PENGARUH PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TERHADAP PEMBENTUKAN KELUARGA SAKINAH (STUDI PADA KECAMATAN CAKUNG JAKARTA TIMUR) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : RIANA MARUTI NIM : 104044201479
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKSHIYAH FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
PENGARUH PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TERHADAP PEMBENTUKAN KELUARGA SAKINAH (STUDI PADA KECAMATAN CAKUNG JAKARTA TIMUR) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : RIANA MARUTI NIM : 104044201479 Di bawah bimbingan:
Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP. 150 210 422
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKSHIYAH FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PENGARUH PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TERHADAP PEMBENTUKAN KELUARGA SAKINAH (STUDI PADA KECAMATAN CAKUNG JAKARTA TIMUR) telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 September 2008 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Al-Ahwal As-Syakhsiyyah.
Jakarta, 23 September 2008 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua:
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA (..........................) NIP. 150 169 102
2. Sekretari:
Kamarusdiana, S.Ag., M.H (..........................) NIP. 150 285 972
3. Pembimbing: Prof. Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM (..........................) NIP.150 210 422
4. Penguji I:
DR.Yayan Sopyan, M.Ag (..........................) NIP. 150 277 991
5. Penguji II:
Drs. Noryamin Aini, MA (.........................) NIP. 150 247 330
ـــ اا ا ا KATA PENGANTAR Segala Puji bagi Allah seru sekalian alam, yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, pembawa syari’ah-Nya yang universal bagi semua manusia dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman. Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis jumpai, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan, kerja keras dan kerja cerdas disertai dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan akhirnya dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Atas
bimbingan
menyelesaikan
skripsi
dan ini,
bantuan
penulis
dari
secara
berbagai
khusus
pihak
dalam
mempersembahkan
ungkapan terima kasih sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku Rektor Univarsitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus sebagai dosen pembimbing yang telah
mendidik, membina serta membimbing, selama penulis menyusun skripsi ini. 3. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Segenap bapak dan ibu dosen atau staf pengajar pada lingkungan Program Studi
Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku kuliah. 5. Segenap jajaran staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum, Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Bapak H. Achmad Fauzi, SH selaku Kepala KUA Cakung Jakarta Timur dan seluruh jajarannya staf dan karyawan KUA Cakung Jakarta Timur. 7. Terkhusus penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga sebagai ucapan rasa sayang
Kepada Ayahanda
Sugiyatno dan Ibunda Lia Suliyati yang telah mendidik penulis dari kecil hingga dewasa dengan penuh pengorbanan, serta memberikan Do’a, motivasi, semangat dengan penuh kasih sayang, kesabaran dan perhatian yang begitu tulusnya di setiap langkahku, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di UIN Jakarta.
8. Kakak-kakak dan adikku, Kukuh Hudiri, SE, dan istri Eridani Adara ST, Martanti liesuatika dan suami Andriyadi, adikku Margo subakti serta keponakanku yang
aku cintai Muhamad Dafa Rajendra, Karla Naifa
yang dengan segala upaya dan kemampuan yang ada kalian telah memberikan
dorongan
kepadaku
untuk
menyelesaikan
studi
di
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. 9. Kakanda
Agus
Sulistiono
S,St,Pi.
yang
telah
setia
memberikan
do’a,semangat, perhatian dan kasih sayang yang tulus di setiap langkah penulis baik suka maupun duka hingga penulis menemukan
kembali
semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. 10. Sahabat-sahabatku
Konsentrasi
Administrasi
Keperdataan
Islam
Angkatan 2004, Andy, Eni,Bari, Zarkasih, Puji, Hana, Diah, lilis, Ade, Dede terima kasih atas doa kerjasama dan kekompakanya dan tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Kakak Amarullah yang telah meminjamkan buku-bukunya. 11. Semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan baik berupa materil maupun spirituil yang sangat berharga didalam menyusun skripsi ini. Penulis menyadari bahwa segala bantuan dan motivasi yang penulis peroleh tidak akan dapat terbayar oleh apapun, hanya do’a yang dapat penulis panjatkan semoga pahala berlipat ganda dilimpahkan Allah SWT kepada kita semua. Amin ya robbal alamin.
Jakarta, 03 Juni 2008 Riana Maruti
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................... i Daftar Isi................................................................................................................ iv
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 B. Pembatasan Masalah ...................................................................... 4 C. Perumusan Masalah .......................................................................... 5 D. Tujuan Penelitian ............................................................................... 6 E. Metode Penelitian.............................................................................. 6 F. Review Studi Terdahulu ..................................................................... 9 G. Sistematika Penulisan.........................................................................10
BAB II
TINJAUAN UMUM PERKAWINAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan...................................... 12 B. Rukun dan Syarat Perkawinan .......................................................... 17 C. Hikmah Perkawinan ........................................................................... 23
BAB III
TINJAUAN TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN KELUARGA SAKINAH
A. Perkawinan Di Bawah Umur .............................................................. 26 B. Keluarga Sakinah ............................................................................... 39 BAB IV
PENGARUH PERKAWINAN DIBAWAH UMUR TERHADAP PEMBENTUKAN KELUARGA SAKINAH PADA MASYARAKAT CAKUNG JAKARTA TIMUR A. Kondisi Umum Kecamatan Cakung Jakarta Timur ......................... 47 B. Analisa Perkawinan Di Bawah Umur Di Kecamatan Cakung Jakarta Timur ...................................................................................... 51 C. Analisa Pengaruh Perkawinan Di Bawah Umur terhadap Pembentukan keluarga sakinah....................................................... 60
BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan ......................................................................................... 65 B. Saran-saran......................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 68
LAMPIRAN-LAMPIRAN.......................................................................................... 70
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Sudah menjadi kodrat manusia diciptakan dan dilahirkan ke dunia ini terdiri dari dua jenis yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan. Antara kedua jenis manusia ditakdirkan hidup saling berpasang-pasangan antara individu yang kemudian menimbulkan dorongan untuk mengadakan hubungan antara ikatan suami istri yang kekal serta membangun rumah tangga yang bahagia dan sejahtera dalam suatu ikatan yang kokoh yang disebut dengan perkawinan. Perkawinan menjadi bagian yang penting bagi kehidupan manusia karena
menyangkut
hubungan
antar
manusia.
Karena
menyangkut
hubungan antar manusia, maka perkawianan juga merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat-akibat hukum yang berupa hak-hak dan kewajiban bagi mereka yang melangsungkan perkawinan. Oleh karena itu sudah menjadi tugas penguasa negara dalam hal ini pemerintah untuk mengatur norma-norma hukum bagi perkawinan diantara warga untuk kebutuhan masing-masing masyarakat.1
1
A. Mukthie Fadjar, Tentang dan Sekitar Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet. Ke-1, (Malang: Fakultas Pedagang/Wiraswasta Hukum Universitas Brawijaya, 1994), hal.1
Selain itu alasan mengapa perkawinan mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia yaitu menyangkut harga diri, sebagaimana dikatakan oleh Sayuti Thalib: Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.2 Oleh karena itu perkawinan menjadi sangat penting bagi kehidupan seorang individu dalam suatu masyarakat. Masalah perkawinan di Indonesia telah ada yang mengatur yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
(Lembaran negara No1 Tahun 1974), sebagai realisasi dari
kebutuhan adanya peraturan tentang perkawinan secara nasioanal. Penetapan umur sesuai dengan salah satu asas yang dianut UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan: Undang-Undang perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami istri masak jiwa dan raganya. Hal ini sangat perlu untuk mewujudkan tujuan perkawinan, ialah agar anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut merupakan anak yang sehat. Disamping itu batas umur rendah mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi hal mana adalah bertentangan dengan usaha pemerintah untuk membatasi kelahiran dengan menyelenggarakan Program Keluarga Berencana Nasional.
Walaupun
batasan
umur
telah
tegas-tegas
diatur,
dalam
kenyataannya masih banyak terjadi pernikahan dibawah umur. Masalah ini
2
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia. Cet. Ke-5, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), hal. 48
tidak lepas dari soal pola budaya masyarakat yang telah dianut sejak dahulu, faktor ekonomi, faktor psikologis, dikarenakan rasa malu akibat kehamilan yang terjadi lebih dulu sehingga untuk mengatasinya dilakukan perkawinan walaupun secara biologis maupun psikologis mereka belum cukup siap. Namun perkawinan di bawah umur ini dimungkinkan oleh pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur tentang dispensasi untuk melangsungkan pernikahan di bawah umur, dimana izin untuk itu diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukkan oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita. Walaupun pelaksanaan perkawinan di bawah umur ini telah tegastegas diatur dalam undang-undang namun pada pelaksanaanya masih banyak orang yang melakukan manipulasi data calon pengantin misalnya dengan menuakan tahun kelahiran dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), mereka dapat melangsungkan perkawinan dan perkawinan tersebut dapat dicatatkan di Kantor Urusan Agama tanpa adanya pemberian izin dispensasi dari Pengadilan Agama. Dengan demikian sudah jelas kiranya petugas pencatat perkawinan dalam hal ini mempunyai peranan yang sangat penting, karena lembaga ini yang memeriksa segala persyaratan bagi calon mempelai yang ingin menikah. Disamping itu pernikahan di bawah umur dinilai dapat menimbulkan berbagai dampak yang kurang baik karena mereka dinilai belum memiliki
kesiapan dan kematangan fisik dan mental, karena kematangan fisik dan mental sebelum menikah merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Berlangsungnya
perkawinan
yang
sama-sama
dewasa
dinilai
akan
membantu dampak yang baik bagi perkembangan rumah tangga, dengan adanya kedewasaan kedua belah pihak baik fisik maupun mental akan membuat rumah tangga tentram dan damai sehingga apa yang dicitacitakan dalam kehidupan berumah tangga dapat tercapai. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menganalisa permasalahan
ini.
Dengan
segala
keterbatasan
pengetahuan
dan
kemampuan, penulis ingin menulis skripsi dengan judul: “PENGARUH PERKAWINAN
DI
BAWAH
UMUR
TERHADAP
PEMBENTUKAN
KELUِِARGA
SAKINAH” (STUDI PADA KECAMATAN CAKUNG JAKARTA TIMUR).
Pembatasan Masalah Agar penelitian dan penulisan skripsi ini menjadi fokus dalam pembahasanya,
maka
penulis
memberikan
batasan.
Batasan
yang
digariskan adalah sebagai berikut: 1) Penelitian hanya membahas masalah pernikahan di bawah umur yaitu yang melakukan pernikahan yang tidak sesuai dengan pasal 7 ayat 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurangkurangnya berumur 16 tahun yang terjadi di lingkungan hukum Cakung Jakarta Timur.
KUA
2) Keluarga yang penulis maksud adalah masyarakat terkecil sekurangkurangnya terdiri dari pasangan suami istri sebagai sumber intinya berikut anak-anak yang lahir dari mereka. Jadi, setidak-tidaknya keluarga adalah pasangan suami istri, baik mempunyai anak atau tidak mempunyai anak. Sakinah yang penulis maksud adalah rasa tentram, aman damai. Seorang akan merasa sakinah apabila terpenuhi unsur-unsur hajat hidup spiritual dan material secara layak dan seimbang. Dengan demikian dapat dirumuskan pengertian Keluarga Sakinah yang penulis maksud adalah keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat hidup spritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi suasana kasih sayang antar anggota keluarga dan lingkungannya dengan selaras, serasi, serta mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam nilai-nilai keimanan, ketaqwaaan dan akhlaq mulia. 3) Hukum Islam yang penulis maksud adalah Hukum Islam yang membahas masalah perkawinan.
Perumusan Masalah Pelaksanaan Perkawinan di bawah umur tidak sesuai
dengan KHI
pasal 15 Ayat I yaitu: “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan
oleh calon mempelai yang telah
mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19
tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”. Namun dalam Islam sendiri tidak ada ketegasan secara konseptual dalam pembatasan usia perkawinan, Maka kerawanan perkawinan di bawah umur sering terjadi. Akibatnya banyak sekali kegagalan dalam perkawinan hal ini dikarenakan antara kematangan calon suami istri baik dari aspek fisik maupun psikis calon suami istri, yang diwujudkan dalam pembatasan usia minimal perkawinan sangatlah penting bagi kebahagiaan dan kesejahteraan perkawinan itu sendiri. Dengan melihat hal tersebut di atas, maka ada beberapa hal yang perlu untuk diangkat kepermukaan sebagai rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu : 1) Apa yang mempengaruhi terbentuknya keluarga sakinah? 2) Ada atau tidak korelasi antara tinggi rendahnya usia perkawinan dengan pembentukan keluarga sakinah? 3) Ada atau tidak pengaruh perkawinan di bawah umur terhadap pembentukan keluarga sakinah?
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui apa yang mempengaruhi terbentuknya keluarga sakinah. 2. Untuk mengetahui ada atau tidak korelasi antara tinggi rendahnya usia perkawinan dengan pembentukan keluarga sakinah.
