PENGEMBANGAN MASYARAKAT PESISIR DI KAWASAN TAMBANG NIKEL POMALAA SULAWESI TENGGARA
HAMZAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Pengembangan Masyarakat Pesisir di Kawasan Tambang Nikel Pomalaa Sulawesi Tenggara adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2016
Hamzah NIM P062100231
ABSTRACT HAMZAH. Pengembangan Masyarakat Pesisir di Kawasan Tambang Nikel Pomalaa-Sulawesi Tenggara. Supervised by HEFNI EFFENDI, ETTY RIANI, SAHARUDDIN, NASTITI SISWI INDRASTI. Nickel demand worldwide continues to increase every year, encouraging mining companies to increase production which impact on the extent of land openings due to exploitation. This resulted in a further decline in the environmental quality of coastal waters in the district Pomalaa that directly affect people's lives mainly fishermen. This study aims: 1) to analyze the characteristics and the existing condition of the environment of coastal waters mining location nickel Pomalaa-Southeast Sulawesi, 2) to analyze the quality status of water, the amount of pollution load and assimilation capacity of coastal waters mining location nickel Pomalaa-Southeast Sulawesi, 3) analyze the level of management coastal waters nickel mining location Pomalaa-Southeast Sulawesi, 4) analyzing the potential and the leading sectors of fisheries and drives the main economy of the community, 5) Determining the aquaculture development strategy in accordance with the characteristics of the coastal environment Pomalaa-nickel mining sites in Southeast Sulawesi. The quality of coastal waters Pomalaa sebagain nickel mine already heavily polluted that some of the parameters of heavy metal pollution load has exceeded the capacity of assimilation. Due to the magnitude of the pressure on ecological conditions in coastal areas as a result of the exploitation of land mines, causing the dimensions of ecological, economic, social and technological less sustainable. By him the necessary efforts and strategies for the management of coastal areas can berkenjutan. As a community development effort in coastal areas nickel mine Pomalaa ecologically natural resources continue to experience pressure, strategic efforts are needed in order to be able to continue fishing life. The main approach taken is the development of the leading sectors in particular fisheries, aquaculture. The development strategy of coastal communities in the region are Pomalaa nickel mine pollution control, akases capital and resources, institutional strengthening, conflict resolution and revitalization checkdam Keywords: pollution load, the leading sectors, community development
iv
RINGKASAN HAMZAH. Pengembangan Masyarakat Pesisir di Kawasan Tambang Nikel Pomalaa-Sulawesi Tenggara. Di bimbing oleh HEFNI EFFENDI, ETTY RIANI, SAHARUDDIN, NASTITI SISWI INDRASTI. Permintaan nikel dunia yang terus meningkat setiap tahunnya, mendorong perusahaan tambang untuk meningkatkan produksi yang berdampak pada semakin luasnya bukaan lahan akibat eksploitasi. Hal ini berakibat pada semakin menurunnya kualitas lingkungan perairan pesisir di Kecamatan Pomalaa yang secara langsung mempengaruhi kehidupan masyarakat utamanya nelayan. Sistem penambangan yang diterapkan pada perusahaan penambangan nikel Pomalaa adalah sistem tambang terbuka (open cut mining). Kelemahan utama dari sistem tambang terbuka adalah besarnya volume material. Akibatnya adalah akan memberikan dampak negatif pada siklus hidrologi, peningkatan erosi tanah dan sedimentasi, penurunan kualitas air serta gangguan terhadap biota perairan. Karena aktivitas penambangan nikel di Pomalaa masih terus berlanjut dalam 30 tahun mendatang, maka dalam kerangka inilah penelitian ini dilakukan. Aktivitas penambangan bagaimanapun juga merupakan sumber devisa bagi negara, tetapi sedapat mungkin keberadaanya tidak merugikan masyarakat yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, agar aktivitas pertambangan terus berlanjut dan kegiatan masyarakat nelayan juga tidak terganggu, maka diperlukan langkalangkah strategis dalam pengembangan masyarakatnya. Tujuan utama dari penelitian ini adalah menyusun strategi pengembangan masyarakat pesisir di kawasan tambang nikel Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka rumusan tujuan operasionalnya adalah: 1) Menganalisis karakteristik dan kondisi eksisting lingkungan perairan pesisir lokasi penambangan nikel Pomalaa-Sulawesi Tenggara, 2) Menganalisis status mutu perairan, besarnya beban pencemaran dan kapasitas asimilasi perairan pesisir lokasi penambangan nikel Pomalaa-Sulawesi Tenggara, 3) Menganalisi tingkat pengelolaan perairan pesisir lokasi penambangan nikel Pomalaa-Sulawesi Tenggara, 4) Menganalisis potensi dan sektor unggulan perikanan yang menjadi penggerak utama perekonomian masyarakat, 5) Menentukan strategi pengembangan masyarakat yang sesuai dengan karakteristik lingkungan pesisir lokasi penambangan nikel Pomalaa-Sulawesi Tenggara. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung di lapangan, berupa hasil pengukuran, pengambilan sampel, pengisian kuesioner dan hasil observasi lapangan. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber bacaan dan berbagai sumber lainnya seperti dokumen, peraturan dan laporan hasil penelitian yang terkait dengan topik penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa dari beberapa patemeter yang dihitung beban pencemarannya, paramater tembaga (Cu) dan Cadmium (Cd) telah melampaui kapasitas asimilasinya. Akibat besarnya tekanan terhadap kondisi lingkungan pada wilayah pesisir sebagai akibat dari adanya eksploitasi lahan tambang, menyebabkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan teknologi kurang berkelanjutan. Olehnya itu diperlukan upaya strategis agar kehidupan nelayan dapat terus berlanjut. Pendekatan utama yang dilakukan adalah dengan pengembangan
sektor unggulan perikanan khususnya, perikanan budidaya. Dengan analisis gabungan LQ dan DLQ, didapatkan bahwa komoditas unggulan perikanan budidaya yang dapat dikembangkan di kawasan pesisir lokasi tambang nikel Pomalaa adalah ikan lele dan udang vaname. Sementara ikan mas, teripang, kerapu dan bandeng merupakan komoditas andalan yang berpeluang menjadi komoditas unggulan. Dengan analisis AHP, penyusunan strategi pengembangan masyarakat pesisir di Kawasan Tambang Nikel Pomalaa dikembangkan dari isu-isu strategis yang dikaji dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan dimensi kelembagaan serta melibatkan berbagai stakeholders yaitu pemerintah daerah, perusahaan pertambangan, LSM, perguruan tinggi serta masyarakat. Hasilnya adalah pada pada level aktor, urutan skala prioritasnya adalah perusahaan tambang, pemerintah daerah, masyarakat, LSM dan perguruan tinggi. Pada level faktor, dimensi ekologi menempati prioritas utama yang diikuti oleh dimensi teknologi, ekonomi, kelembagaan dan sosial. Sementara pada level strategi, pengendalian pencemaran menjadi strategi prioritas utama yang diikuti oleh akses terhadap sumberdaya modal dan sumberdaya, penguatan kelembagaan, penanganan konflik dan revitalisasi checkdam. Kata Kunci : beban pencemaran, sektor unggulan, pengembangan masyarakat
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
iv
PENGEMBANGAN MASYARAKAT PESISIR DI KAWASAN TAMBANG NIKEL POMALAA SULAWESI TENGGARA
HAMZAH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
v
Penguji luar komisi pada ujian tertutup :
1. Prof Dr Ir Suprihatin DiplEng 2. Dr Ir Widiatmaka DEA
Penguji luar komisi pada ujian terbuka :
1. Prof Dr Ir Suprihatin DiplEng 2. Dr Ir Widiatmaka DEA
vi
vii
PRAKATA Puji syukur kepada Allah SWT, karena atas kasih dan sayang-Nya sehingga penulisan diserasi dengan judul “Pengembangan Masyarakat Pesisir Lokasi Pertambangan Nikel Pomalaa Sulawesi Tenggara” dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada: 1. Bapak Dr Ir Hefni Effendi MPhil sebagai ketua komisi pembimbing, Ibu Dr Ir Etty Riani MS, Bapak Dr Ir Saharuddin MS dan Ibu Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti sebagai anggota Komisi Pembimbing atas curahan waktu, perhatian, motivasi dan pikiran dalam menyelesaikan disertasi ini. 2. Bapak Prof Dr Ir Cecep Kusmana MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan beserta staf atas bimbingan dan dukungan selama penulis menempuh pendidikan di IPB. 3. Bapak Prof Dr Ir Suprihatin DiplEng dan Bapak Dr Ir Widiatmaka DEA selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan ujian terbuka atas segala saran dan masukan untuk kesempurnaan disertasi ini. 4. Bapak Alm. Burhan SPd MPd dan Ibu Tity Ilminah SPd MPd selaku pimpinan di unit kerja SMP Negeri 2 Samaturu Kabupaten Kolaka atas segala motivasi, doa dan kebesaran hati dalam mengizinkan penulis untuk melanjutkan pendidikan. Kepada teman-teman staf pengajar di SMP Negeri 2 Samaturu saya juga mengucapkan terimakasih atas bantuan dalam menyelasaikan segala urusan adminstrasi kepegawaian selama penulis menempuh pendidikan. 5. Terimakasih yang tak terhingga kepada Ibunda Alm Wa Muha dan Alm Wa Ema. Doaku untukmu selalu, segalanya, selamanya. Kepada Bapak La Ndaga, Bapak Abdullah B, Kakak Sadaria, Laode Galimu, Yusuf, Hermin, Wa Kaba, SPd, Drs Amiluddin. Kepada adik Laode Irdat, SSos, Ade Irma, Agiando SHut, Waode Sitti Saharia AmKl, Brigadir Hasim, Waode Muliana SKM, Brigadir Mahmut, Waode Asmaryati SPd serta segenap keluarga atas segala doa, dukungan dan motivasi yang tiada henti selama penulis menempuh studi. 6. Rekan-rekan mahasiswa Angkatan tahun 2010 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan atas kebersamaan dan kerjasamanya. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, karena itu kritik dan saran senantiasa diharapkan. Akhirnya, semoga karya ini dapat bermanfaat dan hanya kepada Allah SWT kita berserah diri, semoga amal dan ibadah kita senantiasa mendapat ridho-Nya, Amin.
Bogor, Januari 2016 Hamzah
viii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1.
PENDAHULUAN Latar Belakang ...............................................................................................1 Perumusan Masalah ........................................................................................2 Tujuan Penelitian ..........................................................................................3 Manfaat Penelitian ..........................................................................................4 Kerangka Pemikiran .......................................................................................4 Novelity Penelitian .........................................................................................6
2.
KARAKTERISTIK DAN KONDISI EKSISTING KAWASAN PESISIR LOKASI TAMBANG NIKEL POMALAA Pendahuluan ....................................................................................................6 Metodologi ......................................................................................................7 Jenis dan Sumber Data ...............................................................................7 Metode Analisis Data .................................................................................7 Hasil dan Pembahasan ..................................................................................12 Iklim ...............................................................................................12 Curah Hujan .............................................................................................13 Oceanografi ..............................................................................................15 Batimetri ...............................................................................................16 Arus dan Pasang Surut .............................................................................16 Gelombang ...............................................................................................21 Topografi ...............................................................................................22 Geologi ...............................................................................................24 Tanah ...............................................................................................25 Daerah Aliran Sungai (DAS) ...................................................................26 Tata Guna Lahan ......................................................................................28 Letak Geografis dan Batas Wilayah ........................................................30 Jumlah dan Kepadatan Penduduk ............................................................30 Fasilitas Pendidikan .................................................................................32 Fasilitas Sosial .........................................................................................33 Peraturan dan Kelembagaan ....................................................................33 Simpulan .......................................................................................................36
3.
BEBAN PENCEMARAN DAN KAPASITAS ASIMILASI PERAIRAN PESISIR DI KAWASAN TAMBANGAN NIKEL POMALAA Pendahuluan ................................................................................................36 Metodologi ...................................................................................................38 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................38
ix
Metode Pengambilan dan Analisis Sampel Air ................................38 Metode Analisis Data ...............................................................................39 Hasil dan Pembahasan ..................................................................................41 Beban Pencemaran ...................................................................................40 Kapasitas Asimilasi ..................................................................................42 Simpulan ...............................................................................................43 4.
KAJIAN TINGKAT PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR LOKASI PERTAMBANGAN NIKEL POMALA Pendahuluan ..................................................................................................43 Metodologi ....................................................................................................45 Jenis dan Sumber Data .............................................................................45 Metode Pengumpulan Data ......................................................................45 Metode Analisis Data ...............................................................................46 Hasil dan Pembahasan ..................................................................................56 Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekologi.................................................56 Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekonomi...............................................61 Analisis Keberlanjutan Dimensi Sosial ...................................................63 Analisis Keberlanjutan Dimensi Teknologi .............................................66 Analisis Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan .......................................69 Analisis Prospektif ...................................................................................71 Simpulan .......................................................................................................72
5.
KOMODITAS UNGGULAN SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN MASYARAAKAT KAWASAN PESISIR DI KAWASAN TAMBANG NIKEL POMALAA Pendahuluan ..................................................................................................73 Metodologi ....................................................................................................75 Lokasi Penelitian......................................................................................75 Jenis dan Sumber Data .............................................................................75 Metode Analisis Data ...............................................................................75 Hasil dan Pembahasan ..................................................................................77 Potensi Sumberdaya Perikanan ................................................................77 Analisis Sektor Unggulan ........................................................................84 Simpulan .......................................................................................................86
6.
STRATEGI PENGEMBANGAN MASYARAKAT PESISIR DI KAWASAN TAMBANG NIKEL POMALAA SULAWESI TENGGARA Pendahuluan ..................................................................................................87 Metodologi ....................................................................................................87 Jenis dan Sumber Data .............................................................................87 Metode Analisis Data ...............................................................................88 Hasil dan Pembahasan ..................................................................................89 Isu-isu Strategis ..........................................................................................89 Analisis Strategi Pengembangan Masyarakat ...............................................91 Simpulan .......................................................................................................96
x
7.
PEMBAHASAN UMUM Pengelolaan Perairan Pesisir Lokasi Pertambangan Nikel ...........................96 Pemeliharaan Sungai ....................................................................................98 Pengembangan Sektor Unggulan Perikanan Budidaya Sebagai Alternatif Pengembangan Ekonomi Masyarakat .........................................99
8
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ....................................................................................................100 Saran ...........................................................................................................101
PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Jenis dan sumber data karakteristik dan kondisi kawasan pesisir lokasi Tambang Nikel Pomalaa ..........................................................7 Metode analisis data .......................................................................................8 Wilayah pasang surut di Kecamatan Pomalaa ..............................................21 Luas topografi di Kecamatan Pomalaa .........................................................22 Formasi geologi di Kecamatan Pomalaa ......................................................23 Klasifikasi tanah di Kecamatan Pomalaa .....................................................25 Luas penggunaan/penutupan lahan di Kecamatan Pomalaa .........................28 Luas wilayah Kecamatan Pomalaa menurut desa/kelurahan ........................30 Penduduk Kecamatan Pomalaa menurut desa/kelurahan .............................31 Kepadatan penduduk Kecamatan Pomalaa tahun 2013 ................................32 Jumlah sekolah, guru dan murid menurut jenjang pendidikan di Kecamatan Pomalaa......................................................................................32 Fasilitas sosial di wilayah Kecamatan Pomalaa ...........................................33 Daftar peraturan dan kelembagaan yang berperan dalam pengelolaan perairan pesisir kawasan Pertambangan Nikel Pomalaa ..............................34 Alat dan metode analisis pengukuran karakteristik fisika-kimia air ............39 Beban pencemar yang masuk ke perairan ....................................................40 Hubungan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi .................................42 Jenis dan sumber data kajian tingkat pengelolaan perairan pesisir kawasan Pertambangan Nikel Pomalaa ........................................................45 Metode pengumpulan data............................................................................46 Metode analisis data .....................................................................................47 Dimensi keberlanjutan ekologi .....................................................................49 Dimensi keberlanjutan ekonomi ...................................................................50 Dimensi keberlanjutan sosial ........................................................................51 Dimensi teknologi .........................................................................................52 Dimensi keberlanjutan kelembagaan ............................................................53 Kategori indeks keberlanjutan ......................................................................54 Nilai RMS (Root Means Square)..................................................................71
xi
27 28 29 30 31 32
Klasifikasi subsektor berdasarkan nilai LQ dan DLQ ..................................77 Potensi sumber daya perikanan dan tingkat pemanfaatannya di Kabupaten Kolaka Tahun 2014....................................................................78 Hasil analisis LQ sektor dan subsektor perikanan di Kecamatan Pomalaa periode tahun 2007-2014. .............................................................85 Hasil analisis LQ dan DLQ komoditas subsektor perikanan di Kecamatan Pomalaa periode tahun 2007-2014 ...........................................85 Klasifikasi sektor berdasarkan nilai LQ dan SLQ di Kecamatan Pomalaa.........................................................................................................86 Skala penilaian AHP .....................................................................................89
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Kerangka pemikiran ........................................................................................5 Tahapan analisis tutupan lahan dengan data citra (inderaja) ..........................9 Diagram curah tahunan 2003-2013 ...............................................................14 Diagram rata-rata curah hujan bulanan 2003-2013 .......................................14 Diagram hari hujan tahunan 2003-2013........................................................15 Peta batimetri perairan pesisir Kecamatan Pomalaa .....................................16 Pola arus hasil simulasi menuju pasang pada musim barat...........................17 Pola arus hasil simulasi saat pasang pada musim barat ...............................18 Pola arus hasil simulasi menuju surut pada musim barat ..............................18 Pola arus hasil simulasi saat surut pada musim barat ...................................19 Pola arus hasil simulasi menuju pasang pada musim timur ..........................19 Pola arus hasil simulasi saat pasang pada musim timur................................20 Pola arus hasil simulasi menuju surut pada musim timur .............................20 Pola arus hasil simulasi saat surut pada musim timur ...................................21 Peta topografi Kecamatan Pomalaa ..............................................................23 Peta geologi Kecamatan Pomalaa .................................................................24 Peta jenis tanah Kecamatan Pomalaa ............................................................25 Peta DAS Kecamatan Pomalaa .....................................................................27 Peta tutupan lahan Kecamatan Pomalaa .......................................................29 Peta adminitrasi Kecamatan Pomalaa ...........................................................31 Grafik pengaruh dan ketergantungan variabel ..............................................55 Status keberlanjutan dimensi ekologi............................................................57 Leverage atribute dimensi ekologi ...............................................................58 Peta blok Izin Usaha Pertambangan Nikel Pomalaa .....................................60 Status keberlanjutan dimensi ekonomi..........................................................61 Leverage atribute dimensi ekonomi .............................................................62 Status keberlanjutan dimensi sosial ..............................................................64 Leverage atribute dimensi sosial ..................................................................65 Status keberlanjutan dimensi teknologi ........................................................66 Leverage atribute dimensi teknologi ............................................................67 Status keberlanjutan dimensi kelembagaan ..................................................69 Leverage atribute dimensi kelembagaan ......................................................70 Hasil analisis prospektif atribut pengungkit dalam pengelolaan wilayah pesisir lokasi Tambang Nikel Pomalaa .........................................................72
xii
34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
Luas area budidaya perikanan pada kawasan pesisir Kecamatan Pomalaa .........................................................................................................78 Jumlah rumah tangga perikanan (RTP) di Kecamatan Pomalaa...................79 Jumlah rumah tangga perikanan (RTP) budidaya laut di Kecamatan Pomalaa .........................................................................................................79 RTP nelayan di Kecamatan Pomalaa berdasarkan skala usaha ....................80 Produksi perikanan pada di Kecamatan Pomalaa .........................................81 Produksi tambak di Kecamatan Pomalaa ......................................................81 Produksi kolam di Kecamatan Pomalaa........................................................82 Produksi budidaya laut (teripang, ikan kerapu) di Kecamatan Pomalaa ......83 Produksi rumput laut di Kecamatan Pomalaa ...............................................84 Struktur hirarki pengembangan masyarakt pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa ................................................................................................93 Hasil analisis AHP mengenai aktor pengembangan masyarakat pesisir Pomalaa .........................................................................................................94 Hasil analisis AHP mengenai faktor pengembangan masyarakat pesisir Pomalaa .........................................................................................................95 Hasil analisis AHP mengenai strategi pengembangan masyarakat pesisir Pomalaa..............................................................................................96
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
RapEst dimensi ekologi ..............................................................................109 RapEst dimensi ekonomi ............................................................................110 RapEst dimensisosial ..................................................................................111 RapEst dimensi kelembagaan .....................................................................112 RapEst dimensi teknologi ...........................................................................113 Rata-rata tabulasi isian kuisioner AHP .......................................................114
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Nikel adalah salah satu produk tambang yang banyak dihasilkan di Indonesia dan berada di urutan keempat sebagai produsen nikel dunia setelah Australia, Kanada dan New Caledonia. Keempat negara ini menguasai sekitar 65% permintaan nikel dunia, sedangkan Indonesia sendiri menyumbang sekitar 8,6%. Di Indonesia, produsen utama nikel adalah PT. Aneka Tambang (ANTAM) dan PT. Inco (INCO). Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (2013), Indonesia saat ini memiliki cadangan nikel 3,2 miliar ton dan menurut perkiraan, cadangan nikel Indonesia masih bisa digali hingga 50 tahun ke depan. Dalam dekade terakhir, permintaan nikel dunia meningkat dari 1.104 juta ton di tahun 2001 menjadi 1.572 juta ton di tahun 2011, dengan kenaikan ratarata per tahun sebesar 4,2%. Permintaan ini mengalami kenaikan dan penurunan seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, salah satu daerah penghasil nikel adalah Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara. Hingga saat ini terdapat dua perusahaan raksasa yang melakukan operasi penambangan nikel Pomalaa yaitu PT. Aneka Tambang UBPN Sulawesi Tenggara dan PT. INCO serta beberapa perusahaan swasta berskala kecil. Sebagai dampak permintaan nikel di pasar global yang semakin meningkat, menyebabkan perusahaan-perusahaan penambangan nikel di Pomalaa juga berlomba-lomba meningkatkan produksi. Akibatnya, pembukaan lahan semakin masif dilakukan. Disamping pertambangan sebagai penggerak utama ekonomi masyarakat, Kecamatan Pomalaa juga terkenal sebagai sentra produksi budidaya perikanan yang potensial. Perkembangan produksi berbagai jenis komoditi perikanan tersebut secara statistik mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Minat masyarakat mengelola sektor perikanan dan kelautan selalu berhadapan dengan semakin masifnya aktivitas penambangan dan pembukaan lahan pertambangan yang berdampak pada semakin tingginya sedimentasi dikawasan pesisir. Berdasarkan laporan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Sulawesi Tenggara tahun 2009, akibat semakin luasnya bukaan lahan tambang, menyebabkan semakin tingginya sedimentasi di kawasan pesisir. Menurut hasil analisis yang telah dilakukan, sedimentasi lumpur tambang yang masuk melalui sungai-sungai di perairan laut Pomalaa menyumbang 1.330.281 m3/tahun dengan laju pendangkalan 0,507 m/tahun. Prediksi tahun 2019 mendatang, kontur kedalaman 1-3 meter bakal berubah menjadi daratan seluas 923,4 hektar. Sehingga luas perairan Pomalaa pada saat itu tinggal 197,1 hektar. Menurut Widiatmaka et al., (2010), berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan metode USLE besarnya erosi tanah pada pada beberapa titik di lokasi pertambangan nikel Pomalaa telah berada pada ambang batas kategori berat. Dampak lain yang juga tidak kalah besarnya adalah meningkatnya kekeruhan perairan di wilayah pesisir. Di Desa Hakatutobu dan Desa Tambea, air laut berubah menjadi coklat pekat. Akibatnya teripang yang dibudidayakan masyarakat mati. Kasus kematian teripang yang dibudidayakan ini sudah seringkali terjadi yaitu tahun 2005, 2007, 2008 dan 2010. Selain teripang, budidaya nelayan yang juga terganggu adalah ikan kerapu dengan sistem keramba jaring apung (KJA). Diduga air limpasan yang masuk ke pesisir melalui beberapa sungai telah
2
tercemar sampai pada tingkat beracun bagi organisme perairan. Menurut Hamzah (2009), berdasarkan hasil pengujian berbagai parameter kualitas air seperti total suspended solid (TSS), besi (Fe), seng (Zn), khrom (Cr), timbal (Pb) dan nikel (Ni), ditemukan bahwa kosentrasi beban pencemar telah melampaui batas kapasitas asimilasinya. Secara teknis, aktivitas tambang yang ada di Kecamatan Pomalaa terdiri dari dua kegiatan yaitu penambangan dan pengolahan. Proses pengolahan menghasilkan limbah padat berupa slag (terak) dan limbah cair berupa air pendingin slag dan limbah minyak. Slag adalah residu/limbah yang berupa gumpalan padat yang terdiri dari mineral-mineral yang merupakan agregat sisa hasil buangan dari pembakaran dapur listrik. Menurut Widiatmaka (2010) dari dua jenis terak feronikel yaitu terak tanur listrik didominasi oleh Si dan Mg dan terak tanur pengubah didominasi oleh Fe, Ca, dan Si. Bila dibandingkan dengan terak baja, terak feronikel (terak tanur listrik) mengandung lebih banyak Si dan Mg, tetapi mengandung lebih sedikit Ca, Fe, P, dan Mn. Dalam hal penambangan karena sifatnya open cut mining, maka keberadaan volume material tanah dan batuan (overburden) akan sangat mempengaruhi kondisi ekologi daerah sekitarnya. Hal ini akan semakin parah apabila terjadi hujan lebat karena material tersebut akan tererosi dan masuk ke laut sehingga dapat menyebabkan terjadinya sedimentasi serta perubahan kualitas air laut pada wilayah pesisir (Arsyad, 2010). Perumusan Masalah Sistem penambangan yang diterapkan pada perusahaan penambangan nikel Pomalaa adalah sistem tambang terbuka (open cut mining). Kelemahan utama dari sistem tambang terbuka adalah besarnya volume material. Akibatnya adalah akan memberikan dampak negatif pada siklus hidrologi, peningkatan erosi tanah dan sedimentasi, penurunan kualitas air serta gangguan terhadap biota perairan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2014, Kecamatan Pomalaa termasuk dalam kategori iklim basah, dimana curah hujannya lebih dari 2000 mm pertahun. Kondisi ini berpeluang besar menimbulkan erosi, apalagi lokasi pertambangan nikel Pomalaa berada pada wilayah berbukit dengan ketinggian antara 100 - 600 m d.p.l dengan kemiringan lahan antara 15 - 40 derajat. Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka terdiri dari 12 desa/kelurahan dengan luas wilayah 333,82 km2 dengan garis pantai sepanjang 25,13 km (DKP Sultra, 2007). Empat desa diantaranya adalah desa pesisir yaitu Desa Hakatutobu, Desa Tambea, Desa Sopura dan Desa Oko-Oko. Aktivitas utama masyarakat pada keempat desa tersebut disamping sebagai nelayan tangkap, sebagiannya mengembangankan keramba jaring apung (KJA), tambak, budidaya teripang dan budidaya rumput laut serta budidaya ikan kolam. Hal ini disebabkan oleh tingginya laju sedimentasi di wilayah pesisir. Dalam rangka meminimalkan dampak dari eksploitasi tambang, berbagai usaha telah dilakukan pihak perusahaan untuk mengurangi dampak lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas penambangan. Salah satunya dengan melakukan penanaman mangrove terutama pada daerahdaerah muara sungai dan pesisir di sekitar lokasi tambang, pembuatan cekdam sebagai tempat penampungan sementara air yang berasal dari wilayah-wilayah operasi penambangan.
3
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan, pada saat hujan biasanya air yang melalui sungai-sungai berwarna pekat kemerah-merahan. Keadaan ini terjadi hampir di sepanjang pesisir laut Kecamatan Pomalaa. Kuat dugaan bahwa material yang terbawa bersama air tersebut berasal dari penumpukan overburden sisa aktivitas penambangan dan input limbah proses peleburan logam nikel (slag, oli bekas dan air pendingin slag) serta adanya input limbah domestik yang masuk ke perairan pesisir melalui sungai dan air limpasan permukaan di sekitar lokasi pertambangan. Karena limbah-limbah tersebut mengandung zat-zat berbahaya dan terakumulasi, maka apabila air tersebut masuk ke dalam tambak, dapat mengakibatkan peluang terjadinya kematian mendadak pada ikan yang ada di dalamnya. Demikian juga yang terjadi dengan budidaya teripang dan rumput laut. Faktor lain yang menyebabkan produksi budidaya komoditas perikanan di Kecamatan Pomalaa adalah pemilihan/penempatan lokasi budidaya yang tidak tepat. Hampir semua lokasi budidaya yang diusahakan nelayan selalu berada dalam jangkauan air keruh berwarnah coklat pekat kemerahan. Pemilihan lokasi hanya berdasarkan kebiasaan tanpa memperhitungkan faktor kerentanan/resiko lokasi apabila terjadi berbagai kondisi alam yang sifatnya tidak menentu. Kondisi-kondisi tersebut di atas tentu saja dapat berpengaruh pada masyarakat setempat terutama masyarakat yang bermata pencaharian utama sebagai nelayan tangkap tradisional dan nelayan budidaya. Berdasarkan kondisi yang digambarkan di atas, maka untuk terarahnya penelitian ini perlu dirumuskan masalah yang akan menjadi obyek kajian yaitu: 1. Bagaimana kondisi eksisting lingkungan perairan pesisir di lokasi penambangan nikel Pomalaa-Sulawesi Tenggara. 2. Bagaimana besarnya beban pencemaran dan kapasitas asimilasi perairan pesisir lokasi penambangan nikel Pomalaa-Sulawesi Tenggara. 3. Bagaimana tingkat pengelolaan perairan pesisir lokasi penambangan nikel Pomalaa-Sulawesi Tenggara. 4. Bagaimanan potensi perikanan dan komoditas apa yang menjadi sektor unggulan perikanan penggerak ekonomi masyarakat pesisir di lokasi pertambangan nikel Pomalaa-Sulawesi Tenggara. 5. Bagaimana strategi pengembangan masyarakat yang sesuai dengan karakteristik lingkungan pesisir lokasi penambangan nikel Pomalaa-Sulawesi Tenggara. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan yang disampaikan sebelumnya, maka tujuan utama dari penelitian adalah menyusun strategi pengembangan masyarakat pesisir di kawasan tambang nikel Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Adapun rumusan tujuan operasionalnya adalah: 1. Menganalisis karakteristik dan kondisi eksisting lingkungan perairan pesisir lokasi penambangan nikel Pomalaa-Sulawesi Tenggara. 2. Menganalisis besarnya beban pencemaran dan kapasitas asimilasi perairan pesisir lokasi penambangan nikel Pomalaa-Sulawesi Tenggara. 3. Menganalisis tingkat pengelolaan perairan pesisir lokasi penambangan nikel Pomalaa-Sulawesi Tenggara.
4
4. 5.
Menganalisis potensi dan sektor unggulan perikanan yang menjadi penggerak utama perekonomian masyarakat. Menentukan strategi pengembangan masyarakat yang sesuai dengan karakteristik lingkungan pesisir lokasi penambangan nikel Pomalaa-Sulawesi Tenggara. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah daerah Kabupaten Kolaka dan perusahaan-perusahaan pertambangan nikel dalam merencanakan program pengembangan masyarakat serta menyelesaikan permasalahan lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat disekitar perusahaan. Kerangka Pemikiran Sebagaimana diuraikan pada bagian latar belakang, bahwa secara statistik permintaan nikel dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini memicu perusahaan-perusahaan penambangan nikel berlomba melakukan peningkatan produksi. Demikian juga halnya dengan perusahaan penambangan nikel yang beroperasi di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara. Secara geografis, lokasi penambangan nikel Pomalaa merupakan wilayah berbukit dengan kisaran ketinggian antara 100-600 m d.p.l dan kisaran kemiringan lereng antara 15-40 derajat serta curah hujan yang lebih dari 2000 mm pertahun. Dengan sistem penambangan yang sifatnya metode tambang terbuka (open cut mining), maka pembukaan lahan yang masif menjadi konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Akibatnya, peluang terjadinya erosi sangat besar. Bila ini terjadi, maka pihak yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat pesisir karena erosi yang tidak terkendali dapat menyebabkan sedimentasi dan penurunan kualitas air pada perairan pesisir dan berujung pada terjadinya degradasi sumberdaya secara keseluruhan. Dari sisi sosial ekonomi, dampak lanjutan yang kemudian akan terjadi adalah terganggunya sistem mata pencaharian penduduk yang menggantungkan hidupnya pada laut. Karena aktivitas penambangan nikel di Pomalaa masih terus berlanjut dalam 30 tahun mendatang, maka dalam kerangka inilah penelitian ini dilakukan. Aktivitas penambangan bagaimanapun juga merupakan sumber devisa bagi negara, tetapi sedapat mungkin keberadaanya tidak merugikan masyarakat yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, agar aktivitas pertambangan terus berlanjut dan kegiatan masyarakat nelayan juga tidak terganggu, maka diperlukan langkalangkah strategis dalam pengembangan masyarakatnya. Secara skematik, kerangka pikir penelitian dapat disajikan pada Gambar 1.
5
Degradasi Sumberdaya
AKTIFITAS PERTAMBANGAN
Dampak pada lingkungan pesisir: • Perubahan ekologi • Sedimentasi • Perubahan kualitas air • Menurunya produktivitas perairan khususnya perikanan tangkap dan perikanan budidaya. •
Permintaan Nikel Dunia
- - Produktifitas Ditingkatkan. - - Pembukaan Lahan Masif.
Dampak sosial ekonomi • Perubahan pola mata pencaharian. • Pendapatan masyarakat • Konflik kepentingan •
Metode Tambang Terbuka
Kondisi Eksisting
Analisis Tingkat Keberlanjutan Pengelolaan Analisis Beban Pencemaran Dan Kapasitas Asimilasi
Analisis Kondisi Eksisting
Analisis Prespektif
Isu-Isu Strategis
Analisis Potensi dan Sektor Unggulan
Alternatif Strategi
Hasil dan arahan: Pengembangan masyarakat yang berkelanjutan di kawasan pesisir lokasi tambang nikel Pomalaa berbasis kondisi eksisting dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan
Gambar 1 Kerangka pemikiran
6
Novelty Penelitian Kebaharuan dari penelitian ini terletak pada keluaran penelitian yaitu berupa strategi pengembangan masyarakat pesisir pada lokasi tambang nikel. Bentuknya berupa konsep rancangan strategi pengembangan masyarakat secara berkelanjutan dengan mengkaji aspek lingkungan, sosial ekonomi, dan kelembagaan yang disinergikan dengan aspek beban pencemaran dan kesesuian perairan secara holistik dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders).
