63
PENGARUH POLA ASUH BELAJAR, LINGKUNGAN PEMBELAJARAN, MOTIVASI BELAJAR DAN POTENSI AKADEMIK TERHADAP PRESTASI AKADEMIK SISWA SEKOLAH DASAR
KARTIKA WANDINI
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
KARTIKA WANDINI. A54104046. Pengaruh Pola Asuh Belajar, Lingkungan Pembelajaran, Motivasi Belajar, dan Potensi Akademik terhadap Prestasi Akademik Siswa Sekolah Dasar. Dibimbing oleh MELLY LATIFAH. Penelitian ini secara umum bertujuan menganalisis pengaruh pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar, dan potensi akademik terhadap prestasi akademik siswa sekolah dasar. Tujuan khususnya adalah: 1) Mengidentifikasi karakteristik individu dan keluarga pada lingkungan pembelajaran, 2) Mengidentifikasi pola asuh belajar, motivasi belajar, potensi akademik dan prestasi akademik siswa pada situasi lingkungan pembelajaran, 3) Menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan motivasi belajar siswa, 4) Menganalisis hubungan antara karakteristik individu dan keluarga dengan pola asuh belajar siswa, 5) Menganalisis hubungan antara pola asuh belajar dan lingkungan pembelajaran dengan motivasi belajar siswa, 6) Menganalisis hubungan antara pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar, dan potensi akademik dengan prestasi akademik siswa, 7) Menganalisis pengaruh pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar dan potensi akademik terhadap prestasi akademik siswa. Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional Study. Penelitian dilakukan di tiga sekolah dasar dari tiga model lingkungan pembelajaran berbeda yang dipilih secara purposive, yaitu SDN Sukadamai 3 (kelompok 1), SD Amaliah (kelompok 2) dan SD Citra Alam (kelompok 3). Pengumpulan data dilakukan pada bulan April-Mei 2008. Contoh adalah keluarga inti lengkap yang memiliki anak kelas IV dan V sekolah dasar. Pada masing-masing sekolah dipilih secara purposive 30 contoh untuk dianalisis lebih lanjut. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer meliputi karakteristik individu, karakteristik keluarga, pola asuh belajar (gaya pengasuhan dan fasilitas belajar), motivasi belajar, dan potensi akademik. Data sekunder meliputi prestasi akademik dan keadaan umum lingkungan pembelajaran. Data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Pengolahan dan analisis data diolah dengan menggunakan Microsoft Excel dan Statistical Package for Sosial Science (SPSS) 10,0 for Windows.Untuk melihat ada tidaknya perbedaan pada masing-masing variabel contoh di ketiga lingkungan pembelajaran digunakan uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Duncan. Untuk menganalisis hubungan antar variabel digunakan uji korelasi Spearman dan Chi-Square. Untuk menganalisis pengaruh pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar dan potensi akademik terhadap prestasi akademik contoh digunakan analisis regresi linear berganda. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata umur contoh pada ketiga lingkungan pembelajaran adalah 10,4 tahun, dengan kisaran umur antara 10,0-11,4 tahun (73,3%) dan jenis kelamin perempuan (53%) sebagai proporsi terbesar. Proporsi terbesar tingkat pendidikan orang tua adalah Perguruan Tinggi (83,9%), pekerjaan ayah adalah pegawai swasta (50%) dan pekerjaan ibu adalah ibu rumah tangga (42%). Sementara itu, proporsi terbesar pendapatan utama ayah adalah Rp.7.500.001-10.000.000 (24,4%), dan tidak memiliki pendapatan tambahan (77,8%), untuk ibu tidak memiliki pendapatan utama (35,6%) dan tambahan (90%). Rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 5 orang. Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, terdapat perbedaan tingkat pendidikan orang tua (p<0,01), jenis pekerjaan orang tua (p<0,01), tingkat pendapatan utama ibu (p<0,01) dan tingkat pendapatan tambahan ayah (p<0,01) antar kelompok lingkungan pembelajaran. Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, tidak terdapat perbedaan motivasi belajar, gaya pengasuhan orang tua dan fasilitas belajar antar kelompok lingkungan pembelajaran, namun terdapat perbedaan pada potensi akademik contoh (p<0,01) dan prestasi akademik (p<0,01). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan perbedaan potensi
akademik dan prestasi akademik, terdapat pada contoh di Kelompok 1 dengan contoh di kelompok 2 dan di kelompok 3. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara umur dengan motivasi belajar (p<0,01; rs=-0,416). Berdasarkan hasil uji ChiSquare, tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan motivasi belajar. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara umur dengan gaya pengasuhan orang tua, namun terdapat hubungan negatif antara umur dengan fasilitas belajar (p<0,05; rs=-0,211). Berdasarkan hasil uji Chi-Square, terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan gaya pengasuhan orangtua (p<0,01), namun tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan fasilitas belajar. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan gaya pengasuhan orang tua dan fasilitas belajar. Berdasarkan hasil uji Chi-Square, terdapat hubungan antara jenis pekerjaan ayah dengan gaya pengasuhan orang tua (p<0,01), namun tidak terdapat hubungan antara jenis pekerjaan ibu dengan gaya pengasuhan orang tua, dan antara jenis pekerjaan orang tua dengan fasilitas belajar contoh. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, tidak terdapat hubungan antara besar keluarga dengan gaya pengasuhan orang tua dan fasilitas belajar contoh. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara gaya pengasuhan orang tua dengan motivasi belajar (p<0,05; rs=0,270) dan antara fasilitas belajar dengan motivasi belajar (p<0,05; rs=0,261). Berdasarkan hasil uji Chi-Square, tidak terdapat hubungan antara lingkungan pembelajaran dengan motivasi belajar. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan, terdapat hubungan positif antara gaya pengasuhan orang tua dengan prestasi akademik (p<0,05; rs=0,254) dan antara fasilitas belajar dengan prestasi akademik (p<0,01; rs=0,333). Berdasarkan hasil uji Chi-Square, terdapat hubungan (p<0,01) antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan, tidak terdapat hubungan antara motivasi belajar dengan prestasi akademik, namun terdapat hubungan positif antara potensi akademik dengan prestasi akademik (p<0,01; rs=0,651). Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa 59,8 persen prestasi akademik dipengaruhi oleh faktor gaya pengasuhan orang tua, lingkungan pembelajaran dan potensi akademik. Mengingat gaya pengasuhan berpengaruh terhadap prestasi akademik, maka disarankan kepada para orang tua agar dapat menerapkan gaya pengasuhan yang baik. Orang tua diharapkan dapat memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun dengan kebebasan yang tidak mutlak dan bimbingan yang penuh pengertian. Mengingat sekolah berpengaruh terhadap prestasi akademik, maka disarankan kepada pihak sekolah agar dapat menciptakan situasi belajar yang dapat merangsang minat siswa untuk giat belajar. Guru diharapkan dapat menerapkan cara mengajar yang memungkinkan siswa untuk mudah memahami materi pelajaran dan melakukan aktivitas belajar dengan penuh percaya diri
PENGARUH POLA ASUH BELAJAR, LINGKUNGAN PEMBELAJARAN, MOTIVASI BELAJAR DAN POTENSI AKADEMIK TERHADAP PRESTASI AKADEMIK SISWA SEKOLAH DASAR
KARTIKA WANDINI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
JUDUL
: PENGARUH POLA ASUH BELAJAR, LINGKUNGAN PEMBELAJARAN, MOTIVASI BELAJAR DAN POTENSI AKADEMIK TERHADAP PRESTASI AKADEMIK SISWA SEKOLAH DASAR
NAMA
: Kartika Wandini
NOMOR POKOK : A54104046
Disetujui Dosen Pembimbing
Ir. Melly Latifah, M.Si Nip. 131879327
Diketahui Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta shalawat dan salam kehadirat Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Ir. Melly Latifah, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberi arahan kepada penulis. 2. Ir. Ratna Megawangi, M.Sc, Ph.D yang telah meluangkan waktu untuk memberi masukan kepada penulis. 3. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen pembimbing seminar dan dosen penguji atas arahan dan saran yang diberikan. 4. Katrin Roosita, Sp, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik. 5. SD Negeri Sukadamai 3 Bogor, SD Islam Amaliah Ciawi, dan SD Citra Alam Ciganjur atas ijin yang telah diberikan sehingga penulis dapat melakukan penelitian. 6. Teman-teman Pondok Surya, Wiwik dan Fiska (STK 41) atas masukan kepada penulis selama masa pengolahan data. 7. Best friends (Devita, Rizka, Ima, Veny, Ratna, Lia, Angel, Dedew, Ani, Devy, Inur, Rika, Ira, Ana (GMK 40)) dan seluruh GAMASAKERS 41 yang tidak penulis sebutkan satu per satu. 8. M. Idris yang telah banyak memberi perhatian dan bantuan kepada penulis. 9. Kakak, Ayah, dan Ibu atas kasih sayang, doa serta dukungan moril dan materil yang senantiasa diberikan kepada penulis. Penulis berharap skripsi ini menjadi awal kebanggaan untuk Ayah dan Ibu. 10. Pihak-pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang memperhatikan dunia pendidikan.
Bogor, Agustus 2008
Penulis,
RIWAYAT HIDUP Kartika Wandini, lahir di Jakarta, pada 11 Desember 1986 dan merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 02 Pagi Rambutan Jakarta Timur pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan di MTs Negeri 7 Model Jakarta dan menyelesaikan studi pada tahun 2001. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMU negeri 58 Jakarta dan menyelesaikan studi pada tahun 2004. Selanjutnya, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK), Fakultas Pertanian pada tahun 2004 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa perkuliahan, penulis aktif mengikuti beberapa organisasi antara lain Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (HIMAGITA), GMSK English Club (GEC), dan Bina Desa. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti beberapa kepanitian dan menjadi ketua panitia Food Nutrition Competition X dalam rangkaian Nuansa Pangan dan Gizi Keluarga X. Tahun 2006, penulis menjadi finalis dalam Project Proposal Competition yang diadakan oleh Meat and Livestock Australia. Penulis juga menjadi finalis dalam rangka Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) Bidang Pendidikan tingkat IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…...........................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................
vi
PENDAHULUAN .............................................................................................
1
Latar Belakang ........................................................................................
1
Perumusan Masalah................................................................................
3
Tujuan Penelitian.....................................................................................
4
Kegunaan Penelitian ...............................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................
5
Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar....................................................
5
Prestasi Akademik…………………..........................................................
6
Potensi Akademik…..................................................................................
7
Motivasi Belajar….....................................................................................
8
Pola Asuh Belajar……………...................................................................
9
Lingkungan Pembelajaran........................................................................
12
Karakteristik Keluarga...............................................................................
13
Pendidikan Orang Tua..........................................................................
13
Pekerjaan Orang Tua...........................................................................
14
Pendapatan Keluarga...........................................................................
14
Besar Keluarga.....................................................................................
15
Karakteristik Individu.................................................................................
16
Umur...................................................................................................
16
Jenis Kelamin…………………..............................................................
17
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................
18
METODE PENELITIAN ...................................................................................
20
Desain, Tempat dan Waktu .....................................................................
20
Penarikan Contoh.....................................................................................
20
Jenis dan Cara Pengambilan Data ..........................................................
20
Pengolahan dan Analisis Data.................................................................
21
Definisi Operasional.................................................................................
23
HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................................
25
Karakteristik Individu Contoh....................................................................
25
Karakteristik Keluarga Contoh..................................................................
26
Keadaan Umum Lingkungan Pembelajaran….........................................
30
Pola Asuh Belajar, Motivasi Belajar, Potensi Akademik, dan Prestasi Akademik Contoh pada Lingkungan Pembelajaran…….…………..... 32 Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Motivasi Belajar Contoh
36
Hubungan antara Karakteristik Individu dan Keluarga dengan Pola Asuh Belajar Contoh…………………………………………………..….
38
Hubungan antara Pola Asuh Belajar dan Lingkungan Pembelajaran dengan Motivasi Belajar Contoh…………………………………………
47
Hubungan antara Pola Asuh Belajar, Lingkungan Pembelajaran, Motivasi Belajar, dan Potensi Akademik dengan Prestasi Akademik Contoh…………………………………………………………………...… 49 Pengaruh Pola Asuh Belajar, Lingkungan Pembelajaran, dan Potensi 54 Akademik terhadap Prestasi Akademik Contoh KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................
57
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
59
LAMPIRAN.......................................................................................................
62
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Jenis dan cara pengambilan data....................................................... 21 Tabel 2 Sebaran contoh berdasarkan rentang umur ...................................... 25 Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin....................................... 26 Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua................. 26 Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orangtua...................... 27 Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan utama orang tua ... 28 Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan tambahan orangtua............................................................................................. 29 Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga..................................... 30 Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan kecenderungan gaya pengasuhan....... 33 Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan gaya pengasuhan ................................ 33 Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan fasilitas belajar..................................... 34 Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar.................................... 34 Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan potensi akademik................................. 35 Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik................................ 36 Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan umur dan motivasi belajar.................... 37 Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan motivasi belajar ....... 38 Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan umur dan gaya pengasuhan ................ 39 Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan umur orangtua dan fasilitas belajar...... 40 Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan gaya pengasuhan.... 40 Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan fasilitas belajar......... 41 Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua dan gaya pengasuhan............................................................................... 42 Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua dan fasilitas belajar ................................................................................... 43 Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orangtua dan gaya pengasuhan ....................................................................................... 44 Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orangtua dan fasilitas belajar ................................................................................... 45 Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan pola asuh belajar (gaya pengasuhan dan fasilitas belajar )................................. 46 Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh belajar dan motivasi belajar………………........................................................................... 47
Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan lingkungan pembelajaran dan motivasi belajar ................................................................................ 49 Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan fasilitas belajar dan prestasi Akademik ......................................................................................... 50 Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan lingkungan pembelajaran dan prestasi akademik ............................................................................ 51 Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar dan prestasi akademik ......................................................................................... 52 Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan potensi akademik dan prestasi akademik ......................................................................................... 53
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Hubungan Pola Asuh Belajar, Lingkungan Pembelajaran, Motivasi Belajar, dan Potensi Akademik dengan Prestasi Akademik Siswa Sekolah Dasar ......................................................................
19
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Hasil analisis Kruskal-Wallis.............................................................. 63 Lampiran 2 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendidikan ayah contoh pada tiga lingkungan pembelajaran.......................................................
63
Lampiran 3 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendidikan ibu contoh pada tiga lingkungan pembelajaran ...........................................................
64
Lampiran 4 Hasil uji lanjut Duncan untuk pekerjaan ayah contoh pada tiga lingkungan pembelajaran ...........................................................
64
Lampiran 5 Hasil uji lanjut Duncan untuk pekerjaan ibu contoh pada tiga lingkungan pembelajaran ..........................................................
64
Lampiran 6 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendapatan tambahan ayah contoh pada tiga lingkungan pembelajaran ...............................
64
Lampiran 7 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendapatan utama ibu contoh pada tiga lingkungan pembelajaran ............................................
65
Lampiran 8 Hasil uji lanjut Duncan untuk potensi akademik contoh pada tiga lingkungan pembelajaran............................................................
65
Lampiran 9 Hasil uji lanjut Duncan untuk prestasi akademik contoh pada tiga lingkungan pembelajaran.....................................................
65
Lampiran 10 Hasil analisis korelasi Rank-Spearman ........................................
66
Lampiran 11 Hasil analisis Chi-Square .............................................................
67
Lampiran 12 Hasil analisis regresi linear berganda...........................................
67
PENDAHULUAN Latar Belakang Prestasi akademik adalah cerminan kemampuan siswa dalam mengikuti pembelajaran di sekolah dan dapat digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan proses belajar. Berdasarkan teori Erikson, anak usia sekolah berada pada fase industry versus inferiority (Papalia & Olds 1989; Gunarsa 2006). Pada fase tersebut, anak sedang membangun kepribadiannya. Apakah anak akan menjadi pribadi yang merasa mampu dan percaya diri (industry) atau sebaliknya, merasa rendah diri (inferiority) sangat tergantung kepada stimulasi psikososial yang diperoleh di rumah, sekolah, dan lingkungan teman sebaya. Nilai rapor dapat menjadi pemacu anak dalam mengembangkan rasa industry. Nilai rapor yang memuaskan akan membuat anak merasa mampu dan percaya diri di bidang akademik. Selanjutnya, hal tersebut akan memotivasi anak untuk belajar lebih giat. Menurut Suryabrata (2005), rasa industry membantu anak mencapai prestasi akademik yang diharapkan, sehingga makin menumbuhkan rasa percaya diri. Sebaliknya, bila prestasi akademik anak kurang atau buruk, maka akan menumbuhkan rasa inferiority yang selanjutnya menghambat prestasi akademik. Dengan demikian, prestasi akademik menjadi penting artinya bagi anak usia sekolah dalam membangun kepribadiannya. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi prestasi akademik. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari dalam diri atau pun luar diri anak. Faktor dalam diri yang dapat mempengaruhi prestasi akademik anak antara lain, motivasi belajar dan potensi akademik. Menurut Suciaty dan Irawan (2001), motivasi belajar memberi kontribusi sebesar 36% terhadap prestasi belajar, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain, diantaranya kecerdasan
(potensi akademik). Apabila anak mempunyai
tingkat
kecerdasan normal atau di atas normal, maka secara potensi, anak dapat mencapai prestasi yang baik. Namun, potensi saja tidak dapat dijadikan jaminan keberhasilan. Sadli (1986) menyatakan bahwa potensi akademik tanpa rangsangan pendidikan, pengalaman, serta latihan yang tepat, akan membuat potensi tidak berkembang optimal, sehingga prestasi yang dicapai juga tidak optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai prestasi yang diharapkan, dibutuhkan dukungan positif dari faktor luar (orang tua dan sekolah). Orang tua berperan penting dalam menumbuhkan motivasi belajar dan mencapai prestasi akademik. Peran tersebut diterapkan orang tua melalui pola asuh belajar. Cara orang tua dalam menerapkan pola asuh belajar dipengaruhi oleh kondisi
keluarga (Gunarsa dan Gunarsa 2006; Hurlock 1981). Selain itu, untuk mewujudkan prestasi akademik, diperlukan adanya kerjasama antara orang tua dengan pihak sekolah. Peran sekolah dalam mewujudkan prestasi akademik, dapat dijelaskan melalui berbagai hal, antara lain kegiatan belajar mengajar, keadaan dan fasilitas sekolah, peraturan sekolah, guru, dan cara penyajian materi pelajaran. Berdasarkan uraian di atas, maka jelas bahwa pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran di sekolah, motivasi belajar, dan potensi akademik berperan dalam menunjang prestasi akademik anak. Mengingat pentingnya prestasi akademik bagi pengembangan kepribadian anak, maka penting untuk meneliti pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap prestasi akademik. .
