Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011
PENGATURAN HAK PENGUASAAN NEGARA ATAS PERTAMBANGAN STUDI PERBANDINGAN KONSEPSI KONTRAK KARYA DENGAN IJIN USAHA PERTAMBANGAN Meray Hendrik Mezak
FH Universitas Pelita Harapan Karawaci
[email protected]
Abstract Mining, as one of the revenue sources of the nation, could donate to the national income for the purpose of enhancing domestic welfare as stated in the Preamble of the 1945 Constitution. During the Old Regime, mining was regulated in Law No. 11 year 1969 concerning Basic Provisions of Mining. This law applied the Concept of “Kontrak Karya,” but it has recently been replaced by Law No. 4 Year 2009 concerning Coal and Mineral Mining. The new law regulates that the operation of mining in any phase is conducted based on “Ijin Usaha Pertambangan,” in order to accommodate the national interest, regional government, and society in the mining management in Indonesia. Keywords: mining law, management, mining permit A. Pendahuluan Pertambangan merupakan suatu usaha menggali potensi sumbersumber daya alam yang terdapat baik dalam permukaan bumi maupun dalam perut bumi yang mempunyai nilai ekonomi. Dasar perekonomian suatu Negara termasuk Negara Republik Indonesia ditentukan dalam konstitusi. Pasal 33 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) mengatur sistem perekonomian Indonesia berbunyi: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. 21
Meray Hendrik Mezak: Hak Penguasaan Negara Atas Pertambangan Suatu Studi..
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajad hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuksebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengelolaan pertambangan di Indonesia memunculkan banyak polemik dalam masyarakat, baik pada kalangan cendekiawan maupun masyarakat pada umumnya, mengingat kandungan kekayaan yang ada pada bumi Indonesia begitu besar baik berupa mineral, batubara, minyak dan gas alam serta sumber-sumber lainnya. Suatu kandungan yang banyak atau melimpah sebagaimana disebutkan sebelumnya, tidak memberi jaminan akan diperolehnya kekayaan bagi Negara Indonesia maupun pada anggota masyarakat pada umumnya. Dalam kenyataan Negara Indonesia belum dapat dikatakan sebagai Negara maju atau kuat dalam perekonomian, pada hal sumber-sumber alamnya cukup banyak dan bernilai ekonomi, sementara masih cukup banyak penduduk yang hidupnya di bawah garis kemiskinan. Nanang Sudrajat mengemukakan setidak-tidaknya ada dua hal pokok yang patut menjadi renungan kita bersama sebagai bangsa yaitu: 1. Fakta kuantitas kekayaan alam Negara Indonesia, baik keterdapatan, maupun jenisnya cukup beragam dengan jumlah cukup banyak. Secara konstitusional hal itu merupakan modal dasar yang seharusnya mampu menciptakan kesejahteraan rakyat Indonesia. 2. Pemenuhan kesejahteraan rakyat merupakan konkretisasi tuntutan rakyat yang sangat wajar atas fungsi Negara/pemerintah dari hasil kekayaan alam yang telah berhasil dieksploitasi dari bumi Indonesia yang dinilai tidak sebanding dengan manfaat yang dirasakan rakyat.1 1 Nanang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum Indonesia, (Yokyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), hal. 3
22
Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011
Munculnya permasalahan pertambangan di Indonesia, bukan semata-mata karena benturan kepentingan antara pihak usaha pengelolaan pertambangan dengan masyarakat, akan tetapi dari segi pengaturan belum memberikan jaminan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Negara Republik Indonesia sejak Orde Baru telah menerbitkan Undang Undang Nomog 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dan kemudian diganti dengan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pertambangan Pengelolaan Pertambangan lebih ditekankan pada kontrak karya pertambangan yang untuk pertama kali diterapkan pada Kontrak Karya antara Pemerintah Negara Republik Indoneia dengan PT. Freeport Indonesia.2 Polemik berkaitan dengan pemberlakuan ketentuan tersebut sebelumnya mengemuka karena peruntukan, pengeloaan, dan hasil pertambangan belum memberikan kontribusi yang signifikan bagi kemakmuran rakyat, bahkan terkesan anggota masyarakat di mana keberadaan pengelolaan pertambangan tersebut hanya menjadi penonton. Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan; memberikan nilai tambah secara nyata dalam pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan, maka diperlukan suatu pembaruan pengaturan pertambangan secara mandiri, andal, trnsparan guna menjamina pembangunan nasional secara berkelanjutan.3 Munculnya Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai pengganti Undang Undang 2 H. Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 2 3 Lihat Konsideran Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
23
Meray Hendrik Mezak: Hak Penguasaan Negara Atas Pertambangan Suatu Studi..
