PENGELOLAAN PENANGKARAN BUAYA DI CV SURYA RAYA BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR
ARIE SUSANTI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PENGELOLAAN PENANGKARAN BUAYA DI CV SURYA RAYA BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR
ARIE SUSANTI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN ARIE SUSANTI. Pengelolaan Penangkaran Buaya di CV Surya Raya Balikpapan, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh LIN NURIAH GINOGA dan BURHANUDDIN MASY’UD. CV Surya Raya merupakan salah satu penangkaran buaya yang terdapat di Kalimantan Timur. Penangkaran ini tidak hanya menangkarkan jenis buaya yang bernilai komersial yaitu buaya muara (Crocodylus porosus) untuk diambil kulit dan dagingnya, tetapi juga menangkarkan jenis buaya air tawar (Crocodylus siamensis) dan buaya supit (Tomistoma schlegelii) yang secara nasional dan internasional keberadaannya terancam bahaya kepunahan. Informasi dan teknik pengelolaan penangkaran buaya masih terbatas dan belum banyak dikaji, sehingga penelitian perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengelolaan penangkaran buaya di CV Surya Raya, dan menganalisis indikator keberhasilan penangkaran buaya di CV Surya Raya. Penelitian dilaksanakan bulan Juni sampai Oktober 2010. Data yang dikumpulkan berupa aspek pengelolaan penangkaran buaya CV Surya Raya. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara, dan studi literatur. Analisis data menggunakan analisis deskriptif dan kuantitatif untuk menghitung persentase daya tetas telur. Pengelolaan penangkaran buaya di CV Surya Raya terdiri dari lima kegiatan utama yaitu pengelolaan perkandangan, pengelolaan pakan, penyakit dan perawatan kesehatan, pengelolaan reproduksi, serta pengelolaan pemanfaatan hasil. Teknik pengelolaan penangkaran termasuk kategori pengelolaan intensif. Ditinjau dari aspek reproduksi dan sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran, pengelolaan reproduksi untuk buaya muara dan air tawar termasuk dalam kategori berhasil, sedangkan dari aspek reproduksi pada buaya supit belum berhasil. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan penangkaran dari aspek reproduksi meliputi pemilihan bibit, nisbah kelamin tiap kandang breeding, letak dan perlengkapan kandang breeding, serta teknologi penetasan telur. Keberhasilan penangkaran dari aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran dipengaruhi oleh tingkat keterlibatan masyarakat sekitar dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan penangkaran. Kata kunci: Buaya, Pengelolaan, Penangkaran
SUMMARY ARIE SUSANTI. The Management Techniques of Captive Crocodiles in CV Surya Raya Balikpapan, East Kalimantan. Supervised by LIN NURIAH GINOGA and BURHANUDDIN MASY’UD. CV Surya Raya is one of captive crocodiles in East Kalimantan. This captivity is not only breed comercial crocodiles such as estuarine crocodiles (Crocodylus porosus) for their skin and meat, but also breed siamese crocodiles (Crocodylus siamensis) and false gharial (Tomistoma schlegelii). Those two species are endangered extinct national and internationally. The limited information and management techniques of crocodiles so that this research needs to be done. This research aims are to identified management techniques of captive crococodiles in CV Surya Raya and to analysis succesful indicators of captive crococodiles in CV Surya Raya. The research has been held in June to October 2010. The data collected are aspects of management techniques of captive crocodiles in CV Surya Raya. Data were collected through observation, interview, and literature studies. Analysis data are using descriptive and quantitative analysis to the percentage of egg hatchability. The management crocodiles in captivity CV Surya Raya consists of five main activities such as caging management, feeding management, diseases and keeping healthy, reproduction management, and production usage management. Management techniques on captive breeding include in intensive management category. Based on reproduction and socio economics aspects this captive for estuarine crocodiles and siamese crocodiles was success, but for false gharial not too succesful. Factors that are influence reproduction aspect such as selection of seedling, sex ratio in each cage, cage location and breeding equipment, and technology hatching. An aspect social economics of society around captivity is influence by their participation on management activity. Keyword : Crocodile, Management, Captivity
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pengelolaan Penangkaran Buaya di CV Surya Raya Balikpapan, Kalimantan Timur” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2011
Arie Susanti E34061380
Judul Skripsi
: Pengelolaan Penangkaran Buaya di CV Surya Raya Balikpapan, Kalimantan Timur
Nama
: Arie Susanti
NIM
: E34061380
Menyetujui, Pembimbing I,
Pembimbing II,
Ir. Lin Nuriah Ginoga, M.Si NIP. 19651116 199203 2 001
Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS NIP. 19581121 198603 1 003
Mengetahui, Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP. 19580915 198403 1 003
Tanggal Lulus : 27 Januari 2010
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kutai pada tanggal 21 Mei 1988. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Sukardji (Alm) dan Pratiwi. Penulis memulai pendidikan formal tahun 1993 di TK Wahyu Murni. Penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri 025 Tenggarong Seberang tahun 1994-2000. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Tenggarong Seberang tahun 2000-2003 dan SMA Negeri 2 Tenggarong SMA Seberang tahun 2003-2006. Tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Kutai Kartanegara dan masuk ke dalam Mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE) tahun 2007 dengan Minor Perlindungan Hutan. Selama kuliah di Fakultas Kehutanan, penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi, seperti Kelompok Pemerhati Goa (KPG), Kelompok Pemerhati Kupu-kupu (KPK) dan pernah menjadi Bendahara Umum dalam Himpunan Profesi (Himpro) DKSHE yaitu Himpunan Mahasiswa Konservasi (HIMAKOVA) tahun 2009. Tahun 2008 penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap-Baturaden dan tahun 2009 melakukan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW). Penulis pernah mengikuti kegiatan Eksplorasi Fauna, Flora, dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Gunung Simpang, Kabupaten Cianjur-Bandung, Jawa Barat tahun 2008. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) yang merupakan kegiatan Himpro di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) Kalimantan Barat tahun 2008. Penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) tahun 2010 di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Sumatera Selatan. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, tahun 2010 penulis melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Pengelolaan Penangkaran Buaya di CV Surya Raya Balikpapan, Kalimantan Timur” dengan dosen pembimbing Ir. Lin Nuriah Ginoga, M.Si dan Dr. Ir. Burhanuddin Masy'ud, MS.
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengelolaan Penangkaran Buaya di CV Surya Raya Balikpapan, Kalimantan Timur”. Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak menerima bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Ibuku Pratiwi, Bapak Sukardji (alm), Bapak Ismail, kakak (Adi Pranoto dan Asih Sulistyowati), adik (Muhammad Maulana), Pakde Marsudi dan istri, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayang serta dukungan moral dan materi pada penulis hingga skripsi ini selesai.
2.
Pemerintah Daerah Kutai Kartanegara yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Beasiswa Utusan Daerah (BUD).
3.
Ibu Ir. Lin Nuriah Ginoga, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS selaku dosen pembimbing skripsi, atas kesabaran dan keikhlasan dalam memberikan ilmu, bimbingan, dan nasehat kepada penulis.
4.
Bapak Ir. Ahmad Hadjib, MS dari Departemen Manajemen Hutan, Bapak Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS dari Departemen Silvikultur, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, M.Sc dari Departemen Hasil Hutan selaku dosen penguji atas kritik dan sarannya kepada penulis.
5.
Bapak Tarto Suroso Sugiarto, BSc dan Ibu Susan selaku pemilik penangkaran yang telah bersedia memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian, Mbak Rezki dan Mbak Dilla (Staf Administrasi), Pak Bambang, Pak Arsyat, Pak Edi, Pak Yayan, Pak Haris, dan seluruh staf pengelola penangkaran atas bantuan informasinya kepada penulis selama penelitian di Penangkaran Buaya di CV Surya Raya.
6.
Kelurahan Teritip dan Bappeda Kota Balikpapan atas bantuan data-datanya.
7.
Pak Herman selaku laboran di Laboratorium Konservasi Ex-Situ atas bantuan informasinya
8.
Pande Made Wisnu Temaja, S.Hut, Mey, Nina, Feny, Kak Muning, Kak Fina, Kak Muti, Mbak Neneng, dan Mbak Wiwin atas segala bantuan, kasih sayang, dan motivasinya.
9.
Aje, Arilis, Maiser, Andin, Catur Wulandari, Erlin (Cikijing), Fiona, Des, Afroh, tim konsumsi seminar dan sidang (Cha-cha, Reni, Arga, dan Riki) serta teman-teman KSHE angkatan 43 atas bantuan dan kebersamaanya selama ini.
10. Seluruh anggota Forum Beasiswa Utusan Daerah Kutai Kartanegara (FMBUD Kukar) atas bantuan dan kebersamaannya selama ini. 11. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis juga sangat mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dalam penyempurnaan skripsi ini.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul “Pengelolaan Penangkaran Buaya di CV Surya Raya Balikpapan Kalimantan Timur” telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai Oktober 2010. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi perbaikan dan pengembangan pengelolaan penangkaran buaya CV Surya Raya, baik untuk kepentingan ekonomi maupun konservasi serta menambah data dan informasi yang menunjang dalam pengelolaan buaya di penangkaran. Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan dan pengembangan penelitian selanjutnya. Harapan penulis, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Januari 2011
Arie Susanti E34061380
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................
i
DAFTAR ISI .......................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................
2
1.3 Manfaat Penelitian ..........................................................................
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Buaya ..........................................................................
3
2.2 Penangkaran ....................................................................................
7
2.3 Pengelolaan Penangkaran ...............................................................
8
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu ........................................................................... 12 3.2 Alat dan Bahan ................................................................................ 12 3.3 Jenis dan Metode Pengumpulan Data ............................................. 12 3.4 Analisis Data ................................................................................... 16 BAB IV KONDISI UMUM PENANGKARAN 4.1 Sejarah, Tujuan, Manfaat, dan Struktur Organisasi Penangkaran .................................................................................... 18 4.2 Kondisi Fisik ................................................................................... 19 4.3 Kondisi Biotik ................................................................................. 20 4.4 Kondisi Sosial Masyarakat Sekitar Penangkaran ........................... 21 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Perkandangan ............................................................. 24 5.2 Pengelolaan Pakan .......................................................................... 36 5.3 Penyakit dan Perawatan Kesehatan ................................................ 42 5.4 Pengelolaan Reproduksi.................................................................. 46 5.5 Pengelolaan Pemanfaatan Hasil ...................................................... 58
iii
5.6 Restocking ....................................................................................... 69 5.7 Analisis Dampak Penangkaran terhadap Lingkungan Sekitar ........ 70 5.8 Indikator Keberhasilan Pengelolaan Penangkaran.......................... 72 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ..................................................................................... 75 6.2 Saran ............................................................................................... 75 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 76 LAMPIRAN ........................................................................................................ 80
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Jenis dan metode pengumpulan data ............................................................... 12 2. Fungsi dan ukuran kandang show room di penangkaran CV Surya Raya ...... 24 3. Fungsi dan ukuran kandang anakan buaya...................................................... 26 4. Fungsi dan ukuran kandang buaya muda ........................................................ 27 5. Fungsi dan ukuran kandang remaja................................................................. 28 6. Fungsi dan ukuran kandang induk .................................................................. 29 7. Perlengkapan kandang buaya di dalam setiap jenis kandang.......................... 31 8. Perkiraan jumlah pemberian pakan buaya di penangkaran CV Surya Raya ... 38 9. Cara penyajian dan pemberian pakan bedasarkan kelas umur buaya ............. 39 10. Kandungan gizi pakan buaya di penangkaran buaya CV Surya Raya .......... 42 11. Jenis penyakit, gejala, dan pengobatan buaya di CV Surya Raya ................ 42 12. Jumlah telur yang dihasilkan buaya di penangkaran CV Surya Raya .......... 48 13. Produk yang dihasilkan dari bagian tubuh buaya ......................................... 60 14. Komposisi daging alligator ........................................................................... 62 15. Khasiat produk yang berasal dari organ tubuh buaya ................................... 63 16. Jenis produk buaya yang di jual di penangkaran CV Surya Raya ................ 65 17. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan penangkaran ................................ 72
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Buaya muara (Crocodylus porosus). Keterangan: (a) Kepala; (b) Seluruh tubuh .........................................................................................
4
2. Buaya air tawar (Crocodylus siamensis). Keterangan: (a) Kepala; (b) Seluruh tubuh ............................................................................................
5
3. Buaya supit (Tomistoma schlegelii). Keterangan: (a) Kepala; (b) Seluruh tubuh. ...........................................................................................
6
4. Peta Kota Balikpapan ..................................................................................... 22 5. Peta Kelurahan Teritip ................................................................................... 23 6. Kondisi kandang show room.Keterangan: (a) Letak kandang show room mengelilingi pendopo; (b) Bentuk kandang show room .............. 26 7. Kandang anakan buaya berumur 3 minggu (hatchling pen). Keterangan: (a) Tampak luar; (b) Tampak dalam............................................................... 27 8. Kandang buaya muda (juvenile pen). Keterangan: (a) Tampak luar; (b) Tampak dalam .......................................................................................... 28 9. Kandang pembesaran (rearing pen). Keterangan: (a) Tampak luar; (b) Tampak dalam. ......................................................................................... 29 10. Kandang induk buaya muara (Crocodylus porosus). Keterangan: (a) Tampak luar; (b) Tampak dalam ............................................................. 30 11. Sekat bersarang buaya pada kandang breeding ............................................ 32 12. Pengelolaan air dan limbah. Keterangan: (a) Sumber air berasal dari kolam buatan; (b) Parit saluran limbah menuju kolam tanah .................................. 34 13. Grafik suhu kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya ....................... 35 14. Grafik kelembaban kandang di Penangkaran Buaya CV Surya Raya .......... 36 15. Cara penyajian pakan ikan. Keterangan: (a) Ikan untuk pakan anakan buaya umur 2 minggu-3 bulan; (b) Ikan untuk pakan anakan buaya umur 4-6 bulan.............................................................................................................. 41 16. Cacat ekor anakan buaya muara (Crocodylus porosus). ............................... 44 17. Alat kelamin buaya. Keterangan: (a) Alat kelamin jantan; (b) Alat kelamin betina .................................................................................. 47 18. Tahapan penetasan telur di penangkaran buaya CV Surya Raya .................. 50 19. Perkembangan titik embrio telur alligator..................................................... 53 20. Teknik peletakan telur ke dalam keranjang .................................................. 54 21. Teknik penomoran telur buaya...................................................................... 54 22. Peletakan keranjang telur ke rak penetasan .................................................. 55
vi
23. Cara pengulitan kulit buaya .......................................................................... 60 24. Produk yang dihasilkan dari kulit buaya. Keterangan: (a) Dompet; (b) Ikat pinggang........................................................................................................ 61 25. Produk yang dihasilkan dari daging buaya. Keterangan: (a) Dendeng; (b) Sate .......................................................................................................... 62 26. Produk yang dihasilkan dari bagian lain dari buaya. Keterangan: (a) Tangkur; (b) Ramuan empedu ................................................................. 64 27. Kandang satwa lain (monyet ekor panjang, musang, kura-kura, dan ular) yang ditangkarkan di penangkaran buaya CV Surya Raya ........................... 66 28. Gajah sumatera .............................................................................................. 66 29. Rumah Lamin ................................................................................................ 66 30. Foto bersama buaya....................................................................................... 67 31. Warung sate buaya ........................................................................................ 68 32. Minuman tangkur buaya ............................................................................... 68
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Tabel suhu dan kelembaban dalam kandang penangkaran buaya CV Surya Raya pada bulan Juni 2010 ........................................................... 81 2. Tabel produksi telur buaya pada tahun 2008 ................................................. 81 3. Produksi telur buaya pada tahun 2009 ........................................................... 81 4. Tabel kematian buaya anakan ........................................................................ 82 5. Tabel kematian buaya remaja......................................................................... 83 6. Fasilitas pendukung wisata di penangkaran buaya CV Surya Raya ............... 83 7. Sketsa kandang permanen tertutup................................................................. 84 8. Sketsa kandang permanen terbuka ................................................................. 84 9. Struktur organisasi penangkaran buaya CV Surya Raya ............................... 85 10. Rekomendasi struktur organisasi penangkaran buaya CV Surya Raya ........ 86
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buaya merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi sumber ekonomi. Produk yang dihasilkan dari buaya dapat berupa kulit, daging, dan bagian lain seperti empedu, tangkur, lemak, kuku, dan gigi. Kulit buaya dapat digunakan sebagai bahan kerajinan tas, ikat pinggang, dompet, sepatu dan sebagainya. Daging dapat digunakan sebagai sumber protein. Bagian organ lain seperti empedu, tangkur, dan lemaknya banyak digunakan sebagai obat tradisional, sedangkan kuku dan giginya dapat digunakan untuk asesoris. Indonesian Reptile Community (2009) menyebutkan bahwa pada tahun 2002 Indonesia mengekspor sekitar 15.228 potong kulit buaya dengan negara-negara tujuan ekspor diantaranya ke Singapura, Jepang, Korea, dan Italia. Harga kulit buaya berkisar antara US$ 500 sampai US$ 1.000 per ekor tergantung ukuran pada kurs dollar Rp 9.000 (Suara Media 2010). Tingginya potensi ekonomi buaya memacu masyarakat untuk mengeksploitasi buaya di alam. Banyaknya penangkapan dan perburuan buaya menjadi salah satu penyebab menurunnya populasi buaya di alam. Upaya pemerintah Indonesia dalam mengatasi dan mencegah penurunan populasi buaya akibat tingginya pemanfaatan yaitu dengan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian tentang Penetapan Tambahan Jenis-Jenis Binatang Liar yang Dilindungi, dua diantaranya adalah buaya air tawar (Crocodylus siamensis)
dan
buaya
supit
(Tomistoma
schlegelii)
dalam
SK
No.
327/Kpts/Um/5/1978, sedangkan buaya muara (Crocodylus porosus) diatur dalam SK No. 716/Kpts/Um/10/1980. Pemerintah kemudian menetapkan buaya dan jenis satwa lain yang dilindungi dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tercantum juga dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar termasuk buaya. Menurut CITES (2010), secara internasional buaya air tawar dan buaya supit termasuk dalam Appendix I CITES artinya kedua spesies tersebut terancam bahaya kepunahan dan tidak boleh diperdagangkan secara
2
internasional, sedangkan buaya muara termasuk dalam Appendix II CITES berarti secara internasional perdagangan buaya muara hanya dapat dibenarkan jika berasal dari hasil penangkaran. Salah satu bentuk usaha pelestarian dan pemanfaatan buaya adalah dengan kegiatan penangkaran. Fungsi penting penangkaran buaya yaitu untuk menjaga kelestarian populasi buaya di alam dan pemanfaatan secara lestari dengan tujuan ekonomi, antara lain menghasilkan produk bernilai tinggi, sebagai objek rekreasi, sarana pendidikan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan, serta dapat memberikan lapangan pekerjaan. CV Surya Raya merupakan salah satu penangkaran buaya yang terdapat di Kalimantan Timur yang sudah memulai usaha penangkaran sejak tahun 1990. Perusahaan ini tidak hanya menangkarkan jenis buaya yang bernilai komersial yaitu buaya muara (Crocodylus porosus) untuk diambil kulit dan dagingnya, tetapi juga menangkarkan jenis buaya air tawar (Crocodylus siamensis) dan buaya supit
(Tomistoma
schlegelii)
yang
secara
nasional
dan
internasional
keberadaannya terancam bahaya kepunahan. Informasi dan teknik pengelolaan penangkaran buaya secara umum masih terbatas dan belum banyak dikaji, sehingga penelitian perlu dilakukan.
1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi pengelolaan penangkaran buaya di CV Surya Raya. 2. Menganalisis indikator keberhasilan penangkaran buaya di CV Surya Raya.
1.3 Manfaat Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain: 1. Memperoleh informasi mengenai upaya pelestarian dan pemanfaatan buaya. 2. Bahan masukan untuk perbaikan kegiatan pengelolaan penangkaran buaya dalam mendukung upaya pelestarian dan pemanfaatannya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Buaya Buaya merupakan jenis reptil yang menurut evolusinya sudah ada sejak dua juta tahun yang lalu. Jenis buaya yang terdapat di dunia sekitar 24 jenis, dan di Indonesia hanya terdapat 5 jenis yaitu buaya muara (Crocodylus porosus), buaya air tawar irian (Crocodylus novaeguineae), buaya supit (Tomistoma schlegelii), buaya air tawar (Crocodylus siamensis), dan buaya rawa (Crocodylus palustris) (Iskandar 2000). Terdapat tiga jenis buaya yang ditangkarkan di penangkaran buaya CV Surya Raya yaitu: buaya muara (Crocodylus porosus), buaya air tawar (Crocodylus siamensis), dan buaya supit (Tomistoma schlegelii). 2.1.1
Klasifikasi dan taksonomi Grzimek (1975) mengklasifikasikan buaya ke dalam Kelas Reptilian, Ordo
Crocodylia, dan membagi dalam tiga Famili yaitu Crocodylidae, Alligatoridae, dan Gavialidae. Genus crocodylidae meliputi crocodylus, ostelamus, dan tomistoma; genus alligatoridae meliputi alligator, caiman, melanosuchus, dan palaesuchus; sedangkan genus gavialidae hanya terdiri dari gavialis. 2.1.1.1 Buaya muara (Crocodylus porosus) Menurut Grzimek (1975) dari segi taksonomi buaya muara termasuk ke dalam Kingdom Animalia, Filum Vertebrata, Kelas Reptilian, Ordo Crocodilia, Famili Crocodylidae, Genus Crocodylus, dan Spesies Crocodylus porosus Schneider 1801. Nama daerah Crocodylus porosus adalah buaya muara dan buaya bekatak. Bangsa Australia menamakannya saltwater crocodile (buaya air asin). 2.1.1.2 Buaya air tawar (Crocodilus siamensis) Menurut Grzimek (1975) dari segi taksonomi buaya air tawar termasuk dalam Kingdom Animalia, Filum Vertebrata, Kelas Reptilian, Ordo Crocodilia, Famili Crocodylidae, Genus Crocodylus, dan Spesies Crocodylus siamensis Schneider 1801. Nama daerah Crocodylus siamensis adalah buaya siam dan buaya badas hitam.
