PENGARUH TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DAN STRES IBU YANG BARU MEMILIKI ANAK PERTAMA TERHADAP KEPUASAN PERKAWINAN
RAHMAITA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Tugas Perkembangan Keluarga dan Stres Ibu yang Baru Memiliki Anak Pertama terhadap Kepuasan Perkawinan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2015 Rahmaita NIM I251120151
4
RINGKASAN RAHMAITA. Pengaruh Tugas Perkembangan Keluarga dan Stres Ibu yang Baru Memiliki Anak Pertama terhadap Kepuasan Perkawinan. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI dan LILIK NOOR YULIATI. Keluarga yang baru memiliki anak pertama berada pada tahapan kedua dalam perkembangan keluarga, dan memiliki beberapa tugas perkembangan keluarga antara lain menyesuaikan berbagai peran baru sebagai orangtua dalam mengasuh anak dan kembali memantapkan hubungan suami istri. Tugas baru ibu untuk selalu mengurus dan memperhatikan anak pertama dapat menimbulkan stres pada ibu dan dapat mengakibatkan penurunan kepuasan perkawinan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh tugas perkembangan keluarga dan stres ibu yang baru memiliki anak pertama usia di bawah dua tahun terhadap kepuasan perkawinan ibu bekerja dan tidak bekerja. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penentuan lokasi dilakukan secara purposive di Kelurahan Ratu Jaya dan Bojong Pondok Terong, Kecamatan Cipayung, Kota Depok, Jawa Barat. Data dikumpulkan pada bulan April – Agustus 2014. Contoh merupakan ibu bekerja dan tidak bekerja yang baru memiliki anak pertama usia di bawah dua tahun yang dipilih secara stratified nonproporsional random sampling sebanyak 120 ibu masing-masing terdiri dari 60 ibu bekerja dan 60 ibu tidak bekerja. Satu dari lima contoh ibu bekerja dan tidak bekerja memiliki tugas perkembangan keluarga yang rendah. Separuh contoh ibu bekerja dan ibu tidak bekerja memiliki tugas perkembangan keluarga kategori sedang. Lebih dari separuh ibu bekerja memiliki stres yang lebih rendah, dan kurang dari separuh ibu tidak bekerja memiliki stres dalam kategori sedang. Lebih dari separuh ibu yang bekerja dan tidak bekerja berada pada kategori kepuasan perkawinan pada kategori sedang. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata pada tugas perkembangan keluarga dimensi anak dan dimensi orang tua, stres ibu dan kepuasan perkawinan. Hasil uji hubungan menunjukkan bahwa pendapatan perkapita dan usia ayah mempunyai hubungan positif dengan tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua. Usia ibu, usia ayah dan lama pernikahan mempunyai hubungan positif dengan tugas perkembangan keluarga dimensi anak. Usia ibu, usia ayah, pendidikan ibu dan lama pernikahan mempunyai hubungan positif terhadap kepuasan perkawinan. Hasil analisis juga menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua dan dimensi anak terhadap kepuasan perkawinan. Hasil uji pengaruh menunjukkan tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua dan dimensi anak mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap kepuasan perkawinan. Stres ibu yang baru memiliki anak pertama mempunyai pengaruh negatif terhadap kepuasan perkawinan.
Kata kunci: tugas perkembangan keluarga, stres ibu, kepuasan perkawinan, anak pertama
SUMMARY RAHMAITA. Influence of Family Developmental Tasks and New-Mother’s Stress Who Has First Baby on Her Marital Satisfaction. Supervised by DIAH KRISNATUTI and LILIK NOOR YULIATI. The family that just had their first baby is at the second stage in the family development, which has some family developmental tasks, such as to be able to adjust a variety of new roles as parents in parenting and re-establish the marital relationship. Duty to always care and pay attention to her first baby can cause stress on mother and may lead to a decrease in marital satisfaction. This study was aimed to analyze the influence of family development tasks and new-mothers’ stress who just had their first child age under two years on marital satisfaction of working and not working mother. This study was designed using cross sectional study. The location determination is done by purposive in the Ratu Jaya and Bojong Pondok Terong village, Cipayung sub-district, Depok. Data was collected in April-August 2014. Subjects were 120 working and not working mothers who just had their first child age under two years, selected by stratified non-proporsional random sampling, consisting of 60 working mothers and 60 not working mothers. One of five samples working mother and not working mother has low family developmental task. Half of the entire subjects of working mothers and not working mothers have a moderate category family developmental task. More than half of working mothers have lower stress, and less than half of the not working mothers have moderate stress category. More than half of the working and not working mothers have marital satisfaction in the moderate category. T-test results showed no significant difference in family development task child dimension and parents dimension, mother’s stress and marital satisfaction.The correlation test result indicates that the per capita income and father age have a positive correlation with the family developmental taskparents dimension. Mother age, father age and the long of marriage has a positive correlation with family developmental task child dimension. Mother’s age, father’s age, maternal education and long age of marriage have a positive correlation to marital satisfaction. The analysis also shows that there is a positive correlation between the family developmental task parents dimension and child dimension to marital satisfaction. The influence test result shows the family developmental task parents dimension and child dimension have a significant positive effect on marital satisfaction. Stress of the new mothers who just had their first child has a negative effect on marital satisfaction.
Keywords: family developmental task, maternal stress, marital satisfaction, the first baby
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA, DAN STRES IBU YANG BARU MEMILIKI ANAK PERTAMA TERHADAP KEPUASAN PERKAWINAN
RAHMAITA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Tin Herawati, SP., MSi
JudulTesis Nama NIM
: Pengaruh Tugas Perkembangan Keluarga dan Stres Ibu yang Baru Memiliki Anak Pertama terhadap Kepuasan Perkawinan : Rahmaita : I251120151
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Diah Krisnatuti, MS Ketua
Dr Ir Lilik Noor Yuliati, MFSA Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan anak
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Herien Puspitawati, MSc, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 25 Agustus 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Pengaruh Tugas Perkembangan Keluarga dan Stres Ibu yang Baru Memiliki Anak Pertama Terhadap Kepuasan Perkawinan. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak, Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini mendapat bantuan, bimbingan, dukungan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan apresiasi yang setinggitingginya kepada: 1. Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS dan Dr. Ir. Lilik Noor Yuliati, MFSA selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak menyediakan waktu, tenaga, pikiran serta kesabaran dalam memberikan bimbingan dan arahan hingga selesainya tesis ini. 2. Dr. Tin Herawati, SP., Msi selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberi masukan dan arahan dalam penyempurnaan tesis ini. 3. Ketua Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc, MSc, wakil ketua program studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak Dr. Ir. Dwi Hastuti, MSc beserta seluruh staf pengajar pada Sekolah Pascasarjana IPB, khususnya pada Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak, yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan pada penulis. 4. Keluargaku tercinta Mama, Papa, Anggi, Ucok dan Iwan yang senantiasa memberikan doa, semangat serta motivasi yang tak terhingga selama masa perkuliahan hingga penyelesaian tesis ini. 5. Teman-teman seangkatan yang selalu memberi support, Dian, Fitrim, Fitria, Mba Woel, Mba Bion, Risda, Mba Lita, Mas Iman, Mas Oks, Mas Adam, Nora, Anggi, Bu yani, Mba Conny, Mba Herlin, Mba Eka, Mba Iin dan teman seperjuangan Ria O. 6. Sahabat-sahabatku Fifah dan Wika yang tidak pernah berhenti mendukung. Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif dalam dan untuk dapat menyempurnakan dari penulisan ini. Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Bogor, Oktober 2015 Rahmaita
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Masalah Manfaat Penelitian 2.TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Keluarga dan Pendekatan Teori Keluarga Pendekatan teori keluarga : struktral fungsional Pendekatan teori perkembangan Tugas Perkembangan Keluarga Tahap Kedua Stres ibu yang baru memiliki anak pertama Stres Tingkat stres Teori stres Model stres ABC-X (Hill 1949) Family Adjustment and Adaption Response (FARR) ( Patterson ) Kepuasan Perkawinan Aspek -aspek kepuasan perkawinan
1 2 3 3 4 4 4 4 5 6 7 7 9 10 10 11 11 12
3 KERANGKA PEMIKIRAN
14
4. METODE PENELITIAN Desain Waktu dan Tempat Penelitian Contoh dan Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional
17 17 17 18 20 21
5. PENGARUH TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA TERHADAP KEPUASAN PERKAWINAN IBU YANG BARU MEMILIKI ANAK PERTAMA Abstrak Abstrack Pendahuluan Tujuan penelitian Metode Penelitian Disain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Contoh dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Hasil
22 22 22 23 24 24 24 24 24 25 25
Karakteristik Keluarga Tugas Perkembangan Keluarga Kepuasan Perkawinan Hubungan Antar Peubah Penelitian Pengaruh Karakteristik Keluarga, Tugas Perkembangan Keluarga Terhadap Kepuasan Perkawinan Ibu Pembahasan Simpulan 6. PENGARUH STRES IBU YANG BARU MEMILIKI ANAK PERTAMA TERHADAP KEPUASAN PERKAWINAN PADA IBU BEKERJA DAN TIDAK BEKERJA Abstrak Abstrack Pendahuluan Tujuan penelitian Metode Penelitian Disain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Contoh dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Hasil Karakteristik Individu Karakteristik Keluarga Stres Ibu yang Baru Memiliki Anak Pertama Kepuasan Perkawinan Pengaruh Karakteristik Keluarga, Stres Ibu yang Baru Memiliki Anak Pertama Terhadap Kepuasan Perkawinan Ibu Pembahasan Simpulan
25 26 28 29 30 30 34
35 35 35 36 37 37 37 37 37 38 38 38 39 40 41 42 43 44
7. Pengaruh Karakateristik, Tugas Perkembangan Keluarga, Stres Ibu yang Baru Memiliki Anak Pertama Terhadap Kepuasan Perkawinan 8. PEMBAHASAN UMUM 9. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
45 46 48 48 48 50
LAMPIRAN
56
RIWAYAT HIDUP
68
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Variabel, skala data dan kategori data Data karakteristik keluarga Capaian variabel dimensi dan item tugas perkembangan keluarga Sebaran contoh berdasarkan tugas perkembangan keluarga Capaian dimensi kepuasan perkawinan Sebaran contoh berdasarkan kepuasan perkawinan Koefisien korelasi anatara karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga dan kepuasan perkawinan Pengaruh karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga terhadap kepuasan perkawinan Karakteristik individu berdasarkan status pekerjaan ibu Karakteristik keluarga berdasarkan status pekerjaan ibu Sebaran jenis pekerjaan berdasarkan status pekerjaan ibu Capaian stres ibu yang baru memiliki anak pertama berdasarkan status pekerjaan ibu Sebaran contoh berdasarkan stres ibu berdasarkan status pekerjaan ibu Capaian variabel dan dimensi kepuasan perkawinan berdasarkan status pekerjaan ibu Sebaran contoh kepuasan perkawinanberdasarkan status pekerjaan ibu Sebaran koefisien regresi karakteristik keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama terhadap kepuasan perkawinan Sebaran koefisien regresi pengaruh karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga, stres ibu yang baru memilki anak pertama terhadap kepuasan perkawinan
DAFTAR GAMBAR 1 Model ABC-X Hill yang telah direvisi untuk menunjukkan derajat stres dan alternatif pemecahan masalah 2 Kerangka pikir penelitian 3 Teknik penarikan contoh
19 26 27 28 28 29 29 30 38 39 39 40 41 41 42 42
45
10 16 17
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta wilayah kecamatan Cipayung Kota Depok 2 Dokumentasi penelitian 3 Jumlah penduduk luas kelurahan dan kepadatan di Kecamatan Cipayung tahun 2012 4 Indeks pembangunan manusia Kota Depok per kecamatan 5 Usia anak berdasarkan ibu bekerja dan tidak bekerja 6 Jenis kelamin anak berdasarkan ibu bekerja dan tidak bekerja
56 56 58 58 59 59
7 Pendapatan perkapita keluarga berdasarkan ibu bekerja dan tidak bekerja 8 Sebaran kategori tugas perkembangan keluarga berdasarkan status bekerja ibu 9 Uji beda tugas perkembangan keluarga berdasarkan status bekerja ibu 10 Sebaran koefisien korelasi antara karakteristik individu, karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga dan kepuasan perkawinan 11 Sebaran koefisien korelasi karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama dan kepuasan perkawinan 12 Koesioner penelitian
59 59 60 61
62 63
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Setiap individu yang telah menjalani kehidupan pernikahan tentunya ingin mendapatkan rumah tangga yang bahagia dan mendapatkan kepuasan perkawinan. Menurut Lemme (1995) kepuasan perkawinan adalah evaluasi suami istri terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan pernikahan itu sendiri. Kepuasan perkawinan dapat merujuk pada hasil evaluasi pasangan suami istri terhadap hubungan kualitas pernikahan keduanya untuk mencapai tujuan dari perkawinan (Hendrick dan Hendrick 1992). Salah satu tujuan perkawinan adalah mendapatkan keturunan, sehingga suami isteri akan merasa kurang lengkap sebagai sebuah keluarga bila belum ada kehadiran anak ditengah-tengah keluarga. Hal ini merupakan babak baru didalam kehidupan pasangan suami istri dan biasanya menimbulkan berbagai perasaan yang bercampur baur antara bahagia dan penuh harapan antara kecemasan menanti kelahiran sang buah hati dan merawatnya (Sloane dan Benedict 1997). Banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh seorang ibu baru dan salah satu yang terpenting adalah cara mengasuh dan merawat anak dengan benar. Saat menyambut kelahiran anak pertama, merupakan saat membahagiakan dan sekaligus situasi yang paling kritis dan sulit karena dalam beberapa hal kedua orang tua merasa belum mampu berperan sebagai orang tua. Di lain pihak, pasangan suami istri baru masih dipengaruhi susasana yang romantis sehingga kehadiran bayi dianggap mengganggu dan mempengaruhi keharmonisan hubungan suami istri dan mengubah hubungan yang bersifat dwi tunggal ke bentuk tritunggal (Hurlock 1999). Ayah dan ibu muda perlu mengenal lebih jauh mengenai perkembangan sang buah hati karena bayi mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada tahun-tahun awal kehidupannya. Bayi memerlukan perawatan dan penanganan yang khusus, mulai dari masalah kebersihan, kesehatan, pertumbuhan hingga gangguan yang mungkin terjadi, baik yang bersifat psikis maupun fisik. Masa transisi menjadi orang tua merupakan tahap kedua dari delapan tahapan keluarga menurut Duvall (1971). Pada tahap kedua ini ada masalah yang harus dihadapi oleh keluarga yang baru mempunyai anak pertama yaitu pendidikan maternitas, fokus keluarga, perawatan bayi serta penyesuaian peran baru sebagai orang tua. Pada tahap ini banyak ibu baru yang merasa tidak mampu mengerjakan banyak hal akan merasa tertekan dan ingin lari dari kenyataan (Suryabudhi 1994). Setiap keluarga mempunyai tugas-tugas perkembangan yang harus di capai agar mampu beralih ke tahap berikutnya dengan berhasil. Menurut Duvall (1971) ada dua dimensi yang dapat dilihat sebagai tugas perkembangan keluarga tahap kedua yaitu dimensi anak dan dimensi orangtua. Gangguan terhadap kehidupan rutin sehari-hari, sepertinya berkurangnya kebebasan yang disebabkan oleh ketidakberdayaan dari bayi, serta tuntutan untuk selalu mengurus dan memperhatikan bayi akan mengakibatkan stres baik secara fisik maupun psikologis (Yanita dan Zamralita 2001). Hal ini tentunya dapat meyebabkan stres ibu yang baru memiliki anak pertama. Menurut Spielberger (1996) stres adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang misalnya
obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Tuntutan itu dapat bersifat fisik, psikologis (misalnya perasaan bersalah, frustasi, dan lain-lain). Cole menyatakan bahwa pasangan menunjukkan tingkat kepuasan yang tinggi pada awal tahun kehadiran anak dalam pernikahan, kepuasan perkawinan menurun sepanjang tahun-tahun mengasuh anak dan meningkat kembali pada tahun selanjutnya (LeFrancois 1993). Hasil penelitian Ross Wilkoson dari Australian National University menunjukkan bahwa kehadiran anak pertama umumnya berpengaruh negatif bagi kesehatan psikologis orang tua, gejala yang umum adalah kurangnya waktu tidur, kurangnya ransangan intelektual, dan ketidakpuasan terhadap pasangan. Hal ini umumnya disebabkan oleh kesulitan penyesuaian diri pada masa transisi menjadi orangtua (Arifin dan Wirawan 2005). Ibu bekerja dan ibu tidak bekerja akan berbeda dalam melakasanakan tugas perkembangan keluarganya. Tercatat ada sekitar 33.5 persen perempuan yang hanya mengurus rumah tangga sehingga tidak dimasukkan sebagai angkatan kerja (Sakernas 2011). Wicaksono diacu Larasati (2012) menemukan peningkatan jumlah istri yang bekerja menjadi tren yang berkembang pada saat ini yang berdampak pada tugas ibu yang dahulunya hanya mengurus anak, suami, dan rumah tangga saat ini telah mengalami pergeseran. Ibu yang bekerja akan berkurang waktu bersama dengan keluarga, bahkan terkadang mereka pulang terlambat karena harus menyelesaikan pekerjaan mereka di tempat kerja (Sari 2012). Berdasarkan pada berbagai uraian diatas maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang Pengaruh tugas perkembangan keluarga dan stres ibu yang baru memiliki anak pertama terhadap kepuasan perkawinan pada ibu bekerja dan tidak bekerja. Rumusan Masalah Hasil survei di Amerika Serikat menemukan bahwa para istri cenderung memiliki tingkat kepuasan perkawinan yang lebih rendah (56%) dibandingkan dengan para suami (60%). Istri yang tidak bekerja (ibu rumah tangga) mempunyai tingkat penyesuaian psikologis yang paling rendah, diikuti oleh para istri yang bekerja, dan yang paling tinggi tingkat penyesuaiannya adalah para suami yang bekerja (Unger dan Crawford 1992). Salah satu yang mempengaruhi kepuasan perkawinan ibu adalah kehadiran anak pertama. Penurunan didalam kepuasan perkawinan terjadi setelah kelahiran anak pertama sebagai transisi pasangan menjadi orangtua. Kehadiran anak pertama ditengah-tengah keluarga merupakan hal yang paling membahagiakan juga paling sulit dan kritis dikarenakan dalam beberapa hal orangtua merasa belum mampu berperan sebagai orang tua. Stres dalam mengasuh anak menimbulkan kesulitan tersendiri bagi orang tua, khususnya pada ibu (Gunarsa 2004). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stres pengasuhan lebih sering dialami oleh ibu dibandingkan oleh ayah. Penelitian yang dilakukan Shin (2006) di Kanada, yang meneliti 106 ibu dan 93 ayah menunjukkan bahwa ibu mengalami stres yang lebih besar dibandingkan yang dialami oleh ayah. Banyak ibu dan ayah yang merasa kurang yakin pada kemampuan diri sendiri untuk merawat bayi mereka. Selain itu, kehadiran anak
pertama juga dianggap membatasi kebebasan kelurga karena pada umumnya mereka masih cenderung ingin hidup bebas dan berkumpul dengan teman sebayanya daripada merawat dan terikat dengan bayinya (Poli 1995). Meninjau kepada fenomena di atas, penelitian ini ingin menjawab pertanyaan permasalahan sebagai berikut : 1. Adakah perbedaan antara karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama dan kepuasan perkawinan ibu bekerja dan tidak bekerja? 2. Bagaimana hubungan karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama dengan kepuasan perkawinan ibu bekerja dan tidak bekerja? 3. Bagaimana pengaruh karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak terhadap kepuasan perkawinan ibu bekerja dan tidak bekerja? Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh tugas perkembangan keluarga, stress ibu yang baru memiliki anak pertama terhadap kepuasan perkawinan ibu bekerja dan tidak bekerja. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis perbedaan antara karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama dan kepuasan perkawinan ibu bekerja dan tidak bekerja. 2. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama dan kepuasan perkawinan ibu bekerja dan tidak bekerja. 3. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama terhadap kepuasan perkawinan ibu bekerja dan tidak bekerja. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat informasi dan sumbangan pemikiran bagi masyarakat atau keluarga yang memiliki anak pertama baik pada keluarga dengan ibu bekerja maupun keluarga dengan ibu tidak bekerja tentang tugas perkembangan keluarga yang baru memiliki anak pertama serta pengaruhnya terhadap kepuasan perkawinan. Bagi peneliti selanjutnya sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian sejenis. Bagi pemerintah atau LSM sebagai bahan pertimbangan dalam mempersiapkan pasangan yang ingin menikah untuk dapat mengetahui tugas perkembangan keluarga yang dijalankan tiap tahapan agar tidak terjadi stres ibu ketika ibu baru memiliki anak pertama. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah dan wawasan mengenai fenomena yang berkaitan dengan kehidupan keluarga.
2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Keluarga Dan Pendekatan Teori Keluarga Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992, keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan adopsi serta berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara lakilaki dan perempuan serta merupakan pemelihara kebudayaan bersama. Keluarga adalah satuan terkecil dari masyarakat yang sekurang-kurangnya terdiri dari orangtua dan anak. Orangtua, khususnya ibu, sebagai pengasuh dan pendidikan anak dalam keluarga dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik dan perkembangan anak. Keluarga menurut Sumarwan (2011) keluarga adalah sebuah kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih yang terikat oleh perkawinan. Darah (keturunan: anak atau cucu) dan adopsi dan kelompok orang tersesbut biasanya tinggal bersama dalam suatu rumah namun bisa saja semua anggota keluarga tersebut tidak tinggal dalam satu rumah. Keluarga menyediakan keseimbangan kebutuhan antar-individu sebagai anggota keluarga dan tuntutan serta harapan dari masyarakat yang ada. Empat ciri keluarga yaitu: (1) susunan orang-orang yang disatukan oleh perkawinan, darah atau adopsi; (2) hidup bersama di bawah satu atap (rumah tangga); (3) kesatuan orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi (peran sosial); dan (4) pemeliharaan suatu kebudayaan (Puspitawati 2012). Terdapat 8 fungsi keluarga menurut PP No.21 tahun 1994, Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera yang dijalankan untuk mencapai tujuan keluarga, yaitu : fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosial dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. Fungsi suatu keluarga dipengaruhi oleh jumlah, jenis kelamin dan jarak kelahiran anak. Keluarga inti dalam semua masyarakat di dunia, mempunyai dua fungsi pokok yang sama yaitu: 1. Keluarga inti merupakan kelompok dimana individu pada dasarnya dapat menikmati bantuan utama sesamanya serta keamanan dalam hidup. 2. Keluarga inti merupakan kelompok dimana individu, ketika anak-anak mendapatkan pengasuhan dan permulaan pendidikannya. Gabungan dari keluarga inti yang berkerabat sangat dekat ( keturunan satu kakek/nenek) disebut keluarga luas. Pendekatan Teori Keluarga: Struktural Fungsional Di dalam setiap bentuk komunitas manusia pasti mempunyai suatu struktur atau tatanan baku didalamnya dan yang paling penting adalah disertai fungsi yang melekat pada setiap bagian struktur tersebut, entah itu menyangkut kedudukan dalam masyarakat, atau menyangkut pada lingkup yang lebih kecil yaitu keluarga.
