Efektif Juni Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol. 2, No. 1, Juni 2011, 43 - 53
43
Sunardi
PENGARUH TINGKAT PERATAAN LABA TERHADAP RASIO PEMBAYARAN DEVIDEN (DPR) PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA Sunardi Fakultas Ekonomi Universitas Janabadra Abstract Income smoothing is an effort by management to flat earnings fluctuation aimed to, such as, keep firm value, make that there is no earnings without bonus, and to keep financial ratios within long-term debt covenant. Income smoothing can also be used to press dividene payout ratio (DPR) when firms have increasing earnings, so there is available more fund to survive and grow. If so, DPR will be lower, though DPR measured with manipulated earnings remain high. The issue in this research is: are stockholders know about the income smoothing and the degree of it. If so, when firms have increasing earnings, stockholders tend to hope and demand higher dividend and DPR will be higher; otherwise, when firms have decreasing earnings, stockholders will not hope and demand higher dividend and DPR remain low. In this research, it is used a simple linear regression to analyse the effect of degree if income smoothing to DPR when firms have increasing earnings and when firms have decreasing earnings, with a = 0.0. Income smoothing is measured by scores of Eckel incex, and DPR is measured by ratio of diviend to earnings after tax. The result is: there is no empirical evidence of positive effect of income smoothing to DPR when firms have increasing earnings, shown by the significance level of 0.128. There is no enough samples to do the analyse when firms have decreasing earnings. Keywords: income smoothing, dividend payout ratio, increasing earnings, decreasing earnings. PENDAHULUAN Teori bird in the hand menyatakan bahwa investor lebih menyukai dividen daripada capital gains. Tetapi, dari perspektif manajemen, kebijakan mengenai porsi laba yang dibagikan kepada pemegang saham sebagai deviden merupakan sebuah dilema. Jika dividen yang dibagikan terlalu tinggi, pertumbuhan perusahaan akan dapat terganggu; tetapi jika dividen yang dibagikan terlalu kecil harga saham akan dapat terganggu, sehingga nilai perusahaan juga turun. Tinggi-rendahnya dividen yang dibagikan
kepada pemegang saham ditunjukkan oleh rasio pembayaran dividen (DPR). Pada saat terjadi kenaikan laba, perataan laba merupakan upaya untuk memperkecil besarnya laba yang dilaporkan pada laporan keuangan. Dengan melaporkan laba yang lebih kecil pada saat perusahaan mengalami kenaikan laba, perusahaan berharap dapat memperkecil besarnya laba yang dibagikan sebagai dividen, terutama jika pembagian dividen berdasarkan atas prosentase yang konstan terhadap laba. Dengan melaporkan laba yang tinggi pada
44
Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi
saat perusahaan mengalami penurunan laba, perusahaan berharap bahwa investor tidak akan terlalu kecewa sehingga harga saham tidak jatuh, dan nilai perusahaan turun. Investor menyukai perusahaan yang fluktuasi labanya rendah. Fluktuasi laba yang rendah menunjukkan bahwa resikonya juga rendah. Oleh karena itu, manajemen melakukan perataan laba. Masalahnya adalah apakah investor mengetahui adanya praktik perataan laba yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Jika investor mengetahuinya, mereka cenderung untuk menuntut laba yang lebih tinggi, sedemikian sehingga bukan hanya besarnya dividen per lembar saham saja yang lebih tinggi, melainkan juga besarnya porsi laba yang dibagikan sebagai dividen (DPR) juga lebih tinggi. Sebaliknya jika laba mengalami penurunan, investor akan mengetahui bahwa DPR perusahaan perata lebih tinggi dibandingkan