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan mengeliminasi sistem kontrak karya pertambangan dan memunculkan konsep baru yaitu Izin Usaha Pertambangan.4 B. Rumusan Masalah Bagaimana perbandingan konsep pengelolaan pertambangan sebagaimana yang diatur dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pertambangan? C. Tujuan Penulisan Menganalisis titik berat pengelolaan pertambangan dari sistem kontrak karya sebagaimana yang dianut oleh UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan dan sistem izin usaha sebagaimana yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. D. Pembahasan 1. Pengaturan Pertambangan Menurut Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan merupakan undang-undang pengganti Undang Undang Nomor 37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan. Ketentuan ini sebagai tindak lanjut dari Pasal 33 UUD 1945. Hal ini tercermin dalam Pasal 1 Undangundang tersebut sebelumnya yang berbunyi: Segala galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapanendapan alam sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa, adalah kekayaan Nasional Bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan digunakan oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun mengenai pelaksanaan bahan galian dibagi atas 3 (tiga) golongan yaitu: a) golongan bahan galian strategis; b) golongan bahan vital; 4 Pasal 38 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara: Izi Usaha Pertambangan (IUP) diberikan kepada:badan usaha;koperasi;perorangan.
24
Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011
c) golongan bahan galian yang tidak termasuk dalam golongan a atau b.5 Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan sebagai pengaturan lebih lanjut dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang sudah berlaku lebih kurang empat dasawarsa sebetulnya telah memberikan sumbangan yang penting bagi pembangunan nasional, namun demikian materi muatannya dinilai bersifat sentralistik dan tidak sesuai dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan di masa depan. Di samping dipertimbangan perkembangan lingkungan strategis baik yang bersifat nasional maupun internasional terutama pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan tehnologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat.6 Secara rinci penggolongan bahan galian sebagaimana dimaksud dalam uraian sebelumnya, yaitu:7 a. Bahan galian golongan A atau bahan galian strategis meliputi: 1. minyak bumi, bitumen cair, lilin bumi, dan gas alam; 2. bitumen padat, aspal; 3. antrasit, batubara, batubara muda; 4. uranium, radium, thorium, dan bahan-bahan radio aktif lainnya; 5. nikel, kobalt; 6. timah. b. Bahan galian golongan B atau bahan galian vital, meliputi: 1. besi, mangan, molibdenum, khom, walfran, vanadium; 2. bauksit, tembaga, timbel, seng; 3. emas, platina, perak, air raksa, intan; 4. arsen, antimon, bismut; 5 Lihat Pasal 3 ayat (1) Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuanketentuan Pokok Pertambangan 6 Lihat Penjelasan Umum UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara 7 Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-bahan Galian
25
Meray Hendrik Mezak: Hak Penguasaan Negara Atas Pertambangan Suatu Studi..
5. yttrium, rhutenium, crium, dan logam-logam langka lainya; 6. berrillium, korundum, zirkon, kristal kwarsa; 7. kriolit, flospar, barit; 8. yodium, brom, khlor, belerang. c. Bahan galian golongan B atau bahan galian industri, meliputi: 1. nitrat, posphate, garam batu; 2. asbes, talk, mika, grafit, magnesit, 3. yorasit, leusit, tawas alam, oker; 4. batu permata, batu setengah permata; 5. pasir kwarsa, koalin, feldspar, gips, bentonite; 6. batu apung, teras, obsidian, perlit, tanahdiatomr; 7. marmer, batu tulis; 8. batu kapor, dolomit, kalsit; 9. granit, andesit, basal, trakkit, tanah liat, dan pasir. Beberapa bentuk izin sebagai legitimasi pengelolaan pertambangan oleh swasta baik swasta nasional, maupun swasta asing, yaitu: 1. Kontrak Karya diperuntukan bagi perusahan penanaman modal asing (PMA), untuk semua galian, kecuali minyak dan gas bumi. 2. Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) bagi perusahan penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan PMA, untuk khusus mengusahakan batubara. 3. Kuasa Pertambangan (KP) diperuntukkan untuk perusahaan nasional baik bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta nasional PMDN, Kewenangan ini untuk semua galian kecuali minyak dan gas bumi. 4. Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD), diperuntukkan bagi perusahaan nasional dan kopersi dengan kewenangan khusus untuk bahan galian golongan C. 5. Surat Izin Pertambangan Rakyat (SIPN) diperuntukkan bagi pertambangan yang dikelola oleh rakyat dan berada di wilayah pertambangan rakyat (WPR).8 8 Lihat Nandang Sudrajat, Op.cit., hal. 36-37
26
Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011
Sifat perjanjian kontrak karya merupakan merujuk pada Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau suatu perjanjian yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, namun perjanjian tersebut dibatasi dengan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.9 Dapat dikatakan perjanjian ini bersifat dinamis sebab bisa dilakukan dengan negosiasi berkaitan dengan substansi perjanjian seperti luas wilayah, tenaga kerja, royalti, masa kontrak, pajak, pengembangan wilayah usaha, jaminan pemasaran, dan kepemilikan saham. Adapun persyaratan kontrak pertambangan dapat dilihat dalam Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 dan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 134K/21/M.PE/1996 tentang Persyaratan Wilayah yang diperbolehkan Bagi Perusahan Pertambangan. 2. Pengaturan Pertambangan Menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, tidak lagi mengatur mengenai pertambangan minyak dan gas bumi sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 1967 melainkan untuk minyak dan gas bumi diatur dengan undang-undang tersendiri.10 Asas dan Tujuan UU Nomor 4 Tahun 2009 Pertambangan mineral dan/atau batu bara dikelola berasaskan: a. manfaat, keadilan, dan keseimbangangan; b. keperpihakan kepada kepentingan bangsa; c. partisipasi, tranparan, dan akuntabilitas; d. berkelanjutan.11 9 Pasal 1338 KUHPerdata: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya; Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan etikat baik. 10 Minyak dan Gas Bumi diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi 11 Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
27
Meray Hendrik Mezak: Hak Penguasaan Negara Atas Pertambangan Suatu Studi..
Asas manfaat dalam pengaturan pertambangan tentunya mengacu pada tujuan Negara sebagaimana yang dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, di mana Negara hendak memajukan kesejahteraan umum guna mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan kata lain hasil dari pertambangan harus sedemikian rupa memberikan kontribusi yang nyata bagi pertumbuhan ekonomi, bukan sekedar dinikmati oleh para pelaku usaha dan para pejabat yang berkaitan dengan pertambangan. Asas keberpihakan kepada kepentingan bangsa, berkaitan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang pada intinya mengatur cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kata rakyat di sini harus ditafsirkan sedemikian rupa sebagai subyek bangsa Indonesia. Tugas Negara memelihara keutuhan bangsa dan menjamin kelangsungan hidup masyarakat baik dari segi materil dan spiritual. Asas partisipatif, transparan, dan akuntabilitas, berkaitan dengan pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan pertambangan yaitu pemerintah yang mempunyai kewenangan mengatur, mengeluarkan kebijakan dan perijinan, pelaku usaha dalam hal ini badan usaha, koperasi, dan perorangan. Asas partisipatif di sini dituntut keseimbangan peran antara pihak-pihak dalam pengelolaan pertambangan secara aktif dan seimbang. Asas transparan yaitu suatu pengelolaan yang terbuka terkait dengan informasi pengelolaan pertambangan yang dapat diakses secara umum sehingga lembaga negara dan anggota masyarkat seperti lembaga swadaya masyarat dapat memantau dan memberikan pengawasan secara efektif. Asas akuntabilitas berkaitan dengan pertanggung jawaban baik dari Pemerintah yang mengeluarkan perijinan maupun dari pelaku usaha yang melaksanakan pengelolaan pertambangan, mengingat sasaran utama pengelolaan pertambangan harus memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi guna tercapainya kesejahteraan Rakyat Indonesia. Asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Asas ini berkaitan dengan kelangsungan hidup dan kelestarian lingkungan saat ini dan di masa yang akan datang. Di satu sisi pengelolaan pertambangan dimaksudkan untuk 28
Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011
menggali sumber-sumber kekayaan alam guna memperoleh nilai tambah perekonomian, di sisi yang lain pengelolaan pertambangan yang obyeknya tidak dapat dibarui dan dapat merusak lingkungan yang pada akhirnya merusak ekosistem. Sementara semua makluk termasuk manusia hanya dapat hidup pada lingkungan dengan ekosistem yang baik dan layak. Oleh karena itu dalam perencanaan pengelolaan pertambangan mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan dan sosial budaya. Tujuan Pengelolaan Guna mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan pertambangan khususnya mineral dan batubara adalah: a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing; b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup; c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/ atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri; d. mendukun dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional; e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan Negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat; dan f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan dan mineral.12 Jika dicermati rumusan tujuan sebagaimana disebutkan ini merupakan manifestasi dari asas-asas sebagaimana yang diuraikan sebelumnya. Kewenangan Pengelolaan Pertambangan Pembahasan mengenai pengelolaan pertambangan pada tulisan ini hanya dibatasi pada pertambangan mineral dan batubara sebagaimana diatur dalam Bab IV Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 12 Pasal 3 UU No. 4 Tahun 2009, Ibid
29
Meray Hendrik Mezak: Hak Penguasaan Negara Atas Pertambangan Suatu Studi..
Pada prinsipnya kewenangan Pemerintah (Pusat), yaitu berkaitan dengan: a) penetapan kebijaksanaan nasional; b) membentuk peraturan perundang-undanga; c) penetapan standar nasional, pedoman dan kriteria; d) penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional; e) penetapan wilayah pertambangan (WP), setelah berkonsultasi dengan DPR; f) pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan kawasan usaha pertambangan lintas propinsi, atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; g) pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang lokasi pertambangan berada pada lintas wilayah dan/atau wilayah laut dari garis pantai; h) pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produknya yang berdampak lingkungan langsung lintas propinsi dan/atau dalam wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; i) pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Eksplorasi dan IUPK Operasi produksi; j) pengevaluasian, IUP operasi produksi, yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta tidak menerapkan kaidah pertambangan yang baik; k) penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfatan dan konservasi; l) penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat; m) perumusan dan penetapan penerimaan Negara bukan pajak dari hasil usaha pertambangan mineral dan batubara; n) pembinaan dan pengawaan penyelenggaraan pengelolaan pertambangan mineral dan batu baran yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah; o) pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di bidang pertambangan; p) mengiventarisasi, penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara, sebagai bahan penyusunan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN); q) pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada tingkat nasional; r) pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; s) penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara tingkat nasional; t) pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan; 30
Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011
dan u) peningkatan kemampuan aparatur Pemerintah (Pusa), Pemerintah Propinsi. Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.13 Adapun kewenangan Pemerintah Propinsi dalam pengelolaan pertambangan dan batubara sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, normanya hamper sama dengan kewenangan Pemerintah (pusat), hanya saja tingkatannya menyangkut pengaturan lokal propinsi dan lintas kabupaten dan kota, demikian juga dengan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota hanya menyangkut pengaturan lokal kabupaten/kota, kecuali hal-hal yang sudah diatur oleh Pemerintah (pusat) dan Pemerintah Propinsi.14 Wilayah Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dari wilayah pertambangan yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi.15 Penetapan WUP dilakukan oleh Pemerintah (pusat) setelah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan disampaikan secara tertulis kepada DPR. Adapun koordinasi sebagaimana disebutkan sebelumnya berdasarkan data dan informasi yang dimiliki Pemerintah (pusat) dan Pemerintah Daerah.16 Dalam hal penetapan WUP ini, Pemerintah (pusat), dapat melimpahkan kepada Pemerintah Propinsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.17 Satu WUP terdiri atas 1 (satu) atau beberapa Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang berada pada lintas wilayah propinsi, lintas wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.18 Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUP dalam satu (satu) WUP adalah sebagai berikut: a) letak geografis; b) kaidah konservatif; c) daya dukung lingkungan; d) optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; e) tingkat kepadatan penduduk.19 13 14 15 16 17 18 19
Lihat Pasal 6 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Mineral Lihat Pasal 8, Ibid Pasal 1 angka 30, Ibid Lihat Pasal 14, Ibid Lihat Pasal 15, Ibid Pasal 16, Ibid Lihat Pasal 18, Ibid
31
Meray Hendrik Mezak: Hak Penguasaan Negara Atas Pertambangan Suatu Studi..
Usaha Pertambangan dikelompokkan atas: 1) pertambangan mineral; dan 2) pertambangan batubara. Pertambangan mineral digolongkan atas: a) pertambangan mineral radio aktif; b) pertambangan mineral logam; c) pertambangan mineral bukan logam; dan d) pertambangan batuan.20 Usaha pertambangan dilaksanakan dalam bentuk perizinan yang terdiri dari: a). Izin Usaha Pertambangan (IUP), b) Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan; c). Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).21 Pelaksanaan Izin Usaha Petambangan dilaksanakan dalam dua tahap a) IUP Eksplorasi meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan; b) IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengelolaan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.22 Adapun kewenangan pemberian Izin Usaha Pertambangan berdasarkan Pasal 37 undang-undang tersebut: a) untuk wilayah usaha pertambangan yang berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota oleh bupati/walikota; b) untuk wilayah usaha pertambangan berada pada lintas kabupaten/kota oleh Gubernur setelah mendapat rekomendasi dari bupati/walikota setempat; c) untuk wilayah usaha pertambangan yang berada pada lintas propinsi oleh Menteri Pertambangan, Energi dan Sumber Mineral RI setelah mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan subyek hukum IUP diberikan kepada a). Badan Usaha baik badan usaha swasta, maupun badan usaha milik negara, b). Koperasi, dan c). Perseorangan.23 3. Perbandingan Konsepsi Kontrak Karya Pertambangan dengan Ijin Usaha Pertambangan Jika ditelusuri materi muatan pengaturan dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 cakupannya lebih luas karena tidak saja mengatur pertambnagan mineral dan batubara, akan tetapi juga mencakup pertambangan minyak dan gas bumi. 20 21 22 23
32
Lihat Pasl 34, Ibid Lihat Pasal 35, Ibid Lihat Pasal 36 ayat (1), Ibid Lihat Pasal 38, Ibid
Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011
Pada pembahasan ini Penulis hanya membatasi pembahasan pada perbandingan antara konsepsi Kontrak Karya Pertambangan pada pengaturan lama dengan Izin Usaha Pertambangan sebagaimana dalam pengaturan undang-undang pertambangan yang baru. Pada sistem kontrak karya tentunya dasar pengaturannya mengacu pada hukum perikatan sebagaimana yang diatur dalam buku III Kitab Undangundang Hukum Perdata, yang pada intinya pihak-pihak yang melakukan perikatan dalam suatu perjanjian mempunyai status dan kedudukan yang seimbang menurut hukum, dan materi yang diperjanjikan mem punyai muatan prestasi yang seimbang dan kemudian memunculkan hak dan kewajiban. Kendatipun demikian dalam kontrak karya pertambangan dimungkinkan untuk dilakukan tawar menawar (negosiasi) terhadap obyek perjanjian. Hal ini dimungkinkan berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang dianut Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dengan demikian kedudukan Negara dengan Badan Usaha yang melakukan pengelolaan pertambangan sejajar. Sedangkan jika terjadi perselisihan dalam pengelolaan dapat diselesikan melalui musyawarah, dan apabila tidak mencapai suatu kesepakatan dapat melalui arbitrase sesuai dengan kontrak, atau melalui litigasi di pengadilan. Berkaitan dengan hak negara berupa royalti, retribusi, pajak. Adapun kewajiban-kewajiban Perusahan Kontraktor Swasta wajib membayar: a) pajak kepada pemerintah; b) pungutan-pungutan daerah yang telah mendapat pengesahaan dari Pemerintah Pusat; c) biaya administrasi umum untuk sesuatu fasiltas dan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Di samping itu Perusahaan kontraktor swasta setiap tahun wajib membayar iuran tetap kepada pemerintah berdasarkan pada luas wilayah kerja pengusahaan pertambangan batubara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.24 Adapun kewenangan Pemerintah Daerah sangat kecil yaitu hanya menyangkut pertambangan galian golongan C seperti penambangan batu, pasir, marmer, granit, mahnesit dan lain-lain. Sedangkan peran masyarkat 24 Lihat Pasal 4 Peraturan Presiden No. 75 Tahun 1996
33
Meray Hendrik Mezak: Hak Penguasaan Negara Atas Pertambangan Suatu Studi..