3. Untuk mengetahui ada atau tidak pengaruh perkawinan di bawah umur terhadap pembentukan keluarga sakinah.
Metode Penelitian Untuk mengkaji permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini, Penulis mempergunakan suatu kombinasi antara dua bentuk penelitian, yaitu
penelitian
kuantitatif
dan
kualitatif,
sedangkan
metode
yang
digunakan adalah metode deskriptif analisis, yang penulis peroleh melalui: 1. Sumber Data Menurut Sugiono bila dilihat dari sumber data, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sekunder.3 a.
Data Primer, merupakan data yang diperoleh langsung dari responden melalui Quesioner dan wawancara baik dengan pelaku pernikahan di bawah umur maupun pihak lain yang bersangkutan dengan judul skripsi ini.
b. Data Sekunder, yaitu data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data. Data sekunder ini diperoleh dari para informan dan dari buku-buku melalui kajian kepustakaan yang berhubungan dengan skripsi ini. 2. Populasi dan Sampel
3
Sugiono, Metode Penelitian Bisnis (CV. Arkabeka Bandung 2007), h.139
a. Populasi dari studi ini adalah masyarakat kecamatan cakung yang sudah menikah baik pernikahan yang sudah lama maupun yang baru, dengan jumlah populasi sebesar 217236 jiwa. b. Sampel dari studi ini diambil 100 orang, dengan menggunakan random sampling. 3. Teknik Pengumpulan Data a.
Observasi,
yaitu
penulis
mengadakan
pengamatan
langsung
kelapangan untuk melihat dan meneliti pengaruh perkawinan di bawah umur terhadap pembentukan keluarga sakinah yang terjadi pada masyarakat Kecamatan Cakung Jakarta Timur. b. Wawancara, Mengadakan tanya jawab langsung secara terbuka dengan warga kecamatan cakung yang melakukan perkawinan di bawah
umur,
guna
mendapatkan
hasil
yang
sesuai
untuk
menyelesaikan skripsi ini. 4. Teknik Pengolahan Data Seluruh data yang penulis peroleh dari wawancara, angket, dan pustaka diseleksi dan disusun, setelah itu penulis melakukan klasifikasi data, yaitu usaha menggolong-golongkan data berdasarkan kategori tertentu. Setelah data-data yang ada di klasifikasikan, lalu diadakan analisa data, dalam hal ini, data yang di kumpulkan penulis adalah data kualitatif kemudian diolah menjadi data kuantitatif, maka teknik yang
digunakan adalah metode statistik deskriptif yang akan di sajikan dalam bentuk uraian dan tabel. Metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat, tujuannya adalah untuk membuat deskriftif, gambaran atau lukisan yang sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifatsifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki Data yang telah terkumpul diperiksa kembali mengenai kelengkapan jawaban yang diterima kejelasanya konsistensinya atau informasi yang biasa disebut editing, kemudian data-data tersebut di tabulasi, yakni disusun kedalam bentuk tabel dengan menggunakan statistic persentase sebagai berikut :
P=
F x 100 % N
Keterangan: P = Besar persentase F = Frekuensi ( jumlah jawaban responden) N = Jumlah responden Besar persentase dari rumus diatas akan dijelaskan dengan beberapa criteria: 100 %
: Seluruhnya
82 – 93 %
: Hampir seluruhnya
67 – 81 %
: Lebih dari setengah
50 %
: Setengahnya
34 – 49 %
: Hampir setengahnya
18 – 33 %
: Sebagian kecil
12- 17 %
: Sedikit sekali
Sedangkan dalam penyusunan skripsi ini teknik penulisa berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi fakultas syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah.
Review Studi Terdahulu Selama penelusuran penulis, bahwa pembahasan Pengaruh Perkawinan Di Bawah Umur Terhadap Pembentukan Keluarga Sakinah, telah ada yang membahas masalah tersebut diantaranya adalah “ Pernikahan Usia Muda Terhadap Pembentukan Keluarga Sakinah “ oleh Ahmad Hidayat, namun masih terdapat beberapa kekurangan di antaranya tidak memberikan contoh kasus pasangan yang melakukan perkawinan usia muda yang dapat membentuk keluarga sakinah. Sedangkan dalam skripsi yang penulis bahas yaitu “ Pengaruh Perkawinan Di Bawah Umur Terhadap Pembentuka Keluarga Sakinah “ Studi Pada Kecamatan Cakung Jakarta Timur, penulis memberikan contoh pasangan yang melakukan perkawinan di bawah umur yang dapat membentuk keluaraga sakinah.
Skripsi yang kedua “ Pemberiam Dispensasi Kawin Di Bawah Umur Oleh Pengadilan Agama “, yang di bahas oleh Ayatullah. Skripsi ini membahas bagaimana Prosudur permohonan dispensasi kawin di bawah umur yang terjadi di Pengadilan Agama denagan nomor ( 003/pdt. P/ 1996 /PA ) yang mana pemohon meminta dispensasi karena pemohon telah melakukan hubungan intim dengan kekasihnya sehingga orang tuanya mengharuskan untuk segera menikah.Namun skripsi ini masih memiliki beberapa kekurangan diantaranya adalah dalam skripsi ini tidak dibahas dampak yang timbul setelah pernikahan terjadi.
Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Adapun perincianya sebagai berikut: BAB 1
Pendahuluan, memuat: Latar Belakang Masalah, Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodelogi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II
Tinjauan Umum Perkawinan, pada bab ini penulis akan mengulas Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan, Rukun dan Syarat Perkawinan, Hikmah perkawinan.
BAB III
Tinjauan Terhadap Perkawinan Di Bawah Umur dan Keluarga Sakinah. Pada bab ini penulis membahas Perkawinan Di Bawah Umur, yang dibagi menjadi dua yaitu: Pengertian Perkawinan
Di
Bawah
Umur
dan
Tinjauan
Hukum
Islam
Terhadap
Perkawinan Di Bawah Umur. Kemudian Keluarga Sakinah dan di bagi
menjadi
tiga
yaitu:
Pengertian
Keluarga
Sakinah,
Karakteristik Keluarga Sakinah, Tujuan dan Hakikat Keluarga Sakinah.
BAB IV
Pengaruh Perkawinan Di Bawah Umur terhadap Pembentukan Keluarga Sakinah Pada Masyarakat Kecamatan Cakung Jakarta Timur. Pada bab ini penulis akan menjelaskan Kondisi Umum Kecamatan Cakung Jakarta Timur,Analisa Perkawinan Di Bawah Umur di Kecamatan Cakung Jakarta timur, Analisa Pengaruh perkawinan Di bawah Umur Terhadap Pembentukan Keluarga Sakinah.
BAB V
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, Untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis mengetengahkan beberapa saran yang dianggap perlu.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Pernikahan merupakan Sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua mahluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi mahlukNya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.4 Allah SWT, berfirman dalam Surat An-Nisa (4): 1 yang berbunyi sebagai berikut:
َِْ َ%َََِ"َةٍ و#َأََ ا سُ ا ُا رَ ُُ ا ِي َََُْ ِْ ﻥٍَْ وَا ِ1ِ ََءَ ُن0َ َ ا ِي1 َءً وَا ُا ا0ًِا وَﻥ+,ِ-َزَوْ&ََ وََ( ُِْ)َ رِ&َ ً آ (1:4 /90 )ا.ً7,ِ8َُْْ ر,ََ6 ََ آَن1 َمَ إِن ا#َْر4ْ وَا Artinya:” Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya menciptakan isterinya; dan daripada keduanya memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan banyak.”
4
Abidin Slamet, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Cet Ke-1, h. 9
telah Allah Allah yang
Adapun tentang makna pernikahan itu secara dedfinitif, masingmasing ulama fikih berbeda dalam mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut: 2 1. Ulama Hanafiah, mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya seorang lakilaki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badanya untuk mendapatkan kesenanganya atau kepuasaan. 2. Ulama Syafi’iyah, menyebutkan bahwa pernkahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafal nikah atau zauj yang menyimpan arti memiliki wati. Artinya dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasangannya. 3. Ulama Malikyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan, dengan tidak mewajibkan adanya harga. 4. Ulama Hanabilah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan menggunakan lafal Inkah untuk mendapatkan kepuasan, artinya seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya. Dari beberapa pengertian nikah tersebut di atas maka dapat penulis kemukakan bahwa pernikahan adalah suatu akad antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang
2
Djama’an Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), Cet Ke-1, h.. 2
telah
ditetapkan
syara
untuk
menghalalkan
pencampuran
antara
keduanya, sehingga satu sama lain saling saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga.3 Para
ulama
Mutaakhirin
dalam
mendefinisikan
nikah
telah
memasukkan unsur hak dan kewajiban suami-istri kedalam pengertian nikah, Muhammad Abu Ishrah mendefinisikan nikah sebagai: "Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadakan
tolong-menolong
serta
memberi
batas
hakekat
bagi
pemiliknya dan pemenuhan kebutuhan masing-masing".4 Dari pengertian ini berarti perkawinan mengandung akibat hukum yaitu saling mendapat hak dan kewajiban. Serta bertujuan mengadakan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Oleh karena itu perkawinan termasuk
dalam
pelaksanaan
syari’at
agama,
maka
di
dalamnya
terkandung tujuan dan maksud. "Perkawinan menurut Islam adalah suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang pria dengan seoang wanita membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram, bahagia dan kekal”.5
3
Ibid, h.. 12
4
Ibid, h. 4
5
A. Zuhdi Muhdlur, Hukum Perkawinan, (ttp, Al-Bayan, 1997), Cet ke-1, h. 6.
Arti "perkawinan" menurut Undang-undang Republik Indonesia No. I Tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal I dikatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan menurut Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan mengandung unsur-unsur: 1. Keagamaan /Kepercayaan /rohani, dalam arti bahwa perkawinan itu hanya dilangsungkan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan pelaksanaanya
dilangsungkan
menurut
hukum
masing-masing
agama dan kepercayaan. 2. Biologis, seperti dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang
perkawinan
yang
menentukan
bahwa
ketidakmampuan istri dalam melahirkan keturunan alasan untuk berpoligami. 3. Psikologis, dalam arti bahwa seseoang yang akan melangsungkan perkawinan harus sudah benar-benar dewasa. Penentuan batasan umur untuk kawin dikaitkan dengan laju pertumbuhan penduduk. 4. Unsur hukum adat, yaitu mengenai pengaturan harta benda perkawinan yang mengambil alih azas dalam hukum adat. 5. Yuridis, yang dapat disimpulkan dari ketentuan bahwa perkawinan yang
dilakukan
secara
sah
adalah
jika
perkawinan
tersebut
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami istri telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Seperti disyaratkan dalam pasal 7 ayat (1) UndangUndang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, seorang pria diperbolehkan melangsungkan perkawinan jika telah mencapai umur 19 tahun sedang seorang wanita telah berusia 16 tahun. Selain itu perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan
masyarakat,
sebab
perkawinan
itu
tidak
hanya
menyangkut wanita dan pria yang bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua. Kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Dengan tidak mengesampingkan unsur-unsur yang terlibat dalam lingkupnya, karena satu sama lain saling ikut melengkapi demi terciptanya keharmonisan hidup. “Oleh karena peristiwa perkawinan mempunyai arti yang begitu penting, maka pelaksanaannya senantiasa dimulai dan seterusnya disertai dengan berbagai upacara lengkap dengan adat istiadat yang ada dilingkungan tersebut”.6 2. Dasar Hukum Perkawinan
6
Surojo Nigo Jodipuro, Pengantar Dan Azaz-azaz Hukum Adat, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987), Cet Ke-6, h. 122
Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Al-Qur'an QS. Ar-Rum (30): 21
#☯&' !" 01&234 ()*, ./ ,;<2*< !9,: 5678 CD A3B <34 @ =☺ ?
وم+ )ا
JK⌧ HI*4/ EF G
(21:30/ Artinya: "Dan di antara landa-tanda kekuasaan-Nya ialah. Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar• terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir ".
QS An- Nahl (16): 72
5678 MN0 5678 #☯&' !" BO, !98&' Q #'? ,;P⌧ V6U 9&0039W @ F 9STKU0 XN0 F☺7,3 *,
(72:16/=> )ا
J! 7Y
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu Isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istrei-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-
cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari ni'mat Allah?".
