Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Sintasan Serta Pertumbuhan Larva dan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson) Abstract Energy budget is one of the most sensitive tools available for individual assessing environmental changes like temperature and salinity, and also prerequisite for individual growth and survival. The aim of this study is to obtain informations of energy budget for routine metabolism on different levels of temperature and salinity, and was to know the levels of optimum temperature and salinity. Randomized block design was applied with three replications. The result of study showed that optimal temperature and salinity on P. maxima larvae and spat is 28 oC and 32–34 ‰. Energy budget to routine metabolism increased was attributed temperature and salinity increased due to the optimal, than would be decreased were temperature and salinity increased. The highest of energy budget for routine metabolism at treatment BF. Stage I: energy budget between 6.73–7.35 C g wet weight-1 hour-1 (28.18–30.74 J g wet weight-1 hour-1); Stages II: 5.85–5.95 C g wet weight-1 hour-1 (24.48–24.90 J g wet weight-1 hour-1); Stages III: 4.73–4.80 C g wet weight-1 hour-1 (15.07– 19.58 J g wet weight-1 hour-1). The highest of survival rate of larvae by treatment BF but not significan (P ≥ 0.05) with BE, stage I: survival rate between 87.75–87.92 %; Stage II: 81.91–82.39 % and stage III: 76.72–77.26 %. The best of relative growth length of larvae by treatment BF and BE (P ≥ 0.05), at stage I: 29.78 x 17.93–30.57 x 18.43 µm (AP x DV); stage II: 57.62 x 46.73–58.13 x 47.33 µm and stage III: 80.32 x 69.29–80.88 x 69.62 µm. The quickest time of plantigrade stages have found by treatment BF (19.50 days) and hasn’t significant (P ≥ 0.05) with BE (20.85 days). Keywords: Pinctada maxima; larvae; temperature; salinity; routine metabolism.
Pendahuluan Pinctada maxima merupakan spesies tiram penghasil mutiara South Sea Pearl yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan ukurannya paling besar (Shirai 1981). Daerah penyebarannya mulai dari perairan laut dangkal dengan dasar ditumbuhi tanaman lamun sampai perairan dalam berkarang atau dengan substrat bersedimen di daerah yang berdekatan dengan landas kontinen dan pulau (Gervis and Sims 1992; Yukihira et al. 1999). Bivalvia laut umumnya hidup pasif sehingga kelangsungan hidupnya sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan (Jeong and Cho 2007). Studi tentang outekologi bivalvia (termasuk tiram mutiara) telah dilakukan dan jelas menunjukkan bahwa beberapa parameter fisik perairan berpengaruh terhadap perkembangan, pertumbuhan dan sintasan. (Alagarswami and Victor 1976; Kinne 1964; Marsden 2004; Yukihira et al. 2006). Khususnya suhu dan salinitas dapat didiskripsikan sebagai “master factor” untuk banyak organisme laut (Kinne 1964). Berkaitan dengan pentingnya pengaruh kedua faktor tersebut, maka telah digunakan untuk
56
mendiskripsikan sejumlah spesies moluska, tetapi penelitian yang berkaitan dengan pengaruh sinergi suhu dan salinitas belum banyak dilakukan (Kinne 1964; Yukihira et al. 2006). Studi tentang suhu dan ketersediaan pakan pada tiram mutiara P. maxima dan P. margaritifera di Great Barrier Reef Australia telah dilakukan oleh Yukihira et al. (1998ab, 1999, 2000, 2006). Penelitian Slamet et al. (1998) di perairan Bali Utara mencatat suhu 28−29 oC dan salinitas 32−34 ‰ merupakan kisaran yang baik untuk sintasan dan pertumbuhan tiram mutara P. maxima. Menurut BBL (2001); Tun and Winanto (1987) pembenihan tiram mutiara sebaiknya dilakukan di lokasi dengan salinitas air 32–35 ‰. Larva dan spat menunjukkan perkembangan, pertumbuhan dan sintasan yang baik pada suhu 26−28 oC. Respon organisme aquatik terhadap suhu dan salinitas dapat diketahui melalui tingkat energi yang dibelanjakan untuk metabolisme. Pengelolaan pembelanjaan energi secara positif adalah prasyarat bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup individu dan hal ini dapat menjadi kriteria penting untuk mengevaluasi adanya pengaruh lingkungan (Smaal and Widdows 1994). Laju metabolisme dapat diukur dari kalori yang dibelanjakan atau laju konsumsi oksigen. Pengukurannya dapat dilakukan dengan menggunakan alat kalorimetrer atau respirometer. Laju metabolisme dapat juga diukur pada tingkat basal dan atau aktif. Laju metabolisme basal atau standar (basal metabolism), yaitu pengukuran yang dilakukan dengan cara memuasakan hewan uji selama 1–2 kali 24 jam. Metabolisme rutin (routine metabolism) adalah pengukuran yang dilakukan dengan tetap memberikan pakan setiap hari. Metabolisme aktif (active metabolism) adalah pengukuran yang dilakukan pada organisme yang aktif berenang atau perenang cepat. Feeding maksimum (Msda) adalah energi metabolisme untuk kegiatan makan (Feeding Metabolism, Mt), seperti mencerna dan penyerapan makanan, atau sering pula disebut energi metabolisme untuk standard dynamic action (Msda) (Affandi et al. 2009; Soria et al. 2007; Wirahadikusumah 1985). Selama pemeliharaan lava di laboratorium, diperlukan kondisi lingkungan yang optimum, karena selama perkembangan embrio sampai stadia larva kondisinya masih sangat rentan dan sensitif, khususnya terhadap perubahan suhu dan salinitas (O’Connor and Lawler 2004). Menurut Gricourth et al. (2006) untuk memproduksi
57
larva dan spat baik secara kualitas maupun kuantitas diperlukan kondisi lingkungan pemeliharaan yang optimal, seperti untuk pertumbuhan, perkembangan dan prosesproses fisiologis yang mengatur organisme tetap dalam kondisi seimbang dan terkontrol. Selama proses produksi spat skala besar di hatchery, sangat diperlukan informasi tentang pengaruh suhu, salinitas dan pakan terhadap pertumbuhan dan sintasan (Alfaro 2005; Asha dan Muthiah 2005; Martinez-Fernandez et al. 2004). Dampak faktor lingkungan terhadap organisme telah lama diketahui, bahkan satu faktor dapat dimodifikasi oleh faktor lainnya, sehingga perlu dilakukan studi komprehensif untuk mengetahui pengaruh negatif yang ditimbulkan (Kinne 1964; Yukihira et al. 2000; 2006).
Tujuan Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin pada tingkat suhu dan salinitas berbeda, serta dapat diketahui tingkat suhu dan salinitas optimum, sehingga dapat diperoleh sintasan dan pertumbuhan yang tinggi.
Bahan dan Metode Percobaan dilakukan di dalam ruangan menggunakan alat pendingin (AC), untuk meningkatkan suhu air digunakan alat heater. Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer Hg, sedangkan salinitas diukur dengan refraktometer (Atago, Jepang). .Untuk mendapatkan salinitas air media (S) yang sesuai dengan perlakuan (30 dan 32 ‰) ditambahkan air tawar, karena salinitas air di lokasi penelitian ≥ 34 ‰. Pengenceran air laut dilakukan dengan perhitungan, mengalikan volume air laut (liter) yang diencerkan (V1) dengan tingkat salinitas (‰) yang akan diencerkan (St), dibagi hasil kali volume air tawar yang ditambahkan (V2) dengan volume (liter) air laut yang diencerkan (V1). Secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut:
S =
V 1 x St V 2 x V1
58
Tahapan percobaan dimulai dengan kultur pakan hidup, pemijahan, pemeliharaan larva dan spat.
Kultur Pakan Hidup Pakan hidup dipersiapkan satu bulan sebelum percobaan dimulai. Jenis pakan hidup yang digunakan adalah fitoplankton Isochrysis galbana, Pavlova lutheri dan Tetraselmis tetrathele. Inokulum yang digunakan berasal dari biakan murni skala lab, kemudian diperbanyak hingga mencapai kepadatan sekitar 8–10 juta sel/ml. Media pupuk untuk kultur pakan hidup adalah formula Walne dan Hirata (Alagarswami et al. 1987; CMFRI 1991) (Lampiran 2).
