PENGELOLAAN TERIPANG BERBASIS SASI DI NEGERI PORTO DAN DESA WARIALAU PROVINSI MALUKU
YONA AKSA LEWERISSA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pengelolaan Teripang Berbasis Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau Provinsi Maluku” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
Yona Aksa Lewerissa NRP C251060021
ABSTRACT YONA AKSA LEWERISSA. “Sasi” Based Management of Sea Cucumbers in Negeri Porto and Warialau Village, Mollucas Province. Under direction of SANTOSO RAHARDJO and AGUSTINUS M. SAMOSIR. Sea cucumbers in Negeri Porto was indicated decrease in numbers or fishing capture size. Management of this resource was facing several problems such high fishing effort by contractor (fishers from Madura, East Java) or even local fishers and minimum opportunity of sea cucumbers to regenerated because they was caught before mature periods. This study was done to descript sea cucumbers condition and potency of sea cucumber resources, to analyze environment factors, to analyze progress of “Sasi” of sea cucumbers in Negeri Porto compare to that in Warialau Village, Kepulauan Aru Municipal and at least to recommend strategies on sea cucumber management. The speciment was identify according Clark and Rowe (1971); Cannon and Silver (1987) and Birtles (1989). Result shows that there were eight species of sea cucumbers found in Negeri Porto with potency 12.240 while in Warialau Village, 10 species with potency 172.368. Habitat distribution in Negeri Porto and Warialau Village was vary started from sandy shores, seagrass zone, seaweeds zone, gully and coral reef slope. The most numbers in species was found in gully zone, each 87,5% in Negeri Porto and 90% in Warialau Village. Length frequent distributions of some species of sea cucumbers in Negeri Porto wich have highest density, expensive, middle and cheapest price category, shows that Bohadschia marmorata, Holothuria fuscogilva, Actinopyga miliaris and Holothuria atra was caught before mature periods. Thia quiet defferent with sea cucumbers in Warialau Village such Holothuria scabra, Actinopyga echinities, Actinopyga miliaris and Thelenota ananas, which still available through mature periods because of zero fishing effort as an effect of closing status of “sasi”. The result of environment factors analysis such temperature, pH, salinity, DO, brightness and current shows that Negeri Porto and Warialau Village were available to do stock richment in nature and to develop marine culture. That fact was also support by sediment distribution in both sites (92,07% in Negeri Porto and 94,11% in Warialau Village). The result of “sasi” progress indicators analysis such efficiency, social sustainability and even distribution shows Negeri Porto was in middle category while Warialau Village was on high category. In resources sustainability indicators which is size and numbers of capture, size of sea cucumbers that was caught in Negeri Porto was indicated to become smaller (at middle price category) while numbers of fishing capture was also become decrease about 33,34-50% each year. Species with high price category was also difficult to caught. While in Warialau Village, there were a little decrease of sea cucumbers in numbers of capture as an impact of illegal fishing by modern fishers from outside the area. Management strategies formulating was done considering of some aspects such bioecology, social economy, institutional, the aims of management and risk study. There were five strategies recommend to Negeri Porto while in Warialau Village, fourth strategies were recommend. Keywords: sea cucumbers, sasi, management strategy.
RINGKASAN YONA AKSA LEWERISSA. Pengelolaan Teripang Berbasis Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau Provinsi Maluku. Dibimbing oleh SANTOSO RAHARDJO dan AGUSTINUS M. SAMOSIR. Negeri Porto telah terindikasi terjadi penurunan sumber daya teripang, namun dalam upaya pengelolaan diperhadapkan dengan beberapa permasalahan yaitu tingginya upaya penangkapan yang dilakukan baik oleh para pengontrak (nelayan Madura) maupun oleh masyarakat setempat dan rendahnya kesempatan teripang untuk beregenerasi karena ditangkap sebelum waktu matang gonad. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi dan potensi sumber daya teripang, menganalisis faktor-faktor lingkungan, menganalisis kinerja sasi di Negeri Porto yang dibandingkan dengan sasi teripang di Desa Warialau Kabupaten Kepulauan Aru dan menyusun alternatif strategi pengelolaan teripang. Spesimen diidentifikasi menurut Clark and Rowe (1971); Cannon and Silver (1987) dan Birtles (1989). Hasil penelitian menunjukan bahwa teripang yang ditemukan di Negeri Porto sebanyak 8 jenis, dengan potensi sebesar 12.240 individu, sedangkan di desa Warialau terdiri dari 10 jenis dengan potensi 172.368 individu. Sebaran habitat di negeri Porto dan desa Warialau bervariasi mulai dari rataan pasir, zona lamun, zona algae, tubir dan lereng terumbu, namun jumlah jenis terbanyak 87,5% Negeri Porto dan 90 % di Desa Warialau ditemukan pada zona tubir. Dari nilai sebaran frekuensi panjang beberapa jenis teripang di negeri Porto yang termasuk memiliki kepadatan tertinggi, nilai jual kategori mahal, sedang dan murah menunjukan bahwa Bohadschia marmorata, Holothuria fuscogilva, Actinopyga miliaris dan Holothuria atra telah ditangkap sebelum waktu matang gonad untuk memijah. Hal ini cukup berbeda dengan beberapa jenis teripang di Desa Warialau yaitu Holothuria scabra, Actinopyga echinities, Actinopyga miliaris dan Thelenota ananas, yang tetap tersedia untuk melakukan pemijahan karena tidak ada upaya tangkap akibat masih dalam status “tutup sasi.” Hasil analisa faktor-faktor lingkungan yaitu suhu, pH, salinitas, DO, kecerahan, arus menunjukan bahwa kondisi di negeri Porto dan Desa Warialau memenuhi syarat untuk dilakukan pengayaan stok di habitat alami dan pengembangan upaya budidaya. Hal tersebut juga didukung oleh sebaran sedimen yang menunjukan bahwa pada kedua lokasi substrat didominasi oleh sedimen berupa pasir kasar atau Coarse Sand (1 mm). Sebaran sedimen berada pada kisaran ukuran pasir yaitu sebesar 92.07% di negeri Porto dan 94.11% di desa Warialau. Sebaran sedimen ini merupakan habitat yang baik dari teripang sesuai sifat membenamkan diri, karena dengan ukuran pasir kasar yang ditambah dengan pasir sedang, maka teripang dengan mudah membenamkan diri untuk menghindarkan diri dari tekanan predator (Hyman, 1955). Hasil analisa indikator kinerja sasi yaitu efisiensi, keberlanjutan sosial, dan pemerataan, menunjukan bahwa Negeri Porto berada dalam kategori sedang dan Desa Warialau berada dalam kategori tinggi. Untuk indikator keberlanjutan sumberdaya yaitu ukuran teripang dan hasil tangkapan. Di negeri Porto ukuran semakin mengecil (kategori nilai jual sedang) dan hasil tangkapan mengalami
penurunan sekitar 33.34-50% setiap tahun serta sulit mendapatkan jenis-jenis yang termasuk kategori tinggi atau relatif mahal. Untuk Desa Warialau ada terjadi sedikit penurunan teripang karena penangkapan ilegal oleh nelayan dari luar daerah yang menggunakan peralatan modern. Strategi pengelolaan dirumuskan dari berbagai pertimbangan yaitu bioekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan, tujuan pengelolaan dan kajian resiko. Strategi pengelolaan yang diusulkan untuk diterapkan dalam bentuk aturan-aturan, diantaranya sasi baik di Negeri Porto maupun Desa Warialau. Strategi pengeloaan teripang di Negeri Porto yaitu: (1).Waktu “tutup” sasi setahun sekali, namun tetap memperhatikan ukuran panjang sebagai penentuan tingkat kematangan gonad pertama untuk memijah, sehingga dapat meningkatkan ketersediaan stok karena adanya rekruitmen individu baru, maupun karena pertumbuhan; (2). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan selama “buka sasi” 2550% dari potensi yaitu 3060-6120 individu(10-20 kg kering); (3). Pembatasan waktu tangkap pada saat musim memijah yang diperkirakan pada bulan Juni dan Juli; (4). Perlindungan habitat teripang dari kegiatan manusia yang bersifat merusak, seperti penggunaan bom ikan dan lain sebagainya; (5). Pengayaan stok teripang di habitat alaminya dan dikembangkan upaya budidaya teripang serta perlindungan area tertentu untuk pemeliharaan individu teripang sebagai penyuplai benih. Selain itu dilakukan penelitian cara pengolahan teripang sebagai bahan baku untuk obat-obatan, sehingga harga jual semakin tinggi dan berdampak terhadap peningkatan pendapatan nelayan, pedagang dan pemasukan pendapatan asli daerah. Untuk Desa Warialau, strategi pengelolaan yang diterapkan dalam aturan seperti sasi cukup baik, namun ada beberapa tambahan yaitu: (1).Pengayaan stok teripang di habitat alaminya dan perlindungan area tertentu untuk pemeliharaan individu teripang sebagai penyuplai benih; (2).Penelitian cara pengolahan teripang sebagai bahan baku untuk obat-obatan, sehingga harga jual semakin tinggi dan berdampak terhadap peningkatan pendapatan nelayan, pedagang dan pemasukan pendapatan asli daerah; (3). Kerjasama dengan instansi terkait seperti TNI-AL dan Polisi Air, dalam upaya mengatasi terjadinya penangkapan sumberdaya laut termasuk teripang secara ilegal; (4). Perlu adanya pertimbangan PEMDA untuk penetapan desa Warialau sebagai salah satu kawasan konservasi teripang di Maluku.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PENGELOLAAN TERIPANG BERBASIS SASI DI NEGERI PORTO DAN DESA WARIALAU PROVINSI MALUKU
YONA AKSA LEWERISSA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis : Pengelolaan Teripang Berbasis Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau Provinsi Maluku Nama
: Yona Aksa Lewerissa
NRP
: C251060021
:
Pengelolaan Teripang Berbasis Sasi di Negeri Porto Pulau Saparua Kabupaten Maluku Tengah
Nama
: Yona Aksa Lewerissa
NRP
: C251060021
Disetujui Komisi Pembimbing
Ir. Santoso Rahardjo, MSc Ketua
Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : 5 Agustus 2009
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Ir. Kiagus Abdul Aziz,M.Sc
PRAKATA Solagracia (hanya oleh Anugerah), sehingga janjiMu itu terwujud berupa penyelesaian salah satu tahapan studi
dalam hidupku. Untuk itu selayaklah
pujian, hormat dan kemuliaan dikembalikan kepada “DIA” Tuhan penguasa langit bumi dan sumber segala hikmat serta pengetahuan yang atas pertolonganNya penulisan tesis dengan judul “Pengelolaan Teripang Berbasis Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau Provinsi Maluku” dapat terselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ir. Santoso Rahardjo,M.Sc dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku Komisi Pembimbing atas segala kebijaksanaan dan kesabaran dalam pembimbingan, memberikan dorongan, masukan, motivasi, serta meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran mulai dari rencana penelitian hingga penulisan tesis ini. Penyusunan tesis ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Rektor Universitas Pattimura dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB. 2. Institut Pertanian Bogor, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (SPL) Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer,DEA dan Tenaga Pengajar Pascasarjana Program Studi SPL serta Bagian kesekretarian khususnya Pa Zainal dam Mas Didin atas kesempatan, ilmu, serta pelayanan yang penuh kasih selama penulis menuntut ilmu. 3. Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc selaku Penguji Luar Komisi pada ujian tesis yang telah memberikan banyak masukkan dalam penyempurnaan tesis ini. Kiranya semua kebaikan hati bapak, diberkati oleh Tuhan. 4. Departemen Pendidikan Nasional khusus DIKTI yang memberikan bantuan
BPPS
(Biasiswa
Program
Pascasarjana)
selama
studi
pascasarjana. 5. Permata hatiku, suami tercinta Karolis Iwamony dan anak-anak tersayang Solagracia Christien, Svetlana Solascriptura dan my litle angel ”Raphael Theogracio (Alm).” Terima kasih buat cinta dan doa kalian,
sehingga Bapa di Sorga selalu memberikan kekuatan bagiku selama studi di IPB, serta saat ”badai” itu terjadi dalam hidupku. Kalian tidak tertandingi oleh apapun yang ada di dunia ini. 6. Orang tua yang kubanggakan dan kusayangi, Papa Agus, Mama Tin, Papa Mozes, Mama Ade, serta saudara-saudaraku yang sangat kucintai atas ketulusan hati dan motivasi yang diberikan yaitu Usi Nona, serta Bu Boys, Usi Henny, Bu Roy, Usi Ivon, Bu Cahrly, Usi Pheppy, Oce, Erni, Ina, Tine dan keponakan-keponakanku Dion, Henry, Laura, Eunike, William, Richard, Cindy,Wina, Alin dan Gabby. Berkat doa kalian, akhirnya ”pelangi” itu muncul juga, setelah awan kelabu itu berlalu. 7. Teman-teman S2 SPL angkatan ’06 atas semangat dan kebersamaan yang terjalin selama studi khususnya Eddy, Nurul, Nico, Wilmy, Kholik, Adit, Anchu, Prama, Yulius, Pa Rahman, dan Pa Sirajudin. 8. Keluarga Haji Rahmat yang dengan sepenuh hati menyediakan tempat tinggal serta teman-teman kos Palem Merah yang memberikan nuansa kekeluargaan meskipun berbeda daerah namun tetap kompak khususnya kak Deiby, Mba Nana, Stany, Emma, Tin-tin, Alina, Delly, serta ibu Atje. Juga buat sahabat-sahabatku yang selalu memberikan semangat dan motivasi bagiku dalam menyelesaikan studi yaitu Usi Nona, Degen, Pa Mon, Bu Ois, Max dan Ola. 9. Teman-teman pelayanan AM-GPM Ranting Maranatha Poka, PAK Perkantas, PERMAMA, serta adik-adikku di Caleb House yang tetap setia berdoa untuk kesuksesan studiku. Akhirnya dalam semua kelemahanku, ada sebersit harapan kiranya tulisan ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber informasi bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan khususnya di bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut.
Bogor, Agustus 2009 Yona Aksa Lewerissa
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Poka pada tanggal 4 Agustus 1977
dari ayah
Agustinus Lewerissa dan ibu Christina Lewerissa/Lappy. Penulis merupakan anak ke-5 dari 6 bersaudara. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Ambon dan pada tahun yang sama melanjutkan studi pada Universitas Pattimura Ambon. Tahun 2000 penulis menyelesaikam program sarjana pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Universitas Pattimuara. Tahun 2003, penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan ditempatkan sebagai staf pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon sampai saat ini. Kemudian penulis mendapatkan bantuan BPPS (Biasiswa Program Pascasarjana) dari DIKTI Departemen Pendidikan Nasional untuk melanjutkan studi pascasarjana di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan mengambil Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut pada tahun 2006.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL
............................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR .........................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................
xviii
PENDAHULUAN ..............................................................................
1
1.1. Latar Belakang ............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ...................................................................
4
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................
5
1.4. Kerangka Pemikiran ...................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................
7
2.1. Morfologi dan Anatomi.................................................................
7
2.2. Klasifikasi dan Distribusi Teripang.............................................
8
2.3. Penyebaran Populasi...................................................................
10
2.4. Habitat dan Tingkah Laku...........................................................
10
2.5. Makanan dan Kebiasaan Makan.................................................
11
2.6. Reproduksi..................................................................................
11
2.7. Tingkat Kematangan Gonad.......................................................
12
2.8. Daur Hidup Teripang..................................................................
12
2.9. Peranan Teripang.........................................................................
13
2.10. Faktor-Faktor Lingkungan.........................................................
14
2.11. Sasi di Maluku............................................................................
16
III. METODOLOGI PENELITIAN..........................................................
19
I.
II.
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .....................................................
19
3.2. Peralatan dan Pengukuran Faktor-Faktor Lingkungan................
22
3.3. Metode Pengumpulan Data ........................................................
23
3.4. Metode Analisis Data .................................................................
28
3.4.1. Analisis Kondisi dan Potensi Sumber Daya Teripang......
28
3.4.2. Analisis Faktor-Faktor Lingkungan..................................
28
3.4.3. Analisis Hasil Tangkapan.................................................
29
3.4.4. Analisis Efisiensi Kinerja Sasi.........................................
29
3.5. Alternatif Strategi Pengelolaan....................................................
30
IV. HASIL PENELITIAN..........................................................................
31
4.1. Kondisi Iklim................................................................................
31
4.2. Potensi dan Kondisi Sumberdaya Teripang.................................
32
4.2.1. Kompisisi Sumberdaya Teripang......................................
32
4.2.2. Kepadatan Sumberdaya Teripang.....................................
33
4.2.3. Frekuensi Kehadiran Sumberdaya Teripang....................
36
4.2.4. Habitat Sumberdaya Teripang.........................................
37
4.2.5. Faktor-Faktor Lingkungan bagi Pertumbuhan Teripang..
41
4.3. Sebaran Frekuensi Panjang Sumberdaya Teripang.....................
44
4.4. Perikanan Teripang......................................................................
46
4.5. Kondisi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan.................................
50
4.5.1. Sosial Ekonomi..................................................................
50
4.5.2. Kelembagaan.....................................................................
51
PEMBAHASAN..................................................................................
54
5.1. Potensi dan Kondisi Sumberdaya Teripang.................................
54
5.1.1. Potensi Sumberdaya Teripang...........................................
54
5.1.2. Sebaran Frekuensi Panjang dan Hasil Tangkapan Teripang............................................................................ 5.2. Faktor-Faktor Lingkungan bagi Pertumbuhan Teripang……....
58 63
5.2.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan....................................
63
V.
5.2.2. Kondisi Substrat yang sesuai bagi Pertumbuhan Teripang..........................................................................
65
5.3. Sosial Ekonomi dan Kelembagaan (Sasi)..................................
65
5.3.1. Sosial Ekonomi................................................................
65
5.3.2. Proses dan Aturan-Aturan Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau..................................................................
70
5.3.3. Kinerja Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau.............
72
5.4. Tujuan Pengelolaan dan Pengkajian Resiko..............................
78
5.5. Diskusi Umum...........................................................................
81
5.5.1. Faktor-Faktor Penyebab Menurunnya Sumberdaya Teripang............................................................................. 5.5.2. Alternatif Strategi Pengelolaan Sumberdaya Teripang......
81 83
VI. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................
86
6.1. Kesimpulan...................................................................................
86
6.2. Saran.............................................................................................
87
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................
88
LAMPIRAN.........................................................................................
94
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Impor Teripang di Hongkong, Januari-Maret 1996.............................
2
2.
Produksi dan Nilai Produksi Teripang di Provinsi Maluku Tahun
3
2005-2007............................................................................................ 3.
Ukuran Panjang dan Bobot Beberapa Jenis Teripang di Indoneisa....
7
4.
Beberapa Jenis Teripang di Indonesia berdasarkan Publikasi Nasional..
9
5.
Peralatan yang digunakan dalam Penelitian.............................................
22
6.
Kategori Responden yang diwawancara..................................................
27
7.
Taksonomi dan Nilai Jual Teripang di Negeri Porto...........................
33
8.
Taksonomi dan Nilai Jual Teripang di Desa Warialau........................
33
9.
Kepadatan Teripang di Berbagai Lokasi Pengamatan.........................
35
10.
Frekuensi dan Frekuensi Relatif Teripang di Negeri Porto.................
36
11.
Frekuensi dan Frekuensi Relatif Teripang di Desa Warialau.............
37
12.
Penyebaran Teripang Berdasarkan Zonasi di Negeri Porto................
38
13.
Penyebaran Teripang Berdasarkan Zonasi di Desa Warialau..............
40
14.
Kelayakan Parameter Lingkungan untuk Budidaya Teripang.............
43
15.
Persentase Rata-Rata Sedimen pada Stasiun Pengamatan..................
44
16.
Ukuran Panjang dan Frekuensi beberapa Jenis Teripang di Negeri
45
Porto.................................................................................................. 17.
Ukuran Panjang dan Frekuensi beberapa Jenis Teripang di Desa
46
Warialau............................................................................................... 18.
Kategori Ukuran Beberapa Jenis Teripang..........................................
50
19.
Besar Pendapatan Masyarakat di Negeri Porto dan Desa Warialau....
51
20.
Peraturan Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Sasi di Negeri
67
Porto..................................................................................................... 21.
Peraturan Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Sasi di Desa Warialau...............................................................................................
22
70
Indikator Kinerja Pelaksanaan Sasi Teripang di Negeri Porto dan Desa Warialau......................................................................................
78
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Diagram Alir Kerangka Pikir Pengelolaan Teripang Berbasis Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau Provinsi Maluku.............................
6
2.
Daur Hidup Teripang Pasir (Holothuria scabra).................................
13
3.
Peta Lokasi Penelitian di Negeri Porto dan Desa Warialau Provinsi Maluku..............................................................................................
4.
Skema Pengambilan Contoh Teripang di Negeri Porto dengan Metode Transek Kuadrat...................................................................
5.
34
Jumlah Jenis Teripang yang ditemukan berdasarkan Petak Pengamatan (secara Vertikal) di Negeri Porto....................................
9.
34
Grafik Kepadatan dan Kepadatan Relatif Sumberdaya Teripang di Desa Warialau.....................................................................................
8.
26
Grafik Kepadatan dan Kepadatan Relatif Sumberdaya Teripang di Negeri Porto.........................................................................................
7.
25
Skema Pengambilan Contoh Teripang di Desa Warialau dengan Metode Transek Kuadrat...................................................................
6.
21
39
Jumlah Jenis Teripang yang ditemukan berdasarkan Petak Pengamatan (secara Vertikal) di Desa Warialau..................................
40
10.
Sebaran Ukuran Panjang Bohadschia marmorata di Negeri Porto......
45
11.
Sebaran Ukuran Panjang Holothuria scabra di Desa Warialau...........
46
12.
Hasil Tangkapan Teripang di Negeri Porto Tahun 2004-2007............
47
13.
Nilai Jual Teripang di Kota Ambon....................................................
48
14.
Nilai Jual Teripang di Dobo, Kepulauan Aru......................................
49
15.
Struktur Pemerintahan di Negeri Porto................................................
52
16.
Struktur Pemerintahan di Desa Warialau.............................................
53
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Data Jumlah Individu per Transek di Negeri Porto dan Desa Warialau...............................................................................................
94
2.
Data Parameter Lingkungan di Negeri Porto dan Desa Warialau........
99
3.
Kriteria Penilaian Setiap Indikator Sasi...............................................
101
4.
Jenis-Jenis Teripang yang ditemukan di Negeri Porto.........................
102
5.
Jenis-Jenis Teripang yang ditemukan di Desa Warialau.....................
106
6.
Perhitungan Kepadatan, Kepadatan Relatif, Frekuensi Kehadiran, Frekuensi Kehadiran Relatif dan Potensi.............................................
111
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17 ribu pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta wilayah laut seluas 5,8 juta km2, termasuk Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (Retraubun, 2007), sesungguhnya memiliki potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar dan beragam. Salah satu sumberdaya yang mempunyai nilai ekonomis yaitu teripang. Teripang (holothurians) adalah kelompok hewan invertebrata laut dari kelas Holothuroidea (Filum Echinodermata), tersebar luas di lingkungan laut (marine) diseluruh dunia, mulai dari zona pasang surut sampai laut dalam terutama di lautan India dan lautan Pasifik Barat. Jenis biota ini dikenal dengan nama ketimun laut, suala, sea cucumber (Inggris), namako (Jepang), beche-demer (Perancis) atau dalam istilah pasaran internasional dikenal dengan nama teat fish (Sutaman, 1993; Martoyo et.al., 2002). Menurut Hyman (1955) dalam Yusron (1992), teripang banyak menghuni daerah litoral diperairan Indonesia dan merupakan komoditas perikanan yang diperdagangkan baik di pasar lokal maupun internasional. Hal ini disebabkan karena kandungan zat-zat obat, makanan ini berkasiat penyembuhan serta dari analisa proksimat daging teripang diperoleh kompoisisi protein 43%, lemak 2%, kadar air 17%, mineral 21% dan kadar abu 7% (James, 1989 dalam Yusron, 2004). Karena rendahnya kandungan lemak, direkomendasikan bagi orang yang bermasalah dengan kolesterol. Di Jepang, Korea dan beberapa Negara Pasifik Selatan, daging dan organ dalam teripang dimakan mentah, dimasak dan diasin atau dalam bentuk kering (Shelley, 1985, Yanagisawa, 1996 dalam Darsono, 2002). Data import di Hong Kong (Tabel 1) dapat memberikan angka-angka lebih konkrit yang bisa dipakai untuk menaksir produksi teripang di Indonesia. Menurut data ini, Indonesia sampai saat ini merupakan negara penghasil teripang terbesar di dunia. Namun demikian produk teripang dari Indonesia dikategorikan sebagai berkualitas rendah (Conand, 1998). Hal ini sangat ironis, karena akibat
perdagangan ini Indonesia mengalami penurunan sumberdaya teripang (depleting resources), tapi tidak sebanding nilai dolar yang mungkin diperoleh. Tabel 1. Impor teripang di Hongkong, Januari-Maret 1996 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Negara Asal USA Kanada Perancis Mozambik Taiwan Indonesia Filipina Korea Jepang Cina Vietnam Sri Langka Malaysia Singapura Madagaskar Afrika Selatan Kenya Mauritius Tanzania US Ocania Australia & Oceania Kiribati Tonga Samoa Barat Australia Kepulauan Solomon Fiji Selandia Baru Vanuatu Papua New Guinea Lain-lain
Kuantitas (ton) 1 10.5 1.9 23 15.7 452.9 214.4 4 6.6 2.1 11.4 5.3 1.5 138.7 40.3 6.6 7.4 2.7 73.8 17.3 21 3.8 3.9 3.2 10.4 30.5 66.2 3.9 5.6 84.9 0.4
Harga (1.000 HK$) 1 135 1 441 256 480 597 17 782 4 707 251 6 640 1 546 116 778 263 9 894 4 242 285 250 448 1 679 1 132 2 964 765 744 180 2 404 1 528 7 279 460 310 4 559 18
Sumber : Infofish Trade News II/96, 17 Juni 1996 Provinsi Maluku yang dikenal sebagai Provinsi kepulauan memiliki luas 712,479.69 km yang terdiri dari luas laut 658,294.69 km (92.4%) dan luas daratan
54,185 km (7,6%), terdapat potensi sumberdaya perikanan sebesar
1,640,160 ton / tahun sesuai dengan hasil kajian Badan Riset Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseonologi
Lembaga
Ilmu (LIPI) tahun 2001. Potensi
sumberdaya hayati perikanan dimaksud terdiri dari Pelagis, Demersal dan biota laut lainnya yang perlu dieksploitasi secara optimal. Di perairan Maluku teripang hampir dijumpai di seluruh perairan pantai mulai dari kedalaman 1 meter
sampai kedalaman 40 meter dan tersebar hampir di setiap pulau seperti Pulau Buntal, Pulau Saparua, Kepulauan Seram Timur, Kepulauan Kei Kecil, Kepulauan Banda, Pulau Buru, Aru dan Tanimbar. (Yusron, 1992). Sumberdaya teripang di Maluku telah dieksploitasi untuk tujuan komersial, hal ini didasarkan pada data produksi dan nilai produksi Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku dari tahun 2005-2007 (Tabel 2). Dari Tabel 2 ini terlihat bahwa pada tahun 2005-2006 terjadi penurunan produksi sebesar 21,73% dan nilai produksi sebesar 33,03%, selanjutnya pada tahun 20062007 penurunan produksi sebesar 5,68% dengan nilai produksi sebesar 1,83%. Dari Tabel ini juga memperlihatkan bahwa meskipun terjadi penurunan produksi yang berdampak terhadap nilai produksi, namun di sisi lain nilai jual teripang meningkat pada 2007. Tabel 2. Produksi dan Nilai Produksi Teripang di Provinsi Maluku Tahun 2005-2007 Tahun Volume (ton) Nilai (Rp.1000) 2005 667,6 79.345.000 2006 522,7 53.137.250 2007 493,0 52.162.800 Sumber : Data tahunan statistik Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku. Permintaan teripang sebagai komoditi ekspor semakin meningkat, hal tersebut juga ditunjang dengan harga yang semakin membaik. Dengan demikian ”perburuan” teripang juga meningkat dan bersifat multispesies dengan berbagai ukuran. Perikanan teripang umumnya dan di Maluku khususnya, masih bersifat tradisional artinya bahwa masyarakat mengumpulkan sedikit demi sedikit, sampai pada jumlah tertentu baru dijual kepada pengumpul. Negeri Porto merupakan salah satu desa yang terletak di Pulau Saparua, yang termasuk daerah sebaran teripang. Dalam upaya pengelolaan sumberdaya baik di darat maupun di laut, Negeri Porto telah menerapkan sistem sasi yang merupakan kearifan lokal masyarakat negeri ini. Namun salah satu penyebab sehingga sistem sasi di negeri ini mulai agak melemah karena adanya kebijakan pemerintah negeri setempat untuk menyewakan daerah pesisir/menggunakan sistem lelang bagi pedagang dari Madura yang menggunakan peralatan lengkap. Pedagang yang menggunakan peralatan lengkap
(compressor) menyelam di
dalam laut dalam jangka waktu yang lebih lama, bila dibandingkan dengan
nelayan setempat yang hanya menggunakan peralatan sederhana. Dengan demikian maka
sumberdaya yang dapat diambil oleh para penyewa tersebut
bukan hanya teripang namun juga lola dan jenis-jenis sumberdaya yang bernilai ekonomis lainnya. Dengan adanya upaya tangkap yang tinggi oleh para penyewa atau pengontrak, hal tersebut menyebabkan dalam waktu singkat terjadi penurunan sumberdaya baik teripang maupun lola (Trochus niloticus), Tridacna gigas serta sumberdaya lainnya. Selain itu, akibat penerapan kebijakan Pemerintah Negeri (Raja) yang dianggap merugikan masyarakat serta penurunan jumlah, ukuran sumberdaya laut termasuk didalammnya teripang, maka sebagai pelampiasan dari rasa kekecewaan diwujudkan dengan cara melakukan pelanggaran terhadap sasi yang berlaku yaitu dengan mengambil teripang sesuai dengan keinginan mereka dan hal ini dapat terlaksana akibat
lemahnya
pengawasan dari pemerintah adat setempat. Kelangkaan dan rendahnya jumlah teripang di alam adalah sinyal kepunahan bila tidak diantisipasi dengan usaha pelestariannya segera mungkin.
