PENGARUH SKARIFIKASI BIJI TERHADAP PERKECAMBAHAN DAN PERTUMBUHAN BIBIT NYAMPLUNG Effect of Seed Scarification to Germination and Seedling Growth of Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) T.M. Hasnah
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta e-mail:
[email protected]
ABSTRACT The successful of plantation is determined by germinating seed in nursey. Seed of nyamplung, a recalsitrant seed, is covered by impermeabel hard layer. Proper technique to break the dormancy of the species to enforce the successful of seedling establishment is required. The research was conducted to obtain the best treament that is needed to increase the germination rate and the seedling growth. The research was arranged in a Completely Randomized Design for seed germination rate and seedling survival rate and a Randomized Complete Block Design for seedling growth. The seeds of nyamplung were taken randomly and grouped into three treatment, namely seeds with intacted shell, seeds with scared shell, and seeds without shell.The germination rate and the growth of the seed sown were measured. The germination rate was observed every week until 4 weeks and the seedling performance were observed every month until 7 months. The results showed that seed scarification affecting to germination rate and seedling survival rate. Effects of seed scarification fluctuated to seedling growth. Seeds without shell germinate earlier and more uniform than seeds with intacted shell and seeds with scared shell. Keywords: Calophyllum inophyllum L., scarification, germination rate, seedling growth ABSTRAK Keberhasilan penanaman suatu jenis salah satunya ditentukan oleh teknik mengecambahkan biji di persemaian. Biji nyamplung adalah biji rekalsitran yang dilapisi oleh tempurung yang dapat menjadi penghalang biji untuk berkecambah. Oleh karena itu, diperlukan teknik yang tepat untuk menunjang keberhasilan pembuatan bibit di persemaian. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perlakuan skarifikasi terbaik untuk meningkatkan daya kecambah dan pertumbuhan bibitnya. Rancangan yang digunakan adalah Acak Lengkap (untuk karakter daya kecambah biji dan persentase jadi bibit) dan Rancangan Acak Lengkap Berblok (untuk karakter pertumbuhan bibit). Biji nyamplung diambil secara acak, dikelompokan ke dalam tiga perlakuan, yaitu biji dengan tempurung utuh, biji dengan tempurung diretakan, dan biji tanpa tempurung. Biji nyamplung disemaikan dan diukur daya kecambah dan pertumbuhannya. Daya kecambah diamati setiap minggu selama 1 bulan sedangkan pertumbuhan bibit diamati setiap bulan selama 7 bulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa skarifikasi biji nyamplung berpengaruh terhadap daya kecambah dan persen jadi bibit. Pengaruh skarifikasi berfluktuasi pada pertumbuhan bibit nyamplung. Biji tanpa tempurung berkecambah lebih cepat dan seragam dibandingkan biji dengan tempurung diretakan dan biji dengan tempurung utuh. Kata Kunci: Calophyllum inophyllum L., skarifikasi biji, daya kecambah, pertumbuhan bibit 10
Pengaruh Skarifikasi Biji Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Bibit Nyamplung T.M. Hasnah
