PENGEMBANGAN MINUMAN FUNGSIONAL BUBUK BEKATUL PADI SIAP SEDUH DENGAN BERBAGAI FLAVOR UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT TIDAK MENULAR
Abdurohman
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
ABSTRACT
ABDUROHMAN. The Development of Ready To Serve Rice Bran Powder Functional Drink With Various Flavor For Non Communicable Disease Prevention. Under the guidance of EVY DAMAYANTHI Death causes has change, from communicable diseases to non communicable diseases (chronic). Many study reports the function of variety of foods in preventing diseases or called nutraceutical. Rice bran contains a lot of nutrients and oryzanol which has hypocholesterolemic characteristic. This research aimed to study the influence of rice bran preparation to nutrient content, oryzanol, organoleptic characteristic and the addition of various flavor to organoleptic preference for ready to serve rice bran drinks. Completed random factorial design was applied in this study. Data analysis used Independent Sample t-Test and Friedman test. The result showed that rice bran which mixed when milled and sifted has no significant differences with not mixed to proximate, Zinc level, Calcium, Iron and Zinc bioavailability (in vitro method), oryzanol (spectrophotometry method), vitamin E (HPLC method), hedonic and quality hedonic level (p<0.05) except for color. Antioxidant activity (DPPH method), diatary fiber (enzymatic method, Asp et al 1983), calcium and iron levels (AAS method) in mixed rice bran when milled and sifted has higher differences to not mixed rice bran (p<0.05). The optimum flavor concentration from hedonic quality and hedonic are chocolate 0.1 %, vanilla 0.5 %, jasmine tea, soursop 0.3 % and red grape 0.5 %. Keyword : rice bran, flavor, sifted, nutraceutical, oryzanol
RINGKASAN ABDUROHMAN. Pengembangan Minuman Fungsional Bubuk Bekatul Padi Siap Seduh dengan Berbagai Flavor untuk Pencegahan Penyakit Tidak Menular. Dibimbing oleh EVY DAMAYANTHI Penyebab kematian telah bergeser, dari penyakit menular ke penyakit tidak menular (kronis). Berbagai penelitian melaporkan peranan berbagai bahan pangan dalam pencegahan penyakit atau yang disebut dengan nutraceutical. Oleh karena itu, salah satu upaya pencegahan penyakit ini lewat pengaturan konsumsi pangan menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan. Bekatul merupakan salah satu alternatif bahan pangan yang patut dipertimbangkan, selain bekatul padi kaya akan zat gizi, bekatul juga kaya akan oryzanol yang memiliki sifat hipokolesterolemik. Diduga kontribusi zat gizi pada bekatul tergantung dari proses pesiapan yaitu pencampuran kembali bahan kasar. Tujuan umum penelitian ini yaitu mengkaji pengembangan minuman fungsional bubuk bekatul padi siap seduh dengan berbagai flavor untuk pencegahan penyakit tidak menular. Tujuan khususnya yaitu: 1.) Mempelajari proses pembuatan minuman bubuk bekatul siap seduh, 2.) Mengkaji pengaruh dicampurkan dan tidak dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh terhadap nilai mutu hedonik dan hedonik, sifat kimia ( kadar proksimat, vitamin E, antioksidan, serat pangan, kadar mineral Ca, Fe, Zn, oryzanol dan bioavaibilitas mineral Ca, Fe, Zn) dari bahan baku bekatul awet, 3.) Melakukan uji organoleptik bubuk bekatul awet siap seduh dengan berbagai jenis flavor untuk mengetahui jenis dan konsentrasi flavor yang paling disukai, 4.) Mempelajari kontribusi kalori dan informasi nilai gizi bubuk bekatul berflavor, 5.) Identifikasi senyawa volatil bahan baku bubuk bekatul awet dan bekatul berflavor. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul “Pengkajian Minuman Bekatul, Minyak Bekatul, dan Tomat untuk Kesehatan Lipid dan Kadar Gula Darah serta Status Imun Orang Dewasa Gemuk”. Desain penelitian adalah eksperiment. Penelitian ini dilaksanakan dua tahap, yaitu penelitian tahap I dan penelitian tahap II. Penelitian tahap I dilakukan untuk menyiapkan bahan baku bekatul awet yang bermutu tinggi. Pada tahap ini, bekatul dibedakan menjadi dua perlakuan yaitu dicampurkan dan tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh, kemudian dianalisis proksimat, analisis vitmain E, analisis oryzanol, kadar mineral Ca, Fe, Zn dan bioavailabilitasnya, dan organoleptik bahan baku. Penelitian tahap II meliputi pembuatan minuman bubuk bekatul siap seduh dengan lima jenis flavor (coklat, vanila, anggur merah, jasmine tea, dan sirsak) dan uji organoleptik mutu hedonik dan hedonik. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor pada penelitian tahap I adalah dicampurkan dan tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh dengan dua kali ulangan. Faktor penelitian tahap II yaitu konsentrasi penambahan flavor, yaitu sebesar 0.1, 0.3, dan 0.5 persen, dengan dua kali ulangan. Data yang diproleh selain disajikan dalam bentuk deskriptif dan analisis statistik uji t (independent sampel t-test) untuk data hasil analisis proksimat, serat pangan, kadar mineral Ca, Fe, dan Zn, bioavaibiliti mineral Ca, Fe dan Zn, aktifivas antioksidan, kadar vitamin E, kadar oryzanol, dan organoleptik bahan baku bekatul awet. Data hasil uji organoleptik di uji Friedman. Software yang digunakan adalah Microsoft Exel 2007. Rata-rata rendemen pada proses perlakuan tidak dicampurkan dan dicampurkan masing-masing yaitu 55±1.41 dan 77±2.12 %. Hasil analisis
proksimat bahan baku bubuk bekatul awet diketahui kadar air 5.30 % pada perlakuan tidak dicampurkan, 5.71 % pada perlakuan dicampurkan. Kadar lemak 15.06 % pada perlakuan tidak dicampurkan, 15.35 % pada perlkuan dicampurkan. Kadar protein 13.39 % pada perlakuan tidak dicampurkan, 14.20 % pada perlkuan dicampurkan. Kadar abu 11.89 % pada perlakuan tidak dicampurkan, 11.67% pada perlakuan dicampurkan. Kadar karbohidrat 59.13 % pada perlakuan tidak dicampurkan, 58.78 % pada perlakuan dicampurkan. Kandungan serat pangan bahan baku bubuk bekatul awet yaitu serat pangan total untuk perlakuan tidak dicampurkan sebesar 34.42 % yang terdiri dari serat pangan tidak larut air sebesar 26.52 % dan serat pangan larut air sebesar 7.90 %. Total serat pangan pada perlakuan dicampurkan sebesar 41.99 % yang terdiri dari serat pangan tidak larut air sebesar 33.04 % dan serat pangan larut air sebesar 8.95 %. Kandungan mineral pada bahan baku bubuk bekatul awet yaitu untuk perlakuan tidak dicampurkan dan dicampurkan masing-masing kadar Ca sebesar 5.74 mg/100 g dan 8.19 mg/100 g, kadar besi (Fe) sebesar 30.00 mg/100 g dan 31.89 mg/100 g, kadar seng (Zn) sebesar 7.64 mg/100 g dan 7.13 mg/100 g. Bioavailibilitas mineral pada bahan baku bubuk bekatul awet yaitu untuk perlakuan tidak dicampurkan dan dicampurkan masing-masing bioavailabilitas kalsium sebesar 59.09 dan 58.84 %, Bioavailabilitas besi (Fe) sebesar 0.90 dan 0.78 %, dan bioavailabilitas seng (Zn) sebesar 42.87 dan 44.72 %. Besarnya aktivitas antioksidan atau kemampuan mereduksi radikal bebas pada bubuk bekatul adalah 36.49 % untuk perlakuan tidak dicampurkan dan 41.29 % untuk perlakuan dicampurkan. Selain itu, ini rata-rata dalam 100 gram bubuk bekatul masing-masing mampu mereduksi radikal bebas DPPH yang setara dengan kemampuan 142.76 mg (pada perlakuan tidak dicampurkan) dan 163.56 mg (pada perlakuan dicampurkan) vitamin C. Kadar vitamin E pada perlakuan tidak dicampurkan sebesar 2.51 mg/100 g atau 25.1 µg/ g, sedangkan pada perlakuan dicampurkan sebesar 3.83 mg/100 g atau 38.3 µg/g. Kandungan oryzanol pada perlakuan tidak dicampurkan sebesar 0.25 % atau 250 mg/100 g, sedangkan pada perlakuan dicampurkan sebesar 0.33 % atau 330 mg/100 g. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bekatul yang dicampurkan saat penggilingan dan pengayakan tidak berbeda nyata dengan yang tidak dicampurkan, terhadap proksimat, kadar seng, bioavaibilitas mineral kalsium, besi dan seng, oryzanol, vitamin E, serta tingkat hedonik maupun mutu hedonik (p<0.05), kecuali warna mutu hedonik. Aktivitas antioksidan, kadar serat pangan, dan kadar mineral Ca dan Fe pada bekatul yang dicampurkan saat penggilingan dan pengayakan lebih tinggi secara nyata dibandingkan dengan bekatul yang tidak dicampurkan (p<0.05). Dari tiga sampel yaitu bahan baku dengan perlakuan tidak dicampurkan, bahan baku dengan perlakuan dicampurkan, dan bekatul terpilih dengan penambahan flavor terdapat komponen volatil masing-masing 27, 35, dan 53 komponen. Hasil penelitian tahap II, konsentasi berbagai flavor yang paling optimum dari aspek mutu hedonik dan hedonk yaitu untuk coklat 0.1 %, vanilla 0.5 %, jasmin tea dan sirsak 0.3 % , serta untuk anggur merah 0.5 %. Hasil ini sudah memenuhi aturan yang dikeluarkan oleh BPOM tentang bahan tambahan pangan. kontribusi energi dan zat gizi terhadap nilai ALG untuk satu serving size yaitu untuk energi 3.23 %, karbohidrat 2.93 %, protein 3.58 %, lemak 3.71 %, kalsium 0.16 %, besi 18.85 %, seng 9.17 %, vitamin E 3.83 %, dan serat pangan 25.20 %. Produk minuman instan bekatul padi berflavor memenuhi klaim sebagai produk yang tinggi serat pangan, zat besi dan seng, serta sebagai produk sumber vitamin E.
PENGEMBANGAN MINUMAN FUNGSIONAL BUBUK BEKATUL PADI SIAP SEDUH DENGAN BERBAGAI FLAVOR UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT TIDAK MENULAR
Abdurohman
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Nama NIM
: Pengembangan Minuman Fungsional Bubuk Bekatul Padi Siap Seduh dengan Berbagai Flavor untuk Pencegahan Penyakit Tidak Menular : Abdurohman : I14080091
Menyetujui: Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS NIP. 19621204 198903 2 002
Mengetahui : Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan penelitian dan proses pembuatan skripsi yang berjudul “Pengembangan Minuman Fungsional Bubuk Bekatul Padi Siap Seduh dengan Berbagai Flavor untuk Pencegahan Penyakit Tidak Menular” dapat berjalan dengan baik. Penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada program Ilmu Gizi, Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan dukungan selama masa perkuliahan, yaitu : 1. Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan sabar menuntun, memotivasi, serta arahan yang sangat berharga bagi penulis 2. Tiurma Sinaga MFSA selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan motivasi kepada penulis. 3. dr. Mira Dewi selaku dosen pemandu seminar yang telah memberikan banyak masukan. 4. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS. selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dan arahan yang sangat berharga. 5. Bapak Mashudi, selaku teknisi laboratorium, yang telah banyak membantu dan memberikan arahan pada penulis pada saat penelitian berlangsung. 6. H. Djaenal Abidin dan Siti Rohmat, kedua orang tua penulis, yang senantiasa memberikan dorongan, do’a, kasih sayang dan semangat yang sangat berarti. 7. Mila Sophia S.Tp, beserta keluarga, yang telah memberikan dorongan dan semangat pada penulis. 8. Teman-teman seperjuangan 45, 46, yang banyak memberikan kritik dan saran yang sangat berguna bagi penulis. 9. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang turut membantu dalam penyelesaian penelitian ini.
Bogor, Febuari 2013 Abdurohman
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kp. Ciherang, Desa Pabuaran, Kec. Sukamakmur, Kab. Bogor 10 Agustus 1988 sebagai anak ke enam dari tiga belas bersaudara keluarga H. Djaenal Abidin dan Siti Rohmat. Pendidikan dasar penulis ditempuh di SDN 1 Pabuaran dari tahun 1997-2002. Kemudian dilanjutkan di SMPN 1 Citeureup dari tahun 2002-2005 dan SMAN 1 Citeureup dari tahun 2005-2008. Penulis melanjutkan jenjang pendidikan strata satu di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusi, Institut Pertanian Bogor , melalui jalur USMI pada tahun 2008. Selam masa kuliah penulis aktif berorganisasi seperti PRAMUKA IPB sebagai koordinator divisi Teknik Kepramukaan dari tahun 20082009. Penulis juga aktif di Badan Pengawas HIMAGIZI dan Eco Agrifarma dari tahun 2010-20011. Penulis melakukan Kuliah Kerja Propesi (KKP) di Desa Sumbaga, Kecamatan Bumi Jawa, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah selam dua bulan pada tahun 2011. Selain itu penulis melaksanakan Intenshif bidang dietetik (ID) di Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong (RSUD Cibinong) selama dua bulan pada tahun 2012. Penulis menjadi asisten Ilmu Gizi Dasar pada tahun 2012 dan Evaluasi Nilai Gizi sampai sekarang untuk mahasiswa S1. Selama masa kuliah penulis mendapatkan beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM).
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL .....................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xiii
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
Latar Belakang ......................................................................................
1
Tujuan .................................................................................................
3
Kegunaan .............................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
4
Tanaman Padi .......................................................................................
4
Pengertian Bekatul ...............................................................................
4
Hubungan Kolesterol dan Trigliserida ....................................................
8
Produk Fungsional untuk Penyakit Kronis .............................................
10
Mineral .................................................................................................
12
Kalsium ..................................................................................
13
Besi .........................................................................................
15
Seng ........................................................................................
17
Serat Pangan .........................................................................................
18
Antioksidan ...........................................................................................
19
Vitamin E ..............................................................................................
24
Oryzanol ...............................................................................................
26
Pemanis Rendah Kalori dan Flavor ........................................................
28
Pemanis Rendah Kalori ...........................................................
28
Flavor ......................................................................................
34
Uji Organoleptik ....................................................................................
35
Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) .............................
38
METODE .................................................................................................
43
Tempat dan Waktu ................................................................................
43
Bahan dan Alat .....................................................................................
43
Metode Penelitian ....................................................................................
44
Penelitian Tahap I ...................................................................
44
Penelitian Tahap II ..................................................................
56
Rancangan Percobaan .........................................................................
58
Pengolahan dan Analisis Data ..............................................................
59
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................
60
Penelitian Tahap I .................................................................................
60
Analisis Proksimat dan Serat Pangan ......................................
64
Kadar Mineral Ca, Fe, Zn dan Bioavailabilitasnya ...................
72
Aktivitas Antioksidan, Kadar Vitamin E, dan Oryzanol .............
79
Identifikasi Senyawa Volatil .....................................................
85
Karakteristik Organoleptik Bahan Baku Bubuk Bekatul Awet ...
89
Penelitian Tahap II .................................................................................
92
Pembuatan Minuman Fungsional Bubuk Bekatul ....................
92
Karakteristik Organoleptik Minuman Fungsional Bubuk Bekatul
93
Informasi Nilai Gizi dan Klaim Kandungan Gizi .....................................
98
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 102 Kesimpulan ........................................................................................... 102 Saran
................................................................................................. 103
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 104 LAMPIRAN ................................................................................... 110
DAFTAR TABEL Halaman 1 Klasifikasi total kolesterol, trigliserida, kolesterol LDL, dan kolesterol HDL
.................................................................................................
10
2 Beberapa jenis pemanis buatan pengganti sukrosa yang diijinkan penggunaannya di indonesia ...................................................................
29
3 Kadar mineral Ca, Fe dan Zn bahan baku bubuk bekatul awet (bk)..........
74
4 Kadar % aktivitas antioksidan dan AEAC pada bubuk bekatul awet .........
80
5 Komponen volatil pada bubuk bekatul padi awet dan bubuk bekatul padi berflavor ...........................................................................................
88
6 Hasil uji hedonik minuman bekatul dengan berbagai flavor .....................
94
7 Hasil uji mutu hedonik minuman bubuk bekatul berbagai flavor................
96
8 Informasi Nilai Gizi Minuman Instan Bekatul Padi Berflavor .....................
99
9 Kandungan Zat Gizi dan persentase terhadap ALG ................................ 100
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Morfologi biji padi beserta bagian-bagiannya .........................................
5
2
Tahap Propagasi ...................................................................................
21
3
Struktur Kima Tokoferol dan Tokotrienol ...............................................
25
4
Struktur Kimia alfa-tokoferol ..................................................................
25
5
Struktur Kimia -oryzanol ......................................................................
27
6
GC-MS .................................................................................................
39
7
Bagan Alat Kromatografi Gas ................................................................
41
8
Proses Perlakuan Bahan Baku Bubuk Bekatul Awet .............................
45
9
Kandungan Kadar Proksimat Bahan Baku Bubuk Bekatul Awet ............
64
10 Kadar Serat Pangan .............................................................................
70
11 Bioavailabilitas Mineral Ca, Fe, dan Zn .................................................
76
12 Kadar Vitamin E ....................................................................................
81
13 Kadar Oryzanol .....................................................................................
84
14 Hasil Kromatogram pada Bekatul dengan Perlakuan tidak Dicampurkan 86
15 Hasil Kromatogram pada Bekatul dengan Perlakuan Dicampurkan ......
86
16 Hasil Kromatogram pada Bekatul dengan Flavor Jasmine Tea .............
87
17 Hasil Uji Hedonik Bahan Baku Bubuk Bekatul Awet ..............................
90
18 Hasil Uji Mutu Hedonik Bahan Baku Bubuk Bekatul Awet .....................
90
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Contoh Perhitungan Antioksidan ............................................................ 110
2
Formulir uji organoleptik hedonik bahan baku bubuk bekatul awet ......... 111
3
Formulir uji organoleptik mutu hedonik bahan baku bubuk bekatul awet
4
Formulir uji organoleptik hedonik minuman bekatul dengan berbagai Flavor
5
112
................................................................................................. 113
Formulir uji organoleptik mutu hedonik minuman bekatul dengan berbagai flavor ....................................................................................... 114
6
Perhitungan Kadar Air............................................................................ 115
7
Perhitungan Kadar Lemak ..................................................................... 115
8
Perhitungan Kadar Protein ..................................................................... 115
9
Perhitungan Kadar Abu .......................................................................... 116
10 Perhitungan Kadar Karbohidrat .............................................................. 116 11 Perhitungan Kadar Mineral .................................................................... 117 12 Hasil Uji k-independent test mutu hedonik bahan baku bekatul ............. 118 13 Hasil Uji k-independent test hedonik bahan baku bekatul ..................... 118 14 Perhitungan Kadar Serat Pangan ......................................................... 119 15 Uji Independen t-test Sifat Kimia ............................................................ 121
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya
kesejahteraan
serta
ketersediaan
pangan
telah
menimbulkan akibat yang tidak diinginkan yaitu meningkatnya angka kematiaan yang disebabkan penyakit degeneratif. Sebagai gambaran, survey kesehatan rumah tangga di Indonesia tahun 1992 menunjukan bahwa penyebab utama kematian telah bergeser dari penyakit infeksi pada tahun 1986 menjadi penyakit jantung pada tahun 1992. Menurut data Riskesdas 2007 penyebab kematian untuk semua umur telah terjadi pergeseran, dari penyakit menular ke penyakit tidak menular. Penyebab kematian perinatal (0-7 hari) yang terbanyak adalah respiratory disorders (35.9 %) dan premature (32.3 %), sedangkan untuk usia (728 hari) penyebab kematian yang terbanyak adalah sepsis neonatorum (20.5 %) dan congenital malformations (18.1 %). Penyebab kematian bayi yang terbanyak adalah diare (31.4 %) dan pnemonia (23.8 %). Untuk penyebab kematian anak balita sama dengan bayi, yaitu terbanyak adalah diare (25.2 %) dan pnemonia (15.5 %), Sedangkan untuk usia >50 tahun, penyeban kematian yang terbanyak adalah stroke, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Sementara itu, prevalensi nasional berbagai penyakit kronis yaitu hipertensi pada umur > 18 tahun adalah sebesar 29.8 %, stroke adalah 0.8 %, asma adalah 4.0 %, penyakit jantung 7.2 %, penyakit diabetes mellitus adalah 1.1 % (Depkes 2008). Oleh karena itu, salah satu upaya pencegahan penyakit ini lewat pengaturan konsumsi pangan menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan. Bekatul merupakan salah satu alternatif bahan pangan yang patut dipertimbangkan. Selain bekatul padi kaya akan
zat
gizi, bekatul juga kaya
akan oryzanol
yang
memiliki
sifat
hipokolesterolemik. Selama ini, bekatul hanya dikenal sebagai campuran pakan. Bekatul merupakan kulit paling luar dari beras dan kulit paling dalam dari sekam yang telah terkelupas melalui proses penggilingan dan penyosohan. Persentase bekatul dari gabah kering giling sekitar 10 %. Artinya, produksi 60.28 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) pada tahun 2008 (Munif 2009) akan menghasilkan 6.03 juta ton bekatul. Jumlah ini cukup besar dan potensial dijadikan sebagai salah satu bahan baku industri pangan. Terlebih hasil samping penggilingan padi ini memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik sehingga pengolahan lebih lanjut diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dan keuntungan lebih bagi petani. Kandungan gizi yang dimiliki bekatul padi, di antaranya adalah vitamin (seperti
2
thiamin, niasin, vitamin B-6), mineral (besi, fosfor, magnesium, kalium), asam amino, asam lemak esensial, antioksidan, serat pangan, serta komponen yang bersifat hypoallergenic. Sejauh ini, pemanfaatan bekatul hanya terbatas pada produksi pakan ternak, bahan substitusi pada pembuatan kue-kue kering maupun basah skala rumah tangga. Pemanfaatan bekatul sebagai bahan baku pangan fungsional diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah serta memberikan keuntungan lebih bagi petani. Menurut Hadipernata (2007) pemanfaatan bekatul sebagai produk komersial dewasa ini baru terbatas pada pembuatan minyak. Hasil penelitian Roy dan Lundy (2005) menunjukkan bahwa bekatul memiliki efek hipokolesterolemik karena mengandung senyawa aktif seperti oryzanol dan tokotrienol, serta serat pangan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pemanfaatan bekatul sebagai pangan fungsional dapat menurunkan kadar kolesterol dalam tubuh. Peningkatan kolesterol tubuh dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah dan penyakit jantung. Jumlah kematian akibat penyakit jantung di Indonesia pada tahun 2002 yaitu sekitar 14 % dari total kematian (WHO 2006). Oleh karena itu, pengembangan pemanfaatan bekatul sebagai pangan fungsional diharapkan dapat berkontribusi dalam penurunan jumlah kematian akibat penyakit jantung. Bekatul yang kaya akan zat gizi mudah mengalami kerusakan, karena menurut Potter & Hotchkiss (1995) semakin tinggi kandungan zat gizi suatu bahan pangan, maka akan semakin mudah mengalami kerusakan akibat mikroorganisme maupun enzimatis. Menurut Damayanthi (2003) kerusakan pada bekatul diakibatkan oleh aktifnya enzim lipase pada saat penyosohan sehingga perlu penanganan secara cepat. Kerusakan enzimatis ini meyebabkan aroma bekatul menjadi tengik akibat kandungan lemak tak jenuh. Pemanasan dengan menggunakan otoklaf dapat menginaktifasi enzim lipase, serta pengeringan dengan oven dapat menurukan kadar air (Aw), sehingga dapat meningkatkan umur simpan dari produk bekatul. Selain itu, salah satu untuk meningkatkan nilai jual dari bekatul yaitu dengan menjadikan produk bekatul siap seduh serta layak untuk dikonsumsi.
3
Tujuan Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengembangan minuman fungsional bubuk bekatul padi siap seduh dengan berbagai flavor untuk pencegahan penyakit tidak menular. Tujuan khusus Penelitian ini secara khusus bertujuan : 1. Mempelajari proses pembuatan bubuk bekatul awet siap seduh 2. Mengkaji pengaruh dicampurkan dan tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh terhadap nilai mutu hedonik dan hedonik, sifat kimia ( kadar air, kadar protein, kadar abu, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar vitamin E, kadar antioksidan, kadar serat pangan, kadar mineral Ca, Fe, Zn, kadar oryzanol dan bioavaibilitas mineral Ca, Fe, Zn) dari bahan baku bekatul awet. 3. Melakukan uji organoleptik bubuk bekatul awet siap seduh dengan berbagai jenis flavor untuk mengetahui jenis dan konsentrasi flavor yang paling disukai. 4. Mempelajari kontribusi kalori dan informasi nilai gizi bubuk bekatul padi berflavor. 5. Identifikasi senyawa volatil bahan baku bubuk bekatul awet dan bekatul berflavor. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kandungan zat gizi serta potensi antioksidan yang terdapat dalam bekatul siap seduh. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memotivasi masyarakat untuk mengkonsumsi produk minuman bekatul siap seduh sebagai alternatif pangan yang memiliki manfaat bagi kesehatan atau sebagai pangan fungsional.
4
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Padi Tanaman padi merupakan tanaman musiman, termasuk golongan rumput-rumputan dengan klasifikasi botani tanaman padi adalah sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monotyledonae
Keluarga
: Gramineae (Poaceae)
Genus
: Oryza
Spesies
: Oryza sp.
Terdapat 25 spesies Oryza, yang dikenal adalah O. sativa dengan dua subspesies yaitu Indica (padi bulu) yang ditanam di Indonesia dan Sinica (padi cere). Padi dibedakan dalam dua tipe yaitu padi kering (gogo) yang ditanam di dataran tinggi dan padi
sawah di dataran rendah yang memerlukan
penggenangan tanaman padi dapat hidup dengan baik di daerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air. Dengan kata lain, padi dapat hidup baik pada daerah beriklim panas yang lembab (AAK 1990). Varietas padi yang ditanam petani dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan genetik yaitu bulu (javanika), indika lokal, dan pengembangan (unggul baru). Selama dua dasawarsa terakhir varietas-varietas unggul berkembang dengan pesat sehingga areal penyebaran varietas-varietas padi lokal makin terdesak. Namun secara umum sifat fisik dan fisikokimia beras dari ketiga kelompok padi tersebut tidak berbeda (Damardjati 1983). Pengertian Bekatul Bekatul merupakan produk sampingan dari proses penggilingan padi. Menurut Hadipernata (2007) bekatul adalah lapisan sebelah dalam dari butiran padi, termasuk sebagian kecil endosperm berpati. Namun, karena alat penggilingan padi tidak memisahkan antara dedak dan bekatul maka umumnya dedak dan bekatul bercampur menjadi satu dan disebut dengan dedak atau bekatul saja. Dedak dan bekatul disamakan pengertiannya di daerah tertentu misalnya di Jawa Barat, yaitu bagian kulit ari beras yang terpisah selama penyosohan. Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur keduanya dibedakan, yaitu dedak merupakan hasil penyosohan pertama (ukuran relatif kasar dan
5
kadang-kadang masih tercampur dengan potongan sekam) umumnya digunakan sebagai pakan. Bekatul merupakan hasil penyosohan kedua (ukuran halus) sering digunakan sebagai bahan pangan. Pemanfaatan dedak atau bekatul masih terbatas, karena hambatan sifat komoditas ini yang mudah rusak atau tengik. Oleh sebab itu, pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan harus segar (tidak lebih 24 jam setelah digiling) (Damayanthi 2004). Bekatul (rice bran) merupakan bagian luar butiran beras setelah kulit padi (sekam) dan kulit ari dihilangkan dalam proses penggilingan padi menjadi beras. Bekatul juga sekaligus merupakan hasil samping dari penyosohan beras pecah kulit (Soemardi 1975).
Juliano (1972) mengemukakan bahwa sebutir gabah
terdiri atas pembungkus pelindung luar, sekam, dan karyopsis atau buah (beras pecah kulit). Beras pecah kulit terdiri atas lapisan luar atau perikarp, seed coat dan nucellus, lembaga, dan endosperm. Endosperm terdiri dari kulit ari (aleuron) dan endosperm sesungguhnya yang terdiri dari lapisan sub-aleuron dan endosperm pati. Lapisan aleuron sendiri berbatasan dengan lembaga. Butir padi setiap varietas bervariasi dalam hal bentuk, ukuran, panjang dan lebar. Struktur yang membentuk beras pecah kulit terdiri dari perikarp dengan berat berkisar antara 1-2 %, aleuron dan testa 4-6 %, lembaga 2-3 % dan endosperm 89-94 %. Lembaga terdiri dari epiblast sebesar 0,26%, coleorhiza 0,18 %, plumule 0,34 %, radicle 0,18 % dan scutellum 1,18-1,4 % (Juliano 1972). Struktur gabah utuh terdapat pada Gambar 1.
Gambar 1 Morfologi biji padi beserta bagian-bagiannya (Encyclopedia Britannica Inc 1996)
Penggilingan padi atau gabah dilakukan untuk memisahkan bagianbagian yang diperlukan dan tidak diperlukan. Dari beberapa tingkat penggilingan
6
dalam proses pengolahan gabah, mula-mula diperoleh beras pecah kulit dengan hasil ikutan sekam dan dedak kasar. Dalam proses penyosohan ganda, hasil samping penyosohan pertama dan kedua dapat dipisahkan. Dari penyosohan pertama, diperoleh dedak yang terdiri dari bagian perikarp, nuselus, testa, lapisan aleuron dan lembaga, sedangkan dari penyosohan kedua diperoleh bekatul yang mengandung lebih banyak bagian subaleuron dari endosperm (Houston 1972). Dalam penggilingan dan penyosohan gabah, persentasi produk yang dihasilkan adalah beras utuh sekitar 50 %, sekam 20 %, beras pecah (menir) 17 %, dedak sekitar 5-8 % dan bekatul sekitar 2-3 %. Persentase ini bervariasi tergantung varietas dan umur padi dan penyosohan beras (Grist 1965). Produksi gabah atau padi yang meningkat dari tahun ke tahun akan meningkatkan hasil samping berupa bekatul. Rendemen bekatul dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: derajat penyosohan, derajat masak padi atau gabah, kadar air gabah, jenis alat penyosoh dan lubang pemisah (Soemardi 1975), sedangkan Luh et al. (1991) menyatakan rendemen bekatul dipengaruhi oleh varietas dan umur padi, derajat giling dan cara penyosohan. Menurut Damayanthi et al. (2003; 2009) jika dilihat dari segi gizi, bekatul merupakan bahan pangan yang menghasilkan energi, kaya akan serat, serta mengandung protein yang tinggi, bahkan bekatul mengandung asam amino lisin yang lebih tinggi dibandingkan beras. Telah banyak dilakukan penelitian yang mengkaji peranan bahan pangan dalam menurunkan kadar kolesterol darah dan pencegahan pembentukan plak. Intervensi minuman bekatul terhadap penderita kista ternyata menunjukkan penurunan kadar kolesterol plasma contoh secara nyata. Minyak jagung kaya akan suatu komponen aktif yaitu oryzanol yang bersifat antioksidan. Aktivitas antioksidan oryzanol yang lebih tinggi dibandingkan dengan tokoferol (Xu & Godber 1999). Besarnya aktivitas antioksidan pada sari buah tomat dan bekatul berturut-turut adalah 60.74 dan 83.89 %. Hal ini mengindikasikan bahwa bekatul mempunyai kemampuan mereduksi radikal bebas lebih besar (effektif) dibandingkan sari buah tomat (Damayanthi et al. 2010). Kandungan oryzanol di dalam minyak bekatul adalah sebesar 1100-2600 mg/ 100 g minyak kasar (Seetharamaiah & Prabhakar 1986), sedangkan
7
berdasarkan penelitian Damayanthi et al. (2003), kandungan oryzanol di dalam minyak dari bekatul padi awet adalah sekitar 1770 mg/ 100 g minyak. Minyak bekatul dapat menurunkan secara nyata kolesterol plasma total pada penderita hiperkolesterol. Pemberian minyak bekatul sebagai minyak untuk memasak sebanyak 39 g/hari selama 15 hari menyebabkan penurunan kolesterol plasma total sebesar 17 %. Pemberian dalam jumlah yang sama selama 30 hari dapat menurunkan kolesterol plasma total sebesar 26 %. Kemampuan minyak bekatul menurunkan kadar kolesterol disebabkan oleh adanya oryzanol dan komponen lainnya dari bahan yang tidak dapat disabunkan (Raghuram et al. diacu dalam Kahlon & Chow 1997). Minyak bekatul padi dan -oryzanol dapat menurunkan konsentrasi lipid plasma dan kolesterol lipoprotein, namun terjadi akumulasi ester kolesterol aorta yang
lebih
banyak
dibandingkan
dengan asam ferulat pada hamster
hiperkolesterolemik. Mekanisme penurunan kadar kolesterol akibat minyak bekatul padi, -oryzanol
dan asam ferulat di dalam Golden Syrian Hamster
(Mesocricetus auratus) dilaporkan terjadi melalui peningkatan yang besar eksresi kolesterol dan metabolitnya di feses. Namun demikian asam ferulat memiliki kapasitas antioksidan lebih besar melalui kemampuannya untuk menjaga kandungan vitamin E serum dibandingkan minyak bekatul padi dan oryzanol. Baik -oryzanol dan asam ferulat disimpulkan memiliki sifat anti atherogenik yang serupa, tetapi diduga melalui mekanisme yang berbeda (Wilson et al. 2007). Minyak bekatul padi mampu menekan respon hiperlipidemik dan hiperinsulin
pada tikus hiperlipidemik. Mekanisme penurunan kolesterol oleh
minyak bekatul padi pada hiperlipidemik dan perkembangan diabetes di dalam tikus dilaporkan melalui peningkatan 7α-hydroxilase kolesterol hati, LDL-reseptor hati dan 3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzim A reductase mRNA hati. Kandungan yang tinggi dari γ-oryzanol dan γ-tokotrienol di dalam minyak bekatul padi dapat menyebabkan peningkatan neutral sterol feses dan eksresi asam empedu, melalui upregulation dari sintesis kolesterol dan metabolisme (Chen & Cheng 2006). Fungsi antioksidan tergantung pada gugus hidroksi fenolik di dalam bagian ferulat pada strukturnya. Senyawa γ-oryzanol sendiri adalah ester asam ferulat yang terdiri atas 10 senyawa yang memiliki struktur yang sedikit berbeda. Asam ferulat
(3-methoxy-4-hydroxy-cinnamic
acid)
dilaporkan
merupakan
jenis
antioksidan asam fenolik karena adanya gugus hidroksi pada cincin fenolik.