dengan jika perusahaan tersebut bukan perata laba, sehingga tidak ada upaya untuk menuntut dividen yang lebih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti mengenai hal tersebut. Yang dimaksud DPR di sini adalah DPR manipulasian, yaitu DPR yang dihitung berdasarkan laba yang telah dimanipulasi dan dilaporkan pada laporan keuangan. TINJAUAN TEORI 1. Manajemen Laba Great Depression pada tahun 1929 yang terjadi di Amerika Serikat merupakan bencana besar bagi dunia akuntansi yang menyebabkan laporan keuangan menjadi diragukan penggunaannya dalam pengambilan keputusan investasi, sehingga laporan keuangan tidak mempunyai relevansi dengan harga saham (Wolk dan Tearney 1997: 8-9). Terbentuknya relevansi
Juni
laporan keuangan dengan harga saham di kemudian hari merupakan keberhasilan otoritas pasar modal dan penyusunan standar akuntansi keuangan dalam upaya untuk melindungi kepentingan investor. Ini dilakukan melalui upaya terus-menerus penyempurnaan terhadap prinsip-prinsip atau standar akuntansi yang ditetapkan oleh otoritas pasar modal, agar laporan keuangan benar-benar menyajikan realitas ekonomi dan tidak bias sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Setelah sekian lama, relevansi nilai ini baru terungkap dengan dilakukannya sebuah penelitian seminar oleh Ball dan Brown (1968). Manajemen merupakan pihak yang paling tahu mengenai makna ekonomi dari peristiwa-peristiwa atau transaksi-transaksi yang ikhtisarnya dilaporkan dalam laporan keuangan. Makna tersebut bisa berbeda untuk masing-masing perusahaan. Hal ini tidak dapat diseragamkan atau diatur dengan ketentuan-ketentuan yang ketat dan rinci yang dituangkan dalam standar akuntansi keuangan. Dengan demikian, standar akuntansi keuangan harus memberikan keleluasan yang cukup kepada manajemen untuk memilih kebijakan akuntansi yang sesuai dengan kondisi perusahaan masingmasing sehingga laporan keuangan dapat menginformasikan kondisi keuangan perusahaan dengan tidak bias (Palepu, Healy, dan Bernard, 2004). Fleksibilitas akuntansi ini memberikan ruang bagi manajemen untuk melakukan manajemen laba (earnings management) yang salah satu bentuknya adalah perataan laba (income smoothing). Ini sejalan dengan pernyataan Healy (1985, dikutip dalam Scott, 1997) bahwa manajer mempunyai inside information mengenai laba bersih sebelum dimanipulasi (managed). Karena
Juni
Sunardi
pihak lain, termasuk dewan komisaris, dimungkinkan tidak mampu memahami makna angka tersebut, Healy memprediksi bahwa manajemen akan menggunakan kesempatan tersebut untuk memanipulasi laba bersih untuk memaksimalkan bonus mereka sesuai dengan skema kompensasi yang telah ditetapkan perusahaan. Ini merupakan tindakan oportunistik atau moral hazard (Wolk dan Tearny, 1997). Pemahaman mengenai menajemen laba ini penting karena memampukan akuntan dalam perbaikan pemahaman mengenai manfaat laba bagi investor (Scott, 1997). Pernyataan Scott ini menyiratkan bahwa investor mengetahui adanya manajemen laba. Bagaimana pemahaman investor mengenai manajemen laba tentunya akan mempengaruhi bagaimana investor akan mempergunakan angka laba sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Manajemen laba dapat dilakukan karena akuntansi menggunakan basis akrual (accrual bases accounting) dan manajemen mempunyai posisi superior dalam mengakses data perusahaan. Manajemen laba dilakukan dengan cara memanipulasi angka-angka akrual untuk menjadikan laba lebih rendah atau lebih tinggi (Guenther, 1994, dikutip dalam Hidayati dan Zulaikha, 2003). Terdapat sejumlah motivasi yang mendorong manajemen melakukan manajemen laba. Menurut Scott (1997) motivasi tersebut adalah: adanya skema bonus yang didasarkan atas laba, motivasi politik, motivasi pajak, pergantian chief of executive officer, dan perusahaan akan melakukan penawaran saham perdana (initial public offerings) (Scott, 1997). 2. Perataan Laba Laba merupakan informasi utama bagi para pemangku kepentingan dalam menaksir kinerja atau pertanggungjawaban