Keluarga sebagai sebuah institusi dalam masyarakat mempunyai prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan strukturalfungsional adalah pendekatan teori sosiologi yang dapat diterapkan dalam institusi keluarga. Pendekatan ini mengakui adanya keragaman dalam kehidupan sosial yang merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan keragaman dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem (Megawangi 1999). Pendekatan teori struktural-fungsional dapat digunakan untuk menganalisa peran anggota keluarga agar keluarga dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat (Muflikhati 2010). Salah satu aspek penting dari perspektif struktural-fungsional adalah bahwa setiap keluarga yang sehat terdapat pembagian peran atau fungsi yang jelas, fungsi tersebut terpolakan dalam struktur hirarki yang harmonis dan ada komitmen terhadap terselenggaranya peran atau fungsi itu. Peran adalah sejumlah kegiatan yang diharapkan bisa dilakukan oleh setiap anggota keluarga sebagai subsistem keluarga dengan baik untuk mencapai tujuan sistem. Sejumlah kegiatan atau aktivitas yang memiliki kesamaan sifat dan tujuan dikelompokkan ke dalam sebuah fungsi. Pendekatan Teori Perkembangan Teori perkembangan keluarga adalah sebuah pendekatan dalam mempelajari perkembangan dalam suatu keluarga, yang bermafaat dalam menjelaskan pola, sifat dinamis dari keluarga dan bagaimana perubahan terjadi dalam siklus keluarga. Konsep dasar teori perkembangan keluarga adalah proses perubahan dalam keluarga, waktu keluarga adalah faktor yang sangat berpengaruh dalam perkembangan keluarga. Tahap-tahap perkembangan dianggap sebagai masa-masa stabilitas relatif yang berbeda secara kuantitatif dan kualitatif diantara tahap-tahapnya. Empat asumsi dasar tentang teori perkembangan keluarga: (1) Keluarga berkembang dan berubah dari waktu ke waktu dengan cara-cara yang sama dan dapat diprediksi; (2) Manusia menjadi matang karena berinteraksi dengan orang lain, sehingga mereka memulai tindakan-tindakan serta reaksi terhadap tuntutan lingkungannya; (3) Keluarga dan anggotanya melakukan tugas-tugas tertentu yang ditetapkan oleh mereka sendiri atau oleh konteks budaya dan masyarakat; dan (4) Kecenderungan keluarga untuk memulai dengan sebuah awal dan akhir yang kelihatan jelas. Teori perkembangan keluarga meningkatkan pemahaman tentang keluarga pada titik yang berbeda dalam berbagai siklus kehidupan keluarga dan menghasilkan deskripsi yang khas tentang kehidupan keluarga dalam berbagai tahap perkembangannya. Duvall (1971) menggambarkan tipe siklus keluarga dari keluarga utuh dengan lingkaran yang memiliki 8 tahapan, yaitu: (1) tahapan perkawinan; (2) tahapan mempunyai anak pertama; (3) tahapan anak berumur preschool; (4) tahapan anak berumur sekolah dasar; (5) tahapan anak berumur remaja; (6) tahapan anak lepas dari orang tua; (7) tahapan orang tua umur menengah; (8) tahapan orang tua umur manula. Setiap fase perkembangan keluarga memiliki tugas-tugas yang berbeda. Siklus ini membantu menempatkan keluarga berada difase yang mana dan memprediksi kapan setiap fase akan dicapai. Dalam fase perkembangan Duvall ini, tahap keluarga dengan anak
pertama berada pada tahapan kedua dimana keluarga memulai dari kelahiran anak pertama hingga bayi berusia 30 bulan ( 2.5 tahun). Tugas Perkembangan Keluarga Tahap Kedua Tugas-tugas perkembangan keluarga terjadi apabila keluarga sebagai sebuah unit berupaya memenuhi tuntutan-tuntutan perkembangan mereka secara individual. Tugas-tugas perkembangan keluarga juga diciptakan oleh tekanantekanan komunitas terhadap keluarga dan anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan harapan-harapan kelompok acuan keluarga dan masyarakat yang lebih luas. Selain itu, tugas-tugas perkembangan keluarga juga meliputi tugas-tugas spesifik pada setiap tahap yang melekat dalam pelaksanaan lima fungsi dasar keluarga yang terdiri dari (1) Fungsi afektif (fungsi pemeliharaan kepribadian); (2) Fungsi sosialisasi dan penempatan sosial; (3) Fungsi perawatan kesehatan – penyediaan dan pengelolaan kebutuhan-kebutuhan fisik dan perawatan kesehatan; (4) Fungsi reproduksi; dan (5) Fungsi ekonomi. Tugas-tugas perkembangan keluarga menyatakan tanggung jawab yang dicapai oleh keluarga selama setiap tahap perkembangannya sehingga dapat memenuhi (1) Kebutuhan biologis keluarga, (2) Imperatif budaya keluarga, dan (3) Aspirasi dan nilai-nilai keluarga (Duvall 1971). Kedatangan bayi dalam rumah tangga menciptakan perubahan-perubahan bagi setiap anggota keluarga dan setiap kumpulan hubungan. Orang asing telah masuk ke dalam kelompok ikatan keluarga yang erat, dan tiba-tiba keseimbangan keluarga berubah. Setiap anggota keluarga memainkan peran yang baru dan memulai hubungan yang baru. Selain seorang bayi yang baru saja dilahirkan, seorang ibu, seorang ayah, kakek nenek pun lahir. Istri sekarang harus berhubungan dengan suami sebagai pasangan hidup dan juga sebagai ayah dan sebaliknya. Ini merupakan suatu perkembangan kritis bagi semua yang terlibat. Keluarga menanti kelahiran dan mengasuh anak. Adapun tugas perkembangan pada tahap ini yaitu persiapan menjadi orangtua, adaptasi dengan perubahan anggota keluarga, peran, interaksi, hubungan seksual, serta mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan pasangan. Oleh sebab itu, meskipun kedudukan sebagai orangtua menggambarkan tujuan yang teramat penting bagi semua pasangan, kebanyakan pasangan menemukannya sebagai perubahan hidup yang sangat sulit. Penyesuaian diri terhadap perkawinan biasanya tidak sesulit penyesuaian terhadap menjadi orangtua. Meskipun bagi kebanyakan orang tua merupakan pengalaman penuh arti dan menyenangkan, kedatangan bayi membutuhkan perubahan peran yang mendadak. Faktor penting yang menambah kesukaran dalam menerima peran orangtua adalah bahwa kebanyakan orang sekarang tidak disiapkan untuk menjadi orang tua. Menjadi orangtua merupakan satu-satunya peran utama yang sedikit dipersiapkan dan kesulitan dalam transisi peran mempengaruhi hubungan perkawinan dan hubungan orangtua dan bayi secara merugikan. Menurut Duvall (1971) ada dua dimensi dalam tugas perkembangan keluarga tahap ke dua yaitu: 1. Dimensi orang tua a. Rekonsiliasi penyesuaian peran. b. Menerima dan menyesuaikan tuntutan sebagai ibu muda.
c. d. e. f. g. h. i. j.
Belajar merawat bayi dengan kompeten. Membangun dan mempertahankan rutinitas keluarga yang sehat. Memberikan kesempatan penuh untuk perkembangan anak. Berbagi tanggung jawab orang tua dengan suami. Mempertahankan hubungan yang romantis dengan suami Membuat penyesuaian yang memuaskan dengan realitas kehidupan. Menjaga kehidupan ibu muda melalui otonomi pribadi. Mengeksplorasi dan mengembangkan rasa memuaskan menjadi keluarga.
2. Dimensi anak a. Mencapai keseimbangan fisiologis setelah kelahiran. b. Belajar untuk mendapatkan kepuasan akan makanan. c. Belajar mengetahui kapan, dimana dan bagaimana terjadi penghilangan. d. Belajar untuk mengelola tubuh secara efektif. e. Belajar menyesuaikan dengan orang lain. f. Belajar untuk menyayangi dan disayangi. g. Mengembangkan sistem komunikasi. h. Belajar untuk mengekspresikan dan mengendalikan perasaan. i. Menempatkan dasar untuk kesadaran diri.
Stres Ibu yang Baru Memiliki Anak Pertama Stres Menurtut Atkinson et al. (2000) stres terjadi jika orang dihadapkan pada peristiwa yang mereka rasakan dapat mengancam kesehatan fisik atau psikologinya. Stres merupakan hasil dari hubungan (relationship) antara individu dengan lingkungannya. Salah satu ciri yang paling jelas tentang pengalaman stres adalah kuatnya pengaruh psikologis. Orang menunjukkan perbedaan individual yang besar dalam reaksi mereka terhadap stresor. Bahkan respon fisiologis terhadap peristiwa yang sulit dapat dipengaruhi oleh proses psikologis (Atkinson et al. 2000). Burgess (1978) diacu dalam Friedman et al. (2003) mengartikan stres sebagai ketegangan pada diri seseorang atau sistem sosial (seperti keluarga) dan merupakan reaksi terhadap situasi yang menghasilkan tekanan. Stres menurut Spielberger (1996) adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif berbahaya. Tuntutan itu dapat bersifat fisik, psikologis (misalnya perasaan bersalah, frustasi, dan lain-lain), sosial atau beberapa kombinasi faktor-faktor tersebut (misalnya kematian orang yang dicintai, pekerjaan yang menumpuk atau kelahiran anak pertama). Lazarus dan Folkman (1984) mendefinisikan stres secara psikologis sebagai sebuah hubungan antara orang dan lingkungan dimana semua itu dinilai oleh orang yang menjalaninya sebagai sesuatu yang melebihi sumberdaya yang dimilikinya dan dapat mengganggu dan membahayakan kesejahteraan. Keadaan stres merupakan ketidakseimbangan antara tuntutan yang dirasakan dengan kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan tersebut (Sutherland dan
Cooper 1990). Orangtua yang stres berarti orangtua yang kemampuan sumber dayanya terbatas terhadap tuntutan dalam melakukan pengasuhan. Menurut Baker et al. (2001) keadaan stres berkaitan dengan pengasuhan, dan ketidakmampuan yang dimiliki orangtua. Pengasuhan diartikan sebagai sebuah proses dari serangkaian tindakan dan interaksi orangtua untuk meningkatkan perkembangan anak, proses interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak dipengaruhi oleh budaya dan sosial (Brooks 1999). Bila keadaan stres terus menerus terjadi dalam proses pengasuhan maka akan terjadi stres pengasuhan. Stres pengasuhan dapat didefinisikan sebagai kecemasan yang berlebihan dan ketegangan spesifik yang berhubungan dengan peran orangtua dan interaksi orangtua dengan anak (Abidin 1995). Stres pengasuhan yang tinggi berhubungan dengan kurangnya kerjasama, banyaknya sikap tidak mengacuhkan dan banyak intrusif dalam gaya pengasuhan (Ahern, 2004). Stres tersebut dapat meningkat mungkin menyebabkan orangtua menjadi bersikap mencela, menghukum dan cepat marah, hal ini dapat menyebabkan anak berperilaku salah (Webster-Stratton 1990). Keadaan stres pengasuhan yang dialami oleh orangtua berpengaruh negatif terhadap interaksi orangtua dan anak. Hal tersebut dapat memicu timbulnya permasalahan pada perkembangan anak yang berkaitan dengan stres ibu dalam mengasuh anak. Dapat disimpulkan bahwa stres pada ibu yang baru mempuyai anak pertama adalah suatu keadaan tegang dan tertekan yang dapat menimbulkan suatu reaksi fisiologis maupun psikologis pada diri seorang perempuan/ibu karena adanya tuntutan dalam mengurus atau menjaga anak pertamanya. Stres yang terjadi pada setiap orang pasti berbeda-beda, hal ini dapat dilihat dari gejala-gejala yang dialaminya. Menurut Badran (2006) menyatakan bahwa gejala stres dapat dilihat dari ciri-ciri segi fisik maupun mental. Berdasarkan segi fisik dapat dilihat bahwa dalam keadaan stres terjadi berbagai perubahan pada fisik seseorang. Para ahli mengatakan bahwa perubahan itu diakibatkan karena adanya aktifitas besar pada alat terpenting yang berfungsi untuk menggerakkan tubuh ketika menghadapi sesuatu bahaya/reaksi refleks. Akibat adanya aktifitas itu dapat mempengaruhi anggota tubuh lainnya yang berhubungan. Misalnya tangan berkeringat lebih banyak, perut terasa mual, pencernaan terasa sakit, denyut jantung naik, suara serak, sering buang air kecil. Berdasarkan segi mental, stres dapat mengganggu mental dan perasaan seseorang serta menyebabkan berbagai kelainan pada dirinya sendiri seperti gampang tersinggung, tidak percaya diri, ragu-ragu mengambil keputusan, susah tidur, merasa lemah dan gagal. Golizek (2005) menyatakan bahwa gejala stres dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu gejala fisik, emosional dan perilaku. Adapun gejala tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Gejala Fisik a. Stres dapat menyebabkan sakit kepala b. Perubahan nafsu makan (nafsu makan hilang atau bertambah) c. Terjadi perubahan berat badan (bertambah atau berkurang) d. Jantung berdebar-debar e. Berkeringat secara berlebihan f. Cenderung mengalami kecelakaan g. Ketegangan pada bagian otot tertentu yang menyebabkan pegal-pegal pada bahu, pinggang, leher dan kepala
h. Stres menyebabkan daya tahan tubuh seseorang menurun, melemah, sehingga mudah masuk angin dan pilek. i. Disfungsi seksual: penderita stres sering mengeluh masalah seksual, impotensi, frigiditas, ejakulasi dini dan lain-lain. j. Gangguan sistem pencernaan: ulkus ventrikuli (tukak lambung) k. Sindrom ketegangan pramestrurasi, nyeri-nyeri di tubuh, mual-mual, sakit kepala, rasa tidak nyaman sebelum haid, yang disebabkan terganggunya keseimbangan hormon yang sering berkaitan dengan stres seseorang dan haid yang tidak teratur. 2. Gejala Emosional a. Perasaan tidak menentu, takut, cemas, yang tidak jelas dan tidak terikat pada suatu ancaman yang jelas dari luar sehingga menyebabkan penderita menjauh dari lingkungan sosial atau tempat dan keadaan tertentu. b. Merasa putus asa, bingung, sedih, gangguan tidur, apatis, kehilangan minat, pada aktivitas dan orang lain, pikiran-pikiran negatif mengenai dirinya pengalaman dan hari depan, pikiran dan dorongan melakukan percobaan bunuh diri. c. Ketidakseimbangan emosi: suasan hati cepat berubah, cepat marah, emosi, cepat meluap, menjadi histeris. 3. Gejala Perilaku. a. Suka menggeretakkan gigi b. Dahi berkerut c. Kebiasaan memutar-mutarkan rambut d. Merokok secara berlebihan e. Mengkonsumsi alkohol secara berlebihan f. Memakai obat-obatan secara berlebihan g. Kehilangan ketertarikan pada penampilan fisik h. Perilaku sosial berubah secara tiba-tiba i. Mengantuk-antukkan kaki atau jari Tingkat stres Selye (1956) mengemukakan bahwa berat ringannya stress tergantung kepada tiga hal, yaitu : 1. Stressor atau sumber stres itu sendiri, dalam hal ini rangsangan yang dirasakan sebagai ancaman atau yang dapat menimbulkan perasaan negatif. 2. Frekuensi atau lama terpapar terhadap stressor, 3. Intensitas reaksi fisik dan emosi yang disebabkan oleh stressor. Tingkat stres dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu rendah, sedang dan tinggi. McElroy dan Townsend (1985) mengungkapkan bahwa tingkat stres dibutuhkan untuk membentuk stimulasi dan tantangan dari lingkungan. Pada beberapa tingkat stres dapat diatasi dengan mudah, tetapi ada pula tingkat stres yang sangat sulit diatasi sehingga menciptakan situasi krisis. Adanya stres pada tingkat tertentu dianggap mampu meningkatkan kemampuan, sehingga sering kali diasumsikan sebagai “tekanan yang menyehatkan” (Helms dan Turner 1986). Tingkat stres seseorang terhadap suatu kondisi dipengaruhi oleh sumber stres, sumber daya yang dimiliki untuk menghadapi stres, dan persepsi terhadap stres.
Tingkat stres yang berbeda-beda tiap individu merupakan salah satu faktor pembeda dalam melakukan coping terhadap stres. Menurut Selye (1956) stres dibatasi sebagai respon non spesifik pada tubuh terhadap berbagai jenis tuntutan. Sindrom Adaptasi Umum (General Adaption Syndromel/ GAS) adalah konsep yang dikemukakan oleh Selye yang menggambarkan efek umum pada tubuh ketika ada tuntutan yang ditempatkan pada tubuh tersebut. GAS terdiri dari tiga tahap, yaitu : 1. Peringatan (alarm reaction), tahap pengenalan terhadap stres dimana terjadi shock bersifat sementara (pertahanan terhadap stres di bawah normal) dan mencoba dihilangkan. Tahap ini berlangsung singkat, jika stres berlanjut maka individu akan ke tahap selanjutnya. 2. Perlawanan (resistance), pertahanan terhadap stres menjadi semakin intensif, dan semua upaya dilakukan untuk melawan stres. Pada tahap ini, tubuh dipenuhi hormon stres; tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, dan pernafasan meningkat. Bila upaya yang dilakukan gagal dan stres tetap ada, akan masuk ke tahap selanjutnya. 3. Kelelahan (exhausted), kerusakan pada tubuh semakin meningkat dan kerentanan terhadap penyakit pun meningkat. Secara spesifik stres merupakan gejala psikologis yang menurut Lazarus (1999), sebagai sebuah hubungan khusus antara seseorang dengan lingkungannya yang dianggap melampaui kemampuan dan membahayakan kebahagiaan dan kepuasannya, singkatnya merupakan gejala yang timbul akibat kesenjangan (gap) antara realita dan idealita, antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan kemampuan, antara peluang dan potensi. Teori Stres Model Stres ABC-X (Hill 1949) Model stres ABC-X pertama kali diperkenalkan oleh Hill (1949) sebagai model stres dalam keluarga sebagai dampak dari “life event” yang terjadi dalam keluarga sepanjang rentang kehidupan. Dalam kerangka kerja model stres Hill diperkenalkan tiga variabel yaitu: faktor A merupakan kejadian yang menjadi pencetus timbulnya stres (stressor); faktor B merupakan sumberdaya atau kekuatan yang dimiliki keluarga pada saat kejadian stres dan faktor C merupakan pemahaman atau pemakanaan keluarga terhadap kejadian yang dialami, yang pada akhirnya ketiga variabel tersebut saling berinteraksi dan menimbulkan X (sebagai krisis atau stres) (Boss 1987).
Gambar 1. Model ABC-X
Family Adjusment and Adaptation Response (FAAR) (Paterrson 1988) Model ini dibangun berdasarkan pada Double ABC-X Model, yang menekankan pada kemungkinan-kemungkinan dari keluaran yang positif. Model ini konsisten dengan banyak studi yang telah dilakukan yaitu berfokus pada relationship dan resiliency (kelentingan) dari keluarga dan individu (Antonovsky 1979, diacu dalam Friedman et al. 2003). Berdasarkan situasi dan pengertian umum (seperti hubungan keluarga) dipandang mempengaruhi keduanya yaitu tuntutan atau stressor (ketegangan dan pertengkaran) dan kemampuan (sumberdaya dan perilaku koping). Tuntutan versus kemampuan berperan penting untuk membedakan tingkatan dari penyesuaian keluarga (sebelum krisis) dan adaptasi keluarga (setelah krisis) (Friedman et al. 2003).
