Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PENDIDIKAN SEBAGAI STRATEGI PENDIDIKAN KARAKTER BAGI CALON GURU DI LEMBAGA PENDIDIKAN GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Oksiana Jatiningsih Universitas Negeri Surabaya ABSTRAK PUG adalah bagian dari revolusi karakter dalam pendidikan. Melalui penerapan PUG dalam pendidikan dilakukan pembongkaran karakter individu dari patriarki menjadi egalitarian. Laki-laki dan perempuan yang semula memiliki relasi yang asimetris berubah setara. Melalui PUG dalam pendidikan, laki-laki dan perempuan memiliki akses, kontrol, aktivitas, dan kesempatan memperoleh manfaat yang sama. Oleh karena itu, keberhasilan penerapan PUG dalam pendidikan berarti keberhasilan untuk keluar dari ketidakadilan gender. Oleh karena itu, dalam rangka penyiapannya sebagai agent of change, pengalaman belajar selama di perguruan tinggi harus menjadi moment penting untuk bagi mereka untuk mengembangkan kapasitas gendernya sehingga power perubahan itu akan dapat dijalankan dalam perannya sebagai guru di sekolah. Kata kunci: PUG, pendidikan karakter, calon guru, perguruan tinggi
PENDAHULUAN Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional memberikan perintah kepada semua lembaga pemerintahan untuk melaksanakan pembangunan
dengan
berperspektif
gender
sesuai
dengan
bidang
dan
kewenangannya masing-masing. Di bidang pendidikan, dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 84 tahun 2008 tentang Pedoman PUG Bidang Pendidikan adalah moment penting untuk melaksanakan perubahan strategi pendidikan.. Melalui penerapan peraturan menteri ini diharapkan setiap individu warga negara laki-laki dan perempuan mempunyai akses pelayanan pendidikan, berpartisipasi
aktif,
dan
mempunyai
kontrol
serta
mendapatkan
manfaat
pembangunan pendidikan. Menindaklanjuti kebijakan PUG dalam bidang endidikan, pada tahun 2010 dilakukan Kesepakatan Bersama antara Kementerian Pemberdayaan 97
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia dengan Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 013/MEN.PP.PA/VII/2010 dan Nomor 09/VIII/KB/2010 tanggal 27 Agustus 2010 tentang Pengarusutamaan Gender dan Pengarusutamaan Hak Anak di Bidang Pendidikan. Di lingkup perguruan tinggi, kesepakatan bersama ini yang ditindaklanjuti dengan penyampaian kesepakatan bersama tersebut antara lain kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi dan Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan melalui surat Kemendiknas Nomor 67684/A5.2/HK/2010 pada tanggal 30 Agustus 2010 dan Dirjen Dikti Nomor 1525/D/T/2010 tanggal 20 Desember 2010 merupakan perintah untuk dapat meningkatkan perencanaan dan penganggaran, kebijakan program, dan kegiatan di bidang pendidikan yang berperspektif gender dan peduli anak. Secara khsusus, pendidikan calon guru harus bersemangat dan bermuatan kesetaraan gender. Semangat PUG adalah menciptakan relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan. Hal ini tidak dengan mudah akan dapat dilakukan. Bukan hanya karena belenggu patriarkhi yang telah berurat akar dalam kehidupan manusia Indonesia, tetapi yang jauh lebih sulit adalah bagaimana membebaskan individu dari konstruksi nilai patriarkhi. Pendidikan penyiapan mereka sebagai calon guru harus dapat melepaskan mind set patriarkhi dalam dirinya dan mengubahnya menjadi nilai-nilai yang bersetara gender. Berdasarkan beberapa kajian yang dilakukan, dapat dikemukakan bahwa dunia pendidikan cenderung berada pada kondisi yang stagnan dan lamban dalam merespon dinamika kebijakan gender menuju egalitarian. Di tengah-tengah harapan untuk mewujudkan kehidupan yang setara dan adil gender, pendidikan baik di tingkat sekolah maupun perguruan tinggi seakan-akan bersikap netral menyikapi fenomena bias gender. Bahkan sering tanpa disadari pendidikan berlangsung secara bias gender. Kurikulum, buku-buku teks di sekolah, interaksi sosial di sekolah, dan konstruksi nilai guru masih cenderung dikuasai oleh nilai-nilai gender patriarkhi. Di perguruan tinggi penghasil calon guru, ternyata pendidikan calon guru masih netral gender atau belum berperspektif gender. Dalam posisi ini, pendidikan yang dipercaya dapat berperan menjadi motor penggerak perubahan, justru menjadi “penghambat” perubahan itu sendiri.
