PENGARUH UMUR BIBIT TERHADAP PRODUKTIVITAS PADI VARIETAS INPARI 17 Khairatun Napisah dan Rina D. Ningsih Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan Jl. Panglima Batur Barat No. 4 Banjarbaru, Kalimantan Selatan e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Produksi padi ditentukan oleh berbagai aspek, termasuk umur bibit tanaman padi. Bibit yang berasal dari varietas unggul dengan pengelolaan yang baik sejak dini, akan mampu menghadapi hambatan dan persaingan di lapangan, sehingga dapat menghasilkan produksi yang tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan umur semaian padi sawah yang tepat serta mengetahui pengaruh dari beberapa umur bibit terhadap produktivitas padi Inpari 17. Pengkajian dilaksanakan di tiga lokasi yaitu desa Sungai Besar (Kecamatan Karang Intan), desa Pejambuan (Kecamatan Sungai Tabuk), dan desa Karamat Mina (Kecamatan Simpang Empat) Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2013. Varietas padi yang digunakan dalam pengkajian adalah Inpari 17. Sistem tanam yang digunakan adalah sistem tanam jajar legowo 2 : 1 dengan jarak tanam (40 x 20 cm x 10 cm). Pemupukan berdasarkan hasil analisis Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 6 ulangan. P erlakuannya adalah 3 tingkat umur pindah bibit setelah semai, yaitu 10 hari setelah semai (U1), 15 hari setelah semai (U2), dan 20 hari setelah semai (U3). Hasil pengujian menunjukkan bahwa produktivitas tertinggi adalah pada umur bibit 15 hari setelah semai (HSS) yaitu 7,53 t /ha GKG, di ikuti pada umur 20 HSS yaitu 6,30 t/ha GKG. Sedangkan yang terendah adalah pada umur bibit 10 HSS yaitu 5,78 t/ha GKG. Umur bibit 15 HSS merupakan umur pindah tanam yang lebih dapat beradaptasi dengan lingkungan. Kata kunci : umur bibit, produktivitas padi, Inpari 17
Pendahuluan Tanaman padi (Oryza Sativa L.) merupakan tanaman pangan paling penting di negara-negara berkembang dan merupakan makanan pokok di Indonesia sehingga beras merupakan komoditas strategis. Untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat yang dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia masih dipenuhi dari komoditas padi. Karena bahan pangan khususnya beras memberikan sumber energi dan protein cukup tinggi. Menurut Ahmad (2000), dalam Sularno, et al. (2011), kelompok padi-padian dapat menyumbang energi sekitar 62-66% dan protein sekitar 56-61 %. Di lain pihak terjadinya penciutan lahan sawah subur akibat konservasi lahan untuk kepentingan selain pertanian, juga terjadinya fenomena produktivitas padi sawah irigasi cenderung turun (Badan Litbang Pertanian, 2008). Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi padi sawah adalah dengan menerapkan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi sawah. Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 127
Budidaya padi model PTT pada prinsipnya memadukan berbagai komponen teknologi yang saling menunjang (sinergis) guna meningkatkan efektivitas adan efisiensi usahatani. Salah satu komponen teknologi PTT adalah pemakaian bibit muda (<21 hari setelah semai), kecuali pada daerah-daerah yang endemis keong mas (Badan Litbang Pertanian, 2004). Menurut Djafar (2002), bibit merupakan salah satu faktor penting dalam usaha budidaya tanaman padi. Bibit yang berasal dari varietas unggul dengan pengelolaan yang baik sejak dini, akan mampu menghadapi hambatan dan persaingan di lapangan, sehingga dapat menghasilkan produksi yang tinggi. Mutu bibit yang ditanam salah satunya dipengaruhi umur bibit dipersemaian sebelum ditanam. Penggunaan bibit padi yang berumur sekitar 30 hari akan memberikan hasil yang kurang baik, karena bibit yang digunakan relatif tua sehingga lambat untuk beradaptasi dengan lingkungan, mempunyai anakan yang tidak seragam, perakaran dangkal dan selanjutnya pertumbuhan tanaman kurang sempurna (Abdullah et al., 2000). Sedangkan umur bibit yang muda lebih cepat beradaptasi terhadap lingkungan, membentuk perakaran lebih dalam, sehingga tanaman lebih tahan rebah, toleran kekeringan, dan mampu memanfaatkan hara lebih efektif (Guswara dan Kartaatmadja, 2001). Di Kalimantan Selatan, khususnya kabupaten Banjar, umumnya petani masih melakukan penanaman bibit padi sawah pada umur yang relatif tua (21-35 HSS). Hal ini disebabkan masih kurangnya hasil penelitian/informasi mengenai umur bibit yang baik pada padi sawah, serta kondisi curah hujan yang berfluktuasi. Varietas Inpari 17 adalah varietas unggul baru yang dihasilkan oleh Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi dan dilepaskan pada tahun 2011. Varietas ini memiliki tektur nasi yang pera dengan kadar amilosa 26% dan potensi hasil 7,9 t/ha. Pada umumnya masyarakat Banjar menyukai tekstur nasi yang pera. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan umur bibit padi sawah yang tepat serta mengetahui pengaruh dari beberapa umur bibit terhadap produktivitas padi Inpari 17.