8
Aktivitas antioksidan oryzanol lebih tinggi daripada vitamin E yang juga terdapat pada minyak bekatul padi (Xu dan Godber 1999; Xu et al. 2001). Minyak bekatul padi, fraksi bahan tak tersabunkan dan oryzanol terbukti dapat menghambat oksidasi LDL manusia secara in vitro. Hal ini ditunjukkan oleh
rendahnya
kandungan
malonaldehid
LDL
yang
plasmanya
telah
disuplementasi minyak bekatul dan fraksinya dibandingkan kontrol. Persentase malonaldehid -VLDL dan LDL manusia menurun sangat nyata (p=0.05) sebesar 15-41 % (LDL) dan 39-56 % (-VLDL). Sebagai antioksidan minyak memiliki kapasitas relatif paling besar, kemudian fraksi tak tersabunkan dibandingkan oryzanol. Untuk keperluan kesehatan, minyak bekatul padi lebih berpotensi sebagai antioksidan LDL dibandingkan -oryzanol yang disebabkan oleh rendemennya yang lebih tinggi (Damayanthi 2004). Fitosterol dalam minyak bekatul padi ini jika dimasukkan ke dalam pembuatan margarin dan dikonsumsi oleh laki-laki dan perempuan yang normolipedemik sebanyak 2.1 g /hari maka total kolesterol menurun 5 persen dan kolesterol LDL menurun 9 persen. Hal ini diduga disebabkan oleh -sitosterol dan 4-desmethylsterol dan bukan 4.4-dimethylsterol seperti cycloartenol dan 24methylene cycloartanol (Most et al. 2005). Hubungan Kolesterol dan Trigliserida Kolesterol adalah sterol utama pada jaringan hewan yang merupakan lipid berantai panjang dan merupakan komponen penting dari lipoprotein plasma dan membrane sel bagian luar, memiliki cincin tidak jenuh serta merupakan prekursor asam empedu, hormon sek, dan vitamin D. Selain itu kolesterol diperlukan karena merupakan komponen esensial membran struktur semua sel, dan komponen utama sel otak dan saraf. Kolesterol hanya terdapat di dalam makanan asal hewan (Brody 1999). Sebagian besar kolesterol disintesis dalam tubuh, terutama dalam hati dan intestin, dalam sel-sel permukaan dan jaringan. Sintesis endogen adalah control feedback oleh kolesterol. Dengan demikian apabila konsumsi kolesterol (dari makanan) berlebihan maka akan terjadi pengurangan produksi endogen. Hal tersebut
dapat
mengakibatkan
(hiperkolesterolemia).
kadar
Hiperkolesterolemia
kolesterol
dalam
merupakan
darah
refleksi
tinggi
penurunan
(abnormal) kapasitas tubuh untuk membuang kolesterol dan atau tidak ada kapasitas untuk mengatur produksi endogen (Brody 1999).
9
Trigliserida merupakan senyawa pokok penyusun lemak yang terdiri dari tiga molekul asam lemak yang teresterifikasi pada gliserol. Trigliserida terdapat pada sebagian besar lemak nabati dan hewani, sehingga banyak dikonsumsi oleh manusia (Silalahi 2006; Sipan dan Winarto 2007). Level trigliserida dikenal sebagai faktor risiko penyakit jantung koroner. Jika seseorang memiliki level trigliserida yang tinggi maka level kolesterol HDL biasanya rendah. Faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya level trigliserida pada seseorang adalah diet, estrogen, alkohol, obesitas, penyakit liver dan penyakit ginjal kronik (Mahan dan Stump 2008). Kolesterol tidak larut dalam darah. Agar dapat diangkut dalam aliran darah kolesterol bersama dengan lemak-lemak lain (trigliserida dan fosfolipid) harus berikatan dengan protein untuk membentuk senyawa yang larut dan dinamakan dengan lipoprotein. Brody (1999), menyatakan bahwa lipoprotein adalah senyawa yang tersusun atas protein dan lipida yang berperan penting dalam metabolisme sel dan tubuh. Mahan dan Stump (2008) menambahkan bahwa lipoprotein dalam darah membentuk lima kelompok berdasarkan komposisi, ukuran dan densitasnya yaitu : 1) kilomikron, 2) very low density lipoprotein (VLDL), 3) intermediate density lipoprotein (IDL), 4) low density lipoprotein (LDL), dan 5) high density lipoprotein (HDL). Kilomikron adalah lipoprotein yang mengangkut lipida yang berasal dari makanan (terutama trigliserida) dari saluran cerna ke seluruh tubuh. VLDL adalah lipoprotein yang membentuk kilomikron pada plasma darah dan berperan dalam pengangkutan trigliserida. IDL adalah lipoprotein yang terbentuk melalui katabolisme VLDL dan merupakan precursor LDL. LDL adalah lipoprotein yang berperan mengangkut kolesterol sehingga tidak terjadi pengendapan dalam pembuluh darah, sedangkan HDL adalah lipoprotein yang berperan dalam pengangkutan kolesterol tetapi lebih cenderung meresirkulasi kolesterol dari dinding tabung dan dapat mencegah berkembangnya gangguan kardiovaskular (Mahan dan Stump 2008; Brody 1999). Brody
(1999)
menambahkan
bahwa
bila
asupan
kolesterol
tidak
mencukupi, sel hati akan memproduksinya. Dari hati, kolesterol diangkut oleh lipoprotein yang bernama LDL untuk dibawa ke sel-sel tubuh yang memerlukan termasuk ke sel otot jantung, otak dan lain-lain agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Kelebihan kolesterol akan diangkut kembali oleh lipoprotein yang disebut HDL untuk dibawa ka hati yang selanjutnya akan
10
diuraikan lalu dibuang ke dalam kantung empedu sebagai asam empedu. Klasifikasi total kolesterol, trigliserida, kolesterol LDL, dan kolesterol HDL dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi total kolesterol, trigliserida, kolesterol LDL, dan kolesterol HDL Komponen Lipid Kolesterol Total
Kolesterol LDL
Kolesterol HDL Trigliserida
Batasan (mg/dL) < 200 200-239 ≥ 240 < 100 100-129 130-159 160-189 ≥ 190 < 40 ≥ 60 < 150 150-199 200-499 ≥ 500
Klasifikasi Normal Batas Tinggi Tinggi Optimal Mendekati Optimal Batas Tinggi Tinggi Sangat tinggi Rendah Tinggi Normal Batas Tinggi Tinggi Sangat Tinggi
Sumber : Mahan dan Stump (2008)
Produk Fungsional untuk Penyakit Kronis Terdapat hubungan yang kuat antara jenis pangan yang dikonsumsi dengan kesehatan tubuh seseorang. Salah satu contohnya adalah konsumsi lemak khususnya asam lemak jenuh yang terlalu banyak, tetapi sebaliknya konsumsi serat, sayuran, dan buah yang rendah dapat mengakibatkan penyakit jantung dan kanker. Saat ini pengetahuan tentang peranan berbagai komponen pangan pada pencegahan dan pengobatan penyakit tertentu, yang disebut dengan komponen bioaktif pangan, telah berkembang sedemikian pesatnya. Seiring dengan hal tersebut, teknologi-termasuk bioteknologi dan rekayasa genetik-telah menciptakan penemuan sains, inovasi produk dan produksi massal. Pengembangan ini menghasilkan bertambah besarnya jumlah produk yang berpotensi bagi kesehatan, yang disebut dengan pangan fungsional. Istilah pangan fungsional ditujukan bagi makanan yang dapat melindungi dan mengobati penyakit (Goldberg 1994). Bekatul memiliki kandungan zat gizi yang cukup tinggi dan ditambah dengan komponen bioaktif oryzanol menjadikan bekatul sebagai bahan baku yang berpotensi untuk dijadikan pangan fungsional. Oleh karena itu para peneliti merekomendasikan untuk mengembangkan produk pangan dari bekatul awet yang memiliki palatibilitas tinggi (Damardjati et al. 1987). Secara khusus juga
11
direkomendasikan untuk memanfaatkan minyak bekatul di dalam bahan pangan karena adanya kandungan tokoferol dan oryzanol (McCaskill dan Zhang 1999). Selama ini bekatul padi sebagai hasil samping penggilingan padi bersifat limbah dan dimanfaatkan sebagai makanan ternak (pakan) dengan nilai ekonomi yang rendah. Sebenarnya bekatul padi dapat dipakai sebagai bahan baku industri farmasi dan makanan manusia. Dengan penemuan lembaga Eykman Jakarta, bekatul padi dapat diekstrak untuk sumber vitamin B. Untuk makanan manusia, bekatul padi dapat dicampur dengan bahan lain pada pembuatan biskuit, kue dan minuman fungsional. Penggunaan bekatul secara komersial di luar negeri baru pada pengekstrakan bekatul untuk minyak goreng dan bahan pembuatan sabun (Tangenjaya 1991). Pemanfaatan bekatul yang telah diawetkan dengan ekstruder sebagai makanan sarapan sereal dilaporkan oleh Damardjati dan Luh (1986). Tepung beras : bekatul dari perbandingan 90 : 10 sampai dengan 30 : 70 dicampur lalu diekstrusi pada kadar air 21 %. Hasilnya berbentuk ekstrudat yang terbagi dua yaitu irregular round untuk kadar bekatul sedang (10-30 %) dan oblonglon rectangular untuk kadar bekatul tinggi (50-70 %). Peningkatan penambahan bekatul sampai 30 % akan menurunkan viskositas awal, indeks penyerapan air, sebaliknya meningkatkan indeks kelarutan air dan densitas kamba. Substitusi bekatul padi 15 % pada terigu dilaporkan memberikan hasil yang optimal terhadap penerimaan cookies dan roti manis metode dough sponge dan straight dough. Substitusi ini meningkatkan kandungan serat pangan (hemiselulosa, selulosa, dan lignin) dan niasin pada produk (Muchtadi et al. 1995). Substitusi tepung bekatul padi varietas IR 64 terhadap tepung terigu atau tepung beras pada bolu kukus memberikan penerimaan yang baik dengan substitusi hingga 45 %, sedangkan besar substitusi pada risoles, nagasari, dan cucur masing-masing sebesar 55 % (Damayanthi et al. 2001). Terdapat lebih dari 100 perusahaan yang menjual atau mengembangkan produk pangan fungsional dan lebih dari 70 % produk tersebut berupa minuman. Penyebaran kandungan dalam berbagai pangan fungsional yang potensial adalah serat pangan (40 %), kalsium (20 %), oligosakarida (20 %), bakteri asam laktat (10 %) dan bahan lain (10 %) (Goldberg 1994). Kebanyakan pangan fungsional dikembangkan dalam bentuk minuman, seperti Fibe Min yang merupakan minuman ringan terlaris di Jepang produksi Otsuka Pharmaceuticals. Minuman ini mengandung suplemen serat pangan, mineral, dan vitamin. Bekatul
12
sebagai sumber serat dan vitamin yang cukup baik dapat dikembangkan sebagai minuman fungsional yang dapat memberikan efek fisiologis bagi tubuh. Pangan, termasuk minuman fungsional didefinisikan sebagai suatu makanan atau minuman yang dimodifikasi dengan ditambahkan satu atau lebih komponen bahan alami. Minuman fungsional, dapat menguntungkan kesehatan di samping adanya zat-zat nutrisi, dan secara tidak langsung berfungsi dalam pencegahan dan pengobatan penyakit (Goldberg 1994). Departemen Kesehatan Jepang telah mengidentifikasi minimal terdapat 12 komponen yang dipertimbangkan dapat meningkatkan kesehatan, yaitu serat kasar makanan, oligosakarida, gula alkohol, asam amino, peptida dan protein, glikosida, alkohol, isoprenoid, vitamin, kolin, bakteri asam laktat, mineral, Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA) atau asam lemak tidak jenuh (ALTJ) jamak, fitokimia, dan antioksidan (Goldberg 1994). Suatu produk dapat dikategorikan dalam kelompok pangan fungsional bila berupa pangan dan dikonsumsi sebagai bahan pangan sehari-hari, mempunyai fungsi tertentu saat dicerna atau selama proses metabolisme di dalam tubuh dan mengandung komponen bioaktif. Suatu produk pangan fungsional juga harus memiliki 3 fungsi dasar yaitu : (1) sensorik (warna dan penampilan menarik, serta citarasa enak); (2) nutrisional (bernilai gizi tinggi); dan (3) fisiologis (dapat memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi tubuh). Fungsi fisiologis tersebut meliputi pencegahan timbulnya penyakit, peningkatan daya tahan tubuh, pengatur kondisi ritme fisik tubuh, perlambatan proses aging, dan penyembuhan kembali (Goldberg 1994). Menurut Hilliam (2000), pemasaran produk pangan fungsional memiliki kecepatan pertumbuhan sebesar 15-20 % per tahun. Hal tersebut didukung oleh semakin banyaknya masyarakat yang tertarik akan pangan fungsional. Menurut Milner (2000), hal tersebut dikarenakan biaya kesehatan makin mahal, banyaknya penemuan-penemuan oleh ilmuwan di bidang pangan dan kesehatan yang menarik, serta adanya perundang-undangan yang melindungi dan mengatur tentang penggunaan makanan sehat. Mineral Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan penting dalam memelihara fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ, maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Kalsium, fospor, dan magnesium adalah bagian dari tulang, besi dari hemoglobin dalam sel darah merah, dan iodium dari
13
hormone tiroksin. Di samping itu mineral berperan dalam berbagai tahap metabolisme, terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas enzim-enzim (Almatsier 2006). Menurut Soekirman (2000) masalah gizi mikro yang mendapat perhatian lebih besar secara internasional adalah kurang zat besi, kurang zat iodium, kurang vitamin A, dan kurang zat seng (Zn). Urutan pentingnya masalah dapat berubah
dari
waktu
kewaktu,
tergantung
pada
prevalensi,
kemajuan
penanggulangan, dan hasil penelitian baru. Defisiensi zat gizi mikro khususnya Fe, Zn, dan vitamin A merupakan masalah yang dihadapi oleh sebanyak 3 miliar manusia. Prevalensi defisiensi vitamin A pada anak dan ibu hamil di Asia mencapai 30-48 % (Riskesdas 2007) Kalsium Kalsium merupakan mineral yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang paling banyak. Kalsium sebagian besar berperan sebagai komponen skeleton yang membentuk garam dengan fosfat. Kalsium juga berperan dalam aktivasi sejumlah enzim hidrolitik, dalam pembekuan darah, dan mengontrol cairan melalui membrane sel (Brody 1994). Penyerapan kalsium dalam tubuh dalam keadaan normal sebanyak 30-50 %. Kalsium harus berada dalam lingkungan asam agar mudah diabsorpsi dengan cara mempertahankannya dalam bentuk ionik. Kalsium ditransportasikan dalam aliran dalam bentuk ion kalsium bebas atau terikat dengan protein. Konsentrasi kalsium dalam darah diregulasi oleh hormonkontrol, jika konsentrasinya rendah, kelenjar paratiroid akan melepaskan hormon paratiroid. Hormon paratiroid meningkatkan kalsium darah melalui tiga jalur yaitu menstimulasi perombakan kalsium
dari
tulang,
meningkatkan
retensi
kalsium
dalam
ginjal,
dan
mengaktifkan vitamin D. Hal yang sebaliknya jika konsentrasi kalsium dalam darah meningkat, kelenjar tiroid akan melepaskan kalsitonin yang akan mengembalikan konsentrasi kalsium ke dalam keadaan normal dengan cara mengurangi perombakan kalsium dari tulang dan meningkatkan ekskresi kalsium dalam ginjal (Bredbenner et al. 2007). Kalsium yang dikonsumsi dari makanan tidak semuanya dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh. Penyerapan kalsium dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor pendorong maupun penghambat. Kemampuan penyerapan kaslium lebih tinggi pada masa pertumbuhan dan lebih rendah pada saat usia semakin tua. Laki-laki memiliki kemampuan penyerapan lebih tinggi daripada
14
perempuan. Kalsium akan terserap lebih banyak dan efisien jika kebutuhan semakin tinggi dan persediaan semakin rendah dalam tubuh. Kebutuhan kalsium akan meningkat dalam masa pertumbuhan, saat hamil, menyusui, defisiensi kalsium, dan tingkat aktifitas fisik yang meningkatkan densitas tulang. Vitamin D dalam bentuk aktif 1.25(OH)D3 dapat meningkatkan penyerapan kalsium pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein pengikat kalsium. (Almatsier 2004). Allen (1982) menyatakan bahwa penyerapan kalsium dipengaruhi oleh komponen makanan yaitu fosfor, protein, komponen tumbuhan (serat, fitat, dan oksalat), laktosa dan lemak. Almatsier (2004) menyatakan bahwa asam oksalat pada sayuran dapat menghambat penyerapan kalsium dengan membentuk garam kalsium oksalat yang tidak larut. Begitupun asam fitat, ikatan yang mengandung fosfor yang terdapat dalam sekam serelia, akan menghambat penyerapan kalsium dengan membentuk kalsium fosfat yang tidak dapat larut. Serat dapat menurunkan penyerapan kalsium dengan cara menurunkan waktu transit makanan di dalam saluran cerna sehingga kesempatan untuk penyerapan berkurang. Bioavailabilitas kalsium dapat diukur dengan metode in vivo atau in vitro. Metode in vivo dapat dilakukan dengan metode keseimbangan kalsium dan isotop kalsium yang mengukur absorpsi kalsium secara langsung pada manusia atau hewan (Allen 1982). Adapun metode in vitro dilakukan dengan simulasi proses pencernaan makanan pada saluran pencernaan dengan menggunakan enzim komersial. Enzim yang digunakan adalah enzim pepsin dan pankreatin bile yang berfungsi untuk memecah protein sehingga kalsium yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis (Roig et al. 1999). Prinsip metode in vitro ini adalah teknik dialisis menggunakan kantung dialisis. Dialisis berfungsi dalam
memisahkan
molekul-molekul
besar
dan
molekul-molekul
kecil
berdasarkan sifat membran semi permeabel dengan cara menahan molekul besar dan membiarkan molekul kecil (Nur et al. 1989). Gueguen dan Pointillart (2000) menyatakan bahwa metode in vitro tidak dapat mengukur bioavailabilitas secara tepat dibandingkan metode in vivo. Hal ini dikarenakan pada metode in vitro enzim yang digunakan hanyadua jenis, yakni pepsin dan pankreatin bile, sedangkan pada proses pencernaan manusia sebenarnya tidak hanya dua enzim. Akan tetapi, metode in vitro dinilai lebih
15
menguntungkan karena dapat dilakukan dengan cepat, praktis, dan lebih murah (Damayanthi & Rimbawan 2008). Pemanggangan dengan oven dapat mengubah ketersediaan zat gizi mineral
tertentu
seperti
kalsium.
Fitin
dalam
bekatul
gandum
dapat
mengkompleks kalsium dengan erat dan mungkin kation lain sehingga tidak tersedia untuk diserap. Ranhotra (1972) dalam Harris menyatakan bahwa hidrolisis yang berarti pada asam fitat akan membebaskan fosfor anorganik dan mengurangi pengikatan kalisum dan besi dan hal ini terjadi selama fermentasi ketika membuat roti. Pemanggangan juga mengakibatkan susutnya lisin produk akhir asam amino (Harris & Karmas 1975). Besi Besi dibutuhkan sebagai komponen dalam hemoglobin darah yang membawa oksigen dan mioglobin otot yang menyimpan oksigen (Brody 1994). Menurut Muchtadi (1989), zat besi dalam tubuh dapat ditemukan dalam hemoglobin atau pigmen respirasi (60-70 % total besi), mioglobin atau protein otot bergaris yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen, enzim-enzim heme Intraseluler (katalase dan sitokrom oksidase), metalo protein (aktinoksidase, suksino dehidrogenase, DPNH sitoreduktase), kromatin, ferritin atau cadangan zat besi dalam jaringan retikuloendotelial (15 % total besi), dan transferin atau bentuk transpor besi yang terikat pada beta-globulin (0.1 % total besi). Besi berperan dalam metabolisme energi dengan cara bekerjasama dengan rantai protein pengangkut elektron yang berperan dalam langkahlangkah akhir metabolisme energi. Protein memindahkan hidrogen dan elektron yang berasal dari zat gizi penghasil energi ke oksigen sehingga membentuk air yang menghasilkan ATP (Almatsier 2004). Rolfes dan Whitney (2008) menjelaskan bahwa setiap sel besi bekerjasama denganbeberapa protein rantai transpor elektron dalam melaksanakan tahapan akhir jalur metabolik yang menghasilkan energi. Proten memindahkan hidrogen dan elektron dari zat-zat gizi penghasil energi kepada oksigen, membentuk air, dan berperan dalam proses pembentukan ATP yang akan digunakan oleh sel. Zat besi di metabolisme dalam tubuh melalui lima tahapan yaitu penyerapan, transportasi, pemanfaatan, penyimpanan, dan pembuangan. Bentuk besi dalam makanan ada dua yaitu bentuk heme (organik) dan nonheme (anorganik). Besi heme diabsorbsi di sel mukosa dalam bentuk kompleks poriferin utuh. Besi yang ada dalam protein heme harus dibebaskan dahulu
16
gugus hemenya melalui pencernaan protein yang terjadi di lumen duo denum. Gugus besi heme yang telah dibebaskan dari proto forforin dengan bantun enzim hemo oksigenase yang memecah cincin porfirin akan menghasilkan ion ferri (Fe3+), biliverdin, dan gas CO2 (Fairbank 1999). Besi non heme harus berada dalam bentuk terlarut (Fe2+) agar dapat diserap dalam tubuh di usus halus. Oleh karena itu, besi nonheme akan diionisasi oleh asam lambung, direduksi dalam bentuk ferro dan selanjutnya dilarutkan dalam cairan pelarut seperti asam askorbat, gula, dan asam amino yang mengandung sulfur (Fairbanks 1999). Besi heme dan nonheme akan melawati jalur yang sama setelah meninggalkan sel mukosa usus dalam bentuk yang sama dengan alat angkut yang sama. Menurut Rolfes dan Whitney (2008), bentuk zat besi yang terkandung dalam makanan juga mempengaruhi bioavailabilitas zat besi karena kelarutan besi dalam medium intralumenalsaluran pencernaan merupakan prasyarat bagi absorbsi. Garam ferro sederhana lebih mudah diserap daripada garam kompleks dan garam ferri. Besi ferro memiliki ketersediaan atau bioavailabilitas lebih tinggi karena kelarutannya lebih besar pada pH saluran cerna usus yang basa. Besi ferri akan mengendap sebagai ferri oksida pada pH di atas 3.5 sehingga berkurang kelarutannya dan lebih sulit untuk diserap oleh usus. Oleh karena itu besi ferro dapat diserap 3 kali lebih besar dari pada besi ferri. Muhilal et al. (1998) mengklasifikan makanan sehari-hari berdasarkan kemampuan tubuh dalam mengabsorbsi zat besi dari makanan tersebut, yaitu absorbsi besi rendah atau sama dengan 5 %, absorbsi besi sedang atau sama dengan 10 %, dan absorbsi besi tinggi atau sama dengan 15 %. Adapun Whitney et al. (1998) mengkategorikan ketersediaan besi nonheme dalam makanan berdasarkan penyerapannya, yaitu ketersediaan tinggi jika besi nonheme diserap sebesar 8 %, ketersediaan sedang jika besi nonheme diserap sebesar 5 %, dan ketersediaan rendah jika besi nonheme hanya diserap sebesar 3 %. Absorbsi zat besi dipengaruhi oleh berbagai faktor makanan. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan absorbsi yaitu daging, ikan, dan asam askorbat. Adapun faktor yang menghambaat absorbsi yaitu fitat dan tannin (Hallberg 1988). Asam fitat dan asam oksalat yang terdapat dalam sayuran dapat menghambat penyerapan besi dengan cara mengikat besi sehingga sulit diserap. Begitupun tannin yang terdapat dalam teh, kopi, dan beberapa jenis sayuran dan buah dapat menghambat penyerapan besi dengan cara mengikatnya. Penyerapan
17
besi juga dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh. Penyerapan besi meningkat jika tubuh kekurangan besi atau kebutuhan meningkat pada masa pertumbuhan, penyerapan besi nonheme dapat meningkat sampai sepuluh kali sedangkan besi heme dua kali (Almatsier 2004). Seng ( Zine ) Seng merupakan salah satu mineral yang terdapat dalam semua organ dan jaringan serta cairan tubuh. Total seng dalam tubuh adalah 1.5-2.5 g (Gropper et al. 2005). Seng berfungsi dalam sintesis DNA dan RNA, metabolisme alkohol, sintesis heme, pembentukan tulang, keseimbangan asam basa, fungsi imun, pertumbuhan dan perkembangan, dan pertahanan antioksidan (Bredbenner et al. 2007). Seng/zine ditemukan dalam makanan berikatan kompleks dengan asam amino yang merupakan bagian dari peptida dan protein dan dengan asam nukleat. Sumber seng yang baik terdapat pada daging merah dan makanan laut. Produk hewani mengandung seng antara 40-70 %. Seng juga terdapat pada gandum dan sayuran. Seng dalam tanaman lebih rendah penyerapannya dalam tubuh dibandingkan dengan seng dalam hewan (Gropper et al. 2005). Menurut Bredbenner et al. (2007), faktor-faktor yang meningkatkan penyerapan seng adalah asupan seng yang kurang, defisiensi seng, asupan protein hewani dan kebutuhan yang tinggi terhadap seng. Adapun faktor-faktor yang menurunkan penyerapan seng adalah asam fitat dan serat pada serealia, asupan seng yang berlebih, asupan zat besi non-heme yang tinggi, dan status seng yang baik. Fitat atau asam fitat yang ditemukan dalam tanaman seperti kacangkacangan dan sereal dapat menghambat penyerapan seng. Fitat mengikat seng menggunakan oksigen membentuk ikatan kompleks yang tidak dapat larut dan sulit dicerna. Fermentasi pada roti dapat mengurangi kandungan fitat dan meningkatkan penyerapan seng (Gropper et al. 2005). Oksalat atau asam oksalat yang ditemukan dalam makanan seperti bayam, coklat, dan teh, juga dapat mengikat seng sehingga seng sulit dicerna. Poliphenol yang terdapat pada teh dan serat pada sayuran dan buah-buahan juga dapat mengikat seng sehingga menghambat penyerapannya (Gropper et al. 2005). Asam fitat adalah suatu unsur tanaman yang ada dalam kacangkacangan, sereal, dan minyak tanaman. Asam fitat berpotensial untuk berikatan
18
positif dengan protein, asam amino dan atau mineral dalam makanan. Ikatan kompleks
yang
dihasilkannya
tidak
dapat
larut,
manusia
tidak
dapat
menghidrolisisnya selama pencernaan, dan zat-zat gizi yang ada menjadi berkurang penyerapannya. Fitat membentuk ikatan konjugasi dengan mineral penting seperti kalsium, magnesium, cu, besi (Fe 2 dan Fe3+), seng, cobalt, dan manganese. Beberapa faktor yang mempengaruhi fitat pada bioavailabilitas mineral adalah pH, ukuran dan valensi mineral, mineral dan konsentrasi dan rasio fitat, dan matriks makanan termasuk keberadaan pendukung atau penghambat (Bredbenner et al. 2007). Menurut penelitian Cook (1997) bahwa terdapat korelasi positif antara penyerapan besi dengan kandungan fitat pada sereal pada orang dewasa muda dengan r =-0.801, p < 0.02. molar rasio setiap mineral berbeda-beda yang dapat dipengaruhi oleh fitat. Molar rasio fitat dengan seng merupakan faktor utama yang mempengaruhi bioavailabilitas seng pada tikus pada sarapan sereal (Morris 1981). Rasio molar fitat dengan seng>10 berisiko dengan gejala defisiensi seng (Morris 1980). Rasio Fe2+ dengan seng > 14.2 menurunkan bioavailabiltas. Rasio fitat dengan kaslium>0.24 menurunkan bioavailabilitas kalsium. Hidrolisis fitat selama fermentasi secara signifikan dapat meningkatkan bioavailabilitas mineral (Ca, Mg, Copper, Seng, dan besi) (Bredbenner et al. 2007). Serat Pangan (Dietary Fiber) Serat pangan dapat dikatakan sebagai komponen bahan makanan nongizi, tetapi akan sangat menyehatkan jika di konsumsi secara teratur dan seimbang setiap hari. Serat pangan berbeda dengan serat kasar (crude fiber). Serat kasar adalah bagian dari tanaman pangan yang tersisa atau tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia. Jika dibandingkan dengan serat pangan, serat kasar memilki nilai lebih kecil sekitar 1/3-1/2 dari nilai serat pangan (Sulistijani 2002). Serat pangan adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan. Serat pangan dapat dibagi dua berdasarkan jenis kelarutannya, yaitu serat yang tidak larut dalam air dan serat yang larut dalam air. Serat pangan yang tidak larut dalam air memiliki sifat mampu berikatan dengan air, seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Serat yang larut dalam air memiliki sifat mampu membentuk gel yang mempengaruhi metabolisme dalam tubuh, seperti pektin, musilase, dan gum (Sulistijani, 2002).
19
Menurut Linder (1992) ada korelasi langsung antara kadar serat pangan (selulosa dan hemiselulosa) dan gerak laju zat-zat makananyang dicerna melalui saluran pencernaan. Diet yang mengandung selulosa, serat akan berjalan lebih cepat karena meningkatnya volume feses. Pengaruh konsumsi serat pangan pada kadar kolesterol tinggi telah dibuktikan pada pasien sukarelawan, yang kemudian dibuktikan pada hewan percobaan, bahwa pasien yang memiliki kandungan kolestrerol tinggi tetapi rendah konsumsi serat bahan makanan, dengan meningkatkan konsumsi serat pangan akan secara nyata turun kadar kolesterol dalam darahnya, terutama bila hal tersebut dilakukan secara terus menerus. Fungsi serat pangan dalam hal ini ternyata melibatkan asam empedu (bile acid). Pasien dengan konsumsi serat pangan yang tinggi dapat mengeluarkan lebih banyak asam empedu, juga lebih banyak sterol dan lemak dikeluarkan bersama feses. Serat pangan ternyata dapat mencegah terjadinya penyerapan kembali asam empedu, kolesterol, dan lemak (Winarno 2002). Antioksidan Antioksidan
merupakan
substansi
yang
diperlukan
tubuh
untuk
menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein, dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan oxidative stress. Secara umum, antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi radikal bebas. Antioksidan
dinyatakan
sebagai
senyawa
yang
secara
nyata
dapat
memperlambat oksidasi, walaupun dengan konsentrasi rendah dibandingkan substrat yang dapat dioksidasi (Pokorny 2001). Menurut
Hamilton
(1983),
oksidasi
dapat
dihambat
dengan
menambahkan antioksidan pemutus rantai (AH) pada konsentrasi yang rendah yang dapat terlibat pada tahap propagasi. Selain antioksidan pemutus rantai terdapat juga antioksidan pencegah, yang bekerja dengan cara mengurangi kecepatan rantai inisiasi. Kedua jenis antioksidan tersebut dapat digunakan secara bersamaan untuk memberikan fungsi yang sinergis. Jika antioksidan
20
pemutus rantai dan pencegah digunakan secara bersamaan, rantai inisiasi dan propagasi keduanya dapat dihambat. Secara alami tubuh dapat memproduksi antioksidan secara spontan. Antioksidan yang diproduksi dari dalam tubuh (endogen) berupa tiga enzim yaitu, superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase (GSH Px), dan katalase. Kerja ketiga enzim tersebut dibantu oleh asupan antioksidan dari luar (eksogen) yang berasal dari bahan makanan. Misalnya, vitamin E, C, betakaroten dan senyawa flavonoid yang diperoleh dari tumbuhan. Antioksidan memberikan perlindungan kepada tubuh dari ancaman radikal bebas dan berfungsi untuk menetralisasi atau melawan radikal bebas. Lebih dari 30.000 penelitian telah dilakukan,
yang
hasilnya
menunjukkan
bahwa
antioksidan
membantu
menyehatkan tubuh manusia, di antaranya memperkuat fungsi kardiovaskular, mata, sistem saraf pusat, kulit, dan banyak lagi. Antioksidan juga dapat memperlambat proses penuaan seseorang (Sianturi 2006). Menurut Cuppet et al. (1997), antioksidan merupakan suatu senyawa yang ketika berada pada konsentrasi rendah dibandingkan dengan subtrat yang dapat dioksidasi, secara nyata dapat memperlambat oksidasi subtrat tersebut. Antioksidan terdapat secara alami dalam hamper semua bahan pangan. Antioksidan bereaksi dengan oksidan sehingga mengurangi kapasitas oksidan untuk menimbulkan kerusakan. System antioksidan tubuh mampu melindungi jaringan tubuh itu sendiri dari efek negative radikal bebas. Nawar (1985), menjelaskan bahwa antioksidan dapat menunda terjadinya reaksi oksidasi atau memperlambat kecepatan reaksi oksidasi yang terjadi pada bahan yang dapat teroksidasi. Akan tetapi tidak dapat memperbaiki minyak yang telah mengalami ketengikan karena antioksidan ini bekerja pada saat sebelum terjadinya ketengikan (Coppen 1983). Jenis antioksidan sangat beragam. Inglod diacu dalam Gordon (1990), mengklasifikasikan antioksidan
antioksidan
primer dan
berdasarkan
mekanisme
antioksidan sekunder.
kerjanya,
Antioksidan primer
yaitu atau
antioksidan pemecah rantai (Chain-Breaking Antioxidant) dapat beraksi dengan radikal lemak dan mengubahnya menjadi produk yang stabil. Contoh antioksidan primer yaitu α-tokoferol, lesitin, dan asam askorbat. Antioksidan sekunder atau disebut juga antioksiden pencegah merupakan antioksidan yang dapat mengurangi kecepatan dari rangkaian reaksi pada tahap inisiasi dari reaksi oksidasi (reaksi 1 dan 2), dengan berbagai mekanisme. Sifatnya menurunkan
21
inisiasi melalui berbagai mekanisme, seperti melalui pengikatan ion-ion logam, penangkapan oksigen, penguraian hidroperoksida menjadi produk-produk non radikal. Menurut Winarno (1995) antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja prooksidan sehingga dapat digolongkan sebagai sinergik. Contoh antioksidan sekunder antara lain asam sitrat dan EDTA (Etylenediaminetetra-acetic-acid). Selanjutnya Gordon (1990) menjelaskan suatu molekul dapat disebut antioksidan primer, jika molekul tersebut dapat memberikan sumbangan atom hidrogen secara cepat pada radikal lipid dan jika radikal yang diturunkan dari antioksidan (A*) lebih stabil dibandingan dengan radikal lipid atau dapat diubah menjadi produk lain yang lebih stabil (reaksi 7). A* + A* A – A
(reaksi 7)
Hamilton (1983), menjelaskan reaksi penghambatan antioksidan primer (AH) pada tahap propagasi dari reaksi oksidasi sebagai berikut: ROO* + AH ROOH + A*
(reaksi 8)
A* + ROO* produk non radikal A* + A*
produk non radikal
Seperti dikemukakan sebelumnya, menurut Nawar (1985), pada tahap propagasi radikal lipid (R*) yang dihasilkan dari tahap inisiasi akan bereaksi dengan oksigen (O2) menghasilkkan radikal peroksida (ROO*) yang selanjutnya bereaksi dengan molekul lipid (RH) menghasilkan hidroperoksida (ROOH) dan radikal lipid (R*) yang selanjutnya akan bereaksi kembali dengan oksigen, sehingga reaksi ini disebut reaksi berantai. Skema dari tahap propagasi tersebut, yang menghasilkan hidroperoksida disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Tahap propagasi (Nawar 1985)
Menurut Gordon (1990), radikal peroksida (ROO*) yang merupakan agen penyebab oksidasi dapat dengan mudah direduksi menjadi anionnya dan
22
selanjutnya diubah menjadi hidroperoksida oleh elektron donor (reaksi 9), atau dapat secara langsung diubah menjadi hidroperoksida oleh sebuah elektron donor
yang
dapat
merupakan
antioksidan
(AH)
(reaksi
8),
sehingga
pembentukkan radikal lipid (R*) akan terhambat yang menyebabkan rantai tahap propagasi terputus yang pada akhirnya akan menghambat pembentukkan hidroperoksida (ROOH). ROO*
+e
ROO-
H+
ROOH
(reaksi 9)
Menurut Hamilton (1983), antioksidan sekunder bekerja dengan cara melalkukan inaktivasi ion logam yang dapat mengkatalis rantai inisiasi, yang termasuk antioksidan jenis ini antara lain asam sitrat dan asam askorbat. Beberapa antioksidan sekunder dapat pula mengabsorbsi radiasi tanpa membentuk radikal. Penil salsilat dan hidrobenzopenon merupakan contoh UV deaktivators. Keefektifan dari antioksidan berhubungan dengan banyak faktor meliputi energi aktivasi, konstanta kecepatan reaksi, potensial oksidasi reduksi, kemudahan antioksidan untuk hilang atau rusak dan sifat-sifat kelarutannya (Nawar 1985). Menurut Gordon (1990), efektivitas dari antioksidan tergantung pada beberapa faktor termasuk struktur, kondisi oksidasi dan bahan yang dioksidasi. Seringkali aktivitas dari antioksidan yang berupa senyawa penol hilang pada konsentrasi dan antioksidan itu dapat menjadi prooksidan. Menurut Pokorny et al. (2008) sumber antioksidan digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik yang diperoleh dari sintesa reaksi kimia dan antioksidan alami. Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan atau diisolasi dari sumber alami kemudian ditambahkan ke dalam makanan sebagai bahan tambahan makanan. Senyawa antioksidan alami pada umumnya merupakan kelompok fenolik atau polifenolik dari sumber tanaman. Antioksidan alami yang paling umum adalah flavonoid (flovanol, isoflovanol, flavon, katekin dan flavanon) derivat asam sinamat, kumarin, tokoferol dan asam organik polifungsional (Pratt & Hudson 1990). Antioksidan alami dari makanan dapat berasal dari (a) senyawa endogenous dari satu atau lebih komponen bahan pangan, (b) substansi yang terbentuk dari reaksi selama pengolahan, dan (c) bahan tambahan yang diisolasi dari sumber alami.