Perumusan Masalah Prestasi akademik berperan penting dalam membangun kepribadian anak usia sekolah. Dengan prestasi akademik yang baik akan terbangun rasa percaya diri (industry) pada anak. Sebaliknya, bila prestasi akademiknya buruk, akan timbul rasa rendah diri (inferiority) pada anak. Prestasi akademik dipengaruhi oleh banyak faktor baik dari dalam atau pun luar. Motivasi belajar dan potensi akademik adalah dua dari beberapa faktor dalam diri yang dapat mempengaruhi prestasi akademik. Dalam pengembangannya, motivasi dan potensi membutuhkan stimulus dari lingkungan (orang tua dan sekolah) agar bisa mencapai hasil yang optimal. Stimulus yang diberikan orang tua, diterapkan melalui pola asuh belajar di rumah, sedangkan stimulus dari sekolah diwujudkan melalui situasi dan kondisi lingkungan pembelajaran. Untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi prestasi akademik, perlu diketahui melalui penelitian. Hasil penelitian diharapkan dapat memberi saran yang mendukung peningkatan prestasi akademik. Berdasarkan hal tersebut, maka yang ingin diketahui pada penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara karakteristik individu dengan motivasi belajar, hubungan antara karakteristik individu dan keluarga dengan pola asuh belajar, hubungan antara pola asuh belajar dan lingkungan pembelajaran dengan motivasi belajar, hubungan antara pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar dan potensi akademik dengan prestasi akademik. Pada akhirnya, sejauh mana pengaruh pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar, dan potensi akademik terhadap prestasi akademik menjadi penting untuk diteliti. Dengan demikian diharapkan dapat menjadi masukan untuk perbaikan prestasi akademik.
Tujuan Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar, dan potensi akademik terhadap prestasi akademik siswa sekolah dasar. Tujuan Khusus Secara khusus tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi
karakteristik
individu
dan
keluarga
pada
lingkungan
pembelajaran siswa sekolah dasar. 2. Mengidentifikasi pola asuh belajar, motivasi belajar, potensi akademik dan prestasi akademik siswa pada lingkungan pembelajaran. 3. Menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan motivasi belajar siswa sekolah dasar. 4. Menganalisis hubungan antara karakteristik individu dan keluarga dengan pola asuh belajar siswa sekolah dasar. 5. Menganalisis hubungan antara pola asuh belajar dan lingkungan pembelajaran dengan motivasi belajar siswa sekolah dasar. 6. Menganalisis hubungan antara pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar, dan potensi akademik dengan prestasi akademik siswa sekolah dasar. 7. Menganalisis pengaruh motivasi belajar, pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, dan potensi akademik terhadap prestasi akademik siswa sekolah dasar. Kegunaan Penelitian Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para orang tua dan para pendidik tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi akademik siswa sekolah dasar. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memperbaiki kualitas sumberdaya manusia generasi penerus bangsa melalui peningkatan kualitas pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar dan prestasi akademik siswa sekolah dasar. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi pengembangan keilmuan, khususnya di bidang perkembangan dan pendidikan anak usia sekolah.
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar Berdasarkan teori perkembangan Papalia dan Old, pada usia 6 hingga 12 tahun anak berada pada masa usia sekolah. Menurut Kogan (1966) dalam Turner dan Helms (1990), pada usia sekolah anak berada pada periode kritis. Periode tersebut merupakan periode tertentu ketika lingkungan memberi pengaruh besar terhadap perkembangan kognitif seorang anak. Hawadi (2001) menambahkan, bila pada masa tersebut anak membentuk kebiasaan untuk mencapi sukses, tidak sukses, atau sangat sukses. Apabila anak mengembangkan kebiasaan untuk bekerja sesuai, di bawah, atau di atas kemampuan, maka kebiasaan ini akan menetap dan cenderung mengenai semua bidang kehidupan tidak hanya di bidang akademik. Menurut Hurlock (1991), perbedaan seks dalam pertumbuhan fisik hampir tidak tampak secara nyata hingga akhir masa kanak-kanak. Namun, anak laki-laki cenderung lebih pendek dan ringan daripada anak perempuan dengan usia yang sama hingga matang secara seksual. Salah satu tugas perkembangan anak usia sekolah adalah mengembangkan keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung (Hurlock 1991). Menurut Suryabrata (1982), pada akhir sekolah dasar terdapat beberapa sifat khas pada anak, antara lain minat realistik ingin tahu dan ingin belajar, minat kepada hal-hal dan mata pelajaran khusus, sampai kurang lebih usia sebelas tahun anak pada umumnya menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas, anak berusaha menyelesaikan tugas sendiri, dan anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi sekolah. Menurut pandangan Sigmund Freud, pada usia sekolah terjadi perkembangan yang luar biasa secara menyeluruh pada setiap aspek perkembangan (Gunarsa 2006). Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget, usia 7-12 tahun tergolong masa konkrit operasional. Pada masa itu, anak sudah dapat berfikir logis dan mulai mengenal adanya hubungan fungsional (Soeitoe 1982). Anak mempunyai struktur kognitif untuk dapat berpikir dan melakukan tindakan tanpa bertindak secara nyata. Namun, apa yang dipikirkan masih terbatas pada hal-hal yang ada hubungannya dengan sesuatu yang konkrit, suatu realitas secara fisik, dan benda-benda yang nyata. Oleh karena itu, bendabenda atau kejadian yang tidak ada hubungannya secara jelas dan konkrit dengan realitas masih sulit dipikirkan oleh anak usia sekolah dasar. Berdasarkan teori perkembangan psikososial Erikson, pada masa usia sekolah, anak berada pada fase industry versus inferiority. Fase industry adalah fase ketika anak memiliki keyakinan untuk mampu melakukan sesuatu. Namun disisi lain, Erikson juga
menyebutkan bahwa fase inferiority seringkali timbul pada anak usia sekolah. Fase ini terjadi ketika anak menemui kegagalan dan merasa kegagalan tersebut terlihat dihadapan orang lain sehingga akan timbul rasa rendah diri (Gunarsa 2006). Prestasi Akademik Istilah hasil belajar berasal dari bahasa Belanda “prestatie, yang berarti hasil usaha (Abdullah 2008). Menurut Winkel (1996) dalam Ridwan (2008), belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan.
Belajar
menghasilkan
perubahan-perubahan
dalam
pengetahuan,
pemahaman, dan nilai sikap. Prestasi akademik merupakan tingkat kemampuan yang dimiliki siswa untuk menerima, menolak, dan menilai informasi yang diperoleh dalam proses belajar mengajar (Ridwan 2008). Setiap orang yang melakukan proses belajar akan mengalami suatu perubahan. Prestasi akademik yang dicapai seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan dalam mempelajari materi pelajaran setelah mengalami proses belajar. Menurut Somantri (1978) dalam Nurani (2004), prestasi akademik adalah hasil yang dicapai siswa dalam kurun waktu tertentu pada mata pelajaran tertentu yang diwujudkan dalam bentuk angka dan dirumuskan dalam rapor. Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan prestasi merupakan hasil dari proses belajar. Untuk mencapai prestasi akademik yang diharapkan, maka perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Menurut Hawadi (2001), faktorfaktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat berasal dari dalam diri (faktor intrinsik) dan luar diri seseorang (faktor ekstrinsik). Adapun faktor intrinsik yang mempengaruhi prestasi belajar antara lain potensi akademik, bakat, minat
dan motivasi belajar,
sedangkan faktor ekstrinsik yang mempengaruhi prestasi belajar antara lain keadaan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah (Ridwan 2008). Menurut (Gunarsa dan Gunarsa 2006), kurangnya hasrat untuk berprestasi pada siswa dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain ketidakpuasan terhadap prestasi yang diperoleh dan kurangnya rangsangan dari pihak sekolah atau orang tua dan guru yang terlalu menekan. Potensi Akademik Potensi adalah salah satu kemampuan manusia untuk melakukan suatu kegiatan. Turner dan Helms (1990) mengindikasikan bahwa potensi yang dimiliki seseorang berasal dari faktor genetik yang diwarisi orang tua, sementara dalam
perkembangannya ada pengaruh dari faktor lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian Turner dan Helms, bila anak kembar identik dibesarkan pada lingkungan yang sama, maka kecerdasan anak dipengaruhi oleh gen dan lingkungan. Apabila anak kembar tersebut dibesarkan pada lingkungan yang berbeda dan ternyata memiliki kecerdasan berbeda, maka lingkungan berperan penting untuk membantu anak mengoptimalkan potensi, sedangkan bila kecerdasan anak tersebut sama, diasumsikan karena adanya persamaan genetik. Sementara itu, bila anak kembar dengan genetik yang berbeda dibesarkan pada lingkungan yang sama dan lingkungan menunjukkan sebagai faktor yang signifikan, maka hal ini sama seperti hubungan yang terjadi pada anak kembar identik. Potensi menyangkut persoalan kecerdasan atau inteligensi yang merupakan struktur mental untuk mewujudkan kemampuan dalam memahami sesuatu (Sardiman 2005). Kecerdasan (potensi akademik) merupakan salah satu aspek penting yang sangat menentukan berhasil tidaknya studi seseorang. jika anak mempunyai tingkat kecerdasan normal atau di atas normal maka secara potensi anak dapat mencapai prestasi yang tinggi. Semakin tinggi kemampuan intelegensi anak, maka semakin besar peluang untuk meraih sukses. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan intelegensi seseorang maka semakin kecil peluang untuk meraih sukses (Muhibbin 1999 dalam Ridwan 2008). Berdasarkan tahapan perkembangan kognitif Piaget, usia sekolah berada pada tahapan konkrit operasional. Tahapan ini menjelaskan bahwa kemampuan anak untuk berkomunikasi dan berpikir semakin baik dibanding tahapan sebelumnya tetapi cara berpikir anak masih terbatas pada apa yang ada dihadapan anak dan apa yang terjadi saat itu (Papalia & Olds 1989). Terdapat dua pendapat mengenai dapat tidaknya inteligensi dikembangkan. Pertama, menurut Binet dan W. Stern, inteligensi tidak dapat di kembangkan. Kedua, menurut Kohnstamm, inteligensi dapat dikembangkan, namun hanya mengenai segi kualitas dan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Karena setiap manusia memiliki batas yang berlainan, maka pengembangan hanya sampai pada batas kemampuan (Sujanto 2004). Menurut Atmodiwirjo (1993) dalam Novita (2007), untuk mencapai kompetensi intelektual yang optimal diperlukan potensi intelektual yang cukup, lingkungan yang positif yang mampu merangsang dan menunjang direalisasikannya potensi yang telah ada serta peran aktif anak dalam berinteraksi dengan lingkungan tersebut. Sadli (1986) menyatakan bahwa bakat inteligensi tanpa rangsangan
pendidikan, pengalaman serta latihan yang tepat dan memadai tidak akan berkembang optimal, sehingga prestasi yang dicapai seseorang juga tidak optimal. Menurut Rilley (1992) dalam Latifah dan Dina (2002), untuk mencapai prestasi akademik yang diharapkan, anak usia sekolah hendaknya menguasai lima keterampilan dasar dalam proses pembelajaran. Lima keterampilan tersebut adalah Seeing selectively (melihat secara selektif), Hearing accurately (mendengar secara akurat), Reading and understanding words (membaca dan memahami kata-kata), Coordinating visual-motor activities (mengkoordinasikan aktivitas visual-motorik) dan Thinking logically (berpikir logis). Seeing
selectively
merupakan
proses
visual
yang
diukur
berdasarkan
kemampuan seseorang untuk mengingat kembali pola-pola visual (Visual Memory). Hearing accurately merupakan proses mendengar yang diukur dari kemampuan untuk mengingat kembali urutan informasi yang telah didengar (Auditory Sequencing) dan kemampuan seseorang untuk menyebutkan kembali informasi-informasi yang telah didengar (Auditory Memory). Reading and understanding words merupakan proses verbal yang diukur dari kemampuan seseorang berkaitan dengan seberapa besar pengetahuan anak tentang kata-kata yang telah dikenal (Vocabulary). Coordinating visual-motor activities merupakan proses kinesthetic Learning yang diukur dari kemampuan seseorang untuk mempelajari bentuk-bentuk perubahan. Sementara itu, Thinking logically merupakan proses berpikir abstrak yang diukur dari kemampuan seseorang untuk mengkombinasikan beberapa proses (Integration) dan kemampuan seseorang untuk memperhatikan stimulasi atau rangsangan tertentu (Concentration) (Rilley 1992 diacu dalam Latifah & Dina 2002). Motivasi Belajar Motivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti “menggerakkan”. Menurut Wlodkowski (1985) dalam Suciaty dan Irawan (2001) motivasi dalam pandangan behaviorisme merupakan suatu kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan perilaku tertentu, dan memberi arah serta ketahanan pada suatu tingkah laku. Menurut Ames dan Ames (1984) dalam Suciaty dan Irawan (2001) Motivasi menurut pandangan kognitif adalah perspektif yang dimiliki seseorang mengenai diri dan lingkungan. Heckhaussen dalam Hawadi (2001) menyatakan bahwa, motivasi belajar amat penting dalam keberhasilan belajar. Menurut Suciaty dan Irawan (2001), motivasi merupakan faktor yang banyak berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Motivasi memberi kontribusi sebesar 36% terhadap prestasi akademik. Sadli (1986) menyatakan bahwa, potensi yang dimiliki seseorang akan tetap kurang berkembang bila tidak cukup
disertai dengan motivasi. Individu yang mempunyai kemampuan memotivasi tinggi, akan memiliki daya juang yang lebih tinggi dalam mencapai cita-cita dan tidak mudah putus asa dalam menyelesaikan masalah. Sukmadinata (2003) menyatakan, dengan kemampuan memotivasi diri seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu. Menurut Hawadi (2001), ragam motivasi belajar memiliki dua bentuk. Pertama, motivasi belajar yang berasal dari dalam diri (intrinsik). Motivasi ini muncul tanpa adanya dorongan dari pihak luar, siswa belajar karena kesadaran atau keinginan untuk belajar dan berpendapat bahwa belajar merupakan suatu kebutuhan. Kedua, motivasi belajar yang berasal dari luar diri (ekstrinsik). Motivasi ini muncul karena faktor di luar diri baik dari lingkungan keluarga atau dari sekolah. Penelitian Ames dan Achter (1987) dalam Hawadi (2001) menyebutkan, pada ibu yang amat menekankan nilai rapor anaknya, maka motivasi yang berkembang lebih ke arah ekstrinsik, sedangkan ibu yang lebih mengutamakan bagaimana anaknya bekerja dan melihat bahwa keberhasilan adalah hasil dari usaha, maka motivasi yang berkembang lebih ke arah intrinsik. Selain faktor keluarga, faktor sekolah turut mempengaruhi pembentukan ragam motivasi siswa. Situasi belajar, besar kecilnya kelas serta konsep dan metode pembelajaran yang diterapkan merupakan aspek yang terkait dengan lingkungan sekolah. Pada umumnya, siswa akan terdorong bekerja lebih tekun pada mata pelajaran yang diajarkan oleh guru yang disenangi (Hawadi 2001). Pola Asuh Belajar Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak (Anonim 2008). Stimulasi orang tua merupakan faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan kognitif seorang anak (Hoghughi & Long 2004). Dibidang pendidikan, orang tua memiliki pengaruh besar terhadap prestasi akademik anak. Adapun peran yang dapat orangtua lakukan untuk menunjang prestasi akademik anak usia sekolah antara lain, menyediakan tempat yang kondusif di rumah untuk anak belajar, menyediakan bukubuku referensi sebagai sarana pembelajaran anak, mengatur waktu kegiatan anak, memperhatikan kegiatan anak di rumah dan di sekolah (Papalia & Olds 19889). Selain peran yang telah disebutkan, peran pengasuhan tidak kalah penting dalam mempengaruhi prestasi akademik anak. Secara umum, ayah cenderung menerapkan gaya pengasuhan melalui otoritas dan merangsang realitas anak. Sedangkan ibu cenderung memberi kesenangan pada keinginan anak untuk memberi
dorongan pada anak. Akan tetapi, pada dasarnya dalam mengasuh anak, ayah dan ibu harus memiliki filosofi manajemen yang sama. Hawadi (2001) menyatakan bahwa orang tua yang efektif adalah orang tua yang senantiasa terlibat dalam pendidikan dan informasi yang berkaitan dengan pendidikan anak termasuk bertemu dengan guru di awal tahun pelajaran. Oleh karena itu, partisipasi orang tua terhadap belajar anak merupakan sumbangan yang signifikan pada prestasi anak. Menurut Becker (1964) dalam Hawadi (2001), baik buruknya hubungan orang tua dengan anak akan mempengaruhi sikap agresif dan disiplin anak di sekolah. Selain itu, adanya afeksi, penerimaan dan kehangatan yang diterima seorang anak dari orang tua terlihat dari adanya penyesuaian diri dan nilai prestasi akademik yang baik dari anak di sekolah. Terdapat beberapa gaya pengasuhan pada anak yakni secara otoriter, permisif dan demokratis. Pada cara otoriter, orang tua menentukan aturan dan batasan-batasan yang mutlak dan harus ditaati oleh anak. Anak harus patuh, tunduk, dan tidak boleh bertanya, tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan kemauan atau pendapat anak. Adapun beberapa ciri yang terdapat pada pola asuh otoriter antara lain, kekuasaan orang tua sangat dominan, anak tidak diakui sebagai pribadi, kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat dan anak akan diancam atau dihukum jika tidak menjalankan aturan (Gunarsa & Gunarsa 2006; Latifah 2008). Dengan demikian akan timbul perasaan takut pada anak sehingga peraturan yang dijalani anak bukan karena kesadaran atau senang hati. Cara otoriter dapat menyebabkan hilangnya kebebasan pada anak, inisiatif dan aktifitas anak menjadi tumpul. Secara umum kepribadian dan kepercayaan diri anak akan lemah. Hawadi (2001) menyatakan bahwa keluarga dengan status ekonomi rendah pada umumnya lebih otoritarian. Cara permisif yang dilakukan orang tua adalah membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tata cara yang memberi batasan terhadap tingkah laku anak. Orang tua baru bertindak jika anak dianggap telah melanggar batasan. Cara permisif membiarkan anak mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggap baik, orang tua memberi kebebasan penuh pada anak untuk berbuat (Gunarsa & Gunarsa 2006; Latifah 2008). Adapun beberapa ciri yang terdapat pada pola asuh permisif antara lain, anak mendominasi dirinya sendiri, tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orang tua, serta sangat kurangnya kontrol dan perhatian orang tua terhadap anak (Latifah 2008). Umumnya cara ini terdapat pada keluarga yang kedua orang tuanya bekerja dan terlalu
sibuk dengan berbagai kegiatan sehingga hubungan anak dengan orang tua menjadi tidak akrab. Perkembangan kepribadian anak menjadi tidak terarah dan akan tumbuh jiwa “keakuan” (egosentrisme), sehingga mudah menimbulkan kesulitan jika harus menghadapi peraturan dalam lingkungan sosial (Gunarsa & Gunarsa 2006). Cara demokratis dilakukan dengan memperhatikan dan menghargai kebebasan anak dengan kebebasan yang tidak mutlak dan bimbingan yang penuh pengertian antara anak dengan orang tua (Gunarsa & Gunarsa 2006). Adapun beberapa ciri yang terdapat pada pola asuh demokrasi antara lain, adanya kerjasama antara orang tua dan anak, anak diakui sebagai pribadi, orang tua memberikan bimbingan dan pengarahan serta kontrol yang tidak kaku (Latifah 2008). Melalui cara tersebut, pada anak akan tumbuh rasa tanggung jawab dan selanjutnya memupuk kepercayaan diri sehingga anak akan mampu bertindak sesuai dengan norma dan kebebasan yang ada untuk memperoleh kepuasan (Gunarsa & Gunarsa 2006). Cara demokratis merupakan cara yang paling ideal untuk diterapkan. Mengingatkan pada anak sesuatu yang salah tanpa tekanan dan emosi serta menunjukkan apa yang sebaiknya dilakukan akan
sangat bermanfaat dalam
menghadapi anak terutama pada masa usia sekolah dasar (Gunarsa & Gunarsa 2006). Menurut
Hawadi
(2001),
anak
dengan
pola
asuh
demokratis
lebih
dapat
mengekspresikan diri minat dan aktivitasnya sendiri. Terlebih lingkungan memberi kesempatan pada anak untuk meraih pengetahuan dan pengalaman yang diperlukan. Lingkungan Pembelajaran Pasal I Undang- undang No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional menyebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Sekolah dasar merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar siswa. Oleh karena itu lingkungan sekolah yang baik dapat mendorong
siswa untuk belajar lebih giat (Ridwan 2008). Hampir sepertiga dari
kehidupan anak sehari-hari berada di dalam gedung sekolah, sehingga sekolah turut membantu dan membimbing anak agar berhasil (Gunarsa & Gunarsa 2006). Manrique (1994) dalam studi kasusnya menyebutkan, pendidikan dasar terbagi menjadi tiga tahap yang berhubungan dengan tahap perkembangan siswa berkaitan dengan minat dan sifat siswa. Masing-masing tahap memiliki tiga tingkatan kelas. Tahap pertama terdiri dari kelas I, II dan III. Tahap ini menekankan pengembangan membaca, menulis dan kemampuan matematik pada anak usia 6 sampai 10 tahun. Proses kognitif ini membantu perkembangan daya fikir abstrak, logis dan verbal. Tahap kedua terdiri
dari kelas IV, V dan VI ketika siswa berusia antara 10 sampai 13 tahun. Tahap ini menekankan pada kemampuan komunikasi, penggunaan bahasa, pengembangan pemikiran logis dan penguatan nilai-nilai budaya nasional. Selebihnya, pada tahap ketiga yakni pada kelas VII, VIII dan IX ketika anak berusia antara 13 sampai 15 tahun, penekanan ditujukan pada ilmu, teknologi dan seni secara merata. Lindgren dalam Gunarsa dan Gunarsa (2006) mengemukakan bahwa, situasi belajar dapat mempengaruhi prestasi sekolah anak. Bagaimana keadaan ruangan yang digunakan sebagai tempat belajar, apakah memenuhi syarat agar anak dapat belajar dengan baik turut mempengaruhi prestasi anak. Selain situasi, fasilitas belajar juga dapat mempengaruhi proses belajar seseorang. Kekurangan fasilitas belajar dapat mengakibatkan siswa kurang dapat mengaktualisasikan kemampuan dasar sehingga menimbulkan kegagalan dalam prestasi akademik. Agar nyaman digunakan untuk belajar, sekolah harus bersih, tertata rapi, aman dan jauh dari kebisingan serta tersedia sarana umum dan sarana khusus. Sarana umum berarti tersedia ruang kelas, ruang UKS, perpustakaan, jamban, lapangan upacara, halaman sekolah, kantin, dan kebun sekolah. Sarana khusus berarti tersedianya kantor kepala sekolah, ruang guru, kantor tata usaha, dan rumah penjaga sekolah (Latifah, Djamaludin, Damayanthi, Atmojo 2002). Selain situasi dan fasilitas, alat pendidikan yang dimiliki oleh suatu lingkungan pembelajaran termasuk jumlah siswa dalam suatu ruangan kelas turut mempengaruhi sistem pendidikan. Alat pendidikan merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Ditinjau dari segi wujud, alat pendidikan dapat berupa nasihat atau pun dalam bentuk benda sebagai alat bantu penunjang tercapainya tujuan pendidikan (Hasbullah 2006). Kualitas pendidikan dalam lingkungan pembelajaran tidak terlepas dari peran tenaga pendidik (guru). Apabila tenaga pendidik selain secara rutin mengajar di kelas juga berperan menciptakan kondisi yang memungkinkan hadirnya profesionalisme ke dalam kelas untuk berbagi pengalaman, maka peran guru sebagai motivator dapat tercapai (Ibrahim 1993). Karakakteristik Keluarga Keluarga adalah tempat pertama dan utama bagi anak untuk memperoleh kemampuan dasar. Keluarga berperan penting dalam perkembangan seorang anak. Peran yang dijalankan orang tua dalam perkembangan anak dipengaruhi antara lain oleh kondisi keluarga (Gunarsa & Gunarsa 2006; Hurlock 1981).
Pendidikan Orang Tua Pendidikan memegang peran penting dalam mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap perkembangan (pendidikan) anak. Semakin tinggi pendidikan orang tua, semakin besar pengetahuan orang tua akan pentingnya pendidikan. Dengan demikian, orang tua diharapkan dapat memberi stimulasi dan fasilitas yang dapat menunjang proses belajar seorang anak. Sebagaimana pendapat Alsa dan Bachroni (1984) dalam Nurani (2004) bahwa tingkat pendidikan orang tua berkorelasi positif dengan cara mendidik anak. Menurut Csikezentnihalyi (1996) dalam Ginting (2005), orang tua dengan pendidikan formal yang tinggi akan memiliki partisipasi yang lebih besar pada segala sesuatu yang berhubungan dengan stimulasi dan pendidikan anak, dibandingkan dengan orang tua yang berpendidikan rendah. Hal ini secara langsung maupun tidak, akan berpengaruh pada prestasi belajar anak karena orang tua berperan penting dalam memenuhi faktor-faktor yang dapat menunjang keberhasilan anak. Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan kondisi ekonomi keluarga dan ketersediaan waktu untuk keluarga, khususnya untuk anak. Menurut Hawadi (2001), keluarga yang mempunyai latar belakang ekonomi rendah akan memaksa ayah sebagai kepala keluarga untuk bekerja lebih keras. Kondisi tersebut akan menyebabkan ibu sebagai orang yang ikut bertanggung jawab terhadap keluarga juga bekerja untuk mencari tambahan pendapatan. Hal ini menyebabkan waktu untuk kebersamaan keluarga semakin berkurang. Semakin sibuk orangtua, semakin sedikit waktu yang tersedia untuk anak semakin sedikit perhatian yang anak peroleh, kecuali bila di selasela kesibukan orang tua dapat memberi perhatian dengan kualitas yang baik. Perhatian orang tua terhadap pendidikan anak adalah perhatian pada kebutuhan belajar anak untuk mencapai prestasi yang diharapkan. Piotrowski (1978) dalam Megawangi (1993) menyatakan apabila suasana pekerjaan cukup menyenangkan dan tidak terlalu melelahkan, maka ayah atau ibu akan pulang dengan suasana emosi yang menyenangkan sehingga akan terbina hubungan yang baik dengan masing-masing anggota keluarga. Jika suasana pekerjaan tidak menyenangkan dan ada perasaan tidak berdaya untuk mengatasi keadaan, maka ayah atau ibu akan pulang dalam keadaan frustasi dan marah. Hal ini akan membawa dampak negatif pada hubungan antar anggota keluarga. Apabila pekerjaan dianggap sangat membosankan dan melelahkan, maka ayah atau ibu akan pulang dengan
keadaan fisik yang sangat lelah dan tidak ada lagi energi untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota keluarga lain. Menurut Megawangi (1993), semakin sedikit waktu yang digunakan orang tua untuk anak, maka semakin besar resiko yang dihadapi anak. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), sedikitnya waktu yang digunakan orang tua untuk anak akan menyebabkan hubungan antara orang tua dengan anak menjadi tidak akrab. Hal ini akan meyebabkan orang tua cenderung menerapkan gaya pengasuhan permisif. Apabila orang tua tidak memiliki banyak waktu untuk mengawasi kegiatan anak dan memperhatikan kebutuhan anak, akan berdampak pada kegagalan anak dalam mencapai prestasi yang diharapkan. Pendapatan Keluarga Keadaan
sosial
ekonomi
keluarga
mempunyai
peranan
penting
dalam
pendidikan anak, perhatian orang tua akan tercurah lebih mendalam kepada anak jika orang tua tidak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan primer (Gerungan 1981 diacu dalam Nurani 2004). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), keluarga yang telah mampu mencukupi kebutuhan ekonomi akan memiliki banyak waktu untuk membimbing anak, sebaliknya keluarga yang rendah ekonominya banyak disibukkan untuk mencari nafkah. Tidak jarang anak juga dituntut untuk ikut membantu orang tua mencari nafkah, sehingga anak tidak dapat menghasilkan prestasi yang baik karena kekurangan waktu belajar Conger dan Elder (1994) dalam Priantini (2006), menyatakan bahwa keluarga yang mendapat tekanan ekonomi akan berpengaruh pada keadaan emosi dan perilaku individu dalam keluarga, termasuk perilaku orang tua dalam mengasuh anak. Menurut Freeman dan Munandar (2000) dalam Nurani (2004), semakin aman orang tua dari segi ekonomi dan emosional maka semakin tercurah perhatian orangtua dalam membimbing, merawat serta mendidik anak. Hawadi (2001) menyatakan bahwa keluarga dengan status ekonomi tinggi pada umumnya lebih demokratis. Namun, bukan berarti keluarga dengan pendapatan yang kurang memadai tidak dapat mendidik anak dengan baik. Effendi (1995) menyatakan bahwa keluarga dengan ukuran ekonomi menengah ataupun lemah dapat berhasil mendidik anak-anak mereka dengan baik. Hal ini dikarenakan adanya dorongan motivasi, dorongan moril dan orang tua yang mengikuti perkembangan anak yang selalu membutuhkan perhatian, sehingga anak memiliki kepercayaan diri untuk berusaha menapak kehidupan melalui jenjang pendidikan.
Besar Keluarga Hurlock (1981) membagi jenis keluarga berdasarkan jumlah anggota keluarga. Keluarga kecil memiliki dua atau tiga anak. Keluarga sedang memiliki tiga, empat atau lima anak. Sedangkan keluarga besar memiliki enam anak atau lebih. Menurut Hurlock, besar keluarga akan mempengaruhi gaya pengasuhan dan fasilitas belajar yang disediakan orang tua. Secara langsung maupun tidak, kedua hal tersebut akan mempengaruhi prestasi akademik anak di sekolah. Menurut Hurlock (1981), pada keluarga kecil pengasuhan orang tua umumnya bersifat demokratis dan orang tua mampu mencurahkan waktu serta perhatian yang cukup pada anak. Namun, orang tua cenderung menekan anak untuk mencapai prestasi akademik, sehingga orang tua cenderung membandingkan prestasi anak yang satu dengan yang lain. Pada keluarga kecil orang tua memiliki kemauan dan kemampuan untuk memberi fasilitas dan lambang status yang sama pada setiap anak. Pengasuhan orang tua pada keluarga sedang, umumnya kurang demokratis dan bertambah otoriter dengan meningkatnya anggota keluarga. Tekanan orang tua untuk prestasi biasanya terpusat pada anak pertama. Selain itu, terdapat keterbatasan untuk memberi fasilitas dan lambang status yang sama pada setiap anak. Pada keluarga besar, pendidikan otoriter diperlukan untuk menghindari kekacauan atau anarki. Sedangkan dari segi fasilitas dan lambang status, orang tua seringkali tidak mampu untuk memberikan hal yang sama dengan teman sebaya anak (Hurlock 1981). Effendi (1995) menyatakan bahwa orang tua yang berhasil dalam mendidik anak ditunjang dengan jumlah anggota keluarga yang kecil sesuai dengan taraf kehidupan keluarga itu sendiri. Lebih lanjut Effendi menyatakan bahwa keluarga kecil merupakan salah satu usaha menuju tercapainya keluarga sejahtera. Usaha tersebut dapat menghasilkan anak-anak yang cerdas dan terdidik menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Disisi lain Hawadi (2001) menyatakan bahwa pada keluarga besar sifat pola asuh anak lebih otoritarian dan hal ini lebih banyak dijumpai pada keluarga dengan kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan. Karakteristik Individu Karakteristik individu merupakan bagian dari identitas diri seseorang yang antara lain dapat dilihat melalui umur dan Jenis kelamin. Berikut ciri-ciri yang terdapat pada anak usia sekolah terkait dengan umur dan jenis kelamin. Umur Bertambahnya usia anak akan menjadikan lingkup sosial anak semakin luas. Kehidupan pada masa anak-anak dengan berbagai pengaruhnya adalah masa
kehidupan yang sangat penting, khususnya berkaitan dengan diterimanya stimulasi lingkungan. Pada masa usia sekolah, anak-anak dirasa telah mampu menerima pendidikan formal dan dapat menyerap berbagai hal yang ada di lingkungan. Menurut Hawadi (2001) anak selalu tertarik pada sesuatu yang baru dan berbeda dengan dunia yang dimiliki. Namun, rasa ingin tahu dan dorongan untuk belajar semakin berkurang dengan bertambahnya usia anak. Hal ini terjadi apabila cara siswa dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan dirasa begitu majemuk dan memakan waktu sehingga membuat sebagian minat siswa menghilang. Menurut Piaget, pada setiap tahapan perkembangan, proses belajar setiap anak berbeda. Semakin tinggi tingkat kognitif seseorang, semakin teratur dan abstrak cara bepikir seseorang (Suciaty & Irawan 2001). Namun, tidak berarti bertambahnya umur akan membuat seseorang semakin pintar karena stimulasi lingkungan juga berperan penting dalam menunjang keberhasilan. Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan salah satu hal yang menjadi pertimbangan orang tua dalam berinteraksi dengan anak. Keadaan biologis manusia dianggap dapat mempengaruhi tingkah laku manusia (Megawangi 1993). Hawadi (2001) menyatakan bahwa praktik pengasuhan yang berbeda antar jenis kelamin disebabkan karena adanya pertumbuhan fisik, perkembangan mental, dan sosial anak terutama pada masa akhir sekolah. Anak laki-laki dianggap lebih diberi kesempatan untuk mandiri, sehingga mereka lebih menunjukkan inisiatif dan spontan. Hurlock (1993b) menyatakan bahwa jenis kelamin akan mempengaruhi sikap orangtua yang selanjutnya akan mempengaruhi perilaku dan hubungan orangtua dengan anak. Horner (1968) dalam Hawadi (2001) mengatakan bahwa prestasi akademik sering diasosiasikan sebagai sesuatu yang sifatnya maskulin. Menurut Megawangi (2001) meskipun ada perbedaan mendasar secara biologis antara laki-laki dan perempuan, hal ini tidak menjadikan perempuan lebih inferior dalam hal kemampuan intelektual. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal intelegensi antara anak laki-laki dan perempuan. Menurut Megawangi (2001), rata-rata IQ anak laki-laki usia balita di Indonesia tidak berbeda nyata dengan anak perempuan. Penemuan terakhir menunjukkan meskipun rata-rata kemampuan inteligensi antara lakilaki dan perempuan sama, tetapi pengaruh biologi tetap berperan dalam perkembangan otak. Hal ini dipengaruhi oleh adanya hormon seks (esterogen) yang berpengaruh terhadap perkembangan otak wanita.
KERANGKA PEMIKIRAN Adanya hubungan timbal balik antara prestasi akademik dengan fase industry versus inferiority pada anak usia sekolah menjadikan prestasi akademik anak usia sekolah penting untuk diteliti. Prestasi akademik yang baik akan menumbuhkan rasa percaya diri (industry), sehingga akan mendorong anak untuk meningkatkan prestasi akademik yang didapat sebelumnya. Sebaliknya, prestasi akademik yang buruk akan menumbuhkan rasa rendah diri (inferiority), sehingga membuat anak merasa tidak mampu untuk mencapai prestasi akademik yang diharapkan. Prestasi akademik dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yakni individu anak, keluarga, dan lingkungan pembelajaran di sekolah. Motivasi belajar dan potensi akademik adalah faktor yang berasal dari individu anak, sedangkan faktor dari luar berasal dari lingkungan pembelajaran dan keluarga yang diterapkan melalui pola asuh belajar. Pola asuh belajar yang diterapkan orang tua terdiri dari gaya pengasuhan dan fasilitas belajar. Motivasi belajar pada diri anak dipengaruhi oleh karakteristik anak, yakni umur dan jenis kelamin. Sementara itu, gaya pengasuhan dan fasilitas belajar yang disediakan orang tua dipengaruhi oleh karakteristik individu dan keluarga. Dengan demikian jelas bahwa motivasi belajar, potensi akademik, pola asuh belajar, dan lingkungan pembelajaran berperan dalam menunjang prestasi akademik anak usia sekolah. Secara ringkas, faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap prestasi akademik dapat dilihat pada gambar 1. .
KERANGKA PEMIKIRAN
Karakteristik Individu: • Jenis Kelamin • Umur
Karakteristik Keluarga: • Tingkat Pendidikan Orangtua • Jenis Pekerjaan Orangtua • Tingkat Pendapatan Keluarga Pola Asuh Belajar: • Gaya Pengasuhan • Fasilitas Belajar
Lingkungan Pembelajaran di Sekolah
Motivasi Belajar Gambar 1. Hubungan antara Pola Asuh Belajar, Lingkungan Pembelajaran, Potensi Akademik dan Motivasi Belajar dengan Prestasi Akademik Prestasi Siswa Sekolah Dasar. Akademik Potensi Keterangan : Akademik = Variabel yang diteiliti = Hubungan yang diteliti
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan waktu Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional Study. Penelitian dilakukan di tiga lokasi yang dipilih secara purposive dengan pertimbangan mewakili tiga lingkungan pembelajaran yang berbeda yaitu di SDN Sukadamai 3 Kabupaten Bogor, SD Amaliah Ciawi, dan SD Citra Alam Ciganjur. Untuk selanjutnya, SDN Sukadamai 3 disebut sebagai kelompok 1, SD Amaliah sebagai kelompok 2, dan SD Citra Alam sebagai kelompok 3. Pengumpulan data dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei 2008. Penarikan Contoh Contoh adalah keluarga inti lengkap yang memiliki anak kelas IV dan V sekolah dasar dengan asumsi contoh mendapatkan pengasuhan dari orang tua secara utuh. Untuk mewakili setiap lingkungan pembelajaran, dipilih masing-masing secara purposive 30 siswa dari ketiga lokasi. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan pemilihan siswa kelas IV dan V sebagai contoh adalah pada kelas IV dan V anak berada pada tahap kemampuan komunikasi, penggunaan bahasa dan pengembangan pemikiran logis, sedangkan pada tahap sebelumnya, yakni kelas I, II dan III anak berada pada tahap pengembangan membaca, menulis dan kemampuan matematik (Manrique 1994). Proses kognitif ini membantu perkembangan daya fikir abstrak, logis dan verbal. Berdasarkan hal tersebut, diharapkan pada tahap kedua yakni ketika berada di kelas IV dan V, siswa telah menguasai
tugas
perkembangan
di
tahap
pertama
sekolah
dasar
sehingga
memudahkan pelaksanaan penelitian. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer
meliputi:
(1)
Karakteristik
individu
(umur
dan
jenis
kelamin);
(2) Karakteristik keluarga (tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan orang tua, tingkat pendapatan keluarga, dan besar keluarga); (3) Pola asuh belajar (gaya pengasuhan dan fasilitas belajar); (4) Motivasi belajar; (5) Potensi akademik (visual processing, auditory processing, verbal processing, kinesthetic processing, dan thinking logically). Untuk mengukur potensi akademik digunakan modifikasi instrument Rilley Inventory of Basic Learning Skills (RIBLS) (Rilley 1992 diacu dalam Latifah & Dina 2002). Data sekunder meliputi prestasi akademik siswa dan keadaan umum lingkungan pembelajaran yang diperoleh melalui data sekolah. Jenis dan cara pengumpulan data disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data Variabel Karakteristik Individu
Karakteristik keluarga
Gaya pengasuhan
Alat Bantu -Umur -Jenis kelamin -Besar keluarga -Pendidikan orang tua -Pekerjaan orang tua -Pendapatan Keluarga -Cara permisif -Cara Otoriter -Cara Demokratis
Fasilitas Belajar Motivasi Belajar Potensi Akademik Prestasi Akademik Jumlah Siswa Keadaan Umum Lingkungan Pembelajaran
Kuesioner Kuesioner
Kuesioner Kuesioner Kuesioner Instrument RIBLS Rapor Siswa Data Sekolah
Skala Rasio Nominal Rasio Ordinal Nominal Interval Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Interval Rasio
Data Sekolah Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan Microsoft Excel dan program komputer Statistical Package for Sosial Science (SPSS) versi 10,0. Data tersebut dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Tingkat pendidikan orang tua digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, dan Perguruan Tinggi. Jenis pekerjaan orang tua meliputi wiraswasta, karyawan swasta, pegawai negeri, ABRI/Polisi, dan ibu rumah tangga. Tingkat pendapatan keluarga diukur berdasarkan pendapatan utama dan tambahan ayah dan ibu contoh per bulan. Besar keluarga dikategorikan menjadi tiga, yaitu kecil (< 4 orang), sedang (5-7 orang) dan besar (> 8 orang) (Hurlock 1993a). Prestasi akademik dilihat dari rata-rata nilai rapor dari mata pelajaran yang sama-sama dimiliki oleh ketiga sekolah pada semester satu tahun ajaran 2007/2008, yakni Agama, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, dan Penjaskes. Prestasi akademik dikategorikan berdasarkan standar Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) pada kriteria in take yaitu rendah (50-64), sedang (65-80), dan tinggi (81-100). Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2007, KKM merupakan batas minimal ketercapaian standar kompentensi dari aspek penilaian mata pelajaran yang harus dikuasai oleh peserta didik. Motivasi belajar dan pola asuh belajar diukur melalui penjumlahan skor, standarisasi dengan skala 0-100 dan dikategorikan berdasarkan rumus interval kelas. Pengkategorian menggunakan rumus berikut (Slamet 1993).
Interval Kelas (i) = Skor maksimum (NT) – Skor minimum (NR) Jumlah kategori Kategori : Kurang = NR sampai (NR+i) Sedang = (NR + i) sampai [(NR+i)+i] Baik
= [(NR+i)+i] sampai NT Berdasarkan
rumus
tersebut
didapat
kategori
kurang
(0-33),
sedang
(34-67), baik (68-100). Penilaian tingkat kecerdasan kognitif dilakukan berdasarkan standar RIBLS yang digolongkan dalam lima kategori, yaitu jauh dibawah rata-rata (<7), di bawah rata-rata (7,1-9,0), rata-rata (9,1-11,0), di atas rata-rata (11,1-13,0) dan jauh di atas rata-rata (>13,0) (Rilley 1992 diacu dalam Latifah & Dina 2002). Untuk mengidentifikasi dan mengetahui ada tidaknya perbedaan karakteristik individu, karakteristik keluarga, pola asuh belajar, motivasi belajar, potensi akademik, dan prestasi akademik pada lingkungan pembelajaran digunakan analisis deskriptif dan uji Kruskal Wallis, jika hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan adanya perbedaan yang nyata, maka akan digunakan uji lanjut Duncan untuk mengetahui letak perbedaan tersebut. Untuk menganalisis hubungan antar variabel yang berskala ordinal digunakan uji korelasi Spearman, sedangkan untuk variabel yang berskala nominal digunakan uji ChiSquare. Untuk menganalisis pengaruh pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar, dan potensi akademik terhadap prestasi akademik digunakan analisis regresi linear berganda. Model umum analisis regresi linear berganda:
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b 4X4 + Keterangan : Y
= Prestasi akademik (variabel dependen)
a
= Konstanta
b1-b5
= Koefisien regresi
X1
= Motivasi belajar (variabel independen)
X2
= Gaya pengasuhan (variabel independen)
X3
= Fasilitas belajar (variabel independen)
X4
= Lingkungan pembelajaran (variabel independen)
X5
= Potensi akademik (variabel independen)
Definisi Operasional Anak Usia Sekolah adalah anak berusia 6-12 tahun (berdasarkan teori Papalia dan Old). Contoh dalam penelitian berada pada kelas IV dan V Sekolah Dasar (usia 9,0-11,9 tahun). Keluarga adalah unit terkecil dalam sosial masyarakat yang terikat oleh hubungan perkawinan serta hubungan darah atau adopsi, terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang tinggal dalam satu atap. Tingkat Pendidikan Orang Tua adalah pendidikan formal terakhir yang pernah diikuti ayah atau ibu contoh, yang ditandai dengan surat tanda tamat belajar/ijazah, tanpa
memperhitungkan
lama
tinggal
kelas.
Pendidikan
orangvtua
dikategorikan menjadi Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, dan Perguruan Tinggi. Tingkat Pendapatan Keluarga adalah penghasilan per bulan yang diperoleh dari pendapatan utama dan tambahan orangvtua. Besar Keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari keluarga kecil (<4 orang), sedang (5-7 orang) dan besar (>8 orang) (Hurlock 1993a). Pola Asuh Belajar adalah interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan dalam mendidik anak. pengasuhan dalam mendidik anak diukur berdasarkan
gaya pengasuhan (permisif, otoriter, dan
demokratis) dan penyediaan fasilitas belajar. Gaya Pengasuhan Otoriter adalah cara orang tua dalam menerapkan disiplin pada anak dengan menentukan aturan dan batasan-batasan yang mutlak dan harus ditaati oleh anak, sehingga pendapat anak tidak di dengar oleh orang tua. Penerapan cara otoriter pada anak usia sekolah akan menyebabkan daya inisiatif dan kepercayaan diri anak melemah (Gunarsa & Gunarsa 2006). Gaya Pengasuhan Permisif adalah cara orang tua dalam menerapkan disiplin dengan membiarkan anak mengatur dan menentukan sendiri apa yang anak anggap baik, sedangkan pada usia sekolah anak masih sangat membutuhkan bimbingan kepribadian
orang anak
tua. Cara menjadi
permisif akan membuat tidak
terarah
dan
perkembangan
menumbuhkan
sikap
egosentrisme, sehingga menimbulkan kesulitan saat anak menghadapi peraturan dalam lingkungan sosial (Gunarsa dan Gunarsa 2006; Latifah 2008).
Gaya Pengasuhan Demokratis adalah cara orang tua dalam menerapkan disiplin pada anak dengan memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun dengan kebebasan yang tidak mutlak dan bimbingan yang penuh pengertian antara orang tua dengan anak. Melalui cara otoriter akan tumbuh rasa tanggung jawab yang selanjutnya mengembangkan kepercayaan diri, sehingga anak akan memperoleh kepuasan sesuai dengan norma yang berlaku (Gunarsa & Gunarsa 2006). Lingkungan
Pembelajaran
adalah
kondisi
pembelajaran
di
sekolah
yang
mempengaruhi kegiatan belajar mengajar, seperti keadaan gedung sekolah, fasilitas sekolah, peraturan sekolah, guru, dan cara penyajian materi pelajaran di sekolah. Motivasi Belajar adalah daya penggerak dalam diri anak untuk mencapai taraf prestasi akademik, sesuai dengan yang anak tetapkan (Suciaty dan Irawan 2001). Potensi Akademik adalah kemampuan inteligensi berdasarkan tingkat kecerdasan kognitif
yang
dinilai dari
kemampuan visual processing (mengingat
berdasarkan penglihatan), auditory processing (mengurutkan berdasarkan pendengaran), verbal processing (kosa kata),
kinesthetic processing
(kinestetik), dan thinking logically (kemampuan berpikir logis) (Rilley 1992 diacu dalam Latifah & Dina 2002). Prestasi Akademik adalah gambaran mengenai penguasaan anak terhadap materi pelajaran di sekolah. Prestasi akademik diukur melalui rata-rata nilai rapor dari mata pelajaran Agama, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, dan Penjaskes.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Individu Contoh Masa usia sekolah dasar sering disebut sebagai masa intelektual atau masa keserasian bersekolah. Sejak usia sekolah anak mulai memasuki tahap awal dari lingkungan pembelajaran formal dan tidak lagi sepenuhnya berada di bawah pengawasan orangtua. Variabel karakteristik individu pada penelitian ini dilihat berdasarkan umur dan jenis kelamin. Umur Contoh Berdasarkan teori Papalia dan Old, masa usia sekolah berada ketika individu berusia 6-12 tahun (Hawadi 2001). Umur contoh pada penelitian ini diklasifikasikan berdasarkan instrumen Rilley Inventory of Basic Learning Skills (RIBLS) (Rilley 1992 diacu dalam Latifah & Dina 2002). Sebaran contoh berdasarkan umur disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Sebaran contoh berdasarkan umur Umur
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
(Tahun)
n
%
n
%
n
%
9,0-9,4
2
6,7
1
3,3
5
16,7
9,5-9,9
1
3,3
6
20,0
6
20,0
10,0-10,4
10
33,3
4
13,3
7
23,3
10,5-10,9
10
33,3
11
36,7
6
20,0
11,0-11,4
7
23,3
8
26,7
3
10,0
11,5-11,9
0
0,0
0
0,0
3
10,0
30
100,0
30
100,0
30
100,0
Total
Min 9,1, Max 11,9, x : 10,4, SD + 0,6 Berdasarkan hasil penelitian, umur maksimum contoh adalah 11,9 tahun, umur minimumnya 9,1 tahun dan rata-rata umurnya 10,4 tahun. Persentase terbesar contoh pada kelompok 1 (89,9%), kelompok 2 (76,7%) dan kelompok 3 (53,3%) berumur antara 10,0-11,4 tahun. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada umur contoh antar kelompok lingkungan pembelajaran.
Jenis Kelamin Contoh Jenis kelamin merupakan salah satu karakteristik individu pada penelitian ini yang ingin diidentifikasi. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin Jenis
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
kelamin
n
%
n
%
n
%
Laki-laki
13
43,3
10
33,3
19
63,3
Perempuan
17
56,7
20
66,7
11
36,7
30
100,0
30
100,0
30
100,0
Total
Modus Perempuan Berdasarkan hasil penelitian, proporsi terbesar jenis kelamin contoh adalah perempuan (53%). Lebih dari separuh contoh pada kelompok 1 (56,7%) dan kelompok 2 (66,7%) berjenis kelamin perempuan, sedangkan lebih dari separuh contoh (63,3%) pada kelompok 3 berjenis kelamin laki-laki. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada proporsi jenis kelamin contoh antar kelompok lingkungan pembelajaran. Karakteristik Keluarga Contoh Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama yang memberi stimulasi dalam perkembangan seorang anak. Kualitas pengasuhan yang orang tua berikan, umumnya tergantung pada kondisi keluarga. Karakteristik keluarga yang ingin diidentifikasi dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan orang tua, tingkat pendapatan keluarga dan besar keluarga. Tingkat Pendidikan Orang Tua Contoh Pendidikan memegang peran penting yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Semakin tinggi pendidikan orang tua, semakin tinggi pengetahuan orang tua akan pentingnya pendidikan anak. Tingkat pendidikan orang tua pada penelitian ini diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yakni Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, dan Perguruan Tinggi. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua Tingkat Pendidikan Orangtua Sekolah Menengah Perguruan Tinggi Total
Kelompok 1 Ayah
Kelompok 2
Ibu
Ayah
Kelompok 3
Ibu
Ayah
Ibu
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
5
16,7
5
16,7
5
16,7
14
46,7
0
0,0
0
0,0
25
83,3
25
83,3
25
83,3
16
53,3
30
100,0
30
100,0
30
100,0
30
100,0
30
100,0
30
100,0
30
100,0
30
100,0
Modus: Perguruan Tinggi Berdasarkan hasil penelitian, proporsi terbesar tingkat pendidikan orang tua contoh adalah Perguruan Tinggi (83,9%). Persentase terbesar orang tua pada kelompok 1 (83,3%), kelompok 2 (ayah 83,3%; ibu (53,3%), dan kelompok 3 (100%) berpendidikan hingga Perguruan Tinggi. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pada tingkat pendidikan ayah (p<0,01) dan ibu (p<0,01) di ketiga kelompok lingkungan pembelajaran. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan, terdapat perbedaan tingkat pendidikan antara ayah di kelompok 2 dengan ayah di kelompok 3, sedangkan perbedaan tingkat pendidikan ibu terdapat antar ketiga kelompok lingkungan pembelajaran. Jenis Pekerjaan Orang Tua Contoh Jenis pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan kondisi ekonomi keluarga dan ketersediaan waktu orang tua untuk anak. Secara umum, semakin sibuk orang tua, semakin sedikit waktu yang tersedia untuk keluarga, khususnya untuk anak, kecuali bila orang tua dapat member kualitas yang baik di sela-sela waktu luang. Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orang tua disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orang tua. Jenis Pekerjaan Orangtua
SDN Sukadamai 3 Ayah Ibu n % n %
SD Amaliah Ayah Ibu n % n %
SD Citra Alam Ayah Ibu n % n %
Wiraswasta Pegawai swasta Pegawai negeri ABRI/Polisi IRT Lainnya
5 13 10 0 0
16.7 43.3 33.3 0 0
4 4 3 0 17
13.3 13.3 10.0 0.0 56.7
14 12 4 0 0
46.7 40.0 13.3 0 0
7 4 3 0 16
23.3 13.3 10.0 0 53.3
6 20 3 1 0
20.0 66.7 10.0 3.3 0
11 14 0 0 5
36.7 46.7 0 0 16.7
2
6.7
2
6.7
0
0
0
0
0
0
0
0
Total
30
100
30
100
30
100
30
100
30
100
30
100
Berdasarkan hasil penelitian, proporsi terbesar ayah bekerja sebagai pegawai swasta (50%) dan ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga (42%). Persentase terbesar ayah di kelompok 1 (43,3%) dan di kelompok 3 (66,7%) bekerja sebagai pegawai swasta, sedangkan persentase terbesar ayah di kelompok 2 bekerja sebagai wiraswasta (46%). Persentase terbesar ibu di kelompok 1 (56,7%) dan di kelompok 2 (53,3%) bekerja sebagai ibu rumah tangga, sedangkan persentase terbesar ibu di kelompok 3 bekerja sebagai pegawai swasta (46,7%). Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jenis pekerjaan ayah (p<0,01) dan ibu (p<0,01) di ketiga kelompok lingkungan pembelajaran. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan, terdapat perbedaan jenis pekerjaan antara ayah di kelompok 1 dengan ayah di kelompok 2 dan di kelompok 3. Perbedaan jenis pekerjaan ibu terdapat antara ibu di kelompok 3 dengan ibu di kelompok 1 dan di kelompok 2. Tingkat Pendapatan Keluarga Contoh Keadaan sosial ekonomi keluarga memiliki peran penting dalam memenuhi pendidikan anak. Secara umum, orang tua dapat menyediakan fasilitas belajar yang baik bagi anak jika orang tua tidak memiliki kesulitan ekonomi. Penelitian ini mengukur tingkat pendapatan keluarga berdasarkan pendapatan utama dan tambahan orang tua per bulan. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan utama orang tua disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan utama orang tua Kelompok 1
Tingkat Pendapatan/
Ayah
bulan (Rp)
n
Tidak ada 0-2.500.000
Ibu %
Kelompok 2
Kelompok 3
Ayah
Ibu
Ayah
Ibu
n
n
n
n
%
n
%
%
%
%
0
0
14
46,7
0
0
13
43,3
0
0
5
16,7
7
23,3
11
36,7
8
26,7
7
23,3
0
0
4
13,3
2.500.001-5.000.000
6
20,0
5
16,7
8
26,7
9
30,0
5
16,7
12
40,0
5.000.001-7.500.000
4
13,3
0
0,0
4
13,3
1
3,3
12
40,0
9
30,0
7.500.001-10.000.000
6
20,0
0
0,0
4
13,3
0
0,0
12
40,0
0
0,0
>10.000.000
7
23,3
0
0,0
6
20,0
0
0,0
1
3,3
0
0,0
Total
30
100
30
100
30
100
30
100
30
100
30
100
Ayah: max:>10000000, min<2500000, modus: 7500001-10000000 Ibu: max 5000001-7500000, min <2500000, modus: tidak ada pendapatan Berdasarkan hasil penelitian, pendapatan utama maksimum ayah contoh adalah >Rp.10.000.000,
pendapatan utama
minimumnya
Rp.0-2.500.000 dan proporsi
terbesarnya Rp.7.500.001-10.000.000 (24,4%). Pendapatan utama maksimum ibu
contoh
adalah
Rp.5.000.001-7.500.000,
pendapatan
utama
minimumnya Rp.0-
2.500.000 dan proporsi terbesarnya tidak memiliki pendapatan utama (35,6%). Berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan bahwa tingkat pendapatan keluarga contoh cukup tinggi. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pendapatan utama ayah antar kelompok lingkungan pembelajaran, namun terdapat perbedaan tingkat pendapatan utama ibu (p<0,01) di ketiga kelompok lingkungan pembelajaran. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan, terdapat perbedaan tingkat pendapatan utama antara ibu di kelompok 3 dengan ibu di kelompok 1 dan di kelompok 2. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan tambahan orang tua Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Pendapatan/bulan
Ayah
Ibu
Ayah
Ibu
Ayah
Ibu
(Rp)
n
%
n
%
n
%
n
n
%
n
%
Tidak ada
20
66,7
26
86,7
20
66,7
26
86,7
30
100
29
96,7
0-2.500.000
2
6,7
4
13,3
2
6,7
1
3,3
0
0,0
0
0,0
2.500.001-5.000.000
5
16,7
0
0,0
5
16,7
2
6,7
0
0,0
1
3,3
5.000.001-7.500.000
1
3,3
0
0,0
1
3,3
1
3,3
0
0,0
0
0,0
Tingkat
%
7.500.001-10.000.000
0
0,0
0
0,0
1
3,3
0
0,0
0
0,0
0
0,0
>10.000.000
2
6,7
0
0,0
1
3,3
0
0,0
0
0,0
0
0,0
Total
30
100
30
100
30
100
30
100
30
100
30
100
Ayah: max>10000000, min<2500000, modus: tidak ada pendapatan Ibu: max: 5000001-7500000 min <2500000 modus: tidak ada pendapatan Berdasarkan hasil penelitian, pendapatan tambahan maksimum ayah contoh adalah >Rp.10.000.000, pendapatan tambahan minimumnya Rp.0-2.500.000 dan proporsi terbesarnya tidak memiliki pedapatan tambahan (77,8%). Pendapatan tambahan
maksimum
ibu
contoh
adalah
Rp.5.000.001-7.500.000,
pendapatan
tambahan minimumnya Rp.0-2.500.000 dan proporsi terbesarnya tidak memiliki pendapatan tambahan (90%). Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat pendapatan tambahan ayah (p<0,01) di ketiga kelompok lingkungan pembelajaran, namun tidak terdapat perbedaan tingkat pendapatan tambahan ibu antar kelompok lingkungan pembelajaran. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan, terdapat perbedaan tingkat pendapatan tambahan antara ayah di kelompok 3 dengan ayah di kelompok 1 dan di kelompok 2.
Besar Keluarga Contoh Secara umum, semakin besar keluarga, semakin terpecah perhatian orang tua untuk memenuhi kebutuhan anak. Penelitian ini mengklasifikasikan besar keluarga ke dalam tiga kategori yakni kecil, sedang dan besar. Keluarga kecil adalah keluarga yang terdiri dari dua anak, keluarga sedang terdiri dari tiga, empat atau lima anak, sedangkan keluarga besar terdiri dari enam anak atau lebih (Hurlock 1993a). Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Besar
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Keluarga
n
%
n
%
n
%
Kecil
14
46,7
20
66,7
19
63,3
Sedang
16
53,3
10
33,3
11
36,7
30
100,0
30
100,0
30
100,0
Total
Max: 7, Min: 3, x : 4, SD + 0,91 Berdasarkan hasil penelitian, maksimum jumlah anggota keluarga contoh adalah 7 orang, minimumnya 3 orang, dan rata-rata anggota keluarga contoh berjumlah 4 orang. Lebih dari separuh contoh pada kelompok 1 (53,3%) memiliki besar keluarga sedang dan sisanya adalah keluarga kecil. Lebih dari separuh contoh pada kelompok 2 (66,7%) dan kelompok 3 (63,3%) memiliki besar keluarga kecil dan sisanya adalah keluarga sedang. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada besar keluarga contoh antar kelompok lingkungan pembelajaran. Keadaan Umum Lingkungan Pembelajaran Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar siswa. Oleh karena itu lingkungan sekolah yang baik dapat mendorong siswa untuk belajar lebih giat. Berikut gambaran umum sekolah yang menjadi lokasi penelitian. Keadaan Umum Lingkungan Pembelajaran SD Negeri Sukadamai 3 SD Negeri Sukadamai 3 beralamat di Jl. Perdana Nomor 8 Komplek Perumahan Budi Agung Kabupaten Bogor. Kelompok 1 merupakan salah satu sekolah terbaik di Kota Bogor dan menjadi salah satu dari SDN Koalisi ASEAN. Sekolah ini memiliki luas wilayah + 2,957 m2 dengan 23 ruang belajar, satu ruang laboratorium bahasa, satu ruang laboratorium komputer, satu ruang perpustakaan, satu ruang musholla, satu ruang UKS, satu ruang kepala sekolah dan satu ruang guru. Tenaga pengajar yang dimiliki
sekolah ini berjumlah 48 orang yang terdiri dari 27 orang guru tetap dan 21 orang guru honor, dengan jumlah siswa sebanyak 1260 orang. Sesuai kurikulum saat ini kelompok 1 menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan standar nasional. Guna memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) sekolah ini melakukan peningkatan mutu dalam penyusunan program sekolah. Peningkatan mutu meliputi input, proses dan output. Output sangat ditentukan oleh proses dan proses sangat dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input. Untuk mengembangkan input siswa, sekolah menerapkan model Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif Menyenangkan (PAKEM) sehingga diharapkan siswa dapat belajar aktif. Melalui model PAKEM, siswa diharapkan dapat bekerja, belajar, mencari dan memecahkan masalah, guru hanya sebagai fasilitator. Kelompok 1 mengadakan kelas Bahasa Inggris untuk pendidik dan tenaga kependidikan setiap hari Sabtu untuk mengembangkan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan. Pengembangan
sarana dan fasilitas sekolah dilakukan dengan
membangun ruang kelas tambahan dan laboratorium MIPA. Untuk memantau perkembangan siswa, setiap hari Jumat diadakan pertemuan guru guna membicarakan proses belajar mengajar secara keseluruhan. Keadaan Umum Lingkungan Pembelajaran Sekolah Dasar Amaliah Kelompok 2 beralamat di Jalan Tol Ciawi Nomor 1, Ciawi Bogor. Kelompok 2 merupakan sekolah dasar yang berlandaskan keagamaan. Sekolah dengan status disamakan ini memiliki luas wilayah + 1750 m2. Kelompok 2 memiliki dua kelas paralel untuk masing-masing tingkatan, satu ruang mushollah, satu ruang kepala sekolah, satu ruang guru, satu ruang perpustakaan, satu laboratorium komputer serta satu lapangan terbuka untuk olah raga dan upacara. Tenaga pengajar yang dimiliki sekolah ini berjumlah 21 orang dengan jumlah siswa sebanyak 408 orang. Sesuai kurikulum saat ini Kelompok 2 menerapkan KTSP. Adapun metode pembelajaran yang diterapkan adalah metode belajar tanya jawab, demonstrasi, dan praktik sesuai dengan indikator dan materi pembelajaran. Setiap tiga bulan sekolah mengadakan pertemuan dengan orang tua siswa dan menghadirkan psikolog untuk membicarakan perkembangan siswa. Landasan keagamaan yang diterapkan pada seolah ini salah satunya dicirikan oleh diberlakukannya mata pelajaran Bahasa Arab bagi siswa serta diadakannya kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial untuk memperingati hari besar Islam.
Keadaan Umum Lingkungan Pembelajaran Sekolah Dasar Citra Alam Kelompok 3 beralamat di Jl. Damai II No. 54 Ciganjur, Jakarta Selatan. Sekolah swasta dengan jenjang akreditasi tingkat B ini memiliki luas wilayah 10,128 m2 dengan luas bangunan 700 m2. Sekolah ini memiliki sepuluh ruang kelas, satu masjid, satu ruang tata usaha, satu ruang kepala sekolah, satu ruang guru, satu ruang perpustakaan, satu ruang laboratorium komputer, satu ruang sanggar, satu lapangan terbuka untuk olah raga, serta sarana dan prasarana penunjang kegiatan play ground. Tenaga pengajar yang dimiliki sekolah ini berjumlah 29 orang guru dengan jumlah siswa sebanyak 163 orang. Kelompok 3 merupakan sekolah dasar dengan konsep pembelajaran yang berbasis pada eksistensi alam. Adapun metode pembelajaran yang diterapkan mencakup empat segi yakni intelektual, sosial emosional, fisik, dan psikologi. Secara keseluruhan keempat hal tersebut berbasis pada spiritual. Berdasarkan segi intelektual, sekolah menerapkan kurikulum nasional yakni KTSP. Berdasarkan segi sosial emosi sekolah menerapkan kurikulum karakter berlandaskan Asmaul Husna. Berdasarkan segi fisik, sekolah menerapkan kurikulum alam dengan harapan siswa dapat bereksplorasi dengan alam untuk mengoptimalkan perkembangan setiap potensi diri. Berdasarkan segi psikologi, dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah seorang guru disapa dengan sebutan “kakak”. Hal tersebut bertujuan untuk memunculkan keakraban antara guru dengan siswa. Sekolah ini juga memberlakukan adanya sistem otonomi kelas, hal ini dimaksudkan agar seorang wali kelas mengetahui benar bagaimana karakteristik anak didik sehingga diharapkan dapat menyesuaikan metode pembelajaran dengan karakter anak didik. Pola Asuh Belajar, Motivasi Belajar, Potensi dan Prestasi Akademik Contoh Pada Lingkungan Pembelajaran Sekolah adalah lingkungan kedua setelah keluarga yang memiliki peran besar dalam keberhasilan anak didik. Lingkungan pembelajaran di sekolah bertugas mengembangkan kemampuan dasar anak didik yang sebelumnya didapat dari lingkungan keluarga. Berikut paparan mengenai pola asuh belajar, motivasi belajar, potensi akademik, dan prestasi akademik contoh pada kelompok 1, kelompok 2, dan kelompok 3. Pola Asuh Belajar Contoh Pola Asuh Belajar adalah interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan dalam mendidik anak. Gaya pengasuhan dalam mendidik anak diukur berdasarkan gaya pengasuhan (permisif, otoriter, dan demokratis)
dan penyediaan fasilitas belajar. Sebaran contoh berdasarkan kecenderungan gaya pengasuhan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan kecenderungan gaya pengasuhan orang tua Gaya Pengasuhan Demokratis Permisif Otoriter Permisif Otoriter Demokrasi Total
n 87 1 2 90
% 96,7 1,1 2,2 100,0
Hampir seluruh orang tua contoh (96,7%) cenderung menerapkan gaya pegasuhan demokratis. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), dibandingkan gaya pengasuhan permisif dan otoriter, gaya pengasuhan demokratis merupakan gaya pengasuhan yang paling ideal untuk diterapkan. Penerapan gaya pengasuhan demokratis dilakukan dengan memperhatikan dan menghargai kebebasan anak namun dengan kebebasan yang tidak mutlak. Menurut Latifah (2008), beberapa ciri yang terdapat pada pola asuh demokratis antara lain, adanya kerjasama antara orang tua dan anak, anak diakui sebagai pribadi, dan orang tua memberikan bimbingan, pengarahan serta kontrol yang tidak kaku. Gaya pengasuhan demokratis akan menumbuhkan rasa tanggung jawab pada individu yang selanjutnya memupuk kepercayaan diri individu. Hawadi (2001) menyatakan bahwa individu dengan pola asuh demokratis lebih dapat mengekspresikan diri, minat dan aktivitas. Gaya pengasuhan pada penelitian ini dikelompokan ke dalam tiga kategori yakni kurang, sedang dan baik berdasarkan skor yang diperoleh contoh pada skala 0-100. Sebaran contoh berdasarkan gaya pengasuhan dan fasilitas belajar disajikan pada Tabel 10 dan 11. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan gaya pengasuhan Gaya Pengasuhan Sedang Baik Total
Kelompok 1 n % 0 0,0 30 100,0 30 100,0
Kelompok 2 n % 1 3,3 29 96,7 30 100,0
Kelompok 3 n % 4 13,3 26 86,7 30 100,0
max skor: 100, min skor: 50, x : 86,3 SD + 11,18 Berdasarkan hasil penelitian, skor maksimum contoh adalah 100, skor minimumnya 50 dan rata-rata skornya 86,37. Persentase terbesar contoh pada kelompok 1 (100%), kelompok 2 (96,7%), maupun kelompok 3 (86,7%) memiliki orang tua dengan gaya pengasuhan yang baik. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada gaya pengasuhan orang tua antar kelompok lingkungan pembelajaran. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan fasilitas belajar Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
n
%
n
%
n
%
Sedang
3
10,0
7
23,3
7
23,3
Baik
27
90,0
23
76,7
23
76,7
30
100,0
30
100,0
30
100,0
Fasilitas belajar
Total
max skor: 100, min skor: 40 ,
x skor: 79,89 SD + 15,83
Berdasarkan hasil penelitian, skor maksimum contoh adalah 100, skor minimumnya 40 dan rata-rata skornya 79,89. Sebagian besar contoh pada kelompok 1 (90%), kelompok 2 (76,7%) dan kelompok 3 (76,7%) memiliki fasilitas belajar yang baik. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada fasilitas belajar yang disediakan orang tua untuk contoh antar kelompok lingkungan pembelajaran. Motivasi Belajar Contoh Motivasi adalah daya penggerak dalam diri siswa untuk melakukan perilaku tertentu (Wlodkowski 1985 diacu dalam Suciaty dan Irawan 2001). Motivasi belajar adalah daya penggerak dalam diri anak untuk melakukan kegiatan belajar. Motivasi belajar dalam penelitian ini diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yakni kurang, sedang, dan tinggi berdasarkan skor yang diperoleh contoh pada skala 0-100. Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
n
%
n
%
n
%
Sedang
6
20,0
5
16,7
9
30,0
Tinggi
24
80,0
25
83,3
21
70,0
30
100,0
30
100,0
30
100,0
Motivasi Belajar
Total
max skor: 96, min skor: 53, x skor: 74,35, SD + 9,64 Berdasarkan hasil penelitian, skor maksimum contoh adalah 96, skor minimumnya 53 dan rata-rata skornya 74,35. Persentase terbesar contoh pada pada kelompok 1 (80%), kelompok 2 (83,3%) dan kelompok 3 (70%) memiliki motivasi belajar
yang tinggi. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada motivasi belajar contoh antar kelompok lingkungan pembelajaran. Potensi Akademik Contoh Potensi adalah salah satu kemampuan individu untuk melakukan suatu kegiatan dan sudah ada sejak individu dilahirkan (Sardiman 2005). Potensi akademik adalah kemampuan inteligensi berdasarkan tingkat kecerdasan kognitif yang dinilai berdasarkan kemampuan visual processing, auditory processing, verbal processing, kinesthetic processing, dan thinking logically (Rilley 1992 diacu dalam Latifah & Dina 2002). Variabel potensi akademik pada penelitian ini diklasifikasikan berdasarkan skor skala rata-rata dari instrumen Rilley Inventory of Basic Learning Skills (RIBLS) sebagai tes potensi akademik (Rilley 1992 diacu dalam Latifah & Dina 2002). Sebaran contoh berdasarkan potensi akademik disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan potensi akademik Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
n
%
n
%
n
%
Di bawah rata-rata
0
0,0
0
0,0
2
6,7
Rata-rata
0
0,0
8
26,7
9
30,0
Di atas rata-rata
7
23,3
17
56,7
8
26,7
Jauh di atas rata-rata
23
76,7
5
16,7
11
36,7
Total
30
100,0
30
100,0
30
100,0
Potensi Akademik
max skor skala: 16,4, min skor skala: 8,3, modus: 13,9 Berdasarkan hasil penelitian, skor maksimum contoh dari rata-rata skor skala tes potensi akademik adalah 16,4, skor minimumnya 8,3 dan proporsi terbesar contoh memperoleh skor 13,9. Hasil penelitian menunjukkan, proporsi terbesar contoh (43,3%) memiliki potensi akademik jauh di atas rata-rata. Persentase terbesar contoh pada kelompok 1 (76,7%) dan kelompok 3 (36,7%) memiliki potensi akademik jauh di atas rata-rata, sedangkan pada kelompok 2 56,7% contoh memiliki potensi akademik di atas rata-rata. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan (p<0,01) potensi akademik contoh di ketiga kelompok lingkungan pembelajaran. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan, terdapat perbedaan potensi akademik antara contoh di kelompok 1 dengan contoh di kelompok 2 dan di kelompok 3.
Prestasi Akademik Contoh Prestasi akademik merupakan salah satu gambaran penguasaan siswa terhadap materi pelajaran di sekolah. Menurut Somantri (1978) dalam Nurani (2004) skor prestasi akademik adalah hasil yang dicapai siswa dalam kurun waktu tertentu pada mata pelajaran tertentu dalam bentuk angka dan dirumuskan dalam rapor. Variabel prestasi akademik pada penelitian ini dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni kurang, sedang, dan baik berdasarkan rata-rata nilai rapor. Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
n
%
n
%
n
%
Sedang
1
3,3
17
56,7
21
70
Baik
29
96,7
13
43,3
9
30
30
100,0
30
100,0
30
100
Prestasi Akademik
Total
max: 92, min: 66 , x : 81,39, SD + 6,81 Berdasarkan hasil penelitian, maksimum rata-rata nilai rapor contoh adalah 92, minimumnya 66 dan rata-rata keseluruhannya 81,39. Hampir seluruh contoh pada kelompok 1 (96,7%) memiliki prestasi akademik dengan kategori baik. Proporsi terbesar contoh pada kelompok 2 (56,7%) dan kelompok 3 (70%) memiliki prestasi akademik dengan kategori sedang. Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, terdapat perbedaan (p<0,01) prestasi akademik contoh di ketiga kelompok lingkungan pembelajaran. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan prestasi akademik antara contoh di kelompok 1 dengan contoh di kelompok 2 dan di kelompok 3. Diduga, hal ini terkait dengan potensi akademik contoh di kelompok 1. Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Motivasi Belajar Contoh Motivasi belajar adalah salah satu faktor penting yang mendorong seseorang untuk belajar. Motivasi belajar dapat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yang ingin dikaitkan dengan motivasi belajar pada penelitian ini berasal dari karakteristik individu, yakni umur dan jenis kelamin. Umur dengan Motivasi Belajar Contoh Berdasarkan hasil penelitian, persentase terbesar contoh pada masing-masing kelompok umur memiliki motivasi belajar yang tinggi. Terlihat kecenderungan semakin
bertambahnya umur, persentase terbesar contoh yang memiliki motivasi belajar tinggi semakin berkurang. Sebaran contoh berdasarkan umur dan motivasi belajar disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan umur dan motivasi belajar Motivasi Belajar Umur (Tahun)
Sedang
Total
Tinggi
n
%
n
%
n
%
9,0-9,4
0
0,0
8
100,0
8
100,0
9,5-9,9
2
15,4
11
84,6
13
100,0
10,0-10,4
3
14,3
18
85,7
21
100,0
10,5-10,9
7
25,9
20
74,1
27
100,0
11,0-11,4
7
38,9
11
61,1
18
100,0
11,5-11,9
1
33,3
2
66,7
3
100,0
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, terdapat hubungan (p<0,01) negatif (rs=-0,416) antara umur dengan motivasi belajar. Hal ini menunjukkan, semakin tinggi umur pada anak usia sekolah, maka motivasi belajar semakin berkurang. Adanya hubungan negatif antara umur dengan motivasi belajar didukung oleh pernyataan Hawadi (2001) bahwa anak selalu tertarik untuk mengetahui dan mempelajari sesuatu yang baru dan berbeda, namun rasa ingin tahu dan dorongan untuk belajar akan semakin berkurang dengan bertambahnya usia. Menurut Hawadi, sebagian minat anak akan menghilang apabila cara untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dirasa membosankan dan memakan waktu. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), anak akan tertarik memperhatikan dan mempelajari sesuatu yang baru, namun jika hal tersebut telah anak pahami atau kuasai, maka rasa perhatian anak akan berkurang, kecuali jika hal tersebut masih meninggalkan rasa penasaran pada diri anak. Baradja (2005) berpendapat bahwa orang tua yang selalu menginginkan anak untuk berprestasi di sekolah tanpa mempertimbangkan kemampuan anak, lambat laun akan membuat anak merasa dituntut untuk menghasilkan sesuatu di luar batas kemampuan yang anak miliki, sehingga menyebabkan motivasi belajar anak semakin berkurang atau bahkan menghilang. Jenis Kelamin dengan Motivasi Belajar Contoh Berdasarkan hasil penelitian, lebih dari separuh contoh laki-laki (71,4%) dan sebagian besar contoh perempuan (83,3%) memiliki motivasi belajar yang tinggi.
Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan motivasi belajar disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan motivasi belajar Motivasi Belajar Jenis Kelamin
Sedang
Total
Tinggi
n
%
n
%
n
%
Laki-laki
12
28,6
30
71,4
42
100,0
Perempuan
8
16,7
40
83,3
48
100,0
Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan motivasi belajar. Hal ini diduga karena ada faktor lain seperti lingkungan keluarga dan lingkungan sosial. Lingkungan keluarga dan lingkungan sosial merupakan faktor ekstrinsik yang dapat mempengaruhi terbentuknya motivasi belajar. Menurut Ridwan (2008), keluarga adalah lembaga pendidikan pertama dan utama. Perhatian orang tua dapat memberikan dorongan dan motivasi sehingga anak belajar dengan tekun. Lingkungan sosial pun memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan pribadi anak. Menurut Kartono (1995) dalam Ridwan (2008), lingkungan dapat membentuk kepribadian anak. Apabila anak berada pada lingkungan (teman sebaya) yang rajin belajar maka besar kemungkinan anak akan terpengaruh untuk rajin belajar. Tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan motivasi belajar secara tidak langsung didukung oleh pendapat Megawangi (2001), adanya perbedaan mendasar secara biologis antara laki-laki dan perempuan tidak menjadikan perempuan lebih inferior dibandingkan laki-laki. Jika pernyataan tersebut dikaitkan dengan motivasi belajar berarti laki-laki belum tentu memiliki motivasi belajar yang lebih tinggi dibanding perempuan ataupun sebaliknya. Dengan demikian, perbedaan jenis kelamin tidak dapat dijadikan suatu hal yang menentukan motivasi belajar. Hubungan antara Karakteristik Individu dan Keluarga dengan Pola Asuh Belajar Contoh Pola asuh belajar memiliki pengaruh besar bagi perkembangan seorang anak. Pola asuh belajar yang diterapkan orang tua dapat berupa gaya pengasuhan dan penyediaan fasilitas belajar. Secara umum, pola asuh belajar yang diterapkan orang tua terkait dengan karakteristik individu (umur dan jenis kelamin) dan karakteristik keluarga (tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan orang tua dan besar keluarga). Berikut paparan mengenai hubungan antara karakteristik individu dan keluarga dengan pola asuh belajar.
Umur dengan Pola Asuh Belajar Contoh Umur menggambarkan tahapan perkembangan setiap individu. Salah satu aspek yang
dibutuhkan untuk menunjang perkembangan individu antara lain, gaya
pengasuhan dan fasilitas belajar. Sebaran contoh berdasarkan umur dan gaya pengasuhan disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan umur dan gaya pengasuhan Gaya Pengasuhan Umur (Tahun)
Sedang
Total
Baik
n
%
n
%
n
%
9.0-9.4
0
0.0
8
100.0
8
100.0
9.5-9.9
0
0.0
13
100.0
13
100.0
10.0-10.4
1
4.8
20
95.2
21
100.0
10.5-10.9
3
11.1
24
88.9
27
100.0
11.0-11.4
0
0.0
18
100.0
18
100.0
11.5-11.9
1
33.3
2
66.7
3
100.0
Berdasarkan hasil penelitian, persentase terbesar masing-masing kelompok umur memiliki orang tua dengan gaya pengasuhan yang baik. Kelompok umur 11,5-11,9 tahun memiliki persentase terkecil (66,7%) dibanding kelompok umur sebelumnya. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara umur contoh dengan gaya pengasuhan orang tua. Hal ini mengindikasikan bahwa gaya pengasuhan yang diterapkan orang tua tidak tergantung pada umur anak. Tidak adanya hubungan antara umur dengan gaya pengasuhan diduga karena ada faktor lain, seperti kondisi keluarga (kesibukan orang tua dan besar keluarga). Gunarsa dan Gunarsa (2006) menyatakan bahwa orang tua yang terlalu sibuk dengan berbagai kegiatan akan menyebabkan hubungan anak dengan orang tua menjadi tidak akrab. Hal ini menjadi salah satu penyebab orang tua cenderung menerapkan gaya pengasuhan permisif. Menurut Hurlock (1993a), besar keluarga dapat mempengaruhi gaya pengasuhan orang tua. Pada keluarga kecil, pengasuhan orang tua umumnya bersifat demokratis. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, pengasuhan orang tua cenderung semakin bertambah otoriter. Fasilitas belajar merupakan sarana yang orang tua sediakan untuk menunjang proses belajar anak di rumah. Sebaran contoh berdasarkan umur dan fasilitas belajar disajikan pada tabel 18.
Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan umur dan fasilitas belajar Fasilitas Belajar Umur (Tahun)
Sedang
Total
Baik
n
%
n
%
n
%
9.0-9.4
0
0.0
8
100.0
8
100.0
9.5-9.9
2
15.4
11
84.6
13
100.0
10.0-10.4
2
9.5
19
90.5
21
100.0
10.5-10.9
6
22.2
21
77.8
27
100.0
11.0-11.4
6
33.3
12
66.7
18
100.0
11.5-11.9
1
33.3
2
66.7
3
100.0
Berdasarkan hasil penelitian, persentase terbesar masing-masing kelompok umur memiliki fasilitas belajar yang baik. Kelompok umur 11,0-11,9 tahun memiliki persentase terkecil (66,7%) dibanding kelompok umur sebelumnya. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0,05) negatif (rs=-0,211) antara umur contoh dengan gaya pengasuhan orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambah umur anak, maka fasilitas belajar yang disediakan orang tua semakin berkurang. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2001) dalam Yusuf (2002), sejak memasuki usia sekolah, pengaruh teman sebaya dan lingkungan luar akan semakin kuat, sedangkan pengaruh keluarga semakin berkurang. Hal ini memungkinkan teman sebaya dan lingkungan luar (sekolah) dapat menunjang kebutuhan fasilitas belajar anak, sehingga fasilitas belajar yang anak butuhkan tidak sepenuhnya lagi berasal dari orang tua. Jenis Kelamin dengan Pola Asuh Belajar Contoh Perbedaan jenis kelamin menggambarkan salah satu karakteristik setiap individu. Ketika laki-laki dan perempuan tidak dinilai setara, pengasuhan dapat berbeda antar jenis kelamin. Umumnya, orang tua memberi perhatian yang lebih besar pada anak perempuan dibanding anak laki-laki. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan gaya pengasuhan disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan gaya pengasuhan
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Gaya Pengasuhan Sedang n % 5 11.9 0 0.0
Baik n 37 48
Total % 88.1 100.0
n 42 48
% 100.0 100.0
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar anak laki-laki (88,1%) dan seluruh anak perempuan memiliki orang tua dengan gaya pengasuhan yang baik. Hasil uji ChiSquare menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0,01) antara jenis kelamin dengan gaya pengasuhan. Hasil ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1993b) bahwa jenis kelamin akan mempengaruhi sikap orang tua yang selanjutnya akan mempengaruhi perilaku dan hubungan antara orang tua dengan anak. Menurut Megawangi (1993), keadaan biologis manusia dianggap dapat mempengaruhi tingkah laku manusia. Anak laki-laki cenderung memiliki pola tingkah laku yang lebih sulit dibandingkan dengan anak perempuan, sehingga pada umumnya anak laki-laki lebih sulit diatur dibandingkan anak perempuan (Anonim 2007). Hal ini memungkinkan orang tua cenderung lebih tegas pada anak laki-laki dalam menerapkan gaya pengasuhan. Perhatian orang tua dapat pula dilihat dari fasilitas belajar yang disediakan. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan fasilitas belajar disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan fasilitas belajar Jenis Kelamin Laki-laki
Fasilitas Belajar Sedang
Total
Baik
n
%
n
%
n
%
11
26.2
31
73.8
42
100.0
12.5
42
87.5
48
100.0
Perempuan 6
Berdasarkan hasil penelitian, hampir sebagian besar contoh laki-laki (73,8%) dan sebagian besar contoh perempuan (87,5%) memiliki fasilitas belajar yang baik. Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan fasilitas belajar yang disediakan orang tua. Hal ini berarti fasilitas belajar yang disediakan orang tua tidak tergantung pada jenis kelamin anak. Hal ini mungkin karena besarnya perhatian orang tua terhadap fasilitas yang anak butuhkan dalam proses belajar, didukung oleh pendapatan keluarga yang memadai. Menurut Effendi (1995), keberhasilan orang tua dalam mendidik anak, ditunjang oleh pendapatan keluarga yang sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Gerungan (1981) dalam Nurani (2004) menyatakan bahwa keadaan sosial ekonomi keluarga mempunyai peran penting dalam pendidikan anak. Perhatian orang tua pada anak akan lebih besar jika orang tua tidak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan primer. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jenis kelamin menjadi tidak berhubungan
dengan fasilitas belajar jika pengertian orang tua untuk memperhatikan kebutuhan belajar anak ditunjang oleh pendapatan keluarga yang memadai. Tingkat Pendidikan Orang Tua dengan Pola Asuh Belajar Contoh Pendidikan memegang peranan penting dalam mempengaruhi sikap dan perilaku orang tua. Menurut Alsa dan Bachroni (1984) dalam Nurani (2004), semakin tinggi pendidikan orang tua, maka semakin baik pengasuhan yang orang tua terapkan pada anak. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua dengan gaya pengasuhan disajikan pada tabel 21. Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua dengan gaya pengasuhan Tingkat Pendidikan Ayah
Gaya Pengasuhan Sedang
Total
Baik
n
%
n
%
n
%
Sekolah Menengah
0
0,0
10
100,0
10
100,0
Perguruan Tinggi
5
6,3
75
93,8
80
100,0
Tingkat Pendidikan Ibu
Gaya Pengasuhan Sedang
Total
Baik
n
%
n
%
n
%
Sekolah Menengah
0
0,0
19
100,0
19
100,0
Perguruan Tinggi
5
7,0
66
93,0
71
100,0
Berdasarkan hasil penelitian, seluruh orang tua contoh memiliki tingkat pendidikan yang tergolong tinggi (Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi). Sebaran contoh menunjukkan bahwa persentase terbesar orang tua menerapkan gaya pengasuhan yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Csikezentnihalyi (1996) dalam Ginting (2005) bahwa orang tua dengan pendidikan formal yang tinggi memiliki partisipasi yang lebih besar dalam menstimulasi perkembangan anak dibandingkan dengan orang tua yang berpendidikan rendah. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan, tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan gaya pengasuhan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan orang tua tidak dapat menentukan gaya pengasuhan yang diterapkan orang tua. Hal ini diduga karena ada faktor lain yang mempengaruhi sikap orang tua dalam menerapkan gaya pengasuhan. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), pengalaman masa lalu berhubungan erat dengan pola asuh yang orang tua terapkan pada anak. Orang tua cenderung menerapkan pola asuh yang sama jika hal tersebut dirasakan
manfaatnya. Sebaliknya, orang tua cenderung untuk tidak mengulangi pola asuh yang sama jika hal tersebut dirasakan tidak ada manfaatnya. Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu aspek karakteristik keluarga yang ingin diketahui hubungannya dengan penyediaan fasilitas belajar. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua dan fasilitas belajar disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua dengan fasilitas belajar
Tingkat Pendidikan
Fasilitas Belajar
Total
Sedang
Baik
n
%
n
%
n
%
Sekolah Menengah
2
20,0
8
80,0
10
100,0
Perguruan Tinggi
15
18,8
65
81,3
80
100,0
Ayah
Tingkat Pendidikan
Fasilitas Belajar
Total
Sedang
Baik
n
%
n
%
n
%
Sekolah Menengah
5
26,3
14
73,7
19
100,0
Perguruan Tinggi
12
16,9
59
83,1
71
100,0
Ibu
Berdasarkan hasil penelitian, seluruh orang tua contoh memiliki tingkat pendidikan yang tergolong tinggi (Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi). Sebaran contoh menunjukkan bahwa persentase terbesar orang tua menyediakan fasilitas belajar yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Csikezentnihalyi (1996) dalam Ginting (2005) bahwa orang tua dengan pendidikan formal yang tinggi memiliki partisipasi yang lebih besar pada segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan anak dibandingkan dengan orang tua yang berpendidikan rendah. Menurut Ginting (2005), pendidikan orang tua berkaitan dengan partisipasi orang tua pada segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas sekolah anak termasuk dalam hal menyediakan fasilitas belajar. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan, tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan fasilitas belajar. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan orang tua tidak dapat menentukan penyediaan fasilitas belajar anak di rumah. Hal ini diduga karena ada faktor lain seperti kondisi ekonomi keluarga. Menurut Freeman dan Munandar (2000) dalam Nurani (2004), semakin aman orang tua dari segi ekonomi, maka orang tua akan sepenuhnya mencurahkan perhatian salah satunya pada penyediaan fasilitas belajar. Conger dan Elder (1994) dalam Priantini (2006) juga
menyatakan bahwa keluarga yang mendapat tekanan ekonomi akan berpengaruh pengasuhan orang tua, termasuk dalam hal pola asuh belajar. Jenis Pekerjaan Orang Tua dan Pola Asuh Belajar Contoh Pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan ketersediaan waktu untuk keluarga, khususnya untuk anak. Semakin sibuk orang tua, semakin sedikit waktu yang tersedia, semakin sedikit perhatian yang anak peroleh, kecuali bila orang tua memberi perhatian dengan kualitas yang baik. Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orang tua dan gaya pengasuhan disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orang tua dan gaya pengasuhan Jenis Pekerjaan Ayah Wiraswasta pegawai swasta Pegawai negeri ABRI/Polisi Lainnya Jenis Pekerjaan Ibu Wiraswasta Pegawai swasta Pegawai negeri IRT Lainnya
Gaya Pengasuhan Baik % n 4.0 24 6.7 42 0.0 17 100.0 0 0.0 2 Gaya Pengasuhan Sedang Baik n % n 1 4.5 21 3 13.6 19 0 0.0 6 1 2.6 37 0 0.0 2
Sedang n 1 3 0 1 0
Total % 96.0 93.3 100.0 0.0 100.0
n 25 45 17 1 2
% 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 Total
% 95.5 86.4 100.0 97.4 100.0
n 22 22 6 38 2
% 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
Berdasarkan hasil penelitian, hampir seluruh jenis pekerjaan orang tua contoh memiliki persentase terbesar dalam menerapkan gaya pengasuhan yang baik. Ayah contoh dengan jenis pekerjaan ABRI/Polisi menerapkan gaya pengasuhan dengan kategori sedang. Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0,01) antara jenis pekerjaan ayah dengan gaya pengasuhan. Namun, tidak terdapat hubungan antara jenis pekerjaan ibu dengan gaya pengasuhan. Menurut Anonim (2008), ayah lebih berperan mencari nafkah (bekerja) untuk keluarga. Secara umum, semakin sibuk ayah maka semakin sedikit waktu yang diberikan untuk keluarga. Menurut Piotrowski (1978) dalam Megawangi (1993), jika suasana pekerjaan cukup menyenangkan dan tidak terlalu melelahkan maka pada saat pulang ke rumah suasana emosi akan menyenangkan dalam membina hubungan dengan masing-masing
anggota keluarga. Jika pekerjaan dianggap sangat membosankan dan melelahkan maka sewaktu pulang ke rumah keadaan fisik sangat lelah dan tidak ada energi yang tertinggal untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota keluarga lain. Aspek pekerjaan orang tua akan berpengaruh kepada kondisi ekonomi keluarga yang selanjutnya akan terkait dengan penyediaan fasilitas belajar anak. Sebaran contoh berdasarkan
jenis
pekerjaan
orang
tua
dan fasilitas
belajar
disajikan
pada
Tabel 24. Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orang tua dan fasilitas belajar
Jenis Pekerjaan Wiraswasta Pegawai swata Pegawai negeri ABRI/Polisi Lainnya Jenis Pekerjaan Wiraswasta Pegawai swata Pegawai negeri IRT Lainnya
Fasilitas Belajar Sedang Baik n % n 5 20.0 20 8 17.8 37 2 11.8 15 1 100.0 0 1 50.0 1 Fasilitas Belajar Sedang Baik n % n 5 22.7 17 4 18.2 18 0 0.0 6 8 21.1 30 0 0.0 2
Total % 80.0 82.2 88.2 0.0 50.0
n 25 45 17 1 2
% 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
Total % 77.3 81.8 100.0 78.9 100.0
n 22 22 6 38 2
% 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
Berdasarkan hasil penelitian, hampir seluruh jenis pekerjaan orang tua contoh memiliki persentase terbesar dalam menyediakan fasilitas belajar yang baik. Ayah contoh dengan jenis pekerjaan ABRI/Polisi menyediakan fasilitas beajar pada kategori sedang. Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis pekerjaan orang tua dengan ketersediaan fasilitas belajar. Hal ini diduga karena ada faktor lain seperti perhatian orangtua. Menurut Ridwan (2008), perhatian dan dukungan orang tua sangat dibutuhkan dalam keberhasilan belajar seorang anak. Untuk mencapai keberhasilan, anak membutuhkan fasilitas belajar. Hal ini berarti, meskipun kondisi keluarga mendukung pemenuhan kebutuhan anak, namun tidak diiringi dengan perhatian dan dukungan orang tua untuk memenuhi fasilitas belajar anak, maka pekerjaan orangtua sebagai salah satu aspek yang berpengaruh pada kondisi keluarga menjadi tidak berhubungan dengan fasilitas belajar.
Besar Keluarga dan Pola Asuh Belajar Contoh Secara umum, besar keluarga memiliki keterkaitan dengan pola asuh belajar. Semakin besar keluarga, maka semakin terpecah perhatian orang tua untuk sepenuhnya memberi perhatian pada anak termasuk dalam hal pola asuh belajar (penerapan gaya pengasuhan dan penyediaan fasilitas belajar). Sebaran contoh berdasarkan
besar
keluarga
dan
gaya
pengasuhan
disajikan
pada
Tabel 25. Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan pola asuh belajar Gaya Pengasuhan Besar Keluarga
Sedang
Total
Baik
n
%
n
%
n
%
Kecil
4
7,5
49
92,5
53
100,0
Sedang
1
2,7
36
97,3
37
100,0
Fasilitas Belajar Besar Keluarga
Sedang
Total
Baik
n
%
n
%
n
%
Kecil
10
18,9
43
81,1
53
100,0
Sedang
7
18,9
30
81,1
37
100,0
Berdasarkan hasil penelitian, hampir seluruh contoh dengan keluarga kecil (92,5%) dan sedang (97,3%) memiliki orang tua dengan gaya pengasuhan yang baik. Menurut Hurlock (1981), pada keluarga kecil, pengasuhan orang tua umumnya bersifat demokratis dan orang tua mampu mencurahkan waktu serta perhatian yang cukup pada anak, pada keluarga sedang, umumnya pengasuhan yang dilakukan orang tua cenderung otoriter, sedangkan pada keluarga besar, pendidikan otoriter diperlukan untuk menghindari kekacauan atau anarki. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara besar keluarga dengan gaya pengasuhan. Hasil penelitian menunjukkan, sebagian besar contoh dengan keluarga kecil (81,1%) dan sedang (81,1%) memiliki fasilitas belajar yang baik. Menurut Hurlock (1981), pada keluarga kecil, orang tua memiliki kemauan dan kemampuan untuk memberi fasilitas dan lambang status yang sama pada setiap anak, pada keluarga sedang, umumnya orang tua memiliki keterbatasan untuk memberi fasilitas dan lambang status yang sama pada setiap anak, sedangkan pada keluarga besar, orang tua seringkali tidak mampu untuk memberikan hal yang sama dengan teman sebaya anak. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara besar keluarga dengan gaya pengasuhan dan fasilitas belajar.
Hal ini mungkin karena pola asuh belajar yang diterapkan orang tua pada setiap besar keluarga adalah baik, didukung dengan pendapatan keluarga yang memadai. Menurut Effendi (1995), keberhasilan orang tua dalam mendidik anak, ditunjang oleh pendapatan keluarga yang sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Gerungan (1981) dalam Nurani (2004) menyatakan bahwa keadaan sosial ekonomi keluarga mempunyai peran penting dalam pendidikan anak. Perhatian orang tua pada anak akan lebih besar jika orang tua tidak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan primer. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa besar keluarga menjadi tidak berhubungan dengan pola asuh belajar jika pengertian orang tua untuk memperhatikan kebutuhan belajar anak ditunjang oleh pendapatan keluarga yang memadai. Hubungan antara Pola Asuh Belajar dan Lingkungan Pembelajaran dengan Motivasi Belajar Contoh Motivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti “menggerakkan”. Motivasi belajar adalah daya penggerak dalam diri anak untuk melakukan kegiatan belajar. Munculnya daya penggerak dapat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik pada penelitian ini dijelaskan melalui pola asuh belajar orang tua dan lingkungan pembelajaran di sekolah. Pola Asuh Belajar dengan Motivasi Belajar Contoh Motivasi
ekstrinsik
merupakan
motivasi dari
luar
diri
seseorang yang
menyebabkan seseorang melakukan kegiatan belajar. Faktor ekstrinsik melalui pola asuh belajar diteliti berdasarkan gaya pengasuhan dan fasilitas belajar. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh belajar (gaya pengasuhan dan fasilitas belajar) dan motivasi belajar disajikan pada tabel 26. Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh belajar (gaya pengasuhan dan fasilitas belajar) dan motivasi belajar Gaya Pengasuhan Sedang Baik Fasilitas Belajar Sedang Baik
Motivasi Belajar Sedang Tinggi n % n % 1 20,0 4 80,0 19 22,4 66 77,6 Motivasi Belajar Sedang Tinggi
n 5 85
n 6 14
n 17 73
% 35,3 19,2
n 11 59
% 64,7 80,8
Total % 100,0 100,0
Total % 100,0 100,0
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar contoh dengan gaya pengasuhan sedang (80%) dan baik (77,6%), masing-masing memiliki motivasi belajar yang tinggi. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0,05) positif (rs= 0,270) antara gaya pengasuhan dengan motivasi belajar. Hal mengindikasikan bahwa semakin baik pengasuhan orang tua, maka semakin tinggi motivasi belajar anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase terbesar contoh dengan fasilitas belajar sedang (64,7%) dan baik (80,8%), masing-masing memiliki motivasi belajar yang tinggi. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan, terdapat hubungan (p<0,05) positif (rs= 0,261) antara fasilitas belajar dengan motivasi belajar. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik fasilitas belajar yang disedikan orang tua, maka semakin tinggi motivasi belajar anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunarsa dan Gunarsa (2006) bahwa fasilitas belajar dapat mempengaruhi proses belajar seseorang. Adanya hubungan antara pola asuh belajar (gaya pengasuhan orang tua dan fasilitas belajar) dengan motivasi belajar sesuai dengan pendapat Ridwan (2008) bahwa perhatian orang tua dapat memberikan dorongan dan motivasi belajar sehingga anak dapat belajar dengan tekun karena anak memerlukan waktu, tempat,dan keadaan yang baik untuk belajar. Berdasarkan pembahasan sebelumnya (Tabel 9) diketahui bahwa orang tua cenderung menerapkan gaya pengasuhan demokratis. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), gaya pengasuhan demokratis akan menumbuhkan rasa tanggung jawab pada anak dan memupuk kepercayaan diri anak. Berdasarkan penelitian Benjamin Bloom dalam Hawadi (2001), dorongan orang tua dianggap sebagai hal yang utama dalam mengarahkan tujuan individu. Hal ini merupakan bekal terbentuknya motivasi belajar yang tinggi. Lingkungan Pembelajaran dengan Motivasi Belajar Contoh Sekolah
merupakan
lingkungan
kedua
setelah
keluarga
yang
sangat
berpengaruh dalam kehidupan anak terutama pada masa usia sekolah. Kualitas pendidikan dalam lingkungan pembelajaran tidak terlepas dari peran tenaga pendidik, sarana prasarana, peraturan sekolah, dan cara penyajian materi pelajaran di sekolah (Ibrahim 1993; Hawadi 2001; Gunarsa dan Gunarsa 2006). Kualitas pendidikan yang baik akan mendorong anak didik untuk belajar lebih giat. Sebaran contoh berdasarkan lingkungan pembelajaran dan motivasi belajar disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan lingkungan pembelajaran dan motivasi belajar Motivasi Belajar Lingkungan Belajar
Total
Sedang
Tinggi
n
%
n
%
n
%
Kelompok 1
6
20,0
24
80,0
30
100,0
Kelompok 2
5
16,7
25
83,3
30
100,0
Kelompok 3
9
30,0
21
70,0
30
100,0
Persentase terbesar contoh pada masing-masing lingkungan pembelajaran memiliki motivasi belajar yang tinggi. Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara lingkungan pembelajaran dengan motivasi belajar. Hal ini diduga karena ada faktor lain yang dapat berperan pada motivasi belajar, seperti faktor sekolah, keluarga atau pun faktor dalam diri. Gunarsa dan Gunarsa (2006) menyatakan bahwa hampir sepertiga dari kehidupan anak sehari-hari berada di dalam gedung sekolah. Hal ini berarti hampir duapertiga dari kehidupan anak berada di luar sekolah, sehingga memungkinkan anak lebih memiliki banyak waktu diluar sekolah. Menurut Ridwan (2008), dukungan keluarga sangat penting dalam keberhasilan seseorang karena dukungan keluarga membuat seseorang akan terdorong untuk belajar secara aktif. Dukungan dari keluarga merupakan salah satu kekuatan pendorong dari luar yang menambah motivasi untuk belajar. Menurut Sadli (1986), Individu yang mempunyai motivasi tinggi akan memiliki daya juang yang lebih tinggi dalam mencapai cita-cita dan tidak mudah putus asa dalam menyelesaikan suatu masalah. Hal ini mengindikasikan bahwa dukungan lingkungan pembelajaran menjadi kurang berarti jika tidak ditunjang oleh motivasi dalam diri dan dukungan dari keluarga. Hubungan antara Pola Asuh Belajar, Lingkungan Pembelajaran, Motivasi Belajar dan Potensi Akademik dengan Prestasi Akademik Contoh Syah (1997) dalam Abdullah (2008) menyatakan bahwa prestasi belajar merupakan taraf keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk skor. Skor diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu. Menurut Hawadi
(2001), prestasi belajar dipengaruhi oleh
faktor intrinsik (potensi akademik dan motivasi belajar) dan faktor ekstrinsik (lingkungan keluarga dan lingkungan pembelajaran di sekolah).
Pola Asuh Belajar dengan Prestasi Akademik Contoh Menurut Hasbullah (2006), keluarga merupakan lingkungan pertama tempat anak mendapat pendidikan dan bimbingan. Tugas utama keluarga adalah memberikan pola asuh belajar (gaya pengasuhan dan fasilitas belajar) yang baik sebagai dukungan bagi keberhasilan belajar seorang anak. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh belajar dan prestasi akademik disajikan pada Tabel 28. Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh belajar dan prestasi akademik Prestasi Akademik Gaya
Sedang
Total
Baik
Pengasuhan n
%
n
%
n
%
Sedang
5
100,0
0
0,0
5
100,0
Baik
34
40,0
51
60,0
85
100,0
Prestasi Akademik Fasilitas Belajar
Sedang Baik
Sedang
n 13 26
Total
Baik
% 76,5 35,6
n 4 47
% 23,5 64,4
n 17 73
% 100,0 100,0
Berdasarkan hasil penelitian, seluruh contoh dengan gaya pengasuhan yang sedang memiliki prestasi akademik pada kategori sedang, sedangkan lebih dari separuh contoh (60%) dengan gaya pengasuhan yang baik memiliki prestasi akademik pada kategori baik. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0,05) positif (rs= 0,254) antara gaya pengasuhan orang tua dengan prestasi akademik anak. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin baik pengasuhan orang tua, maka semakin baik prestasi akademik anak. Adanya hubungan positif antara gaya pengasuhan orang tua dengan prestasi akademik didukung oleh pendapat Becker (1964) dalam Hawadi (2001) bahwa adanya afeksi, penerimaan dan kehangatan yang diterima anak dari orang tua akan berdampak pada penyesuaian diri dan prestasi akademik anak di sekolah. Gunarsa dan Gunarsa (2006) juga menyebutkan bahwa hubungan antara orang tua dengan anak, sebagaimana bimbingan dan dorongan yang orang tua berikan akan mendukung anak untuk berprestasi. Hasil penelitian menunjukkan, sebagian besar contoh (76,5%) dengan fasilitas belajar yang sedang memiliki prestasi akademik pada kategori sedang, sedangkan 64,4% contoh dengan fasilitas belajar yang baik memiliki prestasi akademik pada
kategori baik. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0,01) positif (rs=0,333) antara fasilitas belajar dengan prestasi akademik. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik fasilitas belajar yang orang tua sediakan, maka semakin baik prestasi akademik anak usia sekolah. Adanya hubungan positif antara fasilitas belajar dengan prestasi akademik didukung oleh pendapat Gunarsa dan Gunarsa (2006) bahwa fasilitas belajar dapat mempengaruhi
proses
belajar
seseorang.
Kekurangan
fasilitas
belajar
dapat
mengakibatkan siswa kurang dapat mengaktualisasikan kemampuan dasar sehingga menimbulkan kegagalan dalam prestasi akademik. Hawadi (2001) juga menyatakan bahwa rangsangan pendidikan (penyediaan fasilitas belajar) dari orang tua merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi akademik anak.
Lingkungan Pembelajaran dengan Prestasi Akademik Contoh Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar siswa (Ridwan 2008). Sebaran contoh berdasarkan lingkungan pembelajaran dan prestasi akademik disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan lingkungan pembelajaran dan prestasi akademik Lingkungan Pembelajaran Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3
Prestasi Akademik Sedang Baik n % n 1 3,3 29 17 56,7 13 21 70,0 9
Total % 96,7 43,3 30,0
n 30 30 30
% 100,0 100,0 100,0
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase terbesar contoh pada kelompok 1 (96,7%) memiliki prestasi akademik pada kategori baik, sedangkan persentase terbesar contoh pada kelompok 2 (56,7%) dan kelompok 3 (70%) memiliki prestasi akademik pada kategori sedang. Berdasarkan hasil uji Chi-Square, terdapat hubungan (p<0,01) antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik. Adanya hubungan antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik sesuai dengan pendapat Ridwan (2008) bahwa sekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar siswa. Oleh karena itu, lingkungan sekolah yang baik dapat mendorong siswa untuk belajar lebih giat. Keadaan sekolah dapat dilihat melalui penyajian pelajaran, hubungan guru dengan siswa, kondisi ruangan, dan kurikulum. Hubungan antara guru dan siswa yang kurang baik akan mempengaruhi hasil belajar siswa. Guru sebagai motivator yang
merangsang pengembangan pengetahuan siswa merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi kualitas pendidikan dalam lingkungan pembelajaran (Ibrahim 1993). Adanya keterkaitan antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik juga didukung oleh pendapat Hasbullah (2006) bahwa sarana prasarana yang dimiliki oleh suatu lingkungan pembelajaran dan jumlah siswa dalam suatu ruangan kelas turut mempengaruhi sistem pendidikan. Lindgren dalam Gunarsa dan Gunarsa (2006) mengemukakan bahwa situasi dan keadaan ruangan yang digunakan sebagai tempat belajar akan mempengaruhi prestasi akademik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kualitas lingkungan pembelajaran dapat menetukan kualitas prestasi akademik anak didik.
Motivasi dengan Prestasi Akademik Contoh Heckhaussen dalam Hawadi (2001) menyatakan bahwa motivasi belajar sangat penting dalam keberhasilan belajar. Motivasi belajar dapat mempertahankan perilaku berprestasi dan mendorong siswa untuk memilih dan menyukai kegiatan belajar. Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar dan prestasi akademik disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar dan prestasi akademik
Motivasi Belajar Sedang Tinggi
Prestasi Akademik Sedang Baik n % n 10 50,0 10 29 41,4 41
Total % 50,0 58,6
n 20 70
% 100,0 100,0
Hasil penelitian menunjukkan bahwa contoh dengan motivasi belajar pada kategori sedang memiliki prestasi akademik dengan persentase yang sama antara kategori sedang (50%) dan baik (50%). Lebih dari separuh contoh (58,6%) dengan motivasi belajar yang tinggi memiliki prestasi akademik pada kategori baik. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, tidak terdapat hubungan antara motivasi belajar dengan prestasi akademik. Tidak adanya hubungan antara motivasi belajar dengan prestasi akademik diduga karena adanya faktor lain yang lebih berperan dalam menentukan prestasi akademik, seperti potensi akademik dan lingkungan anak (keluarga dan seklah). Menurut Atmodiwirjo (1993) dalam Novita (2007), untuk mencapai kompetensi intelektual yang optimal diperlukan potensi intelektual yang cukup, lingkungan yang positif yang mampu merangsang dan menunjang direalisasikannya potensi yang telah ada serta peran aktif anak dalam berinteraksi dengan lingkungan tersebut.
Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), pengertian orang tua terhadap kemampuan dan minat anak akan berpengaruh positif terhadap usaha anak dalam mencapai prestasi akademik, sedangkan di sekolah, anak akan lebih mudah mempelajari dan memahami sesuatu yang enarik perhatian. Oleh karena itu, cara guru dalam menyajikan pelajaran akan mempengaruhi keberhasilan belajar anak didik. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa potensi akademik dan lingkungan anak (keluarga dan sekolah) dapat menyebabkan motivasi belajar menjadi tidak berhubungan dengan prestasi akademik anak usia sekolah.
Potensi Akademik dengan Prestasi Akademik Contoh Potensi akademik sebagai implikasi dari dimensi intelektual merupakan salah satu dimensi psikologis pada bakat seseorang (Suryabrata 2005). Potensi yang dimiliki akan memudahkan seseorang untuk mewujudkan kemampuan dalam memahami sesuatu (Sardiman 2005). Berbekal potensi akademik yang dimiliki, diharapkan dapat menunjang keberhasilan prestasi akademik individu. Sebaran contoh berdasarkan potensi akademik dan prestasi akademik disajikan pada Tabel 31. Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan potensi akademik dan prestasi akademik Potensi Akademik Di bawah rata-rata Rata-rata Di atas rata-rata Jauh di atas rata-rata
Prestasi Akademik Sedang Baik n % n 2 100,0 0 15 88,2 2 17 53,1 15 5 12,8 34
Total % 0,0 11,8 46,9 87,2
n 2 17 32 39
% 100,0 100,0 100,0 100,0
Persentase terbesar contoh dengan potensi akademik pada kategori di bawah rata-rata (100%), rata-rata (88,2%), dan di atas rata-rata (53,1%) memiliki prestasi akademik pada kategori sedang. Persentase terbesar contoh dengan kategori potensi akademik jauh di atas rata-rata (87,2%) memiliki prestasi akademik pada kategori baik. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0,01) positif (rs=0,651) antara potensi akademik dengan prestasi akademik. Hal ini berarti semakin tinggi potensi akademik maka semakin baik prestasi akademik. Adanya hubungan positif antara potensi akademik dan prestasi akademik sesuai dengan pendapat Muhibbin (1999) dalam Ridwan (2008) bahwa semakin tinggi potensi akademik, maka semakin besar peluang untuk meraih prestasi akademik. Sebaliknya, semakin rendah potensi akademik maka semakin kecil peluang untuk meraih prestasi akademik. Lebih lanjut Atmodiwirjo (1993) dalam Novita (2007) menyatakan bahwa untuk mencapai kompetensi intelektual yang optimal diperlukan potensi intelektual yang
cukup. Hal ini berarti, potensi memiliki peran penting dalam menunjang proses belajar untuk mencapai prestasi akademik yang diharapakan. Menurut pendapat Rilley (1992) dalam Latifah dan Dina (2002) bahwa untuk mencapai prestasi akademik yang diharapkan, anak usia sekolah memerlukan lima keterampilan dasar untuk membantu proses pembelajaran. Kemampuan anak untuk menguasai lima dasar dengan mudah merupakan cerminan dari potensi akademik. Kelima keterampilan tersebut yakni melihat secara selektif, mendengar secara akurat, membaca dan memahami kata-kata, mengkoordinasikan aktivitas visual-motorik dan berfikir logis, adalah bekal yang dibutuhkan siswa untuk dapat menguasai mata pelajaran. Pengaruh Pola Asuh Belajar, Lingkungan pembelajaran, dan Potensi Akademik terhadap Prestasi Akademik Contoh Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa 59,8% dari faktorfaktor yang mempengaruhi prestasi akademik dapat dijelaskan oleh pola asuh belajar (gaya pengasuhan (p<0,05)), lingkungan pembelajaran (p<0,05), dan potensi akademik (p<0,01). Dengan demikian, model persamaan regresi linear berganda yang dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi akademik contoh adalah sebagai berikut:
Y = a + b2X2 + b4X4 + Keterangan: Y adalah prestasi akademik, a adalah konstanta yaitu 40,671, b2 adalah koefisien regresi untuk gaya pengasuhan yaitu 0,117, X2 adalah gaya pengasuhan, b4 adalah koefisien regresi untuk lingkungan pembelajaran yaitu 2,699, X4 adalah lingkungan pembelajaran, b5 adalah koefisien regresi untuk potensi akademik yaitu 1,962, dan X5 adalah potensi akademik. Mengingat pembahasan sebelumnya (Tabel 29), diketahui bahwa terdapat hubungan positif antara gaya pengasuhan dengan prestasi akademik. Hal ini dipertegas oleh hasil uji regresi linear berganda bahwa gaya pengasuhan berpengaruh positif terhadap prestasi akademik. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa gaya pengasuhan yang baik dari orang tua akan mempengaruhi keberhasilan prestasi akademik anak di sekolah. Hasil ini sesuai dengan pendapat Hawadi (2001) bahwa partisipasi orang tua terhadap belajar individu merupakan sumbangan yang signifikan pada prestasi individu. Lebih lanjut Gunarsa dan Gunarsa (2006) menyatakan bahwa kebiasaan disiplin diri dan disiplin waktu, dalam hal ini penerapan gaya pengasuhan orang tua akan mendukung kelancaran perkembangan kognitif dan prestasi anak di sekolah.
Faktor lain yang tidak kalah penting untuk menunjang keberhasilan anak adalah faktor sekolah. Mengingat pembahasan sebelumnya (Tabel 30) diketahui bahwa terdapat hubungan antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik. Hal ini dipertegas oleh hasil uji regresi linear berganda yang menunjukkan bahwa lingkungan pembelajaran berpengaruh positif terhadap prestasi akademik. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa semakin baik lingkungan pembelajaran akan semakin mendukung keberhasilan prestasi akademik. Adanya pengaruh lingkungan pembelajaran terhadap prestasi akademik sesuai dengan pendapat Lindgren dalam Gunarsa dan Gunarsa (2006) yang menyatakan bahwa situasi belajar dan fasilitas belajar dapat mempengaruhi prestasi akademik siswa di sekolah. Kekurangan fasilitas belajar dapat mengakibatkan siswa kurang dapat mengaktualisasikan kemampuan dasar sehingga menimbulkan kegagalan dalam prestasi akademik. Keadaan ruangan yang digunakan sebagai tempat belajar turut mempengaruhi prestasi akademik siswa. Kualitas pendidikan dalam lingkungan pembelajaran tidak terlepas dari peran tenaga pendidik (guru). Selain secara rutin mengajar di kelas, guru juga berperan menciptakan kondisi yang dapat menarik minat dan perhatian siswa untuk belajar, sehingga peran guru sebagai fasilitator, motivator, dan inspirator bagi anak didik dapat tercapai (Ibrahim 1993; Gunarsa & Gunarsa 2006). Selain gaya pengasuhan dan lingkungan pembelajaran, potensi akademik merupakan salah satu aspek penting yang sangat menunjang keberhasilan belajar anak didik. Menurut pendapat Rilley (1992) dalam Latifah dan Dina (2002) bahwa untuk mencapai prestasi akademik yang diharapkan, anak usia sekolah memerlukan lima keterampilan dasar untuk membantu proses pembelajaran. Kemampuan anak untuk dapat menguasai lima kemampuan dasar dengan mudah merupakan cerminan dari potensi akademik.
Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), anak dengan tingkat
kecerdasan (potensi akademik) yang relatif tinggi, akan lebih mudah memahami materi pelajaran di sekolah dibandingkan anak yang memiliki kecerdasan lebih rendah. Mengingat pembahasan sebelumnya (Tabel 31), diketahui bahwa terdapat hubungan antara potensi akademik dengan prestasi akademik. Hal ini dipertegas oleh hasil uji regresi linear yang menunjukkan bahwa potensi akademik berpengaruh positif terhadap prestasi akademik contoh. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi potensi akademik maka prestasi akademik akan semakin baik. Hasil ini sesuai dengan pendapat Syah (1999) dalam Ridwan (2008) bahwa semakin tinggi potensi akademik siswa maka semakin besar peluang untuk meraih prestasi. Sebaliknya, semakin rendah potensi akademik siswa maka semakin kecil peluangnya untuk meraih prestasi. Kohnstamm
menegaskan bahwa seseorang tidak akan mampu mengerjakan sesuatu di atas mutu inteligensinya (potensi akademik) (Sujanto 2004). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa usaha anak untuk mencapai prestasi akademik terbatas pada potensi akademik yang dimiliki. Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa terwujudnya suatu prestasi akademik tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor yang mendukung tercapainya prestasi akademik, baik faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Ditinjau dari segi intrinsik, potensi yang dimiliki siswa sangat berpengaruh terhadap tercapainya prestasi yang diharapkan, namun untuk merealisasikan potensi menjadi prestasi, seseorang tetap membutuhkan stimulasi. Stimulasi yang dibutuhkan seorang siswa dapat berasal dari lingkungan keluarga dan lingkungan pembelajaran di sekolah. Ditinjau dari segi ekstrinsik, gaya pengasuhan yang diterapkan orang tua dan situasi lingkungan pembelajaran menjadi faktor yang perlu diperhatikan guna mendukung tercapainya prestasi akademik yang diharapkan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Rata-rata umur contoh di ketiga lokasi penelitian adalah 10,4 tahun dengan proporsi terbesar contoh berkisar antara umur 10,0-11,4 tahun. Sebagian besar contoh berjenis kelamin permpuan. 2. Proporsi terbesar tingkat pendidikan orang tua adalah Perguruan Tinggi, pekerjaan ayah adalah pegawai swasta dan pekerjaan ibu adalah ibu rumah tangga. Proporsi terbesar pendapatan utama ayah adalah Rp.7.500.001-10.000.000, sedangkan ibu tidak memiliki pendapatan. Rata-rata jumlah anggota keluarga contoh sebanyak 5 orang. 3. Tidak terdapat perbedaan motivasi belajar, gaya pengasuhan orang tua dan fasilitas belajar contoh di ketiga lingkungan pembelajaran. Terdapat perbedaan potensi akademik dan prestasi akademik contoh di ketiga lingkungan pembelajaran. 4. Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan motivasi belajar. Terdapat hubungan negatif antara umur dengan motivasi belajar. 5. Tidak terdapat hubungan antara umur dengan gaya pengasuhan, antara jenis kelamin dengan fasilitas belajar, antara tingkat pendidikan orang tua dengan pola asuh belajar, antara jenis pekerjaan ibu dengan gaya pengasuhan, antara jenis pekerjaan orang tua dengan fasilitas belajar, dan antara besar keluarga dengan pola asuh belajar. Terdapat hubungan antara umur dengan fasilitas belajar, antara jenis kelamin dengan gaya pengasuhan, dan antara jenis pekerjaan ayah dengan gaya pengasuhan. 6. Terdapat hubungan positif antara pola asuh belajar dengan motivasi belajar. Tidak terdapat hubungan antara lingkungan pembelajaran dengan motivasi belajar. 7. Terdapat hubungan antara pola asuh belajar dan potensi akademik dengan prestasi akademik dan antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik, namun tidak terdapat hubungan antara motivasi belajar dengan prestasi akademik. 8. Prestasi akademik dapat dipengaruhi oleh faktor gaya pengasuhan, lingkungan pembelajaran, dan potensi akademik.
Saran Mengingat gaya pengasuhan berpengaruh terhadap prestasi akademik anak, maka disarankan kepada para orang tua agar dapat menerapkan gaya pengasuhan yang baik. Orang tua diharapkan dapat memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun dengan kebebasan yang tidak mutlak dan bimbingan yang penuh pengertian terhadap kebutuhan belajar anak. Mengingat sekolah berpengaruh terhadap prestasi akademik anak, maka disarankan kepada pihak sekolah agar dapat menciptakan situasi belajar yang dapat merangsang minat siswa untuk giat belajar. Guru diharapkan dapat menerapkan cara mengajar yang memungkinkan siswa untuk mudah memahami materi pelajaran dan melakukan aktivitas belajar dengan penuh percaya diri. Selain itu, diharapkan adanya kerja sama antara pihak orang tua dengan pihak sekolah untuk menyediakan fasilitas belajar yang menunjang keberhasilan proses belajar anak didik di sekolah. Penelitian ini masih memiliki keterbatasan, sehingga pada penelitian selanjutnya disarankan untuk mengambil data pendapatan melalui pendekatan pengeluaran keluarga. Penelitian selanjutnya juga disarankan untuk melakukan pemilihan contoh secara acak.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah A. 2008. Prestasi Belajar. [terhubung berkala]. http://spesialis-torch.com. [28 Agustus 2008]. Anonim. 2007. Perubahan Peranan Kaum Pria. [terhubung berkala]. http://www.norwegia.or.id. [31 Agustus 2008]. . 2008. BAB II: Bimbingan Bagi Orang Tua dalam Penerapan Pola Asuh untuk Meningkatkan Kematangan Sosial Anak. [terhubung berkala]. http://www.damandiri.or.id. [31 Agustus 2008]. Baradja, A. 2005. Psikologi Perkembangan Tahapan-tahapan dan Aspek-aspeknya dari 0 Sampai Akhil Baliq. Jakarta: Studia Press. Effendi S. 1995. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ginting EB. 2005. Hubungan pengasuhan dan Kecerdasan Emosi Dengan Prestasi Belajar Pada Remaja [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Gunarsa S. 2006. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta : PT BPK Gunung Mulya. , Gunarsa Y. 2006. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulya. Hasbullah. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Ed ke-5. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hawadi RA. 2001. Psikologi Perkembangan Anak : Mengenal Sifat, Bakat, dan Kemampuan Anak. Jakarta: PT Grasindo. Hoghughi M, Long N, editor. 2004. Handbook of Parenting Theory and Research for Practice. London: Sage Publication. Hurlock EB. 1981. Child Development. Ed ke-6. Tokyo: Mc Graw-Hill, Inc. . 1991. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Istiwidayanti, Soedjarwo, penerjemah; Ridwan MS, editor. Ed ke-5. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Developmental Psikology: A Life-Span Approach. . 1993a. Perkembangan Anak. M Tjandrasa, penerjemah. Ed ke-6. Jakarta: Erlangga.Terjemahan dari: Child Development. . 1993b. Perkembangan Anak Jilid 2. M Tjandrasa, M Zarkasih, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Child Development.
Ibrahim MD. 1993. Substansi Sistem Pendidikan Nasional Optimalisasi dan Aktualisasi Potensi Manusia. Prosiding Seminar Deregulasi Pendidikan Dalam Rangka Menyukseskan Implementasi Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional; Malang, 1 Februari 1993. Malang: Kerjasama Lembaga Pertahanan Nasional Dengan Universitas Merdeka Malang. Latifah M. 2008. Peranan Keluarga Dalam Pendidikan Karakter Anak. [terhubung berkala].http://www.tumbuh-kembang-anak.blogspot.com.html. [10 Maret 2008]. , Dina NN. 2002. Panduan Tes Kemampuan Kognitif Anak Usia Sekolah (1011 Tahun): Modifikasi dari Stanley Riley Inventory of Basic Learning Skills Academic Therapy Publications Novato, California 1992. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. , Djamaludin M, Dhamayanthi E, Atmojo S. 2002. Sekolah Kita: Bahan Ajar Berwawasan Pola Hidup Sehat Untuk Siswa Kelas 4. Bogor: Kerja Sama Balitbang Depdiknas dengan Lembaga Penelitian IPB. Manrique I. 1994. Sebuah Studi Kasus Dari Venezuela. Di dalam: Ranaweera, A.M. Pendekatan Non-Konvensional Dalam Pendikan Pada Tingkat Dasar. Slamet, A. & Sofwan A, penerjemah. Semarang: IKIP Semarang Press. Terjemahan dari: Non-Convertional Approaches to Education at The Primary Level. Megawangi R. 1993. Keluarga dan Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia Dalam Rangka Menyongsong Abad Ke-21. Di dalam : Rihati Kusno, dkk, editor. Prosiding Seminar Keluarga Menyongsong Abad ke-21 dan Perananya dalam Pengembangan Sumberdaya Manusia Indonesia. Bogor: Kerjasama Jurusan Gizi Masyarakat Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dengan BKKBN. . 2001. Membiarkan Berbeda ?: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan. Novita. 2007. Pengaruh Status Gizi dan Lingkungan Belajar terhadap Prestasi Belajar Siswa Sekolah Dasar di Beberapa Kelurahan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nurani AT. 2004. Pengaruh Kualitas Perkawinan, Pengasuhan Anak dan Kecerdasan Emosonal Terhadap Prestasi Belajar Anak [Tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Papalia DE, Olds SW. 1989. Human Development. Ed ke-4. USA: McGraww-Hill, Inc. Priantini W. 2006. Pengaruh Pengasuhan, Lingkungan sekolah dan Peran Teman Sebaya Terhadap Kecerdasan Emosional Remaja [Tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ridwan. 2008. Ketercapaian Prestasi Belajar. [terhubung berkala]. http://ridwan202.wordpress.com. [28 Agustus 2008] Sadli S. 1986. Inteligensi Bakat dan Test IQ. Jakarta: PT. Gaya Favorit Press.
Sardiman AM. 2005. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Slamet Y. 1993. Analisis Kuantitatif Untuk Data Sosial. Solo: Dabara Publisher. Soeitoe S. 1982. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Suciaty Irawan P. 2001. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta: PAU-PPAI, Universitas Terbuka. Sujanto A. 2004. Psikologi Umum. Jakarta: Bumi Aksara. Sukmadinata NS. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Suryabrata S. 1982. Perkembangan Individu. Jakarta: C.V Rajawali . 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Turner JS, Helms DB. 1990. Lifespan Deselopment. Ed ke-4. USA: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Yusuf A. 2002. Kiat Sukses Dalam Karier. Jakarta: Ghalia Indonesia.
.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil analisis Kruskal-Wallis Variabel
Chi-Square
df
Asymp.sig
Jenis Kelamin
5,563
2
0,062
Umur
2,378
2
0,305
Pendidikan Ayah
9,652
2
0,008
Pendidikan Ibu
24,520
2
0,000
Pekerjaan Ayah
10,324
2
0,007
Pekerjaan Ibu
15,295
2
0,000
Pendapatan Utama Ayah
2,672
2
0,263
Pendapatan Tambahan Ayah
12,487
2
0,002
Pendapatan Utama Ibu
18,487
2
0,000
Pendapatan Tambahan Ibu
2,112
2
0,348
Besar Keluarga
2,814
2
0,245
Gaya Pengasuhan
0,252
2
0,882
Fasilitas Belajar
4,030
2
0,133
Motivasi
1,252
2
0,535
Potensi Akademik
24,425
2
0,000
Prestasi Akademik
31,577
2
0,000
Keterangan : variabel dikelompokkan berdasarkan lingkungan pembelajaran
Lampiran 2 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendidikan ayah contoh pada tiga lingkungan pembelajaran Variabel SD Amaliah SDN Sukadamai 3 SD Citra Alam
Pengelompokan Duncan
Rata-rata
A
4,50
A,B
4,87
B
5,20
Lampiran 3 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendidikan ibu contoh pada tiga lingkungan pembelajaran Variabel
Pengelompokan Duncan
Rata-rata
SD Amaliah
A
3,80
SDN Sukadamai 3
B
4,53
SD Citra Alam
C
5,00
Lampiran 4 Hasil uji lanjut Duncan untuk pekerjaan ayah contoh pada tiga lingkungan pembelajaran Variabel
Pengelompokan Duncan
Rata-rata
SD Amaliah
A
2,67
SDN Sukadamai 3
B
3,50
SD Citra Alam
A
2,97
Lampiran 5 Hasil uji lanjut Duncan untuk pekerjaan ibu contoh pada tiga lingkungan pembelajaran Variabel
Pengelompokan Duncan
Rata-rata
SD Amaliah
B
4,47
SDN Sukadamai 3
B
5,00
SD Citra Alam
A
3,13
Lampiran 6 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendapatan tambahan ayah contoh pada tiga lingkungan pembelajaran Variabel
Pengelompokan Duncan
Rata-rata
SD Amaliah
B
0,80
SDN Sukadamai 3
B
0,83
SD Citra Alam
A
0,00
Lampiran 7 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendapatan utama ibu contoh pada tiga lingkungan pembelajaran Variabel
Pengelompokan Duncan
Rata-rata
SD Amaliah
A
0,93
SDN Sukadamai 3
A
0,70
SD Citra Alam
B
1,83
Lampiran 8 Hasil uji lanjut Duncan untuk potensi akademik contoh pada tiga lingkungan pembelajaran Variabel
Pengelompokan Duncan
Rata-rata
SD Amaliah
A
11,990
SDN Sukadamai 3
B
13,886
SD Citra Alam
A
12,086
Lampiran 9 Hasil uji lanjut Duncan untuk prestasi akademik contoh pada tiga lingkungan pembelajaran Variabel
Pengelompokan Duncan
Rata-rata
SD Amaliah
A
79,96
SDN Sukadamai 3
B
86,74
SD Citra Alam
A
77,47
140
Lampiran 10 Hasil analisis korelasi Rank-Spearmann
Umur responden Pendidikan ayah Pendidikan ibu Besar keluarga Gaya pengasuhan Fasilitas belajar Motivasi belajar Potensi akademik Prestasi akademik
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Umur Pendidikan responden ayah 1.000 -.058 . .587 90 90 1.000 . 90 -
* Correlation is significant at the .05 level (2-tailed) ** Correlation is significant at the .01 level (2-tailed)
Pendidikan Besar ibu keluarga -.169 .160 .111 .133 90 90 .563** .004 .000 .971 90 90 1.000 .103 . .334 90 90 1.000 . 90 -
Gaya pengasuhan -.202 .056 90 .106 .319 90 .028 .797 90 -.141 .185 90 1.000 . 90 -
Fasilitas belajar -.211* .045 90 .045 .674 90 .082 .445 90 .013 .904 90 .241* .022 90 1.000 . 90 -
Motivasi belajar -.416** .000 90 -.056 .598 90 -.013 .904 90 -.125 .241 90 .270* .010 90 .261* .013 90 1.000 . 90 -
Potensi akademik -.272** .009 90 .047 .660 90 .000 .999 90 .089 .406 90 .164 .122 90 .279** .008 90 .027 .803 90 1.000 . 90 -
Prestasi akademik -.133 .212 90 .098 .358 90 .049 .647 90 .118 .267 90 .254 .016 90 .333** .001 90 .151 .154 90 .651** .000 90 1.000 . 90
Lampiran 11 Hasil analisis Chi-Square p value Pola Asuh Belajar
Motivasi
Gaya
Fasilitas
Pengasuhan
Belajar
0,014
0,098
Jenis Pekerjaan Ayah
0,001
0,186
Jenis Pekerjaan Ibu
0,424
0,699
Belajar Jenis kelamin
0,175
Lingkungan Pembelajaran
0,434
Prestasi Akademik
0,000
Lampiran 12 Hasil analisis Regresi Linear Berganda
Model
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
t
Sig
7,021
0,000
B
Std. Eror
(Constant)
40,671
5,793
Lingkungan Pembelajaran
2,699
1,312
0,188
2,057
0,043
Gaya Pengasuhan
0,117
0,045
0,192
2,605
0,011
Fasilitas Belajar
2,277E-02
0,033
0,053
0,688
0,493
Motivasi Belajar
2,315E-02
0,052
0,033
0,442
0,660
1,926
0,340
0,481
5,660
0,000
Potensi Akademik R Square
Dependent variable: prestasi akademik
Beta
59,8%