III.
PENGARUH PERLAKUAN PENDAHULUAN PARTIKEL TERHADAP KARAKTERISTIK PAPAN PARTIKEL Pendahuluan
Pembuatan papan partikel tanpa perekat pada dasarnya dapat dilakukan dengan berbagai cara. Prinsip dasar dari teknologi yang dikembangkan adalah memicu terbentuknya ikatan antar partikel kayu baik melalui ikatan hidrogen, maupun ikatan kovalen. Teknik perlakuan perebusan yang dilanjutkan dengan pengempaan panas telah dikembangkan oleh Hermawan (2007). Melalui teknik ini telah dibuktikan bahwa dengan proses tersebut, ikatan kimia antar partikel dapat terbentuk yang ditandai dengan nilai keteguhan rekat yang tinggi. Sayangnya, dengan teknik ini, nilai-nilai keteguhan patah dan modulus elastisitasnya masih rendah yang kemungkinan disebabkan oleh terlalu halusnya ukuran partikel yang digunakan (serbuk gergaji). Di sisi lain, perlakuan perebusan juga sudah diketahui secara umum akan melarukan zat-zat ekstraktif yang terdapat dalam kayu. Padahal, menurut Okuda et al. (2006) keberadaan zat ekstraktif amat besar peranannya dalam menentukan kualitas ikatan yang terbentuk pada papan tanpa perekat. Kontribusi penting ekstraktif tersebut antara lain disebabkan oleh adanya senyawa aromatik berberat molekul rendah yang mengandung gugusgugus karbonil yang dapat membentuk ikatan pada saat dikempa panas. Perlakuan perebusan juga sebenarnya telah digunakan untuk meningkatkan kualitas papan partikel ataupun papan serat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kuswarini (2009) menunjukkan bahwa papan partikel yang dibuat dari partikel yang terlebih dahulu diberi perlakuan perebusan menghasilkan papan partikel dengan karakteristik yang lebih baik dibandingkan dengan papan partikel yang hanya diberi perlakuan perendaman. Informasi efek perebusan dalam pembuatan papan partikel tanpa perekat pada partikel yang diberi perlakuan oksidasi sejauh ini belum pernah dilaporkan. Penelitian ini ditujukan untuk mempelajari pengaruh perlakuan perebusan terhadap karakteristik papan partikel yang dibuat dengan metode oksidasi serta perubahan komponen kimia akibat perlakuan oksidasi. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk menganalisis perbedaan karakteristik papan partikel yang 25
dibuat dari bahan baku yang berbeda dari kelompok kayu daun lebar (sengon), dan bahan lignoselulosa bukan kayu (bambu). Bahan dan Metode Pengaruh Perlakuan Pendahuluan Bahan baku yang digunakan terdiri atas 2 jenis yaitu bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Wijaja), dan sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen). Beberapa karakteristik sifat fisik dan mekanis bahan baku tersebut disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Sifat fisik dan mekanis bambu dan sengon No. Jenis
Kerapatan (g cm-3)
BJ
KA (%)
MOR MOE (Kgf cm-2) (Kgf cm-2)
1.
Bambu
0,61
0,60
11,10
1.003,571) 758,742) 624,333)
130.3781) 100.4062) 83.4043)
2.
Sengon
0,29
0,27
10,09
393,05
44.828
Ket.
1)
Uji miring Uji datar (bag. dekat kulit di atas) 3) Uji datar (bag. dekat kulit di bawah) 2)
Penelitian pada tahapan ini difokuskan untuk menginvestigasi metode aktivasi partikel yang potensial dikembangkan lebih lanjut. Perlakuan yang diberikan terdiri atas 3 taraf yaitu; perlakuan perebusan 30 menit tanpa proses oksidasi, perlakuan perebusan selama 30 menit yang dilanjutkan dengan oksidasi menggunakan H2O2/FeSO4, dan oksidasi dengan H2O2/FeSO4 tanpa perlakuan perebusan.
Gambar 5. Bahan-bahan penelitian; (a) partikel kayu, (b) hidrogen peroksida, (c) fero sulfat
26
Perlakuan perebusan dilakukan dengan cara menimbang partikel bahan baku sesuai kebutuhan berdasarkan kerapatan sasaran yang telah ditetapkan yaitu 0,75 g cm-3. Partikel yang telah diketahui beratnya kemudian direbus dalam air mendidih selama 30 menit lalu ditiriskan dan diperas dengan mesin kempa dingin menggunakan tekanan 15 kgf cm-2. Untuk perlakuan perebusan tanpa oksidasi, partikel yang telah diperas tersebut langsung dibuat menjadi mat lalu dikempa panas pada suhu 180oC dengan tekanan spesifik 25 kgf cm-2 selama 20 menit. Adapun partikel yang diberi perlakuan oksidasi lebih lanjut, terlebih dahulu dikeringkan sampai mencapai kondisi kering udara. Perlakuan oksidasi dilakukan dengan cara menyemprotkan H2O2 dan FeSO4 ke partikel kayu. Kadar H2O2 yang digunakan adalah 20% berdasarkan berat kering partikel, sementara kadar FeSO4 adalah 5% berdasarkan berat hidrogen peroksida. Partikel yang telah disemprot H2O2 dan FeSO4 tersebut selanjutnya dikondisikan selama 90-120 menit sebelum diberi perlakuan kempa panas. Suhu plat kempa yang digunakan adalah 180oC dengan lama waktu kempa 15 menit, serta tekanan 25 kgf cm-2. Kondisi perlakuan yang diaplikasikan pada oksidasi secara langsung pada dasarnya sama dengan perlakuan sebelumnya, namun tanpa didahului perlakuan perebusan. Penentuan metode perlakuan yang efektif, dilakukan berdasarkan hasil pengujian sifat fisik dan mekanis papan partikel tanpa perekat yang dihasilkan. Pengujian yang dilakukan mengacu pada JIS A 5908 2003. Parameter sifat fisik dan mekanis yang diuji meliputi: kerapatan, kadar air, daya serap air, pengembangan tebal, keteguhan patah atau modulus of rupture (MOR), modulus elastisitas atau modulus of elasticity (MOE), serta keteguhan rekat (internal bond). Pola pemotongan
contoh
uji
pada
setiap
lembar papan disajikan pada
Gambar 6.
27
30 cm
0,7 cm
30 cm 3
2
1
30 cm 4
5
Gambar 6. Pola pemotongan contoh uji Keterangan: 1
= contoh uji untuk determinasi keteguhan patah (MOR) dan modulus elastisitas (MOE) (5 x 20 cm)
2
= contoh uji derterminasi keteguhan rekat (5 cm x 5 cm)
3
= contoh uji determinasi daya serap air, dan pengembangan tebal
4
= contoh uji determinasi kerapatan dan kadar air (10 cm x 10 cm)
5
= cadangan
Determinasi Kerapatan Determinasi kerapatan papan partikel dihitung berdasarkan berat dan volume kering udara dengan menggunakan rumus: B Kr
= V
Keterangan : Kr
= Kerapatan (g cm-3)
B
= Berat contoh uji kering udara (g)
V
= Volume contoh uji kering udara (cm3)
Determinasi Kadar Air Determinasi kadar air papan dilakukan dengan menghitung selisih berat awal dengan berat setelah dikeringkan dalam oven sampai mencapai berat konstan pada suhu 105 ± 3oC. Kadar air tersebut dihitung dengan rumus : 28
BA – BK KA =
x 100% BK
Keterangan: KA
= Kadar air (%)
BA
= Berat awal contoh uji setelah pengkondisian (g)
BK
= Berat tetap contoh uji setelah dikeringkan dalam oven (g)
Determinasi Daya Serap Air Determinasi daya serap air dilakukan dengan menghitung selisih berat sebelum dan setelah perendaman dalam air dingin selama 24 jam. Daya serap air tersebut dihitung dengan rumus: BB – BA DS =
x 100% BA
Keterangan: DS
= Daya serap air (%)
BA
= Berat awal contoh uji setelah pengkondisian (g)
BB
= Berat contoh uji setelah perendaman 24 jam (g)
Determinasi Pengembangan Tebal Determinasi pengembangan tebal didasarkan atas selisih tebal sebelum dan setelah perendaman dalam air dingin selama 24 jam. Pengembangan tebal tersebut dihitung dengan rumus: T2 – T1 P =
x 100% T1
Keterangan: P
= Pengembangan tebal (%)
T1
= Tebal awal contoh uji setelah pengkondisian (cm)
T2
= Tebal contoh uji setelah perendaman 24 jam (cm)
Determinasi Keteguhan Patah (MOR) Determinasi MOR dilakukan dengan menggunakan mesin penguji universal testing machine (UTM) merk Instron kapasitas 5 ton. Pengujian 29
dilakukan dengan memberikan beban secara perlahan-lahan dengan kecepatan 10 mm menit-1 pada bagian tengah contoh uji. Jarak sangga yang digunakan adalah 15 cm. Posisi beban dan jarak sangga disajikan pada Gambar 7. Titik beban
Contoh uji
h L l b L l h b
: : : :
Panjang contoh uji (20 cm) Jarak sangga (15 cm) Tebal contoh uji (0,7 cm) Lebar contoh uji (5 cm)
Gambar 7. Pengujian keteguhan patah MOR contoh uji dihitung dengan menggunakan rumus: 3PL MOR =
2 b h2
Keterangan: MOR
= Keteguhan patah (kgf cm-2)
L
= Jarak sangga (cm)
P
= Beban maksimum (kgf)
h
= Tebal contoh uji (cm)
b
= Lebar contoh uji (cm)
Determinasi Modulus Elastisitas (MOE) Determinasi MOE dilakukan dengan menggunakan contoh uji yang sama dengan MOR. Pengujian juga dilakukan bersamaan dengan pengujian MOR, namun yang dicatat dalam pengujian ini adalah perubahan defleksi setiap perubahan beban tertentu. Nilai MOE dihitung dengan rumus: P L3 MOE = 4 Y b h3 30
Keterangan: MOE
= Modulus Elastisitas (kgf cm-2)
L
= Jarak sangga (cm)