QS An-Nisa (4): 3
A3B (*U &47 ]^ [\&Q 34 0 (*"00W @?` T&0 N0d e0 Q Qb0 ( j k? h7i @f;8g (*P7 ]^ i.&Q 3lW F 0 n;P*W A;o2 CD @ e☺
(3:4/ 90 **( )ا7 ]^ Artinya : “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
B. Rukun dan Syarat Perkawinan Berbicara
mengenai
hukum
perkawinan
sebenarnya
kita
membicarakan berbagai aspek kehidupan masyarakat, bahwa bentuk masyarakat ditentukan atau sekurang-kurangnya banyak dipengaruhi oleh bentuk dan sistem perkawinan, sebelum kita membicarakan syarat dan rukun perkawinan tersebut alangkah lebih baik kita melihat perkawinan dari tiga sudut, yaitu:
Pertama, dari sudut hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian antara pria dan wanita agar dapat melakukan hubungan kelamin secara sah dalam waktu yang tidak tertentu9 (lama, kekal, abadi) kedua, Dari sudut agama perkawinan itu dianggap sebagai suatu lembaga yang suci dimana antara suami istri agar hidup tentram, saling mencintai, santun menyantuni dan kasih mengasihi antara satu terhadap yang lain dengan tujuan mengembangkan keturunan.10 Pekawinan adalah suatu jalan yang halal untuk melanjutkan keturunan dan dengan perkawinan itu akan terpelihara agama, kesopanan dan kehormatan. Banyak penyakit jiwa yang sembuh setalah melakukan perkawinan
umpamanya
penyakit
kurang
darah
(anemia),
dengan
demikian perkawinan dapat menimbulkan keunggulan, keberanian dan rasa tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat dan negara. Perkawinan juga dapat menyambung tali silaturrahmi, persaudaraan dan kegembiraan dalam menghadapi perjuangan hidup dalam kehidupan masyarakat dan sosial. Ketiga, dari sudut kemasyarakatan bahwa orang-orang telah kawin atau berkeluarga telah memenuhi salah satu bagian syarat dari kehendak
Nazwar Syamsu, A1-Qur'an Tentang Manusia dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), Cet. Ke-1, h. 159. 9
10
1bid, h. 159
masyarakat, serta mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dihargai dari mereka yang belum kawin.11 Rukun dan syarat dalam Islam merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya, karena kebanyakan dari setiap aktifitas ibadah yang ada dalam agama Islam ada yang namanya rukun dan syarat, sehingga bisa dibedakan dari pengertian keduanya adalah: syarat merupakan suatu hal yang harus ada atau terpenuhi sebelum suatu perbuatan dilaksanakan, sedangkan rukun merupakan suatu hal yang harus ada atau dipenuhi pada saat perbuatan dilaksanakan. Seperti dalam shalat misalnya, wudhu merupakan suatu perbuatan yang dilakukan sebelum shalat yang kemudian menjadi syarat sah shalat, adapun rukun shalat adalah niat, membaca takbiratul ikhram, membaca fatihah dan lain-lain yang merupakan suatu perbuatan yang merupakan satu perbuatan yang dilakukan pada saat shalat berlangsung. Kaitannya pada bidang perkawinan adalah bahwa rukun perkawinan merupakan sebagian dari hakikat perkawinan, seperti harus adanya laki-laki dan perempuan, wali, akad nikah dan sebagainya. Semua itu adalah bagian dari hakikat perkawinan, dan tidak dapat terjadi suatu perkawinan
11
Ibid, h. 106
kalau tidak ada salah satu dari rukun perkawinan di atas. Maka yang demikian dinamakan rukun perkawinan.12 Adapun
syarat
merupakan
sesuatu
yang
harus
ada
dalam
perkawinan tetapi tidak termasuk salah satu sebagian dari hakikat perkawinan itu, misalnya syarat wali itu adalah laki-laki, baligh, berakal dan sebagainya. Lebih lanjut penulis akan menjelaskan lebih rinci mengenai rukun dan syarat perkawinan sebagai berikut: 1. Rukun Perkawinan Rukun perkawinan merupakan hal-hal yang harus di penuhi pada saat melangsungkan perkawinan. Dalam Islam sebenarnya banyak perbedaan pendapat yang terjadi antara Imam mazhab, akan tetapi pada kali ini penulis hanya akan mengemukakan pendapat yang berkembang di Indonesia yang juga telah menjadi hukum tertulis di Indonesia, diantaranya: a. Adanya calon suami dan calon isteri yang akan melakukan perkawinan. b. Adanya wali dari pihak calon wanita. Akad nikah dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakil yang akan menikahkannya. c. Adanya dua orang saksi.
12
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1996), Cet. Ke-15, h. 15
Pelaksanan perkawinan, akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut. d. Sighat akad nikah, yaitu ijab qabul yang di ucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh pengantin laki-laki.13 2. Syarat Perkawinan Syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Jika syarat-syaratnya
terpenuhi
maka
perkawinanya
adalah
sah
dan
menimbulkan segala adanya kewajiban dan hak-hak perkawinan.14 Dalam Islam syarat-syarat nikah di perinci ke dalam syarat-syarat untuk mempelai wanita dan syarat-syarat untuk mempelai laki-laki, syarat-syarat nikah ini digolongkan ke dalam syarat materil dan harus di penuhi agar dapat melangsungkan perkawinan. Dikarenakan syarat merupakan kepanjangan tangan dari rukun perkawinan, rukun di atas, diantaranya sebagai berikut: a. Syarat calon mempelai laki-laki: 1) Calon suami beragama Islam, 2) Laki-laki, 3) Jelas orangnya, 4) Tidak dipaksa (dengan kemauan sendiri),
13
14
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor : Kencana, 2003), Cet. Ke-l, h.46-47 Hasanudin, Diktat kuliah Mukaranah Al-Mazahib Fit Munakahat, 2002
5) Tidak beristri lebih dari empat orang, 6) Bukan mahramnya bakal isteri, 7) Tidak mempunyai isteri dan haram dinikahi, 8) Mengetahui bakal isterinya tidak haram dinikahi, 9) Tidak dalam ihram haji atau umrah. b. Syarat calon mempelai wanita: 1) Beragama Islam, 2) Perempuan, 3) Jelas orangnya, 4) Tidak bersuami dan tidak dalam masa iddah, 5) Telah memberi izin kepada wali untuk mengawinkannya, 6) Bukan mahrom bakal suami, 7) Belum pernah di Wan (sumpah li'an) oleh bakal suaminya, 8) Tidak dalam ihram haji atau umroh. c. Syarat bagi wali nikah: 1) Laki-laki, 2) Beragama Islam, 3) Dewasa, 4) Mempunyai hak perkawinan, 5) Tidak terdapat halangan perkawinan, d. Syarat bagi saksi nikah: 1) Dua orang laki-laki, 2) Beragama Islam, 3) Baligh,
4) Berakal, 5) Melihat, 6) Mendengar, 7) Mengerti tentang maksud akad nikah, 8) Hadir dalam ijab qabul. e. Syarat ijab dan gabul: 1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali, 2) Adanya pernyatan penerimaan dari calon mempelai pria, 3) Memakai kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau tazwij, 4) Antara ijab dan qabul bersambung, 5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya, 6) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji dan umrah, 7) Majlis ijab dan qabul itu harus di hadiri minimum empat orang, yaitu: calon mempelai pria dan wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi. Syarat-syarat perkawinan di atas wajib dipenuhi, jika tidak terpenuhi syarat di atas, maka berakibat batal atau tidak sah (fasik) perkawinannya. Selain syarat-syarat tersebut di atas masih ada satu syarat lagi yang harus di perhatikan oleh umat Islam dalam hal akan melaksanakan perkawinan yaitu syarat tidak melanggar larangan perkawinan. C. Hikmah Perkawinan
Sebagaimana telah dijelaskan diatas pada hal 9 sampai halaman 11 tentang sikap agama islam terhadap perkawinan, maka jelaslah bahwa Islam menganjurkan dan memberika kabar gembira kepada orang yang mau kawin. Dengan perkawinan orang tersebut diharapkan menjadi baik perilakunya, masyarakatpun menjadi baik bahkan seluruh umat manusia menjadi baik15. Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Rasul, hikmah nikah ini antara lain: Menyalurkan seks, jalan mendapatkan keturunan yang sah, penyaluran naluri kebapakan dan keibuan, dorongan untuk bekerja keras, pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan menghubungkan silaturahmi antara dua keluarga besar (suami dan istri). 16 1. Sesungguhnya naluri seks adalah naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut jalan keluar, maka banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan dan kekacauan. Oleh karena itu dia akan mencari jalan keluar yang jahat. Kawin adalah jalan yang paling alami dan paling sesuai untuk menyalurkan naluri seks. Dengan perkawinan Insya Allah badan orang tersebut menjadi sehat, segar dan jiwanya menjadi tenang, matanya terpelihara dari melihat yamg haram, perasaan menjadi tenang dan dia dapat menikmati barang yang halal, sesuai dengan firman Allah dalam surat Ar-Rum (30) ayat 21:
15 16
Nur, Djaman, fiqh Munakahat, , h. 10 Ibid., h.11
!" ()*, ./ #☯&' !9,: 5678 01&234 A3B <34 @ =☺ ? ,;<2*< HI*4/ EF G CD
(21:30/ وم+ )اJK⌧ Artinya:
"Dan di antara landa-tanda kekuasaan-Nya ialah. Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu banar-banar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir "
2. Kawin adalah jalan yang terbaik untuk mendapatkan keturunan menjadi mulia, keturunan menjadi banyak dan sekaligus melestarikan hidup manusia serta memelihara keturunanya. Orang yang telah mendapatkan keturunan berarti dia telah mendapatkan buah hati sibiran tulang bagi orang tuanya dan menambah semarak dan bahagia dalam rumah tangganya. 3. Orang yang telah kawin dan memperoleh anak, maka naluri kebapakan, naluri keibuan akan tumbuh saling lengkap melengkapi dalam suasaan hidup kekeluargaan yang menimbulkan perasaan ramah, perasaan saling mencintai dan saling menyayangi antara satu dengan yang lain. 4. Orang yang telah kawin dan memperoleh anak akan mendorong yang bersangkutan
melaksanakan
tanggung
jawab
dan
kewajibannya
dengan baik, sehingga ia akan bekerja keras untuk melaksanakan kewajibanya itu. 5. Melalui perkawinan akan timbul hak dan kewajiban suami istri secara seimbang, menimbulkan adanya pembagian tugas antara suami istri. Istri mengatur dan mengurus rumah tangga, memelihara dan mendidik anak-anak, menciptakan suasana yang sehat dan serasi bagi suami untuk beristirahat melepas lelah dari bekerja keras mencari nafkah. 6. Melalui perkawinan akan timbul rasa persaudaraan dan kekeluargaan serta memperteguh rasa saling cinta-mencintai antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain. Hal ini juga berarti memperkuat hubungan kemasyarakatan yang baik menuju masyarakat Islam yang diridhai Allah SWT17
17
Ibid., 12
BAB III TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN KELUARGA SAKINAH
A. Perkawinan Di Bawah Umur. 1. Pengertian Perkawinan Di Bawah Umur Dalam pasal 1 Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.5 Pengertian perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 tersebut perlu dipahami benar-benar oleh masyarakat. Oleh karena itu landasan pokok dan aturan hukum lebih lanjut baik yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan seperti KHI. Dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, seorang pria diperbolehkan melangsungkan perkawinan jika
5
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Adat Hukum Agama, (Bandung: Mundur Maju, 1990), cet. Ke-1, hal. 7.