4
2.1.1.3 Buaya supit (Tomistoma schlegelii) Menurut Grzimek (1975) dari segi taksonomi buaya supit termasuk dalam Kingdom Animalia, Filum Vertebrata, Kelas Reptilian, Ordo Crocodilia, Famili Crocodylidae, Genus Tomistoma, dan Spesies Tomistoma schlegelii S. Muller 1838. Nama daerah Tomistoma schlegelii adalah buaya julung, senyulong, buaya sampit, buaya sumpit (Sandjojo 1982). 2.1.2 Morfologi 2.1.2.1 Buaya muara (Crocodylus porosus) Menurut Sandjojo (1982) buaya muara mempunyai panjang moncong 1,672,25 kali lebar dasar kepalanya dengan gerigi yang kuat pada setiap sisi depan matanya. Terdapat 17-19 gigi atas pada setiap sisinya. Iskandar (2000) menyebutkan sisik belakang kepala 0-4 buah, sisik samping tubuh umumnya tidak membesar, belakang dubur paling banyak ada dua sisik kecil. Sandjojo (1982) dan Ratnani (2007) menyebutkan buaya ini memiliki ekor yang kuat, berjambul, terdapat bercak berwarna hitam membentuk belang yang utuh, terdapat bintikbintik hitam dikepalanya, bercak-bercak hitam di tubuh dan ekornya, dan buaya muara dewasa bisa mencapai panjang 6 hingga 10 m (Gambar 1). (a)
(b)
Sumber: (a) http://www.flmnh.ufl.edu/cnhc/cst_cpor_am_head.htm; (b) dokumentasi pribadi.
Gambar 1
Buaya muara (Crocodylus porosus). Keterangan: (a) Kepala; (b) Seluruh tubuh.
2.1.2.2 Buaya air tawar (Crocodylus siamensis) Menurut Iskandar (2000) buaya air tawar dapat dengan mudah dibedakan dengan buaya muara dari sisik belakang matanya yang berjumlah 3-4 buah. Panjang moncong sekitar satu setengah sampai satu tiga perempat kali lebar dasar kepalanya. Giginya berjumlah sekitar 18 buah, yang keempat, kedelapan dan
5
kesembilan umumnya jauh lebih besar; empat gigi pertama terpisah dari gigi di sebelah belakangnya. Sisik punggung berjumlah 16-17 baris dari depan ke belakang. Jumlah sisik perut 29-33 baris dari depan ke belakang. Warna tubuhnya biasanya hijau tua kecoklatan, anaknya berwarna lebih muda dengan bercakbercak pada punggung dan ekornya. Buaya air tawar yang berukuran kecil hanya dapat mencapai ukuran sekitar 4 m (Gambar 2). (a)
(b)
Sumber: (a) http://www.flmnh.ufl.edu/cnhc/cst_csia_am_head.htm; (b) dokumentasi pribadi.
Gambar 2 Buaya air tawar (Crocodylus siamensis). Keterangan: (a) Kepala; (b) Seluruh tubuh. 2.1.2.3 Buaya supit (Tomistoma schlegelii) Menurut Iskandar (2000) buaya supit dapat dengan mudah dibedakan dengan semua jenis buaya lainnya dari moncongnya yang sangat sempit. Genus Tomistoma dicirikan oleh moncong yang panjang dan ramping dengan susunan gigi atas 20-22 gigi dan gigi bawah 17-19 gigi pada setiap sisinya. Gigi ke lima biasanya berukuran paling besar. Sisik belakang kepala hanya dua pasang berukuran kecil dan terletak berurutan, tidak bersebelahan, sedangkan sisik tengkuk berjumlah empat buah dan bersatu dengan sisik punggung. Matanya mempunyai iris yang tegak. Tubuhnya berwarna hijau tua kehitaman. Ekornya belang-belang yang tidak membentuk cincin. Jenis ini mencapai dewasa setelah berusia sekitar 5-6 tahun dan sudah berukuran sekitar 3 m (Gambar 3).
6
(a)
(b)
Sumber: (a) http://www.flmnh.ufl.edu/cnhc/cst_tsch_am_head.htm; (b) dokumentasi pribadi.
Gambar 3 Buaya supit (Tomistoma schlegelii). Keterangan: (a) Kepala; (b) Seluruh tubuh. 2.1.3 Habitat Menurut Fakultas Kehutanan IPB (1990) secara umum pergerakan buaya meliputi daerah berawa (rawa payau dan rawa air tawar) terutama daerah rawa yang terdapat tumbuhan penutup (nipah, pandan, rumput dan perdu) sebagai tempat berlindung, aliran sungai yang berarus tenang, danau-danau yang di sekitarnya banyak ditumbuhi vegetasi, dan daerah pertemuan antara sungai dan laut (muara). Majid (2009) menyebutkan bahwa buaya merupakan satwa yang hidupnya sebagian besar di air. Jika siang hari buaya berjemur di tepian sungai dan di tempat terbuka. 2.1.4 Penyebaran Menurut Britton (2003), buaya muara tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia terutama aliran-aliran sungai hingga di muara sungai yang mendekati lautan seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Irian Jaya. Buaya muara juga terdapat di Australia Utara, Banglades, Brunei, Myanmar, Kamboja, Cina, India, Kepulauan Solomon, Kepulauan Fiji, Malaysia, Pulau Caroline, Papua New Guinea, Philipina, Singapura, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam. Buaya air tawar tersebar di Kamboja, Indonesia (meliputi Borneo dan Jawa), Laos, Malaysia, dan Thailand. Buaya supit tersebar di Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi), Malaysia, Thailand (south). 2.1.5
Populasi Berdasarkan Portal Informasi Kota Samarinda Box (2009), hasil survei
terbaru tim gabungan International Union for Conservation of Nature and Natural
7
Resources Crocodile Specialist Group (IUCN CSG) bersama Proyek konservasi Berbak Sembilang Wetlands International pada Agustus 2002, populasi buaya supit di sepanjang lebih dari 50 km sungai Merang hanya tiga ekor berukuran kecil, padahal tahun 2001 masih ditemukan 15 ekor buaya supit. IUCN Red List of Threatened Species version 2010, populasi buaya supit di alam diperkirakan di bawah 2.500 individu dewasa. Menurut Ross et al. (1998) dalam Kurniati et al. (2005), di Indonesia buaya air tawar hanya ditemukan di habitat alam yaitu di pedalaman Sungai Mahakam. Hasil survei Ross et al. (1998) dan Cox (2004) dalam Kurniati et al. (2005) pada tahun 1995 dan 1996 diketahui bahwa populasi buaya air tawar sangat terpisah dan diperkirakan bahwa populasi pada waktu itu hanya terdiri dari beberapa ratus individu. Siamese Crocodile Working Group (2004) dalam Kurniati et al. (2005) menyebutkan populasi buaya air tawar saat ini tidak diketahui, tetapi menurut Simpson dan Han (2004) dalam Kurniati et al. (2005) diperkirakan populasinya sangat kecil atau punah. 2.2 Penangkaran Menurut Thohari (1987a) penangkaran merupakan suatu kegiatan untuk mengembangbiakkan jenis satwaliar dan tumbuhan alam yang bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan mempertahankan kemurnian jenisnya, sehingga kelestarian dan keberadaannya di alam dapat dipertahankan. Menurut PP No. 8 Tahun 1999, penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwaliar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. PP No. 8 Tahun 1999 juga menyebutkan penangkaran untuk tujuan pemanfaatan jenis dilakukan melalui kegiatan: (a) pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam lingkungan yang terkontrol; (b) penetasan telur dan atau pembesaran anakan yang diambil dari alam. Menurut PP No. 8 Tahun 1999, standar kualifikasi penangkaran bagi para penangkar yang ingin menjual hasil penangkarannya didasarkan pertimbangan: (a) batas jumlah populasi jenis tumbuhan dan satwa hasil penangkaran; (b) profesionalisme kegiatan penangkaran; (c) tingkat kelangkaan jenis tumbuhan dan satwa yang ditangkarkan. Hasil penangkaran satwaliar yang dilindungi yang
8
digunakan untuk perdagangan adalah satwaliar generasi kedua dan generasi berikutnya. 2.3 Pengelolaan Penangkaran Menurut Dinas Satwa Papua New Guinea (1978) dalam Suwandi (1991), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam usaha penangkaran buaya antara lain: adanya kandang yang terbuka dan luas, tersedianya air bersih yang cukup banyak dan sebaiknya mengalir, tersedianya makanan yang cukup secara kontinyu, dan tersedianya tenaga pengelola yang mengurus buaya tersebut. Menurut Hardjanto dan Masyud (1991) asumsi-asumsi yang perlu diperhatikan dalam penangkaran buaya yakni: 1. Sex ratio jantan dan betina yang ditangkar untuk dijadikan sebagai bibit atau induk adalah 1:4. 2. Jumlah buaya yang dapat bertelur adalah 75 % dari jumlah induk yang ditangkar. 3. Umur mulai bertelur masing-masing untuk buaya muara dan buaya air tawar adalah setelah mencapai panjang tubuh 2,2-3 m dan 1,4-2,4 m yaitu setelah 5-6 tahun ditangkar. 4. Jumlah rata-rata telur yang dihasilkan setiap tahun (musim) diperkirakan sebanyak 30 butir per induk dengan daya tetas sekitar 75-80 % atau diperkirakan seekor induk dapat menghasilkan 25 ekor anak buaya. 5. Tingkat mortalitas telur tetas yang dapat hidup sampai ukuran potong atau dewasa diperkirakan 20 %. 6. Restocking 10 % dari jumlah buaya siap potong. 7. Ukuran potong ekonomis (yang boleh diperdagangkan) adalah setelah mencapai panjang 1,5 m atau lebar perut 30-40 cm (sekitar 10”-18” CBW/ Comercial Belly Width), dapat dicapai paling lama 3-4 tahun masa pembesaran dengan rata-rata pertumbuhan panjang tubuh 40 cm per tahun. 8. Ukuran kulit yang dihasilkan untuk setiap lembar kulit diperkirakan rata-rata 15 inci. Perkiraan tersebut didasarkan pada pertumbuhan optimal yang dapat dicapai paling lama 4 tahun pemeliharaan (pembesaran).
9
2.3.1
Perkandangan Menurut Fakultas Kehutanan IPB (1990) perkandangan adalah segala
sesuatu yang berkaitan dengan kandang dan pengelolaannya, meliputi: macam, bentuk dan ukuran kandang, sistem pengandangan, pemeliharaan dan pengelolaan kandang. Kantor Wilayah Dinas Kehutanan Irian Jaya dan Fakultas Kehutanan IPB (1986) dalam Suwandi (1991) menyebutkan bahwa penangkaran buaya yang baik harus membuat kandang dengan syarat-syarat: tempat yang relatif luas, keadaan air yang bersih dan mengalir tenang, adanya tempat berjemur, adanya tumbuhan naungan tempat berteduh, dan tersedianya makanan yang cukup. 2.3.2
Pakan Menurut Thohari (1987a), faktor makanan memegang peranan kunci dalam
suatu usaha penangkaran satwa. Seperti halnya pada usaha peternakan intensif, biaya untuk makanan hampir mencapai 75 % dari total biaya produksi. Tingginya biaya pakan dapat dipakai sebagai suatu gambaran bagi usaha penangkaran satwaliar. Menurut Ratnani (2007) buaya muara memangsa berbagai macam daging, ikan hingga mamalia besar. Taylor (1979) menyebutkan bahwa kebutuhan makanan buaya berbeda-beda tergantung beberapa faktor seperti spesies, jenis kelamin, umur, aktifitas dan keadaan lingkungan. Menurut Hardjanto dan Masyud (1991) beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyediaan makanan buaya, yakni: 1. Jenis-jenis makanan yang biasa dimakan buaya, disesuaikan dengan umurnya. 2. Jumlah makanan yang diperlukan buaya untuk mencapai pertumbuhan atau produksi maksimal. 3. Cara penyediaan ransum buaya sesuai umur, aktifitas buaya, dan tujuan pemeliharaan (misalnya untuk pembesaran, pembibitan, dll). 2.3.3 Reproduksi Menurut Thohari (1987a), dalam usaha penangkaran dikatakan berhasil apabila
teknologi
reproduksi
jenis
satwa
tersebut
telah
dikuasai.
Pengembangbiakkan dapat melalui perkawinan antara satwa jantan dengan betina secara alami, inseminasi buatan, pemindahan embrio (embrio trasfer) ataupun dengan pembuahan secara invitro.
10
Buaya memperbanyak keturunannya dengan cara bertelur. Kopulasi dilakukan di dalam air yang didahului dengan perkelahian antara buaya jantan dengan buaya betina dan hanya berlangsung beberapa menit pada siang hari (Dinas Kehutanan 1986 dalam Ratnani 2007). Tanda-tanda masa birahi dan terjadinya perkawinan buaya jantan selalu membenturkan kepala ke tubuh buaya betina. Buaya betina tidak melakukan reaksi melawan terhadap benturan buaya jantan. Perkawinan terjadi di dalam kolam dan sulit dideteksi, pada umumnya terjadi antara bulan Februari hingga Oktober (Tim PT Yasanda 1992 dalam Ratnani 2007). Buaya muara di penangkaran sering kali membuat sarang untuk menempatkan sejumlah telur. Sarang-sarang dibuat pada tanah yang agak tinggi dan kering. Di sekeliling sarang tersebut terdapat pelepah pisang, glagah dan ranting-ranting, semak-semak dan dedaunan kering. Semua material yang sudah kering dibuat sarang yang berbentuk gundukan menyerupai kurungan ayam. Di sekeliling sarang biasanya terdapat tanah kering yang agak bersih dengan sebuah lingkaran berjari-jari berkisar 2-3 m (Ratnani 2007). Grzimek (1975) mengemukakan bahwa buaya muara jantan dewasa mencapai dewasa kelamin pada ukuran panjang tubuh 2,9-3,3 m dengan berat badan 80-160 kg, sedangkan betina mencapai dewasa pada ukuran panjang minimum 2,4-2,8 m, mencapai dewasa diperkirakan 8-12 tahun. Menurut Iskandar (2000) buaya air tawar meletakkan telurnya dalam sarang pada awal musim hujan, berukuran 75-80 x 50 mm. Anakan yang baru menetas berukuran sekitar 250 mm. Buaya muara betina bertelur pada awal musim hujan. Sekali bertelur dihasilkan rata-rata 22 butir telur dengan berat rata-rata 104 gram, anakan yang menetas berukuran 310-370 mm, berwarna abu-abu kecoklatan. Pada buaya supit sekali bertelur dihasilkan 20-60 butir telur dan diletakkan dalam tanah sedalam sekitar 0,6 m dan ditimbuni dengan sampah tumbuhan setinggi sekitar 0,5 m, sekitar 200400 dari tepi sungai. Ukuran telur adalah 95-110 x 55-67 mm, dengan berat 221300 gram, hampir dua kali lipat lebih besar dari jenis buaya lainnya. Lama pengeraman telur adalah 72 sampai 90 hari pada suhu 28-33 °C.
11
2.3.4 Perawatan kesehatan dan penyakit Pengendalian penyakit dalam usaha penangkaran turut menentukan tingkat keberhasilan, baik dengan usaha pencegahan ataupun pengobatan. Dalam hal kesehatan, satwaliar yang dipelihara secara intensif oleh manusia akan berkurang kemampuannya dalam melawan bibit penyakit. Hal tersebut dikarenakan kemampuan tubuh menghasilkan antibodi berbeda dibandingkan apabila binatang tersebut hidup liar atau bebas di alam. Selain itu peranan predator telah hilang dalam memutuskan rantai penularan penyakit dari individu yang sakit ke individu lain yang masih sehat (Thohari 1987a). Menurut Permatasari (2002), ordo Crocodilia paling sering mengalami penyakit infeksi, dikarenakan sanitasi yang kurang baik dan sering terjadi lukaluka akibat perkelahian yang berpotensi menimbulkan infeksi pada luka. Penyebab penyakit infeksi diantaranya bakteri, virus, parasit, dan jamur. Permatasari (2002) juga menambahkan, selain diakibatkan oleh penyakit infeksi, beberapa hal yang menyebabkan buaya menderita suatu kelainan adalah cacat, buta, atau luka-luka. 2.3.5
Pemanfaatan buaya Manfaat ekonomis yang diperoleh dari buaya antara lain yaitu kulit, daging,
dan bagian-bagian lain dari buaya. Kerajinan kulit buaya cukup beragam, mulai dari tas, dompet, sepatu, ikat pinggang hingga asesoris rumah. Umumnya kerajinan dari kulit buaya bernilai tinggi dan mahal, karena dalam prosesnya membutuhkan waktu yang lama. Selain kulit, bagian buaya yang bernilai ekonomis adalah daging. Menurut Permatasari (2002), di beberapa negara masih ada masyarakat yang mengkonsumsi daging buaya sebagai makanan yang eksotik dan sebagai suguhan terhadap turis-turis. Bagian penis dan kelenjar asesoris maupun ginjal juga masih dimanfaatkan masyarakat tertentu di Negara Cina sebagai obat tradisional.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di penangkaran buaya CV Surya Raya Balikpapan yang terletak di Jl. Mulawarman RT 29, Kelurahan Teritip Km 28, Kecamatan Balikpapan Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni sampai Oktober 2010. 3.2 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian meliputi termometer dry-wet, meteran, kertas lakmus (kertas pH), kamera digital, dan panduan wawancara. Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian adalah: buaya muara (Crocodylus porosus), buaya air tawar (Crocodylus siamensis) dan buaya supit (Tomistoma schlegelii). 3.3 Jenis dan Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber asli (pertama). Data sekunder adalah data yang sudah tersedia sehingga tinggal mencari dan mengumpulkan, digunakan sebagai pendukung data primer. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan studi literatur. Jenis dan metode pengumpulan data tersaji pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data Jenis Data No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Data yang diambil Pengelolaan perkandangan Pengelolaan pakan Penyakit dan perawatan kesehatan Pengelolaan reproduksi Pemanfaatan hasil pH sumber air Sarana penunjang penangkaran Satwa lain yang ditangkarkan
Primer √
Sekunder
Metode Pengumpulan Data Studi Observasi Wawancara literatur √ √ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√
√
√
√
√ √ √
√ √ √
√ √
√ √
√
√
13
Tabel 1 (Lanjutan) Jenis Data No
Data yang diambil
9.
Vegetasi yang terdapat di penangkaran Sejarah penangkaran Tujuan didirikan penangkaran Manfaat didirikan penangkaran Kondisi umum penangkaran Struktur organisasi dan peta penangkaran
10. 11. 12. 13. 14.
Primer
Sekunder
√
Metode Pengumpulan Data Studi Observasi Wawancara literatur √
√
√
√
√
√
√ √
√
√
√
Uraian jenis data primer yang dikumpulkan berdasarkan Tabel 1 sebagai berikut: 1. Pengelolaan perkandangan meliputi: (i) jenis kandang terdiri dari kandang show room, kandang anakan buaya (hatchling pen), kandang buaya muda (juvenil pen), kandang remaja atau pembesaran (rearing pen), dan kandang pembiakan (breeding pen); (ii) jumlah dan ukuran kandang; (iii) konstruksi kandang; (iv) perlengkapan kandang; (v) suhu dan kelembaban kandang; (vi) pengelolaan dan perawatan kandang; (vii) pengelolaan air dan pembuangan limbah. 2. Pengelolaan pakan meliputi: jenis pakan, sumber pakan, jumlah pemberian pakan, waktu pemberian pakan, frekuensi pemberian pakan, dan cara pemberian pakan. 3. Pengelolaan penyakit dan perawatan kesehatan meliputi: jenis penyakit yang pernah, sering, dan sedang diderita buaya. 4. Pengelolaan reproduksi meliputi: penentuan jenis kelamin, pemilihan bibit, pengaturan kawin meliputi: nisbah kelamin, musim kawin, jumlah telur permusim, dan tahapan penetasan telur. 5. Pengelolaan pemanfaatan hasil meliputi: pemanfaatan hasil penangkaran berupa barang atau produk dan pemanfaatan hasil penangkaran sebagai jasa wisata. Pemanfaatan hasil penangkaran berupa barang atau produk meliputi: usia panen dan teknik pemanenan, pengelolaan pasca panen, bagian tubuh yang dimanfaatkan, jenis produk yang dijual di penangkaran dan pemasaran produk.
14
Pemanfaatan hasil penangkaran sebagai jasa wisata meliputi: tujuan wisata, objek yang ditawarkan, sarana prasarana pendukung wisata, dan pelayanan pengunjung. 6. pH (derajat keasaman) sumber air yang digunakan untuk pengairan kolam atau kandang buaya. Uraian data sekunder yang dikumpulkan meliputi: 1. Kondisi umum penangkaran meliputi: letak dan luas, batas wilayah, topografi, dan struktur organisasi. 2. Peta lokasi penangkaran (peta Balikpapan dan Kelurahan Teritip). Uraian metode pengumpulan data berdasarkan Tabel 1 sebagai berikut: 1. Observasi lapang melalui kegiatan pengamatan langsung, pengukuran di lapangan, dan mengikuti kegiatan petugas (animal keeper) penangkaran. a. Pengamatan langsung dilakukan terhadap jenis buaya yang dipelihara di penangkaran yakni: (i) aspek kandang (meliputi: jenis, konstruksi, perlengkapan, jumlah buaya dalam kandang, dan perawatan kandang), pengelolaan air dan pembuangan limbah, (ii) aspek pakan (meliputi: jenis pakan yang diberikan, jumlah, waktu, frekuensi dan cara pemberian pakan), (iii) jenis penyakit yang sedang diderita buaya, (iv) aspek reproduksi (meliputi: penentuan jenis kelamin dan perlengkapan penetasan telur), (v) jenis produk yang dijual di penangkaran, (vi) jenis satwa lain yang dipelihara di penangkaran, (vii) jenis vegetasi yang terdapat di penangkaran, dan (viii) fasilitas yang terdapat di penangkaran. b. Pengukuran yang dilakukan terhadap kandang, suhu, kelembaban kandang, dan pH (derajat keasaman sumber air) sebagai berikut: - Pengukuran untuk setiap jenis kandang dilakukan dengan mengukur tinggi (m), panjang (m) dan lebar (m) kandang dengan menggunakan meteran. - Pengukuran suhu dan kelembaban kandang dilakukan melalui pengamatan dengan menggunakan termometer dry-wet. Pengukuran suhu dilakukan setiap hari pada pagi (pukul 08.00), siang (pukul 12.00), dan sore (pukul 17.00) dengan cara menggantungkan termometer di dalam kandang selama dua minggu.