1.2. Perumusan Masalah Secara alami stok populasi jenis-jenis teripang di daerah tropika adalah relatif sedikit. Stok populasi yang kecil tersebut bila mendapat tekanan eksploitasi intensif ditambah sifat regenerasi dan pertumbuhan yang lambat, akan terjadi penurunan sumberdaya. Di Negeri Porto sendiri telah terindikasi terjadi penurunan sumber daya teripang, hal ini disebabkan karena adanya kebijakan Pemerintah Negeri (raja) untuk menyewakan/mengontrak daerah pasang surut buat nelayan luar (Madura ) yang menggunakan peralatan modern serta adanya aksi protes dari masyarakat berupa pelanggaran terhadap sasi dengan melakukan penangkapan pada saat waktu tutup sasi. Permasalahan utama dalam pengelolaan teripang di Negeri Porto yaitu : 1. Tingginya upaya penangkapan yang dilakukan baik oleh para pengontrak (nelayan Madura) maupun oleh masyarakat setempat. 2. Rendahnya kesempatan teripang untuk beregenerasi karena ditangkap sebelum waktu matang gonad.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. mendeskripsikan kondisi dan potensi teripang. 2. menganalisis habitat dan kesesuaian faktor-faktor lingkungan 3. menganalisis kinerja sasi di negeri Porto dibandingkan dengan sasi desa Warialau kabupaten Kepulauan Aru. 4. menyusun alternatif strategi pengelolaan teripang. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan untuk pengelolaan teripang yang berbasis sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau, sehingga sumberdaya teripang terus lestari berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan, penyediaan pangan dan lain sebagainya secara terus menerus.
1.4 Kerangka Pemikiran Sumberdaya teripang mempunyai manfaat baik dari segi ekonomi sebagai sumber protein dan mempunyai berbagai khasiat dalam menyembuhkan penyakit serta mempunyai nilai jual yang tinggi baik dalam skala lokal maupun internasional, sedangkan dari segi ekologi berperanan penting dalam rantai makanan karena sebagai penyumbang pakan sekaligus penyubur substrat. Dalam pertimbangan
upaya pengelolaan yang
pertama
sumberdaya teripang maka dilakukan
yaitu
Bioekologi
yang
bermanfaat
dalam
mempertahankan suatu stok pada tingkat produktif, sehingga diperlukan suatu jumlah yang cukup dari pemijah yaitu hewan dewasa yang matang reproduktif, dan lingkungan yang sangat cocok agar setiap tahap dalam daur hidupnya dapat dilewati dengan baik serta pengaturan upaya tangkap untuk mengendalikan mortalitas
akibat
penangkapan.
Selanjutnya
pertimbangan
kedua
tujuan
pengelolaan yang ditetapkan oleh Pemerintah Negeri yaitu menjamin kelestarian sumberdaya teripang sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk pencapaian tujuan ini maka ketersediaan sumberdaya teripang merupakan syarat utama, karena ketersediaan teripang menentukan manfaat yang akan diterima secara terus menerus. Tujuan pengelolaan ini telah diterapkan oleh pemerintah negeri melalui aturan sasi yang telah dilaksanakan sejak jaman dahulu hingga sekarang, namun dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan berupa sistem
lelang atau kontrak sehingga menimbulkan permasalahan tingginya upaya tangkap yang akan berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya ini, sehingga perlu dirumuskan strategi pengelolaan yang dapat menjawab tujuan pengelolaan yang telah ditetapkan. Pertimbangan yang ketiga menyangkut sosial ekonomi dan kelembagaan dimana diperhatikan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat serta kelembagaan yang ada dalam masyarakat yang mendukung sistem sasi. Selanjutnya perlu juga dilakukan kajian resiko sehingga dapat menentukan strategi pengelolaan yang tepat yang dapat diterapkan dalam bentuk aturan-aturan. Dengan demikian maka disusun suatu kerangka pemikiran sederhana yang ditampilkan pada Gambar 1.
SUMBERDAYA TERIPANG DI NEGERI PORTO DAN DESA WARIALAU PROVINSI MALUKU
BIOEKOLOGI
Ekologi (kondisi, potensi, habitat,faktor-faktor lingkungan)
TUJUAN PENGELOLAAN
SOSIAL EKONOMI & KELEMBAGAAN
Biologi (Pengkajian Stok teripang)
STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA TERIPANG
Hasil Tangkap per upaya
PENERAPAN ATURAN (Sasi, Peraturan Negeri)
PENGKAJIAN RESIKO
Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pikir Pengelolaan Teripang Berbasis Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau Provinsi Maluku
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Morfologi dan Anatomi
Teripang adalah salah satu hewan berkulit duri (Echinodermata) walaupun tidak semua teripang mempunyai duri pada kulitnya. Duri-duri pada teripang sebenarnya merupakan rangka yang tersusun dari zat kapur dan terdapat didalam kulitnya. Rangka dari zat kapur tersebut tidak dapat dilihat dengan mata biasa karena sangat kecil, sehingga untuk melihatnya diperlukan bantuan mikroskop (Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 1995). Tubuh teripang lunak, berdaging dan berbentuk silindris memanjang seperti buah ketimun sehingga hewan ini dinamakan juga ketimun laut atau sea cucumber, mulut dan anus terletak di ujung yang berlawanan (Darsono, 1998). Gerakan teripang sangat lamban sehingga hampir seluruh hidupnya berada di dasar laut. Warna teripang bermacam-macam mulai dari hitam, abu-abu, kecoklatcoklatan, kemerahan, kekuning-kuningan bahkan ada yang berwarna putih. Ukuran tubuh teripang berbeda-beda baik dari segi panjang maupun bobotnya sesuai dengan jenisnya masing-masing (Tabel 3).
Tabel 3. Ukuran Panjang dan Bobot Beberapa Jenis Teripang di Indonesia Jenis Teripang Holothuria atra Actinopyga mauritiana Thelenota ananas Holothuria scabra
Panjang (cm) ± 60 ± 30 ± 100 ± 25-35
Bobot (kg) ±2 ± 2.8 ±6 ± 0.25-0.35
Teripang mempunyai tubuh yang lunak, berotot melingkar dan terdiri atas lima lapisan otot daging memanjang dari bagian oral ke bagian aboral yang terletak dibawah dinding tubuhnya, serta membentuk rongga berisi organ-organ dalam. Bagian organ dalam teripang dibagi menjadi sebelas bagian yaitu tentakel, kulit luar, kerongkongan, perut atau lambung, usus kecil, usus halus, gonad, sistem sirkulasi air, cabang-cabang saluran pernapasan, rumbai-rumbai pada
pangkal pengeluaran dan kloaka
(Elifitrida,1994). Permukaan tubuh teripang
ditutupi oleh kutikula yang tipis (Hickman et al, 1974 dalam Elifitrida,1994).
2.2. Klasifikasi dan Distribusi Teripang
Teripang (holothurians) adalah kelompok hewan invertebrata laut dari kelas Holothuroidea (Filum Echinodermata), tersebar luas di lingkungan laut (marine) diseluruh dunia, mulai dari zona pasang surut sampai laut dalam terutama di lautan India dan lautan Pasifik Barat. Tidak kurang sekitar 1250 jenis teripang telah dideskripsikan, dibedakan dalam enam bangsa (ordo) yaitu Dendrochirotida, Aspidochirotida, Dactylochirotida, Apodida, Molpadida, dan Elasipoda. Beberapa jenisnya hidup membenamkan diri dalam pasir dan hanya menampakan tentakelnya, sedang jenis-jenis teripang komersil biasanya hidup pada substrat pasir, substrat keras, substrat kricak karang dan substrat lumpur. Produk teripang umumnya berasal dari jenis-jenis teripang yang hidup di perairan dangkal, sampai kedalaman 50 meter. Semua jenis teripang komersil, khususnya dari daerah tropika, termasuk dalam bangsa (ordo) Aspidochirotida dari suku (family) Holothuriidae dan Stichopodidae, yang meliputi marga (genus) Holothuria, Actinopyga, Bohadschia, Thelenota dan Stichopus. Sekitar 25 jenis teripang berpotensi komersil diidentifikasikan berasal dari perairan karang di Indonesia (Darsono,1995), sedangkan hasil koleksi P2O LIPI menyimpan 42 jenis teripang dari seluruh perairan Indonesia. Menurut Purwati (2005), terdapat 26 jenis teripang yang pernah atau masih dieksploitasi di perairan Indonesia berdasarkan publikasi nasional (Tabel 4). Jenis teripang yang termasuk dalam katagori utama, relatif mahal, yaitu teripang pasir atau teripang putih, Holothuria scabra, teripang susuan H. nobilis dan H. fuscogilva, teripang nenas, Thelenota ananas. Jenis yang termasuk kedalam kategori sedang yaitu teripang dari marga Actinopyga, antara lain teripang lotong (A. miliaris), teripang batu (A. echinites), teripang bilalo (A. lecanora dan A. mauritiana). Jenis-jenis lainnya termasuk dalam kategori rendah/ murah (Conand, 1990).
Tabel 4. Beberapa Jenis Teripang di Indonesia, Berdasarkan Publikasi Nasional No. Nama Jenis 1 Actinopyga echnities 2 3 4
A. lecanora A. mauritania A. miliaris
5
Bohadschia argus
6
B. marmorata
7 8
B. tenuissima * Holothruria atra
9 10
H.coluber H. edulis
11 12 13 14
H. fuscopunctata H. fuscogilva H. hilla H. impatiens
15
H. leucospilota
16
H. nobilis
17 18 19
H. ocelata H. pervicax H. scabra
20 21
23
H. similes Pearsonothuria graeffei Stichopus chloronotus S. horrens
24
S. variaegatus
25
Thelonata ananas
22
26 T. anax * jarang
Nama daerah Kunyit, ladu-ladu, kapok/kapuk, bilalo Batu, balibi Buntal Kapok/kapuk, lotong, gamet, sepatu Ular mata, cempedak Olol-olok, getah putih, pulut, benang, krido polos Karet Teripang hitam, dara/darah Taikokong Dada merah, takling, perut merah, cerak, batu keling ? Susu putih ? Donga, babi, ular-ular, tempulo Salengko, talengko, getah Susu hitam, lotong, koro, susuan Kacang goreng ? Pasir, buang kulit, gosok, putih, kamboa Krido, krido bintik Bintik merah
Nama di pasar dunia Deepwater redfish Stonefish Surf redfish Blackfish Leopard fish/tiger fish/spottedfish -
Lollyfish/black trepang Snakefish Pinkfish
Elephant trunkfish White teatfish, susufish Black teatfish Tiger spotted trepang Sandfish Chalkfish/whitefish Flowerfish
Jepung, jepun
Greenfish/squarefish
Kacang goreng, kacang, susu Gamet, kasur, taikokong, anjing, kapok, gama Nanas/nenas
Dragonfish
duyung
Curryfish/yellow meat Prickly redfish/plum flower trepang amberfish
Pulau Saparua merupakan salah satu pulau di Kabupaten Maluku Tengah, yang merupakan wilayah sebaran teripang meskipun tidak sebanyak seperti di Maluku Tenggara. Di pulau Saparua ini telah ada penelitian-penelitian tentang teripang sebelumnya yaitu di Kulur, Saparua ditemukan 3 jenis teripang sedangkan di pantai Waisisil Saparua ditemukan 4 jenis teripang (Darsono et al, 1998 dalam Darsono, 2003), sedangkan Negeri Porto ditemukan 15 jenis teripang (Anonimous, 2005).
2.3. Penyebaran Populasi
Penyebaran populasi adalah gerakan individu kedalam, keluar atau ke daerah populasi lain. Ada 3 pola dasar yaitu pola penyebaran acak, seragam dan berkelompok. Pola penyebaran populasi sangat tergantung pada kondisi lingkungan biotik maupun abiotik serta faktor psikologis lainnya yang berupa interaksi antar populasi. Interaksi ini antara lain pemangsaan, parasitisme, antibiotisme dan kerjasama mutualisme. Dalam hal ini interaksi antar populasi merupakan faktor utama yang berperan besar dalam mengontrol pola penyebaran organisme (Nybakken, 1992).
2.4. Habitat dan Tingkah Laku
Tempat hidup teripang adalah ekosistem terumbu karang, lamun, mulai zona intertidal sampai dengan kedalaman 40 meter. Teripang dapat ditemukan hampir di seluruh perairan pantai mulai dari daerah pasang surut yang dangkal hingga perairan yang lebih dalam. Teripang menyukai dasar berpasir halus yang banyak ditumbuhi tanaman pelindung seperti lamun dan sejenisnya serta bebas dari hempasan ombak. Keberdaan teripang di alam juga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dan musim pemijahannya, hal ini terbukti dengan banyaknya jenis teripang yang mendekati garis pantai selama musim memijah. Jenis teripang yang bernilai ekonomis penting biasanya menempati dasar goba (lagoon) dengan kedalaman 5 sampai 30 meter. Sedangkan jenis teripang yang bernilai ekonomis sedang dan rendah menempati daerah yang dangkal
seperti padang lamun, daerah pertumbuhan algae dan rataan terumbu karang dengan kedalaman kurang dari 2 meter. Biasanya teripang akan muncul di permukaan dasar perairan pada malam hari terutama pada waktu menjelang pasang, yaitu untuk keperluan mencari makan. Pada siang hari teripang lebih suka membenamkan diri di dalam pasir. Teripang umumnya hidup secara bergerombol, jenis Holothuria scabra biasanya hidup berkelompok terdiri dari tiga sampai lima ekor. Pernafasan teripang dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui penyerapan pada permukaan tubuhnya dan menggunakan sistem pohon respirasi. Pernafasan sistem pohon respirasi dilakukan dengan cara memompakan kloaka dan pohon respirasi, sehingga kloaka akan mengembang dan terisi air laut. Selanjutnya otot spincter anus akan tertutup karena kloaka berkontraksi dan air laut akan masuk ke dalam pohon respirasi, disinilah oksigen diserap oleh teripang. Air akan keluar tubuh sebagai akibat dari kontraksi tubula-tubula dan pemompaan kloaka (DKP, 2004).
2.5. Makanan dan Kebiasaan Makan
Makanan teripang terdiri dari mikroorganisme seperti bakteri dan protozoa, jasad benthos, mikro algae dan detritus. Disamping itu, didalam sistem pencernaan makanannya biasa didapatkan foraminifera, radiolaria, butir pasir dan cangkang kekerangan. Teripang bersifat nokturnal yaitu kebisaan mencari makan pada malam hari. Teripang memperoleh makanan dengan cara mengisap dan menyaring makanan pada malam hari karena plankton akan berada di dasar perairan dan juga untuk menghindari predator (Hartati et.al, 2002). Teripang mempunyai dua cara makan yaitu menangkap plankton dengan tentankelnya dan dengan menelan pasir kemudian diambil detritusnya dan pasir dikeluarkan melalui anus (Canon dan Silver, 1987).
2.6 Reproduksi
Teripang pada umumnya bersifat diocious, tetapi secara morfologi perbedaan antara hewan jantan dan betina tidak jelas. Pembuahan umumnya terjadi secara eksternal. Teripang jantan mengeluarkan sperma berupa benangbenang putih, yang oleh gerakan tentakelnya kemudian tersebar di perairan dan membuahi telur yang dikeluarkan hewan betina di sekitarnya. Masa pemijahan tidak diketahui pasti. Teripang-teripang yang hidup di daerah tropis diduga dapat memijah sepanjang tahun karena tidak ada perubahan suhu (Darsono, 1994)
2.7 Tingkat Kematangan Gonad Tingkat kematangan gonad teripang penting diketahui untuk keperluan pemilihan induk yang siap memijah. Darsono et al. (1995b) mengemukakan bahwa teripang yang memberi reaksi terhadap perlakukan rangsang pijah hanyalah individu yang matang. Jika berdasar pada fase kematangan gonad teripang famili Holothuroidea, maka induk yang baik untuk dipijahkan adalah fase IV atau matang (Tuwo dan Conand, 1992). Menurut Connad (1990), tingkat kematangan gonad untuk Holothuria fuscogilva, yaitu pada ukuran panjang 32 cm, Holothuria scabra ukuran panjang 16 cm, Actinopyga echinities pada ukuran panjang 12 cm,
Thelenota ananas pada ukuran panjang 30 cm dan
Actinopyga miliaris memiliki laju pertumbuhan 1 cm dan 5 gram per bulan. Menurut James et al. (1994), Holothuria scabra diketahui mempunyai panjang maksimal 400 mm dan bobot dalam kondisi hidup 500 gram. Dalam 18 bulan, jenis ini mencapai kematangan seksual dan daya hidupnya diperkirakan selama 10 tahun. Ukuran panjang pada akhir tahun pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima berturut-turut 136 mm, 225 mm, 284 mm, 322 mm dan 384 mm. Ukuran individu induk bisa menjadi petunjuk kedewasaannya (Darsono et al, 1995a) diperoleh catatan bahwa individu dengan ukuran bobot total minimal 400 gram adalah potensial sebagai induk,meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa individu dengan ukuran lebih kecil ada yang sudah matang gonad.
2.8 Daur Hidup Teripang
Daur hidup teripang di alam terdiri atas dua periode yaitu : Planktonik dan bentik. Pada fase planktonik teripang hidup melayang-layang di air, pada masa larva yaitu stadia aurikularia dan doliolaria, sedangkan sebagai bentik, hidup diatas substrat atau benda lain yakni stadia penctatula hingga menjadi teripang dewasa, contohnya pada teripang pasir (Gambar 2). Perkembangan larva teripang melalui beberapa fase. Telur yang dibuahi akan membelah menjadi multisel dan terbentuklah blastula dalam waktu 12 jam. Kemudian berkembang menjadi Gastrula dalam beberapa jam berikutnya. Fase gastrula ini akan berakhir sampai jam ke 32 dan metamorphose menjadi auricularia awal. Bentuk atau fase auricularia ini akan berkembang dalam waktu 8 atau 10 hari, menjadi auricularia sedang dan akhir. Kemudian metamorphose menjadi doliolaria, yang akan berkembang sampai hari ke 16 kemudian menjadi pentacula dan berkembang sampai hari ke 50 atau sampai ke 60 untuk kemudian berubah menjadi burayak muda. Diperlukan waktu 60 hari atau 2 bulan dari perkembangan telur ikan menjadi burayak (Darsono, 1994).
Teripang dewasa
Larva
Teripang muda/juvenil (B)
Penctatula (B)
Auricularia (P)
Doliolaria (P)
Ket. (P) planktonik; B (Bentik)
Gambar 2. Daur Hidup Teripang Pasir (Holothuria scabra)
2.9 Peranan Teripang
Teripang merupakan komponen penting dalam rantai pakan (food chain) di terumbu karang dan ekosistem asosiasinya pada berbagai tingkat struktur pakan (trophic levels). Teripang berperan penting sebagai pemakan deposit (deposit feeder) dan pemakan suspensi (suspension feeder). Di wilayah Indo-Pasifik, pada daerah terumbu yang tidak mengalami tekanan eksploitasi, kepadatan teripang bisa lebih dari 35 ekor per m2, dimana setiap individunya bisa memproses 80 gram berat kering sedimen setiap harinya (Bakus, 1973). Berkurangnya populasi teripang secara cepat menimbulkan konsekuensi bagi kelangsungan hidup berbagai jenis biota lain yang merupakan bagian dari kompleksitas lingkar pangan (food web) yang sama. Teripang dalam lingkar pangan ini berperan sebagai penyumbang pakan berupa telur, larva dan juwana teripang, bagi organisma laut lain seperti berbagai krustasea, moluska maupun ikan. Teripang mencerna sejumlah besar sedimen, yang memungkinkan terjadinya oksigenisasi lapisan atas sedimen. Tingkah laku teripang yang “mengaduk” dasar perairan dalam cara mendapatkan pakannya, membantu menyuburkan substrat disekitarnya. Keadaan ini mirip seperti dilakukan cacing tanah di darat. Proses tersebut mencegah terjadinya penumpukan busukan benda organik dan sangat mungkin membantu mengontrol populasi hama dan organisma patogen termasuk bakteri tertentu. Tangkap lebih teripang bisa berakibat terjadinya pengerasan dasar laut, sehingga tidak cocok sebagai habitat bagi bentos lain dan organisma meliang (infaunal organism). Teripang mempunyai kemampuan untuk melepas bagian organ dalam (eviserasi) apabila terganggu, dan akan beregenerasi secara cepat.
2.10 Faktor-Faktor Lingkungan 1. Kedalaman Perairan Teripang adalah organisme laut yang mendiami daerah pasang surut hingga laut dalam (Hyman, 1955). Jenis yang bernilai ekonomis penting seperti teripang pasir (Holothruia scabra), Teripang lotong (Holothuria nobilis) dan Teripang nanas (Telonota ananas) biasanya menempati dasar gobah (lagoon) atau
di luar tubir dengan kedalaman antara 5-30 meter, sedangkan jenis teripang yang kurang memiliki nilai ekonomis seperti Holothuria edulis, Holothuria atra berada di daerah yang terdapat rumput laut atau disekitar terumbu karang dengan kedalaman kurang dari 2 meter.
2. Kecepatan Arus Menurut Bakus (1973), teripang adalah hewan-hewan yang seolah-olah selalu dalam keadaan diam, karena sifat kurang bergerak inilah, maka biasanya teripang berada ditempat-tempat yang airnya tenang. Adanya pergerakan air, seperti arus akan mempengaruhi kehidupan organisme dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Pergerakan teripang sangat terbatas, sehingga pengadaan makanannya sangat ditentukan oleh arus. Arus yang kuat akan menghanyutkan nutrien yang ada, sehingga mengakibatkan perairan tidak subur dan merugikan teripang (Nuraini dan Said, 1995).
3. Suhu Kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan teripang adalah 27-300C. Peningkatan suhu dari kisaran optimum akan mempengaruhi biologi reproduksi dan kecepatan makan dari teripang itu sendiri bahkan teripang akan kehilangan selera makan sama sekali, namun besarnya penyimpangan itu tidak disebutkan secara pasti. Panggabean (1987) menyatakan kondisi suhu untuk teripang dewasa adalah 26-300C sehingga pertumbuhan teripang dapat optimal.
4. Salinitas
Teripang dapat menyesuaikan diri pada salinitas 30-37‰, air laut umumnya mempunyai salinitas antara 33-37 ‰ dan di perairan pantai berkisar antara 32-35 ‰ (DKP, 2004).
5. Oksigen terlarut dan pH
Distribusi oksigen di laut dikendalikan melalui pertukaran dengan atmosfer secara difusi, proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air, respirasi oleh organisme autotrof dan heterotrof serta proses perombakan bahan organik (Levinton, 1982). Kandungan oksigen terlarut yang layak untuk kehidupan teripang 4-8 ppm (Panggabean, 1987), sedangkan kandungan oksigen terlarut pada saat ditemukannya teripang di perairan alami yaitu berkisar antara 5,67-6,34 ppm (Alwi, 1995). pH untuk usaha pembenihan adalah berkisar dari 6.5-8.5 (Panggabean, 1987).
6. Tekstur Sedimen
Substrat dibutuhkan sebagai tempat hidup bagi organisme bentik seperti teripang. Pemilihan substrat senantiasa disesuaikan dengan kebiasaan individu dewasa untuk mencari makan dari substrat (Levinton, 1982). Bahkan beberapa laboran
menyebutkan
bahwa
jenis
Holothuria
menyeleksi
makanannya
berdasarkan ukuran partikel sedimen. Sedimen dasar perairan terutama terdiri dari partikel yang berasal dari hasil batu-batuan dan hancuran cangkang kerang serta rangka-rangka organisme laut. Berdasarkan tipe substrat dasar perairan, dapat diketahui bahwa kombinasi dasar perairan yang terdiri dari pasir, kerang hidup dan rumput laut merupakan habitat yang cocok bagi kehidupan beberapa anggota Holothuridae (Trijoko, 1991).
2.11. Sasi di Maluku Pengertian Sasi Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang dilaksanakan oleh masyarakat pedesaan termasuk Pulau Saparua, Maluku Tengah yang keberadaannya sudah ada sejak dulu dikenal dengan sebutan sasi. Sasi berasal dari kata sanksi yang mengandung pengertian tentang larangan pengambilan sumber daya alam tertentu tanpa ijin dalam jangka waktu tertentu yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Bailey and Zerner, 1992). Sasi dapat diartikan
sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati alam tersebut (Kissya, 1993). Makna sasi yaitu larangan bagi anak negeri (penduduk setempat) dan orang luar untuk mengambil sesuatu yang berkaitan dengan sumber-sumber daya alam baik darat maupun laut.
Bentuk dan Tujuan Sasi Ada dua bentuk sasi yaitu sasi darat dan sasi laut. Sasi darat meliputi semua jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomi, seperti kelapa, pala cengkeh, sagu, coklat dan jeruk. Demikian juga sasi laut, seperti : seperti lola, batu laga, caping-caping, teripang, rumput laut, bakau, karang, kawanan ikan, ikan hias, batu kerikil dan pasir. Menurut Nikijuluw (1994), tujuan adanya larangan ini supaya sumberdaya (ikan) dapat berkembang biak, tumbuh mencapai ukuran tertentu, tetap tersedia hingga dapat ditangkap dan dikonsumsi pada waktu yang lama. Selain itu agar sumberdaya tersebut tetap lestari dan tetap dapat dimanfaatkan dikemudian hari oleh generasi yang akan datang.
Lembaga Sasi Lembaga adat yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan sasi adalah Sasi. Sasi adalah suatu kelompok organisasi yang diangkat secara adat melalui proses musyawarah yang dilakukan dalam rumah adat, yaitu Baeleo. Kepala Kewang dan Wakil Kepala Kewang diangkat dan ditentukan berdasarkan garis keturunan dari marga tertentu atau yang disebut mata rumah, sedangkan anggota Sasi atau pembantu sasi diangkat dari warga masyarakat yang ada dalam wilayah soa. Kewang memiliki struktur organisasi dan mempunyai tugas dan tanggung jawab serta memiliki peraturan-peraturan kewang sebagai dasar dan pedoman dalam melaksankan tugasnya. Tugas Kewang adalah mengawasi dan mengontrol pelaksanaan sasi untuk tanaman-tanaman di hutan dan di kebun serta daerah sasi di laut terhadap berbagai sumberdaya perikanan yang memiliki nilai ekonomi yang penting dan merupakan kesepakatan bersama antara masyarakat dan pemerintah negeri.
Tujuan pengawasan dan pengontrolan kewang ini adalah supaya setiap sumberdaya yang disasikan baik di hutan, kebun dan laut dapat memberi hasil yang baik pada waktu panen. Bagi masyarakat yang melanggar aturan-aturan sasi yang telah ditetapkan oleh kewang dengan persetujuan raja dan pemerintah negeri, yaitu dalam melakukan pencurian ataupun pengrusakan terhadap sumberdaya yang disasikan maka akan diberi sanksi oleh kewang. Oleh karena itu, kewang memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap pengelolaan sumberdaya alam dalam pemerintah negeri dan juga berperan dalam mengawasi ”hak ulayat negeri” baik darat maupun laut terhadap pengaruh aktivitas dari luar.