98
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Guru berperan strategis dalam penyelenggaraan pendidikan gender di sekolah. Ia adalah pengambil kebijakan yang paling berpengaruh dan sentral dalam pendidikan (Datnow, 1998:9), karena guru secara langsung berinteraksi dengan peserta didik. Apa yang dilakukan guru, misalnya dalam menentukan materi, sumber belajar, membangun interaksi, atau sekedar bereaksi atas muatan materi atau nilai dalam bahan ajar atau interaksi, berdampak penting dalam pembentukan karakter siswanya. Apalagi bagi sebagian besar siswa, guru adalah model bagi mereka untuk berimitasi dan mengidentifikasikan diri. Inspirasi yang ditimbulkan oleh “pesona” guru bagi siswanya menjadi motivasi yang bermakna dalam pembentukan karakter anak. Sesuai dengan semangat demokrasi dan kebijakan PUG, nilai kesetaraan gender penting untuk ditanamkan pada anak. Dalam posisi ini guru semestinya bertindak sebagai agent of change dalam mentransformasikan nilai gender dari tradisional ke egalitarian; dari peran yang sekedar mentransmisikan nilai-nilai dominan yang hidup di masyarakat yaitu patriarkhi menjadi metransformasikannya menjadi nilai-nilai yang mengedepankan kesetaraan dan keadilan gender. Semakin rendah tingkat pendidikan, semakin besar peran guru dalam membentuk dasar-dasar nilai karakter pada peserta didik; peran guru lebih ditekankan pada pembiasaan dan pembudayaan nilai-nilai. Semakin tinggi suatu tingkat
pendidikan,
penyelenggaraan
pendidikan
lebih
ditekankan
pada
pengembangan rasionalitas, kesadaran kritis, dan kecakapan bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang dikembangkan. Oleh karena itu, di semua jenjang pendidikan, guru adalah pendidik karakter yang penting bagi siswanya. Guru adalah agen sosialisasi gender dan pendidik karakter di semua jenjang pendidikan. Dalam proses itu, guru yang tidak berperspektif gender akan cenderung mendiamkan fenomena bias gender atau bahkan bertindak bias gender ketika ia menghadapi fenomena yang tidak bias gender. Tentu saja hal ini akan berdampak pada terbentuknya karakter anak. Ketika fenomena bias gender didiamkan maka anak akan belajar bahwa nilai-nilai itu dibenarkan. Demikain juga ketika guru bereaksi kontra produktif. Tanpa kecakapan gender, maka guru akan cenderung bertindak mempertahankan nilai-nilai gender patriarkhi yang tidak berpihak pada kesetaraan dan keadilan gender antara laki-laki dan perempuan. Itulah sebabnya, mengapa 99
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
penting bagi calon guru untuk mendapatkan pengalaman belajar yang dapat membuatnya cakap gender.
PUG sebagai Strategi Pendidikan Karakter bagi Calon Guru Karakter merupakan ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari seseorang yang bersumber pada bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan bawaan seseorang sejak lahir (Koesoema, 2007:80). Lickona (2012:81) menjelaskan karakter merupakan “suatu disposisi batin yang dapat diandalkan utnuk menanggapi situasi dengan cara yang menurut moral itu baik.” Karena itu karakter mencakup pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral.
Karakter tidak bersifat bawaan dan kodrati. Karakter yang
mencerminkan kepribadian seseorang dapat diubah melalui tindakan-tindakan pendidikan. Meskipun tidak mudah untuk mengubah karakter seseorang, namun selalu terbuka peluang untuk melakukannya. Oleh karena itu, upaya yang bersungguh-sungguh dan menyentuh “jiwa” perlu dilakukan agar “revolusi” karakter itu berhasil mengantarkan calon guru yang berkarakter dan cakap mendidikkan karakter. Tabel 1 Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Konstruksi Patriarkhi Laki-laki The first The man Superordinat Maskulin Publik The bread winner Produktif Rasional
Perempuan The second The other Subordinat Feminine Domestik The house wife Reproduktif Emosional
Gender patriarkhi menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang asimetris. Laki-laki memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk mengatur, mendefinisikan, dan mengontrol perempuan, bahkan semua aspek kehidupan. Berpangkal dari perbedaan tersebut maka, hak laki-laki tampak lebih banyak daripada perempuan. Kekuasaan dan hak laki-laki lebih besar daripada pada perempuan.