Rancangan Percobaan Rancangan acak kelompok faktorial (RAK–FAKTORIAL 3 x 3) digunakan dalam percobaan pemeliharaan larva, Pengelompokan dilakukan berdasarkan pada tahap perkembangan stadia larva. Sedangkan pada pemeliharaan spat menggunakan rancangan acak lengkap faktorial (RAL–FAKTORIAL). Perlakuan yang digunakan terdiri dari 2 faktor, yaitu (I) suhu, (II) salinitas. Faktor I terdiri dari tiga taraf faktor yaitu suhu 26 oC (A); 28 oC (B); dan 30 oC (C). Faktor II terdiri dari tiga taraf faktor yaitu salinitas 30 ‰ (D); 32 ‰ (E); 34 ‰ (F). Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Model linear yang digunakan sama seperti pada percobaan sebelumnya
Pemeliharaan Larva Hewan uji berupa larva P. maxima stadia bentuk-D (D1), dipelihara di dalam wadah percobaan ember plastik ukuran 20 liter. Hewan uji diperoleh dari hasil pemijahan induk P. maxima dengan menggunakan kombinasi metode kejut suhu dan ekspose (CMFRI 1991; Winanto 2004). Padat penebaran larva diatur sesuai dengan tahap perkembangannya (BBL 2001). Jadwal pemberian pakan dan media air yang digunakan mengacu pada percobaan sebelumnya.
Pemeliharaan Spat Hewan uji spat P. maxima umur 25 hari, ukuran rata-rata 330 x 300 µm (AP x DV) digunakan dalam percobaan ini. Wadah pemeliharaan menggunakan ember
59
plastik ukuran 20 liter. Jadwal pemberian pakan dan media air serta pengelolaannya mengacu pada percobaan sebelumnya. Sehari sebelum percobaan dimulai, dilakukan proses penempelan spat pada kolektor berukuran 20 x 30 cm. Spat-spat diambil dengan menggunakan kuas, kemudian ditebarkan di atas kolektor yang telah disusun horisontal. Kepadatan spat 1 ekor/cm2. Setelah spat menempel dengan kuat (24 jam), selanjutnya kolektor dimasukkan ke dalam wadah percobaan.
Parameter yang Diamati Konsumsi oksigen Pengukuran laju konsumsi oksigen dilakukan dengan menempatkan hewan uji di dalam botol plastik berwarna gelap ukuran 200 ml. Disain percobaan untuk mengetahui laju konsumsi oksigen, yaitu berupa satu unit peralatan yang terdiri dari empat botol. Botol A untuk stok air yang dijenuhkan; botol B sebagai wadah hewan uji; botol C untuk mengukur laju konsumsi oksigen; dan botol D sebagai tempat menampung sisa air buangan (Gambar 16). Oksigen terlarut diukur dengan alat DO meter (YSI 550A, tipe 03J0820 AJ). Untuk mengetahui berat hewan uji, sampel disaring
dan
ditampung
menggunakan
planktonet,
kemudian
ditimbang
menggunakan timbangan analitik Dever Instrumen ( d = 0,0001 gr).
Gambar 16. Disain percobaan untuk pengukuran laju konsumsi oksigen larva tiram D mutiara P. maxima.
60
Variabel yang diukur adalah konsentrasi pemakaian oksigen oleh larva atau spat dengan sistim tertutup, pengamatan dilakukan setiap jam (1 jam sekali) selama 24 jam. Pengukuran nilai oksigen yang dikonsumsi dilakukan dengan menghitung selisih antara kandungan oksigen terlarut awal dalam mg/liter [O2]O
dan akhir
pengamatan dalam mg/liter [O2]t, dibagi dengan waktu pengamatan/jam (T) dan jumlah hewan uji dengan satuan berat (mg) (W) (Soria et al. 2007), atau secara matematis dinyatakan sebagai berikut:
Konsumsi Oksigen =
[O 2]o − [O 2]t T xW
Metabolisme rutin Tingkat metabolisme rutine diukur pada kondisi hewan uji tetap diberi pakan dua kali sehari selama percobaan. Untuk mengetahui laju metabolisme rutine dilakukan dengan mengkonversi jumlah O2 yang dikonsumsi ke dalam satuan energi sebagai berikut; 1 mgO2 = 0,7 mlO2 (Jeong and Cho 2007); 1 mlO2 = 19,9 Joule (Soria et al. 2007) dan 1 kalori (calorie) = 4,184 Joule (Somanath et al. 2000).
Sintasan, laju pertumbuhan dan waktu pencapaian stadia Metode yang digunakan untuk mengetahui sintasan, laju pertumbuhan spesifik dan waktu pencapaian stadia plantigrade sama dengan percobaan sebelumnya.
Kualitas air Parameter air yang diukur selama percobaan antara lain nitrat, nitrit dan amonia.
Analisis Data Data yang diperoleh selama penelitian dianalisis dengan uji F. Jika terdapat data yang penyebarannya tidak normal, maka terlebih dahulu akan dilakukan transformasi dengan logaritma natural (Ln). Apabila uji F menunjukkan adanya pengaruh nyata (P < 0,05) pada tiap perlakuan, maka dilanjutkan analisis dengan uji rerata Tukey (Neter et al. 1990). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 15 for Windows.
61
Hasil dan Pembahasan Konsumsi Oksigen
Hasil percobaan menunjukkan bahwa tingkat konsumsi oksigen larva P. maxima tertinggi (Stadia I–III) terjadi pada perlakuan suhu 28 oC, salinitas 34 ‰ (BF) dan terendah pada perlakuan suhu 26 oC, salinitas 30 ‰ (AD) (Tabel 5). Hasil analisis varian terhadap tingkat konsumsi oksigen menunjukkan adanya perbedaan nyata (P ≤ 0,05) antar perlakuan suhu dan salinitas, sedangkan interaksi antara suhu dan salinitas tidak nyata pengaruhnya (P ≥ 0,05). Uji nilai tengah Tukey menunjukkan bahwa perlakuan salinitas 32 ‰ (E) tidak berbeda nyata lebih kecil (P ≥ 0,05) dengan salinitas 34 ‰ (F), tetapi E dan F berbeda nyata lebih besar dari perlakuan salinitas 30 ‰ (D). Sedangkan perlakuan suhu dan tiap tahap stadia berbeda nyata (Lampiran 12).
Tabel 5. Tingkat konsumsi oksigen (mg O2/g berat basah/jam) larva P. maxima (ratarata ± SD) pada berbagai suhu dan salinitas Umur
(D) 30
Salinitas (‰) (E) 32
(F) 34
1,09 ± 0,03a 1,65 ± 0,03c 1,34 ± 0,05e
1,29 ± 0,03b 1,98 ± 0,08d 1,75 ± 0,03f
1,31 ± 0,03b 2,16 ± 0,03d 1,77 ± 0,04f
Stadia II (A) 26 (D7–D14) (B) 28 (C) 30
0,73 ± 0,03a 1,29 ± 0,03c 1,15 ± 0,03e
1,10 ± 0,03b 1,72 ± 0,03d 1,30 ± 0,04f
1,12 ± 0,03b 1,75 ± 0,03d 1,32 ± 0,03f
Stadia III
0,34 ± 0,04a 1,08 ± 0,03c 0,79 ± 0,04e
0,74 ± 0,03b 1,39 ± 0,03d 1,14 ± 0,02f
0,76 ± 0,03b 1,41 ± 0,03d 1,16 ± 0,03f
Stadia I (D1–D6)
Faktor II Faktor I o
Suhu ( C): (A) 26 (B) 28 (C) 30
(A) 26
(D15–D20) (B) 28
(C) 30
Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan adanya berbedaan nyata antar perlakuan pada taraf 5 %.