Pelaksanaan Sasi Pada
sistem
pemerintahan
negeri,
maka
cara
pelaksanaan
sasi
dilaksanakan secara adat oleh raja sebagai kepala adat dan kewang sebagai pengontrol dan pengawas sasi serta dihadiri oleh seluruh staf pemerintah negeri dan masyarakat. Oleh karena itu sebagai bagian dari ketentuan adat maka pelaksanaan sasi ada memiliki aturan-aturan tertentu yaitu: acara tutup dan buka sasi, dan tanda sasi. Hal ini merupakan suatu rangkaian dalam pelaksanaan sasi, dimana pelaksanaan sasi tersebut berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh masing-masing pemerintah negeri di Maluku Pelaksanaan sasi dilakukan dengan cara menutup musim dan daerah penangkapan. Untuk itu masyarakat desa tidak diizinkan menangkap selama periode waktu tertentu di kawasan perairan tertentu. Periode penutupan penangkapan dikenal dengan tutup sasi. Sementara itu periode musim penangkapan dikenal dengan buka sasi. Selain itu sasi juga berkaitan dengan hak eksklusif penangkapan oleh masyarakat desa. Dengan adanya hak eksklusif ini, maka orang dari luar desa tidak diizinkan untuk menangkap, namun untuk beberapa desa hak eksklusif ini dapat dilakukan oleh orang luar sejauh mereka mau menggunakan alat tangkap yang sama digunakan oleh masyarakat setempat, menggunakan alat yang tidak merusak lingkungan dan sumberdaya serta membayar sejumlah uang tertentu sebagai ganti hak yang diberikan. Kawasan hak eksklusif ini dikenal dengan nama petuanang desa, suatu kawasan perairan di
depan desa atau yang masih merupakan teritorial desa, biasanya berupa perairan dangkal, atol, teluk atau selat (Nikijuluw, 2002). Uang yang harus dibayar orang luar untuk mendapatkan hak penangkapan di daerah petuanan sering disebut ngase dan jumlahnya ngase bervariasi menurut desa. Umumnya sekitar 10% dari nilai hasil tangkapan. Ngase dikumpulkan oleh pemerintah negeri sebagai bagian dari pendapatan negeri. Selain ngase, orang luar diwajibkan membagi sebagian hasil tangkapannya kepada pemimpin negeri dan masyarakat lainnya yang kebetulan ada disekitar petuanang. Pemimpin dan masyarakat bersama-sama menentukan jenis alat tangkap yang boleh digunakan, yang tidak merusak lingkungan. (Nikijuluw, 1994)
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2008 di Negeri Porto dan desa Warialau, sebagai desa pembanding pelaksanaan sasi. Negeri Porto terletak di bagian selatan dan sebagian di bagian utara Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Negeri Porto merupakan salah satu dari 17 negeri/desa yang ada di Pulau Saparua. Luas wilayah Kecamatan Saparua yaitu sebesar 970 km2 yang meliputi luas daratan sebesar 163 km2 dan luas laut sebesar 807 km2 serta panjang garis pantai mencapai 99 km. Wilayah kecamatan Saparua memiliki tiga (3) buah pulau yaitu Saparua, Molana dan Pombo Booi. Pulau Saparua memiliki luas 161 km2 dengan panjang garis pantai 91 km. Secara geografis, Kecamatan Saparua terletak antara 3º29'37"-3º39'3" Lintang Selatan dan 128º33'25"-128º44'23" Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: -
Sebelah Selatan dengan Laut Banda;
-
Sebelah Utara dengan Selat Seram;
-
Sebelah Timur dengan Selat Saparua;
-
Sebelah Barat dengan Laut Banda. Desa Porto yang termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan
Saparua, secara geografis terletak pada 3º30'00"- 3º36'30" Lintang Selatan dan 128º35'08" - 128º37'18" Bujur Timur (Gambar 3) dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: -
Sebelah Utara dengan Negeri Kulur;
-
Sebelah Selatan dengan Negeri Haria;
-
Sebelah Barat dengan Selat Saparua;
-
Sebelah Timur dengan Negeri Tiow. Negeri Porto memiliki topografi dasar perairan yang landai, pada daerah
pasang surut jaraknya berkisar antara 100-120 meter dengan kondisi substratnya yang dapat dibedakan atas 6 bagian yaitu berpasir, pasir patahan karang, batu
berpasir, karang papan, patahan karang mati dan karang hidup. Ekosistem pantai yang ada pada daerah pesisir berupa Mangrove, Lamun dan Algae. Desa Warialau terletak di Pulau Warialau Kecamatan Pulau-Pulau Aru, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. Desa Warialau merupakan salah satu dari 44 desa yang ada di Kecamatan Pulau-Pulau Aru. Luas wilayah Kecamatan Pulau-Pulau Aru
yaitu sebesar 1.893 km2, dengan panjang garis
pantainya adalah 1.045 km. Pulau terbesar dan berpenghuni di kecamatan PulauPulau Aru yaitu pulau Wokam, Kola, Warilau dan Wamar. Selain itu Kecamatan Pulau-Pulau Aru juga memiliki beberapa pulau kecil yang tidak berpenghuni. Posisi geografis Kecamatan Pulau-Pulau Aru terletak sebagai berikut: Sebelah Selatan berbatasan dengan : Aru Tengah Sebelah Timur berbatasan dengan
: Laut Aru dan Selatan Irian
Sebelah Utara berbatasan dengan
: Selatan Pulau Irian
Sebelah Barat berbatasan dengan
: Laut Banda dan Kei Besar Timur
Desa Warialau yang termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Pulau-Pulau Aru, secara geografis terletak pada 5º19'48"- 5º24'36" Lintang Selatan dan 134º37'12" - 134º67'15" Bujur Timur (Gambar 3). dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: -
Sebelah Utara dengan Selatan Pulau Irian;
-
Sebelah Selatan dengan Selat Kolwatu;
-
Sebelah Barat dengan Kei Besar Timur;
-
Sebelah Timur dengan Kepulauan Jedan. Desa Warialau memiliki topografi dasar perairan yang landai, pada daerah
pasang surut jaraknya berkisar antara 90-130 meter dengan kondisi substratnya yang dapat dibedakan atas 5 bagian yaitu berlumpur, berpasir, karang papan, patahan karang mati dan karang hidup. Ekosistem pantai yang ada pada daerah pesisir berupa Mangrove, Lamun dan Algae.
Kulur Porto Tiow
Selat Saparua
Pulau Warialau
Haria
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian di Negeri Porto dan Desa Warialau Provinsi Maluku
3.2. Peralatan dan Pengukuran Faktor-Faktor Lingkungan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini digunakan memiliki spesifikasi yang berbeda-beda, yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Peralatan yang digunakan dalam Penelitian No Jenis Peralatan 1
Pengukur
Suhu
Spesifikasi dan
Perairan
pH pH meter digital tipe HANA HI 9023; ketepatan suhu :0,00-100,00 0C; pH (0,0014,00).
2.
Pengukur Kecepatan arus
Current meter (m/det)
3.
Pengukur Salinitas
Hand Refraktometer
4.
Pengukur DO
DO Meter digital Tipe Hanna
5.
Pengukur Kecerahan
Secchi disk, bahan piringan, tali pemberat dan pemberat
6.
Pengukur Panjang
Penggaris, ketepatan 1 mm
7.
Pengukur bobot (gr)
Timbangan, ketepatan 10 gr
8.
Posisi
GPS
Pengukuran Faktor-Faktor Lingkungan Pengukuran parameter lingkungan seperti Suhu, pH, DO, salinitas dan kecepatan arus diukur di lapangan setiap hari selama 3 minggu (9 Maret-1 April 2008) di Negeri Porto dan 2 minggu (21 April-5 Mei 2008) di Desa Warialau. Pengukuran dilakukan selama 3 kali dalam sehari yaitu pukul 06.00, 12.00 dan 18.00 WIT pada 3 titik transek kedua lokasi (transek 3,8, dan 13 untuk Negeri Porto dan transek 2,5, 8 di Desa Warialau). Pengukuran suhu dan pH menggunakan pH meter digital Hanna, dengan cara mengambil sampel air permukaan dan kemudian menggunakan alat tersebut dan akan muncul nilai untuk suhu, pH dan konduktivitas. Namun yang digunakan hanya data suhu dan pH. Untuk mengukur DO (Dissolved Oxygen) digunakan DO meter digital Hanna. Kecepatan arus diukur denggan menggunakan current meter, dan hand refraktometer untuk mengukur salinitas serta secchi disk untuk kecerahan perairan. Untuk mengukur kecerahan dilakukan pada setiap titik transek dengan satu kali waktu pengukuran. Di Negeri Porto dari kelima belas titik transek dilakukan pengukuran kecerahan pada waktu yang bervariasi yaitu pada pukul
07.00, 09.00, 10.00, 11.00 dan 12.00 WIT, sedangkan untuk Desa Warialau dengan kedelapan transek dilakukan pengukuran pada waktu yang bervariasi juga yaitu pukul 09.00, 10.00, 12.00 dan 15.00 WIT. Masing-masing parameter yang diambil kemudian dibuat range untuk nilai terendah sampai tertinggi dan rataratanya. Untuk penentuan lokasi penelitian menggunakan GPS. Data-data sekunder lainnya yang ditelusuri seperti data faktor-faktor lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, DO, dan arus permukaan yang diukur pada malam hari (pukul 24.00 WIT) merujuk Leimena, (2004), selain itu data iklim yang diperoleh dari laporan hasil-hasil kajian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah dan Kepulauan Aru dan para peneliti lainnya
3.3. Metode Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Teripang Pengambilan contoh teripang menggunkan metode “Transek Kuadrat” secara tegak lurus garis pantai dari batas surut ke arah laut (Smith,1980). Lokasi transek ditentukan secara purposif pada tiap lokasi dengan memilih daerah rataan terumbu yang relatif luas. Di negeri Porto, plot pengamatan digunakan rangka berukuran 5x5 m2, titik plot pengamatan dilakukan tiap jarak 10 meter sepanjang garis transek dan jarak antar tarnsek 100 meter (Gambar 4). Untuk desa Warialau, plot pengamatan digunakan rangka berukuran 1x1 m2, titik plot pengamatan dilakukan tiap jarak 10 meter sepanjang garis transek dan jarak antar tarnsek 100 meter (Gambar 5). Dari kedua lokasi terlihat bahwa adanya perbedaan ukuran rangka, hal ini disebabkan karena di Negeri Porto pada saat survei awal digunakan rangka 1x1 m2 tidak ditemukan speseis teripang, sehingga akhirnya rangkanya diperbesar menjadi 5x5 m2, dan jumlah teripang tiap kuadrat yang lebih sering ditemukan yaitu sekitar 1-2 individu. Pengamatan diusahakan dilakukan pada saat atau menjelang surut dengan menggunakan masker dan snorkel. Setiap teripang yang terkumpul diukur panjang dan bobot basah yaitu dengan cara mendiamkan tanpa gangguan selama 15 menit dalam air laut dan kemudian diukur panjangnya dan ditimbang bobotnya. Spesimen teripang yang belum teridentifikasi di lapangan kemudian diidentifikasi
menurut Clark and Rowe (1971); Cannon and Silver (1987) dan Birtles (1989). Pada setiap transek dicatat jumlah dan komposisi jenis teripang, habitat, jenis vegetasi dan yang berasosiasi dengan teripang. Pengambilan contoh teripang di Negeri Porto dilakukan pada 15 transek yang meliputi 168 petak pengamatan. Panjang lokasi penelitian 1500 meter dan lebar 160 meter, sehingga luas keseluruhan area 240.000m2. Untuk Desa Warialau pengambilan contoh pada 8 transek yang meliputi 91 petak pengamatan dengan panjang 800 meter dan lebar 140 meter, sehingga luas keseluruhan area 112.000m2. Pada setiap stasiun diambil contoh sedimen untuk mengetahui tekstur dan komposisinya. Contoh sedimen tersebut kemudian dikeringkan dalam oven pada temperatur 1100C selama 24 jam, setelah kering diayak dengan menggunakan mesin penyaring otomatis yang bertingkat. Penggolongan ukuran butiran tanah mengikuti skala Wentworth, dengan ukuran 4 mm (granules), 2 mm (very coarse sand), 1 mm (coarse sand), 0.5 mm (medium sand), 0.25 mm (fine sand), 0.125 mm (very fine sand), 0.064 mm (silt) dan ≤ 0.038 mm (clay) (Morgan, 1958 dalam Yusron 1993).
PULAU Tr.1
Tr.2
Tr.3
Tr.4
Tr.5
Tr.6
Tr.7
Tr.8
Tr.9
Tr.10
5m 5m 10 m
100 m
T U B I R Gambar 4. Skema Pengambilan Contoh Teripang di Negeri Porto dengan Metode Transek Kuadrat
Tr.11
Tr.12
Tr.13
Tr.14
Tr.15
PULAU Tr.1
Tr.2
Tr.3
Tr.4
Tr.5
Tr.6
1m 1m 10 m
100 m
T U B I R Gambar 5. Skema Pengambilan Contoh Teripang di Desa Warialau dengan Metode Transek Kuadrat
Tr.7
Tr.8
Data Tangkapan dan Sosial Ekonomi
Untuk mengetahui data tangkapan per upaya maka diperoleh melalui metode wawancara dengan pengambilan contoh secara sengaja, yaitu responden yang memenuhi kriteria sebagai : (1) pedagang pengumpul dan; (2) nelayan teripang. Dengan mengetahui data tangkapan per upaya maka dapat diketahui indikator kelimpahan stok.
Untuk memperoleh hasil kinerja sasi yaitu dengan metode wawancara pada responden yang diambil secara sengaja dengan kriteria yaitu (1). Staf Pemerintah negeri; (2) Tokoh adat/ agama; (3) Nelayan teripang. Empat indikator utama yang digunakan yaitu efisiensi, keberlanjutan sosial, keberlanjutan biologi dan pemerataan. Hasil analisa keempat indikator akan dibandingkan antara Negeri Porto dan Desa Warialau.
Pengambilan data sosial ekonomi dilakukan melalui wawancara kepada responden dan juga melalui penelusuran data sekunder. Data sekunder yang berupa data sosial seperti kelembagaan dan aturan-aturan sasi serta data ekonomi seperti pendapatan dan nilai jual teripang.
Responden yang dipilih sebagai narasumber terdiri dari 3 profesi yaitu: Pemerintah Negeri dan Tokoh adat, Nelayan dan Pedagang Pengumpul (Tabel 6).
Tabel 6. Kategori Responden yang di Wawancara No.
Kategori
Pemerintah dan Tokoh Adat Porto Warialau
Nelayan Porto
Warialau
Pedagang Pengumpul Porto Warialau
1.
Umur (tahun)
33-65
27-54
51-60
49-68
50-55
48-65
2.
Pendapatan (Rp)
500.000
<500.000
500.000
<500.000-
> 1 jt
> 1jt
->1 jt
1 jt
-1jt 3.
4.
Jumlah responden (jiwa)
10
20
5
5
3
3
Pendidikan
Tidak
Tidak
Tamat
Tidak
Tamat
Tamat
tamat
tamat SD-
SD-
tamat SD-
SD-
SD-tamat
SD-
SMA
sarjana
tamat
tamat
SMA
SMA
SMA
1-2
2-5
tamat SMA 5.
Jumlah Anggota keluarga (jiwa)
5-8
3-8
4-8
4-6
3.4. Metode Analisis Data 3.4.1. Analisis Kondisi dan Potensi Sumber Daya Teripang Analisa data kepadatan, kelimpahan dan frekuensi kehadiran digunakan formula menurut Misra (1968) dalam Budiman dan Darnaedi (1982) sebagai berikut : Jumlah ind. suatu spesies Kepadatan (ind/m2)
= Luas total PP Jumlah ind. suatu spesies
Kepadatan Rel (%)
=
x 100 Total ind. semua spesies Jumlah PP dimana suatu sp ditemukan
Frek. Kehadiran
= Total petak pengamatan Frek. Kehadiran suatu spesies
Frek. Keh. Rel (%)
=
x 100
Total Frek. Keh semua spesies ket :
PP = ind. = frek =
petak pengamatan individu frekuensi
Untuk menghitung potensi sumberdaya teripang digunakan formula yang dikemukakan oleh Sloan (1985) yang dihitung sebagai berikut :
Potensi (Ind) = Kepadatan (ind/m2) x Luas Area (m2) 3.4.2. Analisis Faktor-Faktor Lingkungan Dari data pengukuran parameter lingkungan (Lampiran 2), kemudian disesuaikan dengan persyaratan untuk budidaya dan pengayaan stok menurut Martoyo et al, 2002 dan Wibowo, et,. 1997.
3.4.3. Analisis Hasil Tangkapan Untuk mengestimasi hasil tangkapan setiap tahun di negeri Porto, dengan rumus sederhana : Hasil Tangkapan (kg/thn) = KN x JB x TB Ket : KN = Jumlah Kelompok Nelayan (org), JB = Jumlah bulan aktifitas tangkap, TB = tangkapan/bulan.
3.4.4. Analisis Efisiensi Kinerja Sasi Untuk mengetahui kinerja sasi laut Negeri Porto perlu dilakukan melalui tiga indikator sebagaimana yang dikemukakan oleh Novaczek et. el., 2001. yaitu :
1. Indikator Efisiensi Bertujuan untuk menilai kinerja suatu rezim dengan melihat bersaran semakin Tinggi efisiensi atau produktifitasnya, semakin baik atau suatu rezim. Indikator kinerja efisiensi yang digunakan.
Pengambilan keputusan secara bersama.
Kemudahan ke sumberdaya
Pengawasan terhadap akses ke sumberdaya
Kepatuhan terhadap peraturan Novaczek et. el. 2001 membagi kriteria keberlanjutan menjadi
keberlanjutan menjadi keberlanjutan sosial dan keberlanjutan biologi. Suatu rezim dikatakan berkinerja baik secara sosial jika rezim tersebut dapat mempertahankan tradisi aksi kolektif, meningkatkan kesejahteraan keluarga dan pendapatan, menjaga
keharmonisan
masyarakat
serta
memberikan
ruang
bagi
masalah- masalah lokal untuk dipecahkan secara bersama. Sementara itu rezim dikatakan berlanjut secara biologi apabila kesehatan sumberdaya dan hasil tangkapan ikan tetap baik.
2. Indikator Keberlanjutan sosial
Pendapatan
Kesejahteraan keluarga
Keharmonisan masyarakat
Tradisi aksi bersama
Pembahasan tentang masalah – masalah desa
3. Indikator Keberlanjutan biologi
Ukuran teripang
Hasil tangkapan teripang
4. Indikator Pemerataan Pemerataan tidak berarti sama rata. Pemerataan dalam konteks pemanfaatan sumberdaya perikanan ini lebih tepat diartikan keadilan. Artinya setiap orang harus diperlakukan dengan adil sesuai dengan haknya dan tanggung jawabnya. Semakin adil, semakin baik kinerja, semakin rendah tingkat ketimpangan, semakin baik kinerja. Indikator Pemerataan terbagi atas :
Kesempatan memanfaatkan sumberdaya
Pemerataan hasil
Kesempatan bagi nelayan lokal Komponen dalam tiap indikator kinerja di nilai dengan sistim skoring.
Sistem skoring diberikan dengan batasan. : Tinggi = 3; Sedang = 2; Rendah = 1. Setiap hasil penilaian akan dikompilasikan secara tabular. Setiap nilai akan dihitung kontribusinya secara proposional terhadap nilai efisiensi. Seluruh komponen-komponen dalam tiap indikator kinerja akan dianalisis secara deskriptif.
3.5 Alternatif Strategi Pengelolaan Untuk mengkaji arah pengelolaan sumberdaya teripang di Negeri Porto, Kabupaten Maluku Tengah, maka dilakukan berdasarkan hasil analisis kondisi sumberdaya teripang, parameter lingkungan perairan, perikanan teripang dan data sosial ekonomi kemudian dipadukan dengan hasil analisis efisiensi kinerja pada lokasi ini yang dibandingkan dengan sasi pada desa Warialau Kabupaten Kepulauan Aru. Hasil analisis tersebut dapat
memberikan gambaran untuk
merumuskan strategi-strategi pengelolaan sumberdaya teripang pada daerah intertidal di Negeri Porto yang juga disesuaikan dengan pendekatan teoritis.
IV. HASIL PENELITIAN
4.1. Kondisi Iklim Negeri Porto Iklim yang terdapat di Kecamatan Saparua adalah iklim tropis dan iklim musim.
Oleh karena luasnya wilayah ini dimana pulau-pulau yang tersebar
dalam jarak yang berbeda-beda, sehingga iklim yang terjadi di Kecamatan Saparua adalah iklim musiman. Keadaan musim teratur, musim Timur berlangsung dari bulan Maret sampai Oktober. Musim ini adalah musim kemarau. Musim Barat berlangsung dari bulan Oktober sampai Pebruari. Musim hujan pada bulan April sampai bulan September dan yang paling deras terjadi pada bulan Desember dan Pebruari. Musim Pancaroba dalam bulan Maret/April dan Oktober/Nopember. Bulan April sampai Oktober bertiup angin Timur Tenggara. Angin kencang bertiup pada bulan Januari dan Pebruari diikuti dengan hujan deras dan laut bergelora. Bulan April sampai September bertiup angin Timur Tenggara dan Selatan sebanyak 91% dengan angin Tenggara dominan 61%. Bulan Oktober sampai Maret bertiup angin Barat Laut sebanyak 50% dengan angin Barat Laut dominant 28%. Keadaan
curah
hujan
secara
umum
dapat
digambarkan
antara
3000 – 4500 mm pertahun terdapat di Kecamatan Saparua. Suhu rata-rata untuk tahun 2008 sesuai data Stasiun Meterologi Amahai adalah 26,2 ºC dengan suhu minimum absolute rata-rata 22,8ºC dan suhu maksimum absolute rata-rata 30.6ºC. Rata-rata Kelembapan Udara relatif 83.3%; Penyinaran matahari rata-rata 64,7 %; dan tekanan udara rata-rata 1.013,3 milibar. Berdasarkan klasifikasi agrklimate menurut Oldeman (1980), Maluku Tengah terbagi dalam empat zone agroklimat dimana Kecamatan Saparua termasuk dalam kategori Zone III.1 yakni : bulan basah 5 – 6 bulan dan kering < 2 bulan.
Desa Warialau Iklim yang terdapat di kepulauan Aru dipengaruhi oleh Laut Banda, Laut Arafura dan Samudera Indonesia juga dibayangi oleh Pulau Irian di Bagian Timur
dan Benua Australia di bagian Selatan, sehingga sewaktu-waktu terjadi perubahan. Keadaan musim teratur, musim Timur berlangsung dari bulan April sampai Oktober . Musim ini adalah musim Kemarau. Musim Barat berlangsung dari bulan Oktober sampai Pebruari. Musim hujan pada bulan Desember sampai Pebruari dan yang paling deras terjadi pada bulan Desember dan Pebruari. Musim Pancaroba berlangsung dalam bulan Maret/April dan Oktober/ Nopember. Bulan April sampai Oktober, bertiup angin Timur Tenggara. Angin kencang bertiup pada bulan Januari dan Pebruari diikuti dengan hujan deras dan laut bergelora. Bulan April sampai September bertiup angin Timur Tenggara dan Selatan sebanyak 91% dengan angin Tenggara dominan 61%. Bulan Oktober sampai Maret bertiup angin Barat Laut sebanyak 50% dengan angin Barat Laut dominan 28%. Berdasarkan klasifikasi Agroklimat menurut Oldeman (1980), Kepulauan Aru terbagi dalam dua Zona Agroklimat C2 bulan basah 5 - 6 bulan dan kering 2-3 bulan.
4.2. Potensi dan Kondisi Sumberdaya Teripang 4.2.1. Komposisi Sumberdaya Teripang Dari hasil pengambilan contoh teripang di Negeri Porto, diperoleh 8 jenis teripang yang tergolong ordo Aspidochirotida yang terdiri dari 2 famili dan 4 genera (Tabel 7). Kedelapan jenis tersebut yaitu Actinopyga miliaris, A.lecanora,
Bohadschia
marmorata,
Bohadschia
sp,
Holothuria edulis,
H.fuscogilva, H.atra dan Stichopus variagatus. Dari kedelapan jenis ini, 1 jenis termasuk kategori mahal (utama), 2 jenis kategori sedang dan 5 jenis kategori murah. Sebaliknya di Desa Warialau diperoleh 10 jenis teripang yaitu Actinopyga miliaris, A.lecanora, A.echinities, Bohadschia marmorata, Bohadschia sp, B.argus Holothuria edulis, H.scabra, Stichopus chloronotus dan Thelenota ananas. Kesepuluh jenis tersebut terdiri dari kategori mahal (utama) 2 jenis, sedang 3 jenis dan 5 jenis murah (Tabel 8).
Tabel 7. Taksonomi dan Nilai Jual Teripang di Negeri Porto Kelas
Ordo
Famili
Genera
Spesies
Holothuroidea
Aspidochirotida
Holothuriidea
Actinopyga
Bohadschia
Holothuria
Stichopodidae
Stichopus
Kategori
A.miliaris
Sedang
A.lecanora
Sedang
B.marmorata
Murah
Bohadschia sp
Murah
H.edulis
Murah
H.fuscogilva
Mahal
H.atra
Murah
S.variagatus
Murah
Tabel 8. Taksonomi dan Nilai Jual Teripang di Desa Warialau Kelas
Ordo
Famili
Genera
Spesies
Holothuroidea
Aspidochirotida
Holothuriidea
Actinopyga
A.miliaris
Sedang
A.lecanora
Sedang
A.echinities
Sedang
B.marmorata
Murah
Bohadschia sp
Murah
B.argus
Murah
H.edulis
Murah
H.scabra*
Mahal
Stichopus
S.chloronotus
Murah
Thelenota
T.ananas*
Mahal
Bohadschia
Holothuria
Stichopodidae
Kategori
4.2.2.Kepadatan Sumberdaya Teripang Di Negeri Porto, Kepadatan tertinggi ditemukan pada Bohadschia marmorata yaitu sebesar 0.0321 ind/m2 dengan kepadatan relatif 62.79%, sedangkan kepadatan tertendah ditemukan pada Stichopus variagatus yaitu sebesar 0.0005 ind/m2 (0.93%) (Gambar 6).
