PENGEMBANGAN ENERGI ALTERNATIF DALAM MENINGKATKAN KINERJA UMKM
Editor : Latif Adam
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 2009
1
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd 1
6/22/2010 6:28:07 PM
©2009 Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Pusat Penelitian Ekonomi (LIPI)
KATALOG DALAM TERBITAN PUSAT DOKUMENTASI DAN INFORMASI ILMIAH LIPI
Pengembangan Energi Alternatif Dalam Meningkatkan Kinerja UMKM/ editor Latif Adam - [Jakarta] : Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2009.
i-x + 137 hlm: 15 cm x 21 cm
338 ISBN : 978-602-8659-16-1
Penerbit: LIPI Press, anggota Ikapi Pusat Penelitian Ekonomi (LIPI) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Widya Graha Lt. 4 - 5 Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta 12710 Telp: 021-5207120 Fax: 021-5262139
2
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd 2
6/22/2010 6:28:11 PM
KATA PENGANTAR
Laporan penelitian ini ditulis sebagai bagian dari kegiatan yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI). Semula penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui peranan dan prospek pemanfaatan energi alternatif dalam meningkatkan efisiensi dan kinerja usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pengolahan bahan makanan. Namun demikian, terdapat ketidaksesuaian diantara data/informasi sekunder yang pertama kali diperoleh dengan kenyataan lapangan. Artinya, beberapa jenis energi alternatif yang telah berkembang baru dimanfaatkan sebatas untuk mendukung kegiatan rumah tangga, dan belum secara komersial dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan komersial UMKM. Berkenaan dengan permasalahan di atas, terdapat beberapa perubahan didalam penelitian yang dilakukan. Analisis ekonomi pengembangan energi alternatif yang tadinya akan terfokus ke arah UMKM, terpaksa di ubah menjadi ke arah rumah tangga. Demikian halnya, beberapa tujuan, sasaran, dan metodologi penelitian tidak bisa dioperasionalkan karena perbedaan data/informasi sekunder dengan kenyataan di lapangan. Mengadopsi perkembangan di lapangan, tujuan penelitian mengalami penyesuaian sebagai berikut. Pertama, menganalisis seberapa besar peran energi alternatif dalam menggantikan energi konvensional dalam kegiatan domestik rumah tangga. Kedua, membuat pemetaan (mapping) energi alternatif yang bisa dikembangkan di dua daerah penelitian dengan mempertimbangkan potensi dan keunggulan tiap-tiap daerah untuk mendukung peningkatan usaha produktif. Ketiga, menganalisis kebijakan pemerintah daerah di dua
i
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec1:i
6/22/2010 6:28:11 PM
daerah penelitian dalam menggalakkan pemanfaatan energi alternatif yang sesuai dengan karakteristik dan potensi tiap-tiap daerah dalam mendukung peningkatan kinerja usaha produktif. Penyusunan laporan ini tidak akan bisa berjalan sebagaimana mestinya tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak, baik instansi pemerintah ataupun swasta. Karena itu, pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan buku ini, khsusunya kepada Departemen ESDM dan semua dinas yang ada di lingkungan Pemda Jawa Barat dan Lampung. Harapan kami adalah semoga laporan ini memberikan sumbangsih terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan dapat dimanfaatkan secara maksimal sebagai dasar didalam menyusun kebijakan pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif. Laporan ini telah diuji melalui berbagai tahapan proses penyaringan kualitas yang panjang dan sangat ketat dalam bentuk diskusi, seminar, dan pengeditan oleh koordinator. Karena itu, laporan ini bisa dipertanggung jawabkan secara akademik. Namun demikian, kami menyadari bahwa laporan ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Karena itu, kami mengharapkan adanya masukan berupa kritik dan saran yang bersifat konstruktif guna menyempurnakan laporan ini pada masa yang akan datang.
Jakarta, Desember 2009 Tim Peneliti
ii
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec1:ii
6/22/2010 6:28:11 PM
ABSTRAK
Alokasi energi baik bahan bakar maupun listrik dalam proses produksi UMKM bisa mencapai 50% dari total biaya produksi. Hal ini menunjukan bahwa energi alternatif dapat membantu UMKM untuk meningkatkan kinerjanya. Oleh karena itu, studi ini berujuan untuk menganalisis sejauh mana energi alternatif dikembangkan dan dimanfaatkan oleh UMKM untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensinya. Sayangnya, tidak tersedia informasi yang mengindikasikan bahwa energi alternatif telah digunakan oleh UMKM di dua lokasi penelitian. Oleh karena itu, sebagai alternatifnya studi ini lebih fokus pada pemanfaatan energy alternatif oleh rumah tangga dibandingkan oleh UMKM. Studi ini menunjukkan bahwa pengembangan energi alternatif di Jawa Barat dan Lampung relatif stagnan yang disebabkan oleh rendahnya komitmen dari pemerintah termasuk pemerintah daerah, pemerintah daerah di Jawa Barat dan Lampung yang tidak memiliki strategi aplikatif tentang bagaimana mengakslerasikan pemanfaatan energ alternatif. Demikian pula dengan rendahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah atau antar pemerintah kabupaten/kota. Pada gilirannya hal ini menyebabnkan masyarakat menggunakan energi alternatif dalam jumlah yang terbatas dan lebih lanjut mereka tidak dapat menikmati manfaat ekonomis dari penggunaan energi alternatif yang telah mereka kembangkan sendiri. Studi ini merekomendasikan pemerintah untuk menganbil beberapa langkah strategis dalam rangka meningkatkan pemanfaatan energi alternatif: • Membangun kebijakan energi yang komperehensif, meliputi berbagai sektor dan pengguna yang didasarkan pada jenis energi yang
iii
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec1:iii
6/22/2010 6:28:12 PM
digunakan untuk menghindari kesamaan dalam implementasi energi disetiap komunitas. Kebijakan ini akan membawa pada upaya mencapai ketahanan energi. •
Membangun pasar untuk energy baru, terutama bagi energi terbarukan. Identifikasi dibutuhkan untuk membuat langkah yang tepat dan strategis. Lebih lanjut, pengembangan energi terbarukan harus mempertimbangkan interseksinya dengan energi konvensional untuk membuat padar kompetitif bagi setiap jenis energi. Daya saing tidak hanya dibangun atas dasar harga tapi juga mempertimbangkan aspek lain seperti lokasi, sumber daya dan keunggulanya. Disisi lain, utuk menbangun pasar bagi energi terbarukan dibutuhkan komponen penunjang lainnya seperti pengembangan teknologi, dan kebijakan pndukung seperti pendampingan teknis untuk emaintain ketersediaan dan keberlangsungan teknologi energi terbarukan, serta kebijakan impor sparepart yang dimudahkan.
•
Meningkatkan kepahaman masyarakat akan energi bersih. Upaya ini dapat dicapai melalui kempanye berkelanjutan untuk merubah paradigma dna perilaku masyarakat atas energi yang sehat dan bersih.
iv
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec1:iv
6/22/2010 6:28:12 PM
ABSTRACT The Development of Alternative Energy to Improve the Performance of SMEs SMEs spend more than 50% of their production cost to consume energy (oil and electricity). This suggests that the development of alternative energy could help SMEs to improve their performance. Thus, this study is aimed to examine to what extent have alternative energy developed and harnessed by SMEs to improve their productivity and efficiency. Unfortunately, there is no information available which indicates that alternative energy has been used by SMEs in the two research location. Alternatively, the study paid more focus on household rather than on SMEs. The study indicates that the development of alternative energy in West Java and Lampung remained stagnant owing to lack of commitment from the government, including local government. Local governments in both West Java and Lampung have not had applicable strategy of how to accelerate the promotion of alternative energy. Similarly, coordination either between local and central government or among different local/ regional government agencies is relatively weak. Accordingly, community only used alternative energy in a very limited amount, and moreover they could not enjoy economic benefits from the alternative energy that they have developed. The study suggest that the government should take several action to promote alternative energy successfully •
Building a comprehensive energy policy, covers many sectors and users based on the energy type to avoid similarities of implementatioon of energy for each community. This policy should lead to efforts of achievieng energy security.
v
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec1:v
6/22/2010 6:28:12 PM
•
Creating market for new energy, especially renewable energy. Identification is required to build precise and strategic steps. Moreover, development of renewable energy should consider its intersection with conventional energy to make the market competitive for each type of energy. Competitiveness will be built not only based on the price but also considering other aspects, such as location, resources or endowment. On the other side, to a create market for renewable energy supporting elements need to develop, such as technology for renewable energy and also policies supporting it like technical assistence for maintaining renewable technologies, or impor for spareparts.
•
Increasing awareness for clean energy. This effrot could be maintain through continous campaign to change community behaviour and paradigm towards clean energy.
vi
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec1:vi
6/22/2010 6:28:12 PM
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................ i ABSTRAK ....................................................................................... iii ABSTRACT ..................................................................................... v DAFTAR ISI ..................................................................................... vii DAFTAR TABEL .............................................................................. ix DAFTAR GAMBAR ......................................................................... x BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................... Oleh: Tim Peneliti 1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1.2 Permasalahan ........................................................................... 1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian............................................ 1.4 Hipotesis ..................................................................................... 1.5 Hambatan Penelitian ............................................................ 1.6 Prosedur dan Metodologi ................................................... Daftar Pustaka ........................................................................ BAB 2 PENGEMBANGAN ENERGI ALTERNATIF DALAM KONTEKS KETAHANAN ENERGI NASIONAL .................................. Oleh: Putri Irma Yuniarti 2.1 Latar Belakang ........................................................................ 2.2 Konsep Ketahanan Energi.................................................... 2.3 Portofolio Energi Nasional .................................................. 2.4 Aksesabilitas dan Kestabilan Harga Energi di Indonesia .. 2.5 Kesimpulan................................................................................ Daftar Pustaka ..........................................................................
1 1 3 4 5 5 7 12
15 15 16 19 33 35 37
BAB 3 PROSPEK PENGEMBANGAN ENERGI ALTERNATIF DI JAWA BARAT DAN LAMPUNG..................................... 39 Oleh: Latif Adam 3.1 Latar Belakang ........................................................................ 39
vii
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec1:vii
6/22/2010 6:28:12 PM
3.2 Pemetaan Energi Alternatif di Jawa Barat dan Lampung 3.3 Kendala dan Peluang Pemanfaatan Energi Alternatif: Perspektif Stakeholders ....................................................... 3.4 Kebijakan Pemerintah ........................................................... 3.5 Kesimpulan................................................................................ Daftar Pustaka ..........................................................................
41 47 55 62 65
BAB 4 KETERKAITAN ANTARA PROGRAM PENGEMBANGAN ENERGI ALTERNATIF DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT .................................................................. 67 Oleh: Siwage Dharma Negara 4.1 Pendahuluan ............................................................................ 67 4.2 Program Pengembangan Energi Alternatif................... 71 4.3 Program Pengembangan Biofuel ..................................... 73 4.4 Energi Alternatif lainnya....................................................... 81 4.5 Temuan Lapangan ................................................................. 84 4.6 Rekomendasi Kebijakan ....................................................... 90 Daftar Pustaka.......................................................................... 92 BAB 5 STRATEGI PENGEMBANGAN ENERGI BERBASIS MASYARAKAT: STUDI KASUS PROGRAM DESA MANDIRI ENERGI (DME).................................................................... Oleh: Esta Lestari 5.1 Pendahluan .............................................................................. 5.2 Kebijakan Pengembangan Energi Alternatif bagi Mayarakat: Studi Kasus DME .............................................. 5.3 Pengalaman negara lain ..................................................... 5.4 Rekomendasi Kebijakan dan Strategi Pengembangan Energi Alternatif bagi Masyarakat .................................... Daftar Pustaka..........................................................................
93 93 96 114 119 126
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................. 129 Oleh: Tim Peneliti 6.1 Kesimpulan............................................................................... 129 6.2 Saran ........................................................................................ 135
viii
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec1:viii
6/22/2010 6:28:12 PM
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kebijakan Energi Secara Umum ................................................ Tabel 2.2 Klasifikasi Sumber Energi ......................................................... Tabel 2.3 Penawaran Energi Primer (BOE) ................................................. Tabel 2.4 Persentase Penawaran Energi ................................................ Tabel 2.5 Cadangan Minyak Bumi Indonesia ....................................... Tabel 2.6 Penawaran dan Permintaan Minyak Mentah Indonesia Tabel 2.7 Cadangan Gas Alam Indonesia) ................................................ Tabel 2.8 Penawaran LPG di Indonesia (dalam ton) .......................... Tabel 2.9 Penawaran Batubara Indonesia (ton) ................................... Tabel 2.10 Ekspor Batubara Indonesia....................................................... Tabel 2.11 Share Konsumsi Energi Final Menurut Sektor (%) ........... Tabel 2.12 Konsumsi Energi Final Berdasarkan Tipe Energi (Ribu BOE). Tabel 2.13 Share Konsumsi Energi Final (%)......................................................... Tabel 3.1 Peta Potensi Energi Alternatif di Propinsi Lampung ....... Tabel 3.2 Struktur Konsumsi Energi di Indonesia................................ Tabel 3.3 Strategi dan Kebijakan Pengembangan Energi Alternatif di Jawa Barat dan Lampung..................................................... Tabel 4.1 Potensi dan Kapasitas Terpasang Sumber Energi Alternatif di Indonesia................................................................ Tabel 4.2 Roadmap Pengembangan Biofuel Nasional ...................... Tabel 4.3 Pencapaian Program BBN 2007 .............................................. Tabel 5.1. Indikator Utama Penggunaan Energi Nasional Tahun 2000-2007 ....................................................................................... Tabel 5.2 Perbandingan Prosentase Konsumsi Energi Perjenis terhadap Total Konsumsi Final Nasional Tahun 20002005(%) .................................................................................................................. Tabel 5.3 Konsumsi Energi Final Per Jenis dan Per sektor tahun 200-2007 ........................................................................................
18 20 21 22 24 25 27 27 29 30 31 32 32 45 50 57 70 77 79 97 98 102
ix
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec1:ix
6/22/2010 6:28:12 PM
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran .............................................................. Gambar 2.1 Penerimaan Negara Sektor ESDM ..................................... Gambar 2.2 Produksi dan Konsumsi Minyak Indonesia, 1992-2005 ................................................................................. Gambar 2.3 Investasi Sektor ESDM ........................................................... Gambar 3.1 Peta Potensi Energi Alternatif di Propinsi Lampung .. Gambar 3.2 Peta Potensi Energi Migas dan Panas Bumi di Jawa Barat .................................................................................. Gambar 3.3 Peta Prospek Area Subang PT Pertamina ...................... Gambar 4.1 Target Pengembangan Energi Alternatif........................ Gambar 4.2 Bahan Baku Biofuel ................................................................ Gambar 4.3 Perkembangan Harga Komoditas Internasional .........
8 21 23 33 43 46 46 71 74 75
x
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec1:x
6/22/2010 6:28:12 PM
Pendahuluan
BAB 1 PENDAHULUAN Tim Peneliti
1.1 Latar Belakang Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Ia mampu berperan tidak saja dalam penciptaan output dan kesempatan kerja (Berry et al., 2001; Firdausy, 2005), tetapi juga memberikan kontribusi yang semakin meningkat terhadap pertumbuhan ekspor (Sandee dan van Diermen, 2004). Lebih dari itu, di Indonesia, UMKM tumbuh dan berkembang di hampir semua propinsi (Firdausy, 2005). Namun demikian, meskipun mempunyai peran penting, performa dan kinerja UMKM jauh tertinggal dibandingkan dengan usaha besar. Misalnya, tingkat efisiensi dan produktivitas UMKM jauh lebih rendah dibandingkan dengan usaha besar (Berry et al., 2001, Adam, 2007). Demikian halnya, kemampuan teknologi, kapasitas manajerial, dan kemampuan menciptakan serta memperluas pasar UMKM relatif terbelakang daripada usaha besar (Adam, 2007). Agar Indonesia memperoleh lebih banyak manfaat dari keberadaan UMKM, maka upaya untuk mengembangkan UMKM harus dijadikan salah satu agenda penting didalam strategi pembangunan nasional. Agenda pengembangan UMKM itu harus secara jelas dan fokus diarahkan untuk meningkatkan keunggulan yang dimiliki UMKM dan mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Salah satu keunggulan UMKM yang penting untuk dikembangkan adalah fleksibilitasnya dalam berproduksi dan kemampuannya untuk menghasilkan produk-produk yang sangat bervariasi. Dalam kaitan ini, salah satu bidang usaha UMKM yang paling potensial untuk dikembangkan adalah usaha pengolahan bahan makanan.
1
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:1
6/22/2010 6:28:13 PM
Tim Peneliti
Ada beberapa alasan mengapa UMKM pengolahan bahan makanan memiliki prospek yang cukup bagus untuk dikembangkan lebih lanjut. Pertama, output yang bisa dihasilkan UMKM pengolahan bahan makanan memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap total output industri bahan makanan (ISIC 311 dan 312), sekitar 69,5%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi output yang diberikan usaha besar (Hill, 2002). Selain itu, dari sisi permintaan, UMKM sektor ini akan menghadapi permintaan yang berkelanjutan karena karakter produknya yang bisa dikategorikan sebagai necessary consumer goods yang akan terus dikonsumsi. Demikian pula, dari sisi penawaran, UMKM pengolahan bahan makanan akan memiliki keunggulan dari penyediaan bahan baku yang banyak menggunakan sumber daya sekitar. Meskipun demikian, UMKM pengolahan bahan makanan juga menghadapi beberapa permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan stabilitas produksi. Misalnya, beberapa penelitian yang sebelumnya telah dilakukan P2E-LIPI (e.g. Ermawati, 2007; Lestari, 2007; Purwanto, 2007; Adam dan Lestari, 2008) menunjukkan bahwa UMKM pengolahan bahan makanan memiliki ketergantungan yang sangat tinggi didalam menggunakan energi, khususnya BBM. Sebagaimana dikemukakan Lestari (2007), biaya BBM didalam struktur biaya UMKM pengolahan bahan makanan di Semarang, Purwokerto dan Bengkulu mencapai lebih dari 50% dari total biaya produksi. Ketergantungan UMKM pengolahan bahan makanan terhadap BBM membuat mereka sangat rentan terhadap fluktuasi harga BBM di pasaran. Misalnya, fluktuasi harga BBM pada tahun 2005 dan 2007 yang memaksa pemerintah menaikan harga jual BBM membuat banyak UMKM pengolahan bahan makanan terpaksa gulung tikar atau mengurangi secara signifikan kapasitas produksinya (Lestari, 2007; Purwanto, 2007). Karena itu, apabila UMKM pengolahan bahan
2
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:2
6/22/2010 6:28:13 PM
Pendahuluan
makanan masih tetap tergantung pada BBM, maka mereka akan tetap berada pada posisi yang sangat rentan terhadap fluktuasi harga BBM di pasaran. Berdasarkan paparan di atas, penelitian yang ditujukan untuk mengidentifikasi energi alternatif yang bisa dimanfaatkan oleh UMKM sebagai substitusi BBM sangat penting dan mendesak untuk segera dilakukan. Argumentasinya tidak saja terkait dengan upaya untuk mengkondisikan UMKM agar tidak terlalu tergantung terhadap BBM yang harganya di pasaran berfluktuasi, tetapi juga untuk meningkatkan efisiensi UMKM dengan menggunakan energi yang dapat dimanfaatkan dari wilayah sekitar dengan tetap memperhatikan aspek-aspek lingkungan hidup. Dengan memanfaatkan energi alternatif yang tersedia di sekitar wilayah mereka, maka setiap UMKM mungkin akan memiliki keunggulan dan keunikan sendiri dalam penggunaan energi mereka yang dapat berbeda-beda disetiap wilayah tergantung pada endowment factors wilayah yang bersangkutan. Lebih dari itu, biaya yang harus dipikul UMKM untuk menjalankan proses produksi kemungkinan juga akan menurun karena mereka bisa menggunakan energi dengan biaya yang murah tanpa adanya biaya distribusi. Pada tataran makro, penggunaan energi alternatif yang didasarkan pada keunggulan wilayah diharapkan akan menurunkan ketergantungan perekonomian terhadap BBM sejalan dengan kebijakan pemerintah saat ini serta membantu dalam proses pemerataan pembangunan antar wilayah.
1.2 Permasalahan Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi energi alternatif yang dapat dikembangkan untuk mendukung peningkatan kinerja UMKM pengolahan bahan makanan di dua lokasi penelitian. Secara spesifik, permasalahan yang ingin dijawab oleh penelitian ini adalah:
3
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:3
6/22/2010 6:28:13 PM
Tim Peneliti
1.
Seberapa besar peran energi dalam mempengaruhi proses produksi UMKM pengolahan bahan makanan selama ini?
2.
Bagaimana peluang pemanfaatan sumber-sumber energi alternatif dalam kegiatan UMKM pengolahan bahan makanan?
3.
Sumber energi alternatif apa saja yang feasible (layak) untuk dipergunakan oleh UMKM pengolahan bahan makanan di dua daerah penelitian dengan mempertimbangkan potensi dan keunggulan masing-masing daerah?
4.
Seberapa besar efisiensi atau penghematan yang dapat dilakukan dengan menggunakan energi alternatif dibandingkan dengan menggunakan BBM?
5.
Bagaimana peran pemerintah di dua daerah penelitian dalam memasyarakatkan energi alternatif yang bisa dimanfaatkan UMKM pengolahan bahan makanan di daerahnya?
1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian Dalam rangka menjawab rumusan permasalahan diatas, tujuan dan sasaran dari penelitian ini adalah: 1.
Menganalisis seberapa besar peran energi dalam mempengaruhi proses produksi UMKM pengolahan bahan makanan.
2.
Mengkaji bagaimana prospek pemanfaatan energi alternatif dalam mendukung kegiatan UMKM pengolahan bahan makanan.
3.
Membuat pemetaan (mapping) energi alternatif yang bisa dikembangkan di dua daerah penelitian dengan mempertimbangkan potensi dan keunggulan tiap-tiap daerah
4
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:4
6/22/2010 6:28:13 PM
Pendahuluan
untuk mendukung peningkatan kinerja UMKM pengolahan bahan makanan. 4.
Menganalisis kebijakan pemerintah daerah di dua daerah penelitian dalam menggalakkan pemanfaatan energi alternatif yang sesuai dengan karakteristik dan potensi tiap-tiap daerah dalam mendukung peningkatan kinerja UMKM pengolahan bahan makanan.
1.4 Hipotesis Penelitian ini bersifat eksploratif. Karena itu, penelitian ini tidak mengadopsi pendekatan deduktif dimana hipotesis selalu diformulasikan sebelum pengumpulan data untuk kemudian diuji dengan data yang berhasil dikumpulkan. Sebaliknya, penelitian ini lebih mengandalkan pendekatan induktif untuk mencoba mengidentifikasi dan menganalisis berbagai fenomena yang ditemui di lapangan. Namun demikian, walaupun menggunakan pendekatan induktif, penelitian ini tetap bersandar tidak hanya kepada konsep teori yang solid, tetapi juga temuan-temuan penelitian sebelumnya.
1.5 Hambatan Penelitian Terdapat ketidaksesuaian diantara data/informasi sekunder yang pertama kali diperoleh dengan kenyataan lapangan. Misalnya, pertamatama diperoleh informasi bahwa energi alternatif telah digunakan secara komersil oleh UKM di beberapa daerah, termasuk di Jawa Barat dan Lampung. Namun demikian, di lapangan (juga informasi dari beberapa narasumber di daerah) ternyata diketahui bahwa energi alternatif (micro-hydro, biomasa, biodiesel/jarak, bioetanol/singkong) belum digunakan secara komersil oleh UKM. Energi alternatif, seperti bio-gas
5
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:5
6/22/2010 6:28:13 PM
Tim Peneliti
(di Desa Haur Gombong, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat) ataupun bio-diesel (di Desa Way Isem, Kabupaten Lampung Utara, Lampung) bari dimanfaatkan sebatas untuk memenuhi keperluan rumah tangga. Berkenaan dengan permasalahan di atas, maka harus ada beberapa perubahan didalam penelitian yang dilakukan. Misalnya, analisis ekonomi pengembangan energi alternatif yang tadinya akan terfokus ke arah UMKM, terpaksa di ubah menjadi ke arah rumah tangga. Demikian halnya, beberapa tujuan, sasaran, dan metodologi penelitian tidak bisa dioperasionalkan karena perbedaan data/informasi sekunder dengan kenyataan di lapangan. Mengadopsi perkembangan di lapangan, maka perlu penyesuaian tujuan penelitian. Tujuan Penelitian yang telah disesuaikan adalah: 1.
Menganalisis seberapa besar peran energi alternatif dalam menggantikan energi konvensional dalam kegiatan domestik rumah tangga.
2.
Membuat pemetaan (mapping) energi alternatif yang bisa dikembangkan di dua daerah penelitian dengan mempertimbangkan potensi dan keunggulan tiap-tiap daerah untuk mendukung peningkatan usaha produktif.
3.
Menganalisis kebijakan pemerintah daerah di dua daerah penelitian dalam menggalakkan pemanfaatan energi alternatif yang sesuai dengan karakteristik dan potensi tiap-tiap daerah dalam mendukung peningkatan kinerja usaha produktif.
6
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:6
6/22/2010 6:28:13 PM
Pendahuluan
1.6 Prosedur dan Metodologi 1.6.1 Kerangka Pemikiran Untuk menjalankan kehidupan sosial-ekonominya, masyarakat memerlukan bahan bakar/sumber energi. Selama ini, sumber energi yang paling banyak dipergunakan oleh masayarakat adalah BBM (juga kayu bakar) yang secara umum memiliki beberapa keterbatasan, seperti persediannya yang semakin terbatas, dan harganya yang berfluktuasi serta semakin meningkat. Dengan semakin mahalnya harga BBM, maka hal itu akan meningkatkan biaya hidup, yang pada gilirannya akan mengurangi tingkat kesejahteraan. Pada umumnya, penggunaan BBM oleh masyarakat belum mencapai tingkat efisiensi yang optimal. Penggunaan BBM yang tidak efisien mendorong terjadinya pemborosan sumber daya, karena BBM sebenarnya merupakan salah satu jenis energi yang non-renewable. Selain itu, penggunaan BBM yang tidak efisien juga membawa dampak yang kurang menguntungkan lingkungan karena bisa menimbulkan polusi udara yang akan mengganggu kesehatan. Penelitian ini mencoba menemukan alternatif pemecahan permasalahan energi sehingga dapat diperoleh sumber energi yang efisien, ramah lingkungan dan berkesinambungan bagi masyarakat. Karena itu, kriteria yang harus dipenuhi dari sumber energi alternatif sebagai pengganti BBM adalah efisien, ramah lingkungan dan tersedia melimpah sehingga memenuhi aspek sustainable untuk digunakan. Secara diagramatik, kerangka pemikiran dari penelitian ini bisa dijelaskan oleh Gambar 1.1 sebagai berikut:
7
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:7
6/22/2010 6:28:13 PM
Tim Peneliti
Masyarakat
Pangan
BBM
Sandang
Permasalahan Inefisiensi Keterbatasan Harga
Sumber Energi Alternatif
Efisien
Ekonomis
Berkualitas
Mudah Didapat
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
1.6.2 Desain Penelitian Berdasarkan kerangka pikir di atas, tahapan analisis dari penelitian ini akan dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut: 1
Penentuan sumber energi alternatif Pada tahap ini peneliti mengidentifikasi sebanyak-banyaknya sumber energi alternatif yang memungkinkan untuk dapat digunakan oleh masyarakat dengan mempertimbangan karakteristik dan keunikan wilayah.
2.
Menghitung biaya perolehan Pada tahap ini peneliti menghitung biaya perolehan yang dikeluarkan untuk mendapatkan masing-masing sumber energi alternatif.
8
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:8
6/22/2010 6:28:13 PM
Pendahuluan
3.
Melakukan pengujian Pada tahap ini peneliti melakukan pengujian secara hyphotetical pada masing-masing sumber energi alternatif berkaitan dengan lama waktu pengolahan, kualitas produk, cita rasa serta dampak yang ditimbulkannya.
4.
Mengukur tingkat efisiensi ekonomis Setelah dilakukan pengujian peneliti melakukan pengukuran efisiensi yaitu dengan membandingkan antara biaya yang diperlukan dengan output yang dihasilkan pada masing-masing sumber energi alternatif, termasuk dengan mempertimbangkan waktu yang diperlukan untuk memasak.
5.
Melakukan analisis kualitatif Yaitu dengan memberikan analisis kualitatif yang berkaitan dengan kelebihan dan kekurangan pada masing-masing sumber energi alternatif.
1.6.3 Pendekatan Studi Studi ini menekankan pada pendekatan ekonomi dan pendekatan sosial budaya dengan tidak mengenyampingkan pendekatan politis khususnya pada tataran kebijakan energi nasional dan daerah. Pendekatan sosial budaya akan ditekankan pada keunggulan SDA suatu daerah yang didasarkan pada endowment factor dari daerah tersebut yang potensial untuk dikembangkan sebagai sumber energi alternatif. Selain dari kekayaan energi, pola perilaku dan dukungan institusi sosial dalam menggunakan suatu energi tertentu yang banyak dimiliki daerah akan mewarnai analisis dalam studi ini. Ekonomi politik akan difokuskan pada pengkajian dinamika kepentingan politik dalam
9
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:9
6/22/2010 6:28:14 PM
Tim Peneliti
proses pengambilan kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam peningkatan pemanfaatan energi alternatif sebagai suatu upaya untuk mengurangi ketergantungan pada BBM.
1.6.4 Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini secara umum adalah masyarakat dan pemangku kekuasaan yang mempengaruhi pengambilan kebijakan energi baik nasional maupun lokal. Lingkup studi terbagi menjadi dua, yaitu makro dan mikro. Dalam tataran makro, penelitian akan difokuskan pada hubungan langsung antara kebijakan pemanfaatan dan pengembangan energi alternatif dengan perubahan konsumsi masyarakat terhadap BBM dan energi alternatif. Sedangkan untuk tingkat mikro, penelitian akan difokuskan pada upaya yang telah dilakukan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif.
1.6.5 Kebutuhan, Sumber, dan Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dapat terbagai dua yaitu data primer dan sekunder. Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini akan berasal dari survey lapangan yang dilakukan pada kelompok masyarakat yang telah mencoba mengembangkan dan memanfaatkan energi alternatif. Data primer ini akan didapatkan dari in-depth interview dan FGD dengam beberapa kelompok masyarakat dan para pengambil keputusan. Data primer melalui in-depth interview dan FGD diperlukan untuk memetakan energi alternatif potensial dan mencari berbagai kemungkinan sumber energi alternatif bagi masyarakat. Lebih lanjut, data yang berasal dari indepth interview akan digunakan untuk menghitung biaya untuk memproduksi energi. Data kualitatif dari wawancara didapatkan dari nara sumber penelitian
10
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:10
6/22/2010 6:28:14 PM
Pendahuluan
yaitu, Bappenas, Pertamina, DESDM, Departemen Koperasi dan UKM dan instansi pemerintah lokal. Observasi juga akan dilakukan untuk mengetahui potensi dan kondisi serta permasalahan khususnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan energi dalam pengolahan bahan makanan. Selain itu data sekunder akan diperoleh dari berbagai publikasi pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah misalnya dari Badan Pusat Statistik akan dimanfaatkan sebagai kerangka acuan dalam analisis.
1.6.6 Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan lebih banyak menggunakan pendekatan yaitu kualitatif. Analisa kualitatif diturunkan dari data primer hasil in-depth interview pada intansi pemerintah yang dikaitkan dengan kebijakan pengembangan energi alternative. Selain itu, analisa kualitatif yang didapatkan dari masyarakat akan melihat bagaimana pola pengembangan dan pemanfaatan. Seluruh data tersebut akan didapatkan dari wawancara (lihat lampiran Panduan Wawancara).
1.6.7 Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di dua propinsi, Jawa Barat dan Lampung. Penentuan lokasi penelitian didasari oleh kenyataan bahwa di daerah bersangkutan terdapat potensi energi alternatif dan atau termasuk dalam propinsi yang sedang melaksanakan program pemerintah mengenai desa mandiri energi (DME). Misalnya di Jawa Barat, energi alternatif berupa biofuel, biomass dan micro hydro sedang digalakkan. Sedangkan di Lampung, pemanfaatan potensi biogass sangat mungkin untuk dikembangkan.
