PENGELOLAAN KELEMBAGAAN LELANG LEBAK LEBUNG DAN PERILAKU NELAYAN DI KABUPATEN MUARA ENIM PROVINSI SUMSEL
ENIK AFRI YANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Kelembagaan Lelang Lebak Lebung dan Perilaku Nelayan di Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015
Enik Afri Yanti NIM I351124011
RINGKASAN ENIK AFRI YANTI. Pengelolaan Kelembagaan Lelang Lebak Lebung dan Perilaku Nelayan di Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh ARIF SATRIA dan BASITA GINTING SUGIHEN. Lebak lebung merupakan tepian sungai yang sepanjang musim penghujan merupakan kawasan luapan air. Perairan berperan sangat penting dalam penyediaan komoditas dan jasa lingkungan, termasuk perikanan sehingga areal ini menjadi kantong ikan tangkapan. Pengelolaan yang telah lama diterapkan di Kabupaten Muara Enim adalah penetapan kawasan lelang lebak lebung pada perairan sungai, danau, rawa, lebak dan lebung. Kegiatan lelang lebak lebung dalam mengelola sumberdaya perikanan merupakan salah satu cara yang mengandung peraturan yang berperan sangat penting dan bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara penangkapan ikan dengan ketersediaan sumberdaya ikan yang akan ditangkap, sehingga populasi ikan dapat dipertahankan kesinambungannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perilaku nelayan dalam mengelola perairan lebak lebung, mendeskripsikan sistem lelang lebak lebung, menganalisis karakteristik internal, kelembagaan lebak lebung dan karakteristik eksternal nelayan yang mempengaruhi perilaku nelayan dalam mengelola perairan lebak lebung. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan unit analisis yaitu individu dan dilaksanakan di Kabupaten Muara Enim. Jumlah sampel penelitian ini sebanyak 100 orang dan merupakan nelayan (pengemin). Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik analisis statistik deskriptif dan korelasional. Hasil analisis uji instrumentasi menggunakan bantuan program SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku nelayan dalam pengelolaan perairan lebak lebung termasuk dalam kategori baik. Pengelolaan perairan umum dengan sistem lelang menurut sejarah dimulai pada zaman kesultanan palembang dan diteruskan pada zaman belanda dengan adanya pemberian kuasa penuh kepada pemerintah marga yang diketuai oleh seorang pasirah sebagai penguasa, namun saat ini sistem lelang lebak lebung dibawah pengaturan pemerintah daerah. Lebak lebung merupakan perairan umum yang terdiri dari sungai, danau dan rawa-rawa (lebak) dan tanah rendah yang tergenang air (lebung). Pemenang lelang (pengemin) memiliki hak penuh untuk menangkap ikan dan hasil perairan lebak lebung merupakan milik pemenang lelang (pengemin) yang sudah memenangkan objek lebak lebung melalui kegiatan lelang. Lelang lebak lebung diselenggarakan dengan tujuan untuk memperoleh pendapatan daerah (PAD), pelestarian perairan umum lebak lebung, dan menghindari konflik antar nelayan. Karakteristik internal meliputi umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, pengalaman usaha nelayan, pendapatan nelayan berkorelasi nyata terhadap perilaku pengetahuan, sikap dan tindakan nelayan. Kelembagaan lebak lebung meliputi peraturan, sanksi berkorelasi nyata dengan perilaku sikap dan tindakan nelayan. Karakteristik eksternal meliputi kinerja kelompok nelayan, kebijakan pemerintah berkorelasi nyata terhadap perilaku sikap nelayan. Kata kunci: Kelembagaan, lelang, lebak lebung dan perilaku nelayan
SUMMARY ENIK AFRI YANTI. The Institutional Management of Lebang Lebak Lebung and Behavior of the Fishers in Muara Enim Province South Sumatera. Supervised by ARIF SATRIA and BASITA GINTING SUGIHEN. Lebak lebung are along the banks of the river that the rainy season is an overflow area. These waters are very important role in the provision of commodities and environmental services, including fisheries so that this area becomes a bag of fish catches. The management has long been applied in Muara Enim is the determination of the auction lebak lebung area on river waters, lake, swamp, lebak and lebung. Lebak lebung auction activity in managing fisheries resources is one way that contains a very important regulatory role and aims to maintain a balance between fishing resources availability of fish that will be caught, so that the fish population can be maintained continuity. The purpose of this study was to analyze the custom of fishers towards management system in lebak lebung, to describe the auction system in lebak lebung, and to analyze the external and internal characteristic between the institutional and the fishers towards open waters managed in lebak lebung. The study was conducted using survay methods with unit analysis is the individual and carried out in the Muara Enim Regency. The samples of this study are 100 fishers and winner (pengemin) auction. The data analysis method used in this research is descriptive statistical analysis techniques and correlational. The result of the instrumentation test used SPSS program. The result of the study showed that the behavior of fishers in the management of lebak lebung waters including in high category. The management of public waters with the auction system according to history began in the days of the empire of palembang and forwarded to the dutch era with the government granting full power to the clan, headed by a pasirah as a ruler, but now the system of lebak lebung auction is under the government control. Lebak lebung is public waters comprising rivers, lake and marshes (lebak) and low land that watery (lebung.). The winner of the auction (pengemin) has the full right to catch fish and lebak lebung waters belonged to the auction winner (pengemin) who has won lebak lebung object through auction. The lebak lebung auction organized with the aim to obtain local revenue (PAD), preservation of public waters lebak, and avoid conflict between fishers. The internal characteristic is cover age, education level, the number of dependents, the experience of fishing effort, fishers income was significantly correlated to behavior knowledge, attitudes and actions of fishers. The institutional of lebak lebung include regulations; punishment was significantly correlated with the behavior and attitude of the fishing action. The external characteristics include the performance of groups of fishers, the government's policy stance was significantly correlated to the behavior of fishers. Keywords: Auction, fishermen custom, institutional, lebak lebung
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGELOLAAN KELEMBAGAAN LELANG LEBAK LEBUNG DAN PERILAKU NELAYAN DI KABUPATEN MUARA ENIM PROVINSI SUMSEL
ENIK AFRI YANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Siti Amanah, MSc
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul Pengelolaan Kelembagaan Lelang Lebak Lebung dan Perilaku Nelayan di Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan strata dua (S2) Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada : 1. Dosen Pembimbing Tesis, Bapak Dr Arif Satria,SP,MSi dan Bapak Dr Basita G Sugihen, MA yang senantiasa memberikan masukan dan arahan kepada penulis dalam penyelesaian penelitian 2. Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Prof Dr Ir Sumardjo, MS 3. Dosen penguji luar komisi Ibu Dr Ir Siti amanah, M.Sc dan Ibu Dr Ir Anna Fatchiya, MSi terimakasih atas semua sarannya 4. Kepada kedua orang tua, Ayahanda Wakidi dan Ibu Munyana, Nenek tercinta, kakak Supandi beserta istri Dwi Anggraini dan anak Darren Ibrahim Marcello, ayuk Eti Safitri beserta suami Adriyan dan anak Zidhan Rofen Uswendry, adik tersayang Neli Yeni dan adik bungsu polwan cantik Asmia, serta seluruh keluarga besar tercinta, terima kasih atas segala doa, semangat, dukungan, motivasi, cinta dan kasih sayangnya selama ini demi keberhasilanku 5. Teman-teman seperjuangan Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB angkatan 2012 sahabat terbaik Isni, Bang Azwar, Bang Delki, Bang Muhib, Mba Nurul, serta sahabat-sahabat terbaik angkatan 2013, penulis mengucapkan terimakasih atas kebersamaan, dukungan, diskusi selama menyelesaikan studi. Semoga ilmu yang kita peroleh selama belajar di IPB, bermanfaat bagi kebaikan diri kita, keluarga, masyarakat dan negara 6. Keluarga besar UR-IPB sahabat-sahabat terbaik, terima kasih atas waktu kebersamaannya, dukungan, dan doa kepada penulis 7. Keluarga Besar Ikatan Pelajar Mahasiswa Riau Bogor sahabat-sahabat terbaik Asrama Putri Riau, terima kasih atas waktu kebersamaannya, dukungan, dan doa kepada penulis Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan selanjutnya. Bogor, September 2015
Enik Afri Yanti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 4 5 5
2 TINJAUAN PUSTAKA Pengelolan Sumberdaya Perikanan Lebak Lebung Perilaku Nelayan Karakteristik Internal Nelayan Lebak Lebung Kelembagaan Lebak Lebung Karakteristik Ekternal Nelayan Lebak Lebung Hubungan antara Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu
6 6 7 8 13 15 17 19 19
3 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian
22 22 25
4 METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Popula6si dan Sampel Data dan Instrumentasi Validitas dan Reliabilitas Instrumen Teknik Pengumpulan Data Teknik Analisis Data
26 26 26 26 26 29 31 31
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Wilayah Penelitian Kondisi Sumberdaya Perikanan Lebak Lebung Kelembagaan Penyuluhan Perikanan Karakteristik Internal Nelayan Kelembagaan Lelang Lebak Lebung Karakteristik Eksternal Nelayan Perilaku Nelayan Hubungan Karakteristik Internal dengan Perilaku Nelayan Hubungan Kelembagaan Lebak Lebung dengan Perilaku Nelayan
33 33 37 40 41 46 56 58 61 63
Hubungan Karakteristik Eksternal dengan Perilaku Nelayan
64
SIMPULAN DAN SARAN
66
DAFTAR PUSTAKA
67
LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL 1 Luas Arel dan Produksi Perikanan Budidaya dan Perairan Umum 2 Harga Standar dan Hasil Lelang Kabupaten Muara Enim 3 Jenis Alat Tangkap dan Ikan Tangkapan yang Diizinkan pada Perairan Umum di Kabupaten Muara Enim 4 Hasil Tangkapan Responden dalam Satu Bulan di Perairan Umum Lebak Lebung Kabupaten Muara Enim 5 Karakteristik Internal Nelayan Lebak Lebung 6 Susunan Panitia Pelaksana Lelang Lebak Lebung 7 Penilaian Kelembagaan Lelang Lebak Lebung 8 Karakteristik Eksternal Nelayan 9 Perilaku Nelayan 10 Hubungan Karakteristik Internal dengan Perilaku Nelayan 11 Hubungan Kelembagaan Lelang Lebak Lebung dengan Perilaku Nelayan 12 Hubungan Karakteristik Eksternal dengan Perilaku Nelayan
37 37 38 39 43 49 51 56 59 62 63 64
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka Pemikiran Penelitian 2 Alur Sistem Lelang Lebak Lebung
24 52
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Hasil Analisis Korelasi rank Spearman Instrumen Penelitian Dokumentasi Penelitian Riwayat Hidup
72 74 75 86 89
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya perairan umum, sungai dan rawa demikian luas yang tersebar di beberapa pulau terutama di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Perairan umum daratan Indonesia yang terdiri atas perairan danau, waduk, sungai rawa dan daerah banjir, serta genangan peraian air tawar lain mempunyai karakteristik yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya dan mempunyai sistem pengelolahan yang berbeda antar daerah. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. (UU 45,2009) Sumatera Selatan secara geografis sebagian besar wilayahnya berupa dataran rendah berupa sungai dan rawa atau yang lebih dikenal dengan istilah lebak lebung. Rawa lebak lebung merupakan rawa -rawa yang terdapat di sekitar daerah aliran sungai. Daerah ini tergenang saat musim penghujan dan kering saat musim kemarau. Perbedaan ketinggian air di rawa banjiran ini sangat ekstrim namun daerah ini sangat subur karena banyak mengandung unsur hara untuk pakan ikan terutama berasal dari proses dekomposisi vegetasi saat tergenang. Pemanfaatan daerah rawa untuk kegiatan perikanan masih belum optimal. Rawa lebak lebung, terdapat disembilan (9) kabupaten/kota di Sumatera Selatan yaitu Kota Palembang, Kabupaten Ogan Ilir, Ogan Kornering llir, Banyuasin, Musi Banyuasin, Muara Enim, Musi Rawas, Ogan Komering Ulu, dan Ogan Komering Ulu Timur. Sungai Musi dan rawa lebak lebung merupakan tepian sungai yang sepanjang musim penghujan merupakan kawasan luapan air. Perairan ini berperan sangat penting dalam penyediaan komoditas dan jasa lingkungan, termasuk perikanan sehingga areal ini menjadi kantong ikan tangkapan. Memasuki musim kemarau, kawasan sungai dan rawa banjirannya mulai surut dan fungsinya berubah menjadi sawah lebak. Pada waktu tersebut, sebagian jenis ikan akan berkumpul di lebung-lebung dan jenis ikan lainnya masuk ke aliran sungai (Kartamihardja et al. 2008). Untuk menjaga kelestarian sumberdaya dan hasil tangkapan ikan maka diperlukan pengelolaan ekosistem perairan secara efektif dan terpadu. Salah satu cara pengelolaan yang telah lama diterapkan di Kabupaten Muara Enim adalah penetapan kawasan lelang lebak lebung pada perairan sungai, danau. Konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan (PP RI Nomor 60 tahun 2007). Bentuk pelaksanaan PP Nomor 60 tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya hayati dan ekosistem di atas maka masyarakat merupakan salah satu unsur penangggung jawab dalam konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya. Dalam hal ini masyarakat di Kabupaten Muara Enim telah melaksanakan amanat PP tersebut dalam bentuk pengelolaan perikanan perairan umum yang di sebut dengan istilah lelang lebak lebung. Ditinjau dari aspek sosial budaya bentuk pengelolaan lelang lebak lebung ini merupakan suatu bentuk
2
kearifan lokal yang harus dikembangkan, karena mempunyai nilai yang positif untuk pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Kegiatan lelang lebak lebung di Sumatera Selatan khususnya di Kabupaten Muara Enim tidak hanya sebagai pengelolaan kawasan ekologis, tetapi telah menjadi kebudayaan lokal karena interaksinya dengan kehidupan nelayan yang mendiami wilayah tersebut. Kebudayaan ini dikonstruksi berdasarkan nilai-nilai kearifan terhadap alam yang dibangun berabad-abad lamanya sehingga menghasilkan kebudayaan dalam pengelolaan sumberdaya alam berdasarkan prinsip kemandirian (Junaidi, 2009). Kabupaten Muara Enim sebagai salah satu kabupaten di wilayah Provinsi Sumatera Selatan yang sebagian besar wilayahnya terdapat perairan umum, yang memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan beragam. Potensi perikanan yang dimiliki merupakan potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk masa depan bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan nasional. Potensi perikanan perairan umum Kabupaten Muara Enim pada tahun 2013 terdiri dari potensi sungai dengan luas areal 224,24 ha dengan produksi 1407,6 ton, potensi rawa lebak dengan luas areal 11,684,00 ha dengan produksi 877,38 ton, potensi danau dengan luas areal 2646,80 ha dan produksi 707,31 ton. Secara keseluruhan luas areal dan produksi perikanan perairan umum di Kabupaten Muara Enim tahun 2013 dengan total luas areal 33,814,80 ha, dengan total produksi 2,992,31 ton. Pemanfaatan secara optimal diarahkan pada pendayagunaan sumber daya ikan dengan memperhatikan daya dukung yang ada dan kelestariannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan taraf hidup nelayan, nilai tambah hasil perikanan serta menjamin kelestarian sumber daya ikan. Pemanfaatan sumber daya perikanan harus seimbang dengan daya dukungnya, sehingga dapat memberikan manfaat secara terus menerus. Salah satu langkah yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Muara Enim adalah dengan pengendalian usaha perikanan melalui pengaturan pengelolaan perikanan perairan umum melalui lelang lebak lebung. Pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya hayati perikanan, antara lain tentang pengawasan , kelestarian dan pemanfaatan sumberdaya perikanan, sehingga perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya hayati perikanan. Dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan perairan dan ekosistem perairan sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, interaksi masyarakat nelayan dengan ekosistem perairan sangat penting untuk diperhatikan dalam hal ini merupakan (pengetahuan, sikap dan tindakan nelayan dalam menjaga dan mengelola perairan lebak lebung dan ekosistem perairannya. Pengelolaan sumberdaya perikanan”lelang lebak lebung” berdasarkan peraturan daerah Kabupaten Muara Enim nomor 05 tahun 1987 tentang lelang lebak lebung dan danau dalam Kabupaten Muara Enim pada awalnya hingga tahun 1998, dilaksanakan dan diatur oleh pemerintahan Kabupaten Muara Enim, selanjutnya melalui intruksi bupati nomor 03/Instr/IV/1998 tentang penghentian pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten muara enim,oleh karenanya lelang lebak lebung perlu diatur lebih lanjut oleh pemerintah desa dalam mengelola sumberdaya perikanan melalui lelang lebak lebung, disamping itu panitia lelang di atur oleh pemerintah desa, sedangkan panitia pengawas lelang lebak lebung adalah camat sebagai kepala wilayah kecamatan dan panitia pengawas kabupaten adalah bupati kepala daerah kabupaten .
3
Sumber daya perikanan dapat dipandang sebagai suatu komponen dari ekosistem perikanan berperan sebagai faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan suatu output yang bernilai ekonomi masa kini maupun masa mendatang. Disisi lain, sumber daya perikanan bersifat dinamis, baik dengan ataupun tanpa intervensi manusia. Dengan keterbatasan daya dukung lingkungan sumber daya disuatu lokasi, maka stok ikan akan mengalami pengurangan sebagai akibat dari kematian alami sampai keseimbangan stok ikan sesuai daya dukung tercapai. Adanya intervensi manusia dalam bentuk aktivitas penangkapan pada hakekatnya adalah memanfaatkan „bagian‟ dari kematian alami, dengan catatan bahwa aktivitas penangkapan yang dilakukan dapat dikendalikan sampai batas kemampuan pemulihan stok ikan secara alami, dengan adanya pengelolaan perairan dengan pelelangan perairan ini juga merupakan salah satu cara pemulihan stok ikan secara alami. Pemanfaatan sumber daya alam yang terus meningkat, dengan tujuan mengejar target pemenuhan kebutuhan secara menyeluruh tanpa memperhatikan aspek kelestarian, akan sangat mengancam keberadaan sumber daya alam tersebut. Kurangnya pemahaman masyarakat nelayan tentang pentingnya ekosistem alam yang dapat menjaga keseimbangan siklus hidup, sekaligus menjadi sumber kehidupan bagi manusia. Ekosistem alam menyediakan sumber daya hayati yang pemanfaatannya dapat dilakukan secara terus menerus jika dikelola menurut kaidah-kaidah kelestarian lingkungan. Pemahaman terhadap ekosistem alam harus dilakukan secara komprehensif, sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan searif mungkin, dengan mempertimbangkan aspek kelestariannya. Pemahaman tersebut sangat penting guna mewujudkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, sehingga keberadaan suatu sumber daya alam di ekosistem tidak hanya bermanfaat bagi generasi sekarang, tetapi juga dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. (Dahuri, 2003) Sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berlaku tidak bersifat open acces, melainkan ada property right system, baik yang menyangkut fishing ground, pengaturan alat tangkap, musim penangkapan atau fishing right lainnya. Hak kepemilikan terhadap sumberdaya perikanan yang berada diperairan pedalaman tersebut dapat diperoleh seseorang atau anggota masyarakat setempat melalui proses ”lelang” yang diadakan oleh pemerintah setempat. Mekanisme pengelolaan dilakukan melalui lelang umum yang dihadiri oleh masyarakat nelayan dan pelelangan dilaksanakan oleh panitia lelang yang dibentuk oleh pemerintah setempat. Lelang dilakukan dengan mekanisme harga naik-naik dengan harga pertama ditetapkan oleh panitia lelang (sebagai harga standar) (Zahri et al. 2007). Lembaga lelang lebak lebung memberikan hak kepada satu atau sekelompok orang yang disebut “pengemin” untuk mengelola dan “menguasai” satu objek lebak lebung selama satu tahun, serta memanfaatkan sumberdaya ikan dan biota perairan lainnya. Sistem lelang ini berhasil mengatur nelayan yang akan menangkap ikan di suatu perairan yang batasnya telah ditentukan, selain itu kegiatan lelang lebak lebung mampu meningkatkan pemasukan bagi daerah. Pembatasan waktu selama satu tahun mengharuskan pengemin berusaha mendapatkan hasil yang banyak dalam waktu singkat sehingga dalam beberapa kasus terjadi pengoperasian alat tangkap yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan. Selain itu dampak negatif dari lelang lebak lebung adalah
4
menonjolnya unsur penguasaan dalam pengelolaan sehingga perairan umum tidak lagi bersifat umum tapi menjadi milik satu atau sekelompok orang. Dari berbagai permasalahan diatas maka diperlukan penelitian mengenai pengelolaan kelembagaan lebak lebung dan mengetahui perilaku nelayan dalam mengelola perairan lebak lebung. Perumusan Masalah Sumber daya perikanan pada suatu perairan umum sangat penting untuk di kelola dengan sebaik baiknya untuk mempertahankan keberadaan sumberdaya perikanan itu sendiri. Keberadaan perairan umum di Kabupaten Muara Enim sangat berperan dalam menunjang usaha perikanan diwilayah ini. Kerusakan sumberdaya perikanan yang terjadi saat ini di Kabupaten Muara Enim antara lain : penggunaan alat tangkap terlarang, penyetruman ikan, penggunaan bahan peledak, pencurian perikanan, penyalah gunaan wewenang kekuasaan, pengelolaan hasil perikanan yang merusak ekosistem perairan. Tingginya tekanan dari pemanfaatan perairan umum sebagai sumber ekonomi masyarakat nelayan, maka pemerintah daerah membentuk strategi dalam pengelolaannya, dengan tujuan permasalahan yang ada dapat diminimalisir. Perilaku masyarakat nelayan dalam mengelola perairan dan ekosistemnya ditentukan oleh karakteristik dari masyarakat itu sendiri. Perilaku tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang ada pada masyarakat. Kesadaran seseorang dalam proses berpikir akan membentuk pola berpikir yang positif, serta dapat bertanggung jawab akan keadaan lingkungannya yang dapat dilakukan dengan tindakan merawat, melindungi, menjaga, dan melestarikan sumberdaya alam. Kesadaran dan tanggung jawab masyarakat yang beragam dikarenakan karakteristik seseorang dan tingkat pengetahuan yang berbeda-beda. Perilaku juga di tentukan oleh norma personal seseorang dalam kehidupannya yang terbentuk karena kepribadian dan lingkungan sosial yang ada di sekitarnya (Hidayati, 2010). Kegiatan lelang lebak lebung pada pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan merupakan suatu cara yang mengandung peraturan yang berperan sangat penting dan bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara penangkapan ikan dengan ketersediaan sumberdaya ikan yang akan ditangkap, sehingga populasi ikan dapat dipertahankan kesinambungannya. Namun keseimbangan antara penangkapan ikan dengan ketersediaan sumberdaya ikan yang tidak mampu mempertahankan jumlah populasi ikan yang ada di perairan yang ada di wilayah tersebut, hal ini terlihat dari menurunnya produksi perikanan tangkap di wilayah tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan penelitian ini adalah: 1) Bagaimana perilaku nelayan (pengetahuan, sikap, tindakan) dalam mengelola perairan lebak lebung? 2) Bagaimana sistem lelang lebak lebung? 3) Bagaimana hubungan karakteristik internal, kelembagaan lebak lebung dan karakteristik eksternal nelayan terhadap perilaku nelayan dalam mengelola perairan lebak lebung?
5
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas penelitian ini bertujuan : 1) Menganalisis perilaku nelayan (pengetahuan,sikap, dan tindakan) dalam mengelola perairan lebak lebung 2) Mendeskripsikan sistem lelang lebak lebung 3) Menganalisis karakteristik internal, kelembagaan lebak lebung, dan karakteristik eksternal nelayan yang mempengaruhi perilaku nelayan dalam mengelola perairan lebak lebung. Manfaat Penelitian Hasil temuan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1) Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi ilmu penyuluhan pembangunan tentang pengelolaan kelembagaan dan perilaku nelayan. 2) Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan bahan pemikiran bagi lembaga lebak lebung (pengelola) dan pemerintah dalam mengoptimalkan pengelolaan perairan umum untuk menjaga kelestarian perairan umum.
6
TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Perairan umum adalah bagian permukaan bumi yang secara permanen atau berkala digenangi air, baik air tawar, air payau, mulai dari garis pasang surt laut terendah kearah daratan dan badan air tersebut terbentuk secara alami atau buatan. Yang termasuk ke dalam perairan umum adalah sungai, sungai mati atau oxbow lake, lebak lebung, saluran irigasi, kanal, estuary, danau, waduk, rawa, goba, dan genangan air lain. Perairan umum memiliki karakteristik antara lain: sumberdaya air cenderung menjadi multiguna (perikanan, energy listrik, turisme, transportasi, irigasi dan lain-lain), sumberdaya ikan lebih terbatas jenis dibanding dengan perairan laut, armada perikanan lebih bersifat skala kecil, sensitive terhadap dampak perubahan lingkungan, pengelolaan perikanan harus ditangani dalam kerangka pengelolaan yang terintegrasi, potensi kearifan lokal dalam pengelolaan lebih menonjol, hukum kelembagaan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.Usaha perikanan merupakan segala usaha pemanfaatan sumberdaya ikan yang merupakan aspek agribisnis yakni produksi (penangkapan dan budidaya), pengolahan, dan pemasaran. Untuk mengetahui sejauh mana usaha perikanan terutama peningkatan pendapatan dan taraf hidup nelayan diperlukan keterangan dan informasi dari berbagai aspek, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam usaha perikanan tersebut (Purwanto, 2000). Lingkungan terdiri dari lingkungan biofisik (Biotik, fisik) dan lingkungan sosial.Lingkungan biotik memiliki organisme hidup mencakup flora-fauna dan mikroorganisme, sedangkan lingkungan fisik meliputi benda mati antara lain tanah, air dan udara. Sedangkan lingkungan sosial meliputi semua faktor atau kondisi dalam masyarakat yang dapat menimbulkan pengaruh atau perubahan sosiologis. Selanjutnya kerusakan lingkungan dapat terjadi apabila citra lingkungan yang dimiliki masyarakat berbeda dengan kenyataan, masyarakat terlambat mengadakan penyesuaian memperoleh citra lingkungan yang baru, manusia tidak memperlakukan lingkungan sekitar secara rasional, dan adanya potensi keserakahan, dan kerakusan pada setiap manusia untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari ketersediaan sumberdaya alam. Untuk itu diperlukan pengelolaan dalam pemanfaatan lingkungan termasuk lingkungan perairan yang didalamnya terdapat sumberdaya perikanan (Soemarwoto (1999). Pengelolaan perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri (Charles, 2001). Dengan adanya tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan ketiganya, dimana kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar dibanding denganekosistemnya. Pendekatan yang dilakukan masih parsial belum terintegrasi dalam sebuah batasan ekosistem yang menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan.maka dari itu pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan menjadi sangat penting. Ikan adalah salah satu bentuk sumberdaya alam yang bersifat renewable atau mempunyai sifat dapat pulih/dapat memperbaharui diri. Disamping sifat renewable, menurut Widodo dan Nurhakim (2002), sumberdaya ikan pada
7
umumnya mempunyai sifat “open access” dan “common property” yang artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Sifat sumberdaya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain : (1) Tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employment). (2) Perlu adanya hak kepemilikan (property rights), misalnya oleh Negara (state property rights), oleh masyarakat (community property rights) atau oleh swasta/perorangan (private property rights).Pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat adat terdapat di beberapa daerah di Indonesia dengan aturanaturan lokalnya atau tradisi (adat-istiadat) masyarakat yang diwarisi secara turun temurun. Pengaturan ini telah dipandang efektif sebagai pengendalian pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, dan menjaga pelestarian sumber daya dari aktivitas yang merusak. Sistem pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat merupakan suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya ikannya sendiri dengan memperhatikan kebutuhan, keinginan, tujuan dan aspirasinya (Nikijuluw, 2002). Dengan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat ini, masyarakat akan bertanggung jawab dalam menjalankan kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan, karena masyarakat ikut terlibat dalam membuat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi pengelolaan sumber daya perikanan. Lebak Lebung Perairan umum lebak lebung adalah perairan umum air tawar yang memiliki ciri yang spesifik yang berbeda dengan perairan umum air tawar lainnya. Habitat perairan tawar berupa sungai dan daerah banjirannya merupakan satu kesatuan fungsi yang mempunyai banyak tipe habitat yang dapat dibedakan antara musim kemarau dan musim penghujan (Welcomme, 1979). Selanjutnya menurut Juliartha, (2007) Lebak Lebung adalah suatu areal sungai dan tanah yang terdiri dari rawa-rawa (lebak) dan tanah rendah yang berair (lebung). Area ini menjorok ke sungai dan secara alami mengalami pasang surut. Pada musim pasang lebak lebung menjadi tempat ikan berkembang biak dan pada musim surut dimanfaatkan masyarakat untuk menangkap ikan dan bercocok tanam. Hak menangkap ikan dan hasil perairan lainnya di areal lebak lebung diberikan kepada pihak yang berminat melalui mekanisme lelang. Lelang lebak lebung diselenggarakan dengan tujuan untuk memperoleh pendapatan daerah, pembinaan dan pengembangan dinamika sosial ekonomi, budaya daerah, kepastian hukum dan tertib hukum demi terjaminnya hak-hak seseorang. Secara garis besar, habitat utama pada perairan umum lebak lebung dapat dikelompokkan menjadi 4 tipe yaitu bagian sungai utama, lebak kumpai, talang dan rawang (Arifin, 1978). (1) Bagian sungai utama (disebut juga sebagai batanghari) adalah bagian habitat yang paling dalam yang terdiri dari dari bagian-bagian yang dalam disebut ”lubuk” dan bagian yang agak dangkal disebut “rantau”. Pada tepian sungai utama ini terdapat juga bagian yang level tanahnya sedikit lebih rendah dari “lebak kumpai” disebut “batas”. Pada musim penghujan bagian sungai utama ini bersatu dengan bagian lainnya yaitu lebak kumpai, lebung dan rawang membentuk satu permukaan air.