Dari Gambar 6, terlihat bahwa
kepadatan relatif antara setiap jenis teripang yang ada di Negeri Porto mempunyai perbedaan yang relatif jauh, yaitu Bohadschia marmorata 62.79%, sedangkan ketujuh jenis lainnya mempunyai nilai kepadatan relatif dibawah 15%. Sebaliknya di Desa Warialau kepadatan tertinggi ditemukan pada spesies Holothuria scabra yaitu 1.000 ind/m2 (65.00%), sedangkan kepadatan terendah ditemukan pada Actinopyga echinities sebesar 0.022 ind/m2 dengan kepadatan relatif 1.4286% (Gambar 7). Dari Gambar 7, juga menunjukan hal yang sama yaitu kepadatan
relatif dari Holothuria scabra sangat tinggi yaitu 65% dan kesembilan jenis
B
0.0350 0.0300 0.0250 0.0200 0.0150 0.0100 0.0050 0.0000
70.0000 60.0000 50.0000 40.0000 30.0000 20.0000 10.0000 0.0000
Ke padata n R elatif (% )
Kepadata n (Ind/m 2)
lainnya mempunyai nilai kepadatan relatif dibawah 10%.
sp lis ra ta va tra tes ri s no g il ga h ia or a li a e du aa a o e c i i i c c s r a m r e s m d l r a ri fu thu ha sv ga hu ma yga ri a ol o Bo py pu ia l ot op u o o o H h h n c h n i t H c s t ti lo ad Ac St i Ac Ho oh Jenis Teripang
Kepadatan
Kepadatan relatif
1.2000
70.0000
1.0000
60.0000 50.0000
0.8000
40.0000
0.6000
30.0000
0.4000
20.0000
0.2000
10.0000
0.0000
0.0000
Kepadatan Relatif (%)
Kepadat an (Ind/m2)
Gambar 6. Grafik Kepadatan dan Kepadatan Relatif Sumberdaya Teripang di Negeri Porto
s s a sp lis ra as ata ities or rgu atu ia ab du an or n a c e n h n n a s i c m ia ro ia lec ds ia aa ar ech ur a hlo s ch ga ur ot m ha g a h c y d h n t o g y a t s y B ha op u ele hi op ol o ol o op H Bo chop tin ads c H Th tin in c t i c Ac h A A St Bo li mi
is ar
Jenis Teripang Kepadatan
Kepadatan Relatif
Gambar 7. Grafik Kepadatan dan Kepadatan Relatif Sumberdaya Teripang di Desa Warialau Secara keseluruhan kepadatan sumberdaya teripang di Negeri Porto yang terdiri dari 8 jenis yaitu 0.051 ind/m2, sedangkan di Desa Warialau yang terdiri
10 jenis yaitu sebesar 1.539 ind/m2. Teripang diberbagai wilayah Indonesia memperlihatkan kepadatan yang sangat rendah, bervariasi antara 0.003-2.98 individu/m2 (Tabel 9). Tabel 9 menunjukan hasil pengamatan kepadatan teripang di berbagai lokasi di Indonesia yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Dari Tabel 9 ini terlihat bahwa untuk Provinsi Maluku, kepadatan teripang sangat tinggi untuk Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Tanimbar Selatan), Maluku Tenggara (Teluk Un) dan Kepulauan Aru (Desa Warialau) yaitu dengan kepadatan berkisar antara 1.539-2.75 ind/m2, sebaliknya di Kabupaten Maluku Tengah, kepadatan jenis teripang dibawah 1 ind/m2
Tabel 9. Kepadatan Teripang di Berbagai Lokasi Pengamatan Lokasi Abubu, Nusalaut, Maluku Sopura, Kolaka, Sulawesi Waisisil, Saparua, Maluku Bunaken, Sulawesi Utara Yamdena, Tanimbar Selatan Batunampar, Lombok P.Pari, Kepulauan Seribu Sapeken, Kangean, Madura Lembata, Flores Timur Teluk Un, Pulau Dulah, Maluku Desa Ihamahu & Kampung Mahu, Saparua Desa Tuhaha, Saparua Desa Ouw, Saparua Desa Makariki, Pulau Seram Desa Rutong, Kota Ambon Negeri Porto, Saparua, Maluku*) Desa Warialau, Kep. Aru, Maluku*)
Kepadatan Referensi (Ind/m2) 0.079 Matahurila, D (2001) 0.003-0.4 Mangawe, A.G dan R.Daud (1988) 0.88 Andamari, R. et al (1989) 2.98 Tamanampo,J.F.W.S.et al (1989) 2.75 Rumahpurute Boedje (1990) 0.19 Prahoro,P dan Suprapto (1991) 0.24 Pralampita, W.A.et al (1992) 30 Suprapto et al (1992) 0.61 Nuraini, S.et al (1992) 2.34 Radjab, A.W (1996) 0.029 Berhitu, 2001 0.23 Sahetapy, 2001 0.024 Hutubessy, 2001 0.331 Thenu, 2003 0.024 Ayal & Souhoka, 2004 0.051 Penelitian ini 1.539 Penelitian ini
Untuk nilai potensi teripang di negeri Porto yaitu 12.240 individu, sedangkan untuk desa Warialau yaitu 172.368 individu. Dari kedua nilai potensi ini terlihat bahwa potensi teripang di Desa Warialau lebih tinggi sekitar 14 kali, meskipun luas wilayah yang diijinkan untuk melakukan penelitian lebih kecil dari
Negeri Porto, karena desa Warialau sedang melakukan waktu “tutup sasi” teripang.
4.2.3. Frekuensi Kehadiran Sumberdaya Teripang Spesies yang memiliki frekuensi kehadiran yang tinggi di Negeri Porto yaitu Bohadschia marmorata dengan nilai frekuensi kehadiran sebesar 0.5357 dan frekuensi kehadiran relatif sebesar 57.6923% dan disusul oleh Holothuria edulis dengan nilai frekuensi kehadiran 0.1488 (16.0256%). Sementara spesies dengan nilai frekuensi kehadiran yang terendah yaitu Stichopus variagatus dengan nilai frekuensi kehadiran dibawah 0.0060 dan frekuensi kehadiran relatif 0.6410% (Tabel 10). Di Desa Warialau, frekuensi kehadiran tertinggi diwakili oleh Holothuria scabra dengan nilai frekuensi kehadiran 0.6154 dan frekuensi kehadiran relatif 54.3689%, sedangkan Actinopyga echinities merupakan jenis dengan nilai frekuensi kehadiran terendah yaitu 0.0220 dan frekuensi kehadiran relatif yaitu 1.9417% (Tabel 11).
Tabel 10. Frekuensi dan Frekuensi Relatif Teripang di Negeri Porto Jenis
Nilai Frekuensi Kehadiran
Frek.Kehadiran Relatif (%)
Bohadschia marmorata
0.5357
57.6923
Bohadschia sp
0.0234
2.5641
Actinopyga miliaris
0.0893
9.6154
Actinopyga lecanora
0.0417
4.4872
Holothuria edulis
0.1488
16.0256
Holothuria fuscogilva
0.0476
5.1282
Holothuria atra
0.0357
3.8462
Stichopus variagatus
0.0060
0.6410
Jumlah
0.9286
100
Tabel 11. Frekuensi dan Frekuensi Relatif Teripang di Desa Warialau Jenis
Nilai Frek.Kehadiran
Frek.Kehadiran Relatif (%)
Actinopyga miliaris
0.0549
4.8544
Bohadschia marmorata
0.0549
4.8544
Actinopyga echinities
0.0220
1.9417
Holothuria edulis
0.0769
6.7961
Bohadschia sp
0.0549
4.8544
Holothuria scabra
0.6154
54.3689
Thelenota ananas
0.0989
8.7379
Actinopyga lecanora
0.0440
3.8835
Bohadschia argus
0.0769
6.7961
Stichopus chloronotus
0.0330
2.9126
Jumlah
1.1319
100
4.2.4 Habitat Sumberdaya Teripang Penyebaran teripang berdasarkan habitatnya terlihat begitu variasi mulai dari rataan pasir, zona lamun, Zona Algae, Tubir dan Lereng (Tabel 12.) Zona rataan pasir hanya ditemukan 3 jenis yaitu Bohadschia marmorata, Bohadschia sp dan
Actinopyga miliaris. Pada zona ini ketiga jenis harus beradaptasi pada
kondisi kekeringan saat surut terendah. Selanjutnya pada zona lamun dengan jenis yang dominan yaitu Enhalus acioroides dan Thalassia hemprichii ditemukan 4 jenis teripang antara lain, Bohadschia marmorata, Actinopyga miliaris, Holothuria edulis dan Holothuria atra. Keempat jenis teripang yang ada pada zona ini harus dapat beradaptasi ketika air surut terendah, biasanya masih tersisa air setinggi 20 cm. Untuk zona pertumbuhan algae, mempunyai substrat berupa campuran pasir dan pecahan karang. Jenis Algae yang ditemukan teripang yaitu jenis Sargassum sp dan Laminaria sp, sedangkan jenis teripang yang ada pada zona ini adalah Bohadschia sp, Actinopyga miliaris dan
Holothuria edulis.
Selanjutnya pada zona tubir, ditutupi oleh substrat keras berupa pecahan kerang, karang mati dan bongkah karang. Teripang yang ditemukan pada zona ini adalah
Actinopyga lecanora, Bohadschia.marmorata, Bohadschia sp, Holothuria edulis, H.fuscogilva H.atra dan Stichopus variagatus. Untuk zona lereng terumbu, ditumbuhi oleh berbagai koloni karang batu, karang lunak dan spons. Substrat pada zona ini, umumnya berupa substrat keras yang terdiri dari pecahan karang, boulders dan diantara koloni karang masih terdapat pasir karang. Jenis teripang yang ditemukan antara lain, Actinopyga lecanora, Bohadschia.marmorata, Bohadschia sp, Holothuria edulis, H.fuscogilva, dan H.atra. Penyebaran jenis-jenis teripang secara vertikal (per petak pengamatan) di Negeri Porto
terlihat bahwa tiap kuadrat pengamatan secara vertikal,
ditemukan 2-5 jenis teripang dengan jumlah total untuk semua area pengamatan 6-27 jenis (Gambar 8). Dari Gambar 8, terlihat bahwa semakin ke arah laut jenis teripang
semakin
banyak
dan
jumlah
per
jenis
semakin
kecil.
Bohadschia marmorata dan Holothuria edulis merupakan dua jenis yang ditemukan menyebar secara merata pada tiap kuadrat pengamatan, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua jenis ini mempunyai habitat mulai dari perairan dangkal sampai dalam. Bohadschia marmorata, dapat ditemukan pada rataan pasir, zona lamun, tubir dan lereng terumbu, sedangkan Holothuria edulis menyebar mulai dari habitat lamun, algae, tubir dan lereng terumbu. Stichopus variagatus merupakan jenis yang penyebaran secara vertikal sangat terbatas, yaitu hanya pada daerah tubir karang.
Tabel 12. Penyebaran Teripang Berdasarkan Zonasi di Negeri Porto Zonasi
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Teripang Bohadschia marmorata Bohadschia sp Actinopyga miliaris Actinopyga lecanora Holothuria edulis Holothuria fuscogilva Holothuria atra Stichopus variagatus
Rataan Pasir
Zona Lamun
Zona Algae
Tubir
Lereng
Jumlah Individu yang ditemukan (ekor)
25
20 Bohadschia marmorata
15
Bohadschia sp Actinopyga miliaris Actinopyga lecanora
10
Holothuria edulis Holothuria fuscogilva Holothuria atra
5
Stichopus variegates
0 I
II
II I
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
Kuadrat (Jarak Secara Vertikal)
Gambar 8. Jumlah individu dari masing-masing jenis teripang yang ditemukan berdasarkan petak pengamatan (secara vertikal) di Negeri Porto Di Desa Warialau Penyebaran teripang berdasarkan habitat cukup bervariasi yaitu dari rataan pasir, zona lamun, zona algae, tubir dan lereng (Tabel 13). Empat jenis ditemukan pada zonasi rataan pasir, tiga jenis pada zona lamun, lima jenis pada zona algae, sembilan jenis di zonasi tubir serta tujuh jenis di lereng terumbu. Pada zonasi lamun, jenis lamun yang dominan yaitu Thalassia hemprichii, Cymodeocea rotundata dan Enhalus acoroides. Selanjutnya pada zonasi algae, didominasi oleh algae jenis Gracilaria, Sargassum sp dan Laminaria sp. Penyebaran jenis-jenis teripang secara vertikal (per petak pengamatan) di Desa Warialau terlihat bahwa tiap kuadrat pengamatan secara vertikal, ditemukan 1-5 jenis teripang dengan jumlah total untuk semua area pengamatan 3-18 jenis (Gambar 9). Selain itu dari pengamatan secara vertikal dapat dilihat juga bahwa semakin ke arah laut jumlah jenis yang ditemukan semakin banyak dan jumlah untuk setiap jenis semakin rendah. Holothuria scabra merupakan jenis yang daerah penyebarannya cukup luas yaitu mulai dari petak pengamatan pertama sampai kesebelas, hal ini dimungkinkan karena dapat beradaptasi pada habitat yang bervariasi mulai dari rataan pasir, zona lamun, zona algae dan tubir terumbu. Selanjutnya jenis yang penyebarannya sempit yaitu Actinopyga lecanora dan A.echinities, hal ini disebabkan karena adaptasi habitat
tidak terlalu
bervariasi. Actinopyga lecanora mempunyai habitat hanya pada zonasi tubir dan
lereng terumbu dan Actinopyga echinities, habitatnya pada zona algae, hingga tubir dan lereng terumbu.
Tabel 13. Penyebaran Teripang Berdasarkan Zonasi di Desa Warialau Zonasi Jenis Teripang
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Rataan Pasir
Zona Lamun
Zona Algae
Tubir
Lereng
Actinopyga miliaris Actinopyga echinities Bohadschia marmorata Holothuria edulis Bohadschia sp Holothuria scabra Thelenota ananas Actinopyga lecanora Bohadschia argus Stichopus chloronotus
Jumlah Individu yang ditemukan (ekor)
16 14 Actinopyga miliaris
12
Bohadschia marmorata Actinopyga echinities
10
Holothuria edulis Bohadschia sp Holothuria scabra Thelenota ananas Actinopyga lecanora Bohadschia argus
8 6 4 2 0 I
II
III
IV
V
VI
VII VIII IX
X
XI
XII XIII
Stichopus chloronatus
Kuadrat (Jarak Secara Vertikal)
Gambar 9. Jumlah individu dari masing-masing jenis teripang yang ditemukan berdasarkan petak pengamatan (secara vertikal) di Desa Warialau 4.2.5. Faktor-Faktor Lingkungan bagi Pertumbuhan Teripang
1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan Dalam penelitian ini, parameter fisik-kimia perairan yang diukur karena merupakan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan teripang
yaitu suhu permukaan air laut, derajat keasaman, kadar garam, oksigen terlarut, kecerahan dan arus. a. Suhu Dari hasil pengukuran suhu di lapangan terlihat bahwa kisaran suhu untuk Negeri Porto yaitu berkisar antara 27-300C, dengan rerata 28.50C, serta untuk Desa Warialau dengan kisaran 27-300C dengan rerata 28.80C. Menurut Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al, 1997, kisaran suhu untuk persyaratan budidaya teripang yaitu 24-300C dan kedua lokasi memenuhi persyaratan tersebut.
b. Derajat Keasaman (pH) pH perairan untuk Negeri Porto yaitu memiliki nilai kisaran 7.8-8.4 dengan nilai rerata 8.3. Selanjutnya untuk Desa Warialau mempunyai kisaran pH 7.1-7.4 dengan rerata 7.2. Apabila mengacu pada persyaratan budidaya teripang menurut Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al, 1997, dimana nilai pH 6.5-8.5, maka dapat diakatkan untuk persyaratan derajat keasaman (pH) maka kedua lokasi memenuhi syarat.
c. Kadar Garam (Salinitas) Distribusi salinitas di perairan pesisir dan laut juga merupakan salah satu faktor oseanografi yang turut mempengaruhi eksistensi sumberdaya hayati di perairan pesisir dan laut. Data tentang salinitas memberikan justifikasi tentang kondisi kadar garam suatu perairan. Untuk Negeri Porto, kisaran nilai salinitas 30-34 ‰, dengan rerata 32.6‰. Selanjutnya untuk Desa Warialau salinitas berkisar antara 33-35‰ dengan rerata 33.4‰. Menurut Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al, 1997, teripang dapat menyesuaikan diri pada kadar garam (salinitas) 28-33‰. Air laut umumnya mempunyai salinitas antara 33-37 ‰ dan di perairan pantai berkisar antara 32-35 ‰ (DKP, 2004). Dengan mengacu pada persyaratan alami untuk pertumbuhan teripang, maka dapat dinyatakan bahwa kisaran salinitas dari kedua lokasi yang memenuhi persyaratan untuk budidaya teripang.
d. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut (DO) sangat dibutuhkan untuk kehidupan organisme akuatik. Oksigen terlarut dapat berasal dari proses fotosintesa tanaman akuatik, dimana jumlahnya tidak tetap karena tergantung dari jumlah tanamannya dan dari atmosfer atau melalui difusi udara yang masuk ke dalam air dengan jumlah yang terbatas. Konsentrasi DO pada lapisan kolom air permukaan di laut untuk Negeri Porto berkisar 6-8.6, dengan nilai rerata 8.1, sedangkan untuk Desa Warialau 7.2-7.5 serta nilai rerata 7.3. Menurut Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al, 1997 oksigen terlarut untuk budidaya teripang berkisar antara 4-8. Dengan demikian dapat terlihat bahwa kedua lokasi mempunyai nilai DO yang sesuai untuk budidaya teripang.
e. Kecerahan Hasil pengukuran kecerahan untuk dua lokasi yaitu Negeri Porto dan Desa Warialau, menunjukan bahwa tingkat kecerahan kisarannya cukup berbeda, yaitu 16-27 m dengan rerata 21.6 meter untuk Negeri Porto dan 6-16 m dengan rerata 11 m untuk Desa Warialau. Jika disesuaikan dengan persyaratan untuk budidaya teripang menurut Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al, 1997, nilai kecerahan lebih dari 5 meter. Dengan demikian maka kecerahan pada kedua lokasi memenuhi persyaratan untuk budidaya teripang. Di lokasi perairan yang memilki tingkat kecerahan yang tinggi maka penentrasi cahaya matahari kedalam kolom perairan cukup baik sehingga proses fotosintesis tumbuhan akuatik dapat berlangsung dengan baik untuk menghasilkan oksigen, guna menopang kehidupan diperairan.
f. Arus Dari hasil perhitungan kecepatan arus permukaan di Negeri Porto dan Desa Warialau terlihat bahwa keduanya mempunyai nilai yang sama yaitu 0.3 m/s dengan rerata 0.3 m/s. Untuk budidaya teripang kecepatan arus berkisar antara 0.3-0.5 m/s (Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al, 1997). Dengan mengacu pada nilai tersebut, maka untuk Negeri Porto dan Desa Warialau, budidaya
teripang dapat dilakukan karena mempunyai kecepatan arus yang masuk dalam interval pertumbuhan optimal teripang. Dari keenam faktor lingkungan yang diukur diatas terlihat bahwa budidaya teripang untuk kedua lokasi dapat dilaksanakan. Hal tersebut dapat dilihat bahwa semua faktor-faktor utama yang menentukan budidaya teripang menurut Martoyo et al, 2002 dan Wibowo et al, 1997, dapat terpenuhi baik di Negeri Porto maupun Desa Warialau (Tabel 14). Tabel 14. Kelayakan Parameter Lingkungan untuk Budidaya Teripang Parameter Suhu (0C)
Porto Kisaran Rerata
Warialau Kisaran Rerata
Persyaratan Budidaya Martoyo, et al, Wibowo, et al, 2002 1997 24-30 27-30
27-30
28.5
27-30
28.8
7.8-8.4
8.3
7.1-7.4
7.2
6.5-8.5
6.5-8.5
Salinitas (‰)
30-34
32.6
33-35
33.4
28-32
29-33
DO
6-8.6
8.1
7.2-7.5
7.31
4-8
4-8
Kecerahan (m)
16-27
21.6
6-16
11
> 5m
>5m
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3-0.5
0.3-0.5
pH
Arus (m/s)
2. Kondisi Substrat yang sesuai bagi Pertumbuhan Teripang Hasil analisis sedimen pada Negeri Porto dan Desa Warialau, dilakukan pada beberapa lokasi (titik pengamatan) yang mewakili substrat yang dominan yaitu rataan pasir, lamun dan rumput laut (algae), sedangkan untuk tubir dan lereng terumbu, tidak diambil untuk analisa sedimen karena diwakili oleh substrat yang keras. Secara menyeluruh hasil analisis menunjukan bahwa pada kedua lokasi substrat didominasi oleh sedimen berupa pasir kasar atau Coarse Sand (1 mm). Sebaran sedimen berada pada kisaran ukuran pasir
yaitu sebesar 92.07%
di negeri Porto dan 94.11% di desa Warialau. Untuk lokasi penelitian di Porto dominasi pasir kasar berkisar antara 37.72 – 46.53 % (rerata 41.70%), sedangkan lokasi Warialau antara 44.75 – 49.24 % (rerata 47.49%), selanjutnya diikuti oleh pasir sedang pada negeri Porto dengan rerata 31.26% dan Desa Warialau 20.99% (Tabel 15).
Tabel 15. Persentase Rata-Rata Kondisi Sedimen Pada Stasiun Pengamatan Ukuran Butiran (mm) 4
P1
Persentase Sedimen/Stasiun(%) P2 P3 W1 W2
7.40
3.97
12.21
4.02
3.92
4.30
Very Coarse Sand
2
15.44
11.26
17.57
20.68
20.97
22.16
Coarse Sand
1
37.72
40.85
46.53
44.75
49.24
48.48
Medium Sand
0.5
29.30
40.86
23.62
20.69
21.53
20.74
Fine Sand
0.25
6.86
2.98
0.07
0.00
2.67
3.27
Very Fine Sand
0.125
3.05
0.09
0
4.44
1.66
1.06
Silt
0.064
0.22
0
0
5.42
0.01
0
Clay
≤0.038
0
0
0
0
0
0
100
100
100
100
100
100
Butiran
Granules
Total
W3
Keterangan : P= Porto, W=Warialau
4.3 Sebaran Frekuensi Panjang Sumberdaya Teripang Sebaran panjang dari setiap teripang berbeda-beda baik di negeri Porto maupun Desa Warialau. Data sebaran panjang merupakan data panjang setiap jenis teripang yang ditemukan pada setiap kuadrat. Sebaran panjang digunakan untuk membandingkan ukuran tingkat kematangan gonad beberapa jenis teripang yang ditemukan di kedua lokasi penelitian. Keempat jenis teripang yang terwakili dari kedua lokasi merupakan jenis dengan kategori mahal, sedang, murah dan yang memiliki kepadatan tertinggi. Untuk negeri Porto diwakili oleh Bohadschia marmorata, Holothuria fuscogilva, Actinopyga miliaris dan Holothuria atra (Gambar 10, Tabel 16). Di Desa Warialau diwakili oleh Holothuria scabra, Actinopyga echinities, Actinopyga miliaris dan Thelenota ananas (Gambar 11, Tabel 17).
60
Frekuensi (ekor)
50 40 30 20 10 0
0-50
51-100 101-150 151-200 201-250 251-300 301-350 351-400 401-450
Panjang Teripang (mm)
Gambar 10. Sebaran Ukuran Panjang Bohadschia marmorata di Negeri Porto
Tabel 16. Ukuran Panjang dan Frekuensi Beberapa Jenis Teripang di Negeri Porto Jenis Holothuria fuscogilva Actinopyga miliaris Holothuria atra
Ukuran Panjang (mm) 166-248 404 74-90 264-383 183-205 246-270
Frekuensi (ekor) 8 1 13 4 5 2
30
Frekuensi (ekor)
25 20 15 10 5 0 0-50
51-100
101-150
151-200
201-250
251-300
301-350
Panjang Teripang (mm)
Gambar 11. Sebaran Ukuran Panjang Holothuria scabra di Desa Warialau
Tabel 17. Ukuran Panjang dan Frekuensi Beberapa Jenis Teripang di Desa Warialau. Jenis
Ukuran Panjang (mm)
Actinopyga echinities Actinopyga miliaris Thelenota ananas
Frekuensi (ekor) 98-173
2
105-275
5
97-332
11
4.4 Perikanan Teripang Hasil Tangkapan Negeri Porto, yang terletak di pulau Saparua yang merupakan daerah sebaran teripang, telah terjadi penurunan teripang akibat adanya upaya tangkap yang tinggi. Tingginya upaya tangkap ini disebabkan karena adanya kebijakan Pemerintah Negeri yang menerapkan sistem lelang atau kontrak, sehingga menyebabkan pengontrak dapat mengambil sumberdaya yang ada sesuai keinginan dan kemampuannya. Penurunan sumberdaya teripang ini terlihat di tahun 2005. Data hasil tangkapan teripang di negeri Porto, tidak ada pencatatan yang sistematis, namun jika diestimasi secara sederhana untuk data tangkapan teripang tahun 2004-2007 terlihat bahwa terjadi penurunan hasil tangkap setiap tahun berkisar antara 33.33%-50% bahkan jika diamati secara saksama maka dapat dikatakan bahwa hasil tangkapan di tahun 2007 hanya sekitar 10% dari hasil tangkapan tahun 2004 (Gambar 12). Upaya penangkapan terdiri dari dua kelompok nelayan dan masing-masing berjumlah lima orang. Penangkapan biasanya tidak dilakukan pada bulan JuniJuli, karena kondisi laut yang tidak memungkinkan dengan ketinggian gelombang tinggi 3-4 meter dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Selain itu pada bulan Desember juga aktifitas penangkapan sangat rendah bahkan hampir tidak ada karena menjelang perayaan natal serta kondisi laut yang kurang bersahabat juga. Penangkapan teripang oleh para nelayan teripang ini dilakukan dengan cara sederhana yaitu diambil secara langsung dengan tangan dan menggunakan alat penjepit yang terbuat dari bambu bulu dengan panjang 1,5-4 meter, sedangkan mata penjepit terbuat dari besi. Perahu yang digunakan mempunyai ukuran
panjang 4-6 meter dan ada yang menggunakan motor tempel dan ada yang
Hasil Tangkapan (kg kering)
menggunakan kekuatan nelayan dalam mendayung. 1200 1100 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 12. Hasil Tangkapan Teripang di Negeri Porto Tahun 2004-2007 Operasi penangkapan dilakukan biasanya pada saat air laut mulai surut, baik pada pagi maupun malam hari, dengan lama operasi 4-6 jam. Untuk operasi malam hari digunakan lampu petromak sebagai alat penerangan. Teripang ditangkap dengan menggunakan alat penjepit, namun posisi nelayan tetap diatas perahu. Ketajaman penglihatan sangat diperlukan pada saat operasi malam hari. Karena biasanya teripang akan bersembunyi di bawah substrat tempat hidupnya atau bersembunyi disekitar batu karang. Untuk perairan dangkal, langsung ditangkap dengan tangan. Operasi tangkapan akan berhenti bila hasil tangkapan dirasakan cukup banyak, air mulai pasang atau keadaan cuaca yang tidak memungkinkan seperti hujan, ombak yang tidak memungkinkan lagi untuk aktivitas penangkapan. Untuk Desa Warialau, tidak ada pencatatan hasil tangkapan teripang, hal ini disebabkan karena pelaksanaan waktu tutup dan buka sasi, tidak secara teratur, namun bisa mencapai 3-5 tahun sekali serta didasarkan pada kesepakatan bersama antara masyarakat dengan pemerintah desa. Hasil tangkapan teripang tahun 2006, pada saat buka sasi yaitu sebanyak 4.800 kg. Jumlah hasil tangkapan ini didasarkan pada perhitungan dengan estimasi sederhana, yang didasarkan dengan waktu buka sasi 2 minggu (12 hari, karena hari minggu dilarang beraktifitas)
masing-masing penduduk usia dewasa diberi kesempatan mengambil teripang sebanyak 1 bakul (± 1 kg kering), jumlah penduduk dewasa sekitar 400 orang (umumnya semua penduduk akan berkumpul ketika acara buka sasi). Aturan yang sama tetap diberlakukan, sehingga diperkirakan jumlah tangkapan tidak berbeda jauh setiap waktu buka sasi, yang kadang mengalami perubahan yaitu jumlah penduduk yang terlibat dalam proses penangkapan teripang.
Nilai Jual Teripang Hasil tangkapan teripang yang dihasilkan di Pulau Saparua termasuk didalamnya Negeri Porto, biasanya dijual ke pedagang pengumpul di Saparua maupun dijual langsung ke Kota Ambon. Teripang merupakan sumberdaya yang sangat diminati sehingga permintaan terhadap sumberdaya ini cukup tinggi baik jenis yang termasuk kategori tinggi, sedang maupun mahal. Untuk hasil tangkapn teripang yang ada di Provinsi Maluku (contohnya Kota Ambon dan Dobo) umumnya diekspor ke Surabaya, namun harga teripang di Kota Ambon lebih rendah (Gambar 13). Dari Gambar 13 terlihat bahwa, harga teripang tertinggi untuk kategori besar (ukuran 15-20 cm yang mencapai berat 1 kg) yaitu jenis Actinopyga lecanora dengan harga Rp.200.000, sedangkan harga terendah untuk
Nilai Jual (Rp/kg kering)
ukuran kecil yaitu Rp.20.000. Besar
250,000
Sedang
200,000
Kecil
150,000 100,000 50,000 or
a at
i li
is ar
d ae
is ul
ia ch ds a h
sp
no ca le
ra
m am ri ar yg ga m hu p t o ri a a py o o i B l o n h i hu o c n t t i s H t lo d Ac Ac ha Ho Bo Jenis Teripang
lv gi co s fu
a t lo Ho
hu
ri a St
ra at
u op ich
s
us at g a ri va
Gambar 13. Nilai Jual Sumberdaya Teripang di Kota Ambon Harga teripang yang tertinggi untuk Provinsi Maluku, yaitu di Kepulauan Aru khususnya di Dobo. Meskipun harga juga bervariasi berdasarkan ukuran, namun Holothuria scabra merupakan jenis yang mempunyai nilai jual tertinggi
yang mencapai harga Rp.750.000 untuk ukuran besar, sedangkan ukuran sedang Rp.600.000 dan ukuran kecil Rp.500.000. Jenis dengan nilai jual terendah yaitu Bohadschia argus dan Stichopus chloronatus yaitu dengan nilai jual untuk ukuran
Nilai Jual (Rp/kg kering)
besar Rp.100.000, sedangkan ukuran kecil Rp.25.000 (Gambar 14). Besar
800,000 700,000 600,000 500,000 400,000 300,000 200,000 100,000 -
r hu ot l Ho
i
Sedang Kecil
br ca as Ac
a
y op tin
m ga
i li
t Ac
is ar
o in
e ga py
in ch
e iti
s
t lo Ho
r hu
i
d ae
is ul Bo
ia ch ds a h t Ac
Jenis Teripang
sp
in
y op
ga
no ca le
Bo
ra
ia ch ds a h
m ar m
or
a at
Th
ot en el
a
as an n a Bo
ia ch ds a h ic St
s gu ar p ho
l ch us
or
u at on
s
Gambar 14. Nilai Jual Sumberdaya Teripang di Dobo, Kepulauan Aru Dari Gambar 13 dan Gambar 14, terlihat bahwa teripang yang ada Negeri Porto merupakan teripang dengan kategori sedang sampai murah dan teripang yang bernilai tinggi atau mahal sudah sulit ditemukan dan juga jumlah teripang yang ada mulai menurun, hal ini cukup berbeda jika dibandingkan dengan teripang di desa Warialau. Setiap jenis teripang yang mempunyai nilai ekonomis, mempunyai harga jual berbeda-beda sesuai dengan ukurannya yaitu besar, sedang dan kecil. Biasanya penentuan kategori ukuran didasarkan pada ukuran (cm) yang mencapai berat 1 kg kering ataupun jumlah individu teripang yang mencapai berat 1 kg kering (Tabel 18). Tabel 18. Kategori Ukuran Beberapa Jenis Teripang Jenis Teripang Holothuria scabra Bohadschia marmorata Bohadschia sp Stichopus variagatus Holothuria atra Holothuria edulis Actinopyga lecanora Holothuria fuscogilva
Ukuran (1kg kering) Besar Sedang 3 ekor 4 ekor 20 cm 15 cm 20 cm 15 cm 15-20 cm Tidak ada ukuran sedang Hanya ada satu ukuran saja Hanya ada satu ukuran saja 15 cm 12 cm 15 cm 12 cm
Kecil 6 ekor 5 cm 5 cm 2cm
7 cm 7 cm
4.5 Kondisi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan 4.5.1. Sosial Ekonomi Pada umumnya masyarakat Negeri Porto mempunyai mata pencaharian yang bervariasi yang dimulai dengan petani pemilik lahan dengan persentase tetinggi serta disusul dengan PNS, Pensiunan, Pedagang, Nelayan, dan lainnya. Dari pekerjaan yang bervariasi maka cukup juga mempengaruhi pendapatan mereka. Tingkat pendapatan masyarakat Porto bervariasi yaitu antara kurang dari Rp.250.000-lebih dari Rp.1.000.000 per bulan (Tabel 19). Dari Tabel 19, terlihat bahwa besar pendapatan tertinggi masyarakat negeri Porto yaitu pada selang Rp.400.000-Rp.499.000 (34.29%), sedangkan yang terendah yaitu pada besar pendapatan kurang dari Rp.250.000 (5.43%). Jika kisaran besar pendapatan diperkecil, maka dapat dijelaskan bahwa kisaran pendapatan kurang dari Rp.500.000 sebesar 58.57%, sedangkan besar pendapatan lebih dari sama dengan Rp.500.000 yaitu sebesar 41.43%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setengah dari penduduk bekerja pendapatannya dibawah Rp.500.000 dan hampir sebagian penduduk lainnya pendapatannya lebih dari Rp.500.000 atau pendapatan yang kurang dari sama dengan Rp.1.000.000 sebanyak 84.29%, sedangkan pendapatan lebih dari Rp.1.000.000 sebanyak 15.71%. Untuk nelayan teripang di negeri Porto, jika diestimasi pendapatannya secara sederhana, dari hasil tangkapan pada tahun 2007 sebanyak 180 kg kering dan nilai jual teripang ukuran besar ratarata berkisar Rp.200.000-Rp.300.000/kg kering, dengan jumlah nelayan teripang 10 orang, maka pendapatan bisa mencapai Rp. 300.000/bulan. Tabel 19. Besar Pendapatan Masyarakat di Negeri Porto dan Desa Warialau Besar Pendapatan (Bln) < Rp.250.000 Rp.250.000-Rp.299.000 Rp.300.000-Rp.399.000 Rp.400.000-Rp.499.000 Rp.500.000-Rp.1.000.000 >Rp.1.000.000 Jumlah
Negeri Porto Jiwa (%) 19 5.43 25 7.14 41 11.71 120 34.29 90 25.71 55 15.71 350 100
Desa Warialau Jiwa (%) 45 21.03 80 37.38 34 15.89 27 12.62 18 8.41 10 4.67 214 100
Untuk Desa Warialau, kisaran pendapatan tertinggi yaitu pada kisaran Rp.250.000-Rp.299.000 (37.38%). Lebih singkat, dapat dijelaskan bahwa kisaran pendapatan kurang dari Rp.500.000 sebesar 86.92%, sedangkan besar pendapatan sedangkan besar pendapatan lebih dari sama dengan Rp.500.000 yaitu sebesar 13.08%. Dengan demikian terlihat bahwa besar pendapatan penduduk bekerja di Desa Warialau sangat rendah. Jika diestimasi pendapatan penduduk desa Warialau pada saat buka sasi, dengan jumlah tangkapan 4.800 kg kering dan harga rata-rata Rp.750.000/kg, dengan jumlah penduduk ± 400 orang, maka besar pendapatan yaitu Rp.750.000/bulan. Dalam kenyataannya pendapatan yang ada, tidak menjadi sumber pendapatan utama, karena tidak setiap tahun dilakukan penangkapan karena sedang “tutup sasi”. Tingginya pendapatan penduduk pada saat “buka sasi” karena jenis yang ditemukan termasuk kategori mahal maupun sedang serta dalam jumlah dan ukuran yang besar.
4.5.2. Kelembagaan Negeri Porto Pada rezim otonomi daerah yang dimulai setelah diterapkannya UU nomor 22 Tahun 1999, sistem pemerintahan desa mengalami perubahan yaitu dikembalikan menjadi sistem pemerintahan negeri. Nama wilayah administratif berubah dari desa menjadi negeri demikian pula organisasi pemerintahannya. Adapun struktur pemerintahan negeri pada rezim otonomi daerah pada Negeri Porto (Gambar 21). Sistem pemerintahan desa pada rezim otonomi daerah memberikan kemungkinan perubahan struktur dan penyelenggaraan desa ke depan sangat mungkin sesuai dengan aspirasi dan karakteristik lokal, dimana sistem pemerintahan desa dikembalikan pada sistem pemerintahan negeri. Supardal et al, (2005) mengatakan
bahwa UU
No.22 Tahun 1999 dimungkinkan adanya
perbedaan menyangkut nama kelembagaan desa yang ada. Dengan demikian nilainilai lokal, tradisi, adat istiadat dimunculkan kembali selama masyarakat menganggap akan mendukung efektivitas dan efisiensi pemerintahan dan pembangunan desa. Dengan diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004, maka semangat dan keinginan masyarakat untuk memberlakukan
sistem adat dapat terakomodasi. Pada rezim otonomi daerah dimana pelakasanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yaitu pada Raja dan Kewang diharapkan dapat berjalan dengan baik. Raja BPD Sekretaris
Kaur Pemerintahan
Kep Soa Sahertian
Kep Soa Tetelepta
Kep Soa Polnaya
Kaur Pembangunan
Kep Soa Wattimury
Kep Soa Latuihamallo
Kaur Umum
Kep Soa Aponno
Masyarakat
Gambar 15. Struktur Pemerintahan di Negeri Porto
Desa Warialau Desa Warialau masih menganut sistem pemerintahan desentralisasi, dimana Kepala Desa merupakan pemimpin tertinggi dalam desa (Gambar 22). Meskipun telah terjadi perubahan sistem pemerintahan menjadi otonomisasi, namun dalam kenyataannya Desa Warialau masih menganut sistem yang lama. Keunikan
dari
model
pemerintahan
di
Desa
Warialau
yaitu
masih
mempertahankan adat istiadat dengan sangat teguh meskipun menganut sistem desentralisasi.Struktur organisasi pemerintahan
desa terdiri dari kepala desa,
sekretaris desa, Badan Perwakilan Desa, Kepala-kepala urusan dan kepala dusun. Setiap unit organisasi mempunyai tugas pokok dan fungsi masing-masing yang berbeda. Kepala desa merupakan penguasa tunggal di desa baik pada struktur pemerintahan desa tetapi juga pada organisasi sosial kemasyarakatan di desa.
Kepala Desa BPD Sekretaris
Kaur Pemerintahan
Kepala Dusun
Kepala Dusun
Kaur Pembangunan
Kepala Dusun
Kaur Umum
Kepala Dusun
Masyarakat
Keterangan :
Garis Komando Garis Koordinasi
Gambar 16. Struktur Pemerintahan di Desa Warialau
Kepala Dusun
V. PEMBAHASAN
5.1. Potensi dan Kondisi Sumberdaya Teripang 5.1.1. Potensi Sumberdaya Teripang Tingginya spesies Bohadschia marmorata karena penyebarannya cukup luas yaitu pada habitat karang, berpasir yang relatif kasar juga pada daerah berlamun. Menonjolnya spesies ini karena ditemukan setengah dari jumlah petak pengamatan. Hal ini diperkuat oleh pendapat dari Odum (1971), yang menyatakan bahwa suatu perairan biasanya terdapat banyak jenis organisme tetapi hanya ada beberapa jenis saja yang menonjol. Tingginya jenis Bohadschia marmorata juga disebabkan karena termasuk dalam kategori rendah dan relatif murah dan sulit dalam penangannya, sehingga intensitas penangkapan belum menjadi target utama, jika dibandingkan dengan jenis yang termasuk dalam kategori mahal dan sedang. Penyebab lain tingginya Bohadschia marmorata juga disebabkan karena jenis-jenis dengan kategori mahal (utama) seperti Holothuria scabra dan Thelenota ananas sudah sulit ditemukan, sehingga jenis-jenis kategori murah semakin mendominasi dalam komunitas teripang di negeri Porto. Secara keseluruhan kepadatan teripang di Negeri Porto yang terdiri dari 8 jenis yaitu 0,051 ind/m2. Rendahnya kepadatan teripang disebabkan karena pada tahun 2005, adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Negeri/Desa setempat untuk melakukan sistem lelang (kontrak) daerah pasang surut kepada nelayan teripang dari Madura. Dalam melakukan upaya penangkapan nelayannelayan tersebut menyelam dengan menggunakan kompresor sehingga dapat memudahkan
dalam
proses
pengambilan
teripang
pada
semua
daerah
penangkapan teripang dengan jumlah yang teripang yang tinggi dan berbagai ukuran untuk semua jenis. Dengan kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat, maka selanjutnya masyarakat tidak menerapkan aturan sasi lagi, namun upaya penangkapan dilakukan secara terus menerus untuk mendapat hasil tangkapan teripang, hal ini juga didukung karena permintaan teripang semakin meningkat dengan harga yang semakin tinggi. Akibat tingginya upaya penangkapan tersebut, maka dari hasil penelitian terlihat bahwa jumlah teripang
dengan
kategori
tinggi
dan
mahal
hanya
ada
satu
jenis
yaitu
Holothuria fuscogilva, sedangkan ketujuh jenis lainnya termasuk kategori sedang dan rendah (murah). Penurunan jumlah jenis juga terjadi dari 15 jenis menjadi 8 jenis (Anonimous, 2005). Dari nilai frekuensi kehadiran tertinggi diwakili oleh Bohadschia marmorata, hal ini disebabkan karena Bohadschia marmorata mempunyai kemampuan beradaptasi yang tinggi baik terhadap faktor biologi dan fisik dari lingkungan habitat dimana spesies ini hidup. Dengan demikian terlihat bahwa jenis ini mempunyai penyebaran yang luas serta dapat beradaptasi dengan semua habitat, sehingga dalam pengelolaannya tidak memerlukan perlakuan yang khusus. Untuk keenam jenis teripang lainnya terlihat bahwa nilai frekuensi kehadiran relatifnya kurang dari 10 persen dan hal itu juga turut mempengaruhi nilai kepadatan dari spesies-spesies ini. Tingginya Holothuria scabra diduga karena dapat mendiami habitat karang mati/hidup serta perairan dengan substratnya pasir sampai pasir halus maupun yang ditumbuhi lamun. Holothuria scabra merupakan jenis teripang yang termasuk kategori utama, yang relatif mahal dan di lokasi yang lain sudah sulit ditemukan, sedangkan masih ditemukan pada lokasi ini. Selain itu masih ada juga jenis yang termasuk kategori utama dan relatif mahal yaitu Thelenota ananas, sehingga dapat dinilai bahwa pelaksanaan sasi masih berjalan dengan baik dan sangat mendukung upaya pelestarian. Hal itu juga diduga karena pelaksanaan sasi yang cukup lama 3-5 tahun, dimana dapat memberikan peluang untuk teripang melakukan beberapa kali pemijahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan James et al (1994), bahwa Holothuria scabra mempunyai panjang maksimal 400 mm dan bobot dalam kondisi hidup 500 gram. Dalam 18 bulan, jenis ini mencapai kematangan gonad seksual dan mempunyai kemampuan hidup diperkirakan selama sepuluh tahun. Kepadatan 10 jenis teripang di Desa Warialau yaitu sebesar 1,539 ind/m2. Dari kedua nilai kepadatan ini terlihat bahwa nilai kepadatan sumberdaya teripang di desa Warialau sangat tinggi, karena adanya kemampuan bersaing dalam menempati habitat. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Kekenusa (1994), bahwa kecil atau rendahnya nilai kepadatan mungkin disebabkan oleh kurangnya
kemampuan bersaing dalam menempati habitat. Selain itu disebabkan pula oleh adanya pengelolaan berbasis sasi, yang didukung oleh peraturan-peraturan adat yang sangat ketat serta diawasi oleh seluruh masyarakat. Peraturan-peraturan sasi di Desa Warialau, sudah mencakup waktu pengambilan teripang 2 minggu (12 hari) setiap 3-5 tahun dan hanya dilakukan pada malam hari dan tidak boleh melakukan penyelaman, jumlah tangkapan yang diperbolehkan 1 bakul (± 1 kg kering) teripang per hari, ukuran yang diambil hanya yang berukuran besar dan alat yang diijinkan yang masih termasuk tradisional. Romimohtarto (1999) mengatakan bahwa suatu individu mempunyai nilai kepadatan yang tinggi, umumnya karena habitat yang cocok dengannya sehingga jumlah individu yang diperoleh pada saat pengambilan sampel akan besar. Sehubungan dengan hal di atas, jenis substrat dasar perairan juga mempengaruhi keberadaan dari suatu jenis biota laut untuk dapat hidup pada atau di dalam dasar laut. Namun demikian faktor habitat bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan tinggi atau rendahnya suatu nilai kepadatan dari suatu spesies, karena faktor lain juga turut pula mempengaruhi keberadaan spesies tersebut seperti ketersediaan makanan, interaksi antar spesies dan kehadiran predator (Nybakken, 1988). Kepadatan populasi teripang yang menurun dan akan berada dibawah “normal” akan berpengaruh terhadap kemungkinan gagalnya fertilisasi. Hal ini disebabkan karena teripang berkelamin terpisah, memijah dalam air (laut) dan fertilisasi terjadi dalam kolom air. Teripang mempunyai karakter mobilitas rendah dan kemungkinan ruang hidupnya sempit. Oleh karena itu untuk suksesnya fertilisasi, populasi teripang harus dalam jumlah tertentu. Nilai frekuensi kehadiran tertinggi diwakili oleh Holothuria scabra, hal ini disebabkan karena Holothuria scabra mempunyai kemampuan beradaptasi yang tinggi baik terhadap faktor biologi dan fisik dari lingkungan habitat dimana spesies ini hidup. Dengan demikian terlihat bahwa jenis ini mempunyai penyebaran yang luas serta dapat beradaptasi dengan semua habitat, sehingga dalam pengelolaannya tidak memerlukan perlakuan yang khusus. Dari kedua lokasi ini terlihat baik di Negeri Porto maupun Desa Warialau, meskipun jumlah jenis berbeda dimana Desa Warialau memiliki jenis yang lebih banyak, namun sumberdaya teripang yang ada di kedua lokasi ini tergolong dalam
satu ordo yaitu Aspidochirotida Hal ini sesuai dengan apa yang dipresentasikan oleh Bakus (1973) bahwa ordo Aspidochirotida adalah hewan yang merupakan karakteristik perairan tropis yang jernih dimana umumnya dijumpai pada daerah terumbu karang, pantai berbatu, pasir atau pasir campuran lumpur (Nontji,1987). Selanjutnya Hyman (1955) mengatakan bahwa di daerah Indo-Pasific Bagian barat merupakan daerah yang terkaya akan teripang dari genus Holothuria, Stichopus dan Actinopyga. Tingginya nilai frekuensi kehadiran yang ada di Negeri Porto yaitu Bohadschia marmorata dan Holothuria scabra di Desa Warialau karena mempunyai kemampuan beradaptasi yang luas. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Budiman dan Darnaedi (1982) bahwa spesies-spesies yang mampu bergerak dan mudah menyesuaikan diri dan memiliki kemampuan toleransi yang luas umumnya memiliki frekuensi kehadiran yang tinggi. Pendapat diatas juga didukung oleh Nybakken (1988) yang menyatakan bahwa kehadiran komunitas bentik sangat berkaitan dengan kemampuannya untuk beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan dimana dia hidup. Dari kelima variasi habitat yang ada, baik di Negeri Porto maupun Desa Warialau dapat dijelaskan bahwa zona tubir dan lereng terumbu diminati oleh banyak jenis teripang, kemudian diikuti oleh zona lamun dan algae. Hal ini disebabkan karena teripang membutuhkan habitat yang dapat memberikan perlindungan dari cahaya matahari. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Hyman (1955) yang mengemukakan bahwa teripang peka terhadap sinar matahari, sehingga teripang lebih banyak yang bersifat fototaksis negatif. Selain itu pada zonasi algae dan lamun, maka kebutuhan akan makanan bagi teripang tersedia. Untuk zonasi rataan pasir, jenis teripang yang ditemukan lebih sedikit jika dibandingkan dengan ketiga zona diatas, karena jenis-jenis teripang yang ada pada zonasi ini harus mempunyai kemampuan adaptasi yang khusus untuk menghindari cahaya matahari. Contohnya pada Holothuria scabra yang beradaptasi dengan cara membenamkan diri dalam pasir, sedangkan Bohadschia marmorata dan Holothuria atra dengan cara menempeli tubuhnya dengan butiran pasir halus. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Bakus (1973), bahwa butiran pasir yang
menempel pada tubuh Holothuria atra memantulkan cahaya matahari dan membuat suhu tubuhnya lebih rendah.
5.1.2. Sebaran Frekuensi Panjang dan Hasil Tangkapan Teripang Sebaran Frekuensi Panjang Dari hasil sebaran panjang pada Gambar 10, terlihat bahwa Bohadschia marmorata yang merupakan jenis dengan kepadatan tertinggi memiliki sebaran panjang dengan jumlah yang semakin meningkat dari ukuran 51-200 mm dan kemudian mengalami penurunan sampai pada ukuran 450 mm dengan frekuensi 1 individu. Hal ini terlihat bahwa jumlah individu yang ada merupakan jumlah dengan ukuran yang masih muda dan yang patut disesali bahwa meskipun jenis ini termasuk kategori murah dan sulit dalam penangannya namun ukuran yang besar (351-450 mm) mulai sulit ditemukan. Hal ini tentu saja menunjukan bahwa jenis ini mulai ditangkap oleh nelayan teripang untuk dijual kepada pedagang pengumpul. Jika dibandingkan ukuran panjang tubuh maksimum, maka Bohadschia marmorata memiliki kesamaan dengan Holothuria fuscogilva, Actinopyga miliaris dengan demikian dapat dikatakan keduanya memiliki kecepatan tumbuh yang sama sehingga tingkat kematangan gonad juga akan sama yaitu 320 mm. Dari ukuran panjang yang ada maka terlihat bahwa penangkapan dilakukan sebelum masa memijah. Dengan demikian perlu dilakukan pembatasan dalam hal jumlah tangkapan, ukuran yang diperbolehkan, dan waktu tangkapan. Selanjutnya pada Tabel 16, Holothuria fuscogilva, jenis Holothuria fuscogilva, dan Holothuria atra terlihat memiliki sebaran frekuensi panjang yang berbeda. Holothuria fuscogilva yang termasuk kategori mahal, terlihat bahwa ukuran sebaran panjang dengan frekuensi tertinggi ditemukan pada ukuran 166-248 mm, kemudian ditemukan satu individu ukuran 404 mm. Tentunya hal ini masuk akal karena jenis ini merupakan jenis dengan kategori mahal, sehingga upaya tangkap untuk ukuran besar sangat tinggi. Namun, permasalahannya bahwa ukuran tingkat kematangan gonad pertama dari Holothuria fuscogilva yaitu pada ukuran 320 mm. Hal tersebut tentu saja dapat memberikan gambaran bahwa kedepan jenis ini akan musnah, jika waktu sasi tidak diperpanjang dan penerapan sanksi bagi nelayan teripang harus dilaksanakan, sehingga teripang ukuran
panjang 166-248 mm dibiarkan tumbuh dan memijah dan ketersediaan stok dapat terlaksana akibat adanya rekruitmen. Untuk jenis Actinopyga miliaris, frekuensi tertinggi yaitu pada sebaran panjang 74-90 mm, kemudian ditemukan pada ukuran 264-383 mm. Dengan demikian terlihat bahwa karena jenis ini termasuk dalam nilai jual dengan kategori sedang, maka diambil segala ukuran yang laku dijual dan kemungkinan tangkapan terbesar pada ukuran 91-383 mm. Untuk Actinopyga miliaris belum ada kajian mendalam tentang tingkat kematangan gonad dari jenis ini, namun diketahui bahwa laju pertumbuhan jenis ini yaitu 1 cm dan 5 gram per bulan. Dengan demikian diharapkan agar adanya penutupan waktu sasi yang lebih lama sehingga ukuran yang masih ada dapat mencapai ukuran individu yang sudah sulit bahkan tidak ada lagi yang mungkin saja merupakan ukuran matang dan gonad serta memberikan peluang bertambahnya individu jenis ini dalam populasi teripang. Hal yang tidak berbeda jauh terlihat juga pada jenis Holothuria atra dimana pada ukuran panjang 183-205 mm, kemudian muncul lagi pada ukuran 246-270 mm. Dengan demikian terlihat bahwa meskipun termasuk kategori murah, namun jenis ini juga mulai ditangkap. Dari keempat jenis yang terwakili dari jenis dengan kepadatan tertinggi, dan yang termasuk kategori mahal, sedang, murah (rendah) terlihat bahwa telah dilakukan upaya tangkap dengan berbagai ukuran. Hal ini dapat dikatakan demikian karena meskipun dalam pengambilan contoh semua jenis dengan sebaran panjang yang bervariasi ditemukan, namun semua jenis juga dijual ke pedagang pengumpul setelah melalui proses pengolahan untuk mendapatkan teripang yang dijual kering sesuai standar pedagang pengumpul. Dengan demikian untuk negeri Porto dengan kepadatan teripang yang semakin menurun perlu merevisi aturan sasi kembali dengan penutupan waktu penangkapan (tutup sasi) yang diperpanjang, pengaturan ukuran teripang yang boleh ditangkap, serta jumlah yang dapat diambil, sehingga dapat menyebabkan adanya pertumbuhan dan rekruitmen serta menghindari hilangnya suatu plasma nuftah. Selain itu sistem lelang (kontrak) perlu dihindari sehingga tidak menyebabkan terjadinya
penurunan sumberdaya serta kegiatan yang bersifat destruktif akibat kekecewaan dan ketidakpuasan masyarakat. Gambar 11, menunjukan Sebaran ukuran panjang Holothuria scabra begitu merata mulai dari ukuran 51-250 mm dan memuncak pada ukuran 151-200 mm. Tingkat kematangan gonad pertama untuk jenis ini yaitu ukuran 160 mm, dengan demikian dapat dikemukakan bahwa ketersediaan stok dari jenis ini sudah cukup tinggi dan memberikan peluang adanya pertumbuhan dan rekruitmen. Untuk ukuran panjang 251-350 mm terjadinya penurunan jumlah individu, hal ini mungkin berkaitan dengan adanya waktu buka sasi pada tahun 2006, dimana jenis-jenis dengan ukuran besar sudah diijinkan untuk ditangkap, sehingga dalam selang waktu 2 tahun, ukuran panjang yang dewasa masih dalam jumlah yang agak menurun. Tabel 17 memperlihatkan sebaran frekuensi panjang dari Actinopyga echinities, Actinopyga miliaris dan Thelenota ananas. Actinopyga echinities ditemukan dua jenis dalam penelitian, hal ini mungkin disebabkan karena daerah sebaran dari jenis ini terbanyak pada habitat algae dan terumbu karang, sedangkan pada saat penelitian tidak diijinkan untuk melakukan penyelaman di daerah karang. Jenis ini meskipun termasuk dalam kategori sedang, namun terlihat bahwa sebaran panjang cukup baik karena memiliki frekuensi yang sama pada ukuran 98-173 mm. Tingkat kematangan gonad dari jenis ini yaitu pada ukuran panjang 120 mm dan tentu saja dapat terlihat bahwa dengan adanya individu pada ukuran tersebut maka memberikan peluang adanya penambahan individu baru dan hal ini cukup didukung dengan pelaksanaan sasi yang sampai saat ini masih dalam status waktu “tutup sasi.” Actinopyga miliaris merupakan jenis dengan kategori murah, namun sebaran panjangnya cukup merata yaitu pada ukuran 105-275 mm. Dari segi ukuran terlihat bahwa di Negeri Porto ukurannya berkisar dari 74-383 mm. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di Desa Warialau Actinopyga miliaris dengan ukuran kurang dari 105 mm dan lebih dari 275 mm tidak ditemukan, hal ini mungkin disebabkan karena belum adanya rekruitmen untuk ukuran muda dan dewasa. Untuk tingkat kematangan gonad dari jenis ini belum ada kajian ilmiah, jadi diharapkan agar penentuan waktu tutup sasi tetap dipertahankan oleh
pemerintah negeri setempat, sehingga memberikan peluang adanya rekruitmen pada kedua ukuran yang belum ditemukan di Desa Warialau. Thelenota ananas merupakan jenis kedua kategori mahal yang ditemukan di Desa Warialau. Dari frekuensi sebaran panjang terlihat bahwa ukuran 97-332 mm. Tingkat kematangan gonad pertama yaitu ukuran 300 mm dan telah terjadi upaya tangkap pada ukuran tersebut. Dengan demikian perlu dilakukan perlindungan dengan pengaturan ukuran yang bisa ditangkap. Dari frekuensi sebaran panjang terlihat bahwa jumlah teripang dengan sebaran ukuran panjang
yang ada menggambarkan bahwa ketersediaan stok
teripang masih sangat baik karena teripang dengan kategori belum matang bahkan matang untuk memijah masih ditemukan dan tidak ada upaya tangkap karena masih ada dalam status “tutup sasi.” Ketersediaan stok yang ada tentu saja didukung oleh penerapan aturan sasi di lokasi ini sangat baik dari segi penentuan waktu tangkap, ukuran yang dapat diambil serta jumlah tangkapan yang diperbolehkan, selain itu adanya dukungan masyarakat yang tinggi untuk upaya pengelolaan dengan ketersediaan teripang yang terus menerus yang dapat memberikan manfaat bagi perairan maupun masyarakat.
Hasil Tangkapan Teripang Hasil tangkapan teripang di Negeri Porto, hal ini menunjukan bahwa laju penangkapan
telah melebihi laju pertumbuhan sumberdaya itu sendiri. Batas
pertumbuhan ini ditentukan oleh ukuran populasi saat ini dan lingkungan tempat stok itu berada. Dalam mempertahankan suatu stok pada tingkat produktif diperlukan suatu jumlah yang cukup dari pemijah yaitu hewan dewasa yang matang reproduktif, dan lingkungan yang sangat cocok agar setiap tahap dalam daur hidupnya dapat dilewati dengan baik. Akan tetapi, akibat dari variabilitas lingkungan, pertumbuhan suatu stok dari tahun ke tahun biasanya sangat bervariasi. Dari data sebaran panjang di negeri Porto juga terlihat bahwa upaya tangkapan dilakukan tanpa memperhatikan ukuran matang gonad, sehingga individu dewasa yang siap memijah juga ikut tertangkap, hal ini tentu saja akan berdampak terhadap ketersediaan stok teripang. Ketidakpedulian terhadap hal ini
akan berakibat stok sumberdaya tersebut akan menipis dengan berjalannya waktu dan menjurus ke hasil tangkapan yang lebih rendah dibandingkan hasil tangkapan dan keuntungan ekonomi rata-rata yang optimal. Jika tidak segera diambil langkah perbaikan, risiko kehancuran biologi dan pemborosan ekonomi akan meningkat hingga ke suatu tingkat yang dapat mengakibatkan berakhirnya
aktivitas
perikanan di wilayah tersebut, mulai dari aktivitas penangkapan sampai pemasaran dan perdagangan. Dengan demikian akan berdampak terhadap ketersediaan
sumberdaya
teripang
secara
terus-menerus,
peningkatan
kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan, dan peluang kerja yang semakin berkurang. Dalam upaya menjaga ketersediaan stok teripang, maka diatur mortalitas akibat penangkapan yaitu 25-50% dari potensi yang ada. Untuk Negeri Porto potensi teripang sebesar 12.240 individu. Dengan demikian hasil tangkapan yang diijinkan yaitu ± 3060-6120 individu per tahun. Dari hasil tangkapan nelayan teripang yang masih bersifat tradisonal terlihat bahwa hasil tangkapan masih ada dalam batas yang diijinkan yaitu ± 3870 ekor/tahun (10-20 kg kering). Hasil tangkapan teripang di Desa Warialau, tidak tercatat karena hal ini disebabkan karena pelaksanaan waktu tutup dan buka sasi, tidak secara teratur, namun bisa mencapai 3-5 tahun, namun cenderung tidak terjadi penurunan hasil tangkapan karena dibatasi dengan aturan-aturan sasi yang jelas seperti waktu tangkapan selama 12 minggu (12 hari) hanya pada siang hari setiap 3-5 tahun, jumlah tangkapan yang diperbolehkan 1 bakul (± 1 kg kering) per hari, serta alat yang digunakan khusus untuk yang masih bersifat tradisional serta dilarang menyelam. Dengan demikian jika pengelolaan teripang dilakukan dengan tepat maka akan memiliki manfaat yang terus-menerus karena ketersediaan teripang yang terus menerus pula.
5.2. Faktor-Faktor Lingkungan bagi Pertumbuhan Teripang 5.2.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan Dalam upaya pelestarian teripang melalui upaya budidaya maupun pengayaan stok di Negeri Porto maupun Desa Warialau, maka faktor-faktor lingkungan cukup berperan yaitu suhu, pH, salinitas, DO, Kecerahan dan Arus.
Dari hasil pengukuran di lapangan terlihat bahwa kedua lokasi ini memenuhi kriteria budidaya Menurut Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al, 1997.
a. Suhu Dari data hasil pengukuran suhu (Lampiran 2), terlihat bahwa suhu tertinggi pada saat pukul 12.00, dimana intensitas penyinaran matahari sangat tinggi, sedangkan untuk pengukuran malam hari pukul 24.00, suhu yang ada masih memenuhi standar untuk budidaya yaitu 27-29oC. Suhu merupakan parameter fisika yang memegang peranan penting di dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup sumberdaya
akuatik, hal ini disebabkan karena suhu
berpengaruh langsung terhadap proses fotosintesa tumbuhan akuatik, proses metabolisme dan siklus reproduksi. Kenaikan suhu air sebesar 10oC akan menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen hewan akuatik menjadi dua kali lipat (Wardojo, 1975). Selain itu peningkatan suhu juga akan menyebabkan kadar oksigen terlarut rendah dan selanjutnya akan mempengaruhi metabolisme, seperti laju pernapasan dan meningkatkan konsentrasi karbon dioksida.
b. Derajat Keasaman (pH) Air laut memiliki nilai pH yang relatif stabil dan biasanya berkisar 7,5-8,4. Nilai pH dipengaruhi oleh laju fotosintesa, suhu air serta buangan industri dan rumah tangga. pH rendah atau tinggi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup hewan akuatik. Perairan yang bersifat asam (pH<5) atau bersifat alkali (pH>11) dapat menyebabkan kematian dan tidak terjadi reproduksi. c. Kadar Garam (Salinitas) Perairan laut mempunyai kestabilan salinitas yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan air payau. Perubahan salinitas lebih sering terjadi pada perairan dekat pantai, hal ini disebabkan banyaknya air tawar yang masuk baik melalui sungai maupun run off terutama pada musim penghujan. Untuk kedua lokasi ini sungai tidak ditemukan, sehingga peluang terbesar yaitu pada saat musim penghujan. Peningkatan salinitas selain berpengaruh pada daya hantar listrik juga dapat meningkatkan tekanan osmotik yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap metabolisme terutama dalam proses osmoregulasi.
d. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut merupakan parameter kimia yang paling kritis dalam budidaya, karena oksigen dalam air berasal dari udara melalui difusi dan hasil sampingan fotosintesa tumbuhan akuatik terutama dari fitoplankton. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu air, ketinggian lokasi, salinitas dan tekanan udara. Peningkatan suhu air dan salinitas menyebabkan kelarutan oksigen rendah dan begitu sebaliknya. e. Kecerahan Kecerahan perairan menunjukan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Menurut Birowo dan Uktolseja (1976), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecerahan adalah kandungan lumpur, plankton, zat organik, dan bahan-bahan lain yang terlarut atau tersuspensi dalam air. Perairan yang memiliki nilai kecerahan renah pada cuaca normal (cerah) memberikan suatu indikasi banyaknya partikel-partikel yang terlarut dan tersuspensi didalamnya. Keadaan tersebut dapat mengurangi laju fotosintesa. f. Arus Arus adalah massa air baik horisontal maupun vertikal yang disebabkan oleh angin dan gaya. Arus sangat berperan dalam sirkulasi air, pembawa bahan terlarut dan tersuspensi, kelarutan oksigen serta dapat mengurangi organisme penempel. Arus akan mempengaruhi kehidupan organisme dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Pergerakan teripang sangat terbatas, sehingga arus yang kuat akan berperan dalam pengadaan nutrien, sehingga mengakibatkan perairan tidak subur dan merugikan teripang (Nuraini dan Said, 1995).
5.2.2. Kondisi Substrat yang sesuai bagi Pertumbuhan Teripang Dengan nilai persentase sedimen pada hasil penelitian, bisa dikatakan bahwa dominasi pasir kasar hingga sedang sangat tinggi dan ini sangat mempengaruhi karakter substrat secara menyeluruh. Kedua lokasi ini memiliki karakter yang mirip dan merupakan habitat yang baik dari teripang sesuai sifat membenamkan diri dari teripang tersebut, karena dengan ukuran pasir kasar yang ditambah dengan pasir sedang, maka teripang dengan mudah membenamkan diri untuk menghindarkan diri dari tekanan predator (Hyman, 1955). Dari dominasi
ukuran sedimen substrat bisa dikatakan bahwa tekanan dasar cukup kuat. Kondisi ini dapat dipahami dengan memperhatikan areal penelitian yang merupakan bagian dari daerah intertidal yang selalu mendapat tekanan dari pergerakan massa air saat terjadi pasang surut. Kondisi sedimen sebagai habitat dari teripang baik di Negeri Porto maupun Desa Warialau dapat mendukung pertumbuhan teripang sekitar 3-5 jenis, khususnya yang mempunyai daerah sebaran di pasir hingga zona algae.
5.3. Sosial Ekonomi dan Kelembagaan (Sasi) 5.3.1. Sosial Ekonomi Penduduk Negeri Porto mempunyai kisaran pendapatan kurang dari Rp.500.000 sebesar 58.57%, sedangkan besar pendapatan lebih dari sama dengan Rp.500.000 yaitu sebesar 41.43%. Untuk nelayan teripang di negeri Porto pendapatan bisa mencapai Rp. 300.000 per bulan, sehingga dapat membantu perekonomian keluarga. Hal ini juga didukung oleh adanya pekerjaan sampingan dari nelayan yaitu sebagai petani pemilik kebun. Masih rendahnya pendapatan nelayan teripang disebabkan karena jenis yang ditemukan merupakan kategori yang sedang bahkan murah. Untuk penduduk desa Warialau kisaran pendapatan kurang dari Rp.500.000 sebesar 86.92%, sedang, sedangkan besar pendapatan lebih dari sama dengan Rp.500.000 yaitu sebesar 13.08%. Pendapatan penduduk desa warialau pada saat “buka sasi” mencapai Rp.750.000/bulan. Dalam kenyataannya pendapatan yang ada, tidak menjadi sumber pendapatan utama, karena tidak setiap tahun dilakukan penangkapan (tutup sasi). Tingginya pendapatan penduduk pada saat “buka sasi” karena jenis yang ditemukan termasuk kategori mahal maupun sedang serta dalam jumlah dan ukuran yang besar. Dimensi sosial ekonomi mempertimbangkan pengaruh penduduk terhadap sumberdaya teripang dan manfaat bagi penduduk, sehingga perlu upaya bagaimana mengoptimalkan manfaat ketersediaan sumberdaya teripang untuk pihak atau kelompok yang berkepentingan dan masyarakat secara umum. Yang termasuk ke dalam kelompok yang berkepentingan adalah penduduk yang memanfaatkan sumberdaya teripang: menangkap mengolahnya dengan berbagai
cara; dan memasarkannya atau mendapatkan mata pencaharian dari sumberdaya teripang, termasuk para konsumen dan kelompok lain yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh keputusan pengelolaan. Jika melihat dimensi sosial ekonomi maka perlu dilakukan pengelolaan teripang sehingga ketersediaan stok secara terus menerus dan dijual bukan dalam bentuk bahan baku, namun dalam bentuk bahan olahan, sehingga akan memberi manfaat bagi penduduk setempat karena rendahnya pendapatan. Dengan demikian diharapkan ketersediaan stok secara terus menurus karena adanya aturan sasi yang mengatur waktu tangkap, jumlah dan ukuran teripang yang boleh ditangkap, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk khususnya nelayan.
5.3.2. Proses dan Aturan-Aturan Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau a). Proses Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau Pengelolaan sumberdaya laut di Negeri Porto berbasis sasi, hal ini telah ada sejak dahulu kala dan memiliki aturan-aturan yang jelas (Tabel 20). Untuk Desa Warialau, sasi dilakukan secara turun-temurun berdasarkan cerita orang tua dan tidak mempunyai peraturan tertulis. Namun proses pelaksanaan sasi di Desa Warialau masih memegang prinsip adat-istiadat yang berlaku, sehingga prosesnya terlihat lebih rumit (Tabel 21). Untuk desa Warialau ini, meskipun peraturannya secara lisan namun ketaatan masyarakat terhadap peraturan ini lebih tinggi, karena penegakan aturannya cukup tegas. Dengan demikian membuat masyarakat takut untuk melakukan pelanggaran, serta timbul juga kesadaran tentang pentingnya sasi untuk pelestarian sumberdaya bagi generasi mendatang. Tabel 20. Peraturan Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Sasi di Negeri Porto No. 1.
Variabel Aturan Pengelolaan Proses Pelaksanaan Sasi Sejarah Sasi Sasi telah ada sejak jaman dahulu, berdasarkan cerita orang tua antar generasi. Adanya peraturan tentang kewang (Kewang Reglement Van Negorij Porto) yang telah ada sejak tahun 1870, pada zaman penjajahan Belanda Tujuan sasi
Melindungi sumberdaya baik darat maupun laut agar tetap lestari dan mencegah pemanfaatan oleh orang luar desa.
No.
Variabel
Aturan Pengelolaan Meningkatkan pendapatan desa/ negeri.
Jenis Sasi
Sasi negeri, artinya bahwa pemerintah negeri dan lembaga adat yang bertanggung jawab secara langsung terhadap pelaksanaan sasi.
Komoditas Sasi
Teripang, lola, batu laga, bakau, karang, kawanan ikan, ikan hias, batu kerikil, dan pasir.
Waktu pelaksanaan sasi Buka sasi, dalam setahun hanya dilaksanakan pada bulan Oktober, yaitu selama 2 minggu, sedangkan 11 bulan merupakan waktu tutup sasi. Buka sasi akan dilaksanakan selain bulan Oktober, apabila ada kebutuhan dalam masyarakat yang mendesak baik untuk urusan desa maupun keagamaan. Proses Sasi
Tanda Sasi Sistem pelaksanaan Sasi
Waktu buka sasi didahului dengan adanya laporan dari masyarakat tentang keberadaan sumberdaya yang sedang disasi, kemudian dilakukan rapat bersama oleh kewang dan diketahui oleh Raja. Kemudian diputuskan waktu buka sasi. Setelah ditentukan waktu buka sasi, dan didahului dengan pengumuman sekaligus doa di gereja oleh Pendeta.Setelah itu diberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengambil sumberdaya yang disasi sesuai dengan aturan yang berlaku. Setelah waktu buka sasi selesai, maka dilakukan penutupan sasi, yang ditandai dengan pemberian tanda pada area-area yang disasi. Panen pada hari pertama dan kedua dilakukan oleh kewan dan hasilnya diserahkan untuk kas kewan dan negeri serta diberikan bagi raja dan pendeta. Tanda sasi berupa 3 buah kelapa kecil dan 4 buah kelapa besar yang diikat dengan daun kelapa dari kiri ke kanan pada tiang atau disebut satu belo dan ditanam pada area-area sasi sesuai dengan kebiasaan adat.Pada zaman dahulu, sistem sasi menggunakan sistem panen bersama baik pemerintah negeri, lembaga adat, tokoh agama dan masyarakat. Hasil yang dipanen sesuai kemampuan setiap orang dan diberikan kebebasan baik dalam jumlah maupun cara pengambilan. Saat ini adanya kebijakan pemerintah negeri (raja) yang tidak disetujui oleh masyarakat yaitu sistem lelang. Dalam sistem ini pengontrak mempunyai hak yang lebih besar daripada masyarakat, khususnya dalam proses pengambilan hasil (panen) Pada saat panen (buka sasi), masyarakat dapat bebas mengambil teripang sesuai dengan
No.
2.
Variabel
Kelembagaan Sasi
Aturan Pengelolaan kemampuan serta dapat menggunakan semua alat. Kemampuan masyarakat yang menggunakan penyelaman dengan alat sederhana (snorkel) hanya mampu sampai kedalaman lima (5) meter, sedangkan masyarakat luar (orang dagang/penyewa) yang menggunakan kompresor (tabung selam) dapat mencapai 40 meter Kewang sebagai penanggung jawab pelaksanaan sasi Kepala Kewang diangkat melalui rapat bersama di hadapan masyarakat, sesuai dengan pilihan rakyat dari masing-masing soa. Syarat-syarat menjadi kepala kewang : baik, jujur, tenang, teratur, tahu baca dan tulis, rajin. Dalam menjalankan tugasnya kewang harus lemah lembut, jujur dan dapat memberikan petunjuk kepada anak buah (anggota) dengan baik. Kewan melakukan pengawasan (amese
hutan) satu kali seminggu, yaitu pada setiap hari rabu. Jumlah anggota kewan sebanyak 48 orang dan pengawasan dilakukan untuk sasi darat dan laut. Dalam kenyataannya tugas pengawasan semakin melemah dimana tidak lagi dilakukan pengawasan setiap minggu. Dalam peraturan ini terlihat fungsi kewan dijelaskan sebagai berikut: 1. Menjaga petuanan negeri agar tidak dimasuki orang lain secara tidak sah. Tugas ini dilaksanakan melalui Posita Hutan. 2. Menjaga hutan agar tetap lestari dan 3. memberikan hasil yang maksimal. Tugas ini dilaksanakan melalui tindakan Sasi untuk jangka waktu tertentu, baik untuk daratan maupun lautan. 4. Mengatur penggunaan hutan agar tidak sampai menjadi sengketa antar anak negeri. Kewan dapat diikut sertakan dalam penyelasaian pada pengadilan negeri pada forum Mahkemet Negeri. 5. Mengusahakan pemasukan keuangan bagi kas negeri melalui denda-denda pelanggaran, pembayaran tanda masuk, serta ijin pengambilan hasil-hasil tertentu dalam hutan atau laut. 6. Selain fungsi diatas terdapat juga tugas-tugas lainnya, seperti:Menjaga anak-anak untuk harus masuk sekolah minggu dan tidak boleh ada dihutan pada hari minggu. 7. Mengawasi masyarakat untuk beribadah yang
No.
Variabel
3.
Aturan Sasi (Larangan)
4.
Sanksi dan Hukuman
Aturan Pengelolaan dilaksanakan selain hari minggu yang dinamai kebaktian utusan injil, dan tidak boleh berada dihutan saat ada kebaktian Utusan Injil di negeri (desa). 8. Menertibkan masyarakat dari “Sumpahsumpah, maki – maki, dan ucapan kata – kata kotor. 9. Mengawasi kegiatan kebersihan halaman, perapihan pagar dan lain-lain Dilarang menangkap ikan hias di laut dan daerah intertidal. Dilarang menangkap ikan dengan bom, obat bore dan yang dapat merusakan biota. Setiap anak negeri (penduduk setempat) dapat mengambil hasil sasi untuk kebutuhan hidupnya, jika telah mendapat ijin dari raja dan kewang. Dilarang mengambil lola dan teripang, pada ukuran yang dianggap masih muda. Dilarang mengambil pasir, karang dan bakau tanpa seijin kewang dan Raja.
Jika dilakukan oleh kewan dan anggotanya maka akan diberikan denda maupun hukuman tiga (3) kali lipat. Bagi masyarakat, jika kedapatan melakukan pelanggaran, namun dianggap hanya untuk memenuhi keperluan keluarga, maka kewan akan memberikan nota sebagai ijin tertulis yang menyatakan bahwa yang bersangkutan bisa mengambil seperlunya. Jika melakukan pelanggaran dan ditemukan secara langsung oleh kewan, maka alat yang digunakan akan disita, kemudian kewan melakukan Jamulou (rapat kewan) dan pelanggar disuruh menghadap dan diputuskan besarnya denda atau hukuman yang harus dijalani. Namun jika pelanggar jujur dan mengakui kesalahannya, maka denda atau hukumannya bisa diturunkan atau malah bisa diampuni. Denda bisa berupa hukuman dengan dirotani. Contohnya : Rp.100.000 = 5x dirotani. Besarnya denda setiap sumberdaya berbeda, contohnya untuk teripang, Rp.25.000/bh, Mangrove, Rp. 75.000/phn, sedangkan untuk bore (meracuni ikan) Rp.250.000.
Tabel 21. Peraturan Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Sasi di Desa Warialau No. 1.
Variabel Aturan Pengelolaan Proses Pelaksanaan Sasi Sejarah Sasi Sasi telah ada sejak jaman dahulu, berdasarkan cerita orang tua antar generasi. Tidak memiliki aturan tertulis Tujuan sasi
Melindungi sumberdaya baik darat maupun laut agar tetap lestari dan mencegah pemanfaatan oleh orang luar desa. Meningkatkan pendapatan desa/ negeri.
Jenis Sasi
Sasi negeri, artinya bahwa pemerintah negeri dan lembaga adat yang bertanggung jawab secara langsung terhadap pelaksanaan sasi.
Komoditas Sasi
Teripang (utama), lola dan batu laga
Waktu pelaksanaan sasi Waktu buka sasi tidak pasti (3-5 tahun). Penentuan waktu buka sasi berdasarkan banyaknya teripang (jumlah) dan ukuran yang besar. Buka sasi juga dapat dilaksanakan apabila ada kebutuhan mendesak dalam masyarakat seperti pembangunan gereja atau kebutuhan dalam desa. Proses Sasi
Persiapan sasi diawali dengan pertemuan dengan seluruh masyarakat untuk meminta persetujuan pelaksanaan sasi. Persiapan bahan seperti siri pinang, uang logam (koin), tembakau jawa, telur, cincin mas satu diletakan dalam piring. Kemudian pada malam hari dibuat tiang sasi dan lambangnya berupa anyaman daun kelapa, selanjutnya semua masyarakat berkumpul di tenda yang dibuat secara gotong-royong dan dilakukan tambah roro (nyanyian adat).
Bahan-Bahan untuk Pelaksanaan sasi
Selanjutnya piring yang telah ditaruh bahan-bahan tersebut, dipegang oleh keluarga Imloan dan dibawa ke tenda, sedangkan tiangnya diletakan diatas tempat penjemuran (para-para) yang berbentuk segitiga yang sudah dikelilingi oleh daun kelapa. Posisi tempat penjemuran yaitu dekat tenda yang dibuat untuk pelaksanaan nyanyian adat (tamba roro). Persiapan bahan seperti siri pinang, uang logam (koin), tembakau jawa, telur, cincin mas satu
No.
Variabel Sistem pelaksanaan Sasi
2.
Kelembagaan Sasi
3.
Aturan Sasi (Larangan) dan Sanksi
Aturan Pengelolaan Persiapan bahan seperti siri pinang, uang logam (koin), tembakau jawa, telur, cincin mas satu diletakan dalam piring. Kemudian pada malam hari dibuat tiang sasi dan lambangnya berupa anyaman daun kelapa. Sistem sasi menggunakan sistem panen bersama baik pemerintah negeri, lembaga adat, tokoh agama dan masyarakat, namun disesuaikan dengan aturan-aturan yang berlaku. Tokoh-tokoh adat merupakan penanggung jawab pelaksanaan sasi.Tokoh-tokoh adat ini berasal dari marga tertentu, yang dianggap sebagai penduduk asli Desa Warialau. Tokoh-tokoh adapt ini terus berlanjut secara garis keturunan, dimana marga-marga ini juga cukup disegani dalam masyarakat. Waktu panen dilarang balik batu karena merusakan bibit yang ada dibawah batu. Dilarang menyelam malam, karena menurut masyarakat, kehidupan dilaut itu berbeda dengan manusia sehingga dianggap bahwa malam merupakan siang bagi organisme laut.
5.3.3. Kinerja Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau Untuk menganalisa kinerja sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau, digunakan empat indikator yaitu efisiensi, keberlanjutan sosial, keberlanjutan sumberdaya dan pemerataan.
a. Indikator Efisiensi Efisiensi disebut juga produktifitas, sehingga semakin tinggi produktifitas semakin baik suatu rezim. Untuk itu dalam proses penilaian efisiensi sasi teripang di Negeri Porto dilihat dari 4 indikator kinerja efisiensi yaitu : pengambilan keputusan secara bersama, kemudahan dalam menjangkau sumberdaya, pengawasan terhadap sasi sekarang ini, kepatuhan terhadap peraturan. Untuk indikator pertama yaitu keterlibatan pemerintah desa, kelembagaan adat dan masyarakat dalam pengambilan keputusan tentang sasi, terlihat bahwa untuk Negeri Porto, termasuk dalam kategori sedang, karena masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, hal ini terlihat dengan adanya kekecewaan masyarakat ketika diterapkan sistem lelang/kontrak daerah pasang surut untuk
pemodal yang berasal dari luar desa/negeri Porto, sehingga masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan baik. Sebaliknya untuk Desa Warialau, termasuk dalam kategori tinggi, karena segala keputusan tentang sasi, masyarakat dilibatkan sejak awal yaitu dalam pertemuan antara pemerintah desa, lembaga adat dan masyarakat. Berbedanya indikator pertama ini didasarkan juga karena dengan adanya perubahan sistem pemerintahan, sehingga adanya pengurangan kewenangan lembaga adat pada saat sistem sentralisasi dan Negeri Porto merupakan desa /negeri yang mengalami sedikit perubahan tersebut, berbeda dengan Desa Warialau yang tetap mempertahankan pranata adatnya yaitu sasi dengan baik, meskipun terjadi perubahan sistem pemerintahan desa. Beberapa penyebab utama masyrakat Desa Warialau masih mempertahankan sistem adatnya karena adanya anggapan bahwa sasi merupakan amanat nenek moyang yang harus terus dijaga, dan sistem pemerintah desa yang masih mengadopsi sistem pada saat rezim adat, dimana marga-marga tertentu yang masih tetap dihormati dalam masyarakat yang memegang pemerintahan di desa. Selain itu juga mobilitas dan pembangunan desa masih rendah, sehingga pengaruh terhadap sistem adat ini masih rendah. Untuk indikator efisiensi kedua yaitu kemudahan dalam menjangkau sumberdaya, Negeri Porto termasuk dalam kategori rendah karena untuk menjangkau sumberdaya dibutuhkan waktu lebih dari 20 menit dan sarana yang dipakai yaitu motor tempel
dan perahu sampan, sedangkan Desa Warialau
termasuk kategori sedang karena hanya ditempuh waktu kurang dari 20 menit, sumberdaya teripang terdekat sudah dapat terjangkau (khususnya lokasi penelitian). Sasi teripang di Desa Warialau merupakan sasi satu pulau, namun untuk lokasi penelitian hanya berada di depan pemukiman penduduk, sehingga tidak membutuhkan waktu yang relatif lama. Indikator efisiensi ketiga yaitu pengawasan terhadap sasi sekarang ini di Negeri Porto rendah, karena lebih dari satu minggu baru dilakukan pengawasan, meskipun berdasarkan aturan kewan, bahwa satu minggu sekali, dilakukan pengawasan , namun dalam kenyataannya tidaklah demikian. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor yaitu, luasnya area pengawasan sedangkan sarana yang dimiliki sangat minim serta kurang didukung oleh partisipasi masyarakat, selain
itu dengan meningkatnya kebutuhan ekonomi dalam keluarga maka tanggung jawab untuk menambah penghasilan keluarga sehingga menyebabkan kepala keluarga yang kadang berprofesi sebagai kewan dan keanggotaannya harus lebih mengutamakan kepentingan keluarga daripada melakukan pengawasan dan lainnya. Hal ini cukup berbeda dengan Desa Warialau karena pengawasan secara tidak langsung juga dilakukan oleh masyarakat setempat, sehingga masih tetap ada kontrol masyarakat, hal ini cukup membantu lembaga adat dalam melaksanakan tugas pengawasan. Umumnya lembaga adat di Desa Warialau masih tetap merasa tugas ini sebagai amanat dari nenek moyang, serta untuk kelestarian sumberdaya sehingga ketaatan pelaksanaan pengawasan masih tinggi yang dilakukan satu-tiga hari bersamaan dengan aktifitas yang dilakukan sebagai nelayan. Yang menjadi kendala pengawasan yaitu luas area pengawasan, sehingga tidak dapat mengontrol nelayan ilegal dari Sulawesi yang melakukan pencurian dengan menggunakan peralatan yang modern. Untuk indikator efisiensi keempat yaitu kepatuhan terhadap peraturan, bagi Negeri Porto rendah, karena seluruh nelayan dan masyarakat dapat mencapai daerah sasi atau dapat dikatakan bahwa aktifitas masyarakat tidak dibatasi meskipun masih ada sasi. Hal ini disebabkan karena perubahan sistem pemerintahan dari adat menjadi sentralisasi, sehingga peran kewan dan lembaga adat hilang sehingga menyebabkan sanksi yang mengikat tidak berlaku dan kemudian diaktifkan kembali setelah adanya rezim otonomi daerah. Selain itu adanya kekecewaan masyarakat terhadap sistem kontrak atau lelang yang merupakan kebijakan pemerintah negeri dan terjadinya pembauran dan perubahan sosial ekonomi karena masuknya pendatang dengan berbagai profesi serta keluarnya anak-anak muda ke kota untuk melanjutkan pendidikan yang didukung oleh kondisi dimana rendahnya sosialisasi/informasi tentang sasi kepada generasi muda. Sebaliknya di Desa Warialau kepatuhan terhadap peraturan tinggi karena pengawasan sangat ketat baik oleh lembaga adat, pemerintah negeri dan masyarakat, sehingga tidak ada orang yang dapat mengakses daerah sasi. Semakin tinggi derajat kepatuhan masyarakat, berarti rezim itu semakin efisien salah satu unsur pokok dalam ketaatan atau kepatuhan terhadap aturan tradisional di dasari oleh kepercayaan dan ini penting dalam kelangsungan suatu tradisi.
Semakin tinggi derajat kepatuhan masyarakat, berarti rezim itu semakin efisien salah satu unsur pokok dalam ketaatan atau kepatuhan terhadap aturan tradisional di dasari oleh kepercayaan dan ini penting dalam kelangsungan suatu tradisi. Dengan berkurangnya kepercayaan akan mempengaruhi ketaatan terhadap aturan yang berlaku. Secara keseluruhan rata-rata indikator efisiensi untuk Negeri Porto termasuk kategori sedang, sedangkan Desa Warialau termasuk kategori tinggi.
b. Indikator Keberlanjutan Sosial Indikator keberlanjutan sosial terdiri dari lima indikator, yaitu pendapatan setelah adanya sasi, kesejahteraan keluarga, keharmonisan masyarakat, tradisi aksi bersama, dan pembahasan tentang masalah-masalah desa. Untuk indikator keberlanjutan yang pertama yaitu pendapatan setelah adanya sasi, keduanya berada pada nilai sedang yaitu antara Rp.200.000-Rp.500.000/bulan. Untuk penduduk desa Warialau meskipun pendapatannya pada tahun 2006, saat buka sasi bisa mencapai Rp.750.000/bulan, namun bukan merupakan pendapatan tetap, karena waktu buka sasi 3-5 tahun. Selain itu pendapatan penduduk negeri Porto dan desa Warialai tidak seluruhnya berasal dari laut, artinya bahwa meskipun termasuk masyarakat pesisir, namun belum semuanya melihat laut sebagai potensi yang dapat dikelola untuk menambah pendapatan keluarga. Hal ini tergambarkan dari jumlah nelayan di Porto sebesar 2,86% serta 15,42% untuk Desa Warialau. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Novaczek et al (2001) bahwa keberlanjutan ekonomi khususnya tingkat pendapatan masyarakat
didesa-desa sasi tidaklah
lebih baik dari desa yang tidak disasi. Indikator keberlanjutan yang kedua yaitu kesejahteraan keluarga berkaitan dengan adanya sasi yaitu dilihat dari rumah yang dimiliki, sehingga dapat dijelaskan bahwa Negeri Porto memiliki tingkat kesejahteraan tinggi karena sebagian besar penduduk telah memiliki rumah permanen, hal ini juga didukung dengan mata pencaharian yang bervariasi dengan pendapatan yang juga bervariasi,
sebaliknya di Desa Warialau masuk dalam nilai sedang karena
sebagian besar penduduk memiliki rumah semi permanen. Tingkat keharmonisan masyarakat, merupakan indikator keberlanjutan yang ketiga dimana untuk Negeri Porto termasuk dalam penilaian sedang, artinya
bahwa kadang-kadang terjadi perselisihan, sedangkan Desa Warialau penilaian tinggi karena sangat sulit didapati perselisihan dalam masyarakat. Di Negeri Porto, kadang terjadi perselisihan antar nelayan karena akibat persaingan mendapatkan lokasi melaut karena dirasa semakin sempit dan adanya perbedaan peralatan melaut yang dimiliki. Selain itu juga didukung dengan kebiasaan masyarakat yang suka mengkonsumsi minuman keras sebelum melaut serta lemahnya penegakan aturan oleh aparat desa akibat terjadi perubahan sistem pemerintahan. Sebaliknya di Desa Warialau, sulit terjadinya perselisihan karena masih luasnya daerah penangkapan yang didukung dengan melimpahnya hasil laut dan belum adanya perbedaan peralatan melaut yang menyolok, serta penegakan aturan yang tegas karena lembaga adat tetap melaksanakan fungsinya meskipun terjadi perubahan sistem pemerintahan desa. Selanjutnya yaitu tradisi aksi bersama, dimana pada Negeri Porto memiliki nilai sedang, sedangkan Desa Warialau nilai tinggi. Perbedaannya terletak pada keterlibatan masyarakat dimana pada Negeri Porto masyarakat tidak dilibatkan sedangkan di Desa Warialau baik masyarakat, lembaga adat maupun pemerintah merupakan satu kesatuan yang selalu dilibatkan bersama dalam semua pengambilan keputusan seperti suatu tradisi atau adat istiadat. Tradisi aksi bersama bisa terlihat dalam kegiatan perikanan seperti bameti (pemungutan kerang), membuat perahu, menjahit jaring, menaikan dan menurunkan perahu setelah melaut. Tradisi aksi bersama ini masih
terlihat di Desa Warialau
sedangkan di Negeri Porto, setiap kegiatan sudah bersifat individu. Hal yang sama juga terlihat untuk tradisi masohi (bekerja gotong royong) dalam membangun baileo, tempat peribadatan, dan rumah. Kebersamaan pemerintah, tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat juga terlihat selama penelitian, dimana pada awal diperkenalkan, diberi penjelasan tentang tujuan kedatangan, serta meminta keputusan untuk mendapatkan ijin pelaksanaan penelitian dan akhir saat akan meninggalkan lokasi, sebaliknya untuk Negeri Porto sulit untuk mengumpulkan ketiga komponen ini secara bersama-sama, sehingga lebih sering dilakukan pendekatan secara individu. Nilai yang sama yaitu sedang untuk Negeri Porto dan tinggi untuk Desa Warialau juga terlihat dari indikator keberlanjutan sosial yang kelima yaitu
pembahasan bersama masalah-masalah desa. Dalam melakukan pembahasan masalah desa di Negeri Porto yaitu sekali sebulan dan yang terlibat lebih dominan yaitu pemerintah dan lembaga adat, sedangkan untuk Desa Warialau pertemuan diadakan sedikitnya sekali seminggu dan semua komponen masyarakat dilibatkan. Secara keseluruhan rata-rata indikator keberlanjutan sosial untuk Negeri Porto termasuk kategori sedang, sedangkan Desa Warialau termasuk kategori tinggi.
c. Indikator Keberlanjutan Biologi Indikator keberlanjutan biologi pertama yaitu ukuran teripang, untuk Negeri Porto ukuran teripang cenderung menurun, dimana sebelum tahun 2005, ukuran yang didapatkan biasanya ukuran dengan nilai jual termasuk dalam kategori besar, namun setelah tahun 2005, yang ukurannya menjadi ukuran dengan kategori nilai jual sedang. Untuk Desa Warialau, ukuran relatif stabil. Perbedaan ukuran teripang di kedua lokasi cukup berbeda, hal ini disebabkan karena upaya tangkap di negeri Porto sangat tinggi dan semua ukuran teripang bisa diambil dengan bebas. Sebaliknua di desa Warialau upaya tangkap sangat rendah, karena dibatasi oleh waktu buka sasi, serta hanya ukuran tertentu saja yang dapat diambil. Indikator keberlanjutan biologi yang kedua yaitu hasil tangkapan sumberdaya. Hasi tangkapan teripang di negeri Porto mengalami penurunan sekitar 33.34-50% setiap tahun serta sulit mendapatkan jenis-jenis yang termasuk kategori tinggi atau relatif mahal. Untuk Desa Warialau ada terjadi sedikit penurunan teripang karena penangkapan ilegal oleh nelayan luar daerah yang menggunakan peralatan modern.
d. Indikator Pemerataan Indikator pemerataan
terdiri dari 3 indikator yaitu kesempatan
memanfaatkan sumberdaya, pemerataan hasil, dan kesempatan bagi nelayan lokal. Dari indikator pemerataan yang pertama, terlihat bahwa Negeri Porto dan Desa Warialau memiliki nilai yang tinggi, hal ini disebabkan karena seluruh masyarakat dapat memanfatkan sumberdaya. Selanjutnya untuk indikator yang kedua yaitu pemerataan hasil, Negeri Porto memiliki nilai sedang karena hasil sasi hanya
dibagi untuk pemerintah negeri dan lembaga adat, sedangkan Desa Warialau dibagi untuk pemerintah negeri, lembaga adat dan gereja. Sedangkan indikator pemerataan yang terakhir yaitu kesempatan bagi nelayan lokal kedua lokasi mempunyai nilai yang sama yaitu tinggi, karena nelayan lokal bebas mengakses area sasi, namun disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku, seperti untuk area penangkapan ikan yaitu di laut dalam, hanya untuk memancing yang dapat dilakukan di area pasang surut. Dari keseluruhan indikator pemerataan terlihat bahwa kedua lokasi ini mempunyai nilai rata-rata dengan kategori tinggi. Dari keempat indikator kinerja pelaksanaan sasi teripang di Negeri Porto dan Desa Warialau menunjukan nilai yang berbeda, yaitu nilai sedang untuk Negeri Porto dan tinggi untuk Desa Warialau ( Tabel 22). Dari Tabel 22 ini terlihat bahwa nilai terendah untuk Negeri Porto yaitu kemudahan dalam menjangkau sumberdaya dan pengawasan terhadap sasi sekarang ini. Kedua hal ini mempunyai hubungan dimana salah satu penyebab lemahnya pengawasan juga karena wilayah yang luas, sehingga sulit dipantau.
Tabel 22. Indikator Kinerja Pelaksanaan Sasi Teripang di Negeri Porto dan Desa Warialau Indikator-Indikator I. Indikator Efisiensi 1. Pengambilan Keputusan secara bersama 2. Kemudahan dalam menjangkau sumberdaya 3. Pengawasan terhadap sasi sekarang ini 4. Kepatuhan terhadap peraturan II. Indikator Keberlanjutan Sosial 1. Pendapatan setelah adanya sasi 2. Kesejahteraan keluarga berkaitan dengan sasi 3. Keharmonisan masyarakat setelah adanya sasi 4. Tradisi aksi bersama 5. Pembahasan tentang masalah-masalah desa III.Indikator Keberlanjutan Sumberdaya 1. Ukuran teripang 2. Hasil tangkapan teripang IV. Indikator Pemerataan 1. Kesempatan memanfaatkan sumberdaya 2. Pemerataan Hasil 3. Kesempatan Bagi Nelayan Lokal Jumlah Rata-Rata Sumber : Data Lapangan, 2008 Keterangani : 1= rendah, 2= sedang, 3= tinggi
Negeri Porto
Desa Warialau
2 1 1 2
3 2 3 3
2 3 2 2 2
2 2 3 3 3
Ukuran mengecil
Menurun
3 2 3 25 2
Relatif stabil Sedikit menurun
3 3 3 33 3
5.4. Tujuan Pengelolaan dan Pengkajian Resiko Tujuan pengelolaan yang ditetapkan oleh Pemerintah Negeri (Kepala Desa) di Negeri Porto dan Desa Warialau yaitu untuk menjamin kelestarian sumberdaya laut dan teripang termasuk di dalamnya. Untuk tujuan tersebut maka pengelolaan yang dilakukan yaitu berupa “sasi” dengan penerapan aturan-aturan yang telah ditentukan sejak jaman dahulu kala dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dengan adanya tujuan pengelolaan ini, maka terlihat adanya pembatasan upaya tangkap, karena waktu tangkap yang diijinkan hanya sekali setahun untuk Negeri Porto dan sekali untuk tiga sampai lima tahun di Desa Warialau, sehingga diharapkan ketersediaan sumberdaya teripang akan terus menerus. Jika diamati tujuan pengelolaan ini, maka keterlibatan tenaga kerja (nelayan) tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan aktifitas perikanan lainnya yang mempunyai tujuan untuk mendorong kesempatan dan peluang kerja. Rendahnya jumlah tenaga kerja (nelayan) diakibatkan karena tujuan pengelolaan yang
lebih
mementingkan
aspek
kelestarian
sumberdaya
teripang dan
diimplementasikan dengan aturan-aturan sasi, sehingga upaya tangkap juga dibatasi dengan adanya waktu tangkap yang dikenal sebagai waktu buka dan tutup sasi. Penerapan tujuan pengelolaan dari kedua lokasi ini agak berbeda, hal ini diakibatkan karena aturan sasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Negeri (Kepala Desa) dan tokoh adat setempat. Perbedaan itu dapat terlihat pada beberapa hal yaitu untuk negeri Porto, hanya mengatur waktu buka sasi setahun sekali, sedangkan ukuran dan jumlah teripang yang diperbolehkan untuk diambil serta peralatan yang digunakan tidak diatur secara spesifik, padahal kenyataannya negeri Porto memiliki aturan tertulis. Sebaliknya untuk Desa Warialau, tidak ada aturan tertulis, namun dalam pengelolaan teripang berbasis sasi sudah diatur waktu pengambilan teripang 2 minggu (12 hari) setiap 3-5 tahun dan hanya dilakukan pada malam hari dan tidak boleh melakukan penyelaman, jumlah tangkapan yang diperbolehkan 1 bakul (± 1 kg kering) teripang per hari, ukuran yang diambil hanya yang berukuran besar dan alat yang diijinkan yang masih termasuk tradisional. Dengan penerapan pengelolaan yang berbeda, maka akan
terlihat pula dari hasil tangkapan teripang yang akan mengalami penurunan ataupun cenderung stabil. Hasil tangkapan teripang di Negeri Porto, Kota Ambon bahkan Provinsi Maluku mengalami penurunan setiap tahun. Hal ini menunjukan bahwa laju penangkapan
telah melebihi laju pertumbuhan sumberdaya itu sendiri. Batas
pertumbuhan ini ditentukan oleh ukuran populasi saat ini dan lingkungan tempat stok itu berada. Dalam mempertahankan suatu stok pada tingkat produktif diperlukan suatu jumlah yang cukup dari pemijah yaitu hewan dewasa yang matang reproduktif, dan lingkungan yang sangat cocok agar setiap tahap dalam daur hidupnya dapat dilewati dengan baik. Akan tetapi, akibat dari variabilitas lingkungan, pertumbuhan suatu stok dari tahun ke tahun biasanya sangat bervariasi. Jika upaya tangkap terus melebihi laju pertumbuhan, maka jika dilihat dari pertimbangan bioekologi, maka akan terjadi kepunahan teripang di habitat alaminya dan akan merubah sistem alami yang ada. Hal ini disebabkan karena teripang merupakan komponen penting dalam rantai makanan di daerah terumbu karang dengan asosiasi ekosistemnya pada berbagai tingkat trofik, berperan penting sebagai pemakan deposit dan pemakan suspensi. Penurunan populasi teripang secara cepat akan menimbulkan konsekuensi serius bagi kehidupan jenisjenis lain yang merupakan bagian lingkat pangan yang sama. Telur-telur, larva dan juwana teripang merupakan sumber pangan yang penting bagi beberapa jenis biota laut yaitu ikan dan moluska. Teripang mencerna sejumlah besar sedimen, sehingga terjadi pengadukan lapisan atas sedimen di tempat teripang itu berada, yang memungkinkan terjadinya oksigenisasi, mirip seperti cacing tanah di darat. Proses ini mencegah terjadinya penumpukan busukan benda organik dan sangat mungkin mengontrol hama dan organisma patogen termasuk bakteri tertentu. Tangkap lebih bisa mengakibatkan terjadinya pengerasan dasar laut tempat populasi teripang berada dan berakibat ketidakcocokan habitat bagi bentos lain dan organisma meliang. Pertimbangan dari segi sosial ekonomi, jika terjadi penurunan sumberdaya teripang maka akan berdampak secara langsung dengan berakhirnya aktivitas perikanan di wilayah tersebut, mulai dari aktivitas penangkapan sampai
pemasaran dan perdagangan dan bukan saja pada sumberdaya teripang, namun juga berdampak terhadap ketersediaan sumberdaya lainnya, seperti ikan dan moluska, telah terjadi perubahan sistem alami yang ada. Hal ini tentu saja akan merugikan baik nelayan dan pedagang pengumpul karena salah satu sumber pendapatannya akan hilang dan tentu saja berpengaruh secara langsung terhadap kesejahteraan keluarga, selain itu tidak tersedia lagi salah satu sumber pendapatan negeri (desa) bahkan sampai ke daerah dan akan sangat merugikan daerah secara umum, apalagi di tengah sistem otonomisasi dimana setiap daerah harus semakin meningkatkan pendapatan asli daerah untuk kesejahteraan penduduk setempat. Dengan kondisi yang demikian maka akan berdampak juga terhadap masalah sosial yang akan ditimbulkan seperti semakin meningkatnya pengangguran dan lain sebagainya yang akan menambah beban pemerintah daerah.
Dengan
demikian untuk mengantisipasi semakin banyak masalah yang akan ditimbulkan, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan sumberdaya teripang dengan sebaikbaiknya, sehingga ketersediaannya terus menerus dan akan memberikan banyak manfaat dari berbagai aspek baik bioekologi, sosial dan ekonomi.
5.5. Diskusi Umum 5.5.1. Faktor-Faktor Penyebab Menurunnya Sumberdaya Teripang Penurunan sumberdaya teripang di Negeri Porto, baik dari segi ukuran maupun hasil tangkapan, disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : 1. Belum adanya aturan sasi yang lebih spesifik berkaitan dengan banyaknya tangkapan yang diperbolehkan, ukuran yang dapat diambil, peralatan yang digunakan serta penetapan waktu tangkap (buka sasi) yang disesuikan dengan keberadaan teripang dewasa yang telah mencapai waktu matang gonad (reproduktif) untuk memijah. Hal tersebut menyebabkan terjadi tangkapan lebih serta pengambilan teripang tanpa memperhatikan waktu matang gonad, hal tersebut berpengaruh terhadap ketersediaan stok teripang karena tidak memberikan peluang adanya rekruitmen individu baru ke dalam populasi dan pertumbuhan dari individu yang ada. 2. Adanya sistem lelang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Negeri Porto, yang kurang disetujui oleh masyarakat karena tidak ada keterlibatan masyarakat.
Sebelum ada sistem lelang, pada waktu lampau masyarakat dibiarkan mengambil hasil laut dengan batasan waktu tertentu (± 2 minggu) kemudian ditutup lagi. Selain itu setiap keputusan penentuan buka sasi, masyarakat dilibatkan dengan prosedur bahwa informasi yang didapat oleh kewan tentang kondisi sumberdaya yang sudah dapat dipanen berasal dari masyarakat khususnya nelayan dan kemudian pemerintah negeri dan kewan menentukan waktu buka sasi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negeri. Namun dengan adanya sistem lelang, maka pemenang lelang akan memberikan sejumlah uang sesuai kesepakatan kepada pemerintah Negeri serta dapat mengambil semua sumberdaya yang ada sesuai dengan luasan area yang diberikan. Dampak yang ditimbulkan dari sistem ini yaitu bahwa: 1).tidak ada keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan serta rendahnya peluang masyarakat untuk menikmati sumberdaya yang ada; 2) adanya kecenderungan penggunaan alat modern oleh pemenang lelang, sehingga sumberdaya tersebut dapat diambil tanpa memberikan kesempatan bagi masyarakat dan untuk kelestarian lingkungan.3) kondisi area yang agak jauh dari wilayah perkampungan, sehingga menyulitkan pemerintah dan lembaga adat untuk memantau aktifitas dari pemenang lelang tersebut. Dengan demikian sistem lelang ini juga menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat setempat, baik dilihat dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Hal ini juga sesuai dengan pendapat dari Bandjar (1998) yang menyatakan bahwa dengan perubahan aturan sasi yakni pemanfaatan oleh masyarakat kepada pemanfaatan oleh pengontrak mengakibatkan terputusnya akses masyarakat terhadap sumberdaya yang disasikan. Dinamika sasi menunjukan bahwa lembaga-lembaga setempat dengan mudah dipengaruhi oleh pemilik modal perseorangan/kelompok sehingga merubah peraturanperaturan
sasi yang mengakibatkan tersingkirnya hak dan manfaat dari
penduduk setempat. Hal ini berdampak negatif terhadap masyarakat setempat, baik dilihat dari aspek sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan. 3. Lemahnya pengawasan dan penegakan sanksi atau hukuman dari lembaga adat khususnya kewan yang menyebabkan terjadinya penangkapan teripang sebelum waktu “buka sasi” baik oleh masyarakat setempat maupun oleh
penduduk luar desa/negeri setempat. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan sistem pemerintahan desa. Hal ini sesuai dengan pendapat Pical (2007), bahwa perubahan sistem pemerintahan desa memberikan pengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pedesaan Maluku. Oleh karena itu maka sistem pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat adalah lebih baik dibandingkan dengan rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Selain itu terlihat bahwa kurangnya perhatian Pemerintah Negeri dalam memberikan penghargaan terhadap masyarakat pendukung pelaksanaan sasi. 4. Kurangnya informasi ilmiah tentang kondisi sumberdaya teripang, serta pengelolaannya. Hal tersebut menyebabkan timbulnya persepsi yang salah tentang kondisi teripang yang masih dianggap melimpah, meskipun pada kenyataannya terjadi penurunan sumberdaya. Untuk desa Warialau, sumberdaya teripang dari segi jumlah dan ukurannya relatif stabil, namun permasalahan utama yang dihadapi yaitu, terjadinya pencurian teripang oleh nelayan dari Madura dan Bugis yang menggunakan peralatan modern. Hal ini dapat terjadi karena letak pulau yang rentan terhadap pencurian, serta hanya didiami oleh penduduk dengan jumlah yang kecil serta tidak menyebar pada seluruh pulau, selain itu juga peralatan transportasi yang dimiliki sangat minim, sehingga sulit dalam proses pengawasan.
5.5.2. Alternatif Strategi Pengelolaan Sumberdaya Teripang Sumberdaya teripang mempunyai fungsi baik secara ekologis maupun ekonomi, sehingga dalam menjamin kelangsungan produktivitasnnya dan kesinambungan kegiatan perikanan maka diperlukan strategi pengelolaan yang tepat. Dengan demikian dirumuskan strategi pengelolaan yang merupakan hasil kajian dari berbagai pertimbangan yaitu bioekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan, tujuan pengelolaan dan kajian resiko. Strategi pengelolaan diterapkan dalam bentuk aturan-aturan, diantaranya sasi baik di Negeri Porto maupun Desa Warialau.
Strategi pengeloaan teripang di Negeri Porto yaitu: a. Waktu “tutup” sasi diperpanjang menjadi setahun sekali, namun tetap memperhatikan ukuran panjang sebagai penentuan tingkat kematangan gonad pertama untuk memijah, sehingga dapat meningkatkan ketersediaan stok karena adanya rekruitmen individu baru, maupun karena pertumbuhan. Penentuan ukuran panjang teripang, dapat dilihat dari hasil kajian beberapa teripang, yaitu Holothuria fuscogilva dan Bohadschia marmorata 320 mm, Holothuria sacbra 160 mm, Actinopyga echinities 120 mm dan Thelenota ananas 300 mm. b. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan selama “buka sasi” 25-50% dari potensi yaitu 3060-6120 individu(10-20 kg kering) Hal ini dimaksudkan agar dapat mengurangi mortalitas penangkapan pada tahap kehidupan yang dianggap memerlukan perlindungan khusus. Dari hasil tangkapan terjadi penurunan setiap tahun, sehingga dapat berdampak/ menimbulkan resiko terjadinya kepunahan, berakhirnya aktivitas perikanan dan berdampak terhadap penurunan pendapatan nelayan, pedagang, bahkan daerah serta munculnya berbagai masalah sosial lainnya. Dengan demikian jumlah tangkapan yang diperbolehkan perlu dibatasi, sehingga tujuan pengelolaan yang ditetapkan oleh pemerintah negeri dapat terwujud yaitu untuk ketersediaan sumberdaya teripang secara terus menerus. c. Pembatasan waktu tangkap pada saat musim memijah yang diperkirakan pada bulan Juni dan Juli. d. Perlindungan habitat teripang dari kegiatan manusia yang bersifat merusak, seperti penggunaan bom ikan dan lain sebagainya. e. Pengayaan stok teripang di habitat alaminya dan dikembangkan upaya budidaya teripang serta perlindungan area tertentu untuk pemeliharaan individu teripang sebagai penyuplai benih. Selain itu dilakukan penelitian cara pengolahan teripang sebagai bahan baku untuk obat-obatan, sehingga harga jual semakin tinggi dan berdampak terhadap peningkatan pendapatan nelayan, pedagang dan pemasukan pendapatan asli daerah.
Untuk Desa Warialau, strategi pengelolaan yang diterapkan dalam aturan seperti sasi cukup baik, namun ada beberapa tambahan yaitu: a. Pengayaan stok teripang di habitat alaminya dan perlindungan area tertentu untuk pemeliharaan individu teripang sebagai penyuplai benih. b. Penelitian cara pengolahan teripang sebagai bahan baku untuk obat-obatan, sehingga harga jual semakin tinggi dan berdampak terhadap peningkatan pendapatan nelayan, pedagang dan pemasukan pendapatan asli daerah. c. Kerjasama dengan instansi terkait seperti TNI-AL dan Polisi Air, dalam upaya mengatasi terjadinya penangkapan sumberdaya laut termasuk teripang secara ilegal. d. Perlu adanya pertimbangan PEMDA untuk penetapan desa Warialau sebagai salah satu kawasan konservasi teripang di Maluku.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka beberapa hal yang dapat disimpulkan antara lain: 1.
Sumberdaya teripang di negeri Porto terdiri dari 8 jenis, dengan potensi sebesar 12.240 individu, sedangkan di desa Warialau terdiri dari 10 jenis dengan potensi 172.368. Sebaran habitat di negeri Porto dan desa Warialau bervariasi mulai dari rataan pasir, zona lamun, zona algae, tubir dan lereng terumbu, namun jumlah jenis terbanyak 87,5% Negeri Porto dan 90 % di Desa Warialau ditemukan pada zona tubir. Dari nilai sebaran frekuensi panjang beberapa jenis teripang di negeri Porto yang termasuk memiliki kepadatan tertinggi, nilai jual kategori mahal, sedang dan murah menunjukan
bahwa Bohadschia
marmorata,
Holothuria
fuscogilva,
Actinopyga miliaris dan Holothuria atra telah ditangkap sebelum waktu matang gonad untuk memijah. Hal ini cukup berbeda dengan beberapa jenis teripang di Desa Warialau yaitu Holothuria scabra, Actinopyga echinities, Actinopyga miliaris dan Thelenota ananas, yang tetap tersedia untuk melakukan pemijahan karena tidak ada upaya tangkap dan masih dalam status “tutup sasi.” 2.
Analisis faktor-faktor lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, DO, kecerahan, arus dan sebaran sedimen menunjukan bahwa di negeri Porto dan Desa Warialau memenuhi syarat untuk dilakukan pengayaan stok di habitat alami dan pengembangan upaya budidaya.
3.
Hasil analisa indikator kinerja sasi yaitu efisiensi, keberlanjutan sosial, dan pemerataan, menunjukan bahwa Negeri Porto berada dalam kategori sedang dan Desa Warialau berada dalam kategori tinggi. Untuk indikator keberlanjutan sumberdaya yaitu ukuran teripang dan hasil tangkapan. Di negeri Porto ukuran semakin mengecil (kategori nilai jual sedang) dan hasil tangkapan mengalami penurunan sekitar 33.34-50% setiap tahun serta sulit
mendapatkan jenis-jenis yang termasuk kategori tinggi atau relatif mahal. Untuk Desa Warialau ada terjadi sedikit penurunan teripang karena penangkapan ilegal oleh nelayan dari luar daerah yang menggunakan peralatan modern. 4.
Untuk menjamin kelangsungan produktivitas dan kesinambungan kegiatan perikanan teripang, maka dirumuskan strategi pengelolaan yang merupakan hasil kajian dari berbagai pertimbangan yaitu bioekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan, tujuan pengelolaan dan kajian resiko dan dihasilkan 5 strategi untuk negeri Porto dan 4 strategi untuk Desa Warialau.
6.2. Saran
Dalam upaya peningkatan kelestarian sumberdaya teripang khususnya yang bernilai ekonomis, beberapa hal yang disarankan yaitu: 1.
Penelitian untuk pengembangan budidaya teripang dan pengayaan stok di habitat alaminya, khususnya jenis Holothuria scabra di Negeri Porto dan Desa Warialau
2.
Mempelajari aspek biologi dari jenis-jenis yang bernilai ekonomis seperti siklus hidup, waktu memijah, dan kecepatan tumbuh dan lain sebagainya.
3.
Monitoring hasil tangkapan setiap tahun untuk evaluasi strategi pengelolaan yang diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2005. Perencanaan Pengelolaan dan Pengembangan Sumber Daya Negeri Porto. Yayasan Nusa Bahari.Ambon Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 1995. Bahan Makanan dari Laut. Lembaga Penelitian Laut. Jakarta. Hal 46-55. Bailey, C dan C.Zerner, 1992. Local Management of Fisheries Resources in Indonesia: Opportunities and constraints, in Pollnac,R.B.,C. Bailey and A. Poernomo (eds) Constribution to Fishery Development Policy in Indonesia Central Institute for Fisheries, Min.of Agriculture, Jakarta, Indonesia. Bakus, G.J, 1973. The biology and ecology of tropical holotrurians. In : Biology and Geology of Coral Reef (. Jones, O.A & R. Endean, eds.), Vol. II (Biology 1). Academic Press, London:325-367. Bandjar, H.1998. Suatu Studi Tentang Peran Sasi Laut dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut Terhadap Masyarakat Pesisir di Maluku. Thesis. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.118 hal. Birowo, S dan H. Uktolseja, 1976. Sifat-sifat Oseanografis Perairan Pantai Indonesia. Makalah Simposium Pendekatan Ekologis untuk Pengelolaan Daerah Pesisir. Pertemua II Bogor, tanggal 29-31 Maret 1976: 24 pp Birtles,R.A.1989. Class Holothuroidea. Dalam Arnold, P.W & R.A.Birtles (eds.) 1989. Soft-sediment marine invertebrates of Southeast Asia and Australia. A guide to identification. Australian Institute of Marine Scinece, Townsville:221-235. Budiman, A dan Darnaedi, D., 1982. Struktur Komunitas Moluska di Hutan Mangrove Morowali, Sulawesi Tengah. Seminar II Ekosistem Mangrove. 3 - 5 Agustus 1982. Batu Raden. Hal 175 – 182. Canon, L.R.G dan H. Silver. 1987. Sea Cucumber of Northern Australia. Queensland Museum, South Brisbane:60 halaman. Clark, A.M. dan F.W.E. Rowe.1971. Monograph of shallow water Indo West Pacific Echinoderms. Trustees of the British Museum (Nat.Hist), London:238 hal. Conand, C. 1990. The Fishery Resources of Pacific Island Countries. Part 2, Holothurians. FAO Fisheries Technical Paper 272.2.
