PENGARUH SISTEM PERTUKARAN SOSIAL PADA TINGKAT KEBERLANJUTAN USAHA KERAJINAN BAMBU
ZAMALUDIN
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudulPengaruh Sistem Pertukaran Sosial pada Tingkat Keberlanjutan Usaha Kerajinan Bambu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2014 Zamaludin NIM I34100084
ii
ABSTRAK ZAMALUDIN. Pengaruh Sistem Pertukaran Sosial pada Tingkat Keberlanjutan Usaha Kerajinan Bambu. Di bawah bimbingan SAHARUDDIN. Industri kerajinan merupakan industri yang mempunyai peranan luar biasa terhadap perekonomian Indonesia. Berdasarkan data yang didapatkan dari Departemen Perdagangan (2007), rata-rata nilai PDB industri kerajinan dalam periode 2002-2006 mencapai Rp 29 triliun. Ini berarti bahwa industri kerajinan memberi kontribusi PDB sebesar 1,76 persen terhadap total PDB nasional pada periode tersebut. Dalam periode yang sama, sumbangan industri kerajinan untuk lapangan pekerjaan yang dihasilkan juga besar yakni mencapai 1,8 juta pekerja. Produkivitas tenaga kerja mencapai rata-rata 16,1 juta rupiah per pekerja pertahun. Selain PDB dan penyerapan tenaga kerja, industri kerajinan juga memiliki kontribusi terhadap ekspor. Penelitian ini membahas mengenai pengaruh sistem pertukaran sosial terhadap tingkat keberlanjutan usaha kerajinan bambu di Desa Gunung Bunder I. Hasil Penelitian menunjukan bahwa sitem pertukaran sosial memiliki pengaruh sebesar 29,9%, sedangkan bentuk pertukaran sosial yang paling berpengaruh adalah bentuk redistribusi. Kata Kunci: Sistem Pertukaran Sosial, Kerajinan Bambu, Keberlanjutan Usaha ABSTRACT ZAMALUDIN. The Effect of Social Exchange System of the Continuity Bamboo Craft Business. Supervised by SAHARUDDIN. Craft industry is an industry that has a tremendous role in the Indonesian economy. Based on the data obtained from the Department of Commerce (2007), the average GDP of the craft industry in the period 2002-2006 to reach Rp 29 trillion. This means that the craft industry contributes GDP by 1.76 percent of total national GDP in that period. In the same period, the contribution of the craft industry for employment also produced large, reaching 1.8 million workers. Labor productivity at an average of 16.1 million dollars per worker per year. In addition to GDP and employment, the craft industry has also contributed to export. This research discusses the influence of social exchange on the level of system sustainability bamboo handicraft business in Desa Bunder I. Outcomes Research shows that social exchange has influence sitem of 29.9%, while the form of the most influential social exchange is a form of redistribution. Keywords: Social Exchange System, Bamboo Crafts, Business Continuity.
iv
PENGARUH SISTEM PERTUKARAN SOSIAL PADA TINGKAT KEBERLANJUTAN USAHA KERAJINAN BAMBU
ZAMALUDIN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
vi
Judul Skripsi Nama NIM
: Pengaruh Sistem Pertukaran Sosial pada Tingkat Keberlanjutan Usaha Kerajinan Bambu : Zamaludin : I34100084
Disetujui oleh
Dr. Ir. Saharuddin, M.Si Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc Ketua Departemen
Tanggal Lulus: ________________
viii
PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian berjudul “Pengaruh Sistem Pertukaran Sosial pada Tingkat Keberlanjutan Usaha Kerajinan Bambu” dengan baik. Proposal penelitian ini ditujukan untuk memenuhi syarat pelaksanaan penelitian pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa studi pustaka ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa teruma kasih kepada: 1. Ibunda Enjun, Ayahanda Suhandi, beserta seluruh keluarga yang selalu memberikan motivasi dan dorongan untuk keberhasilan penulis. 2. Dr. Ir. Saharuddin, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak mencurahkan waktu untuk membimbing dan memberikan masukan yang sangat berarti selama penulisan skripsi ini. 3. Megawati Simanjuntak S.P M.Si, yang selalu memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan studi. 4. Dikti dan Kemendikbud yang telah memberikan beasiswa penuh selama kuliah serta Direktorat Kemahasiswaan yang telah membantu kelancaran kuliah serta atas semangat dan motivasi untuk berprestasi. 5. Teman-teman seperjuangan Tuti Artianingsih, Suhartini, Laras Lestari, Agus Harianto, Fingki Ardiansyah, Audi Agung Permadi, dan Muhammad Demmy Bustomi yang selalu menjadi tempat untuk bertukar pikiran dan keceriaan. 6. Keluarga Bapak Erik dan segenap warga Kampung Legok Nyenang yang telah membantu selama proses penelitian. 7. Teman-teman satu bimbingan, Eva Masrifah dan Muhammad Sadri Sugra yang saling menyemangati satu sama lain. 8. Teman-teman seperjuangan SKPM 47 atas semangat dan kebersamaan selama ini. 9. Dan semua pihak yang telah memberikan dukungan sehingga terselesaikannya studi pustaka ini Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca dalam memahami lebih jauh tentang sistem pertukaran sosial. Bogor, Juni 2014
Zamaludin
x
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Kewirausahaan Industri Kerajinan Pertukaran Sosial Keberlanjutan Usaha Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Operasional PENDEKATAN LAPANGAN Lokasi dan Waktu Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data GAMBARAN UMUM LOKASI PENELIIAN Kondisi Geografis Kondisi Sosial Budaya Kondisi Ekonomi Ikhtisar KARAKTERISTIK USAHA KERAJINAN BAMBU DI DESA GUNUNG BUNDER I Potensi Kerajinan Bambu Desa Gunung Bunder I Siklus Produksi Kerajinan Bambu Lama Berusaha dalam Sektor Kerajinan Bambu Jenis Kerajinan Bambu yang Diproduksi Ikhtisar KARAKTERISTIK RESPONDEN Jenis Kelamin dan Usia Responden Tingkat Pendidikan Responden Modal Usaha Tingkat Pendapatan Responden Ikhtisar BENTUK PERTUKARAN SOSIAL PADA MASYARAKAT PELAKU KERAJINAN BAMBU Pertukaran Pasar Resiprositas Redistribusi Ikhtisar
xiii xiv xiv 1 1 3 3 3 5 5 5 6 6 10 11 12 12 15 15 16 16 19 19 20 21 22
23 23 24 25 25 26 29 29 30 30 31 32 33 33 35 36 37
xii
ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA KERAJINAN BAMBU Tingkat Keberlanjutan Usaha Kapasitas Pengrajin Keadilan Berusaha Kemandirian Pengrajin Ikhtisar PENGARUH BENTUK PERTUKARAN SOSIAL PADA TINGKAT KEBERLANJUTAN USAHA KERAJINAN BAMBU Pengaruh Sistem Pertukaran Sosial pada Tingkat Keberlanjutan Usaha Perbandingan Pengaruh Tiap Bentuk Pertukaran Sosial pada Keberlanjutan Usaha Ikhtisar SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
39 39 40 42 44 47 49 49 50 51 53 53 53 55 57 68
DAFTAR TABEL Tabel Judul Halaman 1 Jadwal Rencana Pelaksanaan Penelitian Periode Tahun 2013/2014 15 2 Metode Pengumpulan Data 16 3 Tabel Frekuensi Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Gunung Bunder I 21 4 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kerajinan Bambu yang Diproduksi 26 5 Skema Kebutuhan Produksi dan Keuntungan Kerajinan Bambu 26 6 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin 29 7 Tabel Frekuensi Jenis Kelamin Responden berdasarkan Kategori Usia 29 8 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Pendapatan Tahun 2014 31 9 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Keberlanjutan Usaha 40 10 Tabel Frekuensi Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Kapasitas Pengrajin 41 11 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Keadilan Berusaha 43 12 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Kemandirian Pengrajin 45 13 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pangan 46 14 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pendidikan 46 15 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Kesehatan Responden 46 16 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Kepercayaan Diri 47 17 Hasil analisis SPSS Pengaruh Sistem Pertukaran Sosial terhadap Tingkat Keberlanjutan Usaha 49 18 Hasil analisis SPSS Uji Korelasi Sistem Pertukaran Sosial dan Tingkat Keberlanjutan Usaha 50 20 Perbandingan Pengaruh Tiap Bentuk Pertukaran Sosial pada Keberlanjutan Usaha 50
xiv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Judul Halaman Kerangka Pemikiran 11 Luas Wilayah Menurut Penggunaan 19 Tingkat Pendidikan Menurut Jenis Kelamin 20 Mata Pencaharian Penduduk Desa Gunung Bunder I 21 Tingkat Pendidikan Responden 30 Tingkat Pendapatan Responden 31 Kecenderungan Bentuk Pertukaran Sosial pada Setiap Pelaku Usaha 33 Presentase Tingkat Keberlanjutan Usaha 39 Presentase Tingkat Kapasitas Pengrajin 40 Presentase Tingkat Keadilan Berusaha 42 Presentase Tingkat Kemandirian Pengrajin 45 DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Judul Halaman 1 Peta Desa Gunung Bunder 1, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 57 2 Hasil Analisis SPSS Penelitian 58 3 Daftar Responden 60 4 Dokumentasi Penelitian 61 5 Kuisioner Penelitian 62 6 Panduan Wawancara Mendalam 67
PENDAHULUAN
Latar Belakang Industri kerajinan merupakan sebuah sektor ekonomi yang memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian Indonesia. Berdasarkan data yang didapatkan dari Departemen Perdagangan (2007), rata-rata nilai PDB industri kerajinan dalam periode 2002-2006 mencapai Rp 29 triliun. Ini berarti bahwa industri kerajinan memberi kontribusi PDB sebesar 1,76 persen terhadap total PDB nasional pada periode tersebut. Dalam periode yang sama, sumbangan industri kerajinan untuk lapangan pekerjaan yang dihasilkan juga besar yakni mencapai 1,8 juta pekerja. Produkivitas tenaga kerja mencapai rata-rata 16,1 juta rupiah per pekerja pertahun. Selain PDB dan penyerapan tenaga kerja, industri kerajinan juga memiliki kontribusi terhadap ekspor. Nilai ekspor dalam industri ini mencapai rata-rata 24,18 triliun rupiah, yaitu menyumbang 3,72 persen dari seluruh ekspor yang dilakukan Indonesia dalam periode tersebut. Hal ini berarti bahwa kinerja yang optimal dari industri kerajinan dapat memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Dalam pandangan ekonom, pusat kajian ekonomi adalah pertukaran ekonomi, pasar, dan ekonomi, sedangkan masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang sudah ada atau sesuatu yang ada diluar proses ekonomi tersebut (cateris paribus). Sosiologi memandang ekonomi sebagai bagian integral dari masyarakat. Sebagai contoh adalah masyarakat adat yang memiliki mata pencaharian sebagai pengrajin disuatu wilayah. Masyarakat tersebut pada umumnya memproduksi barang untuk dua tujuan. Tujuan pertama adalah untuk digunakan (use value) oleh masyarakat tersebut, kedua untuk diperjual belikan (exchange value) (Damsar 2011). Hal tersebut tidak bukan adalah sebagai upaya masyarakat untuk mempertahankan eksistensinya. Tujuan masyarakat melakukan tindakan ekonomi dapat dilihat dari beberapa teori, salah satunya adalah teori pertukaran. Teori pertukaran melihat dunia ini sebagai arena pertukaran, tempat orang-orang saling bertukar ganjaran/hadiah. Apapun bentuk perilaku sosial seperti persahabatan, perkawinan, atau perceraian tidak lepas dari soal pertukaran. Beberapa asumsi manusia melakukan pertukaran diantaranya: manusia adalah makhluk yang rasional yang memperhitungkan untung dan rugi, pertukaran berorientasi pada tujuan yang hanya dapat dicapai jika berinteraksi dengan orang lain, dan transaksi pertukaran tersebut hanya terjadi jika pihak yang terlibat memperoleh keuntungan dari pertukaran itu. Teori menyatakan bahwa dalam hubungan sosial terdapat unsur ganjaran, pengorbanan, dan keuntungan yang saling memengaruhi. Dalam teori ini dikatakan bahwa manusia melakukan suatu pertukaran untuk keseimbangan antara apa yang di berikan dan apa yang dikeluarkan dari pertukaran yang dilakukan. Dengan kata lain dalam teori ini dibahas mengenai motif pengrajin dalam menjalin hubungan dengan pengrajin lainnya dipengaruhi oleh unsur ganjaran, pengorbanan dan keuntungan. Ganjaran merupakan segala hal yang diperoleh melalui adanya pengorbanan,manakala pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah ganjaran
2
dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antara dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, polapola perilaku di tempat kerja para pengrajin. Teori pertukaran ini memusatkan perhatiannya pada tingkat analisis mikro, khususnya pada tingkat kenyataan sosial antarpribadi (interpersonal), berbeda dengan analisis yang diungkapkan oleh teori interaksi simbolik, teori pertukaran ini terutama melihat perilaku nyata, bukan proses-proses yang bersifat subyektif semata. Berlakunya sistem pertukaran tersebut sesuai dengan penyataan Zulaikha (2008) bahwa dalam pengembangan industri kerajinan masyarakat diperlukan upaya merger antar IKM yang berkaitan atau yang sejenis agar terjalin suatu kerja tim. Pada satu tim pengrajin dapat dibagi beberapa kelompok tugas khusus dan saling bersinergi satu sama lain, misalnya bagian bahan baku/peralatan, bagian desain merangkap penjamin mutu, bagian teknik dan bagian pemasaran. Dalam penelitiannya Zulaikha juga mengungkapkan terdapat dua faktor yang menyebabkan industri kerajinan mengalami penurunan kinerja. Faktor tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang perlu dibenahi adalah kualitas dan mentalitas SDM kerajinan tradisional, kegagapan terhadap perkembangan teknologi, kurangnya wawasan tentang pemasaran serta desain. Faktor eksternal yang menghambat perkembangan industri kerajinan tradisional antara lain adalah tingginya tingkat persaingan dengan komoditi sejenis dari wilayah lain, kenaikan ongkos produksi akibat kenaikan tarif dasar listrik dan kenaikan BBM, bahan baku yang semakin menipis, maraknya penyelundupan produk impor dan bencana alam. Menurut Ndara (1990) dalam Nurlina (2009) Pengembangan sumber daya manusia akan tampak dari banyaknya manusia pembangunan yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan masa depan, yang mengandung implikasi: memiliki kemampuan (capacity), keadilan berusaha (equity), keberdayaan/kekuasaan (empowerment), ketahanan atau kemandirian (sustainability), dan kesalingtergatungan (interdependence). Dengan kata lain, dengan pembangunan sumber daya manusia yang baik, maka keberlanjutan usaha dari kerajinan dapat terus berjalan. Salah satu wilayah yang memiliki potensi kerajinan yang sangat tinggi adalah Desa Gunung Bunder 1, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Desa ini merupakan sebuah desa dengan potensi hutan bambu yang juga dijadikan sumber bahan baku kerajinan masyarakat. Kerajinan bambu yang diproduksi diantaranya bilik bambu, kerajinan kandang ternak, dan beberapa kerajinan lain yang sudah menjadi kebudayaan turun temurun masyarakat. Diketahui berdasarkan suurvey awal yang telah dilakukan bahwa kerajinan bambu ini sudah ada sejak tahun 1960-an dan masih bertahan hingga kini.
Perumusan Masalah
Kerajinan tradisional yang ada di Desa Gunung Bunder I sudah ada sejak tahun 1960-an ini dapat bertahan dari masa ke masa karena ada interaksi antara satu pengrajin dengan pengrajin lainnya. Interaksi tersebut berupa pertukaran diantara pengrajin baik untuk mendapatkan bahan baku produksi hingga
3
pemasaran hasil produksi. Berdasarkan teori pertukaran sosial, pertukaran tersebut terbagi menjadi tiga bentuk yaitu resiprositas, redistribusi, dan pertukaran pasar. Untuk itu, apa bentuk-bentuk sistem pertukaran sosial yang terjadi pada masyarakat pelaku ekonomi kerajinan bilik bambu? Bertahannnya usaha kerajinan tersebut tentu sangat berkaitan dengan keberlanjutan usaha pengrajin. Pengukuran mengenai keberlanjutan usaha, menggunakan tiga hal pokok, yaitu: Kapasitas pelaku usaha (pengrajin), keadilan berusaha, dan kemandirian pelaku usaha (pengrajin). Untuk itu, bagaimanakah keberlanjutan usaha pengrajin bilik bambu? Pertukaran yang berlangsung diantara pengrajin tersebut akan berpengaruh pada tiga variabel tingkat keberlanjutan usaha pengrajin bambu di Desa Gunung Bunder I. Untuk itu, Bagaimana pengaruh bentuk-bentuk sistem pertukaran sosial pada keberlanjutan usaha pelaku ekonomi kerajinan bilik bambu?
Tujuan Penelitian Penelitian dengan judul “Pengaruh Sistem Pertukaran Sosial pada Tingkat Keberlanjutan Usaha Kerajinan Bambu” ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi bentuk-bentuk pertukaran sosial pada masyarakat pelaku ekonomi kerajinan bilik bambu. 2. Mengidentifikasi keberlanjutan usaha pengrajin bilik bambu. 3. Menganalisa pengaruh bentuk-bentuk sistem pertukaran sosial pada keberlanjutan usaha pelaku ekonomi kerajinan bilik bambu.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengantar atau sebagai pengenalan lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk pertukaran sosial pada masyarakat pengrajin di Kabupaten Bogor. Melalui penelitian ini, terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak, yaitu: 1. Bagi akademisi, diharapkan tulisan ini menjadi referensi dalam melakukan penelitian-penelitian terkait sistem pertukaran sosial. 2. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat mengenai karakteristik rumah tangga pengrajin dan strategi nafkah yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan hidup. 3. Bagi Pemerintah, penelitian ini dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran kepada pemerintah dalam pembuatan kebijakan yang menyangkut kerajinan tradisional.
4
PENDEKATAN TEORETIS
Tinjauan Pustaka Kewirausahaan Kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu yang lain dengan menggunakan waktu dan kegiatan disertai modal dan resiko serta menerima balas jasa dan kepuasan serta kebebasan pribadi. Tidak sedikit pengertian mengenai kewirausahaan yang saat ini muncul seiring dengan perkembangan ekonomi dengan semakin meluasnya bidang dan garapan. Kewirausahaan sering dikaitkan dengan proses, pembentukan atau pertumbuhan suatu bisnis baru yang berorientasi memperoleh keuntungan, penciptaan nilai dan pembentukan produk atau jasa baru yang unik dan inovatif. Kewirausahaan juga merupakan kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses (Sya'roni 2012). Konsep usaha sendiri memiliki beberapa komponen penting, yaitu : 1. Konsep Pasar: Pasar dimana produsen menawarkan produknya kepada konsumen potensialnya tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan. Oleh karena itu, para produsen hendaknya mengetahui dengan baik bagaimana menentukan pasar produsen yang diinginkan. 2. Konsep Perusahaan: Konsep perusahaan disebut juga sebagai konsep lingkungan internal perusahaan. Elemen-elemen lingkungan internal perusahaaan dibagi atas elemen fungsional dan tingkatan manajemennya. Secara fungsional, lingkungan internal perusahaan terdiri atas fungsional pemasaran, SDM, keuangan, produksi/operasi dan manajemen. Sementara itu, berdasarkan tingkatan manajemennya, lingkungan internal perusahaan terdiri atas tingkat atas, menengah dan tingkat bawah. 3. Konsep Persaingan dan Lingkungan Eksternal: Selain konsep lingkungan internal, konsep bisnis juga memiliki lingkungan eksternal, yaitu kondisikondisi yang berada di luar perusahaan dan tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan. Kondisi-kondisi ini meliputi; kondisi politik, sosial, kemajuan teknologi, legal/hukum, lingkungan hidup, dan lain sebagainya. 4. Konsep Perubahan: Kondisi kehidupan dan dinamisasi dunia akan terus mengalami perubahan setiap saat, begitu juga dengan dunia bisnis. Lingkungan eksternal bisnis, seperti situasi politik, ekonomi dan lainnya juga akan terus berubah. Demikian pula situasi pasar, sikap konsumen, perilaku konsumen serta daur hidup produk juga akan mengalami dinamisasi dan perubahan. Evans (1994) dalam Sya'roni (2012) menyebutkan kreativitas adalah menghubungkan dan merangkai ulang pengetahuan di dalam pikiran-pikiran
6
manusia yang membiarkan dirinya untuk berfikir secara lebih bebas dalam membangkitkan hal-hal baru, atau menghasilkan gagasan-gagasan yang mengejutkan pihak lain dalam menghasilkan hal yang bermanfaat. Sya'roni (2012) juga menyebutkan inovasi dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan ide dalam sekumpulan informasi yang berhubungan diantara masukan dan luaran. Dari hal tersebut terdapat dua hal yaitu inovasi produk dan inovasi proses yang merupakan suatu perubahan yang terkait dengan upaya meningkatkan atau memperbaiki sumber daya yang ada, memodifikasi untuk menjadikan sesuatu bernilai, menciptakan hal-hal baru yang berbeda, merubah suatu bahan menjadi sumber daya dan menggabungkan setiap sumberdaya menjadi suatu konfigurasi baru yang lebih produktif baik langsung atau pun tidak langsung. Dalam prakteknya inovasi didasari atas tahapan pengenalan, persuasi, pengambilan keputusan, implementasi, dan konfirmasi yang sesuai dengan kemampuan mengadopsi baik aktif (innovator, early adopter, dan early majority) dan pasif (late majority dan laggard) (Hubeis 2005) dalam Sya'roni (2012). Industri Kerajinan Menurut Afiff (2012) kerajinan (craft) adalah kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi dan distribusi produk yang dibuat atau dihasilkan oleh tenaga pengrajin yang berawal dari desain awal sampai proses penyelesaian produknya. Antara lain meliputi barang kerajinan yang terbuat dari batu berharga, serat alam maupun buatan, kulit, rotan, bambu, kayu, logam (emas, perak, tembaga, perunggu dan besi), kaca, porselen, kain, marmer, tanah liat, dan kapur. Produk kerajinan pada umumnya hanya diproduksi dalam jumlah yang relatif kecil (bukan produksi massal). Berdasarkan data yang didapatkan dari Departemen Perdagangan (2007), rata-rata nilai PDB industri kerajinan dalam periode 2002-2006 mencapai Rp 29 triliun. Ini berarti bahwa industri kerajinan memberi kontribusi PDB sebesar 1,76 persen terhadap total PDB nasional pada periode tersebut. Dalam periode yang sama, sumbangan industri kerajinan untuk lapangan pekerjaan yang dihasilkan juga besar yakni mencapai 1,8 juta pekerja. Produkivitas tenaga kerja mencapai rata-rata 16,1 juta rupiah per pekerja pertahun. Selain PDB dan penyerapan tenaga kerja, industri kerajinan juga memiliki kontribusi terhadap ekspor. Nilai ekspor dalam industri ini mencapai rata-rata 24,18 triliun rupiah, yaitu menyumbang 3,72 persen dari seluruh ekspor yang dilakukan Indonesia dalam periode tersebut. Hal ini berarti bahwa kinerja yang optimal dari industri kerajinan dapat memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Pertukaran Sosial Dalam bermasyarakat, manusia juga mengenal adanya interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan timbal balik antar individu, antar kelompok manusia, maupun antara seseorang dengan suatu kelompok. Ciri-ciri dari sebuah interaksi sosial adalah, pelakunya lebih dari satu orang, adanya komunikasi antar pelaku melalui kontak
7
sosial, mempunyai maksud dan tujuan, terlepas dari sama atau tidaknya tujuan tersebut dengan yang diperkirakan pelaku, terakhir ada dimensi waktu yang akan menentukan sikap aksi yang sedang berlangsung. Mustafa (2011) menjelaskan bahwa tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial (Sosial Exchange Theory) antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, seseorang melakukan hubungan pertukaran dengan orang lain dilatarbelakangi oleh adanya imbalan yang didapatkan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Teori pertukaran sosial melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi. Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit).Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan. Perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan. Mustafa (2011) juga menjelaskan berdasarkan keyakinan tersebut Homans dalam bukunya ”Elementary Forms of Sosial Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :”Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi”. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi : ”Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran sosial adalah ”distributive justice” aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi ” seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya - makin tinggi pengorbanan, makin tinggi imbalannya dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya - makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan”. Homans (1961) dalam Cook dan Rice (2003) menjelaskan dalam perilaku sosial sebagai pertukaran. Dimana Homans menekankan pada perilaku individu aktor dalam interaksi dengan satu sama lain. Tujuan utamanya adalah untuk menjelaskan proses dasar perilaku sosial (kekuasaan, kesesuaian, status, kepemimpinan, dan keadilan) dari bawah ke atas. Homans percaya bahwa tidak ada yang muncul dalam kelompok-kelompok sosial yang tidak dapat dijelaskan
8
oleh proposisi tentang individu sebagai individu, bahwa perilaku yang terjadi adalah untuk berinteraksi.Homans mendefinisikan pertukaran sosial sebagai pertukaran aktivitas, berwujud atau tidak berwujud, dan lebih atau kurang menguntungkan atau rugi, yang dilakukan paling sedikit dua orang. Homans menjelaskan perilaku sosial dan bentuk-bentuk organisasi sosial yang dihasilkan oleh interaksi sosial dengan menunjukkan bagaimana perilaku A diperkuat perilaku B (dalam hubungan dua pihak antara aktor A dan B), dan bagaimana perilaku B diperkuat perilaku A dengan imbalan. Ini adalah dasar yang jelas untuk interaksi sosial melanjutkan menjelaskan pada "sub-kelembagaan" tingkat.Kondisi historis dan struktural yang ada diambil seperti yang diberikan.Nilai ditentukan oleh sejarah aktor penguatan yang menjadi awal dalam hubungan pertukaran. Fokus utama Homans 'adalah perilaku sosial yang muncul sebagai akibat dari proses sosial saling memperkuat (reinforcement). Hubungan juga bisa berakhir atas dasar kegagalan penguatan. Struktur pertukaran sosial dijelaskan oleh Blau (1964) dalam Cook dan Rice (2003) yang mengembangkan formulasi teoritis yang bisa membentuk dasar untuk teori struktur makro-sosial. Yaitu Usahanya untuk membangun hubungan antara teori mikro-sosiologis perilaku dan teori makro-sosial struktur sosial. Selain upaya untuk membangun sebuah teori makro-sosial struktur atas dasar teori mikro-sosial perilaku, Blau mengidentifikasi proses sosial generik dan mekanisme bahwa dia dipandang sebagai operasi di berbagai tingkatan organisasi sosial. Ini termasuk tindakan kolektif, legitimasi, oposisi, konflik, dan kerjasama. Karya ini menetapkan panggung untuk sejumlah perkembangan dalam teori pertukaran lama kemudian pada tindakan kolektif, pembentukan koalisi, keadilan dan status. Inti dari teori pertukaran sosial adalah perilaku sosial seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses mentalistik (blackbox). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan. Pelaku pertukaran sosial sendiri akan melakukan pertukaran tersebut secara berulang apabila mendapatkan ganjaran (reward) dan tidak akan melakukan pertukaran tersebut apabila mereka mendapatkan kerugian (cost) yang tinggi akibat pertukaran tersebut. Polanyi (1968) dalam Hudayana (1991) membedakan pertukaran menjadi tiga pola, yaitu: resiprositas, redistribusi, dan pertukaran pasar. Klasifikasi tersebut didasarkan pada harapan atau motif-motif yang ingin diperoleh para partisipan dalam melakukan transisi. Menurutnya, motif yang mendasari pertukaran, resiprositas dan redistribusi adalah kebutuhan untuk mendapatkan prestise serta kebutuhan ekonomi akan tetapi kebutuhan ekonomi tersebut tidak bersifat komersil. Reprositas adalah pertukaran timbal balik antar individu atau antara kelompok yang bersifat simetris. Tanpa adanya syarat hubungan yang simetris pada kenyataannya individu atau kelompok tersebut tidak akan melakukan pertukaran barang dan jasa yang mereka miliki. Hubungan simetris ini merupakan hubungan sosial dimana masing-masing pelaku menempatkan diri mereka dalam suatu peranan yang sama. Selain itu, konsep reprositas juga memerlukan adanya hubungan personal diantara pihak yang terkait.Pentingnya syarat adanya
9
hubungan personal tersebut berkaitan dengan motif dari orang untuk melakukan reprositas yang berbentuk penghargaan, kemuliaan, kewibawaan, popularitas, sanjungan, dan berkah. Ada tiga macam reprositas yang kita kenal, yaitu: reprositas umum, reprositas sebanding, dan reprositas negatif. Akan tetapi selain tiga jenis reprositas tersebut swartz dan Jordan (1976) dalam Hudayana (1991) juga menambahkan reprositas simbolik. Dalam reprositas umum, individu atau kelompok memberikan barang atau jasa kepada individu atau kelompok lainnya tanpa menentukan batas waktu mengembalikan. Dalam hal ini, masing-masing pihak percaya pihak bersangkutan akan memberikan balasan meskipun tidak jelas waktunya. Reprositas simbolik merupakan salah satu bentuk dari reprositas umum ini, suatu adat kebiasaan memberi dan menerima sebagai media untuk menjalin hubungan persahabatan semata, tanpa mempunyai makna yang dekat dengan usaha memenuhi kebutuhan ekonomi. Reprositas sebanding menekankan pada barang dan jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang sebanding. Dalam pertukaran ini, masingmasing pihak pihak membutuhkan barang atau jasa dari partnernya namun masing-masing tidak menghendaki untuk memberi dengan nilai lebih dibandingkan dengan yang diterima. Dengan kata lain pada reprositas ini diberlakukan dengan jelas aturan dan norma yang mengatur berlangsungnya reprositas. Sedangkan jenis yang terakhir yaitu reprositas negatif yang merupakan reprositas yang menggunakan sistem jual beli dalam pelaksanaannya atau lebih dikenal juga dengan pertukaran pasar. Redistribusi yaitu pemindahan barang atau jasa yang tersentralisasi, yang melibatkan proses pengumpulan kembali dari anggota-anggota suatu kelompok melalui pusat kepada dan pembagian kembali kepada anggota-anggota kelompok tersebut. Syarat dari redistribusi ini yaitu hubungan yang asimetris yang ditandai oleh adanya peranan individu tertentu dengan wewenang yang dimiliki didalam kelompok untuk mengorganisir pengumpulan barang dari anggota kelompok untuk di distribusikan kembali ke seluruh anggota kelompok tersebut. Di zaman modern ini redistribusi dapat berupa pajak, fiskal, retribusi, dan sejenisnya yang dilakukan pemerintah yang selanjutnya dikembalikan lagi kepada rakyat dalam bentuk subsidi, bantuan, pelayanan publik, pembangunan infrastruktur, dan lainnnya.Pertukaran pasar yaitu distribusi yang dilakukan atau terjadi melalui pasar. Dalam kajian sosiologi, pasar dibedakan menjadi pasar sebagai tempat pasar (market place) dan pasar (market). Pasar sebagai tempat pasar merupakan bentuk fisik dimana barang dan jasa dibawa untuk dijual dan dimana pembeli bersedia membeli barang dan jasa tersebut. Sedangkan pasar (market) dilihat oleh sosiologi sebagai suatu institusi sosial, yaitu suatu struktur sosial yang memberikan tatanan siap pakai bagi pemecahan persoalan kebutuhan dasar manusia, khususnya kebutuhan dasar ekonomi dalam distribusi barang dan jasa. Selain itu, kajian sosiologi pada aspek distribusi dapat dilihat dari beberapa hal lain, yaitu transportasi, perdagangan, kewirausahaan, uang, pemberian, perusahaan, ritel, dan lain-lain. Dengan penjabaran mengenai pola atau jenis pertukaran sosial tersebut, maka pertukaran sosial dapat terjadi dalam tiga bentuk. Yaitu: reprositas, redistribusi, dan pertukaran pasar. Reprositas sendiri dibagi kedalam tiga jenis yaitu reprositas umum, reprositas sebanding, dan reprositas negatif.
10
Keberlanjutan Usaha Prinsip keberlanjutan usaha (going concern principle) adalah asumsi bahwa suatu entitas akan tetap berada dalam bisnis di masa mendatang. Entitas tidak akan terpaksa untuk menghentikan operasi dan melikuidasi aset dalam waktu dekat. Dengan asumsi ini, akuntan dibenarkan untuk menunda pengakuan beban tertentu sampai waktu kemudian, ketika entitas masih akan berada dalam bisnis dan menggunakan asetnya dengan cara yang paling efektif. Prinsip ini berlaku sepanjang tidak ada informasi penting yang bertentangan dengannya. Contoh informasi yang bertentangan tersebut adalah ketidakmampuan entitas untuk memenuhi kewajibannya tanpa terpaksa harus menjual aset secara obral untuk mendapatkan dana cepat atau merestrukturisasi utang. Jika situasi ini terjadi, maka nilai aset-aset itu harus dicatat dengan nilai likuidasi mereka. Umumnya, asumsi keberlanjutan usaha tidak diterapkan bila auditor menilai bahwa kelangsungan hidup entitas tidak lebih dari satu tahun setelah tanggal laporan keuangan yang diaudit. Penilaian itu dilakukan auditor dengan mempertimbangkan hal-hal seperti tren negatif hasil operasi, kredit macet, penolakan piutang dagang dari pemasok dan proses hukum kepailitan. Perusahaan dapat memperbaiki pendapat auditor mengenai status keberlanjutan usaha dengan mendapatkan jaminan hutang dari pihak ketiga atau injeksi dana tambahan yang diperlukan (kamusbisnis.com). Sebuah usaha dikatakan akan berlanjut jika dapat memenuhi komponen konsep usaha yaitu konsep pasar, konsep perusahaan, konsep persaingan dan lingkungan eksternal, dan konsep perubahan. Dengan kata lain jika sebuah perusahaan dapat memenuhi komponen konsep usaha secara baik, maka usahanya akan terus berlanjut. Beberapa identifikasi menunjukan bahwa terdapat 4 (empat) faktor kunci yang menjadi penyebab berkesinambungannya sebuah perusahaan (De Geus 1997 dalam Burhan 2004) yaitu : 1. Perusahaan yang berumur panjang (berkesinambungan) adalah perusahaan yang memiliki sensitivitas terhadap lingkungan. Meskipun perusahaan yang bersangkutan melakukan pengkajian dan pengembangan teknologi, atau memiliki sumberdaya alam yang banyak mereka akan tetap menjaga harmonisasi dan kestabilan lingkungan. 2. Perusahaan yang berkesinambungan adalah perusahaan yang menjaga nama besar serta memiliki kohesivitas/keterikatan yang kuat terhadap identitasnya. Tidak peduli berapa luasnya diversifikasi usaha yang dijalankan perusahaan, manajemen, karyawan bahkan mitra bisnisnya merasakan berada dalam satu entitas. 3. Perusahaan yang berkesinambungan memiliki toleransi dan menghindari suatu kontrol yang terpusat, ditangan satu orang entah itu eksekutif maupun owner, melainkan selalu berusaha mengembangkan desentralisasi dan pembagian wewenang sesuai konsep bisnis yang dikembangkannya. 4. Perusahaan yang berkesinambungan adalah perusahaan yang memiliki sikap konservatif terhadap aspek keuangan.
11
Berdasarkan konsep Chambers dan Conway (1992) dalam Nurlina (2012) menjelaskan bahwa indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberlanjutan usaha ada tiga, yaitu: Kapasitas pelaku usaha, keadilan berusaha, dan kemandirian pelaku usaha. Dalam penelitiannya Nurlina melakukan penelitian terhadap hubungan partisipasi dengan keberlanjutan usaha anggota koperasi. Dari penelitan tersebut didapatkan hasil bahwa tingkat keberlanjutan usaha seluruh responden dikatakan cukup. Dan tingkat partisipasi anggota berhubungan positif dengan tingkat keberlanjutan usaha anggota koperasi, dengan nilai korelasi rank Spearman (rs) sebesar 0,489, dan jika diinterpretasikan ke dalam aturan Guilford termasuk hubungan yang cukup berarti.
Kerangka Pemikiran Dengan perkembangan zaman yang semakin pesat, pengrajin tradisional masih dapat dikatakan sebagai sektor ekonomi yang dapat bertahan seperti kerajinan bilik bambu tradisional yang terdapat di Desa Gunung Bunder I. Beberapa hal yang menyebabkan pengrajin tradisional masih bertahan adalah karena kelembagaan yang menjadi hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur bagaimana pengrajin tradisonal dalam bertindak. Salah satu bentuk kelambagaan yang terjadi dalam masyarakat pengrajin adalah sistem pertukaran sosial diantara para pengrajin. Secara umum, interkasi yang terjalin diantara para pengrajin akan menciptakan sebuah pola hubungan yang juga akan menentukan bagaimana bentuk sistem pertukaran yang terjadi. Ketiga bentuk pertukaran pasti ditemui pada setiap individu pengrajin, yang membedakan adalah waktu dan situasi saat bentuk pertukaran tersebut terjadi. Perbedaan bentuk ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dari pengrajin tersebut. Salah satunya adalah sebagai upaya untuk melanjutkan usaha yang telah dilakukan. Keberlanjutan usaha yang dapat diukur dari tiga aspek yaitu: kapasitas pengrajin, keadilan berusaha, dan kemandirian pengrajin ini secara garis besar akan dipengaruhi oleh bentuk pertukaran yang telah terjadi. Untuk itu kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Bentuk Sistem Pertukaran Sosial: 1. Resiprositas 2. Redistribusi 3. Pertukaran Pasar Keterangan:
Mempengaruhi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Tingkat Keberlanjutan Usaha: 1. Kapasitas Pengrajin 2. Keadilan Berusaha 3. Kemandirian Pengrajin
12
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Setiap bentuk pertukaran mempengaruhi variabel tertentu dalam keberlanjutan usaha. Definisi Operasional Definisi operasional dan peubah dimaksudkan untuk memberikan batasan yang jelas, sehingga memudahkan dalam melakukan pengukuran. Definisi operasional dan pengukuran peubah dalam rencana penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sistem pertukaran sosial adalah suatu pola interaksi antar individu dengan individu lain yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan individu tersebut. Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Pengukuran dari bentuk sistem pertukaran sosial ini adalah dengan menggunakan skala likert dengan pemberian skor 4 untuk setuju (S), 3 untuk ragu-ragu (R), 2 untuk tidak setuju (TS) dan 1 untuk tidak tahu atau tidak menjawab (TT). Pertukaran sosial dapat dibedakan kedalam tiga bentuk. Yaitu: resiprositas, redistribusi, dan pertukaran ekonomi. Total skor dari setiap bentuk akan menentukan bentuk pertukaran yang dominan pada setiap individu. a. Resiprositas adalah pertukaran timbal balik antar individu atau antara kelompok yang bersifat simetris. Syarat dari resiprositas ini adalah hubungan simetris antar pelaku dan menekankan pada barang dan jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang sebanding. Dalam kasus resiprositas yang terjalin di kalangan pengrajin adalah bentuk pertukaran satu orang pengrajin dengan individu lain yang dalam hal ini barang/jasa yang dipertukarkan adalah barang/jasa yang bersifat sederhana dan sebanding. Misalnya rasa saling tolong menolong antar pengrajin yang tidak jelas perjanjian kapan barang/jasa tersebut harus dikembalikan. Pengukuran dari resiprositas ini dengan menggunakan skala likert yang berisi tentang pernyataan mengenai resiprositas. Hasil skor yang didapatkan akan menentukan tingkat resiprositas dalam masyarakat pengrajin yang dibagi kedalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Pembagian tersebut dilakukan dengan sistem emik atau membagi kategori berdsarkan nilai yang didapatkan dalam penelitian. b. Redistribusi yaitu pemindahan barang atau jasa yang tersentralisasi, yang melibatkan proses pengumpulan kembali dari anggota-anggota suatu kelompok melalui pusat kepada dan pembagian kembali kepada anggotaanggota kelompok tersebut. Syarat dari redistribusi ini yaitu hubungan
13
yang asimetris yang ditandai oleh adanya peranan individu tertentu dengan wewenang yang dimiliki didalam kelompok untuk mengorganisir pengumpulan barang dari anggota kelompok untuk di distribusikan kembali ke seluruh anggota kelompok tersebut. Dalam kasus redistribusi yang terjadi di kalangan pengrajin adalah pengumpulan asset melalui kelompok yang hasilnya aan digunakan pula untuk kepentingan kelompok. Pengukuran dari redistribusi ini dengan menggunakan skala likert yang berisi tentang pernyataan mengenai redsitribusi. Hasil skor yang didapatkan akan menentukan tingkat redistribusi dalam masyarakat pengrajin yang dibagi kedalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Pembagian tersebut dilakukan dengan sistem emik atau membagi kategori berdasarkan nilai yang didapatkan dalam penelitian. c. Pertukaran ekonomi yaitu distribusi yang dilakukan atau terjadi melalui pasar. Dalam kajian sosiologi, pasar dibedakan menjadi pasar sebagai tempat pasar (market place) dan pasar (market). Pasar sebagai tempat pasar merupakan bentuk fisik dimana barang dan jasa dibawa untuk dijual dan dimana pembeli bersedia membeli barang dan jasa tersebut. Sedangkan pasar (market) dilihat oleh sosiologi sebagai suatu institusi sosial, yaitu suatu struktur sosial yang memberikan tatanan siap pakai bagi pemecahan persoalan kebutuhan dasar manusia, khususnya kebutuhan dasar ekonomi dalam distribusi barang dan jasa. Pengukuran dari pertukaran pasar ini dengan menggunakan skala likert yang berisi tentang pernyataan mengenai rpertukaran pasar. Hasil skor yang didapatkan akan menentukan tingkat pertukaran pasar dalam masyarakat pengrajin yang dibagi kedalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Pembagian tersebut dilakukan dengan sistem emik atau membagi kategori berdasarkan nilai yang didapatkan dalam penelitian. 2. Tingkat keberlanjutan usaha adalah ukuran yang digunakan untuk melihat sejauh mana sebuah usaha dapat berlanjut dimasa yang akan datang. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberlanjutan usaha adalah Kapasitas Pengrajin, Keadilan Berusaha, dan Kemandirian Pengrajin. Pengukuran dari tingkat keberlanjutan usaha adalah dengan menggunakan skala likert dengan pemberian skor 4 untuk setuju (S), 3 untuk ragu-ragu (R), 2 untuk tidak setuju (TS) dan 1 untuk sangat tidak tahu atau tidak menjawab (TT). Hasil skor yang didapatkan akan menentukan tingkat keberlanjutan usaha pengrajin yang dibagi kedalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Pembagian tersebut dilakukan dengan sistem emik atau membagi kategori berdasarkan nilai yang didapatkan dalam penelitian. a. Kapasitas pengrajin adalah penilaian pada individu pengrajin yang dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu kreativitas, inovasi, kerjasama, pengambilan resiko, dan evaluasi usaha.
14
i. Kreativitas adalah menghubungkan dan merangkai ulang pengetahuan di dalam pikiran-pikiran manusia yang membiarkan dirinya untuk berfikir secara lebih bebas dalam membangkitkan hal-hal baru, atau menghasilkan gagasan-gagasan yang mengejutkan pihak lain dalam menghasilkan hal yang bermanfaat. ii. Inovasi adalah perubahan ide dalam sekumpulan informasi yangberhubungan diantara masukan dan luaran. iii. Kerjasama adalah bentuk interaksi antar individu dimana individu tersebut saling membantu untuk mewujudkan tujuan yang sama. iv. Pengambilan resiko adalah bentuk perilaku individu yang dapat mengambil sebuah keputusan untuk melakukan satu tindakan dengan mengetahui dampak yang akan timbul apabila tindakan tersebut gagal dilakukan. v. Evaluasi usaha adalah penilaian yang dilakukan terhadap usaha yang telah dilaksanakan. b. Keadilan Berusaha adalah variabel terkait dengan kewajaran dalam melakukan usaha, dimana usaha tersebut harus dapat memberikan keuntungan untuk setiap pelaku yang terlibat dalam usaha tersebut. Hal tersebut dapat diukur dengan melihat pembagian kerja dan keuntungan yang didapatkan pelaku usaha. i. Pembagian kerja adalah posisi yang didapatkan seorang untuk mengerjakan suatu tugas tertentu dalam suatu pekerjaan. Dalam lingkup kerajinan bambu pembagian kerja ini dibagi kedalam dua jenis pekerjaan, yaitu sebagai pengrajin (produksi) dan bagian pemasaran. ii. Keuntungan usaha adalah total penerimaan dikurangi dengan modal yang telah dikeluarkan dalam melakukan usaha kerajinan bambu c. Kemandirian pengrajin adalah sikap dan prilaku pengrajin yang mampu memenuhi segala keperluannya dalam melakukan usaha. Hal ini dilihat dari pemenuhan kebutuhan, kepercayaan diri, dan mempertahankan usaha. i. Pemenuhan kebutuhan adalah tingkat dimana keinginan manusia terhadap benda atau jasa yang dapat memberikan kepuasan jasmani maupun rohani dapat terpenuhi. ii. Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang menunjukan bahwa dirinya mampu mengembangkan penilaian positif, baik untuk dirinya, lingkungan, maupun situasi yang sedang dihadapinya. iii. Mempertahankan usaha adalah kemampuan seorang individu untuk bisa mempertahankan usaha yang dilakukan.
PENDEKATAN LAPANGAN
Lokasi Dan Waktu Penelitian dilakukan di Desa Gunung Buder 1, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa Desa Gunung Bunder 1, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor memiliki potensi kerajinan tradisional yang tinggi dan tepat untuk dijadikan objek penelitian, peneliti melakukan observasi melalui penelusuran hasil penelitian dari beberapa peneliti terdahulu. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, pengolahan data dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Lama pelaksanaan penelitian sekitar empat bulan dan dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini. Tabel 1. Jadwal Rencana Pelaksanaan Penelitian Periode Tahun 2013/2014 Aktivitas
1
Maret 2 3 4
1
April 2 3 4
1
Mei 2 3
4
1
Juni 2 3
4
Penyusunan proposal skripsi Kolokium Perbaikan proposal Pengambilan data lapang Pengolahan dan analisis data Penulisan draft skripsi Sidang skripsi Perbaikan skripsi
Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan skunder. Data primer diperoleh melalui penelitian langsung dengan menggunakan instrumen kuesioner dan wawancara mendalam kepada responden dan informan, sementara data skunder diperoleh dari data data berupa dokumen kependudukan Desa Gunung Bunder 1, Kecamatan pamijahan, Kabupaten Bogor dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan terkait sistem pertukaran sosial. Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah seluruh pengrajin yang tersebar di Desa Gunung Bunder 1, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu pengrajin yang berjumlah 35 orang. Jumlah ini dirasa cukup untuk memenuhi reliabilitas dan validitas data yang dihasilkan. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam terhadap responden maupun informan. Informan dipilih
16
secara purposive atau sengaja. Informan dalam penelitian ini berasal dari berbagai kalangan mulai dari kepala aparat desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat pengrajin. Adapun panduan wawancara mendalam bisa dilihat pada Lampiran 6. Selain itu data kualitatif juga diperoleh melalui observasi lapang di lokasi penelitian guna melihat fenomena faktual yang terjadi dan juga mengkaji dokumen yang ada seperti data kependudukan. Tabel 2. Metode Pengumpulan Data No. 1.
2.
Jenis Data Data primer: a. Karakteristik responden b. Variabel bentuk pertukaran sosial. c. Tingkat keberlanjutan usaha d. Hubungan karakteristik responden dengan bentuk pertukaran sosial
Teknik Pengumpulan Data Kuisioner
Sumber Data a. Responden
e. Motivasi dalam melakukan pertukaran sosial
Wawancara mendalam
a. Responden b. Informan c. Tokoh masyarakat
f. Aktivitas pengrajin dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi g. Interaksi pengrajin dengan masyarakat disekitar tempat tinggal Data Sekunder: a. Gambaran umum desa melalui data monografi
Observasi
a. Responden
Analisis Dokumen
a. Data pemerintahan desa
Teknik Pengolahan Dan Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini baik secara kuantitatif maupun kualitatif diolah dengan cara mereduksi bagian-bagian terpenting sehingga menjawab masalah penelitian yang diajukan. Data kuantitatif yang diperoleh melalui kuesioner kemudian diolah dengan proses coding menggunakan Microsoft Excel 2013, ditabulasi kemudian dianalisis secara deskriptif. Data tersebut kemudian diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan berdasarkan hipotesis yang sudah ada. Data kualitatif dari wawancara mendalam dan observasi disajikan secara deskriptif untuk mendukung dan memperkuat analisis kuantitatif. Data
17
hasil kuisioner diuji dengan menggunakan Uji Korelasi dan Analisis Regresi Linear dengan menggunakan SPSS for Windows version 20.0. Gabungan dari data kuantitatif dan kualitatif diolah dan dianalisis selanjutnya disajikan dalam bentuk teks naratif, matriks, dan gambar. Tahap terakhir yaitu menarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Berikut adalah formula dalam uji t analisis regresi linear: Hipotesis statistiknya: Ho : β = 0 (X tidak berpengaruh terhadap Y) H1 : β ≠ 0 (X berpengaruh terhadap Y) Statistik uji: t
b sb
se2
sb
n
x
2 i
i 1
n
se2
e
n
i 1
2 i
n2 n
e y i 1
2 i
i 1
2 i
n b 2 xi2 i 1
Kriteria uji: Tolak H0 jika thit ≥ ttab atau thit ≤ ttab atau terima H0 jika ttab< thit< ttab Dengan t tab t 0.5;df n2
18
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Bab ini menguraikan mengenai profil lokasi penelitian yang terbagi kedalam beberapa subbab. Subbab pertama membahas mengenai gambaran Desa Gunung Bunder I, subbab kedua membahas tentang kondisi demografi penduduk Desa Gunung Bunder I, subbab ketiga membahas tentang potensi kerajinan bambu Desa Gunung Bunder I, dan bab terakhir membahas tentang ikhtisar singkat yang menggambarkan keseluruhan isi bab ini.
Kondisi Geografis Desa Gunung Bunder I merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Desa Gunung Bunder I terbagi kedalam 8 RW, dan 34 RT. Adapun batas-batas wilayah Desa Gunung Bunder I sendiri sebagai berikut: - Sebelah Utara : Desa Cibening - Sebelah Timur : Desa Kali Ciampea - Sebelah Selatan : Desa Gunung Bunder - Sebelah Barat : Desa Gunung Picung Desa Gunung Bunder I memiliki luas wilayah 328,67 Ha2, dimana setengah dari luas wilayahnya berupa lahan sawah seluas 155,22 Ha2, luas pemukiman 88 Ha2, dan luas perkebunan mencapai 55 Ha2, dan selebihnya digunakan untuk prasarana umum. Secara umum wilayah Desa Gunung Bunder I memiliki bentuk wilayah berbukit dan dialiri oleh sungai-sungai kecil di sebagian wilayahnya. Sungai ini lah yang biasanya menjadi pembatas diantara satu kampung dengan kampung lainnya.
luas wilayah menurut penggunaan
Ha2 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
155.22
88 55 6.5 Pemukiman Persawahan Perkebunan
Kuburan
15
Pekarangan Perkantoran
luas wilayah menurut penggunaan
Gambar 2. Luas Wilayah Menurut Penggunaan.
0.2
8.75 Prasarana umum lainnya
20
Kondisi Sosial Budaya Jumlah penduduk di Desa Gunung Bunder I berdasarkan data pemerintahan Desa tahun 2012 mencapai angka 8640 jiwa dengan jumlah kepala keluarga mencapai angka 2195 KK, penduduk laki-laki di Desa Gunung bunder I berjumlah 4408 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 4232 jiwa. Kepadatan penduduk sendiri mencapai 729 jiwa/Km2. Kondisi pendidikan di Desa Gunung Bunder I sendiri dapat dikatakan tergolong rendah. Dari total seluruh penduduk, didapatkan data bahwa 7669 jiwa penduduk termasuk kedalah kategori belum/tidak bersekolah. Semantara, pendidikan SD ditempuh oleh 622 jiwa, SMP berjumlah 208 jiwa, SMA berjumlah 131 jiwa, dan pendidikan S1 hanya ditempuh oleh 10 jiwa.
Tingkat Pendidikan Menurut Jenis Kelamin 4500 4000
3920
3749
3500 3000 2500 2000 1500 1000 309 313
500
105 103
68
63
6
4
0 Tidak Sekolah
SD
SMP Laki-laki
SMA
S1
Perempuan
Gambar 3. Tingkat Pendidikan Menurut Jenis Kelamin Jika dilihat dari tingkat pendidikan menurut jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, kesenjangan diantara masyarakat yang mengenyam bangku pendidikan dan masyarakat yang tidak mengenyam bangku pendidikan sangat tinggi. Yaitu tercatat masyarakat yang tidak bersekolah mencapai angka 7669 jiwa yang berarti 88,8% masyarakat di Desa Gunung Bunder I tidak bersekolah, sementara hanya 971 jiwa atau 11,2% yang dapat mengenyam bangku pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan di Desa Gunung Bunder I dikarenakan akses masyarakat yang tergolong sulit terhadap pendidikan. Tidak jarang masyarakat harus menempuh jarak 2 Km dengan berjalan kaki untuk menuju sekolah. Hal tersebut karena bentuk wilayah yang berbukit dan banyak masyarakat yang tinggal di pelosok. Selain itu, dikarenakan jarak yang jauh maka kesadaran akan pentingnya pendidikan pun sangat minim. Hal ini terlihat dari banyaknya anak yang putus sekolah di wilayah ini. Alasan utama mereka putus sekolah diantaranya adalah karena jarak dan keharusan membantu ekonomi keluarga.
21
Tabel 3. Tabel Frekuensi Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Gunung Bunder I Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA S1
Frekuensi
Total
Persentase (%) 7669 622 208 131 10
88,8 7,2 2,4 1,5 0,1
8640
100
Kondisi Ekonomi Secara umum masyarakat di Desa Gunung Bunder I bekerja dengan memanfaatkan potensi alam yang tersedia. Luas persawahan yang mencapai 155Ha menjadi sebuah potensi masyarakat dalam usaha pertanian. Selain itu, potensi perkebunan juga nampak di desa ini, dengan kondisi udara dan kesuburan tanah yang mendukung, maka desa ini juga sangat cocok untuk wilayah perkebunan sayuran. Berdasarkan data kependudukan Desa Gunung Bunder I, Mata pencaharian utama dari masyarakat dibagi kedalam sembilan sektor. Dimana mata pencaharian utama dari masyarakat Desa Gunung Bunder I adalah sebagai buruh tani yaitu mencapai angka 1258 jiwa usia produktif, disusul dengan mata pencaharian sebagai petani sebesar 788 jiwa usia produktif. Sementara, untuk jumlah pengrajin industri rumah tangga sendiri sebesar 96 jiwa yang tersebar kedalam beberapa sektor industri rumah tangga seperti kerajinan bambu dan kerajinan kue tradisional. Jenis tanaman yang ditanam oleh petani di Desa Gunung Bunder cukup beragam, mulai dari padi, singkong, ubi, talas, dan sayuran yang berupa mentimun, kacang panjang, buncis, terong, dan lain-lain. Selain itu potensi perkebunan yang sangat dominan adalah kebun bambu, jambu merah, dan pepaya.
Mata Pencaharian Penduduk Desa Gunung Bunder I Lainnya
491
Wiraswasta
401
Guru Swasta
17
Pensiunan
10
PNS
67
Montir
2
Pengrajin Industri Rumah Tangga
96
Buruh Tani
1258
Petani
788 0
200
400
600
800
1000
Mata Pencaharian
Gambar 4. Mata Pencaharian Penduduk Desa Gunung Bunder I
1200
1400
22
Ikhtisar Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bentuk pertukaran sosial dan pengaruhnya pada tingkat keberlanjutan usaha kerajinan bambu di Desa Gunung Bunder I. Pertukaran sosial yang terdiri dari tiga bentuk yaitu resirositas, redistribusi, dan pertukaran pasar (ekonomi) ini berlaku secara bersamaan di masyarakat. Akan tetapi, terdapat dominasi suatu bentuk pertukaran yang terjadi. Pertukaran yang berupa interaksi antar pengrajin ini sedikit banyaknya akan mempengaruhi keberlanjutan usaha kerajinan bambu di Desa Gunung Bunder I. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan banyaknya masyarakat di Desa Gunung Bunder I yang bekerja pada sektor kerajinan bambu. Selain itu, luasnya kebun bambu di desa ini juga menjadikan budaya bambu tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Kerajinan bambu yang telah ada sejak tahun 1960-an ini dapat dikatakan dapat terus bertahan dari masa kemasa, hal tersebut dilihat dari banyaknya masyarakat yang tetap berprofesi sebagai pengrajin di Desa Gunung Bunder I.
KARAKTERISTIK USAHA KERAJINAN BAMBU DI DESA GUNUNG BUNDER I
Bab ini menguraikan mengenai karakteristik usaha kerajinan di Desa Gunung Bunder I yang terbagi ke dalam beberapa subbab. Subbab pertama membahas mengenai potensi kerajinan bambu Desa Gunung Bunder I, subbab kedua membahas mengenai lama berusaha dalam sektor kerajinan bambu, subbab ketiga membahas mengenai jenis kerajinan bambu yang diproduksi, dan di subbab akhir diberikan ikhtisar singkat yang menggambarkan keseluruhan isi bab ini.
Potensi Kerajinan Bambu Desa Gunung Bunder I Wilayah Desa Gunung Bunder I yang kaya akan potensi alam merupakan modal utama kehidupan masyarakat. Salah satu potensi alam tersebut adalah potensi hutan bambu yang menyebar di seluruh kawasan Desa Gunung Bunder I. Potensi bambu tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat di lingkungan RW 08 sebagai modal utama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi atau menjadi mata pencaharian masyarakat dengan maraknya profesi sebagai pengrajin bilik bambu. Mata pencaharian sebagai pengrajin bilik bambu sudah dilakukan oleh masyarakat di wilayah RW 08 Desa Gunung Bunder I dari generasi ke generasi. Berdasarkan penelusuran jejak sejarah kerajinan bambu ini diketahui bahwa usaha ini sudah ada sejak tahun 1960an, dimana masyarakat menganggap profesi sebagai pengrajin bilik bambu adalah salah satu profesi yang menjadi identitas RW 08 atau Kampung Legok Nyenang. Terdapat tiga jenis bambu utama yang digunakan oleh masyarakat dalam membuat bilik bambu. Yaitu: 1. Bambu andong (Gigantochloa verticillata), Menurut Dransfield dan Widjaja (1995) dalam Dirga (2012), bambu andong atau bambu gombong memiliki sinonim antara lain Gigantochloa pseudoarundinaceae (Steudel) Widjaja, Bambusa pseudoarundinaceae Steudel dan Gigantochloa 13 maxima Kurtz, dan memiliki nama daerah berupa Pring Sunda, Awi Andong (Sunda), Buluh Batuang Danto (Padang, Sumatera). Karakteristik dari bambu ini adalah buluh yang berwarna hijau kekuningan dab terdapat garis sejajar disepanjang buluhnya. 2. Bambu mayan (Gigantochloa robusta), Bambu Mayan disebut juga awi mayan (Sunda) atau pring serit (Jawa) merupakan jenis bambu yang banyak ditanam di daerah tropis yang lembab dan kering. Bambu mayan mempunyai rumpun yang simpodial, padat dan tegak (Dirga 2012). 3. Bambu tali (Gigantochloa apus) adalah jenis bambu biasa disebut pring tali, pring apus (Jawa), dan awi tali (Sunda). Di Pulau Jawa bambu tali banyak ditanam, sedangkan habitat alaminya banyak berada di Gunung Salak (Jawa Barat) dan Blambangan (Jawa Timur) (Dransfield dan Widjaja 1995) dalam Octara (2012).
24
Siklus Produksi Kerajinan Bambu Produksi kerajinan bambu sendiri masih menggunakan teknik yang sangat sederhana, baik dari alat yang digunakan maupun dari segi pengolahan bahan baku dari pasca panen, produksi, sampai metode penjualan. Dalam satu siklus produksi rata-rata memakan waktu tiga hari. Secara umum proses dari pembuatan kerajinan bilik bambu terdiri dari beberapa proses. Yaitu: 1. Proses persiapan bahan baku. Bahan baku produksi biasanya didapatkan dari daerah sekitar desa. Satu kali proses penebangan pengrajin rata-rata menggunakan dua sampai empat batang bambu. Selanjutnya bambu akan dibersihkan dari daun hingga siap ke proses berikutnya. 2. Proses ngahua atau proses penipisan bambu. Pada proses ini bambu yang sudah dibersihkan akan di belah secara vertikal mengikuti serat bambu menjadi empat bagian. Selanjutnya bambu diratakan dan ditipiskan dengan menggunakan pisau kecil atau golok, biasanya satu batang bambu dapat menghasilkan 40 hingga 50 lembar bambu tipis dengen ketebalan 0,5mm. 3. Proses penjemuran bambu. Penjemuran bambu hasil penipisan biasanya dilakukan sampai satu hari di bawah sinar matahari. Proses penjemuran ini lah yang biasanya memakan waktu yang paling lama. Biasanya pengrajin menyiasatinya dengan menganyam bahan yang sudah disiapkan di hari sebelumnya sehingga pengrajin dapat produktif. 4. Proses penganyaman. Pada proses ini satu lembar bilik biasanya dianyam dengan waktu empat sampai enam jam sesuai dengan jenis bilik yang akan dibuat. Untuk bilik pasar rata-rata dibutuhkan waktu menganyam sekitar tiga jam, sedangkan untuk bilik motif dibutuhkan waktu sekitar empat jam untuk menganyam satu lembar bambu. Pemasaran hasil kerajinan sendiri dilakukan oleh kepala keluarga. Pemasaran hasil kerajinan bambu ini dibedakan menjadi dua cara yaitu: 1. Sistem ngider atau berkeliling. Dalam sistem pemasaran berkeliling pengrajin akan memikul kerajinan bilik bambu yang telah di produksi dengan berjalan kaki. Jarak yang ditempuh oleh pengrajin selama berkeliling adalah 7 – 15Km. Dengan menggunakan sistem berkeliling ini pengrajin akan mendapat keuntungan lebih dibanding dengan sistem lain, karena pada sistem ini produk dijual langsung kepada konsumen sehingga tidak melalui perantara dan harga yang di sepakati nilainya lebih tinggi. 2. Menjual ke tengkulak atau pengepul. Dalam sistem ini pengrajin akan menjual produk kerajinan bambu pada pengepul yang ada disetiap kampung. Sistem ini mempunyai keunggulan yaitu sudah jelasnya pasar yang akan dicapai, akan tetapi, harga yang disepakati nilainya akan lebih rendah. Siklus produksi kerajinan bambu ini rata-rata memerlukan waktu paling tidak tiga hari. Hal ini dkarenakan proses persiapan hingga penjualan dilakukan oleh pengrajin saja. Selain itu, dengan terbatasnya pada alam maka produksi pun cenderung akan terhambat jika cuaca tidak mendukung seperti hujan yang bisa memnggangu proses penjemuran bambu.
25
Lama Berusaha dalam Sektor Kerajinan Bambu Industri kerajinan rumah tangga bilik bambu merupakan kerajinan yang sudah menjadi identitas di Desa Gunung Bunder I. Pengrajin pada umumnya sudah menggeluti usaha ini sejak usia remaja. Berdasarkan data hasil penelitian didapatkan bahwa rata-rata pengrajin sudah menggeluti usaha ini selama 25 tahun. Dengan lama usaha terendah yaitu selama 8 tahun dan pengrajin yang paling lama menggeluti usaha ini selama 45 tahun. Selain bekerja sebagai pengrajin, beberapa responde juga melakukan pola nafkah ganda yaitu dengan bekerja disektor lain. Berdasarkan data yang diperoleh, 9 responden juga berprofesi sebagai buruh tani. Akan tetapi, profesi sebagai buruh tani tersebut hanya berlangsung disaat masa tanam tiba. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari responden KR. “Kalau sedang ada kerjaan di sawah ya pasti dikerjain atuh. Pan lumayan nambah-nambah buat makan.” KR (40)
Jenis Kerajinan Bambu yang Diproduksi Jenis kerajinan bambu yang terdapat di Desa Gunung Bunder I berupa kerajinan bilik bambu. Pada perkembangannya, produk kerajinan bilik bambu di Desa Gunung Bunder I ada tiga jenis. Yaitu: 1. Bilik pasar, yaitu merupakan jenis bilik bambu yang bahan utamanya adalah bagian dalam atau daging bambu sehingga untuk satu pohon bambu dapat menghasilkan 2 lembar bilik pasar. Ciri utama dari bilik pasar ini adalah lebar dari setiap bahan yang digunakan berkisar antara 4-5cm. Bilik jenis pasar yang berukuran 2 x 2 meter ini biasa dijual dengan harga yang rendah yaitu berkisar antara Rp.15.000,- untuk penjualan melalui tengkulak/pengepul dan Rp.30.000,- jika menjual langsung melalui sistem berkeliling atau ngider. 2. Bilik kulit, yaitu merupakan jenis bilik bambu yang bahan utamanya adalah bagian terluar atau kulit bambu. Ciri utama dari dari bilik kulit adalah lebar dari setiap bahan yang digunakan hanya 2 cm. Untuk itu, untuk membuat 1 lembar bilik yang berukuran 4 x 2 meter diperlukan bahan yang lebih banyak. Selain itu, dikarenakan bahan baku untuk membuat bilik kulit ini terbatas, maka harga untuk satu lembar bilik ini berkisar antara Rp.90.000,- hingga Rp.100.000,-. 3. Bilik motif atau bilik kembang, yaitu merupakan jenis bilik bambu yang bahan utamanya menggunakan kulit bambu dan kulit pohon kirai dengan ukuran 4 x 2 meter. Bilik bambu jenis kembang ini mempunyai keunikan dalam produksinya, yaitu kulit pohon kirai yang pada awalnya berwarna hijau akan direndam dalam lumpur selama 2 minggu hingga kulit tersebut berubah warna menjadi hitam. Warna tersebut lah yang kemudian dianyam bersama kulit bambu hingga membentuk suatu motif tertentu. Harga jual dari satu bilik motif ini berkisar antara Rp.100.000,- hingga Rp.120.000,-.
26
Berdasarkan data yang diperoleh, 19 responden (54%) bertindak sebagai pengrajin bilik pasar. 3 orang (9%) bertindak sebagai pengrajin bilik motif, dan 13 orang (37%) bertindak sebagai pengrajin bilik pasar dan bilik motif. Tabel 4. Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kerajinan Bambu yang Diproduksi Jenis Kerajinan Bilik Bilik Pasar Bilik Motif Bilik Pasar + Bilik Motif
Frekuensi
Total
Persentase (%) 19 3 13
54 9 37
35
100
Perbedaan pola produksi tersebut berdasarkan pada perbedaan keahlian pengrajin dan akses sumberdaya informasi pengraji terkait dengan tempat mendapatkan bahan baku tambahan bilik berupa kulit kirai. Banyak responden mengakui bahwa alasan utama mereka tidak menggeluti usaha kerajinan bilik motif dikarenakan sulitnya mendapatkan bahan baku. Untuk skema kebutuhan produksi dan keuntungan kerajinan bambu ini dapat dilihat dalam tabel 6. Tabel 5. Skema kebutuhan produksi dan keuntungan kerajinan bambu No.
1 2 3
Jenis Produk Bilik Pasar Bilik Kulit Bilik Motif
Biaya Produksi / unit Bahan Tenaga Lain Kerja Rp. Rp. 0,- Rp. 0,3.000,Rp. Rp. 0,- Rp. 0,30.000,Rp. Rp. Rp. 0,15.000,- 15.000,Bambu
Total Biaya Bahan Lain Produksi Rp. 0,Rp. 3.000,Rp. 0,Rp. 30.000,Rp. 0,Rp. 30.000,-
Nilai Jual Rp. 15.000,Rp. 100.000,Rp. 100.000,-
Keuntungan
Rp. 12.000,Rp. 70.000,Rp. 70.000,-
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa biaya produksi kerajinan bambu pada umumnya hanya berupa biaya bahan baku saja, sedangkan untuk biaya tenaga kerja dan biaya produksi lainnya dianggap tidak ada. Hal ini dikarenakan pengrajin di Desa Gunung Bunder I pada umumnya tidak menggunakan tenaga kerja dari luar melainkan tenaga kerja yang berasal dari rumah tangga pengrajin sendiri. Jika dilihat dari keuntungan, bilik kulit dan bilik motif memang memiliki keuntungan yang paling besar. Akna tetapi, meskipun keuntungan yang ditawarkan begitu besar, hanya beberapa pengrajin saja yang menggeluti bidang bilik motif tersebut. Iktishar
Proses pembuatan bilik bambu terdiri dari empat tahapan. Yaitu, proses persiapan bahan baku, proses ngahua, proses penjemuran, dan proses penganyaman. Terdapat tiga jenis bilik bambu yang dibuat oleh masyarakat di Desa Guung bunder I, yaitu bilik pasar, bilik kulit, dan bilik motif. Rata-rata pengrajin sudah menggeluti usaha ini selama 25 tahun. Dengan lama usaha terendah yaitu selama 8 tahun dan pengrajin yang paling lama menggeluti usaha
27
ini selama 45 tahun. Untuk jenis kerajinan bambu yang diproduksi, 19 responden (54%) bertindak sebagai pengrajin bilik pasar. 3 orang (9%) bertindak sebagai pengrajin bilik motif, dan 13 orang (37%) bertindak sebagai pengrajin bilik pasar dan bilik motif.
28
KARAKTERISTIK RESPONDEN
Bab ini menguraikan mengenai karakteristik responden penelitian di Desa Gunung Bunder I yang terbagi ke dalam beberapa subbab. Subbab pertama membahas mengenai jenis kelamin dan usia responden, subbab kedua membahas mengenai tingkat pendidikan responden, subbab ketiga membahas mengenai tingkat pendapatan responden, dan di subbab akhir diberikan ikhtisar singkat yang menggambarkan keseluruhan isi bab ini.
Jenis Kelamin dan Usia Responden Pada penelitian ini, responden adalah pengrajin bilik bambu di wilayah RW 08 Desa Gunung Bunder I yang terdiri dari 3 kampung, yaitu Kampung Legok Nyenang, Kampung Legok Indah, dan Kampung Pasir Salam. Responden terdiri dari 35 pengrajin dengan 30 responden berjenis kelamin laki-laki dan 5 responden berjenis kelamin perempuan. Responden berusia antara 25 tahun hingga 75 tahun. Tabel 6. Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Frekuensi
Persentase (%) 30 5 35
86 14 100
Usia responden diklasifikasikan menjadi tiga kategori sesuai dengan teori perkembangan Hurlock (1980) dalam Angelie (2014) yakni menjadi dewasa awal (18 – 40 tahun), usia madya atau dewasa akhir (41 – 60 tahun), dan usia tua atau usia lanjut (lebih dari 60 tahun). Pengkategorian responden berdasarkan tingkat usia dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 7. Tabel Frekuensi Jenis Kelamin Responden berdasarkan Kategori Usia Kategori Usia Dewasa Awal (18-40 tahun) Dewasa Madya (41- 60 tahun) Usia Lanjut (>60 tahun) Total
Laki-laki N % 10 33,3 17 56,7 3 10,0 30 100
Perempuan N % 4 80 1 20 0 0 5 100
Responden laki-laki dalam usaha kerajinan bilik bambu mempunyai tugas utama untuk seluruh proses produksi yaitu bertugas sebagai pencari bahan baku bambu, penipisan bambu, penjemuran bambu, penganyam, dan sekaligus menangani pemasaran hasil produksi. Sedangkan untuk responden perempuan bertugas sebagai pembantu saja. Responden perempuan bertugas untuk menganyam bahan yang telah disiapkan.
30
Tingkat Pendidikan Responden Tingkat pendidikan responden pada penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu tidak bersekolah dan tamat sekolah dasar. Responden yang tidak bersekolah yaitu sebanyak 18 responden, sedangkan untuk responden yang tamat sekolah dasar sebanyak 17 responden. Rendahnya pendidikan responden dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Diantaranya adalah karena jarak yang jauh dari RW 08 ke akses pendidikan. Akses terdekat ke fasilitas pendidikan adalah 2 Km dengan berjalan kaki. Pada umumnya responden mendapatkan pendidikan informal mengenai kerajinan bilik bambu dari lingkungan sekitarnya termasuk dari pembelajaran orang tua. Responden mengakui bahwa kemampuannya dalam membuat kerajinan bilik bambu didapatkan dari orang tua melalui cara membantu saat responden berhenti sekolah.
Tingkat Pendidikan Responden 18.2 18
18
17.8 17.6 17.4 17.2
17
17 16.8 16.6 16.4 Tidak Sekolah
SD Tingkat Pendidikan Responden
Gambar 5. Tingkat Pendidikan Responden Modal Usaha Sumber modal utama pengrajin di Desa Gunung Bunder I terdiri dari dua sumber, yaitu modal pribadi (17 responden) dan modal dari tengkulak (18 responden). Modal pribadi terdiri dari modal uang dan kepemilikan kebun bambu. Dari 35 responden, 7 diantaranya memiliki modal berupa kebun bambu yang berarti bahwa responden tidak perlu membeli bahan baku bambu untuk produksi skala kecil dan hanya membeli bambu untuk keperluan tambahan saja. Untuk responden yang mempunyai modal dari tengkulak sendiri terdapat 18 responden, dimana mereka meminjam sejumlah uang kepada tengkulak yang pengembaliannya berupa produk jadi yang siap dipasarkan. Besar pinjaman kepada tengkulak biasanya tergantung pada kebutuhan setiap responden. Akan tetapi rata-rata responden meminjam kepada tengkulak sebesar Rp. 150.000,setiap minggunya yang akan mereka gunakan untuk membeli bahan baku dan memenuhi kebutuhan rumah tangga.
31
Tingkat Pendapatan Responden Tingkat pendapatan responden dalam satuan tahun dibagi kedalam tiga kategori. Yaitu rendah, sedang dan tinggi. Untuk responden dengan kategori rendah berjumlah 19 responden (54%), kategori sedang berjumlah 11 responden (32%) dan kategori tinggi berjumlah 5 orang (14%). Berdasarkan data yang diperoleh, pendapatan rata-rata responden selama satu tahun adalah Rp. 8.108.571,- dengan pendapatan terkecil yang diperoleh responden adalah sebesar Rp. 3.600.000,- sedangkan untuk pendapatan tertinggi yaitu Rp. 36.000.000,-. Yang merupakan pencilan dari data pendapatan masyarakat yang diperolah. Perbedaan pendapatan yang begitu signifikan tersebut dikarenakan perbedaan jenis kerajinan bilik bambu yang diproduksi. Responden ES mengakui bahwa dengan memproduksi kerajinan bilik bambu jenis motif maka penghasilannya akan lebih tinggi dibandingkan dengan produksi bilik pasar. Hal tersebut dikarenakan nilai jual dari bilik jenis motif lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya. “ES (38) : Alhamdulilah saya sama bapak sih produksinya bilik motif terus. Soalnya kalau bilik pasar kan semuanya sudah pada bikin, nah kebetulan kalau saya fokusnya ke bilik ini (motif) aja. Kan harga jualnya juga lebih tinggi dibandingkan bilik pasar. Kalau bilik pasar mah Cuma Rp. 15.000,- tapi kalau bilik motif mah bisa sampai Rp. 100.000,tiap lembarnya.”
Tingkat Pendapatan Responden Tinggi 14%
Rendah 54%
Sedang 32%
Rendah
Sedang
Tinggi
Gambar 6. Tingkat Pendapatan Responden Tabel 8. Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Pendapatan Tahun 2014 Tingkat Pendapatan Rendah ( < Rp.7.200.000 ) Sedang (Rp.7.200.001 – Rp. 10.800.000 ) Tinggi ( > Rp.10.800.000 ) Total
Frekuensi 19 11 5
Persentase (%) 54 32 14
35
100
32
Iktishar Karakteristik usaha kerajinan bambu di Desa Gunung Bunder I terkait dengan karakteristik responden, tingkat pendidikan responden, tingkat pendapatan responden, lama berusaha disektor kerajinan bambu, dan jenis kerajinan bambu yang diproduksi. Berdasarkan karakteristik responden, responden terdiri dari 35 pengrajin dengan 30 responden berjenis kelamin laki-laki dan 5 responden berjenis kelamin perempuan. Responden berusia antara 25 tahun hingga 75 tahun.Responden yang tidak bersekolah yaitu sebanyak 18 responden, sedangkan untuk responden yang tamat sekolah dasar sebanyak 17 responden. Berdasarkan tingkat pendapatan, responden dengan kategori rendah berjumlah 19 responden (54%), kategori sedang berjumlah 11 responden (32%) dan kategori tinggi berjumlah 5 orang (14%). Berdasarkan data yang diperoleh, pendapatan rata-rata responden selama satu tahun adalah Rp. 8.108.571,- dengan pendapatan terkecil yang diperoleh responden adalah sebesar Rp. 3.600.000,sedangkan untuk pendapatan tertinggi yaitu Rp. 36.000.000,-.
BENTUK PERTUKARAN SOSIAL PADA MASYARAKAT PELAKU KERAJINAN BAMBU
Bab ini menguraikan mengenai hasil analisis bentuk pertukaran sosial pada masyarakat pelaku kerajinan bambu yang terbagi ke dalam beberapa subbab. Subbab pertama membahas mengenai bentuk pertukaran pasar, subbab kedua membahas mengenai resiprositas, dan subbab ketiga membahas mengenai redistribusi. Pada akhir bab ini juga diberikan ikhtisar singkat yang menggambarkan keseluruhan isi bab ini.
Pertukaran Pasar Polanyi (1968) membedakan pertukaran menjadi tiga pola, yaitu: resiprositas, redistribusi, dan pertukaran pasar. Klasifikasi tersebut didasarkan pada harapan atau motif-motif yang ingin diperoleh para partisipan dalam melakukan transisi. Menurutnya, motif yang mendasari pertukaran, resiprositas dan redistribusi adalah kebutuhan untuk mendapatkan prestise serta kebutuhan ekonomi akan tetapi kebutuhan ekonomi tersebut tidak bersifat komersil. Ketiga bentuk pertukaran sosial tersebut juga ditemui pada masyarakat pelaku ekonomi kreatif di Desa Gunung Bunder I. Dimana masyarakat melakukan ketiga bentuk pertukaran tersebut sesuai dengan konteks dan kondisi yang terjadi.
Kecenderungan Bentuk Pertukaran Sosial pada Setiap Pelaku Usaha Pertukaran Pasar 39%
Resiprositas 33% Resiprositas
Redistribusi Pertukaran Pasar
Redistribusi 28%
Gambar 7. Kecenderungan Bentuk Pertukaran Sosial pada Setiap Pelaku Usaha
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa masyarakat cenderung akan melakukan pertukaran berdasarkan bentuk pertukaran pasar yaitu
34
mencapai angka 39%. Prinsip dari bentuk pertukaran pasar ini adalah dengan menggunakan sistem ekonomi sebagai dasar dari pertukaran yang terjadi. Pasar (market) dilihat jika dilihat dari aspek sosiologi bertindak sebagai suatu institusi sosial, yaitu suatu struktur sosial yang memberikan tatanan siap pakai bagi pemecahan persoalan kebutuhan dasar manusia, khususnya kebutuhan dasar ekonomi dalam distribusi barang dan jasa. Motif yang mendasari pertukaran pasar ini sendiri adalah karena masyarakat melihat bahwa ganjaran yang akan didapatkan dari pertukaran adalah dalam bentuk uang. Sesuai dengan prinsipnya, masyarakat pelaku kerajinan bambu ini juga tidak membatasi dengan siapa dia melakukan pertukaran. Meskipun dengan anggota keluarga, masyarakat akan tetap mematok ukuran ekonomi sebagi dasar pertukaran. Akan tetapi, pada kenyataannya masyarakat melakukan sistem pertukaran pasar ini bukan dengan kapasitas sebagai pengrajin, akan tetapi sebagai penyedia bahan baku usaha yang berupa bambu. Pertukaran pasar tersebut biasanya terjadi diantara pengrajin dengan penyedia bahan baku produksi. Dilingkungan pengrajin dikenal sebuah sistem dimana mereka akan membeli bahan baku kepada pemilik kebun bambu. Ada tiga jenis bambu yang sampai saat ini digunakan sebagai bahan baku, yaitu bambu andong, bambu tali, dan bambu mayan. Bambu andong dibeli oleh para pengrajin dengan harga Rp. 9.000,- sampai dengan Rp. 10.000,- / batang. Sedangkan untuk bambu tali dan bambu mayan dibeli dengan harga Rp. 4.000,- sampai dengan Rp. 6.000,-/batang. Perbedaan harga tersebut didasarkan pada diameter bambu dan kemampuan yang akan dihasilkan dari setiap bambu. Dimana bambu andong yang berdiameter besar dapat menjadi 4 lembar bilik bambu yang jika dijual akan menghasilkan sekitar Rp. 60.000,- sedangkan untuk satu batang bambu mayan atau bambu tali hanya akan menjadi 2 lembar bilik bambu yang jika dijual akan menghasilkan Rp. 30.000,-. Bentuk pertukaran pasar juga terjadi diantara pengrajin dan tengkulak/pengumpul bilik bambu. Pertukaran yang terjadi adalah tengkulak akan meminjamkan modal kepada pengrajin senilai dengan harga jual tiap lembar bilik bambu yang dihasilkan para pengrajin. Untuk satu lembar bilik bambu tengkulak akan meminjamkan uang sebesar Rp. 15.000,- yang pembayarannya akan dilakukan dengan memberikan hasil kerajinan yang telah dibuat. Padahal jika para pengrajin melakukan penjualan secara sendiri melalui sistem keliling atau yang biasa disebut dengan ngider maka satu lembar bilik bambu jenis pasar dapat dihargai sekitar Rp. 30.000,-. Akan tetapi, pengrajin pada umumnya lebih menjual kepada pengumpul/tengkulak tadi dikarenakan beberapa prinsip dasar. Yaitu: 1. Prinsip pemenuhan kebutuhan, yaitu pengrajin lebih mempercayai tengkulak dikarenakan tengkulak tersebut dapat memberikan pinjaman uang yang dapat dipergunakan terlebih dahulu oleh para pengrajin baik untuk membeli bahan baku, atau pun untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya. “Kalau saya sih jang lebih terbantu dengan adanya tengkulak itu, soalnya kalau saya pinjam uang untuk modal ke tengkulak kan bisa dipakai dulu uangnya untuk keperluan sehari-hari. Kalau jual bilik sendiri (red: ngider) kan lama, nah untuk makan sehari-hari dari mana atuh kalau bukan pinjam dulu mah ke tengkulak.” YT (50).
35
2. Prinsip kepastian pasar, yaitu pengrajin melakukan pertukaran dengan tengkulak karena tengkulak telah memiliki pasar yang jelas. Selain itu, pengrajin juga merasa diuntungkan karena mereka tidak harus memasarkan secara langsung hasil kerajinan yang telah dibuat. Meskipun perbedaan harga jual relatif jauh yaitu mencapai angka 100%, pengrajin merasa bahwa meskipun hasil kerajinan mereka dijual dengan harga yang rendah mereka tetap masih diuntungkan. “Kan prinsip kalau berusaha itu seperti ini, kalau kita sudah tau jelas pasarnya kan lebih baik seperti itu. Meskipun harganya rendah tapi kalau bilik kita terjual kan sudah pasti kita tetap punya keuntungan. Dari pada ngider dalam satu hari belum tentu bisa terjual semua bilik yang kita bawa.” JL (30). 3. Prinsip produktifitas, yaitu pengrajin merasa dengan tidak menjual hasil kerajinan secara langsung dengan berkeliling atau ngider yang bisa menyita waktu satu hari penuh untuk memasarkan enam lembar bilik bambu yang harganya bisa mencapai Rp.180.000,-, maka pengrajin dapat diuntungkan karena dengan hilangnya waktu untuk memasarkan tersebut maka pengrajin dapat membuat kerajinan lebih banyak dan langsung menjualnya meskipun dengan harga yang rendah. “Ya kalau ibu mah pinjam ke tengkulak itu merasa lebih enak saja. Toh bilik yang ibu buat sudah pasti terjual. Kan kalau bapak harus ngider mah pasti seharian. Padahal sehari itu kalau buat bilik lagi pasti bisa dapat dua lembar. Belum lagi kalau ngider itu kan jaraknya jauh, bisa mencapai 12 Km dengan berjalan kaki.” IN (30) Resiprositas Bentuk pertukaran kedua yang dominan adalah resiprositas yang mempunyai presentase sebesar 33%. Reprositas adalah pertukaran timbal balik antar individu atau antara kelompok yang bersifat simetris. Tanpa adanya syarat hubungan yang simetris pada kenyataannya individu atau kelompok tersebut tidak akan melakukan pertukaran barang dan jasa yang mereka miliki. Hubungan simetris ini merupakan hubungan sosial dimana masing-masing pelaku menempatkan diri mereka dalam suatu peranan yang sama. Selain itu, konsep reprositas juga memerlukan adanya hubungan personal diantara pihak yang terkait. Pentingnya syarat adanya hubungan personal tersebut berkaitan dengan motif dari orang untuk melakukan reprositas yang berbentuk penghargaan, kemuliaan, kewibawaan, popularitas, sanjungan, dan berkah. Pada umunya, bentuk resiprositas yang terjadi pada masyarakat pelaku kerajinan bambu tidak dilakukan dengan cara membantu pengrajin lain, hal ini dikarenakan masingmasing pengrajin memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaannnya masingmasing, sehingga mereka tidak membantu dalam bentuk bentuan pekerjaan. Bantuan yang biasa diberikan biasanya berbentuk pelimpahan pesanan yang tidak bisa tercukupi oleh pengrajin.
36
“Kalau diantara pengrajin disini sih kita prinsipnya kerja masingmasing, jangankan untuk membantu pengrajin lain, untuk pekerjaan sendiri saja kita kadang tidak bisa selesai semua. Ya paling kalau kita saling membantu itu saat ada pesanan banyak tapi tidak bisa dilaksanakan baru kita minta pinjam produk orang lain dulu untuk memenuhi kebutuhan pesanan itu.” HS (28). Pelimpahan pesanan yang terjadi merupakan sebuah bentuk interaksi yang terjadi diantara pengrajin dengan perjanjian yang tidak tertulis dan tidak ditentukan batas waktu pengembaliannya. Disaat pengrajin memberikan pelimpahan pesanan tersebut maka secara tersirat telah terjadi sebuah perjanjian dimana pihak yang diberikan pelimpahan pesanan harus melakukan hal serupa jika pengrajin tersebut mendapatkan pesanan dan tidak mampu memenuhi pesanan tersebut. Redistribusi Bentuk terakhir yang dilakukan oleh masyarakat pelaku industri kerajinan bambu di Desa Gunung Bunder I adalah redistribusi yang mempunyai presentase sebesar 28%. Redistribusi adalah pemindahan barang atau jasa yang tersentralisasi, yang melibatkan proses pengumpulan kembali dari anggotaanggota suatu kelompok melalui pusat kepada dan pembagian kembali kepada anggota-anggota kelompok tersebut. Syarat dari redistribusi ini yaitu hubungan yang asimetris yang ditandai oleh adanya peranan individu tertentu dengan wewenang yang dimiliki didalam kelompok untuk mengorganisir pengumpulan barang dari anggota kelompok untuk di distribusikan kembali ke seluruh anggota kelompok tersebut. Alasan rendahnya bentuk redistribusi ini dikarenakan belum meratanya pengetahuan para pengrajin tentang pentingnya kelompok pengrajin. Sampai saat ini, kelompok pengrajin bilik bambu tidak diikuti oleh seluruh pengrajin. Hanya 20 orang saja yang sudah tergabung kedalam kelompok pengrajin. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari tokoh masyarakat ER bahwa masyarakat cenderung ingin melihat kesuksesan kelompok terlebih dahulu sebelum bergabung dengan kelompok pengrajin. “Yah kalau masyarakat disini sih pengen lihat kesuksesan kelompok dulu baru mau gabung ke kelompok. Soalnya kan emang pendidikan disini mah rendah yah, jadi pengennya liat hasil dulu gitu baru mau kerja.” ER (43) Bentuk redistribusi yang dilakukan adalah peminjaman modal usaha yang pengembaliannya berdasarkan prinsip cicilan tiap bulan dengan sistem bagi hasil. Dikarenakan kelompok pengrajin tersebut baru berjalan beberapa bulan terakhir, maka efektifitas kelompok pun belum dapat dilihat. Akan tetapi pada umumnya pengrajin tertarik untuk bergabung dengan kelompok pengrajin dikarenakan beberapa hal. Yaitu:
37
1. Peminjaman modal, merupakan alasan utama pengrajin untuk bergabung dengan kelompok tani. Hal tersebut karena pengrajin mengaku bahwa pengrajin di Desa Gunung Bunder I pada umumnya mengalami kesulitan modal untuk melanjutkan usaha. “Yang pastimah untuk minjem modal atuh, pan memang rada sulit modal gitu kalau pengrajin disini mah.” AJ (40). 2. Cicilan ringan dan berdasar bagi hasil, denga cicilan yang ringan pengrajin pada umumnya merasakan sangat terbantu dengan adanya pinjaman modal dari kelompok pengrajin. Dengan meminjam modal pada kelompok maka pengrajin dapat menyicil pengembalian pinjama tersebut dengan cara menyisihkan penghasilan yang mereka dapat setiap minggunya. “Ya kalau pinjem ke kelompok kan lebih gampang lah bayarnya, bisa nyicil seribu dua ribu tiap harinya. Itung-itung ngasih uang jajan anak aja atuh de.” AT (45). 3. Mengihindari sistem ijon, dengan danya pemusatan peminjaman modal pada kelompok pengrajin maka secara tidak langsung akan meminimalisasi peminjaman pada tengkulak atau bank keliling. Menurut pengakuan tokoh masyarakat yaitu bapak ER, dengan banyaknya pengrajin yang meminjam pada kelompok maka semakin sedikit masyarakat yang meminjam pada bank keliling. “Dulu sebelum ada kelompok sih semua rata-rata minjemnya ke bank keliling, tapi dengan adanya kelompok ini perlahan masyarakat mulai ngerti kalau minjem ke bank keliling itu malah bikin rugi bukan untung.” ER (42) 4. Harapan untuk kepastian pasar, dengan adanya kelompok pengrajin, maka pengrajin diringankan untuk kepastian pasar, hal ini dikarenakan kelompok dengan sendirinya membentuk ikatan diantara pengrajinnya dan membentuk jaringan informasi pemasaran diantara para anggotanya. “Kalau ada kelompok mah mudah-mudahan aja gampang masarin bilik. Ya gak usah ngider lah. Tapi kita bisa tetep bikin gitu.” OC (50). Ikhtisar Polanyi (1968) membedakan pertukaran menjadi tiga pola, yaitu: resiprositas, redistribusi, dan pertukaran pasar. Klasifikasi tersebut didasarkan pada harapan atau motif-motif yang ingin diperoleh para partisipan dalam melakukan transisi. Menurutnya, motif yang mendasari pertukaran, resiprositas dan redistribusi adalah kebutuhan untuk mendapatkan prestise serta kebutuhan ekonomi akan tetapi kebutuhan ekonomi tersebut tidak bersifat komersil.
38
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan data bahwa bentuk pertukaran yang lebih dominan terjadi di kalangan pengrajin di Desa Gunung Bunder I adalah bentuk pertukaran pasar. Bentuk resiprositas yang terjadi pada masyarakat pelaku kerajinan bambu tidak dilakukan dengan cara membantu pengrajin lain, hal ini dikarenakan masing-masing pengrajin memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaannnya masing-masing, sehingga mereka tidak membantu dalam bentuk bentuan pekerjaan. Bantuan yang biasa diberikan biasanya berbentuk pelimpahan pesanan yang tidak bisa tercukupi oleh pengrajin. Sedangkan rendahnya nilai untuk redistribusi dikarenakan rendahnya pengrajin yang bergabung dengan kelompok pengrajin.
ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA KERAJINAN BAMBU
Bab ini menguraikan mengenai hasil analisis tingkat keberlanjutan usaha kerajinan bambu yang terbagi ke dalam beberapa subbab. Subbab pertama membahas mengenai tingkat keberlanjutan usaha, subbab kedua membahas mengenai kapasitas pengrajin, subbab ketiga membahas mengenai keadilan berusaha, dan subbab ke empat membahas mengenai kemandirian pengrajin. Pada akhir bab ini juga diberikan ikhtisar singkat yang menggambarkan keseluruhan isi bab ini.
Tingkat Keberlanjutan Usaha Tingkat keberlanjutan usaha adalah ukuran yang digunakan untuk melihat sejauh mana sebuah usaha dapat berlanjut dimasa yang akan datang. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberlanjutan usaha adalah Kapasitas Pengrajin, Keadilan Berusaha, dan Kemandirian Pengrajin. Tingkat keberlanjutan usaha dibedakan menjadi tiga kategori. Yaitu: rendah, sedang, dan tinggi. pembagian ketiga kategori tersebut berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan skala likert yang berupa pembagian tiga kuadran hasil skor kuisioner. Berdasarkan data yang telah diperoleh, tingkat keberlanjutan usaha kerajinan bambu masyarakat lebih dominan berada pada tingkat rendah yaitu mencapai angka 54%, sedang 37%, dan tinggi yang hanya mempunyai presentase sebesar 9%. Pengukuran tersebut mencerminkan bagaimana masing-masing indikator mempunyai dampak pada tingi atau rendahnya tingkat keberlanjutan usaha.
Tingkat Keberlanjutan Usaha Tinggi 9%
Sedang 37%
Rendah 54%
Rendah
Sedang
Tinggi
Gambar 8. Presentase Tingkat Keberlanjutan Usaha
40
Tabel 9. Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Keberlanjutan Usaha Tingkat Keberlanjutan Usaha Rendah (skor 71 – 80) Sedang (skor 81 – 90) Tinggi ( skor 91 – 100)
Frekuensi
Total
19 13 3
Presentase (%) 54 37 9
35
100
Kapasitas Pengrajin Kapasitas pengrajin adalah penilaian pada individu pengrajin yang dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu kreativitas, inovasi, kerjasama, pengambilan resiko, dan evaluasi usaha. Kapasitas pengrajin di Desa Gunung Bunder I sendiri terdiri dari tiga kategori yaitu rendah, sedang, tinggi. Pembagian kategori tersebut berdasarkan skor kemampuan responden yang diukur berdasarkan kuisioner penelitian. Hasil analisis data menunjukan bahwa 13 orang atau 37% responden mempunyai kapasitas sebagai pengrajin yang rendah, hal ini menunjukan bahwa pengrajin di Desa Gunung Bunder I cenderung memiliki nilai yang rendah pada masing-masing variabel kapasitas pengrajin. 14 orang atau 40% responden mempunyai kapasitas sebagai pengrajin yang sedang, dan 8 orang atau 23% responden mempunyai kapasitas sebagai pengrajin yang tinggi. Perbedaan yang signifikan antara persentase tingkat keberlanjutan usaha dan persentase tingkat kapasitas pengrajin menunjukan bahwa dalam kapasitas pengrajin terdapat variabel yang memiliki skor rendah, sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi keberlanjutan usaha.
Kapasitas Pengrajin Tinggi 23% Rendah 37%
Sedang 40% Rendah
Sedang
Tinggi
Gambar 9. Presentase Tingkat Kapasitas Pengrajin
41
Tabel 10. Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Kapasitas Pengrajin Kapasitas Pengrajin Rendah (skor 31 – 38) Sedang (skor 39 – 46) Tinggi (skor 47 – 55) Total
Frekuensi
Persentase (%) 13 14 8
37 40 23
35
100
Perbedaan dari masing-masing responden pada tingkat kapasitas pengrajin ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal diantaranya: 1. Kreatifitas pengrajin di Desa Gunung Bunder I cenderung tidak berkembang. Kreatifitas adalah menghubungkan dan merangkai ulang pengetahuan di dalam pikiran-pikiran manusia yang membiarkan dirinya untuk berfikir secara lebih bebas dalam membangkitkan hal-hal baru. Rendahnya kreatifitas dari pengrajin tersebut dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah dan minimnya informasi yang didapatkan oleh pengrajin. Rendahnya informasi tersebut berpengaruh pada kemampuan untuk mendapatkan ide dan gagasan dari luar untuk di ubah menjadi hal baru untuk menambah nilai guna produk kerajinan yang dihasilkan. “Ya saya mah pendidikan juga cuma SD, jadi kalau buat pola atau motif yang lain ya susah. Belum lagi disini susah dapat informasinya. Jangankan untuk buat produk baru, untuk tau model yang sedang disuka konsumen aja belum tau.” DR (38). 2. Inovasi adalah perubahan ide dalam sekumpulan informasi yangberhubungan diantara masukan dan luaran. Inovasi di tingkat pengrajin dapat dikatakan sangat rendah. Hal ini dikarenakan pengrajin pada umumnya merasa sudah berada di zona aman dalam berusaha. Hal ini terbukti dari bentuk kerajinan bilik bambu yang masih memiliki bentuk yang sama dari awal hingga kini. “Kalau untuk buat model yang baru sih agak susah. Soalnya dari dulu juga motif ini yang sering dicari pelanggan. Pernah sih dulu coba mambuat kerajinan lain, tapi gak berlanjut karena bingung harus jual kemana, sementara kalau motif bilik yang sekarang kan itu sudah dikenal dan pasarnya jelas.” JL (30). 3. Kerjasama yang terjalin diantara pengrajin. Kerjasama adalah bentuk interaksi antar individu dimana individu tersebut saling membantu untuk mewujudkan tujuan yang sama. Bentuk kerjasama yang terjalin adalah kerjasama pengrajin dengan anggota keluarga, dimana masing-masing pengrajin cenderung akan membagi pekerjaannya dengan anggota keluarga. Seorang kepala keluarga biasanya bertindak sebagai pencari bahan baku produksi dan menghaluskan bambu hingga siap untuk dianyam, sedangkan istri biasanya bertindak sebagai penganyam bahan yang telah disiapkan sebelumnya oleh kepala keluarga. Pembagian kerja juga biasanya dilakukan dengan anggota keluarga lain yaitu dengan anak. Anak-anak mulai diajarkan membuat kerajinan bambu semenjak berumur 12 tahun. Tugas yang diberikan kepada anak biasanya hanya berkisar
42
sebagai pembantu untuk tugas menganyam. Pembagian tugas dengan anak tersebut bisa dikatakan sebagai upaya pengrajin untuk melatih anak mereka dalam pembuat kerajinan bilik bambu. Tugas yang diberikan biasanya akan berangsur untuk ke tingkat kesulitan selanjutnya sesuai dengan kemampuan anak tersebut. Hingga pada akhirnya mereka mampu mandiri dan menjalankan usaha kerajinan tersebut sendiri. Hal tersebut sesuai dengan pengalaman responden JL dan HS yang merupakan anak dari responden ZK. “Saya mulai belajar untuk membuat bilik ini dari usia 12 tahun. Dulu sih bapak nyuruh saya untuk nganyam. Ya hasilnya sih emang masih jelek, bahkan gak layak lah untuk dijual. Tapi setelah mulai dewasa dan nganyam sudah lancar sih saya belajar untuk „ngahua‟. Nah pas sudah lancar semua baru di usia 17 tahun saya mulai membuat sendiri dari awal sampai akhir.” JL (30) 4. Pengambilan resiko yang rendah. Pengambilan resiko adalah bentuk perilaku individu yang dapat mengambil sebuah keputusan untuk melakukan satu tindakan dengan mengetahui dampak yang akan timbul apabila tindakan tersebut gagal dilakukan. Pengambilan resiko yang dilakukan oleh pengrajin bambu di Desa Gunung Bunder I cenderung sangat rendah. Hal ini berkaitan dengan prinsip pengrajin yang merasa enggan untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat karena prinsip safety first yang biasa ditemui juga dimasyarakat pedesaan pada umumnya. Adanya ketidakpastian pasar juga menjadi penyebab pengrajin anggan untuk mengambil resiko karena kekawatiran yang tinggi terhadap kegagalan. 5. Evaluasi usaha yang rendah. Evaluasi usaha adalah penilaian yang dilakukan terhadap usaha yang telah dilaksanakan. Pengukuran evaluasi usaha ini dengan melihat evaluasi usaha yang dilakukan pengrajin dengan tolak ukur catatan perencanaan usaha dan catatan keuangan usaha. berdasarkan penelitian yang dilakukan responden pada umumnya tidak memiliki catatan keuangan selama berusaha, sehingga tidak ada catatan pengeluaran maupun pemasukan dari usaha yang telah dilakukan. “Boro-boro buat nyatet jang. Kalau ada pemasukan ya syukur pasti langsung dibelanjain lagi buat keperluan makan. Ya intinya mah gak sempet kalau bikin catetan gitu. Kan bapak mah atuh gak sekolah juga jadi karagok mau nulis-nulis gitu mah. Mending di inget-inget aja lah”. JS (38) Keadilan Berusaha Keadilan berusaha adalah variabel terkait dengan kewajaran dalam melakukan usaha, dimana usaha tersebut harus dapat memberikan keuntungan untuk setiap pelaku yang terlibat dalam usaha tersebut. Hal tersebut dapat diukur dengan melihat pembagian kerja dan keuntungan yang didapatkan pelaku usaha.
43
berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 6 responden (17%) termasuk kedalam kategori rendah, 15 responden (43%) termasuk kedalam kategori sedang, dan 14 responden (40%) termasuk kedalam kategori tinggi. Dengan melihat hasil tersebut maka dapat dikatakan tingkat keadilan berusaha pada masyarakat pengrajin bilik bambu di Desa Gunung Bunder I sudah dikatakan baik.
Keadilan Berusaha Rendah 17%
Tinggi 40%
Sedang 43% Rendah
Sedang
Tinggi
Gambar 10. Presentase Tingkat Keadilan Berusaha Tabel 11. Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Keadilan Berusaha Tingkat Keadilan Berusaha Rendah (skor 12 – 14) Sedang (skor 15 – 17) Tinggi (skor 18 – 20) Total
Frekuensi
Presentase (%) 6 15 14
17 43 40
35
100
Beberapa hal yang mempengaruhi tingkat keadilan berusaha adalah sebagai berikut: 1. Pembagian kerja, adalah posisi yang didapatkan seorang untuk mengerjakan suatu tugas tertentu dalam suatu pekerjaan. Dalam lingkup kerajinan bambu pembagian kerja ini dibagi kedalam dua jenis pekerjaan, yaitu sebagai pengrajin (produksi) dan bagian pemasaran. Proses produksi sendiri terbagi kedalam beberapa bagian yaitu persiapan bahan baku, penipisan bambu, penjemuran bambu, dan penganyaman. Pembagian kerja yang terjadi pada masing-masing rumah tangga responden dilakukan dengan melihat kemampuan dari responden tersebut. Seorang kepala keluarga biasanya bertindak dalam semua pekerjaan mulai dari produksi hingga pemasaran. Sedangkan anggota keluarga lainnya bertindak sebagai pembantu dalam beberapa bagian produksi, misalkan seorang anak yang bertugas untuk
44
menjemur bambu, dan seorang istri yang bertugas untuk menganyam bahan yang telah disiapkan oleh kepala keluarga. “Kalau pembagian kerja sih biasanya tergantung kemampuan dari anggota keluarga. Kalau saya biasanya ya nyari bahan dan „ngahua‟ nanti istri saya yang bantu buat nganyam. Nah kalau untuk pemasaran sih biasanya kalau saya sedang sempat ya saya yang ngider. Tapi kalau tidak sempat ya paling saya jual ke tengkulak.” DR (38). 2. Keuntungan usaha, adalah total penerimaan dikurangi dengan modal yang telah dikeluarkan dalam melakukan usaha kerajinan bambu. Keuntungan dalam usaha kerajinan bilik bambu ini berkaitan dengan distribusi pendapatan dari hasil usaha. pada rumah tangga responden biasanya pembagian pendapatan tersebut tidak memiliki patokan untuk setiap pekerjaan, dalam arti tidak terjadi pendistribusian keuntungan sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Setiap individu yang terlibat dalam usaha kerajinan ini akan mendapatkan keuntungan yang diatur dalam pembiayaan rumah tangga pengrajin. “Kalau di masyarakat disini mah tida ada yang namanya ngebantu terus digaji. Jadi kalau membantu itu ya semacam kewajiban. Kalau ada untung ya nanti paling dikasihnya dalam bentuk makanan seperti itu. Kalau dibagi-bagi mah atuh ya susah juga bagaimana ngaturnya.” JL (30). Kemandirian Pengrajin Kemandirian pengrajin adalah sikap dan prilaku pengrajin yang mampu memenuhi segala keperluannya dalam melakukan usaha. Kemandirian pengrajin dilihat dari pemenuhan kebutuhan, kepercayaan diri, dan mempertahankan usaha responden. Berdasarkan data 15 responden (43%) berada pada kategori rendah, 13 responden (37%) berada pada kategori sedang, dan 7 responden (20%) berada pada kategori tinggi.
45
Tingkat Kemandirian Pengrajin Tinggi 20%
Rendah 43%
Sedang 37% Rendah
Sedang
Tinggi
Gambar 11. Presentase Tingkat Kemandirian Pengrajin Tabel 12. Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Kemandirian Pengrajin Tingkat Kemandirian Pengrajin Rendah (skor 20 – 22) Sedang (skor 23 – 25) Tinggi (skor 26 – 28) Total
Frekuensi
Presentase (%) 15 13 7
43 37 20
35
100
Berdasarakan data tersebut, maka kemandirian pengrajin di Desa Gunung Bunder I sendiri didominasi oleh kategori rendah, hal ini dikarenakan beberapa faktor, yaitu: 1. Pemenuhan kebutuhan, adalah tingkat dimana keinginan manusia terhadap benda atau jasa yang dapat memberikan kepuasan jasmani maupun rohani dapat terpenuhi. Pemenuhan kebutuhan ini dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu pemenuhan akan kebutuhan pangan, kebutuhan pendidikan, dan kebutuhan kesehatan. Berdasarkan tabel frekuensi pemenuhan kebutuhan pangan, dapat dilihat bahwa 17 responden (48,6%) setuju bahwa usaha kerajinan bambu mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga responden. 16 responden (45,7%) merasa ragu-ragu, dan 2 responden (5,7%) tidak setuju bahwa usaha kerajinan bambu mampu memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga. Untuk tingkat pemenuhan kebutuhan pendidikan, 5 responden (14,3%) merasa setuju bahwa usaha kerajinan dapat memenuhi kebutuhan pendidikan, 15 responden (42,9%) merasa ragu-ragu, 13 responden (37,1%) tidak setuju, dan 2 responden (5,7%) merasa tahu tentang pemenuhan kebutuhan pendidikan rumah tangga. Untuk tingkat pemenuhan kesehatan 16 responden (45,7%) setuju, 17 responden (48,6%) ragu-ragu, dan 2 responden
46
(5,7%) tidak setuju bahwa usaha kerajinan bilik bambu mampu memenuhi kebutuhan kesehatan rumah tangga responden. Tabel 13. Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pemenuhan Kebutuhan Pangan Tidak tahu Tidak setuju Ragu-ragu Setuju
Frekuensi
Total
Persentase (%) 0 2 16 17
0 5,7 45,7 48,6
35
100
Tabel 14. Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pendidikan Pemenuhan Kebutuhan Pendidikan Tidak tahu Tidak setuju Ragu-ragu Setuju
Frekuensi
Total
Persentase (%) 2 13 15 5
5,7 37,1 42,9 14,3
35
100
Tabel 15. Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Kesehatan Responden Pemenuhan Kebutuhan Kesehatan Tidak tahu Tidak setuju Ragu-ragu Setuju Total
Frekuensi
Persentase (%) 0 2 17 16
0 5,7 48,6 45,7
35
100
2. Kepercayaan diri, adalah sikap positif seorang individu yang menunjukan bahwa dirinya mampu mengembangkan penilaian positif, baik untuk dirinya, lingkungan, maupun situasi yang sedang dihadapinya. Dalam lingkup kerajinan bilik bambu di Desa Gunung Bunder I, Kepercayaan diri Pengrajin berkaitan dengan keyakinan responden akan usahanya yang dapat meberikan keuntungan. Berdasarkan data yang diperoleh, 1 responden (2,9%) mengaku tidak setuju bahwa usaha kerajinan bambu dapat berjalan dimasa yang akan datang. Sedangkan 4 responden (11,4%) mengaku ragu-ragu, dan 30 responden (85,7%) mengaku setuju bahwa usaha kerajinan bambu dapat berjalan dimasa yang akan datang. Tingginya tingkat keyakinan tersebut dikarenakan hingga saat ini usaha kerajinan bilik bambu masih menjadi mata
47
pencaharian utama masyarakat dan dirasakan masih akan terus bertahan sebagaimana perkembangan kerajinan ini dari tahun 1960an hingga saat ini. Tabel 16. Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Kepercayaan Diri Kepercayaan Diri Tidak tahu Tidak setuju Ragu-ragu Setuju
Frekuensi
Total
Persentase (%) 0 1 4 30
0 2,9 11,4 85,7
35
100
3. Mempertahankan usaha, adalah kemampuan seorang individu untuk bisa mempertahankan usaha yang dilakukan. Hal ini berkaitan dengan penilaian dan kemampuan pengrajin dalam mempertahankan usahanya ditengah ketatnya persaingan dengan pengrajin lain. Pengrajin mengakui bahwa usaha kerajinan bambu masih dapat bertahan dimasa yang akan datang dan merupakan usaha yang masih menjanjikan. Beberapa hal yang menjadi latar belakang 35 responden (100%) setuju tentang mempertahankan usaha adalah usaha kerajinan bambu merupakan usaha yang mudah dilaksanakan dan tidak terikat dengan lapangan kerja di dunia luar, dengan kata lain usaha kerajinan bambu merupakan usaha mandiri atau penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat di Desa Gunung Bunder I khususnya untuk wilayah RW 08. Hal tersebut seuai dengan pernyataan dari Sekertaris Desa Gunung Bunder I yaitu Bapak MT (45) “Memang untuk usaha kerajinan bambu di Kampung Legok Nyenang (RW 08) sudah bertahan sejak dulu, karena memang untuk kerja di sektor lain masyarakat mengalami kesulitan. Yah kan banyak juga yang tidak sekolah. Jangankan untuk kerja di sektor yang harus punya minimal ijazah SMA, lah SD aja gak lulus istilahnya. Jadi daripada nganggur mending bikin bilik lah. Itungitung buka lapangan kerja untuk sendiri.” Kemandirian pengrajin ini memiliki persentase rendah sebesar 43%, rendahnya persentase tersebut berpengaruh pada keberlanjutan usaha pengrajin. Hal tersebut dikarenakan pengrajin yang terkadang mengalami kesulitan dalam memenuhi kenutuhan hidup sehingga mereka menggunakan uang modal mereka untuk menutupi kebutuhan tersebut. Sehingga disaat akan mulai produksi maka mereka kembali mengalami kesulitan permodalan. Ikhtisar Tingkat keberlanjutan usaha adalah ukuran yang digunakan untuk melihat sejauh mana sebuah usaha dapat berlanjut dimasa yang akan datang. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberlanjutan usaha adalah Kapasitas Pengrajin, Keadilan Berusaha, dan Kemandirian Pengrajin. Tingkat keberlanjutan
48
usaha kerajinan bambu di Desa Gunung Bunder I didominasi oleh kategori rendah yaitu mencapai angka 54 %. Rendahnya tingkat keberlanjutan tersebut berkaitan erat dengan rendahnya kapasitas pengrajin. Pada umumnya kreatifitas dan inovasi pengrajin dalam berusaha sangatlah minim. Hal ini terlihat dari perkembangan produk yang lambat dan tidak berkembang dari masa ke masa. Rendahnya kapasitas juga terlihat dari tidak profesionalnya pengelolaan usaha yang dilakukan, mulai dari pengelolaan pengeluaran, maupun pengelolaan pemasukan. Indikator lain yang digunakan untuk melihat tingkat keberlanjutan usaha adalah keadilan berusaha dan kemandirian pengrajin. Berdasarkan data yang diperoleh keadilan berusaha memiliki angka yang tergolong baik. Hal ini karena terjadi pembagian kerja yang sesuai dengan kemampuan individu yang terlibat dalam usaha. Sedangkan untuk kemandirian pengrajin dilihat dari tingkat pemenuhan kebutuhan pangan, pendidikan, dan kesehatan, dan kepercayaan diri dalam mempertahankan usaha. responden pada umumnya memiliki tingkat pemenuhan pendidikan yang rendah, sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan kesehatan dikategorikan tinggi. untuk tingkat kepercayaan dan mempertahankan usaha dikatakan tinggi karena usaha kerajinan bambu merupakan usaha yang dapat terus dilakukan dimasa yang akan datang dan sesuai dengan potensi yang ada di Desa Gunung Bunder I.
PENGARUH BENTUK PERTUKARAN SOSIAL PADA TINGKAT KEBERLANJUTAN USAHA KERAJINAN BAMBU
Bab ini menguraikan mengenai hasil analisis pengaruh bentuk pertukaran sosial pada tingkat keberlanjutan usaha kerajinan bambu yang terbagi ke dalam beberapa subbab. Subbab pertama membahas mengenai pengaruh pengaruh sistem pertukaran sosial pada tingkat keberlanjutan usaha, subbab kedua membahas mengenai perbandingan pengaruh tiap bentuk pertukaran sosial pada keberlanjutan usaha. Pada akhir bab ini juga diberikan ikhtisar singkat yang menggambarkan keseluruhan isi bab ini.
Pengaruh Sistem Pertukaran Sosial pada Tingkat Keberlanjutan Usaha Melalui hasil pengolahan dengan menggunakan SPSS didapatkan data bahwa pengaruh sistem pertukaran sosial pada tingkat keberlanjutan usaha berada pada kategori cukup berpengaruh, yaitu mempunyai pengaruh sebesar 29,9% dan 70,1% lainnya dipengaruhi oleh variabel lain selain sistem pertukaran sosial. Dengan melihat besarnya pengaruh tersebut maka sistem pertukaran sosial dikatakan memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap tingkat keberlanjutan usaha. Selain itu, nilai sig yang didapatkan yaitu 0,001 < 0,05 yang mengindikasikan bahwa model regresi adalah linier, dan berlaku sebaliknya.
Tabel 17. Hasil analisis SPSS Pengaruh Sistem Pertukaran Sosial terhadap Tingkat Keberlanjutan Usaha Tingkat Keberlanjutan Usaha
R 0,546
Sistem Pertukaran Sosial R2 Sig Besar Pengaruh (%) 0,299 0,001 29,9
Sedangkan untuk uji korelasi antara sistem pertukaran sosial dan tingkat keberlanjutan usaha didapatkan nilai sig yang sama yaitu 0,001 < 0,05 yang mengindikasikan bahwa pertukaran sosial dan tingkat keberlanjutan usaha memiliki hubungan yang berarti.
50
Tabel 18. Hasil analisis SPSS Uji Korelasi Sistem Pertukaran Sosial dan Tingkat Keberlanjutan Usaha Pertukaran Sosial Pertukaran Sosial
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Keberlanjutan Usaha
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1
Keberlanjutan Usaha 0,546
35 0,546
0,001 35 1
0,001 35
35
Perbandingan Pengaruh Tiap Bentuk Pertukaran Sosial pada Keberlanjutan Usaha Berdasarkan hasil analisis data antara pengaruh resiprositas terhadap tingkat keberlanjutan usaha didapatkan R = 0,281, yang berarti bahwa resiprositas memiliki pengaruh sebesar 7,9% terhadap tingkat keberlanjutan usaha. Rendahnya pengaruh resiprositas terhadap tingkat keberlanjutan usaha juga diperkuat dengan nilai Sig = 0,102. Berdasarkan acuan jika nilai Sig. < 0,05, maka model regresi adalah linier, dan berlaku sebaliknya. Berdasarkan nilai sig yang diperoleh adalah sig = 0,102 yang berarti > kriteria signifikan (0,05), dengan demikian model persamaan regresi berdasarkan data penelitian adalah tidak signifikan artinya, model regresi linier tidak memenuhi kriteria linieritas. Tabel 19. Hasil analisis SPSS Pengaruh Resiprositas terhadap Tingkat Keberlanjutan Usaha
Resiprositas
Tingkat Keberlanjutan Usaha R2 Sig Besar Pengaruh (%) 0,281 0,079 0,102 7,9
Redistribusi
0,488
0,238
0,003
23,8
Pertukaran Pasar
0,192
0,037
0,270
3,7
R
Berdasarkan hasil analisis data antara pengaruh redistribusi terhadap tingkat tingkat keberlanjutan usaha didapatkan R = 0,488, yang berarti bahwa redistribusi memiliki pengaruh sebesar 23,8% terhadap keberlanjutan usaha, dan 76,2% lainnya dipengaruhi oleh Variabel lainnya selain redistribusi. Hal ini diperkuat juga dengan nilai Sig = 0,003< kriteria signifikan (0,05)sehingga persamaan regresi redistribusi dikatakan signifikan atau memenuhi kriteria linearitas. Berdasarkan acuan, dengan nilai R yang mencapai angka 0,488 maka redistribusi dikatakan cukup berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan usaha. Berdasarkan hasil analisis data antara pengaruh pertukaran pasar terhadap tingkat keberlanjutan usaha didapatkan R = 0,192, yang berarti bahwa pertukaran pasar memiliki pengaruh sebesar 3,7% terhadap kapasitas pengrajin dan 96,3%
51
lainnya dipengaruhi oleh Variabel lain selain pertukaran pasar, hal ini menunjukan bahwa pengaruh pertukaran pasar terhadap tingkat keberlanjutan usaha berada pada tingkatan yang sangat rendah. Hal ini diperkuat juga dengan nilai Sig = 0,270 > kriteria signifikan (0,05) yang berarti persamaan regresi pertukaran pasar terhadap tingkat keberlanjutan usaha tidak signifikan dan tidak memenuhi kriteria linearitas. Dengan melihat perbandingan pada tabel 19 maka, dapat dilihat bahwa redistribusi memiliki pengaruh paling besar terhadap keberlanjutan usaha kerajinan bambu di Desa Gunung Bunder I. Hal ini dikarenakan dalam redistribusi terjadi interaksi antara satu responden dengan respondenn lainnya yang juga memungkinkan adanya pertukaran informasi dan inovasi. Ikhtisar Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan hasil berupa sistem pertukaran sosial memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap tingkat keberlanjutan usaha, yaitu memiliki pengaruh sebesar 29.9% terhadap tingkat keberlanjutan usaha. Akan tetapi jika melihat pengaruh masing-masing variabel pertukaran sosial terhadap variabel tingkat keberlanjutan usaha menunjukan hasil yang sangat kecil kecuali pengaruh reditribusi terhadap kapasitas pengrajin yang menunjukan pengaruh sebesar 23.8%. Perbedaan yang signifikan antara pengaruh tiap-tiap variabel pertukaran sosial terhadap variabel tingkat keberlanjutan usaha dan pengaruh secara keseluruhan tersebut menunjukan bahwa sebuah sistem pertukaran tidak dapat berdiri sendiri untuk mempengaruhi tingkat keberlanjutan usaha melainkan harus dilakukan beriringan. Untuk itu, berdasarkan hipotesis penelitian yaitu: H0 : Setiap bentuk pertukaran tidak mempengaruhi variabel tertentu dalam keberlanjutan usaha. H1: Setiap bentuk pertukaran mempengaruhi Variabel tertentu dalam keberlanjutan usaha. Maka, H0 ditolak dan hipotesis penelitian terbukti dan diterima.
52
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Bentuk sistem pertukaran sosial yang terjadi di masyarakat pengrajin bambu di Desa Gunung Bunder I didominasi oleh sistem pertukaran pasar. Untuk resiprositas menempati urutan kedua, bentuk kegiatan resprositas yang terjadi tidak dalam bentuk saling tolong menolong antar pengrajin, akan tetapi lebih ke pengalihan pesanan jika pengrajin tidak bisa memenuhi pesanan. Sedangkan untuk redistribusi hanya dilakukan bagi mereka yang tergabung dalam kelompok pengrajin. Tingkat keberlanjutan usaha masyarakat sektor kerajinan bambu di Desa Gunung Bunder I pada umumnya berada pada kategori rendah yaitu mencapai angka 54% dari keseluruhan responden. 37% responden berada pada kategori sedang, dan hanya 9% responden yang berada pada kategori tinggi. Berdasarkan data yang diperoleh keadilan berusaha memiliki angka yang tergolong baik. Hal ini karena terjadi pembagian kerja yang sesuai dengan kemampuan individu yang terlibat dalam usaha. Sedangkan untuk kemandirian pengrajin dilihat dari tingkat pemenuhan kebutuhan pangan, pendidikan, dan kesehatan, dan kepercayaan diri dalam mempertahankan usaha. responden pada umumnya memiliki tingkat pemenuhan pendidikan yang rendah, sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan kesehatan dikategorikan tinggi. untuk tingkat kepercayaan dan mempertahankan usaha dikatakan tinggi karena usaha kerajinan bambu merupakan usaha yang dapat terus dilakukan dimasa yang akan datang dan sesuai dengan potensi yang ada di Desa Gunung Bunder I. Pengaruh sistem pertukaran sosial pada tingkat keberlanjutan usaha berada pada kategori cukup berpengaruh, yaitu mempunyai pengaruh sebesar 29,9%. Nilai sig yang didapatkan yaitu 0,001 < 0,05 yang mengindikasikan bahwa model regresi adalah linier, dan berlaku sebaliknya. Sedangkan jenis pertukaran yang mempunyai pengaruh paling tinggi terhadap keberlanjutan usaha adalah redistribusi. Hal ini dikarenakan dalam redistribusi terjadi interaksi antara satu responden dengan responden lainnya yang juga memungkinkan adanya pertukaran informasi dan inovasi. Berdasarkan hasil analisis data antara pengaruh redistribusi terhadap tingkat tingkat keberlanjutan usaha didapatkan R = 0,488, yang berarti bahwa redistribusi memiliki pengaruh sebesar 23,8% terhadap keberlanjutan usaha, dan 76,2% lainnya dipengaruhi oleh Variabel lainnya selain redistribusi. Saran Berdasarkan simpulan diatas, maka dapat dituliskan beberapa saran yang dapat digunakan untuk dikemudian hari, yaitu: 1. Desa Gunung Bunder I memiliki potensi kerajinan bambu yang sangat tinggi, untuk itu dengan adanya kebijakan pemerintah yang dibuat terkait
54
dengan dukungan akan keberlangsungan industri kreatif maka industri kerajinan ini pun akan semakin berkembang. 2. Industri kerajinan bambu merupakan sektor yang memerlukan perhatian khusus dari pemerintah. Dengan perhatian yang berupa introduksi inovasi maka industri kerajinan bambu ini akan lebih maju kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA Afiff Faisal. 2012. Pilar-pilar Ekonomi Kreatif. [internet]. [dikutip 29 Oktober 2013]. Dapat diunduh dari: http://sbm.binus.ac.id/files/2013/04/Pilar-PilarEkonomi-Kreatif.pdf Angelie Luphita. 2014. Peranan gender pada rumah tangga petani di Desa Sunten Jaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. [skripsi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor. Burhan. 2004. Business Criteria Sustainability. [makalah] Disampaikan Pada : Retooling Program for Un/Under Employee Graduate Technological and Profesional Skills Development Sector Project (TPSDP). [dikutip 25 Maret 2014]. Dapat diunduh dari: http://burhan.staff.ipb.ac.id/files/2011/01/BUSINESS-CRITERIASUSTAINABILITY.pdf Cook Karen, Cook Eric. 2003. Social exchange theory. [internet]. [dikutip 12 November 2013]. Dapat diunduh dari: https://campus.fsu.edu/bbcswebdav/institution/academic/social_sciences/soc iology/Reading%20Lists/Social%20Psych%20Prelim%20Readings/I.%20Cl assics/2003%20Cook%20Rice%20-%20Social%20Exchange.pdf Damsar. 2011. Pengantar sosiologi ekonomi. Jakarta [ID]. Prenada Media Group. 265 halaman. Departemen Perdagangan. 2007. Studi Industri Kreatif 2007. Depdag, 2007. Dirga Satria Prawira. 2012. Karakteristik Bilah buluh Bambu Gombong dan Mayan. [skrpsi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor. Hudayana Bambang. 1991. Konsep Resiprositas dalam Antropologi Ekonomi.Jurnal humaniora UGM. [internet]. [dikutip 15 Oktober 2013]. Dapat diunduh dari: http://jurnal.ugm.ac.id/index.php/jurnalhumaniora/article/view/2076 Kamusbisnis.com Khristianto Wheny. 2008. Peluang dan Tantangan Industri Kreatif di Indonesia. Jurnal Bisnis dan Manajemen.[internet]. [dikutip 15 Desember 2013]. 5 (1). 33-48. Dapat diunduh dari: http://femanajemen.unila.ac.id/jbm/JBM/Volume/5/No./1/September/2008.pdf Mustafa Hasan. 2011. Perilaku Manusia dalam Perspektif Psikologi Sosial.jurnal administrasi bisnis. [internet]. [dikutip 15 oktober 2013]. 7 (2): 143-156. Dapat diunduh dari: http://journal.unpar.ac.id/index.php/JABCebis/article/view/156/145 Nurlina Lilis. 2009. Hubungan Tingkat Partisipasi Peternak dengan Keberlanjutan Usaha Anggota Koperasi. [internet]. [dikutip 25 Maret 2014]. Dapat diunduh dari: http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/12/hubungan_tingkat_partisipasi_peternak.pdf Octara Rama. 2012. Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Lapis dari Bambu Tali (Gigantochloa Apus (J. A. & J. H. Schultes) Kurz) dengan Perlakuan Perbedaan Jarak Sambungan dan Jenis Perekat. [skripsi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor.
56
Sya’roni. 2012. Kreativitas dan Inovasi Penentu Kompetensi Pelaku Usaha Kecil. [internet]. [dikutip 26 Maret 2014]. Dapat diunduh dari: http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/631/jbptunikompp-gdl-dedenawaha31522-3-jurnala-%29.pdf Zulaikha Ellya. 2008. Transformasi IKM Kerajinan Tradisional Menjadi Industri Kreatif.Makalah pada seminar Internasional ”Pengembangan Industri Kreatif Berbasis Tradisi” ISI Solo. [internet]. [dikutip 12 November 2013]. Dapat diunduh dari: http://personal.its.ac.id/files/pub/2005-ellya.desproTRANSFORMASI%20IKM%20KERAJINAN%20TRADISIONAL.pdf
LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Desa Gunung Bunder 1, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
58
Lampiran 2. Hasil Analisis SPSS Penelitian
Tabel Pengaruh Pertukaran Sosial pada Tingkat Keberlanjutan Usaha Model Summary Model
R
1
R Square
,546
a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
,299
,277
5,78199
a. Predictors: (Constant), Pertukaran Sosial
ANOVAa Model
Sum of Squares Regression
1
df
Mean Square
469,736
1
469,736
Residual
1103,236
33
33,431
Total
1572,971
34
F
Sig.
14,051
,001b
a. Dependent Variabel: Keberlanjutan Usaha b. Predictors: (Constant), Pertukaran Sosial
Tabel Pengaruh Resiprositas pada Tingkat Keberlanjutan Usaha Model Summary Model
R
1
R Square
.281
a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.079
.051
6.62566
a. Predictors: (Constant), Resiprositas
ANOVAa Model
Sum of Squares Regression
1
df
Mean Square
124.292
1
124.292
Residual
1448.680
33
43.899
Total
1572.971
34
F 2.831
a. Dependent Variable: Keberlanjutan Usaha b. Predictors: (Constant), Resiprositas
Tabel Pengaruh Redistribusi pada Tingkat Keberlanjutan Usaha Model Summary Model
1
R
R Square
.488a
.238
a. Predictors: (Constant), Redistribusi
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate .215
6.02660
Sig. .102b
59
ANOVAa Model
Sum of Squares Regression
1
df
Mean Square
F
374.415
1
374.415
Residual
1198.557
33
36.320
Total
1572.971
34
Sig. .003b
10.309
a. Dependent Variable: Keberlanjutan Usaha b. Predictors: (Constant), Redistribusi
Tabel Pengaruh Pertukaran Pasar pada Tingkat Keberlanjutan Usaha Model Summary Model
R
1
R Square
.192
a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.037
.008
6.77613
a. Predictors: (Constant), Pertukaran Pasar
ANOVAa Model
Sum of Squares Regression
1
df
Mean Square
F
57.745
1
57.745
Residual
1515.227
33
45.916
Total
1572.971
34
Sig.
1.258
a. Dependent Variable: Keberlanjutan Usaha b. Predictors: (Constant), Pertukaran Pasar
Tabel Korelasi Pertukaran Sosial dan Tingkat Keberlanjutan Usaha Correlations Pertukaran Sosial
Keberlanjutan Usaha
Pearson Correlation Pertukaran Sosial
Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation
Keberlanjutan Usaha
1
Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
.546** .001
35
35
**
1
.546
.001 35
35
.270b
60
Lampiran 3. Daftar Responden Jenis No. Nama Kelamin 1 MR L 2 ES P 3 YT P 4 AS L 5 AD L 6 AG L 7 SR L 8 AN L 9 YN L 10 IN L 11 JL L 12 HS L 13 AR L 14 AJ L 15 KR L 16 IN P 17 JS P 18 AL L 19 OC L 20 YY P 21 MY L 22 ZK L 23 AT L 24 DR L 25 SH L 26 MS L 27 AP L 28 AN L 29 US L 30 SP L 31 KT L 32 RH L 33 SD L 34 SR L 35 SJ L
Umur 55 38 50 50 43 70 55 30 25 50 30 28 40 40 40 30 38 40 50 38 48 76 45 38 45 72 25 47 49 56 50 45 50 60 52
Alamat Kp. Legok Nyenang Kp. Pasir Salam Kp. Pasir Salam Kp. Pasir Salam Kp. Pasir Salam Kp. Pasir Salam Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Legok Nyenang Kp. Pasir Salam Kp. Legok Endah Kp. Legok Endah Kp. Legok Endah Kp. Legok Endah Kp. Legok Endah
61
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian
Rumah Warga yang terbuat dari bilik bambu
Proses penebangan bambu
Proses Ngahua
Proses Penjemuran Bambu
Proses penganyaman bilik motif
pemasaran melalui pengepul
Lampiran 5. Kuisioner Penelitian
No Tanggal survey
KUESIONER Pengaruh Sistem Pertukaran Sosial pada Tingkat Keberlanjutan Usaha Kerajinan Bambu
KARAKTERISTIK RESPONDEN 1. Nama 2. Jenis kelamin* 3. Umur 4. Posisi dikeluarga* 5. Pendidikan Terakhir* 6. Nama Kepala Keluarga 7. Jumlah anggota keluarga 8. Jumlah penghasilan 9. Lama bekerja di sector kerajinan 10. Alamat
: : Laki-laki / Perempuan : Tahun : Kepala Keluarga / Anggota Keluarga : Tidak Sekolah / SD / SMP / SMA / D3 / S1 : : : Rp. : :
BENTUK PERTUKARAN SOSIAL No.
Pernyataan Resiprositas
1
Saya membantu pengrajin lain tanpa harus diminta
2
Saya membantu pengrajin lain jika orang tersebut juga pernah membantu saya
3
Bantuan yang diberikan haruslah mempunyai nilai yang sama
S
R
TS
TT
63
4
Bantuan yang saya pengembaliannya
berikan
harus
jelas
5
Saya hanya membantu orang yang akrab dengan saya
6
Saya membantu orang lain karena marasa sebuah kewajiban untuk saling tolong menolong Redistribusi
7
Saya bergabung dengan kelompok pengrajin untuk kesuksesan usaha
8
Saya mengumpulkan uang kas atau iuran untuk kelompok yang saya ikuti
9
Saya membayar iuran karena pimpinan yang lebih tinggi
10
Saya membayar iuran karena merasakan itu adalah kewajiban sebagai anggota kelompok
11
Uang yang saya bayarkan ke kelompok digunakan untuk kebutuhan kelompok
12
Saya merasakan yang saya berikan kepada kelompok sebanding dengan yang diberikan kelompok kepada saya
perintah
dari
Pertukaran Ekonomi 13
Saya membantu orang jika orang tersebut bersedia memberikan saya uang.
14
Barang yang saya berikan harus bisa dijual dengan nilai yang sebanding.
15
Uang adalah hal yang paling penting dalam membantu orang.
16
Saya membantu orang untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
17
Meskipun dengan anggota keluarga saya akan mematok patokan uang jika ingin membantunya
18
Jika orang tidak mememiliki uang sebagai bahan pertukaran, maka saya tidak akan melakukan pertukaran.
64
TINGKAT KEBERLANJUTAN USAHA No.
Pernyataan
S
Kapasitas Pengrajin 1
Saya adalah seseorang yang penuh kreativitas
2
Selama berusaha saya tidak ragu untuk membuat satu produk baru
3
Saya akan membuat sebuah produk baru dengan bahan-bahan yang biasa saya gunakan.
4
Saya bisa mengembangkan produk yang dengan pengembangan motif/pola dan model
5
Motif/pola yang diciptakan merupakan motif/pola yang tidak pernah dipakai pengrajin lain
6
Saya akan mengajarkan pola yang telah dipelajari pada pengrajin lain tanpa harus diminta
7
Saya membagi pekerjaan dengan anggota keluarga lain
8
Selain dengan keluarga, saya juga melakukan kerjasama dengan pengrajin lain.
9
Menurut saya, kerjasama akan memudahkan usaha yang dijalani
10
Saya akan menerima dan mengaplikasikan ilmu yang saya dapat dari luar.
11
Resiko yang saya ambil merupakan usaha untuk mengembangkan usaha yang telah dijalani.
12
Untung dan rugi dalam mengaplikasikan ilmu baru merupakan hal yang akan diperhitungkan dikemudian hari
13
Saya membuat perencanaan usaha sebagai gambaran usaha yang akan dilaksanakan
14
Saya mempunyai catatan pengeluaran pendapatan selama melakukan usaha kerajinan.
15
Catatan pengeluaran dan pendapatan digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan usaha
dan
Keadilan Berusaha 16
Pembagian kerja dalam usaha dibuat mempermudah dalam pencapaian tujuan
untuk
17
Pembagian kerja dibuat dengan mempertimbangkan
R
TS
TT
65
kemampuan individu yang terlibat dalam usaha 18
Usaha kerajinan yang dilakukan dapat memberikan keuntungan untuk seluruh individu yang terlibat dalam usaha
19
Keuntungan terbesar diberikan kepada individu yang mempunyai tugas lebih berat
20
Keuntungan yang diterima masing-masing individu dapat memenuhi kebutuhan individu tersebut Kemandirian Pengrajin
21
Hasil usaha dapat memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga
22
Hasil usaha dapat memenuhi kebutuhan pendidikan seluruh anggota keluarga
23
Hasil usaha dapat memenuhi kebutuhan kesehatan seluruh anggota keluarga
24
Saya yakin usaha yang dilakukan dapat memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga
25
Saya yakin usaha yang dilakukan dapat berjalan dimasa yang akan dating
26
Cara yang dapat digunakan untuk mempertahankan usaha adalah dengan manajemen usaha yang baik
27
Meskipun banyak persaingan tetapi usaha bambu masih merupakan usaha yang menjanjikan
67
Lampiran 6. Panduan Pertanyaan Mendalam 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Mengapa anda bersedia untuk berhubungan dengan pengrajin lainnya? Hal apakah yang anda butuhkan dari pengrajin lain? Keuntungan apa yang anda dapatkan dengan membantu pengrajin lain? Kerugian apa yang anda dapatkan dengan membantu pengrajin lain? Bagaimana interaksi dan sistem pertukaran dapat memepertahankan usaha kerajinan? Mengapa anda masih berkerja di sektor kerajinan bambu? Bagaimana hambatan yang di hadapi saat bekerja di sektor kerajinan bambu? Bagaimana usaha anda untuk menghadapi hambatan tersebut? Bagaimana harapan kedepannya tentang kemajuan usaha?
RIWAYAT HIDUP Zamaludin dilahirkan di Bogor pada tanggal 06 Desember 1991. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Suhandi dan Ibu Enjun. Pada tahun 1998 penulis menempuh pendidikan formal di SDN Situ Udik sampai tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 1 Pamijahan Kabupaten Bogor selama 3 tahun. Setelah lulus SMP pada tahun 2007, penulis melanjutkan sekolah ke SMA Taman Islam Bogor hingga tahun 2010. Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Aktivitas penulis selama di IPB tidak hanya di perkuliahan, tetapi juga di organisasi. Penulis adalah pengurus dari UKM Gentra Kaheman IPB periode 2012/2013 di divisi Komunikasi Internal dan Ekstrenal, Ketua Divisi Acara Bidikmisi Turun Desa Jilid I periode 2012/2013, dan penulis juga merupakan anggota divisi Komunikasi, Informasi dan Relasi BEM FEMA periode 2012/2013. Tidak hanya di organisasi, penulis juga aktif di beberapa kepanitiaan. Pada tahun 2012 penulis tergabung dalam kepanitiaan acara Semarak Bidikmisi IPB ke2, panitia acara Malam Apresiasi Donatur Beasiswa IPB ke-2, dan acara Sosialisasi Bidikmisi IPB angkatan 49 dan angkatan 50, selain itu penulis juga merupakan anggota Divisi Logstran Masa Perkenalan Fakultas (MPF) FEMA, Ketua Divisi Danship Masa Perkenalan Departemen (MPD) SKPM, Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Selain itu, kepanitiaan yang pernah diikuti oleh penulis pada tahun 2013 diantaranya adalah kepanitiaan Semarak Bidikmisi ke-3, dan panitia Sosialisasi Pemilu Komisi Pemilihan Umum.