PENGARUH VARIETAS KEDELAI, MULSA JERAMI DAN APLIKASI PGPR TERHADAP PENYAKIT PUSTUL BAKTERI DAN KELIMPAHAN BAKTERI RIZOSFER
TITA WIDJAYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Varietas Kedelai, Mulsa Jerami dan Aplikasi PGPR terhadap Penyakit Pustul Bakteri dan Kelimpahan Bakteri Rizosfer adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2012
Tita Widjayanti NRP A352090021
ABSTRACT
TITA WIDJAYANTI. Effect of Soybean Variety, Straw Mulch and PGPR Application to Bacterial Pustule Disease and The Abundance of Rizhosphere Bacteria. Under direction of ABDJAD ASIH NAWANGSIH and KIKIN HAMZAH MUTAQIN
Bacterial pustule caused by Xanthomonas axonopodis pv. glycines is one of important bacterial diseases of soybean in Indonesia. The development of alternative control of the disease is required to support Integrated Pests and Diseases Management for sustainable agriculture. This research was conducted to observe the effect of straw mulch, Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) on the incidence of bacterial pustule disease and the abundance of chitinolytic bacteria, heat tolerant bacteria, and fluorescence bacteria on two soybean varieties. All of the factors as combinations were not significant to affect the value of total area under disease progress curve (AUDPC) of bacterial pustule. Factor that significantly affected the values of AUDPC was varieties. Gepak Kuning variety has lowest AUDPC value compare to Anjasmoro variety. In addition, combination of Gepak Kuning variety and straw mulch showed AUDPC value. Abundance of fluorescence bacteria on soybean rhizosphere treated with PGPR is significantly higher compared with those on plants without PGPR. The other treatments and their combination did not significantly affect the abundance of rhizosphere bacteria.
Keyword:
PGPR, rhizosphere bacteria, soybean variety, straw mulch, Xanthomonas axonopodis pv. glycines.
RINGKASAN
TITA WIDJAYANTI. Pengaruh Varietas Kedelai, Mulsa Jerami dan Aplikasi PGPR terhadap Penyakit Pustul Bakteri dan Kelimpahan Bakteri Rizosfer. Dibimbing oleh ABDJAD ASIH NAWANGSIH dan KIKIN HAMZAH MUTAQIN.
Penyakit pustul bakteri merupakan penyakit penting yang mengakibatkan rendahnya produksi kedelai di Indonesia. Kehilangan hasil yang diakibatkan oleh penyakit ini dapat mencapai 50%. Penyebab penyakit pustul ini adalah bakteri Xanthomonas axonopodis pv. glycine. Di Indonesia, pengendalian penyakit pustul bakteri yang bersifat ramah lingkungan diperlukan untuk mendukung sistem pertanian berkelanjutan dan mengurangi ketergantungan terhadap pestisida sintetik. Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu-Biointensif (PHT-Biointensif) merupakan salah satu solusi dari masalah hama dan penyakit tanaman yang semakin berat dari tahun ke tahun. PHT-Biointensif merupakan sistem pengendalian hama dan penyakit tanaman yang menggabungkan beberapa teknik pengendalian yang efektif, efisien dan ramah lingkungan dengan mengoptimalkan potensi sumberdaya hayati. Adapun strategi yang dapat dilakukan antara lain, penggunaan varietas, penggunaan mulsa organik, dan aplikasi biokontrol. Selain itu, salah satu indikator keberhasilan sistem ini adalah tanah aktif, yaitu tanah yang memiliki kelimpahan dengan mikroorganisme yang bermanfaat. Kelompok bakteri rizosfer yang banyak dimanfaatkan sebagai agen antagonis dan mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman adalah bakteri kitinolitik, Bacillus sp, Pseudomonas fluorescens dan Actinomycetes. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penggunaan varietas kedelai, mulsa jerami dan aplikasi Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) terhadap penyakit pustul bakteri dan kelimpahan bakteri kitinolitik, tahan panas dan fluorescence. Penelitian ini dilakukan di lapangan dan laboratorium. Pengujian di lapangan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan faktor perlakuan pertama varietas (Anjasmoro dan Gepak Kuning), faktor kedua pemberian mulsa jerami (dengan mulsa dan tanpa mulsa) dan faktor ketiga aplikasi PGPR (dengan PGPR dan tanpa PGPR), percobaan dilakukan dalam 3 kali ulangan. Keparahan penyakit dan perkembangan penyakit berupa Area Under Disease Progress Curve (AUDPC) diamati setiap minggu selama 12 minggu. Penghitungan kelimpahan bakteri rizosfer dilakukan di Laboratorium dengan cara mengisolasi dari contoh tanah yang diambil disekitar perakaran tanaman contoh, kemudian dilakukan pencawanan pada tiga medium yang berbeda medium Tryptic Soy Agar untuk mengisolasi bakteri kelompok tahan panas, medium Kings`B Agar untuk mengisolasi bakteri kelompok fluorescence dan medium kitin untuk mengisolasi bakteri kelompok kitinolitik. Semua isolat pada masing-masing kelompok dikarakterisasi menggunakan uji Gram dengan Kalium Hidroksida (KOH) 3% dan uji hipersensitifitas pada tanaman tembakau. Setelah itu, lima isolat terbanyak pada kelompok bakteri tahan panas dan fluorescence dipilih dan dikarakterisasi secara morfologi dan fisiologi untuk dibandingkan dengan bakteri PGPR yang diaplikasikan.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan faktor tunggal varietas menunjukkan pengaruh sangat nyata (p < 0.01) terhadap perkembangan penyakit. Sedangkan, kombinasi perlakuan antara varietas dan pemberian mulsa jerami menunjukkan pengaruh nyata (p < 0.05) terhadap perkembangan penyakit. Penggunaan varietas Gepak Kuning terbukti mampu mengurangi keparahan penyakit pustul bakteri (33%) dibandingkan varietas Anjasmoro (60%). Interaksi antara varietas dan pemberian mulsa jerami juga menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap penekanan perkembangan penyakit. Varietas Gepak Kuning yang diberi mulsa jerami menunjukkan perkembangan penyakit yang lebih rendah dibandingkan jika varietas Gepak Kuning diaplikasikan tunggal. Pemberian mulsa berperan dalam memperbaiki struktur dan aerasi tanah sehingga mendukung pertumbuhan tanaman menjadi lebih vigor dan lebih tahan terhadap penyakit serta meningkatkan kelimpahan bakteri rizosfer. Hasil isolasi bakteri rizosfer menunjukkan kelompok yang mendominasi adalah bakteri tahan panas (31%), non-fluorescence (30%) dan kitinolitik (24%), sedangkan bakteri kelompok fluorescence berjumlah 15%. Secara umum, kombinasi perlakuan varietas, mulsa jerami dan aplikasi PGPR mampu meningkatkan kelimpahan bakteri rizosfer kelompok kitinolitik, tahan panas, fluorescence dan non-fluorescence dibandingkan dengan perlakuan kontrol pada masing-masing varietas. Dari semua perlakuan hanya perlakuan aplikasi PGPR yang berpengaruh sangat nyata hanya terhadap kelimpahan kelompok bakteri fluorescence. PGPR yang diaplikasikan merupakan kombinasi antara B. subtilis AB89 dan P. fluorescens RH4003. Ada kemungkinan bakteri PGPR tersebut mampu bertahan dan berkembang pada rizosfer kedelai. Oleh karena itu, dilakukan karakterisasi secara morfologi dan fisiologi terhadap 5 jenis isolat terbanyak, dengan asumsi bahwa bakteri tersebut merupakan bakteri yang lebih dominan dan mampu bertahan dibandingkan dengan bakteri lain. 5 isolat terbanyak untuk kelompok fluorescence adalah F3, F4, F7, F9 dan F11. Berdasarkan morfologi ada 2 isolat yang mempunyai karakter koloni yang sama dengan P. fluorescens RH4003 yaitu isolat F4 dan F7 dengan ciri-ciri koloni berpendar hijau dengan tingkat fluorescen kuat, bentuk bulat dengan tepi tidak beraturan, berwarna putih kusam, elevasi datar dan tidak berlendir. Akan tetapi, hasil pengujian secara fisiologis dengan uji LOPAT diketahui bahwa hampir semua isolat terbanyak menunjukkan reaksi yang sama dengan kontrol (P. fluorescens RH4003) kecuali isolat F9.
Kata kunci: Bakteri Rizosfer, mulsa jerami, PGPR, pustul bakteri, varietas Anjasmoro, varietas Gepak Kuning.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH VARIETAS KEDELAI, MULSA JERAMI DAN APLIKASI PGPR TERHADAP PENYAKIT PUSTUL BAKTERI DAN KELIMPAHAN BAKTERI RIZOSFER
TITA WIDJAYANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Abdul Munif, MSc
Judul Tesis Nama NRP
: Pengaruh Varietas Kedelai, Mulsa Jerami dan Aplikasi PGPR Terhadap Penyakit Pustul Bakteri dan Kelimpahan Bakteri Rizosfer : Tita Widjayanti : A352090021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi Ketua
Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Fitopatologi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 5 Januari 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun tesis dengan judul “Pengaruh Varietas Kedelai, Mulsa Jerami dan Aplikasi PGPR Terhadap Penyakit Pustul Bakteri dan Kelimpahan Bakteri Rizosfer”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M. Si dan Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, M. Si selaku komisi pembimbing yang telah mengarahkan dan membingbing penulis baik dalam proses penelitian maupun penulisan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat M.Sc, selaku Ketua Program Studi Mayor Fitopatologi yang telah memberikan ijin dilaksanakannya penelitian ini. Terimakasih juga diucapkan kepada Dr. Ir. Abdul Munif, M.Sc selaku dosen penguji. Penelitian ini didanai dari proyek penelitian “I-MHERE” dari Institut Pertanian Bogor kepada Dr. Abdjad Asih Nawangsih, M. Si tahun 2010. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan pada Tim LPS, bakteri crew, Fitopatologist 2009 dan Pondok Cahaya groups dalam membantu pelaksanaan penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada ayah, mamah, adik-adik, mas Aan serta keluarga besar atas segala doa dan kasih sayang yang tak pernah putus. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2012
Tita Widjayanti
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kuningan pada tanggal 19 Agustus 1987 sebagai anak pertama dari 4 bersaudara dari pasangan Ir. Narsu Wijaya dan Umayati, S.Pd. Tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Tasikmalaya dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Jenderal Soedirman pada jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan di Fakultas Pertanian.
Gelar Sarjana Pertanian diperoleh
pada tahun 2009. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister akhirnya penulis dapatkan dengan lulus seleksi masuk IPB pada mayor Fitopatologi, Fakultas Pertanian pada tahun yang sama. Selama mengikuti program S2, penulis pernah mengikuti International Student Symposium yang diikuti oleh mahasiwa pascasarjana dari Jepang dan IPB di Bogor pada bulan September 2010. Selanjutnya, penulis berkesempatan mengunjungi Jepang untuk
menghadiri International Joint Activities di
Universitas Ibaraki Jepang pada bulan Desember 2010 sebagai pemrasaran. Karya ilmiah yang dipaparkan merupakan bagian dari penelitian S2 penulis. Karya ilmiah ini juga pernah diseminarkan pada acara International Society for Southeast Asian Agricultural Sciences (ISSAAS) pada November 2011 di Bogor. Penulis juga pernah menjadi asisten pada magang dari Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Medan dalam pelatihan Agensia Hayati pada bulan Mei 2011, Asisten praktikum mata kuliah Fitopatologi kelas khusus dari Perusahaan BISI pada bulan September 2011, Asisten Praktikum mata kuliah Bakteriologi Pascasarjana pada bulan Agustus-Desember 2011 dan Asisten Praktikum mata kuliah Dasar-dasar Perlindungan Tanaman mahasiswa Diploma pada bulan November-Januari 2012.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................xii DAFTAR GAMBAR ..............................................................................xiii DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................x PENDAHULUAN Latar Belakang ..............................................................................1 Tujuan Penelitian ..........................................................................4 Hipotesis ........................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA Kedelai ...........................................................................................5 Penyakit Pustul Bakteri .................................................................6 Gejala .....................................................................................6 Organisme Penyebab Penyakit ................................................7 Siklus Penyakit dan Kisaran Inang ...........................................8 Sistem PHT-Biointensif ..................................................................8 Varietas Tahan................................................................................9 Mulsa Jerami .................................................................................10 Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) ............................12 B. subtilis AB89 ......................................................................12 P. fluorescens RH4003 ............................................................13 Kelimpahan Bakteri Rizosfer .........................................................14
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................19 Percobaan Pengaruh Varietas Kedelai, Mulsa Jerami dan PGPR ...19 Pengamatan Percobaan .................................................................20 Keparahan dan Perkembangan Penyakit................................ 20 Kelimpahan Bakteri Tahan Panas, Kitinolitik dan Fluorescence 21 Karakterisasi Isolat Bakteri Rizosfer ..............................................22 Pengujian Bakteri Secara Umum .................................................23 Ciri dan Morfologi Koloni .....................................................22 Uji Gram ................................................................................23 Uji Hipersensitif .....................................................................24 Karakterisasi Bakteri Tahan Panas ..............................................24 Uji Endospora ........................................................................24 Uji Agar Darah .....................................................................25 Karakterisasi Bakteri Fluorescence ............................................25 Uji Levan ..............................................................................25 Uji Oksidase .........................................................................26
Potato Soft Rot .............................................................................26 Hidrolisis Arginin ........................................................................26 Uji Gram ......................................................................................26 Karakterisasi Bakteri Kitinolitik ........................................................26 Analisis Data ......................................................................................27
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Varietas Kedelai, Mulsa Jerami dan Aplikasi PGPR terhadap Penyakit Pustul Bakteri ........................................................................29 Pengaruh Varietas Kedelai, Mulsa Jerami dan Aplikasi PGPR terhadap Kelimpahan Bakteri Rizosfer ...............................................................38 Karakterisasi Morfologi dan Fisiologi Isolat Terbanyak .....................43 Bakteri Tahan Panas ..............................................................43 Bakteri Fluorescence ....................................................................45 Bakteri Kitinolitik..................................................................48
KESIMPULAN ......................................................................................51 SARAN .................................................................................................51 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................53
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Ringkasan hasil analisis ragam (Anova) perlakuan varietas, pemberian mulsa dan aplikasi PGPR terhadap perkembangan penyakit pustule bakteri (AUDPC) dan kelimpahan bakteri kitinolitik, tahan panas, fluorescence dan non-fluorescence ...............................31
2. Pengaruh varietas, mulsa jerami dan aplikasi PGPR terhadap keragaman bakteri rizosfer (kelompok kitinolitik, tahan panas, non-fluorescence dan fluorescence) ..................................................40
3. Pengaruh pemberian mulsa jerami terhadap kelimpahan bakteri rizosfer..............................................................................................40
4. Pengaruh perlakuan varietas, mulsa jerami dan aplikasi PGPR terhadap kelimpahan bakteri rizosfer .................................................43
5. Hasil pengujian endospora isolat tahan panas terbanyak ....................44
6. Reaksi lisis isolat terbanyak kelompok tahan panas pada medium agar darah ........................................................................................45
7. Morfologi isolat T42, T70 dan B. subtilis AB89 .............................46
8. Hasil uji LOPAT isolat kelompok fluorescence terbanyak.................46
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Gejala pustul bakteri pada daun kedelai............................................ 7
2. Metode pengambilan sampel metode S............................................. 21
3. Seri pengenceran untuk isolasi bakteri dari tanah .............................22
4. Gejala awal penyakit pustul bakteri pada 2 MST (a); Gejala lanjut penyakit pustul bakteri pada 7MST pada tanaman yang sama(b) .......29
5. Rata-rata keparahan penyakit pustul bakteri pada 1 hingga 12 MST dan nilai AUDPC; V1: varietas Anjasmoro; V2: varietas Gepak Kuning; M1: dengan mulsa jerami; M2:tanpa mulsa jerami; P1: dengan PGPR; P2: tanpa PGPR ...................................................30
6. Pengaruh varietas terhadap keparahan penyakit pustul bakteri dan nilai AUDPC. .................................................................31
7.