Kepuasan Perkawinan Menurut Roach et al. (1981) kepuasan perkawinan merupakan persepsi terhadap kehidupan perkawinan seseorang, sedangkan menurut Gray-Little & Burks (1983) kepuasan perkawinan adalah pandangan subyektif pasangan terhadap perkawinannya secara keseluruhan, juga terhadap aspek-aspek khusus dalam hubungan perkawinannya. Menurut Lemme (1995) kepuasan perkawinan adalah evaluasi suami istri terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan pernikahan itu sendiri. Sedangkan definisi kepuasan perkawinan menurut Olson dan Hamilton meliputi (1) suatu evaluasi seseorang terhadap perkawinannya; (2) bersifat subyektif; (3) pada saat ini; dan (4) berkaitan dengan aspek-aspek khusus maupun keseluruhan dalam hubungan perkawinannya; (5) suatu kontinum dari sangat memuaskan hingga sangat tidak memuaskan (Domiskus 2002). Kepuasan perkawinan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami istri mengevaluasi hubungan pernikahan mereka, apakah baik, buruk, atau memuaskan (Hendrick dan Hendrick 1992). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan perkawinan adalah penilaian suami dan istri yang bersifat subjektif dan dinamis mengenai kehidupan pernikahan. Menurut Hendrick dan Hendrick (1992), ada dua faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan, yaitu: a. Faktor sebelum menikah. 1. Latar belakang ekonomi, yaitu status ekonomi yang dirasakan tidak sesuai dengan harapan dapat menimbulkan bahaya dalam hubungan pernikahan. 2. Pendidikan, yaitu pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak menghadapi stressor seperti pengangguran atau tingkat penghasilan rendah. 3. Hubungan dengan orangtua yang akan mempengaruhi sikap anak terhadap romantisme, pernikahan dan perceraian. b. Faktor setelah menikah. 1. Kehadiran anak, sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan perkawinan terutama pada wanita. Penelitian menunjukkan bahwa
bertambahnya anak bisa menambah stres pasangan, dan mengurangi waktu bersama pasangan (Hendrick dan Hendrick 1992). Kehadiran anak dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan suami istri berkaitan dengan harapan akan keberadaan anak tersebut. 2. Lama Pernikahan, dikemukakan oleh Duvall bahwa tingkat kepuasan pernikahan tinggi di awal pernikahan, kemudian menurun setelah kehadiran anak dan kemudian meningkat kembali setelah anak mandiri. Pada umumnya wanita lebih sensitif daripada pria dalam menghadapi masalah dalam hubungan pernikahannya. Aspek-Aspek Kepuasan Perkawinan Kepuasan perkawinan dapat diukur dengan melihat aspek-aspek dalam perkawinan sebagaimana yang dikemukakan oleh Fower dan Olson (1989; 1993). Adapun aspek aspek tersebut antara lain: Komunikasi. Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu terhadap komunikasi dalam hubungan mereka sebagai suami istri. Aspek ini berfokus pada tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh pasangan dalam membagi dan menerima informasi emosional dan kognitif. Aktifitas bersama. Aspek ini mengukur pada pilihan kegiatan yang dipilih untuk menghabiskan waktu senggang. Aspek ini merefleksikan aktivitas sosial versus aktivitas personal, pilihan untuk saling berbagi antar individu, dan harapan dalam menghabiskan waktu senggang bersama pasangan. Orientasi religius. Aspek ini mengukur makna kepercayaan agama dan prakteknya dalam pernikahan. Nilai yang tinggi menunjukan agama merupakan bagian yang penting dalam pernikahan. Menurut Wolfinger dan Wilcox (2008) Agama secara langsung mempengaruhi kualitas pernikahan dengan memelihara nilai-nilai suatu hubungan, norma dan dukungan sosial yang turut memberikan pengaruh yang besar dalam pernikahan, mengurangi perilaku yang berbahaya dalam pernikahan. Pengaruh tidak langsung dari agama yaitu kepercayaan terhadap suatu agama dan beribadah cenderung memberikan kesejahterahan secara psikologis, norma prososial dan dukungan sosial diantara pasangan (Wolfinger dan Wilcox 2008). Penyelesaian konflik. Aspek ini mengukur persepsi pasangan mengenai eksistensi dan resolusi terhadap konflik dalam hubungan mereka. Aspek ini berfokus pada keterbukaan pasangan terhadap isu-isu pengenalan dan penyelesaian dan strategi-strategi yang digunakan untuk menghentikan argumen serta saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama dan membangun kepercayaan satu sama lain. Pengelolan keuangan. Aspek ini berfokus pada sikap dan berhubungan dengan bagaimana cara pasangan mengelola keuangan mereka. Aspek ini mengukur pola bagaimana pasangan membelanjakan uang mereka dan perhatian mereka terhadap keputusan finansial mereka. Konsep yang tidak realistis, yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam pernikahan (Hurlock 1999). Konflik dapat muncul jika salah satu pihak menunjukkan otoritas terhadap pasangannya juga tidak percaya terhadap kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.
Relasi seksual. Aspek ini mengukur perasaan pasangan mengenai afeksi dan hubungan seksual mereka. Aspek ini menunjukan sikap mengenai isu-isu seksual, perilaku seksual, kontrol kelahiran, dan kesetiaan.Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena kedua pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain, mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri. Keluarga dan teman. Aspek ini menunjukan perasaan-perasan dan berhubungan dengan hubungan dengan anggota keluarga dan keluarga dari pasangan, dan teman-teman.Aspek menunjukan harapan-harapan untuk dan kenyamanan dalam menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman. Anak dan pernikahan. Aspek ini mengukur sikap-sikap dan perasaanperasaan mengenai mempunyai dan membesarkan anak. Aspek ini berfokus pada keputusan-keputusan yang berhubungan dengan disiplin, tujuan-tujuan untuk anak-anak dan pengaruh anak-anak terhadap hubungan pasangan. Kesepakatan antara pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam pernikahan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan bila itu dapat terwujud. Masalah kepribadian. Aspek ini mengukur persepsi individu mengenai pasangan mereka dalam menghargai perilaku-perilaku dan tingkat kepuasan yang dirasakan terhadap masalah-masalah itu. Kesetaraan peran. Aspek ini mengukur perasaan-perasaan dan sikap-sikap individu mengenai peran-peran pernikahan dan keluarga. Aspek ini berfokus pada pekerjaan, pekerjaan rumah, seks, dan peran sebagai orang tua.Semakin tinggi nilai ini menunjukan bahwa pasangan memilih peran-peran egalitarian. Menurut Lemme (1995), ada beberapa kriteria dari pernikahan yang memiliki kepuasan yang tinggi, antara lain: a. Adanya relasi personal yang penuh kasih sayang dan menyenangkan, dimana dalam keluarga terdapat hubungan yang hangat, saling berbagi dan menerima antar sesama anggota dalam keluarga. b. Kebersamaan, adanya rasa kebersamaan dan bersatu dalam keluarga. Setiap anggota keluarga merasa menyatu dan menjadi bagian dalam keluarga. c. Model parental role yang baik. Pola orangtua yang baik akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak mereka. Hal ini bisa memberntuk keharmonisan dalam keluarga. d. Penerimaan terhadap konflik-konflik, Konflik yang muncul dalam keluarga dapat diterima secara normatif, tidak dihindari melainkan berusaha untuk diselesaikan dengan baik dan menguntungkan bagi semua anggota keluarga. Levenson (1996) mengatakan bahwa kemampuan pasangan untuk memecahkan masalah serta strategi yang digunakan oleh pasangan untuk menyelesaikan konflik yang ada dapat mendukung kepuasan pernikahan pasangan tersebut. e. Kepribadian yang sesuai, yaitu pasangan memiliki kecocokan dan saling memahami satu sama lain. Hal yang penting juga yaitu adanya kelebihan yang satu dapat menutupi kekurangan yang lainnya sehingga pasangan dapat saling melengkapi satu sama lain.
3
KERANGKA PEMIKIRAN
Keluarga berada dalam kondisi dinamis dan selalu berubah setiap saat. Perubahan dapat terjadi dalam peran, penyesuaian terhadap perkawinan, mengasuh anak dan disiplin terbukti merupakan perubahan dari satu tahap ke tahap lain. Kehadiran anak pertama hingga anak berusia dua tahun merupakan tahap ke dua dari perkembangan keluarga. Apabila pada masa tersebut anak balita tidak dibina secara baik, maka anak tersebut akan mengalami gangguan perkembangan baik emosi, sosial, mental, intelektual dan moral yang akan sangat menentukan sikap serta nilai pola perilaku seseorang dikemudian hari. Karakteristik keluarga dan individu seperti seperti usia ibu dan ayah, usia ibu dan ayah saat menikah, pendidikan ibu dan ayah, status bekerja ibu, pendapatan perkapita serta lama pernikahan turut mempengaruhi tugas perkembangan keluarga. Tingkat pendidikan orangtua sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak dan keluarga (Ariani 2012). Pada tugas perkembangan keluarga tahap kedua keluarga mempunyai tugas-tugas perkembangan keluarga yang dilihat dari dua dimensi yaitu dimensi anak dan dimensi orangtua. Pada tahap ini semua anggota keluarga akan menyesuaikan perannya yang baru. Terlebih saat sang anak dilahirkan, para orang tua akan sadar betapa mereka harus mengubah pola makan, pola tidur serta pola hubungan suami istri (Anderson dan Johson 2003). Alhborg (2004) menemukan bahwa dengan hadirnya anak pertama dapat menyebabkan stabilitas pekerjaan menjadi terganggu, merusak keintiman antar pasangan, frekuensi kegiatan waktu luang menurun, kepuasan perkawinan menurun serta kehilangan kepuasan dan kesejahteraan individu. Tugas perkembangan yang terpenuhi akan menimbulkan kebahagiaan dan membawa pada kepuasan perkawinan yang tinggi. penelitian terhadap seratus pasangan selama beberapa tahun menunjukkan bahwa menjadi orang tua merupakan pengalaman yang paling kritis dan kepuasan perkawinan menurun drastis seiring kehadian anak pertama (E.E. Lemasters). Usia ibu dan ayah, pendidikan ibu dan ayah, status bekerja ibu, usia ibu dan ayah saat menikah, usia ibu saat melahirkan, usia anak, pekerjaan ayah, pendapatan perkapita serta lama pernikahan dapat mempengaruhi stres ibu yang baru memiliki anak pertama. Usia 20-24 tahun adalah usia yang tepat untuk menikah dan mengasuh anak (Fauzi 2002). Anak dengan usia yang masih muda dianggap lebih menegangkan bagi orangtua dibandingkan anak yang lebih tua (Mash dan Johsnton 1983). Pada penelitian Cooper (2007) menunjukkan hubungan yang signifikan antara ibu dengan pendidikan rendah terhadap tingginya stres pengasuhan. Forgays (2001) menemukan ibu yang bekerja menunjukkan level stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. Walker (2000) menyebutkan karakteristik keluarga yang mempengaruhi stres pengasuhan stres pengasuhan seperti usia orangtua, jumlah anak di rumah, dan lama pernikahan. Abidin (1995) menyebutkan bahwa stres ibu dalam mengasuh anak dipengaruhi oleh karakteristik keluarga. Ibu dituntut untuk dapat menyesuaikan waktunya dengan pola aktifitas bayi, seperti menyusui, menjaga keamanan, kenyamanan dan kesehatan bayi. Seorang ibu yang tidak dapat menyesuaikan diri akan mudah mengalami stres. Stres pada ibu yang baru memiliki anak pertama adalah suatu keadaan tegang dan tertekan
ibu yang dapat menimbulkan suatu reaksi fisiologis maupun psikologis pada diri ibu karena adanya tuntutan dalam mengurus atau menjaga anak pertamanya. Beragam masalah yang dihadapi ibu saat mengasuh anak pertama dapat menimbulkan perasaan stres atau tertekan. Stres pada ibu yang memiliki anak pertama dapat menimbulkan perasaan gelisah dan rasa takut terhadap peranannya sebagai orang tua dan akan sangat mengganggu dalam menjalankan aktifitas kehidupan karena terjadi konflik. Dalam hal ini dukungan suami sangat dubutuhkan karena suami adalah orang terdekat istri. Dukungan suami bisa terwujud seperti selalu memberi semangat, kasih sayang dan selalu memberi pendampingan kepada ibu. Dukungan suami dapat memberi pengaruh tertentu terhadap ibu dalam merawat serta mengasuh bayi. Orangtua dengan anak yang lebih kecil lebih menimbulkan stres, perasaan kurang puas mengenai pengasuhan trelihat dikaitkan dengan kurangnya kepuasan dalam perkawinan. Ada beberapa aspek yang berpengaruh dalam kepuasan perkawinan menurut Fower dan Olson (1989; 1993) yaitu masalah kepribadian, kesetaraan peran, komunikasi, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, aktifitas bersama, relasi seksual, anak dan pernikahan, keluarga dan teman, orientasi religius.
30
Karakteristik Individu: Usia Ibu Pendidikan ibu Status bekerja ibu Usia Ibu saat menikah Usia ibu saat melahirkan
Karakteristik Keluarga: Usia ayah Usia anak Usia ayah saat menikah Pekerjaan ayah Pendidikan ayah Pendapatan Per kapita Lama pernikahan
Tugas Perkembangan keluarga: Dimensi orangtua Dimensi anak Kepuasan Perkawinan
Stres ibu
Gambar 2 kerangka pikir penelitian
31
4 METODE PENELITIAN Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study yaitu pengumpulan data dan informasi yang dilakukan hanya satu kali. Pemilihan lokasi Penelitian dilakukan secara purposive yaitu di Kelurahan Ratu Jaya dan Kelurahan Bojong Pondok Terong di Kecamatan Cipayung, Kota Depok, Jawa Barat. Kecamatan ini memiliki IPM (Indeks Pembangunan Manusia) terendah dari seluruh kecamatan yang berada di Kota Depok, Jawa Barat. Waktu penelitian dilakukan mulai April 2014 –Agustus 2014. Contoh dan Cara Pengambilan Contoh
Populasi pada penelitian ini adalah ibu yang bekerja dan tidak bekerja yang mempunyai anak pertama usia 0 – 24 bulan, yang bertempat tinggal di Depok. Contoh dalam penelitian ini adalah: (1) Ibu bekerja maupun tidak bekerja; (2) Baru memiliki anak pertama usia kurang dari dua tahun dan bukan anak kembar; (3) berasal dari keluarga lengkap (utuh) dan (4) bersedia dijadikan contoh. Contoh tinggal dikawasan Kelurahan Bojong Pondok Terong dan Ratu Jaya, Kecamatan Cipayung, Kota Depok. Setiap Kelurahan diambil masing-masing tiga RW secara purposive berdasarkan jumlah anak dari posyandu. Teknik Penarikan contoh dilakukan secara stratified nonpropotional random sampling berdasarkan bekerja dan tidak bekerja dan diambil contoh masing-masing adalah 60, sehingga jumlah seluruh contoh adalah 120 orang. Teknik penarikan contoh yang dilakukan pada penelitian ini ditunjukkan oleh gambar 3.
Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh
Jenis Dan Cara Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini jika ditinjau dari jenis datanya, maka penelitian ini menggunakan data kuantitatif. Angka-angka dalam data kuantitatif menunjukkan nilai dari sebuah subjek, istri, atau kasus-kasus. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data gambaran umum tentang lokasi penelitian dan data kependudukan yang diperoleh dari kantorkelurahan, kecamatan dan dinas kesehatan setempat, serta studi literatur dari buku, internet dan penelitianpenelitian sebelumnya yang sejenis yang berhubungan dengan topik penelitian. Sedangkan data primer diperleh melalui hasil wawancara dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner, meliputi: 1. Karakteristik individu (usia ibu, pendidikan ibu, status bekerja ibu, usia ibu saat menikah dan usia ibu saat melahirkan anak pertama) dan karakterisik keluarga (usia ayah, usia anak, usia ayah saat menikah, pekerjaan ayah, pendidikan ayah, pendapatan perkapita, lama pernikahan). 2. Tugas perkembangan keluarga terdiri dari dua dimensi yaitu dimensi orangtua dan dimensi anak. Kuisioner dikembangkan mandiri melalui pendekatan teori tugas perkembangan keluarga tahap dua indikator Duvall (1971). Tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua terdiri dari 19 pertanyaan dengan cronbach’s alpha 0.660. Tugas perkembangan keluarga dimensi anak terdiri dari 16 pertanyaan dengan cronbach’s alpha 0.832. Secara keseluruhan dengan menggabungkan dari ke dua dimensi tersebut, maka diketahui cronbach’s alpha tugas perkembangan keluarga sebesar 0.784. Dalam setiap butir pertanyaan terdiri dari empat pilihan jawaban dari tidak pernah sampai selalu dengan skor satu sampai empat. 3. Stress ibu yang baru memiliki anak pertama modifikasi kuisioner parenting stress indeks (PSI) oleh Abidin (1995) sebanyak 15 pertanyaan dan memiliki cronbach’s alpha sebesar 0.744. Dalam setiap butir pertanyaan terdiri dari lima pilihan jawaban dari sangat tidak setuju sampai sangat setuju dengan skor satu sampai lima. 4. Kepuasan perkawinan terdiri dari 10 dimensi, yaitu masalah kepribadian, kesetaraan peran, komunikasi, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, aktifitas bersama, relasi seksual, anak dan pernikahan, keluarga dan teman, dan orientasi religius. Kuisioner menggunakan alat ukur ENRICH (evaluation and nurturing relationship issues, communication and happiness) Marital Satisfaction (EMS) dari Fower dan Olson (1993) dan memiliki cronbach’s alpha sebesar 0.885.Terdapat 15 pertanyaan pada kuesioner ini dan dalam setiap butir pertanyaan terdiri dari lima pilihan jawaban dari sangat tidak setuju sampai sangat setuju dengan skor satu sampai lima.
Tabel. 1 Variabel, Skala data dan Kategori data Varibel
Skala data pada kuisioner
Kategori data
Karakteristik Individu Usia ibu
Rasio
Pendidikan ibu
Rasio
Status bekerja ibu
Nominal
[1] Dewasa awal : 18 – 40 [2] Dewasa Madya: 41 – 60 [3] Dewasa Akhir : > 60 [1] < 6 tahun [2] 7 – 9 tahun [3] 10 -12 tahun [4] > 12 tahun [1] Tidak Bekerja [2] Bekerja
Usia ibu saat menikah
Rasio
Rataan data
Usia ibu saat melahirkan
Rasio
Rataan data
Karakteristik Keluarga [1] Dewasa awal : 18 – 40 [2] Dewasa Madya: 41 – 60 [3] Dewasa Akhir : > 60 [1] 6 – 12 bulan [2] 13 – 18 bulan [3] 19 – 24 bulan
Usia ayah
Rasio
Usia anak
Rasio
Usia ayah saat menikah
Rasio
Rataan data
Pekerjaan ayah
Nominal
Pendidikan ayah
Rasio
[1] Tidak bekerja / IRT [2] PNS [3] Karyawan [4] Wiraswasta [5] Buruh [1] < 6 tahun [2] 7 – 9 tahun [3] 10 -12 tahun [4] > 12 tahun [1] < 310.279 [2] > 310.279 [1] < 3 tahun [2] 3.0 – 6.0 tahun [3] 6.1 – 9.0 tahun [4] 9.1 – 12.0 tahun [5] 12.1 – 15.0 tahun 1. Rendah : < 60% 2. Sedang : 60 -79.9% 3. Tinggi : > 80%
Pendapatan perkapita Lama pernikahan
Rasio
Tugas perkembangan keluarga Dimensi orangtua Dimensi anak
Ordinal
Stress ibu yang baru memiliki anak pertama
Ordinal
Kepuasan Perkawinan Masalah kepribadian Kesetaraan peran Komunikasi Penyelesaian konflik Pengelolaan keuangan Aktifitas bersama Relasi seksual Anak dan pernikahan Keluarga dan teman Orientasi religius
Ordinal
1. 2. 3. 1. 2. 3.
Rendah :< 60% Sedang : 60 -79.9% Tinggi : > 80% Rendah : < 60% Sedang : 60 -79.9% Tinggi : > 80%
Pengolahan dan Analisis data Data yang telah dikumpulkan dari kuesioner diolah dengan komputer. Kegiatan yang dilakukan mulai dari presurvei, pengambilan data sekunder, pengambilan data primer, entry data, cleaning data, dan analisis data. Berikut urutan kegiatan dalam pengolahan data yaitu penyusunan code-book sebagai panduan entry dan pengolahan data; setelah entry data, kemudian dilakukan cleaning data untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam memasukkan data. Setelah itu dilakukan penyajian hasil dari pengolahan data dan penganalisisan data. Reliabilitas data dilakukan dengan menggunakan uji Cronbach α, menyajikan statistik deskriptif untuk setiap peubah, pemberian skor terhadap jawaban kusioner; kategorisasi terhadap data, dan analisis data. Pengolahan data yang diperoleh dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS for windows. Data penelitian yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisis secara deskriptif. Analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Analisis deskriptif. Analisis ini digunakan untuk menjelaskan karakteristik individu (usia ibu, pendidikan ibu, status bekerja ibu, usia ibu saat menikah dan usia ibu saat melahirkan anak pertama), Karakterisik keluarga (usia ayah, usia anak, usia ayah saat menikah, pekerjaan ayah, pendidikan ayah, pendapatan perkapita, lama pernikahan), tugas perkembangan keluarga, stress ibu yang baru memiliki anak pertama dan kepuasan perkawinan. Kategori pengelompokkan untuk tugas perkembangan keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama dan kepuasan perkawinan dibedakan menjadi rendah, sedang, dan tinggi. Secara umum pengkategorian yang digunakan adalah rendah (Skor <60%), sedang (skor 60-79.9 %) dan tinggi (skor > 80%). Nilai tersebut didapatkan dari rumus yang disajikan sebagai berikut: Y=
x 100 X – nilai minimum X Nilai Maksimum X – nilai minimum Keterangan: Y = Skor dalam persen; X = Skor yang diperoleh untuk setiap contoh
2. Analisis hubungan untuk melihat hubungan antara karakteristik individu, karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga, stres mengasuh anak pertama, dan kepuasan perkawinan. 3. Uji Independent T-test digunakan untuk mengetahui perbedaan pemenuhan tugas perkembangan keluarga, stres merawat anak pertama, dan kepuasan perkawinan antara keluarga dengan ibu bekerja dan ibu tidak bekerja 4. Analisis regresi linear berganda digunakan untuk menganalisis pengaruh karakteristik individu, karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama, dan kepuasan perkawinan. Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7+β8X8+β9X9+ γ1D1+ ε
Keterangan: Y α β1-9 ε X1 X2 X3 X5 X6 X7 X8 X9 γ1 D1
= Kepuasan perkawinan = Konstanta = Koefisien regresi = galat = Usia ibu (tahun) = Pendidikan ibu (tahun) = usia ibu saat menikah (tahun) = lama pernikahan (tahun) = pendapatan perkapita (rupiah/ bulan) = pendidikan ayah (tahun) = tugas perkembangan keluarga = stres ibu yang baru memiliki anak pertama = Koefisien dummy = status bekerja ibu (0= tidak bekerja; 1= bekerja)
Definisi Operasional Contoh adalah keluarga yang memiliki anak pertama usia 0–2 tahun dalam keluarga dengan ibu bekerja dan tidak bekerja. Ibu bekerja adalah seorang wanita atau ibu yang telah berkeluarga yang bekerja di luar rumah untuk menghasilkan uang Ibu tidak bekerja adalah seorang wanita atau ibu yang telah berkeluarga dan dalam kesehariannya berada di rumah melaksanakan seluruh kegiatan rumah tangga serta tidak menghasilkan uang Tugas perkembangan keluarga adalah serangkaian kewajiban atau tuntutan yang harus dicapai atau dilaksanakan keluarga tahap kedua yaitu dengan anak usia 0-2 tahun, sehingga mencapai kebahagiaan dalam keluarga dan sebagai modal dasar untuk tahapan berikutnya. Dimensi orangtua adalah salah satu dimensi dalam tugas perkembangan keluarga dengan anak pertama berusia di bawah dua tahun yang mengukur ibu dan pasangan. Dimensi anak adalah salah satu dimensi dalam tugas perkembangan keluarga dengan anak pertama berusia di bawah dua tahun yang mengukur beberapa perkembangan anak. Stres ibu adalah persepsi yang dirasakan ibu terhadap situasi yang merupakan hasil dari tekanan yang terjadi saat merawat dan mengasuh anak pertamanya. Diukur dalam respon ibu terhadap pernyataan tentang stres Kepuasan Perkawinan adalah suatu evaluasi atau penilaian dari ibu mengenai penilaian terhadap perkawinan mereka yang dapat diukur dari aspek orientasi religius, keluarga dan teman, anak dan pernikahan, relasi seksual, aktifitas bersama, pengelolaan keuangan, penyelesaian konflik, komunikasi, kesetaraan peran dan masalah kepribadian.
5
Artikel 1
PENGARUH TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA TERHADAP KEPUASAN PERKAWINAN IBU YANG BARU MEMILIKI ANAK PERTAMA Influence of Family Developmental Tasks On Mother’s Marital Satisfaction Who Has First Baby Rahmaita, Diah Krisnatuti, Lilik Noor Yuliati Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga terhadap kepuasan perkawinan ibu yang baru memliki anak pertama. Desain penelitian ini menggunakan cross sectional study yang dilakukan pada 120 contoh dari keluarga yang baru memiliki anak pertama usia di bawah dua tahun. Penarikan contoh dilakukan dengan metode purposive sampling di dua kelurahan (Kelurahan Ratu Jaya dan Bojong Pondok Terong) di Cipayung Kota Depok, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Agustus 2014. Hasil penelitian menunjukkan capaian tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua 61.9 persen dan capaian tugas perkembangan keluaraga dimensi anak 73.1 persen. Capaian keseluruhan dari tugas perkembangan keluarga yaitu 67.1 persen. Tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua mempunyai hubungan positif dengan pendapatan perkapita dan usia ayah. Tugas perkembangan keluarga dimensi anak mempunyai hubungan positif dengan usia ibu, usia ayah, dan lama pernikahan. Kepuasan perkawinan mempunyai hubungan positif dengan pendidikan ibu, lama pernikahan, dan tugas perkembangan keluarga dimensi anak dan dimensi orangtua. Hasil uji pengaruh menunjukkan kepuasan perkawinan dipengaruhi oleh tugas perkembangan keluarga dimensi anak dan dimensi orangtua (R²=0.247). Kata kunci: Tugas perkembangan keluarga, Kepuasan perkawinan, Anak pertama Abstract The purpose of this study was to analyze the influence of family characteristics and family developmental tasks on mother’s marital satisfaction who has first baby. The research design was a cross sectional study of 120 samples from new families which already have children aged under two years old. The sample was observed by using purposive sampling method in two sub-district (Ratujaya and Bojong Pondok Terong) in Cipayung, Depok, West Java Province. Data was collected in April-august 2014. The results showed that the attainment of dimenssion parent and chilld of family developmental reached 61.9 percent and 73.1 percent. The attainment of family developmental tasks reached 67.1 percent. Parent dimenssion of family developmental tasks has positive correlation with per capita income and father aged. Child dimenssion of family develompental tasks has positive correlation with mother and father aged and length of marriage. Marital satisfaction has positive correlation with mother’s education, length of
marriage, and family developmental task. By using regression analysis, it show that marital satisfaction influenced by dimension child and dimension parent of family developmental tasks (R²=0.247). Keywords: Family developmental tasks, Marital satisfaction, First Baby Pendahuluan Saat ini banyak pasangan yang kurang dalam mempersiapkan diri untuk memasuki kehidupan berumah tangga, hanya siap untuk menikah namun tidak siap untuk berkeluarga. Akibatnya, tidak jarang pasangan setelah pernikahan mengalami disfungsi keluarga yang berujung pada perceraian. Menurut Data Kementerian Agama RI, pada tahun 2013 sebanyak 324.527 pasangan yang bercerai di Indonesia atau sudah melebihi angka 10% dari jumlah perkawinan sebanyak 2.218.130 pasangan. Ironisnya perceraian terbanyak terjadi pada usia rumah tangga muda yakni dibawah lima tahun. Salah satu yang menjadi penyebab dari perceraian yaitu berkurangnya kepuasan perkawinan antara suami dan istri. Kepuasan perkawinan merefleksikan secara umum kebahagiaan dan keberfungsian dalam pernikahan seseorang (Schoen et al. 2002). Hawkins (1968) menjelaskan bahwa kepuasan perkawinan adalah perasaan subjektif yang dirasakan pasangan suami atau istri. Kepuasan perkawinan merupakan sebentuk persepsi terhadap kehidupan pernikahan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu tertentu (Roach et al. 1981). Berkurangnya kepuasan perkawinan antara suami dan istri dapat disebabkan hadirnya anak ditengah tengah pasangan yang baru membentuk sebuah keluarga. Kehadiran anak dapat menambah sekaligus mengurangi keharmonisan suami istri, yang mengubah hubungan yang bersifat dwitunggal menjadi tritunggal (Hurlock 1999). Keluarga yang sedang mengalami masa transisi menjadi orang tua dengan anak pertama usia dibawah dua tahun merupakan masa yang paling kritis dan rentan karena para orang tua akan sadar betapa harus mengubah pola makan, pola tidur serta pola hubungan suami istri. Tuntutan sebagai ayah dan ibu akan dirasa semakin berat apabila ayah dan ibu tidak dapat menyesuaikan peran dan tugas perkembangan keluarganya. Pemenuhan tugas perkembangan keluarga memerlukan dukungan baik dari segi materi maupun non materi. Tugas perkembangan keluarga yang terpenuhi akan mengarahkan pada tugas – tugas perkembangan selanjutnya dan mengarahkan pada kebahagiaan serta kesuksesan keluarga. Tugas perkembangan keluarga yang baru mempunyai anak pertama merupakan tahap kedua dari delapan tahapan keluarga menurut Duvall (1971). Pada tahap ini peran dan tugas orang tua lebih kepada memantapkan hubungan antara suami isteri dan cara orangtua untuk mampu berinteraksi, dan merawat serta mengasuh anaknya dengan baik, sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak dapat tercapai secara optimal. Apabila keluarga tidak berhasil memenuhi tugas perkembangannya akan berdampak pada ketidakbahagiaan dan kesulitan dalam menjalankan tugas perkembangan pada tahap selanjutnya. Penelitian mengenai analisis tugas perkembangan keluarga tahap kedua atau keluarga yang baru memiliki anak pertama yang hubungannya dengan kepuasan perkawinan masih belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penting
melakukan penelitian untuk melihat pengaruh tugas perkembangan keluarga terhadap kepuasan perkawinan ibu yang baru mempunyai anak pertama usia dibawah dua tahun. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga, dan kepuasan perkawinan ibu yang baru memiliki anak pertama. 2. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga, dan kepuasan perkawinan ibu yang baru memiliki anak pertama. 3. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga, dan kepuasan perkawinan ibu yang baru memiliki anak pertama. Metode penelitian Disain, Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan menggunakan desain cross sectional study. Lokasi penelitian dipilih secara purposive berdasarkan data terkait tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah yang berada di Kecamatan Cipayung, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat (BPS Kota Depok 2011). Selanjutnya dipilih yaitu dua Kelurahan Ratujaya dan Kelurahan Bojong Pondok Terong yang sebagai lokasi pengumpulan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan AprilAgustus 2014. Contoh dan Teknik Penarikan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki anak pertama usia di bawah dua tahun baik yang bekerja maupun tidak bekerja. Kriteria contoh pada penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak pertama usia di bawah dua tahun. Selanjutnya data tersebut dipilih secara stratified nonproporsional random sampling sehingga jumlah seluruh contoh adalah 120 orang terdiri dari 60 ibu bekerja dan 60 ibu tidak bekerja. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Berdasarkan sumber datanya, maka data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung terhadap responden dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Data primer yang dikumpulkan meliputi: (1) karakteristik keluarga; (2)Tugas perkembangan keluarga dan (3) Kepuasan perkawinan. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari data monografi lokasi penelitian yang diperoleh dari kantor kelurahan dan kecamatan setempat. Karakteristik keluarga terdiri dari usia ayah, usia ibu, usia menikah ayah, usia menikah ibu, usia ibu saat melahirkan anak pertama, pendidikan ayah, pendidikan ibu, lama pernikahan dan pendapatan perkapita keluarga. Tugas perkembangan keluarga merupakan serangkaian kewajiban yang harus dipenuhi oleh keluarga selama kehidupannya.Tugas perkembangan keluarga
terdiri dari dua dimensi yaitu dimensi orangtua dan dimensi anak. Kuisioner dikembangkan mandiri melalui pendekatan teori tugas perkembangan keluarga tahap dua indikator Duvall (1971). Tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua terdiri dari 19 pertanyaan dengan cronbach’s alpha 0,66. Tugas perkembangan keluarga dimensi anak terdiri dari 16 pertanyaan dengan cronbach’s alpha 0.83. Secara keseluruhan dengan menggabungkan dari ke dua dimensi tersebut, maka diketahui cronbach’s alpha tugas perkembangan keluarga sebesar 0.78. Setiap pertanyaan mempuyai empat pilihan rentang jawaban dari tidak pernah dengan nila satu hingga selalu dengan nilai empat. Kategori data yang diperoleh dibuat menjadi tiga yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Kepuasan perkawinan merupakan perasaan subyektif yang dirasakan oleh ibu terhadap perkawinannya. Kepuasan perkawinan terdiri dari 10 dimensi, yaitu masalah kepribadian, kesetaraan peran, komunikasi, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, aktifitas bersama, relasi seksual, anak dan pernikahan, keluarga dan teman, dan orientasi religius. Kuisioner menggunakan alat ukur ENRICH (evaluation and nurturing relationship issues, communication and happiness) Marital Satisfaction (EMS) dari Fower dan Olson (1993) dan memiliki cronbach’s alpha sebesar 0.88. Setiap pertanyaan mempuyai lima pilihan rentang jawaban dari sangat tidak setuju, tidak setuju, biasa saja, setuju, sangat setuju. Kategori data yang diperoleh dibuat menjadi tiga yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data yang diperoleh dilakukan dengan menggunakan program SPSS. Data dan informasi yang diperoleh, dikategorikan kemudian dianalisis secara deskriptif. Analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Analisis deskriptif. Analisis ini digunakan untuk menjelaskan karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga, dan kepuasan perkawinan. Secara umum pengkategorian tugas perkembangan keluarga dan kepuasan perkawinan yang digunakan adalah rendah (Skor < 60%), sedang (skor 60 – 79.9%) dan tinggi (skor > 80%). 2. Uji hubungan untuk melihat hubungan antara karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga, dan kepuasan perkawinan. 3. Analisis regresi linear berganda digunakan untuk menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga, dan kepuasan perkawinan. HASIL Karakteristik Keluarga Pada Tabel 2 yaitu karakteristik keluarga dapat dilihat rata-rata usia ayah dan ibu pada penelitian ini sebesar 29.1 dan 25.6 tahun atau berada pada kelompok usia dewasa muda menurut Hurlock (1980) dengan rentangan usia antara 18 - 40 tahun. Rataan usia ayah dan ibu menikah yaitu 26.4 dan 22.8 tahun. Rataan usia ibu melahirkan yaitu 24.4 tahun dengan usia minimum dan maksimum sebesar 16 - 41 tahun. Usia dibawah 20 tahun dan usia diatas 35 tahun
merupakan usia yang dianggap rawan bagi kehamilan. Kategori rawan tersebut hanya berlaku pada kehamilan anak pertama. Hal ini sesuai dengan pendapat Mochtar (1998) kehamilan beresiko tinggi berada pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun. Rataan lama pendidikan yang ditempuh oleh ayah dan ibu sebesar 11.5 tahun dan 11.4 tahun yaitu setara dengan SMA. Rataan pendapatan perkapita yang dimiliki oleh keluarga yaitu sebesar Rp 1.080.611,00 dan pendapatan perkapita terendah yang dimiliki oleh keluarga yaitu sebesar Rp333.333,00 yang dapat dikatakan bahwa penghasilan perkapita itu sudah berada diatas garis kemiskinan Kota Depok tahun 2012 yaitu sebesar Rp 310.279,00. Rataan lama pernikahan 2.8 tahun. Berdasarkan jenis pekerjaan yang dimiliki oleh ayah dan ibu dapat dipaparkan beberapa jenis pekerjaan yang dimiliki oleh ibu dan juga ayah yang terdiri dari tidak bekerja atau ibu rumah tangga (IRT); Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang meliputi guru, dosen, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi, pegawai instansi milik negara, perawat; karyawan yaitu pegawai swasta yang memiliki gaji tetap setiap bulannya; wiraswasta atau memiliki usaha sendiri; dan buruh yaitu pekerjaan dengan penghasilan tidak tetap (misalnya petani, tukang). Pekerjaan yang paling banyak dimiliki oleh contoh yaitu sebagai ibu rumahtangga sebesar 50 persen dan pekerjaan kedua tertinggi yaitu adalah sebagai karyawan sebesar 32.5 persen. Lebih dari separuh jenis pekerjaan yang dimiliki suami adalah sebagai karyawan, dan persentase terkecil pekerjaan suami yaitu sebagai PNS. Tabel 2 Data Karakteristik Keluarga Karakteristik Keluarga
Ayah Rata-rata + Standar Deviasi 18 – 43 29.1 + 4.35 18 – 41 26.4 + 4.12 -
MinimumMaksimum Usia (Tahun) Usia Menikah (tahun) Usia Ibu Melahirkan (Tahun) Pendidikan (Tahun)
6 – 16
Pendapatan Perkapita keluarga (Ribu rupiah/bulan) Lama Pernikahan (tahun)
Ibu MinimumMaksimum 17 - 42 15 - 41 16 - 41
Rata-rata + Standar Deviasi 25.6 + 4.56 22.8 + 4.45 24.4 + 4.42
11.5 + 2.32
6 - 16 11.4 + 2.35 Keluarga MinimumRata-rata + Standar Deviasi Maksimum 333 – 2 666 1 068 610 + 564604 1 - 15
2.8 + 1.99
Tugas Perkembangan Keluarga Tugas perkembangan keluarga terbagi menjadi dua dimensi yaitu tugas perkembangan keluarga dimensi orang tua dan tugas perkembangan keluarga dimensi anak. Capaian keseluruhan dari tugas perkembangan keluarga sebesar 67.3 persen (Tabel 3). Berdasarkan hasil penelitian menemukan bahwa capaian dari tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua sebesar 61.9 persen, terdiri dari capaian yang paling tinggi (80 persen) yaitu bergbagi tanggung jawab sebagai orang tua dengan suami. Dilihat dari dimensi orangtua, capaian yang masih
rendah atau kurang dari 50 persen tampak pada mempertahankan hubungan yang romantis dengan suami (41.7 persen) dan menjaga kehidupan ibu muda melalui otonomi pribadi (46.5 persen). Berdasarkan hasil penelitian menemukan bahwa capaian dari tugas perkembangan keluarga dimensi anak secara keseluruhan sebesar 73.1 persen. Terdapat perbedaan yang signifikan pada tugas perkembangan keluarga dimensi anak usia 1-2 tahun lebih tinggi (79.85 persen) daripada dimensi anak usia 0-1 tahun (64.93 persen). Terdapat perbedaan yang signifikan pada indikator belajar untuk mendapatkan kepuasan akan makanan, belajar untuk mengelola tubuh secara efektif, belajar menyesuaikan dengan orang lain, belajar untuk menyayangi dan disayangi, mengembangkan sistem komunikasi, belajar untuk mengekspresikan dan mengendalikan perasaan, dan memiliki kemampuan terhadap kesadaran diri dengan capaian pada usia 1 - 2 tahun lebih tinggi daripada usia 0 - 1 tahun. Tabel 3 Capaian dimensi dan item tugas perkembangan keluarga Tugas Perkembangan Keluarga a. Rekonsiliasi penyesuaian peran b. Menerima dan menyesuaikan tuntutan sebagai ibu muda c. Belajar merawat bayi dengan kompeten d. Membangun dan mempertahankan rutinitas keluarga yang sehat e. Memberi kesempatan penuh untuk perkembangan anak f. Berbagi tanggung jawab sebagai orang tua dengan suami g. Mempertahankan hubungan yang romantis dengan suami h. Membuat penyesuaian yang memuaskan dengan realitas kehidupan i. Menjaga kehidupan ibu muda melalui otonomi pribadi j. Mengeksplorasi dan mengembangkan rasa memuaskan menjadi keluarga Total Dimensi Orangtua a.
Mencapai keseimbangan fisiologis setelah kelahiran b. Belajar untuk mendapatkan kepuasan akan makanan c. Belajar mengetahui bagaimana, dimana dan kapan terjadi eliminasi d. Belajar untuk mengelola tubuh secara efektif e. Belajar menyesuaikan dengan orang lain f. Belajar untuk menyayangi dan disayangi g. Mengembangkan sistem komunikasi h. Belajar untuk mengekspresikan dan mengendalikan perasaan i. Memiliki kemampuan terhadap kesadaran diri Total Dimensi Anak Total Tugas Perkembangan Keluarga
Rata-rata + Standar deviasi 73.2 + 21.26 69.3 + 24.27 57.8 + 26.76 60.4 + 27.40 56.8 + 29.21 80.0 + 23.71 41.7 + 41.66 60.8 + 30.64 46.5 + 29.91 62.4 + 33.19 0 – 1 tahun 76.12 + 27.35
61.9 +13.75 1 – 2 tahun 81.00+ 30.05
p-value 0.355
67.88 + 29.48
84.71 + 18.91
0.000*
81.40 + 27.48
88.58 + 23.47
0.126
64.05 + 28.94
77.92 + 22.39
0.004*
67.28 + 25.25 63.47 + 23.61 61.98 + 22.63 57.45 + 30.29
77.98 + 20.24 81.69 +18.61 78.73 + 19.93 80.15 + 21.53
0.011* 0.000* 0.000* 0.000*
60.40 +32.69
74.47 + 26.32
0.010*
64.93 + 17.09
79.85 + 12.03 67.33 + 11.20
0.000*
Berdasarkan Tabel 4 sebaran contoh berdasarkan tugas perkembangan keluarga, rata-rata ibu termasuk dalam kategori sedang dengan skor minimum dan maksimum yaitu 31 sampai 87. Hasil penelitian menemukan bahwa 60 persen ibu melakukan tugas perkembangan keluarga berada pada kategori sedang. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan tugas perkembangan keluarga Total Tugas perkembangan keluarga n % Rendah ( < 60%) 29 24.2 Sedang (60-79%) 72 60.0 Tinggi (>80%) 19 15.8 Rata + SD 67.33 + 11.20 Min-Maks 37.00– 87.00 Kepuasan Perkawinan Dapat dilihat pada Tabel 5 Capaian kepuasan perkawinan yaitu sebesar 63.1 persen dengan rataan sebesar 12,65. Dimensi kepuasan perkawinan yang paling tinggi capaiannya (75.2%) adalah orientasi religius yaitu ibu merasa senang tentang bagaimana keluarga mempraktekkan keyakinan agama dan nilai-nilai dalam sebuah keluarga. Capaian terendah (52.0%) adalah pengelolaan keuangan yang dapat dikatakan ibu masih kurang bahagia dengan posisi keuangan keluarga dan cara ibu dan ayah dalam membuat keputusan keuangan serta ibu masih memiliki kebutuhan yang tidak terpenuhi dalam hubungan dengan pasangan. Tabel 5 Capaian dimensi kepuasan perkawinan Kepuasan Perkawinan Masalah kepribadian Kesetaraan peran Komunikasi Penyelesaian konflik Pengelolaan keuangan Aktifitas bersama Relasi seksual Anak dan pernikahan Keluarga dan teman Orientasi religious Total kepuasan perkawinan
Rata-rata + standar deviasi 62.6 + 22.11 71.3 + 26.85 63.0 + 18.89 66.0 + 31.88 52.0 + 29.15 68.5 + 32.49 69.0 + 29.88 61.9 + 22.33 54.0 + 33.21 75.2 + 26.22 63.1+ 12.65
Berdasarkan hasil penelitian menemukan bahwa rata-rata sebaran contoh kepuasan perkawinan ibu termasuk dalam kategori sedang (Tabel 6). Berdasarkan tingkat kategori kepuasan perkawinan terdapat tigaperlima (60.8%) termasuk dalam kategori sedang dengan skor minimum dan maksimum 30.00 sampai 80.00.
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan kepuasan perkawinan Kepuasan Perkawinan Rendah ( < 60%) Sedang (60-79.9%) Tinggi (>80%) Rata + SD Min-Maks
Total n 38 73 9
% 31.7 60.8 7.5 62.69+ 12.65 30.00 – 88.00
Hubungan antar peubah penelitian Hasil analisis hubungan pada Tabel 7 menunjukkan bahwa tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua mempunyai hubungan positif dengan pendapatan perkapita dan usia ayah, semakin tinggi pendapatan perkapita keluarga dan semakin tinggi usia ayah maka semakin baik tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua. Tugas perkembangan keluarga dimensi anak berhubungan positif dengan usia ibu, usia ayah dan lama pernikahan. Dapat diartikan semakin tinggi usia ibu dan ayah dan semakin lama pernikahan maka semakin baik pula keluarga dalam menjalankan tugas perkembangan keluarga pada dimensi anak. Kepuasan perkawinan berhubungan positif dengan usia ibu, usia ayah, pendidikan ibu dan lama pernikahan. Artinya, semakin tinggi usia ayah dan ibu, semakin tinggi pendidikan ibu, dan semakin lama pernikahan maka kepuasan perkawinan meningkat atau semakin baik. Hasil analisis juga menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua dan dimensi anak terhadap kepuasan perkawinan. Semakin baik tugas perkembangan keluarga baik dari dimensi orangtua maupun anak maka semakin tinggi kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh ibu. Tabel 7 Koefisien korelasi antara karakteristik keluarga dan tugas perkembangan keluarga dengan kepuasan perkawinan Variabel Usia ibu Pendidikan ibu Status Bekerja ibu Usia ayah Pendidikan ayah Pendapatan perkapita Lama pernikahan Dimensi orangtua Dimensi anak Kepuasan perkawinan
Tugas Perkembangan Keluarga Dimensi orangtua Dimensi Anak .162 .316** .117 .036 .168 -.083 .192* .387** .142 -.011 .267** -.074 .138 .288** 1 .250** 1
Kepuasan Perkawinan .269** .203* .076 .285** .161 .133 .185* .443** .313** 1
Pengaruh karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga terrhadap kepuasan perkawinan ibu Hasil uji analisis pada Tabel 8 menunjukkan nilai adjusted R square sebesar 0.247. angka ini menunjukkan sebesar 24.7 persen kepuasan perkawinan dipengaruhi oleh karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua dan tugas perkembangan keluarga dimensi anak terhadap kepuasan perkawinan ibu. Tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua dan dimensi anak mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap kepuasan perkawinan (p=0.000; adjusted R2= 0.247). Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik tugas perkembangan yang dipengaruhi orangtua dan anak, maka semakin tinggi tingkat kepuasan perkawinan yang dimiliki ibu. Hasil regresi menunjukkan tidak ada dari karakteristik keluarga yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap kepuasan perkawinan. Tabel 8 Pengaruh karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga terhadap kepuasan perkawinan Variabel Konstanta Usia ibu (tahun) Pendidikan ibu (tahun) Status bekerja ibu ( 0 = tidak bekerja; 1= bekerja) Usia anak (bulan) Pendapatan Per kapita (Rp/bulan) Lama pernikahan (tahun) Tugas perkembangan dimensi orangtua Tugas perkembangan dimensi anak F Sig R Square Adjusted RSquare.
Kepuasan perkawinan β tidak β terstandarisasi terstandarisasi 16.59 0.28 0.10 0.70 0.13
Sig. 0.044 0.249 0.56
0.07
0.01
0.97
-0.29 -2.11 0.74 0.33 0.17
-0.15 -0.01 0.12 0.36 0.22 5.87 0.000 0.297 0.247
0.14 0.93 0.21 0.00** 0.02*
Keterangan: * Signifikan pada p<0.05; ** Signifikan pada p<0.01
Pembahasan
Hasil analisis deskriptif pada penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata usia menikah ayah dan ibu adalah 26.4 dan 22.8. Hal ini dapat berarti bahwa sebagian besar suami dan istri telah menikah pada batas usia yang ideal menurut program PUP BKKBN, laki-laki sebaiknya menikah diatas usia 25 tahun dan perempuan diatas 20 tahun. Hasil capaian yang kurang berkontribusi pada tugas perkembangan keluarga dimensi orang tua yaitu mempertahankan hubungan yang romantis dengan suami. Menurut Guerrero dan Mongeau (2008) hubungan romantis dapat muncul dari pertemanan yang kemudian berkembang menjadi percintaan. Akan
tetapi, tidak mudah untuk mempertahankan hubungan romantis yang dimiliki dalam jangka waktu lama. Hal ini merujuk pada kemampuan individu dalam melakukan penetapan, perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai hubungan romantis yang sedang dijalani (McCabe dan Barnett 2000). Capaian yang paling berkontribusi pada tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua yaitu bahwa ibu telah mampu dalam berbagi tanggung jawab dengan suami, menyesuaikan peran baik sebagai ibu maupun sebagai istri. Suami dan istri bersepakat dalam membagi peran dan tugas sehari-hari, bertanggung jawab terhadap peran dan tugas masing-masing dan saling menjaga komitmen bersama. Menurut Hoffman (1984) masyarakat pada umumnya menilai pekerjaan rumah tangga terbatas pada tanggung jawab untuk mempersiapkan makanan, membersihkan, dan mengatur rumah tangga serta mengasuh anak. Padahal sebagai ibu rumah tangga, ibu juga memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan hubungan yang memuaskan bersama keluarga yaitu suami dan anak. Walaupun kedengaran sederhana pekerjaan sebagai ibu rumah tangga pada kenyataannya cukup berat dan menyita waktu. Capaian tugas perkembangan keluarga dimensi anak pada anak berusia satu hingga dua tahun lebih tinggi daripada tugas perkembangan keluarga dimensi anak usia nol hingga satu tahun. Hal ini dapat dikarenakan anak pada usia satu hingga dua tahun telah mencapai hampir semua perkembangan baik dari segi emosi, bahasa, gerakan, dan tingkah laku sosial akan tetapi pencapaian suatu kemampuan pada setiap anak dapat berbeda-beda, namun demikian ada patokan umur tentang kemampuan apa saja yang perlu dicapai seorang anak pada umur tertentu. Proses pertumbuhan dan perkembangan ini perlu diikuti secara teratur yaitu dipantau, sehingga bila ada keterlambatan dalam proses tumbuh kembang dapat segera diketahui dan dilakukan tindakan (Soegeng & Rianti 2004). Rata-rata pendidikan ibu berada pada tingkat SMA, dengan tingkat pendidikan yang tinggi, pengetahuan, pengalaman dan kesadaran ibu terhadap pentingnya menstimulasi anak akan lebih tinggi (Yudrik 2011). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ertem (2007) yang menyimpulkan bahwa perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh pengetahuan ibu tentang bagaimana dan kapan ibu memberikan stimulasi kepada anaknya. Lebih dari separuh keluarga telah menjalankan tugas perkembangan keluarga kategori sedang. Hal ini mengindikasikan bahwa lebih dari separuh keluarga siap dalam tugas perkembangan selanjutnya. Sesuai dengan pernyataan Hill (1963) bahwa faktor yang dapat mempengaruhi terpenuhi tugas perkembangan keluarga adalah keberhasilan pada tahap sebelumnya dan kemampuan dalam menangani masalah yang terjadi. Kesuksesan keluarga dalam pelaksanaan tugas perkembangan keluarga tidak menutup kemungkinan akan memberikan dukungan dalam perkembangan anak, karena perkembangan anak pada lima tahun pertama merupakan dasar untuk perkembangan selanjutnya. Hal ini sesuai pendapat Thabita (2012) mengatakan ibu yang kurang berperan dalam memenuhi kebutuhan dasar anak mempunyai dampak pada perkembangan anak yang kurang baik. Lebih dari seperempat ibu mengalami kepuasan perkawinan yang rendah dan lebih dari separuh ibu yang berada pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua indikator kepuasan perkawinan dapat dipenuhi oleh contoh. Indikator yang tidak dapat dipenuhi oleh contoh yaitu pada dimensi
pengelolaan keuangan. Menurut Hurlock (1999) konsep yang tidak realistis, yaitu harapan-harapan tentang kemampuan keuangan untuk memiliki barangbarang yang dianggap penting dan ketidakmampuan untuk memenuhi biaya hidup dapat menjadi masalah yang timbul dalam perkawinan. Hal ini sesuai pendapat Furstenber dalam Wiliams et al. (2006) konflik keuangan biasanya terjadi karena adanya perbedaan harapan dalam masing-masing peran yang dijalankan oleh pasangan. Keterbukaan dalam hal pengelolaan dan pengeluaran keuangan akan membuat pasangan lebih berbahagia dalam perkawinan. Capaian terendah kedua yaitu dimensi keluarga dan teman. Ibu masih kurang dalam menyesuaikan diri dengan mertua dan ipar. Penyesuaian ini seharusnya dilakukan karena adanya perbedaan latar belakang budaya, minat dan usia sehingga pasangan harus belajar untuk memahami mertua dan ipar. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wiliams et. al (2006) seiringnya waktu kebersamaan yang terjalin dengan kerabat dari pihak masing-masing pasangan seperti mertua dan ipar turut berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan. Orientasi religius merupakan capaian paling tinggi pada kepuasan perkawinan. Orientasi religius memiliki peran dalam kepuasan perkawinan, karena orientasi religius seseorang dapat mempengaruhi pola pikir dan perilakunya dalam menjalani kehidupan pernikahan. Hal ini disebabkan karena pernikahan merupakan sebuah proses adaptasi, agamalah yang memfasilitasi dan menjadi sumber kekuatan dalam suatu hubungan. Pendapat di atas didukung oleh hasil penelitian Dudley dan Kosinski (1990) yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara orientasi religius dan kepuasan perkawinan. Hal ini juga didukung Bradburry (2000) yang menyatakan adanya korelasi positif antara kepuasan perkawinan dengan partisipasi religius. Adapun prediksi terkuat untuk kepuasan perkawinan adalah ibadah keluarga, orientasi religius yang sesuai dengan pasangan, dan kedatangan ke tempat ibadah. Beberapa studi juga telah banyak menyebutkan bahwa adanya hubungan yang positif antara religiusitas dengan kepuasan perkawinan (Filsinger dan Wilson 1984; Oluwole dan Adebayo 2008; Ardhianita dan Andayani 2004). Capaian tertinggi kedua yaitu kesetaraan peran. Hal ini sesuai dengan pernyataan istri yang merasakan kepuasan adalah apabila istri dapat memenuhi perannya dalam mengerjakan tugas rumah tangga, suami juga berpartisipasi dalam mengerjakan tugas rumah tangga (Khawaja dan Habib 2007). Kesetaraan peran dapat berlangsung dengan baik apabila ada pembagian peran didalam keluarga. Sesuai dengan pernyataan Puspitasari, Puspitawati dan Herawati (2013) Pembagian peran dan kotribusi anggota keluarga sangat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan dalam menjalankan fungsi keluarga menuju terwujudnya tujuan keluarga. Suami dan istri bersepakat dalam membagi peran dan tugas sehari-hari, bertanggung jawab terhadap peran dan tugasnya masing-masing, dan saling menjaga komitmen. Hal ini sejalan dengan Saginak (2005) menyatakan kepuasan perkawinan berhubungan dengan cara pasangan bernegosiasi untuk membagi tugas pekerjaan rumah, mencari nafkah, dan tanggung jawab antara suami dan istri. Sebaliknya, ketika suami dan istri tidak dapat menyeimbangkan peran mereka, maka akan menghasilkan stres yang akan berdampak pada kepuasan perkawinan. Hasil analisis hubungan menyatakan bahwa lama pernikahan mempunyai hubungan positif dengan tugas perkembangan keluarga. Artinya bahwa semakin lama perikahan ayah dan ibu maka semakin baik tugas perkembangan keluarga
yang dijalankan. Hasil analisis hubungan juga menyatakan bahwa kepuasan perkawinan mempunyai hubungan positif dengan lama pernikahan. Hal ini sejalan dengan penelitian Glenn (1990) menemukan bahwa lama pernikahan mempengaruhi kepuasan perkawinan seseorang. Penelitian Greenstein (1996) menemukan bahwa wanita yang masa pernikahannya semakin lama maka pernikahannya semakin stabil. Hasil penelitian Rini & Retnaningsih (2007) juga mendukung penelitian ini yang menyatakan bahwa pasangan yang menikah dibawah lima tahun memiliki kepuasan perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan yang menikah diatas lima tahun. Hal ini mungkin dapat disebabkan pasangan ini masih berada pada tahap awal perkawinan dimana pasangan akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama pasangan dan anaknya. Beberapa penelitian lain menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian lebih awal menunjukkan bahwa kepuasan perkawinan memperlihatkan hasil yang tidak konsisten, maka masih ada hal-hal yang diperdebatkan dalam literatur-literatur tersebut (Clements dan Swensen 2000). Penelitian yang dilakukan Burr (1970) mrnunjukkan mengalami penurunan dalam masa dua puluh tahun pertama setelah perkawinan kemudian akan meningkat kembali di tahun-tahun berikutnya mengikuti kurva-U. White and Booth (1985) juga menemukan dalam penelitian mereka bahwa kepuasan perkawinan dialami paling tinggi pada saat awal pernikahan, lalu menurun secara bertahap di tahun-tahun selanjutnya. Penelitian Vaillant dan Vaillant (1993) juga menunjukkan bahwa lamanya pernikahan tidak cukup prediktif bagi munculnya kebahagiaan perkawinan yang dirasakan oleh para istri. Pendidikan ibu behubungan dengan kepuasan perkawinan. Pasangan yang berpendidikan cenderung menciptakan equalitarian marriage, yaitu menciptakan kesempatan yang sama antara suami dan istri untuk bertanggung jawab. Hal ini sejalan dengan penelitian Glenn dan Weaver (1988), yang menjelaskan bahwa perbedaan tingkat pendidikan mempengaruhi kemampuan individu dalam memenuhi kebutuhan, keinginan dan aspirasinya. Hal ini berarti semakin tinggi pendidikan ibu semakin jelas wawasannya, sehingga persepsi terhadap diri dan kehidupan pernikahannya menjadi semakin baik. Hasil analisis uji pengaruh menyatakan bahwa dimensi anak dan dimensi orangtua pada variabel tugas perkembangan keluarga berpengaruh signifikan terhadap kepuasan perkawinan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kapinus dan Johnson (2003) yaitu pemenuhan tugas perkembangan keluarga berhubungan positif dengan kepuasan perkawinan. Artinya semakin baik tugas perkembangan yang dijalankan dalam keluarga maka semakin tinggi kepuasan perkawinan yang didapat. Tidak ada satupun dari karakteristik keluarga yang berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan, hal ini sejalan dengan penelitian Schmitt, Kliegel, dan Shapiro (2007). Variabel sosial ekonomi, seperti usia, pendapatan keluarga per kapita, pendidikan, dan jumlah anak tidak dapat memprediksi kepuasan pernikahan. Terdapat keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu penelitian ini menganalisis kepuasan perkawinan namun persepsi yang dinyatakan hanya dari pihak ibu saja, akan lebih lengkap apabila ayah juga ikut serta sebagai contoh sehingga dapat saling melengkapi.
Simpulan Rataan usia ayah dan ibu 29.1 dan 25.6 tahun. Rata-rata lama pendidikan yang ditempuh oleh ayah dan ibu setara dengan SMA. Pendapatan yang dimiliki keluarga sudah diatas garis kemisikinan kota Depok 2012. Rataan lama pernikahan yang dimiliki sebesar 2.78 tahun. Terdapat lebih dari tigaperlima ibu telah melakukan tugas perkembangan keluarga pada kategori sedang. Terdapat lebih dari tigaperlima ibu memiliki kepuasan perkawinan dalam kategori sedang. Kepuasan perkawinan berhubungan dengan tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua, dimensi anak dan lama pernikahan. Dapat dikatakan bahwa semakin baik keluarga dalam memenuhi tugas perkembangan keluarga maka semakin tinggi kepuasan perkawinan yang dimiliki oleh ibu. Tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua dan dimensi anak berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan perkawinan.
6 Artikel 2 PENGARUH STRES IBU YANG BARU MEMILIKI ANAK PERTAMA TERHADAP KEPUASAN PERKAWINAN PADA IBU BEKERJA DAN TIDAK BEKERJA Influence of Characteristics and Mother’s Stress Who has Her first Baby Toward Marital Satisfaction on Working and Not Working Mother’s Rahmaita, Diah Krisnatuti, Lilik Noor Yuliati Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh karakteristik keluarga dan stres ibu yang baru memiliki anak pertama terhadap kepuasan perkawinan ibu bekerja dan tidak bekerja. Desain penelitian ini menggunakan cross sectional study yang dilakukan pada 120 contoh dari keluarga yang baru memiliki anak pertama usia di bawah 2 tahun. Penarikan contoh diambil secara purposive di dua kelurahan (Ratu Jaya dan Bojong Pondok Terong) di Kecamatan Cipayung, Kota Depok. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan AprilAgustus 2014. Hasil penelitian menunjukkan capaian dari stres ibu yang baru memiliki anak pertama sebesar 58.13 persen. Sebagian besar responden ibu bekerja dan tidak bekerja merasakan stres dalam tingkat rendah. Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada stres ibu yang baru memiliki anak pertama dan kepuasan perkawinan pada ibu bekerja dan tidak bekerja. Hasil uji pengaruh menunjukkan stres ibu berpengaruh negatif dan lama pernikahan berpengaruh positif terhadap kepuasan perkawinan (R²=0.188). Kata kunci: karakteristik keluarga, stres ibu, kepuasan perkawinan Abstract The purpose of this study was to analyze influence of characteristics and mother’s stress who has her first baby toward marital satisfaction on working and not working mother’s. The research design was a cross sectional study of 120 samples from new families which already have children aged under 2 years old. the sample is observed by using purposive sampling method in two sub-district (Ratu Jaya and Bojong Pondok Terong) in Cipayung, Depok. Data collected in April-August 2014. The results showed that the attainment of mother’s stress who has her first baby reaches 58.13 percent. Most of the samples both working and not–working mother’s was in low level of stres. T-test analysis shown that there were no differences on mother’s stress who has her first baby and marital satisfaction of working and non-working mother’s. By using regression analysis, it show that marital satisfaction negatively influenced by mother’s stress who has her first baby otherwise positively affect of lenght of marriage (R²=0.188). Keywords: Family characteristics, stress mother, marital satisfaction.
Pendahuluan Wanita, terutama para ibu yang baru mempunyai anak pertama, banyak menghadapi masalah psikologi karena adanya berbagai perubahan yang dialami saat merawat anak pertama, antara lain perubahan peran sebagai istri dan ibu rumah tangga, bahkan juga sebagai ibu bekerja atau berperan ganda. Di satu sisi bekerja menambah beban tugas, tetapi di sisi lain bekerja dipandang sebagai sarana untuk melepaskan diri dari tekanan dalam rumah tangga, untuk pengembangan diri dan aktualisasi diri, serta menambah pendapatan keluarga. Penelitian Shenoy (Pentonjee 1992) terhadap 135 orang wanita di India menunjukkan ternyata marital stress lebih menonjol atau tinggi pada Ibu runah tangga dibandingkan dengan wanita bekerja. Hal ini sejalan dengan penelitian Varuch et al. diacu dalam Goldsmith (2010) yang mengungkapkan bahwa status pekerjaan (yang bekerja dan tidak bekerja) turut mempengaruhi hubungan antara kekacauan atau ketidakpuasan pernikahan dengan depresi. Kepuasan perkawinan merupakan sebentuk persepsi terhadap kehidupan pernikahan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu tertentu (Roach et al. 1981). Salah satu yang mempengaruhi kepuasan perkawinan yang dirasakan ibu adalah stres yang dirasakan ibu yang baru memiliki anak pertama. Anak merupakan anugerah ditengah-tengah pasangan yang baru menikah. Kehadian anak merupakan fase baru dalam tahap perkembangan keluarga, dimana keluarga yang hanya terdiri dari suami dan istri kini bertambah dengan seorang anak. Anak yang berusia kurang dari dua tahun masih membutuhkan kasih sayang, perhatian yang khusus dan stimulasi perkembangan anak yang harus diberikan oleh ibu. Pada masa lima tahun pertama seorang anak merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan potensi fisik (motorik), intelektual, emosional, sosial, bahasa, seni dan moral spiritual pada diri anak (Whidianawati 2011). Hal senada juga disampaikan oleh Yudesti dan Prayitno (2013) yang menyatakan bahwa anak merupakan salah satu aset sumberdaya manusia di masa depan yang perlu mendapat perhatian khusus. Peranan baru ini biasanya dapat membuat ibu tertekan karena banyak ibu kurang yakin pada kemampuan diri sendiri dalam merawat bayi. Gangguan terhadap kehidupan rutin sehari-hari seperti berkurangnya kebebasan yang disebabkan oleh ketidakberdayaan dan ketergantungan dari bayi akan mengakibatkan stres baik secara fisik maupun psikologis (Yuanita 2001). Stres merupakan suatu respon yang ditunjukan oleh individu ketika ia merasa terancam atau tertekan akan keadaan atau lingkungan sekitarnya (Santrock 2002). Lestari (2012) Stres pengasuhan adalah serangkaian proses yang membawa pada kondisi psikologis yang tidak disukai dan reaksi psikologi yang muncul dalam upaya beradaptasi dengan tuntutan peran sebagai orang tua. Pengasuhan yang dialami ibu akan berpengaruh terhadap tanggung jawab orang tua dalam merawat anaknya, karena stres pengasuhan akan menghambat pekerjaan yang dilakukan sehari-hari dan dapat menyebabkan permasalahan pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Dengan demikian penting melakukan penelitian untuk melihat pengaruh stres ibu yang baru memiliki anak pertama usia dibawah dua tahun terhadap kepuasan perkawinan ibu bekerja dan tidak bekerja
Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama, dan kepuasan perkawinan pada ibu bekerja dan tidak bekerja. 2. Menganalisis perbedaan karakteristik keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama dan kepuasan perkawinan pada ibu bekerja dan tidak bekerja. 3. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama, dan kepuasan perkawinan pada ibu bekerja dan tidak bekerja.
METODE PENELITIAN Disain, Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan menggunakan desain cross sectional study. Lokasi penelitian dipilih secara purposive berdasarkan data terkait tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah yang berada di Kecamatan Cipayung, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat (BPS Kota Depok 2011). Selanjutnya dipilih yaitu dua Kelurahan Ratujaya dan Kelurahan Bojong Pondok Terong yang sebagai lokasi pengumpulan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan AprilAgustus 2014. Contoh dan Teknik Penarikan Contoh Populasi pada penelitian ini adalah ibu yang bekerja dan tidak bekerja yang baru mempunyai anak pertama usia dibawah dua tahun. Data populasi diperoleh dari kantor kecamatan Cipayung dan posyandu di Kelurahan Bojong Pondok Terong dan Ratu Jaya. Contoh dalam penelitian ini adalah ibu bekerja dan tidak bekerja yang baru mempunyai anak usiadibawah dua tahun di kelurahan Bojong Pondok Terong dan Keluarahan Ratu Jaya. Teknik Penarikan contoh dilakukan secara stratified nonpropotional random sampling berdasarkan status pekerjaan ibu dan diambil contoh masing-masing adalah 60 orang, sehingga jumlah seluruh contoh adalah 120 orang. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Berdasarkan sumber datanya, maka data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung terhadap responden dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Data primer yang dikumpulkan meliputi: (1) karakteristik keluarga dan individu; (2) stress ibu yang baru memiliki anak pertama modifikasi kuisioner parenting stress indeks (PSI) oleh Abidin (1995) sebanyak 15 pertanyaan dan memiliki cronbach’s alpha sebesar 0.744; (3) kepuasan perkawinan terdapat 15 pertanyaan menggunakan alat ukur ENRICH (evaluation and nurturing relationship issues, communication and happiness) Marital Satisfaction (EMS) dari Fower dan Olson (1993) dan memiliki cronbach’s alpha sebesar 0.885. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari dokumentasi-
dokumentasi dari BPS kecamatan Kota Depok 2012, data jumlah anak yang berusia kurang dari dua tahundi kelurahan yang terpilih serta dari posyandu. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data yang diperoleh dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS for windows. Data dan informasi yang diperoleh, dikategorikan kemudian dianalisis secara deskriptif. Analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Analisis deskriptif. Analisis ini digunakan untuk menjelaskan karakteristik individu dan keluarga (usia ibu, pendidikan ibu, status bekerja ibu, usia ibu saat menikah, usia ibu saat melahirkan anak pertama, usia ayah, usia anak, usia ayah saat menikah, pendidikan ayah, pendapatan perkapita, dan lama pernikahan), stres ibu yang baru memiliki anak pertama dan kepuasan perkawinan. Kategori pengelompokkan untuk stres ibu yang baru memiliki anak pertama dan kepuasan perkawinan dibedakan menjadi rendah, sedang dan tinggi. Secara umum pengkategorian yang digunakan adalah rendah (Skor < 60%), sedang(skor 60 – 79.9%) dan tinggi (skor > 80). 2. Uji Independent T-test digunakan untuk mengetahui perbedaan, stres ibu yang baru memiliki anak pertama, dan kepuasan perkawinan antara keluarga dengan ibu bekerja dan ibu tidak bekerja 3. Analisis regresi linear berganda digunakan untuk menganalisis pengaruh karakteristik individu, karakteristik keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama, dan kepuasan perkawinan ibu.