8
(2) Lebak kumpai adalah bagian kiri kanan sungai yang ditumbuhi tumbuhan air dan terapung pada masa musim penghujan (air besar) dan kering di musim kemarau (Arifin, 1978). (3) Lebung merupakan bagian yang dalam pada perairan lebak kumpai dimana pada musim penghujan tidak terlihat sebagai suatu genangan air, sedangkan menjelang air surut terlihat ada semacam genangan air membentuk danau kecil dan kering sama sekali pada saat air terendah pada musim kemarau. (4) Rawang adalah bagian teresterial yang lebih dominan ditumbuhi oleh pohon-pohon kayu besar yang dibawahnya ditumbuhai pohon-pohon kecil dan tanaman perdu dimana pada musim penghujan bagian bawah pepohonan tergenang air dan pada musim kemarau kering. Kemudian, talang adalah bagian daratan yang paling tinggi yang tidak pernah terluapi air meskipun pada musim penghujan pada saat permukaan air tertinggi, bagian ini biasanya berupa daerah perkebunan karet. Perilaku Nelayan Perilaku adalah segala tindakan atau reaksi manusia yang disebabkan oleh dorongan organisme kongkret yang terlihat dari kebiasaan, motif, nilai-nilai, kekuatan pendorong dan kekuatan penahan sebagai reaksi atau respon seseorang yang muncul karena adanya pengalaman proses pembelajaran dan rangsangan dari lingkungannya. Adapun indikatornya adalah respon terhadap lingkungan, hasil proses belajar mengajar, ekspersi kongkret berupa sikap, kata-kata, dan perbuatan. Harsey dan Blanchard dalam wahyuni (2002:21) perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan yang berarti bahwa perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi dengan keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Perilaku di bagi menjadi tiga tipe yakni: (1) kognitif yang meliputi alam pikiran, (2) afektif meliputi emosi, sikap dan perasaan, (3) konatif, meliputi motif atau keinginan langsung. Skiner seorang ahli psikologi, mengatakan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus dari luar, dari segi biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas oerganisme makhluk hidup yang bersangkutan, sehingga perilaku manusia adalah tindakan atau aktifitas manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas. Bohar Soeharto mengatakan perilaku adalah hasil proses belajar mengajar yang terjadi akibat dari interksi dirinya dengan lingkungan sekitarnya yang diakibatkan oleh pengalamanpengalaman pribadi. Benyamin Bloom seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia dalam 3 (tiga) kawasan yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Menurut Kurt Lewin, perilaku adalah fungsi karakteristik individu (motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dll) dan lingkungan, faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku, terkadang kekuatannya lebih besar daripada karakteristik individu sehingga menjadikan prediksi perilaku lebih komplek. Jadi, perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong dan kekuatan-kekuatan penahan. Slamet (1978 : 442) juga menyatakan bahwa perilaku adalah tindak tantuk, ucapan maupun perbuatan seseorang yang dapat diamati secara langsung ataupun tidak langsung melalui pancaindera.selain itu Newcomb dalam Mar‟mir. Selanjutnya Usman
9
(2004), menyatakan bahwa ada hubungan timbal balik antara pola perilaku sosial dan kondisi lingkungan. Pola perilaku sosial dipengaruhi oleh karakteristik dan kualitas lingkungan, dan sebaliknya pola perilaku sosial juga mempengaruhi karakteristik dan kualitas lingkungan, misalnya manusia dalam sebagian besar kebutuhan hidupnya tidak dapat dilepaskan dari lingkungan. Sumarwan (2002) maksud berperilaku adalah sebagai kecenderungan dari seseorang untuk melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan objek sikap (produk atau merek tertentu). Shiffman dan Kanuk (2004) mendefinisikan maksud berperilaku sebagai kesukaan atau kecenderungan yang akan dilakukan oleh seseorang melalui tindakan yang spesifik atau perilaku dalam cara tertentu dengan perhatian atau fokus pada objek sikap. Komponen perilaku sikap biasanya berhubungan dengan kecenderungan saseorang untuk bertindak menghadapi sesuatu dengan cara tertentu. Sikap seseorang terhadap suatu objek antara satu dengan yang lainnya cenderung berbeda-beda. Berbagai pengalaman empiris menunjukkan bahwa sikap berhubungan dengan latar belakang dan karakteristik individu yang bersangkutan.Secara terperinci Siagian (2003) mengemukakan bahwa umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah tanggungan keluarga, dan lamanya berinteraksi dengan seseorang atau lingkungannya merupakan karakteristik biografikal yang berkaitan dengan sikap seseorang terhadap objek tertentu. Pada dasarnya manusia sangat membutuhkan informasi untuk menciptakan situasi dimana pemakai informasi harus mampu melakukan pemilihan terhadap segala informasi yang dibutuhkan dan kemungkinan yang akan terjadi.seseorang yang merasakan akan adanya kebutuhan akan berusaha untuk mencari informasi yang baru yang berhubungan langsung dengan hal-hal yang dibutuhkannya untuk memenuhi kebutuhannya. Kesadaran akan kebutuhan mendorong nelayan mencari informasi sebanyak-banyaknya dan berperilaku sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkannya. Perilaku nelayan dalam memanfaatkan informasi dapat diartikan sebagai ucapan maupun perbuatan dalam mencari, menerapkan, dan memanfaatkan usaha nelayan sesuai dengan sumberdaya yang dimilikinya. Menurut Rogers dan Shoemaker (Ma‟mir, 2001:25) mengemukakan bahwa seseorang yang sadar dan merasakan akan kebutuhannya maka orang tersebut akan berusaha mencari informasi mengenai hal-hal untuk memenuhin kebutuhannya. Menurut Ramdhani (2008) niat untuk melakukan perilaku (intention) adalah kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sesuatu pekerjaan. Niat ini ditentukan oleh sejauh mana individu memiliki sikap positif pada perilaku tertentu, dan sejauh mana kalau dia memilih untuk melakukan perilaku tertentu itu dia mendapat dukungan dari orang-orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya. Hal ini dapat di simpulkan bahwa intensi atau maksud perilaku merupakan konsep yang menunjuk pada seberapa besar kemungkinan, niat dan harapan seseorang untuk menunjukkan sikap dan tingkah laku tertentu di masa yang akan datang. Teori sikap dari Fishbein dan Ajzen menyatakan bahwa sikap memiliki tiga komponen yaitu: (1). komponen perasaan (affection). (2). komponen pemikiran (cognition).(3). komponen kecenderungan tingkah laku (conation).Jika melihat dari teori Fishbein maka maksud perilaku
10
pada penelitian ini masuk pada komponen yang ketiga. Dimana teori menunjukkan pada ditampilkannya suatu tingkah laku pada situasi tertentu. Pengetahuan Nelayan Pengetahuan nelayan adalah semua informasi yang dimiliki nelayan mengenai berbagai macam kondisi lingkungan perairan yang baik atau tidak, serta pengetahuan lainnya yang terkait dengan ekosistem perairan serta informasi yang berhubungan dengan fungsinya sebagai nelayan yang menggantungkan hidupnya terhadap perairan. Pengetahuan dapat didefinisikan sebagai informasi yang disimpan di dalam ingatan seseorang tentang sesuatu atau objek yang diketahui. Pengetahuan atau dalam bahasa inggris knowledge merupakan segala perbuatan manusia untuk memahami barang yang dihadapinya, atau hal usaha manusia uantuk memahami sesuatu ibjek tertentu. Pengetahuan dapat berupa barang-barang fisik, pemahamannya dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indera maupun lewat akal. Soekanto (1987) mendefinisikan pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Sedangkan hatta (1979) menyebutkan pengetahuan sebagai sesuatu yang diketahui. Selanjutnya Suriasumantri (1993) jugamengemukakan bahwa pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang diketahui manusia tentang suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaam mental yang secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan manusia. Totalitas pengetahuan ,anusia berasal dali kegiatan manusia berfikir, merasa dan mengindera. Haryadi dan setiawan (1995) dalam Harihanto (2005) menyebutkan bahwa pengetahuan didapatkan seseorang melalui proses berupa penerimaan, pemahaman, dan pemikiran. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah pemahaman seseorang mengenai suatu objek yang dihadapinya. Menurut Zahri et al. (2007) Dimensi pengetahuan lokal merupakan pengetahuan lokal masyarakat nelayan setempat yang terkait dengan persepsi dan konsepsi, sistem dan mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan sumbardaya perikanan dan kelautan secara lestari. Persepsi adalah suatu proses masyarakat mengetahui beberapa hal dengan menggunakan panca indera terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan secara lestari. Selanjutnya persepsi bisa menjadi konsepsi pada saat persepsi menjadi bahan pemikiran untuk membuat suatu rancangan tindakan. Sedangkan dimensi ekonomi merupakan pengkajian terhadap pandangan dan sistem mata pencaharian hidup yang dilakukan dan dikembangkan oleh masyarakat nelayan setempat. Dimensi ini terdiri dari tiga faktor yaitu: tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya, pembagian peran dalam kegiatan produksi, sistem jaminan sosial dan tingkat konsumsi ikan. Tingkat ketergantungan membuat pola-pola produksi tertentu, kegiatan produksi tidak hanya diartikan dalam upaya di dalam pemenuhan kebutuhan keseharian (subsistensi). Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yakni : (a). Tahu (know), tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, tahu adalah tingkat pengetahuan yang paling rendah.(b).
11
Memahami comprehension),memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang telah diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.(c). Aplikasi (application), aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil. (d). Analisis (analysis),analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponenkomponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. (e). Sintesis (synthesis),sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. (f). Evaluasi (evaluation),evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk meletakkan penilaian terhadap satu materi atau objek. Menurut Notoatmodjo (2007) belajar adalah mengambil tanggapan-tanggapan dan menghubungkan tanggapan-tanggapan dengan cara mengulang-ulang. Tanggapantanggapan tersebut diperoleh melalui pemberian stimulus atau rangsanganrangsangan. Semakin banyak dan sering diberikan stimulus maka memperkaya tanggapan pada subjek belajar. Sikap Nelayan Berbicara mengenai sikap pada penelitian ini berarti berhubungan dengan keyakinan yang dipegang nelayan, yang dengan keyakinannya tersebut ia menilai objek yang sedang dihadapi .nelayan mempersepsikan tentang harapan terhadap lingkungan perairan yang ada disekitarnya dan keinginan untuk bertindak sesuai harapan tersebut. Selanjutnya sikap positif dari nelayan akan mendorongnya untuk berbuat sesuai harapan lingkungan perairan untuk melakukan suatu perbuatan yang positif, ditambah jika nelayan melihat bahwa tidak ada hambatan baginya untuk berperilaku maka munculnya niat yang besar bagi nelayan. Tetapi dengan sikap negatif, juga dapat menyebabkan nelayan tidak mau menentang harapan lingkungan perairan, dan nelayan merasa tidak akan mampu melakukan suatu perbuatan, maka niat menjadi lemah, yang ini berarti kemungkinan nelayan berperilakupun rendah. Sarwono (1992) mendefinisikan sikap sebagai respon manusia yang menempatkan objek yang dipikirkan ke dalam suatu dimensi pertimbangan. Objek yang difikirkan adalah segala sesuatu benda, orang, dan lain-lain yang bias dinilai oleh manusia. Adapun dimensi pertimbangan adalah semua skala positif – negatif ; baik dari baik ke buruk, dari jelek ke bagus, dari haram ke halal, dar sah ke tidak sah, dari enak ke tidak enak, dan semacamnya. Jadi sikap adalah menempatkan suatu objek ke dalam salah satu skala tersebut. Selanjutnya Ma‟at (1982) juga menjelaskan bahwa sikap belum merupakan suatu tindakan atau action, akan tetapi masih merupakan pre-disposisi tingkah laku. Kesiapan dalam hal ini sebagai suatu kecenderungan potensial untuk bereaksi apabila individu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya respon. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk respon yang dinyatakan sebagai sikap itu didasari oleh proses evaluasi, yang memberikan kesimpulan nilai terhadapstimulus dalam bentuk baik dan buruk, positif dan negative, menyenangkan atau tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap sesuatu nilai dalam masyarakat apakah menolak atau menerima. Terbentuknya sikap dipengaruhi oleh tiga komponen meeliputi kognitif (pengetahuan dan keyakinan), afektif (perasaan) dan konatif (tindakan).
12
Purwanto (1990) menyatakan bahwa tiap orang mempunyai sikap ysng berbeda-beda terhadap suatu perangsang (stimulus).Ini disebabkan oleh berbagai faktor yang ada pada individu masing masing seperti adanya perbedaan dalam bakat, minat, pengalaman, pengetahuan, intensitas perasaan, dan juga situasi lingkungan. Selanjutnya Azwar (2003) mengemukanan berbagai metode dan teknik telah dikembangkan oleh para ahli guna mengungkap sikap manusia dan memberikan interpretasi yang valid. Pengungkapan sikap manusia dilakukan dengan beberapa metode diantaranya dengan observasi perilaku, penanyaan secara langsung, dan pengungkapan langsung. Untuk mengetahui sikap seseorang terhadap sesuatu dapat memperhatikan perilakunya, sebab perilaku merupakan salah satu indikator sikap individu, namun ternyata hal itu berlaku hanya bila sikap berada dalam kondisi yang ekstrim. Perilaku akan hanya konsisten dengan sikap apabila kondisi dan situasi memungkinkan. Keraf (2002) juga mengungkapkan bahwa, adanya keyakinan religiusmoral bahwa sikap batin dan perilaku yang salah, yang bengkok, hubungan dengan sesama dan alam, akan mendatangkan malapetaka, baik bagi diri sendiri maupun bagi komunitas. Dalam konteks itu bisa dipahami bahwa semua bencana alam, banjir, kekeringan, hama, kegagalan panen, tidak adanya hasil tangkapan semuanya dianggap sebagai sumber dari kesalahan sikap batin dan perilaku manusia, baik terhadap sesama maupun terhadap alam. Dengan kata lain perilaku moral, baik terhadap sesama maupun terhadap alam adalah bagian dari cara hidup, dari adat kebiasaan, dari etika masyarakat adat tersebut. Robbins (2007) mendefinisikan sikap sebagai pernyataan yang bersifat evaluatif, baik yang diinginkan atau tidak diinginkan, mengenai obyek, individu maupun peristiwa. Sikap sendiri terbagi kedalam tiga komponen, yaitu kognitif, afektif dan konatif, komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki seseorang mengenai objek sikap yaitu, fakta pengetahuan dan keyakinan objek, komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang pada objek penilaian, komponen perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi atau kecendrungan untuk bertindak pada objek. Tindakan Nelayan Tindakan merupakan hasil dari interaksi antara faktor-faktor yang terdapat di dalam diri sendiri (karakteristik individu) dan faktor luar (faktor eksternal). Proses interaksi itu sendiri terjadi pada kesadaran atau pengetahuan seseorang (Sarwono, 2002). Pola tindakan seseorang bisa saja berbeda antara satu sama lain, tetapi proses terjadinya suatu tindakan adalah mendasar bagi semua individu, yakni dapat terjadi karena disebabkan, digerakkan, dan ditujukan pada sasaran (Kast dan Rosenzweing, 1995). Tindakan individu sangat dipengaruhi oleh sikap maupun pengetahuannya. Seseorang bersikap suka atau tidak suka , baik atau tidak baik, senang atau tidak senang terhadap suatu objek sangat dipengaruhi oleh pengalamannya atau pengetahuannya sendiri (Harihanto, 2001). Selanjutnya Notoatmodjo (1979) menyatakan suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlakukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Dalam tindakan terdapat tingakat-tingkat praktek meliputi: (1) Persepsi (Perception), mengenal dan memilih berbagai
13
obyek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil, (2) Respon Terpimpin (Guided Respons), dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh, (3) Mekanisme (Mechanism), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau suatu ide sudah merupakan suatu kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga, (4) Adaptasi (Adaptation), merupakan praktek yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall).Pengukuran langsung dengan observasi tindakan atau kegiatan responden. Karateristik Internal Nelayan Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang dimiliki seseorang dengan semua aspek dengan lingkungannya. Karakteristik terbentuk oleh faktor biologis dan sosio psikologis. Perilaku masyarakat terhadap sesuatu objek tertentu serta karakteristik individu merupakan salah satu faktor yang penting untuk diketahui.karakteristik individu secara internal meliputi variabel sepeti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, bangsa, agama dan sebagainya yang saling berinteraksi satu sama lain dalam menentukan perilaku (Halim, 1992 :16). Faktor internal nelayan sangat berpengaruh terhadap perilaku nelayan adalah umur, pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman berusaha, pendapatan. Umur Nelayan Usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam pembuatan keputusan dan menjaga segala sesuatu, sebagai sesuatu yang baru. Hal tersebut disebabkan oleh usia yang berpengaruh terhadap kecepatan seseorang dalam menerima sesuatu yang baru, selain itu umur juga menggambarkan pengalaman dari diri seseorang sehingga terdapat keragaman perilaku. Seseorang yang semakin tua yaitu dengan umur di atas 50 tahun kemampuan yang di miliki akan berkurang hal ini di sebebabkan oleh fungsi kerja otot dan otak yang semakin menurun dan semakin lambat dalam menerima adopsi inovasi, sehingga cenderung dalam melaksanakan kegiatan – kegiatan yang sudah biasa di lakukan. (Padmowihardjo, 1994:36) Tingkat Pendidikan Nelayan Tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola pikir masyarakat, baik yang diperoleh melalui jenjang pendidikan formal maupun informal. Tingkat pendidikan ada hubungannya dengan mudah atau tidaknya masyarakat tersebut menerima pembaharuan dan teknologi yang terus berkembang, sehingga masalah kesenjangan sosial dapat diatasi.Oleh karena itu tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penentu perkembangan suatu daerah.Pendidikan merupakan satu hal yang paling penting dalam menunjang kemajuan pembangunan suatu daerah. Sejalan dengan itu, pendidikan dalam masyarakat sendiri akan sangat tergantung pada perkembangan dan kemajuan daerah tersebut. Tingginya taraf pendidikan suatu masyarakat, maka akan dapat merubah pola pikir dan dapat mengimbangi perubahan kemajuan teknologi yang terus berkembang sehingga dapat
14
mengembangkan pembangunan dan kemajuan daerah dengan menghasilkan masyarakat yang memiliki daya saing dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Pendidikan formal mununjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya pikir seseorang.Pendidikan merupakan usaha merubah pola pikir dan perilaku seseorang yang didasari oleh ilmu pengetahuan yang dimiliki.Pendidikan juga bertujuan untuk merubah sikap dan tingkah laku seseorang untuk menjadi lebih baik seperti yang di kehendaki oleh pendidikan itu sendiri. Selain itu menurut Halim (1992:19) pendidikan merupakan proses pengembangan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dapat dilakukan secara terencana sehingga memperoleh perubahan dalam menigkatkan taraf hidupnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin luas juga pengetahuan yang dimilikinya. Pendidikan merupakan faktor yang menentukan dalam mendapatkan ilmu pengetahuan, suatu pendidikan akan menggambarkan tingkat kemampuan kognitif dan derajat ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang. Berdasarkan penyelenggaraannya pendidikan dapat dibedakan menjadi dua yaitu pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Jumlah Tanggungan Keluarga Nelayan Jumlah tanggungan keluarga, besarnya keluarga sangat terkait dengan tingkat pendapatan seseorang, jumlah keluarga yang besar akan menyebakan seseorang memerlukan tambahan pengeluaran atau kebutuhan penghasilan yang lebih tinggi pula untuk membiayai kehidupannya. Sehingga dibutuhkan tingkat aktifitas yang lebih tinggi dalam memenuhi kebutuhan (Halim, 1992:20), selain itu Suranto (1997) juga menyatakan bahwa besarnya keluarga sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan seseorang. Jumlah anggota keluarga atau tanggungan keluarga yang besar akan menyebabkan seseorang memerlukan tambahan pengeluaran atau kebutuhan penghasilan yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya, sehingga dibutuhkan tingkat aktifitas yang lebih tinggi dalam memenuhi kebutuhan, selain itu besarnya jumlah anggota rumah tangga menjadi salah satu faktor yang menjadi cirri penduduk miskin. Pengalaman Usaha Nelayan Pengalaman berusaha adalah sebagai suatu ukuran tentang lama waktu atau masa kerjanya yang telah ditempuh seseorang dalam memahami tugas – tugas suatu pekerjaan dan telah melaksanakannya dengan baik.Selain itu Pengalaman merupakan salah satu cara kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Hal-hal yang telah di alami akan ikut serta dalam membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Menurut Rakhmat (2001) pengalaman merupakansalah satu carakepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan.Secara psikologis seluruh pemikiran manusia, kepribadian dan temperamen ditentukan oleh pengalaman indera.Pikiran dan perasaan bukan penyebab tindakan tetapi disebabkan oleh penyebab masa lalu.
15
Pendapatan Rumah Tangga Nelayan Pendapatan adalah sumberdaya material yang diterima oleh seseorang dari pekerjaan yang dilakukannya untuk mencari nafkah yang umumnya diterima dalam bentuk uang.Anggota keluarga yang menjadi sumber utama keuangan keluarga disebut pencari nafkah dan biasanya dipegang oleh ayah atau suami (Sediaoetama 1991).Pada penelitian ini yang dimaksud dengan pendapatan adalah pendapatan rumah tangga nelayan merupakan penghasilan yang diperoleh oleh rumah tangga nelayan baik yang berasal dari kepala keluarga maupun anggota rumah tangga lainnya dan didapat dari sektor perikanan maupun sektor non perikanan yang diukur dalam rupiah perbulan. Tingkat Kekosmopolitan Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), kekosmopolitan adalah kesediaan seseorang untuk berusaha mencari ide-ide baru diluar lingkungan dan tingkat keterbukaan seseorang dalam menerima pengaruh dari luar. Sifat kekosmopolitas adalah tingkat hubungaannya dengan dunia luar diluar sistem sosialnya. Sifat kekosmopolitan dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa. Warga masyarakat yang relative lebih kosmopolit, adopsi inovasi lebih cepat, tetapi bagi yang lebih localit (tertutup, terkurung dalam sistem sosialnya sendiri), proses adopsi inovasi akan berlangsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan baru untuk merubah hidup menjadi lebih baik seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang diluar sistem sosialnya sendiri (Mardikanto,1996) Kelembagaan Lelang Lebak lebung MenurutWidodo (2008), lembaga merupakan pola perilaku yang selalu berulang bersifat kokoh dan dihargai oleh masyarakat. Selanjutnya Diniah (2008) mengemukakan bahwa ada banyak lembaga yang mendukung kegiatan perikanan tangkap. Lembaga tersebut dapat dikelompokkan menjadi kelembagaan yang formal dan non formal. ciri lembaga sosial bersifat formal adalah terbentuk atas campur tangan pihak luar (pemerintah), ada dasar hukum untuk membentuk lembaga secara legal, pengurus dipilih atas pertimbangan kebutuhan dan masa kepengurusannya jelas, struktur bersifat formal dan mudah dipengaruh oleh pihak luar. Ciri lembaga yang bersifat non formal adalah terbentuk atas kehendak masyarakat yang bersangkutan, manajemennya lemah, dinamika aktivitas tidak teratur, terbentuk atas norma dan nilai yang dikembangkan atas dasar trust, pengurus dipilih lembaga bersifat monoton, dan menolak campur tangan pihak luar. Suhana (2008), menyatakan ada tiga pilar kelembagaan (aturan, normanorma dan pengetahuan) dalam manajemen perikanan, yaitu pertama pilar kebijakan (the regulative pillar). Kelembagaan dalam manajemen perikanan mengatur tentang hal-hal yang perlu dilakukan oleh para pelaku perikanan, misalnya tentang kuota penangkapan dan alat tangkap yang harus digunakan. Kedua, pilar normatif (the normative pillar). Kapan aturan dapat dilaksanakan secara baik, para pelaksana kebijakan tidak boleh putus asa dalam mengimplementasikanya. Dalam mengimplementasikan suatu aturan perikanan tidaklah hanya memperhitungkan resiko pada pihak yang mencari ikan, seperti dibantah dari suatu perspektif yang masuk akal. Hal tersebut terait dengan moral.
16
Ketiga, pilar kognitif (the cognitive pillar). Terdakang para nelayan tidak menyadari aturan perikanan, karena mereka belum mengetahuinya. Aturan perikanan yang ada adalah sangat dinamis dan komplek. Selanjutnya Soekanto (2003), juga menyatakan bahwa istilah kelembagaan merupakan terjemahan dari kata institution yang terdapat dalam setiap kehidupan masyarakat, baik pada masyarakat yang masih memegang nilai-nilai budaya atau pada masyarakat yang sudah modern. Kelembagaan juga merupakan konsep yang digunakan manusia dalam kondisi yang berulang yang diorganisasi oleh aturan (rules), norma (norms) dan strategi-strategi (strategies) (Ostrom, 1999). Hal ini berkesesuaian dengan fungsi kelembagaan sebagai sesuatu yang memberi pedoman berperilaku kepada individu-individu/masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat terutama yang terkait dengan kebutuhan-kebutuhan mereka. Oleh karena itu, kelembagaan berfungsi menjaga keutuhan masyarakat dengan adanya pedoman yang dapat diterima secara bersama. Kelembagaan juga berfungsi memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control), sehingga ada suatu sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. Kelembagaan adalah suatu perspektif tentang perubahan sosial yang direncanakan dan yang akan dibina dalam suatu kelompok atau wilayah. Pembangunan lembaga menyangkut inovasi-inovasi yang bertujuan untuk melakukan perubahan dalam norma-norma, kelakuan, hubungan perorangan maupun kelompok, persepsi baru mengenai tujuan-tujuan. Pembangunan lembaga tidaklah berkaitan dengan pengulangan pola yang sudah ada, atau perbaikanperbaikan yang sedikit saja dalam efisiensi. Namun tujuan utama dari pembangunan lembaga atau kelembagaan adalah inovasi. Ciri umum lembaga sosial adalah organisasi pola-pola pemikiran dan polapola perilaku yang terwujud melalui aktifitas-aktifitas kemasyarakatan dan hasilhasilnya. Aturan main dari lembaga merupakan cerminan dari norma-norma yang menjadi pembatas bagi anggotanya dan masyarakat. Kelembagaan nelayan terdapat beberapa jenis antara lain kelembagaan ekonomi perbankan, koperasi, pasar, kelembagaan sosial seperti lembaga sosial masyarakat, punggawa-sawi, organisasi kemasyarakatan nelayan, dan lembaga pemerintah dalam hal ini departemen kelautan dan perikanan. Lembaga-lembaga tersebutlah yang selama ini mengatur dan banyak menentukan pengelolaan sumberdaya alam yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat nelayan (Dahuri, 2002). Fungsi kelembagaan lebak lebung di Kabupaten Muara Enim adalah sebagai berikut: (1) Menciptakan ekosistem baru bagi ikan dan biota perairan lainnya, lebak lebung merupakan daerah yang sangat subur karena banyak mengandung unsur hara dan juga pakan alami untuk ikan terutama berasal dari proses dekomposisi vegetasi hutan rawa pada saat tergenang. Areal lebak lebung terdiri dari lebak lebung dan sungai yang secara alami pada musim air pasang sebagai tempat berkembangnya ikan. Sehingga dapat dimanfaatkan untuk usaha penangkapan dan budidaya perikanan. (2) Keberadaannya tidak mengganggu ekosistem lain, lebak lebung merupakan bagian dari perairan umum air tawar yang bersifat musiman sehingga keberadaannya tidak akan mengganggu ekosistem lain namun tetap dapat dimanfaatkan untuk usaha penangkapan ikan dan budidaya perikanan.