45 manajemen dan penaksiran tentang kinerja perusahaan di masa mendatang. Perataan laba merupakan salah satu bentuk manajemen laba, yang dilakukan oleh manajemen untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu dari pihak manajemen atau perusahaan, yang belum tentu sejalan dengan kepentingan pemegang saham atau pemangku kepentingan yang lain. Koch (1981) menyatakan bahwa perataan laba dapat didefinisikan sebagai cara yang digunakan manajemen untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan agar sesuai dengan target yang ditetapkan yang dilakukan secara artificial melalui pemilihan metoda akuntansi dan/atau melalui transaksi. Ada sejumlah motivasi yang mendorong perataan laba, antara lain adalah: menjaga nilai perusahaan, memaksimumkan bonus yang diterima manajemen, menjaga kepatuhan terhadap perjanjian utang jangka panjang, dan memperoleh biaya modal yang rendah. Fluktuasi laba yang tinggi menunjukkan bahwa risiko yang dihadapi oleh pemegang saham juga tinggi. Ini mengakibatkan nilai perusahaan menjadi rendah. Fluktuasi laba yang rendah, yang perbedaan labanya dari tahun ke tahun kecil, cenderung mengakibatkan nilai perusahaan menjadi lebih tinggi (Scott, 1997; Wolk, Dodd, dan Rozycki, 2008). Menurut Scott (1997), penelitian Healy (1985, dikutip dalam Scott, 1997) mungkin merupakan penelitian empiris mengenai manajemen laba yang paling terkenal. Ini merupakan perluasan bonus plan hypothesis dan bentuk manajemen labanya adalah perataan laba. Bonus plan hypothesis menyatakan bahwa manajemen cenderung untuk memilih metoda dan teknik akuntansi yang dapat menggeser laba sekarang ke periode mendatang, atau sebaliknya, agar memperoleh bonus sesuai dengan compensation plan perusahaan.
46
Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi
Ketika laba berada di bawah bogey (tidak ada bonus) manajemen cenderung untuk memilih metode akuntansi yang dapat menggeser pendapatan dan/atau biaya sehingga menaikkan laba; tetapi ketika laba berada di atas cap (di atas cap tidak ada bonus tambahan), manajemen cenderung menggeser pendapatan dan/ atau biaya untuk menurunkan laba. Dengan demikian, diharapkan tidak ada bagian laba yang kehilangan bonus, baik untuk sementara maupun permanen (Scott, 1977). Perusahaan yang mempunyai utang jangka panjang harus membuat perjanjian utang-piutang jangka panjang yang bentuknya adalah rasio-rasio keuangan. Fluktuasi laba yang tinggi mempunyai probabilitas yang tinggi dalam melanggar rasio-rasio keuangan yang telah disetujui. Ini juga merupakan motivasi untuk melakukan perataan laba, yaitu melakukan perataan laba untuk mempertahankan rasio-rasio keuangan yang telah disepakati dalam perjanjian utang-piutang jangka panjang (Scott, 1997). Motivasi yang lain adalah menurunkan biaya modal (cost of capital). Laporan laba yang tidak berfluktuasi tajam akan menyampaikan inside information ke pasar, sehingga memungkinkan perusahaan untuk mengkomunikasikan pertumbuhan laba jangka panjang yang diharapkan. Ini akan menjadikan biaya modal rendah (Scott, 1997). Perataan laba juga dapat digunakan untuk menyembunyikan sinyal yang buruk. Bagi perusahaan yang pembagian dividennya didasarkan pada besarnya laba, pada saat laba naik dividen juga naik, dan sebaliknya pada saat laba turun dividen juga turun. Aharony dan Swary (1980), membuktikan bahwa peningkatan dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham memberikan sinyal perubahan yang menguntungkan, sementara penurunan