hampir tidak ada karena pengelolaan pertambangan berbentuk kontrak antara Pemerintah (pusat) dengan Perusahan Kontrak Pertambangan. Pada Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menggantikan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, kedudukan kewenangan negara berada di atas pelaksana pengelolaan pertambangan karena semua tahapan pengelolaan dilaksanakan dengan Izin.25 Dengan demikian negara dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan-kewenangan berupa pembinaan, pengenaan sanksi bahkan dapat memberhentikan kegiatan sementara dan/atau mencabut izin usaha pertambangan, mana kala pemerintah menilai pelanggaran yang dilakukan oleh pelaksana pengelolaan pertambangan menyimpang dari ketentuan perundang-undangan dan syarat-syarat yang ditentukan dalam peizinan. Berkaitan dengan nilai pendapatan negara, apakah itu berupa pajak, penerimaan negara bukan pajak, retibusi, maupun royalti, negara dapat menentukan secara proposional sehingga tujuan dari pengelolaan pertambangan secara signifikan dapat memicu pertumbuhan ekonomi. Demikian juga dengan peran masyarkat terutama menyangkut kebijakankebijakan yang strategis di bidang pertambangan keputusannya melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat untuk tingkat pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dan Kabupaten/ untuk tingkat lokal. Ketentuan ini mengeliminasi kesan umum yang terbangun selama ini bahwa rakyat hanya menjadi penonton dalam pengelolaan pertambangan. Demikian juga jika terjadi perselisihan dapat diselesaikan pada Peradilan Tata Usaha Negara, mengingat kewenangan pengelolaan pertambangan dalam semua tahapan dilaksanakan berdasarkan izin. Izin merupakan sarana pengendalian kegiatan masyarakat oleh Pemerintah dan masuk lingkup hukum administrasi negara karena mempunyai muatan konkrit, individual dan final. 25 Izin adalah suatu instrument pemerintah yang bersifat preventif, yang digunakan sebagai sarana hukum administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat (Asep Warlan Yusuf dalam Nandang Sudarajat, Op.cit., hal. 69).
34
Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011
Disadari dengan berlakunya Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ini mempunyai konsekuensi tentang kelangsungan kontrak pertambangan dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Pasal 169 Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memberi jaminan: a). Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjin. b). Ketentuan yang tercantun dalam kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan sebagiman dimaksud huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara. c). Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah upaya peningkatan penerimaan negara. Berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 169 sebagaimana disebut sebelumnya bukan berarti tidak akan ada masalah berkaitan dengan peralihan sistem tersebut. Akan tetapi sebagai antisipasinya kendati Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dinyatakan tidak berlaku lagi, akan tetapi ketentuan-ketentuan pelaksana dari undang-undang tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.26 E. Penutup 1. Kesimpulan Kontrak Karya Pertambangan sebagaimna dianut dalam UU No. 11 Tahun 1967 menempatkan kedudukan negara (pemerintah) sejajar dengan badan usaha pengelola pertambangan karena pada dasarnya substansi pengelolaan pertambangan didasarkan pada kontrak dan kurang mengakomodir peran pemerintah daerah dan masyarakat. Sedangkan pada UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, kedudukan negara (pemerintah) lebih tinggi sebab mempunyai kewenangan mengeluarkan izin, pengawasan dan penjatuhan sanksi dalam semua tahapan 26 Lihat Pasal 173, loc. cit
35
Meray Hendrik Mezak: Hak Penguasaan Negara Atas Pertambangan Suatu Studi..
pengelolaan pertambangan, di samping itu memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah secara proposional dan mengakomodir kepentingan masyarakat. Adapun penyelesaian sengketa kewenangan diselesaikan pada Peradilan Tata Usaha Negara, kecuali berkaitan dengan tuntutan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 2. Saran Berkaitan rumusan Pasal 38 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengatur Izin Usaha Pertambangan diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perorangan. Khusus kewenangan kepada perorangan demi untuk kepastian hukum perlu batasan yang jelas mengenai kedudukan perorangan terutama mengenai bonafiditas dan kredibilitas subyek hukum perorangan mengingat semua orang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Daftar Pustaka Buku Salim HS, H., Hukum Pertambangan di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007 Sudrajat, Nanang, Teori dan Praktek Pertambangan Indonesia Menurut Hukum, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010 Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan LN. RI Tahun 1967 No. 22 Tambahan LN No. 2831 Tahun 1967 Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara LN RI Tahun 2009 No. 4, Tambahan LN Tahun 2009 No. 4959 Undang Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, LN RI Tahun 2001 No. 136, Tambahan LN No. 4152 Tahun 2001 36