telah mencapai umur 19 tahun sedang seorang wanita telah berusia 16 tahun. Namun apabila dianalisis lebih lanjut, Kondisi perkawinan di Indonesia secara umum dapat dikategorikan mempunyai pola perkawinan muda. Usia muda secara global dimulai umur 12 sampai sekitar umur 21 tahun.6 Jadi perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilaksanakan dimana kedua mempelai atau salah satunya berusia 12 tahun dan yang berakhir sampai 21 tahun. Dalam Hukum Islam sendiri tidak menetapkan dengan tegas batas umur dari seorang yang telah sanggup untuk melangsungkan perkawinan. Al-Quran
dan Hadits hanyalah menetapkan dengan isyarat-isyarat dan
tanda-tanda saja. Terserah kepada kaum muslimin untuk menetapkan batas umur yang sebaiknya untuk melangsungkan perkawinan sesuai pula dengan isyarat-isyarat dan tanda-tanda yang telah ditentukan itu, dan disesuaikan pula dengan keadaan setempat dimana hukum itu akan di undangkan, diantara syarat-syarat dan tanda-tanda yang dimaksud ialah:7 Kitab, dalam Al-quran dan hadist ditunjukan kepada orang-orang mukallaf, termasuk didalamnya Kitab yang berhubungan dengan perkawinan. Tanda-
6
Siti Rahayu Haditono, Psikolog Perkembangan dan Bagian-bagianya, (Yogyakarta: Gajah Mada, 1989), h. 219. 7
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet ke-3,h. 40-41
tanda orang mukalaf itu ialah sebagai mana yang disebutkan dalam hadits Nabi di bawah ini8:
َ َوEِْ,َFَ0َ G Fَ# ِِH َِ ا6 ََثJََْ ﺙ6 ُ َ اLِMُ ر: م.َلَ رَﺱُْلُ ا@ُ ص8 ا داودRَ )روا%ْ,َِ G Fَ# ُْْنNَ) َ ا6َََِ وFْ>َ G Fَ# O7 P َ ا6 (OH0 و ا1& وا Artinya: Bersabda rasulullah saw : diangkat hukum dari tiga perkara yaitu dari orang tidur hingga bangun, dari anak-anak hingga bermimpi/baliqh, dan orang yang gila hingga sembuh (H.R. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasa’i)
Menurut hadits di atas ada tiga macam tanda-tanda orang mukalaf yaitu orang yang bangun, orang yang telah baligh, dan orang sehat atau gila dan sebagainya. Bahwa individu yang diperintahkan kawin ialah orang yang telah berumur sedemikian rupa sehingga sanggup melakukan hubungan suami istri, memperoleh keturunan dan telah memiliki tanggung jawab. Hadits di atas dapat dijadikan dasar oleh pemerintah untuk menetapkan yang paling tepat untuk melaksanakan perkawinan, sehingga perkawinan itu mencapai tujuannya. Sedangkan yang dimaksud dengan perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh satu calon mempelai atau keduanya belum memenuhi syarat umur yang ditentukan oleh undang-
8
Ibid., h. 42
undang yang berlaku. Dalam hal ini pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria telah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun.9 Apabila dihubungkan antara pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawian, maka pengertian tersebut dapat diuraikan menjadi beberapa unsur: 1. Perkawinan merupakan ikatan membentuk keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia 2. Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin. 3. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia 4. Perkawinan harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 5. Perkawinan itu dapat dilangsungkan setelah berusia 16 tahun bagi calon mempelai wanita dan 19 tahun bagi calon mempelai pria 6. Dispensasi dari pengadilan. Dari uraian diatas dapat diambil satu pengertian bahwa perkawian di bawah umur adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh salah satu pihak atau kedua mempelai yang belum mencapai 16 tahun bagi calon mempelai wanita dan bagi calon mempelai pria belum mencapai 19 tahun sehingga diperlukan dispensasi kawin dari pengadilan agama. Dispensasi
9
Ibid., h. 220
menurut
kamus
Hukum:10
“Dispensasi
adalah
penyimpangan
atau
pengecualian dari suatu peraturan. Sedangkan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan artinya penyimpangan terhadap batas minimum usia kawin yang telah ditetapkan oleh Undang-undang yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Oleh karena itu jika laki-laki maupun perempuan belum mencapai
usia
kawin
hendak
melangsungkan
perkawinan,
maka
pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua pihak dapat memberikan penetapan dispansasi usia kawin, tentu saja permohonannya itu telah memenuhi syarat yang ditentukan dan serta harus melalui beberapa tahap dalam pemeriksaan. Adanya
pembatasan
usia
pernikahan
sangat
perlu
karena
perkawinan usia muda tentulah membawa dampak yang tidak sedikit, terbagi menjadi 3 yaitu:11 1) Kesehatan Meskipun dalam usia 10-16 tahun pertumbuhan sudah memberikan kemampuan untuk melakuka hubungan seksual, namun dibalik itu dijumpai efek yang membahayakan bagi pasangan usia muda. Kawin pada usia ini memberikan peluang kepada wanita belasan tahun untuk hamil dengan
10
R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1996), hal.
36. 11
Andi Syamsu Alam, Usia Ideal Memasuk Dunia Perkawinan: Sebuah Ikhtiar Mewujudkan Keluarga Sakinah, (Jakarta: Kencana Mas Publishing House, 2005), cet. Ke-1, h.80
resiko tinggi. Pada kehamilan usia belasan tahun komplikasi pada ibu dan anak seperti pendarahan yang banyak, kurang darah, keracunan, hamil prelamsia dan ekslamsia lebih sering terjadi pada ibu yang melahirkan di bawah usia 20 tahun dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pada umur 20-30 tahun.12 2) Demografi Pada akhir-akhir ini muncul suatu kekhawatiran pemerintah terhadap pesatnya laju pertumbuhan pendudu, sedang lahan yang tersedia tetap, tidak bertambah, terutama di perkotaan. Akibatnya muncullah beberapa masalah
kehidupan
seperti
kepadatan
penduduk,
banyaknya
pengangguran, timbulnya kenakalan remaja karena banyaknya anak putus sekolah, dan lain-lain. Ledakan penduduk juga mempengaruhi system perekonomian dan kesejahteraan hidup. Lebih jauh dari itu, secara makro akan menghambat proses pembangunnan bangsa.13 3) Sosio Kultural. Usia remaja merupakan masa yang paling indah bagi setiap orang. Pada usia remaja ini umumnya orang sedang melampaui masa penuh idealisme, penuh harapan dan angan-angan tinggi. Bila tiba-tiba seorang remaja terpaksa atau membatasi kebebasan pribadi, di manamseseorang
12
Ibid., h. 81
13
Charil, Tinjauan Batas Minimal Usia Kawin, h. 76
tidak dapat seperti ketika masih sendirian karena perubahan status yang disandang, menjadi suami atau istri. Bila ditinjau dari sudut sosiokulturalpada umumnya perubahan status ini, khususnya bagi seorang istri harus dintisipasi dengan baik pada saat memasuki lingkungan social perkawinan seprti mengurus rumah tangga da membesarkan anak-anak. Usia yang terlalu muda bias mengakibatkan tidak hadirnya unsure yang disebutkan dalam al Quran, yaitu hidup dalam ketentraman (sakan).14
2. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Di bawah Umur. Sebenarnya agama Islam tidak memberikan batasan usia minimal dan maksimal untuk menikah, kedewasaan untuk menikah termasuk masalah ijtihad. Dalam arti kata diberikan kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa seseorang pantas menikah. Karena umur atau kedewasaan tidak termasuk dalam syarat rukun nikah, maka apabila suatu perkawinan sudah memenuhi syarat dan rukun nikah, maka hukumnya sah.15 Namun para ulama dalam hal ini masih berbeda pendapat dalam menghadapi masalah ini, karena faktor kedewasaan atau umur merupakan
14
15
Abd. Al Rahim Umran, Islam dan KB, (Jakarta: Lentera, 1997), cet. Ke-1, h. 18
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 93.
kondisi yang amat penting, kendatipun tidak termasuk kedalam rukun dan syarat nikah. Kebanyaka Ulama berpendapat bahwa wali selain ayah dan kakek tidak
boleh
mengawinkan
wanita-wanita
yang
masih
anak-anak.
Seandainya terjadi, maka hukumnya tidak sah. Tetapi Abu Hanifah dan segolongan ulama salaf membolehkan dan perkawinannya sah, Tetapi Abu Hanifah dan segolongan ulama salaf membolehkan dan perkawinanya sah, akan tatapi si perempuan setelah baligh berhak khiyar. Inilah pendapat yang kuat, karena ada riwayat dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau mengawinkan Umamah Binti Hamzah yang masih kecil dan kemudian setelah dewasa beliau memberikan hak khiyar kepadanya. 16 Kemudian menurut Ibnu Syabrumah ayah tidak boleh mengawinkan anak yang belum baligh (belum dewasa). Sekalipun pernah terjadi antara Aisyah dengan Rasulullah, tetapi hal ini merupakan kekhususan bagi Rasulullah SAW.17 Menurut Para Ulama, masalah usia dalam pernikahan sangat erat hubungannya dengan kecakapan bertindak. Hal ini tentu dapat dimengerti karena perkawinan merupakan perbuatan hukum yang meminta tanggung jawab dan dibebani kewajiban-kewajiban tertentu. Maka setiap orang yang
16
Ibid., h. 93
17
Ibid., h. 94.
berumah tangga (keluarga) diminta kemampuanya secara utuh. Menurut Bahasa Arab, “kemampuan” disebut Ahlun yang berarti “layak atau pantas”.18 Para Ulama selalu mendefinisikan kemampuan itu dengan “kepantasan seseorang untuk menerima hak-hak dan memenuhi kewajibankewajiban yang diberikan oleh syara” Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 6:
ُاXَMَْدM ْ"ًاWُُْ ُِْْ رFْ0َِنْ ءَاﻥ9َM ََحV ُا اTََ إِذَاG Fَ# GََFَ,ْ َُا اFْوَا Z,َِ[ َُوا وََْ آَن+َ7َْ ًْ وَِ"َارًا أَنMَا+ْْآُُهَ إِﺱ4َ َ َِْْ أََْا َُْ و,َ ِإ َُْ ِْْ أََْا,َ ُِْ إFْXَMَِذَا د9َM ُِوف+ْXَ)ْ ِ ْ=ُْآ4َ,َْM ًا+,َِM َِْ\ْ وََْ آَنXَFْ0َ,َْM (6:4/90 ً )ا7,ِ0َ# ِ1 ِ Gََِْْ وَآ,ََ6 ِْ"ُواWَ4َM Artinya : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka hartahartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).”
18
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 20
Ketika mengatakan
menafsirkan bahwa
ayat
Bulughh
di
atas,
al-nikah
Muhammad berarti
Rasyid
sampainya
Ridho
seorang
kepadanya umur untuk menikah, yakni sampai bermimpi. Pada umur ini, dikatakannya seseorang telah bisa melahirkan anak dan menurunkan keturunan sehingga tergerak hatinya untuk menikah. Pada umur ini kepadanya telah dibebankan hukum-hukum agama, seperti ibadah dan muamalah serta hudud. 19 Tanda-tanda fisik yang dimaksud dinyatakan oleh ulama Ushul Fiqh dan Fiqh seperti : telah mengalami haid bagi wanita dan mengalami mimpi seksual bagi anak laki-laki karena pengalaman-pengalaman tersebut menunjukkan bahwa mereka telah mampu menikah dalam pengertian.20 Dan dewasa disini maksudnya cukup umur untuk berketurunan dan muncul tanda-tanda kedewasaan, misalnya pada anak laki-laki terjadi perubahan pada suaranya besar, tumbuh bulu ketiak dan lain-lain. Ini adalah tanda-tanda kedewasaan yang wajar dan alamiah, yang akan dialami oleh setiap orang. Dan kalau untuk wanita, yaitu telah mengalami menstruasi. Biasanya bagi laki-laki ketika menginjak umur 15 tahun dan bagi wanita sekitar umur 9 tahun.
19
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, juz. IV, (Mesir, 1325), h. 387.
20
Abu Zahrah, Ushul Al Fiqh. (Kairo: Dar Al Fikr al Arabi, tt), h. 336.
Kemudian seandainya anak sudah melewati usia ini tetapi belum nampak gejala-gejala yang menunjukkan bahwa ia sudah dewasa, maka baik putra maupun putri, kedua-duanya sama sama ditunggu sampai mereka berumur 15 tahun, Menurut pendapat Abu Yusuf dan Muhammad ibn Hasan, kemudian 18 tahun untuk putra dan 17 untuk putri, ini menurut Abu Hanifah. Ketentuan ini diambil dari hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Umar, katanya: “Saya menghadap kapada Rasulullah SAW untuk mendaftar perang Uhud dan pada waktu itu saya berumur 14 tahun, lalu beliau tidak memperbolehkan ikut”.21 Peristiwa Abdulah ibnu Umar ini oleh jumhur ulama dijadikan alasan, bahwa lima belas adalah ukuran umur untuk dewasa dan ukuran ini sama bagi laki-laki dan wanita, laki-laki dianggap cukup kuat turut berjuang. Dan Abu Hanifah mengambil alasan dari firman Allah SWT dalam surat Al-An’am ayat 152:
qi2`2&0 p0 (* J&4 5^ d r?Y fq[K003 ]^34 ( tuPK ⌧7C @fs[ 56&T⌧9&0 (*7W 5^ ( w q4&003 vJ☺&0 ( 017z ]^34 0y & " x" (*P00W i.W7# D34 ( @A|J7# D #5{ * @ (*7W XN0 P173
21
h. 155
Ahmad Zakariya Al-barry, Hukum Anak-anak dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977),
M7 3 }~ !9D
(152:6/مX)ا^ﻥ
JK⌧T
Artinya: ” Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.”
.
Beliau mengatakan,
ّأ
bahwa yang diterjemahkan dewasa ini
maksudnya dewasa dan matang, yaitu pada umur 18 tahun bagi anak lakilaki dan untuk anak perempuan lebih cepat dewasa, maka usia dewasanya lebih rendah dari anak laki-laki. Sedang dewasa dengan istilah “Rusyada” maksudnya adalah sanggup bertindak dengan baik dalam mengurus harta dan menafkahkan harta itu sesuai dengan akal yang sehat, tindakan yang bijaksana dan sesuai dengan peraturan agama. Dan hal ini berbeda-beda menurut keadaan anak serta: perkembangan masa. Apa yang ditetapakn oleh para ulama itu hanyalah standar yang relatif dan pelaksananya diserahkan kepada kebijaksanan hakim disuatu daerah.22
22
Ibid., h. 11.