Metodologi Kegiatan pengkajian ini dilaksanakan di tiga lokasi yaitu Desa Sungai Besar (Kecamatan Karang Intan), Desa Pejambuan (Kecamatan Sungai Tabuk), dan Desa Karamat Mina (Kecamatan Simpang Empat) Kabupaten Banjar dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2013. Tanaman padi yang digunakan adalah varietas Inpari 17. Sistem tanam yang digunakan adalah sistem tanam jajar legowo 2 : 1 dengan jarak tanam (40 x 20 cm x 10 cm). Pemupukan diberikan berdasarkan rekomendasi pupuk dari hasil uji tanah menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Pemeliharaan tanaman dilaksanakan dengan pengendalian gulma dan pengendalian hama dan penyakit tanaman secara terpadu. Pengendalian gulma dilakukan 2 kali, yang pertama dilakukan pada umur sekitar 21 hari setelah tanam dan yang kedua dilakukan pada umur sekitar 42 hari setelah tanam. Penyiangan pertama dilakukan dengan menggunakan herbisida dan penyiangan kedua secara manual dengan tangan. Sedang pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan monitoring populasi hama secara priodik. Apabila terjadi serangan hama, maka dilaksanakan penyemprotan dengan menggunakan insektisida sesuai dosis anjuran. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 6 ulangan. P erlakuannya adalah 3 tingkat umur pindah bibit setelah semai, yaitu 10 hari setelah semai (U1), 15 hari setelah semai (U2), dan 20 hari setelah semai (U3). Khairatun Napisah dan Rina D. Ningsih : Pengaruh umur bibit | 128
Parameter tanaman padi yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah anakan, panjang malai, jumlah gabah isi, persentase gabah hampa, bobot 1000 biji dan hasil. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan sidik ragam, dan dilanjutkan uji LSD untuk melihat perbedaan masing-masing varietas terhadap parameter yang diamati.
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Lahan Secara umum, para petani di lokasi pengkajian masih banyak menggunakan cara bertani tradisional yang mengacu kepada kondisi dan perubahan alam dan topografinya atau kondisi fisik lahan dengan kendala utama kekeringan, kebanjiran dan kesuburan tanah yang cukup bervariasi dari rendah sampai dengan sedang. Untuk menentukan dosis pemupukan spesifik lokasi digunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Dari hasil analisa tanah dengan PUTS terlihat bahwa kesuburan tanah disemua lokasi berbeda. Hasil analisa tanah dan dosis pemupukan yang direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kesuburan Tanah lokasi Pengkajian dan Rekomendasi Pemupukan Lokasi
N
Kriteria kandungan hara tanah Sangat Tinggi
Rekomendasi dosis pupuk (kg/ha) 200 Urea
P
Rendah
100 SP-36
K
Sedang
100 KCl
pH
Agak masam
N
Sangat Tinggi
200 Urea
P
Tinggi
50 SP-36
K
Sedang
50 KCl
pH
Agak masam
N
Sangat Tinggi
200 Urea
P
Rendah
100 SP-36
K
Sedang
100 KCl
pH
Agak masam
Sifat Kimia
Sungai Besar
Pejambuan
Karamat Mina
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Pengamatan terhadap tinggi tanaman dilakukan pada saat akhir penelitian. Pengukuran dimulai dari pangkal batang yang berbatasan dengan tanah sampai malai yang terpanjang. Data pengamatan yang diperoleh kemudian dilanjutkan dengan analisis keragaman Tabel 2 berikut:
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 129
Tabel 2. Hasil analisa sidik ragam terhadap pertumbuhan, komponen hasil dan hasil padi varietas Inpari 17 pada MK 2013, Kabupaten Banjar Parameter Pengamatan Sumber Keragaman
Tinggi tan
Jlh anakan /rpn
Pjg malai
Jlh gabah isi/malai
% gabah hampa
Ulangan
tn
tn
tn
tn
*
Bobot 1000 butir tn
Umur
tn
**
tn
tn
*
tn
**
10.99
23.58
12.90
9.61
KK% 7.04 12.83 4.19 Ket. : tn = tidak nyata, * = nyata, ** sangat nyata
Hasil t/ha *
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur benih memberikan pengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman, panjang malai, jumlah gabah isi per malai, dan bobot 1000 butir, akan tetapi berpengaruh sangat nyata terhadap komponen lainnya (Tabel 2). Menurut Hermawati, T (2009), semakin panjang malai berpengaruh terhadap jumlah gabah per malai. Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif varietas Inpari 17 pada MK 2013, Kabupaten Banjar Perlakuan (Umur bibit)
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah anakan/rpn (btg)
Umur 10 hari
89.20a
9.90b
Umur 15 hari
90.63a
13.07a
Umur 20 hari 96.93a 11.63ab Keterangan : angka sekolom yang diikuti huruf sama dibelakangnya tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji LSD. Hasil analisis statistik terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman tertinggi pada umur bibit 20 hari setelah semai (HSS) yaitu 96,93 cm, sedangkan tinggi tanaman terendah tampak pada umur bibit 10 HSS yaitu 89,20 cm (Tabel 3). Terlihat bahwa tinggi tanaman pada perlakuan umur bibit tidak berbeda nyata. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor genetis, sehingga memberikan pengaruh yang hampir sama terhadap tinggi tanaman padi. Keadaan faktor genetis memberikan pengaruh yang hampir sama pula terhadap tinggi tanaman padi (Hermawati T., 2009). Selanjutnya Gani (2003) menyatakan bahwa penggunaan bibit padi sawah dengan umur yang relative muda (umur 12-15 HSS) akan membentuk anakan baru yang lebih seragam ada aktif serta berkembang lebih baik karena bibit yang lebih muda mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru setelah tanaman dipindah. Hasil analisis keragaman di atas menunjukkan bahwa perlakuan umur bibit 15 HSS memberikan hasil tertinggi dengan rata-rata jumlah anakan 13,07 btg/rpn dan berbeda nyata dengan umur bibit 10 HSS yaitu 9,90 btg/rpn (Tabel 3). Hal tersebut disebabkan oleh kondisi perakaran di persemaian yang makin kuat dan dalam sehingga waktu pemindahan mengalami kerusakan cukup berat. Jumlah anakan yang produktif yang banyak selain
Khairatun Napisah dan Rina D. Ningsih : Pengaruh umur bibit | 130
ditentukan oleh suatu varietas juga dipengaruhi oleh jarak tanam atau ruang lingkup tempat tumbuh suatu tanaman. Tabel 4.
