KAJIAN POTENSI SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BERBASIS PULAU-PULAU KECIL DI PULAU SAYAFI DAN LIWO PROVINSI MALUKU UTARA
KISMANTO KOROY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Potensi Sumberdaya Pesisir Untuk Pengembangan Ekowisata Berbasis Pulau-Pulau Kecil di Pulau Sayafi dan Liwo Provinsi Maluku Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2015 Kismanto Koroy NIM C252124021
RINGKASAN KISMANTO KOROY. Kajian Potensi Sumberdaya Pesisir Untuk Pengembangan Ekowisata Berbasis Pulau-Pulau Kecil di Pulau Sayafi dan Liwo Provinsi Maluku Utara. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan NURLISA A. BUTET. Ekowisata merupakan suatu bentuk perjalanan yang bertanggung jawab ke wilayah-wilayah yang masih alami dengan tujuan konservasi atau melestarikan lingkungan dan memberi penghidupan pada penduduk lokal serta melibatkan unsur pendidikan (TIES 2015). Sedangkan ekowisata bahari sebagai suatu konsep pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya alam pesisir dengan sistem pelayanan jasa lingkungan yang mengutamakan sumberdaya alam pesisir sebagai obyek pelayanan (Yulianda et al. 2010). Salah satu wilayah yang memiliki keindahan dan keunikan tersendiri banyak ditemukan di pulau-pulau kecil. Daya tarik pulau kecil, umumnya terdapat keunikan dan keindahan yang tersebar di wilayah pesisir dan laut, sehingga kegiatan yang tepat dikembangkan adalah ekowisata bahari. Pulau Sayafi dan Liwo memiliki potensi sumberdaya alam hayati yang cukup tinggi seperti ekosistem terumbu karang, ikan karang, ikan hias, padang lamun dan ekosistem pantai. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji tingkat kesesuaian ekosistem terumbu karang, untuk ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo; mengkaji daya dukung adaptif (DDA) dan daya dukung kawasan (DDK) ekosistem (terumbu karang dan pantai) untuk ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo; serta merumuskan strategi pengelolaan pulau-pulau kecil untuk ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ekologi adalah Line Intercept Transect (LIT) untuk terumbu karang dan Underwater Visual Census (UVC) untuk ikan karang. Pengumpulan data sosial menggunakan metode wawancara semi terstruktur terhadap masyarakat lokal yang ada di sekitar Pulau Sayafi dan Pulau Liwo. Kesesuaian kawasan diketahui dengan menggunakan analisis kesesuaian kawasan wisata bahari kategori wisata diving, wisata snorkeling dan wisata pantai. Untuk memformulasikan rencana pengelolaan kawasan ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Pulau Liwo, digunakan analisis System Information Geographic (SIG), analisis daya dukung dan analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelas kesesuaian ekowisata bahari Pulau Sayafi dan Liwo berada dalam kategori sesuai dan sangat sesuai, dengan daya tampung untuk jenis kegiatan wisata diving memiliki kapasitas pengunjung sebanyak 723 orang, dengan daya dukung adaptif (DDA) 259 orang. Wisata snorkeling memiliki DDA sebanyak 232 orang dari DDK 639 orang. Sedangkan wisata pantai memiliki daya dukung kawasan sebanyak 46 orang dan daya dukung adaptif sebanyak 28 orang. Jadi secara keseluruhan total daya dukung ekowista bahari di Pulau Sayafi dan Liwo sebanyak 1408 orang/ hari dan daya dukung adaptif sebanyak 519 orang/hari. Strategi pengelolaan ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo dengan menggunakan analisis SWOT, merumuskan strategi prioritas, antara lain; a). Pemanfaatan potensi sebagai ekowisata bahari dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan (Caryying capacity). b). Melakukan upaya konservasi bagi ekosistem terumbu karang, untuk pemanfaatan ekowisata bahari. c). Koordinasi antar stakeholder berkepentingan, untuk menetapkan kawasan konservasi berbasis zonasi di pulau-pulau kecil. Kata kunci: daya dukung, ekowisata bahari, pulau kecil
SUMMARY KISMANTO KOROY. Assessment of Potential Coastal Resources for Development of Ecotourism Based Small Islands in Sayafi and Liwo Islands, North Maluku Province. Supervised by FREDINAN YULIANDA and NURLISA A. BUTET. Ecotourism is a responsible travel to natural areas that conserves the environment and improves the well-being of local people (TIES 2015). While marine ecotourism as a concept of sustainable use of coastal natural resources with environmental services delivery system that promotes coastal natural resources as the object of service (Yulianda et al. 2010). The uniqueness and beauty of small islands may attract people to visit the islands; therefore, to explore the potential of the resources, marine ecotourism should be sustainably developed. Sayafi and Liwo islands possess high quality and quantity natural resources, such as coral reefs, reef fish, ornamental fish, seagrass beds and coastal ecosystem. The aim of this study is to assess suitability of the coral reef ecosystems for marine ecotourism on Sayafi and Liwo islands; to assess carrying capacity of the adaptive (DDA) and carrying capacity of the region (DDK) ecosystems (coral reefs and beaches) for marine ecotourism on Sayafi and Liwo islands; and to formulate management strategies of small islands for marine ecotourism on Sayafi and Liwo islands. The methods used in collecting ecological data were Line Intercept Transect (LIT) for coral reefs and Underwater Visual Census (UVC) for reef fish. Social data collection using semi-structured interviews to local communities around the Sayafi and Liwo islands. The suitability of the area was by applying analysis of suitability for marine ecotourism area categorized as diving, snorkling, and beach tourism. Geographic Information System (GIS), carrying capacity and SWOT analyses was used to formulate a management plan for marine ecotourism. The result showed that marine ecotourism suitability for Sayafi and Liwo islands was categorized as suitable and very suitable, with capacity for diving is 723 people, adaptive carrying capacity (DDA) 259 people. Adaptive carrying capacity for snorkling was 232 people, while area carrying capacity was 639 people. Area carrying capacity for beach tourism was 46 people, while the adaptive carrying capacity was 28 people. Overall, carrying capacity for marine ecotourism in Sayafi and Liwo islands was 1408 people/ day, and the adaptive carrying capacity was 519 people/ day. Strategic management of marine ecotourism on the islands of Sayafi and Liwo using SWOT analysis, formulated strategic priorities, such as: a). Exploiting natural resources potential for marine ecotourism by considering environmental carrying capacity; b). Applying conservation on coral reefs, as an object of marine ecotourism; c). Coordination between interested stakeholders, to establish conservation area zoning based on small islands. Keywords: Carrying Capacity, Marine Ecotourism, and Small Island.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN POTENSI SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BERBASIS PULAU-PULAU KECIL DI PULAU SAYAFI DAN LIWO PROVINSI MALUKU UTARA
KISMANTO KOROY
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr. Handoko Adi Susanto, S.Pi, M.Sc
Judul Tesis : Kajian Potensi Sumberdaya Pesisir Untuk Pengembangan Ekowisata Berbasis Pulau-Pulau Kecil di Pulau Sayafi dan Liwo Provinsi Maluku Utara. Nama : Kismanto Koroy NIM : C252124021
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Fredinan Yulianda, M.Sc Ketua
Dr Ir Nurlisa A. Butet, M.Sc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Achmad Fahrudin, M.Si
Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 07 September 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam atas karunia-Nya sehingga tesis dengan judul “Kajian Potensi Sumberdaya Pesisir Untuk Pengembangan Ekowisata Berbasis Pulau-Pulau Kecil di Pulau Sayafi dan Liwo Provinsi Maluku Utara” dapat diselesaikan. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda, M.Sc dan Ibu Dr Ir Nurlisa A. Butet, M.Sc selaku komisi pembimbing, serta Bapak Dr Handoko Adi Susanto, S.Pi, M.Sc., sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh dosen pengajar dan staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, teman-teman SPL, teman-teman Forum Pascasarjana Maluku Utara - IPB yang sudah banyak memberikan dukungan moril dan saran yang membangun kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga kepada Bapak Yusmar Ohorela, M.Si, dan Bapak Kifli Hi.Ahmad, S.Pi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Halmahera Tengah, Bapak Yunus Ahmad, ST dan Bapak Abubakar Ibrahim, SP dari BAPPEDA Halmahera Tengah, Bapak Husain dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Halmahera Tengah, Bapak Dr. Nurchalis Wahidin, M.Sc, Dani Fabanyo, M.Si beserta Dosen dan staf pegawai pada Laboratorium FPIK-Unkhair, Kepala-Kepala Desa dan masyarakat seKecamatan Patani Utara, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang-orang terkasih dan tersayang papa, mama dan si jagoan kecilku Rausyanfikir Koroy yang menjadi motivasi dan semangatku dalam menghadapi hidup serta seluruh keluarga, atas segala do’a dan kasih sayangnya. Penulis menyadari sepenuhnya sebagai insan Tuhan yang lemah dan tidak luput dari kesalahan bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan bagi siapapun yang membutuhkan.
Bogor, Oktober 2015 Kismanto Koroy
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran
1 2 4 4 4
2 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengambilan Data Pengambilan Data Biofisik Data Sosial dan Budaya Metode Analisis Data Analisis Data Ekologis Analisis Kesesuaian Kawasan Sistem Informasi Geografis (SIG) Analisis Daya Dukung Kawasan Analisis Daya Dukung Adaptif Analisis Strategi Pengelolaan
6 6 7 7 9 10 10 12 14 14 15 15
3 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Wilayah Administratif Kondisi Kependudukan Kondisi Sosial Sistem Kebudayaan Sejarah Kepemilikan dan Penamaan Pulau Sayafi dan Liwo Sarana dan Prasarana
17 17 18 20 22 24
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Fisik Perairan Kondisi Fisik Pantai Kondisi Ekologis Terumbu Karang dan Ikan Karang Kapasitas Adaptif Ekosistem Terumbu Karang Analisis Kesesuaian Ekowisata Bahari Daya Dukung Ekowisata Bahari Strategi Pengelolaan
25 27 27 32 33 42 45
5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
50 50
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
51 55 67
DAFTAR TABEL 1. Matriks kesesuaian ekowisata bahari kategori selam 2. Matriks kesesuaian ekowisata bahari kategori wisata snorkeling 3. Matriks kesesuaian ekowisata pantai kategori rekreasi 4. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) 5. Waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata 6. Luas Desa dan Kondisi Penduduk 7. Parameter fisik perairan 8. Kapasitas ekosistem terumbu karang 9. Nilai daya dukung ekowisata bahari Pulau Sayafi dan Liwo 10. Analisis strategi faktor internal (IFAS) 11. Analisis strategi faktor internal (IFAS) 12. Perangkingan alternatif strategi
12 13 13 15 15 18 25 32 43 46 46 48
DAFTAR GAMBAR 1. Diagram kerangka pemikiran 2. Peta lokasi penelitian 3. Sketsa pengukuran dimensi terumbu karang 4. Ilustrasi pengamatan data terumbu karang 5. Ilustrasi pengamatan data ikan karang 6. Persentase responden berdasarkan jenis kelamin 7. Tingkat pendidikan responden 8. Persentase jenis pekerjaan 9. Tingkat pendapatan responden 10. Jenis Budaya, Cokaiba dan Tarian Lalayon 11. Sarana dan prasarana di Pulau Sayafi dan Liwo 12. Sebaran suhu permukaan laut rata-rata 3 bulanan 13. Persentase tutupan terumbu karang di Pulau Sayafi dan Liwo 14. Perbandingan kelimpahan ikan karang dan jumlah jenis ikan 15. Kategori jenis ikan karang 16. Peta Kesesuaian wisata diving di Pulau Sayafi dan Liwo 17. Peta Kesesuaian wisata snorkeling di Pulau Sayafi dan Liwo 18. Peta Kesesuaian Wisata Pantai di Pulau Sayafi dan Liwo 19. Peta Kesesuaian Ekowisata Bahari Pulau Sayafi dan Liwo 20. Perbandingan DDK dan DDA untuk ekowisata diving 21. Perbandingan DDK dan DDA untuk ekowisata snorkeling 22. Perbandingan DDK dan DDA untuk ekowisata pantai 23. Grafik kuadran analisis SWOT
5 6 7 8 9 18 19 19 20 21 24 26 28 30 31 38 39 40 41 44 44 45 47
DAFTAR LAMPIRAN 1.
Jenis data yang dibutuhkan, metode pengumpulan, peralatan yang Digunakan dan sumber data 2. Penilaian bobot (IFE) dan (EFE) 3. Matriks internal (IFE) dan eksternal (EFE) 4. Matriks SWOT 5. Persentase penutupan karang hidup per stasiun dan jumlah Lifeform 6. Kelimpahan jenis ikan karang di Pulau Sayafi dan Liwo 7. Hasil analisis ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo 8. Perhitungan daya dukung kawasan dan daya dukung adaptif Ekowista diving, snorkeling dan pantai 9. Kriteria penilaian kapasitas ekosistem terumbu karang di Pulau Sayafi dan Liwo 10. Matriks analisis SWOT untuk ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo 11. Kuesioner penelitian
56 57 57 58 58 58 59 60 61 62 63
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ekowisata merupakan suatu bentuk perjalanan yang bertanggung jawab ke wilayah-wilayah yang masih alami dengan tujuan konservasi atau melestarikan lingkungan dan memberi penghidupan pada penduduk lokal serta melibatkan unsur pendidikan (TIES 2015). Dalam konteks pengelolaan ekowisata bahari yang berkelanjutan harus mempertimbangkan aspek ekologi yang menjadi objek bagi suatu kegiatan, dengan melibatkan unsur sosial sebagai pelaku wisata dalam pengelolaan, sehingga dapat memberikan manfaat secara ekonomi. Selanjutnya Lindberg dan Hawkins (1995) menyatakan bahwa ekowisata adalah hal tentang menciptakan dan memuaskan suatu keinginan akan alam, tentang mengeksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan dan tentang mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi, kebudayaan dan keindahan. Sebelumnya rumusan ekowisata sudah dikemukakan oleh Hector Ceballos-Lascurain pada tahun 1987 yang menyatakan bahwa ekowisata adalah perjalanan ketempat-tempat yang masih alami dan relatif belum terganggu atau tercemari dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, flora dan fauna, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini (Wikipedia 2015). Salah satu wilayah yang memiliki keindahan dan keunikan tersendiri banyak ditemukan di pulau-pulau kecil. Daya tarik pulau kecil, umumnya terdapat keunikan dan keindahan yang tersebar di wilayah pesisir dan laut, sehingga kegiatan yang tepat dikembangkan adalah ekowisata bahari. Sedangkan Yulianda et al. (2010) mendefenisikan ekowisata bahari sebagai suatu konsep pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya alam pesisir dengan sistem pelayanan jasa lingkungan yang mengutamakan sumberdaya alam pesisir sebagai obyek pelayanan. Beberapa pertimbangan yang menjadi fokus ekowisata bahari di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, karena kawasan pulau-pulau kecil merupakan aset wisata bahari yang sangat besar yang didukung oleh potensi geologis dan karaktersistik yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan terumbu karang (coral reef), khususnya hard corals. Disamping itu, kondisi pulau-pulau kecil yang tidak berpenduduk, secara logika akan memberikan kualitas keindahan dan keaslian dari bio-diversity yang dimilikinya, sehingga sangat menarik untuk di kembangkan sebagai ekowisata bahari seperti diving dan snorkeling (Gossling 1999) Ross dan Wall (1999) menyatakan bahwa ekowisata dapat berkontribusi untuk menjaga keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem. Selanjutnya Sitomorang dan Mirzanti (2012) menambahkan bahwa ekowisata bukan sekedar menawarkan panorama yang masih alami dan indah, ekowisata juga menyediakan proses pembelajaran untuk melindungi dan merawat alam, dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar atau di dalam daerah tujuan ekowisata. Melihat peluang dan potensi wisata bahari Indonesia yang semakin pesat berkembang, menurut (Dahuri 2009) potensi yang di miliki tersebut saat ini belum sepenuhnya menjadi keunggulan kompetitif bangsa Indonesia yang dapat memberikan kontribusi besar pada perekonomian nasional. Salah satu pulau-pulau
2
kecil yang memiliki potensi yang besar untuk dijadikan kawasan ekowisata bahari berbasis pulau-pulau kecil adalah kawasan pesisir Pulau Sayafi dan Liwo. Potensi sumberdaya alam yang dapat dilihat seperti ekosistem terumbu karang, ikan karang, ikan hias, padang lamun dan perikanan. Di lain sisi kawasan Pulau Sayafi dan Pulau Liwo juga merupakan dapur bagi masyarakat lokal dalam memanfaatkan potensi sumberdaya alam, seperti berkebun dan perikanan untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan potensi sumberdaya alam pesisir dan laut di Pulau Sayafi dan Pulau Liwo merupakan suatu proses yang akan membawa suatu perubahan pada ekosistemnya. Menurut Tsaur dan Lin (2006); Zhang dan Lei (2012) Menyatakan bahwa suatu lingkungan akan sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Tekanan aktifitas manusia terhadap sumberdaya alam di pulau kecil akan berdampak pada keberlanjutan ekologi. Bengen et al. (2012), menjelaskan bahwa pulau kecil memiliki ciri-ciri biogeofisik seperti, ukuran pulau yang kecil dan terpisah dari pulau induk/pulau besar, memiliki sumberdaya air tawar yang terbatas, peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal, memiliki keanekaragaman hayati terestrial rendah, namun memiliki sejumlah jenis endemik, keanekaragaman hayati laut tinggi, variasi iklim kecil, area perairan lebih luas dari area daratan, serta tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai. Ciri-ciri biogeofisik pulau-pulau kecil seperti ini, tentu sangat kompleks terhadap pembangunan yang nanti di manfaatkan di Pulau Sayafi dan Pulau Liwo. Oleh karena itu, rencana pengelolaan ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo memerlukan suatu konsep pengelolaan yang berbasis pada pulau-pulau kecil dengan pendekatan ekologi. Permenbudpar No. KM.67/ UM.001/ MKP/ 2004, menjelaskan bahwa implikasi pengembangan kegiatan wisata maupun penyediaan penunjang kepariwisataan di pulau-pulau kecil akan berdampak pada lingkungan fisik, sosial, budaya dan ekonomi pulau-pulau kecil. Oleh karena itu diperlukan pertimbangan-pertimbangan khusus dalam pengembangan kegiatan pariwisata di pulau-pulau kecil. Untuk mencegah laju kerusakan ekosistem pesisir dan laut dengan pola pemanfaatan yang berlebihan, maka hal yang paling utama dalam konsep pemanfaatan sumberdaya untuk ekowisata bahari memerlukan model pengelolaan yang didasarkan pada pendekatan daya dukung kawasan (DDK) dan koreksi daya dukung adaptif (DDA) terhadap penggunaan sumberdaya lingkungan menjadi penting untuk dikaji secara ilmiah sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu arahan pengelolaan dengan konsep ekowisata bahari yang berkelanjutan. Rumusan Masalah Pemanfaatan potensi sumberdaya alam pesisir dan laut Pulau Sayafi dan Liwo, oleh masyarakat lokal sudah lama dilakukan. Wilayah daratan Pulau Sayafi dan Liwo dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berkebun, wilayah pesisir pantai yang juga merupakan primadona masyarakat lokal, dimanfaatkan untuk wisata rekreasi, sedangkan di wilayah laut dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan. Beberapa jenis kegiatan perikanan yang pernah dilakukan oleh masyarakat adalah budidaya rumput laut di Pulau Liwo pada tahun 1990 dan budidaya ikan kerapu dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA) di Pulau Sayafi dan Liwo pada tahun
3
2007-2008 (DKP Provinsi Maluku Utara, 2008). Selain kegiatan budidaya perikanan, kegiatan perikanan lain yang masih sering dilakukan adalah penangkapan ikan dengan menggunakan jaring (gilnet) dan alat tangkap pancing. Potensi besar yang dimiliki kedua pulau ini, tidak hanya di manfaatkan oleh masyarakat lokal, akan tetapi juga di manfaatkan oleh orang-orang dari luar Maluku Utara. Akhir-akhir ini wisatawan asing juga sering berlayar mengunjungi Pulau Sayafi dan Liwo untuk menikmati keindahan pantai dan alam bawah lautnya. Sedangkan kegiatan perikanan yang sering dilakukan adalah aktivitas penangkapan secara ilegal oleh nelayan luar, seperti nelayan dari Sulawesi dan nelayan dari negara Philipina (Seputar Malut, 2014). Aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan pestisida sebagai alternatif penangkapan juga masih sering di praktekkan (DKP Provinsi Maluku Utara 2008). Pengelolaan ekowisata bahari oleh pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Tengah, berupaya mengeluarkan regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Aturan-aturan tersebut mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2012-2032 diantaranya adalah Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Tengah Nomor 10 tahun 2013, tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2013-2023; dan Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Tengah Nomor 11 tahun 2013, tentang Tapak Kawasan Wisata Alam. Rencana pengelolaan kawasan Pulau Sayafi dan Liwo sebagai ekowisata bahari, tentu harus memerlukan basis data yang kuat serta perencanaan yang matang, sehingga tidak memberikan dampak negatif dalam pengembangan ekowisata bahari. Di lain sisi pengembangan ekowisata bahari tidak bersifat mass tourism, mudah rusak dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas. Konsep pengembangan ekowisata bahari dilakukan berdasarkan pendekatan misi pengelolaan konservasi dengan tujuan untuk menjaga keberlangsungan proses ekologis, melindungi keanekaragaman hayati, menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya, dan memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat. Namun dalam rencana pengembangannya, hingga saat ini belum ada kajian yang komprehensif mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir Pulau Sayafi dan Liwo sebagai kawasan ekowisata bahari. Oleh karena itu, untuk menentukan kawasan Pulau Sayafi dan Liwo sebagai ekowisata bahari, maka beberapa masalah yang perlu dirumuskan: 1. Apakah potensi sumberdaya pesisir dan laut di Pulau Sayafi dan Liwo, dapat mendukung keberlanjutan ekowisata bahari.? 2. Bagaimana pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, untuk pengembangan ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo, dengan pendekatan indeks kesesuaian dan daya dukung. 3. Bagaimana pengelolaan ekowisata bahari di pulau-pulau kecil.?