Oleh karena itu menurut pendapat para fuqoha, bahwa soal umur itu adalah
termasuk
memperhatikan
soal
segi
yang
manfaat
boleh dan
diatur
manusia
kebaikannya
di
sendiri
dengan
tengah-tengah
masyarakat. Lagipula berdasarkan penelitian bahwa ibu-ibu muda yang belum mencukupi umur perkawinan itu amat menderita dan berkeluh kesah melaksanakan tugasnya, karena belum waktunya, mereka telah melahirka atau melakukan tugas-tugas rumah tangga lainnya. 23 Berdasarkan pembahasan ini, jelaslah bahwa orang tua memikul amanat yang amat berat untuk tidak menjerumuskan putera putrerinya yang belum matang ke dalam kesengsaraan dan bahaya. Allah berfirman surat Al-Baqarah (2):195)
(192:2/ة+7 ٌ )ا,ِ#ََ [َُرٌ ر1 ِن ا9َM ََْاFِْنِ اﻥ9َM
Artinya: ”Dan
janganlah
kamu
menjatuhkan
dirimu
sendiri
kedalam
kebinasaan”. Pada masa dahulu, memang belum begitu memperhatikan tentang persoalan umur calon mempelai dalam perkawinan, karena kondisi pada masa dahulu tidak seperti sekang, seperti jumlah penduduk tidak sepadat sekarang, dahulu orang sekolah sampai tingkat yang tinggi masih jarang, tapi sekarang sudah banyak, sehingga memerlukan perhatian, demi tercapainya kemaslahatan bersama.
23
Ibid., h. 14.
Kemudian mengenai alasan tidak dapat dilakukan perkawinan anak di bawah umur itu karena akan membawa pengaruh akibat yang luas, baik terhadap sosial ekonomi masyarakat pada umumnya maupun kebutuhan rumah tangga, kualitas kesehatan terhadap ibu dan anak pada khususnya.24 Perkawinan di bawah umur tentulah membawa dampak yang tidak sedikit
pula
bagi
pasangan
tersebut,
keluarga
mereka
juga
bagi
lingkungan,diantaranya adalah: 1. Mengakibatkan pertumbuhan penduduk yang karena panjangnya masa kelahiran (reproduksi bagi wanita). 2. Pertumbuhan penduduk yang tinggi mempersulit usaha peningkatan pemerataan kesejahteraan rakyat, lapangan kerja, pendidikan dan pelayanan kesehatan dan perumahan. 3. Perkawinan di usia muda mengakibatkan keburukan bagi kesehatan ibu dan anak, karena faktor gizi ibu kurang terpenuhi. 4. Resiko kesakitan dan kematian ibu dan anak, pada ibu yang melahirkan masih muda. 5. Hambatan kehamilan ibu usia muda ialah pendarahan, kurang darah, persalinan lama dan sulit, keracunan hamil berkumpul pada usia muda merupakan
faktor
utama
untuk
bangkitnya
kanker
dikemudian hari.
24
Ahmad Zakaria Al-barry, Hukum anak-anak dalam Islam, h. 167
mulut
rahim
6. Bayi yang baru lahir dari ibu usia muda sering terjadi prematur atau bayi tersebut keluar sebelum waktunya, sehingga berat badan kurang dan akan membawa cacat bawaan baik fisik maupun mental, misalnya kejang-kejang, idiot, kebutaan, ketulian pada anak. 7. Bila ditinjau dari segi ekonomi, bahwa perkawinan di usia muda pada umumnya belum mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang cukup,
sehingga
memenuhi
tidak
kebutuhan
mendapatkan karena
penghasilan
penghasilannya
yang
dapat
rendah,
maka
menyebabkan kurangnya fasilitas kebutuhan keluarga berupa sandang, pangan, papan atau perumahan. 8. Akan membawa pula kepada keretakan rumah tangga, karena tidak terpenuhi
kebutuhan
keluarga,
sehingga
meningkatkan
jumlah
perceraian.25 Dalam hal ini Maslahah Mursalah sebagai salah satu alternative dalam menetapkan hukum tentang batasan usia pernikahan di Indonesia. Maslahah mursalah ialah kemaslahatan yang tidak disyariatkan oleh syar’I dalam wujud hukum dalm rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan dan diakui adanya karena timbul peristiwa-peristiwa baru setelah nabi wafat. Misalnya perkawinan anak-anak di bawah umur dilarang agama dan sah jika dilakukan oleh walinya yang berwenang. Namun ternyata data-data statistik
25
Zaki Fuad Chalil, Tinjauan Batas Minimal Usia Kawin: Studi Perbandingan Antara Kitab Fiqh dan UU Perkawinan di Negara-negara Muslim, Mimbar Hukum, No.26 Tahun VII, (Jakarta: Alhikmah & DITBINBAPERA Islam, 1996), cet. Ke 1, h. 74
menunjukan bahwa perkawinan anak-anak banyak membawa akibat kepada terjadinya perceraian, karena anak-anak belum siap fisik dan mentalnya untuk menghadapi tugas-tugas sebagai suami istri, apalagi sebagai bapak dan ibu rumah tangga.26 Maka atas dasar maslahah mursalah ini pemerintah dibenarkan melarang perkawinan anak-anak dan membuat
peraturan
tentang
batasan
umur
bagi
calon
suami
istri
sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Demikianlah penetapan batas usia perkawinan yang disahkan oleh pemerintah dalam bentuk perundang-undangan. B KELUARGA SAKINAH 1. Pengertian Keluarga Sakinah Keluarga sakinah terdiri dari dua kata, yaitu kata keluarga dan sakinah. Keluarga dalam istilah fiqh disebut Usrah atau Qirabah yang telah menjadi bahasa indonesia yakni kerabat.27 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia keluarga adalah sanak saudara.28 Sementara dalam
buku
Membina Keluarga Sakinah, keluarga adalah masyarakat terkecil sekurangkurangnya terdiri dari pasangan suami istri sebagai sumber intinya berikut anak-anak yang lahir dari mereka. Jadi, setidak-tidaknya keluarga adalah
26
Msjfud Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah, (Jakarta: Gunung Agung, 1995), cet. Ke-3, h. 83
27
Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ilmu Fiqh, (Jakarta : Departemen Agama, 1984/1985), Jilid II, Cet. Ke-2, h. 156 28
Muhamad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Modern, (Jakarta: Pustaka Amani, tt), h. 175
pasangan suam istri, baik mempunyai anak atau tidak mempuyai anak.
29
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Sakinah adalah damai, tempat yang aman dan damai.30 Ditinjau dari sebab terjadinya hubungan keluarga, dapat dilihat sbb: a. Hubungan mahram, b. Hubungan waris mewarisi, c. Hubungan susuan, d. Terjadi perkawinan .31 Keluarga dapat terbentuk baik oleh karena hubungan mahram, hubungan
waris-mewarisi,
hubungan
susuan
ataupun
karena
terjadi
perkawinan. Dalam hal ini lebih difokuskan hubungan keluarga yang disebabkan terjadinya perkawinan, dimana ikatan suami-istri melalui perkawinan telah membentuk sebuah keluarga yang pada intinya terjadi dari ayah ibu dan anak. Sakinah secara etimologi adalah ketenangan, kedamaian, dari akar kata sakan menjadi tenang, damai, merdeka, hening, tinggal.32 Dalam Islam kata sakinah menandakan ketenangan dan kedamaian secara khusus,
29
Badan Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Propinsi DKI Jakarta 2005, Membina Keluaraga Sakinah, (Jakarta: 1991), h. 4 30
Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h.851
31
Ibid
32
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Penerjemah Ghuron A. Mas’adi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1991), Cet. Ke-2, h.351
yakni kedamaian dari Allah, yang berada dalam qalbu. Sakinah adalah kedamaian, ketentraman, ketenangan dan kebahagian.33 Secara terminologi, keluarga sakinah adalah keluarga yang tenang dan tentram, rukun, damai. Dalam keluarga itu terjalin hubungan mesra dan harmonis, diantara semua anggota keluarga dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.34 Keluarga sakinah adalah keluarga yang mendapatkan limpahan rahmat dan berkat dari Allah, menjadi dambaan dan idaman setiap insan sejak merencanakan pernikahan serta merupakan tujuan utama dari pernikahan itu sendiri.35 Keluarga sakinah adalah keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat hidup spiritual dan materil secara layak dan seimbang, diliputi suasana kasih sayang antara anggota keluarga dan lindunganya
dengan
selaras,
serasi,
serta
mampu
mengamalkan,
menghayati dan memperdalam nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, dan ahlak mulia.36 2. Karakteristik Keluarga Sakinah
33
Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, h. 863
34
Hasan Basri, Keluarga Sakinah “membina Keluarga Sakinah”, (Jakarta: Pustaka Antara, 1996), Cet. Ke-4, h.16 35 Ibid 36
Badan Penasehatan Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4), Membina Keluarga Sakinah “Menuju Keluarga Bahagia”, (Jakarta: BP4, 2002), h. 15
Yang menjadi karakteristik dari keluarga sakinah antara lain:37 a. Adanya ketenangan jiwa yang ditandai dengan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, b. Adanya hubungan yang harmonis antara individu dengan individu lain dan antara individu dengan masyarakat, c. Terjamin kesehatan jasmani dan rohani serta social, d. Cukup sandang,pangan, dan papan, e. Adanya jaminan hukum terutama hak asasi manusia, f.
Tersedianya pelayanan pendidikan yang wajar,
g. Adanya jaminan dihari tua, h. Tersedianya fasilitas rekreasi yang wajar. Berdasarkan pengertian yang dirumuskan oleh BP4, maka dapat diuraikan bahwa ciri-ciri keluarga sakinah itu adalah: a. Keluarga dibina atas perkawinan yang sah, b. Keluarga mampu memenuhi hajat hidup baik secara materil maupun spiritual dengan layak, c. Keluarga mampu menciptakan suasana cinta kasih dan kasih sayang antar sesama anggota, d. Keluarga mampu menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, amalsholeh dan akhlakul karimah,
37
Danuri, Pertambahan Penduduk Dan Kehidupan Keluarga, (Yogyakarta: LPPK IKIP, 11976), h.19
e. Keluarga mampu mendidik anak dan remaja minimal sampai dengan sekolah menengah umum, f.
Kehidupan sosial ekonomi keluarga mampu mencapai tingkat yang memadai sesuai dengan ukuran masyarakat yang maju dan mandiri. Keluarga sakinah terdiri dari beberapa tingkatan yang memiliki
karakter tersendiri/ khusus, yaitu:38 1) Keluarga sakinah I : a. Tidak ada penyimpangan terhadap peraturan syariat dan UUP no. 1/74, b. Keluarga memiliki surat nikah, c. Mempunyai perangkat sholat, d. Terpenuhinya kebutuhan makanan pokok, e. Keluarga memiliki buku agama, f.
Memiliki Alqur’an,
g. Memiliki ijazah SD, h. Tersedia tempat tinggal sekalipun kontrak, i.
Memiliki dua pasang pakaian yang pantas.
2) Keluarga Sakinah II: a. Menurunkan angka perceraian, b. Meningkatkan penghasilan keluarga melebihi kebutuhan pokok, c. Memiliki ijazah SLTP,
38
Ahmad Sutarmadi, Memberdayakan Keluarga Sakinah Menuju Indonesia 2020, (Surabaya: BP4, 1997), h. 25-27
d. Banyaknya keluarga yang memiliki rumah sendiri meskipun sederhana, e. Banyaknya keluarga yang ikut kegiatan sosial kemasyarakatan dan sosial dan keagamaan, f.
Dapat memenuhi empat sehat lima sempurna.
3) Keluarga Sakinah III: a. Meningkatnya keluarga dan gairah keagamaan di masjid maupun di keluarga, b. Keluarga aktif menjadi pengaruh pengaruh kegiatan keagaman dan sosial kemasyarakatan, c. Meningkatnya kesehatan masyarakat, d, Keluarga utuh tidak cerai, e. Memiliki ijazah SLTA, f.
Meningkatnya pengeluaran shadaqoh,
g. Meningkatnya pengeluaran korban. 4) Keluarga Sakinah IV: a. Banyaknya anggota keluarga yang telah melaksanakan haji, b. Makin meningkatnya tokoh agama dan tokoh organisasi dalam keluarga, c. Makin meningkatnya jumlah wakif,
d. Makin meningkatnya kemampuan masyarakat dalam memehami ajaran agama, e. Keluarga mampu mengembangkan ajaran agama, f.
Banyaknya anggota keluarga yang memiliki ijazah sarjana,
g. Masyarakat berakhlakul karimah, h. Tumbuh berkembangnya perasaan cinta dan kasih sayang dalam anggota masyarakat, i.
Keluarga yang didalamnya tumbuh cinta kasih sayang.
3. Tujuan dan Hakikat Keluarga Sakinah Keluarga sakinah yang penuh diliputi suasana kasih sayang, cinta mencintai antar sesama anggota keluarga adalah menjadi idaman setiap orang yang menikah. Dimana hal itu akan tercapai jika masing-masing pihak suami maupun istri dapat melaksanakan kewajiban dan hak secara seimbang, serasi dan selaras. Selain dalam menjalani kehidupan rumah tangga dilandasi nilai-nalai agama dan dapat menerapka akhlakul karimah. Kehidupan rumah tangga sakinah memiliki tujuan mulia disisi Allah, yakni untuk mendapatkan rahmat dan ridho dari Allah, sehingga dapat hidup bahagia di dunia dan lebih-lebih diakhirat.