15
- Pengukuran pH air dengan mencelupkan kertas lakmus (pH meter) ke dalam kolam (sumber air) yang digunakan untuk pengairan ke kandang atau kolam buaya. c. Mengikuti kegiatan petugas penangkaran meliputi: pengamatan dan terlibat aktif dalam perawatan kandang, waktu dan cara pemberian pakan buaya. 2. Wawancara mendalam (in-depth interview) yaitu wawancara yang dilakukan secara mendalam dan berulang untuk memahami jawaban dari pertanyaan yang diajukan secara luwes, terbuka, tidak baku dan informal. Pengambilan responden untuk wawancara dilakukan dengan pendekatan purposive sampling. Pada purposive sampling, responden yang dijadikan contoh adalah responden yang memiliki keterkaitan terhadap data yang akan dicari dalam melakukan penelitian. Responden yang diwawancarai yaitu pemilik penangkaran buaya CV Surya Raya, staf administrasi penangkaran, Kepala Bagian Umum Penangkaran, karyawan khususnya petugas (animal keeper) penangkaran, dan masyarakat sekitar lokasi penangkaran. a. Wawancara kepada pemilik penangkaran buaya CV Surya Raya mengenai sejarah, tujuan dan manfaat didirikan penangkaran. b. Wawancara kepada staf administrasi penangkaran berkaitan dengan suratsurat ijin yang dikeluarkan penangkaran dan laporan pengelolaan penangkaran. c. Wawancara kepada Kepala Bagian Umum penangkaran mengenai seluruh aspek pengelolaan penangkaran. d. Wawancara kepada karyawan khususnya petugas penangkaran (animal keeper) yang menangani buaya mengenai aspek teknis pengelolaan penangkaran meliputi pengelolaan pakan meliputi: sumber pakan, jumlah pemberian pakan dan kandungan gizi pakan; pengelolaan penyakit dan perawatan kesehatan meliputi jenis penyakit yang pernah, sering dan sedang diderita buaya; pengelolaan reproduksi: penentuan jenis kelamin, pemilihan bibit, pengaturan kawin meliputi: nisbah kelamin, musim kawin, jumlah telur permusim, dan tahapan penetasan telur; pengelolaan dan perawatan kandang; pengelolaan pemanfaatan hasil meliputi pemanfaatan hasil penangkaran berupa barang atau produk dan pemanfaatan hasil penangkaran
16
sebagai jasa wisata. Pemanfaatan hasil berupa barang atau produk meliputi: usia panen dan teknik pemanenan, pengelolaan pasca panen, bagian tubuh yang dimanfaatkan, jenis produk dan pemasaran produk. Pemanfaatan hasil penangkaran sebagai jasa wisata: tujuan wisata, objek yang ditawarkan, sarana prasarana pendukung wisata, dan pelayanan pengunjung. e. Wawancara kepada masyarakat sekitar lokasi penangkaran yang terkena dampak positif (ekonomi, kenyamanan) maupun dampak negatif (bau, sampah,
limbah)
dari
keberadaan
penangkaran.
Responden
yang
diwawancarai adalah masyarakat yang rumahnya dekat atau berbatasan langsung dengan lokasi penangkaran (< 300 m dari lokasi penangkaran). Jumlah responden yang diwawancarai adalah 20 orang. 3. Studi literatur yaitu mengumpulkan data melalui studi pustaka dari beberapa informasi yang dijadikan referensi (acuan) untuk mendukung data yang akan dihasilkan,
digunakan
sebagai
data sekunder dan verifikasi
dengan
membandingkan hasil penelitian yang dilakukan. Studi literatur diperoleh dari penelusuran dokumen penangkaran buaya CV Surya Raya, Bappeda Balikpapan, Kelurahan Teritip, perpustakaan dan internet. 3.4 Analisis Data Analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif dan kuantitatif. 3.4.1 Analisis deskriptif Semua data
yang terkumpul dianalisis dengan menguraikan dan
menjelaskan fenomena yang terjadi pada aspek pengelolaan penangkaran buaya CV Surya Raya yang dilengkapi dengan bentuk bagan, tabel, skema, dan gambar untuk mempermudah pemahaman mengenai hasil analisis data yang diperoleh. Berkaitan dengan analisis untuk menentukan keberhasilan pengelolaan penangkaran, dilakukan dengan menggunakan kriteria utama, yakni (i) aspek teknis penangkaran dengan indikator utama reproduksi dan (ii) aspek sosial ekonomi
masyarakat
sekitar
penangkaran
dengan
indikator
keterlibatan
masyarakat sekitar dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penangkaran, seperti menjadi tenaga kerja, dan mendirikan warung makan di areal penangkaran maupun di sekitar penangkaran.
17
Indikator keberhasilan penangkaran dari aspek reproduksi dikategorikan menjadi dua kriteria kualitatif, yaitu: a. Berhasil apabila penangkaran dapat menghasilkan keturunan dari jenis buaya yang ditangkarkan. b. Tidak berhasil apabila penangkaran belum dapat menghasilkan keturunan dari jenis buaya yang ditangkarkan. Indikator keberhasilan penangkaran dari aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran dikategorikan menjadi dua kriteria kualitatif, yaitu: a. Berhasil apabila penangkaran dapat memberikan manfaat sosial ekonomi secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat sekitar penangkaran. b. Tidak berhasil apabila penangkaran tidak dapat atau belum memberikan manfaat sosial ekonomi secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat sekitar penangkaran. Manfaat langsung dapat dilihat dari: adanya warga sekitar penangkaran yang menjadi tenaga kerja di penangkaran, terdapat restoran atau warung makan dan toko souvenir di areal penangkaran. Manfaat tidak langsung dapat dilihat dari: penangkaran CV Surya Raya menjadi salah satu lapangan pekerjaan atau mata pencaharian warga setempat, jasa transportasi menjadi ramai, nama daerah (Kelurahan Teritip) menjadi terkenal, aksesibilitas dan fasilitas umum menjadi lebih baik, serta menambah pendapatan daerah. 3.4.2 Analisis kuantitatif Analisis kuantitatif dilakukan untuk menghitung daya tetas telur dengan rumus:
BAB IV KONDISI UMUM PENANGKARAN 4.1 Sejarah, Tujuan, Manfaat, dan Struktur Organisasi Penangkaran 4.1.1 Sejarah penangkaran Penangkaran buaya CV Surya Raya mulai dirintis sejak tahun 1989. Buaya didatangkan pertama kali pada tahun 1990-1991, sedangkan mulai dijadikan sebagai objek wisata pada tahun 1997 dan mendapat ijin penangkaran dari Menteri Kehutanan dengan SK No. 263/Kpts-II/2003 pada tanggal 4 Agustus 2003. Pada awalnya buaya yang terdapat di penangkaran ini hanya 4 ekor buaya muara (Crocodilus porosus) jantan yang berasal dari pembelian pada masyarakat di Km 3 Balikpapan, dan 60 ekor buaya muara (20 ekor jantan dan 40 ekor betina) yang dibeli dari penangkaran buaya Tarakan. Buaya juga diperoleh dari pengambilan dari alam sebanyak ± 600 ekor anakan berukuran < 80 cm. Hasil identifikasi menunjukkan anakan buaya tersebut terdiri dari 30 ekor buaya air tawar (Crocodylus siamensis) (5 ekor betina dan 25 ekor jantan) diperoleh dari pengumpulan buaya dari alam yaitu dari Danau Tanah Liat, Danau Belibis, dan Danau Mesangat yang dilakukan oleh penduduk setempat dari Desa Muara Muntai, Desa Bongan dan Desa Muara Ancalong; 20 ekor buaya supit diperoleh dari Danau Perian, Kecamatan Muara Wis Kabupaten Kutai, dan selebihnya adalah jenis buaya muara yang diperoleh dari sepanjang Tanah Grogot sampai Sangkulirang . Tahun 2010 jumlah buaya yang terdapat di penangkaran ini adalah 1.157 ekor terdiri dari 1.104 ekor buaya muara, 40 ekor buaya air tawar, dan 13 ekor buaya supit. Pendiri penangkaran buaya CV Surya Raya adalah Bapak Tarto Suroso Sugiarto. Awal mula didirikan penangkaran buaya ini adalah karena kecintaan dan kegemaran beliau memelihara binatang yang kemudian berkembang menjadi sebuah bisnis. Sejak awal berdiri, penangkaran buaya ini berlokasi di Jl. Mulawarman RT 29, Kelurahan Teritip Km 28, Kecamatan Balikpapan Timur, Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur.
19
4.1.2 Tujuan penangkaran Tujuan didirikannya penangkaran ini adalah pemanfaatan secara lestari untuk tujuan ekonomi yakni menghasilkan barang atau produk (khususnya pada buaya muara (Crocodylus porosus)), untuk koleksi buaya air tawar (Crocodylus siamensisi) dan buaya supit (Tomistoma schlegelii) serta digunakan sebagai sarana rekreasi, pendidikan, pengetahuan, dan penelitian. 4.1.3 Manfaat penangkaran Manfaat yang diharapkan dari usaha penangkaran buaya ini adalah agar kelestarian buaya di Kalimantan Timur tetap terjaga, menambah kecintaan dan kebanggaan terhadap satwa khususnya buaya supit dan buaya air tawar yang keberadaanya hampir punah di pedalaman sungai Mahakam, serta menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga setempat. 4.1.4 Struktur organisasi penangkaran Penangkaran buaya CV Surya Raya dipimpin oleh seorang direktur. Direktur memberikan tanggung jawab penuh terhadap keberlangsungan penangkaran. Dalam mengatur pelaksanaan seluruh kegiatan dalam penangkaran, direktur dibantu oleh beberapa staf bagian (seksi) yang bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan dalam penangkaran. Terdapat empat bagian yaitu: bagian buaya, bagian umum, bagian administrasi, dan bagian bangunan. Masingmasing bagian memiliki tugas dan tanggung jawab atas tugas yang diberikan. Kepala Bagian Umum bertugas membantu pekerjaan administrasi yang meliputi bidang keuangan, logistik, mengawasi dan mengkoordinir pelaksanaan kegiatan di penangkaran. Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Bagian Umum bertanggung jawab langsung kepada direktur. Struktur organisasi penangkaran buaya CV Surya Raya dapat dilihat pada Lampiran 9. 4.2 Kondisi Fisik 4.2.1 Luas dan letak Penangkaran buaya CV Surya Raya berdiri di atas tanah seluas 45.726 m2 dengan luas bangunan penangkaran 11.009 m2. Penangkaran ini berlokasi di Jl. Mulawarman RT 29, Kelurahan Teritip, Kecamatan Balikpapan Timur, Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur. Untuk menuju lokasi penangkaran dapat ditempuh melalui Jl. Sudirman ke arah Bandara Sepinggan melalui Jl.
20
Mulawarman melewati Manggar – Batakan – Lamaru kemudian baru sampai ke Teritip ± 20 km dari pusat Kota Balikpapan. Gambar peta Balikpapan dan peta Kelurahan Teritip dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5. Batas wilayah penangkaran buaya CV Surya Raya secara administratif adalah: a. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Salok Api Darat b. Sebelah timur berbatasan dengan Selat Makassar c. Sebalah selatan berbatasan dengan Kelurahan Lamaru d. Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Karang Joang Kondisi topografi penangkaran buaya CV Surya Raya berupa dataran rendah dengan ketinggian tanah dari permukaan laut adalah 250 m. Berdasarkan keterangan yang diperoleh, di penangkaran ini belum pernah terjadi banjir atau genangan. Curah hujan berkisar antara 866,9-2.400 mm/tahun dengan suhu udara rata-rata 27 °C (Siswanto 2009). 4.2.2 Sarana penangkaran Penangkaran buaya CV Surya Raya memiliki sarana bangunan kantor, loket, rumah Lamin, kandang gajah, kios-kios pedagang kaki lima, halaman parkir, sarana bermain anak-anak (jungkat-jungkit, ayunan, dan perosotan), etalase pernak-pernik buaya, bangunan kandang monyet, ular, kura-kura, dan musang, mushola, pendopo, toilet, toko souvenir, warung sate, bangunan kandang buaya, tempat tinggal karyawan, rumah potong, gudang, bak penampungan air, tempat sampah, dan papan intepretasi berupa: plang informasi, petunjuk arah, himbauan menjaga diri dan lingkungan. 4.3 Kondisi Biotik Vegetasi yang terdapat di penangkaran CV Surya Raya antara lain yaitu dadap duri (Erythrina lithosperma), segon (Paraserianthes falcataria), beringin (Ficus benjamina), kapuk randu (Ceiba pentandra), gmelina (Gmelina arborea), kelengkeng (Dimocarpus longan), mangga (Mangifera indica), cempaka cina (Michelia sp.), melati perancis, palem (Pinanga malayana), kelapa (Cocos nucifera), dan sukun (Artocarpus communis). Selain buaya, jenis satwa lain yang ditangkarkan di penangkaran buaya CV Surya Raya antara lain gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus), ular phyton (Phyton reticulatus), monyet ekor
21
panjang (Macaca fascicularis), owa jawa (Hylobates moloch), musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus), beruk (Macaca nemestrina), dan kura-kura (Cuora amboinensis). 4.4 Kondisi Sosial Masyarakat Sekitar Penangkaran Penangkaran buaya CV Surya Raya terletak di RT 29 Kelurahan Teritip. Berdasarkan wawancara, jumlah warga RT 29 terdiri dari 85 KK dengan jumlah jiwa 282 orang, terdiri dari 147 laki-laki dan 135 perempuan. Rata-rata warga RT 29 bekerja sebagai petani buruh (petani rumput laut), penjual sayur di pasar dan nelayan. Terdapat 12 orang yang bekerja di penangkaran buaya CV Surya Raya. Rata-rata pendidikan terakhir warga RT 29 adalah SMA. Rata-rata warga RT 29 menggunakan air sumur untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti masak, mandi dan mencuci, sedangkan untuk keperluan air minum mereka biasanya membeli air galon.
Sumber: Bappeda Balikpapan (2006)
22
Gambar 4 Peta Kota Balikpapan.
23
Sumber: Bappeda Balikpapan (2006)
23
Gambar 5 Peta Kelurahan Teritip.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Perkandangan Perkandangan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kandang dan pengelolaannya. Kandang buaya merupakan habitat buatan yang digunakan untuk memelihara buaya yang dirancang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Beberapa aspek kandang yang perlu diperhatikan yaitu jenis, fungsi, ukuran, konstruksi, perlengkapan, dan perawatan kandang. 5.1.1 Jenis kandang Hasil pengamatan menunjukkan terdapat lima jenis kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya yaitu kandang show room, kandang anakan (hatchling pen), kandang buaya muda (juvenile pen), kandang remaja atau pembesaran (rearing pen), dan kandang induk atau pembiakan (breeding pen). 5.1.1.1 Kandang show room Kandang
show
room
merupakan
kandang
yang disiapkan
untuk
memamerkan jenis buaya yang dipelihara di penangkaran CV Surya Raya, bertujuan agar memudahkan pengunjung mengetahui jenis buaya yang terdapat di penangkaran. Terdapat tiga jenis buaya yang dipelihara di penangkaran CV Surya Raya yaitu buaya muara (Crocodylus porosus), buaya air tawar (Crocodylus siamensis) dan buaya supit (Tomistoma schlegelii). Fungsi dan ukuran kandang show room tersaji pada Tabel 2. Tabel 2 Fungsi dan ukuran kandang show room di penangkaran CV Surya Raya No 1.
2.
3.
Fungsi kandang Display buaya muara > 1 tahun Display buaya air tawar umur 5-6 tahun Display buaya supit umur > 8 tahun
Ukuran (p x l x t) m
Jumlah kandang (unit)
Jumlah buaya (ekor)
Kedalaman kolam (cm)
Luas lantai optimum (m2/ekor)*
Kedalaman kolam optimum (cm)**
4x3x2 (luas 12 m2)
2
3
15
1
5
4x3x2 (luas 12 m2)
2
1
15
11,25
25-50
20 x 6 x 2 (luas 120 m2)
1
13
60
12
> 50
Sumber pustaka: *Bolton (1981) dalam Ratnani (2007), **Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana (1987) dalam Suwandi (1991).
25
Kandang show room dibangun di bagian paling depan mengelilingi pendopo (Gambar 6), sehingga pengunjung yang baru datang atau sedang beristirahat dapat menyaksikan langsung jenis buaya yang ditangkarkan melalui pagar kawat ram tanpa harus mengelilingi keseluruhan kandang. Berdasarkan pengamatan letak kandang tersebut tergolong strategis karena sesuai dengan tujuan utama yaitu sebagai kandang contoh (display) sehingga memudahkan pengunjung untuk melihat buaya. Tabel 2 menunjukkan bahwa ukuran kandang show room buaya muara dan kandang show room buaya air tawar sudah sesuai dengan kebutuhan buaya, sehingga sudah ideal dalam memberi ruang gerak buaya. Luas lantai kandang show room buaya supit terlalu sempit sehingga menimbulkan beberapa dampak yaitu persaingan memperebutkan makanan, tempat berjemur (basking grown) dan berendam. Kedalaman kolam kandang show room buaya air tawar tidak sesuai dengan kedalaman optimal, akibatnya buaya sulit untuk berendam karena kedalaman air kolam tidak sesuai dengan kebutuhannya. Kedalaman kolam kandang show room buaya muara dan buaya supit sudah melebihi kedalaman optimal kolam yang disarankan sehingga memungkinkan buaya muara bebas berendam. Permasalahan ukuran dan kedalaman kolam sangat terkait dengan kenyamanan buaya, sehingga pengelola seharusnya menyediakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan agar buaya dapat melakukan aktifitas seperti di habitat alaminya. Kandang show room buaya supit juga berfungsi sebagai kandang breeding. Letak kandang show room yang mengelilingi pendopo menyebabkan kegiatan reproduksi buaya yang terdapat di dalam kandang tersebut terganggu oleh aktifitas pengunjung. Bolton (1981) dalam Ratnani (2007) menyebutkan bahwa dalam memelihara buaya sebaiknya mengurangi segala gangguan dari manusia karena semakin banyak gangguan manusia, maka ketenangan buaya akan terganggu.
26
(b)
(a)
Gambar 6 Kondisi kandang show room. Keterangan: (a) Letak kandang show room mengelilingi pendopo; (b) Bentuk kandang show room. 5.1.1.2 Kandang anakan buaya (hatchling pen) Kandang show room berbentuk persegi panjang (beton/bata dan kawat)
Kandang anakan buaya adalah kandang yang disiapkan untuk anakan buaya yang baru menetas sampai berumur 6 bulan. Fungsi dan ukuran kandang anakan buaya tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Fungsi dan ukuran kandang anakan buaya No 1.
2.
3.
Fungsi kandang Anakan berumur 0-3 minggu Anakan berumur 3 minggu3 bulan Anakan berumur 4-6 bulan
Ukuran (p x l x t) m
Jumlah kandang (unit)
Jumlah buaya (ekor)
Kedalaman kolam (cm)
Luas lantai optimum (m2/ekor)*
Kedalaman kolam optimum (cm)**
0,5 x 0,3 x 0,5 (luas 0,15 m2)
3
15-30
-
0,25
5
3 x 0,5 x 0,4 (luas 1,5 m2)
6
2-15
5
0,25
5
2 x 2 x 0,5 (luas 4 m2)
16
2-30
5
0,25
5
Sumber pustaka: *Fakultas Kehutanan (1990), **Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana (1987) dalam Suwandi (1991).
Kandang anakan buaya terletak di dalam ruangan tertutup berukuran 6,5 m x 5 m x 3 m untuk anakan buaya berumur 0-3 minggu dan ruangan dengan ukuran 16 m x 10 m x 4 m untuk anakan buaya berumur 3 minggu-6 bulan. Kandang tertutup digunakan karena anakan buaya masih dalam keadaan kritis, memiliki sensitifitas tinggi terhadap lingkungan dan kebisingan, serta memiliki resiko kematian yang tinggi. Bolton (1989) menyebutkan bahwa anakan buaya lebih bersifat penakut sehingga memerlukan tempat yang aman, dalam hal ini desain kandang sebaiknya mempunyai tempat bersembunyi sehingga dapat mengurangi tingkat stres oleh gangguan manusia dan kendaraan.
27
Tabel 3 menunjukkan bahwa ukuran kandang anakan buaya tidak ideal dengan kebutuhan buaya. Kondisi tersebut menyebabkan anakan buaya pada kandang tidak bebas bergerak. Ukuran kandang sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan buaya, sehingga dapat memenuhi salah satu prinsip kesejahteraan satwa yang disebutkan Appbley dan Hughes (1997) yaitu bebas dari rasa tidak nyaman. Keadaan tersebut dapat diciptakan dengan menyediakan kandang sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan buaya untuk bergerak. (a)
(b)
Gambar 7 Kandang anakan buaya berumur 3 minggu (hatchling pen).
Keterangan: (a) Tampak luar; (b) Tampak dalam. 5.1.1.3 Kandang buaya muda (juvenile pen) Kandang buaya muda adalah kandang yang disiapkan untuk pemeliharaan buaya setelah dipindahkan dari kandang anakan berumur > 6 bulan sampai 1 tahun (Gambar 8). Luas lantai dan kedalaman kolam pada kandang ini sudah ideal karena sudah disesuaikan dengan kebutuhan buaya. Fungsi dan ukuran kandang buaya muda tersaji pada Tabel 4. Tabel 4 Fungsi dan ukuran kandang buaya muda Fungsi kandang
Ukuran (p x l x t) m
Jumlah kandang (unit)
Jumlah buaya (ekor)
Kedalaman kolam (cm)
Luas lantai optimum (m2/ekor)*
Kedalaman kolam optimum (cm)**
Anakan berumur 7 bulan-1 tahun
4 x 3 x 1,2 (luas 12 m2)
14
7-25
5
0,50
5
Sumber pustaka: *Fakultas Kehutanan (1990), **Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana (1987) dalam Suwandi (1991).
28
(a)
(b)
Gambar 8 Kandang buaya muda (juvenile pen). Keterangan: (a) Tampak luar; (b) Tampak dalam. 5.1.1.4 Kandang remaja atau pembesaran (rearing pen) Kandang pembesaran adalah kandang yang disiapkan untuk membesarkan buaya muda berumur di atas 1 tahun hingga buaya mencapai ukuran siap potong yaitu kira-kira berumur 2-4 tahun yang telah memenuhi kriteria panjang tubuh 1,80-2,20 m dengan lebar dada 45-50 cm (Gambar 9). Kandang ini juga berfungsi untuk membesarkan calon indukan. Fungsi dan ukuran kandang remaja tersaji pada Tabel 5. Tabel 5 Fungsi dan ukuran kandang remaja No 1.
2.
Fungsi kandang Buaya muara umur > 1 tahun Buaya muara umur > 23 tahun
Ukuran (p x l x t) m
Jumlah kandang (unit)
Jumlah buaya (ekor)
Kedalaman kolam (cm)
Luas lantai optimum (m2/ekor)*
Kedalaman kolam optimum (cm)**
8 x 8 x 1,5 (luas 64 m2)
5
41-60
25
1
25-50
6 x 5 x 1,8 (luas 30 m2)
25
10-30
25
7,50
25-50
Sumber pustaka: *Bolton (1981) dalam Ratnani (2007), **Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana (1987) dalam Suwandi (1991).
