Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok : Stimulasi Persepsi Sesi I – V Terhadap Kemampuan Mengontrol dan Mengekspresikan Marah Pada Pasien Risiko Perilaku Kekerasan di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang Benita Irma Widyastini*), Dwi Heppy Rochmawati**). Purnomo***) *)
**)
Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Kperawatan STIKES Telogorejo Semarang Dosen Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Universitas Sultan Agung Semarang ***) Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Semarang ABSTRAK
Perilaku kekerasan (PK) adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh TAK stimulasi sesi I-V terhadap kemampuan mengontrol dan mengekspresikan marah pada pasien risiko perilaku kekerasan di RSJD Dr.Amino Gondohutomo Semarang. Sampel penelitian sebesar 31 responden yang ditentukan dengan total sampling. Pada karakteristik responden, jenis kelamin laki-laki yang paling banyak yaitu sebanyak 20 responden (64,5%). Usia yang paling banyak adalah 26-30 tahun yaitu sebanyak 19 responden (61,3%). Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan antara TAK stimulasi persepsi sesi I-V terhadap kemampuan mengontrol dan mengekspresikan marah. Hasil penelitian variabel mengontrol marah sebelum dan sesudah diberikan intervensi dengan p-value 0,000 dan kemampuan mengekspresikan marah sebelum dan sesudah diberikan intervensi dengan p-value 0,000. Kesimpulan dari penelitian ini adalah dengan pemberian TAK stimulasi yang efektif, didukung lingkungan tempat terapi diberikan, dan kemauan pasien untuk berpartisipasi dalam kegiatan. Maka pasien dapat merubah pengertian, sikap dan perilakunya. Kata Kunci
: Resiko perilaku kekerasan, TAK stimulasi, mengontrol dan mengekspresikan
Daftar Pustaka : 17 (2003-2013) ABSTRACT Violent behavior (PK) is a situation where someone perform actions that may harm physically, either on her own or someone else 's, accompanied by rowdy and restless running amok uncontrollable. This research aims to know the influence of TAK stimulation session I-V of the ability to control and express anger at the patient's risk of violent behavior in RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang. The research sample of 31 respondents who specified with the total sampling. On the characteristics of the respondents, the male gender is the most that is as much as 20 respondents (64.5 percent). The most common age is 26-30 years of as much as 19 respondents (61,3%) is. The results showed there was significant influence between TAK stimulation of i–v session perception of the ability to control and express anger. Results of the study variables controlling anger before and after intervention with the given p-value 0.000 and ability to express anger before and after intervention with the given pvalue 0.000. Conclusion of this research is by administering an effective stimulation, not supported environment where therapy is given, and the patient's willingness to participate in the activity. Then the patient may transmute understanding, attitude and behavior. Key Words
: Risk of violent behavior, stimulation TAK, controlling, express
Bibliography
: 17 (2003-2013)
Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi . . . (B. I. Widyastini, 2014)
1
PENDAHULUAN Era globalisasi yang sedang berjalan ini menuntut seseorang untuk tetap eksis di jalan yang di tempuh melalui penguatan motivasi dan pengembangan diri menjadi manusia utuh dan bermartabat. Emosi yang terkontrol menjadi dasar seseorang bertindak dalam memenuhi tuntutannya sebagai manusia, dimana dalam memenuhi kebutuhan dasar seseorang dituntut untuk bersaing dan mengembangkan kreativitas agar mampu bertahan dalam hidup (Nasir & Muhith, 2011, hlm.vii). Menurut WHO (World Healt Organization), jumlah penderita gangguan jiwa di dunia mencapai 450 juta jiwa di tahun 2001. Jumlah itu kini sudah meningkat pesat. Diperkirakan dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 50 juta atau 22 persennya, mengidap gangguan kejiwaan (Hawari, 2009, dalam Fazia, 2013, ¶2). Seseorang dikatakan sehat jiwa apabila mampu mengendalikan diri dalam menghadapi stresor di lingkungan sekitar dengan selalu berpikir positif dalam keselarasan tanpa adanya tekanan fisik dan psikologis, baik secara internal maupun eksternal yang mengarah pada kestabilan emosional. Dengan kondisi tersebut seseorang mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungannya. Sikap positif mengarahkan seseorang untuk mengendalikan emosi dengan berpegang teguh pada ideal diri yang realistis. Hal ini berarti, dalam merespon stimulus yang ada di masyarakat seseorang harus menggunakan standar yang berlaku, dengan harapan manusia mampu mengukur kemampuannya dalam merespon berbagai problematika yang ada di masyarakat. Hal ini agar tidak menjadi beban psikologis yang berdampak pada menurunnya semangat atau motivasi