Conand, C. 1998. Overexploitation in the Present World Sea Cucumber Fisheries And Perspectives In Mariculture. Echinoderm (Mooi & Tellord Eds.), Balkema, Rotterdam: 449-454. Darsono, P.1994. Usaha Pembenihan Untuk Pelestarian Sumberdaya Teripang. Oseana XIX (4) : 13-21. Darsono, P. 1995. Sumberdaya Teripang Komersil Di Indonesia. Prosid. Sem. Kelautan Nasional Jakarta 15 - 16 Nopember I995. Bab II. 7: 1·- 10. Darsono, P.1998. Pengenalan Secara Umum tentang Teripang (Holothurians). Oseana XXIII (1) : 1-7. Darsono, P. 2002. Sumberdaya Teripang di Pulau-Pulau Derawan, Kalimantan Timur. Oseana XXVII (1):9-18. Darsono,P. 2003. Sumberdaya Teripang dan Pengelolaannya. Oseana XXVIII (2) 1-7. Darsono, P., Notowinarto dan E.Widiastuti, 1995a. Pembenihan Teripang Pasir, Holothuria scabra Jaeger, di Indonesia. Makalah Penunjang dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS VI), Serpong 11-16 September 1995.16 hal. Darsono, P., Soekarno, Notowinarto dan Sutomo, 1995b. Perkembangan Larva Teripang Pasir, Holothuria scabra Jaeger, pada Bak Pemeliharaan. Pengembangan dan Pemanfaatan Potensi Kelautan: Potensi Biota, Teknik budidaya dan Kualitas Perairan. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta. Hal 51-61. Departemen Kelautan Dan Perikanan, 2004. Pedoman Monitoring Teripang. Direktorat Konservasi Dan Taman Nasional Laut. Direktorat Jenderal Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan Dan Perikanan. Jakarta. Dinas Perikanan dan Kelautan, 2007. Data Tahunan Statistik Tahun 2005-2007. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku. Elifitrida,1994. Bio-Ekologi Teripang (Holothuria) di Perairan Pulau Persumpahan Propinsi Sumatera Barat. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hartati, S.T., I.S. Wahyuni dan E. Reswati, 2002. Perikanan Teripang di Perairan Kepulauan Seribu. Jurnal Penelitian Laut. 8(4) 55-64. Hyman, L.H. 1955. The Invertebrates Echinodermata.The coelomate bilateria. Vol. IV. McGraw-Hill Book Company,Inc. New York. 763 hal. James, D.B., A.D. Gandhi, N. Palaniswamy dan J.X. Rodrigo, 1994. Hatchery Techinique and Culture of Sea Cucumber Holothuria scabra. CMFRI Special Publication. No 57. India. 41p.
Kekenusa, J.S.1994. Kepadatan, Pola Penyebaran, Keanekargaman dan Asosiasi antar Spesies Teripang di Pesisir Pantai Barat Pulau Nain Sulawesi Utara. Jurnal Fakultas Perikanan UNSRAT, Volume II(p) 11-17. Kissya, E.1993. Sasi Aman Haru-ukui. Tidak dipublikasi. Leimena, H.2004. Struktur Populasi dan Pola Distribusi Keong Lola (Trochus niloticus-Gastropoda) di Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah. Tesis. Bandung. Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung. Levinton, J.S. 1982. Marine Ecology. Prentice hall, Inc, Englewood cliffs, New Jersey. Martoyo, J., N.Aji dan T. Winanto. 2002. Budidaya Teripang. Penebar Swadaya. Jakarta. 75 pp Nikijuluw, V.P. 1994. Sasi Sebagai Suatu Pengelolaan Sumberdaya Berdasarkan Komunitas Di Pulau Saparua Maluku. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, 93: . Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.hal 72-82 Nikijuluw, V.P.2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dengan PT Pustaka Cidesindo, Jakarta.254 hal. Nontji, A., 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta. 305 hal. Novaczek, I.,I.H.T. Harkes, J. Sopacua,M.D.D. Tatuhey, 2001. An institutional Analysis of Sasi Laut in Maluku, Indonesia. ICLARM-The World Fish Center. Penang,Malaysia.327 hal. Nuraini,S dan M.Z.M.Said,1995. Beberapa catatan tentang taksonomi dan ekologi Stichopus variegates Semper (Holothuriidae) di Pulau Kapas, Laut Cina Selatan. Prosiding Seminar Kelautan Nasional. Jakarta, 15-16 November:II.14:1-12. Nybakken, J. W., 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia, Jakarta. 459 hal. Nybakken, J.W.1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Odum, E. P., 1971. Fundamental of Ecology. 3rd Eds. W. B. Saunders Company, Philadelphia. 574 p Panggabean, T.M. 1987. Membudidayakan Teripang/Ketimun Laut Dalam Rangka Meningkatkan Produksi Hasil Laut Di Indonesia. Ditjen Perikanan Berkerjasama Dengan International Developed Research Central, INFIS Manual Seri 44.
Pical, V.J.2007. Dampak Perubahan Sistem Pemerintahan Desa terhadap Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pedesaan Maluku. Disertasi. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.191 hal. Purwati, P. 2005. Teripang Indonesia : Komposisi Jenis dan Sejarah Perikanan. Oseana Volume XXX No 2, 11-18. Retraubun, A.S.W. 2007. Isu Pulau kecil sebagai Dasar Pijak kebijakan pembangunan daerah Kepulauan. Orasi ilmiah Guru besar tetap bidang ilmu kelautan FPIK. Universitas Pattimura. 33 hal. Romimohtarto, K. dan Sri Juwana., 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan OseanologiLIPI, Jakarta. 183 hal. Smith, R. L., 1980. Ecology and Field Biology. Third Edition. Harper and Row Publisher, New York. 664-670p.
Sloan, N.A. 1985. Echinoderm Fisheries of the World: Review in : Keegan and O’Connor (Eds). Echinodermata.A.A. Balkema, Rotterdam: 109-124. Supardal , Parwo S. 2005. Pemaknaan Desa Terhadap Good Governanve di Desa Wiladeg. Sosiosains 18(2) April. Jurnal Berkala Penelitian Pascasarjana Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Hal 341-358. Sutaman, 1993. Petunjuk Praktis Budidaya Teripang. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 68 pp. Trijoko, 1991. Penyebaran Teripang (Holothrunidae) di Pulau Bawean. Buletin Budidaya Laut 2. hal 37-40. Tuwo, A and C. Conand, 1992. Reproductive Biology of the Holothurian Holothuria forskali (Echinodermata). Jurnal Marine Biology. Ass U.K.72:745-758. Wardojo, S.T.H. 1975. Pengelolaan Kualitas Air. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi, Direktorat Pendidikan Tinggi. Bogor;80pp Wibowo, S.,Yunizal, E. Setiabudi, M.D. Erlina dan Tazwir, 1997. Teknologi Penanganan dan Pengolahan Teripang (Holothuroidea). Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi. Balai Penelitian Perikanan Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.37 hal. Yusron, E. 1992. Beberapa Catatan Tentang Teripang di Perairan Maluku. Lonawarta XV (2) 1992 : 12-17.
Yusron, E. 1993. Pengamatan Komunitas Teripang (Holothuroidea) di Tanjung Tiram, Teluk Ambon Bagian Dalam. Perairan Maluku dan Sekitarnya. Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 6772. Yusron, E. 2004. Teknologi Pemijahan Teripang Pasir dengan Cara Manipulasi Lingkungan. Oseana Volume XXIX, Nomor 4, Tahun 2004 ; 17-23.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Jumlah Individu per Transek di Negeri Porto dan Desa Warialau Negeri Porto Transek 1 Jenis Bohadschia marmorata Bohadschia sp Actinopyga miliaris Actinopyga lecanora Holothuria edulis Holothuria fuscogilva Holothuria atra Stichopus variagatus JUMLAH
K1 3 0 0 0 0 0 0 0 3
K2 1 0 1 0 0 0 0 0 2
K3 1 0 0 0 1 0 0 0 2
K4 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K5 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K6 0 1 0 0 0 0 0 0 1
K7 3 0 0 0 0 0 0 0 3
K8 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K9 1 0 0 0 1 0 0 0 2
K10 0 0 0 0 1 0 0 0 1
K11 0 0 0 0 2 0 0 0 2
JUMLAH 13 1 1 0 5 0 0 0 20
K1 0 0 1 0 0 0 0 0 1
K2 0 0 0 0 1 0 0 0 1
K3 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K4 1 0 0 0 0 0 1 0 2
K5 4 0 0 0 0 0 0 0 4
K6 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K7 4 0 0 0 0 0 0 0 4
K8 1 0 0 0 0 0 1 0 2
K9 1 0 0 0 1 0 0 0 2
K10 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K11 0 0 0 0 2 0 0 0 2
JUMLAH 14 0 1 2 4 0 2 0 23
Transek 2 Jenis Bohadschia marmorata Bohadschia sp Actinopyga miliaris Actinopyga lecanora Holothuria edulis Holothuria fuscogilva Holothuria atra Stichopus variagatus JUMLAH
Transek 3 Jenis Bohadschia marmorata Bohadschia sp Actinopyga miliaris Actinopyga lecanora Holothuria edulis Holothuria fuscogilva Holothuria atra Stichopus variagatus JUMLAH
K1 0 0 1 0 0 0 0 0 1
K2 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K3 1 0 0 0 1 0 0 0 2
K4 0 0 1 0 0 0 0 0 1
K5 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K6 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K7 0 1 0 0 0 0 0 0 1
K8 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K9 0 0 0 0 1 0 0 0 1
K10 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K11 1 0 0 0 1 0 0 0 2
K12 0 0 0 0 0 1 0 0 1
JUMLAH 7 1 2 0 3 1 0 0 14
K1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K2 0 0 2 0 0 0 0 0 2
K3 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K4 0 0 0 0 1 0 0 0 1
K5 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K6 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K7 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K8 1 0 0 0 1 0 0 0 2
K9 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K10 0 0 0 0 0 0 3 0 3
K11 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K12 0 0 0 1 0 0 0 0 1
JUMLAH 10 0 2 1 2 0 3 0 18
Transek 4 Jenis Bohadschia marmorata Bohadschia sp Actinopyga miliaris Actinopyga lecanora Holothuria edulis Holothuria fuscogilva Holothuria atra Stichopus variagatus JUMLAH
Transek 5 Jenis Bohadschia marmorata Bohadschia sp Actinopyga miliaris Actinopyga lecanora Holothuria edulis Holothuria fuscogilva Holothuria atra Stichopus variagatus JUMLAH
K1 0 0 1 0 0 0 0 0 1
K2 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K3 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K4 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K5 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K6 0 0 0 0 1 0 0 0 1
K7 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K8 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K9 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K10 1 0 0 0 1 0 0 0 2
K11 1 0 0 0 0 0 0 1
K12 0 0 0 2 0 1 0 0 3
JUMLAH 7 0 1 2 2 1 0 0 13
K1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K2 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K3 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K4 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K5 1 1 0 0 0 0 0 0 2
K6 1 0 0 0 2 0 0 0 3
K7 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K8 1 0 0 0 1 0 0 0 2
K9 3 1 0 0 0 0 0 0 4
K10 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K11 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K12 0 0 0 1 0 0 0 0 1
JUMLAH 13 2 0 1 3 0 0 0 19
Transek 6 Jenis Bohadschia marmorata Bohadschia sp Actinopyga miliaris Actinopyga lecanora Holothuria edulis Holothuria fuscogilva Holothuria atra Stichopus variagatus JUMLAH
Transek 7 Jenis Bohadschia marmorata Bohadschia sp Actinopyga miliaris Actinopyga lecanora Holothuria edulis Holothuria fuscogilva Holothuria atra Stichopus variagatus JUMLAH
K1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K2 0 0 2 0 0 0 0 0 2
K3 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K4 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K5 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K6 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K7 3 0 0 0 0 0 0 0 3
K8 0 0 0 0 2 0 0 0 2
K9 0 0 0 0 1 0 0 0 1
K10 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K11 1 0 0 0 0 0 0 0 1
JUMLAH 9 0 2 0 3 0 0 0 14
K1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K2 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K3 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K4 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K5 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K6 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K7 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K8 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K9 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K10 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K11 0 0 0 2 0 1 0 0 3
JUMLAH 9 0 0 2 0 1 0 0 12
Transek 8 Jenis Bohadschia marmorata Bohadschia sp Actinopyga miliaris Actinopyga lecanora Holothuria edulis Holothuria fuscogilva Holothuria atra Stichopus variagatus JUMLAH
Transek 9 Jenis Bohadschia marmorata Bohadschia sp Actinopyga miliaris Actinopyga lecanora Holothuria edulis Holothuria fuscogilva Holothuria atra Stichopus variagatus JUMLAH
K1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K2 1 0 1 0 0 0 0 0 2
K3 3 0 0 0 0 0 0 0 3
K4 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K5 1 0 1 0 0 0 0 0 2
K6 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K7 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K8 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K9 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K10 0 0 0 0 0 0 1 0 1
K11 0 0 0 0 0 0 1 0 1
JUMLAH 11 0 2 0 0 0 2 0 15
K1 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K2 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K3 0 0 0 0 3 0 0 0 3
K4 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K5 0 0 0 0 2 0 0 0 1
K6 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K7 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K8 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K9 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K10 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K11 0 0 0 0 0 1 0 0 1
JUMLAH 8 0 0 0 5 1 0 0 14
Transek 10 Jenis Bohadschia marmorata Bohadschia sp Actinopyga miliaris Actinopyga lecanora Holothuria edulis Holothuria fuscogilva Holothuria atra Stichopus variagatus JUMLAH
Transek 11 Jenis Bohadschia marmorata Bohadschia sp Actinopyga miliaris Actinopyga lecanora Holothuria edulis Holothuria fuscogilva Holothuria atra Stichopus variagatus JUMLAH
K1 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K2 0 0 1 0 0 0 0 0 1
K3 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K4 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K5 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K6 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K7 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K8 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K9 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K10 0 0 0 0 0 0 0 2 2
K11 0 0 0 0 0 1 0 0 1
JUMLAH 9 0 1 0 0 1 0 2 13
K1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K2 1 0 1 0 0 0 0 0 2
K3 1 0 0 0 1 0 0 0 2
K4 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K5 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K6 1 0 0 0 1 0 0 0 2
K7 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K8 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K9 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K10 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K11 0 0 0 0 0 1 0 0 1
JUMLAH 9 0 1 0 2 1 0 0 13
Transek 12 Jenis Bohadschia marmorata Bohadschia sp Actinopyga miliaris Actinopyga lecanora Holothuria edulis Holothuria fuscogilva Holothuria atra Stichopus variagatus JUMLAH
Transek 13 Jenis Bohadschia marmorata Bohadschia sp Actinopyga miliaris Actinopyga lecanora Holothuria edulis Holothuria fuscogilva Holothuria atra Stichopus variagatus JUMLAH
K1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K2 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K3 1 0 1 0 0 0 0 0 2
K4 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K5 0 0 0 0 1 0 0 0 1
K6 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K7 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K8 0 0 0 0 2 0 0 0 2
K9 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K10 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K11 0 0 0 0 0 1 0 0 1
K1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K2 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K3 0 0 1 0 1 0 0 0 2
K4 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K5 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K6 1 0 1 0 0 0 0 0 2
K7 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K8 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K9 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K10 1 0 0 0 0 0 0 0 1
JUMLAH 7 0 2 0 1 0 0 0 10
JUMLAH 3 0 1 0 3 1 0 0 8
Transek 14 Jenis Bohadschia marmorata Bohadschia sp Actinopyga miliaris Actinopyga lecanora Holothuria edulis Holothuria fuscogilva Holothuria atra Stichopus variagatus JUMLAH
Transek 15 Jenis Bohadschia marmorata Bohadschia sp Actinopyga miliaris Actinopyga lecanora Holothuria edulis Holothuria fuscogilva Holothuria atra Stichopus variagatus JUMLAH
K1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K2 0 0 1 0 0 0 0 0 1
K3 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K4 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K5 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K6 0 0 0 0 1 0 0 0 1
K7 0 0 0 0 1 0 0 0 1
K8 2 0 0 0 0 0 0 0 2
K9 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K10 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K11 1 0 0 0 0 0 0 0 1
K10 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 2
K11 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1
K12 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 2
JUMLAH 6 0 1 0 2 0 0 0 9
Desa Warialau
Transek 1 Jenis Actinopyga miliaris Bohadschia marmorata Actinopyga echinities Holothuria edulis Bohadschia sp Holothuria scabra Thelenota ananas Actinopyga lecanora Bohadschia argus Stichopus chloronotus JUMLAH
K1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K2 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
K3 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K4 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
K5 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 2
K6 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1
K7 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 2
K8 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
K9 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
JUMLAH 1 2 0 2 1 7 3 0 0 0 16
Transek 2 Jenis Actinopyga miliaris Bohadschia marmorata Actinopyga echinities Holothuria edulis Bohadschia sp Holothuria scabra Thelenota ananas Actinopyga lecanora Bohadschia argus Stichopus chloronotus JUMLAH
K1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K2 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K3 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
K4 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K5 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
K6 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K7 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1
K8 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K9 0 0 0 0 0 2 0 0 1 0 3
K10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K11 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 2
K12 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1
K13 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
JUMLAH 0 1 0 0 0 12 2 1 2 0 18
K1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K2 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K3 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K4 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 3
K5 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 3
K6 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 2
K7 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
K8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K9 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 3
K10 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K11 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 2
K12 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
K13 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1
JUMLAH 1 0 0 1 1 16 1 1 0 1 21
Transek 3 Jenis Actinopyga miliaris Bohadschia marmorata Actinopyga echinities Holothuria edulis Bohadschia sp Holothuria scabra Thelenota ananas Actinopyga lecanora Bohadschia argus Stichopus chloronotus JUMLAH
Transek 4 Jenis Actinopyga miliaris Bohadschia marmorata Actinopyga echinities Holothuria edulis Bohadschia sp Holothuria scabra Thelenota ananas Actinopyga lecanora Bohadschia argus Stichopus chloronotus JUMLAH
K1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K2 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K3 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 2
K4 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
K5 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
K6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1
K7 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 2
K8 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
K9 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2
K10 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 2
K11 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
K9 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1
K10 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 2
K12 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
JUMLAH 2 1 0 1 2 6 2 1 0 1 16
Transek 5 Jenis Actinopyga miliaris Bohadschia marmorata Actinopyga echinities Holothuria edulis Bohadschia sp Holothuria scabra Thelenota ananas Actinopyga lecanora Bohadschia argus Stichopus chloronotus JUMLAH
K1 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K2 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K3 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
K4 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 3
K5 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K6 0 0 0 0 0 2 0 0 1 0 3
K7 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 2
K8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K11 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1
JUMLAH 0 1 1 0 1 13 2 0 1 0 19
Transek 6 Jenis Actinopyga miliaris Bohadschia marmorata Actinopyga echinities Holothuria edulis Bohadschia sp Holothuria scabra Thelenota ananas Actinopyga lecanora Bohadschia argus Stichopus chloronotus JUMLAH
K1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
K2 0 0 0 1 0 2 0 0 0 0 3
K3 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 2
K4 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 3
K5 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
K6 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K7 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 2
K8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1
K9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K10 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2
K11 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 2
K1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K2 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K3 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
K4 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K5 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K6 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 2
K7 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 3
K8 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 2
K9 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
JUMLAH 0 0 0 0 0 13 0 0 2 0 15
Transek 7 Jenis Actinopyga miliaris Bohadschia marmorata Actinopyga echinities Holothuria edulis Bohadschia sp Holothuria scabra Thelenota ananas Actinopyga lecanora Bohadschia argus Stichopus chloronotus JUMLAH
JUMLAH 1 0 1 2 0 11 1 1 1 1 19
Transek 8 Jenis Actinopyga miliaris Bohadschia marmorata Actinopyga echinities Holothuria edulis Bohadschia sp Holothuria scabra Thelenota ananas Actinopyga lecanora Bohadschia argus Stichopus chloronotus JUMLAH
K1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K3 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K4 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 3
K5 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K6 0 0 0 1 0 2 0 0 0 0 3
K7 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
K8 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1
K9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K10 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
JUMLAH 0 0 0 1 0 13 0 0 1 0 15
Lampiran 2. Data Parameter Lingkungan di Negeri Porto dan Desa Warialau Lokasi : Negeri Porto Parameter
Pkl.06.00
Pkl.12.00
Pkl.18.00
Pkl.24.00*
Range
Rerata
28.1
27-30
28.5
8.1-8.4
8.3
7.8-8.4
8.3
32.6
30-34
32.6
30-34
32.6
8.5
8.5
6-7
6-7
6-8.6
8.1
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
16-27
21.6
Range
Rerata
Range
Rerata
Range
Rerata
Range
Rerata
Suhu (oC)
27-29
27.9
28.5-30
29.6
27-30
28.5
27-29
pH
8-8.4
8.3
7.8-8.4
8.3
8.1-8.4
8.3
Salinitas (‰)
30-34
32.4
30-34
32.7
30-34
DO
8.5
8.5
8.6
8.6
Arus Permukaan (m/s)
0.3
0.3
0.3
0.3
Kecerahan (m)
Lokasi : Desa Warialau Parameter Suhu (oC) pH Salinitas (‰) DO Arus Permukaan (m/s) Kecerahan (m)
Pkl.06.00 Range Rerata 27-29 28 7.1.-7.4 7.2 33-34 33.2 7.2-7.5 7.3 0.3 0.3
Pkl.12.00 Range Rerata 29-30 28.9 7.1.-7.4 7.3 33-35 33.5 7.2-7.5 7.3 0.3 0.3
Pkl.18.00 Range Rerata 27-30 28.9 7.1.-7.4 7.2 33-34 33.4 7.2-7.5 7.3 0.3 0.3
Range
Rerata
27-30 7.1-7.4 33-35 7.2-7.5 0.3 6-16
28.8 7.2 33.4 7.3 0.3 11
Nilai Kecerahan di Negeri Porto dan Desa Warialau Negeri Porto Waktu Pengukuran Nilai Kecerahan (WIT) m)
Desa Warialau Waktu Pengukuran Nilai Kecerahan (WIT) (m)
7.00
16
9.00
8
9.00
20
10.00
10
10.00
22
12.00
16
11.00
24
15.00
6
12.00
27
Lampiran 3. Kriteria penilaian setiap indikator sasi No
Indikator
Indikator Efisiensi 1 Pengambilan keputusan secara bersama
Tinggi Pemerintah desa, kelembagaan adat serta masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan
2
Kemudahan ke sumberdaya
Area sasi dapat di tempuh dengan waktu 10 menit
3
Pengawasan
Setiap 3 hari dilakukan pengawasan area sasi oleh kewang
4
Kepatuhan terhadap peraturan
Tidak ada orang yang dapat mengakses pengangkapan ke daerah sasi
Indikator Keberlanjutan Sosial 5 Pendapatan Lebih dari Rp.500 ribu perbulan 6 Keharomonisan Hamper tidak ada masyarakat perselisihan 7
Tradisi aksi bersama
8.
Pemerintah desa dan kelembagaan adat serta masyarakat telribat dalam tradisi Memiliki rumah permanen
Sedang
Rendah
Pemerintah desa, kelembagaan adat saja yang terlibat dalam pengambilan keputusan Area sasi dapat di tempuh dengan waktu kurang dari 20 menit 1 minggu sekali dilakukan pengawasan terhadap area sasi Sebagian nelayan mengakses penangkapan ke daerah sasi
Pemerintah desa saja yang terlibat dalam pengambilan keputusan Area sasi dapat ditempuh dengan waktu lebih dari 20 menit Lebih dari 1 minggu dilakukan pengawasan terhadap area sasi Seluruh nelayan dan masyarakat mengakses ke daerah
Rp. 200-500 ribu perbulan Kadang-kadang ada perselisihan
Dibawah Rp. 200 ribu perbulan Sering terjadi perselisihan
Pemerintah desa dan kelembagaan adat yang terlibat dalam tradisi Memiliki rumah semi permanen 2 kali dalam 1 bulan
Pemerintah desa saja yang terlibat dalam tradisi
Kesejahteraan Tidak mempunyai Keluarga rumah sendiri 9 Pembahasan tentang Paling sedikit 1 kali dalam 1 bulan satu kali masalah – masalah seminggu atau tidak sama desa sekali Indikator Keberlanjutan Biologi 10 Kondisi sumberdaya Kisaran optimal populasi persatuan wilayah dan eksistensi ukuran teripang yang optimal. Disini dilihat kondisi minimal yang ditemukan dilapangan baik untuk populasi dan ukuran individu 11
Hasil tangkapan sumberdaya Indikator Pemerataan 12 Kesempatan memanfaatkan sumberdaya
Perkembangan produksi teripang setiap waktu buka sasi dahulu dan sekarang
13
Pemerataan hasil
14
Kesempatan bagi nelayan lokal
Hasil lelang di bagi untuk pemerintah negeri, adat, dan gereja Nelayan lokal bebas mengakses area sasi
Seluruh masyarakat memanfaatkan sumberdaya
Sebagian warga desa dalam hal ini masyarakat nelayan yang dapat memanfaatkan Pemerintah negeri dan gereja
Orang tertentu saja yang telah ditentukan oleh pemerintah desa
Nelayan lokal dapat mengakses area sasi tapi ditentukan dengan peraturan – peraturan pemerintah negeri
Nelayan lokal tidak di perkenankan mengakses area sasi
Pemerintah negeri
Lampiran 4. Jenis-Jenis Teripang yang ditemukan di Negeri Porto
Actinopyga lecanora
Actinopyga miliaris
Bohadschia marmorata
Bohadschia sp
Holothuria atra
Holothuria edulis
Holothuria fuscogilva
Stichopus variagatus
Lampiran 5. Jenis-Jenis Teripang yang ditemukan di Desa Warialau
Actinopyga echinities
Actinopyga lecanora
Actinopyga miliaris
Bohadschia argus
Bohadschia marmorata
Bohadschia sp
Holothuria edulis
Holothuria scabra
Stichopus chloronotus
Thelenota ananas
Lampiran 6. Perhitungan Kepadatan, Kepadatan Relatif, Frekuensi kehadiran Frekuensi Kehadiran Relatif dan Potensi
Jumlah ind. suatu spesies 2
Kepadatan (ind/m )
= Luas total PP
Contoh : Jenis Bohadschia marmorata
Jumlah Individu = 135 Luas Total Petak Pengamatan = 168 Kepadatan (ind/m2) = 135/168 = 0.8035 ind/25m2 = 0.803/25 = 0.0321 ind/m2
Jumlah ind. suatu spesies Kepadatan Rel (%)
x 100
= Total ind. semua spesies
Jumlah individu suatu spesies=135 Total individu semua spesies =215
Kepadatan relatif (%) = (135/215) x 100 = 62.7907%
Jumlah PP dimana suatu sp ditemukan Frek. Kehadiran
= Total petak pengamatan
Contoh : Jenis Bohadschia marmorata Jumlah PP dimana suatu sp ditemukan = 90 Total Petak Pengamatan = 168
Frek. Kehadiran
= 135/168 = 0,5357
Frek. Kehadiran suatu spesies Frek. Keh. Rel (%)
=
x 100
Total Frek. Keh semua spesies
Frek. Kehadiran suatu spesies= 0.5357 Total Frek. Kehadiran semua spesies = 0.92857
Kepadatan relatif (%) = (0.5357/0.92857) x 100 = 57.6923%
Potensi (Ind/Ha)
= Kepadatan (ind/m2) x Luas Area (m2)
1. Negeri Porto Potensi (Ind)
= 0,051 x 240 000 = 12.240 individu
2. Desa Warialau Potensi (Ind)
= 1,539 x 112 000 = 172 368 individu
DAFTAR ISTILAH
Bameti
: Cara melakukan pemanenan hasil laut oleh masyarakat desa dengan menggunakan alat-alat sederhana atau tidak menggunakan alat sama sekali di sepanjang daerah pasang surut saat air surut.
Baeleo
: Rumah adat, tempat musyawarah adat
Buka Sasi
: Periode musim penangkapan (panen).
Kepala Soa
: Pemimpin suatu bagian dalam negeri yang terdiri dari beberapa marga.
Kewang
: Suatu kelompok organisasi yang diangkat secara adat melalui proses musyawarah pimpinan desa yang dilakukan dalam rumah adat, yang bertugas mengawasi dan mengamankan petuanan negeri/desa.
Masohi
: Suatu aktivitas tolong menolong yang dilakukan oleh masyarakat untuk menyelesaikan suatu kegiatan dalam desa.
Mata rumah
: Marga/famili.
Ngase
: Pembayaran sewa oleh orang luar kepada pemerintah negeri agar dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada.
Petuanan negeri
: Suatu kawasan darat dan laut milik pemerintash negeri.
Sasi
: Larangan pengambilan sumberdaya alam tertentu bernilai ekonomis baik darat maupun laut.
Tutup Sasi
: Periode penutupan penangkapan sumberdaya laut.
yang