HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi Aktinomiset Asal Tanah Gambut Terdapat 80 koloni aktinomiset yang berhasil diisolasi dari contoh tanah gambut, yang tumbuh pada media agar-agar HV dan dimurnikan di media YMA. Hasil seleksi berdasarkan keragaman bentuk koloni dari 80 isolat diperoleh 20 isolat murni yang memiliki beragam morfologi koloni, menghasilkan miselia aerial dan mampu tumbuh baik serta bersporulasi pada umur 7-14 hari. Karakteristik morfologi ini mengindikasikan isolat-isolat tersebut adalah Streptomyces sp. Zenova et al. (2008) menyatakan bahwa karakteristik tanah gambut sebagai habitat yang memiliki penampakan zona anaerob dan aerob serta mampu menahan cadangan air yang besar kemungkinan merupakan faktor yang mendukung kelompok mikrob pengurai yang bersifat aerob atau mikroaerofilik, termasuk aktinomiset dan genus Streptomyces secara alamiah dapat hidup. Jumlah dan jenis aktinomiset yang terdapat dalam tanah tertentu akan sangat dipengaruhi oleh lokasi geografis seperti letak, suhu, jenis tanah, pH tanah, kandungan bahan organik, budidaya, aerasi dan kadar air. Populasi aktinomiset relatif lebih rendah dari mikrob tanah lain tetapi didominasi Streptomyces yang toleran terhadap kondisi asam (Arifuzzaman et al. 2010). Tanah kering dengan pH basa cenderung mengandung Streptomyces yang lebih sedikit dan dan lebih banyak dari genera langka seperti Actinoplanes dan Streptosporangium (Tsujibo et al. 2003). Pengelompokan berdasarkan Warna Koloni (Colour Grouping) Berdasarkan morfologi koloni pertumbuhan isolat pada media YMA, YSA, dan OM selama 10 hari pada suhu ruang, 20 isolat yang diperoleh dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok warna miselium udara dan sporanya yaitu putih, abu-abu dan coklat. Ambarwati et al. (2011) menyatakan bahwa karakteristik Streptomycetes memiliki hifa vegetatif dan miselium udara, dimana hifa vegetatif (dengan diameter 0.5 hingga 2.0 µm) menghasilkan miselium bercabang luas yang jarang memiliki fragmen. Miselium udara pada fase dewasa membentuk tiga hingga banyak spora (lebih dari 50 spora). Beberapa spesies memiliki rantai spora pendek pada miselium substrat. Spora bersifat nonmotil.
Koloni yang muncul relatif halus, tetapi kemudian terjadi perkembangan yang menampakkan miselium udara dalam bentuk floccose, butiran bubuk, atau beludru (Korn Wendisch & Kutzner 1992). Sebagian besar isolat dalam penelitian ini termasuk ke dalam kelompok warna abu-abu, warna putih dan warna coklat (Lampiran 2). Warna-warna ini disebabkan oleh pembentukan metabolit khusus yang disebut pigmen, beberapa pigmen terdiri atas 2 sampai 3 senyawa, sementara yang lain dapat terdiri atas 7 sampai 10 atau bahkan 15 senyawa (Abdulla et al. 2008). Data yang tersedia mengenai sifat kimia dari sekitar 200 pigmen aktinomiset telah dibagi ke dalam beberapa produk yaitu senyawa asiklik, senyawa aromatik, quinon, oksigen yang mengandung senyawa heterosiklik, nitrogen yang mengandung senyawa heterosiklik, sidromisin. Setiap jenis pigmen ini dapat memberikan warna tertentu dan dapat digunakan untuk mengklasifikasi Streptomyces. Pigmen kehijauan yang dapat mengindikasikan viridomisin dihasilkan oleh Streptomyces dengan miselia udara berwarna abu-abu, merah muda, dan kuning-kehijauan. Pigmen yang terkait dengan antibiotik dari jenis rodomisin, griseorodin-rubromisin dan litmosidin diproduksi oleh Streptomyces dengan miselia udara berwarna abu-abu juga merah muda (Salvameenal et al. 2009). Warna miselium udara adalah salah satu karakter menonjol dari identifikasi isolat Streptomyces di tingkat spesies. Internasional Streptomyces Project (ISP) telah merekomendasikan warna miselium udara di media yang berbeda untuk digunakan sebagai karakter taksonomi (Oskay 2009). Karakterisasi morfologi adalah informasi dasar dalam mendeskripsikan aktinomiset yang meliputi pembentukan miselium substrat, miselium udara, dan dihasilkannya pigmen terlarut (Wink 2011). Berdasarkan pengamatan mikroskopis diketahui bahwa isolat-isolat aktinomiset yang diperoleh dari isolasi tanah gambut ini memiliki 3 tipe penataan rantai spora yang dimiliki genus Streptomyces yaitu rectiflexibiles (RF), retinaculiaperti (RA) dan spirales (S). Sebagian besar isolat dalam penelitian ini memiliki tipe penataan rantai spora spirales, kemudian rectiflexibiles dan terakhir retinaculiaperti (Gambar 1). Penataan rantai spora dapat digunakan untuk membedakan morfologi antar isolat. Beragam spesies yang termasuk genus
Streptomyces dapat memiliki penataan rantai spora rectiflexibiles (RF), retinaculiaperti (RA) dan Spirales (S) (Jeffrey 2008).
200 µm
4
5
9
1
1
1
16
25
34
37
1
1
1
1
1 1
39
8
11
12
1
1
1
1
15
32
35
42
1
1
1
1
6 1
10 00
24 1
43 1
1
Gambar 1 Keragaman penataan rantai spora dari 20 isolat aktinomiset. Spirales (isolat 1, 4, 5, 9, 16, 25, 34, 37, 39, ), Rectiflexibiles (isolat 8, 11, 12, 15, 32, 35, 42), dan Retinaculiaperti (isolat 6, 10, 24, 43). Kemampuan Selulolitik Aktinomiset Asal Tanah Gambut Pengujian kemampuan selulolitik 20 isolat aktinomiset dilakukan dengan menggunakan uji pembentukan zona bening sebagai langkah penapisan awal untuk identifikasi kemampuan kualitatif selulolitik isolat. Hasil uji menunjukkan bahwa setelah inkubasi selama 4 hari, 20 isolat aktinomiset menunjukkan hasil positif dengan terbentuknya zona bening yang ukurannya berkisar antara 16-25 mm sehingga diperoleh nilai indeks selulolitik yang berkisar antara 0.3-3.5 (Tabel 1). Indeks selulolitik adalah rasio diameter zona bening terhadap diameter
koloni. Sumber karbon tunggal pada media Carboxy Methyl Cellulose (CMC) 1% adalah selulosa, sehingga indeks selulolitik tersebut menunjukkan aktivitas selulolitik aktinomiset uji yang beragam. Aktivitas spesifik enzim selulase ini ditandai dengan nisbah diameter zona bening terhadap diameter koloni isolat yang ditumbuhkan pada media agar-agar
bersumber karbon CMC (Fikrinda et al.
2000). Hasil telaah literatur menunjukkan bahwa Streptomyces sp. galur J2 dari sampel tanah di Yordania yang diisolasi dengan medium Cellulose Agar (CA) mampu memproduksi enzim selulase setelah 4 hari inkubasi dengan memperlihatkan diameter zona bening berukuran 22 mm (Jaradat et al. 2008). Streptomyces noboritoensis TBG-V20 yang diisolasi dari tanah di daerah Tamilnadu, India, setelah ditumbuhkan pada media agar Inorganic Salt Cellulose selama 7 hari inkubasi memperlihatkan diameter zona bening berukuran 26 mm (Arunachalam et al. 2010). Waktu inkubasi yang optimal memberikan rasio yang tinggi dari diameter zona bening terhadap diameter koloni. Pada inkubasi dua hari, zona bening hanya terlihat samar-samar dan rasio maksimal diameter zona bening terhadap diameter koloni terjadi antara 4 dan 9 hari (Ibrahim & El Diwany 2007). Kemampuan membentuk zona bening pada media CMC menunjukkan adanya enzim endo-β-1.4-glukanase yang dapat memutuskan ikatan β-1.4 glikosida pada serat selulosa secara acak dan banyaknya daerah amorf pada substrat tersebut menyebabkan CMC dapat dihidrolisis dengan lebih efisien (Goto et al. 1992).