2
seseorang dalam menyelesaikan masalahnya (Nasir & Muhith, 2011, hlm.1). Orang dianggap sehat jika mereka mampu memainkan peran dalam masyarakat dan perilaku mereka pantas dan adaptif. Sebaliknya, seseorang dianggap sakit jika gagal memainkan peran dan memikul tanggung jawab atau perilakunya tidak pantas. Kebudayaan setiap masyarakat tersebut sehingga hal ini memengaruhi definisi sehat dan sakit. Perilaku yang dapat diterima dan pantas dalam suatu masyarakat dapat dianggap maladaptif atau tidak pantas pada masyarakat lain (Videbeck, 2008, hlm.3). Seseorang mengalami gangguan jiwa apabila ditemukan adanya gangguan pada fungsi mental, yang meliputi: emosi, pikiran, perilaku, perasaan, motivasi, kemauan, keinginan, daya titik diri, dan persepsi sehingga mengganggu dalam proses hidup di masyarakat. Hal ini dipicu oleh adanya keinginan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam mempertahankan hidup sehingga seseorang dihadapkan untuk berpikir, berkeinginan untuk mencapai cita-cita yang mengharuskan seseorang berhubungan dengan orang lain (Nasir & Muhith, 2011, hlm.9). Gangguan jiwa merupakan manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distorsi emosi sehingga ditemukan ketidak wajaran dalam bertingkah laku salah satu contohnya adalah munculnya perilaku kekerasan (Nasir & muhith, 2011.hlm.8). Perilaku kekerasan (PK) adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol (Hartono & Kusumawati, 2010, Hlm.78).
Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK)
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang. Respon ini dapat menimbulkan kerugian berupa pengrusakan, pemukulan, serangan fisik baik pada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Melihat kerugian yang ditimbulkan, penanganan pasien perilaku kekerasan perlu dilakukan secara cepat dan tepat oleh tenaga kesehatan profesional. Salah satu cara untuk penanganan pasien perilaku kekerasan adalah terapi modalitas (Keliat & Akemat, 2009, hlm.126). Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan sebagai terapi, dan kelompok di gunakan sebagai target asuhan. Di dalam kelompok terjadi dinamika interaksi yang saling bergantung, saling membutuhkan, dan menjadi laboratorium tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki perilaku lama yang maladaptif (Keliat & Akemat, 2004, hlm.1). Berdasarkan data dari RSJD Dr.Amino Gondohutomo Semarang pada tahun 2011 didapatkan data bahwa jumlah pasien gangguan jiwa yang dirawat sebanyak 5.297 pasien, tahun 2012 sebanyak 8.454 pasien dan tahun 2013 sebanyak 7.346 pasien. Untuk jumlah pasien perilaku kekerasan sendiri mengalami peningkatan dalam 2 bulan terakhir pada tahun 2013, yaitu pada bulan November sebanyak 351 pasien, bulan Desember sebanyak 356 pasien dan pada bulan Januari 2014 mengalami peningkatan sebanyak 371 pasien.
Kemampuan Mengontrol dan Mengekspresikan Marah pada Pasien Risiko Perilaku Kekerasan di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang”. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian quasy exsperimental menggunakan one group pre-post test design yaitu menggunakan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah intervensi (Nursalam, 2008, hlm.85). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang mempunyai resiko perilaku kekerasan di RSJD Dr. Aminogondohutomo Semarang sebanyak 34 pasien pada 11 ruang rawat inap. Dengan menggunakan teknik sampling, kriteria inklusi dan ekslusi, dan rumus Slovin maka didapatkan sampel 31 responden yang dapat mewakili sejumlah populasi yang ada. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa instrumen penelitian kuesioner. Kuesioner dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan dari literatur yang ada, baik dari buku maupun jurnal keperawatan. Dalam penelitian ini, kuesioner yang digunakan meliputi kuesioner identitas responden, dan kuesioner mengontrol dan mengekspresikan marah. Pada penelitian ini tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas karena alat penelitian sudah baku.