Konsumsi oksigen larva P. maxima dalam kajian ini berbeda dengan hasil penelitian Pechenik (1980) pada larva veliger (prosobranch) Nassarius obsoletus, nilai laju konsumsi oksigen veliger kecil sampai besar berkisar antara 2,5 sampai 10
62
ml O2/jam/g berat kering. Pada larva veliger Crepidula formicate laju konsumsi oksigen antara 2,5–5 ml O2/jam/g berat kering. Laju konsumsi oksigen pada larva Mytilus edulis antara 0,75–3 ml O2/jam/g berat kering (Bayne 1983). Laju konsumsi oksigen larva Ostrea edulis berkisar antara 3–6 ml O2/jam/g berat kering (Gosling 2004). Sedangkan Crisp (1974) menggunakan nilai rata-rata konsumsi oksigen 5 ml O2/jam/berat kering untuk menduga kelangsungan hidup larva berkaitan dengan waktu di puasakan, tujuannya untuk mengetahui kandungan protein dan lemak sebagai cadangan energi. Diduga, variabel penyebab perbedaan nilai konsumsi oksigen adalah penggunaan spesies dan metode pengukuran yang berbeda. Menurut Chacon et al. (2003) perbedaan spesies dan metodologi mungkin dapat dijadikan alas an untuk menjelaskan terjadinya perbedaan hasil penelitian. Dari hasil analisis dapat diinterpretasikan, semakin meningkat suhu dan salinitas maka laju konsumsi oksigen juga makin meningkat, hingga mencapai batas optimum (28 oC; 32–34 ‰), kemudian konsumsi oksigen akan menurun pada kondisi suhu dan salinitas yang meningkat. Menurut Bayne (1983) pengaruh suhu dan salinitas pada laju konsumsi oksigen bervariasi antar spesies dan dipengaruhi oleh kondisi pretreatment (sebelum perlakuan) pada induk, gamet dan larva yang berada pada satu seri penelitian. Bayne (1983) menyatakan bahwa tidak ada cara yang sederhana untuk menghitung laju konsumsi oksigen pada kondisi lingkungan yang berbeda. Selanjutnya menurut Goddard (1996) laju konsumsi oksigen dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk suhu air, berat badan dan tingkat aktivitas. Data tingkat konsumsi oksigen yang diperoleh dapat merefleksikan karakteristik kondisi larva tiram mutiara pada berbagai suhu dan salinitas media. Pada P. fucata laju konsumsi oksigen meningkat tinggi selama jam pertama tiram dimasukkan kembali ke dalam air dan laju konsumsi oksigen kembali normal dicatat setelah waktu tersebut (Darmaraj 1983). Menurut Taylor (1976) peningkatan aktivitas cardiac dan respirasi pada bivalvia Arctica islandica mengikuti periode penutupan cangkang. Hal ini digunakan sebagai interpretasi representasi pembayaran kembali “utang oksigen” selama masa anaerob. Opini lain disampaikan Boyden (1972) tentang meningkatnya konsumsi oksigen setelah hewan uji di ekspose, ternyata dapat merefleksikan hasil ekskretori nitrogen dari aktivitas jaringan yang meningkat tinggi. Tanda-tanda pada waktu penyesuaikan diri dengan kondisi di
63
ekspose yang penting dicatat adalah waktu membuka cangkang untuk tujuan bernafas. Sebagai salah satu indikator, meningkatnya konsentrasi oksigen juga dapat dijadikan indikasi peningkatan jumlah penempelan larva stadia akhir. Meningkatnya konsentrasi oksigen juga dapat mengurangi mortalitas larva (Alfaro 2005). Kajian ini juga mencatatat hal yang sama, dimana pada tingkat konsumsi oksigen tertinggi (BF) diikuti oleh sintasan (BF) dan laju perumbuhan (BF) yang tinggi pula. Diduga pada kondisi tingkat konsumsi oksigen tinggi maka laju metabolisme akan meningkat, sehingga larva dapat maksimal memanfaatkan pakan yang diberikan. Hal ini terefleksi dari laju pertumbuhan dan sintasan yang tinggi. Sebaliknya pada perlakuan suhu 26 oC, salinitas 30 ‰ (AD) laju konsumsi oksigen paling rendah, maka sintasan dan laju pertumbuhan juga rendah. Menurut Goddard (1996) dibawah kondisi oksigen terlarut rendah, organisme menunjukkan tanda-tanda stress. Ini merupakan tanda umum pertama yang diamati, kemudian organisme menunjukkan nafsu makan berkurang, akibatnya pola renang dan distribusinya menjadi tidak normal. Pengamatan terhadap tingkat konsumsi oksigen spat menunjukkan bahwa nilai tertinggi terjadi pada perlakuan suhu 28 oC, salinitas 34 ‰ (25hari: 0,863 mg O2/g berat basah/jam; 35 hari: 0,627 mg O2/g berat basah/jam) dan terendah pada perlakuan suhu 26 oC, salinitas 30 ‰ (25 hari: 0,084 mg O2/g berat basah/jam; 35 hari: 0,069 mg O2/g berat basah/jam) (Tabel 6).
Tabel 6. Tingkat konsumsi oksigen (mg O2/g berat basah/jam) spat P. maxima (ratarata ± SD) pada berbagai suhu dan salinitas. Faktor I Faktor II Suhu (oC) : • Umur 25 hari (A) 26 (B) 28
(D) 30
Salinitas (‰) (E) 32
(F) 34
(C) 30
0,084 ± 0,032a 0,510 ± 0,025c 0,331 ± 0,022e
0,286 ± 0,028b 0,829 ± 0,024d 0,660 ± 0,026f
0,303 ±0,026b 0,863 ± 0,015d 0,687 ± 0,014f
(C) 30
0,069 ± 0,032a 0,328 ± 0,029c 0,213 ± 0,019e
0,182 ± 0,031b 0,593 ± 0,021d 0,507 ± 0,034f
0,204 ± 0,018b 0,627 ± 0,061d 0,533 ± 0,026f
• Umur 35 hari (A) 26 (B) 28
Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan adanya berbedaan nyata antar perlakuan pada taraf 5 %
64
Hasil analisis varian menunjukkan bahwa suhu dan salinitas berpengaruh nyata (P ≤ 0,05) terhadap tingkat konsumsi oksigen spat dan terdapat pengaruh interaksi nyata (P ≤ 0,05) antara suhu dan salinitas. Hasil uji nilai tengah Tukey menunjukkan bahwa antar perlakuan suhu berbeda nyata (P ≤ 0,05), tetapi pada perlakuan salinitas 32 ‰ (E) tidak berbeda nyata lebih kecil (P ≥ 0,05) dari salinitas 34 ‰ (F) dan Perlakuan D (salinitas 30 ‰) berbeda nyata lebih kecil (P ≤ 0,05) dari E dan F (Lampiran 13). Kajian terhadap laju konsumsi oksigen spat menunjukkan hasil yang mendukung kajian toleransi spat terhadap suhu dan salinitas, yaitu tingkat konsumsi oksigen spat tertinggi terjadi pada perlakuan suhu 28 oC; salinitas 32 ‰, 34 ‰ (BE, BF). Tingkat konsumsi oksigen pada spat lebih rendah jika dibandingkan larva, penurunan konsumsi oksigen sampai sekitar 59,71 % (BE), 60,99 % (BF). Diduga, penurunan ini disebabkan oleh behavior yang berbeda. Spat hidupnya menetapmenempel, sedangkan larva bersifat planktonis yang mempunyai behavior aktif berenang-renang, sehingga membutuhkan energi lebih besar yang direfleksikan dengan konsumsi oksigen tinggi.