Tabel 5 menunjukkan bahwa luas lantai dan kedalaman kolam pada kandang buaya muara umur > 1 tahun sudah ideal karena kebutuhan buaya untuk beraktifitas sudah terpenuhi. Tinggi kandang pada kedua jenis kandang tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan, sehingga buaya tidak keluar dari kolam. Fakultas Kehutanan IPB (1990) menyarankan tinggi kandang pembesaran yaitu 60-100 cm. Luas lantai kandang buaya muara umur > 2-3 tahun tidak ideal karena luas lantai kandang terlalu sempit, sehingga buaya yang terdapat dalam kandang tersebut tidak bebas bergerak, berendam, dan berjemur. Akibatnya buaya sering
29
mengalami
luka-luka
karena
perkelahian
memperebutkan
tempat
untuk
melakukan aktifitasnya. Ukuran kandang sebaiknya disesuaikan dengan umur, ukuran tubuh, dan kebutuhan buaya, agar buaya merasa nyaman dan dapat mengurangi dampak buruk terhadap kesehatan buaya. (a)
(b)
Gambar 9 Kandang pembesaran (rearing pen). Keterangan: (a) Tampak luar; (b) Tampak dalam. 5.1.1.5 Kandang induk atau pembiakan (breeding pen) Kandang pembiakan adalah kandang yang disiapkan untuk buaya induk berumur > 8 tahun (Gambar 10). Di kandang ini indukan buaya akan membuat sarang, kawin dan bertelur. Luas lantai kandang pada kandang ini sudah ideal dengan kebutuhan buaya. Kondisi tersebut memungkinkan buaya-buaya dalam kandang dapat bebas bergerak, melakukan aktifitas kawin, berendam dan berjemur. Fungsi dan ukuran kandang induk tersaji pada Tabel 6. Tabel 6 Fungsi dan ukuran kandang induk No 1.
2.
3.
4.
Fungsi kandang Display buaya supit umur > 8 tahun Buaya air tawar umur 1115 tahun Buaya muara umur 2025 tahun Buaya muara umur 18 tahun
Ukuran (p x l x t) m
Jumlah kandang (unit)
Jumlah buaya (ekor)
Kedalaman kolam (cm)
Luas lantai optimum (m2/ekor)*
Kedalaman kolam optimum (cm)**
20 x 6 x 2 (luas 120 m2)
1
13
60
12
> 50
30 x 30 x 2 (luas 900 m2)
1
23
> 1,5
12
>50
2
23-24
> 1,5
12
>50
1
88
> 1,5
12
>50
42 x 32 x 2 (luas 1.344 m2)
108 x 32 x 2 (luas 3.456 m2)
Sumber pustaka: *Bolton (1981) dalam Ratnani (2007), **Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana (1987) dalam Suwandi (1991).
30
Penangkaran buaya CV Surya Raya memiliki lima unit kandang indukan yaitu satu kandang untuk buaya supit, satu kandang untuk buaya air tawar, dan tiga kandang untuk buaya muara. Kandang pembiakan untuk buaya supit adalah kandang yang digunakan pula sebagai kandang show room. Luas lantai pada kandang buaya supit tidak ideal, jumlah indukan tidak disesuaikan dengan kebutuhan buaya pada musim kawin, dan indukan berasal dari satu populasi sehingga menyebabkan buaya mengalami inbreeding dan akibatnya buaya supit di penangkaran ini sulit berkembangbiak. Kondisi tersebut dapat diatasi dengan cara: (1) tidak menyatukan kandang yang dipergunakan sebagai kandang show room dengan kandang breeding; (2) menyediakan lokasi yang tenang untuk kandang breeding; (3) nisbah kelamin jantan terhadap betina harus ideal dalam satu kandang yaitu 1:4 agar buaya dapat berkembangbiak; (4) pengambilan bibit buaya dari populasi yang berbeda; (5) ukuran dan perlengkapan kandang disesuaikan dengan kebutuhan buaya untuk beraktifitas seperti di habitat alaminya. (a)
(b)
Gambar 10 Kandang induk buaya muara (Crocodylus porosus). Keterangan: (a) Tampak luar; (b) Tampak dalam. 5.1.2 Konstruksi kandang Ditinjau dari konstruksi kandangnya, semua jenis kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya termasuk dalam katagori kandang permanen dan box plastik. Kandang permanen terdiri dari kandang anakan buaya berumur > 3 minggu, kandang buaya muda, kandang remaja dan kandang indukan. Konstruksi kandang permanen terdiri dari pagar berupa tembok dan sebagian ditambah kawat ram, kayu sebagai kerangka kandang, seng, asbes atau fiber sebagai atap. Konstruksi kandang tersebut sesuai dengan pernyataan Bolton (1989) bahwa pagar kandang buaya sebaiknya terbuat dari kayu atau jaring kawat besi serta
31
tembok dari batu bata, beton, bahan metal atau kombinasi dari bahan-bahan tersebut. Konstruksi kandang yang baik disesuaikan dengan jenis satwa yang dipelihara sehingga untuk kandang buaya, konstruksi dibuat permanen, kuat, dan tinggi agar tahan terhadap benturan dan mencegah buaya keluar pagar. Ventilasi yang cukup sangat diperlukan satwa yang dikandangkan, sehingga pagar tembok di penangkaran ini ditambahkan dengan kawat ram yang berfungsi untuk mengatur sirkulasi udara. Selain itu kawat ram juga berfungsi untuk memudahkan pengunjung melihat buaya. Atap kandang dibuat sebagian tertutup sebagai naungan dan sebagian terbuka agar sinar matahari dan air hujan dapat masuk ke dalam kandang sehingga menyerupai kondisi di alam. Kontruksi kandang berupa box plastik digunakan hanya untuk anakan buaya yang baru menetas hingga berumur tiga minggu. Pemilihan box plastik sebagai kandang anakan buaya didasarkan pada pertimbangan bahwa box plastik memiliki permukaan yang halus sehingga kulit anakan buaya yang masih lunak dapat terhindar dari gesekan. Dallas (2006) menyebutkan bahwa plastik merupakan bahan yang dianjurkan dalam pemeliharaan reptil karena memiliki permukaan tidak kasar, mengikuti perubahan suhu lingkungan, mudah dibersihkan, dan mudah diperoleh. 5.1.3 Perlengkapan dalam kandang Penyediaan perlengkapan di dalam kandang memiliki peranan penting agar buaya merasa nyaman hidup seperti di habitat alaminya. Perlengkapan kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya disesuaikan dengan kebutuhan buaya berdasarkan kelas umur. Perlengkapan kandang buaya tersaji pada Tabel 7. Tabel 7 Perlengkapan kandang buaya di dalam setiap jenis kandang No 1. 2. 3. 4.
Perlengkapan kandang Daerah berair (kolam) Daratan Vegetasi Sekat bersarang
Show room √ √ √ √
Jenis kandang Anakan Buaya muda √ √ √ √ -
Remaja √ √ -
Induk √ √ √ √
Berdasarkan Tabel 7 semua jenis kandang memiliki kolam dan daratan. Kedua jenis perlengkapan tersebut merupakan kebutuhan utama buaya dalam mendukung aktifitasnya. Bagian kolam digunakan untuk berendam dan kawin (indukan), sedangkan bagian daratan digunakan untuk berjemur dan meletakkan
32
makanan. Vegetasi dan sekat bersarang hanya terdapat di kandang breeding. Jenis vegetasinya antara lain sengon (Paraserianthes falcataria), karet (Hevea brasiliensis), kapuk randu (Ceiba pentandra), beringin (Ficus benjamina), dadap duri (Erythrina lithosperma), nangka (Artocarpus heterophyllus), sukun (Artocarpus communis), pepaya (Carica papaya), rumput-rumputan dan semak belukar. Vegetasi tersebut digunakan sebagai naungan dan bahan pembuat sarang. Sekat bersarang di kandang breeding terletak di pinggir kolam dan terbuat dari kayu berukuran 4 m x 4 m x 1 m (Gambar 11). Di dalam sekat tersebut ditambahkan pasir sebagai campuran bahan untuk membuat sarang yang akan digunakan untuk meletakkan telur-telur buaya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penyediaan perlengkapan kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya sudah memenuhi kebutuhan buaya untuk mengekspresikan perilaku alaminya. Buaya bebas melakukan segala aktifitasnya seperti kawin, bersarang, berenang, berjemur, dan berlindung.
Sekat bersarang
Gambar 11 Sekat bersarang buaya pada kandang breeding. 5.1.4 Perawatan kandang Kegiatan perawatan kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya terdiri dari pembersihan di dalam dan di luar kandang. Pembersihan di dalam kandang meliputi kegiatan membersihan kandang dari sisa-sisa makanan, menguras dan mengganti air kolam dengan air yang bersih. Kegiatan tersebut rutin dilakukan setiap seminggu sekali. Pembersihan di luar kandang meliputi kegiatan membersihkan sampah di sekitar kandang, merapikan tanaman yang tumbuh di sekitar penangkaran, dan memperbaiki sarana penangkaran yang rusak. Kegiatan tersebut bersifat insidental.
33
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa perawatan kandang bertujuan untuk menjaga kebersihan kandang sehingga buaya dapat hidup sehat dan
mencegah
timbulnya
bibit
penyakit.
Kebersihan
kandang
dan
perlengkapannya perlu diperhatikan karena akan mempengaruhi kesehatan buaya. 5.1.5 Pengelolaan air dan pembuangan limbah Sumber air di penangkaran buaya CV Surya Raya berasal dari kolam tanah (Gambar 12a). Air dari kolam disedot dengan bantuan diesel kemudian disalurkan dengan menggunakan selang dan ditampung dalam bak penampungan. Penangkaran buaya CV Surya Raya memiliki bak penampungan air berukuran 12 m x 8 m x 2 m. Bak penampungan berfungsi untuk menampung air sehingga dapat menjamin pasokan air jika pompa sewaktu-waktu mengalami kerusakan, selain itu air yang dihasilkan dari bak penampungan akan lebih bersih karena kotoran atau lumpur telah mengendap dalam bak penampungan. Untuk memenuhi kebutuhan air tiap kandang atau kolam, air dari bak penampungan disalurkan melalui selang yang dialirkan ke tiap kandang atau kolam, sesuai dengan yang disarankan Fakultas Kehutanan IPB (1990), bahwa sebaiknya tidak mengalirkan air dari kolam satu untuk mengisi kolam berikutnya karena untuk menghindari adanya kontaminasi atau penularan penyakit dari satu kolam ke kolam lainnya. Seluruh perangkat pengairan yang disediakan di penangkaran buaya CV Surya Raya tersebut juga sudah sesuai dengan perangkat air yang perlu disediakan dalam penangkaran seperti yang disarankan Fakultas Kehutanan IPB (1990) antara lain: sumber air bersih baik mengalir ataupun tidak, tempat atau bak penampungan yang dapat digunakan untuk menyediakan serta menampung air secara berkelanjutan, sistem penyaluran air ke kandang atau kolam, dan sistem pembuangan air limbah terutama kolam. Limbah yang dihasilkan dari penangkaran buaya CV Surya Raya adalah limbah cair yang berasal dari air yang sudah kotor dalam kandang. Limbah cair dari setiap kandang disalurkan melalui parit-parit kecil (Gambar 12b) yang telah disediakan menuju tempat pembuangan berupa kolam tanah berukuran 100 m x 40 m. Kolam tanah ini terletak di bagian paling belakang penangkaran. Berdasarkan wawancara dengan penduduk yang tinggal di sekitar penangkaran
34
(300 m dari penangkaran), bau dari limbah tersebut tidak mengganggu warga sekitar. (a)
(b)
Gambar 12 Pengelolaan air dan limbah. Keterangan: (a) Sumber air berasal dari kolam buatan; (b) Parit saluran limbah menuju kolam tanah. 5.1.6 Suhu dan kelembaban kandang Hasil pengukuran suhu di kandang penangkaran buaya CV Surya Raya menunjukkan kondisi suhu di kandang penangkaran relatif stabil. Suhu kandang pada pagi hari berkisar 26-28 °C, siang hari berkisar 30-32 °C, dan sore hari berkisar 29-31 °C. Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Frye (1991) bahwa kondisi suhu optimal untuk reptil di daerah tropis berkisar 29,5-37 °C. Suhu di penangkaran CV Surya Raya juga sesuai dengan pernyataan Britton (2003) bahwa kisaran suhu yang disukai atau PBT (preferred body temperatures) buaya adalah 29-34 °C. Jika suhu tubuhnya di atas kisaran tersebut maka buaya akan mencari tempat yang dapat mendinginkan tubuhnya, dan jika suhu tubuh di bawah kisaran PBT maka buaya akan melakukan upaya untuk menghangatkan diri. Kondisi suhu di penangkaran tersebut juga sesuai dengan yang dikatakan Elmir (2008) bahwa buaya di penangkaran relatif masih dapat mengkonsumsi makanan pada kisaran temperatur udara 24,5-34 °C. Kondisi suhu kandang di penangkaran CV Surya Raya dapat dilihat pada Gambar 13.
35
35
°C
30 25
Pagi
20
Siang
15
Sore
10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Juni 2010
Gambar 13 Grafik suhu kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya. Gambar 13 menunjukkan suhu kandang di penangkaran CV Surya Raya cukup stabil yang berperan memanaskan suhu tubuh buaya. Sandjojo (1982) menyatakan buaya termasuk reptil amphibious berdarah dingin dimana suhu tubuhnya sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungannya sehingga memudahkan buaya beradaptasi dengan lingkungan perairan maupun darat. Pada pagi hari saat matahari bersinar, rata-rata buaya yang terdapat di penangkaran ini berjemur (basking) dan pada siang hari jika panas matahari terik buaya akan berendam di air untuk mendinginkan tubuhnya. Frank (1993) menyebutkan bahwa kebiasaan berjemur pada buaya bertujuan untuk menaikkan suhu tubuhnya hingga pada suhu yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan. Sandjojo (1982) menyebutkan bahwa membukanya mulut pada buaya bertujuan untuk menstabilkan suhu tubuhnya. Kelembaban kandang pada pagi hari berkisar 84-92 %, siang hari berkisar 73-86 %, dan sore hari berkisar 72-85 %. Kelembaban kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya sesuai dengan pernyataan Frye (1991), bahwa kelembaban kandang reptil di daerah tropis sekurang-kurangnya berkisar 80-90 %. Fluktuasi kelembaban dapat dilihat pada Gambar 14.
36
100 95 90
Pagi
RH (%)
85 80
Siang
75
Sore
70 65 60 55 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Juni 2010
Gambar 14 Grafik kelembaban kandang di Penangkaran Buaya CV Surya Raya. Gambar 14 menunjukkan kelembaban kandang lebih tinggi pada pagi hari dibandingkan pada siang dan sore hari dikarenakan pada pagi hari suhu kandang dan intensitas cahaya matahari relatif lebih rendah. Kelembaban tinggi atau terlalu rendah akan berpengaruh terhadap tingkat kesehatan buaya. Kelembaban tinggi dapat menimbulkan bakteri atau jamur sedangkan kelembaban rendah menyebabkan buaya mengalami dehidrasi (Power 2010). Fluktuasi suhu dan kelembaban kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya ditangani pengelola melalui bentuk bangunan dan perlengkapan dalam kandang. Bentuk bangunan permanen terbuka untuk jenis buaya remaja dan indukan, memungkinkan sinar matahari dapat masuk ke dalam kandang dan sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik sangat sesuai dengan kebutuhan buaya dalam mendukung aktifitasnya. Perlengkapan dalam kandang dengan mendisain lantai kandang menjadi dua bagian yaitu daerah dataran dan daerah berair (kolam). Di dalam kandang indukan ditanami dengan vegetasi yang berfungsi sebagai tempat bernaung. Hasil pengamatan terhadap kebiasaan buaya menunjukkan bahwa buaya akan berusaha menstabilkan kondisi suhu dan kelembaban dengan memanfaatkan perlengkapan yang diberikan. Buaya akan menghangatkan tubuhnya dengan berjemur di bawah sinar matahari dan untuk mendinginkan tubuhnya buaya akan bergerak ke daerah yang dinaungi dan berair. 5.2 Pengelolaan Pakan Buaya termasuk hewan karnivora, oleh karena itu penyediaan pakan harus baik dan efisien sehingga dapat meminimalkan kebutuhan buaya. Penyediaan
37
pakan yang baik sangat diperlukan karena sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan buaya di penangkaran khususnya untuk tujuan komersil. Oleh karena itu, dalam penyediaan pakan diperlukan perhatian khusus dan penanganan yang baik dan teratur, sehingga kualitas makanan yang diberikan mampu menghasilkan produktivitas optimum dari satwa yang ditangkarkan. 5.2.1 Jenis dan sumber pakan Jenis pakan yang diberikan untuk semua jenis buaya yang terdapat di penangkaran buaya CV Surya Raya berupa ayam broiler, ikan tembang, dan daging sapi. Jenis pakan yang paling sering diberikan yaitu ayam broiler dan ikan tembang. Jenis pakan tersebut biasanya dipilih yang harganya paling murah namun kualitasnya masih baik dan disukai buaya. Hal tersebut sesuai dengan yang disebutkan Hardjanto dan Masyud (1991), bahwa pemberian pakan pada buaya tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok, tetapi juga untuk mencapai tingkat produksi setinggi-tingginya dalam waktu singkat dengan biaya yang semurah-murahnya. Elmir (2008) menambahkan bahwa pemilihan pakan yang tepat dapat mempercepat pertumbuhan buaya di penangkaran bila dibandingkan pertumbuhan buaya di alam. Sumber pakan diperoleh dari kerjasama pihak pengelola dengan beberapa peternakan ayam broiler di Balikpapan, salah satunya yaitu peternakan ayam broiler CV Borneo Kombet Balikpapan, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Manggar; catering Tata Boga dan catering ISS yang melayani perusahaan-perusahaan yang terdapat di Balikpapan. Sumber pakan juga diperoleh dari pengunjung yang datang. Penangkaran menyediakan pakan berupa ayam broiler yang sudah mati yang disediakan untuk pengunjung penangkaran yang ingin melihat aktifitas makan buaya. Pengelola menjual ayam tersebut dengan harga Rp 10.000 per ekor. Warga sekitar penangkaran juga memiliki kontribusi bagi ketersediaan pakan, karena biasanya warga memberikan ternaknya yang mati seperti ayam, bebek, atau kambing untuk pakan buaya. 5.2.2 Jumlah dan cara pemberian pakan Jumlah pakan yang diberikan di penangkaran CV Surya Raya pada tiap kandang disesuaikan dengan kelas umur buaya dan ketersediaan pakan dari sumber pakan. Pada saat ketersediaan pakan dari sumber pakan banyak maka
38
pakan yang diberikan tiap kandang juga banyak, pada saat ketersediaan pakan terbatas maka pakan yang diberikan tiap kandang diperkirakan merata. Menurut Taylor (1979), kebutuhan makanan buaya berbeda-beda tergantung dari berbagai faktor seperti spesies, jenis kelamin, umur, aktifitas, dan keadaan lingkungan. Pemberian pakan di penangkaran CV Surya Raya biasanya dilakukan 2 kali dalam seminggu pada pagi atau sore hari tergantung ketersediaan pakan yang ada. Hal tersebut sesuai dengan yang disebutkan Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana Conserve (1987) dalam Ginoga dan Suzanna (1995), bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan maksimal buaya harus diberi makan dengan frekuensi pemberian makan pada anakan buaya satu kali sehari, sedangkan untuk buaya yang sedang dibesarkan dan buaya induk diberikan 2-3 kali seminggu. Ginoga dan Suzanna (1995) menyebutkan bahwa pemberian pakan pada buaya sebaiknya diberikan pada waktu sore hari dan makanan tersebut terlindung dari sinar matahari. Hal ini disebabkan aktifitas buaya lebih tinggi pada malam hari, begitu pula halnya dengan aktifitas makan buaya lebih tinggi pada malam hari dibandingkan siang hari. Jenis pakan seperti ayam, ikan, dan daging tidak disajikan secara bersamaan, tetapi dilakukan pergiliran sesuai ketersediaan pakan yang ada pada sumber pakan. Penyediaan pakan dalam sekali pemberian pakan untuk keseluruhan buaya yang terdapat di penangkaran CV Surya Raya berkisar 700-1.000 kg (1 ton) ikan atau ayam, tergantung ketersediaan dari sumber pakan. Perkiraan jumlah pemberian pakan di penangkaran CV Surya Raya tersaji pada Tabel 8. Tabel 8 Perkiraan jumlah pemberian pakan buaya di penangkaran CV Surya Raya No
Kelas umur buaya
1.
Anakan buaya (hatchling): Umur 2 minggu-3 bulan* Umur 4-6 bulan** Buaya muda (juvenile) umur 7 bulan-1 tahun** Remaja umur 2-4 tahun** Induk > 8 tahun***
2.
3. 4.
Rata-rata berat tubuh buaya (gram)
Kebutuhan pakan terhadap berat tubuh (gram/minggu)
Jumlah pakan yang diberikan (gram/minggu)
Keterangan
95 – 359
9,5-35,9
40 - 140
Cukup
610 - 1.960
61-196
160 - 200
Cukup
2.590 - 4.550
777-1.365
400 - 1000
Kurang
10.689 - 16.438
3.206,7-4.931,4
2.000- 4.000
Kurang
> 94.000
> 28.200
> 4.000
Kurang
Sumber pustaka rata-rata berat tubuh buaya: *Gumilar (2007); **Elmir (2008); ***Webb dan Manolis (1989).
