INTEGRASI ISLAM DAN MULTIKULTURALISME: Perspektif Normatif dan Historis Sulthan Syahril Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Intan Lampung
[email protected]
Abstract The cultural, religious, ethnic and linguistic diversity in Indonesia, on one hand, can be seen as a richness to be proud of, but, on the other hand, it also often lead to frictions and social conflicts among its citizen, vertically and horizontally. These conditions give rise to the importance of multicultural awareness as a solution to diminish the negative effects of such a phenomenon. Regardless of the pros and cons to this Western discourse, the author asserts that the plurality, as a basis of multiculturalism, in Islamic perspective is sunnatullah (God’s provision) and undeniable facts . Through the content analysis approach, the author explore the Islamic concept of multiculturalism in the normative and historical perspective by tracing the verses and hadith, as well as Prophet Muhammad’s (PBUH) deed showing the appreciation toward multiculturalism. As a solution to the negative impacts of social diversity in Indonesia, the author offers the concept of integration of Islamic values and Multiculturalism in the five dimensions of multiculturalism, namely, tolerance, dialogue and consultation, mutual assistance, friendship and brotherhood. Abstrak Keragaman budaya, agama, suku, dan bahasa di Indonesia di satu sisi merupakan kekayaan yang dibanggakan, namun di sisi lain juga kerap menimbulkan gesekan bahkan konflik vertikal dan horizontal. Kondisi ini memunculkan wacana multikulturalisme sebagai solusi. Lepas dari pro-kontra yang terjadi terhadap wacana ini sebagai wacana Barat, penulis menegaskan bahwa pluralitas sebagai basis multikulturalisme dalam perspektif Islam merupakan sunnatulla>h dan fakta yang tidak bisa dipungkiri. Dengan Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desember 2013
293
Sulthan Syharir
pendekatan content analysis, penulis berupaya mendeskripsikan secara kualitatif konsep Islam mengenai multikulturalisme dalam perspektif normatif dan historis dengan merunut ayat-ayat dan hadis tentang multikulturalisme, kemudian memaparkan sisi historis penghargaan multikulturalisme yang dipraktikkan oleh Rasulullah saw. Selanjutnya sebagai solusi keragaman bangsa Indonesia, penulis menawarkan konsep integrasi Islam dan Multikulturalisme dalam bentuk eksplorasi dan implementasi nilai-nilai multikulturalisme Islam dalam lima dimensi: toleransi, dialog dan musyawarah, tolong-menolong, silaturahim dan persaudaraan. Kata Kunci: Islam, Multikulturalisme, Plural, Inklusif.
A. Pendahuluan Wacana multikulturalisme pada dua dekade terakhir sering menjadi perbincangan aktual, baik kalangan akademisi, aktivis, dan LSM. Bahkan kalangan pejabat pemerintah pun tertarik menggunakan pertimbangan wacana ini dalam membuat kebijakan.1 Namun wacana ini juga mendapat penolakan yang cukup keras dari beberapa kelompok dengan dalih bahwa mutlikulturalisme merupakan gagasan Barat yang haram untuk dianut, dan tidak berbeda dengan halnya pluralisme, sekulerisme dan liberalisme.2 Terlepas dari pro dan kontra yang ada, multikulturalisme merupakan fakta yang tergelar di hadapan kita, sebab masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang heterogen dan multikultur dengan beragam etnis dan budaya. Dalam kondisi demikian, yang dibutuhkan bukanlah monokulturalisme tetapi multikulturalisme, bukan pembauran tetapi pembaruan,bukan ko-eksistensi tetapi proeksistensi, bukan sikap eksklusif melainkan sikap inklusif, bukan bukan separasi tetapi interaksi. Bukan juga kemajemukan demi kemajemukan, atau kemajemukan sekedar warna-warni, tetapi kemajemukan yang dibangun di atas landasan mutltikutluralisme yang partisipatorik dan emansipatorik. Dengan bahasa lain, keragaman seharusnya menjadi alat integrasi bangsa apabila sejak 1 Mundzier Suparta, Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Jakarta: al-Ghazali Center, 2008), h. vii. 2 Lihat misalnya Adian Husaini, “Multikulturalisme dalam Pendidikan Agama Islam”, dalam Republika, 4 April 2012.
294
Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desemberi 2013
Integrasi Islam dan Multikuturalisme
dini kesadaran multikultural telah mapan dan menjadi bagian dari komitmen bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara yang multikultural, Indonesia harus antisipatif dan responsif terhadap fenomena heterogenitas kebudayaan dengan sikap arif dan bijak. Perbedaan yang selama ini ada telah menimbulkan sisi negatif berupa konflik yang melanda negeri ini, yang salah satunya disebabkan heterogenitas dan deferensiasi sosial dalam masyarakat,3 seperti yang terjadi dalam kasus konflik antarsuku di Sambas Kalimantan Tengah, konflik dengan isu agama di Poso dan Maluku, gerakan seperatisme Aceh, yang salah satunya dipicu oleh pengelolaan perbedaan yang kurang adil. Harus diakui bahwa banyak sekali perbedaan di negeri ini yang bukan hanya perbedaan deskriptif, akan tetapi perbedaan normatif. Dengan bahasa lain, perbedaan tersebut bukan hanya sekedar diketahui, akan tetapi harus benar-benar disadari penuh dalam kehidupan yang egaliter dan demokratis. Berangkat dari pemikiran di atas, tulisan ini ingin mendeskripsikan secara kualitatif bagaimana konsep Islam mengenai multikulturalisme dalam perspektif normatif dan historis? dan lebih lanjut bagaimana upaya ideal dalam mengintegrasikan Islam dan Multikulturalisme secara konseptual di Indonesia? B. Konsepsi Islam tentang Multikulturalisme Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham).4 Multikulturalisme secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sistem nilai atau kebijakan yang menghargai keragaman dalam suatu masyarakat yang didasarkan kepada kesediaan untuk menerima dan menghargai eksistensi kelompok lain yang berbeda suku, etnik, gender, maupun agama.5 Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggungjawab 3 Supardi, “Pendidikan Sejarah Lokal dalam Konteks Multikulturalisme”, Makalah, Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.dalam eprints. uny.ac.id/3752/1/07-Supardi.pdf. Diakses, Jum’at, 13 September 2013, h. 3. 4 Chairul Mahfud, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 75. 5 Syamsu Ni’am, “Pendidikan Multikultural: Gagasan dan Implementasi”, dalam Lektur: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 14, No. 1 Tahun 2008, h. 19.
Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desember 2013
295
Sulthan Syharir
untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Lebih jauh ditegaskan bahwa multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan kultur atau sebuah keyakinan yang mengakui pluralisme kultur sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi jembatan yang mengakomodasi perbedaan etnik dan budaya dalam masyarakat yang plural.6 Multikulturalisme dalam terminologi yang lebih luas dan diterima dalam kebutuhan kontemporer adalah bahwa seluruh manusia dari berbagai kebudayaan yang variatif secara permanen hidup berdampingan, di samping banyak versi multikulturalisme menekankan pentingnya studi tentang kebudayaan-kebudayaan lain, mencoba memahami mereka secara penuh dan empatik. Di sisi lain, multikulturalisme mengimplikasikan suatu keharusan untuk mengapresiasi kebudayaan-kebudayaan lain, dengan terminologi yang lebih populer adalah memberikan penilaian secara positif. Lebih jauh ditegaskan bahwa multikulturalisme muncul kapan dan dimana pun ketika studi dan kaum diaspora yang hidup darinya menjadi urgen, dan hal ini menghendaki saling adaptasi, sehingga kelompok memperoleh kemajuan dari pertukaran yang sifatnya material dan manufaktural maupun kultural berupa gagasangagasan dari berbagai penjuru dunia.7 Pluralitas sebagai basis multikulturalisme dalam perspektif Islam adalah sunnatulla>h. Fenomena pluralitas agama dan budaya di kalangan umat manusia dari zaman dahulu kala sampai hari ini adalah fakta yang tidak mungkin diingkari. Pluralitas agama dan budaya dapat juga diungkapkan dalam formula pluralisme agama dan budaya. Sementara itu, al-Qur’an adalah kitab suci yang sejak dini membeberkan pluralitas ini berdasarkan kasat mata, karena hal itu merupakan bagian yang sudah terintegrasi dalam hakikat ciptaan Allah.8 Anjrah Lelono Broto, “Pluralisme dan Multikultural”, dalam Lampung Post, 7 Januari 2010. 7 Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 5. 8 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (Bandung: Mizan, 2009), h. 166. 6
296
Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desemberi 2013
Integrasi Islam dan Multikuturalisme
Eksistensi dan historikal manusia yang multikultur menjadi sebuah khazanah ilmu pengetahuan bagi umat Islam untuk dikaji lebih mendalam dan komprehensif. Perbedaan-perbedaan yang muncul di sekitar kehidupan manusia telah diilustrasikan dalam al-Qur’an, antara lain sebagai berikut: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-H{ujura>t (49): 13).
Ayat ini menurut penuturan para mufassirun secara substansial menegaskan keberagaman umat manusia dari berbagai sisi. Term ‘syu’u>b wa qaba>’il’ (berbangsa-bangsa dan bersukusuku) dalam konteks al-Qur’an diturunkan untuk mencerminkan keragaman manusia secara geografis, sementara dalam konteks saat ini mewakili keragaman geo-politik, kultural maupun negara bangsa (nation-state). Pada ayat lain, al-Qur’an menyatakan: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An-Nisa>’ (4) :1).
Lebih lanjut, realitas multikulturalisme juga diintrodusir dalam sejumlah hadis Nabi saw., di antaranya khutbah yang disampaikan oleh Nabi saw. pada hari-hari tasyri>q: “Wahai manusia, camkanlah (oleh kalian): Sesungguhnya Tuhan kalian satu dan moyang kalian juga satu. Camkanlah (oleh kalian): Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab, begitu juga non-Arab atas Arab, tidak pula orang kulit merah atas orang hitam maupun orang hitam atas orang berkulit merah kecuali karena (factor) ketakwaan. Sudahkah aku sampaikan?!” (HR. Ah}mad).9 Ah}mad ibn H{anbal asy-Syaiba>ni, Musnad al-Imam Ah}mad ibn H{anbal (Kairo: Mu’assasah Qurt}ubah, tt.), V/411, hadis no. 23536. 9
Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desember 2013
297
Sulthan Syharir
Menyikapi keragaman ini, al-Qur’an memberikan ramburambu kehidupan, di antaranya dengan tidak memaksakan kehendak orang lain pada aspek tertentu. Allah swt. berfirman: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Baqarah (2): 256).