P
= Beban sebelum batas proporsi (kgf)
Y
= Defleksi pada beban P
h
= Tebal contoh uji (cm)
b
= Lebar contoh uji (cm)
Determinasi Keteguhan Rekat (Internal Bond) Pengujian
keteguhan
rekat
dilakukan
dengan
merekatkan
kedua
permukaan papan pada balok kayu kemudian balok kayu tersebut ditarik secara berlawanan arah. Cara pengujian keteguhan rekat internal ini disajikan pada Gambar 8. Arah beban Balok kayu Contoh uji
Arah beban
Gambar 8. Pengujian keteguhan rekat (Internal bond) Keteguhan rekat tersebut dihitung dengan menggunakan rumus: P KR = b1 x b2
Keterangan: KR
= Keteguhan rekat (kgf cm-2)
P
= Beban maksimum (kgf)
b1, b 2
= Lebar dan panjang contoh uji (cm)
Analisis Data Data-data sifat fisik dan mekanis yang diperoleh untuk masing-masing perlakuan pada tahapan ini dianalisis dan dijadikan dasar untuk mengevaluasi kesesuaian
masing-masing
perlakuan
untuk
dikembangkan
lebih
lanjut. 31
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal di mana yang menjadi taraf perlakuan adalah perebusan 30 menit (R-30), oksidasi (F-H), perebusan yang dilanjutkan dengan oksidasi (R30-F-H), serta oksidasi tanpa perebusan. Untuk parameter yang menunjukkan adanya perbedaan nyata yang diperoleh dari hasil analisis ragam, dilanjutkan dengan uji perbandingan berganda Duncan. Adapun ulangan yang digunakan pada percobaan ini adalah 4 kali untuk masing-masing jenis perlakuan. Analisis kualitatif perubahan kimia Dalam penelitian ini telah dilakukan analisis kualitatif untuk mempelajari perubahan kimia dari partikel tanpa perlakuan, partikel teroksidasi, serta partikel dari papan yang telah dibuat. Instrumen analisis yang digunakan meliputi Fourier Transform Infra Red (FTIR) untuk melihat perubahan gugus fungsi pada partikel bambu dan kayu, X-Ray Diffractometer (XRD) untuk melihat perubahan kristalinitas bahan, serta analisis Gas Chromatography-Mass Spectrofotometer (GC-MS) untuk melihat perubahan senyawa-senyawa kimia pada bahan baku, partikel teroksidasi, maupun partikel yang berasal dari papan. Analisis Fourier Transform Infra Red (FTIR) Instrumen FTIR (Shimadzu FTIR-8400) digunakan untuk menganalisis perubahan gugus-gugus fungsi akibat perlakuan oksidasi maupun akibat kempa panas dalam pembuatan papan partikel. Pengujian dilakukan dengan cara mencampur
serbuk
kayu
dengan
kalium
bromida
(Kbr)
kemudian
menempatkannya dalam holder. Sinar infra merah dihamburkan dan dibelokkan oleh cermin ke dua arah yaitu ke detektor dan ke sampel. Hasil dari keduanya kemudian dibandingkan. Gambar yang dihasilkan merupakan rata-rata dari 30 kali pengukuran. Pita serapan yang diamati adalah pada bilangan gelombang 4004000 cm-1. Analisis X-Ray Diffractometer (XRD) Instrumen XRD (Shimadzu XRD-7000) digunakan untuk mengukur derajat kristalinitas, lebar serta panjang kristalin. Analisis ini dilakukan dengan cara menginterpretasi pola difraksi dari hamburan sinar X pada contoh. Penetapan 32
derajat kristalinitas, lebar dan panjang kristalin dihitung berdasarkan Scherrer formula (Peura et al. 2008): bagian kristalin Derajat kristalinitas (X) =
x 100% bagian amorf + bagian kristalin
Lebar kristalin pada Ө 22-23
=
Kλ β cos θ Kλ
Panjang kristalin pada Ө 34-35 = β cos θ Keterangan: λ = 0,154 nm (panjang gelombang dari radiasi sinar Cu) β = intensitas ½ tinggi dan lebar intensitas difraksi (radian) K = tetapan untuk lembaran graphene (0,9) Ө = sudut difraksi Identifikasi Senyawa dengan Pyrolisis Gas Chromatograph-Mass Spectrometer (Pyr GC-MS) Identifikasi dilakukan dengan menggunakan Pyrolisis (Frontier Lab. Sink Shot Pyrolizer PY 2020is) dan GC-MS (Shimadzu GCMS QP 2010). Dari hasil identifikasi ini, dilakukan analisis perubahan-perubahan proporsi senyawa yang terbentuk dan kemunculan senyawa-senyawa baru akibat perlakuan oksidasi. Proses pengamatan dilakukan dengan cara menempatkan contoh ke dalam wadah kemudian dimasukkan ke dalam ruang kuarsa dalam pirolisis unit.
Sampel
kemudian dipanaskan dalam lingkungan bebas oksigen pada suhu 400°C. Panas akan memediasi reaksi pembelahan ikatan kimia dalam struktur makromolekuler dan menghasilkan berat molekul rendah dengan komposisi kimia yang spesifik. Waktu retensi yang digunakan dalam pengamatan ini adalah 60 menit. Analisis kuantitatif perubahan komponen kimia Tahapan penelitian ini didisain untuk menganalisis perubahan komponen kimia yang terjadi akibat perlakuan oksidasi. Komponen yang dianalisis meliputi komponen makro berupa selulosa, hemiselulosa, dan lignin, serta komponen mikro berupa zat ekstraktif. Analisis komponen kimia tersebut dilakukan pada
33
bahan baku tanpa perlakuan, bahan baku yang telah mengalami perlakuan oksidasi, serta partikel yang berasal dari papan yang telah dibuat.
a
c
b
d
Gambar 9. Analisis komponen kimia kayu: (a) penentuan kadar holoselulosa, (b) analisis kerlarutan dalam NaOH 1%, (c) analisis kelarutan dalam air panas, (d) ekstraksi dengan etanol-benzena Persiapan bahan untuk analisis Ukuran partikel masing-masing jenis bahan baku (bambu andong dan sengon) untuk analisis kimia disesuaikan dengan Standar TAPPI yaitu lolos saringan 40 mesh dan tertahan pada saringan 60 mesh. Pengambilan sampel dan persiapan bahan untuk analisis merujuk pada TAPPI T 257 om-85 tentang “Sampling and Preparing Wood for Analysis”. Bahan yang dianalisis tersebut terlebih dahulu ditentukan kadar airnya dengan merujuk pada standar TAPPI T 264 om-88 tentang “Preparation of Wood for Chemical Analysis” Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin (TAPPI T 207 0m-93) Sebanyak 2,0 ± 0,1 g sampel bambu dan kayu ditempatkan ke dalam gelas piala 400 ml dan dengan perlahan ditambahkan 300 ml air destilata. Selanjutnya diekstraksi pada suhu 23 ± 2oC selama 48 jam. Sampel kemudian dipindahkan ke dalam glass filter yang telah dikeringkan hingga beratnya konstan pada suhu 105 ± 3oC. Sampel dicuci dengan 200 ml air destilata dingin dan kemudian dikeringkan hingga beratnya konstan pada suhu105 ± 3oC, setelah itu didinginkan dan ditimbang. Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin dihitung dengan persamaan: A–B Kelarutan(%)
x 100% A
Keterangan: A = Berat awal serbuk kering (g) 34
B = Berat akhir serbuk kering (g) Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air panas (TAPPI T 207 0m-93) Sebanyak 2,0 ± 0,1 g sampel ditempatkan dalam erlemeyer 250 ml, lalu ditambahkan dengan 100 ml air destilata panas dan selanjutnya ditempatkan dalam water bath. Sampel dipanaskan selama 3 jam dengan permukaan air dalam water bath di atas permukaan air dalam erlemeyer. Selanjutnya sampel dipindahkan ke dalam glass filter yang telah dikeringkan pada suhu 105 ± 3oC hingga beratnya konstan. Sampel kemudian dicuci dengan 200 ml air destilata dingin dan dikeringkan hingga beratnya konstan pada suhu105 ± 3oC. Perhitungan kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air panas sama dengan persamaan yang digunakan dalam perhitungan kadar zat ekstratif yang terlarut dalam air dingin. Untuk mengetahui ada tidaknya lignin berberat molekul rendah yang terlarut dalam air panas ini, maka dilakukan pula pengamatan dengan spektrofotometer UV. Cara penentuan lignin ini diadopsi dari penentuan lignin terlarut asam berdasarkan TAPPI T 250. Air panas yang digunakan untuk melarutkan ekstraktif diambil sebanyak 15 ml kemudian digenapkan volumenya menjadi 1000 ml. Dari larutan tersebut diambil sebanyak 15 ml untuk diuji dengan spektrofotometer UV. Sebagai larutan standar, sampel blanko dibuat dari 5 ml asam sulfat yang digenapkan volumenya menjadi 1000 ml dan juga diambil sampel uji sebanyak 15 ml. Identifikasi lignin dilakukan pada panjang gelombang 205 nm dan koefisien adsorpsi 110 L g-1 cm-1. Kadar lignin yang larut dalam air panas dihitung dengan rumus: A
Konsentrasi lignin (C)
=
x Df 110 CV
Kadar lignin terlarut (KL)
=
x 100% 1000 x BKT
Keterangan: C
= konsentrasi filtrat lignin dalam air panas (g/l)
V
= volume total filtrat (ml)
A
= nilai absorban pada panjang gelombang 205 nm
Df
= faktor pengenceran
KL
= kadar lignin dalam air panas 35
BKT
= berat kering tanur serbuk bambu dan kayu