Gejala penyakit pustul bakteri pada varietas Anjasmoro (a); Gejala penyakit pustul bakteri pada varietas Gepak Kuning pada 7 MST (b) ................................................................................32
8. Pengaruh kombinasi antara varietas dan pemberian mulsa jerami terhadap keparahan penyakit pustul dan nilai AUDPC............33
9. Pengaruh pemberian mulsa jerami terhadap keparahan penyakit pustul dan nilai AUDPC .....................................................35
10. Pengaruh aplikasi PGPR terhadap keparahan penyakit pustul dan nilai AUDPC ..............................................................................36
11. Total kelimpahan bakteri (%) pada masing-masing kelompok ......... 39
12. Kelimpahan masing-masing kelompok bakteri pada kombinasi perlakuan dibandingkan dengan kontrol pada masing- masing varietas; V1: varietas Anjasmoro; V2: varietas Gepak Kuning; M1: Dengan Mulsa Jerami; M2:Tanpa Mulsa Jerami; P1: Dengan PGPR; P2: Tanpa PGPR....................................................................41
13. Endospora T61 (hijau) didalam sel vegetatifnya (merah), posisi endospora ditengah (a); Endospora T70 (hijau) didalam sel vegetatifnya (merah), posisi endospora didekat ujung(b) ...................43
14. Reaksi hemolisis pada agar darah isolat bakteri tahan panas terpilih (tampak depan) (A); Reaksi hemolisis pada agar darah isolat bakteri tahan panas terpilih (tampak belakang) (B); a) T10, b)T31, c) T42, d) T46, e) T48, f) T61, g) T67, h) T70, i) B. subtilis AB89, j) kontrol (LB) ......................................................................45
15. Uji levan isolat fluorescence A); Reaksi positif uji levan. koloni seperti kubah (cembung jelas). putih. Mucoid B); Reaksi negatif uji levan. koloni datar. tidak berkilau dan transparan C) ....................47
16. Reaksi oksidase isolat fluorescence A); Reaksi oksidase positif (+) berwarna ungu (B.a); Reaksi oksidase negatif (-) tidak terjadi perubahan warna (B.b) ......................................................................47
17. Reaksi potato soft rot positif (+) umbi busuk, kecoklatan, berlendir (A.a); Reaksi potato soft rot negatif (-) umbi segar, tidak terjadi perubahan warna (A.b); Reaksi potato soft rot pada isolat fluorescence (B) ................................................................................48
18. Aktivitas kitinolitik isolat K17 ..........................................................49
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Denah lokasi percobaan ....................................................................58
2. Hasil analisis ragam (Anova) perlakuan varietas, pemberian mulsa dan aplikasi PGPR terhadap perkembangan penyakit pustul bakteri (AUDPC) .........................................................................................59
3. Deskripsi varietas kedelai Anjasmoro (Balitkabi 2008) .....................60
4. Deskripsi varietas kedelai Gepak Kuning (Balitkabi 2008) ................61
5. Daftar bahan media Kings`B Agar (KBA), Trytic Soy Agar (TSA), kitin agar dan Luria Bertani Broth (LB) ...........................................62
6. Morfologi koloni bakteri tahan panas ................................................63
7. Morfologi koloni bakteri fluorescence...............................................66
8. Morfologi koloni bakteri non-fluorescence........................................67
9. Morfologi koloni bakteri kitinolitik ...................................................70
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit pustul bakteri yang disebabkan oleh Xanthomonas axonopodis pv. glycines merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman kedelai di wilayah tropis dan sub tropis (Sinclair dan Backman 1989). Penyakit ini penting selain karena sebaran geografisnya juga X. axonopodis pv. glycines mempunyai banyak strain yang masing-masing menunjukkan genotip dan virulensi yang berbeda sehingga pengendalian dengan varietas tahan dengan daya tahan vertikal sulit dilakukan (Rukayadi et al. 1999). Kehilangan hasil yang diakibatkan oleh penyakit ini pada daerah sentra kedelai di Indonesia seperti Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta sekitar 15.9% sampai 50% (Dirmawati 2004). Selama ini upaya pengendalian penyakit pustul bakteri yang disarankan adalah penanaman varietas resisten, penggunaan benih yang bebas patogen, rotasi tanaman, sanitasi serta penggunaan pestisida sintetik (Sinclair dan Backman 1989). Agarwal dan Sinclair (1997) menyatakan bahwa bakteri X. axonopodis pv. glycines dapat terbawa benih dan bertahan dengan mekanisme infeksi laten pada benih kedelai selama 2.5 tahun tanpa menunjukkan gejala sakit. Sehingga, penggunaan benih kedelai yang tidak menunjukkan gejala sakit belum tentu menjamin bahwa benih kedelai tersebut sehat. Cara pengendalian lain yang lebih praktis adalah pengendalian kimiawi menggunakan bakterisida, namun cara ini memerlukan biaya tinggi dan beresiko mencemari lingkungan. Dilihat dari beberapa upaya pengendalian sebelumnya, pustul bakteri kurang efektif jika ditekan dengan menggunakan satu cara pengendalian. Oleh karena itu, perlu adanya strategi pengendalian yang menggabungkan beberapa teknik pengendalian yang efektif, efisien dan ramah lingkungan. Wiyono (2007) menyatakan bahwa Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu Biointensif (PHT-Biointensif) yang mengoptimalkan sumberdaya hayati yang ada merupakan salah satu solusi masalah hama dan penyakit yang makin berat di Indonesia dari tahun ke tahun. Menurut ATTRA (2001) PHT-Biointensif
2
adalah suatu sistem pendekatan untuk pengelolaan hama dan penyakit tanaman
yang didasarkan pada pemahaman ekologi hama dan patogen. Sistem ini menggabungkan beberapa teknik pengendalian yang efektif, efisien dan ramah lingkungan dengan mengoptimalkan sumber daya hayati dan menata ulang agroekosistem pertanian yang bermanfaat bagi agens hayati dan merugikan bagi patogen. Dirmawati (2004) mengkaji beberapa komponen pengendalian ramah lingkungan terhadap penyakit pustul bakteri. Hasilnya diketahui kombinasi pola tanam tumpangsari kedelai-jagung dengan bakteri biokontrol efektif dalam menekan perkembangan penyakit pustul, akan tetapi, penurunan laju infeksi tidak terlalu besar. Oleh karena itu, perlu pengujian secara terpadu dengan kombinasi perlakuan yang berbeda untuk mengendalikan penyakit pustul bakteri. Beberapa komponen PHT-Biointensif diantaranya: penggunaan varietas tahan, pemberian mulsa jerami dan aplikasi Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR). Pengendalian penyakit dengan varietas tahan merupakan cara pengendalian yang mudah dilakukan di tingkat petani. Varietas kedelai terbaru rata-rata belum diketahui tanggapannya terhadap penyakit pustul. Dua diantara varietas tersebut diantaranya varietas Anjasmoro dan varietas Gepak Kuning. Balitkabi (2008) melaporkan bahwa kedua varietas tersebut merupakan varietas yang banyak ditanam petani selain karena produktivitasnya tinggi, kedua varietas tersebut diketahui tahan terhadap beberapa hama tanaman kedelai. Komponen lain yang diuji adalah pemberian mulsa jerami. Pemberian mulsa jerami merupakan salah satu cara untuk merekayasa lingkungan untuk memberikan lingkungan tumbuh yang optimum bagi pertanaman kedelai. Menurut Doring et al. (2006) mulsa memberikan keuntungan baik dari segi aspek fisik maupun kimia tanah. Secara fisik mulsa mampu menjaga suhu tanah lebih stabil dan mampu mempertahankan kelembapan di sekitar perakaran tanaman. Suhu tanah berhubungan dengan proses penyerapan unsur hara oleh akar, fotosintesis dan respirasi (Mahmood et al. 2002) Efek aplikasi mulsa ditentukan oleh jenis bahan mulsa. Bahan yang dapat digunakan sebagai mulsa di antaranya sisa-sisa tanaman (serasah dan jerami) atau bahan plastik. Doring et al. (2006) menyatakan bahwa mulsa jerami mempunyai
3 daya pantul lebih tinggi dibandingkan dengan mulsa plastik. Mahmood et al.
(2002) menambahkan mulsa jerami atau mulsa yang berasal dari sisa tanaman lainnya mempunyai konduktivitas panas rendah sehingga panas yang sampai ke permukaan tanah akan lebih sedikit dibandingkan dengan tanpa mulsa atau mulsa dengan konduktivitas panas yang tinggi seperti plastik. Cara pengendalian lain yang memungkinkan untuk dikembangkan dan ramah lingkungan adalah pengendalian secara biologi menggunakan agens biokontrol. PGPR merupakan rizobakteria yang mampu meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan tanaman serta berpotensi menjadi agen antagonis patogen tanaman (Widodo 2006). Pemanfaatan Pseudomonas sp. dan Bacillus sp. telah dilaporkan efektif mengendalikan penyakit tanaman. Kedua kelompok bakteri tersebut dapat dikombinasikan untuk meningkatkan kemampuannya dalam menekan penyakit, akan tetapi tidak boleh saling menghambat. Suskandini dan Eviyati (2007) melaporkan bahwa bakteri P. flourescens G134 dan Bacillus subtilis BB01 telah diketahui efektif menghambat pertumbuhan bakteri X. axonopodis pv. glycines penyebab penyakit pustul bakteri secara in- vitro. Nawangsih (2006) juga melaporkan bahwa B. subtilis AB89 dan P. fluorescens RH4003 dapat menekan penyakit layu bakteri pada tomat sebesar 62% melalui percobaan di rumah kaca. Keberhasilan tersebut menunjukkan bahwa kombinasi kedua bakteri tersebut berpotensi untuk menjadi agens biokontrol. Indikator keberhasilan sistem PHT-Biointensif salah satunya adalah tanah aktif. Hal ini sangat berhubungan dengan kelimpahan bakteri yang menguntungkan dalam tanah. Banyak bakteri tanah yang telah diketahui mampu menghambat pertumbuhan patogen dan meningkatkan pertumbuhan tanaman diantaranya: kelompok bakteri kitinolitik, Bacillus sp, Pseudomonas fluorescens dan Actinomycetes (Baker dan Cook 1983).
4
Tujuan
1.
Mengetahui pengaruh varietas kedelai, mulsa jerami dan aplikasi PGPR terhadap penyakit pustul bakteri pada tanaman kedelai.
2.
Mengetahui pengaruh varietas kedelai, mulsa jerami dan aplikasi PGPR terhadap kelimpahan bakteri rizosfer kelompok kitinolitik, tahan panas, dan flourescence.
Hipotesis
Penggunaan varietas kedelai, pemberian mulsa jerami dan aplikasi PGPR berpengaruh terhadap penekanan perkembangan penyakit pustul bakteri dan peningkatan kelimpahan bakteri rizosfer kelompok kitinolitik, tahan panas dan fluorescence.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai
Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan baku makanan terutama dari wilayah Asia seperti kecap, tahu, dan tempe. Berdasarkan peninggalan arkeologi tanaman ini telah dibudidayakan sejak 3500 tahun yang lalu di Asia Timur. Kedelai putih masuk ke Indonesia dibawa oleh pedagang dari Cina. Sedangkan kedelai hitam telah dikenal sebelumnya oleh penduduk Indonesia. Mulai dibudidayakan terutama di daerah Jawa sekitar tahun 1750 (Oarke et al. 1999). Kedelai yang banyak dibudidayakan di Indonesia terdiri dari dua spesies yaitu: Glycine max (disebut kedelai putih, biji dapat berwarna kuning, agak putih atau hijau) dan Glycine soja (disebut kedelai hitam, biji berwarna hitam). G. max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti RRC dan Jepang Selatan, sementara G. soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia Tenggara. Tanaman ini telah menyebar ke Jepang, Korea, Asia tenggara dan Indonesia (Rukmana dan Yuniarsih 1996). Faktor penghambat dalam budidaya kedelai salah satunya adalah hama dan penyakit. Hama-hama penting yang menyerang tanaman kedelai adalah 1). perusak bibit: Lalat kacang (Agromyza phaseoli), penggerek pucuk kedelai (Agromyza dolichostigma), penggerek batang kedelai (Melanagromyza sojae);2). perusak daun: Kumbang kedelai (Phaedononia inclusa), Ulat grayak (Spodoptera litura), Ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites), penggulung daun (Lamprosema indicata), penggulung daun (Adoxophyes Privatana); 3). Perusak polong: Penggerek polong (Etiella zinckenella), pengisap polong (Riptortus linearis), kepik hijau (Nezara viridulla); 4). Hama lainnya: Hama yang dapat menularkan penyakit pada tanaman kedelai (vektor) contoh kutu tebu/lalat putih (Bemisia sp.) (Balitkabi 2008). Sedangkan, penyakit penting pada tanaman kedelai adalah: 1). Penyakit yang disebabkan fungi: Penyakit-karat dengan patogen Phakospora pachyrhizi sydow; 2) Penyakit yang disebabkan bakteri: Hawar daun, patogen: Pseudomonas
6
syringae; pustul bakteri oleh Xanthomonas axonopodis pv. glycines; 3). Penyakit yang disebabkan virus: Mosaik kedelai (Soybean Mosaic Virus), penyakit Kerdil kedelai, penyakit Katai kedelai (Soybean Dwarf Virus) (Hartman et al. 1999).
Penyakit Pustul Bakteri
Pustul bakteri merupakan penyakit penting pada tanaman kedelai terutama di Indonesia. Kehilangan hasil akibat penyakit ini mencapai 15.9% sampai 50% (Dirmawati 2004).
Gejala
Gejala awal penyakit pustul bakteri berupa bercak berwarna hijau pucat kekuningan sebesar mata jarum, dengan bagian tengah agak menonjol. Bercak nampak kebasah-basahan seperti kebanyakan infeksi oleh bakteri. Bercak berkembang menjadi lebih besar (diameter 3mm) daripada bagian tengahnya, terutama pada bagian bawah permukaan daun, terdapat tonjolan berwarna coklat muda, tonjolan (pustul/bisul) terjadi akibat hipertropi dan hiperplasia. Bercak mempunyai ukuran yang bervariasi, dari satu bercak kecil hingga bercak besar yang tidak teratur yang terjadi karena bersatunya banyak bercak. Bercak mengering, mudah sobek, dan gugur lebih awal. Daun kedelai yang gugur prematur menyebabkan produktivitas tanaman kedelai menurun berkaitan dengan jumlah polong hampa yang tinggi (Sinclair dan Backman 1989). Gejala pustul hampir mirip dengan gejala karat yang disebabkan oleh cendawan P. pachyrhizi Syd. Perbedaannya, pada gejala pustul bakteri terdapat pada daun-daun muda pada bagian atas tanaman, sedangkan penyakit karat awalnya terdapat pada daun-daun tua dibagian bawah lalu berkembang ke bagian daun yang lebih muda di bagian atas. Pada permukaan bawah helai daun kedelai yang bergejala karat terdapat urediosorus yang tampak seperti gumpalan tanah berwarna coklat yang terasa kasar jika diraba (Hartman et al. 1999). Menurut Sudjono et al. (1985) menyatakan bahwa pada polong varietas yang rentan, penyakit pustul bakteri menyebabkan terjadinya bercak kecil yang berwarna coklat kemerahan.
7
Organisme Penyebab Penyakit
Penyakit pustul bakteri diketahui disebabkan oleh X. axonopodis pv. glycines (Nakano) Dye Vauterin. Pada awalnya menurut Machmud (1987) penyakit bisul bakteri disebabkan oleh X. campestris pv. phaseoli (Smith 1897). Namun menurut Moffet dan Dye dalam Semangun (1991) di beberapa negara penyebab penyakit pustul bakteri pada kedelai diidentifikasi sebagai X. campestris pv. glycines (Nakano) Dye 1978, yang dulu disebut X. phaseoli var. sojense (Hedges) starr et Burkh., Pseudomonas glycines (Nakano) Mangrou et prevot. Dalam identifikasi terbaru berdasarkan genotipenya, patogen ini diusulkan sebagai X. axonopodis pv. glycines (Vauterin 1995 dalam CABI 2005). Schaad (2001) mengidentifkasi bakteri ini dengan ciri-ciri bakteri X. axonopodis pv. glycines berukuran 0.5-0.9 x 1.4-2.3 µm, berbentuk batang, memiliki satu flagel polar dan merupakan bakteri gram negatif. Koloni pada agar yeast dextrose carbonat (YDC) berwarna kuning pucat yang lama kelamaan berubah menjadi kuning tua, berukuran kecil, bulat dan tepinya licin.
Gambar 1 Gejala pustul bakteri pada daun kedelai
Bakteri X. axonopodis pv. glycines dapat mencairkan gelatin dalam waktu 6 hari, membentuk asam sitrat dari arabinosa, glukosa, manosa, selobiosa, trehalosa, dan sukrosa dalam 2 hari, menguraikan protein susu dalam 13 hari, menghidrolisis pati dalam 2 hari. Suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 30- 330C dengan suhu maksimum 380C dan minimum 100C (Schaad 2001). Sinclair dan Backman (1989) menambahkan bakteri jika ditumbuhkan pada media dapat menghasilkan auksin, bakteriosin dan eksopolisakarida.
8
Siklus Penyakit dan Kisaran Inang
Bakteri masuk kedalam jaringan tanaman melalui lubang alami seperti hidatoda dan stomata atau melalui luka mekanik, lalu berkembang dalam ruang antar sel. Bakteri tersebar melalui percikan air atau hujan. Epidemi penyakit pustul bakteri terjadi pada kedelai yang masa pembungaannya bertepatan dengan cuaca basah. Selain itu, bakteri bertahan dalam biji, permukaan sisa-sisa tanaman, dan dalam rizosfer tanaman gandum (Sinclair dan Backman 1989). Bakteri X. axonopodis pv. glycines memiliki inang lain yaitu kacang buncis, kacang panjang, dan kecipir selain itu, di Amerika Serikat X. axonopodis pv. glycines dilaporkan menginfeksi gulma Brunnicia cirrhosa Gaertn (Sinclair dan Backman 1989). Maraknya penggunaan pestisida sintetik yang akhir-akhir ini banyak digunakan petani untuk mengendalikan penyakit ini banyak menimbulkan dampak negatif jika penggunaannya tidak bijaksana baik terhadap tanaman sendiri, manusia maupun terhadap lingkungan biotik lain seperti agens hayati patogen. Oleh karena itu, perlu stategi pengendaliannya yang efektif, efisien dan ramah lingkungan.
Sistem PHT-Biointensif
Ketergantungan pada penggunaan pestisida sintetik mendasari munculnya sistem PHT-Biointensif dalam program perlindungan tanaman di seluruh dunia. Dampak negatif dari pestisida sintetik seperti terjadinya resistensi patogen, perubahan virulensi patogen, terbunuhnya patogen non-target (agens hayati) ataupun pencemaran terhadap lingkungan, tanaman itu sendiri dan manusia. Sistem PHT-Biointensif adalah suatu sistem pendekatan untuk pengelolaan hama dan penyakit tanaman yang didasarkan pada pemahaman ekologi hama dan patogen. Diawali dengan langkah-langkah untuk mendiagnosis sifat dan sumber masalah hama dan penyakit dan pemanfaatan agens hayati untuk menjaga populasi hama dan patogen dalam batas yang dapat diterima. Manfaat dari penerapan PHT-Biointensif yaitu dapat mengurangi biaya input kimia, mengurangi on-farm dan off-farm dampak lingkungan, dan lebih efektif dan manajemen hama dan patogen yang berkelanjutan (ATTRA 2001).
9 Tujuan utama PHT-biointensif adalah untuk memberikan panduan dan
pilihan bagi manajemen yang efektif dari patogen dan organisme menguntungkan dalam konteks ekologi. Pada prinsipnya sistem PHT-Biointensif sama dengan sistem PHT, perbedaannya pada sistem PHT penggunaan pestisida sintetik masih digunakan walaupun sebagai alternatif terakhir, akan tetapi pada sistem PHT- Biointensif pestisida sintetik sama sekali tidak digunakan. Adapun, strategi PHT- Biointensif yang dilakukan antara lain penggunaan varietas tahan, pemberian mulsa jerami dan aplikasi PGPR.
Varietas Tahan
Penggunaan varietas tahan adalah cara pengendalian penyakit tumbuhan yang efektif, murah dan ramah lingkungan. Menurut Zadoks dan Schein (1979) penanaman varietas tahan bertujuan untuk mengurangi jumlah inokulum awal. Ketahanan suatu varietas terhadap suatu penyakit umumnya tidak berlangsung selamanya. Jika muncul ras baru yang lebih virulen, maka ketahanan varietas tersebut akan patah. Oleh karena itu, adanya varietas-varietas baru kedelai yang tahan terhadap penyakit pustul sangat dibutuhkan dalam upaya pengendalian penyakit tersebut. Hasil penelitian Anggraini et al. (1995) yang menguji ketahanan 75 genotip yang terdiri dari 29 varietas lokal, 8 varietas nasional, 23 introduksi dan 15 galur percobaan terhadap penyakit pustul, diketahui hanya 1 genotip yang menunjukkan reaksi tahan yaitu varietas Si Pinang yang merupakan varietas lokal dari Langkat, Sumatera Utara dan memiliki ciri-ciri berbiji hitam, berbunga ungu dan memiliki tinggi sekitar 35 cm. Di Indonesia, kebanyakan petani lebih banyak menanam varietas kedelai berbiji kuning. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui ketahanan varietas-varietas kedelai yang banyak ditanam petani terhadap penyakit pustul bakteri. Balitkabi (2008) melaporkan terdapat 72 varietas unggul kedelai yang masing-masing memiliki keunggulan tersendiri. Termasuk dua diantaranya adalah varietas Anjasmoro dan Gepak Kuning. Dari hasil sosialisasi pengembangan jaringan alih teknologi produksi benih sumber, diketahui varietas kedelai yang paling diminati pengguna/petani adalah varietas Anjasmoro (Balitkabi 2008).
10
Selain memiliki ukuran biji yang besar, daya hasil varietas ini cukup besar
mencapai 2,03 – 2,25 ton/ha, hal ini menjadi daya tarik tersendiri untuk varietas ini. Varietas yang dilepas pada tahun 2001 ini memiliki keunggulan lainnya yaitu memiliki ketahanan terhadap penyakit karat daun dan Cladosporium sp., juga tahan terhadap rebah dan memiliki sifat polong yang tidak mudah pecah. Selain varietas Anjasmoro, varietas lain yang baru dilepas pada tahun 2008 yaitu varietas Gepak Kuning juga banyak diminati dan ditanam petani terutama di wilayah Jawa Timur (Balitkabi 2008). Varietas ini memiliki beberapa keunggulan diantaranya: berumur genjah dan toleran terhadap penaungan, selain itu, tahan terhadap beberapa hama kedelai diantaranya ulat grayak, Aphis sp., penggulung daun, dan Phaedonia sp. dan agak tahan penyakit karat. Varietas ini baik beradaptasi di lahan sawah dan tegal, baik pada musim hujan maupun kemarau.