17
Kelembagaan lebak lebung di Sumatera Selatan pada awalnya sebelum terbentuknya pemerintahan desa-desa di Sumatera Selatan (tahun 1982), pemerintahan yang paling dominan berpengaruh dalam pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum adalah pemerintahan marga yang dipimpin oleh Kepala Marga (Pasirah). Namun setelah tahun 1982, kelembagaan yang paling berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan lebak lebung adalah Pemerintah Kabupaten yang dipimpin oleh Bupati. Masa pemerintahan marga sistem pemerintahan yang dilaksanakan di Provinsi Sumatera Selatan sebelum dibentuknya pemerintahan desa. Pengelolaan sumberdaya perikanan lebak lebung dan sungainya di Sumatera Selatan, pengaturan hak penangkapan ikan diatur dengan cara melelangkan perairan tersebut setiap tahunnya secara terbuka yang telah dimulai sejak adanya sistem pemerintahan marga di Sumatera Selatan (Nasution, 1990). Karakteristik Eksternal Nelayan Lebak Lebung Dalam penelitian ini selain karakteristik internal nelayan dan kelembagaan nelayan, juga terdapat beberapa karateristik eksternal yang mempengaruhi nelayan dalam mengelola perairan dan ekosistem perairan lebak lebung yang meliputi: Kinerja Kelompok Nelayan Kelompok nelayan dibentuk bertujuan untuk memperkuat kelembagaan dan sumber daya manusia secara terintegrasi, mengelola sumber daya perikanan secara berkelanjutan, meningkatkan produktivitas dan daya saing berbasis pengetahuan, dan memperluas akses pasar domestik dan internasional. Peranan kelompok nelayan sebagai kumpulan nelayan adalah sebagai: kelas belajarmengajar, unit produksi nelayan, wahana kerja sama antar anggota kelompok atau antar kelompok dengan pihak lain. Tugas kelompok nelayan sebagai kelas belajarmengajar adalah: menggali dan merumuskan keperluan belajar para anggota kelompok, menjalin kerja sama dengan sumber informasi dan teknologi, menciptakan iklim belajar yang baik; mempersiapkan sarana belajar, mendorong anggota untuk mampu mengemukakan pendapat, mendorong anggota berperan aktif dalam proses belajar-mengajar, merupakan kesepakatan bersama, menaati dan melaksanakan kesepakatan bersama, dan mengadakan pertemuan rutin. Tugas kelompok nelayan sebagai wahana kerja sama meliputi:(1) menciptakan iklim kerja sama yang baik,(2) menciptakan suasana keterbukaan,(3) mengatur pembagian tugas,(4) mengembangkan kedisiplinan dan rasa tanggung jawab,(5) mengembangkan kader kepemimpinan,(6) mengadakan pemupukan modal, dan (7) mengadakan hubungan melembaga dengan koperasi nelayan (Anonimous, 2010). Kinerja kelompok nelayan merupakan ukuran yang dipakai menilai kondisi kelompok nelayan pada penelitian ini yang dipengaruhi oleh faktor internal terdiri dari manajemen kelompok, keuangan kelompok dan sumber daya manusia yang ada didalam kelompok. Faktor-faktor ini harus dikelola secara baik, sehingga dapat mencapai kinerja kelompok yang optimal. Dipandang dari pemikiran strategi bahwa kinerja kelompok dapat ditentukan oleh faktor internal terdiri dari peran serta anggota kelompok, manajemen kelompok, keuangan kelompok dan sumberdaya manusia serta factor eksternal dari kelompok.
18
Rivai (2006) menyatakan penilaian prestasi adalah merupakan hasil kerja karyawan dalam lingkup tanggungjawabnya. Prakteknya, istilah penilaian kinerja (performance appraisal) dan evaluasi kerja (performance evaluation) dapat digunakan secara bergantian atau bersamaan karena pada dasarnya mempunyai maksud yang sama. Selanjutnya, instrumen penilaian kinerja dapat digunakan untuk mereview kinerja, peringkat kinerja, penilaian kinerja, penilaian karyawan dan sekaligus evaluasi karyawan sehingga dapat diketahui mana karyawan yang mampu melaksanakan pekerjaan secara baik, efisien, dan produktif sesuai dengan tujuan perusahaan. Selanjutnya Hasibuan (2001) juga menyatakan bahwa kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas–tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Menurut Gomes (2001) bahwa kinerja seseorang dapat diukur dari : (1) Quantity of work, yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan,(2) Quality of work, yaitu kualitas kerja dicapai berdasarkan syarat–syarat kesesuaian dan kesiapannya, (3) Job knowledge, yaitu luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya, (4) Creativeness, yaitu keaslian gagasan–gagasan yang dimunculkan dan tindakan–tindakan untuk menyelesaikan persoalan–persoalan yang timbul, (5) Cooperation, yaitu kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain (sesama anggota organisasi), (6) Dependability, yaitu kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian pekerjaan, (7) Initiative, yaitu semangat untuk melaksanakan tugas– tugas baru dan dalam memperbesar tanggungjawabnya, dan(8) Personal qualities, yaitu menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah–tamahan, dan integritas pribadi. Berdasarkan konsep diatas kinerja kelompok nelayan dalam melakukakan pengelolaan perairan umum lebak lebung dapat dilihat berdasarkan kemampuan, perencanaan kerja, pengalaman, kemampuan mengemukakan pendapat, pengambilan keputusan. Kebijakan Pemerintah Kebijakan merupakan ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dan kegiatan aparatur pernerintah, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam upaya mencapai tujuan. Kebijakan dapat dibedakan sebagai kebijakan internal dan eksternal.Kebijakan internal (kebijakan manajerial), yaitu kebijakan yang hanya mempunyai kekuatan mengikat aparatur dalam organisasi Pernerintah sendiri. Kebijakan eksternal yaitu kebijakan yang mengikat masyarakat (kebijakan publik). Kebijakan pemerintah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan pelestarian perikanan perairan umum merupakan prioritas utama dalam pembangunan dan menjaga lingkungan perairan yang merupakan peraturan- peraturan dalam rangka mencapai tujuan serta strategi pengembangan pengelolaan lingkungan perairan melalui kegiatan lelang lebak lebung dan frekuensi penyampaian informasi kebijakan kepada nelayan yang di tuangkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan pemerintah yang meliputi: (1) Memperkuat pengawasan dan pengendalian dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan perairan umum yang dapat bekerjasama dengan aparat hukum dan masyarakat dalam menciptakan lingkungan perairan yang lestari, (2) Menggalang kerjasama dengan mitra penegak hukum, mengoptimalkan kekuatan sendiri dengan menerapkan prioritas, efektif dan efisien guna terwujudnya
19
pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum yang bermanfaat bagi kesejahteraan dan keamanan, (3) Meningkatkan penanggulangan illegal fishing dengan mengaplikasikan hukum dan perundang – undangan kelautan dan perikanan terhadap pelaku usaha perikanan yang melakukan pelanggaran, (4) Menumbuh kembangkan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam memberikan informasi tentang kegiatan illegal fishing di wilayah Kabupaten Muara Enim. Hubungan antara Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Pengetahuan, sikap dan tindakan merupakan bentuk operasional dari perilaku dimana perilaku itu sendiri didefenisikan sebagai suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya. Reaksi ini pada hakekatnya digolongkan ke dalam bentuk tanpa tindakan dan bentuk tindakan Notoatmodjo (2003) dan Sarwono (1992). Selanjutnya Fishbein dan Ajzen (1976) menyatakan bahwa hubungan antara konsep pengetahuan, sikap dan perilaku dalam kaitannya dengan suatu kegiatan tidak dapat dipisahkan. Adanya pengetahuan tentang manfaat suatu hal akan menyebabkan seseorang mempunyai sikap positif, kemudian akan mempengaruhi niatnya untuk ikut serta dalam suatu kegiatan yang akan diwujudkan dalam suatu bentuk tindakan. Madrie (1981) juga menyebutkan bahwa, pengetahuan dan pengalaman akan membentuk sikap seseorang. Pengetahuan merupakan fase awal dari keputusan dimana akhirnya seseorang akan bertindak seperti pengetahuan yang diperolehnya. Perilaku individu diwujudkan dalam pengetahuan, sikap, dan tindakannya, dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hartono (2001) juga menyebutkan bahwa menurut pendekatan interaksionis, perilaku individu secara umum dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar.Faktor dalam yang mempengaruhi perilaku seseorang adalah karakteristik internal, yakni sesuatu yang dimiliki oleh seseorang secara unik, baik yang bersifat fisik maupun psikis (kejiwaan). Selanjutnya Harihanto (2001) menguraikan faktor luar yang dapat mempengaruhi perilaku adalah faktor sosial budaya, sosial ekonomi , dan lingkungan fisik seperti pendidikan, pengetahuan , pengahargaan sosial, hukuman, kebudayaan, norma sosial, tekanan lingkungan (kemiskinan, diskriminasi, dan sebagainya), model (panutan), input informasi, kohesi kelompok, dukungan sosial, agama, ekonomi, politik, pola perilaku kelompok, dan status serta peranan individu dalam masyarakat. Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu Nasution (2012) temuan penelitiannya mengenai kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” dan kemiskinanan nelayan menyebutkan bahwa Kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa pemerintahan Marga terlihat efektif keterkaitannya dalam mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL, tetapi hal tersebut terjadi di masa lalu. Perubahan kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung”dari masa pemerintahan Marga ke masa pemerintahan Kabupaten, tidak efektif dalam pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung, dan mengakibatkan semakin sempitnya akses masyarakat nelayan terhadap sumber daya perikanan PULL.
20
Terjadinya degradasi kondisi sumber daya perikanan PULL dan mengakibatkan terjadinya kemiskinan masyarakat nelayan. Alternatif kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang dibangun oleh masyarakat dengan fasilitasi Pemerintah Desa yang pro rakyat, dapat diakses masyarakat nelayan dengan mudah dan murah, serta mampu mempertahankan kelestarian sumber daya perikanan PULL, yang diusulkan adalah berupa kelembagaan komunitas nelayan (Kelompok Nelayan) yang tujuan utamanya mengurangi intervensi pemerintah atau yang berazaskan kepada masyarakat (community based management). Pengambilan keputusan pada Kelompok Nelayan dilakukan dengan cara “musyawarah dan mufakat” dalam rangka penyusunan konsepsi pengelolaan (termasuk pencadangan areal perlindungan perikanan) dan pengalokasian hak penangkapan ikan pada sumber daya perikanan. Kelembagaan adaptif untuk pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung tidak cukup hanya memenuhi prinsip keberlanjutan kelembagaan dan teori akses, tetapi harus pula diterapkan menggunakan pendekatan ko-manejemen yang terpadu antara pemerintah desa dan masyarakat nelayan. Untuk itu, dua unsur yang digali dari kelembagaan lokal dan prinsip pengelolaan bersama (ko-manajemen) yaitu partisipasi dan koordinasi merupakan syarat adaptifnya kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Dengan dasar masyarakat yang membentuk aturan main dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL, maka dalam musyawarah dan mufakatnya harus mengikutsertakan seluruh unsur yang dalam masyarakat. Akses dikatakan mudah diatur dengan hanya mendaftarkan diri kepada Kelompok Masyarakat Pengawas dengan membayar uang administrasi sekedarnya (tidak lebih dari Rp.100.000.-per tahun per nelayan). Begitu upaya kelestarian sumber daya diupayakan dan dijaga oleh Pokmaswas dan dibantu oleh masyarakat nelayan secara bersama. Dengan pengaturan demikian diharapkan rasa memiliki masyarakat nelayan terhadap sumber daya perikanan PULL akan muncul dan diterapkan dalam kondisi yang kondusif. Hal ini dibarengi dengan saling mengawasi diantara masyarakat nelayan atas pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan dapat membantu ditegakkannya sanksi terhadap pelanggar aturan. Jiwa kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) tim yang tergabung dalam kelompok masyarakat pengawas akan sangat menentukan berhasil tidaknya pengelolaan sumber daya perikanan PULL di kawasan tersebut. Rifai (2002) dalam penelitiannya mengenai analisis kelembagaan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat perairan umum lebak lebung menyebutkan bahwa Lembaga komunal masyarakat di Kabupaten Musi Banyu asin di kenal dengan lembaga adat musi yang ada di desa lokasi penelitian, tidak diikutkan dalam penetapan lokasi dan harga standar dari objek lelang di daerah tersebut setiap tahun, sehingga sangat rawan sekali terjadinya konflik apalagi dan adanya perbedaan status social masyarakat nelayan yang tercipta dari sistem lelang lebak lebung yang diselengggarakan Pemda. Kolopaking et al. (2012) temuan penelitiannya mengenai program nasional pemberdayaan masyarkat mandiri perdesaan (PNPM-MP): studi kualitatif efek rembesan pilot PNPM-lingkungan mandiri perdesaan di Indonesia menyebutkan bahwa lubuk larangan di Kecamatan Batang Toru Sumatera Utara pada awal mulanya merupakan tata aturan lokal yang bersumber dari pengetahuan masyarakat setempat tentang pemeliharaan sungai sebagai sumber penghidupan.
21
Selanjutnya pengetahuan tersebut menjadi kearifan lokal dan diterima menjadi aturan yang mengikat perilaku masyarakat dalam menangkap ikan di sungai. Peraturan tertulis dibuat oleh pemerintah yang dituangkan dalam peraturan desa untuk melindungi lubuk larangan. Untuk kegiatan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan lubuk larangan dibentuk kelompok pengelola lubuk larangan, pengawasan lubuk larangan juga dilakukang oleh masyarakat yang bekerja sebagai petani atau pekebun.
22
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Manajemen pengelolaan perairan pedalaman yang berbasis masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan telah dipraktekkan dan dapat ditemukan, terutama pada masyarakat di Kabupaten Muara Enim. Masyarakat memelihara sumberdaya perairan lebak lebung yang didasarkan pada praktek dan peraturan-paraturan adat dan peraturan pemerintah, pengetahuan masyarakat setempat, sejarah lokal, dan organisasi sosial. Pengelolaan perairan ini guna melindungi ikan-ikan dari eksploitasi dan sumberdaya perairan didalamnya untuk periode waktu tertentu. Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah meningkatkan kesejahteraan nelayan melalui pembinaan dan melindungi sumberdaya untuk kebutuhan generasi mendatang, Perikanan perairan umum sebagai suatu kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat terbuka tidak dilakukan oleh orang sebagai “pemilik” tapi dapat dimanfaatkan oleh masyarakat baik sebagai produsen mapun sebagai konsumen. Karena itu semua orang yang mendapat manfaat dari perikanan perairan umum hendaknya ikut menjaga sumberdaya yang berkelanjutan akan mempengaruhi keberlanjutan usaha mereka. Upaya pengelolaan dan pemanfaatan Sumberdaya perikanan perairan umum tidak terlepas dari keberadaan masyarakat yang berada di sekitarnya dan kelestarian lingkungan perairan dan ekosistemnya juga tergantung pada masyarakatnya. Perilaku yang meliputi: pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat yang berada di sekitar perairan merupakan salah satu unsur yang paling penting untuk diketahui dan dipelajari agar strategi pembinaan masyarakat nelayan yang akan dilakukan sesuai dengan tujuan dan harapan yang akan di capai. Perilaku nelayan yang positif terhadap ekosistem perairan akan sangat menentukan kebaradaan dan keberlangsungan ekosistem perairan yang ada di sekitarnya. Sedangkan perilaku yang negatif yang cenderung untuk merusak ekosistem perairan akan menyebabkan kerusakan terhadap ekosistem dan lingkungan perairan yang akan berdampak buruk terhadap masyarakat nelayan itu sendiri. Semakin marak terjadinya kerusakan lingkungan perairan dan ekosistemnya serta belum optimalnya keterlibatan masyarakat khususnya nelayan dalam kegiatan pengelolaan perairan, hal ini menjadi alasan utama untuk mengetahui dan menganalisis tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan nelayan terhadap perairan, untuk menjaga kelestarian peraiaran fungsi serta peranan perairan dan memberikan gambaran kepada pengelola dalam merumuskan program pelibatan nelayan khususnya dalam pengelolaan perairan. Selain itu perlunya mengetahui karakteristik nelayan serta hubungannya dengan tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan agar strategi pemberdayaan dan pengelolaan lingkungan perairan dan ekosistem yang akan dilaksanakan sesuai dan tepat sasaran. Perilaku nelayan dalam upaya mencari dan memanfaatkan sumberdaya perairan yang ada sangat berhubungan dengan kebutuhan yang diperlukan nelayan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan nelayan sehari-hari, sehingga nelayan berperilaku terhadap sumberdaya yang dimiliki. Perilaku nelayan di Kabupaten Muara Enim dalam pelestarian dan menjaga lingkungan perairan dipengaruhi oleh faktor internal (X1) kelembagaan lebak lebung (X2) dan faktor eksternal (X3).
23
Faktor internal yang diduga mempengaruhi perilaku nelayan terhadap pelestarian lingkungan perairan dan ekosistemnya, dalam penelitian ini meliputi: umur, pendidikan formal, pengalaman kerja, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan rumah tangga, kosmopolitan, selain itu kelembagaan lebak lebung yang mempengaruhi perilaku nelayan terhadap pelestarian lingkungan perairan dan ekosistemnya dalam penelitian ini adalah sejarah kelembagaan lelang lebak lebung, aturan, dan sanksi dalam lelang lebak lebung, sedangkan faktor eksternal yang diduga mempengaruhi perilaku nelayan terhadap pelestarian lingkungan perairan dan ekosistemnya, dalam penelitian ini adalah: kinerja kelompok, kebijakan pemerintah (pengelola). Berdasarkan telaah pustaka dan beberapa hasil penelitian terdahulu disusun suatu kerangka berpikir mengenai hubungan antara perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) nelayan dalam mengelola perairan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya (Gambar 1).
22
Kelembagaan Lebak Lebung (X2) Sejarah lelang lebak lebung Aturan lelang lebak lebung Sanksi lelang lebak lebung
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Karakteristik Eksternal Nelayan Lebak Lebung (X3) (X3.1) Kinerja kelompok nelayan (X3.2) Kebijakan pemerintah
Perilaku Nelayan Lebak Lebung (Y) (Y1). Pengetahuan nelayan dalam mengelola perairan lebak lebung (Y2). Sikap nelayan dalam mengelola perairan lebak lebung (Y3). Tindakan nelayan dalam mengelola perairan lebak lebung
Karakteristik Internal Nelayan Lebak Lebung (X1) (X1.1) Umur nelayan (X1.2) Pendidikan formal (X1.3) Pengalaman kerja (X1.4) Jumlah tanggungan keluarga (X1.5) Pendapatan rumah tangga nelayan (X1.6) Tingkat kekosmopolitan
Keberlanjutan Pengelolaan Perairan Lebak Lebung
24
25
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dirumuskan hopotesis penelitian sebagai berikut: (1) Terdapat hubungan nyata antara karakteristik internal dengan perilaku nelayan terhadap keberlanjutan pengelolaan perairan lebak lebung (2) Terdapat hubungan nyata antara kelembagaan lebak lebung dengan perilaku nelayan terhadap keberlanjutan pengelolaan perairan lebak lebung (3) Terdapat hubungan nyata antara karakteristik eksternal dengan perilaku nelayan terhadap keberlanjutan pengelolaan perairan lebak lebung
26
METODOLOGI PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasional menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survey yang bertujuan untuk menjelaskan perilaku nelayan dalam mengelola perairan (pengetahuan, sikap, dan tindakan dalam mengelola perairan lebak lebung), menjelaskan sistem lelang lebak lebung, Menganalisis hubungan faktor internal nelayan, kelembagaan lebak lebung dan faktor eksternal (lebak lebung) nelayan yang mempengaruhi perilaku nelayan dalam mengelola lingkungan perairan. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud membuat deskripsi mengenai situasi atau kejadian, dan peneliatian korelasional adalah penelitian yang mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi (Suryabrata 2003). Penelitian terdiri dari tiga peubah bebas yaitu (X1) karakteristik internal nelayan (X2) kelembagaan lebak lebung dan (X3) karakteristik eksternal nelayan lebak lebung, sedangkan peubah tidak bebasnya yaitu (Y) adalah perilaku nelayan lebak lebung. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Subjek pada penelitian adalah nelayan yang berada di Kabupaten Muara Enim. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dan penelitian dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai dengan bulan Januari 2015. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian adalah seluruh nelayan pengemin lelang yang bermukim dan melakukan usaha penangkapan ikan di Kabupaten Muara Enim, yang berjumlah 140 orang nelayan pengemin lelang. Lokasi penelitian dipilih dengan alasan bahwa wilayah ini melakukan pengelolaan perikan perairan umum dengan sistem lelang lebak lebung dan nelayan selalu melakukan aktifitas dan sangat bergantung kepada parairan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selanjutnya untuk mengetahui perilaku nelayan dalam mengelola perairan lebak lebung, sesuai perhitungan rumus Isaac dan Michael dalam Sugiyono (2011) untuk tingkat kesalahan 5% diperoleh jumlah sampel penelitian yaitu 100 orang nelayan pengemin lelang yang tersebar di tiga desa yang berada di Kabupaten Muara Enim, yang mempunyai peranan penting dalam mengelola perikanan perairan umum melalui kegiatan lelang lebak lebung. Data dan Konsep Pengukuran Pengukuran Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan adalah peubah utama yang diteliti berupa faktor internal yang meliputi: umur nelayan, pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman, pendapatan rumah tangga, tingkat kekosmopolitan, kelembagaan lebak lebung meliputi : sejarah lelang lebak lebung, aturan lelang lebak lebung, sanksi dalam lelang lebak lebung, sedangkan faktor eksternal nelayan lebak lebung meliputi : kinerja kelompok, dan
27
kebijakan pemerintah, sedangkan perilaku nelayan meliputi: pengetahuan, sikap dan tindakan nelayan dalam mengelola perairan lebak lebung. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan, laporan tahunan atau data statistik bulanan yang terkait meliputi dinas perikanan, serta sumber-sumber lain yang mendukung penelitian ini. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan instrumen dalam bentuk kuesioner yang memuat atau yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang dijawab oleh responden. Setiap variabel yang diteliti dirumuskan dalam bentuk operasional dengan tujuan untuk mempermudah dalam pengukuran. Adapan rincian pengukuran data menggunakan skala ordinal dengan tingkat penjenjangan sebagai berikut: (1) Karakteristik internal nelayan yang mencakup karakteristik sosial ekonomi yang melekat pada diri nelayan yang meliputi: umur, pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman kerja, pendapatan keluarga, tingkat kekosmopolitan. Penjelasan masing-masing peubah adalah sebagai berikut: (a) Umur nelayan adalah usia nelayan pada saat penelitian dilakukan yang dihitung sejak tahun kelahiran sampai dengan usia terakhir. Dengan menggunakan skala rasio yang dinyatakan dalam tahun. Data dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu muda (20-43 tahun)(skor 1); dewasa (44-50 tahun)(skor 2); dan tua (>50 tahun) (skor 3). (b) Pendidikan formal nelayan adalah tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti oleh nelayan diukur berdasarkan lamanya proses pembelajaran yang ditempuh oleh nelayan di sekolah resmi, dengan menggunakan skala rasio yang dinyatakan dalam tahun. Data dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu (1) rendah(skor 1)(tidak tamat SD-tamat SD); (2) sedang(skor 2)(tidak tamat SLTP - tamat SLTP); (3) tinggi(skor 3)(tidak tamat SLTA-Perguruan Tinggi). (c) Jumlah tanggungan keluarga nelayan adalah banyaknya orang baik keluarga maupun bukan keluarga yang tinggal satu rumah dan menjadi tanggung jawabnya, dengan menggunakan skala rasio yang dinyatakan dalam orang. Data dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu kecil (skor 1)(2-3 orang); sedang (skor 2)(4-5 orang); besar (skor 3) (6-7 orang). (d) Pengalaman kerja nelayan adalah lamanya nelayan melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan, dengan menggunakan skala rasio yang dinyatakan dalam jumlah tahun lamanya nelayan melakukan usaha penangkapan ikan. Hasil pengukuran dikatagorikan menjadi: (1) pengalaman baru (skor 1)(2-12 tahun); (2) pengalaman sedang (skor 2)(13 – 16 tahun); (3) pengalaman lama (skor 3) (>17 tahun). (e) Pendapatan nelayan adalah pendapatan atau hasil yang diperoleh nelayan dari hasil usaha penangkapan ikan dalam bentuk (rupiah/bulan), dengan menggunakan skala rasio yang dinyatakan dalam rupiah/bulan. Data dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu rendah (skor 1)(
Rp3.200.000). (f) Tingkat kekosmopolitan adalah sifat keterbukaan nelayan terhadap informasi, melalui hubungan nelayan dengan informasi, frekuensi menonton tv, membaca surat kabar, mengunjungi daerah lain,
28
mengunjungi sumber informasi perikanan/perairan guna untuk mencari informasi yang dibutuhkan sesuai dengan usaha nelayan dalam tiga bulan terakhir saat penelitian dilakukan, dengan menggunakan skala ordinal. Data dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu (1) rendah (skor 1)(1- 4 kali); (2) sedang (skor 2)(5-6 kali); (3) tinggi (skor 3)(≥ 6 kali). (2) Kelembagaan lebak lebung yang mencakup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (a) Sejarah kelembagaan lelang lebak lebung diukur berdasarkan pengetahuan dan pemahaman nelayan terhadap asal mula kegiatan lelang lebak lebung diadakan. Pengukuran berdasarkan jumlah skor dari item pernyataan, dengan menggunakan skala ordinal. Untuk keperluan pendeskripsian data dikelompokkan menjadi tiga kategori (1) kurang (skor 10-11); (2) cukup (skor 12); dan (3) baik (skor 13-15) (b) Peraturan lelang lebak lebung diukur berdasarkan pengetahuan dan pemahaman nelayan terhadap peraturan yang telah ditetapkan oleh lembaga lebak lebung dalam kegiatan lelang lebak lebung yang bertujuan untuk mengatur penggunaan sumber daya untuk kepentingan bersama. Pengukuran berdasarkan jumlah skor dari item pertanyaan, dengan menggunakan skala ordinal. Untuk keperluan pendeskripsian data dikelompokkan menjadi tiga kategori (1) kurang (skor 16-19); (2) cukup (skor 20); dan (3) baik (skor 21-24) (c) Sanksi dalam lelang lebak lebung diukur berdasarkan pengetahuan dan pemahaman nelayan terhadap sanksi atau hukuman yang akan diberikan kepada pelaku pelanggaran aturan yang telah ditetapkan oleh lembaga lebak lebung dalam kegiatan lelang lebak lebung. Pengukuran berdasarkan jumlah skor dari item pertanyaan, dengan menggunakan skala ordinal. Untuk keperluan pendeskripsian data dikelompokkan menjadi tiga kategori (1) kurang (skor 9); (2) cukup (skor 10); dan (3) baik (skor 11-12) (3) Karakteristik eksternal nelayan yang mencakup dalam penelitian ini adalah kinerja kelompok nelayan dan kebijakan pemerintah. Penjelasan masingmasing variabel adalah sebagai berikut: (a) Kinerja kelompok adalah kinerja nelayan/anggota yang tergabung dalam suatu kelompok sesuai dengan tujuan kelompok, kinerja kelompok merupakan capaian hasil kerja nelayan/ anggota kelompok dalam melaksanakan tugas–tugas yang dibebankan kepadanya, didasarkan atas kemampuan, pengalaman, kemampuan mengemukakan pendapat, pengambilan keputusan, perencanaan kerja. Pengukuran dengan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari item pertanyaan. Data dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu (1) kurang (skor 14-16); (2) cukup (skor 17); (3) baik (skor 18) (b) Kebijakan pemerintah adalah bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah : pengelolaan perairan umum dengan cara lelang dan frekuensi penyampaian informasi kebijakan kepada nelayan. Pengukuran dengan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari item pernyataan. Data dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu kurang (skor 12-14); cukup (skor 15); baik(16-18)
29
(4) Perilaku nelayan yang mencakup dalam penelitian ini adalah pengetahuan, sikap dan tindakan. Penjelasan masing-masing peubah adalah sebagai berikut: (a) Pengetahuan tentang mengelola perairan lebak lebung adalah sekumpulan informasi tentang cara dan upaya dalam menjaga perairan lebak lebung yang dipahami nelayan yang meliputi pengertian perairan umum, sejarah lelang lebak lebung, status wilayah perairan, batas wilayah perairan, pemanfaatan hasil perairan, rehabilitasi wilayah kritis, perlindungan perairan lebak lebung. Pengukuran berdasarkan jumlah skor dari item pernyataan, untuk keperluan pendeskripsian data dikelompokkan menjadi tiga kategori (1) kurang (skor 21-26); (2) cukup (skor 27 - 28); dan (3) baik (skor 29-34) (b) Sikap dalam mengelola perairan lebak lebung adalah tanggapan atau situasi mental/psikologis responden jika dihadapkan pada situasi tertentu dilihat berdasarkan sejarah lelang lebak lebung, status wilayah perairan lebak lebung, batas wilayah perairan, pemanfaatan hasil perairan, rehabilitasi objek lebak lebung kritis, perlindungan objek lebak lebung. Untuk mengukur tingkat sikap responden dalam penelitian ini digunakan beberapa indikator tentang aspek-aspek pelestarian dan dari masingmasing aspek akan diukur menggunakan pertanyaan dalam bentuk kuisioner. Jenis pertanyaan dapat bersifat positif dan negatif, maka responden dapat menjawab dengan: sikap sangat setuju (skor 3), setuju (skor 2), dan tidak setuju (skor 1). Pengukuran berdasarkan jumlah skor dari item pernyataan, untuk keperluan pendeskripsian data dikelompokkan menjadi tiga kategori (1) kurang (skor 17-20); (2) cukup (skor 21); dan (3) baik (skor 22-24). (c) Tindakan dalam mengelola perairan lebak lebung adalah kecenderungan perbuatan nyata responden yang telah dilakukan dalam upaya menjaga lingkungan perairan meliputi: keamanan wilayah perairan lebak lebung, pencegahan penangkapan menggunakan alat tangkap terlarang, pemanfaatan hasil perairan, rehabilitasi objek lebak lebung kritis, perlindungan perairan lebak lebung. Untuk mengukur tindakan responden dalam penelitian ini digunakan beberapa indikator tentang tindakan aspek-aspek pelestarian dan dari masing- masing aspek akan diukur menggunakan pertanyaan dalam bentuk kuisioner. Pengukuran berdasarkan jumlah skor dari item pernyataan, untuk keperluan pendeskripsian data dikelompokkan menjadi tiga kategori (1) kurang (skor 14-17); (2) cukup (skor 18); dan (3) baik (skor 19-21). Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian Validitas Kerlinger (2000:709) menyatakan bahwa validitas intrumen menunjukan sejauh mana suatu alat ukur itu telah mengukur apa yang akan diukur. Ada beberapa cara untuk menetapkan kesahihan suatu alat ukur yang hendak dipakai, yaitu dengan tiga ancangan (1) terwakili dengan pertanyaan-pertanyaan jika kita mengukur himpunan objek yang sama berulang kali, (2) keterpercayaan, (3) keteramalan. Selanjutnya titik berat pada uji coba validitas intrumen adalah pada validitas isi, yang dapat dilihat dari (1) apakah instrummen tersebut mampu
30
mengukur apa yang akan diukur, (2) apakah informasi yang dikumpulkan telah sesuai dengan konsep yang telah digunakan. Reliabilitas Reliabilitas atau keterandalan merupakan konsistensi suatu alat ukur dalam mengukur hal yang sama. Menurut Singarimbun dan Effendi (2006) reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih.Reliabilitas suatu alat ukur merupakan keterandalan atau kepercayaan suatu alat pengukur. Hasil pengukuran dapat dipercaya, bila beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama selama aspek yang diukur tidak berubah. Uji validitas dan reliabilitas Uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen yang dipakai harus dilakukan sebelum instrumen diberikan kepada responden, agar data valid dan reliabel atau menunjukkan konsisten suatu alat pengukur di dalam gejala yang sama. Instrumen yang valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur, dan reliabel bila terdapat kesamaan data dalam waktu yang berbeda. Sugiyono (2011) menyebutkan bahwa instrumen yang valid harus mempunyai validitas internal dan eksternal. Validitas internal merupakan kesahihan penelitian apabila kriteria dalam instrumen secara teoritis mencerminkan apa yang akan diukur. Sedangkan validitas eksternal merupakan kesahihan penelitian apabila terdapat kesesuaian antara kriteria yang ada pada instrumen dengan fakta-fakta di lapangan (Sarwono, 2006). Pengujian alat ukur dilaksanakan terhadap 30 orang nelayan diluar populasi penelitian yang mempunyai karakteristik dan kondisi yang hampir sama dengan nelayan responden pada penelitian ini. Uji validitas dilakukan dengan menggunakan program SPSS dengan rumus korelasi Product Moment sebagai berikut: rxy
n( n(
XY ) (
X 2) (
X )(
X ) 2 n(
Y)
Y 2) (
Y )2
Dimana: rxy = koefisien korelasi suatu butir/item n = jumlah responden X = skor suatu butir/item Y = skor total Selanjutnya dari rumus korelasi Product Moment kemudian membandingkan angka korelasi dengan angka kritik pada tabel korelasi nilai r pada taraf tertentu (5%). Apabila angka korelasi tersebut lebih besar daripada angka pada tabel nilai r= 0.349, maka item pertanyaan tersebut dinyatakan valid. Reliabilitas indikator diuji dengan menggunakan metode Cronbach-alpa, dimana pengukuran dilakukan hanya satu kali.Pada penelitian ini, uji reliabilitas yang digunakan adalah metode Cronbach Alpha atau Cr. Alpha berdasarkan skala Cr. Alpha: 0 sampai dengan 1. Apabila nilai hasil perhitugan (α) dikelompokkan ke dalam lima kelas dengan skala yang sama (0 sampai dengan (1), maka ukuran kemantapan alpha dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 1) nilai koefisien alpha
31
berkisar 0,00-0,20 berarti kurang reliabel; (2) nilai koefisien alpha berkisar 0,210,40 berarti agak reliabel; (3) nilai koefisien alpha berkisar 0,41-0,60 berarti cukup reliabel; (4) nilai koefisien alpha berkisar 0,61-0,80 berarti reliabel; (5) nilai koefisien alpha berkisar 0,81-1,00 berarti sangat reliabel. Hasil analisis uji instrumentasi didapat seluruh butir pertanyaan danpernyataan dalam instrumen penelitian dinyatakan valid. Hal ini terlihat dari nilai r hitung yang berkisar dari 0,357 sampai dengan 0,883, nilai ini lebih besar daripada nilai r tabel yaitu 0,349 pada taraf nyata lima persen. Hasil uji coba instrumen juga menunjukkan bahwa nilai koefisien reliabilitas alpha cronbach pada seluruh variabel (kelembagaan lebak lebung, karakteristik eksternal, dan perilaku nelayan) termasuk kategori reliabel dengan kisaran nilai keofisien reliabilitas alpha cronbach yaitu 0,426 sampai. dengan 0,873. Teknik Pengumpulan Data Pada penelitian ini, jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan mengenai variabel utama berupa faktor internal, faktor eksternal, dan perilaku nelayan yang diperoleh dari wawancara langsung kepada nelayan dengan kuesioner yang terstruktur dan pengamatan langsung yang sesuai dengan sasaran dan tujuan penelitian, sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai sumber meliputi instansi pemerintahan.Data yang diambil adalah keadaan wilayah bersangkutan, keadaan perikanan yang terdapat di daerah Kabupaten Muara Enim. Pengumpulan data dilakukan sebagai berikut : 1) Observasi merupakan teknik pengumpulan data melalui pengamatan langsung terhadap latar dan objek penelitian. Sasaran yang ingin dicapai dalam observasi untuk mendapatkan gambaran secara umum tentang pokok kajian sebelum melakukan penelusuran secara bertahap kepada beberapa informan tentang berbagai macam pengelompokkan yang ada dalam objek penelitian. Mulai dari keseluruhan proses kehidupan sehari hari nelayan, hubungan sosial, kekerabatan antar nelayan diamati secara seksama. Hasil obeservasi itu melengkapi data primer lain, dikaji dan digabungkan dalam suatu kerangka analisa. 2) Wawancara merupakan teknik yang dilakukan melalui wawancara yang dilakukan peneliti kepada nelayan dengan menggunakan kuisioner. Wawancara yang dilakukan secara pribadi terhadap nelayan dan juga dilakukan tanya jawab secara bersama dalam kesempatan pertemuan yang diadakan. Nelayan diminta untuk menjelaskan tugasnya dan kepada nelayan diajukan berbagai pertanyaan baik pertanyaan informative maupun konfirmasi. Wawancara tidak hanya bersifat purposive, tetapi juga dilakukan secara snowball (bola salju), yakni mewawancari informan lain yaitu panitia lelang lebak lebung. 3) Pencatatan merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mencatat data sekunder yang tersedia. Teknik Analisa Data Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dengan statistik deskriptif dan inferensial untuk mendalami faktor-faktor yang memengaruhi perilaku nelayan dan memberikan penjelasan kualitatif sebagai pendukung. Data yang
32
diperoleh dikelompokkan menurut variabel yang telah ditentukan dengan mengggunakan skoring dan pengkategorian. Pengkategorian menggunakan skala Likert, dimana dalam skala ini dijabarkan dalam sub variabel dan indikator. Indikator ini merupakan dasar dalam penyusunan instrumen dengan Skala Likert jenjang 3 (baik=3, cukup=2, kurang=1) Dalam penelitian pengolahan data menggunakan program SPSS (Statistical Package for the Social Science) dimana data yang dikumpulkan dianalisis secarakualitatif dan kuantitatif. Analisis data ini bertujuan: (1) untuk mendeskripsikan perilaku nelayan dengan statistik deskriptif dengan menampilkan distribusi frekuensi, dan persentase, (2) analisis statistik inferensial yang digunakan adalah analisis korelasi rank Spearman. Rumus korelasi rank Sperman (rs) yaitu: N
di 2
6
rs = 1 -
i 1 3
N
N
Keterangan : rs = koefisien korelasi rank Spearman N = jumlah sampel di = selisih setiap pasangan rank Spearman (Riduwan, 2010)
33
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Wilayah Penelitian Letak Geografi dan Kondisi Topografi Kabupaten Muara Enim merupakan salah satu kabupaten agraris di Provinsi Sumatera Selatan. Secara Geografis, Kabupaten Muara Enim terletak antara 4ºsampai 6º Lintang Selatan dan 104º sampai 106º Bujur Timur, selain itu Kabupaten Muara Enim juga memiliki sumber daya alam yang cukup melimpah dengan sebagian besar wilayahnya merupakan daerah aliran sungai. Kabupaten Muara Enim juga terletak ditengah – tengah Provinsi Sumatera Selatan dengan batas-batas wilayah yakni : sebelah utara dengan Kabupaten Musi Banyuasin dan Palembang, sebelah selatan dengan Kabupaten OKU dan Ogan Komering Ulu Selatan, sebelah timur Kabupaten OKI, Ogan Ilir dan Kota Prabumulih, sebelah barat dengan Kabupaten Musi Rawas, dan Kabupaten Lahat. Wilayah administrasi Kabupaten Muara Enim terbagi menjadi 20 kecamatan, terdiri dari 245 desa definitif dan 10 kelurahan. Ibukota terletak di Kecamatan Muara Enim. Jarak terjauh dari ibukota Kabupaten Muara Enim ke ibukota kecamatan adalah Kecamatan Muara Belida yaitu sejauh 160 km, sementara kecamatan yang terdekat adalah Kecamatan Muara Enim. Kabupaten Muara Enim terdiri dari 20 kemacatan. Kecamatan yang memiliki luas wilayah terbesar adalah Kecamatan Lubai yaitu seluas 984,72 Km² (10.80 persen) dari total luas wilayah Kabupaten Muara Enim, sedangkan kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil adalah Kecamatan Kelekar dengan persentase luas (1,7 persen) dari luas wilayah Kabupaten Muara Enim. Kondisi topografi daerah cukup beragam mulai dari dataran rendah sampai dengan dataran tinggi. Daerah dataran tinggi di bagian barat daya, merupakan bagian dari rangkaian pegunungan bukit barisan. Daerah ini meliputi Kecamatan Semende Darat Laut, Semende Darat Ulu, Semende Darat Tengah dan Kecamatan Tanjung Agung. Daerah dataran rendah, berada dibagian tengah.Terus ke utara–timur laut, terdapat daerah rawa yang berhadapan langsung dengan daerah aliran sungai musi. Daerah ini meliputi Kecamatan Lembak, Gelumbang, dan Sungai Rotan. Dengan adanya keragaman topografi tersebut menimbulkan banyak terbentuknya bukti dan sungai. Sebagian besar wilayah Kabupaten Muara Enim (75,7 persen) terletak pada kemiringan lereng kurang dari 12 º dan 9,4 persen berada pada kemiringan lereng 12 º-40º dan selebihnya merupakan daerah dengan kemiringan lebih dari 40º sekitar (14 persen). Pemanfaatan lahan di Kabupaten Muara Enim terbagi menjadi 2 kelompok besar yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Kawasan ini pada dasarnya merupakan kawasan yang berdasarkan analisis daya dukung mempunyai keterbatasan untuk dikembangkan karena adanya factor-faktor limitasi yang menjadi kriteria (lereng, jenis tanah, curah hujan, ketinggian, serta zona bahaya gunung api, zona kerentanan gerakan tanah, dan zona konservasi air potensial sangat tinggi. Secara keseluruhan, pola spasial pemanfaatan ruang
34
kawasan lindung tersebar terutama di bagian utara dan selatan Kabupaten Muara Enim. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi untuk dibudidayakann atas dasar kondisi potensi sumber daya alam, manusia dan buatan. Termasuk dalam kawasan budidaya adalah kawasan pertanian, kawasan pemukiman dan industri. Pola pemanfaatan ruang kawasan budidaya secara spasial mengarah pada bagian wilayah barat-timur, mecakup wilayah yang berdasarkan analisis daya dukung lahan tergolong sangat tinggi, dan tinggi, baik untuk mengembangkan kawasan budidaya perdesaan/pertanin maupun perkotaan. Penduduk dan Tenaga Kerja Jumlah penduduk Kabupaten Muara Enim pada tahun 2013 menurut proyeksi penduduk berjumlah 582 ribu orang. Pada tahun 2012 jumlah penduduk wilayah ini dihuni oleh 572 ribu orang. Dengan demikian selama kurun waktu 2012-2013 terjadi pertumbuhan sebesar 1,68 persen per tahun. Persebaran penduduk menurut kecamatan di wilayah Kabupaten Muara Enim tidak merata. Kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Kecamatan Muara Enim. Kecamatan tersebut dihuni oleh sekitar 67 ribu penduduk. Sementara kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kecamatan Muara Belida dengan jumlah penduduk sekitar 8 ribu orang. Mata pencaharian merupakan faktor indikator ekonomi yang menjadi perhatian demi meningkatkan taraf hidup keluarga yang menyangkut pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Jumlah angkatan kerja Kabupaten Muara Enim pada tahun 2013 sebanyak 357.092 orang. Dari jumlah tersebut sebanyak 95,76 persen adalah mereka yang bekerja dan 4,23 persen adalah mereka yang tergolong sebagai kelompok pengangguran terbuka. Dari jumlah penduduk yang bekerja sebagian besar beraktivitas pada sektor pertanian, perkebunan, perburuan, dan perikanan (63persen); kemudian disusul oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran (14,7 persen). Selebihnya bekerja pada sektor kemasyarakatan, pertambangan, dan sektor-sektor lainnya. Kondisi Sosial Berbagai sarana di Kabupaten Muara Enim dibangun untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Sarana-sarana tersebut antara lain sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana peribadatan,serta sarana sosial lainnya. Jumlah sarana pendidikan di Kabupaten Muara Enim pada semua jenjang pendidikan mengalami peningkatan. Jumlah sekolah TK sebanyak 113 dengan jumlah siswa sebanyak 2.687 orang, jumlah SD/MI sebanyak 366 dengan jumlah siswa sebanyak 78.618 orang , sedangkan pada tingkat SMP/MTs terdapat 97 sekolahdengan jumlah siswa sebanyak 29.432 orang , dan sekolah SMU/SMK/MA terdapat 44 sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 20.946 siswa. Tenaga pengajar memiliki peranan penting dalam pendidikan, pendidikam tidak akan berjalan tanpa adanya tenaga pengajar didalam instansi pendidikan tersebut, jumlah tenaga pengajar di Kabupaten Muara Enim juga terus mengalami peningkatan pada semua jenjang pendidikan. Jumlah guru TK pada tahun 2013 sebanyak 404 orang, menurun 13,30 persen dari tahun 2012. Guru SD/MI sebanyak 3.523 menurun 18,99 persen. Untuk jumlah guru SMP/MTs sebanyak 1.657 orang atau turun 18,61 persen dan sekolah SMU/SMK/MA terdapat 1.433
35
guru atau meningkat 22,92 persen dari tahun 2012. Peningkatan jumlah murid lebih besar dibandingkan peningkatan jumlah sekolah, yang ditunjukkan dengan angka rasio murid sekolah yang semakin besar angkanya pada semua jenjang pendidikan kecuali pada tingkat TK, MI, SMP dan SMK.Sedangkan penambahan jumlah guru sudah cukup baik, yaitu dengan semakin turunnya angka rasio muridguru pada hampir semua jenjang pendidikan, kecuali pada tingkat SD, SMP dan SLTA yang angka rasio murid-gurunya mengalami kenaikan dibanding tahun 2012. Salah satu peranan pemerintah dalam pembangunan kesehatan adalah menyediakan sarana kesehatan yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas, baik dari segi finansial maupun dari segi lokasi. Berdasarkan data statistik pada tahun 2013 di Kabupaten Muara Enim terdapat 4 buah rumah sakit, 25 unit puskesmas, 113 unit puskesmas pembantu, dan 303 poskesdes yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Muara Enim. Dengan jumlah tenaga kesehatan sebanyak 1.664 orang dengan rincian 107 dokter, 18 Apoteker, 90 Sarjana Kesehatan, 784 tenaga keperawatan, 493 Bidan, dan 172 Non Medis. Agama mempunyai peran yang sangat penting bagi masyarakat dalam membentuk tata kelakuan sehari-hari, kehidupan bergama sangat erat kaitannya dengan adat istiadat yang terdapat di kabupaten Muara Enim.. Sebagai umat beragama maka setiap orang mempunyai pedoman hidup yang terwujud dalam kehidupan beragama. Sebagian besar masyarakat Kabupaten Muara Enim memeluk agama islam, terlihat dari banyaknya jumlah fasilitas peribadatan masjid dan mushallah yang setiap tahun mengalami peningkatan atau bertambah.Sedangkan tempat peribadatan lain seperti pura, dan gereja jumlahnya tetap. Pada tahun 2013, jumlah masjid di Kabupaten Muara Enim sebanyak 497 unit, mushallah sebanyak 202 unit, pura sebanyak 4 unit, gereja katolik sebanyak 5 unit, gereja protestan sebanyak 11 unit, dan vihara sebanyak 2 unit. Potensi Pengembangan Wilayah Berdasarkan data statistik Kabupaten Muara Enim tahun 2014 sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis perekonomian Kabupaten Muara Enim, disamping dibutuhkan sebagai penyedia pangan, penduduk Muara Enim juga tergantung pada sektor ini. Terbukkti dari luas wilayah Kabupaten Muara Enim 83,22 persen (760.654 Ha) merupakan lahan pertanian. Penggunaan lahan di Kabupaten Muara Enim dibedakan menjadi lahan sawah dan lahan bukan sawah. Lahan bukan sawah sendiri dibedakan menjadi lahan untuk bangunan, lading hutan, kolam, perkebunan dan lahan lainnnya. Fenomena yang terjadi menunjukkan bahwa luas lahan sawah lambat laun semakin berkurang dari tahun ketahun sejalan dengan banyaknya perubahan fungsi lahan pertanian menjadi lahan bukan pertanian. Kabupaten Muara Enim memiliki potensi yang cukup besar antara lain di bidang tamanan pangan, perkebunan, peternakan,dan perikanan Pembangunan pertanian tanaman pangan merupakan bagian dari pembangunan ekonomi. Pembangunan dibidang ini diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani khususnya maupun masyarakat pada umumnya. Hal ini diupayakan melalui peningkatan produksi pangan baik kuantitas maupun kualitasnya. Lahan pertanian di kabupaten Muara
36
Enim, menghasilkan beberapa komoditas pertanian tanaman pangan seperti: padi sawah, padi ladang, palawija, hortikultura, dan lain sebagainya. Pengelolaan tanaman pangan di Kabupaten Muaara Enimdilihat dari produktivitas belum dilakukan secara optimal oleh petani hal ini terbukti dengan menurunnya hasil produksi per hektar, dengan hasil produksi padi sawah yaitu dari 54.241,6 ton pada tahun 2012 menjadi 53.308,28 ton pada tahun 2013. Selain belum optimalnya produktivitas yang dilakukan salah satu penyebab menurunnya hasil produksi padi sawah adalah faktor perubahan musim yang tidak menentu, serta perubahan fungsi lahan, apabila dilihat berdasarkan dimana tempat padi tersebut ditanam maka hasilnya bervariasi, seperti luas panen padi sawah di Kabupaten Muara Enim pada tahun 2013 mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu sebesar 6,45 persen dibanding tahun 2012, yaitu dari 9.280 ha pada tahun 2012 turun menjadi 8.681 ha pada tahun 2013. Sebaliknya untuk padi ladang baik luas panen maupun produksinya justru mengalami peningkatan, dari dari 14.395 ha menjadi 17.957 ha atau naik sebesar 24,74. Sedangkan produksi mengalami peningkatan dari 51.398 ton menjadi 62.394 ton atau naik sekitar 21,39 persen. Sementara itu, dari hasil produksi tanaman palawija terlihat bahwa terjadi penurunan produksi hampir seluruh tanaman palawija, kecuali kacang tanah, dikarenakan adanya penurunan luas panen. Pada komoditas hortikultura, produksi buah-buahan pada tahun 2013 sebagian besar setiap jenis komoditi mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya, namun yang paling berpotensi adalah buah pisang dan rambutan. Sementara untuk produksi sayur-sayuran sebagian besar komoditas mengalami penurunan pada tahun 2013, seperti kubis, bawang daun, kacang merah, buncis, kangkung, kacang panjang, dan cabai. Selain itu Komoditas perkebunan yang menjadi produk unggulan di Kabupaten Muara Enim adalah komoditi karet, sawit dan kopi. Namun produksi komoditas karet dan sawit pada tahun 2013 mengalami penurunan produksi dibanding tahun sebelumnya, selain itu jumlah keluarga petani ketiga komoditas tersebut mengalami penurunan menjadi 106.758 kepala keluarga. Usaha peternakan di Kabupaten Muara Enim merupakan jenis usaha yang belum berkembang, tetapi menunjukkan prospek yang cukup baik di masa mendatang. Jenis hewan ternak yang ada di Kabupaten Muara Enim adalah sapi potong, kerbau, kuda, kambing, domba, dan unggas. Usaha ternak bagi masyarakat terbatas pada usaha sambilan, sekedar untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan untuk angkutan pertanian. Pada tahun 2013 semua jumlah ternak mengalami penurunan hal ini disebabkan karena produtivitas masyarakat belum optimal dalam melakukan kegiatan usaha ternaknya. Perikanan merupakan salah satu aset yang dimiliki oleh Kabupaten Muara Enim karena sebagian besar wilayah ini merupakan aliran sungai, danau dan rawa lebak. Produksi perikanan pada tahun 2013 di Kabupaten Muara Enim berjumlah 8.682,92 ton yang berasal dari perairan budidaya sebesar 5.690,63 ton dan perairan umum sebesar 2.992,29 ton. Selama periode tahun 2009-2013 produksi ikan di Kabupaten Muara Enim selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya.Salah satu daerah yang memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap produksi perikannan Kabupaten Muara Enim adalah Kecamatan Sungai Rotan, produksi perikanan pada tahun 2013 ini berjumlah 456,22ton. Produksi ini berasal dari perikanan budidaya dan perairan umum, produksi perikanan budidaya
37
sebanyak 150,13 ton atau 22 persen dan dari perairan umum sebesar 360,09 ton atau 78 persen. Tabel 1 Luas areal dan produksi perikanan budidaya dan perairan umum No Urairan 2012 2013 Luas Areal Produksi Luas Areal Produksi (Ha)/Unit (Ton) (Ha)/Unit (Ton) 1 Perairan Budidaya a. Kolam 1,58 4,98 1,58 5,48 b. Sawah 4,13 9,90 4,13 11,37 c. Keramba 216 76,42 238 133,28 2 Perairan Umum a. Sungai 3.465 105,34 3.465 119,56 b. Rawa 2.100 104,16 2.100 119,78 c. Danau 187 61,81 187 66,75 Sumber data : BPS Kab Muara Enim (2014)
Kondisi Sumberdaya Perikanan Lebak Lebung Pengelolaan sumber daya perikanan dengan sistem lelang sebenarnya menjadi beban yang cukup berat bagi masyarakat nelayan setiap tahunnya adalah semakin mahalnya nilai objek lelang hal ini disebabkan oleh setiap tahunnya terjadinya peningkatan harga standar dari objek lelang dan pembayaran harus dilakukan secara tunai saat pelelangan dan harus dibayar oleh pemenang lelang. Peningkatan harga objek lelang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Harga standar dan hasil lelang lebak lebung Kabupaten Muara Enim Desa Objek Lelang Harga Standar Hasil Lelang Lematang putus 9.000.000 16.100.000 Petar Dalam Kurungan betik 9.000.000 20.000.000 Lebung nebengkalan 3.500.000 6.000.000 Lubuk dusun II 7.000.000 8.100.000 Danau Rata Sungutan jawi 7.000.000 8.100.000 Becat 7.000.000 9.200.000 Sungai lumut ilir 7.000.000 10.000.000 Danau gondang 35.000.000 35.500.000 Sukamerindu Danau larangan 15.000.000 20.100.000 Danau talang 10.000.000 10.000.000 Sungai rotan kecik 2.700.000 3.500.000 Sumber data : Arsip Kecamatan Sungai Rotan (2014)
Tingginya harga objek perairan lebak lebung yang harus dibayar oleh masyarakat nelayan, maka nelayan akan berusaha menangkap ikan dengan semaksimal mungkin dengan menggunakan semua teknik penangkapan ikan yang mereka kuasai dan alat penangkapan ikan yang mereka miliki dengan tujuan untuk memperoleh hasil sebesar-besarnya. Pemanfaatan perairan umum umumnya dilakukan melalui kegiatan penangkapan ikan. Produksi perikanan perairan umum sebagian besar didominasi oleh produksi penangkapan. Perairan umum lebak
38
lebung mempunyai potensi yang kaya akan ikan. Jenis alat tangkap ikan jenis ikan tangkapan responden dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis alat tangkap dan jenis ikan tangkapan yang diizinkan pada perairan umum di Kabupaten Muara Enim Alat Tangkap Hasil Tangkapan Betok (Anabas testudineus) , siapil (Helostoma temmincki)l ,sepat siam Jaring insang (trychogaster pectoralis), sepat mato abang Bubu (trychogaster trichopterus, selinca (Polycantihus haselti), Kepras (puntioplites waandersi), Udang (macrobrachium sp), belut (monopterus sp) Betok (anabas testudineus), Gabus (channa striata), Lais (kryptopterus schilbeides), Pancing Baung (mystus nemurus), Lampam (barbodes schwanenfeldii), Juaro (pangasius polyuranodon), Patin (pangasius pangasius), Toman (Channa micropeltes), Bujuk (Channa lucius) Juaro (pangasius polyuranodon), Patin (pangasius pangasius), Lais (kryptopterus Rawai schilbeides), Baung (mystus nemurus), Lampam (barbodes schwanenfeldii) Lambak (thycnichthys polylepis), Seluang Tangkul (rasbora spp), Riu-riu (pseudeutropius brachypopterus) Lais (kryptopterus schilbeides), Baung (mystus nemurus), Lampam (barbodes schwanenfeldii), Toman (Channa Langsatan micropeltes), Bujuk (Channa lucius), Lambak (thycnichthys polylepis), Riu-riu (pseudeutropius brachypopterus), Kepras (puntioplites waandersi) Sumber data : Data Primer (2015)
Alat tangkap yang diizinkan oleh lembaga lebak lebung yang digunakan nelayan dalam melakukan usaha penangkapan ikan adalah jaring insang, bubu, rawai, tangkul, dan pancing, namun selain terdapat jenis alat tangkap yang dilarang namun hingga saat ini masih digunakan oleh nelayan/pengemin, yaitu langsatan (dioperasikan secara menetap). Langsatan adalah alat penangkapan ikan yang berbentuk jaring berkantong dan dioperasikan dengan metode menghadang ruaya (migrasi) ikan di perairan sungai, selain itu alat penangkapan ikan yang dilarang adalah dengan menggunakan bahan kimia, bahan peledak, dan aliran listrik/setrum. Aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan nelayan pengemin dengan menggunakan jenis alat tangkap yang terdapat pada tabel 3. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukaan nelayan pengemin lelang di perairan objek
39
lebak lebung pada saat musim kemarau merupakan puncaknya karena pada musim kemarau ikan terkonsentrasi pada tempat-tempat tertentu yang masih digenangi air. Aktivitas penangkapan ikan diobjek lebak lebung pada musim kemarau berdampak sangat negatif terhadap kondisi periaran dan ekosistemnya karena aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan pengemin cenderung menghabiskan sumberdaya ikan hal ini disebabkan oleh nelayan pengemin dengan mudah menangkap ikan pada perairan objek lebak lebung , selain itu kebiasaan nelayan pengemin menangkap semua sumberdaya ikan yang ada. Nelayan akan berusaha menangkap ikan dengan segala daya upaya, menggunakan semua teknik penangkapan ikan yang mereka kuasai untuk memperoleh hasil sebesar-besarnya (Nasution, 2012) Kesejahteraan nelayan atau pengemin lelang sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan. hal ini disebabkan oleh jumlah produksi perikanan nelayan dipengaruhi oleh kondisi perairan. Jumlah produksi ikan hasil tangkapan nelayan akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh serta kesejahteraan nelayan. Jumlah hasil tangkapan ikan responden perbulan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil tangkapan responden dalam satu bulan di perairan umum lebak lebung Kabupaten Muara Enim Hasil Tangkapan (kg) Jumlah (Orang) Persentase (%) 50-100 14 14,0 100-150 73 73,0 >150 13 13,0 Jumlah 100 100 Keterangan n = 100
Berdasarkan tabel 4 dapat disimpulkan bahwa rata-rata hasil tangkapan responden lebak lebung di Kecamatan Sungai Rotan berkisar antara 146 kg/bulan. Selain itu berdasarkan wawancara langsung terhadap responden, hasil tangkapan mereka sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan. Perairan umum lebak lebung telah mengalami degradasi terhadap kondisi sumber daya perikanan termasuk degradasi habitat sumber daya perikanan. Degradasi sumber daya perikanan tersebut diperkuat dengan pernyataan tokoh adat (informan) yang mengemukakan bahwa beberapa jenis ikan semakin langka sudah susah untuk didapatkan bahkan jenis ikan tertentu tidak pernah didapatkan lagi dalam usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan, selain itu semakin kecilnya ukuran individu ikan yang berhasil ditangkap oleh masyarakat nelayan. Responden melakukan pengolahan untuk menambah nilai tambah terhadap ikan hasil tagkapan dengan melakukan pengolahan ikan asin dan pengasapan atau sering dikenal oleh masyarakat dengan sebutan “salai”. Pengolahan ikan asin dan pengasapan ikan yang dilakukan oleh responden masih bersifat sederhana. Responden memperoleh bahan baku ikan dari hasil tangkapan sendiri kemudian diolah menjadi ikan asin dan ikan salai. Jenis ikan yang akan diolah menjadi ikan asin adalah ikan tambakan, ikan sepat siam. Selanjutnya ikan selais, ikan baung, dan ikan motan diolah menjadi ikan olahan salai.
40
Kelembagaan Penyuluhan Perikanan Kelembagaan penyuluhan perikanan untuk tingkat kabupaten biasanya dinamakan sebagai Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP4K), yang memiliki fungsi dan tugas pokok dengan cara pelaksanaan sesuai kebutuhan serta program pada masin-masing sektor tingkat kabupaten. Selanjutnya pada tingkat kecamatan dinamakan Balai Penyuluhan Pertanian perikanan dan kehutanan (BP3K). (Nasution, 2012) mengemukakan bahwa aktivitas BP4K adalah melaksanakan penyuluhan dan mengembangkan mekanisme, tata kerja dan metode penyuluhan, yang dilakukan melalui pengembangan tata kerja hingga tingkat BP3K dan Penyuluh Programa. Selain itu melaksanakan pengumpulan, pengolahan, pengemasan, dan penyebaran materi, penyuluhan bagi pelaku utama dan pelaku usaha. Telah melaksanakan pembinaan pengembangan kerjasama, kemitraan, pengelolaan kelembagaan, ketenagaan, sarana dan prasarana, serta pembiayaan penyuluhan. Pada tingkat kabupaten, Kabupaten Muara Enim memiliki penyuluh pertanian lapangan sebanyak 235 orang penyuluh PNS dan THL, sedangkan pada tingkat kecamatan, Kecamatan Sungai Rotan memiliki penyuluh pertanian lapangan sebanyak 17 orang yang terdiri dari PNS dan THL, dengan latar belakang pendidikan yang berbeda. Wilayah binaan yang ditetapkan adalah sebagian besar wilayah tugas penyuluh melingkupi 2 (dua) desa dalam satu wilayah kecamatan yang sama. Tugas yang harus dilakukan oleh penyuluh sifatnya tidak hanya menangani satu sektor saja, tetapi penyuluh menangani seluruh sektor yang ada pada wilayah kerjanya. hingga saat dilaksanakannya penelitian ini, belum ada petugas penyuluh yang melapor kepada kepala desa terkait program penyuluhan baik dibidang perikanan maupun pertanian. Kelemahan kinerja penyuluh dipengaruhi oleh, sebagian besar penyuluh tidak berdomisili diwilayah binaan, belum terlaksananya koordinasi yang baik antara penyuluh dengan pihak pemerintah desa, latar belakang pendidikan (Marliati et al. 2008). Kebijakan revitalisasi penyuluhan dianggap penting karena penyuluh merupakan ujung tombak pembangunan pertanian. Menurut Surahmanto et al. (2014) penyuluh memiliki peranan penting dalam pengembangan peternakan disuatu daerah karena merupakan agent of change serta sebagai pelaksana teknis dimasyarakat. Penyuluhan bukanlah bersifat transfer tetapi melalui proses pembelajaran serta memperoleh solusi atas masalah yang dihadapi nelayan. Penyuluh memiliki tugas serta fungsinya sebagai penyuluh atau kedudukan tertentu dan ditetapkan wilayah binaan yang menjadi wilayah tugasnya. Kelembagaan penyuluhan tingkat kecamatan yang dimaksudkan adalah keberadaan Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan atau BP3K pada tingkat Kecamatan Sungai Rotan, terkait dengan tugas yang harus dilakukan oleh penyuluh sifatnya tidak hanya menangani satu sektor saja, tetapi penyuluh menangani seluruh sektor yang ada pada wilayah binaannya masing-masing. hingga saat dilaksanakannya penelitian ini, belum ada petugas penyuluh yang melapor kepada Kepala Desa terkait program penyuluhan baik dibidang perikanan maupun pertanian. Penyuluh swadaya menurut Undang Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan
41
kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh. Selama ini umumnya penyuluh perikanan swadaya juga merupakan pengurus inti kelompok atau pernah menjadi pengurus inti kelompok pelaku utama perikanan. Pada prakteknya secara umum, penyuluh perikanan swadaya bekerja sama dengan penyuluh perikanan PNS mensinergikan berbagai kegiatan penyuluhan untuk pelaku utama perikanan. Berdasarkan pengamatan diwilayah ini tidak terdapat penyuluh swadaya baik dibidang perikanan maupun pertanian umumnya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah terhadap usaha perikanan atau pertanian, selain itu terbatasnya kemampuan atau keterampilan yang dimiliki oleh nelayan juga menjadi salah satu penyebab kurang berkembangnya usaha perikanan diwilayah ini. Terkait dengan pelaksanaan penyuluhan ditingkat desa, selama ini belum pernah dilakukan kegiatan penyuluhan perikanan perairan umum atau upaya rehabilitasi terhadap wilayah kritis terutama perairan umum lebak lebung. Kurangnya perhatian pemerintah atau lembaga terkait dalam upaya pengawasan dan pengelolaan perairan umum lebak lebung menyebabkan semakin berkurannya sumberdaya ikan yang terdapat diperairan umum wilayah Kecamatan Sungai Rotan. Permasalahan yang terjadi dapat disimpulkan bahwa lembaga penyuluhan perikanan belum berfungsi sepenuhnya sebagai wadah untuk mengatasi permasalahan dan upaya pemecahannya. Salah satu petugas BP3K mengungkapkan bahwa : kami dak katek kewenang untuk ikut serta dalam pengelolaan lebak lebung kareno lelang lebak lebung sepenuhnyo dibawah pengawasan kecamatan dan lebak lebung sepenuhnyo tanggung jawab kecamatan sehingga kami dak ikut campur soal lebak lebung. Selanjutnya Bapak Camat Kecamatan Sungai Rotan juga mengungkapkan bahwa berkurangnyo hasil tangkapan nelayan disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah penduduk atau nelayan yang menangkap ikan jadi hasil yang mereka dapatkan terbagi-bagi, kalau zaman dulu sekitar tahun 1980 daerah kito menjadi salah daerah penghasil ikan tebesak untuk Kabupaten Muara Enim kareno memang dulu jumlah penduduk kito masih sedikit. Kurangnya koordinasi dan kerja sama antara pihak kecamatan/pemerintah desa dan BP3K ini menjadi salah satu penyebab kerusakan yang terjadi pada perairan umum khususnya perairan umum lebak lebung, hal ini terlihat dari tidak adanya upaya atau program yang direnacakan oleh BP3K dalam upaya pelestarian lebak lebung, selanjutnya pihak pemerintah desa atau pun kecamatan juga seolah tidak mengetahui bahwa perairan umum lebak lebung memerlukan pengawasan dan pengelolan khusus untuk menjaga ekosistemnya, namun yang terjadi hingga saat ini bahwa kegiatan lelang lebak lebung hanya difokuskan hanya sebagai salah satu penyumbang pendapatan asli daerah tanpa memperhatikan kelestarian perairan dan ekosistemnya. Karakteristik Internal Nelayan Lebak Lebung Lokasi penelitian merupakan daerah pinggiran sungai yang sebagian besar masyarakat menggantungakn kehidupannya pada perairan dengan profesi sebagai nelayan. Pekerjaan sebagai nelayan sudah ditekuni responden secara turun termurun dari nenek moyang mereka, responden melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap tradisional. Masyarakat Kabupaten
42
Muara Enim khususnya masyarakat desa petar dalam, desa danau rata dan desa sukamerindu merupakan desa yang melakukan pelaksanaan lelang lebak lebung dan merupakan desa yang memiliki potensi perikanan paling besar dibandingkan dengan desa lain yang berada diwilayah ini. Pertimbangan penulis memilih ketiga desa ini karena ketiga desa ini merupakan salah satu penyumbang pendapatan asli daerah (PAD) terbesar di Kabupaten Muara Enim, yang bersumber dari hasil kegiatan lelang lebak lebung, selain itu ketiga desa ini juga merupakan pemilik objek lebak lebung terbanyak dengan potensi penghasil ikan terbesar dibandingkan dengan desa lain yang berada diwilayah ini. Responden melakukan kegiatan usahanya secara tradisional terlihat dari armada penangkapan yang dilakukan masih menggunakan perahu sampan tanpa motor, nelayan melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan jaring, bubu, pancing, jala dan tangkul. jauhnya lokasi objek lebak lebung dari pemukiman masyarakat mengharuskan para nelayan untuk membuat pondok atau rumah singgah di sekitar objek lebak lebung, dengan adanya rumah singgah ini para nelayan bisa bermalam sekaligus menjaga objek lebak lebungnya dari kecurangan masyarakat atau nelayan lain. Penangkapan dilakukan secara sendiri dan kelompok, sering kali anggota kelompok yang terlibat merupakan keluarga dan sering kali mengggunakan tenaga buruh atau upah dalam melakukan penangkan ikan. Karakteristik internal nelayan di lokasi penelitian dalam melakukakan pengelolaan perairan lebak lebung dapat dilihat dari berbagai aspek-aspek : Umur nelayan, tingkat pendidikan nelayan, jumlah tanggungan keluarga nelayan, pendapatan rumah tangga nelayan, pengalaman kerja nelayan, tingkat kekosmopolitan dapat dilihat pada Tabel 5. Umur Nelayan Umur merupakan indikator dan tolak ukur dalam menentukan produktifitas seseorang baik dari segi fisik maupun cara berpikir. Umumnya seseorang dalam usia produktif dan sehat mempunyai kemampuan yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan produktifitas usaha dan akan berpengaruh terhadapat pendapatan selain itu diharapkan lebih mudah untuk menerima inovasi baru menyangkut dengan kemajuan usaha. Nelayan tidak terlepas dari pekerjaan yang menggunakan tenaga atau kekuatan fisik khususnya nelayan di Kabupaten Muara Enim. Semakin bertambah umur seorang nelayan maka akan semakin berkurang kekuatan fisiknya untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan sehingga produktifitasnya akan berkurang. Hasil analisis menunjukkan bahwa umur nelayan didominasi oleh golongan umur 41-50 tahun, dengan rataan umur 47,8 tahun. Berdasarkan kelompok umur tersebut, maka dapat diartikan bahwa secara fisik nelayan memiliki potensi atau kemampuan untuk bekerja melakukan penangkapan ikan sesuai dengan keterampilan dan pengalaman yang mereka miliki dalam mengelola sumber daya perairan lebak lebung yang mereka miliki. Hal ini sejalan dengan penelitian Pakpahan (2006) bila dipandang dari usia produktif, maka usia nelayan dapat dikatakan bahwa usia produktif, berarti nelayan memiliki kemampuan fisik yang baik. Kondisi fisik yang baik akan membuat nelayan mampu melakukan kegiatan sacara optimal dan mampu mengembangkan diri dengan mengutamakan keberhasilan demi kesejahteraan keluarganya. Hal ini menunjukkan bahwa
43
Kabupaten Muara Enim memiliki aset sumberdaya manusia yang potensial untuk ditingkatkan dan dikembangkan kemampuannya dalam upaya pengelolaan perikanan perairan umum lebak lebung. Tabel 5 Karakteristik internal nelayan lebak lebung Karakteristik Kategori Internal Umur nelayan Muda (20-40) (tahun) Dewasa (41-50) Rataan = 47,8 Tua (>50) Tingkat Rendah (tidak tamat SD-tamat SD) pendidikan Sedang (tidak SLTP- tamat SLTP) nelayan Tinggi (tidak tamat SLTA-PT) Rataan = 84,2 Jumlah Kecil (2-3) tanggungan Sedang (4-5) keluarga Besar (6-7) nelayan Rataan = 4,2 Pendapatan Rendah(Rp2.400.000) rumah tangga Sedang(Rp2.500.000-Rp3.100.000) nelayan Tinggi(>Rp3.200.000) Rataan = Rp 2.865.000 Pengalaman Baru (2-12 tahun) kerja nelayan Sedang (13 – 16 tahun) Rataan = 14,9 Lama ( >17 tahun). Tingkat Rendah (< 4 kali) kekosmopolitan Sedang (5 kali) Rataan = 2,8 Tinggi (> 6 kali)
Jumlah (Orang) 14 44 42 34 51 15
Persentase (%) 14,0 44,0 42,0 34,0 51,0 15,0
28 47 25
28,0 47,0 25,0
18 39 43
18,0 39,0 43,0
7 22 71 34 45 21
7,0 22,0 71,0 34,0 45,0 21,0
Keterangan : n = 100
Berdasarkan pengamatan dilapangan, kelompok umur di bawah 30 tahun tidak banyak yang melakukan kegiatan atau profesi sebagai nelayan karena mereka tidak memiliki keterampilan dalam melakukan penangkapan ikan dan mereka lebih memilih melakukan pekerjaan sebagai buruh diperkebunan, seperti perkebunan sawit dan karet. Sementara itu penduduk dengan kelompok umur yang tergolong tua 49-63 tahun lebih banyak melakukan kegiatan bertani sawah atau berkebun. Tingkat Pendidikan Nelayan Pendidikan merupakan satu hal yang paling penting dalam menunjang kemajuan pembangunan suatu daerah. Tingkat pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat, baik yang diperoleh melalui jenjang pendidikan formal maupun informal. Semakin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat maka pola pikir serta mudah menerima pembaharuan dan teknologi yang terus berkembang, sehingga masalah kesenjangan sosial dapat diatasi. Oleh karena itu tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penentu perkembangan
44
suatu daerah sehingga dapat mengembangkan pembangunan dan kemajuan daerah dengan menghasilkan masyarakat yang memiliki daya saing dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Berdasarkan hasil analisis dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan yang paling mendominasi adalah golongan tidak tamat SLTP- tamat SLTP sebanyak 51,0 persen dengan kategori sedang, dengan rataan 84,2 dapat diartikan bahwa kualitas pendidikan nelayan dalam kategori sedang. Berbeda dengan penelitian Pakpahan et al.(2006) bahwa tingkat pendidikan nelayan yang pada umumnya rendah. Tingkat pendidikan responden diwilayah ini menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia khususnya nelayan di Kecamatan Sungai Rotan cukup baik, mengingat minimnya sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia di Kecamatan Sungai Rotan, namun hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi nelayan untuk menempuh pendidikan hingga keluar wilayah Kecamatan Sungai Rotan. selanjutnya perlu adanya peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang lebih baik lagi untuk mengembangkan potensi daerah ini. Menurut Hartati et al. (2005) salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan sumberdaya manusia melalui upaya peningkatan minat anak dan orangtua untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih. Selanjutnya menurut Slamet (1992) keterbatasan pendidikan formal akan mempengaruhi perilaku individu baik dari segi pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Pendidikan sangat mempengaruhi tingkat pemahaman nelayan mengenai segala sesuatu, baik peningkatan pengetahuan, keterampilan maupun sikap responden, pendidikan merupakan proses responden belajar mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan peningkatan taraf kehidupan. Suatu fakta yang sangat memprihatinkan bahwa terdapat sebagian kecil dari responden tidak mampu berbahasa indonesia, hal ini disebabkan oleh kebiasaan mereka dalam lingkungan menggunakan bahasa daerah atau yang biasa mereka sebut dengan bahasa dusun.. Berdasarkan hasil wawancara, responden sangat menyadari bahwa pendidikan sangat penting bagi mereka, namun tidak sedikit dari nelayan atau masyarakat di lokasi penelitian belum menyadari akan pentingnya pendidikan, selain itu alasan ekonomi merupakan salah satu alasan masyarakat tidak melanjutkan pendidikan, dengan adanya alasan ekonomi inilah yang akhirnya membuat masyarakat yang tidak mempunyai pendidikan bekerja sebagai buruh perkebunan, pembantu rumah tangga, pegawai toko, selain itu tidak sedikit juga yang memilih untuk menikah pada usia yang masih sangat muda, selanjutnya selain alasan ekonomi dapat dilihat bahwa kurangnya minat anak untuk belajar dan melanjutkan pendidikan dilokasi penelitian, anak-anak cenderung lebih termotivasi untuk bekerja diluar daerah daripada melanjutkan pendidikan. Jumlah Tanggungan Keluarga Nelayan Besar kecilnya jumlah tanggungan keluarga akan mempengaruhi pola kehidupan yang menyangkut pendapatan dan pengeluaran dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya. Dimana semakin besar konsumsi yang akan dikeluarkan ini semakin kecil pula kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan sebaliknya. Banyaknya anggota keluarga dalam keluarga nelayan dapat dijadikan modal tenaga kerja bagi keluarganya dalam membantu perekonomian keluarga dengan kontribusi pendapatan yang dihasilkan.
45
Berdasarkan penelitian dapat dilihat bahwa jumlah tanggungan keluarga didominasi oleh 47 orang nelayan atau sebanyak 47,0 persen dengan rataan jumlah tanggungan sebanyak 4,2 orang. Banyaknya anggota keluarga dalam keluarga nelayan dapat dijadikan modal tenaga kerja bagi keluarganya dalam membantu perekonomian keluarga dengan kontribusi pendapatan yang dihasilkan. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa sebagian dari responden masih memiliki tanggungan dalam usia belum produktif (usia sekolah). Semakin banyak anggota keluarga maka semakin banyak pula kebutuhan yang harus dipenuhi oleh keluarga. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan responden dalam melakukan usahanya serta kemampuan untuk meningkatkan pendapatannya. Kepala keluarga memiliki beban yang cukup besar dalam memberikan nafkah kepada keluarganya, dengan adanya jumlah tanggungan keluarga maka kebutuhan keluarga akan menuntut nelayan untuk bekerja keras dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga mereka. Pendapatan Rumah Tangga Nelayan Pendapatan nelayan perbulan dilokasi penelitian dihitung berdasarkan jumlah selisih antara penerimaan nelayan yang berasal dari usaha menangkap ikan maupun dari pekerjaan dibidang lain yang dilakukan oleh nelayan beserta anggota keluarganya dan biaya yang dikeluarkan nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga setiap bulan. Tinggi rendahnya pendapatan responden nelayan akan mempengaruhi kemampuan daya beli nelayan tersebut untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangganya maupun sarana produksi usaha mereka. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 43,0 persen responden memiliki pendapatan dalam kategori tinggi dengan rataan pendapatan perbulan senilai Rp 2.865.000, hal ini dapat diartikan bahwa secara keseluruhan bahwa tingkat pendapatan nelayan cukup besar, namun tidak semua nelayan pemenang lelang/pengemin memiliki pendapatan yang tinggi hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya bahwa tidak semua objek lebak lebung memiliki potensi sumberdaya ikan yang tinggi, selain itu hasil tangkapan responden juga dipengaruhi oleh musim. Menurut Hartati et al. (2005) tingginya nilai pendapatan yang diperoleh nelayan memiliki kecenderungan untuk dijadikan sebagai usaha pokok bagi nelayan. Pendapatan nelayan pemenang lelang/pengemin lebih besar dibandingkan dengan nelayan yang bukan pemenang lelang atau nelayan yang melakukan penangkapan ikan di perairan umum bukan lokasi lelang lebak lebung. Pada umumnya perairan umum lebak lebung yang memiliki sumber daya perikanan potensial dijual dengan harga lelang yang cukup tinggi, sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan oleh lembaga lebak lebung dengan pertimbangan objek lebak lebung masih memiliki potensi sumberdaya ikan yang cukup besar dan pertimbangan lain adalah dana yang diperoleh dari lelang sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Pengalaman Kerja Nelayan Pengalaman kerja merupakan bekal bagi para nelayan untuk melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan, untuk meningkatkan produktivitas mereka harus didukung dengan keahlian dan diikuti oleh pengalaman yang dibidang penangkapan ikan. Dari segi pendidikan formal nelayan sebanyak 34 persen dari
46
nelayan memiliki tingkat pendidikan rendah, namun meskipun demikian dari segi pengalaman responden dalam bidang perikanan khususnya penangkapan dan pengolahan ikan sangat berpengalaman. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa pengalaman kerja responden didominasi oleh pengalaman lama atau dapat disebut responden sangat berpengalaman sebanyak 71,0 persen responden termasuk dalam kategori tinggi dengan rataan 14,9 tahun. Sejalan dengan penelitian Hartati et al. (2005) bahwa responden rata-rata telah menjalani usaha selama 14,3 tahun. Selanjutnya menurut Mardikanto (1993) pengalaman berusahatani secara tidak langsung akan berpengaruh pada proses pengambilan keputusan. Lama berusaha (pengalaman) responden dalam menjalankan kegiatan usahanya telah memberikan gambaran bahwa antar responden memiliki jangka waktu berusaha yang hampir sama. Pengalaman lama yang dimiliki oleh responden sebagai nelayan dan melakukan kegiatan usaha penangkapan dan pengolahan ikan di daerah mereka tinggal. Kegiatan usaha penangkapan ikan dan pengolahan ikan di lokasi penelitian memang sudah turun temurun dilakukan oleh nelayan meskipun mereka tidak pernah sekolah dibidang perikanan, namun mereka sudah sangat menguasai teknik-teknik penangkapan ikan serta pengolahannya, selain itu dengan pengalaman yang mereka miliki responden juga sudah sangat terampil dalam memilih waktu dan alat yang tepat untuk digunakan serta daerah yang tepat untuk melakukan penangkapan ikan. Tingkat Kekosmopolitan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kekosmopolitan nelayan didominasi oleh 45,0 pesen responden memiliki tingkat kekosmopolitan dalam kategori sedang dengan rataan 2,8 kali. Rendahnya minat responden untuk mengunjungi daerah lain dalam upaya mencari informasi tentang perikanan menjadi salah satu penyebab kurang berkembangnya inovasi dalam pengelolaan perikanan diwilayah penelitian khususnya pengelolaan perikanan lebak lebung. Kurangnya informasi yang dimiliki responden disebabkan kurangnya keinginan dan kesadaran dari responden tentang informasi perikanan. Nelayan lebih mengutamakan kegiatan penangkapan pada lokasi objek lebak lebung yang mereka miliki guna mendapatkan hasil yang maksimal, tanpa memperdulikan keberlanjutan ekosistem perairan yang ada. Kelembagaan Lelang Lebak lebung Kelembagaan merupakan konsep yang digunakan manusia dalam kondisi yang berulang yang diorganisasi oleh aturan (rules), norma (norms) dan strategi strategi (strategies) (Ostrom, 1999). Pengelolaan perikanan perairan umum lelang lebak lebung di Sumatera Selatan (Sumsel), pertama kali ditetapkan pada masa pemerintahan marga. Masa pemerintahan marga adalah sistem pemerintahan yang dilaksanakan di Sumsel sebelum dibentuknya desa-desa. Keyakinan yang ada pada masyarakat Sumatera Selatan, bahwa lelang lebak lebung, di masa Kesultanan Palembang Darussalam, namun bukti tertulis yang ada adalah seperti yang ditulis dalam laporan Dinas Perikanan Darat Tahun 1953, dikemukakan bahwa dari catatan Residen Pruys vander Hoeven “verteg jaren” (1873 – 1876), kebiasaan melelangkan perairan telah dimulai sejak tahun 1830, yaitu sebagai usaha untuk mendapatkan uang untuk marga atau “gemeente fondsen”. Kemudian
47
oleh pemerintah Belanda dibuatkan Inlandsche Gemeente Ordonantie voor Palembang (IGOP) tahun 1919 yang diganti pula dengan Staadblad Hindia Belanda No. 490 Tahun 1938, yang menetapkan peraturan-peraturan tentang susunan kepentingan-kepentingan gemeente-gemeente bumi putra didaerah Palembang aturan ini dicabut dengan Staatblad 1938 (Arsyad, 1982). Dalam pelaksanaan lelang lebak lebung, pemerintahan marga menetapkan aturan-aturan. Aturan antara satu marga dengan marga yang lain terdapat perbedaan. Aturan marga dalam pelaksanaan lelang itupun terbagi dua, yaitu (1) peraturan yang ditetapkan dalan bentuk peraturan marga yang disusun dan ditetapkan bersama pasirah dengan DPR-Marga, dan (2) tidak berbentuk peraturan marga yang disepakati oleh pasirah dengan DPR-Marga, akan tetapi hanya berupa pengumuman yang disampaikan oleh pasirah pada saat pelaksanaan lelang. Dalam pelaksanaanya aturan tersebut ditaati oleh masyarakat nelayan dengan baik dan patuh. Setelah Indonesia merdeka dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, Pemerintah Marga tetap melaksanakan lelang lebak lebung dengan aturan sendirisendiri, bahkan cara pelaksanaannya pun beragam. Maka pada tanggal 14 Juli 1973, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8/perdass/1973/1974 tentang Lelang Lebak Lebung dalam Provinsi Sumatera Selatan. Namun Perda ini dirubah tanggal 6 Mei 1978 dengan Perda Provinsi Sumatera Selatan Nomor 6 Tahun 1978 tentang Lelang Lebak Lebung (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Selatan Tahun 1978) peraturan ini dilaksanakan sampai tahun 1982. untuk pertama kalinya Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan tersebut dirubah . Awal mula perubahan sistem pemerintahan sistem Marga kepada sistem Desa adalah adanya sentralisasi sistem pemerintahan di Indonesia. Hal ini sebagai akibat banyak perbedaan pembatasan antara pengertian yang beraneka ragam di Indonesia seperti desa (di Jawa), marga (Lampung, Sumsel, Jambi), nagari (Sumatera Barat), kampung dan mukim terutama dalam hubungannya dengan batas wilayah kesatuan masyarakat terkecil (Soemardjan and Breazeale, 1993). Sejak tahun 1979 tentang dikumandangkan supaya adanya pembentukan desadesa di seluruh wilayah Indonesia dengan adanya UU RI No. 5 Tahun 1979, bersamaan dengan terjadinya perubahan pembatasan wilayah kesatuan masyarakat terkecil tersebut, ketetapan lelang lebak lebung berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan No.705/KPTS/II/ 1982 tanggal 5 November 1982 dilimpahkan pula wewenang pelaksanaan dan pengawasan lelang lebak lebung kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten dalam wilayah Provinsi Sumatera Selatan (Nasution et al, 1994). Pada tahun 1983 lelang lebak lebung diambil alih oleh Pemerintah Daerah Tingkat II berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pokokpokok Pemerintahan Desa, dimana di Provinsi Sumatera Selatan undang-undang ini dilaksanakan dengan diterbitkannya Perda Provinsi Dati I Sumatera Selatan Nomor 3 Tahun 1982 tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa (Lembaran Daerah Provinsi Dati Sumatera Selatan Tahun 1982). Namun dengan diundangkannya Perda Nomor 3 Tahun 1982 ini, secara implisit Perda Nomor 8/perdass/1973/1974 dicabut dan tidak berlaku lagi. Kemudian berdasarkan Perda ini, maka Gubernur melimpahkan pelaksanaan lelang lebak lebung kepada pemerintahan daerah tingkat II dengan Surat
48
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan tanggal 5 Nopember 1982 Nomor 705/KPTS/II/1982 tentang Pelimpahan Wewenang Pelaksanaan Lelang Lebak Lebung kepada Pemerintah Daerah Tingkat II dalam Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Selatan. Kabupaten/kota (Daerah Tingkat II) mulai tahun 1983 melaksanakan lelang lebak, lebung dengan menerbitkan Peraturan Daerah. Dalam perjalanan waktu Perda dibeberapa kabupaten terus mengalami perubahan dengan Perda baru sesuai kebutuhan masa dan dinamika dalam masyarakat di daerah kabupaten/kota tersebut. Dengan dihapuskannya pemerintahan marga, maka seluruh asset Pemerintah Marga kepemilikannya diambil alih oleh Pemerintah Daerah Tingkat II (kabupaten/kota), termasuk perairan umum lebak lebung yang pemanfaatannya dilakukan melalui lelang. Sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998, terjadi pro dan kontra dalam pelaksanaan lelang lebak lebung dalam masyarakat. Namun meskipun terdapat pro dan kontra antar masyarakat, kabupaten-kabupaten yang masih menjadikan lelang lebak lebung sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD). Lembaga lebak lebung merupakan lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk mengatur kegiatan lelang lebak lebung yang ada di Kabupaten Muara Enim. Pada setiap tahun sebelum dilakukan kegiatan lelang lebak lebung setiap kepala desa dilokasi penelitian mengeluarkan surat keputusan tentang objek lelang, pembagian hasil lelang, peraturan lelang lebak lebung. Pada awalnya penanggung jawab lelang lebak lebung di Kabupaten Muara Enim adalah Bupati Kabupaten Muara Enim. Hal ini sesuai dengan diterbitkannya Peraturan Daerah No. 5/DPRD-GR/1987 Lelang Lebak Lebung dalam Kabupaten Tingkat II Kabupaten Muara Enim, kemudian peraturan tersebut di cabut sesuai instruksi Bupati Kabupaten Muara Enim No. 03/inst/IV/1998 tentang penghentian pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten Muara Enim, karena lelang lebak lebung perlu diatur oleh pemerintah daerah,dengan telah diserahkan objek lelang lebak lebung kepada desa melalui surat Bupati Kabupaten Muara Enim tanggal 19 september 1998 No.140/2147/II/1998 tentang penyerahan objek lelang lebak lebung dari Kabupaten Muara Enim kepada desa. Susunan panitia lelang lebak lebung Pengelolaan perairan umum lebak lebung tidak akan terlaksana tanpa adanya panitia yang bertindak sebagai pelaksana maupun pengawas dalam kegiatan lelang lebak lebung. Pada setiap tahun sebelum dilakukan kegiatan lelang lebak lebung lembaga lebak lebung (pemerintah) melakukan rapat untuk membentuk panitia pelaksana kegiatan lelang lebak lebung. Rapat pembentukan panitia lelang lebak lebung tidak melibatkan masyarakat, panitia terdiri dari aparat pemerintahan desa, kecamatan, kabupaten dan dibantu oleh pihak kepolisian yang bertindak sebagai pengawas pengaman dalam kegiatan lelang lebak lebung. Berikut susunan panitia pelaksana lelang lebak lebung pada tahun 2014 yang dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Desa tanggal 14 oktober 2013 No.140/43/KPTS/PD/X/2013 tentang objek lelang, pembagian hasil lelang, peraturan lelang lebak lebung desa dalam Kecamatan Sungai Rotan 2014. Adapun susunan panitia pelaksana lelang lebak lebung dapat dilihat pada Tabel 6.
49
Tabel 6 Susunan panitia pelaksana lelang lebak lebung No Jabatan 1 Ketua panitia : Kepala desa yang bersangkutan Sekretaris : Sekretaris desa Anggota : Beberapa orang pembantu sesuai kebutuhan yang ditunjuk oleh kepala desa 2 Koordinator : Camat Sungai Rotan Sekretaris : Sekretaris Kecamatan Sungai Rotan Anggota :Kapolsek Sungai Rotan dibantu oleh petugasnya sesuai kebutuhan 3 K Koordinator : Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Sekretaris Kab.Muara Enim Anggota : Sekretaris BPMD Kab. Muara Enim : Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat dibantu oleh Kepala Bidang Pemerintahan Desa
Keterangan Panitia dan pengawas
Pengawas
Pengawas
Sumber data : Kantor Kecamatan Sungai Rotan (2014)
Proses lelang lebak lebung Kegiatan lelang lebak lebung diatur oleh panitia lelang untuk merencanakan dan melaksanakan lelang, sebelum dilaksanakan lelang panitia terlebih dahulu mengadakan rapat panitia untuk menetapkan objek lebak lebung yang akan dilelangkan, selanjutnya panitia menentukan jadwal pelaksanaan lelang, setelah disepakati jadwal lelang tugas panitia adalah menyebarluaskan pengumuman lelang kepada masyarakat mulai dari 30 hari sebelum lelang dilaksanakan. Pemberitahuan ini bertujuan agar masyarakat atau calon peserta lelang untuk mempersiapkan keuangan untuk dapat ikut melelang perairan objek lebak lebung. Kegiatan lelang tidak akan berjalan tanpa adanya peserta lelang, peserta lelang adalah orang atau badan hukum yang telah terdaftar pada panitia dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan bagi peserta yaitu berdomisili dalam wilayah kecamatan atau desa tempat objek lebak lebung. Hal ini berarti siapa saja dapat menjadi peserta lelang dengan syarat mendaftar kepada panitia lelang dan hadir pada kegiatan lelang lebak lebung sesuai jadwal yang ditentukan panitia lelang lebak lebung. Selanjutnya dalam proses lelang berlangsung calon pengemin bertindak sebagai penawar lelang, penawar lelang adalah peserta lelang yang terdaftar pada panitia lelang, sedangkan pengemin lelang adalah penawar lelang yang memberikan penawaran tertinggi dan mampu membayar harganya yang kemudian dinyatakan sebagai pemenang lelang oleh panitia lelang. Pelaksanaan lelang lebak lebung dilakukan secara langsung dimuka umum dengan sistem penawaran naik-naik dengan penawaran naik minimal Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) yang dilakukan oleh peserta lelang sebagai penawar lelang. Masa lelang berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun yang bersangkutan, dengan syarat pengembalian objek lelang seperti semula kepada pemerintah desa yang dinyatakan sudah milik pemerintah desa untuk selanjutnya dilelang kembali dan diserahkan kepada pemenang lelang
50
dalam proses lelang berikutnya. Panitia lelang menetapkan harga dasar objek lelang, pembayaran terhadap objek lelang dilakukan dengan cara tunai setelah peserta lelang memenangkan pelelangan, apabila pengemin/pemenang lelang tidak dapat membayar saat jatuh lelang maka dinyatakan batal serta bersedia menandatangani surat perjanjian yang sudah disediakan oleh panitia lelang. Pada tahun 2014 panitia lelang menetapkan bahwa harga standar perairan objek lelang lebak lebung ditingkatkan sekitar 10% sampai dengan 15% dari harga dasar yang dicapai pada saat lelang tahun sebelumnya. Penetapan kenaikan harga yang dilakukan oleh panitia lelang ini untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Selain itu untuk sebelum menetapkan harga perairan objek lebak lebung panitia melakukan pendugaan atau análisis terhadap sumberdaya ikan yang terdapat di dalam perairan objek lebak lebung dengan tujuan pemenang lelang/pengemin tidak merasa dirugikan dengan harga yang ditetapkan oleh panitia. Perairan objek lebak lebung yang tidak terjual pada saat lelang maka bagi masyarakat nelayan yang berminat dapat mengajukan permohonan tertulis pada panitia lelang lebak lebung dengan mencantumkan besarnya kemampuan pemohon terhadap objek lebak lebung yang diinginkan.Namun jika perairan objek lebak lebung benar–benar tidak terjual dan tidak ada peminatnya maka secara otomatis perairan objek lebak lebung tersebut menjadi hak pemerintah desa/ lembaga lebak lebung, pemerintah desa memiliki hak sepenuhnya untuk mengelola perairan objek lebak lebung kemudian dari hasil usaha yang dilakukan terhadap objek tersebut sepenuhnya dimasukkan kedalam kas desa sebagai pendapatan asli desa (PAD). Pembagian hasil lelang Satu hal yang paling penting dalam kegiatan lelang lebak lebung adalah pembagian hasil lelang lebak lebung ini adalah nilai yang diperuntukkan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Kecamatan Sungai Rotan yaitu 65% dari hasil lelang di peruntukkan kas desa kemudian dari dana tersebut pemerintah desa mengalokasikan untuk kegiatan pembangunan (sarana/prasarana desa) 50%, kegiatan rutin 30% dan kegiatan pengawasan objek lelang lebak lebung 20%. Selanjutnya pembagian hasil lelang 5% digunakan untuk biaya pelaksanaan lelang, 10% diperuntukkan kepada panitia pelaksana lelang, 10% diperuntukkan kepada panitia pengawas dari tingkat Kecamatan, dan 10% diperuntukkan kepada pengawas dari tingkat Kabupaten Muara Enim. Berdasarkan pembagian hasil lelang lebak lebung nelayan belum merasakan keadilan dari pembagian dana tersebut hal ini disebabkan oleh penggunaan dana dirasakan belum teralokasikan secara maksimal dalam kegiatan pembangunan hal ini terlihat masih minimnya pembangunan pada wilayah penelitian, selain itu kinerja lembaga lebak lebung (pemerintah) belum optimal dalam melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kegiatan lelang lebak lebung setiap tahunnya. Namun terlepas dari pembagian hasil lelang yang dirasakan belum adil bagi masyarakat nelayan, menurut para nelayan sistem lelang lebak lebung harus tetap dipertahankan sebagai suatu cara dalam penguasaan perairan umum di Sumatera Selatan khususnya di Kabupaten Muara Enim karena dengan adanya lelang lebak lebung menjadi sumber pendapatan asli daerah dari
51
sumberdaya perikanan. Selanjutnya sebagai wadah pengaturan dan pembinaan terhadap nelayan dalam melakukan penangkapan ikan. Setiap tahunnyo besak dana yang masuk ke pemerintah dari hasil lelang, tapi pembangunan desa ni cak inilah dak katek perkembangan setiap tahunnyo. (responden) Lelang lebak lebung dikelola oleh lembaga lebak lebung (pemerintah) yang sekaligus bertindak sebagai panitia dan pengawas lelang, masyarakat nelayan berperan sebagai peserta lelang dengan syarat berdomisi di wilayah lelang dan terdaftar kepada panitia serta hadir pada saat kegiatan lelang berlangsung serta bertindak sebagai penawar lelang, perairan umum sungai, danau, lebak dan lebung berperan sebagai objek lelang, pemenang lelang (pengemin) memiliki kewajiban untuk membayar objek lelang yang telah dimenangkan pada saat proses lelang dan mentaati peraturan yang telah ditetapkan oleh lembaga lebak lebung (pemerintah) dan bersedia menerima sanksi jika melakukan pelanggaran,bentuk sanksi yang diberikan akan disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku pelanggaran. pemenang lelang (pengemin) memiliki hak sepenuhnya untuk menangkap ikan pada objek lebak lebung dengan menggunakan alat tangkap sesuai dengan peraturan dalam periode satu tahun, serta berhak sepenuhnya memiliki hasil tangkapan. Alur lelang lebak lebung dapat dilihat pada Gambar 2. Dengan adanya berbagai perubahan yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Sumatera Selatan terutama berkaitan dengan keberadaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Desa. Dengan berlandaskan kepada undang-undang tersebut, keseluruhan unit pemerintahan terkecil setingkat desa di Sumatera Selatan sebelumnya disebut marga, yang dikepalai Pasirah, bertanggung jawab kepada Camat. Untuk itu perlu dilihat persepsi nelayan terhadap kelembagaan lebak lebung yang mempunyai peranan penting dalam kegiatan lelang lebak lebung meliputi sejarah lelang lebak lebung, aturan dan sanksi yang diberikan kepada nelayan yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan. Kelembagaan lelang lebak lebung dalam melakukakan pengelolaan perairan lebak lebung dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Penilaian kelembagaan lelang lebak lebung Kelembagaan Lelang Kategori Jumlah (Orang) Lebak Lebung Sejarah lelang lebak Kurang 37 lebung Cukup 20 Baik 43 Peraturan lelang lebak Kurang 39 lebung Cukup 20 Baik 41 Sanksi lelang lebak lebung
Keterangan n = 100
Kurang Cukup Baik
19 38 43
Persentase (%) 37,0 20,0 43,0 39,0 20,0 41,0 19,0 38,0 43,0
Sanksi 1. Lembaga lebak lebung mencabut hak pengemin 2. Membayar denda 3. Kurungan penjara
52
Kabupaten (Pengawas)
Gambar 2 Alur sistem lelang lebak lebung
Masyarakat Nelayan/Pengemin
Hak pengemin 1.Menangkap Ikan 2.Memiliki Hasil Tangkapan
Objek Perairan Umum Lebak Lebung
Kecamatan (Pengawas)
Kewajiban 1.Membayar Objek Lelang 2.Mentaati Peraturan
(
Desa (Panitia, Pengawas)
Panitia Lelang Lebak Lebung
Peraturan 1. Tidak merusak lingkungan 2. Tidak menggunakan alat tangkap berbahaya seperti peledak dan setrum 3. Pengemin dilarang memindah tangankan/mengalihkan pengelolaan objek lelang
52
53
Sejarah lelang lebak lebung Tujuan utama dari lelang lebak lebung adalah untuk menghindari konflik antar nelayan atau masyarakat dalam melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan diperairan, selain itu pengasilan dari kegiatan lelang lebak lebung juga diutamakan untuk kas desa sebagai pendapatan asli desa (PAD). Kelembagaan lelang lebak lebung di Sumatera Selatan pada awalnya diberlakukan pemerintahan Marga sekitar tahun 1830 yaitu masa pemerintahan sebelum terbentuknya desa-desa di Provinsi Sumatera Selatan, hingga diberlakukanya Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Selanjutnya pada masa pemerintahan kabupaten, yaitu “masa pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung diserahkan oleh pemerintahan provinsi kepada pemerintah kabupaten. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Muara Enim Nomor 05 tahun 1987 tentang lelang lebak lebung dan danau dalam Kabupaten Muara Enim pada awalnya hingga tahun 1998, dilaksanakan dan diatur oleh Pemerintahan Kabupaten Muara Enim, kemudian pemerintahan kabupaten pada wilayah pedesaan melalui intruksi Bupati Muara Enim Nomor 03/Instr/IV/1998 tentang penghentian pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten muara enim, lelang lebak lebung perlu diatur lebih lanjut oleh pemerintah desa dalam mengelola sumberdaya perikanan melalui lelang lebak lebung, disamping itu panitia lelang di atur oleh pemerintah desa, sedangkan panitia pengawas lelang lebak lebung adalah camat sebagai kepala wilayah kecamatan dan panitia pengawas kabupaten adalah bupati kepala daerah kabupaten. Hasil penelitian menunjukkan persepsi responden terhadap sejarah lelang lebak lebung dalam kategori baik yakni sebanyak 43,0 persen. Hal ini dapat diartikan bahwa persepsi responden terhadap sejarah lelang lebak lebung ini masih cukup baik, namun dapat dilihat juga bahwa tidak sedikit dari responden memiliki persepsi kurang baik,hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pemahaman terhadap nila-nilai sejarah lelang lebak lebung itu sendiri karena bagi sebagian besar dari mereka yang terpenting adalah mereka dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan tersebut. Kami dak pulo tau nian cak mano nian sejarah awal mulanyo lelang didaerah kito ni, yang jelas seingat kami la dari nenek moyangg kito la diadoke lelang ini, nah dari situlah secara turun temurun sampe sekarang lelang ini tetap ado (Responden). Didaerah kito ni memang la dari turun temurun danau, sungai, lebak dan lebung tu di lelang ke, setiap dusun (desa) ado galo objek (kawasan)lelangnyo, lelang ini la menjadi adat dan tradisi didaerah sini jadi dak pacak nak dihilangke, alasannya utamanyo juga dengan adonyo lelang ini sebagai sumber pemasukan khususnyo bagi desa-desa dikecamatan kito ini (Tokoh adat) Diwilayah Kecamatan Sungai Rotan pengelolaan perairan umum lebak lebung dengan cara dilelang ini sudah dilakukan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka, hingga saat ini lelang lebak lebung masih tetap dipertahankan oleh masyarakat dan pemerintah daerah khususnya pemerintah desa. Lelang lebak lebung memberikan dampak positif bagi nelayan khususnya nelayan yang menjadi pengemin lelang, karena dapat mengembangkan usaha penangkapan ikan serta pengemin mampu menyerap tenaga kerja dalam melakukan usahanya, selain itu dengan adanya lelang lebak lebung mampu meningkatkan pendapatan asli desa bagi daerah, hingga saat ini masyarakat nelayan masih mendukung sepenuhnya pengelolaan perairan umum lebak lebung dengan cara di lelang, karena menurut responden dengan adanya lelang lebak lebung ini
54
banyak sekali memberikan dampak positif bagi masyarakat setempat diantaranya terhindar dari konflik antar nelayan, sebagai sumber mata pencaharian utama, serta sebagai sumber pendapatan asli daerah. Peraturan lelang lebak lebung Aturan-aturan/tradisi lelang lebak lebung pada awalnya diwarisi secara turun temurun yang disebut juga sebagai hukum adat dan berlaku bagi masyarakat. Namun pada kenyataannya aturan dan hukum adat tersebut cukup efektif dalam pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum, dan menjaga pelestarian ekosistem perairan dari berbagai aktivitas yang bersifat merusak. Menurut Stanis (2005) adanya pengaturan lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dipengaruhi oleh masalah pokok yaitu konflik antar nelayan. Munculnya konflik dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan dipengaruhi oleh rusaknya lingkungan (ekologi), pertambahan penduduk (demografi), lapangan pekerjaan yang semakin sedikit (mata pencaharian), lingkungan politik lokal, perubahan teknologi dan perubahan pasar. Dari berbagai permasalahan diatas maka pemerintah harus menegakkan peraturan dengan tegas dalam pengelolaan lelang lebak lebung. Aturan–aturan yang harus dipatuhi oleh nelayan saat melakukan penangkapan ikan diperairan umum untuk menjaga lingkungan perairan dan ekosistemnya. Menurut Evans (2014) bahwa aturan formal memiliki kekuatan yang cukup untuk menggusur atau mengubah perilaku manusia. Pengelolaan perairan umum lebak lebung melalui kegiatan lelang semakin berkembang sehingga diperlukan peraturan yang tegas dalam pelaksanaanya, sehingga Pemerintah Daerah Kabupaten Muara Enim, mengeluarkan peraturan untuk para pengemin atau pemenang lelang diantaranya pengemin memiliki hak secara umum yaitu : lebak lebung yang telah dilelang hasilnya hanya boleh diambil yang berhak. Selain itu setiap orang dilarang menangkap, memancing, mengambil ikan, udang dan sejenisnya tanpa izin dari pemenang lelang/pengemin. Selanjutnya pemenang lelang/pengemin memiliki kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi yaitu (1) Mencegah perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungan (2) Pengemin yang objek lelangnya digunakan untuk lalu lintas umum harus menyediakan jalur jalan atau pintu air keluar untuk kelancaran lalu lintas umum (3) Tidak dibenarkan mengganggu tanaman padi para petani yang bersawah disekitar areal penangkapan ikan (4) Tidak dibenarkan menggunakan alat peledak, racun, listrik, serta bahan kimia yang berbahaya yang dapat merusak ekosistem perairan lebak lebung dalam usaha mengambil hasil lelangnya (5) Tidak dibenarkan merubah, mengalihkan aliran sungai objek lelang sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan (6) Pengemin diwajibkan untuk mengembalikan objek lelang seperti semula kepada panitia lelanng atau pemerintah desa terhitung 31 desember tahun berikutnya (7) Pengemin tidak dibenarkan untuk memindah tangankan pengelolaan objek lelang kepada pihak lain. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebanyak 41,0 persen dari responden memiliki kesadaran dalam kategori baik terhadap peraturan yang telah ditetapkan oleh lembaga lebak lebung atau pemerintah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa responden atau pengemin menyadari dan mengetahui peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah desa/ kelembagaan lebak lebung, dengan adanya peraturan tersebut nelayan/pengemin selalu berusaha untuk mematuhi peraturan dalam melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan
55
dilebak lebung. Namun sebanyak 39,0 persen dari responden kurang memahami peraturan yang telah ditetapkan oleh lembaga lebak lebung atau pemerintah, sehingga tidak jarang dijumpai pelaku pelanggaran terhadap peraturan, selain itu kurangnya kesadaran responden terhadap keberlangsungan ekosistem perairan menjadi salah satu penyebab responden melakukan pelanggaran, selain itu kurang tegasnya penegakan aturan yang dilakukan oleh pemerintah pada tingkat perairan lebak lebung terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan serta pengendalian lingkungan perairan umum. Menurut Tampubolon dan Satria (2013) pelaksanaan peraturan yang tidak berjalan secara efisen ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kurangnya sosialisasi peraturan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak-pihak yang menetapkan peraturan sehingga pengetahuan masyarakat terhadap peraturan mini. Keinginan masyarakat untuk melakukan peraturan yang sudah ditetapkan juga rendah. Penegakan hukum yang lemah. Sosialisasi yang rendah dan keinginan masyarakat yang rendah untuk mematuhi peraturan. Peraturan dalam lelang ini la sangat jelas sebenarnyo tapi kami pihak pemerintah ini kadang masih ngalami kesulitan dalam menegakkan aturan itu, kareno masyarakat dusun ini dak banyak yang galak membantu pemerintah dalam menegakkan aturan tapi kami dari pihak lembaga lebak lebung/pemerintah tetap akan mengawasi kegiatan nelayan dalam usahanyo dan menindaklanjuti kecurangan. Masyarakat yang melihat kecurangan yang dilakukan oleh nelayan cenderung memilih untuk diam dak galak melapor ke kami dengan alasan dak galak ngene urusan/bermasalah dengan meloporkan kecurangan cak itu. Banyak kasus kecurangan yang dilakuke oleh nelayan dalam menangkap ikan yang berakhir dipihak yang berwajib. Contohnyo disalah satu lebak lebung ado pencurian ikan, pada saat si pelaku sedang menyetrum ikan di lebak lebung ketauan (tertangkap) oleh pemiliknyo/pengemin,kasus ini harus berakhir dipihak yang berwajib (kepolisian) dan pelakunyo keno hukuman penjara. (Kepala Desa) Sanksi lelang lebak lebung Pembangunan perikanan perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun pihak lain yang terkait dengan pembangunan perikanan. Pengkapan ikan yang berlebih, pencurian ikan, dan tindakan illegal fishing dengan menggunakan cara, alat dan bahan terlarang sangat mengancam sumber mata pencaharian nelayan. Permasalahan tersebut harus diselesaikan, sehingga penegakan hukum dalam pengelolaan perikanan menjadi sangat penting dalam menunjang pembangunan perikanan dan kepastian hukum sangat diperlukan dalam penanganan tindak pidana di bidang perikanan. Sanksi dalam kegiatan lelang lebak lebung merupakan hukuman yang diberikan oleh lembaga lelang kepada pelanggar aturan atas perbuatan yang telah dilakukannya dengan tujuan agar pelaku pelanggaran tidak lagi mengulangi perbuatannya dan sebagai contoh juga untuk nelayan lain agar tidak melakukan pelanggaran. Pemberian sanksi kepada pengemin/nelayan yang melanggar aturan maka pelanggar aturan akan diberikan sanksi secara bertahap sesuai dengan aturan yang berlaku. Pertama-tama diberikan peringatan secara lisan sekaligus peringatan keras terhadap pelanggar aturan penangkapan ikan. Kedua, apabila nelayan/pengemin melakukan pelanggaran maka lembaga lebak lebung atau pemerintah daerah dapat mencabut hak nelayan/pengemin atas kepemilikan objek lelang, dengan segala kerugian yang dialami menjadi resiko bagi
56
nelayan/pengemin. Kemudian, pelanggaran ketiga langsung diselesaikan secara hukum dengan melaporkannya kepada yang berwajib. Menurut Redjeki (2012) hukuman sangat diperlukan untuk meningkatkan kedisiplinan dan mendidik manusia, supaya mau menaati semua peraturan –peraturan yang telah ditetapkan, dalam pemberian hukuman tersebut harus adil dan tegas. Karena dengan keadilan dan ketegasan, maka sasaran pemberian hukuman akan dapat tercapai, namun apabila peraturan tanpa dibarengi dengan pemberian hukuman yang tegas bagi pelanggarnya berarti bukan menjadi alat mendidik. Kami akan memberikan sanksi yang setegas-tegasnyo kepada pelaku pelanggaran yang ketauan melakukan pelanggaran dan sanksinyo disesuaikan dengan jenis pelanggaran yang dilakukan. (Pemerintah Desa) Karakteristik Eksternal Nelayan Proporsi dari responden berdasarkan distribusi karakteristik eksternal yang melaksanakan kegiatan pengelolaan objek lelang lebak lebung di Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Karakteristik eksternal nelayan di lokasi penelitian dalam melakukakan pengelolaan perairan lebak lebung dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Karakteristik eksternal nelayan lebak lebung Karakteristik Eksternal Kategori Jumlah (Orang) Kurang 43 Kinerja kelompok nelayan Cukup 23 Baik 34 Kurang 39 Kebijakan pemerintah Cukup 21 Baik 40
Persentase(%) 43,0 23,0 34,0 39,0 21,0 40,0
Keterangan n = 100
Kinerja kelompok nelayan Kelompok nelayan adalah suatu kelompok yang dibentuk berdasarkan jenis mata pencaharian atau profesi yaitu sebagai nelayan. Setiap kelompok nelayan memiliki identitas atau karakter tersendiri sebagai cerminan kondisi internal dari suatu kelompok. Kinerja kelompok nelayan tergolong rendah, hal ini dapat dilihat bahwa sebanyak 43,0 persen dari responden memiliki tingkat kinerja kelompok dalam kategori kurang. Dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan kelompok nelayan atau pengemin lelang lebak lebung belum maksimal dalam melakukan kegiatan usahanya. Dengan kata lain tujuan kelompok nelayan belum tercapai sepenuhnya, hal ini juga dipaparkan oleh salah seorang responden bahwa mereka sering mengalami kerugian dalam usahanya seperti biaya operasional kelompok tidak sesuai dengan pendapatan yang diperoleh hal ini disebabkan oleh rendahnya hasil tangkapan ikan yang diperoleh responden. Selain itu terbatasnya kemampuan, perencanaan kerja, kemampuan mengemukakan pendapat dan pengambilan keputusan dalam usaha menjadi penyebab masih rendahnya kinerja kelompok nelayan dalam mengembangkan usahanya. Sejalan dengan temuan penelitian Wahyuni (2003) bahwa kinerja mayoritas kelompok tani masih rendah dan memerlukan bimbingan. Hal ini disebabkan mayoritas kelompok tani masih pada tingkatan pemula. Berbagai usaha untuk meningkatkan kinerja kelompok telah dilakukan dengan hasil
57
yang bervariasi. Selanjutnya, menurut Rossett dan Arward dalam Haryono (2002) rendahnya tingkat kinerja seseorang dipengaruhi oleh; kurangnya pengetahuan dan keterampilan, kurangnya insentif yang diberikan, lingkungan kerja yang kurang mendukung seperti gaya kepemimpinan dan faktor internal individu seperti lemahnya motivasi. Kebijakan pemerintah daerah Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Muara Enim tentang pengelolaan perairan umum dengan melakukan lelang lebak lebung, pada dasarnya mempunyai tujuan untuk membina, mengawasi dan mengembangkan produktifitas sumber daya alam di dalamnya agar terpelihara dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan Peraturan Daerah dalam proses pengelolaan lebak lebung di Kabupaten Muara Enim memberikan keuntungan baik secara financial maupun non financial kepada masyarakat khususnya nelayan/pengemin atas potensi perikanan perairan umum. Menurut Ostrom (2000) pengembangan kebijakan publik yang meningkatkan bermanfaat secara sosial, perilaku kooperatif sebagian didasarkan pada norma-norma social, dilanjutkan oleh Syahrizal (2011) yang menyatakan bahwa program pembangunan perikanan dengan modernisasi atau intensifikasi modal telah menyebabkan meningkatnya produksi perikanan akan tetapi hal tersebut tidak secara otomatis meningkatkan taraf hidup nelayan pada umumnya. Kebijakan pembangunan perikanan menimbulkan konflik dalam masyarakat nelayan, nelayan yang tidak memiliki modal hasil tangkapannya semakin berkurang. Pemerintah Kabupaten Muara Enim membentuk tim-tim yang mempunyai tugas masing-masing sebagai pengawas dan pengelola atas berjalannya proses peretribusian dan pelelangan objek lelang yang terdiri dari lebak, lebung, sungai, dan danau. Pemerintah daerah memiliki tugas penting dalam pengelolaan sektor perikanan. Dalam pengelolaan perikanan ini perlu memperhatikan kebijakan yang telah dibuat maaupun yang akan dibuat oleh pemerintah di Kabupaten Muara Enim, kebijakan harus disesuaikan dengan kondisi perkembangan rumah tangga perikanan dilihat dari tingkat kesejahteraan rumah tangga nelayan yang ada didaerah Kabupaten Muara Enim khususnya Kecamatan Sungai Rotan mengingat mata pencaharian masyarakat daerah tersebut sangat bergantung kepada perikanan, selanjutnya jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan sesuai dengan peraturan dan tidak melanggar peraturan tangkap yang telah ditentukan oleh pemerintah, selain itu yang perlu diperhatikan adalah harga ikan dan menjaga kondisi perairan agar habitat ikan yang ada diperairan lebak lebung terus berkembangbiak sehingga produksi ikan tetap terjaga dengan memberlakukan sangsi yang ada diperaturan secara tegas terhadap nelayan yang melakukan pelanggaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perairan umum lebak lebung melalui lelang tergolong tinggi, dapat dilihat sebanyak 40,0 persen responden dalam kategori baik . Hal ini dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam upaya pengelolaan perairan umum dengan cara lelang merupakan langkah yang tepat untuk masyarakat khususnya masyarakat nelayan diwilayah ini, mengingat mata pencaharian masyarakat daerah tersebut sangat bergantung kepada perairan umum, kebijakan harus disesuaikan dengan kondisi perkembangan rumah tangga perikanan
58
dilihat dari tingkat kesejahteraan rumah tangga nelayan yang ada didaerah Kabupaten Muara Enim khususnya Kecamatan Sungai Rotan. Selanjutnya dalam pelaksanaan kebijakan tersebut lembaga lebak lebung atau pemerintah selalu mengsosialisasikan atau menyampaian informasi yang berhubungan dengan kebijakan atau peraturan pengelolaan lelang lebak lebung kepada masyarakat nelayan, agar nelayan mengetahui dan memahami peraturan dan kebijakan pemerintah. Namum dalam pelaksanaannya kebijakan pengelolaan lelang lebak lebung ini telah diatur sedemikian rupa, tetapi terdapat sebagian kecil dari responden tidak mengetahui bahkan tidak ingin mengetahui isi dari kebijakan yang telah ditetapkan oleh lembaga lebak lebung atau pemerintah, kurangnya kesadaran nelayan menjadi salah satu penyebab musnahnya habitat ikan yang ada diperairan lebak lebung. Pada tahun 1980 an parairan umum dilokasi penelitian sangat kaya dengan sumberdaya ikannya, daerah ini memiliki banyak sekali jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi, namun kondisi saat ini sangat memprihatinkan banyak sekali jenis ikan yang terancam punah karena kurangnya perhatian dari semua pihak terutama nelayan, untuk itu saat ini diperlukan upaya budidaya ikan seperti keramba atau kurungan ikan yang sengaja dibuat di aliran sungai dengan tujuan untuk perlindungan ikan yang hampir punah. Selain itu pemerintah perlu mempertimbangkan agar tidak semua lokasi perairan baik sungai maupun lebung dilelangkan, begitu juga dengan ikan butuhnya kesadaran nelayan agar tidak menangkap ikan yang tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena jika tidak ada upaya perlindungan maka sumberdaya ikan akan habis. Dalam rangka memprakondisikan keadaan tersebut, pemerintah harus berperan sebagai regulator, fasilitator dan supervisor (Hidayat, 2003). Perilaku Nelayan Lelang lebak lebung merupakan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat sumatera selatan khususnya Kabupaten Muara Enim. Lelang lebak lebung telah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat. Pengelolaan perairan umum dengan sistem lelang merupakan salah satu cara untuk mengatur nelayan dalam melakukan penangkapan ikan di area objek lebak lebung dalam jangka waktu tertentu. Dalam pelaksanaan pengelolaan lelang lebak lebung lembaga lebak lebung (pemerintah) membuat peraturan secara tertulis (peraturan desa) untuk melindungi lebak lebung yang dilelang. Secara tegas dicantumkan dalam peraturan desa larangan menggunakan alat tangkap berbahan kimia seperti bom, setrum dan melakukan pencemaran terhadap perairan. Apabila nelayan melakukan pelanggaran maka nelayan akan mendapatkan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang telah dilakukan. Bentuk sanksi yang harus diterima oleh pelaku pelanggaran berupa denda materi, penarikan objek lebak lebung oleh lembaga lebak lebung (pemerintah), proses hukum (kurungan penjara). Dalam pelaksanaan lelang lebak lebung lembaga lebak lebung (pemerintah) bertindak juga bertindak sebagai pengawas lelang lebak lebung, namun dalam pelaksanaannya pengawas belum bekerja secara maksimal hal ini dibuktikan dengan masih seringnya terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan, serta masih lemahnya tindak lanjut yang dilakukan dalam pemberian sanksi kepada pelaku pelanggaran. Selanjutnya proses evaluasi kegiatan lelang lebak lebung juga belum terlaksana hal ini menyebabkan tidak ditemukan perubahan setiap tahunnya dari kegiatan lelang lebak lebung.
59
Perilaku nelayan yang dianalisis dari aspek-aspek : pengetahuan, sikap dan tindakan nelayan dalam melakukan pengolahan dan menjaga perairan lebak lebung. Pengetahuan adalah hasil yang diketahuai atau diperoleh seseorang atau nelayan setelah melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia di peroleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Perilaku masyarakat nelayan sangat bergantung pada pengetahuan dan sikap yang selalu berusaha untuk meningkatkan kemampuan/ keterampilan yang dilakukan dalam perbuatan nyata. Menurut Jhon et al. (2010) rusaknya keanekaragaman hayati sebagain besar disebabkan oleh perilaku manusia, dengan demikian perilaku manusia harus diperbaiki dengan memperluas pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan dan sikap akan berubah menjadi suatu tindakan dalam bentuk perbuatan nyata untuk memperbaiki hidup. Perilaku nelayan di lokasi penelitian dalam melakukakan pengelolaan perairan lebak lebung dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Perilaku nelayan Perilaku Nelayan Pengetahuan
Sikap
Tindakan
Kategori Kurang Cukup Baik Kurang Cukup Baik Kurang Cukup Baik
Jumlah (Orang) 25 31 44 22 21 57 31 18 51
Persentase (%) 25,0 31,0 44,0 22,0 21,0 57,0 31,0 18,0 51,0
Keterangan n = 100
Pengetahuan nelayan Pengetahuan merupakan hasil yang diketahuai atau diperoleh seseorang atau nelayan setelah melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia di peroleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan responden dalam pengolahan dan pelestarian perairan lebak lebung dapat dilihat melalui beberapa indikator yang meliputi : Pengertian perairan lebak lebung dan ekosistemnya, sejarah lelang lebak lebung, status wilayah perairan, batas wilayah perairan, pemanfaatan hasil perairan, rehabilitasi wilayah kritis, perlindungan perairan lebak lebung. Pengetahuan responden tentang periaran lebak lebung mencakup manfaat secara ekonomi dan ekologis serta pelestarian perairan lebak lebung. Berdasarkan analisis dapat diketahui bahwa pengetahuan responden tentang manfaat dan pelestarian lebak lebung, sebanyak 44,0 persen responden dalam kategori baik. Responden telah memahami manfaat dari perairan lebak lebung, namun pengetahuan responden masih sangat terbatas, responden tidak pernah berpikir bahwa ekositem perairan lebak lebung semakin habis, hal ini diakibatkan oleh keserakahan para pengemin atau pemenang lelang dalam menangkap ikan tanpa memperdulikan keberlanjutan ekosistem ikan
60
tersebut. Semakin baik tingkat pengetahuan responden tentang pengelolaan dan pelestarian lebak lebung maka semakin baik pula tindakan responden dalam melakukan pengelolan lebak lebung yang menjadi tempat mereka menggantungkan kehidupannya, dengan harapan bahwa responden melakukan kegiatan usahanya diperairan lebak lebung juga ikut berpartisipasi dalam menjaga kelestarian lingkungan perairan dan ekosistem perairan. Pengetahuan tentang pengelolaan perairan lebak lebung diperoleh responden dari pengalaman selama berinteraksi dengan perairan lebak lebung. Sikap nelayan Sikap merupakan suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan seseorang terhadap suatu objek baik perasaan mendukung atau perasaan tidak mendukung pada objek tersebut. Sikap responden dalam pengolahan dan pelestarian perairan lebak lebung dapat dilihat melalui beberapa indikator yang meliputi : Sejarah lelang lebak lebung, status wilayah perairan lebak lebung, batas wilayah perairan, pemanfaatan hasil perairan, rehabilitasi objek lebak lebung kritis, perlindungan objek lebak lebung. Hasil analisis menunjukkan bahwa sikap yang dimiliki responden dalam pengelolaan perairan lebak lebung tergolong dalam kategori baik, hal ini dapat dilihat sebanyak 57,0 persen responden dalam kategori baik. Hal ini dapat diartikan bahwa secara keseluruhan bahwa responden memiliki sikap positif terhadap pengelolaan perairan umum lelang lebak lebung, walaupun belum seluruh sikap yang terbentuk terwujud dalam tindakan nyata oleh responden. Sikap positif responden terlihat dari ketaatan responden terhadap status kawasan objek lebak lebung serta batas kawasan lebak lebung yang telah ditetapkan lembaga lebak lebung, sebagian besar dari responden melakukan pemanfaatan hasil lebak lebung sesuai peraturan yang ditetapkan lembaga lebak lebung. Menurut Hartati et al. (2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa sikap positif yang diberikan oleh sebagian besar responden diduga berkaitan dengan pengetahuannya tentang pentingnya upaya pelestarian, dimana dalam hal ini pelestarian perairan lebak lebung. Selanjutnya Notoatmodjo (2003) mengemukakan bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktek), sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. Menurut Mar‟at (1981) bahwa sikap digambarkan pada konsep evaluasi yang berkenaan dengan objek tertentu, yang menggugah motif untuk bertingkah laku. Sikap positif responden dibentuk oleh pengetahuan dan pengalaman responden terhadap kegiatan lelang lebak lebung dalam upaya pengolahan perairan lebak lebung dan pelestarian ekosistem perairan sesuai dengan syarat dan peraturan yang telah ditentukan oleh lembaga lebak lebung dalam pengolahan perairan. Tindakan nelayan Tindakan yang dimaksud adalah perbuatan nyata yang dilakukan oleh responden dalam upaya pemanfaatan dan pelestarian perairan lebak lebung. Tindakan responden dalam pengolahan dan pelestarian perairan lebak lebung dapat dilihat melalui beberapa indikator yang meliputi : Keamanan wilayah perairan lebak lebung, pencegahan penangkapan menggunakan alat tangkap terlarang, pemanfaatan hasil perairan, rehabilitasi objek lebak lebung kritis, perlindungan perairan lebak lebung. Hasil analisis menunjukkan bahwa tindakan atau perbuatan nyata yang dilakukan oleh responden
61
tergolong baik, dapat dilihat sebanyak 51,0 persen responden melakukan tindakan dalam pemanfaatan perairan lebak lebung dan pelestarian perairan lebak lebung dan ekosistemnya dalam kategori baik. Hal ini dapat diartikan bahwa responden melakukan perbuatan nyata dalam bentuk tindakan dengan menjaga keamanan wilayah perairan lebak lebung, responden melakukan pencegahan dan tidak melakukan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap terlarang, responden melakukan pemanfaatan hasil perairan sesuai peraturan lembaga lebak lebung atau pemerintah. Temuan ini bertentangan dengan temuan Nasution (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan pengemin bersifat merusak sumber daya perikanan. Dalam kaitannya dengan pengendalian lingkungan juga terlihat bahwa nelayan pengemin maupun masyarakat nelayan lainnya tidak melakukan upayaupaya yang bersifat menjaga kelestarian lingkungan perairan umum. Responden menyadari arti pentingnya perairan bagi kehidupan mereka, diikuti dengan bukti perbuatan nyata sebagian besar nelayan tidak merusak lingkungan perairan dan ekosistem perairan dengan menggunakan alat tangkap terlarang seperti bahan peledak dan bahan kimia lainnya. Menurut Notoatmodjo (2003) rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan suatu tindakan terhadap stimulus atau objek tersebut sehingga terbentuk suatu perilaku hidup individu. Hubungan Karakteristik Internal dengan Perilaku Nelayan Karakteristik internal meliputi: umur nelayan, tingkat pendidikan nelayan, jumlah tanggungan keluarga nelayan, pendapatan rumah tangga nelayan, pengalaman usaha nelayan, dan tingkat kekosmopolitan yang diduga berhubungan dengan perilaku nelayan yang meliputi pengetahuan, sikap, dan tindakan dapat dilihat pada Tabel 10. Umur nelayan tidak berkorelasi terhadap pengetahuan dan sikap, hal ini berarti bahwa umur nelayan memiliki hubungan yang lemah terhadap pengetahuan dan sikap nelayan. sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hartati et al. (2005) yang menunjukkan bahwa umur responden tidak berkorelasi dengan pengetahuannya tentang mangrove. Selanjutnya tidak terdapat korelasi nyata antara umur dengan sikap responden terhadap rehabilitasi mangrove. Hasil ini memberikan indikasi tidak terdapat kecenderungan bahwa semakin tua umur responden semakin baik pengetahuan dan sikapnya terhadap rehabilitasi mangrove. Umur nelayan berkorelasi nyata dengan tindakan, artinya bahwa umur memiliki hubungan yang kuat terhadap tindakan nelayan dalam pengelolaan perairan lebak lebung, dengan semakin tua umur nelayan maka akan semakin positif tindakan yang dilakukan nelayan dalam melakukan usaha penangkapan ikan serta semakin positif tindakan nelayan dalam pengelolaan perairan lebak lebung. Tingkat pendidikan berkorelasi nyata dengan pengetahuan dalam pengelolaan perairan lebak lebung, hal ini berarti bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan yang kuat terhadap pengetahuan nelayan. Semakin tinggi tingkat pendidikan nelayan maka akan semakin tinggi pula tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh nelayan dalam upaya pengelolaan perairan lebak lebung. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukan oleh Slamet (1992), bahwa pendidikan seseorang mempengaruhi perilaku individu baik dari segi pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Selanjutnya Garnadi (2004), menyatakan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin positif tindakan yang akan dilakukan individu tersebut.
62
Tabel 10 Hubungan karakteristik internal dengan perilaku nelayan No Karakteristik Internal Nelayan Pengetahuan Sikap 1 Umur nelayan -0,010 0,055 2 Tingkat pendidikan nelayan 0,358** 0,021 * 3 Jumlah tanggungan keluarga nelayan 0,197 -0.096 4 Pendapatan rumah tangga nelayan 0,221* 0,003 5 Pengalaman usaha nelayan -0,013 0,199* 6 Tingkat kekosmopolitan -0,146 -0,023
Tindakan 0,253* 0,061 0,027 0,086 0,201* -0,039
Keterangan : *) Berhubungan nyata pada α ≤ 0,05 **) Berhubungan sangat nyata pada α ≤0,01
Menurut Rifai (2002) banyaknya jumlah anggota rumah tangga perikanan dapat menjadi beban bagi kepala rumah tangga karena semakin banyak jumlah anggota keluarga maka diperlukan biaya yang banyak pula untuk kebutuhan hidup. Namun sebaliknya anggota keluarga yang banyak dapat dijadikan sebagai modal tenaga kerja dalam membantu pekerjaan nelayan untuk menunjang ekonomi keluarga dengan kontribusi pendapatan yang dihasilkan oleh istri dan anak-anak mereka. Jumlah tanggungan keluarga nelayan berkorelasi nyata dengan tindakan nelayan, hal ini dapat diartikan bahwa jumlah tanggungan keluarga nelayan memiliki hubungan yang kuat terhadap tindakan nelayan. Semakin besar jumlah tanggungan nelayan maka akan semakin positif tindakan dan usaha nelayan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Tingkat ketergantungan nelayan terhadap perairan dalam memenuhi perekonomian keluarganya menjadi salah satu alasan nelayan untuk bertindak positif dan sebaik mungkin dalam melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan lebak lebung agar mereka tidak kehilangan sumber mata pencahariannya. Pendapatan rumah tangga nelayan juga berkorelasi nyata terhadap pengetahuan, hal ini dapat diartikan bahwa tingkat pengetahuan nelayan memiliki hubungan yang kuat terhadap pengetahuan nelayan. Pengetahuan sangat berperan penting bagi nelayan didalam menentukan strategi untuk melakukan pengelolaan perairan lebak lebung guna mendapatkan hasil yang maksimal dan meningkatkan pendapatan nelayan. Sesuai dengan pendapat Mar‟at (1981), pengetahuan yang dimiliki oleh individu akan menentukan sikap bagi manusia yang mengarahkan dirinya kepada tindakan. Hal ini bertentangan dengan penyataan Hartati et al. (2005) pendapatan tidak berhubungan dengan tingkat pengetahuan responden, tidak terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan responden akan semakin baik pula tingkat pengetahuan responden. Pengalaman usaha nelayan tidak berhubungan dengan pengetahuan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hartati et al. (2005) bahwa lama berusaha bisa dianggap sebagai pengalaman berusaha bagi responden, namun lama berusaha tidak berhubungan dengan pengetahuan. lamanya pengalaman responden tidak menunjukkan kemampuan/kecepatan responden untuk menerima informasi tentang manfaat dan pelestarian. Hal ini terkait dengan minimnya kegiatan penyuluhan yang diberikan kepada responden dalam upaya peningkatan pengetahuannya. Pengalamanan usaha nelayan berkorelasi nyata dengan sikap dan tindakan nelayan dalam pengelolaan perairan lebak lebung, hal ini dapat diartikan bahwa pengalaman nelayan memiliki hubungan yang kuat terhadap sikap dan tindakan nelayan. Pengalaman yang diperoleh nelayan dari kegiatan usaha penangkapan ikan diperairan lebak lebung sangat berperan
63
penting dalam pembentukan sikap serta tindakan yang harus dilakukan oleh nelayan dalam pengelolaan perairan lebak lebung, tingginya pengalaman usaha nelayan maka akan semakin tinggi sikap positif nelayan terhadap pelestarian perairan lebak lebung dan semakin positif pula tindakan yang dilakukan nelayan didalam melakukan usaha penangkapan ikan serta pelestarian perairan lebak lebung. Menurut Padmowihardjo (2002), pengalaman, baik yang menyenangkan maupun yang mengecewakan akan mempengaruhi proses belajar seseorang. Hubungan Kelembagaan Lelang Lebak Lebung dengan Perilaku Nelayan Karakteristik kelembagaan lebak lebung yang diduga berhubungan dengan perilaku nelayan yang meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat nelayan dalam pengelolaan perairan lebak lebung dalam penelitian adalah sejarah lelang lebak lebung, peraturan lelang lebak lebung dan sanksi lelang lebak lebung dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejarah keberadaan lelang lebak lebung tidak berkorelasi dengan pengetahuan, sikap dan tindakan, hal ini berarti bahwa motivasi masyarakat nelayan dalam pengelolaan perairan lebak lebung dan faktor pendorong nelayan untuk turut serta dalam menjaga dan memelihara perairan lebak lebung yang ada di perairan lebak lebung, antara lain nelayan agar mereka mendapatkan ikan yang berukuran besar sehingga harganya mahal. Tabel 11 Hubungan kelembagaan lelang lebak lebung dengan perilaku nelayan No Variabel Pengetahuan Sikap Tindakan 1 Sejarah 0,161 -0,095 -0,022 2 Peraturan 0,106 0,201* -0,048 3
Sanksi
0,005
-0,120
0,201*
Keterangan : *) Berhubungan nyata pada α ≤ 0,05
Peraturan lelang lebak lebung berkorelasi nyata dengan sikap nelayan dalam pengelolaan perairan lebak lebung. Hal ini dapat diartikan bahwa peraturan memiliki hubungan kuat terhadap sikap nelayan. Semakin tegas peraturan yang ditetapkan oleh lembaga lebak lebung atau pemerintah daerah maka akan semakin positif sikap nelayan dalam melakukan usaha penangkapan ikan serta tidak melakukan perbuatan yang bersifat negatif dalam melakukanan penangkapan ikan atau kegiatan usahanya, selain itu dengan adanya peraturan yang ditetapkan oleh lembaga lebak lebung atau pemerintah nelayan juga mempunyai acuan atau pedoman dalam melakukan kegiatan usahanya dan nelayan bertindak sesuai aturan yang sudah ditetapakn lembaga lebak lebung. Sejalan dengan pendapat Ostrom (1990) menilai bahwa arena pilihan kolektif dan operasional sangat dipengaruhi oleh arena pilihan konstitusional. Hal ini dapat diartikan bahwa peraturan konstitusional terkait pengelolaan lelang lebak lebung harus diimplementasikan ditingkat daerah untuk pengelolaan perairan umum lebak lebung. Sanksi dalam pengelolaan lelang lebak lebung merupakan hukuman yang akan diterima oleh pelaku pelanggaran peraturan lelang lebak lebung, hasil analisis statistik memberikan hasil yang signifikan antara sanksi dan tindakan nelayan dalam pengelolaan perairan lebak lebung. Hal ini dapat diartikan bahwa sanksi memiliki hubungan kuat terhadap tindakan nelayan, semakin tegas sanksi yang ditetapkan dan
64
diterapkan maka semakin positif tindakan yang nelayan hal ini disebabkan oleh rasa takut yang akan muncul dalam diri nelayan untuk melakukan pelanggaran. Sejalan dengan penelitian Stanis (2007) yang menjelaskan bahwa dengan adanya sanksi tersebut cukup efektif dan membuat jera tindakan nelayan yang biasanya melakukan merusak sumberdaya alam pesisir dan laut. Perilaku dan peradaban masyarakat seperti di atas ternyata memberi makna positif bagi upaya konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir dan laut. Pengelolaan lelang lebak lebung, lembaga lebak lebung menetapkan peraturan–peraturan yang harus ditaati oleh nelayan, sejalan dengan peraturan yang ditetapkan lembaga lebak lebung juga telah menetapkan sanksi untuk setiap pelaku pelanggaran peraturan. Sanksi akan diberikan kepada pelaku pelanggaran yang melanggar atau bertindak tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh lembaga lebak lebung. Hubungan Karakteristik Eksternal dengan Perilaku Nelayan Karakteristik eksternal nelayan yang diduga berhubungan dengan perilaku nelayan yang meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat nelayan dalam pengelolaan perairan lebak lebung dalam penelitian ini adalah variabel kinerja kelompok nelayan dengan indikator : kemampuan, pengalaman, kemampuan mengemukakan pendapat, pengambilan keputusan, perencanaan kerja, selain itu variabel kebijakan pemerintah dengan indikator peraturan dan sosialisasi peraturan dalam pengelolaan perairan, untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 12. Hasil analisis menunjukkan bahwa kinerja kelompok nelayan berkorelasi positif terhadap sikap nelayan dalam pengolahan perairan lebak lebung. Hal ini dapat diartikan bahwa kinerja kelompok memiliki hubungan yang kuat terhadap sikap, semakin baik kinerja kelompok nelayan dalam melakkukan kegiatan pengolahan perairan lebak lebung maka akan semakin positif sikap nelayan terhadap pengelolaan perairan lebak lebung, hal ini disebabkan karena sifat ketergantungan nelayan terhadap perairan yang menuntut mereka untuk melakukan pengolahan perairan lebak lebung dengan cara sebaik baiknya agar ekosistem perairan tidak musnah dan kegiatan kearifan lokal lelang lebak lebung tetap terjaga. Peningkatan kinerja kelompok nelayan diperlukan pendampingan kelompok, hal ini sejalan dengan pendapat Wahyuni (2003) suatu pendekatan atau metode pemberdayaan yang mampu mendorong peningkatan kinerja kelompok tani. Tabel 12 Hubungan karakteristik eksternal terhadap perilaku nelayan No Variabel Pengetahuan Sikap 1 2
Kinerja kelompok nelayan Kebijakan pemerintah
Tindakan
0,117
0,202*
-0,008
0,038
0,242*
-0,063
Keterangan : *) Berhubungan nyata pada α ≤ 0.05
Kebijakan pemerintah berkorelasi nyata terhadap sikap nelayan dalam pengelolaan perairan lebak lebung, hal ini dapat diartikan bahwa kebijakan pemerintah memiliki hubungan yang kuat terhadap sikap nelayan. Kebijakan pemerintah berperan penting dalam pembentukan perilaku nelayan dalam pengelolaan perairan lebak lebung, dengan semakin tegas peraturan yang ditetapkan pemerintah dan semakin tinggi
65
sosialisasi dan penyampaian informasi dari pemerintah maka akan semakin positif sikap nelayan. Merujuk kepada temuan penelitian Prihandoko (2012) bahwa peningkatan sikap positif nelayan dapat dilakukan dalam bentuk pemberian informasi. Dukungan pemerintah dalam pengelolaan perairan umum mempunyai peranan penting bagi masyarakat dan keberlanjutan perikanan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Herman et al. (2006) yang menjelaskan bahwa dukungan pemerintah sangat dibutuhkan dalam mempertahankan keberlanjutan pertanian. Sosialisasi kebijakan pemerintah disampaikan langsung oleh lembaga lebak lebung atau pemerintah desa baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan tujuan informasi mampu diterima oleh nelayan dan dilaksanakan sesuai kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
66
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perilaku nelayan dianalisis berdasarkan pengetahuan, sikap dan tindakan dalam mengelola perairan lebak lebung dalam kategori baik. Artinya bahwa perilaku responden dalam mengelola perairan umum lebak lebung baik sesuai dengan pengetahuan, sikap serta tindakan yang dilakukan. Semakin baik pengetahuan dan sikap responden tentang pengelolaan perairan dan pelestarian lebak lebung maka akan semakin positif tindakan responden dalam melakukan usahanya pada perairan umum lebak lebung. Lelang lebak lebung telah dimulai pada tahun 1830, dikelola oleh lembaga lebak lebung (pemerintah) yang sekaligus bertindak sebagai panitia dan pengawas lelang, masyarakat nelayan berperan sebagai peserta lelang, perairan umum berperan sebagai objek lelang, pemenang lelang memiliki kewajiban untuk membayar objek lelalng dan mentaati peraturan dan menerima sanksi jika melakukan pelanggaran, pemenang lelang memiliki hak untuk menangkap ikan dan memiliki sepenuhnya atas hasil tangkapan. Sistem lelang lebak lebung bertujuan untuk menghindari konflik antar nelayan, sumber pendapatan asli desa (PAD), pelestarian perairan umum lebak lebung. Karakteristik internal nelayan lebak lebung yang terdiri dari umur nelayan, tingkat pendidikan nelayan, jumlah tanggungan keluarga nelayan, pengalaman kerja nelayan, dan pendapatan rumah tangga nelayan berkorelasi dengan perilaku nelayan dalam mengelola perairan lebak lebung. Kelembagaan lebak lebung yang terdiri dari peraturan lelang lebak lebung, dan sanksi lelang lebak lebung berkorelasi dengan perilaku nelayan dalam mengelola perairan lebak lebung. Selanjutnya karakteristik eksternal nelayan yang terdiri dari kinerja kelompok nelayan, dan kebijakan pemerintah berkorelasi dengan perilaku nelayan dalam mengelola perairan lebak lebung. Saran Perlu pengawasan khusus terhadap para nelayan atau pemenang lelang dalam melakukan usaha penangkapan ikan, agar nelayan tidak menggunakan alat tangkap yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan yang ada diperairan lebak lebung. Pemerintah atau lembaga lebak lebung perlu memperbaiki manajemen pengelolaan lelang lebak lebung agar pengelolaan tidak hanya bertujuan untuk financial, diperlukan upaya pemulihan stok ikan dan rehabilitasi terhadap wilayah kritis objek lebak lebung setiap tahunnya. Perlu kerja sama antara Pemerintah Desa, Kecamatan dan BP3K dalam pengelolaan perairan lebak lebung, serta diperlukan kegiatan penyuluhan kepada nelayan dalam pengelolaan perairan umum.
67
DAFTAR PUSTAKA Arifin. 1978. Beberapa Aspek tentang Penangkapan Ikan di Perairan Umum Lubuk Lampam, Sumatera Selatan, Laporan Penelitian Lembaga Penelitian Perikanan Darat Cabang. Palembang. Arsyad MN. 1982. Peranan hukum adat dalam pengelolaan perikanan di perairan umum Sumatera Selatan, Prosiding Puslitbangkan No. 9/SPPU/1986, Hal.11-16, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Astuty Ernany. 2006. Restrukturisasi Institusi Ekonomi. Jakarta, Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI. Azwar S. 2003. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi Ke-2 Cetakan KeVii.Yogyakarta : Pustaka Pelajar. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Kabupaten Muara Enim dalam Angka. Kabupaten Muara Enim(ID): BPS Kabupaten Muara Enim. Bowling Cj, Brahm Ba. 2002. Shaping Communities Through Extension Dari Technology Acceptance Model (Tam). Yogyakarta.UGM. Dahuri Rokhmin. 2002. Pengelolaan Kelautan Dan Perikanan Nasional. PT. Bumi Aksara. Jakarta. . 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Jakarta. Pt Gramedia Pustaka Utama Daris Lukman, Kartika Ekasari Z, Aminuddin Saade. (2012). Dinamika Konflik dan Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Agrisistem. 8 (1) : 32-42. Departemen Pertanian, 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Jakarta. Evans Tom P, Daniel H Cole. 2014. Contextualizing the Influence of Social Norms, Collective Action Onsocial-Ecological Systems. Journal of Natural Resources Policy Research. 6 (4): 259–264. Fishbein M, I Ajzen. 1976. Belief, Attitude, Intention, And Behavior : An Introduction To Theory Anda Research. Massachusetts : Addision-Weshley Publishing Co. Garnadi Dodi. 2004. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat Sekitar Hutan Terhadap Hutan. [Tesis]. Pascasarjana IPB. Gomes Faustino C. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset. Halim Nr. 1992. Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Dengan Perilaku Komunikasi Anggota Kelompok Simpan Pinjam Kud dan Pemanfaatan Kerdit Pedesaan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. [Tesis]. Pascasarjana, IPB. Hanson Aj. 1984. Coastal Community: International Perspectives. Paper Presented At The 26 Th Annual Meeting Of The Canadian Commission For Unesco, St John‟s Newfoundland, 6 Th June 1984. Harihanto. 2001. Persepsi, Sikap, dan Perilaku Masyarakat Terhadap Air Sungai. [Disertasi] Program Pascasarjana IPB Hartati Tati, Siti Amanah, Moch Prihatna Sobari. 2005. Perilaku Petambak dalam Konservasi Hutan Mangrove di Desa Jayamukti Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat. Buletin Ekonomi Perikanan. 6 (1) : 13-36. Hatta M. 1979. Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan. Jakarta: Mutiara
68
Herman, Hutagaol MP, Sutjahjo SH, Rauf A, Priyarsono DS. 2006. Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi Pengendalian Hama Penggerek Buah kakao: studi kasus disulawesi selatan. Jurnal Pelita Perkebunan. 22 (3): 222-236. Hidayati Laili. 2010. Analisis Pembentukan Perilaku Hemat Listrik dengan Pendekatan Norm Activation Model. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Iswari Puji. 2004. Peran Kelembagaan Penyuluhan Terhadap Perilaku Masyarakat Desa Hutan dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri Lestari. Jurnal Penyuluhan. Pascasrajana IPB John Freya A V St, Gareth Edwards Jones, Julia PG Jones. 2010. Conservation and Human Behaviour: Lessons from Social Psychology .www. Publish.csiro.au/journals/wr. Juanda B. 2009. Ekonomitrika Permodelan dan Pendugaan. Bogor. IPB Press. Kartamihardja E S, Dharmadi, D Oktaviani. 2008. Ekologi dan Pengelolaan Perikanan di Perairan Lebak Lebung, Sumatera Selatan. Lap. Hasil Riset. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 50 hal. Keraf S A. 2002. Etika Lingkungan, Pn. Buku Kompas, Jakarta. Koentjaraningrat (eds.) 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cet.18. Djambatan, Jakarta. Kolopaking Lala M, Siti A, Prabowo T, Lukytawati A, Sofyan S. 2012. Program Nasional Pemberdayaan Masyarkat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP): Studi Kualitatif Efek Rembesan Pilot PNPM-Lingkungan Mandiri Perdesaan di Indonesia. Bogor :IPB Press Kusnadi Mh, Santoso Rd. 2000. Kamus Istilah Pertanian. Yogyakarta: Kanisius . 2002. Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan, LkiS, Yogjakarta. Ma‟mir. 2001. Perilaku Petani Sayuran dalam Pemanfaatan Sumber Informasi Agribisnis Tanaman Sayuran. di Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara [Tesis] Pascasarjana IPB Madrie.1981. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Sikap Tokoh Masyarakat Terhadap Keluarga Berencana di Lampung. [Tesis] Pascasarjana IPB. Mar‟at. 1981. Sikap Manusia, Perubahan Serta Pengukurannya. Bandung: Ghalia Indonesia. Mardikanto.1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian Surakarta: Sebelas Maret University press .1996. Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Jakarta: Pusluh Kehutanan Marliati, Sumardjo, Pang S A, Prabowo Tjitropranoto, Asep Saefuddin. 2008. FaktorFaktor Penentu Peningkatan Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan Petani. Jurnal Penyuluhan. 4 (2): 92-99. Nasution, Zahri. 2008. Perkembangan Ekonomi Masyarakat Nelayan Perairan Umum “Lebak Lebung”. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. 2 (2): 239-255. . 2012. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”Lelang Lebak Lebung” dan Kemiskinan Nelayan (Study Kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan).[Disertasi]. Pascasarjana, IPB.
69
Notoatmodjo S. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT. Rineka Cipta : 95-133. Ostrom E. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collection Action (Cambridge: Cambridge University Press). . 1999. Self-Governnance and Forest Resources. Occasional Paper Np.20. Center for International Forestry Research. Bogor. Indonesia. . 2000. Collective Action and the Evolution of Social Norms. Journal of Economic Perspectives.14 (3): 137–158. . 2008. Design Principles of Robust Property-Rights Institutions; What Have We Learned. Workshop in Political Theory and Policy Analysis. Indiana University. 513 N. Park Avenue. Bloomington. IN 47408. Electonic copy; http:/www.indiana.edu/-workshop. Padmowihardjo S. 1999. Psikologi Belajar Mengajar. UT. Jakarta. . 2002. Pembangunan Pertanian : Sebelum dan Pasca Krisis Pergeseran Paradigma dan Pengembangan SDM dan Pendukungnya. Medan. Pakpahan HT, RWE Lumintang, D Susanto. 2006. Hubungan Motivasi Kerja dengan Perilaku Nelayan pada Usaha Perikanan Tangkap. Jurnal Penyuluhan 2 (1). 2634 Payne M. 1997. Modern Social Work Theory. Edisi Kedua. London: Macmillan Press Ltd. Pemasaran. Bogor: Ghalia Indonesia Pemda Tk I Prop Sumsel. 1974. Peraturan Daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Selatan (Sumsel) No. 8/Perdass/1973/1974 tgl. 14 Juli 1974, Lembaran Daerah Prop. Sumsel tgl. 26 Nopember 1974 Seri A No. 14. Salinan dari Dinas Perikanan Perikanan Tk I Prop. Sumsel. . 1978. Peraturan Daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Selatan No. 6 Tahun 1978 tgl. 6 Mei 1978. tentang Mengubah untuk Pertama Kalinya Perda Prop. Dati I Sumsel Tentang Lelang Lebak Lebung, Lembaran Daerah Prop. Sumsel tgl. 30 September 1978 Seri D. Pemerintah Republik Indonesia. 2006. Undang Undang Nomor 16 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. . 2007. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. .2009. Undang-Undang Nomor 45 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tentang Perikanan. Prihandoko, Amri Jahi, Darwis S Gani, I Gusti Putu Purnaba, Luky Adrianto, Iwan Tjitradjaja. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Nelayan Artisanal dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Pantai Utara Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan. 8 (2): 158-175. Purwanto N. 1990. Psikologi Pendidikan. Bandung : Pt. Remaja Rosdakarya . 2000. Exploitation Status And A Strategy For The Management Of The Java Sea Fisheries. Workshop International Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Ditjen Perikanan Tangkap DKP, Jakarta. Ramdhani N. 2009. Model Perilaku Penggunaan It ”Nr-2007”, Pengembangan Redjeki Dwi Prawani Sri. 2012. Memelihara dan Meningkatkan Kedisiplinan yang Baik. Jurnal Stie Semarang. 4 (1):1-12. Rifai Zuriaty.2002. Analisis Kelembagaan dan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Perairan Umum Lebak Lebung di Kabupaten Musi Banyu Asin Provinsi
70
Sumatera Selatan. Jurnal Perencanaan Pembanguan Wilayah dan Pedesaan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Rivai V. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan dari Teori ke Praktik. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Robbins PS. 2007. Perilaku Organisasi. [email protected]. P T. Macanan jaya. Jakarta. Rogers EM Shoemaker FF. 1971. Comunication of Innovations. A Cross Cultural Approach Sec.Ed.New York: Free Press Salikin Karwan. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta. Penerbit Kanissius. Schiffman Lg, Kanuk Ll. 2004. Customer Behavior 5th Ed. New Jersey:Prentice Sediaoetama Ad. 1991. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian Rakyat. Siagian SP. 2003. Teori dan Praktik Kepemimpinan. Jakarta: Rineka Cipta. Slamet. 1992. “Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan dalam Menyongsong Era Tinggal Landas”. Dalam Penyuluhan Pembangunan di Indonesia: Menyongsong Abad XX1. Diedit oleh Aida Vitayala Sjafri Hubeis, Prabowo Tjitropranoto, dan Wahyudi Ruwiyanto. Jakarta. PT Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Soekanto S. 1985. Kamus Sosiologi Edisi Baru. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 485 Hal. . 2003. Sosiologi: Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 466p. Stanis S. 2005. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur. [Thesis] Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro.Tidak diterbitkan. Stanis Stefanus, Supriharyono, Azis Nur Bambang. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Pasir Laut. 2 (2) : 67-82. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung. Penerbit Alfabeta : 80-91. Suhana. 2008. Analisis Ekonomi Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi. [Thesis] Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan. Sujarwo. 2004. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat Sekitar Hutan Dalam Pelestarian Hutan. Jurnal Penyuluhan. Pascasrajana IPB Sumarwan U. 2002. Perilaku Konsumen Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Bogor: Ghalia Indonesia Surahmanto F, Triskati H, Sumadi. 2014. Kinerja Penyuluh Pertanian sebagai Penyebar Informasi, Fasilitator dan Pendamping dalam Pencapaian Program Pengembangan Sapi Bali (Bos sondaicus) di Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Buletin Peternakan. 38 (2) : 116-124. Syahrizal, Sri Meiyenti, Rinaldi Ekaputra. 2011. Aspek Tindakan dan Perilaku dalam Kemiskinan: Studi pada Masyarakat Nelayan Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat. Jurnal Humanus. 10 (1) : 25-35. Tampubolon Fevrina Leny, Arif Satria. 2013. Hubungan antara Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam Memanfaatkan Sumberdaya Perikanan di Taman Nasional Karimunjawa. Jurnal Sosiologi Pedesaan. hal 233-240. Tempe A Dale. 1992. Kinerja. Jakarta : PT. Gramedia Asri Media.
71
Wahyuni, Sri. 2003. Kinerja Kelompok Tani dalam Sistem Usaha Tani Padi dan Metode Pemberdayaannya. Jurnal Litbang Pertanian. 22 (1) : 1-8. Welcomme, Robin L. 1979. Fisheries ecology of floodplain rivers, Longman Group Limited, London, 317 p. Widodo S. 2008. Kelembagaan, Kapital Sosial dan Pembangunan. Http://LearningOf.Slametwidodo.Com/2008/02/01/Kelembagaan-Kapital-Sosial-dan Pembangunan/.
72
Lampiran 1 Uji validitas dan reliabilitas Instrumen Sub Peubah Sejarah lelang lebak lebung
Peraturan lelang lebak lebung
Sanksi dalam lelang lebak lebung Kinerja kelompok
Kebijakan pemerintah
Pengetahuan
Butir 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3
Uji Validitas 0,499 0,420 0,722 0,419 0,722 0,382 0,362 0,366 0,438 0,455 0,381 0,544 0,595 0,536 0,413 0,621 0,531 0,569 0,699 0,699 0,726 0,785 0,454 0,726 0,785 0,378 0,528 0,883 0,581 0,728 0,732 0,883 0,690 0,549 0,496
Keterangan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Uji Reliabilitas 0,773
Keterangan
0,798
Reliabel
0,807
Reliabel
0,851
Reliabel
0,890
Reliabel
0,887
Reliabel
Reliabel
73
Sub Peubah
Sikap
Tindakan
Butir
Uji Validitas
Keterangan
4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
0,692 0,652 0,541 0,670 0,652 0,652 0,373 0,620 0,501 0,670 0,532 0,481 0,601 0,786 0,532 0,786 0,601 0,679 0,741 0,679 0,356 0,464 0,357 0,638 0,667
Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Uji Reliabilitas
Keterangan
0,866
Reliabel
0,838
Reliabel
Tingkat pendidikan nelayan
Jumlah tanggungan keluarga nelayan Pendapatan rumah tangga nelayan Pengalaman usaha nelayan
Tingkat kekosmopolitan
Sejarah
Peraturan
Sanksi
Kinerja kelompok nelayan
Kebijakan pemerintah
2
3
6
7
8
9
10
11 0,038
0,117
0,005
0,106
0,161
-0,146
-0,013
0,221*
0,197*
0,358**
-0,010
Pengetahuan
0,707
0,246
0,959
0,294
0,111
0,146
0,895
0,340
0,049
0,000
Nilai P 0,923
0,242*
0,202*
-0,120
0,201*
-0,095
-0,023
0,199*
0,003
-0.096
0,021
0,055
Sikap
Keterangan : *) berhubungan nyata pada α ≤ 0,05 **) Berhubungan nyata pada α ≤ 0,01
5
4
Variabel Umur nelayan
No 1
0,535
0,044
0,234
0,045
0,346
0,820
0,047
0,973
0,340
0,833
Nilai P 0,585
Lampiran 2 Hasil Analisis Korelasi rank Spearman
-0,063
-0,008
0,201*
-0,048
-0,022
-0,039
0,201*
0,086
0,027
0,061
0,253*
Tindakan
0,535
0,937
0,045
0,632
0,831
0,698
0,045
0,397
0,790
0,548
Nilai P 0,011
74
75
Lampiran 3 Instrumen Penelitian
Nomor Responden
:
Nama Responden
:
Nama Kelompok
:
Alamat
:
Kabupaten
:
BAGIAN I KARAKTERISTIK RESPONDEN Umur 1. Berapakah umur Bapak/Ibu Saat ini?Sebutkan
:
............... tahun
Tingkat Pendidikan Formal 2. Sampai jenjang apakah Bapak/Ibu menempuh sekolah formal? Berilah tanda checklist (√) pada pilihan yang tersedia SD
SMP
SMA
Diploma/PT
3. Berapa lama menempuh pendidikan tersebut?..........................tahun Pengalaman kerja 4. Berapa lama bapak bekerja sebagai nelayan? ..……(Bulan/Tahun) Tanggungan keluarga 5. Berapakah jumlah tanggungan keluarga bapak sampai dengan saat ini? ……(orang) Tingkat Pendapatan 6. Pendapatan utama Bapak peroleh dari bekerja sebagai.......................... 7. Apakah Bapak punya pekerjaan sampingan?kalau iya, bekerja sebagai apa?................................................................................................................ 8. Berapa kg ikan yang dihasilkan dalam sehari?.................................kg 9. Jenis ikan apasaja? Berilah tanda checklist (√) pada kolom yang tersedia. 1. Selais 2. Baung 3. Lele 4. Patin 5. Betok 6. Tambakan/siapil 7. Gabus
76
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15 16
Toman Pantau / seluang Sepat siam Sepat mutiara Betutu Belida Gurami Nilem/ sampah Kepras
10. Tabel 1.Perincian Penghitungan Pendapatan No. Penerimaan Usaha Sehari 4.5.1 4.5.2 4.5.3 4.5.4 4.5.5
Sebulan
Setahun
Usaha perikanan Usaha pertanian Usaha pertambangan PNS Lainnya (sebutkan):
Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.
Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Total penerimaan
Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.
Pengeluaran 4.5.6 Usaha perikanan 4.5.7 Usaha pertanian 4.5.8 Usaha pertambangan Lainnya................
Rp. Rp. Rp. Rp.
Rp. Rp. Rp. Rp. Total pengeluaran Total pendapatan
Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.
11. Jenis alat tangkap yang digunakan, berilah tanda checklist (√) pada kolom yang tersedia No
Jenis Alat Tangkap
1 2
Pancing Jaring
3 4
Bubu Jala
5
Tombak
6 7
Setrum Lainnya, sebutkan a. b. c.
Iya
Tidak
77
Tingkat Kosmopolitan 12. Bapak mendapat informasi yang berhubungan dengan perikanan pada pertama kali/awal darimana saja? Berilah tanda checklist (√) pada kolom yang tersedia. No. Jenis
Ya, Pertama Selanjutnya kali (hanya (jawaban boleh satu jawaban) lebih dari satu)
1. 2. 3.
Menonton televise Radio Mengunjungi sumber informasi 4. Koran/majalah 5. Penyuluh perikanan 6. Ketua kelompok 7. Nelayan lain 8. Keluarga 9. Baliho, spanduk 10. Selebaran, leaflet 11. Mengunjungi daerah lain
13. Apakah bapak sering melakukan perjalanan luar kota atau daerah dalam rangka mencari informasi baru tentang perikanan dalam 3 bulan terakhir? a. Iya, sebutkan berapa kali?..... b. Tidak pernah BAGIAN II Kelembagaan Lebak Lebung Berilah tanda silang (X) pada jawaban yang menurut anda paling tepat SS = Sangat SetujuS = SetujuTS = Tidak Setuju Sejarah No Pernyataan SS 1 Lelang lebak lebung sudah berdiri sejak lama, tahun……. 2 Kelembagaan asli warisan ( lelang lebak lebung merupakan warisan nenek moyang) 3 Kelembagaan modifikasi ( lelang lebak lebung merupakan warisan nenek moyang dan kemudian pengelolaannya di ambil alih oleh pemerintah daerah) 4 Lelang lebak lebung sebagai pendapatan asli daerah 5 Kelembagaan lebak lebung dibangun untuk pelestarian lingkungan perairan dan okosistemnya
S
TS
78
Peraturan No Pernyataan 1 Tidak dibenarkan menggunakan bahan peledak, racun, listrik, bahan kimia yang berbahaya yang dapat memusnahkan seluruh ikan atau biota lainnya dalam usaha mengambil hasil lelangnya 2 Dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan sumberaya ikan dan lingkungannya 3 Pemenang lelang yang objek lelangnya digunakan untuk lalu lintas umum harus menyediakan jalur jalan atau pintu air untuk kelancaran lalu lintas umum 4 Aturan yang telah di tetapkan oleh lembaga lebak lebung bertujuan untuk mencegah konflik 5 Nelayan/ pemenang lelang memperoleh hak untuk mengelola objek lelangnya, tidak dibenarkan untuk memindah tangankan atau mengalihkan pengelolaan objek lelang tersebut kepada pihak lain 6 Jika terjadi konflik antar nelayan, lembaga lebak lebung memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah yang terjadi 7 Lembaga lebak lebung telah menetapkan hak kepemilikan objek lebak lebung kepada pemenang lelang dalam periode satu tahun 8 Tidak dibenarkan merubah, mengalihkan alur sungai objek lelang sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan 9 Nelayan/pemenang lelang mengembalikan objek lelang kepada pemerintah desa terhitung 31 desember tahun bersangkutan, dan objek dinyatakan sudah menjai milik pemerintah desa untuk selanjutnya dilelang kembali Sanksi No Pernyataan 1 Masyarakat/nelayan yang melanggar aturan wajib diberikan sanksi sebagai hukuman sesuai jenis pelanggaran yang dilakukan 2 Nelayan yang melanggar aturan harus membayar denda 3 Sanksi pidana akan menurunkan tindakan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan yang berlaku 4 Sanksi pelanggaran, lembaga lebak lebung mencabut hak atas kepemilikan objek lelang dari pemenang lelang
SS
SS
S
S
TS
TS
79
BAGIAN III Faktor Eksternal Kinerja Kelompok Berapa lama bapak tergabung dalam kelompok?........bulan Berilah tanda silang (x) pada jawaban yang menurut anda paling tepat SS = Sangat SetujuTS = Tidak Setuju S = Setuju No Pernyataan SS S TS 1 Anggota kelompok memiliki kemampuan dibidang perikanan 2 Anggota kelompok memiliki pengalaman dalam usaha penangkapaan dan pengolahan 3 Pengurus dan anggota kelompok memiliki keberanian dalam mengemukakan pendapat baik didalam kelompok maupun diluar kelompok 4 Dalam situasi dan kondisi apapun pengurus atau anggota kelompok memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah yang terjadi berkaitan dengan pekerjaan 5 Pengurus atau anggota kelompok sudah memiliki kemampuan khusus dalam menyusun rencana kerja kegiatan usaha dan menguasai daerah kerja 6 Kelompok merencanakan kegiatan untuk meningkatkan produktivitas usaha penangkapan (termasuk pasca panen dan analisis usaha) Kebijakan pemerintah 1. Lelang lebak lebung merupakan salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk pelestarian sumberdaya perairan a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak setuju Sebutkan alasannya………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………… 2. Kegiatan lelang lebak lebung sudah di atur pemerintah desa/lembaga lebak lebung berdasarkan surat keputusan kepala desa yang disetujui oleh pemerintah kabupaten (Bupati) a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak setuju Sebutkan alasannya…………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………..
80
3. Pemerintah desa/lembaga lebak lebung melakukan penyampaian informasi tentang objek lelang sesuai keputusan musyawarah desa a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak setuju Sebutkan alasannya…………………………………………………………………… 4. Pemerintah desa/lembaga lebak lebung melakukan penyampaian informasi tentang pembagian hasil lelang sesuai keputusan musyawarah desa a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak setuju Sebutkan alasannya………………………………………………………………………… 5. Pemerintah desa/lembaga lebak lebung melakukan penyampaian informasi tentang peraturan lelang lebak lebung sesuai keputusan musyawarah desa a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak setuju Sebutkan alasannya………………………………………………………………………… 6. Aturan dari pemerintah daerah bersifat mengikat untuk para nelayan pemenang lelang lebak lebung a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak setuju Sebutkan alasannya………………………………………………………………………… Bagian IV Perilaku Nelayan Pengetahuan 1. Apakah bapak mengetahui bahwa perairan adalah suatu kumpulan massa air pada suatu wilayah tertentu? a. Sangat tahu b. Tahu c. Tidak mengetahui 2. Apakah bapak mengetahui bahwa perairan air tawar digolongkan menjadi air tenang (danau dan rawa) dan air mengalir (sungai dan laut). a. Sangat tahu b. Tahu c. Tidak tahu 3. Apakah bapak mengetahui bahwa ekosistem air tawar tetap dipengaruhi oleh iklim dan cuaca, meskipun pengaruh tersebut relatif kecil apabila dibandingkan dengan ekosistem darat.
81
a. Sangat tahu b. Tahu c. Tidak tahu 4. Apakah bapak mengetahui dan memahami sejarah lelang lebak lebung? a. Sangat tahu b. Tahu c. Tidak tahu 5. Apakah Bapak mengetahui status kepemilikan setiap wilayah perairan lebak lebung sebelum dan sesudah dilakukan kegiatan pelelangan a. Sangat tahu b. Tahu c. Tidak tahu 6. Apakah bapak mengetahui batas-batas wilayah perairan objek lelang lebak lebung? a. Sangat tahu b. Penting tahu c. Tidak tahu 7. Bila jawaban anda (a atau b), manfaat apa saja yang didapat? a. Terhindar dari konflik antar kelompok/nelayan dan bebas melakukan kegiatan usaha sesuai dengan wilayahnya b. Jauh dari konflik dan kelompok nelayan bebas melakukan kegiatan usaha c. Tidak ada manfaat 8. Apakah ada upaya rehabilitasi wilayah kritis terdapat objek lebak lebung a. Selalu ada b. Kadang kadang c. Tidak ada 9. Upaya rehabilitasi apa yang dilakukan untuk wilayah kritis a. Tidak dilakukan kegiatan usaha penangkapan pada objek lebak lebung/wilayah kritis b. Menanam tanaman pohon dan tumbuhan bambu serta penebaran benih ikan pada wilayah kritis dan tetap dilakukannya kegiatan lelang c. Tidak adanya kegiatan pemeliharan wilayah kritis 10. Apakah bapak mengetahui peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam pengelolaan objek lelang lebak lebung a. Sangat tahu b. Tahu c. Tidak tahu 11. Apakah bapak mengetahui sanksi-sanksi yang telah di tetapkan oleh pemerintah untuk pelanggar aturan dalam pengelolaan objek lelang lebak lebung? a. Sangat tahu b. Tahu c. Tidak tahu 12. Sanksi apa saja yang diberikan kepada nelayan yang melakukan pelanggaran terhadap aturan?
82
a. Kepemilikan objek lelang diambil alih oleh lembaga lelang lebak lebung, membayar denda sesuai pelanggaran kepada lembaga lelang lebak lebung, tindak pidana sesuai pelanggaran b. Pelaku pelanggar aturan hanya diberikan surat peringatan terhadap pelanggarannya c. Pelanggar aturan dibebaskan begitu saja dan tidak apa sanksi yang diberikan kepada pelanggar aturan Sikap 1. Pengelolaan lebak lebung di di Sumatera Selatan (Sumsel), pertama kali ditetapkan pemerintahan marga yaitu pada tahun 1830 dan kegiatan lelang lebak lebung tetap terjaga hingga sekarang dan berlanjut dimasa yang akan datang, dengan tujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan perairan a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak setuju 2. Nelayan harus mematuhi batas wilayah perairan objek lebak lebung yang telah di tetapkan oleh lembaga lelang lebak lebung a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak setuju 3. Sebelum dilaksanakan kegiatan lelang lebak lebung objek lebak lebung merupakan milik lembaga lebak lebung a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak setuju Sebutkan alasannya………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………... 4. Sesudah dilaksanakan kegiatan lelang lebak lebung objek lebak lebung merupakan milik nelayan/pemenang lelang a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak setuju Sebutkan alasannya…………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………... 5. Pemenang lelang berhak sepenuhnya terhadap objek lelang dan mengelola selama periode satu tahun dan berhak atas seluruh hasil perairan yang di peroleh a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak setuju Sebutkan alasannya………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………...
83
6. Untuk menjaga keberlangsungan ekosistem perairan perlu adanya upaya rehabilitasi wilayah kritis a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak setuju Sebutkan alasannya……………………………………………………………… 7. Peraturan ditetapkan oleh pemerintah dalam pengelolaan objek lelang lebak lebung dan diterapkan untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya perairan a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak setuju Sebutkan alasannya…………………………………………………………………. 8. Sanksi ditetapkan oleh pemerintah dalam pengelolaan objek lelang lebak lebung dan diterapkan untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya perairan a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak setuju Sebutkan alasannya……………………………………………………………… Tindakan 1. Apakah bapak menjaga keamanan wilayah perairan lebak lebung? c. Tidak pernah a. Selalu b. kadang- kadang 2. Jika jawaban (a atau b), tindakan apa yang bapak lakukan untuk menjaga keamanan wilayah perairan lebak lebung? a. Menjaga dan tidak merusak objek lebak lebung baik milik sendiri maupun milik orang lain b. Tidak merusak objek lebak lebung milik sendiri serta tidak merusak milik orang lain c. Hanya melakukan penangkapan ikan tanpa memperdulikan keamanan wilayah perairan lebak lebung 3. Apakah bapak melakukan penangkapan ikan sesuai batas wilayah perairan lebak lebung? a. Selalu b. Kadang-kadang c. Tidak pernah 4. Jika jawaban (a atau b), dengan adanya batas wilayah perairan lebak lebung yang telah ditetapkan oleh lembaga lebak lebung tindakan apa yang bapak lakukan untuk mematuhi batas wilayah tersebut a. Melakukan penangkapan ikan sesuai objek lebak lebung milik sendiri sesuai batas wilayah yang telah ditentukan b. Sesekali melakukan penangkapan ikan tidak sesuai dengan objek lebak lebung milik sendiri dan tidak sesuai dengan batas wilayah yang telah ditentukan c. Tidak melakukan penangkapan ikan sesuai objek lebak lebung milik sendiri sesuai batas wilayah yang telah ditentukan 5. Apakah bapak melakukan upaya pemanfaatan hasil perikanan/penangkapan ikan lebak lebungsesuai peraturan? a. Selalu b. kadang-kadang c. Tidak pernah
84
6.
7.
8.
Jika jawaban (a atau b), tindakan apa yang bapak lakukan dalam upaya pemanfaatan hasil perairan/penangkapan ikan sesuai peraturan penangkapan yang telah ditetapkan oleh lembaga lebak lebung a. Melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap sesuai dengan peraturan yang sudah ditentukan b. Sesekali melakukan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap yang melanggar aturan yang sudah ditentukan c. Melakukan penangkapan ikan tanpa memperdulikan peraturan yang telah ditentukan Apakah bapak melakukan rehabilitasi terhadap wilayah kritis dari perairan lebak lebung? c. Tidak pernah a. Selalu b. Kadang-kad ang Jika jawaban (a atau b), upaya apa yang bapak lakukan untuk membantu lembaga lebak lebung dalam merehabilitasi wilayah kritis perairan lebak lebung a. Tidak melakukan penangkapan ikan dan membantu pengawasan pada wilayah kiritis yang sudah dilelang b. Tidak melakukan penangkapan ikan dan tidak membantu pengawasan terhadap wilayah kritis yang sudah dilelang c. Melakukan penangkapan ikan pada wilayah kritis yang sudah dilelang
Panduan Wawancara a. Sejarah lelang lebak lebung di Desa 1. Bagaimanakah awal mula lelang lebak lebung di desa ini? 2. Siapakah yang pertama kali memperkenalkan lelang lebak lebung di desa ini? 3. Mengapa dilakukakan lelang lebak lebung? 4. Bagaimana system lelang lebak lebung yang meliputi sosialisasi, kepanitiaan, persiapan, pelaksanaan,pemenang lelang? b. Perkembangan lelang lebak lebung 1. Kendala apa saja yang dihadapi dalam lelang lebak lebung? 2. Bagaimana solusi menghadapi kendala tersebut? 3. Bagaimana dukungan pemerintah terhadap lelang lebak lebung di desa? 4. Bagaimanakah peran pemerintah daerah? 5. Adakah penyuluhan perikanan di desa? 6. Berapa kali bertemu diadakan pertemuan dengan penyuluh? 7. Potensi perikanan apa saja yang sudah dikelola oleh masyarakat maupun pihak swasta yang terdapat di desa ini? 8. Potensi perikanan apa saja yang belum dikelola oleh masyarakat maupun pihak swasta yang terdapat di desa ini? 9. Menurut bapak dengan adanya lelang lebak lebung ini apakah nelayan menjadi sejahtera? 10. Berdasarkan yang bapak ketahui apa yang menjadi kendala atau kesulitan apa yang di hadapi nelayan untuk mengikuti lelang lebak lebung?
85
11. Dengan adanya lelang lebak lebung ini secara umum apakah nelayan merasa untung atau malah dirugikan? 12. Menurut bapak bagaimana kondisi lingkungan perairan dan ekosistem perairan dengan adanya lelang lebak lebung? 13. Apakah bapak sudah melakukan kegiatan usaha penangkapan sudah sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang sudah di tetapkan oleh lembaga lebak lebung? 14. Apa saja jenis alat tangkap yang bapak gunakan dalam usaha penangkapan? 15. Apa alat – alat tersebut sudah sesuai peraturan yang di tetapkan?
86
Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian
Foto 1 Objek lebak lebung
Foto 2 Alat tangkap langsatan
87
Foto 3 Rumah singgah nelayan
Foto 4 Pengisian kuesioner
88
Foto 5 Pengolahan ikan salai
Foto 6 Proses pelelangan di Kantor Camat
89
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Desa Petar Dalam Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 02 Januari 1989. Merupakan anak ke – 3 dari 5 bersaudara yang dilahirkan dari orang tua bernama Wakidi dan Mun yana. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMK Labor Kota Pekanbaru (Riau) pada tahun 2007, melalui jalur SPMB penulis diterima kuliah pada Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Selama kuliah di Universitas Riau Penulis aktif mengikuti kegiatan di organisasi kemahasiswaan yaitu Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (HMJ), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UR dan Himpunan Mahasiswa Sumatera Selatan (SOMASI) RIAU. Pada tahun 2011 penulis mendapat gelar Sarjana, selanjutnya pada tahun 2012 penulis memutuskan untuk melanjutkan studi di Pasca Sarjana IPB, Pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan. Artikel penelitian penulis dengan judul Pengelolaan Kelembagaan Lelang Lebak Lebung dan Perilaku Nelayan di Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan akan diterbitkan oleh Jurnal Penyuluhan pada Edisi September 2015 Vol XI No 2.