Kelarutan bambu dan kayu dalam natrium hidroksida 1% (TAPPI T 212 om93) Larutan alkali panas digunakan untuk mengekstrak karbohidrat berbobot molekul rendah terutama yang mengandung hemiselulosa dan selulosa yang terdegradasi dalam sampel. Natrium hidroksida 1% (0,25 N) yang digunakan sebagai pelarut dibuat dengan cara melarutkan 10,0 g NaOH padatan dalam air dan selanjutnya digenapkan menjadi 1000 ml. Asam asetat (CH3COOH) 10 %, dibuat dengan cara mengencerkan 100 ml asam asetat glasial dengan air hingga 1000 ml. Pengujian kelarutan dalam natrium hidroksida dilakukan dengan cara menimbang sampel sebanyak 2,0 ± 0,1 g dan menempatkannya dalam gelas piala 200 ml. Selanjutnya ditambahkan dengan 100 ± 1 ml larutan NaOH 1% dan diaduk dengan pengaduk kaca. Gelas piala ditutup dengan gelas arloji dan ditempatkan dalam water bath pada suhu 97-100oC selama 60 menit. Permukaan air dalam water bath dipertahankan agar tetap berada di atas permukaan larutan dalam gelas piala. Larutan diaduk dengan pengaduk kaca selama masing-masing 5 detik setelah pemanasan 10, 15, dan 25 menit. Setelah 60 menit, sampel dipindahkan ke dalam glass filter dan selanjutnya dicuci dengan 100 ml air panas. Kemudian ditambahkan dengan 25 ml asam asetat 10% dan sampel dibiarkan terendam selama 1 menit sebelum larutan asam asetat tersebut dihilangkan. Tahap ini diulangi dengan 25 ml larutan asam asetat 10% yang kedua. Selanjutnya sampel dicuci dengan air panas hingga bebas asam. Glass filter dikeringkan dengan sampel dalam oven pada suhu 105 ± 3oC hingga beratnya konstan, selanjutnya didinginkan dan ditimbang beratnya. Perhitungan kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam natrium hidroksida 1% sama dengan persamaan yang digunakan dalam perhitungan kadar zat ekstratif yang terlarut dalam air dingin. Penentuan holoselulosa (TAPPI T 9 m-54) Sampel bambu dan kayu bebas ekstraktif ekuivalen 2,0 g berat kering ditempatkan dalam erlenmeyer 250 ml. Sampel uji kemudian ditambahkan dengan 100 ml air destilata, 1 g natrium klorit (NaClO2) dan 1 ml asam asetat glasial
36
(CH3COOH). Sampel kemudian dipanaskan dalam water bath pada suhu 80oC selama 5 jam. Natrium klorit sebanyak 1,0 g dan asam asetat sebanyak 0,2 ml ditambahkan ke dalam contoh uji setiap interval pemanasan 1 jam, penambahan dilakukan sebanyak 4 kali. Sampel uji kemudian disaring dengan menggunakan glass filter, selanjutnya dicuci dengan menggunakan air panas. Sebanyak 25 ml asam asetat 10% ditambahkan ke dalam sampel uji, lalu dicuci dengan air panas hingga bebas asam. Sampel dioven pada suhu 105 ± 3oC hingga beratnya konstan, didinginkan dan ditimbang beratnya. Kadar Holoselulosa dihitung dengan rumus Holoselulosa (%) = (A/B) x 100% Keterangan: A = berat holoselulosa (g) B = BKT bebas ekstraktif (g) Penentuan selulosa (TAPPI 17 m-55) Selulosa
dipisahkan
dari
holoselulosa
dengan
cara
melarutkan
hemiselulosa. Sebanyak 2,5 g serbuk bambu atau kayu bebas ekstraktif ditempatkan dalam erlenmeyer 300 ml. Selanjutnya ditambahkan 125 ml larutan asam nitrat (HNO3) 3,5% ke dalam sampel uji dan selanjutnya dilakukan pemanasan dalam water bath selama 12 jam pada suhu 80oC. Setelah pemanasan, sampel uji disaring dengan air destilata hingga tidak berwarna dan kemudian dikeringudarakan. Sampel dipindahkan ke dalam erlemeyer kembali lalu ditambahkan 125 ml larutan campuran NaOH dan Na2SO3 dan dilakukan pemanasan selama 2 jam pada suhu 50oC. Sampel uji disaring dengan cawan saring dan selanjutnya dicuci dengan air destilata hingga filtrat tidak berwarna. Sebanyak 50 ml larutan natrium klorit 10% ditambahkan dan dilakukan pencucian dengan menggunakan air hingga diperoleh endapan berwarna putih. Selanjutnya sebanyak 100 ml asam asetat 10% ditambahkan ke dalam contoh uji lalu dicuci hingga bebas asam. Sampel uji kemudian dioven pada suhu 105 ± 3oC hingga beratnya konstan. Kadar selulosa dihitung dengan rumus : Selulosa (%) = (A/B) x 100% Keterangan: A = berat selulosa (g) B = BKT bebas ekstraktif (g) 37
Penentuan kadar hemiselulosa (TAPPI 223cm-84) Kadar hemiselulosa diperoleh dengan mengurangi kadar holoselulosa dengan kadar selulosa dengan menggunakan rumus Hemiselulosa (%) = (A-B) x 100% Keterangan: A = Kadar holoselulosa (%) B = Kadar selulosa (%) Penentuan kadar lignin (TAPPI T 203 os-74) Sebanyak 1,0 g serbuk bambu atau kayu bebas ekstraktif dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml, lalu ditambahkan 15 ml H2SO4 72% kemudian diaduk rata. Gelas ukur ditempatkan ke dalam nampan yang di sekelilingnya telah diberi es agar suhunya berada pada kisaran 15-20oC, lalu diaduk setiap 15 menit selama 2 jam. Larutan kemudian dipindahkan ke dalam erlenmeyer 1000 ml lalu ditambahkan air destilata yang telah dipanaskan sampai tanda tera, kemudian dipanaskan dalam water bath pada suhu ± 80oC selama 4 jam. Lignin kemudian disaring dengan kertas saring yang telah diketahui BKT-nya, lalu dicuci dengan air destilata sampai bebas asam. Sampel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC sampai beratnya konstan lalu ditimbang. Kadar lignin dihitung dengan rumus : Lignin (%) = (A/B) x 100% Keterangan: A = berat lignin (g) B = BKT bebas ekstraktif (g) Penentuan kadar abu (TAPPI T 211 om-93) Abu menunjukkan kandungan bahan anorganik dalam bambu atau kayu yang merupakan sisa setelah pembakaran bahan organik. Sebelum pengukuran kadar abu, kadar air sampel ditentukan terlebih dahulu dengan merujuk pada standar TAPPI T 264. Cawan abu kosong dibersihkan dan dipanaskan pada suhu 525 ± 25oC selama 30-60 menit. Setelah pemanasan, cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Sampel uji ekuivalen 1,0 g kering oven dipindahkan ke dalam cawan abu. Selanjutnya sampel uji dipanaskan pada suhu 100oC, lalu suhunya ditingkatkan hingga mencapai 525oC secara bertahap 38
sehingga terjadi karbonisasi tanpa pembakaran. Suhu pengabuan diatur sekitar 525 ± 25oC. Pembakaran selesai jika partikel hitam telah hilang, lalu cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pembakaran dan penimbangan diulangi hingga berat abu konstan. Abu (%) = (A/B) x 100% A = berat abu (g) B = BKT bebas ekstraktif (g) Analisis Data Data komponen kimia yang diperoleh untuk masing-masing kondisi partikel dianalisis perbedaannya dengan menggunakan rancangan acak lengkap faktor tunggal di mana yang menjadi taraf perlakuan adalah partikel kontrol, partikel yang telah dioksidasi, serta partikel yang berasal dari papan yang telah dibuat. Untuk parameter yang berbeda nyata berdasarkan hasil analisis ragam, dilanjutkan dengan analisis perbandingan berganda Duncan. Ulangan yang digunakan pada percobaan ini adalah 3 kali untuk masing-masing kondisi partikel. Hasil dan Pembahasan Pengaruh Perlakuan Bahan Baku Sebaran kerapatan papan partikel yang dibuat dengan berbagai perlakuan pendahuluan disajikan pada Gambar 10. Data pada gambar tersebut menunjukkan bahwa kerapatan papan bervariasi antara satu perlakuan dengan perlakuan lainnya, maupun antar jenis bahan baku. Meskipun demikian, berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana disajikan pada Lampiran 13 variasi tersebut tidak berbeda nyata antara satu perlakuan dengan perlakuan lainnya. Selain itu, variasi tersebut juga tidak menunjukkan kecenderungan tertentu yang mengindikasikan adanya korelasi antara kerapatan papan partikel dengan perlakuan bahan baku. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variabilitas yang terjadi merupakan variasi acak yang terjadi dalam proses pembuatan papan partikel. Selanjutnya, dikarenakan kerapatan papan berpengaruh langsung terhadap karakteristik papan lainnya, maka angka-angka yang diperoleh dari setiap parameter terlebih dahulu dikonversi ke nilai sifat fisik dan mekanis pada kerapatan sasaran yaitu 0,75 g cm-3 dengan menggunakan faktor koreksi. Apabila nilai-nilai kerapatan papan 39
tersebut dibandingkan dengan JIS A 5908, maka seluruh papan yang dibuat memenuhi standar tersebut. R-30
F-H
R30-F-H
Kerapatan (g cm-3)
1.0 0.8 JIS A 5908
0.6 0.4 0.2 tn
tn
tn
tn
tn
tn
0.0 Bambu
Keterangan = R-30 F-H R30-F-H tn
Jenis Kayu
Sengon
: Perebusan partikel 30 menit : Oksidasi : Perebusan 30 menit dan oksidasi : tidak nyata secara statistik pada taraf α 5%
Gambar 10 Kerapatan papan partikel dengan berbagai perlakuan pendahuluan Berbeda dengan kerapatan papan partikel, nilai-nilai kadar air papan cenderung memiliki pola tertentu, yaitu kadar air papan partikel yang mengalami perlakuan oksidasi lebih rendah dibandingkan dengan papan partikel yang bahan bakunya
hanya
mengalami
perlakuan
perebusan.
Hasil
analisis ragam
sebagaimana disajikan pada Lampiran 13 menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan berpengaruh nyata terhadap kadar air papan partikel. Berdasarkan hasil analisis perbandingan berganda Duncan, tiga jenis papan partikel bambu memiliki kadar air yang berbeda nyata satu sama lain. Adapun papan partikel sengon yang diberi perlakuan perebusan berbeda nyata dengan papan partikel yang diberi perlakuan oksidasi, baik yang didahului dengan perebusan maupun tanpa perebusan. Perbedaan secara statistik berdasarkan hasil uji perbandingan berganda Duncan secara lengkap disajikan pada Gambar 11. Huruf-huruf yang sama pada perlakuan yang berbeda menunjukkan bahwa kadar air papan partikel tersebut tidak berbeda nyata satu sama lain. Selanjutnya, apabila dibandingkan dengan JIS A 5908 2003, maka tampak bahwa seluruh jenis papan yang dibuat memenuhi standar tersebut. Meskipun 40
demikian, apabila diamati secara seksama, maka tampak bahwa beberapa jenis papan yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi, khususnya papan partikel dari kayu sengon memiliki kadar air yang mendekati batas minimal yaitu 5%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa perlakuan oksidasi cenderung menurunkan sifat hidrophilic partikel sehingga kadar air keseimbangannya menjadi rendah. R-30
14
F-H
R30-F-H
Kadar air (%)
12 10 JIS A 5908
8 6 4 2
c
a
b
b
a
a
0 Bambu
Jenis Kayu
Sengon
Keterangan: huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata secara statisti pada taraf α 5% Gambar 11 Kadar air papan partikel dengan berbagai perlakuan pendahuluan Sebaran data daya serap air papan partikel sebagaimana disajikan pada Gambar 12 menunjukkan bahwa daya serap airnya memiliki kecenderungan yang sama dengan kadar air, yaitu nilai daya serap air papan yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan papan partikel yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi. Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana disajikan pada Lampiran 13 diketahui bahwa perlakuan bahan baku berpengaruh nyata terhadap daya serap air papan pada kedua jenis bahan baku. Hasil analisis perbandingan berganda Duncan menunjukkan bahwa pada papan partikel bambu, perlakuan oksidasi bahan baku menghasilkan papan partikel dengan daya serap air yang berbeda nyata dengan papan partikel yang bahan bakunya diberi perlakuan perebusan maupun kombinasi perebusan dan oksidasi. Untuk jenis kayu sengon, perlakuan perebusan menghasilkan papan partikel yang memiliki nilai daya serap air yang berbeda nyata dengan papan partikel yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi, maupun kombinasi perebusan dan oksidasi. Sementara itu daya serap air papan partikel yang bahan 41
bakunya diberi perlakuan oksidasi tidak berbeda nyata dengan papan partikel yang bahan bakunya diberi perlakuan kombinasi perebusan dan oksidasi. R-30
F-H
R30-F-H
Daya serap air (%)
100 80 60 40 20
b
a
b
b
a
a
0 Bambu
Jenis Kayu
Sengon
Gambar 12 Daya serap air papan partikel dengan berbagai perlakuan pendahuluan Kecenderungan nilai daya serap air papan yang lebih rendah pada papan yang bahan bakunya mengalami perlakuan oksidasi mengindikasikan bahwa perlakuan oksidasi tersebut memengaruhi komponen kimia partikel. Perlakuan oksidasi tampaknya menurunkan sifat hidrophilic partikel sehingga lebih sulit menyerap air. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti berikatannya gugus-gugus OH pada partikel kayu maupun bambu atau tersubstitusinya sebagian gugus OH menjadi O radikal yang selanjutnya membentuk ikatan silang dengan komponen kimia lainnya sebagaimana digambarkan oleh Widsten (2002). Dalam hal pengembangan tebal, papan partikel tanpa perekat dengan papan partikel yang bahan bakunya mengalami perlakuan oksidasi memiliki pengembangan tebal yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan papan partikel tanpa perekat yang hanya diberi perlakuan perebusan tanpa perlakuan oksidasi. Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana disajikan pada Lampiran 13 diketahui bahwa perlakuan bahan baku berpengaruh nyata terhadap sifat pengembangan tebal papan partikel pada ketiga jenis bahan baku yang digunakan. Hasil analisis perbandingan berganda Duncan menunjukkan bahwa ketiga jenis bahan baku yang digunakan memiliki pola pengembangan tebal yang sama, yaitu papan partikel yang hanya diberi perlakuan oksidasi memiliki sifat pengembangan tebal yang berbeda nyata dengan kedua jenis papan lainnya, sementara antara 42
papan partikel yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi, maupun kombinasi
Pengembangan tebal (%)
perebusan dengan oksidasi tidak berbeda nyata. R-30
70
F-H
R30-F-H
60 50 40 30 20 10 0
JIS A 5908 b
a Bambu
a
b Jenis Kayu
a
a
Sengon
Gambar 13 Pengembangan tebal papan partikel dengan berbagai perlakuan pendahuluan Selanjutnya, apabila dibandingkan dengan JIS A 5908 2003, maka tampak bahwa papan partikel yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi secara keseluruhan memenuhi standar. Sebaliknya tidak satupun dari ketiga jenis papan partikel yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan memenuhi standar. Pengembangan tebal papan partikel yang diberi perlakuan oksidasi pada perendaman selama 24 jam sebagaimana disajikan pada Gambar 13 rata-rata hanya 5,81-7,29% untuk bamboo dan 5,74-5,97% untuk sengon. Sementara itu, nilai pengembangan tebal papan partikel yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan jauh lebih tinggi, yaitu 24,88% untuk bambu, dan 48,61% untuk sengon. Perbedaan pengembangan tebal yang sangat ekstrim ini disebabkan oleh perbedaan ikatan yang terbentuk. Papan partikel yang hanya diberi perlakuan perebusan, akan membentuk ikatan hidrogen pada saat dikempa panas, sementara pada papan partikel yang diberi perlakuan oksidasi dapat membentuk ikatan kovalen yang jauh lebih kuat pada saat dikempa panas. Seperti halnya sifat-sifat fisik, sifat-sifat mekanis papan partikel (MOR, MOE, keteguhan rekat) yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi juga lebih baik dari papan partikel yang hanya diberi perlakuan perebusan. Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana disajikan pada Lampiran 13 diketahui bahwa perlakuan bahan baku berpengaruh nyata terhadap nilai MOR pada papan partikel 43
bambu maupun sengon. Hasil uji perbandingan berganda Duncan menunjukkan bahwa papan partikel dari bambu yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi berbeda nyata dengan papan partikel yang diberi perlakuan perebusan, maupun kombinasi perebusan dengan oksidasi. Namun demikian perlakuan perebusan dan kombinasi perebusan dan oksidasi tidak berbeda nyata. Hal ini berbeda dengan papan partikel dari kayu sengon, di mana perlakuan oksidasi maupun kombinasi perebusan dengan oksidasi tidak berbeda nyata, namun keduanya berbeda nyata dengan papan partikel yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan. Histogram pada Gambar 14, menunjukkan bahwa selisih nilai MOR papan partikel juga cukup jauh, yaitu masing-masing 1,8; dan 2,6kali lebih tinggi pada bamboo dan sengon dibandingkan dengan papan partikel dengan perlakuan perebusan. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa perlakuan oksidasi jauh lebih efektif dalam pembentukan ikatan karena dapat membentuk ikatan kovalen dibandingkan dengan perlakuan perebusan yang kemungkinan hanya membentuk ikatan hidrogen. Pada akhirnya papan partikel yang dihasilkannyapun memiliki nilai MOR yang jauh lebih baik. Meskipun nilai-nilai MOR papan yang diberi perlakuan oksidasi sesungguhnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan papan partikel yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan, akan tetapi apabila dibandingkan dengan JIS A 5908 2003, maka tampak bahwa dari seluruh jenis papan yang dibuat, hanya papan partikel dari jenis kayu sengon dengan kombinasi perlakuan perebusan dan oksidasi yang nilai MOR-nya memenuhi standar. Hal tersebut mengindikasikan bahwa nilai-nilai MOR yang dicapai dengan metode oksidasi relatif masih rendah. R-30
F-H
R30-F-H
MOR (Kgf cm-2)
120 100
JIS A 5908
80 60 40 20
a
b
a
a
b
c
0 Bambu
Jenis Kayu
Sengon 44
Gambar 14 MOR papan partikel dengan berbagai perlakuan pendahuluan Nilai-nilai MOE papan partikel sebagaimana disajikan pada Gambar 15 memiliki pola yang sama dengan nilai MOR-nya yaitu perlakuan perebusan menghasilkan nilai MOE yang lebih rendah dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana disajikan pada Lampiran 13 diketahui bahwa perlakuan pendahuluan berpengaruh nyata terhadap sifat MOE papan yang dibuat dari ketiga jenis bahan baku. Meskipun demikian, hasil analisis perbandingan berganda Duncan menunjukkan pola yang berbedabeda untuk masing-masing jenis bahan baku. Pada partikel bambu, ketiga jenis perlakuan menghasilkan papan partikel yang berbeda nyata satu sama lain. Sementara itu, pada papan partikel kayu sengon, perlakuan perebusan berbeda nyata dengan kedua jenis perlakuan lainnya. Sebagaimana halnya dengan nilai MOR, nilai MOE juga jauh lebih tinggi pada papan partikel yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi dibandingkan dengan papan yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan. Pada papan partikel bambu nilainya 2,9 kali lebih tinggi, sementara pada papan sengon nilainya 2,8 kali lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan mekanisme ikatan yang berbeda antara papan partikel yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan dengan papan partikel yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi MOE yang dicapai sangat berbeda. R-30
MOE (x 103 Kgf cm-2)
40
F-H
R30-F-H
30
JIS A 5908
20 10 a
c
a
b
b
b
0 Bambu
Jenis Kayu
Sengon
Gambar 15 MOE papan partikel dengan berbagai perlakuan pendahuluan 45
Selanjutnya, apabila dibandingkan dengan JIS A 5908, maka tampak bahwa MOE papan partikel dari bambu dan kayu sengon mampu memenuhi standar. Terpenuhinya nilai MOE berdasarkan JIS A 5908 pada kedua jenis papan partikel tersebut merupakan fenomena yang menarik, sebab parameter MOE ini merupakan salah satu karakteristik yang sulit terpenuhi dalam pembuatan papan partikel konvensional (menggunakan perekat). Apabila dibandingkan nilai-nilai MOR dan MOE papan partikel yang diberi perlakuan oksidasi dengan papan partikel yang diberi perlakuan kombinasi perebusan dan oksidasi, maka tampak bahwa kominasi perlakuan perebusan dan oksidasi menghasilkan papan partikel dengan MOR dan MOE yang lebih tinggi. Tampaknya perlakuan perebusan sebelum dioksidasi pada partikel kayu membuat compressibility partikel menjadi lebih baik sehingga lebih kompak ketika dikempa panas. Namun demikian, fenomena tersebut ternyata hanya ditemukan pada papan dari kayu sengon, sementara pada bambu tidak demikian. Tampaknya, perlakuan perebusan selama 30 menit pada bambu belum cukup memadai untuk meningkatkan compressibility partikel bambu. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa
Keteguhan rekat (Kgf cm-2)
partikel-partikel bambu cenderung lebih kaku karena keberadaan vascular bundle.