11
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:11
6/22/2010 6:28:14 PM
Tim Peneliti
DAFTAR PUSTAKA
Adam, 2007, “The Economic Role of Formal and Informal Inter-Firm Networks in the Development of Small and Medium Industrial Enterprises: Study of Symbiosis in the Indonesian Garment Industry”, Unpublished PhD Thesis, the University of Queensland, Brisbane. Adam, L., dan Lestari, E., 2008, “Ten Years of Reform: The Impact of an Increase in the Price of Oil on Welfare”, Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, Vol. 1, pp. 121-140 Berry, A., Rodriguez, E., and Sandee, H., 2001, “Small and Medium Enterprise Dynamics in Indonesia”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 37 No. 3, pp. 363-384 Ermawati, T., 2007, “Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap sektor Transportasi”, dalam Lestari, E., (ed.), Pengaruh Kebijakan Harga Energi terhadap Kegiatan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat, Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI, Jakarta, pp. 155-183 Firdausy, C., 2005, “Roles, Problems and Policies of the Indonesian Small and Medium Enterprises in Globalization”, dalam Tisdell, C. (ed.), Globalization and World Economic Policies: Effects and Policy Responses of Nations and their Grouping, Serials Publications, New Delhi, pp. 249-272 Hill, H., 2002, “Old Policies Challenges for a new Administration: SMEs in Indonesia”, dalam Harvie, C. and Lee, B.C. (eds.), The Role of SMEs in National Economies in East Asia, Edward Elgar, Cheltenham, pp. 158-180
12
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:12
6/22/2010 6:28:14 PM
Pendahuluan
Lestari, E., 2007, “Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Usaha Kecil Rumah Tangga”, dalam Lestari, E., (ed.), Pengaruh Kebijakan Harga Energi terhadap Kegiatan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat, Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI, Jakarta, pp. 185-220 Purwanto, 2007, “Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Kegiatan Ekonomi Nelayan”, dalam Lestari, E., (ed.), Pengaruh Kebijakan Harga Energi terhadap Kegiatan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat, Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI, Jakarta, pp. 111154 Sandee, H., and van Diermen, P., 2004, “Exports by Small and Mediun Sized Enterprises in Indonesia”, dalam Basri, M.C. and van der Eng, P. (eds.), Business in Indonesia New Challenges, Old Problems, Institute of Southeast Asian Studies Singapore, pp. 108-121
13
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:13
6/22/2010 6:28:14 PM
14
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:14
6/22/2010 6:28:14 PM
Pengembangan Energi Alternatif dalam Konteks Ketahanan Energi Nasional
BAB 2 PENGEMBANGAN ENERGI ALTERNATIF DALAM KONTEKS KETAHANAN ENERGI NASIONAL Putri Irma Yuniarti
2.1 Latar Belakang Energi memiliki peran yang cukup penting dalam perekonomian suatu negara. Peranan ini dapat dilihat dalam hubungannya dengan komponen ekonomi makro, seperti keuangan negara, ekspor, impor, dan neraca pembayaran. Karena itu, perubahan harga minyak bumi akan mempengaruhi kondisi perekonomian suatu negara. Di negara eksportir minyak bumi, kenaikan harga minyak bumi akan menaikkan nilai ekspornya, sedangkan di negara importir kenaikan harga minyak bumi akan mempengaruhi anggaran negara. Masalah energi juga sangat berkaitan dengan perkembangan politik di masing-masing negara di dunia, baik di negara-negara industri yang membutuhkan minyak bumi sebagai bahan bakar produksinya maupun di negara-negara produsen minyak bumi itu sendiri. Misalnya, pergerakan harga minyak bumi akan berpengaruh pada kondisi politik di negara-negara Timur Tengah, dan sebaliknya kondisi politik di negaranegara Timur Tengah juga akan berpengaruh pada pergerakan harga minyak bumi. Situasi politik mengakibatkan perubahan harga minyak, dan harga minyak akan berpengaruh pada gejolak politik. Keterkaitan yang cukup erat antara energi dengan kondisi politik maupun ekonomi suatu negara menyebabkan masalah energi sekarang ini menjadi perhatian utama oleh para pengambil kebijakan di seluruh dunia termasuk Indonesia.
15
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:15
6/22/2010 6:28:14 PM
Putri Irma Yuniarti
Di Indonesia, pada tahun 1981 sektor migas mampu menyumbangkan 62% dari total pendapatan negara, namun dalam APBN-P 2008 (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008), kontribusi sektor migas dalam bentuk penerimaan pajak penghasilan dan penerimaan negara bukan pajak menurun menjadi sekitar 28% dari total penerimaan negara. Melihat pada kenyataan ini, ancaman akan semakin tingginya ketergantungan impor minyak sebetulnya sudah di depan mata. Kondisi ini menyebabkan Indonesia dalam posisi yang sangat sulit jika terjadi gejolak harga energi di pasar dunia. Bahkan sejak tahun 2002 sampai sekarang, Indonesia sudah berada dalam posisi net oil importer dengan tingkat defisit yang semakin membesar. (Sambodo, 2008). Bab ini akan membahas mengenai konsep ketahanan energi dan portofolio energi nasional. Struktur organisasi bab ini adalah; Sub-bab 3.2 membahas mengenai konsep ketahanan energi. Subbab 3.3 menganalisis mengenai portofolio energi nasional. Sub-bab 3.4 mendiskusikan aksesibilitas dan stabilitas harga energi. Sub-bab 5 menarik kesimpulan dan memberikan saran dari temuan-temuan yang dikemukakan pada bagian-bagian sebelumnya.
2.2 Konsep Ketahanan Energi Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi menuntut ketersediaan energi yang mencukupi. Ketidaktersedianya energi yang mencukupi akan mengancam ketahanan energi nasional. Untuk menjamin kecukupan energi nasional, Indonesia perlu memiliki konsep yang jelas mengenai ketahanan energi, yaitu menjamin ketersediaan, aksesibilitas dan kestabilan harga energi. Menurut Undang – Undang Dasar 1945, kepemilikan sumber daya energi Indonesia dimiliki oleh negara. Pasal 33 ayat 2 menyebutkan
16
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:16
6/22/2010 6:28:14 PM
Pengembangan Energi Alternatif dalam Konteks Ketahanan Energi Nasional
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Ayat 3 menyebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Sumber energi yang merupakan kekayaan alam dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah namun dalam pengelolaannya bisa saja diselenggarakan bersama pihak swasta (private). Merujuk pada Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 20052025, secara nyata disebutkan bahwa UUD 1945 tepatnya pasal 33 menjadi pijakan utama dalam perumusan kebijakan energi nasional berikut turunan yang menyertainya. Sasaran penting dari kebijakan sektor energi sebagaimana dalam blueprint tersebut yaitu tercapainya ketahanan energi nasional melalui tiga elemen utama yaitu: 1.
tercapainya nilai elastisitas energi yang kurang dari 1 (satu),
2.
terwujudnya komposisi energi mix yang lebih optimal,
3.
terpenuhinya pasokan energi fosil dengan mengurangi ekspor secara bertahap.
Sasaran lainnya yang juga penting untuk dicapai yaitu tersedianya jaringan infrastruktur energi yang meliputi minyak, gas, listrik dan batubara secara baik serta tercapainya struktur harga energi yang sesuai dengan harga keekonomiannya. Melihat dimensi ketahanan energi, dapat disimpulkan bahwa keduanya merupakan perpaduan dari aspek permintaan dan penawaran. Bahkan dalam jangka pendek, pengelolaan sisi permintaan energi (demand side management) merupakan aspek yang sangat penting bagi terciptanya ketahanan energi (Sambodo, 2008). Kebijakan energi nasional secara umum diatur dalam beberapa regulasi, antara lain Undang – Undang No. 30 tahun 2007 tentang energi dan Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 tentang kebijakan
17
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:17
6/22/2010 6:28:15 PM
Putri Irma Yuniarti
energi nasional. Tabel 3.1 menjelaskan kebijakan energi secara umum, kaitannya dengan harga energi, ketahanan energi, dan energi baru dan terbarukan. Tabel 2.1 Kebijakan Energi Secara Umum j
No.
Regulasi
1.
Undang – Undang No. 30 Tahun 2007 Tentang Energi
2.
Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional
Harga Energi (Pendapatan Negara) 1. Harga energi ditentukan berdasarkan harga keekonomian (biaya produksi per unit energi termasuk biaya lingkungan ditamah margin). 2. Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana subsidi untuk masyarakat tidak mampu.
1. Mengarahkan pada harga keekonomian energi, dengan tetap mempertimbangkan bantuan bagi rumah tangga miskin dalam waktu tertentu, dan memberikan dampak optimum terhadap diversifikasi energi.
g
Point Penting Ketahanan Energi 1. Pemerintah wajib menyediakan cadangan penyangga energi yang diatur lebih lanjut oleh Dewan Energi Nasional.
1. Kebijakan energi nasional bertujuan untuk mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. 2. Di tahun 2025 elastisitas energi < 1. (Elastisitas energi yaitu rasio antara tingkat pertumbuhan konsumsi energi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. 3. Perlunya kebijakan pendukung dalam hal pengembangan infrastruktur energi dan peningkatan akses konsumen terhadap energi, kemitraan pemerintah dan dunia usaha, pemberdayaan masyarakat, penelitian dan pengembangan.
Energi Baru dan Terbarukan 1. Sumber daya energi baru dan terbarukan diatur oleh ltern dan dimanfaatkan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. 2. Penyediaan energi baru dan terbarukan wajib ditingkatkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. 3. Penyediaan sumber energi dari energi baru dan terbarukan oleh badan usaha dan perseorangan dapat memperoleh kemudahan/insentif dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 1. Energi mix di tahun 2025: Minyak bumi < 20%, Gas bumi > 30%, Batubara 33%, Biofuel > 5%, panas bumi > 5%, energi baru dan terbarukan > 5%, batubara cair > 2%. 2. Pemerintah dapat memberikan kemudahan dan insentif kepada pelaksanaan konservasi energi dan pengembangan sumber energi lternative.
Sumber: Sambodo, M.T., 2008, Politik Ketahanan Energi Nasional, hal. 2-3
18
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:18
6/22/2010 6:28:15 PM
Pengembangan Energi Alternatif dalam Konteks Ketahanan Energi Nasional
Ketahanan energi nasional dibangun dengan berlandaskan pada regulasi tersebut. Dewan Energi Nasional memiliki peran yang cukup penting seperti yang diamanatkan dalam regulasi tersebut di atas. Meskipun mewujudkan ketahanan energi tidaklah mudah, namun jika diupayakan dengan sebaik – baiknya, masih ada harapan bagi Indonesia untuk memiliki ketahanan energi. Apalagi jika dilihat dari sisi penawaran, Indonesia memiliki sumber energi yang cukup beragam, baik energi yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan.
2.3 Portofolio Energi Nasional Sumber daya alam secara umum dapat dibagi menjadi sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resource) dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resource atau depletable resource). Pengklasifikasian itu sangat dipengaruhi oleh peran variabel waktu (time). Sumber daya alam yang dapat diperbaharui merupakan sumber daya yang dapat terus menerus tersedia sebagai input produksi dengan batas waktu tak terhingga. Air, hutan, panas matahari dan sebagainya termasuk dalam sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Sedangkan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui adalah sumber daya yang persediaannya sebagai input produksi sangat terbatas dalam jangka waktu tertentu. Termasuk dalam kategori ini adalah minyak bumi, gas bumi, batubara, dsb. Namun sumber daya yang dapat diperbaharui suatu saat dapat menjadi sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Hal demikian terjadi karena permintaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu membuat laju pengurasan (rate of extraction) sumber daya tersebut menjadi lebih besar daripada laju generasinya (rate of generation) (Yusgiantoro, 2000). Selain itu, energi juga bias digolongkan kedalam energi primer dan sekunder. Energi primer adalah energi yang diberikan alam dan belum mengalami proses pengolahan lebih lanjut. Energi sekunder
19
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:19
6/22/2010 6:28:15 PM
Putri Irma Yuniarti
adalah energi primer yang telah menjalani proses lebih lanjut. Misalnya minyak bumi mentah adalah energi primer, ketika sudah diolah menjadi bahan bakar, menjadi energi sekunder. Energi komersial adalah energi yang sudah dipakai dan dapat diperdagangkan dalam skala ekonomis, sementara energi non komersial adalah energi yang sudah dipakai dan dapat diperdagangkan tetapi tidak pada skala ekonomisnya. Energi baru adalah energi yang sudah dipakai tetapi sangat terbatas dan sedang dalam tahap pengembangan (pilot project). Energi ini belum dapat diperdagangkan karena belum mencapai skala ekonomis. Energi alternatif adalah energi selain dari energi fosil yang biasa dipakai, baik yang terbarukan maupun tidak terbarukan. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan permintaan akan energi meningkat, padahal energi dari fosil terutama minyak bumi akan habis karena cadangannya semakin menipis. Oleh karena itu, masyarakat dunia mulai mencari, memproduksi dan menggunakan energi alternatif. Tabel 2.2 Klasifikasi Sumber Energi Berdasarkan ketersediaan (stock) 1. Dapat diperbarui: panas bumi, tenaga air, tenaga surya, tenaga angin, dsb. 2. Tidak dapat diperbarui: minyak bumi, gas bumi, batubara, uranium, dsb.
Berdasarkan nilai komersial (commercial) 1. Komersial: minyak bumi, gas bumi, batubara, tanaga air panas bumi, uranium, dsb. 2. Non-Komersial: kayu bakar, limbah pertanian. 3. Energi baru: tenaga surya, tenaga angin, tenaga samudra, biomassa, gambut, dsb.
g Berdasarkan pemakaian (use) 1.
2.
Primer: minyak bumi, gas bumi, batubara, tenaga air, panas bumi. Sekunder: listrik, LPG, BBM, Non-BBM, Gas Bumi, Briket batubara, dsb.
Sumber: Yusgiantoro, P., 2000, Ekonomi Energi Teori dan Praktek, hal. 5
Di Indonesia, penerimaan negara dari sektor energi dan sumber daya alam selama ini terus meningkat, baik itu dari minyak dan gas bumi maupun dari pertambangan umum. Ini menunjukkan bahwa peranan energi di Indonesia tidak hanya sebagai bahan bakar untuk melakukan kegiatan ekonomi, namun juga sebagai sumber penerimaan negara.
20
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:20
6/22/2010 6:28:15 PM
Pengembangan Energi Alternatif dalam Konteks Ketahanan Energi Nasional
Gambar 2.1 Penerimaan Negara Sektor ESDM Sumber : http://www.esdm.go.id
Menurut data dari Departemen ESDM, penawaran energi primer di Indonesia secara total semakin meningkat dari tahun ke tahun. Memang, seperti terlihat dalam tabel 2.3 dan 2.4, penawaran berbagai jenis energi meningkat cukup pesat. Tabel 2.3 Penawaran Energi Primer (BOE) Tahun
Batubara
Minyak Mentah &
Gas Alam dan
Ekspor/Impor Bahan
Expor/Impor
Bakar Minyak
LPG&LNG
Hydropower
Geothermal
Biomassa
Total
2000
93.831.548
415.011.903
165.655.289
25.248.895
9.596.400
269.073.181
978.419.216
2001
119.125.379
442.033.714
172.083.821
29.380.607
9.960.940
268.970.034
1.041.556.496
2002
122.918.549
452.817.870
188.822.314
25.038.179
10.248.040
270.230.078
1.070.077.032
2003
128.658.448
456.647.707
204.142.054
22.937.538
10.375.200
272.005.374
1.094.768.324
2004
128.276.301
498.117.696
187.554.081
24.882.086
11.077.000
271.806.233
1.121.715.401
2005
173.554.586
496.143.612
191.189.376
27.120.985
10.910.460
271.094.208
1.170.015.232
2006
207.861.993
462.066.984
196.599.386
24.256.796
11.182.742
276.329.431
1.178.299.338
2007
258.174.000
475.436.625
183.623.636
28.451.261
11.421.759
274.443.321
1.231.552.609
Sumber: http://www.esdm.go.id
21
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:21
6/22/2010 6:28:15 PM
Putri Irma Yuniarti
Sebagaimana bisa dilihat di Tabel 2.4, penawaran energi sebagian besar merupakan penawaran dari energi minyak bumi. Namun persentasenya berangsur menurun dari 42,42% di tahun 2000 menjadi hanya 39,21% di tahun 2006 dan 38,6% di tahun 2007.Porsi penawaran energi yang paling sedikit berasal dari energi geothermal yang jumlah`penawarannya terus bertambah dari tahun ke tahun, yaitu dari 9.596.400 BOE pada tahun 2000 menjadi sebanyak 11.421.759 BOE di tahun 2007. Namun dari persentasenya, penawaran energi geothermal masih di bawah 1% dari keseluruhan penawaran energi di Indonesia. Tabel 2.4 juga memperlihatkan bahwa penawaran energi batubara semakin meningkat dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 demikian juga persentasenya terhadap total penawaran energi di Indonesia. Berbeda dengan batubara, meskipun jumlahnya terus meningkat, namun persentase penawaran energi biomassa terhadap keseluruhan total penawaran energi terus menurun dari 27,5% di tahun 2000 menjadi hanya 22,28% di tahun 2007. Tabel 2.4 Persentase Penawaran Energi Tipe Energi
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
42,42
42,44
42,32
41,71
9,59
11,44
11,49
11,75
2007
44,41
42,4
39,21
38,6
11,44
14,83
17,64
20,96
Minyak Mentah dan Ekspor/Impor Bahan Bakar Batubara Gas Alam dan Ekspor/Impor LPG&LNG
16,93
16,52
17,65
18,65
16,72
16,34
16,69
14,91
Hydropower
2,58
2,82
2,34
2,1
2,22
2,32
2,06
2,31
Geothermal
0,98
0,96
0,96
0,95
0,99
0,93
0,95
0,93
Biomassa
27,5
25,82
25,25
24,85
24,23
23,17
23,45
22,28
Sumber: http://www.esdm.go.id
2.3.1 Minyak Bumi Indonesia yang dulunya adalah termasuk dalam negara pengekspor minyak sekarang ini telah menjadi negara pengimpor minyak. Penawaran minyak bumi dalam negeri tidak cukup untuk
22
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:22
6/22/2010 6:28:16 PM
Pengembangan Energi Alternatif dalam Konteks Ketahanan Energi Nasional
memenuhi permintaan akan energi minyak bumi, oleh karena itu Indonesia mengimpornya dari luar negeri. Gambar 2.2 memperlihatkan bagaimana perkembangan net ekspor Indonesia akan minyak bumi dari tahun ke tahun sampai akhirnya menjadi negatif. Indonesia’s Oil Production and Consumption 1992 - 2005 1.800 Production
Thousand Barrels per Day
1.600 1.400 1.200 Net Exports
1.000 800
Comsumption
600 400 Source : EIA
200 0 92
19
93
19
94
19
95
19
96
19
97
19
98
19
99
19
00
20
01
20
02
20
03
20
04
20
E
05
20
Gambar 2.2 Produksi dan Konsumsi Minyak Indonesia, 1992-2005 Sumber: EIA; http://www.eoearth.org/article/Energy_profile_of_Indonesia
Tabel 2.5 menunjukkan bahwa cadangan minyak bumi Indonesia terus berkurang dari tahun ke tahun. Berdasarkan laporan Key Indicator of Indonesia Energi and Mineral Resouces 2006, pada tahun 2006, cadangan minyak Indonesia sebesar 4.3 milyar barrel, menjadikan Indonesia menduduki ranking ke-25 dari negara-negara pemilik cadangan minyak terbesar di dunia. Peringkat pertama dipegang oleh Arab Saudi dengan cadangan sebesar 264,2 milyar barel diikuti oleh Iran dengan cadangan sebesar 137,5 milyar barel dan Irak dengan cadangan sebesar 115 milyar barel.
23
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:23
6/22/2010 6:28:16 PM
Putri Irma Yuniarti
Tabel 2.5 Cadangan Minyakj Bumi Indonesia Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Terbukti 5.12 5.10 4.72 4.73 4.30 4.19 4.37 3.99
Cadangan Potensi 4.49 4.65 5.03 4.40 4.31 4.44 4.56 4.41
Total 9.61 9.75 9.75 9.13 8.61 8.63 8.93 8.40
Sumber: http://www.esdm.go.id
Diantara negara-negara produsen minyak mentah terbesar di dunia Indonesia menduduki peringkat nomor 21 pada tahun 2006 dengan jumlah produksi sebesar 391.0 juta barel. Peringkat pertama masih diduduki oleh Arab Saudi dengan jumlah produksi sebesar 3,963.4 juta barel. Sementara di peringkat kedua adalah Rusia, dengan jumlah produksi sebesar 3,565.8 juta barel dan di peringkat ketiga adalah Amerika Serikat dengan jumlah produksi sebesar 2,507.9 juta barel (Departemen ESDM, 2006).
24
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:24
6/22/2010 6:28:16 PM
Pengembangan Energi Alternatif dalam Konteks Ketahanan Energi Nasional
Tabel 2.6 Penawaran dan Permintaan Minyak Mentah Indonesia Tahun
Produksi Ribu bbl
%
Ekspor Ribu bbl
2000
517,489 -5.1
2001
489,306 -5.4
241,612
2002
456,026 -6.8
218,115
2003
Impor %
223,5 -21.7
Ribu bbl
%
78.615
-7.2
8.1
117,168
49.0
-9.7
124,148
6.0
419,255 -8.1
189,095 -13.3
137,127
10.5
2004
400,554 -4.5
178,869
-5.4
148,49
8.3
2005
386,483 -3.5
159,703 -10.7
164,007
10.4
2006
367,049 -5.0
134,96 -15.5
2007
348,348 -5.1
135,267
0.2
116,232 -29.1 115,812
-0.4
Sumber: http://www.esdm.go.id
Pertumbuhan ekspor dan impor minyak Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun, kadang positif dan kadang negatif. Namun pertumbuhan produksi minyak Indonesia selalu negatif dari -5.1% di tahun 2000 menjadi -8.1% di tahun 2003 dan kembali tumbuh sebesar -5.1% di tahun 2007. Penurunan ini disebabkan oleh turunnya kapasitas produksi minyak yang ladangnya sudah semakin tua. Juga oleh karena kurangnya investasi dalam eksplorasi minyak. Pada tahun 2006, Indonesia menduduki peringkat 24 diantara negara-negara pengimpor minyak terbesar di dunia. Sedangkan peringkat pertama dan kedua diduduki oleh Amerika Serikat dan Jepang. Konsumen minyak mentah terbesar di dunia adalah Amerika Serikat, disusul Cina, Jepang dan Rusia. Indonesia menduduki peringkat ke 22 (Departemen ESDM, 2006).
25
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:25
6/22/2010 6:28:16 PM
Putri Irma Yuniarti
Sebagian besar cadangan minyak bumi Indonesia berada di lepas pantai. Lokasi ladang minyak terbesar berada di Duri dan Minas Sumatra. Ladang minyak lain yang juga cukup signifikan adalah di Timur Kalimantan dan Laut Natuna. Pada awalnya Pertamina adalah perusahaan monopoli di Indonesia yang melakukan perdagangan dan distribusi produk minyak bumi, namun sejak Juli 2004, pemerintah mengijinkan Petronas, perusahaan minyak dari Malaysia sebagai distributor produk minyak bumi di Indonesia, dan pemerintah akan terus membuka persaingan untuk perusahaan minyak lainnya.
2.3.2 Gas Alam Indonesia telah terbukti memiliki 106.00 TCF cadangan gas alam di tahun 2007 seperti terlihat di tabel 7. Sebagian besar cadangan gas alam Indonesia berlokasi di Arun, Aceh, Kalimantan Timur, Blok Kangean lepas pantai Jawa Timur, beberapa blok di Papua, dan Natuna. Indonesia menduduki peringkat ke-13 diantara negara-negara pemilik cadangan gas alam terbesar di dunia. Peringkat pertama diduduki oleh Rusia dengan cadangan sebesar 1,682.1 TCF pada tahun 2006 disusul Iran dengan cadangan sebesar 993.0 TCF. Indonesia berada pada peringkat ke-8 dalam hal produksi gas alam. Sedangkan yang duduk di peringkat pertama adalah Rusia dengan produksi di tahun 2006 sebesar 21,616.8 BCF, disusul Amerika Serikat dan Kanada dengan jumlah produksi sebesar 18,508,0 BCF dan 6,603.9 BCF. Peringkat pertama dalam konsumsi energi gas alam dimiliki oleh Amerika Serikat dengan jumlah konsumsi pada tahun 2006 sebesar 21,883,0 BCF disusul oleh Rusia dengan jumlah konsumsi sebesar 15,259.1 BCF. Sedangkan Indonesia duduk di peringkat ke-18 sebagai konsumen gas alam (Departemen ESDM, 2006).
26
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:26
6/22/2010 6:28:17 PM
Pengembangan Energi Alternatif dalam Konteks Ketahanan Energi Nasional
Tabel 2.7 Cadangan Gas Alam Indonesia Tahun Terbukti Potensial Total 2000 94.75 75.56 170.31 2001 92.10 76.05 168.15 2002 90.30 86.29 176.59 2003 91.17 86.96 178.13 2004 97.81 90.53 188.34 2005 97.26 88.54 185.80 2006 94.00 93.10 187.10 2007 106.00 59.00 165.00
Sumber: http://www.esdm.go.id Tabel 2.8 Penawaran LPG di Indonesia ( (dalam ton) Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Produksi 2,087,669 2,187,677 2,110,682 1,927,318 2,026,935 1,827,814 1,428,490 1,409,430
Ekspor Impor 1,253,197 0 1,423,928 0 1,217,410 0 1,033,672 111,178 981,78 32,994 1,015,366 22,166 289,698 68,997 268,511 137,76
Sumber: http://www.esdm.go.id
Indonesia pernah tidak mengimpor LPG sampai dengan tahun 2002. Pada tahun 2003 ketika produksi LPG Indonesia turun, maka Indonesia melakukan impor sebesar 111,178 ton. Jumlah impor ini menurun di tahun berikutnya ketika jumlah produksi naik kembali. Namun di tahun – tahun berikutnya jumlah produksi LPG Indonesia terus menurun hingga pada tahun 2007 jumlah impor LPG Indonesia mencapai 137,76 ton. Meskipun demikian, Indonesia adalah negara pengekspor LNG nomor 2 terbesar di dunia dengan jumlah ekspor pada tahun 2006 sebesar 29.6 BCM. Di atas Malaysia yang hanya 28.0 BCM dan di bawah
27
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:27
6/22/2010 6:28:17 PM
Putri Irma Yuniarti
Qatar yang merupakan negara pengekspor LNG terbesar di dunia, dengan jumlah ekspor 31.1 BCM di tahun 2006. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai cadangan gas yang cukup signifikan di dunia serta merupakan salah satu negara pengekspor gas terbesar di dunia. Meskipun demikian, Indonesia masih banyak bergantung pada sumber energi minyak. Melihat produksi minyak yang semakin menurun, Indonesia mulai bergeser ke gas alam sebagai energi pembangkit. Pemerintah bahkan melakukan program beralih dari minyak tanah ke gas untuk penggunaan energi di level rumah tangga, terutama untuk memasak. Di sisi lain, Indonesia juga menghadapi penurunan kontribusi di pasar LNG global. Penurunan ini juga disebabkan karena rendahnya investasi Indonesia di sektor energi. Oleh karena itu, kedudukan Indonesia sebagai pengekspor LNG terbesar di dunia mulai tergeser oleh negara lain.
2.3.3 Batubara Produksi batubara Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 produksi batubara Indonesia mencapai 77,040,185 ton. Nilai ini terus bertambah hingga mencapai 217,409,663 ton di tahun 2007. Demikian juga ekspor batubara Indonesia terus bertambah dari 58,460,492 ton di tahun 2000 menjadi 160,484,237 ton di tahun 2007. Nilai yang lebih berfluktuasi terjadi pada impor batubara. Pada tahun 2000 nilainya mencapai 140,116 ton, kemudian turun drastis di tahun berikutnya hanya 30,466 ton. Kenaikan yang paling tinggi terjadi di tahun 2006 yaitu sebesar 110,683 ton.
28
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:28
6/22/2010 6:28:17 PM
Pengembangan Energi Alternatif dalam Konteks Ketahanan Energi Nasional
Tabel 2.9 Penawaran Batubara Indonesia (ton) Tahun
Produksi
Ekspor
Impor
2000
77,040,185
58,460,492
140,116
2001
92,540,460
65,281,086
30,466
2002
103,329,093
74,177,926
20,026
2003
114,278,000
85,680,621
38,228
2004
132,352,025
93,758,806
97,183
2005
152,722,438
110,789,700
98,179
2006
193,761,311
143,632,865
110,683
2007
217,409,663
160,484,237
67,534
Sumber: Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Geothermal, Departemen Perdagangan. http://www.esdm.go.id
Indonesia hanya menduduki peringkat 16 dari dalam hal kepemilikan cadangan batubara terbesar di dunia yaitu sebesar 4,968.0 juta ton. Amerika menduduki peringkat pertama dengan jumlah cadangan sebesar 246,643.0 juta ton sedangkan Rusia menduduki peringkat kedua dengan jumlah cadangan sebesar 157,010.0 juta ton. Meskipun hanya menduduki nomor 16 dalam jumlah cadangan, namun Indonesia ternyata menduduki peringkat ke-8 dalam hal produksi batubara. Produsen batubara terbesar di dunia pada tahun 2006 sekaligus konsumen batubara terbesar adalah Cina dan Amerika Serikat. Indonesia menduduki peringkat ke-18 dalam konsumsi energi batubara (Departemen ESDM, 2006).
29
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:29
6/22/2010 6:28:17 PM
Putri Irma Yuniarti
Tabel 2.10 Ekspor Batubara Indonesia Jepang
Taiwan
Negara Asia Lain
Eropa
Pasifik
2000
13,177.44
13,519.59
19,819.47
8,861.56
1,876.11
1,206.32
58,460.49
2001
15,216.26
11,506.81
20,440.57
10,226.65
2,160.83
5,729.97
65,281.09
2002
16,529.76
13,099.99
30,605.89
9,294.60
2,555.17
1,450.95
73,536.35
2003
17,992.18
14,144.14
34,021.52
12,786.77
3,118.10
3,617.91
85,680.62
2004
19,013.41
16,677.88
34,686.66
11,987.43
3,583.98
7,809.44
93,758.81
2005
24,237.43
14,524.21
41,393.85
14,824.32
3,927.70
11,882.19
110,789.70
2006
23,128.07
17,070.46
49,589.54
21,004.55
5,263.14
27,577.11
143,632.86
2007
22,609.17
16,748.40
48,264.85
21,554.67
2,367.15
48,939.99
160,484.23
Tahun
Lainnya
Total
Sumber: http://www.esdm.go.id
Indonesia telah melakukan ekspor batubara ke berbagai negara seperti dapat dilihat di tabel 10. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa ekspor batubara Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun meskipun jika dilihat dari ekspor ke masing-masing negara terjadi fluktuasi. Indonesia berencana untuk meningkatkan produksi batubaranya demi meningkatkan ekspor ke negara tetangga. Kapasitas produksi ini akan datang dari sektor swasta. Menurut EIA (2009) The Clough Group of Australia telah menandatangani kontrak sebesar 215 juta dollar untuk meningkatkan kapasitas produksi di perusahaan GBP Kutai tambang di Kalimantan Timur. Perusahaan asing lainnya yang tertarik pada pertambangan batubara di Indonesia adalah Australia’s Broken Hill Proprietary (BHP). Penggunaan energi final di Indonesia ternyata paling banyak digunakan di sektor industri. Disusul oleh sektor transportasi dan kemudian oleh sektor rumah tangga. Tabel 11 menggambarkan share
30
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:30
6/22/2010 6:28:17 PM
Pengembangan Energi Alternatif dalam Konteks Ketahanan Energi Nasional
konsumsi energi final di Indonesia menurut sektor. Share konsumsi sektor industri meningkat dari hanya 41,18% di tahun 2000 menjadi 44,82% di tahun 2007 meskipun sempat terjadi penurunan di tahun 2003 dan 2004. Di sisi lain, share konsumsi energi di sektor rumah tangga terus menurun dari 18,78% di tahun 2000 menjadi hanya 15,21% di tahun 2007. Tabel 2.11 Share Konsumsi Energi Final Menurut Sektor (%) Tahun
Industri
Rumah Tangga
Komersial
Transportasi
Lainnya
2000
41,18
18,78
4,10
29,71
6,24
2001
40,63
18,36
4,13
30,58
6,31
2002
40,07
17,99
4,22
31,48
6,23
2003
37,72
18,76
4,44
33,06
6,02
2004
37,29
17,51
4,63
34,44
6,12
2005
40,50
16,49
4,59
33,03
5,39
2006
43,33
15,69
4,60
31,57
4,81
2007
44,82
15,21
4,59
31,06
4,32
Catatan: untuk komersial energi tidak termasuk biomassa. Sumber: http://www.esdm.go.id
Lebih dari setengah kebutuhan akan konsumsi energi di Indonesia ternyata masih didominasi oleh fuel (bahan bakar minyak) meskipun persentasenya terhadap total konsumsi energi terus menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 konsumsi energi Indonesia 63,6% nya adalah fuel. Namun di tahun 2007 persentasenya hanya sebesar 52,2%.