Untuk mendapatkan limpahan rahmat dan ridho Allah, maka rumah tangga atau kaluarga tersebut setidaknya memenuhi lima syarat, yakni: 1) Anggota keluarga itu taat menjalankan agamanya. 2) Yang muda menghormati yang tua, dan yang tua menyayangi yang muda. 3) Pembiayaan keluarga itu harus berasal dari rizki yang halal 4) Hemat dalam pembelanjaan dan penggunaan harta 5) Cepat mohon ampun dan bertaubat bila ada kesalahan dan kehilafan serta saling maaf memaafkan sesama manusia.39 Rumah tangga yang Islami adalah rumah tangga yang laksana surga bagi setiap penghuninya, tempat istirahat melepas lelah, tempat bersenda gurau, yang diliputi rasa bahagia, aman dan tentram.40
Rumah tangga yang sakinah, baik secara lahir maupun batin dapat merasakan ketentraman, kedamaian dimana segala hajat lahir dan batin terpenuhi secara seimbang, serasi dan selaras. Kebutuhan batin yaitu dengan adanya suasana keagamman dalam keluarga serta pengamalan akhlakul karimah oleh setiap anggota keluarga, komunikasi yang baik antara suami istri dan anak-anak. Kebutuhan lahir, terpenuhi materi baik sandang, pangan, papan dll.
39
Hasan Basri, Keluarga Sakinah, h. 24-24
40
Ibid
BAB IV PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMBENTUKAN KELUARGA SAKINAH DI KUA CAKUNG JAKRTA TIMUR
A. Kondisi Umum KUA Cakung Jakarta Timur Kecamatan Cakung wilayah hukumnya meliputi 7 Kelurahan, yaitu, Kelurahan Jatinegara, Kelurahan Rawaterate, Kelurahan Penggilingan, Kelurahan Cakung Barat, Kelurahan Cakung Timur, Kelurahan Ujung Menteng, Kelurahan Pulogebang.41 Jumlah Penduduk Di Kecamatan Cakung terdiri dari 217236 jiwa dan 200654 jiwa beragama Islam, 5753 jiwa beragama Kristen Protestan, 8560 jiwa beragama Katolik, 1374 jiwa beragama Hindu dan
895 jiwa beragama
Budha. Jadi disini terlihat bahwa masyarakat Kecamatan Cakung mayoritas beragama Islam, penganut agama lain dalam jumlah minoritas.42 Searah dengan kebijakan bahwa sector pendidikan mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang
41
Abdul kodir Kordinator Tata Usaha KUA Kecamatan Cakung, Wawancara Langsung, Cakung, 6 juni 2008. 42
Perangkat Kecamatan Cakung, Data Monografi Kecamatan Cakung, 2008
bermutu. Secara umum dapat dilihat tingkat pendidikan suami/ kepala keluarga yaitu:
Tabel 1. Data Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga Kecamatan Cakung Jakarta Timur No
Pendidikan
Jumlah
1
SD/sederajat
141
2
SMP/Sederajat
515
3
SLTA/Sederajat
1904
4
Akademi
114
5
Sarjana
170
Sumber data: Laporan Pelaksanaan Nikah Menurut Usia DEPAG Jakarta Timur KUA Cakung 2007.
Tabel
Kawin K.
diatas memberikan petunjuk bahwa tingkat pendidikan
Penduduk Cakung terbanyak adalah SLTA yaitu berjumlah 1904 jiwa atau 66,9%, terbanyak ke dua adalah SMP yaitu berjumlah 515 atau 18,1%, terbanyak ke tiga adalah sarjana yaitu berjumlah 170 atau 5,97%, terbanyak ke empat adalah SD yaitu berjumlah 141 atau 4,9%, dan yang terakhir adalah Akademi yaitu berjumlah 114 atau 4,0% dari 2844 jumlah penduduk seluruh Kecamatan Cakung. Data diatas menunjukan bahwa masih
kurangnya Sumber Daya Manusia yang Profesional dalam menghadapi dunia kerja. Untuk
mengetahui
gambaran
sumber
penghasilan masyarakat
Cakung, maka dapat dilihat dari jenis pekerjaan sebagaimana tertera di bawah ini :
Tabel 2. Data Jenis Pekerjaan Warga Cakung Jakarta Timur No
Pekerjaan
Jumlah
1
Tani / Nelayan / Buruh
170
2
Pegawai / Karyawan
1892
3
ABRI
41
4
Pedagang / Wiraswasta
687
Sumber Data : Laporan Pelaksaan Nikah Menurut Usia Kawin K.DEPAG Jakarta Timur KUA Cakung 2007.
Tabel di atas memberi petunjuk bahwa jenis pekerjaan Penduduk Cakung yang dominan adalah Pegawai / Karyawan, yaitu sebanyak 1892 keluarga atau 67,8%, menyusul pedagang / wiraswasta 687 keluarga atau
24,6%, serta tani / nelayan, buruh sebanyak 170 keluarga atau 6,1 %. Sedangkan ABRI sebanyak 41 keluarga 1,5%. Fasilitas dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang ada di wilayah Cakung
cukup
baik,
berarti
itu
dapat
mencirikan
masyarakatnya
mempunyai pengetahuan agama. Disamping itu, seiring berjalannya waktu dan pengaruh yang datang melalui berbagai cara yang dapat menurunkan akhlak para remaja sehingga ajaran agama ditinggalkan sedikit demi sedikit yang menyebabkan krisis iman dalam diri mereka. Kecamatan Cakung memiliki adalah seperti:
Sarana dan prasarana diantaranya
Tabel 3. Data Saranan dan Prasarana di Kecamatan Cakung Jakarta Timur No
Sarana dan Prasarana
Jumlah
1
Masjid
105
2
Musollah
11
3
Pelabuhan
2
4
Bangunan Kantor
8
5
Sekolah SD/SMP/SMU
88
6
Asarama ABRI
5
7
Tempat sosial
7
Sumber Data : Kantor DEPAG Jaktim KUA Cakung 2007. Dalam bidang kesehatan sarana serta fasilitas yang ada di Kecamatan Cakung meliputi puskesmas, apotik, posyandu, klinik dan rumah sakit. Namun masyarakat sendiri lebih memilih berobat di puskesmas karena biayanya yang murah, sehingga terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah. Secara umum kondisi politik serta ketentraman dan ketertiban dan ketentraman di Wilayah Kecamatan Cakung cukup terkendali dan aman. Adapun jumlah anggota Pertahanan sipil
(Hansip) tercatat sebanyak 50
orang. Dalam kehidupan politik warga masyarakat dapat tersalurkan sesuai
dengan aspirasinya seiring dengan bergulirnya reformasi dan banyaknya partai politik yang berkembang saat ini.43 Sedangkan di KUA Cakung itu sendiri Penulis melihat bahwa seluruh petugas KUA telah berusaha menjalankan tugasnya dengan baik. Hal ini bisa terlihat dari masing-masing aparat KUA yang berusaha menjalankan tugas sesuai
dengan
tugasnya
masing-masing,
seperti
BP-4
yang
telah
menjalankan tugasnya sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga yang bertugas memberikan pembinaan serta nasihat yang berkaitaan dengan pelestarian perkawinan dapat terlaksana maka apa yang dicita-citakan dalam perkawinan dapat terealisasi dengan baik. Berdasarkan hasil wawancara langsung penulis dengan H. Abdul Azis selaku penghulu KUA cakung, beliau mengatakan masih ada kendala yang dihadapi bagi aparat Kantor Urusan Agama Jakarta Timur
bahwa masih
kurangnya kesadaran hukum masyarakat terhadap Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, terbatasnya SDM yang professional dan berkualitas karena 66,9% masyaratnya hanya lulusan SLTA/Sederajat.44 Kendatipun seperti hal tersebut di atas, pihak KUA Kecamatan Cakung dan instansi terkait setempat tidak henti-hentinya mengupayakan untuk
memberikan
penyuluhan-penyuluhan
perkawinan
sehingga
43
.Acmad Fauzi Kepala KUA Kecamatan Cakung, Wawancara Langsung Cakung , 6 juni
44
Abdul Azis Penghulu KUA Cakung, Wawancara langsung, Cakung 6 juni 2008
2008
masyarakat paham terhadap Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.45
B. Analisis Perkawinan Di Bawah Umur Di Kecamatan Cakung Jakarta Timur Agama mengajarkan kepada manusia untuk segera menikah apabila telah sanggup untuk melaksanakannya. Dalam Al-Quran disebutkan bahwa manusia
diciptakan
berpasang-pasangan,
hal
ini
yang
menjadi
permasalahanya adalah pada usia berapa dan bagaimana manusia dipandang layak untuk menikah. Lalu apa yang menjadi dasar hukum untuk dapat melegitimasi perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang usia muda atau di bawah umur, yaitu yang belum mencapai usia 16 tahun untuk wanita dan 19 untuk pria. Sahnya perkawinan adalah harus memenuhi ketentuan-ketentuan agama dan para pihak yang akan melangsungkan perkawinan harus memenuhi
syarat-syarat
yang
disebutkan
dalam
Undang-Undang
perkawinan beserta penjelasannya.46
45
46
Ibid
Instruksi Presiden RI No 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, 2001, h 14.
Selanjutnya tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundangundangan yang berlaku. Pencatatan ini merupakan suatu keharusan dan diperlukan untuk mendapatkan kepastian hukum. Artinya pencatatan ini merupakan bukti tertulis bahwa pasangan tersebut telah menikah secara sah di mata hukum dan Undang-Undang. Adapun syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan di bawah umur adalah sama dengan perkawinan yang telah mencapai umur dewasa atau batas usia minimal menurut Undang-Undang. Akan tetapi dalam hal ini ada penambahan berupa penetapan dispensasi dari Pengadilan Agama.47 Kenyataan yang terjadi di masyarakat menunjukan masih ada pasangan yang melakukan perkawinan di bawah umur, di Kantor Urusan Agama Cakung sendiri masih ada yang menikah di bawah umur minimal yang telah ditentukan oleh Undang-undang, namun pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa prosedur pengajuan dispensasi
ke
Pengadilan
Agama
membutuhkan
waktu
lama
dan
menghabiskan biaya yang tidak sedikit pula. Maka mereka lebih memilih jalan pintas yang mereka anggap lebih cepat, praktis dan murah, seperti dengan memanipulasi data dengan
cara menuakan umur di KTP bagi
mereka yang ingin melakukan perkawinan di bawah umur. Seperti hasil
47
Bhakti A. Rahman dan Ahmad Suardja, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam, Undang-Undang perkawinan dan Hukum Perdata (BW), Jakarta : PT Hidia Karya Agung, 1981, h. 31.
wawancara yang penulis lakukan dengan Ucu Suharto selaku ketua RT 008/04 sebagai berikut: Apakah di wilayah bapak masih ada yang melakukan perkawinan di bawah umur? ”Masih ada, walupun jumlahnya hanya sedikit”. Menurut Bapak apa yang melatar belakangi perkawinan di bawah umur?” Hamil di luar nikah akibat terpengaruh oleh pergaulan bebas, kemudian juga faktor adat bagi sebagian kecil masyarakat yang menganggap bila anaknya sudah menikah itu merupakan kebanggaan tersendiri, dan sebaliknya bila belum menikah menjadi celaan dalam lingkungan keluarga”.48
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pihak Kantor Urusan Agama Kecamatan Cakung Jakarta Timur dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah pada tanggal 6 juni 2008, bahwa jumlah pasangan yang melakukan pernikahan terhitung
semenjak bulan Januari 2007
sampai dengan
Desember 2007 adalah 2844 berarti ada 100-230 pasang
setiap bulan.
Angka tertinggi terjadi di bulan Januari mencapai 436 pasang yang melakukan pernikahan.