2 KARAKTERISTIK DAN KONDISI EKSISTING KAWASAN PESISIR LOKASI TAMBANG NIKEL POMALAA Pendahuluan Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP-PK) Pasal 1 Ayat (2) pengertian wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Selanjutnya, pada pasal 2 disebutkan bahwa: ”Ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 mil laut di ukur dari garis pantai”. Ruang lingkupnya meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Definisi wilayah pesisir seperti di atas memberikan pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Secara prinsip ekosistem pesisir mempunyai empat fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, dan penyedia jasa-jasa kenyamanan. Terkait fungsinya sebagai tempat penampung limbah, ekosistem pesisir memiliki kemampuan terbatas yang sangat tergantung pada volume dan jenis limbah yang masuk. Apabila limbah tersebut melampaui kemampuan asimilasi perairan pesisir, maka kerusakan ekosistem dalam bentuk pencemaran akan terjadi. Di sisi lain, perairan pesisir juga sangat rentang terhadap pencemaran, baik yang bersumber dari daratan maupun yang berasal dari laut, terbawa melalui pasang. Tekanan terhadap perairan pesisir akibat limbah yang berasal dari buangan aktivitas rumah tangga (limbah organik dan limbah anorganik), aktivitas industri (limbah organik, anorganik, limbah air panas dan limbah B3), aktivitas pertanian dan pertambakan (pestisida dan sedimentasi) dan berbagai aktivitas domestik lainnya, akan memberikan tekanan secara langsung terhadap perairan estuaria dan sumberdaya di dalamnya. Dalam rangka pengembangan masyarakat pesisir, maka pengetahuan tentang kondisi eksisting sangat penting untuk dielaborasi mengingat kompleksnya permasalahan yang ada di kawasan pesisir lokasi tambang nikel Pomalaa. Adanya data tentang kondisi eksisting, akan memudahkan perencanaan dan upaya
7
implementasi pengembangan masyarakat. Kondisi eksisting yang akan dikaji dalam bab ini meliputi klimatologi dan oceanografi, Daerah Aliran Sungai (DAS) dan tutupan lahan, demografi dan kependudukan (sosial ekonomi) serta kondisi eksisting peraturan dan kelembagaan. Metodologi Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dalam kajian karakteristik dan kondisi eksisting kawasan pesisir lokasi tambang nikel Pomalaa, meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung di lapangan, berupa hasil pengukuran, pengambilan sampel, pengisian kuesioner dan hasil observasi lapangan. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber bacaan dan berbagai sumber lainnya seperti dokumen, peraturan dan laporan hasil penelitian yang terkait. Jenis dan sumber data yang diperlukan lebih rinci disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan sumber data karakteristik dan kondisi kawasan pesisir lokasi tambang nikel Pomalaa Aspek kajian
Variabel
Klimatologi Oceanografi
Ikilim, curah hujan Batimetri, arus, pasangsurut, gelombang Topografi, geologi, tanah, DAS, vegetasi, tata guna lahan Komposit Jumlah penduduk Fasilitas pendidikan Fasilitas ekonomi Fasilitas sosial Peraturan pengelolaan Kelembagaan pengelola
DAS dan tutupan lahan
Demografi dan kependudukan (sosial ekonomi) Peraturan dan kelembagaan
Jenis data
Sumber data
Data sekunder Data sekunder
Studi literatur Studi literatur
Data primer Data sekunder Data primer Data sekunder Data sekunder Data sekunder Data sekunder Data sekunder Data sekunder Data sekunder
Observasi Lapan Observasi Lapan BPS Kab. Kolaka
Bappeda Kab. Kolaka Bappeda Kab. Kolaka
Metode Analisis Data Metode analisis data disesuaikan dengan tujuan penelitian. Lebih rinci disajikan pada Tabel 2.
8
Tabel 2 Metode analisis data Tujuan Kajian kondisi eksisting klimatologi dan oceanografi Kajian kondisi eksisiting DAS dan tutupan lahan Kajian kondisi eksisting demografi dan kependudukan (sosial ekonomi)
Kajian kondisi eksisting peraturan dan kelembagaan kawasan pesisir Pomalaa
Variabel Ikilim, curah hujan Batimetri, arus, pasangsurut, gelombang Topografi, geologi, tanah, DAS, vegetasi, tata guna lahan Jumlah penduduk
Metode Analisis - Analisis deskriptif
Fasilitas pendidikan
- Analisis deskriptif
Fasilitas ekonomi
- Analisis deskriptif
Fasilitas sosial
- Analisis deskriptif
Peraturan pengelolaan
- Analisis deskriptif
Kelembagaan pengelola
- Analisis deskriptif
- Analisis SIG
- Analisis deskriptif
Output Analisis Deskriptif iklim, curah hujan, batimetri, arus, pasang-surut, gelombang Deskriptif topografi, geologi, tanah,DAS, vegetasi, tata guna lahan. Deskripsi kependudukan pada 13 desa/ kelurahan Deskripsi fasilitas pendidikan pada 13 desa/kelurahan Deskripsi fasilitas ekonomi pada 13 desa/kelurahan Deskripsi fasilitas sosial pada 13 desa/ kelurahan Deskripsi peraturan dalam pemanfaatan dan pengelolaan pesisir Pomalaa Deskripsi kelembagaan dalam pemanfaatan dan pengelolaan kawasan pesisir Pomalaa
Tutupan Lahan Analisis kondisi eksisting Daerah Aliran Sungai (DAS) dan tutupan lahan dilakukan dengan pendekatan metode survei (ground check point/GCP) dan analisis sistem informasi geografis (SIG). Data tutupan lahan diperoleh dari akuisisi citra satelit (inderaja) Landsat 8 TM Path 113 Row 063 wilayah Kabupaten Kolaka tahun 2014. Tahapan operasional analisis SIG sebagai berikut: a. Pemulihan citra (image restoration) merupakan kegiatan yang bertujuan memperbaiki citra kedalam bentuk yang lebih mirip dengan pandangan aslinya. Perbaikan ini meliputi koreksi radiometrik dan koreksi geometrik. b. Penajaman citra (image enhancement) kegiatan ini dilakukan sebelum abstracts citra digunakan dalam analisis visual, dimana teknik penajaman dapat diterapkan untuk menguatkan tampak kontras diantara penampakan dalam adegan. Pada berbagai tahapan langkah ini banyak meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasi secara beheld dari data citra. c. Klasifikasi citra (image classification) dilakukan dengan pendekatan klasifikasi terbimbing (supervised classification) yakni klasifikasi yang
9
d.
dilakukan setelah melakukan ground check dengan panduan titik-titik koordinat yang telah diperoleh dari lapangan. Klasifikasi terbimbing (supervised classification) membagi data citra yang digunakan kedalam delapan kelas penutupan lahan yakni; permukiman, kawasan industri, lahan pertanian, areal pertambakan, mangrove, semak belukar, lahan terbuka dan perairan. Tampilan true colour digunakan kombinasi kanal 5,4 dan 2 untuk layer red, green dan blue. Tahapan kegiatan yang dilakukan dalam klasifikasi terbimbing dengan bantuan software Erdas Imagine 8.5 sebagai berikut (Gambar 2) - Pengenalan pola-pola spektral yang ditampilkan oleh citra dengan berpedoman titik kontrol yang diambil pada lokasi penelitian menggunakan GPS. - Pemilihan daerah (training area) yang diidentifikasi sebagai satu tipe penutupan lahan berdasarkan pola-pola spektral yang ditampilkan oleh citra. - Proses klasifikasi citra yang dilakukan secara otomatis oleh komputer berdasarkan pola-pola spektral yang telah ditetapkan pada saat proses pemilihan lokasi. - Menggabungkan daerah-daerah yang memiliki tipe penutupan lahan yang sama (recode). - Pengkoreksian citra hasil klasifikasi dengan membandingkannya dengan citra sebelum diklasifikasi. Citra Komposit (RGB: 542) Penentuan Training Sampel Uji keterpisahan masing-masing kelas
Klasifikasi Max Likelihood Data Lapangan
Revisi Citra Hasil
Data Sekunder
Klasifikasi Peta Penutupan Lahan
Analisis Tutupan Lahan
Gambar 2 Tahapan analisis tutupan lahan dengan data citra (inderaja) Jumlah Penduduk Deskripsi jumlah penduduk dimaksudkan untuk memberikan gambaran tingkat kepadatan penduduk di wilayah penelitian. Kepadatan penduduk merupakan gambaran jumlah/rata-rata penduduk yang mendiami suatu wilayah per satuan luas
10
(km2). Kepadatan penduduk yang dianalisis dalam penelitian adalah kepadatan penduduk aritmatika yaitu kepadatan penduduk yang digambarkan dari jumlah penduduk rata-rata per satuan luas (km2) dari suatu wilayah/daerah tanpa memperhitungkan kualitas daerah maupun kualitas penduduk. Analisis kepadatan penduduk di wilayah penelitian dilakukan dengan pendekatan metode studi literatur dan analisis deskriptif. 1. Studi literatur (desk study) Studi literatur dilakukan dengan mengumpulkan data jumlah penduduk dan luas wilayah pada tiga belas wilayah kelurahan yang merupakan wilayah administratif yang berada disekitar Kecamatan Pomalaa. Analisis kepadatan penduduk dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tingkat kepadatan penduduk disetiap wilayah administratif tersebut, sehingga akan diperoleh gambaran besaran tekanan terhadap sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan yang akan terjadi. Sumber data jumlah penduduk dan luas wilayah administratif diperoleh dari BPS Kabupaten Kolaka tahun 2014. 2. Analisis deskriptif Analisis deskriptif merupakan analisis statistik sederhana yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang keadaan, gejala, atau persoalan yang ada dari suatu data. Analisis deskriptif untuk kepadatan penduduk dilakukan untuk melihat tingkat kepadatan penduduk pada 13 desa/kelurahan yang terdapat di Kecamatan Pomalaa. Persamaan analisis kepadatan penduduk sebagai berikut:
∑ P KP = A Keterangan : KP = Kepadatan penduduk kelurahan (i) P = Jumlah penduduk kelurahan (i) A = Luas wilayah administratif kelurahan (i) Hasil analisis akan diperoleh gambaran kepadatan penduduk kelurahan (i) yang selanjutnya akan menjadi indikator tingkat kepadatan penduduk di wilayah tersebut.
∑
Fasilitas Pendidikan Analisis fasilitas pendidikan dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang jumlah sarana pendidikan yang tersedia di suatu wilayah. Dalam penelitian ini, analisis fasilitas pendidikan dilakukan dengan pendekatan metode studi literatur dan analisis deskriptif. 1. Studi literatur (desk study) Studi literatur dilakukan dengan mengumpulkan data fasilitas pendidikan pada 13 desa/kelurahan yang merupakan wilayah adminitratif Kecamatan Pomalaa. Sumber data jumlah sarana pendidikan diperoleh dari BPS Kabupaten Kolaka tahun 2014.
11
2. Analisis deskriptif Analisis deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran tingkat pendidikan pada 13 wilayah kelurahan yang terdapat di Kecamatan Pomalaa. Pendekatan analisis yang dilakukan adalah membandingkan antara jumlah fasilitas pendidikan antar wilayah. Wilayah yang memiliki fasilitas pendidikan yang banyak memberikan indikasi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang lebih baik. Hal tersebut dipahami bahwa pendidikan yang lebih baik akan memberikan ruang bagi pemahaman dan pengetahuan yang lebih baik terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, terutama dalam sosialisasi pengelolaan dan pengendalian pencemaran lingkungan. Fasilitas Ekonomi Analisis fasilitas ekonomi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang jumlah sarana ekonomi yang tersedia di suatu wilayah. Dalam penelitian ini, analisis fasilitas ekonomi dilakukan dengan pendekatan metode studi literatur dan analisis deskriptif. 1. Studi literatur (desk study) Studi literatur dilakukan dengan mengumpulkan data fasilitas ekonomi pada 13 desa/kelurahan yang merupakan wilayah adminitratif Kecamatan Pomalaa. Sumber data jumlah sarana pendidikan diperoleh dari BPS Kabupaten Kolaka tahun 2014. 2. Analisis deskriptif Analisis deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran kondisi ekonomi dari aspek sarana pada 13 desa/kelurahan yang terdapat di Kecamatan Pomalaa. Pendekatan analisis yang dilakukan adalah membandingkan antara jumlah fasilitas ekonomi antar wilayah. Wilayah yang memiliki fasilitas ekonomi yang banyak memberikan indikasi ketergantungan terhadap sumberdaya alam (eksploitasi) akan semakin rendah, dimana banyak terdapat pilihan dalam mata pencaharian seperti berdagang. Namun disisi lain, keberadaan sarana ekonomi yang banyak juga menjadi sumber tekanan terhadap lingkungan berupa limbah yang dihasilkan apabila tidak dikelola dengan baik akan langsung masuk ke perairan kawasan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa. Fasilitas Sosial Analisis fasilitas sosial dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang jumlah sarana sosial yang tersedia di suatu wilayah. Dalam penelitian ini, analisis fasilitas sosial dilakukan dengan pendekatan metode studi literatur dan analisis deskriptif. 1. Studi literatur (desk study) Studi literatur dilakukan dengan mengumpulkan data fasilitas sosail pada 13 (tiga belas) desa/kelurahan yang merupakan wilayah adminitratif Kecamatan Pomalaa. Sumber data jumlah sarana pendidikan diperoleh dari BPS Kabupaten Kolaka tahun 2014. 2. Analisis deskriptif Analisis deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran kondisi sosial dari aspek sarana pada 13 desa/kelurahan yang terdapat di sekitar lokasi
12
pertambangan nikel Pomalaa. Pendekatan analisis yang dilakukan adalah membandingkan antara jumlah fasilitas sosial antar wilayah. Wilayah yang memiliki fasilitas sosial yang banyak memberikan indikasi peluang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang lebih baik, dengan semakin banyaknya media/wadah sosialisasi bagi masyarakat. Sosialisasi pengelolaan yang baik, akan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Peraturan dan Kelembagaan Analisis peraturan dan kelembagaan dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang keberadaan peraturan dan kelembagaan pengelola dan pemanfaat sumberdaya alam dan lingkungan perairan kawasan pesisir lokasi pertambangan serta sejauh mana efektivitas peraturan dan fungsi kelembagaan yang ada tersebut. Analisis dilakukan pendekatan metode studi literatur dan analisis deskriptif. 1. Studi literatur (desk study) Studi literatur dilakukan dengan mengumpulkan data tentang peraturan dan kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan perairan kawasan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa. Data peraturan dan kelembagaan diperoleh dari instansi terkait dan hasil wawancara dengan masyarakat. 2. Analisis deskriptif Analisis deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang peraturan yang berlaku serta sejauh mana efektivitasnya serta memberikan gambaran tentang fungsi dan peran kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan periaran pesisir Kecamatan Pomalaa. Selain itu diharapkan dapat diperoleh gambaran tingkat konflik dan hak kepemilikan (property right) yang terjadi. Ketiadaan dan tidak efektifnya peraturan dan kelembagaan yang ada akan sangat berpengaruh terhadap tingkat pengelolaan yang dilakukan. Hasil Dan Pembahasan Iklim Menurut World Meteorological Organization (WMO), iklim didefinisikan sebagai kondisi rata-rata dan ragam unsur-unsur fisika atmosfer seperti suhu, presipitasi, kecepatan dan arah angin pada periode yang panjang yaitu mulai dari bulanan hingga ribuan atau jutaan tahun. Berdasarkan ketentuan WMO, dibutuhkan periode data selama 30 tahun untuk menganalisis dan menentukan iklim di wilayah studi. Akan tetapi, berdasarkan penelitian Coumou (2011), durasi data iklim selama 10 tahun dinilai cukup untuk menggambarkan kondisi iklim di daerah tropis karena fluktuasi iklim yang relatif homogen. Oleh karena itu, penggambaran kondisi iklim di Kecamatan Pomalaa yang terletak di Kabupaten Kolaka, Propinsi Sulawesi Tenggara dapat menggunakan data unsur-unsur iklim selama sepuluh tahun. Di samping periode data iklim, kesesuaian lokasi stasiun juga perlu dipertimbangkan dalam menganalisis kondisi iklim suatu wilayah. Ketepatan lokasi ditujukan untuk mengurangi bias dalam analisis iklim. Berdasarkan kaidah kesesuaian periode dan letak stasiun klimatologi, dengan demikian dalam menganalisis kondisi iklim di lokasi penelitian digunakan data unsur-unsur iklim
13
dari Stasiun Meteorologi Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Berdasarkan data klimatologi berupa curah hujan dan suhu, maka sistem klasifikasi iklim yang tepat di menggambarkan kondisi iklim di wilayah Kecamatan Pomalaa adalah klasifikasi iklim menurut Koppen. Berdasarkan data iklim berupa suhu udara dari curah huian, diketahui bahwa suhu udara rata-rata bulanan di lokasistudi adalah 27,8 0C dengan suhu maksimum bulanan 31,4 0C dan suhu minimum bulanan 25,9 0C kemudian data curah hujan (CH) tahunan di lokasi penelitian mencapai 2.735 mm dan terdapat kecenderungan panjang musim kering yang jelas walaupun diperiode yang pendek. Dengan demikian, curah hujan di wilayah studi dapat digolongkan ke dalam klasifikasi iklim monsun tropis (Af) menurut klasifikasi iklim Koppen atau tipe iklim B menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson. Kondisi iklim Af di lokasi penelitian mengindikasikan wilayah dengan unsur iklim yang cenderung stabil dan basah karena jumlah bulan kering relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah bulan basah. Curah Hujan Data curah hujan selama periode 11 tahun (2003 - 2013) yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Pomalaa. Curah hujan terendah terjadi pada tahun 2004 yaitu 1.482 mm dan curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2010 dengan tinggi curah hujan 3.951,8 mm (Gambar 3). Fluktuasi tinggi curah hujan tahunan tersebut sejalan dengan adanya fenomena ENSO di Samudera Pasifik sebagaimana dijelaskan oleh NOAA (2013) yang menyatakan bahwa tahun 2004 terjadi El Nino lemah (weak El Nino) dan pada tahun 2010 terjadi La Nina kuat (strong La Nina). Dengan kecenderungan fluktuasi curah hujan tahunan di Kacamatan Pomalaa yang sejalan dengan kejadian ENSO, mengindikasikan bahwa tinggi curah hujan, tahunan tersebut dipengaruhi oleh fenomena ENSO (El-Nino Southern Oscillation). Berdasarkan definisinya ENSO merupakan salah satu fenomena alam yang terjadi akibat adanya perbedaan tekanan udara antara Kepulauan Tahiti dan Kepulauan Darwin yang mengakibatkan terjadinya penurunan/peningkatan curah hujan pada wilayah tertentu. Pada kejadian El Nino, sebagian wilayah Indonesia akan mengalami kekeringan, sebaliknya pada kejadian La Nina, sebagian wilayah Indonesia akan mengalami peningkatan intensitas curah hujan. Selama periode curah hujan 11 tahun, terdapat kecenderungan musim hujan wilayah Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka terjadi pada bulan Desember hingga Mei dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April yaitu sebesar 305,15 mm. Periode terkering di Kecamatan Pomalaa terjadi pada bulan September dengan curah hujan 61,32 mm. Pada bulan Agustus selama periode sebelas tahun (2003-2014) terjadi setahun tanpa adanya hujan yakni pada tahun 2004 (Gambar 4).
14
4.500 4.000 3.951,8
mm/tahun
3.500 3.000 2.500 2.000
2.349,1
2.154,2
1.500
2.022,6
1.589,2
1.482,0
1.000
2.171,5
2.272,8 1.839,8
1.788,7
1.519,2
500 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : BMKG Stasiun Pomalaa Tahun 2014 Gambar 3 Diagram curah tahunan 2003-2013 350 300
305,16
mm/bulan
250
268,66 249,42
200 150
184,99 191,53
185,55 150,34 157,30
143,71 139,62
100 50
66,13
61,32
Agt
Sep
0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Okt
Nov
Des
Sumber : BMKG Stasiun Pomalaa Tahun 2014 Gambar 4 Diagram rata-rata curah hujan bulanan 2003-2013 Berdasarkan pola curah hujan bulanan di Kacamatan Pomalaa (Gambar 4) diketahui bahwa pola curah hujan di Kacamatan Pomalaa adalah pola hujan monsun dengan musim hujan terjadi pada bulan Oktober - Mei dan musim kemarau terjadi pada bulan Juni - September. Pada musim hujan, terdapat kecenderungan tinggi curah hujan lebih dari 150 mm dan pada musim kemarau, terutama pada bulan Agustus dan September, tinggi curah hujan bulanan kurang dari 150 mm. Akan tetapi secara menyeluruh curah hujan di Kacamatan Pomalaa cenderung tinggi. Kondisi tersebut dapat berfungsi sebagai pencuci polutan melalui proses washing out atau rain out (Yurekli, 2008; Furlan, 2010; Weng, 2008).
15
Berdasarkan data jumlah hari hujan selama 12 tahun yang diperoleh dari BMKG Kecamatan Pomalaa, diketahui bahwa peningkatan curah hujan di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara berbanding linier dengan jumlah hari hujan di daerah tersebut. Puncak kejadian hujan terjadi pada tahun 2010 seiring dengan menguatnya kejadian La Nina di Samudera Pasifik. Menguatnya kejadian La Nina pada tahun 2010, meningkatkan peluang hari hujan di Kecamatan Pomalaa. Peningkatan jumlah hari hujan ini diiringi dengan peningkatan tinggi curah hujan sebesar 3.951,8 mm. Pada dasarnya, jumlah hari hujan bulanan di Kecamatan Pomalaa pada tahun normal (tahun tanpa pengaruh ENSO dan variabilitas iklim lain) berkisar antara 0 sampai 25 hari, tetapi pada tahun 2010, terjadi peningkatan jumlah hari hujan dari bulan Januari hingga Desember. Peningkatan jumlah hari hujan yang signifikan terjadi pada bulan September. Pada bulan September 2010 jumlah hari hujan mencapai 23 hari dari jumlah hari hujan pada tahun normal di bulan September selama 12 hari (Gambar 5). 250 200
216 191
hari
150
173
175
182
195
195
173
150
100 79
50
42 0 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Sumber: BMKG Stasiun Pomalaa Tahun 2014 Gambar 5 Diagram hari hujan tahunan 2003-2013 Oseanografi Lokasi penelitian terletak di pesisir Kecamatan Pomalaa yang disebut dengan nama Teluk Mekongga. Teluk Mekongga merupakan salah satu teluk yang berada di Teluk Bone. Teluk Mekongga merupakan perairan semi tertutup dengan kepala teluk (bay head) berada di sisi timur laut - timur sekitar daerah Kolaka dan Pomalaa, dan mulut teluk (bay mouth) berada di sisi barat daya - barat yang menghadap langsung dengan perairan Teluk Bone. Di sekitar mulut teluk terdapat beberapa pulau besar dan kecil, seperti Pulau Padamarang yang merupakan pulau paling besar, Pulau Maniang, Pulau Buaya, Pulau Lemo, Pulau Lima, Pulau Lambasina Besar dan Pulau Lambasina Kecil. Kondisi dan posisi pulau-pulau tersebut sangat berperan dalam dinamika gerak air laut di sekitar perairan Teluk Mekongga.
16
Batimetri Teluk Mekongga terletak di sisi timur - tenggara Teluk Bone. Kedalaman rata-rata di Teluk Mekongga tidak lebih dari 50 m, kecuali di beberapa lokasi, seperti di Utara Pulau Padamarang yang kedalamannya mencapai 66 m. Pada Semakin keluar dari Teluk Mekongga, kedalaman laut semakin bertambah. Isodeth 200 m berada di luar pulau-pulau kecil yang membentengi garis pantai Kolaka dan Pomala kira-kira berjarak 17,3 mil laut dari garis pantai Pomalaa. Isodepth 1.000 m hanya berada sedikit lebih jauh, kira-kira 23,7 mil laut dari garis Pomalaa. Kedalaman semakin bertambah ketika mencapai titik terdalam dari Teluk Bone, yaitu sekitar 2.420 m di daerah mulut Teluk Bone (Gambar 6). Selat-selat yang memisahkan pulau-pulau yang berada di Teluk Mekongga memiliki karakteristik sempit dan dalam. Dengan tipe pantai dengan slope yang tajam, kedalaman 20-30 m hanya berjarak kurang dari 2 mil laut dari garis pantai. Konfigurasi pulau-pulau dengan selat yang sempit dan dalam akan memberikan kontribusi fisik yang signifikan dalam perambatan pasut yang masuk ke dalam teluk melalui mulut teluk yang dalam dan lebar.
Sumber: PT ANTAM Tbk.
Gambar 6 Peta batimetri perairan pesisir Kecamatan Pomalaa Arus dan Pasang-Surut Fenomena gerakan massa air dari satu tempat ke tempat lain di laut dapat dibangkitkan oleh berbagai faktor. Di laut terbuka arus dapat dibangkitkan oleh angin, gelombang, pasang surut, perbedaan suhu dan salinitas. Pada perairan pantai
17
yang tertutup arus dominan dibangkitkan oleh pasang surut dan perbedaan densitas karena adanya muara sungai. Bentuk basin suatu perairan, baik teluk maupun selat akan menjadi faktor selanjutnya terhadap kecepatan arus. Pola arus yang terjadi di perairan pantai Pomalaa dapat diketahui dengan dua cara, pertama melakukan pengukuran arus di lapangan dengan menggunakan current meter. Kedua dengan membuat model arus yang dibuat berdasarkan masukan data batimetri, angin dan pasang surut yang terjadi di lokasi dan sekitarnya. Dalam penelitian ini, model arus yang digunakan mengacu pada hasil kajian Proyek Perluasan dan Modernisasi Pabrik Ferronikel Pomalaa tahun 2014. Pada hasil model hidrodinamika atau model arus yang dibuat musim dipertimbangkan sebagai salah satu faktor yang memungkin sebagai penyebab perubahan pola arus yang terjadi, sehingga simulasi dibuat baik pada saat musim barat dan musim timur. Di setiap musim juga dilakukan skenario, yakni pola arus pada saat muka laut di titik MSL (Mean Sea Level) menuju pasang pada saat pasang saat muka laut di MSL menuju surut terendah. Gambar 7 sampai Gambar 10 adalah hasil model arus yang dibuat pada musim barat ketika muka laut berada di titik MLR (Muka Laut Rata-rata) menuju ke titik pasang maksimum. Panel kanan bawah dari gambar tersebut menunjukkan vektor arus dan skala warna. Panel kanan atas adalah kecepatan dan arah arus pada titik A, tengah adalah kecepatan dan arah angin, dan berikutnya adalah fluktuasi muka laut atau pasut. Pola arus pada musim barat menunjukkan massa air dari lepas pantai terlihat telah memasuki pantai. Pada lokasi di sekitar pulau-pulau kecil, pola arus terlihat termodifikasi oleh konfigurasi pulau-pulau tersebut. Pada lokasi tersebut, terlihat arus menyusur mengikuti bentuk garis pantai dan terlihat memiliki panjang vector yang lebih panjang bila dibandingkan dengan tempat yang lain. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kecepatan arus pada lokasi tersebut lebih kuat dibandingkan dengan area yang bukan selat dan lebih luas.
Sumber: PT ANTAM Tbk Tahun 2014
Gambar 7 Pola arus hasil simulasi menuju pasang pada musim barat
18
Ketika muka laut mencapai titik pasang tertinggi (Gambar 8), masih terlihat pola arus yang bergerak menuju ke pantai dan bergerak menyusuri pantai ke arah utara dengan kekuatan lebih kecil dibandingkan dengan ketika menjelang pasang.
Sumber: PT ANTAM Tbk Tahun 2014
Gambar 8 Pola arus hasil simulasi saat pasang pada musim barat Ketika muka laut bergerak menuju surut pola gerakan arus secara total berbalik arah keluar teluk dan menjauhi pantai (Gambar 9). Bersama-sama dengan arus menuju surut yang ada di Teluk Bone, arus menuju surut di Teluk Mekongga bergerak menuju ke selatan. Kondisi serupa juga terjadi pada saat surut (Gambar 10), arus bergerak menuju timur, keluar Teluk Mekongga dengan kecepatan yang lebih rendah dibandingkan dengan kecepatan arus pada saat menuju surut.
Sumber: PT ANTAM Tbk Tahun 2014
Gambar 9 Pola arus hasil simulasi menuju surut pada musim barat
19
Sumber: PT ANTAM Tbk Tahun 2014
Gambar 10 Pola arus hasil simulasi saat surut pada musim barat Pola sebaran arus pada Musim Timur dapat dilihat pada Gambar 11 sampai Gambar 14. Berdasarkan simulasi model yang telah dilakukan untuk Musim Timur tersebut. Pola sebaran arus pada musim timur hampir sama dengan pola sebaran arus pada musim barat. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa faktor utama yang membangkitkan arus di Teluk Mekongga adalah arus pasang surut. Meskipun dilakukan pada dua musim yang berbeda namun tidak terlihat faktor angin berperan secara signifikan. Lokasi Teluk Bone yang relatif terlindung dan adanya pulaupulau kecil di mulut Teluk Mekongga menyebabkan faktor angin kecil sebagai pembangkit arus.
Sumber: PT ANTAM Tbk Tahun 2014
Gambar 11 Pola arus hasil simulasi menuju pasang pada musim timur
20
Sumber: PT ANTAM Tbk Tahun 2014
Gambar 12 Pola arus hasil simulasi saat pasang pada musim timur
Sumber: PT ANTAM Tbk Tahun 2014
Gambar 13 Pola arus hasil simulasi menuju surut pada musim timur
21
Sumber: PT ANTAM Tbk Tahun 2014
Gambar 14 Pola arus hasil simulasi saat surut pada musim timur Wilayah pasang surut terdapat pada wilayah-wilayah di pantai, yang tersebar di seluruh kecamatan wilayah utara dan selatan. Pada wilayah timur terletak di daerah pegunungan. Tipe pasang surut pada Perairan Pomalaa tergolong pada tipe campuran condong ke setengah harian. Oleh karena itu akan terjadi dua kali pasang dan satu kali surut dengan tinggi dan periode yang berbeda. Pengaruh pasang surut dalam pengaliran air ke dalam dan luar drainase tidak terlalu signifikan dan perlu dipertimbangkan dengan baik dalam pemanfaatan air laut. Berdasarkan posisi terhadap garis pantai, beberapa desa/kelurahan yang berada pada wilayah pasang surut disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Wilayah pasang surut di Kecamatan Pomalaa No.
Nama Kelurahan / Desa
Nama Kecamatan
1 2 3 4 5 6
Kel. Dawi-Dawi Desa Hakatutobu Desa Tambea Desa Kumoro Desa Sopura Desa Totobo
Pomalaa Pomalaa Pomalaa Pomalaa Pomalaa Pomalaa
Gelombang Gelombang adalah merupakan gambaran dari kondisi permukaan laut, apakah tenang seperti kaca atau berombak besar. Pengukuran secara langsung terhadap tinggi dan rendahnya gelombang laut di Indonesia sangat terbatas. Teknik lain yang digunakan adalah dengan memprediksinya dari data angin (kecepatan, lamanya angin bertiup) dan panjang fetch. Bila dilihat dari letaknya, Teluk Mekongga terdapat di dalam Teluk Bone di bagian sisi kanan (bila dilihat dari mulut
22
teluk) dan juga di bagian tengah Teluk Mekongga terdapat barisan pulau-pulau kecil sehingga posisinya relatif terlindung. Berdasarkan data tersebut ketinggian gelombang rata-rata di Teluk Mekongga adalah <2 m (Antam, 2014). Pada saat angin Tenggara gelombang relatif lebih besar terjadi di perairan Teluk Bone dibandingkan dengan kondisi gelombang pada saat angin Barat Laut. Topografi Topografi atau bentuk wilayah di Kecamatan Pomalaa berdasarkan hasil analisis data Digital Elevation Models (DEM) terbagi atas enam satuan topografi yaitu antara datar (0-3%) sampai curam (45-65%). Kondisi topografi hasil pemetaan didominasi topografi berbukit yaitu seluas 6.456,9 ha (25,9%). Luas masing-masing kelas topografi disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 15. Tabel 4 Luas topografi di Kecamatan Pomalaa No 1 2 3 4 5 6
Topografi Datar (0-3%) Berombak (3-8%) Bergelombang (8-15%) Berbukit (15-30%) Agak Curam (30-45%) Curam (45-65%) Jumlah
Luas Ha 3.865,1 2.856,4 2.907,8 6.456,9 3.972,5 4.892,7 24.951,5
% 15,5 11,4 11,7 25,9 15,9 19,6 100,0
Berdasarkan Gambar 15, dapat dilihat bahwa luasan wilayah topografi datar dengan kemiringan <3% mencapai 3.865 ha. Lahan dengan kemiringan ini tersebut sangat potensial jika dikembangkan sebagai kawasan budidaya tambak. Potensi ini sangat mungkin dikembangkan mengingat wilayah dengan kemiringan tersebut tidak masuk dalam wilayah blok tambang. Kemiringan lereng merupakan sudut antara bidang datar permukaan bumi terhadap suatu garis atau bidang yang ditarik dari titik terendah sampai titik tertinggi pada suatu bidang lahan tertentu. Kemiringan lereng (topografi) sangat mempengaruhi pengelolaan lahan tambak. Lahan yang curam selain memerlukan banyak biaya untuk konstruksi, juga berdampak pada hilangnya lapisan tanah permukaan yang subur jika terjadi penggalian. Lahan tambak pada daerah yang topografinya tergolong curam pada umumnya memiliki tingkat kesuburan yang rendah dan memerlukan pemupukan dalam dosis tinggi dan dalam waktu yang lama (Afrianto dan Liviawaty, 1991). Menurut Djurjani (1998) dalam Hamzah (2005), lahan tambak dengan kemiringan berkisar 0 -1 % merupakan lahan tambak yang bernilai ekonomis tinggi karena merupakan lahan dengan ciri relief datar yang memudahkan dalam pengelolaan air, sehingga biaya operasional relatif lebih murah. Pada lahan tambak dengan kemiringan lebih dari 2%, relatif berombak sehingga membutuhkan pengelolaan lahan lebih intensif yang berujung pada meningkatnya biaya operasional untuk memenuhi pasokan air laut dan air tawar.
23
Gambar 15 Peta topografi Kecamatan Pomalaa
24
Geologi Geologi di Kecamatan Pomalaa berdasarkan pada Peta Geologi Lembar Kolaka, Sulawesi Tenggara skala 1 : 250.000 terbagi atas enam formasi geologi yaitu Aluvium (Qa), Formasi Alangga (Qpa), Formasi Langkawala (Tml), Formasi Boeapinang (Tmpb), Kompleks Pampangeo (MTpn) dan Kompleks Ultramafik (Ku). Luas masing-masing formasi geologi terdapat pada Tabel 5. Tabel 5 Formasi geologi di Kecamatan Pomalaa Simbol
Formasi Geologi
Qa Qpa Tml Tmpb MTpn Ku
Aluvium Formasi Alangga Formasi Langkawala Formasi Boeapinang Kompleks Pampangeo Kompleks Ultramafik Jumlah
Luas Ha 712,9 2.954,6 2.230,5 852,9 2.972,8 15.227,7 24.951,5
% 2,9 11,8 8,9 3,4 11,9 61,0 100,0
Formasi Aluvium (Qa) berumur Halosen yang berasal dari endapan permukaan baik sungai, rawa dan endapan pantai. Batuan penyusun aluvium terdiri atas kerikil, kerakal, pasir lempung dan lumpur. Formasi Alangga (Qpa) diduga berumur Plistosen Akhir yang terdiri atas batupasir dan konglomerat. Formasi Langkolawa (Tml) berumur Miosen Akhir yang terdiri atas batupasir, serpih, dan konglomerat. Kompleks Pampangeo (MTpn) Kapur Akhir–Paleosen tersusun atas batuan sekis, pualam, dan batu gamping. Komplek Ultramafik (Ku) berumur Kapur yang terdiri atas harzburgit, dunit, serpentinit, gabro dan basal.