Beberapa ayat al-Qur’an dan Hadis di atas seluruhnya berbicara tentang multikulturalisme dalam konteks yang lebih relevan dan diterima untuk kebutuhan kontemporer; bahwa seluruh manusia dari berbagai budaya secara permanen hidup berdampingan dilandasi rahmah, musyawarah, ta’aruf dan tasamuh, sehingga dapat terbangun tiga aspek mutualisme, yaitu saling percaya, pengertian dan menghargai. Pada konteks ini, setidaknya ada 2 perspektif untuk mencermati kaitan antara Islam dan multikulturalisme, yaitu normatif dan historis. Perspektif pertama, dapat ditela’ah dari beberapa ayat al-Qur’an al-Karim yang berbicara landasasan normatif tentang multikulturalisme, di antaranya firman Allah swt.: “Jikalau Tuhan mu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (QS. Hu>d (11):118)
Frase “jikalau Tuhan mu mengehndaki” ini dipahami oleh mayoritas ahli tafsir sebagai bentuk pengandaian yang tidak memerlukan jawaban (gaya bahasa retoris). Artinya frase ini tidak memerlukan penegasan lebih lanjut. Oleh karena itu, teks dalam surat Hu>d ini meniscayakan keragaman (multikulturalisme) bagi umat manusia secara umum, bahkan dalam perspektif asySyauka>ni, az-Zamakhsyari dan al-Alu>si, keragaman yang dimaksud adalah keragaman jalan hidup dan agama. Perspektif kedua, dapat dicermati dari sejarah panjang Rasulullah saw., yang begitu intens membangun Islam dan 298
Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desemberi 2013
Integrasi Islam dan Multikuturalisme
multikulturalisme melalui prinsip dasar nilai plural dan multikultural di tengah komunitas yang multietnis, ras, budaya dan agama selama 13 tahun di Makkah kemudian hijrah ke Yatsrib yang kemudian berganti nama menjadi Madinah. Kondisi masyarakat yang cukup plural dan multikultural tersebut telah memunculkan inspirasi Rasulullah saw. Untuk mendirikan apa yang kemudian dikenal dengan “Negara Madinah” tertuang dalam “Piagam Madinah” yang mengandung nilai-nilai universal: keadilan, kebebasan, persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan sama di mata hukum. Dalam panggung historis, Islam tampil menjadi agama dan peradaban yang senantiasa bersentuhan dengan agama dan peradaban lain. Di sisi lain, Islam berhadapan dengan budaya dan peradaban masyarakat Arab Jahiliyah yang menganut kepercayaan paganisme. Nabi Muhammad saw. sebagai pembawa risalah dan ajaran Allah berusaha meluruskan dan membenahi akidah masyarakat Arab pada waktu itu dengan tetap menjalin hubungan baik antarmereka. Walaupun dalam perjalanan dakwahnya sering terjadi benturan dengan masyarakat Jahiliyah. Namun secara substansial, benturan dan peperangan itu hanya ditempuh sebagai alternatif terakhir setelah segala jalan damai yang dimpuh mengalami kegagalan. Dengan demikian, dapat dicermati bahwa sebenarnya Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk memusuhi, suku, bangsa, budaya dan agama lain. Bahkan sebaliknya, bahwa Islam memerintahkan manusia untuk menjalin kerjasama dan kontak yang baik terhadap siapapun untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik. C. Integrasi Islam dan Multikulturalisme: Upaya Implementasi Nilai-nilai Multikulturalisme Dalam upaya membangun hubungan sinergi antara multikulturalisme dan agama, menurut Mun’im A. Sirry minimal diperlukan dua hal. Pertama, penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan opresif. Penafsiran ulang itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama bukan saja bersikap reseptif terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga memandu di garda Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desember 2013
299
Sulthan Syharir
depan untuk mengantarkan demokrasi built-in dalam masyarakatmasyarakat beragama. Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Saat ini, umat beragama memasuki suatu fase sejarah baru di mana mereka harus mampu beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada agama, seperti kultur Barat modern. Kita tak mungkin menghindar dari ide-ide dan teori-teori sekuler. Itu berarti, menyentuh istilahistilah dengan gagasan non-religius itu merupakan tugas paling menantang yang dihadapi kaum Muslim pada zaman modern ini.10 Paralel dengan hal tersebut, penulis mengajukan lima prinsip dan nilai-nilai multikulturalisme Islam yang mencakup lima dimensi, yaitu prinsip toleransi, dialog dan musyawarah, tolong-menolong, silaturahim dan persaudaraan. Kelindan integrasi kelima prinsip ini dapat dilihat pada bagan berikut:
Toleransi Dialog dan Musyawarah Islam dan Multikul turalisme
TolongMenolong Silaturahim
Persaudaraan
Ayat al-Qur’an tentang keragaman (multikultural) Perspektif Normatif dan Historis Prinsip dasar nilai plural dan multikultural di Makkah dan Madinah
Upaya Ideal Mengntegrasikan
Islam dan Multikulturalisme: perspektif Normatif dan Historis secara Konseptual
Mun’im A. Sirry, “Agama, Demokrasi, dan Multikulturalisme ”, dalam Kompas, 1 Mei 2003. 10
300
Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desemberi 2013
Integrasi Islam dan Multikuturalisme
1. Toleransi Dalam menanggapi eksistensi dan keragaman budaya, suku, bangsa bahasa, agama dan lain sebagainya, Islam menawarkan sebuah konsepsi berupa toleransi. Toleransi mengandaikan adanya rasa dan sikap saling menghargai dan menghormati antara satu dengan yang lain dengan tetap menjunjung tinggi rasa persatuan dan persaudaraan demi merealisasikan kehidupan yang damai, tentram dan bahagia. Secara etimologis, term toleransi berasal dari bahasa Belanda ‘tolerantie yang kata kerjanya adalah toleran.11 Toleransi berasal dari bahasa Inggris tolerantion, yang kata kerjanya adalah tolerate dan berasal dari bahasa Latin, tolerare yang berarti menahan diri, sabar, membiarkan orang lain, dan berhati lapang terhadap pendapat yang berbeda. Lebih jauh dipaparkan bahwa toleran mengandung pengertian: bersikap menghargai pendirian yang berbeda dengan pendirian sendiri.12 Mencermati konteks ini, maka toleransi adalah suatu sikap tenggang rasa kepada sesamanya, dan bahkan menghargai paham yang berbeda dari paham yang dianutnya sendiri, kesediaan untuk mau menghargai paham yang berbeda dengan paham yang dianutnya sendiri. Dalam bahasa Arab, toleransi diistilahklan dengan kata tasa>muh}, yang berarti sikap membiarkan, lapang dada, murah hati, dan suka berderma. Dengan demikiran, toleransi berarti menghargai dan menghormati keyakinan atau kepercayaan atau budaya dan kultur seseorang atau kelompok lain dengan sabar dan sadar. Dan perlu dicermati bahwa toleransi tidak berarti ikut membenarkan keyakinan atau kepercayaan orang lain, tetapi lebih kepada menghargai dan menghormati hak asasi yang ada pada orang lain, sekalipun berbeda dengan keyakinannya. Di sisi lain, Islam tidak mengajarkan sikap individualisme dan tidak juga membenarkan sikap fanatisme yang berlebihan. Justru sebaliknya, Islam mengajarkan kebersamaan dan Mundzier Suparta, Islamic Multicultural Education, h. 56 Hari Setiawan, Kamus Bahasa Indonesia (Surabaya: Karya Gemilang Utama, 1999), h. 330. Toleransi juga diberi pengertian, sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dsb.) yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri, misalnya toleransi agama (ideologi, ras, dan sebagainya). 11
12
Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desember 2013
301
Sulthan Syharir
keberbedaan dan bahkan menjunjung tinggi persaudaraan antar sesama. Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk hidup saling bermusuhan. Islam sangat menganjurkan umatnya untuk bersikap kasih sayang antar mereka, agar terbentuk tatanan masyarakat yang gotong-royong dan saling membantu atas dasar kecintaan. Dari sini, maka akan muncul rasa aman di atas muka bumi. Ayat yang menegaskan konsepsi ini adalah QS. al-H{ujura>t (49): 13 sebagaimana dikutip di atas. Implementasi nilai-nilai toleransi dan pluralisme alQur’an sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw. ketika hijrah ke Madinah.13 Sejarah mencatat bahwa Rasulullah saw. bukan hanya mampu mendamaikan dua kelompok, yaitu suku Aus dan Khazraj yang senantiasa bertikai, tatapi juga mampu menerapkan jargon no compulsion in religion terhadap masyarakat Madinah ketika itu. Tradisi toleransi beragama ini dilanjutkan oleh al-Khulafa’ arRasyidun pasca wafatnya Rasulullah saw. Sebagai contoh, sejarah mencatat bagaimana ‘Ali ibn Abi T{a>lib sangat menekankan dan menghargai kebebasan beragama ketika dia menjadi khalifah keempat. Dalam salah satu surat kepada Ma>lik al-Asytar yang ditunjuk sebagai Gubernur Mesir, ‘Ali berwasiat: “Penuhi dadamu dengan cinta dan kasih sayang terhadap sesama, baik terhadap sesama muslim atau non Muslim.”14 2. Dialog dan Musyawarah Dalam konsep Islam, jika terjadi friksi (perselisihan) antara satu dengan yang lain, maka bisa ditempuh jalur perdamaian melalui dialog (musyawarah). Dialog (musyawarah) bukan semata percakapan, tetapi lebih dari itu, dialog merupakan pertemuan dua pikiran dan hati terkait dengan persoalan bersama, dengan komitmen untuk saling belajar agar dapat berubah, tumbuh dan berkembang.15 Berubah artinya dialog terbuka, jujur dan simpatik, agar dapat membawa pada kesepahaman bersama, dan 13 Penjelasan lebih detail tentang aktivitas yang dilakukan oleh Rasulullah di Madinah lihat ‘Abdul Mahdi ‘Abdul Qa>dir, as-Si>rah an-Nabawiyyah fi D{au’ al-Kita>b wa as-Sunnah (Kairo: Universitas al-Azhar, 2005), h. 125-142. 14 Lihat Suparta, Islamic., h 58-59. 15 Ibid., h. 59
302
Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desemberi 2013
Integrasi Islam dan Multikuturalisme
dapat membedakan mana prasangka, dan stereotip; juga dapat mengeliminir celaan dan hinaan antar sesama. Tumbuh karena dialog mengantarkan pada informasi, klarifikasi dari sumber primer dan dapat mendiskusikannya secara terbuka dan tulus. Dialog merupakan pangkal pencerahan nurani dan akal pikiran menuju kematangan cara beragama dan bermasyaraka yang menghargai kelainan (the otherness). Term ini dipertegas QS. Ali ‘Imra>n (3): 64): “Katakanlah: Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu”.
Nilai sawa>’ (persamaan) menyangkut cara manusia melakukan perjumpaan dengan dan memahami diri sendiri dan dunia lain pada tingkat terdalam, membuka kemungkinankemungkinan untuk menggali dan menggapai selaksa makna fundamental kehidupan secara individual dan kolektif dengan berbagai dimensinya. Secara eksperimental, sawa>’ tampil ke permukaan dan menjangkau perjumpaan antardunia multikultural yang begitu luas. Ketika manusia hidup melalui perjumpaan agama-agama, seolah kita mendapatkan pengalaman antarkultural (intercultural experiences).16 Pengalaman multikultural ini membuat kita mampu bangkit dan sadar dengan perspektif baru yang lebih memadai. Pluralitas dan multikulturalitas untuk dialog, bukan pertentangan, adalah teknologi masa depan yang muncul dari pandangan rasional otentik berbasis wahyu progresif yang merupakan dasar bagi semua pengalaman keagamaan dan kultural. Dialog membawa pada pandangan dunia keagamaan dan kultural yang tidak parsial atau ideologi sipil yang tidak diskriminatif.17 16 Ibid., h. 60. Lebih jauh ditegaskan bahwa Islam adalah agama universal yang ajarannya ditujukan kepada seluruh umat manusia. Inti ajarannya adalah memerintahkan musyawarah dalam menuntaskan suatu persoalan, di samping menegakkan keadilan, mengeliminasi kezaliman, juga meletakkan pilar-pilar perdamaian yang diiringi dengan himbauan kepada umat manusia agar hidup dalam suasana persaudaraan, toleransi tanpa memandang perbedaan ras, suku, bangsa dan agama, karena manusia prinsipnya berasal dari sumber yang sama. 17 Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama, h. 46.
Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desember 2013
303
Sulthan Syharir
Dalam berdialog, seseorang harus memperhatikan etika dan aturan main yang berlaku. Tidak boleh asal-asalan, karena ada strategi dan metode yang harus dilakukan. Dengan strategi yang baik, dialog akan mampu mengantarkan seseorang pada titik kebersamaan dan kesepahaman yang indah. Di antara strategi berdialog yang baik adalah: Pertama, tidak boleh ada rasa ingin menang sendiri; kedua, tidak boleh menganggap diri lebih superior dan menganggap orang lain inferior; ketiga, selalu memperhatikan etika dan norma-norma sopan santun. Prinsip dialog ini ditegaskan dalam QS. an-Nah}l (16): 125 sebagai berikut: “Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”.
Kata ah}san (lebih baik) adalah s}i>ghat muba>laghah (gaya superlatif) dari h}asan. Dengan demikian, maka aktivitas dialog harus dilakukan dengan cara dan strategi yang paling baik. Dalam QS. Ali Imra>n (3): 159, ditegaskan “Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu”. Maksudnya, musayawah adalah merundingkan sebuah persoalan untuk mendapatkan kesepakatan dan konsensus bersama. Musyawarah meniscayakan adanya komitmen bersama untuk mengaktualisasikan hasil konsensus dengan sebaik-baiknya. Tetapi sebaliknya, mengkhianati hasil musyawarah berarti sama dengan menyulut api permusuha dan ketidak harmonisan antar sesama.18 Ketika ide dan gagasan yang berserakan di benak individuindividu diadu dan digesekkan dalam forum permusyawaratan, maka akan keluar percikan-percikan ide baru yang lebih solutif dan konstruktif. Serumit apapun suatu persoalan, pasti dapat dicari solusinya melalui musyawarah. Pada substansinya, tak ada persoalan apapun yang tidak ada solusi. Dengan musyawarah, kebuntuan akan terbuka lebar, di samping stagnasi akan tercairkan, dan berikutnya perseteruan akan dapat di damaikan, pada akhirnya perbedaan akan dapat diintegrasikan.
Bey Arifin dan Abdullah Said, Rahasia Ketahanan Mental dan Bina Mental dalam Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), h. 107-108. 18
304
Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desemberi 2013
Integrasi Islam dan Multikuturalisme
3. Tolong Menolong Tolong menolong atau ta‘a>wun merupakan kebutuhan hidup manusia yang tidak dapat dipungkiri. Kenyataan telah membuktikan bahwa suatu pekerjaan atau apa saja yang membutuhkan pihak lain pasti tidak akan dapat dilakukan secara sendirian oleh yang bersangkutan meskipun dia seorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang hal itu.19 Ini menunjukkan bahwa tolong menolong dan saling membantu merupakan sebuah keharusan dalam hidup manusia. Tidak ada satu orangpun di dunia ini, siapa dan apapun status dia yang bisa hidup dengan kesendiriannya, tanpa berhubungan dan bantuan orang lain. Dengan menghidupkan tradisi tolong menolong, masyarakat akan mampu mengkonstruksi bangunan peradaban yang kokoh dan tahan banting. Tentu bila aktivitas tolong menolong itu dilakukan dalam hal kebaikan, bukan dalam kemaksiatan, pelanggaran dan permusuhan.20 Hal ini dipertegas dalam QS. al-Ma>’idah (5): 2: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
Redaksi ayat ini mengisyaratkan bahwa tolong menolong dapat mengantarkan manusia, baik sebagai individu atau kelompok, kepada sebuah tatanan masyarakat yang kokoh dalam bingkai persatuan dan kebersamaan adalah tolong menolong dalam hal kebaikan, kejujuran dan ketaatan. Sebaliknya, tolong menolong dalam hal perbuatan dosa dan permusuhan akan mengantarkan manusia dalam sebuah tatanan masyarakat yang bercerai-berai dan hancur. Banyak manfaat yang bisa diambil dari tolongmenolong, di antaranya membantu merealisasikan planning dengan lebih sempurna. Dalam aksi tolong-menolong terdapat proses saling tukar kebaikan dan memberikan tambahan dalam mendapatkan ide-ide dan pemikiran. Tolong-menolong juga akan mempercepat tercapainya target sebuah pekerjaan, menghemat waktu, mempermudah sebuah pekerjaan, memperbanyak orang 19 20
Mundzier Suparta, Islamic, h. 63. Ibid., h. 63-64.
Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desember 2013
305
Sulthan Syharir
yang berbuat baik, menumbuhkan persatuan, dan sikap saling membantu. Apabila dibiasakan, tolong-menolong akan menjadi modal untuk membangun kehidupan sebuah umat.21 4. Silaturahim Secara etimologis, silaturrahim berasal dari dua kata bahasa Arab, yaitu s}ilah dan ar-rah}m. Kata s}ilah berarti sambungan, hubungan, atau ikatan,22 dan ar-rah}m berarti peranakan, rahim, kerabat atau keluarga.23 Kata ar-rah}m juga diartikan dengan kasih sayang. Secara terminologis, silaturrahim adalah menyambung tali kekeluargaan dan kekerabatan dengan penuh ketulusan dan kasih sayang. Tapi secara umum silaturrahim dapat dimaknai dengan menyambung tali persaudaraan antar sesama manusia tanpa melihat perbedaan yang ada di antara mereka. Keberagaman dan keberbedaan yang ada dalam masyarakat akan tereleminir dengan adanya silaturrahim. Silaturrahim tidak hanya menghilangkan sekat dan perbedaan, tetapi ia juga dapat menumbuhkan rasa kasih sayang antar sesama, membuka pintu rezeki dan memperpanjang umur.24 Hal ini dipertegas hadis Rasul saw. sebagai berikut: “Barangsiapa yang ingin dibukakan (diluaskan) rezekinya atau dipanjangkan umurnya, maka bersilaturrahimlah. (HR. Muslim dari Anas ibn Malik)”.25
Dalam hadis lain disebutkan: “Sesungguhnya silaturrahim itu (menimbulkan) kecintaan bagi keluarga, menumbuhkembangkan harta, dan menambah umur. (HR. At-Tirmiz\i dari Abu Hurairah ra.)”26. 21 ‘Abdullah ibn Sulaim al-Qurasyi, at-Ta‘a>wun wa As\aruhu fi atTaghyi>r (Kairo: Maktabah al-H{usain, 2008), h. 38. 22 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, Kamus Kontemporer: ArabIndonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Ponpes Krapyak, 1996), h. 1185. 23 Ibid., h. 964. 24 Ibnu Kas\i>r, Tafs>ir al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, cet.ke-2 (Riya>d}: Da>r at}-T{i>bah li al-Nasyr wa at-Tauzi>’, 1999), IV/470. 25 Muslim ibn al-H{ajja>j al-Qusyairi, S{ah}i>h} Muslim, tah}qiq Muhammad Fu’a>d ‘Abdul Ba>qi (Beirut: Da>r Ih}ya>’ at-Tura>s\ al-‘Arabi, tt), IV/1982, hadis no. 2557. 26 Muh}ammad ibn ‘I<sa> at-Tirmiz\i, al-Ja>mi’ as}-S{ah}i>h Sunan at-Tirmiz\i, tah{qiq Ah}mad Muh}ammad Sya>kir dkk (Beirut: Da>r Ih}ya>’ at-Tura>s\ al-‘Arabi, tt), IV/351, hadis no. 1979.
306
Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desemberi 2013
Integrasi Islam dan Multikuturalisme
Umur panjang dan rezeki banyak tidak berarti mengubah takdir umur dan rezeki yang telah ditentukan oleh Allah swt. Tapi yang dimaksud dengan panjang umur dan banyak rezeki di sini adalah nilai keberkahan dan manfaatnya. Hidup dan rezeki menjadi berkah sebab orang yang bersilaturrahim memiliki banyak teman, kenalan dan relasi. Teman dan relasi inilah yang membuat seseorang suka bersilaturrahim, tentunya memiliki banyak kesempatan untuk berkiprah dan mengaktualisasikan eksistensi dirinya. Jalinan cinta kasih antar sesama akan tercipta melalui silaturrahim, di samping mempererat relasi humanistik. Silaturrahim juga memiliki kekuatan dahsyat yang dapat merengkuh keberbedaan dan keberagaman ke dalam integrasi dan stratifikasi. Silaturrahim membina mental dan keluasan hati. Dengan demikian, maka suatu hal vital, bahwa silaturrahim tidak hanya merekayasa gerak-gerik tubuh, namun harus melibatkan pula aspek hati dan pikiran. Dengan kombinasi bahasa tubuh dan bahasa hati serta pikiran, kita akan memiliki kekuatan untuk bisa berbuat lebih baik dan lebih bermutu daripada yang dilakukan orang lain pada kita. Silaturrahim mengutip Abdullah Gymnastiar adalah kunci keterbukaan rahmat dan pertolongan Allah swt. Dengan terjalinnya silaturrahim, maka persaudaraan akan terpolakan dengan baik. Ini sangat penting, sebab bagaimana pun besarnya umat Islam secara kuantitatif, sama sekali tidak ada artinya, laksana buih di lautan yang mudah di ombang-ambingkan oleh gelombang, bila di dalamnya tidak ada persatuan dan kerjasama untuk ta’at kepada Allah swt.27 5. Persaudaraan Ajaran Islam yang sangat mulia terkait dengan multikulturalisme adalah persaudaraan (al-ukhuwwah). Di sisi lain persaudaraan adalah ajaran agung yang patut ditumbuh kembangkan untuk menggapai kebersamaan dan keberbedaan. Awal Rasulullah di Madinah, salah satu agenda yang dilakukan adalah menegakkan mu’a>kha>h (mempersaudarakan) antar sesama. Abdullah Gymnastiar, “Rahasia Silaturrahmi”, dalam Republika, 01 Oktober 2005. 27
Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desember 2013
307
Sulthan Syharir
Rasulullah tidak hanya mempersaudarakan antara kaum muhajirin dan anshar, tetapi juga antara kaum muhajirin dengan muhajirin yang lain.28 Juga antara yang kaya dengan yang miskin, antara yang kuat dengan yang lemah, antara yang memiliki lapangan pekerjaan dengan pengangguran, dan seterusnya.29 Sangat disayangkan, belakangan ini konsepsi persaudaraan (brotherhood) yang pernah digulirkan Rasulullah saw. mengalami distorsi makna yang amat dalam. Umat Islam kembali terjebak pada makna literal dari sebuah ajaran agama, hingga persaudaraan kemudian diartikan hanya dengan menjalin persaudaraan sesama Islam. Orang non-Islam dianggap orang lain, juga sebaliknya, bahkan menempati urutan kesekian dalam relasi persaudaraan. Yang lebih menyedihkan lagi, konsepsi persaudaraan Ialam itu kian dipersempit maknanya, bukan lagi terhadap sesama muslim, tetapi lebih ekstrem dari itu, yaitu terhadap orang yang “sealiran” dan “sefaham”. Pemahaman parsial seperti ini, kontan menjadikan umat Islam semakin termarjinalkan dan teraleniasi dari konstelasi besar umat manusia, bahkan ikut mencoreng wajah agama Islam yang insklusif dan universal. Sejatinya, persaudaraan yang diinginkan Islam tidak hanya antarsesama muslim (ukhuwwah Isla>miyyah), apalagi hanya sesama aliran. Lebih jauh dipaparkan bahwa Islam menyerukan persaudaraan universal antarsesama manusia (ukhuwwah basyariyyah), juga antarnegara (ukhuwwah wat}aniyyah). Ukhuwwah Isla>miyyah meniscayakan adanya hubungan baik antara satu mukmin dengan mukmin yang lain tanpa ada tindakan diskriminatif, alienasi dan pengkhianatan. Konteks ini dipertegas hadis Rasul saw.: “Seorang muslim dengan muslim lainnya adalah saudara, maka ia tidak boleh menzalimi dan mengkhianatinya”. (HR. Ah}mad dari Ibnu ‘Umar).30
Selanjutnya ukhuwwah basyariyyah meniscayakan adanya Di antara sahabat yang dipersaudarakan oleh Nabi saw. dan keduanya sama-sama berasal dari kaum Muhajirin adalah Zubair ibn al-‘Awwam dan Ibnu Mas’ud, Hamzah dan Zaid bin Haritsah. Keterangan lebih rinci lihat Ibnu H{ajar al-Asqala>ni, Fath} al-Ba>ri (Beirut: Dar as}-S{a>dir, tt), VII/271. 29 ‘Abdul Mahdi ‘Abdul Qa>dir, as-Si>rah an-Nabawiyah, h. 125-126. 30 Ah}mad ibn H{anbal, Musnad, II/68, hadis no. 5357. 28
308
Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desemberi 2013
Integrasi Islam dan Multikuturalisme
hubungan harmonis antara satu orang dengan yang lain tanpa melihat dan membeda-bedakan suku, ras, golongan, kepercayaan, keyakinan, warna kulit dan bahasa. Hal ini dipertegas hadis Rasul saw.: “Allah akan selalu menolong hambanya, selama ia mau menolong saudaranya”. (HR. Muslim dari Abu> Hurairah).31
Sementara ukhuwwah wat}aniyyah meniscayakan adanya hubungan diplomatik yang baik antarnegara. Hubungan diplomatik yang dibangun tidak hanya meliputi aspek politik dan ekonomi, tetapi juga menyentuh aspek sosial, budaya dan keamanan. Persaudaraan merupakan sebuah nilai universal yang senantiasa dicita-citakan oleh segenap umat manusia. Persaudaraan yang terjalin dengan tulus ikhlas akan menumbuhkan rasa saling menyayangi dan saling memiliki. Dari situlah kemudian muncul kepedulian dan kerjasama yang kemudian melahirkan persatuan kokoh dan kuat, sehingga tidak heran jika setiap agama mengajarkan urgensi persaudaraan di antara sesama manusia. Keharmonisan dunia hanya akan tercapai apabila satu sama lain di antara masyarakat warga dunia, tanpa memandang agama, suku, ras, bangsa, dan negara dapat senantiasa bergandengan erat dalam sebuah persaudaraan sejati. D. Penutup Konsep multikulturalisme merupakan kajian tentang gerakan multikulturalisme, yaitu kesediaan menerima dan memperlakukan kelompok lain secara sama dan bagaimana seharusnya sesuai dengan prinsip-prinsip humanistik. Harkat dan martabat manusia yang hidup dalam suatu komunitas dengan entitas budayanya masing-masing-- yang bersifat dinamis dan khas-- merupakan dimensi yang sangat urgen diperhatikan dalam gerakan multikulturalisme dimaksud. Berangkat dari konsep ini, maka suatu keniscayaan prinsip dasar nilai plural dan multikultural dapat terintegrasikan secara jelas dalam agenda pendidikan Islam. Selanjutnya prinsip dasar nilai plural dan multikultural yang terintegrasikan dalam sistem dan aktivitas pendidikan Islam, merupakan suatu upaya untuk mengakomodasi dan menata 31
Muslim, S{ah}i>h}, IV/2074, hadis no. 2699.
Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desember 2013
309
Sulthan Syharir
dinamika keragaman, perbedaan dan kemanusiaan melalui aktivitas pendidikan. Dengan demikian, maka pendidikan Islam multikultural substansinya adalah pendidikan yang menempatkan multikulturalisme sebagai salah satu visi pendidikan dengan karakter utama yang bersifat inklusif, egaliter dan humanis, namun tetap kokoh pada nilai-nilai spiritual dan ketuhanan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Upaya ideal dalam mengintegrasikan Islam dan Multikulturalisme secara konseptual adalah memadukan antara prinsip dasar nilai plural dan multikultural dikaitkan dengan ayat al-Qur’an tentang multikultural yang ditanamkan pada peserta didik berupa nilai inklusif (terbuka), nilai mendahulukan dialog (aktif), nilai kemanusiaan (humanis), nilai toleransi, nilai keadilan (demokratis), nilai persamaan dan persaudaraan sebangsa dan antarbangsa, berbaik sangka, dan cinta tanah air. Sehingga tumbuh generasi yang sangat memahami konsep Islam secara holistik dalam mengaktualisasikan prinsip dasar nilai plural dan multikultural. UCAPAN TERIMA KASIH Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian yang penulis lakukan atas sponsor Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Raden Intan Lampung dari dana DIPA 2013. Karenanya, penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala LP2M dan berbagai pihak yang telah berkonstribusi dalam penelitian ini.
310
Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desemberi 2013
Integrasi Islam dan Multikuturalisme
DAFTAR PUSTAKA ‘Abdul Qa>dir, ‘Abdul Mahdi. as-Si>rah an-Nabawiyyah fi D{au’ alKita>b wa as-Sunnah. Kairo: Universitas al-Azhar, 2005. ‘Ali, Atabik dan Muhdhar, Ahmad Zuhdi. Kamus Kontemporer: Arab-Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Ponpes Krapyak, 1996. Arifin, Bey dan Said, Abdullah. Rahasia Ketahanan Mental dan Bina Mental dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1981. ‘Asqala>ni, Ibnu H{ajar al-. Fath} al-Ba>ri. Beirut: Dar as}-S{a>dir, tt. Baidhawy, Zakiyuddin. Pendidikan Agama Multikultural. Jakarta: Erlangga, 2005.
Berwawasan
Broto, Anjrah Lelono. “Pluralisme dan Multikultural”. Lampung Post, 7 Januari 2010. Gymnastiar, Abdullah. “Rahasia Silaturrahmi”. Republika, 01 Oktober 2005. Husaini, Adian. “Multikulturalisme dalam Pendidikan Agama Islam”. Republika, 4 April 2012. ibn H{anbal asy-Syaiba>ni, Ah}mad. Musnad al-Imam Ah}mad ibn H{anbal. Kairo: Mu’assasah Qurt}ubah, tt.. Ibnu Kas\i>r. Tafs>ir al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. cet.ke-2. Riya>d}: Da>r at}T{i>bah li al-Nasyr wa at-Tauzi>’, 1999. Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan, 2009. Mahfud, Chairul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Ni’am, Syamsu. “Pendidikan Multikultural: Gagasan dan Implementasi”. Lektur: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 14, No. 1 Tahun 2008. Qurasyi, ‘Abdullah ibn Sulaim al-. at-Ta‘a>wun wa As\aruhu fi atTaghyi>r. Kairo: Maktabah al-H{usain, 2008. Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desember 2013
311
Sulthan Syharir
Qusyairi, Muslim ibn al-H{ajja>j al-. S{ah}i>h} Muslim. tah}qiq Muhammad Fu’a>d ‘Abdul Ba>qi. Beirut: Da>r Ih}ya>’ at-Tura>s\ al-‘Arabi, tt. Setiawan, Hari. Kamus Bahasa Indonesia. Surabaya: Karya Gemilang Utama, 1999, Sirry, Mun’im A. “Agama, Demokrasi, dan Multikulturalisme ”. Kompas, 1 Mei 2003. Supardi. “Pendidikan Sejarah Lokal dalam Konteks Multikulturalisme”. Makalah, Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.dalam eprints.uny. ac.id/3752/1/07-Supardi.pdf. Diakses, Jum’at, 13 September 2013, Suparta, Mundzier. Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Jakarta: al-Ghazali Center, 2008. Tirmiz\i, Muh}ammad ibn ‘I<sa> at-. al-Ja>mi’ as}-S{ah}i>h} Sunan atTirmiz\i. tah}qi>q Ah}mad Muh}ammad Sya>kir dkk. Beirut: Da>r Ih}ya>’ at-Tura>s\ al-‘Arabi, tt.
312
Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desemberi 2013