PENGELOLAAN SUMBERDAYA PULAU KECIL UNTUK EKOWISATA BAHARI BERBASIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG (Studi Kasus Pulau Matakus, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku)
SALVINUS SOLARBESAIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Pengelolaan Sumberdaya Pulau Kecil untuk Ekowisata Bahari berbasis Kesesuaian dan Daya Dukung (Studi Kasus Pulau Matakus Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku)” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
Salvinus Solarbesain NRP. C252070101
ABSTRACT SALVINUS SOLARBESAIN. Management of Small Island Resources for Marine Ecotourism based on Suitability and Carrying Capacity (Case Study of Matakus Island, West South East Mollucas Regency, Maluku Province). Under direction of SANTOSO RAHARDJO and LUKY ADRIANTO.
Matakus Island are part of almost either 57 small islands in West South East Mollucas which legitimated of local goverment as tourism site. As small island, it is very vulnerable of many pressure from both local people with every explorative activites of resource to fullfil their life and from tourists who visited Matakus Island. The aim of this research are to make zonation, analysis of tourism suitable, account carrying capacity and to know perception of stakeholder. To achieve these objectives, Geography Information System (GIS), ecological footprint analysis (EFA) and Principal Component Analysis (PCA) were used. From Geography Information System (GIS) analysis, result that coastal area of Matakus Island has three zone, first No Take Zona are with 97.76 ha, Supporting Zona are with 249.84 and Used Zona are with 542.64 ha. Suitable tourism consists of coastal tourism 5 738 m, diving 33.58 ha, snorkling 82.49 ha and sea sport 760.76 ha. Acording to EFA, averrage of carrying capacity of Matakus Island about 7 168 touris per year. Local people, tourist and local government as stakeholder have a good perception about development of Matakus Islands as ocean and coastal ecotourism site. Acording to PCA, individual characteristic of people which influence a quality of perception are formal education degree and occupation, while a individual characteristic of tourist which influence of perception quality are age and formal education degree. Key Words: Matakus Island, Marine Ecotourism, Carrying Capacity, Ecological Footprint
RINGKASAN
SALVINUS SOLARBESAIN. Pengelolaan Sumberdaya Pulau Kecil Untuk Ekowisata Bahari Berbasis Kesesuaian dan Daya Dukung (Studi Kasus Pulau Matakus, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku). Dibimbing oleh SANTOSO RAHARDJO dan LUKY ADRIANTO.
Pengembangan pulau–pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional di bidang kelautan. Berdasarkan berbagai kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil, pendekatan yang tepat dalam upaya pengembangan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan adalah menjadikannya sebagai basis kegiatan perikanan dan pariwisata pesisir dan bahari (coastal and marine tourism) Pulau Matakus yang terletak di depan outlet teluk Saumlaki merupakan bagian pulau kecil dari sekitar 57 pulau kecil di kabupaten Maluku Tenggara Barat yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat sebagai lokasi wisata. Sebagai pulau kecil Pulau Matakus sangat rentan terhadap berbagai tekanan baik dari masyarakat lokal dengan segala aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, juga dari wisatawan yang mengunjungi tempat tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan zonasi kawasan konservasi Pulau Matakus, menganalisis kesesuaian wisata, menganalisis daya dukung dan persepsi stakeholder terhadap pengembangan kawasan tersebut. Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer (kondisi biofisik, sosial ekonomi, aksesibilitas) diperoleh secara langsung melalui survey, observasi dan wawancara dengan masyarakat, wisatawan dan stakeholder terkait. Pengambilan data primer terumbu karang dilakukan dengan metode Manta Tow, sedangkan data primer ikan karang di peroleh dengan metode Sensus Visual. Data sekunder (kondisi umum lokasi, petapeta pendukung) diperoleh dari studi kepustakaan di dinas atau instansai terkait dalam bentuk laporan dan publikasi daerah. Ssstem Informasi Geografi (SIG), Ecological Footprint Analisis (EFA) dan Principal Component Analysis (PCA) digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Berdasarkan hasil analisis SIG, Pulau Matakus terdiri dari zona inti seluas 97.76 ha, zona pemanfaatan langsung 542.64 ha. zona penyangga 249.84 ha. Panjang pantai yang sangat sesuai untuk wisata pantai adalah 5738 m, sedangkan luas areal yang sangat sesuai untuk kegiatan wisata selam 33.58 ha, wisata snorkeling 82.49 ha dan olahraga perairan 760.76 ha. Berdasarkan EFA, daya dukung Pulau Matakus rata-rata per tahun 7 168 orang. Seluruh stakeholder memiliki persepsi yang baik dan 100% setuju untuk pengembangan P. Matakus menjadi kawasan ekowisata pesisir dan laut. Karakteristik individu masyarakat yang mempengaruhi kualitas persepsi adalah tingkat pendidikan formal dan pekerjaan, sedangkan karakterisitik individu wisatawan yang mempengaruhi kualitas persepsi adalah umur dan tingkat pendidikan formal. Kata kuci: Pulau Matakus, Wisata Bahari, Daya Dukung, Ecologi footprint
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Udang-Undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan dari suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PULAU KECIL UNTUK EKOWISATA BAHARI BERBASIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG (Studi Kasus Pulau Matakus, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku)
SALVINUS SOLARBESAIN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc
Judul Tesis
: Pengelolaan Sumberdaya Pulau Kecil Untuk Ekowisata Bahari Berbasis Kesesuaian Dan Daya Dukung. (Studi Kasus Pulau Matakus, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku)
Nama
: Salvinus Solarbesain
NRP
: C252070101
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Anggota
Diketahui Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : 20 Agustus 2009
Tanggal Lulus : 27 Agustus 2009
Segala perkara dapat kutanggung di dalam DIA yang memberi kekuatan kepadaku… (Filipi 4:13)
Karya Ilmiah ini kupersembahkan kepada Papi Vincent dan Mami Oni tercinta serta kedua Adik tersayang Ferry dan Getty, atas segala dukungan melalui doa, semangat dan kasih sayang yang selalu diberikan
Terima Kasih yang tulus untuk Semuanya Kalianlah sumber inspirasiku
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala cinta dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul “Pengelolaan Sumberdaya Pulau Kecil Untuk Ekowisata Bahari Berbasis Kesesuaian dan Daya Dukung (Studi Kasus Pulau Matakus, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku)” ini berhasil di selesaikan. Kesuksesan penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini ijinkan penulis menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada : 1. Bapak Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas kesedian waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan masukan selama penyusunan tesis ini. 2. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku Penguji Luar Komisi atas saran dan masukan yang sangat berharga demi perbaikan tesis ini. 3. Prof. Dr. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi SPL, para staf dosen dan staf sekretariat SPL atas segala bantuan, sumbangsih IPTEK dan kerjasama yang telah terjalin dengan baik selama studi. 4. PEMDA Maluku Tenggara Barat yang telah memberikan ijin belajar di IPB serta bantuan studi selama 1 tahun dan dana penelitian. 5. Bapak Drs. Abas Orno, Bapak John Arbol SH dan Kak Pit Kait Taborat, SH atas dukungan moril, bantuan dan perhatian yang diberikan. 6. Tanoto Foundation yang telah memberikan bantuan dana pendidikan selama 1 tahun. 7. COREMAP II atas bantuan biaya penelitian dan penulisan tesis yang diberikan. 8. Keluarga Bapak Ulis Matruti dan seluruh masyarakat Desa Matakus atas dukungan selama penelitian berlangsung. 9. Kepada teman-teman SPL IPB angkatan 14 (Kak Doel, Kak Elsye, Bung Mokhtar, Romy, Syahrir, Tyo, Agie, Ayu, Subhan, Ita dan Ervien atas segala kebersamaan, kekompakan dan keceriaan selama proses studi di IPB.
10. Rekan – rekan Persekutuan Mahasiswa Maluku (PERMAMA) antara lain; Bung Yan Masrikat, Bung Ois, Pa Abe, Ibu Deby, Ibu Popy, Bung Ari, Ichat, Berty dan Keluarga, James, Syarif, Usi Min, Usi Yona, Ola, Isye, Litha dan Gita Paduan Suara (GSP) IPB atas segala dukungan dan kebersaman selama studi di IPB. 11. Ade Titi Kora, Kak Elsye Rumbekwan, Ibu Gladys Peuru, Bung Tomi Lamere dan Fransisca Dian serta semua handaitaulan yang tidak tersebutkan namanya yang atas salah satu cara telah berkontribusi dalam penelitian dan penyelesaian studi di IPB. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan berkat dan rahmat – Nya untuk kalian semua. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya ilmiah ini membawa manfaat bagi upaya pengelolaan PPK di Indonesia.
Bogor, Agustus 2009 Salvinus Solarbesain
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 02 Juni 1981 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Vinsentius Solarbesain dan Apolonia Sainyakit. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Inpres Waturu MTB pada tahun 1993, kemudian melanjutkan studi ke SMP Negeri Waturu dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis menempuh sekolah menengah atas pada SMA Negeri 3 Ambon dan lulus pada tahun 1999. Pendidikan sarjana di tempuh di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Pattimura Ambon dari tahun 1999 – 2004. Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Pemda Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku dan ditempatkan sebagai staf pengajar pada SMK Kelautan dan Perikanan Negeri Seira, Kecamatan Wermaktian. Pada tahun 2007 penulis mendapatkan ijin dari Pemda MTB untuk melanjutkan jenjang magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti program magister, penulis juga berkesempatan mengikuti berbagai seminar nasional dan menjadi anggota tim studi untuk kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ------------------------------------------------------------------- xvi DAFTAR GAMBAR --------------------------------------------------------------- xviii DAFTAR LAMPIRAN -------------------------------------------------------------
xx
1
PENDAHULUAN -----------------------------------------------------------1.1 Latar Belakang ----------------------------------------------------------1.2 Perumusan Masalah ------------------------------------------------------1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ------------------------------------------1.4 Kerangka Pemikiran -----------------------------------------------------
1 1 3 5 5
2
TINJAUAN PUSTAKA -----------------------------------------------------2.1 Batasan dan Defenisi Pulau Kecil --------------------------------------2.2 Prinsip Pengelolaan SDA dan lingkungan Pulau Kecil ---------------2.3 Potensi dan Kerentanan Pulau-Pulau Kecil ----------------------------2.4 Ekowisata Sebagai Pariwisata Berkelanjutan -------------------------2.5 Prinsip Ekowisata --------------------------------------------------------2.6 Ekowisata Bahari ---------------------------------------------------------2.7 Zonasi Kawasan Ekowisata ---------------------------------------------2.8 Kesesuaian Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil --------------------------2.9 Daya Dukung -------------------------------------------------------------2.10 Ecology Footprint Analysis (EFA) -------------------------------------2.11 Persepsi Masyarakat ------------------------------------------------------2.12 Sistem Informasi Geografis ----------------------------------------------
9 9 10 11 12 15 17 18 19 21 22 24 25
3
METODOLOGI PENELITIAN ------------------------------------------3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian --------------------------------------------3.2 Metode Penelitian ---------------------------------------------------------3.3 Metode Pengumpulan Data --------------------------------------------3.3.1 Jenis Data ----------------------------------------------------------3.3.2 Metode Pengambilan Contoh -----------------------------------3.4 Metode Analisis Data ----------------------------------------------------3.4.1 Analisis Kondisi Terumbu Karang -----------------------------3.4.2 Analisis Zonasi Kawasan Konservasi Pulau Matakus --------3.4.3 Analisis Kesesuaian Kawasan untuk Ekowisata Bahari ------3.4.4 Analisis Daya Dukung untuk Pariwisata -----------------------3.4.5 Analisis Persepsi Masyarakat, Wisatawan dan Pemda --------
27 27 27 27 27 30 32 32 33 34 40 46
4
PROFIL KAWASAN PULAU MATAKUS -----------------------------4.1 Gambaran Umum ----------------------------------------------------------
47 47
5
4.2 Kondisi Biofisik Kawasan------------------------------------------------4.2.1 Iklim ---------------------------------------------------------------4.2.2 Geomorfologi dan Geologi Lingkungan Pesisir --------------4.2.3 Kondisi Oseanografi Pesisir dan Laut --------------------------4.2.4 Kondisi Flora dan Fauna -----------------------------------------4.3 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat --------------------4.4 Kondisi Sarana Sosial ----------------------------------------------------4.5 Kondisi Sarana Pariwisata Dan Transportasi --------------------------4.6 Kondisi Prasarana Listrik, Air Besih Dan Komunikasi --------------4.7 Potensi dan Peluang Pengembangan Ekowisata -----------------------
48 48 48 50 54 57 60 61 62 63
HASIL DAN PEMBAHASAN ----------------------------------------------5.1 Kondisi dan Potensi Sumberdaya Alam di Pulau Matakus ----------5.1.1 Terumbu Karang --------------------------------------------------5.1.2 Ikan Karang -------------------------------------------------------5.1.3 Penyu, Lumba-lumba dan Burung Laut -----------------------5.1.4 Kondisi Fsiki Pantai ----------------------------------------------5.2 Zonasi Kawasan Konservasi Pulau Matakus --------------------------5.2.1 Pembagian Zona Kawasan Konservasi ------------------------5.2.2 Desain Aktifitas di Tiap Zonasi Peruntukan -------------------5.3 Kesesuaian Kawasan Untuk Ekowisata Pesisir dan Laut ------------5.3.1 Wisata Pantai ------------------------------------------------------5.3.2 Wisata Bahari -----------------------------------------------------5.4 Daya Dukung Pulau Matakus Untuk Pengembangan Ekowisata. ---5.4.1 Daya Dukung Kawasan (DDK) ---------------------------------5.4.2 Analisis Tapak Ekologi (Ecological Footprint Analisys) ----5.4.3 Perbandingan DDK dan EFA -----------------------------------5.5 Persepsi Stakeholder tentang Pengembangan Ekowisata ------------5.5.1 Persepsi Masyarakat Desa Matakus ----------------------------5.5.2 Hubungan Karakteristik Masyarakat dengan Tingkat Persepsi ------------------------------------------------------------5.5.3 Persepsi Wisatawan ----------------------------------------------5.5.4 Hubungan Karakteristik Wisatawan dengan Tingkat Persepsi ------------------------------------------------------------5.5.5 Persepsi Pemerintah Daerah -------------------------------------5.5.6 Peran Setiap Instansi dalam Pengembangan Ekowisata ------5.6 Pengelolaan Ekowisata Bahari di Pulau Matakus --------------------5.6.1 Aspek Ekologi ----------------------------------------------------5.6.2 Aspek Ekonomi ---------------------------------------------------5.6.3 Aspek Sosial ------------------------------------------------------5.6.4 Aspek Manajemen ------------------------------------------------5.6.5 Aspek Kelembagaan ----------------------------------------------
65 65 65 67 67 68 68 69 72 74 75 78 85 86 88 96 97 98 99 101 102 103 104 108 109 111 112 114 115
6
SIMPULAN DAN SARAN --------------------------------------------------- 116 6.1 Simpulan ------------------------------------------------------------------- 115 6.2 Saran ----------------------------------------------------------------------- 117
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
-------------------------------------------------------------- 118
------------------------------------------------------------------------- 123
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pikir penelitian ------------------------------------------------------
2
Peta lokasi penelitian Pulau Matakus kabupaten Maluku Tenggara
8
Barat Provinsi Maluku ----------------------------------------------------------
28
3
Peta lokasi sampling ------------------------------------------------------------
28
4
Kategori dan persentase tutupan karang untuk menilai persentase karang hidup ---------------------------------------------------------------------
33
5
Peta batimetri perairan Pulau Matakus ----------------------------------------
50
6
Kondisi pasang surut pada tahun 2008 ----------------------------------------
51
7
Pola arus pada musim timur ----------------------------------------------------
52
8
Pola arus pada musim barat -----------------------------------------------------
52
9
2
Jumlah spesies dan kepadatan (ind./m ) ikan karang di perairan karang kecamatan Tanimbar Selatan ---------------------------------------------------
56
10 Batu berbentuk kepala belut ----------------------------------------------------
58
11 Model gazebo di Pulau Matakus -----------------------------------------------
61
12 Sumur utama dan fasilitas sarana penyulingan air laut di Desa Matakus --
63
13 Kondisi ekosistem terumbu karang dengan di Pulau Matakus --------------
65
14 Kondisi ikan karang di setiap stasiun pengamatan --------------------------
67
15 Peta zonasi kawasan Pulau Matakus ------------------------------------------
71
16 Peta kesesuaian wisata pantai jenis kegiatan rekreasi pantai di Pulau Matakus ---------------------------------------------------------------------------
77
17 Peta kesesuaian wisata bahari jenis kegiatan selam di Pulau Matakus -----
79
18 Peta kesesuaian wisata bahari jenis kegiatan snorkling di Pulau Matakus ---------------------------------------------------------------------------
81
19 Peta kesesuaian wisata bahari jenis kegiatan olahraga perairan di Pulau Matakus ---------------------------------------------------------------------------
83
20 Peta arahan ekowisata pesisir dan laut di kawasan Pulau Matakus --------
84
21 Causal loop dari analisis tapak ekologi (ecological footprint analysis) ---
93
22 Model dinamik untuk analisis tapak ekologi (ecological footprint analysis) --------------------------------------------------------------------------
93
23 Model dinamik jumlah wisatawan, EF dan BC ------------------------------
95
24 Kapasitas lahan dan jumlah wisatawan ----------------------------------------
96
25 Korelasi variabel karakteristik dan distribusi individu masyarakat pada komponen utama pertama (PC1) dan sumbu utama kedua (PC2) ---------- 100 26 Korelasi variabel karakteristik dan distribusi individu wisatawan pada komponen utama pertama (PC1) dan komponen utama kedua (PC2) ----- 104
DAFTAR TABEL Halaman 1
Jenis data yang dibutuhkan, metode pengumpulan sumber data dan alat/bahan yang digunakan dalam penelitian ---------------------------------
29
2
Matriks kesesuaian untuk wisata bahari kategori selam --------------------
36
3
Matriks kesesuaian untuk wisata bahari kategori snorkling ---------------
36
4
Matriks kesesuaian untuk wisata bahari kegiatan berperahu, jet ski, dan banana boat -----------------------------------------------------------------------
37
5
Matriks kesesuaian untuk wisata pantai kategori rekreasi ------------------
37
6
Matriks kesesuaian untuk wisata pantai jenis kegiatan olahraga pantai, dan berjemur (sun bathing) -----------------------------------------------------
38
7
Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) -------------
41
8
Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata -------------
42
9
Equivalence factor berdasarkan hasil biomasa relatif -----------------------
45
10 Yield factor untuk setiap tipe land use ----------------------------------------
45
11 Rangkuman data klimatologi tahunan kabupaten MTB ---------------------
48
12 Kekayaan spesies (jenis), persen tutupan karang batu dan komponen penyusun terumbu karang perairan pesisir kecamatan Tanimbar Selatan, kabupaten MTB. -------------------------------------------------------
55
13 Komposisi taksa lamun yang ditemukan pada perairan pesisir Pulau Matakus ---------------------------------------------------------------------------
56
14 Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan ----------------------
58
15 Laju tangkap dan estimasi produksi beberapa jenis alat tangkap yang beroperasi di kecamatan Tanimbar Selatan -----------------------------------
59
16 Hasil penilaian kriteria zonasi kawasan Pulau Matakus --------------------
69
17 Rencana zonasi peruntukan kawasan Pulau Matakus -----------------------
70
18 Panjang pantai berdasarkan kelas kesesuaian di tiap stasiun pengamatan untuk wisata pantai jenis kegiatan rekreasi pantai dan olahraga pantai -------------------------------------------------------------------
76
19 Luas kawasan berdasarkan kelas kesesuaian untuk kegiatan selam --------
78
20 Luas kawasan berdasarkan kelas kesesuaian untuk kegiatan snorkeling --
80
21 Luas kawasan berdasarkan kelas kesesuaian wisata bahari jenis kegiatan olahraga perairan ------------------------------------------------------
82
22 Luas areal dan daya dukung kawasan di tiap sub zona wisata -------------
88
23 Build-up land footprint ----------------------------------------------------------
89
24 Fosil energy land footprint -----------------------------------------------------
89
25 Footprint konsumsi sandang dan pangan -------------------------------------
90
26 Total Ecological Footprint -----------------------------------------------------
90
27 Total Biocapacity Pulau Matakus ----------------------------------------------
91
28 Proyeksi jumlah wisatawan, BC dan EF selama 10 tahun -------------------
94
29 Akar ciri dan persentase ragam pada tiga komponen utama hasil PCA untuk responden masyarakat ---------------------------------------------------
99
30 Akar ciri dan persentase ragam pada tiga komponen utama hasil PCA untuk responden wisatawan ---------------------------------------------------- 103
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Komponen penyusun dasar perairan di Pulau Matakus kabupaten Maluku Tenggara Barat --------------------------------------------------------- 124 2 Kondisi terumbu karang di Pulau Matakus ----------------------------------- 125 3 Jumlah dan jenis lifeform karang di setiap stasiun pengamatan ----------- 125 4 Jenis – jenis terumbu karang di Pulau Matakus ------------------------------ 126 5 Jenis – jenis ikan karang yang terdapat di perairan Matakus --------------- 127 6 Identifikasi paramater kesesuaian wisata pantai di Pulau Matakus -------- 130 7 Identifikasi paramater kesesuaian olahraga pantai di Pulau Matakus ----- 131 8 Identifikasi paramater kesesuaian wisata bahari di Pulau Matakus -------- 132 9 Format penilaiain kriteria zonasi kawasan Pulau Matakus ----------------- 133 10 Equation model EFA dengan Stela 9.0.2 -------------------------------------- 135 11 Karakteristik responen dari unsur masyarakat ------------------------------- 136 12 Karakteristik responen dari unsur wisatawan -------------------------------- 138 13 Identitas instansi pemerintah yang menjadi responden --------------------- 138 14 Rekapitulasi kunjungan wisatawan mancanegara dan wisnus di Kabupaten MTB dari tahun 2003 – 2007 ------------------------------------- 139 15 Jumlah wisatawan yang mengunjungi kabupaten Maluku Tenggara Barat Berdasarkan negara asal tahun 2007 ----------------------------------- 139
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau–pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar hingga lahirnya UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menunjukan betapa pentingnya wilayah pesisir dan keberadaan pulau-pulau kecil yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk kemakmuran seluruh masyarakat baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang, sehingga dibutuhkan aturan khusus dalam pengelolaannya. Kebijakan tersebut tentu saja didasarkan pada pertimbangan bahwa pulaupulau kecil selain memiliki potensi sumberdaya alam yang produktif (seperti ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang beserta biota yang hidup didalamnya, media komunikasi, dan jasa lingkungan yang ditawarkan seperti kawasan pariwisata dan rekreasi, kawasan konservasi), juga sangat rentan karena sifatnya yang khas akibat kecilnya ukuran daratan (insular) serta terisolasi dari pulau besar (mainland). Dengan demikian pengelolaan pulau-pulau kecil harus menggunakan pendekatan yang khas pula yakni mengikuti kaidah-kaidah ekonomi dan ekologis dengan memprioritaskan kegiatan-kegiatan pembangunan yang berbasis pada kekuatan sumberdaya lokal serta tetap memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat (Dahuri, 2003; Bengen 2003) Berdasarkan berbagai kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh pulaupulau kecil sebagaimana diuaraikan diatas maka salah satu pendekatan yang tepat dalam upaya pengembangan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan adalah menjadikannya sebagai basis kegiatan perikanan dan pariwisata pesisir dan bahari (coastal and marine tourism). Pembangunan dibidang pariwisata khususnya di wilayah pesisir merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik dan merata, dengan mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi budaya serta kondisi lingkungan sumberdaya alam yang ada.
2
Ekowisata adalah sebuah aktifitas ekonomi berbasis pada pelestarian fungsi dan jasa ekologis sebagai obyek keindahan (amenity services). Pengembangan suatu kawasan pulau kecil sebagai lokasi ekowisata bahari memerlukan kehatihatian karena sifatnya yang khas. Perencanaan dan pengelolaannya memerlukan koordinasi dan integrasi dari beberapa unsur dengan mengacu pada kondisi internal lokasi yang menyangkut aspek ekologi, kesuaian, daya dukung dan sosial budaya masyarakatnya. Dengan penetapan kawasan pulau-pulau kecil yang berpenghuni sebagai kawasan ekowisata tentu saja masyarakat lokal yang mendiami kawasan tersebut memiliki tanggung jawab yang besar untuk memelihara dan menjaga keletarian sumberdaya alam yang ada di kawasan pulau, namun disisi lain masyarakat mempunyai ketergantungan yang sangat besar terhadap sumberdaya yang ada didalamnya. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat lokal dapat berperan sebagai perusak maupun sebagai pelindung sumberdaya. Untuk itu diperlukan upayaupaya untuk memperbaiki dan meningkatkan peran serta masyarakat sehingga fungsi ganda sumberdaya pulau-pulau kecil dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan Kabupaten Maluku Tenggara Barat (selanjutnya disebut Kabupaten MTB) yang beribukota di Saumlaki merupakan salah satu kabupaten di wilayah Provinsi Maluku hasil pemekaran dari kabupaten induk yaitu Kabupaten Maluku Tenggara yang berikota di Tual pada tahun 1999 berdasarkan Undang-undang No. 46 tahun 1999. Secara geografis, kabupaten ini mencakup Kepulauan Tanimbar dengan Pulau Yamdena sebagai pulau utamanya (main land). Keindahan panorama pulaupulau beserta wilayah laut di kabupaten MTB yang saat ini belum berkembang dengan baik menyebabkan de Jonge (1995) menyebutnya sebagai The Forgotten Islands of Indonesia. Pulau Matakus yang terletak di depan Teluk Saumlaki dan termasuk dalam kawasan Selat Egron merupakan bagian pulau kecil dari 57 pulau kecil di kabupaten MTB yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat sebagai lokasi wisata. Pulau Matakus sangat unik karena di pulau ini hanya terdapat sebuah desa dengan karakteristik masyarakat yang khas dan secara fisik kawasan ini hampir seluruhnya dikelilingi oleh pasir putih dan rataan terumbu karang (flat
3
reef) yang membuat pengunjungnya dapat melakukan aktifitas kebaharian seperti menyelam, memancing, berolahraga dan bersantai/berekreasi di pantai. Untuk mendukung berbagai aktifitas wisata serta dalam upaya pengembangannya, Pemerintah Daerah MTB telah membangun beberapa rumah tinggal (home stay) dan gazebo di Pulau Matakus. Saat ini kegiatan wisata yang telah berlangsung di Pulau Matakus adalah wisata pantai (rekreasi pantai) yang dilakukan oleh masyarakat yang berada di kota Saumlaki dan sekitarnya. Berbagai kelompok masyarakat baik dalam rombongan keluarga, kelompok mahasiswa dan instansi pemerintah biasanya memanfaatkan hari libur untuk berwisata di kawasan Pulau Matakus. Kegiatan lain yang dilakukan selain rekreasi pantai adalah memancing dan menikmati ikan bakar hasil tangkapan nelayan setempat atau hasil pancing wisatawan sendiri. Untuk sampai ke kawasan Pulau Matakus, pengunjung dapat menggunakan sarana transportasi berupa motor laut milik masyarakat, sarana transportasi pribadi berupa speed boat atau yang disewa selama kurang lebih 20 menit dari pelabuhan kota Saumlaki. Selain itu, dalam upaya pengembangan wisata di MTB, Pemerintah Daerah telah melakukan kerjasama berupa penandatanganan letter of intent (LOI) dengan Manta Sailling Club di Darwin – Australia sejak bulan Juli 2003 untuk kegiatan lomba layar Darwin-Saumlaki (Sail Darwin – Saumlaki) yang dilaksanakan setiap tahun. Para wisatawan yang mengikuti kegiatan lomba layar Darwin-Saumlaki selalu mengunjungi Pulau Matakus dengan perahu-perahu layarnya setiap kali datang ke Saumlaki. Mencermati berbagai aktifitas wisata yang ada di Pulau Matakus yang kecil ini serta mengingat kegiatan ekowisata pesisir dan bahari biasanya mempunyai kekhususan sifat seperti lokasinya yang tidak begitu luas serta berbagai jenis kegiatan wisatanya yang khas, maka dalam upaya pengembangan kegiatan wisata pesisir dan bahari di Pulau Matakus dengan konsep ekowisata, informasi yang ilmiah tentang tentang zonasi, kesesuaian (suitability) kawasan, daya dukung dan persepsi stakeholder menjadi menarik untuk dikaji bagi pemanfaatan sumberdaya Pulau Matakus secara berkelanjutan.
4
1.2 Perumusan Masalah Dalam rencana pembangunan bidang pariwisata, Pemerintah Daerah MTB telah menetapkan pulau Matakus sebagai daerah tujuan wisata yang diharapkan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dan memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitarnya secara khusus dan masyarakat MTB secara umum tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan yang merugikan kelangsungan dan kepentingan generasi yang akan datang. Dengan sifat insularnya, disatu sisi kawasan Pulau Matakus baik wilayah darat maupun lautnya sangat penting peranannya bagi masyakat dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya, namum disisi lain berbagai aktivitas masyarakat tersebut akan terus berlanjut ditambah lagi dengan keberadaan wisatawan dengan segala aktifitasnya sehingga berpengaruh terhadap penurunan kualitas ekosistem. Tekanan terhadap kawasan dan sumberdaya yang ada akan terus terjadi jika persepsi masyarakat lokal dan wisatawan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada di kawasan tersebut cenderung bersifat ekploitatif dibandingkan dengan kepentingan melestarikan sumberdaya tersebut untuk kegiatan ekowisata pesisir dan bahari. Untuk mengembangkan kawasan tersebut, teristimewa dalam kaitannya dengan upaya Pemerintah Daerah saat ini dalam menarik minat pasar untuk terlibat di sektor pariwisata, maka kebutuhan akan data dan informasi tentang kondisi (potensi) dan keberadaan sumberdaya alam termasuk kesesuaian, zonasi dan daya dukung Pulau Matakus saat ini sangat penting. Selama ini belum ada kajian yang komprehensif mengenai kesesuaian, sistem zonasi dan daya dukung Pulau Matakus serta persepsi stakeholder berkaitan dengan kegiatan wisata di kawasan tersebut, padahal pengembangan ekowisata bahari di pulau-pulau kecil mutlak memerlukan dukungan data dan informasi yang benar dan ilmiah yang meliputi, kondisi kawasan, kesesuain lahan, daya dukung kawasan, sumberdaya hayati dan nonhayati serta kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Informasi tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat yang menyatu dengan kawasan tersebut juga sangat diperlukan karena merekalah yang turut menentukan
5
dan mempengaruhi pengembangan kawasan beserta sumberdaya alam yang ada didalamnya. Berdasarkan gambaran singkat diatas, maka beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi terkait dengan pengelolaan sumberdaya Pulau Matakus untuk ekowisata pesisir dan laut adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana sistem zonasi Pulau Matakus sebagai kawasan konservasi.
2.
Bagaimana kesesuaian kawasan Pulau Matakus untuk kegiatan wisata pesisir dan laut dengan konsep ekowisata.
3.
Bagaimana daya dukung kawasan Pulau Matakus untuk pengembangan ekowisata.
4.
Bagaimana persepsi masyarakat Desa Matakus, wisatawan dan pemerintah daerah untuk pengembangan ekowisata pesisir dan laut di Pulau Matakus.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1.
Menentukan zonasi kawasan konservasi dan aktifitas yang sesuai di Pulau Matakus dan perairan sekitarnya.
2.
Menentukan kelas kesesuaian kawasan Pulau Matakus untuk beberapa jenis kegiatan wisata (bahari dan pantai) dengan konsep ekowisata.
3.
Memperkirakan daya dukung kawasan Pulau Matakus untuk kegiatan ekowisata pesisir dan laut.
4.
Mengkaji persepsi masyarakat Desa Matakus, wisatawan dan pemerintah daerah untuk pengembangan ekowisata pesisir dan laut.
Manfaat Penelitian: 1.
Sebagai bahan acuan bagi Pemerintah Daerah Maluku Tenggara Barat dalam merencakan dan menentukan kebijakan pengembangan ekowisata di Pulau Matakus.
2.
Sebagai bahan informasi bagi pihak swasta yang ingin terlibat dalam kegiatan wisata di kawasan Pulau Matakus.
3.
Sebagai informasi dasar yang ilmiah bagi upaya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara lestari dan berkelanjutan.
6
1.4 Kerangka Pemikiran Pulau Matakus merupakan bagian dari sumberdaya pulau kecil di Kepulauan Tanimbar yang memiliki lebih dari satu sistem ekologi (ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem alamiah yang terdapat di pesisir Pulau Matakus antara lain terumbu karang, mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi pes-caprea dan formasi baringtonia, sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa kawasan pariwisata dan kawasan pemukiman. Kondisi ini menggambarkan bahwa kawasan Pulau Matakus memiliki komponen biofisik yang mendukung untuk pengembangan ekowisata. Sebagai pulau kecil, Pulau Matakus rentan terhadap berbagai tekanan baik dari masyarakat lokal dengan segala aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, juga dari wisatawan yang mengunjungi dan memanfaatkan sumberdaya dan jasa lingkungan di kawasan tersebut
untuk kebutuhan
wisata.
Dalam
pengembangan
kawasan
ini,
keseimbangan dalam menempatkan dimensi-dimensi lingkungan, sosial dan ekonomi perlu mendapat perhatian serius. Disatu sisi pengembangan wisata ditujukan untuk menghasilkan keuntungan secara ekonomi, namum disisi lain pengembangannya juga harus memperhatikan terjaganya kualitas ekologis, baik secara fisik maupun sosial. Pengembangan Pulau Matakus untuk kegiatan ekowisata pesisir dan laut membutuhkan berbagai informasi mengenai kondisi dan dinamika sumberdaya alam maupun masyarakat yang berada di sekitar kawasan karena pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil dimaksud harus disesuaikan dengan karakteristik sumberdaya
alam
yang
terkandung
di
lahan
kawasan
tersebut
agar
pemanfaatannnya secara spasial berlangsung dengan optimal. Pembagian zonasi, penentuan kesesuaian kawasan untuk berbagai kegiatan ekowisata, serta daya dukung kawasan dalam menampung berbagai aktifitas karena sifatnya yang insular maupun persepi stakeholder terkait pengembangan kawasan Pulau Matakus sangat penting untuk dipertimbangkan. Dalam penelitian ini penentuan zona pemanfaatan di kawasan konservasi Pulau Matakus dilakukan dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan didasarkan pada kondisi biofisik kawasan. Pembagian zona terdiri atas tiga
7
bagian yakni zona inti, zona pemanfaatan langsung dan zona penyangga. Penenuan
zonasi
ini
dimaksudkan
untuk
mempermudah
pengendalian,
pemanfatan dan pemeliharaan keberlanjutan sumberdaya yang ada di kawasan Pulau Matakus dalam jangka panjang serta mengeliminir berbagai faktor tekanan terhadap ekosistem akibat kegiatan yang tidak sesuai. Selain itu pula untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan pesisir karena mengingat tidak semua kawasan pulau sesuai untuk kegiatan wisata. Berdasarkan hasil zonasi kemudian dilakukan kajian kesesuaian kawasan Pulau Matakus untuk berbagai kegiatan ekowisata dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan didasarkan pada kriteria kesesuaian untuk setiap aktifitas wisata dan konsumsi wisata yang ada saat ini. Analisis kesesuaian wisata hanya dilakukan pada kawasan yang termasuk dalam kategori zona pemanfaatan langsung dan zona penyangga. Melalui pendekatan ini, akan diketahui kawasan mana saja yang sesuai dan tidak sesuai untuk berbagai jenis kegiatan ekowisata. Selanjutnya dilakukan penentuan daya dukung kawasan untuk menampung wisatawan yang masuk sehingga tidak menimbulkan kerusakan/tekanan terhadap kawasan secara ekologis. Penghitungan daya dukung dilakukan dengan dua pendekatan yakni pendekatan daya dukung kawasan untuk mengetahui jumlah wisatawan yang dapat ditampung ditiap sub zona kegiatan wisata berdasarkan luas kawasan yang sangat sesuai dan menghitung total populasi wisatawan yang dapat ditampung di kawasan Pulau Matakus berdasarkan konsumsi ruang untuk kegiatan wisata saat ini dan ketersediaan lahan produktif secara biologi (biocapacity) dengan menggunakan Analisis Tapak Ekologi atau Ecological Footprint Analysis (EFA). Persepsi stakeholder (masyarakat Desa Matakus, wisatawan dan pemerintah daerah) sehubungan dengan pengelolaan Pulau Matakus sebagai kawasan ekowisata pesisir dan laut akan dinilai berdasarkan persentase jawaban responden terhadap pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner, kemudian dilanjutkan dengan analisis multivariate menggunakan Principal Component Analysis (PCA) untuk mengetahui hubungan antara karakteristik responden dengan kondisi sosial ekonomi yang dapat berpengaruh terhadap persepsi.