Mulsa Jerami
Faktor lain selain penggunaan varietas dalam sistem PHT-Biointensif adalah penggunaan mulsa jerami. Menurut WAC (2005) Mulsa adalah semua atau setiap bahan yang digunakan menutup tanah, bahan tersebut dapat berupa sisa tanaman, lembar plastik, atau susunan batu.
Fungsinya untuk melindungi
permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembapan, struktur serta kesuburan tanah, dan menghambat pertumbuhan gulma. Ada berbagai macam jenis mulsa, salah satunya adalah mulsa jerami. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat pengaruh penggunaan mulsa jerami terhadap pertumbuhan dan penekanan penyakit pada berbagai tanaman. Mulsa dapat memengaruhi kondisi fisik dan biologi tanah. Pengaruhnya terhadap kondisi fisik tanah adalah sebagai berikut: (1) mengurangi daya tumbuk langsung butir-butir hujan; (2) menurunkan jumlah dan jarak percikan tanah kalau ada; (3) menurunkan dispersi butir tanah permukaan sehingga mencegah pengerasan atau pergerakan permukaan; (4) memperkecil fluktuasi kelembapan dan suhu tanah; (5) mengurangi aliran permukaan dan erosi internal dan penyumbatan pori tanah; (6) memperbesar infiltrasi; (7) mengurangi terjadinya evaporasi; dan (8) mempertahankan kelembapan tanah (Kohnke et al. 1959). Sedangkan, pengaruh mulsa terhadap biologi tanah adalah dapat meningkatkan
11 aktivitas mikroba, keberadaan insekta tanah, cacing tanah dan populasi hewan
lainnya yang dekat dengan permukaan tanah, dengan adanya suhu dan kelembapan yang seimbang dan relatif stabil sehingga dapat mempermudah pertumbuhan benih secara maksimal (Varadan dan Rao 1983). Mulsa dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu mulsa organik, mulsa anorganik, dan mulsa alamiah. Mulsa organik terbuat dari sisa tanaman atau biasa disebut mulsa sisa tanaman, sedangkan mulsa anorganik berupa alumunium dan plastik dan mulsa alami dapat berupa susunan batu. Mulsa organik adalah mulsa yang berasal dari bahan organik sisa tanaman (jerami padi, batang jagung), pangkasan dari tanaman pagar, daun-daun dan ranting tanaman. Bahan tersebut disebarkan secara merata di atas permukaan tanah setebal 2-5 cm sehingga permukaan tanah tertutup sempurna. Mulsa sisa tanaman dapat memperbaiki kesuburan, struktur, dan cadangan air tanah. Mulsa juga menghalangi pertumbuhan gulma, dan menyangga (buffer) suhu tanah agar tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Selain itu, sisa tanaman dapat menarik binatang tanah (seperti cacing), karena kelembaban tanah yang tinggi dan tersedianya bahan organik sebagai makanan cacing. Adanya cacing dan bahan organik akan membantu memperbaiki struktur tanah. Mulsa sisa tanaman akan melapuk dan membusuk. Karena itu perlu menambahkan mulsa setiap tahun atau musim, tergantung kecepatan pembusukan. Sisa tanaman dari rumput rumputan, seperti jerami padi, lebih lama melapuk dibandingkan bahan organik dari tanaman leguminose seperti benguk, Arachis, dan sebagainya (WAC 2005). Menurut Sudriatna et al. (1993), jerami padi dapat digunakan sebagai sumber bahan organik dalam meningkatkan hasil kedelai. Pernyataan tersebut didukung oleh Mastur dan Sunarlim (1993) yang melaporkan kenaikan hasil kedelai di Mojosari dan karawang dengan pemberian mulsa masing-masing 5 ton/ha dan 6 ton/ha dapat meningkatkan hasil kedelai sebesar 300 kg/ha dan 492 kg/ha. Adapun kombinasi pemberian mulsa 5 ton/ha dan penempatan biji kedelai di tunggul bekas padi dapat meningkatkan atau memperbaiki pertumbuhan akar dalam tanah (Sutarto et al. 1988).
12
Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR)
Strategi biologi dalam sistem PHT-Biointensif meliputi aplikasi agen hayati, PGPR. Pemanfaatan Agen hayati telah banyak dilakukan untuk menekan penyakit pustul bakteri dan bersifat memacu pertumbuhan tanaman. Isolat rizobakteri dapat berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman dan sebagai agens antagonis terhadap patogen tanaman disebut PGPR. PGPR yang diaplikasikan merupakan kombinasi antara Bacillus subtilis AB89 dan Pseudomonas fluorescens RH4003.
B. subtilis AB89
Isolat B. subtilis AB89 merupakan isolat yang berasal dari rizosfer tanaman tomat. Diketahui, B. subtilis AB89 memiliki karakteristik positif menghasilkan siderofor setelah diinkubasi selama 3 hari (Nawangsih 2006). Siderofor berasal dari bahasa Yunani berarti pembawa ion besi, siderofor akan muncul pada saat kondisi lingkungan dengan ion Fe3+ terbatas dan mengakibatkan besi tidak tersedia bagi patogen (bersifat kompetisi dengan patogen). Crosa dan Walsh (2002) melaporkan bahwa siderofor yang dihasilkan B. subtilis adalah bacillobactin. Menurut Nawangsih (2006) B. subtilis AB89 memiliki kelebihan dibandingkan dengan agens biokontrol lain yang digunakan dalam pengujian antara lain yaitu: menghasilkan zone hambatan dengan diameter paling besar, menghasilkan penekanan paling tinggi terhadap keparahan penyakit di lapangan meskipun kemampuan mengkolonisasi perakaran bibit lebih rendah, mampu menginduksi aktifitas peroksidase paling tinggi, serta menghasilkan siderofor dan protease. Enzim peroksidase merupakan salah satu enzim yang berperan dalam proses ketahanan tanaman terhadap patogen (Brimecombe et al. 2001). Lebih lanjut Stermer (1995) menyatakan peroksidase berfungsi dalam polimerisasi oksidatif hydroxyccinnamyl alkohol untuk membentuk lignin. Peranan peroksidase yang lain adalah sebagai sarana pembentukan “hydroxyproline-rich structural protein” dalam dinding sel sehingga dinding sel menjadi lebih tahan terhadap degradasi oleh mikroorganisme. Peroksidase juga dapat berfungsi secara langsung sebagai senyawa antimikroba.
13
Nawangsih (2006) menggunakan isolat B. subtilis AB89
untuk
menghambat perkembangan bakteri patogen Ralstonia solanacearum pada tomat. Aplikasi agens biokontrol di lapangan menunjukkan bahwa isolat AB89 mampu menekan perkembangan penyakit layu bakteri.
Selain itu,
Handini (2011)
melaporkan kombinasi antara B. subtilis AB89 dan bakteri endofit BL10 mampu menekan perkembangan penyakit layu bakteri pada tomat di lapangan, dan mampu meningkatkan tinggi tanaman jika dikombinasikan dengan bakteri endofit BC10.
P. fluorescens RH4003
Sama seperti B. subtilis AB89, isolat P. fluorescens RH4003 merupakan isolat yang berasal dari rizosfer tanaman tomat. Berdasarkan hasil sekuensing parsial 16S rDNA, isolat P. fluorescens RH4003 memiliki kesamaan 98% dengan P. fluorescens. Karakter fisiologi P. fluorescens RH4003 yaitu gram negatif, tidak membentuk spora, menghasilkan senyawa floresen pada medium King’s B agar, Levan positif, reaksi oksidase positif, Arginine dihydrolase positif, tidak menghasilkan reaksi hipersensitif pada tembakau, tidak tumbuh pada 41 0C, tidak mencairkan gelatin, dan pertumbuhannya positif pada L-arabinosa, D-galaktosa serta sorbitol. Produksi asam dari xylose positif, lactose negatif, glukosa positif, maltosa negatif, dan sukrosa positif lemah (Nawangsih 2006). Isolat P. fluorescens RH4003 juga diketahui tidak menghasilkan zona hambatan pada media NA tetapi pada media King’s B dan CPMA –Ca2+ menunjukkan adanya zona hambatan. Luas zona hambatan dipengaruhi oleh jenis media. Media King’s B merupakan media yang memiliki kandungan Fe yang sangat rendah, hal tersebut sangat cocok bagi pembentukan siderofor oleh P. fluorescens. Isolat P. fluorescens RH4003 membentuk zona hambatan pada media yang mengandung glukosa tetapi tidak pada media yang mengandung mannitol maupun dextrose. Diketahui juga bahwa Isolat P. fluorescens RH4003 menghasilkan siderofor dan mampu meningkatkan aktivitas enzim peroksidase (Nawangsih 2006). Selanjutnya, Nawangsih (2006) melaporkan pengujian di rumah kaca menunjukkan bahwa isolat P. fluorescens RH4003 mampu menekan
14 perkembangan penyakit layu bakteri, indeks penekanan oleh isolat P. fluorescens
RH4003 yaitu sebesar 62%.
Kelimpahan Bakteri Rizosfer
Indikator keberhasilan sistem PHT-Biointensif salah satunya adalah tanah aktif. Strategi tanah aktif sangat berkaitan dengan kelimpahan dan keragaman mikroorganisme tanah. Umumnya jumlah mikroba dalam tanah lebih banyak daripada dalam air ataupun udara. Bahan organik dan senyawa anorganik lebih tinggi dalam tanah sehingga cocok untuk pertumbuhan mikroba heterotrof maupun autotrof. Keberadaan mikroba di dalam tanah terutama dipengaruhi oleh sifat kimia dan fisika tanah. Komponen penyusun tanah yang terdiri atas pasir, debu, lempung dan bahan organik maupun bahan penyemen lain akan membentuk struktur tanah. Struktur tanah akan menentukan keberadaan oksigen dan lengas dalam tanah. Dalam hal ini akan terbentuk lingkungan mikro dalam suatu struktur tanah. Mikroba akan membentuk mikrokoloni dalam struktur tanah tersebut, dengan tempat pertumbuhan yang sesuai dengan sifat mikroba dan lingkungan yang diperlukan. Dalam suatu struktur tanah dapat dijumpai berbagai mikrokoloni seperti mikroba heterotrof pengguna bahan organik maupun bakteri autotrof,dan bakteri aerob maupun anaerob. Untuk kehidupannya, setiap jenis mikroba mempunyai kemampuan untuk mengubah satu senyawa menjadi senyawa lain dalam rangka mendapatkan energi dan nutrien. Dengan demikian adanya mikroba dalam tanah menyebabkan terjadinya daur unsur-unsur seperti karbon, nitrogen, fosfor dan unsur lain di alam. Tanah merupakan habitat yang kaya akan mikroorganisme. Mikroorganisme tersebut ada yang bersifat menguntungkan dan ada yang bersifat merugikan. Salah satu mikroba tanah yang banyak ditemukan dan dimanfaatkan adalah bakteri tanah. Beberapa kelompok bakteri tanah mampu menghambat pertumbuhan patogen. Contoh bakteri tanah yang diketahui bersifat antagonis adalah bakteri kitinolitik, Actinomycetes, P. fluorescens, Bacillus sp (B. subtilis dan B. Cereus) (Bolan 1991). Bakteri kitinolitik merupakan bakteri yang kompeten memproduksi enzim kitinase dan memanfaatkan kitinase untuk asimilasi kitin sebagai sumber karbon
15
dan nitrogen (Wu et al. 2001). Kitinase dapat mendegradasi kitin yang merupakan komponen penting pada dinding sel cendawan, integumen serangga, dan kerangka luar golongan arthopoda, moluska, nematoda dan protozoa. Dengan demikian, aktivitas kitinase mampu menghambat pertumbuhan miselia dan perkecambahan spora cendawan serta merusak integumen serangga. Kitinase yang dihasilkan mikroorganisme memiliki berat molekul yang berkisar antara 20.000-120.000 kda, pada bakteri berat molekul antara 60.000-110.000 kda dan pada Actinomycetes berkisar antara 30.000 atau yang lebih rendah (Wang dan Chang 1997). Sudjono (1997) melapokan bakteri kitinolitik Arthobacter sp. dan Hafnia sp. telah diketahui mampu mengendalikan Fusarium sp. dan Sclerotinia sp pada tanaman tomat dan arbei. Selain itu, Wenuganen (1996) berhasil mengklon gen kitinase dari Aeromonas caviae isolat WS7b yang diisolasi dari kepulauan Bangka. Genus bakteri yang telah banyak dilaporkan menghasilkan Kitinase antara lain Aeromonas, Alteromonas, Chromobacterium, Enterobacter, Ewingella, Pseudoalteromonas, Pseudomonas, Serratia dan Vibrio (Chernin et al. 1998). Beberapa spesies yang telah dipelajari antara lain Aeromonas sp, Bacillus cereus, B. licheformis (Pleban et al. 1997), Clostridium sp, Enterobacter liquefaciens, Flavobacterium
indolthecium,
Pseudomonas sp,
Serratia
Klebsiella marcencens,
sp,
Micrococcus
Vibrio
colpogenes,
parahaemaluticus,
V.
Alginolyticus, Bacillus dan Pyrococcus (Gao et al. 2003). Selain bakteri kelompok kitinolitik, bakteri tanah lain yang diketahui mampu menghambat pertumbuhan patogen adalah bakteri tahan panas, dan P fluorescens. Bakteri tahan panas yang telah banyak diketahui adalah bakteri golongan Bacillus sp. Golongan bakteri ini merupakan bakteri gram postif yang membentuk spora. Spora berfungsi untuk bertahan hidup pada suhu ekstrim sekitar 700 sampai 1000 C (Pelchzar dan Chan 1986). Sebagian besar bakteri genus Bacillus sp. bersifat saprofitik (Schaad 2001).
Bakteri saprofitik tidak memiliki kemampuan untuk menyebabkan
penyakit atau reaksi hipersensitif pada tanaman tembakau. Hubungan ini hanya dimiliki oleh bakteri patogen tumbuhan. Meskipun biasanya bakteri saprofitik masuk ke ruang antar sel dan mungkin bertahan hidup di sana untuk kurun waktu
16 yang lama, populasinya umumnya tetap (Goodman dan Novacky 1996). Bacillus
sp. memiliki daya tahan hidup yang cukup tinggi khususnya terhadap suhu tinggi karena menghasilkan endospora tahan panas (Compant et al. 2005), sehingga sangat potensial digunakan sebagai agens pengendali hayati patogen tumbuhan. Peran Bacillus sp. sebagai agens pengendali hayati sangat bervariasi tergantung isolat antagonis, patogen dan lingkungannya (Arwiyanto et al. 1999). Aktivitas antagonisme yang utama disebabkan oleh kemampuan menghasilkan antibiotik. Senyawa antibiotik golongan polipeptida mempunyai kemampuan penghambatan dengan melakukan penghambatan sintesis protein, dinding sel dan membran sel, misalnya pengaruh batricin pada bakteri yaitu terhadap biosintesis peptidoglikan. Penghambatan ini terjadi karena batricin mampu mengikat poliprenil pirofosfat yang merupakan salah satu materi penting dalam sintesis peptidoglikan. Pembentukan antibiotika terjadi ketika proses sporulasi (Franklin dan Snow 1981 dalam Salamah 1999). Penggunaan Bacillus spp. sebagai agens pengendalian hayati pada patogen tanaman telah banyak dilaporkan. Wartono (2010) melaporkan B. subtilis efektif menekan perkembangan Xanthomonas oryzae pv. oryzae di lapangan serta efektif dalam meningkatkan bobot gabah kering di lapangan mencapai 69. 2 gram/ rumpun. Arwiyanto et al. (1999) melaporkan bahwa pemanfaatan Bacillus sp. strain Ba-118 dapat menurunkan indeks penyakit layu bakteri sampai 60 % di percobaan rumah kaca. Yulianti et al. (1999) melalui pengujian laboratorium maupun pada tanaman di lapangan menghasilkan kesimpulan bahwa B. cereus mampu menurunkan serangan patogen R. solanacearum sampai 40%. Menurut Dropkin (1996), B. penetrans dapat menginfeksi larva Meloidogyne incognita yang masih aktif sehingga mempunyai potensi yang sangat tinggi sebagai agens pengendalian hayati. Spora mampu bertahan di dalam tanah, tidak dapat di bunuh oleh nematisida dan dibawah pengaruh tanaman inang yang rentan terhadap nematoda puru akar secara terus menerus, tanah dapat menimbun cukup spora untuk memusnahkan sebagian besar nematoda. Kelompok bakteri lain yang berpotensi sebagai agens hayati adalah bakteri P. fluorescens. Bakteri kelompok ini dicirikan dengan menghasilkan pigmen berwarna hijau kuning yang dapat digunakan untuk identifikasi serta klasifikasi.
17
Pigmen tersebut berupa senyawa flouresein atau pyoverdin yang berpendar di bawah cahaya ultraviolet (panjang gelombang 266 nm) (Misagi et al. 1982 dalam Khaeruni 1998). Penggunaan bakteri Pseudomonas kelompok fluorescence sebagai agens pengendalian hayati pada patogen tanaman telah banyak dilaporkan. Mariani (1995) mengisolasi 52 isolat bakteri dari daun kedelai, dan diperoleh 3 isolat masing-masing isolat B29, B30, dan B39 yang dinyatakan berpotensi untuk dikembangkan sebagai agens biokontrol. Penelitian Suwanto et al. (1996) melaporkan bahwa analisis supernatan bebas sel isolat P. flurescens B29 dan B39 tidak menghasilkan senyawa bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan X. campestris pv. glycines secara in-planta.
18
19
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan Lahan percobaan di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Sukabumi. Berada pada ketinggian 495 m dpl, 60, 430 LS, 1060, 48,32 BT. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Juni 2011.
Percobaan Pengaruh Varietas Kedelai, Mulsa jerami dan PGPR
Percobaan pengaruh varietas, mulsa jerami dan PGPR di lapangan dilakukan dalam Rancangan Acak Kelompok Faktorial yang terdiri dari 3 faktor perlakuan, masing-masing 2 taraf perlakuan, 3 kali ulangan sebagai berikut: 1. Varietas
: Anjasmoro (V1) dan Gepak Kuning (V2)
2. Mulsa Jerami : Dengan mulsa jerami (M1) dan Tanpa mulsa jerami (M2) 3. PGPR
: Dengan PGPR (P1) dan Tanpa PGPR (P2)
Lahan percobaan terletak di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Sukabumi, seluas 1344 m2 yang dibagi menjadi 24 petakan berukuran masing- masing 8 m x 8 m. Di dalam petak dibuat 8 guludan dengan ukuran 0.7 m x 8 m dan jarak antar guludan 0.3 m. Tiap guludan dibuat 2 baris tanaman dengan jarak 40 cm. Varietas kedelai (Anjasmoro dan Gepak Kuning) sebagai faktor perlakuan pertama masing-masing ditanam dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Setiap lubang tanam diisi 2 butir benih. Disamping guludan dibuat parit kecil untuk alur pupuk NPK dengan komposisi 1:1:1. Pemberian mulsa jerami padi sebagai faktor perlakuan kedua dilakukan setelah penanaman. Mulsa dipasang dengan cara menutupi keseluruhan permukaan tanah dengan jerami padi. Perlakuan biokontrol yang merupakan formulasi antara bakteri (B. subtilis AB 89 dan P. fluorescens RH4003) diberikan 2 minggu setelah tanam. Formulasi dibuat dari biakan B. subtilis AB89 dan P. fluorescens RH4003 yang dipanen
20
kemudian disuspensikan ke dalam 1 liter medium LB, dihomogenkan dengan inkubator bergoyang selama 24 jam. Apikasi dilakukan dengan cara menyiramkan 50 ml (konsentrasi 107-108 cfu/ml) suspensi disekitar pertanaman tanaman kedelai. Pengamatan Percobaan
Peubah pengamatan percobaan pengaruh varietas, mulsa jerami dan PGPR adalah sebagai berikut.