Jika perbedaan ini disosialisasikan terus-menerus pada waktu dan
tempat yang berbeda, naka nilai-nilai itu menjadi kebenaran yang tak terbantahkan 100
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
dan diterima begitu saja. Akibatnya, kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan terhambat diwujudkan. Beberapa penelitian tentang gender dalam pendidikan menunjukkan bahwa nilai-nilai patriarkhi masih cukup kuat mewarnai praktik-praktik pendidikan. Penelitian Jatiningsih dan Kartikasari (2010:469) di Taman Kanak-Kanak (TK), Sugihastuti dan Saptiawan (2010:19) mengungkapkan bahwa guru bersikap bias gender. Bias gender ditemukan dalam pendidikan di tingkat SD. Penelitian Jatiningsih (2006), Muthali’in (2001: 215-218), Agustin (2007:138) dan Suharyo, Irianto, dan Agus Muladi (2003). mengungkapkan bahwa sosialisasi bias gender masih terjadi di sekolah, khususnya SD. Guru tidak menyadari hidden curricullum pada teks-teks yang akan berdampak pada pengonstruksian gender anak (Jatiningsih, Susilowati, dan Setyowati, 2002:130). Fenomena bias gender juga terjadi di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Meskipun tidak sekental kondisi di SD, fenomena bias gender pun masih ditemukan di SMP (Jatiningsih, 2008:166). Selain buku-buku teks yang masih bias gender, guru-guru SMP mengonstruksi nilai-nilai gender yang patriarkhi. Di level Sekolah Menengah Atas (SMA). Jatiningsih dan Listyaningsih (2010:73) mengungkapkan bahwa sekolah pada level ini belum merespon secara formal kebijakan PUG bidang pendidikan, cenderung pasif dan menanti kebijakan dari “atas”. Di lingkup pesantren, Marhumah (2010) cenderung berlangsung secara patriarkhi. Ideologi patriarkhi menjadi hambatan dalam karier perempuan. Penelitian Jatiningsih (2009) tentang glass ceiling dalam kepemimpinan kepala sekolah perempuan di daerah pedesaan dan perkotaan mengungkapkan bahwa ideologi patriarkhi yang dikonstruksi individu membuatnya merasa terbatasi untuk mengembangkan kariernya. Senada dengan itu, para akademisi perempuan dalam mengembangkan kariernya di Universitas Trunojoyo Madura (Satriyati, 2009:278281) mengalami kendala dalam berkarier. Penelitian Ruminiati (2008) juga mengungkapkan bahwa tersubordinatnya karir perempuan berdampak pada rendahnya peluang mereka untuk mempromosikan diri. Di tingkat perguruan tinggi diskriminasi terjadi dalam tingkat dan bentuk yang berbeda-beda. Penelitian Setyowati dan Jatiningsih tentang Model Pendidikan Gender bagi Calon Guru SD di Unesa (2007) mengungkapkan bahwa para calon 101
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
guru ini pun memiliki konstruksi gender yang tradisional dan pengetahuan gender yang tidak memadai (Setyowati dan Jatiningsih, 2007:24-26; Jatiningsih, 2009:7274). Penelitian Srinarwati dan Sulistyowati (2006) tentang “Konstruksi Gender Mahasiswa PGTK pada Prodi PGTK di Universitas PGRI Adi Buana Surabaya (Unipa) mengungkapkan bahwa ideologi gender patriarkhi mendominasi ideologi gender subjek penelitian. Praktik-praktik pendidikan sebagaimana tergambar di atas menunjukkan bahwa pendidikan cenderung menjadi institusi yang bias gender. Stagnasi itu pun terjadi di Unesa. Berdasarkan kajian pada tahun 2000 dan 2007 di Unesa, sebagaimana dikemukakan di atas tampak bahwa pengetahuan dan konstruksi gender mahasiswa calon guru SD di Unesa tidak berbeda. Kondisi ini menunjukkan bahwa praktikpraktik
pendidikan selama ini belum berhasil mewacanakan pendidikan yang
berperspektif gender.
Pendidikan sebagai Arena Pembentukan Karakter Egalitarian Pendidikan adalah arena reproduksi dan produksi sosial. Terkait dengan gender, pendidikan dapat menjadi arena transmisi atau transformasi gender McLean (2006:1; Sabel, 2011:75; McLaren dan Leonard, 1993:25). Sebagai arena transmisi gender, berarti pendidikan menempatkan diri sebagai penjaga status quo. Sedangkan sebagai arena produksi, maka sekolah menjadi agent of social change. Pendidikan adalah kunci perubahan (Jones, 2005:88). Melalui pendidikan dapat diciptakan kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses dekonstruksi dan rekonstruksi kebudayaan (Tilaar, 2003:43). Sesuai dengan harapan sosial yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai mitra sejajar dan perubahan
tatanan
kehidupan
yang
demokratis,
kebudayaan
yang
perlu
direkonstruksi adalah nilai-nilai yang timpang dalam menggambarkan relasi laki-laki dan perempuan. Pendidikan (sekolah) merupakan media untuk menyiapkan dan membentuk kehidupan sosial (Nuryanto, 2008:6). Dalam proses ini pebelajar dimotivasi untuk berani mengkritisi ketidakadilan sosial dan menyampaikan pengetahuan baru. Kepekaan dan kesadaran individu terhadap ketidakadilan, penderitaan, atau problem sosial lain adalah bagian penting dalam proses pendidikan. 102
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Guru adalah pengambil kebijakan yang paling berpengaruh dan sentral dalam perubahan pendidikan (Datnow 1998:9-10). Posisi guru sangat penting dalam menentukan isi dan arah interaksi edukatif yang dikembangkan. Dalam kehidupan, guru adalah kunci dalam pengembangan kesetaraan gender (Aikman, 2003:2). Guru semestinya tidak bersikap pasif atau netral gender terhadap situasi bias gender; Agar dapat bertindak sebagai agent of change guru penting untuk menjadi “skilled change agentry.” Guru dituntut untuk memahami bahwa praktik-praktik pendidikan yang bias gender akan dapat menciptakan ketidakadilan sosial (Subrahmanian, 2005:405). “Guru harus terlibat bersama peserta didik dalam mengkritisi dan memproduksi ilmu pengetahuan (knowledge production)” (Nuryanto, 2008:38). Guru penting untuk memiliki kehendak dan dipersiapkan untuk membuat sekolahnya lebih bertanggung jawab terhadap komunitas yang lebih luas (Giroux, 1997:111). Itu sebabnya seorang calon guru perlu memperoleh pengalaman belajar yang dapat menumbuhkan kepekaan dan kesadaran kritisnya sehingga dengan kesadaran murninya itu ia akan tergerak untuk dapat menggerakkan siswanya untuk berubah. Perguruan tinggi (LPTK) memiliki tanggung jawab yang besar dalam membekali mahasiswa calon guru ini. Tindakan edukatif yang dilakukan mengacu pada intervensi yang dilakukan secara sengaja dan sadar baik secara individu maupun kelompok untuk mengafimasi diri, mengukuhkan eksistensi manusia, maupun untuk proses produksi (Koesoema, 2007:56-57).
Konsekuensinya,
pendidikan
harus
merupakan
pengembangan
personalitas mahasiswa calon guru. Pendidikan penting untuk dapat mengembangkan kemampuan sadar individu pebelajar, bukan hanya kemampuan instingtif (Koesoema, 2007:54-55). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan harus dapat membuat manusia membuka diri terhadap dunia luar dan memberdayakan dirinya. Membuka diri artinya menumbuhkan kesediaan diri untuk berubah, yang tentu saja diorientasikan pada kehidupan yang lebih baik. Lembaga
Pendidikan
Tenaga
Kependidikan
berperan
penting
dalam
pembentukan kualitas calon guru. Menurut Roth (2005:184), pendidikan tinggi penghasil calon guru merupakan institusi yang paling bertanggung jawab atas penyiapan kualitas dan kecakapan calon guru. Disiplin ilmu keguruan menjadi wilayah kajian LPTK, karena itu LPTK memiliki legitimasi untuk menyiapkan calon 103
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
guru (Foucault menyebutkan LPTK memiliki enunciative modality). Selain itu, LPTK merupakan lembaga yang terpercaya oleh masyarakat sebagai penghasil calon guru. Foucault (1980:184-185) mengatakan meskipun kekuasaan tidak dibatasi atau terikat oleh institusi tertentu, namun legitimasi institusi memberikan lokasi dan modal kekuasaan tersendiri dalam menghasilkan suatu pengetahuan dan kekuatan pengetahuan (power is productive). Artinya, apa yang dikemukakan oleh LPTK menjadi pengetahuan dan kebenaran dan referensi akademis-praktis bagi dunia pendidikan dan mempengaruhi banyak orang dalam berpikir dan bertindak. LPTK memiliki potensi dan power untuk mempengaruhi dan menentukan kualitas guru dan pendidikan. Pendidikan berperan penting dalam perubahan sosial. Fungsi ini terjadi ketika pendidikan
menyediakan
pengalaman
belajar
yang
dapat
menumbuhkan