39
Berdasarkan Tabel 8, rata-rata jumlah pakan yang diberikan untuk anakan buaya di penangkaran CV Surya Raya adalah 40-200 gram per minggu. Jumlah pakan tersebut telah mencukupi kebutuhan anakan buaya untuk beraktifitas yang ditandai dengan tidak adanya perilaku gelisah atau agresif karena anakan buaya tidak kelaparan. Jumlah pakan tersebut juga sudah sesuai bahkan melebihi jumlah pakan yang disebutkan Bolton (1989) bahwa anakan buaya pada saat pertama kali makan membutuhkan 5-10 % dari berat tubuh per minggu dan untuk bulan-bulan berikutnya mereka harus makan rata-rata sekitar 25-30 % dari berat tubuh per minggu. Jumlah pakan yang diberikan pada buaya muda sampai dengan indukan di penangkaran buaya CV Surya Raya kurang sesuai dengan kebutuhan pakan yang seharusnya diberikan pada buaya muda sampai dengan indukan, namun berdasarkan pengamatan visual, kondisi buaya tidak terlihat seperti kekurangan pakan. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi tubuh buaya rata-rata sehat, dapat mencapai ukuran potong ekonomis pada umur 2-4 tahun dengan panjang 1,8-2,20 m dan lebar dada 45-50 cm, serta dapat menghasilkan telur secara terus-menerus. Kondisi tersebut sesuai dengan yang disebutkan Bolton (1981) dalam Ratnani (2007) bahwa dengan sistem pemeliharaan yang baik dan pemberian makanan yang lengkap baik dalam jumlah maupun mutunya maka pertumbuhan buaya untuk mencapai ukuran potong ekonomis dapat dicapai dalam waktu yang relatif lebih cepat. Cara penyajian dan pemberian pakan berdasarkan kelas umur buaya di kandang penangkaran CV Surya Raya tersaji pada Tabel 9. Tabel 9 Cara penyajian dan pemberian pakan bedasarkan kelas umur buaya No 1
Kelas umur buaya Anakan (hatchling): - Umur 2 minggu-3 bulan - Umur 4-6 bulan
2 3 4
Buaya muda (juvenile) umur 7 bulan-1 tahun Remaja umur 2-3 tahun Induk > 8 tahun
Cara penyajian Ayam tanpa bulu dan tulang, ikan tanpa sisik dan duri. Pakan dipotong dadu ± 1 x 1 cm. Ayam tanpa bulu, ikan tanpa menghilangkan sisik dan duri. Pakan dipotong dadu ±1x1. Ayam tanpa bulu dipotong ± 3 x 3 cm, ikan utuh Ayam dan ikan utuh Ayam dan ikan utuh
Cara pemberian Disebarkan ke daratan kandang Disebarkan ke daratan kandang Disebarkan ke daratan kandang Disebarkan ke daratan kandang Disebarkan ke daratan kandang
40
Anakan buaya yang baru menetas tidak diberi makan hingga berumur 1-2 minggu, hal ini karena anakan yang baru menetas masih menggunakan persediaan kuning telur yang terdapat di dalam tubuhnya sebagai bahan makanan. Gumilar (2007) menyebutkan bahwa anakan buaya yang baru menetas umur 7-10 hari masih menggunakan bahan makanan berupa persediaan kuning telur yang terdapat dalam tubuhnya sehingga tidak perlu diberi makan. Setelah persediaan kuning telur dalam tubuhnya habis, barulah anakan buaya tersebut diberi makan. Berdasarkan Tabel 9, penyajian pakan berupa ayam untuk anakan buaya dan buaya muda disajikan dengan menghilangkan bulunya agar pakan mudah dicerna. Gumilar (2007) menyebutkan bahwa kandungan ceratin yang terdapat pada bulu ayam tidak dapat dicerna oleh buaya, sehingga bisa mengakibatkan obstruksi (sulit untuk buang air besar) pada saluran pencernaan. Pakan untuk anakan buaya dan buaya muda juga disajikan dengan potongan-potongan kecil agar pakan mudah ditelan dan dicerna buaya (Gambar 15). Kondisi tersebut sesuai dengan yang disebutkan Ditjen PHPA (1976) bahwa anakan buaya baru dapat menangkap serangga dan sejenisnya hanya yang berukuran kecil dan mudah ditangkap. Anakan buaya yang baru menetas hingga berumur 3 bulan biasanya masih dalam keadaan kritis, memiliki sensitifitas yang sangat tinggi terhadap lingkungan dan kebisingan, dan memiliki resiko kematian yang cukup tinggi sehingga memerlukan perawatan dan perhatian yang lebih intensif, salah satunya dalam hal pemberian
pakan.
Sebelum
pakan
diberikan,
petugas
terlebih
dahulu
menambahkan vitamin yang dicampurkan ke dalam makanannya. Vitamin tersebut berguna untuk penambah nafsu makan, mengurangi stres dan menjaga ketahanan tubuh. Penambahan vitamin tersebut dilakukan pada awal anakan buaya tersebut mulai diberi makanan dan disaat-saat ia butuh tambahan vitamin. Anakan buaya sengaja dilatih petugas untuk memakan sendiri, namun jika perut anakan buaya terlihat lebih kecil dari yang lainnya, maka pakan diberikan dengan cara disuapkan.
41
(a)
(b)
Gambar 15 Cara penyajian pakan ikan. Keterangan: (a) Ikan untuk pakan anakan buaya umur 2 minggu-3 bulan; (b) Ikan untuk pakan anakan buaya umur 4-6 bulan. 5.2.3 Kandungan gizi pakan Kualitas gizi sangat penting diperhatikan dalam pemilihan jenis pakan. Elmir (2008) menyebutkan bahwa untuk penangkaran buaya yang mengutamakan hasil kulit buaya sebagai produk utamanya maka pemilihan pakan yang mengutamakan unsur gizi dapat menambah panjang dan lebar dada lebih penting dibandingkan jenis pakan yang lebih berakibat pada pertambahan dominan berat buaya. Elmir (2008) menambahkan bahwa penangkaran dengan tujuan hanya sebagai wahana konservasi, tidak harus memikirkan gizi pakan secara mendalam, yang terpenting adalah kebutuhan makanan bagi buaya per ekornya dapat tercukupi sehingga buaya-buaya tersebut dapat tumbuh dengan baik dan mampu menghasilkan keturunan berikutnya secara terus menerus. Penangkaran buaya CV Surya Raya hanya menambahkan vitamin vitachick pada pakan anakan buaya yang berguna untuk menambah nafsu makan, mengurangi stres dan menjaga ketahanan tubuhnya. Buaya di penangkaran akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan buaya liar jika makananya mengandung gizi yang baik. Seperti halnya binatang lain, buaya juga memerlukan protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral dalam makanannya. Menurut Bennett (1998) penyediaan nutrisi, vitamin, dan mineral merupakan salah satu syarat agar satwa dapat tumbuh dengan baik dan sehat. Kandungan gizi pakan buaya di penangkaran CV Surya Raya tersaji pada Tabel 10.
42
Tabel 10 Kandungan gizi pakan buaya di penangkaran buaya CV Surya Raya No 1
Jenis pakan Ayam broiler
Kandungan gizi Protein, kalori, lemak, kolesterol, riboflavin, asam nicotenat, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, B.1) 2 Ikan tembang Kalori, protein, lemak, kalsium, fosfor, zat besi,air.2) 3 Daging sapi Protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, air.3) 1 Sumber pustaka: ) Anggorodi (1987), 2) Kholisoh (2000), 3) Petra (2006).
5.3 Penyakit dan Perawatan Kesehatan Gangguan kesehatan buaya di penangkaran CV Surya Raya disebabkan oleh kondisi kandang yang sempit, air kolam yang kotor, makanan, dan pengaruh cuaca yang ekstrim. Fakultas Kehutanan IPB (1990) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan buaya yaitu kondisi perkandangan dan lingkungan, makanan, bibit penyakit, sistem pengairan dalam kandang atau kolam yang kurang baik serta kelainan-kelainan metabolisme. Jenis penyakit, gejala, dan pengobatan penyakit yang menyerang buaya di penangkaran CV Surya Raya tersaji pada Tabel 11. Tabel 11 Jenis penyakit, gejala, dan pengobatan buaya di CV Surya Raya No 1. 2. 3.
Jenis penyakit Jamur kulit (white spot) Luka-luka
4.
Kurang nafsu makan Cacat tubuh
5.
Stres
6.
Mulut busuk (mouth rot)
Gejala Bercak putih pada kulit anakan buaya muara. Luka pada moncong, ekor, jari tangan, kaki, serta bagian badan. Tidak aktif bergerak, tubuh lebih kurus dari buaya yang sehat. Patah ekor, kaki buntung pada anakan buaya muara, dan moncong buntung pada buaya supit. Sering menyendiri, sering berendam, dan tidak aktif bergerak. Luka (borok) pada mulut buaya muara.
Pengobatan Belum ada upaya pengobatan. Belum ada upaya pengobatan. Pemberian vitamin penambah nafsu makan “vitachick” Tidak dilakukan pengobatan
Pemberian vitamin anti stres “vitachick” Belum ada upaya pengobatan.
Tabel 11 merupakan jenis penyakit berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan petugas penangkaran. Uraian jenis penyakit buaya sebagai berikut: 1. Jamur kulit (white spot) Jamur kulit dapat menyebabkan kerusakan pada kulit buaya sehingga dapat menurunkan nilai komersial produk buaya. Pada saat pengamatan, anakan buaya yang terserang jamur masih bercampur dengan buaya lain yang masih sehat. Penyakit jamur merupakan penyakit yang menular. Menurut Ratnani (2007) jamur kulit adalah penyakit kulit yang penularannya melalui air yang kotor atau kurang
43
bersih pada waktu pembersihan kandang, pakan yang kurang, hingga rendahnya temperatur air yang biasanya di bawah 24 °C. Penyebab timbulnya penyakit akibat fungi ini sebagian dikarenakan pakan yang terlalu berlemak dan kolam yang kotor, penularannya diakibatkan oleh suhu lingkungan yang rendah (Britton 2001). Berdasarkan wawancara dengan petugas penangkaran, bahwa keeper belum mengetahui cara pengobatan buaya yang terserang suatu penyakit, sehingga selama ini belum pernah dilakukan pengobatan secara medis pada buaya-buaya yang terserang penyakit. Menurut Permatasari (2002), pencegahan jamur kulit dilakukan dengan memberikan potassium permanganate pada air kolam dan pemberian copper sulphate dalam air untuk mengangkat fungi pada dasar kolam sebelum diberikan air baru, sedangkan pengobatannya dilakukan dengan pemberian antibiotik spectrum luas sebagai bakterisidal dan fungisidal. 2. Luka-luka Hasil pengamatan menunjukkan bahwa luka-luka sering dijumpai pada buaya di penangkaran CV Surya Raya. Luka pada tubuh buaya disebabkan karena perkelahian memperebutkan makanan. Luka tersebut akan meninggalkan bekas sehingga mengurangi kualitas kulit dan pada akhirnya dapat mengurangi nilai jual. Luka-luka kemungkinan juga disebabkan oleh ukuran kandang yang tidak sebanding dengan jumlah buaya yang terdapat didalamnya sehingga buaya sering mengalami perkelahian. Buaya yang mengalami luka-luka tidak dilakukan perawatan medis oleh pengelola. Buaya-buaya tersebut sengaja dibiarkan dan akan sembuh dengan sendirinya oleh minyak buaya yang keluar dari bagian tubuh yang terluka. Menurut Bolton (1989) dan Britton (2001) luka-luka yang terjadi segara dibersihkan dengan hydrogen peroksida dan iodine sebagai antiseptik untuk mencegah infeksi, bila luka pada tubuh cukup besar dapat dilakukan penjahitan pada luka tersebut dengan prosedur bedah. 3. Kurang nafsu makan Suzanna (2000) menyebutkan gejala dari penyakit ini adalah menurunnya berat badan. Menurut Permatasari (2002), penyakit tidak nafsu makan pada buaya disebabkan oleh parasit yang akan menyebabkan tingkat pertumbuhan anak buaya rendah dan kualitas kulit menurun, jika menyerang terus-menerus dapat menyebabkan kematian. Bolton (1989) menyebutkan bahwa nafsu makan pada
44
buaya berada pada titik terendah ketika kadar gula darah dalam tubuh buaya rendah. 4. Cacat tubuh Cacat tubuh ditandai oleh bagian tubuh tertentu yang terlihat tidak normal dan bersifat permanen. Cacat tubuh pada buaya disebabkan oleh cacat bawaan dan cacat karena perkelahian antar buaya. Cacat bawaan biasanya terjadi pada saat telur menetas misalnya bagian tubuh tertentu terjepit oleh cangkang, sedangkan cacat karena perkelahian antar buaya biasanya terjadi karena perkelahian dalam memperebutkan makanan, pasangan, dan daerah jelajah. Cacat tubuh buaya yang dijumpai di penangkaran CV Surya Raya disebabkan oleh cacat bawaan seperti patah ekor pada anakan buaya muara (Gambar 16), kaki buntung pada buaya muara, dan moncong bagian bawah buntung pada buaya supit. Menurut Permatasari (2002), cacat tubuh biasanya terjadi pada saat telur menetas yang merupakan cacat lahir atau bawaan (conganital). Bolton (1989) menyebutkan cacat di penetasan (seperti ekor tidak ada) disebabkan oleh suhu inkubasi yang salah. Cacat tubuh buaya bersifat tidak menular sehingga tidak perlu diadakan pengobatan. Pencegahan cacat tubuh pada buaya antara lain dapat dilakukan dengan penanganan yang baik terhadap telur-telur selama penetasan dan anakan buaya pasca penetasan, menyediakan ruang gerak seluas-luasnya dalam pemeliharaan buaya untuk mencegah terjadinya perkelahian, dan selalu waspada terhadap bahaya serangan buaya.
Gambar 16 Cacat ekor anakan buaya muara (Crocodylus porosus). 5. Stres Menurut Ratnani (2007) penyebab stres antara lain: jumlah populasi buaya yang banyak dalam satu kandang, adanya suara-suara keramaian, perebutan
45
wilayah, perebutan makanan, perebutan pasangan dll. Bila stres terlalu tinggi dapat menyebabkan anorexsia sehingga buaya akan mengalami kematian. Pengobatan yang dilakukan selain dengan memisahkan dari buaya ke kandang karantina, juga diberikan vitamin anti stres yaitu noptressa yang dicampur dengan pakan dengan dosis 1 gram : 1 kg pakan. 6. Mulut busuk (Mouth rot) Menurut Permatasari (2002) penyebab mulut busuk adalah bakteri dan defisiensi vitamin C. Gejala penyakit ini yaitu mulut berwarna kemerahan dan sakit yang kemudian akan menjadi ulcus (borok) yang lama-kelamaan akan diselimuti oleh kulit yang mengering. Penyakit mulut busuk di penangkaran buaya CV Surya Raya dijumpai pada anakan buaya muara. Pada saat pengamatan, buaya yang menderita penyakit ini masih bergabung dengan buaya lain yang sehat. Petugas belum melakukan upaya pengobatan terhadap buaya tersebut karena keterbatasan pengetahuan. Britton (2001) menyebutkan cara pengobatan pertama pada penyakit mulut busuk yaitu dengan membersihkan daerah mulut secara hatihati menggunakan hydrogen peroksida kemudian dibilas dengan larutan fisiologis, setelah itu diberikan bubuk antibiotik sulphadimine atau streptomycin. Antibiotik dengan spectrum luas diberikan setiap hari peroral atau perinjeksi selama seminggu dan ditambah dengan vitamin C. Hasil pengamatan dan wawancara dengan pengelola menunjukan bahwa belum ada upaya pengobatan medis untuk mengobati penyakit yang diderita buaya di penangkaran CV Surya Raya, karena kurangnya pengetahuan pengelola terhadap jenis penyakit buaya dan pengobatannya. Mengingat kebebasan satwa dari rasa sakit, luka, dan penyakit merupakan salah satu dari prinsip kesejahteraan satwa, maka permasalahan ini dapat dicegah dengan melakukan pembersihan kandang secara rutin baik di dalam kadang maupun di luar kandang, mengatur sanitasi kandang yang baik untuk mencegah berkembangnya bibit penyakit, memberikan ruang yang cukup untuk mencegah terjadinya konflik antar buaya, dan segera melakukan perawatan kesehatan dari dokter hewan untuk perawatan dan pengobatan penyakit.
46
5.4 Pengelolaan Reproduksi Suatu penangkaran dikatakan berhasil apabila satwa yang ditangkar telah berhasil menghasilkan keturunan. Pengelolaan reproduksi di penangkaran buaya CV Surya Raya meliputi penentuan jenis kelamin, pemilihan bibit, nisbah kelamin, musim kawin, musim bertelur dan jumlah telur per musim, serta penetasan telur. 5.4.1 Penentuan jenis kelamin Cara membedakan jenis kelamin buaya di penangkaran buaya CV Surya Raya yaitu dengan mengecek langsung alat kelaminnya. Pengecekan alat kelamin buaya di penangkaran ini biasanya dilakukan pada saat penyeleksian buaya untuk bibit dan pemotongan. Alat kelamin buaya minimal baru dapat dilihat jika buaya telah berumur ± 2 tahun, karena untuk mengidentifikasi jenis kelamin pada buaya yang berukuran lebih kecil sangat sulit sehingga membutuhkan pengalaman dan keahlian tersendiri (misalnya dokter hewan atau ahli buaya). Penentuan jenis kelamin buaya dilakukan secara manual yaitu dengan cara meraba pada bagian kelaminnya. Bagian kloaka buaya ditekan agar alat kelamin buaya terlihat. Kelamin jantan memiliki tonjolan, sedangkan kelamin betina tidak memiliki tonjolan. Sandjojo (1982) menyebutkan bahwa alat kelamin jantan pada buaya dewasa berupa penis yang terletak di dekat lubang pegeluaran (kloaka), sedangkan pada buaya betina berupa klitoris yang hampir identik dengan penis tetapi lebih kecil. Britton (2003) menambahkan bahwa alat kelamin jantan dicirikan dengan bagian tunggal dan penis terlihat sangat nyata dengan bagian kepala yang menonjol dan satu batang cartilaginous, penis terletak di dinding kloaka tepat di depan lubang angin, bila dipegang terasa lunak, dan berbentuk tabung silindris yang ujungnya menonjol, sedangkan alat kelamin betina dicirikan dengan satu klitoris yang letaknya sama dengan penis, bentuknya serupa dengan bentuk penis namun jauh lebih kecil, dan tidak memiliki cartilaginous. Alat kelamin buaya jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 17.
47
(a)
(b)
Sumber: Britton (2003).
Gambar 17 Alat kelamin buaya. Keterangan: (a) Alat kelamin jantan; (b) Alat kelamin betina. 5.4.2 Pemilihan bibit Pemilihan bibit (calon induk) yang berkualitas dalam penangkaran harus diperhatikan agar mendapatkan keturunan yang baik. Pemilihan bibit bertujuan untuk memperoleh sifat-sifat produktif, seperti mampu menghasilkan telur dan memberikan keturunan yang baik. Di penangkaran CV Surya Raya pemilihan bibit atau calon induk dilakukan dengan memperhatikan kondisi fisik buaya antara lain terhindar dari penyakit, cacat tubuh, dan tidak berasal dari satu keturunan. Pengambilan bibit pada satu populasi pada buaya supit menyebabkan buaya supit gagal bereproduksi. Buaya yang digunakan sebagai indukan di penangkaran CV Surya pertama kali diperoleh dari pembelian kepada masyarakat yang mengambil dari pedalaman Sungai Mahakam (F0) sebanyak empat ekor buaya muara jantan dan pembelian dari penangkaran Tarakan sebanyak 60 ekor buaya muara terdiri dari 20 ekor buaya jantan dan 40 ekor buaya betina. 5.4.3 Nisbah kelamin Nisbah kelamin buaya jantan terhadap betina pada kandang indukan di penangkaran CV Surya Raya berbeda-beda. Nisbah kelamin pada buaya muara dan pada buaya air tawar sama yaitu 1 : 5, dan pada buaya supit adalah 12 : 1. Nisbah kelamin pada buaya muara dan buaya air tawar sudah mendekati ideal. Fakultas Kehutanan IPB (1990) menyebutkan nisbah kelamin ideal untuk buaya jantan terhadap betina adalah 1 : 4. Nisbah kelamin yang tidak ideal pada buaya supit di penangkaran buaya CV Surya Raya menyebabkan persaingan dalam memperebutkan pasangan sehingga buaya sulit berkembangbiak. Pembentukan
48
pasangan kawin buaya di penangkaran ini tidak dilakukan oleh pengelola sehingga buaya betina memilih sendiri pasangan kawinnya. 5.4.4 Musim kawin Musim kawin buaya di penangkaran CV Surya Raya biasanya terjadi pada bulan Juli sampai Agustus. Menurut Tim PT Yasanda (1992) dalam Ratnani (2007), perkawinan buaya terjadi di dalam kolam dan sulit dideteksi dan terjadi antara bulan Februari sampai Oktober. Bolton (1989) menyebutkan periode antara kawin dan bertelur untuk beberapa spesies buaya adalah 3-6 minggu bahkan lebih. 5.4.5 Musim bertelur dan jumlah telur permusim Musim bertelur buaya di penangkaran CV Surya Raya adalah pada bulan September sampai Maret. Jumlah telur buaya yang dihasilkan setiap jenis buaya berbeda-beda. Jumlah telur yang dihasilkan buaya di penangkaran CV Surya Raya tersaji pada Tabel 12. Tabel 12 Jumlah telur yang dihasilkan buaya di penangkaran CV Surya Raya No. 1.
2.
3.
Jenis buaya Buaya muara (Crocodylus porosus) Buaya air tawar (Crocodylus siamensis) Buaya supit (Tomistoma schlegelii)
Jumlah telur buaya (butir per sarang) Di penangkaran Literatur
Sumber literature
25-69
20-45
Webb dan Manolis (1989)
15-40
30-40
Kurniati et.al (2005)
± 15
20-60
Grzimek (1975)
Tabel 12 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah telur buaya yang dihasilkan penangkaran buaya CV Surya Raya dengan hasil studi literatur. Relatif lebih sedikitnya jumlah telur yang dihasilkan buaya di penangkaran ini disebabkan letak kandang buaya indukan di penangkaran buaya CV Surya Raya kurang tepat karena memudahkan interaksi antara pengunjung dengan buaya, sehingga pada saat musim kawin atau musim bertelur, buaya yang terdapat di kandang tersebut terganggu oleh aktifitas pengunjung, akibatnya jumlah telur yang dihasilkan relatif sedikit. Selain itu, karena indukan buaya supit di peroleh dari satu sarang, sehingga indukan buaya supit di penangkaran ini mengalami inbreeding. Thohari (1987b) menyebutkan bahwa individu hasil perkawinan dari
49
keturunan segaris umumnya rentan dalam kemampuan reproduksi, kekuatan atau kesegaran tubuh tidak baik, dan mengurangi penampilan bibit. 5.4.6 Penetasan telur Penetasan telur di penangkaran buaya CV Surya Raya dilakukan dengan menggunakan inkubator. Penetasan telur dilakukan melalui beberapa tahapan meliputi persiapan inkubator, pengumpulan telur, penyortiran, peletakan telur, penomoran, pemindahan keranjang telur ke rak penetasan, pemantauan telur, dan penanganan anakan buaya pasca penetasan (Gambar 18). 1. Persiapan inkubator Ruang inkubator yang terdapat di penangkaran buaya CV Surya Raya berupa bangunan permanen tertutup berukuran 5 m x 3 m x 2 m, berdinding tembok berlapis stereoform dengan plafon berupa triplek, atap berupa asbes, dan lantai berupa semen. Di dalam ruangan inkubator dilengkapi dengan alat pengatur suhu ruangan (thermostat), delapan buah lampu pijar (100 watt per lampu) yang menghasilkan suhu 34 °C, dan rak kayu untuk meletakkan keranjang telur yang siap ditetaskan. Sebelum dilakukan proses penetasan telur, petugas penangkaran melakukan pembersihan ruangan inkubator, keranjang telur dan media penetasan. Pembersihan ruang inkubator hanya dilakukan dengan menyapu ruangan. Pembersihan keranjang dengan mencuci keranjang hingga bersih kemudian dikeringkan. Media penetasan yang digunakan adalah Sphagnum moss yaitu lumut dari genus sphagnum. Pada akhir tahun 2010, penangkaran CV Surya Raya menggunakan media penetasan berupa pasir laut dan gabah. Pembersihan media penetasan dilakukan dengan menghilangkan kotoran atau cangkang bekas penetasan sebelumnya yang terdapat dalam Sphagnum moss, kemudian Sphagnum moss dibasahi agar menjadi lembab. Sphagnum moss di penangkaran ini digunakan 1-2 kali sebagai media penetasan sehingga sebelum digunakan kembali Sphagnum moss harus dibersihkan dari sisa-sisa cangkang bekas penetasan sebelumnya.