Gambar 16 Peta geologi Kecamatan Pomalaa
25
Tanah Tanah merupakan sumberdaya alam yang berperan penting bagi pertanian. Tanah adalah suatu benda alam yang tersusun atas bahan mineral dan organik, cair dan gas. Benda alami ini terbentuk dari hasil kerja interaksi antara iklim dan organisme terhadap bahan induk tanah, pada suatu posisi relief (topografi) dan dalam kurun waktu tertentu. Tanah di Kecamatan Pomalaa berdasarkan sistem Klasifikasi Taksonomi Tanah (USDA, 1999) terbagi atas empat ordo tanah yaitu Entisols (Aluvial), Inceptisols (Kambisol), Ultisols (Podsolik) dan Oxisols (Oksisol). Ordo tanah Entisols berkembang pada regim kelembaban aquic (basah) sehingga mendatangkan subordo Aquents dengan dua group yaitu Hidroquents dan Sulfaquents. Ordo tanah Inceptisols berkembang pada regim kelembaban aquic dan udic yang menghasilkan subordo Aquepts dan Udepts. Subordo Aquepts menghasilkan group Endoaquepts, sedangkan subordo Udepts menghasilkan group Dystrudepts. Ordo Ultisols dan Oxisols terutama berkembang pada regim kelembaban udic (lembab) yang menghasilkan subordo Udults dan Udox. Subordo udults menghasilkan group Hapludults, sementara Udox menghasilkan group Eutrudox dan Hapludox. Masing-masing group tanah berada dalam bentuk asosiasi. Luas dan prosentase luasan klasifikasi tanah di Kecamatan Pomalaa disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 17. Tabel 6. Klasifikasi tanah di Kecamatan Pomalaa No 1 2 3 4 5
Tanah Hidroquents, Sulfaquents Endoaquepts, Dystrudepts Eutrudox, Eutrudepts Dystrudepts, Hapludults Hapludox, Dystrudepts Jumlah
Luas Ha 413,5 1.784,1 6.007,3 2.154,1 14.592,5 24.951,5
Gambar 17 Peta jenis tanah Kecamatan Pomalaa
% 1,7 7,2 24,1 8,6 58,5 100,0
26
Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah aliran sungai (DAS) perannya begitu vital, sebap DAS berfungsi menampung air yang berasal dari air hujan dan sumber-sumber air lainnya yang penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukumhukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut; daerah sekitar sungai, meliputi punggung bukit atau gunung yang merupakan tempat sumber air sampai dan semua curahan air hujan yang mengalir ke sungai, sampai daerah dataran dan muara sungai. Peran dan fungsi DAS amatlah begitu penting bagi manusia, namun peran dan fungsi tersebut sering kali tergganggu akibat perubahan tata guna lahan (land use), baik di hulu maupun hilir. Perubahan fungsi lahan di kawasan hulu DAS terutama dari hutan menjadi lahan eksploitasi tambang dapat berdampak pada berkurangnya fungsi resapan air dan meningkatnya perbedaan debit maksimumminimum (run off), erosi dan sedimentasi. Jika debit limpasan permukaan maksimum, otomatis debit banjir di sungai mengalami peningkatan dan apabila sungai tidak dapat menampung debit tersebut, pasti air akan meluap dan menggenangi kawasan sekitarnya. Sedangkan ketika debit minimum kekeringan akan terjadi, khususnya pada mata air yang terdapat intake (bangunan penangkap air). Faktor penutupan lahan (vegetasi) cukup signifikan dalam pengurangan ataupun peningkatan aliran permukaan. Hutan yang lebat mempunyai tingkat penutup lahan yang tinggi, sehingga apabila hujan turun ke kawasan hutan tersebut, faktor penutup lahan ini akan memperlambat kecepatan aliran permukaan, bahkan bisa terjadi kecepatannya mendekati nol. Ketika suatu kawasan hutan berubah menjadi lahan tambang, pemukiman, maka penutup lahan kawasan ini akan berubah menjadi penutup lahan yang tidak mempunyai resistensi untuk menahan aliran. Ha yang terjadi ketika hujan turun, kecepatan air akan meningkat tajam di atas lahan ini. Kawasan hutan di hulu DAS kemiringannya besar (>40%) dan apabila vegetasi yang bisa menghambat laju air hujan yang run off hilang, maka kecepatan air meningkat tajam dan cenderung bersifat destruktif (daya rusak air meningkat). Hal terburuk yang mungkin bisa terjadi adalah banjir bandang, air yang kecepatannya besar karena dipengaruhi kemiringan ketika meluncur bisa menyeret batu-batu besar dan kayu gelondongan yang ada di sepanjang daerah pengalirannya. Secara garis besar Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Kecamatan Pomalaa terdiri dari tiga DAS (DAS Mekongga, DAS Huko-huko dan DAS Okooko) dan sebelas Sub-DAS (Sub-DAS Kahatutobu, Kumoro, Latumbi, Latumbi Tengah, Leppe, Lamboato, Mekongga, Oko-oko, Sopura, Tabelawa dan Sub-DAS Totobo). Berdasarkan Gambar 18, dapat dilihat bahwa kawasan DAS yang paling luas wilayahnya adalah DAS Mekongga dan DAS Oko-oko.
27
Gambar 18 Peta DAS Kecamatan Pomalaa
28
Tata Guna Lahan Terdapat suatu hubungan antara perubahan tutupan lahan di sekitar DAS dengan besarnya sedimentasi yang keluar dari DAS tersebut. Perubahan suatu ekosistem di darat, secara tidak langsung akan mempengaruhi ekosistem di pesisir dan laut. Bagian hulu sungai merupakan daerah tangkapan air paling awal yang berperan menyimpan air untuk kelangsungan hidup makhluk hidup di dunia. Apabila lahan tempat air tersimpan tersebut sudah terganggu atau mengalami degradasi, maka simpanan air akan berkurang dan mempengaruhi debit sungai di sekitar lahan tersebut berada serta pengaruh selanjutnya akan mengganggu keseimbangan dalam keberlangsungan hidup makhluk hidup yang tinggal di kawasan tersebut. Kerusakan yang timbul paling nyata adalah akan semakin cepat sedimentasi atau penumpukan material akibat erosi pada daerah hilir. Dua penyebab utama terjadinya erosi adalah erosi karena sebab alamiah dan erosi karena aktivitas manusia. Erosi alamiah dapat terjadi karena proses pembentukan tanah dan proses erosi yang terjadi untuk mempertahankan keseimbangan tanah secara alami. Sedang erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh terkelupasnya lapisan tanah bagian atas akibat eksploitasi lahan tambang yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah atau pembangunan yang bersifat merusak keadaan fisik tanah (Asdak,1995). Biasanya akibat yang sering timbul dari proses tersebut adalah terjadinya banjir di bagian hilir sungai. Penggunaan/penutupan lahan di Kecamatan Pomalaa berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM 7+ tahun 2014 dapat diklasifikasikan ke dalam 12 jenis penggunaan/penutupan lahan. Penggunaan lahan di Kecamatan Pomalaa di dominasi semak belukar seluas 9.171,5 ha (36,8%) dan hutan sekunder seluas 8.812,1 ha (35,3%). Secara rinci jenis dan luas penggunaan/ penutupan lahan di Kecamatan Pomalaa disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Luas penggunaan/penutupan lahan di Kecamatan Pomalaa No
Penggunaan/Penutupan Lahan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Air sungai Danau/situ Reklamasi pantai Permukiman Tambak Sawah Kebun campuran Lahan reklamasi tambang Lahan tambang terbuka Semak belukar Hutan mangrove Hutan sekunder Jumlah
Luas ha 30,8 0,6 5,7 920,5 522,4 863,8 31,0 1.806,3 2.734,9 9.171,5 52,0 8.812,1 24.951,5
% 0,1 0,0 0,0 3,7 2,1 3,5 0,1 7,2 11,0 36,8 0,2 35,3 100,0
Pada wilayah pesisir selain terdapat hutan mangrove, perairan di Kecamatan Pomalaa tertutup pembangunan jetty seluas 114,6 ha, dan penutupan terumbu karang (coral reff) seluas 2.606,0 ha.
29
Gambar 19 Peta Tutupan lahan Kecamatan Pomalaa
30
Letak Geografis dan Batas Wilayah Kecamatan Pomalaa terletak di jazirah Tenggara Kabupaten Kolaka. Secara geografis terletak di bagian timur Kabupaten Kolaka. Batas-batas wilayahnya adalah: • Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Baula, • Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tanggetada, • Sebelah timur berbatasan Kecamatan Lambandia • Sebelah barat berbatasan dengan Teluk Bone Provinsi Sulawesi Selatan Luas wilayah Kecamatan Pomalaa 337,82 km², dimana sebagian besar wilayah berada di perairan laut Teluk Bone. Secara keseluruhan terdiri dari tiga belas desa/kelurahan dengan luasan masing-masing disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 20. Tabel 8 Luas wilayah Kecamatan Pomalaa menurut desa/kelurahan Luas No 1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11. 12. 13.
Desa/Kelurahan Oko-Oko Sopura Hakatutobu Tambea Pomalaa Kumoro Dawi-Dawi Tonggoni Totobo Pelambua Pesouha Huko-Huko UPT Hakatotobu Jumlah Sumber: BPS Kab. Kolaka Tahun 2014
Km2 25,63 22,65 58,25 34,16 13,16 5,70 2,87 1,20 8,50 3,45 11,90 146,35 4,00 337,82
% 7,59 6,70 17,24 10,11 3,90 1,69 0,85 0,36 2,52 1,02 3,52 43,32 1,18 100
Jumlah dan Kepadatan Penduduk Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah Kecamatan Pomalaa selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan menetap. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Kolaka, jumlah penduduk Kecamatan Pomalaa dari 2009-2013 disajikan pada Tabel 9.
31
Gambar 20 Peta administrasi Kecamatan Pomalaa Tabel 9 Penduduk Kecamatan Pomalaa menurut desa/kelurahan No 1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11. 12.
Desa/Kelurahan Oko-Oko Sopura Hakatutobu Tambea Pomalaa Kumoro Dawi-Dawi Tonggoni Totobo Pelambua Pesouha Huko-Huko Jumlah
2009 860 989 908 768 1.664 2.687 6.309 2.125 566 3.063 1.125 1.725 22.789
2010 946 1.067 1.004 983 1.695 2.871 8.607 2.773 582 4.124 1.310 2.295 28.199
Penduduk 2011 961 1.088 1.036 1.000 1.722 2.944 8.804 2.773 590 4.218 1.332 2.345 28.813
2012 988 1.115 688 1.027 1.771 3.000 8.992 2.837 608 4.309 1.369 2.398 29.461
2013 1.012 1.141 1.074 1.051 1.814 3.071 9.207 2.904 622 4.411 1.043 2.455 30.165
Sumber: BPS Kab. Kolaka Tahun 2014 Berdasarkan Tabel 9, dapat dilihat bahwa jumlah penduduk terbesar terdapat terkosentrasi di tiga desa/kelurahan yakni Kelurahan Dawi-dawi, Desa Tanggoni dan Desa Totobo. Padatnya penduduk di ketiga desa tersebut karena tepat berada di Ibukota Kecamatan Pomalaa yang sekaligus menjadi pusat aktifitas bisnis bagi seluruh masyarakat di Pomalaa. Kepadatan penduduk adalah banyaknya penduduk per km persegi. Berdasarkan data terakhir, jumlah penduduk di Kecamatan Pomolaa tahun 2013 sebanya 30.165 jiwa dengan luas wilayah sebesar 337,82 km2. Dengan demikian, maka kepadatan penduduk di Kecamatan Pomalaa sebesar 80 jiwa/km2.
32
Tabel 10 Kepadatan penduduk Kecamatan Pomalaa tahun 2013 No
Desa/Kelurahan
1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11. 12.
Oko-Oko Sopura Hakatutobu Tambea Pomalaa Kumoro Dawi-Dawi Tonggoni Totobo Pelambua Pesouha Huko-Huko Jumlah
Jumlah Penduduk (jiwa) 1.012 1.141 1.074 1.051 1.814 3.071 9.207 2.904 622 4.411 1.043 2.455
Luas Wilayah (km2)
Kepadatan (jiwa/km2)
25,63 22,65 58,25 34,16 13,16 5,70 2,87 1,20 8,50 3,45 11,90 146,35
39 49 11 30 135 526 3.133 2.364 72 1.278 115 16
20.165
337,82
80
Sumber: BPS Kab. Kolaka Tahun 2014 Jenis mata pencaharian dominan di Kecamatan Pomalaa adalah nelayan dan wiraswasta. Hal ini dikarenakan Pomalaa merupakan wilayah pesisir, sehingga masyarakatnya cenderung memiliki keterampilan menangkap ikan dan membudidayakan ikan. Kegiatan wiraswasta cenderung berkaitan langsung dengan potensi wilayah, yakni usaha perikanan dan pertambangan. Fasilitas Pendidikan Fasilitas pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam kemajuan pendidikan di suatu wilayah. Ketiadaan sarana pendidikan, akan menghambat pengembangan pendidikan. Ketersediaan sarana pendidikan akan membuka peluang yang lebih besar terhadap kesempatan mengenyam pendidikan. Tingkat pendidikan yang baik, akan berpengaruh terhadap perilaku masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk pemanfaatan dan pengelolaan perairan kawasan pesisir lokasi tambang nikel Pomalaa. Oleh karena itu maka ketersediaan sarana pendidikan pada 12 desa/kelurahan yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Pomalaa perlu dianalisis lebih lanjut, guna mengetahui ketersediaan sarana pendidikan berdasarkan level pendidikan dasar dan menengah. Jumlah sekolah, guru dan murid menurut jenjangnya di Kecamatan Pomalaa disajikan pada Tabel 11. Tabel 11
Jumlah sekolah, guru dan murid menurut jenjang pendidikan di Kecamatan Pomalaa
Tingkat Jumlah Rasio Pendidikan Sekolah Guru Murid Guru/Sekolah Murid/Sekolah Murid/Guru TK 4 47 478 18 228 43 SD 20 236 4.460 71 719 52 SLTP 9 139 1.583 73 691 29 SLTA 2 36 1.112 36 1.112 113
Sumber: BPS Kab. Kolaka Tahun 2014
33
Berdasarkan data fasilitas pendidikan diperoleh bahwa secara umum fasilitas pendidikan di Kecamatan Pomalaa tergolong baik sarana pendidikannya. Hal tersebut ditandai dengan lengkapnya sarana pendidikan mulai dari TK, SD, SMP dan SMU. Fasilitas Sosial Fasilitas sosial merupakan sarana umum yang dibangun guna memenuhi kebutuhan sosial masyarakat, seperti; sekolah, rumah ibadah, rumah sakit, puskesmas dan sarana umum lainnya yang diperuntukan untuk kebutuhan sosial. Pembangunan fasilitas sosial, dapat dilakukan oleh pemerintah, swasta maupun kelompok masyarakat secara bersama-sama. Keberadaan sarana sosial menjadi sangat penting, terutama sebagai wadah bagi pengembangan masyarakat, baik yang terkait dengan pendidikan, agama, kesehatan serta minat dan bakat dibidang seni dan olah raga. Tabel 12 Fasilitas sosial di wilayah Kecamatan Pomalaa No Fasilitas Sosial Jumlah 1 Sekolah 38 2 Rumah Ibadah 29 3 Rumah Sakit 1 4 Puskesmas 4 5 Lapangan 1 Sumber: BPS Kab. Kolaka Tahun 2014
Ket Berfungsi Berfungsi Berfungsi Berfungsi Berfungsi
Berdasarkan Tabel 12, diperoleh gambaran bahwa fasilitas social berupa rumah ibadah dan sarana pendidikan (sekolah), merupakan sarana sosial yang paling banyak tingkat ketersediannya. Kedua sarana tersebut telah menjadi kebutuhan primer masyarakat, dimana ibadah merupakan kebutuhan setiap manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya. Demikian halnya dengan sekolah, dimana pemerintah telah menetapkan wajib belajar sembilan tahun. Sedikit berbeda dengan rumah sakit dan puskesmas, dimana kedua hal tersebut meskipun menjadi kebutuhan dasar berupa kesehatan fisik, namun keberadaanya dalam jumlah banyak tidaklah menjadi penentu, akan tetapi kemudahan akses serta kelengkapan sarana kesehatan dan tenaga medis menjadi lebih utama daripada jumlah bangunan. Sementara fasilitas sosial berupa lapangan hanya merupakan kebutuhan sekunder dan tersier bagi sebagian masyarakat. Peraturan dan Kelembagaan Peraturan dan kelembagaan merupakan salah satu aspek yang penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Peraturan merupakan dasar kebijakan pengelolaan sedangkan kelembagaan merupakan wadah pengembang kebijakan tersebut. Seperti halnya dengan kawasan perairan lokasi pertambangan nikel Pomalaa, yang merupakan suatu kawasan perairan yang sangat strategis, dimana didalamnya terdapat berbagai aktivitas masyarakat, mulai dari industri, pertambakan, pertanian, permukiman, perdagangan hingga jasa-jasa lingkungan. Selain itu, di kawasan perairan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa juga terdapat berbagai sektor yang kesemuanya memiliki kepentingan dalam
34
pengembangannya. Sektor tersebut antara lain adalah sektor perikanan untuk pengembangan areal pertambakan, sektor pertanian untuk pengembangan lahan pertanian, sektor kehutanan untuk pelestarian areal mangrove, sektor perhubungan untuk sarana transportasi laut, sektor pariwisata untuk pengembangan wisata pantai (Pantai Slag Pomalaa). Tabel 13 Daftar peraturan dan kelembagaan yang berperan dalam pengelolaan perairan pesisir kawasan Pertambangan Nikel Pomalaa Peraturan
Tentang
UU No.4/2009
Pertambangan Mineral Dan Batubara
UU No.40/2007
Perseroan Terbatas
UU No.32/2009 UU No.7/ 2004 UU No. 5/1990 UU No.26/2007 UU No.1/2014 UU No.45/2009 PP No.47/2012 PP No. 15/2011 PP No. 7/1999 PP No. 82/2001 KepMen LH No.37/2003 KepMen LH No.110/2003 KepMen LH No.112/2003 KepMen LH No.114/2003 KepMen LH No.115/2003 KepMen LH No.03/1998 KepMen LH No.51/1995 KepMen LH No.35/1995
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Sumber Daya Air Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Penataan Ruang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Perikanan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Penyelenggaraan Penataan Ruang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Pengelolaan Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Air Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan Dan Pengambilan Contoh Air Permukaan Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Pada Sumber Air Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan Kegiatan Domestik Pedoman Pengkajian Untuk Menetapkan Kelas Air Pedoman Penentuan Status Mutu Air Baku Mutu Limbah Bagi Kawasan Industri Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri Program Kali Bersih (Prokasih)
Kelembagaan BLHD Kab. Kolaka Bappeda, BLHA Kab. Kolaka BLHD Kab. Kolaka BPDAS Mekongga Dinas Kehutanan Bappeda DKP DKP DKP, BLHD, Pappeda Bappeda Dinas Kehutanan, DKP BLHD Kab. Kolaka BLHD Kab. Kolaka BLHD Kab. Kolaka BLHD Kab. Kolaka BLHD Kab. Kolaka BLHD Kab. Kolaka BLHD Kab. Kolaka BLHD Kab. Kolaka BLHD Kab. Kolaka
35
Peraturan
Tentang
UU No.4/2009
Pertambangan Mineral Dan Batubara
UU No.40/2007
Perseroan Terbatas
KepMen LH No.52/1995 KepMen LH No.58/1995 KepMen LH No.51/2004 KepMen LH No.201/2004 SK Menteri Kehutanan No. 94/Kpts-II/2003 PerMen LH No.09/2006 Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor Per05/MBU/2007 Perda No.15 Tahun 2014 Perda No. 16 Tahun 2012
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit
Perda No.11 Tahun 2010
Perda No. 4 Tahun 2005 Perda No. 13 Tahun 2001 Keputusan Bupati Kolaka nomor 178 tahun 2012
Baku Mutu Air Laut Kriteria Baku & Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove
Kelembagaan BLHD Kab. Kolaka Bappeda, BLHA Kab. Kolaka BLHD Kab. Kolaka BLHD Kab. Kolaka BLHD Kab. Kolaka Dinas Kehutanan
Taman Wisata Laut Pulau Padamarang Dinas Kehutanan Baku Mutu Air Laut Untuk Tambang Nikel
BLHD Kab. Kolaka
Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan
BLHD, DKP, Bappeda
Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Kolaka 2012-2031 Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara Di Kabupaten Kolaka Penerapan Instrumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup, Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup
BLHD Kab. Kolaka Bappeda, BLHD Kab. Kolaka
Retribusi Izin Perikanan Dan Kelautan
DKP Kab. Kolaka
Perlindungan dan Rehabilitasi Wilayah Pesisir Desa Tambea Sampai Hakatutobu
BLHD Kab. Kolaka
BLHD Kab. Kolaka Bappeda, DKP, Dinas Perindustrian, BLHD Kab. Kolaka
Berdasarkan data tentang peraturan dan kelembagaan dalam pengelolaan perairan kawasan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa, diperoleh bahwa terdapat implementasi berbagai peraturan serta terdapat berbagai kelembagaan yang memiliki kewenangan.
36
Simpulan Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Fergusson, Kecamatan Pomalaa merupakan daerah dengan type iklim B dimana bulan kering lebih lama dari bulan basah. Kecenderungan musim hujan terjadi pada bulan Desember hingga Mei dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April. Periode terkering di Kecamatan Pomalaa terjadi pada bulan September. Kawasan pesisir lokasi tambang nikel Pomalaa berada dalam Teluk Mekongga dengan karakteristik semi tertutup dengan kedalam tidak lebih dari 50 m. Di sekitar mulut teluk terdapat pulau-pulau dengan karakteristik selat sempit dan dalam sekitar 20-30 m yang hanya berjarak dua mil dari garis pantai sehingga memberikan kontribusi fisik yang signifikan dalam perambatan pasang surut. Karena kawasan pesisir Pomalaa merupakan perairan semi tertutup, maka pergerakan air lebih dominan dibangkitkan oleh pasang surut dan perbedaan densitas karena adanya muara sungai. Tipe pasangsurut di perairan Pomalaa tergolong tipe campuran condong kesetengah harian dengan dua kali pasang dan satu kali surut. Ketinggian gelombang rata-rata di Teluk Mekongga adalah < 2 m. Berdasarkan hasil analisis topografi, luasan lahan yang potensial untuk pengembangan tambak dengan kemiringan antara 0-3% di kawasan pesisir Kecamatan Pomalaa adalah 3.865,1 ha yang tersebar pada wilayah Desa Oko-oko, Sopura, UPT Hahatutobu dan Desa Totobo. Dengan luasan tambak saat ini adalah 522,4 ha, maka potensi pengembangan tambak masih sangat terbuka besar. Jenis mata pencaharian dominan di Kecamatan Pomalaa adalah nelayan dan wiraswasta. Hal ini dikarenakan Pomalaa merupakan wilayah pesisir, sehingga masyarakatnya cenderung memiliki keterampilan menangkap ikan dan membudidayakan ikan. Wiraswasta cenderung berkaitan langsung dengan potensi wilayah, yakni usaha perikanan dan pertambangan. Terkait dengan aspek hukum dan kelembagaan, dalam rangka perlindungan masyarakat dan rehabilitasi lingkungan kawasan pesisir Kecamatan Pomalaa sebagai akibat dari dampak adanya pertambangan nikel, Pemerintah Daerah Kabupaten Kolaka mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Peraturan Daerah dan Keputusan Bupati.
3 BEBAN PENCEMARAN DAN KAPASITAS ASIMILASI PERAIRAN PESISIR KAWASAN PERTAMBANGAN NIKEL POMALAA SULAWESI TENGGARA Pendahuluan Limbah industri telah menjadi keprihatinan besar di seluruh dunia karena mencemari lingkungan dalam skala yang cukup besar. Ekosistem pesisir sangat rentan terhadap dampak negatif dari berbagai kegiatan pembangunan permukiman dan industri, yang dapat menyebabkan masuknya bahan kimia di badan air yang berdampak pada menurunnya kualitas air menyebabkan bahaya kesehatan yang serius terhadap organisme air (Naqvi et al., 2000; Jayakumar et al., 2001 dan Balachandran et al., 2002). Diantara kontaminan lingkungan, logam berat dalam limbah muncul sebagai salah satu masalah yang paling mendesak karena sifat
37
toksisitas yang tinggi (Breierova et al., 2002; Honjoh et al., 1997). Logam berat dari pertambangan, peleburan, pertanian, industri petrokimia, percetakan, budidaya, industri elektronik dan limbah dibuang ke lingkungan air dapat diakumulasi oleh organisme dan dipindahkan ke organisme lain melalui rantai makanan (Ciji dan Bijoy Nandan, 2014). Kontaminasi logam dalam sistem air adalah masalah serius bagi kesehatan manusia karena banyak organisme terutama ikan merupakan bagian integral dari rantai makanan. Oleh karena itu pemahaman yang lebih baik tentang pencemaran logam berat tidak bisa dilepaskan dari ekosistem pesisir untuk pembangunan yang berkelanjutan (Rainbow dan Luoma, 2011). Pembuangan polutan dalam jumlah yang lebih besar ke dalam lingkungan air dapat mengakibatkan kerusakan dalam ketidakseimbangan ekologi, perubahan sifat fisik dan kimia dari air dan ketidak seimbangan biota perairan (Mitra et al., 1996 dan Riani, 2015). Konsep kapasitas asimilatif telah ada selama berabad-abad, meskipun tidak secara resmi dinyatakan. Lahirnya Revolusi Industri telah menambah jumlah limbah di alam sehingga sistem alam tidak bisa mengasimilasi limbah seluruhnya dengan cepat (Cairns, 1977, 1981). Pada tes toksisitas laboratorium dan survei lapangan aliran memiliki tujuan menentukan ada-bservable-merusak-efek ambang batas (kapasitas asimilatif) untuk berbagai macam ekosistem perairan. Konsep kapasitas asimilatif telah diperluas untuk mencakup kemampuan untuk menyerap limbah selain organik sederhana tanpa terdegradasi. Selain itu, sistem alam dapat memecah, membuat biologis tidak tersedia, atau membubarkan beberapa jenis kontaminan. Bahkan bahan kimia organik kompleks seperti pestisida dan hidrokarbon dipecah dalam lingkungan melalui kedua proses biotik dan abiotik Nikel merupakan salah satu produk tambang yang banyak diproduksi di Indonesia dan salahsatu daerah penghasil nikel adalah Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara dengan total luas wilayah konsensi sebesar 11.496,70 Ha. Laporan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Sulawesi Tenggara tahun 2009, akibat semakin luasnya bukaan lahan tambang, menyebabkan semakin tingginya sedimentasi di kawasan pesisir. Menurut hasil analisis yang telah dilakukan, sedimentasi lumpur tambang yang masuk melalui sungai-sungai di perairan laut Pomalaa menyumbang 1.330.281 m3/tahun dengan laju pendangkalan 0,507 m/tahun. Prediksi 10 kemudian, kontur kedalaman 1-3 meter bakal berubah menjadi daratan seluas 923,4 hektar, sehingga luas perairan Pomalaa pada saat itu tinggal 197,1 hektar. Menurut Widiatmaka et al., (2010), berdasarkaan hasil analisis yang dilakukan dengan metode USLE besarnya erosi tanah pada pada beberapa titik di lokasi pertambangan nikel Pomalaa telah berada pada ambang batas kategori berat. Dampak lain yang juga tidak kalah besarnya adalah meningkatnya kekeruhan perairan di wilayah pesisir. Menurut Hamzah (2009), berdasarkan hasil pengujian berbagai parameter kualitas air seperti total suspended solid (TSS), besi (Fe), seng (Zn), khrom (Cr), timbal (Pb) dan nikel (Ni), ditemukan bahwa kosentrasi beban pencemar telah melampaui batas kapasitas asimilasinya. Aktivitas tambang yang ada di Kecamatan Pomalaa terdiri dari dua kegiatan yaitu penambangan dan pengolahan. Proses pengolahan menghasilkan limbah padat berupa slag (terak) dan limbah cair berupa air pendingin slag dan limbah minyak. Slag adalah residu/limbah yang berupa gumpalan padat yang terdiri dari mineral-mineral yang merupakan agregat sisa hasil buangan dari pembakaran dapur
38
listrik. Dalam hal penambangan karena sifatnya open cut mining, maka keberadaan volume material tanah dan batuan (overburden) akan sangat mempengaruhi kondisi ekologi pada daerah sekitarnya. Hal ini akan semakin parah apabila terjadi hujan lebat karena material tersebut akan tererosi dan masuk ke laut, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sedimentasi serta perubahan kualitas air laut pada wilayah pesisir (Arsyad, 2010). Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung besarnya beban pencemaran yang masuk ke perairan pesisir lokasi Pertambangan Nikel Pomalaa Sulawesi Tenggara dan menghitung kapasitas asimilasi perairan pesisir lokasi Pertambangan Nikel Pomalaa Sulawesi Tenggara. Metodologi Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian berlokasi di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Propinsi Sulawesi Tenggara dan dilaksanakan selama 9 (sembilan) bulan, yaitu dari bulan Februari 2014 sampai dengan bulan Oktober 2014. Analisis kualitas air terdapat beberapa parameter dilakukan langsung di lapangan, sementara untuk analisis logam berat dilakukan di Laboratorium. Pengukuran kualitas air laut dilakukan pada saat air pasang naik agar dapat menggambarkan kualitas air laut yang sesungguhnya setelah terjadinya pengadukan sempurna dengan hydrodinamika perairan. Pengukuran kualitas air sungai dilakukan pada saat air laut surut dimaksudkan untuk meminimalisasi pengaruh masuknya air laut ke sungai yang dapat mempengaruhi salinitas. Metode Pengambilan dan Analisis Sampel Air Pengambilan sampel air di sungai dan laut dilakukan dengan menggunakan water sampler jenis Van Dorn. Alat/metode pengukuran karakteristik fisika-kimia air yang digunakan pada penelitian ini, disajikan pada Tabel 14.