Hal
ini menunjukan begitu
tingginya angka
perkawinan Di Kantor Urusan Agama Kecamatan Cakung Jakarta timur. Untuk usia pengantin, lebih jelasnya dapat dilihat sebagaimana dalam tabel di bawah ini: Tabel 4. Data Usia Suami saat Kawin di Kecamatan Cakung tahun 2007 Tahun
48
2008
Usia < 19
Usia 19-24
Usia 25-30
Usia > 31
Jumlah
Ucu Suharto Ketu RT 008/04 Cakung Jakarta Timur, Wawancara Langsung, Cakung 1 Juni
2007
7
1410
1236
191
2844
Sumber Data:Buku Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk di Kecamatan Cakung Jakarta Timur tahun 2007
Tabel 5. Data Usia Istri saat Kawin di Kecamatan Cakung tahun 2007 Tahun
2007
Usia
Usia
Usia
Usia
Usia
<16
16-18
20-24
25-30
>31
-
368
1748
622
106
Jumlah
2844
Sumber Data:Buku Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk di Kecamatan Cakung Jakarta Timur tahun 2007
Tabel di atas menunjukan adanya perkawinan di bawah batas usia bagi pria yaitu terdapat 7 orang, dan bagi wanita tidak ada yang melakukan perkawinan di bawah umur, namun menurut data perkawinan berdasarkan Buku Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR) tersebut diatas menunjukan
jumlah
perkawinan
usia
muda
cukup
besar
dalam
pembentukan keluarga baru yang merupakan struktur masyarakat Cakung Jakarta Timur. Bila dibandingkan dengan data dari hasil angket yang penulis sebarkan di Kecamatan Cakung sebanyak 100 angket dari 217236 jiwa yang penulis ambil secara acak, 50 angket pada RT 008 Rw 04 dan 50 angket
pada RT 009 Rw 04, maka yang menjadi responden sebanyak 100 orang. Hasil angket tertera dalam tabel berikut: Tabel 6.Data Usia Suami saat kawin Tahun
Usia < 19
Usia 19-21
Usia 22-30
Usia > 31
Jumlah
2007
16 %
32 %
40 %
12 %
100%
Sumber Data: Hasil Angket Yang di sebarkan Pada 100 Warga Cakung Jakarta Timur Tahun 2007
Tabel 7.Data Usia Istri saat kawin Tahun
< 16
16-21
22-25
25-30
> 31
Jumlah
2007
13 %
48 %
21%
16 %
2%
100 %
Sumber Data: Hasil Angket Yang di sebarkan Pada 100 Warga Cakung Jakarta Timur Tahun 2007
Tabel 6 di atas menunjukan bahwa pada perkawinan di bawah umur yang terjadi di Kecamatan Cakung, sebanyak 16 orang (16%) pengantin pria masih di bawah umur minimum untuk melangsungkan perkawinan seperti yang diizinkan pasal 7 ayat 1 undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu umur 19 tahun bagi pria dan terdapat 32 orang (32%) pengantin pria yang
di haruskan mendapat izin orang tua untuk
melangsungkan perkawinan sesuai pasal (6) ayat 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu jika belum mencapai umur 21 tahun.
Sedangkan tabel 7 di atas menunjukan bahwa pada perkawinan di bawah umur yang terjadi di Kecamatan Cakung sebanyak 13 orang (13%) pengantin
wanita
yang
masih
di
bawah
umur
minimum
untuk
melangsungkan perkawinan seperti yang di izinkan dalam pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu umur 16 tahun bagi wanita dan terdapat sebanyak 58 orang (58%) pengantin wanita yang diharuskan mendapat izin orang tua untuk melangsungkan perkawinan sesuai pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu jika belum mencapai umur 21 tahun. Berdasarkan data-data tersebut di atas, data yang berasal dari Buku Nikah Talak Cerai Rujuk tidak ada pasangan wanita yang melakukan perkawinan di bawah umur, sedangkan bagi pasangan pria terdapat 7 orang yang melakukan perkawinan di bawah umur. Kemudian berdasarkan angket yang diedarkan kepada pasangan perkawinan di kecamatan Cakung, menunjukkan adanya perkawinan di bawah umur walaupun dalam jumlah yang kecil yaitu 16 orang untuk pria dan 13 orang untuk wanita. Tabel 8. Data keadaan Rumah Tangga Hingga saat ini. Keadaan Bahagia Rumah Tangga Hingga Saat Ini
Cerai
Masih Tapi Jumlah Tidak Harmonis
Jumlah
7%
9%
84 %
100%
Sumber Data: Hasil Angket Yang di sebarkan Pada 100 Warga Cakung Jakarta Timur Tahun 2007
Tabel di atas menunjukan rumah tangga hingga saat ini, jumlah keluarga yang bahagia berjumlah 84 %, Rumah tangga yang bercerai Berjumlah 7 % dan Rumah tangga yang Tidak harmonis berjumlah 9 %. Menurut wawancara penulis langsung dengan ibu Tati pelaku pernikahan di bawah umur yang menjadi alasan untuk bercerai adalah sebagai berikut : Bagaimana keadaan rumah tangga ibu saat ini ? “Saya sudah bercerai dengan suami saya”. Apa yang menjadi alasan ibu untuk bercerai ? “Karena saya merasa sudah tidak ada kecocokan lagi dengan suami saya, saya sering bertengkar hanya gara-gara hal sepele, mungkin ini karena umur saya dengan suami masih sama-sama muda49”.
Table 9. Data pendidikan terakhir Suami dan Istri saat menikah Data
SD
SMP
SMA
PT
Tidak
Jumlah
Sekolah Suami
9%
22 %
42 %
19 %
8%
100 %
Istri
16 %
22 %
36 %
11 %
15 %
100 %
Sumber Data: Hasil Angket Yang di sebarkan Pada 100 Warga Cakung Jakarta Timur Tahun 2007
Tabel di atas menunjukan data pendidikan terakhir saat menikah, jumlah pendidikan terakhir suami SD berjumlah 9 %, SMP berjumlah 22 %, SMA
49
Tati Suamiati, Wawancara Langsung, Cakung 10 Juni 2008
berjumlah 42 %, Perguruan Tinggi berjumlah !9 % dan yang tidak bersekolah berjumlah 9 %, Sedangkan hasil angket pendidikan terakhir istri saat menikah adalah SD berjumlah 16 %, SMP berjumlah 22 %, SMA berjumlah 36 %, Perguruan Tinggi 11 % dan yang tidak bersekolah berjumlah 15 %. Tabel 10. Data Alasan Yang mendorong Untuk Menikah Alasan yang Perintah mendorong
Cukup usia
Dijodohkan
Agama
Hamil di luar nikah
untuk Menikah Jumlah
46 %
39 %
12 %
3%
Sumber Data: Hasil Angket Yang di sebarkan Pada 100 Warga Cakung Jakarta Timur Tahun 2007
Tabel di atas menunjukan alasan yang mendorong untuk menikah Karena perintah Agama berjumlah 46 %, karena telah cukup usia berjumlah 39 %, karena di jodohkan 12 % dan karena hamil diluar nikah berjumlah 3 %. Berdasarkan data-data tersebut di atas, data yang berasal dari Buku Nikah Talak Cerai Rujuk tidak ada pasangan wanita yang melakukan perkawinan di bawah umur, sedangkan bagi pasangan pria terdapat 7 orang yang melakukan perkawinan di bawah umur. Kemudian berdasarkan angket yang diedarkan kepada pasangan perkawinan di kecamatan
Cakung, menunjukkan adanya perkawinan di bawah umur walaupun dalam jumlah yang kecil yaitu 16 orang untuk pria dan 13 orang untuk wanita. Pembatasan usia nikah dengan cara metode maslahah mursalah, sangatlah jelas mendatangkan kemaslahatan dan manfaat bagi tegaknya rumah tangga yang sejahtera. Memang secara formal tidak ada ketentuan ayat / hadis yang menjelaskan secara langsung tentang pembatasan usia nikah, tetapi kandungan maslahatnya sejalan dengan tindakan syara (agama) yang ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Namun demikian jika kita perhatikan ayat di bawah ini, firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 9:
َ1 ُا اFَ,َْM ِْْ,ََ6 ُاMَ ًMَXِc ًb Vَآُا ِْ َِِْْ ذُر+َ َْ َِ ْ`َ اaَ,ْ َو (9:4 /90 ) ا. َْ ً ﺱَ"ِ"ًا8 َُ ُا,ْ َو
Artinya: ”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
Ayat tersebut memang bersifat umum tidak secara langsung menunjukkan bahwa perkawinan di bawah umur menghasilkan keturunan yang dikhawatirkan kesejahteraannya. Akan tetapi berdasarkan realita yang ada perkawinan di bawah umur yang dilakukan oleh masyarakat Cakung rendahnya usia kawin, lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tak sejalan
dengan misi dan tujuan perkawinan yaitu terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih sayang. C. Analisa Pengaruh Perkawinan Di Bawah Umur Terhadap Pembentukan Keluarga Sakinah Kasus I Ibu Nur, 23 tahun. Ibu seorang anak ini menikah untuk yang pertama kalinya pada usia 13 tahun dengan suaminya yang saat itu berumur 15 tahun ibu yang tidak bisa baca dan tulis ini melangsungkan pernikahan di bawah tangan pada tahun 1999 atas kehendak orang tua mereka, mereka dijodohkan karena mereka masih memiliki ikatan persaudaraan. Namun perkawinan mereka hanya berjalan 7 bulan dan belum dikaruniai anak. Menurut pengakuan Ibu Nur perceraian mereka dipicu karena mereka sering mengalami pertengkaran yang timbul karena perbedaan pendapat dan pemikiran diantara mereka. Akhirnya mereka memutuskan bercerai dari pada meneruskan rumah tangganya tersebut. Kini ibu Nur telah menikah lagi dan dikaruniai seorang anak dari suami keduanya. Kasus II Ibu Dewi, 29 tahun. Ibu dua
orang anak yang tidak pernah
merasakan bangku sekolah menikah pada tahun 1994 pada usia 15 tahun. Beliau menikah karena pada usia tersebut telah menjalin hubungan selama 1 tahun dengan seorang pria yang berusia 19 tahun dan atas dorongan dari orang tua mereka akhirnya merekapun menikah. Diawal tahun perkawinan
mereka telah banyak menghadapi berbagai masalah, khususnya masalah ekonomi, dan puncaknya ketika sang suami tanpa sepengetahuannya memiliki banyak hutang. Akhirnya sang suami meninggalkanya karena tidak sanggup membayar hutang-hutangnya, dan mereka akhirnya bercerai ketika memasuki 6 tahun usia perkawinan mereka pada tahun 2000. Kini Ibu Dewi telah menikah lagi dengan seorang duda beranak satu dan kini Ibu Dewi telah dikaruniai seorang anak dari suami keduanya Kasus III Ibu Gita, 23 tahun. Ibu dua orang anak ini menikah pada tahun 2000. Ibu Gita menikah pada usia 15 tahun ketika sedang duduk di kelas 1 SMU. Suaminya juga saat itu masih duduk di kelas 2 STM. Pernikahan mereka berlangsung karena Ibu Gita hamil di luar nikah, maka mereka mumutuskan menikah sebagai jalan keluarnya. Pernikahan mereka masih berlangsung hingga saat ini. Namun Ibu gita mengaku mereka sering mengalami pertengkaran biasanya pertengkaran mereka dipicu oleh perilaku suami yang
sering
mabuk
dan
berselingkuh.
Namun
Ibu
Gita
masih
mempertahankan rumah tangganya dengan alasan masih mencintai suaminya dan ia tidak mau mengorbankan anaknya, dan ibu Gita berharap prilaku suaminya bisa berubah demi anaknya yang kini duduk di kelas 2 SD. Kasus IV Ibu Tati, 19 tahun. Menikah pada tahun 2005 setelah tamat SMP, ibu Tati dijodohkan orang tuanya dengan alasan tidak ada biaya untuk
melanjutkan ke SMA. Perkawinan tersebut dilakukan secara sirri (tidak dicatatkan di KUA setempat). Ibu Tati lebih memilih tinggal di rumah orang tuanya dari pada dengan suaminya, hal ini disebabkan ibu Tati tidak bisa mencintai suaminya. Akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai pada tahun 2007. Kini ibu Tati telah menikah lagi dengan suami pilihannya sendiri. Kasus V Ibu Nia, 25 tahun. Pertama kali menikah pada usia 15 tahun karena pada waktu itu telah memiliki kekasih dan sang kekasih telah memiliki pekerjaan, akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan perkawinan pada tahun 1998. Namun setelah 5 tahun usia perkawinan mereka, sang suami menikah lagi dengan seorang janda. Namun Ibu Nia tetap mempertahankan rumah tangganya demi anaknya, walaupun ia tidak merasakan kebahagiaan dalam rumah tangganya. Kasus VI Ibu Rosi 39 tahun menikah dengan bapak Marjuki 48 tahun, dan kini mereka telah memasuki 27 tahun usia perkawinan mereka. Mereka di karunia 5 orang anak dan 2 anaknya kini telah memperoleh gelar sarjana. Kehidupan ekonomi keluarganya pun kini bisa dikatakan mapan, mereka tidak memungkiri memang diawal-awal perkawinan mereka sering terjadi perselisihan namun itu dinilai masih dalam hal yang wajar, sehingga perselisihan tersebut dapat diselesaikan. Kasus VII
Ibu Nina 20 tahun menikah dengan bapak Fajar 22 tahun, mereka menikah 4 tahun yang lalu atas keinginan mereka berdua, hal ini dikarenakan mereka telah berpacaran dan takut berbuat dosa maka mereka memutuskan untuk menikah. Keadaan ekonomi mereka memang belum mapan tetapi mereka juga tidak merasa kekurangan. Kini mereka telah dikaruniai seorang putra yang telah berumur 3 tahun. Mereka merasa bahagia dengan perkawinan mereka walaupun perkawinan mereka dilakukan di bawah umur Tujuh kasus di atas yang terjadi di masyarakat menunjukkan bahwa perkawinan di bawah umur belum tentu membawa dampak negatif dalam membentuk rumah tangga yang sakinah. Apa yang dicita-citakan dalam sebuah
perkawinan
yaitu
membentuk
keluarga
sakinah mawaddah
warohmah masih mungkin terbentuk, walaupun salah satu syarat dapat terbentuknya keluarga sakinah mawaddah warohmah ditentukan oleh kematangan dalam berfikir, bertindak, dan mempertanggungjawabkan dalam bertindak atau cakap dalam hukum sangat ditentukan oleh usia. Dari hasil wawancara yang penulis lakukan langsung dengan pasangan yang melakukan perkawinan di bawah umur dari tujuh kasus tersebut perkawinan di bawah umur yang terjadi, dilatarbelakangi oleh berbagai faktor diantaranya adalah rendahnya pendidikan, atas dasar cinta, dijodohkan atau karena hamil di luar nikah.