HASIL Karakteristik Individu Tabel 9 menunjukkan bahwa rata-rata usia ibu baik yang bekerja maupun yang tidak bekerja yaitu 26.1 tahun dan 25.1 tahun. Pendidikan ibu yang bekerja lebih tinggi dibanding dengan ibu bekerja yaitu sebesar 11.9 tahun dan 10.9 tahun. Rataan usia ibu saat menikah pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja yaitu sebesar 23.3 tahun dan 22.3 tahun. Rataan usia ibu saat melahirkan anak pertama hampir sama baik ibu bekerja maupun ibu tidak bekerja yaitu sebsesar 24.7 tahun dan 24.1 tahun. Tabel 9 Karakteristik Individu berdasarkan status pekerjaan ibu Karakteristik individu
Total Rata-rata + SD
Usia ibu (tahun) Pendidikan ibu (tahun) Usia ibu saat menikah (tahun) Usia ibu saat melahirkan anak pertama (tahun)
25.6 + 4.562 11.4 + 2.350 22.8 + 4.456
Status Istri Bekerja Rata-rata + SD Bekerja Tidak Bekerja 26.1 + 4.65 25.1 + 4.45 11.9 + 2.58 10.9 + 2.01 23.3 + 4.62 22.3 + 4.25
24.4 + 4.424
24.7 + 4.47
24.1+ 4.39
P value
0.239 0.035* 0.191 0.423
Karakteristik Keluarga Tabel 10 menunjukkan bahwa karakteristik keluarga (usia anak, usia ayah, usia ayah saat menikah, pendidikan ayah dan lama pernikahan) tidak berbeda antara ibu bekerja dan tidak bekerja hanya pada pendapatan perkapita keluarga dan pendapatan keluarga lebih tinggi pada ibu bekerja daripada ibu tidak bekerja (p<0.001).Hasil penelitian menemukan bahwa rata-rata pendapatan perkapita ibu bekerja memiliki jumlah yang lebih besar (Rp 1.373.610) dibandingkan dengan pendapatan perkapita ibu tidak bekerja (Rp 763.610) berarti dapat terlihat bahwa dengan bekerjanya ibu maka pendapatan perkapita keluarga pun meningkat. Hasil penelitian juga menemukan bahwa rata-rata pendapatan keluarga ibu bekerja memiliki jumlah yang lebih besar (Rp 4.120.833) dibandingkan dengan pendapatan keluarga ibu tidak bekerja (Rp 2.290.833) berarti dapat terlihat bahwa dengan bekerjanya ibu maka akan memenuhi dalam perekonomian keluarga. Tabel 10 Karakteristik keluarga berdasarkan status pekerjaan ibu Karakteristik individu
Total Rata-rata + SD
Usia Anak (bulan) Usia Ayah (tahun) Usia Ayah saat menikah (tahun) Pendidikan Ayah (tahun) Pendapatan perkapita (rupiah) Pendapatan keluarga (rupiah) Lama pernikahan (tahun)
14.3 + 6.313 29.1 + 4353 26.5 + 4.124
Status Istri Bekerja Rata-rata + SD Bekerja Tidak Bekerja 14.1 + 6.234 14.6 + 6.476 29.1 + 3.609 29.1 + 5.020 26.6 + 3.505 26.3 + 4.689
P value
11.5 + 2.322
11.9 + 2.573
11.2 + 2.035
0.070
1 068 610+ 564604 3 205 833 + 1 693 812 2.8 + 1.998
1373610+ 559503 4 120 833+ 1 678 510 2.7 + 1.298
763610 + 375 114 2 290 833+ 1 125 343 2.9 + 2.518
0.000*
0.678 1.000 0.758
0.000* 0.555
Tabel 11 menunjukkkan bahwa jenis pekerjaan ibu sebanyak 65 persen bekerja sebagai karyawan dan jenis pekerjaan ayah sebanyak 55 persen bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 20 persen, wiraswasta sebanyak 8.3 persen dan sisanya sebagai buruh. Jenis pekerjaan ayah terbanyak sebagai karyawan. Tabel 11 Sebaran jenis pekerjaan ibu dan ayah berdasarkan status pekerjaan ayah Jenis pekerjaan Tidak bekerja/ IRT PNS Karyawan Wiraswasta Buruh Total
Bekerja n % 0 0.0 12 20.0 39 65.0 5 8.3 4 6.7 60 100.0
Ibu Tidak bekerja n % 60 100.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 60 100.0
Bekerja n % 0 0.0 6 10.0 33 55.0 16 26.7 5 8.3 60 100.0
Ayah Tidak bekerja n % 0 0.0 0 0.0 32 53.3 24 40.0 4 6.7 60 100.0
Stres Ibu yang Baru Memiliki Anak Pertama Tabel 12 menunjukkan bahwa capaian total dari stres ibu yang baru memiliki anak pertama sebesar 58.13 persen dengan capaian yang paling tinggi yaitu pada pernyataan ibu menyadari bahwa pada akhirnya mencurahkan seluruh waktu dan tenaga hanya untuk mengasuh anak. Tabel 12 Capaian stres ibu yang baru memiliki anak pertama berdasarkan status pekerjaan ibu Total
p-value
68.54
Status bekerja Bekerja Tidak bekerja 67.50 69.58
84.58
85.00
84.17
0.849
40.63
41.67
39.58
0.680
63.54
65.00
62.08
0.632
65.63
62.92
68.33
0.355
68.33
65.83
70.83
0.416
55.83
52.92
58.75
0.300
44.79
44.58
45.00
0.944
47.29
51.67
42.92
0.159
60.42
59.17
61.67
0.686
63.33
57.92
68.75
0.047*
64.79
57.50
72.08
0.010*
36.67
37.92
35.42
0.671
50.83
47.08
54.58
0.199
61.88
59.58
64.17
0.487
58.13
56.75
59.51
0.216
Penyataan Sering merasa bahwa tidak dapat mengasuh anak dengan baik. Menyadari bahwa akhirnya mencurahkan seluruh waktu dan tenaga hanya untuk mengasuh anak. Merasa terbebani dengan tanggung jawab sebagai orang tua. Sejak memiliki anak, tidak bisa mencoba suatu hal yang baru dan berbeda. Sejak memiliki anak, merasa hampir tidak bisa melakukan hal yang di sukai. Karena keterbatasan waktu tidak puas dengan pembelian pakaian terakhir untuk diri sendiri. Ada sedikit hal (masalah anak) yang mengganggu dalam hidup. Memiliki anak menyebabkan lebih banyak masalah dari apa yang di bayangkan. Sejak memiliki anak, merasa kesepian dan tidak memiliki teman. Tidak dapat menikmati waktu berkumpul bersama teman karena teringat dengan anak yang berada di rumah. Setelah menjadi orangtua, tidak tertarik berkenalan/berkumpul dengan orang-orang baru seperti dulu. Setelah menjadi orangtua, tidak dapat menikmati kegiatan yang di sukai (hobi). Merasa bahwa saya adalah seorang: 1. Orang tua yang baik. 2. Lebih baik daripada orang tua biasanya. 3. Orang tua biasa saja. 4. Seseorang yang memiliki masalah sebagai orang tua. 5. Orangtua yang tidak baik. Berharap memiliki perasaan dekat dan hangat dengan anak tetapi tidak berhasil sehingga membuat khawatir. Sulit untuk menetapkan serta membiasakan jadwal makan/minum susu dan tidur anak.. Total
0.679
Capaian total stres ibu yang baru memiliki anak pertama pada ibu bekerja (56.75%) dan ibu tidak bekerja (59.51%) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hanya pada item pernyataan 11 dan 12 yaitu setelah menjadi orangtua, tidak tertarik berkenalan/berkumpul dengan orang-orang baru seperti dulu dengan ibu bekerja sebanyak (57.92%) dan ibu tidak bekerja sebanyak (68.75%) dan setelah menjadi orangtua tidak dapat menikmati kegiatan yang sukai dengan ibu
bekerja sebanyak (57.50) dan ibu tidak bekerja sebanyak (72.08%). Hal ini menunjukkan bahwa ibu tidak bekerja cenderung lebih stres dalam mengasuh anak pertamanya daripada ibu yang bekerja. Hal ini dikarenakan ibu tidak bekerja area yang dimiliki hanya seputar rumah dan lingkungan dan perannya sebagai istri dan orang tua saja. Tabel 13 rata rata sebaran ibu berdasarkan stres ibu yang baru memiliki anak pertama secara keseluruhan berada pada kategori rendah (54.2%). Berdasarkan status bekerja ibu, terdapat 60 persen ibu bekerja berada pada kategori stres tingkat rendah dan terdapat 48.3 persen ibu tidak bekerja berada pada kategori stres tingkat rendah dan sedang. Tabel 13 Sebaran contoh stres ibu berdasarkan status pekerjaan ibu Stres ibu Rendah ( < 60%) Sedang (60-79%) Tinggi (>80%) Rata + SD Min-Maks
Bekerja n
Tidak Bekerja n %
%
36 60 22 36.7 2 3.3 56.75+ 12.322 30 – 85
29 48.3 29 48.3 2 3.3 59.51+ 12.042 30 – 91
Total n % 65 54.2 51 42.5 4 3.3 58.13 + 12.211 30.00 – 91.00
Kepuasan Perkawinan Tabel 14 menunjukkan capaian kepuasan perkawinan ibu bekerja (63.65%) lebih tinggi daripada ibu tidak bekerja (61.73%) walaupun perbedaan kepuasan perkawinan pada ibu bekerja dan tidak bekerja tidak signifikan. Jika dilihat dari total keseluruhan ibu bekerja dan tidak bekerja capaian kepuasan perkawinan yaitu sebesar 63.01 persen. Perbedaan siginifikan kepuasan perkawinan hanya tampak pada dimensi masalah kepribadian dengan rataan ibu bekerja sebesar 67.21 persen dan ibu tidak bekerja sebesar 57.38 persen dengan pvalue sebesar 0.014 persen. Tabel 14 Capaian variabel dan dimensi kepuasan perkawinan berdasarkan status pekerjaan ibu Kepuasan Perkawinan Masalah kepribadian Kesetaraan peran Komunikasi Penyelesaian konflik Pengelolaan keuangan Aktifitas bersama Relasi seksual Anak dan pernikahan Keluarga dan teman Orientasi religious Total Kepuasan Perkawinan
Total 62.60 71.3 62.99 66.0 52.0 68.5 69.0 61.87 54 75.2 63.01
Status Bekerja Bekerja Tidak bekerja 67.21 57.38 70.42 72.08 63.76 61.48 62.92 69.17 49.60 53.37 72.92 64.17 73.33 64.58 61.85 61.40 54.17 53.75 52.83 62.83 63.65 61.73
p-value 0.014* 0.735 0.510 0.285 0.481 0.141 0.109 0.913 0.946 0.795 0.409
Tabel 15 menunjukkan rata-rata sebaran ibu berdasarkan kategori kepuasan perkawinan secara keseluruhan berada pada kategori sedang (60.8%). Berdasarkan status bekerja ibu, terdapat lebih dari tigaperlima ibu bekerja (66.7%) berada pada kategori sedang dan lebih dari separuh (55%) ibu tidak bekerja berada pada kategori sedang. Tabel 15 Sebaran contoh kepuasan perkawinan berdasarkan status pekerjaan ibu Kepuasan perkawinan Rendah ( < 60%) Sedang (60-79.9%) Tinggi (>80%) Rata + SD Min-Maks
Bekerja n % 16 26.7 40 66.7 4 6.7 63.65 + 1.19459 30 - 88
Tidak Bekerja n % 22 36.7 33 55.0 5 8.3 61.73 + 1.3352 33 - 86
Total n % 38 31.7 73 60.8 9 7.5 62.69+ 1.265 30 – 88
Analisis pengaruh karakteristik keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama terrhadap kepuasan perkawinan ibu Hasil uji analisisi regresi linier berganda pada tabel 16 menunjukkan nilai adjusted R square sebesar 0.188. Hal ini berarti bahwa sebesar 18.8 persen kepuasan perkawinan ibu dapat dijelaskan oleh lama pernikahan dan stres ibu yang baru memiliki anak pertama. Berdasarkan hasil analisis menunjukan lama pernikahan berpengaruh positif (p <0.05) dan stres ibu yang baru memiliki anak pertama (p <0.01) berpengaruh negatif terhadap kepuasan perkawinan. Status bekerja ibu dan pendidikan ayah berpengaruh negatif terhadap kepuasan perkawinan meskipun tidak signifikan. Tabel 16 Sebaran koefisien regresi pengaruh, karakteristik keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama terhadap kepuasan perkawinan. Variabel
Kepuasan perkawinan β tidak terstandarisasi β terstandarisasi 58.355 0.851 0.158
Konstanta Pendidikan ibu (tahun) Status bekerja ibu (( 0 = -0.922 -0.037 tidak bekerja; 1= bekerja) Usia ibu menikah (tahun) 0.259 0.091 Usia anak (bulan) 0.093 0.047 Pendidikan ayah (tahun) -0.499 -0.092 Pendapatan per kapita (ribu 2.206 0.098 rupiah/ bulan) Usia ayah menikah (tahun) 0.383 0.125 Lama pernikahan (tahun) 1.279 0.202 Stres ibu -0.386 -0.372 F 4.065 Sig 0.000 R Square 0.250 Adjusted RSquare. 0.188 Keterangan: * Signifikan pada p<0.05; ** Signifikan pada p<0.01
Sig. 0.000** 0.135 0.715 0.388 0.624 0.399 0.384 0.233 0.031* 0.000**
Pembahasan Rata-rata usia ibu bekerja dan tidak bekerja yaitu 26.06 tahun dan 25.10 tahun. Pendidikan ibu bekerja lebih tinggi dibanding dengan ibu tidak bekerja. Rata-rata pekerjaan yang banyak dimiliki ibu yang bekerja adalah sebagai karyawan. Ratan usia ayah ditinjau dari status bekerja ibu adalah 29.08 tahun. Pendapatan keluarga dengan ibu bekerja lebih besar dibanding dengan ibu tidak bekerja. Capaian stres ibu yang baru memiliki anak pertama 58.13 persen, jika ditinjau dari ibu bekerja dan tidak bekerja maka capaian stres ibu yang baru memiliki anak pertama 56.75 persen dan 59.51 persen. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara ibu bekerja dan tidak bekerja terhadap stres. Hal ini beretentangan dengan pendapat Hidangmayun (2010) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan dengan stres pengasuhan yang dialami oleh ibu. Terdapat 3.3 persen ibu yang berada pada kategori stres tinggi. Hal ini dapat menyebabkan beberapa ibu yang berada dalam kategori stres tinggi dapat menggunakan ancaman, memperlakukan anak dengan kata-kata kasar, menanamkan kedisiplinan pada diri anak dengan melakukan tindak kekerasan. Hal ini sesuai dengan pendapat Ahern (2004) melakukan studi yang menunjukkan adanya hubungan stres pengasuhan dengan potensi penganiayaan anak dengan berbagai variasi yang ekstrim dalam perilaku pengasuhan. Hasil capaian indikator kepuasan perkawinan yang kurang dari 50 persen adalah pengelolaan keuangan dengan pernyataan ibu tidak bahagia dengan keadaan keuangan keluarga dan cara keluarga dalam membuat keputusan keuangan serta ibu masih memiliki kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi dalam hubungan ini. Hal ini sesuai pendapat Wiliams et al. (2006) konflik keuangan biasanya terjadi karena adanya perbedaan harapan dalam masing-masing peran yang dijalankan oleh pasangan. Keterbukaan dalam hal pengelolaan dan pengeluaran keuangan akan membuat pasangan lebih berbahagia dalam perkawinan. Capaian kepuasan perkawinan ibu sebesar 63.01 persen. Ibu bekerja memiliki masalah kepribadian pasangan yang lebih tinggi daripada ibu tidak bekerja. Hal ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaankebiasaan serta kepribadian pasangan. Biasanya sebelum menikah ibu berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian dari ayah bahkan dengan pura-pura menjadi orang lain. Namun setelah menikah, kepibadian yang sebenarnya akan muncul dan perbedaan dari yang diharapkan dengan yang terjadi dapat menimbulkan masalah. Persoalan tingkah laku ayah yang tidak sesuai dengan harapan dapat menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku ayah sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia. Terdapat 31.7 persen ibu yang berada pada kategori kepuasan perkawinan rendah. Kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh ibu bekerja lebih tinggi daripada ibu tidak bekerja meskipun tidak signifikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pujiastuti dan Retnowati (2004) yang mengatakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok wanita menikah yang bekerja dengan kelompok yang tidak bekerja mengenai kepuasan perkawinan dan depresinya. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa lama pernikahan berpengaruh positif terhadap kepuasan perkawinan ibu. Menunjukkan bahwa semakin lama usia
perkawinan maka semakin tinggi kepuasan ibu dalam perkawinan. Hal ini sesuai dengan pendapat Glenn (1990) mengatakan bahwa lama usia perkawinan mempengaruhi kepuasan perkawinan seseorang. Hal ini mungkin di karenakan ayah dan ibu belum lama menikah dan masih dalam tahap awal yaitu 0 sampai 10 tahun. Hal ini bertentangan dengan pendapat White dan Booth (1985) yang mencatat adanya penurunan kepuasan perkawinan seiring dengan lama pernikahan baik bagi pria maupun wanita. Menurut Cavanaugh dan Blanchard-Fields (2011) tahap awal perkawinan tahap dimana pasangan mulai menyesuaikan persepsi dan ekspetasi dari pasangan masing-masing. Taole (2004) juga mengatakan usia perkawinan tahap early years adalah usia perkawinan 0 hingga 10 tahun yang biasanya banyak terjadi ketegangan dan tekanan yang muncul. Lama pernikahan juga menentukan adaptasi antara ekspetasi pasangan dan kenyataan kehidupan perkawinan. Tahun-tahun pertama kehidupan pernikahan biasanya akan diisi dengan eksplorasi dan evaluasi, ayah dan ibu akan mulai menyesuaikan harapan dan fantasi dan menghubungkannya dengan kenyataan. Hal ini didukung dengan hasil dari dimensi masalah kepribadian dan idealistic disortion. Masalah kepribadian membahas persepsi ibu mengenai pasangannya. Idealistic disortion dapat diartikan sebagai perilaku yang mengandai-andaikan hubungan dalam bentuk yang terlalu indah, bahagia dan ideal (Fowers dan Olson 1993). Pasangan yang baru menikah tidak hanya mengetahui peran baru dalam pernikahan, namun juga mengembangkan penyesuaian diri ke dalam pekerjaan (Belsky 1997). Stres ibu yang baru memiliki anak pertama berpengaruh negatif terhadap kepuasan perkawinan, semakin rendah stres yang dirasakan oleh ibu dengan anak pertama dalam mengasuh dan merawat anak pertama maka semakin tinggi kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh ibu. Hal ini sejalan dengan dengan penelitian yang dilakukan Hess (2008) yang menunjukkan stres saat pengasuhan yang dilakukan ibu berpengaruh negatif dengan kepuasan perkawinan. Menunjukkan bahwa tingginya stres pengasuhan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, kemiskinan dan kepuasan perkawinan (Levendosky dan Graham-Bermann 1998) Simpulan Rata-rata usia ibu baik yang bekerja maupun yang tidak bekerja yaitu 26.1 tahun dan 25.1 tahun. Lama pendidikan yang ditempuh ibu bekerja (11.9 tahun) lebih tinggi daripada ibu tidak bekerja (10.9 tahun) atau setara dengan SMA. Ibu yang bekerja memliliki pendapatan perkapita dan pendapatan keluarga yang lebih tinggi daripada ibu tidak bekerja. Jenis pekerjaan yang banyak dimiliki oleh ibu bekerja adalah sebagai karyawan. Rataan lama pernikahan yang dimiliki oleh ibu bekerja dan ibu tidak bekerja yaitu 2.8 tahun. Terdapat satu dimensi dari variabel kepuasan perkawinan yaitu masalah kepribadian yang berbeda signifikan antara ibu bekerja dan tidak bekerja. Sedangkan pada stres ibu yang baru memiliki anak pertama terdapat dua dimensi yang berbeda antara ibu bekerja dan tidak bekerja tetapi secara keseluruhan tidak ada yang berbeda signifikan pada stres ibu yang baru memiliki anak pertama dan kepuasan perkawinan ibu. Lama pernikahan berpengaruh positif dan stres ibu yang baru memiliki anak pertama berpengaruh negatif terhadap kepuasan perkawinan ibu. Semakin lama usia perkawinan maka semakin tinggi kepuasan ibu di dalam perkawinan. Semakin rendah tingkat stres yang dialami oleh ibu yang baru memiliki anak pertama dalam merawat dan mengasuh anak, maka semakin tinggi tingkat kepuasan perkawinan ibu.
7 Pengaruh Karakateristik, Tugas Perkembangan Keluarga, Stres Ibu yang Baru Memiliki Anak Pertama Terhadap Kepuasan Perkawinan Ibu Pengaruh karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga,dan stres ibu yang baru memiliki anak pertama terhadap kepuasan perkawinan pada ibu bekerja dan tidaki bekerja di analisis dengan uji regresi linier berganda. Model yang dibangun memiliki nilai adjusted R square sebesar 0.302. Hasil penelitian yang disajikan pada tabel 17 menunjukkan bahwa sebesar 30.2 persen kepuasan perkawinan dipengaruhi oleh karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga, dan stres ibu yang baru memilki anak pertama, sedangkan sisanya 69.8 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak teramati dalam peneitian ini. Hasil uji analisisi regresi linier berganda pada tabel 17 menunjukkan tugas perkembangan keluarga berpengaruh positif (p<0.05) dan stres ibu yang baru memiliki anak pertama berpengaruh negatif (p<0.01) terhadap kepuasan perkawinan. Berdasarkan hasil uji regresi, status bekerja ibu dan pendidikan ayah berpengaruh negatif terhadap kepuasan perkawinan meskipun tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang bekerja cenderung memiliki kepuasan yang negatif dan semakin rendah tingkat pendidikan yang dimiliki ayah maka kepuasan perkawinan ibu meningkat. Tabel 17 Sebaran koefisien regresi pengaruh karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga stres ibu yang baru memiliki anak pertama terhadap kepuasan perkawinan Variabel
Kepuasan perkawinan β tidak terstandarisasi β terstandarisasi 41.201
Konstanta Status bekerja ibu ( 0 = tidak -.549 bekerja; 1= bekerja) Usia ibu (tahun) .293 Pendidikan ibu (tahun) .666 Pendidikan ayah (tahun) -.294 Pendapatan perkapita (ribu 8.436 rupiah/bulan) Lama pernikahan (tahun) .460 Tugas perkembangan .388 Stres ibu -.308 F 7.436 Sig 0.000 R Square 0.349 Adjusted RSquare. 0.302 Keterangan: * Signifikan pada p<0.05; ** Signifikan pada p<0.01.
Sig. 0.000**
-.022
.815
.106 .124 -.054
.217 .205 .593
.0378
.721
.073 .362 -.298
.387 .000** .000**
8. PEMBAHASAN UMUM Rata-rata usia ayah dan ibu pada penelitian ini berada pada kategori dewasa muda menurut Hurlock (1980). Usia anak berkisar antara 6-24 bulan dengan perbandingan jumlah jenis kelamin anak dari seluruh responden didomiasi oleh anak laki-laki sebanyak 96.7 persen. Lama pendidikan rata-rata yang ditempuh oleh ayah dan ibu setara dengan SMA. Pekerjaan yang paling banyak dimiliki oleh ibu adalah sebagai karyawan. Sama seperti ibu, pekerjaan paling banyak yang dimiliki oleh ayah adalah sebagai karyawan. Secara keseluruhan pendapatan perkapita keluarga per bulan pada penelitian ini sudah berada diatas garis kemiskinan kota Depok tahun 2012. Sebagian besar ayah dan ibu menikah berada pada batas usia yang ideal menurut program PUP BKKBN. Masih ada beberapa contoh yang melahirkan pada usia rawan. Menurut Mochtar (1998) kehamilan beresiko tinggi berada pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun. Hasil uji beda menunjukkan pendidikan ibu yang berada pada kelompok ibu bekerja lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ibu tidak bekerja sehingga ibu tidak bekerja dapat memiliki kecenderungan kepuasan perkawinan yang rendah daripada dengan kelompok ibu bekerja. Hal ini tidak sejalan dalam penelitian ini dikarenakan kepuasan perkawinan ibu bekerja lebih rendah dari pada kepuasan perkawinan pada ibu tidak bekerja meskipun perbedaan yang tampak tidak signifikan. Hal ini dapat dimungkinkan karena ibu yang bekerja tidak mudah dalam menjalankan dua peran antara pekerjaan dan keluarga, karena kesibukan dalam pekerjaan dan keluarga adalah dua hal yang seringkali membuat ibu tidak dapat membagi waktu. Hal ini bertentangan dengan penelitian Unger dan Crawford (1992) istri yang tidak bekerja (ibu rumah tangga) mempunyai tingkat peneyesuaian psikologis yang paling rendah, diikuti oleh para istri yang bekerja, dan yang paling tinggi tingkat penyesuaiannya adalah para suami yang bekerja. Hal ini sejalan dengan pendapat Long (1984) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan hubungan sosial memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap tingkat kepuasan hidup. Dengan demikian dapat memeberikan dampak yang positif terhadap keluarga yang berhubungan terhadap kepuasan perkawinan. Hasil Analisis menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan tugas perkembangan keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama dan kepuasan perkawinan ibu pada kelompok ibu bekerja dan ibu tidak bekerja. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pujiastuti dan Retnowati (2004) yang mengatakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok wanita menikah yang bekerja dengan kelompok yang tidak bekerja mengenai kepuasan pernikahannya dan depresinya. Hasil uji pengaruh pada karakteristik individu, keluarga, tugas perkembangan keluarga, dan stres ibu yang baru memiliki anak pertama terhadap kepuasan perkawinan pada ibu bekerja dan tidak bekerja yaitu sebesar 30.2 persen dengan tugas perkembangan keluarga memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan perkawinan ibu. Sebaliknya stres ibu yang baru memiliki anak pertama memiliki pengaruh negatif terhadap kepuasan perkawinan. Hal ini senada dengan Yi Pik (2007) yang melakukan penelitian di Hongkong menemukan bahwa semakin rendah stres ibu dalam pangasuhan anaknya maka semakin tinggi kepuasan perkawinan. Hal ini
diperkuat dengan pendapat Goldberg diacu dalam Luster dan Okagaki (2005) mengungkapkan kepuasan perkawinan yang tinggi berhubungan dengan pengasuham yang peka, responsive, hangat dan menerima, sebaliknya kepuasan perkawinan yang rendah berhubungan dengan pengasuhan yang permisif. Karakteristik seperti usia ibu berpengaruh positif terhadap kepuasan perkawinan meskipun tidak signifikan. Dapat dikatakan semakin tinggi usia ibu maka semakin tinggi pula kepuasan perkawinan ibu. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Kamo (2004) yang dilakukan pada wanita di Jepang yang menyebutkan bahwa usia kronologis berpengaruh negatif tehadap kepuasan perkawinan. Hal ini tidak sejalan mungkin karena ibu pada penelitian ini rata-rata masih berusia dewasa madya dan lama pernikahan masih relatif muda sehingga berpengaruh positif terhadap kepuasan perkawinan. Walaupun tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan status bekerja ibu memiliki pengaruh yang negatif terhadap kepuasan perkawinan. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang bekerja memiliki pengaruh kepuasan perkawinan yang negatif. Konflik kerja dan keluarga berhubungan negatif dengan kepuasan perkawinan (Oscharoff 2011; Ford et al., 2007; Frone et al., 1992; Frone et al., 1997; Geurts et al., 2003; McElwain et al., 2005). Hal ini dapat dikarenakan ibu yang bekerja fisik dan emosionalnya terkuras pada saat bekerja dan sulit untuk memenuhi dan bertanggung jawab pada tugas rumah. Pendidikan ayah berpengaruh negatif dengan kepuasan perkawinan meskipun tidak signifikan. Sebaliknya dengan ibu, pendidikan ibu berpengaruh positif terhadap kepuasan perkawinan walaupun tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Kurdek (1991), ditemukan bahwa rendahnya tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang berhubungan terjadiya persengketaan dalam perkawinan. Hal ini terjadi karena kurangnya pendidikan akan mengurangi kesempatan untuk mengembangkan keterampilan verbaldan sosial dalam menyelesaikan konflik, dan persiapan yang kuranga baik terjadi pada awal perkawinan. Hendrick dan Hendrick (1992) menambahkan bahwa pasangan yang memiliki tingkat pendidikan rendah merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak menghadapi stressor. Meliani (2014) menunjukkan hal serupa bahwa pendidikan ibu berpengaruh positif terhadap kepuasan perkawinan. Hal ini sejalan dengan pendapat Winahyu (2001) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap kemampuan individu dalam memenuhi kebutuhan, keinginan dan aspirasinya yang akan memberi sumbangan dalam memperoleh kehidupan perkawinan yang lebih memuaskan
9 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dalam penelitian ini menemukan pendidikan ibu, pendapatan perkapita, dan pendapatan keluarga berbeda antara ibu bekerja dan tidak bekerja. Pendidikan ibu yang berada pada kelompok ibu bekerja lebih tinggi daripada dengan kelompok tidak bekerja. Hasil uji beda stres ibu yang baru memiliki anak pertama dan kepuasan perkawinan tidak ditemukan perbedaan yang nyata antara keluarga dengan ibu bekerja maupun dengan ibu tidak bekerja. tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua mempunyai hubungan positif dengan pendapatan perkapita dan usia ayah. Tugas perkembangan keluarga dimensi anak berhubungan positif dengan usia ibu, usia ayah dan lama pernikahan. Kepuasan perkawinan berhubungan positif dengan usia ibu, usia ayah, pendidikan ibu dan lama pernikahan. Hasil analisis juga menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua dan dimensi anak terhadap kepuasan perkawinan. Tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua dan dimensi anak berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan perkawinan. Keluarga yang menjalankan tugas perkembangannya dengan baik berdampak kepada kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh ibu. Stres ibu yang baru memiliki anak pertama berpengaruh negatif terhadap kepuasan perkawinan, semakin rendah tingkat stres yang dirasakan oleh ibu dalam merawat dan mengasuh anak pertama maka semakin tinggi kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh ibu. Saran Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa saran yang dapat diberikan: suami dan istri harus memiliki waktu berdua dengan pasangan, saling menghargai, menjaga komitmen satu sama lain dan membangun komunikasi yang baik dengan pasangan agar dapat menciptakan hubungan yang romantis dengan suami. Kepuasan perkawinan relatif rendah dalam aspek pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, mengurangi pengeluaran belanja dan mencatat pemasukan dan pengeluran keluarga setiap bulan dapat menjadi solusi dalam mengelola keuangan keluarga sehingga ketidakpuasan dalam perkawinan berkurang dan dapat menurukan angka perceraian. Ketidakpuasan perkawinan dalam sebuah keluarga dapat disebabkan ayah dan ibu kurang mempersiapkan diri dalam menghadapi kehidupan rumah tangga, oleh sebab itu pasangan dapat mengikuti seminar pranikah yang diadakan oleh Instansi pemerintah maupun LSM. Program kegiatan posyandu dapat lebih ditingkatkan dengan cara memberikan penyuluhan cara pengasuhan anak dengan baik agar mengurangi stres bagi para ibu. Saran bagi intutisi pemerintah, diharapkan intitusi pemerintah seperti BKKBN dapat memberikan edukasi dalam hal keterampilan bagi perempuan yang telah menikah khususnya yang baru menikah dan mempunyai anak pertama dan disesuaikan dengan minat dan bakat masing-masing. BKKBN dapat bekerjasama dengan Kementrian Pembrdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam porgram Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan (PEEP) dengan tujuan meningkatkan pemberdayaan ekonomi sehingga ibu juga dapat menunjang
perekonomian keluarga meskipun hanya bekerja di rumah. Masukkan bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini terbatas pada keluarga yang tinggal di perkotaan, akan lebih menarik apabila dilakukan penelitian sejenis ini di wilayah pedesaan sehingga dapat terlihat perbedaan diantara keduanya dan agar dapat mengikutsertakan suami sebagai responden peneitian.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin RR. 1995. Parenting stress index-short form test manual. Charlottesvile: Pediatric Psychology Press. Ahern L. 2004. Psychometric properies of the parenting stress index – short form. Diakses dari http://repository.lib.nscu.edu/ir/handle/1840.16/2765. Alhborg T. 2004. Experienced Quality of The Intimate Relationship in First Time Parents [Desertasi]. Goteborg Swedia: Nordic School of Public Health. Anderson H, Johson BW. 2003. Regarding Children: mengasuh anak-anak. Medan: Bina Media. Arifin NV, Wirawan EH. 2005. Coping terhadap pospartum blues pascasalin pertama. Arkhe Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara. 10(2): 89 – 90. Ardhianita L, Andayani B. 2004. Kepuasan pernikahan ditinjau dari bepracaran dan tidak berpacaran. Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. 32 (2): 101-111. Atkinson RI, RC Atkinson, EE Smith, DJ Bern. 2000. Pengantar Psikologi Jilid 2 11th ed. W Kusuma, Penerjema. Jakarta: Interaksara. Badran A. 2006. Bebas dari Stress dengan Relaksasi dan Olahraga. Jakarta: Khalifa. Baker, Perilla, Norris. 2001. Parenting Stress and Parenting Competence Among Latino Men Who Batter. Journal of Interpersonal Violence. 16 (11). Belsky J. 1997. The Adult Experience. USA: West Publishing Company Bradburry TN, Fincham FD, Beach SRH. 2000. Research on the nature and determinants of maritalsatisfaction: A decade in review. Journal of Marriage and the Family, 62:964‐980. Brooks JB. 1999. The Process Of Parenting. New York: The McGraw-Hill Companies Burr WR. 1970. Satisfaction with various aspects of marriage over the life cycle. Journal of Marriage and the Family.32: 29-37. Cavanaugh JC, Blanchard-Fields F. 2011. Adult Development and Aging, Belmont: Wadsworth. Clements R, Swensen CH. 2000. Commitment to one’s spouse as a predictor of marital quality among older couple.Current Psychology.19 (2): 110-120. Depok BPS. 2012. Kota Depok Dalam Angka 2012.3276.0701. Depok: BPS Depok. Tersedia pada http://depokkota.bps.go.id/ . [26 Januari 2014]. Domikus Y. 2002. Hubungan antara perilaku sosioemosional dan tahap perkawinan dengan kepuasan perkawinan [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia, Program Pascasarjana. Dudley MG, Kosinski FA. 1990. Religiousity and marital satisfaction: A research note. Review of Religious Research . 32: 78-86. Duvall EM.1971. Family Development, Fourth Edition. Philadelphia: JB. Lippincott Company. Duvall EM, Miller BC. 1985. Marriage and Family Development. New York: Harper & Row Publisher Inc. Ertem OI, Atay G, Dogan GD, Bayhan A, Bingoler EB, Gok GC, Ozbas S, Haznedaroglu D, Isikli Set .2007. Mothers’ knowledge of young child
developmadevelopingcountry. Journal Compilation, ,(33):.6, 728 – 737 doi:10.1111/j.13652214.2007.00751.x. http://courseware.ku.edu.tr/ahmetkoc/publ Filsinger E, Wilson MR. 1984. Religiosity, socioeconomic rewards,and family development: Predictor of marital adjusment. Journal of Marriageand Family.46(3): 663-670. Ford MT, Heinen BA, Langkamer KL. 200. Work and family satisfaction and conflict: A meta-analysis of cross-domain relations. Journal of Applied Psychology. 92: 57-80. Forgays DK, Ottaway SA, Guarino A, D’Aalessio M. 2001.Parenting stress in employed and at-home mothers in Italy. Journal of Family and Economic Issues. 22(4): 327-351. Fowers BJ, Olson DH. 1993. ENRICH Marital satisfaction scale: a brief research and clinical tool. Journal of Family Psychology.7(2):176-185. __________________. 1993. ENRICH Marital inventory: a discriminant validity and cross validity assessment. Journal of Family Psychology. 15(1):65-79. Friedman. 1998. Family Nursing, Theory And Practice,4th Edition. California:Apleton&Lange. Frone MR, Russell M, Cooper ML. 1992. Relationship between job and family satisfaction: Casual or noncausal covariation. Journal of Management. 20: 565- 679. , Yardley JK, Markel KS. 1997. Developing and testing an integrative model of the work-family interface. Journal of Vocational Behavior. 50: 145-167. Geurts SAE, Kompier MAJ, Roxburgh S, dan Houtman ILD. 2003. Does workhome interference mediate the relationships between work load and wellbeing. Journal of Vocational Behavior. 63: 532-559. Glenn ND. 1990. Quantitative research on marital quality in the 1980’s: a critical review. Journal of Marriage and the Family. 52(4):818-832. _________, Weaver CN. 1988. The changing relationship of marital status to reperted happiness. Journal of Marriage and the Family. 50: 317-324. Goldsmith EB. 2010. Resource Management for Individual and Families. 4th Edition. New Jersey (US): Pearson Education,Inc. Goliszek A. 2005. 60 Second Management Stress. Dominiscus Rusdin, Penerjemah. Jakarta: Buana Ilmu Populer. Gray-Little, Burks. 1983. Power and Satisfaction in Marriage: A review and Critque. Psyhlogical Bulletin, 93: 513-538. Greenstein TN. 1996. Gender ideology and perceptions of the fairness of the division of household labor: Effect on marital quality. Social Forces.74. Guerrero LK, Mongeau PA. 2008. On Becoming “more than friends”: the transition from friendship to romantic relationship. S. Sprecher, J. Harvey, editor. Handbook of relationship initiation. New York: Psychology Press. Hlm 175-194. Gunarsa SD. 2004. Bunga RampaiPsikologi Perkembangan: Dari Anak Hingga Usia Lanjut. Jakarta: BPK Hawkins JL. 1968. Associations between companionship, hostility and marital satisfaction. Journal of Marriage and the Family. 30: 647-650.
Helms DB, Turner JS. 1983. Exploring Child Behavior. New York : Holt Rinehartand Winston. Hendrick S, Hendrick C. 1992. Liking, Loving,and Relating 2th ed. California (US): Brooks/Cole Pub.Co. Hess J. 2008. Marital satisfaction and parental stress [tesis]. Logan (US): Utah State University Hidangmayun N. 2010. Parenting stress of norlmal children and mentally challenged children. Naskah publikasi thesis university of Agriculture Science. Hill R. 1963. Family development: Family Mobility in Our Dynamic Society. Journal of Cooperative Extension.Amerika Serikat: Iowa State University. Hoffman LW.1984. Maternal employment and the young child. Perlrnutter M, editor. Parent-child interaction and parent-child relations in child development.Hilladale (NJ): Ertbaum 101-27. Hurlock EB. 1999. Psikologi Perkembangan-Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan ed ke-5. Istiwidayanti Soedjarwo, Penerjemah. Jakarta: Erlangga. Kapinus CA dan Johnson MP. 2003. The utility of family life cycle as a theoretical and empirical tool commitmen and family life-cycle stage. J Family Issues.24(2): 155-184. Khwaja M. Habib RR. 2007. Husband’s Involment in housework and women’s psychological health: findinng from a population-based study in Lebanon. American Journal of Public Health, 97(5), 860 – 866. Kurdek LA. 1991. Predictor of increases in marital distress in newlywed couples: a 3-year prospective longitudinal study. Developmental Pshycology. 27: 627-636. Larasati A. 2012. Kepuasan Perkawinan pada Istri Ditinjau Dari Keterlibatan Suami dalam Menghadapi Tuntutan Ekonomi dan Pembagian Peran dalam Rumah Tangga.Jurnal Psikoogi Pendidikan dan perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. 1(03) Desember 2012. Lazarus RS. 1999. Stress And Emotion: A New Synthesis. USA: Springer Publishing Company,Inc. Lazarus RS, Folkman S. 1984. Stress Appraisal and Coping. New York (US): Springer Publishing Company. Lefrancois G. 1993. The Life-Span 4th ed. Belmont California (US): Wadsworth Publishing company. Lemme BH. 1995. Development in Adulthood.USA : Allyn & Bacon Lestari S. 2012.Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga. Jakarta(ID):Kencana Prenada Media Group. Levendosky dan Graham-Bermann. 1998. The Moderating Effects of Parenting Stresson Children’s Adjustment in Woman-Abusing Families. Journal of Interpersonal Violence, 13 (3). Levenson RW. 1996. Affect in intimate relationships: the developmental course of marriage. Fadden editor. Handbook of Emotion Adult Developmental and Aging. California: Academic Press. Long SJ. 1984. Adult Life: Development Process. 2nd. California: Mayfields Publishing Company.
Luster T, Okagaki L. 2005. Parenting an Ecological Perspective 2th ed. New jersey: Lawrence Erlbaum Associates, inc. Maulana H. 2013. Tahun 2013 Jumlah Pasangan Menikah di Depok Menurun. Depok: DepokNews. Tersedia pada http://depoknews.com/tahun-2013jumlah-pasangan-menikah-di-depok-menurun/ . [31 Maret 2014]. McElroy A, Townsend. 1985. Medical Antrhopology in Ecological Perspective. USA: Westviiew Press, Inc. McElwain AK, Korabik K, dan Rosin HM. 2005. An examination of gender differences in work-family conflict. Canadian Journal of Behavioural Science. 37: 283-298. Megawangi R. 1999. Membiarkan berbeda Sudut pandang baru Tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan Media Utama. Meliani F. 2014. Konflik keja keluarg, tipologi keluarga, dan kepuasan perkawinan pada keluarga dengan suami istri bekerja [tesis]. Bogor (ID): Intitut Pertanian Bogor. Muflihkati I. 2010. Analisis dan pengembangan model peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir Propinsi Jawa Barat [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. McCabe MK, Barnett D. 2000. The Relation Between Familial Factors and The Future orienation of Urban, African Ameican Sixth graders. Journal of Child and Family Studies.9(4).491-508. Mochtar. 1998. Sinopsis obstetri jilid I. Jakarta (ID): EGC. Oluwole, Adebayo D. 2008. Marital satisfaction: connections of selfdisclosure,sexual self-efficacy, and spiritual among nigerian women. Pakistan journal ossocial sciences.5(5): 464-469. Patonjee DM. 1992. Stress and Coping: The Indian Experience. New Delhi: Sage Publication. Poli PS. 1995. Depresi Setelah Persalinan. Ayahbunda. 24 :46-47. Pujiastuti E, Retnowati S. 2004. Kepuasan Pernikahan dengan depresi pada kelompok wanita menikah yang bekerja dan yang tidak bekerja. Humanitas:Indonesian Psychologycal Journal. 1(2). Puspitasari N, Puspitawati H, Herawati T. 2013. Peran gender, kotribusi ekonomi perempuan dan kesejahteraan keluarga petani holtikura. Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen, 6(1), 10-19. Puspitawati H. 2012. Gender dan Keluarga, Konsep dan Realita di Indonesia. Bogor (ID): IPB Press. Rini QK, Retnaningsih. 2007. Kontribusi self disclosure pada kepuasan perkawinan pria dewasa awal. Jurnal Psikologi 2(12): 157-163 Roach AJ, Frasier LP, Bowten. 1981. The marital scale. Journal of The Family, 42: 537-545. Saginak K. 2005. Balancing Work and Family: Equity, Gender, and Marital Satisfaction. The Family Journal.11(10). Santrock JW. 2002. Life-Span DevelopmentPerkembangan Masa Hidup (Jilid I). Jakarta (ID):Erlangga Sari N. 2012. Analisis Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Wanita. [internetdiunduh 2013 juni 3]. Tersedia pada: http://nureworld.wordpress.com/2012/12/27/30
Schmitt M, Kliegel M, Shapiro A. 2007. Marital interaction in middle and old age: a predictor of marital satisfaction. International Journal Aging and Human Development. 65(4):283-300.doi:10.2190/AG.65.4.a Schoen R, Astone NM, Rothert K, Standish NJ, Kim YJ. 2002. Women employment, marital happiness and divorce. Social Forces, 81(2).643-662. Selye, H. 1956. The Stress Concept Today.San Fransisco: Jesses-bas Inc Publisher. Shin J. 2006. Parenting stress of father and mother of youn children with cognitive delay. Journal of Intelect Disabilities Research.50: 748 Sutherland VJ, Cooper CL. 1990. Understanding Stress: Psychological Perspective for Health Professionals. Psychology and Health, Series: 5. London: Chapman and Hall. Sloane PD, Benedict S. 1997. Petunjuk Lengkap Kehamilan-Buku Penuntun Untuk Calon Ibu dan Ayah. Dra. Mislichah Zakarsih, penerjemah. Jakarta (ID): Mitra Utama. Soegeng dan Rianti AL, Kesehatan & Gizi. Jakarta: Rineka Cipta; 2004. Spielberger CD. 1996. Anxiety and Behavior. New York: Academik Press. Strong B, DeVault C. 1989. The Marriage and Family Experience4thed. New York: West Publishing Company. Sumarwan U .2011. Prilaku Konsumen Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Bogor: Ghalia Indonesia SuryabudhiM. 1994. Cara Merawat Bayi dan Anak-anak.Bandung : Pioner Jaya. Thabita A. 2012. Peran Ibu Dalam Pemenuhan Kebutuhan Dasar Anak Terhadap Perkembangan Anak Usia Prasekolah. Jurnal Stikes (5):1, http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/stikes. Taole HF. 2004. Kepuasan perkawinan suami dan istri ditinjau dari tempat tinggal [tesis].Surabaya (ID): Universitas Surabaya. Unger R, CrawfordM. 1992.Women andGender: A Feminis Psychology. New York: McGraw-Hills, Inc. Vaillant CO, Vaillant GE. 1993. Is the U-curve of marital satisfaction an illusion: A 40-year study of marriage.Journal of Marriage and the Family, 55: 230239. Walker AP. 2000. Parenting stress: A comparisson of mother and father of disabled and non-disabled children. Webster-Stratton C. Long-term follow-up of families with young conduct problem children: From preschool to grade school. Journal of Clinical Child Psychology. 19:144–149. White LK, Booth A. 1985. Transtition to parenthood and marital quality.Journal of family Issue. 6: 435-450. Widhianawati. 2011. Pengaruh pembelajaran gerak dan lagu dalam meningkatkan kecerdasan musikal dan kecerdasan kinestetetik anak usia dini (studi eksperimen kuasi pada anak kelompok bermain mandiri SKB sumedang). Edisi khusus No.2.agustus 2011. ISSN 1412-565X. Williams BK, Sawyer SC. Wahlstrom CM. 2006. Marriages, Families, and Intimate Relationships: A Practical Introduction. Boston : Pearson Education,Inc. Winahyu DK. 2001. Hubungan Antara Kecenderungan Menggunakan ProblemFocused Coping Dengan Tingkat Kepuasan Perkawinan Pada Ibu
RumahTangga. Naskah Publikasi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Wolfinger NH, Wilcox NB. 2008. Hapily ever after? Religion, marital status, gender, and relationshipquality in urban families. Social forces 4 Yanita A dan Zamralita. 2001. Persepsi perempuan primipara tentang dukungan suami dalam usaha menanggulangi gejala depresi pascasalin. Phronesis Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara. 5: 34-35. Yi-Pik T. 2007. PerceivedSocial Support and Marital Satisfactiom: A Moderator effect on parental stress in Hongkong [disertasi]. Hongkong: City University of Hongkong. Yudesti, Prayitno. 2013. Perbedaan Status Gizi Anak SD Kelas IV dan V di SD Unggulan (06 Pagi Makasar) dan SD NonUnggulan (09 Pagi Pinang Ranti) Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan. 5(1). Yudrik J. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta. Kencana.
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta wilayah Kecamatan Cipayung Kota Depok
Lampiran 2 Dokumentasi Penelitian
Lanjutan Lampiran 2 Dokumentasi penelitian
Lampiran 3 Jumlah penduduk luas kelurahan dan kepadatan di Kecamatan Cipayung, Kota Depok tahun 2012
Lampiran 4 indeks pembangunan manusia Kota Depok per kecamatan Indeks Pembangunan Manusia Kota Depok per Kecamatan 85 80 75 70 65 60
2010
2011
Lampiran 5 Usia Anak berdasarkan status pekerjaan ibu Usia anak 6 – 12 Bulan 13 – 18 Bulan 19 – 24 Bulan Total Rata + SD Median Min-Maks
Bekerja n % 28 46.7 13 21.7 19 31.7 60 100 14.08+ 6.234 13.50 6-24
Tidak Bekerja n % 30 50 10 16.7 20 33.3 60 100 14.60 + 6.434 12.50 6-24
Total n 58 23 39 120
% 48.3 19.2 32.5 100 14.34 + 6.313 13.00 6-24
Lampiran 6 Jenis Kelamin Anak berdasarkan status pekerjaan ibu Jenis kelamin Laki-Laki Perempuan Total
Bekerja n 58 2 60
% 96.7 3.3 100
Tidak Bekerja n % 58 96.7 2 3.3 60 100
Total n % 116 96.7 4 3.3 120 100
Lampiran 7 Pendapatan Perkapita keluarga berdasarkan status pekerjaan ibu Bekerja Tidak Bekerja Total Pendapatan Perkapita n % n % n % < Rp 310.279,00 0 0 0 0 0 0 >Rp 310.279,00 60 100 60 100 120 100 Total 60 100 60 100 120 100 Rata + SD 1 373 610 + 375 114 763 610 + 375 114 1 068 610 + 564 604 Median 1 375 000 666 666 833 333 Min-Maks 433 333 – 2 533 333 333 333 – 2 666 666 333 333- 2 666 666
Lampiran 8 Sebaran kategori tugas perkembangan keluarga berdasarkan status bekerja ibu Tugas perkembangan keluarga Rendah ( < 60%) Sedang (60-79%) Tinggi (>80%) Rata + SD Median Min-Maks
Bekerja n
%
12 20.0 39 65.0 9 15.0 67.26+ 12 33 70.00 31– 87
Tidak Bekerja n % 13 21.7 39 65.0 8 13.3 65.83+ 11 34 67.00 36.00 –87.00
Total n % 25 20.8 78 65.0 17 14.2 66.57+ 11.82 69.00 31.00 – 87.00
Lampiran 9 Uji beda Tugas perkembangan Keluarga berdasarkan status pekerjaan ibu Tugas Perkembangan Keluarga
Bekerja Tidak bekerja 1. Dimensi Orangtua 63,63 59,02 a. Rekonsiliasi penyesuaian peran 73,32 72,48 b. Menerima dan menyesuaikan tuntutan sebagai 72,52 65,58 ibu muda c. Belajar merawat bayi dengan kompeten 56,40 58,68 d. Membangun dan mempertahankan rutinitas 64,15 56,07 keluarga yang sehat e. Memberi kesempatan penuh untuk perkembangan 58,33 54,72 anak f. Berbagi tanggung jawab sebagai orang tua 74,48 85,08 dengan suami g. Mempertahankan hubungan yang romantis 50,37 32,63 dengan suami h. Membuat penyesuaian yang memuaskan dengan 66,35 54,72 realitas kehidupan i. Menjaga kehidupan ibu muda melalui otonomi 48,93 43,63 pribadi j. Mengeksplorasi dan mengembangkan rasa 68,10 56,17 memuaskan menjadi keluarga Dimensi Anak 71,28 74,00 a. Mencapai keseimbangan fisiologis setelah 77,55 79,73 kelahiran b. Belajar untuk mendapatkan kepuasan akan 73,62 79,53 makanan c. Belajar mengetahui bagaimana, dimana dan 83,13 87,08 kapan terjadi eliminasi d. Belajar untuk mengelola tubuh secara efektif 68,53 73,90 e. Belajar menyesuaikan dengan orang lain 72,78 72,83 f. Belajar untuk menyayangi dan disayangi 71,33 74,43 g. Mengembangkan sistem komunikasi 72,15 69,12 h. Belajar untuk mengekspresikan dan 66,95 71,40 mengendalikan perasaan i. Memiliki kemampuan terhadap kesadaran diri 66,10 69,23 Total 67,27 65,88
P value 0,057 0,831 0,118 0,642 0,106 0,500 0,014* 0,019* 0,037 0,334 0,049* 0,652 0,679 0,212 0,401 0,271 0,991 0,462 0,468 0,393 0,573 0,525
Lampiran 10 Sebaran koefisien korelasi antara karakteristik individu, karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga dan kepuasan perkawinan X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X1 0
X1 1 .163 .108 .572** .124 .187* .068 .287** .302**
X2
X3
X4
X5
X6
X7
1 .192* .079 -.149 .564** .430** -.119 .097
1 .000 -.038 .166 .542** -.054 .059
1 .367** .116 -.006 .423** .367
1 -.052 -.047 420** 418**
1 .450** -.009 .079
1 -.086 .124
.269**
.203*
.076
.285**
.064
.161
.133
X8
1 .271 * .185 *
X9
X10
1 .480*
1
Keterangan: * Signifikan pada p<0.05; ** Signifikan pada p<0.01 X1=usia Ibu; X2=pendidikan ibu; X3=status bekerja Ibu; X4 = Usia Ayah; X5=usia anak; X6=pendidikan ayah; X7=pendapatan perkapita; X8=Lama pernikahan; X9= tugas perkembangan keluarga; x10= kepuasan perkawinan
76
Lampiran 11 Sebaran koefisien korelasi antara karakteristik individu, karakteristik keluarga, tugas perkembangan keluarga, stres ibu yang baru memiliki anak pertama dan kepuasan perkawinan X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14
X1 1 .108 .192* .120 .074 .000 -.038 .166 .542** .028 -.054 .040 -.114 .076
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
X11
X12
X13
X14
1 .163 .909** .967** .572** .124 .187* .068 .553* .287** .312* -.078 .269**
1 .180* .140 .079 -.149 .564** .430** .065 -.119 .088 -.183* .203*
1 .919** .406** -.043 .160 .070 .582** -.104 .178 -.0.36 .170
1 .512** .037 .155 .027 .527** .226* .238* -.031 .233*
1 .052 -.047 .138 .420** .437** .158 -.064 .285**
1 .-.052 -.047 .138 ..420** .437** .158 .064
1 .450** .077 -.009 .073 -.282 .161
1 .004 -.086 .106 -.108 .133
1 -.021 .203* -.029 .193*
1 .283** -.001 .185*
1 -.175 .470**
1 -.381**
1
keterangan: X1:status bekerja ibu; X2:usia ibu; X3: pendidikan ibu; X4: usia ibu menikah; X5: usia ibu melahirkan; X6: usia ayah; X7: usia anak; X8: pendidikan ayah; X9: pendapatan perkapita; X10: usia ayah menikah; X11: lama pernikahan ; X12: tugas perkembangan keluarga; X13: stres ibu yang baru memiiliki anak pertama; X14: kepuasan perkawinan.
77
Lampiran 12 kuisioner penelitian
KUESIONER STRES MERAWAT ANAK PERTAMA PADA IBU BEKERJA DAN TIDAK BEKERJA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2014 Nama Responden:.................................................................................................................. Alamat:Desa/Kel..........................................................RT/RW:............................................ Tgl wawancara: ...........................................................No.HP:..............................................
1. PROFIL RUMAH TANGGA No
Nama anggota keluarga
Status dalam keluarga1)
Umur2) Thn Bln
JK L/P
Pendidikan jenjang lama
Pekerjaan
Pendapatan per bulan (Rp)
Jumlah Jam kerja/hr
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ket: (1) : (1) suami, (2) istri, (3) anak, (4) orang tua, (5) saudara, (6) lainnya (2) : untuk dewasa cukup tahunnya saja, untuk balita tahun dan bulan No. 1. 2. 3. 4. 5.
Pernyataan Berapa umur anda saat menikah Berapa umur suami anda saat menikah Berapa lama usia pernikahan anda Berapa usia anda saat melahirkan anak pertama Berapa usia anak sekarang (dalam bulan)
Tahun
Bulan
II. KARAKTERISITIK KELUARGA Keberadaan anggota lain yang ikut membantu merawat anak. Berilah tanda centang (√) pada salah satu pilihan jawaban sesuai dengan keadaan anda sebenarnya. No. Anggota keluarga lain yang membantu Ya Tidak 1. Nenek (Ibu dari pihak istri) 2. Nenek (Ibu dari pihak suami) 3. Adik 4. Kakak 5. Sepupu 6. Baby Sitter 7. Pembantu
III. TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA No. Pernyataan Dimensi orangtua
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9. 10.
11. 12.
13.
14. 15.
16. 17.
18. 19.
Tidak Pernah--Selalu 1 2 3 4
Rekonsiliasi penyesuaian peran Saya dapat menyesuaikan peran saya sebagai seorang ibu dalam mengasuh anak Suami saya mau menggendong anaknya ketika anak rewel. Menerima dan menyesuaikan tuntutan sebagai ibu muda Saya dan suami bergantian dalam memberikan anak kami MPASI. Saya selalu menyediakan makanan untuk anak saya sendiri. Belajar merawat bayi dengan kompeten Saya belajar merawat bayi melalui berbagai media. Saya dapat memandikan anak saya sendiri Membangun dan mempertahankan rutinitas keluarga yang sehat Saya menyiapkan menu makanan sehari-hari sesuai dengan asupan gizi untuk keluarga. Saya dan suami meluangkan waktu berekreasi dengan anak saya minimal sebulan sekali. Memberi kesempatan penuh untuk perkembangan anak Saya dan suami menyediakan satu ruang terbuka untuk anak belajar. Saya memberikan permainan edukatif yang mendukung kemajuan perkembangan anak. Berbagi Tanggung jawab sebagai orang tua dengan suami Saya dan suami selalu berbagi cerita tentang perkembangan anak. Suami saya sering bermain dengan anak kami setelah pulang kerja. Mempertahankan hubungan yang romatis dengan suami Saya dan suami meluangkan waktu khusus untuk pergi berdua minimal sebulan sekali. Membuat penyesuaian yang memuaskan dengan realitas kehidupan Saya bahagia dengan kehidupan berumah tangga. Saya dan suami membuat perencanaan keuangan rumah tangga. Menjaga kehidupan Ibu muda melalui otonomi pribadi Meski saya sudah mempunyai anak, saya tetap melanjutkan hobi atau aktivitas. saya seperti sebelum punya anak. Saya meluangkan waktu untuk diri saya dalam rangka perawatan tubuh. Mengeksplorasi dan mengembangkan rasa memuaskan menjadi keluarga Saya dan suami saya mengikuti berbagai kegiatan seperti arisan yang berada di lingkungan rumah kami. Saya dan suami selalu mengajak anak untuk berekreasi tahunan dengan keluarga besar baik dari keluarga suami ataupun keluarga saya.
No.
Pernyataan Dimensi Anak
Tidak Pernah --Selalu 1 2 3 4
Mencapai keseimbangan fisiologis setelah kelahiran Mengajarkan anak untuk tidur di malam hari dan bangun di pagi hari. Belajar untuk mendapatkan kepuasan akan makanan 2. Mengajarkan anak untuk dapat menggunakan gelas untuk minum. 3. Mengajarkan anak untuk mencoba makanan padat seperti biskuit. Belajar mengetahui bagaimana, dimana dan kapan terjadi kehilangan 4. Mengajarkan anak untuk tahu kapan Ibu tidak berada didekatnya. Belajar untuk mengelola tubuh secara efektif 5. Mengajarkan anak meraih mainnannya dengan merangkak. 6. Mengajarkan anak cara memegang gelas dengan benar. Belajar menyesuaikan dengan orang lain 7. Mengajarkan anak untuk dapat terbiasa dengan orang lain. 8. Membiasakan anak untuk tidak memasukkan mainan ataupun jarinya ke mulut Belajar untuk menyayangi dan disayangi 9. Mengajarkan anak untuk dapat menunjukkan kasih sayang dengan memeluk atau mencium pipi. 10. Mengajarkan anak untuk dapat merespon orang lain. Mengembangkan sistem Komunikasi 11. Saya mengajarkan kata dasar seperti “ma”, “pa”, “cu”. 12. Mengajarkan anak untuk memahami tanda yang diberikan oleh ibu (misalkan dengan ibunya diam dan memberi pandangan tajam artinya tidak boleh dilakukan). Belajar untuk mengekspresikan dan mengendalikan perasaan 13. Mengjarkan anak untuk tidak takut pada hal-hal yang dianggap menyeramkan (misalkan ondel-ondel). 14. Mengenalkan anak pada konsep sabar. Menempatkan dasar untuk kesadaran diri 15. Mengenalkan anak pada konsep kepemilikan yang sederhana (tahu barang yang dimilikinya). 16. Mengajarkan anak untuk mengatakan apa yang dia inginkan misalkan meminta minum. Sumber: Adaptasi dari parent and child dimenssion of Development Task, Family Development (Duvall , 1971) 1.
IV. STRES IBU SAAT MEMILIKI ANAK PERTAMA Berilah tanda centang (√) pada salah satu pilihan jawaban sesuai dengan keadaan anda. Keteterangan pilihan jawaban: STS: Sangat Tidak Setuju, TS: Tidak setuju, BS: Biasa Saja, S: Setuju, SS: Sangat Setuju Jawaban No. Penyataan STS TS BS S SS 1. Saya sering merasa bahwa saya tidak dapat mengasuh anak dengan baik. 2. Saya menyadari bahwa akhirnya saya mencurahkan seluruh waktu dan tenaga saya hanya untuk mengasuh anak. 3. Saya merasa terbebani dengan tanggung jawab saya sebagai orang tua. 4. Sejak memiliki anak, saya tidak bisa mencoba suatu hal yang baru dan berbeda. 5. Sejak memiliki anak, saya merasa hampir tidak bisa melakukan hal yang saya sukai. 6. Karena keterbatasan waktu saya tidak puas dengan pembelian pakaian terakhir untuk diri saya sendiri. 7. Ada sedikit hal (masalah anak) yang mengganggu dalam hidup saya. 8. Memiliki anak menyebabkan lebih banyak masalah dari apa yang saya bayangkan. 9. Sejak memiliki anak saya merasa kesepian dan tidak memiliki teman. 10 Saya tidak dapat menikmati waktu berkumpul bersama teman karena teringat dengan anak saya yang berada di rumah. 11. Setelah saya menjadi orangtua, saya tidak tertarik berkenalan/berkumpul dengan orang-orang baru seperti dulu. 12. Setelah saya menjadi orangtua, saya tidak dapat menikmati kegiatan yang saya sukai (hobi). 22. Saya merasa bahwa saya adalah seorang: 6. Orang tua yang baik. 7. Lebih baik daripada orang tua biasanya. 8. Orang tua biasa saja. 9. Seseorang yang memiliki masalah sebagai orang tua. 10. Orangtua yang tidak baik. 23. Saya berharap memiliki perasaan dekat dan hangat dengan anak saya tetapi tidak berhasil sehingga membuat saya khawatir. 31. Saya sulit untuk menetapkan serta membiasakan jadwal makan/minum susu dan tidur anak saya. Modifikasi dari Parenting Stres Inventory (PSI) oleh Abidin (1995).
V. KEPUASAN PERKAWINAN Berikanlah tanda centang (√)pada salah satu pilihan jawaban sesuai dengan keadaan anda. . Keteterangan pilihan jawaban: STS: Sangat Tidak Setuju, TS: Tidak setuju, BS: Biasa Saja, S: Setuju, SS: Sangat Setuju NO. 1. 2.
3.
4. 5. 6. 7.
8. 9.
10.
11.
12. 13.
14.
15.
Pernyataan Masalah kepribadian Saya dan pasangan saya saling memahami satu sama lain Saya tidak senang dengan karakteristik kepribadian dan kebiasaan dari pasangan saya Kesetaraan peran Saya sangat senang dengan cara kami membagi tanggung jawab peran dalam perkawinan Komunikasi Pasangan saya sangat memahami dan simpati dengan setiap “perasaan” saya Saya tidak bahagia dengan komunikasi kami dan merasa pasangan saya tidak memahami saya Hubungan kami sukses dengan sempurna Penyelesaian konflik Saya sangat senang dengan cara kami membuat keputusan dan memecahkan konflik Pengelolaan keuangan Saya tidak bahagia dengan keadaan keuangan kami dan cara kami membuat keputusan keuangan Saya memiliki kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi dalam hubungan kami Aktifitas bersama Saya sangat bahagia dengan cara kami mengatur waktu luang dan waktu yang kami gunakan bersama Relasi seksual Saya sangat senang tentang bagaimana kami mengekspresikan kasih sayang dan berhubungan seksual Anak dan Pernikahan Saya tidak puas dengan cara yang kami gunakan untuk mengatasi tanggungjawab kami sebagai orangtua Saya tidak pernah menyesalkan hubungan saya dengan pasangan saya, walaupun untuk sesaat Keluarga dan Teman Saya tidak puas dengan hubungan kami dengan orangtua, mertua, dan/atau teman Orientasi Religius Saya merasa sangat senang tentang bagaimana kami masing-masing mempraktekkan keyakinan agama dan nilai-nilai
STS TS BS S SS
Sumber: ENRICH Marital Satisfaction (EMS) dari Blaine J Fowers dan David H Olson (1993)
RIWAYAT HIDUP
Rahmaita, penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 09 November 1988. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Choiruddin Harahap dan Ibu Basrah Saidani Pane. Penulis menyelesaikam studi pendidikan sekolah dasar di SD Muhammadiyah 3 jakarta pada tahun 2000, menyelesaikan sekolah menengah pertama di SMPN 7 Jakarta pada tahun 2003. Penulis melanjutkan sekolah menengah atas di SMAN 31 Jakarta tahun 2003 2006 dan pada tahun 2006 penulis diterima melalui jalur SPMB sebagai mahasiswa Strata 1 (S1) program studi Pendidikan Tata Rias Jurusan Ilmu kesejahteraan Keluarga, Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan lulus pada tahun 2011. Penulis melanjutkan studi Strata 2 (S2) di program studi Ilmu Kesejahteraan Keluarga dan Perkembangan Anak (IKA) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2012. Selama masa studi penuli pernah mendapat beasiswa selama satu tahun dari beasiswa fresh graduate. Penulis saat ini bekerja di Event Organizer (EO) Lian Mipro pada tahun 2011 sampai dengan sekarang dan bekerja sebagai freelancer di beberapa Wedding Organizer (WO).