(memproduksi) kesadaran kritis. Pendidikan adalah proses dekonstruksi dan rekonstruksi kebudayaan (Tilaar, 2003:43), agen perubahan sosial, bahkan pendidikan adalah kunci perubahan itu (Jones, 2005:88). Konsisten dengan itu, upaya penyiapan calon guru merupakan babak penting yang menentukan corak dan keberhasilan pendidikan di sekolah. Perguruan tinggi sebagai arenanya dapat berperan dalam melakukan reproduksi kehidupan sosial-budaya, namun ia juga berperan dalam membangun kesadaran diri individu dalam menjalankan perannya sebagai individu dan masyarakat (McLean, 2006:63-64). Jika pengalaman belajar calon guru ini berhasil membangun kesadaran kritis individu dalam merespon ketidakadilan sosial, maka mereka akan tampil sebagai individu yang memiliki daya kritis dalam merespon situasi dan perubahan sosial, dan sebaliknya. Universitas Negeri Surabaya (Unesa) sebagai salah satu LPTK di Indonesia berperan penting dalam menyediakan calon guru. Unesa menghasilkan calon guru pada semua jenjang pendidikan sekolah mulai Taman Kanak-kanak (TK) sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Oleh karena itu perannya begitu strategis dalam menentukan kualitas dan warna pendidikan di sekolah. Apalagi sebagian besar lulusan Unesa banyak berperan menjadi guru. Sebagai LPTK, Unesa menjadi peletak dasar tubuh belajar dan pengkajian prinsip-prinsip dan dasar-dasar semua ilmu pengetahuan (McLean, 2006:26), melalui perannya dalam menginterpretasi, mentransformasi, dan mengembangkan tradisi budaya masyarakat dan membentuk 104
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
kesadaran peserta didiknya, serta reproduksi dunia kehidupan sosial, budaya, dan kepribadian (McLean, 2006:63). Pendidikan merupakan arena penting dalam penyiapan masa depan individu dan kehidupan itu sendiri. Praktik-praktik pendidikan yang bias gender akan dapat menciptakan ketidakadilan sosial (Subrahmanian, 2005:405). Oleh karena itu pendidikan tidak hanya menciptakan pengalaman belajar untuk kehidupan sekarang, tetapi juga berfungsi antisipatif dan partisipatif dalam menciptakan kehidupan yang baik pada masa yang akan datang. Dewey (1997:47) mengemukakan bahwa setiap pengalaman belajar merupakan kekuatan untuk bergerak (a moving force) menuju arah tertentu yang lebih baik pada masa depan. Terkait dengan gender, proses belajar yang dialami oleh peserta didik tidak hanya berfungsi untuk menyosialisasikan nilainilai gender, tetapi juga menstimulasi perubahan menuju relasi gender yang lebih setara dan adil. Untuk itu, proses belajar berfungsi membentuk daya kritis peserta didik dan menumbuhkan kesadaran dan kepekaan gender menuju kehidupan yang egalitarian.
Refleksi Kritis dalam Pendidikan Karakter untuk Kesetaraan Refleksi kritis adalah kecakapan untuk melakukan penilaian diri dan cermatan sosial yang bermuatan ketidakadilan, sehingga dapat mengemansipasi potensi rasionalitas manusia dalam kehidupan. Refleksi kritis mencakup lima makna (1) mengekspresikan orientasi pada melakukan tindakan dan keprihatinan terhadap pemikiran dan hubungan yang factual. (2) mengandaikan hubungan suatu hubungan sosial, bukan individual; (3) refleksi tidak bebas nilai atau netral nilai, melainkan berpihak pada kepentingan kemanusiaan; (4) tidak pasif pada tatanan sosial atau nilai-ilai sosial; (5) proses kreatif murni melalui partisipasi dalam komunikasi, mengambil keputusan dan tindakan sosial (Kemis dalam Saptono, 2002:106-107). Ciri refleksi kritis (Saptono, 2003:107) adalah mempunyai keprihatinan pada upaya mempertanyakan asumsi-asumsi; lebih berfokus pada masyarakat daripada perseorangan, memberikan perhatian pada analisis relasi kekuasaan, dan mempunyai keprihatinan terhadap emansipasi. Melalui refleksi kritis seorang individu calon guru: (1) menjadi sadar secara moral, (2) memiliki pemahaman terhadap nilai-nilai moral yang secara objektif bermanfaat; (3) mampu mengambil perspektif orang lain; 105
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
(4) mampu berpikir secara bermoral; (5) mampu mengambil keputusan-keputusan moral berdasarkan pemikiran yang matang; (6) memiliki pemahaman diri, termasuk kapasitas untuk melakukan kritisisme diri (Lickona, 2013:295-296). Salah satu problematika sosial yang perlu direfleksi secara kritis adalah ketimpangan dan ketidakadilan gender. Lickona (2013:410) mengemukakan bahwa kepedulian dan memiliki semangat publik adalah salah satu penawar untuk mengobati individualism yang egois. Terkait dengan itu, Henry A Giroux mengatakan bahwa pendidikan harus melayani upaya untuk mewujudkan sasaran emansipatoris. Untuk itu, pedagogi kritis sebagai pendidikan yang mendorong terjadinya refleksi kritis merupakan keniscayaan untuk dilakukan. Mengapa ideologi gender patriarkhi harus berubah? Ketidaksetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa ada penistaan terhadap salah satu dari mereka. Ada yang dianggap dan diperlakukan lebih rendah dan lebih tinggi. Dalam kehidupan demokratis, nilai-nilai seperti itu tidak dapat dibenarkan. Hal lain yang harus disadari adalah dampak dari ketimpangan awal yang diciptakan dalam kehidupan. Pandangan yang menempatkan laki-laki dan perempuan secara tidak setara berdampak pada ketidakadilan kehidupan. Akses perempuan dan laki-laki untuk mengembangkan diri berbeda; laki-laki lebih leluasa untuk memperoleh pendidikan, sedangkan perempuan tidak demikian. Karena akses yang berbeda, maka potensi laki-laki lebih berpeluang untuk berkembang daripada perempuan. Dalam keterpaksaan, banyak orang yang memilih menyekolahkan anak laki-lakinya daripada anak perempuannya karena pendidikan dipandang lebih bermakna bagi lakilaki. Laki-laki yang dikonstruksi sebagai pencari nafkah keluarga dipandang lebih penting mendapatkan pendidikan daripada perempuan. Berbagai dampak sosial yang bersumber pada relasi tidak setara antara laki-laki dan perempuan terjadi dalam kehidupan nyata. Karena konstruksi karakteristik lakilaki dan perempuan yang berbeda, ada pembagian pekerjaan antara laki-laki dan perempuan. Pada umumnya pekerjaan yang tidak mengandalkan kekuatan fisik dan mengandalkan ketelatenan dan kesabaran adalah pekerjaan untuk perempuan, sedangkan pekerjaan yang berat dan bersifat strategis dan teknis lebih dipandang cocok untuk laki-laki. Karena itu, ada glass ceiling bagi perempuan ketika ia berada di posisi pekerjaan yang dipandang sebagai wilayah laki-laki. Tidak mudah bagi 106
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
perempuan untuk berposisi sebagai pimpinan atau pada pekerjaan sebagai pengambil keputusan. Kekerasan terhadap perempuan juga merupakan dampak lain yang terjadi karena patriarkhi. Perempuan berposisi lebih lemah daripada laki-laki. Akses perempuan terhadap sumber daya terbatas. Perempuan lebih berpeluang untuk menjadi sasaran kekerasan karena konstruksi sosial yang memandang perempuan sebagai milik laki-laki dan harus patuh kepada laki-laki. Pemahaman yang sempit terhadap hal itu menyebabkan laki-laki mendominasi perempuan dalam segala aspek kehidupan. Kelemahan perempuan membuatnya lebih terbuka dan mudah dijadikan sasaran tindak kekerasan. Ketidakadilan gender sebagai buah patriarkhi menghambat karakter demokrasi. Dalam demokrasi setiap individu memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan nyata. Konstruksi gender yang menempatkan perempuan pada urusan domestik, menyebabkan kesempatannya untuk berpartisipasi pada urusan publik menjadi terbatas. Pandangan yang menempatkan perempuan pada urusan domestik ini menjadikan langkahnya terbatas di lingkup publik. Partisipasi perempuan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan publik terbatas. Akibatnya, akses laki-lakilah yang lebih banyak di lingkup itu. Akibat lebih lanjut yang terjadi adalah cara pandang laki-laki yang (sering mengabaikan kepentingan perempuan) lebih mendominasi solusi berbagai persoalan. Perempuan kembali menjadi terpinggir karena itu. Jika
disimak,
dalam
patriarkhi:
(1)
berkembang
ketidakadilan.
(2)
terhambatnya kepedulian atau kepekaan sosial. (3) distribusi tanggung jawab yang timpang. (4) penyumbatan kemandirian; (5) penghargaan untuk berprestasi yang berbeda; (6) tidak demokratis. Oleh karena itu jika nilai-nilai patriarkhi ini dipertahankan dalam pendidikan, maka ketidakadilan kehidupan itupun akan terus berlanjut. Tidak ada demokrasi dalam relasi yang patriarkhi. Oleh karena itu ketika pendidikan diharapkan dapat mengkonstruksi masa depan dan meraih kehidupan yang lebih baik, maka kesadaran untuk mengakhiri dominasi patriarkhi dalam kehidupan harus dipertimbangkan kembali. Untuk itu, proses pendidikan yang berlangsung penting untuk dapat merombak cara-cara dan sistem nilai yang patriarkhi. Dalam proses ini, pendidikan kritis yang 107
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
menawarkan
cara-cara
refleksi
kritis
terhadap
kehidupan
nyata
dalam
mengembangkan kepekaan dan kesadaran serta emansipatoris individual penting untuk diperhatikan. Pendidikan harus menyadarkan. Kesadaran ini tidak hanya menyangkut kesadaran atas potensi dirinya, tetapi juga kesadaran bahwa ketidakadilan masih banyak terjadi dalam kehidupan sosial. Kesadaran yang menyemaikan kepedulian ini merupakan hal pertama sebagai kunci kehendak untuk berubah dan membuka diri pada perubahan. Dalam pendidikan kritis, melalui pengembangan kesadaran reflektif ini, rasionalitas dan sikap serta perasaan memperoleh ruang yang sama untuk berkembang. Ketiganya diasah untuk dapat menumbuhkan keinginan berpartisipasi memperbaiki kehidupan melalui tindakan nyata.
