THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
PENGARUH TEBU TERHADAP KEBUDAYAAN MASYARAKAT CIREBON DAN BREBES : PERSPEKTIF HISTORIS DAN BIOLOGIS Ahmad Yusuf Bahtiyar1), Deni Dzulfaqori Nasrullah2), Intan Sholihat3) 1, 2 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Syekh Nurjati, Cirebon
[email protected] ,
[email protected] 3 Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah, IAIN Syekh Nurjati, Cirebon
[email protected]
Abstrak Secara kualitatif deskriptif, tulisan ini mengurai Tebu kaitannya dengan nilai Historis dan Biologisnya. Melalui kajian pustaka dan wawancara mendalam terhadap beberapa responden. Sedemikian sehingga diketahui bahwa Tebu berperan vital dalam berbagai upacara yang diselenggarakan di masyarakat. Upacara Pengantin Tebu, Sedekah Bumi dan Bancakan merupakan beberapa contoh upacara yang menggunakan Tebu sebagai suatu unsur sesajinya. Dalam hal ini, Tebu menjadi sesuatu yang sakral dengan muatan makna kehidupan mendalam semisal pemanis kehidupan, membawa keberkahan dan pelindung dari malapetaka. Tebu merupakan tumbuhan yang dapat hidup dan berkembang pada kondisi tanah yang datar dan suhu yang sedang. Demikian yang terjadi di daerah Cirebon dan Brebes, Tebu tumbuh dengan baik dikedua daerah tersebut. Keadaan Topografi disana dianggap sesuai dengan kelangsungan hidup dan produktivitas tumbuhan ini. Tidak heran pada zaman Kolonialisme dulu, Belanda memanfaatkan keuntungan Topografi ini sebagai wilayahnya dalam menggarap Tebu. Kata Kunci: Tebu, Historis, Biologis, Cirebon, dan Brebes. PENDAHULUAN Cirebon dan Brebes merupakan daerah yang wilayahnya berdekatan secara langsung. Kedua daerah tersebut juga menjadi daerah yang membatasi antar dua Provinsi besar, yaitu Provinsi Jawa Barat (Cirebon) dan Jawa Tengah (Brebes). Sungai Cisanggarung menjadi penanda perbatasan wilayah Cirebon dan Brebes. Cirebon dan Brebes mempunyai hubungan yang erat dalam banyak hal karena kedekatan wilayahnya, semisal dari segi Topografi wilayah, kebudayaan dan bahasa. Wilayah yang berdekatan memungkinkan bagi masyarakatnya melakukan proses sosial seperti saling bertukar informasi, mengadakan kepentingan, mencari pekerjaan dan bahkan dalam hal pernikahan. Dari segi itulah terdapat asimilasi dan akulturasi budaya karena percampuran aktifitas masyarakat antar kedua daerah tersebut. Secara Geografis wilayah Cirebon terletak pada 6030’-7000’ Lintang Selatan dan 108040’108048’ Bujur Timur pada Pantai Utara Pulau Jawa, di bagian timur Jawa Barat. Ketinggingan 5 s.d 3.078 mdpl. Cirebon beriklim tropis dan mempunyai kandungan tanah jenis Aluvial, Latosol, Mediteran, Litasol, Potsolik, Regosol,
THE 5TH URECOL PROCEEDING
Gleihumus dan Grumosol (Wikipedia, 2017). Brebes juga dilihat secara Geografis terletak pada koordinat 1080 41’37,7” - 1090 11’28,92” Bujur Timur dan 6044’56’5”-7020’51,48” Lintang Selatan. Seperti halnya Cirebon, Brebes beriklim tropis dan memiliki kandungan jenis tanah yang sama dengan Cirebon. Topografi wilayah Cirebon dan Brebes juga mempunyai kesamaan yaitu berupa dataran rendah yang luas, perbukitan dan pesisir utara (Sobirin, 2003 : 2). Tebu merupakan tumbuhan yang dapat hidup dalam kondisi suhu yang sedang berkisar antara 27-320 C, dan pada kondisi tanah yang datar juga tidak kering (lahan persawahan yang banyak mengandung air). Hal ini sesuai dengan keadaan Topografi Cirebon dan Brebes yang hampir luas wilayahnya berada di dataran rendah dan kondisi lahan untuk perkebunan Tebu, bukan lahan kering, melainkan lahan basah (persawahan). Tebu akan mengalami hambatan dalam pertumbuhannya jika berada di lahan yang kering, karena di lahan kering dapat terjadi krisis kekurangan hara, air, erosi, gulma dan hama seperti di tanah kering jenis Urtisol, Vertisol dan Inceptisol. Sedangkan pada Cirebon dan Brebes,
809
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
jenis lahannya adalah Aluvial, Latosol, Mediteran, Litasol, Potsolik, Regosol, Gleihumus dan Grumosol yang merupakan lahan yang cocok untuk media pertumbuhan Tebu (Idham, 2014 : 5). Dikarenakan kondisi wilayah Cirebon dan Brebes memungkinkan untuk ditanami Tebu, maka pada zaman Kolonialisme Belanda, Tebu menjadi tumbuhan yang cocok untuk ditanam sebagai bahan utama produksi gula. Tujuan pentingnya ialah untuk komoditi ekspor utama ke Eropa. Karena pada saat itu konsumsi gula di Eropa mengalami kenaikan, maka berbagai macam cara mereka lakukan untuk memenuhi pangsa pasar gula. Salah satunya adalah menerapkan sistem tanam paksa (Belanda:Cultuur stelsel) Tebu di Nusantara yang di gagas oleh Van Den Bosch, yang sebenarnya tidak hanya di daerah Cirebon dan Brebes saja, namun di banyak wilayah lainnya pun banyak dilakukan. Tentunya kolonial Belanda juga terlebih dahulu melihat kondisi wilayah yang tepat untuk lahan garapan Tebu. Oleh sebab itu banyak bermunculan Pabrikpabrik Gula di Indonesia (Diniyyah, 2011 : 1-2). Bersamaan dengan meluasnya perkebunan Tebu dan banyak muncul Pabrik Gula di Cirebon dan Brebes, maka masyarakat menjadi semakin menyatu (Secara Dhohir (nyata) dan Bathin (rasa)) dengan Tebu yang mereka olah dan kelola. Walaupun tidak menutup kemungkinan masyarakat juga menyatu dengan tumbuhantumbuhan yang lainnya seperti Padi (Oryza sativa), Jagung (Zea mays) dan lain-lain. Namun karena dalam hal ini Tebu (Saccharum officinarum L) menjadi pokok bahasan utama maka hanya Tebu yang akan dipaparkan. Menyatunya masyarakat dengan Tebu tidak terlepas dari lamanya sistem keja tanam paksa yang dibebankan pada masyarakat pribumi. Seiring dengan lamanya sistem tanam paksa, masyarakat secara tidak langsung menggantungkan hidupnya pada Tebu yang mereka olah. Oleh karena manusia adalah makhluk yang berbudaya, maka masyarakat mulai melakukan upacara-upacara untuk memanjatkan doa kepada yang Kuasa sebagai bentuk rasa syukur dan rasa harap agar Tebutebu yang menjadi tiang hidup mereka dapat terjaga, hasilnya melimpah dan penuh berkah
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
(Peneng, 2015 : 138-140). Selain dari pada hal tersebut, Pemerintah Kolonial Belanda juga mulai mengadakan pesta rakyat sebelum proses penggilingan Tebu atau sesudah panen. Tulisan ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai kaitan Tebu dengan pengaruhnya terhadap kebudayaan Cirebon dan Brebes dilihat dalam pespektif Historis dan Biologis. KAJIAN LITERATUR Kajian dalam tulisan ini merujuk pada kerangka awal yaitu pada kajian secara Historis dan Biologis. Kajian secara Historis menempatkan pembahasan dalam lingkup sejarah dan filosofis. Banyak para Sarjana dan Mahasiswa yang sudah membahas ihwal Historis dan Filosofis Tebu di Nusantara, diantara yang sudah membahas ialah Peneng, Nyoman (2005), Taufiq, Ahmad (2011), Fauzi, RA (2016), Rizky, YA (2014), dan Purwadi (2014). Yang pertama, Peneng, Nyoman (2005) yang menyatakan bahwa Tebu begitu menjadi tumbuhan yang sakral bagi masyarakat Bali, mengingat dalam banyak upacara di Bali menggunakan Tebu sebagai suatu simbol dan gambaran dalam pemaknaan kehidupan manusia secara etis, sosial dan spiritual. Yang kedua, Taufiq, Ahmad (2011) menyatakan bahwa sejarah Pabrik Gula di Gending, Probolinggo tidak terlepas dari pengaruh Kolonial Belanda, dan terikat juga dengan aturan Van Den Bosch mengenai sistem kerja tanam paksa yang bertujuan untuk Ekspor gula secara besar-besaran ke Eropa. Berikutnya, Fauzi, RA (2016) yang menyatakan bahwa terdapat kesepakatan antara pemilik Pabrik Gula Ngadirejo di Kabupaten Kediri dengan Mbah Wongso sesepuh Desa Ngadirejo untuk mengadakan ritual Giling Manten sebelum memasuki waktu giling Tebu sebagai persembahan untuk para Penunggu (Makhluk Ghaib) agar tidak mengganggu jalannya proses produksi Tebu menjadi Gula Yang keempat, Rizky, YA (2014) menyatakan bahwa di Pabrik Gula Semboro Kabupaten Jember, Jawa Timur juga mengadakan tradisi Pengantin Tebu sebagai simbol wujud rasa syukur atas panen Tebu dan Tebu kepada sang Maha Pencipta.
810
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Kemudian yang terakhir, Purwadi (2014) menyatakan bahwa banyak sekali Filosofifilosofi pada masyarakat Jawa yang berasal dari pengejewantahan Gula sebagai salah satu unsur pemanis makanan. Dari Jurnal-jurnal dan Skripsi diatas banyak berisikan mengenai sejarah awal mula masuknya Tebu, kemudian masa Kolonial terjadi tanam paksa Tebu sampai kepada munculnya Pabrikpabrik Gula yang kemudian banyak muncul tradisi dan upacara yang menggunakan Tebu didalamnya sebagai suatu simbol Filosofis kehidupan. Kajian selanjutnya ialah secara Biologis. Pada kajian ini membahas ihwal kajian secara Etnobotani (Ilmu Tumbuhan dan hubungannya dengan manusia dan alam), Morfologi Tebu dan kandungan-kandungan yang terdapat pada Tebu. Pada kajian ini akan diuraikan mengenai pembahasan yang sudah dilakukan oleh para Sarjana dan Mahasiswa dalam Jurnal, Diktat maupun Skripsinya. Purwanto (1999) menyatakan bahwa Etnobotani memiliki peran penting dalam Studi Konservasi di masa ini, dikarenakan banyaknya masyarakat yang tidak mengenal Konservasi dan Pengembangan Keanekaragaman Hayati karena belum memahami betapa pentingnya Tumbuhan bagi manusia. Suryadharma, IGP (2008) dalam Diktatnya menyatakan bahwa Etnobotani merupakan disiplin ilmu dalam bidang Biologi Tumbuhan (Botani), dimana dalam Diktat tersebut juga memaparkan mengenai Ruang Lingkup Etnobotani, Penelitian dalam Etnobotani dan Etnobotani dalam perspektif kebudayaan. Selain dari pada kajian secara Etnobotani, dalam tulisan ini juga memuat Morfologi Tebu dan manfaatnya. Seperti dalam Buku Indarwanto, Chandra, dkk (2010) menyatakan dalam bukunya ihwal pembudidayaan Tebu pasca panen. Tentunya dalam rangka pembudidayaan juga dipaparkan mengenai Morfologi Tebu, kemudian kondisi-kondisi tanah yang sesuai dan sebagainya. Lalu, Ratna R (2009) menyatakan bahwa dalam tulisannya menggagas teknis pemuliaan tanaman Tebu, seperti halnya dalam buku Indarwanto, sebagaimana mestinya sebelum melakukan pembudidayaan atau pemuliaan maka terlebih
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
harus mengetahui sifat dan karakteristik dari Tebu itu sendiri. METODE PENELITIAN Metode dalam penelitian ini menggunakan Studi Literatur dan Wawancara mendalam dan terbuka. Studi Literatur digunakan dengan mencari literasi, memahami konsep dan mendalami materi sebagai penunjang dalam penguatan ilmiah penelitian ini. Kemudian wawancara mendalam dan terbuka pada informan yang bertujuan untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya tanpa harus membebani informan dengan kuisioner yang terkesan formal, sedangkan realita pada lapangan informan adalah tokoh masyarakat yang notabenenya adalah sebagai Ustadz dan Orang Pintar (Tabib, Mbah) bukan dukun dan Mandor. Wawancara dilakukan pada 5 informan yang merupakan tokoh masyarakat desa di 4 lokasi Pabrik Gula (PG) yang berbeda dan 1 seorang Mandor Tebu (Pekerja Lapangan). 2 Pabrik Gula di wilayah Kabupaten Cirebon Timur dan 2 di wilayah Kabupaten Brebes. Pertama di PG Sindang Laut, Cirebon dilakukan wawancara pada Bapak Toto, kedua di PG Tersana Baru Babakan Cirebon dilakukan wawancara pada Bapak Casma, ketiga di PG Kersana Brebes pada Bapak Wartono, dan yang terakhir di PG Jatibarang, Brebes pada Ustadz Sholehuddin. Dan terakhir seorang Mandor Tebu (Pekerja Lapangan) yang memimpin para buruh Tebu untuk memanen Tebu ketika sudah musim panen yang bernama Rijai dari Desa Luwunggede, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes. Wawancara dilakukan pada jeda waktu yang berbeda, yaitu informan pertama pada tanggal 8 Januari 2017, kemudian kedua di tanggal 22 Januari, ketiga di tanggal 4 Februari, keempat di tanggal 5 Februari dan terakhir di tanggal 9 Februari 2017. Tujuan dilakukannya wawancara pada 5 informan yang berbeda di tiap lokasi Pabrik Gula (PG) ialah karena adanya upacara-upacara yang masih berlangsung yang diadakan baik oleh masyarakat maupun dari pihak Pabrik Gula. Di wilayah Cirebon Timur hanya di PG Sindang Laut dan Babakan yang masih ada. Kemudian di Brebes hanya tersisa 2 PG yang masih
811
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
melakukan tradisi Manten Tebu, Bancakan. Untuk Sedekah Bumi yang mengadakan ialah warga dan bukan dari pihak PG tertentu, karena tidak ada kaitan antara Sedekah bumi dengan tradisi Pabrik Gula (Bancakan dan Manten Tebu) yaitu Sedekah Bumi sering diadakan di Kecamatan Larangan, Kecamatan Losari dan di Kecamatan Ketanggungan. Ke-4 Pabrik Gula tersebut berada dalam satu lajur jalan yang sama. Dimulai dari Cirebon Timur yaitu Sindang Laut kemudian lurus arah timur bertemu dengan PG Tersana Baru Babakan, dari Babakan lurus menuju jalur perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah yang mana menuju PG Kersana sampai ke Jatibarang. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dari wawancara mendalam dan terbuka berupa deskripsi ringkas dan lugas mengenai penjelasan dari informan, namun dalam deskripsi ini hanya memaparkan jawaban secara garis besar dari ke-5 informan berbeda. Pertanyaan yang diajukan pada informan berupa pengetahuan informan mengenai tradisi Manten Tebu, Bancakan dan Sedekah Bumi dengan kaitannya pada Tebu dan kondisi kepercayaan masyarakat setempat. Seperti wawancara yang sudah dilakukan pada 5 informan yang berbeda, pertama wawancara dilakukan pada Bapak Toto selaku Sesepuh atau Tokoh Masyarakat di Desa Sindang Laut, yang mana beliau adalah sebagai salah satu saksi sejarah dari adanya Pabrik Gula di Sindang Laut. Menurutnya tradisi Manten Tebu menjadi sebuah simbol akan diadakannya proses giling Tebu di PG (Pabrik Gula). Pengantin disini dilambangkan sebagai sesuatu yang sakral untuk memulai sesuatu yang baru, begitupun proses giling Tebu harus layaknya pengantin. Lalu informan yang kedua, Bapak Casma selaku Tokoh Masyarakat Desa Pabuaran Lor Kecamatan Babakan, Cirebon. Beliau juga banyak mengetahui ihwal tradisi Bancakan (Pesta Rakyat) yang diadakan setiap tahunnya. Menurut beliau, Bancakan sebagai wujud rasa syukur pihak Pabrik Gula setelah dilaksanakannya panen Tebu dan sebelum proses penggilingan (Manten Tebu) agar warga
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
masyarakat dapat terhibur dan Sang Maha Pencipta memberikan berkah yang lebih. Kemudian informan ketiga dan keempat yaitu Bapak Wartono dan Bapak Ustadz Sholehuddin selaku Tokoh Masyarakat di daerah Pabrik Gula Kersana (Nonaktif) dan Pabrik Gula Jatibarang Brebes. Menurutnya, Bancakan dan Manten Tebu sebagai sesuatu yang sudah tidak dapat dipisahkan dalam tradisi tahunan masyarakat Kersana dan Jatibarang, kedua tradisi tersebut layaknya Pengantin dalam manusia, yaitu sebelum prosesi akad nikah pasti terdapat acara-acara untuk memperingatinya sebagai hiburan dan sebagai pelengkap. Persis seperti Bancakan dan Manten Tebu, Bancakan sebagai acara peringatan berupa hiburan-hiburan dan penutupnya adalah Manten Tebu (Ijab Qobul antara Tebu dan Manusia (Secara Bathin/rasa). Terakhir ialah informan yang bernama Mas Rija’i. Beliau merupakan seorang Mandor Tebu. Mandor adalah sebutan bagi orang yang memimpin para pekerja panen Tebu dan penanaman Tebu. Uraian dari beliau sedikit berbeda dengan 4 tokoh tersebut diatas. Mas Rija’i menjawab dengan logika dan penalaran yang tidak hanya terkait dengan Mistisisme. Menurutnya, Bancakan menjadi jalan bisnis dari pihak Pabrik Gula dan Pedagang. Ketika akan diadakan Bancakan, maka banyak sekali pedagang-pedagang dan penjual jasa hiburan yang berebut mencari nomor posisi untuk bisa berjualan di acara Bancakan selama 1 bulan. Tentu saja dengan mereka berjualan di Bancakan, maka mereka pun harus membayar uang sewa lahan ke pihak Pabrik Gula. Dengan adanya uang sewa lahan tersebut, setidaknya dapat membantu pihak Pabrik Gula untuk proses produksi Tebunya. Pun dalam hal ini tidak ada yang salah, karena masing-masing saling menguntungkan. Mas Rijai juga tidak memungkiri adanya kepercayaan tertentu, dan selain dari pada tujuan bisnis, dari pihak Pabrik Gula juga mengaharapkan datangnya berkah yang melimpah.
812
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
Gambar 1 : PG Sindang Laut, Cirebon
Gambar 5 : Penulis di Bancakan
Gambar 2 : PG. Jatibarang, Brebes
Gambar 6 : Manten Tebu (Sumber : Fesbuker Brebes.com)
Gambar 3: PG Tersana Baru Babakan
Gambar 4 : Peta PG. Kersana, Brebes (Sumber : Twitter @Darudin)
THE 5TH URECOL PROCEEDING
Gambar 7 : Sedekah Bumi di Cirebon (Sumber : www. Cirebon24.com)
Gambar 8 : Sedekah Bumi di Brebes (Sumber :http. Fachrudin.blogspot.com)
813
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Secara Historis, Tebu dibahas dalam segi sejarah kemunculannya, kemudian sampai kepada munculnya Pabrik Gula pada Zaman Kolonialisme Belanda di daerah Cirebon dan Brebes juga berlanjut sampai kepada hal ihwal munculnya kebudayaan yang sudah menjadi tradisi, yaitu Bancakan (Pesta Tebu/pesta rakyat), Manten Tebu. Selain dari pada itu, Tebu juga masuk pada upacara Sedekah Bumi yang sudah ada sejak zaman Hindu Budha. Sejarah kemunculan Tebu di Nusantara di awali dengan runtuhnya VOC di awal abad XIX yang dibarengi dengan banyak munculnya permasalahan perekonomian Hindia Belanda. Pada saat itu pula Belanda sempat jatuh ke tangan Prancis yang menunjuk William Deandels sebagai Gubernur Hindia Belanda di tahun 1808 M. Akan tetapi kekuasaan Prancis pun tidak bertahan lama, karena pada tahun 1811 M Prancis digulingkan oleh kedatangan Inggris dengan menunjuk Thomas Stamford Rafles sebagai Letnan Gubernur di Jawa. Segera setelah hal tersebut Inggris dan Belanda menandatangani Konvensi London tanggal 13 Agustus 1815 M yang isinya ialah berupa kesepakatan bahwasanya Inggris akan mengembalikan tanah jajahan Belanda pada tahun 1816 M dengan maksud agar Inggris dapat terlindungi oleh Belanda manakala Prancis menyerang di kemudian hari (Utami, 2015 : 51). Ketika Belanda sudah mendapatkan tanah jajahan yang sudah dijanjikan oleh Inggris, Belanda mengalami kesulitan dalam hal ekonomi untuk menata kembali perekonomiannya di Negara pusat. Belanda mengambil tindakan untuk melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap tanah jajahannya. Salah satunya adalah komoditi Tebu, karena Belanda sudah menimbangnimbang ternyata pada saat itu ternyata kebutuhan Gula di Eropa sangatlah besar namun jumlah produksi masih terbatas. Dan pada saat itulah sampai melahirkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) yang juga dari sistem tersebut lahir dualisme ekonomi dimana kaum pribumi sangatlah dirugikan karena mereka yang terlebih dulu menerapkan sistem kepemilikan lahan secara adat harus tunduk pada sistem Belanda yang kejam (Ramadhana, 2012 : 8).