Pendidikan merupakan suatu sendi yang paling esensial dalam kehidupan manusia. Pada umumnya orang akan mengetahui potensi yang dimilikinya karena dijembatani oleh pendidikan. Dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah sarana penggali potensi dan sumber daya manusia. Dengan melihat fenomena yang terjadi di masyarakat penulis sangat prihatin bahwa tujuan perkawinan seperti yang telah dipaparkan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang sakinah dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Masa Esa.
Dalam
arti tujuan perkawinan adalah
membentuk rumah tangga sakinah mawaddah warohmah jauh dari yang diharapkan, selama masyarakat belum sadar betapa besar dampak negatif dari pernikahan usia muda dengan tanpa di dasari dengan pendidikan dan mental yang matang. Akan tetapi sebaliknya pernikahan usia muda yang didasari dengan pendidikan dan kematangan mental serta memegang teguh terhadap prinsip berumah tangga tentunya akan lebih baik. Contohnya ketika ada suatu masalah yang dihadapi, apabila disertai dengan pendidikan yang cukup dalam mengambil keputusan pun akan lebih hati-hati ini berarti akal yang digunakan dalam bertindak dan mengambil keputusan bukan emosi. Kemudian jika dilihat dari faktor ekonomi seharusnya pasangan tersebut tidak terlalu sulit untuk mencari nafkah keluarga karena dilihat dari usia mereka yang masih muda. Lain halnya dengan pasangan yang memang keluarganya dari orang berkecukupan harta, mungkin untuk masalah ekonomi bukanlah masalah yang berarti.
Namun dari hasil analisa penulis pernikahan usia sangat berpengaruh dalam pembentukan keluarga sakinah, maka seharusnya perkawinan di bawah umur sebisa mungkin dihindari demi terlaksananya KHI pasal 15 ayat 1 yaitu : untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurangkurangnya berumur 16 tahun.
BAB V KESIMPULAN
A. KESIMPULAN Dari pembahasan dan uraian yang penulis kemukakan pada babbab
sebelumnya,
baik
dari
kerangka
teoritis
melalui
pendekatan
kepustakaan maupun dari temuan-temuan ilmiah di lapangan, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Menurut pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974, seorang pria diperbolehkan melangsungkan perkawinan jika telah mencapai umur 19 tahun sedang seorang wanita telah berusia 16 tahun. Sedangkan menurut Hukum Islam sendiri tidak menetapkan dengan tegas batas umur
dari
seorang
yang
telah
sanggup
untuk
melangsungkan
perkawinan. Al-Quran dan Hadits hanyalah menetapkan dengan isyaratisyarat dan tanda-tanda saja. Terserah kepada kaum muslimin untuk menetapkan
batas
umur
yang
sebaiknya
untuk
melangsungkan
perkawinan sesuai pula dengan isyarat-isyarat dan tanda-tanda yang telah ditentukan itu 2.
Usia sangat berpengaruh terhadap kematangan fisik maupun mental dalam menghadapi perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menganut prinsip bahwa calon suami telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan
agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Seperti disyaratkan dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974, seorang pria diperbolehkan melangsungkan perkawinan jika telah mencapai umur 19 tahun sedang seorang wanita telah berusia 16 tahun. Jelas bahwa Undang-undang tersebut menganggap orang di atas usia tersebut bukan lagi anak-anak sehingga mereka sudah boleh menikah (batas usia ini dimaksudkan untuk mencegah perkawinan dibawah umur). Walaupun begitu, selama seseorang belum mencapai usia 21 tahun masih diperlukan izin orang tua untuk menikahkan orang tersebut. Baru setelah ia berusia di atas 21 tahun ia boleh menikah tanpa izin orang tua: Untuk melangsungkan perkawinan, seseorang yang belum mencapai umur 21 harus mendapat izin kedua orang tua. (UU No. 1/1974 Pasal 6 ayat(2)) 3
Pengaruh Perkawinan dibawah umur terhadap pembentukan Keluarga Sakinah itu sendiri, menurut hasil penelitian penulis yang didapat melalui angket dan Wawancara langsung adalah mereka yang melakukan perkawinan dibawah umur belum tentu
tidak dapat membentuk
keluarga sakinah ini terbukti dari mereka yang melakukan perkawinan di bawah umur yang sampai saat ini masih berlangsung dan telah dikarunia beberapa anak dan mereka dapat membentuk keluarga sakinah..
B. SARAN-SARAN Walaupun
pengaruh
perkawinan
dibawah
umur
tidak mutlak
pengaruhnya terhadap pembentukan keluarga sakinah, alangkah baiknya hal ini dapat diminimalisasi untuk mencegah banyaknya perceraian dan dampak negatif perkawinan dibawah umur seperti yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumya. Untuk itu penulis akan memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Kepada masyarakat, khususnya kepada orang tus dan anak muda, perlu diketahui bahwa perkawinan adlah sesuatu yang sacral yang seharusnya dilakukan sekali dalam seumur hidup. Oleh karena itu untuk mewujudkan itu semua, hendaklah dalam melakukan perkawinan harus dipersiapkan secara matangbaik jasmani maupun rohani agar apa yang dicitacitakan dalam berumah tangga dapat terwujud. 2. Kepada tokoh masyarakat, para alim ulama, hendaklah pada saat ceramah atau siraman rohani dalm sebuah kegiatan, hendaklah sedkit demi sedikit membahas masalah pengaruh perkawinan dibawah umur dan betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Sehingga masyarakat tau seperti apakah rumah tangga yang baik yang dicintai dan diriddoi Allah SWT.
3. Kepada
aparat
pemenrintah
dalam
hal
ini
petugas
Kelurahan,
Kecamatan dan Kantor Urusan Agama. Hendaknya mereka lebih teliti dan tegas mengenai umur bagi yang akan melakukan perkawinan agar tidak terjadi manipulasi umur. Sehingga tercipta masyarakat dan rumah tangga yang saknah.
DAFTAR PUSTAKA al-Quran al-Karim. Ali K, Muhammad. Kamus Lengkap Bahasa Modern. Jakarta : Pustaka Amani, tth. Ash-Shiddieqy, Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1975. Badan Penasehat Pembinaan Pelestarian Perkawinan
(BP4). Membina
keluarga Sakinah "Menuju Keluarga bahagia". Jakarta: Pustaka Antara, 1996, Cet. Ke-4. Basri, Hasan. Keluarga Sakinah "Membina Keluarga Sakinah". Jakarta : Pustaka Antara, 1996, Cet. Ke-4. Danuri. Pertambahan Penduduk dan Kehidupan Keluarga. Yogyakarta : LPPK IKIP, 1976. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Ilmu Fiqh. Jakarta : Departemen Agama, 1984/1985, Jilid II, Cet. Ke-2. Hadikusum, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Adat Hukum Agama. Persada, Bandung : Mundur Maju, 1990, Cet. Ke-1. Haditono, Siti Rahayu. Psikolog Perkembangan dan Bagian-Bagianya. Yogyakarta : Gajah Mada, 1989. Hasanudin. Diklat Kuliah Mukaromah Al-Mazahib Fil Munakahat. 2002.
Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta : Bulan Bintang, 1993, Cet. Ke-3. Mukthie, Fadjar A. Tentang dan Sekitar Hukum Perkawinan Di Indonesia. Malang
:
Fakultas
Pedagang/wWiraswasta
Hukum
Universitas
Brawijaya, 1994. Cet. Ke-1. Nigo Jodipuro, Surojo. Pengantar Dan Azas-Azas Hukum Adat. Jakarta : CV Haji Masagung, 1987, Cet. Ke-6. Nur, Dj'aman. Fiqh Munakahat. Semarang : Dini Utama, 1993, Cet. Ke-1. Pasaribu, O.S dan Darmabrata, Wahyono. Himpunan Peraturan PerundangUndangan. Cet.Ke-1, Jakarta : Ind Hill-CD, 1987. Pusat Penmbinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1991. Rasyid Ridha, Muhammad. Tafsir Al-Manar. Jus IV, Mesir 1325. Subekti, R. Dan Tjitrosoedibio, R. Kamus Hukum. Jakarta : Pradnya Paramitha, 1996. Sutarmadi, Ahmad, Memberdayakan Keluarga Sakinah Menuju Indonesia 2020. Surabaya : BP 4, 1997. Syamsu, Nazwar. Al-quran Tentang Manusia dan Masyarakat. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986.
Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1996, Cet. Ke-15. Zahrah, Abu. Ushul Fiqh. Kairo : Dar al-Fikr al Arabi, tth. Zakariya, al-Barry, Ahmad. Hukum Anak-Anak Dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1997. Zuhdi, Muhdlur, A. Hukum Perkawinan. Ttp, al-Bayan, 1997, Cet. Ke-1. Zuhdi, Mahfud, Pengantar Hukum Syariah. Jakarta : Gunung Agung, 1995.
Angket untuk Warga Cakung Rt 008 dan Rt 009 Rw 04 Mohon kesediaan Anda untuk mengisi angket ini, guna keperluan akademik sebagai data penelitian. Nama
:
Umur
:
Alamat
:
Berilah tanda (X) pada jawaban yang anda pilih, dan andaoun dapat menjawab dengan jawaban lain yang tidak ada dakam plihan. 1. Pada usia berapakah anda dan pasangan anda menikah? Suami: a.< 19 tahun
b. 19-21 tahun
c. 22-30 tahun
b. 16-21 tahun
c. 22-30 tahun
d. >31 tahun Istri: a. < 16 tahun d. > 31 tahun 2. Bagaimana keadaan rumah tangga anda? a. Bahagia
b. Cerai
c. masih, tapi tidak harmonis
3. Apa pendidikan terakhir anda saat menikah?
a. SD
b. SMP
c. SMA
d. Perguruan Tinggi
4. Apa motifasi anda yang mendorong anda untuk menikah? a. perintah agama b. usia cukup
c. telah mapan
5. Menurut anda pada usia berapa seseorang harus menikah? a. < 16 tahun
b. > 16 tahun
c. < 25 tahun
d>
25 tahun 6. Menurut anda, faktor apa yang menyebabkan seseorang untuk menikah di bawah umur? a. Perintah Agama b. Cukup Usia c. Dijodohkan d. Hamil di Luar Nikah 7. Jika anda tidak setuju, apa alasan anda? a. karena dinilai belum matang fisik maupun mental b. karena khawatir akan terjadi perceraian c. karena khawatir akan menjadi beban oarng tua d. karena mereka harus menyelesaikan sekolahnya terlebih dahulu
Panduan Pertanyaan Wawancara kepada Tokoh Masyarakat Rt 008, 009 Rw 04 Nama
: Ucu Suharto
Hari/Tgl
: Minggu, 1 Juni 2008.
Waktu
: pukul 17.00 s/d 17.30
Tempat
: Di rumah
Jabatan
: Ketua RT
Alamat
: Jln. P.komarudin Rt 008 Rw 04 No.21
1. Apa pendapat anda tentag perkawinan dibawah umur? Perkawinan yang dilakukan ketika seseorang belum menginjak umur 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria. 2. Bagaimana
pandangan
masyarakat
di
deraah
ini
terhadap
perkawina di bawah umur? Kurang setuju karena seharusnya mereka yang ingin menikah harus cakap dalam hukum, telah memiliki tangung jawab, hal ini berkaitan erat dengan kematangan usia seseorang. Sehingga apa yang di citacitakan dalam sebuah perkawinan dapat terwujud. 3. Menurut anda apa yang melatar belakangi seseorang melakukan perkawinan dibawah umur?
Hamil di luar nikah akibat terpengaruh oleh pergaulan bebas, kemudian juga faktor adat bagi sebagian kecil masyarakat yang menganggap
bila
anaknya
sudah
menikah
itu
merupakan
kebanggaan tersendiri, dan sebaliknya bila belum menikah menjadi celaan dalam lingkungan keluarga. 4. Adakah pasangan yang melakukian perkawinan di bawah umur di lingkungan ini? Masih ada, walaupun jumlahnya sedikit. 5. Menurut pendapat anda bagaimana pengaruh perkawinan di bawah umur terhadap pembentukan keluarga sakinah? Sulit untuk membentuk keluarga yang sakinah mawadah warohmah karena mereka sama-sama belum dewasa sehingga mereka lebih cenderum emosional dalam menghadapi masalah rumah tangga, mereka juga belum memiliti tanggung jawab terhadap keluarga.
Pewawancara
Yang
diwawancarai
Riana Maruti
Ucu Suharto