31
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:31
6/22/2010 6:28:18 PM
Putri Irma Yuniarti
Tabel 2.12 Konsumsi Energi Final Berdasarkan Tipe Energi (Ribu BOE) Briket Batubara
Batubara
Gas Alam
Fuel
269,042
36,060
87,214
315,272
85
8,261
48,555
777,925
2001
268,953
37,021
82,235
328,203
78
8,280
51,841
802,325
2002
270,207
38,698
80,885
325,202
83
8,744
53,418
799,926
2003
271,974
32,077
79,575
321,384
77
8,766
55,473
792,859
2004
271,765
32,077
85,459
354,317
80
9,187
61,393
851,994
2005
271,094
65,744
86,634
338,375
94
8,453
65,644
865,652
2006
276,271
89,043
83,221
311,904
94
9,414
69,071
879,940
2007
274,369
121,800
80,178
314,240
131
10,925
74,376
915,893
Tahun
Biomassa
2000
LPG
Listrik
Total
Sumber: http://www.esdm.go.id Tabel 2.13 Share Konsumsi Energi Final (%) Tahun
Batubara
Gas Alam
Fuel
LPG
Listrik
2000
7,3
17,6
63,6
1,7
9,8
2001
7,3
16,2
64,7
1,6
10,2
2002
7,6
16
64,1
1,7
10,5
2003
6,5
16
64,6
1,8
11,2
2004
5,9
15,8
65,3
1,7
11,3
2005
11,7
15,3
59,9
1,5
11,6
2006
15,8
14,8
55,4
1,7
12,3
2007
20,3
13,3
52,2
1,8
12,4
Sumber: http://www.esdm.go.id
32
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:32
6/22/2010 6:28:18 PM
Pengembangan Energi Alternatif dalam Konteks Ketahanan Energi Nasional
2.4 Aksesibilitas dan Kestabilan Harga Energi di Indonesia Ketersediaan energi di Indonesia sebenarnya bisa memenuhi kebutuhan bangsa Indonesia akan energi. Akan tetapi, pengelolaan sumber daya yang kurang memperhatikan aspek ketahanan energi bisa menimbulkan krisis energi di negara ini pada masa yang akan datang. Di sisi lain, ketergantungan Indonesia pada salah satu bentuk energi, terutama yang tidak dapat diperbaharui, harus mulai diseimbangkan dengan penggunaan energi alternatif untuk mengantisipasi kelangkaan energi tak terbarukan di masa depan. Selama ini aksesibilitas energi di Indonesia masih belum merata. Di daerah-daerah terpencil terutama di luar jawa, banyak penduduk yang belum dapat menikmati fasilitas energi dengan baik. Kemudahan untuk mendapatkan akses terhadap energi sangat dipengaruhi oleh pembangunan infrastruktur. Ketimpangan pembangunan infrastruktur selama ini menyebabkan ketimpangan pula dalam aksesibilitas energi di berbagai wilayah di Indonesia. Pengaturan investasi dan pendanaan menjadi faktor utama untuk meningkatkan investasi dan pembangunan infrastruktur. Di bawah ini adalah gambaran mengenai investasi yang telah dilakukan di sektor energi.
Gambar 2.3 Investasi Sektor ESDM Sumber : http://www.esdm.go.id
33
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:33
6/22/2010 6:28:18 PM
Putri Irma Yuniarti
Investasi di sektor energi, terutama infrastruktur untuk meningkatkan jaringan akses energi masih perlu ditingkatkan. Seperti pelabuhan batubara, pipa gas bumi, jaringan depo BBM, dan jaringan listrik hingga ke pelosok. Aksesibilitas energi juga dipengaruhi oleh pasokan energi. Pasokan energi yang tidak lancar baik itu karena kelangkaan produk maupun ulah pedagang yang menimbun barang, menyebabkan masyarakat sulit untuk mendapatkan produk yang mereka inginkan. Misalnya kasus dimana masyarakat harus mengantri untuk membeli minyak tanah, dan kasus ini tidak hanya terjadi di wilayah terpencil namun juga di perkotaan, bahkan di daerah ibukota Jakarta. Di samping itu, kestabilan harga energi kadang juga masih menjadi masalah. Kenaikan harga BBM akibat pencabutan subsidi misalnya, berdampak pada perubahan situasi ekonomi terutama di kalangan pelaku usaha kecil yang menikmati subsidi tersebut. Ketidakstabilan harga energi baik terjadi karena kebijakan pemerintah ataupun pengaruh dari harga energi dunia akan berdampak langsung pada ketidakstabilan ekonomi. Jika dampaknya tidak bisa dikendalikan, maka akan membawa negara kita pada masalah ekonomi dan politik yang semakin kompleks. Terkait dengan masalah harga energi, kelangkaan energi belakangan ini berdampak pada kenaikan harga energi, dan ini dirasakan terlalu berat bagi pemerintah sekarang ini untuk terus memberikan subsidi pada energi, terutama BBM. Para ekonom yang mendorong pencabutan subsidi BBM berargumen bahwa pemerintah harus memberi subsidi BBM sekitar Rp 200 miliar per hari, setara dengan Rp 72 triliun per tahun. Disamping itu, berbagai penelitian seperti yang dilakukan oleh Freedom Institute mengatakan bahwa subsidi BBM selama ini salah arah dan dinikmati kalangan menengah atas. Maka
34
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:34
6/22/2010 6:28:18 PM
Pengembangan Energi Alternatif dalam Konteks Ketahanan Energi Nasional
pemerintah mencabut subsidi BBM dan berjanji mengalihkannya untuk bantuan beras miskin, pendidikan dan kesehatan. Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) menunjukkan, kenaikan rata-rata 30 persen harga BBM akan berdampak pada peningkatan laju inflasi sebesar 0.7 hingga 1.2 persen. Bank Dunia menemukan kenaikan harga BBM 2030 persen hanya akan meningkatkan inflasi sebesar 1-2 persen. Secara makro, pengaruh kenaikan BBM tidak signifikan. Salah satu indikasi penting, para penanam modal portofolio (domestic dan asing) tetap membubuhkan optimisme pada masa depan perusahaan-perusahaan publik di Indonesia. Kalaupun kenaikan BBM akan mendongkrak biaya operasi, tingkat keuntungan perusahaan diperkirakan masih tetap tinggi sehingga saham-saham masih terus diminati. Pascakenaikan harga BBM, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) masih di atas 1.100 poin (Prasetyantoko, 2009).
2.5 Kesimpulan Indonesia dulunya adalah produsen minyak bumi dan gas alam yang cukup signifikan di pasar energi dunia. Namun belakangan ini perannya sebagai pengekspor telah menurun. Indonesia menjadi negara pengimpor minyak bumi dan produksi gas alamnya juga semakin berkurang sehingga kontribusi Indonesia dalam ekspor gas alam di dunia semakin berkurang. Produksi batubara memang bertambah, namun jumlah impor batubara juga berfluktuasi. Lagipula, peningkatan kapasitas produksi batubara di Indonesia kebanyakan atas peran swasta asing, yang berarti hasilnya juga harus dibagi lagi dengan pihak asing. Di sisi lain, permintaan akan energi terus bertambah karena berbagai alasan, salah satunya adalah jumlah penduduk yang terus
35
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:35
6/22/2010 6:28:18 PM
Putri Irma Yuniarti
bertamhah. Ke depan, masalah ini harus segera diatasi. Indonesia harus mencari sumber energi lain kalau memang sumber daya energi yang ada sekarang ini sudah tidak mencukupi. Sampai saat ini belum ditemui alternatif energi yang dapat secara penuh menggantikan sumber energi yang sudah ada. Indonesia juga masih tetap menggantungkan kebutuhan energinya sebagian besar terhadap sumber energi yang sudah lama ada. Dalam hal aksesibilitas energi, perbaikan infrastruktur mutlak diperlukan dan ini berarti pemerintah harus mengalokasidan dana dan investasi yang cukup agar aksesibilitas energi untuk kebutuhan semua masyarakat dapat tercapai. Secara makro, pengaruh kenaikan harga BBM terhadap inflasi diperkirakan tidak terlalu besar, meskipun demikian, pemerintah juga harus melihat dampaknya pada masyarakat kecil yang dulu menjadi sasaran subsidi BBM, apakah dengan dicabutnya subsidi tersebut, mereka mendapatkan kompensasi yang memadai, atau justru menambah beban hidup mereka.
36
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:36
6/22/2010 6:28:18 PM
Pengembangan Energi Alternatif dalam Konteks Ketahanan Energi Nasional
DAFTAR PUSTAKA
EIA; http://www.eoearth.org/article/Energy_profile_of_Indonesia, diakses 7 Oktober 2009. http://www.esdm.go.id, diakses 7 Oktober 2009. Key Indicator of Indonesia Energi and Mineral Resources 2006, Departemen ESDM, Indonesia. Package Handbook, 2008, Departemen ESDM Indonesia. Prasetyantoko,A., Krisis Finansial dalam Perangkap Ekonomi Neoliberal, Kompas, Jakarta, 2009. Sambodo, M.T. dkk, Politik Ketahanan Energi Nasional, Sekjen DPD, Jakarta, 2008. Yusgiantoro, Purnomo, Ekonomi Energi Teori dan Praktik, LP3ES, Jakarta, 2000.
37
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:37
6/22/2010 6:28:18 PM
38
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:38
6/22/2010 6:28:19 PM
Prospek Pengembangan Energi Alternatif di Jawa Barat dan Lampung
BAB 3 PROSPEK PENGEMBANGAN ENERGI ALTERNATIF DI JAWA BARAT DAN LAMPUNG Latif Adam
3.1 Latar Belakang Beberapa penelitian (e.g. Lestari et al. 2007; Purwanto et al., 2008; Sambodo et al., 2007) menyimpulkan rentannya posisi perekonomian Indonesia karena negeri ini sangat tergantung pada energi fosil, khususnya BBM, sebagai sumber energi utama didalam menggerakan roda perekonomian. Beberapa pertimbangan melandasi kesimpulan itu. Pertama, pertumbuhan konsumsi BBM yang lebih cepat dibandingkan dengan produksinya membuat status Indonesia dalam bidang BBM berubah sejak tahun 2004 dari net exporter menjadi net importer. Kedua, sebagai negara dengan status net importer, fluktuasi harga BBM di pasar dunia tertransmisikan secara signifikan terhadap harga BBM didalam negeri. Ketiga, transmisi harga BBM dari pasar dunia ke pasar domestik seringkali memaksa pemerintah melakukan langkah-langkah penyesuaian. Permasalahannya adalah, langkah penyesuaian yang diambil pemerintah sebagai respon terhadap fluktuasi harga BBM seringkali membawa dampak yang kurang menguntungkan terhadap perekonomian. Misalnya, upaya pemerintah untuk merespon fluktuasi harga BBM agar bisa mengurangi tekanan terhadap sustainability APBN melalui keputusan menaikan harga komoditas ini terbukti mendorong naiknya tingkat inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat (Lestari et al., 2007). Pada gilirannya, naiknya inflasi dan menurunnya daya beli
39
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:39
6/22/2010 6:28:19 PM
Latif Adam
masyarakat ini berpotensi tidak saja menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memicu naiknya jumlah pengangguran dan kemiskinan (Lestari et al., 2007; Purwanto et al., 2008). Munculnya dampak negatif dari terlalu bergantungnya Indonesia terhadap BBM menyebabkan desakan untuk melakukan diversifikasi energi semakin intensif disuarakan. Dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Malaysia dan China, Indonesia memang relatif tertinggal didalam mendiversifikasi dan mengembangkan energi alternatif (Adam, 2009). Padahal, dilihat dari sisi potensi, Indonesia sebenarnya tidak kalah atau bahkan memiliki sumber energi alternatif yang lebih prospektif untuk dikembangkan dibandingkan dengan Malaysia ataupun China. Permasalahannya, sebagaimana dikemukakan Yuliarto (2009), ada kesan bahwa pemerintah kurang memiliki visi dan komitmen yang kuat untuk mengembangkan energi alternatif. Tulisan pada Bab ini akan menganalisis prospek pengembangan energi alternatif di dua lokasi penelitian, yaitu Jawa Barat dan Lampung. Struktur organisasi Bab ini adalah; Sub-Bab 2 memetakan potensi energi alternatif di Jawa Barat dan Lampung berdasarkan data dan informasi yang sebelumnya telah diperoleh dari instansi teknis yang berada di dua lokasi penelitian. Sub-Bab 3 mengindentifikasi kendala dan peluang pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif. SubBab 4 menganalisis dukungan pemerintah yang saat ini ada ataupun yang dibutuhkan untuk mengembangkan energi alternatif. Sub Bab-5, menarik kesimpulan dan saran berdasarkan analisis dari sub-bab sebelumnya.
40
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:40
6/22/2010 6:28:19 PM
Prospek Pengembangan Energi Alternatif di Jawa Barat dan Lampung
3.2 Pemetaan Energi Alternatif di Jawa Barat dan Lampung Upaya untuk memetakan potensi energi alternatif merupakan langkah krusial dari pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif. Tersedianya peta potensi akan memudahkan penyusunan skala prioritas yang bisa mempercepat pengembangan energi alternatif yang sesuai dengan karakter suatu daerah. Demikian halnya, tersedianya peta potensi membuka kemungkinan bagi pemerintah untuk menawarkan dan mengajak partisipasi pihak swasta didalam pengembangan energi alternatif. Dalam kaitan ini, sebagai institusi yang berwenang melakukan pengelolaan sumber daya yang ada di daerahnya, pemerintah daerah idealnya memiliki tanggung jawab untuk menyediakan peta potensi berbagai energi alternatif yang ada di daerahnya. Sayangnya, perhatian Pemerintah Daerah untuk membuat peta potensi berbagai jenis energi alternatif yang ada di daerahnya terkesan masih sangat lemah. Boleh jadi, kurangnya komitmen dari pihak pemerintah daerah ini menjadi salah satu faktor terlambatnya Indonesia mengembangkan energi alternatif Gambaran kurangnya komitmen pemerintah daerah untuk memetakan potensi energi alternatif yang ada di daerahnya terindikasi ketika field survey dilakukan. Misalnya, di Lampung, meskipun propinsi ini mengklaim sebagai lumbung masa depan pengembangan energi alternatif, tetapi peta potensi energi alternatif di daerah ini belum terdokumentasi dengan baik. Satu-satunya dokumen resmi yang tersedia mengenai peta potensi energi alternatif di Lampung justru disusun oleh Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen ESDM (Gambar 3.1).
41
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:41
6/22/2010 6:28:19 PM
Latif Adam
Beberapa narasumber dari berbagai Dinas di Lampung yang diwawancarai menyebutkan bahwa sebenarnya potensi energi alternatif di daerah ini lebih banyak dari yang teridentifikasi didalam peta yang disusun oleh Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen ESDM. Lebih dari itu, narasumber itu juga mengatakan bahwa Pemerintah Daerah, termasuk dinas dimana mereka bekerja, sama sekali tidak dilibatkan didalam penyusunan peta potensi. Karena itu, mereka sama sekali tidak memiliki pengetahuan mengenai validitas dari peta seperti tercantum didalam Gambar 3.1. Cukup beralasan bila mereka juga tidak mengetahui bagaimana rencana pengembangan dan pemanfaatan potensi energi seperti tercantum didalam Gambar 3.1 di masa yang akan datang. Tidak terlibatnya pemerintah daerah didalam penyusunan peta potensi energi alternatif mengindikasikan bahwa rencana pengembangan energi alternatif cenderung masih bersifat sentralistik. Hal ini merupakan sinyal bahwa substansi Otonomi Daerah belum benar-benar ditempatkan pada posisi yang sesungguhnya. Artinya, otonomi daerah yang mensyaratkan terjadinya transfer kewenangan, otoritas, dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (Marijan, 2005) sama sekali belum tersirat didalam program pengembangan energi alternatif, sebagaimana terindikasi dari belum terlibatnya pemerintah daerah (Lampung) didalam penyusunan peta potensi.
42
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:42
6/22/2010 6:28:19 PM
Prospek Pengembangan Energi Alternatif di Jawa Barat dan Lampung
N
LEGENDA : Pembangkit (KW) Potensi Batubara (Juta Ton) Potensi Tenaga Air (MW) Potensi Panas Bumi (MWe)
Kota Propinsi Kota Kabupaten Kota Jalan Sungai Batas Kabupaten Batas Provinsi
Gambar 3.1 Peta Potensi Energi Alternatif di Propinsi Lampung
Belum adanya peta potensi yang disusun oleh (atau penyusunanya melibatkan) Pemerintah Daerah Lampung membuat pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif di daerah ini belum terencana dengan baik. Ada kesan bahwa program pengembangan energi alternatif di Lampung asal jadi dan kurang terintegrasi dengan potensi serta karakteristik sumber daya yang dimiliki daerah ini. Pada gilirannya, belum adanya pemetaan membuat Propinsi Lampung mengalami kesulitan menyusun skala prioritas jenis energi alternatif apa yang layak dikembangkan. Tanaman jarak (bio-diesel) yang tampaknya mendapat prioritas untuk dikembangkan di Lampung dipilih semata-mata hanya mengikuti program pemerintah pusat yang aktif menggembar-gemborkan potensi tanaman jarak, tetapi tidak didasarkan kepada analisa potensi dan karakter sumber daya yang dimiliki daerah ini. Di tengah-tengah keterbatasan kemampuan keuangan pemerintah daerah dan sumber daya manusia yang dimiliki,
43
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:43
6/22/2010 6:28:19 PM
Latif Adam
pola pengembangan energi alternatif yang tidak berlandaskan kepada analisa potensi dan karakter sumber daya yang dimiliki tidak hanya membuat tingginya risiko kegagalan, tetapi juga menghabiskan dana untuk mengembangkan jenis energi alternatif lainnya yang mungkin lebih prospektif. Hasil observasi menunjukkan sulit mengatakan pengembangan tanaman jarak di Lampung memberikan hasil yang memuaskan. Beberapa petani yang diwawancarai justru menuding pengembangan tanaman jarak yang didedikasikan untuk mengembangkan diversifikasi energi sangat bias dan mengorbankan tingkat kesejahteraan mereka. Dengan tingkat produktivitas hanya 2 kg per pohon per tahun, maka petani hanya mampu memproduksi 5 ton jarak per ha (1 ha hanya bisa ditanami 2500 pohon jarak). Dengan tingkat harga rata-rata Rp 1000 per kg, berarti penghasilan petani selama setahun hanya Rp 5 juta. Penghasilan itu belum dipotong dengan biaya operasional, seperti upah memetik dan mengangkut jarak. Tidak mengherankan bila beberapa petani yang diwawancarai mengungkapkan penghasilan dari menanam jarak jauh lebih kecil dibandingkan bila mereka mengusahakan jenis tanaman lainnya. Rendahnya pendapatan petani dari menanam jarak memupus harapan petani untuk bisa menikmati peningkatan pendapatan dari menanam jarak. Menurut beberapa narasumber yang diwawancarai, pupusnya harapan petani itu terefleksi dari sering terjadinya kasus dimana para petani membabad dan mengganti tanaman jarak mereka dengan jenis tanaman lain. Narasumber yang diwawancarai kemudian mengungkapkan bahwa selain jarak, Lampung sebenarnya memiliki beragam potensi sumber energi alternatif yang cukup prospektif untuk dikembangkan (tabel 3.1). Memang beberapa instansi (dinas) yang dikunjungi di
44
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:44
6/22/2010 6:28:19 PM
Prospek Pengembangan Energi Alternatif di Jawa Barat dan Lampung
Lampung menunjukkan ada beberapa potensi energi alternatif yang cukup prospektif dikembangkan, seperti bio-gas, micro hydro, bioetanol (dari tebu dan singkong), ataupun bio-diesel (dari kelapa sawit). Sayangnya, identifikasi dan map (peta) potensi energi alternatif yang dimiliki daerah Lampung masih tersebar di beberapa dinas. Lebih dari itu, tiap dinas memiliki versi sendiri-sendiri mengenai energi alternatif yang pantas ditempatkan sebagai prioritas untuk dikembangkan. Tabel 3.1 Peta Potensi Energi Alternatif di Daerah Lampung Kabupaten
Potensi Energi Alternatif
Lampung Barat
Singkong, Sawit
Tanggamus
Singkong, Sawit, Tebu
Lampung Selatan
Jarak, Singkong, Sawit, Tebu
Lampung Timur
Singkong, Sawit, Tebu
Lampung Tengah
Jarak, Singkong, Sawit, Tebu, Bio-gas,
Lampung Utara
Jarak, Singkong, Sawit, Tebu
Way Kanan
Singkong, Sawit, Tebu
Bandar Lampung
-
Metro Singkong Sumber: Hasil Wawancara
Berbeda dengan Lampung, Jawa Barat memiliki langkah yang lebih jelas dan terarah didalam pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif. Hal ini, salah satunya, terindikasi dari upaya yang telah dilakukan daerah ini untuk menginventarisir dan mengidentifikasi potensi beberapa sumber energi alternatif, seperti migas dan panas bumi (Gambar 3.2). Tidak mengherankan bila daerah ini memiliki peta potensi energi alternatif yang lebih komprehensif dibandingkan dengan Lampung.
45
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:45
6/22/2010 6:28:20 PM
Latif Adam
Gambar 3.2 Peta Potensi Energi Migas dan Panas Bumi di Jawa Barat PETA PROSPEK AREA SUBANG PT PERTAMINA EP REGION JAWAT
RDN - RDO
106
LA U T J AW A
-6 SRG
SERANG
TANGERANG CRG
PDG RBT KDB CKA
KRG MJA
LEBAKCRD
TLG
CLL CSP
PRG
GLN
RDO
PDT
SLP BKG
PURWAKARTA
BOGOR
Jatinegara
SUBANG
Gambarsari
SKALA
By Iwa n’03 (C) d sastr aya@ yaho o.com
Pasirjadi Naik
RDN RDL SKB RDC CGM SBB KARAWANG RWM KMY BLD KBRTPC CLB TBN CPD DKI JAKARTA MYG TKP CLU TLH BJR WNJ BWK CKR KRK CLT BEKASI KRA CCH KDU SKM CJT TLS TTL KPN SKA PBR CBR CPT JNG CLS KRW PMS BJA CLR CWR SKD JRR CPK TJS PGD SRA PBN TJK TLJ CPN CBK PTJ PBR KMS SKM STL CGG PWK WKS SDS TGH CLD PJN BBK JGL GBS CGR KTP PSJ CPC PLB ATP CRU PST PSJ PCS PJB KLT TMS SBG TMG SAUNG RDP
KMT
CKD PMT
MNS
L-PARIGI MGB
KMU TNG
JTK
Cilamaya Timur
Tunggulmaung
CIANJUR SUKABUMI
PRS
SUMEDANG BANDUNG
Gambar 3.3 Peta Prospek Area Subang PT Pertamina
46
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:46
6/22/2010 6:28:20 PM
Prospek Pengembangan Energi Alternatif di Jawa Barat dan Lampung
Beberapa jenis energi alternatif, seperti panas bumi, micro hydro, bio-gas, dan bio-energi (termasuk jarak) dipilih sebagai prioritas untuk dikembangkan di Jawa Barat. Beberapa jenis dari energi alternatif itu, seperti bio-gas ataupun micro-hydro, bahkan telah berkembang dan dimanfaatkan oleh masyarakat di beberapa lokasi (daerah) tertentu. Misalnya, bio-gas telah berkembang dan dimanfaatkan oleh masyarakat Haur Gombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang. Demikian halnya, micro-hydro berkembang dan telah digunakan oleh masyarakat di daerah Lewi Kiara, Kabupaten Tasik Malaya. Selain itu, informasi yang diperoleh dari Dinas ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) mengungkapkan bahwa terdapat 450 unit pengolah bio-gas yang bersumber dari limbah peterakab sapi. Juga, terdapat 7 unit instalasi pengolah dan 700 unit kompor bio-kerosene. Sayangnya, pemanfaatan energi alternatif di beberapa daerah di Jawa Barat masih terbatas hanya untuk kepentingan rumah tangga dan belum digunakan secara komersil untuk mendukung kegiatan produktif. Keterbatasan teknologi dan masih tersedianya BBM dengan harga yang relatif murah, tampaknya membatasi keinginan masyarakat untuk menggunakan energi yang berasal dari micro-hydro ataupun biogas. Karena itu, agenda bagaimana mengembangkan energi alternatif yang penggunaannya tidak hanya untuk keperluan rumah tangga, tetapi juga untuk mendukung kegiatan produktif menjadi pekerjaan rumah yang harus diprioritaskan.
3.3 Kendala dan Peluang Pemanfaatan Energi Alternatif: Perspektif Stakeholders Sejak tahun 1981, sebagaimana tertulis secara eksplisit didalam kebijakan energi nasional, Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah menekankan pentingnya pengembangan energi alternatif. Dijelaskan
47
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:47
6/22/2010 6:28:21 PM
Latif Adam
didalam kebijakan energi nasional bahwa program pengembangan energi alternatif punya peran penting untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap minyak bumi (BBM). Sejalan dengan itu, pemerintah kemudian menyusun Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 20052008. Didalam Blueprint, pemerintah menargetkan bahwa pada 2025 konsumsi BBM negeri ini harus menurun menjadi 26,2%. Sisanya, sebesar 73,9% diharapkan dipenuhi dari energi alternatif, dengan rincian 30,6% dari gas bumi, 32,7% dari batubara, 2,4% dari PLTA, 3,8% dari panas bumi, dan 4,4% dari biofuel, tenaga surya, serta tenaga angin. Dari sisi potensi, beberapa penelitian (e.g. ESDM, 2007; Pravitasari, 2008; Suryapratama, 2009) menyimpulkan bahwa peluang Indonesia untuk mengkonversi sumber energi dari BBM ke jenis energi alternatif lainnya terbuka cukup lebar. Hampir setiap daerah memiliki potensi dan karena itu berpeluang mengembangkan energi alternatif (ESDM, 2007; Handayani, 2009). Dengan sumber daya yang dimilikinya, dua daerah yang dipilih sebagai lokasi penelitian (Jabar dan Lampung), juga berpotensi memberikan kontribusi cukup penting terhadap pengembangan energi alternatif. Misalnya, Jawa Barat sebagaimana telah didiskusikan pada bagian sebelumnya memiliki peluang untuk mengembangkan micro-hydro, panas bumi, bio-gas, dan bio energi lainnya. Sementara Lampung, meskipun potensinya belum terpetakan dengan baik, tetapi daerah ini, sebagaimana dikemukakan oleh beberapa narasumber, juga memiliki peluang untuk berperan sebagai daerah penghasil batubara, biogas, bio energi (CPO dan tebu), microhydro, dan panas bumi. Sepanjang pemerintah daerah (juga pusat) di dua lokasi penelitian memiliki komitmen yang kuat, maka peluang pengembangan energi alternatif di dua lokasi penelitian itu terbuka sangat lebar.
48
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:48
6/22/2010 6:28:21 PM
Prospek Pengembangan Energi Alternatif di Jawa Barat dan Lampung
Sayangnya, komitmen pemerintah daerah untuk mengembangkan energi alternatif relatif belum cukup kuat. Misalnya, di Jawa Barat dan Lampung, Blueprint Pengelolaan Energi Nasional belum terjabarkan dengan baik kedalam program-program daerah. Demikian halnya, Pemerintah Daerah Jawa Barat dan Lampung belum memiliki programprogram implementatif untuk mempercepat perubahan struktur konsumsi energi yang menjauh dari BBM. Pemerintah daerah, termasuk Pemerintah Daerah Jawa Barat dan Lampung, sebenarnya merupakan ujung tombak dari pengembangan energi alternatif. Ini berarti bahwa tercapai-tidaknya target-target sebagaimana tercantum didalam Blueprint Pengelolaan Energi pada akhirnya akan ditentukan oleh seberapa kuat atau lemahnya komitmen pemerintah daerah. Karena itu, lemahnya komitmen, sebagaimana ditunjukan oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat dan Lampung membuat bisa-tidaknya target diversifikasi konsumsi energi seperti tercantum didalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional masih dalam tanda tanya besar. Di Jawa Barat dan Lampung tidak diperoleh informasi yang menunjukkan perkembangan konsumsi energi. Namun demikian, pada tingkat nasional, informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa diversifikasi konsumsi energi bergerak sangat lambat. Sebagaimana bisa dilihat di Tabel 3.2, dalam kurun waktu 1995-2007, proporsi konsumsi BBM hanya mengalami penurunan dalam proporsi yang sangat kecil, yaitu dari 43,1% menjadi 38,7%. Penurunan yang sangat kecil itu merefleksikan bahwa program pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif berjalan lambat dan menghadapi berbagai macam permasalahan.
49
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:49
6/22/2010 6:28:21 PM
Latif Adam
Tabel 3.2 Struktur Konsumsi Energi di Indonesia Proporsi (%)
Pertumbuhan (%)
1995
2001
2007
95-01
01-07
9507
Biomasa
44,1
36,5
30,0
1,2
0,3
0,8
Batubara
2,9
5,1
13,3
14,6
21,7
18,1
Gas Bumi
3,5
6,6
8,8
15,9
8,8
12,3
BBM
43,1
43,6
38,7
4,6
1,7
3,1
LPG
1,0
1,1
1,2
5,9
4,7
5,3
Listrik
5,3
7,1
8,1
9,3
6,2
7,8
568.727
735.275
915.892
4,4
3,7
4,1
TOTAL (Ribu SBM)
Sumber: Dihitung dari Departemen ESDM, Neraca Industri, berbagai penerbitan
Selama penelitian, narasumber dari beberapa dinas di Jawa Barat dan Lampung mengemukakan beberapa permasalahan yang menururt mereka berkontribusi terhadap munculnya kesulitan untuk mengembangkan energi alternatif. Pertama, legal framework dari program pengembangan energi alternatif masih belum digunakan sebagai acuan formal pada tataran implementasi. Akibatnya, pengembangan energi alternatif masih bersifat parsial dan memiliki kecenderungan untuk tetap mengacu kepada UU mengenai jenisjenis energi tertentu, seperti UU Panas Bumi, UU Kelistrikan, ataupun UU Migas. Karena masih bersifat parsial, tidak jarang pengembangan energi alternatif yang satu bertabrakan dengan pengembangan energi alternatif lainnya. Misalnya, di Jawa Barat, ada indikasi bahwa pengembangan batubara dan panas bumi dilakukan secara sendirisendiri. Tidak mengherankan bila pengembangan kedua jenis energi
50
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:50
6/22/2010 6:28:21 PM
Prospek Pengembangan Energi Alternatif di Jawa Barat dan Lampung
alternatif itu bersifat saling mematikan daripada secara harmonis berjalan beriringan. Kedua, UU Energi belum diturunkan kedalam program-program yang jelas dan logis sehingga mempermudah pelaksanaan dan koordinasi diantara pemerintah pusat dan daerah. Hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa narasumber di Lampung menunjukkan terdapat kesan bahwa pemerintah pusat dan daerah bersifat saling menunggu. Artinya, di satu sisi, pemerintah daerah menunggu instruksi apa yang harus mereka lakukan dari pemerintah pusat. Di sisi lain, pemerintah pusat kemungkinan besar juga menunggu masukan dari pemerintah daerah. Seandainya UU Energi sudah dijabarkan kedalam program pelaksanaan yang implementatif, narasumber yang diwawancarai mengungkapkan bahwa sifat saling menunggu ini mungkin tidak akan muncul ke permukaan. Lebih dari itu, penjabaran UU Energi kedalam program-program yang implementatif menjamin berkembangnya energi alternatif dengan arah yang jelas sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing daerah. Ketiga, ego sektoral dari masing-masing dinas yang tidak terkoordinasi masih lekat mewarnai pengembangan energi alternatif di dua lokasi penelitian. Hal ini boleh jadi merupakan akibat dari tidak adanya coordinating institution yang bertanggung jawab melakukan koordinasi baik antar dinas ataupun diantara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Misalnya, di Lampung hampir setiap dinas memiliki versi sendiri-sendiri mengenai jenis energi alternarif yang pantas ditempatkan pada posisi prioritas. Masing-masing dinas menganggap jenis energi alternatif versi dinas merekalah yang paling benar, dan karena itu kurang memberikan dukungan terhadap pengembangan energi alternatif yang diusulkan oleh dinas lainnya.