Penutup Guru dan pendidikan berperan strategis dalam mengubah masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan calon guru harus benar-benar memberikan bekal pengembangan potensi dan kapasitas diri yang memberikan kapasitas untuk menjalankan perannya sebagai guru dengan baik. Sebagai agen perubahan, guru dituntut untuk dapat membaca situasi sosial yang perlu disikapi sevara tepat. Ketimpangan dan ketidakadilan adalah dua hal yang tidak diorientasikan untuk dipertahankan dalam kehidupan. Ketidakadilan yang biasa dilihat akan dapat membutakan kepekaan merasakannya. Itulah sebabnya dalam pendidikan, seorang calon guru penting untuk memperoleh ruang belajar mengasah dan mengembangkan refleksi dan kepekaan atas fenomena ketimpangan yang terjadi. Karakter-karakter positif yang bersumber pada PUG dalam pendidikan pun merupakan kekuatan yang harus dikembangkan dalam pendidikan. Tanpa kesadaran dan kepekaan bahwa patriarkhi telah menimbulkan sejumlah ketidakadilan kepada perempuan (dan laki-laki) maka pendidikan menjadi arena reproduksi ketimpangan sosial. Sebaliknya melalui pendidikan kritis
yang membuka ruang bagi
berkembangnya refleksi dan kesadaran kritis, maka pendidikan menjadi arena bagi berkembangnya kehidupan yang lebih baik dan keadilan sosial.
108
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
DAFTAR RUJUKAN Aikman, Sheila, 2003. “Developing Curricula for Gender Equality and Quality Basic Education” makalah yang disampaikan dalam seminar internasional Curricullum for Gender Equality and Quality Basic Education di Institute of Education University of London. 16 September 2003. Beauvoir, Simond, 1949. The Second Sex. London: Jonathan Cape. Datnow, Amanda, 1998. The Gender Politics of Educational Change. London: Falmer Press. Foucault, Michel, 1980, Power/Knowledge. Selected Interwiews and Other Writings 19721977. Editors: Colin Gordon. New York: Pantheon Books.
Giroux, Henry A., 1997. Pedagogy and The Politics of Hope. Theory, Culture, and Schooling. A Critical Reader. Oxford: Westview Press. Giroux, Henry A., 1997. Pedagogy and The Politics of Hope. Theory, Culture, and Schooling. A Critical Reader. Oxford: Westview Press. Hidayat, Rahmat, 2013. Pedagogi Kritis. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional. Jatiningsih, Oksiana, 2001. “Konstruksi Gender Calon Guru SD: Perempuan dan Laki-laki Ideal serta Hubungannya menurut Mahasiswa PGSD UNESA”. Ilmu Pengetahuan Sosial: Jurnal IPS dan Pengajarannya, Volume 35 Nomor 1, Juni 2001. Halaman 123-139. Jatiningsih, Oksiana, 2006. “Konstruksi Gender Guru SD negeri di Surabaya.” Lentera. Jurnal Studi Perempuan. Pusat Studi Wanita Lembaga Penelitian UNESA, Volume 2., nomor 1, Juni 2006. Halaman 36-48. Jatiningsih, Oksiana, 2009. “The Glass Ceiling dalam Kepemimpinan Kepala Sekolah Perempuan di Tiga Jenjang Sekolah Negeri di Surabaya.” Dalam Kepemimimpinan yang Berperspektif Gender. Editor Sisparyadi. Halaman 264272. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada. Jatiningsih, Oksiana, 2010. “Gender Mainstreaming (GMS) in Education: Potret of Schools in Conducting Gender Sensitive Education.” Proceeding International Seminar: The Contribution of Multidisciplinary Studies in the Achievement of the Millennium Development Goals. 13-14 Desember 2010. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Jatiningsih, Oksiana, Indri Fogar Susilowati, dan Rr Nanik Setyowati, 2002. “Pengetahuan dan respon Guru SD terhadap Materi Sekolah yang Bias Gender: Studi pada Tiga Sekolah Dasar di Surabaya.” Jurnal Pendidikan Dasar, Volume 3, Nomor 2, Juni 2002. Halaman 121-132. 109