I. PENDAHULUAN Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) merupakan tanaman tropis yang banyak tersebar di Indonesia. Tanaman nyamplung dapat dibudidayakan secara generatif melalui biji. Buah nyamplung termasuk dalam tipe buah drupe (Bustomi et al., 2008; Dweck & Meadows, 2002). Buah drupe terdiri dari eksokarp yang berdaging atau tipis menjangat (seperti kulit); dan endokarp yang keras yang membungkus biji, pada umumnya biji tunggal (Hedrick, 1922). Biji nyamplung merupakan biji rekalsitran yaitu biji yang cepat kehilangan daya kecambahnya selama penyimpanan. Tipe biji rekalsitran hanya mampu hidup dalam kadar air biji yang tinggi. Biji rekalsitran ini diketahui memiliki keterbatasan yaitu cepat menurun viabilitas bijinya sejalan dengan menurunnya kadar air dan kecepatan kerusakan sel akibat pengeringan dan temperatur rendah. Biji rekalsitran tidak dapat disimpan lama dengan cara konvensional yaitu penyimpanan kering dan temperatur rendah (Walters et al., 2013). Menurut Hathurusingha & Ashwath (2012) biji nyamplung akan rusak karena proses pendinginan sehingga tidak sesuai disimpan dalam pendingin. Selanjutnya dijelaskan bahwa biji nyamplung masih dapat mempertahankan viabilitasnya setelah disimpan lebih dari 8 bulan bila disimpan dalam kondisi hangat. Nyamplung memiliki tipe dormansi fisik dimana biji dilapisi oleh kulit luar yang keras. Mayer & Mayber (1982) menegaskan bahwa dormansi adalah suatu keadaan dimana biji tidak mampu berkecambah walaupun faktor perkecambahan (air, suhu, komposisi gas dan cahaya) berada dalam keadaan optimum. Dormansi dapat menyebabkan pertumbuhan semai yang tidak seragam dan persen perkecambahan yang kecil (Hedrick, 1922). Selanjutnya ditambahkan bahwa kebutuhan biji untuk disemaikan menjadi bertambah karena adanya dormansi. Kondisi dorman tersebut dapat menyebabkan biji yang berkecambah, bibit, dan tumbuhan di lapangan menjadi tidak seragam. Hal ini akan menyulitkan pada saat melakukan pemeliharaan di persemaian dan penanaman di lapangan. Oleh karena itu metode pematahan dormansi yang tepat untuk menghasilkan biji yang cepat tumbuh dan bibit yang seragam mutlak diperlukan. Salah satu teknik pematahan dormansi adalah dengan skarifikasi (Mousavi et al., 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan skarifikasi pada biji nyamplung terhadap perkecambahan dan pertumbuhan bibit nyamplung dari populasi Gunung Kidul (DIY). Hasil penelitian ini akan bermanfaat untuk memberikan informasi atau rekomendasi terhadap metode yang efektif untuk pematahan dormansi pada biji nyamplung. Hal tersebut dapat mempersingkat waktu pemeliharaan bibit di persemaian. 11
Wana Benih Vol. 15 No. 1, Juli 2014, 10-20
II. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. Bahan Penelitian Biji nyamplung yang digunakan berasal dari buah nyamplung yang dipungut di bawah tegakan nyamplung di KHDTK Watusipat, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta seluas 2 Ha. Tegakan tersebut ditanam pada tahun 1958 atau sudah berumur 53 tahun saat dilakukan pengambilan buah. B. Metode Penelitian 1. Perlakuan skarifikasi biji nyamplung Perlakuan skarifikasi biji nyamplung dilakukan sebagai berikut (Gambar 1.): 1. Biji nyamplung dengan tempurung utuh (A) 2. Biji nyamplung dengan tempurung diretakan (B) 3. Biji nyamplung tanpa tempurung (C)
Gambar 1. Biji nyamplung dengan tempurung utuh (A), biji nyamplung dengan tempurung diretakan (B), dan biji nyamplung tanpa tempurung (C)
Pengambilan sampel biji dilakukan secara acak yang masih segar, berwarna cerah dan tidak berjamur. Masing-masing perlakuan skarifikasi diambil sebanyak 25 butir dan diulang sebanyak 4 kali. Biji ditabur secara langsung (direct seeding) pada polybag dengan menggunakan media top soil dan kompos dengan perbandingan 1:1. 2. Pengamatan perkecambahan biji dan bibit di persemaian 1. Pengamatan perkecambahan biji dilakukan setiap minggu selama 1 bulan, kecambah dihitung setelah munculnya plumulae (calon batang). Pengamatan perkecambahan biji dilakukan dengan mencatat jumlah kecambah normal yang tumbuh setiap minggunya. Daya kecambah merupakan nilai rata-rata dari persentase kecambah normal yang terdapat pada setiap ulangan. Daya kecambah dihitung dengan rumus sebagai berikut: 12
Pengaruh Skarifikasi Biji Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Bibit Nyamplung T.M. Hasnah
Daya berkecambah =
Jumlah kecambah normal x 100% Jumlah benih ditabur
2. Pengamatan bibit di persemaian dilakukan setiap bulan selama 7 bulan meliputi persentase jadi bibit (%), tinggi (cm), diameter (mm) dan kekokohan bibit (cm/mm). 3. Rancangan percobaan 1. Untuk karakter daya kecambah biji dan persentase jadi bibit: Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (CRD) dengan 3 perlakuan (biji dengan tempurung, biji dengan tempurung diretakan, dan biji tanpa tempurung), menggunakan 25 biji tiap perlakuan dan 4 ulangan 2. Untuk karakter tinggi, diameter dan kekokohan bibit: Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Berblok (RCBD) dengan 4 ulangan (blok), 3 perlakuan (biji dengan tempurung utuh, biji dengan tempurung diretakan, dan biji tanpa tempurung) dan 25 bibit per plot. 4. Analisis data Data hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan analisis varian dilanjutkan dengan Uji Lanjut LSD bila terdapat perbedaan antar ukuran biji yang di uji. Model matematis yang digunakan adalah: 1. Untuk karakter daya kecambah dan persentase jadi bibit: Yij = µ + πi + εij Keterangan: Yij : variabel yang diukur µ : rata-rata pengamatan πi : pengaruh perlakuan skarifikasi biji ke-i εij : random error pada perlakuan skarifikasi biji ke-i, pada ulangan ke-j Data daya kecambah biji dan persentase jadi bibit sebelum dilakukan analisis varian dilakukan transformasi ke dalam bentuk arcus sinus. 2. Untuk karakter tinggi, diameter dan kekokohan bibit: Yijk = µ + βi + πj + εijk Keterangan: Yijk : variabel yang diukur µ : rata-rata pengamatan βi : pengaruh blok ke-i πj : pengaruh perlakuan skarifikasi biji ke-j εijk : random error pada blok ke-i dan perlakuan skarifikasi biji ke-j, pada ulangan ke-k 13
Wana Benih Vol. 15 No. 1, Juli 2014, 10-20
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Daya Kecambah Perkecambahan adalah semua proses yang terlibat dalam transformasi embryo menjadi bibit yang independen (tidak bergantung pada cadangan makanan) (Bryant, 1985). Tiga tingkatan perkecambahan meliputi 1) imbibisi air 2) mobilisasi dan penggunaan cadangan makanan (karbohidrat, lemak, dan protein) dan 3) pertumbuhan (Farmer, 1997). Kondisi yang dibutuhkan untuk proses perkecambahan termasuk didalamnya kecukupan suplai air, suhu dan oksigen yang sesuai (Mayer & Maber, 1982) Berdasarkan pengamatan dan hasil analisis (Tabel 1), dapat diketahui bahwa biji yang berkecambah paling cepat dan seragam adalah pada perlakuan biji tanpa tempurung dimulai minggu kedua dan biji berkecambah 80% telah dicapai pada minggu ketiga, sedangkan pada perlakuan biji dengan tempurung utuh dan biji dengan tempurung diretakan baru berkecambah pada minggu keempat masing-masing sebesar 2% dan 6%. Hal tersebut membuktikan bahwa penghilangan kulit biji nyamplung dapat mempercepat perkecambahan dan menghasilkan kecambah yang lebih seragam.
Tabel 1. Daya kecambah biji nyamplung (%) umur 1 sampai dengan 4 minggu pada berbagai perlakuan skarifikasi biji Perlakuan Skarifikasi
Minggu ke1
2
3
4
Biji dengan tempurung utuh
0 a
0
b
0
b
2
b
Biji dengan tempurung diretakan
0 a
0
b
0
b
16
b
Biji tanpa tempurung
0 a
21 a
87 a
94 a
Keterangan: Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama berarti tidak berbeda secara nyata pada taraf 5%.