8
Informasi – informasi tersebut diatas sangat diperlukan dalam upaya pengelolaan dan pengembangan kawasan Pulau Matakus sebagai kawasan ekowisata bahari untuk kepentingan keberlanjutan sistem sumberdaya yang terdapat di kawasan Pulau Matakus dan aktifitas ekowisata itu sendiri. Kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Sistem SD Pulau Matakus
Konsumsi Ekowisata Bahari
Biofisik
Zonasi Pulau Matakus
GIS Analisis
Analisis Kesesuaian
Ekowisata
Ecological Footprint Analisis
Daya Dukung Ekowisata
Analisis Daya Dukung Kawasan
Analisis Persepsi Stakeholder
PCA
Pengembangan Ekowisata Pulau Matakus
Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian
U M P A N B A L I K K E B E R L A N J U T A N
9
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Batasan dan Definisi Pulau Kecil Secara sederhana pulau dapat didefenisikan sebagai masa daratan yang seluruhnya dikelilingi air. Berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention of the Law on The Sea) 1982 pasal 121, pulau adalah daerah yang terbentuk secara alami yang dikelilingi oleh air, muncul kepermukaan pada saat pasang tertinggi, mampu menjadi habitat dan memberikan kehidupan ekonomi dari dirinya sendiri bagi kehidupan manusia secara berkelanjutan dan dimensinya lebih kecil dari daerah daratan. Pulau berdasarkan defenisi UNCLOS tersebut, kemudian diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 17 tahun 1985 yaitu daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu muncul/berada di atas air pasang (Ello dan Subandi, 1998; Bengen 2003 dalam Susilo 2007). Dari segi ukuran luas pulau sangat bervariasi, mulai dari pulau-pulau karang hingga yang luasnya mencapai jutaan kilometer persegi. Walaupun tidak dibatasi secara pasti, para ahli kebumian telah sepakat bahwa yang disebut pulau adalah daratan yang lebih kecil dari benua terkecil yaitu Australia yang membentang seluas 7.682.300 km2 (Husni, 1998 dalam Soselisa, 2006). Khusus untuk pulau kecil batasannya telah berubah dari waktu ke waktu. Pulau kecil mula-mula dibatasi dengan pulau yang luasnya kurang dari 10.000 km2 dengan jumlah penduduk kurang dari 500.000 jiwa (Towle, 1979; Debance, 1999 dalam Adrianto, 2004), kemudian Nunn (1994) dalam Adrianto (2004) mendefenisikan pulau kecil dengan ukuran maksimal 1.000 km2, kemudian ada pula yang membatasi berdasarkan lebarnya saja yaitu kurang dari 3 km (Falkland, 1995 dalam Hehanusa et al. 1998). Saat ini batasan pulau kecil di Indonesia mengacu pada UU No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Selain pulau kecil, terdapat pula istilah pulau sangat kecil atau pulau mikro (mikro island). Menurut UNESCO (1991) dalam Bengen (2006), pulau dengan ukuran tidak lebih besar dari 100 km2 atau lebarnya kurang atau sama dengan 3 km dikategorikan sebagai pulau sangat kecil.
10
2.2 Prinsip Pengelolaan SDA dan Lingkungan Pulau – Pulau Kecil Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menurut UU No. 27 tahun 2007 adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pulau-pulau kecil (selanjutnya ditulis PPK) mempunyai sifat yang khas. Karena sifat khas dari PPK tersebut maka pengelolaannya harus menggunakan pendekatan yang khas pula. DKP (2001) menjelaskan bahwa pengelolaan PPK dengan luas kurang atau sama dengan 2.000 km2 hanya dapat digunakan untuk kepentingan: konservasi, budidaya laut (mariculture), kepariwisataan, usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi tinggi nonekstraktif, pendidikan dan penelitian, industri manufaktur dan pengelolaan sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan. Walaupun demikian secara umum pengelolaan atau pembangunan PPK harus mengacu pada kaidah pembangunan yang berkelanjutan. Beller et al. (1990) dalam Susilo (2007) mengemukakan bahwa pembangunan di pulau kecil bergantung kepada seberapa besar penduduknya dapat mempertahankan kondisi sumberdaya alam, termasuk energi dan air dan lingkungan ekosistem baik biofisik maupun tata nilai budaya. Strategi pengelolaan lingkungan di PPK sudah sejak lama dilakukan secara parsial dan individualistik. Strategi pengelolaan seperti ini gagal memahami bahwa seluruh komponen kegiatan di PPK terkait satu sama lain dan bahwa interaksi dan hasil dari seluruh kegiatan di PPK dapat menciptakan reaksi berganda sekaligus berantai (multiple chain reaction) dari persoalan tekanan terhadap ekosistem dan komunitas di PPK (Cicin Sain, 1993 dalam Adrianto, 2004). Dalam konteks ini, Chambers (1992) dalam Adrianto (2004) menganjurkan bahwa strategi pengelolaan PPK harus dapat mengkaitkan seluruh kegiatan dan stakeholders yang ada di PPK dengan menggunakan pendekatan yang terkoordinasi.
11
2.3 Potensi dan Kerentanan Pulau – Pulau Kecil Dalam suatu wilayah pesisir khususnya di PPK terdapat satu atau lebih sistem ekologi (ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosisitem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan (man-made). Ekosistem alamiah yang terdapat di pesisir pulau-pulau kecil antara lain terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Ekosistem buatan antara lain berupa: kawasan pariwisata, kawasan budidaya (marine culture) dan kawasan pemukiman (Dahuri, 2000). Sumberdaya ikan di kawasan PPK sangat tinggi, hal ini kerena didukung oleh ekosistem yang kompleks, sangat beragam dan produktif. Perairan karang merupakan ekosistem yang subur yang banyak dihuni oleh beranekaragam sumberdaya hayati. Selain itu, ekosistem terumbu karang dengan keunikan dan keindahannya juga dimanfaatkan sebagai tempat pariwisata bahari yaitu: wisata selam, layar maupun snorkling. Potensi jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan PPK, seperti pariwisata bahari dan perhubungan laut, juga kegiatan budidaya (ikan udang, rumput laut) merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi bagi pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan nasional. Dengan kaanekaragaman dan keindahan yang dimiliki PPK tersebut merupakan daya tarik tersendiri dalam pengembangan jasa pariwisata. Selain segenap potensi pembanguan tersebut di atas, ekosisitem PPK juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan bukan saja bagi kesinambungan pembangunan ekonomi, tetapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia. Yang paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan di PPK sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi dan biogeokimia, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut mestinya seimbang dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan. Pulau-pulau kecil sudah dikenal sebagai wilayah
yang memiliki
karakteristik khas seperti luas daratannya yang kecil, relatif jauh dari dari daratan
12
induk, relative peka dalam konteks ekonomi maupun lingkungan (Srinivas, 1998 dalam Adrianto, 2004). Susilo (2007) menjelaskan bahwa pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat akan sangat bergantung pada kondisi lingkungan, sistem sosial dan ekonomi yang sehat, produktif dan aman. Oleh karena itu perlu selalu dipertimbangkan sifat khas pulau kecil yang rentan terhadap dampak kegiatan manusia. Potensi gangguan manusia terhadap ekosistem PPK antara lain: (1) merubah jenis dan komposisi ekosistem; (2) merubah kekayaan jenis biota; (3) membawa hewan/tumbuhan introduksi yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem; (4) menimbulkan polusi dan kerusakan lingkungan yang dapat menurunkan daya dukung lingkungan, termasuk SDA dan jasa lingkungan; (5) merubah atau merusak habitat alamiah. Selanjutnya Debance (1999) dalam Adrianto (2004) berpendapat bahwa pembangunan fisik oleh manusia maupun perbuahan-perubahan alam seperti bencana alam menjadi salah satu penyebab utama dari turunnya kualitas lingkungan PPK. Dalam konteks faktor lingkungan Hall (1999) dalam Adrianto (2004) membagi persoalan lingkungan menjadi dua kategori yaitu (1) persoalan lingkungan secara umum yang meliputi: limbah lokal, persoalan perikanan, kehutanan, penggunaan lahan dan persoalan hak ulayat pulau: (2) persoalan lingkungan lokal yang meliputi: hilangnya tanah (soil loss) baik secara fisik maupun kualitas, kekurangan air (water shortage), limbah padat dan bahan kimia bercun dan problem spesies langka. Karakteristik lain adalah bahwa PPK sangat rentan terhadap bencana alam seperti angin topan, gempa bumi dan banjir (Briguglio, 1995; Adrianto and Matsuda, 2002 dalam Adrianto, 2004).
2.4 Ekowisata Sebagai Pariwisata Berkelanjutan Berbicara mengenai pariwisata terutama selalu identik dengan adanya hotelhotel berbintang di pesisir pantai yang memiliki fasilitas serba lengkap, yang dapat memanjakan pengunjungnya ketika sedang berwisata serta jumlah wisatawan yang banyak. Artinya yang berkembang selama ini adalah pariwisata dengan label industri yang memanfaatkan keberadaaan sumberdaya alam untuk
13
mendapat keuntungan sebesar – besarnya. Dampak yang muncul dari pariwisata berbasis industri tersebut adalah terjadi perubahan bentang alam, serta tekanan terhadap keberadaan ekosistem setempat. Mencermati berbagai dampak negatif terhadap lingkungan tersebut, sebagai konsekuensinya dewasa ini telah dibangun konsep pariwisata yang lembut (soft tourism) sebagai perlawanan terhadap pariwisata masal (mass tourism). Istilah yang lain seperti suara lingkungan, perjalanan yang bertanggung jawab dan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism) termasuk didalamnya. Pariwisata berkelanjutan merupakan jenis pariwisata yang menyenangkan orang dan alam dalam suatu arah yang bertanggung jawab (Fennel, 1999). Menurut Moscardo dan Kim (1990) dalam Yudasmara (2004), pariwisata yang berkelanjutan harus memperhatikan: (1) peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, (2) menjamin keadilan antar generasi dan intragenerasi, (3) melindungi keanekaragaman biologi dan mempertahankan sistem ekologi yang ada serta (4) menjamin integritas budaya. Pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan memiliki kesamaan dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), sehingga pariwisata yang berkelanjutan harus memenuhi kriteria – kriteria sebagai berikut ini (Hadiyati et al., 2003): (1) Secara ekologis berkelanjutan,
yaitu pembangunan pariwisata tidak
menimbulkan efek negatif bagi ekosistem setempat. Konservasi pada daerah wisata harus diupayakan secara maksimal untuk melindungi sumberdaya alam dan lingkungan dari efek negatif kegiatan wisata. (2) Secara sosial dan kebudayan dapat diterima, yaitu mengacu pada kemampuan penduduk lokal menyerap usaha pariwisata tanpa menimbulkan konflik sosial dan masyarakat lokal mampu beradaptasi dengan budaya turis yang berbeda sehingga tidak merubah budaya masyarakat lokal. (3) Secara ekonomis menguntungkan, yaitu keuntungan yang diperoleh dari kegiatan wisata yang ada dapat meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat setempat. Saat ini ekowisata merupakan istilah yang telah dipergunakan secara internasional untuk mempertegas konsep pariwisata yang berkelanjutan. Perlu
14
diingat bahwa ekowisata merupakan suatu konsep wisata yang menjunjung tinggi keaslian alam dan berorientasi ekologi. Ekowisata merupakan bagian integral dari pariwisata berkelanjutan artinya bahwa ekowisata tidak menggambarkan bagian lain dalam pasar wisata komersial sebagaimana yang dilakukan oleh industri pariwisata, tetapi menggambarkan suatu filosifi perjalanan yang meliputi kriteria pariwisata berkelanjutan dengan mempromosikan/memajukan perjalanan secara harmonis dan bertanggung jawab khususnya di alam. Ekowisata pertama kali diperkenalkan oleh The International Ecotourism Society (TIES) pada tahun 1991. TIES (1991) mendefenisikan ekowisata sebagai perjalanan bertanggungjawab ke daerah-daerah yang masih alami yang dapat mengkonservasi lingkungan dan memelihara kesejahteraan masyarakat setempat. Fennel (1999) mendefenisikan ekowisata sebagai wisata berbasis alam yang berkelanjutan dengan fokus pengalaman dan pendidikan tentang alam, dikelola dengan sistem tertentu dan memberikan dampak negatif paling rendah pada lingkungan, tidak bersifat konsumtif serta berorientasi lokal (dalam hal kontrol, manfaat/keuntungan yang didapat dan skala usaha), berada dilokasi wisata alam dan berkotribusi pada konservasi dan preservasi lokasi tersebut. Menurut Bruce et al. (2002) ekowisata merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan. Ekowisata adalah wisata yang berbasis pada memperbolehkan orang untuk menikmati lingkungan alam dalam arah yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Konsep pengelolaan ekowisata tidak hanya beriorientasi pada keberlanjutan tetapi lebih dari pada itu yaitu mempertahankan nilai sumberdaya dan manusia. Agar nilai-nilai tersebut terjaga maka pengusahaan ekowisata tidak melakukan eksploitasi sumberdaya alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan budaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan fisik, pengetahuan dan psikologis pengunjung. Dengan demikian ekowisata bukan menjual tempat (destinasi) atau kawasan melainkan filosofi. Hal inilah yang membuat ekowisata mempunyai nilai lestari dan tidak akan mengenal kejenuhan pasar (Yulianda, 2007).
15
2.5 Prinsip Ekowisata Ekowisata dan konservasi bagaikan dua sisi uang logam yang tak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Yulianda (2007) menjelaskan bahwa konsep pengembangan ekowisata sejalan dengan misi konservasi yang mempunyai tujuan (1) menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan, (2) melindungi keanekaragaman hayati, (3) menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya, dan (4) memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat. Lebih lanjut menurut Yulianda (2007), konsep pengembangan ekowisata hendaknya dilandasi pada prinsip dasar ekowisata yang meliputi : (1) Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat (2) Pendidikan konservasi lingkungan; mendidik pengunjung dan masyarakat akan pentingnya konservasi (3) Pendapatan langsung untuk kawasan; retribusi atau pajak konservasi (conversation tax) dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan (4) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan (5) Penghasilan bagi masyarakat; masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan (6) Menjaga keharmonisan dengan alam; kegiatan dan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam (7) Daya dukung sebagai batas pemanfaatan; daya tampung dan pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan. (8) Kontribusi pendapatan bagi Negara (pemerintah daerah dan pusat). Ada 7 butir prinsip – prinsip ekowisata menurut Ecotourism and Sustainable Development dalam Bahar (2004) antara lain : (1) Menyangkut perjalanan ke suatu tempat yang alami (involves travel to natural destinations). Sering tempat tersebut jauh, ada penduduk atau tidak ada penduduk, dan biasanya lingkungan tersebut dilindungi.
16
(2) Meminimalkan dampak negatif (minimized negative impact) Pariwisata menyebakan kerusakan tetapi ekowisata berusaha untuk meminimalkan dampak negatif yang bersumber dari hotel, jalan atau infrastruktur lainnya. Meminimalkan dampak negatif dapat dilakukan melalui pemanfaatan material/sumberdaya stempat yang dapat didaur ulang, sumber energi yang terbaharui, pembuangan dan pengelolaan limbah dan sampah yang aman, dan menggunakan arsitektur yang sesuai dengan lingkungan (landscape) dan budaya setempat, serta memberikan batas/jumlah wisatawan sesuai daya dukung objek dan pengaturan perilakunya. (3) Membangun
kepedulian
terhadap
lingkungan
(build
environmental
awareness) Unsur paling penting dalam ekowisata adalah pendidikan, baik kepada wisatawan maupun masyarakat penyangga objek. Sebelumnya semua pihak yang terintegrasi dalam perjalanan wisata alam harus dibekali informasi tentang karakteristik objek dan kode etik sehingga dampak negatif dapat diminimalkan. (4) Memberikan beberapa manfaat finansial secara langsung kepada kegiatan konservasi (provides direct financial benefits for conservation) Ekowisata
dapat
membantu
meningkatkan
perlindungan
lingkungan,
penelitian dan pendidikan melalui mekanisme penarikan biaya masuk dan sebagainya. (5) Memberikan
manfaat/keuntungan
financial
dan
pemberdayaan
pada
masyarakat lokal (provides financial benefits and empowerment for local people) Masyarakat akan merasa memiliki dan peduli kepada kawasan konservasi apabila mereka mendapatkan manfaat yang menguntungkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Keberadaan ekowisata disuatu kawasan harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (local community walfare). Manfaat finansial dapat dimaksimalkan melalui pemberdayaan atau peningkatan kapasitas masyarakat lokal, baik dalam pendidikan, wirausaha, permodalan dan manajemen.
17
(6) Menghormati budaya setempat (respect local culture) Ekowisata disamping lebih ramah lingkungan, juga tidak bersifat destruktif, intrusif, polutan dan eksploitatif terhadap budaya setempat yang justru merupakan salah satu “core” bagi pengembangan kawasan ekowisata. (7) Mendukung gerakan hak azasi manusia dan demokrasi (support human right and democratic movements). Ekowisata harus mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakat lokal yang secara umum memiliki posisi tawar yang lebih rendah, menempatkan masyarakat sebagai elemen pelaku dalam pengembangan suatu kawasan, sehingga terlibat langsung dalam pengambilan keputusan serta menentukan hak – hak kepemilikan. Pengambilan keputusan secara komprehensif, adaptif dan demokratis melalui pendekatan co-management (integrated bottom up and top down approach).
2.6 Ekowisata Bahari Terminologi ekowisata bahari akhir-akhir ini semakim popular di seluruh dunia. Kebanyakan Negara – Negara yang memiliki wilayah pesisir dan pulaupulau kecil termasuk Indonesia mulai mendengungkan ekowisata bahari sebagai suatu bentuk baru dari pariwisata yang berlawanan dengan bentuk pariwisata masal yang tradisional dan berbasis industri. Hal ini tentu saja selain didasarkan atas tuntutan dari para pecinta lingkungan bahwa kegiatan wisata seharusnya memperkecil dampak negarif terhadap lingkungan melalui kegiatan konservasi, tetapi lebih dari itu adalah bentuk kesadaran dan tanggung jawab manusia dalam memelihara keberlanjutan sumberdaya alam. Terminologi pengembangan
ekowisata
dari
wisata
bahari bahari
(marine (marine
ecotourism) tourism).
merupakan
Orams,
(1999)
mendefenisikan wisata bahari sebagai aktivitas rekreasi yang meliputi perjalanan jauh dari suatu tempat tinggal menuju lingkungan laut (dimana yang dimaksud dengan lingkungan laut sendiri adalah perairan yang bergaram dan dipengaruhi oleh pasang surut). Secara lebih spesifik, Yulianda (2007) mendefenisikan ekowisata bahari sebagai ekowisata yang memanfaatkan karakter sumberdaya pesisir dan laut.
18
Sumberdaya ekowisata terdiri dari sumberdaya alam dan manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu bagi pemanfaatan wisata. Ekowisata bahari merupakan kegiatan pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut. Menurut Bruce et al. (2002), ekowisata bahari adalah ekowisata yang terdapat di wilayah pesisir dan lingkungan laut. Aktifitas ekowisata bahari dapat berbasis perairan (water-based), berbasis daratan (land-based) atau gabungan keduanya yang meliputi pengamatan ikan paus, dolphin, hiu, anjing laut dan hewan laut lainnya, burung laut, selam (diving) dan snorkling, perjalanan mengamati dasar laut dengan perahu di permukaan, berjalan kaki di pesisir dan pantai serta mengunjungi laut lepas dan pusat kehidupan di laut.
2.7 Zonasi Kawasan Ekowisata Untuk melindungi suatu kawasan wisata dari pengunjung wisata maka perlu dilakukan zonasi. Hal ini untuk untuk melindungi sumberdaya maupun memberikan keragaman pengalaman bagi pengunjung. Zonasi
merupakan
pembagian
kawasan
berdasarkan
potensi
dan
karakteristik sumberdaya alam untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Zonasi merupakan alat yang paling umum bagi pengelolaan kawasan yang dilindungi untuk memisahkan kawasan yang pemanfaatannya bertentangan, serta untuk pengelolaan kawasan dengan manfaat ganda (Mac Kinnon et al. 1986 dalam Purnama, 2005), sedangkan Bengen (2002) menyatakan bahwa penetapan zonasi kawasan adalah pengelompokan areal suatu kawasan ke dalam zona-zona sesuai
dengan
kondisi
fisik
dan
fungsinya.
Zonasi
bertujuan
untuk
mengoptimalkan fungsi ekologi dan ekonomi ekosistem suatu kawasan sehingga dapat dilakukan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan secara berkelanjutan. Menurut MCRMP-DKP (2004) dalam Helmi (2007) zona merupakan suatu kawasan yang mempunyai kemampuan dan karakteristik yang sama untuk suatu peruntukan yang sesuai di daratan dan laut. Zonasi bertujuan untuk membagi wilayah darat dan laut dalam kawasan yang sesuai dengan peruntukan dan
19
kegiatan yang bersifat saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang bersifat bertentangan (incompatible). Prinsip penetapan zonasi adalah : 1) Sumberdaya alam maupun budaya memiliki karakteristik dan toleransi tertentu untuk dapat dintervensi, dan 2) Pengelola harus dapat melakukan sesuatu untuk memelihara dan mempertahankan karakteristik dan kemampuan tersebut untuk menjamin tercapainya tujuan pengelolaan dari penggunaan sekarang maupun yang akan datang (Basuni 1987 dalam Purnama, 2005). Menurut Yulianda (2007), zonasi di kawasan ekowisata bahari terbagi atas empat bagian. Pertama, zona inti yang bertujuan melindungi satwa dan ekosistem yang sangat rentan sehingga pengunjung dilarang untuk masuk ke dalam. Kedua, zona khusus atau pemanfaatan terbatas dengan tujuan khusus bagi peneliti, pencinta alam, petualang, penyelam. Jumlah pengunjung terbatas dengan ijin dan aturan – aturan khusus agar tidak menimbulkan gangguan terhadap ekosistem. Ketiga, zona penyangga. Merupakan kawasan penyangga yang dibuat untuk perlindungan terhadap zona-zona inti dan khusus. Dapat dimanfaatkan terbatas untuk ekowisata dengan batasan minimal gangguan terhadap zona inti dan khusus. Keempat, zona pemanfaatan. Ditujukan untuk pengembangan kepariwisataan alam, termasuk pengembangan fasilitas-fasilitas wisata alam dengan syarat kestabilan bentang alam dan ekosistem, resisten terhadap berbagai kegiatan manusia yang berlangsung di dalamnya.
2.8 Kesesuaian Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Pembangunan
yang
berkelanjutan
(sustainable
development)
dan
kesejahteran masyarakat akan sangat bergantung pada kondisi lingkungan, sistem sosial dan ekonomi yang sehat, produktif dan aman (protective). Oleh karena itu perlu selalu dipertimbangkan sifat khas pulau kecil yang rentan terhadap dampak kegiatan manusia. Pembangunan berkelanjutan suatu wilayah kepulauan secara ekologis memerlukan empat persyaratan (Dahuri et al., 2004). Pertama, setiap kegiatan pembangunan (seperti tambak, pertanian, perkebunan dan pariwisata) harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik “sesuai”. Persyaratan ini dapat
20
dipenuhi dengan cara membuat peta kesesuaian lahan, termasuk perairan (land suitability). Kedua, jika kita memanfaatkan sumberdaya dapat pulih, seperti penangkapan ikan di laut, maka tingkat penangkapannya tidak boleh melebihi potrnsi lestari dari stok ikan tersebut. Demikian juga jika kita menggunakan air tawar (biasanya merupakan factor pembatas terpenting dalam suatu ekosistem pulau kecil), maka laju penggunaannya tidak boleh melebihi kemampuan pulau termaksud untuk menghasilkan air tawar dalam kurun waktu tertentu. Ketiga, jika kita membuang limbah ke lingkungan pulau, maka jumlah limbah (bukan limbah B3, tetapi limbah yang biodegradable) tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan pulau tersebut. Keempat, jika kita memodifikasi bentang alam (landscape) suatu pulau (seperti penambangan pasir reklamasi) atau melakukan kegiatan konstruksi di lingkungan pulau, khususnya di tepi pantai, seperti membangun dermaga (jetty) dan hotel, maka harus sesuai dengan pola hidrodinamika daerah setempat dan proses-proses alami lainnya (design with nature). Menurut Bengen (2002), pemanfaatan pulau-pulau kecil secara optimal dan lestari terwujud apabila memenuhi tiga persyaratan ekologis, yaitu (a) keharmonisan spasial; (b) kapasitas asimilasi dan daya dukung lingkungan, dan (c) pemanfaatan potensi sesuai daya dukungnya. Keharmonisan spasial berhubungan dengan bagaimana menata suatu kawasan pulau-pulau kecil bagi peruntukan pembangunan (pemanfaatan sumberdaya) berdasarkan kesesuaian (suitability) lahan (pesisir dan laut) dan keharmonisan antara pemanfaatan. Keharmonisan spasial mensyaratkan suatu kawasan pulau-pulau kecil tidak sepenuhnya diperuntukan bagi zona pemanfaatan tetapi juga harus dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi. Keharmonisan spasial, juga menuntut pengelolaan pembangunan dalam zona pemanfaatan dilakukan secara bijaksana. Artinya kegiatan pembangunan ditempatkan pada kawasan yang secara biofisik sesuai dengan kebutuhan pembangunan yang dimaksud (Bengen 2002).
21
2.9 Daya Dukung 2.9.1 Daya Dukung Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Daya dukung (carrying capacity) merupakan salah satu variabel penting yang perlu mendapat perhatian khusus dalam upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan sesuai ukuran kemampuannya agar tetap lestari dan berkelanjutan. Daya dukung bagaikan faktor pembatas (limiting factor) yang dapat membatasi berbagai aktifitas manusia dalam memanfaatan sumberdaya sesuai kemampuannya agar tidak terjadi kemerosotan. Susilo (2006) menyatakan bahwa daya dukung lingkungan secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia atau benda hidup lainnya. Penulis lain mendefenisikan daya dukung suatu area sebagai kemampuan area tersebut untuk menopang berbagai penggunaan sumberdaya/kegiatan pembangunan (Clark, 1992; Sullivan, et.al., 1995 dalam Susilo, 2006). Menurut DKP (2005), daya dukung pulau kecil adalah kemampuan pulau tersebut menyerap bahan, energi maupun komponen lainnya yang dibangun dan dibuang di pulau dan perairan sekitar pulau tersebut. Daya dukung wilayah pulau kecil dapat didefenisikan dengan menentukan jumlah penduduk dan kegiatan di wilayah pesisir yang dapat didukung oleh satuan sumberdaya alam yang tersedia di suatu pulau. Pengertian daya dukung pulau kecil dapat juga dipahami sebagai kemampuan kawasan tersebut dalam menyediakan ruang untuk berbagai kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung. Daya dukung lingkungan PPK ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu (1) potensi lestari pulau dalam menyediakan sumber daya alam khususnya sumber daya perikanan laut, (2)
ketersediaan
ruang untuk kegiatan
pembangunan dan kesesuaian lahan serta perairan pantai untuk kegiatan pertambakan, budidaya laut, pertanian, perkebunan dan pariwisata, (3) kemampuan ekosistem pulau untuk menyerap limbah, sebagai hasil samping kegiatan pembangunan, secara aman. Dalam batas-batas tertentu, daya dukung lingkungan dapat ditingkatkan melalui intervensi teknologi, seperti pemupukan tanah dan desalinasi air laut (Dahuri, 1998 dalam Soselisa, 2006).
22
2.9.2 Daya Dukung Kawasan Ekowisata Sesuai konsep pembangunan berkelanjutan, maka pengembangan PPK sebagai kawasan ekowisata harus memperhitungkan daya dukung kawasan tersebut. Daya dukung wisata merupakan tipe spesifik dari daya dukung lingkungan dan mengarah kepada daya dukung dari lingkungan biofisik dan sosial sehubungan dengan aktifitas wisatawan. McNeely et al. (1992) menyatakan bahwa daya dukung wisata merupakan tingkat pengunjung yang memanfaatkan suatu kawsan wisata dengan perolehan tingkat kepuasan yang optimal dengan dampak terhadap sumberdaya yang minimal. Konsep ini meliputi dua faktor yang utama yang membatasi perilaku pengunjung berkaitan dengan daya dukung, yaitu : (1) kondisi lingkungan dan (2) kondisi sosial budaya masyarakat. Daya dukung wisata menunjukan tingkat maksimum pengunjung yang menggunakan dan berhubungan dengan infrastruktur yang dapat ditampung suatu wilayah. Jika daya dukung melampaui, akan mengakibatkan kemerosotan sumberdaya di wilayah, mengurangi kepuasan pengunjung dan atau berdampak merugikan pada aspek sosial, ekonomi. Pengertian daya dukung wisata saat ini meliputi empat komponen dasar yaitu biofisik, sosial budaya, psikologi dan manajerial (Angamanna, 2005). Menurut
Yulianda
(2007)
konsep
daya
dukung
ekowisata
mempertimbangkan dua hal, yaitu (1) kemampuan alam untuk mentolerir gangguan atau tekanan dari manusia dan (2) standar keaslian sumberdaya alam.
2.10 Ecological Footprint Analisis (EFA) Ecological Footprint adalah suatu indikator yang digunakan untuk melukiskan jumlah daratan dan kawasan perairan untuk suatu populasi manusia atau suatu indikator lingkungan yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar ruang yang diperlukan untuk menampung aktivitas manusia. Ini berarti bahwa yang menjadi fokus dalam pendekatan Ecological Footprint adalah daya dukung agar pemanfaatan sumberdaya alam menjadi optimal terhadap kondisi populasi dan kegiatan terkini (actual) di suatu kawasan.
23
Konsep Ecological Footprint (ekologi footprint/tapak ekologis) pertama kali dikembangkan oleh Willian Rees dan Mathias Wackernagel tahun 1995. Konsep asli Ecological Footprint didefenisikan sebagai area lahan yang dibutuhkan untuk mencukupi konsumsi dari suatu populasi dan untuk menyerap seluruh limbah yang dihasilkan (Wackernagel and Rees 1995 dalam Lensen and Murray, 2003) Wilson dan Anielski (2005) memodifikasi konsep asli tersebut dan mendefenisikan Ecological Footprint sebagai ukuran permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa alam – jumlah area dan badan air (laut, danau dan sungai) yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan – relatif terhadap produksi area lahan dan laut secara biologi yang menyediakan barang dan jasa alam. Hal ini dilakukan dengan menghitung dan membandingkan konsumsi manusia secara langsung terhadap produktivitas yang terbatas dari alam. Ecological footprint bertujuan menggambarkan penyediaan lahan produktif secara biologi oleh individu atau negara dengan menggunakan kesamaan ruang (space equivalents). Ide konsep ini adalah untuk membandingkan area yang dibutuhkan untuk mendukung gaya hidup tertentu dengan area yang ada, sehingga menghasilkan suatu instrument untuk mengkaji konsumsi yang secara ekologi berkelanjutan (Wackernagel and Rees, 1996; Chambers et al., 2000 dalam Gossling et al., 2002). Adrianto (2004) dalam kajiannya tentang pendekatan ecological footprint untuk menilai keberlanjutan sumberdaya perikanan berpendapat bahwa analisis ecological footprint dapat membantu kita mengetahui total area yang dibutuhkan untuk mendukukung populasi dalam mengonsumsi ikan sesuai standard hidup saat ini. Jika total area yang tempati oleh populasi lebih kecil dari total area ecological footprint maka area aktul yang tersedia tidak cukup untuk mendukung populasi. Gossling et al. (2002) telah menggunakan EFA untuk mengkaji keberlanjutan ekowisata di Seychelles dan berpendapat bahwa ekowisata dapat berkelanjutan pada tingkat lokal (dalam pengertian menurunkan ancaman minimum terhadap ekosistem lokal melalui konversi lahan), tetapi dalam bayak kasus tidak berkelanjutan dari sudut pandang global. Untuk menerangkan hal ini, maka EFA merupakan suatu konsep untuk mengkaji keberlanjutan dalam
24
pariwisata sekaligus menguji hipotesis bahwa ekowisata merupakan suatu bentuk pariwisata yang berkelanjutan.
2.11 Persepsi Masyarakat Beragam pengertian tentang peresepsi menurut beberapa ahli telah dikumpulkan oleh Suhartini (1996) dalam Haryanto (2003) yang menjelaskan antara lain: a.
Persepsi adalah kemampuan mengorganisasikan pengamatan dan interpretasi pribadi atas obyek sesuai dengan pengetahuan minat dan pengalaman (Theodorson and Achilles, 1969).
b.
Persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Jalaludin, 1986)
c.
Persepsi adalah pengalaman langsung dari seorang individu (Morgan, 1984.)
d.
Persepsi seorang ditentukan oleh faktor fungsional dan faktor struktural. Faktor fungsional yang menetukan persepsi seseorang adalah faktor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu serta hal – hal lain yang termasuk faktor internal pada seseorang. Sedangkan faktor struktural merupakan faktor – faktor yang berasal dari sifat stimulus fisik dan efek – efek syaraf yang ditimbulkannya. Menurut Sarwono (1999) dalam Haryanto (2003) dalam persepsi sosial ada
dua hal yang ingin diketahui yaitu keadaan dan perasaan orang lain saat ini, ditempat ini melalui lisan atau non lisan dan kondisi yang lebih parmanen yang ada dibalik segala yang tampak saat ini (niat, sifat, motivasi dan sebagainya) yang diperkirakan menjadi penyebab dari kondisi saat ini. Persepsi terhadap kebijakan sumberdaya alam yang berkelanjutan memiliki 4 komponen yaitu komponen kognitif (pengetahuan, pengertian dan pemikiran); afektif (perasaan: senang – tidak senang); interpretasi (makna, dampak, akibat, ide, pengertian dan mengingatkan kepada masa lalu); dan komponen evaluasi (Fisher, et al., 1984 dalam Siagian, 1998).
25
2.12 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis adalah suatu teknologi baru yang pada saat ini menjadi alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan data spasial (Prahasta, 2005). Lyon (2003) menyatakan bahwa penerapan SIG mempunyai kemampuan luas dalam proses pemetaan dan analisis sehingga teknologi tersebut sering dipakai dalam proses perencanaan landscape. Selain itu pemanfaatan SIG dapat digunakan untuk evalusi kualitas dan karakteristik lahan dan lebih penting lagi adalah kemampuan untuk mensimulasikan model-model. SIG bukanlah suatu sistem yang semata-mata berfungsi untuk membuat peta tetapi merupakan alat analitik (analytical tool) yang mampu memecahkan masalah spasial secara otomatis, cepat dan teliti. Hampir semua bidang ilmu yang bekerja dengan informasi keruangan memerlukan SIG, diantaranya bidang kehutanan, perikanan, pertanian, pariwisata, lingkungan, perkotaan dan transportasi (Jaya, 2002). Gunawan (1998) menjelaskan bahwa SIG umumnya dipahami memiliki kontribusi besar dalam pengelolaan wilayah pesisir, yakni (1) membantu memfasilitasi berbagai pihak sektoral, swasta dan Pemda yang merencanakan sesuatu, dapat dipetakan dan diintegrasikan untuk mengetahui pilihan-pilihan manajemen dan alternatif perencanaan yang paling optimal. Kombinasi sektor atau kegiatan yang sinergis dan mempunyai keunggulan komparatif secara ekonomis tetapi dampak lingkungannya minimal dapat ditampilkan, sehingga pihak perencana dapat menyeleksi sektor atau kegiatan yang layak dan tidak layak dilakukan, (2) merupakan alat yang digunakan untuk menunjang pengelolaan sumberdaya pesisir yang berwawasan lingkungan. Dengan menggunakan SIG, kita dengan mudah dan cepat dapat melakukan analisis keruangan (spatial analysis) dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan wilayah pesisir. Kemampuan SIG dalam analisis keruangan dan pemantauan dapat digunakan untuk mempercepat dan mempermudah penataan ruang (pemataan potensi) wilayah pesisir yang sesuai dengan daya dukung lingkungannya.
