Pengaruh Surfaktan Campuran pada Pembentukan Emulsi untuk Ekstraksi Merkuri (II) dengan Membran Cair Emulsi (MCE) Kamarza Mulia*, Elsa Krisanti, Mulyazmi, Fariz Departemen Teknik Gas dan Petrokimia, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok, 16424, Tel. 021-7863516, Fax 7863515 Email:
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini mengenai teknik pemisahan pemisahan ion Hg(II) menngunakan sistem Membram Cair Emulsi (MCE) yang komponen penyusunnya adalah fasa akuatik dalam , fasa organik dan surfaktan. Fasa akuatik dalam adalah H2SO4 6N. Fasa organik terdiri dari ekstraktan ( asam oleat), pelarut organik (kerosin). Surfaktan yang digunakan terdiri dari span-80 sebagai surfaktan tunggal, span-80 dengan tween (20,80,81,85 ) sebagai surfaktan campuran. Untuk memperoleh suatu membran cair emulsi yang stabil dilakukan beberapa pengamatan yaitu penentukan nilai HLB campuran surfaktan yang tepat berdasarkan kelarutan maksimum fasa air dalam fasa minyak , penentuan nilai tegangan permukaan dan tegangan antarmuka cairan yang digunakan serta pengamatan terhadap kestabilan emulsi emulsi yang dihasilkan dengan variasi jenis dan konsentrasi surfaktan, waktu pengadukan dan konsentrasi ekstraktan . Sistem Membran Cair Emulsi (MCE) dengan komposisi asam oleat 0,3 M, kerosin, 3% (w) surfaktan campuran span-80 dan tween-20 pada nilai HLB campuran 4,8, dapat menghasilkan suatu emulsi yang stabil selama 4 jam. Emulsi ini dapat mengektraksi ion Hg(II) dari larutan umpan sebanyak 97,3%. dengan menggunakan kecepatan pengadukan 300 rpm, rasio volume membran emulsi dengan fasa umpan sebesar 3:8 dan waktu pengadukan 35 menit. 1. Pendahuluan Senyawa aktif permukaan (surface active agent atau surfaktan) adalah suatu senyawa yang telah diketahui dapat menjadi senyawa penstabil emulsi. Surfaktan mempunyai dua jenis gugus molekul yang berbeda kepolarannya, satu jenis gugus bersifat hidrofilik (suka air) sedangkan gugus lain bersifat lipofilik (suka minyak). Surfaktan dalam campuran air-minyak cenderung berada pada antarmuka air-minyak, yaitu gugus hidrofilik pada fasa air dan gugus lipofilik fasa minyak (organik). Pembentukan emulsi w/o melibatkan pelarutan fasa akuatik ke dalam fasa organik yang menghasilkan suspensi tetesan yang stabil secara termodinamika dan transparan(Shinoda K., 1977). Dengan demikian pengamatan kelarutan fasa akuatik maksimum dalam suatu emulsi w/o dapat digunakan untuk menentukan surfaktan terbaik pada emulsi w/o yang stabil. Telah diketahui pula bahwa campuran surfaktan tertentu memiliki sifat yang lebih baik dibandingkan surfaktan tunggal dalam berbagai aplikasinya (Rosen, M.J., 1992). Jika suatu campuran surfaktan digunakan sebagai zat pengemulsi, maka HLB (Hydrophile – Liphophile Balance) campuran tersebut adalah rata-rata HLB masingmasing surfaktan berbasis berat. Surfaktan yang digunakan dalam pembentukan emulsi biasanya memiliki nilai HLB dalam rentang 2-18. Surfaktan yang digunakan untuk menstabilkan emulsi tergantung pada jenis emulsi yang dibentuk. Umumnya emulsi w/o menggunakan surfaktan yang memiliki nilai HLB 3-6, sedangkan untuk emulsi o/w digunakan surfaktan dengan nilai HLB 8-18.
1
Sinergisme dalam surfaktan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana campuran surfaktan memiliki sifat yang lebih baik dibandingkan surfaktan tunggalnya. Umumnya sinergisme ditunjukkan oleh campuran surfaktan anionik-nonionik yang diakibatkan oleh gaya columbik, interaksi ion-dipol atau ikatan hidrogen yang terjadi diantara gugus polar. Surfaktan nonionik dengan interaksi antarmolekular yang minimum memiliki sinergisme terkecil dari semua campuran surfaktan. (Rosen, M.J., 1989). Sinergisme dalam campuran surfaktan nonionik sudah dilaporkan sebelumnya untuk surfaktan dari kelompok senyawa nonylphenylethoxylate (Huibers P.D.T, 1997) Penggunaan surfaktan sorbitol ester (Span) dan polioksietilenasi sorbitol ester (Tween) sebagai campuran emulsifier telah banyak diteliti (Jiao, J., 2003; Opawale, F.O., 1998; Sepulveda, E.,2003). Pada studi ini diteliti pengaruh campuran surfaktan Span dan Tween sebagai emulsifier pada kestabilan emulsi ganda air-minyak-air (w/o/w) yang digunakan untuk mengekstraksi ion logam merkuri. Jika masing masing kelompok surfaktan nonionik ini digunakan sebagai surfaktan tunggal maka surfaktan sorbitol ester (span) umumnya menghasilkan emulsi tipe W/O sedangkan surfaktan polioksietilenasi sorbitol ester (tween) umumnya menghasilkan emulsi tipe O/W. Sorbitol mono-oleat (Span-80) banyak digunakan pada teknik pemisahan membran cair emulsi (ELM) karena tidak beracun dan tidak korosif, gugus polarnya mudah larut dalam air, memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan karena memiliki gugus hidrofilik dan lipofilik yang berada pada antarmuka fasa akuatik dan fasa organik. (Abou-Nemeh,I., 1992). Pada penelitian ini dilaporkan terdapatnya sinergi campuran surfaktan nonionik melalui pengamatan kelarutan fasa akuatik maksimum dalam emulsi w/o dengan fasa akuatik yang mengandung asam sulfat pekat dan fasa organik terdiri dari kerosen dan surfaktan dari kelompok sorbitol ester (span) dan polioksietilenasi sorbitol ester (tween). Struktur molekul Span-80 dan Tween-20 dapat dilihat pada gambar 1. berikut.
Sorbitan oleate (Span-80) O
O
O
20
Polyoxyethylene(20)sorbitan monolaurate (Tween-20) Gambar 1. Struktur molekul Span-80 dan Tween-20 Kemampuan larut yang tinggi fasa akuatik dalam fasa organik yang mengandung campuran surfaktan menunjukkan keberadaan surfaktan tersebut pada antarmuka dua fasa. Surfaktan yang memiliki gugus molekul lipofilik dan hidrofilik yang seimbang dan jumlahnya banyak akan cenderung sedikit terlarut di dalam fasa ruahnya, sehingga surfaktan tersebut akan berada pada antarmuka kedua fasa. Semakin kuat molekul surfaktan teradsorbsi (terjerap) pada antarmuka maka semakin efisien surfaktan tersebut menurunkan tegangan antarmuka. Kelarutan maksimum fasa akuatik pada fasa organik yang mengandung surfaktan dapat diamati sewaktu penambahan fasa akuatik tidak lagi menghasilkan campuran yang transparan atau berubah menjadi keruh. Surfaktan yang menyebabkan kelarutan maksimum fasa akuatik pada fasa organik menunjukkan surfaktan tersebut mampu menjadi emulsifier yang baik dalam pembentukan emulsi air dalam minyak (w/o) pada sistem tertentu. Menurut Rosen (1989) pada rasio volume fasa akuatik terhadap volume fasa organik dan konsentrasi surfaktan tertentu, terbentuk dispersi fasa akuatik dalam fasa organik yang transparan dan stabil secara termodinamika dengan ukuran tetesan dispersi pada rentang 10 – 100 nm. Emulsi transparan tersebut terbentuk bila sifat hidrofil dan lipofil pada surfaktan yang digunakan tersebut seimbang dan tegangan antarmuka mendekati nol.
2
Pada studi ini diteliti juga tegangan permukaan dan tegangan antarmuka fasa akuatik dan fasa organik yang mengandung surfaktan untuk menunjukkan adanya surfaktan pada antarmuka/permukaan yang menurunkan tegangan permukaan/antarmuka. Pengamatan kelarutan maksimum fasa akuatik dalam fasa organik untuk campuran surfaktan digunakan untuk membandingkan kinerja surfaktan tunggal dibandingkan surfaktan campuran. Adanya sinergisme pada campuran surfaktan telah dijumpai pada campuran surfaktan dari golongan Igepal CO ( nonilfeniletoksilat) (Hubers, P.D.T.,1997). Karena surfaktan digunakan sebagai emulsifier, maka diamati kestabilan emulsi yang menggunakan campuran surfaktan pada beberapa komposisi.
2. Penelitian Bahan Surfaktan Span 80 , tween ( 20, 80, 81, 85 ) (p.a) produksi Aldrich chemical, pelarut kerosin berfungsi sebagai pembentuk fasa organik. Larutan H2SO4 berfungsi sebagai stripper. 2.1.
2.2
Peralatan Biuret digunakan untuk menentukan kelarutan fasa air. Tensiometer digunakan: mengukur nilai tegangan permukaan dan tegangan antarmuka cairan. Magnetik stirer digunakan untuk mengaduk larutan yang sedang dititrasi serta pengaduk emulsi. 2.3.
Prosedur
A. Penentuan kelarutan maksimum fasa akuatik dalam fasa organik. Studi penentuan surfaktan terbaik dilakukan menggunakan beberapa jenis surfaktan dengan berbagai nilai HLB untuk mengamati nilai kelarutan optimum fasa akuatik di dalam fasa organik. Surfaktan yang digunakan adalah surfaktan nonionik span-80 dan surfaktan jenis tween (20, 80,81, dan 85). Surfaktan span-80 dicampurkan sejumlah 3% (w/w) dalam fasa organik yang berupa kerosin. Fasa akuatik sebagai penitrasi adalah laruran H2SO4 6N dalam aqua DM. Nilai HLB campuran surfaktan dapat dihitung secara aljabar dengan mengetahui HLB masing masing surfaktan murninya. HLB mix = f A . HLB A + (1 − f A ).HLB B
yang mana fA adalah fraksi berat surfaktan A dalam campuran surfaktan A dan B. Penggunaan metode HLB untuk menentukan surfaktan terbaik sebagai emulsifier memerlukan eksperimen sejumlah surfaktan dengan berbagai nilai HLB. Seringkali campuran surfaktan menyebabkan kestabilan emulsi yang lebih tinggi dibandingkan surfaktan tunggal dengan nilai HLB yang sama. (Myers, D., 1991) Kelarutan maksimum fasa akuatik dalam fasa organik diamati sewaktu terjadi perubahan pada fasa organik dari transparan menjadi keruh. Titrasi larutan organik dilakukan dalam keadaan diaduk perlahan pada suhu ruang 28°C. Kelarutan maksimum ditampilkan sebagai nilai rasio berat fasa akuatik terhadap berat fasa organik yang mengandung surfaktan 3% berat. Nilai kelarutan maksimum di plot sebagai fungsi nilai HLB campuran surfaktan untuk menentukan komposisi campuran surfaktan terbaik yang memiliki kelarutan tertinggi. B. Penentuan tegangan antarmuka fasa organik-fasa akuatik Studi terhadap nilai tegangan permukaan dan tegangan antarmuka cairan dilakukan menggunakan Tensiometer. Hal yang diukur adalah tegangan permukaan larutan satu fasa dan tegangan antarmuka fasa akuatik dan fasa organik dalam larutan dengan dua fasa. Keberadaan molekul surfaktan pada antarmuka akan menyebabkan rendahnya nilai tegangan antarmuka fasa akuatik dan fasa organik yang mengandung surfaktan. Perubahan tegangan permukaan atau antarmuka berdasarkan persamaan adsorpsi Gibbs untuk larutan encer yang mengandung surfaktan nonionik kurang dari 10-2 M dapat ditampilkan dalam persamaan
dγ = −2.303RTΓ1d log C1
3
yang mana γ adalah tegangan permukaan atau antarmuka, Γ adalah konsentrasi surfaktan pada permukaan dan C1 konsentrasi total molar surfaktan. (Rosen, M.J., 1989). C. Penentuan kestabilan emulsi air-minyak Emulsi air-dalam-minyak (w/o) dibentuk dengan menggunakan berbagai surfaktan yang memiliki nilai HLB berbeda. Pengamatan kestabilan dilakukan pada sistem dengan fasa akuatik yang mengandung Asam Sulfat pekat 6N dan fasa organik yang terdiri dari kerosin dan surfaktan 3% berat serta asam oleat sebanyak 0.3M. Rasio volum fasa akuatik dan fasa organik adalah 1:1 dan pengadukan dilakukan pada kecepatan 2000 rpm selama 30 menit. Pengamatan dilakukan setelah pengadukan dihentikan. Fasa organik yang segera terpisah dari fasa emulsi menunjukkan emulsi yang tidak stabil. Volume fasa organik yang terpisah dan volume emulsi tertinggal dapat diukur sebagai fungsi waktu. Pengamatan terpisahnya fasa organik dan akuatik dari fasa emulsi diamati selama 9 jam. D. Ekstraksi ion merkuri (II) melalui emulsi ganda w/o/w Studi ekstraksi kation merkuri (II) dari fasa umpan (eksternal) dilakukan dengan menggunakan membran cair emulsi w/o dari hasil uji kestabilan yang paling optimum. Selanjutnya dilakukan pengamatan pada larutan umpan dan membran cair emulsi I, antara lain dengan mengubah rasio volume umpan terhadap membran cair emulsi I, waktu pengadukan dan kecepatan pengadukan. Ekstraksi ion merkuri (II) ini menggunakan larutan merkuri (II) 50 ppm sebagai fasa akuatik umpan dari kristal Hg(NO3)2.H2O yang dicampurkan perlahan lahan kedalam emulsi w/o dengan perbandingan tertentu sambil diaduk dengan kecepatan tertentu. Fasa akuatik setelah ekstraksi selesai dianalisis menggunakan metode Spektrofotometri untuk menentukan konsentrasi merkuri(II) yang tersisa. 3. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil pengamatan dan pembahasann tentang kestabilan emulsi w/o dan aplikasi emulsi ganda w/o/w pada ekstraksi ion merkuri dilaporkan sebagai berikut. 3.1. Hubungan nilai HLB campuran terhadap nilai kelarutan Melalui komposisi dua surfaktan yang diatur sehingga diperoleh nilai HLB yang bervariasi dilakukan penelitian terhadap kemampuan kelarutan fasa akuatik dalam fasa organik dalam pembentukan emulsi w/o. Dua jenis surfaktan yang digunakan adalah surfaktan untuk emulsi w/o dari sorbitan mono oleat (span-80) sorbitan mono oleat (span80) dengan nilai HLB 4,3, dan jenis surfaktan o/w dari polyoxyethylene sorbitol ester (tween; 20, 80, 81dan 85) dengan nilai HLB masing masing berturut-turut adalah 16.7, 15, 10,dan 11). Pada emulsi w/o yang terbentuk dari air dalam kerosin, surfaktan campuran lebih baik dari surfaktan tunggal. Dari gambar 1, terlihat penggunaan span 80 sebagai surfaktan tunggal memiliki kelarutan fasa akuatik dalam fasa organik yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan span-80 yang telah dicampur dengan tween-20 dalam komposisi tertentu yang menghasilkan nilai HLB 4,8. Kombinasi campuran surfaktan antara span-80 dan tween 80, 81, 85 tidak menghasilkan kelarutan maksimum setinggi kombinasi span-80 dengan tween-20 pada nilai 0,227, untuk nilai HLB 4,8.
4
Solubilization (water-to-kerosene weight ratio)
0.25
Span-80 - Tween-20 Span-80 - Tween-80 Span-80 - Tween-81 Span-80 - Tween-85
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
2
4
6
8
10
12
14
16
18
HLB
Gambar 1. : Hubungan nilai HLB campuran surfaktan terhadap kelarutan maksimum dalam air (komposisi: fasa air = H2SO4 6N, fasa minyak = 3% (w) surfaktan campuran dan 97%(w) pelarut kerosin ). Hasil ini menunjukkan kombinasi surfaktan span-80 dan tween-20 pada komposisi tersebut memiliki karakteristik hidrofilik dan lipofilik yang seimbang, sehingga campuran surfaktan cenderung lebih senang berada di antarmuka fasa akuatik dan fasa organik yang berasal kerosin. 3.2. Tegangan antarmuka fasa akuatik dan fasa organik Bila surfaktan yang digunakan sebagai emulsifier berada di antarmuka, maka akan semakin rendah tegangan antarmuka kedua fasa. Penggunaan surfaktan yang sesuai yang memiliki sifat hidrofilik dan lipofilik yang seimbang dapat menghasilkan emulsi yang stabil. Semakin tinggi kemampuan larut fasa akuatik dalam fasa organik maka semakin kuat pengaruh surfaktan tersebut pada antarmuka yang dapat diamati dari rendahnya tegangan antarmuka. Tabel 1. tegangan antarmuka air-kerosin
Komponen Air – kerosin Air +H2SO4 6N-kerosin H2SO4 6N – 3%( span-80 & Tween-20) 4,8 dalam kerosin H2SO4 6N – 3%( span-80 & Tween-80) 4,8 dalam kerosin H2SO4 6N – 3% (span-80 & Tween-85) 4,8 dalam kerosin H2SO4 6N – 3% (span-80 & Tween-81) 4,8 dalam kerosin
γ =dyne/cm2 54.6911 40.8086 27.5271 27.5646 27.6522 27.6898
Ketika dua fasa bercampur, air dan kerosin, maka tegangan antar muka yang terukur adalah 54.6911 dyne/cm2. Sewaktu fasa air dicampur dengan senyawa elektrolit seperti H2SO4 yang maka tegangan antarmukanya menurun sedikit menjadi 40.8086 dyne/cm2. Penambahan surfaktan campuran 3% pada fasa organik (kerosin) menurunkan tegangan antarmuka menjadi sekitar 27 dyne/cm2. Konsentrasi surfaktan yang rendah (3% berat) menyebabkan tidak terlihat pengaruh penurunan tegangan antarmuka yang besar antara penggunaan surfaktan campuran span-80 dan tween-20 dengan surfaktan tween lainnya. Walaupun kecil, tapi dari data di tabel tersebut tampak bahwa campuran surfaktan span-80 dan tween 20 menghasilkan tegangan antarmuka terendah.
5
Hasil ini menunjukkan bahwa komposisi span-80 dan tween-20 dengan nilai HLB 4.8 menghasilkan pengurangan tegangan antarmuka terbesar, sehingga diharapkan emulsi w/o yang dibentuk akan lebih stabil. 3.3. Kestabilan emulsi w/o
Volume emulsi (ml)
Berdasarkan pengamatan tentang kelarutan maksimum fasa akuatik dalam fasa organik serta turunnya tegangan antarmuka kedua fasa, maka dilakukan pengamatan kestabilan emulsi w/o sebagai fungsi waktu. Pengamatan dilakukan dengan mendiamkan emulsi w/o yang dibentuk dengan pengadukan 2000 rpm. Setelah pengadukan dihentikan emulsi yang terbentuk dapat terdeemulsifikasi spontan membentuk kembali fasa akuatik dan fasa organiknya, sehingga dapat diamati penurunan volum emulsi w/o sebagai fungsi waktu. Kecepatan pengadukan pada waktu pembentukan emulsi w/o berpengaruh pada kestabilan emulsi. Semakin lama waktu pengadukan semakin lama emulsi w/o bertahan. Dengan memvariasikan waktu pengadukan pada 2000 rpm dari 5 menit sampai 30 menit, tampak bahwa pengadukan selama 30 menit menghasilkan emulsi w/o yang lebih stabil. Menggunakan waktu pengadukan 30 menit dan kecepatan pengadukan 2000 rpm, diperoleh hasil pengamatan selama sembilan jam terhadap kestabilan emulsi w/o menggunakan surfaktan span-80 tunggal dan surfaktan campuran span 80 dan tween-20 dengan nilai HLB 4,8. 105.0 100.0 95.0 90.0 85.0 80.0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Waktu pengamatan (jam) 3% Surfaktan campuran (Span-80 dan T ween-20)
3% Surfaktan tunggal (Span-80)
Gambar 2. Kestabilan emulsi w/o yang menggunakan surfaktan tunggal span-80 dan surfaktan campuran span-80 dan tween-20. Ket.: konsentrasi surfaktan 3% (berat), fasa organik=kerosin, rasio volum fasa akuatik:fasa organik = 1:1, kecepatan pengadukan 2000 rpm dan waktu pengadukan 30 menit. Secara keseluruhan selama waktu pengamatan sembilan jam, kedua emulsi relatif stabil. Akan tetapi untuk aplikasi emulsi w/o akan diperlukan emulsi yang memiliki kestabilan tinggi selama waktu aplikasinya. Dari gambar 2 tampak bahwa emulsi w/o yang menggunakan surfaktan tunggal span-80, setelah pengadukan dihentikan, langsung terde-emulsifikasi perlahan-lahan sehingga setelah tiga jam volume emulsi berkurang dengan signifikan. Pengamatan pada emulsi w/o dengan surfaktan campuran span-80 dan tween- 20 menunjukkan setelah pengadukan selesai emulsi lebih stabil. Pada pengamatan tiga jam setelah pengadukan berhenti, hampir tidak ada emulsi yang terdeemulsifikasi. Hasil pengamatan ini menunjukkan, bahwa kestabilan emulsi w/o dengan surfaktan campuran lebih baik dibandingkan kestabilan emulsi dengan surfaktan tunggal span-80. Penggunaan surfaktan tween-20 dalam jumlah kecil ke dalam span-80 sehingga menghasilkan nilai HLB sebesar 4.8 ternyata mampu meningkatkan kinerja surfaktan sebagai emulsifier pada sistem emulsi air/kerosin. Dengan demikian pada pencampuran dua surfaktan tersebut terjadi sinergisme yang menyebabkan kestabilan emulsi yang lebih tinggi. Kekuatan mekanik lapisan antarmuka adalah faktor utama kestabilan emulsi. Kestabilan emulsi yang lebih tinggi dengan menggunakan emulsi campuran terjadi karena gugus lipofilik dan hidrofilik dari kedua surfaktan pada antarmuka menyusun diri sedemikian rupa sehingga kerapatan gugus tersebut pada antarmuka air/kerosin menjadi tinggi. Kerapatan gugus lipofilik dan hidrofobik yang tinggi menghasilkan kekuatan interaksi lateral dan elastisitas lapisan yang tinggi.
6
Penyusunan gugus lipofilik dan hipofilik surfaktan span-80 dan tween-20 dapat terjadi sebagai berikut:
O
O
O
20
water
oil
Gambar 3. Penyusunan molekul surfaktan Span-80 dan Tween-20 pada antarmuka air-minyak (kerosin) Surfaktan tunggal jenis emulsifier w/o memiliki kelarutan lebih tinggi pada fasa organik dibandingkan fasa akuatiknuya, sebaliknya terjadi dengan surfaktan jenis emulsifier o/w. Pencampuran surfaktan jenis w/o dengan sedikit surfaktan jenis o/w dapat menyebabkan keseimbangan kekuatan sifat hidrofilik dan lipofilik sehingga kedua surfaktan akan cenderung lebih banyak berada di antarmuka dan sedikit yang terlarut pada fasa ruah masing-masing. 3.4. Kemampuan membran cair emulsi mengekstraksi ion Hg(II) Pada tahapan ini dilakukan pengamatan terhadap kemampuan membran cair emulsi mengekstraksi ion merkuri (II) dari larutan umpan. Pengamatan dilakukan terhadap faktor- faktor yang mempengaruhi kemampuan ekstraksi tersebut seperti kecepatan pengadukan, rasio emulsi terhadap fasa umpan dan waktu pengadukan Gambar 4. menunjukan pengamatan kemampuan membran emulsi untuk mengekstraksi ion merkuri (II) dari larutan umpan pada berbagai kecepatan pengadukan dengan rasio volume emulsi terhadap fasa umpan sebesar 3:8. Pada kecepatan pengadukan 300 rpm kemampuan ekstraksi paling tinggi dicapai sebesar 97,24 %.
% ekstraksi Hg(II)
100
95
90
85 5
10
15
20
25
30
35
40
45
Waktu pe ngadukan (me nit) 200 rpm
300 rpm
400 rpm
Gambar 4 . Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kemampuan ekstraksi dengan rasio volume emulsi w/o terhadap fasa umpan sebesar 3:8 Berdasarkan hasil pengamatan pada Gambar 4. dapat disimpulkan bahwa pada kecepatan pengadukan 300 rpm dengan rasio emulsi terhadap fasa umpannya adalah 3:8 kemampuan mengekstraksi ion Hg(II) lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan kecepatan pengadukan 200 dan 400 rpm. Hal ini diperkirakan pada kecepatan 300 lebih sedikit terjadi kebocoran emulsi.
7
Kebocoran bisa diakibatkan karena swelling ( penggelembungan), dimana sejumlah air dari fasa umpan masuk kedalam fasa penerima. Selain itu bisa diakibatkan oleh gesekan mekanis antara butiran emulsi yang terjadi pada kecepatan yang tinggi. Akibatnya ion merkuri (II) yang telah terekstraksi atau yang terikat pada fasa penerima kembali lagi ke fasa umpan sehingga kemampuan ekstraksi ion merkuri(II) yang telah dicapai akan turun (Yinhua dan Xiujuan, 2002). 4. Kesimpulan
Hasil pada penelitian menunjukkan kombinasi surfaktan span-80 dan tween-20 pada komposisi dengan nilai HLB 4,8 memiliki kelarutan maksimum air dalam organik tertinggi. Hal ini menyimpulkan bahwa campuran tersebut memiliki karakteristik hidrofilik dan lipofilik yang seimbang, sehingga molekul surfaktan cenderung lebih senang berada pada antarmuka fasa akuatik dan fasa organik (kerosin).
Komposisi span-80 dan tween-20 dengan nilai HLB 4.8 menghasilkan pengurangan tegangan antarmuka terbesar, sehingga emulsi w/o yang dibentuk akan lebih stabil.
Kestabilan emulsi w/o dengan surfaktan campuran lebih baik dibandingkan kestabilan emulsi dengan surfaktan tunggal span-80. Penggunaan surfaktan tween-20 dalam jumlah kecil ke dalam span-80 yang menghasilkan nilai HLB sebesar 4.8 ternyata mampu meningkatkan kinerja surfaktan sebagai emulsifier pada sistem emulsi air/kerosin. Dengan demikian pada pencampuran dua surfaktan tersebut terjadi sinergisme yang menyebabkan kestabilan emulsi yang lebih tinggi.
Kestabilan emulsi yang lebih tinggi dengan menggunakan emulsi campuran terjadi karena gugus lipofilik dan hidrofilik dari kedua surfaktan pada antarmuka menyusun diri sedemikian rupa sehingga kerapatan gugus tersebut pada antarmuka air/kerosin menjadi tinggi. Kerapatan gugus lipofilik dan hidrofobik yang tinggi menghasilkan kekuatan interaksi lateral dan elastisitas lapisan yang tinggi.
Sistem Membran Cair Emulsi yang terdiri dari fasa akuatik dalam dengan asam sulfat 6N, fasa organik dengan pelarut kerosin yang mengandung asam oleat 0,3M sebagai ekstraktan, dan surfaktan campuran (span-80 dan tween-20) dapat mengekstraksi ion merkuri (II) sebesar 97,3% dalam waktu ekstraksi 35 menit. Daftar Pustaka
1.
Abou-Nemeh,I., and A.P. Van Peteghem, (1992), “Kinetic Study of the Emulsion Breakage during Metal Extraction by Liquid Surfactant Membrane (LSM) from Simultaded and Industrial Effluen”, Journal of Membrane Science, vol. 70.
2.
Huibers, P.D.T., and Dinesh O.Shah, (1997),”Evidence for Synergism in Nonionic Surfactant Mixtures: Enhancement of Solubilization in Water-in-Oil Microemulsions”, Langmuir, 13, 5762-5765.
3.
Jiao J, and Burgess Dj, (2003),”Rheology and stability of water in oilin water multiple emulsions containing Span 83 and Tween 20”, AAPS PharmSci, 5(1),E7;
4.
Opawale F.O., and Burgess Dj, (1998),” Influence of interfacial rhological properties of mixed emulsifier films on the stability of wate-in-oil-in-water emulsions”, J.Pharm Pharmacol. Sep; 50(9):966-73;
5.
Rosen, M.J., (1989),”Surfactants anda Interfacial Phenomena”, 2nd. Ed, Wiley, New York.
6.
Rosen, M.J., (1992),” Mixed Surfactant Systems”, P.M.Holland and D.N.Rubingh, eds. American Chemical Society, Washington D.C.
7.
Sepulveda E, Kildsig DP, and Ghaly ES, (2003), “Relationship between internal phase volume and emulsion stability: the cetyl alcohol/stearyl alcohol system”, Pharm Dev Technol, 8 (3) : 263-75).
8.
Shinoda, K. and H.Kunieda, (1977),”Microemulsions: Theory and Practice”, L.M. Prince, Ed.: Academic Press, New York, chapter 4.
9.
Yinhua, W and Xiujuan, Z., (2002), “ Swelling Determination of W/O/W Emulsion Liquid Membranes”, Journal of Membrane Science, 195, 185 – 201.
8