51
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:51
6/22/2010 6:28:21 PM
Latif Adam
Keempat, hampir semua dinas yang dikunjungi di dua lokasi penelitian beranggapan bahwa political will dari pemerintah pusat mengenai pengembangan energi alternatif masih belum jelas. Hal ini salah satunya terindikasi dari kebijakan insentif. Di satu sisi, biaya investasi untuk memproduksi suatu jenis energi alternatif relatif mahal sehingga jenis energi alternatif itu belum memiliki nilai ekonomis untuk dikomersialkan. Di sisi lain, insentif yang disediakan pemerintah pusat masih bersifat minimalis. Akibat dari masih minimalnya insentif yang disediakan, maka pihak swasta belum banyak yang tertarik menanamkan investasinya didalam pengembangan energi alternatif karena boleh jadi hitung-hitungan mereka menunjukkan bahwa usaha pengembangan energi alternatif tidak akan memberikan keuntungan. Kelima, pengembangan energi alternatif memerlukan dukungan teknologi dan inovasi. Sayangnya, teknologi dan inovasi yang dibutuhkan untuk mendukung pengembangan energi alternatif relatif masih tetap berjalan di tempat. Misalnya, diperlukan teknologi dan inovasi agar produktivitas tanaman jarak meningkat lebih tinggi dari tingkat produktivitas saat ini. Permasalahannya adalah, penelitian untuk menemukan teknologi dan inovasi yang bermanfaat untuk mendukung pengembangan energi alternatif di Indonesia pada umumnya atau di dua lokasi penelitian pada khususnya tidak seintensif seperti yang dilakukan beberapa negara tetangga, seperti Malaysia atau China (Adam, 2009). Alokasi dana penelitian di bidang ini yang relatif masih kecil menjadi kendalanya. Mengacu kepada pengalaman Malaysia dan China, pemerintah tampaknya perlu mengalokasikan dana penelitian yang lebih besar dari yang saat ini ada. Melengkapi permasalahan-permasalahan yang dikemukakan beberapa narasumber di berbagai dinas di Jawa Barat dan Lampung, wawancara dengan masyarakat yang terlibat didalam pengembangan energi alternatif di dua lokasi penelitian menunjukkan terdapat
52
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:52
6/22/2010 6:28:21 PM
Prospek Pengembangan Energi Alternatif di Jawa Barat dan Lampung
beberapa poin permasalahan tambahan didalam pengembangan energi alternatif. Pertama, struktur pasar sebagai perangsang pengembangan energi alternatif belum terbentuk secara solid. Tersedianya energi konvensional (BBM) dengan harga yang masih terjangkau menjadi disinsentif bagi terbentuknya pasar energi alternatif. Artinya, masyarakat cenderung bersikap resistan membentuk pasar melalui pemanfaatkan energi alternatif karena harga energi alternatif relatif lebih mahal dibandingkan dengan energi konvensional (BBM). Kedua, terbatasnya teknologi membuat biaya produksi untuk menghasilkan energi alternatif relatif mahal. Misalnya, untuk menghasilkan 1 liter bio-diesel, dibutuhkan kurang lebih 10 kg jarak. Kalau harga per 1 kg jarak Rp 1.000, maka harga jual bio-disel dari tanaman jarak, minimal harus Rp 10.000, jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga jual solar di pasaran. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tingginya biaya produksi untuk menghasilkan energi alternatif ini menjadi disinsentif untuk menarik pihak swasta untuk terlibat didalam program pengembangan energi alternatif. Ketiga, terbatasnya teknologi juga membuat jalur distribusi tidak berperan secara optimal didalam pengembangan energi alternatif. Misalnya, di Desa Haur Gombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, bio-gas dari limbah kotoran sapi yang diproduksi masyarakat seringkali lebih banyak (excess supply) dibandingkan dengan yang dibutuhkan masyarakat. Kelebihan pasokan itu seringkali terbuang percuma karena belum ada teknologi yang bisa memadatkan bio gas yang dihasilkan masyarakat untuk didistribusikan dan di pasarkan ke daerah lain. Jalur distribusi juga menjadi kendala didalam pengembangan tanaman jarak. Misalnya, masyarakat di Desa Way Isem, Kota Bumi, Lampung memiliki pengetahuan yang sangat terbatas mengenai jalur
53
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:53
6/22/2010 6:28:21 PM
Latif Adam
distribusi tanaman jarak. Artinya, masyarakat tidak mengetahui secara pasti bagaimana dan kepada siapa meraka harus memasarkan hasil jarak. Keempat, terdapat indikasi bahwa program DME (Desa Mandiri Energi) difahami secara keliru oleh masyarakat. Artinya, DME sebenarnya ditujukan agar masyarakat di suatu desa bisa self sufficient didalam memproduksi dan mengkonsumsi energi. Namun demikian, didalam DME masyarakat memposisikan kedudukan mereka hanya sebagai satu elemen didalam rangkaian proses produksi suatu jenis energi alternatif. Misalnya, masyarakat di Desa Way Isem sebagai salah satu Desa Mandiri Energi di Lampung menganggap peran mereka sebatas hanya sebagai penghasil tanaman jarak. Mereka sama sekali tidak memiliki ketertarikan untuk memanfaatkan jarak sebagai sumber energi. Selain jarak, mereka berpendapat bahwa sumber energi di desa mereka tersedia cukup banyak (seperti kayu bakar). Lebih dari itu, mereka menghitung bahwa jauh lebih menguntungkan apabila mereka mengkonsumsi jenis sumber energi lain selain jarak. Kaji ulang mengenai konsep DME tampaknya mendesak untuk dilakukan sebagai bagian integral dari sukses-tidaknya program pengembangan energi alternatif. Misalnya, prioritas program DME yang terbatas hanya di daerah-daerah remote dengan tekanan hanya pada filosopi self-sufficient tidak akan optimal mendorong masyarakat meengembangkan dan memanfaatkan energi alternatif karena, paling tidak karena dua hal. Pertama, masyarakat di daerah pedesaan memiliki sumber energi alternatif yang lebih beragam dibandingkan di daerah yang dekat perkotaan. Kedua, kebutuhan energi dan tingkat konsumsi masyarakat di daerah remote relatif lebih sedikit dibandingkan dengan masyarakat di daerah yang dekat perkotaan.
54
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:54
6/22/2010 6:28:22 PM
Prospek Pengembangan Energi Alternatif di Jawa Barat dan Lampung
Beranjak dari dua permasalahan di atas, program DME idealnya tidak harus terbatas pada konsep self-sufficient. Lebih dari itu, DME harus mampu mendorong daerah pedesaan untuk menjadi produsen energi yang tidak hanya sebatas mampu memenuhi kebutuhan konsumsi mereka, tetapi bisa di jual ke daerah lainnya. Bila tata ulang mengenai program DME berhasil dilakukan, maka daerah-daerah DME akan menjadi pusat penciptaan uang. Dengan demikian, maka program pengembangan energi alternatif akan berjalan beriringan dengan program peningkatan kesejahteraan masyarakat.
3.4 Kebijakan Pemerintah Penjelasan pada bagian-bagian sebelumnya telah menunjukkan bahwa komitmen pemerintah daerah di dua lokasi penelitian (juga pemerintah pusat) didalam pengembangan energi alternatif relatif masih sangat lemah. Hal ini, salah satunya, terindikasi dari belum adanya kebijakan yang komprehensif, integratif, dan bisa diandalkan untuk mempercepat pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif. Tidak adanya kebijakan yang komprehensif, integratif, dan reliable ini diperkirakan akan menghambat upaya pengembangan energi alternatif karena secara konseptual, sering dikemukakan bahwa kebijakan merupakan fondasi yang bisa berperan sebagai acuan dasar untuk mencapai suatu tujuan pembangunan (Acemoglu et al., 2004). Harus diakui, ada beberapa kebijakan yang telah disusun dan diberlakukan Pemerintah Daerah Jawa Barat dan Lampung sebagai bagian dari upaya pengembangan energi alternatif (Tabel 3.3). Namun demikian, ada kesan bahwa kebijakan pengembangan energi alternatif yang telah disusun pemerintah di dua lokasi penelitian kurang implementatif dan integratif. Terdapat indikasi bahwa kebijakan pengembangan energi alternatif di Jawa Barat dan Lampung lebih cenderung bersifat imperatif daripada aplikatif. Misalnya, di Jawa
55
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:55
6/22/2010 6:28:22 PM
Latif Adam
Barat, dikemukakan bahwa salah satu kebijakan untuk mendorong pengembangan energi altermatif adalah meningkatkan partisipasi dan investasi pihak swasta. Sayangnya, langkah aksi yang lebih implementatif bagaimana menarik partisipasi swasta didalam pengembangan energi alternatif masih belum terjabarkan dengan baik. Karena itu, tidak terlalu mengherankan bila di daerah Jawa Barat (juga Lampung) swasta belum banyak tertarik untuk terlibat didalam pengembangan energi alternatif Tidak jauh berbeda dengan di Jawa Barat, di Lampung kebijakan pengembangan energi alternatif juga relatif masih belum down to earth. Misalnya, peningkatan infrastruktur yang secara konseptual merupakan salah satu poin penting dari kebijakan untuk mendorong pengembangan energi alternatif, belum banyak tersentuh pada tataran inplementasi. Pada gilirannya, hal ini kemudian menyebabkan infrastruktur untuk mendorong pengembangan energi alternatif di daerah Lampung (juga di Jawa Barat), seperti sarana dan prasarana transportasi ataupun pasar dan jaringan distribusi masih belum terbangun secara solid. Lebih dari itu, seorang narasumber dari satu dinas di Lampung yang diwawancarai justru kebingungan ketika kepada dia ditanyakan infrastruktur apa yang akan dibangun untuk menfasilitasi percepatan pengembangan energi alternatif.
56
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:56
6/22/2010 6:28:22 PM
Prospek Pengembangan Energi Alternatif di Jawa Barat dan Lampung
Tabel 3.3 Strategi dan Kebijakan Pengembangan Energi Alternatif di Jawa Barat dan Lampung Jawa Barat1
Lampung2
• Melaksanakan dukungan pelaksanaan kebijakan intensifikasi, diversifikasi dan konservasi energi dalam rangka : Meningkatkan kemampuan pasokan energi; Mengoptimalkan produksi energi; Diversifikasi penggunaan sumber energi; Konservasi sumber daya energi; Efisiensi pemanfaatan energi; • Meningkatkan cakupan layanan dan kualitas infrastruktur energi khususnya bagi masyarakat miskin dan daerah kurang berkembang; • Melaksanakan upaya pelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan energi • Meningkatkan peran aktif dan investasi dunia usaha dalam pengembangan energi • Peningkatan sarana dan prasarana, serta peningkatan kompetensi dan profesionalisme aparatur; • Meningkatkan jejaring kerja diantara para pihak (Forum Energi Daerah) dalam rangka pengembangan energi
• Percepatan pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif • Peningkatan infrastruktur yang mendukung pengembangan dan pembangunan energi terbarukan • Diversifikasi dan intensifikasi enrgi alternatif sesuai potensi daerah Provinsi Lampung • Peningkatan koordinasi dengan instansi terkait, pengusaha dan masyarakat • Peningkatan kualitas SDM bagi aparatur dan masyarakat • Menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha bidang energi alternatif • Penyediaan data dan informasi yang akurat
Sumber : 1. Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat 2. Dinas ESDM Provinsi Lampung
Model pengembangan energi alternatif di Indonesia yang masih cenderung bersifat sentralistik boleh jadi menjadi salah satu faktor mengapa kebijakan pengembangan energi alternatif di dua lokasi penelitian kurang aplikatif. Artinya, berbeda dengan yang dilakukan Pemerintah Brazil dimana setiap daerah (states) memiliki
57
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:57
6/22/2010 6:28:22 PM
Latif Adam
kebebasan menentukan dan menyusun kebijakan berdasarkan potensi sumber daya, kebutuhan, dan permasalahan yang dihadapi masingmasing daerah (Handayani, 2009), ada indikasi bahwa kebijakan pengembangan energi alternatif di Indonesia lebih banyak di susun dan hanya merupakan inisiatif pemerintah pusat. Karena lebih banyak merupakan inisiatif pemerintah pusat, pemerintah daerah seringkali mengalami kesulitan untuk menterjemahkan kebijakan pemerintah pusat kedalam kebijakan daerah secara lebih implementatif. Akibatnya, kebijakan pengembangan alternatif yang disusun setiap pemerintah daerah masih bersifat sangat umum, generik, dan kurang fokus didalam meng-address kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi masingmasing daerah. Mengacu kepada permalahan di atas, kaji ulang mengenai paradigma pengembangan energi alternatif mendesak untuk dilakukan. Artinya, setiap pemerintah daerah perlu diberikan kesempatan dan ruang yang lebih luas untuk menyusun kebijakan pengembangan energi alternatif dengan basis potensi sumber daya, kebutuhan, dan permasalahan yang dihadapi masing-masing daerah. Dalam kaitan ini, pemerintah daerah juga perlu memiliki visi yang jauh kedepan dengan menempakan isu mengenai pengembangan energi alternatif sebagai isu sentral untuk menjaga stabilitas dan kemandirian energi di daerahnya. Namun demikian, walaupun pemerintah daerah diberi kewenangan untuk menyusun kebijakan berdasarkan potensi sumber daya, kebutuhan, dan permasalahan yang dihadapi masing-masing daerah, akan lebih baik bila pemerintah daerah juga mengkoordinasikan setiap kebijakan yang disusun dan akan diimplementasikannya dengan pemerintah pusat. Dengan jalan ini, maka overlapping diantara kebijakan pemerintah pusat dan daerah bisa ditekan seminimal mungkin. Lebih dari itu, terbangunnya koordinasi diantara pemerintah
58
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:58
6/22/2010 6:28:22 PM
Prospek Pengembangan Energi Alternatif di Jawa Barat dan Lampung
pusat dan daerah menjamin munculnya simbiosis mutualisme yang saling melengkapi diantara kebijakan yang disusun pemerintah daerah dengan kebijakan yang disusun pemerintah pusat. Selain diantara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, koordinasi juga perlu dibangun diantara dinas-dinas yang ada di daerah. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, tidak adanya koordiansi diantara beberapa dinas di Lampung menyebabkan program pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif di daerah itu bersifat kontraproduktif. Masing-masing dinas mengunggulkan jenis energi alternatif versi dinasnya, dan kurang mendukung pengembangan jenis energi alternatif yang diusulkan dinas lain. Selain koordinasi, temuan di dua lokasi penelitian juga menunjukkan terdapatnya beberapa langkah strategis yang perlu dijadikan priorotas didalam mempercepat pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif. Pertama, pemahaman masyarakat di dua lokasi penelitian mengenai pentingnya pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif masih sangat lemah. Karena itu, sosialisasi dan edukasi untuk memberi informasi mengenai pentingnya pengembangan energi alternatif perlu lebih diintensifkan. Sosialisasi dan edukasi juga diharapkan akan mampu meningkatkan kesadaran dan membangunkan kepedulian masyarakat untuk secara aktif berpartisipasi tidak hanya dalam pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif, tetapi juga untuk mengurangi pemanfaatan (tingkat konsumsi) dan ketergantungan terhadap energi konvensionaal (BBM). Kedua, pemerintah daerah di dua lokasi penelitian juga perlu memiliki road map yang jelas mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh untuk mempercepat pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif. Didalam road map, idealnya juga dikemukakan targettarget capaian setiap waktu. Dengan adanya road map, diharapkan
59
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:59
6/22/2010 6:28:22 PM
Latif Adam
pemerintah daerah bisa memilih dan mempertimbangkan langkah apa yang perlu diprioritaskan untuk memfasilitasi percepatan pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif. Ketiga, Pemerintah Daerah Jawa Barat dan Lampung juga perlu memprioritaskan pembangunan infrastruktur. Beberapa jenis infrastruktur, seperti sarana dan prasarana transportasi, dikemukakan masayarakat di dua lokasi penelitian akan membantu memfasilitasi akselerasi pengembangan energi alternatif. Lebih dari itu, Pemerintah Daerah Jawa Barat dan Lampung perlu menyediakan sarana dan prasarana informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi terbentuknya pasar dan jaringan pemasaran energi alternatif. Keempat, untuk menarik dan meningkatkan partisipasi serta investasi pihak swasta, pemerintah daerah juga perlu menawarkan beberapa kemudahan bagi pihak swasta, baik dalam bentuk fasilitas fiskal dan non fiskal. Argumentasinya adalah, investasi di bidang energi alternatif bersifat long-term, penuh risiko, membutuhkan proses inovasi yang berkelanjutan, dan pemasarannya belum jelas. Karena itu, tuntutan penyediaan insentif perlu dipertimbangkan secara serius dan bijaksana. Sebagaimana dikemukakan oleh salah satu pelaku usaha di bidang pengembangan energi alternatif di Jawa Barat, dalam bidang fiskal, insentif yang diperlukan adalah: •
Penurunan atau penghapusan bea masuk impor permesinan (capital goods)
•
Depresiasi dan atau amortisasi yang dipercepat
•
Kompensasi kerugian fiskal selama periode waktu tertentu
•
Penurunan pajak penghasilan (Pph)
60
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:60
6/22/2010 6:28:22 PM
Prospek Pengembangan Energi Alternatif di Jawa Barat dan Lampung
Sementara itu, dalam bidang non-fiskal, insentif yang diharapkan pelaku usaha di bidang pengembangan energi alternatif meliputi berbagai hal sebagai berikut: •
Peta berbagai jenis energi alternatif yang potensial untuk dikembangkan
•
Investor desks
•
Pusat pengembangan bisnis
•
Kawasan industri pengembang energi alternative
•
Iklim investasi yang lebih kondusif dengan menghilangkan beragan peraturan yang tidak pro-bisnis
Beberapa jenis insentif yang dibutuhkan pihak swasta, khususnya di bidang fiskal, bukan merupakan domain pemerintah daerah, tetapi justru merupakan porsinya pemerintah pusat. Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa dibutuhkan kerjasama yang sinergis dan harmonis diantara pemerintah pusat dan daerah. Misalnya, sepanjang tidak bertentangan dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku (seperti UU Investasi No. 25/2007) pemerintah daerah bisa saja mengusulkan dan meminta pemerintah pusat memberikan insentif fiskal kepada perusahaan yang berlokasi di daerahnya. Permohonan pemerintah daerah itu tidak berlebihan dikaitkan dengan strategisnya isu mengenai energi alternatif sebagai energi masa depan yang akan mempunyai peran penting untuk mendukung ketahanan dan kemandirian energi di masa mendatang. Kelima, salah satu faktor penting yang mendukung keberhasilan Brazil dalam mengembangkan energi alternatif adalah adanya dukungan dari sektor industri dan transportasi. Artinya, ketika Brazil
61
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:61
6/22/2010 6:28:22 PM
Latif Adam
mengembangkan program energi alternatif, maka sektor industri dan transportasi di negara itu mendukungnya dengan memberikan jaminan bahwa mereka akan menggunakan energi alternatif yang dihasilkan. Dalam kaitan ini, Pemerintah Daerah Jawa Barat dan Lampung, dengan bantuan pemerintah pusat, idealnya tidak hanya sekedar menghimbau, tetapi harus bisa memaksa sektor industri dan transportasi untuk menggunakan energi alternatif pada suatu persentase tertentu. Langkah ini bisa dimulai dari sarana transportasi yang dimiliki pemerintah daerah ataupun perusahaan-perusahaan yang menjadi rekanan atau dimiliki oleh pemerintah daerah (BUMD). Keenam, Pemerintah Daerah Jawa Barat dan Lampung idealnya juga memiliki komitmen untuk membangun dan memperkuat kelembagaan yang pro terhadap pengembangan dan pemaanfaatan energi alternatif. Misalnya, karakter investasi di bidang energi alternatif tidak sama dengan jenis investasi lainnya. Karena itu, diperlukan kelembagaan khusus yang bisa memfasilitasi bagaimana investor yang tertarik dibidang pengembangan energi alternatif tidak mengalami kesulitan ketika mereka mengajukan permohonan untuk berinvestasi. Demikian halnya, pembentukan dan penguatan kelembagaan diperlukan untuk memfasilitasi tumbuhnya pasar dan jaringan distribusi
3.5 Kesimpulan Tulisan pada bab ini telah mendiskusikan prospek pengembangan energi alternatif di dua lokasi penelitian, yaitu Jawa Barat dan Lampung. Penjelasan pada bagian-bagian sebelumnya menunjukkan bahwa kedua lokasi penelitian memiliki potensi sumber daya dan prospek yang cukup baik sebagai lokasi pengembangan energi alternatif. Sayangnya, pengembangan energi alternatif di dua daerah itu belum memberikan hasil seperti yang diharapkan. Rendahnya komitmen pemerintah daerah (juga pemerintah pusat) menjadi salah satu faktor
62
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:62
6/22/2010 6:28:23 PM
Prospek Pengembangan Energi Alternatif di Jawa Barat dan Lampung
penghambat pengembangan energi alternatif. Hal ini terlihat sangat jelas di Lampung dimana daerah ini belum memiliki peta potensi energi alternatif yang komprehensif sehingga Lampung mengalami kesulitan menentukan skala prioritas jenis energi alternatif apa yang pertamatama akan dikembangkan. Selain itu, walaupun kedua daerah penelitian telah memiliki kebijakan untuk pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif, tetapi ada kesan bahwa kebijakan pengembangan energi alternatif yang telah disusun pemerintah di dua lokasi penelitian kurang implementatif dan integratif. Hal ini boleh jadi merupakan akibat dari model pengembangan energi alternatif di Indonesia yang cenderung bersifat sentralistik. Artinya, pemerintah pusat memegang kendali didalam menyusun kebijakan pengembangan energi alternatif. Sayangnya kebijakan pemerintah pusat itu bersifat generik dan kurang mampu mengakomodasi variasi dalam hal karakteristik sumber daya, kebutuhan, dan permasalahan yang dihadapi setiap daerah. Mau atau tidak, kaji ulang mengenai paradigma pengembangan energi alternatif mendesak untuk dilakukan. Perubahan paradigma itu harus memberikan kesempatan dan ruang yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan pengembangan energi alternatif dengan basis potensi sumber daya, kebutuhan, dan permasalahan yang dihadapi masing-masing daerah. Seiring dengan itu, pemerintah daerah juga perlu memiliki visi yang jauh kedepan dengan menempakan isu mengenai pengembangan energi alternatif sebagai isu sentral untuk menjaga stabilitas dan kemandirian energi di daerahnya. Sejalan dengan perubahan didalam paradigma pengembangan energi alternatif, terdapatnya beberapa langkah strategis yang perlu dijadikan prioritas oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat dan Lampung
63
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:63
6/22/2010 6:28:23 PM
Latif Adam
didalam mempercepat pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif: •
Memperbaiki koordinasi yang lebih seimbang diantara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat maupun diantara dinas yang ada di pemerintah daerah
•
Mengintensifkan sosialisasi dan edukasi untuk meningkatkan pemahaman, kesadaran, dan kepedulian masyarakat mengenai pentingnya pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif
•
Menyusun road map yang jelas mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh untuk mempercepat pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif
•
Memprioritaskan pembangunan infrastruktur, khususnya sarana dan prasarana transportasi serta informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi terbentuknya pasar dan jaringan pemasaran energi alternatif
•
Menawarkan insentif fiskal dan non-fiskal untuk menarik partisipasi dan investasi pihak swsta
•
Menerbitkan peraturan yang bisa memaksa sektor industri dan trasportasi menggunakan energi alternatif dalam jumlah (persentase) tertentu
•
Membangun dan memperkuat kelembagaan yang pro terhadap pengembangan energi alternatif
64
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:64
6/22/2010 6:28:23 PM
Prospek Pengembangan Energi Alternatif di Jawa Barat dan Lampung
DAFTAR PUSTAKA
Acemoglu, D., Johnson, S., Robinson, J., 2004, ”Institution as the Fundamental Cause of Long Run Growth”, NBER Working Paper No. 10481, National Berau of Economic Research, Cambridge Adam, L., 2009, “Analisis Kebijakan di Sektor Industri”, dalam Sambodo, M.T. (ed.) Pengaruh Kebijakan Harga Energi terhadap Kegiatan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat Studi Kasus Sektor Indusrti, Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI Handayani, R., 2009, BBN Lebih dari Sekedar Energi Alternatif, hhtp:// www.pewarta-kabariindonesia.blogspot.com, diakses 28 Nopember 2009 Lestari, E., Adam, L., Sambodo, M.T., Purwanto, dan Ermawati, T., 2007, Pengaruh Kebijakan Harga Energi terhadap Kegiatan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat: Dampak Kenaikan Harga BBM, Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI Marijan, K., 2005, “The Impact of Decentralization on Cluster Industry”, Indonesian Quarterly, Vol. 33 No. 2, pp. 183-203 Purwanto, Jusmaliani, Adam, L., Lestari, E., Ermawati, T., dan Sambodo, M.S., 2008, Pengaruh Kebijakan Harga Energi terhadap Kegiatan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat Studi Kasus Sektor Transportasi, Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI Sambodo, M.T., Purwanto, Adam, L., Lestari, E., Ermawati, T., dan Sambodo, M.S., 2009, Pengaruh Kebijakan Harga Energi terhadap Kegiatan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat Studi Kasus Sektor Indusrti, Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI Yuliarto, B. 2009, Gagalnya Kebijakan Energi, http://www.jatam.org/ index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=354, diakses 26 Mei 2008
65
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:65
6/22/2010 6:28:23 PM
66
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:66
6/22/2010 6:28:23 PM
Keterkaitan Antara Program Pengembangan Energi Alternatif dan Kesejahteraan Masyarakat
BAB 4 KETERKAITAN ANTARA PROGRAM PENGEMBANGAN ENERGI ALTERNATIF DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Siwage Dharma Negara
4.1 Latar belakang Dewasa ini pemenuhan kebutuhan akan sumber energi di Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar fosil atau bahan bakar minyak (BBM). Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, kebutuhan akan sumber energi fosil diperkirakan akan terus meningkat. Padahal cadangan bahan bakar fosil terbatas dan cenderung semakin berkurang dari waktu ke waktu. Dalam situasi ini, tanpa adanya kebijakan pengembangan sektor energi alternatif, besar kemungkinan Indonesia akan merasakan dampak krisis energi di masa depan. Sebenarnya potensi bagi peningkatan kontribusi energi alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi domestik sangat besar. Dilihat dari kondisi geografis dan lokasinya, Indonesia memiliki limpahan potensi sumber daya energi alternatif seperti tenaga air (hydro power), tenaga surya (solar power), tenaga angin (wind power), panas bumi (geothermal), biomassa, hingga biofuel. Selain itu, dengan wilayah yang terdiri dari banyak pulau-pulau kecil dan terpencil, maka penggunaan sumber energi alternatif ini menjadi pilihan yang sangat tepat untuk memenuhi kebutuhan listrik dan bahan bakar bagi masyarakat di wilayah tersebut.
67
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:67
6/22/2010 6:28:23 PM
Siwage Dharma Negara
Saat ini pemanfaatan energi alternatif di Indonesia masih sangat minim. Masyarakat lebih memilih untuk menggunakan energi konvensional BBM dibandingkan dengan menggunakan energi alternatif seperti Bahan Bakar Nabati (BBN) atau biofuel (biodiesel, bioetanol, dan bio-oil) dan biomassa (biogas) karena faktor harga yang relatif lebih murah dan faktor ketersediaan (mudah diperoleh). Salah satu penyebab mengapa harga BBM relatif murah adalah kebijakan subsidi BBM. Kebijakan subsidi ini sebenarnya menyebabkan inefisiensi dalam alokasi sumber daya energi dan mendorong konsumsi BBM secara tidak efisien. Subsidi BBM membuat masyarakat tidak menyadari harga dari produk BBM yang sesungguhnya jauh lebih mahal. Di satu sisi, pemerintah sebenarnya telah mencoba mengupayakan peningkatan pemanfaatan sumber energi alternatif dengan mengeluarkan berbagai kebijakan, strategi dan program di sektor ini. Tetapi di sisi lain, terdapat berbagai faktor yang tidak diperhitungkan secara matang dan justru mengakibatkan kendala dalam implementasi. Bahkan, kerap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak terkoordinasi dengan baik dan terkesan masing-masing departemen berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya banyak terjadi benturan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Misalnya, konflik antara upaya mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap BBM dengan kebijakan subsidi BBM atau konflik antara upaya mengembangkan BBN dengan kebijakan pangan. Selain itu, masalah koordinasi yang lemah antar instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah, merupakan beberapa faktor utama yang menjadi kendala bagi pengembangan energi alternatif saat ini. Pada dasarnya, tujuan pengembangan energi alternatif yang dicanangkan oleh pemerintah bisa dibagi menjadi dua tahapan pencapaian. Dalam jangka pendek, pemanfaatan energi alternatif ini diarahkan untuk memenuhi kebutuhan energi bagi masyarakat
68
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:68
6/22/2010 6:28:23 PM
Keterkaitan Antara Program Pengembangan Energi Alternatif dan Kesejahteraan Masyarakat
perdesaan dan daerah terpencil secara berkelanjutan dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di daerahnya. Daerahdaerah terpencil yang belum memperoleh akses elektrifikasi perlu mendapatkan penekanan agar masyarakat di daerah tersebut dapat turut menikmati hasil-hasil pembangunan. Disamping itu kegiatan ini diharapkan dapat membantu perekonomian daerah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah melalui pengembangan bahan baku dan industri bahan bakar nabati. Sedangkan dalam jangka panjang, pemanfaatan energi alternatif (non fosil) diharapkan dapat mengurangi ketergantungan kita akan bahan bakar fosil. Cadangan bahan bakar fosil yang kita miliki memang sudah semakin menipis dan perlu kehatihatian dalam memanfaatkan sisa cadangan yang ada. Pemanfaatan energi alternatif juga diharapkan dapat mengurangi emisi karbon sehingga semakin ramah lingkungan. Berdasarkan “Cetak Biru Energi 2005-2025” yang disusun oleh TimNas BBN, kontribusi energi alternatif diproyeksikan akan meningkat dari 4.3% saat ini menjadi 17% pada 2025. Proyeksi ini terlihat cukup ambisius apabila tidak disertai dengan berbagai peraturan teknis dan konsistensi dalam implementasi di lapangan. Untuk mencapai target tersebut, Indonesia perlu memanfaatkan potensi energi alternatif yang ada secara optimal. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga saat ini hanya sekitar 2% potensi energi alternatif yang termanfaatkan (Tabel 4.1).
69
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:69
6/22/2010 6:28:23 PM
Siwage Dharma Negara
Tabel 4.1 Potensi dan Kapasitas Terpasang Sumber Energi Alternatif di Indonesia Sumber energi alternatif Hydro Geothermal Mini/Micro Hydro Biomass Solar Wind Sumber: Kementerian ESDM
Potensi
Kapasitas terpasang
75.670 27.000 450 49.810 4.8 kWh/m2/day 9.290
4.200 1.052 86 445 12 0.6
Berdasarkan latar belakang di atas, menarik untuk mengkaji apakah pemerintah dan masyarakat memiliki persepsi yang sama terkait dengan tujuan, kebijakan dan program pengembangan energi alternatif saat ini. Oleh karena itu, studi ini mencoba menggali persepsi masyarakat dan aparat pemerintah daerah di dua wilayah penelitian yaitu Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Lampung terkait dengan program pemerintah pusat untuk mengembangkan energi alternatif. Fokus kajian penelitian ini adalah persepsi masyarakat terhadap konsep, strategi dan program pengembangan energi alternatif. Dalam penelitian lapangan, tim melakukan observasi di beberapa Desa Mandiri Energi (DME) yang menjadi program unggulan pemerintah dalam pengembangan energi alternatif sejak tahun 2006. Tim peneliti melakukan focus group discussion dan wawancara dengan para staf pemerintah daerah dan anggota masyarakat terkait dengan pengembangan energi alternatif di wilayah yang bersangkutan. Secara spesifik, tim peneliti mencoba menemukan bukti tentang sejauhmana masyarakat perdesaan dan daerah terpencil telah mengelola potensi daerahnya dan memanfaatkan energi alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi mereka secara berkelanjutan. Selanjutnya, tim peneliti
70
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:70
6/22/2010 6:28:24 PM
Keterkaitan Antara Program Pengembangan Energi Alternatif dan Kesejahteraan Masyarakat
juga mencoba menggali persepsi masyarakat tentang sejauhmana program pengembangan energi alternatif ini dapat membantu perekonomian daerah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah melalui pengembangan bahan baku dan industri energi alternatif.
4.2 Program Pengembangan Energi Alternatif Sejak mulai dirasakannya dampak krisis energi pada semester kedua tahun 2005, pemerintah mulai aktif mengeluarkan berbagai program pengembangan energi alternatif. Seperti disebutkan di atas, target pemerintah untuk mengembangkan energi alternatif dalam jangka pendek adalah untuk memenuhi kebutuhan energi dasar di perdesaan dan daerah terpencil. Berdasarkan data BPS tahun 2005, sekitar 19,5% penduduk yang tinggal di wilayah perdesaan (atau sekitar 22,7 juta orang) hidup di bawah garis kemiskinan (Rp. 117.000 per bulan). Dasar kebijakan pengembangan energi alternatif ini adalah untuk menciptakan kegiatan ekonomi dan meningkatkan akses masyarakat miskin di perdesaan terhadap energi, terutama listrik (lihat Gambar 4.1). Desa Mandiri Energi Penciptaan lapangan kerja
Setiap daerah mengembangkan BBN sesuai potensi
Jalur cepat
Energi Pengurangan kemiskinan
Kawasan Khusus Pengembangan BBN
JANGKA PENDEK
JANGKA PANJANG
Rasio investasi dengan tenaga kerja yang jelas
Jadwal Waktu tepat
Demplot
Infrastruktur
Gambar 4.1 Target Pengembangan Energi Alternatif Sumber : Departemen ESDM
71
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:71
6/22/2010 6:28:24 PM
Siwage Dharma Negara
Di daerah-daerah perdesaan yang terpencil, listrik belum memasyarakat karena infrastruktur jaringan PLN belum terpasang. Oleh karena itu, dengan adanya program pengembangan energi alternatif yang dapat menghasilkan listrik bagi masyarakat di wilayah-wilayah tersebut diharapkan kemajuan pembangunan dapat didistribusikan secara merata. Beberapa program pengembangan energi alternatif yang telah berjalan mencakup: 1.
Program pengembangan micro hydro yang merupakan program kolaborasi antara GTZ sebuah organisasi internasional yang bergerak di bidang pembangunan berkelanjutan dan bermarkas di Jerman dengan pemerintah pusat dan daerah, dan melibatkan LSM serta pengusaha daerah yang dimulai sejak awal 1990-an. Hingga saat ini, program ini telah berhasil menyediakan listrik bagi sekitar 20.000 rumah tangga dan UMKM di wilayah perdesaan.
2.
Program Desa Mandiri Energi (DME) yang dimulai pada tahun 2005 bertujuan untuk memberdayakan wilayah perdesaan untuk memenuhi kebutuhan energi mereka (swa sembada) melalui pengembangan sumber daya energi yang ada di wilayah tersebut. Hingga saat ini terdapat sekitar 200 desa mandiri energi di Indonesia. Pemerintah menargetkan jumlah DME akan menjadi 2.000 desa pada tahun 2009.
Sedangkan dalam jangka panjang, pengembangan energi alternatif akan diarahkan pada pengurangan ketergantungan pada bahan bakar fosil (Gambar 4.1). Salah satu program unggulan dalam kaitannya dengan pengembangan energi alternatif adalah pengembangan biofuel atau Bahan Bakar Nabati (BBN).
72
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:72
6/22/2010 6:28:24 PM
Keterkaitan Antara Program Pengembangan Energi Alternatif dan Kesejahteraan Masyarakat
4.3 Program Pengembangan Biofuel Pemerintah telah menetapkan fokus pengembangan energi alternatif pada produk biofuel atau Bahan Bakar Nabati (BBN). Mengapa BBN yang dikembangkan? Alasannya, Indonesia memiliki potensi sumber daya tumbuh-tumbuhan yang sangat beragam. Disamping itu, beberapa jenis tanaman komoditas seperti CPO, tebu, dan singkong sudah mencapai tahap produksi skala besar dan sangat komersial. Selain itu teknologi pengolahan produk BBN pun sudah kita miliki. Sebagai stimulus untuk mengembangkan biofuel sebagai energi alternatif bahan bakar fosil, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden No. 1/2006 tentang Pengadaan dan Pemanfaatan Biofuel sebagai Energi Alternatif. Kedua payung hukum ini menjadi dasar bagi pengembangan produk BBN di Indonesia. Pada dasarnya, produk biofuel bisa diklasifikasikan dalam tiga golongan besar biodiesel, bioetanol dan bio-oil. Biodiesel merupakan produk substitusi bagi minyak diesel (solar), bioetanol merupakan produk substitusi bagi bensin (premium), dan bio-oil merupakan produk substitusi bagi minyak tanah dan minyak bakar (fuel oil). Produkproduk biofuel ini menjadi fokus pengembangan energi alternatif di Indonesia. Faktor pendorongnya adalah peningkatan harga minyak internasional dan penurunan produksi minyak domestik. Kedua hal tersebut menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan Indonesia menghadapi krisis energi yang parah apabila tidak ada upaya-upaya pengembangan energi alternatif di masa depan. Selain itu, pengembangan biofuel sendiri juga bisa dipandang sebagai sarana untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan sektor investasi dan ekspor, menciptakan lapangan pekerjaan bagi sektor perkebunan (budidaya tanaman energi) dan
73
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:73
6/22/2010 6:28:24 PM
Siwage Dharma Negara
mengurangi tingkat kemiskinan di wilayah perdesaan. Dengan berkembangnya industri biofuel diharapkan akan terjadi efek beruntun yang dapat mengangkat kesejahteraan petani, tenaga kerja, supplier, dan berbagai industri terkait lainnya. Gambar 4.2 menunjukkan berbagai bahan baku utama biofuel serta produk biofuel yang menjadi turunannya. Misalnya, Biodiesel dihasilkan dari CPO atau biji/minyak jarak, bioetanol dihasilkan dari singkong dan tetes tebu. Pada bagian bawah dari Gambar 2 ditunjukkan pula alternatif bahan baku bagi produk biofuel. Bahan baku alternatif ini sedang diupayakan untuk dikembangkan terutama untuk menghindari konflik antara bahan baku pangan dan energi di masa depan.
Gambar 4.2 Bahan Baku Biofuel Sumber: Soerawidjaja (2009)
74
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:74
6/22/2010 6:28:24 PM
Keterkaitan Antara Program Pengembangan Energi Alternatif dan Kesejahteraan Masyarakat
Soerawidjaja (2009) menjelaskan dengan potensi kekayaan alam yang ada, Indonesia memiliki banyak variasi bahan baku untuk diolah menjadi produk-produk biofuel. Tetapi karena keterbatasan teknologi, tidak semua jenis bahan baku memiliki nilai komersial. Hingga saat ini baru bahan baku CPO yang benar-benar memiliki nilai komersial sebagai bahan baku biodiesel. Pengembangan biodiesel mulai menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan sejak tahun 2006. Pemerintah telah mengalokasikan lebih dari 5 juta hektar lahan untuk produksi biodiesel dan bioetanol dari tumbuhan seperti kelapa sawit, jarak pagar, tebu, singkong, dan sebagainya. Produksi kelapa sawit saat ini telah mencapai tahap yang sangat ekonomis, terutama sejak harga komoditas CPO (Crude Palm Oil) meningkat tajam pada akhir tahun 2006 (Gambar 3).
1400
CPO (US$/TON) Rotterdam
110
CNO SoyOil
veg. oil price (USD/ton)
Crude Oil USD/Barell World avg
90
1000
70
800
600 50
Crude oil price (USD/barell)
1200
400 30 200
01/01/2008
01/10/2007
01/07/2007
01/04/2007
01/01/2007
01/10/2006
01/07/2006
01/04/2006
01/01/2006
01/10/2005
01/07/2005
01/04/2005
01/01/2005
01/10/2004
01/07/2004
01/04/2004
01/01/2004
01/10/2003
01/07/2003
01/04/2003
01/01/2003
01/10/2002
01/07/2002
01/04/2002
01/01/2002
01/10/2001
01/07/2001
01/04/2001
01/01/2001
01/10/2000
01/07/2000
01/04/2000
10 01/01/2000
0
Gambar 4.3 Perkembangan Harga Komoditas Internasional Sumber: CEIC Database
75
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:75
6/22/2010 6:28:24 PM
Siwage Dharma Negara
Gambar 4.3 menunjukkan trend perkembangan harga-harga komoditas CPO, minyak kedelai (soy oil), minyak kelapa (coconut oil/ CNO) dan minyak mentah (crude oil) yang mengalami lonjakan tajam sejak akhir tahun 2006. Sejak itu, dunia sempat dilanda kekhawatiran akan terjadinya krisis energi dan krisis pangan yang sangat parah. Khususnya produk CPO yang digunakan sebagai bahan baku minyak goreng dan juga bahan baku biodiesel, permintaannya mengalami kenaikan yang sangat tinggi. Akibatnya harga CPO menjadi mahal dan investor berlomba-lomba memasuki sektor ini. Pengembangan komoditas kelapa sawit sendiri ternyata banyak menghadapi kritikan. Mulai dari isu perusakan lingkungan akibat deforestasi hingga pada kompetisi penggunaan komoditas sawit antara pangan dan energi. Realita di lapangan, memang banyak pengusaha kelapa sawit yang menjual produk mereka ke pasar internasional, sehingga bahan baku kelapa sawit untuk minyak goreng berkurang. Berkurangnya stok bahan baku CPO mengakibatkan kenaikan biaya produksi dan seterusnya mengakibatkan harga minyak goreng pun mengalami kenaikan tajam. Alternatif komoditas energi yang tidak memengaruhi stok bahan pangan adalah komoditas jarak pagar. Komoditas ini sangat diharapkan dapat menggantikan peran kelapa sawit sebagai komoditas energi. Tetapi sekalipun telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengembangkan produk ini (BPPT, ITB, dll) tetapi produksi tanaman jarak masih belum mencapai tahap komersial. Disamping itu, masalah lainnya adalah teknologi pengolahan biji/minyak jarak menjadi biodiesel saat ini belum semaju teknologi pengolahan CPO menjadi biodiesel. Tahun 2006, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 10/2006 tentang pembentukan TimNas Pengembangan Biofuel, merupakan tonggak awal bagi pengembangan energi alternatif di
76
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:76
6/22/2010 6:28:25 PM
Keterkaitan Antara Program Pengembangan Energi Alternatif dan Kesejahteraan Masyarakat
Indonesia. TimNas BBN telah menghasilkan “Cetak biru” dan “roadmap” bagi program pengembangan biofuel nasional. Disamping itu TimNas BBN juga diberi tugas untuk memberi masukan kepada pemerintah daerah tentang bagaimana meningkatkan pembangunan ekonomi melalui program pengembangan biofuel, bagaimana mengelola aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, serta bagaimana memformulasikan peraturan-peraturan terkait semua aspek rantai produksi bahan bakar, mulai dari perkebunan, proses, hingga pemasaran dan distribusi. TimNas BBN telah bekerja dan menetapkan target yang ambisius bagi pengembangan biofuel. Total produksi biofuel ditargetkan meningkat dari 600.000 kL pada tahun 2007 menjadi 9,8 juta kL pada tahun 2010 (Tabel 4.2). Target yang ambisius ini dikhawatirkan sulit tercapai tanpa adanya instrumen kebijakan teknis yang jelas dalam implementasi. Contohnya, kebijakan mengenai alokasi bahan baku bagi produk BBN, kebijakan pengkondisian pasar domestik bagi produk BBN, kebijakan insentif bagi investor BBN, dan sebagainya. Table 4.2 Roadmap Pengembangan Biofuel Nasional Tahun
2005-2010
2011-2015
2016-2025
Pemanfaatan Biodiesel Sebesar Konsumsi Solar 10% 2.41 juta kL
Pemanfaatan Biodiesel Sebesar 15 % Konsumsi Solar 4.52 juta kL
Pemanfaatan Biodiesel Sebesar 20 % Konsumsi Solar 10.22 juta kL
Pemanfaatan Bioetanol 5% Konsumsi Premium 1.48 juta kL
Pemanfaatan Bioetanol 10% Konsumsi Premium 2.78 juta kL
Pemanfaatan Bioetanol 15% Konsumsi Premium 6.28 juta kL
- Biokerosin
Pemanfaatan Biokerosin 1 juta kL
Pemanfaatan Biokerosin 1.8 juta kL
Pemanfaatan Biokerosin 4.07 juta kL
- PPO untuk Pembangkit Listrik
Pemanfaatan PPO 0.4 juta kL
Pemanfaatan PPO 0.74 juta kL
Pemanfaatan PPO 1.69 juta kL
Biofuel
Pemanfaatan Biofuel Sebesar 2% energi mix 5.29 juta kL
Pemanfaatan Biofuel Sebesar 3% energi mix 9.84 juta kL
Biodiesel
Bioetanol
Blooll
Pemanfaatan Biofuel Sebesar 5% energi mix 22.26 juta kL
Sumber: TimNas BBN
77
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:77
6/22/2010 6:28:25 PM
Siwage Dharma Negara
Untuk mempercepat pengembangan biofuel, pemerintah telah menetapkan zona khusus biofuel dan mengembangkan konsep Desa Mandiri Energi (DME). Saat ini lebih kurang terdapat 70.000 desa di seluruh Indonesia yang belum memiliki akses terhadap listrik. Dari jumlah tersebut sebanyak 45% berada di bawah garis kemiskinan. Pengembangan DME diharapkan dapat mengangkat perekonomian di wilayah-wilayah tersebut. Secara spesifik, pengembangan konsep DME untuk wilayah miskin dan terpencil diutamakan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program elektrifikasi (pengadaan listrik) dengan menggunakan potensi sumber energi yang ada di wilayah tersebut. Secara konseptual, program DME ini diharapkan dapat memainkan peran penting dalam pengembangan biofuel di masyarakat. Program DME dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan suatu wilayah (miskin dan terpencil) akan energi dimana dalam proses ini tercipta lapangan kerja baru, terjadi pengurangan angka kemiskinan dan terbukanya kegiatan-kegiatan produktif. Dalam prakteknya, ada dua jenis DME. Pertama, DME yang memanfaatkan sumber energi yang berasal dari micro hydro dan biogas. Kedua, DME yang memanfaatkan sumber energi biofuel (biomass). Pemerintah menargetkan pada akhir tahun 2009 telah terbentuk 2.000 DME. Target ini tampaknya akan sangat sulit tercapai dilihat dari perkembangan DME sejak tahun 2006. Seperti halnya target TimNas BBN untuk meningkatkan total produksi biofuel dari 600.000 kL pada tahun 2007 menjadi 9,8 juta kL pada tahun 2010. Target tersebut ditetapkan tanpa melalui studi yang akurat mengenai potensi dan situasi di lapangan. Disamping itu, sangat disayangkan karena pemerintah belum menyiapkan instrumen kebijakan pendukung untuk mencapai target tersebut.
78
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:78
6/22/2010 6:28:26 PM
Keterkaitan Antara Program Pengembangan Energi Alternatif dan Kesejahteraan Masyarakat
Terkesan pemerintah menyerahkan instrumen kebijakan pelaksanaan kepada daerah. Sejalan dengan semangat otonomi daerah, pemerintah memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengembangkan produk biofuel yang sesuai dengan potensi sumber daya daerah yang bersangkutan. Mengenai aspek pembiayaan, program pengembangan biofuel ini dibiayai oleh anggaran pemerintah daerah. Pemerintah pusat memberikan bantuan berupa penyediaan bibit, seperti bibit untuk tanaman jarak pagar. Tabel 4.3 Pencapaian Program BBN 2007 Pemakaian BBM (kL)
Target BBM Roadmap 5 % (kL)
Pemakaian BBN (kL)
Pencapaian Target (%)
Premium dan Pertamax
18.819.601
940.980
1.000
0,1
Solar
25.659.630
1.282.981
16.000
1,25
Sumber : APROBI
Untuk wilayah propinsi Jawa Barat dan Lampung, sejak tahun 2007 telah digulirkan program penanaman jarak. Program penanaman jarak ini didesain sebagai program lintas sektoral dimana pihak-pihak yang terlibat mencakup dinas perindustrian, dinas perkebunan dan perguruan tinggi. Dinas perindustrian memiliki tugas dan fungsi pokok terkait dengan sektor produksi, sedangkan untuk budidaya tanaman jarak merupakan tugas dan fungsi pokok dinas perkebunan. Perguruan tinggi, seperti ITB di Bandung dan Unila di Lampung, turut berkontribusi dalam hal pengembangan teknologi pengolahan biji jarak. Sedangkan untuk pengolahan minyak jarak dikerjakan oleh pihak swasta yaitu PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) di Bandung dan Eka Tjipta Foundation (ETF) di Lampung. Berdasarkan hasil observasi lapangan, khusus untuk budidaya tanaman jarak, dinas perkebunan di kedua lokasi penelitian telah
79
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:79
6/22/2010 6:28:26 PM
Siwage Dharma Negara
berupaya mendorong program diversifikasi pertanian melalui teknik tumpang sari. Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan penghasilan petani sekaligus mengurangi risiko kegagalan panen. Pada umumnya teknik tumpang sari ini diterapkan pada wilayah yang luas lahannya sangat terbatas. Diversifikasi tanaman khusus jarak memang perlu dilakukan karena tanaman jarak sendiri tidak memberikan hasil yang menguntungkan saat ini. Tanaman jarak baru akan menghasilkan secara optimal setelah umur 4-5 tahun dimana. Selama masa ”tunggu” itu, petani memerlukan sumber penghasilan dari tanaman lainnya. Dari hasil wawancara dengan petani, dikemukakan bahwa budidaya jarak dianggap sangat tidak menguntungkan dimana biaya produksi lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar. Oleh sebab itu, petani lebih memilih untuk menanam tanaman lain yang lebih cepat memberikan hasil/pendapatan. Petani mengatakan kalau pun budidaya jarak akan terus mereka lanjutkan, maka teknik tumpang sari (mix farming) merupakan metode yang paling memungkinkan. Masalahnya, teknik ini tidak akan memberikan hasil yang optimal karena tanaman jarak membutuhkan sinar matahari yang cukup banyak. Dengan teknik tumpangsari, hasil panen jarak menjadi tidak optimal. Dari hasil pengamatan dan wawancara di lapangan, tim peneliti menemukan perbedaan paradigma tentang budidaya jarak pagar antara masyarakat dan pemerintah. Pemerintah memandang pengembangan tanaman jarak pagar sebagai upaya bagi masyarakat perdesaan agar dapat mencapai kemandirian energi. Setelah kemandirian energi tercapai, maka kelebihan produksi tanaman jarak bisa dijual oleh petani. Dengan kata lain prioritas pemanfaatan tanaman jarak ini adalah untuk dikonsumsi sebagai bahan energi bagi masyarakat di perdesaan/petani. Sedangkan petani memandang budidaya tanaman jarak sebagai alternatif tanaman lain untuk menghasilkan pendapatan yang lebih baik. Petani belum tertarik untuk memanfaatkan biji jarak
80
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:80
6/22/2010 6:28:26 PM
Keterkaitan Antara Program Pengembangan Energi Alternatif dan Kesejahteraan Masyarakat
sebagai bahan energi. Bagi mereka, proses pengolahan dari biji jarak hingga menjadi bahan energi merupakan proses yang kompleks dan relatif mahal . Akibatnya petani enggan untuk menggunakan/mengolah biji jarak untuk kebutuhan energi mereka sendiri. Yang terjadi justru petani lebih memilih untuk menjual hasil panen jarak dalam bentuk mentah (biji jarak). Di sisi lain harga jual biji jarak masih sangat rendah dan tidak menguntungkan. Bahkan menurut mereka, sulit menemukan pengusaha yang mau menampung hasil panen jarak.
4.4 Energi Alternatif Lainnya: Seperti telah disebutkan di atas, Indonesia memiliki potensi sumber daya energi yang sangat besar dan beragam. Beberapa sumber energi alternatif yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat terutama di perdesaan antara lain.
4.4 .1 Hydropower Di Indonesia, hydropower merupakan sumber daya energi yang sangat potensial karena banyak terdapat sungai-sungai dengan arus deras. Sayangnya potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Menurut perkiraan Kementerian ESDM, potensi hydropower diperkirakan sebesar 75.674 MW, tetapi kapasitas yang terpasang baru mencapai 4.200 MW (5% dari potensi yang ada). Teknologi hydropower sebenarnya sudah sangat berkembang dan cukup mudah diperoleh. Terkait dengan program pengembangan energi alternatif, diharapkan melalui investasi dari pemerintah bersama-sama dengan masyarakat, penggunaan hydropower untuk memenuhi kebutuhan listrik di perdesaan dapat lebih digalakkan. Untuk wilayah Jawa Barat, dengan banyaknya sungai-sungai berarus deras di wilayah ini, sebenarnya potensi energi alternatif
81
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:81
6/22/2010 6:28:26 PM
Siwage Dharma Negara
seperti micro hydro sangat besar. Tetapi saat ini, pengembangan energi micro hydro belum diarahkan untuk menggerakkan sektor produktif melainkan baru sekadar untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat perdesaan akan energi listrik. Potensi yang ada belum dimanfaatkannya untuk tujuan produktif/komersial. Sebagian besar sistem micro hydro yang ada dibangun di lokasi wilayah-wilayah terpencil. Perkembangan ini berpotensi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat di perdesaan.
4.4.2 Panas Bumi (Geothermal) Indonesia juga merupakan wilayah “ring of fire” yang dikelilingi oleh banyak gunung berapi aktif. Menurut perkiraan Kementerian ESDM, 40% sumber daya panas bumi di dunia (sekitar 27.000 MW) berada di wilayah Indonesia. Potensi sumber daya panas bumi ini tersebar di pulau-pulau seperti, Sumatera, Jawa, Bali dan Sulawesi. Saat ini potensi energi panas bumi baru termanfaatkan untuk wilayah Jawa dan Bali saja. Berdasarkan hasil observasi, untuk wilayah Jawa Barat, panas bumi merupakan energi alternatif paling potensial. Di wilayah ini, terdapat sekitar 44 titik seperti di gunung Salak dan Kamojang. Sedangkan di wilayah Lampung, ada satu titik yaitu di wilayah Lampung Barat, Tanggamus. Berdasarkan laporan IEA(2008), proyek geothermal sebenarnya dapat dikembangkan secara kompetitif dan dapat bersaing dengan energi fosil. Tantangannya adalah bagaimana menarik investor untuk memasuki sektor ini. Proyek geothermal memerlukan dana yang cukup besar dan cukup berisiko tanpa adanya instrument kebijakan pendukung dan insentif yang jelas dari pemerintah maka akan sulit mendapatkan investor.
82
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:82
6/22/2010 6:28:26 PM
Keterkaitan Antara Program Pengembangan Energi Alternatif dan Kesejahteraan Masyarakat
4.4.3 Biomassa Menurut hasil studi sebuah lembaga penelitian Jerman, ZREU (2000), Indonesia menghasilkan 147 juta ton biomassa setiap tahun. Biomassa ini berasal dari sisa panen padi, ampas tebu, ampas kayu, tandan kosong sawit dan berbagai sampah pertanian lainnya. Potensi ini apabila termanfaatkan dapat mencukupi kebutuhan akan energi bagi masyarakat di perdesaan maupun industri. Pemanfaatan biomassa ini secara tradisional dilakukan melalui proses pembakaran tetapi menurut banyak hasil penelitian proses gasifikasi (proses mengubah biomassa menjadi Biogas) memiliki banyak keunggulan dalam hal efisiensi dan pengurangan emisi dibandingkan dengan proses pembakaran biasa. “Biogas is an ideal substitute for kerosene as a household cooking (and lighting) fuel : it gives a hot, clean flame that does not dirty pots or irritate the eyes. “ Soerawidjaja (2008) Dalam observasi di lapangan, tim peneliti menemukan bahwa metode yang digunakan untuk pembuatan biogas cukup bervariasi. Di Bandung misalnya, masyarakat memanfaatkan kotoran ternak (sapi) untuk pembuatan biogas. Ada kelompok masyarakat yang menggunakan modal kelompok untuk digilir bagi penyediaan/instalasi fasilitas kompor biogas. Investasi awal untuk pembuatan instalasi biogas membutuhkan biaya sekitar Rp 700 ribu – Rp 1 juta untuk reaktor plastik berukuran 15 mikro. Sedangkan ukuran reaktor yang standard untuk satu rumah tangga sekitar 3 kubik. Dengan menggunakan modal kelompok ini, masyarakat berupaya memenuhi kebutuhan energi rumah tangga mereka. Ada pula kelompok tani lain yang memperoleh dana bantuan dari pihak swasta, termasuk dari PLN, untuk membangun fasilitas biogas. Hal yang menarik adalah sebenarnya proyek biogas ini telah dikembangkan sejak tahun 1985. Pada waktu itu sebuah perusahaan
83
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:83
6/22/2010 6:28:26 PM
Siwage Dharma Negara
swasta telah memasarkan produk/alat pembuat biogas dan masyarakat dapat memperoleh alat tersebut secara kredit. Sayangnya setelah setahun, proyek ini terhenti karena masyarakat tidak merasakan manfaatnya. Harga minyak tanah bersubsidi sangat murah sehingga tidak ada insentif untuk menggunakan biogas. Tetapi situasi ini berubah dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak harga minyak tanah mengalami peningkatan tajam. Masyarakat mulai beralih pada biogas untuk keperluan memasak. Saat ini pemanfaatan biogas terbatas hanya untuk kebutuhan rumah tangga. Saat ini pengembangan biogas masih relatif sederhana. Belum ada teknologi penyimpanan produk biogas yang terjangkau oleh masyarakat. Berhubung sifat gas metan yang memiliki tekanan rendah, maka biogas sulit untuk disimpan. Hal ini yang kemudian menyulitkan untuk pemanfaatan biogas secara komersil. Oleh karena itu, untuk pengembangan biogas ke depan, diperlukan riset dan pengembangan teknologi penyimpanan gas metan serta pengembangan teknologi genset untuk mendistribusikan biogas ke rumah-rumah penduduk.
4.5 Temuan Lapangan Pada bagian ini, tim peneliti mencoba mengungkapkan beberapa temuan lapangan yang terkait dengan pertanyaan penelitian. Di dalam penelitian ini, tim mencoba melihat sejauhmana masyarakat perdesaan dan daerah terpencil telah mengelola potensi daerahnya dan memanfaatkan energi alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi mereka secara berkelanjutan. Berdasarkan observasi dan wawancara di lapangan, tim peneliti menemukan hal yang relatif sama di kedua lokasi penelitian. Pada umumnya masyarakat perdesaan dan daerah terpencil sudah mencoba mengembangkan potensi sumber daya di wilayahnya untuk memenuhi
84
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:84
6/22/2010 6:28:26 PM
Keterkaitan Antara Program Pengembangan Energi Alternatif dan Kesejahteraan Masyarakat
kebutuhan akan energi, mulai dari biomassa, biogas, hydro power, geothermal dan sebagainya. Kesamaan lainnya adalah kedua lokasi penelitian telah mengidentifikasi pengembangan tanaman energi di wilayah mereka (salah satu jenis tanaman energi yang populer adalah tanaman jarak pagar). Berhubung sosialisasi tanaman jarak pagar sempat memperoleh ekspose yang sangat intens baik dari pemerintah maupun media massa, masyarakat banyak yang beralih mencoba menanam jarak. Beberapa desa mandiri energi (DME) yang sempat dikunjungi oleh tim peneliti, seluruhnya memiliki tanaman jarak pagar yang dikelola secara manual oleh petani. Problema yang dihadapi pun relatif sama, para petani jarak pagar mengeluhkan mereka tidak memiliki akses pasar, tidak ada informasi mengenai harga komoditas jarak yang jelas dan tidak ada penampung (saluran distribusi) bagi produk jarak. Selain itu, tim peneliti juga menemukan adanya perbedaan paradigma antara pemerintah dan masyarakat terkait dengan konsep DME yang dicanangkan sejak tahun 2006. Pemerintah mendesain DME sebagai program yang bertujuan untuk memberdayakan wilayah perdesaan sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan energi mereka secara swa sembada. Upaya ini dilakukan melalui pengembangan sumber daya energi yang ada di wilayah tersebut, seperti budidaya tanaman jarak di lahan kritis. Jadi konsep dasarnya adalah self sufficiency dan bukan komersial. Sebaliknya, petani memandang program DME sebagai suatu kesempatan meningkatkan penghasilan mereka melalui budidaya tanaman jarak. Petani beranggapan bahwa komoditas jarak yang mereka tanam bukanlah untuk memenuhi kebutuhan energi mereka tetapi untuk men-supply bahan baku bagi industri BBN. Oleh karena itu, petani memilih menanam jarak karena mereka mengharapkan penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan hasil dari menanam tanaman lainnya.
85
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:85
6/22/2010 6:28:26 PM
Siwage Dharma Negara
Tim peneliti menemukan suatu kasus dimana ada petani yang telah menanami seluruh lahannya dengan tanaman jarak pagar dengan ekspektasi keuntungan yang besar. Petani tersebut menganggap nantinya pemerintah akan membeli seluruh hasil panen jarak mereka. Tetapi harapan ini kemudian berkembang menjadi kekecewaan karena pada waktu panen petani tersebut tidak bisa menjual hasil panen jaraknya dengan harga yang layak atau bahkan tidak ada yang mau membeli hasil panen mereka. Berdasarkan konfirmasi dengan pemerintah daerah, tim peneliti menemukan bahwa para petani memang belum memperoleh penyuluhan yang optimal. Tim peneliti juga menemukan adanya perbedaan konsep budidaya jarak pagar antara pemerintah dan petani. Pemerintah menganjurkan agar budidaya tanaman jarak hanya dilakukan di wilayah/area yang tidak produktif (lahan kritis) atau untuk digunakan sebagai pembatas lahan (pagar). Tetapi menurut petani, untuk memperoleh hasil yang optimal maka penanaman jarak harus dilakukan secara intensif (bukan sebagai tanaman pagar). Sebenarnya, apabila memang tanaman jarak akan dikembangkan menjadi bahan dasar energi maka tanaman jarak ini perlu dikembangkan secara massal agar dapat mencapai skala ekonomis seperti tanaman sawit misalnya. Temuan di lapangan menunjukan saat ini hasil tanaman jarak tidaklah komersial dan belum bisa diolah menjadi bahan energi yang berkelanjutan. Masalah keterbatasan lahan, ketersediaan bibit unggul, ketidak-pastian pasar, teknik budidaya yang cocok, dan kurangnya penyuluhan merupakan kendala-kendala utama bagi pengembangan jarak. Sejauh ini, petani hanya mendapat penyuluhan bagaimana menanam jarak pagar, tetapi mereka belum dibekali teknik dan teknologi untuk mengolah biji jarak menjadi bahan bakar minyak jarak.
86
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:86
6/22/2010 6:28:27 PM
Keterkaitan Antara Program Pengembangan Energi Alternatif dan Kesejahteraan Masyarakat
Dari hasil kunjungan ke salah satu DME, Way Isem di wilayah Lampung Utara, tim menemukan adanya peran LSM yang membantu petani mengembangkan biofuel dari biji dan minyak jarak. Tetapi problema saat ini, bahan baku jarak masih sangat terbatas, dan biaya produksi minyak jarak juga masih relatif mahal. LSM yang bersangkutan memberikan mesin pengolahan biji jarak menjadi minyak jarak (bahan mentah) tetapi saat ini belum mencapai tahap pemanfaatan minyak jarak sebagai bahan energi alternatif. Tim menemukan bahwa sasyarakat masih belum mengetahui bagaimana minyak jarak bisa digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah/biogas. Yang menarik, petani justru tidak menggunakan minyak jarak sebagai bahan bakar tetapi mereka memanfaatkan ampas dari pengolahan biji jarak menjadi minyak jarak. Petani memanfaatkan ampas tersebut sebagai bahan baku untuk biogas dan penggerak generator listrik mini. Disamping itu, penelitian ini mencoba melihat sejauhmana program pengembangan energi alternatif dapat membantu perekonomian daerah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah melalui pengembangan bahan baku dan industri energi alternatif. Temuan lapangan menunjukkan ternyata program pengembangan energi alternatif di beberapa DME belum mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan perekonomian daerah. Berdasarkan pengakuan dari masyarakat daerah, program DME memberikan wacana baru bagi pengembangan energi alternatif tetapi belum sampai pada tahap meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan. Berdasarkan wawancara dengan para pemangku kepentingan, masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan energi alternatif adalah lemahnya koordinasi antar stakeholders sehingga masing-
87
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:87
6/22/2010 6:28:27 PM
Siwage Dharma Negara
masing pihak tidak saling mengetahui apa yang telah dilakukan oleh pihak lain. Pihak swasta memandang dinas teknis terkait tidak saling berkoordinasi. Misalnya, dinas pertambangan sebenarnya sudah memiliki pemetaan tentang potensi energi di daerah, tetapi informasi ini tidak ditindak-lanjuti oleh dinas perindustrian. Contoh lainnya, dinas perindustrian telah mengidentifikasikan potensi industri pengolahan bahan pangan, tetapi potensi ini tidak termanfaatkan karena adanya kesulitan dalam hal teknologi listrik dan pemrosesan (ketersediaan kompor yang memadai). Pihak swasta juga mengeluhkan bahwa pemerintah daerah masih berjalan sendiri-sendiri dan masih memiliki paradigma sektoral (belum holistik dan komprehensif ). Pemerintah daerah belum memiliki perencanaan yang matang tentang langkah strategis lintas sektor untuk mengembangkan industri biofuel. Ego sektoral yang tinggi merupakan penghambat terbesar dan mengakibatkan berbagai program sosial ekonomi lintas sektor memiliki tingkat keberhasilan yang rendah. Selain itu, sejak adanya otonomi daerah dan maraknya pemekaran wilayah di daerah, frekuensi pergantian pejabat dinas menjadi semakin tinggi. Akibatnya, karena terus-menerus berganti pejabat kebijakan sektor energi menjadi terputus-putus dan repotnya informasi /data yang sangat penting seringkali hilang atau tidak berkesinambungan. Faktor lain yang menyebabkan sulitnya pengembangan energi alternatif di masyarakat adalah pola konsumsi energi masyarakat yang belum berubah. Belum membudayanya pemanfaatan energi alternatif disebabkan karena masyarakat masih cenderung lebih menyukai penggunaan energi konvensional atau energi fosil (BBM). Pola konsumsi energi masyarakat ini dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang selama bertahun-tahun memberikan subsidi bagi produk-produk BBM yang membuat harganya relatif murah. Hal ini merupakan suatu kendala besar bagi upaya pengembangan energi alternatif.
88
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:88
6/22/2010 6:28:27 PM
Keterkaitan Antara Program Pengembangan Energi Alternatif dan Kesejahteraan Masyarakat
Dari hasil wawancara dengan para pemangku kepentingan, tim peneliti menemukan adanya pesimisme dari aparat Pemda dan masyarakat akan keberhasilan program energi alternatif ini. Bahkan tidak sedikit pihak yang berpendapat bahwa perkembangan energi alternatif baru akan meningkat setelah BBM habis. Sulitnya implementasi program-program pemerintah pusat di daerah seringkali diakibatkan oleh tidak sinkron-nya visi, potensi, dan kapasitas yang ada. Kebijakan pemerintah dipandang masih belum jelas, tidak memandang isu energi alternatif sebagai isu prioritas sehingga tidak berkelanjutan. Akibatnya implementasi pun menjadi setengah-setengah dan tidak fokus. Dari hasil wawancara dengan dinas Koperasi dan UKM di kedua lokasi, tim menemukan bahwa UKM tidak menggunakan energi alternatif dalam proses produksi mereka. Belum ada sinkronisasi program/kebijakan dinas energi dengan pengembangan sektor UKM. Sehingga tidak ada implementasi dari pengembangan energi alternatif yang dilaksanakan Pemda terhadap sektor UKM. Dari hasil wawancara, alasan kepraktisan mengemuka. Selama masyarakat masih bisa dengan mudah memperoleh BBM ataupun elpiji, maka kecil kemungkinan mereka akan mengkonsumsi energi alternatif yang proses pembuatannya masih sulit. Selama ini pengembangan energi alternatif cenderung diarahkan ke daerah perdesaan yang belum memperoleh aliran listrik. Konsekuensinya, karena pemanfaatannya memang diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dasar akan energi maka pemanfaatan untuk usaha produktif juga belum ada. Disamping itu, pada umumnya wilayah pengembangan energi alternatif adalah wilayah terpencil, maka usaha produktif tidak berkembang, karena tidak ada pasar dan infrastruktur pendukung.
89
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:89
6/22/2010 6:28:27 PM
Siwage Dharma Negara
4.6 Rekomendasi Kebijakan Dari hasil studi lapangan, tim peneliti mencoba merumuskan beberapa hal yang dapat dipertimbangkan sebagai input bagi pengambil kebijakan: •
Perlu redefinisi energi alternatif, mengingat konsep energi alternatif sangat tergantung pada potensi daerah yang bersangkutan. Dalam hal ini, perlu persamaan persepsi/paradigm antara pemerintah dan masyarakat tentang konsep pengembangan energi alternatif. Konsep ini tidak bisa dipaksakan dari pusat ke daerah. Sehingga tidak perlu setiap daerah menanam jarak pagar. Selama ini tanaman jarak yang dikembangkan di beberapa wilayah dilakukan karena adanya Inpres dan Perpres tentang pengembangan BBN. Padahal yang perlu dikembangkan adalah tanaman atau sumber daya yang paling potensial baik secara teknis maupun ekonomis di suatu daerah.
•
Perlu perubahan budaya masyarakat untuk menerima konsep energi alternatif ini. Banyaknya potensi energi alternatif yang ada tetapi belum sampai dikembangkan untuk menggerakkan sektor produktif. Artinya, pengembangan energi alternatif belum menjadi suatu budaya, mengingat pola kebiasaan masyarakat masih pada penggunaan energi yang lebih praktis seperti BBM, elpiji, ataupun batubara.
•
Perlu perbaikan koordinasi antara pusat dan daerah, antar dinas terkait, dan antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah atau Dinas tidak bisa berjalan sendiri-sendiri dengan menggunakan paradigma sektoral. Untuk itu diperlukan perencanaan kebijakan strategis lintas sektor untuk mengembangkan energi alternatif.
90
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:90
6/22/2010 6:28:27 PM
Keterkaitan Antara Program Pengembangan Energi Alternatif dan Kesejahteraan Masyarakat
•
Pemerintah, terutama Dinas perlu memiliki program yang secara spesifik mengarah pada implementasi energi alternatif untuk UKM. Meninjau peningkatan trend dimana jumlah UKM yang semakin besar dengan konsekuensi pengunaan BBM yang juga semakin besar, maka ke depan perlu upaya mensosialisasikan pemanfaatan energi alternatif ini.
•
Pemerintah bersama swasta bisa memberikan bantuan berupa investasi teknologi pengembangan energi alternatif. Misalnya teknologi untuk membuat dan memanfaatkan minyak tanaman jarak untuk kebutuhan energi. Sektor perbankan juga bisa membantu dengan memberikan akses kredit bagi masyarakat yang berminat mengembangkan energi alternatif.
•
Kedepan, Indonesia perlu memiliki peta industri agrobisnis yang jelas. Peta ini sangat diperlukan untuk menentukan arah kebijakan pertanian di setiap pelosok wilayah Indonesia karena tidak semua daerah cocok untuk pengembangan suatu jenis tanaman (misalnya jarak), tetapi ada tanaman-tanaman lain yang potensial (secara teknis dan ekonomis) untuk dikembangkan.
91
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:91
6/22/2010 6:28:27 PM
Siwage Dharma Negara
DAFTAR PUSTAKA
International Energy Agency (IEA), 2008. Energy Policy Review of Indonesia. Paris. Legowo, Evita H., 2008. Kebijakan dan Program Pengembangan Bahan Bakar Nabati. Bahan presentasi pada Workshop Sosialisasi Pengembangan Bahan Bakar Nabati, Jakarta 21 Juli 2008. Republika Online, 2009. Pemerintah Usulkan Subsidi BBN Lebih Tinggi. 27 Mei 2009. Seputar-Indonesia, 2007. Kebijakan Hadapi Lonjakan Harga Minyak. 12 November 2007 Soerawidjaja, Tatang H., 2009. Biofuel Policies and Programs in Indonesia. Bahan presentasi pada Bioenergy Forum, 28-29 April 2009 Singapura. Sugiyono, Agus, 2005. Pemanfaatan Biofuel dalam Penyediaan Energi Nasional Jangka Panjang. Bahan Seminar Teknologi untuk Negeri 2005. Timnas BBN, 2006. Blue Print Pengembangan Bahan bakar Nabati untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran 20062025. Desember 2006. Sambodo, Maxensius T., 2009. Energy Sector in Indonesia and Environmental Impacts: From Fossil Fuel to Biofuel, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan XVI (1). UNCTAD, 2008. Biofuel Production Technologies: Status, Prospects and Implications for Trade and Development. New York and Geneva. ZREU (Zentrum fur rationell Energieanwendung und Umwelt GmbH), 2000. Biomass in Indonesia-Business Guide.
92
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:92
6/22/2010 6:28:27 PM
Strategi Pengembangan Energi Berbasis Masyarakat: Studi Kasus Program Desa Mandiri Energi (Dme)
BAB 5 STRATEGI PENGEMBANGAN ENERGI BERBASIS MASYARAKAT: STUDI KASUS PROGRAM DESA MANDIRI ENERGI (DME) Esta Lestari
5.1 Pendahuluan Upaya untuk menurunkan ketergantungan terhadap energi fosil telah digalakkan pemerintah sejak tahun 2006 seperti yang dicanangkan dalam Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 yang mengamatkan Blueprint pengelolaan energi nasional. Blueprint tersebut menjadi pedoman arah dan strategi kebijakan pemerintah untuk mencapai tujuan ketahanan energi di Indonesia, yaitu mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Upaya tersebut dilakukan tidak lepas dari kenyataan bahwa selama ini, konsumsi energi Indonesia masih bertumpu pada energi fosil, terutama bahan bakar minyak (BBM). Ditinjau dari bauran energi (energy mix) Indonesia, sampai dengan tahun 2007 terlihat bahwa konsumsi BBM mencapai 34% dari konsumsi energi total dan selebihnya adalah pemanfaatan energi non BBM seperti batubara (13%), gas alam dan LPG (10,2%), listrik (8%) dan biomass (30%) (Key Indicator of Indonesia Energy and Mineral Resources, 2008). Dalam Blueprint pengelolaan energi nasional ditargetkan perubahan bauran energi yang signifikan sampai tahun 2025, dimana konsumsi BBM akan diturunkan hingga menjadi 20% dari total energi final serta meningkatkan peran energi alternatif, meliputi energi baru dan terbarukan (EBT) seperti batubara cair, panas bumi, biomassa dan tenaga angin, tenaga surya dan energi terbarukan seperti biofuel.
93
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:93
6/22/2010 6:28:27 PM
Esta Lestari
Upaya ini adalah bagian dari upaya mendiversifikasikan energi atau memperluas portofolio konsumsi energi nasional dalam rangka menurunkan tingkat resiko atas fluktuasi energi fosil, sejalan dengan semakin menurunnya kemampuan domestik memenuhi kebutuhan BBM. Sayangnya, upaya untuk mencapai target 2025 seakan masih jauh dari harapan. Hal ini tidak lepas dari kebijakan dan implementasi pengembangan energi alternatif yang masih belum terarah dan cenderung bersifat sporadis dan tidak konsisten. Konsekwensinya adalah masih besarnya gap antara kondisi sekarang dengan kondisi tujuan tahun 2025 meskipun beberapa kebijakan dan program telah digalakkan. Tantangan atau kritik paling besar adalah ketiadaan kebijakan energi nasional disertai dengan roadmap energi yang jelas akan upaya mencapai tujuan 2025, yang secara komprehensif mempertimbangkan berbagai aspek, baik pengguna, sektor, dan program-prpgram implementatif yang berkelanjutan (Adam, 2009). Meskipun kebijakan energi nasional telah dicanangkan dalam UU no. 30 tahun 2007, akan tetapi kebijakan tersebut banyak mendapakan kritik terutama karena dianggap tumpang tindih dengan kebijakan energi sektoral. Kebijakan energi yang ada selama ini adalah kebijakan yang didasarkan pada jenis energi, tanpa memperhatikan interseksinya dari sisi pengguna atau konsumen energi tersebut. Hal ini ditandai dengan adanya berbagai UU sektoral, seperti UU Migas, panas bumi, dan batubara yang saling kontradiktif dengan UU No. 30/2007. Hal ini pada gilirannya mengakibatkan ketidakseimbangan kebijakan energi bagi berbagai sektor. Sebagai contoh, kebijakan tentang batubara bertabrakan dengan UU lingkungan hidup yang pada gilirannya mengenyampingkan peran pentingnya bagi sektor industri yang selama ini merupakan konsumen batubara yang cukup besar.
94
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:94
6/22/2010 6:28:28 PM
Strategi Pengembangan Energi Berbasis Masyarakat: Studi Kasus Program Desa Mandiri Energi (Dme)
Selain benturan sektoral atas energi, permasalahan juga muncul adalah inkonsistensi kebijakan terutama yang terkait dengan kebijakan energi bagi masyarakat atau rumah tangga dalam rangka mencapai masyarakat mandiri berbasis energi alternatif. Misalnya, program pengalihan energi pada awal tahun 2000 dari minyak tanah ke briket yang kemudian menghilang menunjukkan ketidaksiapan pemerintah untuk mengorganisir pengalihan energi masyarakat. Ditambah lagi dengan kebijakan konversi minyak tanah ke gas yang disusul dengan ditariknya minyak tanah dari pasaran sehingga masyarakat yang memiliki akses terbatas atas gas terutama masyarakat pedesaan semakin dihadapkan pada pilihan energi yang lebih sempit. Permasalahan lain yang terkait dengan upaya pemberdayaan masyarakat adalah implementasi program Desa Mandiri Energi (DME). DME ditujukan untuk memberdayakan masyarakat desa agar memanfaatkan sumber daya lokal sebagai sumber energi utama yang diharapkan dapat menurunkan kemiskinan dan pengangguran. Akan tetapi, program ini seakan jalan ditempat dan belum menunjukkan hasil maksimal. Hal ini ditandai dengan minimnya pemanfaatan energi alternatif oleh masyarakat, apalagi tujuan untuk mengakselarasikan pendapatan. Tentunya yang menjadi pertanyaan kemudian adalah efektivitas program ini dalam mencapai tujuannya yaitu mewujudkan ketahanan energi masyarakat khususnya pedesaan. Rendahnya efektivitas program ini dapat dilihat dari ketidaksesuaian antara tujuan dengan implementasinya. Program DME melalui penerapan pengembangan biofuel bagi masyarakat pedesaan justru tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat bersangkutan (pedesaan) karena konsumen dari produk ini adalah sektor transportasi terutama di perkotaan. Selain itu, nilai ekonomis biji jarak juga terbilang rendah sehingga tidak mendorong pendapatan petani. Artinya, pengembangan biji jarak oleh masyarakat pedesaan tidak sesuai
95
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:95
6/22/2010 6:28:28 PM
Esta Lestari
dengan upaya peningkatan pendapatan masyarakat petani, disisi lain program ini juga tidak sesuai dengan konsep pemberdayaan mayarakat karena tidak dapat digunakan oleh masyarakat pedesaan sendiri. Kebijakan energi dalam rangka membangun masyarakat berbasis energi perlu mendapatkan perhatian serius dan didasari oleh kebijakan yang tepat sasaran. Konsumsi berbagai jenis energi oleh konsumen dengan karakteristik berbeda menghasilkan kebijakan yang harus dipandang kasus per kasus karena perbedaan tingkat tingkat ekonomi dan lokasi geografis yang mengakibatkan perbedaan kebutuhan energinya. Bagi kelompok masyarakat perkotaan yang dependen terhadap jenis energi konvensional seperti BBM dan gas elpiji, diperlukan kebijakan yang berbeda bagi kelompok masyarakat pedesaan yang berbasis pertanian. Oleh karena itu, jenis energi yang perlu dikembangkan berbeda diantara kedua kelompok masyarakat tersebut. Dalam rangka meningkatkan ketahanan energi dan pemberdayaan masyarakat pedesaan, pengembangan energi yang berbasis sumber daya local dan tepat guna sangat diperlukan. Hal ini sejalan dengan tujuan dari bab ini yaitu menganalisis strategi dan kebijakan yang tepat bagi pengembangan mayarakat yang berbasis energi alternatif.
5.2 Kebijakan Pengembangan Energi Alternatif bagi Mayarakat: Studi Kasus DME 5.2.1 Peran Energi dalam Perekonomian Energi memainkan peran penting dalam berbagai aspek pembangunan, dari upaya pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas kesehatan dan pendidikan, hingga peningkatan standar hidup masyarakat terutama anak-anak dan perempuan, meskipun energi
96
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:96
6/22/2010 6:28:28 PM
Strategi Pengembangan Energi Berbasis Masyarakat: Studi Kasus Program Desa Mandiri Energi (Dme)
tidak bisa dipandang secara langsung mempengaruhi berbagai aspek tersebut (Shresta et al., 2005). Energi fosil (tidak terbarukan) yang selama ini telah menjadi mainstream penggunaan energi di dunia cepat atau lambat akan habis dan hal ini telah menjadi peringatan bagi masyarakat dunia akan pentingnya sumber energi baru dan terbarukan yang efisien, efektif dan ramah lingkungan dengan dampak multiplier yang besar bagi kelompok masyarakat. Jika ditinjau dari beberapa indikator makro energi, terlihat bahwa sejalan dengan peningkatan penduduk dan pendapatan per kapita, konsumsi energi final per kapita juga turut meningkat selama tahun 2000-2007. Hal ini mengindikasikan peran energi yang sangat besar dalam perekonomian dalam mendorong kegiatan ekonomi masyarakat. Antara tahun 2000 dan 2007, supply energi primer meningkat hingga 35% sedangkan konsumsi energi final meningkat sebesar 23%. Besarnya supply energi primer ini mengindikasikan adanya ekspor yang cukup besar. Tabel 5.1 Indikator Utama Penggunaan Energi Nasional Tahun 2000-2007
Sumber: Key Indicator of Indonesia Energy and Mineral Resources, 2008
Akan tetapi, tingkat inefisiensi energi per output terbilang tinggi seperti yang ditnjukkan dari tingginya tingkat elastisitas energi. Tabel 5.2 menunjukkan bahwa antara tahun 2000 dan 2007, elastisitas energi
97
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:97
6/22/2010 6:28:28 PM
Esta Lestari
cenderung menurun namun dengan angka masih diatas 1. Hal ini mengindikasikan tingkat keborosan konsumsi energi nasional, dimana pertumbuhan konsumsi energi lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi. Dibandingkan dengan negara lain seperti Singapura (0,73), Amerika (0,26) dan Jepang (0,1) ditahun 2006, Indonesia bahkan masih lebih boros dibandingkan dengan Malaysia (1,69) (http://economy. okezone.com/index.php/ReadStory/2009/05/19/277/221153/angkaelastisitas-energi-nasional-ditargetkan-lebih-kecil). Ditahun 2006, dibutuhkan energi hampir dua kali lipat (1,8) untuk memproduksi per satuan output di Indonesia. Hal ini mengindikasikan tingginya tingkat keborosan energi dalam produksi nasional. Tabel 5.2 Perbandingan Prosentase Konsumsi Energi Perjenis terhadap Total Konsumsi Final Nasional Tahun 2000-2005(%) Jenis
2000
2007
2025
9,59
20,96
>33
Minyak bumi
42,42
38,60
<20
Gas alam
16,93
14,91
>30
0,98
0,93
>5
27,59
22,28
2,58
2,31
Batubara
Panas bumi EBT Biomassa PLTMH
>5
Lainnya (tenaga surya, tenaga angin, nuklir) Biofuel (biodiesel, bioetanol)
>5
Batubara cair Elastisitas energi
>2 1,97
1,8*
<1
Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia, 2007 *) Elastisitas energi tahun 2006
Jika ditinjau lebih dalam dalam bauran supply energi primer antara tahun 2000-2007, terlihat bahwa terjadi pergeseran kombinasi bauran energi (energy mix) dimana peran batubara semakin meningkat dan peran minyak bumi dan jenis energi lain terutama energi baru dan
98
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:98
6/22/2010 6:28:28 PM
Strategi Pengembangan Energi Berbasis Masyarakat: Studi Kasus Program Desa Mandiri Energi (Dme)
terbarukan (EBT) justru menurun. Pemanfaatan energi batubara yang semakin meningkat tidak lepas dari tingginya permintaan industri akan batubara sejalan dengan ekspansi usaha dan meningkatnya harga energi listrik. Telah diketahui bahwa harga per satuan listrik di Indonesia terbilang mahal (8 cent/kwh) dibandingkan negara lain misalnya di Cina sebesar 7,6 cent/kwh atau 7 cent/kwh di Vietnam. Ditambah lagi dengan pengenaan berbagai kategori jenis tariff bagi industri (tariff multiguna, daya max-daya min) menyebabkan biaya atas energi menjadi tidak kompetitif dan mendesak industri untuk mengalihkan energinya ke batubara. Menurunnya supply minyak bumi lebih disebabkan oleh semakin menurunnya perolehan minyak domestik ditandai dengan tidak tercapainya lifting minyak selama beberapa tahun terakhir. Hal ini juga mengindikasikan bahwa Indonesia semakin dihadapkan oleh shortage atas minyak bumi. Sayangnya menurunnya supply tidak selalu diikuti oleh menurunnya konsumsi domestik atas BBM. Upaya untuk menurunkan konsumsi melalui program konversi minyak tanah ke jenis lain seperti gas elpiji baru digalakkan tahun 2007, sehingga dapat dipastikan bahwa peningkatan konsumsi energi per kapita lebih disebabkan peningkatan atas konsumsi BBM. Hal yang sangat juga disayangkan adalah semakin menurunnya peran EBT dalam supply energi primer nasonal. Terlihat bahwa antara tahun 2000 dan 2007, terjadi penurunan signifikan atas pemanfaatan biomass dari 28% menjadi 22%, demikian pula dengan peran pembangkit listrik skala kecil (micro-hydro) yang menurun sedikit dari 2,6% menjadi 2,3%. Sedangkan jenis EBT lainnya seperti biofuel, batubara cair dan energi terbarukan lainnya masih belum menunjukkan peran apapun. Padahal, EBT tersebut adalah energi paling potensial yang dimiliki Indonesia mengingat ketersediaannya yang sangat besar. Hal ini tidak lepas dari potensi yang dimiliki Indonesia meliputi micro-
99
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:99
6/22/2010 6:28:28 PM
Esta Lestari
hydro 450 GW, Biomass 50 GW, nuklir 3 GW, tenaga surya 4,80 kWh/m2/ hr, angin 3-6 m/detik. Biomass sebagian besar digunakan oleh masyarakat pedesaan terutama karena ketersediaan kayu bakar dan arang yang tinggi disekitar mereka. Demikian pula dengan PLTMH yang banyak berada diwilayah pedesaan yang banyak teraliri sungai. Argumentasi penurunan pemanfaatan biomasssa lebih disebabkan oleh pengaruh dampak negatif terhadap lingkungan yang mengancam kualitas hutan domestik dan menimbulkan pencemaran. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan teknologi, biomassa dapat dimanfaatkan secara bersih. Artinya, teknologi memainkan peranan penting dalam pengembangan energi alternatif yang sesuai dengan sumber daya lokal masyarakat. Selain biomassa dan PLTMH, besarnya potensi EBT lain dipedesaan mendorong pemerintah untuk mengembangkan kebijakan dan program-program energi yang berbasis masyarakat pedesaan terutama energi terbarukan seperti biofuel sebagai upaya dari diversifikasi energi yang seimbang. Menurut blueprint pengelolaan energi nasional, bauran energi primer Indonesia akan mengubah komposisi diversifikasi energi secara signifikan, dimana peran minyak bumi akan menurun hingga dibawah 20%, diikuti oleh produksi energi lain yang meningkat terutama batubara, gas alam (diatas 30%), dan panas bumi (diatas 5%) (Lihat Tabel 5.2). Sedangkan EBT lain yang meliputi batubara cair dan energi terbarukan lainnya seperti tenaga surya, dan tenaga angin, diharapkan mencapai diatas 5%. Upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan 2025 dilakukan dengan beberapa langkah yaitu meningkatkan kapasitas terpasang PLTMH menjadi 2,846 MW, peningkatan kapasitas terpasang biomass 80MW, peningkatan kapasitas terpasang angin 0,97 GW, peningkatan kapasitas pembangkit tenaga surya 0,87 GW, dan nuklir sebesar 4,2 GW.
100
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:100
6/22/2010 6:28:28 PM
Strategi Pengembangan Energi Berbasis Masyarakat: Studi Kasus Program Desa Mandiri Energi (Dme)
Total investasi keseluruhan yang dibutuhkan sebesar 13,197 juta USD (http://www.banten.go.id/index.php?link=brt_dtl&id=2538). Upaya untuk mengintensifkan diversifikasi energi ditujukan untuk menjaga ketahanan energi bagi setiap kelompok pengguna. Ditinjau dari sisi pemintaan energi final, terlihat dari Tabel 3 bahwa konsumsi BBM mendominasi konsumi total energi yaitu lebih dari 50% total konsumsi energi, diikuti dengan penggunaan batubara, gas dan listrik. Pada tahun 2007, konsumen BBM terbesar adalah sektor transportasi yang mencapai lebih dari 31% dari konsumen akhir energi. Dari total konsumsi BBM sebesar 52,2%, terlihat bahwa BBM yang digunakan terutama oleh sektor transportasi 31% dan selebihnya yaitu hampir 22% dikonsumsi sektor lain terutama rumah tangga dan komersial. Sektor industri mengkonsumsi BBM hingga lebih dari 40% dengan kombinasi jenis energi yang berbeda, termasuk terutama batubara, gas dan listrik. Rumah tangga terutama menggunakan BBM dalam prosentase yang cukup kecil karena penggunaannya terutama pada jenis minyak tanah dan selebihnya adalah LPG. Akan tetapi, konsumsi rumah tangga perlu mendapatkan perhatian lebih karena sekitar 34% dari konsumsi BBM transportasi berasal dari kelompok rumah tangga (Lestari dan Ermawati, 2008). Ditinjau dari konsumen pengguna energi yang beragam, terlihat bahwa sektor rumah tangga menyerap energi final yang cukup besar. Sejalan dengan itu, potensi energi terbarukan yang juga sangat besar terutama yang berada di pedesaan memicu upaya peningkatan ketahanan energi masyarakat. Hal ini mendorong pemerintah untuk mencapai tujuan ketahanan energi dan pemberdayaan masyarakat melalui program-program berbasis pemberdayaan masyarakat. Program pemberdayaan masyarakat berbasis energi alternatif banyak digalakkan, misalnya listrik untuk pedesaan melalui PLTMH dan Desa Mandiri Energi (DME).
101
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:101
6/22/2010 6:28:29 PM
Esta Lestari
Tabel 5.3 Konsumsi Energi Final Per Jenis dan Per sektor tahun 2000-2007 Year
Coal
Natural Gas
Fuel
LPG
Electricity
Year
2000
7.3
17.6
63.3
1.7
9.8
2000
Industry Houschold 41.18
18.78
Commmercial Transportation 4.10
29.71
Others 6.24
2001
7.3
16.2
64.7
1.6
10.2
2001
40.63
18.36
4.13
30.58
6.31
2002
7.6
16.0
64.1
1.7
10.5
2002
10.07
17.99
4.22
31.48
6.23
2003
6.5
16.0
64.6
1.8
11.2
2003
37.72
18.76
4.44
33.06
6.02
2004
5.9
15.8
65.3
1.7
11.3
2004
37.29
17.51
4.63
34.44
6.12
2005
11.7
15.3
59.9
1.5
11.6
2005
40.50
16.49
4.59
33.03
5.39
2006
15.8
14.8
55.4
1.7
12.3
2006
43.33
15.69
4.60
31.57
4.81
2007
20.3
13.3
52.2
1.8
12.4
2007
44.82
15.21
4.59
31.06
4.32
Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia, 2007
Upaya untuk memberdayakan masyarakat pedesaan tidak lepas dari kebijakan energi yang selama ini masih dititikberatkan pada sektor industri dan masyarakat perkotaan. Selama ini, upaya strategis untuk meningkatkan penyediaan energi di pedesaan lebih dititikberatkan pada penyediaan listrik bagi rumah tangga. Meskipun jumlah penduduk pedesaan semakin banyak yang terhubung dengan listrik, namun pertumbuhannya sangat lambat dibandingkan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk. Hal ini mengakibatkan rendahnya tingkat elektrifikasi masyarakat pedesaan. Kurang berkembangnya energi terbarukan di wilayah pedesaan terutama disebabkan oleh bias kebijakan pemerintah pusat pada wilayah perkotaan. World Development Report tahun 2000 mengungkapkan bahwa kebijakan nasional kerap lebih menekankan pada kebutuhan masyarakat perkotaan terutama untuk industry, transportasi dan infrastruktur perkotaan dan cenderung mengabaikan kebutuhan energi masyarakat pedesaan. Demikian pula dengan studi FAO (2000) yang menunjukkan bahwa kebutuhan energi diwilayah pedesaan secara umum, dan sektor pertanian khususnya sering menjadi perhatian kedua dibandingkan penyediaan energi untuk industry dan perkotaan (Shresta et al., 2006).
102
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:102
6/22/2010 6:28:29 PM
Strategi Pengembangan Energi Berbasis Masyarakat: Studi Kasus Program Desa Mandiri Energi (Dme)
5.2.2 DME Salah satu kebijakan energi yang diarahkan bagi masyarakat terutama adalah DME. DME adalah program pemerintah dalam mencapai ketahanan energi desa miskin dan meningkatkan kesempatan dan produktivitas daerah miskin. Dicetuskan pertama kali pada tahun 2003 oleh presiden dan ditargetkan akan mencapai 2000 desa pada tahun 2009. Target ini berlanjut hingga tahun 2014 yang diharapkan mencapai 3000 desa. Sampai dengan tahun 2009 telah terdapat 633 DME di 81 Kabupaten di 27 provinsi (http://www.ekon.go.id/content/ view/508/1/). Antara tahun 2007-2009, pemerintah telah menginvestasikan dana sebesar Rp 298 milyar per tahun, atau sekitar 1,4 milyar per desa. Untuk mencapai DME 1000 desa, diperkirakan dibutuhkan 4,2 juta petani dengan luas lahan total 6 juta ha. Untuk DME tahun 2009, diinvestasikan sebanyak 75 milyar yang berasal dari dana stimulus. Diprediksi investasi yang dibutuhkan untuk 3000 DME sebesar Rp 4-5 trilyun (Kompas, 11 September 2009). Diklaim bahwa dengan adanya DME negara akan menghemat sekitar 39,2 juta liter pertahun atau sekitar 235 milyar pertahun (Replubika online, 10 September 2009). DME adalah program yang terbilang cukup populer bagi pemerintah dan dianggap penting. Hal ini ditandai dengan dilibatkannya tujuh departemen teknis yaitu ESDM, Pertanian, Tenaga kerja dan Transmigrasi, Dalam Negeri, Kementerian Negara Daerah Tertinggal, Kementerian Negara BUMN, dan Kelautan dan Perikanan dengan peran yang berbeda-beda. DME terbagi atas dua tipe yaitu DME berbasis non-BBM dan BBM. DME berbasis non-BBM mengandalkan jenis energi terbarukan seperti PLTMH, biomassa, tenaga angin dan tenaga surya. Sedangkan DME berbasis BBM mengandalkan biofuel dari minyak jarak dan bioetanol. Akan tetapi, DME yang mendapat perhatian justru DME berbasis biofuel minyak jarak, dimana sampai tahun 2007 telah
103
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:103
6/22/2010 6:28:29 PM
Esta Lestari
terdapat 100 DME berbasis jarak dan hanya 40 DME yang berbasis non BBM. Lebih lanjut, perhatian yang lebih pada pengembangan jarak terlihat dari bantuan pemerintah yang terorientasi pada jarak, misalnya departemen UKM terlibat dalam hal perkuatan permodalan dan mesin pembuat biodisel, demikian pula dengan departemen perindustrian yang membantu mesin, total yang disalurkan 300 mesin dengan kapasitas 200 liter per hari. Sebaliknya, dapat dikatakan bahwa hanya dua jenis dari energi tersebut yang justru paling berkembang di masyarakat yaitu biomassa jenis biogass dan PLTMH. Hal ini tidak lepas dari kenyataan bahwa perkembangan program DME berbasis jarak pagar belum menunjukkan hasil meskipun telah berjalan dua tahun. Meskipun pada beberapa wilayah telah menghasilkan biji jarak, namun nilai manfaatnya bagi masyarakat terbilang sangat minim. Pada dua provinsi yang berhasil di survey, yaitu Jawa Barat dan Lampung, tingkat keberhasilan DME jarak tidak besar yang ditandai dengan rendahnya tingkat kemanfaatan produk jarak oleh masyarakat setempat dalam menggantikan jenis energi tertentu mereka serta belum mampu meningkatkan pendapatan mereka. Kendala paling besar adalah rendahnya tingkat harga biji jarak di tingkat petani yang menyebabkan keengganan petani untuk mengembangkan tanaman jarak. Tingkat harga yang ditawarkan hanya sebesar Rp 1000/kg sehingga dianggap tidak menguntungkan dan petani akhirnya memilih beralih kembali pada jenis komoditas lain dengan nilai ekonomis lebih tinggi. Di wilayah Lampung, petani yang beralih membuka lahan jarak pagar dari berbagai tanaman keras lainnya seperti lada, akhirnya justru kembali pada komoditas sebelumnya. Bahkan, sebagian besar masyarakat kembali pada tanaman singkong karena tingginya tingkat permintaan singkong bagi pabrik-pabrik besar tapioka di Lampung. Rendahnya harga beli biji jarak terutama disebabkan karena hilangnya competitiveness minyak jarak terhadap
104
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:104
6/22/2010 6:28:29 PM
Strategi Pengembangan Energi Berbasis Masyarakat: Studi Kasus Program Desa Mandiri Energi (Dme)
BBM ketika harganya dinaikkan. Untuk memproduksi satu liter minyak jarak diperlukan sekitar 4 kg biji jarak, sehingga harga dasar minimal Rp 4000 per liter tanpa memperhitungkan biaya produksi dan operasional seperti teknologi dan tenga kerja. Selain itu, kompleksitas pemanfaatan biji jarak dianggap menyulitkan bagi petani karena proses pembuatan minyak jarak dengan manual tergolong memakan waktu dan tenaga. Lebih lanjut, permasalahan tersebut menyebabkan masyarakat desa bersangkutan enggan memanfaatkan jarak yang dihasilkan sendiri. Desa Way Isem di Kabupaten lampung Timur provinsi Lampung termasuk sedikit desa yang berhasil mengembangkan biji jarak. Akan tetapi, masyarakat setempat justru tidak banyak memanfaatkan jarak. Keberhasilan pengembangan jarak pagar diwilayah telah sampai pada produksi minyak jarak (namun belum fuel grade). Keberhasilan tersebut tidak lepas dari dari campur tangan pihak lain dalam hal ini LSM Eka Tjipta Fundation yang memberikan pendampingan intensif dalam pengembangan tanaman jarak pagar dan proses produksi hingga menjadi minyak melalui bantuan mesin pengolah minyak jarak. Akan tetapi, dengan rendahnya harga jual biji jarak, tidak sedikit masyarakat yang menjadikan tanaman jarak sebagai tanaman sela diluar tanaman utama mereka melalui sistem tumpang sari, karena produksi biji jarak hanya dianggap sebagai ekses atau tambahan pendapatan. Proses pengolahan biji jarak yang rumit, dari pemetikan, pengupasan, pengeringan hingga menjadi minyak membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit sehingga masyarakat sendiri tidak ada yang menggunakannya karena dianggap tidak ekonomis. Masyarakat sejauh ini hanya menggunakan trurunan biji jarak dari ampas jarak yang dipergunakan dalam produksi biogass setelah mendapatkan bantuan reaktor biogass dari IPB. Rendahnya tingkat keberhasilan DME berbasis jarak tidak lepas dari penerapan kebijakan pemerintah yang top-down tanpa
105
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:105
6/22/2010 6:28:29 PM
Esta Lestari
mempetimbangkan potensi dan kemanfaatannya bagi masyarakat. Dalam PP No. 5/2006 yang mengamanatkan pengembangan bahan bakar nabati (BBN), diopersionalkan dalam Keppres No.1/2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan BBN sebagai bahan bakar lain dan Inpres No.1/2006 tentang Pembentukan tim nasional BBN untuk percepatan pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Program pengembangan BBN ini melibatkan begitu banyak instansi baik pusat dan daerah termasuk juga kepala daerah yang wajib berpartisipasi didalamnya. Hal ini kemudian diterjemahkan oleh daerah untuk memprioritaskan pengembangan tanaman jarak pagar dan mengkombinasikannya dengan program DME dalam rangka pengentasan kemiskinan. Permasalahan yang kemudian timbul adalah rendahnya koordinasi berbagai pihak baik tingkat pusat-daerah, dan bahkan antara kabupaten/kota dengan provinsi. Hal ini ditandai dengan rendahnya tingkat pengetahuan dan tingkat monitoring program ini diantara para pejabat daerah terkait.Sebagai contoh, di provinsi Jawa Barat, tingkat keberhasilan pengembangan tanaman jarak tidak diketahui pejabat terkait di tingkat provinsi, karena rendahnya tingkat koordinasi provinsikabupaten/kota dimana sebagai daerah otonom pemkab/kota merasa tidak berhak untuk melaporkan perkembangan implementasi suatu kebijakan pada pemprov. Padahal, sebagai kebijakan yang bersifat top-down, diperlukan koordinasi yang sangat baik untuk memonitor jalannya program. Misalnya, perkembangan mesin press press biji jarak sebanyak 300 buah dari departemen Perindustrian yang tersebar di seluruh Indonesia tidak termonitor dengan baik oleh pemerintah provinsi. Dari dua provinsi yang disurvey, terlihat jelas ketidaktahuan pemprov terhadap perkembangan bantuan mesin tersebut. Setelah ditelusuri, terkuak bahwa permesinan tersebut tidak dapat digunakan masyarakat petani karena undercapacity.
106
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:106
6/22/2010 6:28:29 PM
Strategi Pengembangan Energi Berbasis Masyarakat: Studi Kasus Program Desa Mandiri Energi (Dme)
Kelemahan lain dari implementasi kebijakan yang top-down adalah tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pendanaan dari pusat. Padahal, pendanaan APBN terbilang sangat terbatas ditambah dengan kemampuan APBD yang juga terbatas. Sedangkan upaya pengembangan minyak jarak membutuhkan pembiayaan yang berkelanjutan. Hal ini pada gilirannya menjadikan program tidak berjalan optimal. Kenyataan ini terlihat dari kasus provinsi Lampung, yang mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan menetapkan dua desa pengembang jarak setiap tahunannya, berdasarkan hasil identifikasi potensi wilayah. Namun, kendala pembiayaan seperti naik-turunnya dana program serta minimnya nilai pembiayaan, menyebabkan program tidak bisa berjalan optimal. Alhasil, program ini justru tidak memberikan manfaat bagi masyarakat. Artinya, kebijakan DME tidak hanya bisa dibentuk berdasarkan kebijakan yang bersifat top-down, tapi justru bottom-up. Hal ini terkait dengan perbedaan kebutuhan energi setiap daerah dan sumber daya yang tersedia untuk memenuhinya. Kebijakan top-down dibutuhkan hanya sebagai supporting policy yang menjadi katalisator bagi pengembangan energi desa. Sejauh ini, desa di Indonesia terutama bertumpu pada sektor pertanian dan kerap berada di wilayah yang terisolir sehingga akses terhadap energi terbilang rendah. Padahal, komunitas pertanian, banyak ekses dari produk pertanian yang potensial sebagai sumber energi. Seperti yang dikemukakan akademisi Universitas Lampung, seperti kebanyakan desa di Indonesia, potensi energi di pedesaan terutama datang dari energi berbasis biomassa, yang berasal dari berbagai ekses pertanian seperti kayu bakar, sekam padi, tandan sawit, tebu, hingga biogass. Selain itu, kontur wilayah pedesaan yang terisolir memiliki kekayaan sumber daya melimpah yang dapat dimanfaatkan sebagai penghasil energi listrik terutama micro-hydro yang mengandalkan
107
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:107
6/22/2010 6:28:29 PM
Esta Lestari
aliran sungai. Bentuk-bentuk dari energi terbarukan tersebut belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Hal ini terlihat dari masih minimnya intervensi pemerintah dalam mengembangkan energi berbasis biomassa dan PLTMH. Sedangkan hal ini berbeda dengan pemanfaatan energi terbarukan oleh industry yang telah optimal, misalnya bioetanol yang dihasilkan dari turunan produk pertanian seperti tebu, sawit dan singkong. Berdasarkan pengalaman di provinsi Lampung sebagai salah satu produsen utama gula, tapioca, dan sawit, pemanfaatan energi terbarukan baik bioetanol maupun biomass dari residu tebu dan sawit telah dimanfaatkan optimal oleh perusahaan induk yang diyakini memberikan dampak minimal bagi masyarakat sekitar. Sayangnya, industri energi terbarukan di Indonesia masih jauh dari berkembang. Hal ini terutama karena kebijakan pemerintah terkait dengan energi lebih banyak difokuskan pada upaya untuk menggantikan energi bagi sektor transportasi terutama di perkotaan. Hal ini mengakibatkan berbagai kebijakan energi pemerintah justru tidak mengarah langsung pada pencapaian ketahanan energi masyarakat pedesaan. Hal ini terutama ditunjukkan dari kebijakan Desa Mandiri Energi yang diarahkan pada pemanfaatan jarak, dibandingkan energi terbarukan lainnya.
5. 2.3 Biomass Selama ini, penggunaan energi alternatif di wilayah pedesaan di Indonesia terutama menggunakan kayu bakar dan arang, sebagai sumber energi biomass yang ditujukan bagi proses pemanasan (memasak). Hal ini ditunjang oleh besarnya ketersediaan kayu bakar dan arang sisa hasil pertanian (misalnya dari batok kelapa) yang tersebar di wilayah pedesaan. Penggunaan energi terbarukan yang lebih modern belum banyak tersentuh oleh masyarakat, terutama karena informasi
108
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:108
6/22/2010 6:28:29 PM
Strategi Pengembangan Energi Berbasis Masyarakat: Studi Kasus Program Desa Mandiri Energi (Dme)
dan teknologi yang rendah akibatnya rendahnya transfer teknologi serta rendahnya tingkat kesadaran akan pentingnya sumber energi yang bersih. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus telah dijumpai masyarakat pedesaan yang berhasil mengembangkan sumber energi terbarukan khususnya biogass dan briket arang. Akan tetapi tingkat penyerapan energi tersebut masih ditujukan bagi pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan belum dikembangkan pada upaya produktif yang mendorong peningkatan pendapatan. Pada beberapa wilayah pedesaan yang sangat terisolasi, pola kegiatan ekonomi masih bersifat subsisten dan tidak bersentuhan dengan masyarakat urban. Hal ini yang menyebabkan sulitnya sektor produktif untuk berkembang karena kendala geografis dan teknis, misalnya upaya untuk mencapai pasar baik untuk mendapatkan bahan baku maupun memasarkannya. Meskipun penggunaan biomassa sebagai energi terbilang sangat tinggi, kedua setelah BBM namun upaya untuk mengembangkan biomassa di Indonesia yang lebih modern masih sangat minim. Hal ini terlihat dari rendahnya intervensi pemerintah untuk memperluas penggunaan energi biomassa modern. Meskipun teknologi biomassa terus berkembang di Indonesia terutama dikalangan akademisi, namun belum ada implementasi secara masal karena masih sejauh pada penelitian dan pilot project. Banyak pusat penelitian tepat guna yang berasal dari lembaga riset dan universitas telah mengembangkan bentuk energi biomassa yang lebih modern, baik dalam bentuk briket maupun modifikasi alat memasak yang ramah lingkungan. Namun, implementasi masal ke masyarakat masih sangat minim dan hal ini sulit dilakukan jika tidak ada dukungan pemerintah. Dari dua provinsi yang disurvey, terlihat bahwa energi biomassa telah dipergunakan oleh masyarakat secara subsisten dan sederhana terutama untuk kayu bakar dan arang. Pengembangan briket sekam dan bungkil telah dicoba dikembangkan di daerah Jawa barat, namun
109
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:109
6/22/2010 6:28:30 PM
Esta Lestari
menghadapi kendala teknologi yang belum optimal, sehingga produk belum bisa diproduksi masal. Lebih lanjut, kendala pendanaan juga terjadi karena sulitnya akses terhadap perbankan, meskipun dinas pertambangan dan Energi provinsi Jawa Barat mencoba menfasilitasinya. Demikian pula dengan pengembangan kompor sekam yang masih pada tahap uji coba. Rendahnya pendanaan dalam hal penelitian dan pengembangan menjadi kendala bagi komersialisasi biomassa. Biomassa yang dapat dikatakan paling berkembang di wilayah pedesaan Indonesia adalah Biogass. Biogass telah banyak dikembangkan dipedesaan terutama yang memiliki sentra-sentra peternakan sapi. Di wilayah Jawa Barat, daerah peternakan sapi seperti di Lembang dan Sumedang telah mengembangkan biogass bagi rumah tangga sejak lebih dari 3 tahun terakhir. Dampaknya bagi masyarakat cukup besar, dan mencapai kemandirian energi untuk menggantikan minyak tanah. Selain itu, pemanfaatan biogass juga dapat dilakukan tidak hanya pada sentra peternakan sapi, tapi juga pada wilayah lain yang memanfaatkan sisa pertanian. Misalnya di Lampung, pemanfaatan biogass di desa Way Isem justru berasal dari briket bungkil biji jarak yang dapat digunakan sebagai bahan baku biogass. Sayangnya, pemanfaatan biogass masih pada konsumsi rumah tangga dan belum pada usaha produktif. Selain karena kebanyak masyarakat bergerak dibidang pertanian yang tidak menggunakan energi secara langsung, kontinuitas energi terbarukan tersebut relative masih kurang. Misalnya, pemanfaatan biogass di sentra peternakan yang idealnya dapat digunakan pada sterilisasi susu atau pengembangan produk turunan susu belum dapat dilakukan karena penyimpanan gas yang terbatas yang mengakibatkan terbatasnya waktu pengolahan. Di desa Haurgombong Sumedang, peternak susu yang memanfaatkan susu dengan kualitas rendah yang tidak bisa masuk ke koperasi untuk diolah menjadi kerupuk susu. Namun usaha pengolahan makanan
110
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:110
6/22/2010 6:28:30 PM
Strategi Pengembangan Energi Berbasis Masyarakat: Studi Kasus Program Desa Mandiri Energi (Dme)
ini masih menggunakan minyak tanah atau gas karena biogass yang dihasilkan hanya cukup untuk 2 jam pemasakan. Artinya, kendala teknologi menjadikan sulitnya pengembangan usaha produktif.
5.2.4 PLTMH PLTMH dan biomassa memiliki karakteristik yang berbeda terutama dari penggunaannya, dimana yang pertama adalah untuk menggantikan peran listrik (penerangan) dan yang kedua lebih ditujukan sebagai substitusi minyak tanah untuk memasak. Peran PLTMH menjadi sangat penting bagi wilayah pedesaan yang tidak dapat tersentuh oleh akses sambungan listrik pusat. Beberapa faktor menjadi kendala bagi pengembangan dan pemanfaatan energi di pedesaan. Kenyataan bahwa instalasi listrik di daerah pedesaan yang terisolasi sangat mahal dibandingkan perkotaan serta tingginya kebutuhan dan dampak negatif dari penggunaan energi fosil, menyebabkan terjadinya pergeseran pendekatan pada kebijakan energi yang terdesentralisasi serta pemanfaatan energi terbarukan. Hal ini tidak lepas dari semakin meningkatnya peran pemerintah daerah dalam era otonomi dan besarnya sumber daya lokal pedesaan yang potensial untuk dikembangkan sebagai substitusi kebutuhan energi konvesional yang akan meningkatkan ketahanan energi mereka. Di Indonesia, potensi PLTMH mencapai 450 GW. Beberapa daerah telah merasakan manfaat yang dihasilkan dari pembangkit listrik skala kecil ini, terutama daerah pelosok yang kemudian mengalami perubahan besar bagi masyarakatnya, tidak saja pada kebutuhan rumah tangga tapi juga opportunity cost yang dihasilkan melalui penggunaan listrik di waktu malam atau pemanfaatannya di sektor produktif. Sayangnya, hanya sedikit dari desa yang teralirilistrik PLTMH mampu mengembangkan potensi desanya kearah sektor produktif
111
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:111
6/22/2010 6:28:30 PM
Esta Lestari
dalam rangka meningkatkan pendapatannya. Hal ini tidak lepas dari karakteristik masyarakat dan pengaruh budaya. Sebagian besar masyarakat pedesaan yang teraliri listrik banyak mengubah pola kebiasaannya pada hal-hal yang dianggap justru tidak produktif. Salah seorang produsen penghasil turbin micro-hydro yang telah berhasil membangun instalasi lebih dari 200 buah yang tersebar di seluruh Indonesia menceritakan pengalamannya bahwa sebagan besar masyarakat justru mengurangi kegiatan sosialnya pada waktu malam hari dibandingkan sebelum teraliri listrik. Rumah tangga menjadi lebih banyak menghabiskan waktu dirumah dan menggunakan berbagai perangkat elektronik diwaktu malam. Hal ini kemudian justru menciptakan dampak yang kontraproduktif. Pengaruh keberadaan listrik justru akan berdampak positif pada masyarakat petani yang jauh dari akses terhadap air. Dengan PLTMH, masyarakat justru diuntungkan dengan adanya pompa air yang menjadikan irigasi sawah mereka menjadi lebih baik sehingga meningkatkan hasil pertaniannya selain juga menjadikan pekerjaan jauh lebih mudah. Selain itu, pada sebagian masyarakat lain manfaat PLTMH dirasakan pada msyarakat yang sudah memiliki basis produksi komoditas unggulan. Misalnya, Kabupaten Tasikmalaya yang terutama bergerak pada sektor tekstil yaitu bordir merasakan manfaatnya dapat bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang (malam hari). Selain itu, beberapa wilayah yang teraliri listrik dari PLTMH bahkan telah menjadi produsen energi. Dengan membangun organisasi berbasis masyarakat (community-based development), masyarakat merasakan manfaat listrik yang berkelanjutan karena pembangkit dirawat dengan baik menggunakan dana masyarakat kolektif yang menimbulkan kesadaran dan rasa kemilikan yang tinggi untuk menjaga agar sumber penerangan mereka berjalan baik. Beberapa desa yang kelebihan listrik bahkan telah mampu menawarkan kelebihan listriknya pada PLN.
112
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:112
6/22/2010 6:28:30 PM
Strategi Pengembangan Energi Berbasis Masyarakat: Studi Kasus Program Desa Mandiri Energi (Dme)
Hal ini diatur dalam PP No. 3 tahun 2005 tentang penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik. Disebutkan bahwa PLN dapat melakukan pembelian kelebihan tenaga listrik badan usaha ketenagalistrikan yang dapat dilakukan melalui pelelangan umum atau penunjukan langsung. Implementasinya diatur dalam Peraturan Menteri Energi & Sumber Daya Mineral No. 1122/2002 untuk kapasitas pembangkit dibawah 1 MW, dan No. 002/2006 untuk kapasitas pembangkit sampai dengan 10 MW. Dalam aturan tersebut, PLN diwajibkan membeli kelebihan listrik badan usaha dengan harga 80% dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik setempat. Dan apabila disambung ke sistem tegangan menengah PLN maka akan dibeli PLN dengan harga yang ditetapkan sebesar 60% BPP Listrik untuk sambungan ke sistem tegangan rendah. Sayangnya, aturan ini dianggap tidak menarik oleh produsen listrik micro-hydro karena harga beli dinilai terlalu rendah sehingga tidak jarang justru kelebihan listrik sengaja dibuang. Beberapa kendala dianggap menghambat proses ini, meliputi proses negosiasi dan pembuatan perjanjian pembelian tenaga listrik atau PPA (Power Purchase Agreement) yang membutuhkan waktu berkepanjangan, rendahnya harga pembelian yang dianggap tidak menguntungkan bagi badan usaha, jangka waktu PPA ditetapkan per tahun sedang harga yang berlaku 3 tahun dianggap memberatkan karena fluktuasi harga terus terjadi (Notodisuryo, E.U, et al., 2008) Kebijakan ini kemudian direvisi menjadi Permen ESDM no. 5 tahun 2009 yang mengatur aturan baru pembelian listrik oleh PLN dari badan usaha lain. Sayangnya, tidak ada perubahan berarti dari kebijakan sebelumnya karena pembelian dilakukan melalui pelelangan umum, penunjukan langsung atau pemilihan langsung berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik dimana Harga perkiraan sendiri (HPS) dibuat oleh PLN sesuai dengan harga keekonomiannya
113
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:113
6/22/2010 6:28:30 PM
Esta Lestari
5.3 Pengalaman negara lain India Decentralized energi systems India (DESI Power) adalah sebuah kolaborasi non profit antara DASAG (sebuah perusahaan swata Swiss) dan TARA (Technology and Action for Rural Advancement), divisi dari sebuah perusahaan non-profit di India. Tujuan utama dari DESI adalah mengembangkan produsen energi ditingkat pedesaan sebagai suatu bentuk kerjasama antara komunitas lokal dengan pengusaha dalam rangka menyediakan listrik di daerah terpencil yang tidak terjangkau listrik negara. Upaya ini lebih difokuskan pada pembangunan industri dan modal SDM. Upaya awal adalah melalui dibangunnya gasifikasi biomass pada tahun 1996 di Orchha dengan nilai modal awal Ruppes $ 22 Laksh (USD 47.000). Energi yang disediakan kemudian digunakan untuk berbagai fasilitas seperti riset, demo, training dan kegiatan produksi. Fasilitas produksi yang disediakan digunakan oleh berbagai industri kecil, dari pabrik daur ulang kertas, industri kecil genteng keramik, batu bata, semen dan berbagai industri lainnya termasuk briket arang dengan total tenaga kerja yang terserap sebanyak 100 pekerja. Pemanfaatan energi ini telah dirasakan oleh industri kecil, misalnya pabrik daur ulang kertas menyatakan bahwa produksi mereka bahkan mampu meningkat hingga 4,5 kali lipat perbulan, dengan jam kerja yang sama. Demikian pula dengan industry kain sutra yang mengalami peningkatan produksi setlah menggunakan oven biomass hingga mencapai 3,7% dengan kualitas yang lebih tinggi sehingga harga jual juga meningkat (Etcheverry, 2003).
Peru Pengembangan energi alternatif di Peru diawali pada tahun 1994, melalui sebuah kolaborasi antara IntermediateTechnology Development
114
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:114
6/22/2010 6:28:30 PM
Strategi Pengembangan Energi Berbasis Masyarakat: Studi Kasus Program Desa Mandiri Energi (Dme)
Group Of Peru (ITDG) dan Inter American Development Bank (IDB) melalui pemasangan 24 micro-hydro di berbagai daerah terisoloasi di Peru. Seluruh PLTMH telah menghasilkan 1,3 MW listrik yang diakses oleh 15.000 orang. Program ini difokuskan pada sisi finansial dan human capital melalui penyediaan pinjaman lunak dan pendampingan teknis. Sebuah pendekatan terintegrasi diimplementasikan untuk meliputi pengembangan teknlogi, training, pilot project, riset hingga advokasi publik guna mengembangkan program ini. Upaya finansial yang dilakukan adalah dengan memberikan dana bergulir bagi masyarakat lokal dan pengusaha guna menfasilitasi daerah tertinggal sehingga mampu membangun PLTMH. Dana tersebut bervariasi besarnya anatara USD 10,000-50,000, dengan pengenaan bunga 8% dan payback period selama 5 tahun. Hal yang juga perlu ditekankan adalah pentingnya perbedaan treatment yang didasarkan pada kasus per kasus. Dengan program ini, diklaim terjadi penurunan biaya yang signifikan, terutama jika dibandingkan dengan sumber energi konvensional seperti solar. Peningkatan pendapatan masyarakat akibat penggunaan energi terbarukan dilihat dari meningkatnya kualitas susu akibat penggunaan lemari pendingin setelah wilayah tersebuut terinstalasi PLTMH sehingga harga susu juga meningkat dua kali lipat (Etcheverry, 2003).
Bangladesh Grameen Shakti (GS), yang selama ini sangat terkenal dengan keberhasilannya memberdayakan masyarakat melalui microfinance, telah memberikan kontribusi besar bagi masyarakat daerah tertinggal dengan penyediaan listrik yang terjangkau. Sebagai sebuah perusahaan nirlaba, GS terkonsentrasi pada pengembangan energi photovoltaic skala kecil (PV) melalui pengembangan riset, training, penjualan, penyediaan kredit, hingga jaminan kredit. Fokus dari program ini adalah aspek financial dan human capital yang secara aktif mendorong penggunaan
115
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:115
6/22/2010 6:28:30 PM
Esta Lestari
PV system untuk berbagai aktivitas produktif. Keberhasilan GS terletak pada kemampuannya menawarkan kredit yang sesuai bagi masyarakat dalam berbagai skema, sehingga justru meningkatkan permintaan atas PV. Sampai tahun 2003, telah terinstall lebih dari 14.000 sistem energi rumahan berbasis matahari. Hal ini pada gilirannya dikatakan telah memberikan kontribusi besar bagi peningkatan pendapatan masyarakat melalui perpanjangan waktu kerja karena penggunaan penerangan dan komputer. Hal ini ditunjukkan dari meningkatnya produktivitas usaha penggergajian hingga 50% karena jam kerja hingga malam (Etcheverry, 2003).
Nepal Program energi bagi daerah pedesaan di Nepal dimulai tahun 1996, melalui kerjasama antara pemerintah dengan dukungan dari UNDP. Ekspansi sistem energi alternatif ini merupakan salah satu dari kebijakan pemerintah dalam rangka pembangunan sosial-ekonomi masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Inisiasi ini difokuskan pada upaya untuk mencapai pembangunan modal social (social capital), dimana implementasi dilakukan melalui mobilisasi komunitas sebagai dasar dari perencanaan, implementasi, pengoperasian dan manajemen dari sistem energi pedesaan. Sampai dengan tahun 2001, telah dibangun 56 PLTMH dengan kapasitas 1.053 kW yang diakses oleh 9.494 rumah tangga. Selain PLTMH, tebangun juga 20 peltric-set, 1,167 energi perumahan berbasis matahari, dan 1.183 instalasi biogas. Selain itu, program ini juga mencakup upaya menyeluruh melalui penyediaan training bisnis sehingga diharapkan dapat mengembangkan industri kecil setempat yang berbasis pada pertanian. Program ini mengasumsikan bahwa pemanfaatan energi yang tepat guna bagi masyarakat pedesaan merupakan faktor penting bagi pengentasan kemiskinan. Hal ini jelas berbeda dengan konsep pembangunan
116
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:116
6/22/2010 6:28:30 PM
Strategi Pengembangan Energi Berbasis Masyarakat: Studi Kasus Program Desa Mandiri Energi (Dme)
trickle-down effect yang menitikberatkan pada penyediaan energi yang diarahkan melalui komersialisasi masal dengan skala yang besar dan hanya menguntungkan pemilik modal (Etcheverry, 2003).
Mexico Inisiatif pengembangan energi alternatif pedesaan diawali pada tahun 1999 dengan kolaborasi antara GEF, World Bank dan Mexico’s trust fund for shared risk (FIRCO). Program ini ditujukan secara khusus untuk mengurangi dampak emisi gas rumah kaca melalui penggunaan energi terbarukan di sektor pertanian, seperti pemasangan pompa air energi matahari yang telah terpasang di 28 negara bagian, pompa air energi angin di 11 negara bagian dan 24 lemari es energi matahari untuk penimpanan susu di 8 negara bagian. Tujuan utama dari pengembangan social capital adalah untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan bagi sektor produktif seperti irigasi dan lemari pendingin (Etcheverry, 2003).
Thailand Pengembangan energi terbarukan pedesaan di Thailand telah mengalami perjalanan yang cukup panjang, lebih dari 25 tahun yang lalu telah diinisiasikan pengembangan energi terbarukan. Energi tersebut terutama ditujukan untuk stasiun pengisian baterai (BCS), energi matahari bagi perumahan, dan pompa air. Sayangnya, berbagai program ini sebagian besar tidak berhasil, meskipun realisasi instalasi listrik telah mencapai 1,9 MW untuk BCS, 0,954 untuk pompa air dan 35 MW SHS di tahun 2005. Lebih dari 60% dari BCS dan 45% dari sistem pompa air tidak berjalan karena pengoperasian dan perawatan yang tidak sesuai serta desain yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat pedesaan. Seluruh program ini adalah kebijakan pusat yang 100%
117
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:117
6/22/2010 6:28:31 PM
Esta Lestari
disubsidi. Akibatnya banyak terjadi kegagalan karena pengrusakan dan kesalahan dalam penggunaannya (Etcheverry, 2003). Berdasarkan pengalaman diatas, telah diidentifikasikan beberapa sumber energi terbarukan yang dianggap potensial dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, misalnya mesin pengering makanan berbasis energi matahari yang telah diimplementasikan di Thailand bagian selatan dan utara. Penggunaan mesin ini bahkan mampu meningkatkan kualitas makanan sehingga dapat dijual dengan harga 75% lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat dari 7 menjadi 5 hari. Lebih lanjut, peternakan sapi skala besar di Thailand juga memberikan potensi pemanfaatan biogas yang sangat besar, mencapai 560 mm3 biogass pertahun atau setara dengan 11.751TJ. energi tersebut terutama digunakan untuk pemasan dan mekanik. Penghematan dari biogass mampu menurunkan biaya hingga 60% dibandingkan dengan penggunaan solar. Potensi energi alaternatif lain yang dianggap cukup besar adalah arang dari berbagai residu (sisa) hasil pertanian. Selain menanggulangi permasalahan sampah, penggunaannya juga mampu memberikan tambahan pendapatan bagi petani karena produksinya dapat dijalankan skala kecil hingga besar. Kendala yang dihadapi terutama terkait dengan teknologi pembuatan arang yang belum berkembang di Thailand (Shresta, et al., 2006).
Korea Desa Donggwang di pulau Jeju-do, Korea Selatan telah memanfaatkan energi tenaga surya untuk memenuhi kebutuhan listrik 40 rumah tangga di desa tersebut. Setiap rumah memiliki panel surya berukuran besar dengan kapasitas hingga lebih dari 2.100 watt dan mencukupi kebutuhan listrik masyarakatnya secara penuh. Program in telah digalakkan sejak tahun 2004, dengan dukungan pemerintah. Pemerintah memberikan subsidi pemasangan sebesar 70% dari biaya.
118
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:118
6/22/2010 6:28:31 PM
Strategi Pengembangan Energi Berbasis Masyarakat: Studi Kasus Program Desa Mandiri Energi (Dme)
Hal ini mendorong masyarakatnya untuk lebih ramah lingkungan dan dapat menikmati udara yang lebih bersih. (source (http://kunaifi. wordpress.com/2008/05/14/desa-mandiri-energi-pertama-duniaworld-first-self-sufficient-energi-village/)
5.4 Rekomendasi Kebijakan dan Strategi Pengembangan Energi Alternatif bagi Masyarakat Upaya untuk menciptakan masyarakat berbasis energi alternatif di Indonesia mendapatkan tempat yang luas sejalan dengan banyaknya potensi energi baru dan terbarukan di wilayah pedesaan. Wilayah pedesaan dipilih sebagai basis bagi pengembangan masyarakat yang mandiri energi karena karakteristiknya yang berbeda dari masyarakat perkotaan, yang menggunakan bahan bakar minyak terutama untuk tujuan transportasi dan industry. Rumah tangga di perkotaan juga sebagian besar menggunakan gas untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangga. Artinya, kebutuhan energi diwilayah perkotaan hanya bisa dipenuhi oleh energi konvensional yang tidak bisa diproduksi sendiri. Sebaliknya, wilayah pedesaan memiliki sumber daya melimpah yang dapat dimanfaatkan sebagai pengganti energi konvensional. Upaya pengalihan energi ke sumber daya local diyakini akan membawa setidaknya 3 manfaat, penurunan biaya hidup, peningkatan pendapatan dan pemanfaatan sumber daya local secara berkelanjutan. Pengalihan konsumsi energi ke energi berbasis sumber daya local akan menurunkan tingkat pengeluaran sehingga dapat terjadi saving atau pengalihan pada konsumsi lainnya, terutama pendidikan. Lebih lanjut, pemanfaatan energi ini pada sektor-sektor produktif akan membawa pada peningkatan pendapatan sehingga diharapkan dapat menurunkan kemiskinan dalam jangka panjang. Disisi lain, pemanfaatan energi dari
119
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:119
6/22/2010 6:28:31 PM
Esta Lestari
sumber daya local akan sejalan dengan konsep energi hijau yang ramah lingkungan. Upaya untuk pengembangan energi berbasis sumber daya lokal perlu mendapat dukungan dari pemerintah dalam bentuk langkah nyata. Selama ini, kebijakan pemerintah terkait dengan energi alternatif bagi masyarakat bersifat top-down dan seragam bagi setiap wilayah, misalnya program DME yang berorientasi pada pengembangan minyak jarak. Selain itu, kebijakan energi juga perlu dipertimbangkan dari berbagai aspek, dari hulu hingga hilir, misalnya penentuan siapa yang akan mengembangkan, mendistribusikan hingga pengguna akhirnya, harus tepat sasaran. Ketidakefektifan kebijakan top-down ini terlihat dari program DME berbasis jarak pagar. Program DME yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian energi pedesaan dalam rangka pengentasan kemiskinan menjadi tidak efektif ketika yang dikembangkan adalah produk yang tidak digunakan oleh masyarakat sendiri, dimana produk minyak jarak ditujukan bagi sektor transportasi. Sektor ini jelas paling besar berasa di perkotaan, sedangkan pedesaan lebih membutuhkan energi untuk listrik dan memasak. Atas dasar hal ini, maka perlu dilakukan kebijakan yang kasuistik dan berbeda bagi setiap wilayah dan didasarkan pada sumber daya dan pengguna yang tepat. Pada beberapa negara berkembang, kebijakan EBT bagi masyarakat pedesaan dilakukan dengan kebijakan dan strategi yang komprehensif, dalam rangka mendorong pengembangan dan pemanfaatannya. Di Thailand, kebijakan EBT bagi masyarakat pedesaan telah dilakukan sejak 2 dekade dan mengalami berbagai metamorfosisi hingga akhirnya menemukan bentuk yang paling sesuai. Strategi yang dilakukan juga tergolong menyeluruh dari pusat hingga daerah dan dilakukan tidak hanya dalam jargon tapi juga secara nyata untuk
120
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:120
6/22/2010 6:28:31 PM
Strategi Pengembangan Energi Berbasis Masyarakat: Studi Kasus Program Desa Mandiri Energi (Dme)
mengubah paradigm masyarakat. Misalnya, kampanye ‘Divided by 2’ yaitu kampanye sebagai upaya memperluas kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi lingkungan melalui pemanfaatan energi terbarukan. Lebih jauh, kebijakan diimplementasikan dalam bentuk bantuan pemerintah pada berbagai instrument EBT seperti instalasi Biogass, BCS, dan PV tenaga surya. Kebijakan dalam bentuk regulasi dituangkan dalam pemerintah secara aplikatif dibentuk dalam ENCON Act, sebuah program yang menetapkan guideline, criteria, persyaratan dan prioritas bagi pengalokasian dana program ENCON sehingga mendorong pemanfaatan EBT. Selain itu membentuk EGAT ACT and Net Metering yang mengamandemen Undang-undang listrik tahun 1992 dimana memberikan kebebasan bagi produsen listrik independent (power producers) dan produsen listrik skala kecil (smallpower producers) untuk menjual listrik ke prusahaan negara. Sepuluh tahun kemudian diadopsi kebijakan net metering yang memungkinkan UKM peghasil listrik untuk menjual kelebihan listriknya ke perusahaan negara. Lebih lanjut, upaya untuk mengekspansikan penggunaan EBT perlu mendapatkan perhatian serius. Meskipun saat ini pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih difokuskan pada penggunaan rumah tangga, namun saat ini pendekatan tersebut semakin diperluas pada aktivitas ekonomi masyarakat. Penalaman negara berkembang lainnya menunjukkan bahwa pemanfaatan EBT dapat menjadi trigger bagi peningkatan pendapatan masyarakat melalui hidupnya usaha produktif. Beberapa literatur merekam perkembangan pemanfaatan energi terbarukan pada sektor-sektor produktif, misalnya (Acker and Kammen, 1996; Huacuz and Martinez, 1995; Kammen, 1999, Martinot et al., 2000). Sayangnya, khusus di Indonesia masih belum banyak study yang mengungkapkan hal tersebut.
121
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:121
6/22/2010 6:28:31 PM
Esta Lestari
Selama ini penggunaan energi tebarukan melalui teknologi energi terbarukan (renewable energy technologies RTEs) menjadi salah satu bentuk untuk menanggulangi permasalahan shortage energi fosil. Selama ini sumber energi terbarukan terutama justru berada di pedesaan yang tidak dapat diakses masyarakat akibat berbagai kendala dari keterbatasan informasi, teknologi, sumber daya manusia hingga pembiayaan yang selama ini dianggap mahal. Meskipun dalam skala kecil telah dijumpai pengembangan energi terbarukan di wilayah pedesaan di Indonesia, namun masih terbatas pada penggunaan rumah tangga. Berbeda dengan pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan di beberapa negara berkembang lainnya, semakin menunjukkan transformasi dari penggunaan rumah tangga ke usaha produktif. Tantangan ini sangat penting untuk mengubah mainstream energi yang selama ini diadopsi sehingga dapat tercipta pasar yang potensial dan dapat menggantikan energi fosil. Upaya menggeser paradigma energi dari penggunaan rumah tangga ke produktif saat ini banyak diperkenalkan dalam berbagai literatur yang disebut dengan PURE (productive uses of renewable energy). Terminologi penggunaan produktif merujuk pada berbagai project yang ditujukan guna peningkatan kesempatan menaikkan pendapatan dan produktivitas di pedesaan, untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, dan meningkatkan fleksibilitas dan kepercayaan diri masyarakat local. Inisiatif ini didasarkan pada upaya untuk mengevolusi energi terbarukan dari fokus tradisional pada kebutuhan rumah tangga menuju pada pendekatan pengembangan masyarakat local. Belajar dari keberhasilan negara lain, ada bebeapa langkah strategi yang penting dilakukan pemerintah. 1.
Membangun kebijakan energi yang komprehensif yang terhubungkan dengan berbagai sektor pengguna berdasarkan jenis energi yang dipergunakannya.
122
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:122
6/22/2010 6:28:31 PM
Strategi Pengembangan Energi Berbasis Masyarakat: Studi Kasus Program Desa Mandiri Energi (Dme)
Kebijakan energi perlu mempertimbangkan jenis energi dan penggunanya namun harus mengerucut pada upaya mencapai ketahanan energi nasional. Kebijakanan kiranya tidak digeneralisir bagi semua sektor dan pengguna sehingga tepat sasaran. 2.
Membangun perencanaan dan road map EBT secara komprehensif dengan mempertimbangkan interseksinya dengan jenis energi lain sehingga terbangun pasar yang kompetitif bagi semua jenis energi. Khusus bagi EBT, identifikasi kebutuhan dan pengguna energi diperlukan sehingga dapat dibangun perencanaan dan langkah strategis yang sesuai. Pengembangan EBT harus mempertimbangkan interseksinya dengan energi konvensional misalnya menciptakan keunggulan EBT dari berbagai aspek, baik harga, lokasi, dan ketersediaan sumber daya. Disisi lain, upaya pengembangan energi alternatif harus didukung melalui kebijakan yang mendorong komersialisasinya, misalnya dengan pengembangan teknologi tepat guna yang terjangkau oleh masyarakat, memudahkan impor teknologi energi terbarukan, atau mendorong pembentukan usaha produktif yang berbasis EBT. Kebijakan pemerintah untuk mensubsidi BBN mendorong bangkitnya industry Biofuel di Indonesia setelah beberapa diantaranya mati suri akibat tingginya harga bahan baku. Bagi industry harga bahan baku masih terbilang tinggi yang mengakibatkan harga biodiesel menjadi tidak kompetitif dibandingkan BBM konvensional. Padahal, bagi masyarakat harga biji jarak terbilang sangat rendah yang menjadikan disinsetif bagi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa program pengembangan BBN dari sisi supply perlu memperhatikan
123
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:123
6/22/2010 6:28:31 PM
Esta Lestari
pihak yang akan memproduksinya. Jika pemberian subsidi tetap dilakukan dengan tanpa kejelasan produsennya (industry atau petani) yang dikhawatirkan adalah manfaat yang tidak berimbang antara industry dengan petani, dimana industry yang berproduksi masal akan lebih efisien dan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dari petani. Oleh karena itu, upaya untuk memberikan subsidi BBN perlu diperhatikan dampaknya bagi masyarakat petani maupun industry. Selain itu, petani harus diposisikan sebagai pemasok bahan baku, dan bukan sebagai pengguna atau pengolah karena hal ini jelas tidak sesuai dengan skala ekonomis yang dimiliki petani. 3.
Membangun kerjasama pengembangan EBT dengan negara atau institusi lain. Program pengembangan EBT merupakan program masal yang membutuhkan biaya sangat besar. Disseluruh negara yang mengembangkan energi terbarukan, program ini adalah kolaborasi dengan swata atau institusi donor seperti World Bank atau ADB. Hal ini tidak lepas dari besarnya perhatian dunia akan pentingnya energi bersih, sehingga upaya-upaya untuk menggalakannya akan mendapatkan dukungan.
4.
Program pemanfaatan EBT haruslah berdasarkan partisipasi masyarakat.
komprehensif
dan
Berbeda dengan program EBT di Indonesia yang lebih bersifat jangka pendek melalui penyediaan raw materials seperti mesin pemecah biji jarak atau turbin PLTMH tanpa adanya pendampingan teknis, program serupa di negara lain bersifat menyeluruh meliputi riset, aplikasi teknologi dan pengembangannya, training, demo, bantuan finanasial dengan skema yang disesuaikan dengan pola masyarakat atau dana bergulir, srta pendampingan
124
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:124
6/22/2010 6:28:31 PM
Strategi Pengembangan Energi Berbasis Masyarakat: Studi Kasus Program Desa Mandiri Energi (Dme)
teknis untuk memastikan bahwa maintenance dapat berjalan dengan baik. Lebih daripada itu, pemerintah lebih berperan seagai fasilitator, sedangkan aktor utamanya adalah masyarakat. Artinya, partisipasi masyarakatlah yang harus mendominas setiap langkah dari perencanaan, implementasi, pengoperasian dan managemennya. 5.
Meningkatkan kesadaran akan pentingnya energi bersih Selama ini, kebiasaan untuk menggunakan energi konvensional telah menjadi budaya di masyarakat trmasuk masyarakat pedesaan. Hal ini menimbulkan ketergantungan yang tinggi pada BBM konvensional sehingga ketika trjadi shock seperti kenaikan harga atau langkanya BBM, masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima. Padahal, dengan kondisi masyarakat pedesaan yang mayoritas miskin dan terpencil, shock tersebut mengakibatkan meningkatnya kerentanan mereka untuk jatuh pada garis kemiskinan. Disisi lain, ketersediaan sumber energi yang bersih dari alam sangat besar. Oleh karena itu, upaya untuk mengubah paradigm masyarakat sangat penting dilakuan. Hal ini dapat tercapai dengan berbagai upaya, dari kampanye hingga mendorong pengembangan teknologi tepat guna yang dapat dioperasionalkan oleh masyarakat untuk mengembangkan EBT. Dengan pengembangan EBT dari sumber daya yang dimiliki masyarakat sehingga kemudian masyarakat dapat menikmati hasilnya, secara langsung akan meningkatkan rasa tanggungjawa dan memiliki oleh masyarakat. Upaya ini perlu mendapat dukungan tidak saja dalam bentuk financial seperti bantuan pembangunan pembangkit atau instalasi, tapi juga pendampingan teknis ntuk membentu SDM teknis yang kompeten dalam memaintain teknologi EBT yang dikembangkan.
125
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:125
6/22/2010 6:28:31 PM
Esta Lestari
DAFTAR PUSTAKA
Adam, L., 2009, ‘Analisis Kebijakan BBM di Sektor Industri’, dalam Pengaruh Kebijakan Harga Energi (Bahan Bakar Minyak) Terhadap Aktivitas Ekonomi Dan Kesejahteraan Masyarakat: Studi Kasus Sektor Industri, Ed. M. Tri Sambodo, Pusat Penelitian Ekonomi LIPI. Adas, 2003, ‘Renewable Energy and Its Impact on Rural Development And Sustainability In The UK’, Policy Paper K/Bd/00291/Rep, Urn 03/886. Energy Field of Study, Asian Institute Of Technology, Klong Luang, Thailand. Etcheverry, J., 2003, ‘Renewable Energy For Productive Uses: Strategies To Enhance Environmental Protection And The Quality Of Rural Life’, Department Of Geography And Institute For Environmental Studies, University Of Toronto. Fishbein, R.E., 2003, ‘Survey Of Productive Uses Of Electricity In Rural Areas’, Submitted To Arun P. Sanghvi, Africa Energy Unit, World Bank, Washington, Dc. Handbook Of Indonesia’s Energy Economic Statistics, 5th Edition. Hilman, H., 2002, ‘Productive Use Of Renewable Energy: Financing And Delivery Models’, GEF/FAO Workshop. Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian, Program Desa Mandiri Energi: Membangun Desa Miskin Melalui Pemenuhan Energi Terbarukan, http://www.ekon.go.id/content/view/508/1/.
126
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:126
6/22/2010 6:28:32 PM
Strategi Pengembangan Energi Berbasis Masyarakat: Studi Kasus Program Desa Mandiri Energi (Dme)
Lestari, E dan Ermawati, T., 2008, ‘Analisis Kebijakan BBM di Sektor Transportasi dan Dampaknya Bagi Masyarakat’, dalam Pengaruh Kebijakan Harga Energi (Bahan Bakar Minyak) Terhadap Aktivitas Ekonomi Dan Kesejahteraan Masyarakat: Studi Kasus Sektor Transportasi, Ed. Purwanto, Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, Notodisuryo, E.U, et al., 2008, ‘Peranan Energi Terbarukan Untuk Pembangkit Energi Listrik Dan Transportasi’, Perumusan Hasil Diskusi Interaktif Masyarakat Energi Terbarukan (METI), 19 Mei, Jakarta. Opportunities In Productive Use Of Methane In Indian Dairies, International Institute For Energy Conservation 12 September 2008, International Institute For Energy Conservation. Pemerintah Sulit Cari Investor Desa Mandiri Energi, Replubika online, 10 September 2009, http://www.republika.co.id/berita/75582/ Pemerintah_Sulit_Cari_Investor_Desa_Mandiri_Energi. Potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) Indonesia, Berita Ekonomi dan Investasi, http://www.banten.go.id/index.php?link=brt_ dtl&id=2538 Program Desa Mandiri Energi Hadapi Kendala Pendanaan, Kompas 11 September 2009. Ryan,Y.I., ‘Pengembangan Sumber Energi Alternatif Berbasis Sumberdaya Lokal Untuk Desa-Desa Miskin’, Lead Associate Cohort XII. Sambodo, M.T., 2007, ‘Tantangan Kebijakan Energi Nasional’, Kompas 18 Desember 2007. Shrestha, R.M, et al., 2005, ‘Application Of Productive Uses Of Renewable Energy For Small, Medium And Micro Enterprises, School Of Environment, Resources And Development
127
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:127
6/22/2010 6:28:32 PM
Esta Lestari
Shrestha, R.M, Martin, S, And Limjeerajarus, N., 2006, Report On Role Of Renewable Energy For Productive Uses In Rural Thailand, Prepared For Global Network On Energy For Sustainable Development (Gnesd), Thailand, January. Tingting, F, et al,. 2009, ‘Productive Use Of Bioenergy For Rural Household In Ecological Fragile Area, Panam County, Tibet In China: The Case Of The Residential Biogas Model, Renewable And Sustainable Energy Reviews (13).
128
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:128
6/22/2010 6:28:32 PM
Kesimpulan dan Saran
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Tim Peneliti
6.1 Kesimpulan Portofolio energi di Indonesia relatif masih belum begitu kuat. Hal ini salah satunya terindikasi dari belum adanya perubahan yang signifikan didalam produksi dan konsumsi energi. Struktur konsumsi dan produksi energi tetap didominasi oleh BBM, meskipun produksi BBM domestik mengalami penurunan, sedangkan konsumsinya mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Masih dominannya BBM didalam struktur produksi dan konsumsi merupakan indikasi bahwa program pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif masih berjalan di tempat. Kenyataan ini cukup ironis, mengingat hampir setiap daerah, seperti di dua lokasi penelitian (Jawa Barat dan Lampung), memiliki potensi pengembangan energi alternatif yang cukup prospektif. Temuan di dua lokasi penelitian menunjukkan bahwa rendahnya komitmen pemerintah daerah (juga pemerintah pusat) menjadi salah satu faktor penghambat pengembangan energi alternatif. Hal ini terlihat sangat jelas di Lampung dimana daerah ini belum memiliki peta potensi energi alternatif yang komprehensif sehingga Lampung mengalami kesulitan menentukan skala prioritas jenis energi alternatif apa yang pertama-tama akan dikembangkan. Selain itu, walaupun kedua daerah penelitian telah memiliki kebijakan untuk pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif, tetapi ada kesan bahwa kebijakan pengembangan energi alternatif
129
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:129
6/22/2010 6:28:32 PM
Tim Peneliti
yang telah disusun pemerintah di dua lokasi penelitian kurang implementatif dan integratif. Hal ini boleh jadi merupakan akibat dari model pengembangan energi alternatif di Indonesia yang cenderung bersifat sentralistik. Artinya, pemerintah pusat memegang kendali didalam menyusun kebijakan pengembangan energi alternatif. Sayangnya kebijakan pemerintah pusat itu bersifat generik dan kurang mampu mengakomodasi variasi dalam hal karakteristik sumber daya, kebutuhan, dan permasalahan yang dihadapi setiap daerah. Sering munculnya perbedaan paradigma adalah faktor lain yang menjadi penghambat keberhasilan program pengembangan energi alternatif. Misalnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan paradigma yang sangat substantial diantara pemerintah dan masyarakat terkait dengan konsep DME yang dicanangkan sejak tahun 2006. Pemerintah mendesain DME sebagai program yang bertujuan untuk memberdayakan wilayah perdesaan sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan energi mereka secara swa sembada. Upaya ini dilakukan melalui pengembangan sumber daya energi yang ada di wilayah tersebut, seperti budidaya tanaman jarak di lahan kritis. Jadi konsep dasarnya adalah self sufficiency dan bukan komersial. Sebaliknya, petani memandang program DME sebagai suatu kesempatan meningkatkan penghasilan mereka melalui budidaya tanaman jarak. Petani beranggapan bahwa komoditas jarak yang mereka tanam bukanlah untuk memenuhi kebutuhan energi mereka tetapi untuk men-supply bahan baku bagi industri BBN. Oleh karena itu, petani memilih menanam jarak karena mereka mengharapkan penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan hasil dari menanam tanaman lainnya. Penelitian ini menemukan suatu kasus dimana ada petani yang telah menanami seluruh lahannya dengan tanaman jarak pagar dengan ekspektasi keuntungan yang besar. Petani tersebut menganggap
130
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:130
6/22/2010 6:28:32 PM
Kesimpulan dan Saran
nantinya pemerintah akan membeli seluruh hasil panen jarak mereka. Tetapi harapan ini kemudian berkembang menjadi kekecewaan karena pada waktu panen petani tersebut tidak bisa menjual hasil panen jaraknya dengan harga yang layak atau bahkan tidak ada yang mau membeli hasil panen mereka. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beberapa pejabat dari berbagai instansi pemerintah daerah, terdapat indikasi bahwa para petani belum memperoleh penyuluhan yang optimal mengenai implementasi program DME. Penelitian ini juga menemukan adanya perbedaan konsep budidaya jarak pagar antara pemerintah dan petani. Pemerintah menganjurkan agar budidaya tanaman jarak hanya dilakukan di wilayah/area yang tidak produktif (lahan kritis) atau untuk digunakan sebagai pembatas lahan (pagar). Sebaliknya, menurut petani, untuk memperoleh hasil yang optimal maka penanaman jarak harus dilakukan secara intensif (bukan sebagai tanaman pagar). Sebenarnya, apabila memang tanaman jarak akan dikembangkan menjadi bahan dasar energi maka tanaman jarak ini perlu dikembangkan secara massal agar dapat mencapai skala ekonomis seperti tanaman sawit misalnya. Temuan di lapangan juga menunjukan saat ini hasil tanaman jarak tidaklah cukup komersial dan belum bisa diolah menjadi bahan energi yang berkelanjutan. Masalah keterbatasan lahan, ketersediaan bibit unggul, ketidak-pastian pasar, teknik budidaya yang cocok, dan kurangnya penyuluhan merupakan kendala-kendala utama bagi pengembangan jarak. Sejauh ini, petani hanya mendapat penyuluhan bagaimana menanam jarak pagar, tetapi mereka belum dibekali teknik dan teknologi untuk mengolah biji jarak menjadi bahan bakar minyak jarak. Dari hasil kunjungan ke salah satu DME, Way Isem di Kabupaten Lampung Utara, tim peneliti menemukan adanya peran LSM yang membantu petani mengembangkan biofuel dari biji dan minyak jarak.
131
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:131
6/22/2010 6:28:32 PM
Tim Peneliti
Tetapi problema saat ini, bahan baku jarak masih sangat terbatas, dan biaya produksi minyak jarak juga masih relatif mahal. LSM yang bersangkutan memberikan mesin pengolahan biji jarak menjadi minyak jarak (bahan mentah) tetapi saat ini belum mencapai tahap pemanfaatan minyak jarak sebagai bahan energi alternatif. Tim peneliti juga menemukan bahwa masyarakat masih belum mengetahui bagaimana minyak jarak bisa digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah/biogas. Yang menarik, petani justru tidak menggunakan minyak jarak sebagai bahan bakar tetapi mereka memanfaatkan ampas dari pengolahan biji jarak menjadi minyak jarak. Petani memanfaatkan ampas tersebut sebagai bahan baku untuk biogas dan penggerak generator listrik mini. Dengan melakukan observasi langsung di beberapa lokasi DME untuk mengetahui sejauhmana program pengembangan energi alternatif dapat membantu perekonomian daerah, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah, diperoleh informasi bahwa ternyata program pengembangan energi alternatif di beberapa lokasi DME yang dikunjungi belum mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan perekonomian daerah. Berdasarkan pengakuan dari masyarakat, program DME memberikan wacana baru bagi pengembangan energi alternatif tetapi belum sampai pada tahap meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan. Wawancara dengan para pemangku kepentingan menunjukkan masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan energi alternatif adalah lemahnya koordinasi antar stakeholders. Masing-masing pihak tidak saling mengetahui apa yang telah dilakukan oleh pihak lain. Pihak swasta memandang dinas teknis terkait tidak saling berkoordinasi. Misalnya, dinas pertambangan sebenarnya sudah memiliki pemetaan tentang potensi energi di daerah, tetapi informasi ini tidak ditindak-
132
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:132
6/22/2010 6:28:32 PM
Kesimpulan dan Saran
lanjuti oleh dinas perindustrian. Demikian juga, dinas perindustrian telah mengidentifikasikan potensi industri pengolahan bahan pangan, tetapi potensi ini tidak termanfaatkan karena adanya kesulitan dalam hal teknologi listrik dan pemrosesan (ketersediaan kompor yang memadai). Pihak swasta juga mengeluhkan bahwa pemerintah daerah masih berjalan sendiri-sendiri dan masih memiliki paradigma sektoral (belum holistik dan komprehensif ). Pemerintah daerah belum memiliki perencanaan yang matang tentang langkah strategis lintas sektor untuk mengembangkan industri biofuel. Ego sektoral yang tinggi merupakan penghambat terbesar dan mengakibatkan berbagai program sosial ekonomi lintas sektor memiliki tingkat keberhasilan yang rendah. Selain itu, sejak adanya otonomi daerah dan maraknya pemekaran wilayah di daerah, frekuensi pergantian pejabat dinas menjadi semakin tinggi. Akibat terus-menerus berganti pejabat, kebijakan sektor energi sering terputus-putus, dan repotnya informasi/data yang penting seringkali hilang dibawa pejabat yang lengser. Di beberapa negara berkembang, upaya pengembangan energi alternatif dilakukan dengan menyusun kebijakan dan strategi yang komprehensif. Misalnya, di Thailand, program pengembangan energi alternatif bagi masyarakat pedesaan telah dilakukan sejak dua dekade dan mengalami berbagai metamorfosisi hingga akhirnya menemukan bentuk yang paling sesuai. Strategi yang dilakukan juga tergolong menyeluruh dari pusat hingga daerah dan dilakukan tidak hanya dalam jargon tapi juga secara nyata untuk mengubah paradigm masyarakat. Misalnya, kampanye ‘Divided by 2’ yaitu kampanye sebagai upaya memperluas kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi lingkungan melalui pemanfaatan energi terbarukan. Lebih dari itu, kebijakan diimplementasikan dalam bentuk bantuan pemerintah pada berbagai instrumen seperti instalasi Biogass, BCS, PV tenaga surya, dan
133
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:133
6/22/2010 6:28:33 PM
Tim Peneliti
SHM. Kebijakan dalam bentuk regulasi dituangkan pemerintah secara aplikatif dalam ENCON Act, sebuah program yang menetapkan panduan, kriteria, persyaratan dan prioritas bagi pengalokasian dana program ENCON untuk mendorong pemanfaatan energi alternatif. Selain itu membentuk EGAT ACT and Net Metering yang mengamandemen Undang-undang listrik tahun 1992 dimana memberikan kebebasan bagi produsen listrik independen (power producers) dan produsen listrik skala kecil (small-power producers) untuk menjual listrik ke prusahaan negara. Sepuluh tahun kemudian diadopsi kebijakan net metering yang memungkinkan UKM peghasil listrik untuk menjual kelebihan listriknya ke perusahaan negara. Faktor lain yang menyebabkan sulitnya pengembangan energi alternatif di masyarakat adalah pola konsumsi energi masyarakat yang belum berubah. Belum membudayanya pemanfaatan energi alternatif disebabkan karena masyarakat masih cenderung lebih menyukai penggunaan energi konvensional atau energi fosil (BBM). Pola konsumsi energi masyarakat ini dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang selama bertahun-tahun memberikan subsidi bagi produk-produk BBM yang membuat harganya relatif murah. Hal ini merupakan suatu kendala besar bagi upaya pengembangan energi alternatif. Wawancara dengan para pemangku kepentingan menemukan adanya pesimisme dari aparat Pemda dan masyarakat akan keberhasilan program energi alternatif ini. Bahkan tidak sedikit pihak yang berpendapat bahwa perkembangan energi alternatif baru akan meningkat setelah BBM habis. Sulitnya implementasi program-program pemerintah pusat di daerah seringkali diakibatkan oleh tidak sinkron-nya visi, potensi, dan kapasitas yang ada. Kebijakan pemerintah dipandang masih belum jelas, tidak memandang isu energi alternatif sebagai isu prioritas sehingga tidak berkelanjutan. Akibatnya implementasi pun menjadi setengah-setengah dan tidak fokus.
134
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:134
6/22/2010 6:28:33 PM
Kesimpulan dan Saran
Informasi dari Dinas Koperasi dan UKM di dua lokasi menunjukkan bahwa UKM belum menggunakan energi alternatif dalam proses produksi mereka. Belum ada sinkronisasi program/kebijakan dinas energi dengan pengembangan sektor UKM. Sehingga tidak ada implementasi dari pengembangan energi alternatif yang dilaksanakan Pemda terhadap sektor UKM. Dari hasil wawancara, alasan kepraktisan mengemuka. Selama masyarakat masih bisa dengan mudah memperoleh BBM ataupun elpiji, maka kecil kemungkinan mereka akan mengkonsumsi energi alternatif yang proses pembuatannya masih sulit. Selama ini pengembangan energi alternatif cenderung diarahkan ke daerah perdesaan yang belum memperoleh aliran listrik. Konsekuensinya, karena pemanfaatannya memang diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dasar akan energi maka pemanfaatan untuk usaha produktif juga belum ada. Disamping itu, pada umumnya wilayah pengembangan energi alternatif adalah wilayah terpencil, maka usaha produktif tidak berkembang, karena tidak ada pasar dan infrastruktur pendukung.
6.2 Saran Berdasarkan paparan di atas, mau atau tidak, kaji ulang mengenai paradigma pengembangan energi alternatif mendesak untuk dilakukan. Perubahan paradigma itu harus memberikan kesempatan dan ruang yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan pengembangan energi alternatif dengan basis potensi sumber daya, kebutuhan, dan permasalahan yang dihadapi masing-masing daerah. Seiring dengan itu, pemerintah daerah juga perlu memiliki visi yang jauh kedepan dengan menempakan isu mengenai pengembangan energi alternatif sebagai isu sentral untuk menjaga stabilitas dan kemandirian energi di daerahnya.
135
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:135
6/22/2010 6:28:33 PM
Tim Peneliti
Sejalan dengan perubahan didalam paradigma pengembangan energi alternatif, terdapatnya beberapa langkah strategis yang perlu dijadikan prioritas oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat dan Lampung didalam mempercepat pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif: •
Meredefinisi konsep energi alternatif, mengingat konsep energi alternatif sangat tergantung pada potensi daerah yang bersangkutan. Dalam hal ini, perlu persamaan persepsi/ paradigm antara pemerintah dan masyarakat tentang konsep pengembangan energi alternatif. Konsep ini tidak bisa dipaksakan dari pusat ke daerah. Sehingga tidak perlu setiap daerah menanam jarak pagar. Selama ini tanaman jarak yang dikembangkan di beberapa wilayah dilakukan karena adanya Inpres dan Perpres tentang pengembangan BBN. Padahal yang perlu dikembangkan adalah tanaman atau sumber daya yang paling potensial baik secara teknis maupun ekonomis di suatu daerah.
•
Membangun kebijakan energi yang komprehensif yang terhubungkan dengan berbagai sektor pengguna berdasarkan jenis energi yang dipergunakannya. Kebijakan energi perlu mempertimbangkan jenis energi dan penggunanya namun harus mengerucut pada upaya mencapai ketahanan energi nasional. Kebijakanan kiranya tidak digeneralisir bagi semua sektor sehingga tepat sasaran.
•
Memperbaiki koordinasi antara pusat dan daerah, antar dinas terkait, dan antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah atau Dinas tidak bisa berjalan sendiri-sendiri dengan menggunakan paradigma sektoral. Untuk itu diperlukan perencanaan kebijakan strategis lintas sektor untuk mengembangkan energi alternatif. Memperbaiki koordinasi yang lebih seimbang diantara pemerintah
136
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:136
6/22/2010 6:28:33 PM
Kesimpulan dan Saran
daerah dengan pemerintah pusat maupun diantara dinas yang ada di pemerintah daerah •
Mengintensifkan sosialisasi dan edukasi untuk meningkatkan pemahaman, kesadaran, dan kepedulian masyarakat mengenai pentingnya pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif
•
Menyusun road map yang jelas mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh untuk mempercepat pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif
•
Memprioritaskan pembangunan infrastruktur, khususnya sarana dan prasarana transportasi serta informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi terbentuknya pasar dan jaringan pemasaran energi alternatif
•
Menawarkan insentif fiskal dan non-fiskal untuk menarik partisipasi dan investasi pihak swsta
•
Menerbitkan peraturan yang bisa memaksa sektor industri dan trasportasi menggunakan energi alternatif dalam jumlah (persentase) tertentu
•
Membangun dan memperkuat kelembagaan yang pro terhadap pengembangan energi alternatif
137
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:137
6/22/2010 6:28:33 PM
Tim Peneliti
138
LAP FINAL DIKTI ADAM.indd Sec2:138
6/22/2010 6:28:33 PM