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Jatiningsih, Oksiana, dan Maya Mustika Kartikasari, 2010. “Upaya Menyemaikan Nilai-Nilai Kesetaraan melalui Pendidikan Gender di Taman Kanak-Kanak. Proceeding of The 4th International Conference on Teacher Education. Teacher Education in developing National Characters and Cultures. November 8-10, 2010. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Jatiningsih, Oksiana, dan Listyaningsih, 2010. “Pengarusutamaan Gender (PUG) di Sekolah Menengah Atas Di Surabaya: Pengembangan Kebijakan Sekolah dalam Menumbuhkan Kesadaran Gender dan Kemitra-Sejajaran Laki-Laki dan Perempuan” Lentera. Jurnal Studi Perempuan. Volume 9 Nomor 1, Juni 2013. Halaman 65-75. Jatiningsih, Oksiana, 2007. Paradigma. Tahun XII, Nomor 24, Juli-Desember 2007. Hal 134-142. Jones, Pip, 2009. Introducing Social Theory. Terjemahan oleh Achmad Fedtyani Saifuddin. (Pengantar Teori-Teori Sosial. Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia dengan Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia , 2010. Kesepakatan Bersama antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia dengan Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 013/MEN.PP.PA/VII/2010 dan Nomor 09/VIII/KB/2010 tanggal 27 Agustus 2010 tentang Pengarusutamaan Gender dan Pengarusutamaan Hak Anak di Bidang Pendidikan. Koesoema, Doni A., 2007. Pendidikan Karakter. Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: PT Grasindo. Lickona, Thomas, 2012. Mendidik untuk Membentuk Karakter. Bagaimana Sekolah dapat Mengajarkan Sikap Hormat dan Tanggung Jawab. Educating for Character. How Schools can Teach Respect and Responsibility. Jakarta: Bumi Aksara. Lickona, Thomas, 2013. Pendidikan Karakter. Panduan Lengkap Mendidik Siswa menjadi Pintar dan Baik. Educating for Character (judul asli). Bandung: Nusa Media. Marhumah, Ema, 2011. Konstruksi Gender di Pesantren. Studi Kuasa Kiai atas Wacana Perempuan. Yogyakarta: LKiS. McLaren, Peter, dan Peter McLeonard, 1993. Paulo Freire A Critical Encounter. New York Routledge. McLean, Monica, 2006. Pedagogy and the University. Critical Theory and Practice. London: Continuum
110
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Muthali’in, Ahmad. 2001. Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta: Univeritas Muhammadiyah Press. Nuryanto, M. Agus, 2008. Mazhab Pendidikan Kritis. Menyikapi relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 84 tahun 2008 tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan. Ruminiati, 2008. Gender dalam Perspektif Sosioedukatif. Malang: Dunia Pustaka. Saptono, 2003. Dimensi-Dimensi Pendidikan Karakter. Wawasan, Strategi, dan Lagkah Praktis. Surabaya: Esensi Erlangga Group. Satriyati, Ekna, 2009. “Kepemimpinan Gender di Lingkungan Kerja Universitas Trunojoyo: Kesetaraan Kesempatan dan Keberimbangan Prospek Karir sebagai pejabat Struktural.” Dalam Kepemimimpinan yang Berperspektif Gender. Editor Sisparyadi. Halaman 273-282. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada. Setyowati, Rr. Nanik, dan Oksiana Jatiningsih, 2007. “Pendidikan Gender bagi Calon Guru SD dalam Rangka Penyiapannya menjadi Agen Sosialisasi Gender di Sekolah dalam Rangka Pendekonstruksian Nilai Gender pada Anak menuju Tatanan Kehidupan yang Egalitarian” dalam Jurnal Pelangi Ilmu. Volume 1 Nomor 1 Januari-Juni 2007:15-27. Srinarwati, Dwi Retnani dan Ida Sulistyowati, 2006. Konstruksi Gender Mahasiswa PGTK: Studi pada Mahasiswa Program Studi PGTK Universitas PGRI Adhi Buana Surabaya. Laporan penelitian. Tidak dipublikasikan. Surabaya: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Adhi Buana. Suharyo, Rustono and Irianto, dan Agus Muladi, 2003. Ketidaksejajaran Gender dalam Pendidikan Dasar dan Menengah di Jawa Tengah. http://eprints.undip.ac.id/21983/ Diakses pada tanggal 12 November 2011. Tilaar, H.A.R., 2003. Kekuasaan dan Pendidikan. Magelang: Indonesiatera.
111