Juni
dividen memberikan sinyal negatif mengenai prospek perusahaan di masa mendatang. Jadi, perataan laba merupakan tindakan yang disengaja karena ada tujuan tertentu yang akan dicapai. Foster (1986) menyatakan bahwa tujuan perataan laba adalah: a. Meningkatkan citra perusahaan agar tidak terlihat rendah. b. Memberikan informasi yang relevan dalam memprediksi laba masa mendatang. c. Meningkatkan kepuasan relasi bisnis. d. Meningkatkan persepsi pihak eksternal atas kemampuan manajemen. e. Memperoleh atau meningkatkan kompensasi manajemen. Praktik perataan laba juga terjadi di Bursa Efek Indonesia. Penelitian Utomo dan Siregar (2008) dengan menggunakan Indeks Eckel dalam mengukur perataan laba, membuktikan adanya perataan laba yang merupakan usaha untuk merekayasa laporan keuangan yang dilakukan oleh perusahaan manufaktur di Indonesia. Penelitian Hendrawati, Indra, dan Yuliansyah (2003, dikutip dalam Kustono, 2008) juga menggunakan indek Eckel, menemukan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio) dengan perataan laba. 3. Dividend Payout Ratio (DPR) Rasio pembayaran dividen (DPR) adalah rasio atau perbandingan antara dividen dan laba yang diperoleh perusahaan. Dividen adalah bagian laba perusahaan yang dibagikan kepada pemegang saham. Besarnya dividen yang dibagikan ditentukan dan diumumkan
Juni
Sunardi
oleh dewan komisaris (board of directors) (Jones, 2007). Dewan komisaris merupakan wakil para pemegang saham dan dipilih oleh para pemegang saham. Sebagai wakil pemegang saham, dewan komisaris memperjuangkan kepentingan pemegang saham, dan kebanyakan dewan komisaris berupaya untuk membuat pemegang saham senang dan sejahtera (Pride, Hughes dan Kapoor, 1996), tentunya dengan memenuhi harapanharapan para pemegang saham. Kebijakan pembayaran dividen ini mempunyai dua dampak yang bertentangan (Brigham dan Gapenski, 2000), sehingga penentuan besarnya dividen merupakan aspek utama dalam kebijakan dividen. Jika dividen yang dibagikan terlalu rendah, nilai perusahaan akan jatuh; tetapi, jika dividen yang dibagikan terlalu tinggi, akan berdampak pada pemenuhan modal yang dibutuhkan perusahaan untuk tetap hidup dan berkembang. Tinggirendahnya dividen bukan diukur dari jumlah rupiah dividen yang dibagikan, melainkan dari rasio pembayaran dividen (DPR). Sebuah perusahaan yang pada saat mengalami kenaikan laba juga menaikkan dividennya, bisa jadi DPR-nya turun, karena porsi laba yang dibagikan sebagai dividen relatif menurun. Laba yang tidak dibagikan, sering disebut dengan laba ditahan (retained earnings), akan diinvestasikan kembali dalam perusahaan; dan laba ditahan ini merupakan sumber modal yang penting bagi perusahaan. Semakin kecil laba yang dibagikan sebagai dividen, semakin besar laba ditahan, yang berarti semakin besar modal yang tersedia untuk mendanai pertumbuhan perusahaan. Pada umumnya manajemen menginginkan perusahaannya mengalami pertumbuhan, manajemen cenderung utuk menekan besarnya laba yang dibagikan sebagai dividen, atau dengan kalimat lain, manajemen
47 cenderung untuk memilih DPR yang rendah. Hasil penelitian Fijriyanti (2000) dan Subekti (2000) membuktikan bahwa perusahaan dengan investment opportunity set (IOS) tinggi cenderung mempunyai kebijakan pembayaran dividen rendah. Ini konsisten dengan temuan Smith dan Watts (1992, dikutip dalam Prasetyo, 2000) dan Gaver dan Gaver (1993, dikutip dalam Prasetyo, 2000). Laba yang ditahan merupakan modal perusahaan yang lebih diprioritaskan oleh manajemen daripada modal dari luar (utang). Kecenderungan untuk membagikan dividen yang tinggi, sesuai harapan pemegang saham, dapat menimbulkan biaya keagenan utang (agency costs of debt) (Smith dan Warner, 1979, dikutip dalam Morris, 1987). Tetapi, di lain pihak, pemegang saham menginginkan laba yang tinggi. Pemegang saham lebih menginginkan dividen daripada capital gains, yang berarti bahwa pemegang saham lebih menginginkan dividen yang besar. Investor menganggap bahwa jumlah uang yang diterima sekarang lebih berharga daripada capital gains yang akan diperoleh di masa mendatang (Blume, 1980, dikutip dalam Chhim, 1999). Ini disadari oleh dewan komisaris. Oleh karena itu, dewan komisaris, yang punya motivasi untuk menyenangkan dan menyejahterakan pemegang saham (Pride, Hughes, dan Kapoor, 1996), mempunyai motivasi untuk membagikan dividen yang tinggi, meskipun tetap harus mempertimbang berbagai faktor yang lain. Berbagai faktor dapat digunakan untuk mendukung harapan mereka. Rosdini (2009) membuktikan bahwa arus kas bebas (free cash flow) berpengaruh positif terhadap rasio pembayaran dividen. Kusmini (2003) menemukan bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap rasio pembayaran dividen . Temuan ini dan temuan-temuan yang
48
Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi
telah disebut membuktikan bahwa tingginya arus kas bebas dan rendahnya tingkat pertumbuhan perusahaan dan faktor-faktor lainnya mendorong pemegang saham untuk mengharapkan atau menuntut dividen yang tinggi, bukan hanya dalam jumlah rupiah, melainkan juga porsinya yang tercermin dalam rasio pembayaran dividen. Uraian tersebut menunjukkan adanya konflik kepentingan antara manajemen dan pemegang saham, termasuk di pasar modal Indonesia. Manajemen, yang menurut teori asimetri informasi mempunyai informasi yang lebih lengkap daripada investor, mempunyai kesempatan untuk memanipulasi data untuk membela kepentingannya. Tetapi, manajemen tidak dapat menekan pembayaran dividen tanpa mempertimbangan reaksi pasar, karena dapat menurunkan nilai perusahaan. 4. Perataan Laba dan Dividend Payout Ratio Manajemen menginginkan laba setiap tahun yang merata atau fluktuasinya rendah. Laba dengan fluktuasi rendah memberikan sinyal bahwa risikonya rendah sehingga lebih menarik bagi investor. Manajemen juga lebih memilih DPR yang rendah. Dengan DPR yang rendah akan tersedia dana yang lebih besar yang akan dapat dipergunakan untuk membiayai pertumbuhan perusahaan. Tetapi, di lain pihak, investor menginginkan dividen yang tinggi. Adanya asimetri informasi memungkinkan manajemen untuk melakukan manipulasi data demi kepentingan yang diperjuangkannya. Tetapi, adanya asimetri informasi tidak berarti bahwa informasi yang dimanipulasi oleh manajemen samasekali tidak dapat diketahui oleh investor. Kecerdasan investor (investor sophistification) merupakan faktor yang menentukan hubungan antara laba dan
Juni
return (Bartov dkk., 2000; Rajgopal, 1999; dan Walther, 1997; dikutip dalam Joni dan Jogiyanto, 2009). Investor mampu mendeteksi adanya manajemen laba, dan investor yang cerdas mampu mendeteksi manajemen laba lebih cepat daripada investor yang kurang cerdas (Balsam dkk., 2002 dikutip dalam Joni dan Jogiyanto, 2009). Lako (2003) menyatakan bahwa sebagian pelaku pasar di Bursa Efek Jakarta (sekarang disebut Bursa Efek Indonesia) tidak naif di dalam pengambilan keputusan. Pada saat laba naik, dan investor mengetahui bahwa terjadi perataan laba, investor akan cenderung untuk berharap atau menuntut dividen yang tinggi, sehingga DPR akan cenderung meningkat. Ini disebabkan karena investor mengetahui, meskipun mungkin tidak secara akurat, bahwa kenaikan laba yang dilaporkan manajemen lebih rendah daripada laba yang seharusnya dilaporkan, yaitu sebesar laba wajar yang dilaporkan manajemen jika manajemen tidak melakukan perataan laba. Dengan alasan itu pula maka dapat dikatakan bahwa keinginan akan dividen yang lebih tinggi pada perusahaan yang melakukan perataan laba lebih kuat daripada keinginan investor pada perusahaan yang tidak melakukan perataan laba. Semakin tinggi perataan laba, semakin tinggi pula keinginan akan laba yang tinggi, yang berarti akan lebih tinggi pula DPR perusahaan tersebut. Sebaliknya pada saat laba menurun laba yang dilaporkan lebih tinggi daripada laba wajar yang akan dilaporkan seandainya tidak dilakukan perataan laba. Ini disadari oleh investor, sehingga keinginan untuk memperoleh laba yang tinggi para investor pada perusahaan yang manajemennya melakukan perataan laba lebih rendah daripada keinginan atau tuntutan investor pada perusahaan yang
Juni
49
Sunardi
manajemennya tidak melakukan perataan laba. Semakin tinggi tingkat perataan laba yang terjadi, semakin rendah tuntutan dividen oleh investor, sehingga semakin rendah pula DPR perusahaan tersebut. HIPOTESIS Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H1: Pada saat terjadi kenaikan laba, tingkat perataan laba berpengaruh positif terhadap rasio pembayaran dividen. H2: Pada saat terjadi penurunan laba, tingkat perataan laba berpengaruh negatif terhadap rasio pembayaran dividen.
karena struktur modal dan akrual perusahaan ini berbeda, d. Perusahaan selalu memperoleh laba selama periode tahun 2006, tahun 2007, dan tahun 2008, e. Perusahaan membagikan dividen pada tahun 2008. Data diambil dari Indonesian Capital Market Directory 2009. Dari 159 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI, hanya terdapat 59 perusahaan yang memperoleh laba terus-menerus selama tahun 2006 sampai dengan tahun 2008. Dari jumlah ini hanya 25 perusahaan yang membagikan dividen pada tahun 2008, dan dari jumlah ini 4 perusahaan di antaranya ternyata mempunyai data yang outlayer dan/ atau labanya menurun, sehingga hanya ada 21 perusahaan yang memenuhi syarat sebagai sampel.
METODA PENELITIAN 1. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Pengambilan sampel dilakukan dengan metoda purposive sampling, dengan kriteria-kriteria sebagai berikut: a. Terdaftar di Bursa Efek Indonesia sebelum 1 Januari 2004 dan masih beroperasi selama periode 1 Januari 2006 sampai dengan 31 Desember 2008. Sebagaimana Kustono (2008), pembatasan ini dimaksudkan untuk menghindari bias yang disebabkan initial public offerings yang menyebabkan terjadinya manajemen laba, b. Perusahaan tidak melakukan merger atau akuisisi selama periode Januari 2006 sampai dengan 31 Desember 2008, c. Perusahaan bukan merupakan lembaga keuangan, termasuk bank,
2. Definisi Operasional Variabel a. Perataan Laba Perataan laba diukur dengan skala rasio yang menggunakan Indeks Eckel (1981). Skor ini merupakan petunjuk kecenderungan perataan laba. Skor yang mendekati atau kurang dari satu menunjukan bahwa perusahaan mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan perataan laba dibanding dengan perusahaan yang skornya lebih besar. Adapun langkahlangkah penghitungan Indeks Eckel adalah sebagi berikut : IE = [(CV∆I/ CV∆S)] Notasi: IE = Indek Eckel ∆I = perubahan laba dalam satu periode ∆S = perubahan pendapatan dalam satu periode CV∆S = koefisien variasi untuk perubahan pendapatan dalam
50
Juni
Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi
runtun waktu tertentu CV∆I = koefisien variasi untuk perubahan laba dalam runtun waktu tertentu CV∆S dan CV∆S =
Notasi: ∆x = perubahan pendapatan (S) atau laba (I) dari tahun n-1 ke tahun n = rerata perubahan pendapatan (S) atau laba (I) n = banyaknya tahun yang diamati b. Devidend Payout Ratio (DPR) Rasio pembayaran dividen (DPR) diukur dengan formula sebagai berikut : DPR = D : EAT Notasi: DPR = dividend payout ratio atau rasio pembayaran dividen D = dividen yang dibagikan EAT = earnings after tax atau laba setelah pajak
Tabel 1 Statistik Deskriptif Std. Deviation DPR 39.9895 33.63758 IE 2.8929 2.06865 Sumber: Data Diolah Mean
21 21
2. Uji Normalitas Data Uji normalitas data dimaksudkan untuk menentukan apakah data terdistribusi secara normal atau tidak, dengan melihat pada model penelitian apakah titik-titik yang menyebar secara tidak beraturan atau berada di sepanjang garis diagonal. Analisis dari uji SPSS menunjukkan bahwa titik-titik berada di sepanjang garis diagonal. Ini menunjukan bahwa data terdistribusi secara normal sehingga memenuhi persyaratan untuk dilakukan uji regresi. 3. Hasil Regresi Sederhana Regresi linier sederhana dilakukan dengan variabel bebas tingkat perataan laba yang dihitung dengan menggunakan Indek Eckel, dan sebagai variabel dependennya adalah rasio pembayaran dividen (DPR). Hasilnya adalah sebagai terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 2 Hasil Analisis
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Uji Statistik deskriptif Statistik deskriptif yang menunjukkan gambaran perusahaan sampel adalah seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:
N
Unstandardized Coefficients
Model
1
(Constant) IE
B
Std. Error
23.850
12.361
5.579
3.504
a Dependent Variable: DPR Sumber: Data Diolah
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta
.343
1.929
.069
1.592
.128
Juni
51
Sunardi
Dari tabel tersebut terlihat bahwa besarnya angka signifikansi adalah 0,128 yang berarti lebih besar daripada α sebesar 0,05. Ini menunjukkan bahwa hipotesis pertama yang mengatakan bahwa pada saat perusahaan mengalami kenaikan laba tingkat perataan laba berpengaruh positif terhadap rasio pembayaran dividen ditolak atau tidak dapat diterima. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan Penelitian ini merupakan penelitian empiris yang bertujuan untuk menguji pengaruh tingkat perataan laba terhadap rasio pembayaran dividen. Dengan regresi linier sederhana yang telah dilaksanakan tenyata hipotesis yang menyatakan bahwa pada saat terjadi kenaikan laba, tingkat perataan laba berpengaruh positif terhadap rasio pembayaran dividen tidak dapat diterima. Ini mungkin menunjukkan bahwa pemegang saham tidak mengetahui adanya perataan laba. Kemungkinan lain adalah karena dari 21 perusahaan sampel, sebagian besar (16 perusahaan) termasuk dalam kategori perusahaan bukan perata laba yang ditunjukkan oleh Indek Eckel yang skornya jauh melebihi angka 1, dan hanya 5 perusahaan yang termasuk dalam kategori perusahaan perata laba. 2. Saran Penelitian ini membatasi sampel pada perusahaan manufaktur saja sehingga jumlahnya terbatas. Jumlah ini menjadi semakin terbatas karena jumlah perusahaan yang membagikan deviden hanya sedikit, yaitu sebanyak 25 perusahaan, dan yang memenuhi syarat sebagai sampel hanya 21 perusahaan. Untuk penelitian berikutnya sebaiknya diupayakan penambahan sampel dengan melonggarkan kriteria, tentu saja dengan tetap mempertimbangkan karakteristik
perusahaan, sehingga uji statistik yang dilakukan tetap valid. Di samping itu, sampel penelitian ini menunjukkan bahwa penelitian dilakukan pada saat kebanyakan perusahaan mengalami kenaikan laba, sehingga tidak dapat dilakukan uji statistik terhadap perusahaan-perusahaan yang mengalami penurunan laba. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya perlu dilakukan untuk periode yang lain dimana terdapat jumlah perusahaan yang mengalami penurunan laba yang memenuhi syarat sebagai sampel. Referensi Aharony, J., dan I. Swary. 1980. Quarterly Dividend and Earnings Announcement and Stockholder’s return: An Empirical Analysis. Journal of Finance, Maret. Ball, Ray dan Phillip Brown. 1968. An Empirical Evaluation of Accounting Income Numbers. The Journal of Finance Brigham, E.F. dan L. C. Gapenski. 2000. Intermediate Financial Management. Edisi 5, New York, The Drysden Press. Chhim, Sareth. 1999. Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Dividend Payout Ratio pada Industri Manufaktur dan Jasa di Bursa Efek Jakarta. Tesis Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Eckel, N. 1981. The Income Smoothing Hypothesis Revisited. Abacus 17 (1): 28-40
52 Fijriyanti,
Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi
Tetet. 2000. Investment Opportunity Set: Kontribusi Proksi dan Analisis Hubungannya dengan Kebijakan Pendanaan dan Dividen. Tesis Pasca Sarjana, FE Universitas Gadjah Mada
Foster, George. 1986. Financial Statement Analysis. Englewood Cliffs, New Jersey, Prentice Hall International Hidayati, Siti Munfiah dan Zulaikha, 2003. Analisis Perilaku Earnings Management: Motivasi Minimalisasi Income Tax. Simposium Nasional Akuntansi VI, Surabaya. Institute for Economic and Financial Research.2009. Indonesian Capital Market Directory 2009. ECFIN, Tebet Barat Dalam Raya No. 16, Jakarta. Jones, Charles P. 2007. Investment. Wiley Asia Student Edition. Joni dan Jogiyanto H. M. 2009. Hubungan Manajemen Laba Sebelum IPO dan Return Saham dengan Kecerdasan Investor Sebagai Variabel Pemoderasi. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 12 No. 1 Januari. Koch, Bruce S. 1981. Income Smoothing an Experiment. The Accounting Review, Juli. Kusmini, Mini. 2003. Faktor-faktor yang Dipertimbangkan Dalam Kebijakan Pembayaran Dividen Saham Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Akuntansi dan Bisnis (Journal of Accounting and Business), Jurusan
Juni
Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Vol.3, No.2. Kustono, Alwan Sri. 2008. Motivasi Perataan Penghasilan. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 11 No. 2, Mei 2008 Lako, Andreas. 2003. An Empirical Investigation of The Market Response to the Good and Bad News Earnings Announcements with and Without Confounding Effects. Simposium Nasional Akuntansi VI, Surabaya. Morris, Richard D. 1987. Signalling, Agency Theory and Accounting Policy Choice. Accounting and Business Research, Vol.18, No 69. Palepu, Krishna G.,Paul M. Healy, dan Victor L. Bernard. 2004. Business Analysis Using Financial Statement. Thomson South-Western. Prasetyo, Adi. 2000. Asosiasi Antara Investment Opprtunity Set (IOS) Dengan Kebijakan Pendanaan, Kebijakan Dividen, Kebijakan Kompensasi, Beta dan Perbedaan Reaksi Pasar: Bukti Empiris dari Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi. Pride, W.M., R.J.Hughes, dan J.R.Kapoor. 1996. Business. Edisi 5. New Jersey. Rosdini, Dini. 2009. Pengaruh Free Cash Flow Terhadap Dividend Payout Ratio. Research Days, Faculty of Economics,
Juni
Sunardi
Padjadjaran Bandung.
University,
Scott, William R. 1997. Financial Accountuing Theory. Prentice Hall International, Inc, Amerika Serikat. Subekti, Imam. 2000. Asosiasi Antara Set Kesempatan Investasi dengan Kebijakan Pendanaan dan Dividen Perusahaan, Serta Implikasinya Pada Perubahan Harga Saham. Tesis Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
53 Utomo, B.S. dan Siregar, Baldric.2008. Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, dan Kontrol Kepemilikan Terhadap Perataan Laba Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Vol.19, No.2. Wolk, Harry I dan Michael G. Tearny. 1997. Accounting Theory: A Conceptual and Institutional Approach. Edisi ke 4, Cincinati, OO.H.SouthWestern College Publishing. Wolk, H.I., J.L. Dodd, dan J.J. Rozycki. 2008. Accounting Theory. Sage Publication, Inc.