Dharmaraj (1983) melakukan pengukuran
konsumsi oksigen pada tiram mutiara P. fucata (50–60 mm) yang berasal dari lokasi budidaya, nilainya 1,34 ml O2/jam, sedangkan pada P. sugilata (10–20 mm) yang berasal dari perairan dekat pantai, menunjukkan nilai 0,62 ml O2/jam. Konsumsi oksigen tiram Crassostrea gigas dari berbagai ukuran pada suhu 13 oC; salinitas 33 ‰ berkisar antara 0,23–1,91 mg O2/jam/g berat daging kering dan selama penelitian tidak ditemukan perbedaan yang nyata antara 0,53 dan 0,67 mg O2/jam/g berat daging kering (Jeong and Cho 2007). Pada bivalvia Cerastoderma edule laju konsumsi oksigen berkisar antara 0,014–0,087 µl O2/mg berat daging/jam (Kittiwatanawong 2007). Penelitian lain pada abalone (Haliotis discus hannai) dengan ukuran panjang 92,6 mm; berat kering 12,1–14,39 g, nilai laju konsumsi oksigen pada suhu 25 oC, salinitas 31,6 – 32 ‰ adalah 0,30–0,32 ml O2/jam/g berat kering (Lee et al. 2007). Beberapa hasil penelitian yang dihimpun Gosling (2004) mencatat laju konsumsi oksigen C. gigas pada suhu 27–28 oC sekitar 0,51ml O2/jam/g berat kering. Laju konsumsi oksigen M. edulis 0,38 ml O2/jam/g berat kering pada suhu 15 oC; laju konsumsi oksigen Ostrea edulis 0,962 ml O2/jam/g berat kering (15 oC) dan pada suhu 25 oC 2,655 ml O2/jam/g berat kering; laju
65
konsumsi oksigen C. virginica pada suhu 20 oC 0,372 ml O2/jam/g berat kering dan pada suhu 30 oC 0,423 ml O2/jam/g berat kering. Hasil percobaan ini berbeda dengan hasil beberapa penelitian di atas, karena selain ukuran sampel dan spesies berbeda, penelitian tersebut umumnya dilakukan di alam atau dengan mengambil sampel dari alam, sedangkan dalam percobaan ini sampel berasal dari dalam laboratorium. Diduga, spat yang berasal dari alam harus melakukan aklimatisasi dengan kondisi perlakuan, sehingga membutuhkan energi yang relatif besar. Sebaliknya spat yang berasal dari lab atau dari larva yang sudah dipelihara di dalam lab, tidak perlu membelanjakan banyak energi untuk melakukan aklimatisasi dengan kondisi laboratorium. Disamping itu, spat yang berasal dari lab tidak perlu menghamburkan energi untuk filtrasi, karena media air di dalam laboratorium kualitasnya baik setelah melalui beberapa tahapan proses filtrasi. Sebaliknya spat yang berasal dari alam harus membelanjakan energi lebih besar untuk filtrasi, karena masih adanya partikel terlarut yang terjerap di dalam mantel maupun insang. Menurut Ropert and Goulletquer (2000) laju filtrasi dipengaruhi oleh ukuran partikel dan ukuran partikel yang stabil berkisar antara 7–8 µm, semakin besar partikel maka dibutuhkan energi yang lebih besar untuk melakukan filtrasi.
Metabolisme Rutin Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pembelanjaan energi [C(J)/g/jam] untuk metabolisme rutin larva tertinggi terjadi pada perlakuan suhu 28 oC; salinitas 34 ‰ (BF) dan terendah pada perlakuan suhu 26 oC; salinitas 30 ‰ (AD) (Tabel 7). Hasil analisis varian menunjukkan terdapat pengaruh siknifikan (P ≤ 0,05) suhu dan salinitas terhadap laju metabolisme rutin, tetapi tidak ada interaksi nyata (P ≥ 0,05) antara suhu dan salinitas. Uji nilai tengah Tukey juga menunjukkan ada pengaruh siknifikan (P ≤ 0,05) suhu, salinitas dan setiap tahap stadia terhadap laju metabolisme rutin, namun pada salinitas 32 ‰ tidak berbeda nyata lebih kecil (P ≥ 0,05) dengan salinitas 34 ‰, sedangkan pada salinitas 32 ‰ dan 34 ‰ berbeda nyata lebih besar (P ≤ 0,05) dengan salinitas 30 ‰ (Lampiran 14).
66
Tabel 7. Pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin (C-J/g berat basah/jam) larva P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai suhu dan salinitas. Umur Stadia I (D1–D6)
Stadia II (D7–D14)
Stadia III
Faktor II Faktor I (D) 30 o Suhu ( C): (A) 26; C 3,62 ± 0,12 (B) 28; C 5,50 ± 0,12 (C) 30; C 4,48 ± 0,16
Salinitas (‰) (E) 32
(F) 34
4,30 ± 0,10 6,58 ± 0,27 5,83 ± 0,09
4,36 ± 0,12 7,20 ± 0,09 5,90 ± 0,14
(A) 26; J (B) 28; J (C) 30; J
15,15 ± 0,45a 23,03 ± 0,50c 18,75 ± 0,68e
18,01±0,43b 27,53±1,12d 24,40±0,39f
18,26±0,45b 30,13±0,37d 24,69±0,59f
(A) 26; C (B) 28; C (C) 30; C
2,41 ± 0,69 4,31 ± 0,09 3,84 ± 0,11
3,68 ± 0,11 5,74 ± 0,10 4,32 ± 0,12
3,73 ± 0,09 5,83 ± 0,10 4,41 ± 0,09
(A) 26; J (B) 28; J (C) 30; J
10,09 ± 2,90a 18,02 ± 0,37c 16,07 ± 0,46e
15,38 ± 0,45b 24,02 ± 0,43d 18,07 ± 0,51f
15,60 ± 0,37b 24,39 ± 0,44d 18,45 ± 0,39f
(A) 26; C (C) 30; C
1,12 ± 0,14 3,60 ± 0,08 2,64 ± 0,14
2,45 ± 0,09 4,62 ± 0,10 3,80 ± 0,07
2,52 ± 0,10 4,67 ± 0,10 3,86 ±0,10
(A) 26; J (B) 28; J (C) 30; J
4,70 ± 0,60a 15,07 ± 0,37c 11,04 ± 0,57e
10,25 ± 0,36b 19,32 ± 0,40d 15,88 ± 0,29f
10,55 ± 0,42b 19,58 ± 0,43d 16,14 ± 0,42f
(D15–D20) (B) 28; C
Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan adanya berbedaan nyata antar perlakuan pada taraf 5 %; C (Calorie); J (Joule).
Pada hewan air, besarnya energi yang dibutuhkan untuk metabolisme dapat diestimasi melalui pengukuran laju konsumsi oksigen. Metabolisme adalah proses pemanfaatan nutrien, baik sebagai energi maupun materi melalui proses perombakan dan sintesis. Proses metabolisme terjadi di dalam sel, dapat dilakukan secara anabolisme dan katabolisme. Metabolisme rutin didefinisikan sebagai tingkat pembelanjaan energi pada kondisi normal, untuk mempertahankan struktur dan fungsi jaringan agar organisme tersebut tetap hidup. Pengukuran Metabolisme rutin ini dilakukan pada kondisi organisme tetap diberi pakan selama percobaan, atau masih diberi pakan sesuai jadwal sampai sebelum dilakukan pengukuran laju konsumsi oksigen (Affandi et al. 2008; Gosling 2004; Soria et al. 2007).
67
Hasil analisis laju metabolisme rutin yang diperoleh dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa sintasan dan laju pertumbuhan pada perlakuan suhu 28 oC, suhu 34 ‰ (BF) paling tinggi dan terendah pada perlakuan 26 oC, suhu 30 ‰ (AD). Untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan dibutuhkan energi yang relatif besar, pada perlakuan BF energi yang dibelanjakan mencapai 19,58–30,13 J/g/jam (4,67– 7,20 C/g/jam), sedangkan pada perlakuan AD pembelanjaan energi lebih rendah atau sekitar 4,70–15,15 J/g/jam (1,12–3,62 C/g/jam). Lebih jelas diperoleh gambaran bahwa untuk aktivitas setiap tahap perkembangan stadia larva
dialokasikan energi
yang berbeda sehingga larva mampu menyesuikan diri dengan suhu dan salinitas perlakuan. Sampai saat ini belum banyak publikasi yang berkaitan dengan laju metabolisme larva, khususnya pada larva tiram mutiara P. maxima. Beberapa hasil penelitian yang dirangkum Bayne (1983) salah satunya tentang konsumsi oksigen pada veliger moluska (prosobranch), hasil pengukuran menunjukkan bahwa laju konsumsi oksigen larva veliger ukuran kecil sampai besar
antara 2,5–10,0 ml
O2/gram berat kering/jam. Diperkirakan dalam bentuk kalori untuk metabolisme rutin (1 ml O2 = 19,90 Joule) setara dengan 49,75–199 J/g berat kering/jam. Konsumsi oksigen larva Metilus edulis berkisar antara 3–6 ml O2/g berat kering/jam (Gosling 2004) atau setara dengan 59,70–119,40 J/g/jam untuk laju metabolisme rutin. Dalam percobaan ini, laju metabolisme rutin pada setiap tahap stadia larva berbeda nyata (P ≤ 0,05). Belanja energi terbesar terjadi stadia I yaitu rata-rata 7,20 C/g berat basah/jam, diikuti stadia II rata-rata 5,83 C/g berat basah/jam dan pada stadia III rata-rata 4,63 C/g berat basah/jam. Dari hasil analisis tersebut diketahui, bahwa laju metabolisme rutin menurun seiring dengan meningkatnya stadia perkembangan larva. Menurut Goddard (1996) jika dihitung per unit berat badan, maka hewan kecil lebih banyak menggunakan energi dibanding hewan besar. Diduga laju metabolisme tertinggi terjadi pada saat aktivitas larva meningkat paling tinggi. Pada stadia I, larva mempunyai kebiasaan aktif berenangrenang, jika diamati dengan seksama aktivitas renangnya sangat tinggi hingga membentuk gerakan massa larva yang berputar-putar dan kebiasaan itu terus berlangsung selama stadia tersebut. Pada stadia II, aktifitas renang larva mulai menurun, diduga pada stadia umbo akhir cangkang semakin berkembang, bertambah tebal dan berat, sehingga menghambat gerakan larva. Disamping terjadi metamorfose
68
dari stadia eye-spot menjadi pediveliger. Pada stadia III, laju metabolisme paling rendah selama stadia larva, diduga selain cangkang bertambah berat, pada stadia ini terjadi metamorfose dan perubahan behavior (masa transisi) dari kehidupan planktonis menjadi bentik, sehingga larva mulai banyak berada di bagian tengah badan air dengan gerakan lambat. Penjelasan lebih lanjut berkaitan dengan perbedaan tingkat konsumsi oksigen pada setiap tahap stadia adalah adanya pengaruh suhu. Berdasarkan hasil pengamatan dapat dijelaskan bahwa laju metabolisme meningkat dengan meningkatnya suhu sehingga mencapai batas optimum (28 oC), selanjutnya laju metabolisme akan menurun seiring dengan meningkatnya suhu. Diduga, suhu 30 oC terlalu tinggi untuk aktivitas metabolisme larva sehingga metabolisme tidak berlangsung efektif akibatnya laju pertumbuhan lebih rendah dibanding pada suhu 28 oC. Demikian juga pada suhu 26 oC laju pertumbuhan larva lebih rendah dibanding pada suhu 28 oC dan 30 oC, diduga suhu 26 oC relatif rendah dan kurang efektif untuk proses metabolisme, sehingga berimplikasi pada perkembangan dan pertumbuhan larva. Pernyataan yang mendukung disampaikan Goddard (1996) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi laju konsumsi oksigen adalah suhu air. Suhu akan mempengaruhi mekanisme transport ion yang berimplikasi pada osmoregulasi dengan melibatkan berbagai reaksi kimia. Mediasi transpor ion ditimbulkan oleh meningkat dan menurunnya suhu. Oleh sebab itu osmoregulasi fluida ekstraseluler lebih efektif pada suhu tinggi dibanding suhu rendah. Sebagai gambaran, terdapat beberapa spesies yang dapat bertahan lebih baik pada kondisi fluktuasi salinitas dari pada suhu tinggi (Gilles and Jeuniaux 1979). Gastropoda Nassarius reticulates tetap hidup pada salinitas 20–30 ‰, suhu 25 oC tetapi itu hanya terjadi pada kisaran salinitas yang luas antara 10–40 ‰ dan pada suhu lingkungan hidupnya sekitar 5 oC (Eriksson and Tallmark 1974). Terlepas dari pengaruh salinitas, suhu memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan larva, selisih perlakuan suhu (2 oC) yang digunakan dalam penelitian ini ternyata memberikan efek yang siknifikan pada sintasan dan pertumbuhan larva. Menurut Yukihira et al. (2000; 2006) perbedaan suhu selama pemeliharaan walaupun kecil atau sekitar 1–2 oC berpengaruh kuat terhadap laju pertumbuhan. Dikemukakan juga oleh Bayne (1983); Gosling (2004) laju pertumbuhan larva menunjukkan peningkatan seiring dengan meningkatnya suhu
69
hingga mencapai batas optimum dan kemudian laju pertumbuhan akan menurun bersamaan dengan meningkatnya suhu. Belanja energi untuk metabolisme rutin spat tertinggi terdapat pada suhu 28 o
C dan salinitas 34 ‰ (BF). Belanja energi terendah terjadi pada suhu 26 oC, salinitas
30 ‰ (AD). Hasil analisis varian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan laju metabolisme yang nyata (P ≤ 0,05) pada setiap perlakuan suhu, salinitas dan interaksi suhu dan salinitas. Selanjutnya uji Tukey juga menunjukkan terdapat perbedaan laju metabolisme yang nyata (P ≤ 0,05) pada setiap perlakuan suhu, salinitas dan interaksi antara suhu dan salinitas. Sedangkan perlakuan salinitas 32 ‰ (E) tidak berbeda nyata lebih kecil dengan perlakuan 34‰ (F), tetapi E, F berbeda nyata lebih besar (P ≤ 0,05) dari perlakuan salinitas 30 ‰ (D) (Tabel 8; Lampiran 15).
Tabel 8. Pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin (C-J/g berat basah/jam) spat P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas.
(D) 30
Salinitas (‰) (E) 32
(F) 34
0,27 ± 0,10a 1,64 ± 0,08c 1,06 ± 0,06e
0,92 ± 0,09b 2,66 ± 0,07d 2,12 ± 0,09f
0,97 ± 0,08b 2,77 ± 0,05d 2,20 ± 0,05f
(A) 26 (Joule) (B) 28 (Joule) (C) 30 (Joule) Umur 35 hari: (A) 26 (Calorie) (B) 28 (Calorie) (C) 30 (Calorie)
1,12 ± 0,42a 6,86 ± 0,34c 4,45 ± 0,29e
3,84 ± 0,38b 11,13 ± 0,32d 8,87 ± 0,36f
4,07 ± 0,35b 11,60 ± 0,20d 9,22 ± 0,20f
0,22 ± 0,10a 1,05 ± 0,09c 0,68 ± 0,06e
0,59 ± 0,10b 1,90 ± 0,07d 1,63 ± 0,11f
0,66 ± 0,06b 2,01 ± 0,20d 1,71 ± 0,08f
(A) 26 (Joule) (B) 28 (Joule) (C) 30 (Joule)
0,93±0,43a 4,41±0,38c 2,86±0,25e
2,45±0,41b 7,96±0,28d 6,81±0,45f
2,74±0,24b 8,43±0,82d 7,16±0,34f
Faktor II Faktor I o
Suhu ( C) Umur 25 hari: (A) 26 (Calorie) (B) 28 (Calorie) (C) 30 (Calorie)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan adanya berbedaan nyata antar perlakuan pada taraf 5 %
Hasil percobaan menunjukkan bahwa suhu 28 oC; salinitas 32 ‰; 34‰ (BE dan BF) merupakan kondisi optimum untuk sintasan dan laju pertumbuhan spat. Pada kondisi yang sesuai, spat dapat mengalokasikan energi secara maksimum untuk
70
perkembangan dan pertumbuhan. Sebaliknya pada suhu 26 oC salinitas 30 ‰ (AD), belanja energi spat paling rendah, sehingga sintasan dan laju pertumbuhan spat juga rendah. Menurut Goddard (1996) pada kondisi suhu dan salinitas optimum terjadi laju metabolisme maksimum, sehingga bisa dicapai sintasan dan laju pertumbuhan maksimum. Data yang diperoleh menjelaskan, bahwa belanja energi untuk metabolisme pada spat lebih rendah dibandingkan dengan stadia larva. Diduga, pada stadia larva bersifat planktonis dengan dicirikan aktif berenang, sehingga membutuhkan energi yang lebih besar. Energi tersebut diperoleh dari makanan yang difilter (filter feeder), jadi selama periode planktonis tingkat filtrasi juga meningkat. Menurut Crisp (1984); Dame (1996) keseimbangan energi dapat diestimasi melalui perbandingan antara energi yang diperoleh dari makanan dan energi yang digunakan untuk metabolisme internal. Jika hasilnya positif, keseimbangan energi ini dapat didefinisikan sebagai skope untuk pertumbuhan, atau representasi energi yang digunakan untuk tumbuh (jaringan somatik) (Resgalla et al. 2007). Sebaliknya pada spat, sepanjang hidupnya menetap-menempel pada substrat. Aktivitas fisik utama spat hanya melakukan filtrasi makanan, sehingga membutuhkan energi yang relatif lebih kecil. Menurut Bayne and Newell (1983) biaya energetik untuk aktivitas makan pada M edulis meningkat secara eksponensial seiring dengan laju filtrasi; penurunan kebutuhan energi bisa mencapai dua atau tiga kali dari pada kondisi aktif. Dalam kajian ini belanja energi untuk metabolisme rutin spat umur 25 hari lebih besar dibandingkan umur 35 hari. Diduga, spat umur 25 hari lebih banyak mengeluarkan energi, karena masih berada pada masa transisi hidup sebagai bentik, sehingga harus memproduksi banyak bisus untuk memantapkan posisi menempel pada substrat. Sebaliknya pada umur 35 hari spat sudah menetap, sehingga kondisinya relatif sudah lebih stabil.. Produksi benang bisus yang dilakukan hanya untuk mengimbangi pertumbuhan cangkang, sehingga membelanjakan energi lebih kecil. Menurut Morse (1990); Pawlik (1992); Zhao et al. (2003) metamorfose dan penempelan larva merupakan masa kritis dalam pengendalian dinamika populasi invertebrata. Sebagian besar bivalvia mempunyai benang bisus pada stadia post
71
larva, benang bisus berfungsi sebagai stabilisator pada waktu proses metamorfose dari larva menjadi spat. Pengukuran laju metabolisme basal pada juvenil abalone (Haliotis fulgans) dengan berat rata-rata 36,2 g dilakukan setelah dipuasakan. Disebutkan, abalone menggunakan 108,10 kalori yang berasal dari katabolisme protein atau setara dengan 2,99 C/g/hari. Penelitiannya yang lain pada H. carrugata, menghabiskan kalori 40 – 50 C/g/hari dan proporsi tersebut yang digunakan untuk metabolisme basal sekitar 2,8 – 3,5 C/g/hari. Nilai ini cenderung meningkat dan energi yang diperoleh berasal dari metabolisme karbohidrat (Viana et al. 2007). Spesies Mytilus californianus dengan berat kering 1 g, pada suhu 13 oC menghabiskan kalori rata-rata 20,6 J/liter, nilai tersebut dibagi untuk komponen metabolisme basal 2,72 J/jam dan biaya mencerna makanan 8,15 J/jam. Percobaan ini membatasi perlakuan salinitas hanya sampai 34 ‰, karena selain berdasarkan studi pendahuluan dan rujukan literatur juga mempertimbangkan habitat alami tiram mutiara yang umumnya hidup di perairan yang dipengaruhi oseanik, sehingga diduga perlakuan pada salinitas lebih dari 34 ‰ tidak berbeda nyata. Ternyata hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sintasan, laju pertumbuhan, konsumsi oksigen dan pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin pada salinitas 32 ‰ tidak berbeda nyata lebih kecil (P ≥ 0,05) dengan salinitas 34 ‰. Hasil pengamatan yang mendukung dikemukakan oleh Soria et al. (2007) pada juvenil scallop (Agropecten purpuratus) konsumsi oksigen pada salinitas 34 ‰ lebih besar dari pada salinitas 38 ‰, tetapi konsumsi oksigen pada perlakuan salinitas 38 ‰ dan 42 ‰ tidak berbeda nyata. Selanjutnya disampaikan, tidak ada perbedaan yang nyata (P > 0,05) laju konsumsi oksigen pada salinitas 34, 38 atau 42 ‰ dengan suhu 10 oC dan 22 oC. Perubahan salintas dapat berpengaruh terhadap toleransi suhu organisme akuatik poikiloterm (Garside and Chin 1972). Toleransi terhadap suhu maksimum yang ditunjukkan oleh hewan isoosmotik pada saat berada dalam suatu lingkungan, merupakan strategi adaptasi yang secara umum dimiliki hewan invertebrata. Harus dicatat, pada sejumlah spesies menunjukkan tidak atau hanya mempunyai kekuatan osmoregulasi ekstraseluler kecil, mekanisme regulasi isoosmotik intraseluler akan membawa sejumlah volume sel regulasi dan itu merupakan strategi adaptasi terbaik
72
dalam medium. Kerang spesies M. granosissimus, berasal dari laut kemudian diadaptasikan ke salinitas 3 ‰, maka akan mengalami stress dan mungkin akan mati jika tidak dikembalikan ke laut. Pada spesies tertentu, media air lebih sebagai penyebab kondisi stres salinitas sehingga variabelnya tergantung pada kemampuan adaptasi spesies (Gilles and Jeuniaux 1979). Dalam percobaan ini, tingkat metabolisme rutin larva dan spat tertinggi terjadi pada perlakuan suhu 28 oC dan salinitas 32 ‰; 34 ‰, atau merupakan suhu dan salintas optimum untuk larva dan spat P. maxima, jadi hasil sintasan dan laju pertumbuhan tertinggi yang terjadi pada perlakuan tersebut dapat diterima. Pendapat yang sama disampaikan Syafiuddin (2005) dan Thomas et al. (2000) bahwa laju metabolisme optimal terjadi pada kondisi suhu optimal. Perubahan suhu lingkungan juga merubah energi yang ditujukan untuk meningkatkan laju pertumbuhan, laju respirasi atau laju konsumsi oksigen. Sebagai contoh, hewan di daerah tropis mempunyai laju metabolisme lebih besar dibanding hewan yang hidup di daerah subtropis, fenomena ini dapat terjadi karena adanya perbedaan suhu perairan. Laju metabolisme hewan tropis meningkat 10 % pada setiap peningkatan suhu air sebesar 1 %. Reaksi biokimia yang berbasis pada kompensasi suhu dipercaya berpengaruh terhadap kerja sistim syaraf, serta perubahan kuantitatif dan kualitatif dalam tingkat reaksi enzim (Gosling 2004). Suhu juga mempengaruhi fenomena biologis hewan aquatik, hal ini tidak mengejutkan karena osmoregulasi hewan aquatik mungkin responsif pada pengaruh termal (Vernberg and Silverthorn 1979).
Sintasan dan Laju Pertumbuhan Larva Hasil percobaan menunjukkan bahwa sintasan dan pertumbuhan larva P. maxima dipengaruhi oleh suhu dan salinitas. Pada stadia I; sintasan tertinggi terjadi pada perlakuan suhu 28 oC, salinitas 34 ‰ (87,92 %) dan terendah pada perlakuan 26 o
C, salinitas 30 ‰ (22,80 %). Pada stadia II dan III, sintasan tertinggi juga terjadi
pada perlakuan yang sama (Tabel 9). Hasil analisis varian menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P ≤ 0,05) antar perlakuan suhu, salinitas dan tahap stadia, tetapi interaksi antara suhu dan salinitas tidak berbeda nyata (P ≥ 0,05). Hasil uji nilai tengah Tukey menunjukkan perbedaan nyata (P ≤ 0,05) antar perlakuan suhu, namun perlakuan salinitas 34 ‰ (F)
73
tidak berbeda nyata lebih kecil (P ≥ 0,05) dari 32 ‰ (E), sedangkan perlakuan 30 ‰ (D) berbeda nyata lebih kecil (P ≤ 0,05) dari E dan F (Lampiran 16). Tabel 9. Sintasan (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai tingkat suhu dan salinitas. Umur Stadia I (D1–D6)
Faktor II Faktor I Suhu (oC): (A) 26 (B) 28 (C) 30
(D) 30
Salinitas (‰) (E) 32
(F) 34
22,80 ± 1,17a 61,17 ± 1,04c 54,46 ± 0,81e
43,02 ± 1,29b 87,75 ± 1,09d 71,95 ±0,91f
43,71 ±1,03b 87,92 ±1,28d 72,23 ± 0,75f
(A) 26 (B) 28 (C) 30
21,17 ± 0,82a 59,09 ± 0,62c 48,67 ± 0,76e
32,20 ± 1,27b 81,91 ± 0,64d 69,61 ± 0,60f
32,67 ± 1,73b 82,39 ± 0,71d 70,17 ± 1,04f
(A) 26 (B) 28 (C) 30
10,33 ± 0,91a 64,79 ± 1,19c 48,41 ± 0,83e
22,39 ± 0,88b 76,72 ± 0,86d 60,98 ±0,77f
22,60 ± 0,80b 77,26 ± 0,75d 61,34 ± 0,85f
Stadia II (D7–D14)
Stadia III (D15–D20)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan adanya berbedaan nyata antar perlakuan pada taraf 5 %.
Pengamatan terhadap laju pertumbuhan larva dan analisis varian serta uji Tukey
Laju pertumbuhan (%)
menunjukkan pola dan hasil yang sama dengan sintasan (Gambar 17; Lampiran 17abc).
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Stadia II
30 ‰ 32 ‰ 34 ‰
Stadia III
Stadia I
26
28
30
26
28
30
26
28
30
Suhu (oC) dan salinitas (‰)
Gambar 17. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva stadia I (D1–D6), stadia II (D7– D14) dan stadia III (D15–D20) pada berbagai suhu dan salinitas.
74
Kajian toleransi larva terhadap suhu dan salinitas memberikan hasil yang komparable utamanya pada toleransi larva tiram mutiara P. maxima yang dipelihara dalam wadah terbatas dan diberi perlakuan berbagai suhu dan salinitas. Menurut Gosling (2004) pada saat ini akan lebih bermanfaat apabila dilakukan pengkajian dengan melihat pengaruh kombinasi suhu dan salinitas terhadap pertumbuhan Menurut O’Connor and Lawler (2004) suhu dan salinitas berpengaruh terhadap kecepatan dan keberhasilan pertumbuhan awal larva P. imbricata. Berdasarkan hasil percobaan ini, sintasan dan laju pertumbuhan larva P. maxima dari stadia veliger sampai plantigrade nyata dipengaruhi oleh suhu dan salinitas. Hal ini terlihat dari hasil analisis varian dan uji lanjut Tukey yang menunjukkan pengaruh siknifikan (P ≤ 0,05) pada setiap perlakuan suhu dan salinitas, tetapi tidak ditemukan pengaruh nyata (P ≥ 0,05) pada interaksi suhu dan salinitas. Sehingga diinterpretasikan tidak ada sinergi antara suhu dan salinitas dalam mempengaruhi sintasan dan pertumbuhan larva P. maxima. Penelitian O’Connor and Lawler (2004) juga menemukan tidak ada pengaruh sinergi suhu dan salinitas, walaupun ada pengaruh siknifikan suhu dan salinitas terhadap perkembangan larva P. imbricata. Dalam penelitian ini sintasan tertinggi terjadi pada perlakuan 28 oC dan salinitas 32 ‰; 34 ‰. Sintasan terendah terjadi pada perlakuan suhu 26 oC, salinitas 30 ‰. Rendahnya sintasan diduga karena suhu dan salinitas media relatif rendah untuk perkembangan larva P. maxima sehingga proses metabolisme dan osmoregulasi fluida ekstraseluler tidak dapat berlangsung efektif. Pendapat yang dikemukakan didukung oleh data yang menunjukkan adanya pengaruh suhu dan salinitas yang siknifikan (P ≤ 0,05) terhadap laju metabolisme rutin. Hasil penelitian yang tidak jauh berbeda disampaikan O’Connor and Lawler (2004) yaitu adanya pengaruh suhu serta salinitas pada sintasan larva P. imbricata dan terlepas dari adanya pengaruh suhu, sintasan tertinggi ditemukan pada salinitas 32 dan 35 ‰. Sebaliknya tingkat mortalitas tertinggi terjadi pada salinitas ≤ 23 ‰, umumnya mortalitas terjadi dengan cepat dan sangat tinggi pada pengujian suhu ekstrim 14 dan 26 oC. Larva P. imbricata mempunyai toleransi yang rendah terhadap salinitas, apalagi jika salinitas turun sampai kurang dari 29 ‰ dan larva tidak dapat berkembang pada suhu rendah yang ekstrim sekitar 14 oC. Pada kisaran salinitas 29–
75
35 ‰, persentase perkembangan embrio sampai stadia D-veliger meningkat siknifikan seiring dengan meningkatnya salinitas.
Sintasan dan Laju Pertumbuhan Spat Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sintasan spat tertinggi terjadi pada perlakuan suhu 28 ºC dan salinitas 34 ‰ (82,20 %) dan terendah pada perlakuan suhu 26 ºC dan salinitas 30 ‰ (15,22 %) (Tabel 10). Hasil analisis varian menunjukkan adanya pengaruh nyata (P ≤ 0,05) antar perlakuan suhu, salinitas serta interaksi suhu dan salinitas (Lampiran 18a). Hasil uji nilai tengah Tukey menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P ≤ 0,05) antar perlakuan suhu. Sedangkan perlakuan salinitas salinitas 32 ‰ (E) tidak berbeda nyata lebih kecil (P ≥ 0,05) dengan salinitas 34 ‰ (F) dan salinitas 30 ‰ secara nyata berbeda (P ≤ 0,05) dengan salinitas 32 ‰ dan 34 ‰ (Lampiran 18b). Pola yang sama dengan sintasan juga diamati dari hasil analisis varian dan uji Tukey terhadap laju pertumbuhan spat, yaitu pertumbuhan terbaik pada suhu 28 ºC dan salinitas 34 ‰ (BF) dan adanya pengaruh nyata (P ≤ 0,05) pada perlakuan suhu atau salinitas, serta interaksi suhu dan salinitas. (Gambar 18; Lampiran 19abc). Tabel 10. Sintasan (%) spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai suhu dan salinitas
(D) 30
Salinitas (‰) (E) 32
(F) 34
Suhu ( C): (A) 26
15,22 + 1,75a
37,83 + 1,95b
39,37 + 1,69b
(B) 28
67,18 + 1,35c
80,77 + 1,16d
82,20 + 0,82d
(C) 30
50,32 + 0,98e
74,60 + 1,63f
75,37 + 1,58f
Faktor II Faktor I o
Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan adanya berbedaan nyata antar perlakuan pada taraf 5 %
76
Laju pertumbuhan (%)
25
30 ‰ 32 ‰ 34 ‰
20 15 10 5 0 26
28
30
Suhu (oC) dan salinitas (‰)
Gambar 18. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai suhu dan salinitas Berbeda dengan kajian pada larva yang tidak ditemukan adanya interaksi antara suhu dan salinitas terhadap sintasan. Pada spat terdapat interaksi antara suhu dan salinitas terhadap sintasan, maka suhu dan salinitas secara sinergi mempengaruhi sintasan. Diduga, spat hidupnya menetap sehingga lebih dipengaruhi kondisi lingkungan. Sintasan terbaik spat dalam kajian ini adalah pada suhu 28 ºC dan salinitas 32 ‰, 34 ‰ (BE; BF). Hasil yang hampir sama dikemukakan oleh O’Connor and Lawler (2004) bahwa suhu dan salinitas berpengaruh terhadap sintasan P. imbricata. Disamping suhu, sintasan tertinggi ditemukan pada kisaran salinitas 32 dan 35 ‰ dan mortalitas tinggi akan terjadi pada salinitas 23 ‰ dalam waktu sekitar 7 hari. Pada suhu rendah spat P. maxima dapat mengalami kematian (Yukihira et al. 2006). Jika suhu tubuh parallel berhimpit dengan suhu lingkungan, maka organisme tersebut akan menjadi sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan beberapa jenis organisme aquatik ada yang dapat mendeteksi perubahan suhu kurang dari 0,5 oC (Goddard 1996). Hasil percobaan dapat diinterpretasikan bahwa pada suhu atau salinitas tertentu akan mempengaruhi pertumbuhan spat. Menurut Yukihira et al. (2006) suhu memberikan pengaruh siknifikan pada pertumbuhan, pada suhu rendah juvenile P. maxima akan mengalami kematian. Menurut Chen and Chen (2000) sintasan maksimum abalone secara langsung berkaitan dengan salinitas, tetapi sebaliknya pada suhu tidak menunjukkan ada relasi. Dalam kondisi kritis pada salinitas
77
maksimum, sintasan akan meningkat seiring dengan meningkatnya salinitas. Lebih lanjut disampaikan, bahwa hasil analisis Anova dua arah (Two way Anova) mengindikasikan pengaruh suhu dan salinitas yang signifikan pada sintasan, tetapi tidak ada interaksi yang siknifikan pada pengaruh suhu dan salinitas. Berbeda dengan hasil penelitian ini, terdapat interaksi yang siknifikan pada pengaruh suhu dan salinitas, diduga hewan uji yang digunakan mempunyai sifat yang berbeda. Abalone dapat bergerak bebas dengan berjalan, sedangkan spat tiram mutiara hidupnya menetap, sehingga baik pakan maupun kehidupannya sangat tergantung pada lingkungan tempat tinggalnya. Lain halnya pada waktu masih hidup sebagai larva planktonis, pengaruh suhu dan salinitas juga menunjukkan tidak ada interaksi yang siknifikan. Sebaliknya abalone, dengan mobilitasnya dapat berjalan mencari pakan dan dapat menghindar atau berpindah tempat apabila suhu lingkungan tidak cocok bagi kelangsungan hidupnya. Pengaruh sinergisme suhu dan salinitas dapat dijelaskan dengan fenomena biofisiologis hewan aquatik, dimana suhu berpengaruh terhadap osmoregulasi hewan akuatik dan lebih spesifik osmoregulasi hewan laut dipengaruhi oleh salinitas. Sebagai contoh, organisme yang berada di daerah baru, maka laju akomodasi konsentrasi darahnya akan menyesuaikan diri dengan lingkungan salinitas baru dan tergantung pada suhu, jadi laju akomodasi meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Suhu tidak hanya sebagai faktor fisik yang penting dalam mendeterminasi karakteristik dasar fluida, tetapi juga dapat digunakan sebagai efek deteksi tambahan yang terpasang dalam sistim tubuh, sehingga dapat mempengaruhi pergerakan air yang melintasi membran sel atau secara deferensial mempengaruhi relatifitas pengambilan ion aktif sehubungan dengan kehilangan ion (House 1974; Vernberg and Silverthorn 1979). Hasil pengkajian yang diperoleh sebenarnya tidak terlalu mengejutkan mengingat distribusi tiram mutiara umumya berada di suatu perairan yang pengaruh oseaniknya kuat. Menurut Cahn (1949); Tun and Winanto (1987) tiram mutiara P. maxima menyukai hidup di perairan dengan salinitas tinggi atau lebih dari 32 ‰. Disampaikan O’Connor and Lawler (2004), spat Pinctada imbricata hidup dengan sintasan yang baik pada salinitas 32–35 ‰ dan suhu di wilayah Port Stephens sekitar 14–24 oC. Hal yang agak berbeda pada Pinctada maxima, jika melihat distribusinya hanya di perairan daerah tropis dan ditemukan pada kedalaman 10–75 m (Winanto et
78
al. 1992; BBL 2001). Pengamatan Slamet et al. (1998) pada tiram mutiara P. maxima di perairan Bali Utara mencatat kisaran nilai kualitas air, antara lain salinitas 32–34 ‰ dan suhu 28–29 oC. Setiap spesies hewan air menghendaki kisaran suhu perairan yang diinginkan, dibutuhkan untuk makan, metabolisme dan tumbuh optimal (Goddard 1996). Perubahan suhu yang mendadak dapat mengakibatkan stress atau bahkan mortalitas tinggi, ini dapat terjadi manakala lingkungan perairan tiba-tiba berubah, sehingga orgnisme yang ada tidak sempat melakukan aklimatisasi secara bertahap dari derajat suhu yang ada ke suhu yang lain (Summerfelt 2007). Perubahan suhu yang ditolerir yaitu 0,2 oC/menit (12 oC/jam) “asalkan perubahan suhu total tidak lebih dari beberapa derajat” (Boyd 1990). Dalam kajian ini baik suhu maupun salinitas yang digunakan sebagai perlakuan selalu konstan, sehingga jika terdapat mortalitas memang disebabkan oleh perlakuan yang diaplikasikan. Merujuk pada habitat alaminya, maka dapat diterima jika dalam kajian ini diketahui bahwa suhu 28 oC dan salinitas 32–34 ‰ merupakan kondisi lingkungan optimum spat P. maxima yang dipelihara di dalam ruangan terkendali (Laboratorium).
Waktu Pencapaian Stadia Hasil percobaan pengaruh suhu dan salinitas terhadap lama waktu pencapaian stadia plantigrade menunjukkan bahwa suhu 28 oC dan salinitas 34 ‰ (18,93 hari) adalah kondisi terbaik untuk sintasan, perkembangan dan pertumbuhan larva P. maxima (Gambar 19; Lampiran 20a). 30 ‰ 32 ‰ 34 ‰
35
Waktu (hari)
30 25 20 15 10 5 0 26
28
Suhu (oC) dan salinitas (‰)
30
Gambar 19. Lama waktu (hari) pencapaian stadia plantigrade larva P. maxima pada berbagai tingkat suhu dan salinitas.
79
Hasil analisis varian menunjukkan bahwa suhu dan salinitas berpengaruh nyata (P ≤ 0,05) terhadap waktu pencapaian stadia, tetapi tidak ditemukan pengaruh interaksi yang nyata (P ≥ 0,05) antara suhu dan salinitas. Uji nilai tengah Tukey menunjukkan tidak ada pengaruh nyata antara salinitas 32 dan 34 ‰ (P ≥ 0,05), tertapi keduanya berbeda nyata (P ≤ 0,05) dengan salinitas 30 ‰. Sedangkan antar perlakuan suhu secara nyata (P ≤ 0,05) berpengaruh terhadap waktu pencapaian stadia (Lampiran 20b). Hasil pengamatan terhadap lama waktu pencapaian stadia plantigrade semakin mempertegas bahwa kondisi lingkungan (suhu dan salinitas) optimum untuk larva P. maxima adalah suhu 28 oC dan salinitas 32–34 ‰ (BE; BF). Pada kajian ini tidak ditemukan adanya pengaruh sinergi antara suhu dan salinitas, tetapi keduanya memberikan pengaruh yang nyata terhadap lama waktu pencapaian stadia. Diduga, pada kondisi suhu optimum aktivitas metabolisme berjalan maksimum, sehingga larva berkembang dengan baik. Sedangkan suhu 26
o
C relatif rendah untuk
perkembangan larva dan sebaliknya suhu 30 oC relatif tinggi untuk perkembangan lava. Hasil penelitian yang hampir sama dikemukakan oleh O’Connor and Lawler (2004) bahwa pencapaian stadia D-veliger larva P. imbricata (Roding) dipengaruhi oleh suhu dan salinitas, tetapi tidak ditemukan adanya pengaruh sinergi antara suhu dan salinitas. Penundaan waktu metamorfosa larva bivalvia biasanya berasosiasi dengan suhu (Loosanof and Davis 1963; Alagarswami et al. 1983). Diduga, disamping adanya variable lain, suhu dan salinitas rendah merupakan penyebab utama mengapa larva memperpanjang waktu stadia planktonisnya (Alagarswami et al. 1983). Berkaitan dengan kompetensi larva untuk menempel, beberapa peneliti mengamati bahwa stadia planktonis larva dapat dijumpai sampai hari ke tiga setelah berakhirnya stadia larva, jika kondisi lingkungan tidak sesuai dan tidak menemukan substrat yang cocok untuk menempel (Baker 1994). Menurut O’Connor and Lawler (2004) jumlah D-veliger menurun seiring dengan meningkatnya salinitas, tetapi pada suhu kurang pengaruhnya. Berkaitan dengan ontogeni atau perkembangan organisme dari sigot sampai dewasa, ternyata pada suhu dan salinitas optimum tidak tampak adanya pengaruh perbedaan yang besar. Oleh sebab itu ukuran larva P. imbricata pada suhu 22 dan 26 oC variasinya kecil. Penelitian Yukihira et al. (2000) di dalam laguna Great Barrier Reef,
80
Quensland Utara, Australia mencatat bahwa kisaran suhu optimum pada P. maxima dan P. margaritifera antara 23–28 oC.
Kualitas Air Parameter air yang diamati merupakan data pendukung percobaan. Hasil pengamatan (Lampiran 11) menunjukkan bahwa nitrat, nitrit dan amonia masih berada pada kisaran yang memenuhi syarat untuk sintasan dan pertumbuhan larva serta spat P. maxima.
Simpulan 1. Suhu optimum untuk pemeliharaan larva dan spat adalah 28 oC, sedangkan salinitas optimum untuk pemeliharaan larva dan spat antara 32 ‰−34 ‰. 2. Tingkat konsumsi oksigen dan pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin baik pada larva maupun spat tertinggi terjadi pada suhu 28 oC; salinitas 32 ‰−34 ‰. 3. Sintasan, laju pertumbuhan larva dan spat tertinggi terjadi pada perlakuan suhu 28 oC dan salinitas 32 ‰−34 ‰.
81