39
Tabel 14 Alat dan metode analisis pengukuran karakteristik fisika-kimia air Parameter A. Fisika (air) 1. Suhu 2. Kekeruhan 3. Padatan tersuspensi B. Kimia (air) 1. Salinitas 2. pH 3.Oksigen terlarut (DO) 4. BOD5 5. Fosfat (PO4-P) 6. Nitrit 7. Amonia Bebas (NH3-N) 8. Tembaga (Cu) 9. Seng (Zn) 10. Khrom Heksavalen (Cr+6) 11. Timbal (Pb) 12. Nikel (Ni) 13. Camium (Cd)
Unit °C (NTU) mg/l PSU mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
Metode/ Alat
Keterangan
Termometer Turbidimeter Gravimetrik
In Situ In Situ Laboratorium
Refraktometer pH-meter DO-meter SNI 6989.72:2009 SNI 7554.5:2011 SNI 6989.79:2011 SNI 6989.30:2005 SNI 6989.6:2009 SNI 6989.7:2009 SNI 6989.53:2010 SNI 6989.46:2009 SNI 6989.18:2009 SNI 6989.16:2009
In Situ In Situ In Situ Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium
Metode Analisis Data Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Beban pencemaran yang masuk melalui sungai, outlet dan saluran checkdam dihitung berdasarkan perkalian debit sungai outlet dan saluran checkdam dengan kosentrasi parameter yang diukur, berdasarkan model berikut (Mitsch dan Gosselink, 1993 dan Hamzah, 2012) : BP
= Q x C x 3600 x 24 x 30 x 1 x 10-6
Ket : BP = Beban pencemaran yang masuk dari sungai (ton/bulan) Q = Debit sungai (m3/detik) C = Kosentrasi limbah (mg/L) Kapasitas asimilasi perairan ditentukan dengan cara membuat grafik hubungan antara kosentrasi parameter limbah dengan beban pencemar dan selanjutnya dianalisis dengan cara memotongkannya dengan garis baku mutu berdasarkan pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51/Men-LH/2004. Nilai kapasitas asimilasi didapat dari perpotongan dengan nilai baku mutu untuk parameter yang diuji. Kajian kapasitas asimilasi dalam penelitian ini didasarkan pada asumsi-asumsi dasar yakni : 1. Nilai kapasitas asimilasi hanya berlaku di wilayah pesisir pada batas yang telah ditetapkan dalam penelitian. 2. Nilai hasil pengamatan baik di perairan pesisir maupun di sungai diasumsikan telah mencerminkan dinamika yang ada perairan tersebut. 3. Perhitungan beban pencemaran hanya berasal dari land based, pencemaran dari kegiatan di perairan pesisir dan lautnya sendiri tidak dihitung. Data kualitas air merupakan data yang mempengaruhi kualitas air sungai dan perairan pesisir. Persamaan regresi linearnya adalah:
40
Y = f (x) Secara matematis persamaanya regresi linearnya dapat dituliskan; y = a + bx Ket : a = koefisien yang menyatakan nilai y pada perpotongan antara garis linear dengan sumbu vertikal b = koefisien regresi untuk parameter muara sungai x = beban pencemaran y = konsentrasi polutan Kelemahan dari metode ini adalah hanya berdasarkan pada hubungan kualitas air dan beban limbahnya, tanpa memperhatikan berbagai dinamika perairan yang ada. Hasil Dan Pembahasan Beban Pencemaran Beban pencemar yang masuk pada perairan pesisir lokasi pertambangan berasal dari tiga sumber utama yaitu sungai, outlet dan checkdam. Sungai ada empat yaitu Sungai Huko-Huko, Pelambua, Komoro dan Sungai Oko-Oko. Checkdam terdiri dari lima yaitu Checkdam Tanjung Leppe, Pesouha, Sitado, Latumbi dan Checkdam Tonggoni. Outlet hanya satu yaitu outlet pabrik Ferronikel. Hasil perhitungan beban pencemar yang masuk ke perairan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa Sulawesi Tenggara disajikan pada Tabel 15 Tabel 15 Beban pencemar yang masuk ke perairan Parameter TSS
S.Hukohuko
Beban Pencemaran (ton/bulan) S.Pelam S.Okobua S.Kumoro oko Outlet
Check Dam
Total BP (ton/bln)
743,336
26,865
416,860
116,119
1.485,994
26,229
2.815,402
Tembaga (Cu)
0,264
0,010
0,010
0,027
1,366
0,035
1,7112
Seng (Zn)
0,662
0,024
0,025
0,061
0,3942
0,0371
1,203
Total Khrom (Cr)
0,285
0,111
0,022
0,048
0,9219
0,1100
1,498
Timbal (Pb)
0,048
0,002
0,007
0,009
0,1860
0,0039
0,2553
Nikel (Ni)
0,548
0,012
0,021
0,168
2,8770
0,0611
3,687
Cadmium (Cd)
0,076
0,080
0,088
0,009
0,2638
0,0105
0,528
TSS merupakan parameter tertinggi konsentrasinya yang masuk ke perairan yang mencapai 2.815,402 ton/bulan. Kontribusi TSS tertinggi berasal outlet pabrik sebesar 1.485,994 ton/bulan. Tingginya konsentrasi TSS yang keluar dari outlet pabrik pengolahan nikel disebabkan oleh belum maksimalnya fungsi IPAL. Kontribusi TSS tertinggi kedua terdapat pada Sungai Huko-Huko yaitu sebesar 743,336 ton/bln. Walaupun secara agregat konsentrasi TSS pada Sungai HukoHuko tidak terlalu besar, tetapi karena debitnya cukup besar maka kontribusinya menjadi besar. Selain itu, tingginya kontribusi TSS pada sungai ini karena adanya eksploitasi tambang nikel pada wilayah DAS Sungai Huko-huko. Lahan yang semula bervegetasi, setelah dilakukan eksploitasi menjadi areal yang terbuka tanpa vegetasi. Keadaan ini apabila didukung dengan curah hujan yang tinggi akan menyebabkan laju erosi semakin tinggi pula, sehingga sedimen yang terbawa
41
bersama run-off semakin tinggi. Secara berurutan besarnya beban pencemaran logam berat adalah Ni>Cu>Cr>Zn>Cd>Pb. Komposisi dan variabilitas total padatan tersuspensi (TSS) di sungai-laut dipengaruhi oleh interaksi sedimen-air, perubahan salinitas dan proses fisik (aliran sungai, energi pasang surut, arus), karena itu sering sulit untuk diramalkan (Turner et al., 1994). Sedimen dari wilayah pesisir dapat menjadi indikator sensitif untuk memantau bahan pencemar di lingkungan perairan (Balls et al., 1997., Atgin et al., 2000), bertindak sebagai reservoir utama logam (Caccia et al., 2003), dan juga sebagai sumber bahan pencemar (Adam et al., 1992) melalui beberapa jalur, termasuk pembuangan limbah cair, limpasan terestrial, dan limbah itu membawa bahan kimia yang berasal dari berbagai kegiatan perkotaan, industri, dan pertanian, serta deposisi atmosfer (Rivail et al., 1996. Karageorgis et al., 2002. Mucha et al., 2003). Akumulasi logam berat karena industrialisasi dan urbanisasi dapat dilihat dalam sedimen dari laut pesisir di seluruh dunia. Secara alamiah, masukan sedimen yang kaya bahan organik dari darat sangat diperlukan untuk kehidupan biota perairan. Beberapa biota perairan memerlukan ukuran sediment tertentu untuk memijah dan melindungi telurnya dari serangan predator (EPA, 2012). Tingginya TSS dibadan air dapat berdampak negatif pada biota yaitu tersumbatnya insang ikan dan menyulitkan ikan-ikan tertentu untuk menghindar dari serangan predator (McNally dan Mehta, 2004). Partikel sedimen mengontrol transportasi, reaktivitas dan dampak biologis zat dalam lingkungan laut, dan link penting dalam interaksi antara dasar laut, kolom air dan rantai makanan (Turner dan Millward, 2002). Efek yang paling jelas dari peningkatan sedimentasi adalah pengurangan cahaya yang tersedia untuk fotosintesis. Fitoplankton dan mengambang bebas makroalga adalah pesaing yang lebih baik untuk cahaya dari tanaman bentik (termasuk lamun) (Duarte, 1995), dan akan cenderung keluar-bersaing sebagai cahaya menjadi pembatas selama eutrofikasi progresif. Persaingan antara benthos dan masyarakat pelagis untuk cahaya dan nutrisi juga menimbulkan efek histeresis. Meskipun efek ini, kekeruhan juga mengontrol biomassa fitoplankton yang berpotensi dapat mengembangkan (Monbet, 1992 dan Cloern, 1987), dan karena itu sejauh mana terlarut nutrisi dapat membangun di kolom air. Tingginya konsentrasi nutrisi dalam kolom air dalam kondisi keruh, denitrifikasi dapat menjadi digabungkan ke air kolom nitrat daripada nitrifikasi (Eyre dan Ferguson, 2002). Suspended sedimen juga mengangkut bahan pencemar (partikel hara, logam dan racun potensial lainnya) (ANZECC/ARMCANZ, 2000), mendorong pertumbuhan bakteri patogen dan berbagai penyakit yang ditularkan melalui air sehingga sulit untuk dideteksi (Neil, 2002) dan dapat menyebabkan menipisnya oksigen terlarut dalam kolom. Secara keseluruhan, tingkat kekeruhan yang tinggi dapat menyebabkan penurunan dalam produksi dan keragaman spesies. Pada kondisi tertentu, spesies yang sangat sensitif akan meninggalkan lokasi tersebut (EPA, 2012). Parameter logam berat yang memberikan kontribusi paling besar terhadap beban pencemaran adalah nikel sebesar 3,687 ton/bulan. Kontribusi tertinggi disumbang oleh outlet pabrik sebesar 2,887 ton/bln. Sungai Huko-huko sebesar 0,548 ton/bulan dan Sungai Oko-oko yaitu sebesar 0,168 ton/bulan. Khusus di outlet pabrik, tingginya konsentrasi nikel diduga karena masih adanya kandungan nikel pada sisa-sisa slag yang terlarut bersama air pendingin slag dan kemudian
42
masuk ke perairan. Tingginya konsentrasi logam berat di perairan tentu sangat berbahaya pada mahkluk hidup yang ada di dalamnya. Mengingat logam berat yang ada di dalam perairan akan terakumulasi pada organisme perairan (Velusamy et al., 2014, Zeitoun 2014 dan Riani et al., 2014), selanjutnya akan membahayakan organisme yang hidup di dalamnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Riani (2015) bahwa tingginya konsentrasi Pb, Cr dan Cd pada suatu perairan dapat merusak jaringan pada organ hati, ginjal dan limpa ikan mas yang dibudidaya pada karamba jaring apung. Logam berat dapat berkontribusi terhadap degradasi ekosistem laut dengan mengurangi keanekaragaman jenis dan kelimpahan dan melalui akumulasi logam dalam organisme hidup dan rantai makanan (Hosono et al., 2011). Kapasitas Asimilasi Kapasitas asimilasi perairan didefinisikan sebagai “the ability of an area to maintain a healthy environment and accommodate wastes” (Fernandes et al., 2001). Menurut Quano (1993) dalam Anna (1999) kapasitas asimilasi didefinisikan sebagai kemampuan perairan dalam memulihkan diri (self purification) akibat masuknya limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan yang ditetapkan sesuai dengan peruntukannya. Hubungan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi dari TSS, Pb, Cu, Zn, Cr IV, Ni dan Cd disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Hubungan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi Parameter
Fungsi
R2
TSS Tembaga (Cu) Seng (Zn) Total Khrom (Cr) Timbal (Pb) Nikel (Ni) Cadmium (Cd)
y = 0,1365x + 117,6 y = 1,464x - 0,4348 y = 0,0211x + 0,0291 y = 0,0301x + 0,0292 y = 0,211x + 0,029 y = 0,8397x – 0,2035 y = 8,8394x – 2,538
0,69 0,43 0,38 0,51 0,38 0,75 0,45
Beban Pencemaran (ton/bulan) 2.815,402 1,7112 1,203 1,498 0,255 3,687 0,528
Kapasitas Asimilasi (ton/bulan) 502,002 2,067 0,055 0,074 0,083 2,892 2,129
Ket BP > KA BP < KA BP > KA BP > KA BP > KA BP > KA BP< KA
Berdasarkan Tabel 16, beban pencemar TSS, khrom Cr), nikel (Ni) dan cadmium (Cd) lebih besar dari kapasitas asimilasinya. Hal ini menunjukan bahwa parameter-parameter tersebut terutama logam berat sangat perlu diwaspadai mengingat logam berat bukan saja dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada berbagai organ tubuh, namun juga bersifat teratogenik. Terkait hal ini Riani et al., (2014) telah membuktikan bahwa logam Cr dan Pb di perairan Waduk Saguling (Indonesia) telah menimbulkan cacat bawaan pada antena chironomidae Dicrotendipes simpsoni. Hal senada juga disampaikan oleh Wang et al. (2009) bahwa logam berat Pb, cadmium dan merkuri yang ada dalam perairan akan mengganggu proses embryogenesis, mengganggu pertumbuhan dan mengganggu proses metamorphosis pada larva Meretrix meretrix. Selain itu juga penelitian Dermeche et al. (2012) bahwa pencemaran logam berat akan mengganggu perkembangan embrio bulu babi. Selain hal tersebut kontaminasi logam berat dalam perairan juga telah terbukti dapat berpotensi untuk mengganggu proses reproduksi hewan air (Jalius et al. 2008a; Jalius et al., 2008b, dan Riani, 2011). Oleh karena itu maka tingginya kandungan logam berat pada perairan, terutama logam berat yang telah melebihi kapasitas asimilasinya (Tabel 21), bukan hanya
43
membahayakan bagi makhluk hidup yang ada di dalamnya, namun juga akan berpotensi untuk mengancam kelestarian berbagai jenis makhluk yang hidup di dalamnya, sehingga perlu sangat diwaspadai. Peningkatan kegiatan antropogenik berkontribusi pada akumulasi bahan kimia berbahaya, seperti logam berat, dalam lingkungan (Lias et al., 2013, Ismail, 2006, Tucel et al., 2007). Logam berat dibuang ke lingkungan melalui run-off dengan cepat terikat dengan partikel dan akhirnya berdiam di sedimen bawah dan badan air (Inengite et al. 2010). Sebagian besar organisme hidup membutuhkan sejumlah kecil logam penting seperti Fe, Mn, Cu, dan Zn untuk proses penting seperti pertumbuhan (Kamaruzzaan et al. 2011, Ndome et al., 2010). Namun, semua logam ini akan memberikan efek berbahaya bila melebihi batas standar (Beldi et al., 2006). Logam nonesensial seperti Cd, Pb, Ni, dan Cr dapat meracuni bahkan pada konsentrasi yang relatif rendah dan tidak penting untuk kegiatan metabolik (Kamaruzzaan et al., 2011, Astudillo et al., 2005). Simpulan Hasil perhitungan total beban pencemaran masing-masing parameter yaitu TSS sebesar 2.815,402 ton/bln, tembaga (Cu) sebesar 1,711 ton/bln, seng (Zn) sebesar 1,203 ton/bln, total khrom (Cr+6) sebesar 1,498 ton/bln, timbal (Pb) sebesar 0,255 ton/bln, nikel (Ni) sebesar 3,687 ton/bln dan cadmium (Cd) sebesar 0,528 ton/bln. Parameter TSS, khrom (Cr+6), nikel (Ni) dan timbal (Pb) beban pencemarannya lebih besar dari kapasitas asimilasinya. Sedangkan untuk parameter tembaga (Cu) dan kadmium (Cd) beban pencemaran lebih kecil dari kapasitas asimilasinya. 4 KAJIAN TINGKAT KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR LOKASI PERTAMBANGAN NIKEL POMALAA Pendahuluan Ekosistem pesisir merupakan ekosistem sangat unik karena di tempat ini tiga komponen planet bumi bertemu; hidrosfir, litosfir dan biosfir (Pallewatta, 2010). Keunikan lain dari kawasan ini adalah terdapatnya beberapa habitat yang sangat produktif seperti estuari, laguna, lahan basah dan karang tepi (Clark, 1995). Keunikan kawasan ini menghasilkan berbagai sektor bernilai komesial tinggi, seperti pangan, pemukiman, parawisata, perikanan dan industri. Perputaran roda ekonomi dari sektor-sektor tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan populasi yang sangat cepat di wilayah ini. Di berbagai negara, wilayah pesisir merupakan wilayah yang lebih cepat berkembang, baik dalam tingkat perekonomian maupun tingkat populasinya. Pallewatta (2010) menyebutkan hampir separuh dari kota-kota besar dunia berada dalam jarak 50 kilometer dari daerah pesisir, dan kepadatan populasi di daerah ini dapat mencapai 2,6 kali lebih padat dari seluruh pulau tersebut. Besarnya potensi kekayaan alam pesisir telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan hidup seperti kelebihan tangkap (over fishing) di sektor perikanan, perusakan hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun serta abrasi pantai dan gelombang pasang hingga masalah kerusakan akibat adanya
44
pembukaan lahan oleh industri tambang. Permasalahan di pesisir di atas bila dikaji lebih lanjut memiliki akar permasalahan yang mendasar. Menurut Dahuri (2003) ada lima faktor, yaitu pertama tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dan kemiskinan, kedua konsumsi berlebihan dan penyebaran sumberdaya yang tidak merata, ketiga kelembagaan, keempat, kurangnya pemahaman tentang ekosistem alam, dan kelima kegagalan sistem ekonomi dan kebijakan dalam menilai ekosistem alam. Pengelolaan sumberdaya alam pada prinsipnya merupakan upaya terencana, sistematis dan terpadu dalam pemanfaatannya guna mencapai tujuan yakni kesejahteraan masyarakat (social welfare) dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya alam. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Todaro dan Smith (2003), bahwa suatu proses pembangunan baru dapat dikatakan berkesinambungan apabila total stok/modal jumlahnya tetap atau meningkat dari waktu ke waktu. Konsepsi pengelolaan dalam pandangan undang-undang No. 32 tahun 2009 disebutkan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Oleh karena itu, kajian tingkat pengelolaan menjadi sangat penting, mengingat fungsi lingkungan dan manfaat yang dapat diperoleh dari sumberdaya alam, merupakan modal utama dalam pembangunan berkelanjutan. Secara geografis, lokasi Penambangan Nikel Pomalaa merupakan wilayah berbukit dengan kisaran ketinggian antara 100-600 m d.p.l dan kisaran kemiringan lereng antara 15-40 derajat serta curah hujan yang lebih dari 2000 mm pertahun. Adanya sistem penambangan yang sifatnya terbuka (open cut mining), maka pembukaan lahan yang masif menjadi konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Akibatnya, peluang terjadinya erosi sangat besar. Bila ini terjadi, maka pihak yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat pesisir karena erosi yang tidak terkendali dapat menyebabkan sedimentasi dan penurunan kualitas air pada perairan pesisir dan berujung pada terjadinya degradasi sumberdaya secara keseluruhan. Dari sisi sosial ekonomi, dampak lanjutan yang kemudian akan terjadi adalah terganggunya sistem mata pencaharian penduduk yang menggantungkan hidupnya pada laut. Perairan kawasan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa banyak memberikan fungsi dan manfaat bagi lingkungan dan manusia. Selain berfungsi sebagai kawasan strategi nasional, kawasan pertambangan nikel Pomalaa juga berfungsi sebagai zona penyangga (buffer zone) dan daerah tangkapan air (catchment area). Mengingat lokasi ini merupakan bagian dari wilayah pesisir, maka konsep dan pendekatan pengelolaan terpadu (integrated approach), menjadi sangat penting, dalam hal ini pengaruh dari daratan dan lautan memberikan dampak yang besar terhadap karakteristik wilayah perairan kawasan pertambangan nikel Pomalaa. Dahuri et al. (1996), mengemukakan bahwa pembangunan kawasan pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan hanya dapat terwujud jika pengelolaan dilakukan secara terpadu (integrated). Pentingnya hal keterpaduan dalam pengelolaan wilayah pesisir juga dikemukan oleh Cincin-Sain and Knecht
45
(1998), pada prinsipnya pengelolaan wilayah pesisir dan laut terdiri dari lima hal yaitu (1) sustainable development; (2) integration approach; (3) responsible decentralization; (4) people-centered management; dan (5) global and regional cooperation regime. Menurut Dahuri et al., (1996), pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir memiliki empat dimensi, yaitu; ekologis, sosial ekonomi budaya, sosial politik, serta hukum dan kelembagaan. Lebih jauh Adrianto dan Kusumastanto (2005), mengemukakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir pada dasarnya diarahkan untuk mencapai dua tujuan, yaitu: (1) Pendayagunaan potensi pesisir dan lautan untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan pelaku pembangunan kelautan khususnya, dan (2) untuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya kelautan khususnya sumberdaya dapat pulih dan kelestarian lingkungan. Kajian tingkat pengelolaan perairan pesisir kawasan pertambangan nikel Pomalaa, dimaksudkan untuk mengetahui status keberlanjutan dan variabel pengungkit dalam pengelolaan perairan pesisir kawasan pertambangan nikel Pomalaa. Kajian ini dilakukan dengan pendekatan analisis multi-dimensional scalling (MDS). Metodologi Jenis Dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan meliputi; data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung di lapangan, berupa hasil wawancara dan data hasil analisis tingkat pencemaran perairan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber bacaan atau dokumen terkait dengan pengelolaan perairan kawasan pesisir lokasi pertambangan. Jenis dan sumber data, lebih rinci disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Jenis dan sumber data kajian tingkat pengelolaan perairan pesisir kawasan pertambangan nikel Pomalaa Aspek kajian Tingkat/status keberlanjutan pengelolaan Variabel/atribut pengungkit dalam keberlanjutan pengelolaan
Variabel Dimensi dan atribut keberlanjutan
Jenis data Data primer Data sekunder
Sumber data Hasil analisis, Data Sekunder
Atribut pengungkit dari masing-masing dimensi
Data primer
Kuesioner (stakeholders)
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode survei dan metode studi literatur. Metode survei dilakukan untuk pengumpulan data primer dengan melakukan wawancara dan observasi (pengamatan visual) terhadap tingkat pengelolaan yang ada. Sedang metode studi literatur dilakukan untuk pengumpulan data sekunder berupa dokumen terkait tingkat pengelolaan kawasan perairan lokasi
46
tambang nikel Pomalaa. Metode pengumpulan data, lebih rinci disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Metode pengumpulan data Tujuan
Variabel
Jenis data
Kajian tingkat keberlanjutan pengelolaan kawasan perairan lokasi tambang nikel Pomalaa Kajian variabel kunci dalam pengelolaan kawasan perairan lokasi tambang nikel Pomalaa
Dimensi dan atribut keberlanjutan
Data primer Data sekunder
Atribut pengungkit dari masing-masing dimensi
Data primer
Metode Pengumpulan Data - Survei (pengukuran dan observasi) - Studi literatur - Survei (wawancara)
Berdasarkan kebutuhan data untuk kajian tingkat pengelolaan, maka digunakan metode studi literatur dan metode survei. Metode studi literatur dimaksudkan untuk mengumpulkan data berupa hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan pengelolaan perairan kawasan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa. Sedangkan metode survei menggunakan teknik kuesioner. Teknik kuesioner yang dikembangkan adalah sistem tertutup, yakni responden disodorkan pertanyaan dengan pilihan-pilihan respon/jawaban telah tersedia. Responden yang menjadi target adalah stakeholders yang berperan dalam pengelolaan dan pemanfaatan perairan kawasan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa. Terkait analisis keberlanjutan, total responden yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebanyak 25 responden yang terdiri masyarakat sebanyak 20 responden yang mewakili berbagai subsektor perikanan. Decision maker sebanyak tiga responden yang berasal dari dua dari Dinas Kelautan dan Perikanan serta satu responden berasal dari Badan Lingkungan Hidup Daerah. Khusus untuk pihak perusahaan diambil dua responden. Pada analisis prospektif, jumlah responden yang digunakan sebanyak lima responden yang terditi dari tiga pakar pada bidang perikanan dan lingkungan hidup serta dua responden yang berasal dari Dinas Kelautan dan Perikanan. Metode Analisis Data Metode analisis data disesuaikan dengan tujuan penelitian. Metode tersebut meliputi; analisis MDS dengan penggunaan software RapFish dan analisis prospektif. Metode analisis data, lebih rinci disajikan pada Tabel 19.
47
Tabel 19 Metode analisis data Tujuan Kajian tingkat/status keberlanjutan pengelolaan perairan kawasan tambang nikel Pomalaa Kajian variabel/atribut kunci dalam pengelolaan perairan kawasan tambang nikel Pomalaa
Variabel Dimensi dan atribut keberlanjutan
Metode Analisis - Analisis MDS (RapFish)
Output Analisis - Status keberlanjutan - Variabel sensitif - Trade off dimention
Atribut pengungkit dari masing-masing dimensi
- Analisis prospektif
- Variabel penentu - Variabel penghubung - Variabel terikat - Variabel bebas
Analisis Keberlanjutan (MDS) Analisis keberlanjutan pengelolaan dimaksudkan untuk memperoleh gambaran status keberlanjutan dari masing-masing dimensi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan perairan kawasan tambang nikel Pomalaa. Analisis keberlanjutan pengelolaan dilakukan dengan pendekatan analisis MDS (multi-dimensional scalling) dengan bantuan software RapFish. RapFish (Rapid Appraisal for Fisheries), yang dikembangkan oleh Pitcher (1999). Alder et al. (2000) menjelaskan bahwa penilaian kondisi perikanan secara terpadu meliputi empat aspek yaitu aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan teknologi. Dalam kajian ini, aspek keberlanjutan ditambahkan satu dimensi yaitu dimensi kelembagaan, sehingga jumlah dimensi seluruhnya sebanyak lima dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan. Pendekatan ini lebih didasarkan pada prinsip Multi Criteria Analysis (MCA) dengan mengandalkan algoritma yang disebut sebagai algoritma MDS (Fauzi dan Anna 2005). Tahapan operasional RapFish, sebagai berikut: - Menentukan tema/topik kajian, yakni keberlanjutan pengelolaan kawasan pesisir tambang di lokasi tambang nikel Pomalaa. - Menentukan dimensi kajian, meliputi; dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi teknologi dan dimensi kelembagaan. - Menentukan atribut dari setiap dimensi kajian, meliputi; dimensi ekologi (11 atribut), dimensi ekonomi (10 atribut), dimensi sosial (delapan atribut), dimensi teknologi (sembilan atribut) dan dimensi kelembagaan (sembilan atribut). - Memberikan skoring (bad-good) pada setiap atribut. - Menginput nilai/skor hasil penilaian dari masing-masing atribut kedalam software RapFish. - Me-run RapFish. - Memunculkan rap analysis (persentase keberlanjutan). Rap analysis dimaksudkan untuk mengetahui persentase keberlanjutan dari setiap dimensi. - Me-run leveraging untuk memperoleh leverage of atrribute, yang merupakan penentuan atribut yang berpengaruh dominan/atribut pengungkit dari setiap dimensi. Atribut pengungkit merupakan atribut yang keberadaannya berpengaruh sensitif terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan, semakin besar nilai RMS maka semakin besar peranan
48
atribut tersebut terhadap sensitivitas status keberlanjutan (Kavanagh dan Pitcher 2004). - Me-run Monte Carlo dengan selang kepercayaan 95%. Analysis Monte Carlo dimaksudkan untuk melihat pengaruh galat (error), dalam upaya meningkatkan kepercayaan terhadap hasil analisis. Perbedaan hasil analisis Monte Carlo yang kecil terhadap hasil analisis RapFish, menunjukkan bahwa dampak dari kesalahan pemberian skor relatif kecil. Apabila nilai selisih kedua analisis tersebut (Analisis Monte Carlo RapFish>5%) maka hasil analisis tidak memadai sebagai penduga nilai indeks keberlanjutan, dan apabila nilai selisih kedua analisis tersebut (Analisis Monte Carlo RapFish<5%) maka hasil analisis dianggap memadai untuk menduga nilai indeks keberlanjutan. - Memunculkan nilai squared correlation (R2) sebagai penilaian ketepatan (goodness of fit). Squared Correlation (R2) adalah kuadrat dari koefisien korelasi yang menunjukkan proporsi varian dari the optimally scaled data, yang disumbangkan oleh prosedur penskalaan multidimensional yang merupakan ukuran kecocokan/ketepatan (goodness of fit measure). Nilai R2 menunjukkan bahwa banyaknya/besarnya varians data yang dapat dijelaskan dalam model. Nilai squared correlation digunakan untuk mengetahui kedekatan antara data dengan perceptual map apakah data terpetakan dengan baik atau tidak. Nilai R2 semakin mendekati 1 berarti data yang ada semakin terpetakan dengan sempurna atau denga kata lain semakin tinggi nilai R2, maka semakin baik model tersebut dalam menjelaskan varians data. Kavanagh (2001) menyebutkan bahwa nilai Squared Correlation (R2) lebih dari 80% menunjukkan bahwa model pendugaan indeks keberlanjutan baik dan memadai digunakan. - Memunculkan nilai stress untuk menunjukkan ukuran ketidakcocokan (a lack of fit measure). Nilai stress merupakan kebalikan dari nilai R2. Nilai stress digunakan untuk melihat apakah hasil output mendekati keadaan yang sebenarnya atau tidak. Semakin mendekati nol, maka output yang dihasilkan semakin mirip dengan keadaan yang sebenarnya. Semakin rendah nilai stress, maka semakin baik/cocok model tersebut. Sebaliknya, semakin tinggi nilai stress, maka semakin tidak cocok model tersebut. Nilai stress yang dapat ditolerir adalah kurang dari 20%. - Memunculkan nilai Root Mean Square (RMS) dari masing-masing dimensi. Semakin besar nilai RMS, maka semakin besar peranan atribut tersebut terhadap sensitivitas status keberlanjutan (Kavanagh dan Pitcher, 2004). - Membuat diagram layang-layang (kite-diagram) dari dimensi keberlanjutan perairan kawasan tambang nikel Pomalaa. Kite-diagram berguna sebagai trade-off keberlanjutan. Adapun keberlanjutan ekologi dan skornya disajikan pada Tabel 20, keberlanjutan ekonomi pada Tabel 21, keberlanjutan sosial Tabel 22, keberlanjutan teknologi Tabel 23 dan keberlanjutan kelembagaan Tabel 24.
49
Tabel 20 Dimensi keberlanjutan ekologi No Dimensi 1 Kualitas Perairan
Skor 0; 1; 2; 3
2
Ketersediaan lahan untuk pengembangan
1; 2; 3
3
ketersediaan zonasi peruntukan lahan wilayah pesisir,
0; 1; 2
4
Status mangrove
1; 2; 3
5
Status lamun
1;2;3
6
Status terumbu karang
1; 2; 3
Baik Buruk Keterangan 0 3 Kualitas perairan atau status mutu air merupakan penggambaran dari status/kondisi pencemaran yang terjadi berdasarkan Kepmen-LH No.115 Tahun 2003 tentang pedoman penentuan status mutu air. Status Mutu Air di kawasan pesisir lokasi tambang nikel Pomalaa didasarkan pada perhitungan STORET. Skoring atau penilaian mengacu pada Kepmen-LH No.115 Tahun 2003. Nilai/Skor; Nilai STORET (0) memenuhi baku mutu [0], STORET (-1 s.d -10) Cemar Ringan [1], STORET (-11 s.d -30) Cemar Sedang [2], STORET (≤ -31 Cemar Berat [3] 3 1 Luasan lahan yang secara teknis dapat dikembangkan sebagai kawasan budidaya perikanan yaitu kemiringan lahan < 2%. Nilai/Skor; ada dan cukup luas [3], ada dan cukup [2], ada tetapi sedikit [1] 2 0 Merujuk pada RTRW Kabupaten Kolaka yaitu PERDA No.16 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kolaka Tahun 2012-2031. Nilai/Skor; Ada dan berjalan dengan baik [2], Ada tetapi tidak dijalankan [1], Tidak ada [0] 3 1 Keanekaragaman jenis mangrove. Data Merujuk pada hasil kajian Kerangka Acuan-ANDAL Pembangunan dan Operasi PLTU dengan Kapasitas Maksimum 2x75 MW dan Fasilitas Penunjang Lainnya. Nilai/Skor; keanekaragaman tinggi (H‟>9,97 atau H‟>3) [3], Kanekaragaman sedang (3,20
50% [3], tutupan sedang 25-49,9% [2], tutupan rendah <25% [1] 3 1 Persentase tutupan karang. Keanekaragaman jenis mangrove. Data Merujuk pada hasil kajian Kerangka Acuan-ANDAL Pembangunan dan Operasi PLTU dengan Kapasitas
50
No
Dimensi
Skor
Baik Buruk
7
Jenis pakan
0; 1; 2
2
0
8
Kejadian kematian ikan
0; 1; 2
2
0
9
Laju Sedimentasi
0; 1; 2
0
2
10
Debit sungai
0; 1; 2
2
0
11
Tutupan Lahan/ Landcover
0; 1; 2;3
0
3
Keterangan Maksimum 2x75 MW dan Fasilitas Penunjang Lainnya. Nilai/Skor; tutupan tinggi >50% [3], tutupan sedang 25-49,9% [2], tutupan rendah <25% [1] Jenis pakan yang digunakan sebagai pakan pada ikan budidaya. Nilai/Skor; Agroindustri [2], Campuran [1], seadanya/alami [0] Nilai/Skor; Tidak pernah terjadi [0], Kadan-kadang [1], Sering [2] Laju sedimentasi mengacu pada Peraturan Dirjen Rehabilitasi Lahan Nilai/Skor; laju sedimentasi rendah [0], laju sedimentasi sedang [1], laju sedimentasi tinggi [2]. Nilai/Skor; Semakin besar [2], Tetap [1], menurun [0]. Persentase perubahan tutupan lahan yang terjadi. Membandingkan persentase tutupan lahan antara tahun 2006 dan tahun 2014. Nilai/Skor; 0-25% tergolong rendah [0], 26-50% tergolong sedang [1], 51-75% tergolong cukup tinggi [2], 76-100% tergolong sangat tinggi [3].
Tabel 21 Dimensi keberlanjutan ekonomi No Dimensi 1 Income/ Pendapatan Masyarakat
Skor 0;1;2
Baik 2
Buruk 0
Keterangan Rata-rata pendapatan masyarakat. Mengacu pada Peraturan Gubernur Nomor 86 Tahun 2013 tentang Upah Minimum Kabupaten Kolaka. Besaran untuk sektor umum Rp. 1.600.000,00 dan untuk sektor bangunan Rp. 1.700.000,00. Nilai/Skor; tinggi atau diatas UMK/UMP [2], tergolong sedang atau sama dengan UMK/UMP [1], rendah atau di bawah UMK/UMP [0] Nilai/Skor; Kepemilikan asset bertambah [2], Kepemilikan asset tetap [1], Kepemilikan asset berkurang [0] Nilai/Skor; Ada [2], Kurang [1], Tidak ada [0]
2
Kepemilikan Aset
0;1;2
2
0
3
Alternatif pendapatan non perikanan
0; 1; 2
2
0
4
Akses nelayan pada sumberdaya permodalan Marketable right / pemindahan atau perubahan kepemilikan Rantai pemasaran
0; 2
2
0
Nilai/Skor; Baik [2], Sulit [0]
0; 1; 2
2
0
0;1;2
2
0
Nilai/Skor; umumnya dijual [0], sebagian dapat dijual [1], tidak ada yang dapat dijual [2] Nilai/Skor; masyarakat tidak memiliki pilihan lain dalam menjual hasil selain kepada pengumpul [0], akses sedang, terdapat pilihan untuk menjual hasil selain
5
6
51
No
Dimensi
Skor
Baik
Buruk
7
Akses terhadap sumberdaya
0;1;2
2
0
8
Sektor Unggulan Perikanan
0; 1 2; 3
3
0
9
Kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah
0; 1; 2
2
0
10
Pertumbuhan subsektor perikanan
0; 1; 2
2
0
Keterangan kepada pengumpul [1], akses tinggi, masyarakat bebas menjual hasil kepada siapa saja, termasuk mudahnya menjual ke pasar [2] Nilai/Skor; Akses rendah, sumberdaya sulit di akses [0], akses sedang, terdapat batasan/aturan namun, tidak ada hukuman jika melanggar serta tidak ada pengawas [1], akses tinggi, tidak terdapat aturan/batasan/larangan/kuota [2] Sektor unggulan adalah beberapa komoditas yang paling menguntungkan untuk diusahakan/dikembangkan pada suatu wilayah, mempunyai prospek pasar, mampu meningkatkan pendapatan petani dan keluarga, mempunyai potensi sumberdaya lahan yang cukup luas serta memiliki sifat-sifat genetik unggul Nilai/Skor; LQ>1 dan DLQ>1 (sektor unggulan) [3], LQ<1 dan DLQ>1 (sektor andalan) [2], LQ<1 dan DLQ<1 (sektor prospektif) [1], LQ<1 dan DLQ<1 (sektor tertinggal) [0] Besarnya kontribusi sektor perikanan Kecamatan Pomalaa terhadap PDRB Kabupaten Kolaka. Nilai/Skor; Meningkat [2], Tetap [1], Menurun [0] Pertumbuhan subsektor perikana adalah jumlah produksi perikanan dalam 5tahun terakhir berdasarkan data BPS Kab. Kolaka Nilai/Skor; Tumbuh [2], Tetap [1], Menurun [0]
Tabel 22 Dimensi keberlanjutan sosial No Dimensi 1 Tingkat Partisipasi Masyarakat
Skor 0; 1; 2;3
Baik 3
2
Environmental Knowledge
0; 1; 2;3
3
3
Education level
0; 1; 2
2
Buruk Keterangan 0 Nilai/Skor; terdapat ruang dengan tingkat partisipasi yang tinggi [3], terdapat ruang tapi tingkat partisipasi cukup [2], terdapat ruang tapi tingkat partisipasi rendah [1] tidak ada ruang/wadah untuk menyampaikan aspirasi [0] 0 Nilai/Skor; memiliki pengetahuan tentang lingkungan dengan sangat baik [3], memiliki pengetahuan tentang lingkungan yang cukup baik namun tidak terimplementasi [2], memiliki pengetahuan tentang lingkungan tapi masih sangat minim [1], tidak memiliki pengetahuan tentang lingkungan [0] 0 Sernakin tinggi tingkat pendidikan ratarata rnasyarakat perikanan rnaka cenderung akan sernakin rneningkatkan kepedulian rnasyarakat (public awareness) terhadap keberlanjutan usaha
52
No
Dimensi
Skor
Baik
Buruk
Keterangan perikanandi wilayah unit analisis. Nilai/Skor; rata-rata pendidikan masyarakat tamat SMA [2], rata-rata pendidikan masyarakat tamat SMP [1], rata-rata pendidikan masyarakat tamat SD dan tidak tamat SD [0] Umumnya kelestarian usaha perikanan di wilayah/unit analisis akan lebih terjarnin jika tidak pernah terjadi konflik, baik konflik antar stakeholder usaha perikanan maupun konflik antara stakeholder usaha perikanan dengan perusahaan tambang. Nilai/Skor; Sering terjadi [2], Kadangkadang terjadi [1], Tidak ada/tidak terjadi [0] Nilai/Skor; >20% (baik) [2], 10-20% (kurang) [1], <10% (buruk) [0]
4
Conflict status/ Potensi Konflik
0; 1; 2
0
2
5
Pertumbuhan RTN dalam 5 thn terakhir
0;1;2;3
3
0
6
Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge) Pola hubungan masyarakat /Struktur Sosial Pekerjaan dilakukakn secara individual atau kelompok
0;1;2
2
0
Nilai/Skor; ada dan efektif digunakan [2], ada tapi tidak efektif [1], Tidak ada [0]
0;1
0
1
Nilai/Skor; pola komunikasi tertutup [1], pola komunikasi terbuka [0]
0;1;2
2
0
Nilai/Skor; kerjasama kelompok [2], kerjasama satu keluarga [1], Pekerjaan dilakukan secara individual [0]
7
8
Tabel 23 Dimensi keberlanjutan teknologi No 1
2
3
4
5
Dimensi Aplikasi teknologi ramah lingkungan berbasis integrated multi tropic aquaculture (IMTA) Penanganan pasca panen
Skor 0; 1; 2
Baik 2
Buruk 0
0; 1; 2
2
0
Teknologi budidaya perikanan kolam dan tambak Teknologi budidaya perikanan laut
0; 1; 2
0
2
0; 1; 2
2
0
Ketersediaan bibit unggul
0;1;2;3
2
0
Keterangan Nilai/Skor; Ada dan selalu diterapkan [2], Ada tapi hanya diterapkan beberapa kali [1], Tidak ada [0]
Nilai/Skor; Penggunaan teknologi [2], Sebagain teknologi dan sebagain tidak [1], Tidak menggunakan teknologi [0] Nilai/Skor; Tambak/kolam intensif [2], Tambak/kolam semi-tradisional [1], Tambak/kolam tradisional [0] Nilai/Skor; Modern dan ramah lingkungan [2], semi-tradisional [1], tradisional [0] Nilai/Skor; Ada dan mudah didapatkan [2], Ada namun sulit didapatkan [1], Tidak ada [0]
53
No 6
Dimensi Ketersedian infrastruktur pelabuhan/TPI Akses informasi / penyuluhan perikanan
Skor 0; 1; 2
Baik 2
Buruk 0
Keterangan Nilai/Skor; Ada dan berfungsi dgn baik [2], Ada dan tidak berfungsi [1], Tidak ada [0]
0; 1; 2
2
0
8
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
0; 1; 2
2
0
9
Ketersediaan Check Dam pada lokasi tambang
0;1;2
2
0
Nilai/Skor; terdapat penyuluhan dan intens (mengikuti musim tanam) [2], terdapat penyuluhan tetapi jarang (1 kali setahun) [1], tidak terdapat penyuluhan [0] Nilai/Skor; Terdapat IPAL pada setiap perusahaan yang menghasilkan limbah cair [2], Terdapat IPAL tapi jumlah terbatas hanya perusahaan2 tertentu [1], Tidak terdapat IPAL [0] Nilai/Skor; Ada dan berfungsi [2], Ada tetapi tidak berfungsi maksimal [1], Tidak ada [0]
7
Tabel 24 Dimensi keberlanjutan kelembagaan No 1
Dimensi Ketersediaan kelompok nelayan
Skor 0; 1; 2
Baik 2
2
Ketersediaan lembaga penyuluh perikanan Sinkronisasi kebijakan antara pemerintah daerah dgn perusahaan tambang Perencanaan pengelolaan sumberdaya
0; 1; 2
2
0
Nilai/Skor; Ada dan berjalan [2], Ada tetapi tidak berjalan [1], Tidak ada [0]
0; 1; 2
2
0
Nilai/Skor; Sinkron [2], Kurang sinkron [1], Tidak sinkron [0]
0; 1; 2
2
0
Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan Ketersediaan Lembaga keuangan mikro (bank/kredit)
0; 1; 2
2
0
Nilai/Skor; telah ada perencanaan dan telah diimplementasikan [2], telah ada perencanaan namun belum dimplementasikan [1], belum ada perencanaan [0] Nilai/Skor; Sinergi antar lembaga berjalan baik [2], Komunikasi antar lembaga tidak efektif [1], Konflik antar lembaga [0]
0; 1; 2
2
0
Nilai/Skor; Ada dan berjalan [2], Ada dan tidak berjalan [1], Tidak ada [0]
7
Keberadaan lembaga masyarakat (LSMLKMD)
0; 1; 2
2
0
8
Keberadaan program, penelitian dan pengabdian masyarakat
0; 1; 2
2
0
Nilai/Skor; terdapat kelembagaan masyarakat dan telah berjalan dengan baik [2], Terdapat kelembagaan masyarakat namun belum optimal [1], Tidak terdapat kelembagaan masyarakat [0] Nilai/Skor; terdapat program/penelitian/bentuk pengabdian masyarakat secara kontinyu (terprogram) [2], terdapat program/penelitian/ bentuk pengabdian masyarakat namun hanya waktu-waktu tertentu saja [1], Tidak terdapat
3
4
5
6
Buruk Keterangan 0 Nilai/Skor; Ada dan berjalan [2], Ada dan tidak berjalan [1], Tidak ada [0]
54
No
9
Dimensi
Skor
Ketersediaan Perda pengelolaan lingkungan
0; 1; 2
Baik
2
Buruk
0
Keterangan program/penelitian/bentuk masyarakat [0]
pengabdian
Nilai/Skor; Ada dan berjalan [2], Ada dan tidak berjalan [1], Tidak ada [0]
Penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan perairan pesisir lokasi Pertambangan Nikel Pomalaa dari masing-masing dimensi, dan atribut mengikuti konsep yang dikembangkan oleh Pitcher (1999). Skor penilaian setiap dimensi dinyatakan dengan skala terburuk (bad) 0% hingga terbaik (good) 100%. Nilai indeks >50% dapat dinyatakan bahwa dimensi yang dikaji telah berkelanjutan, sebaliknya <50% dimensi tersebut belum atau tidak berkelanjutan. Kategori indeks keberlanjutan disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Kategori indeks keberlanjutan Nilai Indeks 0 – 25 26 – 50 51 – 75 76 – 100
Kategori Keberlanjutan Buruk; Tidak Berkelanjutan Kurang; Kurang Berkelanjutan Cukup; Cukup Berkelanjutan Baik; Sangat Berkelanjutan
Sumber: Pitcher (1999) Hasil penentuan keberlanjutan dari masing-masing dimensi, selanjutnya dibuat dalam diagram layang-layang (kite diagram), untuk melihat trade-off keberlanjutan dari pengelolaan kawasan pesisir lokasi tambang nikel Pomalaa. Analasis Prospektif Analisis prospektif bertujuan untuk menentukan kedudukan dari atributatribut pengungkit, sehingga akan diperoleh atribut kunci atau faktor penentu (driving variables) dalam pengelolaan berkelanjutan perairan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa. Output analisis prospektif akan diperoleh empat kuadran yang merupakan kedudukan atribut-atribut pengungkit tersebut (Gambar 21).
Pengaruh
55
Faktor Penentu (Driving Variables) INPUT
Faktor Penghubung (Leverage Variables) STAKE
I
II
IV
III I
Faktor Bebas (Marginal Variables) UNUSED
Faktor Terikat (Output Variables) OUTPUT
Ketergantungan Gambar 21 Pengaruh dan ketergantungan variabel Berdasarkan Gambar 21, penjelasan pengaruh dan ketergantungan masingmasing kuadran adalah sebagai berikut: - Kuadran-I adalah kuadran input yang merupakan kuadran faktor penentu (driving variables). Kuadran ini memuat atribut-atribut yang memiliki pengaruh kuat dan ketergantungan antar atribut rendah. - Kuadran-II adalah kuadran stake yang merupakan kuadran faktor penghubung (leverage variables). Kuadran ini memuat atribut-atribut yang memiliki pengaruh kuat dan ketergantungan antar atribut juga kuat. - Kuadran-III adalah kuadran output yang merupakan kuadran faktor terikat (output variables). Kuadran ini memuat atribut-atribut yang memiliki pengaruh rendah dan ketergantungan antar atribut kuat. - Kuadran-IV adalah kuadran unused yang merupakan kuadran faktor bebas (marginal variables). Kuadran ini memuat atribut-atribut yang memiliki pengaruh rendah dan ketergantungan antar atribut juga rendah. Tahapan operasional analisis prospektif dalam kajian pengelolaan berkelanjutan perairan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa, sebagai berikut: - Penentuan atribut-atribut pengungkit. Atribut tersebut merupakan hasil dari analisis leverage attribute yang dilakukan pada lima dimensi kajian keberlanjutan pengelolaan perairan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa. - Penyusunan kuesioner. Kuesioner disusun berdasarkan sejumlah atribut pengungkit sebagaimana point-1. - Penentuan responden. Jumlah responden yang digunakan sebanyak lima responden yang terdiri dari tiga pakar pada bidang perikanan dan lingkungan hidup serta dua responden yang berasal dari Dinas Kelautan dan Perikanan. - Tabulasi data hasil pengisian kuesioner sebanyak 12 responden. Tabulasi data menggunakan pendekatan analisis deskriptif (modus).
56
-
Menginput data hasil tabulasi kedalam software Partisipatory Prospective Analysis. Me-run software Partisipatory Prospective Analysis. Menentukan hubungan antara atribut/variabel dan letak masing-masing atribut/variabel tersebut dari sisi pengaruh dan pengaruh tidak langsung.
Output analisis prospektif menurut Bourgeois (2007) terdapat dua tipe sebaran atribut/variabel dalam grafik pengaruh dan ketergantungan, yaitu: - Tipe sebaran cenderung mengumpul di kuadran-IV ke kuadran-II. Tipe ini menunjukkan bahwa sistem yang dibangun tidak stabil karena sebagian besar variabel yang dihasilkan termasuk variabel bebas atau marginal variable. Tipe sebaran menyulitkan dalam membangun skenario strategis untuk masa mendatang. - Tipe sebaran yang cenderung mengumpul di kuadran-I ke kuadran-III. Tipe ini menunjukkan bahwa sistem yang dibangun stabil karena memperlihatkan hubungan yang kuat dimana variabel penggerak mengatur variabel terikat dengan kuat. Tipe sebaran akan memudahkan dalam membangun skenario strategis untuk masa mendatang.
Hasil dan Pembahasan Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekologi Dimensi ekologi menggambarkan kondisi kelangsungan fungsi-fungsi ekologi, yakni terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan. Dalam penelitian ini, keberlanjutan dimensi ekologi dieksplorasi ke dalam 11 (sebelas) atribut utama, yakni; kualitas perairan (waters quality), ketersediaan lahan pengembangan, ketersediaan zonasi, status mangrove, status lamun, status terumbu karang, jenis pakan, kejadian kematian ikan, laju sedimentasi, debit sungai dan tutupan lahan. Grafik ordinasi dimensi ekologi disajikan pada Gambar 23.
57
RAP PMPP 60 UP Other Distingishing Features
40 20 0 0
BAD
20
40
-20
42,88
60
80
GOOD 100
-40 DOWN -60
Ecology Sustainability Real Fisheries
References
Anchors
Gambar 22 Status keberlanjutan dimensi ekologi Berdasarkan hasil analisis RapFish untuk dimensi ekologi (ecologycal sustainability) seperti pada Gambar 22 diperoleh nilai ordinasi dimensi ekologi sebesar 42,88% atau tergolong kategori kurang berkelanjutan. Hasil analisis RapFish tersebut dapat diterima mengingat hasil uji validasi diperoleh nilai monte carlo sebesar 43,65% yang menunjukkan selisih perbedaan yang sangat kecil yakni 0,77% atau kurang dari 1%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pengaruh galat (error), atau dampak dari kesalahan pemberian skor relatif kecil. Dengan demikian, model RapFish untuk dimensi ekologi, dinyatakan memadai sebagai penduga nilai indeks keberlanjutan. Menurut Kavanagh dan Pitcher (2004), bahwa Analisis Monte Carlo dapat digunakan sebagai metode simulasi untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak/galat (random error) dalam analisis statistik yang dilakukan terhadap seluruh dimensi. Hal yang sama juga dikemukakan Fauzi et al. (2005) bahwa Analisis Monte Carlo dapat menjadi indikator kesalahan yang disebabkan pemberian skoring pada setiap atribut, variasi pemberian skoring yang bersifat multidimensi karena adanya opini yang berbeda, proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang, dan kesalahan dalam melakukan input data atau data yang hilang. Hasil uji ketetapan (goodness of fit) juga menunjukkan bahwa model pendugaan indeks keberlanjutan dapat digunakan, dimana hasil RapFish diperoleh nilai Squared Correlation (R2) adalah 0,9515 atau mendekati 1. Nilai R-square semakin mendekati 1 berarti data yang ada semakin terpetakan dengan sempurna. Nilai tersebut mengambarkan bahwa lebih dari 95% model dapat dijelaskan dengan baik, dan sisanya <5% yang dijelaskan oleh faktor/atribut lain. Kavanagh (2001) menyebutkan bahwa nilai Squared Correlation (R2) lebih dari 80% menunjukkan bahwa model pendugaan indeks keberlanjutan baik dan memadai digunakan.
58
Di sisi lain, hasil uji ketidaktepatan (a lack of fit measure) atau nilai stress diperoleh 0,1367 atau mendekati 0 (nol). Nilai stress yang mendekati nol, maka output yang dihasilkan semakin mirip dengan keadaan yang sebenarnya atau semakin rendah nilai stress, maka semakin baik/cocok model tersebut. Sebaliknya, semakin tinggi nilai stress, maka semakin tidak cocok model tersebut. Kavanagh (2001) menyebutkan bahwa nilai stress yang dapat ditolerir adalah kurang dari 20%. Berdasarkan hal tersebut maka model dapat diterima dengan baik dengan nilai stress 13,67%. Nilai ordinasi tersebut menggambarkan kondisi perairan pesisir kawasan pertambangan nikel Pomalaa mengalami tekanan dari sisi ekologi. Hal tersebut dapat terjadi karena intensitas pemanfaatan sumberdaya alam, baik berupa pemanfaatan secara langsung seperti; pembukaan lahan untuk kegiatan tambang, kegiatan penangkapan ikan, konversi lahan, dan transportasi maupun pemanfaatan secara tidak langsung, seperti; daerah penampungan limbah industri dan domestik (penampung limbah). Ketiadaan zonasi dan tidak adanya lahan untuk pengembangan merupakan faktor utama tertekannya aspek ekologi perairan kawasan pertambangan nikel Pomalaa. Hal tersebut tampak dari hasil analisis leverage, dimana terdapat dua atribut yang merupakan atribut pengungkit atau atribut yang sangat berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi ekologi yakni; ketersediaan zonasi, dan ketersediaan lahan pengembangan. Grafik leverage atribute dimensi ekologi disajikan pada Gambar 23.
Attribute
Leverage of Attributes Tutupan lahan Debit sungai Laju sedimentasi Kejadian kematian ikan Jenis pakan Status terumbu karang Status lamun Status mangrove Ketersediaan zonasi Ketersediaan lahan pengembangan Kualitas perairan
2,63 2,97 2,21 1,46 1,51 1,75 1,62 1,07 3,64 3,30 2,55 0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
Root Mean Square on Sustainability
Gambar 23 Leverage atribute dimensi ekologi Hasil analisis leverage (RMS) untuk dimensi ekologi, secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yakni, kelompok yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi ekologi yakni; ketersediaan zonasi (RMS=3,64), ketersediaan lahan pengembangan (RMS=3,30), debit sungai (RMS=2,97), tutupan lahan (RMS=2,63) dan kulaitas perairan (RMS=2,55). Kelompok yang cukup berpengaruh terdiri atas tiga atribut yakni; laju sedimentasi (RMS=2,21), status terumbu karang (RMS=1,75) dan status lamun (RMS=1,62). Atribut yang kurang
59
berpengaruh terdiri atas tiga atribut yaitu jenis pakan (RMS=1,51), kejadian kematian ikan (RMS=1,46) dan status mangrove (RMS=1,07). Menurut Kavanagh dan Pitcher (2004) menyatakan bahwa nilai RMS menunjukkan besarnya peranan setiap atribut terhadap sensitivitas status keberlanjutan. Munculnya atribut ketersediaan zonasi, ketersediaan lahan untuk pengembangan, debit sungai dan tutupan lahan menunjukkan bahwa keberadaan atribut tersebut menjadi sangat penting dalam status keberlanjutan dimensi ekologi perairan kawasan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa. Berdasarkan Perda Nomor 16 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilalayah Kabupaten Kolaka Tahun 2012-2031, tidak disebutkan dengan jelas pembagian fungsi ruang/kawasan di Kecamatan Pomalaa. Namun berdasarkan data dari Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten Kolaka, saat ini telah dikeluarkan sekitar 18 (delapan belas) blok Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang hampir membagi habis wilayah Kecamatan Pomalaa. Akibat tidak adanya zonasi wilayah seperti diamanatkan dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K), maka masyarakat dapat secara bebas melakukan aktivitas budidaya laut di kawasan pesisir walaupun itu berada dalam kawasan perusahaan pemilik IUP nikel. Adapun blok IUP Nikel Pomalaa dapat dilihat pada Gambar 24. Atribut lain yang memiliki pengaruh kuat terhadap keberlanjutan dimensi ekologi adalah ketersediaan ruang pengembangan, debit sungai dan tutupan lahan. Ketiga atribut tersebut sangat berkaitan erat satu sama lain. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa dengan banyaknya IUP yang diterbitkan Pemerintah Daerah Kabupaten Kolaka yang hampir membagi habis wilayah pesisir Kecamatan Pomalaa, maka semakin kecil pula ruang yang bagi masyarakat untuk melakukan perluasan dan atau pengembangan usaha-usaha budidaya perikanan. Akibat lain dari penguasaan lahan oleh perusahaan pemilik IUP adalah adanya pembukaan lahan pada wilayah IUP masing-masing perusahaan. Hal ini berpengaruh pada luasan tutupan lahan akibat eksploitasi kawasan untuk penambangan nikel. Dampak lanjutannya adalah semakin banyaknya lahan terbuka yang dapat menguranggi kemampuan lahan sebagai wilayah tangkapan air yang berdampak pada semakin berkurangnya debit sungai di Kecamatan Pomalaa.
60
Sumber : PT ANTAM POMALAA Tahun 2014
60
Gambar 24 Peta Blok Izin Usaha Pertambangan Nikel Pomalaa
61
Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Dimensi ekonomi menggambarkan kondisi ekonomi wilayah dan masyarakat yang ada di kawasan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa dan pengaruhnya terhadap keberlanjutan pengelolaan kawasan perairan lokasi pertambangan nikel Pomalaa dalam jangka panjang. Dimensi ekonomi dieksplorasi menjadi 10 (sepuluh) atribut utama yang dipandang memiliki pengaruh dan kaitan secara langsung dalam pemanfaatan dan pengelolaan kawasan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa. Atribut tersebut meliputi; pendapatan masyarakat, kepemilikan asset, alternatif pendapatan non perikanan, akses nelayan pada sumberdaya permodalan, markettable right, rantai pemasaran, akses terhadap sumberdaya, komoditi unggulan, kontribusi terhadap PAD, pertumbuhan subsektor perikanan. Grafik ordinasi dimensi ekonomi disajikan pada Gambar 25. RAP PMPP
Other Distingishing Features
60
UP
40 20 0
BAD 0
GOOD 20
40
60
80
100
47,33
-20 -40 -60
DOWN Ekonomi Sustainability Real Fisheries
References
Anchors
Gambar 25 Status keberlanjutan dimensi ekonomi Hasil analisis RapFish untuk dimensi ekonomi (economy sustainability) diperoleh nilai ordinasi 47,33% atau tergolong kurang berkelanjutan. Hasil analisis RapFish tersebut dapat diterima mengingat hasil uji validasi diperoleh nilai monte carlo sebesar 47,23% yang menunjukkan selisih perbedaan yang sangat kecil yakni 0,1% atau kurang dari 1%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pengaruh galat (error), atau dampak dari kesalahan pemberian skor relatif kecil. Dengan demikian, model RapFish untuk dimensi ekonomi, dinyatakan memadai sebagai penduga nilai indeks keberlanjutan. Menurut Kavanagh dan Pitcher (2004), analisis monte carlo dapat digunakan sebagai metode simulasi untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak/galat (random error) dalam analisis statistik yang dilakukan terhadap seluruh dimensi. Hal yang sama juga dikemukakan Fauzi et al. (2005) bahwa Analisis Monte Carlo dapat menjadi indikator kesalahan yang disebabkan pemberian skoring pada setiap atribut, variasi pemberian skoring yang bersifat multidimensi
62
karena adanya opini yang berbeda, proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang, dan kesalahan dalam melakukan input data atau data yang hilang. Hasil uji ketetapan (goodness of fit) juga menunjukkan bahwa model pendugaan indeks keberlanjutan dapat digunakan, dimana hasil RapFish diperoleh nilai squared correlation (R2) adalah 0,9511 atau mendekati 1. Nilai R-square semakin mendekati 1 berarti data yang ada semakin terpetakan dengan sempurna. Nilai tersebut mengambarkan bahwa lebih dari 95% model dapat dijelaskan dengan baik, dan sisanya <5% yang dijelaskan oleh faktor/atribut lain. Kavanagh (2001) menyebutkan bahwa nilai squared correlation (R2) lebih dari 80% menunjukkan bahwa model pendugaan indeks keberlanjutan baik dan memadai digunakan. Disisi lain, hasil uji ketidaktepatan (a lack of fit measure) atau nilai stress diperoleh 0,1352 atau mendekati 0 (nol). Nilai stress yang mendekati nol, maka output yang dihasilkan semakin mirip dengan keadaan yang sebenarnya atau semakin rendah nilai stress, maka semakin baik/cocok model tersebut. Sebaliknya, semakin tinggi nilai stress, maka semakin tidak cocok model tersebut. Kavanagh (2001) menyebutkan bahwa nilai stress yang dapat ditolerir adalah kurang dari 20%. Dengan demikian model dapat diterima dengan baik dengan nilai stress 13,52%. Nilai ordinasi tersebut menggambarkan bahwa dalam pesisir kawasan pertambangan nikel Pomalaa mengalami tekanan ekonomi. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan dalam memberikan manfaat dan jasa-jasa lingkungan menjadi menurun akibat tekanan yang tinggi baik secara langsung berupa ekstraksi maupun tidak langsung berupa limbah. Rendahnya kemampuan sumberdaya dalam memberikan manfaat dan jasajasa lingkungan tampak dari hasil analisis leverage, dimana terdapat empat)atribut yang merupakan atribut pengungkit dan sangat berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi ekonomi yaitu akses terhadap sumberdaya (RMS=5,06), akses nelayan terhadap modal (RMS=4,85), kontribusi terhadap PAD (RMS=3,28) dan komoditas unggulan (RMS=3,10). Grafik leverage atribute dimensi ekonomi disajikan pada Gambar 26. Leverage of Attributes 1,90
Pertumbuhan subsektor perikanan
3,28
Kontribusi terhadap PAD
3,10
Komoditi unggulan
5,06
Attribute
Akses terhadap sumberdaya 0,80
Rantai pemasaran
0,52
Marketbale right
4,85
Akses nelayan terhadap modal 0,06
Alternatif pendapatan non perikanan
0,72
Kepemilikan aset
2,28
Pendapatan masyarakat 0
2 4 Root Mean Square on Sustainability
Gambar 26 Leverage atribute dimensi ekonomi
6
63
Kelompok kedua yang cukup berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pengelolaan kawasan pesisir lokasi tambang nikel Pomalaa, terdiri atas dua atribut yakni; pendapatan masyarakat (RMS=2,28) dan pertumbuhan susbsektor perikanan (RMS=1,90). Kelompok ketiga merupakan kelompok yang kurang berpengaruh terdiri dari empat atribut yaitu rantai pemasaran (RMS=0,80), kepemilikan aset (RMS=0,72), marketable right (RMS=0,52) dan alternatif pendapatan non perikanan (RMS=0,06). Munculnya atribut akses terhadap sumberdaya, dan akses terhadap modal sebagai atribut pengungkit atau atribut yang paling berpengaruh terhadap nilai keberlanjutan ekonomi, dikarenakan akses terhadap sumberdaya merupakan batasan manfaat yang dapat diterima secara langsung dari sumberdaya tersebut. Fakta di lokasi studi menujukkan bahwa akses terhadap sumberdaya tidak ada batasan bagi setiap individu/kelompok dapat mengakses secara langsung sumberdaya yang ada. Kondisi yang demikian memberikan peluang yang lebih besar kepada setiap individu/kelompok untuk menerima manfaat dari sumberdaya. Dengan kata lain, batasan akses terhadap sumberdaya akan berpengaruh terhadap keberlanjutan aspek ekonomi. Demikian juga halnya dengan akses terhadap modal. Dukungan permodalan yang masih lemah terhadap sektor kelautan dan perikanan menghambat nelayan untuk bangkit dari keterpurukan. Program pembiayaan bagi usaha kecil sektor kelautan dan perikanan berupa kredit usaha rakyat (KUR) serta kredit ketahanan pangan dan energi (KKPE) hingga kini masih sulit dijangkau oleh nelayan. Hal ini disebabkan oleh adanya aturan dari perbankan penyalur yang mewajibkan adanya agunan bagi siapa saja yang akan melakukan pinjaman. Sektor usaha di bidang kelautan dan perikanan potensinya sangat besar dan membutuhkan pembiayaan yang sangat besar dapat berupakredit ke kegiatan penangkapan ikan, budidaya, pengolahan, pemasaran produk, wisata bahari, dan jasa pendukung lainnya. Di Kecamatan Pomalaa, pelonggaran aturan pada kapal nelayan berukuran 20 meter kubik atau berbobot mati lima ton yang bisa dijadikan agunan tidak dapat merubah keadaan karena mayoritas nelayan yang beroperasi di kawasan pesisir lokasi Pertambangan Nikel Pomalaa adalah nelayan kecil yang hanya bermodal perahu kecil dan atau perahu dengan mesin tempel. Analisis Keberlanjutan Dimensi Sosial Dimensi sosial menggambarkan bagaimana aspek sosial dalam pengelolaan perairan kawasan pertambangan nikel Pomalaa berpengaruh terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan dalam jangka panjang. Dimensi sosial dieksplorasi menjadi delapan atribut utama yang dipandang memiliki pengaruh/kaitan langsung dengan pengelolaan perairan kawasan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa. Atribut tersebut meliputi; tingkat partisipasi masyarakat, enviromental knowledge, education level, potensi konflik, pertumbuhan rumah tangga nelayan (RTN) dalam lima tahun terakhir, pemanfaatan local wisdom dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, pola hubungan masyarakat/struktur sosial dan pola kerja individu/kelompok. Grafik ordinasi dimensi sosial disajikan pada Gambar 27.
64
RAPFISH Ordination 60 Other Distingishing Features
UP 40 20 0 0
BAD
20
40
-20
60
80
GOOD 100
46,14
-40 DOWN -60
Fisheries Sustainability Real Fisheries
References
Anchors
Gambar 27 Status keberlanjutan dimensi sosial Hasil analisis RapFish untuk dimensi sosial (social sustainability) diperoleh nilai ordinasi 46,14% atau tergolong kurang berkelanjutan. Hasil analisis RapFish diperoleh nilai monte carlo sebesar 46,05%. Hasil ini dapat diterima karena selisih antara nilai ordinasi dengan nilai monte carlo sangat kecil yaitu sebesar 0,90% atau kurang dari 1%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pengaruh galat (error), atau dampak dari kesalahan pemberian skor relatif kecil. Dengan demikian, model RapFish untuk dimensi sosial, dinyatakan memadai sebagai penduga nilai indeks keberlanjutan. Hasil uji ketetapan (goodness of fit) juga menunjukkan bahwa model pendugaan indeks keberlanjutan dapat digunakan, dimana hasil RapFish diperoleh nilai squared correlation (R2) adalah 0,9468 atau mendekati 1. Nilai R-square semakin mendekati 1 berarti data yang ada semakin terpetakan dengan sempurna. Nilai tersebut mengambarkan bahwa lebih dari 94% model dapat dijelaskan dengan baik, dan sisanya <6% yang dijelaskan oleh faktor/atribut lain. Menurut Kavanagh (2001), nilai Squared Correlation (R2) lebih dari 80% menunjukkan bahwa model pendugaan indeks keberlanjutan baik dan memadai digunakan. Hasil uji ketidaktepatan (a lack of fit measure) atau nilai stress diperoleh 0,1382 atau mendekati 0 (nol). Jika nilai stress mendekati nol, maka output yang dihasilkan semakin mirip dengan keadaan yang sebenarnya atau semakin rendah nilai stress, maka semakin baik/cocok model tersebut. Sebaliknya, semakin tinggi nilai stress, maka semakin tidak cocok model tersebut. Menurut Kavanagh (2001), nilai stress yang dapat ditolerir adalah kurang dari 20%. Dengan demikian model dapat diterima dengan baik dengan nilai stress 13,82%. Berdasarkan hasil analisis leverage seperti disajikan pada Gambar 29, terdapat tiga atribut yang merupakan atribut pengungkit atau atribut yang sangat berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi sosial yakni; potensi konflik, pertumbuhan RTN dalam lima tahun terakhir dan level pendidikan. Grafik leverage atribute dimensi sosial dapat dilihat pada Gambar 28.
65
Leverage of Attributes pola kerja individual atau kelompok
2,20
Pola hubungan/struktur sosial
4,69
Attribute
Pemanfaatan local wisdom
1,24
Pertumbuhan RTN dalam 5 Tahun terakhir
6,67
Potensi konflik
7,02
Eduacation level
5,77
Enviromental knowledge
1,76
Tingkat partisipasi masyarakat
1,73 0
1 2 3 4 5 6 7 Root Mean Square on Sustainability
8
Gambar 28 Leverage atribute dimensi sosial Hasil analisis leverage untuk dimensi sosial, secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yakni, kelompok yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi sosial terdiri atas tiga atribut yakni; potensi konflik (RMS=7,02), pertumbuhan RTN dalam lima tahun terakhir (RMS=6,67) dan eduacation level (RMS=5,77). Kelompok yang cukup berpengaruh terdiri atas dua atribut yakni; pola hubungan/struktur sosial (RMS=4,690 dan pola kerja individu/kelompok (RMS=2,20. Pada kelompok ketiga merupakan kelompok yang kurang berpengaruh terdiri dari tiga atribut yaitu enviromental knowlegde (RMS=1,76), tingkat partisipasi masyarakat (RMS=1,73) dan pemanfaatan local wisdom (RMS=1,24). Munculnya atribut potensi konflik, pertumbuhan RTN dalam lima tahun terakhir dan level pendidikan menunjukkan bahwa ketiga atribut tersebut merupakan atribut yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi sosial. Potensi konflik menjadi atribut paling berpengaruh pada dimensi sosial. Hal ini disebabkan oleh adanya eksploitasi lahan tambang yang berdampak pada semakin besarnya beban pencemar yang masuk ke perairan pesisir kawasan pertambangan nikel Pomalaa. Hal ini kemudian menyebabkan terganggunya sistem mata pencaharian nelayan yang menjadikan laut sebagai tempat mencari nafkah. Kejadian kematian ikan pada areal tambak dan kematian teripang yang dibudidayakan menjadi contoh betapa hebatnya daya rusak yang diakibatkan oleh eksploitasi tambang yang tidak ramah lingkungan. Kejadian ini hampir menjadi kalender tahunan yang pasti terjadi, apalagi jika curah hujan tinggi. Akibatnya hubungan antara masyarakat khususnya nelayan dengan perusahaan pertambangan nikel menjadi tidak selalu harmonis. Hal-hal kecil dan sederhana yang merugikan nelayan bisa menjadi issu besar dengan kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Atribut lain yang paling berpengaruh pada dimensi sosial adalah pertumbuhan rumah tangga nelayan (RTN) dalam lima tahun terakhir dan edication level. Banyaknya Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Pemda Kab. Kolaka menyebabkan banyakanya anggota keluarga nelayan yang beralih
66
profesi menjadi pekerja pada perusahaan pertambangan. Karena level pendidikan yang dimiliki sangat minim (tidak tamat SD) dan tidak memiliki skill yang dibutuhkan oleh perusahaan, sehingga kebanyakan dari mereka hanya menjadi pekerja harian lepas sebagai buruh kasar. Analisis Keberlanjutan Dimensi Teknologi Dimensi teknologi menggambarkan bagaimana peran/pengaruh teknologi dalam keberlanjutan pengelolaan kawasan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa. Dimensi teknologi dieksplorasi menjadi sembilan atribut utama yang dipandang memiliki peran dalam pengelolaan kawasan pesisir lokasi tambang nikel Pomalaa. Atribut tersebut meliputi; aplikasi teknologi ramah lingkungan berbasis integrated multi tropic aquaculture (IMTA), penanganan pasca panen, teknologi budidaya kolam dan tambak, teknologi budidaya perikanan laut, ketersediaan bibit unggul, ketersediaan infrastruktur pelabuhan/TPI, akses informasi/penyuluhan, instalasi pengelolaan air limbah/IPAL dan ketersediaan checkdam. Grafik ordinasi dimensi teknologi disajikan pada Gambar 29.
RAPFISH Ordination 60
Other Distingishing Features
UP 40 20 0 0
BAD
49,91 20
40
60
80
GOOD 100
-20 -40 DOWN -60
Fisheries Sustainability Real Fisheries
References
Anchors
Gambar 29 Status keberlanjutan dimensi teknologi Berdasarkan hasil analisis analisis RapFish untuk dimensi teknologi (technology sustainability) diperoleh nilai ordinasi 49,91% atau tergolong kurang berkelanjutan. Hasil analisis RapFish tersebut dapat diterima mengingat hasil uji validasi diperoleh nilai monte carlo sebesar 49,99% yang menunjukkan selisih perbedaan yang sangat kecil yakni 0,08% atau kurang dari 1%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pengaruh galat (error), atau dampak dari kesalahan pemberian skor relatif kecil. Dengan demikian, model RapFish untuk dimensi teknologi, dinyatakan memadai sebagai penduga nilai indeks keberlanjutan.
67
Hasil uji ketetapan (goodness of fit) juga menunjukkan bahwa model pendugaan indeks keberlanjutan dapat digunakan. Hal ini terlihat dari hasil RapFish diperoleh nilai R2 adalah 0,9447 atau mendekati 1. Nilai R-square semakin mendekati 1 berarti data yang ada semakin terpetakan dengan sempurna. Nilai tersebut mengambarkan bahwa lebih dari 94% model dapat dijelaskan dengan baik, dan sisanya <6% yang dijelaskan oleh faktor/atribut lain. Kavanagh (2001) menyebutkan bahwa nilai Squared Correlation (R2) lebih dari 80% menunjukkan bahwa model pendugaan indeks keberlanjutan baik dan memadai digunakan. Untuk hasil uji ketidaktepatan (a lack of fit measure) atau nilai stress diperoleh 0,1493 atau mendekati 0 (nol). Nilai stress yang mendekati nol, maka output yang dihasilkan semakin mirip dengan keadaan yang sebenarnya atau semakin rendah nilai stress, maka semakin baik/cocok model tersebut. Sebaliknya, semakin tinggi nilai stress, maka semakin tidak cocok model tersebut. Kavanagh (2001) menyebutkan bahwa nilai stress yang dapat ditolerir adalah kurang dari 20%. Dengan demikian model dapat diterima dengan baik dengan nilai stress 14,93%. Nilai ordinasi tersebut menggambarkan bahwa dalam pengelolaan kawasan pesisir lokasi tambang mengalami tekanan dari aspek teknologi. Tingginya tekanan terhadap sumberdaya dan rendahnya kemampuan sumberdaya dalam memberikan manfaat tampak dari hasil analisis leverage, dan terdapat dua atribut yang merupakan atribut pengungkit atau atribut yang sangat berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi teknologi yaitu ketersediaan checkdam pada lokasi tambang dan aplikasi teknologi ramah lingkungan. Grafik leverage atribute dimensi teknologidisajikan pada Gambar 30.
Leverage of Attributes 1,60
Ketersediaan Check Dam pada lokasi tambang
0,86
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
0,37
Attribute
Akses informasi / penyuluhan perikanan Ketersedian infrastruktur pelabuhan/TPI
0,11
Ketersediaan bibit unggul
0,09 0,03
Teknologi budidaya perikanan laut
0,38
Teknologi budidaya perikanan kolam dan tambak
0,92
Penanganan pasca panen
1,54
Aplikasi teknologi ramah lingkungan
0
0,5
1
1,5
Root Mean Square on Sustainability
Gambar 30 Leverage atribute dimensi teknologi Hasil analisis leverage untuk dimensi teknologi, secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yakni, kelompok yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi teknologi terdiri atas dua atribut yakni; ketersediaan checkdam pada lokasi tambang (RMS=1,60 dan aplikasi teknologi ramah lingkungan (RMS=1,54. Kelompok kedua merupakan kelompok yang cukup
2
68
berpengaruh terdiri atas empat atribut yakni; instalasi pengelolahan air ilmbah/IPAL (RMS=0,86), penanganan pasca panen (RMS=0,92), teknologi budidaya ramah lingkungan (RMS=0,38), dan akses informasi/penyuluhan perikanan (RMS=0,37). Sedangkan kelompok ketiga merupakan kelompok yang kurang berpengaruh terdiri atas tiga atribut yakni; ketersediaan infrastruktur pelabuhan/TPI (RMS=0,11), ketersediaan bibit unggul (RMS=0,09) dan teknologi budidaya perikanan laut (RMS=0,03). Aplikasi teknologi ramah lingkungan yang dilakukan sangat berpengaruh terhadap kekeberlanjutan pengelolaan kawasan pesisir lokasi tambang dari sisi teknologi. Umumnya masyarakat saat ini di wilayah penelitian, masih menggunakan sistem tradisional. Tambak tradisional adalah tambak dengan sistem pemeliharaan secara tradisional, sehingga udang atau bandeng hidup dari makanan alami yang dihasilkan dari kesuburan alamiah petakan tambak, dengan tanpa diberi pakan (Soeseno 1988). Menurut Darmono (2001), tambak tradisional biasanya dibangun pada lahan pasang surut, yang pada umumnya berupa rawa-rawa bakau atau rawa-rawa pasang surut. Tambak tradisional merupakan sistem budidaya perikanan yang lebih ramah lingkungan, dimana input teknologi sangat minim dan bahkan umumnya tidak ada. Kondisi tersebut menjadikan tambak tradisional lebih dapat bertahan lama. Senarath dan Visvanathan (2001) menyebutkan bahwa pengembangan usaha budidaya tambak juga menghasilkan dampak negatif terhadap lingkungan disamping keuntungan secara ekonomi. Biao et al. (2009) menunjukkan bahwa jenis tambak yang berbeda akan menghasilkan kondisi kualitas lingkungan yang berbeda pula. Lebih jauh Rahimibashar et al. (2012) menyebutkan adanya pengaruh lingkungan tambak terhadap aliran sungai di sekitarnya sehingga kondisi air buangan tambak yang buruk (tercemar) juga akan menurunkan kondisi kualitas air sungai. Dalam pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya alam dibutuhkan teknologi, baik berupa teknologi sederhana maupun teknologi modern. Demikian pula pada pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya kawasan pesisir lokasi tambang, penggunaan teknologi yang tepat dapat menunjang keberlanjutan pengelolaan kawasan pesisir lokasi tambang. Umumnya teknologi yang digunakan saat ini dalam pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya kawasan pesisir lokasi tambang adalah teknologi sederhana, seperti; dalam penangkapan ikan, umumnya masyarakat menggunakan serok (trap) yang dipasang secara pasif. Demikian pula dalam kegiatan budidaya perikanan/tambak dimana umumnya masih menggunakan teknologi sederhana. Di satu sisi, teknologi sederhana dapat menjaga dan menunjang keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan, namun dari sisi ekonomi (pendapatan) umumnya sangat terbatas/rendah. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan Heal (1998) bahwa konsep keberlanjutan mengandung dua dimensi, yakni; dimensi waktu dan dimensi interaksi antara sistem ekonomi dengan sistem sumberdaya alam dan lingkungan. Menurut Pezzey (1992), aspek keberlanjutan memiliki pengertian statik dan dinamik. Keberlanjutan statik diartikan sebagai pemanfaatan sumberdaya alam terbarukan dengan laju teknologi yang konstan, sementara keberlanjutan dinamik diartikan sebagai pemanfaat sumberdaya yang tidak terbarukan dengan tingkat teknologi yang terus berubah.
69
Analisis Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Dimensi kelembagaan menggambarkan bagaimana peran/pengaruh kelembagaan dalam keberlanjutan pengelolaan pesisir lokasi tambang nikel Pomalaa. Dimensi kelembagaan dieksplorasi menjadi sembilan atribut utama yang dipandang memiliki peran/pengaruh dalam pengelolaan pesisir lokasi tambang nikel Pomalaa. Atribut tersebut meliputi; ketersediaan kelompok nelayan, ketersediaan lembaga penyuluh perikanan, singkronisasi kebijakan antara pemerintah daerah dengan perusahaan tambang, perencanaan pengelolaan sumberdaya, tingkat sinergitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan, ketersediaan lembaga keuangan mikro, keberadaan lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO), keberadaan programpenelitian dan pengabdian masyarakat dan ketersediaan Perda pengelolaan lingkungan. Grafik ordinasi dimensi kelembagaan disajikan pada Gambar 31.
RAPFISH Ordination 60 Other Distingishing Features
UP 40 20 0 0
BAD
20
40
51,68 60
80
GOOD 100
-20 -40 DOWN -60
Fisheries Sustainability Real Fisheries
References
Anchors
Gambar 31 Status keberlanjutan dimensi kelembagaan Hasil analisis RapFish untuk dimensi kelembagaan (institutional sustainability) seperti disajikan pada Gambar 31, diperoleh nilai ordinasi 51,68% atau tergolong berkelanjutan. Hasil analisis RapFish tersebut dapat diterima mengingat hasil uji validasi diperoleh nilai monte carlo sebesar 51,42% yang menunjukkan selisih perbedaan yang sangat kecil yakni 0,26% atau kurang dari 1%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pengaruh galat (error), atau dampak dari kesalahan pemberian skor relatif kecil. Berdasarkan hal tersebut model RapFish untuk dimensi kelembagaan, dinyatakan memadai sebagai penduga nilai indeks keberlanjutan. Menurut Kavanagh dan Pitcher (2004), bahwa analisis monte carlo dapat digunakan sebagai metode simulasi untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak/galat (random error) dalam analisis statistik yang dilakukan terhadap seluruh dimensi. Hal yang sama juga dikemukakan Fauzi et al. (2005) bahwa analisis Monte Carlo dapat menjadi indikator kesalahan yang disebabkan pemberian skoring pada setiap atribut, variasi pemberian skoring yang bersifat multidimensi
70
karena adanya opini yang berbeda, proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang, dan kesalahan dalam melakukan input data atau data yang hilang. Hasil uji ketetapan (goodness of fit) juga menunjukkan bahwa model pendugaan indeks keberlanjutan dapat digunakan, dimana hasil RapFish diperoleh nilai squared correlation (R2) adalah 0,9462 atau mendekati 1. Nilai R-square semakin mendekati 1 berarti data yang ada semakin terpetakan dengan sempurna. Nilai tersebut mengambarkan bahwa lebih dari 94% model dapat dijelaskan dengan baik, dan sisanya <6% yang dijelaskan oleh faktor/atribut lain. Kavanagh (2001) menyebutkan bahwa nilai squared correlation (R2) lebih dari 80% menunjukkan bahwa model pendugaan indeks keberlanjutan baik dan memadai digunakan. Di sisi lain, hasil uji ketidaktepatan (a lack of fit measure) atau nilai stress diperoleh 0,1472 atau mendekati 0 (nol). Nilai stress yang mendekati nol, maka output yang dihasilkan semakin mirip dengan keadaan yang sebenarnya atau semakin rendah nilai stress, maka semakin baik/cocok model tersebut. Sebaliknya, semakin tinggi nilai stress, maka semakin tidak cocok model tersebut. Kavanagh (2001) menyebutkan bahwa nilai stress yang dapat ditolerir adalah kurang dari 20%. Dengan demikian model dapat diterima dengan baik dengan nilai stress 14,93%. Nilai ordinasi tersebut menggambarkan bahwa dalam pengelolaan kawasan pesisir lokasi tambang nikel Pomalaa mengalami tekanan dari aspek kelembagaan. Tingginya tekanan terhadap sumberdaya dan rendahnya kemampuan sumberdaya dalam memberikan manfaat dan jasa-jasa lingkungan tampak dari hasil analisis leverage, dimana terdapat satu atribut yang merupakan atribut pengungkit atau atribut yang sangat berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi kelembagaan yaitu keberadaan lembaga masyarakat. Grafik leverage atribute dimensi kelembagaan disajikan pada Gambar 33.
Leverage of Attributes 0,57
ketersediaan perda pengelolaan lingkungan keberadaan program, penelitian dan pengabdian…
0,34 2,78
Attribute
keberadaan lembaga masyarakat
0,20
ketersediaan lembaga keuangan mikro
0,49
tingkat sinergitas kebijakan antara lembaga…
0,47
perencanaan pengelolaan sumberdaya sinkronisasi kebijakan antara pemerintah dgn…
0,33 0,12
Ketersediaan lembaga penyuluh perikanan
0,06
Ketersdiaan kelompok nelayan
0
0,5
1
1,5
2
Root Mean on Sustainability
Gambar 32 Leverage atribute dimensi kelembagaan
2,5
3
71
Hasil analisis leverage (RMS) untuk dimensi kelembagaan, secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yakni, kelompok yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi kelembagaan yakni; keberadaan lembaga masyarakat (RMS=2,78). Kelompok yang cukup berpengaruh terdiri atas tiga atribut yakni; ketersediaan Perda tentang pengelolaan lingkungan (RMS=0,57), sinergitas kebijakan lembaga pengelola perikanan (RMS=0,49) dan perencanaan pengelolaan sumberdaya (RMS=0,47). Sedangkan kelompok ketiga merupakan kelompok yang kurang berpengaruh terdiri atas lima atribut. Kavanagh dan Pitcher (2004) menyatakan bahwa nilai RMS menunjukkan besarnya peranan/pengaruh setiap atribut terhadap sensitivitas status keberlanjutan. Analisis Prospektif Berdasarkan hasil analisis RapFish yang diperoleh terdapat 15 atribut utama yang merupakan atribut pengungkit atau atribut yang memberikan pengaruh/peranan paling tinggi terhadap keberlanjutan pengelolaan kawasan pesisir lokasi tambang nikel Pomalaa. Kelima belas atribut tersebut meliputi; dimensi ekologi lima atribut, dimensi ekonomi empat atribut, dimensi sosial tigaatribut, dimensi teknologi dua atribut dan dimensi kelembagaan satu atribut. Pembagian lebih rinci disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Nilai RMS (Root Means Square) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Atribut Pengungkit Ketersediaan zonasi Ketersediaan lahan pengembangan Kualitas perairan Debit sungai Tutupan lahan Akses terhadap sumberdaya Akses nelayan terhadap modal Kontribusi terhadap PAD Komoditi unggulan Potensi konflik Pertumbuhan RTN Education level Ketersediaan checkdam Aplikasi teknologi ramah lingkungan Keberadaan lembaga masyarakat
Dimensi Keberlanjutan Nilai RMS ekologi 3,64 ekologi 3,30 ekologi 3,23 ekologi 2,97 ekologi 2,63 ekonomi 5,06 ekonomi 4,85 ekonomi 3,28 ekonomi 3,10 sosial 7,02 sosial 6,67 sosial 5,77 teknologi 1,60 teknologi 1,54 kelembagaan 2,78
Berdasarkan Tabel 26, 15 atribut pengungkit tersebut selanjutnya dilakukan penilaian tingkat pengaruh antar atribut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal tersebut dilakukan mengingat terdapat hubungan antara setiap atribut dalam pengelolaan kawasan pesisir lokasi Tambang Nikel Pomalaa. Hubungan antara atribut tersebut dapat berupa pengaruh ataupun ketergantungan antara atribut. Hasil analisis prospektif diperoleh disajikan pada Gambar 33
72
Tinjauan Terhadap Peran Variabel (pengaruh lansung dan tidak langsung)
2,00 Potensi konflik Revitalisasi Checkdam
1,50 Pengaruh
Pertumbuhan RTN keberadaan lembaga masyarakat Tingkat pendidikan Akses terhadap Komoditi unggulan Kualitas perairan sumberdaya
1,00
akses nelayan terhadap modal
Kontribusi terhadap PAD
lahan untuk pengembangan
0,50
Pendapatan masyarakat ketersediaan zonasi
Debit sungai
-
tutupan lahan
-
-
0,50
1,00 1,50 Ketergantungan
2,00
Gambar 33 Hasil analisis prospektif atribut pengungkit dalam pengelolaan wilayah pesisir lokasi Tambang Nikel Pomalaa Berdasarkan hasil analisis prospektif, seperti pada Gambar 33 di atas, diperoleh bahwa tipe sebaran cenderung mengumpul di kuadran-I dan kuadran-III. Tipe ini menunjukkan bahwa sistem yang dibangun stabil karena memperlihatkan hubungan yang kuat dimana variabel penggerak/penentu mengatur variabel terikat dengan kuat (Bourgeois, 2007). Atribut yang termasuk dalam faktor penentu (driving variables) terdiri atas; potensi konflik, keberadaan lembaga masyarakat, pertumbuhan RTN, tingkat pendidikan, akses terhadap sumberdaya, komoditas unggulan dan kualitas air dan ketersediaan checkdam. Atribut-atribut tersebut terletak di kuadran-I, yakni atribut yang memiliki pengaruh kuat dan ketergantungan antar atribut rendah. Atribut ini merupakan atribut penggerak/penentu terhadap keberhasilan berkelanjutan pengelolaan kawasan pesisir lokasi Tambang Nikel Pomalaa. Atribut yang termasuk dalam kuadran-III meliputi; ketersediaan lahan pengembangan, pendapatan masyarakat, debit sungai dan tutupan lahan. Kelima atribut tersebut merupakan faktor terikat (output variables) yakni atribut yang memiliki pengaruh rendah dan ketergantungan antar atribut kuat. Dengan kata lain, kelima atribut tersebut, sangat ditentukan oleh kelima atribut penentu yang terdapat di kuadran-I.
Simpulan Berdasarkan analisis secara parsial masing-masing dimensi tentang tingkat keberlanjutan pengelolaan kawasan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa hanya dimensi kelembagaan yang berkelanjutan dengan nilai 51,68. Dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan teknologi masih kurang berkelanjutan dengan nilai masing dimensi ekologi adalah 42,88, dimensi ekonomi adalah 47,33, dimensi sosial adalah 46,14 dan dimensi teknologi adalah 49,91.
73
Atribut pengungkit keberlanjutaan pengelolaan kawasan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa terdiri dari 13 meliputi: dimensi ekologi lima atribut (tutupan lahan, laju sedimentasi, ketersediaan zonasi, ketersediaan lahan pengembangan dan kualitas perairan), dimensi ekonomi dua atribut (akses terhadap modal dan akses terhadap sumberdaya), dimensi sosial tiga atribut ( potensi konflik, pertumbuhan RTN dan level pendidikan) dan dimensi teknologi satu atribut (keberadaan lembaga masyarakat). Atribut penentu (driving variables) keberlanjutan pengelolaan kawasan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa terdiri dari delapan atribut yakni; potensi konflik, revitalisasi checkdam, keberadaan lembaga masyarakat, komoditi unggulan, akses terhadap modal dan sumberdaya, kualitas perairan, tingkat pendidikan dan pertumbuhan rumah tangga nelaya (RTN).
5 KOMODITAS UNGGULAN SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN MASYARAKAT PESISIR DI KAWASAN TAMBANG NIKEL POMALAA Pendahuluan Setiap daerah mempunyai potensi dan keunggulan ekonomi yang menjadi sumber pertumbuhan wilayah. Untuk menjamin potensi unggulan daerah dapat berkembang sesuai dengan tujuan pembangunan daerah, maka setiap pemerintah daerah senantiasa berupaya memberikan perhatian dan fasilitasi yang memadai sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing. Pengembangan potensi unggulan daerah yang dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan sesuai dengan rencana pembangunan daerah diharapkan dapat meningkatkan produktivitas ekonomi daerah. Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah atau daerah sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya (Rustiadi et al., 2009). Wilayah dapat berkembang melalui berkembangnya sektor unggulan pada wilayah tersebut yang mendorong pengembangan sektor lainnya, sehingga pengembangan sektor menjadi salah satu pendekatan yang perlu dipertimbangkan untuk pengembangan wilayah (Djakapermana, 2010). Oleh sebab itu pendekatan sektoral masih menjadi salah satu strategi dalam membangun potensi ekonomi wilayah. Pendekatan sektoral lebih menekankan pada pemilihan sektor-sektor ekonomi wilayah yang dapat berperan sebagai penggerak ekonomi wilayah. Secara prinsip, tidak ada perbedaan antara komoditas andalan dan komoditas unggulan. Namun, antara keduanya dapat diberi definisi sedikit berbeda. Komoditas andalan adalah sejumlah komoditas yang telah dkembangkan di suatu wilayah berdasarkan kesesuaian agroekologi (tanah dan iklim) serta menjadi sumber pendapatan utama petani setempat. Sebaliknya, komoditas unggulan adalah beberapa komoditas andalan yang paling menguntungkan untuk diusahakan/dikembangkan pada suatu wilayah, mempunyai prospek pasar, mampu meningkatkan pendapatan petani dan keluarga, mempunyai potensi sumber daya lahan yang cukup luas, memiliki sifat-sifat genetik unggul dan karakteristik lainnya, antara lain rasa, aroma, dan bentuk (Anonim, 1999; Anonim, 2000). Menurut Papilaya (dalam Admin, 2006), dari sisi permintaan komoditas unggulan adalah
74
komoditas yang dapat menggerakkan permintaan pasar cukup tinggi baik terhadap pasar domestik maupun pasar mancanegara. Sebaliknya, dari sisi penawaran, komoditas unggulan adalah komoditas yang dapat menggerakkan penyediaan/ penawaran yang tinggi atas komoditas tersebut. Kriteria penentuan komoditas unggulan itu sendiri adalah komoditas yang mempunyai prospek pasar, memiliki sumber daya alam yang cukup, dan sifat-sifat unggul lainnya, seperti luas areal dan kemudahan pengembangannya. Dalam rangka menyamakan persepsi mengenai komoditas unggulan khususnya mengenai pengertian dan kriterianya diperlukan metode yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menetapkan komoditas unggulan di setiap provinsi di KTI. Pengertian umum komoditas unggulan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu (1) sisi permintaan (demand driven) dan (2) sisi penawaran (supply driven). Dari sisi permintaan, komoditas unggulan dapat diartikan bahwa komoditas unggulan merupakan sektor/komoditas yang dapat menggerakkan permintaan pasar yang cukup tinggi, baik terhadap pasar domestik maupun mancanegara. Sebaliknya, dari sisi penawaran, sektor/komoditas unggulan dapat diartikan sebagai sektor/komoditas yang dapat menggerakkan penyediaan/ penawaran yang tinggi atas sektor/komoditas tersebut. Dengan demikian, sektor/komoditas unggulan adalah sektor/komoditas yang mempunyai permintaan pasar tinggi dan mempunyai kemampuan untuk menyediakannya dalam jumlah yang banyak. Di sisi lain, komoditas unggulan dapat dikenal pula melalui klasifikasi komoditas yang dikembangkan oleh daerah, yaitu (1) komoditas unggulan, (2) komoditas andalan, dan (3) komoditas binaan/penunjang. Dalam hal ini yang dimaksud dengan komoditas unggulan adalah komoditas yang paling menguntungkan untuk dikembangkan. Penentuan komoditas unggulan ini dilakukan dengan mempertimbangkan criteria (a) mempunyai prospek pasar, (b) sumberdaya alam yang cukup, serta (c) sifat-sifat unggul lainnya, seperti luas areal dan kemudahan pengembangannya. Berdasarkan berbagai pengertian dan konsepsi komoditas unggulan sebagaimana diuraikan di atas, maka pengertian yang perlu disepakati untuk penetapan komoditas unggulan di kawasan pesisir Kecamatan Pomalaa adalah sebagai berikut. 1. Komoditas unggulan adalah komoditas yang perlu diprioritaskan pengembangannya oleh pemerintah daerah untuk mendukung tujuan pembangunan daerah; 2. Komoditas unggulan adalah komoditas yang mempunyai prospek pasar dan ada permintaan pasarnya, yang cocok dibudidayakan oleh masyarakat setempat karena kesesuaian sumberdaya, budaya, dan teknologi. Penentuan komoditas unggulan merupakan salah satu faktor kunci pengembangan ekonomi daerah. Menyadari adanya ketidakseimbangan lingkungan akibat degradasi lahan, maka diperlukan upaya pengembangan kawasan yang didasarkan atas keunggulankeunggulan komparatif berupa upaya-upaya peningkatan produksi dan produktivitas kawasan yang didasarkan atas pertimbangan optimalisasi daya dukung, kapabilitas dan kesesuaian sumberdaya wilayah diantaranya melalui pembangunan kawasan berbasis sektor unggulan. Selain penyesuaian sumberdaya dan sosial masyarakat setempat, ketersediaan berbagai fasilitas publik seperti sumber air bersih, tenaga listrik, pusat pasar, lembaga perbankan dan keuangan, sekolah atau pusat pendidikan dan pelatihan, jaringan jalan, sistem transportasi dan komunikasi merupakan beberapa fasilitas yang diperlukan guna mendorong dan mendukung dalam tercapainya strategi pengembangan masyarakat dan peningkatan
75
ekonomi perdesaan yang diharapkan dapat menyumbang pada peningkatan kinerja sistem perekonomian nasional. Pandangan tersebut memberikan penjelasan bahwa aspek sosial, ekonomi, ekologi, teknologi dan infrastruktur dan kelembagaan merupakan aspek-aspek yang harus menjadi pertimbangan atau perhatian penting dalam upaya penjaminan keberlanjutan pengembangan suatu kawasan (Rustiadi et al., 2003). Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji potensi perikanan pada wilayah pesisir Kecamatan Pomalaa serta menganalisis sektor unggulan perikanan di kawasan pesisir Kecamatan Pomalaa. Metodologi Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah peisisir Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Secara administrasi Kecamatan Pomalaa pada tahun 2013 terdiri atas 12 wilayah desa/kelurahan, meliputi: Desa Oko-Oko, Desa Sopura, Desa Hakatetobu, Desa Tambea, Kel.Pomalaa, Kel. Kumoro, Kel.Dawi-Dawi, Kel.Tonggoni, Desa Totobo, Desa Pelambua, Desa Pesouha, Desa Huko-Huko. Jenis dan Sumber Data Data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer didapat secaara langsung dari lapangan (nelayan/masyarakat maupun stekeholders lainnya), sedangkan data sekunder diperoleh dari data statistik baik ditingkat kabupaten, kecamatan ataupun desa. Data primer berupa wawancara langsung dengan berbagai pihak terutama stakeholder yang bersentuhan langsung dengan berbagai aktivitas masyarakat (pemerintah/dinas terkait, akademisi, LSM, pihak perusahaan pertambangan dan nelayan). Data sekunder diperoleh dari dokumen dan atau berbagai laporan penelitian yang terkait langsung dengan lokasi penelitian ini. Data time series yang berasal dari laporan penelitian, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kolaka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Kolaka Tahun 2007-2013 serta isntansi lain yang terkait dengan materi kajian. Sesuai dengan sifat penelitian ini deskriptif kualitatif yaitu suatu jenis penelitian yang dimaksudkan untuk pengukuran dengan cermat terhadap fenomena sosial tertentu (Singarimbun dan Effendi, 1989). Dimana peneliti mengembangkan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak melakukan pengujian hopotesa. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara berstruktur dan tidak berstruktur, observasi dan studi dokumentasi. Data yang dihimpun dalam penelitian berupa data potensi sumberdaya alam Kecamatan Pomalaa dengan meneliti data yang sudah ada dalam publikasi yang terkait dengan tujuan penelitian Metode Analisis Data Metode Analisis Potensi Wilayah Pada penelitian ini potensi wilayah dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif meskipun sebagaian data yang digunakan bersifat kuantitatif. Hal ini dilakukan dengan cara melakukan interpretasi terhadap data, fakta dan informasi yang telah dikumpulkan melalui pemahaman intelektual yang dibangun atas dasar pengalaman empiris (Surachmad, 1987)
76
Menghitung Nilai LQ Analisis ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat spesialisasi sektor-sektor ekonomi di suatu daerah atau sektor-sektor apa saja yang merupakan sektor basis atau leading sektor. Pada dasarnya teknik ini menyajikan perbandingan relatif antara kemampuan suatu sektor di daerah yang diselidiki dengan kemampuan sektor yang sama pada daerah yang menjadi acuan. Satuan yang digunakan sebagai ukuran untuk menghasilkan koefisien Location Quotient (LQ) tersebut nantinya dapat jumlah produksi atau satuan lain yang dapat digunakan sebagai kriteria. Teknik analisis ini belum bisa memberikan kesimpulan akhir dari sektor-sektor yang teridentifikasi sebagai sektor strategis. Namun untuk tahap pertama sudah cukup memberi gambaran akan kemampuan suatu daerah dalam sektor yang teridentifikasi. Rumus matematika yang digunakan untuk membandingkan kemampuan sektor-sektor dari daerah tersebut adalah (Warpani, 1984:68). Adapun formula dari LQ adalah : LQ = (Xij/Xi)/(Xij/Xj) Keterangan: Xij = produksi jenis komoditas ke-j pada Kecamatan Xi = produksi total perikanan budidaya Kecamatan Xj = produksi total jenis komoditas ke-j Kabupaten X = produksi total perikanan budidaya Kabupaten
Interpretasikan hasil analisis LQ adalah sebagai berikut: (1) Jika nilai LQ > 1, menunjukkan terjadinya konsentrasi produksi perikanan budidaya di tingkat Kecamatan secara relatif dibandingkan dengan total Kabupaten atau terjadi pemusatan aktivitas di Kecamatan. Atau terjadi surplus produksi di Kecamatan dan komoditas tersebut merupakan sector basis di Kecamatan. (2) Jika nilai LQ = 1, maka pada Kecamatan mempunyai aktivitas perikanan budidaya setara dengan Kabupaten. Menghitung Nilai DLQ Perhitungan LQ memiliki keterbatasan karena bersifat statis dan hanya digunakan untuk mengestimasi perubahan sektor unggulan pada tahun tertentu saja. Untuk mengatasinya, dilakukan analisis Dynamic Location Quotient (DLQ) yang mampu mengakomodasi perubahan struktur ekonomi wilayah dalam kurun waktu tertentu. Menurut Saharuddin (2006) secara umum metode LQ dinamis mempunyai kesamaan dengan metode LQ statis, hanya yang membedakan model LQ dinamis memasukkan laju pertumbuhan rata-rata terhadap masing-masing nilai tambah sektoral maupun PDRB untuk kurun waktu antara tahun 0 sampai tahun t. (1+𝑔𝑔𝑔𝑔) �
Rumus DLQ= � (1+𝑔𝑔𝑔𝑔) (1+𝐺𝐺𝐺𝐺)�t �(1+𝐺𝐺𝐺𝐺)
Keterangan: DLQij = Indeks potensi sektor i di kecamatan gj = Laju pertumbuhan sektor i di kecamatan
77
Gj gi Gi t
= Rata-rata laju pertumbuhan sektor i di kecamatan = Laju pertumbuhan sektor i di kabupaten = Rata-rata laju pertumbuhan sektor i di kabupaten = Selisih tahun akhir dan tahun awal
Interpretasi nilai DLQ adalah: DLQ > 1, maka potensi perkembangan sektor i di kecamatan lebih cepat dibandingkan sektor yang sama di kabupaten DLQ < 1, maka potensi perkembangan sektor i di kecamatan lebih lambat dibandingkan sektor yang sama di kabupaten Analisis Gabungan LQ dan DLQ Analisis gabungan antara LQ dan DLQ digunakan untuk mengetahui tingkat keunggulan saat ini dan potensi keunggulan dimasa masa depan suatu subsektor di kawasan pesisir Kecamatan Pomalaa dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Klasifikasi subsektor berdasarkan nilai LQ dan DLQ. LQ>1 Kriteria DLQ>1 Sektor Unggulan DLQ<1 Sektor Prospektif Sumber: Kuncoro et al., 2009
LQ<1 Sektor Andalan Sektor Tertinggal
Hasil dan Pembahasan Potensi Sumberdaya Perikanan Potensi sumber daya kelautan dan perikanan Kab. Kolaka cukup besar baik potensi sumberdaya perikanan laut, darat maupun perikanan budidaya. Hal tersebut didukung oleh perairan laut seluas 15.000 km² dengan panjang garis pantai 295.487 km² serta memiliki 13 buah pulau–pulau kecil dengan luas keseluruhan pulau tersebut 4.384 Ha. Dari keseluruhan wilayah Pulau-pulau Kecil (PPK) sangat mendukung bagi pengembangan kegiatan usaha perikanan disekitarnya misalnya kegiatan penangkapan ikan baik itu ikan pelagis (permukaan) maupun ikan domersal (dasar) serta kegiatan budidaya laut seperti kegiatan budidaya rumput laut, budidaya ikan kerapu dan teripang. Hasil analisis diatas diduga bahwa potensi lestari perikanan laut Kab. Kolaka sebesar 37.500 ton/tahun (DKP Kab Kolaka, 2014). Potensi yang sangat besar tersebut sangat mendukung kegiatan disektor perikanan maupun sektor lainnya. Potensi sumber daya perikanan dan tingkat pemanfaataannya disajikan pada Tabel 28.
78
Tabel 28 Potensi sumber daya perikanan dan tingkat pemanfaatannya di Kabupaten Kolaka tahun 2014. No
Potensi Sumberdaya Perikanan
Tingkat Pemanfatan Dugaan Potensi Lestari
Volume
1 Perikanan Laut 37.500 Ton/Tahun 21.264,5 2 Budidaya Air Payau 8.500 Ha 4.827 3 Budidaya Air Tawar 2.000 Ha 131 4 Budidaya Laut 7.000 Ha 4.130 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka Tahun 2014
% 56,70 56,78 6,55 59,00
Berdasarkan Tabel 28 dapat dilihat bahwa presentase pemanfaatan sumberdaya perikanan laut Kabupaten Kolaka masih masih sangat besar yang ditandai dengan tingkat pemanfaatan yang hanya 56,7% sedangkan potensi lestari/Maximum Sustainable Yield (MSY) sebesar 37.500 ton/tahun. Berdasarkan data DKP Kab. Kolaka, saat ini, produksi rata-rata perikanan laut Kabupaten Kolaka sekitar 21.264,5 ton/tahun dan 3,3 ton/tahun untuk Kecamatan Pomalaa. 400
360
Luas area budidaya (ha)
350 300
295,5
250 200 150
123,5
100 50 0 Tambak
Kolam
Budidaya laut
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka Tahun 2014 Gambar 34 Luas area budidaya perikanan pada kawasan pesisir Kecamatan Pomalaa. 1. Rumah Tangga Perikanan (RTP) Rumah tangga (household) menurut Bryant dan Zick (2006) adalah sekelompok kecil orang yang menggunakan sumberdaya bersama untuk mencapai tujuan. Rumah tangga perikanan adalah rumah tangga yang menggantungkan hidupnya atau salah satu anggotanya memiliki mata pencaharian melakukan kegiatan perikanan. Sesuai dengan definisi perikanan, maka rumah tangga perikanan juga dikelompokkan menjadi rumah tangga perikanan tangkap dan rumah tangga perikanan budidaya. Berdasarkan data DKP Kabupaten Kolaka tahun 2014, jumlah total rumah tangga perikanan (RTP) yang ada di Kecamatan Pomalaa sebanyak
79
1.103 KK atau 22,86% dari total jumlah KK Kecamatan yaitu 4.826 KK. RTP terdiri dari RTP budidaya laut, tambah, budidaya air tawar (kolam), unit pembenihan dan RTP nelayan/perikanan tangkap. Jika digabungkan, jumlah RTP budidaya paling banyak yaitu 753 KK atau 68,27% sedang selebihnya atau 350 KK atau 21,73% adalah rumah tangga nelayan/ perikanan tangkap. Proporsi RTP budidaya laut dapat disajikan pada Gambar 35 dan Gambar 36.
384
400
350
300 199
200
164
100 6 0 Budidaya Laut
Tambak
Budidaya Air Tawar
Unit Pembenihan Rakyat
Nelayan
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka Tahun 2014 Gambar 35 Jumlah rumah tangga perikanan (RTP) di Kecamatan Pomalaa.
140
132
Jumlah (KK)
120 100 80 60 29
40 20
3
0 Rumput laut
Teripang
Kerapu
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka Tahun 2014 Gambar 36 Jumlah rumah tangga perikanan (RTP) budidaya laut di Kecamatan Pomalaa. 2. Keragaan Rumah Tangga Nelayan Berdasarkan Skala Usaha Menurut tingkat/besarnya usaha atau armada yang digunakan, rumah tangga perikanan tangkap diklasifikasikan sebagai rumah tangga yang: 1. Tidak menggunakan perahu,
80
2. Menggunakan perahu tanpa motor, yaitu: jukung, perahu papan, perahu kecil (panjang kurang dari 7 m), perahu sedang (perahu yang panjangnya antara 7-10 m), dan perahu besar (perahu yang panjangnya lebih dari 10 m), 3. Menggunakan perahu motor tempel, dan 4. Menggunakan kapal motor. Rumah tangga yang menggunakan kapal motor ini menurut tonasenya dapat dikelompokkan menjadi: kurang dari 5 GT, 5-10 GT, 10-20 GT, 20-30 GT, 30-50 GT, 50-100 GT, 100-200 GT, 200- 300 GT, 300-500 GT, 500-1000 GT, dan lebih dari 1000 GT. Keragaan sarana alat tangkap pada RTP nelayan disajikan pada Gambar 38. Berdasarkan gambar tersebut, dapat dilihat bahwa jumlah RTP tanpa perahu, Jukung, perahu tanpa motor sedang dan RTP Kapal Motor jumlahnya semakin berkurang pada tahun 2014. Penurunan yang paling ekstrim adalah RTP perahu tanpa motor sedang dengan jumlah 88 dan RTP Kapal motor dengan jumlah 18 pada tahun 2010 menjadi 0 pada tahun 2014. Namun khusus untuk RTP dengan perahu tanpa motor kecil dan RTP motor tempel jumlahnya masih meningkat. 250 200 150 100 50 0
2010 2011 2012 2013 2014
Tanpa Perahu
Jukung
Perahu Tanpa Motor Kecil
28 30 18 18 8
48 45 33 30 35
40 39 61 61 62
Perahu Tanpa Motor Sedang 88 27 0 0 0
Motor Tempel
Kapal Motor
192 195 224 233 245
18 2 2 1 0
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka Tahun 2014 Gambar 37 RTP nelayan di Kecamatan Pomalaa berdasarkan skala usaha. 3. Produksi Perikanan Produksi perikanan di Kecamatan Pomalaa dibagi menjadi empat subsektor yaitu perikanan budidaya, tambak, kolam dan perikanan laut dan disajikan pada Gambar 38.
81
4000
Produksi (ton/tahun
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
2005
Perikanan Bididaya Tambak Kolam Perikanan Laut
2010
2011
2012
2013
506,84 439,44 556,63 254,85
739
803
338
658
338
394
405,8
428,3
449,7
463,2
792
955
910,3
1.146
1623,5
98,1
101,04
11,14
106,93
61,65
170,6
102,7
204,1
245
384,7
189,1
2006
2007
2008
2009
2014
3.269,60 3.349,30 3.377,30 3.396,10 2.970,30 3.704,00 3.686,10 3.051,50 3.213,30 3.359,80
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka Tahun 2014 Gambar 38 Produksi perikanan pada di Kecamatan Pomalaa. Berdasarkan Gambar 38 dapat dilihat bahwa terdapat dua sektor yang produksinya terus meningkat yaitu tambak dan kolam, sedangkan subsektor perikanan budidaya dan perikanan laut produksinya mengalami fluktuasi disetiap tahunnya. Dalam usaha budidaya perikanan, baik tambak maupun kolam, kualitas air budidaya merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan budidaya. Penurunan kualitas air berupa pencemaran perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan kematian pada komoditas yang dibudidayakan yang dapat berakibat pada kegagalan panen. Produksi perikanan budidaya berasal dari usaha budidaya laut, budidaya tambak, budidaya kolam, budidaya keramba dan budidaya jaring apung. Produksi budidaya tambak selengkapnya disajikan pada Gambar 39.
Produksi (ton/tahun)
1200 1000 800 600 400 200 0 Bandeng
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 366,4 160,6 184
Udang Vaname Udang Windu
44,7 70,3
19
53,3 134,8 718,2 1.036, 959,5 967,5 964 972,6 7,6
20,5
306,9 76,1
17,7
10,4 483,6 383,6 385,6 397,1 486,2 36
234,2 273,3 274,7 274 164,7
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka Tahun 2014 Gambar 39 Produksi tambak di Kecamatan Pomalaa. Berdasarkan Gambar 39 dapat dilihat bahwa produksi tambak pada tahun 2004-2009 untuk semua komoditas mengalami fluktuasi disetiap tahunnya. Tahun
82
2011-2014 komoditas bandeng dan udang vaname mengalami peningkatan produksi sedangkan udang windu mengalami penurunan. Produksi kolam di Kecamatan Pomalaa untuk cukup baik terutama untuk komoditas ikan mas, lele dan ikan nila. Gambar 40 dapat dilihat pada tahun 20042013 ada peningkatan produksi disetiap tahunnya. 2000
Produksi (ton/tahun)
1600 1200 800 400 0
2004 2005 2006 Ikan Mas 88,9 105,6 45,2 Ikan Lele 81,1 6,4 Ikan Nila 28 110,5 42,9
2007 65,2 30,1 38,8
2008 21,1 11,4 18,8
2009 38,4 32,8 85,5
2010 561,4 452,5 359,9
2011 661,5 608,6 328,6
2012 693,7 618 346,5
2013 2014 1.622 163,7 1.068 141,8 1.222 79
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka Tahun 2014 Gambar 40 Produksi kolam di Kecamatan Pomalaa Secara kecil-kecilan, kegiatan budidaya laut di Kecamatan Pomalaa sudah dilakukan sejak tahun 2006. Kegiatan ini dilakukan awalnya dilakukan sekitar 100200 meter dari garis pantai sekitar pemukiman penduduk. Namun pada tahun 2010, seiring dengan semakin masifnya pembukaan lahan untuk eksploitasi tambang nikel yang berdampak pada menurunnya kualitas air di perairan pesisir, maka keramba-keramba yang awalnya berada dekat dengan pemukiman dipindahkan agak ketengah yang berjarak sekitar 1,5 km dari garis pantai dengan harapan produktivitasnya terus meningkat. Komoditas budidaya laut yang sudah banyak diusahakan ada beberapa jenis ikan laut yaitu jenis ikan kerapu, kakap, teripang dan rumput laut. Produktivitas budidaya laut di Kecamatan Pomalaa disajikan pada Gambar 41.