Kulit biji nyamplung yang keras dapat menjadi kendala dalam proses perkecambahan karena air dan oksigen akan sulit untuk melewati kulit biji yang keras. Menurut Troup (1975) penghilangan kulit biji efektif untuk menginisisasi perkecambahan dan meningkatkan persentase perkecambahan. Skarifikasi mekanik pada biji nyamplung dengan meretakan tempurung buah setelah biji ditabur memiliki persentase perkecambahan yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan dengan perendaman pada air dingin, kontrol, dan perendaman pada air panas (Asinwa et al., 2012). Pada biji dengan tempurung diretakan air dapat diabsorbsi biji sehingga proses perkecambahan dapat berlangsung. Proses perkecambahan diawali dengan imbibisi air oleh biji sehingga embryo membesar (Finch-Savage & Leubner-Metzger, 2006). 14
Pengaruh Skarifikasi Biji Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Bibit Nyamplung T.M. Hasnah
Pada perlakuan biji dengan tempurung diretakan beberapa biji tidak berkecambah dapat disebabkan karena meskipun tempurung telah diretakan namun karena lapisan tempurung biji nyamplung yang tebal dan liat air tetap tidak bisa menembus biji sehingga meskipun kondisi biji di dalam tempurung masih bagus biji tidak mampu berkecambah. Hal tersebut dapat pula disebabkan karena kondisi biji di dalam tempurung yang sudah rusak terserang jamur atau mikroorganisme lainnya (Christensen, 1972). Biji dengan tempurung diretakan dan tempurung utuh berkecambah lebih lambat dibandingkan biji tanpa tempurung. Hal tersebut disebabkan karena adanya dormansi dimana biji nyamplung dengan tempurung utuh memiliki lapisan endokarp yang cukup tebal, keras, liat dan kedap sehingga menjadi penghalang terhadap masuknya air atau gas-gas ke dalam biji yang diperlukan untuk perkecambahan (Schimdt, 2002). Meskipun lapisan tempurung biji nyamplung bagian luar telah diretakan, air atau gas dapat saja tidak menembus biji karena lapisan tempurung bagian dalam masih utuh. Hasil analisis SEM (scanning electron microscope) menunjukan tidak adanya pori pada tempurung biji nyamplung (Wibowo et al., 2011). Tempurung biji nyamplung memiliki kandungan lignin yang cukup tinggi sebesar 36,59%. Selain itu memiliki kandungan selulosa (48,66%), holoselulosa (87,64%), dan pentosan (24,82%) (Wibowo et al., 2011). Lignin resisten terhadap degradasi oleh sebagian besar mikroorganisme dan berperan untuk melindungi sel dari mikroba (Berg & Mc Claugherty, 2008). B. Persentase Jadi Bibit Hasil analisis persen jadi bibit nyamplung selama 7 bulan dari tiga perlakuan skarifikasi disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase jadi bibit (%) nyamplung umur 1 sampai dengan 7 bulan pada berbagai perlakuan skarifikasi biji Perlakuan skarifikasi
1
A B C
2 c 28 b 96 a
Keterangan:
2 54 c 80 b 99 a
Bulan ke3 4 77 b 84 b 89 a b 91 a b 100 a 100 a
5 88 b 90 a b 99 a
6 88 b 88 b 99 a
7 90 b 88 b 99 a
Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama berarti tidak berbeda secara nyata pada taraf 5%; A = Biji dengan tempurung utuh; B = Biji dengan tempurung diretakan; C= Biji tanpa tempurung.
Hasil analisis (Tabel 2) menunjukan bahwa skarifikasi biji berpengaruh nyata terhadap persentase jadi bibit, dengan persentase terbesar ditunjukan oleh perlakuan biji utuh tanpa tempurung sejak awal sampai dengan akhir pengamatan (7 bulan).
15
Wana Benih Vol. 15 No. 1, Juli 2014, 10-20
Biji tanpa tempurung dapat diketahui kualitas bijinya dari penampakan luarnya yaitu berwarna kuning cerah, tidak keriput, tidak berjamur dan tidak terserang hama penyakit lainnya. Biji yang tersimpan dalam tempurung tidak dapat diketahui kualitas bijinya secara visual, sehingga kita tidak dapat melakukan seleksi terhadap kondisi biji saat mengecambahkannya. Biji dalam tempurung dapat rusak karena terserang jamur, membusuk atau terserang mikroorganisme lainnya sehingga menyebabkan biji tidak berkecambah. Bakteri berperan penting dalam penurunan kualitas biji selama penyimpanan (Christensen, 1972; Christensen, 1978; Christensen & Kaufmann, 1969). Serangan patogen dan hama dapat menyebabkan menurunnya kualitas dan persentase perkecambahan biji (Sutopo, 1993). Menurut Justice & Bass (2002) biji dapat terserang patogen pada waktu pemanenan biji di lapangan dan pada waktu biji berada di penyimpanan Christensen (1972) mengemukakan bahwa jamur dapat tumbuh dan merusak biji yang disimpan pada kadar air 10-18%. Lamanya penyimpanan biji dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suhu, kelembaban, dan oksigen (Desai et al., 1997). Semakin rendah suhu dan kelembaban udara akan semakin lama umur biji dan semakin banyak oksigen akan semakin mempersingkat umur biji. Pegecualian untuk jenis rekalsitran, yang harus mempertahankan tingginya kelembaban relatifnya untuk menjaga viabilitasnya. Biji rekalsitran tidak dapat dikeringkan di bawah kadar air 30% tanpa mengalami kerusakan dan tidak toleran terhadap perlakuan pembekuan sehingga tidak dapat disipmpan lama karena tingginya kadar air memicu kontaminasi mikroba yang mempercepat kerusakan biji (Copeland & Mc. Donald, 1999). Selanjutnya dijelaskan biji rekalsitran yang disimpan di bawah nol derajat celcius akan mengkristal yang menyebabkan kerusakan membaran sel. Biji rekalsitran terlindungi oleh tingginya kandungan air dan intoleran terhadap pengurangan air serta terkadang juga oleh pendinginan (Berjak et al., 1993; Smith & Berjak, 1995). Biji tropis yang rekalsitran biasanya sensitif terhadap temperatur rendah. Kerusakan karena pendinginan sering terjadi pada suhu (15oC-20 oC) (Sacande et al., 2004). Persentase jadi bibit nyamplung pada ketiga perlakuan skarifikasi biji masih tergolong tinggi (>70%). Rata-rata 80% biji berkecambah telah tercapai pada bulan pertama pada perlakuan biji tanpa tempurung. Sedangkan pada perlakuan biji dengan tempurung diretakan dan biji dengan tempurung utuh meskipun biji telah berkecambah pada bulan pertama namun rata-rata 80% biji berkecambah baru tercapai berturut-turut pada bulan kedua dan bulan keempat. Hal tersebut membuktikan bahwa biji nyamplung tanpa tempurung akan mempercepat perkecambahan dan menghasilkan bibit yang lebih seragam. Biji pada perlakuan tanpa tempurung telah stabil berkecambah pada bulan ketiga, sedangkan pada perlakuan biji dengan tempurung diretakan dan biji dengan tempurung utuh perkecambahan stabil setelah bulan keempat dan bulan ketujuh. Hal ini membuktikan bahwa sampai dengan umur 4 bulan bahkan sampai dengan 7 bulan biji nyamplung dengan tempurung utuh masih tinggi viabilitasnya. Menurut Yao (1975) umur biji nyamplung dapat mencapai lebih dari 1 tahun. Tempurung biiji yang keras (dormansi fisik) akan melindungi biji dari serangan mikroba (Dalling et al., 2011) dan memperpanjang umur biji (Mohamed-Yasseen et al., 1994) serta tahan berada dalam tanah (Shen-Miller et al., 1995).
16
Pengaruh Skarifikasi Biji Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Bibit Nyamplung T.M. Hasnah
Biji dengan tempurung utuh masih dapat berkecambah hingga berumur 7 bulan karena lapisan kulit biji yang impermeabel lama kelamaan bisa menjadi permeabel karena waktu dan cuaca (Desai et al., 1997). Dijelaskan bahwa kulit biji yang keras di tanah dapat melunak karena kondisi basah dan kering secara bergantian dan mikroorganisme di tanah dapat membusukan kulit biji. Kondisi tanah yang kering untuk beberapa waktu dapat menyebabkan perubahan pada kulit biji yang mendukung perkecambahan. Pelindihan oleh air dan cahaya juga menyebabkan perubahan pada biji yang dapat menyebabkan biji berkecambah. Pada akhir pengamatan (7 bulan), persentase jadi bibit terbaik ditunjukan oleh perlakuan biji tanpa tempurung. Perlakuan biji dengan tempurung diretakan dan biji dengan tempurung utuh tidak menunjukan perbedaan nyata. Hal ini disebabkan karena ketika faktor-faktor yang mendukung perkecambahan tersedia, pada biji tanpa tempurung dapat langsung melakukan proses perkecambahan tanpa adanya penghalang. Sementara itu biji dengan tempurung diretakan maupun tempurung utuh masih mengalami hambatan oleh kulit biji (tempurung) yang keras dan impermeabel karena adanya dormansi fisik dan mekanis oleh kulit biji (Schmidt, 2002). Oleh karena itu penggunaan biji nyamplung untuk tujuan persemaian lebih baik menggunakan biji tanpa tempurung, karena disamping berkecambah lebih cepat dan lebih seragam kita akan lebih mudah mengontrol kondisi biji yang masih baik. Oleh karena itu bijibiji yang rusak, busuk, atau terserang jamur dan mikroorganisme lainnya tidak kita semaikan dan hanya biji-biji yang kondisinya masih baik yang disemaikan yaitu berwarna kuning cerah, segar, tidak keriput, tidak busuk atau terserang jamur dan mikroorganisme lainnya. 1. Pertumbuhan Bibit Beberapa penelitian menunjukan adanya hubungan antara perlakuan skarifikasi biji terhadap pertumbuhan bibit. Perlakuan skarifikasi biji memperlihatkan pertumbuhan bibit yang lebih baik dibandingkan tanpa skarifikasi (Hasanein, 2010; Karaguzel et al., 2004). Hasil analisis pertumbuhan bibit nyamplung di persemaian disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 3) dapat diketahui bahwa perlakuan skarifikasi biji memberikan pengaruh yang nyata pada pertumbuhan tinggi bibit nyamplung pada umur 1 sampai dengan 6 bulan pengamatan namun tidak berpengaruh pada umur 7 bulan. Perlakuan biji tanpa tempurung memperlihatkan pertumbuhan tinggi terbaik dari umur 1 sampai dengan 7 bulan. Hal ini dikarenakan biji tanpa tempurung lebih cepat berkecambah sehingga pertumbuhannya lebih cepat melebihi yang lainnya. Pertumbuhan tinggi pada biji dengan tempurung utuh dan tempurung diretakan tidak berbeda nyata pada umur 4 sampai dengan 7 bulan. Hal ini disebabkan fase pertumbuhan awal ditunjukan laju pertumbuhan bersifat eksponensial kemudian menurun karena adanya faktor-faktor pembatas (Tohari, 2002). Oleh karena itu bibit yang tumbuh lebih awal pada akhirnya dapat terlampaui oleh bibit yang tumbuh lebih lambat. 17
Wana Benih Vol. 15 No. 1, Juli 2014, 10-20
Tabel 3. Uji lanjutan (LSD) pertumbuhan bibit tanaman nyamplung pada umur 1 sampai dengan 7 bulan pada ketiga perlakuan skaridikasi biji Sifat/ Perlakuan
1
Pengamatan bulan ke3 4 5
2
Tinggi (cm) A 2,80 b 9,06 c B 1,83 c 10,98 b C 9,49 a 13,45 a Diameter (mm) A 2,86 b B 3,05 b C 3,56 3,35 a Kekokohan Bibit (cm/mm) A 1.57 a B 2.93 a C 2,63 4,02 a Keterangan:
6
7
12,60 c 14,41 b 16,66 a
15,49 b 16,83 b 20,07 a
18,91 b 20,76 b 24,16 a
23,52 b 25,64 b 28,52 a
30,27 a 31,36 a 34,80 a
3,26 a 3,17 a 3,47 a
3,18 a 3,57 a 3,77 a
3,79 a 3,90 a 3,91 a
4,15 a 4,34 a 4,42 a
5,15 b 5,48 ab 6,64 a
2,91 b 3,69 b 4,85 a
5,68 a 4,37 a 5,39 a
5,01 b 5,41 b 6,14 a
4,94 b 5,25 ab 6,31 a
5,29 ab 5,05 b 6,06 a
Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama berarti tidak berbeda secara nyata pada taraf 5%; A = Biji dengan tempurung utuh; B= Biji dengan tempurung diretakan; C= Biji tanpa tempurung
Tohari (2002) menjelaskan bahwa faktor pembatas pertumbuhan diantaranya waktu, media tumbuh, dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Pertumbuhan diameter bibit tidak berbeda nyata pada ketiga perlakuan skarifikasi bibit pada umur 3 sampai dengan 6 bulan. Hal ini dikarenakan pada fase awal pertumbuhan semai, pertumbuhan tingginya lebih dominan sedangkan pertumbuhan diameternya sangat kecil. Perbedaan kekokohan bibit berfluktuatif pada umur 1 sampai dengan 7 bulan. Hasil akhir menunjukan bahwa ketiga perlakuan skarifikasi biji setelah berumur 7 bulan, semua bibit telah siap tanam pada ketiga perlakuan. IV. KESIMPULAN 1. Perlakuan skarifikasi biji nyamplung berpengaruh nyata terhadap daya kecambah dan persentase jadi bibit di persemaian. Daya kecambah dan persentase jadi bibit terbaik ditunjukan oleh perlakuan biji tanpa tempurung. 2. Perlakuan skarifikasi biji berfluktuasi terhadap pertumbuhan bibit sampai dengan bibit siap tanam. 3. Skarifikasi biji yang tepat digunakan untuk meningkatkan daya kecambah dan persen jadi bibit serta keseragaman ukuran bibit adalah dengan menghilangkan tempurung pada biji. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Budi Leksono, MP dan tim penelitian pemuliaan jenis-jenis HHBK prioritas di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta atas terlaksananya penelitian ini. 18
Pengaruh Skarifikasi Biji Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Bibit Nyamplung T.M. Hasnah
DAFTAR PUSTAKA Asinwa, I.O., A.R. Ojo, J.M. Ezekiel, E.A. Awosan, & A.O. Olaitan. 2012. Pre- Treatment effects on the germination of the seeds of Calophyllum inophyllum [Linn] (Indian laurel). Journal of Agriculture, Forestry and the Social Sciences 10 (1). Pp. 165-171 Berjak, P., J.M. Farrant, N.W. Pammenter, C.W. Vertucci & J. Wesley-Smith. 1993. Current understanding of decissation sensitive (recalcitrant seeds): development, state of water and responses to dehydration and freezing. In D. Come & F. Corbineau (eds.). Fourth International Workshop on Seeds: Basic and Applied Aspects of Seed Biology. AFSIS. Paris. P. 705. Berg, B., & C. Mc Caugherty. 2008. Plant Litter, 2nd Ed. Berlin: Springer. Berlin. Bryant, J. A. 1985. Seed Physiology. Camelot Press Ltd. Southampton. Bustomi, S., T. Rostiwati, R. Sudradjat, B. Leksono, A.S. Kosasih, I. Anggraeni, D. Syamsuwida, Y. Lisnawati, Y. Mile, D. Djaenudin, Mahfudz, E. Rahman.. 2008. Nyamplung (Calophyllum inophyllum L) Sumber energi biofuel yang potensial. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Christensen, C. M. 1972. Microflora and seed deterioration. In E.H. Roberts (Ed.). Viabilitiy of Seeds. Chapman & Hall. London. P. 59. Christensen, C. M. 1978. Moisture and seed decay. In TT. Kozlowski (Ed.). Water Deficits and Plants Vol. IV. Academic Press. New York. P. 199. Christensen, C. M. & H. H. Kaufmann. 1969. Grain Storage: The Role of Fungi in Quality Loss. University of Minnesota Press. Minneapolis. Dalling, J.W., B. J. Schutte, & A.E. Arnold. 2011.Seed survival in soil: interacting effects of predation, dormancy and the soil microbial community. Journal of Ecology 99:89-95. Desai, B.B., P.M. Kotecha, & D. K. Salunkhe. 1997. Seeds Handbook Biology, Production, Processing, and Storage, 2nd ed. Marcell Dekker Inc. USA. Dweck, A.C. & T. Meadows. 2002. Tamanu (Calophyllum inophyllum)-The African Asian Polynesian and Pasific Panasea. International Journal of Cosmetic Science 24: 1-8 Farmer, R. E. 1997. Seed Ecophysiology of Temperate and Boreal Zone Forest Trees. St. Lucie Press. Delray Beach, Florida. pp. 1-132. Finch-Savage & Leugner-Metzger. 2006. Tansley review: Seed dormancy and the control of germination. New Phytologyst 171: 501-523 Hasanein, A.M.A. 2010. Improving seed germination and seedling growth of some economically important trees by seed treatments and growing media. Journal of Horticultural Sciences & Ornamental Plants (JHSOP) 2 (1):24-31. Hedrick, U. 1922. Cyclopedia of Hardy Fruits. Mc Millan Company. USA. 19
Wana Benih Vol. 15 No. 1, Juli 2014, 10-20
Hathurusingha, S. & Ashwath, N. 2012. Calophyllum inophyllum: recalcitrant or Intermediate seed? Journal of Forestry Research (23): 1. Northeast Forestry University. Harbin, China. pp 103-107. Justice, O.L. & L.N. Bass. 2002. Prinsip Dan Praktek Penyimpanan Biji. Rennie Roesli pent. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Karaguzel, O., S. Cakmakci, V. Ortacesme, & B. Aydinoglu. 2004. Influence of seed coat treatments on germination and early seedling growth of Lupinus Varius L. Pakistan Jornal of Botany 36(1): 65-74. Mayer, A. M., & A. Poljakoff-Maber. 1982. The Germination of Seed, 3rd edition. Pergamon Press. Oxford. Mohamed-Yasseen, Y., S. Barringer, W. Splittstoesser, & S. Costanza. 1994. The role of seed coats in seed viability.The Botanical Review 60: 426-439. Mousavi, S. R., M. Rezaei, & A. Mousavi. 2011. A general overview on seed dormancy and methods of breaking it. Advances in Environmental Biology 5(10): 3333-3337. Olszewski, M.W., C. A. Young, & J.B. Sheffield. 2010. Germination and vigor of Desmanthus illinoensis and Desmodium canadense in response to mechanical scarification. Hortcultura Science 45:1554-1558. Sacande, M., D. Jøker, M.E. Dulloo, & K.A. Thomsen (eds). 2004. Comparative StorageBiology of Tropical Tree Seeds. International Plant Genetic Resources Institute. Rome. Schmidt, L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Subtropis. Terjemahan. Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Pehutanan Sosial. Jakarta Smith, M. T., & P. Berjak. 1995. Deteriorative changes associated with the loss of viability of stored desiccation tolerant and desiccation sensitive seeds. In J. Kigel and G. Gallili (eds.). Seed Development and Germination. Marcel Dekker. New York. p.701 Shen-Miller, J., M. B. Mudgett, J.W. Schopf, S. Clarke, & R. Berger. 1995. Exceptional seed longevity and robust growth: ancient Sacred Lotus from China. American Journal of Botany 82: 1367-1380. Sutopo, L. 1993. Teknologi Biji. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 67-68. Tohari. 2002. Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta. Troup, R.S. 1975. The Silviculture of Indian Trees Volume I. Forest Research Institute and Colleges. India. pp. 307. Wibowo, S., W. Syafri, dan G. Pari. 2011. Karakterisasi permukaan arang aktif tempurung biji nyamplung. Makara, Teknologi (15): 17 -24 Walters, C., P. Berjak, N. Pammenter, K.Kennedy, P. Raven. 2013. Preservation of recalcitrant seeds. Science 339: 915-916 Yao, C.E., 1994. Indigenous species for private reforestation. Philippine Lumberman 60(5):34-36.
20