Tabel 1 Kemampuan selulolitik isolat aktinomiset asal tanah gambut Kode Isolat Diameter Zona Bening Diameter Koloni Indeks Selulolitik (mm) (mm) 6 25 9 1.6 35 16 10 0.6 5 22 10 1.2 9 20 15 0.3 43 25 19 0.3 34 25 15 0.6 24 22 8 1.75 12 16 8 1 8 20 10 1 15 27 6 3.5 32 28 7 3 1 18 15 0.2 11 17 14 0.2 37 26 10 1.6 16 12 10 0.2 42 21 7 2 39 25 10 1.5 Isolat 15 dan 42 merupakan dua isolat dengan nilai indeks selulolitik masing-masing 3.5 dan 2 yang lebih tinggi dibandingkan isolat-isolat uji lainnya (Lampiran 3). Pengukuran aktivitas selulase berdasarkan zona bening yang terbentuk bersifat kualitatif, lebar zona bening tidak menunjukkan jumlah aktivitas selulase, sehingga diperlukan uji aktivitas selulase secara kuantitatif. Aktivitas Selulase Aktivitas selulase isolat
15 dan 42 meningkat
seiring dengan
meningkatnya biomassa sel, namun masing-masing isolat menunjukkan aktivitas selulase dan kemampuan tumbuh yang berbeda. Untuk isolat 15, aktivitas selulase tertinggi diperoleh pada hari ke-30 sebesar 0.3 nKat/ml (Gambar 2), sedangkan isolat 42 memiliki aktivitas selulase yang lebih tinggi yaitu sebesar 0.8 nKat/mL yang diperoleh pada hari ke 15 (Gambar 3). Produksi metabolit sekunder oleh Streptomyces
umumnya
bertepatan
dengan,
atau
sedikit
mendahului,
perkembangan miselia udara di permukaan kultur padat sedangkan pada kultur cair, umumnya terbatas hingga fase stasioner. Metabolit sekunder dihasilkan ketika sel tidak bekerja di bawah kondisi optimum misalnya ketika sumber nutrisi
utama habis, disintesis untuk jangka waktu yang terbatas oleh sel yang tidak lagi mengalami pertumbuhan yang seimbang (Bibb 2005). Tamburini et al. (2004) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa aktivitas mendegradasi CMC berlangsung selama fase awal pertumbuhan yang cepat, namun juga meningkat setelah transisi ke fase stasioner dan aktivitasnya sebanding dengan kenaikan bahan sel. Produksi enzim hidrolitik selama metabolisme sekunder sebelumnya juga telah dilaporkan oleh Gonzalez et al. (2002) bahwa S. exfoliatus mengeluarkan lipase LipA hanya selama fase stasioner.
0.3
0.35
0.25
0.30
0.2
0.25 0.20
0.15
0.15
0.1
0.10
0.05
0.05 0.00
0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Waktu inkubasi (hari)
Gambar 2 Kurva pertumbuhan dan produksi selulase isolat 15 dalam media cair CMC 1%, pH 4.7, suhu 40oC. aktivitas selulase isolat 15 bobot kering
Bobot kering (gram)
Aktivitas selulase (nKat/mL)
0.40
1
0.6 0.5
0.8 0.7
0.4
0.6 0.5
0.3
0.4 0.2
0.3 0.2
0.1
Bobot kering (gram)
Aktivitas selulase (nKat/mL)
0.9
0.1 0
0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Waktu inkubasi (hari)
Gambar 3 Kurva pertumbuhan dan produksi isolat 42 dalam media cair CMC 1% pH 4.7, suhu 40oC. aktivitas selulase isolat 42 bobot kering Setiap bakteri selulolitik memiliki aktivitas enzim selulase yang berbedabeda, tergantung pada hubungan kompleks yang melibatkan berbagai faktor seperti sumber karbon, kualitas selulosa, nilai pH, suhu, ketersediaan induser, aditif medium, aerasi dan waktu pertumbuhan (Immanuel et al. 2006). Ukuran partikel
dari
selulosa
dapat
mempengaruhi
produksi
selulase
oleh