26
Sehubungan dengan pemanfaatan SIG dalam bidang pariwisata, Aronnof (1993) dalam Sigabariang (2008) menyatakan bahwa pemetaan zona kegiatan wisata pesisir dengan SIG ini tentu akan sangat membantu pemerintah daerah dalam menyusun rencana pengembangan wisata pesisir di wilayahnya. Penerapan teknologi SIG biasa menjadi salah satu alternatif untuk pengembangan potensi daerah yang terkait dengan wilayah pesisir, yakni ekowisata pesisir.
27
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan Pulau Matakus yang terletak di depan outlet teluk Saumlaki, Kepulauan Tanimbar Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Propinsi Maluku. Kegiatan penelitian berlangsung selama 5 bulan, dimulai pada bulan Oktober 2008 – Maret 2009. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. 3.2 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survei yaitu penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual tentang suatu daerah (Natzir, 1993). Metode survei juga bertujuan untuk mengumpulkan data dari sejumlah variabel pada suatu kelompok masyarakat melalui wawancara langsung dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dirancang dan dipersiapkan sebelumnya (Singarimbun, 1995). Gay (1976) dalam Sevilla et al. (1993) mendefenisikan metode survei sebagai kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. 3.3 Metode Pengumpulan Data 3.3.1 Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui survey, observasi dan wawancara langsung dengan masyarakat desa, wisatawan dan stakeholder terkait di lapangan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan di dinas atau instansai terkait di Kabupaten Maluku Tenggara Barat dalam bentuk laporan dan publikasi daerah seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pariwisata, Bappeda, BPS, BMG, Kantor Camat, Kantor Desa Matakus, sedangkan peta-peta pendukung diperoleh dari instansi seperti Biotrop, Dishidros TNI AL dan Bakosurtanal. Jenis data yang dibutuhkan, metode pengumpulan, sumber data dan alat/bahan yang digunakan dalam penelitian seperti terlihat pada Tabel 1.
28
126 °31'00"
129°2'0 0"
131°33 '00"
Dibuat oleh, Salvinus Solarbesain C252070101/SPL
Peta Lokasi Penelitian P. Seram
Irian Jaya
P. Buru
4°58'00"
4°58'00"
Provinsi Maluku
Kab. Maluku Tenggara Barat
P. Wetar
7 °2 9'00"
7 °29 '00"
Lokasi Penelitian
KEP. TANIMBAR
Kab. Maluku Kab. MalukuTenggara Barat DayaBarat
NTT N
Timor Leste 0 126 °31'00"
129°2'0 0"
100
200 Km
131°33 '00"
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian Pulau Matakus Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku.
Gambar 3 Peta Lokasi Sampling
29
Tabel 1 Jenis data yang dibutuhkan, metode pengumpulan, sumber data dan alat/bahan yang digunakan dalam penelitian. Komponen Data 1 A. Komponen Biofisik - Biologi 1. Tutupan komunitas karang 2. Jenis pertumbuhan terumbu karang (life form) 3. Jenis ikan karang - Fisik 1. Kedalaman perairan 2. Tipe pantai 3. Lebar pantai 4. Material dasar perairan 5. Kecepatan arus 6. Kemiringan pantai 7. Kecerahan perairan 8. Penutupan lahan pantai 9. Ketersedian air tawar B. Sosial Ekonomi - Umur, mata pencaharian, pendapatan, pendidikan, persepsi masyarakat desa, wisatawan dan Pemda. - Populasi Wisatawan Lokal & Mancanegara C. Aksesibilitas: Jarak, alat serta ketersedian transportasi D. Kondisi umum daerah penelitian: - Kondisi geografis dan administratif - Kondisi iklim dan cuaca - Sarana dan prasarana
Metode Pengumpulan Data
Sumber Data
Alat/bahanyang digunakan
2
3
4
Pengukuran di lapangan, data sekunder, interpretasi citra Pengukuran di lapangan, data sekunder
Insitu/DKP MTB Citra Landsat
Fin, Masker, Snorkel, GPS
Insitu/DKP MTB
sda
Visual Sensus dan Data sekunder
Insitu/DKP MTB
sda
Pengukuran di Lapangan dan data sekunder Pengamatan di lapangan Pengukuran di Lapangan Pengamatan di lapangan Data sekunder dan Pengukuran di lapangan
Insitu/DKP MTB
Meteran, GPS
Insitu Insitu Insitu
Daftrar isian Meteran, GPS Daftar isian
Insitu/DKP MTB
Pengukuran di lapangan Pengukuran di lapangan Pengamatan di lapangan
Insitu Insitu Insitu
Botol aqua, tali dan pemberat Meteran, GPS Sechhi disk Daftar isian
Pengamatan di lapangan
Insitu
Meteran, GPS
Wawancara dan Data sekunder
Insitu, BPS
Kuesioner
Wawancara dan Data Sekunder
Dinas Pariwisata
Daftar isian
Observasi, Wawancara dan data sekunder
Insitu, DinasPerhubung
Daftar Isian, Kuesioner
Studi literatur/Laporan
Bappeda
Daftar Isian
Studi Literatur/Laporan
BMG
Daftar Isian
Studi literatur
Dinas Pariwisata
Daftar Isian
30
-
1 Demografi dan kependudukan Rencana Strategis Kabupaten MTB dan laporan-laporan Pemda
E. Peta-peta pendukung, yaitu: - Peta Rupa bumi - Bathimetri - Citra Satelit Landsat 7ETM
2 Studi literatur
BPS
3
4 Daftar Isian
Studi Literatur
Bappeda MTB
Daftar Isian
Survei Literatur Survei Literatur Survei Literatur
Bakosurtanal Dishidros AL Biotrop
3.3.2 Metode Pengambilan Contoh Data Biofisik. Lokasi pengambilan data biofisik dilakukan di perairan dan daratan Pulau Matakus meliputi 9 (sembilan) stasiun pengamatan (Gambar 3). Penentuan stasiun penelitian dilakukan secara sengaja (pusposive sampling) didasarkan pertimbangan bahwa lokasi stasiun mewakili wilayah aktifitas masyarakat lokal dan wisata, daerah yang terbuka dan tertutup dari hempasan gelombang. Selain itu juga berdasarkan pada pengamatan kualitatif, yaitu dengan melihat keragaman penutupan karang dan kondisi pantai yang dilakukan secara visual pada hasil pengolahan citra awal. Berdasarkan hasil pengolahan citra awal diperoleh gambaran tentang kondisi dan penyebaran terumbu karang secara umum, serta kondisi biofisik daratan sehingga dapat ditentukan daerah yang tepat untuk dijadikan stasiun/lokasi pengamatan. Pengambilan data primer terumbu karang dilakukan pada stasiun penelitian yang telah ditentukan dengan metode Manta Tow untuk memperoleh data profil dan kondisi terumbu karang yang berupa bentuk pertumbuhan karang dan persentase penutupan karang hidup. Data hasil pengamatan dicatat pada tabel data dengan menggunakan nilai kategori atau dengan nilai persentase bilangan bulat. Data primer ikan karang di peroleh dengan metode Sensus Visual (coralreef fish visual cencus) yaitu metode untuk mengidentifikasi ikan karang melalui pengamatan terhadap ikan – ikan karang yang ditemui di sekitar titik sampling. Keberadaan ikan karang dicatat berdasarkan gambar panduan jenis – jenis ikan karang yang dibawa oleh penyelam dan penentuan jenis ikan tersebut dilakukan berdasarkan nama latin spesiesnya (English et al. 1997). Peralatan yang
31
digunakan meliputi kaca mata selam (masker), snorkel, fin, papan manta, peralatan tulis bawah air, stop watch dan GPS. Pengambilan data kondisi pantai (kemiringan, tipe, lebar, penutupan lahan/vegetasi), kedalaman perairan, material dasar perairan, kecepatan arus, kedalaman dan ketersediaan air tawar dilakukan melalui observasi dan pengukuran langsung di lapangan. Peralatan yang digunakan meliputi meteran, GPS, dan current meter dan secchi dish. Untuk mendukung data primer kondisi biofisik lokasi penelitian, dikumpulkan juga data – data sekunder. Data sekunder tentang kondisi terumbu karang, jenis ikan karang, hidrooseanografi, vegetasi dan kondisi pantai Pulau Matakus diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan MTB dalam bentuk Laporan Akhir Data Base Kelautan dan Perikanan Kabupaten MTB. Data Sosial Ekonomi. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metode survei melalui teknik wawancara secara mendalam dengan responden (indept interview). Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi lokasi penelitian, kondisi sosial ekonomi dan persepsi atau pemahaman masyarakat Desa Matakus, wisatawan dan Pemerintah Daerah tentang pengelolaan Pulau Matakus sebagai kawasan ekowisata pesisir dan laut. Pengumpulan data primer dibantu dengan daftar pertanyaan terstruktur (kuesioner) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Unit populasi sebagai dasar penentuan responden dari unsur masyarakat adalah kepala keluarga (KK) yang tinggal di desa Matakus. Penentuan responden dilakukan dengan sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa: 1) responden adalah penduduk dewasa yang sekurang-kurangnya telah menetap selama 3 tahun dan, 2) penduduk yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut di pulau Matakus. Penduduk dewasa dalam hal adalah yang bersangkutan telah matang mengambil keputusan dan berpikir secara positif dalam mengambil tindakan dan diharapkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Responden terdiri atas tokoh masyarakat, tokoh agama, nelayan, petani, pedagang, pemilik guesthouse, dan angkatan muda.
32
Penentuan jumlah responden (sampel) dari populasi dimaksud menggunakan persamaan yang dikemukakan oleh Slovin, (1960) yang di acu dalam Sevilla et al., (1993) yaitu:
n = N / ( 1 + Ne2 ) dimana, n : ukuran sampel N : ukuran populasi masyarakat Matakus e : persentase ketidaktelitian karena pengambilan contoh (10%) Jumlah kepala keluarga di Pulau Matakus pada tahun 2007-2008 tercatat sebanyak 97 KK (Kabupaten MTB, 2008), sehingga berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus diatas dan persentase ketidaktelitian 10%, diperoleh jumlah sampel sebanyak 50 KK. Pemilihan sampel responden dari unsur wisatawan dilakukan secara accidental sampling, yaitu sampel yang diambil dari siapa saja yang kebetulan ada di lokasi penelitian dan bersedia menjadi responden sedangkan pemilihan responden dari unsur Pemerintah Daerah dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa responden adalah individu atau lembaga yang berperan dalam pengambilan kebijakan sehubungan dengan pengelolaan Pulau Matakus baik langsung maupun tidak langsung. Responden yang diperlukan terdiri atas para pejabat atau staf yang berasal dari BAPPEDA, Dinas Pariwisata, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan dan Pertanian, dan Dinas Perhubungan Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
3.4 Metode Analisis Data 3.4.1 Analisis Kondisi Terumbu Karang Untuk mengetahui kondisi terumbu karang pada lokasi penelitian, maka data hasil pengamatan di tabulasikan dan dianalisis dengan menghitung nilai median (median values) kategori tutupan karang dari seluruh titik pengamatan yang menggambarkan persentase tutupan karang hidup menggunakan software statistic Microsoft Office Exel 2007. Klasifikasi kategori yang menggambarkan persentase tutupan karang dapat dilihat pada Gambar 4 (English et al., 1997).
33
Kategori 1 0 – 10% Kategori2 11 – 30% Kategori 3 31 – 50% Kategori 4 51 – 75% Kategori 5 76 – 100%
Gambar 4
Kategori dan persentase tutupan karang untuk menilai persentase karang hidup (English et al., 1997).
Selanjutnya data kondisi persentase penutupan karang hidup yang diperoleh dibandingkan dengan kategori penutupan karang hidup menurut Gomes dan Yap (1998), yaitu: a.
0% - 24.9%
: penutupan karang kategori jelek
b.
25% - 49.9%
: penutupan karang kategori sedang
c.
50% - 74.9%
: penutupan karang kategori baik
d.
75% - 100%
: penutupan karang kategori sangat baik
3.4.2 Analisis Zonasi Kawasan Konservasi Pulau Matakus Analisis zonasi ditujukan untuk melakukan konsevasi sumberdaya pesisir dan laut di kawasan Pulau Matakus dalam mendukung kegiatan ekowisata pesisir dan laut. Pembagian zonasi terdiri atas tiga bagian yaitu zona inti, zona penyanga dan zona pemanfaatan langsung. Di tiap zonasi tersebut akan dibuat desain masing-masing kegiatan wisata yang cocok. Pengkajian zonasi ini dibutuhkan beberapa kriteria. Kriteria yang digunakan terdiri atas kelompok kriteria ekologi, ekonomi dan sosial sebagaimana terlihat pada Lampiran 7 (modifikasi dari Salm et al., 2000 dalam Soselisa, 2006). Selanjutnya, berdasarkan hasil zonasi yang diperoleh dilanjutkan dengan pembagian zonasi berdasarkan kegiatan wisata yang dihasilkan dari analisis kesesuaian kawasan.
34
Pembagian zonasi
peruntukan kawasan
Pulau
Matakus dilakukan
berdasarkan persentase total nilai skoring kriteria di tiap stasiun pengamatan yang diperoleh dengan membandingkan total nilai skoring kriteria stasiun ke-i dengan total nilai skoring keseluruhan kriteria dikalikan 100 persen. Dengan menggunakan teknik interval kelas, zonasi peruntukan pulau dibagi atas tiga zona yaitu Zona Inti dengan interval nilai persentase > 70%, Zona Pemanfaatan Langsung dengan interval nilai persentase 60% - 70% dan Zona pemanfaatan tidak langsung (zona penyangga) dengan interval nilai persentase <60% (Baksir, 2009). 3.4.3 Analisis Kesesuaian Kawasan Untuk Ekowisata Bahari Analisis kesesuaian lahan merupakan suatu kajian untuk menilai kecocokan dan kelayakan berbagai macam aktivitas yang akan dilakukan disuatu kawasan sesuai
dengan
potensi
sumberdaya
dan
peruntukaannya
dengan
mempertimbangkan berbagai parameter. Hal ini mengingat walaupun secara visual suatu lokasi kelihatan indah dijadikan lokasi wisata, namun belum tentu sesuai secara ekologis mengingat ada berbagai paramaeter baik fisik maupun biologi yang harus diamati dan dinilai secara ilmiah untuk menentukan sesuai tidaknya lokasi tersebut untuk kegiatan wisata. Kesesuaian kawasan juga merupakan suatu pola pikir yang mengarah pada pertimbangan bahwa betapapun besarnya daya tarik dari suatu lokasi, secara ekologis tetap akan memiliki keterbatasan (scarcity), sehingga jumlah dan frekuensi kunjungan dalam suatu ruang dan waktu harus disesuaikan dengan kaedah yang berlaku. Analisis kesesuaian yang dilakukan dalam penelitian ini hanya difokuskan untuk peruntukan kawasan ekowisata bahari (jenis kegiatan selam, snorkling, berenang, mendayung, jet ski dan perahu layar) dan wisata pantai (jenis kegiatan rekreasi pantai, olahraga pantai, sunbathing dan camping). Tahapan proses analisis kesesuaian lahan Pulau Matakus untuk kegiatan wisata pesisir dan lautan di lakukan dengan teknik yang dikemukakan oleh Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) meliputi:
35
1.
Penetapan persyaratan (parameter dan kriteria), pembobotan dan skoring. Parameter di amati dan diukur di lapangan. Untuk masing-masing jenis kegiatan wisata penetapan parameter tidak sama. Parameter dan kriteria disusun berdasarkan parameter biofisik yang relavan dengan setiap kegiatan. Parameter yang menentukan di berikan bobot terbesar sedangkan kriteria (batas-batas) yang sesuai diberikan skor tertinggi. Pada penelitian ini, matriks kesesuaian yang digunakan mengacu pada Bakosurtanal (1996) dan Yulianda (2007) dengan sedikit modifikasi. Bobot untuk setiap parameter adalah antara 1 – 10, demikian juga untuk penetuan skor berkisar antara 1 – 10. Untuk parameter yang dianggap dominan diberikan nilai bobot yang besar, sedangkan yang dianggap kurang dominan/berpengaruh diberikan nilai yang rendah. Pemberian nilai skor (scoring) berbeda untuk tiap kelas kesesuaian, tetapi sama nilainya untuk semua parameter dalam kelas kesesuaian yang sama. Kelas S1 diberikan nilai 3, kelas S2 diberikan nilai 2, dan kelas N diberikan nilai 1. a. Wisata Bahari Wisata bahari meliputi jenis kegiatan selam, snorkling, berenang, berperahu, dan olah raga air (jet ski dan banana boat). Kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam mempertimbangkan enam parameter dengan tiga klasifikasi penilaian. Parameter dimaksud antara lain kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis life form, jenis ikan karang, kecepatan arus dan kedalaman terumbu karang. Selanjutnya penetapan kriteria, bobot dan skor dari masing-masing parameter dapat dilihat pada Tabel 2.
36
Tabel 2 Matriks Kesesuaian untuk Wisata Bahari Kategori Selam No. 1 2 3 4 5 6
Kriteria Kecerahan Perairan (%) Tutupan komunitas karang (%) Jenis life form Jenis ikan karang Kecepatan arus (cm/det) Kedalaman terumbu karang
Bobot
S1
Kelas Kesesuaian dan Skor Skor S2 Skor N
Skor
5
>80
3
50 - 80
2
< 50
1
5
>75
3
> 50-75
2
<50
1
4
> 12
3
< 7 - 12
2
<7
1
4
>100
3
50 - 100
2
< 50
1
3
0-15
3
15 - 50
2
> 50
1
3
6 - 15
3
15 - 30
2
> 30
1
Sumber : Modifikasi dari Yulianda (2007)
Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai
Kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkling mempertimbangkan 7 parameter dengan tiga klasifikasi penilaian. Parameter kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkling antara lain kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis life form, jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman terumbu karang dan lebar hamparan datar karang sedangkan penetapan kriteria, bobot dan skor dari masing-masing parameter dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Matriks Kesesuaian untuk Wisata Bahari Kategori Snorkling N o 1 2 3 4 5 6 7
Kriteria Kecerahan Perairan (%) Tutupan komunitas karang (%) Jenis life form Jenis ikan karang Kecepatan arus (cm/det) Kedalaman terumbu karang Lebar Hamparan Datar Karang (m)
Bobot
S1
Kelas Kesesuaian dan Skor Skor S2 Skor N 50 3 2 < 50 <100
Skor
5
100
5
>75
3
> 50-75
2
<50
1
4 4
> 12 >100
3 3
< 7 - 12 50 - 100
2 2
<7 < 50
1 1
3
0-15
3
15 - 50
2
> 50
1
3
1-5
3
5-10
2
> 10
1
3
> 500
3
50-500
2
< 50
1
Sumber : Modifikasi dari Yulianda (2007)
1
Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai
Kesesuaian wisata bahari untuk kegiatan berperahu, jet ski, banana boat dan perahu layar mempertimbangkan 2 parameter dengan tiga klasifikasi
37
penilaian. Parameter tersebut antara lain kedalaman dan kecepatan arus sedangkan penetapan kriteria, bobot dan skor dari masing-masing parameter dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Matriks kesesuaian untuk wisata bahari kegiatan berperahu, jet ski dan banana boat Kelas Kesesuaian dan Skor Skor S2 Skor N
No
Kriteria
Bobot
1
Kedalaman (m) Kecepatan Arus (cm/det)
3
10 – 25
3
5 – 10
2
<5
1
5
0 – 15
3
15 – 50
2
> 50
1
2
S1
Skor
Sumber: Modifikasi dari Bakosurtanal (1996); Yulianda (2007). Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai.
b. Wisata Pantai Kesesuaian wisata pantai dengan jenis kegiatan rekreasi pantai mempertimbangkan 10 parameter dengan tiga klasifikasi penilaian. Parameter tersebut antara lain kedalaman perairan, tipe pantai, lebar pantai, material dasar perairan, kecepatan arus, kemiringan pantai, penutupan lahan pantai, biota berbahaya dan ketersediaan air tawar (Tabel 5). Tabel 5 Matriks Kesesuaian Lahan untuk Wisata Pantai Kategori Rekreasi Pantai Kelas Kesesuaian (Skor) S2 (2)
N o
Kriteria
Bobot
1
Kedalaman perairan (m)
5
0–5
2
Tipe pantai
5
Pasir putih
3 4 5 6
Lebar pantai (m) Material dasar perairan Kecepatan arus (cm/dt) Kemiringan pantai (0)
5 4 4 4
> 15 Pasir 0 – 20 < 15
7
Kecerahan perairan (%)
4
8
Penutupan lahan pantai
3
> 80 Kelapa, lahan terbuka
9
Biota berbahaya
3
Tidak ada
Bulu babi
10
Ketersediaan air tawar (jarak/km)
3
<1
1–2
Sumber : Modifikasi dari Yulianda (2007)
S1 (3)
N(1)
5 – 10
> 10
Pasir hitam berkarang 5 - 15 Pasir berkarang 20 – 50 15 – 45
Lumpur, berbatu terjal <5 lumpur > 50 > 45
50 – 80
< 50 Hutan bakau, pemukiman Bulu babi, ikan pari, lepu, hiu
Semak belukar
>2
Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N: Tidak Sesuai
38
Kesesuaian wisata pantai untuk kegiatan olahraga pantai dan berjemur (sun bathing) mempertimbangkan 5 parameter dengan tiga klasifikasi penilaian. Parameter tersebut antara lain substrat, luas pantai, panjang pantai, tipe pantai dan penutupan lahan pantai sedangkan penetapan kriteria, bobot dan skor dari masing-masing parameter dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Matriks kesesuaian untuk wisata pantai jenis kegiatan olahraga pantai, dan berjemur (sun bathing) N o 1 2 3
Kriteria Substrat Luasan Pantai (m2) Panjang Pantai (m)
Bobot
Skor
5
Pasir
3
Karang Pasir
2
5
>2500
3
1000-2500
5
> 300
3
100-300
Berpasi 3 r Penutupan Lahan 5 3 3 Lahan Pantai terbuka Sumber: Modifikasi dari Bakosurtanal (1996); N : Tidak Sesuai. 4
2.
Tipe Pantai
Kelas Kesesuaian (Skor) S2 Skor
S1
3
N Pasir Lumpur/ Lumpur
Skor
2
<1000
1
2
<100
1
1
Pasir, sedikit Lumpur, 2 1 karang karang Semak Hutan 2 1 Belukar bakau Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai;
Penghitungan nilai peruntukan lahan Setiap kegiatan wisata mempunyai persyaratan sumberdaya dan lingkungan yang sesuai dengan obyek wisata yang akan dikembangkan. Rumus yang digunakan untuk menentukan kesesuaian wisata adalah (Yulianda (2007) : IKW = ∑ [ Ni/ Nmaks] x 100%
Dimana :
IKW
: Indeks Kesesuaian Wisata
Ni
: Nilai Paramater ke-i (Bobot x Skor)
Nmaks : Nilai Maksimum dari suatu kategori wisata 3.
Pembagian kelas lahan dan nilainya Berdasarkan matriks kesesuaian yang berisi parameter – parameter kesesuaian, kemudian disusun kelas kesesuaian untuk kegiatan wisata pantai dan bahari. Kelas kesesuaian pada matriks ini menggambarkan tingkat kecocokan dari kawasan Pulau Matakus untuk peruntukan kegiatan wisata
39
dengan konsep ekowisata. Dalam penelitian ini, kelas keseuaian lahan dibagi dalam 3 kelas yaitu; sangat sesuai (S1), sesuai (S2), dan tidak sesuai (N). Defenisi masing-masing kelas kesesuaian tersebut adalah : 1. Kelas S1: sangat sesuai (highly suitable), yaitu lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap kegiatan atau produksi lahan tersebut, serta tidak akan menambah masukan dari pengusahaan lahan tersebut. 2. Kelas S2: sesuai (suitable), yaitu lahan yang mempunyai pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus di terapkan. Pembatas tersebut akan mengurangi aktivitas dan keuntungan yang diperoleh, serta meningkatkan masukan untuk mengusahakan lahan tersebut. 3. Kelas N: tidak sesuai
(not suitable), yaitu lahan yang mempunyai
pembatas berat/parmanen, sehingga tidak mungkin dipergunakan terhadap suatu penggunaan tertentu yang lestari. Sesuai dengan faktor pembatas dan tingkat keberhasilan yang dimiliki oleh masing-masing lahan, maka lahan S1 dinilai sebesar > 80%; S2 dinilai sebesar 66 - 80% dan N dinilai sebesar < 66%. Semakin kecil faktor pembatas dan peluang keberhasilan atau produksi suatu lahan, semakin besar pula nilainya. 4.
Memadankan (membandingkan) nilai lahan dengan nilai masing-masing kelas lahan. Dengan cara ini, kelas kesesuain lahan untuk penggunaan tertentu diperoleh.
5.
Pemetaan kelas kesesuain lahan. Pemetaan kelas kesesuaian menggunakan analisis keruangan (spatial analysis). Dengan analisis ini akan dihasilkan peta – peta kesesuain untuk berbagai kegiatan wisata pesisir dan laut di Pulau Matakus. Dalam penelitian ini, penggunaan analisis keruangan untuk mengidentifikasi pemanfaatan ruang dilakukan dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) menggunakan program ArcView Version 3.4.
40
Penggunaan SIG untuk analisis spasial dapat dilakukan dengan teknik spatial overlay modelling. Metode ini menggunakan pembobotan pada sejumlah alternatif faktor yang berpengaruh dan skor kesesuaian pada setiap kriteria yang ditentukan. Basis data akan dibentuk dari data spasial dan data atribut, kemudian dibuat dalam bentuk layers atau coverage dimana akan dihasilkan peta-peta tematik dalam format digital sesuai kebutuhan/parameter untuk masingmasing jenis kesesuaian lahan. Setelah basis data terbentuk, analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay) terhadap parameter yang berbentuk poligon. Proses overlay dilakukan dengan cara menggabungkan masing-masing layers untuk tiap jenis kesesuain lahan. Penilaian terhadap kelas kesesuaian dilakukan dengan melihat nilai indeks overlay dari masingmasing jenis kesesuaian lahan tersebut. Pelaksanaan operasi tumpang susun untuk setiap peruntukan dimulai dari parameter yang paling penting (bobotnya terbesar), berurutan hingga parameter yang kurang penting. 3.4.4 Analisis Daya Dukung untuk Pariwisata Analisis daya dukung ditujukan untuk pengembangan wisata bahari dan pesisir (coastal and marine tourism) dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir dan pantai pulau kecil secara lestari. Kawasan wisata membutuhkan ketenangan dan kenyamanan bagi wisatawan yang datang ke tempat tersebut. Selain itu kebutuhan setiap wisatawan akan ruang juga sangat berfariasi dan relatif, tergantung pada latar belakang budaya dan kemampuan ekonomi wisatawan. Dengan demikian berdasarkan analisis ini dapat ditentukan daya tampung kawasan pulau Matakus untuk menerima jumlah optimum atau jumlah maksimun wisatawan yang berkunjung ke kawasan Pulau Matakus. Daya Dukung Kawasan. Daya dukung kawasan adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia (Yulianda, 2007).
41
Metode yang digunakan untuk menghitung daya dukung pengembangan ekowisata alam adalah dengan dengan menggunakan konsep Daya Dukung Kawasan (DDK) yang diacu dari Yulianda (2007) dengan rumus sebagai berikut:
Lp DDK Kx Lt
Wt x Wp
Keterangan: DDK : Daya Dukung Kawasan (orang) K
: Potensi Ekologis pengunjung per satuan unit area (orang)
Lp
: Luas area (m2) atau panjang area (m) yang dapat dimanfaatkan
Lt
: Unit area untuk kategori tertentu (m2 atau m)
Wt
: Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam 1 hari (jam)
Wp : Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu (jam) Potensi ekologis pengunjung di tentukan oleh kondisi sumberdaya dan jenis kegiatan yang dikembangkan (Tabel 7). Luas suatu area yang dapat digunakan oleh pengunjung mempertimbangkan kemampuan alam mentolerir pengunjung sehingga keaslian alam tetap terjaga. Tabel 7 Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt). Jenis Kegiatan
K Unit Area (∑ Pengunjung) (Lt) Selam 2 1 000 m2 Snorkling 1 250 m2 Rekreasi Pantai 1 50 m Olahraga Pantai 1 50 m Olahraga perairan 1 500 m2 Sumber: Yulianda (2007); Modifikasi (2009)
Keterangan Setiap 2 org dlm 100 m x 10 m Setiap 1 org dalam 50 m x 5 m 1 org setiap 50 m panjang pantai 1 org setiap 50 m panjang pantai Setiap 1 org dalam 50 m x 10 m
Waktu kegiatan pengunjung (Wp) dihitung berdasarkan lamanya waktu yang dihabiskan pengunjung di lokasi wisata untuk melakukan kegiatan wisata seperti terlihat pada Tabel 8. Waktu pengunjung untuk kegiatan selam, snorkeling dan berjemur merupakan rata-rata waktu yang telah berlaku secara umum sedangkan waktu untuk kegiatan rekreasi pantai, berenang dan berperahu
42
diperoleh pada saat wawancara dengan wisatawan di lokasi penelitian. Waktu pengunjung diperhitungkan dengan waktu yang disediakan untuk kawasan (Wt). Waktu kawasan adalah lama waktu areal dibuka dalam satu hari dan rata-rata waktu kerja sekitar 8 jam (Yulianda, 2007). Tabel 8 Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata No.
Kegiatan
1 2 3 4 5
Selam Snorkling Berjemur Rekreasi Pantai Olahraga Air/berperahu
Waktu yang di Butuhkan Wp-(Jam) 2 3 2 Hasil wawancara (3) 2
Total Waktu 1 hari Wt-(Jam) 8 6 4 6 4
Sumber: Modifikasi dari Yulianda (2007)
Ecological Footprint Analysis (EFA). Ecological footprint merupakan suatu konsep daya dukung lingkungan dengan memperhatikan tingkat konsumsi masyarakat, sehingga perbandingan ketersediaan areal untuk populasi di suatu wilayah dengan
ketersediaan ecological
capacity,
defisit
atau
surplus
keberlanjutan dapat dikuantitatifkan (Adrianto, 2006). Analisis ecological footprint digunakan untuk mengestimasi daya dukung lingkungan Pulau Matakus untuk pengembangan ekowisata bahari secara berkelanjutan berdasarkan luas total kawasan yang sesuai untuk kegiatan ekowisata bahari. Secara teoritis, EFA bertujuan
untuk mengekspresikan kesesuaian area
yang produktif secara ekologi terhadap kebutuhan penduduk atau tingkat ekonomi tertentu melalui indeks keruangan (Haberl et al. 2001 dalam Adrianto, 2006). Yang fundamental dari metode ecological footprint adalah ide untuk menunjukkan areal dalam beberapa tipe areal yang digunakan per kapita dari perhitungan terhadap populasi suatu wilayah. Model Haberl’s digunakan sebagai model dasar perhitungan ecological footprint (Haberl et al. 2001 dalam Adrianto, 2006), yaitu sebagai berikut :
EFi DE i Yloki
Sedangkan,
EFlok EFi
43
Keterangan,
EFi
: Ecological Footprint komponen wisata ke-i (ha/orang)
EFlok : Total Ecological Footprint local (ha/orang) DEi
: Konsumsi produk komponen wisata ke-i (kg/orang)
Ylok i
: Produktivitas lokal komponen wisata ke-i (kg/ha)
Total ecological footprint untuk setiap wisatawan terdiri dari jumlah keseluruhan kategori lahan bangunan (built-up land), lahan energy fosil (fosil energy land), lahan pertanian (crop land), padang rumput (pasture land), hutan (forest land) dan ruang laut (sea space). Untuk menghitung ecological footprint dari perjalanan wisatawan yang mengunjungi Pulau Matakus, sumberdaya dan lahan yang digunakan dibagi ke dalam empat komponen yaitu transportasi, akomodasi, aktifitas, dan konsumsi pangan untuk wisata. Transportasi terdiri dari semua perjalanan yang berhubungan dengan wisata, dari saumlaki menuju dan kembali dari Pulau Matakus. Transportasi ini mempertimbangkan kebutuhan infrastruktur (jalan dan pelabuhan)
yang
diperlukan berkaitan dengan kegiatan wisata. Area yang dibutuhkan tiap wisatawan (disebut sebagai footprint Build-up land dari komponen transportasi) dihitung dengan membagi total area perjalanan wisata dengan jumlah kedatangan touris tahun 2007. Total area perjalanan wisata adalah total area yang dibutuhkan untuk infrastruktur dalam proses perjalanan (jalan dan pelabuhan). Untuk akomodasi, footprint wisatawan terdiri dari area yang diperlukan untuk akomodasi (homestay) dan fossil energy land untuk menghitung penggunaan energy (penerangan). Footprint Bild-up Land dari komponen akomodasi dihitung dengan membagi total area kebutuhan akomodasi dengan jumlah kedatangan touris tahun 2007. Total area akomodasi wisata adalah total area yang dibutuhkan untuk infrastruktur seperti guesthouse, homestay dll. Total area diperoleh dengan mengalikan luas area setiap jenis infrastruktur dengan jumlah infrastruktur yang tersedia. Footprint energy dari komponen akomodasi dihitung berdasaran total energi yang digunakan dihitung dengan mengalikan penggunaan energy tiap guesthouse dengan jumlah guesthouse kemudian dibagi dengan jumlah touris.
44
Aktifitas meliputi kunjungan ke lokasi yang spesifik untuk tujuan rekreasi seperti melihat lokasi bersejarah (budaya), rekreasi pantai, hiburan (bioskop, bar dll), kegiatan olahraga (diving, snorkling jet ski dll). Dalam kasus ini, footprint wisatawan untuk aktifitas walaupun berhubungan dengan ruang laut namun dianggap merupakan bagian dari build-up land. Ruang laut adalah luas ruang yang dibutuhkan oleh wisatawan untuk rekreasi pantai, diving dan snorkling. Luas ruang untuk aktifitas wisata di Pulau Matakus ini dapat diketahui dengan bantuan analisis kesesuaian lahan menggunakan GIS. Konsumsi sandang dan pangan untuk wisata merupakan footprint dari pangan dan sandang berdasarkan lahan pertanian (crop land), hutan (forest land), produktivitas ruang laut (sea space) dan padang rumput (pasture land). Karena kurangnya ketersediaan data statistik dalam menghitung footprint konsumsi sandang dan pangan di lokasi penelitian, maka untuk mengatasi masalah ini diasumsikan bahwa kualitas dan jumlah makanan yang dikonsumsi wisatawan di lokasi penelitian mirip dengan yang biasanya dikonsumsi seharian di rumah. Dengan demikian footprint sandang dan pangan dapat dihitung berdasarkan data footprint nasional asal wisatawan yang dominan mengunjungi Pulau Matakus (Australia, Inggris dan Indonesia) dalam Living Planet Repport edisi 2008 yang diproduksi oleh WWF (WWF et al., 2008). Jumlah sumbangan rata-rata tahunan ruang untuk konsumsi pangan dan sandang adalah 6 hari yang merupakan ratarata lama tinggal di Pulau Matakus. Untuk menjumlahkan kategori ruang yang berbeda terhadap footprint total maka area dikalikan dengan equivalence factors (Wackernagel et al., 1999 dalam Gosling et al., 2002). Equivalence factor menggambarkan produktifitas relative rata – rata dunia dalam hektar dalam tipe lahan yang berbeda. Semua Negara memiliki Equivalence factor yang sama dan berubah sedikit dari tahun ke tahun. Equivalence factor dapat digunakan dalam perhitungan biocapacity dan footprint dan dilaporkan dalam satuan global hektar (gha). Equivalence factor untuk tiap kategori ruang yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada revisi terbaru dalam Living Planet Report edisi 2008 seperti terdapat pada Tabel 9.
45
Tabel 9 Equivalence Factor berdasarkan hasil biomasa relatif -
Kategori Ruang Fosil energy land (newly planted forest area needed to absorb emited CO2) Built up land (required for roads, houses, playgrounds etc). Arable land (for growing crops) Pasture (for grazing animals) Sea Space (for harvesting fish and other sea food) Forest area (for producing wood for forniture, paper, etc.
Nilai 1.33 2.64 2.64 0.50 0.40 1.33
Sumber: WWF et al., (2008).
Dalam konteks ini, pemanfaatan sumberdaya secara optimal tercapai apabila nilai ecological footprint sama dengan nilai kapasitas biologis (bio-capacity) dari sumberdaya alam yang dianalisis. Sementara itu biocapacity (BC) dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Lenzen dan Murray 2001):
BCj AjYFj dimana,
BCj : Biocapacity ruang ke-j yang diperlukan untuk pariwisata Aj : Luas land cover kategori ke-j (ha); YF : Yield factor land cover kategori ke-j.
Yield faktor menggambarkan produktivitas relatif nasional dan rata – rata dunia dalam hektar dari setiap tipe land use. Yield factor tiap land use yang digunakan dalam perhitungan biocapacity dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Yield factor untuk setiap tipe land use Tipe Land Use
-
Yield Factor
Build up Cropland/arable land Pasture land Forest land Fishing ground
1.0 1.7 2.2 1.3 0.6
Sumber: Modifikasi dari Lenzen dan Murray (2001) dan Global Footprint Network (2008)
Selanjutnya daya dukung lingkungan (carrying capacity/CC) dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
CC
BC j EFi
46
dimana,
BCj : Biocapacity ruang ke-i untuk wisata (ha) EFi : Ecological footprint komponen wisata ke-i (ha/orang) CC : Carrying Capacity (orang).
Untuk memprediksi jumlah wisatawan dan kondisi ecological footprint selama 10 tahun kedepan, dilakukan pemodelan dinamik dengan menggunakan software Stella 9.0.2. Causal loop dan model dinamik yang akan dibangun, dikembangkan dari konsep dan hasil perhitungan ecological footprint dan biocapacity secara manual.
3.4.5 Analisis Persepsi Masyarakat, Wisatawan dan Pemerintah Daerah Persepsi masyarakat desa Matakus, wisatawan dan Pemerintah Daerah MTB terhadap pengembangan ekowisata bahari di Pulau Matakus, diketahui melalui persentase jawaban responden dari ketiga unsur tersebut terhadap pertanyaan – pertanyaan yang terdapat di dalam kuesioner pada saat wawancara berlangsung. Persentase untuk tiap jawaban didapatkan dengan mempergunakan rumus sebagai berikut: Pi = (AJi / TR) x 100% dimana,
Pi : Kualitas Persepsi ke-i AJ : Aspirasi jawaban responden ke-i TR : Total responden yang menjawab.
Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik responden dengan kondisi sosial ekonomi yang berpengaruh besar terhadap persepsi digunakan metode analisis statistic multivariable yaitu Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis). Menurut Bengen (2000), tujuan utama penggunaan analisis ini adalah: 1.
Mengekstraksi informasi esensial yang terdapat dalam suatu tabel/matriks data berukuran besar.
2.
Menghasilkan suatu representasi grafik yang memudahkan interpretasi.
3.
Mempelajari suatu tabel/matrik data dari sudut pandang kemiripan antara individu atau hubungan antar variabel.
47
4. PROFIL KAWASAN PULAU MATAKUS
4.1 Gambaran Umum Pulau Matakus merupakan salah satu pulau kecil yang terletak di depan Teluk Saumlaki serta berada tepat di Selat Egron yang terletak antara Pulau 0
Yamdena dan Pulau Selaru. Secara geografis terletak pada posisi 131 11’445” 0
Bujur Timur dan 08 03’682” Lintang Selatan. Secara adminstratif, Pulau Matakus termasuk dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Tanimbar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara Barat dengan batasbatas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Saumlaki dan Pulau Yamdena
Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura
Sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Selaru
Sebelah Timur dengan Pulau Asutubun dan laut Arafura Di pulau ini terdapat sebuah desa yang dihuni oleh 97 kepala keluarga
dengan jumlah jiwa sekitar 410 orang. Pada awalnya secara administrative Matakus berstatus sebagai lingkungan dan berada dibawah kelurahan Saumlaki dan baru ditingkatkan statusnya sebagai desa defenitif berdasarkan Peraturan Bupati Maluku Tenggara Barat No: 40 tahun 2008 tentang Pembentukan Lingkungan Matakus menjadi Desa dan baru saja diresmikan pada tanggal 10 Maret 2009. Luas Pulau Matakus adalah sekitar 474 ha dengan keliling pulau ± 9 972 m2. Pulau ini hampir seluruhnya dikelilingi oleh pasir putih yang halus, hanya pada bagian selatan pulau tipe pantainya berbatu karang dengan sedikit tutupan mangrove. Aksesibilitas ke Pulau Matakus sangat mudah dan dapat ditempuh dengan menggunakan speed boat maupun motor laut milik masyarakat dari pelabuhan Saumlaki. Apabila menggunakan speed boat, waktu yang dibutuhkan kurang lebih 15 – 20 menit, sedangkan jika menggunakan mator laut, dibutuhkan waktu sekitar 40 – 50 menit untuk mencapai Pulau Matakus.
48
4.2 Kondisi Biofisik Kawasan 4.2.1 Iklim Kondisi iklim di Pulau Matakus yang termasuk dalam gugus Pulau Tanimbar dipengaruhi oleh laut Banda, Laut Arafura, juga dibayangi oleh Pulau Irian bagian Timur dan Benua Australia bagian Selatan sehingga sewaktu – waktu mengalami perubahan. Keadaan musim di pulau ini berlangsung teratur, musim timur berlangsung dari bulan April sampai Oktober. Musim ini adalah musim kemarau sedangkan musim barat berlangsung dari bulan Oktober sampai Pebruari. Musim hujan pada bulan Desember sampai bulan Pebruari dan yang paling deras terjadi pada bulan Desember dan Pebruari. Musim
pancaroba
berlangsung
dalam
bulan
Maret/April
dan
Oktober/Nopember. Bulan April sampai Oktober bertiup angin Timur Tenggara. Angin kencang bertiup pada bulan Januari dan Pebruari diikuti dengan hujan deras dan laut yang bergelora (DKP MTB, 2007). Data klimatologi rata – rata bulanan selama 10 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Rangkuman data klimatologi tahunan Kabupeten MTB Tahun Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Suhu Udara (0C) Rata Max Min rata 27.8 32.0 24.3 27.8 31.8 24.1 27.5 31.7 24.0 27.4 31.1 24.0 27.3 30.4 24.0 26.4 29.0 23.5 25.9 28.8 22.9 25.8 29.0 22.6 26.4 30.0 23.0 27.6 31.5 23.7 28.5 33.0 24.3 28.2 32.6 24.3
Curah Hujan Jumlah Hari (mm) Hujan 272 16 304 18 259 19 234 21 326 16 212 21 52 11 36 7 3.3 1 26 4 57 8 200 17
P. Matahar i (%) 45 53 56 58 67 54 71 84 93 91 79 54
Tek. Udara (milibar) 1 018.5 1 009.7 1 010.2 1 011.1 1 012.4 1 012.9 1 014.0 1 014.4 1 013.9 1 012.4 1 010 6 1 009.7
Kelemb aban (%) 84.7 85.0 85.5 83.6 80.0 80.8 77.4 77.1 78.4 78.0 78.6 82.1
Kec. Angin (knot) 5 6 4 4 7 8 8 8 7 5 4 4
Sumber: BMG stasiun Meteorologi Saumlaki (2009)
4.2.2 Geomorfologi dan Geologi Lingkungan Pesisir Morfologi daratan pulau Matakus. Bentuk lahannya terdiri dari dua kelas, yakni dataran dan berbukit dengan kelas lereng datar (0 – 3%) dan landai/berombak (3 – 8%). Bentuk lahan dataran umumnya terdapat di daerah pesisir patai dengan vegetasi yang dominan adalah kelapa, sedangkan bentuk
49
lahan berbukit terdapat memanjang di tengah pulau dan memiliki tanah yang subur sebagai tempat masyarakat untuk berkebun. Secara geologis, pulau Matakus memiliki morfologi pulau dataran dan tergolong sebagai pulau karang (coral) yang memiliki topografi landai atau daerah rendah dengan ketinggian 0 – 100 m. Proses Geomorfologi dan Bentuk lahan pesisir. Tenaga geomorfik yang berperan terhadap perubahan geomorfologi sepanjang pesisir Pulau Matakus adalah tenaga marin yakni gelombang, pasang surut dan arus. Proses geomorfologi di kawasan ini meliputi proses destruksional (pelapukan sepanjang garis pantai dan erosi pantai), dan proses kontruksional (pergerakan sedimen dan deposisi sedimen). Proses deposisi terjadi pada bagian utara pulau (depan desa) yang ditandai dengan makin jauhnya pantai berpasir jika dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu sedangkan pada bagian timur dan selatan, proses dekstruksi lebih dominan. Secara keseluruhan satuan bentuk lahan hasil proses tersebut adalah gisik (merupakan pantai tipe deposisional), rataan pasut bervegetasi mangrove (di ujung pulau bagian selatan), rataan terumbu karang (di bagian timur dan barat), rataan pengikisan gelombang (platform) dan tebing terjal (cliff) di bagian timur pulau (DKP MTB, 2007). Penggunaan Lahan Pulau. Penggunaan lahan daratan pesisir dan pantai di Pulau Matakus meliputi hutan primer, hutan sekunder, semak dan alang-alang, belukar, ladang/tegalan, kebun campuran, tanah kosong, dan pemukiman. Penggunaan lahan perairan pesisir di Pulau Matakus meliputi pantai berpasir, pantai berbatu, pantai tebing terjal, pantai berteras, saaru, rataan pasut berpasir, rataan pasut bervegetasi hutan mangrove, rataan terumbu karang, tepi terumbu, perairan penangkapan dan budidaya laut. Material pantai umumnya didominasi oleh pasir putih halus dengan substrat dasar perairan berpasir di sisi barat dan karang di sisi timur dan selatan pulau. Sumber Air Tanah. Kondisi topografi dan geologi di Pulau Matakus mempengaruhi ketersediaan sumber air tanah. Bentuk pulau yang datar menyebabkan ketersediaan sumber daya air di pulau ini sangat terbatas. Terdapat sekitar 3 sumber air tanah yang berjarak sekitar 200 – 1000 meter dari pemukiman penduduk, namun hanya satu sumber air yang digunakan untuk memenuhi
50
kebutuhan sehari-hari. Kedalaman sumber air berkisar antara 3 – 6 meter dan debit airnya kecil. 4.2.3 Kondisi Oseanografi Perairan Pesisir dan Laut Batimetri. Secara umum, distribusi kedalaman perairan yang dangkal di Kecamatan Tanimbar Selatan menyebar pada perairan pantai timur, termasuk Pulau Matakus di bagian selatan. Kelandaian perairan yang dihitung terhadap kontur kedalaman referensi 200 meter menunjukkan bahwa kelandaian perairan pantai Pulau Matakus sebesar 3% (DKP MTB, 2007). Kondisi batimetri perairan Pulau Matakus dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Peta batimetri perairan Pulau Matakus Pasang Surut. Pasang surut di perairan Pulau Matakus memiliki tipe yang sama dengan daerah lainnya di gugus Pulau Tanimbar yaitu digolongkan sebagai pasang campuran mirip harian ganda (predominantly semi diurnal tide) . Ciri utama tipe pasang surut ini adalah terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dimana pasang pertama selalu lebih besar dari pasang kedua. Tunggang air (tidal range) maksimum perairan ini umumnya berkisar antara 2 – 2.5 meter. Tunggang air yang demikian dapat menyebabkan bagian perairan yang lebih dangkal akan muncul kepermukaan. Peristiwa “Meti Kei” yang terjadi selama bulan Oktober memberikan dampak kekeringan yang luar biasa pada daerah ini sehingga dapat
51
berakibat fatal bagi organisme termasuk terumbu karang yang tidak mampu beradaptasi dengan kondisi eksrim tersebut (DKP MTB, 2007). Kondisi pasang surut yang terjadi disekitar lokasi penelitian berdasarkan ramalam pasut tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 6.
1.28
Tinggi (m)
1.26 1.24 1.22 1.2 1.18 1.16 Jan
Feb
Mrt
Aprl
Mei
Juni
Juli
Agsts Sept
Okt
Nov
Des
Bul a n
Gambar 6 Kondisi pasang surut pada tahun 2008 Kecerahan. Kecerahan perairan atau transparansi adalah kemampuan perairan untuk meloloskan cahaya matahari ke dalam kolom air dan sangat bergantung dari kandungan padatan tersuspensi, sudut matahari dan jenis awan. Berdasarkan hasil pengukuran ketika penelitian ini berlangsung, tingkat kecerahan perairan di kawasan Pulau Matakus berkisar antara 82% – 100%, sehingga jarak pandang terhadap objek yang ada di dalam kolom perairan cukup jauh dan jelas. Hal ini tentu saja sangat menguntungkan bagi wisatawan yang ingin melakukan aktifitas wisata selam dan snorkeling karena pesona bawah laut kawasan Pulau Matakus dapat dilihat dengan jelas. Arus. Arus atau perpindahan massa air di perairan kecamatan Tanimbar Selatan termasuk perairan Pulau Matakus merupakan kombinasi arus angin dan arus pasang surut . Arus angin mendominasi bagian timur Pulau Matakus karena berhadapan langsung dengan perairan terbuka, sedangkan arus pasang surut lebih dominan pada bagian barat karena perairannya merupakan bagian dari selat Egron. Kecepatan arus angin pada bulan Oktober di perairan ini dominan bergerak -1
dari arah timur dan timur laut dengan kecepatan berkisar antara 1 – 1.5 m.s
menuju perairan sisi timur Pulau Yamdena termasuk perairan di semua kecamatan
52
yang ada di Gugus Pulau Tanimbar. Kecepatan arus pasang surut yang terekam -1
-1
bervariasi antara 0.06 – 0.26 m.s dengan nilai kecepatan rata – rata 0.17 m.s . Kecepatan masimum terekam pada perairan Pulau Matakus yang terletak antara outlet Teluk Saumlaki dan Adaut di pantai utara Pulau Selaru (DKP MTB, 2007). Ketika penelitian ini berlangsung, kecepatan arus yang terekam di beberapa stasiun penelitian di perairan Pulau Matakus berkisar antara 3.8 – 17.5 cm/det. Pola arus di sekitar lokasi penelitian pada musim timur dan barat dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.
P. Matakus
Gambar 7 Pola Arus pada musim timur (Sumber: PKSPL IPB, 2009)
P. Matakus
Gambar 8 Pola arus pada musim barat (Sumber: PKSPL IPB, 2009)
53
Gelombang. Energi angin sebagai pembangkit gelombang utama di laut pada musim timur diestimasi mampu menghasilkan tinggi gelombang signifikan maksimum setinggi 4 meter dengan periode 7.8 detik di perairan Kabupaten MTB. Besarnya tinggi gelombang dan energi yang dihasilkan diasumsikan sama untuk seluruh kawasan perairan yang terbuka di Gugus Pulau Tanimbar termasuk perairan Pulau Matakus yang posisinya berhadapan dengan arah angin. Gelombang yang datang di perairan ini dominan menggempur perairan pantai bagian timur pulau dengan energi gelombang yang tinggi karena memiliki daerah dataran terumbu yang luas mengarah ke arah Laut Arafura. Pada musim timur, tinggi gelombang yang ekstrim dapat terjadi di bagian timur pulau yang berbatasan langsung dengan laut arafura sedangkan pada musim barat gelombang yang ekstrim terjadi pada bagian barat pulau yang berhadapan langsung dengan Selat Egeron. Dengan demikian, wisatawan yang ingin melakukan aktifitas wisata di kawasan Pulau Matakus perlu memperhatikan kondisi gelombang maupun arus yang terjadi. Jika musim timur tiba, sebaiknya aktifitas wisata difokuskan pada pantai dan perairan bagian barat pulau, begitupun sebaliknya jika musim barat tiba aktifitas wisata diarahkan kebagian bagian timur dan utara pulau. Suhu dan Salinitas. Suhu permukan laut di Kecamatan Tanimbar Selatan relatif rendah bervariasi antara 25.80 – 26.20°C dengan nilai rerata 26°C. Suhu perairan rendah dijumpai pada perairan Pulau Matakus. Rendahnya suhu permukaan perairan di kecamatan ini berhubungan dengan proses air naik yang terjadi serempak di Laut Banda dan Arafura pada bulan Juli – Agustus. Kadar salinitas permukaan perairan relatif tinggi yaitu sebesar 35 ppt dijumpai pada perairan Pulau Matakus dan Pulau Asutubun. Salinitas yang tinggi berhubungan erat dengan massa air hasil taikan di Laut Banda dan Arafura yang dingin dan berkadar salinitas tinggi (DKP MTB, 2007). Kualitas Perairan. Kualitas air laut di wilayah studi dapat dikatakan normal. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kesadahan air laut atau pH untuk perairan laut di sekitar kecamatan Tanimbar Selatan relatif tinggi berkisar antara 7.81 – 8.44. Konsentrasi oksigen terlarut di lapisan permukaan perairan bekisar antara
54
11.0 – 14.01 mg/l dengan konsentrasi maksimum dijumpai pada perairan pantai Pulau Matakus. Untuk kandungan unsur hara, konsentrasi fosfat pada lapisan permukaan perairan cukup tinggi dimana nilai berkisar dari 0.83 – 0.90 mg/l. Kadar minimum fosfat dijumpai pada perairan pesisir Pulau Matakus. Konsentrasi nitrit di perairan Tanimbar Selatan cenderung tinggi bervariasi antara 0.006 – 0.007 mg/l dengan konsentrasi yang cukup tinggi terdeteksi di pantai Pulau Matakus. Sama halnya dengan nitrit, konsentrasi nitrat di permukaan perairan tinggi bervariasi antara 1.20 – 1.40 mg/l dimana distribusi konsentrasi nitrat dengan konsentrasi minimum dijumpai pada perairan Pulau Matakus. Untuk logam berat, konsentrasi Cr diperairan berkisar antara 0.02 – 0.03 mg/l. Konsentrasi minimum unsur ini dijumpai pada perairan pesisir Pulau Matakus sedangkan konsentrasi Cu di perairan Pulau Matakus adalah 0.53 mg/l (DKP MTB, 2007). 4.2.4 Kondisi Flora dan Fauna Penutupan Lahan. Penutupan lahan pantai merupakan salah satu kriteria penting dalam menilai kesesuaian lokasi wisata. Di Pulau Matakus penutupan lahan yang paling dominan adalah kelapa, semak belukar dan vegetasi lain yang dijumpai antara lain Kasuari Pantai, Waru Laut (Hibiscus tiliaceus L), Katangkatang
(ipomoea
pes-caprea),
Pandan
(Pandanus
tectorius),
Ketapang
(Terminalia catappa), Sesepi (Sesuvium portulacastrum) dan Pecut kuda (Stachytarpheta jamaicensis). Menurut DKP MTB (2007), terdapat empat jenis mangrove pada bagian selatan pulau yaitu Sonneratia alba, Rhyzophora mucronata, Avicennia alba, Aegealitis annulata dengan persen penutupan Anakan (23.19%), Sapihan (24.64%) Pohon (52.17%) dan substrat pada daerah ini adalah pasir berlumpur. Terumbu Karang. Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem yang khas di daerah tropis. Terumbu karang di Pulau Matakus merupakan bagian dari segitiga karang dunia (coral triangle), selain mempunyai produktivitas organik yang tinggi, ekosistem ini memiliki keanekaragaman biota yang berasosiasi dengannya. Formasi terumbu karang di Pulau Matakus tergolong terumbu karang pantai (fringing reef). Menurut DKP MTB (2007), kekayaan spesies karang pada
55
perairan pesisir Pulau Matakus adalah sebanyak 90 spesies. Jumlahnya lebih rendah dibandingkan dengan komunitas terumbu karang di Teluk Saumlaki yang berjumlah 114 spesies, akan tetapi kondisi terumbu karang di Pulau Matakus termasuk kategori baik (good) dengan persen penutupan sebesar 63.14%. Sumbangan terbesar untuk penutupan karang batu di pulau ini berasal dari karang Acropora. Kekayaan spesies, persen tutupan komponen penyusun terumbu karang perairan pesisir di Kecamatan Tanimbar Selatan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12
Kekayaan spesies (jenis), persen tutupan karang batu dan komponen penyusun terumbu karang perairan pesisir Kecamatan Tanimbar Selatan, Kabupaten MTB.
Lokasi
Jmlh Spesies
P. Matakus Teluk Saumlaki P. Astubun
90 114 60
Karang Hidup 63.14 64.61 36.46
Persen Tutupan (%) Komponen Non Bentik Acropora Acropora Lain 40.98 22.16 9.02 23.02 41.59 3.28 7.74 28.72 38.34
Abiotik 27.84 30.72 35.20
Sumber: DKP MTB (2007) Ikan Karang. Ikan karang merupakan sumberdaya hayati utama yang hidupnya berasosiasi dan menghuni terumbu karang. Ikan karang umumnya dikelompokan atas tiga kelompok besar yaitu ikan target (untuk konsumsi), ikan indikator dan ikan mayor (ikan hias). Di Pulau Matakus, ditemukan sebanyak 110 spesies ikan karang yang tergolong ke dalam 76 genera dan 26 famili. Jumlah spesies ikan hias lebih tinggi dari jumlah spesies ikan konsumsi yaitu 61 spesies ikan hias dan 49 spesies ikan konsumsi. Kepadatan ikan karang 2
rata-rata di perairan pesisir Pulau Matakus sebesar 5.54 ind./m dan merupakan kepadatan ikan karang tertinggi jika dibandingkan dengan lokasi lain di 2
Kecamatan Tanimbar Selatan seperti di Pulau Asutubun (3.89 ind./m ). Berdasarkan kriteria pemanfaatan, ternyata kepadatan ikan konsumsi di Pulau Matakus lebih tinggi dari ikan hias (DKP MTB, 2007). Komposisi dan kepadatan ikan karang di kecamatan Tanimbar Selatan dapat dilihat pada Gambar 8.
56
120 100
114
110 93
80
Jumlah Spesies
60
Kepadatan
40 20
5.54
4.03
3.89
0 P. Matakus
P. Asutubun
Weluan (Olilit)
Gambar 9 Jumlah spesies dan kepadatan (ind./m2) ikan karang di perairan karang kecamatan Tanimbar Selatan Lamun. Lamun merupakan tumbuhan berbunga (angiospermae) yang hidup di perairan dangkal yang agak berpasir dengan cara terbenam di dalam substrat. Lamun sering dijumpai juga di terumbu karang. Di perairan Pulau Matakus, lamun dijumpai di depan desa Matakus dan di sisi barat pulau. Dari hasil pengamatan, perkembangan lamun di perairan ini masih baik, hal ini didukung oleh kondisi fisik kimia perairan yang cukup baik untuk menunjang keberadaannya. Di perairan ini dijumpai 4 spesies lamun dari 9 spesies yang ditemukan pada gugus kepulauan Tanimbar yang diklasifikasikan dalam 3 genus dan 2 famili, dimana komposisi taksa keempat spesies tersebut dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Komposisi taksa lamun yang ditemukan pada perairan pesisir Pulau Matakus Devisi Anthophyta
Kelas Angiospermae
Famili Patamogetanacea
Genus Cymodocea
Hydrocharitaceae
Halodule Enhalus
Spesies C. serrrulata C. rotundata H. pinifolia E. acoroides
Sumber: Data Primer (2009) Sumberdaya Bentik. Spesies makro fauna bentos yang terdapat di Pulau Matakus terdiri dari dua filum yaitu Molusca dan Echinodermata yang bernilai dimana filum moluska yang memiliki nilai ekonomis penting terdiri dari tiga kelas yaitu gastropoda (jenis-jenis keong) seperti Lambis lambis, Trochus niloticus;
57
bivalvia (jenis-jenis kerang) seperti Anadara antiquata, Anadara granosa, Tridacna sp, Gafrarium tumidum, Pinctada maxima, Barbatia decussate; dan Chepalophoda (cumi-cumi, sotong dan gurita) sedangkan filum Echinodermata terdiri dari beberapa jenis teripang ekonomis penting yaitu Holothuria scabra, Holothuria edulis dan Holothuria nobilis. Selain sumberdaya bentik, potensi lainnya adalah jenis crusracea seperti udang karang (Panulirus sp), rajungan (Portunus spp) dan kepiting bakau (Scylla serrata). Jenis-jenis sumberdaya ini merupakan jenis yang selalu ditangkap oleh masyarakat desa Matakus untuk konsumsi sehari-hari maupun untuk dipasarkan ke kota Saumlaki (DKP MTB, 2007).
4.3 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Sejarah Pulau Matakus. Menurut sejarah, dulunya Pulau Matakus adalah sebuah pulau kosong tanpa penghuni. Pulau ini kemudian menjadi rebutan antara desa Olilit di Pulau Yamdena dan desa Namtabung di Pulau Selaru dan sering sekali terjadi sengketa antar
kedua desa.
Untuk menghindari konflik
berkepanjangan antar kedua desa tersebut, pemerintah Hindia Belanda kemudian menjadikan Pulau Matakus sebagai lahan perkebunan kelapa dan mengirim beberapa orang kepercayaan dari Pulau Selaru untuk menjaga perkebunan tersebut. Para penjaga kebun inilah yang berkembang biak dan memiliki keturunan di pulau ini hingga sekarang, sehingga bahasa Selaru merupakan bahasa daerah penduduk setempat. Nama Matakus itu sendiri berasal dari bahasa daerah setempat yaitu “Matkuse” yang artinya “Mata Morea”. Morea merupakan bahasa lokal untuk belut, sehingga secara harafiah Pulau Matakus dapat diartikan sebagai Pulau Morea (Pulau Belut). Masyarakat setempat meyakini bahwa Pulau Matakus dulunya merupakan sebuah belut raksasa yang terdampar dan berubah menjadi batu. Hal ini tidak tanpa bukti karena secara de facto, Pulau Matakus berbentuk seperti belut dimana bagian kepalanya merupakan batu besar yang terletak persis di depan desa (bagian utara) sedangkan bagian ekor terletak di bagian selatan. Batu yang berbentuk kepala belut dapat dilihat pada Gambar 9.
58
Gambar 10 Batu berbentuk kepala belut
Kependudukan. Berdasarkan data jemaat tahun 2008, di pulau Matakus bermukim 97 kepala keluarga dengan total penduduk 410 jiwa yang terbagi atas 210 jiwa perempuan dan 200 jiwa laki-laki. Tingkat pendidikan penduduk memegang peranan yang cukup penting didalam pembangunan karena akan mempengaruhi peranan masyarakat dalam pembangunan atau cepat lambatnya penduduk menerima ide – ide pembangunan. Adapun tingkat pendidikan masyarakat di Pulau Matakus dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan. No
Tingkat Pendidikan
1 2 3 4 5
Jumlah (Jiwa)
Tidak/belum bersekolah 91 SD 203 SMP 77 SMA/SMK 29 Pendidikan Tinggi 10 Total 410 Sumber : Statistik Jemaat GPM Desa Matakus (2008)
Persentase (%) 22.20 49.51 18.78 7.17 2.44 100
Dari tabel 14, terlihat bahwa tingkat pendidikan sebagian besar penduduk di Pulau Matakus adalah SD dengan persentase sebesar 49.51% sedangkan hanya sekitar 2.44% (10 jiwa) yang mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini sangat erat kaitannya dengan kemampuan ekonomi masyarakat setempat yang sebagian besar adalah petani dan nelayan.
59
Perekonomian Masyarakat. Mata pencaharian penduduk di Pulau Matakus sebagian besar (90%) adalah bertani/berkebun sekaligus juga sebagai nelayan sedangkan sisanya adalah pegawai negeri sipil (PNS). Hal ini menunjukan bahwa perekonomian masyarakat di Pulau Matakus didominasi oleh sektor pertanian, perkebunan dan perikanan. Meskipun penduduk mempunyai mata pencaharian pokok, tetapi setiap rumah tangga juga mempunyai mata pencaharian tambahan dari sumber mata pencaharian lainnya sehingga setiap rumah tangga mempunyai mata pencaharian lebih dari satu dan beragam. Sebagian besar penduduk mempunyai mata pencaharian tambahan seperti beternak. Hasil pertanian dan perikanan (ikan) masyarakat biasanya langsung di jual ke Saumlaki. Stok ikan di pasar Saumlaki sebagian besar dipasok oleh nelayan – nelayan dari Pulau Matakus. Berdasarkan data base kelautan dan perikanan Kabupaten MTB tahun (2007), estimasi produksi rata – rata dari beberapa alat tangkap yang beroperasi di perairan kecamatan Tanimbar Selatan termasuk perairan Matakus adalah 6 537.65 ton/tahun. Laju tangkap dan estimasi produksi dari beberapa jenis alat tangkap yang beroperasi di perairan kecamatan Tanimbar Selatan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Laju tangkap dan estimasi produksi beberapa jenis alat tangkap yang beroperasi di kecamatan Tanimbar Selatan. No Alat Tangkap 1 2 3 4 5 6
Pukat Pantai Jaring Insang Bagan Perahu Sero Bubu Pancing
Jumlah (Unit) 1 818 40 12 162 844
Trip/thn 72 120 96 32 48 96
Laju Tangkap rata- Est. Prod. Rata – rata (Kg/Trip) rata (ton/thn) 50.00 3.60 50.00 4 896.00 100.00 384.00 40.00 15.36 3.00 23.33 15.00 1 215.36
Sumber: DKP MTB (2007) Budaya dan Kearifan Lokal. Penduduk asli yang mendiami Pulau Matakus berasal dari Pulau Selaru sehingga bahasa yang dugunakan untuk komunikasi sehari-hari adalah bahasa Selaru dan Bahasa Indonesia. Komunikasi dengan bahasa Selaru bisanya digunakan antar
esame penduduk asli, sedangkan
untuk kegiatan – kegiatan umum seperti kebaktian di gereja, proses belajar mengajar di sekolah, pertemuan – pertemuan resmi digunakan bahasa Indonesia.
60
Upacara adat yang kini masih dipertahankan adalah upacara perkawinan, upacara penyambutan tamu yang menujungi desa dengan tari-tarian dan proses mendirikan rumah baru. Upacara adat yang dilakukan tersebut biasanya dilanjutkan dengan kebaktian oleh pemimpin umat maupun majelis jemaat yang bertugas. Bentuk kearifan lokal yang masih diterapkan di Pulau Matakus hingga saat ini adalah Sasi. Sasi merupakan suatu larangan untuk mengambil sumberdaya alam (tumbuhan dan hewan) dalam daerah tertentu untuk suatu jangka waktu tertentu untuk menjamin hasil panen yang lebih baik. Pemberlakuan sasi dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap eksploitasi sumberdaya sehingga ketersediaannya tetap berkelanjutan dan menghindari terjadinya kelangkaan sumberdaya (scarcity). Di Pulau Matakus, sasi dilakukan terhadap sumberdaya di laut maupun di darat. Sasi laut dilakukan untuk sumberdaya teripang dan lola sedangkan sasi darat untuk pohon kelapa dan mangga. Yang menarik adalah karena sebagai kawasan wisata, sasi juga dilakukan terhadap vegetasi pantai seperti kasuari pantai yang dianggap dapat memberikan perlindungan terhadap wisatawan yang melakukan aktifitas di pantai maupun terhadap abrasi. Ada tiga institusi yang berperan dalam proses pemberlakuan sasi yaitu pemerintah desa, pemangku adat (secara adat) dan pemimpin umat (secara gerejani). Bentuk sasi ada 2 yaitu sasi umum (biasanya untuk sumberdaya laut dan kelapa) dan sasi pribadi (diminta oleh masyarakat untuk melindungi tanaman milik pribadi). 4.4 Kodisi Sarana Sosial Sarana sosial yang terdapat di Pulau Matakus meliputi sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana peribadatan dan sarana prekonomian. Ketersediaan sarana – sarana tersebut memiliki peran yang sangat penting dalam upaya peningkatan kapasitas sosial masyarakat dan sumberdaya manusia setempat dalam kaitannya dengan pengembangan ekowisata. Sarana Pendidikan. Sarana pendidikan terdiri dari satu Taman Kanak – Kanak (TK), satu Sekolah Dasar (SD) dan satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang memiliki satu manajemen atau yang biasanya disebut SMP Satu Atap. Untuk sampai ke jenjang yang lebih tinggi seperti SMA/SMK dan
61
Perguruan Tinggi, masyarakat setempat biasanya melanjutkan studi ke Kota Saumlaki yang merupakan ibu kota kabupaten. Sarana Kesehatan dan Keagamaan. Sarana kesehatan terdiri dari 1 unit bangunan Pustu (Puskesmas Pembantu) yang saat ini kondisinya tidak layak di manfaatkan karena mengalami kerusakan berat sedangkan sarana keagamaan berupa 1 unit gedung gereja lengkap dengan perumahan (pastori) bagi pimpinan umat yang ditugaskan di jemaat Matakus. Sarana Perekonomian. Sarana perekonomian di Pulau Matakus berupa dua kios kecil milik penduduk setempat yang biasanya melayani kebutuhan utama penduduk seperti beras, gula, rokok, supermie dan lain-lain.
4.5 Kondisi Sarana Pariwisata dan Transportasi Sarana wisata. Sebagai daerah tujuan wisata, Pulau Matakus telah memiliki beberapa sarana wisata untuk akomodasi yang dibangun oleh Pemerintah Daerah MTB antara lain 8 unit homestay yang terdapat di pemukiman penduduk dan 10 unit gazebo (Gambar 10) lengkap dengan toilet dan sumur yang terletak di pantai sisi barat pulau yang berjarak sekitar 200 meter dari Desa Matakus.
Gambar 11 Model Gazebo di Pulau Matakus
Sarana Transportasi. Transportasi merupakan sarana penting untuk menunjang aksesibilatas dari dan menuju Pulau Matakus. Sarana angkutan umum terdiri dari 3 kapal atau perahu motor milik masyarakat yang melayani Pulau
62
Matakus dan Saumlaki pergi – pulang. Masyarakat yang akan memanfaatkan sarana transportasi ini ke kota Saumlaki dikenakan biaya sebesar Rp. 7 000 per orang dimana tarif ini merupakan keputusan bersama masyarakat dalam rapat desa. Selain sarana angkutan umum tersebut, masyarakat juga memanfaatkan sarana angkutan pribadi yang dimiliki berupa perahu bermesin ketinting yang bisanya di pakai untuk menangkap ikan. Wisatawan lokal yang berkunjung ke Pulau Matakus biasanya menggunakan speed boat carteran dan ada juga yang menggunakan milik pribadi sedangkan wisatawan mancanegara umumnya menggunakan kapal layar (yatch) untuk mencapai kawasan tersebut. 4.6 Kondisi Prasarana Air, Listrik dan Komunikasi Ketersediaan ketiga prasarana dasar tersebut selain sangat penting untuk masyarakat di Desa Matakus, juga sangat penting berkaitan dengan upaya pengembangan Pulau Matakus sebagai kawasan ekowisata. Air
Bersih.
Untuk
kebutuhan
air
bersih,
masyarakat
setempat
memperolehnya dari sumber mata air di sumur. Sampai saat ini terdapat 3 sumber mata air (sumur) di Pulau Matakus dengan kedalaman berkisar antara 3 – 5 m dan diameter sumur antara 1 – 1.5 m. Lokasi sumur tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Sumur utama yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat terdapat di bagian timur pulau dan berjarak sekitar 200 m dari pemukiman penduduk, memiliki kedalaman 5 m dan diameter 1.5 m. Kedua sumur yang lain terdapat di bagian barat pulau (dekat dengan lokasi wisata) dengan kedalaman 3 m dan berdiameter 1 m. Akan tetapi sebagai pulau kecil dengan karakteristik daerah tangkapan air (catchment area) yang terbatas, ketersedian air di pulau inipun sering bermasalah terutama pada saat musim kemarau. Di sumur utama, masyarakat setempat harus mengantri berjam – jam untuk mendapatkan 1 ember air bersih karena kecilnya debit air yang tersedia. Untuk mengatasi masalah ketersediaan air bersih tersebut, saat ini di Desa Matakus telah tersedia sarana penyulingan air laut menjadi air tawar (desalinasi) dengan kapasitas 32 000 liter/hari dan berada tepat di depan desa. Dengan demikian masalah kurangnya ketersediaan air di pulau ini sudah sedikit teratasi. Sumur dan sarana desalinasi di Pulau Matakus dapat dilihat pada Gambar 11.
63
Gambar 12
Sumur utama dan fasilitas sarana penyulingan air laut di Desa Matakus
Listrik. Di pulau ini telah terdapat prasarana listrik. Pelayanan listrik bersumber dari mesin diesel berkekuatan 5 kilowatt dan 10 kilowatt milik gereja yang dipakai secara bergantian dan hanya beroperasi selama 4 jam setiap harinya mulai dari pukul 19.00 – 23.00 WIT. Pembayaran iuran pemakaian dilakukan berdasarkan jumlah watt lampu yang digunakan dimana jumlah watt rata – rata yang dipakai setiap keluarga adalah 20 – 50 watt. Komunikasi. Sebagai pulau kecil yang memiliki sifat insular, masalah komunikasi tidak menjadi kendala. Lokasi pulau yang dekat dengan kota Saumlaki memungkinkan jangkauan jaringan telepon seluler (ponsel) milik beberapa operator swasta di Saumlaki mencapai Pulau Matakus, sehingga masalah komunikasi melalui telepon seluler bukan merupakan kendala dalam menunjang pengembangan pulau ini menjadi kawasan ekowisata. Wisatawan yang mengunjungi Pulau Matakus selain dapat bersantai menikmati keindahan kawasan dan melepaskan kepenatan beraktifitas dengan berbagai kegiatan wisata sekaligus juga tetap dapat mengakses informasi dari luar kawasan dan melanjutkan bisnisnya dengan memanfaatkan prasarana komunikasi yang ada. 4.7 Potensi dan Peluang Pengembangan Wisata Didalam rencana Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Maluku Tenggara Barat tahun 2006, Pulau Matakus telah diproyeksikan sebagai daerah wisata bahari untuk tujuan wisata pantai, renang dan menyelam, pancing dan sailing. Hal ini dikarenakan Pulau Matakus memiliki
64
potensi pariwisata pesisir dan laut yang cukup memadai untuk dikembangkan seperti ekosistem terumbu karang yang masih tergolong baik, tetapi juga karena potensi tersebut didukung oleh keindahan pantai, keaslian, keutuhan alamnya dan potensi budayanya. Potensi Pulau Matakus meliputi ekosistem yang cukup lengkap seperti pantai dan pesisirnya, vegetasi mangrove, perairan laut yang didalamnya memiliki keanekaragamn yang tinggi seperti terumbu karang yang sampai saat ini telah teridentifikasi sekitar 90 spesies karang dengan kondisi tutupan termasuk kategori baik, ikan karang yang terdiri 110 spesies dengan jumlah dan kepadatan ikan hias yang tinggi. Selain itu terdapat pula berbagai jenis biota laut yang memiliki nilai ekonomis penting. Kegiatan pariwisata yang dapat dilakukan di kawasan pulau ini meliputi wisata alam, wisata budaya, wisata pesisir dan laut seperti rekreasi pantai, olahraga pantai yang dapat dilakukan di bagian barat pulau, kegiatan snorkeling dapat dilakukan di bagian barat dan utara pulau sedangkan untuk diving dapat dilakukan di bagian barat dan timur pulau dimana terdapat dua batu kembar yang ukurannya sangat besar dan menantang untuk diamati. Keindahan pantai berpasir putih sekaligus sebagai tempat mengamati sunset di bagian barat pulau, serta keindahan pemandangan bawah laut karena keanekaragaman jenis karang dan ikan hiasnya merupakan objek utama di Pulau Matakus. Selain itu pula terdapat potensi wisata budaya seperti tenunan, anyaman dari bambu dan daun lontar yang merupakan hasil kerajinan tangan penduduk setempat dan tarian tradisional seperti Tabar, Seti, Foruk, penangkapan ikan secara tradisional yang dikenal dengan istilah goyang tali serta kegiatan hela rotan (tarik tambang) untuk memanggil hujan jika musim hujan terlambat datang merupakan atraksi menarik yang dapat dikembangkan sebagai objek wisata.
65
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi dan Potensi Sumberdaya Alam di Pulau Matakus Pengembangan suatu daerah untuk menjadi kawasan ekowisata terutama harus didukung oleh potensi sumberdaya alam yang khas sebagai sebagai daya tarik bagi para wisatawan. Pulau Matakus memiliki daya tarik tersendiri sehingga oleh Pemerintah Daerah Maluku Tenggara Barat pulau ini kemudian ditetapkan sebagai daerah tujuan wisata bersama dengan beberapa pulau kecil lain yang ada disekitarnya. Pulau Matakus memiliki daya tarik berupa pantai berpasir putih yang hampir 90% mengelilinginya, pemandangan alam pantai yang masih alami dan ekosistem terumbu karang serta beraneka ragam ikan hias yang terdapat di sekeliling perairannya. Kondisi inilah yang menjadi unsur supply dalam pengembangan ekowisata di Pulau Matakus.
5.1.1 Terumbu Karang. Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat kompleks dan produktif dengan keanekaragaman jenis biota yang sangat tinggi. Berdasarkan pengataman terhadap kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Matakus dengan metode manta tow dibantu dengan video streaming, secara umum kondisi terumbu karang di bagian utara dan barat Pulau Matakus masih tergolong baik jika dibandingkan dengan kondisi terumbu karang disisi selatan dan timur. Informasi kondisi karang di tiap stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 12
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
16
15
14
Tutupan Karang Hidup Tutupan Karang Lunak Jumlah Lifeform
16
13
13 11
7 54
4 4 2
1
2
7 4
3
1 3
3
1 4
5
3
4
2 6
5
3
7
4
8
4
3
Ket. Kategori: 1 = 0 – 10% 2 = 11 – 30% 3 = 31 – 50% 4 = 51 – 75% 5 = 76 – 100%
9
Stasiun Pengamatan
Gambar 13 Kondisi karang di Pulau Matakus (Data Primer, 2008)
66
Menurut Gomes dan Yap (1988), penutupan karang antara 75 – 100% termasuk kategori sangat baik, antara 50 – 75% termasuk kategori baik, 25 – 50% tergolong kategori sedang dan antara 0 – 25% termasuk kategori jelek. Berdasarkan Tabel 16, jika kita merujuk pada kategori tersebut diatas, maka kondisi karang di stasiun 1 dan 8 termasuk kategori sangat baik, stasiun 2, 5, 7 dan 9 memiliki kondisi karang yang termasuk kategori baik, stasiun 4 dan 6 kondisi karanganya termasuk ketegori sedang dan stasiun 3 memiliki kondisi karang dengan kategori jelek. Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi terumbu karang di Pulau Matakus masih baik, hanya pada beberapa lokasi tertentu terutama dibagian timur dan selatan pada kedalaman 3 meter yang kondisi terumbu karangnya mengalami kerusakan yang parah. Hal ini terlebih disebabkan oleh pengaruh pasang surut, dan kondisi pulau yang terbuka sehingga pada saat musim timur terjadi gelombang yang sangat besar dan mempengaruhi ekosistem terumbu karang. Berdasarkan pengamatan di lapangan, jenis – jenis bentuk hidup (lifeform) karang yang terdapat di Pulau Matakus terdiri dari karang keras (hard coral) yaitu Death Coral with Algae (DCA), Acropora yang meliputi Acropora tabular (ACT), Acropora branching (ACB), Acropora digitate (ACD), Acropora encrusting (ACE), Acropora submassive (ACS), Non Acropora meliputi Coral feliose (CF), Coral encrusting (CE), Coral massive (CM), Coral submassive (CS), Coral branching (CB), Mushroom coral (CMR) Millepora (CME) dan Heliopora (CHL). Sedangkan kategori other fauna yaitu Soft coral (SC), Sponge (SP), Others meliputi Ascidians, Anemon dan Giant clams (kima), Alga dan komponen abiotik seperti Sand (S), Ruble (R) dan Rock. Jenis terumbu karang dan jenis lifeform pada setiap
stasium pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 3. Kegiatan wisata bahari di Pulau Matakus sangat tergantung pada kondisi lingkungan pesisirnya, keindahan dan keunikan lingkungan pantai. Hal inilah yang dapat dimanfaatkan mupun dinikmati oleh setiap wisatawan yang datang. Menurut Supriharyono (2007), terumbu karang mempunyai nilai keindahan yang tidak perlu diragukan. Andalan utama kegiatan wiasata bahari yang banyak dinikmati oleh para wisatawan adalah aspek keindahan dan keunikan terumbu
67
karang. Terumbu karang dapat dimanfaatkan untuk objek wisata bahari karena memiliki nilai estetika yang sangat tinggi.
5.1.2 Ikan Karang Ikan karang merupakan sumberdaya utama yang selalu berasosiasi dengan terumbu karang. Pengamatan terhadap ikan karang dilakukan di tempat yang sama dengan pengamatan terumbu karang pada sembilan stasiun. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa stasiun yang memiliki terumbu karang dengan kondisi yang baik cenderung terdapat ikan karang dengan jumlah yang banyak dan beragam. Hal ini terlihat dengan jelas di stasiun 1, stasiun 2, stasiun 5, stasiun 7, stasiun 8 dan 9. Jenis ikan karang yang dominan terlihat adalah ikan hias berwarna – warni indah dan berukuran kecil dengan bentuk yang beranekaragam yang selalu bergerombol dan membentuk schooling fish. Jenis – jenis ikan karang yang terlihat di tiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 5. Pada stasiun 3, stasiun 4 dan 6 dengan kondisi terumbu karang yang tergolong kurang baik, yang hanya berupa bongkahan batu karang mati dan karang masiv dalam ukuran yang relatif besar, jumlah dan jenis ikan karang yang terpantau sangat sedikit dan umumnya adalah jenis ikan karang konsumsi yang berukuran sedang hingga besar seperti kerapu, baronang, sikuda dan kakatua. Kondisi ikan karang di setiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 13.
Jumlah Spesies Ikan Karang
120
103
100 80
80
72
68 57
54
60
41
40 21
28
20 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Stasiun Pengamatan
Gambar 14 Kondisi ikan karang di setiap stasiun pengamatan (Data Primer, 2008)
68
5.1.3 Penyu, Lumba-lumba dan Burung Laut Penyu, lumba – lumba dan beberapa jenis burung laut merupakan obyek wisata yang dapat ditemukan disekitar Pulau Matakus. Kondisi pantai berpasir putih yang terdapat disekeliling pulau merupakan habitat yang baik bagi penyu untuk bertelur. Menurut informasi dari masyarakat desa Matakus, lokasi bertelurnya penyu terdapat di pantai stasiun 2 (bagian barat) dan stasiun 4 (bagian timur). Perairan Pulau Matakus juga merupakan jalur migrasi lumba – lumba sehingga
masyarakat
setempat
sering
sekali
menemukannya
berenang
berkelompok. Selain itu terdapat pula beberapa jenis burung laut yang sering hinggap di pantai dan terbang lagi ke pulau – pulau kecil disekitar Pulau Matakus. 5.1.4 Kondisi Fisik Pantai Pulau Matakus hampir seluruhnya dikelilingi oleh pantai berpasir putih dengan tekstur yang sangat halus hingga agak kasar dengan sedikit pecahan karang, kecuali di stasiun 3 (sisi selatan) dan stasiun 5 (sisi timur). Stasiun 3 memiliki tipe pantai berbatu dengan substrat berlumpur dan sedikit pasir berwarna kelabu karena merupakan habitat ekosistem mangrove, sedangkan stasiun 5 memiliki tipe pantai berbatu dengan tebing yang curam. Kemiringan pantai di pulau matakus tergolong landai, berkisar atara 10 – 270. Penutupan lahan pantai Pulau Matakus didominasi oleh 3 vegetasi utama yaitu pohon kelapa, kasuari pantai dan ekosistem mangrove baik mangrove sejati maupun mangrove ikutan. Informasi mengenai kondisi fisik pantai di tiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 6. 5.2 Zonasi Kawasan Konservasi Pulau Matakus Zonasi merupakan pembagian areal kawasan berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Penentuan zona kawasan konservasi dimaksudkan untuk melindungi kawasan Pulau Matakus serta sumberdaya yang tekandung di dalamnya dari pengunjung wisata. Meskipun sebagai lokasi wisata, tidak semua areal kawasan pulau harus dimanfaatkan untuk kepentingan wisata semata tetapi perlu juga disisihkan areal – areal tertentu sebagai daerah pencadangan sehingga ketersediaan sumberdaya
69
pesisir yang berfungsi sebagai supply bagi kegiatan ekowisata tetap stabil dan secara langsung pula aktifitas wisata di Pulau Matakus tetap berkelanjutan. 5.2.1 Pembagian Zona Kawasan Konservasi Hasil analisis kriteria zonasi pada 9 stasiun pengamatan di Sekeliling Pulau Matakus dapat dilihat pada Tabel 16. Berdasarkan kriteria ekologi, stasiun 1 memiliki nilai tertinggi (19), sedangkan stasiun 3 dan 4 memiliki nilai terendah (14). Untuk kriteria ekonomi stasiun 1, 7 dan 8 memiliki nilai tertinggi (9) sedangkan berdasarkan kriteria sosial stasiun 1 memiliki nilai tertinggi (10) sedangkan stasiun yang lain memiliki nilai rendah (8). Tabel 16 Hasil penilaian kriteria zonasi kawasan Pulau Matakus Kriteria I. Ekologi 1. Ekosistem 2. Lifeform karang 3. Spesies ikan karang 4. Persen penutupan karang 5. Abrasi pantai 6. Keunikan 7. Status(berpenduduk/tidak) 8. Tingkat keterbukaan terhadap laut Total I II. Ekonomi 1. Spesies Penting 2. Kepentingan Perikanan 3. Bentuk Ancaman 4. Pariwisata Total II III. Sosial 1. Tingkat dukungan Masyarakat 2. Rekreasi 3. Konflik kepentingan 4. Keamanan 5. Aksesibilitas Total III Total Nilai I + II + III Persentase dari Nilai Total (51)
Stasiun Pengamatan/Nilai 4 5 6 7
1
2
3
8
9
2 3 2 3 3 2 3
2 2 2 2 3 1 2
2 1 1 1 3 1 3
1 1 1 1 3 1 3
2 2 1 2 3 2 3
2 2 1 1 3 2 3
1 3 2 2 2 1 2
2 3 2 3 2 2 1
2 3 2 2 2 1 2
1
1
2
3
3
3
2
2
1
19
15
14
14
18
17
15
17
15
2 3 2 2 9
2 2 2 2 8
2 2 1 2 7
2 2 1 2 7
2 2 1 2 7
2 2 1 2 7
2 2 2 3 9
2 2 2 3 9
2 2 1 2 7
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3 1 2 1 10 38 74.5
1 1 2 1 8 31 60.8
1 1 2 1 8 29 56.9
1 1 2 1 8 29 56.9
1 1 2 1 8 33 64.7
1 1 2 1 8 32 62.7
1 1 2 2 9 33 64.7
1 1 2 2 9 35 68.8
1 1 2 1 8 30 58.8
Sumber: Hasil Analisis (2009) Secara keseluruhan, stasiun 1 memiliki nilai total tertinggi yaitu 38 atau 74.5%, sedangkan stasiun 3 dan 4 memiliki nilai total terendah yaitu 29 atau
70
56.9%. Distribusi nilai skoring kriteria dan rencana zonasi kawasan konservasi Pulau Matakus disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Rencana zonasi kawasan konservasi Pulau Matakus Kriteria Ekologi Ekonomi 1 19 9 2 15 8 3 14 7 4 14 7 5 18 7 6 17 7 7 15 9 8 17 9 9 15 7 Sumber: Hasil Analisis (2009) Stasiun
Keterangan:
Sosial 10 8 8 8 8 8 9 9 8
Jumlah Total 38 31 29 29 33 32 33 35 30
Persentasi Thdp. Tot. Skor 74.5 60.8 56.9 56.9 64.7 62.7 64.7 68.8 58.8
Rencana Zonasi ZI ZPL ZP ZP ZPL ZPL ZPL ZPL ZP
ZI: Zona Inti ZPL: Zona Pemanfaatan Langsung ZP: Zona Penyangga
Berdasarkan hasil analisis sebagaimana terlihat pada Tabel 17, hanya stasiun 1 yang termasuk kategori Zona Inti, stasiun 3, stasiun 4 dan stasiun 9 termasuk kategori Zona Penyangga sedangkan 5 stasiun yang lain termasuk kategori Zona Pemanfaatan Langsung. Pembagian zona peruntukan kawasan Pulau Matakus dapat dilihat pada Gambar 14.
71
Gambar 15 Peta zonasi kawasan Pulau Matakus 71
72
5.2.2 Desain Aktifitas di Tiap Zona Peruntukan Zona Inti (ZI). ZI kawasan Pulau Matakus merupakan areal pulau, pesisir perairan dan perairan laut yang kerena kondisi ekologi, ekonomi dan sosial difungsikan sebagai areal perlidungan atau konservasi. Stasiun 1 yang termasuk kategori zona inti terletak di bagian barat Pulau Matakus. Berdasarkan pengamatan lapangan, secara ekologi zona ini memiliki kondisi ekosistem terumbu karang yang sangat baik dengan persentase penutupan 76 – 100%, memiliki jumlah lifeform karang yang banyak dan beranerakaragam jenis ikan karang serta kecerahan perairan yang mencapai 100%. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian, zona ini memiliki luas 97.76 ha. Sebagai zona yang dilindungi, aktifitas yang direkomendasikan adalah kegiatan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, penelitian yang mempunyai ijin dan pendidikan. Tidak diperkenankan adanya kegiatan umum termasuk wisata. Hal ini dimaksudkan agar zona inti ini dapat menjadi areal pencadangan bagi kepentingan pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal akan sumberdaya pesisir dan juga bagi keberlanjutan kegiatan wisata di pulau Matakus karena ketersediaan sumberdaya alam merupakan daya tarik (factor supply) bagi wisatawan . Menurut Yulianda (2007), zona inti di kawasan ekowisata bertujuan untuk melindungi satwa dan ekosistem yang sangat rentan sehingga pengunjung dilarang masuk ke dalam. Zona Pemanfaatan Langsung (ZPL). ZPL kawasan Pulau Matakus merupakan areal pulau, pesisir dan perairan laut yang berdasarkan kondisi ekologi, ekonomi dan sosial dapat dimanfaakan secara langsung dengan tetap mempertimbangkan daya dukung kawasan. Ada 5 stasiun pengamatan yang termasuk dalam kategori ini yaitu stasiun 2, 5, 6, 7 dan 8 yang tersebar di sekeliling kawasan pulau Matakus. Stasiun 2 terletak di sisi barat pulau dengan kemiringan terumbu mencapai 90 0, sedangkan stasiun 5, 6, 7 dan 8 terdapat di bagian timur pulau. Empat areal memiliki kondisi pantai yang berpasir putih kecuali pada stasiun 5 yang memiliki tipe pantai berbatu namum semuanya memiliki rataan terumbu karang dimana bagian tepi dan tebingnya ditumbuhi karang dengan kondisi yang masih baik (persentase penutupan 50 – 100%) dan formasi karangnya yang indah dan unik (berupa alur).
73
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian, secara keseluruhan luas areal Zona Pemanfaatan Langsung adalah 542.64 ha. Akatifitas utama yang direkomendasikan di zona ini adalah ekowisata pesisir dan laut, selain itu dapat juga dilakukan kegiatan penelitian untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan serta pendidikan. Namun demikian aktivitas yang dilakukan di ZPL ini tetap mempertimbangkan unsur perlindungan, pengawetan dan pelestarian sumberdaya. Sarana dan prasarana yang dibangun di areal ZPL direncanakan berupa sarana dan prasarana transportasi untuk mempermudah aksesibilitas, akomodasi yang ramah lingkungan, pendidikan dan rekreasi termasuk diving center. Dengan luas 542.64 ha ZPL secara khusus dapat menjamin kelestarian potensi dan daya tarik sumberdaya alam untuk dimanfaatkan sebagai objek wisata dan rekreasi. Kondisi lingkungan disekitarnya pun sangat mendukung upaya pengembangan ekowisata pesisir dan laut. Hal ini sejalan dengan pendapat Yulianda (2007) yang menyatakan bahwa zona pemanfaatan di kawasan ekowisara bahari ditujukan pengembangan kepariwisataan alam termasuk pengembangan fasilitas – fasilitas wisata alam dengan syarat kestabilan bentang alam (sea space) dan ekosistem, resisten terhadap berbagai kegiatan manusia yang berlangsung di dalamnya. Zona Penyangga (ZP). ZP kawasan Pulau Matakus adalah areal pulau, pesisir dan perairan laut yang berdasarkan kondisi ekologi, ekonomi dan sosial merupakan areal penyangga (penahan) bagi ZI dan ZPL. Ada 3 stasiun yang termasuk areal zona penyangga yaitu stasiun 3 yang terletak di sisi selatan pulau, stasiun 4 yang terletak di sisi timur dan stasiun 9 yang terletak di bagian barat pulau. Luas total ZP ini adalah 249.84 ha. Lahan daratan stasiun 3 dan 4 merupakan perkebunan kelapa yang pada waktu – waktu tertentu sering dihuni oleh penduduk untuk sementara waktu guna mengolah kopra. Stasiun 3 memiliki tipe pantai berlumpur yang ditumbuhi mangrove dengan hamparan karang mati sampai pada tepi terumbu sedangkan tebing karang memiliki terumbu karang dengan kondisi sedang. Stasiun 4 memiliki pantai berpasir dengan kondisi hamparan terumbu karang yang sama dengan stasiun 3.
74
Secara fisik kedua areal ini berfungsi sebagai pelindung dan penyangga terhadap gempuran gelombang dan arus deras dari arah laut. Stasiun 9 terletak di bagian barat pulau, memiliki pantai berpasir putih yang halus dengan tutupan lahan berupa kasuari pantai. Di lahan daratan telah dibangun beberapa sarana wisata seperti gazebo dan toilet oleh Pemerintah Daerah MTB untuk menunjang kegiatan wisata. Secara fisik stasiun 9 memiliki hamparan terumbu karang yang menyatu dengan zona inti (stasiun 1) dengan demikian stasiun 9 secara langsung berfungsi sebagai penyangga terhadap zona inti. Berdasarkan gambaran kondisi biofisik ZP ini, maka aktifitas yang dapat dilakukan
adalah
penelitian,
pendidikan
(wisata
edukasi
mangrove),
pengembangan perkebunan kelapa dan wisata terbatas. Aktifitas yang tidak boleh dilakukan adalah penebangan mangrove, pengambilan pasir dan pengambilan karang batu. Menurut Yulianda (2007), zona penyangga di kawasan ekowisata bahari merupakan kawasan penyangga yang dibuat untuk perlindungan terhadap zona inti dan khusus. Dapat dimanfaatkan untuk ekowisata dengan batasan minimal gangguan terhadap zona inti dan khusus.
5.3 Kesesuaian Kawasan untuk Ekowisata Pesisir dan Laut Kawasan Pulau Matakus dapat dibedakan atas 3 bagian. Pertama adalah kawasan daratan (pulau) yang didalamnya terdapat pemukiman penduduk, lahan perkebunan kelapa, hutan primer dan sekunder, ladang untuk tanaman pangan seperti pisang, jagung dan umbi-umbian, semak – belukar dan lokasi beberapa sarana dan prasarana sosial. Kedua adalah dataran pantai yang dipengaruhi oleh proses pasang surut yang berlangsung selama dua kali dalam sehari (semidiurnal). Kawasan ini tersusun dari berbagai jenis substrat dasar seperti pasir, lumpur dan batu karang dan diatasnya tumbuh dan berkembang berbagai ekosistem seperti mangrove, lamun dan terumbu karang serta berbagai jenis flora pantai dan fauna yang saling berinteraksi. Lahan ini dimanfaatkan oleh penduduk untuk menambatkan perahu, mencari ikan dan hasil laut lainnya, jalur pelayaran dan tempat melakukan aktifitas wisata berupa rekreasi pantai dan olahraga.
75
Ketiga adalah kawasan perairan laut yang mengelilingi Pulau Matakus dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk menangkap ikan pelagis kecil dan besar, ikan demersal dan jalur pelayaran nelayan dan kapal motor masyarakat dari pulau yang lain. Kondisi kawasan Pulau Matakus seperti yang telah digambarkan sebelumnya kemudian dapat disimpulkan bahwa keseluruhan kawasan ini sesuai untuk melakukan berbagai aktifitas wisata. Namun sesungguhnya tidak demikian. Kesesuaian kawasan Pulau Matakus untuk kegiatan wisata sangat dipengaruhi oleh lingkungan, kondisi biofisik kawasan dan jenis wisata apa yang akan dilakukan. Setiap kegiatan wisata mempunyai persyaratan sumberdaya dan lingkungan yang berbeda – beda. Terdapat parameter – parameter tertentu yang menjadi pembatas, tetapi ada pula yang memberikan nilai tambah (added value) dalam penetuan kawasan yang sesuai. Dalam penelitian ini, analisis kesesuain kawasan untuk ekowisata pesisir dan laut dibagi atas dua bagian besar yaitu pertama kawasan ekowisata pantai dengan jenis kegiatan rekreasi pantai dan olahraga pantai dan berjemur. Kedua kawasan ekowisata bahari yang meliputi kegiatan selam (diving), snorkeling dan olahraga perairan (berperahu, lomba layar dan jet ski ). Penentuan kesesuaian kawasan dibagi atas tiga kelas kesesuaian yaitu sangat sesuai (S1), sesuai (S2) dan tidak sesuai (N). Selanjutnya ketiga kelas kesesuaian ditulis S1, S2 dan N.
5.3.1 Wisata Pantai Wisata pantai merupakan jenis wisata yang memanfaatkan pantai dan perairan tepi pantai sebagai obyek dan daya tarik wisata dan kepentingan rekreasi. Menurut Sunarto (1998), jenis kegiatan yang biasanya dilakukan berupa olahraga susur pantai, bola volley pantai, bersepeda pantai, panjat tebing pada dinding terjal pantai, menelusuri gua pantai, bermain layang – layang, berkemah, berjemur, berjalan – jalan melihat pemandangan, berenang dan lain – lain. Dalam penelitian ini wisata pantai terdiri dari kegiatan rekreasi pantai, berjemur dan olahraga pantai. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian pada delapan stasiun pengamatan, secara keseluruhan dihasilkan tiga kelas kesesuaian yakni S1 dengan panjang
76
pantai 5 738 m, S2 dengan panjang pantai 756 m, dan N dengan panjang pantai 410 m. Kelas kesesuaian S1 memiliki nilai kesesuaian berkisar antara 86% – 100 % dan tersebar pada stasiun 2, stasiun 4, stasiun 6, stasiun 7, stasiun 8 dan stasiun 9. Kelas kesesuaian S2 memiliki nilai berkisar antara 76% – 84% dan tersebar pada stasiun 2, stasiun 4, dan 6. Kawasan dengan kelas N terdapat pada stasiun 4 dan stasiun 5 dengan nilai kesesuaian berkisar antara 69% – 74% dan merupakan lokasi yang tidak sesuai untuk wisata pantai karena terdapat parameter pembatas seperti tipe pantai yang berbatu, panjang pantai dan luas pantai yang tidak memenuhi kriteria. Panjang pantai berdasarkan kelas kesesuaian untuk wisata pantai jenis kegiatan rekreasi dan olahraga pantai disajikan pada Tabel 18, sedangkan peta kesesuaian wisata pantai dapat dilihat pada Gambar 15. Tabel 18 Panjang pantai berdasarkan kelas kesesuaian di tiap pantai untuk wisata pantai jenis kegiatan rekreasi pantai dan olahraga pantai. No. 1 2 3 4
Lokasi Pengamatan
Pantai 1 (Stasiun 1, 2, 9) Pantai 2 (Stasiun 4) Pantai 3 (Stasiun 5) Pantai 4 (Stasiun 6 dan 7) Jumlah Sumber: Hasil Analisis (2009).
Panjang Pantai (m) S1 S2 2 858 161 930 450 1 950 145 5 738 756
N 158 252 410
77
Pantai 1
Pantai 4
Pantai 3
Pantai 2
Gambar 16 Peta kesesuaian wisata pantai di Pulau Matakus
76 77
78
5.3.2 Wisata Bahari Wisata bahari merupakan wisata yang dilakukan di perairan laut dengan obyek dan daya tariknya bersumber dari potensi sumberdaya yang terdapat pada bentang laut (sea space) antara lain selam, snorkeling, berselancar (surfing), memancing, berperahu (boating) dan berlayar (sailing). Selam. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian kawasan pada delapan stasiun pengamatan, luas areal terumbu karang yang sangat sesuai (S1) dan sesuai (S2) untuk jenis wisata selam masing – masing adalah 33. 58 ha dan 20.58 ha. Kelas kesesuaian S1 memiliki nilai kesesuaian berkisar antara 80% - 94% dan terdapat pada stasiun 2 dan 5. Hal ini terutama karena lebih dipengaruhi oleh kedalaman ekosistem karang dan kondisi karangnya yang baik. Kelas kesesuaian S2 memiliki nilai berkisar antara 66% - 80% dan tersebar pada stasiun 7 dan stasiun 6. Luas kawasan berdasarkan kelas kesesuaian untuk selam disajikan pada Tabel 19, sedangkan peta kesesuaian wisata bahari kategori selam dapat dilihat pada Gambar 16. Tabel 19 Luas kawasan berdasarkan kelas kesesuaian untuk kegiatan Selam. No Kelas Kesesuaian 1 S1 (Sangat Sesuai) 2 S2 (Sesuai) Sumber: Hasil Analisis (2009)
Luas (ha) 33.58 20.58
Nilai Kesesuaian 80 – 94% 66– 80%
79
Gambar 17 Peta kesesuaian wisata bahari jenis kegiatan selam di Pulau Matakus 79
80
Snorkling. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian kawasan pada delapan stasiun pengamatan, luas areal terumbu karang yang sangat sesuai (S1) dan sesuai (S2) untuk jenis wisata snorkling masing – masing adalah 82.49 ha dan 85.83 ha. Kelas kesesuaian S1 memiliki nilai kesesuaian berkisar antara 79% - 91% dan tersebar pada stasiun 2, 8 dan 9. Kelas kesesuaian S2 memiliki nilai berkisar antara 66% - 78% dan tersebar pada stasiun 2, 5, 6 dan 7. Luas kawasan berdasarkan kelas kesesuaian untuk wisata bahari jenis kegiatan snorkeling disajikan pada Tabel 20, sedangkan peta kesesuaian wisata bahari kategori snorkling dapat dilihat pada Gambar 17. Tabel 20 Luas kawasan berdasarkan kelas kesesuaian untuk kegiatan snorkeling. No Kelas Kesesuaian 1 S1 (sangat Sesuai) 2 S2 (Sesuai) Sumber: Hasil Analisis (2009)
Luas (ha) 82.49 85.83
Nilai Kesesuaian 79 – 91% 66 – 78%
81
Gambar 18 Peta kesesuaian wisata bahari jenis kegiatan snorkling di Pulau Matakus
81
82
Olahraga Perairan. Dalam penelitian ini, olahraga perairan yang dimaksudkan meliputi kegiatan berperahu (boating), jet ski, dan berlayar (sailing). Bedasarkan hasil analisis kesesuaian kawasan untuk jenis wisata olahraga perairan pada delapan stasiun pengamatan, secara keseluruhan dihasilkan tiga kelas kesesuaian yakni S1 seluas 760.76 ha, S2 seluas 304.93 ha, dan N seluas 680.26 ha. Kelas kesesuaian S1 memiliki nilai kesesuaian berkisar antara 88% – 100% dan tersebar pada stasiun 2, stasiun 3, satasiun 4, stasiun 5 dan stasiun 9. Kelas kesesuaian S2 memiliki nilai 79% dan tersebar pada stasiun 1, stasiun 6, stasiun 7 dan stasiun 8 sedangkan kawasan dengan kelas N memiliki nilai kesesuaian berkisar antara 54% – 75% terdapat pada seluruh stasiun pengamatan dengan kedalaman antara 0 – 10 m. Beberapa stasiun seperti stasiun 2, 3,4,5 dan 9 pada kedalaman 5 – 10 m masih termasuk kategori sangat sesuai untuk kegiatan olahraga perairan karena kecepatan arus pada stasiun tersebut tergolong lemah sehingga memiliki nilai bobot yang tinggi. Luas masing – masing kelas kesesuaian untuk kegiatan olahraga perairan di sajikan pada Tabel 21, sedangkan peta kesesuaian wisata bahari kategori olahraga perairan dapat dilihat pada Gambar 18. Peta arahan ekowisata pesisir dan laut di Pulau Matakus dapat dilihat pada Gambar 19.
Tabel 21 Luas kawasan berdasarkan kelas kesesuaian wisata bahari jenis kegiatan olahraga perairan. No Kelas kesesuaian 1 Sangat sesuai (S1) 2 Sesuai (S2) 3 Tidak sesuai (N) Sumber: Hasil Analisis (2009)
Luas (ha) 760.76 304.93 680.26
83
Gambar 19 Peta kesesuaian wisata bahari jenis kegiatan olahraga perairan di Pulau 83
84
Gambar 20 Peta arahan ekowisata pesisir dan laut di kawasan Pulau Matakus 84
85
5.4 Daya Dukung Pulau Matakus untuk Pengembangan Ekowisata Pulau Matakus merupakan pulau yang tergolong sangat kecil (mikro island) serta sangat rentan terhadap berbagai aktifitas yang dilakukan oleh manusia baik di lahan daratan, pesisir dan perairan laut oleh sebab itu pengembangan pulau ini sebagai kawasan ekowisata harus memperhitungkan daya dukung kawasan. Apalagi di pulau ini juga bermukim penduduk yang memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang terdapat di kawasan teresterial maupun perairan pulau. Daya dukung yang dimaksudkan adalah kemampuan kawasan secara fisik untuk menerima sejumlah wisatawan dengan intensitas maksimun terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara berkesinambungan tanpa merusak lingkungan. Oleh sebab itu dengan kondisi populasi masyarakat yang saat ini mendiami kawasan Pulau Matakus serta dengan mengetahui seberapa banyak jumlah wisatawan yang dapat ditampung kawasan pulau, pengembangan ekowisata akan berlangsung secara berkesinambungan tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian kebutuhan masyarakat lokal dan wisatawan yang datang terhadap sumberdaya di kawasan pulau dapat berjalan secara seimbang. Daya dukung wisata merupakan tipe spesifik dari daya dukung lingkungan yang mengarah pada daya dukung dari lingkungan biofisik dan sosial sehubungan dengan aktifitas wisatawan. Dalam perspektif ekowisata pesisir dan laut, komponen sumberdaya alam yang menentukan besarnya daya dukung kawasan pulau untuk menerima jumlah wisatawan adalah luas areal daratan, pesisir dan perairan laut yang biasanya disebut dengan lahan. Luas lahan daratan menentukan banyaknya (jumlah dan luas) bangunan (build up) yang dapat dibangun, ketersediaan sandang dan pangan (food and fibre) untuk memenuhi konsumsi serta banyaknya jumlah wisatawan yang dapat ditampung pada saat yang sama. Luas lahan pesisir dan perairan laut berupa luas pantai dan terumbu karang menentukan jumlah wisatawan yang dapat ditampung untuk beraktifitas di pesisir pantai dan menikmati pemandangan indah bawah air.
86
Analisis daya dukung Pulau Matakus untuk pengembangan ekowisata ini dibagi atas dua bagian. Pertama menghitung daya dukung kawasan (DDK) untuk mengetahui daya tampung wisatawan di setiap sub zona wisata untuk tiap aktifitas wisata berdasarkan luas areal yang sangat sesuai (S1) hasil analisis kesesuaian. Kedua analisis tapak ekologi atau ecological footprint analysis (EFA) untuk mengatahui daya tampung wisatawan berdasarkan luas areal dan tingkat konsumsi di lahan daratan maupun perairan laut yang sesuai untuk kegiatan ekowisata. 5.4.1 Daya Dukung Kawasan (DDK) Penghitungan daya dukung kawasan dilakukan terhadap tiap sub zona wisata yang dianggap sangat sesuai dengan asumsi bahwa wisatawan yang datang terspesifikasi berdasarkan jenis kegiatan wisata. Untuk ekowisata pantai, penghitungan dilakukan berdasarkan panjang pantai, sedangkan untuk ekowisata bahari jenis kegiatan selam, snorkeling dan olahraga perairan berdasarkan luas kawasan yang sangat sesuai. DDK Sub Zona Rekreasi dan Olahraga Pantai. Pantai berpasir putih dengan tipe susbtrat berpasir merupakan faktor utama yang berperan dalam penentuan pemanfaatan kawasan ekowisata untuk kegiatan wisata pantai dan olahraga pantai sehingga diberikan bobot yang tinggi (5). Hal ini karena pantai berpasir putih memiliki daya tarik bagi wisatawan untuk melakukan aktifitas seperti berjemur, berenang, olahraga voley pantai ataupun hanya duduk – duduk sambil menikmati pemandangan alam. Hasil analisis kesesuaian menunjukkan bahwa ada 6 stasiun pengamatan yang sangat sesuai untuk kegiatan rekreasi pantai dan olahraga pantai. Berdasarkan hasil analisis, dengan panjang pantai 5 738 m jumlah wisatawan yang dapat ditampung di sub zona rekreasi dan olahraga pantai setiap hari adalah 230 orang dengan waktu yang dibutuhkan setiap wisatawan untuk beraktifitas selama 3 jam. Hal ini menunjukan bahwa banyaknya wisatawan yang dapat melakukan aktifitas wisata di pantai sangat dipengaruhi oleh panjang pantai. DDK Sub Zona Wisata Selam. Ekosistem terumbu karang merupakan faktor utama yang menentukan dalam penetapan kawasan wisata bahari karena merupakan daya tarik bagi wisatawan untuk melakukan aktifitas wisata seperti
87
selam dan snorkeling. Luasan ekosistem terumbu karang di tiap stasiun pengamatan diasumsikan sebagai luasan area yang akan digunakan untuk selam yang berdasarkan hasil analisis kesesuaian termasuk dalam kelas sangat sesuai. Hasil analisis kesesuaian lahan menunjukkan bahwa hanya stasiun 2 dan 5 yang sangat sesuai untuk aktifitas selam dengan luas areal karang 33.58 ha. Berdasarkan luas kawasan tersebut maka jumlah wisatawan yang dapat ditampung di sub zona wisata selam setiap hari adalah 2 686 orang dengan waktu yang dibutuhkan setiap wisatawan untuk beraktifitas selama 2 jam. DDK Sub Zona Wisata Snorling. Sebagaimana kegiatan selam, luasan ekosistem terumbu karang juga diasumsikan sebagai luasan area yang akan digunakan untuk aktifitas snorkling yang berdasarkan hasil analisis kesesuaian termasuk dalam kelas sangat sesuai. Hasil analisis kesesuaian lahan menunjukkan bahwa stasiun 2, 8 dan 9 yang sangat sesuai untuk aktifitas snorkling dengan total luas areal karang 82.49 ha. Berdasarkan luas kawasan tersebut maka jumlah wisatawan yang dapat ditampung di sub zona wisata snorkling setiap hari adalah 6 600 orang dengan waktu yang dibutuhkan setiap wisatawan untuk beraktifitas selama 3 jam. DDK Sub Zona Olahraga Perairan. Kawasan perairan laut dengan arus yang lemah dan kedalaman yang memadai diperlukan untuk melakukan berbagai aktifitas olah raga perairan seperti jet ski, berperahu, lomba layar dan lain – lain. Perairan dengan karakteristik demikian diasumsikan sebagai luas area yang akan digunakan untuk menghitung jumlah wisatawan untuk aktifitas olahraga perairan dan termasuk kategori kelas kesesuaian S1. Berdasarkan hasil analisis, dengan total area yang sangat sesuai seluas 760.76 ha dan kedalaman perairan berkisar antara 5 – 25 m jumlah wisatawan yang dapat ditampung di sub zona olahraga perairan setiap hari adalah 30 430 orang untuk melakukan aktifitas berperahu, jet ski dan lomba layar dengan lama waktu aktifitas masing – masing 2 jam. Daya dukung dan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan aktifitas wisata di setiap sub zona wisata dapat dilihat pada Tabel 22.
88
Tabel 22 Luas areal dan daya dukung kawasan di tiap sub zona wisata No
Sub Zona
1
Rekreasi dan Olahraga Pantai 2 Selam 3 Snorkling 4 Olahraga Perairan Total Sumber: Hasil Analisis (2009)
Panjang (m)/ DDK per hari Luas (ha) (Orang) 5 738 230 33.58 82.49 760.76
Lama Wisata (Jam) 3
2 686 6 600 30 430 39 946
2 3 2
5.4.2 Analisis Tapak Ekologi (Ecological Footprint Analysis/EFA) Alam sebenarnya menyediakan pasokan sumberdaya alam yang mencukupi untuk menopang kebutuhan dasar kehidupan manusia. Sayangnya, pola konsumsi sumberdaya alam dan jumlah manusia yang semakin meningkat menyebabkan sumberdaya alam yang ada hampir tidak cukup untuk memenuhi berbagai kebutuhan di bumi ini. Ecological footprint (selanjutnya ditulis EF) merupakan suatu metode untuk mengukur permintaan aktifitas manusia terhadap biosfer atau lebih tepat mengukur jumlah lahan produktif secara biologi yang diperlukan untuk memproduksi keseluruhan sumberdaya dan menyerap limbah yang dihasilkan. Area tersebut kemudian dapat dibandingkan dengan biocapacity, yaitu jumlah area produktif yang tersedia untuk mengembangkan sumberdaya dan menyerap limbah yang dihasilkan tersebut. Sementara Biocapacity (selanjutnya ditulis BC) merupakan areal potensial secara ekologis atau disebut juga sebagai area produktif secara biologi (Biologically Productive Area atau disingkat BAP) yang tersedia di Pulau Matakus. Penghitungan EF dan BC ini menggunakan 2 pendekatan yaitu pertama penghitungan secara manual dan kedua dengan model dinamik menggunakan software Stela 9.0.2 untuk melihat perkembangan EF, BC dan jumlah wisatawan yang dapat ditampung di Pulau Matakus dalam 10 tahun ke depan. Footprint. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, bahwa total EF tiap wisatawan yang mengujungi Pulau Matakus terdiri dari jumlah agregat komponen build-up land, fosil energy land, food and fibre consumption yang meliputi
89
pasture land, arable land, forest land dan sea space dengan rata-rata waktu tinggal selama 6 hari. Beberapa tabel berikut menunjukan hasil penghitungan total EF dari rata – rata kunjungan ke Pulau Matakus dengan rata – rata lama tinggal 6 hari.
Tabel 23 Build-up land footprint Kategori Jalan Pelabuhan Akomodasi Aktifitas Total footprint Sumber: Hasil Analisis (2009)
ha/cap/tahun 0.0002 0.0053 0.0024 0.1356 0.1435
Persentasi (%) 0.14 3.69 1.67 94.49 100
Berdasarkan Tabel 23, rata – rata pemanfaatan lahan secara langsung untuk infrastruktur wisata cukup besar yakni 1356 m2 tiap wisatawan per tahun. Hal ini menunjukan bahwa sumberdaya dan ruang untuk aktifitas digunakan oleh jumlah wisatawan yang sedikit tiap tahunnya sehingga permintaan area build-up percapita masih cukup besar. Sekitar 94.49% dari footprint build-up land dihasilkan oleh aktifitas wisata. Berbeda jika dibandingkan dengan footprint dari fosil energy land (Tabel 24) dimana penggunaannya kelihatan kecil sekali yakni 53 m2 tiap wisatawan. Dengan ketersediaan energi di pulau kecil yang terbatas, bertambahnya jumlah wisatawan menyebabkan permintaan energi per kapita (per wisatawan) untuk kepentingan akomodasi juga menjadi kecil.
Tabel 24 Fosil energy land footprint Uraian Ketersediaan energy Konsumsi energy untuk akomodasi EF untuk fosil energy land Sumber: Hasil Analisis (2009)
Satuan 30.39 GJ/ha/tahun 0.16206 GJ/cap 0.0053 ha/cap/tahun
Rata – rata footprint untuk konsumsi sandang dan pangan (food and fibre consumption) wisatawan yang mengunjungi Pulau Matakus dengan waktu kunjungan rara – rata selama 6 hari dapat dilihat pada Tabel 25.
90
Tabel 25 Footprint Konsumsi Sandang dan Pangan Negara asal Wisatawan
Cropland (ha/cap/thn)
Australia 0.1217 Indonesia 0.0316 Inggris 0.055 Rata-rata 0.0694 Total EF food and 0.4541 fibre Sumber: Hasil Analsis (2009)
Pasture (ha/cap/thn)
0.94 0.00 0.77 0.3367
Forest (ha/cap/thn)
Fishing ground (ha/cap/thn)
0.1183 0.015 0.0583 0.0639
0.033 0.067 0.033 0.044
Hasil analisis pada Tabel 25 menunjukkan bahwa rata – rata footprint untuk konsumsi sandang dan pangan dengan rata – rata lama kunjungan 6 hari adalah 0.4541 ha atau sekitar 4 541 m2 lahan yang dimanfaatkan oleh setiap wisatawan untuk konsumsi sandang dan pangan selama berwisata di Pulau Matakus. Secara ringkas, total EF untuk keenam komponen utama ruang produktif dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Total Ecological Footprint Komponen footprint
Footprint (ha/cap/thn)
Energy land Build-up land Cropland Pasture land Forest land Fishing ground Total footprint tiap wisatawan Total footprint untuk semua wisatawan Sumber: Hasil Analisis (2009)
0.0053 0.1435 0.0694 0.3367 0.0639 0.0443
Area dalam ruang global (gha/cap/thn) 0.0070 0.3788 0.1832 0.1683 0.0846 0.0177
0.6579
0.8396
98.68
125.9
Hasil analisis pada Tabel 26 menunjukkan bahwa rata – rata perjalanan wisatawan ke Pulau Matakus memerlukan lebih dari 0.6 ha lahan atau sekitar 6 000 m2 untuk keperluan sumberdaya bagi wisatawan di pulau tersebut. Jika dilihat dari sudut pandang global, maka perjalanan wisatawan ke Pulau Matakus memerlukan lebih dari 0.8 ha rata – rata ruang dunia untuk keperluan sumberdaya.
91
Biocapacity. Biological capacity atau biocapacity adalah kemampuan ekosistem untuk menghasilkan material biologi yang bermanfaat dan untuk menyerap limbah material yang dihasilkan oleh manusia, menggunakan rencana pengelolaan dan teknologi ekstraksi. Penghitungan BC dari suatu wilayah diawali dengan mengetahui jumlah total lahan yang secara bioproduktif tersedia (Global Fotprint Network, 2008). Secara singkat dapat dikatakan bahwa penghitungan BC dilakukan untuk mengukur kemampuan lahan terseterial dan perairan yang tesedia untuk menyediakan jasa lingkungan. Penghitungan BC dari suatu area dilakukan dengan mengalikan area yang aktual tersedia dengan yield factor (YF) dan equivalence factor (EF) yang tepat. BC biasanya digambarkan dalam global hektar (gha). BC di Pulau Matakus merupakan pengukuran total dari jumlah lahan yang tersedia termasuk perairan laut hingga batas 4 mil. Hal ini menggambarkan kemampuan dari Pulau Matakus untuk memproduksi tanaman pertanian (crops), padang rumput (pasture), produk kayu-kayuan (forest) dan ikan, maupun untuk menyerap limbah seperti CO2. Hasil penghitungan BC Pulau Matakus dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Total Biocapacity Pulau Matakus Komponen lahan Energy land Build-up land Cropland Pasture land Forest land Sea space Total Total BC/cap
Exixting area (ha) 30.39 735.39 126.13 49.83 110.63 5 787.00
YF 1.3 1.0 1.7 2.2 1.3 0.6 -
Biocapacity (ha) 39.51 735.39 214.43 109.69 143.82 3472.2 4 715.05 31.43
Equivalence factor (gha/ha) 1.33 2.64 2.64 0.50 1.33 0.40 -
Bocapacity dalam gha 52.54 23.04 566.08 54.85 191.29 1 388.88 2 276.68 15.18
Sumber: Hasil Analisis (2009) Hasil analisis seperti tampak pada Tabel 27 menunjukkan bahwa komponen sea space memberikan kontribusi yang sangat besar bagi ketersediaan lahan produktif di Pulau Matakus sebesar 3 472.2 ha sedangkan komponen energy land memberikan kontribusi sangat kecil yakni sekitar 39.51 ha. Kondisi ini disebabkan karena sebagai pulau kecil, wilayah perairan lautnya sangat luas dibandingkan dengan luas wilayah teresterialnya. Selain itu, jumlah penduduk
92
yang sedikit menyebabkan ketersediaan energi hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan lokal. Total BC Pulau Matakus secara lokal adalah 4 715.05 ha sedangkan BC secara global adalah 2 276.68 gha. Jika total BC yang ada dibagikan dengan total wisatawan yang mengunjungi Pulau Matakus pada tahun 2007 sebanyak 150 orang, maka BC tiap wisatawan secara lokal dan global masing-masing adalah 31.43 ha per kapita dan 15.18 gha per kapita. Berdasarkan laporan WWF (2008), BC yang tersedia secara global adalah 2.1 gha per capita sedangkan total BC untuk Indonesia adalah 1.4 gha, dengan demikian BC Pulau Matakus secara global yang tersedia untuk tiap wisatawan 7 kali lebih besar dari BC global dan 10 kali lebih besar dari BC nasional. Daya Dukung (Carrying Capacity). Untuk mengetahui jumlah wisatawan yang dapat ditampung oleh Pulau Matakus maka dilakukan perbandingan antara kondisi EF dan BC yang tersedia. Berdasarkan nilai total EF untuk kegiatan wisata yakni sebesar 0.6579 ha/cap/tahun dan total BC yang tersedia sekitar 4 715.05 ha, maka jumlah wisatawan rata – rata yang dapat ditampung di Pulau Matakus setiap tahun adalah sekitar 7 168 orang (setara dengan 7 000 orang). Jika BC setiap wisatawan adalah 31.43 ha, maka kondisi BC masih 40 kali lebih besar dari EF. Dengan demikian kegiatan ekowisata di Pulau Matakus mengalami apa yang disebut dengan ecological reserve yaitu kondisi dimana terjadi perbedaan nilai antara BC dan EF dalam hal ini BC di Pulau Matakus melebihi footprint dari wisatawan yang berkunjung ke pulau tersebut. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa areal potensial secara ekologis atau area produktif secara biologi Pulau Matakus masih cukup untuk menampung jumlah wisatawan yang datang berwisata. Model Dinamik Ecological Footprint. Pengelolaan dan pengembangan Pulau Matakus sebagai kawasan ekowisata memerlukan informasi tentang kondisi biofisik kawasan serta kemampuan pulau dengan sumberdaya yang ada baik di area teresterial maupun perairan laut dalam menerima jumlah wisatawan yang datang. Hal ini penting untuk menjaga keberlanjutan Pulau Matakus maupun kesinambungan aktifitas wisata yang selalu membutuhkan ruang dan sumberdaya. Prediksi jumlah wisatawan yang datang untuk berwisata setiap tahunnya akan sangat membantu untuk mengalokasikan ruang dan sumberdaya yang dibutuhkan.
93
Analisis daya dukung Pulau Matakus untuk ekowisata dengan pendekatan EF serta dengan bantuan model dinamik ini akan dapat membantu untuk mengetahui seberapa besar kemampuan pulau ini dengan segala sumberdaya yang ada di dalamnya untuk mendukung jumlah wisatawan yang datang berwisata tiap tahun sehingga dapat dilakukan pengelolaan secara efektif. Causal loop model konseptual dan model dinamik yang dibangun dan digunakan dalam analisis tapak ekologi (EFA) ini dapat dilihat pada Gambar 20 dan 21. Footprint Pelabuhan Footprint Akom odasi
( )
( )
Footprint Aktifitas
( ) Footprint Build Up
( ) Existing Energy
Exixting Forest Area
Existing Pasture area
( )
( )
( )
Footprint Energy
( )
( ) ( )
( )
Konsumsi Energy
( )
( )
( ) Existing Cropland
( ) ( )
( )
Footprint Jalan
Jumlah Wisatawan
Total Ecological Footprint
( )
Biocapacity
Forest Area
( )
( )
( )
( )
( ) Existing BuildUp Area
Existing Fishing Ground
Footprint Food & Fibre
( )
Sea Space
( )
Arable Land
Pasture Area
Gambar 21 Causal loop dari analisis tapak ekologi (ecological footprint analysis) lama wisata
luas pelbhn\ha luas pnginpn\ha area snorkli luas area divluas ing\ha
f oot pelabuhan f oot penginapan
luas jln\ha
luas wisata pantai f oot akt if itas f oot Jalan
YF energy
Foot Buildup\ha\cap\thn
kons enegry \GJ\cap
Exist Area\ha BC energy \ha YF built up Jmlh Turis
Foot Energy \ha\cap\thn
Exist buildt area BC Built up jmlh energy \GJ\ ha\thn Total BC\ ha
EF\ha\cap\thn
YF Crop
pasture\ha\cap\thn
BC Croplnd
F orest space\ha\cap\thn
BC Sea space Exist Crop Area Exist f ish area\ha
Foot Food & Fibre BC Pasture
YF f ishery
Exist past area
Sea Space\ha\ cap\thn
BC Forest arable land\ha\cap\thn YF Pasture
Y F Forest Exist F orest\ha
Gambar 22 Model dinamik untuk analisis tapak ekologi (ecological footprint analysis)
94
Berdasarkan hasil running dari model dinamik yang dibangun, diperoleh gambaran jumlah wisatawan, kondisi BC dan EF dalam kurun waktu 10 tahun sebagaimana terlihat pada Tabel 28. Tabel 28 Proyeksi jumlah wisatawan, BC dan EF selama 10 tahun. Tahun
Jumlah wisatawan
EF total (ha/thn)
2009 150 1 109.02 2010 3 756 2 557.93 2011 5 913 3 424.67 2012 7 203 3 943.14 2013 7 975 4 253.29 2014 8 437 4 438.82 2015 8 713 4 549.80 2016 8 879 4 616.19 2017 8 977 4 655.90 2018 9 036 4 679.66 2019 9 072 Sumber: Hasil Analisis (2009)
Biocapacity Total (ha)
EF tiap wisatawan (ha/cap/thn)
Biocapacity tiap wisatawan (ha)
4 715.03 4 715.03 4 715.03 4 715.03 4 715.03 4 715.03 4 715.03 4 715.03 4 715.03 4 715.03
7.393 0.681 0.579 0.547 0.533 0.526 0.522 0.519 0.519 0.518
31.434 1.255 0.797 0.655 0.591 0.559 0.541 0.531 0.525 0.522
Hasil analisis seperti pada Tabel 28 merupakan total BC dan EF dari keseluruhan wisatawan dan untuk tiap wisatawatan per tahun (cap/ha/thn) yang mengunjungi Pulau Matakus. Dengan jumlah wisatawan awal sebanyak 150 orang pada tahun 2007 dan kondisi ruang ekologis (BC) di Pulau Matakus sekitar 4 715 ha, maka pada tahun pertama Pulau Matakus dapat menampung wisatawan sebanyak 3 765 orang dengan lahan yang dibutuhkan seluas 2 557 ha sementara kebutuhan lahan untuk setiap wisatawan (percapita) adalah sekitar 0.681 ha. Meningkatnya jumlah wisatawan pada tahun pertama dan kedua disebabkan oleh masih luasnya ketersediaan lahan produktif. Pada tahun selanjutnya jumlah wisatawan yang dapat ditampung di Pulau Matakus hanya terjadi sedikit peningkatan dan cenderung stabil menyebabkan pemanfaatan lahan oleh tiap wisatawan juga tidak mengalami perubahan yang signifikan. Perubahan total luas lahan yang dimanfaatkan akan terjadi setiap tahun seiring dengan bertambahnya wisatawan yang berwisata ke Pulau Matakus sebagai akibat dari konsumsi yang dilakukan namun tidak sampai melebihi BC. Model dinamik dari penjelasan tabel diatas dapat dilihat pada Gambar 22.
95
1: Jmlh Turis 1: 2: 3:
2: EF\ha\cap\thn
3: Total BC\ha
10000 5000 4716 1
1
1: 2: 3:
5000 2500 4716
1: 2: 3:
0 0 4715
1
2
2
2
2 1 3 2009.00 Page 1
3 2011.75
3 2014.50 Years
3 2017.25
2020.00
6:18 PM Sun, Aug 23, 2009
Gambar 23 Model dinamik jumlah wisatawan, EF dan BC
Pada gambar diatas, BC merupakan daya dukung ruang secara ekologis untuk menopang tingkat konsumsi dari wisatawan terhadap sumberdaya yang terdapat di Pulau Matakus. Bertambahnya jumlah wisatawan yang mengunjungi pulau Matakus tiap tahun akan diikuti dengan meningkatnya EF dari pulau tersebut karena permintaan akan ruang. Dengan kondisi BC yang konstan, jumlah wisatawan tiap tahunnya akan bertambah secara eksponensial hingga mencapai relatif konstan karena peningkatan EF masih berada di bawah BC sehingga Pulau Matakus masih mampu untuk mentolerir kehadiran wisatawan dalam jumlah banyak dan dalam jangka waktu yang lama walaupun pada tahun tertentu akan terjadi kondisi dimana EF akan meningkat melampaui BC yang menandakan kegiatan ekowisata di Pulau Matakus tidak lagi berkelanjutan (unsustainable). Dengan meningkatnya jumlah wisatawan di Pulau Matakus, maka akan terjadi pula peningkatan EF total sebagai konsekuensi dari konsumsi yang dilakukan oleh wisatawan terhadap sumberdaya alam yang ada di pulau tersebut, namun perubahan EF tersebut tiap tahunnya sangat kecil, hal ini dapat dilihat dari EF per capita (tiap wisatawan) yang cenderung tetap mulai dari tahun ke 2 (0.681 ha/cap/thn) walaupun masih berada di bawah BC. Hal ini menunjukan bahwa Pulau Matakus setiap tahunnya hanya mampu menampung maksimal sekitar 8 000 orang wisatawan dengan seluruh sumberdaya alam yang ada didalamnya.
96
5.4.3 Perbandingan DDK dan EFA Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa DDK dan EFA merupakan dua pendekatan yang digunakan dalam menghitung kemampuan kawasan Pulau Matakus dalam menampung jumlah wisatawan. DDK menunjukan jumlah wisatawan yang dapat ditampung dalam tiap sub zona wisata berdasarkan luas area dan panjang pantai yang sangat sesuai, sedangkan EFA menunjukan jumlah wisatawan total yang dapat ditampung di kawasan Pulau Matakus berdasarkan kondisi biocapacity yang tersedia dan konsumsi terhadap sumberdaya dalam satua luas area. Perbandingan jumlah wisatawan dan luas lahan berdasarkan pendekatan DDK dan EFA dapat dilihat pada Gambar 23.
45000
DDK (882.53; 39946)
Jumlah Wisatawan
40000 35000 30000 25000 20000 Biocapacity (4715.05;7168)
15000 10000 5000
EF (98.68; 150)
0 0
1000
2000
3000
4000
5000
Luas Lahan (ha)
Gambar 24 Kapasitas Lahan dan Jumlah Wisatawan
Berdasarkan Gambar 23 terlihat bahwa dengan pendekatan DDK, total wisatawan yang dapat melakukan aktifitas di tiap sub zona wisata adalah 39 946 orang per hari sedangkan dengan pendekatan EFA, terlihat bahwa jumlah wisatawan pada kondisi awal (existing) adalah 150 orang dengan konsumsi lahan (EF) sebesar 98.68 ha. Sementara itu dengan kondisi biocapacity (ketersedian lahan produktif) kawasan Pulau Matakus sekitar 4 715 ha, total wisatawan yang dapat ditampung di kawasan Pulau baik di lahan daratan maupun di perairan adalah
7 168 orang setiap tahun. Hal ini menggambarkan bahwa dengan
pendekatan EFA, walaupun lahan potensial yang tersedia di Pulau Matakus cukup besar namun jumlah wisatawan yang dapat ditampung setiap tahunnya sangat
97
kecil dibandingkan dengan pendekatan DDK yang mana menghasilkan jumlah wisatawan yang besar sementara lahan yang dimanfaatkan sangat kecil. Tingginya jumlah wisatawan dengan pendekatan DDK disebabkan karena penghitungan jumlah wisatawan didasarkan pada lama waktu tiap aktifitas wisata (jam per hari) tanpa memperhitungkan waktu untuk mobilisasi wisatawan (waktu mobilisasi dianggap nol). Namun metode ini memiliki kelebihan karena dapat menentukan secara detail jumlah wisatawan di tiap sub zona wisata berdasarkan luas kawasan (ruang dan sumberdaya) yang sesuai. Berbeda dengan pendekatan DDK, pendekatan EFA lebih konservatif karena menghasilkan jumlah wisatawan minimal. Hal ini disebabkan karena penghitungannya berdasarkan input – output sumberdaya (kebutuhan akan sumberdaya di pulau) baik dilahan daratan dan perairan per tahun dengan dengan rata – rata lama kunjungan wisata 6 hari, namun kelemahannya tidak dapat menentukan jumlah wisatawan secara detail di tiap zona ekowisata. Jika menggunakan pendekatan kehati-hatian (precusionary approach) dalam pengelolaan sumberdaya, maka dari dua pendekatan yang digunakan untuk menghitung daya dukung wisata di Pulau Matakus dikaitkan dengan penentuan kebijakan pengelolaan, banyaknya wisatawan yang diperkenankan mengunjungi kawasan Pulau Matakus setiap tahun harus mengacu pada hasil pendekatan EFA karena menghasilkan jumlah wisatawan minimal, namun hasil penghitungan DDK tetap akan dijadikan acuan dalam penentuan jumlah wisatawan yang akan melakukan kegiatan di setiap sub zona wisata.
5.5 Persepsi Stakeholder Tentang Pengembangan Ekowisata Keberhasilan pembangunan di suatu kawasan sangat dipengaruhi oleh bentuk respons dari para stakeholder terkait. Respons yang dimaksud adalah partisipasi mereka untuk secara bersama – sama terlibat melaksanakan program – program pembangunan. Keputusan untuk berpartispasi tersebut merupakan akumulasi dari pengamatan dan interpretasi pribadi yang bersumber dari pengetahuan, pemikiran dan perasaan seseorang terhadap program yang akan dijalankan.
98
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Pulau Matakus merupakan kawasan wisata daerah yang didalamnya bermukim 97 kepala keluarga yang sangat tergantung dengan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Rencana pengembangan kedepan untuk menjadikannya sebagai kawasan ekowisata bahari memerlukan berbagai pendapat dan tanggapan dari stakeholder yang terkait langsung seperti masyarakat lokal, pemerintah daerah dan wisatawan yang memanfaatkan jasa lingkungan di kawasan Pulau Matakus. 5.5.1 Persepsi Masyarakat Desa Matakus Secara umum masyarakat yang tinggal di Pulau Matakus adalah penduduk asli yang telah mendiami pulau tersebut lebih dari sepuluh tahun. Kelompok masyarakat yang tergolong pendatang adalah para pegawai negeri sipil (guru) dan pemimpin umat dengan lama tinggal antara 5 – 10 tahun. Dari 49 responden yang diwawancarai, sekitar 46.9% bermata pencaharian sebagai nelayan penangkap ikan, udang dan kepiting dengan rata – rata tingkat pendapatan setiap bulan berkisar antara 250 000 sampai 500 000 ribu rupiah (30.61%) sedangkan yang berprofesi sebagai petani sekitar 24.48% dan memanfaatkan lahan terestrial untuk berladang, berkebun dan mencari kayu bakar. Aktifitas budidaya pesisir seperti rumput laut maupun keramba jaring apung tidak terdapat di kawasan pulau ini. Untuk keperluan pembanguan rumah, masyarakat desa memanfaatkan pasir di pantai sebagai bahan bangunan sedangkan material batu diambil dari lahan daratan. Beberapa hal yang diperoleh dari kegiatan wawancara terhadap 49 responden berkaitan dengan persepsi masyarakat setempat tentang pengembangan ekowisata adalah bahwa 100% responden telah mengetahui Pulau Matakus merupakan daerah tujuan wisata. Sekitar 57.14% responden menyatakan bahwa kegiatan wisatawan yang dilakukukan selama ini telah memberikan keuntungan bagi masyarakat, 36.73% menyatakan tidak memberikan keuntungan sedangkan sisanya (6.12%) menyatakan tidak tahu. Berkaitan dengan istilah ekowisata, sekitar 59.18% responden menyatakan belum pernah mendengar dan mengetahui tentang istilah tersebut, hanya sekitar 40.82% yang telah mendengar istilah ekowisata sedangkan untuk tingkat
99
pemahaman terhadap prinsip ekowisata, sekitar 44.68% menyatakan memahami prinsip – prinsip ekowisata sementara 55.32% tidak memahami prinsip – prinsip ekowisata. Namun secara keseluruhan, 100% responden menyatakan setuju dengan upaya pengembangan kawasan Pulau Matakus menjadi kawasan ekowisata bahari. Hasil analisis terhadap berbagai jawaban yang diberikan responden sebagai pembentuk presepsi masyarakat menunjukkan bahwa persepsi masyarakat Desa Matakus untuk pengembangan ekowisata di kawasan tersebut termasuk kategori baik yakni sekitar 53.06% dan cukup yakni sekitar 46.94%. 5.5.2 Hubungan Karakteristik Masyarakat dengan Tingkat Persepsi Persepsi responden ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh karakteristik individu setiap responden. Secara umum umur, tingkat pendidikan, jenis mata pencaharian dan pendapatan merupakan faktor – faktor yang berpengaruh. Akar ciri dan persentase ragam hasil Analisis Komponen Utama terhadap 49 responden dari kelompok masyarakat untuk 5 variabel dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Akar ciri dan persentase ragam pada tiga komponen utama Eigen Analisis Nilai Eigen (akar ciri) Ragam (%) Kumulatif (%) Sumber: Hasil Analisis (2009)
Komponen Utama 1 2 2,031939 0,940624 0,406388 0,188125 0,406388 0,594513
3 0,886819 0,177364 0,771876
Hasil analisis matrik korelasi data seperti tampak pada Tabel 29 memperlihatkan bahwa ragam pada sumbu utama pertama hingga ketiga mencapai 77,19% dari ragam total. Hal ini berarti 77% dari data hasil analisis dapat diterangkan hingga sumbu utama ketiga. Komponen utama pertama hingga ketiga secara berurutan memiliki akar ciri 2,0319; 0,9406; dan 0,8868 yang menjelaskan masing-masing 40,6%; 18,81%; dan 17,7% keragaman dari gugus data. Dari hasil analisis diketahui bahwa variabel pendidikan, pekerjaan dan pendapatan berkorelasi positif dengan persepsi responden dalam pengembangan ekowisata, dimana variabel pendidikan memiliki korelasi tertinggi 0.9999
100
(99.99%) terhadap variabel persepsi dikuti oleh variabel pekerjaan 0.4784 (47.84%) dan pendapatan 0.2014 (20.14%). Kontribusi variabel dalam pembentukan komponen utama menunjukan bahwa variabel pekerjaan, pendapatan, persepsi dan pendidikan memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan komponen utama pertama dengan nilai korelasi masing – masing variabel dan sumbu berturut – turut sebesar 0.9536; 0.8243; 0.7202; dan 0.7168. Sedangkan variabel umur memiliki kontribusi besar terhadap komponen utama kedua dengan nilai korelasi 0.9099. Nilai – nilai diatas menunjukan kedekatan variabel – variabel tersebut terhadap masing – masing sumbu. Variabel Pekerjaan merupakan variabel penyumbang terbesar terhadap komponen utama pertama, dimana mayoritas respoden (46.9%) memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Interpretasi variabel yang berperan dalam pembentukan persepsi masyarakat dan kajian individu dari responden masyarakat dari keseluruhan variabel dapat dilihat pada Gambar 24. Melihat besarnya sudut yang terbentuk antar varibel (nilai kosinus sudut), tampak jelas bahwa variabel yang berpengaruh terhadap pembentukan persepsi masyarakat untuk pengembangan ekowisata bahari di Pulau Matakus adalah tingkat pendidikan sedangkan variabel lain seperti pekerjaan, pendapatan dan umur memiliki korelasi yang kecil terhadap persepsi masyarakat.
Gambar 25 Korelasi variabel karakteristik dan distribusi individu pada komponen utama pertama (PC1) dan komponen utama kedua (PC2)
101
Jika dilihat dari penyebaran titik individu pada bidang sumbu utama 1 dan 2, seperti pada Gambar 24 tampak bahwa individu yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri (guru), pemimpin umat dan wiraswasta memiliki persepsi yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang memiliki pekerjaan yang lain. Hal ini dapat dilihat pada titik individu: 2 (pendeta), 5 (guru), 6 (guru), 7 (wiraswasta), 8 (guru), 24 (PNS), 44 (PNS), 45 (guru), 46 (wiraswasta) dan 48 (guru), dimana titik – titik individu tersebut mengelompok dekat dengan persepsi. Persepsi yang baik terhadap pengembangan ekowisata di Pulau Matakus dari kelompok masyarakat yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai, pemimpin umat dan wiraswasta ini disebabkan oleh tingkat pendidikan yang dimiliki yakni antara SMA/sederajat hingga perguruan tinggi. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat memiliki pemahaman yang baik terhadap pengembangan ekowisata. Secara keseluruhan hasil analisis PCA yang dilakukan untuk melihat hubungan karakteristik masyarakat dengan persepsi terhadap pengembangan ekowisata di Pulau Matakus menunjukan bahwa tingkat pendidikan formal dan jenis pekerjaan merupakan karakteristik individu yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan persepsinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Maskendari (2006) yang menyatakan bahwa persepsi erat kaitannya dengan tingkat pendidikan formal, umur dan mata pencaharian masyarakat. Persepsi berkaitan dengan karakteristik yang ada dalam individu seperti umur dan pendidikan. 5.5.3 Persepsi Wisatawan Responden dari wisatawan yang diwawancarai adalah mereka yang pada saat penelitian ini dilakukan sedang mengadakan kunjungan wisata ke kawasan Pulau Matakus. Jumlah responden terdiri dari 18 orang dan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat dengan pendapatan setiap bulan kurang dari 2 juta rupiah. Dari hasil wawancara yang dilakukan, mayoritas responden (88.89%) menyatakan bahwa tujuan utama mereka mengunjungi Pulau Matakus adalah untuk berwisata, sedangkan sisanya karena ada tugas dari instansi tempat bekerja dan untuk kepentingan lain. Dari total wisatawan yang datang mayoritas responden 55.56% baru pertama kali melakukan kunjungan ke kawasan wisata
102
Pulau Matakus meskipun jaraknya cukup dekat dengan ibu kota kabupaten dan yang menjadi motivasi utama untuk melakukan kunjungan ke kawasan Pulau Matakus menurut 10 orang responden (55.56%) adalah potensi alamnya dimana potensi alam yang dimaksudkan mayoritas responden (100%) antara lain keindahan alam, pantai dan terumbu karangnya. Bebeberapa informasi yang diperoleh dari wisatawan tentang kondisi Pulau Matakus antara lain bahwa pemandangan alam dikawasan tersebut sangat indah (61.11%) dan sekitar 62.50% berpendapat bahwa kondisi terumbu karangnya dikawasan tersebut masih tergolong baik, hanya sekitar 37.50% responden yang menyatakan kondisi terumbu karangnya sangat baik. Jarak Pulau Matakus yang dekat dengan ibu Kota kabupaten menyebabkan mayoritas responden (55.56%) menilai bahwa aksesilitas untuk mencapai kawasan tersebut dapat ditempuh dengan mudah. Barkaitan dengan fasilitas wisata, selama ini memang telah dibangun beberapa fasilitas untuk mendukung kegiatan wisata di kawasan Pulau Matakus seperti homestay dan beberapa gazebo, namun 50.00% responden menyatakan bahwa fasilitas yang sudah ada tersebut tidak memadai. Berkaitan dengan persepsi tentang pengembangan ekowisata di Pulau Matakus, 100% persen responden setuju jika Pulau Matakus akan dikembangkan sebagai kawan ekowisata bahari. Khusus mengenai instilah ekowisata, mayoritas responden (88.89%) sudah pernah mendengar istilah ekowisata melalui buku, koran, majalah dan media elektronik seperti radio dan televisi. Dengan bantuan media – media tersebut maka sekitar 94.12% responden memahami dengan baik prinsip – prinsip ekowisata. Hasil analisis terhadap berbagai jawaban yang diberikan responden sebagai pembentuk persepsi tiap wisatawan menunjukan bahwa persepsi wisatawan untuk pengembangan ekowisata di kawasan tersebut termasuk kategori baik (88.9%) dan cukup (11.1%). 5.5.4 Hubungan Karakteristik Wisatawan dengan Tingkat Persepsi Variabel karakteristik responden yang akan dikaji dalam kaitannya dengan persepsi melalui Analisis Komponen Utama (PCA) antara lain umur, tingkat pendidikan dan pendapatan. Variabel Pekerjaan tidak disertakan disebabkan
103
seluruh responden memiliki pekerjaan yang sama yakni PNS. Akar ciri dan persentase ragam hasil Analisis Komponen Utama terhadap 18 responden dari kelompok wisatawan untuk 4 variabel dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 30 Akar ciri dan persentase ragam pada tiga komponen utama Eigen Analisis Nilai Eigen (akar ciri) Ragam (%) Kumulatif (%) Sumber: Hasil Analisis (2009)
Komponen Utama 1 2 1,92622 0,926805 0,481555 0,231701 0,481555 0,713256
3 0,719103 0,179776 0,893032
Hasil analisis seperti pada tabel di atas memperlihatkan bahwa ragam pada sumbu utama pertama dan kedua mencapai 71,33% dari ragam total. Hal ini berarti 71,33% dari data hasil analisis dapat diterangkan oleh dua sumbu utama pertama dan kedua. Komponen utama pertama dan kedua secara berurutan memiliki akar ciri 1,9262 dan 0,9268 yang menjelaskan masing-masing 48,16% dan 23,17% keragaman dari gugus data. Dari hasil analisis diketahui bahwa variabel umur, pendidikan dan pendapatan berkorelasi positif dengan persepsi responden dalam pengembangan ekowisata di kawasan Pulau Matakus dimana variabel umur memiliki korelasi tertinggi 0.9932 (99.32%) terhadap variabel persepsi dikuti oleh variabel pendidikan 0.9234 (92.34%) dan pendapatan 0.0974 (9.74%). Kontribusi variabel dalam pembentukan komponen utama menunjukan bahwa variabel persepsi, pendidikan, dan umur memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan komponen utama pertama dengan nilai korelasi masing – masing variabel dan sumbu berturut-turut sebesar 0.9102; 0.9995 dan 0.8560 sedangkan variabel pendapatan memiliki kontribusi besar terhadap komponen utama kedua dengan nilai korelasi 0.9426. Variabel persepsi merupakan variabel penyumbang terbesar terhadap
komponen utama pertama, dimana mayoritas
wisatawan (88.9%) memiliki persepsi yang baik terhadap pengembangan ekowisata di Pulau Matakus, dengan pendidikan mayoritas wisatawan adalah lulusan Perguruan Tinggi (61.1%) dan umur rata – rata adalah 31 tahun. Interpretasi variabel yang berperan dalam pembentukan persepsi masyarakat dan kajian individu dari responden masyarakat dari keseluruhan
104
variabel dapat dilihat pada Gambar 25. Melihat besarnya sudut yang terbentuk antar varibel tampak jelas bahwa variabel yang berpengaruh terhadap pembentukan persepsi wisatawan untuk pengembangan ekowisata bahari di Pulau Matakus adalah umur dan tingkat pendidikan sedangkan variabel lain seperti pendapatan memiliki korelasi yang kecil terhadap persepsi wisatawan.
Gambar 26 Korelasi variabel karakteristik dan distribusi individu wisatawan pada komponen utama pertama (PC1) dan komponen utama kedua (PC2). Jika dilihat dari penyebaran titik individu pada bidang sumbu utama 1 dan 2, seperti pada Gambar 25 tampak bahwa individu yang menamatkan perguruan tinggi memiliki persepsi yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat pada titik individu: 2 (PT), 5 (PT), 6 (PT), 7 (PT), 9 (PT), 10 (PT), 11 (PT), 12 (PT) dan 18 (PT) dimana titik – titik individu tersebut mengelompok dekat dengan persepsi. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pembentukan persepsi wisatawan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa wisatawan yang telah menamatkan pendidikannya di perguruan tinggi memiliki persepsi yang baik terhadap pengembangan ekowisata di Pulau Matakus. 5.5.5 Persepsi Pemerintah Daerah Pemeritah daerah merupakan stakeholder yang memiliki peranan yang sangat penting dan menentukan dalam berbagai program dan kebijakan
105
pengelolaan sumberdaya alam di daerah. Penetapan Pulau Matakus dan beberapa pulau lain disekitarnya sebagai kawasan wisata merupakan inisiatif Pemerintah Daerah MTB. Hal ini diikuti pula oleh pembangunan beberapa sarana prasarana di lokasi tersebut untuk menunjang kegiatan wisata walaupun sebenarnya fasilitas tersebut tergolong belum memadai. Penilaian persepsi Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggra Barat berkaitan dengan pengembangan ekowisata di Pulau Matakus dilakukan terhadap 5 instansi yang dianggap memiliki keterkaitan langsung dengan pengelolaan Pulau Matakus dan merupakan representasi dari Institusi Pemerintah Daerah dalam perencanaan dan pelaksanaan program – program pembanguan antara lain BAPPEDA, Dinas Kebudayaan dan Periwisata, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutan dan Perkebunan dan Dinas Perhubungan. Informasi yang diperoleh didapatkan melalui penyebaran kuisioner dan wawancara langsung dengan pimpinan masing – masing instansi. Berdasarkan hasil wawancara, seluruh responden sudah pernah mendengar istilah ekowisata melalui media cetak dan elektronik dan memahami dengan benar prinsip – prinsip ekowisata. Berkaitan dengan pengembangan ekowisata, semua instansi yang menjadi responden dalam penelitian ini (100%) setuju dengan pengembangan Pulau Matakus menjadi kawasan ekowisata bahari. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengembangan ekowisata bahari di pulau tersebut mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah. Hasil analisis terhadap berbagai jawaban yang diberikan responden sebagai pembentuk presepsi tiap instansi menunjukkan bahwa mayoritas instansi (90%) memiliki persepsi yang baik untuk pengembangan ekowisata di kawasan Pulau Matakus.
5.5.6 Peran Setiap Instansi dalam Pengembangan Ekowisata BAPPEDA sebagai “dapur” dalam meramu berbagai program pembangunan di daerah merupakan instansi yang sering terlibat dalam melakukan perencanaan pembangunan sektor pariwisata melalui penyusunan dokumen – dokumen perencanaan tahunan, 5 tahunan hingga 25 tahun termasuk dokumen perencanaan pengembangan pariwisata. Dalam tahap pelaksanaannya, instansi ini hanya
106
bertugas memfasilitasi dan mengevaluasi berbagai program pembangunan pariwisata yang telah direncanakan dan dilaksanakan oleh instansi teknis. Berkaitan dengan perencanaan yang partispatif, instansi ini menilai persepsi masyarakat Desa Matakus untuk pembangunan sektor pariwisata cukup baik dan masih perlu ditingkatkan melalui pengembangan sumberdaya manusia lokal sehingga masyarakat juga dapat berperan sebagai perencana pembangunan. Para stakeholder yang terlibat dalam pengembangan ekowisata di Pulau Matakus perlu membentuk forum dialog untuk mendapatkan kesepakatan dan kesepahaman bersama sehingga dapat tercipta kesinergisan dalam pembangunan pariwisata. Dinas kebudayaan dan pariwisata merupakan instansi teknis yang bertanggung jawab penuh untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan pariwisata di Kabupaten Maluku Tengara Barat termasuk kawasan wisata Pulau Matakus. Sebagai instansi teknis, dinas ini sangat sering terlibat dalam perencanaan pembangunan pariwisata dan bentuk keterlibatan istitusi ini adalah pada tataran pelaksanaan dan memfasilitasi berbagai kegiatan pariwisata. Kegiatan Sail Darwin – Saumlaki yang diselenggarakan setiap tahun merupakan salah satu program besar yang ditangani dinas tersebut. Selain itu program lain yang dilakukan adalah memfasilitasi pengadaan dan penataan sarana prasarana pariwisata pada obyek wisata dan dikelola secara bersama – sama dengan masyarakat setempat. Menurut instansi ini partisipasi masyarakat Desa Matakus selama ini dalam mendukung program yang dilaksanakan cukup baik karena telah mampu menigkatkan pendapatan dan terbukanya kesempatan bekerja bagi masyarakat setempat. Namun tetap perlu dilakukan peningkatan partisipasi masyarakat melalui kegiatan sosialisasi akan pentingnya pariwisata berkonsep ekowisata, selain itu pula perlu dibentuk sebuah forum dialog yang berkaitan dengan pembangunan pariwisata berkonsep ekowisata karena pembangunan ekowisata menjamin kelestarian lingkungan di kawasan pariwisata. Berdasarkan hasil wawancara dengan dinas Kehutanan dan Perkebunan diperoleh informasi bahwa instansi inipun sering terlibat dalam kegiatan perencanaan pembangunan ekowisata berupa pengembangan sumberdaya lokal dari segi kehutanan dan perkebunan teristimewa untuk kepentingan perlindungan
107
kerusakan ekosistem seperti burung dan jenis kayu – kayuan. Bentuk keterlibatannya pada tataran implementasi seperti pembangunan agrowisata dan pengembangan komoditi perkebunan kelapa di Pulau Matakus dan wisata hutan di desa Lermatang kecamatan Tanimbar Selatan. Dalam kaitannya dengan pelayanannya kepada masyarakat, instansi tersebut berperan dalam memfasilitasi dan mengawasi berbagai program yang berkaitan dengan pengembangan ekowisata seperti pemberian bantuan fasilitias pertukangan kepada kelompok – kelompok pengrajin Patung Tumbur di Desa Tumbur, Kecamatan Wertamrian serta mengawasi berbagai aktifitas yang dapat menimbulkan kerusakan terhadap ekosistem teristimewa pada kawasan cagar alam dan hutan wisata. Berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata, instansi ini berpendapat sudah cukup baik dan sama sekali tidak ada hambatan yang berarti dalam berpartispasi, namun ada beberapa usulan yang diberikan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat antara lain peningkatan kapasitas sumberdaya masyarakat dan pemahamannya tentang konsep ekowisata, penataan terhadap keberadaan tempat – tempat wisata dan usaha untuk pengembangan ekonomi masyarakat serta perlu dibentuknya forum dialog untuk menyatukan persepsi antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal tentang konsep ekowisata untuk menjamin partispasi yang lebih efektif. Berdasarkan hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan diperoleh informasi bahwa instansi tersebut tidak pernah terlibat secara langsung dalam perencanaan pembangunan ekowisata karena selama ini perencanaan programnya masih terfokus pada peningkatan pendapatan masyarakat pesisir melalui program – program pemberdayaan, kegiatan budidaya dan penangkapan. Keterlibatannya hanya sebatas pada tataran konsultasi dan koordinasi dengan instansi lain seperti dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dalam rangka pengembangan wisata bahari namun masih diperlukan konsultasi yang lebih mendalam. Berkaitan dengan perencanaan yang partisipatif, instansi ini menilai bahwa mekanisme partispasi masyarakat Desa Matkaus dalam pembangunan ekowisata belum berjalan dengan baik karena belum adanya pemahaman tentang konsep ekowisata itu sendiri. Hambatan utama tidak berjalannya partispasi masyarakat
108
karena pemerintah daerah belum sungguh – sungguh melakukan pembinaan kepada masyarakat
dalam rangka meningkatkan partispasinya sehingga
peningkatan kesadaran dan pemahaman akan pentingnya ekowisata perlu dilakukan. Selain itu perlu adanya koordinasi dan keterpaduan lintas sektoral dalam merencanakan dan mengembangkan Pulau Matakus sebagai kawasan ekowisata. Instansi ini setuju bahwa perlu dibentuk semacam forum dialog untuk menjembatani dan menyatukan persepsi seluruh stakeholder yang terlibat tentang pentingnya pariwisata berkonsep ekowisata di Pulau Matakus. Dari hasil wawancara dengan Dinas Perhubungan, diperoleh informasi bahwa instansi ini tidak pernah terlibat dalam perencanaan pembangunan pariwisata, hal ini disebabkab oleh kurang adanya kerjasama dengan instansi teknis yang mengelola dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Kerja sama yang terjalin selama ini pun hanya sebatas pemberitahuan dari instansi terkait. Berkaitan dengan pastisipasi masyarakat lokal, instansi ini menilai partispasi masyarakat Desa Matakus dalam pembangunan pariwisata yang telah berjalan selama ini tidak baik, karena berbagai fasilitas yang dibangun oleh Pemerintah Daerah di kawasan wisata Pulau Matakus sampai sekarang tidak dimanfaatkan. Hal ini disebabkan karena kurang/tidak adanya sosialisasi bagi masyarakat setempat maupun pengunjung. Untuk memperbaiki dan meningkatkan peran serta masarakat tersebut diperlukan sosialisasi kepada masyarakat Desa Matakus maupun masyarakat umum. Pembentukan forum dialog ekowisata perlu dilakukan karena forum tersebut dapat memberikan berbagai kontribusi bagi pengembangan ekowisata di daerah.
5.6 Pengelolaan Ekowisata Bahari di Pulau Matakus Kajian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa Pulau Matakus sebagai kawasan wisata memiliki potensi sumberdaya alam dan lingkungan pesisir (biofisik) serta sosial budaya yang sangat potensial yang dapat dikembangkan untuk kegiatan ekowisata. Namun dari kacamata ekonomi kawasan ini belum mampu memberikan manfaat secara optimal bagi masyarakat desa Matakus. Disisi lain, sebagai pulau kecil Pulau Matakus dengan sifat insularnya sangat
109
rentan terhadap tekanan yang berasal dari masyarakat setempat yang memanfaatkan sumberdaya alam di kawasan pulau untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari dan juga tekanan yang berasal dari wisatawan yang mengunjungi Pulau Matakus dan melakukan berbagai aktifitas ekowisata. Saat ini pemerintah daerah melalui instansi terkait seperti dinas pariwisata dan kebudayaan, dinas pertanian dan kehutanan telah berupaya mendukung pengembangan wisata di kawasan Pulau Matakus namun upaya tersebut belum mampu secara maksimal menciptakan multiplier effect dan memberikan sumbangan positif bagi kesejahteran masyarakat lokal dan pelaku wisata lainnya sebagaimana yang menjadi tujuan dari ekowisata. Hal ini terutama disebabkan oleh permintaan wisatawan ke kawasan tersebut yang masih sangat kecil dibandingkan dengan daya tampungnya selain itu pula manajemen wisatanya belum tertata dengan baik. Pada tataran ini, keseimbangan dalam menempatkan dimensi – dimensi lingkungan, sosial, ekonomi dan manajemen perlu mendapat perhatian serius. Disatu sisi pengembangan ekowisata di kawasan Pulau Matakus ditujukan untuk menghasilkan keuntungan optimal secara ekonomi bagi para stakeholder, namun disisi lain pengembangannya juga harus tetap memperhatikan terjaganya kualitas lingkungan baik secara fisik maupun sosial. Disinilah pentingnya sentuhan pengelolaan untuk menjaga keseimbangan dimensi – dimensi dimaksud. Untuk itu arahan pengelolaan ekowisata pesisir dan laut di Pulau Matakus akan difokuskan pada aspek ekologi, ekonomi, sosial, manajemen dan kelembagaan.
5.6.1 Aspek Ekologi Arahan pengelolaan pada aspek ekologi ditekankan pada upaya untuk tetap mempertahankan dan menjaga kualitas ekosistem, potensi serta daya dukung sumberdaya dan daya dukung kawasan ekowisata Pulau Matakus agar tetap memberikan manfaat dan nilai kepuasan optimal bagi masyarakat setempat maupun wisatawan yang berkunjung secara berkelanjutan. Ekosistem terumbu karang yang masih alami maupun pemandangan alam dan pantai pasir putih yang indah sebagai “magnet utama” bagi kegiatan ekowisata pesisir dan laut perlu dilindungi dan mendapat prioritas dalam
110
pengelolaan karena akan menentukan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya tersebut maupun keberlanjutan aktifitas ekowisata di Pulau Matakus. Beberapa strategi penglolaan secara konkrit yang dapat dilakukan terkait dengan aspek lingkungan antara lain: 1.
Pelaksanaan berbagai aktifitas wisata di kawasan Pulau Matakus perlu memperhatikan alokasi ruang (zona) yang ada di kawasan pulau dan setiap aktifitas wisata harus dilakukan pada kawasan yang benar – benar sesuai untuk peruntukannya dengan tetap memperhatikan daya dukung kawasan. Hal ini penting untuk mengurangi dampak tekanan terhadap ruang dan sumberdaya yang ada di dalamnya.
2.
Melindungi
terumbu
karang
dan
organisme
penghuninya
serta
mempertahankan rantai makanan dan aliran energi yang terkandung di dalamnya. Hal ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan peran zona inti dan zona penyangga sebagai komponen cadangan dalam menyediakan sumberdaya untuk kegiatan ekowisata pesisir dan laut. 3.
Mencegah kerusakan fisik ekosistem pesisir dari kegiatan penambangan (karang dan pasir), pengeboman dan pembiusan ikan serta penangkapan ikan dengan alat tangkap yang tidak selektif dan ramah lingkungan di sekitar kawasan Pulau Matakus.
4.
Menjaga kualitas perairan sekitar dari pencemaran akibat pembuangan limbah rumah tangga, pembuangan minyak dari kapal nelayan, kapal wisatawan dan sarana transportasi lainnya yang dapat berdampak terhadap terganggunnya aktifitas wisata di kawasan Pulau Matakus. Hal ini dapat ditangani oleh pemerintah dengan menyediakan fasilitas pengelolaan limbah di Pulau Matakus.
5.
Meningkatkan kesadaran dan penghargaan atas lingkungan sekitar kawasan pulau dan pentinggnya kesadaran konservasi dikalangan masyarakat Matakus, wisatawan dan stakeholder lainnya. Persepsi yang baik terhadap ekowisata dari masyarakat, wisatawan dan pemerintah daerah perlu ditingkatkan sehingga akan timbul sikap kesediaan untuk berpartisipasi dalam setiap program pengembangan ekowisata.
111
6.
Pengembangan sarana dan prasarana di kawasan Pulau Matakus seyogianya memanfaatkan bahan baku lokal yang hemat energy dan ramah lingkungan serta tidak merubah topografi lahan dan lingkungan pantai dengan tidak mendirikan bangunan yang asing dan bertentangan dengan budaya setempat. Fasilitas yang dibangun disesuikan dengan model lokal.
5.6.2 Aspek Ekonomi Arahan pengelolaan pada aspek ekonomi ditekankan pada upaya mengoptimalkan pemanfaatan potensi yang ada untuk memberikan sumbangan yang positif bagi kesejahteraan masyarakat desa Matakus dan memberikan keuntungan bagi pelaku wisata lainnya. Menurut Damanik dan Weber (2006), kualitas jasa dan layanan yang dihasilkan dalam pengembangan ekowisata harus terjamin sehingga wisatawan yang menggunakannya dapat memperoleh kepuasan yang optimal dan kepuasan inilah yang merupakan komoditas yang akan ditukarkan dalam bentuk keuntungan bagi para pemangku kepentingan. Pengembangan ekowisata di Pulau Matakus akan memberikan kontribusi ekonomi yang positif bagi daerah, selain itu masyarakat lokal juga harus memperoleh keuntungan secara adil dari kegiatan ekowisata. Masyarakat yang bermukim di kawasan Pulau Matakus merupakan pemain kunci dalam pengembangan ekowisata karena sesungguhnya merekalah yang menyediakan atraksi sekaligus menentukan kualitas produk wisata. Sumberdaya ekowisata seperti air, terumbu karang, ikan karang, pantai pasir putih dan lainnya yang dikonsumsi wisatawan berada di tangan masyarakat Matakus. Oleh sebab itu pemanfaatan sumberdaya tersebut harus dapat memberikan manfaat optimal bagi mereka. Kusumastanto (2003) berpendapat bahwa berkembangnnya wisata dalam suatu kawasan pesisir dan sekitarnya akan mampu memberikan multiplier effect terhadap ekonomi masyarakatnya. Beberapa strategi penglolaan secara konkrit yang dapat dilakukan terkait dengan aspek ekonomi antara lain: 1.
Meningkatan kepuasan wisata melalui peningkatan jasa dan layanan yang dihasilkan. Hal ini akan membuat terjadinya peningkatan belanja di kawasan ekowisata Pulau Matakus. Wisatawan selain akan memberikan pengeluaran
112
ekstra bagi upaya pelestsrian lingkungan, juga pengeluaran yang lebih besar untuk produk – produk lokal dan pemanfaatan jasa lokal. 2.
Menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat Matakus. Hal ini karena dengan adanya kegiatan ekowisata di kawasan ini dapat membuka peluang berusaha dan peluang kerja bagi masyarakat setempat, misalnya menjadi pengusaha penginapan, homestay, warung, pedagang asongan, pemandu wisata atau penyedia fasilitas wisata lainnya. Peluang usaha tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lainnya untuk bekerja sehingga dapat menambah pendapatan guna mencukupi kebutuhan rumah tangganya.
3.
Meningkatkan
ketrampilan
dan
pengetahuan
masyarakat
melalui
pengembangan program – program pelatihan usaha produktif yang bermanfaat serta pendidikan yang relevan seperti pelatihan membuat kerajinan tangan (cindera mata), misalnya tenunan atau makanan khas Matakus, kegiatan kursus bagi pemandu wisata atau sejenisnya, pelatihan kesenian lokal seperti tnabar yang dapat dijual sebagai salah satu atraksi ekowisata di kawasan ini. 4.
Pemberian bantuan pinjaman lunak untuk membantu keterbatasan modal masyarakat. Hal ini dapat difasilitasi oleh pemerintah daerah MTB dengan mempermudah akses pada bank – bank pemerintah atau lembaga keuangan resmi yang ada. Masyarakat Matakus perlu membentuk kelompok – kelompok usaha sehingga pemberian pinjaman lebih efektif sekaligus mempermudah pertanggung jawaban penggunaanya kelak, juga agar lebih mempermudah pemantauan pihak pemberi bantuan.
5.6.3 Aspek Sosial Pada aspek sosial pengelolaan ekowisata diarahkan untuk menjamin tetap terjaganya integritas sosial dan budaya masyarakat desa Matakus serta hubungan yang harmonis dengan pelaku wisata lainnya. Berlangsungnya kegiatan ekowisata di kawasan Pulau Matakus selain berdampak positif bagi pengembangan ekonomi dan peningkatan kesadaran likungan, juga diyakini akan membawa dampak negatif bagi masyarakat setempat karena kemungkinan adanya pengaruh budaya dari wisatawan yang tidak sesuai
113
dengan tata nilai agama dan budaya masyarakat Matakus. Untuk mengatasi masalah dimaksud dibutuhkan peran dari pemerintah daerah serta pelaku wisata lainnya dalam menjaga eksistensi tata nilai sosial dan budaya masyarakat lokal. Menurut Nugroho (2004), sektor wisata mempertemukan dua atau lebih kultur yang berbeda antara wisatan dan masyarakat setempat. Wisatawan memperoleh pengalaman berharga dari kultur lokal sementara penduduk lokal disamping mendapatkan penghasilan namun juga akan terjadi transfer budaya dari luar yang dapat bersifat positif maupun negatif. Beberapa strategi penglolaan ekowisata secara konkrit di Pulau Matakus yang dapat dilakukan terkait dengan aspek sosial antara lain: 1.
Memperkuat posisi masyarakat desa Matakus terhadap masyarakat luar melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengelola jasa – jasa dan potensi wisata yang ada kawasannya.
2.
Menonjolkan ciri atau produk budaya lokal dalam penyediaan atraksi wisata dan pembangunan sarana dan prasarana ekowisata di Pulau Matakus.
3.
Melindungi warisan budaya, adat – istiadat dan kearifan lokal seperti sasi yang telah berlaku secara turun – temurun. Nilai – nilai agama dan moral yang telah melekat dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat harus berfungsi sebagai filter terhadap pengaruh negatif akibat transfer budaya dengan wisatawan yang datang ke Pulau Matakus.
4.
Perlu ditetapkannya aturan formal yang adil dalam pengelolaan sumberdaya ekowisata dan pengelolaan jasa wisata di kawasan Pulau Matakus dengan mempertimbangkan model penglolaan lokal. Hal ini untuk menjamin hak – hak dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ekowisata.
5.
Melibatkan lembaga – lembaga lokal yang ada di masyarakat seperti Tuan Tanah, Angkatan Muda dalam pengambilan keputusan terkait pengembangan ekowisata.
6.
Melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan dalam proses perencanaan, implementasi dan monitoring kegiatan ekowisata di kawasan Pulau Matakus.
7.
Peningkatan kapasitas sumberdaya masyarakat Matakus dan pemahamannya tentang konsep ekowisata.
114
5.6.4 Aspek Manajemen Pada aspek manajemen pengelolaan ekowisata diarahkan pada proses penawaran produk, jasa dan potensi ekowisata di kawasan Pulau Matakus kepada wisatawan. Pada tataran ini kegiatan promosi dan pemasaran kawasan Pulau Matakus sebagai destinasi ekowisata di Kabupaten Maluku Tenggara Barat menjadi penting. Mubasir bila kawasan Pulau Matakus memiliki produk dan jasa serta potensi ekowisata yang potensial namun tidak diketahui dan dikenal oleh wisatawan termasuk masyarakat luas. Disinilah pentingnya kegiatan promosi sehingga kegiatan ekowisata tetap berlangsung secara kontinyu karena keberlanjutan dari kegiatan ekowisata tergantung dari ada tidaknya wisatawan yang berkunjung. Beberapa strategi pengelolaan ekowisata yang terkait dengan aspek manajemen adalah sebagai berikut: 1.
Peningkatan promosi kawasan ekowisata Pulau Matakus oleh Pemerintah Daerah MTB secara kontinyu melalui media eletronik (televise, radio, internet/website) dan media cetak (surat kabar, majalah, brosur dan pamflet).
2.
Kegiatan promosi yang dilakukan perlu mempertimbangkan musim liburan dan trend waktu berkunjung wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik. Untuk wisatawan mancanegara yang berasal dari eropa promosi dilakukan pada musin dingin yaitu pada bulan Desember hingga Februari karena mereka akan mencari tempat wisata di daerah tropis sedangkan untuk wisatawan domestik promosi dapat dilakukan pada saat musim liburan sekolah, libur nasional atau pada saat kunjungan wisatawan mancanegara berkurang.
3.
Promosi dan pemasaran yang dilakukan perlu memperhatikan segmen pasar wisata yang meliputi wisata paket yang dikoordinir oleh biro perjalanan wisata, wisata perorangan maupun backpacker.
4.
Perlu kerjasama yang baik antara pemerintah daerah dengan biro – biro perjalanan wisata (tour operator) yang menangani wisata paket disertai pemandu yang benar – benar paham kondisi kawasan Pulau Matakus.
115
5.6.5 Aspek Kelembagaan Arahan pengelolaan pada aspek kelembagaan ditekankan kepada bagaimana menciptakan hubungan yang harmonis antar pemangku kepentingan dalam berkontribusi bagi pengembangan ekowisata di kawasan Pulau Matakus sehingga kegiatan ekowisata itu sendiri dapat memberikan kontribusi yang optimal dan adil bagi setiap pemangku kepentingan. Menurut Damanik dan Weber (2006), kelembagaan pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pasar dan menjadi motor penggerak yang kuat dalam perkembangan sistem kepariwisataan. Pemangku kepentingan dalam kegiatan ekowisata meliputi masyarakat lokal, pemerintah, pelaku wisata dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau sejenisnya. Beberapa strategi pengelolaan ekowisata di kawasan Pulau Matakus yang terkait dengan aspek kelembagaan adalah sebagai berikut: 1.
Pembentukan forum dialog ekowisata yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang diharapkan dapat menjembatani berbagai kepentingan serta memberikan berbagai kontribusi bagi pengembangan ekowisata di kawasan Pulau Matakus.
2.
Penguatan
lembaga
kepariwisataan
dengan
cara
memfasilitasi
dan
memperluas jaringan kelompok dan organisasi kepariwisataan. 3.
Pemerintah daerah perlu membuat regulasi persaingan usaha yang memungkinkan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk berusaha di sektor pariwisata dan melindungi usaha wisata masyarakat.
4.
Perlunya koordinasi yang efektif dan terpadu lintas instansi teknis pemerintah daerah yang terkait dengan pengelolaan kawasan Pulau Matakus.
5.
Koordinasi yang intens dan kontinyu serta perlunya keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dalam proses perencanaan, implementasi dan monitoring dan evaluasi kegiatan ekowisata di Pulau Matakus. Dengan keterlibatan semua pemangku kepentingan sangat diharapkan kegiatan ekowisata pesisir dan laut di kawasan Pulau Matakus dapat berkelanjutan dari aspek ekologi, ekonomi maupun sosial.
116
6.
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan, maka beberapa kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1.
Kawasan Pulau Matakus dapat dibagi atas 3 zona yaitu Zona Inti dengan luas 97.76 ha, Zona Penyangga seluas 249.84 ha dan Zona Pemanfaatan Langsung dengan luas 542.64 ha. Aktivitas yang dapat dilakukan di Zona Inti meliputi kegiatan
penelitian
yang
mempunyai
ijin
dan
pendidikan.
Tidak
diperkenankan adanya kegiatan umum termasuk wisata. Aktifitas yang dapat dilakukan di Zona Pemanfaatan Langsung adalah ekowisata pesisir dan laut, selain itu dapat juga dilakukan kegiatan penelitian untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan serta pendidikan sedangkan di Zona Penyangga dapat dilakukan kegiatan penelitian,
pendidikan
(wisata
edukasi
mangrove),
pengembangan
perkebunan kelapa dan wisata terbatas. Aktifitas yang tidak boleh dilakukan adalah penebangan mangrove, pengambilan material pasir dan karang batu. 2.
Kegiatan wisata pantai dan olahraga pantai dapat dilakukan di pantai bagian timur dan barat dan utara, kecuali pantai di zona inti dan di bagian selatan (pantai berbatu) dengan total panjang pantai yang sangat sesuai adalah 5 738 m. Kegiatan wisata selam dan snorkeling dapat dilakukan di bagian barat dan utara pulau, dengan luas total kawasan yang sangat sesuai untuk jenis aktivitas selam dan snorkeling masing-masing adalah 33.58 ha dan 82.49 ha. Selain itu, di seluruh perairan Pulau Matakus dengan kedalaman lebih dari 5 m dapat dilakukan kegiatan olahraga perairan seperti lomba layar dan jet sky dengan luas kawasan yang sangat sesuai 760,76 ha.
3.
Berdasarkan kondisi biocapacity yang tersedia dan kondisi ecological footprint saat ini, daya dukung Pulau Matakus baik wilayah daratan maupun perairan untuk menampung jumlah wisatawan rata – rata setiap tahun sekitar 7 168 orang.
4.
Masyarakat Desa Matakus, Wisatawan dan Pemda MTB memiliki persepsi yang baik untuk pengembangan Pulau Matakus sebagai kawasan ekowisata
116
bahari. Karakteristik individu masyarakat yang mempengaruhi kualitas persepsi tersebut adalah tingkat pendidikan formal dan pekerjaan, sedangkan karakterisitik individu wisatawan yang mempengaruhi kualitas persepsi adalah umur dan tingkat pendidikan formal.
6.2 S a r a n 1.
Pengembangan Pulau Matakus sebagai kawasan ekowisata pesisir dan laut perlu memperhatikan kesesuaian aktifitas yang akan dirancang dengan ketersediaan potensi sumberdaya yang menjadi ciri khas setiap aktifitas dan daya dukung kawasan dalam menampung jumlah wisatawan berdasarkan ketersediaan sumberdaya dan ruang (space) yang ada.
2.
Perlu dilakukan kajian tentang perencanaan landscape untuk mempermudah penataan fasilitas wisata di kawasan ekowisata bahari Pulau Matakus berdasarkan kesesuaian setiap aktifitas wisata dan daya tampungnya.
3.
Perlu dilakukan kajian untuk menentukan zona alur migrasi lumba-lumba dan habitat penyu dan perlu penambahan sarana listrik tenaga surya untuk mendukung kebutuhan energi dari aktifitas wisata.
4.
Perlu dilakukan sosialisasi dan pengenalan konsep ekowisata kepada masyarakat Desa Matakus maupun masyarakat umum lainnya untuk lebih meningkatkan persepsinya.
118
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto L. 2004. Pembangunan dan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan [working paper]. Bogor: PKSPL IPB. Adrianto L. 2004. Fisheries Resources Appropriation as Sustainability Indicator: An Ecological Footprint Approach [working paper]. Bogor: PKSPL IPB. Adrianto L. 2006. Sinopsis Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam. Working Paper. Bogor: Pusat Kajian Pesisir dan Lautan IPB. Angamanna D. 2005. Ecotourism Development Plan for Anawilundawa Wildlife Sanctuary And Ramsar Wetland. IUCN-Ramsar. Bahar A. 2004. Kajian Kesesuaian dan Daya Dukung Ekosistem Mangrove untuk Pengembangan Ekowisata di Gugus Pulau Tanakeke Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bagor. Bakosurtanal. 1996. Pengembangan prototipe wilayah pesisir dan marine Kupang Nusa Tenggara Timur. Cibinong: Pusbina-Indrasig Bakosurtanal. Baksir A. 2009. Pengelolaan Pulau – Pulau Kecil untuk Pemanfaatan Ekowisata Berkelanjutan di Kecamatan Morotai Selatan dan Morotai Selatan Barat, Kabupaten Morotai Provinsi Maluku Utara [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. [BMG-Saumlaki] Badan Meteorologi dan Geofisikan Stasiun Metereologi Saumlaki. 2009. Ikhtisar Data Klimatologi Bulanan Tahun 2008. Saumlaki: BMG. Bengen DG. 2000. Penentuan dan Pengelolaan Kawasan Lindung di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Direktorat Jenderal Urusan Pesisir Pantai dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. Oktober 2000. Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analsis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor: PKSPL IPB Bengen DG. 2001. Sinopsis Ekosistem Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Bogor: PKSPL IPB Bengen DG. 2002. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu, Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat [makalah]. Di dalam: Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Makasar, 4 – 9 Maret 2002. Bengen DG. 2003. Defenisi, Batasan dan Realitas Pulau-Pulau Kecil [makalah]. Di dalam: Seminar sehari Validasi Jumlah Pulau-Pulau dan Panjang Garis Pantai di Indonesia. Jakarta, 17 April 2003. Bengen DG, Rizal A, Tahir A. 2002. Pengembangan Konsep Daya Dukung Dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Kerjasama
119
Kementrian Lingkungan Hidup dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bengen DG, Retraubun ASW. 2006. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Bruce D, Hoctor Z, Garrod B, Wilson J. 2002. Planning for Marine Ecotourism in the UE Atlantic Area. META-Project. Bristol: University of the Weat England. Dahuri R. 2000. Kebijakan dan Program Nasional Mengembangkan Potensi Pulau-pulau Kecil Sebagai Pusat Riset dan Industri yang Berkelanjutan Dengan Basis Masyarakat. Di dalam: Seminar Nasional Memperingati Tahun Bahari dan Ulang Tahun Dati I Sulut. Universitas Sam Ratulangi. Manado: 18 Okt 2000. Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Ed rev. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Damanik J. Dan Weber H.F. 2006. Perencanaan Ekowisata; dari Teori ke Aplikasi. Yogyakarta: Penerbit Andi. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001. Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Jakarta: DKP. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil 2007. Pedoman Daya Dukung Pulau Kecil. Jakarta: DKP. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: DKP [DKP-MTB] Dinas Keluatan dan Perikanan Maluku Tenggara Barat. 2007. Data Base Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Laporan Akhir. Saumlaki: DKP-MTB. [DPK] Dinas Perikanan dan Keluatan Provinsi Maluku. 2006. Rencana Tata ruang Laut, Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Ambon: DPK Provinsi Maluku. English S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Ed ke-2. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Fennel DA. 1999. Ecotourisme: An Introduction. London: Routledge.
120
[GFN] Global Footprint Network. 2008. Guidebook to the National Footprint Accounts 2008. Oackland. http://www.footprintnetwork.org [5 Mei 2009] [GFN] Global Footprint Network. 2008. Calculation Methodology for the National Footprint accounts, 2008 Edition. Oackland. http://www.footprintnetwork.org [5 Mei 2009] Gomes ED, Yap HT. 1988. Monitoring Reef Condition in Coral Reefs Management Hand Book. Second Edition. RA Kenchngton and Brydget ET Hudson (Editor). Jakarta. Unesco Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Gosling S, Hansson CB, Horstmeier O, Saggel S. 2002. Ecological footprint as a tool to assess tourism sustainability. Elsevier-Ecological Economics. 43:199 – 211. Gereja Protestan Maluku Jemaat Matakus. 2009. Statistik Jemaat Matakus, Klasis Tanimbar Selatan Maluku Tenggara Barat. Hardjowigwno S, Widiatmaka, Yogaswara AS, 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Haryanto B. 2003. Kajian Persepsi Masyarakat Lokal dalam Upaya Pengelolaan Tambak-Mangrove Terpadu di Desa Pematang Pasir, Kecamatan Ketapang, Lampung Selatan, Lampung [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hehanussa PE, Haryani GS, Fakhrudin M, Wibowo H. 1998. Ketersediaan Air Sebagai dasar Perencanaan Pengembangan Kapet di Pulau Biak, Irian Jaya. Di dalam: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Prosiding Seminar dan Lokakarya; Jakarta 7 – 10 Desember 1998. Jakarta: Kerjasama Depdagri, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahahn dan Kawasan, TPSA, BPT, dan Coastal Resources Management Project (CRMP) USAID. Helmi M. 2007. Analisis Zonasi Ekosistem Alami Pulau Kecil dengan Pendekatan Ekologi Lanskap di Puau Karimunjawa dan Kemujan Taman Nasional Karimujawa, Kabupaten Jepara Jawa Tengah [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hidayati D, Mujiyani L, Rachmawati, Zaelani A. 2003. Ekowisata: Pembelajaran dari Kalimantan Timur. Jakarta: Pustakan Sinar Harapan. Jaya I.N.S. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk kehutanan. Bogor: IPB Press. Kabupaten Maluku Tenggara Barat, 2008. Kecamatan Tanimbar Selatan dalam Angka. Kusumastanto T. 2000. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Bogor: Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Program Pascasarjana.
121
Lenzen M, Murray SA. 2001. A modified ecological footprint method and its application to Australia. Elsevier – Ecological Economics 37:229–255 Lenzen M, Murray SA. 2003. The Ecological Footprint – Issues and Trends. ISA Research Paper 01-03. Australia: The University of Sydney. Lyon G. 2003. GIS for water resources and watershed management. London: Taylor and Francis Group. Maskendari. 2006. Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Partisipasi Masyarakat di Kecamatan Sukadana Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. McNeely JA, Thorsell JW, Ceballos-Lascurian H. 1992. Guidelines: Development of National Park and Protected Area for Tourism. Madrid: WTO_UNEP_IUCN. Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nico de Jonge. 1995. The Forgotten Islands of Indonesia: The Art and Culture of the Southeast Moluccas. Singapura: Periplus Edition. Nugroho I. 2004. Buku Ajar Ecotourism. Program Studi Agribisnis Universitas Widyagama. Malang. Orams M. 1999. Marine Tourism: Development, Impacts and Managemet. London and New York: Routledge. [PKSPL – IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. 2009. Study on Environmental Baseline Study at South East Palung Aru Blok. Bogor: Kerjasama CNOOC Palung Aru dan PKSPL IPB. Prahasta E. 2005. Sistem Informasi Geografis, konsep – konsep dasar. Ed rev. Bandung: Penerbit Informatika. Purnama SIS. 2005. Penyusunan Zonasi Taman Nasional Manupeu Tanadaru Sumba Berdasarkan Kerentanan Kawasan Dan Aktivitas Mayarakat [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Russ GR. 1985. Effect of Protectife Management on Coral Reef Fishes in the Central Phillipines. Proceedings Fifth International Coral Reef Symposium, 4:219-224. Sarwono SW. 1999. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Sevilla CG, Twila PG, Bella RP, Gabriel UG. 1993. Pengantar Metode Penelitian (terjemahan). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Siagian P. 1998. Persepsi generasi muda terhadap kebijakan sumberdaya alam yang berkelanjutan [disertasi]. Jakarta: Program Pasca Sarjana IKIP Jakarta.
122
Sigabarian I. L. 2008. Rencana pengembangan kawasan ekowisata pesisir interpretatif di kawasan koservasi laut daerah selat Dampier KAbupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat [thesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Singarimbun, M. 1995. Tipe Metode dan Proses Penelitian dalam Metode Penelitian Survey (Editor: Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi) LP3ES, Jakarta. Soselisa A. 2006. Kajian pengelolaan sumbrdaya pesisir dan laut gugusan pulaupulau Padaido, Distrik Padaido, Kabupaten Biak Numfor Papua [disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sunarto. 1998. Perencanaan dan Pengembangan Wisata Sungai, Danau dan Pantai. Yogyakarta: Penerbit Universitas Gadjah Mada. Supriharyono. 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Penerbit Djambatan Susilo SB. 2006. Model Pendugaan Daya Dukung Lingkungan Pulau Wetar (Maluku Tenggara Barat) Atas Dasar Asimilasi Fosfat. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 2:107-116 Susilo SB. 2007. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Di dalam: Training of Trainer on ICZM Phase II. Banda Aceh, 26-30 November 2007. Kerjasama INWENT dan PKSPL IPB. [TIES] The International Ecotourism Society, 1991. Regional Prepatory conference for the World Ecotourism summit. Belize. http://www.ecotourism.org. [28 Maret 2008]. Wilson J, Anielski M, 2005. Ecological Footprints of Canadian Municipalities and Regions. Canada: Anielski Management Inc. http://www.anielski.com [28 Maret 2008]. [WWF] World Wildlife Fund. 2008. Living Planet Report. Switzerland. http://www.footprintnetwork.org [5 Mei 2009] Yudasmara GA. 2004. Analsis Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Secara Berkelanjutan. Studi Kasus Pulau Menjangan Kab. Buleleng Bali [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi [makalah]. Disampaikan pada seminar Sains, 21 Pebruari 2007. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK. IPB.
123
LAMPIRAN
124
Lampiran 1 Komponen Penyusun Dasar Perairan di Pulau Matakus Kabupaten Maluku Tenggara Barat
Biotik Hard Corals ACB ACD ACS ACT CB CE CF CM CS CHL CME CMR DC Algae CA HA TA Other Faunas SC SP OT Abiotik R RCK S
Intercepth 3157 474 335 500 740 301 91 16 520 140 0 28 12 0 12 12 0 0 439 359 15 65
% Cover 63.14 9.48 6.70 10.00 14.80 6.02 1.82 0.32 10.40 2.80 0.00 0.56 0.24 0.00 0.24 0.24 0.00 0.00 8.78 7.18 0.30 1.30
526 208 658
10.52 4.16 13.16
Sumber: DKP MTB (2007)
Keterangan:
ACT ACB ACD ACE ACS CB CE CF CM CHL CMR
: : : : : : : : : : :
Acropora tabular Acropora branching Acropora digitate Acropora encrusting Acropora submassive Coral branching Coral encrusting Coral feliose Coral massive Heliopora Mushrom coral
CS CME DC CA HA TA SC SP OT R S
: : : : : : : : : : :
Coralsubmassive Millepora Dead coral Coral with algae Halimeda Turf Algae Soft Coral Sponges Others Rubble Sand
125
Lampiran 2 Kondisi terumbu karang di Pulau Matakus
Stasiun
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Posisi Geografis 080 03’40.3’’LS 131011’28.7’’BT 080 04’02.4’’LS 131011’27.1’’BT 080 04’51.3’’LS 131011’28.1’’BT 080 04’53.8’’LS 131012’05.9’’BT 080 04’31’’LS 131012’45’’BT 080 03’46’’LS 131013’26’’BT 080 03’13’’LS 131013’25’’BT 080 02’53.7’’LS 131012’37.2’’BT 080 02’58.9’’LS 131012’15.4’’BT
Jmlah Tow
Kondisi Terumbu Karang Median Median Median Karang Karang Mati Karang Lunak Hidup
7
76 – 100%
<10%
31 – 50%
7
51 – 75%
<10%
31 – 50%
5
11 – 30%
11 – 30%
<10%
9
31 – 50%
11 – 30%
11 – 30%
7
51 – 75%
<10%
11 – 30%
7
31 – 50%
11 – 30%
11 – 30%
7
51 – 75%
11 – 30%
11 – 30%
5
76 – 100%
<10%
51 – 75%
6
51 – 75%
<10%
31 – 5-%
Sumber: Data Primer (2008)
Lampiran 3 Jumlah dan jenis lifeform karang di setiap stasiun pengamatan Stasiun
Jumlah Life Form
1
16
2 3 4 5 6
14 7 7 13 11
7
15
8
16
9
13
Jenis Lifeform ACT, ACD, ACB, ACS, CM, SC, CF, CB, CS, CMR, CE dan CME, SP, OT, S ACB, ACT, CME, CMR, CB, CF, CM, CE, SC, TA dan S ACT, CS, CM, CE, SC, S dan R ACT, SC, SCB, CD, CM, S dan R ACS, CB, CM, CS, ACD, ACB, SC, CE, CF, CHL, S, SP, R ACB, ACS, CMR, CHL, CF, CB, CM, CE, SC, S dan R CM, CS, ACS, ACT, CF, ACE, CB, ACB, SC, DCA, ACD, CE, OT, S, TA ACD, ACS, ACB, ACT, ACE, SC, CS, CM, CF, CE, CB, HA, SP, OT dan S ACD, ACS, ACB, ACT, SC, CS, CM, CF, CE, CB, HA, OT, S
Sumber: Data Primer (2008)
126
Lampiran 4 Jenis – jenis terumbu karang di Pulau Matakus
Jenis Lifeform ACB ACD ACT ACT CB CB CB CB CB CB CE CE CE CF CF CF CF CF CF CF CM CM CM CM CM CM CM CM CM CM CME CME CMR CMR CMR CS CS CS CHL
Jenis Karang Acropora formosa Acropora gemifera Acropora tenuis Acropora hyacinthus Montipora ramosa Seriatopora hystrix Stylophora pistillata Anacropora puertogalerae Anacropora puertogalerae Seriatopora hystrix Pachyseris speciosa Echiniphyllia aspera Pachyseris rugosa Pectinia lactuca Pavona decussata Montipora hoffmeisteri Montipora sponodes Merulina ampliata Pachyseris speciosa Pavona cactus Porites lobata Porites solida Favia pallida Favia favus Favia maxima Symphyllia agaricia Diploastrea heliopora Lobophyllia corymbosa Porites lutea Goniopora columna Millepora dichotoma Millepora platyphylla Polyphyllia talpina Fungia repanda Fungia paumotensis Porites cylindrica Pocillopora damicornis Pocillopora verrucosa Heliopora caerulea
127
Lampiran 5 Jenis – jenis ikan karang yang terdapat di perairan Matakus Family
Genus
Spesies
1
2
3
Acanthuridae
Acanthurus
Stasiun I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Acanthurus chronixis
√
√
√
√
√
√
√
Acanthurus lineatus
√
√
√
√
√
√
√
Acanthurus nigricans
√
√
Acanthurus nigricauda
√
Acanthurus nigrofuscus
√
√
√
√ √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Acanthurus thompsoni Ctenochaetus
Ctenochaetus cyanocheilus
Apogonidae Balistidae
Caesionidae
Chaetodontidae
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Cheilodipterus quinquelineatus
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Balistapus undulatus
Melichthys
Melichthys niger
√
Odonus
Odonus niger
√
Caesio
Caesio cuning
√
√
Caesio teres
√
√
Caesio trilineata
√
√
Chaetodon bennetti
√
√
Chaetodon klenii
√
Chaetodon melannotus
√
Chaetodon octofasciatus
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Chaetodon septontrianalis
√
√
Chaetodon speculum
√
√
Chaetodon trifasciatus
√
√
√
Chaetodon vagabundus
√
√
√
Forcipiger
Forcipiger flavissinus
√
Holocentrus
Holocentrus adscensionis
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√ √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Chaetodon unimaculata
√
Sargocentron rubrum Sargocentron spiniferum Cheilinus fasciatus
Chirhilabrus
Chirhilabrus solorensis
Halichoeres
Halichoeres biocelatus Halichoeres chrysus
√
√
Chaetodon punctatofasciatus
Cheilinus
√
√
Chaetodon ocellicaudus
Labridae
√
Cheilodipterus isostigmus
Chaetodon lunulatus
Holocentridae
√
√
Balistapus
Chaetodon
√ √
Naso unicornis Cheilodipterus
√
√
Acanthurus pyroferus Acanthurus sohal
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√ √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
128
1
2
3
4
Halichoeres melanurus
√
Halichoeres prosopeion
√
5
6
7
8
9
√
10
11
12
√
√
√
√
√
Halichoeres trimaculatus Labroides
Thalassoma
√
Labroides bicolor
√
Labroides dimidiatus
√
√
Thalassoma lunare
√
√
Thalassoma hardwicke
√
√
Thalassoma quinquevittatum
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Lethrinus
Lethrinus olivaceous
Lutjanidae
Lutjanus
Lutjanus carponotatus
√
√
Lutjanus gibbus
√
√
Lutjanus deccusatus
√
√
√
√
Lutjanus kasmera
√
√
√
√
√
Lutjanus ruseli
√
√
√
√
√
Parupeneus barberinus
√
√
√
√
√
Parupeneus bifasciatus
√
√
√
√
Parupeneus
√
Parupeneus multifasciatus
√
√
Nemipteridae
Scolopsis
Scolopsis bilineatus
√
√
Pomacanthidae
Pomacanthus
Pomacanthus imperator √
√
Pomacanthus sexstriatus
Pomacentridae
√
√
Lethrinidae
Mullidae
√
√ √
√
√
√
√ √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√ √
√
√
√
Pygoplites
Pygoplites diacanthus
Abudefduf
Abudefduf saxatilis
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Abudefduf sexfasciatus
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Amblyglyphidodon aureus
√
√
√
Amblyglyphidodon curacao
√
√
√
Amblyglyphidodon
√
√
√
√
√
√
Amblyglyphidodon nigroris
√
Amphiprion
Amphiprion clarkii
√
Chromis
Chromis acares
√
Chromis alpha
√
Chromis analisis
√
Chromis caudalis
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Chromis insolata
√
√
√
Chromis limbaughi
√
√
√
Chromis margaritifer
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Chromis ternatensis Chromis viridis
√
√ √
√
√
√
√
√
√
√
Chrysiptera
Chrysiptera hemicyanea
√
Dascyllus
Dascyllus carneus
√
√
Dascyllus reticulatus
√
√
√
Microspathodon chrysurus
√
√
√
√
√
√
√
Neoglyphidodon carlsoni
√
√
√
√
√
√
√
129
1
2
Neoglyphidodon
Pomacentrus
Scaridae
Serranidae
Siganidae
3
4
5
Neoglyphidodon melas
√
√
Neoglyphidodon nigroris
√
√
Pomacentrus aleni
√
√
Pomacentrus moluccensis
√
√
Pomacentrus sulfureus
√
√
Scarus altipinnis
√
√
Scarus chameleon
√
√
Scarus ferrugineus
√
√
Scarus ghoban
√
√
Scarus niger
√
Scarus psitiacus Scarus spinus
6
7
8
9
10
11
12
√
√
√
√
√
√
√ √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Scarus taeniopterus
√
√
√
√
√
√
Cephalopholis
Cephalopholis miniata
√
Epinephelus
Epinephelus hexagonatus
√
Epinephelus quoyanus
√
√
Epinephelus tauvina
√
√
Scarus
Plectropomus
Plectropomus maculatus
Pseudanthias
Pseudanthias huchtii
Siganus
√
√
√
√ √
√
√
Siganus gutatus
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Siganus javus
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Siganus puellus
√
√
√
√
√
√
√
Siganus vulpinus Zanclus
√
√
Siganus punctus
Zanclidae
√
√ √
√
√
√
√
√
√
Zanclus cornutus Jumlah Spesies
80
68
21
28
54
41
57
√
√
√
√
103
72
130
Lampiran 6 Identifikasi Paramater Kesesuaian Wisata Pantai di Pulau Matakus
Sta 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Koordinat
S: 08003’23.4 E:131012’05.6’’ S: 08003’59.0’’ E: 131011’50.2’’ S: 08004’47.4’’ E: 131011’31.4’’ S: 08004’44.3’’ E: 131011’49.8’’ S: 08004’21’’ E: 131012.36’’ S: 08003’04.2’’ E: 131012’49.9’’ S: 08003’21.4’’ E: 131012’56.2’’ S: 08002’59.7’’ E: 131012’35.5’’ S: 08003’04.0’’ E: 131012’20.0’’
Kedalman Perairan 2m 1.8m
Tipe Pantai Pasir putih Pasir putih
Lebar pantai
Material dasar perairan
20 m
Pasir
20 m
Pasir
Kecpatan Arus (cm/det)
Kemir ingan pantai
Kecerahan perairan
10
100%
11.11
10
100%
4.2
Penutupan Lahan pantai Kelapa, cemara pantai Kelapa, cemara pantai
Biota berbahaya
Jarak sumber air
Tidak ada
895 m
Tidak ada
75 m
Bulu babi
965
Bulu babi
300 m
Bulu babi
940km
2m
Pasir berbatu
3m
Batu (karang mati)
3.8
16
90%
2.4 m
Pasir
18 m
Psir Batu
8.3
27
100%
2.1 m
Berbatu
3m
8.1
10
100%
2.3 m
Berbatu
18 m
4.7
18
100%
Kelapa
Tidak ada
500 m
2.3 m
Berpasir
20 m
4.5
18
100%
Kelapa
Tidak ada
320 m
14.6
11
100%
Tidak ada
240 m
11
100%
Tidak ada
10 m
2.5 m 2.1 m
Pasir putih Pasir putih
Batu karang Batu karang Pasir berbatu
30 m
Pasir
17 m
Pasir
3.8
Mangrove Kelapa, pohon pandaan Kelapa, mangrove
Kuburan, pmukiman Alang-alang, cemara pantai
130
131
Lampiran 7 Identifikasi Paramater Kesesuaian Olahraga Pantai di Pulau Matakus
Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Koordinat S: 08003’23.4 E:131012’05.6’’ S: 08003’59.0’’ E: 131011’50.2’’ S: 08004’47.4’’ E: 131011’31.4’’ S: 08004’44.3’’ E: 131011’49.8’’ S: 08004’21’’ E: 131012.36’’ S: 08003’04.2’’ E: 131012’49.9’’ S: 08003’21.4’’ E: 131012’56.2’’ S: 08002’59.7’’ E: 131012’35.5’’ S: 08003’04.0’’ E: 131012’20.0’’
Substrat
Luas Pantai (m2)
Panjang Pantai (m)
Tipe Pantai
Pasir
18960
948
Berpasir
Pasir
22300
1115
Berpasir
Lumpur
432
72
Berkarang
Mangrove
Pasir
27100
1510
Pasir
Kelapa, belukar
Lumpur
1440
96
Berbatu
Mangrove
Pasir
14940
830
Pasir berbatu
21600
1200
Pasir
10530
390
Berpasir
Belukar
Pasir
15295
805
Berpasir
Lahan terbuka
Berpasir sedikit karang Berpasir sedikit karang
Penutupan Lahan pantai Belukar, cemara pantai Belukar, cemara pantai
Belukar Belukar
131
132
Lampiran 8 Identifikasi Paramater Kesesuaian Wisata Bahari di Pulau Matakus
Stasiun
Posisi Kordiant
Kcrhan (%)
TupKom Krng (%)
Jenis lifeform
Jenis ikn karang
Kec. Arus (cm/det)
Ked TK (m)
Lbr Krng (m)
86.70
76-100
12
87
17.50
7.50
-
82.00
51-75
10
79
12.50
6.70
-
86.90
31-50
5
18
12.00
6.00
-
91.20
31-50
4
24
12.50
7.12
-
100.00
51-75
10
56
12.50
7.15
-
100.00
31-50
8
41
15.00
6.00
-
100.00
51-75
12
67
15.40
5.50
57
Snorkel
100.00
76-100
12
112
16.80
3.00
60
Snorkel
100.00
51-75
11
73
3.80
2.00
53
Snorkel
Ket
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
08 03’40.3’’ LS 131011’28.7’’ BT 08004’02.4’’ LS 131011’27.1’’ BT 08004’51.3’’ LS 131011’28.1’’ BT 08004’53.8’’ LS 131012’05.9’’ BT 08004’31’’ LS 131012’45’’ BT 08003’46’’ LS 131013’26’’ BT 08003’13’’ LS 131013’25’’ BT 08002’53.7’’ LS 131012’37.2’’ BT 08002’58.9’’ LS 131012’15.4’’ BT
132
133
Lampiran 9 Format Penilaiain Kriteria Zonasi Kawasan Pulau Matakus Kriteria I. Ekologi 1. Ekosistem (Terumbu karang, mangrove, lamun, laguna) 2. Lifeform karang 3. Spesies ikan karang 4. Persen penutupan karang 5. Abrasi pantai 6. Keunikan : - Habitat burung/penyu - Kemiringan bentuk tubir terumbu karang 900 - Ada goa-goa, alur2 dll - Ada spesies langka yang dilindungi 7. Status(berpenduduk/tidak) 8. Tingkat keterbukaan terhadap laut Total Nilai I II. Ekonomi 1. Spesies Penting: - Ada ikan pelagis ekonomis penting - Ada ikan karang (hias dan target) - Ada molusca ekonomis penting (kerang, siput, gurita) - Terdapat echinodermata (teripang) - Terdapat lobster dan kepiting 2. Kepentingan Perikanan - Sebagai daerah penangkapan ikan pelagis - Sebagai daerah penangkapan ikan karang - Sebagai daerah penangkapan ikan siput dan gurita - Sebagai daerah penangkapan ikan lobster - Sebagai daerah penangkapan ikan teripang - Sebagai daerah perikanan budidaya
Tinggi (3)
Nilai Kriteria Sedang (2)
Rendah (1)
Bila ada 4 ekosistem
Bila ada 2-3 ekosistem
Bila ada 1 Ekosistem
Bila ada > 10 lifeform Bila ada > 120 jenis Tutupan karang > 75% Tidak terdapat abrasi pantai
Bila ada 6-9 lifeform Bila ada 61 – 120 jenis Tutupan karang 51 - 75% Abrasi pantai 25 – 50%
Bila ada < 5 lifeform Bila ada < 61 jenis Tutupan karang < 51 % Abrasi pantai > 50%
Ada semua komponen
Ada 2 – 3 komponen
Ada 1 komponen
Tidak berpenduduk Terbuka dari semua sisi
Berpenduduk sementara 50% terbuka
Berpenduduk 25% terbuka
Bila memenuhi semua komponen
Bila memenuhi 3 – 4 komponen
Bila memenuhi 1 – 2 komponen
Bila memenuhi semua criteria
Bila memenuhi 4 – 5 kriteria
Bila memenuhi 1 – 3 kriteria
133
134
Lanjutan Kriteria 3. Bentuk Ancaman: - Penggunaan bom/ sianida - Penggunaan jangkar perahu - Penggunaan belo (tongkat pendorong perahu) - Penggunaan tuba 4. Pariwisata: - Terdapat wisata bahari - Terdapat wisata pantai - Terdapat wisata budaya Total Nilai II III. Sosial 1. Tingkat dukungan Masyarakat (pemerintah desa, tokoh adat, tokoh agama, LSM, masyarakt) 2. Temapat Rekreasi : - Terdapat daratan pantai luas - Terdapat perairan pantai tenang - Terdapat lautan yang tenang 3. Konflik kepentingan; (Perorangan, Marga, Masyarakt adat) 4. Keamanan : - Aman sepanjang musim - Aman pada musim barat atau timur 5. Akesibilitas (keterkaitna dengan alat transportasi)
Tinggi (3)
Nilai Kriteria Sedang (2)
Rendah (1)
Bila memenuhi semua criteria
Bila memenuhi 2 – 3 kriteria
Bila memenuhi hanya 1 kriteria
Bila terdapat semua komponen
Bila terdapat 2 komponen
Bila terdapat 1 komponen
Bila ada dukungan semua komponen
Bila ada 3 – 4 dukungan
Bila ada 1-2 dukungan
Bila terdapat semua komponen
Bila ada 2 komponen
Bila ada 1 komponen
Bila loksi memenuhi semua komponen
Bila lokasi memenuhi dua komponen
Bila lokasi memenuhi 1 komponen
Spanjang musim
Salah satu musim
Tidak aman spanjang musim
Tersedia alat transport umum regular
Tersedia alat transport masyarakat
Menyewa alat transport masyarakt
Total Niali III Total Nilai I + II + III Persentase dari Nilai Total
Sumber: Modifikasi dari Soselisa (2006); Baksir (2009)
134
135
Lampiran 10 Equation Model EFA dengan Stela 9.0.2 Jmlh_Turis(t) = Jmlh_Turis(t - dt) + (Total_BC\ha - EF\ha\cap\thn) * dt INIT Jmlh_Turis = 150 INFLOWS: Total_BC\ha = BC_Built_up+BC_Croplnd+BC_energy\ha_+BC_Forest+BC_Pasture+BC_Sea_space OUTFLOWS: EF\ha\cap\thn = (Foot_Buildup\ha\cap\thn+Foot_Food_&_Fibre+Foot_Energy\ha\cap\thn)*Jmlh_Turis lama_wisata(t) = lama_wisata(t - dt) INIT lama_wisata = 6 arable_land\ha\cap\thn = 0.0694 BC_Built_up = Exist_buildt_area*YF_built_up BC_Croplnd = Exist_Crop_Area*YF_Crop BC_energy\ha_ = Exist_Area\ha*YF_energy BC_Forest = Exist_Forest\ha*YF_Forest BC_Pasture = Exist_past_area*YF_Pasture BC_Sea_space = Exist_fish_area\ha*YF_fishery Exist_Area\ha = 30.39 Exist_buildt_area = 735.39 Exist_Crop_Area = 126.13 Exist_fish_area\ha = 5787 Exist_Forest\ha = 110.63 Exist_past_area = 49.86 foot_aktifitas = (luas_area_diving\ha/Jmlh_Turis/lama_wisata)+(luas_area_snorkli/Jmlh_Turis/lama_wisata)+(l uas_wisata_pantai/Jmlh_Turis/lama_wisata) Foot_Buildup\ha\cap\thn = foot_aktifitas+foot_Jalan+foot_pelabuhan+foot_penginapan Foot_Energy\ha\cap\thn = kons_enegry\GJ\cap/jmlh_energy\GJ\ha\thn Foot_Food_&_Fibre = arable_land\ha\cap\thn+Forest_space\ha\cap\thn+pasture\ha\cap\thn+Sea_Space\ha\cap\thn foot_Jalan = luas_jln\ha/Jmlh_Turis/lama_wisata
136
Lanjutan foot_pelabuhan = luas_pelbhn\ha/Jmlh_Turis/lama_wisata foot_penginapan = luas_pnginpn\ha/Jmlh_Turis/lama_wisata Forest_space\ha\cap\thn = 0.0639 jmlh_energy\GJ\ha\thn = 30.39 kons_enegry\GJ\cap = 145.86/Jmlh_Turis/lama_wisata luas_area_diving\ha = 33.58 luas_area_snorkli = 82.49 luas_jln\ha = 0.1981 luas_pelbhn\ha = 4.78 luas_pnginpn\ha = 2.1783 luas_wisata_pantai = 5.7 pasture\ha\cap\thn = 0.3367 Sea_Space\ha\cap\thn = 0.0443 YF_built_up = 1.0 YF_Crop = 1.7 YF_energy = 1.3 YF_fishery = 0.6 YF_Forest = 1.3 YF_Pasture = 2.2
137
Lampiran 11 Karakteristik Responen dari unsur Masyarakat NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
NAMA RESPONDEN Niko Lololuan Adri Mailuhu Nelson Matruti Ulis Matruti Nelson Damaryanan Marselina Inuhan Otis Slarmanant Penina Putnarubun Tias Albertus Heronia Beni Sara Turaleli Vecky Turalel Ony Minanlarat Grace Sriwahtuni Mika Turalely Amus Kelmaskosu Philipus Moriolkosu Melkior Boinsera Thomson Matruti Adam Amarduan Lexi Moriolkosu Arnesus Slarmanat Ragu Moriolkosu Katerina Amarduan Origenes Amarduan Imanuel S. Turalely Veni Moriolkosu Benni Moriolkosu Jerar Manufuri Efer Boinsera Levinus Amarduan Ridolof Amarduan Andi Slarmanat Brampi Fenjalan Nahum Slarwamin Enos Lololuan Semuel Boinsera Agustinus Amarduan Simon Amarduan Markus Fenjalan Nikodemus Boinsera Rudi Boinsera Leonard Batfeny Ny. N. Kunu Gotlif Slarmanat Anselmus Ruban Ny. H. Nanariain Simon Slarmanat
UMUR 49 35 38 60 34 40 31 32 52 19 21 27 28 42 37 41 40 40 42 39 32 27 42 39 26 28 39 28 26 42 28 29 30 29 28 40 30 39 53 29 35 50 29 37 39 34 37 36 45
PEKERJAAN Guru Pendeta Guru Kepala Desa Guru Guru Wiraswasta Guru Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Nelayan Nelayan Petani Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Petani PNS Petani Nelayan Nelayan Petani Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan PNS Guru Wiraswasta Wiraswasta Guru Petani
PENDIDIKAN D3 S1 PGAKP SMEA S1 PGSD STM PGSD SD SMP SMP SD SMP SMEA SPG SD SD SMEA SD SD SD SD SMEA SMA SMK STM SMK SMK STM SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SMA PGSMTP STM SMA PGSD SMEA
PENDPATAN (Rp) > 1.500.000 750.000 – 1.000.000 1.000.000 – 1.500.000 750.000 – 1.000.000 500.000 – 750.000 >1.500.000 500.000 – 750.000 1.000.000 – 1.500.000 <250.000 <250.000 <250.000 <250.000 <250.000 250.000 – 500.000 <250.000 250.000 – 500.000 500.000 – 750.000 <250.000 250.000 – 500.000 500.000 – 750.000 750.000 – 1.000.000 750.000 – 1.000.000 250.000 – 500.000 250.000 – 500.000 250.000 – 500.000 250.000 – 500.000 <250.000 <250.000 250.000 – 500.000 500.000 – 750.000 500.000 – 750.000 250.000 – 500.000 750.000 – 1.000.000 250.000 – 500.000 500.000 – 750.000 750.000 – 1.000.000 500.000 – 750.000 250.000 – 500.000 750.000 – 1.000.000 500.000 – 750.000 500.000 – 750.000 <250.000 250.000 – 500.000 250.000 – 500.000 1.000.000 – 1.500.000 250.000 – 500.000 250.000 – 500.000 >1.500.000 <250.000
138
Lampiran 12 Karakteristik Responen dari unsur Wisatawan
Nama
Umur
JK
Daerah Asal
Tingkat Pendidikan
Pekerjaan
1
Antonius Batmomolin
34
L
Olilit Baru
SMA
PNS
< 2 jt
2
Yanuaris Fabumase
32
L
Lorulun
PT
PNS
< 2 jt
3
Jefri Latritmas
35
L
Saumlaki
SMA
PNS
< 2 jt
4
Jimi R Batbual
26
L
Adaut
SMA
PNS
< 2 jt
5
John A. Rananmase
36
L
Saumlaki
PT
PNS
< 2 jt
6
Rego
34
L
Saumlaki
PT
PNS
< 2 jt
7
Betty Pattian
30
P
Saumlaki
PT
PNS
< 2 jt
8
Johanis
28
L
Saumlaki
SMA
PNS
< 2 jt
9
Hendri
35
L
Saumlaki
PT
PNS
< 2 jt
10
Nurhasna Maswara
34
P
Saumlaki
PT
PNS
< 2 jt
11
Abraham Jaolath
31
L
Saumlaki
PT
PNS
< 2 jt
12
Reni Moriolkosu
32
P
Saumlaki
SMA
PNS
< 2 jt
13
S Rupilu
33
L
Saumlaki
PT
PNS
< 2 jt
14
Elizabeth Wermbinan
37
P
Saumlaki
PT
PNS
2-5 jt
15
Mina Kobarubun
22
P
Saumlaki
SMA
PNS
< 2 jt
16
Yongki Kelmaskosu
28
L
Saumlaki
PT
PNS
2-5 jt
17
Norbertus Renwarin
24
L
Saumlaki
SMA
PNS
< 2 jt
18
Thomas Lamere
32
L
Saumlaki
PT
PNS
< 2 jt
No
Pendapatan
Lampiran 13 Identitas Instansi Pemerintah yang menjadi Responden
No
Instansi/Dinas
Bidang Kegiatan
Nama Pimpinan
1
BAPPEDA
Perencanaan
Ir. E. Lamerkabel, M.Si
2
Kebudayaan dan PAriwisata
Pariwisata
Drs. H. Lerebulan, M.Si
3
Kelautan dan Perikanan
Perikanan
Ir. V. Batlajeri, M.Si
4
Kehutanan dan Perkebunan
Kehutanan/Pertanian
R.S. Matatula, SP, M.Si
5
Perhubungan
Perhubungan Darat dan Laut
Ir. H. Batlolona
139
Lampiran 14 Rekapitulasi Kunjungan Wisatawan Mancanegara Dan Wisnus Di Kabupaten MTB dari Tahun 2003 – 2007.
Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Total
Jumlah Wisatawan Mancanegara Nusantara 80 500 86 900 90 100 90 1.200 154 1.500 500
4.200
Jumlah 580 986 190 1.290 1.654 4.700
Lampiran 15 Jumlah Wisatawan Yang Mengunjungi Kabupatem Maluku Tenggara Barat Berdasarkan Negara Asal (Tahun 2007).
No 1 2 3
Negara Asal USA NEW SELAND UK
Jumlah 91 1 9
4
AUTRALIA
43
5 6 7 8 9 10 11 12
SWISS RUSIA NETHERLAND SOUTH AFRICA SRILANGKA KANADA KOREA CINA Jumlah
1 1 1 1 1 2 1 2 154
Keterangan Dengan Kapal Pesiar Dengan Kapal Pesiar Dengan Kapal Pesiar (Mengunjungi P.Matakus) Kegiatan Sail Darwin – Saumlaki (Mengunjungi P.Matakus) Sda Sda Sda Sda Sda Datang Sendiri Datang Sendiri Datang Sendiri