Berdasarkan fenomena diatas peneliti melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Sesi I-V terhadap
Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi . . . (B. I. Widyastini, 2014)
3
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik responden berdasarkan usia dan jenis kelamin Tabel.1 Distribusi Frekuensi Responden Resiko Perilaku Kekerasan Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin di RSUD Dr. Amino Gondohutomo Semarang Variabel Frekuensi Presentase Usia 15 – 20 Tahun 6 19,4 % 21 – 25 Tahun 6 19,4 % 26 – 30 Tahun 19 61,3 % Jumlah 31 100 % Jenis Kelamin Laki – laki 20 64,5 % Perempuan 11 35,5 % Jumlah 31 100 % Berdasarkan Tabel.1 menunjukkan bahwa responden dengan rentang usia 15-20 tahun memiliki hasil yang sama dengan usia 21-25 tahun yaitu sebanyak 6 orang (19,4%), sedangkan responden dengan rentang usia 26-30 tahun memiliki presentasi yang lebih banyak sebesar 19 orang (61,3%). Adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu cukup cenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai kompensasi adanya ketidak percayaan pada lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah. Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan (Yosep, 2009, Hlm.245). Pada penelitian ini didapatkan hasil responden terbanyak adalah usia 26 -30
4
tahun dengan sebesar 19 orang (61,3%). Rentang umur tersebut termasuk dalam usia dewasa, pada masa tersebut individu mempunyai tugas dan tahap perkembanganya. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian wibowo (2011) di RSJD Dr.Amino Gondohutomo Semarang yaitu responden usia 21-30 dengan presentasi terbanyak adalah 45%. Berdasarkan Tabel.1 juga menunjukkan bahwa dari 31 responden jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 20 orang (64,5%) sedangkan pada perempuan sebanyak 11 orang (35,5%). Dalam masyarakat seorang laki-laki diwajibkan menjadi individu yang tegas dan bertanggung jawab. Seorang laki-laki harus dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun pada saat ini seorang laki-laki lebih sering memendam masalahnya sendiri agar terlihat kuat. Jika hal itu dilakukan terus menerus individu akan stress. Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang. Respon ini dapat menimbulkan kerugian berupa pengerusakan, pemukulan, serangan fisik baik pada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (Keliat & Akemat, 2009, hlm.126). Berdasarkan penelitian ini didapatkan jumlah responden laki-laki lebih besar dari perempuan dengan presentase 64,5%. Hal ini terjadi karena pengambilan responden dilakukan di 3 bangsal yang terdiri dari 2 bangsal laki laki dan 1 bangsal perempuan. Faktor lain yang diduga berkaitan dengan banyaknya responden laki-laki adalah adanya konflik peran gender pada lakilaki.
Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK)
2. Kemampuan responden mengontrol dan mengekspresikan marah sebelum diberikan intervensi Tabel.2 Distribusi Frekuensi Kemampuan Responden Mengontrol dan Mengekspresikan Marah Sebelum Diberikan TAK Stimulasi Persepsi di RSJD Dr Amino Gondohutomo Semarang Berdasarkan Tabel.2 diatas menunjukkan bahwa pada tahap sebelum diberikan intervensi, hanya 3 orang (9,7%) yang mampu mengontrol marah. Sisanya sebesar 28 orang (90,3%) responden tidak mampu mengontrol marah. Selain itu sebanyak 18 responden (58,1%) tidak pernah mengekspresikan marah dan 13 responden (41,9%) jarang mengekspresikan marah. 3. Kemampuan responden mengontrol dan mengekspresikan marah setelah diberikan intervensi Tabel.3 Distribusi Frekuensi Kemampuan Responden Mengontrol dan Mengekspresikan Marah Setelah Diberikan TAK Stimulasi Persepsi di RSJD Dr Amino Gondohutomo Semarang Variabel Frekusnsi Presentase Kemampuan Mengontrol Marah Mampu 29 93,5 % Tidak Mampu 2 6,5 % Jumlah 31 100 % Kmampuan Mengekspresikan Marah .
Variabel Frekusnsi Presentase Kemampuan Mengontrol Marah Mampu 3 9,7 % Tidak Mampu 28 90,3 % Jumlah 31 100 % Kmampuan Mengekspresikan Marah Selalu 0 0% Jarang 13 41,9 % Tidak Pernah 18 58,1 % Jumlah 31 100 % Selalu 28 90,3 % Jarang 1 3,2 % Tidak Pernah 2 6,5 % Jumlah 31 100 % Berdasarkan Tabel.3 diatas menunjukkan bahwa Pada tahap ini diberikan intervensi, sebanyak 29 responden (93,5%) mampu mengontrol marah. Frekuensi meningkat sebanyak 26 yang sebelumnya hanya 3 menjadi 29 dapat mengontrol marah setelah diberikan TAK stimulasi persepsi. Sisanya 2 responden (6,5%) tidak mampu mengontrol marah. Selain itu sebanyak 28 responden (90,3%) selalu mengekspresikan marah atau frekuensi meningkat sebanyak 28 yang sebelumnya 0 menjadi 28 selalu mengekspresikan marah setelah diberikan TAK stimulasi persepsi. Sisanya sebanyak 2 responden (6,5%) tidak pernah mengekspresikan marah dan 1 responden (3,2%) jarang mengekspresikan marah.