4
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. Mengkaji indeks kesesuaian ekosistem terumbu karang, untuk ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo. 2. Mengkaji daya dukung adaptif (DDA) dan daya dukung kawasan (DDK) ekosistem (terumbu karang dan pantai) untuk ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo. 3. Merumuskan strategi pengelolaan ekowisata bahari berbasis pulau-pulau kecil. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak yang membutuhkan, dalam pola pemanfaatan ruang laut bagi tata ruang wilayah pesisir (RTRW Pesisir) Kabupaten Halmahera Tengah, memberikan gambaran pengembangan kawasan ekowisata bahari yang optimal, serta memenuhi kriteria ekologis dan sosial. Kerangka Pemikiran Dasar penelitian yang dibuat dalam kerangka pemikiran ini adalah potensi sumberdaya alam pesisir dan laut Pulau Sayafi dan Liwo sebagai objek yang dapat dikaji secara ilmiah, meliputi terumbu karang, ikan karang, kondisi pantai dan parameter lingkungan perairan. Terumbu karang merupakan suatu ekosistem khas dan sangat produktif yang tedapat di perairan pesisir dan daerah tropis, dengan beragam tumbuhan dan hewan laut berasosiasi di dalamnya (Bengen et al. 2012). Selanjutnya Nontji (2009) menambahkan bahwa dari segi estetika terumbu karang menampilkan pemandangan yang sangat indah, jarang dapat ditandingi oleh ekosistem lain. Kehadiran ekosistem terumbu karang di wilayah perairan merupakan ciri yang dominan dari suatu perairan dangkal dan dapat menopang kelangsungan hidup bagi ekosistem lain di sekitarnya yang juga menjadi tumpuan hidup manusia. Terumbu karang juga sebagai ekosistem yang subur dan kaya akan makanan menyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang. Potensi lain yang dimiliki Pulau Sayafi dan Liwo adalah ekosistem pesisir seperti kondisi pantai yang masih bagus dan hamparan pasir putih yang mengelilingi kedua pulau dengan lingkungan perairan laut yang masih jernih. Melihat potensi sumberdaya pesisir dan laut yang dimiliki Pulau Sayafi dan Liwo sebagai objek yang menarik untuk pengembangan kawasan ekowisata bahari, maka perlu dilakukan suatu analisis sumberdaya yang dapat menunjang keberlanjutan ekosistem di suatu kawasan pulau-pulau kecil. Model analisis yang harus diperhatikan adalah faktor ekologi sebagai aset ekowisata bahari. Dengan
5
demikian, berdasarkan data parameter fisik dan biologis tersebut, maka perlu dilakukan suatu analisis kesesuaian dan daya dukung sumberdaya sebagai kawasan ekowisata bahari. Untuk melihat kecocokan dan kelayakan suatu kawasan dengan berbagai bentuk aktivitas yang akan dikembangkan, maka perlu dilakukan analisis kesesuaian lahan. Sedangkan untuk melihat kemampuan suatu kawasan secara fisik untuk menerima kunjungan dengan intensitas maksimum terhadap sumberdaya alam, maka harus menghitung daya dukung. Setelah melakukan analisis parameter fisik dan biologis, selanjutnya merumuskan strategi pengelolaan ekowisata bahari dengan mempertimbangkan faktor ekologi, sehingga pemanfaatan sumberdaya alam di Pulau Sayafi dan Liwo dapat berkelanjutan (Gambar 1). Potensi SD Pulau Sayafi & Liwo
Analisis Sosial
Analisis Supply Data Biofisik Lingkungan
- Analisis Potensi SD - Analisis Pemanfaatan SD
Kesesuaian Ekowisata
Pengukuran Potensi
Wawancara
Tidak
Analisis Kesesuaian
Ya - Daya Dukung Kawasan - Daya Dukung Adaptif
Pemanfaatan Ekowisata
Strategi Pengelolaan Ekowisata Bahari
Gambar 1 Diagram Kerangka Pemikiran
Analisis Daya Dukung
6
2 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2014. Penelitian ini dilakukan di Pulau Sayafi dan Pulau Liwo Kecamatan Patani Utara Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara (Gambar 2).
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian Penentuan lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa Pulau Sayafi dan Liwo merupakan pulau-pulau kecil yang memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut seperti terumbu karang dan ikan karang, air laut yang jernih serta hamparan pasir putih yang dapat dimanfaatkan masyarakat lokal sebagai obyek wisata. Pengambilan data biofisik dilakukan pada enam stasiun pengamatan. Penentuan stasiun pengamatan dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan mempertimbangkan faktor fisik dan biologis sumberdaya pesisir dan laut sebagai keterwakilan kawasan secara menyeluruh yang sesuai untuk tujuan penelitian. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang dikumpulkan secara langsung dilapangan. Pengambilan data primer dengan menggunakan metode purposive sampling yaitu dengan pertimbangan dan alasan tertentu seperti penentuan lokasi
7
pengambilan data (Sugiyono 2011). Data primer diperoleh dari survei lapangan menyangkut obyek yang akan diteliti dan disesuaikan dengan kebutuhan, dalam hal ini pencatatan dan pengamatan langsung mengenai objek yang akan diteliti. Data primer juga diperoleh dari wawancara yang di pandu dengan kuesioner terhadap responden kunci (key person). Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelusuran terhadap laporanlaporan hasil penelitian dan hasil kegiatan di lokasi yang sama, publikasi ilmiah, peraturan daerah, data dari instansi pemerintah, swasta maupun lembaga swadaya masyarakat serta data sejarah kawasan. Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dari instansi terkait seperti: kantor Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan dan Dinas Pariwisata untuk memperoleh data serta kantor Kecamatan/ Desa. Metode Pengambilan Data Pengambilan Data Biofisik Pengumpulan data biofisik dilakukan berdasarkan pengamatan secara langsung di lapangan. Adapun data-data yang diambil adalah sebagai berikut: a. Kapasitas Adaptif Terumbu Karang - Indeks Dimensi Terumbu Karang Untuk mengetahui kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang, maka dilakukan pengukuran dimensi panjang dan lebar hamparan terumbu karang. Pengukuran tersebut mengacu pada Subur (2012), dimana pengukuran dimensi panjang dan lebar karang dibagi kedalam segmen-segmen (Gambar 3). P : Panjang L : Lebar
L P PULAU
Daratan Terumbu Karang
Gambar 3 Sketsa Pengukuran Dimensi Terumbu Karang
8
Setiap pertambahan dimensi lebar sebesar 10 meter, maka akan diikuti oleh pertambahan nilai sebesar 0,01 dan akan mencapai nilai maksimal 1,0 pada saat dimensi lebar terumbu karang ≥1.000 meter. Asumsi lebar terumbu karang dengan ukuran ≥1.000 m adalah bahwa secara umum lebar terumbu karang di Indonesia untuk pulau-pulau kecil maksimal berada pada ukuran tersebut. Selanjutnya setiap pertambahan dimensi panjang mengikuti panjang garis pantai pulau terbesar pada lokasi penelitian, maka nilai dimensi panjang juga akan bertambah sebesar 0,01 dan akan mencapai nilai maksimal sebesar 1,0 pada panjang hamparan terumbu karang (Subur 2012). - Tutupan Terumbu Karang dan lifeform Pengambilan data dilakukan dengan petunjuk English et al. (1997), dimana ukuran transek sepanjang 50 m mengikuti arah garis pantai. Lokasi pengambilan data ditetapkan setelah melihat hasil yang diperoleh melalui teknik manta-tow, dimana pada setiap lokasi ditentukan 1 titik untuk dijadikan lokasi peletakan transek dengan teknik Line Intercept Transect (LIT). Setiap lifeform karang yang dilewati transek dicatat dan di foto yang selanjutnya akan diidentifikasi menurut kondisi dan taksonnya dengan menggunakan buku identifikasi menurut (Suharsono 2008). Dari data tersebut akan diketahui persentase tutupan karang, dominasi lifeform, jumlah jenis lifeform dan kategori karang mati dan karang hidup (Gambar 4).
40 m
30 m
20 m
10 m
50 m
0m
Gambar 4 Ilustrasi pengamatan data terumbu karang Sumber : English et al. (1997)
- Ikan Karang Pada setiap transek (LIT) dilakukan pengamatan dengan teknik Visual Sensus, yaitu ikan-ikan karang yang berada pada jarak 2.5 meter dari sisi kiri dan kanan garis transek; Luas bidang pengamatan yaitu 250 m2 (5 x 50 m2) English et al. (1997). Kegiatan sensus dimulai setelah periode normal (tenang) ± 15 menit setelah transek dipasang. Data yang diperoleh dicatat pada kertas atau lembaran data yang sudah disediakan. Untuk keperluan identifikasi jenis, maka ikan dan biota karang lainnya di foto dengan kamera underwater dan menggunakan buku identifikasi menurut (Kuiter dan Tonozuka 2001) (Gambar 5).
9
Gambar 5 Ilustrasi pengamatan data ikan karang Sumber : English et al. (1997)
- Kedalaman Terumbu Karang Kedalaman terumbu karang diukur secara manual dengan menggunakan tali pengukur dan konsul pada alat SCUBA. Pengukuran dilakukan diatas kapal di saat sedang dalam lego jangkar atau dalam posisi normal. - Jarak pemukiman dengan ekosistem terumbu karang Pengukuran jarak ekosistem terumbu karang dengan pemukiman penduduk, dibantu dengan menggunakan GPS dan sistem informasi geografis (SIG). b. Parameter Kualitas Perairan Pengambilan data parameter kualitas perairan diambil di setiap stasiun pengamatan. Parameter-parameter yang diukur antara lain salinitas perairan, suhu perairan dan pH perairan. Alat yang digunakan untuk mengukur parameter kualitas perairan dengan menggunakan Horiba tipe U-52. c. Kondisi Pantai Pengambilan data kondisi pantai (kemiringan, tipe, lebar, penutupan lahan/ vegetasi), kedalaman perairan, material dasar perairan, kecepatan arus, kedalaman dan ketersediaan air tawar dilakukan melalui observasi dan pengukuran langsung di lapangan. Peralatan yang digunakan meliputi meteran, GPS, dan current meter dan secchi dish. Data Sosial dan Budaya Data kondisi sosial dan budaya diperoleh berdasarkan teknik wawancara yang di pandu oleh kuisioner. Wawancara dilakukan terhadap informan terpilih yaitu informan yang berpengetahuan banyak tentang keberadaan Pulau Sayafi dan Liwo. Metode wawancara yang digunakan ada dua jenis yaitu wawancara bebas-
10
mendalam tak berstruktur dan wawancara terstruktur. Wawancara bebas-mendalam tak berstruktur dilakukan untuk memperoleh informasi dari masyarakat mengenai profil Pulau Sayafi dan Liwo. Pertimbangan yang diambil terhadap pengambilan responden adalah secara sengaja berdasarkan hubungan para stakeholder tersebut dengan kawasan Pulau Sayafi dan Liwo baik secara langsung maupun tidak langsung. Jumlah responden yang diambil terdiri dari 3 orang dari responden kunci dan 50 orang masyarakat lokal. Untuk pengambilan data analisis SWOT juga menggunakan teknik wawancara yang di pandu dengan kuesioner. Penentuan responden dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa responden yang dipilih memiliki hubungan terhadap pengelolaan sumberdaya Pulau Sayafi dan Liwo sebagai ekowisata bahari. Jumlah responden terdiri dari Bappeda Halmahera Tengah 1 orang, DKP Halmahera Tengah 1 orang, Disbudpar Halamahera 1 orang, Akademisi 1 orang, dan tokoh masyarakat 1 orang. Metode Analisis Data Analisis Data Ekologis Analisis data ekologis difokuskan pada analisis kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang. Kapasitas adaptasi adalah fitur utama dari kerentanan, ketahanan, dan adaptasi (Governor 2013). Untuk mengetahui kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang, maka dapat dihitung dengan menggunakan tujuh komponen, yang meliputi; indeks dimensi terumbu karang (IDTK), tutupan karang (%), dominasi lifeform, jumlah jenis lifeform, jumlah spesies ikan karang, kedalaman terumbu karang, dan jarak pemkiman dengan ekosistem terumbu karang (km). (lampiran 7). Persamaan yang digunakan untuk menghitung kapasitas adaptif terumbu karang dengan menggunakan formula menurut Subur (2012): Ni
KPTK = ∑ [Nmax] 𝑥100 % ........................................................................ (1) Keterangan: KPTK : Nilai Kapasitas ekosistem terumbu karang ke-i Ni : Total nilai parameter hasil pengukuran Nmax : Nilai maksimum parameter pada ekosistem terumbu karang.
Nilai kapasitas ekosistem terumbu karang berada pada kisaran antara 0.0-1.0, dengan lima (5) kategori yang terdiri dari Sangat Rendah (0.0≤KPTk≤0.2), Rendah (0.2
11
NL
NP
IDTK = ∑ [ SL ] + ∑ [ SP ] .........................................................................(2) Keterangan: IDTK : Indeks Dimensi Terumbu Karang NL : Jumlah total seluruh nilai segmen dimensi Lebar SL : Jumlah total segmen dimensi Lebar NP : Jumlah total seluruh nilai segmen dimensi Panjang SP : Jumlah total segmen dimensi Panjang
Nila Indeks Dimensi Terumbu Karang (IDTK) berada pada kisaran antara 0.0-2.0, yang terdistribusi kedalam lima kategori yaitu Sangat Rendah (0.0≤IDTK≤0.4), Rendah (0.4
Lᵢ L
x 100% ..................................................................... (3)
Keterangan: Lᵢ = total panjang tutupan ke-i L = panjang transek
Dengan demikian, untuk menginterpretasi kondisi ekosistem terumbu karang, dapat diketahui tingkat kerusakan berdasarkan persentase tutupan masing-masing komunitas terumbu karang. Kriteria persentase tutupan komunitas karang yang digunakan, berdasarkan Gomez dan Yap (1988) dalam Setyobudiandi, et al. (2009) dengan kategori sebagai berikut: a). 0.0 – 24.9% : buruk b). 25.0 – 49.9% : sedang c). 50.0 – 74.9% : bagus d). 75.0 – 100.0% : memuaskan c. Analisis Biota Karang Analisis kelimpahan untuk masing-masing biota karang dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Odum (1994) sebagai berikut: X=
∑Xᵢ n
x 100 .........................................................................................(4)
Keteranngan: X = kelimpahan ikan; ∑Xᵢ = jumlah ikan pada stasiun pengamatan ke-i n = luas terumbu karang yang diamati (m2)
12
d. Kecerahan Perairan Setelah didapatkan nilai D1 dan D2 dalam satuan meter maka kecerahan perairan dapat dihitung dengan persamaan: D2
K = D1 x100 ........................................................................................... (5) Keterangan: K = Kecerahan D1 = Kedalaman Perairan saat keping secchi mulai tidak terlihat D2 = Kedalaman Perairan saat keping secchi mulai terlihat
e. Kecepatan Arus Kecepatan arus (V) perairan dapat diketahui dengan menggunakan persamaan umum (Sudarto 1993): S
V = T ...................................................................................................... (6) Keterangan: V = Kecepatan arus (cm/ detik) S = Jarak yang ditempuh (cm) T = Waktu tempuh (detik)
Analisis Kesesuaian Kawasan Analisis kesesuaian yang dilakukan dalam penelitian ini hanya difokuskan untuk peruntukan kawasan ekowisata bahari (jenis kegiatan selam, snorkeling dan wisata pantai). Pemberian bobot berdasarkan tingkat kepentingan suatu parameter, sedangkan pemberian skor berdasarkan kualitas setiap parameter (Tabel 1, 2 dan 3). Tabel 1 Matriks kesesuain ekowisata bahari kategori selam No
Parameter
1. 2.
Kecerahan perairan (%) Tutupan komunitas karang (%) Jenis Life form Jenis ikan karang Kecepatan arus (m/det) Kedalaman terumbu karang (m)
3. 4. 5. 6.
Bobot 5 5
3 S1 >80 >75
3 3 1 1
>12 >100 0-15 6-15
Kategori dan Skor 2 1 S2 S3 50-80 20-<50 >50-75 25-50 <7-12 50-100 >15-30 >15-20 - 3-6
Keterangan: Skor x Bobot = Nilai Maksimum (54); Sumber: Yulianda (2007)
4-7 20-<50 >30-50 >20-30
0 N <20 <25 <4 <20 >50 >30 - <3
13
Tabel 2 Matriks kesesuain ekowisata bahari kategori wisata snorkeling
5 5
3 S1 100 >75
Kategori dan Skor 2 1 S2 S3 80-<100 20-<80 >50-75 25-50
0 N <20 <25
3 3 1
>12 >50 0-15
<7-12 30-50 >15-30
4-7 10-<30 >30-50
<4 <10 >50
1
1-3
>3-6
>6-10
>10 <1
1
>500
>100-500
20-100
<20
No
Parameter
Bobot
1. 2.
Kecerahan perairan (%) Tutupan komunitas karang (%) Jenis Life form Jenis ikan karang Kecepatan arus (m/det) Kedalaman terumbu karang (m) Lebar hamparan datar karang (m)
3. 4. 5. 6. 7.
Keterangan: Skor x Bobot = Nilai Maksimum (57); Sumber: Yulianda (2007)
Tabel 3 Matriks kesesuain ekowisata pantai kategori rekreasi No
Parameter
Bobot
1. 2.
Kedalaman perairan (m) Tipe pantai
5 5
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Lebar pantai (m) Material dasar perairan Kecepatan arus (m/dt) Kemiringan pantai (0) Kecerahan perairan (m) Penutupan lahan pantai
5 3 3 3 1 1
9.
Biota berbahaya
1
10.
Ketersedian air tawar (jarak/km)
1
Kategori dan Skor 3 2 1 0 S1 S2 S3 N 0-3 >3-6 >6-10 >10 Pasir putih Pasir putih, sdkt Pasir Lumpur, karang hitam,karang, berbatu, terjal sdkt terjal >15 10-15 3-<10 <3 Pasir Karang berpasir Pasir berlumpur Lumpur 0-0.17 0.17-0.34 0.34-0.51 >0.51 <10 10-25 >25-45 >45 >75 >50-57 20-50 <20 Kelapa, Semak, belukar, Belukar tinggi Hutan bakau, lahan rendah, savanna pemukiman, terbuka Pelabuhn Tidak ada Bulu babi Bulu babi, Bulu babi, ikan ikan pari pari, lepu, hiu <0.5 (km) >0.5-1 (km) >1-2 >2
Keterangan: Skor x Bobot = Nilai Maksimum (84); Sumber: Yulianda (2007)
Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai kesesuaian wisata pantai dan wisata bahari adalah (Yulianda et al. 2010): IKW = ∑ [Nᵢ / Nmaks]x 100 % ................................................................(7) Keterangan: IKW = Indeks kesesuaian wisata Ni = Nilai parameter ke-i (Bobot x Skor) Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategotri wisata
14
Dalam penelitian ini untuk pembagian kelas kesesuaian dibagi menjadi tiga kelas kesesuaian yaitu: sangat sesuai (S1), sesuai (S2) dan tidak sesuai (TS). Ketiga kelas kesesuaian tersebut dapat didefenisikan sebagai berikut: Kelas S1: Sangat sesuai, dengan IKW 83-100% Pada kelas ini lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap kegiatan atau hasil produksi. Kelas S2: Sesuai, dengan IKW 50 - <83% Pada kelas ini lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi aktivitas atau produksi dan keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan. Kelas TS: Tidak sesuai, dengan IKW < 50% Pada kelas ini lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) Untuk menentukan kelas kesesuaian lahan untuk kategori tertentu, maka dapat dilakukan dengan menghitung nilai interval kelas dari masing-masing nilai kesesuaian lahan ekowisata. Dengan cara ini, kelas kesesuaian lahan ekowisata untuk kategori tertentu diperoleh. Setelah membandingkan nilai interval kelas, selanjutnya pemetaan kelas kesesuaian menggunakan analisis keruangan (spatial analysis). Dengan analisis ini akan dihasilkan peta–peta kesesuain untuk berbagai kegiatan wisata pesisir dan laut di Pulau Sayafi dan Liwo. Dalam penelitian ini, penggunaan analisis keruangan untuk mengidentifikasi pemanfaatan ruang dilakukan dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan menggunakan software arcgis. Analisis Daya Dukung Kawasan Metode yang digunakan untuk menghitung daya dukung ekowisata bahari dengan menggunakan konsep daya dukung kawasan (DDK). DDK adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung dikawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Perhitungan DDK dengan menggunakan rumus Yulianda et al. (2010). DDK = K x Lp/ Lt x Wt/ Wp ................................................................... (8) Keterangan: DDK K Lp Lt Wt Wp
= daya dukung kawasan = potensi ekologis pengunjung per satuan unit area = luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan = unit area untuk kategori tertentu = waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari = waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu.
15
Untuk melakukan kegiatan ekowisata di pulau kecil, setiap pengunjung akan memerlukan ruang gerak yang cukup luas untuk melakukan aktivitas wisata, sehingga perlu adanya prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata. Nilai maksimum (K) per satuan unit area dan (Lt) untuk setiap kategori wisata bahari serta waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata (Tabel 4 dan 5). Tabel 4 Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) Jenis Kegiatan K (orang) Unit Area (Lt) Keterangan 2 Selam 2 2000 m Setiap 2 orang dalam 200m x 10m 2 Snorkling 1 500 m Setiap 1 orang dalam 100m x 5m Rekreasi Pantai 1 50 m 1 orang setiap 50m panjang pantai Sumber: Yulianda et al. (2010)
Tabel 5 Waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Waktu yang dibutuhkan Kegiatan Total waktu 1 hari Wt-(jam) Wp-(jam) Selam 2 8 Snorkling 3 6 Rekreasi pantai 3 6 Sumber: Yulianda et al. (2010)
Analisis Daya Dukung Adaptif Daya dukung adaptif (DDA) bertujuan untuk menilai kemampuan suatu ekosistem dalam mentolerir aktifitas pengunjung dalam pemanfaatan jenis kegiatan tertentu. Untuk menghasilkan nilai DDA, terlebih dahulu harus memperoleh nilai DDK dan indeks dimensi setiap ekosistem. Perhitungan yang digunakan untuk mengetahui nilai DDA dengan modifikasi persamaan Subur (2012): DDAᵢ = DDKᵢ x IDEᵢ ...................................................................................(9) Keterangan: DDAᵢ : Daya Dukung Adaptif ke-i; DDKᵢ : Daya Dukung Kawasan ke-i; IDEᵢ : Indeks Dimensi Ekosistem ke-i.
Analisis Strategi Pengelolaan Analisis strategi yang digunakan dalam pengelolaan ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo berbasis pada aspek lingkungan. Analisis strategi yang berbasis pada aspek lingkungan di harapkan mampu menjaga keberlangsungan ekologi dan makhluk hidup di lingkungan sekitarnya. Pada aspek ini, basis sumberdaya pesisir dan laut memegang peranan penting dalam pengembangan ekowisata bahari. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan ekowisata bahari, maka analisis strategi didasarkan pada data-data yang diproses melalui pengelompokkan data, dan klasifikasi urutan permasalahan
16
dan klasifikasi faktor internal dan eksternal. Kerangka kerja dengan menggunakan pendekatan analisis SWOT adalah sebagai berikut: a. Analisis matriks internal factor evaluation (IFE) dan external factor evaluation (EFE) Penilaian internal factor evaluation (IFE) untuk mengetahui sejauh mana pengaruh internal yang dimiliki oleh suatu kawasan ekowisata dengan cara mendaftarkan semua kekuatan dan kelemahan. Penilaian external factor evaluation (EFE) untuk mengetahui sejauh mana pengaruh eksternal yang dimiliki oleh suatu kawasan ekowisata dengan cara mendaftarkan semua ancaman dan peluang. Hasil identifikasi dari kedua faktor tersebut menjadi faktor penentu dalam pemberian bobot dan peringkat atau rangking. b. Pembobotan lingkungan internal dan eksternal Pembobotan pada lingkungan internal dan eksternal diberikan bobot dan nilai (rating) berdasarkan variable dengan skala 1, 2, 3, dan 4 (David 2002) yaitu: - Jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal :1 :2 - Jika indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal - Jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal :3 - Jika indikator horizontal sangat penting dibandingkan indikator vertikal : 4 Bentuk pembobotan faktor strategis internal dan eksternal dapat dilihat pada (lampiran 3). Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus: xi
ai = ∑n
i=1 xi
Keterangan: Ai xi i i n
................................................................................................. (10)
= bobot variabel ke-i; = nilai variabel ke-i; = 1, 2, 3,….n (faktor internal); = 1, 2, 3,….n (faktor eksternal); = jumlah variable.
Untuk nilai rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruh/ respon faktor-faktor tersebut terhadap pengelolaan ekosistem pesisir di Pulau Sayafi dan Liwo dengan ketentuan skala mulai dari (nilai: 4 = sangat penting, 3 = penting, 2 = cukup penting, 1 = kurang penting). Variabel yang bersifat positif (variabel kekuatan atau peluang) diberi nilai dari 1 sampai dengan 4 dengan membandingkan dengan rata-rata pesaing utama. Sedangkan variabel yang bersifat negatife kebalikannya, jika kelemahan atau ancaman besar (dibanding dengan rata-rata pesaing sejenis) nilainya 1, sedangkan jika nilai ancaman kecil/ dibawah rata-rata pesaing-pesaingnya nilainya 4. Kemudian kalikan antara bobot dengan nilai ratingnya dari masing-masing faktor untuk menentukan nilai skornya. (lampiran 4). Setelah selesai menyusun matriks IFE dan EFE, langkah selanjutnya adalah membuat matriks SWOT, dimana setiap unsur SWOT yang ada dihubungkan untuk memperoleh alternatif strategi (Rangkuti 2013) (lampiran 5).
17
3 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Wilayah Administratif Pulau Sayafi dan Pulau Liwo merupakan pulau-pulau kecil yang berada di bibir Samudera Pasifik sebelah timur Pulau Halmahera. Letak geografis Pulau Sayafi berada pada posisi 128º49’41.9" BT - 0º31’41.9" LU dengan luas pulau sebesar 19.689 km2, sedangkan Pulau Liwo terletak pada 128º52’12.0" BT 0º28’12.0" LU dengan luas 2.199 km2. Keberadaan Pulau Sayafi dan Pulau Liwo sangat dekat dengan daratan Pulau Halmahera. Perjalanan menuju Pulau Sayafi dan Pulau Liwo dengan jarak tempuh ±18 km dari ibukota Kecamatan Patani Utara yang dicapai melalui perjalanan laut selama 1 (satu) jam dengan menggunakan perahu bermesin tempel. Pulau Sayafi dan Pulau Liwo memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: - Sebelah utara berbatasan dengan Samudera Pasifik - Sebelah timur berbatasan dengan Kepulauan Raja Ampat - Sebelah selatan berbatasan dengan Tanjung Ngolopopo - Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Halmahera Timur Secara yuridis Pulau Sayafi dan Liwo termasuk dalam administratif wilayah Kecamatan Patani Utara Kabupaten Halmahera Tengah, berdasarkan UndangUndang Nomor 6 Tahun 1990 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Halmahera Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3420); dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 Tanggal 25 Februari 2003, dengan memekarkan wilayah Kabupaten Halmahera Tengah menjadi 2 (dua) kabupaten dan 1 (satu) kota yaitu: Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan (BPS 2013). Kondisi Kependudukan Secara administratif Pulau Sayafi dan Liwo merupakan pulau-pulau yang tidak berpenduduk. Pulau Sayafi dan Liwo dimanfaatkan oleh masyarakat lokal yang berada di daratan Pulau Halmahera untuk melakukan aktivitas pemanfaatan sumberdaya sebagai pemenuhan kebutuhan. Jumlah penduduk Kecamatan Patani Utara sebanyak 8.765 jiwa yang tersebar di 12 Desa (BPS 2013). Pada penelitian ini, hanya beberapa desa yang menjadi fokus penelitian untuk pengambilan data tentang persepsi dan sejarah kawasan, karena masyarakat di desa-desa tersebut yang melakukan aktifitasnya di Pulau Sayafi dan Liwo. Adapun desa-desa tersebut memiliki jumlah penduduk antara lain Desa Tepeleo Batu Dua dengan jumlah penduduk sebanyak 1.488 jiwa, Desa Tepeleo sebanyak 1.503 jiwa, Desa Gemia sebanyak 1.579 jiwa, Desa Maliforo sebanyak 465 jiwa, dan Desa Pantura Jaya sebanyak 532 jiwa (Tabel 6).
18
Desa Pantura Jaya Tepeleo Batu Dua Tepeleo Maliforo Gemia
Tabel 6 Luas Desa dan Kondisi Penduduk Luas Desa Jumlah Rumah (Km²) Tangga 5.20 108 8.10 345 7.05 349 2.05 97 4.05 312
Jumlah Penduduk 532 1.488 1.503 465 1.579
Sumber: BPS (2013)
Etnis yang mendiami wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di semenanjung Patani Utara adalah dari suku Patani, Maba, Tidore, Ambon, Tobelo, Makian, Makassar dan Jawa. Interaksi antar suku dalam kehidupan keseharian sangat harmonis. Hal ini tercermin dalam setiap kegiatan desa yang dilakukan selalu bersama-sama. Bahasa komunikasi sehari-hari yang berkembang di masyarakat adalah bahasa Patani dan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dalam komunikasi dalam acara-acara formal, proses belajar mengajar di sekolah, serta komunikasi dengan suku-suku lain dari luar Patani. Mayoritas penduduk di kecamatan Patani Utara adalah beragama Islam. Meskipun mayoritas masyarakat adalah muslim, namun masyarakat di Kecamatan Patani Utara sangat menjunjung tinggi perbedaan agama lain. Kondisi Sosial
Persentase (%)
Dalam penelitian ini, kondisi sosial yang diamati adalah karakteristik masyarakat dan persepsi mengenai ekowisata untuk pengembangan ekowisata bahari. Responden dalam penelitian ini berjumlah 50 orang yang tersebar pada 5 (lima) Desa. Penyebaran kuesioner dilapangan, berdasarkan jenis kelamin didominasi oleh laki-laki. Hal ini karena dalam kultur masyarakat Patani Utara masih sangat kental dengan adat, dan menganggap bahwa kaum laki-laki yang lebih bertanggung jawab untuk menerima tamu dalam suatu keluarga (gambar 6). 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
39
11
L
P
Gambar 6 Persentase responden berdasarkan jenis kelamin
19
Persentase (%)
Hasil pengamatan responden menunjukkan persentase tingkat pendidikan SD memiliki persentase paling tinggi dan yang paling rendah adalah tingkat pendidikan SLTA (Gambar 7). 30 25 20 15 10 5 0
24
12
9 5
SD
SLTP
SLTA
S1
Pendidikan
Gambar 7 Tingkat pendidikan responden Gambar 7 diatas memperlihatkan angka persentase tertinggi terdapat pada tingkat pendidikan SD, dengan rata-rata umur responden berkisar antara 30 – 57 tahun. Tingkat pendidikan yang rendah sangat berpengaruh pada pemahaman masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tingkat pendidikan yang rendah juga memperlihatkan dominasi pada jenis pekerjaan responden sebagai petani (Gambar 8). 30
28
Persentase (%)
25 20 15 10 5
8
7 4
3
0
Gambar 8 Persentase jenis pekerjaan Hasil pengamatan berdasarkan kuesioner yang di dapat dari responden, memperlihatkan bahwa jenis pekerjaan dengan persentase tertinggi terdapat pada jenis pekerjaan sebagai tani dengan angka persentase 28%, dan yang terendah berada pada jenis pekerjaan sebagai honorer. Dominasi jenis pekerjaan sebagai tani karena sebagian besar mata pencaharian masyarakat di Patani Utara adalah petani. Tingkat pendidikan yang rendah serta ketersedian lapangan kerja yang minim, menjadi faktor pembatas bagi masyarakat untuk beralih pekerjaan. Sebagian besar
20
jenis pekerjaan utama masyarakat adalah petani yang bergantung pada musim, maka masyarakat juga memiliki jenis pekerjaan sampingan yang berfariasi antara lain sebagai nelayan, peternak, ojeg dan buruh bangunan. Meskipun persentase jenis pekerjaan sebagai tani, akan tetapi tingkat pendapatan masyarakat masih berada pada kisaran antara Rp.500.000-1 Juta/ bulan. Namun demikian tingkat pendapatan masyarakat juga masih kurang dari Rp.500.000/ bulan, sedangkan pendapatan di atas Rp.2 Juta/ bulan sebagian besar terdapat pada kalangan PNS dan wiraswasta. Hal ini karena selain memiliki jenis pekerjaan utama juga terdapat jenis pekerjaan sampingan (Gambar 9). 35
31
Persentase (%)
30 25 20
15
15 10 4
5 0 <500 Ribu
500.000–1 Juta
>2 Juta
Gambar 9 Tingkat pendapatan responden Sistem Kebudayaan Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki pulau-pulau yang tersebar dari Sabang sampai Meraoke, Indonesia pun dikenal dengan memiliki banyak suku adat dan istiadat yang berkembang di masyarakatnya. Perbedaan suku, adat-istiadat menjadi satu kesatuan kekuatan dalam bingkai Negara Republik Indonesia. Menjadi bagian terkecil dari sekian banyak suku, adat istiadat yang ada, masyarakat di kecamatan Patani Utara juga merupakan miniatur kekuatan yang membudaya sejak zaman nenek moyang mereka. Desain ekowisata yang berorientasi kultural menjadi komponen penting dalam pembangunan ekowisata. Dalam kajian budaya di wilayah pemerintahan Halmahera Tengah terlihat bahwa masyarakatnya sangat beragam. Beberapa hal yang mempengaruhi keberagaman atau pluralitas dari masyarakat Halmahera tengah adalah: a) Berdasarkan sejarah, wilayah Halmahera Tengah termasuk dalam pemerintahan Kesultanan Tidore, kondisi ini membuat masyarakatnya dominan dan taat menjalankan ajaran Agama Islam. b) Dengan perkembangan Kesultanan Tidore sejak awal di wilayah Halmahera Tengah telah berdiam kelompok masyarakat di wilayah Patani, Weda dan Maba. Masyarakat atau daerah ini dikenal dengan sebutan Gamrange.
21
c) Dalam perkembangannnya masyarakat di wilayah Halmahera Tengah dalam sistem kehidupan sehari-hari diwarnai dengan sistem kekerabatan dan ikatan yang kuat yang disebut dengan Fagogoru. Fagogoru sendiri artinya adalah baku sayang atau saling menyayangi. Beberapa budaya yang sarat dengan keagamaan seperti budaya Cokaiba/ Fanten dan tarian Lalayon adalah dua budaya yang umumnya dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat lokal/asli Halmahera Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun terjadi akuluturasi antar budaya dari semua suku yang ada, namun budaya lokal masih tetap dipertahankan dan dipraktekkan hingga saat ini (DKP Provinsi Maluku Utara 2008) (Gambar 10).
Cokaiba
Tarian Lalayon
Sumber : Dok. Pribadi (2014)
Sumber : DISBUDPAR Halteng (2009)
Gambar 10 Jenis Budaya, Cokaiba dan Tarian Lalayon a. Cokaiba/ Fanten Cokaiba merupakan sebuah rangkaian atraksi budaya yang kerap diadakan oleh masyarakat Weda, Patani dan Maba pada saat bulan Rabiul Awal. Di zaman kesultanan, Cokaiba merupakan pasukan perang elit Gam range yang ditugaskan menyamar dengan menggunakan topeng. Kini, Cokaiba kemudian menjadi sebuah atraksi budaya yang dilakukan pada saat perayaan fanten. Dalam menjalankan atraksinya para pelakon Cokaiba menggunakan topeng menyerupai setan dan menari-nari diiringi tabuhan rebana dan alunan suara zikir yang dilantunkan oleh peserta fanten. Cokaiba adalah perlambangan atas kegembiraan alam termasuk setan dan iblis yang turut bersuka cita atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Fanten merupakan sebuah perayaan yang bermakna saling memberi tanpa pamrih dengan tujuan untuk memupuk rasa persaudaraan antar sesama masyarakat Gam range (tiga negeri). Konon kata fanten ini di awal perayaannya kemudian melahirkan sumpah leluhur Gam range yang terkenal dengan slogan Fagogoru. Dalam perayaan fanten masyarakat secara bergantian menyajikan makanan untuk disantap oleh saudaranya yang kemudian akan di balas saudaranya ini dengan menyediakan hidangan yang sama pada keesokan harinya.
22
Puncak perayaan fanten pada tanggal 12 Rabiulawal dimana pada hari itu, diadakan zikir semalam suntuk dimulai setelah shalat Isya hingga fajar merekah di ufuk timur (DISBUDPAR Halmahera Tengah 2009). b. Tarian Lalayon Lalayon berasal dari asal kata “Laila” diambil dari ucapan zikir seorang mubaligh Islam dari kalimat “Lailahaillallah” yang artinya; tiada tuhan selain Allah. Pada saat itu terjadi suatu peristiwa dalam satu keluarga yang mengakibatkan meninggalnya sang isteri dan anaknya, sehingga sang suami menghibur hatinya dengan zikir. Secara etimologi dalam bahasa Patani mengandung makna sebagai sebuah meja hidangan yang sering dilakukan pada upacara adat lainnya. Dari kisah itulah muncullah tarian lala dalam catatan sejarah masyarakat Gam range, dengan demikian lala menjadi tarian tradisional yang dimainkan atau dipentaskan dalam bentuk kelompok dengan jumlah besar, bahkan sering dimainkan sampai delapan orang diantarannya empat orang pria dan empat orang wanita, baik orang dewasa maupun remaja dan anak-anak. Dalam konteks tertentu lala juga bisa dipentaskan hanya dengan jumlah empat orang, yang terdiri dari dua pria dan dua wanita. Tarian lala muncul bersamaan dengan berdirinya negeri Gam range (tiga negeri bersaudara Weda, Patani dan Maba). Maba adalah putera tertua dari ketiga bersaudara, Patani dan Weda. Tarian lalayon merupakan tarian khas masyarakat Gam range yang mengandung unsur-unsur religius atau nilai-nilai islami yang berkembang hingga sekarang. Tarian lalayon dijadikan sebagai sarana budaya mempertemukan dan menyatukan masyarakat Maba, Patani dan Weda. Tarian lalayon merupakan sebuah tarian tradisional yang dipergunakan pada saat-saat tertentu, misalnya acara perkawinan, perayaan-perayaan adat dan pada saat menyambut tamu yang dihormati. Biasanya tarian ini dilakukan berpasang-pasangan dan umumnya dilakoni oleh beberapa pasang pria dan wanita sebagai sebuah tarian pergaulan masyarakat Gam range. Kini, tarian lala sering ditampilkan pada saat menjemput tamu-tamu daerah (DISBUDPAR Halmahera Tengah 2009). Sejarah Kepemilikan dan Penamaan Pulau Sayafi dan Liwo Sejarah Kepemilikan. Bermula dari sejarah asal-usul kepemilikan Pulau Sayafi dan Liwo secara sah menurut hukum adat masyarakat Patani. Sebelum pengesahan kepemilikan Pulau Sayafi dan Liwo, awal mulanya telah terjadi sengketa kepemilikan Pulau Sayafi dan Liwo, antara masyarakat Desa Bicoli, Gemia dan masyarakat Tepeleo. Karena telah terjadi sengketa dan klaim kepemilikian pulau, maka lahirlah musyawarah atau rekonsiliasi dengan satu kesepakatan untuk menentukan moment penting yang di namakan “Falipes” dalam bahasa lokal masyarakat Patani yang artinya perebutan. Isi kesepakatan dalam moment “Falipes” yaitu siapa yang duluan tiba dan mengetahui nama tumbuhtumbuhan (SDA) di kedua pulau tersebut dan langsung mengetuk Gong, maka mereka akan berhak memiliki kedua pulau tersebut. Setelah ditetapkan kesepakatan tersebut, ivent perebutan “Falipes” pun dilakukan.
23
Berlangsungnya ivent “Falipes”, untuk menentukan hak kepemilikan pulau, dalam perjalanan menuju Pulau Sayafi dan Liwo, ternyata yang datang lebih awal di kedua pulau tersebut adalah masyarakat dari Desa Bicoli dan langsung menuju ke dusun Botolo dan Biawsowo, menyusul masyarakat dari Desa Gemia, mereka langsung menuju ke dusun Nyinyen Wolot, sementara masyarakat dari Desa Tepeleo yang datang paling terakhir langsung menuju ke dusun Piyasili. Masyarakat dari Desa Bicoli datang lebih awal, karena secara geografis Desa Bicoli memiliki jarak lebih dekat menuju ke pulau Sayafi dan Liwo. Sedangkan masyarakat dari Desa Gemia dan Desa Tepeleo memiliki jarak tempuh sama, namun yang datang kedua setelah Bicoli adalah masyarakat dari Desa Gemia. Setibanya mereka di Pulau Sayafi dan Liwo, nampaknya potensi sumberdaya alam yang melimpah, membuat masyarakat dari Desa Bicoli dan Desa Gemia terjebak dengan potensi alam yang ada di kedua pulau tersebut, sehinnga mereka kemudian mengabaikan kesepakatan dalam ivent “Falipes” dan tetap berada di pesisir pantai Pulau Sayafi dan Liwo. Sementara masyarakat dari Desa Tepeleo yang datang paling terakhir langsung menuju ke hutan Pulau Sayafi dan langsung mengidentifikasi jenis-jenis pohon (SDA). Setelah sesudah mengidentifikasi namanama pohon di hutan, mereka langsung mengetuk Gong, sebagai tanda mereka telah berada di Pulau Sayafi dan Liwo. Berdasarkan kesepakatan tersebut diatas, maka hak asal-usul kepemilikan secara sah menurut hukum adat, Pulau Sayafi dan Liwo menjadi hak milik masyarakat Desa Tepeleo. Penamaan. Secara etimologi kata Sayafi berasal dari dua suku kata yaitu “Sa” dan “Ip”. Kata “Sa” dalam bahasa lokal masyarakat Patani artinya karang dan “Ip” artinya tumpukan sampah yang berserakan dan terbawa oleh arus air laut. Jadi tumpukan-tumpukan sampah yang terbawa oleh arus air laut ke permukaan karang yang lama-kelamaan kemudian terbentuklah pulau-pulau kecil. Sedangkan kata Liwo ditinjau dari aspek penamaan, juga berasal dari bahasa lokal masyarakat Patani yang terdapat dalam dua suku kata yaitu “Li” artinya bunyi dan “Wo” artinya akar. (Bengen et al. 2012) mengatakan bahwa tipe pulau yang dimaksud seperti pada pengertian secara etimologi di atas adalah termasuk dalam tipe pulau karang timbul (Raised Coral Island) pulau yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut, karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut akibat proses geologi. Pada saat dasar laut berada dekat permukaan (kurang dari 40 m), terumbu karang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik tersebut. Setelah berada di atas permukaan air laut, karang akan mati dan menyisakan terumbu. Jika proses ini berlangsung terus, maka akan terbentuk pulau karang timbul. Pada umumnya karang yang timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah dipegunungan. Proses ini dapat terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Penggabungan dua suku kata “Sa” dan “Ip”, menjadi sebutan nama pulau dalam bahasa lokal masyarakat Patani yaitu “Sayif”. Nama “Sayif” bahkan lebih dikenal oleh masyarakat Bicoli dan Buli di Halmahera Timur dan di Papua khususnya suku Has dan Maga Kecamatan Penginabuan. Sedangkan nama Liwo “Li” dan “Wo” lebih ditinjau pada aspek penamaan yaitu “Li” artinya bunyi dan
24
“Wo” artinya akar, sehingga sebutan nama pulau lebih dikenal dengan nama Liwo. Secara nasional nama kedua pulau tersebut adalah “Sayafi dan Liwo”. (Hasil wawancara; Bapak. Basir Hi.Salasa (Aparat Pemerintah Desa Tepeleo Batu Dua), dan Bapak. Julfian Hi.Usman (Toko Masyarakat Peduli Pulau Sayafi dan Liwo). Sarana dan Prasarana Pulau Sayafi dan Liwo merupakan “dapur” bagi masyarakat yang berada di Kecamatan Patani Utara (mainland) daratan Pulau Halmahera, karena memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber kebutuhannya. Sarana dan prasarana yang ada di Pulau Sayafi dan Pulau Liwo masih sangat terbatas. Namun demikian, beberapa sarana telah di bangun di Pulau Sayafi seperti pelabuhan yang terbuat dari kayu, fasilitas WC umum (MCK) dengan kondisi tidak layak pakai, dan pada tahun 2014, melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Halmahera Tengah telah membangun Pos Jaga 02 di Pulau Sayafi. Sarana/ prasarana lain yang menjadi bagian penting dalam pengembangan kawasan Pulau Sayafi dan Liwo sebagai ekowisata bahari belum tersedia seperti air bersih, listrik, komunikasi dan lain-lain (Gambar 11).
By. Khis, 2014
By. Khis, 2014
By. Khis, 2014
By. Khis, 2014
Gambar 11 Sarana dan Prasarana di Pulau Sayafi Sumber: Dok. Pribadi, 2014
25
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Fisik Perairan Parameter fisik lingkungan perairan Pulau Sayafi dan Pulau Liwo yang diamati adalah parameter perairan yang mempengaruhi berkembangnya terumbu karang di perairan seperti suhu, salinitas, kecerahan dan arus. Menurut Suharsono (2008) pertumbuhan, penutupan dan kecepatan tumbuh karang sangat di pengaruhi oleh faktor fisik lingkungan perairan. Faktor utama yang mempengaruhi sebaran vertikal terumbu karang adalah intensitas cahaya, oksigen, suhu dan kecerahan air. Pengukuran parameter fisik perairan di Pulau Sayafi dan Liwo menunjukkan kondisi perairan termasuk dalam kategori baik (Tabel 7). Tabel 7 Parameter Fisik Perairan Parameter Lokasi Pulau Suhu Salinitas Kecerahan Arus Pengamatan (0C) (‰) (%) (m/dt) Mandawalai 28 34.8 87 0.05 Liwo Liwobumdi 28 34.5 89 0.11 Bucili 29 34.9 89 0.43 Sowlolol 27 34.9 86 0.06 Sayafi Kesusah 28 34.9 89 0.24 Piyasili 28 34.7 90 0.07
Kedalaman (m) 8 4 10 4 6 8
Hasil pengukuran suhu perairan selama pengambilan data dilakukan, diperoleh nilai berkisar antara 270C hingga 290C. Nilai parameter suhu perairan secara umum menunjukkan fenomena alami, dimana makin tinggi pergerakan matahari memberikan nilai yang lebih besar. Secara umum (Nybakken 1988) menjelaskan kisaran suhu untuk pertumbuhan terumbu karang yang dapat tumbuh subur dan mendekati ekstrim dan masih dapat di tolerir berada pada suhu antara 230C – 250C dan pada suhu ekstrim yang masih dapat ditolerir berkisar antara 360C – 400C. Selanjutnya Romimohtarto (2009) menjelaskan bahwa bagian terbesar karang pembangun terumbu memerlukan suhu air terendah 20ºC untuk hidup. Hasil penelitian Pemerintah Daerah Halmahera Tengah (Pemda Halteng) dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor (LPPM-IPB) pada tahun 2013, memperlihatkan gambaran sebaran suhu permukaan laut rata-rata tiga bulanan yang mewakili musim yang ada diperairan Halmahera Tengah dan sekitarnya, masih berada pada suhu yang dapat mentolerir pertumbuhan karang (Gambar 12).
26
Gambar 12 Sebaran suhu permukaan laut rata-rata 3 bulanan Sumber: Pemda Halteng dan LPPM-IPB 2013
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai. Hasil pengukuran salinitas di enam lokasi pengamatan berada pada kisaran 34‰. Nilai parameter suhu perairan dari hasil pengukuran, secara umum menujukkan fenomena alami, dimana makin tinggi pergerakan matahari memberikan nilai yang lebih besar. Hewan karang mempunyai toleransi terhadap salinitas sekitar 27-40‰. Perairan estuari atau daerah sekitar kuala dapat mempunyai struktur salinitas yang kompleks, karena selain merupakan pertemuan antara air tawar yang relatif ringan dan air laut yang lebih berat, juga pengadukan air sangat menentukan (Nontji 2009). Suatu perairan dengan dominasi komunitas mangrove umumnya massa air yang masuk ke perairan laut (outflow) memiliki kadar garam yang relatif lebih rendah (rata-rata 32‰) dibandingkan kadar pada perairan dengan substrat berbatu berkisar 32–35‰ (DKP Provinsi Malut 2012). Hal ini juga dipengaruhi karena tidak adanya muara sungai yang mengalir langsung ke perairan laut Pulau Sayafi dan Liwo. Kecerahan perairan di Pulau Sayafi dan Pulau Liwo dari hasil pengukuran berkisar antara 86%–90% dengan kedalaman 9 meter – 10 meter. pengukuran parameter kecerahan perairan dilakukan pada waktu siang hari dengan kondisi cuaca cerah dan tidak berombak. Pengukuran tingkat kecerahan pada kolom air untuk melihat kemampuan suatu perairan dalam meloloskan cahaya matahari. Menurut Romimohtarto (2009) menjelaskan bahwa bagi hewan laut, cahaya mempunyai pengaruh terbesar secara tidak langsung sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang menjadi tumpuan hidup karena menjadi sumber makanan. Nybakken (1998) juga menambahkan bahwa tingkat kecerahan dengan kondisi perairan yang jernih dan cahaya yang cukup, tentu menjadi faktor paling penting untuk proses fotosintesis. Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan dalam densitas air laut atau pasang surut (Nontji 2009). Pola arus yang terjadi di sekitar wilayah perairan Halmahera Tengah menunjukkan pola yang berfluktuasi. Pola fluktuasi tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh
27
pergerakan masa air di laut Samudera Pasifik untuk wilayah sekitar khatulistiwa (DKP Provinsi Maluku Utara 2008). Hasil pengukurun kecepatan arus di Pulau Sayafi dan Pulau Liwo berada pada kisaran 0.05–0.43 m/detik. Faktor arus dapat bersifat positif dan negatif bagi pertumbuhan karang. Bersifat positif apabila membawa nutrien dan bahan organik yang diperlukan oleh karang, sedangkan berdampak negatif apabila menyebabkan sedimentasi dan menutupi permukaan karang. Sedimentasi dapat menyebabkan kematian karang (Nybakken, 1998). Kondisi Fisik Pantai Secara morfologi karakter pantai yang ada di Pulau Sayafi adalah pantai bertebing dan pasir putih. Sedangkan di Pulau Liwo memiliki karakter pantai pasir putih dengan lebar paparan datar pantai yang bervariasi antara 10 m hingga >30 meter dengan kedalaman 2–10 meter. Vegetasi yang dominan di kedua pulau ini adalah kelapa dan cengkeh. Selain itu juga terdapat beberapa pohon pantai antara lain cemara laut. Di sebelah timur kedua pulau tersebut terdapat karang yang cukup panjang yang berfungsi sebagai pengahalang ombak. Di pesisir pulau ini terlihat hamparan pasir putih yang cukup potensial untuk dapat dikembangkan sebagai lokasi ekowisata bahari (DKP Provinsi Maluku Utara 2008). Salah satu kriteria dalam penentuan kawasan untuk jenis kegiatan wisata pantai untuk kesesuaian ekowisata pantai dapat dilihat pada tipe pantai dan penutupan lahan pantai yang dapat mendukung penetapan suatu kawasan sebagai ekowisata pantai. Kondisi Ekologis Terumbu Karang dan Ikan Karang Pulau Sayafi dan Pulau Liwo memiliki ekosistem terumbu karang dengan ikan karang yang cukup melimpah. Komunitas perairan laut yang dangkal menutupi kawasan Pulau Sayafi dan Pulau Liwo sebagai objek ekowisata bahari yang berpotensi untuk dimanfaatkan. - Terumbu Karang Formasi terumbu karang di Pulau Sayafi dan Pulau Liwo tergolong dalam tipe karang tepi (fringing), dengan dataran karang yang bervariasi. Friging reef adalah terumbu karang yang berada dekat dan sejajar dengan garis pantai (Nurjanah et al. 2011). Terumbu karang tepi berada dekat dengan daratan dan berkembang di sekeliling pulau-pulau kecil yang terdapat di daerah yang menerima pukulan ombak, sehingga menopang pertumbuhan karang dengan baik. English et al. (1997), mengklasifikasi pertumbuhan karang kedalam enam kategori yaitu acropora, nonacropora, dead coral, abiotic, soft coral dan other. Untuk kepentingan analisis ekowisata bahari, maka bentuk pertumbuhan karang seperti klasifikasi tersebut diatas, kemudian dikelompokkan menjadi 5 (lima) kategori berdasarkan data yang ditemukan pada lokasi pengamatan, diantaranya hard coral, soft coral, dead coral, abiotic dan other. Kategori karang hidup terdiri dari acropora, non-acropora dan soft coral, karang rusak teridiri dari dead coral, dead coral with algae, untuk abiotic terdiri dari san dan rubble sedangkan kategori other terdiri dari turf algae, bottle brush dan assemblage.
28
Dalam pemanfaatan ekowisata bahari, tutupan karang tidak hanya menilai hard coral, tapi juga soft coral yang dikategorikan sebagai karang hidup. Tujuan pengunjung dalam melakukan penyelaman tidak hanya sebatas untuk menikmati hard coral tetapi soft coral juga menjadi objek dalam wisata diving dan snorkeling. Nontji (2009) menyatakan bahwa dari segi estetika terumbu karang yang masih utuh menampilkan pemandangan yang sangat indah, jarang dapat ditandingi oleh ekosistem lain. Selanjutnya Irwan (2010), menambahkan bahwa soft coral dapat meningkatkan nilai estetika suatu kawasan dalam konteks pengembangan ekowisata bahari (Gambar 13).
Pulau Liwo
Pulau Sayafi
3% 1% Hard coral Soft Coral Abiotic Dead Coral Other
8% 14%
13%
Hard coral Soft Coral Abiotic Dead Coral Other
13%
5% 1% 72%
70%
Gambar 13 Persentase tutupan terumbu karang di Pulau Sayafi dan Pulau Liwo Gambar 13 memperlihatkan komposisi tutupan ekosistem terumbu karang di Pulau Sayafi dan Liwo berada pada kategori bagus dan memuaskan. Namun demikian, pada beberapa titik pengamatan ditemukan karang dalam kondisi kurang baik. Hasil penyelaman pada enam lokasi pengamatan ditemukan karang dalam kondisi rusak (dead coral), seperti di Mandawalai dan Bucili. Persentase data kerusakan dapat dilihat pada (lampiran 5). Kerusakan karang tersebut diindikasikan karena terjadinya aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya patahan-patahan karang dengan jumlah yang cukup besar. Pada tahun 2008 sebuah penelitian yang dilakukan oleh DKP Provinsi Maluku Utara juga menemukan karang dengan kondisi rusak. Namun dalam laporan penelitiannya tidak mencantumkan angka persentase tutupan karang hidup dan karang yang rusak. Selanjutnya DKP Provinsi Maluku Utara (2008), juga mengatakan bahwa hancurnya karang di Pulau Sayafi dan Liwo lebih banyak diakibatkan oleh penggunaan bahan peledak. Penelitian lain yang dilakukan oleh Gladstone et al. (2013) menjelaskan bahwa pembangunan infrastruktur pendukung ekowisata yang dibangun di daerah pesisir, secara tidak langsung dapat memberikan pengaruh lingkungan dan ekosistem perairan laut. Salah satu parameter penting dalam penentuan kelas kesesuaian ekowisata bahari untuk jenis kegiatan wisata diving dan snorkeling, adalah jenis lifeform. Jenis lifeform yang digunakan dalam penentuan kegiatan ekowisata bahari diacu dalam
29
English et al. (1997). Keseluruhan jenis lifeform yang ditemukan di enam lokasi pengamatan berjumlah 16 jenis lifeform. Jenis lifeform terbanyak di temukan di Liwobumdi dan Bucili dengan jumlah lifeform masing-masing sebanyak 14. Lifeform terendah ditemukan di Mandawalai dan Kesusah dengan jumlah lifeform sebanyak 12. Kehadiran jenis lifeform yang sama, sebagian besar ditemukan di semua lokasi pengamatan. Faktor fisik lingkungan perairan seperti suhu, salinitas, kecerahan dan kecepatan arus pada lokasi pengamatan, menjadi parameter penting bagi pertumbuhan karang (Nybakken 1988). Parameter fisik lingkungan perairan pada lokasi pengamatan memiliki nilai perbedaan yang tidak terlalu signifikan. Kehadiran acropora pada enam lokasi pengamatan terdiri dari branching, tabular, digitate dan submassive. Untuk non-acropora memiliki pertumbuhan yang terdiri dari submassive, branching, massive, millepora dan foliose. Sedangkan kehadiran soft coral pada lokasi pengamatan hanya memiliki tutupan yang sedikit, hal ini di pengaruhi oleh keberadaan pulau yang berhadapan langsung dengan samudera Pasifik, sehingga lebih dipengaruhi oleh tekanan arus dan pasang surut air laut. Di sisi lain kondisi topografi terumbu karang yang berbentuk slope pada bagian dasar perairan yang terlindung dari kecepatan arus yang kuat, memberikan peluang pada soft coral sehingga dapat tumbuh dengan baik. Persentase dead coral yang diamati pada enam lokasi pengamatan hanya terdapat di Liwobumdi dan Bucili. Dead coral tertinggi terdapat di Liwobumdi sebesar (25.61%) dan di Bucili sebesar (4.70%). Penutupan abiotic berdasarkan hasil pengamatan yang terdiri dari sand dan rubble, ditemukan persentase tertinggi berada di Mandawalai, sebesar (15.67%) dan yang terendah terdapat di Liwobumdi, (10.47%). Jenis lifeform lain yang terdiri dari turf algae, bottle brush dan assemblage termasuk dalam kategori other. Persentase penutupan tertinggi berada di Bucili, sebesar (15.66%) dan terendah terdapat di Liwobumdi, dengan persentase sebesar (2.39%). Persentase potensi ekosistem terumbu karang untuk pemanfaatan ekowisata bahari merupakan parameter penting kegiatan snorkeling dan diving. Yulianda et al. (2010) menyebutkan bahwa untuk melihat kesesuaian ekowisata bahari dengan jenis kegiatan snorkeling dan diving, maka parameter tutupan komunitas karang hidup (hard coral) dan (soft coral) harus memiliki angka persentase >50-75% yang termasuk dalam kategori sesuai dan persentase >75% sangat sesuai. Hal ini karena salah satu tujuan pengunjung untuk wisata diving dan snorkeling adalah menikmati keindahan terumbu karang dan biota karang. Hasil analisis tutupan karang di Pulau Sayafi memiliki persentase tutupan sebesar 76.9% sedangkan di Pulau Liwo memiliki angka persentase sebesar 71.6%. Dengan demikian, persentase tutupan karang di kedua pulau tersebut termasuk dalam kategori sesuai dan sangat sesuai. - Ikan Karang Ikan karang dan biota pengisi lainnya merupakan jantung dan hatinya terumbu karang. Ikan-ikan karang pada umumnya terdapat pada terumbu karang di pulau-pulau yang memiliki perairan pantai yang jernih, kadar oksigen tinggi, bebas dari sedimen dan polusi serta limpasan air tawar yang berlebihan (Nurjanah et al. 2011). Kehidupan di laut tidak akan berwarna-warni tanpa kehadiran biota-biota
30
Perbandingan Kelimpahan Ikan dan ∑ Jenis ikan
pengisinya yang beranekaragam serta umumnya memiliki warna-warni cerah (Setiawan 2011). Kehadiran biota laut yang hidup di ekosistem terumbu karang, merupakan bagian dari objek pemandangan dalam melakukan wisata diving dan snorkeling. Identifikasi ikan karang di enam lokasi pengamatan ditemukan sekitar 127 jenis ikan karang yang terdiri dari 21 famili (lampiran 6). Jumlah individu terbanyak ditemukan di Sowlolol dengan tingkat kelimpahan tertinggi sebesar 4.25 m2, yang di dominasi oleh famili Pomacentridae. Sedangkan jumlah individu terendah dengan tingkat kepadatan terendah ditemukan di Liwobumdi, yaitu sebanyak 0.48 m2. Nurjanah et al. (2011) mengatakan bahwa kelimpahan ikan tertinggi dari famili Pomacentridae diindikasikan karena pola aktifitas ikan dari famili tersebut cenderung aktif pada siang hari (diurnal), untuk mencari makan dan tinggal di habitat terumbu karang dan memakan plankton yang terdapat di lingkungan (Gambar 14). 70,00 60,00
55
54
50
1,46
4,25
Bucili
Sowlolol
59
58
0,84
1,07
Kesusah
Piyasili
50,00
34
40,00 30,00 20,00 10,00
2,94
0,48
0,00
Mandawalai Liwobumdi Liwo
Sayafi
Pulau/ Lokasi Pengamatan
Kelimpahan Ikan ∑ Jenis Ikan
Gambar 14 Perbandingan kelimpahan ikan dan jumlah jenis ikan Kehadiran spesies ikan karang pada masing-masing stasiun beragam. Keberagaman spesies ikan karang yang ditemukan di setiap lokasi pengamatan, menunjukkan di Kesusah memiliki jumlah spesies terbanyak dengan jumlah 59 spesies dengan total individu 211 ekor/m2 dari 14 famili. Piyasili berjumlah 58 spesies dengan jumlah individu sebanyak 268 ekor/m2 dari 14 famili, Mandawalai berjumlah 55 spesies dengan total individu 734 ekor/m2 dari 13 famili, Bucili berjumlah 54 spesies dengan total individu 364 ekor/m2 dari 15 famili, Sowlolol ditemukan sebanyak 50 spesies ikan dengan total individu 1063/m2 ekor dari 14 famili, dan jumlah spesies terendah ditemukan di Liwobumdi sebanyak 34 spesies, dengan total individu 121 ekor/m2 dari 8 famili. Interaksi ikan karang dengan terumbu karang memiliki hubungan langsung sebagai tempat untuk mencari makan dan tempat asuhan untuk berlindung dari predator yang dianggap akan membahayakan perkembangbiakan ikan-ikan yang masih kecil. Di Liwobumdi memiliki total individu terendah, karena di lokasi ini, sebagian terumbu karangnya dalam kondisi rusak. Nybakken (1998) mengatakan bahwa salah satu penyebab
31
1003
tingginya keragaman spesies ikan di terumbu adalah karena variasi habitat yang terdapat di terumbu. Pengelompokan komunitas ikan karang juga di bagi ke dalam 3 (tiga) kategori jenis yaitu ikan indikator, target dan mayor. Ikan indikator merupakan jenis-jenis ikan karang yang digunakan sebagai indikator kesehatan karang, ikan target adalah jenis-jenis ikan karang yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan sering ditangkap oleh nelayan, dan ikan mayor merupakan ikan dengan jumlah yang sangat banyak, namun belum belum diketahui nilai ekonominya (Nurjanah et al. 2011). Hasil identifikasi memperlihatkan kategori jenis ikan mayor mendominasi semua lokasi pengamatan. Jumlah individu terbanyak terdapat di Sowlolol dengan jumlah 1003 ekor/m2 dari 92 spesies yang termasuk dalam kategori ikan mayor. Kehadiran ikan mayor yang mendominasi semua lokasi, di sebabkan karena sifat umum jenis ikan ini hidup bergerombol dan berada dalam komunitas yang besar. Kategori jenis ikan karang target berada pada posisi kedua terbanyak dengan jumlah individu tertinggi sebanyak 68 ekor/m2 yang terdapat di Mandawalai, dan jumlah terendah ditemukan sebanyak 2 (dua) ekor/m2 yang berada di Liwobumdi. Kategori jenis ikan indikator di temukan hanya dalam jumlah sedikit, akan tetapi kehadirannya hampir di semua lokasi pengamatan. Hanya di Liwobumdi yang tidak ditemukan jenis ikan indikator. English et al. (1997) menjelaskan bahwa kehadiran jenis ikan indikator pada daerah terumbu karang menunjukkan bahwa terumbu karang dalam kondisi subur. Dari hasil pengamatan, di Liwobumdi tidak ditemukan kategori jenis ikan indikator karena pada stasiun tersebut kondisi karang dalam keadaan rusak (dead coral) (Gambar 15).
800
8 20
165
59
9 37
0 2
5
200
1
119
400
1 43
320
600
240
661
1000
68
Jumlah (ekor/m²)
1200
Kesusah
Piyasili
0 Mandawalai Liwobumdi
Bucili
Sowlolol
Liwo
Sayafi INDIKATOR
TARGET
MAYOR
Gambar 15 Kategori Jenis Ikan Karang Romimohtarto dan Juwana (2009) menjelaskan bahwa kehadiran beberapa jenis ikan karang di daerah terumbu karang juga akan dapat terlihat hanya pada malam hari dan tidak terlihat pada siang hari. Selanjutanya Nybakken (1998) juga menambahkan bahwa satu dari penemuan-penemuan yang menarik tentang ikanikan pada terumbu karang adalah perbedaan-perbedaan dalam ikan-ikan antara siang dan malam. Perbedaan tersebut antara lain diurnal; ikan karang yang aktif di siang hari dan tidak terlihat pada malam hari, dan kedua yaitu nokturnal; beberapa spesies ikan karang yang dapat terlihat aktif pada malam hari.
32
Kehadiran beberapa jenis ikan di lokasi pengamatan termasuk di kenal sebagai ikan pemangsa. Spesies-spesies ikan tersebut termasuk dalam famili Balistidae, Chaetodonitidae, Scaridae dan Tetraodonitidae. Ikan predator yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan terlihat hanya dalam jumlah yang sedikit. Pada hasil analisis memperlihatkan kehadiran famili Balistidae berjumlah 26 ekor, famili Chaetodontidae berjumlah 24 ekor, famili Scaridae berjumlah 1 (satu) ekor, dan kehadiran famili Tetraodontidae berjumlah 6 (enam) ekor. Kehadiran ikan predator di setiap lokasi pengamatan memiliki variasi, namun hanya famili Scaridae yang ditemukan di Kesusah. Romimohtarto dan Juwana (2009) mengatakan bahwa semua jenis ikan karang masuk ke dalam jaringan makanan dalam beberapa cara sehingga terdapat keseimbangan yang rumit dari hubunganhubungan mangsa-dimangsa. Proses pemangsaan yang terjadi lebih dipengaruhi oleh ketersedian makanan dan kebutuhan ruang untuk perkembang biakan. Potensi ekosistem terumbu karang dengan keanekaragaman jenis ikan karang pada suatu perairan merupakan satu kesatuan ekosistem yang mempunyai nilai estetika yang tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai obyek ekowisata bahari. Nontji (2009) mengatakan bahwa pentingnya terumbu karang sebagai ekosistem maupun sebagai sumberdaya ekonomi adalah alasan untuk menjaga kelestariannya. Dalam kajian pemanfaatan ekowisata bahari, untuk menentukan kelas kesesuaian kegiatan diving dan snorkeling, maka parameter penutupan karang dan jumlah jenis ikan karang menjadi sangat penting untuk di analisa. Kapasitas Adaptif Ekosistem Terumbu Karang Perhitungan kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang dilakukan dengan menggunakan tujuh parameter yaitu indeks dimensi terumbu karang, tutupan karang (%), dominasi lifeform, jumlah jenis lifeform, jumlah spesies ikan karang, kedalaman terumbu karang (m) dan jarak dari pemukiman (km) (Tabel 8). Tabel 8 Kapasitas ekosistem terumbu karang Pulau
Liwo
Sayafi
Lokasi Pengamatan
Komponen
Mandawalai
0.5
PTTK (%) 81.71
Liwobumdi
0.4
61.53
ACB
14
34
1-4
± 21
0.59
Bucili
0.3
65.60
CM
14
54
1-10
± 20
0.70
Sowlolol
0.3
80.27
ACB
13
50
1-4
± 21
0.59
Kesusah
0.3
80.34
CS
12
59
1-6
± 21
0.69
IDTK
DL
JJL
JJIK
KDTK
JEPP
KPTK
ACB
12
55
1-8
± 20
0.69
0.2 81.39 ACB 13 58 1-8 0.80 Piyasili ± 18 Keterangan: IDTK = Indeks dimensi terumbu karang; PTTK (%) = Persentase tutupan terumbu karang; DL = Dominasi lifeform; JJL = Jumlah jenis lifeform; JJIK = Jumlah jenis ikan karang; KDTK = Kedalaman terumbu karang; JEPP = Jarak ekosistem dengan pemukiman penduduk; KAETK = Kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang; T = Tinggi; S = Sedang.
Persentase nilai kapasitas adaptif berada pada kisaran antara 0.59 – 0.80. Semakin tinggi nilai yang dimiliki parameter tersebut, maka semakin tinggi pula
33
kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kapasitas adaptif terumbu karang di Pulau Sayafi dan Liwo termasuk dalam kategori sedang (0.4
34
kesesuaian yaitu S1 dan S2. Indeks kesesuaian wisata (IKW) diving kategori S1 memiliki persentase berkisar antara 85.19%–94.44%, yang terdapat di Mandawalai, Bucili, Sowlolol, Kesusah dan Piyasili. Sedangkan kategori S2 dengan persentase IKW sebesar 77.78% terdapat di Liwobumdi. Kelemahan yang terdapat di lokasi tersebut karena pada parameter tutupan komunitas karang, jenis ikan karang dan kedalaman terumbu karang memiliki nilai tergolong rendah. Pengukuran parameter kesesuaian ekowisata untuk kegiatan diving memperlihatkan tingkat kecerahan perairan di enam lokasi pengamatan, masih dalam kondisi baik, dengan nilai berkisar antara 86%–90%. Parameter tutupan komunitas karang dengan skor 3 (tiga), terdapat di Mandawalai, Sowlolol, Kesusah dan Piyasili. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai tutupan komunitas karang di Mandawalai memiliki persentase tertinggi yaitu 81.71% dan yang terendah terdapat di Liwobumdi dengan nilai persentase 61.53%. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, terumbu karang di Liwobumdi dan Bucili termasuk dalam kondisi rusak. Persentase kerusakan terumbu karang di lokasi tersebut sebesar 4.70% (Bucili) dan 25.61% (Liwobumdi). Indikasi kerusakan terumbu karang di lokasi ini, diakibatkan karena aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Jenis lifeform yang ditemukan di 6 (enam) lokasi pengamatan berkisar antara 12–14 jenis lifeform. Jenis lifeform tertinggi ditemukan di Liwobumdi dan Bucili, sedangkan jenis lifeform terendah terdapat di Mandawalai dan Kesusah. Jenis ikan karang yang ditemukan pada masing-masing stasiun pengamatan hanya mencapai angka tertinggi sebanyak 59 jenis ikan karang. Kesusah dan Piyasili merupakan stasiun pengamatan yang memiliki angka tertinggi untuk jenis ikan karang, sedangkan Liwobumdi termasuk sebagai stasiun yang memiliki jenis ikan karang paling rendah. Hasil pengukuran di enam lokasi pengamatan menunjukkan kecepatan arus berkisar antara 0.05–0.43 m/detik. Kecepatan arus tertinggi berada di Bucili, dan yang terendah berada di Mandawalai (Gambar 16). Dalam peruntukan kawasan untuk kegiatan diving harus memperhatikan faktor pembatas. Menurut Yulianda (2010) kegiatan diving dapat dilakukan pada kedalaman lebih dari 6 (enam) meter. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa lokasi yang memiliki kedalaman lebih dari 6 (enam) meter terdapat di Mandawalai, Bucili dan Piyasili, dengan kedalaman mulai dari 8–10 meter. Analisis parameter kesesuaian, untuk kegiatan wisata diving dengan kedalaman 8-10 meter, memperlihatkan ketiga lokasi tersebut berada pada kelas S1 dan S2. Kelas kesesuaian dari ketiga lokasi ini memiliki luas daerah terumbu karang yang dapat di manfaatkan sebagai wisata diving sebesar 7.84 ha. Wisata Snorkeling. Kelas kesesuaian untuk jenis kegiatan wisata snorkeling pada enam lokasi pengamatan, memiliki kategori kelas S1 dan S2. Kategori kelas S1 hanya terdapat di Kesusah, sedangkan kelas S2 terdapat di Mandawalai, Liwobumdi, Bucili, Sowlolol dan Piyasili. Analisis kesesuaian dilakukan dengan mempertimbangkan 7 (tujuh) parameter. Parameter yang digunakan dalam menghitung indeks kesesuaian wisata snorkeling adalah kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis lifeform, jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman terumbu karang dan lebar hamparan datar karang. Matriks kesesuaian wisata snorkeling dan wisata diving hampir memiliki kesamaan parameter, hanya pada wisata snorkeling ditambahkan parameter lebar hamparan datar pantai.
35
Meskipun parameter yang digunakan sama, akan tetapi nilai IKW setiap parameter tidak sama. Hal ini di sesuaikan berdasarkan jenis kegiatan yang akan dimanfaatkan (Yulianda et al. 2010). Kesesuaian ekowisata bahari kategori wisata snorkeling menunjukkan nilai indeks kesesuaian wisata (IKW) tertinggi berada di Piyasili dengan IKW 88.89% dan yang terendah berada di Liwobumdi dengan IKW 77.78%. Meskipun hasil analisis menunjukkan kelas kesesuaian pada enam lokasi pengamatan berada dalam kategori S1 dan S2, akan tetapi dalam pemanfaatan ekowisata bahari untuk kegiatan snorkeling hanya dapat di lakukan pada kedalaman tertentu. Dengan mempertimbangkan parameter kedalaman terumbu karang untuk jenis kegiatan snorkeling, dimaksudkan agar aktifitas pengunjung yang melakukan snorkeling tidak menyentuh dan menginjak terumbu karang (Gambar 17). Perhitungan kesesuaian wisata snorkeling di Liwobumdi, Bucili dan Sowlolol menunjukkan indeks kesesuaian kawasan dengan kategori S2, sedangkan kategori S1 terdapat di Mandawalai, Kesusah, dan Piyasili. Kualitas parameter yang terdapat di tiga lokasi tersebut, memiliki skor yang sangat mendukung kesesuaian wisata snorkeling. Parameter pendukung tutupan komunitas karang dengan skor 3 (tiga) terdapat di Mandawalai (81.71%), Sowlolol (80.27%), Kesusah (80.34%), dan Piyasili (81.39%). sedangkan yang memiliki skor 2 (dua) terdapat di Liwobumdi dan Bucili dengan persentase komunitas karang sebesar (61.53%-65.60%). Meskipun di Liwobumdi dan Bucili memiliki tutupan komunitas karang paling rendah, akan tetapi parameter penting lain seperti kecerahan perairan dan jenis lifeform serta parameter lainnya dapat mendukung IKW untuk snorkeling. Parameter lain juga yang dapat mendukung kesesuaian wisata snorkeling di Liwobumdi dan Bucili antara lain jenis ikan karang sebanyak 34 jenis, kecepatan arus 0.28 cm/detik, kedalaman terumbu karang 4 (empat) meter dan lebar hamparan datar karang sebesar 126 meter. Dengan menggunakan analisis spasial (GIS), memperlihatkan luas kawasan wisata snorkeling yang dapat dimanfaatkan memiliki luasan sebesar 16.01 ha. Dari hasil analisis di atas, maka pengelolaan potensi sumberdaya alam Pulau Sayafi dan Liwo memerlukan perencanaan yang matang untuk pemanfaatan ekowisata bahari yang berkelanjutan. Hal ini didukung dengan parameter yang dikaji menunjukkan bahwa potensi ekosistem terumbu karang, ikan karang dan parameter fisik lingkungan perairan di Pulau Sayafi dan Liwo sesuai untuk dimanfaatkan sebagai kawasan ekowisata bahari. Wisata Pantai. Salah satu objek wisata yang sangat diminati oleh pengunjung adalah wisata pantai. Pantai Pulau Sayafi dan Pulau Liwo memiliki tipe pantai pasir putih dengan dataran pantai yang mengelilingi pulau, sehingga kedua pulau tersebut menjadi primadona bagi masyarakat yang ada di sekitar pulau. Sama halnya dengan wisata diving dan snorkeling, wisata pantai juga dapat diukur berdasarkan parameter kesesuaian dengan melihat kedalaman perairan, tipe pantai, lebar pantai, material dasar perairan, kecepatan arus, kemiringan pantai, kecerahan perairan, penutupan lahan pantai, biota berbahaya dan ketersedian air tawar (Yulianda 2007). Berdasarkan parameter kesesuaian tersebut, maka kelas kesesuaian untuk wisata pantai dapat ditentukan. Kesesuaian wisata pantai Pulau Sayafi dan Liwo juga tergolong dalam kategori S1 dan S2. Hasil perhitungan
36
kesesuaian wisata memperlihatkan angka persentase berkisar antara 71.43%85.71%. Tingginya indeks kesesuaian wisata pantai di kedua pulau ini, disebabkan karena memiliki kekuatan nilai bobot yang tinggi. Kekuatan parameter kesesuaian tersebut terbilang sebagai parameter penting antara lain kedalaman perairan, tipe pantai dan kemiringan pantai. (Gambar 18). Pulau Sayafi dan Liwo merupakan pulau yang tergolong memiliki hamparan pantai berpasir. Tekstur pasir yang berwarna putih dengan lebar pantai yang bervariasi memberikan daya tarik tersendiri bagi pengunjung untuk beraktifitas. Salah satu alasan memilih pasir berwarna putih karena dapat menyerap sinar matahari sehingga pengunjung tidak merasa panas. Selain itu pengunjung dapat melakukan aktifitas lain di pantai berpasir seperti olahraga, berkemah dan lain-lain. Djamhur (2014) mengatakan bahwa ekowisata pantai akan memberikan wisatawan berbagai pilihan atraksi wisata, serta akan menambah wawasan wisatawan karena pembelajaran terhadap alam. Parameter tipe pantai yang ideal untuk wisata pantai adalah pasir putih, dengan lebar pantai berukuran >15 meter Yulianda (2010). Hasil pengukuran dilapangan, memperlihatkan lebar pantai Pulau Sayafi dan Liwo berkisar 6.34–11.20 meter. Pasang surut air laut akan mempengaruhi lebar pantai serta memberikan perubahan terhadap kemiringan pantai. Hasil pengamatan memperlihatkan di beberapa titik pantai di sisi selatan Pulau Sayafi terlihat telah terjadi pengikisan pantai oleh air laut yang berpotensi abrasi, hal ini dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan pola pergerakan massa air laut di Samudera Pasifik. Kemiringan pantai Pulau Sayafi dan Liwo berkisar 40 - 100. Dari hasil pengukuran pada enam lokasi pengamatan, menunjukkan bahwa kemiringan pantai masih tergolong ideal untuk kegiatan wisata pantai. Sedangkan kedalaman perairan untuk kegiatan wisata pantai adalah 0-3 meter. Hasil pengukuran di stasiun pengamatan menunjukkan kedalaman berkisar 1.14–1.84 meter. Wisata pantai dengan kedalaman 0-3 meter bertujuan memberikan kenyamanan kepada wisatawan dalam berwisata. Selain parameter-parameter diatas, kesesuaian wisata pantai juga di dukung dengan parameter lain seperti, material dasar perairan, kecepatan arus, kecerahan perairan, penutupan lahan pantai, biota berbahaya dan ketersedian air tawar. Material dasar perairan di Pulau sayafi dan Liwo umumnya adalah karang berpasir. Hal ini karena tipologi substrat perairan di sisi utara dan timur Pulau Sayafi dan Liwo merupakan tipe karang fringing. Sedangkan di Bucili (sisi selatan) dan Piyasili (sisi barat) kedua pulau ini, memiliki tipologi substrat perairan yang terjal, sehingga material dasar perairan di lokasi ini umumnya adalah pasir. Kecepatan arus di lokasi pengamatan tergolong masih memenuhi syarat untuk kesesuaian wisata pantai, meskipun di beberapa lokasi pangamatan terdapat kecepatan arus yang melebihi standar ideal 0-0.17 m/detik. Pengukuran kecepatan arus memperlihatkan di Mandawalai 0.09 m/detik, Liwobumdi 0.21 m/detik, Bucili 0.33 m/detik, Sowlolol 0.05 m/detik, Kesusah 0.18 m/detik dan di Piyasili 0.04 m/detik. Variasi kecepatan arus di pengaruhi oleh keberadaan lokasi pengamatan, seperti di Bucili dan Liwobumdi. Letak kedua lokasi ini berada pada posisi antara Pulau Sayafi dan Liwo, sehingga massa air laut akan dipengaruhi pasang surut. Kecerahan perairan pada lokasi pengamatan menunjukkan 100% kondisi perairan masih sangat jernih. Hal ini karena keberadaan Pulau Sayafi dan Liwo yang jauh
37
dari pemukiman warga, sehingga kurang mendapat tekanan dari wilayah darat Pulau Sayafi dan Liwo. Masyarakat di Kecamatan Patani Utara umumnya memanfaatkan daratan Pulau Sayafi dan Liwo untuk berkebun. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tanaman kelapa yang terdapat di pesisir Pulau Sayafi dan Liwo. Selain pohon kelapa, juga terdapat pohon cemara laut dan pohon nyamplung. Pada bagian lahan perkebunan masyarakat juga tersedia air tanah yang dapat di manfaatkan untuk kebutuhan air minum dan untuk mandi. Jarak air pada lokasi pengamatan tidak terlalu jauh, hanya berkisar 126 – 823 meter. Beberapa kelemahan yang terdapat pada lokasi pengamatan adalah kehadiran biota berbahaya seperti Bulu babi dan ikan Pari. Kehadiran biota berbahaya mengikuti pola penyebaran karang tertentu serta kondisi perairan pantai dengan tipe pantai pasir putih. Meskipun terdapat biota berbahaya, akan tetapi kehadirannya masih tergolong dalam jumlah sedikit. Sebelum merencanakan sebuah kawasan ekowisata, maka perlu untuk mempertimbangkan daerah yang tidak hanya mencakup margin dari zona pengembangan, tetapi juga perimeter yang lebih luas dari bagian lanskap fisik dan budaya yang terkait (Gulinck et al. 2001). Selanjutnnya Pourebrahim et al. (2011) menambahkan bahwa pendekatan perencanaan tata ruang dapat digunakan untuk penilaian kesesuaian penggunaan lahan berdasarkan kriteria masing-masing jenis kegiatan yang akan dikembangkan. Setelah melakukan perhitungan kesesuaian ekowisata bahari per masing-masing kegiatan, hasil analisis akan disajikan dalam bentuk peta tematik dengan menggunakan GIS. Keseluruhan jenis kegiatan diving, snorkeling dan pantai yang telah di analisis dengan menggunakan GIS, kemudian di overlay dan di buat dalam bentuk peta kesesuaian ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo, dengan mengikuti acuan (Hossain and Das 2010) (Gambar 19).
38
Gambar 16 Peta kesesuaian ekowisata diving di Pulau Sayafi dan Liwo
39
Gambar 17 Peta kesesuaian wisata snorkeling di Pulau Sayafi dan Liwo
40
Gambar 18 Peta kesesuaian wisata Pantai di Pulau Sayafi dan Liwo
41
Gambar 19 Peta kesesuaian ekowisata bahari Pulau Sayafi dan Liwo
42
Daya Dukung Ekowisata Bahari UNEP (2001) mengatakan bahwa sebagian besar populasi masyarakat dunia mendiami wilayah pesisir, dan kebanyakan dari populasi tersebut memperoleh manfaat dari penggunaan sumberdaya pesisir dan laut. Aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam untuk pemenuhan sistem sosial dan ekonomi akan berpengaruh pada proses lingkungan dan sistem ekologi. Selanjutnya Blangy dan Mehta (2006), menambahkan bahwa langkah cepat dalam pengembangan pariwisata diseluruh dunia menyebabkan kerusakan tak terhitung untuk beberapa sistem ekologi yang terancam mengalami kepunahan. Oleh karena itu, kaitanya dengan pemanfaatan sumberdaya alam di Pulau Sayafi dan Liwo untuk ekowisata bahari, diperlukan suatu pendekatan kritis untuk meminimalisir jumlah pungunjung. Sebagai pulau-pulau kecil yang rentan terhadap aktifitas eksternal, maka untuk menyeimbangkan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai objek ekowisata bahari, perlu memperhitungkan daya dukung kawasan (DDK) dan daya dukung adaptif (DDA) untuk ekowisata bahari. DDK ekowisata bahari, dilakukan untuk melihat kemampuan suatu kawasan dalam menampung pengunjung. Sedangkan DDA dilakukan untuk menghindari tekanan oleh pengunjung terhadap suatu ekosistem di pulau-pulau kecil. Analisis DDK dan DDA di peruntukan untuk kegiatan ekowisata bahari. Tratalos and Austin (2001), menjelaskan bahwa aktifitas ekowisata diving dan snorkeling memiliki dampak yang cukup berpengaruh terhadap ekosistem karang, apabila jumlah penyelaman telah melebihi kapasitas, namun dilain sisi menurut (Ong and Musa 2012) mengatakan bahwa perilaku penyelam ketika berada di bawah air masih sangat bertanggung jawab. Daya dukung sebagai suatu konsep yang didasarkan pada pendekatan lingkungan dan merupakan bagian penting dalam kajian pengelolaan sumberdaya alam. Daya dukung di defenisikan sebagai kemampuan alam dalam mentolerir aktifitas manusia. Perhitungan daya dukung kawasan ekowisata bahari berdasarkan karakteristik sumberdaya dan peruntukannya. Yulianda et al. (2010) menyatakan bahwa daya dukung diving dan snorkeling di tentukan berdasarkan pada luas terumbu karang yang dapat dimanfaatkan, potensi ekologis pengunjung per satuan unit area yang digunakan untuk beraktifitas dan alam masih mampu untuk mentolerir kehadiran pengunjung dan prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap jenis kegiatan. Perhitungan DDK untuk ekowisata bahari, didasarkan pada hasil analisis kesesuaian lahan tiap jenis kegiatan tertentu yang memiliki nilai kesesuaian berada pada kategori kelas S1 dan S2. Secara keseluruhan kelas kesesuian untuk jenis kegiatan diving, snorkeling dan wisata pantai di Pulau Sayafi dan Liwo termasuk dalam kategori S1 dan S2. Dengan menggunakan perhitungan DDK untuk ekowisata bahari, menunjukkan bahwa jenis kegiatan diving memiliki daya tampung sebanyak 723 orang/ hari dengan luasan sebesar 18.07 ha. Luas kawasan untuk snorkeling sebesar 16.01 ha dengan kemampuan menerima kunjungan sebanyak 639 orang/ hari, sedangkan untuk jenis kegiatan wisata pantai memiliki panjang pantai 1165 meter, dengan daya tampung pengunjung sebanyak 46 orang/ hari (Tabel 9).
43
Tabel 9 Nilai daya dukung kawasan ekowisata bahari Pulau Sayafi dan Liwo No 1 2 3
Jenis Kegiatan Wisata Diving Wisata Snorkeling Wisata Pantai Total
Luas Area 18.07 ha 16.01 ha 1165 m
Daya Dukung Kawasan 723 639 46 1408 Orang/ hari
Tabel 9 diatas memperlihatkan daya dukung kawasan untuk ekowisata bahari dengan jenis kegiatan wisata diving, snorkeling dan wisata pantai yang dapat dimanfaatkan di Pulau Sayafi dan Liwo. Tutupan karang dengan kelas kesesuaian yang termasuk dalam kelas S1 dan S2 untuk masing-masing jenis kegiatan di asumsikan sebagai luas area untuk kegiatan diving dan snorkeling. Kealamian pantai dengan hamparan pasir putih merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan kawasan ekowisata untuk kegiatan wisata pantai. Ekowisata pantai merupakan salah satu wisata yang sangat diminati pengunjung. Hal ini karena pantai dengan pasir putih memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk melakukan aktifitas lain, seperti berjemur, olahraga pantai, camping, menikmati sunrise-sunset. Hasil analisis daya dukung untuk kegiatan wisata pantai memiliki daya tampung sebanyak 46 orang/ hari, dengan panjang pantai 1165 meter. Hasil analisa daya dukung ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo, memperlihatkan jumlah daya tampung orang/ hari mencapai 1408, untuk 3 (tiga) jenis kegiatan. Oleh karena itu, dalam pemanfaatannya harus tetap memperhatikan faktor fisik lingkungan sebagai objek dari perjalanan untuk ekowisata. Analisis daya dukung ditujukan pada pengembangan wisata bahari dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil secara lestari (Yulianda et al. 2010). Selanjutnya Bengen (2012), menyatakan bahwa daya dukung sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya. Secara keseluruhan nilai DDK dan DDA dengan jenis kegiatan diving, snorkeling, dan wisata pantai masing-masing memiliki nilai yang berbeda. Perhitungan DDK dan DDA untuk ekowisata bahari menggunakan pendekatan kawasan dan ekosistem. Pendekatan kawasan untuk melihat kemampuan suatu kawasan pulau-pulau kecil dalam menampung pengunjung, sedangkan pendekatan ekosistem untuk melihat kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang dalam mentolerir pengaruh eksternal. Hal ini dilakukan, karena Pulau Sayafi dan Liwo tergolong dalam pulau-pulau sangat kecil. Secara biogeofisik ciri-ciri pulau kecil yang sangat rentan terhadap aktifitas manusia dan faktor gejala alam, akan dapat merubah kondisi fisik lingkungan. Maka dengan pendekatan tersebut, diharapkan dapat menjaga keberlangsungan ekologi dan keberlanjutan ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo. Setelah melakukan analisa DDK, langkah selanjutnya adalah menghitung DDA ekosistem. Daya dukung adpatif ekosistem terumbu karang dilakukan untuk mengoreksi jumlah kunjungan berdasarkan DDK. Hal bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekosistem pada suatu pulau kecil yang akan di manfaatkan sebagai
44
181
DDK 124
115 39
Bucili
0
62
Liwobumdi
100
37
31
Sowlolol
87
Liwo
DDA
140
18
4
Piyasili
145
Kesusah
200
Mandawalai
Perbandingan DDK dan DDA Ekowisata Snorkeling
ekowisata bahari. Daya dukung adaptif dapat dihitung setelah mendapatkan nilai indeks dimensi terumbu karang (IDTK) dan nilai DDK. Dari hasil tersebut, kemudian digunakan nilainya untuk menentukan DDA bagi suatu peruntukan berdasarkan daya dukung kawasan. Daya dukung adaptif dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kamampuan suatu ekosistem di pulau kecil dapat mentolelir setiap kegiatan yang berlangsung di atas dan sekitarnya sehingga fungsi-fungsi sistem suatu pulau tetap berjalan (Subur 2012). Dengan demikian, pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebagai objek ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo, harus mempertimbangkan kemampuan daya dukung ekosistem di kawasan tersebut. Perbandingan daya dukung kawasan dan daya dukung adaptif berdasarkan tingkat kesesuaian ekowisata bahari untuk wisata diving, snorkeling dan wisata pantai, ditampilkan pada (Gambar 20, 21 dan 22).
Sayafi
Lokasi Pengamatan
Liwo
58
36
28 Kesusah
Bucili
0
59
Sowlolol
69
100
DDK
145
139
7
10
DDA
2
Piyasili
173 144
Liwobumdi
200
Mandawalai
Perbandingan DDK dan DDA Ekowisata Snorkeling
Gambar 20 Perbandingan DDK dan DDA untuk ekowisata Diving
Sayafi
Lokasi Pengamatan
Gambar 21 Perbandingan DDK dan DDA untuk ekowisata Snorkeling
DDK
20 6
12 8
8
6
Liwo
Sowlolol
Kesusah
3
3
Bucili
0
5
Liwobumdi
10
DDA
7 3
2 Piyasili
10
Mandawalai
Perbandingan DDK dan DDA Ekowisata Pantai
45
Sayafi
Lokasi Pengamatan
Gambar 22 Perbandingan DDK dan DDA untuk wisata Pantai Gambar 20, 21 dan 22 menginformasikan tentang distribusi pengunjung berdasarkan daya dukung kawasan dan daya dukung adaptif untuk ekowisata bahari dengan jenis kegiatan wisata diving, snorkeling dan pantai yang dapat dimanfaatkan di Pulau Sayafi dan Liwo. Ketiga gambar tersebut diatas memberikan informasi bahwa, telah terjadi perubahan kapasitas pengunjung antara DDK dan DDA setelah dikoreksi. Hal ini dimaksudkan agar meminimalisir tekanan eksternal dari aktifitas pengunjung dalam memanfaatkan ekosistem terumbu karang dan ekosistem pesisir lainnya sebagai objek untuk berwisata. Pendekatan pengelolaan ekowisata bahari yang berkelanjutan, perlu memperhatikan faktor pembatas untuk masing-masing jenis kegiatan yang akan di manfaatkan. Daya dukung ekowisata bahari juga di harapkan dapat menyeimbangkan tingkat aktiftas pengunjung untuk setiap kegiatan. Strategi Pengelolaan Strategi pengelolaan ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo dengan menggunakan analisis SWOT. Pengelolaan ekowisata bahari dilakukan untuk meminimalisir dampak terhadap ekosistem pesisir dan laut, yang didasarkan pada isu permasalahan, potensi dan peluang. Rangkuti (2013) menjelaskan bahwa tahapan untuk analisis SWOT dimulai dengan identifikasi komponen-komponen strategi (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman). Komponen strategi tersebut kemudian dibedakan dalam dua faktor diantaranya faktor internal dan faktor eksternal. Setelah identifikasi faktor internal dan eksternal dilakukan, selanjutnya perhitungan bobot (nilai), rating dan score terhadap tiap komponen strategi (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) berdasarkan tingkat kepentingan, sebagaimana yang dikembangkan oleh (Pearce and Robinson 1997). Selanjutnya hasil bobot, rating dan score di dapat, kemudian dilakukan tabulasi untuk mendapatkan nilai faktor internal dan nilai eksternal. Hasil perhitungan bobot, rating dan score tiap komponen strategi faktor internal dan faktor eksternal di perlihatkan pada (tabel 10 dan 11).
46
Tabel 10 Analisis strategi faktor internal (IFAS) No S1 S2 S3 S4 S5
W1 W2 W3 W4 W5
Komponen Strategis Bobot Rating Score I. Kekuatan (Strenght) Tutupan terumbu karang masih bagus 0.3 4 1,2 Kelimpahan ikan karang 0.3 4 1,2 Kualitas perairan masih stabil 0.2 4 0,8 0.1 3 0,3 Tipe pantai berpasir putih 0.1 3 0,3 Ketersediaan air tawar Total bobot 1.00 3.8 II. Kelemahan (Weaknes) 0.3 1 0.3 Pertumbuhan terumbu karang sangat lambat Kurangnya kesadaran (SDM) untuk kelestarian 0.2 1 0.2 ekosistem terumbu karang 0.2 2 0.3 Melemahnya aturan adat tentang Sasi Terumbu karang mudah rusak 0.3 1 0.3 Biota berbahaya 0.1 2 0.3 1.00 1.3 Total bobot Nilai score kekuatan - kelemahan IFAS = 3.8 - 1.3 = + 2.5
Keterangan: IFAS = (Internal strategic factors analysis summary)
NO O1 O2 O3 O4
T1 T2 T3 T4 T5
Tabel 11 Analisis strategi faktor eksternal (EFAS) Komponen Strategis Bobot Rating Score III. Peluang (Oportunity) Adanya regulasi yang memberikan rekomendasi untuk 0.3 4 1.0 ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo Adanya struktur komunitas penyusun ekosistem 0.3 3 0.9 terumbu karang 0.3 4 1.2 Upaya penyelamatan terumbu karang secara nasional Pemanfaatan keanekaragaman hayati laut untuk tujuan 0.2 3 0.5 ekowisata bahari cukup tinggi Total bobot 1.00 3.5 IV. Ancaman (Treath) Adanya aktifitas perikanan yang belum ramah 0.3 1 0.3 lingkungan 0.2 1 0.2 Rawan terhadap aktifitas nelayan asing 0.2 2 0.4 Potensi pembukaan lahan untuk aktifitas pertambangan Potensi penggunaan batu karang sebagai material 0.2 1 0.2 bangunan 0.1 2 0.2 Terjadinya perubahan lingkungan Total bobot 1.00 1.3 Nilai score peluang - ancaman EFAS = 3.5 - 1.3 = + 2.2
Keterangan: EFAS = (Eksternal strategic factors analysis summary)
47
Setelah mengetahui hasil perhitungan bobot dan score, langkah selanjutnya adalah menetukan posisi kuadran strategi dengan memiliki prioritas yang tinggi dan diasumsikan sebagai pilihan yang sangat penting untuk dilaksanakan, dengan pendekatan formulasi sumbu X dan Y, dimana sumbu X adalah EFAS (Peluang – Ancaman) dan sumbu Y adalah IFAS (Kekuatan – Kelemahan) yang dinyatakan dalam nilai sesuai hasil skoring (Tabel 17-18), sebagaimana hasilnya diperlihatkan pada (Gambar 23). O
4,0 3,0 2,0 1,0 0,0
W
-2,0
-1,0
S
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
-1,0 -2,0 T
Keterangan: O = Oportunity (Peluang); S = Strenght (Kekuatan); T = Treath (Ancaman); W = Weaknes (Kelemahan).
Gambar 23 Grafik kuadran analisis SWOT Grafik diatas memperlihatkan bahwa posisi kuadran berada antara peluang eksternal dan kekuatan internal. Posisi ini menandakan bahwa pemanfaatan ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo memiliki kekuatan dan berpeluang untuk di kembangkan. Posisi kuadran seperti pada grafik di atas, menurut (Unga 2011) termasuk pada strategi Rapid growth strategy (strategi pertumbuhan cepat). Namun demikian, dalam pemanfaatan ekowisata bahari harus memperhatikan faktor-faktor lain seperti kelemahan internal dan ancaman eksternal untuk meminimalisir dampak yang akan dihadapi. Adapun faktor-faktor tersebut dapat dirumuskan dalam matriks analisis SWOT seperti pada (lampiran 8). Berdasarkan hasil analisis S-W-O-T, dihasilkan 5 (lima) poin strategi untuk pemanfaatan dan pengelolaan ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo. Adapun poin tersebut disusun dalam tabel alternatif untuk mengetahui strategi prioritas yang harus dilakukan dalam pemanfaatan ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo.
48
Tabel 12 Perangkingan alternatif strategi Komponen SWOT Strategi (S-O) S-O1 1 Strategi (W-O) W-O1 2 W-O2 3 Strategi (S-T) No
4
S-T1
Keterkaitan
Nilai
Ranking
S1+S2+S3+S4+S5+O1+O2+O4
6.16
I
W1+W2+W4+W5+O2+O3+O4 W2+W3+W4+O1+O4
3.64 2.20
II IV
S1+S2+T1+T2+T3+T4+T5
3.35
III
W1+W2+W3+W4+T1+T2+T4
1.81
V
Strategi (W-T) 5
W-T1
Keterangan: S = strenght; O = Opportunity; W = Weaknnes; T = Treath
Analisis SWOT dengan pendekatan IFAS dan EFAS seperti pada gambar 16 menunjukkan bahwa grafik kuadran berada pada strategi SO (Strenght – Oportunity) yang memiliki prioritas tinggi. Namun demikian dalam pengelolaan ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo, dilakukan perangkingan alternatif strategi yang menempati rangking 3 (tiga) besar sebagai prioritas utama dalam pemanfaatan ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo. I.
Pemanfaatan potensi sebagai ekowisata bahari dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan (Caryying capacity). Strategi S-O (Strenght – Oportunity).
Pemanfaatan potensi sumberdaya pesisir dan laut sebagai ekowisata bahari, sangat penting untuk memperhatikan kapasitas lingkungan. Pembatasan kapasitas pengunjung juga sangat berperan dalam menjaga ekosistem pesisir. Hal ini dilakukan karena mempertimbangkan ciri-ciri fisik secara umum bahwa pulaupulau kecil sangat rentan terhadap aktivitas eksternal, baik itu pengaruh secara alami maupun karena aktivitas manusia. Baksir et al. (2009), menjelaskan bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil sebagai kawasan ekowisata berkelanjutan diperlukan kondisi ekologis yang baik, sehingga memberikan pengaruh daya dukung kawasan ekowisata, dan pendapatan wisata sebagai aplikasi dari suatu sistem. II. Melakukan upaya konservasi bagi ekosistem terumbu karang untuk pengembangan ekowisata bahari. Strategi S-O (Strenght – Oportunity). Upaya pengelolaan sumberdaya terumbu karang agar dapat memberikan manfaat yang optimal dan lestari, maka perlu dipandang sebagai satu pilihan yang harus diseriusi. Perubahan lingkungan pada wilayah pesisir dan laut, terutama ekosistem terumbu karang, diakibatkan karena aktifitas antropogenik maupun aktifitas alami. Umumnya tigkat kerusakan terumbu karang, lebih banyak ditemukan karena aktifitas antropogenik seperti penggunaan bahan peledak,
49
cyanida dan penambangan karang. Kegiatan-kegiatan seperti ini, tentu memberi dampak negatif pada ekosistem terumbu karang. Lappolo et al. (2012) menyatakan bahwa tekanan manusia dapat menyebabkan kerugian atau penurunan ekosistem pada objek kegiatan, dengan pengurangan keanekaragaman hayati atau hilangnya spesies tertentu, yang merupakan elemen penting dalam pengelolaan ekowisata bahari. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka diperlukan suatu upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan pendekatan konservasi, yang dipadukan dengan kegiatan pemanfaatan yang tidak merusak lingkungan. Pemanfaatan ekosistem terumbu karang harus diarahkan dengan konsep ekowisata bahari yang berkelanjutan. Konsep ekowisata bahari dengan pendekatan konservasi menurut (Yulianda et al. 2010) menyatakan bahwa harus sejalan dengan misi konservasi dengan tujuan menjaga keberlangsungan proses ekologi, melindungi keanekaragaman hayati, menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya, dan memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat. III. Koordinasi antar stakeholder berkepentingan, untuk menetapkan kawasan konservasi berbasis zonasi di pulau-pulau kecil. Strategi S-T (Strenght – Weaknes). Pola penataan ruang yang sesuai terhadap suatu jenis kegiatan, di pastikan tidak memberikan dampak negatif terhadap ekosistem pesisir dan laut yang menjadi objek ekowisata bahari di pulau-pulau kecil. Pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan sistem zonasi dengan tujuan menghindari tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya di suatu kawasan pulau-pulau kecil. Djamhur (2014) menjelaskan bahwa zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. Zonasi menurut Permendikbud (2004), dalam pedoman umum pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil adalah membagi area dalam suatu tapak kedalam beberapa area (zona) yang sesuai tata guna lahan. Jenis jenis zonasi yang umum digunakan dalam pengembangan pariswisata adalah zona intensif, zona ekstensif dan zona perlindungan. 1). Zona intensif , yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk dapat menerima kunjungan dan tingkat kegiatan yang tinggi dengan memberikan ruang yang luas untuk kegiatan dan kenyamanan pengunjung; 2). Zona Ekstensif, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk menerima kunjungan dan tingkat kegiatan terbatas, untuk menjaga kualitas karakter sumber daya alam; 3). Zona Perlindungan, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk tidak menerima kunjungan dan kegiatan pariwisata. Selanjutnya Yulianda et al. (2010) menjelaskan bahwa untuk kegiatan ekowisata bahari dalam pembagian zona, menyebutnya dengan nama zona perlindungan bahari/ zona rimba yang berfungsi untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti.
50
5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil pembahasan dari penilitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Kesesuaian ekowisata bahari untuk wisata diving, snorkeling dan wisata pantai, terdapat dua kategori kesesuaian, diantaranya kelas Sesuai (S2) dan kelas Sangat Sesuai (S1). Wisata diving dengan luasan (18.07) ha, memiliki kelas kesesuaian kategori S1 terdapat di Mandawalai, Bucili, Sowlolol, Kesusah dan Piyasili, sedangkan kelas kesesuaian kategori S2 terdapat di Liwobumdi. Ekowisata snorkeling dengan luasan (16.01) ha, termasuk dalam kategori S1 terdapat di Mandawalai, Kesusah dan Piyasili, sedangkan kategori S2 berada di Liwobumdi, Bucili dan Sowlolol. Sedangakan untuk wisata pantai memiliki panjang pantai (1165) m, dengan kategori S1 terdapat di Mandawalai, Liwobumdi, Bucili dan Sowlolol, dan untuk kategori S2 berada di Kesusah dan Piyasili. 2. Daya dukung kawasan (DDK) Pulau Sayafi dan Liwo sebagai ekowisata bahari dengan jenis kegiatan wisata diving memiliki kapasitas pengunjung sebanyak 723 orang/ hari, dengan daya dukung adaptif (DDA) 259 orang/ hari. Wisata snorkeling memiliki DDA sebanyak 232 orang/ hari dari DDK 639 orang/ hari. Sedangkan wisata pantai memiliki daya dukung kawasan sebanyak 46 orang/ hari dan daya dukung adaptif sebanyak 28 orang/ hari. Jadi secara keseluruhan total daya dukung ekowista bahari di Pulau Sayafi dan Liwo sebanyak 1408 orang/ hari dan daya dukung adaptif sebanyak 519 orang/hari. 3. Strategi pengelolaan ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo dengan menggunakan analisis SWOT, merumuskan strategi prioritas, antara lain: a). Pemanfaatan potensi sebagai ekowisata bahari dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan (Caryying capacity), b). Melakukan upaya konservasi bagi ekosistem terumbu karang untuk pengembangan ekowisata bahari. c). Koordinasi antar stakeholder berkepentingan, untuk menetapkan kawasan konservasi berbasis zonasi di pulau-pulau kecil. Saran Adapun saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut: 1. 2.
Diharapkan jadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Tengah dalam pengelolaan ekowisata bahari. Penataan ruang pesisir dan laut dengan membuat zonasi penggunaan lahan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih pemanfaatan.
51
3. 4.
Melakukan koordinasi dan pelibatan antar stakeholder yang berkepentingan dalam pengelolaan ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo. Baiknya untuk penelitian lanjutan, dalam penentuan titik pengamatan lebih di perbanyak, sehingga informasinya dapat mewakili seluruh objek yang di teliti.
DAFTAR PUSTAKA Baksir A, Yulianda F, Lumbatu TFD, Rahardjo MF. 2009. Model Pengelolaan Ekowisata Bahari Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan di Kecamatan Morotai Selatan dan Morotai Selatan Barat Kabupaten Halmahera Utara Propinsi Maluku Utara. Torani. 19(1) 2019:1-8. Bengen DG, Retraubun SW Alex, Saad S. 2012. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Bogor (ID): Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Blangy S, Mehta H. 2006. Ecotourism and ecological restoration. Nature Conservation. 14 (2006) 233-236. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Halmahera Tengah, 2013. Halmahera Tengah Dalam Angka.Weda (ID): BPS Halteng. Dahuri R. 2009. Strategi Pengembangan Ekowisata Bahari. [internet] [diunduh pada tanggal 3 Sep 2015]; tersedia pada: https:// rokhmindahuri. wordpress.com/ tag/ pariwisata-bahari/ [DISBUDPAR] Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Halmahera Tengah, 2009. Profil Objek dan Daya Tarik Wisata. Weda (ID): Disbudpar. Djamhur M. 2014. Model Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan PulauPulau Kecil Berbasis Zonasi (Kasus di Teluk Weda). [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara, Bekerjasama Dengan CV. Panca Asri Planning Consultant, 2008. Laporan akhir, Penyusunan Rencana Tata Ruang Laut, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2008. Ternate (ID): DKP Malut. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara, 2012. Identifikasi Calon Kawasan Konservasi Perairan Pulau Jiew, Provinsi Maluku Utara Tahun 2012. Ternate (ID): DKP Malut. English S, Wilkinson S and Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institut of Marine Science. London (BG): Townsville. Gladstone W, Curley B, Shorki MR. 2013. Enviromental impacts of tourism in the Gulf and the Red Sea. Marine Pollution Bulletin. 09 (2012)017. 375-388. Gomez ED, Yap HT. 1988. Monitoring Reef Condition in Kenchington, R.A. and B. E. T. Hudson (ed.): Coral Reef Management Hand Book. Jakarta (ID) UNESCO Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Governor KJ. 2013. Private Sector Partnership as an Adaptive Capacity Change Mechanism: a Coastal Fishing Community Meets Tourism in Cambodia. [Thesis]. New Zeland (NZ): Linclon University.
52
Gossling S. 1999. Ecotourism: a Means to Safeguard Biodiversity and Ecosystem Functions. Ecological Economics. 12 (99) -9. 303-320. Gulinck H, Vyverman N, Bouchout KV, Gobin A. 2001. Landscape as framework for integrating local subsistence and ecotourism: a case study in Zimbabwe. Landscape and Urban Planning. 53(2001) 173-182. Hossain SM, Das NG. 2010. GIS-based multi-criteria evaluation to land suitability modelling for giant prawn (Macrobrachium rosenbergii) farming in Companigonj Upazila of Noakhali, Bangladesh. Computers and Electrics in Agriculture. 10 (2009):003. 172–186. Irwan. 2010. Kajian Potensi dan Pengembangan Ekowisata Bahari di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Pasi Kabupaten Selayar. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kuiter HR, Tonozuka T. 2001. Indonesia Reef Fishes. Volume ke- 1. Australia (AU): Zoonetics. Kuiter HR, Tonozuka T. 2001. Indonesia Reef Fishes. Volume ke- 2. Australia (AU): Zoonetics. Kuiter HR, Tonozuka T. 2001. Indonesia Reef Fishes. Volume ke- 3. Australia (AU): Zoonetics. Lappolo G, Saija G, Salomone R. 2012. From Coastal Management to Environmental Management: The Sustainable Eco-Tourism Program for the mid-western Coast of Sardinia (Italy). Land Use Policy. 08. (2012): 010. 4660-471. Lindberg K, Hawkins DE. 1995. Ekoturism: Petunjuk Untuk Perencana dan Pengelola. The Ecoturism Society. North Bennington, Vermont. Penerjemah. Jakarta (ID): Yayasan Alam Mitra Indonesia. Terjemahan dari: The Ecoturism Society. Nontji A. 2009. Laut Nusantara. Jakarta (ID): Djambatan. Nurjanah, Abdullah A, Kustiariyah. 2011. Pengetahuan dan Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan. Bogor (ID): IPB Pr. Nybakken JW. 1998. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Penerjemah. M. Ediman, Koesoebiono, DG. Bengen, M. Hutomo, S. Sukardjo. Jakarta (ID). PT. Gramedia. Terjemahan dari: Marine Biology An Ecological Approach. Odum. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta (ID) Gadjah Mada University Pr. Ong TF, Musa G. 2012. Examining the influences of experience, personality and attitude on SCUBA divers’ underwater behaviour: A structural equation model. Tourism Management. 02 (2012): 007. 1521-1534. Pearce, Robinson. 1997. Manajemen Strategi. Jakarta (ID): Bina Rupa Aksara. [PEMDA HALTENG] Pemerintah Daerah Halmahera Tengah. 2012. Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Tengah Nomor 1 Tahun 2012, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2012-2032. Weda (ID): Pemda Halteng. [PEMDA HALTENG] Pemerintah Daerah Halmahera Tengah. 2013. Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Tengah Nomor 10 Tahun 2013, tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisatan Daerah Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2013-2023. Weda (ID): Pemda Halteng.
53
[PEMDA HALTENG] Pemerintah Daerah Halmahera Tengah. 2013. Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Tengah Nomor 11 Tahun 2013, tentang Tapak Kawasan Wisata Alam. Weda (ID): Pemda Halteng. [PERMENDIKBUD] Peraturan Menteri Kebudayaan Pariwisata. Nomor: KM.67/UM.001/MKP/2004. Tentang pedoman umum pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil. Jakarta (ID): Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Pourebrahim S, Hadipour M, Mokhtar MB. 2011. Integration of spasial suitability analysis for land use planning in coastal areas; case of Kuala Langat District, Selangor, Malaysia. Landscape and Urban Planning. 101(2011) 84-97. Rangkuti F. 2013. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis-Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Romimohtarto K dan Juwana S, 2009. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang Biologi Laut. Jakarta (ID): Djambatan. Ross S, Wall G. 1999. Evaluating ecotourism: The case of North Sulawesi, Indonesia. Tourism Managrment. 5177(99): 40-0. 673-682. Seputar Malut. 2014. Illegal Fishing Marak di Halteng. [edisi]. Sabtu 19 Juli 2014. [http://www.seputarmalut.com/index.php/seputarhalmahera/halmaheratengah/1028-ilegal-fishing-marak-di-halteng]. [Diakses pada tanggal 18 Agustus 2015]. Ternate. Setiawan F. 2011. Panduan Lapangan Identifikasi Ikan Karang dan Invertebrata Laut. Manado (ID): Wildlife Conservation Society. Setyobudiandi I, Sulistiono, Yulianda F, Kusmana C, Hariyadi S, Damar A, Sembiring A, Bahtiar. 2009. Sampling dan Analisis Data Perikanan dan Kelautan, Terapan Metode Pengambilan Contoh di Wilayah Pesisir dan Laut. Bogor (ID): Makaira FPIK IPB Sitomorang DBM, Mirzanti IR. 2012. Social entrepreneurship to develop ecotourism. Procedia Economics and Finance. 4 (2012) 398-405. Subur R. 2012. Daya Dukung Ekowisata Dengan Pendekatan Kapasitas Adaptif Ekologi Di Pulau-Pulau Kecil, Kasus Gugus Pulau Guraici Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sudarto. 1993. Pembuatan Alat Pengukur Arus Secara Sederhana. Oseana. 18 (1): 35 – 44. Sugiyono. 2011. Statistika Untuk Penelitian. Bandung (ID) Alfabeta CV. Suharsono. 2008. Jenis-Jenis Karang di Indonesia. Jakarta (ID): LIPI Pr. [TIES] The International Ecoturism Society. 2015. What is Ecotourism. [internet] [diunduh 31 Aug 2015]; tersedia pada: https:// www. ecotourism. org /what -is-ecotourism. Tratalos JA, Austin TJ. 2001. Impacts of recreational SCUBA diving on coral communities of the Caribben island of Grand Cayman. Biological Conservation. 3207(01): 8. 4-5.
54
Tsaur SH, Lin YC, Lin JH. 2006. Evaluating ecotourism sustainability from the integrated perspective of resource, community and tourism. Tourism Managrment. 02 (2005): 006. 640-653. Unga KO. 2011. Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Kepulauan Banda. [Tesis]. Makassar (ID): Unhas. [UNEP] United Nations Environment Programme. 2001. Protecting the Oceans from Lands-based Activities. Washington (US): GESAMP. Wikipedia. 2015. Ekowisata. [internet]. [diunduh 2015 Sept 3]. Tersedia pada: https://id.wikipedia.org/wiki/Ekowisata. Yulianda F, Fahrudin A, Hutabarat AA, Harteti S, Kusharjani, Kang HS. 2010. Pengelolaan Pesisir dan Laut Secara Terpadu (Integrated Coastal and Marine Management). Bogor (ID): Pusdiklat Kehutanan-Departemen Kehutanan Ri, Secem–Korea International Cooperation Agency. Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Seminar Sains pada Departemen MSP, FPIK IPB. 21 Februari 2007; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Departemen MSP IPB. Zhang H, Lei SL. 2012. A Structural Model of Reaident’s Intention to Participate in Ecotourism: The Case of a Wetland Community. Tourism Managrment. 09 (2011): 012. 916-925.
55
LAMPIRAN
56
Lampiran 1 Jenis data yang dibutuhkan, metode pengumpulan, peralatan yang digunakan dan sumber data dalam penelitian Komponen Data 1 A. Komponen Biofisik a. Tutupan komunitas karang b. Jenis pertumbuhan terumbu karang (life form) c. Jenis ikan karang d. Kedalaman perairan e. Kecepatan arus f. g. h. i. j. k. l. m. B. a.
Kecerahan perairan Tipe pantai Lebar pantai Material dasar perairan Kemiringan pantai Penutupan lahan pantai Kualitas perairan Ketersedian air tawar Sosial, Budaya Sosial - Persepsi masyarakat lokal, wisatawan dan Pemda. b. Budaya - Sistem nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, agama, kerajinan tradisional, dan kesenian. C. Kondisi Umum Lokasi Penelitian a. Kondisi geografis dan administrasi b. Kondisi iklim dan cuaca c. Sarana dan prasarana d. Demografi dan kependudukan e. Rencana strategis Kabupaten HAL-TENG dan laporan-laporan PEMDA D. Peta Pendukung a. Peta RBI, Citra Satelit Landsat 8
Metode Pengumpulan Data
Sumber Data
2
Alat/bahan yang digunakan
3
4
Pengukuran dilapangan, interpretasi citra Pengukuran dilapangan, data sekunder Visual sensus dan data sekunder Pengukuran dilapangan, data sekunder Pengukuran dilapangan, Data sekunder Pengukuran dilapangan Pengamatan dilapangan Pengamatan dilapangan Pengamatan dilapangan Pengukuran dilapangan Pengamatan dilapangan Pengamatan dilapangan Pengamatan dilapangan
Insitu/ Citra Landsat Insitu/ DKP HAL-TENG Insitu/ DKP HAL-TENG Insitu/ DKP HAL-TENG Insitu/ DKP HAL-TENG Insitu Insitu Insitu Insitu Insitu Insitu Insitu Insitu
Fins, Masker, Snorkel, GPS
Wawancara dan data sekunder
Insitu, BPS
Kuesioner
Wawancara dan data sekunder
Insitu, BPS
Kuesioner
Studi literatur/ Laporan
BAPPEDA HAL-TENG BPS Dinas Pariwisata BPS
Daftar isian
Studi literatur
BAPPEDA HAL-TENG
Daftar isian
Survei literatur
Internet
Daftar isian
Studi literatur/ Laporan Studi literatur Studi literatur
Sda Sda Meteran, GPS Bola, tali dan pemberat Sechhi disk Daftar isian Meteran, GPS Daftar isian Meteran, GPS Daftar isian Horiba Meteran, GPS
Daftar isian Daftar isian Daftar isian
57
Lampiran 2 Penilaian bobot (IFE) dan (EFE) IFE A B C …. N Total EFE A B C …. N Total
A
B
C
….
N
A
B
C
….
N
Total …… …… …… …… …… …… Total …… …… …… …… …… ……
Sumber: David (2002)
Lampiran 3 Matriks internal (IFE) dan eksternal (EFE) Faktor Internal Strength (Kekuatan) 1. ……. 2. ……. 3. dst… Total Weaknesses (Kelemahan) 1. ……. 2. ……. 3. dst… Total Faktor Eksternal Opportunity (Peluang) 4. ……. 5. ……. 6. dst… Total Threat (Tantangan) 4. ……. 5. ……. 6. dst.. Total Sumber: Rangkuti (2013)
Bobot ……. ……. ……. …….
Rating ……. ……. ……. …….
Skor ……. ……. ……. …….
……. ……. ……. …….
……. ……. ……. …….
……. ……. ……. …….
Bobot ……. ……. ……. …….
Rating ……. ……. ……. …….
Skor ……. ……. ……. …….
……. ……. ……. …….
……. ……. ……. …….
……. ……. ……. …….
58
Lampiran 4 Matriks SWOT IFE EFE OPPORTUNITY (O) O1 O2 Dst THREATHS (T) T1 T2 Dst
STRENGHTS (S) S1 S2 dst…
WEAKNESS (W) W1 W2 dst…
STRATEGI S-O (Strategi menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang)
STRATEGI W-O (Strategi meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang)
STRATEGI S-T (Strategi menggunakan untuk mengatasi ancaman)
STRATEGI W-T (Strategi meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman)
kekuatan
Sumber: Rangkuti (2013)
Lampiran 5 Persentase penutupan karang hidup per stasiun dan jumlah Lifeform Pulau Liwo
Sayafi
Lokasi Pengamatan Mandawalai Liwobumdi % Tutupan Bucili Sowlolol Kesusah Piyasili % Tutupan
Karang Hidup 81.71 61.53 71.62 65.60 80.27 80.34 81.39 76.90
Dead Coral 0.00 25.61 12.80 4.70 0.00 0.00 0.00 1.18
Other 18.29 12.86 15.57 29.70 19.73 19.66 18.61 21.93
Jumlah Lifeform 12 14
Lampiran 6 Kelimpahan jenis ikan karang di Pulau Sayafi dan Liwo Lokasi Pengamatan NO Famili MND LBI BCL SWL KSH PSL 1 Acanthuridae + + + + + + 2 Apogonidae + + + + + + 3 Balistidae + + + + + + 4 Blenniidae 0 0 + 0 + 0 5 Caesionidae 0 0 0 + 0 0 6 Carangidae + 0 + + + + 7 Chaetodontidae + 0 + + + + 8 Gobiidae 0 0 + + + + 9 Holocentridae + 0 + 0 0 0 10 Hybrids + + + + + + 11 Kyphosidae 0 0 0 + 0 0 12 Labridae + + + + + + 13 Lutjanidae 0 0 + + 0 0 14 Monacanthidae + 0 + 0 + + 15 Pomacanthidae + + + + 0 0 16 Pomacentridae + + + + + +
14 13 12 13
Jumlah 140 26 26 20 63 40 24 6 9 83 8 42 5 9 6 2230
59
Lanjutan lampiran 6.....
17 18 19 20 21
Scaridae Siganidae Terapontidae Tetraodontidae Zanclidae ∑ Individu ∑ Jenis ∑ Famili Kelimpahan Ind/250m2
0 + 0 + 0 734 55 13
0 0 0 + 0 121 34 8
0 0 0 + 0 364 54 15
0 + 0 0 0 1063 50 14
+ + 0 + 0 211 59 14
0 + + + + 268 58 14
2.94
0.48
1.46
4.25
0.84
1.07
1 14 1 6 2
2761
Keterangan: MND = Mandawalai; LBI = Liwobumdi; BCL = Bucili; SWL = Sowlolol; KSH = Kesusah; PSL = Piyasili; (0) = tidak ditemukan; (+) = ditemukan.
Lampiran 7 Hasil analisis kesesuaian ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo a. Wisata Diving Pulau Lokasi Luas (ha) Mandawalai 4.52 Liwo Liwobumdi 3.62 Bucili 2.88 Sowlolol 3.10 Sayafi Kesusah 3.51 Piyasili 0.44
IKW (%) 88.89 % 77.78 % 85.19 % 87.04 % 87.04 % 94.44 %
b. Wisata Snorkeling Pulau Lokasi Luas (ha) Mandawalai 3.61 Liwo Liwobumdi 3.48 Bucili 4.33 Sowlolol 3.63 Sayafi Kesusah 0.70 Piyasili 0.26 c. Wisata Pantai Pulau Lokasi Mandawalai Liwo Liwobumdi Bucili Sowlolol Sayafi Kesusah Piyasili
Panjang (m) 137 140 257 304 150 177
Keterangan: IKW = Indek Kesesuaian Wisata
Kategori S1 S2 S1 S1 S1 S1
Keterangan Sangat Sesuai Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai
IKW (%) 87.04 % 77.78 % 81.48 % 81.48 % 87.04 % 88.89 %
Kategori Keterangan S1 Sangat Sesuai S2 Sesuai S2 Sesuai S2 Sesuai S1 Sangat Sesuai S1 Sangat Sesuai
IKW (%) 85.71 % 82.14 % 76.19 % 79.76 % 71.43 % 73.81 %
Kategori S1 S1 S1 S1 S2 S2
Keterangan Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sesuai Sesuai
60
Lampiran 8 Perhitungan daya dukung kawasan dan daya dukung adaptif ekowisata diving, Snorkeling dan pantai.
Pulau Liwo
Sayafi
Pulau Liwo
Sayafi
Lokasi Mandawalai Liwobumdi Bucili Sowlolol Kesusah Piyasili Jumlah Lokasi Mandawalai Liwobumdi Bucili Sowlolol Kesusah Piyasili
Kategori Diving IDTK 0.5 0.4 0.3 0.3 0.3 0.2
DDK DDA 181 87 145 62 115 39 124 31 140 37 18 4 723 259 Kategori Snorkeling
IDTK 0.5 0.4 0.3 0.3 0.3 0.2
Jumlah Pulau
Lokasi
DDK 144 139 173 145 28 10 639
DDA 69 59 58 36 7 2 232
Kategori Wisata Pantai IDP 0.5 0.5 0.8 0.7 0.6 0.4
DDK DDA Mandawalai 5 3 Liwo Liwobumdi 6 3 Bucili 10 8 Sowlolol 12 8 Sayafi Kesusah 6 3 Piyasili 5 2 Jumlah 46 28 Keterangan: IDTK = Indeks dimensi terumbu kaarang;IDP = Indeks dimensi pantai; DDK = Daya dukung kawasan; DDA = Daya dukung adaptif.
61
Lampiran 9 Kriteria penilaian kapasitas ekosistem terumbu karang di Pulau Sayafi dan Liwo
Parameter Indeks Dimensi Terumbu Karang (IDTK) Tutupan Karang (%) Dominasi Lifeform Jumlah Jenis Lifeform Jumlah Jenis Ikan Karang Kedalaman Terumbu Karang (m) Jarak Dari Pemukiman (km)
Bobot
5 5 5 3 3 1 1
1 Sangat Rendah
2
Skala/ Skor 3
4
5
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
0.0˂IDTK<0.4 0.4˂IDTK<0.8 0.8˂IDTK<1.2 0.2˂IDTK<0.6 1.6˂IDTK<2.0 0 - 20 SC, OT <4 < 10 <1 < 0.5
21 - 40 BC 4–7 10 - < 30 >1-5 > 0.5 - 1
41 - 60 ACT, ACD 7 - 12 30 - 50 >5 - 10 >1-4
Keterangan: CM= coral masive; CS= coral submassive; CE= coral encrusting; SC= soft coral; OT= other; ACT= acropora tabular; ACD= acropora digitate; Indeks Dimensi (0-5); Nilai Maksimum = 115
61 - 80 CE 12 - 15 50 - 80 > 10 - 15 >4-5
81 - 100 CM, CS > 15 > 80 > 15 >5
62
Lampiran 10 Matriks analisis SWOT untuk ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo IFAS
EFAS
O1
O2
O3 O4 O5
T1
T2 T3 T4 T5
O (Peluang) Adanya regulasi yang memberikan rekomendasi untuk ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo Adanya struktur komunitas penyusun ekosistem terumbu karang Upaya penyelamatan terumbu karang secara nasional Pemanfaatan keanekaragaman hayati laut untuk tujuan ekowisata bahari cukup tinggi Membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat T (Ancaman) Adanya aktifitas perikanan yang belum ramah lingkungan
Rawan terhadap aktifitas nelayan asing Potensi pembukaan lahan untuk aktifitas pertambangan Potensi penggunaan batu karang sebagai material bangunan Terjadinya perubahan lingkungan
S1 S2 S3 S4 S5 1.
S (Kekuatan) Tutupan terumbu karang masih bagus Kelimpahan ikan karang Kualitas perairan masih stabil Tipe pantai berpasir putih Ketersediaan air tawar Strategi S-O Pemanfaatan potensi sebagai ekowisata bahari dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan (Caryying capacity).
W1 W2 W3 W4 W5 1.
2.
1.
Strategi S-T Koordinasi antar stakeholder berkepentingan, untuk menetapkan kawasan konservasi berbasis zonasi di pulau-pulau kecil.
1.
W (Kelemahan) Pertumbuhan terumbu karang sangat lambat Kurangnya kesadaran (SDM) untuk kelestarian ekosistem terumbu karang Melemahnya aturan adat tentang Sasi Terumbu karang mudah rusak Biota berbahaya Strategi W-O Melakukan upaya konservasi bagi ekosistem terumbu karang, untuk pemanfaatan ekowisata bahari Peningkatan kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM) terhadap kelestarian lingkungan, dengan penguatan sistem kelembagaan adat.
Strategi W-T Meningkatkan pengawasan terhadap aktifitas perikanan yang illegal di Pulau Sayafi dan Liwo.
63
Lampiran 11 Kuesioner Penelitian Tanggal :
Waktu :
Nomor :
Tabea ..!!! Pertanyaan berikut merupakan salah satu bentuk penelitian yang dilakukakan oleh Kismanto Koroy, Mahasiswa Program Pascasarjana, program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian ini bermaksud menjaring jawaban dari responden sehingga dapat dianalisis untuk menghasilkan suatu strategi pengelolaan ekowisata bahari di pulau Sayafi dan Liwo. Mohon di luangkan waktunya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut. Atas bantuan dan kerja samanya di ucapkan terima kasih. Nama Responden : Instansi : Jabatan : 1. Pemberian nilai peringkat terhadap KEKUATAN pemanfaatan ekowisata bahari: a. Tentukan nilai peringkat atau rating terhadap kekuatan dengan memberi tanda (√), untuk pengelolaan ekowisata bahari, pada pilihan bapak/ibu. b. Nilai rating didasarkan pada keterangan berikut: - Kekuatan yang kecil = Nilai 1 - Kekuatan sedang = Nilai 2 - Kekuatan yang besar = Nilai 3 - Kekuatan yang sangat besar = Nilai 4 Menurut Bapak/Ibu, apakah Pulau Sayafi dan Liwo dapat di manfaatkan sebagai kawasan ekowisata bahari, dengan faktor-faktor kekuatan sebagai berikut: Rating No Kekuatan 1 2 3 4 1 Tutupan terumbu karang masih bagus 2 Kelimpahan ikan karang 3 Kualitas perairan masih stabil 4 Tipe pantai berpasir putih 5 Ketersediaan air tawar 2. Pemberian nilai peringkat terhadap faktor KELEMAHAN untuk pemanfaatan ekowisata bahari: a. Tentukanlah nilai peringkat atau rating terhadap kelemahan pemanfaatan ekowisata bahari dengan memberi tanda (√) pada pilihan bapak/ibu. b. Penentuan nilai rating didasarkan pada keterangan berikut: - Kelemahan yang sangat berarti = Nilai 1 - Kelemahan yang cukup berarti = Nilai 2 - Kelemahan yang kurang berarti = Nilai 3 - Kelemahan yang tidak berarti = Nilai 4
64
Menurut Bapak/Ibu, bagaimana kondisi Pulau Sayafi dan Liwo, untuk pemanfaatan ekowisata bahari dengan faktor-faktor kelemahan yang dimiliki: Rating No Kelemahan 1 2 3 4 1 Pertumbuhan terumbu karang sangat lambat Kurangnya kesadaran (SDM) untuk kelestarian 2 ekosistem terumbu karang 3 Melemahnya aturan adat tentang Sasi 4 Terumbu karang mudah rusak 5 Biota berbahaya 3. Pemberian peringkat terhadap PELUANG pemanfaatan potensi sumberdaya alam Pulau Sayafi dan Liwo sebagai kawasan ekowisata bahari. a. Tentukan nilai rating terhadap peluang pemanfaatan ekowisata bahari dengan memberi tanda (√) pada pilihan bapak/ibu. b. Penentuan nilai rating didasarkan pada keterangan berikut: - Peluang rendah, respon kurang = Nilai 1 - Peluang sedang, respon rata-rata = Nilai 2 - Peluang tinggi, respon diatas rata-rata = Nilai 3 - Peluang sangat tinggi, respon superior = Nilai 4 Menurut Bapak/Ibu, bagaimana potensi sumberdaya Pulau Sayafi da Liwo sebagai ekowisata bahari, dengan merespon faktor-faktor peluang berikut: Rating No Peluang 1 2 3 4 Adanya regulasi yang memberikan rekomendasi 1 untuk ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo Adanya struktur komunitas penyusun ekosistem 2 terumbu karang Upaya penyelamatan terumbu karang secara 3 nasional Pemanfaatan keanekaragaman hayati laut untuk 4 tujuan ekowisata bahari cukup tinggi 4. Pemberian peringkat atau nilai rating terhadap ANCAMAN pemanfaatan potensi sumberdaya sebagai ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo. a. Tentukanlah nilai peringkat atau rating terhadap ancaman dengan memberikan tanda (√) atas dampak terhadap Pulau untuk pemanfaatan ekowisata bahari. b. Penentuan nilai rating di dasarkan pada keterangan berikut: - Ancaman sangat besar = Nilai 1 - Ancaman besar = Nilai 2 - Ancaman sedang = Nilai 3 - Ancaman kecil = Nilai 4
65
Menurut Bapak/Ibu, bagaimana kondisi Pulau Sayafi dan Liwo dalam merespon faktor-faktor ancaman untuk pemanfaatan sebagai ekowisata bahari. Rating No Ancaman 1 2 3 4 Adanya aktifitas perikanan yang belum ramah 1 lingkungan 2 Rawan terhadap aktifitas nelayan asing Potensi pembukaan lahan untuk aktifitas 3 pertambangan Potensi penggunaan batu karang sebagai 4 material bangunan 5 Terjadinya perubahan lingkungan B. KUESIONER PEMBERIAN BOBOT 1. Pembobotan terhadap faktor-faktor strategi internal, petunjuk pengisian: a. Pemberian nilai didasarkan pada perbandingan berpasangan antara dua faktor berdasarkan kepentingan atau pengaruhnya terhadap pengelolaan ekowisata bahari. b. Cara membaca perbandingan dimulai dari variabel pada baris 1 terhadap kolom 1 dan harus konsisten - Jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal : Nilai 1 - Jika indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal : Nilai 2 - Jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal : Nilai 3 Faktor Kekuatan Pengelolaan Ekowisata Bahari OBSEN S1 S2 S3 S4 S5
Komponen Strategis I. Kekuatan (Strenght) Tutupan terumbu karang masih bagus Kelimpahan ikan karang Kualitas perairan masih stabil Tipe pantai berpasir putih Ketersediaan air tawar
S1
OBSEN S2 S3 S4
S5
66
Faktor Kelemahan Pengelolaan Ekowisata Bahari OBSEN W1
II. Kelemahan (Weaknes)
OBSEN W1 W2 W3 W4 W5
Pertumbuhan terumbu karang sangat lambat Kurangnya kesadaran (SDM) untuk kelestarian ekosistem terumbu karang Melemahnya aturan adat tentang Sasi Terumbu karang mudah rusak Biota berbahaya
W2 W3 W4 W5
2. Pembobotan terhadap faktor-faktor strategi eksternal, petunjuk pengisian: a. Pemberian nilai didasarkan pada perbandingan berpasangan antara dua faktor berdasarkan kepentingan atau pengaruhnya terhadap pengelolaan ekowisata bahari. b. Cara membaca perbandingan dimulai dari variabel pada baris 1 terhadap kolom 1 dan harus konsisten - Jika indikator horizontal kurang berpengaruh dari indikator vertikal : Nilai 1 - Jika indikator horizontal sama berpengaruh dengan indikator vertikal : Nilai 2 - Jika indikator horizontal lebih berpengaruh daripada indikator vertikal : Nilai 3 Faktor Peluang Pengelolaan Ekowisata Bahari OBSEN O1 O2 O3 O4
III. Peluang (Oportunity)
O1
O2
OBSEN O3 O4
Adanya regulasi yang memberikan ruang untuk ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo Adanya struktur komunitas penyusun ekosistem terumbu karang Upaya penyelamatan terumbu karang secara nasional Pemanfaatan keanekaragaman hayati laut untuk tujuan ekowisata bahari cukup tinggi Faktor Ancaman Pengelolaan Ekowisata Bahari
OBSEN T1 T2 T3 T4 T5
IV. Ancaman (Treath) Adanya aktifitas perikanan yang belum ramah lingkungan Rawan terhadap aktifitas nelayan asing Potensi pembukaan lahan untuk aktifitas pertambangan Potensi penggunaan batu karang sebagai material bangunan Terjadinya perubahan lingkungan
T1
OBSEN T2 T3 T4
T5
67
RIWAYAT HIDUP KISMANTO KOROY dilahirkan pada tanggal 19 Oktober 1988 di Peniti, Kecamatan Patani Utara Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. Merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Mahatma Koroy (ayah) dan Munira Hi. Bachtiar (ibu). Pendidikan Sekolah Menengah Umum pada SMK Negeri 4 Kota Ternate pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis diterima pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Khairun Ternate, dan telah menulis karya ilmiah dengan judul Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove dan Strategi Pengelolaannya di Desa Sakam Kecamatan Patani Utara Kabupaten Halmahera Tengah. Jenjang Magister di tempuh pada tahun 2012, pada Mayor Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Sekolah Pascasarjana IPB pada Tahun 2013. Penulis telah menyelesaikan karya tulis berupa tesis yang berjudul Kajian Potensi Sumberdaya Pesisir Untuk Pengembangan Ekowisata Berbasis Pulau-Pulau Kecil di Pulau Sayafi dan Liwo Provinsi Maluku Utara, dan jurnal ilmiah yang berjudul Strategi Pengelolaan Ekowisata Bahari Berbasis Daya Dukung di Pulau Sayafi dan Liwo, Kabupaten Halmahera Tengah, dan akan di terbitkan pada Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan (JTPK) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.