83
70
Produksi (ton/tahun)
60 50 40 30 20 10 0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Teripang 39 23 11 16 13 13 12 6 13 Kerapu 5,2 2,3 5,6 37 55,4 55,8 57,4 48,5 51,1
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka Tahun 2014 Gambar 41 Produksi budidaya laut (teripang, ikan kerapu) di Kecamatan Pomalaa. Berdasarkan Gambar 41 dapat dilihat bahwa mulai tahun 2009, produksi kerapu terus meningkat, sedangkan produksi teripang terjadi penurunan. Turunnya produksi teripang ini erat kaitannya dengan semakin menurunnya kualitas air tempat teripang tersebut dibudidayakan. Umumnya teripang hidup pada dasar periaran berpasir atau pasir berlumpur. Hal lain yang menyebabkan semakin menurunnya produksi teripang adalah sistem panen yang mengabaikan kaidahkaidah budidaya. Teripang yang dipanen mestinya beratnya sekitar 200-250 gram atau panjang 15-20 cm. Pada kenyataanya, panen teripang yang dilakukan oleh masyarakat jauh dari syarat-syarat tersebut. Rumput laut, kebetulan saat ini didominasi di daerah Kec. Pomalaa. Rumput laut yang dibudidayakan adalah euchema cottonii, biasanya sebelum menebar di laut terlebih dahulu rumput laut dipasang/ikat di tali yang dilakukan 2-6 orang. Pemeliharaan biasanya di lakukan selama empat puluh hari sampai dua bulan. Panen yang bagus terdapat pada bulan-bulan januari-maret kadang juga bulan oktober di mana pada bulan-bulan itu cuaca agak membaik. Musim paceklik sering terjadi pada bulan juni-juli. Selain itu, harga rumput laut saat ini mulai turun dari harga 18.000 rupiah turun sampai harga 16.500 rupiah (harga dalam kondisi kering). Rumput laut di jual ke pengumpul desa yang selanjutnya di bawa ke Makassar. Musim budidaya yang baik itu pada bulan mei, juni dan bulan juli. Pada bulan tersebut arus bagus dan ada gelombang, selain itu cuaca tidak terlalu panas dan terdapat hujan. Pada bulan sembilan arus kurang baik ditambah cuaca panas membuat rumput laut menjadi kurus, selain itu juga dipengaruhi oleh banyak lumut yang menempel di rumput laut, sehingga pada bulan september-oktober, petani rumput laut hanya fokus untuk pembibitan dan menunggu sampai kualitas air bagus. Sistem penanaman yaitu metode tali bentang (long line), kedalaman 15-25 meter dari dasar perairan, jarak antar simpul satu depa. Rata-rata memelihara rumput laut sebanyak 20-30 gulung tali, sehingga dalam sebulan biasanya mereka
84
memperoleh 100-300 kilogram rumput laut (Euchema cottoni) kering. Produksi rumput laut di Kecamatan Pomalaa cukup baik yang ditandai dengan terus meningkatnya produksi pada setiap tahunnya disajikan pada Gambar 42. 30000
Produksi (ton/tahun)
25000 20000 15000 10000 5000 0 Rumput Laut
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 8,7 746,7 541,1 2.365, 3.458, 1.295, 13.526 15.316 19.079 21.157 24.515
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka Tahun 2014 Gambar 42 Produksi rumput laut di Kecamatan Pomalaa Analisis Sektor Unggulan LQ dan DLQ Sektor dan Subsektor Perikanan Pembangunan perikanan sebagai bagian penting dari pembangunan kelautan dan perikanan dilaksanakan untuk mewujudkan 4 (empat) pilar pembangunan nasional, yaitu pro-poor (penanggulangan kemiskinan), pro-job (penyerapan tenaga kerja), pro-growth (pertumbuhan ekonomi), dan proenviroment (pemulihan dan pelestarian lingkungan). Pengembangan ekonomi lokal bertujuan untuk menciptakan pertumbuhan dan pembangunan berkelanjutan yang bermanfaat bagi semua pihak dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja baru, peningkatan dan pengurangan kemiskinan. Oleh karena itu diperlukan kejelian dalam menentukan dan mengembangkan keunggulan komparatif dan kompetitif. Sejauh mana tingkat spesialisasi sektor-sektor ekonomi di suatu daerah atau sektor-sektor apa saja yang merupakan sektor basis atau leading sector di Kecamatan Pomalaa, diperoleh melalui analisis LQ. Pada dasarnya teknik ini menyajikan perbandingan relatif antara kemampuan suatu sektor di daerah yang diselidiki dengan kemampuan sektor yang sama pada daerah yang menjadi acuan. Satuan yang digunakan sebagai ukuran untuk menghasilkan koefisien LQ tersebut selanjutnya berupa jumlah produksi subsektor perikanan atau satuan lain yang dapat digunakan sebagai kriteria. Hasil analisis LQ subsektor perikanan di Kecamatan Pomalaa disajikan pada Tabel 29.
85
Tabel 29
Hasil analisis LQ sektor dan subsektor perikanan di Kecamatan Pomalaa periode tahun 2007-2014.
Sektor Perikanan
Nilai PDB Kec. Pomalaa (ton) Kab. Kolaka (ton) Perikanan Budidaya 19.633,76 207.749,86 Tambak 7.173,80 114.487,14 Kolam 1.387,86 18.049,30 Perikanan Laut 30.107,70 172.209,60 Sumber: BPS Kab. Kolaka Tahun 2007-2014 (diolah).
LQ 0,83 0,55 0,68 1,54
Hasil perhitungan LQ Kacamatan Pomalaa terhadap Kabupaten Kolaka, pada subsektor perikanan terdapat satu subsektor dengan nilai LQ>1 yaitu subsektor perikanan tangkap dengan nilai LQ sebesar 1,54. Ini artinya bahwa subsektor perikanan tangkap adalah sektor basis dan unggulan yang potensial untuk dikebangkan sebagai penggerak perekonomian. Adapun subsektor tambak, kolam dan perikanan budidaya merupakan sektor kurang potensial/non basis dengan sektor sejenis di daerah tertentu, sehingga bukan merupakan sektor unggulan. Namun demikian, setelah dilakukan analisis LQ untuk masing-masing komoditas pada subsektor perikanan didapatkan bahwa untuk komoditas teripang, kerapu dan bandeng memiliki nilai LQ>1. Subsektor ini berarti bahwa komoditas tersebut memiliki keunggulan komparatif dan masuk dalam komoditas sektor basis yang sangat potensial untuk dikembangkan. Karena perhitungan LQ memiliki keterbatasan dan bersifat statis dan hanya digunakan untuk mengestimasi perubahan sektor unggulan pada tahun tertentu saja, maka untuk mengatasinya, dilakukan analisis Dynamic Location Quotient (DLQ) yang mampu mengakomodasi perubahan struktur ekonomi wilayah dalam kurun waktu tertentu. Tabel 30 merupakan klasifikasi subsektor perikanan di lihat dari nilai LQ dan DLQ. Tabel 30 Hasil analisis LQ dan DLQ komoditas subsektor perikanan di Kecamatan Pomalaa Periode Tahun 2007-2014. Subsektor Perikanan Subsektor kolam
Subsektor perikanan budidaya Subsektor tambak
Komoditas Ikan Mas Ikan Lele Ikan Nila Teripang Kerapu Rumput Laut Bandeng Udang Vaname Udang Windu
Ket LQ DLQ 1,0028 0,9934 Basis-Non Basis Basis-Basis 1,0124 1,0045 0,9815 1,0022 Non Basis-Basis 1,2753 (0,0000) Basis-Non Basis 1,6495 0,0135 Basis-Non Basis 0,9985 52,8077 Non Basis-Basis 1,0008 0,2632 Basis-Non Basis Basis-Basis 1,1010 192,0348 0,8688 0000 Non Basis-Non Basis
Selanjutnya nilai LQ dan DLQ digabungkan untuk mengetahui tingkat keunggulan saat ini dan potensi keunggulan dimasa masa depan suatu subsektor di Kecamatan Pomalaa seperti terlihat pada Tabel 31.
86
Tabel 31 Kriteria DLQ>1 DLQ<1
Klasifikasi sektor berdasarkan nilai LQ dan SLQ di Kecamatan Pomalaa. LQ>1 Ikan lele, udang vaname Ikan nila, rumput laut,
LQ<1 Ikan mas, teripang, kerapu, bandeng Udang windu
Berdasarkan Tabel 31, yang masuk dalam kategori sektor unggulan yakni yang memperoleh nilai DLQ>1 dan LQ>1 adalah subsektor ikan lele dan udang vaname. Subsektor ini selain unggulan, juga tetap berpotensi unggul pada beberapa tahun ke depan. Untuk subsektor andalan dengan syarat DLQ>1 dan LQ<1, adalah ikan mas, teripang, kerapu dan bandeng. Subsektor ini yang pada saat ini belum unggul tapi dalam beberapa waktu ke depan berpotensi unggul. Untuk subsektor prospektif yaitu ikan nila dan rumput laut dengan DLQ<1 dan LQ>1, merupakan sektor yang pada saat ini merupakan sektor unggulan tetapi tidak berpotensi unggul pada beberapa waktu ke depan. Sedangkan subsektor tertinggal yaitu udang windu dengan nilai LQ<1 dan DLQ<1, merupakan subsektor yang dinyatakan tidak unggul untuk saat ini dan pada beberapa waktu ke depanpun belum berpotensi untuk menjadi subsektor unggulan. Secara prinsip, tidak ada perbedaan antara komoditas andalan dan komoditas unggulan. Namun, antara keduanya dapat diberi definisi sedikit berbeda. Komoditas andalan adalah sejumlah komoditas yang telah dkembangkan di suatu wilayah berdasarkan kesesuaian ekologi serta menjadi sumber pendapatan utama petani setempat. Sebaliknya, komoditas unggulan adalah beberapa komoditas andalan yang paling menguntungkan untuk diusahakan/dikembangkan pada suatu wilayah, mempunyai prospek pasar, mampu meningkatkan pendapatan petani dan keluarga, mempunyai potensi sumber daya lahan yang cukup luas, memiliki sifat-sifat genetik unggul dan karakteristik lainnya.
Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa potensi subsektor perikanan pada kawasan pesisir Kecamatan Pomalaa sangat besar yang ditandai dengan semakin meningkatnya produksi beberapa komoditas perikanan. Berdasarkan hasil analisis gabungan LQ dan DLQ didapatkan beberapa komoditas unggulan subsektor perikanan di kawasan pesisir Kecamatan Pomalaa yaitu komoditas ikan lele dan udang vaname. Komoditas sektor andalan adalah ikan mas, teripang, kerapu dan ikan bandeng. Komoditas prospektif adalah ikan nila dan rumput laut. Sedangkan komoditas tertinggal adalah udang windu.
87
6 STRATEGI PENGEMBAGAN MASYARAKAT PESISIR DI KAWASAN PERTAMBANGAN NIKEL POMALAA Pendahuluan Pengelolaan kawasan pesisir seyogyanya melibatkan para stakeholders di kawasan pesisir sehingga tujuan pembangunan kawasan pesisir dapat dengan mudah tercapai. Hal ini telah dibahas dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Nasuchon dan Charles (2010), Mikalsen dan Jentoft (2001) dan Imron (2012). Namun demikian, Human dan Davies (2010) mengemukakan bahwa keterlibatan stakeholders dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam pesisir harus dilakukan dengan hati-hati dan jelas dalam tingkat keterlibatan mereka. Hal tersebut dikemukakan karena prioritas yang ditentukan oleh stakeholders tidak layak dilaksanakan yang disebabkan oleh perbedaan pengetahuan dan keterbatasan pengetahuan secara teknis. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di Kecamatan Pomalaa merupakan salah satu peluang dan sekaligus dilema dalam meningkatkan ekonomi wilayah dan kesejahteraan masyarakat. Karena potensi ekonomi masyarakat di Kecamatan Pomalaa relatif banyak dan beragam, namun terbatas dalam pengelolaannya yang diakibatkan oleh adanya aktifitas tambang yang berdampak langsung pada masyarakat yaitu menurunnya kualitas air. Hal lain yang ikut mempengaruhi minimnya aksesibilitas terhadap sumberdaya perikanan adalah kurangnya infrastuktur pendukung, persoalan manajemen usaha dan dukungan keuangan yang masih kurang, serta pola dan orientasi kegiatan ekonomi masyarakat atau yang sebagian besar masih beroritensi pada pemenuhan untuk kehidupan sehari-hari. Tujuan utama dari penyusunan strategi pemberdayaan ekonomi masyarakat di Kecamatan Pomalaa adalah untuk menggagas strategi utama yang perlu diambil untuk meningkatkan ekonomi masyarakat di Kecamatan Pomalaa. Hal ini juga dapat memberikan arahan dalam pemanfaatan sumberdaya kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan guna peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat Kecamatan Pomalaa. Metodologi Jenis dan Sumber Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini berupa dat primer dan data sekunder. Data primer berupa wawancara langsung dengan berbagai pihak terutama stakeholder yang bersentuhan langsung dengan berbagai aktivitas perusahaan (pemerintah/dinas terkait, akademisi, LSM, pihak perusahaan pertambangan dan masyarakat). Total jumlah responden yang digunakan dalam analisis AHP sebanyak sembilan responden yang terdiri dari dua responden dari pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan serta Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Kolaka, satu responden dari lembaga swadaya masyarakat, dua responden dari akademisi dan dua responden dari Tokoh Masyarakat. Data sekunder diperoleh dari dokumen dan atau berbagai laporan penelitian yang terkait langsung dengan lokasi penelitian ini.
88
Metode Analisis Data Analisi Isu Strategis Penentuan isu-isu strategis dilakukan dengan mengidentifikasi dan menggali permasalahan-permasalahan yang ada dengan menggunakan metode curah pendapat (brain storming) dan sekaligus menganalisis keterkaitan masingmasing isu strategis dengan isu strategis yang lainnya. Analisis AHP AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini akan menguraikan masalah multi faktor ataupun multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Menurut Saaty (1994), hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan/fokus, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Menurut Marimin (2004), AHP memiliki banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Tahapan operasional AHP dalam pengembangan masyarakat pesisir lokasi pertambagan nikel Pomalaa, sebagai berikut: - Membuat dan menyusun struktur hirarki, meliputi; tujuan, aktor, faktor dan alternatif strategi. - Mendefinisikan fokus/tujuan/goal, yakni; alternatif pengembangan masyarakat pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa. - Mendefinisikan faktor yakni; faktor ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan. - Mendefinisikan aktor yakni; pemerintah daerah, perusahaan tambang, masyarakat, LSM dan perguruan tinggi. - Menentukan alternatif/arahan strategi, yakni; didasarkan pada hasil RapFish (leverage attribute/atribut pengungkit) dan hasil analisis prospektif. - Membuat matrik perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. - Mendefinisikan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh jumlah penilaian seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2], dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. - Me-run software Expert Choice 2000. Skala penilaian kriteria berbasis pada penilaian pakar dengan menggunakan metode perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty (Marimin, 2004). Skala penilaian perbandingan berpasangan disajikan pada Tabel 32.
89
Tabel 32 Skala penilaian AHP Intensitas Kepentingan 1 3 5 7 9 2,4,6,8
Keterangan Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain Elemen yang satu jelas lebih penting dari elemen yang lain Elemen yang satu mutlak penting dari elemen yang lain Nilai-nilai diantara kedua nilai pertimbangan yang berdekatan
Sumber: Saaty (1994) Hasil dan Pembahasan Isu-isu Strategis Analisis isu-isu strategis merupakan bagian penting dan sangat menentukan dalam proses penyusunan rencana pengembangan masyarakat pesisir di Kawasan Tambang Nikel Pomalaa. Pengidentifikasikan isu strategis merupakan jantung dari proses perencanaan strategis. Isu strategis adalah kondisi atau hal yang harus diperhatikan atau dikedepankan dalam perencanaan pengembangan masyarakat karena dampaknya yang signifikan bagi entitas (daerah/masyarakat) di masa datang. Isu strategis juga diartikan sebagai suatu kondisi/kejadian penting /keadaan yang apabila tidak diantisipasi, akan menimbulkan kerugian yang lebih besar atau sebaliknya akan menghilangkan peluang apabila tidak dimanfaatkan. Karakteristik suatu isu strategis adalah kondisi atau hal yang bersifat penting, mendasar, berjangka panjang, mendesak, bersifat kelembagaan/keorganisasian dan menentukan tujuan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, untuk memperoleh rumusan isu-isu strategis diperlukan analisis terhadap berbagai fakta dan informasi kunci yang telah diidentifikasi untuk dipilih menjadi isu strategis. Dalam rangka pengembangan masyarakat pesisir di kawasan tambang nikel Pomalaa, isu strategis dielaborasi dalam lima dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan dan selanjutnya diuraikan sebagai berikut : Dimensi Ekologi Dalam dimensi ekologi, isu strategis yang penting untuk dicarikan solusinya adalah sebagai beikut: 1. Tingginya sedimentasi di perairan pesisir yang berdampak pada: - Relokasi hampir semua keramba apung lebih ke tengah laut. - Budidaya teripang kebanyakan dipanen pada ukuran yang sangat kecil. - Produktivitas hasil budidaya rumput laut milik masyarakat tidak optimal. - Semakin jauhnya jarak yang harus ditempuh nelayan tradisional dalam upaya menangkap ikan. - Pada saat pasang maksimum, turbulensi dan pengadukan di perairan pesisir menyebabkan air laut menjadi keruh dan berwarna coklat kemerahan sehingga penggantian air pada tambak harus menggunakan saringan.
90
- Siklus penggantian air dalam tambak sangat terganggu akibat kualitas air yang tidak memadai. Umumnya air berwarna coklat kemerahan yang berdampak pada berkurangnya produktivitas. 2. Terlantarnya lahan bekas tambang milik perusahaan kecil akibat kebijakan pemerintah melalui melalui Permen ESDM No.70 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Logam. Kebijakan tersebut melarang pemilik IUP untuk melakukan ekspor raw material. Akibatnya ore yang sudah terlanjur di eksploitasi bertumpukan tidak teratur di ujung jetty masing-masing pemilik IUP. Jika hujan lebat, marerial tersebut hanyut dan menambah keruh perairan dikawasan pesisir. 3. Pemanfaatan slag sebagai material reklamasi pantai dianggap berbahaya bagi keamanan biota konsumtif. Dimensi Ekonomi Isu strategis yang penting untuk dipecahkan untuk dimensi ekonomi, adalah sebagai berikut: 1. Hasil tangkapan ikan makin sedikit yang berakibat pada semakin menurunnya pendapatan nelayan. 2. Kurangnya lembaga keuangan mikro yang memberikan fasilitas kredit usaha bagi nelayan. 3. Kurangnya pengetahuan tentang perlunya pengembangan komoditas unggul agar produktivitas budidaya semakin meningkat. 4. Masalah akses nelayan terhadap sumberdaya. Kemudahan akses pada sumberdaya tidak dibarengi dengan kualitas yang memadai. Akibatnya seberapapun mudahnya akses tersebut tidak berdampak signifikan pada peningkatan pendapatan nelayan. Dimensi Sosial Isu strategis pada dimensi sosial yang perlu dicarikan solusinya dalah: 1. Adanya potensi terjadinya konflik yang melibatkan perusahaan tambang dengan masyarakat akibat menurunnya produktivitas budidaya laut yang dikembangkan masyarakat. Pada beberapa kasus, kekeruhan air dituding sebagai sebab kejadian kematian komoditas budidaya. 2. Semakin menurunya jumlah Rumah Tangga Nelayan (RTN) yang beralih profesi sebagai buruh kasar pada perusahaan tambang. 3. Tingkat pendidikan yang masih sangat minim menyebabkan kurangnya kemandirian dalam mengembangkan potensi diri serta mengelola unit-unit usaha. Dimensi Teknologi Isu strategis untuk dimesi teknologi adalah 1. Akibat kualitas air yang kurang optimal, maka diperlukan upaya agar kualitas air tidak semakin buruk dengan adanya aktivitas budidaya keramba
91
apung. Salah satu caranya adalah penerapan teknologi ramah lingkungan berupa integrated multi tropic aquaculture (IMTA). 2. Buruknya kualitas air yang masuk ke perairan umumnya dianggap kurang optimalnya fungsi dari checkdam. Dimensi Kelembagaan Isu strategis pada dimensi kelembagaan yang penting untuk pecahkan adalah keberadaan lembaga masyarakat. Keberadaan lembaga masyarakat seperti LKMD, kelompok nelayan atau kelompok usaha bersama menjadi penting untuk dikembangkan. Analisis Strategi Pengembangan Masyarakat Struktur hirarki pengembangan masyarakat pesisir di Kecamatan Pomalaa, terdiri dari tiga level. Level pertama merupakan fokus analisis yaitu strategi pengembangan masyarakat. Pada level kedua yaitu level faktor yaitu ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Level ketiga yaitu level aktor yang terdiri dari Pemerintah Daerah, masyarakat, perusahaan tambang, LSM/NGO, perguruan tinggi. Terakhir adalah level strategi pengembangan masyarakat yang terdiri dari pengendalian pencemaran, akses modal dan sumberdaya, penanganan konflik dan penguatan kelembagaan dan revitalisasi checkdam. Lebih rinci disajikan pada Gambar 43. Usaha untuk memberdayakan ekonomi masyarakat yang dimaksudkan untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup serta kondisi sosial masyarakat yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat Indonesia umumnya melibatkan tiga pihak, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Hasil analisis AHP pada level aktor dalam pengembangan masyarakat pesisir dikawasan tambang nikel Pomalaa menempatkan perusahaan pertambangan sebagai aktor utama dalam upaya pengembangan masyarakat dengan nilai 0,378 atau 37,8%. Hal ini dapat di pahami karena perusahaan pertambangan merupakan aktor yang secara kelembagaan melakukan ekstraksi sumberdaya alam berupa penambangan nikel yang berakibat pada semakin menurunya kualitas lingkungan terutama terkait dengan kualitas air di kawasan pesisir. Hal ini sejalan dengan amanat pasal 74 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang ini secara jelas mewajibkan perusahaan pertambangan sebagai implementasi dari tanggungjawab sosial perusahaan atas berbagai dampak negatif yang ada, perusahaan melakukan program-program pemberdayaan masyarakat (Community Development) dalam berbagai sektor melalui Corporate Social Responsibility (CSR). Aktor kedua yang berperan dalam pengembangan masyarakat pesisir di kawasan Tambang Nikel Pomalaa adalah pemerintah daerah. Hasil analisis AHP pada level aktor pemerintah daerah yaitu sebesar 0,315 atau 31,5%. Ryaas Rasyid (1995) membagi fungsi pemerintahan menjadi empat bagian, yaitu pelayanan (public service), pembangunan (development), pemberdayaan (empowering), dan pengaturan (regulation). Fungsi pemerintah dalam kaitannya dengan pemberdayaan yaitu mengarahkan masyarakat kemandirian dan pembangunan demi terciptanya kemakmuran, tidak serta merta dibebankan oleh masyarakat. Perlu
92
adanya peran pemerintah yang secara optimal dan mendalam untuk membangun masyarakat. Peran pemerintah yang dimaksud antara lain: 1. Pemerintah sebagai regulator. Peran pemerintah sebagai regulator adalah menyiapkan arah untuk menyeimbangkan penyelenggaraan pembangunan melalui penerbitan peraturan-peraturan. Sebagai regulator, pemerintah memberikan acuan dasar kepada masyarakat sebagai instrumen untuk mengatur segala kegiatan pelaksanaan pemberdayaan. 2. Pemerintah sebagai dinamisator Peran pemerintah sebagai dinamisator adalah menggerakkan partisipasi masyarakat jika terjadi kendala-kendala dalam proses pembangunan untuk mendorong dan memelihara dinamika pembangunan daerah. Pemerintah berperan melalui pemberian bimbingan dan pengarahan secara intensif dan efektif kepada masyarakat. Biasanya pemberian bimbingan diwujudkan melalui tim penyuluh maupun badan tertentu untuk memberikan pelatihan. 3. Pemerintah sebagai fasilitator. Peran pemerintah sebagai fasilitator adalah menciptakan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan untuk menjembatani berbagai kepentingan masyarakat dalam mengoptimalkan pembangunan daerah. Sebagai fasilitator, pemerintah bergerak di bidang pendampingan melalui pelatihan, pendidikan, dan peningkatan keterampilan, serta di bidang pendanaan atau permodalan melalui pemberian bantuan modal kepada masyarakat yang diberdayakan. Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang luas kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan dan kesejahteraan masyarakat daerah. Pemerintah Daerah harus mengoptimalkan pembangunan daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah daerah dan masyarakat di daerah lebih diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk mempercepat laju pembangunan daerah.
93
Level 0 Fokus
Level-1 Faktor
Strategi Pengembangan Masyarakat Pesisir Pada Lokasi Tambang Nikel Pomalaa Sulawesi Tenggara
Ekologi (0,330) (1)
Level-2 Aaktor
Level-3 Strategi
Ekonomi (0,165) (3)
Pemerintah Daerah (0,315) (2)
Pengendalian pencemaran (0,363) (1)
Masyarakat (0,159) (3)
Akses modal dan sumberdaya (0,263) (2)
Sosial (0,146) (5)
Perusahaan Tambang (0,378) (1)
Penanganan konflik (0,125) (4)
Teknologi (0,194) (2)
LSM (0,081) (4)
Kelembagaan (0,165) (4)
Perguruan Tinggi (0,067) (5)
Penguatan kelembagaan (0,194) (3)
Revitalisasi chechdam (0,056) (5)
Gambar 43 Struktur hirarki pengembangan masyarakat pesisir di Kecamatan Pomalaa
93
94
Masyarakat merupakan aktor ketiga yang berperan dalam upaya pengembangan masyarakat dengan nilai 0,159 atau 15,9%. Pemerintah berkewajiban untuk secara terus-menerus berupaya memberdayakan masyarakat agar meningkatkan keberdayaannya sehingga pada gilirannya mereka memiliki kemampuan untuk hidup secara mandiri dan terlepas dari campur tangan pemerintah. Oleh sebab itu, pemberdayaan mampu mendorong kemandirian masyarakat dan pembangunan akan menciptakan kemakmuran dalam masyarakat. Seiring dengan itu, hasil pembangunan dan pemberdayaan yang dilaksanakan pemerintah, serta dengan keterbatasan yang dimilikinya, maka secara perlahan masyarakat mampu untuk hidup mandiri mencukupi kebutuhannya. Untuk LSM yaitu 0,081 atau 0,81% dan Perguruan Tinggi sebesar 0,067 atau 0,67%. Nilai dari analisis AHP tersebut dapat diterima mengingat nilai rasio konsistensi yakni 0,03 atau kurang dari 0,1 (10%). Menurut Saaty (2008), matriks perbandingan dapat diterima jika nilai rasio konsistensi <0,1. Batasan diterima tidaknya konsitensi suatu matrik sebenarnya tidak ada yang baku, hanya menurut beberapa eksperimen dan pengalaman, tingkat inkonsitensi sebesar 10% kebawah adalah tingkat inkonsitensi yang masih bisa diterima. Lebih dari itu harus ada revisi penilaian kerena tingkat inkonsistensi yang terlalu besar dapat menjurus kepada kesalahan (error).
Gambar 44 Hasil analisis AHP mengenai aktor pengembangan masyarakat pesisir Pomalaa. Pada level faktor, berdasarkan hasil analisis AHP, faktor yang paling menentukan dalam pengembangan masyarakat di kawasan tambang nikel Pomalaa adalah faktor ekologi yaitu sebesar 0,330 atau sekitar 33,0% yang dikuti dengan faktor teknologi yaitu sebesar 0,194 atau 19,4%. Pada faktor ekonomi dan faktor kelembagaan menempati urutan ketiga, dan yang terakhir sebagai faktor penentu dalam pengembangan masyarakat pesisir di kawasan Tambang Nikel Pomalaa adalah faktor sosial disajikan pada Gambar 45.
95
Gambar 45 Hasil analisis AHP mengenai faktor pengembangan masyarakat pesisir Pomalaa. Berdasarkan hasil analisis AHP dengan menggunakan bantuan software Expert Choise 2000 diperoleh bahwa alternatif kebijakan yakni pengendalian pencemaran, merupakan strategi utama dalam pengembangan masyarakat Pomalaa, dengan nilai 0,363 atau ±36,3%. Salahsatu pendekatan yang dapat diterapkan pada pengendalian pencemaran adalah penerapan konsepsi produksi bersih (Indrasti dan Fauzi, 2009). Konsep ini merupakan alternatif solusi pengelolaan lingkungan atas kelemahan konsep kapasitas daya dukung. Alternatif kedua adalah akses modal dan sumberdaya dengan nilai 0,263 atau sekitar 26,3%, alternatif ketiga adalah penguatan kelembagaan dengan nilai 0,194 atau 19,4%, alternatif keempat adalah penanganan konflik dengan nilai 0,171 atau 17,1%, alternatif kelima adalah penguatan kelembagaan dengan nilai 0,125 atau 12,5% dan alternatif keenam adalah revitalisasi checkdam dengan nilai 0,056 atau 0,56%. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pengembangan masyarakat pesisir di Kecamatan Pomalaa, harus mengedepankan pengendalian pencemaran, akses modal dan sumberdaya serta penguatan kelembagaan. Hal tersebut menjadi sangat penting, mengingat wilayah pesisir kawasan Pertambangan Nikel Pomalaa, memiliki keterpaduan sektoral, keterpaduan stakeholder, keterpaduan sumberdaya dan keterpaduan sosial budaya masyarakat. Nilai dari analisis AHP tersebut dapat diterima mengingat nilai rasio konsistensi yakni 0,03 atau kurang dari 0,1 (10%). Menurut Saaty (2008), matriks perbandingan dapat diterima jika nilai rasio konsistensi <0,1. Batasan diterima tidaknya konsitensi suatu matrik sebenarnya tidak ada yang baku, hanya menurut beberapa eksperimen dan pengalaman, tingkat inkonsitensi sebesar 10% kebawah adalah tingkat inkonsitensi yang masih bisa diterima. Lebih dari itu harus ada revisi penilaian kerena tingkat inkonsistensi yang terlalu besar dapat menjurus kepada kesalahan (error).
96
Gambar 46 Hasil analisis AHP mengenai strategi pengembangan masyarakat pesisir Pomalaa. Simpulan Berdasarkan hasil analisis AHP pada level aktor secara berurutan aktor yang berpengaruh dalam pengembangan masyarakat yaitu perusahaan tambang, pemerintah daerah, masyarakat, LSM dan perguruan tinggi dengan nilai inkonsintensi 0,01. Pada level faktor, faktor yang berpengaruh dalam pengembangan masyarakat secara berurutan adalah ekologi, teknologi, ekonomi, kelembagaaan dan sosial dengan nilai inkonsistensi sebesar 0,01. Pada level strategi pengembangan masyarakat pesisir di kawasan tambang nikel Pomalaa, urutan strateginya adalah pengendalian pencemaran, akases modal dan sumberdaya, penguatan kelembagaan, penanganan konflik dan revitalisasi checkdam dengan nilai konsistensi sebesar 0,03.
7 PEMBAHASAN UMUM Pengelolaan Perairan Pesisir Lokasi Pertambangan Nikel Penyelesaian masalah pencemaran terdiri dari langkah pencegahan dan pengendalian. Langkah pencegahan pada prinsipnya mengurangi pencemar dari sumbernya untuk mencegah dampak lingkungan yang lebih berat. Langkah pengendalian sangat penting untuk menjaga lingkungan tetap bersih dan sehat. Pengendalian dapat berupa pembuatan standar baku mutu lingkungan, monitoring lingkungan dan penggunaan teknologi untuk mengatasi masalah lingkungan. Pada dasarnya kualitas sifat fisik perairan di lokasi pertambangan sangat tergantung pada seberapa besar produksi sedimen yang masuk dalam perairan. Artinya upaya pengelolaan kualitas air pada dasarnya adalah bagaimana mengendalikan masuknya sedimen di perairan. Dengan kata lain, keberhasilan pengelolaan kualitas air sangat tergantung pada keberhasilan pengendalian erosi dan produksi sedimen. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang diangkut melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat lain, baik secara vertikal maupun secara horisontal (Friedman dan Sanders, 1978). Keller dan Weibel (1991) menyatakan bahwa erosi material tersuspensi dalam suatu perairan atau saluran secara normal disebut (suspended sedimen). Sedimen ini biasanya mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kualitas air. Sedimen terdiri dari bahan organik dan bahan
97
anorganik. Bahan organik berasal dari hewan atau tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dalam dasar perairan dan bercampur dengan lumpur. Sedangkan bahan anorganik umumnya berasal dari hasil pelapukan batuan terbagi atas : kerikil, pasir, lumpur dan liat. Butiran kasar banyak dijumpai dekat pantai, sedangkan butiran halus banyak ditemui di perairan yang relatif lebih tenang (Sverdrup et al. 1946). Menurut Davis (1990), ada empat sumber utama sedimen yang ditemukan di dasar laut yaitu : 1) berasal dari batuan, terutama dari daratan sebgai produk erosi dan runoff, 2) kerangka-kerangka organisme laut, 3) pengendapan dari air laut dilingkungan perairan laut dan, 4) atmosfer. Levinton (1982) menyatakan bahwa karakteristik sedimen mempengaruhi distribusi, morfologi fungsional dan tingkah laku organisme. Tipe substrat adalah faktor utama yang mengendalikan distribusi organisme perairan. Adaptasi organisme terhadap masing-masing tipe substrat akan berbeda-beda. Adaptasi yang berbeda akan menentukan morfologi, cara makan, adaptasi fisiologi terhadap perubahan suhu, salinitas, dan bahan kimia. Bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber bahan makanan bagi organismenya, sehingga jumlah dan laju penambahannya dalam sedimen mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi yang di dasar perairan. Sedimen yang kaya akan bahan organik sering didukung oleh melimpahnya fauna yang didominasi oleh deposit feeder (Wood, 1987). Dyer (1986) menyatakan bahwa proses sedimentasi di perairan pesisir dipengaruhi oleh dinamika perairan seperti pasang surut, gelombang, arus menyusur pantai, padacampuran massa air akibat perbedaan densitas air tawar dan air laut, proses biologi dan kimia perairan. Disamping itu proses sedimentasi juga dipengaruhi juga oleh sifat-sifat sedimen itu sendiri yaitu ukuran, bentuk dan densitas butiran sedimen. Atas dasar hal tersebut, maka upaya-upaya pengelolaan yang harus dilakukan dalam rangka pengendalian erosi dan sedimentasi adalah: a. Penghijauan kembali (reklamasi) lahan pasca tambang Sebagai akibat adanya eksploitasi tambang adalah hilangnya vegetasi penutup lahan yang berupa jenis-jenis flora menjadi lahan terbuka tanpa vegetasi. Keadaan ini apabila didukung oleh curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan terjadi erosi dan sedimentasi. Oleh sebab itu, upaya revegetasi lahan pasca tambang menjadi kebutuhan untuk mengeliminir terjadinya erosi dan sedimentasi. b. Membuat saluran drainase tambang Saluran drainase dibuat pada areal penambangan serta di jalan tambang. Pembuatan saluran ini ditujukan agar air limpasan terkonsentrasi melewati parit-parit drainase sehingga sangat mudah mengontrol jalannya aliran permukaan dan muatan sedimennya. c. Pembuatan perangkap sedimen. Perangkap sedimen (sedimen trap) dibuat dengan tujuan agar muatan sedimen yang terangkut melalui parit-parut drainase dapat tertampung di dalamnya. Perangkap sedimen tersebut dibuat dalam jumlah dan tergantung kondisi lapangan. d. Pembuatan kolam sedimen
98
Kolam sedimen dibuat pada lokasi yang berdekatan dengan perairan. Dengan dibuatnya kolam sedimen, air yang bercampur dengan lumpur akan tertampung seluruhnya pada kolam-kolam tersebut. Dengan prinsip “over flow catch pond” air akan mengalir ke perairan. Harapannya adalah air yang lepas ke perairan sudah tidak mengandung lumpur dan konsetrasi TSS menjadi semakin kecil kerena sebagian besar volume sudah mengendap di kolam. Di dalam kolam pengendap akan dikelola volume pengendapan lumpur dan dilakukan pengerukan atau peninggian dinding bilamana volume lumpur sudah mendekati kapasitas tampung.
Pemeliharaan Sungai Sedimenasi merupakan dampak lanjutan dari terjadinya erosi di daerah hulu sungai, yang diakibatkan oleh limpasan. Hilangnya vegetasi (hutan) pada suatu daerah aliran sungai, selain menyebabkan limpasan juga sekaligus meningkatkan laju erosi. Erosi yang berlangsung secara terus menerus pada musim hujan dapat menyebabkan hilangnya lapisan tanah atas (top-soil), yang kemudian terbawa aliran sungai dan seterusnya menyebabkan sedimenasi di sungai (pendangkalan sungai). Disamping itu, erosi juga menyebabkan menurunnya tingkat kesuburan tanah. Pemeliharaan sungai dibagi dalam dua bagian besar, yang pertama ialah pemeliharaan terhadap bangunan pengendali banjir yaitu bangunan yang berfungsi untuk pengaturan aliran air. Pemeliharaan terhadap bangunan pengatur aliran seperti bendung, pintu air, pengarah arus, dan lain-lain dimaksudkan agar bangunan tersebut dapat berfungsi dengan baik pada saat diperlukan. Sebagai contoh kasus terjadinya banjir akibat kerusakan pintu air dari pemukiman yang telah diproteksi dengan tanggul. Semula tanggul dimaksudkan untuk menghindari limpasan air sungai akan tetapi pada saat banjir justru pintu air tersebut menjadi jalan masuknya air dari sungai karena tidak dapat berfungsi dengan baik akibat kurangnya pemeliharaan. Pemeliharaan terhadap bangunan pengaturan air perlu dilaksanakan secara rutin agar dapat siap berfungsi pada saat diperlukan. Pemeliharaan bangunan pengendali banjir dapat dilakukan oleh dinas yang terkait atau melibatkan partisipasi masyarakat yang berada di daerah permukiman. Kedua, pemeliharaan saluran pengendali banjir atau saluran drainase untuk mempertahankan kapasitas alir dan tampung sungai-sungai dan atau saluran drainase sebagai satu kesatuan sistem dengan bangunan pengendali banjir. Seperti yang diuraikan di atas berkurangnya kapasitas alur dan tampung disebabkan oleh sedimen hasil erosi di hilir. Pengerukan merupakan pekerjaan yang bertujuan mengeluarkan material padat dari sungai atau saluran drainase. Pengeluaran material ini dimaksudkan untuk mengembalikan penampang sungai sesuai dengan kapasitas rencana sungai atau bahkan memperbesar kapasitas alir apabila memungkinkan. Mempelajari jumlah sedimenasi yang terjadi setiap tahunnya di sungai-sungai sebagai akibat erosi di daerah hulu dan juga sampah yang masuk ke badan air, maka pekerjaan pengerukan harus dilakukan secara berkala pada jangka waktu tertentu berdasarkan hasil survey di lapangan.
99
Pengembangan Sektor Unggulan Perikanan Budidaya Sebagai Alternatif Pengembangan Perekonomian Masyarakat Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan penggerak utama ekonomi masyarakat pada suatu wilayah, seperti halnya di Kecamatan Pomalaa. Wilayah tersebut merupakan salah satu wilayah pertambangan nikel terbesar di Indonesia. Selain kegiatan pertambangan, kegiatan berbasis sumberdaya alam seperti perikanan, juga menjadi tumpuan ekonomi masyarakat di wilayah Kecamatan Pomalaa. Wilayah ini juga dikenal sebagai sentra produksi budidaya perikanan yang potensial. Perkembangan produksi berbagai jenis komoditi perikanan tersebut secara statistik mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Minat masyarakat mengelola sektor perikanan dan kelautan selalu berhadapan dengan semakin masifnya aktivitas penambangan dan pembukaan lahan pertambangan yang berdampak pada semakin tingginya sedimentasi dikawasan pesisir. Tingginya sidemntasi tersebut akan menganggu pertumbuhan organisme budidaya, sehingga tidak lagi dapat memberikan nilai ekonomi yang tinggi, dan bahkan dapat menyebabkan terjadinya kerugian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perairan pesisir di wilayah Kecamatan Pomalaa saat ini telah tercemar sedang hingga berat. Hal tersebut ditunjukan dari nilai Storet -23 sampai -52. Parameter TSS dan logam berat merupakan parameter tertinggi konsentrasinya yang masuk ke perairan. Konsentrasi TSS mencapai 2.815,40 ton/bulan. Kontribusi TSS tertinggi berasal outlet pabrik pengolahan nikel sebesar 1.485,994 ton/bulan. TSS (Total Suspended Solid) atau total padatan tersuspensi adalah padatan yang tersuspensi didalam air berupa bahan-bahan organik dan inorganic yang dapat disaring dengan kertas millipore berpori 0,45 μm. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari kedalam badan air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser, seperti plankton dan kelekap. Suspended sedimen juga mengangkut bahan pencemar (partikel hara, logam dan racun potensial lainnya) (ANZECC/ARMCANZ, 2000), mendorong pertumbuhan bakteri patogen dan berbagai penyakit yang ditularkan melalui air sehingga sulit untuk dideteksi (Neil, 2002) dan dapat menyebabkan menipisnya oksigen terlarut dalam kolom. Secara keseluruhan, tingkat kekeruhan yang tinggi dapat menyebabkan penurunan dalam produksi dan keragaman spesies. Pada kondisi tertentu, spesies yang sangat sensitif akan meninggalkan lokasi tersebut (EPA, 2012). Kondisi pencemaran yang terjadi tersebut, dengan sendirinya menyebabkan terjadinya penurunan produksi perikanan di wilayah Kecamatan Pomalaa. Sehingga diperlukan berbagai pendekatan yang terintegrasi antar berbagai sektor, sepertinya sektor pertambangan dan sektor perikanan, ataupun terintegrasi antar berbagai dimensi seperti; dimensi ekologi (kualitas lingkungan), ekonomi (usaha masyarakat), sosial (konflik), kelembagaan (aturan dan pengelola) serta teknologi (penerapan teknologi ramah lingkungan). Agar pengelolaan kedepan dapat berjalan dan terintegrasi dengan baik, maka status pengelolaan saat ini menjadi sangat penting, guna memperoleh gambaran awal tentang status/tingkat pengelolaan. Besarnya tekanan terhadap sumberdaya khususnya yang bersumber dari kegiatan pencemaran seperti yang terjadi di Kecamatan Pomalaa, memberikan dampak yang besar terhadap sumberdaya lainnya seperti; biota perairan serta
100
dampak terhadap aktivitas masyarakat yang terkena dampak tersebut seperti; kegiatan budidaya perikanan. Disisi lain, pencemaran juga menyebabkan terjadi konflik sosial antara perusahaan pertambangan dengan kelompok masyarakat khususnya masyarakat yang terkena dampak tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Umumnya konflik sosial terjadi akibat menurunnnya hasil produksi perikanan khususnya dari kegiatan budidaya perikanan. Lemahnya kelembagaan dan aturan pendukung serta minimnya penerapan teknologi ramah lingkungan menyebabkan tingkat pengelolaan yang saat ini menjadi kurang berkelanjutan. Hal tersebut tampak dari hasil analisis tingkat pengelolaan dimana ordinasi dimensi ekologi (42,88%), dimensi ekonomi (47,33%), dimensi sosial (46,14%), dimensi kelembagaan (51,68%) dan dimensi teknologi (49,91%). Ketidakberlanjutan sumberdaya membutuhkan berbagai alternatif kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut. Penanganan pencemaran merupakan alternatif-I dalam upaya pengembangan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir di Kecamatan Pomalaa. Hal tersebut, menjadi sangat penting mengingat pencemaran akan memberikan tenakan yang besar terhadap berbagai sumberdaya dan aktivitas masyarakat. Dengan demikian, diharapkan bahwa penanganan pencemaran akan menghilangkan sumber permasalahan utama yang dihadapi masyarakat pesisir di Kecamatan Pomalaa. Alternatif-II adalah pengembangan sektor unggulan, dalam hal ini kegiatan budidaya perikanan menjadi kegiatan utama masyarakat. Alternatif tersebut didasarkan pada kegiatan ekonomi masyarakat pada umumnya yang bertumpuh pada sektor perikanan khususnya budidaya perikanan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi masyarakat dapat berjalan dengan baik dengan seiring dengan penanganan pencemaran pencemaran dan pengembangan komoditi unggulan. Alternatif-III adalah penangan konflik sosial. Konflik merupakan implikasi dari sumber utama permasalahan yakni pencemaran perairan. Konflik akan menyebabkan terjadinya dampak sosial yang besar, sehingga perlu dilakukan penangan secara serius. Alternatif-IV adalah penguatan kelembagaan dan penerapan teknologi ramah lingkungan.
8 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka disimpulkan hal-hal sebagai berikut: - Berdasarkan hasil perhitungan, besarnya beban pencemarannya perairan pesisir lokasi tambang nikel Pomalaa telah melebihi kapasitas asimilasinya. - Akibat besarnya tekanan terhadap kondisi ekologis pada wilayah pesisir sebagai akibat dari adanya eksploitasi lahan tambang, menyebabkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan teknologi kurang berkelanjutan. Olehnya itu diperlukan upaya dan strategi agar pengelolaan kawasan pesisir dapat berkenjutan. - Sebagai upaya pengembangan masyarakat di kawasan pesisir lokasi tambang nikel Pomalaa yang secara ekologi sumberdaya alamnya terus mengalami tekanan, maka diperlukan upaya agar kehidupan nelayan dapat terus berlanjut.
101
Pendekatan utama yang dilakukan adalah dengan pengembangan sektor unggulan perikanan khususnya perikanan budidaya lele dan budidaya udang vaname. Selain itu, sektor andalan (ikan mas, teripang, kerapu, bandeng ) juga perlu didorong agar dapat menjadi sektor andalan. Saran Potensi perikanan laut dan perikanan budidaya di kawasan pesisir Kecamatan Pomalaa masih sangat terbuka untuk dikembangan. Karena wilayahnya sangat rentan terhadap perubahan kualitas air akibat aktivitas tambang, maka diperlukan strategi dalam pengembangannya yaitu perikanan budidaya berbasis komoditas unggul. Hal ini perlu dilakukan mengingat tingginya tekanan lingkungan pada sumberdaya perairan pesisir. Strategi lain yang bisa diterapkan dalam pengembangan perikanan budidaya adalah program intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi, dari sisi spesies maupun produk. Penerapan aplikasi Best Aquaculture Practices (BAP) yang mencakup penggunaan teknologi budidaya, benih unggul, nutrisi, pengendalian hama dan penyakit, manajemen kualitas air dan tanah, pond engineering, biosecurity, dan integrated supply chain management. Selain itu dengan pengembangan induk (broodstock) dan benih unggul yang bebas penyakit (SPF atau specific pathogen free), tahan terhadap serangan penyakit (SPR atau specific pathogen resistant), dan cepat tumbuh. Kemudian pengembangan industri pakan yang berkualitas dengan harga relatif murah untuk trash fish (ikan rucah), by catch (yang terbuang), maggot (belatung), dan micro algae (alga mikro). Manajemen lingkungan kawasan juga perlu diaplikasikan dengan melakukan pengendalian pencemaran dan konservasi biodiversity. Penyediaan sarana produksi dan infrastruktur berkualitas yang mencukupi serta aplikasi inovasi teknologi, business models, dan marketing untuk mengembangan perikanan budidaya.
DAFTAR PUSTAKA Adrianto L, Kusumastanto T. 2005. Konsep Pengelolaan dan Perencanaan Wilayah Pesisir dan Lautan. PKSPL-IPB. Abel PD. 1989. Water Pollution Biology. John Wiley & Sons. New York. Abbott RT. 1974. American Seashell. The Marine Mollusca of the Atlantic and Pasific Coast of Nort America. Van Nostrand Reinhold Company. New York. Adams WJ, Kimerle RA, Barnett RA. 1992. Sediment quality and aquatic life assessment. Environmental Science and Technology, 26, 1865 –1875. Afrianto E, Liviawaty E. 1991. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius, Yogyakarta. AMDAL PT. Aneka Tambang Tbk, UBPN Pomalaa Tahun 2004. Alder J, Pitcher TJ, Preikshot D, Kaschner K and Ferris B. 2000. How good is good? a rapid appraisal technique for evaluation of the sustainability status of fisheries of the north atlantic. In: Pauly and Pitcher (eds). Methods for evaluation the impact of fisheries on North Atlantic ecosystem.Fisheries Centre, University of British Columbia, Vancouver, Canada ANZECC/ARMCANZ. 2000. Australian Guidelines for Water Quality Monitoring and Reporting. http://www.ea.gov.au/water/quality/nwqms.
102
APHA (American Public Healt Association). 1989. Standard Methods for the Examination of Waste Water. 17ed. AWWA (American Water Association) and WPCF (Water Pollution Control Federation). Washinton D.C. Arnold PW, Birtles RA. 1989. Soft Sediment Marine Invertebrates of Southeast Asia and Australia : A Guide to Identification. In S.A. English (ed). Australian Institute of Marine Science. Townsville. Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Asdak C.1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Astudillo LJ, Chang Yen IC, Bekele I. 2005. “Heavy metals in sediments, mussels and oysters from Trinidad and Venezuela,” International Journal of Tropical Biology, vol. 53, no. 1, pp. 41–53. View at Google Scholar · View at Scopus Atgın RS, El-Agha O, Zararsız A, et al. 2000, Investigation of the sediment pollution in Izmir Bay: trace elements. Spectrochimica Acta Part B 55, 1151– 1164. Balachandran KK, Thresiamma J, Nair KKC, Maheswari Nair, Joseph PS. 2002.The complex estuarine formation of six rivers (Cochin backwater system on west coast of India) e sources and distribution of trace metals and nutrients, In: Proceedings of the Symposium on ‘Assessment of Material Fluxes to the Coastal Zone in Southeast Asia and their Impacts’, APN/SASCOM/LOICS Regional Workshop, Negombo, Sri Lanka, 8-11 December, 2002, pp.103-113. Balls PW, Hull S, Miller BS, Pirie JM, Proctor W. 1997, Trace metal in Scottish Estuarine and coastal sediments. Marine Pollution. Bulletin 34. pp. 42 – 50. Beldi H, Gimbert, Maas S, Scheifler R, Soltani N. 2006. “Seasonal variations of Cd, Cu, Pb and Zn in the edible mollusc Donax trunculus (Mollusca, Bivalvia) from the gulf of Annaba, Algeria,” African Journal of Agricultural Research, vol. 1, no. 4, pp. 85–90. View at Google Scholar Bose AN, Ghosh SN, Yang CT, Mitha A. 1001. Coastal Aquaculture Engineering. Edward Arnold. London. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kolaka. 2011. Kabupaten Kolaka Dalam Angka 2011. BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kolaka. 2012. Kabupaten Kolaka Dalam Angka 2012. BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kolaka. 2013. Kabupaten Kolaka Dalam Angka 2013. BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kolaka. 2014. Kabupaten Kolaka Dalam Angka 2014. BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Kolaka. 2011. Kecamatan Pomalaa Dalam Angka 2011. BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Kolaka. 2012. Kecamatan Pomalaa Dalam Angka 2012. BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Kolaka. 2013. Kecamatan Pomalaa Dalam Angka 2013. BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Kolaka. 2014. Kecamatan Pomalaa Dalam Angka 2014. BPS.
103
Bourgeois R. 2007. Expert Meeting Methodology for Prospective Analysis. Muenchen. CIRAD Amis Ecopol. Breievora E, Vajczikova I, Sainkova V, Stratilova, Fisera M, Gregor T, Sajbidor J. 2002, Biosorption of cadmium ion by different yeast species, Z. Naturforsch, 57c: 634-639 Buchanan JB, Kein JM, 1971. Measurement of Physical and Chemical Enviroment. Methods for the Study of Marine Benthos, p. 30-58. In : N.A Holme & McIntyre. Blackwell Scientific Publication Oxford and Edindurgh. (IRB. Handbook No. 16). Caccia VG, Millero FJ, Palanques A. 2003, The distribution of trace metals in Florida Baysediments. Marine Pollution Bulletin, 46, 1420 –1433. Cairns JJr. 1977. Aquatic ecosystem assimilative capacity. Fisheries 2: 5. Cairns JJr. 1994. Eco-Societal Restoration: Re-Examining Human Society’s Relationship with Natural Systems. The Abel Wolman Distinguished Lecture, Water Science and Technology Board, National Research Council, Washington, D.C. 20 pp. Ciji PP, Bijoy N, 2014, Toxicity of Copper and Zinc to Puntius parrah (day, 1865), Marine Environmental Research, 93: 38-46. Cicin-Sain B, Knecht R. 1998. Integrated Ocean and Coastal Management. Washington, DC: Island Press. Clark JR. 1995. Coastal Zone Management Handbook. Lewis pub: 694 pp Dahuri R, Rais J, Ginting SP. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Davis RA. 1990. Oceanography. An Introduction to The Marine Environment. Wm. C. Brown. Publisher. Dubuque. Dermeche S, Chahrour F, Boutiba Z. 2012. Evaluation of the toxicity of metal pollutants on embryonic development of the sea urchin Paracentrotus lividus (Lamarck 1816) (Echinodermata Echinoidea). Biodiversity Journal. Vol 3 (3): 165-172. Djakapermana RD. (2010). Pengembangan Wilayah. Melalui Pendekatan Kesisteman. Bogor: IPB PressDuarte CM. 1995. Submerged aquatic vegetation in relation to different nutrient regimes. Ophelia 41, 87-112 Dyer KR. 1986. Coastal and Estuarine Sediment Dynamics. A Wiley-Interscience Publication. New York. Eckenfelder WW. 1989. Industrial Water Pollution Control, 2nd ed. Mc Graw Hill Inc. New York. Edmond JM, Spivack A, Grant BC. 1985. Chemical dynamics of the Changjiang estuary. Continental Shelf Research, 4 (1–2), 17–36. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Perairan. Kanisius. Yogyakarta. English S, Wilkinson C, Baker V (Ed). 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. ASEAN-Australian Marine Science Project: Living Coastal Resources by Autralian Intitute of Marine Science. Townville. Australia. Eyre BD, Ferguson AJP. 2002. Comparison of carbon production and decomposition, benthic nutrient fluxes and denitrification in seagrass, phytoplankton, benthic microalgae and macroalgae dominated warmtemperate Australian lagoons. Marine Ecology Progress Series 229, 4359.
104
EPA. (2012, March). What are Suspended and Bedded Sediments (SABS)?. In Water: WARSSS. Retrieved from http://water.epa.gov/scitech/datait/tools/warsss/ sabs.cfm Farida, Noordwijk MV. 2004. "Analisis Debit Sungai Akibat Alih Guna Lahan dan Aplikasi Model Genriver Pada DAS Way Besai, Sumberjaya". Jurnal AGRIVITA, Vol 26, hal 39-47. Fauchald K. 1977. The Polychaeta Wormf. Defenition and Keys to the Orders Families and Genera. Chapmans Phototypesetting. Los Angeles. Fauzi A, Anna S. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan: Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan. Vol.4 No.2 pp.36-49. Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Gramedia Pustaka, Jakarta. Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesis dan Gagasan. PT.Gramedia Jakarta. 185 halaman. Fernandes TF, Eleftheriou A, Ackefors H, Eleftheriou M, Ervik A, SanchezMata A, Scanlon T, White P, Cochrane S, Pearson TH, Read PA. 2001. The scientific principles underlying the monitoring of the environmental impacts of aquaculture. Journal of Applied Ichthyology, 17: 181–193 Friedman GM, Sanders JE. 1978. Principles of Sedimentology. John Wiley and Sons. New York. GESAMP. 1986. Review of PotentiallyHarmfull Substance. Nutrient’s Report and Studies of GESAMP, No. 34. UNESCO. Paris. Gosner PS. 1971. Guide Identification of Marine and Estuarine Invertebrata. A. Wiley Inter Science Publishing. New York. Hamzah. 2009. Studi Kualitas Air Lokasi Pertambangan Nikel Pomalaa Sulawesi Tenggara [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hamzah. 2012. Model Pengelolaan Pencemaran Perairan Pesisir Bagi Keberlanjutan Perikanan Dan Wisata Pantai Kota Makassar [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hamzah H. 2005. Analisis Parameter Oseanografi dalam Penentuan Kesesuaian Daerah Parawisata Bahari Pantai Lemaru Kota Balikpapan. [Skripsi]. Makasar: Jurusan Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanudin. Hawkes HA. 1975. River Zonation and Classification in B.A. Whitton (ed). 1975. River Ecology. Volume 2. Blackwell Scientific Publications. Oxford. London. Edinburg. Malbourne. Honjoh K, Sugawara A, Yoda K, Yamasaki M. 1997. Isolation and characterization of nickel accumulating yeast, Applied Microbiology and Biotechnology, 48: 373-378 Hosono T, Su C, Delinom R, Umezawa Y, Toyota T, Kaneko S, Taniguchi M. 2011. Decline in heavy metal contamination in marine sediments in Jakarta Bay, Indonesia due to increasing environmental regulations. Estuar. Coast. Shelf Sci. 92, 297–306. Howard PH. 1991. Handbook of Environmental Fate and Exposure Data for Organic Chemicals, Volumes IIII. Lewis Publishers, Chelsea, MI. Human BA, Davies A. 2010. Stakeholder consultation during the planning phase of scientific programs. Marine Policy. 34. 645-654
105
Imron A. 2012. Strategi dan usaha peningkatan kesejahteraan hidup nelayan Tanggulsari Mangunharjo Tugu Semarang dalam menghadapi perubahan Iklim. Jurnal Riptek. 6. (1): 27 - 37 Indrasti NS, Fauzi AM. 2009. Produksi Bersih. Bogor : IPB Press. Inengite AK, Oforka NC, Osuji LC. 2010. “Survey of heavy metals in sediments of Kolocreek in the Niger Delta, Nigeria,” African Journal of Environmental Science and Technology, vol. 4, no. 9, pp. 558–566. View at Google Scholar Ishikawa K. 1989. Relationship Betwen Bottom Characteristics and Bentich Organisim in the Shallow Water of Oppa Bay. Miyagi. Mar. Biol. 102. Ismail A. 2006. “The use of intertidal molluscs in the monitoring of heavy metals and organotin compounds in the west coast of Peninsular Malaysia,” Coastal Marine Science, vol. 30, no. 1, pp. 401–406. View at Google Scholar Jalius, Setianto J, Sumantadinata K, Riani E, Ernawati Y. 2008. Akumulasi Logam Berat dan Pengaruhnya Terhadap Spermatogenesis Kerang Hijau (Perna viridis). Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia Vol 15. No. 1. Juni 2008, p. 77-83 Jalius, Setianto J, Sumantadinata K, Riani E, Ernawati Y. 2008. Akumulasi Logam Berat dan Pengaruhnya Terhadap Oogenesis Kerang Hijau (Perna viridis). Jurnal Riset Akuakultur Vol 3. No. 1. Juni 2008, p. 70-78. Jayakumar DA, Naqvi SWA, Narvekar PV, George MD. 2001, Methane in coastal and offshore waters of the Arabian Sea, Marine Chemistry, 74: 1-13. Kamaruzzaan BY, Zahir MS, John MA. 2011. “Bioaccumulation of some metals by Green musselPerna viridis (Linnaeus 1758) from Pekan, Pahang, Malaysia,” International Journal of Biological Chemistry, vol. 5, no. 1, pp. 54–60, 2011. View at Publisher · View at Google Scholar · View at Scopus Kavanagh P, Pitcher TJ. 2004. Implementing Microsoft Excel Software For Rapfish: A Technique For The Rapid Appraisal of Fisheries Status. Fisheries Centre Research Reports 12 (2). University of British Columbia. Canada. Kavanagh P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (RAPFISH) Project. University of British Columbia. Fisheries Centre. Kavanagh P, Pitcher TJ. 2004. Implementing Microsoft Excel Software For Rapfish: A Technique For The Rapid Appraisal of Fisheries Status. Fisheries Centre Research Reports 12 (2). University of British Columbia. Canada. Kavanagh P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (RAPFISH) Project. University of British Columbia, Fisheries Centre. Karageorgis AP, Sioulas AI, Anagnostou CL. 2002, Use of surface sediments in Pagassitikos Gulf, Greece, to detect anthropogenic influence. Geo-Marine Letters 21: 200 –211. Keller HM, Weibel P. 1991. Suspended Sediments in Stream Water-Indicators of Erosion and Bead Load Transport in Mountainous Basin. Published by IAHS. Wallingford. UK. IAHS Publication No. 203 : 53-56. Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Erlangga, Jakarta. Lambin EF. 1994. Modeling deforestation processes: a review (Research report. No. 1): TREES Series B. 115 p. in Loza, A. 2004. A spatiallogistic model for tropical forest conversion. [MSc Thesis]: Netherlands Geo-information Science and Earth Observation, Environmental System Analysis and Management. ITC.
106
Laws EA. 1993. Aquatic Pollution an Introductory Text. Third Edition. Canada (US): J Wiley. 611 hlm. Lias L, Jamil T, Aliaa SN. 2013 “A preliminary study on heavy metal concentration in the marine bivalves Marcia marmorata species and sediments collected from the coastal area of Kuala Perlis, North of Malaysia,” IOSR Journal of Applied Chemistry, vol. 4, no. 1, pp. 48–54, 2013. View at Publisher · View at Google Scholar Legendre L, Legendre P. 1983. Numerical Ecology. Elsevier Scientific Publishing Company. New York. Levinton JS. 1982. Marine Ecology. Prentice-Hall Inc. New Jersey. Lind OT. 1979. Handbook of Common Methods in Limnology. Mosby Company. St. Louis. Toronto. London. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology. A Primer on Methods and Computing. John Wiley & Sons, Inc. New York. Magurran AE. 1988. Ecology Diversity and Its Measurement. Croom Helm Ltd. London. Mann KH. 1988. Benthic Secondary Production. In Fundamrntal of Aquatic Ecosystem. R.S.K. Barbes and K.H. Mann (eds.). Blackwell scientific Publishing. Oxford. Marimin, 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta : Grassindo. McNally WH, Mehta, AJ. (2004, June). Sediment Transport and Deposition in Estuaries (Sample Chapter). In Encyclopedia of Life Support Systesm (EOLSS): Coastal Zones and Estuaries. Retrieved from http://www.eolss.net/sample-chapters/c09/E2-06-01-04.pdf Mikalsen KH, Jentoft S. 2001. ‘From Uses-Group to Stakeholders”: The Public Interest in Fisheries Management.’ Marine Police, 24, pp. 281-292 Mitsch I, Gosselink JG. 1993. Wetlands. In Water Quality. Prevention, Identification and Management of Diffuse Pollution. Van Nostrand Reinholh. New York. Natural Systems. The Abel Wolman Distinguished Lecture, Water Science and Technology Board, National Research Council, Washington, D.C. 20 pp. Mitra A, Trivedi S, Gupta A. 1996, Distribution of trace metals in the sediments from Hooghly estuary, India. Pollution Research, 15, 137 – 141. Mucha AP, Vasconcelos MTSD, Bordalo AA. 2003, Macro benthic community in the Douro Estuary: relations with trace metals and natural sediment characteristics. Environmental Pollution, 121, 169 – 180. Naqvi SWA, Jayakumar DA, Narvekar PV, Naik H, Sarma VVS, D’Souza W, Joseph S, George MD. 2000, Increased marine production of N2O due to intensifying anoxia on the Indian continental shelf, Nature, 408: 346-349. Nasuchon N, Charles A. 2010. Community involvement in fisheries management: experiences in the Gulf of Thailand countries. Marine Policy. 34(1): 163-169. Ndome CB, Ekaluo UB, Asuquo FE. 2010. “Comparative bioaccumulation of heavy metals (Fe, Mn, Zn, Cu, Cd & Cr) by some edible aquatic mollusc from the atlantic coastline of South Eastern Nigeria,” World Journal of Fish and Marine Sciences, vol. 2, no. 4, pp. 317–321.. View at Google Scholar
107
Neil KM. 2002. The detection, response and challenges of a pest detection. Proceedings of the annual conference of the Australian Marine Sciences Association, 10-12 July 2002, Fremantle WA. Palar H. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta (ID): PT Rineka Cipta. 152 hlm. Parker RH. 1975. The Studies of Benthic Communities. Elsevier Scientific Pub. Company. Amsterdam-Oxford. New York. Perkins EJ. 1974. The Biology of Estuaries and Coastal Waters. Academic Press Co. New York. Pitcher TJ. 1999. Rapfish, A Rapid Appraisal Technique For Fisheries, And Its Application To The Code Of Conduct For Responsible Fisheries. FAO Fisheries Circular No. FIRM/C: No. 947: 47 pp. [PPLH] Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Sulawesi Tenggara. 2009. Kajian Dampak Pembukaan Lahan Pertambangan Nikel Pomalaa Terhadap Kawasan Pesisir [Laporan Penelitian]. Kendari: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Sulawesi Tenggara. Pallewatta, N. 2010. Coastal Zones and Climate Change. (D. Michel and A.Pandya, eds.). The Henry L. Stimson Center: 16 pp Rainbow PS, Luoma SN. 2011, Metal toxicity, uptake and bioaccumulation in aquatic invertebrates- modeling zinc in crustaceans, Aquatic Toxicology, 105: 455–465. Riani E. 2011. Gangguan Reproduksi akibat Pencemaran Logam Berat pada Kerang Hijau (Perna viridis) yang Dibudidaya di Perairan Muara Kamal, Teluk Jakarta. Jurnal Moluska Indonesia, Desember 2011. Vol 2 (2): 67-74 Riani E, Sudarso Y, Cordova MR. 2014. Heavy metals effect on unviable larvae of Dicrotendipes simpsoni (Diptera: Chironomidae), a case study from Saguling Dam, Indonesia. AACL Bioflux, 2014, Volume 7, Issue 2: 76-84. http://www.bioflux.com.ro/docs/2014.76-84.pdf . Riani E. 2015. The Effect of Heavy Metals on Tissue Damage in Different Organs of Goldfish Cultivated in Floating Fish Net in Cirata Reservoir, Indonesia. Paripex - Indian Journal Of Research. Volume 4, Issue-2:132-136. Riley JP, Chester. 1981. Introduction to Marine Chemistry. Academic Press. London New York. Rivail Da Silva M, Lamotte M, Donard OFX, et al. 1996, Metal contamination in surface sedimentsof mangroves, lagoons and Southern Bay in Florianopolis Island. Environmental Technology, 17, 1035 – 1046. Reid GK. 1961. Ecology of Inland Water and Estuaries. Rehold Pub. New York. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Saharuddin, Syahrul. 2006. Analisis Ekonomi Regional Sulawesi Selatan. Jurnal Analisis, Vol. 3 (1), Maret 2006: 11 – 24. Sverdrup HU, Johnson, Fleming RH. 1946. The Ocean : Their Physics, Chemistry and General Biology. Prentice Hall, Englewood Cliffs. Train RE. 1979. Quality Criteria for Water. Castle House Publication Ltd. Washinton DC. Todaro PM, Smith SC. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.
108
Tuncel SG, Tugrul S, Topal T. 2007. “A case study on trace metals in surface sediments and dissolved inorganic nutrients in surface water of Ölüdeniz Lagoon-Mediterranean, Turkey,” Water Research, vol. 41, no. 2, pp. 365– 372. View at Publisher · View at Google Scholar · View at Scopus Turner A, Millward GE, Tyler AO. 1994, The distribution and chemical composition of particles in a macro tidal estuary. Estuarine and Coastal Shelf Science, 32, 325 – 346. Turner A, Millward GE. 2002. Suspended particles: Their role in estuarine biogeochemical cycles. Estuarine, Coastal and Shelf Science 55, 857-883. Velusamy A, Kumar PS, Ram A, Chinnadurai S. 2014. Bioaccumulation of heavy metals in commercially important marine fishes from Mumbai Harbor, India. Marinne Polluttion Bulletin. 81:218-224. Wang Q, Liu B, Yang H, Wang X, Lin Z. 2009. Toxicity of lead, cadmium and mercury on embryogenesis survival, growth and metamorphosis of Meretrix meretrix larvae. Ecotoxicology. Vol 18: 829-837. Warpani, Suwardjoko. (1984). Analisis Kota dan Daerah, ITB Bandung. Widiatmaka, Suwarno, Nandi K. 1999. Sifat-Sifat Tanah pada Bekas Areal Tambang Nikel unit Pertambangan Nikel Pomalaa Sulawesi Tenggara. Lembaga Penelitian Bogor. Bogor Widiatmaka, Suwarno, Nandi K. 2010. Karakteristik Pedologi Dan Pengelolaan Revegetasi Lahan Bekas Tambang Nikel: Studi Kasus Lahan Bekas Tambang Nikel Pomalaa, Sulawesi Tenggara, Jurnal Tanah dan Lingkungan. Volume 12 Nomor 2 Tahun 2010. Wood MS. 1987. Subtidal Ecology. Edward Arnold Pty. Limited, Australia Zeitoun MM, Mehana EE. 2014. Impact of Water Pollution with Heavy Metals on Fish Health: Overview and Updates. Global Veterinaria. 12 (2):219-231.
109
Lampiran 1 RapFish dimensi ekologi
110
Lampiran 2 RapFish dimensi ekonomi
111
Lampiran 3 RapFish dimensi sosial
112
Lampiran 4 RapFish dimensi kelembagaan
113
Lampiran 5 RapFish dimensi teknologi
114
Lampiran 6 Rata-rata tabulasi isian kuisioner AHP Model Name: AHP FAKTOR Numerical Assessment 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ekonomi
Sosial
Compare the relative preference with respect to: Faktor Ekolog Ekonom Sosial Teknol Kelembag 2,0 2,0 2,0 2,0 1,0 1,0 1,0 1,0 2,0 1,0 Incon:
Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi Kelembagaan
Model Name: AHP Aktor Numerical Assessment 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Masyarakat
Pemerintah Daerah
Compare the relative preference with respect to: Aktor
Pemerintah Daerah Masyarakat Perusahaan Tambang LSM Perguruan Tinggi
Perguruan T Pemerintah DMasyarakPerusahaan TaLSM 2,0 1,0 3,0 5,0 3,0 2,0 3,0 5,0 5,0 1,0 Incon: 0,01
Model Name: AHP Strategi Numerical Assessment 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pengendalian Pencemaran
Akses Terhadap Modal dan Sumberdaya
Compare the relative preference with respect to: Strategi Pengendalian PenAkses Terhadap ModaPenangPenguaRevital 1,0 3,0 3,0 5,0 Pengendalian Pencemaran Akses Terhadap Modal dan Su 2,0 1,0 5,0 Penanganan Konflik 2,0 3,0 Penguatan Kelembagaan 3,0 Revitalisasi Checkdam Incon: 0,03
115
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kelurahan Danagoa Kecamatan Tongkuno Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara pada hari minggu tanggal 26 Januari 1975 dari pasangan La Ngada dan Wa Ema sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara. Riwayat pendidikan dimulai dari Taman Kanak-kanak Pertiwi Kecamatan Tongkuno, Sekolah Dasar di SD Negeri No.1 Wakuru, lulus tahun 1988, SMP Negeri Wakuru lulus tahun 1991 dan STM Negeri Raha lulus tahun 1994. Semuanya berada di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. Pada bulan agustus tahun 1994, penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Manado. Pada bulan Februari 1996 pindah dan melanjutkan pendidikan di Universitas Haluoleo serta lulus tahun 2001. Bulan agustus 2004, penulis melanjutkan pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan dan lulus tahun 2009 dan memperoleh gelar Magister Sains (M.Si). Tahun 2010 penulis kembali melanjutkan pendidikan program doktor pada jurusan Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sejak 2003, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Samaturu Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara.