Pengembangan Instrumen Pendidikan Karakter Berbasis Jejaring Sosial Facebook Sebagai Alternative Assessment di Sekolah
Fenny Roshayanti, Sumarno, M. Syaipul Hayat, Filia Prima A. Program Studi Pendidikan Biologi, FPMIPA, IKIP PGRI Semarang
ABSTRAK
Karakter merupakan subjek tersendiri dalam pembelajaran yang terintegrasi karakter sehingga harus dinilai secara tersendiri. instrumen untuk menilai karakter yang efektif masih minim, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan instrumen assessmen karakter berbasis jejaring sosial facebook yang valid, reliabel dan praktis. Desain penelitian yang digunakan untuk mengembangkan instrumen assessmen karakter berbasis jejaring sosial facebook merupakan research and development. Variabel-varibel dalam penelitian meliputi validitas instrumen assessmen, reliabilitas instrumen assessmen dan keefektifan implementasi instrumen asessemen karakter berbasis jejaring sosial facebook. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa jejaring sosial facebook dapat dikembangkan sebagai media untuk menilai karakter kritis dan komunikatif, aspekaspek yang diukur dalam menilai karakter kritis meliputi clarity (kejelasan), accuracy (keakuratan, ketelitian, kesaksamaan), relevance (relevansi, keterkaitan), depth (kedalaman), breadth (keluasaan), logic (logis) memiliki reliabilitas 0,75 dan validitas rata-rata 0,6, aspek-aspek yang diukur dalam menilai karakter komunikatif meliputi transmisif, interaktif, reseptif, dijestif dan asimilatif memiliki reliabilitas 0,65 dan validitas 0,60. Selain itu karakteristik instrumen assesmen yang dikembangkan memiliki indek konsistensi yang sangat tinggi, karena kemudahan dan kepraktisan dalam penggunaan baik dari sisi waktu dan tempat.
Kata Kunci : jejaring sosial facebook, instrumen assessmen karakter, karakter kritis dan komunikatif A. Pendahuluan Perubahan yang cepat di era globalisasi sudah semestinya juga diikuti perubahan dalam dunia pendidikan. Untuk membangun pendidikan masa depan perlu dirancang sistem pendidikan yang dapat menjawab harapan dan tantangan terhadap perubahanperubahan yang terjadi. Sistem pendidikan yang dibangun harus berkesinambungan, untuk menciptakan lulusan yang memiliki keunggulan kompetitif dan komperatif sesuai standar mutu nasional dan internasional. Dewasa ini terdapat kecenderungan terjadinya pergeseran filosofi pembelajaran, yaitu dari paradigma transfer/transmisi menuju pada aktivitas kelas yang berpusat pada
1
peserta didik. Pergeseran tersebut berorientasi pada pembelajaran yang menyeluruh (holistic) yang memperhatikan perkembangan anak secara utuh, meliputi pertumbuhan fisik, sosial, emosional dan intelektual. Pembelajaran holistic menghendaki pergeseran peran peserta didik dari penerima informasi secara pasif menjadi peserta didik yang berperan aktif dalam pemecahan masalah, berpikir kritis dan kreatif dalam menganalisis dan mengaplikasikan faktafakta, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip yang dipelajari. Kemampuan pemecahan masalah, berpikir kritis dan kreatif merupakan hakekat tujuan pendidikan dan menjadi kebutuhan bagi peserta didik untuk menghadapi dunia nyata (Santyasa, 2004). Marzano
et
al.
(1988)
menyatakan
bahwa
tujuan
pendidikan
adalah
mengembangkan pemikir-pemikir matang yang dapat menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dalam kehidupan nyata. Untuk membentuk calon pemikir yang handal harus dipersiapkan sejak peserta didik menempuh pendidikan di persekolahan. Salah satu upayanya yaitu membiasakan peserta didik untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skill/ HOTS) dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain keterampilan
berpikir kritis,
kreatif, pemecahan masalah (problem solving) dan pengambilan keputusan. Pengembangan berpikir tingkat tinggi peserta didik sepenuhnya dikembangkan oleh guru dalam proses pembelajaran dan dalam pelaksanaan asesmen atau penilaian. Oleh karenanya, peranan guru sangatlah kompleks, tidak lagi hanya sebagai pemberi materi di depan kelas, tetapi juga berperan sebagai evaluator, di mana guru harus dapat mengarahkan penilaian untuk menentukan apa yang harus dipelajari oleh siswa dan apa yang siswa rasakan berkaitan dengan penilaian yang dilakukan. Dengan demikian, kebutuhan siswa dalam belajar dapat terpenuhi. Proses penilaian merupakan perangkat efektif untuk menyampaikan apa yang diharapkan oleh sistem pendidikan kepada semua pihak yang peduli terhadap pendidikan. Agar penilaian terhadap pembelajaran di kelas dapat dilaksanakan dengan baik, setiap pihak yang peduli terhadap kualitas sekolah dan siswa di negeri ini harus berjuang bersama-sama untuk mengembangkan kemampuan menilai (assessment literacy). Kegiatan menilai harus diperhatikan dengan baik, agar proses penilaian yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan belajar siswa. Oleh karenanya, instrumen penilaian
2
yang dibuat oleh guru harus betul-betul efektif didalam menjaring hasil belajar siswa. Selain itu, instrumen yang dibuat harus efektif untuk kinerja guru didalam memberikan penilaiannya, agar tidak memberatkan kepada guru itu sendiri, sehingga guru dapat berperan secara utuh, yaitu sebagai pendidik, pengajar dan evaluator. Proses pembelajaran seperti yang telah dikemukakan di atas diorientasikan untuk menumbuhkembangkan pendidikan karakter dalam jiwa peserta didik. Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah
berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut
Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia. Instrumen yang dapat dikembangkan oleh guru sangat beragam, namun biasanya instrumen tersebut hanya dapat dinikmati oleh guru itu sendiri dan hanya berfungsi sebagai alat evaluasi saja. dalam penelitian ini, peneliti memberikan gagasan untuk mengembangkan instrumen dalam mengukur pendidikan karakter melalui media facebook. Instrumen ini dikembangkan sebagai alternative assessment yang tujuan utamanya adalah untuk mengukur pendidikan karakter setiap peserta didik. Pendidikan karakter peserta didik dapat diukur melalui ungkapan pendapat atas jawaban atau komentar yang ditulis di dinding facebook. Rumusan
permasalahan
dalam
penelitian
ini
adalah
“Bagaimanakah
mengembangkan instrument yang efektif dan komunikatif dalam mengukur hasil belajar siswa yang berorientasi pada pendidikan karakter?” . Tujuan khusus yang akan dicapai pada penelitian ini adalah : a. Merancang dan mengembangkan instrumen pendidikan karakter berbasis jejaring sosial facebook sebagai alternative assessment. b. Mengukur efektifitas instrumen berbasis jejaring sosial facebook sebagai alternative assessment dalam pengembangan pendidikan karakter.
3
c. Mengidentifikasi
karakteristik,
keunggulan
dan
keterbatasan
instrumen
pendidikan karakter berbasis jejaring sosial facebook sebagai alternative assessment yang dikembangkan.
B. Kajian Pustaka 1. Pengembangan Instrumen sebagai Alternative assessment Instrumen adalah alat ukur yang dapat digunakan dalam asesmen atau evaluasi. Adapun asesmen itu sendiri diartikan sebagai proses pemberian penilaian terhadap proses dan hasil belajar siswa. Penilaian adalah suatu proses sistematik dan variatif yang meliputi pengumpulan data yang berperan sebagai umpan balik dalam pendidikan (NRC, 1996). Faichney (1996) menyatakan bahwa penilaian merupakan suatu proses yang membantu guru untuk memahami prestasi, penampilan dan perkembangannya. Penilaian merupakan suatu proses penilaian yang reliabel dan valid. Berkaitan dengan hal tersebut, Marzano (1994) menyatakan bahwa dalam mengungkap penguasaan konsep siswa, penilaian tidak hanya mengungkap penguasaan konsep yang telah dicapai, akan tetapi juga tentang proses perkembangan bagaimana suatu konsep tersebut diperoleh. Menurut James A. Mc. Lounghlin & Rena B Lewis asesmen merupakan proses sistematika dalam mengumpulkan data seseorang anak yang berfungsi untuk melihat kemampuan dan kesulitan yang dihadapi seseorang saat itu, sebagai bahan untuk menentukan apa yang sesungguhnya dibutuhkan. Berdasarkan informasi tersebut guru akan dapat menyusun program pembelajaran yang bersifat realitas sesuai dengan kenyataan secara objektif. Ahli asesmen lainnya, Rustaman (2011) memaparkan bahwa asesmen atau penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik. Penilaian hasil belajar peserta didik dilaksanakan berdasarkan standar penilaian pendidikan yang berlaku secara nasional. Di dalam pasal 58 UU No. 20/2003 Sisdiknas, ayat (1): Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Ayat (2): Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian SNP.
4
Proses penilaian adalah alat yang efektif untuk mengkomunikasikan tujuan dari sistem pendidikan IPA yang seluruhnya terfokus terhadap pendidikan IPA. Kegunaan dan kebijaksanaan penilaian merupakan definisi operasional tentang pentingnya penilaian. Sebagai contoh, penggunaan inquiri terpimpin untuk penilaian memberikan isyarat tentang apa yang dipelajari siswa, bagaiman siswa mengajar, dan dimana sumber-sumber yang digunakan akan diletakkan. Penilaian adalah sesuatu yang sistematik, proses multistep yang melibatkan proses mengumpulkan dan menginterpretasi data pendidikan. Empat komponen proses penilaian secara rinci dapat dilihat pada tabel.1
Tabel 1. Komponen Penilaian Proses
Seiring dengan perubahan cara berpikir pendidik IPA tentang cara pendidikan IPA yang baik, maka pengukuran dalam bidang pendidikanpun berubah menjadi semakin baik. Pengenalan tentang pentingnya penilaian untuk pembentukan kembali pendidikan yang kontemporer dikatalisator (dirangsang) oleh penelitian, perkembangan dan implementasi dari metode baru pengumpulan data seiring dengan cara baru yang digunakan untuk menilai kualitas data itu sendiri. Perubahan dalam teori pengukuran dan kegunaanya direfleksikan dalam penilaian standar. Perubahan cara penilaian tersebut dikembangkan dalam bentuk penilaian atau asesmen alternative.
5
Asesmen alternatif (alternative assessment) diartikan sebagai proses penilaian pendidikan yang dilakukan dengan menggunakan alat ukur alternatif, dibuat berdasarkan kebutuhan penilaian, biasanya dilihat dari segi efektifitasnya. Secara sederhana asesmen alternatif diartikan sebagai pemanfaatan pendekatan non tradisional untuk member penilaian kinerja atau hasil belajar siswa. istilah non tradisional yang digunakan dalam konteks pengertian diatas terutama adalah tes kertas pensil (pencil and paper test) atau lebih khusus lagi adalah tes baku yang menggunakan perangkat tes obyektif (Zainul, 2001). Lebih lanjut Zainul (2001) memaparkan, ada kalanya istilah asesmen alternative diidentikkan dengan istilah lain, seperti asesmen autentik atau kinerja. Karakteristik utama asesmen alternatif tidak hanya mengukur hasil belajar siswa (achievement) tetapi secara lengkap memberi informasi yang lebih jelas tentang proses pembelajaran. Dewasa ini telah banyak dikembangkan berbagai macam asesmen alternatif, khususnya di bidang sains. Beberapa bentuk asesmen alternatif yang sudah dikembangkan antara lain asesmen kinerja keterampilan, asesmen kinerja produk, self asesmen, peer asesmen, portofolio, dan sebagainya. Adapun pengembangan alat ukur asesmennya atau disebut juga dengan instrumen yang sudah dilakukan adalah berupa rubrik, skala likert, esay, coding, mind maping dan e-learning. Khusus yang e-learning, itu merupakan instrumen berbasis ICT yang mampu berperan sebagai sarana komunikasi antar pengajar dan peserta didik, namun e-learning memerlukan software khusus untuk mengaplikasikan programnya. Sedangkan, yang akan dikembangkan pada penelitian ini tidak perlu membuat software khusus, namun hanya memanfaatkan facebook sebagai medianya dengan program yang siap pakai dan lumrah digunakan oleh setiap orang.
2. Konsep Pendidikan Karakter Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri,
6
yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter. Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Menurut Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga warga negara yang baik bagi suatu masyarakat
masyarakat yang baik, dan
atau bangsa, secara umum adalah nilai-
nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena
itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di
Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur
yang bersumber
dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama,
7
percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah
harus
berpijak
kepada
nilai-nilai
karakter
dasar,
yang
selanjutnya
dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri. Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian
peserta didik melalui peningkatan intensitas dan
kualitas pendidikan karakter. 3. Pendidikan Karakter Secara Terpadu melalui Pembelajaran Setidaknya terdapat dua pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan kaitannya dengan
proses pembelajaran, yaitu: (1) sejauhmana efektivitas guru dalam
melaksanakan pengajaran, dan (2) sejauhmana siswa dapat belajar dan menguasi materi pelajaran seperti yang diharapkan. Proses pembelajaran dikatakan efektif apabila guru dapat menyampaikan keseluruhan materi pelajaran dengan baik dan siswa dapat menguasai substansi tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dewasa ini dikenal berbagai istilah mengenai pembelajaran, antara lain: pembelajaran kontekstual, pembelajaran PAKEM, pembelajaran tuntas, pembelajaran berbasis kompetensi, dan sebagainya. Pembelajaran profesional pada dasarnya merupakan pembelajaran yang dirancang secara sistematis sesuai dengan tujuan, karakteristik materi pelajaran dan karakteristik siswa, dan dilaksanakan oleh Guru yang profesional dengan dukungan fasilitas pembelajaran memadai sehingga dapat mencapai
8
hasil belajar secara optimal. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran profesional menggunakan berbagai teknik atau metode dan media serta sumber belajar yang bervariasi sesuai dengan karakteristik materi dan peserta didik. Karakteristik pembelajaran profesional antara lain: Efektif, Efisien, aktif, Kreatif, Inovatif, Menyenangkan, dan Mencerdaskan. Tujuan pembelajaran dapat dicapai oleh peserta didik sesuai yang diharapkan. Seluruh kompetensi (kognisi, afeksi, dan psikomotor) dikuasai peserta didik. Aktivitas pembelajaran berfokus dan didominasi Siswa. Guru secara aktif memantau, membimbing,dan mengarahkan kegiatan belajar siswa. Pembaharuan dan penyempurnaan dalam pembelajaran (strategi, materi, media & sumber belajar, dll) perlu terus dilakukan agar dicapai hasil belajar yang optimal. Pendidikan karakter secara terpadu di dalam pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.
4. Facebook sebagai Media Asesmen Facebook, seperti yang sudah kita kenal merupakan jejaring sosial yang digunakan sebagai media komunikasi di dunia maya atau berbasis web-net. Facebook diluncurkan pada februari 2004 yang dioperasikan dan dimiliki oleh facebook, Inc. Pada Januari 2011, facebook memiliki lebih dari 600 juta pengguna aktif. Pengguna dapat membuat profil pribadi, menambahkan pengguna lain sebagai teman dan bertukar pesan, termasuk pemberitahuan otomatis ketika mereka memperbarui profilnya. Selain itu, pengguna dapat bergabung dengan grup pengguna yang memiliki tujuan tertentu, diurutkan berdasarkan tempat kerja, sekolah, perguruan tinggi, atau karakteristik lainnya. Nama layanan ini berasal dari nama buku yang diberikan kepada mahasiswa pada tahun akademik pertama oleh administrasi universitas di Amerika Serikat dengan tujuan membantu mahasiswa mengenal satu sama lain. Facebook memungkinkan setiap
9
orang berusia minimal 13 tahun menjadi pengguna terdaftar di situs ini (Wikipedia: 2011). Facebook didirikan oleh Mark Zuckerberg bersama teman sekamarnya dan sesama mahasiswa ilmu komputer Eduardo Saverin, Dustin Moskovitz dan Chris Hughes. Keanggotaan situs web ini awalnya terbatas untuk mahasiswa Harvard saja, kemudian diperluas ke perguruan lain di Boston, Ivy League, dan Universitas Stanford. Situs ini secara perlahan membuka diri kepada mahasiswa di universitas lain sebelum dibuka untuk siswa sekolah menengah atas, dan akhirnya untuk setiap orang yang berusia minimal 13 tahun (Wikipedia: 2011). Studi Compete.com bulan Januari 2009 menempatkan Facebook sebagai layanan jejaring sosial paling banyak digunakan menurut pengguna aktif bulanan di seluruh dunia, diikuti oleh MySpace. Entertainment Weekly menempatkannya di daftar "terbaik" akhir dasawarsa dengan komentar, "Bagaimana cara kita menguntit bekas kekasih kita, mengingat ulang tahun rekan kerja kita, mengganggu teman kita, dan memainkan permainan Scrabulous sebelum Facebook diciptakan?" Quantcast memperkirakan Facebook memiliki 135,1 juta pengunjung bulanan di AS pada Oktober 2010. Menurut Sosial Media Today pada April 2010, diperkirakan bahwa 41,6% penduduk Amerika Serikat memiliki akun Facebook (Wikipedia: 2011). Antusiasme penggunaan facebook dikarenakan memiliki kemampuan komunikasi yang interaktif, dapat memperoleh informasi yang up to date, menjadi sarana pengungkapan perasaan yang dipikirkan oleh penggunanya, dapat mengetahui status orang lain, tanggal lahir hingga informasi yang lebih detil. Belakangan ini, facebook banyak digunakan sebagai sarana bisnis yang efektif, karena informasi bisnis atau disebut iklan dapat dengan cepat dan mudah dibaca oleh pengguna facebook di seluruh penjuru dunia. Berdasarkan hasil analisis dari antusiasme penggunaan facebook tersebut, peneliti menggagas sebuah terobosan untuk menjadikan facebook sebagai perangkat dalam pembelajaran yaitu dijadikan sebagai instrumen penilaian hasil belajar di dalam mengembangkan pendidikan berkarakter. facebook diprediksi sangat efektif digunakan sebagai instrumen penilaian karena semua orang sudah mengenal dan mampu mengoperasikannya. Selain itu, facebook tidak memerlukan software khusus di dalam pengaplikasiannya, bahkan mampu bekerja secara on-line.
10
5. Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian ini didukung oleh hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Johan (2008) tentang pengaruh pesan visual Web terhadap pembentukan motivasi belajar secara virtual. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan pengaruh yang sangat signifikan, siswa menjadi lebih termotivasi dalam belajar karena pembelajaran lebih menarik. Faktor pembelajaran berbasis web sangat berpengaruh terhadap ketertarikan siswa dalam belajar, karena siswa memiliki rasa penasaran yang tinggi untuk mengetahui informasi dan pembelajaran secara virtual, dalam hal ini pembelajaran berbasis internet.
6. Kerangka Berpikir Berdasarkan hasil analisis peneliti terhadap pembelajaran yang selama ini berlangsung di sekolah, sebagian besar guru masih kesulitan dalam mengembangkan instrumen penilaian, terutama untuk mengukur pendidikan berkarakter, maka dari itu peneliti memiliki gagasan untuk mengembangkan instrumen asesmen alternatif berbasis jejaring sosial facebook untuk menilai pendidikan karakter peserta didik. Diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap permasalahan yang selama ini dihadapi oleh guru dan memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan kualitas pembelajaran.
7. Hipotesis Hipotesis penelitian yang dirumuskan adalah: “instrumen berbasis jejaring sosial facebook efektifitas penilaian pendidikan karakter siswa”.
C. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 1,5 bulan (mulai tanggal 27 Juni 2011- 12 Agustus 2011) di SMA Negeri 11 Semarang. Populasi adalah siswa SMA Negeri 11 Semarang, dengan sampel penelitian dilaksanakan pada XII IPA. Penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian pengembangan, yang diawali dengan 1) studi pendahuluan, yaitu mengidentifikasi karakter-karakter yang muncul dalam facebook; 2) pengembangan draf instrumen karakter; 3) validasi pakar terhadap draf instrumen assessmen karakter; 4) revisi berdasarkan validasi pakar;
11
5) ujicoba terbatas terhadap instrumen assessmen karakter, 6) revisi berdasarkan hasil ujicoba terbatas; 7) uji skala luas implementasi instrumen assessmen karakter sehingga diketahui karakteristiknya 8) revisi dan 9) dihasilkan produk akhir. Produk akhir dari pengembangan merupkan instrumen assessmen karakter yang valid dan reliabel dan memenuhi aspek kepraktisan. Analisis data dilakukan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas instrumen yang dikembangkan. Pengukuran validitas dapat dilakukan dengan menggunakan validitas isi dan validitas konstruksi. Validitas isi dapat diusahakan ketercapaiannya sejak saat penyusunan dengan cara memerinci materi kurikulum atau materi buku pelajaran. Untuk mengetahui sebuah tes dikatakan memiliki validitas isi, apabila mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan materi atau isi pelajaran yang diberikan. Sebuah tes dikatakan memiliki validitas konstruk apabila butir soal yang membangun tes tersebut mengukur setiap aspek. Maka dalam penelitian digunakan rumus korelasi antara skor item instrumen dengan skor total atau korelasi Pearson. Pengukuran reliabilitas dilakukan untuk mengetahui ketepatan alat evaluasi dalam mengukur ketepatan siswa menjawab soal yang diujicobakan satu kali. Rumus untuk soal obyektif digunakan rumus Cronbach Alpha. Harga r yang diperoleh dibandingkan dengan rtabel. Apabila r > rtabel maka item instrumen dikatakan reliabel dan dapat digunakan sebagai instrumen assessmen.
D. Hasil dan Pembahasan 1. Perencanaan Model Instrumen Assessmen Karakter Berbasis Jejaring Sosial Facebook Integrasi karakter di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari atau peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku berkarakter.
12
Antusiasme penggunaan facebook sebagai gaya hidup dikalangan siswa perlu disikapi sebagai sarana untuk menginternalisasikan karakter. Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa facebook merupakan media yang memiliki kemampuan sebagai sarana komunikasi yang interaktif, up to date, menjadi sarana pengungkapan perasaan maupun pendapat yang dipikirkan oleh penggunanya. Facebook sebagai sarana komunikasi memiliki potensi untuk menginternalisasikan karakter sikap dalam komunikasi bagi siswa. Hasil kajian pendahuluan menunjukkan bahwa peristiwa maupun masalah yang diangkat ataupun dibicarakan dalam facebook seringkali punya kesamaan. Kendati sama peristiwanya ataupun masalahnya, tetapi bisa saja ada perbedaan dalam pengungkapan peristiwa tersebut, misalnya dalam hal sudut pandang atau perspektif yang dipilih. Sehingga adanya perbedaan satu sama lain dapat menyebabkan ciri khas tersendiri yaitu munculnya diskusi secara di dunia maya,dengan demikian facebook dapat dijadikan sebagai sarana berdiskusi secara kritis masalah-masalah yang yang terkait dengan materi pembelajaran. Berdasarkan
kajian
pendahuluan
tersebut,
maka
karakter
yang
dapat
diinternalisasikan dalam pembelajaran berbasis jejaring sosial facebook adalah sikap kritis dan komunikatif. Dengan demikian instrumen yang dikembangkan meliputi instrumen untuk assessmen sikap komunikatif dan kritis. Aspek-aspek sikap komunikatif meliputi : 1. Transmisif , yaitu kemampuan mentransmisikan konsep yang telah diformulasikan kepada orang lain dengan kata atau kalimat yang fungsional, logis serta menimbulkan dampak yang diharapkan. 2. Interaktif, yaitu kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang santun serta mudah dipahami dalam memberikan tanggapan ataupun gagasan. 3. Reseptif, yaitu sikap untuk menerima pendapat orang lain. 4. Dijestif, yaitu kemampuan untuk merencanakan gagasan atau informasi dari orang lain serta melihat hakiki dari informasi atau gagasan seraya mampu memprediksi akibat dari gagasan atau informasi. 5. Asimilatif yaitu Kemampuan dalam mengorelasikan gagasan atau informasi yang ia terima dari orang lain secara sistematis dengan apa yang dimilikinya.
13
Sikap
kritis
merupakan
sikap
dan
tindakan
yang
selalu
berupaya
mempertimbangkan segala sesuatu permasalahan dari berbagai sudut pandang atau aspek secara analitik maupun sintetik dalam mengambil kesimpulan sebelum membuat keputusan. Bersikap kritis dilandasi kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial untuk kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya. Berpikir kritis telah lama menjadi tujuan pokok dalam pendidikan sejak 1942. Penelitian dan berbagai pendapat tentang hal itu, telah menjadi topik pembicaraan dalam sepuluh tahun terakhir ini (Patrick, 2000). Definisi berpikir kritis banyak dikemukakan para ahli. Menurut Halpen (1996), berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan
tujuan.
Proses
tersebut
dilalui
setelah
menentukan
tujuan,
mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran-merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan, dan membuat keputusan ketika menggunakan semua keterampilan tersebut secara efektif dalam konteks dan tipe yang tepat. Aspek-aspek berpikir kritis meliputi: 1. Clarity (Kejelasan), yaitu ungkapan pendapat, pernyataan maupun pertanyaan dapat dipahami. Kejelasan merujuk kepada perincian permasalahan yang rumit, penjelasan permasalahan itu dengan cara yang lain, dan memberikan penjelasan dengan ilustrasi dan contoh-contoh. 2. Accuracy (keakuratan, ketelitian, kesaksamaan). Ketelitian atau kesaksamaan sebuah pernyataan merujuk pada ungkapan pernyataan yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan, memiliki validitas yang tinggi dan dapat diklarifikasi atau memiliki referensi. 3. Precision (ketepatan). Ketepatan mengacu kepada perincian data-data pendukung yang sangat mendetail dan spesifik 4. Relevance (relevansi, keterkaitan) yaitu pernyataan atau jawaban yang dikemukakan berhubungan dengan pertanyaan maupun pernyataan yang diajukan. 5. Depth (kedalaman). Kedalaman diartikan sebagai pernyataan yang dirumuskan tertuju
kepada
pendapat
dengan
kompleks,
memerinci
pendapat
dan
menghubungkan dengan faktor-faktor yang signifikan terhadap pemecahan masalah
14
6. Breadth (keluasaan). Keluasan sebuah pernyataan merupakan ungkapan pernyataan itu telah ditinjau dari berbagai sudut pandang. 7. Logic (logika) yaitu berpendapat dengan berbagai kombinasi, satu sama lain saling menunjang dan mendukung perumusan pernyataan dengan benar dan bertemalian. Berdasarkan aspek-aspek dan definisi-definisi tersebut, berikutnya dikembangkan menjadi kisi-kisi dan draf instrumen. Menurut Baker (1988) memetakan ciri-ciri utama sikap adalah sikap bersifat kognitif, yakni dapat dipikirkan dan afektif yaitu melekat padanya perasaan dan emosi, sikap itu dimensional daripada bipolar bervariasi dalam derajat favourability atau unfavourability, sikap memberi kecenderungan kepada seseorang untuk bertindak dalam cara tertentu, tetapi hubungan antara sikap dan tindakan bukanlah hubungan yang kuat, sikap dipelajari, tidak diwariskan atau diturunkan secara genetik, sikap cenderung persisten tetapi dapat dimodifikasi dengan pengalaman. Maka dari itu instrumen assesmen karakter berbasis jejaring sosial facebook yang dikembangkan berupa lembar observasi untuk mengamati sikap yang muncul. Sifat dimensional dari instrumen dipilih menggunakan skala 1 sampai dengan 4 untuk menggambarkan derajat favourability atau unfavourability. Instrumen yang dikembangkan diharapkan memiliki kepraktisan dalam penggunaan sehingga dapat secara berulang untuk mengukur kemajuan atau perkembangan karakter kritis dan komunikatif.
2.
Ketepatan dan Konsistensi Instrumen Assessmen Karakter Berbasis Jejaring Sosial Facebook Validitas suatu instrumen menunjukkan tingkat ketepatan suatu instrumen untuk
mengukur apa yang harus diukur. Jadi validitas suatu instrumen berhubungan dengan tingkat akurasi dari suatu alat ukur mengukur apa yang akan diukur. Validitas meliputi validitas isi dan bentuk instrumen atau validitas teoritik serta validitas kriteria. a. Validitas Teoritik Pengembangan instrumen assessmen karakter menuntut validitas isi yaitu ketepatan suatu istrumen ditinjau dari segi dimensi dan indikator yang karakter diamati. Selain validitas bentuk instrumen yaitu keabsahan konstruk atau susunan kalimat atau kata-kata dalam pernyataan sehingga jelas pengertiannya atau tidak menimbulkan
15
tafsiran lain. Hasil
validasi instrumen assessmen karakter berbasis jejaring sosial
facebook sebagai tertera dalam tabel 2. Tabel 2. Validitas isi dan konstruk instrumen assessmen karakter kritis dan komunikatif berbasis jejaring sosial facebook.
No 1 2 3
Instrumen Karakter Kritis Aspek Rerata Kriteria Skor Materi/Dimensi 3.12 Valid dari Karakter Konstruksi 3.28 Valid Pernyataan Bahasa 3.17 Valid Pernyataan
Instrumen karakter Komunikatif Rerata Skor Kriteria 3.27
Valid
3.26
Valid
3.25
Valid
Berdasarkan tabel 2 tersebut maka secara teoritik baik instrumen asessemen karakter kritis dan komunikatif memiliki ketepatan pengukuran sebagai alat ukur. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi-dimensi karakter kritis dan komunikatif secara teoritis telah terakomodasi. Konstruksi dan bahasa item-item dalam instrumen yang dikembangkan memiliki rumusan pernyataan yang jelas sehingga memiliki interpretasi yang sama. Setiap item dalam instrumen telah dikembangkan bebas dari pernyataan yang tidak relevan, karena dikembangkan dari satu gagasan yang diperinci dari aspekaspek karakter yang dikembangkan.
Item-item pada instrumen juga menggunakan
bahasa yang baku sehingga mudah dipahami dan tidak multi interpretasi. Menurut Rusilowati (2006) instrumen yang telah memenuhi validitas isi dan konstruk berarti telah memenuhi kriteria sebagai instrumen yang dapat digunakan sebagai alat ukur.
b. Validitas Kriteria Validitas kriteria, yaitu validitas yang ditinjau berdasarkan hubungannya dengan kategori tertentu. Tinggi-rendahnya koefisien validitas tes atau angket ditentukan berdasarkan hasil perhitungan koefisien korelasi. Hasil perhitungan dengan taraf signifikasi 5% seperti terangkum pada tabel 3 dan 4.
16
Tabel 3. Validitas kriteria instrumen assessmen karakter kritis berbasis jejaring sosial facebook.
No 1 2 3 4 5 6 7
Dimensi Clarity Accuracy Precision Relevance Depth Breadth Logic
Nomor Item Valid Tidak Valid 1,2,3,4 5 6 7 8,9 10 11 -
Keterangan
tidak dipakai
Dari hasil pengujian diketahui bahwa 1 item yang tidak valid, yaitu item nomor 6. Ini berarti item nomor 6 dibuang, karena skor yang diperoleh pada item nomor 6 tidak signifikan berpengaruh terhadap perolehan total skor. Hal tersebut menunjukkan bahwa dimensi atau aspek precision yaitu ketepatan mengacu kepada perincian data-data pendukung yang sangat mendetail dan spesifik. Diduga ruang dinding facebook yang terbiasa untuk pengungkapan hal-hal yang ringan berpengaruh terhadap pemerincian data pendukung secara mendetail. Tabel 4. Validitas kriteria instrumen assessmen karakter komunikatif berbasis jejaring sosial facebook. Nomor Item Tidak Valid 1 Transmisif 1,2 3 2 Interaktif 4 5 3 Reseptif 7 6 4 Dijestif 9 8 5 Asimilatif 10,11 Dari hasil pengujian diketahui bahwa 1 item yang tidak No
Dimensi
Valid
Keterangan Item no 3,5,6 dan 8 tidak dipakai
valid, yaitu item nomor
3,5,6 dan 8. Ini berarti item nomor 3,5,6 dan 8 dibuang, karena skor yang diperoleh pada item nomor 3,5,6 dan 8 tidak signifikan berpengaruh terhadap perolehan total skor. Hal tersebut menunjukkan bahwa indikator menggunakan panggilan / sebutan orang dengan baik berinisiatif untuk memberikan tanggapan atau pendapat serta mengungkapkan gagasan atau tanggapan secara antisipatif tidak secara empiris tidak relevan dalam pengukuran sikap komunikatif berbasis jejaring sosial facebook.
17
c. Reliabilitas instrumen Reliabilitas adalah tingkat ketetapan suatu instrumen mengukur apa yang harus diukur. Berdasarkan hasil pengujian instrumen asessesmen karakter kritis dan komunikatif memiliki relibialitas r11 0,75 dan r11 0,65. Menurut Guilford (1956) kategori koefisien reliabilitas r11 0,60 < r11 0,80 adalah memiliki reliabilitas tinggi. Dengan demikian pengunaan skala sebanyak 4 poin sudah memadai dan menghasilkan instrumen assessmen karakter kritis dan komunikatif berbasis jejaring sosial facebook secara tepat. Banyak skala berpengaruh terhadap reliabilitas, dikemukakan oleh Putrawan (1985), bahwa penggunaan 2 atau 3 poin kategori skala berdasarkan pada kemampuan responden mendeskripsian skala bersangkutan. Sedangkan Benson (1991) menyatakan penggunaan skala Likert dengan 5 kategori skala sesuai dengan kemampuan responden. Martin (1978) menyebutkan bahwa koefisien reliabilitas akan turun bila kategori penskalaan menjadi kecil. Dia menyimpulkan bahwa penskalaan mempengaruhi koefisien reliabilitas. Lahman dan Hulbert (1972) menyebutkan bila pengukuran difokuskan pada hasil atau skor kelompok, maka penggunaan 2 atau 3 kategori skala sudah cukup, namun bila peneliti tertarik pada pengukuran kecenderungan dan perilaku individu, disarankan untuk menggunakan 5 sampai 7 skala. Reliabilitas pada pengujian instrumen ini didasarkan pada item-item yang telah valid artinya skor item-item yang sudah valid secara empiris yang digunakan untuk mencari reliabilitas. Hasilnya meskipun instrumen mengalami pengurangan item-item ternyata masih tetap reliabel. Berarti item-item yang dikembangkan untuk mengukur karakter kritis dan komunikatif dapat mendeteksi aspek-aspek karakter tersebut. Namun demikian untuk meningkatkan reliabilitas instrumen assessmen karakter kritis dan komunikatif berbasis jejaring sosial facebook dapat diperinci aspek-aspeknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Black dan Champion (1998) bahwa semakin banyak butir intrumen penelitian maka reliabilitasnya dapat meningkat, asal penambahan butir tersebut mengacu pada pendiskripsian yang jelas terhadap variabel yang diukur. Demikian juga dengan Nitko (1983) yang berpendapat bila alat ukur ingin ditingkatkan reliabilitasnya, maka peneliti harus melakukan penambahan terhadap butir-butir pertanyaannya. Hasil penelitian ini juga mendukung temuan Crocker dan Algina (1976).
18
3. Efektifitas Implementasi Instrumen Assessmen Karakter Berbasis Jejaring Sosial Facebook Menurut Hobri (2003) untuk mengetahui bagaimana efektifitas dan kepraktisan dari produk hasil pengembangan maka dilihat dari penerapan model dilapangan secara baik, konsistensi produk dan feasibilitas. Hasil pengembangan instrumen assessmen karakter kritis dan komunikatif berbasis jejaring sosial facebook
yang diterapkan
dilapangan dilihat dari konsistensi dari 2 observer terhadap penggunaan instrumen assessmen. Hasil pengujian item-item dari instrumen dari 2 observer ditentukan dalam indeks konsistensi, artinya perbandingan item-item yang mendapat skor yang sama dari 2 observer dengan jumlah semua responden. Indeks konsistensi sebagaimana tertera dalam tabel 5 dan 6. Tabel 5. Indeks konsistensi implementasi instrumen assessmen karakter kritis berbasis jejaring sosial facebook. No 1
Aspek Clarity
2 3 4
Accuracy Relevance Depth
5 6
Breadth Logic
Item 1 2 3 4 5 7 8 9 10 11
Indeks Konsistensi 0.70 0.88 0,73 0,82 0,88 0,91 0,91 0,79 0,82 0,82
Kriteria Tinggi Sangat tinggi Tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi
Tabel 6. Indeks konsistensi implementasi instrumen assessmen karakter komunikatif berbasis jejaring sosial facebook. No 1
Aspek Transmisif
2 3 4 5
Interaktif Reseptif Dijestif Asimilatif
Item 1 2 4 7 9 10 11
Indeks Konsistensi 0,85 0,82 0,79 0,82 0,82 0,76 0,88
Kriteria Sangat tinggi Sangat tinggi Tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Tinggi Sangat tinggi
Berdasarkan tabel 5 dan 6 tersebut menunjukkan bahwa penerapan instrumen untuk mengukur karakter kritis dan komunikatif berbasis jejaring sosial facebook rata-
19
rata sangat tinggi. Dengan model instrumen assessmen karakter mudah digunakan oleh guru dan tidak menimbulkan interpretasi yang beragam. Berdasarkan hasil wawancara terhadap guru dalam menggunakan instrumen assessmen karakter kritis dan komunikatif berbasis jejaring sosial facebook item-item dalam instrumen mudah dipahami sehingga mudah dalam penilaian. Hal ini juga berkontribusi dalam menentukan tingginya tingkat indeks konsistensi. Implementasi instrumen assessmen karakter kritis dan komunikatif berbasis jejaring sosial facebook memiliki kelebihan yaitu dapat dilakukan pada waktu yang lebih longgar sesuai dengan waktu longgar guru, tidak terbatas tempat karena facebook dapat diakses diberbagai tempat. Rata-rata guru untuk meng-assess karakter kritis dan komunikatif berbasis jejaring sosial facebook dalam waktu yang cepat. Dengan demikian instrumen assessmen karakter kritis dan komunikatif berbasis jejaring sosial facebook memiliki kepraktisan dalam penggunaanya. Kekurangan instrumen assessmen karakter kritis dan komunikatif berbasis jejaring sosial facebook yang pertama adalah dari segi biaya, karena untuk mengakses internet dalam rangka meng-assess karakter kritis dan komunikatif berbasis jejaring sosial facebook diperlukan jaringan internet. Hal ini tidak menjadi masalah bagi sekolah yang telah memiliki fasilitas hotspot area. Kedua guru dalam meng-assess karakter kritis dan komunikatif berbasis jejaring sosial facebook tidak bisa melihat ekspresi siswa dan bahasa tubuh yang ditampilkan siswa, tetapi menyadari hal ini karena mereka terbiasa menilai tugas tertulis dari siswa. Bahkan guru merasa bahwa dengan instrumen asessmen
karakter kritis dan komunikatif berbasis jejaring sosial facebook siswa
mampu mengungkapkan dengan bahasa mereka sendiri sehingga menghindari plagiasi.
E. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan sebagai berikut. a. Jejaring sosial facebook dapat dikembangkan sebagai media untuk menilai
karakter kritis dan komunikatif. b. Aspek-aspek yang diukur dalam menilai karakter kritis meliputi clarity (kejelasan), accuracy (keakuratan, ketelitian, kesaksamaan), relevance (relevansi, keterkaitan),
20
depth (kedalaman), breadth (keluasaan), logic (logis) memiliki reliabilitas 0,75 dan validitas rata-rata 0,6. c. Aspek-aspek yang diukur dalam menilai karakter komunikatif meliputi transmisif,
interaktif, reseptif, dijestif dan asimilatif memiliki reliabilitas 0,65 dan validitas 0,60. 2. Saran Berdasarkan temuan dan kesimpulan di atas, dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut : a. Instrumen
penelitian
dapat
lagi
dikembangkan
item-itemnay
untuk
meningkatkan reliabilitas. b. Item-item yang tidak valid seperti keakuratan dapat dikembangkan dengan mengkontruksi indikator sesuai karakteristik pernyataan dalam facebook. c. Perlu disiapkan item instrumen sebanyak-banyaknya dengan skala yang lebih panjang, tetapi tetap berada pada batas dimensi dan indikator dari variabel yang diukur, sebab berdasarkan pengalaman dengan item instrumen sejumlah tersebut indeks koefisien validitas berkisar 0,60 dan reliabilitas dapat bergerak antara 0,70.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2002. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Ed. Revisi). Jakarta: Bumi Aksara. Hobri, 2003. Metodologi Penelitian Pengembangan (Development Research). Word Editor. Lehmann. D., & Hulbert, J. 1972. “Are three-point scale always good enough?” Journal of marketing research. 9. 444-446. Martin, W. S. 1978. “The effect of scaling on the correlation coefficient: Additional considerations”. Journal of marketing research. 15. 304-306. Marzano, R.J, et al. 1988. Dimensions of Thinking: A frame work for curriculum and instruction. Alexandria, Virginia USA: Association for Supervision and Curriculum Development.
21
National Research Council, 1996. National Science Education Standards. Washington, Dc. National Academy Press. Putrawan, I M. 1985. “A comparasion of two-scale and five-scale” Paper for test construction class. New York: State University of New York at Albany. Unpublished Rusilowati, A. 2006. Ketidaktepatan Analisis Validitas Instrumen dalam Penelitian Pendidikan. Makalah Seminar Nasional :Implementasi Pendidikan MIPA Berbasis KTSP dan Pengembangan untuk Meningkatkan Sumber Daya Manusia. Rustaman, N.Y. 2011. Standar Penilaian http://www.wikipedia.com [online].
IPA.
tersedia
dalam
Santyasa, I.W. 2004. Model Problem Solving dan Reasoning Sebagai alternatif Pembelajaran Inovatif (Makalah). Disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia V. IKIP Negeri Singaraja. Syaodih, N.S. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Wikipedia. Facebook. tersedia dalam http://www.wikipedia/facebook.com. [online]. Zainul, A. 2001. Alternative Assessment. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Depdiknas .
22