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
Pada kurun waktu (1830-1870) yaitu masa sistem tanam paksa, Karesidenan Cirebon dianggap sebagai daerah yang memadai untuk produksi gula, salah satu alasannya ialah karena Karesidenan Cirebon yang memiliki Pelabuhan, dengan adanya Pelabuhan maka akan memudahkan dalam pengangkutan hasil dari produksi Tebu menjadi gula yang nantinya akan diekspor secara besar-besaran oleh Belanda, maka dari itu sampai muncul banyak sekali Pabrik-pabrik Gula di Cirebon. Disisi lain, Cirebon saat itu juga mempunyai wilayah topografi dataran rendah yang luas. Banyaknya lahan persawahan yang tentunya pengairannya sudah baik karena masyarakat pribumi sudah mengenal bagaimana cara pengairan dan pengolahan lahan pada saat itu (Kuncorojati, 2013 : 3). Oleh karena wilayah Brebes yang juga tidak jauh berbeda dengan keadaan wilayah di Cirebon, maka perluasan wilayah lahan perkebunan Tebu semakin digalakan oleh Belanda demi memenuhi suplai mereka. Belanda membuka lahan baru di derah Brebes khususnya wilayah tengah, yaitu daerah Kec. Losari bagian perbatasan Ciledug, Kec. Tanjung, Kec.Kersana dan sampai kepada Kecamatan Jatibarang di Brebes Timur. Luasnya areal lahan mejadikan akomodasi dan transportasi pengiriman Tebu semakin jauh, karena pada saat itu Pabrik Gula terdekat hanya ada di daerah Sindang Laut, Karangsembung dan Babakan. Oleh karenanya Belanda membangun Pabrik Gula di Kersana sebagai basis lahan Tebu di wilayah Brebes Barat dan Pabrik Gula di Jatibarang di wilayah Brebes Timur ( Setioko, 2012 : 21). Selain dari pada hal tersebut, perkembangan industr di Eropa sejak terjadinya Revolusi Industri juga turut menjadi faktor munculnya pengaruh di Negara-negara Eropa untuk membuat Industri dalam bidang perkebunan dan pertanian. Dan salah satu Negara yang terpengaruh adalah Belanda. Ketika mesin-mesin Industri sudah digalakan di Eropa, Belanda turut andil di dalamnya untuk mengimpor alat-alat produksi khususnya mesin produksi untuk keperluan Pabrik Gula, agar Tebu yang mereka olah dapat cepat menjadi gula-gula kristal putih untuk kemudian mereka ekspor ke Eropa. Semua itu mereka lakukan
814
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
dengan tujuan menata kembali kondisi perekonomian Nasional Belanda yang sempat bermasalah dengan datangnya Prancis (Kuncorojati, 2013 : 4). Setelah berakhirnya sistem kerja tanam paksa yang dinilai oleh golongan Liberal Belanda adalah kurang efektif karena tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada petani pribumi untuk mengolah lahan mereka. Akan tetapi golongan liberal juga tidak ingin mengalami kerugian, golongan ini menyarankan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar membebaskan golongan swasta memperoleh kebebasan dalam mengelola lahan Tebu dengan syarat harus tetap berada dalam pengawasan Hindia Belanda. Dengan cara ini pula mereka (Hindia Belanda) masih tetap bisa melakukan eksploitasi walaupun sudah tidak dengan cara Cultuurstelsel (Taufiq, 2011 : 13). Ketidakadilan yang dirasakan oleh Petani pribumi di daerah industri gula khususnya menyebabkan pribumi ingin mencari sosok yang dianggap mampu untuk memimpin dengan adil dan dapat memberikan perlindungan dari kesewenang-wenangan Belanda, karena walaupun Belanda sudah memberikan kebebasan kepada pribumi untuk mengelola lahan, Belanda tetap melakukan pengawasan dengan ketat dan menghukum siapa saja yang melanggar aturannya. Untuk itulah muncul Sarekat Islam (SI) sebagai garda depan untuk mengawal pribumi melakukan diplomasi dengan kolonial di tahun 1917 bertepatan dengan kongres kedua SI. Ada 3 resolusi yang dicanangkan SI bersama pribumi yaitu pertama segera berkhirnya keterlibatan pemerintah dengan pribumi dalam usaha memperoleh tanah bagi industri pabrik gula, kedua industri gula juga harus menerapkan prinsip-prinsip pasar bebas dan menghapuskan tekanan-tekanan yang ada, dan terakhir industri yang akan datang memperbolehkan pribumi memiliki saham (Cahyono, 2005 : 24). Menurut Leonard, Siregar (2002 : 3-4) Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih di inginkan. Jadi, kebudayaan menuju pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku kepercayaan dan
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
sikap-sikap dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu dan agar dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan, kebiasaankebiasaan seorang individu harus dimiliki bersama oleh suatu kelompok manusia. Berangkat dari konsep kebudayaan yang dikemukakan Leonard diatas, manusia dalam kebiasaanya terhadap aktivitas yang dilakukan bersamaan dengan orang banyak maka akan melahirkan suatu tradisi tertentu. Lamanya Belanda menguasai lahan garapan Tebu dan Industri Gula apalagi dengan ditambah aturan dari Van Den Bosch mengenai tanam paksa, maka Tebu sudah mendarah daging dengan pola kehidupan masyarakat Cirebon dan Brebes. Menurut Yuliani (2015 : 23) menyatakan bahwa masyarakat dan budaya adalah dua hal yang saling mempengaruhi, karena manusia selalu berhubungan dengan kebudayaan yang berkembang pada masyarakat. Pikiran dan perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara terus menerus pada akhirnya akan menjadi sebuah tradisi yang akan menimbulkan upacaraupaca tertentu , karena upacara meupakan pusat dari sistem religi dan kepercayaan masyarakat. Konsep yang dikemukakan oleh Yuliani (2015 : 13) sejalan dengan realita yang ada, yaitu ketika Tebu yang sudah setiap hari bertemu dan berjumpa dengan petani pribumi untuk kemudian diolah dan dikelola maka berangsurangsur Tebu itu menjadi suatu harapan hidup masyarakat di waktu itu. untuk itulah, dalam ritual Sedekah Bumi, Tebu mulai dimasukan didalamnya. Ritual Sedekah Bumi sebenarnya sudah dilakukan oleh banyak masyarakat dari zaman dahulu karena memang tradisi Hindu masih melekat dengan orang Jawa walupun Islam sudah masuk dan menguasai Sedekah Bumi merupakan wujud dari rasa bersyukurnya manusia kepada Tuhan yang Maha Esa atas melimpahnya hasil-hasil pertanian dan perkebunan. Dalam hal ini jawaban dari para responden sesuai dengan keterangan yang ada, karena menurut para responden tujuan utama dan yang utama dari adanya berbagai ritual tersebut adalah hanya ada dua kemungkinan, kemungkinan yang pertama ialah karena masyarakat memiliki kesadaran terhadap kepercayaan pada penciptanya untuk selalu
815
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
bersyukur kepada Tuhan (Allah SWT) dan kemungkinan yang kedua, masyarakat ingin selalu dijaga dan dilindungi dari berbagai marabahaya. Dengan warga mengadakan upacara, membuat makanan dari hasil bumi dan berbagi dengan sesama diharapkan Tuhan pun juga memberikan kasih sayang kepada orang yang suka berbagi. Seperti dikutip pada skripsi Fauzi, RA (2016 : 14) yang mengatakan bahwa adanya upacara giling manten di Pabrik Gula Ngadirejo, berkat dari adanya suruhan dari sesepuh desa di Ngadirejo bernama Mbah Wongso, Mbah Wongso berpesan kepada pihak Pabrik agar mengadakan upacara tersebut agar proses produksi Tebu dapat berjalan dengan lancar dan baik tanpa adanya hambatan apapun. Dan dikutip juga dari Rizky (2014 : 27) yang mengatakan bahwasanya di Pabrik Gula Semboro Kabupaten Jember juga terdapat upacara Manten Tebu/Pengantin Tebu seperti halnya di Cirebon dan Brebes yang mana pengagas utamanya menurutnya ialah dari seorang Tetuah yang menginginkan agar adanya suatu upacara sebagai bentuk rasa syukur. Hal demikian Sama halnya seperti yang dituturkan oleh responden dari Pabrik Gula Sindang Laut Bapak Toto, bahwasanya dahulu di daerah tersebut ada seorang Mbah (Orang Pintar) yang menyuruh untuk mengadakan acara Bancakan dan Manten Tebu sebelum Tebu di giling atau pasca panen. Karena menurut Mbah tersebut, segala sesuatu harus disyukuri, seperti halnya sedekah bumi atau sedekah laut, Pabrik juga harus memberikan sedekahnya berupa Bancakan sebagai pesta dan hiburan untuk masyarakat dengan perlambang Manten Tebu sebagai simbol Tebu yang akan menjumpai proses giling dan banyak proses produksi lainnya hingga akhirnya dapat menjadi gula yang manis dan enak juga disukai oleh banyak orang. Seperti halnya pengantin, yang sebelum pernikahan pun harus manis dan diakhir nanti setelah menjalani proses yang panjang akan berakhir dengan manis pula, begitu kira-kira sejaran dan filosofi dari penjelasan Bapak Toto. Filosofi tersebut sejalan dengan 2 kajian literatur yang di ambil mengenai filosofi Tebu dalam perspektif Jawa dan Bali. Yaitu yang
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
pertama dari perspektif Bali ada I Nyoman Peneng (2005 : 139-140) yang menyatakan bahwasanya filosofi Tebu banyak macamnya, seperti dalam sesaji tidak luput dari keberadaan Tebu yang bermakna Tebu dapat tumbuh dengan mudah dan selain itu Tebu mempunyai kandungan Sukrosa didalamnya yang manis walaupun diluarnya (Batangnya terlihat kasar), diharapkan dalam sesejai tersebut manusia dapat meniru sifat Tebu yang mudah untuk beradaptasi, tidak mudah menyerah, selalu berfikir positif (manis) walaupun orang diluar sana banyak yang menilai diri ini jelek. Kemudian dari Filosofi Jawa dikutip dari Purwadi (2014 : 3) mengatakan bahwasanya orang Jawa sangat akrab dengan gula beserta fungsinya. Tidak mengherankan apabila budaya Jawa kerap melagukan tembang Dhandanggula. Oleh karena itu dhandanggula secara etimologis dapat diberi makna demikian yaitu Dhandang=Hitam, Gula=Manis. Yang melambangkan seseorang telah menemukan gula hitam atau pahit manisnya kehidupan sebagaimana suami dan istri seperti perlambang Manten Tebu. Terakhir ialah kajian Tebu dari segi Biologis. Pada kajian ini dipaparkan 3 pembahasan yaitu pertama secara Etnobotani, kemudian Morfologi dan terakhir manfaat. Menurut Suryadharma (2008 : 10-11) Dalam keilmuan Biologi, Biologi mencakup Objek Biologi, Tema Biologi dan Tingkatan struktur kejadiannya. Hubungan manusia dengan atau kelompok masyarakat dengan etnik-etnik tertentu sesuai dengan karakteristik Geografisnya dalam mengatur kelompoknya terhadap obyek Biologi dipahami sebagai Etnobiologi. Etnobotani juga dapat digunakan sebagai alat untuk mendokumentasikan pengetahuan masyarakat tradisional, masyarakat awam yang telah menggunakan berbagai macam jasa tumbuhan untuk menunjang kehidupannya. Pendukung untuk kepentingan makan, pengobatan, bahan bangunan, upacara adat, budaya dan lainnya. Menurut Purwanto (1999 : 1-2) Etnobotani merupakan bidang ilmu yang cakupannya interdisipliner mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan sumberdaya alam tumbuhan dan lingkungannnya. Oleh karena itu
816
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
bahasannya bersinggungan dengan ilmu-ilmu alamiah dan ilmu-ilmu sosial seperti salah satunya adalah pengetahuan sosial budaya. Dari konsep pengertian dan penjelasan Etnobotani tersebut, maka terdapatnya suatu hubungan yang sangat erat antara manusia dan tumbuhan menimbulkan semacam Chemisitry yang nantinya melahirkan persepsi-persepsi kepercayaan tertentu. Misalnya dalam adat atau tradisi . Tebu yang sudah hidup lama bersama warga, secara tidak langsung terjadi kontak bathin maupun dhohir antara Manusia dan Tumbuhan. Pengaruh Tebu berarti berdampak besar terhadap kebudayaan yang muncul antara Cirebon dan Brebes. Asal usul tanaman Tebu dapat dilihat pada Lahay ((2009 : 6) Industri gula Tebu memanfaatkan spesies Saccharum officinarum L (Noble cane) yang diduga berasal dari daerah Pasifik Selatan yaitu kemungkinan di New Guinea (Pulau Irian bagian Timur) dan selanjutnya menyebar ke tiga arah migrasi yang berbeda. Pertama, dimulai pada 8000 Tahun Sebelum Masehi (SM) yaitu ke pulau Solomon, Hebrida Baru dan Kaledonia Baru. Kedua dimulai sekitar 6000 SM ke Filipina, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, Malaysia dan Burma serta India. Dan ketiga antara tahun 500 hingga 1100 Sesudah Masehi yaitu ke Fiji, Tonga, Tahiti, Marquesa dan Hawaii. Morfologi Tebu dapat dilihat dari kajian menurut Indarwanto (2010 : 8-9) Tebu adalah tanaman perdu dengan nama latin Saccharum officinarum L . Di daerah Jawa Barat di sebut Tiwu, di Jawa Tengan dan Jawa Timur disebut Tebu atau Rosan. Klasifikasi Tebu adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledone Ordo : Graminales Famili : Graminae Genus : Saccharum Spesies : Saccharum officinarum L Tebu mempunyai batang yang berdiri lurus dan beruas-ruas yang dibatasi dengan bukubuku. Pada setiap buku terdapat mata tunas. Batang tanaman Tebu berasal dari mata tunas yang berada di bawah tanah yang tumbuh keluar dan berkembang membentuk rumpun.Diameter
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
batang antara 3-5 cm dengan tinggi batang antara 2-5 meter dan tidak bercabang (Monopodial). Kemudian akar Tebu adalah akar serabut yang tidak panjang yang tumbuh dari cincin anakan. Pada fase pertumbuhan batang, terbentuk pula akar di bagian lebih atas akibat pemberian tanah sebagai tempat tumbuh. Daun Tebu berbentuk panah seperti pita, berseling kanan dan kiri, berpelepah seperti daun jagung dan tak bertangkai. Tulang daun sejajar tapi ditengahnya berlekuk. Dan tepi daunnya kadang-kadang bergelombang dan berbulu keras. Lalu pada bunga Tebu yang berbentuk malai dengan panjang antara 50-80 cm. Cabang bunga pada tahap pertama berupa karangan bunga dan pada tahap selanjutnya berupa tandan dengan dua bulir panjang 3-4 mm. Terdapat pula benang sari, putik dengan dua kepala putik dan bakal biji. Yang terakhir adalah buah Tebu yang seperti padi, memiliki satu biji dengan besar lembaga 1/3 panjang biji. Biji Tebu dapat di tanam dikebun percobaan untuk mendapatkan jenis baru hasil persilangan dari jenis unggul. Tebu dapat tumbuh di daerah Tropis dan Subtropis. Kondisi tanah yang baik bagi tanaman Tebu ialah tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah. Karena akar Tebu sangat sensitif terhadap ketersediaan udara dalam tanah, oleh karena itu pengairan dan drainase harus sangat diperhatikan yaitu dengan kedalaman 1 Meter. Struktur tanah yang cocok bagi Tebu juga menjadi faktor penentu pertumbuhan Tebu dengan baik, yaitu kondisi tanah yang gembur. Sehingga aerasi udara dan perakaran berkembang sempurna. PH yang sesuai berkisar antara PH 6-7,5. Pengaruh iklim terhadap Tebu dan rendeman gula sangat besar. Dalam pertumbuhan Tebu harus banyak air (Musih Hujan) dan pada saat pemasakan pada Musim Kemarau. Curah hujan pun berkisar antara 10001100 mm pertahun dengan sekurang-kurangnya 3 bulan kering, Penyinaran Tebu membutuhkan sekurang-kurangnya 12-14 jam setiap harinya. Dari kajian secara Etnobotani, Asal usul dan Morfologinya. Hal tersebut berkaitan erat dengan munculnya kebudayaan pada masyarakat Cirebon dan Brebes. Jadi bukan hanya karena nilai Historis yang berpengaruh, namun nilai Biologis pun juga berpengaruh. Hal ini
817
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
dibuktikan dari jawaban Mas Rija’i mengenai masyarakat pun sudah sejak dari dulu mengamati fisik Tebu dan manfaatnya untuk kemudian mereka membuat perumpaan (Filosofi) dengan realitas dalam kehidupan. Seperti misalnya Tebu dapat tumbuh dengan mudah, hanya dari potongan batang saja Tebu dapat tumbuh menjadi Tanaman yang kaya manfaat bagi manusia, hal tersebut diumpamakan dengan manusia walaupun terlahir dengan keadaan apapun, tetap harus berjuang untuk hidup sehingga dapat bermanfaat bagi orang banyak. Kemudian dilihat dari batang dan daunnya yang lurus, tidak becabang menandakan bahwa manusia harus tetap pada satu jalan kebenaran dan jangan sampai menjadi orang yang bercabang-cabang (munafik) dan seterusnya. KESIMPULAN Cirebon bagian Timur dan Brebes mempunyai kesamaan budaya yaitu terdapatnya tradisi Bancakan (Pesta rakyat) yang diadakan sebelum giling Tebu dan Manten Tebu selesai acara Bancakan. Kedua tradisi ini sudah berjalan setiap tahunnya dari dulu di 4 Pabrik Gula, yaitu di Cirebon 2 (PG. Sindang Laut dan PG. Tersana Baru Babakan) dan 2 di Brebes (PG. Kersana dan PG. Jatibarang) yang mana sesuai kajian pustaka dan keterangan informan. Tujuan utamanya ialah mencari keberkahan dan rasa syukur. Selain dari pada kedua tradisi tersebut ada tradisi yang sama lagi yaitu Sedekah Bumi, acara tersebut yang mengadakan rakyat dan tidak ada sangkut pautnya dengan Pabrik Gula. Dengan tujuan sebagai perlambang rasa syukur terhadap Tuhan atas berlimpahnya hasil bumi. Tebu juga menjadi salah satu makanan dan sajian yang terdapat pada sesaji di Sedekah Bumi. Bermulanya kebudayaan tersebut tentu saja dimulai dari keadaan Historis dan Biologis Tebu. Secara Historis, Tebu sudah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dan secara Biologis kaitannya dengan Historis ialah karena lamanya Tebu dalam kehidupan masyarakat , maka perlahan masyarakat mulai memahami Tebu sebagai tanaman kaya manfaat dan kaya unsur Filosofi dengan kenyataan hidup manusia.
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
REFERENSI
Cahyono, E. 2005. Pekalongan Tahun 18301870 : Transformasi Petani Menjadi Buruh Industri Perkebunan. Universitas Indonesia Diniyyah, M. 2011. Sejarah Perkembangan Pabrik Gula Cepung dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kendal Tahun 1975-1997. Universitas Negeri Semarang Fauzi, R,A. 2016. Sejarah Tradisi Ritual Giling Manten di Pabrik Gula Ngadirejo, Desa Ngadirejo, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri. Universitas Negeri Surabaya Indrawanto, C. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Tebu. Eska Media. Jakarta Kuncorojati, C. 2013. Pabrik Gula Sindang Laut, Cirebon, Jawa Barat Tahun 1896-1942 Sebagai Kajian Arkeologi Industri. Universitas Indonesia Lahay, R,R. 2009. Pemuliaan Tanaman Tebu. Universitas Sumatera Utara Leonard, S. 2002. Antropologi dan Konsep Kebudayaan. Jurnal Antropologi Papua. Vol. 1. Nomor 1. 3-4 Peneng, I,N. Sumantera, W, I. 2005. Pemanfaatan Tebu dalam Upacara Adat di Kabupaten Tabanan, Bali. Jurnal Biodiversitas UPT Balai Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya “Eka Karya Bali”. Vol.6. Nomor.2. 138-140 Purwanto, Y. 1999. Peran dan Peluang Etnobotani Masa Kini di Indonesia dalam Menunjang Upaya Konservasi dan Pengembangan Keanekaragaman Hayati. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Ilmu Hayati Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB. 16. September. 1999. Bogor. Indonesia. 214-229 Purwadi. 2014. Gula dalam Kajian Filsafat Budaya Jawa. Jurnal IKADBUDI seIndonesia. Vol. 3. 1-21
818
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Ramadhana, B, N. 2012. Perkembangan Sistem Kepemilikan Tanah pada Perkebunan Tebu di Sindang Laut, Cirebon Tahun 1870-1968. Universitas Pendidikan Indonesia Ramadhan, I,C. 2014. Keragaan Pertumbuhan dan Rendeman Lima Klon Tebu (Saccharum officinarum L) di Ultisol, Vertisol dan Inceptisol. Jurnal Vegetalika. Vol.3. Nomor.4. 77-87 Rizky, Y, A. 2014. Tradisi Pengantin Tebu di Pabrik Gula Semboro, Kecamatan Semboro, Kabupaten Jember Tahun 1996-2013. Universitas Jember Setioko, T. 2012. Pemanfaatan Bagas Limbah Pabrik Gula Jatibarang Brebes Menjadi Bioetanol. Universitas Negeri Semarang Sobirin. 2003. Reorientasi Pengembangan Wilayah Kabupaten Brebes Berbasis Potensi Sumber Daya Wilayah. Lokakarya Nasional “Menuju Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Berbasis Ekosistem untuk Mereduksi Potensi Konflik Antar Daerah. 30. Agustus. 2003. Yogyakarta. Indonesia Suryadharma, IGP. 2008. Diktat Kuliah Etnobotani. Jurusan Pendidikan Biologi. FMIPA. Universitas Negeri Yogyakarta Taufiq, A. 2011. Sejarah Pabrik Gula Gending, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur Tahun (1830-2010). Universitas Negeri Malang. Utami, I,W,P. 2005. Monetisasi dan Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Jawa Abad XIX. Jurnal Sejarah dan Budaya. Vol.9. Nomor. 1. 51-63 Yuliani, F. 2015. Fungsi Pelaksanaan Tradisi Pengantin Glepung di Pabrik Gula Sragi bagi Masyarakat (Studi Kasus di Desa Sragi Kecamatan Sragi Kabupaten Pekalongan). Universitas Negeri Semarang
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
Wikipedia.Geografis_Cirebon_Wikipedia.c om. Diakses pada 8 Februari 2017
819
ISBN 978-979-3812-42-7