23
Antioksidan alami banyak terdapat dalam seluruh bagian tanaman dari tanaman akar, daun, bunga, biji, batang dan sebagainya. Menurut Pratt dan Hudson
(1990),
senyawa-senyawa
yang
umumnya
terkandung
dalam
antioksidan alami antara lain fenol, polifenol dan yang paling umum adalah flavanoid (flavanol, isoflavon, flavon, katekin, flavonon), karotenoid, turunan asam sinamat, α-tokoferol dan asam organik polifungsi. Tokoferol berfungsi sebagai antioksidan, sedangkan komponen oryzanol merupakan fitrosterol suatu eter senyawa asam ferulat yang dapat menurunkan kolesterol serum manusia (Wilkinson & Champagne 2004). Asam pangamat berfungsi sebagai antioksidan, membantu menurunkan kadar kolesterol darah dan sintesis protein (Damayanthi et al. 2007). Antioksidan alami dapat berfungsi dengan satu atau lebih cara yaitu sebagai senyawa pereduksi, sebagai penghambat radikal bebas, sebagai pembentuk komplek dengan logam prooksidan, dan sebagai penekan oksigen singlet (Pratt & Hudson 1990). Menurut Gordon (1990), oksigen singlet merupakan bentuk oksigen yang sangat reaktif dan dapat dnegan cepat bereaksi dengan molekul lipid untuk memulai reaksi rantai oksidasi. Antioksidan sintetik yang umumnya digunakan dalam produk pangan antara lain BHA (Butylated Hidryoxyanisole), BHT (Butylated Hydroxytoluene), PG (Propil Galat), dan TBHQ (Tri-Butylhydroxyquinone). BHA dan BHT sangat efektif untuk lemak hewan, sedangkan PG selain untuk lemak hewan juga baik untuk minyak nabati walaupun senyawa ini menimbulkan perubahan warna jika terdapat besi dan air. Kecenderungan perubahan warna dalam PG tidak terjadi pada TBHQ (Karyadi 1997). Akan tetapi penggunaan antioksidan sintetik sampai saat ini masih dipertanyakan keamanannya, bahkan oleh Departemen Kesehatan tidak direkomendasikan karena diduga dapat menyebabkan penyakit kanker (Carcinogenic Agent) (Hermani & Raharjo 2005). Penelitian oleh FASEB (1994) diacu dalam Wiliams et al. (1999) mengemukakan bahwa efek karsinogenik BHA yang diujikan pada tikus diduga karena pembentukkan TBHQ pada liver yang menyebabkan kerusakan oksidatif pada DNA. Akan tetapi efek kerusakan oksidatif DNA pada manusia membutuhkan penelitian lebih lanjut. Berbagai penelitian mutakhir mengemukakan bahwa komponen aktivitas antioksidan pada suatu bahan pangan dipengaruhi oleh zat aktif lainnya yang terdapat dalam bahan pangan tersebut. Beberapa di antaranya bersifat antagonis, dan sebagian justru bersifat sinergis dan memperkuat aktivitas
24
antioksidan. Studi mengenai hubungan komposisi flavonoid dan daya antioksidan telah dipelajari oleh Fernandez et al. (2004). Namun pengetahuan mengenai hal ini sudah ada sejak tahun 1936 oleh Rusznyak dan Szent-Gyorgyi yang menghipotesis bahwa flavonoid dan vitamin C bekerja secara sinergis. Penelitian oleh Kadoma et al. (2006) menunjukkan bahwa terdapat efek sinergisme antioksdan antara α-tokoferol dan epikatekin serta epigalokatekin galat pada model invitro. Terlebih lagi Frank et al. (2006) juga menunjukkan bahwa intervensi quersetin, katekin atau epikatekin pada tikus dapat meningkatkan konsentrasi α-tokoferol pada plasma darah dan hati. Vitamin E Pada tahun 1922, ditemukan suatu zat larut lemak yang dapat mencegah keguguran dan sterilitas pada tikus. Semula zat ini dinamakan faktor antisterilitas dan kemudian dinamakan vitamin E.
Vitamin E kemudian pada tahun 1936
dapat diisolasi dari minyak kecambah gandum dan dinamakan tokoferol, berasal dari bahasa Yunani dari kata tokos yang berarti kelainan dan pherein berarti yang menyebabkan. Sekarang dikenal beberapa bentuk tokoferol dan istilah vitamin E bisa digunakan untuk menyatakan setiap campuran tokoferol yang aktif secara biologik. Hewan tidak dapat mensitesis vitamin E dalam tubuhnya, sehingga harus memperolehnya dari pangan nabati. Kekurangan vitamin E pada hewan dapat menimbulkan sindroma, tapi angka kecukupan untuk manusia belum dapat dikatakan sudah pasti (Bender 2003). Vitamin E termasuk jenis nutrient (gizi/nutrisi) yang hanya dapat larut dalam lemak dan beberapa pelarut organik. Namun, vitamin E mudah rusak oleh oksigen di udara dan oleh suhu tinggi atau proses pemanasan. Oleh karena itu, kebanyakan makanan olahan dan siap saji tidak cukup memenuhi kebutuhan vitamin E. Minyak dalam keadaan segar atau makanan mengandung vitamin E yang hanya ditumis jauh lebih aman terhadap kerusakan vitamin E (Soehardi 2004). Menurut Bender (2003), ada delapan bentuk jenis vitamin E yang penting dalam makanan yaitu alfa-, beta-, gamma-, delta-, tokoferol dan tokotrienol. Karakteristik kimia utamanya adalah bertindak sebagai antioksidan. Tokoferol terdiri atas struktur cincin 6-kromanol dengan rantai samping jenuh panjang enam belas karbon fitol. Perbedaaan antar jenis tokoferol terletak pada jumlah dan posisi gugus metal pada struktur cincin. Lihat gambar 3 dibawah ini:
25
Gambar 3 Struktur kimia tokoferol dan tokotrienol (Garrow dan James 1993)
Menurut Bender (2003), tokotrienol mempunyai tiga ikatan rangkap pada rantai samping. Perbedaan struktur ini mempengaruhi tingkat aktivitas vitamin E secara biologik. Tokotrienol tidak banyak terdapat di alam dan kurang aktif secara biologik. Alfa-tokoferol adalah bentuk vitamin E paling aktif, yang digunakan pula sebagai standar pengukuran vitamin E dalam makanan. Jumlah vitamin E dalam bentuk lain dinyatakan dalam bentuk tokoferol ekivalen (TE). Bentuk sintetik vitamin E mempunyai aktivitas biologis 50% daripada alfatokoferol yang terdapat dialam. Berikut merupakan struktur kimia dari alfatokoferol.
Gambar 4 Struktur kimia α-tokoferol (Garrow dan James 1993)
Fungsi utama vitamin E di dalam tubuh adalah sebagai antioksidan alami yang mambuang radikal bebas dan molekul oksigen. Secara partikular, vitamin E juga penting dalam mencegah peroksidasi membran asam lemak tak jenuh. Vitamin E dan C berhubungan dengan efektivitas antioksidan masing-masing. Alfa-tokoferol yang paling aktif dapat diregenerasi dengan adanya interaksi dengan vitamin C yang menghambat oksidasi radikal bebas peroksi. Alternatif lain,
alfa
tokoferol
dapat
membuang
dua radikal
bebas
peroksi
dan
mengkonjugasinya menjadi glukuronat ketika ekskresi di ginjal (Bender 2003). Vitamin E adalah vitamin yang larut dengan baik dalam lemak dan melindungi tubuh dari radikal bebas. Vitamin E juga berfungsi mencegah penyakit hati, mengurangi kelelahan, membantu memperlambat penuaan karena
26
vitamin E berperan dalam suplai oksigen ke darah sampai dengan ke seluruh organ tubuh. Vitamin E juga menguatkan dinding pembuluh kapiler darah dan mencegah kerusakan sel darah merah akibat racun. Vitamin E
membantu
mencegah sterilitas dan destrofi otot. Vitamin E banyak digunakan untuk tujuan melawan kekeringan pada kulit, sebagai produk tabir surya. Produk –produk tabir surya yang terbaik adalah yang mengandung sekurangnya 1% vitamin E. Riset membuktikan bahwa vitamin E memberikan perlawanan terhadap kekeringan dengan membantu memberikan pelembab natural pada kulit. Apabila digunakan sebelum terkena matahari, vitamin E bisa mencegah kulit kemerahan, bengkak, dan kering. Vitamin E biasanya dipakai sebelum dan sesudah terkena paparan sinar matahari, karena sinar matahari langsung bisa merusak setengah dari suplai vitamin E alami kulit. Penelitian juga membuktikan bahwa vitamin E bisa mengurangi molekul jahat yang terjadi akibat paparan asap rokok (Soehardi 2004). Stabilitas kimia vitamin E mudah berubah akibat pengaruh berbagai zat alami. Minyak tak jenuh, seperti minyak hati ikan cod, minyak jagung, minyak kacang kedele, minyak biji bunga matahari, semuanya mempertinggi kebutuhan vitamin E. Hal ini terjadi jika minyak-minyak tersebut mengalami ketengikan oksidatif dalam makanan. Bila minyak-minyak tersebut tengik sebelum makanan dimakan, maka berarti telah terjadi kerusakan vitamin E dalam minyak dan dalam makanan yang mengandung minyak tersebut. Garam-garam besi, seperti feriklorida, kalium ferrisianida bersifat mengoksidasi tokoferol. Nitrogen klorida dan klor dioksida pada konsentrasi yang biasa digunakan untuk memutihkan tepung akan merusak sebagian besar tokoferol yang terdapat dalam tepung. Pembuatan tepung menjadi roti akan merusak 47 % tokoferol yang terdapat dalam tepung (Almatsier 2006). Oryzanol Oryzanol adalah komponen berharga dari bagian tidak tersabunkan. Komponen ini memiliki sifat antioksidan dengan aktivitas yang lebih tinggi dibanding tokoferol dan dinyatakan dapat memicu pertumbuhan manusia, membantu sirkulasi darah, dan memicu sekresi hormon. Struktur kimia γoryzanol adalah keluarga dari ester asam ferulat dari triterpenoid alkohol tidak jenuh. Pada minyak bekatul padi, γ-oryzanol telah diidentifikasi berfungsi sebagai antioksidan dan bersifat menyembuhkan berbagai penyakit manusia. Telah diidentifikasi, yang termasuk ke dalam γ-oryzanol adalah cycloartenyl ferulate,
27
campesteryl ferulate, cycloartanyl ferulate, beta sitosteryl ferulate, dan 2,4 methylene cycloartenyl ferulate yang memiliki aktivitas tertinggi (Damayanthi et al 2006).
Gambar 5 Struktur kimia -oryzanol (Cho et al. 2012)
Gamma-oryzanol merupakan fraksi tak tersabunkan dalam minyak bekatul. Menurut Diack dan Saska (1994), struktur -oryzanol adalah keluarga dari ester asam ferulat dari triterpenoid alkohol tidak jenuh. Berdasarkan penelitian Damayanthi et al. (2007), kandungan oryzanol di dalam minyak dari bekatul padi awet adalah sekitar 17.70 mg/ g minyak. Aktivitas antioksidan oryzanol bergantung pada gugus hidroksi fenolik di dalam bagian ferulat. Aktivitas antioksidan tertinggi oryzanol terdapat pada struktur 24-methylenecycloartanyl ferulat (Xu et al. 2001). Minyak bekatul sangat bermanfaat karena ada kandungan vitamin E dan komponen bioaktif oryzanol yang berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan adalah senyawa yang mampu melindungi melindungi tubuh dari pengaruh radikal bebas (Mulato & Suharyanto 2011). Minyak bekatul awet dan fraksinya (fraksi tak tersabunkan dan oryzanol) terbukti dapat menghambat oksidasi β-VLDL dan LDL manusia secara in vitro. Di samping itu, minyak bekatul awet, faksi tak tersabunkan dan oryzanol juga dapat menghambat proliferasi sel kanker KR-4, K-562 dan melanoma (Damayanthi 2002; Damayanthi et al. 2004). Most et al. (2005) melaporkan pemberian minyak bekatul secara nyata dapat menurunkan kadar kolesterol total plasma dan kolesterol LDL dibandingkan dengan campuran minyak dengan asam lemak serupa. Hal ini kemudian diduga akibat fraksi tak tersabunkan pada minyak bekatul, termasuk di dalamnya -oryzanol. Berikut adalah struktur kimia -oryzanol. Saunders (1990) menyatakan bahwa keuntungan fisiologis dari bekatul padi sebagai sumber bahan pangan adalah karena kandungan gizinya dan sifat dari oryzanol. Efek hipokolesterolemik bekatul dan beberapa fraksinya (neutral detergent fiber, hemiselulosa, minyak bekatul padi, dan bahan tak tersabunkan)
28
telah banyak diobservasi baik pada hewan percobaan maupun manusia (Kahlon et al. 1996; Cheng 1993; Nestel 1990). Seetharamaiah dan Chandrasekhara (1989) melaporkan minyak bekatul padi menurunkan secara nyata kadar kolesterol total, bebas, esterifikasi, LDL, dan VLDL serum dibandingkan dengan ransum minyak kacang tanah 10 %, sebaliknya kolesterol HDL menjadi lebih tinggi. Penambahan oryzanol 0.5 % ke ransum yang mengandung minyak bekatul padi menunjukkan penurunan lebih jauh secara nyata total kolesterol serum. Kemampuan minyak bekatul padi menurunkan kadar kolesterol disebabkan adanya oryzanol dan komponen lainnya dari bahan yang tidak dapat disabunkan. Pemanis Rendah Kalori dan Flavor Pemanis Rendah Kalori Di dalam kategori produk pangan, pemanis termasuk ke dalam golongan bahan tambahan kimia selain bahan-bahan lainnya seperti antioksidan, pemutih, pengawet, pewarna, dan sebagainya. Pada dasarnya pemanis buatan (artificial sweeteners) merupakan senyawa yang secara substansial memiliki tingkat kemanisan lebih tinggi, yaitu berkisar antara 30 sampai dengan ribuan kali lebih manis dibandingkan sukrosa. Karena tingkat kemanisannya yang tinggi, penggunaan pemanis buatan dalam produk pangan hanya dibutuhkan dalam jumlah kecil sehingga dapat dikatakan rendah kalori atau tidak mengandung kalori. Selain itu penggunaan pemanis buatan untuk memproduksi makanan jauh lebih murah dibanding penggunaan sukrosa. Seperti yang telah diketahui, sukrosa sebagai bahan pemanis alamiah memiliki kandungan kalori yang cukup tinggi, yaitu sebesar 251 Kal dalam 100 gram bahan (Usmiati dan Yuliani 2004). Konsumsi makanan dan minuman dengan kandungan gula tinggi secara berlebihan dan tanpa diimbangi dengan asupan gizi lain dapat menimbulkan gangguan metabolisme dalam tubuh, dimana kalori berubah menjadi lemak sehingga menyebabkan gangguan kesehatan (Usmiati dan Yuliani 2004). Kondisi ini menjadikan penggunaan sukrosa atau yang lebih dikenal dengan gula sebagai bahan pemanis utama semakin tergeser. Pemanis yang mempunyai niali kalori yang rendah sangat berguna untuk beberapa kalangan yang mempunyai penyakit yang berkaitan dengan masalah gula, misalnya penyakit diabetes mellitus. Pemanis yang mempunyai nilai kalori yang rendah diantaranya yaitu pemanis buatan, karena pemanis buatan penggunaanya sangat sedikit. Penggunaan pemanis buatan yang semula hanya ditujukan pada produk-produk
29
khusus bagi penderita diabetes, saat ini penggunaannya semakin meluas pada berbagai produk pangan secara umum. Beberapa pemanis buatan bahkan tersedia untuk dapat langsung digunakan atau ditambahkan langsung oleh konsumen kedalam makanan atau minuman sebagai pengganti gula. Propaganda mengenai penggunaan pemanis buatan umumnya dikaitkan dengan isu-isu kesehatan seperti: pengaturan berat badan, pencegahan kerusakan gigi, dan bagi penderita diabetes dinyatakan dapat mengontrol peningkatan kadar glukosa dalam darah. Namun demikian, tidak selamanya penggunaan pemanis buatan tersebut aman bagi kesehatan. Pemanis buatan diperoleh secara sintetis melalui reaksi-reaksi kimia di laboratorium maupun skala industri. Karena diperoleh melalui proses sintetis dapat dipastikan bahan tersebut mengandung senyawa-senyawa sintetis. Penggunaan pemanis buatan perlu diwaspadai karena dalam takaran yang berlebih dapat menimbulkan efek samping yang merugikan kesehatan manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis pemanis buatan berpotensi menyebabkan tumor dan bersifat karsinogenik. Oleh karena itu Organisasi
Kesehatan
Dunia
(World
Health
Organization/
WHO)
telah
menetapkan batas-batas yang disebut Acceptable Daily Intake (ADI) atau kebutuhan per orang per hari, yaitu jumlah yang dapat dikonsumsi tanpa menimbulkan resiko. Sejalan dengan itu di negara-negara Eropa, Amerika dan juga di Indonesia telah ditetapkan standar penggunaan pemanis buatan pada produk makanan. Beberapa pemais buatan yang banyak digunakan di Indonesia yaitu aspartam, siklamat, alitam, sukralosa, dan lain-lain. Tabel 2 Beberapa Jenis Pemanis Buatan Pengganti Sukrosa yang Diijinkan Penggunaannya di Indonesia Jenis bahan pemanis Alitam
Acesulfame-K
Aspartame
Jumlah kalori (kKal/g) 1.4
Tingkat kemanisan 2000
ADI (mg/kg BB) 0.34
0
200
15
0.4
180
50
*
Sifat Penggunaannya bersama pemanis lain bersifat sinergis Dapat dicerna oleh enzim pencernaan dan diserap oleh usus Relatif lebih stab dibandingkan jenis pemanis lainnya Tidak dapat dicerna, bersifat non glikemik dan non kariogenik Stabil pada kondisi kering, namun tidak tahan panas Berbahaya bagi penderita
30
Neotam
0
7000
0-2
Sakarin
0
300
5
Siklamat
0
300
0-11
Sukralosa
0
300
0-15
fenilketonuria karena dapat menyebabkan resik penurunan fungsi otak Dapat menimbulkan gangguan tidur dan migrain bagi yang sensitive Terurai secara cepat dan dibuang sempurna tanpa akumulasi oleh tubuh melalui metabolisme normal Timbul reaksi dermatologis bagi anak-anak yang alergi terhadap sulfa Berpotensi memac pertumbuhan tumor dan bersifat karsinogenik Dalam dosis tinggi dapat menyebabkan tumor kandung kemih, paru, hati dan limpa Stabil pada kondisi panas Tidak dapat dicerna dan langsung dikeluarkan oleh tubuh tanpa perubahan
* dibandingkan dengan sukrosa Sumber: SNI 01-6993-2004 BPOM (2004) Robert dalam Usmiati dan Yuliani (2004)
Alitam dengan rumus kimia C14H25N3O4S. 2,5-H2O atau L-α-Aspartil-N[2,2,4,4-tetrametil-3- trietanil]-D-alanin amida, hidrat, merupakan senyawa yang disintesis dari asam amino Lasam aspartat, D-alanin, dan senyawa amida yang disintesis dari 2,2,4,4-tetra metiltienanilamin. Alitam dapat dicerna oleh enzim dalam saluran pencernaan dan diserap oleh usus berkisar antara 78-93 % dan dihidrolisis menjadi asam aspartat dan alanin amida. Sedangkan sisa alitam yang dikonsumsi yaitu sebanyak 7-22 % dikeluarkan melalui feses. Asam aspartat hasil hidrolisis selanjutnya dimetabolisme oleh tubuh dan alanin amida dikeluarkan melalui urin sebagai isomer sulfoksida, sulfon, atau terkonjugasi dengan asam glukoronat. Oleh karena itu, Calorie Control Council (CCC) menyebutkan alitam aman dikonsumsi manusia. Beberapa Negara seperti Australia, New Zealand, Meksiko, dan RRC telah mengijinkan penggunaan alitam sebagai pemanis untuk berbagai produk pangan. Meskipun telah dinyatakan aman oleh CAC, Alitam belum diijinkan penggunaannya di Eropa. Acesulfame-K: dengan rumus kimia C4H4KNO4S atau garam kalium dari 6-methyl-1,2,3-oxathiazin-4(3H)-one-2,2-dioxide atau garam Kalium dari 3,4dihydro-6-methyl-1,2,3-oxathiazin-4-one-2,2 di- oxide merupakan senyawa yang tidak berbau, berbentuk tepung kristal berwarna putih, mudah larut dalam air dan berasa manis dengan tingkat kemanisan relatif sebesar 200 kali tingkat kemanisan sukrosa tetapi tidak berkalori. Kombinasi penggunaan acesulfame-K
31
dengan
asam
aspartat
dan
natrium
siklamat
bersifat
sinergis
dalam
mempertegas rasa manis gula. Beberapa kajian memperlihatkan bahwa acesulfame-K tidak dapat dicerna, bersifat non glikemik dan non kariogenik, sehingga JECFA menyatakan aman untuk dikonsumsi manusia sebagai pemanis buatan dengan ADI sebanyak 15 mg/kg berat badan. CAC mengatur maksimum penggunaan acesulfame-K pada berbagai produk pangan berkisar antara 200 sampai dengan 1000 mg/kg produk. Sementara US Code of Federal Regulation (CFR) mengatur maksimum penggunaan acesulfam-K pada berbagai produk pangan dalam Good Manufacturing Practices (GMP). Sedangkan Food Standards Australia New Zealand (FSANZ) mengatur maksimum penggunaan acesulfame-K pada berbagai produk pangan Penerapan Standar Penggunaan Pemanis Buatan (Indrie A, Qanitah, Surjana) berkisar antara 200 sampai dengan 3000 mg/kg produk. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa acesulfameK berbahaya bagi penderita phenylketonuria karena dapat menyebabkan resiko penurunan fungsi otak (Robert dalam Usmiati dan Yuliani 2004). Aspartam atau Aspartil fenilalanin metil ester (APM) dengan rumus kimia C14H18N2O5 atau 3-amino-N(α-carbomethoxy-phenethyl) succinamic acid, N-L-αaspartyl-Lphenylalanine- 1-methyl ester merupakan senyawa yang tidak berbau, berbentuk tepung kristal berwarna putih, sedikit larut dalam air, dan berasa manis. Kombinasi penggunaan aspartam dengan pemanis buatan lain dianjurkan terutama untuk produk-produk panggang dalam mempertegas cita-rasa buah Aspartam dimetabolisme dan terurai secara cepat menjadi asam amino, asam aspartat, fenilalanin, dan metanol, sehingga dapat meningkatkan kadar fenilalanin dalam darah. Menurut Robert dalam Usmiati dan Yuliani (2004) aspartam dapat menimbulkan gangguan tidur dan migrain bagi yang sensitif. Penggunaan aspartam sesuai dengan petunjuk FDA dinilai aman bagi wanita hamil. CAC mengatur maksimum penggunaan aspartam pada berbagai produk pangan berkisar antara 500 sampai dengan 550 mg/kg produk. Sementara CFR mengatur penggunaan aspartam tidak lebih dari 0.5 % dari berat bahan siap dipanggang atau dari formulasi akhir khususnya untuk produk pangan yang dipanggang. Neotam dengan rumus kimia C20H30N2O5 atau L-phenylalanine, N-[N-(3.3dimethylbutyl)-L-α-aspartyl]-L-phenylalanine 1-methyl ester merupakan senyawa yang bersih, berbentuk tepung kristal berwarna putih, penegas cita-rasa yang unik dan memiliki tingkat kelarutan dalam air sama dengan aspartam. Neotam
32
termasuk pemanis non-nutritif yaitu tidak memiliki nilai kalori. Penggunaan neotam dalam produk pangan dapat dilakukan secara tunggal maupun kombinasi dengan pemanis lain seperti aspartam, garam acesulfame, siklamat, sukralosa, dan sakarin. Neotam dapat berfungsi sebagai penegas cita rasa terutama cita rasa buah. Kajian digestive memperlihatkan bahwa neotam terurai secara cepat dan dibuang sempurna tanpa akumulasi oleh tubuh melalui metabolism normal. Hasil kajian komprehensif penggunaan neotam pada binatang dan manusia termasuk anak-anak, wanita hamil, penderita diabetes memperlihatkan bahwa neotam aman dikonsumsi manusia. Kajian JECFA pada bulan Juni tahun 2003 di Roma, Italia menyatakan bahwa ADI untuk neotam adalah sebanyak 0 sampai dengan 2 mg/kg berat badan. FDA dan FSANZ telah menyetujui penggunaan neotam sebagai pemanis dan pencita rasa. Meskipun telah dinyatakan aman oleh CAC, Neotam tidak diijinkan penggunaannya di Eropa. Sakarin sebagai pemanis buatan biasanya dalam bentuk garam berupa kalsium,
kalium,
dan
natrium
sakarin
dengan
rumus
kimia
(C14H8CaN2O6S2.3H2O), (C7H4KNO3S.2H2O), dan (C7H4NaNO3S.2H2O). Secara umum, garam sakarin berbentuk kristal putih, tidak berbau atau berbau aromatik lemah,
dan
mudah
larut
dalam
air,
serta
berasa
manis.
Kombinasi
penggunaannya dengan pemanis buatan rendah kalori lainnya bersifat sinergis. Sakarin tidak dimetabolisme oleh tubuh, lambat diserap oleh usus, dan cepat dikeluarkan melalui urin tanpa perubahan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa sakarin tidak bereaksi dengan DNA, tidak bersifat karsinogenik, tidak menyebabkan karies gigi, dan cocok bagi penderita diabetes. Robert dalam Usmiati dan Yuliani (2004), menyebutkan bahwa sakarin dapat menimbulkan reaksi dermatologis bagi anak-anakyang alergi terhadap sulfa, berpotensi memacu pertumbuhan tumor dan bersifat karsinogenik. Pada tahun 1977, penggunaan sakarin pernah dilarang oleh FDA dikarenakan adanya hasil penelitian pada hewan yang menunjukkan bahwa sakarin dapat memacu pertumbuhan tumor. Namun, hasil penelitian tersebut mendapat bantahan karena pada kenyataannya dosis sakarin yang diberikan pada hewan percobaan melebihi dosis yang dapat dikonsumsi manusia, yaitu setara dengan 850 kaleng minuman soda diet (UPMC 2003). Sejak bulan Desember 2000, FDA telah menghilangkan kewajiban pelabelan pada produk pangan yang mengandung sakarin, dan 100 negara telah mengijinkan penggunaannya. CAC mengatur maksimum penggunaan sakarin pada berbagai produk pangan berkisar antara
33
80 - 5.000 mg/kg produk. Saat ini, meskipun sakarin telah dinyatakan aman untuk dikonsumsi, namun di USA sendiri penggunaannya dalam produk pangan masih sangat dibatasi (Kroger et al. 2006). Siklamat atau cyclohexylsulfamic acid (C6H13NO3S) sebagai pemanis buatan digunakan dalam bentuk garam kalsium, kalium, dan natrium siklamat. Secara umum, garam siklamat berbentuk kristal putih, tidak berbau, tidak berwarna, dan mudah larut dalam air dan etanol, serta berasa manis. Kombinasi penggunaan siklamat dengan sakarin dan atau acesulfame-K bersifat sinergis, dan kompatibel dengan pencitarasa dan bahan pengawet. Pemberian siklamat dengan dosis yang sangat tinggi pada tikus percobaan dapat menyebabkan tumor kandung kemih, paru, hati, dan limpa, serta menyebabkan kerusakan genetik dan atropi testikular. Informasi yang dikumpulkan oleh CCC (Calorie Control Council) menyebutkan bahwa konsumsi siklamat tidak menyebabkan kanker dan non mutagenik. Pada tahun 1984, FDA menyatakan bahwa siklamat tidak bersifat karsinogenik. Meskipun FDA, JECFA dan CAC menyatakan bahwa siklamat aman untuk dikonsumsi, namun Kanada dan USA tidak mengisengan penggunaan siklamat sebagai bahan tambahan pangan (BPOM 2004). Sukralosa adalah triklorodisakarida yaitu 1,6-Dicloro-1,6-dideoxy-Dfructofuranosyl-4-chloro-4-deoxy-α-D-galactopyranoside
atau
4,16
trichlorogalatosurcrose dengan rumus kimia C12H19C13O8 merupakan senyawa berbentuk Kristal berwarna putih, tidak berbau, mudah larut dalam air, methanol dan alcohol, sedikit larut dalam etil asetat, serta berasa manis tanpa purna rasa yang tidak diinginkan. Sukralosa memiliki tingkat kemanisan yang relative, yaitu sebesar 600 kali tingkat kemanisan sukrosa dengan tanpa nilai kalori. Dengan penambahan sedikit saja sudah diproleh rasa manis yang cukup untuk suatu makanan. Sukralosa memiliki keunggulan dari sifatnya yang stabil dan mampu bertahan dengan pemanasan. Sukralosa tidak digunakan sebagai sumber energy oleh tubuh karena tidak terurai sebagaimana halnya sukrosa. Sukralosa tidak dapat dicerna, dan langsung dikeluarkan oleh tubuh tanpa perubahan. Sehinnga aman dikonsumsi oleh wanita hamil dan menyusui serta anak-anak segala usia. Sukralosa teruji tidak menyebabkan karies gigi, perubahan genetik, cacat bawaan dan kanker. Selanjutnya sukralosa tidak pula berpengaruh terhadap perubahan genetic, metabolism karbohidrat, reproduksi pria dan wanita serta terhadap system kekebalan tubuh. Oleh karena itu, sukralosa sangat bermanfaat
34
sebagai pengganti gula bagi penderita diabetes baik tipe 1 maupun tipe 2 (Ambarsari et al. 2009). Penggunaan sukralosa sudah mulai banyak digunakan oleh masyarakat terutama industry pangan. Karena tingkat kemanisannya sangat tinggi yaitu 600 kali dari sukrosa sehingga jumlah yang dibutuhkan untuk memaniskan makanan menjadi lebih kecil. Pada penelitian ini sukralosa yang digunakan merk Splenda. Sukralosa dapat dikonsumsi secara umum termasuk oleh penderita Diabetes Mellitus dan pelaku diet dengan batas maksimum penggunaan. Hal ini dikarenakan sukralosa mempunyai nilai kalori sebesar 0 kkal/g atau setara dengan 0 kJ/g. menurut ADI (Acceptable Daily Intake) atau asupan harian yang dapat diterima adalah jumlah maksimum pemanis buatan dalam milligram per kilogram berat badan yang dapat dikonsumsi setiap hari selama hidup tanpa menimbulkan efek merugikan tarhadap kesehatan (BPOM 2004). Flavor Flavor adalah sensori yang diproduksi oleh bahan makanan yang ada dalam mulut, terutama dirasakan oleh indra prasa dan indra penciuman dan secara umum oleh berbagai reseptor yang terdapat didalam mulut. Flavor juga didefinisikan
sebgai
komponen
yang
memiliki
karakteristik
yang dapat
menghasilkan sifat sensori (aroma dan rasa) sensori. Falavor minuman dapat berasan dari buah, minuman buah atau falavor buatan (sintetik). Meskipun dalam jumlah kecil flavor sangat berarti atau berperan dalam produk minuman (Ostendrof 1978). Menurut Lindsay (1996), flavor adalah keseluruhan sensasi yang berkontribusi pada persepsi yang diterima oleh indera meliputi bau, rasa, penglihatan, perasaan
dan suara pada
saat
mengkonsumsi
makanan.
Kemampuan sel-sel khusus epitel penciuman dari rongga hidung untuk mendeteksi jumlah volatile odorant untuk variasi hampir tidak terbatas dalam intensitas dan kualitas bau dan rasa. Pengecap terletak di belakang lidah dan rongga mulut memungkinkan manusia untuk merasakan rasa manis, asam, asin, dan pahit, sensasi ini disumbangkan kepada komponen rasa citarasa. Nonspesifik atau tanggapan saraf trigeminal juga memberikan kontribusi penting untuk memberi persepsi melalui deteksi dari pungency, dingin, umami, atau atribut yang lezat, serta sensasi yang diinduksi secara kimia lainnya yang dalam persepsi rasa dan bau, sehingga makanan dapat diterima konsumen. Menurut U.S. Society of flavor chemists dalam Heath (1978), flavor didefinisikan sebagai
35
suatu substansi, berupa komponen kimia tunggal atau campuran, baik alami maupun sintetik, yang menyebabkan suatu sensasi pada makanan dan minuman ketika dikonsumsi. Secara
sederhana
“flavor” dalam kamus Webster’s
didefinisikan sebagai perasaan atau sensasi terpadu antara rasa (taste) dan bau (smell) yang ditimbulkan oleh bahan (zat/senyawa) di dalam mulut. Institut of Food Technologist’s (1989) menegaskan bahwa flavor/cita rasa dibentuk atas dasar tiga komponen, yaitu: 1. Rasa (taste) yang menggambarkan perasaan indera pengecap (perasa pada lidah) yang terdapat pada lidah dan rongga mulut belakang. Rasa ini meliputi manis, asin, asam dan pahit. 2. Bau (odor) yang dibentuk atau ditimbulkan dari beribu-ribu macam senyawa volatil dengan variasi yang tidak terbatas di dalam intensitas dan kualitas serta terdeteksi oleh sel-sel khusus ephitelium yang terdapat pada rongga hidung. Jika bau ini berkonotasi “menyenangkan” sering disebut dengan istilah “aroma”. 3. Pandangan atau persepsi terhadap ketajaman (pungency), panas, dingin dan sebagainya oleh tanggapan syaraf trigeminal. Menurut Taylor dan Roberts (2004), flavor dihasilkan dari kombinasi dari rasa (dirasakan oleh reseptor pada lidah), bau (dirasakan pada hidung) dan irritation (dirasakan pada permukaan mucosal). Lima rasa dasar yang selalu dideskripsikan sebagai : asin, manis, asam, pahit dan umami. Dalam industry minuman, falvor yang digunakan adalah flavor sintetik. Flavor sintetik dibuat dari bahan organik dan bahan kimia yang telah diisolasi dari sumber-sumber
alami.
Keuntungan
menggunakan
flavor
sintetik
adalah
ekonomis, konsentrasi tinggi, penyimpanan yang mudah, lebih stabil, dan lebih tahan lama (Philps 1981). Uji Organoleptik Penilaian organoleptik adalah penilaian menggunakan indera dengan kemampuan sensori. Penilaian organoleptik banyak digunakan untuk menilai mutu komoditas hasil pertanian dan makanan. Indera manusia yang sangat umum digunakan dalam penilaian penerimaan suatu makanan adalah indera pencicip, penglihat, pembau, dan peraba. Penilaian organoleptik banyak disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Kadangkadang penilaian ini dapat memberi hasil penilaian yang sangat teliti. Dalam
36
beberapa hal, penelitian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif (Soekarto 1985). Uji Hedonik Uji hedonik atau uji kesukaan merupakan salah satu jenis uji penerimaan. Uji ini bertujuan untuk mengetahui respon panelis terhadap sifat mutu yang umum,
misalnya:
warna,
aroma,
tekstur,
dan
rasa.
Panelis
diminta
mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaan serta tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut sebagai skala hedonik. Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut skala yang dikehendaki (Rahayu 1998). Rentangan skala hedonik berkisar dari ekstrim suka sampai ekstrim tidak suka. Skala hedonik dalam analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan. Analisis statistik dapat dilakukan dengan data numerik tersebut (Soekarto 1985). Uji Mutu Hedonik Uji mutu hedonik adalah uji hedonik yang lebih spesifik untuk suatu jenis mutu tertentu (Rahayu 1998). Uji mutu hedonik menyatakan kesan tentang baik atau buruk yang disebut kesan mutu hedonik (Soekarto 1985). Uji ini bertujuan untuk mengetahui respon panelis terhadap sifat-sifat produk yang lebih spesifik, misalnya: sifat pulen atau pera pada nasi, sifat gurih pada kerupuk, dan lain-lain (Rahayu 1998). Skala hedonik pada uji mutu hedonik sesuai dengan tingkat mutu hedonik. Rentangan skala berkisar dari ekstrim baik sampai ekstrim jelek. Jumlah tingkat skala juga bervariasi tergantung dari rentangan mutu yang diinginkan dan sensitivitas antar skala. Data penilaian pada uji mutu hedonik dapat ditransformasikan dalam skala numerik dan selanjutnya dapat dianalisis statistik untuk intrepetasinya (Soekarto 1985). Panelis Penilaian organoleptik memerlukan panel. Panel bertindak sebagai instrumen atau alat yang terdiri dari orang atau sekelompok orang yang bertugas menilai sifat atau mutu komoditas berdasarkan kesan subyektif. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis. Dalam penilaian organoleptik dikenal tujuh macam panel, yaitu: panel perseorangan, panel terbatas, panel terlatih, panel agak terlatih, panel tak terlatih, panel konsumen, dan panel anak-anak. Perbedaan ketujuh panel tersebut didasarkan pada keahlian dalam melakukan penilaian organoleptik (Rahayu 1998).
37
Warna Warna merupakan alat sensori pertama yang dapat dilihat langsung oleh panelis (Winarno 2008). Menurut Soekarto (1985), meskipun warna paling cepat dan mudah dalam memberi kesan, tetapi warna paling sulit dideskripsikan serta sulit cara pengukurannya. Itulah sebabnya penilaian secara subjektif dengan penglihatan masih sangat menentukan dalam penilaian komoditi. Menurut Winarno (1998), suatu bahan tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberikan kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Menurut Winarno dan Rahayu (1994), selain sebagai faktor yang ikut menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan. Baik tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang seragam dan merata. Menurut
Vaclavik
dan
Christian
(2003),
intensitas
warna
juga
dapat
mempengaruhi persepsi dari rasa makanan atau minuman. Warna yang kuat dapat menyebabkan persepsi terhadap rasa yang kuat. Aroma Aroma merupakan hasil kombinasi antara rasa dan bau (Vaclavik dan Christian 2003). Indera pembau berfungsi untuk menilai bau-bauan dari suatu produk atau komoditi baik berupa makanan maupun nonpangan (Soekarto 1985). Menurut Vaclavik dan Christian (2003), aroma dapat dideteksi dengan menggunakan sel epitelium di daerah olfaktori pada bagian atas rongga hidung. Manusia mampu mendeteksi dan membedakan sekitar 16 juta jenis bau karena mempunyai 10-20 juta sel olfaktori yang bertugas mengenali dan menentukan jenis bau yang masuk (Winarno 2008). Menurut Dewi (2011), temperatur dari makanan dapat mempengaruhi aroma. Makanan hangat memberikan aroma yang lebih kuat dibandingkan dengan makanan dingin. Pembauan juga disebut pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium baunya dari jarak jauh. Kepekaan pembauan lebih tinggi daripada pencicipan karena zat yang diperlukan untuk dapat merangsang indera pembau jumlahnya lebih rendah daripada zat yang diperlukan untuk perangsang indera pencicip. Dalam banyak hal enaknya makanan ditentukan oleh baunya. Industri pangan menganggap sangat penting uji aroma karena dapat dengan cepat memberikan hasil penilaian apakah produksinya disukai atau tidak disukai (Soekarto 1985).
38
Tekstur Tekstur merupakan salah satu faktor penting dalam penentuan mutu bahan pangan. Menurut Winarno (2008), dari penelitian-penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa perubahan tekstur atau viskositas bahan dapat mengubah rasa dan bau yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel reseptor olfaktori dan kelenjar air liur. Manusia dapat mengetahui tekstur suatu makanan atau minuman dengan menggunakan indera peraba seperti tangan, kulit, mulut, bibir, dan lidah. Penginderaan tentang tekstur yang berasal dari sentuhan dapat ditangkap oleh keseluruhan permukaan kulit, tetapi biasanya jika orang ingin mengetahui tesktur suatu bahan digunakan ujung jari tangan (Soekarto 1985). Rasa Rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk pangan. Vaclavik dan Christian (2003) mengemukakan bahwa rasa dari makanan adalah kombinasi dari lima rasa dasar yaitu asin, manis, asam, pahit, dan umami. Rasa itu sangat kompleks dan sulit untuk digambarkan. Seseorang dapat membedakan rasa suatu makanan atau minuman dengan menggunakan indera pencicip yaitu lidah. Menurut Soekarto (1985), putting pencicip manusia hanya dapat membedakan empat cicip dasar yaitu manis, pahit, asin, dan asam. Diluar keempat cicip dasar itu puting pencicip tidak terangsang atau responsif. Rasa suatu produk pangan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, temperatur, konsistensi, dan interaksi dengan komponen rasa yang lain serta jenis dan lama pemasakan (Vaclavik dan Christian 2003). Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) Kombinasi gas chromatography (GC) untuk pemisahan dan mass spectrometry (MS) untuk deteksi dan identifikasi komponen-komponen dalam campuran berbagai komponen menjadi alat analisis yang digunakan dalam penelitian dan laboratorium analisis. Penggabungan GC dan MS biasanya dilakukan untuk mendeteksi komponen-komponen spesifik tertentu. Sistem GCMS terdapat dalam berbagai jenis dan ukuran tergantung pada desain untuk memenuhi tuntutan pekerjaan (Douglas 2010; Dudley et al. 1995). GC merupakan alat analisis yang populer, kuat, cukup murah dan mudah dioperasikan. Campuran yang akan dianalisa diinjeksikan ke dalam saluran gas inert dan disebarkan pada tabung yang dilengkapi lapisan padat dengan fase cair. Interaksi absorptif antara komponen-komponen dalam saluran gas dan
39
lapisan fase diam kolom menyebabkan terjadinya perbedaan pemisahan campuran komponenkomponen, selanjutnya komponen tersebut akan dideteksi oleh detektor. Detektor GC, identifikasinya didasarkan pada waktu retensi di dalam kolom. Mass spectrometer mengantar material yang diinjeksikan, mengionisasinya dalam kondisi sangat vakum, mendorong dan memfokuskan ion-ion ini dan hasil fragmentasi melalui sebuah magnetic mass analyzer, dan selanjutnya jumlah setiap ion pada detektor dikumpul dan diukur. Mass spectrometer adalah alat yang sangat baik untuk mengidentifikasi dengan baik struktur dari suatu komponen, tetapi kurang baik untuk mendeteksi struktur jika komponen terdapat dalam bentuk campuran. Penggabungan dua komponen menjadi sebuah bentuk sistem GC-MS memungkinkan pemisahan campuran menjadi komponen tunggal, yang dapat diidentifikasi, dan memberikan informasi kuantitatif dan kualitatif dari jumlah dan struktur kimia setiap komponen. Penentuan struktur molekul sebuah komponen didasarkan pada berat molekul dan fragmentasi spektra (Hartomo & Purba 1986).
Gambar 6 GC-MS
Sistem GC-MS terdiri dari: (1) Injektor, sebagai jalan masuknya sampel ke dalam kromatogram, (2) Gas chromatograph, sebagai gas pembawa (carrier gas) dan kontrol valving, (3) Oven, sebagai pengontrol suhu, (4) Tubing, sebagai penghubung injektor dengan kolom dan keluar ke bagian spektrometer (5) Kolom yang dibungkus dan dilapisi dengan fase diam yang memungkinkan terjadinya pemisahan, (6) Modul yang memisahkan komponen-komponen yang disalurkan ke sumber ionisasi mass spektrometer sehingga tidak terjadi pencampuran
40
kembali komponen-komponen yang telah dipisahkan, (7) Sistem mass spektrometer yang terdiri dari sumber ionisasi, focusing lens, mass analyzer, detektor ion, dan multistage pumping, dan (8) Sistem data/kontrol untuk memberikan seleksi mass, kontrol lensa dan detektor, pengolahan data serta penghubung GC dengan injektor (Wiley & Sons 1990). Injektor dapat berbentuk sebuah septum port sederhana pada bagian atas gas kromatograph tempat sampel diinjeksikan dengan menggunakan sebuah graduated capillary syringe. Dalam beberapa kasus, injeksi port ini dilengkapi dengan sebuah trigger yang dapat memulai program suhu oven dan/atau mengirim sebuah signal pada data/sistem kontrol untuk memulai memperoleh data. Untuk analisis yang lebih kompleks dan dilakukan secara rutin,
injeksi
dapat
dilalukan
dengan
menggunakan
autosampler
yang
memungkinkan injeksi vial dalam jumlah yang banyak, injeksi standar, needle washing, dan identifikasi barcode vial. Untuk sampel mentah yang membutuhkan proses preinjeksi, terdapat injektor split/splitless, saluran dengan permukaan geometri yang berbeda, sistem pembersihan dan perangkap, headspace analyzers, dan sistem pemurnian cartridge. Semua sistem ini menyediakan ekstraksi sampel, cleanup, atau periode volatilisasi untuk memasukkan sampel yang dianalisa ke dalam kolom gas kromatograpi. Gas kromatograpi dilengkapi dengan oven untuk mempertahankan dan memanaskan kolom GC. Gas pembawa yang digunakan berupa gas nitrogen, helium, atau hidrogen, yang digunakan untuk membawa sampel yang diinjeksikan kedalam kolom, tempat terjadinya pemisahan dan selanjutnya masuk ke bagian interface mass spectrometer (Dudley et al. 1995) Mass spectrometer memiliki tiga bagian utama: sebuah ruang ionisasi dengan
elektron
atau
molekul-molekul
dibebani
untuk
menghasilkan
molekulmolekul ion sampel. Molekul ini ditempatkan di dalam alat analisa dalam kondisi vakum yang tinggi dimana molekul difokuskan secara elektrik kemudian dibawa ke bagian quadrupole rods. Signal arus searah (dc) pengisian kutub apposing pada bagiab quadrupole rods menghasilkam medan magent pada bagian ion-ion diselaraskan. Setiap mass dipilih dari bagian ini dengan menyebarkan setiap mass dengan sebuah signal frekuensi radio (RF). Perbedaan frekuensi dc/RF sangat nyata, perbedaan perbandingan ion mass/charge (m/z) dapat keluar dari alat analisis dan mencapai ion detektor. Dengan sweeping dari frekuensi tinggi ke rendah, ion-ion yang memiliki the m/z
41
dikeluarkan satu persatu ke detektor, menghasilkan mass spektrum. Pada saat memasuki detektor ion, ion-ion tersebut dibelokkan kabagian cascade plate dimana signal digandakan dan selanjutnya dikirim ke sistem data sebagai arus ion berbanding m/z berbanding waktu. Jumlah signal dapat diplotkan berbanding waktu sebagi total kromatogram ion (TIC) atau ion tunggal m/z dapat diekstrak dan diplotkan berbanding waktu sebagai kromatogram ion tunggal (SIC). Pada titik tunggal, kekuatan aliran ion untuk setiap fragmen ion yang terdeteksi dapat diekstrak dan diplotkan sebagai m/z jarak mass, menghasilkan mass spektrum. Hal penting untuk selalu diingat bahwa blok data yang dihasilkan adalah tiga dimensi: (m/z) terhadap kekuatan signal terhadap waktu. Pada kebanyakan detektor hasilnya sederhana yakni kekuatan signal terhadap waktu. Data hasil analisa yang paling sederhana dengan menggunakan mass spektrometer adalah pengukuran total kekuatan arus ion (TIC) berbanding waktu. Ini merupakan hasil dari kromatografi yang memperlihatkan kekuatan signal untuk semua ion yang dihasilkan oleh mass spektormeter pada waktu yang diberikan. Kromatogram yang dihasilkan sama bentuknya dengan kromatogram UV dengan pucak-puncak yang mewakili waktu retensi dari setiap komponen yang ada (Douglas 2010).
Gambar 7 Bagan alat kromatografi gas (Douglas 2010)
GC-MS semakin meluas penggunaannya sejak tahun 1960 dan banyak diaplikasikan dalam kimia organik. Sejak saat itu terjadi kenaikan penggunaann yang sangat besar pada metode ini. Hal tersebut dikarenakan GC-MS dapat menguapkan hampir semua senyawa organik dan mengionkannya. Selain itu, fragmen yang dihasilkan dari ion molekul dapat dihubungkan dengan struktur
42
molekulnya. Instrumen GC-MS merupakan gabungan dari alat GC dan MS, yang berarti sampel yang akan dianalisis diidentifikasi dahulu dengan alat GC kemudian diidentifikasi kembali dengan alat MS. GC dan MS merupakan kombinasi kekuatan yang simultan untuk memisahkan dan mengidentifikasi komponen-komponen campuran (Harvey 2000).
43
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul “Pengkajian Minuman Bekatul, Minyak Bekatul, dan Tomat untuk Kesehatan Lipid dan Kadar Gula Darah serta Status Imun Orang Dewasa Gemuk” yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. Evy Damayanti, MS. Waktu dan Tempat Penelitian pengembangan minuman fungsional bubuk bekatul padi siap seduh dengan berbagai flavor untuk pencegahan penyakit tidak menular dilaksanakan mulai bulan Mei sampai bulan November 2012 di Kampus IPB Dramaga Bogor. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian untuk pembuatan bekatul awet siap seduh dilakukan di laboratorium percobaan makanan, sedangkan untuk menganalisis proksimat, serat pangan, kadar mineral Ca, Fe, Zn, dan bioavailabilitasnya dan Antioksidan bekatul dilaksanakan di laboratorium kimia dan analisis makanan dan untuk uji organoleptik dilaksanakan di laboratorium penilaian organoleptik Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Analisis kadar oryzanol dilaksanakan di laboratorium Farmasi, Institut Teknologi Bandung. Analisis vitamin E dilaksanakan di laboratorium Saraswanti Indo Genetec. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunkan pada penelitian pengembangan produk bekatul padi siap seduh antara lain bekatul padi yang masih segar/fresh dari hasil penggilingan padi yang didapat dari penggilingan padi masyarakat didaerah Situ Gede Kecamatan Bogor Barat (Daerah Cifor) Bogor, sukralosa, Flavor bubuk (anggur merah, vaila, coklat, jasmin tea, dan sirsak), garam untuk uji organoleptik bekatul siap seduh. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis proksimat, serat pangan, bioavailibilitas mineral, dan aktifitas antioksidan produk bekatul siap seduh yaitu petroleum benzene, methanol, Na2SO4, kertas saring whatman, aquades, H2SO4, NaOH, Selenium mix, H3BO3, heksan teknis, ketas saring hulls, DPPH, aseton, aquades bebas ion, standar vitamin C, NaH2PO4, Na2 PO4, pepsin, pangkreatin, termamil, dan etanol teknis. Peralatan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah pisau, penghancur, baskom , autoklap, timbangan, ayakan bergoyang, panic, dan saringan ukuran 20 dan 60 mesh. Alat-alat untuk analisis kimiawi adalah alat
44
titrasi, penangas air, timbangan analitik, sudip, tabung reaksi, pipet volumetric, Erlenmeyer, pipet tetes, pipet mohr, gelas piala, cawan alumunium, evaporator, alumunium foil, ratavor, vortex, sentrifuse, oven, spektovotometer, desikator, tanur freeze dryer, dan sentrifuge. Metode Penelitian Kegiatan penelitian ini, dilaksanakan dalam dua tahapan, yaitu penelitian tahap I dan penelitian II. Penelitian tahap I Penelitian tahap I dilakukan untuk menyiapkan bahan baku bekatul awet yang siap untuk diberi perlakuan aneka flavor. Bekatul yang digunakan adalah bekatul yang masih segar atau baru didapat dari penyosohan. Bekatul segar diperoleh dari penggiingan padi rakyat yang menggunakan mesin penggilingan tunggal sehingga penyosohan diulang beberapa (2-3) kali hingga diperoleh tingkat keputihan pada beras seperti yang diinginkan. Selanjutnya untuk mempersiapkan bahan baku bubuk bekatul awet mula-mula bekatul yang diperoleh dari penggilingan padi rakyat distabilkan. Tujuan dari penstabilan ini agar diperoleh bahan baku bekatul yang bermutu tinggi.
Metode stabilisasi
optimal bekatul awet dilakukan dengan cara pemanasan menggunakan otoklaf pada suhu 121oC selama 3 menit yang dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan oven bersuhu 105oC selama 1 jam (Damayanthi 2002). Untuk memisahkan bekatul awet dengan bahan lainnya seperti sekam dan menir yang masih terbawa, maka proses dilanjutkan dengan pengayakan. Pengayakan pertama semua bahan baku bekatul diayak dengan ayakan kasar kurang lebih 510 mesh. Pengayakan ini untuk memisahkan skam dan beras/menir yang masih terbawa bersama bekatul. Proses selanjutnya bekatul awet dibedakan menjadi 2 perlakuan. Pelakuan pertama bekatul awet diayak dengan ayakan 20 mesh, hasil pengayakan langsung dihaluskan (digiling) dengan menggunakan mesin kemudian langsung diayak menggunakan ayakan 60 mesh (A). Perlakuan kedua yaitu bekatul awet diayak dengan ayakan 20 mesh, yang tidak lolos ayakan 20 mesh digiling dan dicampurkan kembali kedalam hasil ayakan yang lolos 20 mesh, kemudian sesudah dihaluskan diayak menggunakan ayakan 60 mesh(B). (Gambar 8). Sampel bahan baku bubuk bekatul awet dengan perlakuan A dan B kemudian diamati karakteristik kimianya yang meliputi : kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar abu, kadar karbohidrat, kadar serat pangan, aktivitas
45
antioksidan dengan metode DPPH, kadar vitamin E, kadar oryzanol metode spektofotometri, kadar mineral Ca, Fe dan Zn menggunakan metode AAS dan bioavaibilitas mineral Ca, Fe dan Zn serta uji organoleptik (uji hedonik dan mutu hedonik). Berdasarkan kriteria kandungan kimia dan organoleptik terbaik ditetapkan perlakuan terpilih untuk menghasilkan bahan baku bubuk bekatul. Bahan baku bubuk bekatul terpilih akan digunakan dalam penelitian lanjutan.
Bekatul
Disaring 5-10 mesh (A) Tidak lolos saringan 20 mesh
(B)
Disaring 20 mesh
Disaring 20 mesh
Digiling
Digiling
Tidak lolos saringan 20 mesh
Dibuang Disaring 60 mesh
Disaring 60 mesh
Gambar 8 Proses perlakuan bahan baku bubuk bekatul awet
Analisis Kimia Bekatul Awet dengan Dua perlakuan Pada tahap ini, analisis kima yang dilakukan adalah analisis proksimat. Analisis proksimat ini meliputi analisis kadar air, analisis kadar lemak, analisis kadar abu, analisis kadar protein dan analisis kadar karbohidrat total (Carbohydrate by difference). Selain itu, analisis kimia yang dilakuan meliputi analisis vitamin E, analisis Oryzanol, analisis kadar mineral Ca, Zn, dan Fe, analisis bioavaibiliti mineral Ca, Fe, dan Zn, analisis serat pangan atau serat makanan tak larut dan larut air dan analisis aktifitas antioksidan. Prosedur dari berbagai analisis kimia diatas dapat dilihat dibawah ini: Analisis Proksimat 1) Kadar air (Apriyantono et al. 1989) Prinsip pengukuran kadar air ini dengan cara sampel dikeringkan dalam oven 100-102oC sampai diproleh berat yang tetap. Sampel kurang lebih sebanyak 3 gram (W1) diletakan didalam cawan alumunium kosong yang sudah ditimbang beratnya (C), dimana cawan sudah dikeringkan didalam oven dan disimpan didalam desikator. Cawan yang berisi
46
sampel kemudian dimasukan kedalam oven dengan suhu 100-102oC selama 6 jam. Setelah itu, cawan didinginkan didalam desikator dan ditimbang (W2). Perhitungan : Kadar air (% bb) = W1 – (W2-C) X 100% W1 Keterangan : W1 = berat sampel awal W2 = berat cawan berisi sampel setelah dikeringkan C = berat cawan kosong 2) Kadar Abu (Apriyantono et al. 1989) Prinsip kerjanya yaitu abu dalam bahan pangan ditetapkan dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550oC. Siapkan cawan pengabuan, kemudian bakar dalam tanur, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sebanyak 3-4 gram sampel dimasukan kedalam cawan pengabuan yang telah ditimbang. Cawan yang telah berisi sampel kemudian dimsukan kedalam tanur pengabuan dan dibakar sampai didapat abu yang berwarna keabu-abuan. Pengabuan ini dilakukan dengan dua tahap, yaitu yang pertama pada suhu 400oC dan kedua pada suhu 550oC. Cawan yang berisi abu tersebut didinginkan didalam desikator dan kemudian ditimbang. Kadar Abu (% bb) = Berat abu Berat sampel
x100%
Kadar Abu (% bk)= kadar abu (%bb) / (100-kadar air(% bb) x 100% 3) Kadar protein (Apriyanto et al. 1989) Pengukuran kadar abu total dilakukan dengan metode Kjehdahl. Sampel yang telah dihaluskan ditimbang 200-500 mg lalu dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. Ditambahkan 10 mL asam sulfat pekat padat dan 5 g katalis (campuran K2SO4 dan CuSO4.5H2O 8 : 1) lalu dilakukan destruksi (dalam lemari asam) hingga cairan berwarna hijau jernih. Setelah dingin larutan tersebut diencerkan dengan aquadest hingga 100 mL dalam labu ukur. Larutan tersebut dipipet 10 mL dan dimasukkan ke dalam alat distilasi Kjeldahl lalu ditambah 10 mL NaOH 30% yang telah dibakukan oleh larutan asam oksalat. Distilasi dijalankan selama kirakira 20 menit dan distilatnya ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 25 mL larutan HCl 0,1 N yang telah dibakukan oleh boraks (ujung kondensor harus tercelup ke dalam larutan HCl). Lalu kelebihan HCl dititrasi
47
dengan larutan NaOH 0,1 N dengan indikator campuran bromkresol hijau dan metil merah. Perhitungan kadar protein total dilakukan dengan perhitungan : % kadar protein = volume titrasi x stdr.HCl x 0.014 x 6.25 x 100 Berat sampel Kadar nitrogen (%)= (Va.Na - Vb.Nb) x 14 x 100/10 4) Kadar Lemak (Apriyanti et al. 1989) Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven, lalu didinginkan didalam desikator kemudian ditimbang. Sebanyak 3 - 5 gram sampel dibungkus dalam kertas saring dan diletakan didalam labu lemak dan dipasangkan ke alat ekstraksi soxhlet. Pelarut heksan ditambahkan kedalam labu lemak, kemudian dilakukan refluks selama minimal 5 jam sampai pelarut yang turun kembali kembali kelabu lemak menjadi jernih. Pelarut dalam labu lemak hasil ekstraksi dioven pada suhu 105oC. lalu labu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan : Kadar lemak (%bb) = berat lemak x 100% Berat sampel
Kadar Lemak (% bk) = kadar lemak (%bb)/(100-kadar air (%bb) x 100 % 5) Kadar Karbohidrat (winarno 1992) Analisis karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu dengan rumus K. karbohidrat (%bb) = 100% - (K. Air + K. Abu + K. Protein + K. Lemak)
K. karbohidrat (% bk) = 100 - %bb (K. Abu + K. Protein + K. Lemak) Kadar Serat Pangan Penentuan kadar serat pangan larut dan tidak larut dilakukan menurut metode enzimatik yang dikembangkan oleh Asp et al (1983) seperti yang dikutip oleh Muchtadi et al (1992). Pengukuran serat pangan larut dan tidak larut Sampel kering homogeny diekstraksi lemaknya dengan petroleum benzene pada suhu kamar selama 15 menit. Sejumlah 1 gram sampel dimasukan kedalam Erlenmeyer kedalamnya ditambahkan 25 ml buffer Na fosfat dan dibuat menjadi suspense. Kemudian ditambahkan 100 µL termamyl, ditutup
48
dan diinkubasikan pada suhu 100oC selama 15 menit, sambil diaduk. Lalu diangkat dan didinginkan. Tambahkan 200 ml air destilata dan pH-nya diatur menjadi 1.5 dengan menambahkan HCl 4 M. selanjutnya ditambahkan 100 mg pepsin. Erlenmeyer ditutup dan diinkubasi pada suhu 40oC, diagitasi selama 60 menit. Ditambahkan 20 ml air destilata dan pH-nya diatur menjadi 6.8 dengan menambahkan NaOH 4 M. Kemudian tambahkan 100 mg pankreatin lalu tutup dan diinkubasikan pada suhu 40oC selama 60 menit sambil diagitasi. Selanjutnya pH datur menjadi 4.5 dengan menambahkan HCl. Disaring melalui crucible kering (porositas 2) yang ditimbang beratnya yang mengandung 0.5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Dicuci dengan 2x10 ml air destilata. a. Residu (serat pangan tidak larut, IDF) Cuci dengan 2x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Kemudian dikeringkan pada suhu 105o C, sampai berat tetap (sekitar 12 jam), dan ditimbang setelah didinginkan didalam desikator (D1). Diabukan dalam tanur 500o C selama minimal 5 jam, lalu ditimbang setelah didinginkan didalam desikator (I1). b. Filtrate (serat pangan larut, SDF) Atur volume filtrat dengan menambahkan air destilata samapai volume 100 ml. Tambahkan 400 ml etanol 95% hangat (60o C). Dibiarkan terjadinya pengendapan serat pangan larut selam 1 jam. Lalu saring dengan crucible kering (porositas 2) yang mengandung 0.5 gram celite kering.
Lakukan pencucian
dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105o C selama semalam (sampai berat konstan). Didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang (D2). Selanjutnya diabukan dal;am tanur 500o C selama minimal 5 jam. Kemudian didinginkan didalam desikator dan ditimbang (I2). c. Blanko Blanko untuk serat pangan larut dan tidak larut masing-masing diperoleh denga prosedur yang sama, tetapi tanpa sampel (B1 dan B2). Nilai blanko sekalisekali perlu diperiksa ulang, tertutama jika menggunakan enzim dari kemasan baru. d. Rumus perhitungan nilai IDF dan SDF Nilai IDF (dalam persen berat sampel kering) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : IDF= D1 – I1 – B1 x 100% W
49
Sedangkan nilai SDF (dalam persen berat sampel kering) dihitung dengan menggunakan rumus berikut : SDF= D2 – I2 – B2 x 100% W Keterangan:
W : Berat sampel (gram) D : Berat setelah analisis dan dikeringkan (gram) I : Berat setelah diabukan (gram) B : Berat blanko bebas serat (gram)
Kadar Ca, Fe, dan Zn Metode AAS (Apriyantono et al. 1989) Sampel ditimbang sebesar 5-10 gram dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Kemudian sampel ditambahkan 10 ml H2SO4 dan 10 ml HNO3, dibiarkan 1 malam (16 jam). Larutan dipanaskan perlahan-lahan sampai menjadi tidak berwarna gelap. Kemudian ditambahkan 10 ml aquades (larutan akan menjadi tidak berwarna atau menjadi kuning muda jika mengandung Fe) dan dipanaskan sampai berasap. Larutan didinginkan dan diencerkan sampai volume tertentu (100 ml). Kemudian larutan disaring dengan kertas saring Whatman 42 dan dibaca dengan AAS pada panjang gelombang 213,9 nm. Perhitungan kadar Ca, Fe, dan Zn adalah sebagai berikut: Kadar (mg/100g) = ppm baca x ml aliquot / 1000 ml x 1000 g sampel
Bioavailabilitas Ca, P, Fe, dan Zn secara in vitro metode dialisis (Roig et al. 1998) Persiapan sampel, alat, dan bahan 1. Bahan Biskuit dihancurkan lalu ditimbang setara 2 gram protein. Selanjutnya ditambahkan air bebas ion hingga volumenya mencapi 75 ml kemudian blender sampai halus. Sampel tersebut disiapkan duplo. 2. Peralatan gelas Semua peralatan gelas (vial, gelas piala, erlenmeyer, labu takar, tabung reaksi) dicuci, direndam dalam larutan HNO3 10% (v/v) selama 24 jam, dan dibilas dengan air bebas ion sebelum digunakan. 3. Kantong dialisis
50
Kantong dialisis (MWCO 6000-8000, lebar flat 50 mm, diameter 32 mm, volume atau panjang 8 ml/cm) dipotong sepanjang 15 cm dan direndam dalam air bebas ion, sekurang-kurangnya 1 jam. 4. Vial Vial (tabung dialisis) (Fisher 3-335-10D) disiapkan lengkap dengan penutupnya. Lubang kecil dibuat pada tutup untuk mengeluarkan gas. 5. Suspensi pepsin 1,6 pepsin didispersikan ke dalam 0,1 M HCl dan ditepatkan volumenya menjadi 10 ml. Suspensi ini dibuat sewaktu akan digunakan. 6. Pankreatin bile Sebanyak 1 g pankreatin (Sigma p-170) dan 6,25 g ekstrak bile (Sigma B8631) dilarutkan dalam 25 ml NaHCO3 0,1 N. 7. KOH standar (misal larutan KOH 2 N) Sebanyak 112,2 g KOH ditimbang dan dilarutkan menjadi 1000 ml dengan aquades. Larutan disimpan di udara terbuka selama 2 hari lalu dikalibrasi. Kalibrasi: Asam oksalat ditimbang ± 0,01 g lalu ditambah aquades dan 3 tetes indikator PP. Larutan diaduk sampai larut. Kemudian dititrasi dengan larutan KOH 0,2 N sampai berwarna merah jambu. N KOH = mg asam oksalat ml titrasi x 63,037
8. NaHCO3 Kebutuhan NaHCO3 = N KOH x 56,1 x ml titrasi x T1 x 100 1000 T2 20 = x gr KOH
NaHCO3 setara x gr KOH ditimbang dan diencerkan sampai 100 ml dengan aquades bebas ion. Prinsip analisis Fe, Zn, Ca, dan P pada sampel dihidrolisis dari ikatannya dengan protein menggunakan enzim-enzim pencernaan yang terdapat di lambung dan usus halus. Mineral bebas yang terdapat dalam larutan sampel akan berdifusi melalui membran semipermeabel ke dalam kantung dialisis yang berisi buffer NaHCO3. Mineral dalam dialisat menunjukkan jumlah mineral yang diserap tubuh. Prosedur
51
Sejumlah sampel dihaluskan dengan blender. Sampel setara 2 g protein ditimbang dalam gelas piala yang diketahui beratnya. Selanjutnya ditambah aquades bebas ion sampai 100 g, apabila terlalu kental dapat ditambah air sampai didapat kekentalan yang bisa diaduk. pH diatur menjadi 2.0 dengan HCl 4 N. gelas piala bersama sampel ditimbang (A): T1 ± 20 g untuk analisis bioavailability serta T2 ± 20 g untuk menghitung total asam tertitrasi. Sampel pada T1 dan T2 ditambah suspensi pepsin 1 ml lalu diinkubasi 37ºC selama 2 jam. Setelah itu sampel dimasukkan ke freezer. Sampel T2 (total asam tertitrasi) di-thawing dalam shaker water bath dengan suhu 37º C. Sampel ditambah 5 ml pankreatin bile lalu ditambah indikator PP. Setelah itu dititrasi dengan KOH standar sampai berwarna merah jambu. Kantung dialisis sepanjang ± 15 cm dipotong lalu direndam dalam air bebas ion kemudian diikat salah satu ujungnya. Setelah itu diisi dengan 20 ml larutan NaHCO3 hasil perhitungan. Salah satu ujung kantung dialisis kemudian diikat, usahakan tidak ada gelembung. Kemudian direndam dengan sisa larutan NaHCO3 dalam gelas piala 200 ml. Sampel T1 (sampel bio) di-thawing dalam shaker water bath dengan suhu 37º C. Kantung dialisis dimasukkan dalam T1 lalu diinkubasi pada suhu 37º C selama 30 menit. Setelah itu ditambah ± 5 ml pankreatin bile dan diinkubasi kembali pada suhu 37º C selama 2 jam. Kantung dialisis diangkat. Ikatan kantung dialisis dibuka, isinya dituangkan dalam gelas piala atau erlenmeyer 100 ml bebas ion yang sudah diketahui beratnya. Bagian dalam kantung dicuci dengan air bebas ion. Kemudian dialisat ditimbang dan dicatat. Dialisat ditambah 10 ml H2SO4 pekat dan 10 ml HNO3 pekat. Dialisat didiamkan selama semalam. Setelah itu ditambah H2O bebas ion dan dipanaskan sampai jernih. Kemudian dialisat diencerkan dalam labu 50 ml. Perhitungan Total mineral dalam dialisat = (ppm sampel – blanko) x aliquot x fp x total dialisat 1000 gr dial analisis ana Total mineral dalam sampel bio (mg/100 g) = gr sampel bio x total Ca, Fe, Zn x 100 gr sampel setara 2 g protein + air (A)
% bioavailability = total mineral dalam dialisat (mg) x 100 total mineral dalam sampel bio (mg)
52
Uji Antioksidan dengan DPPH a. Ekstraksi dengan pelarut Aseton (Awika et al. 2003) Sampel sebanyak 10 gram ditempatkan dalam botol sentrifuse, selanjutnya ditambahkan 100 ml aseton 70 %. Sampel di shaker dengan kecepatan 350 rpm selama 2 jam pada suhu kamar, kemudian disimpan pada suhu -20o C ditempat gelap selama 24 jam. Setelah 24 jam larutan di equilibrium selama 1 jam pada suhu ruang. Larutan selanjutnya di sentrifuse selama 30 menit pada kecepatan 3000 rpm. Residu sampel selanjutnya dicuci sebanyak 4 kali dengan menambahkan aseton 70 %, selanjutnya di shaker selama 1 jam dan disentrifuse kembali selama 30 menit pada 3000 rpm. Lima supernatan yang diperoleh ditampung pada Erlenmeyer, disaring dengan kertas saring whatman no. 41 dengan bantuan pompa vakum, kemudian dikeringkan dengan rotary evaporator pada suhu 40o C untuk menguapkan aseton. Larutan sisa pengeringan dengan rotary evaporator selanjutnya dikeringkan kembali dengan menggunakan freeze dryer pada suhu -75o C. Ekstrak kering hasil freeze dryer yang didapat selanjutnya dibuat sebagai larutan stok uji konsentrasi 200 mg/ml pelarut. b. Uji Anti Radikal Bebas DPPH (Kubo et al. 2002) Buffer asetat 100 mM (pH 5.5) sebanyak 1.5 ml ditempatkan pada tabung reaksi, kemudian ditambahkan 2.85 ml etanol PA, 1 ml DPPH 10 mM dalam methanol 0.020 ml ekstrak bekatul. Campuran divorteks dan disimpan pada ruang gelap dengan suhu kamar selama 20 menit. Absorbansi dibaca pada panjang gelombang 517 nm. Sebagai standar digunakan asam askorbat dengan konsentrasi 0; 6.25; 12.5; 25; 50; dan 100 mg/l. satuan aktivitas antioksidan dinyatakan dalam AEAC (Asorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity). Bagan alir prosedur analisis antioksidan dan pembuatan standar vitamin C dapat dilihat pada lampiran 1. Aktifitas penangkapan radikal bebas dihitung sebagai presentase berkurangnya warna DPPH dengan menggunaka persamaan : Aktivitas antioksidan (%) = {(A0-A1)/A0} x 100% Keterangan : A0 = Absorbansi Kontrol A1 = Absorbansi sampel Vit C standar (mg) = konsentrasi Vit C (mg/l) x volume sampel AEAC (mg/g)
= (persen aktivitas antioksidan – b)/a
Keterangan : a & b berasal dari persamaan garis y=28.764x-0.1665 (kurva standar vitamin C)
53
AEAC (mg vit C/100 g) = Dibuat kurva standar asam askorbat dengan perbandingan antara kapasitas (%) dan konsentrasi asam askorbat (ppm). Antioksidan pada ekstrak bekatul dinyatakan dalam mg vitamin C equvalen/100 g berat sampel. Nilai tersebut menunjukan kesetaraan aktivitas antioksidan 100 gram bekatul dengan 1 mg vitamin C dalam hal mereduksi radikal bebas. Kurva standar pengukuran aktivitas antioksidan dengan standar vitamin C dapat dilihat pada lampiran 2. Analisis Vitamin E Metode HPLC Timbang 2 gram sampel dan masukan kedalam tabung sentrifuge 50 ml, ditambahkan 5 ml etanol-ascorbic acid 0.1 % dan 4 ml KOH 50 %. Kemudian sampel dipanaskan pada suhu 70o C selama 30 menit, lalu dikocok dengan menggunakan vortex selam 10 menit. Setelah dipanaskan sampel kemudian didinginkan. Setelah dingin lalu ditambahkan 5 ml n-hexane kemudian kocok selam 5 menit. Diamkan beberapa saat sampai larutan terpisah. Pisahkan n-hexane kedalam gelas kimia. Kemudian ditambahkan 1 ml methanol-ascorbic acid 0.1 % atau larutan BHT 0.01 %. lakukan hal ini berulang samapai sampel terekstraksi semua. Setelah terkumpul, n-hexane diuapkan sampai kering diruangan atau tepat yang gelap. Hasil yang didapat kemudian dilarutkan dengan methanol HPLC grade. Larutan kemudian dipindahkan kedalam labu ukur 50 ml, kemudian himpitkan dengan methanol dan homogenkan. Hasil itu kemudian disaring dengan filter 0.45 µm. Hasil saringan dimasukan kedalam vial aotosampler, kemudian disuntikan 20 µl kesistem kromatografi pada kondisi oktadesilsilana (RP-18); laju alir : 0.7 ml/menit; λ :292 nm; FG = Methanol :dapar fosfat (4:96). Langkah diatas berlaku untuk blanko. Perhitungan :
Keterangan : Csp Asp Ast Cst Vsp Wsp
: konsentrasi contoh µg/g (ppm) : area contoh : area standar : konsentrasi standar µg/g (ppm) : volume pelarut sampel (ml) : bobot contoh (g)
54
Analisis Oryzanol Metode Spektofotometri Persiapan larutan standar Ditimbang sejumlah standar oryzanol dan dilarutkan dengan etanol sehingga diproleh konsentrasi standar oryzanol 10; 12.5; 15; 17,5; 20 ppm. Kemudian dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 328 nm. Persiapan larutan sampel Ditimbang sejumlah sampel bubuk bekatul awet dan masukan kedalam labu takar 25 ml. Kemudian masukan etanol sampai batas tera lalu kocok. Larutan kemudian disaring dengan kertas saring wathman 42. Hasil saringan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 328 nm. Organoleptik Bahan Baku Bubuk Bekatul Awet Tujuan dari organoleptik bahan baku serbuk bekatul awet ini yaitu untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas tinggi dan sesuai dengan penerimaan panelis. Organolpetik bahan baku ini meliputi uji mutu hedonik dan hedonik (kesukaan). Atribut yang digunakan pada uji organoleptik ini yaitu aroma, kekentalan, rasa, bau/odor, dan warna. Skala yang digunaka pada uji organoleptik ini yaitu skala numerik dengan skala 1-5. Untuk skala hedonik yaitu 1) Tidak suka, 2) Agak tidak suka, 3) Biasa, 4) Agak suka, 5) Suka. Sedangkan untuk skala mutu hedonik dapat dilihat pada lampiran 3. Identifikasi Senyawa Volatil Metode GC-MS Kondisi Alat GC-MS Instrument
: Agilent Technologies 6890 Gas Chromatograph with Auto Sampler and 5973
Mass Selective Detector and
Chemstation data system. Ionisation mode
: Electron Impact
Electron energy
: 70 eV
Coloumn
: HP WAX . Capilarry Coloumn Length (m) 25 X 0.25 (mm) I.D X 0.25 ( m) Film Thickness.
Oven Temperature
: Initial temperature at 60oC hold for 1 minute, rising at 3oC/min to 150 oC hold for 2 minutes and finally rising 15 o
C/min to 240 oC hold for 20 minutes.
Injection port temperature
: 250 oC
Ion Source Temperature
: 230 oC
Interface Temperature
: 280 oC
Quadrupole Temperature
: 140 oC
55
Carrier gas
: Helium
Column mode
: Constant Flow
Flow Column
: 0.6 µl/menit
Injection volume
: 20 µL
Split
: 250 : 1
Method File
: MGNONWAX
Persiapan Sampel Di timbang 1 gram bubuk bekatul dan di tambah 5 ml etil asetat pro analisa. kemudian sampel ekstraksi menggunakan alat rotary evaporator selama 30 menit dan selanjutnya di sentrifuge selama 10 menit. Diambil fase organik dan di uapkan menggunakan gas nitrogen sampai kering, lalu di larutkan dengan 200 ul etil asetat pro analisa dan di injek ke GC MS.
56
Penelitian tahap II Penelitian tahap II yaitu menentukan formulasi minuman bekatul. Tujuannya yaitu untuk mendapatkan formula minuman bekatul yang sesuai. Selanjutnya dilakukan uji organoleptik terhadap minuman bekatul dengan penambahan berbahgai jenis dan konsentrasi flavor. Uji organoleptik tersebut dilakukan dengan tujuajn untuk mengetahui pengaruh jenis dan konsentrasi flavor terhadap penerimaan panelis pada produk minuman bekatul siap seduh. Penentuan formula untuk minuman bekatul siap seduh Setelah didapat bekatul siap seduh dengan ukuran 60 mesh kemudian dilakukan uji panelis terbatas yang berjumlah 10 orang. Tingkat penambahan sukralosa yang diujikan adalah 10 %, 15 %, 20 %, 25 %, dan 30 % dari berat bekatul sebesar 15 gram. Kemudian masing-masing tingkat konsentarsi sukralosa ditambahkan 15 gram bekatul dan 0.1 % garam dari volume minuman yang dibuat (100 ml). Hal ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat konsentrasi penambahan sukralosa yang paling disukai yang nantinya akan digunakan pada uji organoleptik. Namun hal tersebut sudah dilakukan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Henry Farizal dan didapat konsentarsi tebaik untuk penambahan sukralosa pada produk minuman bekatul siap seduh ini yaitu 20% b/b dan 0.1% garam dari volume minuman 100 ml. Formulasi selanjutnya adalah penambahan flavor yaitu flavor coklat, vanila, jasmine tea, sirsak, dan anggur merah dengan konsentarsi masingmasing 0.1 %; 0.3 %; dan 0.5 %. Konsentrasi penambahan flavor pada penelitian ini adalah berdasarkan anjuran dari perusahaan yang memproduksi flavor yang digunakan.SNI tentang penambahan flavor untuk minuman, yaitu berkisar antara 0.5-1%. Perbandingan antara jumlah bekatul : sukralosa : garam : air adalah sama untuk setiap formula dan yang berbeda adalah konsentarsi penambahan flavor. Setelah semua bahan dicampur kemudian dilarutkan dalam air 200 ml dan diaduk
sampai
selanjutnya
tercampur
dibuat
agar
sempurna. mencukupi
Masing-masing untuk
analisis
formula
minuman
organoleptik
yang
menggunakan 33 panelis. Uji Organoleptik Uji organoleptik merupakan uji dengan menggunakan indra manusia sebagai instrument. Uji ini sering digunakan untuk menilai mutu komoditas hasil pertanian dan makanan (Soekarto 1990). Uji organoleptik yang dilakukan pada
57
penelitian lanjutan ini adalah uji mutu hedonik dan uji hedonik (uji kesukaan) oleh 33 panelis semi terlatih (mahasiswa). Uji Mutu Hedonik Uji mutu hedonik merupakan uji dari karakteristik produk. Pada penelitian ini atribut mutu yang digunakan yaitu rasa, aroma flavor, aroma keseluruhan, warna, dan bau/odor (Lampiran 5). Skala yang digunakan yaitu sebagai berikut: Bau/Odor 1. 2. 3. 4. 5.
Apek Agak apek Sedang Agak harum Harum
Rasa 1.Tidak enak 2. Agak tidak enak 3. sedang 4. Agak enak 5. Enak
1. 2. 3. 4. 5.
Aroma Flavor Lemah Agak lemah Sedang Agak kuat Kuat
Aroma keseluruhan 1. 2. 3. 4. 5.
Off flavor (menyimpang) Agak menyimpang Tidak ada bau Agak harum/agak wangi Harum /wangi
Uji Hedonik Uji hedonik atau uji kesukaan merupakan salah satu uji penerimaan. Dalam uji ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan
atau
sebaliknya
ketidaksukaan,
disamping
itu
panelis
juga
mengemukakan tingkat kesukaan/ketidaksukaan. Uji hedonik pada penelitian ini, panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya terhadap rasa dari sampel. Skala hedonik yang digunakan adalah menggunakan 5 skala numerik yaitu amat tidak suka (1), agak tidak suka (2), biasa (3), agak suka (4), suka (5) (Lampiran 4).
58
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap I dan tahap II adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor yang digunakan dalam penelitian tahap I adalah jenis campuran kehalusan bekatul yaitu bekatul halus tanpa bekatul yang tidak lolos aykan 20 mesh dan bekatul halus yang dicampurkan kembali dengan bekatul yang tidak lolos ayakan 20 mesh dengan dua kali ulangan. Penelitian tahap IIfaktor yang digunakan adalah konsentrasi penambahan flavor pada minuman bekatul instan, terdiri dari tiga taraf yaitu sebesar 0.1, 0.3, dan 0.5 persen, dengan dua kali ulangan. Model matematika dari rancangan percobaan tersebut adalah: Yij = + Ai + Eij Keterangan: Yij
=
Nilai pengamatan respon karena pengaruh presentase. Penambahan flavor terhadap minuman bekatul taraf ke-i pada tingkat adisi pada ulangan ke-j
i
=
Taraf dari faktor A
J
=
Banyaknya ulangan (j = 1,2)
=
Rataan sebenarnya
Ai
=
Pengaruh perlakuan akibat faktor A pada taraf ke-i
Eij
=
Kesalahan percobaan karena pengaruh faktor A terhadap minuman bekatul instan pada taraf ke-i dan ulangan ke-j
59
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diproleh selain disajikan dalam bentuk deskriptif (presentase atau kadar) juga dilakukan analisis statistik. Analisis statistik yang digunakan adalah uji t (independent sampel t-test). Analisis statistik tersebut dilakukan pada data hasil analisis proksimat,
serat pangan, kadar mineral Ca, Fe, dan Zn,
bioavaibiliti mineral Ca, Fe dan Zn, aktifitas antioksidan, kadar vitamin E, kadar oryzanol, dan organoleptik bahan baku bekatul awet. Data hasil uji organoleptik terhadap penambahan beberaapa jenis flavor pada tiga taraf konsetrasi (0.1; 0.3; dan 0.5 %) kemudian dianalisis dengan uji Friedman. Hal ini untuk mengetahui pengaruh jenis flavor dan konsentrasinya terhadap penerimaan minuman bekatul oleh panelis. Software yang digunakan adalah Microsoft Exel 2007.
60
HASIL DAN PEMBAHSAN Penelitian Tahap I Penelitian pada tahap ini dilakukan untuk mencari bahan baku bubuk bekatul awet yang berkualitas tinggi baik dari segi kandungan kimia maupun dari organoleptik. Bekatul dan dedak merupakan hasil samping dari proses penggilingan padi. Kualitas mutu beras dan bekatulnya ditentukan oleh sistem penggilingan dan penyosohan. Sistem ini ditentukan oleh antara lain dari jenis mesinnya dan kondisi proses penggilingan serta varietas padi. Di Indonesia pada umumnya yang termasuk juga pada penelitian ini, proses penyosohan beras dilakukan dengan satu tahap sehingga dedak dan bekatul tercampur menjadi satu yang umumnya disebut sebagai dedak. Sering sekali di dalam dedak masih juga dijumpai adanya campuran serpihan sekam dan menir. Hal ini mengakibatkan timbulnya konotasi yang kurang tepat untuk dedak apabila dihubungkan sebagai bahan pangan. Oleh karena itu dalam tulisan ini digunakan istilah bekatul yang menunjukkan bahan ini ditujukan sebagai bahan pangan. Dalam penelitian ini bekatul yang digunakan merupakan bagian dedak yang diayak untuk memisahkan bagian sekam, bekatul kasar dan menir. Di negara maju proses penyosohan menggunakan penyosohan ganda. Dalam penyosohan ganda, hasilnya dapat dipisahkan dari penyosohan pertama, diperoleh dedak yang terdiri dari bagian perikarp, nuselus, tegmen, lapisan aleuron dan lembaga, sedangkan dari penyosohan kedua diperoleh bekatul yang mengandung lebih banyak bagian subaleuron dari endosperm. Bagian dedak adalah sekitar 5-8 % dan bekatul 2-3 % dari total gabah (Juliano 1972). Bahan baku bekatul yang digunakan pada peneltian ini didapat dari penggilingan rakyat sekitar kampus IPB tepatnya didaerah Balumbang Jaya, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor.
Bahan baku bekatul yang digunakan pada penelitian ini adalah bekatul yang masih segar (fresh) atau bekatul hasil penggilingan saat itu. Hal ini dilakukan untuk memperkecil reaksi oksidasi yang terjadi pada bekatul yang dapat merusak sifat-sifat kimia bekatul dan menyebabkan bekatul menjadi tengik. Bekatul
yang
diperoleh
dari
penggilingan
tersebut
langsung
dibawa
kelaboratorium Pengolahan Makanan, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor untuk kemudian distabilkan. Hal ini harus dilakukan dengan cepat setelah proses penggilingan karena bekatul dapat
61
mengalami kerusakan yang sangat cepat akibat kontak udara dan suhu yang mendukung. Kao dan Luh (1991) menyatakan bahwa lipase, baik yang bersal dari dalam bekatul (endogenous) maupun dari mikroba, mengawali kerusakan hidrolisa lipolitik pada minyak biji. Didalam biji gabah utuh, lipase endogenous terdapat didalam testa dari pembungkus karyopsis, sedangkan minyak terdapat didalam aleuron, subaleuron, dan lembaga. Kerusakan permukaan selama penggilingan mengganggu daerah ini sehingga lipase berhubungan dengan minyak dan hidrolisis trigliserida terjadi. Setelah penggilingan, kapang dan bakteri penghasil lipase yang berada dipermukaan biji juga akan berhubungan dengan minyak sehingga menjadi penyebab utama pembentukan asam lemak bebas (ALB). Menurut Damardjati et al. (1990) kadar ALB didalam bekatul meningkat dari 1-3 % mencapai 70 % dalam sebulan. Kadar ALB tergantung pada kerusakan permukaan, kadar air dan suhu penyimpanan. Pembentukan ALB akan meningkat dibawah kondisi kelembaban tinggi. ALB berperan pada kerusakan
oksidatif
enzimatik.
Reaksi
oksidasi
oleh
lipoksigenase
mengakibatkan ketengikan, penyimpangan rasa dan citarasa didalam biji (Champagne et al. 1992). Untuk mengurangi kerusakan tersebut dilakukan pengawetan dengan metode stabilisasi. Stabilisasi bekatul sangat berhubungan dengan adanya enzim lipase yang terdapat pada lapisan biji dan lapisan melintang pada beras. Untuk memperoleh bekatul bersifat food grade dengan mutu yang tinggi, seluruh komponen penyebab kerusakan harus dikeluarkan atau dihambat. Stabilisasi bekatul untuk menghasilkan bubuk bekatul awet dilakukan dengan prinsip meniadakan/menghambat aktivitas lipase. Proses penghilangan/penghambatan aktivitas enzim lipase harus lengkap dan bersifat tidak dapat balik. Pada saat bersamaan, kandungan komponen berharga harus dijaga. Terdapat tiga pendekatan dari segi teknik guna inaktivasi lipase bekatul. Pertama, pemanasan basah atau kering. Kedua, ekstraksi dengan pelarut organik untuk mengeluarkan minyak. Ketiga, denaturasi etanolik dari lipase bekatul dan lipase dari bakteri dan kapang (Champagne et al. 1992). Dari ketiga perlakuan tersebut, tampaknya hanya perlakuan pemanasan yang cocok dan aman untuk pengawetan bekatul. Otoklaf merupakan alat yang akan digunakan untuk metode stabilisasi bekatul, karena metode ini relatif
62
murah, efektif untuk stabilisasi bekatul dan alatnya tersedia di laboratorium Pengolahan Makanan, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pada umumnya, otoklaf digunakan untuk sterilisasi alat dan bahan pangan. Pada bahan pangan, sterilisasi harus cukup mematikan mikroorganisme yang paling tahan panas yaitu spora bakteri patogen tanpa menimbulkan kerusakan gizi dan penampakan (Winarno 1992). Uap panas yang dihasilkan sangat baik digunakan untuk mendestruksi mikroba dengan cara menginaktivasi beberapa enzim penting yang terdapat pada mikroba. Untuk menginaktifkan enzim dan membunuh mikroba pada bahan pangan digunakan otoklaf dengan suhu 121o C selama 15-20 menit (Winarno 1992). Pada peneltian ini metode stabilisasi optimal bekatul awet dilakukan dengan cara pemanasan menggunakan otoklaf pada suhu 121o C selama 3 menit yang dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan oven bersuhu 105o C selama 1 jam (Damayanthi 2002). Hasil penelitian Damayanthi et al. (2003a) membuktikan bahwa proses pengawetan bekatul dengan pemanasan otoklaf 121o C selama 3 menit yang dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan oven bersuhu 105 oC selama 60 menit dapat memperlambat reaksi kerusakan lemak dalam bekatul secara nyata dibandingkan bekatul kontrol tanpa pengawetan. Pemanasan dengan otoklaf menyebabkan kadar ALB bekatul lebih rendah secara nyata dibandingkan dengan kontrol. Terbentuknya ALB pada bekatul terjadi akibat reaksi hidrolisis atau reaksi enzimatis lipolisis yang pada akhirnya akan membentuk senyawa malonaldehid (C3H4O2). Pembentukan senyawa malonaldehid pada bekatul awet (yang telah distabilisasi) tetap berlangsung meskipun pada kecepatan yang lebih rendah dibandingkan bekatul kontrol. Hal ini terjadi akibat reaksi oksidasi lipid oleh cahaya atau panas selama penyimpanan. Selain itu, pembentukan senyawa malonaldehid disebabkan akibat reaksi enzimatik oleh enzim yang masih aktif. Proses selanjutnya yaitu memisahkan bekatul awet dengan bahan lainnya seperti sekam dan menir yang masih terbawa dengan cara pengayakan. Menurut Damardjati et al. (1990) proses penggilingan padi untuk menghasilkan beras giling diproleh beberapa hasil sampingan meliputi sekam, menir, dan bekatul atau dedak. Ayakan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ayakan bergoyang. Dalam proses pengayakan ini, dibedakan menjadi 2 perlakuan yaitu dalam hal persiapan bubuk bekatul untuk bahan baku minuman. Perlakuaan dari proses persiapan ini yaitu tidak dicampurkan dan dicampurkan kembali bahan
63
yang tidak lolos ayakan 20 mesh. Oleh karena produk minuman ini untuk manusia,
maka
sifat
organoleptik
bahan
sangat
menentukan.
Untuk
mendapatkan bahan baku yang mempunyai kualitas yang tinggi baik dari segi daya terima maupun zat gizi yang terkandung di dalamnya, maka bubuk bekatul awet melewati beberapa tahap persiapan. Menurut Damayanthi et al. (2003a) kandungan zat gizi dari bekatul sangat ditentukan oleh drajat sosoh. Kandungan oryzanol pada bekatul paling tinggi pada drajat sosoh bekatul 13 %. Selain itu, meningkatnya drajat sosoh antara 719 % menurun secara nyata (α=0.05) pada kadar abu, kadar protein, kadar lemak, serat kasar, dan serat pangan, sebaliknya kadar serat pangan larut air meningkat. Dengan demikian, diduga kandungan zat gizi pada bubuk bekatul awet ditentukan oleh proses pengayakan pada saat persiapan bahan baku. Proses pengayakan pada penelitian ini yaitu bahan baku bekatul awet diayak dengan ayakan 20 mesh. Sisa hasil pengayakan ditimbang untuk mengetahui rendemennya, namun tidak dicampurkan kembali. Hasil pengayakannya dihaluskan
dengan
menggunakan
mesin
kemudian
langsung
diayak
menggunakan ayakan 60 mesh dalam proses ini dinamkana perlakuan pertama atau perlakuan tidak dicampurkan. Perlakuan kedua yaitu bekatul awet diayak dengan
ayakan
digiing/dihaluskan
20
mesh,
dengan
namun
mesin
hasil
ayakan
dan
kemudian dicampurkan
sisa kembali.
ayakan Hasil
pencampuran kemudian di ayak dengan ayakan 60 mesh dalam proses ini dinamakan perlakuan dicampurkan. Rata-rata rendemen pada proses perlakuan tidak dicampurkan yaitu 55 ± 1.41 % bekatul, sedangkan pada perlakuan dicampurkan lebih tinggi yaitu 77 ± 2.12 %. Hasil ini didapat dari berbagai proses dan perlakuan pada persiapan bahan baku. Rendemen pada perlakuan tidak dicampurkan lebih rendah dari pada perlakuan dicampurkan. Hal ini dikarenakan pada perlakuan dicampurkan yang tidak lolos ayakan 20 mesh tidak dibuang, namun dicampurkan kembali setelah mengalami proses penghalusan. Kemungkinan zat gizi pada perlakuan dicampurkan akan lebih baik dibandingkan dengan perlakuan tidak dicampurkan. Bekatul memiliki kandungan gizi yang tinggi. Wilkinson dan Champagne (2004) menyebutkan, bekatul kaya akan protein, lemak, serat, mineral, vitamin B kompleks dan tokoferol (vitamin E). Variasi komposisi kimia pada bekatul sangat dipengaruhi oleh faktor agronomis padi, varietas padi, derajat penggilingan dan kontaminasi sekam pada proses penggilingan (Damayanthi et al. 2007). Dengan
64
adanya perlakuan yang berbeda pada penelitian ini, diharapkan mendapatkan bubuk bekatul yang awet dan kontribusi kandungan zat gizi yang optimal dari bubuk bekatu awet itu sendiri, sehingga tidak banyak terbuang akibat proses yang tidak menguntungkan. Analisis proksimat dan Serat pangan Sifat kimia yang dianalisis dari bahan baku bekatul awet yaitu analisis proksimat meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar karbohidrat, dan kadar lemak. Untuk analisis serat pangan yaitu analisis serat pangan tak larut air, larut air, dan total serat pangan. Data hasil analisis proksimat dan serat pangan bahan baku bekatul awet dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 10 dan Lampiran 14. Gambar 9 berikut merupakan hasil analisis kadar proksimat bahan baku bubuk bekatul awet dengan dua perlakuan.
Gambar 9 Kandungan kadar proksimat bahan baku bekatul awet (bk) Keterangan
: bk = berat kering : tidak atau dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh
1. Kadar Air Keberadaan air dalam bahan pangan ikut menentukan terjadinya kerusakan dalam bahan pangan tersebut, karena air dapat di manfaatkan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Fardiaz et al. 1992). Menurut Winarno (1992) air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena dapat mempengaruihi penampakan, tekstur, serta cita rasa suatu masakan. Pada penelitian ini metode penentuan kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven kering. Suhu oven yang digunakan untuk mengeringkan sampel yaitu 100-102o C sampai diproleh berat tetap kurang lebih selama 6 jam. Pada
65
penentuan kadar air kesalahan sangat mungkin terjadi. Kesalahan yang terjadi biasannya pada saat penimbangan cawan atau sampel. Misalnya cawan yang digunakan tidak dioven terlebih dahulu sampai beratnya stabil tapi langsung ditimbang sehingga berat cawan tidak menunjukan berat cawan stabil. Seharusnya cawan dioven terlebih dahulu selama beberapa menit kemudian dimasuk kedalam desikator sampai dingin lalu timbang. Gambar 9 diatas menunjukkan hasil analisis kadar air bahan baku bekatul awet berdasarkan basis kering. Kadar air bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh sebesar 5.04 % bk dan kadar air bekatul awet yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh sebesar 5.41 % bk. Kadar air diatas menunjukkan bahwa bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh dengan bahan baku bekatul awet yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh tidak jauh berbeda. Namun kadar air bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh lebih rendah dengan kadar air bahan baku bekatul awet yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh. Berdasarkan uji statistik Independent Samples Test kadar air pada bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh tidak berbeda nyata (p > 0.05) dengan bahan baku bekatul awet yang dicampurkan bahan yang lolos 20 mesh. Menurut Juliano (1985) dalam Damayanthi (2002) kadar air dalam bekatul awet berkisar antara 3-4 % sudah cukup aman. Namun, hal ini berbeda dengan penelitian yang sudah dilakukan. Perbedaan ini diduga disebabkan karena pada saat penjemuran gabah yang kurang maksimal dan tidak merata, sehingga kadar air yang terkandung masih tinggi. Menurut Ainah (2004), kadar air yang tinggi akan menyulitkan pada saat penyimpanan. Hal ini karena kadar air yang tinggi memudahkan mikroba untuk tumbuh sehingga produk tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama. Namun Kadar air yang diperoleh sudah cukup aman sehingga enzim lipoksigenase yang mungkin masih tersisa pada bekatul sulit untuk aktif pada kadar air yang rendah. 2. Kadar Abu Menurut Winarno (1997), abu merupakan unsur mineral atau zat anorganik yang terkandung dalam bahan pangan. Abu juga merupakan zat gizi selain air dan bahan organik yang terkandung dalam bahan pangan. Penentuan kadar abu total sangat berguna sebagai parameter nilai gizi bahan makanan,
66
karena
merupakan
pengujian
untuk
menentukan
bahan-bahan
mineral
(anorganik). Dalam proses pengabuan, sampel dibakar untuk menghilangkan bahan-bahan organik akan tetapi bahan-bahan anorganik tidak ikut hilang. Penetapan kadar abu pada penelitian ini menggunakan metode gravimetri dimana sampel diabukan di dalam tanur pada suhu ±550o C selama 5-7 jam (waktu dihitung setelah oven bersuhu 550o C). Berdasarkan hasil analisis diproleh kadar abu berdasarkan basis kering (Gambar 9). Kadar abu pada perlakuan tidak dicampurkan sebesar 11.89 %, sedangkan pada perlakuan dicampurkan sebesar 11.67 %. Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan Henry (2010) yaitu 12.23 %. Pada perlakuan tidak dicampurkan kadar abu ini sedikit lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan dicampurkan, namun berdasarkan uji uji statistik Independent Samples Test kadar abu perlakuan tidak dicampurkan tidak berbeda nyata dengan kadar abu pada perlakuan dicampurkan (p>0.05). Kandungan abu ini mengandung mineral-mineral yang dibutuhkan tubuh bagi kesehatan. 3. Kadar Protein Winarno (1997) menyatakan, protein merupakan suatu zat gizi yang amat penting bagi tubuh, karena zat ini selain berfungsi sebagai penghasil energi dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Sifat protein sebagai zat pengatur dimiliki oleh enzim. Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk jaringan baru dalam tubuh. Tetapi bila asupan energi tubuh tidak dipenuhi oleh karbohidrat, maka protein akan berperan sebagai energi. Hal ini menyebabkan perannya sebagai zat pengatur dan pembangun akan terganggu. Selain itu bila terjadi kekurangan konsumsi protein pertumbuhan juga akan terganggu, terutama pada anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat. Pengukuran kadar protein Bubuk bekatul awet mengunakan metode Kjeldhal yang didasarkan pada pengukuran kadar nitrogen total. Kandungan protein dapat dihitung dengan mengasumsikan rasio tertentu antara protein terhadap nitrogen untuk contoh sampel. Karena unsur nitrogen bukan hanya berasal dari protein, maka metode ini mendasarkan pada asumsi kandungan nitrogen adalah protein adalah 16 %. Untuk mengubah dari kadar nitrogen ke dalam kadar protein maka digunakan angka faktor
67
konversi sebesar 100/16 atau 6.25 (Winarno 1997). Gambar 9 menunjukkan hasil analisis kadar protein bahan baku bekatul awet berdasarkan basis kering. Kadar protein bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh sebesar 13.92 % bk dan kadar air bekatul awet yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh sebesar 14.20 % bk. Kadar protein diatas menunjukkan bahwa bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh dengan bahan baku bekatul awet yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh tidak jauh berbeda. Namun kadar protein bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh lebih rendah dengan kadar protein bahan baku bekatul awet yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh. Berdasarkan uji statistik Independent Samples Test kadar protein pada bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh tidak berbeda nyata (p > 0.05) dengan bahan baku bekatul awet yang dicampurkan bahan yang lolos 20 mesh. Kandungan protein di dalam tepung bekatul awet ini cukup tinggi yaitu 13.92 dan 14.20 %. Komposisi asam amino esensial dari protein bekatul sedikit lebih baik dibandingkan protein beras giling (Juliano 1985 dan Damardjati et al. 1987). Kecukupan protein untuk laki-laki dan wanita usia 50-64 tahun masingmasing yaitu 60 dan 50 g/hari. Jadi sumbangan protein untuk laki-laki dan wanita pada usia 50-64 tahun yaitu 4.2 gram apa bila setiap hari mengkonsumsi bekatul sebanyak 30 gram seperti yang dianjurkan oleh Damayanthi (2003). Menurut WNPG (2004) sumbangan protein dari bekatul untuk memenuhi angka kecukupan total bagai laki-laki dan wanita usia 50-64 tahun yaitu masing-masing sebesar 7.0 dan 8.4 %. Menurut Damardjati et al. (1987) pada bekatul juga ditemukan senyawa anti gizi yang dapat menghambat pertumbuhan. Senyawa tersebut di antaranya adalah tripsin inhibitor, pepsin inhibitor, hemaglutinin dan anti tiamin. Namun demikian menurut Hargrove (1994), aktivitas senyawa anti gizi tersebut relatif rendah dan dapat diinaktivasi menggunakan proses pemanasan. 4. Kadar Lemak Penetapan kadar lemak ini menggunakan metode ekstraksi soxhlet. Lemak yang terapat dalam bekatul awet diekstrak dengan pelarut heksana.
68
Setelah pelarut diuapkan, lemak terlarut dapat ditimbang dan dihitung presentasenya. Menurut Kao dan Luh (1991) minyak yang diekstrak dengan heksana mengandung gliserida, asam lemak bebas, fosfolipid, glikolifid, sterol, tokoferol, wax, dan sebagainya. Komponen utama minyak bekatul adalah trigliserida, berjumlah sekitar 80 % dari minyak kasarnya. Hasil analisis kadar lemak pada bekatul awet dapat dilihat pada gambar 9. Kadar lemak pada perlakuan tidak dicampurkan sedikit lebih rendah dari perlakuan dicampurkan yaitu masing-masing 15.06 % dan 15.35 %. Kadar lemak hasil penelitian lebih rendah dari penelitian Henry (2010) yaitu 17.84 %, namun sesuai dengan yang dilaporkan Damayanthi (2002) yang menyebutkan bahwa kadar lemak bekatul berkisar antara 14.27 % samapai dengan 32.28 % bk. Lemak ini merupakan komponen utama dari bekatul yang kadarnya lebih tinggi daripada protein, yaitu 15.06 dan 15.35 % lebih besar daripada 13.92 dan 14.20 %. Dari keseluruhan lemak padi, sekitar 80 % terkonsentrasi di dalam dedak di mana sepertiga dari 80 % tersebut terdapat dalam lembaga gabah. Berdasarkan uji statistik Independent Samples Test kadar lemak pada bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan bahan baku bekatul awet yang dicampurkan bahan yang lolos 20 mesh. Menurut Damayanthi (2003a) minyak yang diperoleh dari bekatul dilaporkan sebagai salah satu minyak makan yang terbaik di antara minyak yang ada, dan sudah dijual secara komersial di beberapa negara. Juliano (1985) dalam Damayanthi (2003a) melaporkan bahwa minyak yang terdapat dalam bekatul didominasi oleh asam lemak tidak jenuh, yaitu oleat dan linoleat. Sisanya adalah mirstat, stearat, linolenat, dan arachidat. Kisaran kandungan asam lemak utama yang terdiri dari palmitat, oleat dan linoleat berturut-turut adalah 12–18 %, 40–50 % dan 20–42 % (Luh et al. 1991; Juliano 1993). Beberapa varietas padi di Indonesia memberikan kisaran komposisi asam lemak dalam minyak bekatul yang mirip. Selain itu, senyawa lain yang diketahui penting dalam minyak bekatul adalah tokoferol. Senyawa yang bersifat sebagai antioksidan ini bersifat mempertahankan ketengikan minyak akibat oksidasi. Aktivitas enzim lipolitik dalam bekatul dapat mengakibatkan hidrolisis trigliserida menjadi digliserida, monogliserida, dan asam lemak bebas pada kondisi panas, dan lembab. Hal ini merupakan penyebab kerusakan minyak bekatul selama penyimpanan.
69
Damayanthi (2003b) frekuensi minum bekatul adalah dua kali sehari. Setiap kali minum kurang lebih 15 gram bekatul. Sehingg total konsumsi sehari sebesar 30 gram maka akan memberikan kontribusi lemak sebesar 4.6 gram dari kadar lemak 15.20 %. Kebutuhan lemak tidak dinyatakan secara mutlak. Anjuran konsumsi lemak bagi orang dewasa seperti tercantum dalam salah satu pesan Pedoman Umum Gizi Seimbang yaitu batas konsumsi lemak sampai 25 % dari kecukupan energy sehari. Almatsier (2006) menyatakan bahwa jumlah ini dapat memenuhi kebutuhan akan asam lemak esensial dan untuk membantu penyerapan vitamin larut lemak. Lemak juga mengandung vitamin larut lemak tertentu. Lemak membantu transportasi dan absorpsi vitamin larut lemak yaitu A, D, E, dan K. 5. Kadar Karbohidrat Penetapan kadar karbohidrat dengan perhitungan carbohydrate by difference adalah penetapan kadar karbohidrat dalam bahan makanan secara kasar. Perhitungan karbohidrat ini dilakukan karena merupakan bagaian dari analisi proksimat yaitu suatu analisis yang kandungan karbohidratnya diketahui bukan melalui analisis tetapi melalui total kandungan dalam bahan makanan dikurangi dengan kada protein, kadar lemak, kadar air, dan kadar abu dalam bahan makanan tersebut. Hasil analisis kandunagn karbohidrat pada bahan baku bekatul awet dapat dilihat pada gambar 9. Kadar karbohidrat pada bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh lebih tinggi dibandingkan bekatul awet yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh. Namun berdasarkan uji statistik Independent Samples Test kadar karbohidrat pada bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh tidak berbeda nyata (p > 0.05) dengan bahan baku bekatul awet yang dicampurkan bahan yang lolos 20 mesh. Karbohidrat yang terdapat pada bekatul merupakan bagian terbesar yaitu 59.13 % untuk perlakuan yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh dan 58.78 % yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh. Perbedaan ini diduga karena metode analisis yang digunkan merupakan metode by diference, apabila kadar proksimat yang lain besar seperti lemak, protein, abu, dan air, maka kadar karbohidrat akan menurun presentasenya. Karbohidrat yang terdapat pada bekatul teridentifikasi sebagai selulosa, hemiselulosa dan pati. Kandungan pati yang terdapat pada bekatul diperoleh dari bagian endosperm
70
yang terbawa pada proses penyosohan (Hargrove 1994). Damayanthi et al. (2007) menambahkan, kandungan pati tersebut akan meningkat kadarnya dengan semakin banyaknya tahap penyosohan yang dilakukan. 6. Serat Pangan Serat dapat dikatakan sebagai komponen bahan makanan non-gizi, tetapi akan sangat menyehatkan jika di konsumsi secara teratur dan seimbang setiap hari. Serat pangan dapat dibagi dua berdasarkan jenis kelarutannya, yaitu serat yang tidak larut dalam air dan serat yang larut dalam air. Serat yang tidak larut dalam air memiliki sifat mampu berikatan dengan air, seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Sedangkan serat yang larut dalam air memiliki sifat mampu membentuk gel yang mempengaruhi metabolisme dalam tubuh, seperti pektin, musilase, dan gum (Sulistijani 2002). Serat pangan tidak dapat diserap dan tidak mempunyai nilai gizi. Namun sudah banyak diteliti bahwa serat makanan mempunyai dampak positif terhadap peningkatan drajat kesehatan. Berbagai penyakit yang terkait dengan rendahnya konsumsi serat, yaitu jantung, darah tinggi, dibetes, kanker pencernaan, dan kegemukan. Sumber utama serat yaitu sayuran dan buah-bauahan (Muhilal 1995). Penetapan serat pangan dilakukan dengan metode enzimatis, dimana digunakan enzim-enzim pencernaan dan dibuat kondisi yang mirip dengan yang sesungguhnya terjadi di dalam pencernaan tubuh manusia. Gambar 10 memperlihatkan hasil analisis serat pangan larut air, serat pangan tidak larut air dan total serat pangan pada bekatul awet dengan dua perlakuan.
Gambar 10 Kadar serat pangan bubuk bekatul awet Keterangan : Tidak atau dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh
71
bk = Berat kering
Berdasarkan grafik di atas bahwa kadar serat pangan larut, tidak larut dan total serat pangan antara perlakuan tidak dicampurkan lebih rendah daripada perlakuan dicampurkan. Hal ini diduga bahwa pada perlakuan tidak dicampurkan, sisa pengayakan 20 mesh tidak dicampurkan sehingga banyak komponen yang tebuang salah satunya serat pangan. Menurut Damayanthi (2003a), kadungan serat panga dalam bekatul ditentukan oleh derajat sosoh, yaitu semakain tinggi derajat sosoh maka distribusi zat gizi akan semakin menurun. Kandungan serat pangan larut pada perlakuan tidak dicampurkan dan dicampurkan masing-masing yaitu 7.90 % dan 8.95 % bk. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Damayanthi (2003 b) yang menyebutkan bahwa kandungan serat pangan larut bekatul dari padi varietas IR64 dan Cilamaya berturut-turut adalah 3.68-8.67 % dan 3.56-8.76 %, di mana keragaman ini tergantung pada derajat sosohnya. Akan tetapi hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan yang telah dilaporkan oleh Farizal 2010 yaitu 6.53 % atau 1.40 % (Kahlon dan Chow 1997). Dibandingkan dengan bekatul serealia lainnya kandungan serat pangan pada bekatul padi ini tidak berbeda , misalnya bekatul oat mengandung 8.0 % serat pangan larut dan barley 6.0 % (Kahlon dan Chow 1997). Ketiga jenis
sumber
bekatul
serealia
dilaporkan
memiliki
efek
hipokolesterolemik pada hewan percobaan dan manusia. Serat pangan tak larut yaitu 26.52 % untuk perlakuan tidak dicampurkan dan 33.04 % untuk perlakuan dicampurkan. Hasil penelitian untuk perlakuan tidak dicampurkan sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Damayanthi (2003) yang menyebutkan bahwa kandungan serat pangan tak larut bekatul dari padi varietas IR-64 dan Cilamaya berturut-turut adalah 14.99-25.38 % dan 15.22-25.06 %, di mana keragaman ini tergantung pada derajat sosohnya. Akan tetapi untuk
perlakuan yang dicampurkan hasil tersebut lebih tinggi
dibandingkan yang telah dilaporkan oleh Damayanthi (2003a). Hasil kedua perlakuan lebih tinggi dibandingan hasil
Farizal (2010) yaitu 22.01 %
atau
Kahlon dan Chow (1997) yaitu 1.40 % . Kahlon and Chow (1997) menyatakan bahwa bekatul padi mengandung 21.50 % serat pangan tidak larut, 10.60 % dan 11.20 % untuk bekatul oat and barley. Total serat pangan pada perlakuan tidak dicampurkan lebih rendah dibandingkan total serat pangan yang dicampurkan yaitu masing-masing 34.42 dan 41.99 %. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitina Farizal (2010) yaitu 28.54 %.
72
Berdasarkan uji independent samples test serat pangan tak larut air, serat pangan larut air, dan total serat pangan pada bahan baku baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh berbeda nyata (p<0.05). Perbedaan ini dapat dilihat dari gambar 10 bahwa bahan baku bektul awet yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh lebih tinggi secara nyata dari bahan baku bekatul awet yang tanpa dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh, baik itu dari serat pangan tak larut air, serat pangan larut air, maupun total serat pangannya.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
a
Damayanthi et al. (2003 ) yang menunjukkan bahwa distribusi zat gizi semakin menurun apabila derajat sosoh semakin besar, sehingga semakin banyak bekatul awet yang tidak lolos 20 mesh ditambahkan maka kadar serat pangannya akan semakin tinggi. Cukup banyak produk atau bahan pangan yang terbukti dapat menurunkan kadar kolesterol darah manusia. Salah satunya adalah -oryzanol yang terdapat pada minyak bekatul.
Berdasarkan penelitian Most et al. (2005),
bahwa minyak bekatul dan bukan serat bekatullah yang dapat menurunkan kolesterol darah manusia. Penelitian ini dilakukan dengan metode parallel-arm, dengan menyediakan makan tiga kali sehari bagi 26 subyek selama lebih dari 3 bulan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan konsentrasi lipid pada subyek yang diintervensi bubuk bekatul, sedang terdapat efektivitas yang signifikan pada subyek yang diberikan diet minyak bekatul dengan penurunan kadar ldl darah sebesar 7 % (p<0.0004). Kadar Mineral Ca, Fe, Zn dan Bioavailabilitasnya Kadar mineral Ca, Fe, dan Zn Mineral merupakan zat gizi mikro (micronutrient) dalam tubuh yg bersama-sama dengan vitamin berfungsi dalam proses metabolisme unsur gizi makro (karbohidrat, protein, lemak). Mineral bersifat esensial, karena merupakan unsur anorganik yg memiliki fungsi fisiologis yang tidak dapat dikonversikan dari zat gizi lain, sehingga harus selalu tersedia dalam makanan yang dikonsumsi. Jumlah mineral yang harus tersedia bagi tubuh tersebut adalah bervariasi, yaitu dari beberapa mikrogram sampai gram per hari. Mineral dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah ≥ 100 mg per hari. Mineral makro terdapat ≥ 0.01% di dalam tubuh.
Mineral makro meliputi kalsium (Ca), fosfor (P),
magnesium (Mg), natrium (Na), kalium (K), dan klorida (Cl). Mineral mikro
73
diperlukan tubuh kurang dari 100 mg per hari dan diperlukan kurang dari 0.01 % dari berat badan total.
untuk menyusun tubuh Minerl mikro tersebut
anatar lain adalah besi, seng dan selenium (Damayanthi dan Nasoetion 2007). Pada penelitian ini, pengukuran kadar mineral menggunakan metode AAS. Metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry) merupakan salah satu metode analisis yang dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan dan kadar mineral dalam berbagai bahan, namun terlebih dahulu dilakukan tahap pendestruksi cuplikan. Pada metode destruksi basah dekomposisi sampel dilakukan dengan cara menambahkan pereaksi asam tertentu ke dalam suatu bahan yang dianalisis. Asam-asam yang digunakan adalah asam-asam pengoksidasi seperti H2SO4, HNO3, H2O2, HClO4, atau campurannya. Pemilihan jenis asam untuk mendestruksi suatu bahan akan mempengaruhi hasil analisis. Spektrometri merupakan suatu metode analisis
kuantitatif yang
pengukurannya berdasarkan banyaknya radiasi yang dihasilkan atau yang diserap oleh spesi atom atau molekul analit. Salah satu bagian dari spektrometri ialah Spektrometri Serapan Atom (SSA/AAS), merupakan metode analisis unsure secara kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas. Apabila cahaya dengan panjang gelombang tertentu dilewatkan pada suatu sel yang mengandung atom-atom bebas yang bersangkutan maka
sebagian cahaya
tersebut akan diserap dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom bebas logam yang berada dalam sel. Metode AAS merupakan metode analisis berdasarkan atomisasi bahan terhadap sampel larutan. Kelebihan metode ini dibanding dengan metoda yang lain adalah mampu mendeteksi unsur-unsur dengan konsentrasi rendah (orde ppm) dan hanya memerlukan jumlah sampel yang sedikit (beberapa miligram). Pada penelitian ini kadar mineral yang dianalisis adalah kadar kalsium, kadar besi dan kadar seng. Ketiga mineral tersebut sangat dibutuhkan oleh tubuh walaupun jumlahnya sedikit. Hasil dari analisis mineral Ca, Fe, dan Zn dari bahan baku bekatul awet dapat dilihat dibawah ini.
74
Tabel 3 Kadar mineral Ca, Fe dan Zn bahan baku bubuk bekatul awet (bk) Kadar Ca
Perlakuan
Ppm
Tidak dicampurkan Dicampurkan Keterangan
Kadar Fe
mg/100g a
57.36±3.47 b 81.95±1.44
a
5.74±0.35 b 8.19±0.14
Ppm
Kadar Zn
mg/100g a
300.04±4.13 b 318.56±7.42
ppm a
30.00±0.41 b 31.89±0.74
mg/100g a
76.38±2.65 a 71.22±4.55
7.64±0.26a a 7.13±0.45
: tidak atau dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh bk = berat kering Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menujukan perbedaan yang nyata (Independent Samples Test)(p< 0.05)
Berdasarkan table di atas dapat dilihat kadar mineral Ca dan Fe pada perlakuan dicampurkan lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan tidak dicampurkan. Namun untuk kadar Zn pada perlakuan tidak dicampurkan lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan dicampurkan. Pada perlakuan tidak dicampurkan kadar Ca sebesar 5.74 mg/100 g sedangkan pada perlakuan dicampurkan sebesar 8.19 mg/100 g. Hasil ini lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Luh et al. (1991) yaitu sebesar 30-120 mg/100 g. Kadar besi (Fe) pada perlakuan tidak dicampurkan sebesar 30.00 mg/100 g, sedangkan pada perlakuan dicampurkan sebesar 31.89 mg/100 g. Hasil ini lebih rendah dari penelitian Luh et al. (1991) yaitu sebesar 50-110 mg/100 g. Untuk kadar Zn pada perlakuan tidak dicampurkan sebesar 7.64 mg/100 g, sedangkan pada perlakuan dicampurkan sebesar 7.13 mg/100 g. Perbedaan dari kedua perlakuan diduga karena adanya bahan yang tidak dicampurkan dan dicampurkan kembali pada saat proses penepungan bekatul awet. Kontribusi zat gizi mineral ini terhadap kecukupan seseorang tergantug dari sifat bilogis mineral itu sendiri. Berdasarkan uji statistik Independent Samples Test kadar kalsium dan kadar besi (Fe) berbeda nyata (p<0.05) di mana kadar kalsium dan besi pada bahan baku bekatul yang dicampurkan lebih tinggi secara nyata dibandingkan dengan bekatul awet yang tidak dicampurkan (Tabel 3). Namun kadar seng (Zn) pada bahan baku bekatul yang dicampurkan tidak berbeda nyata dengan bekatul awet yang tidak dicampurkan. Secara umum hasil ini menunjukkan bahwa zat gizi mineral lebih banyak terdapat bagian paling luar pada lapisan bekatul (Damayanthi et al. 2003). Berdasarkan hasil analisis bahwa kadar mineral besi sebesar 30-31 mg/100 g. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pangan lain misalkan toge kacang hijau. Toge kacang hijau hanya mengandung mineral besi sebesar 0.8 mg/50 g atau setara 1.6 mg/100 g, sehinga bekatul padi merupakan sumber
75
besi. Hal ini karena bekatul yang cukup melimpah yang masih belum banyak dimanfaatkan. Bioavaibilitas Mineral Ca, Fe dan Zn Bioavailabilitas mineral adalah ketersediaan mineral dalam usus untuk diabsorpsi dengan kata lain penyerapan actual (efisiensi) dari mineral dimana menunjukan retensi mineral dalam tubuh yang digunakan dalam fungsi selular atau jaringan. Interaksi antar mineral dapat mengakibatkan penurunan absorpsi elemen atau pengurangan bioavailabilitasnya. Banyak molekul dalam makanan mempengaruhi bioavailabilitas, baik meningkatkan absorpsi atau menghambat absorpsi (bersaing). Misalkan kandungan total kalsium yang tinggi dalam suatu produk pangan belum menjamin jumlah kalsium yang diserap oleh tubuh akan tinggi pula. Jika bioavailabilitasnya rendah maka jumlah kalsium yang diserap oleh tubuh pun menjadi rendah. Ketersediaan biologis (bioavailabilitas) dapat diartikan sebagai jumlah mineral dalam bahan pangan yang dapat diserap dan dipergunakan oleh tubuh. Nilai bioavaibilitas mineral menunjukkan proporsi jumlah mineral yang masuk ke dalam tubuh dan yang diserap oleh usus dan digunakan oleh tubuh. Bioavailabilitas mineral dapat dianalisis dengan metode in vivo maupun in vitro.
Selain secara in vivo, pengukuran bioavailabilitas mineral juga dapat
dilakukan secara in vitro. Metode in vitro merupakan simulasi proses pencernaan bahan pangan dengan menggunakan enzim komersial.
Enzim pepsin dan
pankreatin bile yang biasa digunakan berfungsi untuk memecah protein sehingga mineral yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis (Roig et al. 1999). Namun, metode in vitro selama ini dinilai lebih menguntungkan karena cepat, praktis, dan lebih murah (Damayanthi & Rimbawan 2008). Berikut adalah grafik hasil analisis bioavailabilitas kalsium, besi dan seng dari bahan baku bekatul awet.
76
Gambar 11 Bioavaibilitas mineral Ca, Fe, dan Zn bubuk bekatul awet Keterangan
: tidak atau dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh bk = berat kering
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bioavailabilitas kalsium dan besi pada perlakuan tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh lebih tinggi dibandingkan bioavailabilitas kalsium dan besi pada bahan yang dicampurkan yang lolos ayakan 20 mesh. Namun bioavailabilitas seng pada bahan yang tidak dicampurkan bahan yang lolos ayakn 20 mesh lebih rendah dibandingkan bioavailabilitas seng pada bahan yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh. Hasil analis bioavaibilitas mineral Ca, Fe dan Zn pada bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan dan yang dicampurkan bahan yang lolos aykan 20 mesh yaitu masing-masing sebgai berikut: untuk Ca adalah 59.09 dan 58.84 %; Fe adalah 0.90 dan 0.78 % serta untuk Zn adalah 42.87 dan 44.72 %. Di dalam bahan pangan nabati, mineral biasanya dalam keadaan terikat. Oleh karena itu biavaibilitas Fe dan Zn
tidak terlalu tinggi, namun untuk
bioavailabilitas dari Ca cukup tinggi yaitu melebih 50 %. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak semua kalsium, besi dan seng dalam bubuk bekatul awet dapat dimanfaatkan untuk keperluan tubuh dan seberapa besar yang dapat dimanfaatkan bergantung pada ketersediaan biologisnya (bioavailabilitas). Bioavailabilitas kalsium menunjukkan proporsi kalsium yang tersedia untuk digunakan dalam proses metabolis terhadap kalsium yang dikonsumsi (Miller
1996).
Berdasarkan
Allen
(1982)
komponen
makanan
yang
mempengaruhi bioavailabilitas kalsium meliputi fosfor, protein, komponen tumbuhan (serat, fitat, dan oksalat), laktosa, dan lemak. Selain itu, Gropper et al.
77
(2005) menambahkan bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi dua) juga dapat mengurangi absorpsi kalsium. Serat pangan dapat mengikat beberapa mineral sehingga menurunkan tingkat kelarutan dan bioavailabilitasnya (Ink 1988). Komponen utama serat makanan diklasifikasikan sebagai materi penyusun dinding sel tumbuhan (selulosa, polisakarida nonselulosa, dan lignin) atau polisakarida nonstruktural seperti pektin, gum, musilage, dan beberapa hemiselulosa (Allen 1982). Selulosa dapat meningkatkan massa feses dalam usus dan mengurangi transit time sehingga mengurangi waktu yang tersedia untuk absorpsi kalsium. Hemiselulosa menstimulasi proliferasi oleh mikroba, yang pada akhirnya akan mengikat kalsium sehingga kalsium tidak dapat diabsorpsi (Gropper et al. 2005). Adanya asam fitat akan membentuk kalsium fosfat yang tidak dapat larut sehingga tidak dapat diabsorpsi (Almatsier 2006). Fitat atau juga sering disebut asam fitat atau mioinositol heksafosfat ditemukan pada beberapa pangan yang berasal dari tumbuhan seperti kacang-kacangan, biji-bijian dan sereal. Fitat mengikat kalsium dan menurunkan ketersediaannya khususnya jika rasio fitat : kalsium lebih dari 0.2 (Gropper et al. 2005). Meskipun bioavaibilitas kalsium dari bekatul padi tidak terlalu tinggi namun cukup berarti sebagai pangan yang kaya akan kalsium karena bioavailabilitasnya melebihi 50 %. Hal ini mengingat ketersediaan pangan ini melimpah, awet dan dengan harga terjangkau masyarakat luas. Di negaranegara maju sumber utama kalsium untuk masyarakatnya adalah susu dan hasil olahannya yang mengandung sekitar 1150 mg kalsium per liter (Soekatri & Kartono 2004). Selain komponen makanan, faktor fisiologis yang dapat mempengaruhi absorpsi kalsium adalah status vitamin D, defisiensi kalsium dan fosfor, serta perbedaan kondisi fisiologis dan kebutuhan pada setiap tahap dalam daur kehidupan (Allen 1982). Tahap dalam daur kehidupan yang dimaksud adalah bayi, anak-anak dan remaja, dewasa, ibu hamil dan menyusui, wanita menopause
serta
lansia.
Ada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
bioavailabilitas kalsium, baik itu faktor pendorong maupun faktor penghambat. Faktor yang dapat meningkatkan absorpsi kalsium antara lain vitamin D dalam bentuk aktif (1.25(OH)2D3), fosfor, protein, dan laktosa (Almatsier 2006). Adapun faktor yang menghambat penyerapan kalsium di antaranya kekurangan vitamin D
78
dalam bentuk aktif (1.25(OH)2D3), adanya asam oksalat dan asam fitat, serat, kation divalen, serta lemak. Bioavailabilitas zat besi adalah jumlah zat besi dalam bahan pangan yang ditransfer dari lumen usus ke dalam darah (Latunde-Dada & Neale 1986). Hasil penelitian menunjukan bahwa bioavailabilitas mineral besi sangat rendah yaitu 0.87-0.90 %. Sedangkan ketersediaan zat besi pada bekatul cukup tinggi yaitu 30-31.89 mg/100 g. Bioavailabilitas zat besi dipengaruhi oleh dua hal yaitu faktor endogen (kondisi tubuh) dan faktor eksogen (zat makanan). Faktor eksogen meliputi berbagai komponen bahan pangan yang berinteraksi dalam pelepasan zat besi,yaitu kandungan zat besi dalam bahan pangan, bentuk zat besi dalam bahan pangan, faktor pendorong dan penghambat absorbsi zat besi yang berasal dari makanan. Kandungan zat besi dalam bahan pangan khususnya zat besi nonheme mempengaruhi jumlah zat besi yang diabsorbsi (Hallberg 1988). Efisiensi absorbsi zat besi berbanding terbalik dengan total zat besi dalam makanan. Semakin besar total zat besi makanan, maka persentase zat besi yang diabsorbsi akan semakin rendah (Gropper et al. 2005). Bioavailabilitas zat besi heme lebih tinggi daripada nonheme yaitu sekitar 15-30 %. Hal ini karena zat besi heme diserap secara utuh dalam cincin porfirin dan tidak terekspos ligan–ligan penghambat (pengikat) yang ada dalam makanan. Adapun zat besi nonheme masuk ke dalam pool yang memudahkan dipertukarkan (exchangeable pool). Hal ini menyebabkan adanya efek dari liganligan pendorong dan penghambat baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu besi nonheme yang dapat diserap hanya 2-20 % tergantung pada ligan dan status zat besi seseorang (Rolfes & Whitney 2008). Bekatul merupakan bahan pangan nonheme, sehingga penyerapan zat besinya sangat rendah. Bioavailabiltas mineral seng cukup tinggi pada bubuk bekatul padi awet yaitu 42.87-44.72 %, namun ketersediaanya sangat rendah yaitu 7.13-7.64 mg/100 g bubuk bekatul padi awet. Penyerapan seng itu sendiri dapat dipengaruhi oleh proses pemasakan. Pemanasan dapat menyebabkan seng dalam bahan pangan membentuk kompleks yang melawan hidrolisis sehingga seng tidak dapat dicerna. Produk dari reaksi Maillard yaitu asam amino, kompleks karbohidrat yang menyebabkan browning, dapat menghambat penyerapan seng (Gropper et al. 2005). Karena proses pengawetan bekatul
79
menggunakan pemanasan, diduga proses ini bisa memperkecil bioavailabilitas seng yang terdapat pada bekatul padi. Menurut Gibney et al. (2002), faktor-faktor yang dapat meningkatkan absorpsi seng adalah faktor fisiologi (status seng kurang) dan faktor dietary (asupan seng rendah, asam organik tertentu, asam amino tertentu). Adapun yang menurunkan absorpsi seng adalah status seng normal, asupan seng tinggi, fitat, dan zat besi tertentu. Absorpsi seng yang rendah 10-15 % terdapat di negara berkembang yang makanannya didominasi oleh sereal dan kacangkacangan dengan konsentrasi fitat tinggi. Adapun daerah dengan dietary pangan hewani dan produk tanaman diperkirakan memiliki absorpsi seng sebesar 20-30 %. Berdasarkan uji independent samples test bioavailabilitas kalsium, besi, dan seng pada pada bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan bekatul awet yang dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh (Gambar 11). Dugaan bahwa nilai bioavailabilitas mineral akan menurun apabila bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh dicampurkan kembali ternyata tidak terbukti. Aktivitas Antioksidan, kadar Vitamin E, dan kadar Oryzanol 1. Aktivitas Antioksidan Metode yang digunakan dalam pengujian aktivitas antioksidan adalah metoda serapan radikal DPPH (1,1-diphenyl-2-pycrilhydrazil) karena merupakan metoda yang sederhana, mudah, dan menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit dengan waktu yang singkat. Pengukuran aktivitas antioksidan sampel dilakukan pada panjang gelombang 517 nm yang merupakan panjang gelombang konsentrasi
maksimum DPPH
10
DPPH mM.
(1,1-dyphenyl-2-picrylhydrazyl),
Adanya
aktivitas
antioksidan
dari
dengan sampel
mengakibatkan perubahan warna pada larutan DPPH dalam metanol yang ditandai dengan semakin hilangnya warna ungu menjadi kuning pucat (Molyneux 2004). Pemudaran warna mengakibatkan penurunan nilai absorbansi sinar tampak dari spektrofotometer, sehingga semakin rendah nilai absorbansi maka semakin tinggi aktivitas antioksidannya. Semakin pudar warna dan semakin rendah nilai absorbansi menunjukkan bahwa semakin banyak radikal bebas yang diserap oleh antioksidan. Besarnya aktivitas antioksidan ditandai dengan nilai % aktivitas antioksidan.
80
Pengujian
aktivitas
antioksidan
untuk
melihat
persentase aktivitas
antioksidan yang terdapat dalam bubuk bekatul serta kesetaraan dengan kemampuan mg vitamin C. Pembuatan standar dari vitamin C dan contoh perhitungan aktivitas antioksidan vitamin C dapat dilihat pada Lampiran. Pada penelitian ini digunakan vitamin C sebagai standar dalam pengukuran aktivitas antioksidan karena vitamin C merupakan salah satu antioksidan sekunder yang memiliki kemampuan menangkap radikal bebas dan mencegah terjadinya reaksi berantai. Aktivitas antioksidan dari ekstrak metanol bubuk bekatul ini dinyatakan dalam persentase aktivitas antioksidan terhadap radikal DPPH. Persentase ini didapatkan dari perbedaan serapan antara absorban DPPH dengan absorban sampel yang diukur dengan spektrofotometer UV-Vis. Besarnya aktivitas antioksidan ditandai dengan nilai % aktivitas antioksidan sedangkan kesetaraan jumlah antioksidan sampel dalam berat vitamin C (mg) dinyatakan dalam Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity atau biasa disingkat AEAC (mg vit C/100g). Hasil analisis aktivitas antioksidan disajikan pada berikut ini. Tabel 4 Kadar % aktivitas antioksidan dan AEAC pada bubuk bekatul awet Perlakuan Tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh Dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh
% Antioksidan 36.49±0.496
AEAC (mg Vit C/100 g
a
41.29±0.649 b
142.76±2.607
a
163.56±5.149 b
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menujukan perbedaan yang nyata (p<0.05) (independent samples test)
Besarnya aktivitas antioksidan atau kemampuan mereduksi radikal bebas pada bubuk
bekatul adalah 36.49 % untuk perlakuan tidak dimsasukan dan
41.29 % untuk perlakuan dicampurkan. Perbedaan hasil analisis dari kedua perlakuan diduga adanya bahan yang dicampurkan dan tidak dicampurkan kembali yaitu bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh. Hasil penelitian anktivitas antioksidan ini lebih kecil dibandingkan aktivitas antioksidan bubuk bekatul yang dilaporkan Farizal (2010) yaitu sebesar 83.89 %. Perbedaan ini diduga adanya kerusakan
pada
saat
persipan
bahan
baku,
sehingga
hasil
aktivitas
antioksidanya lebih kecil dibandingkan bubuk bekatul yang dibuat oleh Farizal (2010). Namun bubuk bekatul hasil penelitian ini rata-rata dalam 100 gram bubuk bekatul masing-masing mampu mereduksi radikal bebas DPPH yang setara dengan kemampuan 142.76 mg (pada perlakuan tidak dicampurkan) dan 163.56
81
mg (pada perlakuna dicampurkan) vitamin C lebih tinggi dibandingkan Farizal (2010) yaitu sebesar 28.74 mg vitamin C. Berdasarkan uji statistik independent samples test persen aktivitas antioksidan maupun AEAC pada bahan baku bekatul awet yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh lebih tinggi secara nyata (p<0.05) dengan bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh. Begitu juga dengan AEAC pada bahan baku bekatul awet yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh
lebih tinggi secara nyata
(p<0.05) dengan bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh. Semakin banyak bahan baku bekatul awet yang dibung karena pengayakan maka antioksidanya akan semakin menurun begitu juga sebaliknya (Damayanthi 2003a dan Damayanthi et al. 2010). 2. Kadar Vitamin E Vitamin E merupakan senyawa organik yang diperlukan dalam jumlah kecil tetapi sangat esensial sebagai antioksidan, pelarut lemak dan memelihara fertilitas. Senyawa yang merupakan turunan vitamin E sangat beraneka ragam, namun yang memiliki aktivitas antioksidan tinggi adalah dalam bentuk senyawa α-tokoferol (Milczarek 2005). Analisis vitamin E pada penelitian ini menggunakan metode HPLC. Pada analisa menggunakan HPLC komponen yang terukur adalah α-tokoferol, sedangkan pada spektorfotometer senyawa yang terukur tidak hanya α-tokoferol, namun total tokoferol. Seperti diketahui bahwa senyawa yang merupakan turunan vitamin E sangat beraneka ragam, namun yang memiliki aktivitas antioksidan tinggi adalah dalam bentuk senyawa α-tokoferol (Grooper et al. 2005). Berikut grafik hasil analisis vitamin E pada bubuk bekatul awet.
Gambar 12 Kadar vitamin E bubuk bekatul awet berdasarkan berat kering (bk) Keterangan : tidak atau dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh
82
Berdasarkan grafik di atas, bahwa kadar vitamin E pada perlakuan tidak dicampurkan lebih rendah dibandingkan pada perlakuan dicampurkan. Pada perlakuan tidak dicampurkan kadar vitamin E sebesar 2.51 mg/100 g atau 25.1 µg/g, sedangkan pada perlakuan dicampurkan sebesar 3.83 mg/100 g atau 38.3 µg/g. Berdasarkan uji independent samples test kadar vitamin E pada perlakuan tidak dicampurkan tidak berbeda secara nyata (p>0.05) dengan kadar vitamin E perlakuan dicampurkan pada tingkat kepercayaan 95 % (Gambar 12). Menurut Luh et al. (1991), kandungan α-tokoferol pada bekatul yaitu 149154 µg/g. Kandungan total tokoferol bekatul padi dilaporkan oleh Damayanthi et al. (2003) adalah berkisar antara 2039.6-2797.6 µg/g minyak bekatul dengan analisa mengggunakan spektrofotometer pada 520 nm. Hasil penelitian lebih rendah dibandingkan dengan literatur. Perbedaan ini diduga oleh beberapa faktor misalnya metode analisis, varietas, lama penyimpanan, geografis dan lainlain. Fraksi tak tersabunkan dari minyak bekatul terdapat sampai 5 % dari berat minyak, dengan kandungan utama adalah sterol sekitar 43 %. Bahan ini termasuk sterol bebas, ester, sterilglikosida dan asilsteril glikosida. Sterol yang terdapat dalam jumlah banyak adalah -sitosterol, yang dapat berjumlah sekitar 50 % dari total sterol. Komponen lainnya yang penting adalah senyawa tokol (tokotrienol
dan tokoferol). Tokoferol adalah vitamin E yang penting dalam
menjaga dari kerusakan oksidatif minyak. Lembaga beras dan bekatul memiliki kandungan tokoferol yang relatif tinggi. Kandungan lainnya adalah oryzanol yaitu suatu ester asam ferulat (Kao dan Luh 1991). Tokoferol di bekatul dapat digunakan sebagai indikator kerusakan kandungan zat gizi akibat pengolahan pada bekatul padi (Kao dan Luh 1991). Kandungan vitamin E dan oryzanol di dalam minyak kasar dedak padi berkisar 2–5 % (Diack dan Saska 1994) tergantung asal bekatul padinya. Kerusakan zat gizi yang terkandung di bekatul akibat pemanasan dengan otoklaf ditunjukkan oleh kandungan total tokoferol bekatul awet dan segar sebagai kontrol. Hasil uji ragam menunjukkan bahwa perlakuan varietas padi dan lama pemanasan tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar total tokoferol pada = 0.05, tetapi pada = 0.1 lama pemanasan berpengaruh nyata. Dari uji lanjut menunjukkan bahwa kandungan total tokoferol pada lama pemanasan 0.5–3 menit tidak berbeda nyata dengan 0 menit (kontrol), namun kemudian menurun secara nyata dibandingkan kontrol pada lama pemanasan 3.5–5 menit. Hal ini berarti pada 3
83
menit dalam proses stabilisasi bekatul segar, kerusakan tokoferol yang terjadi belum banyak, yang ditunjukkan dengan jumlahnya yang tidak berbeda nyata dengan kontrol.
Oleh karena itu dari hasil analisis ALB dan total tokoferol
ditetapkan lama pemanasan dalam otoklaf yang optimal untuk stablisasi bekatul adalah 3 menit. Bender (2003), menyatakan vitamin E sebagai antioksidan, yaitu berfungsi melindungi senyawa-senyawa yang mudah teroksidasi, antara lain ikatan rangkap dua pada ALTJ UFA (Unsaturated Fatty Acid), Diribosa Nukleutida Acid (DNA) dan Ribosa Nukleutida Acid (RNA) dan ikatan atau gugus – SH (sulfhidril) pada protein. Apabila senyawa-senyawa tersebut teroksidasi, maka akan terbentuk ”radikal bebas”, yang merupakan hasil proses peroksidasi. Radikal bebas yang terjadi akan mengoksidasi senyawa-senyawa protein, DNA, RNA dan UFA. Vitamin E akan bertindak sebagai reduktor dan menangkap radikal bebas tersebut. Vitamin E dalam hal ini berperan sebagai scavenger. Pemulung radikal bebas
selain vitamin E adalah vitamin C, enzim glutation
reduktase, desmutase dan perosidase, yang bersifat larut dalam air.
yang larut
dalam lemak adalah vitamin E dan ß-karoten. 3. Kadar Oryzanol Oryzanol
merupakan komponen penyusun minyak bekatul padi, yang
jumlahnya tidak besar, yaitu 2-5 % dari minyak bekatul padi kasar, tergantung dari varietas padinya. Komponen ini bersifat sebagai antioksidan dan memberikan manfaat bagi kesehatan manusia. Serat pangan dan senyawa antioksidan dalam bekatul berguna antara lain sebagai zat hipokolesterolemik atau dapat menurunkan kadar kolesterol darah, mencegah terjadinya kanker, dan memperlancar sekresi hormonal (Kahlon et al. 1994). Penetapan kadar oryzanol pada penelitian ini menggunakan metode spektofotometri. Berikut adalah hasil analisis kadar oryzanol pada bubuk bekatul awet.
84
Gambar 13 Kadar oryzanol bubuk bekatul awet berdasarkan berat kering (bk)
Keterangan : Tidak atau dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh Berdasarkan grafik di atas kandungan oryzanol pada perlakuan tidak dicampurkan sebesar 0.25 % atau 250 mg/100 g. Hasil ini lebih rendah dibandingkan pada perlakuan dicampurkan yaitu sebesar 0.33 % atau 330 mg/100 g. Apabila seseorang mengkonsumsi 1 cangkir minuman bubuk bekatul, mengandung 15 g bubuk, maka oryzanol yang dikonsumsi adalah sebanyak 43.35 mg. Hasil uji independent samples test antara perlakuan tidak dicampurkan tidak berbeda secara nyata (p>0.05) dengan perlakuan dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh (Gambar 13). Kandungan oryzanol pada perlakuan dicampurkan + flavor sebesar 0.35 %. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan perlakuan dicampurkan, karena bahan yang digunakan relatif sama yaitu bahan baku yang dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh. Perbedaannya yaitu penambahan flavor, sukralosa, dan garam pada perlakuan dicampurkan + flavor. Kandungan oryzanol telah dilaporkan oleh Seetharamaiah dan Prabhakar (1986), yaitu 1100–2600 mg/100 g minyak bekatul padi, dan Xu dan Godber (1999), sebesar 980 mg/100 g minyak bekatul padi. Perbedaan ini disebabkan perbedaan pada metode analisis. Seetharamaiah dan Prabakhar (1986) mengukur contoh langsung dari minyak tanpa purifikasi, sedangkan Xu dan Godber (1999) mengukur contoh setelah di semipurifikasi menggunakan metode kolom silika tekanan rendah.
Diack dan Saska (1994) menyatakan bahwa
konsentrasi -oryzanol adalah sebesar 460 mg/100 g di dalam minyak kasar setelah disaponifikasi.
85
Damayanthi (2003) melaporkan bahwa kandungan oryzanol bekatul awet dengan berbagai derajat sosoh berkisar antara 0.27–361.14 mg/100 g lemak bekatul dan mempunyai kecenderungan tertinggi pada derajat sosoh 13 %. Kandungan oryzanol tidak berbeda nyata antara bekatul dari beras varietas padi IR-64 dan Cilamaya Muncul, sebaliknya derajat sosoh berpengaruh nyata terhadap kandungan oryzanol. Derajat sosoh 13 % yaitu seperti yang dilakukan secara komersial di pabrik penggilingan padi merupakan tingkat yang menghasilkan kandungan oryzanol tertinggi, yaitu sebesar 17.70 mg/g lemak untuk varietas IR 64 dan 17.92 mg/g lemak untuk varietas Cilamaya muncul. Derajat sosoh 13 % dan varietas padi IR-64 merupakan perlakuan yang paling optimal dengan pertimbangan bahwa pada 13 % menghasilkan rendemen tertinggi, sedangkan IR-64 merupakan varietas padi yang ditanam lebih banyak oleh petani dibandingkan Cilamaya Muncul. Oryzanol ternyata bukanlah merupakan suatu senyawa murni, melainkan terdiri atas 10 senyawa dengan struktur kimia yang sedikit agak berbeda (Xu dan Godber 1999). Identifikasi senyawa volatil Identifikasi senyawa volatile yang terdapat pada bubuk bahan baku bubuk bekatul
dan
bubuk
bekatul
berflavor
menggunakan
metode
Gas
Chromatography-Mass Spectroscopy (GC-MS). Tujuan dari identifikasi ini yaitu untuk mengetahui berbagai komponen yang dapat memberikan aroma atau flavor dari bahan baku bubuk bekatul dan bubuk bekatul berflavor. Menurut Hartomo & Purba 1986, spektroskopi massa dapat digunakan untuk mengetahui rumus molekul tanpa melalui analisis unsur. Misalnya C4H10O, biasanya memakai cara kualitatif atau kuantitatif. Setelah diketahui rumus empirisnya, yaitu (CxHyOz)n, kemudian baru ditentukan BM-nya. Komputer pada alat GC-MS dapat langsung mengetahui rumus molekulnya. GC-MS hanya dapat digunakan untuk mendeteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap. Glukosa, sukrosa, sakarosa bersifat tidak menguap sehingga tidak dapat dideteksi dengan alat GCMS. Ekstrak volatil dari bubuk bekatul yang diperoleh dengan mengekstrak menggunakan alat rotary evaporator dan ditambahkan etil asetat sebagai bahan pengekstrak. Hasil ini kemudian di sentrifuge selama 10 menit dan diambil fase organik yang kemudian diuapkan menggunakan nitrogen sampai kering. Langkah berikutnya yaitu ditambahkan etil asetat 200 ul kemudian di injeksi ke GC-MS. Dari tiga sampel yaitu bahan baku dengan perlakuan tidak dicampurkan, bahan
86
baku dengan perlakuan dicampurkan, dan bekatul terpilih dengan penambahan flavor terdapat komponen volatil masing-masing 27, 35, dan 53 komponen. Bentuk kromatogram dari ketiga perlakuan bekatul ini diperlihatkan pada Gambar 14, 15 dan 16.
Gambar 14 Hasil kromatogram pada bekatul dengan perlakuan tidak dicampurkan
Komponen volatil yang terdeteksi pada bekatul dengan perlakuan tidak dicampurkan berjumlah 27 komponen yang di dominasi oleh asam lemak misalnya acetic acid, Namun jumlah ini belum tentu semuanya terdeteksi karena banyak komponen-komponen yang dalam jumlah kecil yang mungkin tidak terdeteksi. Selain itu komponen yang tidak terdeteksi bisa disebabkan oleh tidak adanya base line data yang terdapat pada alat GC-MS, sehingga tidak bisa dikenali dan dideteksi. Dibawah ini merupakan kromatogram dari bekatul dengan perlakuan dimasukan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh.
Gambar 15 Hasil kromatogram pada bekatul dengan perlakuan dicampurkan
87
Hasil dari kromatogram untuk bekatul dengan perlakuan dicampurkan yaitu berjumlah 35 komponen volatil. Jumlah kompnen volatil pada perlakuan dicampurkan lebih banyak dengan perlakuan tidak dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh. Namun komponen volatil yang terdapat pada bekatul dengan perlakuan dicampurkan hampir sama dengan komponen volatil yang terdapat pada bekatul dengan perlakuan tidak dicampurkan. Komponen volatil pada bekatul dengan perlakuan dicampurkan didominasi oleh asam lemak. Berikut merupakan kromatogram dari bekatul terpilih dengan penambahan flavor jasmine tea.
Gambar 16 Hasil kromatogram pada bekatul terpilih dengan flavor jasmine tea
Komponen
volatil
yang
terdapat
pada
bekatul
terpilih
dengan
penambahan flavor jasmine tea berjumlah 53 komponen. Jumlah ini lebih banyak dari bekatul dengan perlakuan dicampurkan padahal bahan baku dari bekatul ini sama yaitu bahan baku bekatul dengan perlakuan dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh. Komponen volatil yang terdapat pada bekatul berflavor ini berbeda dengan komponen volatil bekatul lainnya. Perbedaan ini diduga adanya senyawa dari penyusun flavor jasmine tea misalnya senyawa 3metyl-2-[(2z)-2-pentenyl]-2-cyc Jasmone. Selain itu, komponen volatil lain yang diduga dari bahan tambahan minuman misalnya dari sukralosa dan garam. Komponen-komponen
volatil
yang
berhasil
diideteksi
dari
ketiga
perlakuan bekatul ini merupakan komponen volatil yang memiliki peranan penting sebagai pemberi aroma pada bekatul dan minuman bubuk bekatul, namun tidak semua komponen volatil yang berhasil dideteksi dengan menggunakan GC-MS ini berkontribusi terhadap aroma/flavor bekatul. Menurut Hartomo & Purba
88
(1986), banyak komponen volatil dalam produk pangan dengan konsentrasi mulai dari parts-per-million (ppm) sampai sekitar 100 ppm, dalam kondisi tunggal konsentrasinya mulai dari parts per billion (ppb) sampai parts per trillion (ppt), akan tetapi sebagian besar dari komponen volatil ini tidak memberikan kontribusi terhadap aroma. Profil kromatogram pada bekatul dengan perlakuaan tidak dicampurkan dan bekatul dengan perlakuan dicampurkan yang terlihat hampir sama menunjukkan bahwa komposisi komponen volatil pada bekatul dengan perlakuaan tidak dicampurkan lebih mendekati komposisi komponen volatil pada bekatul dengan perlakuaan dicampurkan, Namun sedikit berbeda dengan bekatul pada bekatul terpilih dengan ditambahkan flavor. Berikut merupakan 10 komponen yang ada pada masing-masing perlakuan bekatul. Tabel 5 Komponen volatil pada bubuk bekatul dengan berbagai perlakuan No
tidak dicampurkan
Dicampurkan
Bekatul terpilih dengan flavor
1 2 3 4 5
propanic acid formic acid acetic acid 1-butanol acetic acid
propanic acid formic acid 1-butanol acetic acid octanoic acid
6 7 8
octanoic acid 2-pentadecanone 9-octadecenoic acid hexadecanoic acidmetyl ester hexadecanoic acidetyl ester
7-pentadecanone caprolactam 9-octadecenoic acid hexadecanoic acid-metyl ester
propanic acid formic acid acetic acid 1.6-octadien-3-ol acetic acid 3-metyl-2-[(2z)-2-pentenyl]-2cyc 2-pentadecanone Eugenol
9 10
2h-azepin-2-one
tetracosanoic acid
benzoic acid
Komponen-komponen volatil utama yang berhasil dideteksi dari ketiga perlakuan bubuk bekatul terdiri dari kelompok asam lemak dan metil. Pada table diatas merupakan 10 komponen yang ada pada tiga perlakuan bekatul. Bekatul dengan perlakuan tidak dicampurkan memiliki komponen volatil diantaranya propanic
acid,
pentadecanone,
formic
acid,
1-butanol,
9-octadecanoik
acid,
acetic
acid,
hexadecanoic
octanoic
acid,
acid-metyl
2-
ester,
hexadecanoic acid-etyl ester. Komponen volatil bekatul dengan perlakuan tidak dicampurkan hampir sama dengan komponen volatil bekatul dicampurkan, namun berbeda pada komponen volatil bekatul terpilih dengan flavor. Perbedaan terlihat pada komponen yang ada pada bekatul terpilih dengan flavor yaitu eugenol, benzoic acid, 2h-azepin-2-one.
89
Karakteristik Organoleptik Bahan Baku Bubuk Bekatul Awet Uji organoleptik yang akan dilaksanakan meliputi uji mutu hedonik dan uji hedonik atau kesukaan. Tujuan dari uji organoleptik adalah untuk mengetahui karakteristik mutu bahan baku bubuk bekatul awet menurut persepsi panelis (uji mutu hedonik) dan mengetahui tingkat kesukaan dan penerimaan panelis terhadap produk yang diujikan (uji hedonik). Dari dua perlakuan bahan baku bubuk bekatul awet akan diuji mutu hedonik dan uji hedonik. Formulasi untuk uji organoleptik ini yaitu sukralosa 0.067 g/15 g bubuk bekatul, garam 0.2 g/15 g bubuk bekatul. Dan flavor coklat sebesar 0.60 g/15 g bubuk bekatul. Konsentrasi sukralosa, garam, dan flavor untuk dua perlakuan dianggap sama, pembedanya hanya bahan baku bubuk bekatul yang tidak dicampurkan dengan yang dicampurkan. Selanjutnya formula diseduh dengan air panas sebanyak 200 ml/15 g bubuk bekatul. Uji organoleptik dilaksanakan dengan melibatkan 30 orang panelis semi terlatih. Sementara itu skala garis yang digunakan adalah 1 sampai 5. Uji Hedonik Uji hedonik merupakan bagian dari uji organoleptik. Uji hedonik burtujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap berbagai atribut dari produk yang disajikan. Uji hedonik ini juga berguna untuk mengetahui seberapa besar penerimaan panelis terhadap produk. Atribut yang digunakan yaitu rasa, arom, bau/odor dan warna. Berdasarkan uji k-Independent Test atribut hedonik rasa, aroma, bau/odor, dan warna, minuman bekatul yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh dan minuman bekatul yang dicampurkan bahan yang lolos 20 mesh tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 % (p>0.05) (Gambar 17). Rata-rata penerimaan dari masing-masing atribut hedonik yaitu pada penerimaan biasa. Hal ini diduga karena kedua bahan bekatul dari dua perlakuan persiapan yang berbeda tersebut memberikan hasil yang relatif seragam. Berikut merupakan grafik rata-rata hasil uji hedonik bahan baku bubuk bekatul awet.
90
Gambar 17 Hasil uji hedonik bahan baku bubuk bekatul awet Keterangan: 1 = tidak suka, 2 – agak tidak suka, 3 = basa, 4 = agak suka, 5 = suka tidak atau dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh
Dari grafik di atas dapat dilihat pada perlakuan tidak dicampurkan penerimaan dari segi rasa, aroma, bau/odor, dan warna ada pada rentang ratarata 2.81-3.33. Nilai ini berada pada skala biasa. Begitu juga dengan perlakuan dicampurkan berada pada skala biasa yaitu 2.56-3.11. Uji Mutu Hedonik Uji mutu hedonik yang dilakukan meliputi atribut rasa, aroma, bau/odor, dan warna. Uji mutu hedonik dikenakan pada bubuk bekatul yang sudah diseduh dengan air panas sebanya 200 ml/15 g bubuk bekatul.. Nilai skala yang digunakan adalah 1 sampai 5 yang akan diinterpretasikan menjadi mutu produk yang telah diklasifikasikan terlebih dahulu. Nilai rata-rata dari mutu hedonik setiap atribut untuk setiap formula dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambarn 18 Hasil uji mutu hedonik bahan baku bubuk bekatul awet Keterangan : Tidak atau dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh
91
Keterangan skala mutu hedonik : Bau/Odor 1. Apek 2. Agak apek 3. Sedang 4. Agak harum 5. Harum
Rasa 1.Tidak enak 2.Agak tidak enak 3. sedang 4. Agak enak 5. Enak
Warna 1. Coklat tua 2. Coklat muda 3. Putih pucat/putihgading 4. Kuning muda 5. Kuning keemasan
Aroma 1. Off flavor (menyimpang) 2. Agak menyimpang 3. Tidak ada bau 4. Agak harum/agak wangi 5. Harum /wangi
Kekentalan 1. Encer 2. Agak encer 3. Sedang 4. Agak kental 5. kental
Berdasarkan uji k-Independent Test Atribut mutu hedonik rasa, aroma, dan bau/odor, minuman bekatul yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh dan minuman bekatul yang dicampurkan bahan yang lolos 20 mesh tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 % (p>0.05), sedangkan mutu hedonik warna minuman minuman bekatul yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh dan minuman bekatul yang dicampurkan bahan yang lolos 20 mesh berbeda secara nyata (p<0.05) (Gambar 18). Warna minuman bekatul dari bahan yang tidak lolos 20 mesh berwarna coklat tua, sedangkan warna minuman bekatul yang dicampurkan bahan yang lolos 20 mesh berwarna coklat muda. Perbedaan ini diduga karena adanya campuran bahan yang lolos dan tidak lolos 20 mesh. Rasa, aroma, dan bau/odor berada pada rentang skala biasa yaitu 2.73-3.31. Berdasarkan hasil berbagai analisis di atas maka bahan baku bekatul yang digunakan untuk penelitian selanjutnya yaitu bahan baku bekatul awet yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh. Hal ini dikarenakan dari segi penerimaan (hedonik) dan mutu hedonik kedua perlakuan tidak berbeda nyata. Selain itu, kadar proksimat, mineral seng, vitamin E dan kadar oryzanol bahan baku bubuk bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan bahan baku yang dicampurkan kembali bahan yang lolos ayakan 20 mesh. Namun untuk kadar serat pangan, mineral Ca dan Fe, persen antioksidan dan AEAC-nya, bahan baku bekatul awet yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh lebih tinggi secara nyata (p<0.05) dibandingkan bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan yang tidak lolos ayakan 20 mesh.
92
Penelitian Tahap II Pembuatan minuman fungsional bubuk bekatul Proses pembuatan minuman funsional bubuk bekatul dengan berbagai flavor dilakukan dengan menggunakan metode Farizal (2010) dengan modifikasi. Semua bahan-bahan yang terdiri dari bubuk bekatul awet, pemanis rendah kalori, flavor, garam dicampurkan dengan metode whait mixing. Proses pencampuran semua bahan ini dilakukan agar semua bahan tercampur secara merata, sehingga pada saat pembuatan produk minuman ini, semua bahan harus mempunyai ukuran partikel yang seragam. Keseragaman ukuran partikel akan memudahkan pada saat pencampuran sehingga hasilnya akan merata. Bubuk bekatul yang digunakan pada pembutan minuman fungsional ini yaitu bubuk bekatul hasil perlakuan dicampurkan, karena sifat funsional seperti kandungan antioksidan lebih tinggi dari perlakuan tidak dicampurkan. Pemanis yang digunakan pada penelitian ini yaitu sukralosa. Menurut BPOM 2004, sukralosa merupakan pemanis yang aman dikonsumsi oleh segala usia, karena sukralosa tidak dapat dicerna oleh tubuh namun langsung dikeluarkan bersama feses. Keuntungan lain dari sukralosa adalah sifatnya yang tahan panas dan tidak mengandung kalori atau energi, sehingga aman untuk dikonsumsi oleh kalangan yang mempunyai penyakit gula. Sesuai dengan tujuan awal bahwa pengembangan minuman fungsional ini untuk pencegahan penyakit tidak menular. Salah satu penyakit tidak menular yaitu diabetes mellitus atau penyakit gula. Dengan demikian penggunaan sukralosa ini sangatlah aman untuk dikonsumsi, baik oleh penderita diabetes maupun orang yang mencegah diet rendah kalori. Konsentrasi penggunaan sukralosa dan garam sesuai dengan yang dilakukan oleh Farizal 2010 yaitu 0.067 g/200 ml air untuk sukralosa dan 0.2 g/200 ml air untuk garam. Penggunaan garam ditujukan untuk memperkuat rasa manis. Bubuk bekatul yang digunakan setiap serving size yaitu 15 gram. Hal ini sesuai dengan penelitian Damayanthi 2004, bahwa konsumsi bekatul dua kali sehari dengan satu kali minum sebanyak 15 gram dapat menurunkan ukuran leci kista pada wanita kanker payudara. Dengan demikian setiap serving size produk minuman funsional bubuk bekatul ini terdiri dari 15 gram bubuk bekatul, 0.067 gram sukralosa, dan 0.2 gram garam meja. Formula ini sebagai variabel terikat, sedangkan variabel bebas dalam penelitian ini yaitu konsentrasi penambahan flavor.
93
Flavor yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 5 jenis flavor. Kelima jenis flavor itu antara lain flavor anggur merah, coklat, vanilla, sirsak, dan jasmine tea. Flavor yang digunakan merupakan flavor sintetik atau flavor buatan. Konsentarsi flavor yang digunakan pada penelitia ini yaitu 0.1 %, 0.3 %, dan 0.5 % untuk masing-masing flavor. Konsentrasi flavor ini berdasarkan anjuran yang diberikan oleh pihak produsen pembuat flavor. Menurut BPOM 2004 batas penggunaan flavor sintetis yaitu 0.1-1 %. Konsentrasi dari air, sukralosa, bekatul, dan garam dianggap sama untuk semua formula. Karakteristik organoleptik minuman fungsional bubuk bekatul Uji organoleptik atau pengujian secara sensory evaluation merupakan pengujian suatu produk makanan berdasarkan indera penglihatan, indera pencium, indera perasa, dan mungkin indera pendengar (Setyaningsih et al. 2010). Pengujian sifat organoleptik digunakan untuk menentukan formula terbaik, mengetahui daya terima dan kesukaan panelis. Untuk menentukan penerimaan panelis dan karakteristik terhadap minuman bekatul maka dilakukan uji hedonik dan mutu hedonik. Dalam uji hedonik ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaan terhadap sampale minuman bekatul. Untuk uji mutu hedonik, panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya terhadap atribut mutu yang sudah ditetapkan. Uji Hedonik Uji hedonik merupakan uji kesukaan atau merupakan salah satu jenis uji penerimaan. Dalam uji ini panelis diminta untuk mengungkapkan tanggapan pribadinya terhadap minuman bekatul dengan berbagai flavor dan tingkat konsentrasi yang berbeda. Skala yang digunkan yaitu 1 sampai 5 dimulai dari tidak suka sampai suka. Atribut yang digunakan dalam uji hedonik ini yaitu rasa, bau/odor, aroma flavor dan aroma keseluruhan. Untuk mengeahui total penerimaan dilakukan pembobotan dari masingmasing atribut hedonik yaitu untuk rasa sebesar 30%, bau sebesar 20%, aroma flavor sebesar 30%, dan aroma kesuluruhan sebesar 20%. Hal ini berdasarkan pendugaan bahwa konsentrasi flavor akan berpengaruh besar terhadap rasa dan aroma flavor itu sendiri. Rasa merupakan tanggapan cicip dan bau sehingga lebih menggambarkan penilaian kesukaan panelis. Menurut Winarno (2002) rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan interaksi dengan komponen rasa yang lain. Rasa dalam minuman bekatul
94
merupakan kombinasi pencampuran antara bubuk bekatul siapa seduh dengan flavor itu sendiri. Untuk aroma flavor menggambarkan kesesuaian aroma flavor yang bisa diterima oleh panelis. Menurut Ostendrof (1978) dalam Farizal (2010) Flavor itu sendiri merupakan sensori yang diproduksi oleh bahan makanan yang ada dalam mulut, terutama dirasakan oleh indra prasa dan indra penciuman dan secara umum oleh berbagai reseptor yang terdapat di dalam mulut. Flavor juga didefinisikan sebagai komponen yang memiliki karakteristik yang dapat menghasilkan sifat sensori yaitu aroma dan rasa. Meskipun dalam jumlah kecil flavor sangat berarti atau berperan dalam produk minuman. Menurut Herzberg (1978) dalam Farizal (2010) sifat-sifat yang harus dimiliki oleh senyawa flavor buatan yang baik diantaranya harus larut dalam air, tidak meninggalkan after taste, tahan asam, murni (bebas dari bahan pengotor), tahan panas dan digunakan dalam jumlah yang tepat. Berdasarkan hasil pembobotan bahwa penerimaan (hedonik) paling tinggi untuk flavor coklat yaitu pada konsentrasi 0.1 %, vanilla pada konsentrasi 0.5 %, anggur merah pada konsentasi 0.5 %, dan sirsak pada konsentasi 0.3 % dengan masing-masing pada skala penerimaan biasa. Untuk falvor jasmine tea pada konsentrasi 0.3 % dengan skala penerimaan agak suka (Tabel 6). Tabel 6 Hasil uji hedonik minuman bekatul dengan berbagai flavor Jenis flavor
Konsentras i flavor (%) 0.1
Coklat
Vanilla
Anggur merah
Sirsak
2.91a a
2.3
0.5
2.21
0.3 0.5
Jasmin tea
Rasa
0.3 0.1
a b
3.27
a
2.73
a
2.42a
2.73a
2.64
2.33
a
a
2.58
2.42a
2.42
2.52
a
2.55
a
2.58
a
2.45
3.3
a
a
3.45a
3.27
3.0
a
a
3.09
a
2.95 3.35
3.12 3.03
3.85 3.45
a
3.09
a
3.67
b
3.67
a
3.48
a
3.48
2.15
a
2.09
a
2.39
a
2.61
a
2.76
2.48
a
3.06
2.42
a
2.48 3.45
0.5
3.21
a
2.39
a
2.06
a
0.5
2.58
0.1
2.7
a
0.3
2.79
0.5
2.48a
a
2.94
0.1
0.3
Aroma keseluruha n
a
0.3 0.1
Aroma falvor
Bau (Odor)
a a
2.24
a
Penerimaan Total
3.61
a
a
3.09
a
2.98
a
3.82
b
3.63
a
3.64
a
3.43
2.58
a
2.45
2.24
a
2.17 2.62 2.72
3.27
a
2.64
a
2.27
b
2.73
a
a
2.82
a
a
3.0
2.76
a
2.48
a
2.58
a
2.85 2.42
Keterangan: 1 = tidak suka, 2 – agak tidak suka, 3 = basa, 4 = agak suka, 5 = suka
95
Berdasarkan hasil pembobotan, presentase penerimaan untuk minuman bekatul dengan flavor coklat yang paling tinggi yaitu 2.64 berada pada skala penerimaan biasa, dengan konsentrasi flavor 0.1 %. Berdasarkan hasil uji friedman, bahwa atribut hedonik flavor coklat tidak berbeda nyata semua. Dengan demikian konsentrasi flavor coklat paling optimum yaitu 0.1 % dilihat dari segi penerimaannya. Untuk atribut hedonik dari flavor vanilla hanya bau yang berbeda nyata (p<0.05) berdasarkan uji statistic friedman. Perbedaan terlihat pada konsentrasi 0.5 % artinya yaitu semakin tinggi konsentrasi maka baunya akan semakin disukai. Hasil ini sesuai dengan hasil pembobotan, yaitu penerimaan total untuk flavor vanilla paling tinggi berada pada konsentrasi flavor vanilla 5 %. Dengan demikian konsentrasi flavor vanilla paling optimum berada pada konsentrasi 5 % dari segi penerimannya. Berdasarkan uji statistik friedman, untuk flavor jasmine tea rasa dan aroma keseluruhan berbeda nyata (p<0.05) yaitu perbedaan kedunya terlihat pada konsentasi 0.3 %. Berdasarkan total penerimaan, penerimaan paling tinggi yaitu pada konsentrasi 0.3 % yaitu pada rentang skala agak suka (3.63). Oleh karena itu, konsentrasi paling optimum untuk flavor jasmine tea yaitu pada konsentrasi 0.3 % berdasarkan penerimaan panelis. Berdasarkan uji statistik friedman untuk flavor anggur merah hanya aroma flavor yang berbeda nyata (p<0.05). Perbedaan terlihat pada konsentrasi 0.5 %, artinya semakin tinggi konsentasi maka penerimaanya semakin disukai. Hal ini, sesuai dengan penerimaan totalnya yitu paling tinggi pada konsentrasi 0.5 %, dengan skala penerimaan ada pada rentang biasa (2.62). Oleh karena itu konsentrasi paling optimum untuk falvor anggur merah yaitu pada konsentrasi 5 %. Berdasarkan uji statistik friedman untuk flavor sirsak semua atribut hedonik tidak berbeda nyata, namun untuk penerimaan total yang paling tinggi tingkat kesukaannya adalah pada pada konsentasi 0.3 % yaitu pada rentang skala biasa (2.85). Dengan demikian, konsentrasi paling optimum untuk flavor sirsak yaitu 0.3 %.
96
Uji Mutu hedonik Uji mutu hedonik yang digunakan meliputi atribut rasa, bau/odor, aroma flavor, dan aroma keseluruhan. Uji mutu hedonik dilakukan seperti uji hedonik yaitu pada produk minuman yang sudah diseduh dengan air panas, sesuai dengan formula masing-masing. Skala yang digunakan untuk uji mutu hedonik yaitu menggunakan skala 1 sampai dengan 5. Atribut rasa mengunakan skala 1 = apek, 2 = agak apek, 3 = sedang, 4 = agak harum, dan 5 = harum. Untuk atribut rasa menggunakan skala 1 = tidak enak, 2 = agak tidak enak, 3 = sedang, 4 = agak enak, dan 5 = enak. Untuk atribut aroma flavor skala yang digunakan yaitu 1 = lemak, 2 = agak lemak, 3= sedang, 4 = agak kuat, dan 5 = kuat. Untuk atribut aroma keseluruhan, skala yang digunakan yaitu 1 = off flavor (menyimpang), 2 = agak menyimpang, 3 = tidak ada bau, 4 = agak harum/agak wangi, dan 5 = harum/wangi. Nilai rata-rata setiap atribut mutu hedonik dapat dilihat pada Tabel 7 berikut. Tabel 7 Hasil uji mutu hedonik minuman bubuk bekatul berbagai flavor Jenis Flavor Coklat
Vanilla jasmin tea anggur merah Sirsak
Konsentrasi flavor (%) 0.1 0.3 0.5 0.1 0.3 0.5 0.1 0.3 0.5 0.1 0.3 0.5 0.1 0.3 0.5
Bau 2.82a 2.24a 2.48a 3.76a 3.15a 4.09b 3.36a 4.30b 4.21b 2.27a 1.94a 2.33a 2.55a 2.64a 2.30a
Rasa 2.64a 2.21a 2.27a 3.36b 2.55a 2.91a 2.52a 2.97a 2.97a 2.18a 2.12a 2.67a 2.61a 2.67a 2.30a
Aroma flavor 2.21a 2.64a 2.55a 2.70a 3.27b 3.30b 3.06a 3.88b 3.91b 2.55a 2.52a 3.03b 2.58a 2.94a 2.42a
Aroma keseluruhan 3.09a 2.94a 3.03a 3.61a 3.30a 3.85a 3.36a 3.91a 3.94a 2.91a 2.55a 2.97a 2.91a 3.21b 2.33a
Flavor coklat yang paling tinggi untuk atribut bau/odor yaitu pada konsentrasi 0.1 % pada skala sedang (2.82). Untuk atribut Rasa, paling tinggi pada konsentrasi 0.1 % dengan skala sedang. Atribut aroma flavor paling tinggi yaitu pada konsentrasi 0.3 % ada pada skala sedang (2.64). Untuk atribut aroma keseluruhan paling tinggi pada konsentrasi 0.1 % yaitu pada skala 3.09 (tidak ada bau). Berdasarkan hasil uji statistik friedman atribut mutu hedonik dari flavor coklat tidak berbeda nyata (p>0.05) baik atribut rasa, bau/odor, aroma flavor, dan
97
aroma keseluruhan, namun untuk konsentrasi flavor yang paling baik yaitu pada konsentrasi 0.1 %. Flavor vanilla yang paling tinggi untuk atribut bau/odor pada konsentrasi 0.5 % dengan skala agak harum (4.09). Untuk atribut rasa yang paling tinggin pada konsentrasi 0.1 % dengan skala sedang. Aroma flavor paling tinggi pada konsentrasi 0.5 % dengan skala sedang. Untuk aroma keseluruhan paling tinggi pada konsentrasi 0.5 % dengan skala agak harum/agak wangi. Berdasarkan hasil uji statistik friedman atribut mutu hedonik dari flavor vanilla berbeda secara nyata (p<0.05) untuk atribut rasa, bau/odor, dan aroma flavor. Perbedaan terlihat pada konsentrasi 0.5 % untuk atribut bau/odor dan aroma flavor, sedangkan untuk atribut rasa perbedaan terlihat pada konsentrasi 0.1 %. Untuk atribut aroma keseluruhan, hasil uji statistik friedman tdiak berbeda nyata (p>0.05) baik pada konsentrasi 0.1, 0.3, dan 0.5 %. Dengan demikian konsentrasi flavor vanilla paling baik yaitu pada konsentrasi 0.5 %. Flavor jasmine tea yang paling tinggi untuk atribut bau yaitu pada konsentrasi 0.3 % dengan skala agak harum (4.30). Untuk atribut rasa yang paling tinggi pada konsentrasi 0.3 dan 0.5 % dengan skala sedang (2.97). untuk atribut aroma flavor paling tinggi pada konsentrasi 0.5 % dengan skala agak kuat (3.91). Untuk atribut aroma keseluruhan paling tinggi pada konsentrasi 0.5 % dengan skala agak harum/ agak wangi (3.94). Berdasarkan hasil uji statistik friedman atribut mutu hedonik dari flavor jasmine tea berbeda secara nyata (p<0.05) untuk atribut bau/odor dan aroma flavor. Perbedaan terlihat pada konsentrasi 0.5 %. Untuk atribut rasa dan aroma keseluruhan tidak berbeda secara nyata baik pada konsentrasi 0.1, 0.3, dan 0.5 %. Dengan demikian konsentrasi dari flavor jasmine tea yang paling baik yaitu 0.3 %. Flavor anggur merah yang paling tinggi untuk atribut bau yaitu pada konsentrasi 0.5 % denga skala 2.33 (agak apek). Untuk atribut rasa paling tinggi pada konsentrasi 0.5 % dengan skala 2.67 (sedang). Untuk atribut aroma flavor paling tinggi pada konsentrasi 0.5 % dengan skala 3.03 (sedang). Untuk atribut aroma keseluruhan paling tinggi pada konsentrasi 0.5 % dengan skala 2.97 (sedang). Berdasarkan hasil uji statistik friedman atribut mutu hedonik dari flavor anggur merah tidak berbeda nyata (p>0.05) untuk atribut rasa, bau/odor, dan aroma keseluruhan. Sedangkan untuk atribut aroma flavor berbeda secara nyata (p<0.05). Perbedaan terlihat pada konsentrasi 0.5 %. Dengan demikian konsentrasi dari flavor anggur merah yang paling baik yaitu 0.5 %.
98
Flavor sirsak yang palinggi tinggi untuk atribut bau/odor yaitu pada konsentrasi 0.3 % dengan skala 2.64 (sedang). Untuk atribut rasa paling tinggi pada konsentrasi 0.3 % dengan skala 2.67 (seang). Untuk atribut aroma flavor paling tinggi pada konsentrasi 0.3 % dengan skala 2.94 (sedang). Untuk atribut aroma keseluruhan paling tinggi pada konsentrasi 0.3 % dengan skala 3.21 (tidak ada bau). Berdasarkan hasil uji statistik friedman atribut mutu hedonik dari flavor vanilla berbeda secara nyata (p<0.05) untuk aroma keseluruhan. Perbedaan terlihat pada konsentrasi 0.3 %. Untuk atribut bau/odor, rasa dan aroma flavor tidak berbeda secara nyata (p>0.05) baik pada konsentrasi 0.1, 0.3, dan 0.5 %. Dengan demikian konsentrasi dari flavor sirsak yang paling optimum yaitu 0.3 %. Hal ini dilihat dari skor rata-rata paling tinggi dari masing-masing atribut. Dengan demikian, konsentrasi sirsak yang terpilih yaitu 0.3 %. Informasi Nilai Gizi dan Klaim Kandungan Zat Gizi Bubuk Bekatul Padi Instan Rasa Jasmine Tea Meskipun energi bukanlah zat gizi, namun berbicara energi tidak terlepas dari karbohidrat, lemak, dan protein. Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan energi jangka panjang (IOM 2002 dalam Hardinsyah dan Tambunan 2004). Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, protein dan karbohidrat. Sumbangan energi dari lemak yaitu 1 gram lemak akan menghasilkan 9 Kal, sedangkan sumbangan energi dari karbohidrat sebesar 4 Kal/gram. Untuk sumbangan energi dari protein yaitu 1 gram protein menyumbang 4 Kal. Lemak merupakan sumber energi terbesar dibandingkan protein dan karbohidrat (Almatsier 2006). Kontribusi energi dan zat gizi lainya akan di muat pada kemsan dari produk pangan tersebut yang dinamakan label pangan. Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang di sertakan pada pangan, dimasukan kedalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan (BPOM 2011). Salah satu informasi yang harus ada pada label pangan adalah informasi nilai gizi. Informasi nilai gizi (nutrition facts) wajib dicantumkan jika label pangan mencantumkan sejumlah keterangan tertentu. Informasi yang wajib dicantumkan dalam nutrition facts adalah takaran saji,
99
jumlah sajian per kemasan, dan zat gizi (persentase AKG) yang terdiri dari energi total, lemak total, protein, karbohidrat total, dan natrium. Minuman bubuk bekatul siap seduh dengan berbagai flavor, memiliki kontribusi energi dan zat gizi terhadap Angka Kecukupan Gizi (AKG). Persentase AKG berdasarkan kebutuhan energi 2000 Kal. Menurut Damayanthi (2003) dianjurkan minum bekatul adalah dua kali sehari. Setiap kali minum kurang lebih 15 gram bekatul dalam segelas atau satu serving size untuk minuman bekatul siap seduh sebesar 15 gram, sehingga total konsumsi sehari sebesar 30 gram. Nutrition facts minuman instan bubuk bekatul padi berflavor dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8 Informasi nilai gizi untuk satu serving size (15 gram) minuman instan bubuk bekatul padi rasa jasmin tea INFORMASI NILAI GIZI Takaran saji : 15 gram Jumlah sajian perkemasan : 1
JULAH PERSAJIAN Energi Total 64.5 kkal Karbohidrat total 8.8 g Protein 2.15 g Lemak total 2.3 g ** Natrium Kalsium 1.3 mg Zat Besi 4.9 mg Seng 1.1 mg Vitamin E 0.5745 mg Oryzanol 43.35 mg Serat pangan 6.3 g *Persen AKG berdasarkan kebutuhan energi 2000 kkal. Kebutuhan energi anda mungkin lebih tinggi atu lebih rendah
% AKG* 2.93 3.58 3.71 0.16 18.85 9.17 3.83 25.20
Keterangan : ** Tidak dilakukan analisis
Berdasarkan tabel di atas, minuman instan bubuk bekatul padi berflavor setiap serving size yaitu 15 gram mengandung 64.5 kkal energi, 8.8 g karbohidrat total, 2.15 g protein, 2.3 g lemak total, 1.3 mg kalsium, 4.9 mg zat besi, 1.1 mg seng, 0.5745 mg vitamin E, 43.35 mg oryzanol, dan 6.3 g serat pangan. Kontribusi zat gizi minuman instan bubuk bekatul padi berflavor berdasarkan AKG kebutuhan energi 2000 kkal untuk satu serving size yaitu untuk energi 3.23 %, karbohidrat 2.93 %, protein 3.58 %, lemak 3.71 %, kalsium 0.16 %, besi 18.85 %, seng 9.17 %, vitamin E 3.83 %, dan serat pangan 25.20 % (Tabel 8). Kontribusi energi berasal dari lemak, protein dan karbohidrat. Kontribusi mineral Ca, Fe dan Zn sangat dipengaruhi oleh nilai biologis dari mineral itu sendiri. Nilai
100
bilogis dari Fe sangat rendah pada bahan pangan nabati karena pada bahan pangan nabati banyak faktor penghambat misalkan zat fitat. Klaim adalah segala bentuk uraian yang menyatakan, menyarankan atau secara tidak langsung menyatakan perihal karakteristik tertentu suatu pangan yang berkenaan dengan asal usul, kandungan gizi, sifat, produksi, pengolahan, komposisi atau faktor mutu lainnya. Klaim gizi yang dapat dicantumkan pada label pangan adalah klaim yang menggambarkan kandungan zat gizi dalam pangan. Menurut aturan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) No.HK.03.1.23.11.11.09909 tahun 2011 mengenai klaim kandungan zat gizi menyatakan bahwa produk pangan dapat diklaim sebagai produk pangan sumber protein dan mineral dengan syarat masing-masing dapat memenuhi 20 % ALG (Acuan Lebel Gizi) dan 15 % ALG per 100 gram dalam bentuk padat. Produk pangan dapat diklaim sebagai pangan tinggi serat apabila dapat memenuhi 6 gram per 100 gram. Acuan Lebel Gizi (ALG) merupakan acuan untuk pencantuman keterangan tentang pencantuman zat gizi pada label produk pangan berdasarkan keputusan BPOM No.HK.00,05.52.6291 tahun 2007 mengenai acuan lebel gizi produk pangan, nilai ALG untuk kelompok umum untuk orang Indonesia yaitu energi sebesar 2000 Kal, protein sebesar 60 gram, lemak total sebesar 62 gram, karbohidrat total sebesar 300 gram, serat pangan sebesar 25 gram, vitamin E sebesar 15 mg, kalsium sebesar 800 mg, besi sebesar 26 mg, dan seng sebesar 12 mg. Berikut ini ditampilkan kandungan mineral besi dan seng, vitamin E, dan serat pangan pada minuman bekatul instan berflavor serta persentasenya terhadap ALG kelompok umum Tabel 9 Kandungan zat gizi minuman instan bubuk bekatul padi rasa jasmine tea dan persentasenya (%) terhadap ALG kelompok umum Zat Gizi
Jumlah Zat Gizi/100 g
% ALG
Kategori
31.89 7.64 3.83 41.99
122.65 63.67 25.53 -
Tinggi Tinggi Sumber Tinggi
Zat Besi (mg) Seng (mg) Vitamin E (mg) Serat pangan (mg)
Berdasarkan tabel di atas,
produk minuman bubuk bekatul instan
berflavor dapat memberikan lebih dari 30 % ALG besi dan seng pada kelompok umum sehingga memenuhi klaim sebagai produk pangan yang tinggi zat besi dan seng. Produk minuman instan bekatul padi berflavor juga memberikan kontribusi vitamin E lebih dari 15 % ALG pada kelompok umum sehingga memenuhi klaim sebagai produk pangan sumber vitamin E. produk ini juga
101
memenuhi klaim sebagai produk pangan yang tinggi serat, Karena kandungan serat pada produk minuman instan bekatul padi berflavor lebih dari 6 gram/100 gram yaitu 41.99 gram/100 gram minuman instan bekatul padi berflavor.
102
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Bubuk bekatul yang digunakan merupakan bubuk bekatul yang masih segar atau bekatul hasil penggilingan saat itu. Proses selanjutnya mengawetkan bekatul dengan otoklaf dan oven. Kemudian bekatul yang awet dilakukan pengayakan, sehingga bekatul siap untuk diberi aneka flavor. Rata-rata rendemen pada proses perlakuan tidak dicampurkan dan dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh masing-masing yaitu 55±1.41 dan 77±2.12 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bekatul yang dicampurkan saat penggilingan dan pengayakan tidak berbeda nyata dengan yang tidak dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh, terhadap proksimat, kadar seng, bioavaibilitas mineral kalsium, besi dan seng, oryzanol, vitamin E, serta tingkat hedonik maupun mutu hedonik (p<0.05), kecuali warna mutu hedonik. Aktivitas antioksidan, kadar serat pangan, dan kadar mineral Ca dan Fe pada bekatul yang dicampurkan saat penggilingan dan pengayakan lebih tinggi secara nyata dibandingkan dengan bekatul yang tidak dicampurkan (p<0.05). Dari tiga sampel yaitu bahan baku dengan perlakuan tidak dicampurkan, bahan baku dengan perlakuan dicampurkan, dan bekatul terpilih dengan penambahan flavor terdapat komponen volatil masing-masing 27, 35, dan 53 komponen. Hasil penelitian tahap II, konsentasi berbagai flavor yang paling optimum dari aspek mutu hedonik dan hedonk yaitu untuk coklat 0.1 %, vanilla 0.5 %, jasmin tea dan sirsak 0.3 % , serta untuk anggur merah 0.5 %. Hasil ini sudah memenuhi aturan yang dikeluarkan oleh BPOM tentang bahan tambahan pangan. kontribusi energi dan zat gizi terhadap nilai ALG untuk satu serving size yaitu untuk energi 3.23 %, karbohidrat 2.93 %, protein 3.58 %, lemak 3.71 %, kalsium 0.16 %, besi 18.85 %, seng 9.17 %, vitamin E 3.83 %, dan serat pangan 25.20 %. Produk minuman instan bekatul padi berflavor memenuhi klaim sebagai produk yang tinggi serat pangan karena mengandung serat pangan pada produk minuman bekatul instan lebih dari 6 g/100 g yaitu 41.99 g/100 g. Produk minuman instan bekatul padi berflavor memenuhi klaim sebagai produk pangan tinggi zat besi dan seng karena dapat memberikan lebih dari 30 % ALG untuk
103
kelompok umum. Selain itu, produk minuman instan bubuk bekatul padi berflavor memenuhi klaim sebagai produk pangan sumber vitamin E karena dapat memberikan kontribusi lebih dari 15 % ALG. Saran Pengaruh penyimpanan dengan berbagai kemasan terhadap daya terima dan sifat fungsionalnya masih belum diketahui, sehingga dapat menjadi topik penelitian selanjutnya. Selain itu, peningkatan konsentrasi flavor yang di ikuti dengan pendidikan gizi atau edukasi gizi diharapkan bisa meningkatkan nilai organoleptik hedonik dan mutu hedonik, sehingga produk pangan diharapkan mampu bersaing dengan produk sejenis lainnya.
104
DAFTAR PUSTAKA Akoh CC dan DB Min. 2008. Food Lipids: Chemistry, Nutrition and Biotechnology. AS: CRC Press. Almatsier S. 2004. Penuntun Diet. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. [AOAC] Association of Official Analitytical Chemist. 2005. Official method 991.39. Di dalam Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor. Bogor: Laboratorium Terpadu IPB. Ardiansyah. 2004. Sehat dengan mengonsumsi bekatul. Suara Pembaruan 23 Agustus. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Kajian Keamanan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan. Jakarta: BPOM RI. ___________________________________. 2005. Ketentuan Pengawasan Pangan Fungsional. Jakarta: BPOM RI.
Pokok
____________________________________. 2007. Acuan Label Gizi Produk Pangan. Jakarta: BPOM RI. ____________________________________. 2011. Pengawasan Klaim dalam label dan Iklan pangan olahan. Jakarta: BPOM RI. Bender DA. 2002. Introduction to Nutrition and Metabolism. London: Taylor & Francis. Breslow JL. 2006. n-3 Fatty acids and cardiovascular disease. Am J Clin Nutr 83: 14 775-825. Buijsee B, Weikert C, Drogan D, Bergmann M, Boeing H. 2010. Chocolate consumption in relation to blood pressure and risk of cardiovascular disease in German adults. Eur Heart J dari European Society of Cardiology. CAC/GL 03-1989. 1989. Guidelines for Simple Evaluation of Food Additives Intake. Codex Alimentarius Commission. Charley H. 1982. Food Science. Di dalam Rachman. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Chen CW dan HH Cheng. 2007. A rice bran oil diet increase LDL-receptor and HMG-CoA reductase mRNA expression and insulin sensitivity in rats with streptozoyocin/nicotinamide-induced type 2 diabetes. J Nutr 136: 14721476. 59
105
Cho J et al. 2012. Quantitative analyses of individual -oryzanol (steryl ferulates) in conventional and organic brown rice (Oryza sativa L.). J. Cer Sci 55:337-343. Damayanthi E et al. 2003a. Aktivitas antioksidan minyak bekatul awet dan fraksinya secara in vitro. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, XV, 1. . 2003b. Pengaruh derajat sosoh terhadap kandungan gizi, serat pangan dan oryzanol bekatul padi (Oryza sativa) awet. Media Gizi dan Keluarga No. 19. Damayanti E, LT Tjian & L Arbianto. 2007. Rice Bran. Jakarta: Penebar Swadaya. Diack M dan M Saska. 1994. Separation of Vitamin E dan γ-oryzanol from rice bran by normal-phase chromotography. Di dalam: Damayanthi E. Bogor: Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Douglas Frederic. 2010. GC/MS Analysis. Scientific Testimony an Online Journal. http://www.scientific.org/tutorials/articles/gcms.html (3 Januari 2011). Fisher, M. 2007. Toward A Shared Understanding of Food Additives Permitted For Use in Foods. Food Additives Seminar Series Intense Sweeteners. Australia New Zealand Food Authority, Canberra. Flowerdew, D.W. 2001. Additives. EU Food Law – A Practical Guide. Edited by: K. Goodburn. Woodhead Publishing Limited, Cambridge England. FSANZ. 2003. Final Assessment Report 12/03 8 October 2003. Application A452. Aspartam-Acesulphame Salt. Food Standards Australia New Zealand. FSANZ. 2003. Initial Assessment Report 09/03 21 May 2003. Application A469 – To Amend Permissions for Saccharin and Cyclamates in Water Based Flavoured Drinks. Food Standards Australia New Zealand. Friedewald WT et al. 1972. LDL-cholesterol assessment. Clin Chem J 18:499. Furukawa S et al. 2004. Increased oxidative stress in obesity and its impact on metabolic syndrome. J. Clin Invest 114:1752-1761. Goldberg I. 1994. Introduction. Di dalam Damayanthi E. Bogor: Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Griffin WC. 1979. Emulsion. Di dalam Rachman. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Hadipernata, Mulyana. 2007. Mengolah dedak menjadi minyak (Rice Bran Oil). Dalam Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 29, No. 4, 2007, Bogor. pp 8-10. Hartomo AJ & Purba AV. 1986. Penyidikan Spektometrik Senyawa Organik. Erlangga: Jakarta.
106
Herman S. 1991. Pengaruh Gizi terhadap Penyakit Kardiovaskuler. Cermin Dunia Kedokteran. 73 : 12-16. Hidayat, Nur dan Sri Suhartini. 2007. Mikrobiologi Industri. Departemen Tek. Industri Pertanian FTP Univ. Brawijaya, Malang. Institute of Medicine. 2002. Dietary Reference Intakes for Energy, Carbohydrate, Fiber, Fat, Fatty Acids, Cholesterol, Protein, and Amino Acids (Macronutrients). Di dalam Mahan K dan Escott-Stump. Kanada: Elsevier. International Diabetes Federation. 2005. The IDF Consensus Worldwide Definition of The Metabolic Syndrome. Belgia: International Diabetes Federation. Jariwalla JR. 2002. Adds some rice-based products to your life. Di dalam: Damayanthi E. Bogor: Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Juliano BO. 1993. Rice in human nutrition. Di dalam Damayanthi E. Bogor: Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Kao C dan BS Luh. 1991. Rice Oil. Di dalam Luh BS, editor. Rice Utilization. Ed ke-2. 2:295-321. New York: Van Nostrand Reinhold. Kroger, M., K. Meister, and R. Kava. 2006. Low-calorie Sweeteners and Other Sugar Substitutes: A Review of Safety Issues. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety (CRFSFS) Vol.5. Institute of Food Technologists. Kubo I, Masuda N, Xiao P & Haraguchi H. 2002. Antioxidant Activity of Deodecyl Gallate. J. Agric. Food Chem, 50, 3533-3539. Kyung Mi Kim, Kwang Won Yu, Duk Ho Kang, Jong Ho Koh, Bum Shik Hong, dan Hyung Joo Suh. 2001. Anti-stress and anti-fatigue effects of fermented rice bran. Biosci. Biotechnol. Biochem. 65(10) : 2294-2296. Laidlaw M dan Holub BJ. 2003. Effects of supplementation with fish oil-derived n3 fatty acids and γ-linoleic acid on circulating plasma lipids and fatty acid profile in women. Am J Clin Nutr Vol 77 No 1: 37-42. Lameshow S, Hosmer Jr, J Klar, Lwanga SK. 1997. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 60 Linden, G. dan D. Lorient. 1999. New Ingredients in Food Processing – Biochemistry and Agriculture. Woodhead Publishing Limited, Cambridge England. Lipinski, G.R. 2002. Sweeteners. Food Chemical Safety Volume 2: Additives. Edited by: D.H. Watson. Woodhead Publishing Limited and CRC Press. Mahan K dan S Escott-Stump. 2008. Krause’s Food Nutrition and Therapy. Kanada: Elsevier.
107
McCance KL, SE Huether, VL Brashers, NS Rote. 2010. Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. Kanada: Mosby Elsevier. Most MM, Tulley R, Morales S, Lefevre M. 2005. Rice bran, not fiber, lowers cholesterol in humans. Am J Clin Nutr 81: 64-68. Muchtadi D, N.S. Palupi dan M. Astawan. 1993.Metabolisme Zat Gizi : Sumber, Fungsi, dan Kebutuhan bagi Manusia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Muhiddin, Nurhayani H, I Nyoman Aryantha, dan Nuryati Juli. 2001. Peningkatan Kandungan Protein Kulit Umbi Ubi Kayu Melalui Proses Fermentasi. JMS Vol. 6 No. 1, pp. (1 – 12). Mulato dan Suharyanto S. 2011. Kakao Cokelat dan Kesehatan. Jember: Balai Penelitian Kopi dan Cokelat. Piliang, W.G. dan S. Djojosoebagio Al Haj. 1990. Fisiologi Nutrisi Volume 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. DIKTI. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. IPB, Bogor. Prasetyo, E.A. 2005. Keasaman Minuman Ringan Menurunkan Kekerasan Permukaan Gigi. Majalah Kedokteran Gigi (Dental Journal) 38 (2): 60 – 63. Rachman PH. 2012. Pangan tinggi aktivitas antioksidan berbasis minyak bekatul padi berupa minuman emulsi coklat dan keju rendah lemak untuk pencegahan penyakit degeneratif [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Riken. 2002. Emulsifiers. http:www.rikenvitamin.jp/int/emulsifier/basic/property1. html [17 Mei 2012]. Rismana, E. dan I. Paryanto. 2002. Beberapa Bahan Pemanis Alternatif yang Aman. Kompas Cyber Media. http://www.kompas.com/kesehatan. Riset Kesehatan Dasar. 2007. Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional 2007. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. 2010. Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional 2010. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan RI. Roy, Heli dan Shanna Lundy. 2005. Rice bran. Pennington Nutrition Series 8, Louisiana. Rozan P et al. 2006. Preventive antioxidant effects of cocoa polyphenolic extract on free radical production and cognitive performances after heat exposure in Wistar rats. J. Food Sci. 72: S203 - S206. Santoso M dan Setiawan T. 2005. Penyakti jantung koroner. Artikel Cermin Dunia Kedokteran No. 147.
108
Sartika RAD. 2008. Pengaruh asam lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh dan asam lemak trans terhadap kesehatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat vol 2: 4. Selye H. 1950. The stress of life. McGraw Hill Books Co., New York. Sizer FS dan Whitney E. 2007. Nutrition: Concepts and Controversies. AS: Thomson Wadsworth. SNI 01-6993-2004. Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan – Persyaratan Penggunaan Dalam Produk Pangan. Badan Standardisasi Nasional. Penerapan Standar Penggunaan Pemanis Buatan (Indrie A, Qanitah, Surjana). Suhardjo. 1994. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara. Soekirman, Tarwotjo, t..Jus’at, I., Sumodiningrat,G. and Jalal, F. 1992. Economic growth, equity and nutritional improvement in Indonesia. Switzerland Administrative commite on co-ordination sub-commite on nutrition (ACC/SCN). World Health Organization (WHO). Thomsen C et al. 1999. Differential effects of saturated and monounsaturated fatty acid on postprandial lipemia and incretin responses in healthy subjects. Am J Clin Nutr 69: 1135-1143. UPMC. 2003. Artificial Sweeteners (Information for Patients). University of Pittsburgh MedicalCenter, PA, USA. Usmiati, S. dan S. Yuliani. 2004. Pemanis Alami dan Buatan untuk Kesehatan. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 10 (1): 13 – 17. Winarsi H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Kanisius, Yogyakarta. Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Whitney E dan SR Rolfes. 2005. Understanding Nutrition. AS: Thomson Wadswoth. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 61. Wiley J & Sons. 1990. Spectran and Chemical Characterization of Organic Compound. Chichester: New York. Wilkinson HC dan ET Champagne. 2004. Value-added rice products. Di dalam Rachman. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Williams DH & Fleming I. 1995. Spectroscopic Method In Organic Chemistry. McGRAW HILL: England.
109
Winarti C. dan N. Nurdjanah. 2005. Peluang Tanaman Rempah dan Obat sebagai Sumber Pangan Fungsional. Jurnal Litbang Pertanian 24 (2): 47 – 55. World Health Organization. 2011. Cardiovascular disease. http://www.who.int/ cardiovasculardiseases/priorities/en/ [15 Juli 2011]. World Health Organization Expert Consultation. 2004. Appropriate body-massindex for Asian population and its implications for policy and intervention strategies. Lancet 363: 157-163. World Health Organization. 2002. Bulletin of the World Health Organization 80 (2002): 952-958. World Health Organization. 2000. Classification of weight status according to BMI in Asian Adults. Di dalam Ministry of Health Malaysia. Malaysia: Ministry of Health Malaysia. World Health Organization. 1998. Obesity: Preventing and managing the global epidemic. Di dalam Ministry of Health Malaysia. Malaysia: Ministry of Health Malaysia. Xu Z, Hua dan Godber JS. 2001. Antioxidant activity of tocopherols, tocotrienol and gamma-oryzanol components from rice bran against cholesterol oxidation accelerated by 2,2-azobus dihydrochloride. J Agric Food Chem 49: 2077-2081. Xu Z dan JS Godberg. 1999. Purification and identification of components of γoryzanol in rice bran oil. J. Agric Food Chem. 47 (7): 2724-8.
110
Lampiran 1 Perhitunagn antioksidan dan vitamin C
Kode
Blanko A1.1 A1.2 B1.1 B1.2 A2.1 A2.2 B2.1 B2.2
Berat sampel (g)
Volume akhir I (ml)
Volume Analisis I (ml)
0.51 0.51 0.51 0.53 0.52 0.52 0.51 0.52
5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00
0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02
Aktivitas Antioksidan (%)
Kurva standar vitamin C
Absorbans
0.788 0.51 0.52 0.48 0.48 0.51 0.52 0.49 0.48
% aktivitas sampel
34.90 34.01 39.34 38.96 35.15 34.52 39.72 38.20
a
b
AEAC (mg vitamin C/100 g)
10.95 10.95 10.95 10.95 10.95 10.95 10.95 10.95
4.06 4.06 4.06 4.06 4.06 4.06 4.06 4.06
138.74 133.61 158.94 149.95 136.67 133.27 159.40 150.59
= (abs. blanko-abs.sampel) / abs. blanko x 100 =(0.788-0.51) / 0.788 x 100 =34.90
111
Lampiran 2 Formulir Uji Organoleptik
Nama Panelis : Tanggal Pengujian : Jenis kelamin : L / P Untuk Bahan Baku Bubuk Bekatul Awet Dihadapan saudara/i disajikan 4 sampel bahan minuman bekatul. Anda diminta untuk menilai sampel tersebut dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Tuliskan nilai (1-5) dari masing-masing sampel pada kolom yang menggambarkan persepsi saudara/i. 2. Silahkan untuk berkumur atau minum terlebih dahulu sebelum Anda menilai sampel berikutnya. 3. Mohon tidak membandingkan antar sampel saat Anda melakukan penilaian. Skala nilai : 1.
Tidak suka
2.
Agak tidak suka
3.
Biasa
4.
Agak suka
5.
Suka Hedonik Kode sampel Atribut 409
561
782
341
Warna Rasa Aroma (Flavor) Bau (Odor) Aroma/flavor: perpaduan antara indara dalam hidung denga tenggorokan(timbul pada saat di minum) Bau/Odor ; anada mencium tanpa meminum Komentar (wajib di isi) :…………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………
112
Lampiran 3 Formulir Uji Organoleptik Nama Panelis : Tanggal Pengujian : Jenis kelamin : L / P Untuk Bahan Baku Bubuk Bekatul Awet Dihadapan saudara/I disajikan 4 sampel bahan minuman bekatul. Anda diminta untuk menilai sampel tersebut dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Tuliskan nilai (1-5) dari masing-masing sampel pada kolom yang menggambarkan persepsi saudara/i. 2. Silahkan untuk berkumur atau minum terlebih dahulu sebelum Anda menilai sampel berikutnya. 3. Mohon tidak membandingkan antar sampel saat Anda melakukan penilaian. Skala penilaian : Bau/Odor
Rasa
6. Apek 7. Agak apek 8. Sedang 9. Agak harum 10. Harum
1.Tidak enak 2. Agak tidak enak 3. sedang 4. Agak enak 5. Enak
Warna
Kekentalan
6. Coklat tua 7. Coklat muda 8. Putih pucat/gading 9. Kuning muda 10. Kuning keemasan
1. 2. 3. 4. 5.
Encer Agak encer Sedang Agak kental Kental
Aroma / Flavor 6. Off flavor (menyimpang) 7. Agak menyimpang 8. Tidak ada bau 9. Agak harum/agak wangi 10. Harum /wangi
Mutu Hedonik Atribut
Kode sampel 409
561
782
341
Rasa Aroma/Flavor Bau/Odor Kkentalan Warna Apakah ada rasa After taste?……………………, Jika ada, gambarkan rasanya?.................... ……………………………………………………………………………………………… ……………. Setelah minum air putih, apakah rasa tersebut (After Taste) masih ada?................................ Komentar (wajib di isi): ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………
113
Lampiran 4 Formulir Uji Organoleptik Nama Panelis : Tanggal Pengujian : 30 Oktober 2012 Jenis kelamin : L / P Untuk Minuman Bekatul dengan Berbagai Flavor Dihadapan saudara/i disajikan 8 sampel minuman bekatul. Anda diminta untuk menilai sampel tersebut dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Tuliskan nilai (1-5) dari masing-masing sampel pada kolom yang menggambarkan persepsi saudara/i. 2. Silahkan untuk berkumur atau minum terlebih dahulu sebelum Anda menilai sampel berikutnya. 3. Mohon tidak membandingkan antar sampel saat Anda melakukan penilaian. Skala nilai : 1. 2. 3. 4. 5.
Tidak suka Agak tidak suka Biasa Agak suka Suka Hedonik Kode sampel
Atribut 912
674
819
574
751
493
391
197
Rasa Bau (odor) Aroma Flavor Aroma Keseluruhan Aroma/flavor : perpaduan antara indara dalam hidung denga tenggorokan(timbul pada saat di minum) Bau/Odor : Anda mencium tanpa meminum Komentar (wajib di isi) :…………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ………………………………………………….
114
Lampiran 5 Formulir Uji Organoleptik Nama Panelis : Tanggal Pengujian : 30 Oktober 2012 Jenis kelamin : L / P Untuk Minuman Bekatul dengan Berbagai Flavor Dihadapan saudara/I disajikan 8 sampel bahan minuman bekatul. Anda diminta untuk menilai sampel tersebut dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Tuliskan nilai (1-5) dari masing-masing sampel pada kolom yang menggambarkan persepsi saudara/i. 2. Silahkan untuk berkumur atau minum terlebih dahulu sebelum Anda menilai sampel berikutnya. 3. Mohon tidak membandingkan antar sampel saat Anda melakukan penilaian. Skala penilaian : Bau/Odor 11. Apek 12. Agak apek 13. Sedang 14. Agak harum 15. Harum
Rasa
Aroma Flavor
1.Tidak enak 2. Agak tidak enak 3. sedang 4. Agak enak 5. Enak
Aroma keseluruhan
11. Lemah 12. Agak lemah 13. Sedang 14. Agak kuat 15. kuat
11. Off flavor (menyimpang) 12. Agak menyimpang 13. Tidak ada bau 14. Agak harum/agak wangi 15. Harum /wangi
Mutu Hedonik Kode sampel Atribut 912
674
819
574
751
493
391
Bau/odor Rasa Aroma Flavor Aroma keseluruhan Apakah ada rasa After taste?……………………, Jika ada, gambarkan rasanya?.................... ……………………………………………………………………………………………… ……………. Setelah minum air putih, apakah rasa tersebut (After Taste) masih ada?................................ Komentar (wajib di isi): ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………
197
115
Lampiran 6 Perhitungan Kadar Air kode sampel A1.1 A1.2 B1.1 B1.2 A2.1 A2.2 B2.1 B2.2
C (g) W1 (g) W2 (g) (W2-C) %kadar air 5.3150 3.1300 8.2860 2.9710 5.0799 5.4970 3.0040 8.3390 2.8420 5.3928 5.8630 3.1560 8.8310 2.9680 5.9569 5.4880 3.0780 8.3860 2.8980 5.8480 5.6550 3.0220 8.5319 2.8769 4.8015 5.6630 3.0360 8.5512 2.8882 4.8682 5.7740 3.0800 8.6997 2.9257 5.0097 5.5750 3.0310 8.4603 2.8853 4.8070
Kadar Air (%) = (((W1-(W2-C))/W1) x 100 = (((3.1300-(8.2860-5.3150))/3.1300) X 100 = 5.0799 Lampiran 7 Perhitungan Kadar Lemak kode sampel A1.1 A1.2 B1.1 B1.2 A2.1 A2.2 B2.1 B2.2 Kadar Lemak (%)
BS (g) 3.0330 3.0510 3.0160 3.0180 3.0430 3.0080 3.1420 3.0110
BL (g) 56.3447 39.6084 53.7139 51.0860 39.3706 58.5264 56.3467 53.7138
% kadar BLL (g) lemak 56.7756 14.2071 40.0561 14.6739 54.1630 14.8906 51.5239 14.5096 39.8022 14.1834 58.9514 14.1290 56.7989 14.3921 54.1444 14.3009
= ((BLL-BL)/BS) x 100 = ((56.7756-56.3447)/3.0330) x 100 = 14.2071
Lampiran 8 Perhitungan Kadar Protein kode sampel A1.1 A1.2 B1.1 B1.2 A2.1 A2.2 B2.1 B2.2
% kadar BS vol.titrasi N protein 0.2090 2.5500 0.1283 13.6971 0.2530 2.9500 0.1283 13.0899 0.2350 2.9000 0.1283 13.8537 0.2310 2.7000 0.1283 13.1216 0.2077 2.4000 0.1283 12.9721 0.2138 2.5000 0.1283 13.1270 0.2311 2.8000 0.1283 13.6017 0.2307 2.7000 0.1283 13.1387
116
Kadar Protein (%)
= (Vol.titrasi x N x 0.014 x 6.26 x 100)/ BS = (2.5500 x 0.1283 x 0.014 x 6.25 x 100)/0.2090 = 13.6971
Lampiran 9 Perhitungan Kadar Abu kode sampel A1.1 A1.2 B1.1 B1.2 A2.1 A2.2 B2.1 B2.2
BC (g) BS (g) 22.5020 3.0940 17.4760 3.0140 15.9300 3.0170 23.7630 3.0710 19.5160 3.0942 26.5305 3.0346 22.1434 3.0858 18.2331 3.0698
BA (g) 22.8440 17.8070 16.2490 24.0800 19.8735 26.8817 22.5028 18.5901
% kadar abu 11.0537 10.9821 10.5734 10.3224 11.5539 11.5732 11.6469 11.6294
Kadar Abu (%) = (BA-BC)/BS x 100 = (22.8440-22.5020)/3.0940 x 100 = 11.0537 Lampiran 10 Perhitungan Kadar Karbohidrat Kadar (%) kode sampel A1.1 A1.2 B1.1 B1.2 A2.1 A2.2 B2.1 B2.2
Air 5.08 5.39 5.96 5.85 4.80 4.87 5.01 4.81
Lemak 14.21 14.67 14.89 14.51 14.18 14.13 14.39 14.30
Protein 13.70 13.09 13.85 13.12 12.97 13.13 13.60 13.14
Abu 11.05 10.98 10.57 10.32 11.55 11.57 11.65 11.63
Kadar Karbohidrat (%) = 100 – (Air + Lemak + Protein + Abu) = 100 – (5.08 + 14.21 + 13.70 + 11.05) = 55.96
Karbohidra t 55.96 55.86 54.73 56.20 56.49 56.30 55.35 56.12
117
Lampiran 11 Perhitungan Kadar Mineral Kalsium Kode sampe l A1.1 A1.2 B1.1 B1.2 A2.1 A2.2 B2.1 B2.2 Blanko
Berat sampel
Vol Aliqu ot
gram
mL
0.5332 0.5158 0.5085 0.5176 0.5034 0.5198 0.5122 0.5077 11.5
100 100 100 100 100 100 100 100
FP
a
b
Absorb ansi
Kadar Ca ppm
1 1 1 1 1 1 1 1
29.0 4
0.8 6
20.9 20.1 23.9 24 21 20.2 24.1 23.5
55.1533 51.6729 78.1481 77.4394 59.1022 51.9378 78.9281 75.5582
mg/10 0g 5.5153 5.1673 7.8148 7.7439 5.9102 5.1938 7.8928 7.5558
Kadar Ca (ppm) = ((((absorbansi - Blanko) - b)/a) x FP x Vol. Aliquot)/Berat sampel = ((((20.9 – 11.5) – 0.86)/29.04) x 1 x 100)/0.5332 = 55.1533 Kurva Standar Kalsium
118
Lampiran 12 Hasil uji k-independent test mutu hedonik bahan baku bubuk bekatul awet Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed)
rasa 2.023E3 4.103E3 -.123
Aroma 1.781E3 3.861E3 -1.354
bau 1.964E3 4.044E3 -.422
kekentalan 1918.000 3998.000 -.663
warna 1.410E3 3.490E3 -3.318
.902
.176
.673
.508
.001
Lampiran 13 Hasil uji k-independent test hedonik bahan baku bubuk bekatul awet Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed)
warna 1.842E3 3.922E3 -1.011 .312
rasa 1.828E3 3.908E3 -1.084 .278
aroma 1.754E3 3.834E3 -1.477 .140
bau 1.760E3 3.840E3 -1.428 .153
119
Lampiran 14 Perhitungan Kadar Serat Pangan Tabel 17 Hasil analisis kadar serat pangan Kode Sampel 1
Berat sampel
KS1
KS2
CW1
CW2
gram
gram
gram
gram
2
6
7
8
SMTL
KS3
KS4
CW3
CW4
SML
TSM
gram
%
gram
gram
gram
gram
%
%
9
10
11
12
13
14
15
16
A1.1 A1.2 B1.1 B1.2
1.0512 1.0538 1.0202 1.0245
1.1584 1.1388 1.1588 1.1567
1.4867 1.4764 1.479 1.4989
16.328 24.8718 25.0794 17.1949
16.3945 24.9499 25.1104 17.2318
24.5624 24.2835 27.9945 29.4485
2.2695 2.2867 2.2808 2.2875
2.455 2.4946 2.4303 2.4413
19.5158 19.8736 15.0109 18.2309
19.6213 19.9979 15.0724 18.3017
7.3154 7.6390 8.3219 7.7989
31.8779 31.9226 36.3164 37.2474
A2.1 A2.2 B2.1 B2.2
1.0278 1.0758 1.0653 1.0503
1.1486 1.1472 1.137 1.0554
1.5467 1.5582 1.5543 1.4559
19.4926 19.9088 21.1403 23.2987
19.6212 20.0361 21.1935 23.3412
25.8708 26.0364 33.8402 33.7427
2.2720 2.2937 2.2992 2.2871
2.446 2.4889 2.4586 2.3861
19.611 22.1413 26.5318 24.1329
19.7062 22.2508 26.5932 24.1358
7.3652 7.6780 8.9083 8.8546
33.2360 33.7144 42.7485 42.5974
Blanko
0.6954
0.7021
15.2121
15.2153
0.0035
0.6968
0.7011
16.9565
16.9581
0.0027
0.7236
0.7301
16.9415
16.9443
0.0037
0.7012
0.7066
18.1144
18.1163
0.0035
0.0036
Berat sampel segar = Berat sampel x (100 - KA. Sampel kering)/(100 - KA. Sampel basah) SMTL = ((((KS2-KS1)-(CW2-CW1))-Blanko)/Berat sampel segar)x100 SML = ((((KS4-KS3)-(CW4-CW3))-Blanko)/Berat sampel segar)x100 TSM = SMTL + SML
TSM = Total Serat Makanan KS1 & KS3 = Kertas Saring Kosong KS2 & KS4 = Kertas Saring + Residu CW1 & CW3 = Cawan Porselen Kosong
0.0031
120
SMTL = Serat Makanan Tak Larut SML = Serat Makanan Larut
SMTL (%) SML (%)
TSM (%)
CW2 & CW4 = Cawan Porselen + Abu
= ((((KS2 – KS1) - (CW2 – CW1)) – 0.0036)/Berat Sampel) x 100 = ((((1.4867 – 1.1584) – (16.3745 – 16.3280)) – 0.0036)/1.0512 x 100 = 24.5624 = ((((KS4 – KS3) - (CW4 – CW3)) – 0.0031)/Berat Sampel) x 100 = ((((2.455 – 2.2695) - (19.6213 – 19.5138)) – 0.0031)/1.0512) x 100 = 7.3154 = SMTL + SML = 24.5624 + 7.3154 = 31.87
121
Lampiran 15 Uji Independent t-test sifat kimia Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F air
lemak
protein
abu
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
karbohidrat Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig. 13.874
.119
.331
27.507
7.388
t
Sig. (2tailed)
df
6 1.165 4.192 1.165 .742 6 1.255 5.860 1.255 .586 6 1.002 5.816 1.002 .010
.002
.035
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Mean Std. Error Difference Difference Lower Upper
.288
-.37250
.31971
-1.15480
.40980
.306
-.37250
.31971
-1.24436
.49936
.256
-.29500
.23508
-.87022
.28022
.257
-.29500
.23508
-.87357
.28357
.355
-.27250
.27199
-.93805
.39305
.356
-.27250
.27199
-.94319
.39819
6
.567
.22250
.36702
-.67557
1.12057
.606 4.189
.576
.22250
.36702
-.77862
1.22362
.988
6
.361
.35500
.35946
-.52457
1.23457
.988 3.333
.390
.35500
.35946
-.72688
1.43688
.606
122
Levene's Test for Equality of Variances
F SMTL
Equal variances assumed Equal variances not assumed SML Equal variances assumed Equal variances not assumed TSM Equal variances assumed Equal variances not assumed kadar_Ca Equal variances assumed Equal variances not assumed kadar_Zn Equal variances assumed Equal variances not assumed kadar_Fe Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig. 30.939
3.340
87.336
2.438
.597
1.303
t
.001 -4.218
6
.006
-6.50500
1.54231
-10.27890
-2.73110
-4.218 3.519
.018
-6.50500
1.54231
-11.02791
-1.98209
6
.008
-1.05500
.27168
-1.71979
-.39021
-3.883 3.913
.019
-1.05500
.27168
-1.81595
-.29405
6
.005
-7.56500
1.74135
-11.82594
-3.30406
-4.344 3.431
.017
-7.56500
1.74135
-12.73329
-2.39671
.000
-2.46000
.19887
-2.94662
-1.97338
.000
-2.46000
.19887
-2.99439
-1.92561
6
.106
.51750
.27204
-.14816
1.18316
1.902 5.106
.114
.51750
.27204
-.17745
1.21245
6
.010
-1.86000
.50521
-3.09620
-.62380
-3.682 4.120
.020
-1.86000
.50521
-3.24669
-.47331
.117 -3.883
.000 -4.344
.169
.469
Sig. (2tailed)
df
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Mean Std. Error Difference Difference Lower Upper
6 12.370 4.366 12.370 1.902
.297 -3.682
123