mikroorganisme, dengan pelepasan enzim berbanding terbalik dengan ukuran partikel substrat yang digunakan yaitu enzim yang dilepaskan meningkat, ketika ukuran partikel substrat menurun (Zhang et al. 2006) Pengukuran Aktivitas Selulase pada Substrat Spesifik Isolat 15 dan 42 dapat memanfaatkan ke tiga substrat uji yakni Carboxymethyl cellulose, Avicel, dan Whatmann Filter Paper No.1, yang menunjukkan bahwa kedua isolat tersebut memiliki aktivitas selulolitik melalui CMCase, Avicel, dan FPase. Hal ini menunjukkan adanya sinergi dalam sistem enzim selulase yang dihasilkan isolat uji. Dalam hal ini, disebut endo-ekso sinergi antara endoglukanase dan eksoglukanase (Mehdi et al. 2010) karena selulase yang disekresikan memiliki aktivitas pada CMCase dan Avicel. Maki et al. (2011) menyatakan bahwa untuk membandingkan efektivitas aktivitas enzim selulase yang dilepaskan, dibutuhkan teknik untuk mengukur aktivitas selulase total. FPase
adalah metode utama untuk analisis aktivitas selulase total sedangkan aktivitas endoglukanase dapat diukur dengan menggunakan derivat selulosa terlarut dengan derajat polimerisasi tinggi seperti CMCase. Avicel digunakan untuk mengukur aktivitas eksoglukanase karena memiliki selulosa dengan derajat polimerisasi rendah yang relatif tidak memiliki akses untuk diputus endoglukanase. Aktivitas CMCase, Avicel, dan FPase dari isolat 15 masing-masing sebesar 0.12, 0.15, dan 0.34 nKat/mL. Aktivitas terhadap substrat Avicel lebih besar dibandingkan aktivitas terhadap substrat CMCase (Gambar 4) sedangkan untuk isolat 42 aktivitas CMCase, Avicel, dan FPase masing-masing sebesar 0.47, 0.38, dan 0.61 nKat/mL. Berbeda dengan isolat 15, aktivitas isolat 42 terhadap substrat CMCase lebih besar dibandingkan terhadap substrat Avicel (Gambar 5). Meryandini et al. (2009) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa 4 isolat bakteri selulolitik yang digunakan memiliki aktivitas selulase yang berbeda terhadap substrat sintetik yang berbeda. Selain itu juga memiliki aktivitas enzim selulase pada substrat kertas saring, yaitu selulosa sintetik campuran antara selulosa amorphous dan kristalin. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Das et al. (2007), isolat selulolitik mesofilik Streptomyces olbolongus menunjukkan aktivitas enzim selulase yang tinggi yaitu 120.2 U/mL pada substrat CMC, 49.2 U/mL pada substrat avicel, dan 46.9 U/mL pada substrat FPase. Schlochtermeier et al. (1992) menyatakan bahwa kekhasan enzim selulolitik
seringkali
sulit
untuk
ditentukan
karena
heterogenitas
dan
ketidakmurnian dari substrat yang tersedia. Enzim yang menunjukkan aktivitas tinggi pada substrat avicel dan aktivitas kecil pada CMCase diidentifikasi sebagai eksoglukanase. Aktivitas tinggi terhadap substrat CMCase menunjukkan adanya enzim endo-β-glukanase yang dapat memutus ikatan β-1.4 glikosida pada daerah amorf selulosa (Maki et al. 2009). Enzim yang mampu menghidrolisis kristal ini menjadi penting karena kristalinitas selulosa merupakan penghambat utama dalam hidrolisis selulosa alami. Jager et al. (2010) menyatakan bahwa kristalinitas selulosa merupakan faktor utama yang menentukan penguraian selulosa secara hayati oleh enzim selulolitik sehingga mikrob yang memiliki kemampuan menghidrolisis kristal yang tinggi berpotensi menghidrolisis selulosa yang terdapat di alam.
Aktivitas (nKat/mL)
0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15
0.1 0.05 0 CMCase
Avicel
FPase
Substrat spesifik
Gambar 4 Aktivitas selulase isolat 15 pada substrat spesifik (CMCase, Avicel, dan FPase), pH 4.7, suhu 40oC.
Aktivitas (nKat/mL)
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 CMCase
Avicel
FPase
Substrat spesifik
Gambar 5 Aktivitas selulase isolat 42 pada substrat spesifik (CMCase, Avicel, dan FPase), pH 4.7, suhu 40oC.
Identifikasi Isolat Aktinomiset Terpilih Gen penyandi 16S rRNA teramplifikasi pada ke dua isolat aktinomiset terpilih dengan ukuran pita yang dihasilkan sekitar 1500 bp (Gambar 6).
10000 8000 1500 1000 700 500 300
1500 bp
Gambar 6 Profil DNA hasil amplifikasi gen penyandi 16S rRNA dengan PCR pada isolat 15 (1) dan 42 (2). Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida isolat 15 dan 42, diperoleh pasangan basa sepanjang 1504 bp, dilakukan melalui penyesuaian dengan sekuens gen 16S rRNA yang telah dilaporkan di GeneBank. Database dari NCBI Blast yang tersedia di www.ncbi-nlm-nih.gov. Data tersebut digunakan untuk membandingkan homologi sekuens nukleotida 16S rRNA isolat 15 dan 42. Tabel 2 Hasil BlastN sekuens 16S rRNA isolat 15 dan 42 Isolat
Kemiripan
15
Streptomyces diastaticus galur NRRL B-1773 Streptomyces exfoliatus galur NBRC-13475
42
Identitas Nilai No. Akses maksimum E- value 98% 0.0 NR.043486.1 94%
0.0
NR.041229.1
Hasil blast sekuens gen 16S rRNA dari kedua isolat aktinomiset menunjukkan bahwa isolat 15 berkerabat dengan Streptomyces diastaticus NRRL B-1773 dengan nilai Max Identity 98%. Streptomyces diastaticus var. 108
diketahui mampu menghasilkan dua antibiotik polyene macrolide (rimosidin dan CE-108) (Seco et al. 2005).
Isolat 42 berkerabat dengan Streptomyces exfoliatus NBRC-13475 dengan nilai Max Identity 94%. Sreenath dan Joseph (1982) dalam penelitiannya menyatakan bahwa fraksinasi dari xilan ekstraseluler dari galur Streptomyces exfoliatus MC1 mengungkapkan adanya lima jenis enzim. Salah satu endo-enzim adalah spesifik untuk xilan sementara yang lain juga bisa menghidrolisis selulosa, inulin dan pektin sedangkan ekso-enzim menunjukkan fungsi xilanolitik dan selulolitik saja. Berbeda galur, Streptomyces exfoliatus K10 juga diketahui menghidrolisis senyawa polimer seperti selulosa, kitin, xilosa, pullulan (Klingbeil et al. 1996). Isolat 42 diprediksi sebagai novel spesies karena memiliki kekerabatan dengan galur rujukan dengan nilai Max Identity kurang dari 97%. Namun, idealnya, identifikasi taksonomi bakteri untuk validitas dan akurasi ilmiah perlu dilakukan berdasarkan polyphasic
approach yaitu pendekatan dengan
menggunakan kombinasi dari metode pengujian fenotip (uji biokimia, analisis asam lemak, dan analisis numerik) dan metode pengujian genotip (hibridisasi DNA, analisis kandungan G+C, dan analisis 16S rRNA) (Janda & Abbott 2002). Pseudomonas aeruginosa strain BP C2 100
isolat isolat 4242 isolat isolat 1515
65 58
Streptomyces fradiae strain RMS4 Streptomyces diastaticus subsp. ardesiacus strain NRRL B-1773
16
Streptomyces griseoaurantiacus strain NBRC 15440
17
Streptomyces rubrogriseus strain NBRC 15455
65
Streptomyces coelicoflavus strain NBRC 15399 Streptomyces tricolor strain NBRC 15461 Streptomyces daghestanicus strain NRRL B-5418
74
Streptomyces albidoflavus strain NBRC 13010 79 10 11
Streptomyces somaliensis strain: Sl87 Streptomyces odorifer strain DSM 40347 Streptomyces koyangensis strain VK-A60
4 9
Streptomyces exfoliatus strain NBRC 13475
Gambar 7 Pohon filogenetik dari sekuens 16 rRNA isolat 15 dan 42. Hasil konstruksi filogenetik (Gambar 7) yang menggunakan metode neighbor-joining, menunjukkan isolat 15 dan 42 memiliki percabangan yang sama dengan nilai bootstrap sebesar 100. Kedua isolat berada pada satu clade (kelompok) yang sama dan berada di luar clade Streptomyces hasil blast dan outgroup-nya. Nilai bootstrap
> 95%
adalah signifikan secara statistik dan
mengindikasikan “support” untuk membentuk sebuah clade (Soltis PS & Soltis DE 2003). Nilai bootsrap menunjukkan konsistensi data dalam penentuan takson, hanya memberikan informasi tentang stabilitas topologi, dan bukan menunjukkan akurasi pohon filogeni (Holmes 2003).