4. Perubahan kemampuan mengontrol dan mengekspresikan marah sebelum dan setalah diberikan intervensi Tabel.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perubahan Kemampuan Mengontrol dan Mengekspresikan Marah Sebelum dan Setelah Diberikan TAK Stimulasi Persepsi I – V di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang Variabel Mean Median S.D Min - Max Kemampuan Mengontrol Marah Pre Test 1,09 1,00 0,30 1,00 – 2,00
Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi . . . (B. I. Widyastini, 2014)
5
Post Test Pre Test Post Test
1,93 2,00 0,24 Kemampuan Mengekspresikan Marah 1,41 1,00 0,50 2,83 3,00 0,52
Berdasarkan Tabel.4 diatas menunjukkan bahwa responden dengan kriteria kemampuan mengontrol marah yang berjumlah 31 orang, rata-rata nilai pre test adalah 1,09 sedangkan rata-rata nilai post test adalah 1,93. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan mengontrol marah sebelum diberi intervensi dan sesudah diberi intervensi. Rata-rata selisih antara kemampuan sebelum dan sesudah diberikan intervensi sebesar 0,84 dengan p-value 0,000 dengan menggunakan 𝔞 0,05. Analisis tersebut menunjukkan bahwa terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan mengontrol marah pada pasien resiko perilkaku kekerasan. Berdasarkan Tabel.4 diatas juga menunjukkan bahwa responden dengan kriteria kemampuan mengekspresikan marah yang berjumlah 31 orang, rata-rata pre test adalah 1,41 sedangkan rata-rata post test adalah 2,83. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan mengekspresikan marah sebelum dan sesudah diberikan intervensi. Rat-rata selisih antara sebelum dan sesudah diberikan intervensi sebesar 1,42 dengan p-value 0,000 dengan menggunakan 𝔞 0,05. Analisis tersebut menunjukkan bahwa terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan mengekspresikan marah pada pasien resiko perilaku kekerasan. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ada
6
dilakukan perbedaan
1,00 – 2,00 1,00 – 2,00 1,00 – 3,00
kemampuan mengontrol marah sebelum dan setelah diberikan intervensi TAK stimulasi persepsi sesi I-V, dengan pvalue 0,000, dan perbedaan kemampuan mengekspresikan marah sebelum dan sesudah TAK stimulasi persepsi sesi IV, dengan p-value 0,000. Sebelum diberikan TAK stimulasi persepsi sesi IV kemampuan mengontrol marah responden adalah 28 orang tidak mampu mengontrol marah dan 3 orang mampu mengontrol marah. Tetapi setelah diberikan TAK stimulasi persepsi sesi IV, kemampuan responden meningkat sebanyak 29 responden mampu mengontrol marah dan 2 responden tidak mampu mengontrol marah. Sedangkan pada kemampuan mengekspresikan marah sebelum diberikan TAK stimulasi persepsi sesi I-V, sebanyak 18 responden tidak pernah mengekspresikan marah dan 13 responden jarang mengekspresikan marah. Tetapi setelah diberikan TAK stimulasi persepsi sesi IV kemampuan responden meningkat sebanyak 28 responden selalu mengekspresikan marah, sedangkan sisanya sebanyak 1 responden jarang mengekspresikan marah dan 2 responden tidak pernah mengekspresikan marah. Upaya pencegahan dan rehabilitasi pasien dengan perilaku kekerasan yaitu dengan pemberian terapi aktivitas kelompok dan tindakan pengobatan (medis) sangat berpengaruh pada proses penyembuhan pasien, terapi aktivitas kelompok bertujuan membantu pasien berhubungan dengan orang lain serta mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptif (keliat & akemat, 2004, hlm.4). Dengan pemberian TAK
Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK)