50
Persiapan inkubator
1. Ruang inkubator 2. Keranjang telur 3. Media penetasan (Sphagnum moss)
Pengumpulan telur
Penyortiran
Peletakan telur
1. Pembersihan telur 2. Pengecekan telur berembrio atau tidak Keranjang telur
Penomoran
Pemindahan keranjang telur ke rak penetasan
Pemantauan
Ruang inkubator
1. Ruang inkubator 2. Media penetasan (Sphagnum moss) Telur menetas
Penanganan anakan buaya (hatchling) pasca penetasan
Gambar 18 Tahapan penetasan telur di penangkaran buaya CV Surya Raya. Kegiatan pembersihan inkubator tidak dilakukan dengan sterilisasi sehingga kemungkinan jamur atau bakteri dapat tumbuh karena ruangan inkubator belum terjamin kesterilannya. Gumilar (2007) menyebutkan bahwa pembersihan ruang inkubator di penangkaran PT Ekanindya Karsa dengan sterilisasi fumigasi (pengasapan) menggunakan kalium permanganat (PK) dan formalin. Air di dalam inkubator juga diberikan larutan PK non pekat agar telur dan ruangan tetap terjaga kesterilannya dan tidak terserang jamur atau bakteri. Ruang penetasan yang
51
terdapat di penangkaran buaya CV Surya Raya sudah dilengkapi dengan alat pengatur suhu ruangan (thermostat) agar suhu dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan. Ruang inkubator dipertahankan pada suhu 32-34 °C dengan kelembaban 90 %. Kelembaban media penetasan diketahui dengan memegang Sphagnum moss, jika Sphagnum moss kering maka petugas memercikan air ke media penetasan tersebut. Dinding ruang inkubator dilapisi stereoform dengan ketebalan ± 5 cm berfungsi agar udara di ruang inkubator stabil. 2. Pengumpulan telur Pengumpulan telur dilakukan dua minggu setelah buaya bertelur bertujuan untuk memudahkan dalam penyortiran dan mempercepat penetasan karena pada umur dua minggu setelah telur dikeluarkan oleh induk buaya, tanda-tanda telur berembrio dapat terlihat lebih jelas. Pengumpulan telur di penangkaran buaya CV Surya Raya minimal dilakukan oleh tiga orang yang bertugas menghalau buaya induk yang sedang menjaga sarang atau buaya lain yang mendekat, mengukur tinggi, lebar dan jarak sarang dari kolam, mengambil telur dan melakukan penandaan pada telur, serta melindungi telur dari berbagai gangguan selama pengumpulan. Sebelum telur-telur diambil dari sarangnya, petugas mengukur tinggi, lebar dan jarak sarang dari kolam. Hasil pengukuran sarang pada tahun 2008-2009, rata-rata tinggi sarang buaya berkisar antara 60-90 cm, lebarnya 80150 cm, dan jarak rata-rata berkisar antara 2-11 m dari kolam. Pengukuran sarang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana buaya membuat sarang dan bertelur dari kolam. Saat mengambil telur dari sarang dan memasukkannya ke dalam wadah harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Di bagian alas wadah untuk meletakkan telur dilengkapi dengan Sphagnum moss untuk menghindari goncangan atau benturan sehingga telur tidak pecah pada saat pengangkutan dan pemindahan telur. Sebelum diletakkan dalam wadah, telur-telur diberi tanda menggunakan spidol agar posisi telur sama dengan posisi ketika telur masih dalam sarangnya, untuk menghindari kematian embrio pada awal perkembangan. Telur-telur untuk setiap jenis buaya diletakkan dalam wadah yang berbeda agar memudahkan dalam pengklasifikasian. Hasil catatan petugas menunjukkan dalam sekali pengumpulan telur hanya diperoleh satu sampai empat sarang yang berisi 10-69 butir per sarang.
52
Waktu pengumpulan telur sudah sesuai dengan yang disebutkan Bolton (1989), bahwa perkembangan embrio pada usia dua minggu masih terlihat transparan namun organ tubuh lain seperti kaki mulai dapat terlihat (dilihat dengan lensa). Bolton (1989) menambahkan bahwa pengumpulan telur tidak dilakukan sehari setelah telur dikeluarkan oleh induknya karena selama 24 jam setelah telur dikeluarkan oleh induk, kuning telur akan bergerak masuk ke dalam sel telur tersebut tanpa merusak sel telur itu sendiri namun setelah hari pertama, sel telur ini akan melekat pada selaput membran telur sehingga apabila pengumpulan telur dilakukan maka gerakan atau goncangan telur pada saat pengumpulan telur dapat merobek perkembangan embrio dan dapat merusak telur. Setelah 3-4 minggu masa inkubasi, embrio dan selaput membran akan menjadi kuat untuk menahan guncangan ringan, sehingga pengumpulan telur sebaiknya dilakukan dengan ekstra hati-hati setidaknya 3 minggu setelah telur dikeluarkan oleh induknya. 3. Penyortiran Tahapan penyortiran merupakan tahap seleksi telur, bertujuan untuk mengetahui apakah telur mengandung embrio atau tidak. Tahap penyortiran meliputi pembersihan dan pengecekan. Telur-telur hasil pengumpulan terlebih dahulu dibersihkan dengan menggunakan air sebelum dilakukan penyortiran. Teknik pembersihannya yaitu dengan cara mengelap dengan kain berbahan halus yang dibasahi dengan air dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak mengganggu pertumbuhan embrio. Tujuan pembersihan telur agar terhindar dari kotoran atau jamur yang akan mempengaruhi tahapan selanjutnya. Pembersihan telur dilakukan dengan hati-hati dan tidak mengubah posisi telur. Setelah dibersihkan kemudian dilakukan pengecekan. Pengecekan dilakukan di bawah cahaya lampu untuk mengetahui apakah telur mengandung embrio atau tidak. Telur yang mengandung embrio ditandai dengan terdapatnya bintik hitam dalam telur. Telur yang tidak mengandung embrio diberi tanda silang (X) dan tetap diikutkan dalam penetasan. Hal tersebut untuk membuktikan apakah telur tersebut dapat menetas atau tidak. Bolton (1989) menyebutkan bahwa telur yang baru dikeluarkan berwarna putih transparan, tempat dari embrio yang melekat pada selaput membran telur
53
akan terlihat dari luar berupa titik (berwarna biru kehijauan) yang akan selalu menghadap ke atas. Tanda-tanda dapat terlihat pada telur alligator, titik tersebut berkembang membentuk garis memanjang yang berada di tengah-tengah telur dan garis tersebut akan melebar dan setelah 30 hari akan menutupi seluruh selaput membran sel dan hanya bagian ujung dari telur yang terlihat transparan (dapat dilihat bila diarahkan ke sinar matahari atau lampu) (Gambar 19). Menurut Bolton (1988) dalam Permatasari (2002), titik embrio pada telur alligator hampir sama dengan buaya muara.
Sumber: http://www.fao.org/docrep/006/T0226E/t0226e07.HTM
Gambar 19 Perkembangan titik embrio telur alligator. 4. Peletakan telur Wadah untuk meletakkan telur adalah keranjang plastik berukuran 0,6 m x 0,4 m x 0,2 m memiliki lubang bagian bawah dan sisi-sisinya yang berfungsi untuk sirkulasi udara dalam keranjang. Satu keranjang berisi 25-30 butir tergantung jumlah telur yang akan ditetaskan. Telur yang akan ditetaskan disusun di atas Sphagnum moss dengan ketebalan ± 5 cm (Gambar 20). Telur-telur tersebut diletakkan secara vertikal, di susun enam baris dan diberi jarak (jarak tiap baris ± 1,5 cm) dan tiap baris terdapat lima butir telur dengan jarak antar telur 2 cm (Gambar 21). Penggunaan Sphagnum moss sebagai media penetasan karena Sphagnum moss bersifat mudah menyerap dan menyimpan air sehingga kelembaban telur tetap terjaga, serta dapat menghasilkan panas yang stabil. Hendarsyah (2010) menyebutkan bahwa Sphagnum moss memiliki kelebihan yaitu dapat menyerap air dan mempertahankan air dengan baik, serta dapat menjaga kelembapan media dan lingkungan sekitar.
54
60 cm 40 cm
20 cm Telur diletakkan di atas media penetasan (Sphagnum moss) setinggi 5 cm
Gambar 20 Teknik peletakan telur ke dalam keranjang. 5. Penomoran Penomoran merupakan kegiatan penandaan berupa angka pada telur, dilakukan untuk memudahkan pemantauan perkembangan embrio dan waktu penetasannya. Pemberian nomor menggunakan spidol permanen agar tidak mudah hilang atau luntur. Penomoran dilakukan setelah telur diletakkan dan disusun dalam keranjang sebelum ditimbun kembali dengan Sphagnum moss. Teknik penomoran dilakukan secara urut mulai dari kiri atas baris pertama hingga baris ke enam dengan sistem penomoran bentuk ular (Gambar 21). Untuk memudahkan pemantauan, pada keranjang telur diberi keterangan mengenai tanggal pengumpulan telur, jumlah telur dalam keranjang, dan asal kandang telur-telur tersebut diperoleh.
Gambar 21 Teknik penomoran telur buaya.
55
6. Pemindahan keranjang telur ke rak penetasan Telur-telur yang telah dimasukkan dalam keranjang dan telah dilakukan penomoran ditimbun kembali dengan Sphagnum moss dengan ketebalan ± 5 cm kemudian keranjang tersebut di susun dalam rak kayu dan siap untuk ditetaskan. Rak kayu yang terdapat di penangkaran CV Surya Raya hanya terdiri dari satu tingkat sehingga hanya dapat menampung enam keranjang (Gambar 22). Jika jumlah telur yang akan ditetaskan lebih dari enam keranjang maka petugas penangkaran meletakkan keranjang telur yang siap ditetaskan di atas keranjang kosong yang berukuran sama dengan keranjang telur. Tinggi rak adalah 20 cm dari lantai bertujuan agar sirkulasi udara dan temperatur udara dapat keluar masuk keranjang. Bolton (1989) menyebutkan ventilasi dan sirkulasi udara harus sesuai untuk mencegah telur tidak kekurangan oksigen dan untuk pembuangan karbondioksida. Bola lampu di gantung di atas keranjang telur dengan jarak 20 cm untuk memanaskan telur.
Gambar 22 Peletakan keranjang telur ke rak penetasan. 7. Pemantauan Pemantauan yang dilakukan petugas penangkaran buaya CV Surya Raya meliputi pemantauan terhadap ruang inkubator dan media penetasan (Sphagnum moss). Pemantauan ruang inkubator dilakukan dengan memeriksa kondisi ruangan agar suhu tidak berfluktuasi. Pemantauan terhadap Sphagnum moss bertujuan untuk mengetahui kelembabannya. Kelembaban Sphagnum moss diperiksa setiap hari oleh petugas dengan memegang kondisi Sphagnum moss, jika kering maka petugas akan menyemprotkan (memercikan) air dengan bantuan botol spray.
56
Suhu yang digunakan untuk menetaskan telur di penangkaran CV Surya Raya adalah 32 °C dan kelembaban 90 %. Suhu dan kelembaban tersebut sudah sesuai dengan yang disebutkan Bolton (1989), bahwa untuk mencegah telur dari kehilangan air dan untuk membantu dalam proses pemecahan kimia cangkang maka kelembaban relatif yang diperlukan untuk menetaskan telur adalah 90-100 % dengan kisaran suhu optimal sebesar 31-32 °C atau setidaknya dalam batas aman yaitu 28-34 °C. Webb dan Manolis (1989) menyebutkan bahwa pada tingkat embrio berkembang tergantung pada temperatur, dipengaruhi oleh gas (O2 dan CO2) dan kelembaban di dalam sarang. Untuk menjaga agar suhu dan kelembaban ruang inkubator tetap stabil maka ruang inkubator didisain tertutup dengan dinding dilapisi stereoform. 8. Telur menetas Data tahun 2008-2009 menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menetaskan telur di penangkaran CV Surya Raya berbeda-beda, untuk buaya muara berkisar 87-125 hari, buaya air tawar 81-92 hari dan buaya supit tidak berhasil menetas, dengan daya tetas telur untuk buaya muara yaitu 73 %, buaya air tawar 18 %, dan buaya supit 0 %. Telur yang siap menetas ditandai dengan suarasuara ciatan anak buaya yang lama kelamaan akan memperlihatkan retakanretakan kecil pada permukaan telur. Kisaran waktu penetasan telur di penangkaran buaya CV Surya Raya sudah sesuai dengan yang disebutkan Bolton (1989), bahwa inkubasi membutuhkan waktu sekitar 9-13 minggu tergantung pada spesies dan suhu. Hasil perhitungan daya tetas telur menunjukkan bahwa keberhasilan penetasan telur buaya di penangkaran ini relatif kecil. Kegagalan penetasan disebabkan oleh beberapa kemungkinan yaitu sebagian telur tidak dibuahi, kurang teliti dalam penyortiran telur (misalnya terdapat telur yang retak), kesalahan dalam peletakan telur (posisi telur di inkubator tidak sama dengan posisi telur di sarang), respon telur terhadap suhu dan kelembaban berbeda-beda, serta suhu dan kelembaban tidak tepat. Bolton (1989) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penetasan telur antara lain temperatur tepat dan tetap (konstan), kelembaban tinggi, arah peletakkan telur, dan telur tidak dipegang sama sekali hingga tiba saatnya telur menetas. Gumilar (2007) menyebutkan tanda-tanda telur mulai
57
memasuki hari-hari akhir masa inkubasi antara lain apabila petugas mengetuk pelan telur yang diperkirakan siap menetas kemudian dari dalam telur terdengar ketukan balasan atau suara-suara ciatan anak buaya, adanya retakan-retakan kecil di permukaan telur, telur menjadi ringan, dan warnanya menjadi sangat putih. Jika cangkang telur yang sudah retak namun sulit membuka maka petugas akan membantu melepaskan cangkang telur dari tubuh anakan buaya tersebut dengan sangat hati-hati. 9. Penanganan anakan buaya pasca penetasan Anakan buaya yang baru menetas langsung diletakkan dalam box plastik kering berukuran 0,5 m x 0,3 m x 0,5 m. Selanjutnya anakan buaya diletakkan di dalam ruang tertutup agar terhindar dari stres, fluktuasi suhu dan kelembaban. Ruang untuk meletakkan anakan buaya diberi penerangan lampu 100 watt (34 °C) untuk memberi kehangatan. Kebutuhan utama yang diperlukan anakan buaya yang baru menetas adalah kehangatan dan jauh dari keramaian (pengasingan diri). Bolton (1989) menyebutkan anakan yang baru menetas harus dijauhkan dari air minimal 24 jam setelah menetas agar selaput membran tipis cepat mengering dan mencegah infeksi. Perlakuan anakan buaya tersebut berbeda dengan yang dilakukan di penangkaran PT Ekanindya Karsa. Menurut Gumilar (2007), anakan buaya yang baru keluar dibilas dengan air hangat yang telah dicampur dengan larutan kalium permanganat non pekat (PK 1 %) bertujuan untuk membersihkan lendir-lendir dan darah yang berada di sekujur tubuhnya. Anakan buaya kemudian dimasukkan ke dalam bak yang berisi sedikit air dengan posisi bak agak miring ± 60 °C dari lantai bertujuan agar anakan buaya tidak selalu tergenang air di dalam bak tersebut, kemudian diberi penerangan ± 100 watt (34 °C) untuk memberi kehangatan yang cukup bagi mereka. Bolton (1989) menyebutkan bahwa secara umum, pertumbuhan yang cepat pada buaya muda tergantung pada suhu tubuh tinggi, asupan makanan tinggi dan manajemen rutin dalam meminimalkan penyakit dan stres. Menurut Land (1981) dalam Bolton (1989) menemukan buaya air tawar di New Guinea, kurang dari dua minggu lebih memilih suhu 33,4-33,9 °C. Suhu tersebut adalah 3-4 °C lebih tinggi dari suhu yang lebih disukai remaja dan hewan yang lebih tua. Hal tersebut berarti secara tidak langsung suhu yang rendah dapat menyebabkan kematian pada
58
anakan buaya. Anakan buaya yang baru menetas masih memiliki cadangan kuning telur sehingga tidak diberi makan dalam beberapa hari setelah menetas. Bolton (1989) menyebutkan perawatan rutin yang dilakukan untuk anakan buaya terdiri dari pemberian pakan, membersihkan kandang, dan menjaga buaya dari segala gangguan. Penanganan anakan buaya yang baru menetas harus dilakukan secara hati-hati karena dalam penangkaran berbeda dari habitat aslinya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dari alam maka penanganannya harus lebih hati-hati dan lebih baik. 5.5 Pengelolaan Pemanfaatan Hasil Pemanfaatan hasil yang dilakukan di penangkaran buaya CV Surya Raya dibedakan menjadi dua bentuk yaitu pemanfaatan hasil penangkaran berupa barang atau produk dan pemanfaatan hasil penangkaran sebagai jasa wisata. Berdasarkan tiga jenis buaya yang ditangkarkan, maka penekanan pemanfaatan hasil penangkaran untuk buaya air tawar dan buaya supit lebih diarahkan untuk tujuan koleksi dan pelestarian, hal ini karena secara internasional keberadaan kedua jenis buaya tersebut terancam kepunahan dan tidak boleh diperdagangkan (Appendix I CITES), sedangkan buaya muara lebih diarahkan pada tujuan pemanfaatan untuk komersial berupa barang atau produk dan jasa wisata. 5.5.1 Pemanfaatan hasil penangkaran berupa barang atau produk 5.5.1.1 Usia panen dan teknik pemanenan Pemanenan buaya yang dilakukan di penangkaran CV Surya Raya hanya dilakukan setahun sekali, yaitu apabila telah mendapat ijin dari BKSDA Kalimantan Timur. Pemanenan buaya hanya dilakukan untuk buaya muara. Buaya yang dipanen setiap kali pemanenan berkisar antara 300-500 ekor. Buaya yang dipanen adalah buaya yang berumur sekitar 2-4 tahun yang telah memenuhi kriteria yakni panjang tubuh 1,80-2,20 m dan lebar dada yakni 45-50 cm. Sebelum dilakukan proses pemotongan, tahap yang dilakukan adalah penyortiran yaitu pemilihan buaya sesuai dengan kriteria usia potong. Buaya-buaya yang disortir kemudian ditampung dalam bak penampungan.
59
5.5.1.2 Pengelolaan pasca panen Pengelolaan pasca panen merupakan semua usaha dan kegiatan yang dilakukan dalam rangka menangani dan meningkatkan nilai tambah dari pemanenan buaya-buaya hasil penangkaran (Fakultas Kehutanan IPB 1990). Pengelolaan pasca panen yang dilakukan di penangkaran buaya CV Surya Raya yaitu pemotongan, pengulitan (skinning), dan pengolahan daging. Buaya yang akan dipotong diikat mulutnya dengan tali tambang dan buaya dibaringkan di lantai semen kemudian dilakukan pemotongan. Pemotongan dilakukan dengan menusuk bagian tengkuk kepalanya (pos frontalis) dengan menggunakan pisau tajam. Setelah buaya dipotong kemudian dilakukan proses pengulitan. Proses pengulitan harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan menggunakan pisau yang tajam. Menurut Fakultas Kehutanan IPB (1990) hal-hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan pengulitan adalah sebagai berikut: 1. Pengulitan harus dilakukan segera setelah buaya mati 2. Pengulitan harus sempurna, hanya bagian luar kulit (eksoderm) yang di kuliti tanpa terbawa kulit bagian dalam (endoderm). 3. Kulit harus bersih tanpa cacat, koyak atau berlubang kena pisau. 4. Setelah kulit terlepas dari badan harus segera dicuci beberapa kali dengan air sampai bersih, kemudian dilakukan pernggaraman. Tahapan pengulitan yang dilakukan di penangkaran buaya CV Surya Raya sama dengan tahapan pengulitan yang disarankan Fakultas Kehutanan IPB (1990) yaitu sebagai berikut: 1. Buaya yang sudah dipotong dan siap dikuliti diletakkan di lantai semen dengan posisi punggung di bagian atas. 2. Proses pengulitan dimulai dari atas tengkuk melalui garis tengah punggung bagian atas sampai ujung ekor. 3. Membuat sayatan pada bagian kulit depan kaki depan dan bagian belakang kaki belakang tegak lurus dengan garis tengah punggung. 4. Lembaran kulit utuh yang terlepas dari tubuh buaya dibersihkan dari sisa-sisa daging yang masih menempel, dicuci, ditiriskan kemudian segera dilakukan proses penggaraman. 5. Cara pengulitan dapat dilihat pada Gambar 23.
60
Sumber: Fakultas Kehutanan IPB (1990).
(A) Salah, memotong pada bagian depan kaki belakang dan bagian belakang kaki depan. (B) Benar, memotong pada bagian depan kaki depan dan bagian belakang kaki belakang. Gambar 23 Cara pengulitan kulit buaya. 5.5.1.3 Bagian tubuh buaya yang dimanfaatkan Buaya merupakan salah satu jenis reptil yang memiliki nilai ekonomi tinggi karena hampir seluruh bagian tubuhnya dapat dimanfaatkan. Beberapa produk yang dihasilkan dari bagian tubuh buaya tersaji pada Tabel 13. Tabel 13 Produk yang dihasilkan dari bagian tubuh buaya No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Bagian yang dimanfaatkan Kulit Daging Empedu Tangkur Lemak Gigi
7.
Kuku
Produk Tas, dompet, ikat pinggang Sate, dendeng, kerupuk, abon Obat asma Obat kuat Obat alergi/gatal Asesoris (gantungan kunci, gelang, kalung, dinding) Asesoris (gantungan kunci, gelang,kalung, dinding)
hiasan hiasan
a. Kulit buaya Kulit buaya merupakan bagian utama yang dimanfaatkan dari tubuh buaya. Hal ini karena kulit buaya memiliki nilai jual tinggi. Menurut Bolton (1989) kulit yang paling berharga berasal dari perut, panggul, tenggorokan dan leher dimana pada bagian-bagian tersebut tidak terdapat tulang. Pengolahan kulit buaya yang dilakukan di penangkaran buaya CV Surya Raya hanya sampai pada tahap penggaraman. Penggaraman harus segera dilakukan setelah proses pengulitan karena dapat mempengaruhi kualitas kulit yang dihasilkan. Penggaraman
61
bertujuan untuk mengawetkan kulit agar tidak membusuk, tidak dimakan ulat dan dapat bertahan lama. Menurut Fakultas Kehutanan IPB (1991) sisa-sisa daging yang menempel pada kulit buaya mengandung albumin dan merupakan media tumbuh bakteri sehingga dengan penggaraman akan menghambat pertumbuhan dan merusak kehidupan koloni fungi dan bakteri yang dapat merusak mutu kulit. Tahapan penggaraman yang dilakukan di penangkaran buaya CV Surya Raya adalah sebagai berikut: 1. Kulit bagian dalam yang sudah bersih dari sisa-sisa daging yang menempel, dicuci dan ditiriskan sampai airnya hilang kemudian dihamparkan di atas meja untuk memudahkan penggaraman. 2. Kulit bagian dalam ditaburi garam dan digosok sampai merata, dilakukan hingga beberapa kali. 3. Dibiarkan hingga beberapa hari agar garam meresap ke dalam kulit. 4. Kulit buaya yang sudah digarami disimpan di tempat yang kering dan bersih serta tidak terkena sinar matahari. Pengolahan kulit seperti penyamakan tidak dilakukan di penangkaran ini karena biayanya mahal, prosesnya rumit, keterbatasan alat, dan tidak adanya tenaga ahli. Contoh produk yang dihasilkan dari kulit buaya dapat dilihat pada Gambar 24. (a)
(b)
Gambar 24 Produk yang dihasilkan dari kulit buaya. Keterangan: (a) Dompet; (b) Ikat pinggang. room. b. Daging buaya Daging buaya juga merupakan produk yang bernilai tinggi yang diproduksi Kandang show room berbentuk persegi panjang (beton/bata dan kawat)
di penangkaran CV Surya Raya. Menurut (Bolton 1989) daging buaya berwarna putih atau merah muda dan mempunyai tekstur yang halus seperti daging sapi muda atau daging babi, rasa daging buaya sesuai dengan pakan yaitu seperti rasa
62
daging ikan. Daging buaya sangat tinggi protein dan lemak, kandungan lemak tebal terdapat di bagian ekor (Bolton 1989). Pemotongan hanya dilakukan satu kali dalam setahun sehingga daging buaya disimpan dalam freezer agar daging tetap awet. Selain dari hasil pemotongan, jika stok daging habis terjual maka penangkaran CV Surya Raya mengimpor daging dari penangkaran tarakan. Di penangkaran buaya CV Surya Raya daging buaya diolah menghasilkan produk antara lain yaitu abon, kerupuk, sate, dan dendeng (Gambar 25). Komposisi zat makanan pada beberapa bagian daging alligator tersaji pada Tabel 14. Tabel 14 Komposisi daging alligator Protein kasar (%) Ekor 21,3 Perut 21,1 Kepala sampai bagian bawah leher 22,3 Kaki 21,1 Sumber: Moody et al. (1980) dalam Bolton (1989). Bagian
Lemak kasar (%) 1,5 1,2 1,2 1,0
Air (%) 76,5 73,0 75,9 76,8
Abu (%) 1,3 1,3 1,3 1,3
Tabel 14 menjelaskan bahwa daging buaya pada bagian ekor, perut, kepala sampai bagian bawah leher dan kaki banyak mengandung air dan protein kasar. Bagian ekor memiliki kandungan lemak kasar tertinggi dibandingkan bagian lain yaitu sebesar 1,5 %, sehingga pada pembuatan minyak buaya banyak menggambil lemak pada bagian tersebut. Pada bagian kepala sampai bagian bawah leher mengandung protein kasar tertinggi dibandingkan bagian lainnya yaitu sebesar 22,3 %, sehingga pada bagian ini banyak dimanfaatkan untuk produk makanan seperti sate dan dendeng. (a)
(b)
Gambar 25 Produk yang dihasilkan dari daging buaya. Keterangan: (a) Dendeng; (b) Sate.
63
c. Bagian-bagian lain yang dimanfaatkan Beberapa organ tubuh buaya juga memiliki nilai jual tinggi karena bagianbagian tersebut dipercaya dapat mengobati penyakit tertentu. Bagian organ tubuh buaya muara yang dimanfaatkan di penangkaran buaya CV Surya Raya adalah tangkur, empedu, dan lemak yang menghasilkan minyak buaya (Gambar 26). Khasiat beberapa organ tubuh buaya tersaji pada Tabel 15. Tabel 15 Khasiat produk yang berasal dari organ tubuh buaya No 1.
Jenis Produk Sari rendaman tangkur
Khasiat/manfaat Meningkatkan stamina pria
2.
Tangkur buaya
Meningkatkan stamina pria
3.
Kapsul empedu buaya
4.
Minyak buaya
Mencegah atau mengobati penyakit asma, penyakit kulit, dan mencegah malaria Mengobati penyakit kulit seperti gatal-gatal, luka bakar, massage oil, melembutkan dan menghaluskan kulit
Berdasarkan Tabel 15, tangkur buaya merupakan produk yang memiliki nilai jual tinggi. Tangkur merupakan alat kelamin pada buaya jantan. Tangkur paling banyak dicari terutama oleh kalangan pria, hal ini karena tangkur dipercaya dapat meningkatkan stamina tubuh menjadi kuat dan perkasa. Secara ilmiah hal tersebut dibantah dan tidak dianjurkan, karena apabila banyak orang yang memburu buaya untuk diambil tangkurnya maka dapat menyebabkan kepunahan buaya di alam. Belum ada bukti spesifik mengenai khasiat tangkur buaya. Banyak orang yang mempercayai tangkur dapat digunakan sebagai obat hal tersebut hanyalah sugesti atau sympathetic magic artinya adalah kebiasaan manusia untuk menilai
khasiat
makanan
dari
bentuknya.
Kemungkinan
orang
yang
mempercayainya karena buaya bertubuh kuat dan tangkur merupakan alat kelamin jantan pada buaya sehingga dipercaya dapat memperkuat stamina dan memperjantan pria.
64
(a)
(b)
Gambar 26 Produk yang dihasilkan dari bagian lain dari buaya. Keterangan: (a) Tangkur; (b) Ramuan empedu. 5.5.1.4 Pemasaran produk Manfaat ekonomi satwaliar terutama jenis-jenis langka seperti buaya memiliki nilai ekonomi tinggi bahkan sebagai salah satu komoditas ekonomi yang diperdagangkan tidak hanya pada tingkat domestik melainkan sudah pada tingkat global, baik dalam bentuk satwa hidup maupun bagian-bagian tubuh dari satwa tersebut. Penangkaran buaya CV Surya Raya memasarkan beberapa produk yang dihasilkan dari kulit, daging, dan beberapa organ buaya. Kulit buaya dipasarkan merupakan kulit buaya mentah yaitu hanya diawetkan sampai pada tahap penggaraman. Biasanya pemasaran kulit buaya tersebut yaitu ke Surabaya dan Medan. Penangkaran ini tidak memproduksi sendiri produk dari kulit buaya seperti tas, dompet dan ikat pinggang. Produk dari kulit buaya yang dijual di penangkaran ini diperoleh dari kerjasama dengan pabrik pengolahan kulit buaya dari Surabaya dan Medan. Penangkaran buaya ini hanya mengirimkan bahan mentah berupa kulit yang digarami tersebut ke Surabaya dan Medan dan setelah menjadi produk jadi kemudian produk tersebut dikirimkan kembali ke penangkaran ini untuk dipasarkan. Selain memenuhi permintaan lokal (warga Balikpapan dan sekitarnya), penangkaran ini juga melayani pesanan dari pelangan tetap ataupun perorangan dari Jakarta, Surabaya, Batam, Yogyakarta, dan Bandung. Di samping itu juga melayani penjualan langsung kepada turis dan pekerja dari Korea, Brunai, Amerika, Cina dan Singapura. Harga produk dari kulit buaya sangat mahal, dari harga yang dipatok dapat diketahui pasar yang dibidik adalah kalangan berduit.
65
Produk dari olahan daging buaya di penangkaran ini berupa sate, dendeng, abon, dan kerupuk. Produk olahan daging dipasarkan dengan harga terjangkau. Produk dari bagian organ buaya di penangkaran ini berupa tangkur, ramuan tangkur, minyak buaya, kuku, dan gigi. Beberapa produk dijual di penangkaran buaya CV Surya Raya tersaji pada Tabel 16. Tabel 16 Jenis produk buaya yang di jual di penangkaran CV Surya Raya No
Jenis Produk
Harga (Rp)
1
Sari rendaman tangkur
18.000/botol (± 150 ml)
2
Tangkur buaya
100.000/1 cm
3
Kapsul empedu buaya
25.000/tablet
4
Minyak buaya
8.000/botol (± 150 ml)
5
Kulit buaya
1.274.000-1.178.450/lembar
6
Ikat pinggang
350.000-650.000/buah
7
Tas
1.440.000-2.040.000/buah
8
Dompet
1.234.000- 420.000/buah
9
Kerupuk
2.000-10.000/100 gr
10
Dendeng
30.000/100 gr
11
Sate
3.000/tusuk
5.5.2
Pemanfaatan hasil penangkaran sebagai jasa wisata
5.5.2.1 Objek wisata (atraksi wisata) Kegiatan pemeliharaan dan koleksi tiga jenis buaya di penangkaran buaya CV Surya Raya juga dijadikan sebagai objek wisata dengan tujuan untuk pendidikan, pengetahuan, sebagai tempat rekreasi atau hiburan, dan menambah pendapatan (ekonomi) baik bagi pihak penangkaran maupun masyarakat sekitar penangkaran. Jenis atraksi wisata yang ditawarkan di penangkaran ini antara lain melihat koleksi tiga jenis buaya yang ditangkarkan (buaya remaja dan indukan) pada puluhan kandang di areal penangkaran, memberi makan buaya, melihat buaya berebut makanan, suara deburan air karena kibasan ekor buaya yang akan membuat kejutan-kejutan ringan sewaktu pengunjung melalui lorong-lorong penangkaran, foto bersama dengan buaya, kuliner sate buaya, belanja produk yang dihasilkan dari buaya, melihat satwa lain yang ditangkarkan seperti gajah sumatera, monyet ekor panjang, musang, ular pyton, dan kura-kura, foto bersama gajah, keliling penangkaran dengan menunggang gajah, dan menikmati wisata budaya rumah Lamin yang merupakan rumah adat Kalimantan Timur (Gambar
66
29). Rumah lamin tersebut akan dimanfaatkan sebagai tempat pertunjukan budaya sehingga para pengunjung bisa mendapatkan hiburan selain melihat buaya.
Gambar 27 Kandang monyet ekor panjang, musang, kura-kura, dan ular yang ditangkarkan di penangkaran buaya CV Surya Raya.
Gambar 28 Gajah sumatera.
Gambar 29 Rumah Lamin.
Berdasarkan jenis atraksi wisata yang ditawarkan di penangkaran buaya CV Surya Raya, maka atraksi wisata tersebut termasuk dalam wisata minat khusus karena tidak semua pengunjung berminat terhadap jenis atraksi yang ditawarkan, dalam hal ini hanya pengunjung yang memiliki ketertarikan khusus terhadap kegiatan dan objek tersebut, misalnya kuliner sate buaya dan berbelanja produk yang dihasilkan dari buaya hanya untuk pengunjung yang memiliki hobi berwisata kuliner makanan ekstrim seperti sate buaya, hanya pengunjung yang memiliki tujuan untuk menyembuhkan penyakit tertentu, dan pengunjung kalangan menegah atas yang mengemari atau mampu membeli produk tertentu yang dihasilkan dari buaya. Selain itu pertimbangan terhadap jenis objek yang diliat atau dinikmati dapat mengalami gangguan (stres) apabila jumlah pengunjung tidak dibatasi, misalnya melihat koleksi jenis buaya, memberi makan buaya, dan foto bersama dengan buaya. Menurut Hall dan Weiler (1992) dalam Hendratno
67
(2002) wisata minat khusus merupakan suatu bentuk perjalanan wisata, ketika wisatawan mengunjungi suatu tempat karena memiliki minat atau tujuan khusus mengenai sesuatu jenis objek atau kegiatan yang dapat ditemui atau dilakukan di lokasi atau daerah tujuan wisata atau tempat yang menarik dari aspek lingkungan fisik, sosial, dan budayanya. 5.5.2.2 Pelayanan pengunjung Pengunjung dapat menyaksikan atau bahkan memberi makan ikan dan ayam secara langsung kepada buaya-buaya yang terdapat di penangkaran ini. Hal yang dapat menarik perhatian pengunjung yaitu pada saat buaya-buaya tersebut berebut makanan. Pemberian makan buaya-buaya yang terdapat di penangkaran ini hanya dilakukan dua kali seminggu, biasanya jadwal pemberian makan setiap hari Senin dan Kamis. Jika pengunjung tidak sempat berkunjung pada jadwal saat buaya diberi makan oleh petugas, maka pengunjung dapat membeli ayam yang sengaja disediakan pengelola dengan harga Rp. 10.000,- per ekornya. Dengan demikian pengunjung dapat menyaksikan langsung perilaku makan buaya. Pengelola juga memberi kesempatan pengunjung yang ingin foto bersama buaya yaitu dengan membayar Rp. 15.000,- per sekali foto (Gambar 30). Pengunjung dapat membawa langsung foto hasil jepretan pengelola dengan menunggu lima menit saja. Untuk pengunjung yang ingin foto bersama buaya namun menggunakan kamera sendiri maka pengunjung cukup membayar Rp. 5.000,- per sekali foto.
Gambar 30 Foto bersama buaya. Kuliner sate buaya dan berbelanja produk yang dihasilkan dari buaya hanya untuk pengunjung yang memiliki hobi berwisata kuliner makanan ekstrim seperti sate buaya dan pengunjung kalangan menegah atas yang mengemari produk tertentu yang dihasilkan dari buaya. Pengelola menyediakan warung khusus yang
68
menyediakan sate buaya (Gambar 31). Pengunjung dapat merasakan langsung sate buaya yang baru dibakar dan dijual dengan harga Rp. 3.000,- per tusuknya. Berdasarkan wawancara dengan penjual sate buaya dan pengunjung yang membeli sate buaya, kebanyakan pelanggan atau pembeli yang datang percaya bahwa sate buaya memiliki khasiat menyembuhkan penyakit tertentu seperti dapat menyembuhkan penyakit kulit dan dapat menurunkan tekanan darah tinggi. Pengunjung hanya dapat menikmati sate buaya pada akhir pekan atau hari libur saja. Warung tersebut juga menyediakan minuman dari tangkur buaya (Gambar 32). Pada minuman tersebut tangkur buaya direndam dalam arak putih yang ditambahkan dengan kuda laut, gingseng, dan saga. Minuman tersebut dijual dengan harga Rp. 10.000,- per seloqi (gelas kecil) dan Rp. 15.000,- per seloqi (gelas besar). Pengunjung juga dapat membeli olahan daging buaya lainnya seperti kerupuk buaya (matang dan mentah), abon buaya, dan dendeng buaya. Pengelola juga menyediakan daging buaya yang belum diolah (mentah) bagi pengunjung yang ingin mengolah sendiri daging buaya tersebut. Harga daging mentah Rp. 60.000,- per kg. Sebagian pengunjung meyakini olahan daging dan tangkur buaya tersebut dipercaya memiliki khasiat bagi kesehatan. Pengunjung yang datang dapat langsung menuju loket untuk membeli karcis masuk dengan harga karcis masuk ke penangkaran ini sebesar Rp. 10.000,- per orang. Penangkaran ini dapat dikunjungi setiap hari Senin-Minggu, pukul 08.0017.00 WITA.
Gambar 31 Warung sate buaya.
Gambar 32 Minuman tangkur buaya.
Berdasarkan pengamatan, pihak penangkaran belum membatasi pengunjung (mengatur kuota tertentu dalam setiap sekali masuk) yang akan melihat buaya dan memasuki lorong-lorong kandang, padahal penggunaan penangkaran buaya
69
sebagai tempat wisata tentunya memiliki dampak negatif terhadap satwa (buaya) itu sendiri. Sejauh ini, pengelola penangkaran telah memberikan peraturan bagi pengunjung yang akan mendatangi penangkaran tersebut antara lain tidak semua buaya dapat dilihat oleh pengunjung misalnya anakan buaya yang masih rentan terhadap keributan dan buaya yang akan berkembangbiak (kawin dan bertelur) harus bebas dari kegiatan yang dapat mengganggu aktifitasnya, maka pengelola meletakkan kandang tersebut pada bangunan tertutup dan tidak ada yang boleh melihat kecuali petugas penangkaran yang khusus menangani anakan buaya tersebut; petugas melakukan pengawasan terhadap pengunjung yang melihat buaya; memasang papan-papan peringatan di sekitar kandang agar pengunjung selalu memperhatikan keselamatan diri; dan pengunjung yang datang harus memenuhi kriteria atau syarat khusus yang dapat dibaca pada papan pengumuman yang telah di pajang. 5.5.2.3 Fasilitas pendukung Guna menunjang kegiatan wisata yang ditawarkan, diperlukan fasilitas pendukung. Fasilitas pendukung wisata yang terdapat di penangkaran buaya CV Surya Raya (Lampiran 6) antara lain loket, pendopo, halaman parkir, toko souvenir, ruang informasi, etalase barang-barang berbentuk buaya warung sate buaya, papan interpretasi, papan peringatan, toilet, mushola, tempat sampah, warung-warung pedagang makanan dan minuman, serta sarana bermain anak-anak (jungkat-jungkit, ayunan, dan perosotan). Hasil pengamatan terhadap fasilitas yang terdapat di penangkaran menunjukkan bahwa fasilitas yang ada masih layak dan masih dalam kondisi baik. Fasilitas yang disediakan juga sudah sesuai dengan kebutuhan pengunjung. 5.6
Restocking Penangkaran buaya CV Surya Raya belum pernah melakukan restocking
terhadap buaya yang ditangkarkan, padahal restocking merupakan kewajiban bagi penangkar yang melakukan usaha penangkaran satwa yang dilindungi undangundang. Berdasarkan Permenhut No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwaliar Bab X pasal 71 disebutkan bahwa untuk menjaga keseimbangan buaya di alam maka para peternak diwajibkan turut membina populasi buaya di habitat alamnya (restocking) terutama di daerah penangkapan
70
buaya yaitu dengan mengembalikan ± 10 % dari buaya yang akan dipotong setiap tahunnya ke habitat alamnya. Hasil wawancara dengan pihak penangkaran menyebutkan bahwa belum pernah melakukan restocking dengan alasan masyarakat setempat tidak menyetujui dilakukannya restocking. Masyarakat beranggapan keberadaan buaya di alam menimbulkan keresahan yaitu dapat mengganggu aktifitas masyarakat yang tinggal di pedalaman Sungai Mahakam. Pihak penangkaran seharusnya melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang manfaat dan pentingnya menjaga keberadaan populasi buaya di alam. Salah satu kegiatannya yaitu Penangkaran Inti Rakyat (PIR) yang melibatkan masyarakat di sekitar lokasi sebagai penangkar plasma sehingga dapat memberikan dampak positif meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Selain itu, habitat untuk pelepasliaran buaya harus diperhatikan guna mendukung kelangsungan hidup buaya yaitu dengan memperhatikan keadaan lingkungan alami yang belum tercemar limbah dan kegiatan manusia. 5.7
Analisis Dampak Penangkaran terhadap Lingkungan Sekitar
5.7.1 Dampak penangkaran terhadap lingkungan biofisik Pembangunan penangkaran buaya CV Surya Raya memberikan dampak yang tidak diharapkan bagi lingkungannya. Dampak tersebut dapat berupa terjadinya pencemaran lingkungan, baik berupa pencemaran udara (polusi udara dan suara) dari kendaraan bermotor para pengunjung maupun pencemaran air dari kotoran satwa (buaya dan satwa lain) yang ditangkarkan dan sisa makanan yang tidak habis dimakan satwa yang ditangkarkan tersebut. Limbah dari kotoran dan sisa makanan buaya dan satwa lain yang ditangkarkan bila tidak ditangani dengan baik dapat menjadi masalah serius bagi kesehatan masyarakat di sekitar penangkaran, karena limbah misalnya yang mencemari sumber air di sekitar penangkaran bukan saja akan memberikan kontribusi terhadap kandungan bahan organik perairan tetapi juga sangat mungkin mengandung bibit-bibit penyakit yang menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat. Berdasarkan hasil pengukuran pH (derajat keasaman) terhadap sumber air (letaknya 50 m dari tempat pembuangan limbah) yang digunakan untuk mengisi kolam pada setiap kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya
71
diperoleh nilai pH air sebesar 6,5. Hal tersebut menunjukkan bahwa sumber air yang digunakan di penangkaran masih ideal bagi kehidupan akuatik. Kisaran pH dalam Baku Mutu Sumber Air golongan C (air yang dapat dipergunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan) berdasarkan SK Menteri KLH No. Kep02/MENKLH/1/1988 adalah 6-9. Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil wawancara terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar penangkaran (< 300 m dari penangkaran) yang menyebutkan bahwa mereka belum merasakan dampak pencemaran air dari limbah penangkaran, namun mereka hanya merasakan dampak pencemaran udara (bau) kotoran gajah (feses, sisa makanan, dan urine gajah) jika terdapat angin dari arah penangkaran yang berhembus menuju ke pemukiman warga. Hasil pengamatan di areal penangkaran buaya CV Surya Raya menunjukkan bahwa sumber terjadinya pencemaran udara (bau) hanya berasal limbah satwa yang dipelihara khususnya buaya dan gajah. Limbah dari penangkaran buaya CV Surya Raya secara visual juga tidak menimbulkan dampak terhadap kondisi biofisik lingkungan sekitar penangkaran. Kondisi tumbuhan di sekitar tempat pembuangan limbah masih dapat tumbuh subur. Jenis tumbuhan yang terdapat di sekitar kolam pembuangan limbah antara lain pohon laban, sengon, talas, semak belukar dan berbagai jenis rumput-rumputan. Berdasarkan wawancara dengan petugas penangkaran, beberapa jenis ikan juga masih dapat hidup dalam tempat pembuangan limbah seperti ikan gabus (harwan), ikan sepat, dan ikan lele. 5.7.2 Dampak penangkaran terhadap sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran Hasil wawancara dengan masyarakat yang tinggal di sekitar penangkaran menyebutkan bahwa dampak yang dirasakan terhadap keberadaan penangkaran buaya CV Surya Raya adalah dampak positif. Dampak positif yang dirasakan antara lain masyarakat dapat terlibat langsung menjadi pekerja di penangkaran, misalnya bekerja menjadi karyawan di penangkaran dan berjualan di areal penangkaran (membuka warung makan dan menjual souvenir yang berhubungan dengan buaya), mendirikan toko makanan ringan, di depan rumah warga sekitar penangkaran. Secara tidak langsung adanya penangkaran dapat menjadi salah satu lapangan pekerjaan atau mata pencaharian warga setempat. Adanya penangkaran
72
menjadikan daerah tempat tinggal masyarakat menjadi terkenal dan banyak dikunjungi oleh para wisatawan baik domestik maupun wisatawan internasional, dari kalangan masyarakat biasa, pejabat daerah, kalangan artis, sampai dengan pangeran Bernhard dari Belanda yang merupakan pendiri WWF. 5.8 Indikator Keberhasilan Pengelolaan Penangkaran Keberhasilan pengelolaan penangkaran buaya di CV Surya Raya dapat dilihat dari dua indikator utama yakni teknis pengelolaan penangkaran terutama dari aspek reproduksi dan aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran. Berdasarkan aspek reproduksi, buaya yang ditangkarkan telah berhasil menghasilkan keturunan hingga generasi ketiga (F3), sedangkan berdasarkan aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran, masyarakat memperoleh dampak positif adanya penangkaran misalnya terlibat langsung menjadi tenaga kerja di penangkaran, sehingga secara tidak langsung adanya usaha penangkaran ini dapat mengurangi pengangguran di daerah sekitar. Hasil
pengamatan
menunjukkan
terdapat
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi keberhasilan penangkaran dari aspek reproduksi dan sosial ekonomi
masyarakat
sekitar
penangkaran.
Faktor
yang
mempengaruhi
keberhasilan penangkaran tersaji pada Tabel 17. Tabel 17 Faktor yang mempengaruhi keberhasilan penangkaran No. 1.
Aspek keberhasilan penangkaran Reproduksi
2.
Sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran
Faktor yang mempengaruhi Pemilihan bibit, nisbah kelamin tiap kandang breeding, letak dan perlengkapan kandang breeding, serta teknologi penetasan telur. Keterlibatan masyarakat sekitar dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan penangkaran.
1. Reproduksi Pengelolaan reproduksi yang dilakukan penangkaran CV Surya Raya sangat berpengaruh terhadap keberhasilan reproduksi buaya yang ditangkarkan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pemilihan bibit yang berkualitas dengan memperhatikan kondisi fisik yang sehat, cepat tumbuh, dan indukan yang berasal dari populasi yang berbeda sangat berpengaruh terhadap keberhasilan reproduksi. Di penangkaran ini, buaya supit tidak berhasil berkembangbiak karena indukan buaya supit diambil dari satu sarang sehingga terjadi inbreeding. Thohari (1989)
73
menyebutkan bahwa salah satu akibat terjadinya perkawinan dari keturunan segaris adalah rentannya kemampuan bereproduksi. Pembagian nisbah kelamin jantan terhadap betina dengan perbandingan ideal yaitu 1 : 4 sangat menentukan keberhasilan reproduksi karena dengan demikian kebutuhan indukan pada saat musim kawin terpenuhi. Ketidakberhasilan reproduksi pada buaya supit di penangkaran ini disebabkan karena nisbah kelamin jantan terhadap betina yang tidak ideal yaitu 12 : 1. Kandang breeding sebaiknya terletak di tempat yang tenang, sehingga buaya yang akan berkembangbiak tidak terganggu. Letak kandang breeding buaya supit di bagian depan menyebabkan mudahnya interaksi dengan pengunjung, sehingga aktifitas reproduksi buaya supit terganggu. Penyediaan perlengkapan kandang breeding sudah sesuai dengan kebutuhan buaya untuk melakukan aktifitas seperti berenang, berjemur, kawin dan bertelur. Salah satu teknologi reproduksi yang digunakan di penangkaran CV Surya Raya yaitu dengan penetasan telur secara buatan. Penetasan telur dalam inkubator dengan menggunakan media penetasan Sphagnum moss, telah menunjukkan keberhasilan penetasan dengan daya tetas telur sebesar 73 %. 2. Sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran Keberhasilan penangkaran dari aspek sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar penangkaran dipengaruhi adanya keterlibatan masyarakat terhadap kegiatan yang terkait dengan penangkaran. Usaha penangkaran tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi penangkaran. Masyarakat dapat menerima keberadaan penangkaran dengan segala konsekuensinya, baik dampak positif maupun negatif penangkaran. Hasil pengamatan menunjukkan terdapat 12 orang yang bekerja di penangkaran CV Surya Raya, 10 kios pedagang kaki lima yang menjual makanan dan lima kios pedagang souvenir di lokasi penangkaran, terdapat enam unit warung makan, tiga kios penjual bensin dan satu bengkel motor yang berada di luar lokasi penangkaran. Berdasarkan hasil wawancara, para pedagang yang berjualan di areal penangkaran merupakan warga Kelurahan Teritip. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa secara tidak langsung keberadaan penangkaran CV Surya Raya telah memberikan manfaat positif, karena dengan bekerja di
74
penangkaran dan mendirikan berbagai usaha, warga sekitar penangkaran dapat mensejahterakan keluarganya. Manfaat tidak langsung adanya penangkaran antara lain jasa transportasi (angkutan kota) ke arah Kelurahan Teritip menjadi ramai pada akhir pekan atau hari libur nasional oleh pengunjung penangkaran; nama daerah Kelurahan Teritip menjadi terkenal dibandingkan dengan nama penangkaran CV Surya Raya, karena rata-rata pengunjung menyebut nama penangkaran tersebut dengan sebutan “penangkaran buaya Teritip”; aksesibilitas dan fasilitas umum (misalnya: jalan raya dan SPBU) di Kelurahan Teritip menjadi lebih baik karena banyak pengunjung yang memanfaatkan fasilitas tersebut; serta secara tidak langsung keberadaan penangkaran dapat menambah pendapatan daerah dari hasil pajak tiket pengunjung dan retribusi kendaraan.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pengelolaan penangkaran buaya di CV Surya Raya terdiri dari lima kegiatan utama yaitu pengelolaan perkandangan, pengelolaan pakan, penyakit dan perawatan kesehatan, pengelolaan reproduksi, serta pengelolaan pemanfaatan hasil. Teknik pengelolaan penangkaran termasuk kategori pengelolaan intensif. 2. Ditinjau dari aspek reproduksi dan sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran, pengelolaan reproduksi untuk buaya muara dan buaya air tawar termasuk dalam kategori berhasil, sedangkan dari aspek reproduksi pada buaya supit belum berhasil. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan penangkaran dari aspek reproduksi meliputi pemilihan bibit, nisbah kelamin tiap kandang breeding, letak dan perlengkapan kandang breeding, serta teknologi penetasan telur, sedangkan dari aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran dipengaruhi oleh tingkat keterlibatan masyarakat sekitar dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan penangkaran. 6.2 Saran Saran yang direkomendasikan adalah sebagai berikut: 1. Perbaikan seluruh aspek pengelolaan penangkaran terutama dalam hal perkandangan maupun reproduksi untuk buaya supit. 2. Perlu diadakan restocking dengan mengembalikan ± 10 % dari buaya yang akan dipotong setiap tahunnya ke habitat alamnya. 3. Penelitian mengenai pengaruh pembuangan limbah penangkaran buaya CV Surya Raya terhadap kualitas air di sekitar penangkaran. 4. Papan interpretasi mengenai buaya muara, buaya air tawar, dan buaya supit untuk menambah pengetahuan pengunjung. 5. Pengaturan kuota masuk pengunjung dalam kegiatan wisata agar buaya tidak terganggu. 6. Perbaikan pembuatan struktur organisasi penangkaran buaya CV Surya Raya.
76
DAFTAR PUSTAKA Anggorodi. 1987. Nilai gizi ayam potong. http://supplierayampotong.blogspot. com/2010/02/tabel-nilai-gizi-ayam.html [2 Desember 2010]. Appleby MC, Hughes BO. 1997. Animal Welfare. London: Oxford University Press. Bennett. 1998. Monitor Lizard (Natural History, Biology, and Husbandry). Thomas.W and Breck.B, editor. Germany : Warlich Druck, Meckenheim. Bolton M. 1989. The Management of Crocodiles in Captivity. FAO Conservation Guide 22. Rome: Food and Agriculture Organization of the Unites Nations. http://www.fao.org/docrep/006/T0226E/t0226e00.HTM [15 Oktober 2010]. Britton A. 2001. Crocodilian Captive Care F.A.Q. www.Crocodile.com [8 Oktober 2010]. ____. 2003. Crocodilian Captive Care F.A.Q http://crocodilian.com/crocfaq/faq4.html [8 Oktober 2010]. CITES [Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora]. 2010. Appendices I, II, and III valid from 14 October 2010. http://www.cites.org/eng/app/Appendices-E.pdf. [2 Desember 2010]. Dallas S. 2006. Animal Biology and Care Secon Edision. British: Blackwell Publishing Ltd. [Ditjen PHPA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. 1976. Studi Habitat dan Kemungkinan Pengembangan Populasi Buaya di Daerah Aliran Sungai Lalan dan Palembang Sumatera Selatan. Bogor: Kerjasama Fakultas Perikanan IPB dengan Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam dalam Proyek Penyelamatan dan Pengembangan Suaka Alam Hutan Wisata dan Satwa yang Dilindungi. Elmir MY. 2008. Studi pengaruh pemberian makanan terhadap pertumbuhan buaya muara (Crocodylus porosus) pada penangkaran PT Ekanindya Karsa di Cikande Kabupaten Serang [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Kehutanan IPB. 1990. Studi Kelayakan Pengusahaan Buaya di Irian Jaya. Bogor: Fahutan IPB. Frank EM. 1993. Hubungan antara panjang kepala dan lebar tengkorak terhadap lebar dada pada buaya air tawar irian (Crocodylus novaeguineae) [skripsi]. Manokwari: Kehutanan Fakultas Pertanian Univerditas Cendrawasih.
77
Frye FL. 1991. Reptile Care:An Atlas of Disease and Treatment. Volume ke-1. New Jersey: Napture city. Ginoga LN, Suzanna E. 1995. Pengaruh pemberian ransum buatan terhadap pertumbuhan anakan buaya muara (Crocodylus porosus). Media Konservasi IV (4): 255-267. Grzimek B. 1975. Animal Life Encyclopedia. Volume ke-6, Reptilia. London: Van Nostrand Reinhold Company. Gumilar F. 2007. Studi penetasan dan pertumbuhan telur hatchling buaya muara (Crocodylus porosus) di penangkaran PT Ekanindya Karsa Cikande Kabupaten Serang [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hardjanto, Masyud B. 1991. Analisis Kelayakan Finansial Pengusahaan Buaya di Irian Jaya. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Hendratno A. 2002. Perjalanan wisata minat khusus geowisata Gunung Merapi (Studi di lereng merapi bagian selatan, Yogyakarta). Jurnal Nasional Pariwisata II (2). http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?dataId=6311 [30 Oktober 2010]. Hendarsyah. 2010. Sphagnum moss sebagai media tanam anggrek. http://lcnursery.wordpress.com/2010/10/04/sphagnum-moss-sebagai-mediatanam-anggrek/ [13 Desember 2010]. Indonesian Reptile Community. 2009. http://www.reptilx.com/tag/indonesian [2 Februari 2010]. Iskandar DT. 2000. Kura-Kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini dengan Catatan Mengenai Jenis-Jenis di Asia Tenggara. Bandung: PALMedia Citra. Kholisoh A. 2000. Mempelajari efektivitas reaksi hidrolisis/plastein dengan enzim tripsin/pepsin dan tripsin/tripsin terimobil dalam memproduksi tepung ikan dari ikan tembang (Sardinella fimbriata). [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Kurniati H, Widodo T, Manolis T. 2005. Survey of Siamese Crocodile (Crocodylus siamensis) Habitat in The Mahakam River, East Kalimantan, Indonesia. Cibinong: Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Research Center for Biology. http://iucncsg.org/ph1/modules/Publications/download/Siamensis_habitat surveys_Mahakam_River_2005.pdf [13 Desember 2010].
78
Majid AA. 2009. Sebaran spasial dan karakteristik habitat buaya air tawar irian (Crocodylus novaeguineae Schmidt, 1928) di Taman Nasional Wasur [skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Menteri Kehutanan. 2005. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 19/MenhutII/2005 Tentang Penangkaran Tumbuhan Dan Satwa Liar Menteri Kehutanan. Jakarta. http://bbksdajatimwil1.wordpress.com/peraturanperundang-undangan/permenhut-nomor-p-19menhut-ii2005-tentangpenangkaran-tumbuhan-dan-satwa-liar/.[5 November 2010]. Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. 1988. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor: kep02/menklh/i/1988 Tentang Pedoman penetapan baku mutu lingkungan. Jakarta. http://www.iips-online.com/KEP_MLH_02_1988_IND.pdf. [7 November 2010]. Permatasari M. 2002. Tata laksana kesehatan buaya [karya tulis]. Teknisi Medis Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Petra UK. 2006. Standar nilai gizi daging sapi. /jiunkpe/s1/hotl/2006/jiunkpe-nss1-2006-33401158-6112-daging_sapi-conclusion.pdf.[2 Desember 2010]. Portal Informasi Kota Samarinda Box. 2009. Penangkaran buaya Makroman. http://www.samarindabox.com/featured/penangkaran-buaya-makroman/ [2 Februari 2010]. Power T. 2010. Dehydration in Reptiles: Guidelines for Offering Fluids FAQ. Tricia’s Chinese Water Dragon, Reptile and Amphibian Care Page. http://www.triciaswaterdragon.com/hydrate.htm. [11 Desember 2101]. Presiden Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.Jakarta.http://www.dephut.go.id/files/undangundang%20repu blik%20indonesia%20nomor%205%20tahun%201990.pdf. [16 November 2010]. ____. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengewetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta. http://bksdadiy.dephut.go.id/images/data/PP71999.pdf.[16 November 2010]. ____. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar. Jakarta. http://www.ksda-bali.go.id/wpcontent/uploads/2009/05/pp-no8-tahun-1999-tentang-pemanfaatan-tsl.pdf. [2 Desember 2010].
79
Ratnani B. 2007. Analisis manajemen penangkaran buaya pada PT Ekanindya Karsa di Cikande Kabupaten Serang [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor. Sandjojo I. 1982. Studi kemungkinan usaha penangkaran buaya [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Siswanto. 2009. Data monografi kelurahan. Balikpapan:Kelurahan Teritip. Suara Media. 6 Maret 2010. Ekonomi dan bisnis: Wow, kulit buaya hasilkan omzet puluhan miliar tiap bulan! http://www.suaramedia.com/ekonomibisnis/strategi-bisnis/18296-wow-kulit-buaya-hasilkan-omzet-puluhanmiliar-tiap-bulan.html. [10 Desember 2010]. Suwandi. 1991. Pengaruh pemberian beberapa komposisi bahan makanan ikan teri (Stolophorus spp.) dan udang (Penaeus spp.) terhadap pertumbuhan anak buaya irian (crocodylus novaeguineae) [skripsi]. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Suzanna E. 2000. Status kesehatan anakan buaya muara (Crocodylus porosus). Media Konservasi VI (3): 99-103. Taylor JA. 1979. The Food and Feeding Habits of Subadult Crocodylus porosus Schneider in Northern Australia. Australia Wildlife Resources 6: 347-359. Thohari M. 1987a. Upaya penangkaran satwaliar. Media Konservasi I (3): 23-25. ______. 1987b. Gejala Inbreeding dalam penangkaran satwaliar. Media Konservasi IV (1): 3. Webb G, Manolis C. 1989. Crocodiles of Australia: A Natural History. Frenchs Forest, NSW: Reed Books.
LAMPIRAN
81
Lampiran 1 Tabel suhu dan kelembaban dalam kandang penangkaran buaya CV Surya Raya pada bulan Juni 2010 No
Tanggal
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
2/6/2010 3/6/2010 4/6/2010 5/6/2010 6/6/2010 7/6/2010 8/6/2010 9/6/2010 10/6/2010 11/6/2010 12/6/2010 13/6/2010 14/6/2010 Rata-Rata
08.00 Suhu RH (°C) (%) 27 92 28 92 27 92 27 84 27 92 27 84 26 84 26 92 26 84 27 92 27 92 27 84 26 84 26,77 88,31
12.00 Suhu RH (°C) (%) 32 79 33 73 32 79 32 79 32 79 32 73 30 78 30 85 30 85 32 86 32 79 32 86 30 85 31,46 80,46
17.00 Suhu RH (°C) (%) 30 78 31 79 30 85 31 79 31 79 31 72 29 78 30 78 29 78 31 72 30 78 30 72 29 78 30,15 77,38
Lampiran 2 Tabel produksi telur buaya pada tahun 2008 No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tanggal pengumpulan telur
Jenis buaya
Kandang unit
7/10/2008 25/10/2008 30/10/2008 19/12/2008 12/1/2009 24/1/2009 11/2/2009 19/2/2009
Muara Tawar Muara Muara Tawar Tawar Tawar Muara
III BAT III II BAT BAT BAT III
Jumlah telur sebelum ditetaskan (butir) 50 17 52 30 25 20 24 40
Jumlah telur menetas
Tanggal menetas
24 3 38 10 3 3 4 12
8/1/2009 26/1/2009 5/2/2009 24/4/2009 15/4/2009 16/4/2009 5/5/2009 18/5/2009
Lampiran 3 Produksi telur buaya pada tahun 2009 No
Tanggal
Jam
Jenis buaya
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11 12 13
14/9/2009 14/9/2009 15/9/2009 15/9/2009 15/9/2009 29/9/2009 29/9/2009 8/10/2009 12/10/2009 15/10/2009 19/10/2009 19/10/2009 19/10/2009
16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 10.00 10.00 16.00 14.00 14.00 14.00
Muara Muara Muara Muara Muara Muara Muara Supit Muara Muara Muara Muara Muara
Jarak sarang Kandang dari unit kolam (m) I 3 II 4 III 5 III 6 III 7 III 8 III 9 Pendopo 10 I 11 III 4 III 2 III 2,5 III 5
Tinggi sarang (m)
Lebar sarang (m)
Jumlah telur (butir)
Jumlah telur menetas
0,7 0,8 0,6 0,9 0,7 0,8 0,7 0,6 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
0,8 0,9 0,8 0,8 0,8 1,5 1,5 0,8 1 1 1 1,5 1
30 25 30 25 25 30 30 15 29 25 69 59 40
10 10 12 10 10 13 11 0 10 0 20 15 0
82
Lampiran 3 (Lanjutan)
No
Tanggal
Jam
Jenis buaya
14 15 16 17 18 19 20 21 22
19/10/2009 23/10/2009 2/11/2009 17/11/2009 17/11/2009 15/12/2009 29/12/2009 29/12/2009 19/1/2010
14.00 14.00 16.00 16.00 16.00 14.00 10.00 11.00 09.00
Muara Tawar Muara Muara Muara Muara Muara Tawar Tawar
Jarak sarang Kandang dari unit kolam (m) III 4 BAT 4 I 4 III 9 III 3 III 0,5 III 4 BAT 3 BAT 1
Tinggi sarang (m)
Lebar sarang (m)
Jumlah telur (butir)
Jumlah telur menetas
0,7 0,6 0,8 0,8 0,8 90 0,8 1 1
1 0,9 0,9 1,5 0,9 0,7 1 1 1
40 17 35 53 25 52 35 45 10
0 3 16 9 12 20 16 3 0
Lampiran 4 Tabel kematian buaya anakan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Tanggal 3/1/2009 6/1/2009 10/1/2009 12/1/2009 15/1/2009 17/1/2009 19/1/2009 20/1/2009 21/1/2009 22/1/2009 24/1/2009 26/1/2009 28/1/2009 29/1/2009 30/1/2009 1/2/2009 5/2/2009 8/2/2009 9/2/2009 11/2/2009 14/2/2009 17/2/2009 18/2/2009 19/2/2009 20/2/2009 26/3/2009 28/3/2009 30/3/2009 31/3/2009 17/4/2009 20/4/2009 22/4/2009 26/4/2009 28/4/2009 Total buaya mati
Jumlah kematian 1 2 3 1 3 1 3 1 1 2 3 1 2 1 1 2 1 2 2 1 2 1 2 2 1 1 2 3 2 3 2 1 1 2 55
Panjang (cm) 63 53; 61 62; 59; 67 65 58; 64; 63 67 65; 63; 67 67 82 76; 68 36; 38; 35 65 97; 86 61 67 61; 63 72 68; 71 79; 78 31 61; 72 85 63; 69 36; 39 61 57 39; 36 67; 54; 56 57; 58 59; 61; 52 32; 57 62 59 58; 56
83
Lampiran 5 Tabel kematian buaya remaja No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11 12 13
Tanggal 14/1/2009 15/1/2009 25/1/2009 3/2/2009 4/3/2009 17/3/2009 6/4/2009 7/5/2009 20/5/2009 25/5/2009 5/6/2009 11/6/2009 13/6/2009 Total buaya mati
Jumlah kematian 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 14
Panjang (cm) 97 81 120 98 110 114 120 136 100 123 125 143 110; 108
Lampiran 6 Fasilitas pendukung wisata di penangkaran buaya CV Surya Raya
Papan intepretasi
Halaman parkir parkir
Pendopo
Sarana bermain anak-anak
84
Lampiran 7 Sketsa kandang permanen tertutup Atap asbes
Lebar saluran parit 30 cm
Panjang tiap petak kandang 4 m
Lebar tiap petak kandang 3 m Tinggi petak kandang 1,2 m
Lampiran 8 Sketsa kandang permanen terbuka
Atap seng
Tiang penyangga (kayu) Lebar 5 m
Tinggi 1,8 m
Tembok semen
Panjang 6 m
Lampiran 9 Struktur organisasi penangkaran buaya CV Surya Raya
DIREKTUR TARTO S. SUGIARTO, BSc
BUAYA
UMUM
PEMELIHARA BUAYA:
KEPALA BAGIAN:
KEUANGAN: NANIK
1. EDI 2. BAMBANG
1. M. ARSYAD 2. ALFIAN NOOR
AKUTANSI: ARDILLA
ADMINISTRASI
PERTAMANAN:
DRIVER:
WISATA BUAYA:
PRODUKSI:
1. HARLIANSYAH 2. HORMANSYAH
M. ARSYAD
ALFIAN NOOR
BACHTIAR
BANGUNAN TUKANG: 1. SYAHRANI 2. JUWANDI
TUKANG HARIAN: 1. JUMANSYAH 2. ADJIE 3. APRIANSYAH
KEAMANAN: 1. 2. 3. 4.
GATOT SALAHUDDIN MISDI SRIYANTO
HELPER HARIAN: NIRWAN
85
80
Lampiran 10 Rekomendasi struktur organisasi penangkaran buaya CV Surya Raya DIREKTUR
BAGIAN PEMELIHARAAN BUAYA
BAGIAN PRODUKSI
BAGIAN UMUM
BAGIAN ADMINISTRASI
BAGIAN PEMASARAN BAGIAN WISATA BUAYA
PERTAMANAN
DRIVER
KEAMANAN
BAGIAN BANGUNAN TUKANG HARIAN HELPER HARIAN
86