R-30
10
F-H
R30-F-H
8 6 4 JIS A 5908 2 0
a
b
b
a
Bambu
c
b
Sengon Jenis Kayu
Gambar 16 Keteguhan rekat papan partikel dengan berbagai perlakuan pendahuluan Nilai-nilai keteguhan rekat sebagaimana disajikan pada Gambar 16 menunjukkan adanya pola yang berbeda-beda. Meskipun secara keseluruhan tampak bahwa perlakuan oksidasi menghasilkan papan partikel dengan keteguhan 46
rekat yang lebih tinggi dibandingkan dengan papan partikel yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan, namun perbedaannya bervariasi. Papan partikel dari kayu sengon memiliki selisih nilai keteguhan rekat yang sangat ekstrim, yaitu hampir 16 kali lipat dibandingkan dengan papan partikel yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan. Adapun papan partikel bambu hanya 3 kali lipat. Berdasarkan hasil analisis ragam sebagaimana disajikan pada Lampiran 13 diketahui bahwa perlakuan bahan baku berpengaruh nyata terhadap nilai keteguhan rekat papan partikel bambu dan kayu sengon. Berdasarkan uji perbandingan berganda Duncan, diketahui bahwa pada papan partikel bambu, perlakuan oksidasi maupun kombinasi perebusan dan oksidasi tidak berbeda nyata satu sama lain, akan tetapi keduanya berbeda nyata dengan papan partikel yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan. Namun demikian, pada papan partikel sengon, ketiga perlakuan menghasilkan papan partikel yang memiliki keteguhan rekat yang berbeda satu sama lain. Apabila dibandingkan dengan JIS A 5908 2003, maka tampak bahwa papan partikel dari bambu dan sengon yang diberi perlakuan oksidasi memiliki keteguhan rekat yang memenuhi standar tersebut. Hasil-hasil penelitian sebagaimana dijelaskan di atas menunjukkan bahwa sifat fisik dan mekanis papan partikel yang dibuat dalam studi ini sangat ditentukan oleh perlakuan bahan baku yang diberikan serta jenis bahan baku yang digunakan. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa perlakuan oksidasi tanpa perebusan maupun kombinasi perebusan dan oksidasi menghasilkan papan partikel dengan sifat fisik dan mekanis yang jauh lebih baik dibandingkan dengan papan partikel yang bahan bakunya hanya diberi perlakuan perebusan. Kombinasi perlakuan perebusan dan oksidasi menyebabkan penurunan nilai MOR, MOE dan keteguhan rekat dibandingkan dengan perlakuan oksidasi tanpa perebusan pada papan partikel bambu. Pola yang sama juga terjadi pada keteguhan rekat papan partikel sengon. Akan tetapi nilai-nilai MOR dan MOE-nya meningkat. Perlakuan perebusan mampu melarutkan bahan-bahan seperti pati, tanin, ataupun zat warna. Dengan demikian penurunan keteguhan rekat akibat perebusan kemungkinan disebabkan oleh pelarutan pati ataupun komponen gula sederhana 47
yang sesungguhnya juga dapat berperan sebagai perekat. Fenomena demikian sejalan dengan hasil penelitian yang telah dikemukakan oleh Okuda et al. (2006) Perbedaan sifat fisik dan mekanis papan partikel yang diberi perlakuan oksidasi dengan yang diberi perlakuan perebusan terutama disebabkan oleh perbedaan mekanisme ikatan yang terbentuk. Pada papan partikel yang diberi perlakuan perebusan, partikel yang telah direbus selama 30 menit dibuang airnya kemudian langsung dikempa panas. Dengan proses demikian, maka mekanisme ikatan yang terbentuk diduga lebih didominasi oleh ikatan hidrogen, meskipun degradasi hemiselulosa yang selanjutnya dapat berperan sebagai agen pengikat maupun plastisasi lignin juga dapat berperan dalam pembentukan ikatan. Hal tersebut telah dijelaskan dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Widyorini et al. (2005b & 2005c). Pada penelitian dengan metode injeksi uap panas selama proses kempa panas tersebut disimpulkan bahwa ikatan terutama terbentuk akibat degradasi hemiselulosa, meskipun α selulosa dan lignin juga ikut berperan. Mekanisme yang berbeda terjadi pada papan partikel yang diberi perlakuan oksidasi. Pada papan partikel tersebut, ikatan terbentuk karena adanya hidroksil radikal yang dihasilkan selama proses oksidasi. Hidroksil radikal yang sangat electrophilic tersebut akan menyerang gugus lignin yang kaya elektron. Reaksi dengan lignin ini akan menghasilkan phenoxy radical, hydroxylasi, dan demethoxylasi (Nguyen 1982). Oleh karena itu, ketika partikel teroksidasi dikempa panas maka akan dapat membentuk ikatan kovalen (Widsten et al 2003, Pantze et al 2008). Ikatan kovalen yang terbentuk ini dapat berupa ikatan silang komponen lignin antar partikel kayu, esterifikasi, ataupun kondensasi lignin dengan furfural. Papan partikel tanpa perekat dengan karakteristik yang cukup baik yang dihasilkan dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa perlakuan oksidasi menggunakan hidrogen peroksida dan fero sulfat telah berhasil mengaktifkan komponen kimia kayu sehingga dapat berikatan secara langsung pada saat dikempa panas. Fenomena ini juga dapat dilihat dalam hasil pengamatan menggunakan Fourier Tranform Infra Red sebagaimana disajikan pada Gambar 17.
48
Partikel kontrol Partikel teroksidasi Partikel papan
Bilangan Gelombang (1 cm-1)
Gambar 17a
Pita serapan FTIR partikel bambu pada berbagai kondisi (biru = partikel tanpa perlakuan; hitam = partikel teroksidasi; merah = papan partikel)
Partikel papan Partikel kontrol
Partikel teroksidasi
Bilangan Gelombang (1 cm-1)
Gambar 17b
Pita serapan FTIR partikel sengon pada berbagai kondisi (biru = partikel tanpa perlakuan; hitam = partikel teroksidasi; merah = papan partikel)
Modifikasi komponen kimia yang memungkinkan terbentuknya ikatan antar partikel kayu diindikasikan oleh perubahan puncak-puncak yang mencirikan 49
gugus tertentu pada partikel. Dalam penelitian ini, secara umum tidak terdapat perbedaan pita serapan yang jelas di antara ketiga kondisi partikel yaitu partikel kontrol, partikel teroksidasi, dan papan partikel. Hal ini dapat terjadi karena sesungguhnya tidak ada senyawa baru yang diintroduksi ke dalam partikel ini yang memungkinkan terjadinya perubahan gugus fungsi atau perubahan tipe ikatan. Perubahan-perubahan yang terjadi kebanyakan lebih tampak pada intensitasnya. Pada bambu, tampak bahwa intensitas pita yang terbentuk menjadi lebih kuat, khususnya pada bilangan gelombang 1450-500 cm-1. Menurut Supratman (2010), daerah 1400-500 cm-1 merupakan daerah sidik jari yang cenderung rumit sehingga penentuan gugus fungsi secara spesifik tidak dapat ditarik secara cermat. Hal ini berbeda dengan perubahan intensitas yang terjadi pada kayu sengon, di mana justru terjadi penurunan intensitas pada partikel teroksidasi. Perbedaanperbedaan intensitas ini sejalan dengan karakterisitk papan partikel yang dihasilkan. Sengon yang mengalami peningkatan intensitas yang signifikan pada kondisi partikel teroksidasi memiliki karakteristik papan partikel yang lebih baik. Ditinjau dari perubahan pita serapan pada bilangan gelombang tertentu, maka tampak bahwa pada bambu, perubahan puncak tampak terjadi hanya pada daerah bilangan gelombang 1050. Menurut Fengel & Wegener (1995) daerah ini merupakan daerah pita serapan deformasi C-H atau C-O. Pada kayu sengon, perubahan lekukan terjadi pada bilangan gelombang 1250 cm-1 yang menurut khopkar (1990) merupakan daerah serapan senyawa eter. Pada daerah tersebut, partikel kontrol memiliki kemiripan dengan lekukan papan partikel, sementara partikel teroksidasi memiliki lekukan yang berbeda. Selain itu, tampak menyolok bahwa intensitas pada partikel teroksidasi jauh lebih kuat dibandingkan dengan partikel kontrol maupun
papan partikel. Hal ini
mengindikasikan bahwa modifikasi terjadi pada kelompok senyawa tersebut. Meskipun demikian puncak pada bilangan gelombang tersebut tetap ada dan hal ini tampaknya disebabkan oleh terjadinya ikatan silang radikal phenoksi (Widsten 2002) yang juga merupakan senyawa eter. Berdasarkan fakta-fakta ini, maka salah satu tipe ikatan yang berperan penting dalam pembentukan ikatan antar partikel pada papan partikel tanpa perekat dari kayu sengon adalah ikatan silang akibat 50
adanya penggabungan radikal phenoksi. Selain itu keberadaan puncak pita serapan pada bilangan gelombang 1730-1740 cm-1 yang disertai dengan kehadiran puncak pita serapan pada bilangan gelombang 1000-1300 cm-1 mengindikasikan bahwa ikatan ester juga terjadi pada papan partikel tersebut. Apabila diamati karakteristik papan partikel secara keseluruhan, maka tampak bahwa papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan perlakuan oksidasi memiliki kelebihan terutama dalam hal stabilitas dimensi dan modulus elastisitas. Nilai pengembangan tebal papan tersebut bahkan masih lebih baik dibandingkan dengan papan partikel dari jenis kayu sengon yang direkat dengan waterbased polymer isocyanate 6% (Suhasman et al. 2005; 2006) maupun melamin formaldehida 10% (Suhasman et al. 2008), ataupun papan partikel bambu yang direkat dengan melamin formaldehida (Suhasman et al. 2010). Hal ini merupakan indikator yang sangat baik mengingat selama ini masalah stabilitas dimensi papan partikel merupakan masalah yang sulit diatasi. Terlebih lagi pada papan partikel yang menggunakan bahan baku kayu berkerapatan rendah yang membutuhkan compression rasio di atas 2 seperti halnya sengon. Dilihat dari nilai modulus elastisitasnya, karakteristik papan partikel yang dihasilkan juga sangat menjanjikan karena mampu memenuhi standar. Padahal dalam beberapa penelitian yang menggunakan perekat seperti halnya waterbased polymer isocyanate 6% (Suhasman et al. 2005, 2006) maupun perekat melamin formaldehida (Suhasman et al. 2010a) nilai-nilai MOE-nya tidak memenuhi standar. Fenomena ini merupakan fakta yang menarik, karena dalam penggunaan sehari-hari, perubahan bentuk yang terjadi pada produk-produk papan partikel ketika dikenai beban merupakan salah satu kelemahan mendasar yang membuat produk ini kurang diminati. Mudahnya terjadi perubahan bentuk tersebut merupakan indikasi rendahnya nilai MOE. Tingginya nilai MOE pada papan partikel tanpa perekat dengan perlakuan oksidasi tampaknya berhubungan dengan modifikasi struktur yang terjadi pada komponen kimia khususnya lignin. Meskipun memiliki sejumlah keunggulan, akan tetapi di sisi lain produk ini memiliki kelemahan dalam hal nilai MOR. Rendahnya nilai MOR ini tampaknya disebabkan oleh terdegradasinya sebagian komponen selulosa maupun hemiselulosa akibat perlakuan oksidasi. Degradasi selulosa maupun hemiselulosa 51
membuat kayu menjadi lebih rapuh (Hill 2006). Indikasi terjadinya degradasi selulosa dapat dilihat dari penurunan derajat kristalinitas partikel maupun perubahan tebal dan panjang kristalin sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Dari ketiga komponen utama penyusun kayu (selulosa, hemiselulosa, dan lignin), hemiselulosa dan lignin adalah amorf, sementara selulosa terdiri atas daerah amorf dan kristalin (Andersson et al. 2003). Oleh karena hanya selulosa yang memiliki daerah kristalin, maka penurunan kristalinitas mengindikasikan bahwa komponen selulosa kayu mengalami gangguan akibat perlakuan oksidasi. Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kristalinitas partikel bambu dan sengon teroksidasi menurun cukup signifikan dibandingkan dengan kontrolnya. Pada tahap kempa panas, kristalinitas bambu kembali menurun sementara sengon relatif tetap. Hal ini mengindikasikan bahwa pada bambu, penurunan kristalinitas tidak hanya disebabkan oleh proses oksidasi tetapi juga oleh degradasi termal,
Intensitas (cps)
sementara pada sengon relatif lebih tahan. 600
Bambu 400 200 0
10
20
30
40
50
60
Theta 2 Theta ( )
Intenstas (cps)
600 Sengon 400 200 0 10
20
30
40
50
60
Theta 2 Theta ( )
Kontrol
Teroksidasi
Papan
Gambar 8 Difraktogram partikel pada berbagai kondisi 52
Meskipun terjadi perubahan derajat kristalinitas, namun strukturnya tidak banyak berubah. Sebagaimana disajikan pada Gambar 18, sudut theta daerah kristalin tetap pada kisaran 22o. Hal ini berbeda dengan fenomena yang biasa ditemukan pada pembuatan bahan lain, misalnya dalam pembuatan arang aktif dari kayu yang menyebabkan pergeseran sudut theta akibat perubahan struktur kristalin. Dalam konteks penelitian ini, kristalinitas yang teramati tetap merupakan kristalin selulosa meskipun mengalami perubahan dalam intensitasnya. Gambar 18 juga menunjukkan perbedaan kristalinitas yang signifikan pada kedua jenis bahan baku tersebut. Hal ini merupakan indikasi bahwa intensitas oksidasi berlangsung cukup intensif. Tabel 3 Tebal, panjang, dan derajat kristalinitas partikel pada berbagai kondisi Jenis Bahan Bambu
Sengon
Kondisi bahan Kontrol Oksidasi Papan Kontrol Oksidasi Papan
Lebar (nm) 6.18 5.99 6.14 5.32 5.77 6.20
Panjang (nm) 31.96 21.88 16.47 23.77 20.29 11.71
Kristalinitas (%) 37.84 32.34 27.21 31.03 25.59 25.81
Fenomena penurunan nilai juga ditemukan pada panjang kristalin selulosa Kedua jenis bahan baku tersbut mengalami penurunan panjang kristalin dari partikel kontrol ke partikel teroksidasi dan dari partikel teroksidasi ke partikel papan. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan panjang kristalin selain disebabkan oleh perlakuan oksidasi, juga dapat disebabkan oleh degradasi termal akibat kempa panas pada suhu 180°C selama 15 menit. Menurut Fengel & Wegener (1995) perubahan yang terjadi akibat degradasi termal sudah dapat berlangsung pada suhu di atas 100°C. Selanjutnya dilihat dari lebar kristalinnya, kedua jenis bahan baku mengalami peningkatan lebar kristalin dari partikel teroksidasi ke partikel papan. Fenomena ini lebih disebabkan oleh aplikasi panas pada proses pengempaan. Menurut Andersson (2006) modifikasi panas dapat menyebabkan peningkatan lebar kristalin selulosa. Dilihat dari angka-angkanya, diketahui bahwa sengon cenderung mengalami lebih banyak perubahan kristalinitas 53
dibandingkan dengan pinus. Hal ini berhubungan dengan reaktivitas masingmasing jenis bahan baku. Penurunan derajat kristalinitas yang tinggi pada bambu dan sengon mengindikasikan bahwa hidroksil radikal yang dihasilkan dari hidrogen peroksida dan fero sulfat selain menyerang lignin juga mampu memengaruhi selulosa partikel.
Besarnya
penurunan
derajat
kristalinitas
sengon
dan
bambu
mengindikasikan bahwa lignin sengon dan bambu cukup reaktif sehingga mudah teroksidasi dan gugus-gugusnya tersubtitusi. Dengan demikian, hanya dibutuhkan bahan oksidator yang lebih sedikit untuk mengaktifkan komponen kimianya. Pada akhirnya sebagian oksidator lain menyerang komponen hemiselulosa ataupun selulosa yang bahkan dapat memengaruhi kritalinitasnya. Indikasi lain dari terdegradasinya selulosa maupun hemiselulosa dapat dilihat dari hasil analisis PyrGC-MS sebagaimana disajikan pada Gambar 19. Salah satu senyawa yang menarik ditinjau dari perubahan intensitas pada berbagai kondisi adalah 1,6-anhydro-beta-d-glucopyranose (levoglucosan). Pada bambu, intensitas senyawa ini naik 3 kali lipat pada partikel teroksidasi dibandingkan dengan kontrol (dari 4,06% menjadi 12,33%), sementara dari partikel teroksidasi ke partikel papan juga meningkat lagi 3 kali lipat (dari 12,33% menjadi 38,78%). Hal yang berbeda ditemukan pada sengon, di mana kadar senyawa tersebut meningkat 20 kali lipat dari partikel kontrol ke partikel teroksidasi (dari 4,81% menjadi 81,24%), akan tetapi menurun kembali 2,6 kali lipat (dari 81,24% menjadi 30,98%). Peningkatan kadar levoglukosan ini diiringi dengan penurunan atau bahkan penghilangan peak pada waktu retensi yang lebih lama yang kemungkinan berasal dari gugus-gugus fungsi lignin-hemiselulosa seperti halnya 2H-1-Benzopyran-7-ol, 3,4-dihydro-5-methoxy-6-methyl-2-phenyl- (CAS) 5methoxy pada bambu ataupun 3-(2,5-dimethoxy-phenyl)-propionic acid pada sengon. Menurut Fengel & Wegener (1995), levoglucosan merupakan hasil degradasi dari polisakarida. Oleh karena itu, peningkatan senyawa tersebut yang sangat signifikan pada partikel teroksidasi dari kayu sengon mengindikasikan terjadinya proses degradasi komponen karbohidrat. Penurunan kadar levoglukosan pada partikel papan diduga disebabkan oleh terjadinya repolimerisasi dan 54
sekaligus dapat menjadi jembatan ikatan antar komponen kimia partikel ketika proses kempa panas diaplikasikan pada partikel tersebut. Dengan memperhatikan fenomena ini, maka tingginya sifat fisik dan mekanis pada papan partikel dari kayu sengon kemungkinan karena selain ditopang oleh ikatan silang dari penggabungan redikal phenoksi juga karena adanya kondensasi lignin dan furfural (Widsten 2002) yang diindikasikan oleh besarnya perubahan pada komponen levoglukosan. Selain itu, hasil analisis PyrGC-MS juga mengindikasikan banyaknya senyawa-senyawa dari keompok furan yang terbentuk.
Kelimpahan (%)
BK
Levoglukosan
Waktu retensi (menit)
Levoglukosan Kelimpahan (%)
BO
Waktu retensi (menit)
55
BP
Kelimpahan (%)
Levoglukosan
Waktu retensi (menit)
Levoglukosan
Kelimpahan (%)
SK
SO
Levoglukosan
Kelimpahan (%)
Waktu retensi (menit)
Waktu retensi (menit) 56
SP
Kelimpahan (%)
Levoglukosan
Waktu retensi (menit)
Gambar 19 Kromatogram partikel pada berbagai kondisi; (BK) bambu kontrol, (BO) bambu teroksidasi, (BP) papan partikel bambu, (SK) sengon kontrol, (SO) sengon teroksidasi, (BP) papan partikel sengon. Hal seperti ini tidak terjadi pada partikel bambu, di mana kadar levoglukosan justru meningkat pada partikel papan yang mengindikasikan adanya degradasi termal. Peningkatan kadar levoglukosan pada partikel teroksidasi merupakan salah satu penjelasan mengapa papan partikel yang dihasilkan memiliki nilai MOR yang relatif rendah meskipun keteguhan rekat dan MOE-nya relatif tinggi. Apabila dihubungkan dengan sifat mekanis papan partikel, maka diketahui bahwa sengon yang memiliki kadar levoglukosan sangat tinggi setelah dioksidasi ternyata memiliki keteguhan rekat terbaik. Dengan demikian dapat diduga bahwa levoglukosan yang merupakan hasil degradasi karbohidrat juga berperan penting dalam pembentukan ikatan antar partikel kayu selain lignin. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Suhasman et al. (2010b) yang menunjukkan bahwa partikel kayu kemiri yang diberi perlakuan perendaman dengan NaOH 1% selama 1 jam memiliki keteguhan rekat paling rendah dibandingkan dengan partikel yang direndam air panas, air dingin, maupun partikel tanpa perendaman. Sebagaimana diketahui perendaman dalam NaOH 1% dapat melarutkan karbohidrat berbobot molekul rendah yang kemungkinan memiliki peran penting dalam pembentukan ikatan antar partikel pada pembuatan papan partikel dengan perlakuan oksidasi. 57
Selain kadar levoglukosan yang meningkat secara signifikan, hasil analisis GC-MS juga menunjukkan adanya senyawa-senyawa baru yang sebelumnya tidak ditemukan pada partikel kontrol. Senyawa-senyawa tersebut antara lain berupa senyawa dari kelompok furan dan kelompok ester. Keberadaan senyawa furan ini sejalan dengan penjelasan Widsten (2002) tentang berbagai kemungkinan tipe-tipe ikatan yang terbentuk pada serat kayu ketika dikempa panas. Salah satu tipe ikatan yang diduga dapat terbentuk adalah kondensasi lignin dengan furfural. Temuan serupa juga dikemukakan oleh Laemsak & Okuma (2000) yang menyatakan bahwa ikatan antar serat pada pembuatan papan serat tanpa perekat dengan metode steam explosion terjadi akibat adanya hubungan antara lignin dan furfural. Adapun keberadaan kelompok senyawa ester yang berperan dalam pembentukan ikatan sebelumnya juga telah dibuktikan oleh Pantze et al. (2008). Hasil-hasil sebagaimana dikemukakan di atas menunjukkan adanya perbedaan karakteristik papan partikel maupun proses degradasi yang terjadi di antara kedua jenis bahan baku. Papan partikel dari jenis kayu sengon memiliki sifat fisik dan mekanis yang lebih baik dibandingkan dengan papan bambu. Berdasarkan fakta ini, dapat disimpulkan bahwa jenis kayu tersebut mengalami proses oksidasi lebih intensif. Perbedaan-perbedaan karakteristik antar jenis bahan baku sebenarnya dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti perbedaan kerapatan, maupun karakteristik masing-masing jenis bahan baku. Hasil determinasi kerapatan bahan baku menunjukkan bahwa bambu memiliki kerapatan rata-rata 0,61 g cm-3, sedangkan sengon memiliki kerapatan rata-rata 0,29 g cm-3. Dengan perbedaan tersebut, maka pada kerapatan papan partikel sekitar 0,75 g cm-3 (kerapatan sasaran), rasio kempa untuk masing-masing jenis papan berbeda-beda yaitu 1,22 untuk bambu, dan 2,59 untuk sengon. Maloney (1993) menyatakan bahwa rasio kempa terbaik untuk pembuatan papan partikel adalah 1,3 sementara Haygreen & Bowyer (1982) menyatakan bahwa rasio kempa yang ideal adalah 1,2-1,6. Dengan rasio kempa yang sangat tinggi pada papan partikel dari kayu sengon, maka kontak antar partikel akan sangat intensif yang memungkinkannya membentuk ikatan yang lebih kuat. Rasio kempa akan meningkatkan sifat mekanis papan, akan tetapi di sisi lain akan menurunkan stabilitas dimensinya (Maloney 1993). 58
Akan tetapi fakta yang ditemukan dalam penelitian ini ternyata tidak demikian. Mekanisme ikatan yang berbeda dengan papan partikel konvensional tampaknya membuat perilaku produk juga menjadi berbeda. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa terdapat aspek lain yang lebih berperan dalam menentukan karakteristik papan partikel. Dalam hal ini adalah struktur lignin. Sebagaimana diketahui, lignin kayu daun lebar tersusun oleh siringil dan guaiasil, sementara kelompok bahan bukan kayu tersusun oleh campuran unit p-hidroksil propana, siringil dan guaiasil (Fengel & Wegener 1995). Widsten et al (2003) menyatakan bahwa lignin siringyl cenderung lebih reaktif dibandingkan dengan guaiasil. Uraian di atas telah menunjukkan karakteristik masing-masing papan partikel yang dibuat dari partikel dengan berbagai perlakuan pendahuluan. Selanjutnya, dilihat dari perbandingan karakteristik papan partikel yang dibuat dari bahan baku dengan perlakuan oksidasi dan kombinasi perebusan dan oksidasi maka tampak bahwa perlakuan oksidasi tanpa perebusan lebih menguntungkan baik dari karakteristik papan partikel yang dihasilkannya secara umum, maupun dari aspek teknis-ekonomis. Perubahan Komponen Kimia Partikel Kelarutan dalam berbagai Pelarut Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat kelarutan partikel mengalami perubahan setelah diberi perlakuan oksidasi maupun setelah dibentuk menjadi papan partikel.
Sebagaimana disajikan pada Gambar 19 dan 20,
kelarutan partikel yang diberi perlakuan oksidasi mengalami penurunan dibandingkan dengan partikel yang belum diberi perlakuan. Hal tersebut terjadi pada penggunaan pelarut air dingin, maupun air panas. Penurunan kelarutan ini menunjukkan semakin sedikitnya jumlah bahan esktraktif yang terlarut dalam pelarut-pelarut tersebut setelah bahan mengalami proses oksidasi. Dengan memperhatikan data yang tersaji pada gambar tersebut, diketahui bahwa bahanbahan yang terlarut pada masing-masing jenis pelarut tersebut menjadi lebih rendah setelah partikel mengalami proses oksidasi. Hal ini dapat terjadi karena selama proses oksidasi, terjadi reaksi eksotermik pada suhu di atas 100oC yang menguapkan air dan bahan-bahan mudah menguap yang terdapat dalam partikel. 59
Pengamatan pada beberapa sampel partikel yang dioksidasi menunjukkan bahwa berat partikel setelah dioksidasi justru menurun meskipun telah dilakukan penambahan hidrogen peroksida dan fero sulfat. Hal ini mengindikasikan bahwa reaksi eksotermik juga dapat menyebabkan menguapnya sebagian komponen esktraktif kayu bersama dengan uap air yang terbentuk. Hasil analisis ragam sebagaimana disajikan pada Lampiran 14 menunjukkan bahwa kondisi partikel berpengaruh nyata terhadap kelarutan papan partikel dalam air dingin maupun air panas, kecuali kelarutan partikel bambu dalam air panas. Signifikansi perbedaan kelarutan masing-masing partikel disajikan pada Gambar 20 dan 21. Kontrol
Partikel Teroksidasi
Papan Partikel
Kelarutan dalam Air Dingin (%)
10 8 6 4 2
b
a
c
a
a
b
0 Bambu
Sengon Jenis bahan baku
Gambar 20 Kelarutan zat ekstraktif dalam air dingin
Kelarutan dalam Air Panas (%)
Kontrol
Partikel Teroksidasi
Papan Partikel
14 12 10 8 6 4 2
tn
tn
tn
a
a
b
0 Bambu
Sengon Jenis bahan baku
Gambar 21 Kelarutan zat ekstraktif dalam air panas 60
Hasil
pengamatan
selama
proses
ekstraksi
menunjukkan
bahwa
kemampuan partikel dalam mengikat air (water holding capacity) berbeda antara partikel kontrol dengan partikel teroksidasi maupun partikel dari papan. Partikel kontrol mampu menahan air lebih lama sehingga setiap kali dilakukan penambahan air menimbulkan genangan pada kertas saring. Sebaliknya, pada partikel teroksidasi maupun partikel dari papan, air yang ditambahkan dengan segera meresap melewati kertas saring. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sifat hydrophilic partikel teroksidasi cenderung menurun akibat adanya perlakuan oksidasi. Pengamatan secara visual menunjukkan bahwa warna larutan partikel yang dioksidasi maupun papan cenderung lebih gelap dibandingkan dengan partikel kontrol. Tampaknya perbedaan tersebut disebabkan oleh keberadaan lignin yang terlarut. Hasil analisis spektrofotometer UV menunjukkan bahwa jumlah lignin berberat molekul rendah yang terlarut dalam air panas meningkat secara signifikan pada partikel teroksidasi maupun partikel papan dibandingkan dengan kontrol. Fakta ini memverifikasi terjadinya degradasi sebagian lignin akibat proses oksidasi. Data-data pada Gambar 22 menunjukkan bahwa ketiga jenis bahan baku mengalami peningkatan kadar lignin terlarut dalam air panas. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun kadar lignin terlarut juga cukup tinggi pada kayu pinus namun ternyata degradasi ini tidak secara langsung mengindikasikan besarnya komponen lignin yang dapat diaktivasi.
Lignin terlarut (%)
Kontrol 0.08 0.07 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0
Partikel teroksidasi
Papan Partikel 0.071 0.06
0.051 0.049
0.022
0.018
Bambu
Sengon Jenis bahan baku
Gambar 22 Persentase lignin yang terlarut dalam air panas 61
Dalam pengujian kelarutan dengan menggunakan larutan NaOH 1%. Sebagaimana disajikan pada Gambar 21, kelarutan partikel teroksidasi dalam pelarut tersebut memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan partikel tanpa perlakuan. Peningkatan yang terjadi ternyata cukup besar, di mana nilai kelarutan untuk jenis kayu sengon meningkat 2,4 kali lipat, sementara jenis bambu meningkat masing-masing 1,6 kali lipat. Perbedaan fenomena yang terjadi ini disebabkan oleh sifat NaOH yang mampu membuat dinding sel mengembang dan melarutkan karbohidrat berbobot molekul rendah yang terutama berasal dari hemiselulosa (Nagaty et al 1982). Dengan demikian, peningkatan kelarutan partikel dalam NaOH ini mengindikasikan bahwa perlakuan oksidasi telah menyebabkan terdegradasinya sebagian komponen-komponen tersebut. Fenomena ini merupakan konfirmasi lebih lanjut bahwa perlakuan oksidasi memang memengaruhi komponen kimia kayu dan bambu. Nilai-nilai perubahan tersebut juga sejalan dengan hasil analisis kristalinitas selulosa yang menunjukkan bahwa kayu sengon merupakan jenis yang paling banyak mengalami penurunan derajat kristalinitas. Hal ini dibuktikan lebih lanjut dari angka peningkatan kelarutan kayu
Kelarutan dalam NaOH 1 % (%)
sengon yang memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan bambu. Kontrol
Partikel Teroksidasi
Papan Partikel
c
a
50 40 30 20 10
a
b
c
b
0
Bambu
Sengon
Gambar 23 Kelarutan zat ekstraktif dalam NaOH 1% Hasil analisis ragam sebagaimana disajikan pada Lampiran 14 menunjukkan bahwa kondisi partikel berpengaruh nyata terhadap kelarutan partikel dalam larutan NaOH 1%. Signifikansi perbedaan kelarutan tersebut disajikan pada Gambar 23. Sebagaimana disajikan pada gambar tersebut, kelarutan tertinggi ditemukan pada partikel teroksidasi, tetapi kembali menurun 62
pada partikel papan. Hal ini mengindikasikan bahwa komponen terdegradasi kemungkinan dapat mengalami
repolimerisasi pada saat kempa panas
diaplikasikan pada partikel. Kadar Holoselulosa, Selulosa, dan Hemiselulosa Kadar holoselulosa masing-masing jenis bahan baku disajikan pada Gambar 24. Data pada gambar tersebut menunjukkan adanya kecenderungan penurunan nilai-nilai kadar holoselulosa pada partikel teroksidasi dari kedua jenis bahan baku yang diteliti. Hasil analisis ragam sebagaimana disajikan pada Lampiran 14 menunjukkan bahwa kondisi partikel berpengaruh nyata terhadap kadar holoselulosa partikel. Signifikansi perbedaan kadar holoselulosa tersebut dapat dilihat pada Gambar 24.
Kadar Holoselulosa (%)
Kontrol
Partikel Teroksidasi
Papan Partikel
100 80 60 40 20
c
b
a
b
b
a
0 Bambu
Sengon Jenis bahan baku
Gambar 24 Kadar holoselulosa partikel Seperti halnya kadar holoselulosa, kadar selulosa partikel juga cenderung menurun dengan adanya perlakuan oksidasi. Hasil analisis ragam sebagaimana disajikan pada Lampiran 14 menunjukkan bahwa kondisi partikel berpengaruh nyata terhadap kadar selulosa bahan partikel. Signifikansi perbedaan kadar selulosa masing-masing partikel yang diuji dengan perbandingan berganda Duncan disajikan pada Gambar 25. Oleh karena determinasi kadar selulosa bahan merupakan kelanjutan dari proses determinasi kadar holoselulosa, maka angkaangka dari kedua parameter ini secara umum memang berkaitan.
63
60
Kontrol
Partikel Teroksidasi
Papan Partikel
b
c
Selulosa (%)
50 40 30 20 10
c
a
b
a
0 Bambu
Sengon
Jenis bahan baku Gambar 25 Kadar selulosa partikel
Mengingat proses reaksi oksidasi berlangsung dalam suasana asam, maka metode ini dikhawatirkan dapat merusak komponen utama dinding sel kayu yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Namun demikian, penurunan kadar selulosa yang kecil akibat perlakuan oksidasi ini menjadi indikator bahwa metode yang diaplikasikan tidak menyebabkan kerusakan selulosa yang sangat signifikan. Fenomena yang sama juga ditemukan pada kadar hemiselulosa, di mana nilai-nilai kadar hemiselulosa relatif sama antara partikel teroksidasi dengan partikel tanpa perlakuan. Degradasi hemiselulosa membuat kayu menjadi lebih rapuh dan kaku (Hill 2006).
Kadar hemiselulosa (%)
Kontrol 35 30 25 20 15 10 5 0
tn
Partikel Teroksidasi
Papan Partikel
tn
tn
tn
Bambu
tn
tn
Sengon Jenis bahan baku
Gambar 26 Kadar hemiselulosa partikel Penurunan kadar holoselulosa, selulosa, maupun hemiselulosa dengan tingkat yang berbeda-beda sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya tentang penurunan derajat kristalinitas sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Penurunan
64
derajat kristalinitas tersebut menunjukkan bahwa degradasi yang terjadi pada komponen selulosa tidak hanya terjadi pada daerah amorf tetapi juga pada daerah kristalin. Pada bagian lain, peningkatan kadar levoglucosan yang diperoleh dari hasil analisis GC-MS juga sejalan dengan penurunan nilai-nilai kadar holoselulosa, selulosa, maupun hemiselulosa, karena senyawa tersebut merupakan hasil degradasi karbohidrat. Kadar Lignin Lignin bertanggung jawab terhadap kekakuan dinding sel dan berperan dalam ikatan individu sel pada area lamella tengah (Winandy & Rowell 1984, Hill 2006). Oleh karena itu perubahan lignin akan berpengaruh terhadap karakteristik papan partikel yang dihasilkannya. Seperti halnya kadar holoselulosa, kadar lignin juga cenderung menurun dengan adanya perlakuan oksidasi. 40
Kontrol
Partikel Teroksidasi
Papan Partikel
Kadar Lignin (%)
32.69
30
24.67
30.59 26.40 25.82
22.76
20 10 a
a
b
tn
tn
tn
0 Bambu
Sengon Jenis bahan baku
Gambar 27 Kadar lignin partikel Fenomena penurunan kadar lignin pada partikel teroksidasi tidak hanya disebabkan oleh degradasi komponen lignin menjadi komponen berberat molekul rendah yang dapat larut ketika dilakukan pemisahan dengan menggunakan bahan kimia asam sulfat pekat, akan tetapi juga disebabkan oleh tersubstitusinya gugusgugus tertentu dari unit-unit phenil propana dalam lignin menjadi gugus hidroksil radikal. Sebagaimana dijelaskan oleh Nguyen (1982) penggunaan hidrogen peroksida dan katalis akan menghasilkan hidroksil radikal yang sangat elektrofilik dan cenderung menyerang lignin yang kaya elektron. Reaksi antara hidroksil 65
radikal dengan lignin tersebut akan menghasilkan phenoxy radical, hidroxylasi dan demethoxylasi yang pada tahap lebih lanjut dapat membentuk ikatan dengan komponen kimia pada partikel lainnya. Hal ini berarti terjadi pergantian gugusgugus tertentu dari lignin yang berberat molekul lebih tinggi dengan unit hidroksil radikal dengan berat molekul yang lebih rendah. Selain penurunan kadar akibat substitusi gugus-gugus fungsinya, penurunan ini juga terjadi karena degradasi sebagian komponen lignin. Hal ini telah ditunjukkan pada hasil analisis spektrofotometer UV yang disajikan pada Gambar 22. Kadar Abu Proses pengabuan dilakukan dengan memanaskan contoh uji pada suhu tinggi sehingga akan mendegradasi dan menguapkan komponen non mineral. Variasi kadar abu pada masing-masing jenis partikel disajikan pada Gambar 28. Secara umum peningkatan kadar abu pada partikel teroksidasi dibandingkan partikel kontrol pada kedua jenis bahan baku menunjukkan bahwa proses oksidasi memang hanya mendegradasi komponen non mineral tanpa mengganggu komponen mineral. Hal ini menyebabkan proporsi komponen mineral atau kadar abu meningkat pada berat contoh uji yang sama. Kontrol
Partikel Teroksidasi
Papan Partikel
Kadar Abu (%)
3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5
tn
tn
tn
a
b
c
0.0 Bambu
Sengon Jenis Partikel
Gambar 28 Kadar abu partikel Peningkatan kadar abu juga dapat disebabkan oleh keberadaan unsur Fe (besi) yang berasal dari senyawa fero sulfat yang dijadikan katalis dalam proses oksidasi. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kondisi partikel berpengaruh
66
nyata pada kadar abu sengon akan tetapi tidak berpengaruh nyata pada bambu. Signifikansi perbedaan masing-masing dapat dilihat pada Gambar 28. Fakta yang diperoleh dari hasil analisis komponen kimia partikel ini telah memberikan gambaran fenomena perubahan komponen kimia akibat perlakuan oksidasi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hidrogen peroksida dengan katalis fero sulfat telah berhasil memodifikasi komponen kimia partikel kayu sehingga akan berikatan pada saat dilakukan proses kempa panas dalam pembuatan papan partikel. Kesimpulan Penelitian
pada
tahapan
ini
telah
berhasil
dilakukan
untuk
mengembangkan teknik pembuatan papan partikel tanpa perekat. Hasil terbaik diperoleh pada papan partikel yang bahan bakunya diberi perlakuan oksidasi tanpa perebusan. Nilai-nilai pengembangan tebal maupun MOE-nya telah memenuhi JIS A 5908 2003. Kedua jenis bahan baku yang digunakan memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut, meskipun tampak bahwa sengon menghasilkan papan partikel dengan sifat fisik dan mekanis yang jauh lebih baik dibandingkan dengan bambu. Perlakuan oksidasi telah berhasil mengaktifkan komponen kimia kayu sehingga mampu membentuk ikatan kovalen pada saat dikempa panas. Berdasarkan hasil analisis FTIR, sengon yang memiliki sifat fisik dan mekanis terbaik disebabkan oleh pembentukan ikatan silang melalui penggabungan phenoksi radikal dan adanya kondensasi lignin dan furfural. Meskipun demikian oksidasi
juga
dapat
menyebabkan
penurunan
kekuatan
papan
akibat
terdegradasinya komponen karbohidrat. Sejumlah fakta yang membuktikan hal ini adalah turunnya derajat kristalinitas selulosa, meningkatnya kadar levoglukosan yang merupakan hasil degradasi karbohidrat, serta meningkatnya kelarutan partikel dalam NaOH 1%.
67