Keparahan dan Perkembangan Penyakit Keparahan penyakit diasumsikan sebagai persentase luasnya jaringan tanaman yang terserang patogen dari total luasan yang diamati, dengan memprediksi nilai skoringnya berdasarkan kriteria skoring (Sinclair et al. 1989) dan dihitung nilai keparahan penyakit berdasarkan rumus Townsend dan Hueberger (dalam Unterstenhofer 1963) sebagai berikut:
x 100%
Keterangan: KP = Keparahan penyakit ni = Jumlah tanaman yang terinfeksi pada setiap kategori vi = Nilai numerik masing-masing kategori serangan Z = Nilai numerik kategori serangan tertinggi N = Jumlah tanaman yang diamati Kriteria penilaian yang digunakan merupakan modifikasi dari gejala penyakit bercak yang biasanya terjadi pada daun kedelai (Sinclair 1982). Berdasarkan nilai keparahan penyakit dengan nilai skoring sebagai berikut: 0 = tidak ada serangan 1 = bercak pustul 0 > X > 5% dari total seluruh daun per tanaman 2 = bercak pustul antara 5 < X < 15% dari total seluruh daun per tanaman 3 = bercak pustul antara 15 < X < 30% dari total seluruh daun per tanaman 4 = bercak pustul antara 30 < X < 50% dari total seluruh daun per tanaman 5 = bercak pustul > 50% dari total seluruh daun per tanaman
21 Keparahan penyakit diamati tiap minggu mulain 1 minggu setelah tanam (1
MST) sejak munculnya gejala sampai 12 MST. Selain nilai keparahan penyakit, dihitung pula nilai Area Under Disease Progress Curve (AUDPC) untuk melihat perkembangan penyakit. Rumus AUDPC dihitung berdasarkan rumus Van der Plank (1963):
Dengan yi+1= Data pengamatan ke-i +1 yi = Data pengamatan ke-i ti +1 = Waktu pengamatan ke-i +1 ti = Waktu pengamatan ke-i
Kelimpahan Bakteri Kitinolitik, Tahan Panas dan Fluorescence
Pengujian diawali dengan pengambilan sampel tanah dari rizosfer tanaman sampel di lahan percobaan. Tanah diambil pada kedalaman + 10 cm didekat perakaran tanaman sampel. Pengambilan dilakukan dengan metode pengambilan sampel metode huruf S (Gambar 4). Sampel tanah diambil setiap satu bulan sekali selama pengamatan. Pengambilan sampel tanah dilakukan untuk mengetahui kelimpahan dan keragaman dan dari bakteri kitinolitik, tahan panas, dan kelompok fluorescence selama pengamatan.
Gambar 2 Metode pengambilan sampel metode S Penghitungan kelimpahan bakteri kitinolitik, tahan panas, dan kelompok
flourescence dilakukan tiap 1 bulan sekali melalui teknik pengenceran dan pencawanan. Tanah diambil secara acak dari pertanaman sebanyak 10 sampel
22
yang mewakili setiap perlakuan. Tanah diambil sekitar 20 cm dekat pertanaman.
Kemudian dilakukan isolasi melalui pengenceran dan pencawanan untuk menghitung populasinya. Bakteri rizosfer diisolasi dari tanah di sekitar perakaran tanaman contoh diambil sebanyak 20 gram pada kedalaman + 20 cm. Contoh tanah diambil pada saat kedelai berada pada fase vegetatif, tanaman berumur 3 minggu setelah tanam (MST), fase pembungaan (6 MST) dan fase pengisian polong (9 MST). 10 gram tanah dilarutkan dalam 90 ml aquades, dihomogenkan dengan shaker pada 120 rpm (15 menit). Dilakukan pengenceran berseri dan pencawan pada media KBA dan kitin. Setelah pengenceran, suspensi diambil sebanyak 0,1 ml (100 µl ) dari pengenceran bertahap (10-4, 10-6, 10-8, 10-10) masing-masing kemudian disebar (platting) dengan menggunakan glass beads pada media kitin untuk mengisolasi bakteri kitinolitik, KBA untuk mengisolasi bakteri kelompok flourescence, dan media TSA untuk mengisolasi bakteri tahan panas. Khusus untuk media TSA, pencawanan dilakukan setelah suspensi yang tersisa dipanaskan pada suhu 80 ºC (15 menit). Diinkubasi selama 2 hari dan dihitung jumlah koloni dan jenis bakteri pada masing-masing pengenceran.
Gambar 3 Seri pengenceran untuk isolasi bakteri dari tanah
Karakterisasi Isolat Bakteri Rizosfer
Karakterisasi isolat bakteri rizosfer secara umum dilakukan berdasarkan metode yang dikemukakan oleh Schaad (2001). Karakterisasi yang dilakukan meliputi uji Gram dan uji Hipersensitif. Pengujian tersebut dilakukan terhadap
23
semua isolat bakteri yang diperoleh. Setelah itu, dari masing-masing kelompok,
bakteri tahan panas, fluorescence dan kitinolitik dipilih isolat dengan populasi terbanyak. Kemudian dikarakterisasi secara morfologi dan fisiologi yang bertujuan untuk: 1. Mengetahui apakah populasi bakteri yang melimpah khusunya pada kelompok tahan panas dan fluorescence merupakan bakteri PGPR yang diaplikasikan sebelumnya. 2. Mendapatkan informasi calon agen antagonis untuk penyakit-penyakit pada kedelai
Pengujian Bakteri Secara Umum
Ciri dan Morfologi Koloni.
Pengamatan koloni dilakukan dengan
mengamati karakter koloni yang tumbuh pada masing-masing medium selektif yang digunakan. Media TSA untuk menyeleksi bakteri tahan panas, Kings`B untuk bakteri kelompok fluorescence dan media kitin agar untuk bakteri kitinolitik. Pengamatan meliputi: bentuk koloni, warna koloni, tepi koloni, elevasi dan zona bening (khusus untuk bakteri kelompok kitinolitik).
Koloni yang
tumbuh pada masing-masing media diamati bentuk, warna dan jumlahnya kemudian masing-masing dimurnikan. Uji Gram. Uji Gram merupakan pengujian bakteri yang penting untuk mengetahui pengelompokan bakteri ke dalam gram positif atau gram negatif. Pada praktikum kali ini dilakukan dengan perlakuan kalium hidroksida 3% (KOH 3%). Cara ini sangat mudah dan cepat untuk mengetahui jenis gram pada bakteri dibandingkan dengan metode pewarnaan gram. Prosedur pengujian gram bakteri dengan KOH 3%, yaitu dengan cara mengambil masa masing-masing isolat dari medium TSA dengan menggunakan ose. Kemudian dicampurkan dengan dua tetes larutan KOH 3% pada gelas objek. Kemudian diamati perubahan masa bakteri tersebut, berlendir atau tidak, terangkat dengan ose atau tidak. Perubahan masa bakteri menjadi berlendir dan terikut ketika diangkat menunjukkan bahwa bakteri tersebut bersifat gram negatif, begitupun sebaliknya jika pada saat diangkat tidak berlendir dan tidak terikut itu menunjukkan bahwa bakteri bersifat gram positif.
24
Uji Hipersensitif. Pengujian dilakukan untuk mengetahui sifat patogenisitas bakteri, apakah isolat tersebut patogen tumbuhan atau bukan. Uji dilakukan dengan menyuntikkan 1 ml suspensi bakteri yang berumur 24-48 jam pada jaringan daun tembakau. Suspensi diinjeksikan ke mesofil pada helaian daun melalui penyisipan (penusukan) jarum ke rongga hipodermis pada bagian lapisan lateral atau secara langsung ke lapisan daun. Jarum yang digunakan berukuran sedang (diameter 0.4 mm). Suspensi diinjeksikan sampai membasahi seluruh bagian interseluler (dapat diketahui jika permukaan jaringan sudah kebasah- basahan). Sebagai kontrol, daun lainnya diinjeksi dengan air steril. Bagian yang dilukai ditandai dengan menggunakan label. Selanjutnya tanaman diinkubasikan pada tempat-tempat yang teduh, dengan temperatur berkisar antara 22 0C – 25 0C. Adanya bagian yang kebasah-basahan (water soaking) pada bagian yang diinokulasi setelah 24 jam, atau kurang dari 48 jam yang diikuti dengan bercak nekrosa, adanya lokasi nekrosis yang berwarna coklat muda dalam waktu 3 hari, menunjukkan bahwa reaksi hipersensitif adalah positif. Adanya warna kekuning- kuningan atau kecoklat-coklatan di luar jaringan yang mati, atau tidak adanya reaksi yang kelihatan, maka dapat disimpulkan bahwa reaksinya adalah negatif.
Karakterisasi Bakteri Tahan Panas
Karakterisasi bakteri tahan panas dilakukan pengujian-pengujian sebagai berikut: Uji Endospora. Pengujian endospora dilakukan pada isolat bakteri tahan panas. Masing-masing isolat bakteri diambil secara aseptik dengan menggunakan jarum ose. Bakteri dioleskan secara menyebar merata pada gelas objek yang terlebih dahulu disterilkan dengan alkohol 70% dan diberi aquades. Isolat bakteri difiksasi di atas nyala bunsen sampai kering. Preparat ditutup dengan kertas yang mudah menyerap air, kemudian diletakkan diatas air mendidih selanjutnya ditetesi larutan larutan pewarna malachite green berlebihan selama lebih kurang 10 menit. Kemudian dicuci dengan air mengalir selama 30 detik. Setelah dikering anginkan selanjutnya ditetesi larutan safranin selama 1 menit lalu dibilas dengan air dan dikering anginkan. Kemudian diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran kuat. Sebagai indikasi terdapatnya endospora akan berwarna hijau, dan bagian sel
25
yang tidak mengandung endospora akan berwarna merah terang (Madigan et al.
1995). Uji Agar Darah. Uji agar darah dilakukan dengan menggunakan media Agar darah yang telah jadi. Ellen et al. (2009) menyatakan media Agar darah merupakan media differensial, media ini digunakan untuk membedakan bakteri berdasarkan kemampuan bakteri untuk melisis sel-sel darah merah. Ada tiga tipe hemolisis yaitu: a. Beta hemolisis (β-hemolisis) disebut sebagai lisis lengkap sel darah merah dan hemoglobin. Darah secara lengkap digunakan dan dilisis oleh mikroba, sehingga media yang ada koloninya menjadi tidak berwarna (bening). b. Alfa hemolisis (α-hemolisis) disebut sebagai lisis parsial/sebagian dari sel darah merah dan hemoglobin. Hal ini menghasilkan perubahan warna disekitar koloni menjadi abu-abu kehijauan. c. Gamma hemolisis (γ-hemolisis), tidak terjadi hemolisis, ditandai dengan tidak adanya perubahan warna dalam medium. Pengujian dilakukan dengan cara 5 isolat bakteri dari kelompok tahan panas masing-masing dibiakan dalam medium LB selama 1 malam, setelah itu, susun kertas saring pada medium agar darah, kemudian teteskan 5µl suspensi pada kertas saring, kemudian inkubasi selama 2 hari.
Karakterisasi Bakteri fluorescensce
Karakterisasi untuk kelompok bakteri fluorescence dilakukan uji LOPAT yang merupakan singkatan dari Levan, Oksidase, Potato soft root, Arginin, dan Tobacco Hypersensitive (Schaad 2001). LOPAT merupakan salah satu dari uji fisiologi terutama untuk kelompok Pseudomonas. Uji Levan. Uji levan dilakukan dengan menumbuhkan bakteri pada medium levan Pengujian ini bertujuan untuk melihat pembentukan enzim levan sukrase. Untuk melihat pembentukan enzim sukrase, bakteri ditumbuhkan dalam cawan petri yang berisi 5-10 ml NA yang telah ditambahkan 5% sukrosa kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 2 hari. Bakteri yang membentuk enzim levan sukrase akan memperlihatkan karakter koloni yang transparan sampai buram, bercahaya, berlendir (mucoid) dengan bentuk cembung yang jelas.
26 Uji Oksidase. Uji ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas enzim oksidase.
Enzim oksidase memegang peranan yang penting dalam operasi sistem transport elektron selama proses respirasi secara aerob. Biakan murni bakteri digoreskan pada kertas saring yang sebelumnya telah direndam dengan larutan kovac’s oksidase (tetramethylparaphenylenediamine dihydrochloride). Kemudian dilihat reaksi yang terjadi, reaksi dengan warna ungu dalam waktu 10 detik positif dan reaksi dengan warna ungu dalam waktu 60 detik disebut positif terlambat, sedangkan reaksi dengan warna ungu di atas 60 detik atau tidak ada reaksi, disebut negatif. Potato Soft Rot. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas pektolitik isolat bakteri yang diuji yakni dalam menghasilkan enzim pektinase (Schaad 2001). Pengujian ini dilakukan dengan cara menggoreskan isolat bakteri pada irisan umbi kentang yang telah disterilisasi permukaannya terlebih dahulu.kemudian diinkubasi selama 48 jam, dan dilihat rekasinya. Reaksi positif ditandai dengan adanya pembusukan (busuk lunak) berwarna cokelat pada bagian yang diinokulasi dengan bakteri. Hidrolisis Arginin. Pengujian reaksi hidrolisis arginin bertujuan untuk melihat kerja enzim arginin desmidase di dalam bakteri yang memiliki peranan sebagai pendegradasi arginin yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh pada kondisi anaerobik. Pengujian dilakukan dengan cara menginokulasikan bakteri pada medium arginin setelah itu diberi parafin steril, diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu ruang dan diamati reaksinya. Uji arginin dinyatakan positif jika terjadi perubahan warna media dari merah muda menjadi merah tua.
Karakterisasi Bakteri kitinolitik
Masing-masing isolat kitinolitik dengan populasi terbanyak kemudian dilihat aktivitas kitinasenya. Aktivitas kitinase diketahui dengan cara mengukur diameter zona bening yang dihasilkan oleh masing-masing isolat kitinolitik pada medium kitin. Aktivitas kitinase digolongkan menjadi beberapa kriteria diantaranya: 1. Sangat Kuat : Diameter zona bening > 2cm 2. Kuat
: Diameter zona bening 1.5-2 cm
27
3. Sedang
: Diameter zona bening 0.5-1.5 cm
4. Rendah
: Diameter zona bening < 0.5 cm.
Analisis Data
Data-data peubah pengamatan percobaan pengaruh varietas kedelai, mulsa jerami dan aplikasi PGPR terhadap keparahan dan perkembangan penyakit pustul bakteri dan kelimpahan bakteri rizosfer, dianalisis ragam (ANOVA) menggunakan piranti lunak SAS versi 9.1.3 dilanjutkan dengan Uji Perbandingan Nilai Tengah metode DMRT pada taraf 1 dan 5 %.
28
29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Varietas Kedelai, Mulsa Jerami dan Aplikasi PGPR terhadap Penyakit Pustul Bakteri
Gejala pustul bakteri mulai terlihat di lapang pada umur tanaman 1 minggu setelah tanam (MST) dengan keparahan penyakit yang masih rendah dan berkembang pada minggu-minggu berikutnya. Gejala awal penyakit pustul banyak ditemukan pada daun-daun muda bagian atas. dengan gejala pada daun terdapat bercak berwarna hijau pucat kekuningan dengan ukuran sebesar mata jarum. dengan bagian tengah agak menonjol (bisul), bercak nampak kebasah-basahan, kemudian bercak berkembang seiring dengan pertambahan umur tanaman. Pada gejala lanjut, bercak kemudian berwarna coklat muda sampai coklat tua, pada bagian inti bercak berwarna abu-abu bercak membesar, tepi bercak tidak teratur, mengering dan mudah sobek (Gambar 4 ).
Gambar 4 Gejala awal penyakit pustul bakteri pada 2 MST (a); Gejala lanjut penyakit pustul bakteri pada 7MST pada tanaman yang sama (b).
Perkembangan penyakit pustul bakteri pada 1 MST sampai 6 MST mengalami peningkatan yang tidak terlalu besar rata-rata peningkatan penyakit sebesar 1.51%. Akan tetapi, pada 7 MST penyakit pustul bakteri mengalami peningkatan yang cukup besar dengan rata-rata peningkatan keparahan penyakit sebesar 4.71% (Gambar 5) hampir pada seluruh kombinasi perlakuan kecuali pada perlakuan varietas Gepak Kuning, mulsa jerami dengan atau tanpa PGPR (V2M1P1,V2M1P2). Pada saat 7MST tanaman berada dalam stadium mulai
30
berbunga sampai berbunga penuh yang ditandai dengan terbukanya bunga
pertama pada setiap buku dan terbukanya bunga pada satu dari dua buku diatas pada batang utama dengan daun terbuka penuh. Dirmawati (2004) menyatakan bahwa masa pembungaan kedelai merupakan fase kritis tanaman kedelai terhadap penyakit pustul bakteri. 80 V1M1P1
KeparahanPenyakit(%)
70 60
V1M1P2 AUDPC = 208 AUDPC = 194 AUDPC = 181 AUDPC = 179 AUDPC = 149 AUDPC = 135 AUDPC = 47 AUDPC = 42
V1M2P1 V1M2P2 V2M1P1 V2M1P2
50
V2M2P1 V2M2P2
40 30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Waktu Pengamatan (Minggu)
Gambar 5
Rata-rata keparahan penyakit pustul bakteri pada 1 hingga 12 MST dan nilai AUDPC; V1: varietas Anjasmoro; V2: varietas Gepak Kuning; M1: dengan mulsa jerami; M2: tanpa mulsa jerami; P1: dengan PGPR; P2: tanpa PGPR.
Penyakit lain yang ditemukan di Lapangan selain pustul bakteri adalah karat, busuk pangkal batang (Sclerotium rolfsii) dan penyakit yang diduga disebabkan oleh virus. Karat merupakan penyakit yang dominan selain pustul yang ditemui di lapangan. Sedangkan penyakit busuk pangkal batang dan penyakit yang diduga disebabkan oleh virus hanya sedikit ditemukan menginfeksi tanaman kedelai di lapangan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan faktor tunggal varietas menunjukkan pengaruh sangat nyata (p < 0.01) terhadap perkembangan penyakit. Kombinasi perlakuan antara varietas dan pemberian mulsa jerami menunjukkan pengaruh nyata (p < 0.05) terhadap perkembangan penyakit (Tabel 1).
31
Tabel 1 Ringkasan hasil analisis ragam (Anova) perlakuan varietas, pemberian mulsa dan aplikasi PGPR terhadap perkembangan penyakit pustul bakteri (AUDPC) dan kelimpahan bakteri kitinolitik, tahan panas, fluorescence dan non-fluorescence
AUDPC
Perlakuan Varietas Mulsa PGPR Varietas XMulsa Varietas X PGPR MulsaXPGPR VarietasXMulsa X PGPR
Tahan panas TN TN TN
** TN TN * TN TN TN
Kelimpahan bakteri Kitinolitik fluorescence Non-
fluorescence
TN TN TN TN TN TN TN ** TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN
Ket: *) Nyata (5%), **) Sangat Nyata(1%), TN (Tidak Nyata)
Penggunaan varietas Gepak Kuning terbukti mampu
mengurangi
keparahan penyakit pustul bakteri. Berdasarkan hasil analisis ragam, diketahui bahwa keparahan penyakit
pada varietas Gepak
Kuning lebih rendah
dibandingkan varietas Anjasmoro. Nilai keparahan pada akhir pengamatan untuk varietas Anjasmoro adalah 60% sedangkan untuk varietas Gepak Kuning nilai keparahan penyakit jauh lebih kecil dibandingkan dengan varietas Anjasmoro yaitu 33%. Selain itu, perkembangan penyakit pada varietas Anjasmoro lebih besar dibanding pada varietas Gepak Kuning dilihat dari nilai AUDPC masing- masing sebesar 199 dan 99 unit (Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa varietas Gepak Kuning lebih mampu menekan perkembangan penyakit pustul dibanding
Keparahanpenyakit
varietas Anjasmoro. 80 60 40 20
Anjasmoro Gepak Kuning
35a 23a 18a 15b 22b 9a8a 12a12a 14a12a 11b
4a4a 6a6a
54a 61a 60a AUDPC = 199a 45a 36b 30b 35b 33b
AUDPC = 99b
0 1
2
3
4
5 6 7 8 Umur Tanaman (Minggu)
9
10
11
12
Gambar 6 Pengaruh varietas terhadap keparahan penyakit pustul bakteri dan nilai AUDPC. Agrios (2005) menyatakan bahwa banyak faktor yang dapat memengaruhi ketahanan tanaman. Ketahanan tanaman inang, dapat bersifat : (1) genetik, sifat
32
tahan diatur oleh sifat genetik yang dapat diwariskan, (2) morfologik, sifat tahan
yang disebabkan oleh sifat morfologi tanaman yang tidak menguntungkan patogen, dan (3) kimiawi, ketahanan yang disebabkan oleh zat kimia yang dihasilkan oleh tanaman. Hasil pengamatan di Lapangan, diketahui bahwa karakter daun pada varietas Gepak Kuning berbentuk lonjong, agak meruncing, tidak begitu lebar dan berwarna hijau gelap. Sedangkan, varietas Anjasmoro memiliki daun yang berbentuk oval, lebar dan warnanya lebih terang dibandingkan dengan varietas Gepak Kuning (Gambar 7). Diduga, adanya perbedaan morfologi tersebut menjadi salah satu faktor ketahanan terhadap penyakit pustul bakteri. Hal ini sesuai dengan penelitian Fanani et al. (1981), mengemukakan bahwa tanaman kedelai yang agak tahan terhadap penyakit daunnya lebih kaku dan warnanya lebih gelap sedangkan pada yang peka daunnya agak lemas dan warnanya lebih terang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa daun yang memiliki karakter lebih gelap dan kaku lebih sulit untuk diinfeksi patogen secara langsung dan cenderung lebih tahan terhadap luka mekanik (Sharma 1993). Semakin kecil terjadinya luka mekanik, maka memperkecil kemungkinan X. axonopodis pv. glycines masuk dan menginfeksi tanaman.
Gambar 7 Gejala penyakit pustul bakteri pada varietas Anjasmoro (a); Gejala penyakit pustul bakteri pada varietas Gepak Kuning pada 7 MST (b).
Singh (1986) menambahkan terhindarnya daun-daun dari serangan penyakit, kemungkinan disebabkan karena adanya ketahanan morfologis yaitu terdapatnya bulu-bulu daun (trichoma) pada permukaan daun, sedikitnya jumlah stomata dan ketidaksesuaian membuka dan menutupnya stomata dengan proses infeksi oleh patogen. Bakteri penyebab pustul (X. axonopodis pv. glycines) menginfeksi
33
tanaman kedelai melalui secara pasif melalui lubang alami seperti hidatoda dan
stomata atau melalui luka mekanik. Oleh karena itu, diduga jumlah hidatoda dan stomata, lebar sempitnya hidatoda dan stomata serta frekuensi membuka dan menutupnya stomata berpengaruh dalam ketahanan tanaman kedelai terhadap penyakit pustul. Akan tetapi, informasi mengenai hal tersebut pada varietas Anjasmoro dan Gepak Kuning belum diketahui. Selain dari karakter morfologi, sifat genetik tanaman juga mempengaruhi ketahanan tanaman. Agrios (2005) menyatakan bahwa adanya variasi dalam kerentanan tanaman terhadap patogen disebabkan adanya perbedaan gen yang mengendalikan ketahanan, tingkat patogenesitas dan faktor lingkungan. Pengaruh setiap gen ketahanan bervariasi mulai dari yang sangat besar sampai sangat kecil, tergantung pada fungsi yang dikendalikannya. Interaksi antara varietas dan pemberian mulsa jerami juga mempengaruhi terhadap penekanan perkembangan penyakit (Tabel 1). Kombinasi antara varietas Gepak Kuning yang diberi mulsa (V2M1) diketahui mampu menekan keparahan penyakit pustul dilihat dari nilai AUDPC yang sangat kecil (16.3 unit) dibandingkan dengan nilai pada perlakuan kontrol untuk varietas yang mencapai 114.3 unit. Diduga terjadi interaksi yang kompatibel antara varietas Gepak Kuning dengan pemberian mulsa (Gambar 8). 80
KeparahanPenyakit(%)
70 60 50
Anjasmoro dengan mulsa Anjasmoro tanpa mulsa Gepak Kuning dengan mulsa Gepak Kuning tanpa mulsa
40 30 20
AUDPC= 172.7 AUDPC= 151.7 AUDPC= 114.3 AUDPC= 16.3
10 0
Umur tanaman (minggu) Gambar 8
Pengaruh kombinasi antara varietas dan pemberian mulsa jerami terhadap keparahan penyakit pustul dan nilai AUDPC.
34
Berdasarkan hasil analisis sebelumnya diketahui varietas Gepak Kuning
lebih mampu menekan perkembangan penyakit pustul dibandingkan dengan varietas Anjasmoro. Pada Gambar 7 diketahui bahwa varietas Gepak Kuning yang diaplikasikan tunggal memiliki nilai perkembangan penyakit (AUDPC) sebesar 99 unit, sedangkan jika varietas Gepak Kuning yang diberi tambahan mulsa jerami maka menurunkan nilai AUDPC sebesar 16.3. Hal ini menunjukkan bahwa varietas Gepak Kuning akan lebih optimum dalam menekan perkembangan penyakit pustul jika diberi mulsa jerami. Penambahan mulsa jerami memberikan sumbangan bahan organik pada tanah. Lebih lanjut Mustaha (1999) menjelaskan bahwa penambahan bahan organik akan membentuk agregat tanah menjadi lebih baik sehingga aerasi, permeabilitas dan infiltrasi menjadi lebih baik. Kondisi ini akan mendorong perkembangan akar, sehingga kemampuan akar menyerap air dan unsur hara juga meningkat. Peningkatan serapan hara dan air akan berdampak pada peningkatan aktifitas fotosintesis yang secara langsung akan meningkatkan metabolisme tanaman sehingga tanaman menjadi lebih vigor, dan lebih tahan terhadap infeksi penyakit. Bahan organik juga berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap ketersediaan hara. Bahan organik secara langsung merupakan sumber hara N, P, S, unsur mikro maupun unsur hara esensial lainnya. Secara tidak langsung bahan organik membantu menyediakan unsur hara N melalui fiksasi N2 dengan cara menyediakan energi bagi bakteri penambat N2, membebaskan fosfat yang difiksasi secara kimiawi maupun biologi dan menyebabkan pengkhelatan unsur mikro sehingga tidak mudah hilang dari zona perakaran (Sharma 2002). Varietas Gepak Kuning diketahui sebelumnya lebih tahan terhadap pustul dibandingkan dengan varietas Anjasmoro. Varietas tanaman yang tahan diduga menghasilkan eksudat akar dengan kandungan senyawa yang cocok dibutuhkan oleh mikroorganisme tanah yang bermanfaat, sehingga mikroorganisme tanah lebih banyak tertarik pada perakaran varietas Gepak Kuning dan mampu berkembang secara optimal. Brimecombe et al. (2001) menjelaskan bahwa tingkat kolonisasi suatu agens biokontrol sangat dipengaruhi oleh eksudat tanaman. Pergerakan bakteri di dalam
35
rizosfer dipengaruhi antara lain oleh kandungan bahan kimia dalam eksudat
perakaran. Kandungan senyawa kimia yang ada dalam eksudat akar dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis dan umur tanaman. Komposisi mikroba dan kelimpahan spesies pada tanah yang berdekatan dengan tanaman berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan eksudat akar dan beragam tergantung pada faktor lingkungan yang sama yang mempengaruhi eksudasi. Salah satu cara mengatasi kekurangan bahan organik di tanah adalah dengan pemberiam mulsa jerami. Hasil analisis statistik diketahui bahwa pemberian mulsa jerami tidak berpengaruh nyata terhadap penekanan penyakit pustul bakteri (Tabel 1). Data hasil pengamatan keparahan penyakit pustul bakteri pada petak yang diberi mulsa dan tanpa mulsa ditampilkan pada Gambar 9. Pada awal pengamatan mulai 1 MST- 3MST dan 8 MST pemberian mulsa berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit dibandingkan dengan petak yang tidak diberi mulsa. Akan tetapi, secara umum dilihat dari nilai keparahan penyakit, pemberian mulsa tidak terlalu berbeda nyata dengan petak yang tidak diberi mulsa. Walaupun tidak berbeda nyata, perlakuan pemberian mulsa menghasilkan keparahan penyakit pustul bakteri yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tanpa mulsa dilihat dari nilai AUDPC dengan nilai masing-masing untuk mulsa dan tanpa mulsa adalah 112 unit dan 154 unit. Aplikasi mulsa jerami dilakukan satu kali pada awal penanaman setelah penanaman benih. Diduga, mulsa jerami yang diberikan ke tanah secara umum hanya dapat bertahan pada 3-4 minggu setelah aplikasi. 60
KeparahanPenyakit(%)
50 40
Tanpa Mulsa Mulsa
AUDPC = 154 AUDPC = 112
30 20 10 0 Waktu Pengamatan (Minggu)
Gambar 9 Pengaruh pemberian mulsa jerami terhadap keparahan penyakit pustul dan nilai AUDPC.
36
Hasil analisis ragam, aplikasi tunggal PGPR menunjukkan bahwa aplikasi
PGPR yang berasal dari kombinasi B. subtilis AB89 dan P. fluorescens RH4003 belum mampu mengendalikan penyakit pustul bakteri dilihat dari nilai keparahan penyakit dan AUDPC yang tidak berbeda nyata dengan petak kontrol (Gambar 10). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan aplikasi agens PGPR di lapangan. Agens PGPR diaplikasikan pada perakaran tanaman kedelai dengan konsentrasi yang cukup besar + 107-108 cfu/ml. Harapannya, dengan jumlah yang besar, peluang agens PGPR dalam mengkolonisasi perakaran juga semakin besar. Kemungkinan, agens PGPR yang diaplikasikan tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan harus bersaing dengan mikroorganisme lain yang sebelumnya telah ada di lapangan. Selain itu, aplikasi PGPR hanya dilakukan sekali pada awal penanaman. 60
KeparahanPenyakit(%)
50 40
PGPR AUDPC=128.7 AUDPC=123.4 Kontrol
30 20 10 0 Waktu Pengamatan (Minggu)
Gambar 10 Pengaruh aplikasi PGPR terhadap keparahan penyakit pustul dan nilai AUDPC.
Frekuensi juga diduga berpengaruh terhadap keberhasilan agen PGPR di lapangan. Hal ini berhubungan dengan kompetisi antara agens PGPR yang diaplikasikan dengan mikroorganisme asli. Nawangsih (2006) menambahkan bahwa walaupun inokulasi agens biokontrol biasa dalam jumlah besar, namun setelah beberapa bulan hanya sedikit yang berhasil diisolasi kembali. Dalam
37
jangka waktu tertentu strain yang diintroduksikan populasinya lebih dominan, akan tetapi secara perlahan akan digantikan oleh mikroorganisme penghuni asli. Oleh karena itu, aplikasi agens antagonis tidak cukup hanya sekali, harus dilakukan berulang. Dalam epidemiologi, langkah awal untuk mencegah terjadinya epidemi adalah dengan mengurangi inokulum awal. Salah satu caranya dengan perendaman benih menggunakan PGPR. Aplikasi melalui perendaman benih dilakukan untuk mempertahankan populasi dengan harapan B. subtilis AB89 dan P. fluorescens RH4003 mampu mengkolonisasi perakaran saat pertama muncul dari benih sebagai langkah langkah awal untuk perlindungan. Nawangsih (2006) melaporkan aplikasi melalui perendaman benih mampu mempertahankan populasi P. fluorescens RH4003 tetap tinggi (+ 108 cfu/g akar) hingga 25 hari setelah aplikasi. Hasil isolasi bakteri rizosfer diketahui bahwa keragaman bakteri rizosfer cukup tinggi pada lahan percobaan dilihat dari nilai keragaman pada petak kontrol untuk masing-masing varietas (V1M2P2 dan V2M2P2) (Tabel 3). Menurut Cook dan Baker (1996) keragaman mikroorganisme tanah juga akan sangat berpengaruh terhadap agen PGPR dalam pemanfaatan bahan makanan, ruang dan udara. Semakin banyak mikroorganisme saprofit di dalam tanah maka akan semakin tinggi persaingan antara PGPR dengan mikroorganisme saprofit lainnya terutama dalam pengambilan nutrisi/makanan. Nawangsih (2006) menyatakan bahwa untuk mengendalikan suatu penyakit, agens biokontrol dituntut tidak hanya terdapat dalam jumlah yang banyak tetapi harus dapat aktif mengekspresikan kemampuan antagonismenya dan tepat sasaran. Agens PGPR dengan mekanisme antagonis akan lebih efektif jika memiliki niche yang sama dengan patogen. Diketahui bahwa agens PGPR yang diaplikasikan merupakan bakteri rizosfer yang diisolasi dari rizosfer tanaman tomat, sedangkan bakteri penyebab penyakit pustul hidup di daerah filloplane. Sehingga, diduga mekanisme yang berperan adalah induksi ketahanan untuk meningkatkan aktivitas enzim peroksidase. Diduga, agen PGPR yang diaplikasikan kurang mampu dalam menginduksi ketahanan tanaman, atau kemungkinan ada agen PGPR indigenous
38
(PGPR yang sebelumnya telah ada/PGPR asli) yang lebih berperan dalam
menginduksi ketahanan tanaman terhadap penyakit pustul. Penelitian sebelumnya, diketahui bahwa P. fluorescence RH4003 dan B. subtilis AB89 dapat menekan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum di tomat masing-masing sebesar 22% dan 35% (Nawangsih 2006). Ketidakberhasilan P. fluorescence RH4003 dan B. subtilis AB89 dalam menekan perkembangan pustul bakteri pada kedelai dapat dikaitkan dengan hubungan antara jenis tanaman dengan agens PGPR yang diaplikasikan. Glick (1999)
mengemukakan bahwa hubungan antara tanaman dengan
mikroorganisme tanah dapat bersifat kompatibel atau tidak. Kompatibel, jika senyawa dan asam organik yang dikeluarkan oleh tanaman cocok dengan kebutuhan mikroorganisme tersebut sehingga dapat tumbuh secara optimal dan bersimbiosis mutualisme dengan tanaman.
Bakteri PGPR (P. fluorescence
RH4003 dan B. subtilis AB89) diisolasi dari tanaman tomat, sehingga ketika diaplikasikan kembali pada perakaran tomat cocok dengan habitat asal bakteri tersebut, sehingga bakteri PGPR tersebut
berkembang dengan optimal.
Kemungkinan, tidak terjadi kompatibilitas jika bakteri PGPR diaplikasikan pada tanaman kedelai karena senyawa dan asam organik yang dikeluarkan oleh akar tanaman kedelai kurang cocok dengan kebutuhan nutrisi bakteri PGPR yang diaplikasikan.
Pengaruh Varietas Kedelai, Mulsa Jerami dan Aplikasi PGPR terhadap Kelimpahan Bakteri Rizosfer
Koloni bakteri diperoleh dari hasil isolasi contoh tanah yang diambil tiga kali selama musim tanam, yaitu pada saat pertumbuhan tanaman pada fase vegetatif, pembungaan dan pengisian polong. Dari hasil isolasi diperoleh empat kelompok bakteri. Koloni bakteri tahan panas diperoleh dari medium TSA, bakteri kitinolitik diperoleh dari medium kitin. Dari medium KBA diperoleh dua kelompok bakteri, jika diamati dibawah lampu UV berpendar maka termasuk kelompok bakteri fluorescence, sedangkan jika tidak tergolong kelompok non- fluorescence.
39 Pertumbuhan bakteri pada medium TSA dan KBA lebih cepat (24-48 jam)
dibandingkan dengan pertumbuhan bakteri kitinolitik pada medium kitin (96-120 jam). Secara umum, jumlah koloni bakteri tahan panas banyak dibandingkan dengan bakteri lainnya (Gambar 11). 15% 31 %
Tahan panas Non-fluorescence Kitinolitik 24%
fluorescence
30%
Gambar 11 Total kelimpahan bakteri (%) pada masing-masing kelompok.
Secara umum, kombinasi perlakuan varietas, mulsa jerami dan aplikasi PGPR mampu meningkatkan kelimpahan bakteri rizosfer kelompok kitinolitik, tahan panas, fluorescence dan non-fluorescence dibandingkan dengan perlakuan kontrol pada masing-masing varietas (V1M2P2 dan V2M2P2) (Gambar 12). Menurut Graham (2005) mengemukakan bahwa keseimbangan biologi pada rizosfer untuk mengendalikan patogen dapat diciptakan dengan memanipulasi lingkungan yaitu dengan cara integrasi pengendalian hayati dan kultur teknis. Keseimbangan mikroorganisme selain dapat melindungi akar tanaman inang namun juga terdapat beberapa keuntungan yaitu produksi senyawa pemacu pertumbuhan tanaman atau peningkatan pengambilan hara dan air oleh akar tanaman. Kombinasi perlakuan varietas Gepak Kuning, dengan mulsa jerami dan dengan aplikasi PGPR (V2M1P1) menunjukkan nilai kelimpahan bakteri terbesar hampir pada semua kelompok bakteri, kecuali kelompok bakteri non- fluorescence. Selain itu, diketahui juga bahwa keragaman kelompok bakteri terbanyak terdapat pada kombinasi perlakuan Gepak Kuning yang diberi mulsa
40
jerami dan diaplikasikan PGPR (V2M1P1) (Tabel 2). Semakin beragam mikroorganisme
dalam
tanah
makan akan
semakin banyak peluang
mengendalikan patogen secara biologi.
Tabel 2 Pengaruh varietas, mulsa jerami dan aplikasi PGPR terhadap keragaman bakteri rizosfer (kelompok kitinolitik, tahan panas, non-fluorescence dan fluorescence) Keragaman bakteri (jumlah jenis) Perlakuan
Tahan panas Kitinolitik fluorescence Non-fluorescence 15 3 1 10 V1M1P1 5 7 1 9 V1M1P2 20 12 3 14 V2M1P1 7 19 1 11 V2M1P2 4 7 1 4 V1M2P1 10 9 2 3 V1M2P2 6 6 1 6 V2M2P1 4 3 1 6 V2M2P2 Ket : V1: varietas Anjasmoro; V2: varietas Gepak Kuning; M1: Dengan Mulsa Jerami; M2:Tanpa Mulsa Jerami; P1: Dengan PGPR; P2: Tanpa PGPR.
Hasil isolasi tanah diketahui bahwa kelimpahan bakteri rizosfer (kitinolitik,
tahan panas, fluorescence dan non-fluorescence) lebih banyak terdapat pada petak yang diberi mulsa jerami (Tabel 3). Oke dan Ologun (2005) menyatakan bahwa pemberian mulsa merupakan sumber energi bagi mikroorganisme yang hidup di dalam tanah yang selanjutnya akan didekomposisisi dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana. Sehingga, hasil dekomposisisi dapat dimanfaatkan langsung oleh tanaman. Adanya interaksi yang kompatibel antara mikroorganisme dalam tanah dengan varietas Gepak Kuning memungkinkan terjadinya penekanan terhadap perkembangan penyakit pustul bakteri.
Tabel 3 Pengaruh pemberian mulsa jerami terhadap kelimpahan bakteri rizosfer
Kelimpahan bakteri kelompok-(log cfu/g) Perlakuan Mulsa Jerami Tanpa Mulsa jerami
Tahan panas Kitinolitik fluorescence Non- fluorescence 12.09 a 7.94 a 6.36 a 11.70 a 11.90 a 7.10 a 5.02 a 11.37A
Ket : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%).
Tahan Panas
Kitinolitik 9.4a 8.3a 6.0a
6.5a
4 2 0
8.4 ab
10 fluorescence 8 6.4 ab 6.3 ab 5.8 ab 6 Kelimpahanbakteri(logcfu/g)
7.5a 7.1a
Kelimpahanbakteri(logcfu/g)
8 6
7.1a 7.6a
4 2 0
4.9 a 5.6 a 3.1 a
12.4a
12,4
4.9 a
12,2
12.0a 12.0a
12 11,8
11.9a
12.1a 12.0a 11.8a
11.7a
11,6 11,4 11,2
Non-fluorescence 12 Kelimpahanbakteri(logcfu/g)
Kelimpahanbakteri(logcfu/g)
10
11,5
11.8a
11.9a 11.8a 11.7a
11.6a
11.3a 11.1a 11.0a
11
10,5
Gambar 12 Diagram kelimpahan masing-masing kelompok bakteri pada kombinasi perlakuan dibandingkan dengan kontrol pada masing-masing varietas; V1: varietas Anjasmoro; V2: varietas Gepak Kuning; M1: dengan mulsa jerami; M2:tanpa mulsa jerami; P1: dengan PGPR; P2: tanpa PGPR.
42
Semua isolat yang diperoleh selanjutnya,
di uji Gram dengan
menggunakan KOH 3%, diketahui bahwa rata-rata pada kelompok bakteri tahan panas dan non-fluorescence sebagian besar merupakan kelompok bakteri gram positif. Sedangkan semua isolat bakteri fluorescence yang diperoleh termasuk ke dalam kelompok bakteri gram negatif. Dan hanya satu dari 97 isolat bakteri kelompok kitinolitik yang termasuk gram negatif, sisanya termasuk kelompok gram positif. Ciri khas pengelompokkan kelompok bakteri berdasarkan gram positif dan negatif terutama didasarkan pada perbedaan lapisan peptidoglikan yang menyusun dinding sel bakteri. Menurut Pelchzar dan Chan (1986) bakteri gram positif memiliki lapisan peptidoglikan yang tebal berupa asam teiokat, sedangkan bakteri gram negatif memiliki lapisan peptidoglikan pada dinding sel yang tipis. Sehingga, perlakuan KOH 3% terhadap massa bakteri gram negatif akan menyebabkan rusaknya dinding sel bakteri dan melepas DNA yang merupakan komponen yang bersifat viscid (seperti lendir). Selain pengujian gram, karakteristik yang dilakukan lainnya adalah pengujian hipersensitif. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah isolat tersebut patogen tumbuhan atau bukan. Hasil pengujian diketahui bahwa, sebanyak 85% dari total semua populasi bakteri bukan merupakan bakteri patogen tumbuhan yang ditandai dengan reaksi negatif dari uji hipersensitif. Hal ini, menunjukkan bahwa kelompok bakteri tahan panas, kitinolitik
fluorescence dan non
fluorescence yang ada pada petak yang diberi perlakuan lebih banyak bakteri yang menguntungkan terhadap tanaman. Hasil analisis statistika diketahui bahwa aplikasi PGPR berpengaruh terhadap peningkatan kelimpahan bakteri kelompok fluorescence (Tabel 4). PGPR yang diaplikasikan merupakan kombinasi antara B. subtilis AB89 dan P. fluorescens RH4003. Ada kemungkinan bakteri fluorescence yang diaplikasikan terisolasi kembali. Oleh karena itu, dilakukan karakterisasi secara morfologi dan fisiologi terhadap 5 jenis isolat terbanyak, dengan asumsi bahwa bakteri tersebut merupakan bakteri yang lebih dominan dan mampu bertahan dibandingkan dengan bakteri lain. 5 isolat terbanyak untuk kelompok fluorescence adalah F3, F4, F7, F9 dan F11.
43
Tabel 4 Pengaruh perlakuan varietas, mulsa jerami dan aplikasi PGPR terhadap kelimpahan bakteri rizosfer
Kelimpahan bakteri(log cfu/g tanah) Kitinolitik Tahan panas fluorescence Non-fluorescence Anjasmoro 7.26 a 11.97 a 5.42 a 11.31 a Gepak Kuning 7.78 a 12.03 a 5.96 a 11.77 a Mulsa Jerami 7.94 a 12.09 a 6.36 a 11.70 a Tanpa Mulsa 7.10 a 11.90 a 5.02 a 11.37 a jerami PGPR 8.02 a 12.02 a 6.69 a 11.63 a Tanpa PGPR 7.02 a 11.97 a 4.69 b 11.45 a Perlakuan
Ket : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%).
Karakterisasi Morfologi dan Fisiologi Isolat Terbanyak
Bakteri Tahan Panas
Hasil isolasi diketahui lima isolat terbanyak untuk kelompok bakteri tahan panas yaitu T31, T42, T48, T61 dan T70. Karakterisasi fisiologi yang dilakukan adalah uji endospora dan uji pada medium agar darah. Hasil pengujian endospora melalui pewarnaan malachite green dan pewarna lawan safranin pada semua isolat yang diuji menunjukkan endospora berwarna hijau dengan sel vegetatifnya berwarna merah muda seperti tampak pada Gambar 13.
a
b
Gambar 13 Endospora T61 (hijau) didalam sel vegetatifnya (merah), posisi endospora ditengah (a); Endospora T70 (hijau) didalam sel vegetatifnya (merah), posisi endospora didekat ujung (b); Insert: Endospora ditengah sel (kiri), endospora diujung sel (kanan)
44
Tabel 5 Hasil pengujian endospora isolat tahan panas terbanyak
No 1 2 3 4 5 6
Kode isolat T31 T42 T48 T61 T70 B. subtilis AB89
Ada/tidaknya endospora Ada Ada Ada Ada Ada Ada
Posisi endospora Dekat ujung Dekat ujung Tengah Tengah Dekat ujung Dekat ujung
Hasil pengujian, seperti tersaji pada Tabel 5 diketahui bahwa semua isolat
tahan panas yang diuji memiliki endospora, akan tetapi, diketahui ada tiga isolat yang memiliki posisi endospora yang sama dengan B. subtilis AB89 diantaranya adalah T31, T42 dan T70. Menurut Pelczar dan Chan (1986) endospora berfungsi sebagai struktur bertahan. Dibandingkan dengan sel vegetatif, endospora sangat resisten terhadap kondisi-kondisi fisik yang kurang menguntungkan seperti suhu tinggi dan kekeringan juga terhadap bahan-bahan kimia seperti desinfektan. Beberapa ahli telah menghubungkan resistensi ini dengan selubung spora yang impermeable, yang berkaitan dengan kompleks asam dipikolinatkalsium- peptidoglikan. Keadaan ini menjadi penting bagi ketahanan hidup Bacillus sp. khususnya sebagai agensia pengendalian hayati. Beberapa jenis bakteri yang memiliki endospora selain Bacillus sp, adalah Clostridium sp dan Sporosarcina sp. Hasil pengamatan diketahui posisi endospora dapat terletak ditengah dan didekat ujung sel. Menurut Salle (1973) masing-masing spesies Bacillus memiliki karakteristik tersendiri baik ukuran, bentuk dan posisi spora walaupun variasi ini bisa berubah dalam lingkungan yang berbeda. Selain endospora, uji lain yang dilakukan adalah uji pada medium agar darah. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui sifat lisis dari isolat bakteri terhadap medium agar darah. Hasil pengujian diketahui bahwa B. subtilis AB89 menunjukkan reaksi lisis yang bersifat β-hemolisis, ada 3 isolat yang menunjukkan reaksi yang sama dengan B. subtilis AB89 yaitu isolat T42, T48 dan T70 (Tabel 6 dan Gambar 14).
45
Tabel 6 Reaksi lisis isolat terbanyak kelompok tahan panas pada medium agar darah
No 1
Kode isolat T31
Sifat lisis γ-hemolisis
Keterangan Tidak adanya perubahan warna
2
T42
β-hemolisis
Terlisis sempurna. warna lisis bening
3
T48
β-hemolisis
Terlisis sempurna. warna lisis bening Tidak adanya perubahan warna
4
T61
γ-hemolisis
5
T70
β-hemolisis
Terlisis sempurna. warna lisis bening
6
B. subtilis AB89
β-hemolisis
Terlisis sempurna. warna lisis bening
Gambar 14 Reaksi hemolisis pada agar darah isolat bakteri tahan panas terpilih (tampak depan) (A); Reaksi hemolisis pada agar darah isolat bakteri tahan panas terpilih (tampak belakang) (B); a)T31, b) T42, c) T48, d) T61, e) T70, f) B. subtilis AB89, g) kontrol (LB); γ-hemolisis (tanda panah biru), β-hemolisis (tanda panah kuning).
Hasil uji endospora dan uji pada medium agar darah, diketahui isolat T42, T48 dan T70 memiliki kesamaan dengan isolat B. subtilis AB89. Akan tetapi, dilihat secara morfologi terdapat perbedaan antara isolat T42, T48 dan T70 dengan isolat B. subtilis AB89 (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa isolat tersebut diduga bukan merupakan B. subtilis AB89. Diduga, B. subtilis AB89 kurang mampu bertahan dan bersaing dengan mikroorganisme lain yang sebelumnya telah ada di lapangan. Simon et al (2001) menyatakan bahwa strain Bacillus pertumbuhannya relatif terbatas dibanding strain Pseudomonas.
46
Tabel 7 Morfologi isolat T42, T48, T70 dan B. subtilis AB89
Kode Isolat T42 T48
Bentuk Warna Tepian Elevasi Berlendir/ Tidak Bundar Putih kusam Licin Cembung Tidak Bundar Putih kusam Berombak Cembung Tidak
T70 Bundar B.subtilis Bentuk AB89 L
Putih kusam Seperti benang Timbul Tidak Putih kusam Berombak Datar Tidak
Bakteri Fluorescence Kelompok yang kedua yang dikarakteristik adalah kelompok fluorescence. Isolat terbanyak pada kelompok ini adalah F3, F4, F7, F9 dan F11. Hasil uji LOPAT, diketahui hanya isolat F9 yang berbeda dengan bakteri PGPR yang diaplikasikan (P. fluorescens RH4003). Sedangkan, isolat lainnya menunjukkan karakter yang sama dengan bakteri PGPR yang diaplikasikan (Tabel 8). Tabel 8 Hasil uji LOPAT isolat kelompok fluorescence terbanyak
Uji LOPAT Kode isolat
Levan Oksidase Potato Soft rot
Arginin Tobacco hyper- NonBer- sensitive parafin parafin + + -
F3
+
+
-
F4 F7 F9 F11 P. fluorescens RH4003
+ + - +
+ + - +
- - + -
+ + - +
+ + - +
- - - -
+
+
-
+
+
-
Hasil uji levan, diketahui hanya isolat F9 yang bereaksi negatif (Tabel 8).
Sedangkan isolat lainnya menunjukkan reaksi yang positif. Reaksi positif ditandai dengan koloni yang cembung, membentuk kubah (Gambar 15). Levan terbentuk sebagai akibat aktifitas enzim dari levan sukrase dalam sukrosa (disakarida yang terdiri dari glukosa dan fruktosa). Glukosa dimetabolisme dan fruktosa dipolimerasi (Schaad 2001).
47
Gambar 15 Uji levan isolat fluorescence (A); Reaksi positif uji levan, koloni seperti kubah (cembung jelas), putih, mucoid (B); Reaksi negatif uji levan, koloni datar, tidak berkilau dan transparan (C).
Pengujian yang kedua adalah uji oksidase. Enzim oksidase memegang peranan yang penting dalam operasi sistem transport elektron selama proses respirasi secara aerob. Cytocrom oksidase, mengkatalisis oksidasi dengan mereduksi molekul oksigen (O2), menyebabkan atau menghasilkan bentuk H2O atau H2O2. Bakteri yang anaerobik, sebagiamana beberapa yang fakultatif anaerobik dan mikro aerophilik, memperlihatkan aktifitas oksidase (Salle 1973).
Gambar 16 Reaksi oksidase isolat fluorescence (A); Reaksi oksidase positif (+) berwarna ungu (B.a); Reaksi oksidase negatif (-) tidak terjadi perubahan warna (B.b). Pengujian yang ketiga adalah Potato Soft Root. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas pektolitik isolat bakteri yang diuji yakni dalam menghasilkan enzim pektinase (Schaad 2001). Diketahui bahwa hanya isolat bakteri F9 yang bereaksi positif, artinya hanya isolat
bakteri tersebut yang
mampu menghasilkan enzim pektinase (Gambar 17). Sedangkan, pengujian terakhir yaitu reaksi hidrolisis arginin. Hasilnya diketahui bahwa isolat F3, F4, F7
48
dan F11 bereaksi positif. Hal ini menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut bersifat anaerob. Fahl dan Hayward (1983) menyatakan bahwa enzim arginin desmidase di dalam bakteri memiliki peranan sebagai pendegradasi arginin yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh pada kondisi anaerobik. Enzim-enzim tersebut (generate) ATP dengan cara mengubah arginin menjadi ornitin dengan cara menggenerasi CO2 dan NH3. Perubahan warna terjadi karena reaksi yang bersifat alkalin merupakan reaksi yang bersifat alkalin dari produksi NH3 pada lingkungan yang anaerob.
Gambar 17 Reaksi potato soft rot positif (+) umbi busuk. Kecoklatan, berlendir (A.a); Reaksi potato soft rot negatif (-) umbi segar, tidak terjadi perubahan warna (A.b); Reaksi potato soft rot pada isolat fluorescence (B).
Dari hasil semua pengujian karakterisasi pada kelompok
fluorescens,
diketahui hampir semua isolat bakteri yang diuji menunjukkan karakteristik yang sama dengan bakteri PGPR yang diaplikasikan yaitu P. fluorescens RH4003, kecuali isolat F9. Dilihat dari morfologi koloni isolat yang mirip dengan P. fluorescens RH4003 adalah isolat F4 dan F7. Untuk lebih meyakinkan, seharusnya dilakukan analisis secara molekuler untuk mengetahui kemiripan isolat tersebut.
Bakteri Kitinolitik Karakterisasi juga dilakukan pada kelompok bakteri kitinolitik. Berdasarkan hasil pengujian diketahui 5 isolat bakteri kitinolitik dengan populasi terbanyak, memiliki aktifitas zona bening yang beragam. Mulai dari sangat kuat sampai
49
rendah. Isolat kitinolitik terbanyak adalah K17,
K21, K29, K31 dan K37.
Hasilnya diketahui bahwa isolat kitinolitik K17 mempunyai aktifitas kitinolitik yang sangat kuat sebesar 2.1 cm (Gambar 18). Bakteri penghasil enzim kitinolitik banyak berada pada habitat yang memiliki kandungan kitin tinggi, seperti kompos yang mengandung kitin (Sakai et al. 1998), eksosskeleton crustaceae (Vogan et al. 2002), air laut, sedimen laut (Brzezinska dan Donderski 2001) dan tanah (Chernin et al. 1995)
Gambar 18 Aktivitas kitinolitik isolat K17 pada medium kitin.
Adanya aktifitas zona bening pada medium kitin, menunjukkan bahwa bakteri mempunyai kemampuan untuk menghasilkan enzim kitinolitik yang mampu mendegradasi kitin. Lebih lanjut dijelaskan Patil (2004) Enzim kitinolitik merupakan enzim ekstraseluler untuk pengambilan nutrisi dan parasitisme. Brzezinska dan Donderski (2001) menambahkan, bakteri memproduksi enzim kitinolitik untuk mendegradasi kitin sehingga memperoleh N-asetilglukosamin sebagai nutrisi karbon dan nitrogen untuk proses hidup bakteri. Thompshon et al (2001) melaporkan bahwa degradasi kitin oleh enzim kitinolitik bakteri adalah untuk memperoleh N-asetilglukosamin yang selanjutnya akan dimetabolisme sehingga menghasilkan energi, CO2, H2O dan NH3. Menurut Metclaf et al (2002) peranan bakteri kitinolitik penting dalam mempertahankan siklus karbon dan nitrogen dari degradasi kitin dalam ekosistem. Hasil isolasi kelompok bakteri ini dapat dijadikan koleksi untuk kemudian dapat dijadikan calon agen antagonis untuk penyakit-penyakit pada kedelai.
50
51
KESIMPULAN
Varietas, pemberian mulsa jerami dan aplikasi PGPR secara bersama-sama tidak mempengaruhi perkembangan penyakit pustul bakteri pada kedelai. Tetapi, hanya faktor varietas dan interaksi antara varietas dengan pemberian mulsa jerami yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan penyakit
pustul.
Perkembangan penyakit pustul bakteri pada varietas Gepak Kuning lebih rendah dibandingkan dengan pada varietas Anjasmoro. Kombinasi perlakuan varietas Gepak Kuning dan pemberian mulsa jerami mampu menekan perkembangan penyakit pustul bakteri dibandingkan dengan kombinasi perlakuan yang lain. Aplikasi PGPR hanya meningkatkan kelimpahan bakteri kelompok fluorescence, sedangkan perlakuan lainnya tidak mempengaruhi kelimpahan bakteri rizosfer.
SARAN
1. Perlu dilakukan pengujian aplikasi PGPR di lapangan dengan frekuensi dan dosis yang berbeda. 2. Perlu adanya identifikasi secara molekuler untuk mengkonfirmasi hasil identifikasi.
52
53
DAFTAR PUSTAKA
[ATTRA] Appropiate Technology Transfer for Rural Areas. 2001. Biointensive Integrated Pest Management (IPM) fundamentals of sustainable agriculture. NCAT Agr Specialist [On-line] .http://attra.ncat.org/attra-pub/ipm.html. [15 Juli 2010]. Agarwal VK, Sinclair JB. 1997. Principles of Seed Pathology 2nd Ed. Boca Rotan, Florida: CRC Press Inc. Agrios GN. 2005. Plant Pathology 5th Ed. San Diago: Elsivier Academic Press. Anggraeni DK, Tjahyono B, Suwanto A, Aswidinnor H. 1995. Pengujian ketahanan genotip kedelai terhadap penyakit bisul bakteri. Bul Agron 23 (3) 14-19. Arwiyanto T, Sudarmadi, Hartana I. 1999. Deteksi strain Pseudomonas solanacearum penghasil bakteriosin. J Perlintan Indonesia. 2 (2): 60 - 65. Baker KF, Cook RJ. 1983. Biological Control of Plant Pathogen. San Fransisco: Freeman and Co. Balitkabi [Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian]. 2008. Hama dan Penyakit Penting pada Tanaman Kedelai [On-line]. http://balitkabi.litbang.deptan.go.id. [10 April 2011]. Bolan NS. 1991. A critical review of the role of mycorrhizae fungi in the uptake of phosphorus by plants. J Plant and Soil 134: 189-207. Brimecombe MJ, Leij FA, Lynch JM. 2001. The effect of root exudates on rhizosphere microbial populations. Di dalam: Pinton R, Varanini Z, Nannipieri P. Editors. The Rhizosphere: Biochemistry and organic subtances at the soil plant interface. New York: Marcel Dekker, Inc. 95-140. Brzezinska MS, Donderski W. 2001. Occurance and activity of the chitinolytic bacteria of Aeromonas genus. Polish J of Enviro Studies 10 (1): 27 – 31. Chernin LS, Michael KW, Jacquelyn MT, Shoshan H, Barrie WB, Cheat W, Gordon SAB, Stewart. 1998. Chitinolytic activity in Chromobacterium violaceum. J. Bacteriol 18: 435-441. Compant S, Duffy B, Nowak J, Clement C, Barka EA. 2005. Mini review: Use of plant growth-promoting rhizobacteria for biocontrol of plant diseases: principles, mecanism of action and future prospect. Appl Environ Microbiol 71: 4951-4959. Cook RJ, Baker KF. 1996. Biological Control of Plant Patogen 2nd Ed. San Fransisco: Freeman and Co. Crosa JH, Walsh CT. 2002. Genetics and assembly line enzymology of siderophore biosynthesis in bacteria microbiology and molecular biology review. 66:223-249.
54
Dirmawati SR. 2004. Kajian keefektifan beberapa komponen pengendalian ramah lingkungan terhadap penyakit pustul bakteri kedelai [disertasi]. Departemen Proteksi Tanaman; Institut Pertanian Bogor; Bogor. Doring T, Heimbach U, Thieme T, Finckch M, Saucke H. 2006. Aspect of straw mulching in organic potatoes-I, effects on microclimate, Phytophtora infestans, and Rhizoctonia solani. Nachrichtenbl. Deut. Pflanzenschutzd. 58 (3):73-78. Dufour R. 2001. Biointensive Integrated Pest Management (IPM). NCAT Agri Specialist [On-line]. http://www.attra.org/attra-pub/PDF/ipm.pdf.[15 Juli 2010]. Ellen Yeh, Benjamin A. Pinsky, Niaz Banaei, Ellen Jo Baron. 2009. Hair Sheep Blood,Citrated or Defibrinated, Fulfills All Requirements of Blood Agar for Diagnostic Microbiology Laboratory Tests. J Med 4(7): 6141. Fahl R, Hayward AC. 1983. Systematic and Phylogeny of Pseudomonas solanacearum and related Bacteria.Di dalam: Hayward, A. C. and G. L. Hartman. Bacterial Wilt. The Disease and The Causative Agents Pseudomonas solanacearum (Eds). Wallingford: CABInternational. 123 – 136. Fanani FA, Nurdin, Djafaruddin. 1981. Uji Ketahanan Beberapa Varietas dan Galur Kedelai Terhadap infeksi Secara alamiah dari Penyakit Karat Daun (Phakopsora pachyrhizi Syd.). Kongres Nasional PFI ke VI. Padang. 40- 46. Franklin dan Snow. 1981. Di dalam: Salamah. 1999. Pengendalian Hayati Penyakit Layu Fusarium Pada Tanaman Semangka Dengan Bacillus spp. [tesis]. Yogyakarta: Program Pascasarjana: Universitas Gadjah Mada. Gao JMW, Bauer KR, Shockley MA, Pysz RM, Kelly. 2003. Growth of Hiperthermophilic Archaeon Pyrococcus furiosus on Chitin Involves Two Family 18 Chitinases. J Appl Environ Microbiol. 69:319-3128. Glick Br, Patten CL, Holguin G, Penrose DM. 1999. Biochemical and Genetic Mechanism Used by Plant Growth Promoting Bacteria. Ontario: Imperial Collage Press. Goodman RN, Novacky AJ. 1996. The Hypersensitive Reaction in Plant to Pathogens, A Resisten Phenomenon. St. Paul. Minnesota: APS Press. Graham Jh. 2005. Biological Control of Soilborne Plant Pathogens and Nematodes 2nd Ed. New Jerse: Pearson Education Inc. Hafizah F. 2009. Introduksi Bakteri Rizosfer Indigenous dan Penggunaan Mulsa Jerami pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascal onicum L) untuk Menekan Laju Perkembangan Penyakit Hawar Daun Bakteri [tesis]. Padang: Program Pascasarjana, Universitas Andalas. Handini ZVT. 2011. Keefektifan Bakteri Endofit dan Plant Growth Promoting Rhizobacteria dalam Menekan Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) pada Tomat [skripsi]. Departemen Proteksi Tanaman: Institut Pertanian Bogor: Bogor.
55
Hartman GL, Sinclair JB, Rupe JC. 1999. Compendium of Soybean Diseases 4 Ed. United State Of America: The American Phytopathology Society Press. th
Khaeruni AR. 1998. Pengaruh Bakteri Kitinolitik dan Fotosintetik Anoksigenik terhadap Kemampuan Pseudomonas flourescens B29 sebagai Biokontrol Penyakit Bisul Bakteri pada Kedelai [Tesis]. Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor; Bogor. Kohnke H, Bertrand AR. 1959. Soil Conservation. New York: McGraw Hill. Machmud M. 1987. Pengamatan penyakit pustul bakteri dan hawar bakteri kedelai. Di dalam: Gatra penelitian penyakit tumbuhan dalam pengendalian secara terpadu. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. p35-37. Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 2000. Brock Biology of Microorganisms. New Jersey: Prentice-Hall. International Edition. Mahmood M, Farroq K, Hussain A, Sher R. 2002. Effect of mulching on growth and yield of potato crop. Asian J. of Plant Scie. 1(2):122-133. Mariani. 1995. Isolasi dan seleksi bakteri filosfer yang berpotensi untuk biokontrol Xanthomonas campestris pv. glycines 8 Ra pada tanaman kedelai dengan esei nukleasi es. Bogor: Jurusan Biologi, Fakultas MIPA IPB. Mastur, Sunarlim N. 1993. Pengaruh drainase/irigasi dan pemberian mulsa jerami padi terhadap sifat fisik tanah dan keragaan kedelai. Risalah hasil Penelitian tanaman Pangan I. Bogor:BPPT 67-74.
Metcalf AC, Krsek M, Gooday GW, Prosser JI, Wellington EMH. 2002. Molecular analysis of a bacterial chitinolytic community in an upland pasture. J Appl Environ Microbiol. 68:5042–5050. Mustaha MA. 1999. Studi aplikasi mulsa jerami padi dan cara pengolahan tanah terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung serta dinamika populasi gulma. [tesis]. Bogor: program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nawangsih AA. 2006. Seleksi dan karakterisasi bakteri biokontrol untuk mengendalikan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Oerke EC, Dehne HW, Schonbeck F, Weber A. 1999. Crop Production and Crop Protection: estimated losses in major food and cash crops. Netherlands: Elseiver Science B.V. Oke DO, Ologun. 2005. Effect of mulch from four agroforestry species on the moisture content, temperature and microbial population in a humid tropical soil. J of Microbiol Scie 5(3): 326-329. Patil NN, Nawani NN, Thakkar AP, Kapadnis BP. 2004: Diversity of chitinolytic systems of bacteria. Di dalam: Biotechnological approaches for sustainable development. India: Allied Publishers.
56
Pelczar MJJr, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume ke-1,2.. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Jakarta :UI Pr; 1986. Terjemahan dari: Elements of Microbiology. Pleban S, Chernin L, Chet I. 1997. Chitinolytic enzymes of an endophytic strain of Bacillus cereus. Lett. J Appl Microbiol. 25: 284-288. Porter, J. R. 1946. Bacterial Chemistry And Physiology. New York: John Wiley and Sons Inc. Rukayadi Y, Suwano A, Tjahono B, Harling R. 1999. Survival and Epiphytic fitness of a Non Pathogenic Mutant of Xanthomonas campestris pv. glycines. J App Environ Microbiol. 66 (3), 1183-1189.
Rukmana R, Yuniarsih Y. 1996. Kedelai: Budidaya dan Pasca Panen. Yogyakarta:Kanisius. Sakai K, Yokota A, Kurokawa H, Wakayama M, Moriguchi M. 1998. Purification and characterization of three thermostable endochitinases of a noble Bacillus strain, MH-1, isolated from chitin-containing compost. J Appl Environ Microbiol 64: 3397–3402. Salle A J. 1973. Fundamental Principles of Bacteriology. 7th edition. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company. Schaad NW. 2001. Laboratory Guide for Identification of PlantPathogenic Bacteria 3rd Ed. St. Paul. Minnesota: APS Press. Semangun H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sharma AK. 2002. Organic Farming. India: Central Arid Zone Research institute Jodhpur, Agrobios. Sharma O P, 1993. Plant Taxonomy. New Delhi: Tata McGraw Hill Poblishing Company Limited. Sigh DP. 1986. Breeding for Resistance to Disease and Insect Pest. Berlin: Springer, Verlag. Simon HM. 2001. Influence of tomato genotype on growth of inoculated and indigenous bacteria in the spermosphere. J Appl Environ Micro 67:514- 520. Sinclair JB, Backman BA. 1989. Compendium of Soybean Disease. 3rd Ed. United States of America: The APS. Sinclair JB, Juli WA, Dyer RJ, Larson AO. 1989. Sampling and histological procedures for diagnosis of ash yellows Plant Dis. 73:432-842. Sinclair JB. 1982. A Compendium of Soybean Disease 2nd Ed. St. Paul Minnesota, USA: Ac. Press
57 Stermer BA. 1995. Molecular regulation of systemic induced resistance. Di
dalam:Hammers chmidf R, Kuc J. Editors: Induced resistance to disease in plants. Netherlands: Klower Academic Publishers. 111-140. Sudjono MS, Amir M, Martoatmodjo R. 1985. Penyakit Kedelai dan Penanggulangannya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengambangan Tanaman Pangan. 331-356. Sudjono MS. 1997. Karakteristik Mikroba Penghasil Kitinase dan Kloning Gen Kitinase dan gen Cry dari Mikroba di Indonesia. Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. Sudriatna U, Damanhuri R, Partohardjono S. 1993. Pemanfaatan jerami padi pada tanaman kedelai dalam pola padi-padi-kedelai di lahan sawah. Risalah seminar Hasil penelitian Sistem Usahatani dan Sosial-Ekonomi. Bogor:BPPT. Suskandini R, Eviyati R. 2007. Pestisida organik berbahan aktif bakteri agensia hayati yang efektif mengendalikan pustul bakteri pada kedelai. J. Agrijati 6 (1) 37-42. Sutarto VI, Bangun P, Subakti. 1988. Penampilan pertumbuhan dan hasil kedelai terhadap pengolahan tanah minimum, pemberian mulsa dan penempatan biji setelah padi sawah. Di dalam Utomo IH, Wiroatmodjo J, editor. Prosiding Seminar BPD TOT. Bogor: IPB. 53-68. Suwanto A, Friska H, Sudirman I. 1996. Karakteristik Pseudomonas fluorescens B29 dan B39: profil DNA genom, uji hipersensitivitas, dan asal senyawa bioaktif. J Hayati 3: 15-20. Thompson HC, Willey WC. 1972. Vegetable Crops. New York: Mc Graw Hill Book Company. Thompson SE, Smith M, Wilkinson MC, Peek K. 2001. Identification and characterization of a chitinase antigen from Pseudomonas aeruginosa strain 385. J Appl Environ Microbiol. 67 (9): 4001-4008. Towsend dan Hueberger. 1943. Di dalam: Unterstenhofer, G. 1963. The basic principles of crop protection field trials. Pp. 155. In Pflanzerschutz Nachtichten Bayer Vol. XXIX. No. 2, Bayer Pflanzerschutz –Leverkusen. Van der Plank, JE. 1963. Plant Disease: Epidemics an Control. London: Academic press. Varadan KM, Rao AS. 1983. Effect of mulch on soil temperature in humid tropical latosol under coconut and banana. J Agric Meteor 28:375-386. Vauterin .1995. Di dalam: CAB International 2005. Crop Protection Compendium [CD-ROM]. America: CAB International. CD dan buku petunjuk. ISSBN: 0 85 199 086 X. Vogan CL, Costa RC, Rowley AF, 2002. Shell Disease Syndrome in the edible crab, Cancer pagurus – isolation, characterization and pathogenicity of chitinolytic bacteria. J Microbiol 148:743–754.
58
WAC [ World Agroforestry Center]. 2005. Mulsa: Cara mudah untuk konservasi tanah [On-line]. http://epetani.deptan.go.id/cara-mudah-konservasi-tanah- 815. [28 Juli 2011]. Wang SL, Chang WT. 1997. Purification and Characterization of Two Bifunctional Chitinases/Lisozymes Extracellularly Produced by P. aeruginosa K-187 in Shrimp and Scrab Shell Powder Medium. J Appl and Environ Microbiol. 63: 380–386. Wartono. 2010. Studi Keefektifan Formulasi Spora Bacillus subtilis sebagai Agens Pengendali Hayati Penyakit Hawar Daun Bakteri dan Hawar Pelepah Serta Pemicu Pertumbuhan pada Tanaman Padi [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wenuganen S. 1996. Pengklonan Gen Kitinase Bakterial Menggunakan Teknik Mutagenesis Transposon dan DNA Pelacak Heterologus [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Widodo. 2006. Peran Mikroba Bermanfaat dalam Pengelolaan Terpadu Hama dan Penyakit Tanaman. Makalah disampaikan pada Apresiasi Penanggulangan Tanaman Sayuran, Nganjuk 3-6 Oktober 2006. Wiyono S. 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman. Seminar Sehari tentang Keanekaragaman Hayati Ditengah Perubahan Iklim: Tantangan Masa Depan Indonesia, KEHATI. Jakarta. Wu ML, Chuang YC, Chen JP, Chen CS, Chang MC. 2001. Identification & characterization of three Chitin-Binding Domains within the Multidomain Chitinase Chi92 from Aeromonas hydrophila jp 101. J Appl Environ Microbiol. 67: 5100-5106. Yulianti T, Ibrahim N, Dalmadiyo G. 1999. Pemanfaatan Mikrobia Antagonis untuk Mengendalikan Penyakit Lincat. Prosiding Konggres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI I: 632 – 650. Zadoks JC, Schein RD. 1979. Epidemiology and Plant Diseases Management. New York: Oxford Univ Press.
Lampiran 1 Denah lokasi percobaan
IBa3 IIAb3 IIBc2
IIAc3 IIBa3
IAb3 IBa2
B
T
IAd3 IAa3 IBd3 IBc3 IIBb3 IIAa3 IIAd3 IBb3 IAc3IIBd IIAb2 IIAd2 IBb2 IIBd2 IAb2 IAc2
IIBb2
IIBa2
IAd2
IIAc2
IAa2
IBa1
IBd1
IAd1
IIAd1
IAb1
IIAb1
IAa1
IBc1
IIBb1
IIBd1
IIAc1
CIBURUY
IIBc3
IIBc3
IIBc1 IIAa2 IIBa1
IAc1
MUARA JAYA
IBb1
IBd2 IIAa1
59
Lampiran 2
Hasil analisis ragam (Anova) perlakuan varietas, pemberian mulsa dan aplikasi PGPR terhadap perkembangan penyakit pustul bakteri (AUDPC)
Sumber Keragaman
Db
Jumlah Kuadrat F-hitung Nilai-p kuadrat tengah 1 56260.17 56260.17 11.58** 0.004 1 8893.50 8893.50 1.83 0.197 1 459.37 459.37 0.09 0.763 1 21241.50 21241.50 4.37* 0.053 1 2.04 2.04 0.00 0.984 1 2.04 2.04 0.00 0.984 1 165.37 165.37 0.03 0.856
Varietas Mulsa Jerami Hayati Varietas*Mulsa Jerami Varietas*PGPR Mulsa Jerami*PGPR Varietas*Mulsa jerami*PGPR Kelompok
2
42666.75
21333.38
4.39**
0.033
60
Lampiran 3 Deskripsi varietas kedelai Anjasmoro (Balitkabi 2008)
Dilepas tahun SK Mentan Nomor galur Asal Daya hasil Warna hipokotil Warna epikotil Warna daun Warna bulu Warna bunga Warna kulit biji Warna polong masak Warna hilum Bentuk daun Ukuran daun Tipe tumbuh Umur berbunga Umur polong masak Tinggi tanaman Percabangan Jml. buku batang utama Bobot 100 biji Kandungan protein Kandungan lemak Kerebahan Ketahanan thd penyakit Sifat-sifat lain Pemulia
: 22 Oktober 2001 : 537/Kpts/TP.240/10/2001 : Mansuria 395-49-4 : Seleksi massa dari populasi galur murni Mansuria : 2,03–2,25 t/ha : Ungu : Ungu : Hijau : Putih : Ungu : Kuning : Coklat muda : Kuning kecoklatan : Oval : Lebar : Determinit : 35,7–39,4 hari : 82,5–92,5 hari : 64 - 68 cm : 2,9–5,6 cabang : 12,9–14,8 : 14,8–15,3 g : 41,8–42,1% : 17,2–18,6% : Tahan rebah : Moderat terhadap karat daun : Polong tidak mudah pecah :Takashi Sanbuichi, Nagaaki Sekiya, Jamaluddin M., Susanto, Darman M.A., dan M. Muchlish Adie.
61
Lampiran 4 Deskripsi varietas Gepak Kuning (Balitkabi 2008)
Dilepas Tahun Nama Calon Varietas Asal Tipe Pertumbuhan Warna hipokotil Warna epikotil Warna daun Warna bulu batang Warna bunga Warna kulit biji Warna polong tua Warna hilum biji Bentuk daun Percabangan Umur berbunga Umur polong masak Tinggi tanaman Bobot 100 biji Rata-rata hasil Potensi hasil Kandungan protein Kandungan lemak Ketahanan terhadap hama dan penyakit
: 2008 : Gepak Kuning : Seleksi varietas lokal Gepak Kuning : Determinite : Ungu : Hijau : Hijau : Coklat : Ungu : Kuning muda-kehijauan : Coklat : Coklat : Lonjong : Agak tegak : 28 hari : 73 hari : 55 cm : 8,25 gram : 2,22 ton/ha : 2,86 ton/ha : 35,38% : 15,10% : - Hama : - Agak tahan terhadap ulat grayak, Aphis sp., penggulung daun, Phaedonia sp. - Penyakit : - Daerah sebaran/adaptasi : Beradaptasi baik di lahan sawah dan tegal, baik pada musim hujan maupunkemarau Sifat-sifat lain : - Kadar rendemen tahu tinggi Pemulia : M. Muchlish Adie Peneliti : Soenardi, Mohammad Maksum, Soepriyanto, Yudi Nasrul, Suparman Yudi Hartono, Soni Sapta Mawardi, Susanto, Paulus Iwan Sutadi, Noor Sasongko, Romodhon. Pengusul : Pemerintah daerah Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur
62
Lampiran 5
Daftar bahan media Kings`B Agar (KBA), Trytic Soy Agar (TSA), kitin agar dan Luria Bertani Broth (LB)
Kings`B Agar (KBA)
Protease peptone no. 3 K2HPO4 MgSO4. 7H2O Agar Gliserol Aquadest
20 g 1.5 g 1.5 g 15 g 15 ml 1L
Trytic Soy Agar (TSA)
Pancreatic Digest of Casein 15 g Enzymatic Digest of Soybean Meal 5 g Sodium Chloride 15 g Agar 15 g Aquadest 1 L
Kitin Agar
Koloidal kitin K2HPO4 MgSO4. 7H2O KH2PO4 FeSO4.7H2O MnCl2. 4H2O ZnSO4.7H2O Agar Aquadest
4 g 0.7 g 0.5 g 0.3 g 0.01 g 0.001 g 0.001 g 20 g 1 L
Luria Bertani Broth (LB)
Tryptone NaCl Yeast Extract Aquadest
10 g 5g 5g 1L
63
Lampiran 6 Morfologi koloni bakteri tahan panas
Karakter morfologi Kode Bentuk Warna Tepian Elevasi Mucoid/ tidak T1 Bundar Putih kusam Licin Cembung Mucoid T2 Bundar Kuning Licin Cembung Mucoid T3 Bundar Putih kusam Licin Timbul Tidak T4 Bundar Putih kusam Tak beraturan Timbul Tidak Bundar dgn T5 tepian timbul Putih kusam Tak beraturan Timbul Tidak Tak beraturan T6 dan menyebar Putih kusam Tak beraturan Timbul Tidak T7 Bentuk L Putih kusam Licin Cembung Tidak bundar dgn T8 tepian kuning menyebar kecoklatan Bercabang Timbul Tidak Berbukit- T9 Keriput Putih kusam Berlekuk bukit Tidak T10 Keriput Putih kusam Tak beraturan Timbul Tidak T11 Bundar Orange Licin Cembung Mucoid T12 Bundar Putih kusam Berombak Timbul Tidak seperti BerbenangT13 benang Putih kusam benang Timbul Tidak T14 Tak beraturan dan menyebar Putih kusam Berlekuk Datar Tidak BerbenangT15 benang Putih kusam Tak beraturan Timbul Tidak T16 Bundar Putih kusam berombak Timbul Tidak T17 Bundar Kuning Berombak Cembung Mucoid T18 Bundar Putih kusam Tak beraturan Timbul Mucoid T19 Bundar Ungu tua Licin Cembung Mucoid T20 Bundar Putih kusam Licin Timbul Tidak T21 Bundar Putih susu Licin Timbul Tidak T22 Bundar Kuning tua Licin Cembung Mucoid T23 Bundar Kuning tua Tak beraturan Timbul Mucoid Kuning T24 Bundar kehijauan Tak beraturan Timbul Mucoid T25 Bentuk L Putih kusam Licin Timbul Mucoid Berbukit T26 Tak beraturan bukit Tidak dan menyebar Putih kusam Berlekuk T27 Bundar Kuning muda Licin Cembung Mucoid T28 Bundar Kuning muda Licin Cembung Tidak T29 Berbenang- benang Kuning Bercabang Timbul Tidak T30 Bundar Putih kusam Licin Cembung Tidak seperti T31 Bundar Putih kusam benang Timbul Mucoid
64
Lanjutan Lampiran 6 T32 Bentuk L T33
T34 T35 T36 T37 T38 T39 T40 T41 T42 T43 T44 T45 T46 T47 T48 T49 T50 T51 T52 T53 T54 T55 T56 T57 T58 T59 T60 T61 T62 T63 T64
Putih kusam
Licin
Keriput Putih kusam Berlekuk Bundar dgn tepian menyebar Putih kusam Licin Bundar Hijau muda Licin Bundar Hijau tua Licin
Cembung Mucoid Berbukit- bukit Tidak Timbul Cembung Cembung
Tidak Mucoid Mucoid *semi mucoid
Bundar Putih kusam Licin Cembung Seperti Bundar Hijau muda Licin tombol Mucoid Bundar Putih susu Licin Cembung Mucoid Bundar Putih kusam Licin Cembung Mucoid Bentuk L Putih kusam Bercabang Timbul Mucoid kuning Bundar kecoklatan Bercabang Timbul Mucoid Bundar Coklat muda Licin Cembung Mucoid Bundar Hijau muda Licin Cembung Mucoid Seperti Bundar Putih kusam Licin tetesan Mucoid Bundar Kuning muda licin Cembung Mucoid Berbenang- benang Kuning tua Bercabang Timbul Mucoid Keriput Putih kusam Berlekuk Timbul Tidak Keriput Putih kusam Tak beraturan Timbul Tidak Seperti Bentuk L Putih kusam Licin tombol Mucoid Bundar Putih kusam Licin Cembung Mucoid Bundar Putih kusam Berombak Timbul Tidak Bundar Kuning muda Licin Cembung Mucoid Bundar Putih kusam Tak beraturan Timbul Tidak Berbukit- Keriput Putih kusam Berombak bukit Tidak Tak beraturan dan menyebar Putih kusam Tak beraturan Timbul Tidak Bundar Putih kusam Tak beraturan Timbul Mucoid Bentuk L Putih susu Licin Cembung Mucoid Bundar Putih kusam Berombak Cembung Mucoid Bundar dgn tepian menyebar Putih kusam Seperti wol Timbul Tidak Bundar Peach Licin Cembung Mucoid Berbukit- Keriput Putih kusam Berombak bukit Tidak Bundar Putih kusam Tak beraturan Timbul Tidak Bundar Putih kusam Siliat Timbul Tidak
65
Lanjutan Lampiran 6 T65 Bentuk L T66 Berbenang- benang T67 Konsentris T68 Bundar T69 Bentuk L T70 Bundar
Putih susu
Licin
Timbul
Putih kusam Putih kusam Putih kusam Putih susu Putih susu
Licin Timbul Licin Cembung Licin Cembung Tak beraturan Timbul Licin Cembung
Tidak Tidak Mucoid Mucoid Tidak Tidak
66
Lampiran 7 Morfologi koloni bakteri fluorescence
Kode F1 F2 F3 F4
F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11
Karakter morfologi Bentuk Warna Tepian Elevasi Mucoid/ tidak Tak beraturan dan menyebar Putih kusam Tak beraturan Timbul Mucoid Bundar Putih kusam Berombak Cembung Mucoid Bundar Putih kusam Bergelombang Cembung Mucoid Tidak Bundar Putih kusam beraturan Datar Tidak Tidak Bundar Hijau muda beraturan Cembung Tidak Bundar Putih kusam Berombak Cembung Tidak Tidak Bundar Putih kusam beraturan Datar Tidak Bundar Putih kusam Berombak Timbul Tidak Bundar Putih kusam Licin Cembung Tidak Bundar Putih kusam Licin Timbul Tidak Bundar Putih kusam Bergelombang Datar Tidak
67
Lampiran 8 Morfologi koloni bakteri Non-fluorescence
Kode NF1 NF2 NF3 NF4 NF5 NF6 NF7 NF8 NF9 NF10 NF11 NF12
NF13 NF14 NF15 NF16 NF17 NF18 NF19 NF20
NF21 NF22 NF23 NF24 NF25 NF26 NF27 NF28 NF29 NF30 NF31 NF32
Karakter morfologi Bentuk Warna Tepian Elevasi Mucoid/ tidak Bundar Putih kusam Licin Cembung Mucoid Bundar Orange Licin Cembung Mucoid Bundar Putih kusam Licin Cembung Tidak Bundar Kuning Licin Cembung Mucoid Bentuk L Putih kusam Licin Cembung Tidak Berbenang rambut Cembung Tidak Bundar Orange muda Licin Cembung Mucoid Tak beraturan Putih kusam Berlekuk Timbul Tidak Berbenang- benang Putih kusam Bercabang Datar Mucoid Bundar Putih kusam Berombak Timbul Mucoid Bundar Putih kusam Tak beraturan Cembung Mucoid Seperti Bundar Merah muda Licin tombol Tidak Seperti Tak beraturan Putih susu Licin tombol Tidak Tak beraturan Putih kusam Berombak Cembung Mucoid Bundar dgn tepian Putih kusam Bercabang Cembung Tidak menyebar Bundar Putih kusam Tak beraturan Cembung Mucoid Bundar Putih kusam Licin Cembung Mucoid Filiform Putih kusam Berombak Timbul Mucoid Bundar Putih kusam Berombak Timbul Mucoid Bundar Putih susu Berombak Timbul Tidak Tak beraturan dan menyebar Bundar Bundar Bundar Bundar dgn tepian menyebar Bundar Bentuk L Bundar Bundar Bundar Bundar Bentuk L
Putih kusam Tak beraturan Kuning muda Berombak Kuning muda Licin Kuning muda Berombak
Cembung Cembung Cembung Cembung
Mucoid Mucoid Mucoid Mucoid
Putih kusam Bercabang Timbul Mucoid Kuning Licin Kuning tua Licin Hijau muda Licin Kuning muda Berlekuk Hijau muda Berombak Salem Tak beraturan Hijau muda Licin
Cembung Cembung Cembung Cembung Cembung Cembung Cembung
Mucoid Mucoid Mucoid Mucoid Mucoid Mucoid Mucoid
68
Lanjutan Lampiran 8 Bundar dgn NF33 tepian menyebar NF34 Filiform NF35 Filiform NF36 Bundar
NF37 NF38 NF39 NF40 NF41 NF42 NF43
Orange muda Licin Cembung
Mucoid
Bening Bening Putih kusam
Tak beraturan Licin Licin
Cembung Cembung Cembung
Mucoid Mucoid Mucoid
Berbenang- benang Bundar Bundar Bentuk L Bundar Bundar Bundar
Putih kusam Putih kusam Putih susu Putih susu Hijau muda Hijau muda Hijau tua
Licin Licin Licin Licin Tak beraturan Licin Licin
Timbul Timbul Timbul Cembung Cembung Cembung Cembung
Tidak Tidak Tidak Tidak Mucoid Mucoid Mucoid
Keriput
Putih kusam
Berombak
Berbukit- bukit
Tidak
NF44 NF45 NF46
Bundar dgn tepian menyebar Bundar
NF47
Bundar
NF48
Serabut
NF49 NF50 NF51 NF52
Bundar Bundar Bundar Bundar Bundar dgn tepian menyebar
NF53 NF54
Bundar
Bening Licin Timbul Mucoid Putih kusam Putih kusam inti putih susu
berombak
Licin Seperti tombol
Kuning muda Tak beraturan Putih kusam Kuning muda Kuning muda Kuning muda
Cembung
Tidak
Licin Licin Berombak Licin
Berbukit- bukit tetesan Cembung Cembung Datar
Tidak Mucoid Tidak Tidak Tidak Tidak
putih kusam Berombak Datar Tidak Kuning agak Tak beraturan muda Putih Kusam Licin Putih kusam Licin Kuning muda Licin
NF55 NF56 NF57
Bentuk L Bundar Bundar
NF58
Keriput
Putih kusam
NF59
Bundar
Kuning muda Tak beraturan
NF60
Bundar
Putih kusam
NF61
Bundar
Putih kusam
Seperti ikal rambut Berlekuk
NF62
Bundar
Putih kusam
Licin
Licin
Datar Datar Cembung Cembung Berbukit- bukit
Mucoid Tidak Tidak mucoid Tidak
Seperti Mucoid tombol Berbukit- bukit Mucoid tumbuh ke dalam tidak timbul Tidak
69
Lanjutan Lampiran 8 Bundar dgn NF63 tepian menyebar NF64 Tak beraturan dan menyebar NF65 Bundar NF66 Bundar Berbenang- NF67 benang
Kuning muda Berombak Cembung Mucoid Putih kusam Peach Hijau muda
Berombak Berombak Licin
Timbul Timbul Cembung
Mucoid Mucoid Mucoid
Kuning muda
Bercabang
Timbul
Mucoid
70
Lampiran 9 Morfologi koloni bakteri kitinolitik
Karakter morfologi Kode K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13 K14 K15 K16 K17 K18 K19
K20 K21 K22 K23 K24 K25 K26 K27 K28 K29 K30 K31 K32 K33 K34 K35 K36
Zona Bentuk Warna Tepian Elevasi Mucoid/ bening(cm) tidak Bundar Putih kusam Tak beraturan Timbul Tidak 0.5 Bundar Putih susu Licin Timbul Tidak 0.6 Bundar Bening Licin Cembung Tidak 1 Bundar Coklat Tak beraturan Timbul Tidak 0.5 Bundar Putih kusam Licin Timbul Tidak 0.8 Bundar Putih susu Tak beraturan Timbul Tidak 1.3 Bundar Putih kusam Licin Timbul Tidak 0.2 Bundar Putih kusam Licin Timbul Tidak 0.3 Bundar Peach Licin Cembung Tidak 0.5 Bundar Putih kusam Berombak Timbul Tidak 0.05 Bundar Putih kusam Licin Timbul Tidak 0.03 Coklat Bundar kehijauan Berombak Timbul Tidak 0.6 Bentuk L Putih susu Licin Timbul Tidak 1 Bundar Peach Licin Timbul Tidak 1 Bundar Putih kusam Licin Cembung Tidak 0.2 Bundar Putih kusam Licin Timbul Tidak 0.1 Bundar Coklat Berlekuk Timbul Tidak 2.1 Bundar Coklat tua Tak beraturan Timbul Tidak 0.6 Bundar Putih kusam Licin Timbul Tidak 0.3 Berbenang -benang Konsentris Konsentris Konsentris Bundar Bundar Bentuk L Bentuk L Bundar Bentuk L Bentuk L Bundar dgn tepian menyebar Konsentris Konsentris Konsentris Bentuk L Berbenang -benang
Coklat kusam Coklat kusam Putih kusam Coklat kusam Coklat tua Merah muda Coklat tua Coklat muda Coklat muda Hitam Orange
Licin Licin Tak beraturan Tak beraturan Licin Licin Licin Licin Licin Licin Licin
Timbul Timbul Timbul Timbul Cembung Cembung Cembung Cembung Cembung Cembung Cembung
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Putih susu Bercabang Timbul Tidak
0.2 0.6 0.1 0.1 0.2 0.05 0.05 0.1 0.2 0.6 0.2
Putih kusam Putih kusam Putih kusam Putih kusam
Licin Berombak Licin Licin
Datar Timbul Timbul Datar
Tidak Tidak Tidak Tidak
0.2 0.1 0.1 0.01 0.1
Putih kusam
Licin
Timbul
Tidak
0.01
71
Lanjutan Lampiran 9 K37
Bundar
Bening
Licin
K38 K39 K40 K41 K42 K43 K44 K45 K46 K47 K48 K49 K50 K51 K52 K53
Bundar Bundar Bundar Konsentris Bundar Bundar Bundar Bundar Bundar Bundar Konsentris Bundar Konsentris Bundar Bundar Bundar
Licin Licin Licin Berombak Licin Licin Licin Licin Licin Licin Berombak Licin Berombak Licin Licin Licin
K54
Bentuk L
Putih susu Putih susu Putih kusam Coklat Peach Putih kusam Hitam Peach Putih kusam Putih kusam Putih kusam Merah muda Putih kusam Coklat tua Coklat tua Putih kusam Inti putih susu, tepi bening Coklat muda Inti hitam, tepi coklat muda Abu-abu Putih kusam Putih kusam Putih kusam Putih kusam Coklat muda Putih kusam Hitam Putih kusam Putih kusam Putih kusam Bening Bening Putih kusam Putih kusam Putih kusam Coklat muda Coklat muda Inti hitam,
K55
Konsentris
K56
Konsentris
K57 K58 K59 K60 K61 K62 K63 K64 K65 K66 K67 K68 K69 K70 K71 K72 K73 K74
Bundar Bundar Konsentris Konsentris Konsentris Konsentris Bentul L Konsentris Bundar Bentuk L Bundar Bundar Bundar Bundar Bundar Bundar Bundar Bentuk L
K75
Bentuk L
Tumbuh ke dalam medium Timbul Cembung Timbul Timbul Timbul Timbul Timbul Timbul Cembung Cembung Datar Cembung Datar Datar Cembung Cembung
Tidak
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
0.01 0.1 0.1 0.01 0.1 0.15 0.12 0.2 0.3 0.2 0.3 0.15 0.2 0.3 0.2 0.15 0.05
Licin Cembung Tidak
Licin
0.05 0.001
Datar
Tidak
Licin Datar Tidak Licin Licin Licin Tak beraturan berombak Licin Licin Licin Licin Licin tidak beraturan tidak beraturan Licin tidak beraturan Licin Licin tidak beraturan Licin
Cembung Datar Datar Datar Datar Datar Datar Datar cembung Datar Datar Datar Datar Datar cembung Datar Timbul Datar
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
0.2 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.3 0.2 0.1 0.05 0.05 0.1 0.2 0.1 0.2 0.2 0.05 0.1
tombol
Tidak
0.05
72
Lanjutan Lampiran 9
K76
Bentuk L
Inti abu-abu,
K77
Konsentris
K78
Bentuk L
K79
Bentuk L
K80
Serabut
K81
Bentuk L
K82 K83
Bundar Bundar
Putih kusam Inti kuning, tepi bening Inti putih susu, tepi putih kusam Putih Inti hitam, tepi putih kusam Abu-abu Orange Inti coklat muda, tepi bening Coklat muda Putih susu Hitam Peach Inti hitam, tepi bening Inti coklat tua, tepi bening
K84
Bentuk L
K85 K86 K87 K88
Bundar Konsentris Bundar Bundar
K89
Bentuk L
K90
Bentuk L
K91
Bentuk L
K92
Konsentris
K93 K94
Bundar Bundar
Inti hitam, tepi bening Inti coklat muda, tepi bening Putih, bag belakang kuning Putih kusam
Licin
tombol Cembung
Tidak Tidak
0.2 0.1
tidak beraturan
Cembung
Tidak
0.05
Licin Cembung Tidak tidak beraturan
Timbul
Tidak
0.001 0.4
Licin Timbul Tidak tidak beraturan Licin
Timbul Cembung
Tidak Tidak
Licin Seperti tombol
Tidak
0.1 0.2 0.05
Licin Berombak Licin Licin
Cembung Datar Cembung Cembung
Tidak Tidak Tidak Tidak
0.01 0.1 0.1 0.05 0.1
Licin
Cembung
Tidak
0.1
Licin Cembung Tidak
0.1 Licin
Timbul
Tidak
0.2
Berombak Timbul Tidak
0.05
Licin Cembung Tidak Licin
Cembung
Tidak
0.5 0.5