Rata-rata panjang malai, jumlah gabah hampa, jumlah gabah isi, berat 1000 biji dan hasil padi varietas Inpari 17 pada MK 2013, Kabupaten Banjar
Perlakuan (Umur bibit) Umur 10 hari Umur 15 hari
Panjang malai (cm)
Jumlah gabah isi/ malai
24.14a
104.70a
Persentase gabah hampa (%) 10.96b
112.10a
13.39ab
25.01a
Bobot 1000 butir (gr)
Hasil t/ha (GKG)
27.98a
5.78b
29.73a
7.53a
16.18a
Umur 20 hari 25.46a 108.57a 27.10a 6.30b Keterangan : angka sekolom yang diikuti huruf sama dibelakangnya tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji LSD. Hasil analisis keragaman diatas menunjukkan bahwa perlakuan umur bibit memberikan pengaruh tidak nyata terhadap panjang malai (Tabel4). Rata-rata panjang malai berkisar antara 24,14 – 25,46 cm. Analisis statistik terhadap jumlah gabah isi per malai (tabel 4) terlihat bahwa jumlah gabah isi permalai tidak berpengaruh nyata. Jumlah gabah isi permalai tertinggi adalah pada umur bibit 15 HSS yaitu 112,10 butir per malai, sedangkan jumlah gabah isi per malai terendah adalah umur bibit 10 HSS yaitu 104,70 butir per malai. Jumlah gabah isi yang banyak selain ditentukan oleh suatu varietas juga dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh seperti ketersediaan hara dalam tanah dan juga dipengaruhi oleh serangan hama dan penyakit tanaman. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa umur bibit 15 HSS memberikan pertumbuhan vegetatif yang tertinggi dibandingkan dengan umur 10 HSS dan 20 HSS. Umur bibit 15 HSS merupakan umur pindah tanam yang lebih dapat beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga semakin memadai periode untuk perkembangan anakan dan akar. Hasil analisis statistik terhadap persentase gabah hampa menunjukkan perbedaan yang nyata. Persentase gabah hampa pada umur bibit 10 HSS lebih sedikit yaitu sebesar 10,96%, sedangkan yang tertinggi pada umur bibit 20 HSS yaitu sebesar 16,18% (Tabel 4). Bobot seribu butir bahwa jumlah gabah isi permalai tidak berpengaruh nyata. Bobot seribu butir tertinggi adalah pada umur bibit 15 HSS yaitu 27,73 gram, sedangkan bobot seribu butir terendah adalah umur bibit 20 HSS yaitu 27,10 gram. Dari hasil analisis statistik terlihat bahwa hasil produktivitas tertinggi adalah umur bibit 15 HSS yaitu 7,53 t /ha GKG, di ikuti pada umur 20 HSS yaitu 6,30 t/ha GKG. Sedangkan yang terendah adalah pada umur bibit 10 HSS yaitu 5,78 t/ha GKG. Tingginya produktivitas pada umur bibit 15 HSS didukung oleh kondisi bibit yang sudah cukup kuat untuk dapat dipindahkan ke lahan pertanaman.
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 131
Kesimpulan 1.
Hasil produktivitas tertinggi adalah pada umur bibit 15 HSS yaitu 7,53 t /ha GKG, di ikuti pada umur 20 hari setelah semai yaitu 6,30 t/ha GKG. Sedangkan yang terendah adalah pada umur bibit 10 hari setelah semai yaitu 5,78 t/ha GKG.
2.
Umur bibit 15 hari setelah semai memberikan pertumbuhan dan hasil yang tertinggi dibandingkan dengan umur 10 HSS dan 20 hari setelah semai. Umur bibit 15 hari setelah semai merupakan umur pindah tanam yang lebih dapat beradaptasi dengan lingkungan.
Daftar Pustaka Abdullah. S, R.Munir, Z. Hamzah, S.Zen dan Azwir. 2000. Laporan tahunan hasil pengkajian intensifikasi padi sawah dalam pola labor lapang. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sukarami. 116 hal. Anthofer, J., 2004. The potential of the system of rice intensification (SRI) for powerty reduction in Cambodia. In: Paper Presented in Conference on International Agricultural Re- search for Development, Deutscher Tropentag, Berlin, October 5–7. Djafar. Z. R, 2002. Pengembangan dan pengelolaan lahan rawa untuk ketahanan pangan yang berkelanjutan. Pelatihan Nasional Manajemen daerah Rawa Untuk Pembangunan Berkelanjutan . Palembang, April 2002. Gani, A. 2003. Sistem Intensifikasi Padi (System of Rice Intensification). Pedoman Praktis Bercocok Tanam Padi Sawah dengan Sistem SRI. 6 hal. Gomez and Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. Second Edition. An International Rice Research Instute Book. A Wiley Interscience Publ. John Wiley and Sons. New York. 680 p Guswara, A dan S. Kartaatmadja. 2001. Hubungan antar umur bibit dan jumlah bibit per rumpun dan populasi tanaman pada penelitian tanaman padi terpadu. Makalah disampaikan pada Seminar Superimpose Penelitian dan Demonstrasi Pengelolaan Tanaman Padi Terpadu (PTT), Balitpa Sukamandi, Subang 15 Januari 2001. Hermawati, T. 2009. Keragaman Padi Varietas Indragiri Pada Perbedaan Umur Bibit Dengan Metode SRI (System Of Rice Intensification). Percikan : Vol.99 Edisi April 2009. Zulkifli, Z., W.S Diah, dan S. Mahyuddin,2004. Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Padi. IRRI.
Khairatun Napisah dan Rina D. Ningsih : Pengaruh umur bibit | 132