
4
5
7
3
4
5
7
115 Lampiran 2. Data pelarutan kafein (%bk) dengan pelarut air dan asam asetat Suhu pelarut 50oC Waktu, jam
Konsentrasi %
0
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
0
2.28
1.4
1.1
0.84
0.687
0.63
0.532
0.485
0.42
0.35
0.3
10
2.28
1.271
0.98
0.796
0.611
0.558
0.48
0.44
0.36
0.3
0.3
30
2.28
1.1
0.922
0.731
0.576
0.509
0.45
0.42
0.35
0.31
0.3
50
2.28
1.034
0.808
0.684
0.556
0.444
0.34
0.3
0.3
0.29
0.29
80
2.28
0.932
0.751
0.567
0.536
0.403
0.33
0.3
0.28
0.25
0.26
100
2.28
0.871
0.682
0.55
0.487
0.4
0.32
0.28
0.25
0.23
0.2
Waktu, jam 5 6
7
8
9
10
Suhu pelarut 60oC Konsentrasi %
0
2
3
4
0
2.28
1.36
0.976
0.774
0.63
0.54
0.4
0.35
0.3
0.3
10
2.28
1.129
0.95
0.76
0.58
0.48
0.38
0.33
0.3
0.28
30
2.28
1.073
0.81
0.725
0.463
0.415
0.36
0.3
0.3
0.28
50
2.28
0.96
0.778
0.659
0.411
0.375
0.35
0.32
0.3
0.27
80
2.28
0.95
0.64
0.54
0.42
0.32
0.3
0.28
0.26
0.24
100
2.28
0.84
0.59
0.43
0.35
0.3
0.28
0.26
0.25
0.2
6
7
8
9
Suhu pelarut 70oC Waktu, jam 4 5
Konsentrasi %
0
2
3
0
2.28
1.26
0.88
0.76
0.6
0.48
0.382
0.3
0.3
10
2.28
1.2
0.86
0.73
0.56
0.43
0.33
0.3
0.29
30
2.28
0.93
0.74
0.69
0.43
0.38
0.34
0.31
0.29
50
2.28
0.84
0.62
0.63
0.41
0.33
0.32
0.3
0.26
80
2.28
0.82
0.59
0.55
0.39
0.3
0.3
0.26
0.25
100
2.28
0.82
0.48
0.39
0.32
0.3
0.25
0.25
0.23
6
7
8
9
Suhu pelarut 80oC Waktu, jam 4 5
Konsentrasi %
0
2
3
0
2.28
1.1
0.81
0.73
0.59
0.45
0.35
0.3
0.28
10
2.28
1
0.751
0.653
0.544
0.38
0.33
0.29
0.28
30
2.28
0.91
0.64
0.576
0.42
0.36
0.32
0.28
0.26
50
2.28
0.81
0.59
0.53
0.39
0.32
0.3
0.27
0.24
80
2.28
0.8
0.584
0.43
0.35
0.31
0.3
0.25
0.24
100
2.28
0.78
0.43
0.35
0.3
0.28
0.24
0.24
0.22
116 Lampiran 2. Data pelarutan kafein (%bk) dengan pelarut air dan asam asetat (lanjutan) Suhu pelarut 90oC Konsentrasi %
0
2
3
Waktu, jam 4 5
6
7
8
0
2.28
1.02
0.78
0.68
0.55
0.442
0.3
0.29
10
2.28
1
0.65
0.574
0.43
0.34
0.3
0.29
30
2.28
0.9
0.59
0.505
0.38
0.32
0.28
0.26
50
2.28
0.817
0.477
0.415
0.35
0.3
0.26
0.24
80
2.28
0.72
0.4
0.354
0.3
0.28
0.25
0.24
100
2.28
0.63
0.33
0.3
0.25
0.24
0.24
0.23
5
6
7
Suhu pelarut 100oC Waktu, jam 3 4
Konsentrasi %
0
2
0
2.28
1
0.747
0.584
0.511
0.4
0.3
10
2.28
0.917
0.562
0.48
0.41
0.32
0.29
30
2.28
0.8
0.471
0.42
0.36
0.3
0.28
50
2.28
0.763
0.406
0.35
0.32
0.28
0.27
80
2.28
0.706
0.38
0.33
0.29
0.27
0.25
100
2.28
0.6
0.32
0.3
0.24
0.24
0.23
117 Lampiran 3. Karakterisasi pelarutan kafein (pelarut air dan asam asetat)
50oC
60oC
2,5
2,5
10
30
50
80
0
100 Kadarkafein, %bk ......
Kadar kafein, %bk .......
0 2
1,5
1
0,5
10
30
50
80
100
2
1,5
1
0,5
0
0
0
2
4
6
8
10
12
0
2
4
Waktu pelarutan, jam
6
8
10
12
Waktu pelarutan, jam
80oC
70oC 2,5
0
2
10
30
50
80
0
100 Kadar kafein, %bk ......
Kadar kafein, %bk ......
2,5
1,5
1
0,5
30
50
80
100
1,5
1
0,5
0
0
0
2
4
6
8
10
0
2
4
90oC
10
30
50
80
Kadar kafein, %bk ......
1,5
1
0
Waktu pelarutan, jam
8
10
50
80
100
1
0 6
30
1,5
0,5
4
10
2
0,5
2
10
100oC
0
100
2
0
8
2,5
2,5 0
6
Waktu pelarutan, jam
Waktu pelarutan, jam
Kadar kafein, %bk .....
10
2
0
2
4 Waktu pelarutan, jam
6
8
118 Lampiran 4. Energi observasi, energi prediksi dan efisiensi (pelarut air dan asam asetat) Konsentrasi 10%
Konsentrasi 0% 2500
76
76 74
74 72
y = -0,6654x + 2,4456x + 71,961 R2 = 0,9855
2000
70
1500
68 66
1000
64
Energi, 1000 kJ ......
2
Efisiensi, % .....
Energi, 1000 kJ ......
2000
72 y = -0,6655x2 + 2,4459x + 71,961 R2 = 0,9855
70
1500
68 66
1000
64
62 500
62
60
500
60
58 0
58
56 50
60
70
80
90
0
100
56 50
60
70
Suhu pelarut, oC E-observasi
Efisiensi, % .....
2500
80
90
100
Suhu pelarut, oC
E-prediksi
Efisiensi
E-observasi
E-prediksi
Efisiensi
Konsentrasi 50%
Konsentrasi 30% 2500
2500
76 74 72
2
66 1000
64
Energi, 1000 kJ ......
68
Efisiensi, % .....
Energi, 1000 kJ ......
70
2
R = 0,9865
1500
76
2000
y = -0,664x + 2,443x + 71,935
1500
y = -0,3421x2 - 0,2759x + 77,37 R2 = 0,9878
71
1000
66
500
61
Efisiensi, % ....
2000
62 500
60 58
0
56 50
60
70
80
90
0
100
56 50
60
70
80
90
100
o
Suhu pelarut, C E-observasi
o
Suhu pelarut, C
E-prediksi
Efisiensi
E-observasi
E-prediksi
Konsentrasi 100%
Konsentrasi 80%
2500
76
71
70
80
90
100
500
61
56
0
56 50
60
E-prediksi
70
80
90
o
o
Suhu pelarut, C
Suhu pelarut, C E-observasi
71
61
500
60
y = -0,4257x2 + 0,3499x + 76,563 R2 = 0,9847
66
66
50
1500
1000
1000
0
Energi, 1000 kJ ......
y = -0,4324x2 + 0,3998x + 76,532 R2 = 0,9852
76
2000
Efisiensi, % .....
Energi, 1000 kJ ......
2000
Efisiensi
E-observasi
E-prediksi
Efisiensi
100
Efisiensi, % .....
2500
1500
Efisiensi
119 Lampiran 5. Penentuan nilai konstanta g, a dan Ea/R dengan pelarut asam asetat Coefficientsa
Model 1
(Constant) Suhu Konsentrasi
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,484 ,163 -1041,822 55,254 1,282E-02 ,010
Standardized Coefficients Beta -,962 ,068
t 9,091 -18,855 1,338
a. Dependent Variable: kw Descriptive Statistics Mean -1,468154 ,0028793 3,7200
kw Suhu Konsentrasi
Std. Deviation ,1571244 ,00014506 ,83657
N 30 30 30
Correlations
Pearson Correlation
Sig. (1-tailed)
N
kw 1,000 -,962 ,068 , ,000 ,360 30 30 30
kw Suhu Konsentrasi kw Suhu Konsentrasi kw Suhu Konsentrasi
Suhu -,962 1,000 ,000 ,000 , ,500 30 30 30
Konsentrasi ,068 ,000 1,000 ,360 ,500 , 30 30 30
Variables Entered/Removedb
Model 1
Variables Entered Konsentra a si, Suhu
Variables Removed
Method ,
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: kw
Model Summaryb
Model 1
R ,964a
R Square ,930
Adjusted R Square ,925
a. Predictors: (Constant), Konsentrasi, Suhu b. Dependent Variable: kw
Std. Error of the Estimate ,0431621
Durbin-W atson ,789
Sig. ,000 ,000 ,192
120 Lampiran 5. Penentuan nilai konstanta g, a dan Ea/Rg dengan pelarut asam asetat (lanjutan) ANOVAb
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares ,666 ,050 ,716
df 2 27 29
Mean Square ,333 ,002
F 178,654
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), Konsentrasi, Suhu b. Dependent Variable: kw
Residuals Statisticsa Predicted Value Std. Predicted Value Standard Error of Predicted Value Adjusted Predicted Value Residual Std. Residual Stud. Residual Deleted Residual Stud. Deleted Residual Mahal. Distance Cook's Distance Centered Leverage Value
Minimum -1,712062 -1,610
Maximum -1,249081 1,446
Mean -1,468154 ,000
Std. Deviation ,1515045 1,000
N
,0083942
,0197606
,0132944
,0031442
30
-1,709859 -,067042 -1,553 -1,601 -,071229 -1,651 ,130 ,000 ,004
-1,258349 ,079281 1,837 1,975 ,091696 2,096 5,112 ,204 ,176
-1,469009 ,000000 ,000 ,009 ,000855 ,011 1,933 ,039 ,067
,1512174 ,0416472 ,965 1,019 ,0464840 1,043 1,342 ,052 ,046
30 30 30 30 30 30 30 30 30
30 30
a. Dependent Variable: kw
Histogram
Normal P-P Plot of Regression Standardized Re
Dependent Variable: kw
Dependent Variable: kw
6
1,0
5 ,8
3
Frequency
2 1 0
Std. Dev = ,96 Mean = 0,00 N = 30,00 75 1, 50 1, 5 2 1, 0 0 1, 5 ,7 0 ,5 5 ,2 0 0 0, 5 -,2 0 -,55 -,7 0 ,0 -1 5 ,2 -1 50 , -1
Regression Standardized Residual
Expected Cum Prob
4
,5
,3
0,0 0,0
,3
,5
Observed Cum Prob
,8
1,0
121 Lampiran 5. Penentuan nilai konstanta g, a dan Ea/Rg dengan pelarut asam asetat (lanjutan) Partial Regression Plot
Scatterplot
Dependent Variable: kw
Dependent Variable: kw
,10
-1,1
,08
-1,2
,06 -1,3 ,04 ,02
-1,4
0,00
-1,5
-,02 -1,6 -,04 -1,7
kw
kw
-,06 -,08 -1,5
-1,0
-,5
0,0
,5
1,0
Konsentrasi
Dependent Variable: kw ,3
,2
,1
-,0
-,1
kw
-,2 -,3
Suhu
-,0002
-1,8
-1,7
-1,6
-1,5
-1,4
-1,3
-1,2
Regression Adjusted (Press) Predicted Value
Partial Regression Plot
-,0003
-1,8
-,0001
,0000
,0001
,0002
,0003
122 Lampiran 6. Penentuan laju pelarutan kafein dalam biji kopi (kf) (pelarut asam asetat) Suhu 50oC
Suhu 60oC
-4
-4,5
-4,5
-5
-5 ln (Cf.Rg) ....
ln (Cf.Rg) ...
-4
-5,5
0
10
30
50
80
100
-5,5
-6
-6
-6,5 0%
10%
30%
50%
80%
-6,5
100%
-7
-7
0
2
4
6
8
10
12
0
2
4
6
8
10
12
Waktu pelarutan, jam
Waktu pelarutan, jam
o
Suhu 70 C
o
Suhu 80 C
-4
-4 0
10
30
50
80
100
0
-4,5
ln (Cf.Rg) ....
ln (Cf.Rg) ......
-4,5
-5
-5,5
-6
30
50
80
100
-5
-5,5
-6
-6,5
-6,5 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0
2
4
6
8
Suhu 90oC
-4
Suhu 100oC
-4
0
10
30
10
Waktu pelarutan, jam
Waktu pelarutan, jam
50
80
100
0
-4,5
10
30
50
80
100
-4,5
ln (Cf.Rg) ....
ln (Cf.Rg) ....
10
-5
-5,5
-6
-5
-5,5
-6
-6,5
-6,5 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
1
2
3
Waktu pelarutan, jam
4
5
Waktu pelarutan, jam
Nilai laju pelarutan kafein dalam biji kopi (kf) dengan pelarut asam asetat Konsentrasi. % 0 10 30 50 80 100
Suhu, oC 50
60
70
80
90
100
-0.1748 -0.179 -0.1722 -0.1818 -0.1851 -0.1977
-0.2092 -0.2078 -0.2046 -0.1987 -0.2092 -0.2126
-0.2295 -0.2347 -0.2192 -0.2211 -0.2294 -0.2319
-0.2289 -0.2276 -0.2259 -0.2281 -0.2287 -0.2324
-0.2509 -0.2553 -0.2618 -0.2627 -0.2568 -0.2565
-0.2731 -0.2863 -0.2866 -0.2926 -0.2995 -0.3079
6
7
8
123 Lampiran 7. Contoh perhitungan efisiensi proses dekafeinasi
I. a b c d e f g h i.
Input data Diameter biji kopi Massa kopi Suhu lingkungan Suhu pelarut Volume air Volume pelarut Vp Konsentrasi pelarut Waktu pengukusan (steaming) Waktu pelarutan (leaching)
Notasi d m-kopi Tl Tp m-air liter C t-steaming t-leaching
Satuan m kg o C o C liter 20 % jam jam
Nilai 0.0065 6 33 100 6 0.02 1000 100 1.5 5400 3600 4 14400 3600
II. a b c d e f g h i j k l m n
Data dukung Massa reaktor Panas jenis reaktor Selimut reaktor Tebal selimut reaktor Panas jenis air Panas jenis pelarut Panas jenis kopi Massa jenis pelarut Panas laten air Koef. konveksi Koef. konduksi Overall heat transfer Daya pompa Kapasitas panas LPG
Notasi m-reaktor Cp-reaktor A-reaktor dx Cp-air Cp-pelarut Cp-kopi rho-pelarut hfg-air h-conv k-kond U-overall P-pump h-LPG
Satuan kg kJ/kg.K m2 m kJ/kg.oC kJ/kg.K kJ/kg.oC kg/m3 kJ/kg kJ/kg.K kJ./m.K W/m2.K kW kJ/kg
Nilai 32.00 0.51 1.41 0.002 4.19 1.96 1.69 1049.18 2425.35 39.65 28.55 25.00 0.19 52.000
III. a b c d e f
Energi pengukusan m-reaktor x Cp-reaktor x dT h-conv x A-reaktor x dT k-kond x A-reaktor x dT / dx m-air x Cp-air x dT m-kopi x Cp-kopi x dT m-air x hfg-air
Notasi Qs-reaktor Qs-conv Qs-kond Qs-air Qs-kopi Qs-evap
Satuan kJ kJ kJ kJ kJ kJ
Nilai 1093.44 3757.12 2705.32 1684.38 679.38 25.14
Jumlah
Q-steaming
kJ
9944.78
Energi pelarutan m-reaktor x Cp-reaktor x dT h-conv x A-reaktor x dT k-kond x A-reaktor x dT / dx m-pelarut x Cp-pelarut x dT m-kopi x Cp-kopi x dT P-pump x t
Notasi Ql-reaktor Ql-conv Ql-kond Ql-air Ql-kopi Q-pump
Satuan kJ kJ kJ kJ kJ kJ
Nilai 1093.44 3757.12 1352658.21 2755.57 679.38 2714.40
kJ
1363658.12
kJ
1373602.90
IV. a b c d e f
Jumlah Q-leaching Total panas
Q-total prediction
124 Lampiran 8. Algoritma perhitungan proses dekafeinasi
ALGORITMA PROGRAM PELARUTAN KAFEIN 1. Definisikan fungsi kf(x) 2. Definisikan fungsi Dk(x) 3. Definisikan fungsi kL(x) 4. Definisikan fungsi cAS(x) 5. Definisikan fungsi Qsteaming(x) 6. Definisikan fungsi Qleaching(x) 7. Tentukan batas waktu steaming tsteaming = 1.5 jam 8. Tentukan batas maksimum cA = 0.3% 9. Tentukan nilai Ap/Vp = -3.3319d + 10.302 10. Hitung nilai konstanta g. a dan -Ea/R dari persamaan : kf = g.Ca.exp(-Ea/Rg.T) 11. Hitung nilai Dk dengan persamaan : Dk = (R2/π2).kf 12. Hitung nilai kf dengan persamaan : kf = Dk/r 13. Hitung nilai cAS dengan persamaan : c AS = (c A0 − c A ). exp
−( k L .
Ap Vp
.t )
+ cA
14. Hitung nilai t pada saat cAS mencapai nilai batas maksimum cA 15. Hitung nilai Qsteaming dengan persamaan : Qstea min g = (Qreaktor + Qconv + Qair + Qkopi + Qevaporasi ) / Eff . pengukusan 16. Hitung nilai Qreaktor dengan persamaan : Qreaktor = mreaktor x Cp reaktor x ∆T 17. Hitung nilai Qconv dengan persamaan : Qconv = Areaktor x hconv x ∆T 18. Hitung nilai Qair dengan persamaan : Qair = mair x Cp air x ∆T 19. Hitung nilai Qkopi dengan persamaan : Qkopi = m x Cpkopi x ∆T 20. Hitung nilai Qevaporasi dengan persamaan : Qevaporasi = mair x h fg .air
125 Lampiran 8. Algoritma perhitungan proses dekafeinasi (lanjutan)
21. Hitung nilai Qleaching dengan persamaan : Qleaching = (Qreaktor + Q pelarut + Qkopi + Qconv + Q pump ) / Eff .leaching 22. Hitung nilai Qreaktor dengan persamaan :
Qreaktor = mreaktor x Cp reaktor x ∆T 23. Hitung nilai Qpelarut dengan persamaan :
Q pelarut = m pelarut x Cp pelarut x ∆T 24. Hitung nilai Qkopi dengan persamaan :
Qkopi = m x Cpkopi x ∆T 25. Hitung nilai Qconv dengan persamaan :
Qconv = Areaktor x hconv x ∆T 26. Hitung nilai Qpump dengan persamaan :
Q pump = Ppump . tleaching 27. Hitung nilai Qdekafeinasi dengan persamaan :
Qdekafeinasi = Qstea min g + Qleaching
126 Lampiran 9. Program perhitungan waktu proses dekafeinasi Const m_reaktor = 1.8 Const Cp_reaktor = 0.46024 Const A_reaktor = 0.3 Const h_conv = 39650 Const Cp_air = 4.19 Const Cp_kopi = 4.145 Const Cp_pelarut = 4.2 Const hfg_air = 2258.55 Const Q_pump = 0.1885 Const Eff_steaming = 58 Const Eff_leaching = 65 Const Eff_pelarut = 1049 Const rho_pelarut = 1049 'Public xls As Excel.Application Dim Ca As Single Dim Cao As Single Dim d As Single Dim t As Single Dim c As Single Dim mk As Single Dim mair As Single Dim Tl As Single Dim Vp As Single Dim kf As Single Dim kl As Single Dim Dk As Single Dim r As Single 'jari2 Dim A As Single Dim V As Single Dim ti As Long Dim data(10000000) As Single Dim Q_reaktor As Single Dim Q_conv As Single Dim Q_air As Single Dim Q_kopi As Single Dim Q_evaporasi As Single Dim Q_streaming As Single Dim Lq_reaktor As Single Dim Lq_conv As Single Dim Lq_pelarut As Single Dim Lq_kopi As Single Dim Q_leaching As Single Dim Q_input_stem As Single Dim Q_input_leach As Single Dim m_pelarut As Single Dim v_pelarut As Single Dim xslT As Long 'Dim oExcel As Excel.Application 'Dim ExcelCht As Excel.Chart 'Dim oSheet As Excel.Worksheet 'Dim oBook As Excel.Workbook 'Dim MyExcel As Boolean Private Sub Command1_Click() Dim ai. bi. ci. x. y As Single Dim Cas As Single Dim n As Integer Dim tx As Long Dim i As Long
127 Lampiran 9. Program perhitungan waktu proses dekafeinasi (lanjutan) Command2.Enabled = True n=0 t = Val(Text4.Text) Ca = Val(Text1.Text) Cao = Val(Text2.Text) d = Val(Text3.Text) c = Val(Text5.Text) mk = Val(Text6.Text) Tl = Val(Text8.Text) mair = Val(Text7.Text) v_pelarut = Val(Text9.Text) v_pelarut = v_pelarut / 1000 m_pelarut = rho_pelarut * v_pelarut r=d/2 ai = c ^ 0.01282 bi = Exp(-1041.82 / (t + 273)) kf = 4.4106 * ai * bi Dk = ((r ^ 2) / (3.14285714 ^ 2)) * kl kl = Dk/r Cas = Cao ti = 1 data(0) = 0 Set cr.DataSource = Nothing Do While Cas > 0.30000009 x = Dk * ((-3.3319*d) + 10.302) Cas = (Cas - Ca) * Exp(-x * ti) + Ca data(ti) = Cas ti = ti + 1 Loop tx = ti xslT = tx M=1 xStep = 59 cr.RowCount = Int(tx / xStep) + 1 For i = 1 To tx Step xStep With cr .Row = M .ColumnLabel = M .data = data(i) '.DataGrid.RowLabel(i. 1) = CStr(i) End With M=M+1 Next Q_reaktor = m_reaktor * Cp_reaktor * (100 - Tl) Q_conv = A_reaktor * h_conv * (100 - Tl) Q_air = mair * Cp_air * (100 - Tl) Q_kopi = mk * Cp_kopi * (100 - Tl) Q_evaporasi = mair * hfg_air Q_streaming = Q_reaktor + Q_conv + Q_air + Q_kopi + Q_evaporasi Q_input_stem = (Q_streaming / Eff_striming) * 100 Q_input_stem = Q_input_stem / tx Text10.Text = Format(tx / 3600. "##.##") Text11.Text = Format(Q_input_stem. "##.##") Lq_reaktor = m_reaktor * Cp_reaktor * (t - Tl) Lq_conv = A_reaktor * h_conv * (t - Tl) Lq_pelarut = m_pelarut * Cp_pelarut * (t - Tl)
128 Lampiran 9. Program perhitungan waktu proses dekafeinasi (lanjutan) Lq_kopi = mk * Cp_kopi * (t - Tl) Q_leaching = Lq_reaktor + Lq_conv + Lq_pelarut + Lq_kopi Q_input_leach = (Q_leaching / Eff_leaching) * 100 Q_input_leach = Q_input_leach / tx + Q_pump Text12.Text = Format(Q_input_leach. "##.##") End Sub Private Sub Command2_Click() Dim oExcel As Object Dim oBook As Object Dim oSheet As Object Dim r As Long Dim jn As Long Dim xcr As Long Dim xi As Long Set oExcel = CreateObject("Excel.Application") Set oExcel = GetObject(. "Excel.Application") oExcel.Visible = True Set oBook = oExcel.Workbooks.Add Command3.Enabled = False ReDim DataArray1(1 To xslT) As Long ReDim DataArray2(1 To xslT) As Single For r = 1 To xslT DataArray1(r) = r DataArray2(r) = data(r) Next 'Header Set oSheet = oBook.Worksheets(1) oSheet.Range("A1:B1:C1:D1").Value = Array("Waktu". "Nilai". "Waktu". "Nilai") 'Transfer Data For r = 2 To xslT + 1 oSheet.Range("A" & r).Value = DataArray1(r - 1) oSheet.Range("B" & r).Value = DataArray2(r - 1) Next 'Buat Chart xStep = 600 s = Int(xslT / xStep) + 1 xcr = 1 For xi = 1 To xslT Step xStep xcr = xcr + 1 oSheet.Range("c" & xcr).Value = DataArray1(xi) oSheet.Range("d" & xcr).Value = DataArray2(xi) Next Set excelcht = oBook.Charts.Add excelcht.ChartType = xlLine excelcht.SetSourceData oSheet.Range("D1:D" & s). xlColumns excelcht.HasTitle = True excelcht.ChartTitle.Characters.Text = "Dekafeinisasi Biji Kopi" excelcht.Axes(xlCategory. xlPrimary).HasTitle = True excelcht.Axes(xlCategory. xlPrimary).AxisTitle.Characters.Text = "Waktu" excelcht.Axes(xlValue. xlPrimary).HasTitle = True
129 Lampiran 9. Program perhitungan waktu proses dekafeinasi (lanjutan) excelcht.Axes(xlValue. xlPrimary).AxisTitle.Characters.Text = "Nilai" excelcht.Axes(xlValue).HasMajorGridlines = False excelcht.PlotArea.Interior.ColorIndex = 0 Form1.SetFocus Command3.Enabled = True End Sub Private Sub Command3_Click() Unload Me End Sub Private Sub Form_Load() Command2.Enabled = False End Sub Private Function Fgi(xr As Long. xc As Long) As Long Fgi = xc + MF.Cols * xr End Function Public Sub BuatObjekXLS() Set xls = CreateObject("excel.application") End Sub
130
Lampiran 10. Penurunan kadar kafein prediksi dan observasi (pelarut air dan asam asetat) T50C0
T50C10
2,5
2,5
cAS-pred
cAS-obsr
cAS-pred
2
1,5
cAS, %bk ...
cAS, %bk ...
2
1
1,5
1
0,5
0,5
0
0 0
2
4
6
8
10
12
14
0
2
4
Waktu pelarutan, jam
6
8
10
12
14
Waktu pelarutan, jam
T50C30
T50C50
2,5
2,5
2
cAS-pred
cAS-pred
2
cAS-obsr cAS, %bk ....
cAS,%bk ....
cAS-obsr
1,5
1
cAS-obsr
1,5
1
0,5
0,5
0
0 0
2
4
6
8
10
12
0
14
2
4
6
8
10
12
14
Waktu pelarutan, jam
Waktu pelarutan, jam
T50C80 T50C100
2,5
2,5
cAS-pred
cAS-obsr
cAS-pred
2 cAS, %bk ....
cAS, %bk .....
2
1,5
1
0,5
cAS-obsr
1,5
1
0,5
0
0 0
2
4
6
8
Waktu pelarutan, jam
10
12
14
0
2
4
6
8
Waktu pelarutan, jam
10
12
14
131 Lampiran 10. Penurunan kadar kafein prediksi dan observasi (air dan pelarut asam asetat) (lanjutan) T60C10
T60C0
2,5
2,5
cAS-pred
cAS-pred
2
cAS-obsr
cAS, %bk ..
cAS,%bk ...
2
1,5
1
0,5
cAS-obsr
1,5
1
0,5
0
0 0
2
4
6
8
10
12
14
0
2
4
6
8
10
12
Waktu pelarutan, jam
Waktu pelarutan, jam
T60C30
T60C50
2,5
2,5
cAS-pred
cAS-obsr
cAS-pred
2 cAS, %bk ....
cAS,%bk ...
2
1,5
1
0,5
cAS-obsr
1,5
1
0,5
0
0
0
2
4
6
8
10
12
14
0
2
4
Waktu pelarutan, jam
6
8
10
12
14
Waktu pelarutan, jam
T60C80
T60C100
2,5
2,5
cAS-pred
2
cAS-obsr
cAS-pred
2
1,5
cAS, %bk ..
cAS, %bk ...
14
1
0,5
cAS-obsr
1,5
1
0,5
0
0
0
2
4
6
8
Waktu pelarutan, jam
10
12
14
0
2
4
6
8
Waktu pelarutan, jam
10
12
14
132 Lampiran 10. Penurunan kadar kafein prediksi dan observasi (pelarut air dan asam asetat) (lanjutan) T70C0
T70C10
2,5
2,5 cAS-pred
cAS-obsr
cAS-pred
2
cAS, %bk ..
cAS, %bk ...
2
1,5
1
0,5
cAS-obsr
1,5
1
0,5
0
0 0
2
4
6
8
10
12
0
2
Waktu pelarutan, jam
4
6
8
10
12
Waktu pelarutan, jam
T70C30 T70C50
2,5
2,5
cAS-pred
cAS-obsr
cAS-pred
2 cAS, %bk ...
cAS, %bk ...
2
1,5
1
0,5
1,5
1
0,5
0
0
0
2
4
6
8
10
12
0
2
Waktu pelarutan, jam
4
6
8
10
12
Waktu pelarutan, jam
T70C80
T70C100
2,5
2,5
cAS-pred
cAS-obsr
2 cAS, %bk ..
2 cAS, %bk ...
cAS-obsr
1,5
1
0,5
cAS-pred
cAS-obsr
1,5
1
0,5
0
0
0
2
4
6
8
Waktu pelarutan, jam
10
12
0
2
4
6
8
Waktu pelarutan, jam
10
12
133 Lampiran 10. Penurunan kadar kafein prediksi dan observasi (pelarut air dan asam asetat) (lanjutan) T80C10
T80C0
2,5
2,5 cAS-pred
cAS-obsr
2 cAS, %bk ...
cAS, %bk ..
2
1,5
1
cAS-pred
cAS-obsr
1,5
1
0,5
0,5
0
0 0
2
4
6
8
10
0
12
2
4
6
8
10
Waktu pelarutan, jam
Waktu pelarutan, jam
T80C30
T80C50 2,5
2,5 cAS-pred
cAS-obsr
cAS-pred
2 cAS, %bk ..
cAS, %bk ..
2
1,5
1
0,5
cAS-obsr
1,5
1
0,5
0
0 0
2
4
6
8
10
12
0
2
Waktu pelarutan, jam
cAS-pred
6
8
10
12
T80C100
T80C80
2,5
cAS-obsr
cAS-pred
2 cAS, %bk ...
2
4
Waktu pelarutan, jam
2,5
cAS, %bk ...
12
1,5
1
0,5
cAS-obsr
1,5
1
0,5
0
0
0
2
4
6
8
Waktu pelarutan, jam
10
12
0
2
4
6
8
Waktu pelarutan, jam
10
12
134 Lampiran 10. Penurunan kadar kafein prediksi dan observasi (pelarut air dan asam asetat) (lanjutan) T90C0
T90C10
2,5
2,5
cAS-pred
cAS-obsr cAS-pred
2 cAS, %bk ...
cAS, %bk ..
2
1,5
1
0,5
cAS-obsr
1,5
1
0,5
0
0 0
2
4
6
8
10
0
12
2
4
6
8
10
Waktu pelarutan, jam
Waktu pelarutan, jam
T90C30
T90C50
2,5
2,5
cAS-pred
cAS-obsr cAS-pred
2
1,5
cAS, %bk ...
cAS, %bk ...
2
1
cAS-obsr
1,5
1
0,5
0,5
0
0
0
2
4
6
8
10
12
0
2
4
Waktu pelarutan, jam
6
8
10
12
Waktu pelarutan, jam
T90C80
T90C100
2,5
2,5
cAS-pred
2
cAS-obsr
cAS-pred
2 cAS, %bk ..
cAS, %bk ...
12
1,5
1
0,5
cAS-obsr
1,5
1
0,5
0
0
0
2
4
6
8
Waktu pelarutan, jam
10
12
0
2
4
6
8
Waktu pelarutan, jam
10
12
135 Lampiran 10. Penurunan kadar kafein prediksi dan observasi (pelarut air dan asam asetat) (lanjutan) T100C10
T100C0
2,5
2,5 cAS-pred
cAS-pred
cAS-obsr
cAS, %bk ..
cAS, %bk ...
cAS-obsr
2
2
1,5
1
1,5
1
0,5
0,5
0
0 0
2
4
6
8
0
10
2
Waktu pelarutan, jam
4
6
8
10
Waktu pelarutan, jam
T100C30
T100C50
2,5
2,5
cAS-pred
cAS-obsr
cAS-pred
2
cAS, %bk ...
cAS, %bk ...
2
1,5
1
0,5
cAS-obsr
1,5
1
0,5
0
0 0
2
4
6
8
10
0
2
4
6
8
Waktu pelaruan, jam
Waktu pelarutan, jam
T100C100
T100C80 2,5
2,5 cAS-pred
cAS-obsr
cAS-pred
2 cAS, %bk ..
2 cAS, %bk ...
10
1,5
1
cAS-obsr
1,5
1
0,5
0,5
0
0 0
2
4
6
Waktu pelarutan, jam
8
10
0
2
4
6
Waktu pelautan, jam
8
10
136 Lampiran 11. Data uji sensori ”Aroma” (pelarut air dan asam asetat) Suhu pelarut 50oC 0
2
3
4
5
Waktu, jam 6
0
3.5
3.2
3.1
3
3
10
3.5
3.2
3.1
3
30
3.5
3.3
3.2
50
3.5
3.4
3.3
80
3.5
3.4
100
3.5
Konsentrasi %
7
8
9
10
11
2.9
2.8
2.7
2.8
2.6
2.6
3
3
3
2.9
2.9
2.8
2.9
3.2
3.1
3.1
3.1
2.9
3
3
3
3.3
3.2
3.1
3.2
3
3.1
3.1
3.1
3.4
3.4
3.4
3.3
3.3
3.2
3.2
3.2
3.2
3.5
3.5
3.4
3.3
3.4
3.3
3.3
3.2
3.2
3.2
0
2
3
4
Waktu, jam 5 6
7
8
9
10
0
3.5
3.1
3
2.9
2.8
2.7
2.6
2.6
2.4
2.4
10
3.5
3.2
3
3
2.9
2.8
2.7
2.6
2.5
2.5
30
3.5
3.2
3
3.1
3
2.9
2.9
2.6
2.7
2.6
50
3.5
3.3
3.2
3.2
3.1
3.1
3
3
3
2.8
80
3.5
3.4
3.3
3.3
3.2
3.1
3.2
3.1
3.1
3
100
3.5
3.5
3.4
3.3
3.3
3.4
3.2
3.2
3.2
3.1
0
2
3
4
6
7
8
9
0
3.5
3.2
2.9
2.9
2.7
2.7
2.6
2.5
2.4
10
3.5
3.1
2.9
2.9
2.8
2.7
2.6
2.5
2.4
30
3.5
3.3
3
3
2.8
2.8
2.7
2.8
2.8
50
3.5
3.2
3.1
3
2.9
2.9
2.8
2.7
2.8
80
3.5
3.3
3.3
3.2
3.1
3.1
3.1
3
2.9
100
3.5
3.3
3.4
3.3
3.2
3.2
3.2
3.1
3.1
0
2
3
4
6
7
8
9
0
3.5
3
3
2.9
2.6
2.7
2.5
2.4
2.3
10
3.5
3.1
3
2.8
2.7
2.6
2.5
2.4
2.4
30
3.5
3.1
3.1
2.9
2.9
2.7
2.7
2.6
2.6
50
3.5
3.2
3.2
3.1
3
3
3
2.7
2.8
80
3.5
3.3
3.3
3.2
3.1
3
3.1
3
3
100
3.5
3.4
3.4
3.3
3.2
3.3
3.2
3
3
Suhu pelarut 60oC Konsentrasi %
Suhu pelarut 70oC Konsentrasi %
Waktu, jam 5
Suhu pelarut 80oC Konsentrasi %
Waktu, jam 5
Keterangan : skala nilai maksimum 5 dengan diskripsi : 0 (none), 1 (low), 2 (low-medium), 3 (medium), 4 (medium-high) dan 5 (high) untuk sensoris aroma, flavor, bodi dan bitterness; 0 (undrinkable), 1 (very bad), 2 (bad), 3 (acceptable), 4 (good) dan 5 (very good) untuk finish appreciation (FA) (Sumber : Atmawinata, 2001)
137 Lampiran 11. Data uji sensori ”Aroma” (pelarut air dan asam asetat) (lanjutan) Suhu pelarut 90oC Konsentrasi %
Waktu, jam 4 5
0
2
3
0
3.5
3
2.9
2.8
10
3.5
3.2
3
30
3.5
3.3
50
3.5
80 100
6
7
8
2.8
2.6
2.4
2.3
2.8
2.9
2.6
2.5
2.3
3.2
3
3
2.7
2.5
2.5
3.2
3.1
3.1
3
2.9
2.7
2.5
3.5
3.3
3.3
3.1
3.3
3.3
3.1
3
3.5
3.4
3.4
3
3.2
3.3
3.1
3.1
5
6
7
Suhu pelarut 100oC Konsentrasi %
Waktu, jam 3 4
0
2
0
3.5
3.0
2.8
2.7
2.6
2.2
2.3
10
3.5
3
2.9
2.8
2.5
2.3
2.3
30
3.5
3.2
2.9
3
2.7
2.4
2.4
50
3.5
3.1
3.1
3
3.1
3
2.8
80
3.5
3.3
3.3
3.3
3.2
3.1
3
100
3.5
3.4
3.4
3.2
3.3
3.2
3.1
Keterangan : skala nilai maksimum 5 dengan diskripsi : 0 (none), 1 (low), 2 (low-medium), 3 (medium), 4 (medium-high) dan 5 (high) untuk sensoris aroma, flavor, bodi dan bitterness; 0 (undrinkable), 1 (very bad), 2 (bad), 3 (acceptable), 4 (good) dan 5 (very good) untuk finish appreciation (FA) (Sumber : Atmawinata, 2001)
138 Lampiran 12. Data uji sensori ”Flavor” (pelarut air dan asam asetat) Suhu pelarut 50oC Konsentrasi %
0
2
3
4
5
0
3.5
2.7
2.7
2.6
2.5
10
3.5
3
2.8
2.7
30
3.5
3.1
3.2
50
3.5
3.2
3.2
80
3.5
3.4
100
3.5
Waktu, jam 6
7
8
9
10
11
2.6
2.5
2.4
2.3
2.3
2.4
2.6
2.6
2.5
2.5
2.4
2.3
2.4
3.1
3.1
3.1
3
2.9
2.7
2.5
2.5
3.2
3
3.1
3
3
2.9
2.6
2.5
3.4
3.4
3.2
3.2
3.1
3
3
2.8
2.7
3.5
3.4
3.3
3.3
3.2
3
2.9
2.8
2.7
2.7
0
2
3
4
Waktu, jam 5 6
7
8
9
10
0
3.5
2.7
2.7
2.5
2.4
2.4
2.5
2.3
2.3
2.3
10
3.5
2.9
2.8
2.7
2.6
2.5
2.4
2.4
2.3
2.4
30
3.5
3.1
3.1
3
2.9
2.8
2.6
2.6
2.5
2.5
50
3.5
3.1
3
3
2.9
2.8
2.7
2.7
2.6
2.6
80
3.5
3.3
3.1
3.2
3
2.9
2.9
2.8
2.8
2.6
100
3.5
3.4
3.3
3.3
3.2
3.1
3
2.9
2.8
2.7
0
2
3
4
6
7
8
9
0
3.5
2.5
2.4
2.5
2.4
2.4
2.3
2.2
2.1
10
3.5
2.5
2.6
2.4
2.5
2.4
2.2
2.2
2.2
30
3.5
3
3
2.8
2.7
2.7
2.5
2.3
2.4
50
3.5
3.1
3
3
2.8
2.8
2.6
2.4
2.6
80
3.5
3.3
3.2
3.1
3
2.9
2.8
2.7
2.7
100
3.5
3.3
3.3
3.3
3.2
3.1
3
2.9
2.8
0
2
3
4
6
7
8
9
0
3.5
2.3
2.5
2.5
2.4
2.4
2.3
2.2
2.1
10
3.5
2.4
2.5
2.5
2.5
2.3
2.3
2.2
2.2
30
3.5
2.9
2.8
2.8
2.6
2.5
2.4
2.2
2.1
50
3.5
3.2
3
3
2.8
2.6
2.6
2.4
2.5
80
3.5
3.3
3.2
3.1
3
2.9
2.9
2.6
2.6
100
3.5
3.4
3.3
3.2
3.2
3
3
3
2.8
Suhu pelarut 60oC Konsentrasi %
Suhu pelarut 70oC Konsentrasi %
Waktu, jam 5
Suhu pelarut 80oC Konsentrasi %
Waktu, jam 5
Keterangan : skala nilai maksimum 5 dengan diskripsi : 0 (none), 1 (low), 2 (low-medium), 3 (medium), 4 (medium-high) dan 5 (high) untuk sensoris aroma, flavor, bodi dan bitterness; 0 (undrinkable), 1 (very bad), 2 (bad), 3 (acceptable), 4 (good) dan 5 (very good) untuk finish appreciation (FA) (Sumber : Atmawinata, 2001)
139 Lampiran 12. Data uji sensori ”Flavor” (pelarut air dan asam asetat) (lanjutan) Suhu pelarut 90oC Konsentrasi %
Waktu, jam 4 5
0
2
3
0
3.5
2.4
2.5
2.4
10
3.5
2.8
2.5
30
3.5
3
50
3.5
80 100
6
7
8
2.4
2.3
2.1
2
2.4
2.3
2.3
2.2
2.1
2.7
2.5
2.4
2.4
2.3
2.2
3
2.8
2.5
2.6
2.6
2.5
2.5
3.5
3.2
3.1
3
2.9
2.9
2.8
2.6
3.5
3.3
3.3
3.2
3.3
3
3
2.9
5
6
7
Suhu pelarut 100oC Konsentrasi %
Waktu, jam 3 4
0
2
0
3.5
2.5
2.6
2.4
2.5
2.2
2.0
10
3.5
2.7
2.7
2.3
2.2
2.2
2.1
30
3.5
2.9
2.7
2.3
2.4
2.3
2.2
50
3.5
3
2.8
2.6
2.6
2.4
2.3
80
3.5
3.1
3
2.8
2.7
2.5
2.4
100
3.5
3.2
3.1
3
3
2.8
2.8
Keterangan : skala nilai maksimum 5 dengan diskripsi : 0 (none), 1 (low), 2 (low-medium), 3 (medium), 4 (medium-high) dan 5 (high) untuk sensoris aroma, flavor, bodi dan bitterness; 0 (undrinkable), 1 (very bad), 2 (bad), 3 (acceptable), 4 (good) dan 5 (very good) untuk finish appreciation (FA) (Sumber : Atmawinata, 2001)
140 Lampiran 13. Data uji sensori ”Bitterness” (pelarut air dan asam asetat) Suhu pelarut 50oC Konsentrasi %
0
2
3
4
5
0
3.5
2.8
2.8
2.8
2.7
10
3.5
2.8
2.7
2.7
30
3.5
2.7
2.6
50
3.5
2.6
2.6
80
3.5
2.5
100
3.5
Waktu, jam 6
7
8
9
10
11
2.7
2.6
2.6
2.5
2.4
2.3
2.6
2.7
2.6
2.6
2.4
2.4
2.2
2.7
2.7
2.5
2.4
2.4
2.3
2.3
2.1
2.5
2.7
2.5
2.4
2.5
2.4
2.3
2.2
2.5
2.4
2.4
2.3
2.3
2.2
2.1
2
2
2.4
2.5
2.4
2.3
2.3
2.2
2.2
2
2
2
0
2
3
4
Waktu, jam 5 6
7
8
9
10
0
3.5
2.6
2.5
2.5
2.5
2.4
2.4
2.3
2.3
2.2
10
3.5
2.5
2.5
2.4
2.4
2.3
2.4
2.3
2.2
2.2
30
3.5
2.5
2.5
2.4
2.3
2.3
2.3
2.2
2.2
2.1
50
3.5
2.3
2.4
2.3
2.3
2.3
2.2
2
2.1
2.1
80
3.5
2.4
2.3
2.3
2.2
2.3
2.1
2.1
2
2
100
3.5
2.2
2.2
2.2
1.9
2
2
1.9
1.9
1.8
0
2
3
4
Waktu, jam 5
6
7
8
9
0
3.5
2.3
2.3
2.2
2.1
2.1
2
2
2
10
3.5
2.3
2.2
2.2
2.1
2.1
2
1.9
2
30
3.5
2.2
2.2
2
2.1
2.1
2
2
1.8
50
3.5
2.2
2.2
2.2
2.1
2
2
1.9
1.9
80
3.5
2.1
2.2
2.1
2
1.9
1.9
1.8
1.8
100
3.5
2.1
2.1
2
2
1.9
1.8
1.7
1.7
0
2
3
4
6
7
8
9
0
3.5
2.2
2.1
2
2
2
1.9
1.9
1.8
10
3.5
2.2
2.2
2.1
2
1.9
2
1.9
1.8
30
3.5
2.1
2.2
2
1.8
1.9
1.8
1.7
1.7
50
3.5
2.1
2.1
2
1.9
1.8
1.8
1.6
1.7
80
3.5
2.1
2
2
1.7
1.8
1.7
1.6
1.6
100
3.5
2
1.9
1.7
1.9
1.7
1.7
1.6
1.6
Suhu pelarut 60oC Konsentrasi %
Suhu pelarut 70oC Konsentrasi %
Suhu pelarut 80oC Konsentrasi %
Waktu, jam 5
Keterangan : skala nilai maksimum 5 dengan diskripsi : 0 (none), 1 (low), 2 (low-medium), 3 (medium), 4 (medium-high) dan 5 (high) untuk sensoris aroma, flavor, bodi dan bitterness; 0 (undrinkable), 1 (very bad), 2 (bad), 3 (acceptable), 4 (good) dan 5 (very good) untuk finish appreciation (FA) (Sumber : Atmawinata, 2001)
141 Lampiran 13. Data uji sensori ”Bitterness” (pelarut air dan asam asetat) (lanjutan) Suhu pelarut 90oC Konsentrasi %
Waktu, jam 4 5
0
2
3
0
3.5
2.2
2.1
2
10
3.5
2.1
2.2
30
3.5
2.2
50
3.5
80 100
6
7
8
2
2
1.9
1.9
2.1
2
1.9
1.8
1.8
2.2
2
1.8
1.8
1.7
1.7
2.1
2
2
1.7
1.8
1.7
1.6
3.5
1.9
1.8
1.8
1.7
1.6
1.6
1.5
3.5
1.8
1.8
1.7
1.6
1.6
1.5
1.6
5
6
7
Suhu pelarut 100oC Konsentrasi %
Waktu, jam 3 4
0
2
0
3.5
2.1
2.3
2.0
2.0
2.1
1.8
10
3.5
2.2
2.1
2.1
2
2
1.8
30
3.5
2
2
1.9
1.8
1.8
1.7
50
3.5
1.9
1.9
1.8
1.7
1.8
1.6
80
3.5
1.8
1.7
1.6
1.6
1.5
1.6
100
3.5
1.7
1.7
1.6
1.5
1.5
1.5
Keterangan : skala nilai maksimum 5 dengan diskripsi : 0 (none), 1 (low), 2 (low-medium), 3 (medium), 4 (medium-high) dan 5 (high) untuk sensoris aroma, flavor, bodi dan bitterness; 0 (undrinkable), 1 (very bad), 2 (bad), 3 (acceptable), 4 (good) dan 5 (very good) untuk finish appreciation (FA) (Sumber : Atmawinata, 2001)
142 Lampiran 14. Data uji sensori ”Body” (pelarut air dan asam asetat) Suhu pelarut 50oC Konsentrasi %
0
2
3
4
5
0
3.5
3
3
2.9
2.9
10
3.5
3.2
3.1
3
3
30
3.5
3.3
3.2
3.1
50
3.5
3.4
3.4
3.2
80
3.5
3.5
3.4
100
3.5
3.5
0 0
Waktu, jam 6
7
8
9
10
11
2.8
2.7
2.6
2.7
2.6
2.6
2.9
2.9
2.8
2.8
2.6
2.6
3.1
3
2.9
2.9
2.9
2.7
2.7
3.3
3.1
3.1
3
3
2.9
2.8
3.3
3.3
3.2
3.2
3.1
3.1
3
2.9
3.5
3.4
3.3
3.3
3.3
3.2
3.2
3.2
3
2
3
4
Waktu, jam 5 6
7
8
9
10
3.5
2.8
2.8
2.7
2.5
2.6
2.6
2.5
2.5
2.5
10
3.5
2.9
2.9
2.8
2.8
2.7
2.7
2.6
2.6
2.5
30
3.5
3
3
2.9
2.9
2.8
2.8
2.6
2.7
2.6
50
3.5
3.2
3.1
3
3
3
2.9
2.7
2.7
2.6
80
3.5
3.3
3.2
3.2
3.1
3.1
3
3
2.9
2.8
100
3.5
3.4
3.3
3.3
3.2
3.2
3
2.9
3
2.9
0
2
3
4
6
7
8
9
0
3.5
2.8
2.8
2.7
2.7
2.6
2.5
2.5
2.4
10
3.5
2.9
2.9
2.8
2.8
2.7
2.6
2.5
2.4
30
3.5
3
3
2.9
2.9
2.8
2.7
2.7
2.6
50
3.5
3
3.1
3
2.9
2.9
2.8
2.6
2.7
80
3.5
3.2
3.1
3.1
3
3
2.8
2.8
2.7
100
3.5
3.3
3.2
3.2
3.1
3.1
3
2.9
2.9
0
2
3
4
6
7
8
9
0
3.5
2.6
2.6
2.6
2.5
2.5
2.4
2.4
2.3
10
3.5
2.8
2.9
2.8
2.6
2.7
2.6
2.5
2.5
30
3.5
3
3
2.9
2.9
2.8
2.7
2.6
2.6
50
3.5
3
3
3
2.9
2.8
2.8
2.7
2.6
80
3.5
3.1
3.1
3
3.1
3
2.9
2.8
2.7
100
3.5
3.2
3.2
3.1
3.1
3
3
2.8
2.8
Suhu pelarut 60oC Konsentrasi %
Suhu pelarut 70oC Konsentrasi %
Waktu, jam 5
Suhu pelarut 80oC Konsentrasi %
Waktu, jam 5
Keterangan : skala nilai maksimum 5 dengan diskripsi : 0 (none), 1 (low), 2 (low-medium), 3 (medium), 4 (medium-high) dan 5 (high) untuk sensoris aroma, flavor, bodi dan bitterness; 0 (undrinkable), 1 (very bad), 2 (bad), 3 (acceptable), 4 (good) dan 5 (very good) untuk finish appreciation (FA) (Sumber : Atmawinata, 2001)
143 Lampiran 14. Data uji sensori ”Body” (pelarut air dan asam asetat) (lanjutan) Suhu pelarut 90oC Konsentrasi %
Waktu, jam 4 5
0
2
3
0
3.5
2.5
2.4
2.3
10
3.5
2.8
2.7
30
3.5
3
50
3.5
80 100
6
7
8
2.3
2.2
2.2
2.2
2.6
2.5
2.3
2.3
2.3
2.8
2.8
2.7
2.6
2.5
2.6
3
2.9
2.9
2.8
2.8
2.7
2.7
3.5
3.1
3
3
2.9
2.9
2.8
2.8
3.5
3.1
3.2
3.1
3
3
2.8
2.8
5
6
7
Suhu pelarut 100oC Konsentrasi %
Waktu, jam 3 4
0
2
0
3.5
2.4
2.4
2.2
2.3
2.2
2.2
10
3.5
2.6
2.7
2.5
2.4
2.3
2.3
30
3.5
3
2.8
2.7
2.6
2.4
2.3
50
3.5
3
2.9
2.8
2.6
2.5
2.6
80
3.5
3.1
3
2.9
2.8
2.7
2.7
100
3.5
3.1
3.1
3
2.9
2.8
2.8
Keterangan : skala nilai maksimum 5 dengan diskripsi : 0 (none), 1 (low), 2 (low-medium), 3 (medium), 4 (medium-high) dan 5 (high) untuk sensoris aroma, flavor, bodi dan bitterness; 0 (undrinkable), 1 (very bad), 2 (bad), 3 (acceptable), 4 (good) dan 5 (very good) untuk finish appreciation (FA) (Sumber : Atmawinata, 2001)
144 Lampiran 15. Data uji sensori ”Finís Appreciation” (pelarut air dan asam asetat) Suhu pelarut 50oC Konsentrasi %
0
2
3
4
5
0
3.5
3.1
3
2.9
2.8
10
3.5
3.1
3.1
3
30
3.5
3.2
3.1
50
3.5
3.2
3.1
80
3.5
3.4
100
3.5
Waktu, jam 6
7
8
9
10
11
2.7
2.6
2.4
2.4
2.3
2.3
3
2.8
2.9
2.8
2.6
2.4
2.3
3.1
3
3
2.8
2.7
2.7
2.6
2.5
3
3
3
2.9
2.9
2.8
2.7
2.6
3.4
3.2
3.2
3.1
3
2.9
2.8
2.8
2.7
3.5
3.5
3.4
3.3
3.3
3.1
3
3.1
2.9
2.8
0
2
3
4
Waktu, jam 5 6
7
8
9
10
0
3.5
3
3
2.9
2.8
2.6
2.5
2.4
2.3
2.2
10
3.5
3
3.1
3
2.9
2.7
2.6
2.5
2.4
2.3
30
3.5
3.1
3.1
3
3
2.9
2.7
2.6
2.4
2.3
50
3.5
3.2
3.2
3.1
3.1
3
2.8
2.7
2.6
2.5
80
3.5
3.3
3.2
3.2
3.2
3
3
2.9
2.7
2.6
100
3.5
3.5
3.4
3.3
3.3
3.1
3.1
2.9
2.8
2.7
0
2
3
4
6
7
8
9
0
3.5
2.9
2.9
2.8
2.7
2.5
2.3
2.3
2.3
10
3.5
3
3
2.9
2.8
2.6
2.5
2.4
2.3
30
3.5
3.1
3
3
2.9
2.7
2.8
2.6
2.4
50
3.5
3.1
3.1
3
2.9
2.8
2.8
2.6
2.5
80
3.5
3.3
3.2
3.1
3
2.9
2.8
2.7
2.7
100
3.5
3.3
3.3
3.2
3.2
3
2.9
2.8
2.8
0
2
3
4
Waktu, jam 5
6
7
8
9
0
3.5
2.8
2.9
2.8
2.6
2.5
2.4
2.3
2.1
10
3.5
3
2.9
2.8
2.6
2.5
2.4
2.3
2.3
30
3.5
3
3
2.9
2.8
2.6
2.5
2.5
2.4
50
3.5
3
3.1
3
2.9
2.7
2.6
2.5
2.4
80
3.5
3.2
3.2
3
3
2.9
2.6
2.6
2.5
100
3.5
3.3
3.3
3.1
3.2
3
2.8
2.7
2.7
Suhu pelarut 60oC Konsentrasi %
Suhu pelarut 70oC Konsentrasi %
Waktu, jam 5
Suhu pelarut 80oC Konsentrasi %
Keterangan : skala nilai maksimum 5 dengan diskripsi : 0 (none), 1 (low), 2 (low-medium), 3 (medium), 4 (medium-high) dan 5 (high) untuk sensoris aroma, flavor, bodi dan bitterness; 0 (undrinkable), 1 (very bad), 2 (bad), 3 (acceptable), 4 (good) dan 5 (very good) untuk finish appreciation (FA) (Sumber : Atmawinata, 2001)
145 Lampiran 15. Data uji sensori ”Finís Appreciation” (pelarut air dan asam asetat) (lanjutan) Suhu pelarut 90oC Konsentrasi %
Waktu, jam 4 5
0
2
3
0
3.5
2.9
2.8
2.7
10
3.5
2.9
2.8
30
3.5
3
50
3.5
80 100
6
7
8
2.5
2.5
2.2
2.2
2.6
2.5
2.3
2.4
2.3
3
2.7
2.6
2.5
2.5
2.4
3.1
3.1
2.9
2.8
2.6
2.5
2.4
3.5
3.2
3.2
3
2.8
2.8
2.6
2.5
3.5
3.3
3.2
3.2
3
2.9
2.7
2.6
5
6
7
Suhu pelarut 100oC Konsentrasi %
Waktu, jam 3 4
0
2
0
3.5
2.8
2.8
2.6
2.6
2.5
2.2
10
3.5
2.8
2.8
2.5
2.5
2.5
2.3
30
3.5
2.9
2.8
2.6
2.7
2.6
2.4
50
3.5
3
3
2.7
2.7
2.7
2.4
80
3.5
3.1
2.9
2.9
2.8
2.6
2.6
100
3.5
3.2
3.1
3
2.9
2.8
2.6
Keterangan : skala nilai maksimum 5 dengan diskripsi : 0 (none), 1 (low), 2 (low-medium), 3 (medium), 4 (medium-high) dan 5 (high) untuk sensoris aroma, flavor, bodi dan bitterness; 0 (undrinkable), 1 (very bad), 2 (bad), 3 (acceptable), 4 (good) dan 5 (very good) untuk finish appreciation (FA) (Sumber : Atmawinata, 2001)
146 Lampiran 16. Analisis ANOVA hasil RSM dengan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao A. Pelarut asam asetat Summary results waktu-observasi . laju_pelarutan . . kadar_kafein . . . waktu_prediksi -----------------------------------------------------*** *** * *** 1 suhu . . ** *** 2 konsentrasi . . . *** 3 suhu*konsentrasi . * . *** 4 suhu^2 . . . *** 5 konsentrasi^2 Effects for response 'waktu-observasi' EFFECTS 5.011 -2.026 -0.260 0.053 -0.090 0.167
RESLTN 0 *** 0.584 0.481 0.392 0.470
SIG TERM CONSTANT 1 suhu 2 konsentrasi 3 suhu*konsentrasi 4 suhu^2 5 konsentrasi^2
Residual SD = 0.211431 Replicate SD = 0.000000 N terms =6 N unique trials = 11 N replicates =3 N total trials = 14 Cross val RMS = 0.370745
Effects for response 'laju_pelarutan' EFFECTS
RESLTN
SIG
0.3905 0.1604 0.0168 -0.0017 0.0250 -0.0114
0 *** 0.0370 0.0283 * 0.0302
CONSTANT 1 suhu 2 konsentrasi 3 suhu*konsentrasi 4 suhu^2 5 konsentrasi^2
Residual SD = 0.013134 Replicate SD = 0.000000 N terms =6 N unique trials = 11 N replicates =3 N total trials = 14 Cross val RMS = 0.023166
TERM
147 Lampiran 16. Analisis ANOVA hasil RSM dengan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao (lanjutan) Coefficients for response 'waktu-observasi' COEFFICIENTS 5.01069 -0.0405243 -0.00288549 2.35063e-005 -0.000144489 8.23262e-005 N trials N terms
SD
P
CONDITION TERM
0.00282058 0.00156448 8.2574e-005 0.000209358 6.49528e-005
0 0.0000 0.1024 0.78310.50960.2406-
CONSTANT 0.989 1 suhu 0.990 2 konsentrasi 0.984 3 suhu*konsentrasi 0.958 4 suhu^2 0.958 5 konsentrasi^2
= 14 =6
Residual SD = 0.211431 Residual DF = 8 Residual SD used for tests Replicate SD = 0.000000 Replicate DF = 3 Cross val RMS = 0.370745 R Squared = 0.963. P=0.0000 *** Adj R Squared = 0.940 Maximum Cook-Weisberg LD influence (scaled 0-1) = 1.000 - This term may be eliminated Coefficients for response 'laju_pelarutan' COEFFICIENTS 0.390497 0.00320806 0.000186806 -7.41199e-007 4.00741e-005 -5.62626e-006 N trials N terms
SD
P
CONDITION TERM
0.000175208 9.71823e-005 5.12931e-006 1.30049e-005 4.03472e-006
0 0.0000 0.0908 0.88870.0151 0.2007
CONSTANT 0.989 1 suhu 0.990 2 konsentrasi 0.984 3 suhu*konsentrasi 0.958 4 suhu^2 0.958 5 konsentrasi^2
= 14 =6
Residual SD = 0.013134 Residual DF = 8 Residual SD used for tests Replicate SD = 0.000000 Replicate DF = 3 Cross val RMS = 0.023166 R Squared = 0.978. P=0.0000 *** Adj R Squared = 0.964 Maximum Cook-Weisberg LD influence (scaled 0-1) = 1.000 - This term may be eliminated
148 Lampiran 16. Analisis ANOVA hasil RSM dengan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao (lanjutan) ANOVA Table for response 'waktu-observasi' Mean Squares DF P --------------------------------------------------------------------------4.61754 2 0.0000 suhu 0.109967 2 0.1470 konsentrasi 0.0036226 1 0.7831 suhu*konsentrasi 0.044703 8 ERROR 0 3 REPLICATE ERROR ANOVA Table for response 'laju_pelarutan' Mean Squares DF P --------------------------------------------------------------------------0.0295537 2 0.0000 suhu 0.000477646 2 0.1219 konsentrasi 3.6018e-006 1 0.8887 suhu*konsentrasi 0.000172492 8 ERROR 0 3 REPLICATE ERROR
B. Pelarut limbah cair fermentasi biji kakao Summary results waktu-observasi . laju_pelarutan . . kadar_kafein . . . waktu_prediksi --------------------------------------------------* * * *** 1 suhu . . ** *** 2 konsentrasi . . . *** 3 suhu*konsentrasi . . . *** 4 suhu^2 . . . *** 5 konsentrasi^2
Effects for response 'waktu-observasi' EFFECTS 6.491 -1.183 -0.078 0.099 -0.222 0.592 Residual SD
RESLTN 0 * 1.161 1.528 1.229 1.604
SIG TERM CONSTANT 1 suhu 2 konsentrasi 3 suhu*konsentrasi 4 suhu^2 5 konsentrasi^2
= 0.705304. and Replicate SD = 1.000000
N terms =6 N unique trials = 11 N replicates =3 N total trials = 14 Cross val RMS = 0.638985
149 Lampiran 16. Analisis ANOVA hasil RSM dengan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao (lanjutan) Effects for response 'laju_pelarutan' EFFECTS 0.30519 0.05131 0.00511 -0.00220 0.01180 -0.02322 Residual SD
RESLTN 0 * 0.04982 0.06120 0.05335 0.06499
SIG TERM CONSTANT 1 suhu 2 konsentrasi 3 suhu*konsentrasi 4 suhu^2 5 konsentrasi^2
= 0.029116. and Replicate SD = 0.041393
N terms =6 N unique trials = 11 N replicates =3 N total trials = 14 Cross val RMS = 0.024730 Coefficients for response 'waktu-observasi' Centered continuous variables COEFFICIENTS 6.49078 -0.0236578 -0.000868441 4.40252e-005 -0.000355753 0.00029231 N trials N terms
SD
P
0.00940908 0.00521891 0.000275456 0.00069839 0.000216674
0.0361 0.8720 0.8770 0.6242 0.2142
CONDITION 0 0.989 -0.990 -0.984 -0.958 -0.958
TERM CONSTANT 1 suhu 2 konsentrasi 3 suhu*konsentrasi 4 suhu^2 5 konsentrasi^2
= 14 =6
Residual SD = 0.705304 Residual DF = 8 Residual SD used for tests Replicate SD = 1.000000 Replicate DF = 3 Cross val RMS = 0.638985 R Squared = 0.524. P=0.2273 Adj R Squared = 0.226 Maximum Cook-Weisberg LD influence (scaled 0-1) = 0.432 - This term may be eliminated Coefficients for response 'laju_pelarutan' Centered continuous variables COEFFICIENTS 0.305188 0.00102628 5.6763e-005 -9.79058e-007 1.88809e-005 -1.14663e-005
SD
0.000388419 0.000215443 1.13712e-005 2.88304e-005 8.94456e-006
P
CONDITION
TERM
0.0296 0.7988 0.9335 0.5309 0.2358
0 0.989 -0.990 -0.984 -0.958 -0.958
CONSTANT 1 suhu 2 konsentrasi 3 suhu*konsentrasi 4 suhu^2 5 konsentrasi^2
150 Lampiran 16. Analisis ANOVA hasil RSM dengan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao (lanjutan) N trials N terms
= 14 =6
Residual SD = 0.029116 Residual DF = 8 Residual SD used for tests Replicate SD = 0.041393 Replicate DF = 3 Cross val RMS = 0.024730 R Squared = 0.544. P=0.1990 Adj R Squared = 0.258 Maximum Cook-Weisberg LD influence (scaled 0-1) = 0.266 - This term may be eliminated
ANOVA Table for response 'waktu-observasi' Mean Squares DF P ------------------------------------------------------------1.62511 2 0.0918 suhu 0.457592 2 0.4369 konsentrasi 0.0127073 1 0.8770 suhu*konsentrasi 0.497454 8 ERROR 1 3 REPLICATE ERROR ANOVA Table for response 'laju_pelarutan' Mean Squares DF P -----------------------------------------------------------0.0031133 2 0.0739 suhu 0.000720732 2 0.4626 konsentrasi 6.28444e-006 1 0.9335 suhu*konsentrasi 0.000847734 8 ERROR 0.00171336 3 REPLICATE ERROR
C. Pelarut tersier pulpa kakao Summary results waktu-observasi . laju-pelarutan . . kadar-kafein . . . waktu-prediksi --------------------------------------------------------** ** * *** 1 suhu . . ** *** 2 konsentrasi . . . *** 3 suhu*konsentrasi . . . *** 4 suhu^2 . . . *** 5 konsentrasi^2
151 Lampiran 16. Analisis ANOVA hasil RSM dengan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao (lanjutan) Effects for response 'waktu-observasi' EFFECTS
RESLTN SIG TERM
7.581 -1.349 -0.249 -0.335 -0.324 0.747
0 ** 1.086 1.439 1.101 1.529
Residual SD
CONSTANT 1 suhu 2 konsentrasi 3 suhu*konsentrasi 4 suhu^2 5 konsentrasi^2
= 0.544925. and Replicate SD = 0.577350
N terms =6 N unique trials = 11 N replicates =3 N total trials = 14 Cross val RMS = 0.651361 Effects for response 'laju-pelarutan' EFFECTS
RESLTN
SIG TERM
0.26292 0.04757 0.01085 0.01492 0.01329 -0.02534
0 ** 0.03984 0.05318 0.04024 0.05243
CONSTANT 1 suhu 2 konsentrasi 3 suhu*konsentrasi 4 suhu^2 5 konsentrasi^2
Residual SD
= 0.018882. and Replicate SD = 0.015877
N terms =6 N unique trials = 11 N replicates =3 N total trials = 14 Cross val RMS = 0.024116 Coefficients for response 'waktu-observasi' Centered continuous variables COEFFICIENTS 7.58075 -0.0269864 -0.00277 -0.000148815 -0.000517899 0.000368916 N trials N terms
SD 0.00726955 0.00403218 0.00021282 0.000539583 0.000167404
= 14 =6
Residual SD = 0.544925 Residual DF = 8 Residual SD used for tests
P 0 0.0059 0.51150.50420.36530.0587
CONDITION CONSTANT 0.989 0.990 0.984 0.958 0.958
TERM 1 suhu 2 konsentrasi 3 suhu*konsentrasi 4 suhu^2 5 konsentrasi^2
152 Lampiran 16. Analisis ANOVA hasil RSM dengan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao (lanjutan) Replicate SD = 0.577350 Replicate DF = 3 Cross val RMS = 0.651361 R Squared = 0.734. P=0.0316 * Adj R Squared = 0.568 Maximum Cook-Weisberg LD influence (scaled 0-1) = 0.476 - This term may be eliminated Coefficients for response 'laju-pelarutan' Centered continuous variables COEFFICIENTS
SD
P
CONDITION
TERM
0.262919 0.000951442 0.000120538 6.63163e-006 2.12639e-005 -1.25152e-005
0.000251888 0.000139714 7.37414e-006 1.86964e-005 5.80051e-006
0 0.0054 0.4134 0.3948 0.2883 0.0630
CONSTANT 0.989 -0.990 -0.984 -0.958 0.958
1 suhu 2 konsentrasi 3 suhu*konsentrasi 4 suhu^2 5 konsentrasi^2
N trials N terms
= 14 =6
Residual SD = 0.018882 Residual DF = 8 Residual SD used for tests Replicate SD = 0.015877 Replicate DF = 3 Cross val RMS = 0.024116 R Squared = 0.746. P=0.0269 * Adj R Squared = 0.587 Maximum Cook-Weisberg LD influence (scaled 0-1) = 0.708 - This term may be eliminated ANOVA Table for response 'waktu-observasi' Mean Squares DF P ----------------------------------------------------------------2.16292 2 0.0158 suhu 0.782745 2 0.1320 konsentrasi 0.145193 1 0.5042 suhu*konsentrasi 0.296943 8 ERROR 0.333333 3 REPLICATE ERROR ANOVA Table for response 'laju-pelarutan' Mean Squares DF P ----------------------------------------------------------------0.00274486 2 0.0137 suhu 0.000950075 2 0.1297 konsentrasi 0.000288331 1 0.3948 suhu*konsentrasi 0.000356511 8 ERROR 0.000252083 3 REPLICATE ERROR
153 Lampiran 17. Kurva 2 dimensi laju pelarutan kafein dengan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao laju_pelarutan
ECHIP
0.48 0.46 0.44
0.42 0.41
0.39
0.37
50
0.35
0.34
konsentrasi
100
60
80
100
suhu
Laju pelarutan kafein dengan pelarut asam asetat laju_pelarutan x 10^-3 100
konsentrasi
0 29
50
ECHIP
29 0
60
80
100
suhu
Laju pelarutan kafein dengan pelarut limbah cair fermentasi biji kakao
laju-pelarutan x 10^-3 100
310
290
konsentrasi
245
50
ECHIP
5 26
5 24 60
80
100
suhu
Laju pelarutan kafein dengan pelarut tersier pulpa kakao
154 Lampiran 18. Produk biji kopi rendah kafein
Biji kopi rendah kafein produk pelarutan dengan pelarut air
Biji kopi rendah kafein produk pelarutan dengan asam asetat
155 Lampiran 18. Produk biji kopi rendah kafein (lanjutan)
Biji kopi rendah kafein produk pelarutan dengan limbah cair fermentasi biji kakao
Biji kopi rendah kafein produk pelarutan dengan pelarut tersier pulpa kakao