stimulasi yang efektif, didukung lingkungan tempat terapi diberikan, dan kemauan pasien untuk berpartisipasi dalam kegiatan. Maka pasien diajarkan cara mengontrol dan mengekspresikan marah, sehingga pasien dapat merubah pengertian, sikap dan perilakunya. Penelitian ini didukung oleh peneliti wibowo (2011) tentang pengaruh terapi aktivitas kelompok sesi I-III terhadap kemampuan mengenal dan mengontrol perilaku kekerasan pada pasien perilaku kekerasan dengan hasil penelitian variabel mengenal dan mengontrol perilaku kekerasan (p-value 0,000 dan pvalue 0,000). Hasil penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa hipotesa alternatif diterima, bahwa ada pengaruh TAK stimulasi persepsi sesi I-V terhadap kemampuan mengontrol dan mengekspresikan marah pada pasien resiko perilaku kekerasan. Alasan mengapa 2 responden tidak mampu mengontrol marah, 2 responden tidak pernah mengekspresikan marah dan 1 responden jarang mengekspresikan marah setelah diberi TAK stimulasi persepsi sesi I-V adalah responden tidak dapat menjawab pertanyaan sesuai topik yang dibahas. SIMPULAN Responden berjenis kelamin laki-laki paling banyak yaitu 20 orang (64,5%) dengan usia terbanyak adalah pada usia 26-30 tahun yaitu 19 orang (61,3%). Terdapat peningkatan kemampuan mengontrol marah setelah diberikan TAK stimulasi persepsi sesi I-V.
Terdapat peningkatan kemampuan mengekspresikan marah setelah diberikan TAK stimulasi persepsi sesi I-V. Terdapat pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi sesi I-V terhadap kemampuan mengontrol dan mengekspresikan marah pada pasien resiko perilaku kekerasan di RSJD Dr.Amino Gondohutomo Semarang. SARAN 1. Bagi RSJD Amino Gondohutomo Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam memberikan asuhan keperawatan pasien dengan resiko perilaku kekerasan. Bahwa pemberian terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi yang dilakukan secara intensif dan efektif dapat meningkatkan kemampuan pasien dalam mengontrol dan mengekspresikan marah. 2. Bagi Keperawatan Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok pasien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan sebagai terapi, dan kelompok digunakan sebagai target asuhan. Jika dilakukan secara intensif akan sangat membantu pasien dalam mengontrol dan mengekspresikan marah. 3. Bagi Pasien Diharapkan dapat melakukan latihan secara fisik, sosial dan spiritual untuk mengontrol dan mengekspresikan marah secara teratur. 4. Bagi Keluarga Diharapkan keluarga dapat memantau kondisi pasien saat dirumah dan membantu dalam proses penyembuhan pasien.
Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi . . . (B. I. Widyastini, 2014)
7
DAFTAR PUSTAKA Budiharto, (2008). Metodologi Penelitian Kesehatan dengan Contoh Bidang Ilmu Kesehatan Gigi. Jakarta: EGC Dalami, E., Suliswati., Rochimah., Ketut, R.S., & Widji, L. (2009). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Jakarta: CV.Trans Info Media
Nasir, A., & Muhith, A. (2011). Dasardasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Danim,
S. (2003). Riset Keperawatan: Sejarah Dan Metodologi. Jakarta: EGC
Notoatmodjo, soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Fazia.
(2013). Islam dan Pencegahan Gangguan Jiwa. http://aceh.tribunnews.com/2013/11/ 08/islam-dan-pencegahan-gangguanjiwa diperoleh 5 deseber 2013
Perwiranti, D.G. (2013). Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Sesi 2 Terhadap Kemampuan Mengontrol Emosi Pada Klien Perilaku Kekerasan Di RSJD Dr.Amino Gondohutomo
Gomma,
A.B., (2006). Melejitkan Kepribadian Diri (Bagaimana Merubah Pribadi Rapuh Menjadi Pribadi Ampuh). Sukoharjo: Samudera
Purba. J. M. & Pujiastuti. S. E. (2009). Dilema etik & Pengambilan Keputusan etis. Jakarta: EGC
Hartono, Y., & Kusumawati, F. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika Keliat&Akemat. (2004). Keperawatan Jiwa: Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta: EGC
Sugiyono. (2013). Cara Mudah Menyusun: Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Bandung: Alfabeta Tomb, D.A. (2004).Buku Saku Psikiatri. Jakarta : EGC
Videbeck. S.L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa. Edisi Revisi. Bandung: Refika Aditama
8
Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK)