PENGARUH PENGKAYAAN ZOOXANTHELLAE DARI BERBAGAI SUMBER INANG TERHADAP PROSES TRANSLOKASI DAN KALSIFIKASI BINATANG KARANG
PUJIONO WAHYU PURNOMO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengaruh Pengkayaan Zooxanthellae dari Berbagai Sumber Inang Terhadap Proses Translokasi dan Kalsifikasi Binatang Karang adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 19 Juli 2011
Pujiono Wahyu Purnomo C661020071
ABSTRACT PUJIONO WAHYU PURNOMO. The Influence of Zooxanthellae Enrichment from Some Host Concerning Translocation Process and Coral Calsification (Advisor by : DEDI SOEDHARMA as Chairman, NEVIATY P. ZAMANI and HARPASIS S. SANUSI as Members). Translocation process are the biotechnique activity to cross of clade on coral bleaching by enrichment of zooxanthellae. Succesfully of translocation process hope can support idea of coral recovery after bleaching. The research do manner sequensial in the three steps. The first step is exploring of zooxanthellae growth and examine genetic diversity be based on the artificial environment and purposed for : (a) Evaluating factor needed irradiance, temperature and nutrient that supporting of zooxanthellae growth, (b) explore genetic diversity of zooxanthellae based on profill it’s DNA from sea anemone, Tridacna, Acropora, Favites and Goniastrea, (c) Explore the effort optimalization growing of zooxanthellae. The second step is examine degradation polyp histologis of Goniastrea aspera concerning application of temperature levels and endurance after bleaching. This research aims to : (a) investigate effect temperature concerning change content zooxanthellae density in the polyp histologies, (b) investigate effect temperature on process change of polyp histologies and (c) the evaluation ability of coral after bleaching. The third step is explore translocation several clade of zooxanthellae on the survival and growth rate of Goniastrea aspera. Research aims to : (a) Evaluating effect of zooxanthellae enrichment on the growth and resettlement of zooxanthellae on the polyp histology and (b) Explore the influence zooxanthellae translocation on the calcification of Goniastrea aspera. Research did in the Main Center of Brackishwater Aquaculture Development Jepara, Ecodevelopment Coastal FPIK UNDIP and Southern of Pulau Panjang Waters at Jepara. Result of the first research are : (a) The irradiance, temperature and nutrient for supporting growth of zooxanthellae are : green radiance (with comparison 84,56 102,78 µmol quanta m-2 dt-1), 20 – 23oC and initial nutrient 200 µM of NaNO3, (b) Diversity variation clade from host (organism test) are clade A, clade B and clade C, (c) In controlling environment, the potention of peak growth of third clade are can be maintenanced with adding NO3-N amount 0,0445 mg/l and repeat again for 16 days. Result of the second research are : (a) Optimum temperatur for resistent of zooxanthellae in the polyp histologist of Goniastrea aspera is 36oC until 6 hours, (b) More than optimal temperature and incubation time efected on the histologist degradation of the polyp of Goniastrea aspera, zooxanthellae release and coral death, (c) Recovery organism (Goniastrea aspera) examine on the condition partial bleaching and (d) Coral recovery marked with zooxanthellae regulation process in the polyp hystologies.and to achieve perfect systematic after week 12th. Result of the third research are : a) In the artificial waters, translocation zooxanthellae to polyp tissue of Goniastrea aspera occured at day 17 and more fast in the natural waters; b) In the controlling of temperature environment on translocation provided positive response of Goniastrea aspera’s normal life, relocation and growth rate of zooxanthellae as in nature and c) recognition, resettlement, and growth process of zooxanthellae made it possible for Goniastrea aspera to grow normally in natural waters. Key words : Bleaching, clade zooxanthellae, recognition process, translocation, regulation dan resettlement zooxanthellae.
RINGKASAN PUJIONO WAHYU PURNOMO. Pengaruh Pengkayaan Zooxanthellae dari Berbagai Sumber Inang Terhadap Proses Translokasi dan Kalsifikasi Binatang Karang. (Di bawah bimbingan : DEDI SOEDHARMA sebagai Ketua, NEVIATY P. ZAMANI dan HARPASIS S. SANUSI sebagai anggota). Karang merupakan biota laut yang mampu membentuk ekosistem. Ancaman degradasinya semakin meningkat tidak saja oleh pengaruh alami akan tetapi juga pengaruh antropogenik. Kejadian ini sangat ironis dengan keberadaannya yang sangat penting baik terhadap fungsinya sebagai kawasan penyangga kehidupan internal dan eksternal ekosistem bentukannya maupun fungsinya sebagai penyangga sistem pulau. Pengaruh alami yang menonjol terhadap penurunan kualitas terumbu karang dalam dekade terakhir adalah adanya pengaruh pemanasan. Efek pemanasan perairan terhadap karang adalah timbulnya pemutihan atau bleaching. Pemanasan perairan laut dalam kurun waktu lama dikhawatiran menyebabkan kerusakan terumbu karang secara permanen. Kekhawatiran ini perlu dijembatani dengan penelusuran terhadap proses bleaching dan pemulihannya. Dukungan sifat fluktuasi air laut serta potensi strategi pengaturan faali karang melalui proses bleaching diperkirakan dapat mengurangi kekhawatiran tersebut. Penelitian ini dilakukan secara sekuensial dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah Kajian pertumbuhan zooxanthellae secara massal dan uji keragaman genetik berdasarkan penumbuhan di lingkungan binaan. Kajian tahap pertama ini bertujuan untuk : (a) Mengevaluasi faktor kebutuhan cahaya, suhu dan nutrien optimum yang mendukung pertumbuhan zooxanthellae, (b) Mengkaji diversitas zooxanthellae berdasarkan profil DNAnya dari sumber inang sea anemon, tridacna, Acropora, Favites dan Goniastrea aspera dan (c) Mengkaji upaya optimalisasi pertumbuhan zooxanthellae secara massal. Tahap kedua adalah uji degradasi jaringan polip Goniastrea aspera terhadap terapan berbagai taraf suhu dan ketahannya pasca bleaching. Kajian tahap dua bertujuan untuk : (a) Mengkaji efek suhu terhadap perubahan kadar zooxanthellae pada jaringan polip karang; (b) Mengkaji efek suhu terhadap proses perubahan jaringan polip karang dan (c) Mengevaluasi kemampuan pulih karang pasca bleaching. Tahap ketiga adalah kajian translokasi beberapa clade zooxanthellae terhadap sintasan dan pertumbuhan karang Goniastrea aspera. Kajian ini bertujuan untuk (a) Mengevaluasi efek pengkayaan zooxanthellae terhadap perkembangan zooxanthellae pada jaringan polip Goniastrea aspera; (b) Mengevaluasi efek pengkayaan zooxanthellae terhadap translokasi pada jaringan polip binatang karang dan (c) Mengkaji pengaruh translokasi terhadap pertumbuhan karang. Kajian tahap pertama dilakukan di laboratorium pakan alami dan genetika Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Upaya pemurnian jenis zooxanthellae ditelusur dari beberapa inang yaitu sea anemon, tridacna, Acropora, Favites dan Goniastrea aspera. Penumbuhan massal dilakukan secara berjenjang dengan menerapkan ragam perlakuan mencakup cahaya, suhu dan nutrien. Hasil yang menonjol dari tahap kajian ini adalah : (a) cahaya yang mendukung untuk penumbuhan berjenjang hingga massal dari zooxanthellae adalah cahaya hijau dengan kekuatan cahaya 84,56 sampai dengan
102,78 µmol quanta m-2 dt-1, kisaran suhu yang mendukung adalah antara 20oC hingga 23oC dengan penambahan nutrien awal 200 µM NaNO3. (b) Variasi keragaman clade dari sumber inang Sea anemon, Tridacna, Acropora, Favites dan Goniastrea adalah clade A, clade B dan clade C. (c) Pada kondisi lingkungan yang terkendali, maka potensi pertumbuhan puncak zooxanthellae clade A, B dan C dapat dipertahankan dengan penambahan ulang NO3-N sebesar 0,0445 mg/l dalam selang waktu 16 hari.
Kajian tahap kedua dilakukan baik dalam media binaan di lingkungan BBPBAP Jepara dan Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai FPIK UNDIP Jepara dan lingkungan perairan terumbu karang selatan Pulau Panjang Jepara. Perlakuan yang diterapkan adalah dengan memberikan shock suhu kepada biota uji Goniastrea aspera dalam 4 taraf yaitu 40oC, 36oC, 32oC dan 28oC. Hasil yang menonjol dari kajian tahan ini adalah : (a) Suhu optimum bagi zooxanthellae yang masih dapat bertahan pada jaringan polip karang Goniastrea aspera adalah 36oC selama 6 jam, (b) Di atas suhu optimum terjadi proses degradasi jaringan polyp, pelepasan zooxanthellae dan kematian karang, (c) Pemulihan biota uji hanya dapat terjadi pada kondisi pemutihan parsial (d) Pemulihan karang ditandai dengan terjadinya proses regulasi zooxanthellae di dalam jaringan polip karang dan mencapai penataan sempurna setelah minggu ke 12. Kajian tahap ketiga dilakukan baik dalam media binaan di lingkungan BBPBAP Jepara dan Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai FPIK UNDIP Jepara dan lingkungan perairan terumbu karang selatan Pulau Panjang Jepara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : a) Translokasi zooxanthellae pada Goniastrea aspera pasca bleaching pada lingkungan binaan terjadi pada hari ke 17, sedangkan di perairan alami dapat terjadi lebih dini; b) Translokasi yang terkendali oleh kondisi lingkungan khususnya suhu memberikan respon positif terhadap proses relokasi dan pertumbuhan zooxanthellae pada jaringan polyp Goniastrea aspera; c) Proses recognisi, resettlement dan pertumbuhan zooxanthellae memungkinkan karang Goniastrea aspera dapat tumbuh secara normal di media alami. Kata Kunci : Bleaching, clade zooxanthellae, proses recognisi, translokasi zooxanthellae, regulasi zooxanthellae.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENGARUH PENGKAYAAN ZOOXANTHELLAE DARI BERBAGAI SUMBER INANG TERHADAP PROSES TRANSLOKASI DAN KALSIFIKASI BINATANG KARANG
PUJIONO WAHYU PURNOMO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : 1. 2.
Dr. Ir. Etty Riani, MS : Staf pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Dr. Ir. Fajar Basuki, MS : Staf pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro.
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka : 1. 2.
Prof. Dr. R. Suharsono : Kepala Pusat P2O LIPI Jakarta Prof. Dr. Ir. Muhammad Zainuri, DEA : Guru Besar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP Semarang
Judul Disertasi
Nama NIM
: Pengaruh Pengkayaan Zooxanthellae dari Berbagai Sumber Inang Terhadap Proses Translokasi dan Kalsifikasi Binatang Karang : Pujiono Wahyu Purnomo : C661020071
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA Ketua
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Anggota
Prof. Dr. Ir. Harpasis S. Sanusi, M.Sc. Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 7 Juli 2011
Tanggal Lulus : ......................
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuaniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2004 ini adalah translokasi zooxanthellae, dengan judul Pengaruh Pengkayaan Zooxanthellae dari Berbagai Sumber Inang Terhadap Proses Translokasi dan Kalsifikasi Binatang Karang. Disertasi ini memuat 3 bab yang merupakan pengembangan dari naskah artikel yang diajukan ke jurnal ilmiah. Artikel yang diajukan untuk diterbitkan pada jurnal ilmiah tersebut adalah pada Bab 3 berjudul Uji Keragaman Genetik Zooxanthellae dari beberapa Sumber Inang dan Kajian Pertumbuhannya di Lingkungan Binaan dan Bab 5 berjudul Kajian Translokasi Beberapa Clade Zooxanthellae terhadap Sintasan dan Pertumbuhan Karang Goniastrea aspera. Satu dari tiga jurnal yang dapat dikembangkan dari penelitian ini telah diterbitkan di Majalah Saintek FPIK UNDIP, sementara lainnya masih menunggu penerbitan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada : 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Prof. Dr. Dedi Soedharma, DEA, selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan curahan waktu, nasehat, arahan dan motivasi secara terus menerus dengan penuh dedikasi dari awal perencanaan penelitian sampai selesainya disertasi ini; Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Harpasis S. Sanusi, M.Sc, selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, semangat dan koreksian-kooreksian yang kritis dan tajam sehingga menambah kualitas disertasi ini; Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc, selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan beserta staff administrasinya atas segala bantuan administratif dan akademik selama penyelesaian studi ini; Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Doktor di Institut Pertanian Bogor. Rektor Universitas Diponegoro dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP, atas ijin pendidikan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program doktor di Institut Pertanian Bogor. Dr.Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc, mewakili Wakil Dekan FPIK-IPB selaku pimpinan sidang ujian tertutup; Dr. Ir. Etty Riani, MS dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dan Dr. Ir. Fajar Basuki dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP selaku penguji dalam ujian tertutup yang telah menambah wawasan pengetahuan keilmuan penulis, Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc, selaku pimpinan sidang ujian terbuka; Prof. Dr. Soeharsono dari Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI dan Prof. Dr. Ir. Muhammad Zainuri, DEA dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP, selaku penguji dalam ujian terbuka yang telah menambah bobot pengetahuan keilmuan penulis, Ir. Sujiharno, selaku Direktur Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Departemen Kelautan dan Perikanan di Jepara yang berkenan
memberikan ijin penelitian. Ir. Bambang Widyo Prastowo, MSi dan staf di Lingkungan Laboratorium Penyakit Ikan dan Genetika; Ir. Fairus M. Soni, M.Sc dan staf di Lingkungan Laboratorium pakan alami BBPBAP yang berkenan membantu pelaksanaan studi ini, 9. Ir. Imam Triarso, MS, selaku Kepala Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai FPIK UNDIP beserta staf yang berkenan memberikan bantuan selama penelitian ini berlangsung; 10. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Kelautan IPB khususnya angkatan 2002 atas kebersamaan dan kerjasamanya selama menempuh pendidikan. 11. Orang Tua dan Mertua saya, adik serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa, semangat dan kasih sayangnya selama penulis menempuh pendidikan Doktor di Institut Pertanian Bogor. 12. Istriku Sulistiyaningsih dan putra putriku Tantri Bagus Satrio, S,Ked; Azafilmi Hakiim, S.T.; Arsyzilma Hakiim, S.Ked.; Willy Noorhasheed dan Athasalma Monica atas segala pengorbanan dan dorongan doa, semangat serta kasih sayangnya yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat.
Bogor, 19 Juli 2011
Pujiono Wahyu Purnomo
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Demak pada tanggal 11 Mei 1962 dari ayah Zoechdi Soewoto (Alm) dan ibu Soemirah (Alm). Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Hayati Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Diponegoro lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1989 penulis diterima di Program Studi Ilmu Perairan pada program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1992. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Kelautan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2002. Bea siswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Due Like. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan Universitas Diponegoro. Mata kuliah yang diampu oleh peneliti adalah Avertebrata, Biologi Laut dan Pengelolaan Terumbu Karang. Karya-karya ilmiah yang diterbitkan sebagai bagian dari penelitian program doktor adalah Model Kehidupan Zooxanthellae dan Penumbuhan Massalnya pada Media Binaan di Jurnal Saintek Perikanan Universitas Diponegoro Semarang. Sementara itu karya ilmiah lain dengan judul Kajian Pertumbuhannya di Lingkungan Binaan dan Kajian Translokasi Beberapa Clade Zooxanthellae terhadap Sintasan dan Pertumbuhan Karang Goniastrea aspera,masih dalam proses revisi untuk penerbitan.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL .........................................................................................
xxi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xv
PENDAHULUAN Latar Belakang .............................................................................. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................. Tujuan Penelitian ........................................................................... Manfaat Penelitian ......................................................................... Hipotesis Penelitian ....................................................................... Lokasi Penelitian ...........................................................................
1 4 11 11 21 12
TINJAUAN PUSTAKA Fakta dan Faktor-faktor Destruktif bagi Karang .......................... Bioekologi Zooxanthellae dan Karang .......................................... Peranan Faktor Fisika Kimia Perairan terhadap Hubungan Karang dan Zooxanthellae ............................................................. Proses Simbiosis Zooxanthellae dan Peran Fungsionalnya ........... UJI KERAGAMAN GENETIK ZOOXANTHELLAE DARI BEBERAPA SUMBER INANG DAN KAJIAN PERTUMBUHANYA DI LINGKUNGAN BINAAN Abstrak .......................................................................................... Pendahuluan .................................................................................. Metodologi..................................................................................... Hasil Percobaan ............................................................................. Pembahasan ................................................................................... Simpulan ........................................................................................ Daftar Pustaka ...............................................................................
15 17 22 35
41 42 46 55 66 79 81
UJI DEGRADASI JARINGAN POLIP Goniastrea aspera TERHADAP TERAPAN BERBAGAI TARAF SUHU dan KETAHANANNYA PASCA PEMUTIHAN Abstrak .......................................................................................... Pendahuluan .................................................................................. Metodologi..................................................................................... Hasil Percobaan ............................................................................. Pembahasan ................................................................................... Simpulan ........................................................................................ Daftar Pustaka ...............................................................................
xix
89 90 93 102 115 126 127
xx
KAJIAN TRANSLOKASI BEBERAPA STRAIN ZOOXANTHELLAE TERHADAP SINTASAN DAN PERTUMBUHAN KARANG Goniastrea aspera Abstrak ................................................................................................ Pendahuluan ........................................................................................ Metodologi ........................................................................................... Hasil Percobaan ................................................................................... Pembahasan .......................................................................................... Simpulan .............................................................................................. Daftar Pustaka ......................................................................................
133 134 136 144 158 166 167
PEMBAHASAN UMUM SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ............................................................................................. Saran.....................................................................................................
195 196
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
199
LAMPIRAN .......................................................................................................
215
xxi
DAFTAR TABEL Halaman
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Rangkuman tentang Identifikasi Coral Bleaching Akibat Beberapa Stressor ............................................................................................................. Kondisi Kesehatan Terumbu Karang di Indonesia ........................................... Beberapa Zooxanthellae yang berasosiasi dengan Cnidaria ............................. Komposisi Kimia Media Agar Allen untuk Kultur Biakan Murni Zooxanthellae.................................................................................................... Komposisi Kimia Media Agar Bacto untuk Kultur Biakan Murni Zooxanthellae.................................................................................................... Peubah yang diukur, metoda dan periode pengukuran ..................................... Respon Penumbuhan Beberapa Zooxanthellae pada Media Agar .................... Ragam DNA Zooxanthellae dari Beberapa Inang ............................................ Densitas Zooxanthellae tertinggi hasil kultur dari Beberapa Inang .................. Komposisi Komunitas Endolitik Dan Aktivitas Metaboliknya dalam Lingkungan Konstituen Rangka Karang Hidup ..................................... Manajemen Koloni Contoh untuk Setiap Ulangan perlakuan .......................... Peubah yang diukur, metoda dan periode pengukuran ..................................... Hasil Analisis Kualitas Air Perairan Terumbu Karang (Lokasi Inkubasi Alamiah) ............................................................................... Pengelolaan Sample Tiap Perlakuan................................................................. Peubah yang diukur, metoda dan periode pengukuran ..................................... Diversitas DNA pada Polip Goniastrea aspera pasca bleaching dalam masa pengeraman 10 hari media Pengkayaan Zooxanthellae ................ Diversitas DNA pada Polip Goniastrea aspera pasca bleaching dalam masa pengeraman 17 hari media Pengkayaan Zooxanthellae ................ Hasil analisis Beberapa Peubah Lingkungan Pengeraman Biota Uji Goniastreas aspera ........................................................................... Variasi Clade Berdasarkan Jenis, Sumber dan Sebaranny ................................ Tipe Kelarutan Konsentrasi Nitrogen Inorganik (dalam mol/l) di Beberapa Lokasi Terumbu Karang di Dunia ................................................
xxi
16 18 20 48 48 54 55 62 63 75 96 101 115 139 143 148 152 163 174 187
xxii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Bagan Pendekatan Masalah Penelitian ........................................................ .... Lokasi Penelitian ......................................................................................... .... Penyebaran Global Peristiwa-peristiwa Pemutihan (1998-2000) ............... .... Skema Siklus Hidup Zooxanthellae ............................................................ .... Hubungan phylogenic antar clade utama Symbiodinium ............................ .... Pelepasan zooxanthellae ke coelenteron ..................................................... .... Pelepasan Zooxanthellae Type 1 : zooxanthellae menyelimuti cytoplasma Inang.............................................................................................. Pelepasan Zooxanthellae Type 2 : zooxanthellae secara parsial atau menyeluruh dikelilingi oleh sisa-sisa jaringan ......................................... Pelepasan Zooxanthellae Type 3 : zooxanthellae lepas secara utuh dari vacuola inang beserta komponen lapisan amphiemalnya ......................... Skema Proses Pelepasan Zooxanthellae dari inang karang di bawah tekanan suhu ..................................................................................... Penampang Lintang Jaringan karang dan Konsentrasi Zooxanthellae di dalamnya .............................................................................. Mekanisme Transfer Alur Nutrien dalam dan dari Lingkungan Eksternal ........................................................................................................... Skema Hubungan Metabolisme dari Sel Zooxanthellae dalam Inang Polip ............................................................................................ Densitas Zooxanthellae hasil Adaptasi dari Media Inokulan ...................... .... Pertumbuhan Zooxanthellae pada Berbagai Pengubahan Kondisi Media ................................................................................................ Genotip RFLP dari contoh zooxanthellae yang dimurnikan dari beberapa sumber inang .................................................................................... Hubungan kekerabatan DNA dari beberapa jenis zooxanthellae berdasarkan Analisis Cluster ............................................................................ Pertumbuhan Zooxanthellae antar Clade .................................................... .... Perubahan Kadar NO3-N selama Budidaya Zooxanthellae......................... .... Pertumbuhan Zooxanthellae pada Bak Massal dengan Penambahan Nutrien ........................................................................................ Pemiskinan NO3-N dan Perkembangan Zooxanthellae .............................. .... Respon Penambahan NO3-N terhadap upaya Mempertahankan Perkembangan Zooxanthellae ........................................... Perubahan Kandungan Zooxanthellae Karang Goniastrea aspera pada Berbagai Perlakuan Suhu ......................................................................... Profil Jaringan Polip Karang Selama Proses Penerapan Berbagai Tingkat Temperatur .................................................................................................. ....
xxiii
10 13 15 21 22 32 33 33 34 34 36 37 38 56 57 60 61 64 65 66 76 77 103 106
xxiv
25 26 27 28 29
30
31
32
33 34 35 36 37 38
Sintasan Goniastrea aspera pasca Bleaching .............................................. ... Perkembangan Zooxanthellae dari Adaptasi Karang Goniastrea aspera pada Berbagai Tingkat Media Suhu ..................................................... Proses Addisi Sel Zooxanthellae pada Jaringan Polip Karang .................... ... Sketsa Penataan Peralatan Uji Translokasi Zooxanthellae Pada Goniastrea aspera yang telah dibleachingkan ........................................ Pola Pita DNA Zooxanthellae pada Jaringan Polip Goniastrea aspera yang diperkaya dengan Zooxanthellae Clade A, B dan C pada masa inkubasi 10 hari ................................................................................................ Hubungan kekerabatan DNA dari beberapa jenis zooxanthellae berdasarkan Analisis Cluster pada tahap uji diversitas DNA zooxanthellae dari jaringan polip Goniastrea aspera pasca Pemutihan dalam 10 hari waktu inkubasi pada media pengkayaan zooxanthellae ........... Pola Pita DNA Zooxanthellae pada Jaringan Polip Goniastrea aspera yang diperkaya dengan Zooxanthellae Clade A, B dan C pada masa inkubasi 17 hari ................................................................................................ Hubungan kekerabatan DNA dari beberapa jenis zooxanthellae berdasarkan Analisis Cluster pada tahap uji diversitas DNA zooxanthellae dari jaringan polip Goniastrea aspera pasca Pemutihan dalam 17 hari waktu inkubasi pada media pengkayaan zooxanthellae ........... Perkembangan Zooxanthellae pada Goniastrea aspera dalam Masa Inkubasi di Perairan Alami .......................................................... Perubahan Tampilan Jaringan Polip Karang selama masa Pengeraman di Perairan Laut selama 6 minggu............................................... Pertumbuhan Specimen Goniastrea aspera Berdasarkan Sumber Pengkayaan Clade .............................................................................. Nilai Beberapa Peubah Fisika Kimia Perairan Binaan tempat Pengeraman Biota uji pasca bleaching ................................................ Profil histologis jaringan polyp karang pada pengaruh pemanasan Media pada suhu 40oC selama 6 jam dan suhu 36oC selama 12 jam .............. Bentukan Struktur Diameter Rongga pada Rangka Karang Secara Mikroskopis..........................................................................................
114 117 123 138
147
149
152
153 155 156 158 164 181 189
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Pencacahan Densitas Zooxanthellae pada Tahap Adaptasi.............................. 215
2
Hasil Uji antar perlakuan pada tiap tahap pertumbuhan zooxanthellae ...... .... 217
3
Densitas Zooxanthellae pada percobaan pertumbuhan antar clade dan tingkat nutrien ............................................................................................ 218
4
Analisis Perubahan NO3-N (mg/l) pada Media Budidaya Zooxanthellae... .... 221
5
Densitas Zooxanthellae dan analisis ragam model perubahan zooxanthellae pada penerapan level shock suhu ..................................................................... 224
6
Analisis ragam densitas zooxanthellae pada polip karang Goniastrea aspera Pada pengkayaan ragam clade (A, B dan C) pada minggu ke 15 dan 17 pasca pengeraman di perairan alami..................................................... 227
xxv
PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut Veron (1995), terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo Pasifik. Terbatasnya penyebaran terumbu karang di perairan tropis dan bentang latitudinal dari wilayah selatan Jepang sampai dengan Australia dikendalikan oleh faktor temperatur dan sirkulasi permukaan (surface circulation) air. Penyebaran terumbu karang secara longitudinal dipengaruhi oleh adanya konektivitas berupa stepping stone (area penyebaran). Kombinasi antara faktor lingkungan fisik (temperatur dan sirkulasi air permukaan) dengan banyaknya jumlah area penyebaran yang terdapat di wilayah Indo Pasifik diperkirakan menjadi faktor pendukung luasnya terumbu karang di kawasan tersebut. Kini hampir 800 jenis karang yang tergolong kelompok Schleractinia telah dideskripsikan. Dari sejumlah karang yang ditemukan ini, 600 jenis berada di Asia Tenggara khususnya Indonesia dan Philipina (Burke, Selig dan Spalding, 2002), dan dengan pertimbangan luas kawasannya sebesar 34% (51% konstribusi kawasan terumbu karang Indonesia) dari total kawasan terumbu karang di dunia maka secara biogeografi kawasan ini dinyatakan sebagai pusat sebaran karang di dunia (Veron, 1995). Dewasa ini eksistensi ekosistem terumbu karang semakin menurun baik kuantitas maupun kualitasnya. Penurunan ini berlangsung seiring dengan meningkatnya tekanan alami maupun karena kepentingan masyarakat. Pengaruh tekanan alami terhadap keutuhan terumbu karang telah terjadi sejak lama hingga saat ini. Pengaruh ini khususnya diindikasikan oleh pemutihan karang atau coral bleaching. Istilah coral bleaching itu sendiri di definisikan oleh Brown (1997) sebagai pemutihan karang diikuti dengan lepasnya alga simbiotik (zooxanthellae) dan atau peluluhan pigmennya. Fenomena pemutihan karang itu sendiri sebagaimana dalam rangkuman Brown (1997) yang bersumber dari berbagai peneliti di berbagai tempat diinformasikan telah menyebar luas. Di Polynesia Perancis, pemutihan karang dilaporkan terjadi mulai pada tahun 1973, kemudian berturut-turut terjadi pada tahun 1983-1984; 1986-1987, 1991; 1994 dan 1996. Kejadian ini berlangsung
secara berulang di beberapa tempat. Di kawasan
2 terumbu karang Samudera India, pemutihan karang terjadi pada tahun 1991 dan 1995. Di kawasan terumbu karang Laut Karibia khususnya di Jamaika juga dilaporkan terjadi pemutihan pada Tahun 1987, 1988, 1990 dan 1995 serta beberapa tempat lain. Peningkatan kegiatan ekonomi di kawasan pesisir yang mempunyai potensi terumbu karang dan atau yang berdaya guna secara langsung di lingkungan terumbu karang merupakan bentuk pengaruh antropogenik terhadap keberadaan terumbu karang. Meskipun gangguan antropogenik terjadi pada variasi spasial maupun temporal, tetapi seringkali overlap (tumpang tindih) diantaranya memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap terumbu karang. Di beberapa lokasi di pesisir Indonesia, adanya pengaruh antropogenik dapat mematikan atau memusnahkan ekosistem ini. Pengaruh antropogenik ini akan semakin besar dampaknya terhadap karang
akibat tumpang tindih dengan
pengaruh peningkatan temperatur air laut secara global. Kejadian ini mempunyai implikasi kronik dalam jangka panjang sebagaimana diperlihatkan oleh efek eutrofikasi.
Fenemona ini akan menurun kepada gangguan seperti penyakit
bakteri yang dapat mengakibatkan pemutihan karang sebagaimana terjadi akibat peningkatan temperatur (Rosenberg dan Ben-Haim, 2002). Efek gangguan campuran secara umum dapat mengganggu proses pertumbuhan karang, mempengaruhi rekruitmen serta proses regeneratif (Hughes dan Connell, 1999). Penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem terumbu karang tersebut selanjutnya memberikan implikasi efek terhadap berbagai hal seperti menurunnya kelimpahan ikan (Wilkinson, 1999); eutrifikasi (Berner dan Izhaki, 1994; Stambler dan Vago, 1994; Wilkinson, 1999). Kejadian ini sangat ironis dengan keberadaannya yang sangat penting baik terhadap fungsinya sebagai kawasan penyangga kehidupan internal dan eksternal ekosistem bentukannya maupun fungsinya sebagai penyangga sistem pulau. Berdasarkan keterangan di atas, nampak bahwa penyebab pemutihan karang dapat bermacam-macam. Namun demikian, pengaruh temperatur selain merupakan faktor alamiah yang dapat berlangsung periodik juga mempunyai pengaruh dengan sifat langsung terhadap terjadinya pemutihan karang. Faktor pemanasan air laut sebagai salah satu implikasi dari pemanasan global adalah
3 gejala alam yang kian akan terus mempengaruhi kehidupan terumbu karang. Berkenaan dengan fenomena di atas, maka pemutihan karang akan terus menjadi fenemena yang harus diterima oleh biota karang. Dalam kondisi fluktuasi ini karang akan terus melakukan proses adaptasi untuk mempertahankan diri terhadap kematian (Fitt et al. 2001). Salah satu faktor penting terkait dengan hal tersebut adalah kemungkinan terjadinya translokasi zooxanthellae pasca proses pemutihan, sebagai bagian dari mekanisme adaptasi yang dilakukan oleh karang dalam mengantisipasi perubahan lingkungan eksternalnya. Ini menjadi pertanyaan utama dari kekhawatiran akan masa depan terumbu karang akibat tekanan yang luas. Tekanan yang luas ini tidak saja mengantisipasi efek pemanasan global yang bersifat alamiah juga akibat langsung dan tidak langsung dari pengaruh anthropogenik (Westmacott, et al., 2000). Selanjutnya dijelaskan bahwa pendekatan yang perlu dilakukan adalah dengan penerapan beberapa model pengelolaan secara terpadu. Namun dibalik itu semua, pada prinsipnya gangguan yang terjadi pada karang dalam suatu runtun waktu tertentu memerlukan proses pemulihan. Pernyataan Peters, (1997); Nystrom, Folke dan Moberg (2000) dan Fitt et al. (2001) perlu dicermati terhadap fenomena ini. Dikemukakan bahwa hasil dari perubahan ini mungkin mempunyai peran penting dalam rangka meningkatkan daya dukung yang akan berkompromi terhadap kemampuan terumbu karang mengatasi gangguan pada masa mendatang. Pernyataan Buddemeier dan Fautin (1993) mengenai pemutihan karang dan peristiwa translokasi zooxanthellae perlu dikaji lebih mendalam, meskipun mengandung banyak perdebatan. Dikemukakan bahwa pemutihan karang secara umum diamati sebagai suatu hubungan antara tekanan lingkungan akibat perubahan faktor fisika lingkungan terhadap binatang karang, khususnya tentang perusakan terhadap organisme zooxanthellae. Selanjutnya dikemukakan bahwa pemutihan karang merupakan suatu mekanisme adaptasi yang cepat dari karang terhadap sifat pathologi lingkungan, dengan catatan asal ada suatu kesempatan bagi zooxanthellae untuk bergabung kembali dengan host (inang/polyp karang), melalui adaptasi untuk merubah kepada keadaan yang lebih baik. Perbedaan kecil antara temperatur yang terjadi pada interval waktu yang teratur dikemukakan tidak berefek dalam menurunkan pemutihan karang; eksistensi pemutihan karang
4 bebas dari pengaruh temperatur pada kisaran kedalaman yang lebar (Jokiel dan Coles, 1990) dan lebih lanjut dikemukakan bahwa pemulihan karang mungkin saja terjadi karena dimungkinkannya lebih dari satu takson zooxanthellae dapat menempati inang polip karang (Rowan dan Power; 1991). Pendapat tersebut semuanya mendukung teori translokasi. Veron (1995) menyatakan bahwa temperatur hanya sebagai suatu syarat yang menghantarkan ke proses pemutihan karang, sebagaimana peranannya dalam pengaturan siklus reproduksi. Ruang Lingkup Penelitian Dewasa ini kondisi terumbu karang baik yang ditemukan di perairan Indonesia maupun di berbagai lokasi sebarannya telah mengalami degradasi. Berkaitan dengan proses degradasi tersebut, Westmacott, et al
(2000)
menyatakan bahwa gangguan terbesar bagi terumbu karang baik secara lokal maupun global menimbulkan pertanyaan mengenai masa depan terumbu karang. Berkenaan dengan proses degradasi karang, maka pada dasarnya tekanan yang diterima oleh biota ini pada awalnya merupakan suatu aktivitas pemutusan hubungan fungsional antara zooxanthellae dengan karang. Proses pemutusan hubungan fungsional ini merupakan mekanisme pelepasan zooxanthellae dari jaringan-jaringan polip karang. Mekanisme awalnya dicirikan oleh proses pemutihan karang. Dengan pelepasan zooxanthellae ini maka proses transfer energi beserta dampak fungsional akan terganggu. Dalam tekanan yang bersifat kontinyu dan dalam jangka waktu yang lama maka akan dapat menyebabkan kematian bagi karang. Pemulihan terumbu karang adalah suatu kemampuan dari suatu koloni individual atau suatu sistem terumbu karang (termasuk semua penghuninya), untuk mempertahankan diri dari dampak lingkungan serta menjaga potensi berkembang. Dampak yang sifatnya merusak dan berkesinambungan secara perlahan-lahan dapat mengurangi secara progresif kemampuan pemulihan karang. Sebagaimana halnya dengan tekanan temperatur yang mengakibatkan terjadinya pemutihan karang. Dalam rentang waktu yang lama dan berfluktuasi mengakibatkan kematian sebagian besar karang dan hanya menyisakan sedikit
5 karang yang resisten (Fitt et al., 2001). Kembalinya ekosistem terumbu karang ke fungsi semula setelah degradasi bergantung kepada kesuksesan reproduksi dan rekolonisasi karang-karang yang tersisa serta dari karang-karang yang berada di luar populasi sumber terumbu dalam kondisi kelabilan lingkungan. Dalam kaitan tersebut, terlaksananya reproduksi dan rekolonisasi merupakan suatu kejadian dari suatu proses kehidupan karang untuk membantu melakukan pemulihan. Reproduksi dan rekolonisasi tidak akan dapat terlaksana dan mempunyai peluang yang sangat kecil dalam kondisi terganggunya faali biota karang (Fitt et al., 2000). Selanjutnya dikemukakan bahwa gangguan faali ini harus terselesaikan terlebih dahulu untuk mendapatkan kondisi karang yang stabil. Stabilitas faali merupakan salah satu faktor penting dalam pemulihan individu karang. Menurut Lenhoff (1974) stabilitas faali tersebut adalah kelengkapan stuktur biokimiawi polip. Selanjutnya dikemukakan bahwa struktur biokimiawi cnidaria mencakup sistem syaraf dan sistem transport nutrien. Keduanya memegang peranan penting dalam proses reproduksi serta adaptasi karang. Regulasi zooxanthellae berkaitan dengan proses pemulihan organ dalam polip karang. Menurut Stokes (1972) dinyatakan bahwa dalam kondisi eleminasi sebagian organ jaringan mesoglea dan endoderm maka terbentuknya rajutan baru ditentukan oleh sambungan fungsional dari sistem syaraf dan sistem nutrisi karang. Masuknya zooxanthellae ke dalam jaringan ini merupakan pemula untuk dapat terwujudnya jaringan ikat baik syaraf maupun nutrisi dari polip karang. Demikian seterusnya hingga akan mengisi kerusakan-kerusakan organel dalam jaringan mesoglea dan endoderm untuk membentuk struktur organ yang sempurna dari polip karang. Dalam kondisi inilah proses reproduksi dan rekolonisasi akan dapat berlangsung. Fenomena pemutihan karang sebagai indikasi awal tekanan lingkungan terhadap karang dan peluang pemulihan menjadi pemicu tentang pemikiran proses pemulihan terumbu karang akibat degradasi. Laporan struktur komunitas karang pasca bleaching di kawasan terumbu karang Pulau Seribu yang dilakukan oleh Suharsono (1988) memberikan informasi bahwa terdapat potensi pemulihan terumbu karang meskipun lambat. Hal yang sama dilaporkan oleh Suharyadi
6 (2003) bahwa pada saat musim penghujan terumbu karang di paparan terumbu karang Selatan Pulau Panjang hampir memperlihatkan kepunahan, namun demikian pasca musim hujan berlalu terindikasi mempunyai pemulihan dengan struktur komunitas yang sama. Dengan demikian memunculkan pertanyaan apakah coral bleaching hanya semata-mata merupakan suatu efek ataukah suatu strategi biota untuk mempertahankan diri masih menyisakan pertanyaan. Buddemier dan Futin (1983) berpendapat bahwa hal tersebut merupakan kemungkinan yang terjadi di alam, dengan konsepnya bahwa pemutihan karang merupakan mekanisme adaptasi; meskipun pendapat ini ditentang oleh beberapa peneliti lainnya. Teknik translokasi zooxanthellae antar inang pada ekosistem terumbu karang yang diteliti ini merupakan salah satu upaya untuk memberikan pembuktian terhadap teori adaptasi sebagaimana yang diusulkan oleh Buddemeier dan Futin (1983). Selanjutnya bahwa tantangan ke depan khususnya terhadap meningkatnya perdagangan karang akhir-akhir ini perlu diantisipasi massalisasi produk karang melalui teknik-tektik buatan dengan tanpa menggantungkan sepenuhnya pada sediaan alamiah. Bioteknik translokasi zooxanthellae pada karang diperkirakan dapat memberikan pemecahan masalah tersebut; sehingga nilai keberadaan (existence value) dari karang akan tetap terpelihara secara alamiah; sementara nilai ekonomi (economic value) dapat ditarik berdasarkan pendekatan etik seperti yang dipersyaratkan sebagai produk ekonomik dan lestari dari sumberdaya alam (Primack, 1995). Dengan demikian, kajian translokasi tidak hanya dapat memberikan jawaban mendasar tentang pemulihan terumbu karang, akan tetapi juga merupakan suatu langkah alternatif terhadap bagi upaya-upaya pemanfaatan terumbu karang secara lebih bijaksana. Pemikiran translokasi zooxanthellae antar inang sebagaimana yang akan dituju dalam penelitian ini, secara konseptual didasarkan kepada tiga aspek, yaitu : 1. Peranan simbiosis antara zooxantellae dan binatang karang. Simbiosis merupakan peristiwa ekologi yang menjadi suatu ketetapan kehadirannya dalam khasanah ilmu biologi. Secara fisiologis manfaat dari simbiosis dapat dirinci sebagai berikut :
7 a. Merombak sisa metabolik (Goreau, 1961 dalam Veron, 1995) b. Meningkatkan proses kalsifikasi (Goreau, 1961 dalam Veron, 1995), c. Memberikan konstribusi nutrien secara langsung dan d. Mendaur ulang (recycling) nutrien pembatas (nitrogen dan fosfor). Dengan adanya simbiosis, semua kegiatan tersebut atau semua manfaat tersebut akan terlaksana; dan dengan adanya simbiosis ini maka secara fototropis dapat memperpanjang kehidupan karang dalam suatu periode tertentu dan jika tidak untuk jangka waktu tak terbatas memberikan tambahan nutrien minor. 2. Proses Relokasi zooxantellae. Proses kalsifikasi pada binatang karang mempunyai ketergantungan yang sangat besar terhadap kelimpahan zooxanthellae dalam jaringan tubuhnya. Di lain pihak bahwa proses relokasi zooxanthellae sangat bergantung baik kepada mekanisme transduksi maupun proses respon interselnya. Menurut Lenhoff (1974), bahwa terdapat beberapa tahap dalam mekanisme relokasi zooxanthellae dalam inang binatang karang, yaitu : a. Kontak dan Pengenalan (Recognition). Meskipun terdapat argumentasi bahwa transduksi zooxanthellae pada jaringan seluler inangnya terjadi pada saat pelepasan planula, namun tahap ini juga dapat terjadi
pada setiap
perkembangan dari binatang karang. Berkaitan dengan mekanisme kontak ini oleh Borneman (1998) diinformasikan adanya beberapa mekanisme recognition yang terjadi yaitu melalui 5 cara : 1) Planula Larva. Dalam hal ini keberadaan zooxanthellae pada karang diperkirakan terjadi sejak masih larva. Pada saat planula karang dilepaskan dari induknya, maka pada saat itu telah ditemukan zooxanthellae pada jaringan planula. Kemudian sejalan dengan pertumbuhan karang, maka zooxanthellae melakukan proses regulasi pertumbuhannya dalam jaringan polip karang; 2) Sinyal kimia (chemosensory), yaitu suatu proses transduksi yang dilandasi oleh adanya atraktan seperti ammonium dan nirat yang merangsang zooxanthellae untuk melakukan simbiosis dengan karang. Setelah melakukan proses transduksi dan terendositosis ke dalam jaringan
8 mesoglea, selanjutnya ketersediaan nutrien tersebut secara nyata dapat merangsang pertumbuhan zooxanthellae dalam jaringan karang; 3) Inang penyela (intermediet host). Cara ini dijelaskan bahwa masuknya zooxanthellae dapat terjadi melalui pemangsaan eksternal yang dilakukan oleh polip karang. Suatu biota penyela (zooplankton) seperi udang kecil, hasil sisa cernaan zooplankton dan alga yang dimangsa oleh polip karang merupakan komponen penunjang dimungkinkannya transfer zooplankton ke dalam jaringan karang. Zooplankton atau biota penyela ini selanjutnya akan diangkut ke dalam mesentri polip kemudian sisaannya akan tersimpan disana. 4) Feces predator. Ini prinsipnya adalah keluarnya zooxanthallae dari pemangsaan yang tidak sempurna, atau ketidak mampuan beberapa biota untuk mencernanya. Keluar bersama feces yang akhirnya dapat terlarut ke dalam lingkungan perairan. 5) Kontak Acak; yang terjadi melalui terjadinya proses pertemuan secara acak akibat sifat planktonik dari zooxanthellae. Setelah terjadi kontak tersebut, maka terjadinya proses endositosis apabila keduanya mengalami persesuaian. b. Endocytosis. Merupakan proses pemasukan suatu sel alga ke dalam jaringan inang. Prosesnya dilakukan setelah mengalami tahap pengenalan dengan kecepatan dan jumlah yang bergantung kepada jenis dan kapasitas dari binatang karang. c. Relokasi intraselluler dari simbion, ini berkaitan dengan sistem endoskeleton dari binatang karang. Proses enzymatik yang membantu pelaksanaannya ditentukan oleh fluktuasi pH seluler. d. Pertumbuhan dan regulasi kuantitasnya. Proses ini terjadi setelah relokasi dan berlangsung dengan bergantung kepada perubahan faktor-faktor eksternal penentu (khususnya faktor limiting) pertumbuhan. Pemutihan merupakan salah satu fenomena regulasi dari zooxanthellae dalam jaringan binatang karang.
9 3. Proses Kalsifikasi Binatang Karang. Menurut Goreau dalam Muscatine (1974) proses kalsifikasi merupakan kombinasi
pengaruh
eksternal
dan
internal.
Pengaruh
faktor
eksternal
diperlihatkan dalam suplai Ca2+ dan kekurangan CO2 dan perubahan pH ke dalam jaringan seluler. Adapun pengaruh eksternal adalah adanya kerja enzym hydroksida dan proses transfer nutrien diantara zooxanthellae dan binatang karang. Pengaruh eksternal juga dimungkinkan apabila terdapat fluktuasi tekanan insitu dimana binatang karang tersebut ditemukan. Sementara itu dukungan hasil penelitian yang mempunyai keeratan dengan dimungkinkannya proses translokasi zooxanthellae antar inang pada karang didasarkan kepada keterangan yang menyebutkan bahwa zooxanthellae bukan merupakan species endosimbion tunggal. Selanjutnya berkenaan dengan uji DNA terhadap ragam zooxanthellae pada ragam inang sebagaimana dilakukan oleh Rowan dan Powers (1991) diperoleh keterangan bahwa clade zooxanthellae ternyata beragam. Di samping itu diinformasikan pula bahwa Pocillopora damicornis
dan Pocillopora meandrina mempunyai dua clade zooxanthellae
yang sama. Ini berarti bahwa genotip alga yang sama ditemukan pada inang yang berbeda. Keterangan ini memberikan dukungan bahwa dimungkinkan terjadinya proses translokasi zooxanthellae antar inang. Berkaitan dengan berbagai proses dalam fenomena relokasi zooxanthellae dan peranannya terhadap proses kalsifikasi pada biota karang maka dalam telaahannya diperlukan tahapan kajian sebagai berikut (Gambar 1): 1. Tahap pemurnian zooxanthellae dari beberapa sumber inang, penumbuhan zooxanthellae secara massal dan uji keragaman genetik merupakan tahap penelitian awal yang bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh binatang karang dapat bertahan dalam lingkungan binaan dan seberapa jauh berbagai jenis zooxanthellae dapat dipertahankan dalam penumbuhan massal; 2.
Tahap kemampuan adaptasi adalah seri percobaan kedua bertujuan untuk mendapatkan model biota uji dengan tingkat depresi terendah yang masih dapat bertahan hidup akibat terapan beragam kisaran temperatur;
10 10
Sumber Inang Zooxanthellae : Sea Anemone, Tridacna, Acropora, Favites dan Goniastrea
T-I
Sediaan dan Ragam clade Zooxanthellae
Pengaturan optimasi Penumbuhan Clade Zooxanthellae
Penumbuhan Massal Clade Zooxanthellae
Kesesuaian Nutrisi Kesesuaian Lingkungan Eksternal
Seleksi binatang karang T-I
:
T-II : T-III :
Kejut Temperatur 4 tingkat : 28o, 32o, 36o, 40o
Karang Bleaching (Goniastrea aspera) yang Teradaptasi
T-II
Karang yang terseleksi
Percobaan seri I Kajian Pertumbuhan Zooxanthellae Secara Massal dan Uji Keragaman Genetik Percobaan seri II Uji Degradasi Jaringan Polip Karang dan Ketahanannya Pasca Pemutihan Percobaan seri III Uji Translokasi Clade Zooxanthellae terhadap Karang Goniastrea aspera pasca Pemutiahan
Gambar 1. Bagan Pendekatan Masalah Penelitian
T-III
Translokasi Zooxanthellae
Sintasan Karang yang Tertranslokasi
Pertumbuhan Karang yang Tertranslokasi
11
3. Tahap translokasi adalah upaya silang clade dilakukan dengan dua langkah yaitu : Tingkat penjenuhan zooxanthellae, dalam hal ini pengukuran diarahkan kepada dua aspek yaitu kelimpahan zooxanthellae dan profil penempatannya ke dalam jaringan karang hasil adaptasi. Kajian pada tahap penjenuhan karang dilakukan setelah obyek penelitian ini dibleachingkan dengan mempergunakan kejut temperatur. Kedua tahap kalsifikasi merupakan tahap penelitian yang diarahkan untuk menerangkan seberapa jauh proses transfer nutrien antara simbion dan inang dapat berlangsung. Untuk keperluan ini maka akan dilakukan pengukuran pertumbuhan karang pasca penjenuhan zooxanthellae. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengevaluasi penumbuhan massal zooxanthellae berdasarkan tahapan pemurnian clade dari berbagai inang (Sea anemon, Tridacna, Acopora, Favites dan Goniastrea); 2. Mengevaluasi dan menginventarisir profil zooxanthellae berdasarkan karakter DNAnya; 3. Mengkaji proses bleaching dan mengembangkan batasan tolok ukurnya; 4. Mengevaluasi kemampuan pulih karang pasca pemutihan; 5. Mengevaluasi tahapan translokasi zooxanthellae pada jaringan polip binatang karang; 6. Mengkaji pengaruh translokasi terhadap sintasan dan pertumbuhan karang. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa : 1. Konstribusi pemikiran terhadap upaya penyediaan stock zooxanthellae berbagai clade dengan sifat bawaan sebagai upaya translokasinya pada beberapa jenis karang baik bagi kepentingan ekonomis maupun konservasi; 2. Konstribusi pemikiran terhadap upaya konservasi berdasarkan pengembangan tolok ukur kuantitatif keberadaan zooxanthellae pada jaringan polip karang;
12
3. Konstribusi pemikiran terhadap penambahan tolok ukur bagi evaluasi status kesehatan terumbu berdasarkan profil endosimbiosis. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan untuk dianalisis dan dibuktikan adalah : 1. Kesesuaian nutrisi dan kondisi lingkungan dapat memelihara pertumbuhan optimal zooxanthellae; 2. Pemutihan parsial dapat mempertahankan pemulihan karang; 3. Translokasi zooxanthellae meningkatkan ketahanan dalam mempertahankan kelangsungan hidup karang; 4. Zooxanthellae yang tertranslokasikan dapat mengalami pengaturan pertumbuhan di jaringan polyp; 5. Tingkat penjenuhan zooxanthellae yang optimal dapat menunjang proses kalsifikasi. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan secara laboratorium maupun secara alami di perairan terumbu karang. Pelaksanaan penelitian laboratorium dilakukan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) dan Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai Jepara Universitas Diponegoro (LPWP – UNDIP). Keduanya berada di Jepara Jawa Tengah. Lokasi penelitian lapang adalah di Pulau Bokor sebagai lokasi inang awal serta perairan terumbu karang Selatan Pulau Panjang sebagai lokasi inkubasi alamiah (Gambar 2).
TINJAUAN PUSTAKA Fakta dan Faktor-faktor Destruktif bagi Karang Tingkat tumpang tindih dampak yang terjadi pada ekosistem terumbu karang semakin meningkat dengan adanya fenomena alam yang menyebabkan pemutihan karang. Istilah pemutihan karang itu sendiri didefinisikan oleh Brown (1997) sebagai pemutihan karang yang diikuti dengan lepasnya symbiotik alga (zooxanthellae) dan atau peluluhan pigmennya. Selanjutnya secara sistemik dipetakan oleh Westmacott, et al., 2000; seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Penyebaran Global Peristiwa Pemutihan Karang (1998-2000) Sumber : Westmacott et al (2000) Berkenaan dengan fenomena pemutihan karang yang dicurigai sebagai suatu fenomena tumpang tindihnya antara kejadian alamiah dengan tekanan antropogenik; nampaknya indikasi kuat sebagai penyebabnya adalah lebih banyak akibat pengaruh alamiah berupa peningkatan temperatur global dengan sedikit variasi oleh aspek penyebab lainnya. Berkenaan dengan hal tersebut, dengan menyitir rangkuman yang dilakukan oleh Brown (1997) nampaknya pengaruh peningkatan temperatur global menjadi faktor utama. Rangkuman terhadap beberapa hasil penelitian yang telah diriview oleh Brown (1997) tersebut adalah sebagaimana disarikan pada Tabel 1.
16 Tabel 1. Rangkuman Tentang Identifikasi Pemutihan Karang akibat beberapa Stressor Observasi Penelitian Lapangan
No
Stressor
1
Peningkatan temperatur air laut
Glynn, 1993
2
Penurunan temperatur air laut Peningkatan Irradiance
Coles dan Fadlalah, 1991; Kobluk dan Kysonko, 1994 Fisk dan Done, 1985; Glesson dan Wellington, 1993; Brown et al., 1994; Glesson dan Wellington, 1995 Harriot, 1985; Brown dan Suharsono, 1990; Williams dan Bunkley-Williams, 1990; Brown et al, 1995 Goreau, 1964; Van Woesik et al., 1995; De Vantier et al., in press Upon dan Peters, 1986; Kushmoro et al., 1996
3
4
Kombinasi pengaruh peningkatan temperatur dan Irradiance
5
Penurunan salinitas
Bakterial dan infeksi lainnya Sumber : Brown, 1997
6
Observasi Laboratorium Hoegh-Guldberg dan Smith, 1989; Glynn dan DCroz, 1990, Lesser et at., 1990; Igleas Prieto et al., 1992 Muscatine et al., 1991; Gates et al., 1992 Hoegh-Guldberg dan Smith, 1989; Lesser, 1989, Lesser et at., 1990; Lesser dan Shik, 1989 Lesser et al., 1990; Glynn et al., 1992
Fang et al., 1995 Kushmoro et al., 1996
Berdasarkan keterangan di atas, nampak bahwa penyebab pemutihan karang dapat bermacam-macam. Namun demikian indikasi terjadinya perubahan pemutihan karang secara global lebih banyak disebabkan oleh pengaruh peningkatan temperatur; meskipun dalam skala lokal indikasi pengaruh irradian yang dalam hal ini terutama pengaruh sinar ultraviolet diuraikan beberapa peneliti juga memberikan andil. Pengaruh pencahayaan terutama direspon oleh fitobiotik yang dalam hal ini zooxanthella dengan cara memacu proses eksitasi elektronik. Mekanisme eksitasi elektronik ini secara rinci dikemukakan oleh Page (1990) bahwa apabila cahaya ini kuat mengenai fitobiotik maka dapat menyebabkan proses luluhnya pigmen, sehingga selanjutnya pigmen tidak mampu melakukan reduksi dalam proses fotosintesis. Ini berarti bahwa secara luas pengaruh temperatur lebih dominan dengan dampak penyebaran yang luas. Meskipun demikian, secara teoritis memang dampak peningkatan irradiance dapat mempengaruhi photosistem I dan II terhadap zooxanthellae. Namun apabila mengacu kepada proses pelepasan zooxanthellae sebagaimana diinformasikan oleh Fang et al., (1998), maka pemutihan karang lebih ditentukan oleh karang dalam merespon stress lingkungan. Dalam hal ini dipicunya katalisis temperatur dengan
meningkatnya
produk
calmodulin
yang
selanjutnya
memacu
pembengkakan vacuola yang berisi zooxanthella. Apabila ini terus berlanjut maka
17 dapat terjadi pemecahan sel yang diikuti oleh keluarnya zooxanthellae dari jaringan endoderm karang. Dengan demikian secara substansial efek temperatur lebih dominan dibandingkan efek radiasi matahari. Meskipun hal terakhir dapat menyebabkan peluluhan pigmentasi (chlorophyll c) (Rivers et al., 2002; Bynagle et al., 2003). Ini dipertegas oleh hasil penelitian Brown et al., (1994) bahwa retraksi jaringan secara nyata dipengaruhi oleh adanya pengaruh temperatur. Akibat antropogenik tidak diinformasikan memberikan pengaruh yang berarti terhadap pemutihan karang sebagaimana dilakukan pengakajian di beberapa wilayah Indonesia (Edinger et al., 1998). Pada masa yang akan datang dengan semakin meningkatnya berbagai aktivitas hulu terhadap ekosistem karang, diperkirakan akan lebih meningkatkan tekanan terhadap ekosistem ini. Indikasi ini semakin menguat dengan telaah representatif terhadap pola pemanfaatan sumberdaya pesisir yang selama ini berlangsung khususnya di Indonesia dan di Asia Tenggara umumnya (Westmacott et al., 2000). Kondisi kualitas terumbu karang saat ini di perairan Indonesia juga menambah ke arah indikasi tersebut (Tabel 2; Suharsono, 1998). Kepunahan ekosistem ini sangat merugikan dipandang dari berbagai sudut. Secara ekologis kehilangan ekosistem ini dapat menyumbangkan kerugian yang tidak sedikit mengingat bahwa ekosistem ini adalah salah satu penyumbang terbesar terhadap produksi ikan bersih di kawasan pantai; di samping keindahannya yang juga tidak ditemukan lagi dan yang jauh lebih penting potensi genetik serta berbagai potensi obat-obat penting akan ikut musnah. Bioekologi Zooxanthellae dan Karang Kekuatan kalsifikasi karang oleh hubungan fungsionalnya dengan zooxanthellae melalui aktivitas fotosintesis di dalam jaringan tubuhnya seperti halnya setua konsep stromatolites dari precambrian. Hal ini tercermin dari terlaksananya karang membangun strukturnya juga dalam membangun suatu varietas yang besar dari binatang yang berkelakuan sebagaimana tanaman karena adanya simbiosis. Simbiosis karang dengan zooxanthellae berlangsung efektif karena alga ini tidak hanya memasok nutrien yang diperlukan inangnya (karang) akan tetapi juga memasok dalam bentuk produksi primer bersih. Jadi terumbu
18 Tabel 2. Kondisi Kesehatan Terumbu Karang di Indonesia No
Lokasi
INDONESIA BAGIAN BARAT 1 Selat Sunda
No. Stasiun
Sangat Bagus
Bagus
Sedang
Rusak
Jmlah Genera
16
0
1
6
9
50
7
0
2
3
2
55
2 3
Pulau Belitung Kepulauan Seribu
40
0
4
8
26
63
4 5 6 7
Natuna Nusakambangan Bali Kangean
11 3 14
2 0 0
5 0 0
3 2 1
1 2 12
51 30 50
9
0
6
3
0
40
8 9 10
Bakauheni Jepara Siberut
8 5
0 0
3 0
4 1
1 4
50 35
13
0
0
1
12
42
5
0
0
1
4
40
5
1
3
1
0
40
2 9 6
0 1 0
2 2 1
0 4 3
0 2 2
35 37 48
8
0
1
4
3
42
7
3
3
1
0
48
11
Merak
12
Madura
13 14 15 16
Bangka Baluran, Pasir Putih Weh Sabang Nias. Sibolga
17
Riau
18 19
Enggano Karimunjawa
5
0
0
0
5
38
5
0
1
4
0
58
TOTAL PERSEN PENUTUPAN INDONESIA BAGIAN TENGAH 20 Lombok
178
7 (3,93%)
34 (19,10%)
50% (28,09%)
87 (48,88%)
24
2
4
4
14
65
3
0
3
0
0
50
6 14
2 3
2 5
1 2
1 4
58 54
21
Sumbawa
22 23 24
Komodo Rinca Selayar
25
Kep. Takabonerate
26
Tulang Besi
27
Banggai
28 29 30
5
0
2
3
0
61
24
0
1
6
17
55
10
0
0
4
6
43
17
1
8
6
2
52
Kumeke Dukupi (Gorontalo) Derawan
9 4
1 0
2 0
2 3
4 1
40 39
8
0
1
6
1
64
31 32
Welar Toguan
5
0
1
5
2
35
5
0
3
2
0
65
33
Kapoposang
4
1
0
3
0
68
141
10 (7,08%)
32 (22,70%)
47 (33,33%)
52 (36,88%)
14
0
4
2
8
61
14
0
0
1
13
50
10
1
5
2
2
58
4
0
3
1
0
60
TOTAL PERSEN PENUTUPAN INDONESIA BAGIAN TIMUR 34 Tobelo 35 Morotai 36
Ambon
37
Seram Barat
38
Banda
39
Kei
40
Padado
41 42
Lucipara Cendrawasih
43
Biak
TOTAL PERSEN PENUTUPAN
7
1
5
1
0
47
17
2
3
7
5
42
14
0
5
7
2
50
8
5
3
0
0
63
12
1
7
4
0
60
2
0
1
1
0
48
102
10 (9,80%)
36 (36,29%)
26 (25,49%)
30 (29,42%)
421
27 (6,41%)
102 (24,23%)
123 (29,22%)
169 (40,41%)
TOTAL KONDISI TOTAL PERSEN PENUTUPAN
Sumber : Suharsono (1998).
Keterangan Industri, rute pelayaran, pengeboman perikanan, cyanida Daerah pengembangan Polusi industri dan domestik, turisme intensif, dispersi minyak Pengembangan industri minyak Kilang minyak dan polusi domestik Turisme intensif Pengembangann industri minyak, perikanan dengan bom dan cyanida Pelabuhan dan rute pelayaran Area tambak ikan Tekanan pembangunan daerah, perikanan bom dan Acanthaster plancii Pelabuhan, polusi industri dan domestik Tekanan pembangunan daerah, perikanan dengan bom dan cyanida Tekanan pembangunan daerah Tourisme Tourisme dan pembangunan daerah Tekanan pembangunan daerah, perikanan dengan bom dan cyanida Tekanan pembangunan daerah, perikanan dengan bom dan cyanida Tekanan pembangunan daerah Tekanan pembangunan daerah, perikanan dengan bom dan cyanida
Tourisme yang intensif dan perikanan dengan bom Pengembangan daerah dan perikanan bom Daerah konservasi dan tourisme Area konservasi Tekanan pembangunan daerah, perikanan dengan bom dan cyanida Taman nasional, perikanan dengan bom dan cyanida Tekanan pembangunan daerah, daerah konservasi dan cyanida Tekanan pembangunan daerah, perikanan dengan bom dan cyanida Tekanan pembangunan daerah Tekanan pembangunan daerah Tekanan pembangunan daerah dan perikanan dengan bom Penambangan emas Tekanan pembangunan dan tourisme Tekanan pembangunan dan tourisme
Tekanan pembangunan daerah Tekanan pembangunan daerah, perikanan dengan bom dan cyanida Pencemaran domestik dan pelabuhan Daerah konservasi dan perikanan dengan bom Daerah konservasi, perikanan dengan bom dan cyanida Tekanan pembangunan daerah dan perikanan dengan bom Tekanan pembangunan daerah, perikanan dengan bom dan cyanida Daerah pantauan Daerah konservasi, perikanan dengan bom dan cyanida Tekanan pembangunan daerah, perikanan dengan bom dan cyanida
19 Karang yang ada sekarang mempunyai produktivitas kotor yang sebanding dengan produksi ekosistem terestrial. Kata simbiosis didefinisikan sebagai hidup bersama dengan organisme yang berbeda. Endosimbiont (organisme yang hidup dalam binatang) secara umum diistilahkan dengan nama zooxanthellae, zoochlorellae dan cyanobacteria, yakni sebagai nama origin dalam dasar taksonomi, tetapi sekarang dideskripsikan sebagai suatu kompleks taksa yang secara luas saling melengkapi dalam taksonomi tanaman atau binatang. Zooxanthellae sendiri merupakan dinoflagellata laut yang ditemukan dalam beberapa invertebrata tropis termasuk karang (Trench, 1979). Dalam perkembangannya, penamaan zooxanthellae berkembang sebagai kumpulan dari beberapa familia dan mungkin klas dari dinoflagellata laut (Blank dan Trench, 1985; Roman dan Power, 1991). Secara formal maupun informal penamaan dari kelompok tersebut sesuai dengan taksonomi alga yang tetap diaplikasikan dalam identifikasinya pada endosimbiont dalam jaringan polip karang. Zooxanthellae secara efektif sekarang diartikan dengan endosymbiotik dari produser primer. Berdasarkan klasifikasinya maka zooxanthellae dikelompokkan sebagai mikroalga dengan klas dinoflagellata (Borneman, 1998). Dikemukakan lebih lanjut bahwa eksistensi biota ini mulai diketahui sebagai sel yang berada di dalam jaringan karang
pada 1881. Awal mula nomenklaturnya dinamakan
Zooxanthellae nutricula. Kemudian dengan berkembangnya teknik identifikasi, jenis ini ditemukan sebagai jenis yang masuk dalam klas dinoflagellata pada tahun 1922. Dalam perkembangannya maka penamaan zooxanthellae berubah yaitu dengan nama Symbiodinium sp; Gymnodinium sp; Symbiodinium microadriaticum dan Zooxanthellae microadriaticum. Sejak tahun 1970-1980 sebagaimana diinformasikan oleh Borneman (1998) pengetahuan tentang keberadaan zooxanthellae dalam karang terdiri dari hanya satu jenis. Namun setelah diketahui tentang pengaruh beberapa aspek faali dan lingkungan serta tampilan fenotipnya maka mulai ditemukan adanya bermacam jenis zooxanthellae. Zamani (1995) merangkum beberapa pendapat mengenai aspek pembeda clade pada zooxanthellae yang terjadi oleh beberapa
20 aspek tersebut, yaitu : morfologi, struktur tubuhnya, infectivitas, photoadaptif, isoenzym, steropol dan bentuk isoelektrik dari protein peridinium dalam chlorophyll c-nya. Selanjutnya, dengan ditemukannya Symbiodinium pilosum dan Symbiodinium kawaguti yang ditemukan pada Montipora verrucosa, maka sejak itu ditemukan banyak jenis dari zooxanthellae. Berkenaan dengan hal tersebut, Trench (1979) menginventaris beberapa clade zooxanthellae yang bervariasi, yaitu sebagaimana diinfomasikan pada Tabel 3. Tabel 3. Beberapa Zooxanthellae yang berasosiasi dengan Cnidaria No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jenis Zooxanthellae Symbiodinium Sp Symbiodinium Sp. S. microadriaticum S. goreauii S. kawaguti S. pilosum S. meandrinae S. pulchorum S. cariborum S. bermudense S. californicum Symbiodinium Sp Symbiodinium Sp Gledinium visucum
Karang Inang Oculina divisa Millepora dichotoma Cassiopeia xamachana Ragactis lucida Montipora verrucosa Zoanthus sociatus Meandrina meandrites Aiptasia pulchellae Condylactus gigantean Aiptasia pallida Anthopleua elegantissima Acropora cervicornis (high ligh) Acropora cervicornis (low ligh) Millepora dichotoma (low ligh)
Sumber : Trench (1979) Sorokin (1993) mengemukakan bahwa beberapa clade zooxanthellae yang hidup pada beberapa inang mempunyai ciri yang mirip seperti ukuran selnya, morfologi, komposisi pigmen dan siklus hidupnya. Siklus hidup zooxanthellae tersebut didasarkan kepada tahap perubahan pergerakan tubuhnya. Dalam hal ini nampak adanya perbedaan bentuk tubuh antara dalam jaringan inang dengan dalam hidup bebasnya di perairan. Merangkum beberapa temuan selama masa budidayanya, Sorokin (1993) menyajikan siklus hidup zooxanthellae dalam 4 bentuk (Gambar 4) : (1) Bentuk yang bersifat tetap (immotil) berupa cyst dengan kulit sel yang keras; (2) Bentuk gymnodinium flagella; (3) Zoosporangia yang mengandung zoozpora motil yang besar; (4) Zoozporangia yang mengandung 2 atau 3 zoospora nonmotil. Dari bentuk tersebut zoospora yang motile dapat berenang secara aktif dan dapat terpenetrasi pada polip karang muda dan dalam jaringan coelenterata simbiotik lainnya.
21 Di dalam sel inang
Di dalam media budidaya
Gambar 4. Skema Siklus Hidup Zooxanthellae Sumber : Sorokin (1993) Keterangan : A. Zooxanthellae dalam jaringan inang 1. Cyst zooxanthellae dalam jaringan inang Pi = Pyrenoid Ch = Chloroplast Ac = Accumulatif body Nu = Nucleus B. Zooxanthellae dalam media budidaya 2. Cyst dengan dinding yang keras 3. Zoosporangia 4. Zoospora motil 5. Zoospora immotil
Sejak 1970, semua dinoflagellata simbiotik dianggap sebagai species endemik tunggal Symbiodinium microadriaticum Freudenthal (Taylor, 1974). Dengan berkembangnya ragam penelitian lanjutan yang meliputi perilaku (behavior), fisiologi dan ultrastruktural sebagaimana diinformasikan oleh Baker (2003); La Jeunesse (2001); Santos et al. (2001), secara genetik dijumpai bermacam
jenis
Symbiodinium.
Perkembangan
mengenai
zooxanthellae dikemukakan beberapa peneliti sebagai berikut : 1. Clade A, B dan C diperoleh oleh Rowan dan Powers (1991). 2. Clade D diperoleh oleh Carlos et al. (1999).
ragam
clade
22 3. Clade E (Symbiodinium californium ditemukan oleh La Jeunesse dan Trench, 2000). 4. Clade F ditemukan oleh La Jeunesse, 2001. 5. Clade G ditemukan oleh Pochon et al. (2001) dan yang terbaru adalah 6. Clade H ditemukan oleh Pochon et al. (2004). Sementara itu Cofforth dan Santos (2005) menganalisis kekerabatannya berdasarkan rangkuman penelitian yang telah berlalu adalah sebagaimana diinformasikan pada Gambar 5.
A
E
D
G
B
F
H
C
Gambar 5. Hubungan phylogenic antar clade utama Symbiodinium. Sumber : Cofforth dan Santos (2005)
Peranan Faktor Fisika Kimia Perairan terhadap Hubungan Karang dan Zooxanthellae Faktor-faktor fisika lingkungan mempunyai peranan terhadap zooxanthellae dan inangnya yaitu binatang karang dalam hal pembatasan distribusi dan diversitasnya. Pembahasan mengenai faktor lingkungan ini dipersamakan karena keduanya bersifat sinergis yang artinya pembatasan dan triger keduanya baik untuk pertumbuhan, makan dan sintasannya
adalah sama. Ini berarti bahwa
distribusi karang yang saat ini terinformasikan berdasarkan telaah dari berbagai aspek yang dikemukakan oleh Veron (1995) semakin menguatkan teori akan sifat sinergisme antar kedua biota tersebut. Atas dasar hal tersebut, saat ini para ilmuwan mempercayai bahwa eksistensi zooxanthellae dapat menerangkan diversitas genetik dari distribusi karang. Smith dan Buddemeier (1992) melaporkan ulasan terbarunya tentang efek perubahan lingkungan terhadap ekosistem terumbu karang. Berikut adalah beberapa telaah variable fisik kimia
23 perairan yang mempunyai peranan penting dalam memperngaruhi distribusi karang beserta endosimbionnya. Temperatur Temperatur adalah peubah yang berperan dalam mengendalikan distribusi horizontal dari terumbu karang. Hanya yang memenuhi syarat ini oleh beberapa rujukan yang mungkin adalah efek dari arus dalam pendistribusian dari planula karang (Veron, 1995). Meskipun pernyataan ini pada akhir-akhir ini ditentang, namun hal tersebut tetap menjadi satu dari beberapa pernyataan yang berlangsung terus dalam literatur biologi karang. Pandangan yang telah bertahan lama dimana saat ini tidak banyak didukung adalah bahwa distribusi terumbu karang dibatasi oleh distribusi karang; dan bahwa hal ini secara umum menyangkut proses fisiologi khususnya dalam hal penangkapan pakan dan reproduksi. Logika alternatifnya adalah bahwa temperatur membatasi keduanya baik terumbu karang dan karang melalui proses interaksi ekologi, dimana kebutuhan energi (cahaya dan hubungan simbiosis) dari terumbu karang secara progresif menjadi kurang kompetitif melawan dominasi makroalga dalam ekosistem. Selang waktu efektif dari temperatur minimum bagi karang dan terumbu karang adalah berbeda. Bagi biota karang, temperatur minimum efektif adalah temperatur yang menyebabkan kematiannya di lingkungan alami. Dalam hal ini terjadi pada habitat karang yang terus menerus atau berulang-ulang selama periode tertentu (dalam jam sampai dengan mingguan) mendapat aliran massa air dengan suhu rendah. Adapun temperatur minimum efektif untuk ekosistem terumbu karang adalah pada suatu kondisi mana konstruksi terumbu tidak dapat dipertahankan. Ini juga berkaitan dengan siklus lingkungan alam, tetapi terjadi dalam rangka waktu yang sangat lama, yakni puluhan bahkan ratusan tahun. Sejak diawali penelitian oleh Dana (1843); Vaughan (1918 dan 1919); Davis (1928); Yonge (1940) kemudian berturut-turut Vaughan dan Wells (1943); Wells (1954a dan 1957); Stoddart (1969) yang kesemuanya itu dirangkum dalam Veron (1995); Rosen (1984) mengemukakan bahwa temperatur 18oC yang terus menerus dalam periode waktu tertentu diidentifikasi sebagai temperatur minimum air laut yang secara fungsional terumbu masih dapat bertahan hidup normal.
24 Korelasi ini baru-baru ini diuji ulang dalam rentang temperatur dan dicatat di Jepang oleh Veron dan Minchin (1992) dan ditemukan benar. Temperatur rendah sering tercatat di lingkungan terumbu karang, tapi dalam sebagian kasus hanya ditemukan adanya kematian parsial (dimana bagian koloni karang mati) atau meliputi terumbu karang yang secara geologis merupakan hasil peninggalan lampau atau secara primer terdiri dari runtuhan yang tidak terkonsulidasi. Fluktuasi temperatur dalam jangka pendek di terumbu karang Teluk Teluk (Arab dan Parsia) (Coles dan Fadlallah, 1991) diketahui sebagai temperatur minimum. Semua karang akan mati jika terbuka sampai dengan tidak normal oleh pengaruh temperatur rendah yang abnormal, juga organisme lainnya. Sangat sedikit zooxanthellae karang diketahui dapat mentolerir temperatur di bawah 11oC pada kondisi alamiah. Oulastrea crispata di Semenanjung Noto Laut Jepang dapat mentolerir temperatur pada kira-kira 0oC
(Tidak diketahui dalam periode
waktunya) dan nampaknya zooxanthellae tetap tinggal (Veron dan Minchin, 1992). Siderastrea radians diketahui tercatat hidup dan toleran pada temperatur 4,5 oC (Veron, 1995). Sebagian besar informasi dari studi tentang toleransi pada temperatur rendah dilakukan di Selat Tanabe dan dekat Kushimoto Jepang Selatan; dimana species Acropora, Porites, Echinophyllia, Hydnophora dan Leptastrea mengalami tekanan secara fisiologis pada temperatur 9,4oC (Fukuda, 1974 dalam Veron dan Minchin, 1992). Studi ini ketika dikombinasikan dengan peneliti lain (Veron, 1992) tentang distribusi regional, memperlihatkan bahwa terdapat kawasankawasan tertentu yang mempunyai perbedaan toleransi species karang terhadap temperatur minimum dan bahwa kesuburan atau kekayaan species di kawasan marginal setidak-tidaknya mendapat setengah tekanan toleransi fungsionalnya dari temperatur yang menerpanya. Catatan lain dari kelangsungan hidup akibat temperatur rendah ditemukan hampir sama, yang dapat dirangkum sebagaimana uraian berikut : a. Solenastrea hyades di utara Carolina (Macintyre dan Pilkey, 1969 dalam Veron, 1995) ditemui pada temperatur 10,6oC.
25 b. Acropora Sp, Porites Spp dan Platygyra daedalea di Teluk Persia dan Teluk Arab pada temperatur 11oC oleh Coles dan Fadlallah (1991). c. Montipora Spp di P. Yaeyama pada temperatur kurang dari 13oC (Nomura, dalam Veron dan Minchin, 1992). Pada kisaran temperatur serupa juga ditemukan di Florida dan selatan Victoria Australia bahwa karang dengan jenis Plesiastrea versipora dan dua jenis Coscinarea dapat hidup dengan baik (Davis, 1982; dan Burn, 1985). Catatan tentang toleransi pada temperatur rendah, pada akhirnya bahwa karang dapat menyebar lebar baik dari segi taksonomi maupun secara geografis. Karang selalu mengalami kematian partial dan secara sekuensial akan mengalami pemulihan. Observasi yang relevan diperoleh bahwa sebagian besar penulis mengemukakan bahwa kematian terbesar terjadi di perairan dangkal, dimana udara dingin terjadi. Hubungan yang sama tepat antara rata-rata temperatur minimum air laut permukaan dan mortalitas dapat dilihat di Kushimoto, dimana temperatur minimum rata-rata bulanan sekitar 15,3oC. Acropora hyacinthus sebagai species karang dominan di kawasan tersebut menderita meskipun tidak mengalami kematian saat temperatur menurun mencapai 13,7oC pada tahun 1980. Beberapa diantaranya mengalami pemutihan dan sebagian mati pada temperatur 13,4oC kemudian kematian secara luas terjadi pada tahun 1984 saat temperatur mencapai 13,2oC (Misaki, 1980 dalam Veron dan Minchin, 1992). Dalam studi tersebut, temperatur kritis untuk bertahan hidup adalah 2oC di bawah rataan temperatur minimum bulanan. Kematian serupa akan dijumpai oleh species lain, dan studi juga memperlihatkan bahwa variasi kematian yang luas akan terjadi saat lamanya perubahan itu berlangsung. Kematian juga tidak hanya berkaitan dengan temperatur sebagai faktor pembatas distribusi karang. Kompetisi dengan makroalga (Crossland, 1984), variasi aktivitas metabolik (khususnya kalsifikasi)(Crossland, 1984), reproduksi; adalah juga akibat temperatur yang secara potensial berperan sebagai pembatas. Dari hal tersebut, kompetisi dengan makroalga nampaknya menyebabkan karang mengalami invasi terutama di lokasi lintang tinggi di Indo Pasifik dan mungkin
26 juga terjadi pada lokasi lainnya. Kesimpulan yang dapat diutarakan dari catatan data di Jepang bahwa : a. 22,5% dari total diversitas species karang dapat mentolerir temperatur minimum 10,4oC. b. 27% dari total diversitas species karang dapat mentolerir temperatur minimum 13,2oC. c. 40% dari total diversitas species karang dapat mentolerir temperatur minimum 14,1oC. Data statistik ini mengabaikan penjelasan tentang frequensi dan lama waktu ditemuinya karang pada variasi temperatur, sehingga mereka secara konservative menunjukkan bahwa setengah dari semua karang mentolerir temperatur 14oC, juga bahwa setengah dari species sisanya mentolerir temperatur 4oC kurang dari temperatur minimum yang tercatat di lingkungan terumbu karang di Jepang. Ini adalah fakta yang kuat yang menunjukkan bahwa pembangunan terumbu tidak dibatasi oleh toleransi karang pada temperatur rendah. Pada saat hampir mati, sebagian besar pengaruh temperatur rendah pada karang adalah terhadap morfologinya. Beberapa species Acropora pada lintang ekstrim di Jepang berbentuk deretan bertingkat yang melebur tidak teratur dengan plates-nya (tempat lekatan yang mati). Pembatasan pertumbuhan ini nampaknya merupakan bagian dari kematian partial dan pemulihannya. Veron dan Minchin (1992) mencatat bahwa pemulihan jenis tersebut dapat cepat melebihi pemulihan akibat bahaya Acanthaster. Di Tateyama (lokasi
karang paling utara dunia)
karang juga ditemukan; semua jenis kecuali Alveopora japonica yang tumbuh luar biasa, pertumbuhannya merata dalam bentuk encrusting dan beberapa (seperti Blastomosa wellsi) mempunyai perbedaan struktur corralite. Hal yang mirip terjadi pada karang yang hidup pada lintang tinggi di Australia juga mempunyai perbedaan morfologi serta struktur corralitenya, tetapi secara fisiologis tidak mengalami halangan atau tekanan dari faktor lingkungannya. Jika riset dilakukan tanpa rujukan bentuk koloni di kawasan lintang rendah, maka morfologi yang dijumpai menunjukkan keberadaan species karang di lintang tinggi dan jika mirip morfologinya di amphitropikal diyakini sebagai perpindahan tempat dari distribusi karang tropis. Bagaimanapun, morfologi ini memperlihatkan eksistensi dari
27 subspecies secara geografik, walau satu jenis adalah secara primer ditentukan oleh lingkungan dari pada perbedaan genetik. Sedikit data yang tersedia tentang laju pertumbuhan karang pada temperatur rendah yang ekstrim. Rata-rata pertumbuhan dari jenis Acropora, diukur di Kushimoto dan subtropis Kuroshima masing-masing adalah 19 dan 99 mm/th (Veron dan Minchin, 1992). Crossland (1984) menyimpulkan bahwa temperatur rendah merupakan determinan (penentu) primer, sedangkan cahaya merupakan determinan sekunder dari pertumbuhan dan kelangsungan hidup Acropora formosa di Pulau-pulau Houtman Abrolhos barat. Secara nyata karangkarang di pulau-pulau ini nampaknya tumbuh dengan melimpah dan merupakan tingkat produksi karbonat yang relatif tinggi seperti di terumbu karang tropis (Smith, 1981). Tekanan temperatur panas tidak seperti tekanan yang dialami oleh karang pada temperatur dingin, yakni bukan merupakan fenomena pembatasan dispersi karang dan juga tidak merupakan pengaruh batas-batas lintang. Secara prinsipil, pengaruh temperatur panas menyebabkan breakdown (kerusakan) simbiosis karang dengan zooxanthellae yang diekspresikan dalam bentuk keluarnya zooxanthellae dari jaringan sel karang atau yang lebih dikenal dengan istilah coral bleaching (pemutihan karang). Meskipun tekanan temperatur tinggi dapat terjadi di daerah terumbu karang lintang tinggi (seperti di Hawaii; Jokiel dan Coles, 1990; di Bermuda, Cook et al., 1990), namun hal itu cenderung terjadi dalam areal yang sempit di kawasan ekuator dan secara umum ini berkaitan dengan saat surut atau surut yang tidak normal. Pada skala biogeografi, tekanan temperatur panas selalu berkorelasi dengan fluktuasi cuaca harian yang mana El Nino Southern Oscillation (ENSO) telah diketahui pengaruhnya yang sangat penting (Guzman dan Cortes, 1992). Di barat Pasifik, ENSO dapat meningkatkan pemanasan sampai 2-3oC dari temperatur normal untuk beberapa bulan dan kemungkinkan pada gilirannya menyebabkan bleaching yang luas dan bahwa menyebabkan kematian seperti observasi yang telah dilakukan di Indonesia pada tahun 1983 oleh Brown dan Suharsono (1990); dan di tempat lain pada periode tahun 1986-1987 dan 1989-
28 1990
(Williams
dan
Bunkley Williams,
1990).
Bagaimanapun
ENSO
berhubungan dengan elevasi temperatur yang mungkin mempunyai dampak nyata terhadap biogeografi hanya di sepanjang timur Pasifik, dimana mereka menerima pengaruh tersebut. Secara langsung ataupun tidak langsung dapat mengakibatkan bleaching karena massa airnya melewati kawasan ini (Lessios et al., 1983; Glynn, 1984) dan mungkin juga menyebabkan kepunahan/kematian massal dari Acropora di sini. Karena efek dari fluktuasi ENSO sinergis dengan surut yang ekstrim pergerakan massa air menuju sepanjang timur Pasifik, menyebabkan fluktuasinya mungkin berpengaruh terhadap kawasan yang dilaluinya karena adanya halangan oleh Tanah Genting Amerika Tengah, pada akhirnya mereka ini menjadi penting seperti Barrier Pasifik timur dalam memelihara keterisolasian kawasan. Nilai pembatas temperatur tinggi yang secara ekologis berpengaruh terhadap karang maksimum adalah 30oC - 34oC (Jokiel dan Coles, 1990; Glynn, 1984; Hoegh-Guldberg dan Smith, 1989). Nilai maksimum ini secara geografis dan dengan waktu yang terbuka keterpengaruhannya, dengan toleransi lebih tinggi dari 2 oC dari lokasi tropis atau daerah sedang (temperate)(Coles et al, 1976). Temperatur yang optimum untuk pertumbuhan mempunyai variasi yang lebar dengan ketersediaan nutrien dan mempunyai sifat sinergis dengan pengaruh salinitas dan cahaya (Coles dan Jokiel, 1978) dan optimum pada temperatur 26 oC seperti yang laporkan di karang yang ada di Hawaii (Jokiel dan Coles, 1990). Musim Valentines (1984) mengemukakan hipotesis bahwa secara progressive musim mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pembangunan strategi untuk ketahanan populasi karang yang menurun sebagai suatu implikasi adanya gradien lintang dimana species menetap pada suatu lintang bukan sebagai penipisan species, sebagaimana halnya dengan karang. Namun demikian, musim menjadi suatu isu terhadap adaptasi keberadaan karang di lintang tinggi (Crossland, 1984; Dodge dan Lang, 1983); meskipun pendapat tersebut ditentang oleh Smith (1981). Dalam hal ini Smith (1981) lebih condong pengaruhnya terutama dalam hal efek terhadap laju kalsifikasi dan pertumbuhan. Hal yang lebih nyata, musim secara besar berpengaruh terhadap kompetisi khususnya dengan makroalga. Kalsifikasi dan produktivitas primer, keduanya kurang terpengaruh
29 secara musim di daerah tropis (Chalker et al., 1984). Tetapi kompetisi dengan makroalga merupakan faktor pembatas pertumbuhan pada terumbu karang dekat pantai. Hal ini disebabkan oleh kawasan khususnya pada saat musim hujan akan mengalami masukan massa air dengan beragam polutan pembatas kehidupan karang. Cahaya Kemampuan karang untuk membangun terumbu adalah dengan cara memanfaatkan energi dari cahaya matahari. Hal ini menjadi kunci bagi eksistensi pandangan teori terumbu karang yang modern dan juga bisa jadi untuk semua terumbu karang dalam skala geologi. Cahaya, bukan temperatur jelas sekali secara ekologis merupakan pembatas dari pada semua parameter fisika lingkungan, oleh sebab itu nampaknya menunjukkan bahwa cahaya dapat menyebabkan pembatasan secara fisik terhadap biogeografi secara horizon. Kepentingan cahaya, dari kajian biogeografi dan evolusi adalah terkait dengan evolusi dari proses simbiosis karang dengan alga simbionnya yang berperan dalam pembangunan terumbu karang yang melampaui waktu evolusi itu sendiri. Terkait dengan hal tersebut dan dalam peran cahaya, hal ini sinergis dengan adanya sedimentasi lingkungan, dimana pengaruhnya akan dapat menyebabkan hilang/tenggelamnya diversitas secara ekologis. Kebutuhan cahaya bagi zooxanthellae terkait dengan sifatnya sebagai klorofil tanaman yang diperlengkapi dengan pigmen. Menurut Meeks (1974) dinyatakan bahwa distribusi pigmen chlorophyll bervariasi diantara familia alga. Chlorophyl-a merupakan pigmen fotolitik primer dari semua familia, sementara chlorophyl lain seperti b, c (c1,c2 dan c3) serta d mempunyai distribusi terbatas dan hanya pelengkap atau sebagai pigmen fotolitik sekunder. Chlorophyl-b adalah ciri dari tanaman hijau dan ditemukan dalam alga chlorophyceae, Euglenophyceae dan beberapa tanaman tingkat tinggi. Chlorophyl ini mempunyai suatu fungsi sebagai pigmen pemanen cahaya, mentransfer energi cahaya yang diserap kepada chlorophyll-a untuk photosystem primer (Meek, 1974). Rasio Chlorophyl-a : chlorophyll-b berkisar dari 2:1 sampai dengan 3:1 dalam fitoplankton. Chlorophyl-c ditemukan pada sekelompok tanaman coklat seperti cryptophyceae,
30 dinophyceae, rhaphidophyceae, chrysophyceae, bacillariophyceae, xanthophyceae dan phaeophyceae (Meek, 1974). Komponen chlorophyl-c mengandung 3 komponen yang secara spectruk berbeda nyata, yaitu chlorophyl-c1, c2 dan c3. Dalam hal ini chlorophyl-c2 selalu berada dalam dinophyceae (zooxanthellae termasuk dalam kelompok ini; baik yang hidup bebas maupun alga simbiotik). Apabila ditelusur lebih lanjut bahwa variabilitas cahaya yang ada sebagaimana dikemukakan oleh Glynn (1993); Gleason (1993) dicirikan oleh kepekatan, dimana kesesuaian lokasi dengan kesesuaian adaptasinya dicirikan oleh semakin pekat, tidak diinformasikan tentang perbedaan warna. Tingkat kepekatan itu dimungkinkan oleh sifat fotoadaptif dari zooxanthellae. Peridinin dan pigmen caretenoid lain dalam sel zooxanthellae merupakan komposisi spesifik dari kelompok dinoflagellata sebagai kompleks protein pigmen. Komposisi ini secara kuat merespon cahaya hijau pada kisaran panjang gelombang 490 - 540 nm. Secara faktual dapat dinyatakan bahwa cahaya dapat berubah dengan lintang dari variasi musiman terhadap panjang hari dan kisaran efek dari sudut jatuhnya cahaya terhadap karang dan simbionnya (Campbell dan Aarup, 1989) sebagaimana ketergantungannya dengan kedalaman. Kemungkinan pengaruh keberadaan cahaya terhadap distribusi karang pada berbagai kedalaman dan lintang mempunyai perbedaan kecil pada kecerahan perairan, temperatur, pertumbuhan musiman makroalga, kebutuhan cahaya yang specifik
dari
zooxanthellae dan mekanisme fotoadaptasi (adaptasi terhadap cahaya). Di Izu Jepang (35o LU) dan Pulau Lord Howe (31,5o LS) serta Pulau-pulau Houtman Abrolhos (28,5o LS) karang secara reguler ditemukan pada perairan jernih kedalaman 30 m dan kadang juga ditemukan di kedalaman 40 m dimana suatu substrat horizontal yang sesuai tersedia. Ketersediaan cahaya nampaknya tidak membatasi karang pada kedalaman tersebut. Pada kenyataannya efek dari keberadaan dari zooxanthellae oleh Veron (1995) diinformasikan bahwa zooxanthellae berubah dengan kedalaman secara signifikan pada Montastrea annularis. Oleh sebab itu dinyatakan bahwa kedalaman dan lintang membatasi distribusi zooxanthellae.
31 Nutrien dan Faktor Biotik Nutrien dan faktor-faktor biotik mempunyai variasi regional yang luas sehingga dampak yang terjadi dari berbagai aktivitas secara luas juga akan mengikutinya dalam skala waktu yang tidak diketahui. Konsekuensi dari antropogenik akibat masukan nutrien dalam skala biogeografi (di Great Barrier Reef, Yellowless, 1991) sedikit diketahui tetapi secara signifikan terutama terkait dengan perubahan iklim global (Wilkinson dan Buddemeier, 1984). Perubahan biotik terhadap komunitas karang oleh Acanthaster plancii telah diketahui secara luas (Guzman dan Curtez, 1989; Done, 1992), dimana hal ini memberikan suatu konsekuensi terhadap pola distribusi karang maupun komposisi species yang ada di terumbu karang tersebut. Berdasarkan hal tersebut di atas, nampak bahwa pembatasan antara zooxanthellae dengan karang mempunyai hubungan yang erat. Proses pembatasan ini pernah pula dilakukan eksperimen terhadap pengaruh temperatur sebagaimana dilakukan oleh Bynagle et al. (2003). Dikemukakan bahwa proses pelepasan zooxanthellae dari inang karang pada terjadi temperatur 31oC. Selanjutnya diinformasikan bahwa proses tersebut dapat dipacu dengan pengaruh perlakuan penyinaran ultraviolet. Secara biologis proses keluarnya zooxanthellae dari inang terdiri dari beberapa mekanisme. Menurut Gates et al. (1992) mekanisme tersebut adalah : (a) exocytosis yaitu suatu proses keluarnya sel (dalam hal ini zooxanthellae) dari jaringan polyp karang (baik dari endoderm, mesoglea atau ectoderm) menuju keluar baik dari tiap lapisan menuju lapisan luarnya atau keluar dari polyp; (b) apoptosis yaitu proses keluarnya sel mati dari jaringan polyp karang; (c) necrosis yaitu suatu proses keluarnya zooxanthellae dari polyp karang yang disertai dengan degradasi coenosarcnya (calsium) dan bahkan disertai dengan seluruh polyp karang; (d) pinching off yaitu proses keluarnya zooxanthellae disertai dengan vacuolanya serta (e) host cell detachment yaitu suatu proses keluarnya zooxanthellae beserta jaringannya. Tiga mekanisme terakhir merupakan mekanisme akibat tekanan lingkungan, seperti akibat tekanan suhu atau tekanan akibat kuatnya pencahayaan. Sementara mekanisme keluarnya zooxanthellae secara alamiah yaitu pengeluaran zooxanthellae mati dan zooxanthellae hidup
32 akibat pengaturan densitas internal cenderung melalui mekanisme exocytosis dan apoptosis. Mekanisme pelepasan zooxanthellae dari inang diperlihatkan oleh Zamani (1995) dari studi efek Cu dan peningkatan temperatur pada sea anemon. Dijelaskan bahwa dengan meningkatnya temperatur maka akan terjadi penurunan densitas zooxanthellae, peningkatan area vacuola dengan waktu. Demikian pula dengan peningkatan kadar Cu. Secara selular diterangkan bahwa ada dua mekanisme pelepasan zooxanthellae, yaitu : (1) Adanya degradasi insitu dari zooxanthellae dan (2) Pelepasan zooxanthellae ke coelenteron (Gambar 6).
Gambar 6. Pelepasan zooxanthellae ke coelenteron Sumber : Zamani, 1995 Dari kedua mekanisme tersebut dalam prosesnya terdapat tiga tipe pelepasan zooxanthellae dari jaringan inangnya, yaitu : (a) Type I : zooxanthellae menyelimuti cytoplasma inang (Gambar 7); (b) Type II : zooxanthellae secara parsial atau menyeluruh dikelilingi oleh sisa-sisa jaringan (Gambar 8) dan (c) Type III : zooxanthellae lepas secara utuh dari vacuola inang beserta komponen lapisan amphiemalnya (Gambar 9). Hal terakhir diperlihatkan oleh penelitian Fang et al, (1998) adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 10.
33
Gambar 7. Pelepasan Zooxanthellae Type 1 : zooxanthellae menyelimuti cytoplasma inang Sumber : Zamani, 1995
Gambar 8. Pelepasan Zooxanthellae Type 2 : zooxanthellae secara parsial atau menyeluruh dikelilingi oleh sisa-sisa jaringan Sumber : Zamani, 1995
34
Gambar 9. Pelepasan Zooxanthellae Type 3 : zooxanthellae lepas secara utuh dari vacuola inang beserta komponen lapisan amphiemalnya Sumber : Zamani, 1995 Stress Lingkungan 1
Ca2+
CCS
4
2
Z
Calmudolin
Z
MP
3 MP MP MP
CS
Gambar 10. Skema Proses Pelepasan Zooxanthellae dari inang karang di bawah tekanan temperatur Sumber : Fang et al, (1998) Keterangan : 1. 2. 3. 4.
Sel karang yang menerima tekanan lingkungan dengan menghasilkan cytolic calsium signal (CCS) Signal stress dimediasi oleh calmodulin yang dicerminkan dengan pemacuan vacuola (VO) yang mengandung zooxanthellae (Z) Vacuole menjadi rentan cytoskeletonnya (CS) dan merangsang keluarnya protein (MP) Zooxanthellae bergerak keluar membran melalui jaringan cytoskeleton.
35 Proses Simbiosis Zooxanthellae dan Peran Fungsionalnya Sejak berabad-abad lalu dan bahkan hingga saat ini, karang (Scleractinia) dianggap sebagai batu atau tumbuhan walaupun sesungguhnya mereka merupakan hewan. Karang itu sendiri merupakan salah satu kelompok Coelenterata berbentuk polyp yaitu semacam bentuk tabung dengan mulut di bagian atas yang dikelilingi oleh tentakel. Secara morfologis, binatang ini berbentuk mirip satu dengan lainnya; pembedanya adalah keragaman rangka yang dibentuknya. Oleh sebab itu, taksonomi karang didasarkan kepada rangka bentukannya. Karena kemampunnya ini maka karang bersifat menetap (sessile). Dengan tipe hidup ini membawa konsekuensi terhadap sifat konservatif dalam kehidupannya. Salah satu sifat konservatif dari biota karang adalah adanya proses simbiosis dengan zooxanthellae. Proses terbentuknya simbiosis atau yang dikenal dengan endosimbiosis ini mengundang perdebatan sejak awalnya, yakni apakah terbentuknya endosimbiosis sejak anakan karang (planula) mulai dilepaskan oleh induknya atau melalui transduksi dari lepasan planula yang keluar tanpa pembekalan (Veron, 1995). Apabila teori pertama yang terjadi maka awal evolusinya akan mengalami proses pembekalan zooxanthellae yang kemudian secara turun temurun mengalami proses pertumbuhan di dalam jaringan polip karang. Di sini tidak memperdebatkan keduanya, namun lebih ditekankan bahwa pada kenyataannya terdapat endosimbiosis dengan perannya yang besar dalam mekanisme kehidupan fungsional binatang karang. Profil relokasinya oleh Muscatine (1974) diperlihatkan sebagaimana disajikan pada Gambar 11. Pada kondisi awal evolusi dipahami bahwa simbiosis antara zooxanthellae dengan karang dalam ekosistem laut pada dasarnya merupakan suatu kejadian yang diawali oleh adanya bertemunya zooxanthellae dengan karang dengan peluang yang tinggi oleh sebab karang hidup menetap dan zooxanthellae bersifat planktonik. Bertemunya keduanya merupakan suatu fenomena dengan peluang yang besar oleh adanya kondisi dinamik air laut. Perez (1982) mengemukakan bahwa proses pengenalan dan pada akhirnya relokasi zooxanthellae pada karang merupakan fenomena respon biotik sebagai turunan dari aktivitas fisik dinamik air
36 laut dan proses interkoneksitas kimiawi. Dengan demikian peluang bertemunya keduanya sangat dimungkinkan terjadi di laut dengan dua pertimbangan tersebut.
Gambar 11. Penampang Lintang Jaringan karang dan Konsentrasi zooxanthellae di dalamnya Keterangan : Epi = epiderm lapisan permukaan jaringan polip karang M = mesoglea En = endodermis lapisan dalam jaringan polip karang Zx = zooxanthellae Sumber : Muscatine (1974)
Terapan fungsional simbiosis pertama-tama dapat ditinjau dari kaitannya dengan transfer nutrisi diantara keduanya. Dalam memenuhi nutrisinya semua karang dapat menggunakan tentakelnya untuk menangkap mangsa (plankton). Proses penangkapannya mempergunakan bantuan nematocyte suatu bentuk protein spesifik yang mampunyai kemampuan proteksi dan melumpuhkan biomassa tertentu seperti zooplankton. Meskipun mempunyai kemampuan feeding active (memangsa secara aktif),
akan tetapi kebanyakan proporsi terbesar
makanan karang berasal dari simbiosis yang unik, yaitu zooxanthellae. Zooxanthellae ini merupakan alga uniselluler yang bersifat mikroskopik hidup dalam berbagai jaringan tubuh karang yang transparan dan menghasilkan energi langsung dari cahaya matahari melalui fotosintesis. Biasanya mereka ditemukan dalam jumlah yang besar dalam setiap polyp hidup bersimbiosis dan memberikan warna pada polyp, energi dari fotosintesis
37 dan 90% kebutuhan karbon polyp (Sebens, 1997). Zooxanthellae menerima nutrisi-nutrisi penting dari karang (polyp) dan memberikan sebanyak 95% hasil fotosintesisnya (energi dan nutrisi) kepada polyp (Muscatine, 1990). Assosasi yang erat ini sangat efisien, sehingga karang dapat bertahan hidup bahkan di perairan yang sangat miskin hara. Keberhasilan hubungan ini dapat dilihat dari besarnya keragaman dan usia karang yang sangat tua, berevolusi pertama kali lebih dari 200 juta tahun yang lalu (Burke et al., 2002). Berdasarkan transfer nutrisi ini maka dapat dinyatakan bahwa karang dapat menyediakan nutrisinya baik melalui pemangsaan secara aktif dan pemangsaan
secara
pasif.
Pemangsaan
secara
aktif
dilakukan
dengan
menembakkan nematocyte ke arah mangsa dan mentransfernya melalui mulut yang terdapat di bagian atas; sedangkan pemangsaan secara pasif diperoleh melalui transfer hasil fotosintesis zooxanthellae. Sejauh diketahui hampir semua karang dapat melakukan melalui pemangsaan secara pasif. Proses transfer ini secara diagramatik disajikan oleh Lenhoff (1974) seperti pada Gambar 12, sedangkan mekanisme yang lebih detail yaitu secara seluler oleh Sorokin (1995) diperlihatkan pada Gambar 13.
Mutualistic Symbiosis Autotrop
Organic C + N
Inorganic
C+N
Organic
Nutrient poor environment Inorganic C + N
Organic C + N
C+N
Heterotroph
Gambar 12. Mekanisme Transfer Alur Nutrien dalam dan dari Lingkungan Eksternal Sumber : Sorokin (1995).
38
Gambar 13. Skeme Hubungan Metabolisme dari Sel Zooxanthellae dalam Inang Polip Sumber : Lenhoff (1974). Karang mempunyai bentuk rangka untuk menyokong badannya yang sederhana. Karang pembentuk terumbu mempunyai kerangka dari kalsium karbonat yang proses pembentukannya memerlukan waktu lama sebagai hasil dari simbiosisnya dengan zooxanthellae (Lenhoff, 1974). Karang ini kebanyakan dari kelompok scleractinia yang dikenal sebagai hermatipik atau pembentuk terumbu. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa simbiosis mempunyai peran penting dalam proses kehidupan karang. Adanya simbiosis, maka secara phototropikal dapat memperpanjang kehidupan karang dalam suatu periode tertentu. Secara nyata keadaan yang merugikan dari ketergantungan terhadap cahaya timbul karena kebutuhan dari simbiosis alamiah. Sejauh diketahui, hanya sedikit sekali species karang dapat bertahan secara fakultatif (karang yang dapat hidup untuk jangka waktu tak terbatas dengan atau tanpa adanya zooxanthellae atau yang biasa disebut aposymbiosis), yakni hanya Astrangia danae (Jasques, 1983) dan Madracis Sp termasuk dalam kelompok ini.
39 Dengan demikian menjadi jelas bahwa konsep simbiosis menjadi demikian penting dalam kehidupan karang dan kelestarian ekosistem bentukannya. Hubungan intra maupun ekstraspesifik yang terus berlangsung dalam proses pembentukan kestabilan ekosistem terumbu karang secara filosofis termasuk dalam konsep microevolusi yang ditampilkan oleh hubungan simbiosis antara zooxanthellae dan binatang karang.
UJI KERAGAMAN GENETIK ZOOXANTHELLAE DARI BEBERAPA SUMBER INANG DAN KAJIAN PERTUMBUHANYA DI LINGKUNGAN BINAAN Abstrak Zooxanthellae merupakan fitobiotik yang selalu hidup bersimbiosis dengan beberapa biota dasar seperti protista, cnidaria dan moluska. Proses simbiotiknya dengan karang menghasilkan ekosistem terumbu karang yang sangat penting di lingkungan perairan laut dangkal. Dalam proses simbiotik antara karang dan zooxanthellae tersebut keberadaannya sangat ditentukan oleh kondisi perairan. Dalam satu inang dapat dijumpai beberapa jenis clade sesuai dengan kemampuan inangnya untuk melindungi terhadap perubahan lingkungan sekitarnya. Fenomena fleksibilitas hubungan inang simbion ini akan diteliti dalam suatu kegiatan pemurniannya melalui tahapan evaluasi keragaman dan upaya penumbuhan secara terbina. Penelitian ini bertujuan untuk : (a) mengevaluasi faktor kebutuhan cahaya, temperatur dan nutrien yang mendukung pertumbuhan zooxanthellae, (b) mengkaji keragaman zooxanthellae berdasarkan profil DNAnya dari sumber inang sea anemon, tridacna, Acropora, Favites dan Goniastrea aspera dan (c) Mengkaji upaya optimalisasi pertumbuhan zooxanthellae secara massal. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pakan Alami dan Genetika Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara mulai Agustus 2004 sampai dengan Oktober 2005. Hasil yang menonjol dari tahap kajian ini adalah : (a) cahaya yang mendukung untuk penumbuhan berjenjang hingga massal adalah cahaya hijau dengan kisaran kekuatan cahaya 84,56 sampai dengan 102,78 µmol quanta m-2 dt1 , kisaran temperatur yang mendukung adalah antara 20oC hingga 23oC dengan penambahan nutrien awal 200 µM NaNO3. (b) Variasi keragaman clade dari sumber inang Sea anemon, Tridacna, Acropora, Favites dan Goniastrea adalah clade A, clade B dan clade C, dengan sebaran Sea anemon mengandung zooxanthellae clade A (80%) dan clade B (20%), Tridacna mengandung zooxanthellae clade A (80%) dan clade B (20%), Acropora mengandung zooxanthellae clade A (60%), clade B (20%) dan clade C (20%), Favites mengandung zooxanthellae clade A (20%) dan clade C (80%) serta Goniastrea mengandung zooxanthellae clade A (60%) dan clade B (40%). (c) Pada kondisi lingkungan yang terkendali, maka potensi pertumbuhan puncak zooxanthellae clade A, B dan C dapat dipertahankan dengan penambahan ulang NO3-N sebesar 0,0445 mg/l dalam selang waktu 16 hari. Abstract Zooxanthellae is phytobiotic that always live symbiotically with several seabed biota such as protist, cnidaria dan mollusc. Its symbiotic process with coral results in an important coral reef ecosystem at a shallow water environment. Water condition determines the existence of zooxanthellae in the symbiotic process. Several clades could be found in one host depending on the host
42 capability of adjusting the environmental change. This flexibility of host-symbiont relationship phenomenon will be studied in purification of zooxanthellae with two step, are diversity evaluation of zooxanthellae and growth rate in the artificial environment. The study of purification of zooxanthellae was proposed to: (a) Evaluating factor needed irradiance, temperature and nutrient that supporting of zooxanthellae growth, (b) explore genetic diversity of zooxanthellae based on profill it’s DNA from sea anemone, Tridacna, Acropora, Favites and Goniastrea, (c) Explore the effort optimalization growing of zooxanthellae. The experiment took place for 24 weeks in Natural food and Genetic laboratory of Main Center of Brackishwater Aquaculture Development Jepara from August 2004 to October 2005. The research showed that: (a) The range of supporting irradiance, temperature and nutrient are : green radiance (with comparison 84,56 - 102,78 µmol quanta m-2 dt-1), 20 – 23oC and initial nutrient 200 µM of NaNO3, (b) Diversity variation clade from host (organism test) are clade A, clade B and clade C, with dispertion of Sea anemon are clade A (80%) and clade B (20%), Tridacna are clade A (80%) and clade B (20%), Acropora are clade A (60%), clade B (20%) and clade C (20%), Favites are clade A (20%) and clade C (80%), Goniastrea are clade A (60%) dan clade B (40%). (c) In controlling environment, the potention of peak growth of third clade are can be maintenanced with adding NO3-N amount 0,0445 mg/l and repeat again for 16 days.
Pendahuluan Terumbu karang adalah suatu ekosistem dasar laut dengan penghuni utama berupa karang batu. Berbagai spesies dan bentuk karang batu ini bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya membentuk suatu ekosistem. Arsitektur terumbu karang yang indah dibentuk oleh ribuan binatang kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya karang dapat terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Dinding polip maupun tentakel karang terdiri dari tiga lapisan yaitu ektoderma, endoderma dan mesoglea.
Ektoderma merupakan
jaringan terluar yang terdiri dari beberapa jenis sel, antara lain sel mukus dan nematocyst. Sel-sel mukus berfungsi sebagai penghasil mukus yang membantu menangkap makanan dan membersihkan diri dari sedimen yang melekat, sedangkan nematocyst berfungsi sebagai penangkap makanan, pertahanan diri dan dalam fase larva berperan sebagai pemonitor tempat pelekatan planula (Mariscal, 1974). Mesoglea merupakan jaringan yang terletak antara lapisan ektoderma
43 dengan endoderma, terdiri dari jelly.
Di dalam lapisan jelly terdapat fibril,
sedangkan di bagian luar terdapat semacam sel otot. Endoderma merupakan jaringan yang terletak di bagian dalam, sebagian besar sel-selnya mengandung selsel algae (zooxanthellae) yang merupakan simbion bagi hewan karang (Muscatine, 1974). Seluruh permukaan jaringan karang juga dilengkapi dengan silia dan flagela, keduanya berkembang dengan baik di lapisan luar tentakel dan di dalam sel mesenteri. Dalam banyak spesies karang, individu polip berkembang menjadi banyak individu yang disebut dengan koloni. Salah satu sifat konservatif dari biota karang adalah adanya simbiosis dengan zooxanthellae. Dari hubungan konservatif ini maka terbentuk bangunan terumbu karang yang banyak ditemukan di lingkungan perairan benthic tropis (Muller-Parker
dan
D’Elia
1997).
Dari
hubungan
fungsional
tersebut,
zooxanthellae menyediakan lebih kurang 95% hasil fotosintetik mereka kepada inang karang, dan produk ini dimanfaatkan karang untuk pertumbuhan, reproduksi, dan pemeliharaan fisiologisnya. Sebagai umpan balik, inang karang menyediakan kebutuhan fisiologi endosimbion berupa nutrien dan perlindungan di dalam jaringan-jaringan polipnya (Davies, 1993; Muscatine and Porter, 1977, Falkowski et al., 1984, Barnes and Chalker, 1990, Muller-Parker and D’Elia, 1997). Dalam berbagai penelitian di lapangan, diinformasikan tentang berbagai aspek lingkungan fisika kimianya yang berperan dalam mendukung peningkatan dan repon positif densitas zooxanthellae di dalam jaringan polip karang. Respon cahaya yang dapat diterima oleh zooxanthellae pada jaringan polip karang bervariasi pada setiap jenis. Respon cahaya ini bergantung kepada jenis pigmentasi
dominan
yang menyusunnya.
Chlorophyl-c ditemukan pada
sekelompok alga coklat seperti cryptophyceae, dinophyceae, rhaphidophyceae, chrysophyceae, bacillariophyceae, xanthophyceae dan phaeophyceae (Meek, 1974). Komponen chlorophyl-c mengandung 3 komponen yang secara spectrum berbeda nyata, yaitu chlorophyl-c1, c2 dan c3. Dalam hal ini chlorophyl-c2 selalu terdapat pada dinophyceae (zooxanthellae termasuk dalam kelompok ini; baik yang hidup bebas maupun alga simbiotik). Sementara itu, Hall dan Rao (1987) mengemukakan bahwa jenis-jenis pigmen tersebut mampu merepon pada variasi
44 panjang gelombang 445 sampai dengan 625 nm. Pada panjang gelombang yang lebih pendek khususnya pada panjang gelombang 280-320 nm dan 320-400 nm, maka akan menyebabkan peningkatan eksitasi elektroniknya sehingga dapat merusak sel-sel dalam tubuh fitobiotik (Page, 1990) termasuk zooxanthellae (Rivers et al., 2002; Klein dan Klein, 1970; Parrish et al., 1978) Karang secara umum berkembang baik pada lingkungan perairan dengan kadar nutrien yang rendah. Pengaruh anthropogenik menyebabkan eutrifikasi di kawasan terumbu karang yang hidup di perairan pantai (Berner dan Izhaki, 1994; Stambler et al., 1994; Wilkinson, 1999). Hal tersebut diperlihatkan bahwa karang dipengaruhi secara langsung oleh peningkatan konsentrasi nitrogen yang menyebabkan terjadinya peningkatan pertumbuhan populasi zooxanthellae (Hoegh-Guldberg dan Smith, 1989; Dubinsky et al., 1990; Stambler et al., 1991 dan 1994; Stimson dan Kinzie, 1991; Hoegh-Guldberg, 1994, Marubini dan Davies, 1996; Muller-Parker dan D’Elia, 1997); dalam kadar yang berlebihan akan menyebabkan efek berbalik dalam bentuk menurunkan laju pertumbuhan karang (Stambler et al., 1991; Ferrier-Pages et al., 2000; Dubinsky et al., 1990; Hoegh-Guldberg et al, 1997, Marubini dan Davies, 1996). Aspek penting lainnya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan zooxanthellae adalah temperatur. Tekanan akibat temperatur tinggi tidak seperti tekanan yang dialami oleh karang pada temperatur dingin. Secara prinsipil, pengaruh temperatur panas menyebabkan kerusakan (breakdown) simbiosis karang dengan zooxanthellae. Peningkatkan temperatur perairan sampai 2-3 oC dari temperatur normal untuk beberapa bulan menyebabkan pemutihan yang luas dan bahkan kematian karang seperti observasi yang telah dilakukan di Indonesia pada tahun 1983 oleh Brown dan Suharsono (1990); dan di tempat lain pada periode tahun 1986-1987 dan 1989-1990 (Williams dan Bunkley Williams, 1990). Peningkatan temperatur secara ekstrim juga dapat menyebabkan kerusakan sel zooxanthellae hingga menjadi mati (Zamani, 1995). Catatan lain dari kelangsungan hidup karang akibat temperatur rendah hampir sama, yaitu : Solenastrea hyades di utara Carolina (Veron, 1995) ditemukan pada temperatur 10,6 oC; Acropora Sp, Porites Spp dan Platygyra daedalea di Teluk Persia dan
45 Teluk Arab pada temperatur 11 oC oleh Coles dan Fadlallah (1991); Montipora Spp di P. Yaeyama pada temperatur kurang dari 13 oC (Nomura, 1986). Faktor-faktor lingkungan tersebut dinyatakan sebagai efek aspek horizontal (open system) dari keragaman zooxanthellae yang tertransduksi pada inang polip (Coffroth dan Santos, 2005). Kajian tentang keragaman zooxanthellae secara molekular mulai dikaji sejak 1980 (Schoenberg and Trench,1980; Baker 2003; LaJeunesse 2001 dan Santos et al., 2001). Keragaman zooxanthellae pada karang dan beberapa biota laut lainnya hingga kini telah terinformasikan sebanyak 8 clade yaitu A, B, C, D, E, F, G, H (Coffroth dan Santos, 2005). Tiap-tiap clade mempunyai daya toleransi yang spesifik terhadap kondisi lingkungan sekitarnya bergantung kepada biogeografinya (LaJeunesse et al. 2003; Savage et al. 2002; Tchernov et al. 2004; Iglesias-Prieto and Trench, 1997; Rowan et al. 1997; Warner. et al. 1996). Terkait dengan tujuan penelitian secara makro terhadap proses translokasi zooxanthellae antar inang ini maka dikaji keragaman zooxanthellae berdasarkan tahapan budidayanya. Dengan diperolehnya suatu biakan zooxanthellae secara bertahap, diharapkan diperoleh informasi tentang clade yang lebih murni. Di samping itu dengan mempergunakan tahapan kegiatan pemurnian diharapkan mendapatkan informasi mengenai beberapa variabel penentu khususnya terhadap upaya pembiakan secara massal dengan pertumbuhan yang lebih cepat. Informasi terakhir merupakan masukan yang berguna pada tahap implementasi translokasi antar sumber inangnya. Tujuan dari kajian pertumbuhan zooxanthellae massal dan uji keragaman genetik berdasar penumbuhan di lingkungan binaan adalah : 1. Mengevaluasi faktor kebutuhan cahaya, temperatur dan nutrien optimum yang mendukung pertumbuhan zooxanthellae; 2. Mengkaji keragaman zooxanthellae berdasarkan profil DNAnya dari sumber inang sea anemon, tridacna, Acropora, Favites dan Goniastrea aspera; 3. Mengkaji upaya optimalisasi pertumbuhan zooxanthellae secara massal.
46 Metodologi Penelitian tentang penumbuhan massal dan keragaman zooxanthellae yang dilakukan pada lingkungan binaan ini merupakan seri pertama dari penelitian sekuensial tentang translokasi zooxanthellae pada karang Goniastrea aspera. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah produk zooxanthellae massal dengan inisial beberapa clade zooxanthellae. Peralatan Percobaan Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini untuk peralatan selam dan transek mempergunakan : scuba diving, tali rol 50 meter, palu, tatah, tempat contoh karang dan sterefoam. Peralatan tersebut dipergunakan untuk penelitian pendahuluan penentuan materi uji. Peralatan inokulasi meliputi : ruang inokulasi (ruang inkubasi), infected cable untuk penggoresan materi zooxanthellae, perlengkapan gelas (glass ware) berupa erlenmeyer, petri disk, ruang pembiakan murni, lampu neon putih dan neon hijau, botol 1 liter, pendingin, blender, centrifuge 3.000 rpm, microskop binokuler dan sedwich rafter. Peralatan untuk pemasalan pertumbuhan zooxanthellae meliputi : konikle tank, aerator yang dilengkapi dengan batu aerasi dan selangnya; pencahayaan neon hijau. Peralatan uji keragaman zooxanthllae meliputi : seperangkat peralatan PCR (Polymerase Chain Reaction) mencakup PCR thermocycler, elektrophoresis chamber dan UV transiluminator ; Peralatan analisis kualitas air media mencakup : perangkat penangas (water heater, stirer) dan filter air, deionyzed water instrument; thermometer skala 50oC, refraktometer dan spectrophotometer. Bahan Percobaan Bahan uji adalah zooxanthellae yang berasal dari sumber inang tridacna, sea anemon, karang Acropora, Favites dan Gonistrea aspera. Banyaknya bahan uji masing-masing satu koloni. Bahan uji ini diambil pada habitat atau lokasi yang sama dengan kedalaman 2-5 meter di perairan Pulau Bokor Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Pengambilan pada lokasi yang sama dimaksudkan agar tiap bahan uji mempunyai potensi yang sama dalam mentransduksi zooxanthellae yang melintas atau tersuspensi di kawasan tersebut.
47 Bahan uji selanjutnya dibawa ke laboratorium dengan mempergunakan ember besar yang memungkinkan tiap bahan terendam air laut. Untuk mempertahankan media, maka diberikan tambahan es untuk mempertahankan temperatur media. Pada laboratorium, bahan uji ditempatkan pada konikel tank volume 1 ton yang telah dipersiapkan secara terpisah dan dilengkapi dengan aerasi. Konikel tank ditempatkan pada ruang indoor untuk menghindari pengaruh pencahayaan yang kuat. Tahapan Penelitian Untuk mengarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai, maka dilakukan beberapa langkah kegiatan yang dirinci sebagaimana diuraikan berikut. Langkah I : Inokulasi dan Pemisahan Zooxanthellae Pada langkah I dilakukan dua tahap kegiatan, yaitu tahap inokulasi dan tahap pengenceran awal dalam wadah berukuran 25 ml. Tahap inokulasi yaitu menerapkan teknik isolasi zooxanthellae mengikuti cara yang dilakukan oleh Nordemar et al., (2003). Dalam hal ini setelah inang (khususnya karang) diperoleh dari alam selanjutnya dipotong sebesar lebih kurang 50 g. Contoh inang selanjutnya diblender hingga tercacah secara sempurna. Campuran keruh dari CaCO3 cangkang atau rangka dan polip kemudian dialihkan dalam botol tube gelas volume 15 ml sebanyak 6 buah. Adapun materi zooxanthellae dari sea anemon dan tridacna dihasilkan dari hasil blender langsung dari hewannya. Dengan demikian materi yang diperoleh terdapat 5 buah dengan notasi SA (sea anemon); Tr (Tridacna); Ac (Karang Acropora); Fv (Karang Favites) dan Gn (Karang Goniastrea aspera). Materi yang sudah dimasukkan dalam tabung sentrifugal ditata dalam tempatnya dan diputar dengan kecepatan 3.000 rpm selama 10 menit. Cairan supernatan hasil sentrifuge selanjutnya dipisahkan ke dalam botol yang sudah dipersiapkan. Cairan ini mengandung zooxanthellae yang dimaksud dan nantinya akan diinokulasikan ke dalam media agar. Pada percobaan uji keragaman ini dilakukan beberapa tahap penggunaan media agar karena ketidak berhasilan tumbuh. Media agar pertama yang dipergunakan dalam pemurnian zooxanthellae adalah media agar Allen (Commbs dan Hall, 1982) dengan komposisi sebagaimana disajikan pada Tabel 4.
48 Tabel 4. Komposisi Kimia Media Agar Allen untuk Budidaya Biakan Murni Zooxanthellae No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Kimia NaNO3 K2HPO4 MgSO4.7H2O Na2CO3 CaCl2 Na2SiO3.H2O Asam citrat Trace elemen Zn Mn Mo Co Cu Fe EDTA
Jumlah yang ditambahkan 1,5 g 5 ml 5 ml 5 ml 10 ml 10 ml 1 ml
Stok (g/200 ml H2O)
1 ml (dalam M) dengan komposisi : 0,08 0,90 0,03 0,05 0,04 11,70 11,70
1,50 1,50 0,08 0,05 1,16 1,20
Percobaan dengan mempergunakan media agar tersebut memberikan respons negatif yaitu zooxanthellae tidak dapat tumbuh. Percobaan lanjut dengan media agar yang sama dengan penambahan Vitamin B12 sebesar 100 pmol/l (Croft et al., 2005) memberikan respon positif yang lemah. Untuk meningkatkan respons perkembangan inokulan dilakukan dengan mencoba mempergunakan media DIFCO Bacto-agar (Guillard dan Ryther, 1962) yang juga diperkaya dengan larutan trace mineral dan larutan vitamin. Komposisi kimiawinya adalah sebagaimana diperlihatkan pada tabel berikut. Tabel 5. Komposisi Kimia Media Agar Bacto untuk Budidaya Biakan Murni Zooxanthellae No
Jenis Kimia
1 2 3 4
NaNO3 NaH2PO4.H2O Na2SiO3.9H2O Larutan Trace Mineral 1. FeCl3.6H2O 2. Na2EDTA.2H2O 3. CuSO4.5H2O 4. Na2MoO4.2H2O 5. ZnSO4.7H2O 6. CoCl2.6H2O 7. MnCl2.4H2O Larutan Vitamin 1. Vitamin B12 2. Biotin 3. Thiamine.HCl
5
Jumlah yang ditambahkan
Stok (g/950 ml Air Laut Tersaring)
1 ml 1 ml 1 ml
75 5 30
3,15 g 4,36 g 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml
9,8 6,3 22,0 10 180
1ml 10 ml 200 mg
1 0,1
49 Penggunaan media Bacto agar ini juga memberikan respon positif yang lemah yang diindikasikan dengan penumbuhan inokulan zooxanthellae yang tipis. Respon positif dengan hasil yang baik diperoleh dengan mempergunakan media agar baik Bacto-agar maupun media Agar Allen setelah kedua media diberikan penambahan vitamin C sebesar 0,4 g dan 2 g/l pada masing-masing media agar Allen dan Bacto agar. Penambahan vitamin C pada media agar untuk pemurnian zooxanthellae yang dilakukan oleh Yakobovitch et al., (2004) adalah sebesar 3 g/l. Formulasi pengaturan media agar Bacto dengan penambahan beberapa unsur vitamin tersebut dipergunakan untuk percobaan lanjut pada penelitian ini. Cara ini dilakukan secara berurutan sesuai dengan rencana percobaan. Dalam hal ini untuk setiap kegiatan dipergunakan petri disk sebanyak 25 buah yang telah disiapkan terlebih dahulu dengan memasukkan kedalamnya media agar. Setelah terdapat indikasi pertumbuhan hasil pembiakan di dalam media agar maka materi tersebut selanjutnya dipisahkan atau dinetralisir ke dalam media cair dengan volume 25 ml. Pemisahan dalam media yang rendah dimaksudkan agar materi yang dikonsentrasikannya masih dapat terukur. Pemisahan ini merupakan langkah lanjut dari seri percobaan pemurnian zooxanthellae yang diikuti oleh langkah percobaan pengembangan media budidaya zooxanthellae. Langkah II : Pengembangan Media Budidaya Zooxanthellae Hasil pemisahan tahap inokulasi akan didapatkan jenis media yang sesuai dan direspon oleh inokulan zooxanthellae awal. Selanjutnya dilakukan percobaan ulangan atau inokulasi ulangan mempergunakan Bacto-agar yang telah diperkaya vitamin B12, vitamin C dan trace mineral. Hasil inokulasi dilanjutkan dengan langkah pengembangan media budidaya dengan cara mengencerkan medium menjadi 25 ml dari hasil penggoresan langkah inokulasi. Langkah pengembangan media
budidaya
dilakukan
beberapa
tahapan
pekerjaan
penumbuhan
zooxanthellae dengan tujuan mendapatkan peubah media yang memberikan respon paling cepat bagi pertumbuhan zooxanthellae. Pekerjaan ini juga berlangsung secara sekuensial disebabkan karena acuan untuk mendapatkan media optimum belum terinformasikan. Adapun sekuensi pekerjaan adalah :
50 1. Media dengan pencahayaan neon putih (tinggi 60 watt) dengan temperatur kamar (dalam media terukur berfluktuasi antara 24 – 27oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 μM; 2. Media dengan pencahayaan neon putih (sedang 20 watt) dengan temperatur kamar (dalam media terukur berfluktuasi antara 24 – 27oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 μM; 3. Media dengan pencahayaan neon hijau (rendah 10 watt) dengan temperatur kamar (dalam media terukur berfluktuasi antara 24 – 27oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 μM; 4. Media dengan pencahayaan neon hijau (rendah 10 watt) dengan temperatur manipulasi (penambahan es dalam media, temperatur terukur berfluktuasi antara 20 – 23oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 μM; Materi yang dicobakan bernotasi sama dengan hasil inokulasi yaitu SA, Tr, Ac, Fv dan Gn. Untuk tiap tahap pekerjaan materi tersebut dibagi secara rata pada 5 (lima) medium bervolume 25 ml, yang dipergunakan sebagai ulangan. Dari hasil pertumbuhan optimum dari manipulasi lingkungan tersebut selanjutnya dilakukan peningkatan media secara bertahap mulai dari 1 liter sampai dengan 3 liter. Aplikasi media eksternal mempergunakan rekomendasi hasil percobaan pengembangan media budidaya zooxanthellae. Langkah III : Uji Keragaman Zooxanthellae Hasil percobaan pengembangan media budidaya zooxanthellae dari 25 ml dilanjutkan dengan penumbuhan 1 liter sampai dengan 3 liter sebagai bahan untuk uji
keragaman
zooxanthellae.
Variabel
untuk
menjelaskan
keragaman
zooxanthellae pada penelitian ini adalah uji DNA mempergunakan metoda PCR RFLP
(Polymerase
Chain
Reaction
-
Restriction
Fragment
Length
Polymorphisme). Dengan demikian diperoleh 25 contoh yang dipersiapkan untuk pengujian DNA, yaitu : 1. SA = Zooxanthellae dari sumber inang sea anemon sebanyak 5 contoh yaitu : SA-1, SA-2, SA-3, SA-4, SA-5. 2. Tr = Zooxanthellae dari sumber inang Tridacna sebanyak 5 contoh yaitu : Tr1, Tr-2, Tr-3, Tr-4, Tr-5. 3. Ac = Zooxanthellae dari sumber inang Acropora sebanyak 5 contoh yaitu : Ac-1, Ac-2, Ac-3, Ac-4, Ac-5. 4. Fv = Zooxanthellae dari sumber inang Favites sebanyak 5 contoh yaitu : Fv-1, Fv-2, Fv-3, Fv-4, Fv-5.
51 5. Gn = Zooxanthellae dari sumber inang Goniastrea aspera sebanyak 5 contoh yaitu : Gn-1, Gn-2, Gn-3, Gn-4, Gn-5. Untuk melakukan uji keragaman zooxanthellae dilakukan beberapa tahap, yaitu : Penyiapan zooxanthellae. Contoh zooxanthellae pada masing-masing clade dibiakkan lebih lanjut hingga tumbuh pada media 1 liter dengan kepekatan yang cukup tinggi. Zooxanthellae dari medium bervolume 1 liter selanjutnya difiltrasi secara bertahap dengan melakukan sentrifugasi pada 2500 rpm selama 10 menit. Materi endapan sebagai zooxanthellae atau pelet dipisahkan dari cairan ekstrak dengan mempergunakan pemipetan. Pelet zooxanthellae selanjutnya diresuspensi dengan larutan Buffer Isolasi Zooxanthellae {0,4 M NaCl; 40 mM MgSO4; 10 mM EDTA; 20 mM Tris-HCl; pH 7,6; 8 mM dithiothreitol; 0,05% (v/v) dan Tween-20 (pltyoxyethylene-sorbitan); Sigma Chemical Co}), sebanyak 10 ml. DNA Zooxanthellae. Sel zooxanthellae dibilas lagi dengan Buffer isolasi DNA (DNAB : 0,4 M NaCl; 50 mM EDTA, pH 8,0) dalam tube microcentrifuge, selanjutnya diresuspensi dalam 0,4 ml DNAB dengan sodium dodecyl sulfat (SDS) sebagai konsentrasi final 1% (v/v). Cairan ini kemudian dipanaskan pada temperatur 65oC selama 60 menit. Contoh selanjutnya diinkubasi dengan penambahan Proteinase K (Boehringer Mannheim Biochemicals) 0,5 mg/ml pada temperatur 37 – 45oC selama 6 jam. Contoh ini disimpan pada temperatur -20oC dan dapat stabil selama 2 minggu pada temperatur kamar. Asam nukleat dari materi tersebut dipresipitasi dengan penambahan 100 µl dari 0,3 M sodium asetat, dan dipresipitasi lagi dengan ethanol. Endapan diresuspensi dengan 50 µl aquadest (hasil penyaringan deionyzed instrument) dan disimpan pada temperatur -20oC. Amplifikasi DNA. Keragaman DNA dalam uji ini diamplifikasi sesuai dengan teknik amplifikasi yang dilakukan oleh Rowan dan Power (1991); Rowan dan Knowlton (1995) Chen et al., (2003) dengan mempergunakan universal primer ss3 (5’–GCAGTTATAATTTATTTGATGGTCACTGCTAC-3’). Reagen yang dilakukan dalam analisis PCR (PCR cocktail) mengandung 4 µl DNA template (target), 10 µl 10 x larutan buffer PCR (1 M Tris-HCl, pH : 8,3); 6 µl dari 25 mM MgCl2; 1,5 mM total dNTPs, 30 pmol dari setiap primer dan 0,5 µl Taqpolymerase (5 unit/ µl); keseluruhan dalam 100 µl. Proses amplifikasi ini
52 mempergunakan DNA thermal cycler (PCR ekspres, Hybaid) dengan mengikuti profil pengaturan temperatur : 94oC selama 1 menit; 65oC selama 2 menit dan 72oC selama 3 menit. Keseluruhan dilaksanakan dalam 30 silkus. Adapun enzim yang dipergunakan dalam pemutusan ikatan basa pada contoh yang diuji mempergunakan jenis HaeIII. Hasil restriksi dengan enzim HaeIII akan didapatkan pita-pita DNA dengan ukuran yang bervariasi (polimorfik). Pita DNA tersebut merupakan penera besarnya base pair (bp) dari zooxanthellae yang diuji. Nilai pasangan basa (base pair) ini selanjutnya dipergunakan penyejajaran banding dengan nilai pasangan basa yang didapatkan dari GenBank (www.ncbi.nlm.nih.gov) melalui analisis phylogenik. Langkah IV : Uji Penumbuhan Massal Zooxanthellae Tujuan dari uji penumbuhan massal zooxanthellae adalah mendapatkan formulasi bagi penumbuhan optimum zooxanthellae secara berkelanjutan atau mendapatkan formulasi bagi upaya mempertahankan pertumbuhan optimum. Untuk keperluan ini, maka diperlukan dua tahap kajian, pertama adalah percobaan pemanfaatan nutrien yang optimum dan kedua adalah melakukan perhitungan waktu penyediaan nutrien ulang untuk mendapatkan ketersediaan nutrien yang sesuai bagi perkembangan zooxanthellae. Percobaan tahap pertama bertujuan mendapatkan kadar nutrien yang efisien sedangkan percobaan tahap kedua bertujuan mendapatkan waktu penambahan serta jumlah penyediaan kembali nutrien. A. Percobaan Pertumbuhan Zooxanthellae pada Berbagai Tingkat Nutrien Tahap pertama dilaksanakan dengan menerapkan 2 taraf perlakuan yaitu clade zooxanthellae dan kadar nutrien. Clade zooxanthellae yang ditumbuhkan diperoleh dari uji langkah keragaman zooxanthellae (Langkah III) sedangkan taraf nutrien yang diaplikasikan terdiri dari 5 jenjang kadar, yaitu : N-1 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar N-2 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar N-3 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar N-4 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar N-5 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar
50 μM; 100 μM; 150 μM; 200 μM; 250 μM;
53 Perancangan percobaan dengan dua taraf perlakuan tersebut mengacu kepada Perancangan Faktorial mempergunakan pengulangan 3 (tiga kali) pada media volume 1 liter. B. Percobaan Pemasalan Pertumbuhan Zooxanthellae Tahap penumbuhan massal yang akan dipergunakan dalam proses pengkayaan zooxanthellae akan dilalui tiga tahap : 1. Tahap analisis waktu pengisian ulang nutrien Pada tahap ini diperhitungan waktu pengisian ulang nutrien berdasarkan penurunan kadar nutrien akibat permintaan oleh pertumbuhan zooxanthellae. Landasan perhitungan ini adalah adanya beberapa fase pertumbuhan fitoplankton sebagaimana zooxanthellae (Fogg, 1969) serta model demand-suplay nutrien dan pertumbuhan plankton (Harris, 1976). Perhitungan pengisian ulang nutrien didasarkan kepada fomulasi
sebagaimana diinformasikan oleh
Taff (1988),
dengan rumus :
Keterangan : Tpk = Waktu pengisian kembali, adalah tenggang waktu untuk melakukan pengisian nutrien, sehingga nutrien di dalam media percobaan menjadi terpelihara; ∑Ns = Jumlah dimana pemesanan ulang harus dilakukan adalah kadar nutrien tertinggi selama percobaan untuk masing-masing percobaan. Td = Waktu adalah waktu ditempuhnya pertumbuhan tertinggi hasil percobaan; ∑Ns = Jumlah nutrien yang ditarik adalah beda atau selisih kadar nutrien (dalam hal ini nitrat awal) dengan kadar nitrat pada saat pertumbuhan optimum percobaan; Pada tahap ini jenis zooxanthellae yang diukur adalah jenis yang mempunyai
clade
berbeda.
Masing-masing
mempergunakan
perlakuan
temperatur, cahaya dan nutrien sebagaimana telah dilakukan pada tahap uji sebelumnya, dengan pengulangan 3 kali. Untuk keperluan analisis penambahan ulang nutrien, maka variabel kunci yang diukur adalah densitas zooxanthellae dan NO3-N secara harian.
54 2. Tahap Penumbuhan berjenjang Pada tahap ini penumbuhan zooxanthellae dilakukan secara berjenjang mulai dari 1 liter, 3 liter, 5 liter, 100 liter hingga 1 ton. Pelaksanaan pada tahap penumbuhan berjenjang dari zooxanthellae beragam clade ini mengakomodir semua perlakuan yang memberikan respon pertumbuhan paling tinggi dari percobaan tahap sebelumnya, namun dengan wadah berukuran berjenjang. 3. Analisis Kualitas Air Analisis kualitas air diperlukan untuk menilai kelayakan media yang dapat mendukung kegiatan penumbuhan zooxanthellae. Metoda analisis kualitas air tersebut adalah seperti diperlihatkan pada Tabel 6. Tabel 6. Peubah yang diukur, metoda dan periode pengukuran No.
Peubah
1 2 3 4 5 6 7
Temperatur Salinitas Nitrat (NO3-N) Orthofosfat (PO4-P) pH Oksigen terlarut Intensitas cahaya
Satuan o
C o /oo mg/l mg/l mg/l µmol quanta m-2 dt-1
Metoda Thermometer Refraktometer Spectrophotometer Spectrophotometer pH meter Tetrimetrik Photon flux meter
Periode Ukur Menyesuaikan tahapan kegiatan percobaan
4.Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Pakan Alami dan Genetika Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Materi percobaan adalah zooxanthellae dari inang sea anemon, tridacna, karang Acropora, Favites dan Goniastrea diperoleh dari hasil sampling di Terumbu Karang Pulau Bokor Jepara. Waktu pelaksanaan kajian ini adalah Agustus 2004 sampai Oktober 2005. 5. Analisis Data Uji respon pertumbuhan zooxanthellae mengacu kepada perlakuan ganda yaitu jenis clade dan jumlah nutrien dengan mengaplikasikan perancangan faktorial acak dan mempergunakan analisis ragam dua arah (Steel dan Torrie, 1979). Data penunjang media seperti perubahan temperatur, salinitas, nitrat (NO3N), pH, orthofosfat (PO4-P) dan intensitas cahaya dikaji secara deskriptif. Adapun untuk mengevaluasi tingkat kekerabatan antar DNA individu uji mempergunakan bantuan uji cluster berhirarkhi dengan perangkat lunak SAS 9.1.
55 Hasil Percobaan Inokulasi dan pemisahan zooxanthellae dari inangnya merupakan tahap awal dari serangkaian kegiatan tentang pertumbuhannya. Pemakaian dari beberapa jenis agar yang dilakukan secara seri memberikan respons yang berbeda, hasilnya adalah sebagaimana disajikan pada Tabel berikut . Tabel 7. Respon Penumbuhan Beberapa Zooxanthellae pada Media Agar
Jenis inang
Ulangan
Madia Agar Allen
Sea Anemone
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
+ + + + -
Tridacna
Acropora
Favites
Goniastrea
Madia Agar Allen yang diperkaya Larutan Vitamin B
Madia Agar Bacto yang diperkaya Larutan Vitamin B
+ + + + + + + + -
+ + + + + + + + + + -
Madia Agar Allen yang diperkaya Larutan Vitamin B dan C +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++
Madia Agar Bacto yang diperkaya Larutan Vitamin B dan C +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++
Keterangan : - = Negatif (tidak ditemukan ciri berkembang) + = Positif lemah (Ditemukan ciri tumbuh namun lemah) +++ = Positif kuat (Ditemukan ciri tumbuh kuat)
Hasil pengamatan dan pencacahan terhadap densitas zooxanthellae masa awal memperlihatkan bahwa media agar Allen dan Bacto-agar yang diperkaya dengan vitamin B12 tidak berespons hingga berespon positif lemah terhadap kemampuan tumbuh zooxanthellae dari berbagai jenis inang (Sea anemon/Sa; Tridacna/Tr, Karang Acropora/Ac, Favites/Fv dan Goniastrea/Gn). Dengan demikian respon tumbuh zooxanthellae pada dua media agar awal bersifat acak. Pada media pemurnian baik Allen-agar dan Bacto-agar yang diperkaya larutan vitamin B12 dan vitamin C memperlihatkan respon yang positif dengan
56 pewarnaan yang lebih kuat untuk semua jenis sumber inang dan ulangannya. Dari 25 petri disk yang memberikan ciri potensi penumbuhan zooxanthellae selanjutnya dipisahkan ke dalam wadah media bervolume 25 ml selama 1 minggu. Pencacahan zooxanthellae secara komposit pada 1 minggu hasil pemurnian disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14.
Densitas Zooxanthellae Hasil Pemurnian Awal dari Media Inokulan
Densitas zooxanthellae hasil pemisahan yang diperoleh dari urutan pekerjaan
seperti diuraikan di atas, masih mencirikan sumber inang aslinya.
Zooxanthellae ini masih merupakan jenis yang bersifat hipotetik yang belum teridentifikasi cladenya. Dalam masa pemurnian lanjut dengan maksud untuk mendapatkan keragaman serta pola pengaturan pertumbuhan massal dilakukan sekuensi kegiatan penumbuhan. Aplikasi perlakuan pada tahap ini mencakup beberapa kegiatan. Hasil analisis densitas zooxanthellae dari kegiatan tahap pengembangan media untuk berbagai tingkat perubahan pemeliharaan media (cahaya, temperatur dan nutrien) yang dilakukan secara seri adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 15. (Lampiran 1)
57
A
C
B
D
Gambar 15. Pertumbuhan Zooxanthellae pada Berbagai Pengubahan Kondisi Media Keterangan : A = Perkembangan Zooxanthellae pada pencahayaan neon putih (tinggi 60 watt), temperatur : 24–27oC serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 µg. B = Perkembangan Zooxanthellae pada pencahayaan neon putih (sedang 20 watt), temperatur : 24–27oC serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 µg C = Perkembangan Zooxanthellae pencahayaan neon hijau (rendah 10 watt); temperatur : 24–27oC serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 µg D = Perkembangan Zooxanthellae pencahayaan neon hijau (rendah 10 watt); temperature : 20–23oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 µg
58 Hasil analisis densitas zooxanthellae sebagaimana disajikan pada Gambar 15 memberikan keterangan bahwa tiap tahap kegiatan memberikan respon pertumbuhan zooxanthellae yang positif. Pada awal masa penumbuhan, rata-rata perlakuan memperlihatkan perkembangan lambat, selanjutnya pertumbuhan meningkat dengan cepat pada hari ke 9 sampai ke 16. Hal ini sesuai dengan pola umum perkembangan alga sebagaimana dinyatakan oleh Fogg (1971). Pertumbuhan eksponensial pada zooxanthellae antar tahap kegiatan tergolong cukup lama dibandingkan dengan pertumbuhan jenis diatom lain yang ukurannya lebih besar, seperti Chaetoceros (Yuwono, 1994). Dalam penelitiannya tersebut diperoleh hasil bahwa pertumbuhan maksimum terjadi pada hari ke 5, sedangkan jenis Nitzschia pertumbuhan maksimumnya dicapai pada hari ke 7. Penumbuhan zooxanthellae yang dilakukan oleh Rosenthal et al. (2005) pada uji penambahan nitrogen pada media budidayanya diperoleh pertumbuhan maksimum pada hari ke 15. Di samping hal tersebut, analisis terhadap densitas zooxanthellae antar sekuen percobaan memperlihatkan terjadi respon peningkatan pertumbuhan pada media yang mendapatkan pencahayaan lebih rendah (dari pencahayaan putih menjadi hijau) dan penurunan temperatur (dari temperatur 24-27oC menjadi kisaran temperatur 20–23oC). Hasil uji terhadap pertumbuhan antar tahap kegiatan menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan (p>0,01) pada media dengan pencahayaan neon putih (tinggi 60 watt) dengan temperatur kamar (dalam media terukur berfluktuasi antara 24–27oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 µg dan media dengan pencahayaan neon putih (sedang 20 watt) dengan temperatur kamar (dalam media terukur berfluktuasi antara 24–27oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 µg. Pada media percobaan III yaitu cahaya hijau dan temperatur 24–27oC terjadi perbedaan pertumbuhan zooxanthellae (P<0,01) antar sumber inang, namun untuk zooxanthllae pada inang karang jenis Favites sama respon pertumbuhannya dengan inang karang Goniastrea. Dalam hal ini respon pertumbuhan rata-rata zooxanthellae tertinggi pada inang jenis Favites diikuti oleh Goniastrea, Acopora, Tridacna dan Sea Anemon. Selanjutnya dengan menerapkan perlakuan penurunan temperatur dari hasil percobaan tahap III (dari 24–27oC
59 menjadi 20–23oC sebagai percobaan tahap IV), diperoleh keterangan bahwa ratarata peningkatan pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan percobaan III. Dalam hal ini juga diperlihatkan adanya perbedaan respon pertumbuhan zooxanthellae antar inang. Tidak ditemukan perbedaan respon pertumbuhan zooxanthellae antara tridacna dengan sea anemon, namun tidak dengan jenis inang dari karang. Dalam hal ini respon pertumbuhan zooxanthellae dari inang Favites sama dengan yang berasal dari inang Goniastrea (Lampiran 2). Hasil analisis densitas zooxanthellae mengikuti sekuen percobaan memperoleh beberapa simpulan yang nantinya dapat dipergunakan untuk melaksanakan telaah keragaman zooxanthellae serta menganalisis waktu penambahan
ulang
nutrien
untuk
keperluan
pemeliharaan
pertumbuhan
zooxanthellae yang optimum. Simpulan yang diperoleh dari sekuen analisis densitas sebagaimana diuraikan di atas adalah bahwa media yang perlu dipertahankan untuk mengoptimalkan pertumbuhan zooxanthellae adalah media dengan pencahayaan rendah (hijau) serta dipertahankan temperatur 20–23oC. Uji DNA untuk analisis keragaman zooxanthellae dilakukan dengan maksud
untuk mencari clade yang berbeda bagi keperluan kajian tahap
translokasi. Dalam hal ini diperoleh 25 contoh analisis dengan komposisi 5 jenis contoh zooxanthellae dari inang sea anemon, 5 jenis contoh zooxanthellae dari inang Tridacna, 5 jenis contoh zooxanthellae dari inang Acropora, 5 jenis contoh zooxanthellae dari inang Favites dan 5 jenis contoh zooxanthellae dari inang Goniastrea. Dua puluh lima contoh zooxanthellae dari 5 (lima) sumber inang setelah melalui serangkaian uji DNA, dihasilkan restriksi DNA zooxanthellae oleh enzim HaeIII dalam bentuk profil RFPL (pita). Profil RFLP tersebut bervariasi baik dalam jumlah dan nilai pasangan basanya dengan nilai antara 250 bp hingga 1250 bp. Hasilnya adalah sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 16. Telaah profil RFPL yang diperoleh dari rangkaian analisis PCR terhadap contoh-contoh zooxanthellae menunjukkan nilai-nilai base pairnya dari setiap contoh yang diuji. Nilai-nilai tersebut selanjutnya diuji untuk mengetahui tingkat kekerabatan
diantaranya.
Uji
tersebut
berupa
analisis
cluster
dengan
mempergunakan nilai base pair ingroup yang diperoleh dari analisis PCR-RPLF
60 dengan outgroup (kelompok luar pembanding) yang diperoleh dari GenBank yang berkesesuaian. Outgroup mencirikan jenis clade. Dari hasil analisis phylogenik akan didapatkan tingkat kekerabatan dari contoh yang diuji.
A
B
C
D
E Gambar 16.
Genotip RFLP dari contoh zooxanthellae yang dimurnikan dari beberapa sumber inang. Amplifikasi PCR dilanjutkan dengan restriksi DNA mempergunakan enzim HaeIII. (A) Zooxanthellae yang dimurnikan dari inang 5 individu sea anemon, (B) Zooxanthellae yang dimurnikan dari inang 5 individu tridacna, (C) Zooxanthellae yang dimurnikan dari inang 5 individu Acropora, (D) Zooxanthellae yang dimurnikan dari inang 5 individu Favites dan (E) Zooxanthellae yang dimurnikan dari 5 individu inang Goniastrea. Marker DNA berukuran standart 1500 bp, dengan selang peningkatan 100 bp dari bawah.
Nilai analisis PCR sebagaimana disajikan pada Gambar 16 menunjukkan hasil yang bersifat polymorfism. Ini berarti bahwa terdapat perbedaan antara clade biota uji. Perbedaan ini dilanjutkan dengan melakukan analisis phylogenik. Hasil analisis phylogenik dengan uji cluster diperoleh hasil seperti diperlihatkan pada Gambar 17 berikut.
61 Sa-1 Sa-4 Tr-4 Gn-4 Gn-5 Sa-5 Tr-1 Tr-5 Ac-1 Ac-3 Ac-5 Fv-4 Gn-3 Sa-2 Tr-3 Clade A : EU449053 Clade A : EU449026 Sa-3 Tr-2 Clade B : EU449066 Gn-2 AC-4 Gn-1 Clade B : EU449079 Clade B : EU449072 Ac-2 Fv-2 Fv-5 Clade C : EU333735 Fv-1 Fv-3 Clade C : EU333740 Clade C : EU333737 Clade D : EU333707 Clade D : EU333708 2,0 Gambar 17.
1,5
1,0 0,5 Minimal distance between cluster
0,0
Hubungan kekerabatan DNA dari beberapa jenis zooxanthellae berdasarkan Analisis Cluster. Clade A diakses dari GenBank dengan kode EU449053 dan EU449026; Kode akses Clade B adalah EU449070, EU449072 dan EU449066; Kode akses Clade C adalah EU333740, EU333737 dan EU333735; Kode akses Clade D adalah EU333707 dan EU333708. Sa-1 sampai dengan Sa-5 adalah Zooxanthellae yang dimurnikan dari inang 5 individu sea anemon, Tr-1 sampai dengan Tr-5 adalah Zooxanthellae yang dimurnikan dari inang 5 individu tridacna; Ac-1 sampai dengan Ac-5 adalah Zooxanthellae yang dimurnikan dari inang 5 individu Acropora; Fv-1 sampai dengan Fv-5 adalah Zooxanthellae yang dimurnikan dari 5 individu inang Favites. Gn-1 sampai dengan Gn-5 adalah Zooxanthellae yang dimurnikan dari 5 individu inang Goniastrea.
62 Analisis cluster dengan bantuan perangkat lunak SAS 9.1 (analisis cluster berhirarki
menggunakan
single
linkage)
terhadap
clade
zooxanthellae
sebagaimana disajikan pada gambar di atas menginformasikan bahwa materi pemurnian zooxanthellae yang telah dilakukan secara sekuensial didapatkan tiga jenis clade yaitu : Clade A, Clade B dan Clade C. Hasil analisis juga memberikan gambaran bahwa clade zooxanthellae yang ditemukan berdasarkan sekuensi pemurnian beragam antar sumber inang. Keragaman DNA pada karang Acropora lebih beragam yaitu mengandung Clade A, Clade B dan Clade C. Karang jenis Favites ditemukan jenis Clade A dan C, sedang pada biota sea anemon, tridacna dan karang Goniastrea ditemukan jenis Clade A dan B. Hasil uji DNA dari 25 contoh dapat direkapitulasi kualitas genotipnya sebagaimana disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Ragam DNA Zooxanthellae dari Beberapa Inang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Inang Sea Anemon (SA)
Tridacna (TR)
Acropora (AC)
Favites (FV)
Goniastrea (GN)
Ulangan 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Clade A A B A A A B A A A A C A B A C C C A C B B A A A
63 Hasil uji DNA melalui serangkaian percobaan di atas diperoleh 3 jenis clade zooxanthellae, yaitu clade A, clade B dan clade C. Ketiga clade ini selanjutnya ditingkatkan penumbuhannya dengan memberlakukan kajian optimasi nutrien untuk mendapatkan pertumbuhan optimum yang dapat dipertahankan. Sementera itu variabel pendukung lain ditetapkan dengan mempergunakan kondisi yang optimal. Dalam hal ini temperatur diberlakukan pada kisaran 20–23oC dan pencahayaan diberlakukan dengan mengkondisikan pada cahaya hijau dengan kekuatan intensitasnya sebesar 84,56 sampai dengan 102,78 µmol quanta m-2 dt-1. Dalam kajian optimasi nutrien tersebut, dipergunakan lima taraf konsentrasi nutrien awal NaNO3 yaitu : N-1 (50 µg), N-2 (100 µg), N-3 (150 µg), N-4 (200 µg) dan N-5 (250 µg). Faktor lingkungan lain mengacu kepada hasil analisis sebelumnya. Hasil analisis terhadap pertumbuhan zooxanthellae tertinggi pada berbagai taraf nutrien adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Densitas Zooxanthellae Tertinggi Hasil Budidaya dari Beberapa Inang Tingkat Nutrien N-1 N-2 N-3 N-4 N-5 N-1 N-2 N-3 N-4 N-5 N-1 N-2 N-3 N-4 N-5
Densitas Zooxanthellae (106 individu/l) A-1 10.57 14.88 14.32 18.13 17.76 B-1 15.38 18.02 19.64 20.34 21.46 C-1 15.66 17.92 17.23 21.44 21.16
A-2 12.71 13.84 14.73 19.26 18.64 B-2 14.82 15.42 18.28 19.25 21.08 C-2 16.35 17.19 18.92 21.58 21.43
A-3 12.70 14.27 15.91 16.45 18.61 B-3 16.94 18.38 19.65 23.74 21.60 C-3 15.29 16.59 17.42 22.39 23.45
Keterangan : Densitas pertumbuhan maksimum Penyinaran media dengan cahaya green dengan temperatur 20-23oC
Hasil analisis terhadap pertumbuhan zooxanthellae pada berbagai taraf nutrien sebagaimana disajikan pada tabel di atas menunjukkan adanya kecenderungan meningkat dengan peningkatan nutrien serta terjadi respon pertumbuhan zooxanthellae yang berbeda antar clade. Hal ini sesuai dengan hasil uji statistik
64 terhadap pertumbuhan antar clade antar nutrien. Dalam hal ini pertumbuhan optimum terjadi pada kadar N-4, sedangkan pertumbuhan antar clade zooanthellae tidak berbeda (Lampiran 3). Keadaan ini memberikan penjelasan bahwa penyediaan nutrien awal N-4 diperkirakan mencukupi bagi peningkatan pertumbuhannya, khususnya pada saat terjadi pertumbuhan eksponensial dari zooxanthellae yang dibudidayakan. Sediaan nutrien untuk pendukungan pertumbuhan optimum merupakan faktor penting bagi upaya pemasalan, sementara sediaan nutrien yang rendah tidak akan mencukupi bagi dukungan pertumbuhan optimum zooxanthellae. Hasil pencacahan densitas zooxanthellae antar clade secara rata-rata hasil percobaan di atas adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18. Pertumbuhan Zooxanthellae antar Clade Pertumbuhan zooxanthellae antar clade mempunyai ciri yang sama dengan pertumbuhan fitoplankton, dengan diawali oleh pertumbuhan lag phase selanjutnya diikuti oleh exponential phase. Puncak pertumbuhan terjadi pada hari ke 16 yang peningkatannya rata-rata bertahan hingga hari ke 22, selanjutnya terjadi penurunan densitasnya. Pertumbuhan tersebut merupakan respon permintaan akan nurien yang terlarut di dalam media. Pola perubahan NO3-N pada media budidaya zooxanthellae tersebut adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 19 (Lampiran 4).
65
Gambar 19. Perubahan Kadar NO3-N selama Budidaya Zooxanthellae Mengkombinasikan potensi pertumbuhan (sebagaimana pada Gambar 18) dan sediaan nutrien (sebagaimana Gambar 19), maka dapat diperhitungkan waktu penambahan ulang nutrien agar pertumbuhan zooxanthellae dapat dipertahankan pada tingkat pertumbuhan optimum. Dalam hal ini perubahan nutriennya adalah hasil penambahan NaNO3 sebesar 200 µg (N-4); sedangkan nutriennya adalah rataan penurunan kadar NO3-N akibat permintaan untuk pertumbuhan zooxanthellae clade A, B dan C. Hasil perhitungan waktu penambahan ulang nutrien mengikuti formula Taff (1980) adalah pada hari ke 16. Nutrien yang ditambahkan adalah sebesar jumlah penarikan rata-rata sebesar 0,0455 mg/l. Penerapan perlakuan N-4 dengan penambahan pada media terlarut sebesar 0,0455 mg NO3-N/l pada periode hari ke-16 memberikan hasil pemeliharaan zooxanthellae yang optimum. Hasil pencacahannya adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 20.
66
Gambar 20.
Pertumbuhan Zooxanthellae pada Bak Massal dengan Penambahan Nutrien
Hasil pencacahan pada media budidaya zooxanthellae yang telah ditambahkan nutrien
memperlihatkan
hasil
bahwa
pertumbuhan
optimumnya
dapat
dipertahankan. Ini berbeda dengan hasil pencacahan serupa pada media yang tidak ditambah sebagaimana disajikan pada Gambar 18 sebelumnya. Model media inilah yang nantinya akan diterapkan ke dalam media karang Goniastrea aspera yang telah dibleachingkan untuk mengevaluasi tahap kajian translokasi zooxanthellae dan pertumbuhan karangnya. Pembahasan Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu habitat di laut yang mempunyai keanekaragaman tinggi di bumi. Terbentuknya kondisi tersebut tidak lepas dari pengaruh hubungan simbiosis mutualistiknya dengan simbion dinoflagellata (Hallock, 2001). Simbion ini merupakan alga bersel tunggal yang umum dinamakan zooxanthellae serta secara dominan merupakan genus dinoflagellata yang mempunyai hubungan fungsional lainnya dengan berbagai host inang seperti protiss, Porifera, Cnidaria dan molusca (Glynn, 1996; Lobban et al., 2002; Rowan, 1998; Trench, 1993). Sebagian besar kasus aglae ini terjadi secara intraselluler, berada dalam segerombolan atau kompleks sekitar vacuole sel inang (Colley dan Trench, 1983; Wakefield dan Kempf, 2001), tetapi beberapa invertebrata (genera Hippopus dan Tridacna) simbion intrasellulernya berada dalam suatu sistem tubular (Norton et al., 1992).
67 Zooxanthellae sebagai fitobiotik khususnya berasosiasi dengan beberapa biota dasar di lingkungan perairan laut untuk berkembang secara faali memerlukan dukungan dari lingkungan eksternalnya. dukungan faktor eksternal
Menurut Harris (1976)
utama terhadap perkembangan fitobiotik adalah
cahaya, temperatur dan nutrien. Hal yang sama dikemukakan oleh Parson et al., (1984) bahwa zooxanthellae sebagai biota fitofototropik serta bersifat mikro, maka secara mendasar perkembangannya dibatasi oleh 3 variabel utama yaitu cahaya, nutrient dan temperatur. Ketiga unsur utama tersebut bersama dengan perangkat molekular dari zooxanthellae membentuk suatu persamaan fotosintesis kompleks yang proses maupun hasilnya memberikan dukungan terhadap inangnya. Menurut Edward (1983) energi cahaya merupakan faktor penting bagi awal produksi. Selanjutnya dikemukakan bahwa di dalam lingkungan perairan terdapat empat aspek yang perlu diperhatikan pengaruhnya, yaitu : (1) upayaupaya yang dilakukan sel-sel fitobiotik dalam mempergunakan energi cahaya; (2) terjadinya penyaluran cahaya di dalam perairan; (3) pengaruh langsung dari cahaya terhadap kematian fitobiotik yang bergantung kepada kedalaman air dan (4) timbal balik dari penyebaran dan penambahan cahaya yang masuk dan tertahan di dalam air. Respon biotik dari fitoplankton umumnya dan khususnya zooxanthellae terhadap eksitasi elektronik cahaya akan diterima dalam berbagai nilai panjang gelombang. Secara teoritis kelengkapan photosystem I dan photosystem II dari fitoplankton mampu menerima efek pencahayaan, namun seringkali dalam kondisi tertentu (misalnya pada pencahayaan yang kuat dengan keberadaannya di perairan dangkal) eksitasi elektronik yang terjadi tidak cukup mampu diterima fitoplankton, sebaliknya pada kedalaman yang tinggi eksitasi elektronik tidak cukup untuk merespon reduksi sel pigmen (Page, 1990). Kondisi inilah yang dapat menyebabkan efek cahaya dapat bersifat inhibiting khususnya di perairan dangkal dan sekaligus limiting pada perairan yang lebih dalam. Pengaruh temperatur lebih banyak berperan terhadap katalisasi proses enzimatik yang berkaitan dengan proses respirasi. Hasil percobaan memperlihatkan bahwa meskipun cahaya bukan satusatunya variabel yang secara nyata memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan
68 zooxanthellae, namun bersama dengan temperatur dan nutrien memberikan informasi tentang respons pertumbuhan optimum. Dalam hal ini respon pertumbuhan zooxanthellae pada percobaan cahaya meningkat dari berturut-turut neon putih (tinggi 60 watt) dengan konsentrasi maksimum 1.213,32x103 ind/lt, neon putih (sedang 20 watt) dengan konsentrasi maksimum 1407,03x103 ind/lt; neon hijau (rendah 10 watt) baik pada temperatur yang sama dengan ketiga di atas yaitu 24-27oC maupun 20–23oC, berturut-turut dengan konsentrasi maksimum 1.640,58x103 ind/lt
dan 2.172,59x103 ind/lt (Lampiran 1). Kondisi ini
memperlihatkan bahwa respon zooxanthellae lebih tinggi pada pencahayaan yang rendah. Sementara itu hasil perhitungan kadar zooxanthellae pada berbagai jenis karang oleh Baker dan Rowan (1997) pada beberapa kedalaman di perairan Karibia dan Pasifik Tenggara memperlihatkan bahwa semakin dalam perairan hingga 11 meter kadar zooxanthellae semakin tinggi. Sebaliknya semakin dangkal perairan memperlihatkan konsentrasi yang semakin rendah. Penelitian serupa diperlihatkan oleh Barneah et al., (2004); Burn (1985); Davis (1982); Davies (1993). Hal ini (Sorokin, 1993) mempunyai kaitan yang erat dengan pigmenpigmen penyusun zooxanthellae. Pertumbuhan zooxanthellae dalam jaringan polyp karang atau inang lainnya di dalam media alami merupakan model yang diadopsi pada penelitian ini. Untuk mengaplikasikannya diperlukan pentahapan kegiatan disertai dengan menerapkan pengelolaan media yang optimal sesuai dengan kebutuhan hidup inangnya. Pada fase kritis pemisahannya dari inang ke dalam media binaan dilakukan beberapa tahap uji coba dengan penerapan media. Pemisahan zooxanthellae dapat dilakukan dengan penambahan nutrien esensial nitrat dan fosfat serta trace mineral dan vitamin. Penambahan vitamin B12 dan vitamin C secara bersamaan memberikan respon nyata terhadap upaya penumbuhan zooxanthellae pada tahap pemisahan. Vitamin B12 dan vitamin C merupakan unsur esensial bagi fitoplankton termasuk zooxanthellae. Radionov et al., (2003) mengemukakan bahwa vitamin B12 merupakan unsur penting yang diperlukan oleh fitoplankton untuk reproduksi dan aktivitas metabolisme. Lebih lanjut dikemukakan oleh Swift (1980) bahwa vitamin B12 merupakan cofaktor penting dalam reaksi-reaksi intramolekuler yang menyangkut regulasi unsur C dan H. Oleh karenanya vitamin B12 merupakan
69 unsur
penting
dalam
mekanisme
metabolisme
fitoplankton
termasuk
zooxanthellae. Sementara itu, Hapette dan Poulet (1990) mengemukakan bahwa vitamin C merupakan unsur yang diperlukan juga oleh fitoplankton. Peran vitamin C pada fitoplankton adalah sebagai unsur penting yang berguna dalam mekanisme detoksifikasi logam berat dan merupakan mikronutrien untuk pertumbuhan. Peran vitamin C yang lebih penting bagi fitobiotik khususnya zooxanthellae adalah sebagai penanda biokimia dalam mekanisme aktivitas glutathione (Brody, 1945). Hal ini sejalan dengan pernyataan Lenhoff (1974) dan temuan Hapette dan Poulet (1990). Dalam hal ini Lenhoff (1974) menyatakan bahwa dalam mekanisme pemangsaan aktif dari schleractinia peran glutathione memegang peranan yang sangat penting. Unsur ini merupakan molekul kimiawi dengan komponen nitrogen yang menyebarkan sinyal untuk mendeteksi pakan. Sementara dipihak lain menyatakan (Hapette dan Poulet, 1990) bahwa vitamin C (ascorbic acid) bagi sebagian besar biota konsumer (termasuk karang) ditunjang oleh fitoplankton termasuk zooxanthellae. Mengadopsi hubungan tersebut, maka vitamin C bagi zooxanthellae dapat berperan sebagai agen pensinyalan dalam menarik nutrien dari lingkungan luar. Selain sisi fungsional tersebut, maka vitamin C bagi zooxanthellae adalah sebagai antioksidan yang dihasilkan oleh tanaman (termasuk zooplankton) dari suatu enzym GDP-L-galactose phosphorylase (Science Daily. 2007) (http://www. sciencedaily.com/releases/2007/09/070923205844.htm). Perannya sangat besar pada zooxanthellae khususnya terhadap pertahanan awal bagi pengaruh pencahayaan setelah dipindahkan dari media alaminya pada polyp karang. Oleh sebab itu penambahan vitamin C atau perangsangan awal dengan penambahan vitamin C di samping berperan dalam proses penyediaan nutrien untuk tumbuh juga sebagai unsur ketahanan dalam melangsungkan hidupnya. Komposisi
pigmen
zooxanthellae
mempunyai
kesamaan
dengan
dinoflagellata planktonik yang hidup bebas seperti Peridinium dan Amphidium (Tineonyanov et al., 1980). Mereka mengandung pigmen a dan c; dan khusus zooxanthlellae pada skleractinia mengandung pigmen caretenoid, peridinine dan dinoxanthus. Rasio chlorophyl-c dan a pada zooxanthellae berbeda antar inang dengan tingkat stabilitas antara 0,2–0,5. Kandungan chlorophyl zooxanthellae
70 bervariasi antara 5-12 μg 10-6 sel, antara 15–50 μg g-1 dari bobot koloni atau antara 5–25 μg cm-1 dari permukaan koloni. Pigmen piridinine dan carotenoid berkombinasi dengan chlorophyl pada sel zooxanthellae, suatu tipikal untuk protein pigmen kompleks pada dinoflagellata (Sorokin, 1993). Mereka secara signifikan meningkatkan efisiensi pada penggunaan energi cahaya khususnya cahaya hijau dengan kisaran 490 dan 540 nm, sehingga meningkatkan kemampuan zooxanthellae terhadap fotoadaptasi. Pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan zooxanthellae juga berkaitan dengan faktor eksitasi elektronik. Akibat pancaran cahaya yang kuat menyebabkan sel-sel pigmennya tidak bekerja secara optimal (Page, 1990), sebaliknya pada pencahayaan yang lemah menyebabkan cahaya tidak mampu meningkatkan merespon peningkatan ektivitas ionik pada sel pigmen akibatnya fotosintesis zooxanthellae menjadi terganggu. Terkait dengan respon cahaya, zooxanthellae dikategorikan sebagai kelompok fitoplankton dengan kemampuan untuk
bekerja
optimum
pada
pencahayaan
rendah.
Yentsch
(1980)
mengkategorikan kelompok fitoplankton demikian sebagai kelompok fitoplankton tipe gelap. Hasil pengukuran terhadap intensitas cahaya selama masa pemisahan dan pengembangan media budidaya di lingkungan laboratorium adalah dengan mempergunakan sumber cahaya hijau berkekuatan 10 watt memberikan intensitas cahaya pada media budidaya pemisahan dan pengembangan media budidaya dengan kisaran 84,56 sampai dengan 102,78 µmol quanta m-2 dt-1. Sementara itu dari sisi kualitas, penggunaan cahaya hijau mempunyai relevansi dengan kondisi lingkungan alaminya. Menurut Thurman dan Webber (1984) dinyatakan bahwa cahaya hijau merupakan cahaya tampak (visible light) yang mempunyai kemampuan transmisi ke dalam perairan laut cukup optimal setelah cahaya biru. Nilai cahaya yang terukur pada areal penempatan contoh budidaya zooxanthellae dalam gelas pada tahap pengembangan media budidaya dalam penelitian ini berdasar hasil pengukuran di atas merupakan kondisi cahaya optimum bagi zooxanthellae. Kisaran nilai intensitas cahaya sebesar 84,56 sampai dengan 102,78 µmol quanta m-2 dt-1 mempunyai padanan dengan kondisi pencahayaan pada kedalaman sekitar 5 sampai 10 meter di lingkungan perairan
71 alami. Hal ini merujuk pada aplikasi furmula Hukum Bouger-Lambert (Tom Beer, 1997) dan nilai extenction coefisien pada lingkungan pantai senilai 0,368, serta hasil pengukuran intensitas cahaya di permukaan laut. Hasil pengukuran intensitas cahaya di permukaan laut adalah 730 µmol quanta m-2 dt-1. Perhitungan intensitas cahaya pada kedalaman sekitar 5 meter dengan aplikasi formula tersebut senilai 115,94 µmol quanta m-2 dt-1. Demikian pula apabila mengacu kepada hasil perhitungan koefisien extinction oleh Shiah et al., (1996) sebesar 0,467 menghasilkan nilai
70,67 µmol quanta m-2 dt-1
pada lingkungan karang di
kedalaman sekitar 5 meter. Secara faali, peran temperatur terhadap respon adaptif fitoplankton disebut Nordemar et al. (2003) sebagai allogenic faktor; yaitu suatu variabel yang mempunyai efek tetap bagi adaptasi suatu organisme fitoplankton termasuk zooxanthellae. Dalam hal ini bersama dengan cahaya akan menentukan masingmasing respon faali internal dengan tingkat kapasitas . Studi khusus tentang yang dilakukan terhadap penumbuhan zooxanthellae memberikan respon optimal pada temperatur rendah yaitu dengan kisaran 20–23oC. bersama
dengan
cahaya
hijau
memberikan
Fluktuasi temperatur ini
respon
bagi
pertumbuhan
zooxanthellae yang lebih besar sebagaimana dilaporkan oleh Campbell dan Aarup (1989) dan lebih tinggi dibandingkan kegiatan serupa pada fluktuasi temperatur 23- 25oC seperti dilaporkan oleh Coles dan Jokiel (1976). Respon allogenic tersebut bila dikaitkan dengan fenomena pemutihan karang yang telah banyak terekam memperlihatkan sinergisme. Demikian pula bila dikaitkan dengan pola pemulihan habitat pada kondisi allogenic yang terkendali (Fitt et al., 1993). Pada tingkat kerja zooxanthellae lanjut sebagaimana dinyatakan oleh Szmant dan Gassman (1990) serta Gleason (1993) bahwa selama kondisi allogenik terkendali dan efek bleaching terjadi secara parsial serta pemenuhan nutrien terpenuhi maka sintasan karang akan terpelihara. Hal ini berkaitan erat dengan tingkat konsumsi nutrien sehingga memberikan dampak bagi
peningkatan
pertumbuhan
zooxanthellae.
Goreau
et
al.,
(2000)
mengemukakan bahwa pada temperatur rendah dalam kisaran kostruktif maka akan semakin meningkatkan konsumsi nutrien, yang selanjutnya direspon bagi pertumbuhan zooxanthellae.
72 Nutrien merupakan variabel utama dalam fitobiotik, variabel ini merupakan materi utama dalam penyusunan morfologi maupun dalam proses faalinya. Masing-masing jenis nutrien baik yang bersifat makro maupun mikro mempunyai peran dalam serangkaian kehidupan fisiologi fitobiotik perairan. Unsur utama dalam kehidupan fitobiotik perairan adalah nitrogen, fosfor dan karbon (Szmant, 2002). Ketiganya merupakan komponen penyusun utama dalam makro molekul protein, karbohidrat dan lemak, yang juga merupakan komponen utama penyusun fitoplankton. Mekanisme kemanfaatan fisiologis berbagai jenis nutrien tersebut merupakan resultante dari aktivitas eksternal maupun sifat internal fitoplankton. Tiap jenis fitoplankton baik kualitasnya maupun kuantitasnya mempunyai sensitivitas yang berbeda terhadap kebutuhan nutriennya, dan
Szmant
(2002) menyebutnya sebagai faktor autogenic. Hal ini disebabkan karena ketersediaannya akan sangat menentukan tipologi molekularnya maupun koordinasi perbandingan antara satu unsur dengan unsur lain; keduanya merupakan faktor penting terhadap respon biotik. Sifat dinamik dari lingkungan eksternal menjadikan suatu fenomena suksesional yang sangat signifikan di beberapa perairan di dunia (D’elia dan Wiebe,1990; Done, 1992 dan Edinger et al., 1998) Zooxanthellae sebagai fitobiotik di lingkungan laut mempunyai sifat yang lebih spesifik dibandingkan dengan jenis fitoplankton lainnya; yaitu oleh sifatnya dalam sistem simbiosis dengan beberapa biota benthik. Dalam hal ini kemampuan allogenik maupun
autogeniknya lebih bersifat terbatas. Pada kondisi
endosimbiosis spesifikasi ini ditunjang oleh sifat stabilitas kondisi lingkungan di dalam tubuh inang. Sementara itu dalam keadaan bebas, kehifupan zooxanthellae akan mengikuti sifat kelenturan lingkungan eksternal. Oleh sebab itu, Cook et al (1997) mengemukakan bahwa status nutrisi bagi kebutuhan zooxanthellae dapat dijadikan sebagai indikator kesuburan terumbu karang. Zooxanthellae sebagaimana fitobiotik lainnya
sangat
memerlukan
dukungan ketersediaan nutrien yang cukup. Tingkat kebutuhannya akan nutrien sangat berbeda dengan lingkungan eksternal di kawasan perairan terumbu karang. Sorokin (1993) mengemukakan bahwa terdapat kontradiktif antara lingkungan ekternal terumbu karang dengan lingkungan internalnya dalam kompleks rangka
73 karang. Pada perairan oligotropik sebagaimana di lingkungan sekitar terumbu karang (D’elia dan Wiebe, 1990), tidak merupakan suatu hal luar biasa bagi basis nutrisi endosimbion. Sementara di lain pihak dinoflagellata ini memainkan peranan penting dalam penyediaan pakan dan fisiologi bagi inang (Muscatine dan Porter, 1977). Sebagai contoh, kebutuhan carbon secara fotosintetik, secara tipikal dalam bentuk gliserol dan molekul sederhana lain dapat ditranslokasi dari alga pada laju dan kapasitas volume sesuai dengan kebutuhan respirasi inang (Falkowski
et al., 1984; Muscatine, 1990; Muscatine et al., 1984). Tingkat
hubungan endosimbiosis ini cukup efektif mempertahankan masih cukup tingginya kadar nutrien itu sendiri di dalam kompleks mikro yaitu di rangka. Szmant (2002) mengemukakan bahwa tingkat turn over yang rendah di kawasan terumbu terjadi akibat sejalannya akumulasi nutrien dalam rangka dengan pertumbuhan karang itu sendiri. Lapointe (1997) mengemukakan bahwa lingkungan karang merupakan kawasan perairan oligotropik khususnya sediaan nitrogennya. Kadar nitrogen dari hasil perangkuman di beberapa perairan terumbu karang adalah 0,2–0,5 μM NH3-N dan 0,1–0,3 μM NO3-N. Kadar ini masih tercukupi hingga laju pertumbuhan tetap pada penelitian ini. Selanjutnya bila dibandingkan dengan dengan kadar nutrien internal karang, Lapointe (1997) menyatakan bahwa nilai tersebut jauh lebih tinggi dari lingkungan eksternalnya. Dikemukakan lebih lanjut bahwa regenerasi NH3-N dalam skeleton dapat mencapai 200% dari kebutuhan. Sorokin (1993) merangkum beberapa peneliti yang menginformasikan bahwa perbedaan kedalaman berpengaruh terhadap konsumsi nutrien khususnya orthofosfat. Di lagoon Wistari Atoll, konsumsi PO4-P pada kedalaman adalah sebesar 0,88 μg/l/hari dan 0,84 μg/l/hari masing-masing pada kedalaman 2 m dan 0,7 m. Sementara Lapointe (1997) menyebutkan bahwa orthofosfat di kawasan terumbu karang berkisar pada konsentrasi <0,3 μg/l. Hasil pengukuran orthofosfat pada kajian nutrien ini adalah berkisar antara 0,0032–0,0041 mg/l. Dengan kebutuhan yang sangat kecil akan orthofosfat tersebut maka dapat dinyatakan bahwa unsur ini bukan merupakan unsur pembatas bagi upaya penumbuhannya. Kasus tersebut nampaknya berlaku secara umum di kawasan terumbu karang kecuali akibat-akibat antropogenik (Nordemar et al., 2003). Akibatnya
74 model alir energi di kawasan terumbu karang didasarkan kepada fenomena alir materi energi dasar (Sorokin, 1993).
Selanjutnya dikemukakan bahwa
berdasarkan skema umum aliran energi di dalam ekosistem terumbu karang dapat dinyatakan bahwa energi netabolisme yang umum terjadi terutama disusun melalui pool detritus meskipun dukungan ke dalam ekosistem ini juga berasal dari perairan eksternalnya. Dengan adanya fenomena ini maka masukan energi lebih terkumpul dari tanaman bentik (macroalga). Ini mungkin yang menjadi penyebab mengapa efek invasi biotik pada lingkungan ekosistem terumbu karang lebih banyak terjadi melalui daerah dasar khususnya macro alga. Dalam hal ini porsi pendukungnya yang terbesar adalah simbiotik alga dan macroalga itu sendiri, yang dikemukakan oleh Sorokin (1993) tidak sebaik yang disumbang dari phytoplankton eksternal. Sebagai bahan perbandingan besaran energi metabolisme yang berputar serta fenomena pendukungnya terhadap berbagai tipe terumbu yang ada, yaitu fringing reef, barrier reef dan atoll maka akan dipergunakan 4 variabel tolok ukur, yaitu : 1. Bahan organik Tersuspensi yang dalam hal ini berperan sebagai pendukung sediaan bahan dasar metabolisme dalam ekosistem terumbu karang 2. Nutrien yang dalam hal ini lebih ditekankan kepada unsur nitrogen 3. Biomassa fitoplankton sebagai variabel produsen Bahan organik pada dasarnya dapat berbentuk terlarut dan tersuspensi. Pertimbangan penggunaan tersuspensi ini karena umumnya bahan demikian mempunyai bobot yang lebih besar sehingga dapat secara sendiri melakukan poses penenggelaman atau juga dimungkinkan membentuk flok sesama bahan organik atau bentukan flok bersama dengan material inorganik. Secara kimiawi kondisi ini sangat dimungkinkan terjadi karena umumnya materi organik mempunyai gugus bebas bersifat ionik sedangkan bahan inorganik mengandung gugus aktif kation, sehingga sangat mudah keduanya membentuk ikatan (Stumm dan Morgan, 1991). Di samping pendapat tersebut, Ferrer dan Szmant (1988) menyatakan 50% lebih skeleton karang merupakan struktur porous di sekelilingnya di-temukan berbagai jenis organisme dengan dukungan berbagai multifungsi (Tabel 10).
75 Tabel 10. Komposisi Komunitas Endolitik Dan Aktivitas Metaboliknya Dalam Lingkungan Konstituen Rangka Karang Hidup No 1
2
Organisme Makroorganisme a. Sponge b. Bivalve c. Sipunculid d. Polychaeta e. Barnacle Mikroorganisme a. Alga b. Fungi c. Bacteria
Peranan Oksigenasi, suplai nutrien dan bahan organik sisa feses dan ekskresi ammonium
Fotosintesis; produksi oksigen dan karbon orgnik Respirasi, penguraian bahan organik dan regenerasi nutrien
Organisme-organisme ini mengimport bahan organik serta unsur kimiawi lainnya ke dalam skeleton atau mengakumulasi di skeleton. Bahan organik serta proses derivasinya akan menjadi cadangan fungsional bagi zooxanthellae dan berkembangnya organisme-organisme tersebut. Nutrien yang dipergunakan dalam penelitian disini adalah nitrogen. Pertimbangan penggunaan nitrogen sebagai bahan evaluasi pembanding karena unsur ini merupakan unsur esensial di luar fosfor lebih dimungkinkan terjadi dibandingkan dengan fosfor. Menurut Harris (1976) bentuk nitrogen yang dimanfaatkan oleh fitobiotik dapat beragam, sedangkan fosfor hanya dalam bentuk orthofosfat. Di samping itu penggunaan unsur nitrogen bagi kriteria sediaan nutrien di karang di dasarkan kepada aspek bahwa buangan limbah hasil metabolisme atau limbah terlarut umumnya merupakan bahan organik, sementara itu menurut Connell dan Miller (1995) bahwa 80% dari bahan ini tersusun oleh campuran nitrogen. Yang kedua adalah bahwa fosfor sebagai nutrien esensial tidak diperhitungkan karena unsur ini memang sulit tersedia dalam bentuk orthofosfat. Hal ini disebabkan karena unsur fosfat dalam bentuk orthofosfat pada lingkungan karang sangat mudah untuk terikat oleh ion Ca2+ yang memang keberadaannya melimpah di kawasan ini untuk kemudian membentuk hidroksi apatit yang sulit larut dalam perairan (Stum dan Morgan, 1991). Fenomena pertumbuhan zooxanthellae secara internal diperkirakan mempunyai fenomena pertumbuhan sebagaimana kondisi laboratorium selama batasan-batasan allogeniknya dapat terpenuhi. Ini didasarkan kepada telusur yang
76 dilakukan oleh Hoegh-Guldberg and Smith, 1989; Porter et al., 1989; Fitt et al., 1993; Gleason, 1993, pada kajian pemutihan parsial karang. Pada kondisi demikian selama dapat terpeliharanya atau dipenuhinya kebutuhan allogenik maka zooxanthellae dapat berkembang dengan cepat. Hal yang sama juga ditemukan pada fenomena kajian ketahanan karang pada penelitian ini. Dalam penelitian ini yang dilakukan secara bertahap diperoleh keterangan bahwa zooxanthellae dapat berkembang dengan baik dalam lingkup laboratorium. Hal serupa diperoleh oleh Taylor (1978) yang mengemukakan bahwa zooxanthellae dapat mengalami peningkatan dengan penambahan ammonium. Tetapi zooxanthellae tidak dapat tumbuh hanya dengan penambahan PO4-P (Stambler et al., 1991). McGuire (1997) mengemukakan bahwa penambahan 5 hingga 10 μM ammonium selama 8 minggu belum mampu mempengaruhi perkembangan zooxanthellae serta tidak memberikan pengaruh negatif bagi penurunan pertumbuhannya. Berkenaan dengan hal tersebut, hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa dalam skala laboratorium terjadi suatu proses penurunan NO3-N sejalan dengan permintaannya bagi pertumbuhan zooxanthellae. Perubahan dua variabel tersebut adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21. Pemiskinan NO3-N dan Perkembangan Zooxanthellae Dalam hal ini persediaan kadar NO3-N sebesar <0.01 mg/l kurang mampu menopang perkembangan zooxanthellae. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh Atkinson (1988) bahwa persediaan ammonium media sebesar kurang dari 15 μM tidak mampu meningkatkan perkembangan zooxanthellae. Oleh
77 karenanya, pada masa perkembangan massal dilakukan penambahan nitrat hingga mempunyai kadar 0,0455 mg/l pada hari ke 16, yaitu pada saat terlampauinya pertumbuhan eksponensial zooxanthellae. Terpeliharanya kadar tersebut, mampu mempertahankan perkembangan zooxanthellae antar clade yang dicobakan (Gambar 22).
Gambar 22.
Respon Penambahan NO3-N terhadap upaya Mempertahankan Perkembangan Zooxanthellae
Variasi clade pada zooxanthellae yang telah dibuktikan keberadaannya serta dikaitkan dengan kebutuhan inang terhadap simbiosisnya pada jaringan polip merupakan konsekuensi kebutuhan faali variasi clade terhadap keragaman lingkungan eksternalnya. Menurut Van Oppen et al., (2005) dikemukakan bahwa karang di terumbu karang Aneonantik dan Karibia selalu mengandung zooxanthellae clade A dan mempunyai variasi clade B dan C sebagai pembeda. Sementara karang di Kawasan Pasifik selalu mempunyai variasi zooxanthellae clade C. Fenomena ini diperkirakan mempunyai keterkaitan dengan sifat pola distribusi aliran laut. Pada dua lautan pertama mempunyai ciri sirkulasi spesifik yang mempunyai pengaruh terhadap distribusi karang maupun zooxanthellae secara relatif tertutup. Pengaruh glasial dan hemispere utara merupakan faktor yang menyebabkan adaptasi karang maupun co-dominansi clade zooxanthellae di kawasan ini. Sementara di kawasan Pasifik pengaruh bervariasinya lingkungan
78 tropis sangat mempengaruhi adaptasi karang selama periode tersebut, sehingga zooxanthellae clade C tersebut menjadi dominan. Di lain pihak Pochon et al., (2001) mempunyai pendapat lain bahwa populasi simbion mengikuti pola log normal Fisher dan jarang mengikuti sebaran inangnya (species karang) secara spesifik. Oleh karenanya Coffroth dan Santos (2005) menyebutkan bahwa transduksi zooxanthellae terhadap inangnya dapat terjadi melalui dua kondisi yang disebut close system (sistem tertutup) yaitu suatu kondisi terjadinya hubungan inang-simbion yang terjadi melalui tautan sejak planulanya (bersifat endemik) serta open system (sistem terbuka) yaitu suatu kondisi ditemukannya ragam clade pada suatu inang berasal dari transduksinya dengan lingkungan sekitar sebagaimana dikemukakan oleh Pochon et al (2001). Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Iglesias-Preto dan Trench (1997); Rowan et al., (1997); Warner et al., (1996) yang menyatakan bahwa tipe Symbiodinium berubah-ubah dalam responsnya terhadap perubahan lingkungan. Dalam hal sebaran clade zooxanthellae pada berbagai sumber inang terdapat banyak ragam variasi yang telah ditemukan. Berbagai studi tersebut telah mendemonstrasikan bahwa identitas clade tersebut selalu berkorelasi dengan fungsi fisiologis (LaJeunesse et al., 2003; Tchernov et al., 2004; Savage et al., 2002). Hal tersebut menunjukkan bahwa zooxanthellae mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam membentuk hubungan simbiosis dengan inangnya yang tidak hanya terbatas pada karang semata, akan tetapi dengan beberapa jenis biota laut lainnya seperti sea anemon maupun tridacna. Hal terakhir telah diperlihatkan dari hasil analisis DNA pada penelitian ini. Fleksibilitas transduksi zooxanthellae pada jaringan polip karang tetap bergantung kepada rentang perubahan kondisi lingkungan eksternal. RodriquezLaretty et al, (2001) dalam penelitiannya di bagian utara Australia melaporkan bahwa analisis DNA Montipora digitata yang diuji dalam suatu periode tertentu sebelumnya diduga merupakan jenis karang yang endemik dengan zooxanthellae clade C. Namun demikian, dalam monitoring selanjutnya ternyata terjadi proses transduksi dengan clade lain dalam waktu yang 1 bulan. Transduksi ini konsisten dalam perkembangan lanjut dari karang tersebut. Oleh karenanya, maka tingkat
79 fluktuasi
dari
variabilitas
lingkungan
sangat
menentukan
konsistensi
perkembangan zooxanthellae dalam jaringan polip karang. Dari serangkaian penelitian yang telah dilakukan khususnya terhadap isolasi zooxanthellae dari berbagai jenis biota, mengindikasikan bahwa terdapat kesamaan clade antar inang dengan penekanan clade A dan B spesifik hanya ditemukan pada Tridacna dan sea anemon. Jenis ini mempunyai kemampuan yang kuat terhadap tekanan eksternalnya mengingat pemisahannya diambil dari lingkungan dengan kedalaman yang rendah yaitu 3 meter. Namun demikian, clade ini juga ditemukan pada Favites dan Goniastrea aspera yang diperoleh pada kedalaman 10 meter, dimana tekanan allogeniknya sudah semakin menurun. Hasil penumbuhan massal pada kondisi lingkungan binaan memperlihatkan pola pertumbuhan yang optimal dari masing-masing clade. Dalam proses penumbuhan ini telah diupayakan mempergunakan pendekatan penekanan lingkungan eksternalnya, sehingga diperoleh homogenitas yang cukup tinggi. Dengan dapat ditekannya pengaruh eksternal, maka konsistensi kegiatan faali dari zooxanthellae biakan dapat tumbuh dengan cukup baik. Ini merupakan suatu bukti bahwa identitas clade tersebut selalu berkorelasi dengan fungsi fisiologis (LaJeunesse et al., 2003; Tchernov et al., 2004; Savage et al., 2002). Dalam hal ini pemeliharaan unsur-unsur kritis bagi fitobiotik seperti temperatur, cahaya dan nutrien (Harris, 1976) akan dapat mengoptimalkan fungsi fisiologisnya untuk dapat tumbuh dengan optimum. Simpulan Hasil percobaan tentang uji keragaman genetik zooxanthellae dari beberapa sumber inang dan kajian pertumbuhannya di lingkungan binaan sebagaimana diuraikan di atas adalah : (a) Cahaya yang mendukung penumbuhan zooxanthellae berjenjang hingga massal adalah cahaya hijau dengan kekuatan cahaya 84,56 sampai dengan 102,78 µmol quanta m-2 dt-1, kisaran temperatur yang mendukung adalah antara 20oC hingga 23oC dengan penambahan nutrien awal 200 µM NaNO3; (b) Variasi keragaman clade dari sumber inang Sea anemon, Tridacna, Acropora, Favites dan Goniastrea adalah clade A, clade B dan clade C, dengan sebaran
80 Sea anemon mengandung zooxanthellae clade A (80%) dan clade B (20%), Tridacna mengandung zooxanthellae clade A (80%) dan clade B (20%), Acropora mengandung zooxanthellae clade A (60%), clade B (20%) dan clade C (20%), Favites mengandung zooxanthellae clade A (20%) dan clade C (80%) serta Goniastrea mengandung zooxanthellae clade A (60%) dan clade B (40%); (c) Pada kondisi lingkungan yang terkendali, maka potensi pertumbuhan puncak zooxanthellae clade A, B dan C dapat dipertahankan dengan penambahan ulang NO3-N sebesar 0,0445 mg/l dalam selang waktu 16 hari.
81 Daftar Pustaka Atkinson, M.J. 1988. Are coral reefs nutrient limited? In J.H. Choat (Ed), Proceedings of the 6th International Coral Reefs Symposium I:157-166. James Cook Univ. Press., Townsville Australia. Baker, A.C. 2003. Flexibility and specificity in coral – algal symbiosis : diversity, ecology and biogeography of Symbiodinium. Annu Rev. Ecol. Evol. Syst. 34:661-689. Baker, A.C; R. Rowan, 1997. Diversity of symbiotic dinoflagellates (zooxanthellae) in scleractinian corals of the Caribbean and eastern Pacific. Proc. 8th Int. Coral Reef Symp., Panama. 2: 1301-1306. Barneah, O; V.M. Weis. S. Perez; Y. Beneyahu. 2004. Diversity of Dinoflagellate Symbiont in Red Sea Soft Coral : Mode of Symbiont Acquasition Matters. Mar. Biol. Prog Ser 275 : 89-95. Barnes, D.J; B.E. Chalker. 1990. Calcification and photosynthesis in reef-building corals and algae. In Z. Dubinsky (Ed) Ecosystems of the World. Vol. 25 Coral Reefs. New York : Elsevier, pp 109-131. Berner, T; I. Izhaki. 1994. Effect of exogenous nitrogen levels on ultrastructure of zooxanthellae from the hermatypic coral Pocillopora damicornis. Pac. Sci. 48:254-262. Brody, S. 1945. Bioenergetics and Growth. Reinhold Publication Corp. New York. Brown, B.E; Suharsono; 1990. Damage and recovery of coral reefs affected by El Nino related seawater warming in the Thousand Islands, Indonesia. Coral Reefs 8:163-70. Burn, T.P. 1985; Hard coral distribution and cold water disturbances in South Florida : Variation with depth and location. Coral Reefs 4:117-24 Campbell, J.W; T. Aarup. 1989. Photosynthetically available radiation at high latitude. Limnol. Oceanogr. 34 : 1490-1499. Chen, C.A; K.K. Lam; Y. Nakano; A.S. Tsai. 2003. A stable association of the stress-tolerant zooxanthellae Symbiodinium Clade D, with the lowtemperature-tolerant coral Oulastrea crispata (scleractinia : Faviidae) in subtropical non-reefal coral communities. Zoological Studies 42 (4) :540550. Coffroth, M; S. Santos, 2005. Genetic diversity of symbiotic dinoflagellates in the genus Symbiodinium. Protist, 156:19-34. Coles, S.L; Y.H. Fadlallah. 1991. Reef coral survival dan mortality at low temperatures in arabian Gulf : a new species-specific lower temperature limits. Coral Reefs 9 : 231-7. Coles, S.L; C. Jokiel.1976. Synergistic effects of temperature, salinity and respiration in hermatypic corals. Mar. Biol. 49:187-195.
82 Colley, N.J; R.K. Trench. 1983. Selectivity in phagocytosis and persistence of symbiotic algae by the scyphistoma stage of jellyfish Cassiopeia xamachana. Proc. R. Soc. Lond. Ser. B. 219:61-82 Commbs, J; D.O. Hall, 1982. Techniques in Bioproductivity and photosynthesis. Pergamon. Press. Oxford. Connell, D.W; G.J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Dialih bahasakan oleh Yanti Kastoer. UI. Prees Jakarta. Cook, C.B; A. Logan; J. Ward; B. Luckhurst; C.J. Berg Jr. 1990. Elevated Temperatures and Bleaching on a High Latitude Coral Reef : The 1988 Bermuda Event. Coral Reefs 9:45-49. Croft, M. T., A. D. Lawrence, E. Raux-Deery, M. J. Warren and A. G. Smith. 2005. Algae acquire vitamin B12 through a symbiotic relationship with bacteria. Nature 438: 90–93. Davies, P.S. 1993. Endosymbiosis in marine cnidarians. In D.M. John, S.J. Hawkins and J.H. Price (Eds). Plant-animal interactions in the marine benthos. Oxford, UK Clarendon Press, pp 551-540. Davis, G.E. 1982. A century of natural change in coral distribution in the dry Tortugas : a comparison of reef map from 1881 and 1976. Bull. Mar. Sci. 32 : 233-258. D’elia, C.F; W.J Wiebe,. 1990. Biogeochemical Nutrient Cycle in coral reef ecosystems. In. Dubinsky (Ed.). Ecosystem in the World 23. Elsevier, Amsterdam. Done, T.J. 1992. Constancy and change in some Great Barrier Reef coral communities Dubinsky, Z.; N. Stambler, M. Ben-Zion; R. McClosky, L. Muscatine and P.G. Falkowski. 1990. The effect of External Nutient Resources on the Optical Properties and Photosyntetic efficiency of Stylophora pistillata. Proc. of the Royal Society London Series B 239:231246. Dubinsky, Z.1990. Coral Reefs, ecosystem in the world. Elsevier. Amsterdam Edinger, E.H; J. Jompa; GV Limmon; W Widjatmoko; MJ Risk. 1998. Reef degradation and coral biodiversity in Indonesia : Effects of land-based pollution, destructive fishing practices and changes over time. Mar. Poll. Bull. 36 (8) : 617-630. Edward. A. 1983. Phytoplankton. The Intitute of Biology. London. Falkowski , P.G; Z Dubinsky; L. Muscatine and J.W Porter. 1984. Light and the Bioenergetic of a Symbiotic Coral. Bioscience 34 : 705 – 709. Ferrer, L.M; Szmant, A.M. 1988. Nutrient Regeneration by the Endolitic Community in Coral Skeletons. 6th Int. Coral Reef Symp. In Press. Ferrier-Pages, C; J.P. Gattuso; S. Dallot; J. Jaubert. 2000. Effect of Nutrient Enrichment on Growth ang Photosyntesis of Zooxanthellae coral Stylophora pistillata. Coral Reefs 19 : 303-113.
83 Fitt, W.K; H.J. Spero; J. Halas; M.W. White; J.W. Porter. 1993. Recovery of the Coral Montastrea annularis in the Florida Keys after 1987 Caribbean Bleaching Event. Coral Reefs 12:57-64. Fogg, G.E. 1971. Algal cultures and phytoplankton ecology. University of Wisconsin Press. Madison. Gleason, M.G. 1993. Effect of Disturbance on Coral Communities : Bleaching in Moorea, French Polynesia. Coral Reefs 12 : 193-201 Glynn, P.W. 1996. Coral Reef Bleaching: Fact, Hypotheses and Implications, Global Change Biology 2 : 495-509. Goreau, T. T. MacClanahan, R. Hayes, R and A.Strong. 2000. Conservation of Coral Reefs After the 1998 Global Bleaching Event. Conservation Biology 14: 5-15. Guillard, R.R.L; J.H. Ryther. 1962. Studies of marine planktonic diatoms. I. Cycotella nana hustedl, and Detonula confervacea (cleve) gran. Can. J.Microbiol. 8:229-39 Hall, D.O; K.K. Rao. 1987. Photosynthesis. 4th eds. Cambridge Univ. Press. Hallock, P. 2001. Coral reefs, carbonate sediments, nutrients and global change. In Stanly Jr. G.D. (Ed) The History and Sedimentology of Ancient Reef Systems. Springer-Verlag. New York, pp 387-427. Hapette, A.M and S.A. Poulet. 1990. Variation of vitamin C in some common species of marine plankton. Mar. Ecol. Prog. Ser. 64: 69-79, Harris, I. 1976. The Physiological Ecology of Phytoplankton. Blackwell Sci. Publ. Oxford. Hoegh-Guldberg, O. 1994. Population Dynamics of Symbiotic Zooxanthellae in the Coral Pocillophora damicornis Exposed to Elevated Ammonium Concentrations. Pac. Sci. 48:263-272. Hoegh-Guldberg, O.; G.J. Smith. 1989. Light, Salinity and Temperature and the Population density, metabolism and export of Zooxanthellae from Stylophora pistillata and Seriatophora hystrix. J. Exp Mar Biol Ecol 129 ; 279-303 Hoegh-Guldberg, O. M. Takabayashi; G. Moreno. 1997. The Impact of long-term Nutrient Enrichment on Coral Calsification and Growth. In Lessios, H.A. and MacIntyre (Eds). Procceding of the 8th International Coral Reef Symp. Vol. I Smithsonian Tropical Reseacrh Institute Balboa Panama, pp 861-866. Iglesias-Prieto, R; R.K. Trench. 1997. Acclimation and adaptation to irradiance in symbiotic dinoflagellates. II Response of chlorophyll 2-protein complexes to different photon-flux densities. Mar. Biol. 130: 23–33 Iglesias-Prieto, R; R.K. Trench. 1997. Photoadaptation, photoacclimation and Niche Diversification in Invertebrate-Dinoflagellate Symbioses. Proc. 8th Int. Coral Reef Sym. 2:1319-1324.
84 Klein R.M; D.T. Klein. 1970. Research methods in plant science. American Mus Nat Hist Press. Garden City, NY. 756 pp LaJeunesse, T.C. 2001. Investigating the Biodiversity, Ecology and Phylogeny of Endosymbiotic Dinoflagellates in the Genus Symbiodinium using the Internal Transcribed Spencer Region : in Search of Species level marker. J. Phycol. 37 : 866-880. LaJeunesse, T.C; W. Loh; R. vanWoesik; O. Hoegh-Guldberg; G. Schmidt; W.K. Fitt, 2003. Low symbionts diversity in southern Great Barrier Reef corals, relative to those in the Caribbean. Limnol. Oceanogr., 48(5):20462054. Lapointe, B.E. 1997. Nutrient Thresholds for Bottom-up Control of Microalgal Blooms on Coral Reefs in Jamaica and Southeast Florida. Limnol. Oceanogr. 42 : 1119-1131. Lenhoff, H.M. 1974. On the Mechanism of Action and Evolution of Receptors Associated with Feeding and Digestion. In L. Muscatine and H.M. Lenhoff (Eds). Coelenterata Biology : Riviews and New Perspectives. Academic Press. New York. Lobban, C.S; M. Schefter; A.G.B Simposon; X Pochon; J Pawlowski ; W Foissner. 2002. Maristentor dinoferus n gen, n sp., a giant heterotrich cilitate (Spirotrichea : Heterotrichida) with zooxanthellae, from coral reefs on Guam, Mariana Islands. Mar. Biol. 141 : 411-423. Mariscal, R.N. 1974. Nematocysts. In L. Muscatine and H.M. Lenhoff (Eds). Coelenterata Biology : Riviews and New Perspectives. Academic Press. New York. Marubini, F; P.S. Davies. 1996. Nitrat Increase Zooxanthellae Population Density and reduces Skeletonogenesis in Corals. Mar. Biol. 127 ; 319-328. McGuire, M.P. 1997. The Biology of Coral Porites astreoides : Reproduction, Larval Settlement Behavior and Responses to Ammonium Enrichment. Ph.D. Dissertation, University of Miami, miami Florida. Meeks, J.C. 1974. Chlorophylls. In : Algal physiology and Biochemistry (Ed. By Stewart W.D.P). Botanical Monographs Vol. 10. Blackwell Sci. Publ. Muller-Parker G; C.F. D’Elia. 1997. Interactions between corals and their symbiotic algae. In Birkeland C (Ed) Life and Death of Coral Reefs. Chapman & Hall, New York, pp : 96-113. Muscatine, L. 1974. Endosymbiosis of Cnidarians and Algae. In L. Muscatine and H.M. Lenhoff (Eds). Coelenterata Biology : Riviews and New Perspectives. Academic Press. New York. Muscatine, L. 1990. The Role of Symbiotic Algae in Carbon and Energy Flux in Reef Corals. Coral Reefs 25, 1-29. Muscatine, L; J.W. Porter. 1977. Reef corals : mutualistic symbioses adapted to nutrient poor environmnts. BioScience 27 : 454-460.
85 Muscatine, L, P.G. Falkowski; J.W. Porter; Z Dubinski. 1984. Fate of photosynthetic fixed carbon in light and shaded adapted colonies of the symbiotic coral Stylophorapistillata. Proceedings of the Royal Society, London B. 222: 181–202. Nomura, K. 1986. Stony corals of Kuroshima which did not recover : Death of stony corals due to low water temperature. Mar. Pavilion 15(7), 3-4. Nordemar, J; M. Nystrom; R. Dizon; 2003. Effect of elevated seawater temperature and nitrat enrichment on the branching coral Porites cylindrica in the absence of particular food. Mar. Biol. 142 : 669-672) Norton, J.H; M.S. Shepherd; H.M Long ; W.K. Fitt. 1992. The zooxanthllae tubular system in the giant clam. Biol Bull 183 : 503-506. Page, D.S. 1990. Principles of Biological Chemistry. 2eds. Willard Grant Press. New York. Parrish, J.A; R.R. Anderson; F. Urbach; D. Pitts. 1978. UVA: Biological effects of ultraviolet radiation with emphasis on human responses to long-wave ultraviolet. Plenum Press, NY. 262 pp. Parson, T.R; M. Takahashi; B. Hargrave. 1984. Biological Oceanographic Processes. 3th edt. Pergamon Press. Oxford. Pochon, X; J. Pawlowski; L. Zaninetti; R. Rowan, 2001. High genetic diversity and relative specificity among Symbiodinium-like endosymbiotic dinoflagellates in soritid foraminiferans. Mar. Biol., 139:1069-1078. Porter, J.W; W.K. Fitt: H.J. Spero; C.S. Rogers; M.W. White. 1989. Bleaching in coral reefs : Physiological and stable isotope response. Proc. Nat. Acad. Sci. U.S.A. 86:9342-9346. Radionov, D.A., A.G. Vitreschak, A.A. Moronov and M.S. Gelfand. 2003. Comparative genomics of the vitamin B12 metabolism and regulation in prokaryotes. J. Biol. Chem. 278:41148–41159. River,T; E. Macri and A. Miller, 2002. The effects of elevated UV-B radiation on productivity and bleaching of zooxanthellae in the coral Montastrea faveolata. www.ac.wwu.edu/ ~gisele/pigments2. Dikunjungi tanggal 2 Maret 2003. Rodriquez-Laretty M; W. Loh; D. Carter; O. Hoegh-Guldberg. 2001. Latitudinal variability in simbiont specifity within the widespread scleractinian coral Plesiatrea versipora. Mar. Biol. 138 : 1176-1181. Rosenthal, H.T; S. Zielke; R. Owen; L. Buxton; B. Boeing; R. Bhabooli; J. Archer. 2005. Increased zooxanthellae nitric oxide synthase activity is associated with coral bleaching. Biol. Bull. 208: 3–6. Rowan, R. 1998. Diversity and Ecology of Zooxanthellae on Coral Reefs. J. Phycol. 34 : 407-417 Rowan, R. 2004. Thermal adaptations in reef coral symbiont. Nature 430 : 742.
86 Rowan, R; D.A. Powers. 1991. Molecular genetic identification of zymbiotic dinoflagellates (zooxanthellae). Mar. Ecol Prog. Series. 71 : 65-73 Rowan R; N. Knowlton. 1995. Intraspecific diversity and ecological zonation in coral-algal symbiosis. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 92: 2850-2853. Rowan, R. N. Knowlton, A. Baker and J. Jara. 1997. Landscape Ecology of Algal Symbionts Creates Variation in Episodes of Coral Bleaching. Nature 388:265-269. Santos, S; D. Taylor; M. Coffroth, 2001. Genetic comparisons of freshly isolated versus cultured symbiotic dinoflagellates: Implications to extrapolating to the intact symbiosis. J. Phycol., 37:900-912. Savage, A.M; R.H. Trapido; A.E. Douglas. 2002. On the functional significance of molecular variation in Symbiodinium, the symbiotic algae of Cnidaria : photosynthetic response to irradiance. Mar. Ecol. Prog. Ser. 244 : 27 – 37. Schoenberg, D.A; R.K. Trench.1980. Genetic variation in Symbiodinium (=Gymnodinium) microadriaticum Freudenthal, and Specificity with Marine Invertebrates. III. Specificity and Infectivity of Symbodinium microadriaticum. Proc. R. Soc. Lond. B. 207 : 445-460. Science-Daily. 2007. Vitamin C Is Essential For Plant Growth. (http://www. sciencedaily.com/releases/2007/09/070923205844.htm. Dikunjungi tanggal 6 April 2011. Shiah, F.K., G.C. Gong and K.K. Liu. 1996. Light Effect on Phytoplankton Photosyntesis Performance in the Southern East China Sea North of Taiwan. Bot.Bull.Acad.Sin. 37 : 133-140. Sorokin, Y.I. 1993. Coral Reef Ecology. Springer-Verlag. New York. Stambler, N; C.E.F. Vago. 1994. Effect of ammonium enrichment on respiration, zooplankton densities, and pigment concentrations in two species of Hawaiian corals. Pac. Sci. 48: 284-290. Stambler, N; N. Popper, Z. Dubinsky; J. Stimson. 1991. Effect of Nutrient Enrichment and Water Motion on the Coral Pocillophora damicornis. Science 45 : 299 – 307. Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1979. Principles and Procedures of Statistics. 2ndEd. Mc Graw-Hill. New York. Stimson, J; R.A. Kinzie, 1991; The Temporal Pattern and Rate of Release of Zooxanthellae from the reef Coral Pocillophora damicornis (Linnaeus) under Nitrogen Enrichment and Control Conditions. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 153 :63-74. Stumm, W; J.J. Morgan, 1991. Aquatic chemistry : an introduction emphasizing chemical equilibria in natural waters. John Wiley and Sons. New York. Swift, D.G. 1980. Vitamins and Phytoplankton Gowth. In I. Morris (Ed). The Physiological Ecology of Phytoplankton. Blackwell Sci. Pub. London.
87 Szmant, A.M. 2002. Nutrient enrichment on coral reefs : Is it a major cause of coral reef decline?. Estuaries 25 : 743-766. Szmant, A; N.J. Gassman. 1990. The effects of prolonged bleaching on the tissue biomass and reproduction of the reef coral Montastrea annularis. Coral Reefs 8: 217-224 Taff, C.A. 1988. Manajemen Transportasi dan Distribusi Fisis. Penerbit Erlangga Jakarta. Taylor, D.L.1974. Symbiotic Marine Algae : Taxonomy and Biology Fitness. Symbiosis in the Sea. Pp. 245-258. Tchernov, D; M. Gorbunov; C. de Vargas; S. Yadav; A. Milligan; M. Hoggblom; P. Falkowski, 2004. Membrane lipids of symbiotic algae are diagnostic of sensitivity to thermal bleaching in corals. Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 101, 37: 13531-13535. Thurman, H.V. and H.H. Webber. 1984. Marine Biology. Scott, Foresman and Company. London. Tom Beer. 1997. Environmental Oceanography. CRC Press. New York. Trench, R.K. 1993. Micro-algal-invertebrate symbioses : a riview. Endocyto Cell Res. 9 : 135 – 175. Van Oppen, M; A. Mahiny; T. Done, 2005. Geographical distribution of zooxanthella types of three coral species of the Great Barrier Reef sampled after the 2002 bleaching events. Coral Reefs, in press. Veron, J.E.N. 1995. Coral in space and time. Australian Institute of Marine Science Cape Ferguson, Townsville, Quensland. Wakefield, T.S; S.C. Kempf. 2001. Development of host and symbiont-specific monoclonal antibodies and confirmation of the origin of the symbio-some membrane in a cnidarian-dinoflagellate symbiosis. Biol Bull. 200 : 127143. Warner, M.F; W.K. Fitt; G.W. Schmidt. 1996. Damage of Photosystem II in Symbiotic Dinoflagellates a Determinant of Coral Bleaching. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 96 : 8007-8012. Wilkinson,C.R. 1999. Global and local threats to coral reef functioning and existences : Review and predictions. Mar. Fresw. Res 50: 867-878 Williams, E.H; L. Bunkley-Williams. 1990. The world wide coral reef bleaching cycle and related sources of coral mortality. Atoll Res. Bull. 3335 : 1-71. Yacobovitch, T; Y. Benayahu; V.M. Weis. 2004. Motility of zooxanthellae isolated from Red Sea soft coral Heteroxenia fuscescens (Cnidaria). J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 298:35-48. Yentsch, C.S. 1980. Ligth Attenuation and Phytoplankton Photosyntesis. In I. Morris (Ed). The Physiological Ecology of Phytoplankton. Blackwell Sci. Pub. London.
88 Yuwono, 1994. Pengaruh Berbagai Taraf Perbedaan N dan P terhadap Pertumbuhan Nitschia di Laboratorium. Fakultas Perikanan Universitas Pekalongan. Zamani, N.P. 1995. Effects of environmental stress on cell division and other cellular parameters of zooxanthellae in the tropical symbiotic anemone Heteractis malu, Huddon and Shackleton. Ph.D. Thesis in tropical coastal management the Univ. of Newcastle upon tyne, UK., 261p
UJI DEGRADASI JARINGAN POLIP Goniastrea aspera PADA TERAPAN BERBAGAI TARAF TEMPERATUR dan KETAHANANNYA PASCA PEMUTIHAN Abstrak Proses pemulihan karang akibat pemutihan tidak saja bergantung kepada seberapa jauh intensitas dan kontinyuitas faktor pengaruh akan tetapi juga kondisi seluler dari polip karang itu sendiri. Keduanya merupakan indikasi yang sangat penting untuk menjawab permasalahan penurunan yang berlanjut atau sebaliknya potensi pulih (recovery) dari karang yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dalam kaitannya dengan proses pemutihan perlu dipahami secara internal pada polip karang khususnya mengenai pola peluluhan zooxanthellae berserta perangkat perubahan jaringannya. Mengingat bahwa temperatur merupakan salah satu potensi penyebab degradasi secara global, maka peubah ini dipergunakan sebagai variabel acuan dalam menentukan pola degradasi polip karang. Kajian uji degradasi jaringan polip Goniastrea aspera pada terapan berbagai taraf temperatur dan ketahannya pasca pemutihan dilakukan pada media binaan di lingkungan Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai (LPWP) FPIK-UNDIP Jepara dan lingkungan perairan terumbu karang selatan Pulau Panjang Jepara pada April sampai dengan September 2006. Perlakuan yang diterapkan adalah dengan memberikan kejut temperatur kepada biota uji Goniastrea aspera dalam 4 taraf yaitu 40oC, 36oC, 32oC dan 28oC. Kajian ini bertujuan untuk : (a) Mengkaji efek temperatur terhadap perubahan kadar zooxanthellae pada jaringan polip karang; (b) Mengkaji efek temperatur terhadap proses perubahan jaringan polip karang dan (c) Mengevaluasi kemampuan pulih karang pasca pemutihan Hasil yang menonjol dari kajian tahan ini adalah : (a) Temperatur optimum bagi zooxanthellae yang masih dapat bertahan pada jaringan polip karang Goniastrea aspera adalah 36oC selama 6 jam, (b) Di atas temperatur optimum terjadi proses degradasi jaringan polip, pelepasan zooxanthellae dan kematian karang, (c) Pemulihan biota uji hanya dapat terjadi pada kondisi pemutihan parsial (d) Pemulihan karang ditandai dengan terjadinya proses regulasi zooxanthellae di dalam jaringan polip karang dan mencapai penataan sempurna setelah minggu ke 12. Abstract Coral recovery from bleaching not only depend on intensity and continyuity of efect factors but also depend on celluler conditon on coral itself. Both efect are the most indicator to anwer decrease problem of coral quality and recovery potensial of coral. Reletionship between coral recovery and bleaching can be studied from losses procces of zooxanthellae from polyp and changes of histology profile. Main stressor applied in this study is temperature. Research on degradation test of polyp histology by temperatur stressor and potensial recovery post bleaching do in artificial media at Coastal
90 Ecodevelopment Laboratory of FPIK-UNDIP Jepara and natural waters of coral reef ecosystem in South Pulau Panjang Jepara at April to September 2006. Research applied 4 levels temperatur are 40oC, 36oC, 32oC dan 28oC and are propose : (a) investigate effect temperature concerning change content zooxanthellae density in the polyp histologies, (b) investigate effect temperature on process change of polyp histologies and (c) the evaluation ability of coral after bleaching. Result of this research are : (a) Optimum temperatur for resistent of zooxanthellae in the polyp histologist of Goniastrea aspera is 36oC until 6 hours, (b) More than optimal temperature and incubation time efected on the histologist degradation of the polyp of Goniastrea aspera, zooxanthellae release and coral death, (c) Recovery organism (Goniastrea aspera) examine on the condition partial bleaching and (d) Coral recovery marked with zooxanthellae regulation process in the polyp hystologies.and to achieve perfect systematic after week 12th.
Pendahuluan Wilayah perairan di kepulauan Indonesia dan Filipina merupakan pusat keragaman terumbu karang dunia. Pada kawasan ini dijumpai sekitar 600 spesies karang yang sudah teridentifikasi. Selain itu, wilayah Indonesia-Filipina diperkirakan sebagai pusat sebaran spesies karang di dunia (Veron, 1995). Pada saat ini, kondisi terumbu karang di wilayah Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Menurut penelitian P3O-LIPI yang dilakukan pada tahun 1996 dinyatakan bahwa 39,5% terumbu karang di Indonesia dalam keadaan rusak, 33,5% dalam keadaan sedang, 21,7% dalam keadaan baik dan hanya 5,3% dalam kondisi sangat baik (COREMAP, 2001). Menurut Westmacott et al. (2000), buruknya kondisi terumbu karang di Wilayah Indonesia-Filipina, selain akibat perbuatan manusia juga karena bencana alam seperti pemutihan karang. Menurut Burke et al., (2002) ekosistem terumbu karang di wilayah Asia Tenggara merupakan ekosistem terumbu karang yang terancam di dunia. Besarnya ketergantungan manusia terhadap sumberdaya laut di seluruh Asia Tenggara telah menyebabkan eksploitasi yang berlebih sehingga banyak terumbu karang yang terdegradasi, khususnya di dekat pusat kepadatan penduduk. Sekitar 70% penduduk di kawasan ini hidup di radius 50 km dari kawasan pesisir. Sebaran penduduk ini mengakibatkan adanya ancaman-ancaman terhadap terumbu karang; termasuk penangkapan berlebihan (over fishing), penangkapan ikan dengan metode yang merusak, sedimentasi, pencemaran dan pembangunan
91 pesisir. Selain itu meningkat-nya temperatur global (global warming) juga telah menyebabkan sumberdaya yang sangat penting ini dalam keadaan bahaya. Pengaruh temperatur air laut global yang meningkat merupakan penyebab utama dari menurunnya kualitas terumbu karang melalui proses pemutihan. Dalam jangka pendek, pengaruh tekanan peningkatan temperatur air laut terhadap karang menyangkut multifungsi dari fotosistem algae (Iglesias-Pricto et al., 1992; Salih et al., 1998; Warner et al., 1996; Jones et al., 2000; Fitt et al., 2001) dalam bentuk menurunkan produksi primer (Porter et al., 1999; Nystrom et al., 2001); mengubah respirasi (Porter et al., 1999; Nystrom et al., 2001; Fitt et al., 2001) yang mengakibatkan pemutihan karang (Warner et al., 1996; Jones et al., 2000; Fitt et al., 2001), menurunkan fekunditas (Szmant dan Gassman, 1990) dan kalsifikasi (Atkinson et al., 1994). pemutihan
karang
akibat
Dalam jangka waktu lama pengaruh
peningkatan
temperatur
dapat
menyebabkan
berkurangnya laju pertumbuhan dan kalsifikasi karang, perusakan reproduksi serta necrosis jaringan polip karang (Glynn, 1993). Selama pemutihan karang secara global dari terumbu karang pada tahun 1997 dan 1998, maka peningkatan temperatur menjadi faktor yang terdiskriminasi tanpa melihat pengaruh aktivitas manusia lainnya (Wilkinson, 1999; Wilkinson, 2000). Meskipun dimungkinkan pengaruh tumpang tindih dengan faktor lain namun
berbagai
studi
memperlihatkan
bahwa
peningkatan
temperatur
memberikan konstribusi terbesar terhadap hal tersebut (Salih et al., 1998; Berkelmans et al., 2002; Fitt et al., 2000). Hasil kajian Suharsono (1999) di kawasan terumbu karang beberapa lokasi di Indonesia menginformasikan bahwa dampak pemutihan karang mengakibatkan penurunan kualitas terumbu yakni dalam bentuk menurunnya tutupan karang. Namun demikian, kajian sekuansial oleh Abrar (1999) menginformasikan bahwa pada Pulau Sekuwai, Bungus, Teluk Kabung, Padang; kerusakan karang yang sama akibat pemutihan karang dalam perkembangannya mempunyai kecenderungan mempunyai pemulihan dengan kualitas yang sama. Pada bagian lain, di kawasan yang lebih dekat dengan mainland (daratan utama yaitu Teluk Jakarta) penurunan kualitas karang sifatnya permanen. Informasi ini mengarahkan kepada pemikiran terhadap kemungkinan kemampuan pulih (recovery) dan sebaliknya berdampak secara berlanjut. Hal
92 terakhir inilah yang kemudian menjadi simpulan beberapa penelitian yang menyatakan bahwa pengaruh tumpang tindih dari berbagai faktor perlu diperhatikan sebagai faktor penentu dari kelangsungan ekosistem terumbu karang (Wilkinson, 1999; Wilkinson, 2000; Berkelmans et al, 2002; Salih et al., 1998; Fitt et al., 2000). Terjadinya degradasi ekosistem terumbu karang dikhawatirkan akan menurunkan keragaman spesies organisme lain yang hidupnya tergantung pada ekosistem tersebut. Allen et al., (1990) meneliti beberapa parameter ekologi ikan yang dihubungkan dengan degradasi terumbu karang melaporkan bahwa respon ikan terhadap gangguan habitat bervariasi secara regional dan lokal tergantung spesies ikan dan tempat kerusakan. Secara umum, kebanyakan spesies ikan mempunyai respon negatif terhadap penurunan penutupan karang hidup yang menyebabkan penurunan diversitas, kekayaan spesies, dan penurunan spesies ikan karang yang berasosiasi. Pada sisi lain, degradasi yang bersifat parsial pada lingkungan terumbu karang dapat menyebabkan terjadinya kemunduran secara berlanjut, terlebih apabila pengaruh penyebab degradasi berlangsung secara terus menerus serta tumpang tindih dengan aspek penurun kualitas karang lainnya. Proses pemulihan kembali terumbu karang tidak saja bergantung kepada seberapa jauh intensitas dan kontinyuitas faktor pengaruh degradasi berlangsung akan tetapi juga pada sediaan stock terumbu karang di sekelilingnya melalui proses recruitment. Di samping hal tersebut perubahan kondisi seluler dari polip karang itu sendiri juga merupakan indikasi yang sangat penting untuk menjawab permasalahan penurunan yang berlanjut atau sebaliknya potensi pulih (recovery). Oleh sebab itu, dalam kaitannya dengan proses pemutihan karang perlu dipahami secara internal pada polip karang khususnya mengenai pola peluluhan zooxanthellae berserta perangkat perubahan jaringannya. Mengingat bahwa temperatur merupakan salah satu potensi penyebab degradasi secara global, maka peubah ini dipergunakan sebagai variabel acuan dalam menentukan pola degradasi polip karang. Uji degradasi dan pulih diri jaringan polip karang ini merupakan salah satu tahap penunjang untuk mendapatkan hasil yang dipergunakan bagi tujuan penelitian utama translokasi zooxanthellae. Adapun kriteria yang dipergunakan
93 adalah kondisi minimum bagi biota uji terdegradasi yang mampunyai ketahanan untuk bertahan hidup. Tujuan dari uji degradasi jaringan polip Goniastrea aspera terhadap terapan berbagai taraf temperatur dan ketahanannya pasca pemutihan karang adalah : 1. Mengkaji efek temperatur terhadap perubahan kadar zooxanthellae pada jaringan polip karang 2. Mengkaji efek temperatur terhadap proses perubahan jaringan polip karang; 3. Mengevaluasi kemampuan pulih karang pasca pemutihan karang. Metodologi Kajian uji degradasi jaringan polip Goniastrea aspera terhadap terapan berbagai taraf temperatur dan ketahanannya pasca pemutihan karang yang dilakukan ini bertujuan menentukan tingkat ketahanan Goniastrea aspera selama waktu inkubasi pemutihan sampai keluarnya zooxanthellae secara optimum dari jaringan polipnya dan masih memperlihatkan dapat pulih kembali. Peralatan Percobaan Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian tahap ini : pertama adalah peralatan selam dan transek meliputi scuba diving, tali rol 50 meter, palu, tatah, tempat sample karang, stiloform, perahu. Peralatan tersebut dipergunakan untuk penelitian pendahuluan penentuan materi uji dan penanaman kembali pasca pemutihan karang. Kedua adalah peralatan tekanan temperatur : thermoregulator kapasitas 25–40oC; set peralatan bak penangkaran, aerator yang dilengkapi dengan batu aerasi dan selangnya; pencahayaan neon hijau. Ketiga adalah peralatan uji : haemocytometer, fotograp mikroskop, blender, mikrotom; serta keempat adalah
peralatan analisis kualitas air media : seperangkat penangas
(water heater, stirer) dan filter air, deionyzed water instrument; thermometer skala 50oC, refraktometer, spectrophotometer. Bahan Percobaan Obyek penelitian adalah jenis karang yang terpilih dari hasil seleksi dari kawasan terumbu karang Pulau Bokor Jepara, yaitu Goniastrea aspera. Jenis karang yang dijadikan biota uji adalah jenis yang mempunyai tingkat ketahanan
94 tinggi terhadap sifat pathogenitas lingkungan. Dasar pemikiran penggunaan hewan uji karang ini adalah pada umumnya Goniastrea aspera mempunyai sebaran yang luas di ekosistemnya, sehingga mampu merepresentasikan adaptasi yang luas baik pada lapisan penghambat (inhibiting layer) sampai dengan lapisan pembatas (limiting layer) kehidupan karang. Kedua, dengan sebaran yang luas maka interaksi dengan zooxanthellae juga diperkirakan mempunyai peluang keacakan transduksi zooxanthellae besar. Kriteria ketiga dari penggunaan hewan uji ini adalah Goniastrea aspera mempunyai bentuk corralite yang besar. Dengan luas penampang yang lebar maka peluang retransduksi akan menjadi lebih besar dibandingkan dengan corralite kecil. Selanjutnya kriteria keempat adalah Goniastrea aspera merupakan karang yang bersimbiosis dengan zooxanthellae dan tidak bersifat fakultatif. Jenis karang yang bersifat fakultatif adalah Astrangia danae dan Madracis Sp (Jasques, 1983), umumnya jenis ini ditemukan di perairan lintang tinggi. Untuk memperoleh biota uji sesuai dengan kriteria di atas dilakukan transek di berbagai sebaran vertikal di ekosistemnya (mulai dari reef flat sampai dengan tubir). Jenis tersebut umumnya dominan pada reef flat sebagai implementasi jenis karang yang mempunyai ketahanan terhadap fluktuasi lingkungan tinggi dan bersimbiosis dengan zooxanthellae (tidak bersifat fakultatif). Pengumpulan dan pemeliharaan jumlah specimen karang yang dikoleksi dari Pulau Bokor Jepara kurang lebih jumlah koloni karang sesuai dengan perancangan percobaan yang akan dilakukan. Karang tersebut adalah jenis karang yang nampak sehat dipilih secara acak di lingkungannya pada kedalaman 2-5 meter. Specimen ini kemudian dibawa ke laboratorium dan ditempatkan pada bak sirkulasi dalam kondisi cahaya yang terkendali untuk menghindari meningkatnya temperatur. Tahapan Penelitian Untuk mengarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai, maka dilakukan beberapa langkah kegiatan yang dirinci sebagaimana diuraikan berikut.
95 Aklimatisasi Specimen karang Goneastra aspera yang diambil dari perairan terumbu karang Pulau Bokor Jepara ditandai secara acak dan dimasukkan dalam bak konikel yang pengisian airnya telah difilter dengan ukuran 0,2 m dan air lautnya telah ditreatment dengan sinar ultraviolet untuk mencegah masuknya pengaruh nutriphilik phytoplankton dan bakteri. Selanjutnya karang diaklimatisasi selama lebih kurang 5 hari sebelum eksperimen dilakukan. Penempatan karang pada media terlebih dahulu dipersiapkan penutupan atap bak dengan menggunakan plastik untuk menahan tingkat pencahayaan yang besar. Fluktuasi temperatur di media specimen tersebut dipertahankan dalam kisaran temperatur 20oC hingga 25oC. Goniastrea aspera yang nantinya akan dicobakan adalah jenis karang yang tidak ada perubahan warna, produksi mukus, penjuluran polip atau ciri lain yang menunjukkan adanya tekanan faali pada specimen. Ciri-ciri tersebut dideteksi selama masa aklimatisasi. Untuk aklimatisasi diperlukan media inkubasi berupa bak konikel. Karang yang dijadikan biota uji adalah Goniastrea aspera yaitu karang masif berukuran diameter sekitar 10–15 cm. Hasil penelitian Fang et al., (1998) yang menerapkan kejut temperatur sebesar 35oC selama masa inkubasi 19 jam menunjukkan karang telah mengalami pemutihan. Penelitian Fang et a.,l (1998) tidak dilengkapi dengan analisis histologis dan uji ketahanan pulih kembali dari obyek penelitiannya. Oleh sebab itu tidak dapat dipakai rujukan secara keseluruhan dalam penelitian ini. Penerapan Perlakuan Untuk memperoleh keterangan tentang kondisi karang yang masih bertahan dalam kondisi mengalami pemutihan maka dalam penelitian ini dilakukan percobaan kejutan temperatur sebagai perlakuan tunggal terhadap jenis karang Goniastrea aspera. Temperatur yang diperlakukan adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
S-1 menerapkan temperatur 40oC ( 2oC) S-2 menerapkan temperatur 36oC ( 2oC) S-3 menerapkan temperatur 32oC ( 2oC) S-4 menerapkan temperatur 28oC ( 2oC)
96 Percobaan ini mengacu kepada perancangan acak lengkap yang diaplikasikan di lingkungan laboratorium. Berkenaan dengan pelaksanaan percobaan tersebut, maka dilakukan pengelolaan koloni. Dalam hal ini pengelolaan contoh koloni karang Goniastrea aspera untuk setiap ulangan perlakuan adalah seperti diperlihatkan pada Tabel 11. Tabel 11. Manajemen Koloni Contoh untuk Setiap Ulangan perlakuan Waktu Sampling (jam) 0 4 6 8 12 18 24 30 36 Jumlah Tiap Perlakuan
Temperatur 28oC Bak Laut Eram 2 0 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 18
24
Temperatur 32oC Bak Laut Eram 2 0 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 18
24
Temperatur 36oC Bak Laut Eram 2 0 2 3 2 3 2 3 2 3 0 0 0 0 0 0 0 0 10
12
Temperatur 40oC Bak Laut Eram 2 0 2 3 2 3 2 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8
9
Untuk keperluan penelitian tahap ini maka pengeraman karang dipergunakan bak konikel volume 1 m3 untuk setiap ulangan perlakuan. Media ini dilengkapi dengan aerasi dan penambahan pakan berupa artemia. Penggunaan pakan ini untuk memenuhi nutrisi karang setelah diupayakan pelepasan zooxanthellaenya. Dalam hal ini hampir semua jenis karang dapat memanfaatkannya sebagai pakan (Sorokin, 1993). Pada setiap periode pengamatan diambil 2 buah contoh untuk analisis densitas zooxanthellae dan jaringan histologi, sedangkan 3 buah contoh (koloni) diadaptasi di perairan alami. Variabel Uji Variabel utama yang diukur adalah konsentrasi zooxanthellae dan analisis histologis. Periode pengukuran/amatan dan periode adaptasi pada kajian pola perubahan degradasi adalah awal percobaan, jam ke 4, 6, 8, 12, 18, 24, 30, dan 36. Adapun tahap recovery (pemulihan) yaitu setelah biota dikembalikan di perairan terumbu karang selatan Pulau Panjang Jepara, diukur dalam selang waktu 2 minggu. Metoda analisis terhadap peubah utama penelitian tahap kemampuan adaptasi adalah sebagaimana uraian berikut.
97 Konsentrasi Zooxanthellae Konsentrasi zooxanthellae dalam polip karang dipergunakan sebagai variabel utama kajian ini. Berkenaan dengan pengukuran peubah ini, maka dilakukan urutan pekerjaan sebagai berikut :
Dekalsifikasi, mengambil sebagian specimen karang Goniastrea aspera (dengan luas 10-15 cm2); kemudian specimen ini didekalsifikasi ke dalam larutan 5% HCl pekat yang dilarutkan ke dalam air laut terfilter selama 48 jam (Nordemar et al., 2003);
Analisis Densitas zooxanthellae. Dari hasil dekalsifikasi, jaringan dibilas dengan menggunakan air yang telah didestilasi; selanjutnya dikeringkan dengan mempergunakan kertas tissue atau mengeringkan dengan penyerapan; selanjutnya dipotong-potong dan dicampur serta dihomogenasi dalam 10 ml air terdestilasi. Homogenasi dengan sentrifugal selama sekitar 10 menit dengan kecepatan 2.500-3.000 rpm, selanjutnya supernatannya dianalisis dengan mempergunakan haemocytometer. Penghitungan dilakukan dengan pembesaran 400 kali dan didasarkan kepada luas area.
Evaluasi Histologis Di samping kajian terhadap perubahan densitas zooxanthellae juga akan dilakukan pengukuran histologis dari jaringan polip karang. Ini dimaksudkan selain untuk mengevaluasi apakah masih ada zooxanthellae yang tertinggal beserta posisi sebarannya juga untuk melihat seberapa besar pengaruh kejut temperatur terhadap konstruksi seluler polip. Pengukuran histologis melalui tahapan sebagaimana dilakukan oleh Nordemar et al., (2003). Apabila sebagian rangka masih ada maka dilanjutkan dengan mensentrifugasi, sementara polip telah mengagulasi sehingga akan kompak dan struktur sayatan mikro dapat mencerminkan struktur sebenarnya. Polip diambil dari supernatan dan kemudian dilakukan sayatan mikrotom setebal 2 m dan selanjutnya dapat dilihat dari mikroskop. Ini dapat dilakukan dengan atau tanpa pewarnaan. Adapun tahapan untuk mendapatkan sayatan histologis yang siap untuk pemotretan adalah : a. Pembuatan Contoh Pengambilan contoh polip karang dilakukan dengan teknik dekalsifikasi dengan mengambil sebagian specimen karang. Dekalsifikasi dilakukan dengan
98 cara memasukkan sebagian specimen karang ke dalam larutan 5% HCl pekat yang dilarutkan ke dalam air laut terfilter selama 48 jam. b. Pengawetan (Fiksasi) Proses pengawetan dilakukan untuk menjaga agar tidak terjadi perubahan post-mortem (pasca mati) pada jaringan. Hal ini dicirikan dengan tetap terpisahnya bagian cair protoplasma, merubah bagian-bagian sel menjadi bahanbahan yang tidak larut dalam setiap proses berikutnya, melindungi sel dari kerusakan dan pengerutan saat dimasukkan dalam alkohol atau parafin panas, meningkatkan kemampuan dari tiap-tiap bagian jaringan agar dapat diwarnai. Larutan fiksasi yang baik dapat melakukan penetrasi secara cepat untuk mencegah terjadinya perubahan pasca mati, mengkoagulasikan substansisubstansi sel menjadi substansi yang tidak larut, melindungi jaringan pada saat pemotongan dan memudahkan pewarnaan bagian-bagian sel atau jaringan. Larutan pengawet yang digunakan adalah larutan Bouin. Organ yang telah difiksasi selama 24 jam dalam larutan Bouin selanjutnya dicuci dalam larutan alkohol 70%. Pencucian ini dilakukan untuk menghilangkan sisa-sisa pengawet yang terdapat di dalam jaringan yang dapat mengganggu proses mikroteknik selanjutnya. Organ yang telah dicuci dapat disimpan dalam alkohol 70% sebelum proses lebih lanjut. c. Penarikan Air (Dehidrasi) Proses ini merupakan proses penarikan air dari dalam jaringan yang dilakukan dengan cara merendam jaringan tersebut di dalam alkohol secara bertingkat, mulai dari 80%, 90%, 95% sampai ke alkohol absolut. Penggunaan alkohol bertingkat ditujukan untuk menarik air dan mencegah terjadinya pengerutan. d. Penjernihan (Clearing) dan Proses Infiltrasi Tujuan utamanya adalah menghilangkan pengaruh alkohol yang terdapat di dalam jaringan dengan cara merendam dalam xylol. Setelah mengalami proses penjernihan, jaringan menjadi transparan dan berwarna lebih tua. Jaringan yang telah melalui proses penjernihan selanjutnya direndam dalam parafin secara
99 bertingkat pada temperatur 60oC (parafin keras). Pemanfaatan parafin yang keras adalah agar pemotongan sayatan dapat diperoleh bahan sayatan yang tipis. e. Penanaman (Embedding) Sebagai kelanjutan dari proses infiltrasi dilakukan penanaman organ ke dalam parafin. Proses ini harus dilakukan di dekat bunsen dimana seluruh alat-alat yang digunakan harus berada dalam keadaan hangat untuk mencegah agar parafin tidak mengeras sebelum pekerjaan selesai. Jaringan diletakkan di dalam wadah sedemikian rupa sehingga memudahkan pemotongan dan pengenalan kembali jaringan. Wadah yang telah berisi jaringan bercampur parafin didinginkan agar parafin mengeras. Blok yang sudah mengeras diletakkan pada blok kayu, kemudian disimpan dalam kulkas minimal 6 jam sebelum pemotongan. f. Pemotongan Blok Jaringan Blok jaringan dapat dipotong dengan menggunakan mikrotom. Ketebalan jaringan yang diamati adalah lebih kurang 2 mikron. Hasil sayatan diapungkan terlebih dahulu pada air hangat (40oC), lalu diletakkan di atas gelas obyek. Selanjutnya gelas obyek ini diletakkan di atas hotplate selama 10-15 menit sampai seluruh air yang berada di antara jaringan dan gelas obyek menguap. Gelas obyek ini disimpan di dalam inkubator (37-40oC) selama satu malam sebelum digunakan pada proses selanjutnya. g. Proses Pewarnaan Sebelum dilakukan pewarnaan, permukaan gelas obyek dimana terdapat sayatan jaringan terlebih dahulu diberi tanda. Hal ini dilakukan agar pada saat gelas obyek tersebut dibersihkan dari sisa-sisa larutan, maka bagian yang dibersihkan adalah permukaan yang tidak bertanda. Untuk mendapatkan contoh sayatan histologis maka akan ditempuh dengan menggunakan teknik pewarnaan hematoxylin-eosin (HE) sebagai berikut : 1. Jaringan dideparafinisasi dengan melakukan perendaman jaringan pada gelas obyek ke dalam larutan xylol III, II dan I; masing-masing selama 3 menit; 2. Rehidrasi dengan memasukkan jaringan ke dalam seri larutan alkohol absolut III, II dan I; alkohol absolut, 95%, 90%, 80% dan 70% masing-masing selama 3 menit; kemudian direndam dengan air kran selama 30 menit, 3. Jaringan direndam dalam air destilasi (destilated water) selama 30 menit,
100 4. Jaringan direndam dalam larutan hematoxylin selama 5 menit. Selama perendaman berlangsung jaringan dikontrol di bawah mikroskop untuk melihat intensitas warna yang dihasilkan, dengan mencelupkan terlebih dahulu jaringan tersebut ke air kran. 5. Jika warna yang dihasilkan terlalu keras, maka dilakukan pemucatan warna hematoxylin (diferensiasi) dengan asam alkohol (1% NaCl dalam alkohol 70%) selama beberapa saat dikontrol di bawah mikroskop. 6. Jaringan direndam dalam air kran selama 10 menit (untuk menghilangkan sisa larutan pewarna pada permukaan jaringan dan mematangkan warna hematoxylin) selanjutnya dimasukkan ke dalam air destilasi selama 5 menit (untuk menguatkan pengikatan antara jaringan dan zat pewarna). 7. Jaringan direndam dalam larutan eosin selama kurang lebih 30 menit. 8. Jaringan direndam dalam air destilasi selama kurang lebih 15 menit. 9. Dehidrasi dengan mencelupkan beberapa saat dalam larutan seri alkohol 70%, 80%, 90%, 95% dan absolut. Jika warna masih terlihat keras maka dilakukan perendaman lagi dalam larutan alkohol 95% beberapa saat dan dikontrol kembali di bawah mikroskop. 10. Penjernihan (clearing) dilakukan dengan mencelupkan jaringan ke dalam larutan Xylol I, II dan III selama beberapa saat. Pada larutan xylol III jaringan bisa berada dalam waktu beberapa menit. 11. Mounting dengan menggunakan alat perekat entelan. h. Mounting Mounting adalah proses penutupan preparat dengan cover glass. Adapun prosedurnya adalah : 1. Preparat yang masih basah oleh xylol ditetesi satu atau dua tetas entelan. 2. Kemudian cover glass diletakkan di atas permukaan jaringan secara perlahan dan hati-hati serta diusahakan agar tidak terbentuk gelembung udara. i. Mikrofotografi Pemotretan dilakukan dengan menggunakan fotomikroskop. Adapun prosedur pemotretan sediaan adalah sebagai berikut : 1. Mengatur fokus lensa dengan intensitas cahaya dan lensa diafragma diperkecil, kemudian kondensor diatur sampai didapatkan cahaya yang fokus.
101 2. Mengatur lensa obyektif yang diinginkan, lampu skala dan kecepatan pembukaan lensa kamera. 3. Mengatur fokus makro sampai sediaan terlihat dengan jelas pada lensa okuler mikroskop. 4. Mengatur fokus mikro agar preparat terlihat lebih jelas dan fokus. 5. Menentukan daerah specimen yang akan difoto serta menekan tombol kamera. Analisis Kualitas Air Adapun data penunjang adalah beberapa peubah kualitas air. Untuk memberikan deskripsi tentang perubahan kondisi lingkungan maka dilakukan pengukuran secara periodik terhadap beberapa peubah lingkungan. Rincian tentang jenis peubah, metoda pengukuran dan periode pengukuran faktor lingkungan pendukung ini adalah sebagaimana disajiikan pada Tabel 12. Tabel 12. Peubah yang diukur, metoda dan periode pengukuran No. 1 2 3 4 5 6
Peubah Temperatur Salinitas Ammonium Nitrit pH Oksigen terlarut
Satuan o
C /oo mg/l mg/l mg/l o
Metoda Thermometer Refraktometer Spectrophotometer Spectrophotometer pH meter Tetrimetrik
Periode Ukur 1 minggu (Maks – Min) 1 minggu 1 minggu 1 minggu 1 minggu 1 minggu
Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai (LPWP) FPIK-UNDIP Jepara dan di lingkungan terumbu karang Selatan Pulau Panjang Jepara. Waktu pelaksanaan kajian ini adalah April sampai dengan September 2006. 5. Analisis Data Penelitian mengacu kepada aplikasi perancangan sederhana yaitu rancangan acak lengkap. Analisis statistik mempergunakan uji regresi linier terhadap perubahan densitas zooxanthellae. Analisis terhadap pola degradasi dan ketahanan karang didekati dengan pendekatan deskripsi melalui pola perubahan struktur jaringan dari profil histologis polip Goniastrea aspera.
102 Hasil Percobaan Uji degradasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah proses penurunan ketahanan hidup dari jenis karang Goniastrea aspera akibat perlakuan temperatur. Ciri degradasi dapat ditera melalui pemucatan tampilan koloni sebagai akibat luluhnya pigmen dan diikuti lepasnya zooxanthellae dalam jaringan polip. Istilah yang dipergunakan terhadap hal tersebut adalah pemutihan karang (coral bleaching)(Brown, 1997). Menurut Zamani (1995) peluluhan pigmen dan pelepasan zooxanthellae dari polip karang akibat adanya tekanan temperatur tidak hanya terjadi dalam bentuk keluarnya zooxanthellae di dalam sel polip, akan tetapi proses pelepasan tersebut diikuti oleh kerusakan seluler. Berkenaan dengan hal tersebut, maka proses degradasi yang terjadi akibat diberlakukannya kejut temperatur pada jenis karang Goniastrea aspera ditelusur melalui kajian perilaku perubahan kandungan endosimbiont zooxanthellae dalam jaringan polipnya serta perubahan struktur sel. 1. Zooxanthellae dalam Jaringan Polip Goniastrea aspera pada berbagai Temperatur Pelepasan zooxanthellae dalam jaringan polip karang merupakan suatu kerugian besar bagi biota tersebut. Hal ini disebabkan karena selain mempengaruhi pasokan reguler hasil fotosintesisnya, dan juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan karang. Sebens (1997) menginformasikan bahwa 90% hasil fotosintesis zooxanthellae dipasok bagi pemenuhan nutrisi karang. Adapun pengaruhnya terhadap pertumbuhan karang karena hasil respirasinya akan mempengaruhi keberadaan karbondioksida bagi penyediaan karbonat yang berikatan dengan kalsium bebas membentuk karbonit kristal sebagai ciri tumbuhnya karang (Chapman, 1974). Berkenaan dengan telaah kadar zooxanthellae dan profil histologis jaringan polip karang maka diperlukan pengaturan jumlah obyek penelitian (koloni Goniastrea aspera). Untuk keperluan ini maka media inkubasi dieramkan sebanyak 42 koloni tiap ulangan pada media bertemperatur 28oC dan 32oC, 22 koloni tiap ulangan pada media bertemperatur 36oC serta 17 koloni tiap ulangan pada media 40oC. Dari sejumlah koloni tersebut pada tiap tahap analisis selama
103 masa inkubasi di lingkungan binaan diambil 2 buah koloni untuk analisis dan 3 buah diinkubasikan kembali ke alam. Analisis terhadap kandungan zooxanthellae pada percobaan ini dilakukan secara periodik dengan maksud mengetahui waktu resisten bagi zooxanthellae akibat adanya tekanan temperatur di lingkungan eksternalnya. Kadar tersebut selanjutnya ditelusur sampai mendapat nilai optimum yang memungkinkan karang masih tetap bertahap hidup. Hasil pengukuran kandungan zooxanthellae dalam jaringan polip karang Goniastrea aspera pada lingkungan binaan selama penelitian adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 23.
Gambar 23.
Perubahan Kandungan Zooxanthellae Karang Goniastrea aspera pada Berbagai Tingkat Temperatur
Hasil analisis terhadap kandungan zooxanthellae pada polip Goniastrea aspera yang diinkubasi dalam lingkungan binaan sebagaimana disajikan pada Gambar 23 menunjukkan bahwa tingkat resistensi zooxanthellae pada jaringan mempunyai respon tinggi pada temperatur yang rendah. Dalam hal ini temperatur terendah perlakuan adalah 28oC. Semakin meningkat perlakuan temperatur media semakin berkurang resistensi zooxanthellae dalam jaringan polip karang. Tingkat resistensi
zooxanthellae
pada
media
bertemperatur
32oC
dan
28oC
memperlihatkan osilasi hingga akhir percobaan, namun terdapat kecenderungan menurun pada media bertemperatur 32oC. Pada media dengan temperatur 28oC dan 32oC karang masih dapat bertahan hingga akhir percobaan. Adapun media dengan temperatur 36oC dan 40oC menyebabkan menurunnya kadar zooxanthellae pada polip karang secara linier dengan model penurunan masing-masing adalah Y
104 = 5.879.590,72 – 631.102,28 (R = -0,68) dan Y = 6.467.176,15 – 986.679,73 (R = -0,74)(Lampiran 5). Dengan model tersebut, maka secara teoritis kematian karang pada dua media tersebut akan terjadi pada masing-masing 9 jam dan 6,5 jam. Secara morfologis adanya perubahan kandungan zooxanthellae dalam jaringan polip karang akibat perbedaan temperatur lingkungannya yang menyebabkan terjadinya perubahan tampilan karang. Pemucatan karang yang lebih menyolok diperlihatkan pada media dengan temperatur tinggi 40oC yang hampir memutih baik secara menyeluruh maupun sebagian kemudian berangsurangsur tampilan morfologinya menuju normal sejalan dengan menurunnya temperatur media. Perbedaan tersebut diperkirakan berkaitan dengan lepasnya zooxanthellae dari jaringan polip karang. 2. Perubahan Struktur Sel Polip Goniastrea aspera pada berbagai Temperatur Dilihat dari bentuk morfologi-anatomi hewan karang, terlihat bahwa biota ini mempunyai bentuk seperti tabung dengan mulut di bagian atas yang juga berfungsi sebagai anus. Mulut dikelilingi oleh tentakel, berfungsi menangkap makanan. Selanjutnya terdapat tenggorokan yang pendek sebagai penghubung langsung ke rongga perut. Di dalam rongga perut terdapat semacam usus yang disebut dengan mesenteri filamen, organ ini berfungsi sebagai alat pencerna. Rangka tersebut mulai dari tentakel hingga pada coeno sarc (tempat pelekatan polip) secara struktural terjadi dari pelapisan jaringan yang sederhana. Sayatan melintangnya memperlihatkan 3 lapisan utama, yaitu ectoderm merupakan bagian terluar yang dtumbuhi oleh cilia. Di bawah lapisan ini ditemui mesoglea merupakan lapisan tipis tengah dan terbawah aatau terdalam adalah endoderm. Pada lapisan ini dalam kondisi normal umum sel-selnya dihuni oleh zooxanthellae. Distribusi zooxanthellae dalam jaringan polip karang tersebut bergantung kepada kondisi eksternalnya. Pada kondisi lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan hidup polip karang maka distribusinya akan tertata dengan rapi di dalam jaringan endoderm. Sebaliknya pada kondisi lingkungan tidak stabil distribusinya hampir merata pada semua lapisan jaringan.
105 Untuk tegaknya seluruh jaringan, polip didukung oleh kerangka kapur sebagai penyangga. Kerangka kapur ini berupa lempengan-lempengan yang tersusun radial dan berdiri tegak pada lempengan dasar. Lempengan yang berdiri disebut dengan septa yang tersusun dari bahan organik dan kapur (CaCO3) sebagai hasil sekresi dari polip karang. Berkaitan dengan diterapkannya temperatur media yang berbeda, secara nyata telah menunjukkan adanya pengaruh terhadap pelepasan zooxanthellae. Perubahan penampilan jaringan berkaitan dengan pelepasan zooxanthellae mempunyai pola yang beragam khususnya terhadap tipe struktur sel dalam tiap lapisan jaringan polip karang. Adapun dari sisi histologis perubahan pengaruh lingkungan eksternal khususnya temperatur yang diterapkan dalam penelitian ini memperlihatkan beberapa pola perubahan seluler. Perubahan penampilan jaringan polip karang antara satu kondisi kejutan tinggi (40oC) dengan yang lain (36oC, 32oC dan 28oC) berbeda. Perbedaan tersebut terutama terkait dengan kemampuan adaptasi biota karangnya. Perubahan penampilan jaringan polip karang pada penerapan beberapa tingkat temperatur tersebut adalah sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 24.
104 106
Gambar 24. Profil Jaringan Polip Karang Selama Proses Penerapan Berbagai Tingkat Temperatur a. Perubahan Seluler Pelepasan Zooxanthellae pada Penerapan Suhu 40oC.
Epi
Zoo Mes
End End Mes End Epi
Mes
Epi
A. Profil jaringan pada awal (jam ke-0) Keterangan : Epi = Epidermis Mes = Mesoglea End = Endodermis Zoo = Zooxanthellae
B. Profil jaringan pada jam ke-4
C. Profil jaringan pada jam ke-8
105
b. Perubahan Seluler Pelepasan Zooxanthellae pada Penerapan Suhu 36oC.
Epi End
Mes
End End
Zoo
Mes
Epi
Epi
A. Profil jaringan pada awal (jam ke-0)
B. Profil jaringan pada jam ke-4
C. Profil jaringan pada jam ke-6
107
Keterangan : Epi = Epidermis Mes = Mesoglea End = Endodermis Zoo = Zooxanthellae
Mes
106 108
Lanjutan Gambar 24.
Zoo
Epi
Mes
D. Profil jaringan pada jam ke-8 Keterangan : Epi = Epidermis Mes = Mesoglea End = Endodermis Zoo = Zooxanthellae
Mes
E. Profil jaringan pada jam ke-12
107 107 c. Perubahan Seluler Pelepasan Zooxanthellae pada Penerapan Suhu 32oC End
Epi Mes
End
Mes Epi
Epi
Zoo End
Zoo
A. Profil jaringan pada awal (jam ke-0)
B. Profil jaringan pada jam ke-4
C. Profil jaringan pada jam ke-6
Keterangan : Epi = Epidermis Mes = Mesoglea End = Endodermis Zoo = Zooxanthellae
109
108 110 108 Lanjutan Gambar 24.
Epi
Epi
End
End Zoo End Mes
Zoo
D. Profil jaringan pada jam ke-8 Keterangan : Epi = Epidermis Mes = Mesoglea End = Endodermis Zoo = Zooxanthellae
E. Profil jaringan pada jam ke-12
F. Profil jaringan pada jam ke-30
109 109 d. Perubahan Seluler Pelepasan Zooxanthellae pada Penerapan Suhu 28oC
Epi
Epi Mes
Mes
Epi Mes End
Zoo
End End
Zoo
A. Profil jaringan pada awal (jam ke-0)
B. Profil jaringan pada jam ke-4
C. Profil jaringan pada jam ke-6
Keterangan : Epi = Epidermis Mes = Mesoglea End = Endodermis Zoo = Zooxanthellae
111
110
Lanjutan Gambar 24
Mes
Mes
Epi
Epi
Zoo Zoo
End
End
Zoo
Mes
End End Zoo End Mes
A. Profil jaringan pada jam ke-8 Keterangan : Epi = Epidermis Mes = Mesoglea End = Endodermis Zoo = Zooxanthellae
End Epi
B. Profil jaringan pada jam ke-12
Epi Mes
C. Profil jaringan pada jam ke-30
112
110
113 Hasil kajian terhadap perubahan profil sel pada jaringan polip karang yang mendapat tekanan dari perlakuan media eksternalnya dengan berbagai temperatur menunjukkan tipe yang berbeda. Pada perlakuan temperatur tinggi yaitu 36oC dan 40oC memberikan ciri tersebarnya zooxanthellae secara acak dan bergerombol pada jaringan dengan sel yang rusak (Gambar 23a dan 23b). Kejadian ini tidak berlangsung dalam kurun waktu yang lama, yaitu hanya berkisar 4 jam. Selebihnya pada waktu yang relatif pendek yaitu kurang dari 6 jam telah terjadi kerusakan jaringan. Sebaliknya pada media dengan temperatur rendah yaitu 28 oC dan 32oC pelepasan zooxanthellae relatif sangat rendah. 3. Sintasan Goniastrea aspera Pasca Pemutihan pada kondisi Alamiah Uji sintasan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat ketahanan biota uji yaitu Goniastrea aspera setelah dikenakan tekanan temperatur di lingkungan binaan. Uji ini dilakukan dengan cara menginkubasi contoh setelah beberapa waktu dieramkan pada berbagai tingkat temperatur, mulai dari 28–40oC. Contoh yang mampu bertahan hidup diperhitungkan untuk mengetahui kemampuannya terhadap dikenakannya tekanan temperatur. Uji sintasan terhadap contoh dilakukan dengan cara memindahkan sebagian obyek penelitian dari media inkubasi ke lingkungan alamiah. Pemindahan ke lingkungan alamiah ini disesuaikan dengan waktu kajian selama masa inkubasi di lingkungan binaan, yaitu setiap periode amatan pasca pemutihan karang. Pengaturan koloni obyek penelitian untuk uji ini adalah pemisahan masing-masing 3 contoh koloni Goniastrea aspera untuk tiap pengamatan di media binaan ke lingkungan alami. Pada media dengan terapan temperatur media 28oC dan 32oC dilakukan pada semua tingkat amatan hingga 36 jam dengan periode waktu 4, 6, 12, 18, 24, 30 dan 36 jam. Dengan demikian pada perlakuan tersebut masing-masing terdapat 24 koloni untuk keperluan uji sintasan. Periode pemisahan pasca kejut temperatur 36oC adalah 12 jam dengan periode waktu 4, 6, 8 dan 12 jam, sehingga tersedia stock koloni uji sebanyak 12 contoh. Adapun untuk koloni karang pasca kejut temperatur 40oC adalah 8 jam dengan periode waktu 4, 6 dan 8, sehingga terdapat 9 contoh. Uji sintasan ini didasarkan kepada jumlah koloni yang mampu bertahan hidup setelah mengalami tekanan kejut temperatur. Analisis terhadap sintasan
114 berdasarkan pada kemampuan biota uji yang telah dieramkan ke dalam lingkungan perairan terumbu karang alami dengan periode pemantauan 2 minggu. Hasil analisis terhadap sintasan biota uji tersebut adalah seperti disajikan pada Gambar 25.
Gambar 25. Sintasan Goniastrea aspera pasca Pemutihan Hasil analisis terhadap sintasan koloni sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 25 menunjukkan bahwa efek kejut pada temperatur rendah (28oC) dari 24 buah contoh yang diinkubasi di perairan alami mempunyai sintasan tertinggi sebesar 91,67% (dihitung berdasarkan jumlah koloni pada minggu ke 10). Pada temperatur 32oC, dari 24 buah contoh yang diinkubasi di perairan alami mempunyai sintasan sebesar 66,67%. Pada temperatur 36oC, dari 12 buah contoh yang diinkubasi di perairan alami mempunyai sintasan sebesar 16,67%; sedangkan pada efek temperatur 40oC koloni inkubasi tidak mampu bertahan. 4. Kualitas Lingkungan Eksternal Inkubasi dilakukan pada peraian terumbu karang dengan kedalaman 3 sampai 5 meter di Selatan Pulau Panjang Jepara. Lingkungan ini merupakan kawasan terumbu karang pantai (fringing reef) yang mempunyai jangkauan terdekat dengan lokasi penelitian laboratorium serta mempunyai kualitas terumbu dengan kategori sedang. Dengan pertimbangan tersebut, maka diperkirakan faktor lingkungannya mampu mendukung sintasan karang. Hasil penelitian Wicaksono (2005) menunjukkan bahwa kualitas air di sekitar Pulau Panjang Jepara
115 memperlihatkan sebagai lingkungan perairan laut alami dengan kualitas yang mampu mendukung biota air laut termasuk karang. Pengukuran kualitas air penelitian tahap ini lebih difokuskan pada lingkungan penempatan contoh karang pasca pemutihan di sekitar Pulau Panjang Jepara. Hasilnya adalah seperti disajikan pada Tabel 13 berikut. Tabel 13. Hasil Analisis Kualitas Air Perairan Terumbu Karang (Lokasi Inkubasi Alamiah) Waktu (Minggu)
Temperatur Pagi Siang
Salinitas
Ammonium
Nitrit
pH
DO Pagi
Siang
1
28,5
29,7
32,3
0,0026
tt
7,12
4,4356
5,4327
2
28,5
29,5
32,1
0,0032
0,0007
7,23
4,2143
5,4521
3
28,6
29,4
32,4
0,0026
0,0011
7,24
4,1294
5,8125
4
28,2
29,5
32,4
0,0018
0,0005
7,21
4,8342
6,0632
5
28,1
29,2
32,4
0,0022
tt
7,31
4,4231
6,1324
6
28,4
29,3
32,6
0,0031
tt
7,18
4,3562
5,3307
7
28,7
29,4
31,8
0,0016
0,0006
7,16
4,2243
5,4652
8
28,6
29,4
31,3
0,0023
0,0006
7,15
4,9826
5,4518
9
28,5
29,2
32,2
0,0019
tt
7,21
4,0342
6,1973
10
28,4
29,1
32,4
0,0023
tt
7,26
3,8386
6,0573
Keterangan : Tt : Tidak terdeteksi
Hasil pengukuran kualitas air di perairan terumbu karang selatan Pulau Panjang tersebut menunjukkan bahwa temperatur perairan relatif stabil dengan kisaran 28,1- 29,7 oC. Mengacu terhadap hasil analisis kadar zooxanthellae serta jaringan histologis sebagaimana diuraikan di atas, maka hingga nilai tertinggi selama inkubasi sebesar 29,7 oC masih berada pada nilai di bawah tekanan terhadap karang khususnya biota uji Goniastrea aspera. Salinitas perairan berkisar antara 31,3–32,6 o/oo diperkirakan masih dapat mendukung biota karang mengingat bahwa pada salinitas 30 o/oo dan 33 o/oo tidak menyebabkan pemutihan karang (Suharyadi, 2003). Nilai ammonia dan nitrit yang terukur diperkirakan berasal dari internal ekosistem terumbu karang tempat lokasi inkubasi dan tergolong rendah. Nilai pH juga menciri lingkungan laut dengan kondisi basa terlebih bagi lingkungan terumbu karang, demikian pula oksigen juga tergolong alami. Pembahasan Hubungan antara zooxanthellae dengan karang merupakan suatu bentuk hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Hubungan
116 keduanya tidak saja berada pada tingkat ketergantungan fisik semata akan tetapi sampai ke tahap fisiologis. Pada umumnya zooxanthellae ditemukan dalam jumlah yang besar dalam setiap polip dengan hidup secara bersimbiosis serta saling melakukan transfer energi. Konstribusi zooxanthellae melalui fotosintesis adalah 90% dari kebutuhan karbon polip (Sebens, 1997), sementara kebutuhan zooxanthellae dipasok hampir 100% dari polip (Muscatine, 1990). Oleh karena itu polip karang tidak dapat hidup tanpa zooxanthellae, kecuali Astrangia danae (Jasques, 1983) dan mungkin Madracis Sp yang dapat hidup secara fakultatif. Gleason (1993) mengemukakan bahwa karang dalam kondisi pemutihan total dapat mengalami kematian, sementara pemutihan parsial masih mempunyai potensi hidup sebagaimana diperlihatkan pada penelitian ini. Assosasi yang erat ini sangat efisien, sehingga karang dapat bertahan hidup bahkan di perairan yang sangat miskin hara. Keberhasilan hubungan ini dapat dilihat dari besarnya keragaman dan usia karang yang sangat tua, berevolusi pertama kali lebih dari 200 juta tahun yang lalu (Burke et al., 2002). Studi yang ditunjukkan oleh Fitt et al., (1993) memperlihatkan bahwa biomassa jaringan dari karang Montastrea anularis pulih kembali dengan laju yang lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan algae simbion zooxanthellae setelah kejadian pemutihan di Karibia pada 1987. Sebagian besar karang di Carysfort Reef mengandung kadar normal densitas zooxanthellae sebesar 1-3x1010 individu/cm2 dalam kurun waktu 10 bulan pasca pemutihan (Szmant dan Gassman, 1990; Gleason ,1993). Hasil kajian kadar zooxanthellae dalam inang pada kondisi lingkungan normal telah dirangkum Sorokin (1993) yaitu Stylophora pistillata sebesar 0,97x108–2,3x108 individu/cm2; Pocillopora damicornis adalah 0,9 x108–1,1x108 individu/cm2; P. Eydoxy sebesar 6,1x107 individu/cm2; Porites porites sebesar 3,13x108 individu/cm2; Seriatopora hystrix sebesar 4,8x108–7,8x108 individu/cm2; Acropora diversa sebesar 0,6x108–0,7x 108 individu/cm2; serta 10 famili karang lainnya yang dikoleksi pada kedalaman 0–42 m mempunyai asuhan zooxanthellae sebesar 0,9x108–2,3x108 individu/cm2. Percobaan yang dilakukan ini menelaah proses pemutihan karang Goniastrea aspera dan pemulihannya dengan memperlakukan terapan tekanan temperatur dari 28oC hingga 40oC. Percobaan dilakukan secara parsial antar
117 temperatur maupun percobaan lintas temperatur. Hasil percobaan memperlihatkan bahwa
penerapan
temperatur
secara
parsial
dicirikan
oleh
penurunan
perkembangan zooxanthellae pada percobaan dengan media bertemperatur 36oC dan 40oC. Pada penerapan kejutan temperatur keduanya ditemukan karang Goniastrea aspera mengalami pemutihan total pada pengeraman selama 12 jam pada media bertemperatur 36oC dan 8 jam pada media bertemperatur 40oC. Penerapan
media
zooxanthellae
bertemperatur
berfluktuatif,
28oC
sedangkan
memperlihatkan
pada
media
perkembangan
bertemperatur
32oC
perkembangannya cenderung lambat dan relatif mengalami penurunan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka Fitt et al., (2000) menginformasikan bahwa pada media bertemperatur 26oC, zooxanthellae akan tumbuh cepat. Pada temperatur 30oC pertumbuhan zooxanthellae akan lambat dan pada temperatur 32oC zooxanthellae tidak dapat tumbuh. Sementara
itu
hasil
percobaan
lintas
temperatur
yaitu
dengan
memindahkan karang Goniastrea aspera dari kejutan temperatur tinggi namun masih mampu bertahan yaitu pada temperatur 36oC selama 6 jam kemudian obyek penelitian yang sama dipindahkan ke dalam media bertemperatur 32oC selama 20 jam. Dari media terakhir kemudian dipindahkan lagi ke media bertemperatur 28oC hingga
akhir percobaan. Perubahan kadar zooxanthellae pada media lintas
temperatur adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 26. 36oC
32oC
28oC
Gambar 26. Perkembangan Zooxanthellae dari Adaptasi Karang Goniastrea aspera pada Berbagai Tingkat Media Temperatur
118 Hasil pengukuran zooxanthellae sebagaimana Gambar 26 adalah bahwa peletakan karang Goniastrea aspera pada media temperatur 36oC dalam kurun waktu 6 jam mengalami penurunan secara eksponensial. Selama masa adaptasi 6 jam zooxanthellae telah memperlihatkan adaptasi dilanjutkan dengan pertumbuhannya di jaringan selular polip karang Goniastrea aspera. Kadar terukur ini selanjutnya akan meningkat hingga mencapai 2,1x106 individu/cm2 dari hasil adaptasinya selama masa pengeramannya di media binaan. Fenomena tersebut mempunyai bentuk yang sama dalam studi pemulihan dalam skala luas sebagaimana diamati oleh Gleason (1993). Dalam hal ini dikemukakan bahwa pemutihan karang yang terjadi secara bergantian dalam kurun waktu satu tahun menyebabkan berfluktuasinyanya pula hidup karang. Kejadian dimana karang-karang yang demikian dapat bertahan hidup meskipun temperatur lingkungan luarnya masih cukup tinggi dicirikan oleh : (a) pemutihan yang tidak komplit (pemutihan parsial), dimana zooxanthellae masih normal dalam jaringan polip hidup baik dalam posisi maupun jumlahnya (HoeghGuldberg dan Smith, 1989; Porter et al., 1989); (b) repopulasi zooxanthellae terjadi secara cepat (Hoegh-Guldberg dan Smith, 1989; Jaap, 1985; Szmant dan Gassmann, 1990). Sebaliknya pemutihan yang terjadi secara total secara signifikan menyebabkan kematian karang. Pemutihan yang tidak komplit telah diperlihatkan berdasarkan kajian histologis. Dalam hal ini karang Goniastrea aspera sebagai hewan uji dieramkan pada media dengan berbagai tekanan temperatur. Temperatur optimum hingga biota ini masih bertahan adalah 36oC yang dieramkan selama 6 jam. Pada kondisi ini masih ditemukan sebagian sel polip masih utuh dan ditempati oleh zooxanthellae, yang selanjutnya diadaptasikan pada lingkungan perairan alami. Hasil analisis terhadap sintasannya mencapai 85% dari total karang yang diadaptasikan. Selanjutnya baik secara laboratoris maupun secara alamiah terjadi repopulasi zooxanthellae secara cepat. Dengan segera setelah pemutihan karang dan penempatan simbion secara normal dalam jaringan polipnya maka segera melakukan kegiatan fotosintesis dan aktivitas nutrisional (Cole dan Jokiel, 1978; Glynn et al., 1985; Hoegh-Guldberg dan Smith, 1989; Porter et al., 1989). Sebaliknya, pertumbuhan akan berhenti
119 apabila pemutihan karang atau faktor yang mempengaruhinya terus berlangsung (Jokiel dan Coles, 1990; Goreau dan Macfarlane, 1990). Dengan keterangan lain dapat dinyatakan bahwa kejadian pemutihan karang dapat menyebabkan mortalitas selektif dan tekanan terhadap species yang terkena pengaruh. Gleason (1993) melaporkan hasil penelitiannya bahwa koloni-koloni karang yang mengalami pemutihan komplit pada bulan April 1991 di Pulau Moorea tidak mengalami perkembangan dan mati semua hingga Agustus 1991. Koloni-koloni yang hanya mengalami pemutihan parsial mempunyai kemampuan pulih secara komplit. Jika kejadian pemutihan karang terjadi secara hebat dengan frekuensi tinggi, maka faktor ini akan dengan kuat menentukan komposisi species dan merupakan sumber bagi penyediaan ruang untuk recruitment baru. Hal ini akan menyebabkan terjadinya pengisian ruang baru dengan sifat persaingan yang rendah antar species, khususnya species yang tahan terhadap pemutihan Gleason (1993). Dalam tingkat yang lebih spesifik, ketika tingkat pemutihan bervariasi sangat besar diantara sesama species yang berdekatan, ada peluang besar mempengaruhi variasi genotip atau variasi kerentanan (Fisk dan Done, 1985; Harriot, 1985; Lang et al., 1988). Pemutihan juga dapat mempengaruhi struktur komunitas karang yang dikenainya jika pengaruh sekunder terjadi seperti meningkatnya kelimpahan algae dan sea urchin, sehingga menghasilkan pemulihan karang yang lemah (Glynn, 1990). Hoegh-Guldberg and Smith (1989) menemukan bahwa recovery pasca pemutihan pada karang setelah terkena pengaruh temperatur 32oC selama 7 jam adalah 23 hari. Pengaruh pemutihan terhadap perubahan struktur komunitas karang dapat berlangsung cepat maupun lambat. Keadaan ini bergantung kepada skala gangguan dan variasinya yang terjadi dan mengenai kawasan terumbu karang (Glynn, 1993). Tidak semua jenis karang yang ada sebelumnya dapat tumbuh kembali, tetapi sebaliknya jenis karang sebelumnya dapat tumbuh kembali tanpa merubah keragamannya. Fisk dan Done (1985) dalam kajiannya terhadap fenomena pemulihan di Great Barrier Reef melaporkan bahwa setelah gangguan hebat temperatur mengakibatkan kerusakan yang besar. Dalam kurun waktu 2 tahun baru ditemukan gejala peningkatan cepat khususnya dari kelompok
120 Acroporid dan Pocilloporid. Hal ini merupakan gejala pemulihan yang dapat mengubah struktur komunitas setempat. Kejadian ini memungkinkan terbukanya kawasan baru yang merangsang terjadinya recruitmen, sebagaimana ditemukan oleh Dunstan dan Johnson (1998) dan Fitzhardinge (1989). Akibat fenomena ini dimungkinkan terjadi perubahan struktur komunitas. Di laut Jawa, Brown dan Suharsono (1990) melaporkan bahwa lambatnya pemulihan terumbu karang akibat kematian besar-besaran hampir 90% selama 1982 – 1983. Lima tahun kemudian terjadi perubahan penutupan karang dengan kecenderungan meningkat. Peningkatan penutupan karang hidup mencapai 50% dengan dua gejala yaitu terjadi peningkatan pemulihan yang cepat disertai keragamannya pada suatu kawasan dan pada kawasan lain dengan pemulihan yang agak lambat dan tidak terjadi perubahan struktur keragamannya. Selanjutnya dikemukakan bahwa stabilitas pada kawasan dengan gejala pertama relatif rendah. Perubahan struktur komunitas pasca pemutihan yang kecil juga ditemukan oleh Glynn (1990) di kawasan Kosta Rica. Gleason (1993) mengemukakan bahwa zooxanthellae yang tersisa setelah kejadian pemutihan dalam habitat intraselluler yang masih kaya akan nutrien akan relatif tumbuh secara cepat dibandingkan dengan karang dengan densitas yang besar. Namun demikian, hal ini masih bergantung kepada status kondisional dari zooxanthellae itu sendiri. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Glynn (1984) bahwa kematian karang yang mengalami pemutihan parsial mungkin masih akan dapat bertahan dengan asumsi bahwa kondisi zooxanthellae tidak terpengaruh secara esktrim oleh pengaruh temperatur serta kondisi seluler dari polip. Namun sebaliknya apabila pengaruh temperatur atau faktor eksternal lain secara kuat terus-menerus yang mengakibatkan tidak terkontrolnya kondisi lingkungan oleh polip karang, meskipun secara fisiologis zooxanthellae masih toleran maka hal ini akan menyebabkan lepasnya zooxanthellae dari polip dan karang akan mati (Savina, 1991; Porter dan Meier, 1992). Sebaliknya pada kondisi normal, maka faktor pertama dari proses pemulihan karang yang ditandai dengan perkembangan zooxanthellae di dalam jaringan polip akan dapat berlangsung secara normal. Mempertimbangan kebutuhan fungsional fitobiotik yaitu temperatur, cahaya dan nutrien sebagaimana
121 dikemukakan oleh Harris (1976), maka faktor ketersediaan nutrien yang akan menjadi pembatasnya. Namun demikian, bagi zooxanthellae hal ini bukan merupakan pembatas yang berarti. Dalam hal ini ketersediaan nutrien internal lebih dominan dalam menentukan baik perangsangan relokasi maupun keperluan fungsional faalinya. Sebagai dukungan terhadap hal ini adalah bahwa rangka karang yang menyangga tubuh polip dengan tingkat porositasnya yang tinggi ternyata merupakan gudang nutrien internal dari karang. Alasan dari hal ini didukung oleh model struktur kristalin dari rangka karang yang longgar memungkinkan ruang ini menjadi jebakan nutrien hasil metabolit polip maupun dari lingkungan eksternalnya. Hasil temuan Ferrer dan Szmant (1988) juga menguatkan fenomena tersebut. Dalam hal ini dikemukakan bahwa kadar ammonium dapat ditemukan dalam kadar 0,0412 mg/l di rangka. Nilai ini mempunyai kesetaraan dengan status lingkungan perairan subur (eutropik). Menurut Parson et al., (1984) bahwa kadar NH4-N di atas 0,03 mg/l dikategorikan sebagai lingkungan perairan yang subur, yaitu lingkungan yang memungkinkan biota fitoplankton (termasuk dalam hal ini adalah zooxanthellae) berkembang dengan sangat baik. Nilai ini melebihi kadar status perairan terumbu karang di beberapa lokasi sebagaimana disitir oleh D’elia dan Wiebe (1990). Berdasarkan kinetika siklus sel, Haynes et al., (1967) mengemukakan bahwa sel-sel pada jaringan ectoderm dan endoderm yang terpisah dapat menyusun kembali seluruh ikatan sel dalam polip. Hal ini didasarkan temuan Burnett (1961) bahwa jaringan maupun sel-sel setelah mengalami deferensiasi selalu mengalami perubahan posisi secara terus menerus. Hal serupa juga dinyatakan oleh David (1973), bahwa dalam hal ini terpisahnya beberapa sel Hydra attenuata akibat tekanan lingkungan dapat terjadi (menjalin) kembali membentuk suatu jaringan yang sempurna. Pada polip karang (David, 1973) dikemukakan bahwa selama proses nutrisional sel masih dapat berlangsung dan sistem jaringan syaraf masih mempunyai ketersinambungan dalam lapisan jaringannya maka terseraknya sel akan dapat mengalami pemulihan melalui jalur sebagaimana pada Hydra attenuata. Hal ini searah dengan pernyataan Hoegh-Guldberg and Smith, 1989; Porter et al., 1989, Fitt et al., (1993) dan Gleason (1993) bahwa pemutihan secara
122 parsial masih memungkinkan polip untuk pulih kembali. Dalam hal ini masih terdapat sel-sel bebas dengan kandungan zooxanthellae yang sempurna. Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa meskipun Goniastrea aspera mendapat tekanan temperatur 36oC masih dapat pulih setelah kurun waktu 6 jam setelah dikembalikan pada perairan alaminya meskipun mempunyai peluang lebih kecil dibandingkan dengan tekanan media dengan temperatur di bawahnya. Pembentukan struktur jaringan sel pada tahap awal akan berlangsung dalam kolom strata yang sama, yaitu baik di bagian ectodermis, mesoglea maupun endodermis. Dalam kondisi perkembangan tiga strata polip telah berlangsung secara sempurna maka dimungkinkan terjadi transfer antar strata yaitu pemindahan sel dari ectoderm ke mesoglea dan selanjutnya ke jaringan endoderm dan sebaliknya. Model pemindahan ini dimungkinkan oleh sebab kesamaan struktur sel yang membangun seluruh jaringan polip. Dalam hal ini Campbell (1968) menerangkan adanya 4 mekanisme organisasi sel pada cniraria, yaitu : (a) Adisi sel-sel, dalam hal ini sejumlah sel melakukan kontak karena adanya aktivitas gastro cavity akibat tekanan hidrostatik pada suatu polip, sehingga membentuk organisasi secara longitudinal pada dasar suatu strata jaringan atau yang disebut teaniolae. (b) Adisi sel mesoglea, yaitu suatu proses pemampatan sel pada teaniolae sehingga akan mempererat sistem pada dasar tiap jaringan, yaitu baik di ektoderm, mesoglea dan endoderm. (c) Pengaturan sel antar tempat strata dalam jaringan polip, yaitu suatu proses pengaturan sel dimana pada kondisi ini akan terjadi pola serupa antar jaringan. Pada ketiga proses ini akan sinergis dengan proses penempatan zooxanthellae serta proses pertumbuhan zooxanthellae. (d) Proses digestif sel, yaitu suatu kondisi kenormalan pembentukan proses kematangan polip untuk pulih kembali yang diikuti oleh mekanisme hubungan timbal balik antara inang dan simbionnya. Proses adisi sel pada penelitian ini terlihat dengan cukup baik khususnya pada saat terjadi proses pemulihan akibat tekanan temperatur 36oC dan 32oC. Hal yang sama juga terlihat pada proses pemulihan baik pada media alami maupun media buatan pada temperatur media 28oC. Proses pemulihan pada temperatur 28oC menyerupai mekanisme proses alamiah sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 27.
123 Gambar 27. Proses Addisi Sel selama Masa Pemulihan Pilip Karang A. Kondisi Pasca Bleaching
a Zoo
b
End Epi
Kondisi jaringan pasca bleaching optimal. Hasil uji ketahanan bahwa pemanasan media dengan suhu maksimum yaitu sebesar 36oC yang dieramkan selama 6 jam diperoleh kondisi karang yang masih dapat bertahan hidup, dengan potensi sintasannya 16,67 %. (a) Dalam hal ini terjadi bleaching parsial, suatu kondisi sebagian ruang dalam jaringan mesoglea dan endoderm tampak mengalami pengosongan dan (b) sebagian zooxanthellae yang cukup sehat akan tertahan pada jaringan endoderm.
B. Tahapan addisif sel.
Tea
Zoo
Pada Tahap addisif sel terjadi suatu proses sejumlah sel melakukan kontak karena adanya aktivitas gastro cavity akibat tekanan hidrostatik pada suatu polip, sehingga membentuk organisasi secara longitudinal pada dasar suatu strata jaringan atau yang disebut teaniolae. Keterangan :
Ads Mes Epi
Epi = Epidermis Mes = Mesoglea End = Endodermis Zoo = Zooxanthellae Ads = Addisif sel Tea = Teaniole
124 C. Addisif sel mesoglea, Addisif sel pada jaringan mesoglea yaitu suatu proses pemampatan sel pada teaniolae sehingga akan mempererat sistem pada dasar tiap jaringan, yaitu baik di ektoderm, mesoglea dan endoderm.
End
Tea
Mes
Regulasi sel antar region strata dalam jaringan polip. Yaitu suatu proses pengaturan sel dimana pada kondisi ini akan terjadi pola serupa antar jaringan. Pada ketiga proses ini akan sinergis dengan proses resttlement zooxanthellae serta proses pertumbuhan zooxanthellae
Zoo
D. Proses Digestif Sel,
Epi
Proses digestif sel yaitu suatu kondisi kenormalan pembentukan proses kematangan polip untuk pulih kembali yang diikuti oleh mekanisme hubungan timbal balik antara inang dan simbionnya
Mes
End
Keterangan : Epi = Epidermis Mes = Mesoglea End = Endodermis Zoo = Zooxanthellae Ads = Addisif sel
125 Mekanisme pemulihan sebagaimana diperlihatkan pada gambar di atas tidak saja merupakan ekspresi adesif kimiawi dari sel akan tetapi melibatkan mekanisme syaraf pada kelompok cnidaria. Asosiasi antara protein dengan jaringan yang terkoneksi dengan karbohidrat pada proses adesif sel secara umum berlangsung secara kompleks. Hal ini tidak saja berupa hubungan adesif semata, akan tetapi diikuti dengan terbentuknya ikatan muscular syaraf atau yang disebut sebagai organisasi syaraf ephitelium sel cnidaria (Stokes, 1972). Dalam proses pemampatan sel untuk membentuk teaniolae maka jaringan syaraf juga akan mengalami perkembangan sesuai dengan proses pembentukan teaniolae tersebut. Oleh sebab itu, maka jaringan syaraf tidak saja hanya berasosiasi dalam satu strata melainkan antar strata jaringan polip yaitu melintang mulai dari ectoderm hingga endoderm. Passano dan Passano et al., (1971)
mengemukakan bahwa lintas
pergerakan sel antar strata juga dimungkinkan terjadi melalui efektivitas organisasi syaraf ephitel sel cnidaria. Ikatan sel dan jaringan syaraf pada kelompok cnidaria merupakan suatu hubungan fungsional yang terjadi secara spontan. Oleh Lenhoff (1974) sistem ini dinamakan sistem syaraf terpusat. Secara fungsional, sistem ini diterjemahkan dalam proses spontan baik yang terjadi pada pergerakan fisik tentakel atau (distal tentacle opener) sampai dengan sistem proksimalnya. Proses gerak serentak atau spontan dari mekanisme tersebut terjadi akibat adanya organisasi syaraf sel ephitel baik yang terdapat pada strata jaringan ectodermal, mesoglea maupun di jaringan endodermal. Mekanismenya oleh Josephson dan Uhrich (1969) disebut sebagai conducting system. Peranan zooxanthellae dalam proses pemulihan kembali jaringan polip karang yang telah mengalami pemutihan marupakan hal yang esensial. Statement dari Glasson (1993) yang mengemukakan bahwa perkembangan cepat zooxanthellae pasca pemutihan parsial diperkirakan merupakan serangkaian bagian yang memegang peranan penting bagi pemulihan karang, sebagaimana teori pemulihan sel yang dinyatakan oleh Campbell (1968). Dua fenomena uji ketahanan
baik
di
lingkungan
memperlihatkan pola yang demikian.
binaan
maupun
di
lingkungan
alami
126 Dalam hal ini selama karang mengalami pemutihan parsial yaitu suatu kondisi dimana terjadi proses pemisahan sel-sel yang didalamnya masih terdapat zooxanthellae dan masa perubahan media eksternal mengalami pemulihan maka tingkat ketahanan karang masih terpelihara. Terdapat beberapa alasan terhadap fenomena ini, yaitu : (1) Adanya perlindungan dari radiasi sinar ultraviolet (UV). Karang mengandung materi penyerap ultra violet atau gelombang cahaya pendek suatu famili dari mycospore yang berikatan dengan asam amino (MAAs) yang mempunyai kemampuan untuk melindunginya dari pengaruh radiasi UV (Shick et al., 2002). (2) Perlindungan dari intensitas cahaya. Beberapa zooxanthellae mampu dan dapat memproduksi xanthophyll untuk melindungi mereka dari intensitas cahaya tinggi. Tidak semua mampu memproduksi, dan ada jalan alternatif perlindungan seperti pelimpahan atau penghilangan panas non radiasi pada saat absorbsi energi cahaya setelah reaksi photosistem II (Riddle, 2004). (3) Komposisi membran thylakoid. Riset yang dilakukan pada periode akhir-akhir in sering menemukan strategi untuk bertahan terhadap pemutihan. Tchernov (2004) mengemukakan bahwa lipid jenuh dari membran thylakoid hydrophilic dalam chloroplast
berperan
dalam
menentukan
resistensi
terhadap
pemutihan.
Komponen tersebut akan melindungi zooxanthellae dari fotodestruksi dan pemutihan. Dengan alasan dan fenomena di atas dapat dinyatakan bahwa kemampuan pulih karang bergantung kepada kemampuan dapat dipertahankannya keberadaan zooxanthellae dalam jaringan polip. Simpulan Hasil percobaan tentang uji degradasi jaringan polip Goniastrea aspera pada terapan berbagai taraf temperatur dan ketahanannya pasca pemutihan sebagaimana diuraikan di atas adalah : 1. 2. 3. 4.
Temperatur optimum bagi zooxanthellae yang masih dapat bertahan pada jaringan polip karang Goniastrea aspera adalah 36oC selama 6 jam. Di atas temperatur optimum terjadi proses degradasi jaringan polip serta pelepasan zooxanthellae; Pemulihan biota uji hanya dapat terjadi pada kondisi pemutihan parsial. Pemulihan karang ditandai dengan terjadinya proses regulasi zooxanthellae di dalam jaringan polip karang dan mencapai penataan sempurna setelah minggu ke 12.
127 Daftar Pustaka Abrar, M. 1999. Coral colonization (Scleractinian) on artificial substrat at Sikuwai Island Bungus, Teluk Kabung Padang, West Sumatra : A Conservation for Demaged Coral Reef. Di dalam Soemodihardjo (Ed.) Prosiding Lokakarya Pengelolaan dan Iptek Terumbu Karang Indonesia, Jakarta, 22-23 November 1999. Jakarta LIPI, hal 173-176. Allen, G.R; R.C. Steene. 1990. Reefs Fishes on the Indian Ocean. Marine cience and Technology. Perth Australia. Atkinson, M.J; E. Kotler; P. Newton. 1994. Effect of Water Velocity on Respiration, Calcification, and Ammonium Uptake of a Porites compressa Community, Pacif. Sci., 48: 296-303 Berkelmans, R; J.C. Hendee; P.A. Marshall; P.V. Ridd; A.R. Orpin; Irvine D. 2002. Automatic weather stations: Tools for managing and monitoring potential impacts to coral reefs. Mar. Tech. So.c Journa.l 36(1): 29-38 Brown, B.E. 1997. Coral bleaching : causes and qonsequences. Proc 8th Int. coral Reef Sym. 1 : 65-74 Brown, B.E; Suharsono. 1990. Damage and recovery of coral reefs affected by El Nino related seawater warming in the Thousand Islands, Indonesia. Coral Reefs. 8:163-70. Burke, L.E; K. Selig; M. Spalding. 2002. Reef at risk in South East Asia. www.wri.org/reefatrisk. Dikunjungi tanggal 2 Maret 2002. Burnett, A.L. 1961. The growth process in hydra. J. Exp. Zool 146 :21-83 Campbell. R.D. 1968. Cell behavior and morphogenesis in hydroids. In vitro 3:2232. Chapman, G. 1974. The skeletal system. In. L. Muscatine and H.M. Lenhoff (Eds). Colenterate Biology : Reviews and New Perspectives. Academic Precc. London. Coles, S.L; C. Jokiel. 1976. Synergistic effects of temperature, salinity and respiration in hermatypic corals. Mar. Biol. 49:187-195. COREMAP, 2001. Kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang di Indonesia (Buku II). Jakarta : Coral Reef Rehabilitation and Management Program. David, C.N. 1973. Quantitative method for maceration of hydra tissue. Wilhelm Roux’ Arch. Entwicklungsmech. Organism. 171:259-568. D’elia, C.F; W.J. Wiebe,. 1990. Biogeochemical Nutrient Cycle in coral reef ecosystems. In. Dubinsky (Ed.). Ecosystem in the World 23. Elsevier, Amsterdam. Dunstan, P.K; C.R. Johnson. 1998 Spatio-temporal variation in coral recruitment at different scales on Heron Reef, southern Great Barrier Reef. Coral Reefs 17:71–81 Fang, L.S; Wang J.T; Lin K.L. 1998. The subcellular mechanism of the release of zooxanthellae during coral bleaching. Proc. the Nat. Sci.c Co. 22: 150–158.
128 Ferrer, L.M; A.M. Szmant. 1988. Nutrient Regeneration by the Endolitic Community in Coral Skeletons. 6th Int. Coral Reef Symp. In Press. Fisk, D.A; T.J. Done. 1985. Taxonomic and bathymetric pattern of bleaching in coral, Myridon Reef (Queensland). Proc. 5th Int. Coral Reef Symp. 6 : 149-154. Fitt, W.K; B.E. Brown; M.E. Warner; R.P. Dunne. 2001. Coral bleaching : interpretation of thermal tolerance limits and thermal thresholds in tropical marine cnidarian. Mar. Biol. 139:507-517. Fitt, W.K; F.K. Farland; M.E. Warner; G.C. Chilcoat. 2000. Seasonal patterns of tissue biomass and density of symbiotic dinoflagellates in reef corals and relation to coral bleaching. Limnol. Occeanogr. 45:677-685. Fitt, W.K; H.J. Spero; J. Halas; M.W. White; J.W. Porter. 1993. Recovery of the Coral Montastrea annularis in the Florida Keys after 1987 Caribbean Bleaching Event. Coral Reefs 12:57-64. Fitzhardinge, R.C. 1989 Coral recruitment: the importance of interspecific differences in juvenile growth and mortality. Proc 6th Int Coral Reef Congr. 2:673–678. Gleason, M.G. 1993. Effect of Disturbance on Coral Communities : Bleaching in Moorea, French Polynesia. Coral Reefs 12 : 193-201 Glynn, P.W. 1984. Widesprad coral mortality and the 1982-1983 El Nino Warming Event. Environ Conser. 11 : 133 – 146. Glynn, P.W. 1993. Reports Coral reef bleaching : ecological perspectives. Coral Reefs. 12:1-17. Glynn, P.W; L. D'Croz. 1990. Experimental evidence for high temperature stress as the cause of El Nino-coincident coral mortality. Coral Reefs 8: 181–192. Glynn, P.W; E.C Peter, L. Muscatine. 1985. Coral tissue microstructure and necrosis : Relation to catastrophic coral mortality in Panama. Dis. Aquat. Org. 1:29-37. Goreau, T.J; A.H. Macfarlane. 1990. Reduced growth rate of Montastrea annularis following the 1987-1988 coral bleaching event. Coral Reefs 8:221-215. Harriott, V.J. 1985. Mortality rates of scleractinian corals before and during a mass bleaching event. Mar. Ecol. Prog. Ser. 21:81-88. Harris, I. 1976. The Physiological Ecology of Phytoplankton. Blackwell Sci. Publ. Oxford. Haynes. J.F; Burnett; A.L; L.E. Davis.1967. Histological and ultrastructural study of the muscular and nervous systems in hydra. I. The Muscular system and mesoglea. J. Exp. Zool. 167:283-293. Hoegh-Guldberg, O; G.J. Smith. 1989. Light, Salinity and Temperature and the Population density, metabolism and export of Zooxanthellae from Stylophora pistillata and Seriatophora hystrix. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 129 ; 279-303
129 Iglesias-Prieto, R; J.L. Matta; W.A. Robins; R.K. Trench. 1992. Photosynthetic response to elevated temperatures in the symbiotic dinoflagellate Symbiodinium microadriaticum in culture. Proc. Nat. Ac. Sci. USA 89:10302–10305 Japp, W.C. 1985. An epidemic zooxanthellae expulsion during 1993 in the Lower Florida Keys coral reefs : Hyperthermic etiology. Proc. 5th Int. Coral Reef Congr. 6 : 143-148. Jasques, T.G. 1983. Experimental ecology of the temperate schleractinia coral Astrangia danae. II. Effect of temperature, light intensity and symbiosis with zooxanthellae on metabolic rate and calcification. Mar. Biol. 76 : 135-48. Jokiel, P.L; S.L. Coles, 1990. Response of Hawaiian and other Indo-Pacific reef corals to elevated tempareture. Coral Reefs 8:155-162. Jones. R.J; S. Ward; A.Y. Amri; O. Hoeg-Guldberg. 2000. Changes in quantum efficiency of photosystem II of symbiotic dinoflagellates of corals after heat stress and of bleached corals sampled after 1998 Great Barrier Reef mass bleaching event. Mar. Freshw. Res. 51:63-71. Josephson, R.K; J Uhrich. 1969. Inhibition of pacemaker systems in the hydroid Tubularia. J. Exp. Biol. 51:1-14. Lang, J.C; R.I. Wicklund; R.F. Dill. 1988. Depth and habitat related bleaching of zooxanthellae reefs organisms near Lee Stocking Island, Exuma Cays, Bahamas. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 3:269-274. Lenhoff, H.M. 1974. On the Mechanism of Action and Evolution of Receptors Associated with Feeding and Digestion. In L. Muscatine and H.M. Lenhoff (Eds). Coelenterata Biology : Riviews and New Perspectives. Academic Press. New York. Muscatine, L.1990. The role of symbiotic algae in carbon and energy flux in reef coral. In. Dubinsky Z. (Ed). Coral Reefs, ecosystem in the world. Elsevier. Amsterdam. Nordemar, J; M. Nystrom; R. Dizon; 2003. Effect of elevated seawater temperature and nitrat enrichment on the branching coral Porites cylindrica in the absence of particular food. Mar. Biol. 142 : 669-672) Nystrom, M; C. Folke; F. Moberg. 2001. Coral reef disturbance and resilience in a human dominated environment. Trends Ecol. Evol. 15: 413-417. Parson, T.R; M. Takahashi; B. Hargrave. 1984. Biological Oceanographic Processes. 3th edt. Pergamon Press. Oxford. Passano, K.N; L.M. Passano. 1971. The endodermal nerve net of Scyphozoa. J. Morphol. 133:105-124. Porter, J.W; O.W. Meier. 1992. Quantifications of loss and change in Floridian reef coral populations. American Zoologist. 32:625-640.
130 Porter, J.W; W.K. Fitt; W.K. Spero; C.S. Rogers; M.W. White. 1989. Bleaching in coral reefs : Physiological and stable isotope response. Proc. Nat. Acad. Sci. U.S.A. 86:9342-9346. Porter, J.W, S.K Lewis; K.G Porter. 1999. The effects of multiple stressor on the Florida keys coral reef ecosystem : a landscape hypothesis and a physiological test. Limnol Oceanogr. 44:941-949. Riddle, D. 2004. Playing with poison: Ultraviolet radiation. Advanced Aquarist Online 3(8), August 2004. (http://www.advanceaquarist.com/issues/ aug2004/ feature.htm) Salih, A; O. Hoegh-Guldberg; G. Cox. 1998. Bleaching responses of symbiotic dinoflagellates in corals : The effect of light and elevated temperature on their morphology and physiology. In: Greenwood J.G. and Hall N.J. (Eds). Procceding of the Australian Coral Reef Society 75th Anniversary Conference. Heron Island October 1997. The University of Queensland, Brisbane. Pp 199-216. Savina, L.A. 1991. Naturally occuring and laboratory induced bleaching in two Carribean coral species. Am. Zool. 31:48A Sebens, K.P. 1997. Coelenterata. In T.J. Pandian and F.J. Vernberg (eds). Animal energetics. Academic Press, San Diego California. Shick, J; W. Dunlap; J. Pearse; V. Pearse, 2002. Mycosporine-like amino acid content in four species of sea anemones in the genus Anthopleura reflects phylogenetic but not environmental or symbiotic relationships. Biol. Bull., 203:315-330.Sorokin, Y.I. 1993. Coral Reef Ecology. Springer-Verlag. New York. Sorokin, Y.I. 1993. Coral Reef Ecology. Springer-Verlag. New York. Stokes, D.R. 1972. The functional organization of conducting systems in the colonial hydroid Hydractinia echinata Fleming. Ph.D. Thesis, University of Hawaii, Honolulu. Suharsono. 1999. Bleaching event followed by mass mortality of coral in 1998 in Indonesia waters. In Romimohtarto (Ed.) Proceedings the ninth joint Seminar on Marine and Fisheries Sciences. Bali, 7-9 Desember 1998. Jakarta : JSPS dan LIPI, hal. 179-187. Suharyadi. 2003. Pengaruh Perbedaan Musim terhadap perubahan komunitas karang di kawasan terumbu karang selatan Pulau Panjang Jepara. Skripsi FPIK-UNDIP, Semarang Szmant, A; N.J. Gassman. 1990. The effects of prolonged bleaching on the tissue biomass and reproduction of the reef coral Montastrea annularis. Coral Reefs. 8: 217-224 Tchernov, D; M. Gorbunov; C. de Vargas; S. Yadav, A. Milligan, M. Hggblom; P. Falkowski, 2004. Membrane lipids of symbiotic algae are diagnostic of sensitivity to thermal bleaching in corals. Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 101, 37: 13531-13535.
131 Veron, J.E.N. 1995. Coral in space and time. Australian Institute of Marine Science Cape Ferguson, Townsville, Quensland. Warner, M.F; W.K. Fitt; G.W. Schmidt. 1996. Damage of Photosystem II in Symbiotic Dinoflagellates a Determinant of Coral Bleaching. Proc. Natl. Acad Sci USA 96 : 8007-8012. Westmacott, S; K. Teleki., S. Wells; J. West. 2000. Pengelolaan terumbu karang yang telah memutih dan rusak. IUCN, Switzerland and Cambridge. Wicaksono, H. 2005. Analisis kualitas air dan keragaman terumbu karang di lingkungan Pulau Panjang Jepara. Skripsi, FPIK-UNDIP semarang. Wilkinson, C.R. 1999. Global and local threats to coral reef functioning and existences : Review and predictions. Mar. Fresw. Res. 50: 867-878 Wilkinson, C.R 2000. Status of coral reefs of the world : 2000. Australian Institute of Marine Science. Townsville, Australia. Zamani, N.P. 1995. Effects of environmental stress on cell division and other cellular parameters of zooxanthellae in the tropical symbiotic anemone Heteractis malu, Huddon and Shackleton. Ph.D. Thesis in tropical coastal management the Univ. of Newcastle upon tyne, UK., 261p
133
KAJIAN TRANSLOKASI BEBERAPA CLADE ZOOXANTHELLAE TERHADAP SINTASAN DAN PERTUMBUHAN KARANG Goniastrea aspera
Abstrak Teknik translokasi zooxanthellae antar inang pada biota karang merupakan salah satu upaya untuk memberikan pembuktian terhadap teori adaptasi Buddemeier dan Fautin (1983). Di samping itu, maraknya perdagangan karang akhir-akhir ini perlu diantisipasi masalisasi produk karang melalui tekniktektik buatan dengan tanpa menggantungkan sepenuhnya pada sediaan alamiah. Bioteknik translokasi zooxanthellae pada karang diperkirakan dapat memberikan pemecahan masalah tersebut. Dengan demikian, kajian translokasi dapat memberikan jawaban mendasar tentang pemulihan terumbu karang. Penelitian translokasi zooxanthellae ini bertujuan untuk : a) Mengevaluasi efek pengkayaan zooxanthellae terhadap perkembangan zooxanthellae pada jaringan polip Goniastrea aspera; b) Mengevaluasi efek pengkayaan zooxanthellae terhadap perkembangan zooxanthellae pada jaringan polip Goniastrea aspera, b) Mengevaluasi efek pengkayaan zooxanthellae terhadap translokasi pada jaringan polip binatang karang dan c) Mengkaji pengaruh translokasi terhadap pertumbuhan karang. Penelitian bersifat eksperimental. Biota uji adalah karang jenis Goniastrea aspera, sedang jenis zooxanthellae yang diperkaya dalam media inkubasi karang adalah jenis clade A, B dan C hasil pemurnian. Pengeraman bersifat resirkulasi pada lapangan indor Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Penelitian berlangsung selama 30 minggu. Penelitian dilakukan di BBPBAP Jepara dalam lingkungan perairan binaan maupun di perairan alami lingkungan kawasan terumbu karang Pulau Panjang Jepara mulai Maret 2007 – Agustus 2008. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : a) Translokasi yang terkendali oleh kondisi lingkungan khususnya temperatur memberikan respon positif terhadap proses relokasi dan pertumbuhan zooxanthellae pada jaringan polip Goniastrea aspera, b) Translokasi zooxanthellae pada Goniastrea aspera pasca bleaching pada lingkungan binaan terjadi pada hari ke 17, sedangkan di perairan alami dapat terjadi lebih dini; c) Proses pengenalan, penempatan dan pertumbuhan zooxanthellae memungkinkan karang Goniastrea aspera dapat tumbuh secara normal di media alami. Abstract Inter-host translocation technique of zooxanthellae was attempted to prove Buddemeier and Fautin (1983) theory on adaptation. The recent trend of coral products trading must be anticipated by its mass production through artificial techniques, the alternation of natural resources. Translocation bio-technique of zooxanthellae on coral was expected to resolve the problem and the translocation study should provide fundamental answer to coral reclamation.
134
The study of zooxanthellae translocation was proposed to: a) Evaluate the effect of zooxanthellae enrichment on its growth on Goniastrea aspera polyp tissue; b) Evaluate the effect of zooxanthellae enrichment on its translocation on coral polyp tissue, and c) Investigate the effect of translocation on coral growth. The research was experimental, involving coral species Goniastrea aspera, and purified zooxanthellae clade A, B and C with circulating incubation condition in Main Center of Brackishwater Aquaculture Development Jepara indoor area. The experiment took place for 30 weeks in both model environment waters and natural environment waters of Jepara Pulau Panjang coral area from March 2007 to August 2008. The research showed that: a) In the controlling of temperature environment on translocation provided positive response of Goniastrea aspera’s normal life, relocation and growth rate of zooxanthellae as in nature, b) In the artificial waters, translocation zooxanthellae to polyp tissue of Goniastrea aspera occured at day 17 and more fast in the natural waters and c) recognition, resettlement, and growth process of zooxanthellae made it possible for Goniastrea aspera to grow normally in natural waters. Pendahuluan Terumbu
karang
merupakan
ekosistem
yang
mempunyai
keanekaragaman hayati tinggi dan memainkan peranan penting dalam siklus biogeokimia laut. Secara spesifik ekosistem ini dibentuk oleh species kunci yaitu karang. Karang sebagai penyusun utama terumbu mampu menyediakan nutrien sehingga menjadikan wilayah ini sebagai perairan yang subur. Penentuan produktivitas yang tinggi ini terutama disumbangkan secara bersama dengan simbionnya yaitu zooxanthellae. Hubungan timbal balik secara fisiologis ini dimanfaatkan oleh zooxanthellae memproduksi bahan-bahan organik dan terkonstribusi kepada karang untuk reproduksi, pertumbuhan (dalam bentuk deposit CaCO3) serta rekolonisasi. Sebaliknya karang menjadi suatu gudang nutrisi bagi perkembangan zooxanthellae. Keberhasilan hubungan simbiosis antara karang dan zooxanthellae dapat dilihat dari besarnya keragaman dan usia karang yang sangat tua, berevolusi pertama kali lebih dari 200 juta tahun yang lalu (Burke et al., 2002). Pada dua dekade terakhir hubungan simbiosis ini mengalami ujian yang sangat berarti dan mengancam eksistensinya sebagai ekosistem yang mempunyai keanekaragaman hayati tinggi yaitu berupa pemutihan. Kejadian pemutihan pada karang memberikan tekanan baik kepada inang maupun simbion sekaligus. Tekanan ini diimplementasikan dengan keluarnya atau terlepasnya zooxanthellae dari jaringan
135
ikat sel baik pada endoderm maupun mesoglea. Kemampuan pulih dari tekanan akibat temperatur ini dibuktikan dengan persyaratan masih tertahannya zooxanthellae di sebagian jaringan polip sebagaimana pada uji degradasi jaringan polip dan ketahanannya. Hal yang sama juga diinformasikan oleh Glasson (1993). Proses simbiosis zooxanthellae dan karang dikemukakan oleh Coffort dan Santos (2005) bahwa sebagian besar transduksi terjadi sejak masa embrionik karang. Pengamatan yang dilakukan oleh La Jeunesse et al., (2003) dan Pochon et al., (2001) mengindikasikan hal yang sama. Dalam hal ini type zooxanthellae C17 hanya ditemukan pada Montipora Spp; C22 hanya ditemukan pada Turbinaria Spp dan C27 ditemukan hanya pada Pavona varian pada kedalaman 10 meter. Pochon et al., (2001) menemukan bahwa Foraminifera ditransduksi terutama oleh Symbiodinium type clade F. Pengamatan ini diindikasikan oleh hanya ditemukannya clade tunggal zooxanthellae pada karang yang sudah dapat teridentifikasi. Namun demikian dalam perkembangannya, dinyatakan oleh Schwarz et al., (2008) bahwa justru terjadinya transduksi secara turunan hanya sebagian kecil yang dialami oleh karang. Dalam penelitiannya terhadap keberadaan
zooxanthellae
pada
berbagai
stage
perkembangan
karang,
dikemukakan bahwa zooxanthellae hanya sedikit ditemukan pada masa telur Acropora palmata dan Montastraea faveolata. Namun dalam perkembangannya menjadi planula justru transduksi dari alam yang lebih banyak ditemukan. Coffroth et al., (2001) menyatakan bahwa jenis yang awalnya tertransduksi oleh clade tertentu mungkin akan berkembang simbionnya hingga dewasa. Namun dalam perkembangannya apabila secara terbuka terjadi transduksi clade baru, maka clade baru ini akan menyusun bentuk baru memperkaya clade sebelumnya. Selanjutnya berkenaan dengan analisis ragam jenis dan ragam inang diperoleh keterangan dari hasil uji DNA yang dilakukan oleh Rowan dan Powers (1991) bahwa tidak hanya satu jenis zooxanthellae di perairan dan di samping itu juga diinformasikan Pocillopopra damicornis dan Pocillopora meandrina mempunyai 2 (dua) clade zooxanthellae yang sama. Ini berarti bahwa ditemukan genotip algae yang sama pada inang yang berbeda. Keterangan ini mungkin sudah cukup untuk membuktikan bahwa ada kemungkinan silang simbiont antar karang satu dengan lainnya, serta tidak menutup kemungkinan silang antar invertebrate
136
laut khususnya organisme yang hidup dalam satu ekosistem seperti Sea Anemon dan Tridacna. Karang yang mengalami tekanan temperatur dan terjadi pemutihan secara parsial yang oleh kondisi lingkungannya mengalami pemutusan efek. Pada kondisi dapat bertahan hidup maka biota ini mempunyai potensi tertransduksi oleh simbion lain. Hal ini didasarkan pada potensi transduksi sebagaimana dinyatakan oleh Coffroth et al., (2001). Di samping itu, juga diketemukan bahwa potensi transduksi yang semakin meningkat pada perkembangan stadianya dibandingkan dengan masa stadia awal yaitu telur dan planula (Schwarz et al., 2008). Jeda waktu pemulihan memberikan peluang terjadinya pengenalan dan transduksi. Dasar inilah yang melatarbelakangi adanya kajian translokasi antar clade. Penelitian ini merupakan penggabungan dari dua tahap penelitian sebelumnya yang berdiri secara parsial. Keduanya merupakan dukungan terhadap kajian translokasi yang diteliti pada tahap akhir. Berkenaan dengan hal tersebut, maka penelitian translokasi zooxanthellae ini bertujuan untuk : 1. Mengevaluasi efek pengkayaan zooxanthellae terhadap perkembangan zooxanthellae pada jaringan polip Goniastrea aspera; 2. Mengevaluasi efek pengkayaan zooxanthellae terhadap translokasi pada jaringan polip binatang karang; 3. Mengkaji pengaruh translokasi terhadap pertumbuhan karang. Metodologi Penelitian tentang translokasi beberapa clade
zooxanthellae dan efek
lanjutnya tehadap pertumbuhan karang Goniastrea aspera merupakan seri ketiga dari
penelitian
sekuensial
sebelumnya
tentang
uji
keragaman
genetik
zooxanthellae dan kajian pertumbuhannya di lingkungan binaan dan uji degradasi polip karang dan ketahanan biota karang pasca pemutihan. Berkenaan dengan hal tersebut maka diperlukan perangkat metodologi sebagaimana uraian berikut. Peralatan Percobaan Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini secara rinci diuraikan sebagai berikut : Peralatan kejut temperatur berupa thermoregulator kapasitas 25– 40oC; set peralatan bak penangkaran, aerator yang dilengkapi dengan batu aerasi
137
dan selangnya; pencahayaan neon hijau. Peralatan inkubasi karang dan pemassalan zooxanthellae : bak 5 ton, aerator yang dilengkapi dengan batu aerasi dan selangnya; pencahayaan neon hijau. Peralatan uji diversitas zooxanthllae seperangkat peralatan PCR (Polymerase Chain Reaction) mencakup PCR thermocycler, elektrophoresis chamber dan UV transiluminator. Peralatan analisis kualitas air media : seperangkat penangas (water heater dan stirer) dan filter air, deionyzed water instrument; thermometer skala 50oC, refraktometer dan spectrophotometer. Peralatan untuk penerapan temperatur adalah thermoregulator. Bahan Percobaan Bahan uji adalah zooxanthellae clade A, B dan C yang dimurnikan dari kombinasi berbagai sumber inang tridacna, sea anemon, karang Acropora, Favites dan Gonistrea aspera. Jenis clade yang dipergunakan dalam percobaan tahap ini sebelumnya telah dilakukan pentahapan pemurnian mengikuti tata cara sebagaimana dihasilkan pada percobaan penumbuhan massal. Di samping itu juga didasarkan peneraan genetiknya. Bahan ini dipergunakan sebagai bahan penyilang untuk translokasi di dalam media pengeraman karang. Karang yang akan dipergunakan sebagai bahan percobaan adalah jenis Gonistrea aspera. Jenis ini selain dipergunakan sebagai penera translokasi juga dipergunakan untuk telaah respon pertumbuhannya. Alyzarin red sebagai bahan pewarna untuk pertumbuhan karang dan plastik pembungkus. Bahan analisis kualitas air untuk analisis oksigen terlarut, nitrit, ammonia, ammonium dan orthofosfat, bahan analisis untuk diversitas zooxanthellae sebagaimana dirinci dalam prosedur analisis zooxanthellae sebagaimana diinformasikan pada Bab III. Tahapan Penelitian Untuk mengarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai, maka dilakukan beberapa langkah kegiatan yang dirinci sebagaimana diuraikan berikut. a. Penataan Peralatan Percobaan translokasi merupakan percobaan sekuensial akhir dari serangkaian percobaan sebelumnya. Sebagai percobaan sekuensial, maka perlakuan yang akan diterapkan bergantung kepada hasil dari dua percobaan sebelumnya, yaitu :
138
Hasil percobaan penumbuhan massal dan ragam genetik zooxanthellae dihasilkan tiga jenis clade serta pengaturan peubah utama optimum berdasarkan hasil penelitian seri pertama. Clade yang ditemukan adalah jenis A, B dan C, sedangkan peubah utama media yang perlu dipertahankan adalah pengaturan lingkungan indoor, temperatur <25oC dengan pencahayaan hijau (green).
Hasil percobaan parsial seri kedua yaitu uji degradasi dan pulih diri jaringan polip goniastrea aspera terhadap terapan berbagai taraf temperatur menghasilkan terapan kejut temperatur 36oC dalam waktu 6 jam.
Dua hasil percobaan tersebut selanjutnya diimplementasikan dalam kerangka waktu yang sesuai, sehingga media inkubasi karang maupun media pengkayaan zooxanthellae sudah dipersiapkan. Adapun sketsa penyiapan peralatan khususnya menyangkut pengaturan aliran air yang berisi zooxanthellae bersifat resirkulasi seperti disajikan pada Gambar 28. E
A
Zooxanthellae Clade A
A
A
B
Zooxanthellae Clade C
D
D
D
C
Zooxanthellae Clade B
B
B C
C
Keterangan :
A = Bak massalisasi zooxanthellae, dengan volume 1 ton; B = Bak inkubasi karang, dengan volume 5 ton; C = Pengumpul sementara resirkulasi, dengan volume 0,5 m3; D = Thermoregulator E = Instalasi air laut yang telah difilter Pengaliran dari bak massalisasi zooxanthellae menuju bak inkubasi dilakukan secara gravimetrik yang diatur dengan kran pengatur Pemompaan dari bak pengumpul (C) ke bak pengkayaan (A) dilakukan dengan pemompa mekanik
Gambar 28.
Sketsa Penataan Peralatan Uji Translokasi Zooxanthellae pada Goniastrea aspera yang telah dipemutihankan
139
b. Pelaksanaan Penelitian Translokasi b.1. Aklimatisasi Specimen karang sebelum dimasukkan ke dalam masing-masing unit translokasi dimasukkan dalam bak ukuran 10 ton untuk aklimatisasi selama 2 hari di dalam ruang indoor. Pengisian airnya telah difilter dengan ukuran 0,2 m dan air lautnya telah ditreatment dengan UV untuk mencegah masuknya pengaruh nutriphilik phytoplankton dan bakteri. Fluktuasi temperatur di media specimen tersebut berkisar antara 20-25oC. Jenis karang yang nantinya akan dicobakan adalah jenis karang yang tidak ada perubahan warna, produksi mukus, penjuluran polip atau ciri lain yang menunjukkan adanya tekanan faali pada specimen. Ciriciri tersebut dideteksi selama masa aklimatisasi (Nordemar et al., 2003). Aklimatisasi dimaksudkan untuk mendapatkan contoh yang sehat sehingga dapat mengeliminasi pengaruh lain selain dari efek perlakuan. Dalam hal ini aklimatisasi dilakukan kepada spesimen yang akan dicobakan dengan jumlah dan skenario analisis sebagaimana diperlihatkan pada Tabel berikut. Tabel 14. Pengelolaan Sample Tiap Perlakuan Sampling pada minggu ke
Jumlah sample (koloni)
0
2 2
3
2 6
6
9 12 15 17 Jumlah
5 2 2 4
2 2 2 2 33
Analisis Densitas Jaringan DNA (4 koloni diambil 2 dari sisa analisis densitas zooxanthellae dan 2 sisa analisis jaringan polip karang) Densitas DNA (kukurangan 2 koloni diambil 2 dari sisa analisis densitas zooxanthellae) Pertumbuhan Densitas Jaringan DNA (kukurangan 4 koloni diambil 2 dari sisa analisis densitas zooxanthellae dan 2 koloni dari sisa analisis jaringan) Densitas Densitas Densitas Densitas
b.2. Kejut Temperatur Kejut temperatur yang diberlakukan pada tahap ini adalah temperatur 36oC selama 6 jam. Kejut temperatur ini dilakukan secara bersamaan pada tiga seri bak inkubasi karang yang telah dipersiapkan sebelumnya. Media bak inkubasi karang
140
selama penerapan kejut temperatur adalah air laut tanpa aliran zooxanthellae. Setelah 6 jam media yang diberlakukan penerapan temperatur 36oC, thermoregulator dimatikan dan dilepas. Setelah jeda beberapa waktu
hingga
temperatur menjadi normal diikuti dengan pengaliran zooxanthellae dari bak pemassalannya. b.3. Pengkayaan Zooxanthellae Pengkayaan zooxanthellae yang dialirkan ke dalam bak inkubasi karang yang telah diputihkankan dimaksudkan untuk melakukan upaya terjadinya translokasi melalui peningkatan peluang acak bagi bertemunya zooxanthellae dengan karang. Peluang acak merupakan salah satu cara terjadinya transduksi simbion dengan inang (Hoegh-Guldberg dan Hinde, R. 1986). Selanjutnya menurut Lenhoff (1974) bahwa peluang acak merupakan peristiwa awal dari proses translokasi atau yang dinyatakan sebagai proses pengenalan (recognition). Untuk mendapatkan konsentrasi zooxanthellae maksimum maka sesuai dengan hasil percobaan seri pertumbuhan zooxanthellae diperlukan tahap-tahap pemassalan
sebagaimana
telah
dilakukan
pada
percobaan
pertumbuhan
zooxanthellae. Dalam hal ini diperoleh kadar zooxanthellae maksimum untuk masing-masing bak adalah :
Clade A sebesar 18,26 x 105 ind/liter Clade B sebesar 21,19 x 105 ind/liter Clade C sebesar 19,84 x 105 ind/liter
Ketiganya tidak mempunyai perbedaan pertumbuhan, meskipun diaplikasikan pada bak yang lebih besar. Air yang telah diperkaya zooxanthellae dari bak pemassalannya kemudian dialirkan ke dalam bak inkubasi karang setelah 6 jam masa pemutihan dan air telah dikeluarkan sebanyak 80%. Selanjutnya dilakukan pengurangan aliran dari bak massalisasi zooxanthellae menuju bak inkubasi karang dengan sebesar sekitar debit 2 liter/menit. Air buangan setelah pemutihan karang dibuang, sedangkan air setelah pengkayaan zooxanthellae dialirkan kembali ke dalam bak massalisasi zooxanthellae setelah ditampung di dalam bak penampung dengan debit yang sama dengan mempergunakan mesin pengisap. Sistem yang dipakai adalah sistem resirkulasi.
141
Waktu pengeraman Goniastrea aspera selama pengkayaan zooxanthellae dilakukan selama waktu yang diperkirakan cukup bagi terjadinya transduksi. Hal ini juga didasarkan bahwa dalam kurun waktu 1 minggu dari hasil percobaan tahap pertama yaitu uji ketahanan karang, Goniastrea aspera memperlihatkan potensi tetap bertahan hidup di perairan alami. Oleh sebab itu, untuk menghindari tekanan bagi obyek penelitian (Goniastrea aspera) maka sistem sirkulasi air seminimal mungkin diupayakan terkena kontak dengan media lain. Dalam hal ini hanya penambahan air dari air laut yang telah difilter secara bertingkat di lingkungan laboratorium. Setelah masa pengeraman dilakukan maka sebagian contoh dipindahkan ke lingkungan perairan terumbu karang selatan Pulau Panjang Jepara. Jumlah contoh yang dipindahkan ini adalah seperti diperlihatkan pada tabel pengelolaan contoh. Pada
kondisi
diperoleh
kepastian
translokasi
yang
diindikasikan
oleh
tertransduksinya zooxanthellae media ke jaringan polip karang yang dieramkan pasca pemutihan maka dilakukan pemisahan 5 contoh karang pada masing-masing media pengeraman untuk dilakukan kajian pertumbuhan mempergunakan teknik pewarnaan (Sya’rani, 1993). b.4. Percobaan Pertumbuhan Percobaan pertumbuhan dimaksudkan untuk mengetahui pertumbuhan karang pasca pemutihan dan pasca translokasi. Pertumbuhan karang itu sendiri merupakan penambahan deposit CaCO3 akibat proses kalsifikasi yang dilakukan oleh polip karang. Dengan kemampuan untuk tumbuh dari karang tersebut, maka diduga biota tersebut dapat bertahan hidup serta terjadi proses penataan pengalokasian tumbuhnya zooxanthellae di dalam jaringan tubuhnya. Apabila ditemukan jenis zooxanthellae non endemik bagi biota tersebut diperkirakan translokasi dapat mewarnai proses pengalokasian atau replacement ke dalam jaringan endoderm polip yang mengalami pertumbuhan tersebut. Untuk percobaan pertumbuhan ini, maka contoh specimen karang diwarnai dengan mempergunakan Alyzarin Red (Stoddart, 1978; Sya’rani, 1993). Dalam hal ini Alyzarin red yang dipergunakan sebanyak 1 gr pada plastik berukuran 10 liter. Pewarnaan dilakukan dalam waktu 6 sampai 7 jam dengan cara memasukkan koloni dalam plastik yang telah dipersiapkan zat warnanya, setelah itu plastik
142
dibuka dan rangka terwarnai sebagai awal pertumbuhan. Contoh Goniastrea aspera yang diwarnai kemudian ditaruh kembali di perairan alami. Peubah Uji a. Pengukuran pertumbuhan koloni Untuk maksud percobaan pertumbuhan maka akan dilakukan pendekatan kajian penambahan deposit CaCO3 (Stoddart, 1978; Sya’rani, 1993). Pengukuran dilakukan selama tiga bulan. Contoh yang diambil dari perairan alami (perairan terumbu karang Selatan Pulau Panjang Jepara) sebanyak 5 koloni selanjutnya direndam dalam larutan Sodium Hipochlorit (NaClO) 25% (Sya’rani, 1993) selama 2 jam. Specimen Goniastrea aspera yang telah direndam, diangkat dan dibilas dengan semprotan air tawar. Dengan penyemprotan ini maka akan nampak warna putih penambahan deposit CaCO3 dan warna pemisah awal akibat pengeraman dengan Alyzarin red beberapa waktu sebelumnya. Pengukuran pertumbuhan dilakukan dengan cara mengukur pertambahan panjang deposit CaCO3 tiap corralite pada specimen Goniastrea aspera, sebanyak 15 buah setiap specimen. Pengukuran pertambahan panjang deposit CaCO3 diukur dari pangkal warna merah pada koloni tersebut di bawah mikroskop monokuler dengan perbesaran 100 kali. b. Konsentrasi Zooxanthellae Dalam hal ini pengukuran konsentrasi zooxanthllae dilakukan dalam periode tiga minggu. Untuk keperluan ini, maka diambil tiga buah koloni dan dilakukan prosedur pengukuran seperti telah diuraikan pada Bab IV. Contoh ini dipergunakan secara bersama dengan uji histologis. c. Evaluasi Histologis Di samping kajian terhadap perubahan densitas zooxanthellae juga akan dilakukan pengukuran histologis dari jaringan polip karang. Pembuatan sayatan histologis polip karang ini selain dimaksudkan untuk mengevaluasi bentuk visual tingkat kepadatan zooxanthellae dalam jaringan juga untuk mengevaluasi proses replacement zooxanthellae di dalam jaringan polip karang. Pengukuran histologis melalui tahapan sebagaimana dilakukan oleh Nordemar et al., (2003). Adapun tahapan untuk mendapatkan sayatan histologis yang siap untuk pemotretan adalah
143
sebagai telah diuraikan pada Bab IV. Untuk keperluan ini maka pembuatan sayatan dilakukan pada awal pasca pengkayaan zooxanthellae. d. Diversitas DNA Uji diversitas DNA zooxanthellae dilakukan pada period yang sama dengan analisis histologis, yaitu pada awal pasca translokasi atau akhir pemutihan serta pada akhir inkubasi baik di bak inkubasi maupun di perairan alami. Analisis keragaman DNA zooxanthellae mempergunakan metoda RLFP dengan dengan teknik sebagaimana diinformasikan pada Bab III. d. Analisis Kualitas Air Adapun data penunjang adalah beberapa peubah kualitas air. Untuk memberikan deskripsi tentang perubahan kondisi lingkungan maka dilakukan pengukuran secara periodik terhadap beberapa peubah lingkungan, baik di lingkungan perairan alami tempat diletakkannya specimen pasca translokasi maupun di lingkungan bak inkubasi karang. Rincian tentang jenis peubah, metoda pengukuran dan periode pengukuran faktor lingkungan pendukung ini adalah sebagaimana disajiikan pada Tabel 15. Tabel 15. Peubah yang diukur, metoda dan periode pengukuran No 1 2 3 4 5 6
Peubah Temperatur Salinitas Ammonia Nitrit pH Oksigen terlarut
Satuan o
C /oo mg/l mg/l mg/l o
Metoda Thermometer Refraktometer Spectrophotometer Spectrophotometer pH meter Tetrimetrik
Periode Ukur Bak Inkubasi Laut Mingguan Mingguan Mingguan Mingguan Mingguan Mingguan Mingguan Mingguan Mingguan Mingguan Mingguan Mingguan
Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan dalam dua seria secara berurutan. Proses pengeraman dilakukan di Laboratorium Pakan Alami dan Genetika Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Setelah proses pengeraman, materi diinkubasi di lingkungan perairan terumbu karang Selatan Pulau Panjang Jepara. Waktu pelaksanaan kajian ini dilaksanakan dalam dua tahap, Tahap satu yaitu masa inkubasi 10 hari dilakukan pada Maret 2007 hingga September 2008. Tahap kedua yaitu masa inkubasi 17 hari dilaksanakan antara
144
Maret 2008 sampai dengan Agustus 2008. Jeda waktu antara tahap pertama dan kedua disebabkan karena pengaruh musim.
Evaluasi Data Evaluasi terhadap uji translokasi zooxanthellae pada jaringan polip binatang karang akan ditelusur dengan pertumbuhan karang, sintasan karang, perkembangan densitas zooxanthellae, transduksi zooxanthellae non endemik (lain), profil penempatan (replacement) zooxanthelae secara histologis. Data yang terkumpul tersebut menjadi tolok ukur dari keberhasilan tranlokasi. Oleh sebab itu, evaluasi data didasarkan kepada kajian deskriptif maupun kuantitatif. Data kuantitatif terhadap kadar zooxanthellae dianalisis melalui analisis ragam. Demikian juga dengan pertumbuhan antar media pengkayaan dilakukan pengujian analisis ragam. Pembeda ragam DNA pada contoh Goniastrea aspera yang diputihkan untuk menentukan kekerabatan akibat transduksi pengkayaan dikaji dengan menerapkan analisis cluster. Hasil Percobaan Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan proses translokasi zooxanthellae adalah suatu proses teralokasikannya jenis zooxanthellae dari suatu inang ke inang lain (Goniastrea aspera) melalui suatu tahapan transduksi. Proses penyebab translokasi tersebut diimitasi dari kejadian alam terutama adanya perubahan temperatur yang ekstrim. Akibat perubahan temperatur yang ekstrim ini menyebabkan terjadinya pemutihan pada karang. Informasi mengenai pemutihan pada karang akibat temperatur telah banyak didokumentasikan baik di alam maupun laboratorium (Coles dan Jokiel, 1976; Hoegh-Guldberg dan Smith, 1989). Dalam beberapa kasus setelah mengalami pemutihan, karang dapat pulih kembali dalam kurun waktu yang lambat. Meskipun demikian, proses pemulihan di alam masih sulit dijelaskan (Fitt et al. 2000). Dua pendekatan penelitian yang dilakukan, yaitu uji ketahanan dan uji translokasi zooxanthellae yang dilakukan merupakan penjelasan potensi pemulihan baik dalam bentuk kuantitatif maupun kualitatif khususnya terkait dengan batasan waktu. Bentuk kuantitatif dijelaskan oleh perubahan densitas
145
zooxanthellae, sintasan dan pertumbuhan, sedangkan bentuk kualitatif dijelaskan oleh perkembangan penempatan (resettlement) zooxanthellae dalam jaringan polip karang hasil pengkayaan. Atas dasar hal tersebut, maka proses translokasi dalam penelitian ini akan mempergunakan tolok ukur kuantitatif tersebut serta bentuk visual pada indikasi proses penempatan pada jadingan polip. Diversitas Zooxanthellae dan replacement-nya pada jaringan polip Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu habitat di laut yang mempunyai
keanekaragaman tinggi di bumi. Terbentuknya keragaman yang
tinggi tersebut tidak lepas dari pengaruh hubungan simbiosis mutualistiknya dengan simbion dinoflagellata (Hallock, 2001). Simbion ini adalah algae bersel tunggal yang umum dinamakan zooxanthellae serta secara dominan merupakan genus dinoflagellata. Hubungannya sangat luas dengan berbagai inang seperti protiss, Porifera, Cnidaria dan molusca (Glynn, 1996; Lobban et al., 2002; Rowan, 1998; Trench, 1993). Pada sebagaian besar kasus kehidupannya, maka aglae ini (zooxanthellae) terjadi secara intraselluler dalam jaringan polip karang. Keberadaannya dalam dalam jaringan polip karang tersebut adalah bergerombol atau membentuk suatu kompleks di sekitar vacuole sel inang (Colley dan Trench, 1983; Wakefield dan Kempf, 2001). Pada beberapa invertebrata lain (genera Hippopus dan Tridacna), simbion zooxanthellae ini berada dalam suatu sistem tubular (Norton et al., 1992). Berkaitan dengan percobaan translokasi ini, maka telah diukur diversitas zooxanthellae berdasarkan keragaman DNA. Pengukuran DNA zooxanthellae sebagai dasar tercapainya proses translokasi tidak dapat ditempuh dalam satu kali percobaan, mengingat bahwa informasi aplikasi pendukung terhadap efek pengkayaan zooxanthellae belum diinformasikan secara terinci. Indikasi awal yang dijadikan ukuran adalah adanya potensi pemulihan (recovery) dari karang yang telah diputihkan pada percobaan degradasi jaringan polip karang dan uji ketahanannya setelah mengalami pemutihan sebagaimana dikaji pada tahap penelitian sebelumnya. Dalam hal ini diperoleh keterangan bahwa penerapan temperatur 36oC selama 6 jam dapat pulih kembali pada minggu ke 2. Oleh sebab itu tingkat translokasi akibat efek pengkayaan zooxanthellae tersebut dilakukan dalam beberapa tahap :
146
Tahap I :
Diversitas DNA zooxanthellae jaringan polip Goniastrea aspera pasca Pemutihan berdasarkan waktu inkubasi 10 hari dalam media pengkayaan zooxanthellae;
Uji diversitas DNA zooxanthellae pada Goniastrea aspera pasca pemutihan berdasarkan waktu inkubasi dilakukan dengan cara mengeramkan obyek penelitian pada media yang telah diperkaya kepadatan zooxanthellae selama kurun waktu tertentu. Inkubasi Goniastrea aspera pasca pemutihan pada periode pertama ini dilakukan dalam kurun waktu waktu 10 hari. Waktu inkubasi pendek selama 10 hari didasarkan kepada hasil analisis pada uji degradasi jaringan polip karang dan ketahanannya pasca pemutihan pada sekuen penelitian sebelumnya. Dalam hal ini indikasi pemulihan (recovery) dapat berlangsung dalam kurun waktu 2 minggu, sementara itu Lenhoff (1974) mengemukakan bahwa proses recognisi zooxanthellae hingga transduksinya pada jaringan polip karang yang terjadi secara acak dapat berlangsung selama 7 hari. Hal yang sama diinformasikan oleh Glasson (1993) meskipun tidak menyebutkan waktu bahwa dalam kondisi terjadi pemutihan parsial dengan dukungan ketersediaan nutrisi dan menurunnya tekanan lingkungan maka dengan cepat karang dapat pulih kembali. Hewan uji yang telah dikenakan pengeraman pada media yang diperkaya zooxanthellae dalam kurun waktu 10 hari selanjutnya dipisahkan dalam dua kondisi, yaitu lingkungan perairan alami (daerah terumbu karang di Selatan Pulau panjang Jepara) dan di lingkungan binaan yang disesuaikan dengan kondisi alami. Setelah tiga (3) minggu dan enam (6) minggu sejak awal inkubasi pasca pengeraman dilakukan analisis diversitas DNA untuk mengevaluasi keberhasilan translokasi. Penempatan contoh pasca pengeraman di lingkungan perairan alami kawasan terumbu karang selatan Pulau Panjang Jepara dilakukan pada lokasi kedalaman antara 3 meter hingga 5 meter. Dari hasil amplifikasi PCR terhadap contoh DNA zooxanthellae yang diekstrak dari masing-masing media pengkayaan zooxanthellae diperoleh pita-pita yang bervariasi (Gambar 29).
147
A. Minggu Awal
B. Minggu Ketiga setelah mengalami pengkayaan zooxanthellae Pengkayaan Clade A
Pengkayaan Clade B
Pengkayaan Clade C
C. Minggu Keenam setelah mengalami pengkayaan zooxanthellae Pengkayaan Clade A
Pengkayaan Clade B
Pengkayaan Clade C
Gambar 29.
Pola Pita DNA Zooxanthellae pada Jaringan Polip Goniastrea aspera yang diperkaya dengan Zooxanthellae Clade A, B dan C pada masa inkubasi 10 hari.
148
Dari pita pemotretan analisis DNA dapat diketahui besarnya pasangan basa masing-masing contoh. Analisis phylogenik untuk mengetahui kekerabatan DNA contoh dilakukan terhadap semua tahapan pengujian DNA, yaitu waktu pengujian awal, minggu ketiga dan minggu keenam. Hasil analisis phylogenik tersebut didasarkan kepada indikasi pasangan basa dari masing-masing pengukuran DNA dengan pembandingan nilai pasangan basa beberapa clade yang diperoleh dari Genbank. Kode akses pembanding adalah EU449053 (Clade A); EU449026 (Clade A); EU449070 (Clade B); EU449072 (Clade B); EU449066 (Clade B); EU333740 (Clade C); EU333737 (Clade C); EU333735 (Clade C); EU333707 (Clade D) dan EU333708 (Clade D). Hasil analisis phylogenik tersebut adalah seperti terlihat pada Gambar 30. Hasil analisis phylogenik di atas memperlihatkan bahwa konsentrasi tipe zooxanthellae lebih dominan dari jenis Clade A, yaitu sebesar 94,7% dari keseluruhan zooxanthellae yang diuji sejak dari awal pengujian hingga minggu keenam setelah inang Goniastrea aspera diinkubasikan di perairan alami maupun binaan. Clade B, Clade C dan Clade D hanya ditemukan tertransduksi pada 4 inang Goniastrea aspera atau 5,3% dari total pengujian DNA. Hasil rekapitulasi analisis phylogenik berdasarkan waktu pengujian, media pengkayaan serta lokasi inkubasi adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Diversitas DNA pada Polip Goniastrea aspera pasca pemutihan dalam masa pengeraman 10 hari media Pengkayaan Zooxanthellae Waktu Pengukuran Awal Minggu III
Media Berdasarkan Jenis Clade Pasca pemutihan A B C
Minggu VI
A B C
Lokasi Inkubasi Media Binaan Perairan Alami Media Binaan Perairan Alami Media Binaan Perairan Alami Media Binaan Perairan Alami Media Binaan Perairan Alami Media Binaan Perairan Alami Media Binaan
Diversitas DNA pada Contoh : 1 2 3 4 A A A A A A A A A A A A A A A A A A A A A A A A A A A A A A A/C A/B A A A A A A A/D A A A A A A A A A/B A A A A
Keterangan : 1. Contoh diinkubasi pada perairan alami terumbu karang selatan Pulau Panjang Jepara. Contoh 1 dan 2 diinkubasi pada kedalaman 3 meter, sedangkan contoh 3 dan 4 diinkubasi pada kedalaman 5 meter. 2. Uji diversitas didasarkan kepada sekuen pembacaan hasil penghitungan nilai pasangan basa serta analisis phylogenik.
149
T1 : O-Apa1; T1 : 3-Amb2 T1 : 3-Bpa2; T1 : 3-Bpa4 T1 : 3-Bmb2; T1 : 3-Cpa2 T1 : 3-Cpa4; T1 : 3-Cmb2 T1 : 6-Apa1; T1 : 6-Bpa1 T1 : 6-Bpa3; T1 : 6-Bmb2 T1 : 6-Cpa1; T1 : 6-Cmb2 T1 : 3-Apa2; T1 : 3-Apa3 T1 : 3-Amb1; T1 : 3-Bpa3 T1 : 3-Cpa3; T1 : 6-Bpa2 T1 : 6-Cpa3 T1 : 3-Apa1; T1 : 3-Apa4 T1 : 6-Apa5; T1 : 6-Bpa5 T1 : 6-Bmb3; T1 : 3-Bmb1 T1 : 3-Bmb3 T1 : 3-Bmb4 T1 : 3-Cpa1 T1 : 3-Cmb1 T1 : 3-Cmb3; T1 : 3-Cmb4 T1 : 6-Apa2; T1 : 6-Apa3 T1 : 6-Amb1; T1 : 6-Amb2 T1 : 6-Amb3 T1 : 6-Amb4; T1 : O-Apa2 T1 : O-Apa3; T1 : O-Apa4 T1 : 3-Amb3; T1 : 3-Amb4 T1 : 3-Bpa1; T1 : 6-Bmb1 T1 : 6-Bmb4 T1 : 6-Cpa2 Clade A : EU449026 T1 : 6-Cpa4 T1 : 6-Cmb1 T1 : 6-Cmb3 T1 : 6-Cmb4 Clade A : EU449053 T1 : 6-Apa6 Clade B : EU449066 T1 : 6-Cpa5 Clade B : EU449079 Clade B : EU449072 T1 : 6-Apa4 Clade C : EU333740 Clade C : EU333737 Clade C : EU333735 T1 : 6-Bpa4 Clade D : EU333707 Clade D : EU333708
4
3 2 1 Minimun distance between clusters
0
Gambar 30. Hubungan kekerabatan DNA beberapa jenis zooxanthellae pada tahap uji diversitas DNA zooxanthellae pada media pengkayaan zooxanthellae selama masa inkubasi 10 hari. Outgrup diakses dari Genbank; Clade A dengan kode EU449053 dan EU449026; Clade B adalah EU449070, EU449072 dan EU449066; Clade C adalah EU333740, EU333737 dan EU333735; Clade D adalah EU333707 dan EU333708. T1 = Tahap 10 hari; 0 = peneraan awal; 3 = peneraan minggu ketiga dan 6 = peneraan minggu keenam. A, B dan C = media dengan pengkayaan Clade A, Clade B dan Clade C terhadap Goniastrea aspera pasca pemutihan; pa merupakan tempat inkubasi pada perairan alami; bm merupakan tempat inkubasi pada media binaan, pa merupakan tempat inkubasi di perairan alami dan 1, 2 ... merupakan jumlah contoh biota uji.
150
Hasil analisis diversitas DNA yang tertransduksi pada Goniastrea aspera berdasarkan periode pengeraman 10 hari dan inkubasi 3 serta 6 minggu berbagai tingkat clade diperoleh keterangan bahwa : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pada awal pemutihan tingkat kualitas DNA homogen yaitu clade A Pada media clade A terjadi transduksi alami dengan clade B dan C Pada media clade B terjadi transduksi alami dengan clade D Pada media clade C terjadi transduksi alami dengan clade B Pada media binaan (laboratorium) tidak terjadi transduksi Terdapat konsistensinya kandungan clade A Transduksi alami terjadi pada kedalaman 5 meter, sedang pada kedalaman 3 meter tidak terjadi transduksi alami Hasil analisis diversitas tahap ini sebagaimana diperlihatkan pada tabel di
atas
menunjukkan
bahwa
masa
pengeraman
selama
10
hari
belum
memperlihatkan potensi transduksi secara buatan. Namun demikian selama periode 6 minggu diindikasikan terjadi transduksi alami. Transduksi terjadi pada perairan alami terumbu karang pada kedalaman 5 meter. Tahap II : Diversitas DNA zooxanthellae pada Goniastrea aspera berdasarkan aplikasi kombinasi tahapan waktu inkubasi 17 hari dan peletakan inkubasi kedalaman di perairan alami. Tahap II tentang diversitas DNA zooxanthellae pada Goniastrea aspera berdasarkan aplikasi kombinasi tahapan waktu inkubasi dan peletakan tingkat inkubasi kedalaman di perairan alami dilakukan setelah terdapat jedah waktu 5 bulan dari tahap I akibat musim. Uji tahap ini memberlakukan waktu inkubasi 17 hari masa pengeraman hewan uji Goniastrea aspera pada tiap pemasalan clade zooxanthellae. Perpanjangan masa pengeraman didasarkan oleh hasil tahap I bahwa transduksi alami memberikan indikasi adanya potensi waktu transduksi dalam lingkungan binaan, kedua memberikan keleluasaan waktu bagi karang untuk melakukan proses regenerasi internalnya. Pada kondisi demikian diharapkan akan terjadi proses recognisi secara lebih lama sehingga memberikan peluang acak bagi clade eksternalnya untuk tertranslokasi. Inkubasi alami pada tahap ini dilakukan pada kedalaman 5 meter dengan pertimbangan bahwa pada tingkat kedalaman tersebut terdapat indikasi transduksi alami sebagaimana diperoleh pada penelitian tahap I. Transduksi alami
151
mengindikasikan bahwa peluang recovery lebih tinggi, sehingga memberikan peluang hidup hewan uji yang lebih besar. Adapun untuk menguji potensi transduksi dari proses pengeraman maka di lingkungan binaan juga akan dilakukan pengeraman pada media yang tidak diperkaya oleh zooxanthellae perlakuan. Berdasarkan tipe restriksi DNA dalam bentuk pita-pita amplifikasi DNA dari pengujian DNA zooxanthellae yang diekstrak dari biota uji Goniastrea aspera memperlihatkan veriasi yang lebih luas dibandingkan dengan kajian tahap pertama sebelumnya (Gambar 31). Hal ini ditandai dengan makin kompleksnya tingkat transduksi baik yang berasal dari media pengkayaan
maupun akibat
transduksi secara alami di lingkungan inkubasi obyek penelitian di perairan alami. A. Minggu Awal
B. Minggu Ketiga setelah mengalami pengkayaan zooxanthellae Pengkayaan Clade A
Pengkayaan Clade B
Pengkayaan Clade C
C. Minggu Keenam setelah mengalami pengkayaan zooxanthellae Pengkayaan Clade A
152
Pengkayaan Clade B
Pengkayaan Clade C
Gambar 31.
Pola Pita DNA Zooxanthellae pada Jaringan Polip Goniastrea aspera yang diperkaya dengan Zooxanthellae Clade A, B dan C pada masa inkubasi 17 hari.
Dari pasangan basa yang dihitung berdasarkan pita RPLF hasil amplifikasi PCR selanjutnya diuji tingkat kekerabatannya. Pengujian phylogenik pasangan basa hasil restriksi enzim pada pengujian DNA zooxanthellae dan padanan clade dari Genbank pada tahap kajian pengeraman selama 17 hari adalah seperti terlihat pada Gambar 32. Hasil rekapitulasi analisis phylogenik uji diversitas DNA pada tahap ini adalah sebagaimana disajikan pada tabel berikut. Tabel 17. Diversitas DNA pada Polip Goniastrea aspera pasca pemutihan dalam masa pengeraman 17 hari media Pengkayaan Zooxanthellae Waktu Pengukuran
Media Berdasarkan Jenis Clade
Awal
A B C
Minggu III
A B C
Minggu VI
A B C
Lokasi Inkubasi Perairan Alami Media Binaan Perairan Alami Media Binaan Perairan Alami Media Binaan Perairan Alami Media Binaan(1) Perairan Alami Media Binaan Perairan Alami Media Binaan Perairan Alami Media Binaan Perairan Alami Media Binaan Perairan Alami Media Binaan
1 A A A A A A A/D A A/B A/B A/C A A A A/B A/B A/C A/C
Diversitas DNA pada Contoh : 2 3 4 A A A A A A A A A/B A/B A A/C A A A/B A/B A/B/C A/C
A A A A A A A/B A A/B/C A/B A/B/C A/C A/C/D A A/B/D A/B A/B/C/D A/C
A A A A A A A A A/B A A/B/C/D A/C A/B A A/B/C A/B A/B/C A/C
Keterangan : 1. Contoh diinkubasi pada perairan alami terumbu karang selatan Pulau Panjang Jepara. Contoh diinkubasi pada kedalaman 5 meter. 2. Uji diversitas didasarkan kepada sekuen pembacaan hasil penghitungan nilai pasangan basa serta analisis phylogenik.
153
T2:O1, T2:O2, T2 : 6-Apa1 T2 : 6-Apa2, T2 : 6-Apa3 T2 : 3-Apa6, T2 : 3-Bpa1 T2 : 6-Amb1, T2 : 6-Amb2 T2 : 6-Amb3,T2 : 6-Amb4 T2 : 6-Bpa1, T2 : 3-Bpa3 T2 : 3-Bpa4; T2 : 3-Bpa1 T2 : 3-Bpa2; T2 : 3-Bpa3 T2 : 3-Bpa5; T2 : 3-Apa3; T2 : 3-Apa4 T2 : 3-Cmb4; T2 : 3-Bpa8 T2 : 3-Bmb7; T2 : 3-Cpa1 T2 : 3-Bmb1; T2 : 3-Bmb3; T2 : 3-Bmb5 T2:O3; T2:O4 T2 : 3-Apa1; T2 : 3-Cpa7 T2 : 3-Cpa3; T2 : 3-Cpa4 T2 : 3-Cmb1; T2 : 3-Cmb2 T2 : 6-Cmb1; Clade A : EU449053; T2 : 6-Cmb7 T2 : 6-Cmb3; Clade A : EU449026 T2 : 6-Cmb5; T2 : 6-Cpa10 T2 : 3-Cmb6; T2 : 6-Bpa5; T2 : 6-Bpa6 T2 : 6-Bmb7; T2 : 6-Bpa8 T2 : 6-Bpa3; T2 : 6-Apa6 T2 : 6-Bmb1; T2 : 6-Cpa3 T2 : 6-Bmb5; T2 : 6-Cpa1 T2 : 6-Bmb3; T2 : 3-Apa5 T2 : 3-Bpa6; T2 : 3-Bmb6; T2 : 3-Cpa5 T2 : 3-Bpa2; T2 : 3-Bpa9; T2 : 6-Bmb8 T2 : 6-Bpa9; T2 : 3-Bmb4 T2 : 3-Cpa8; T2 : 6-Bpa4; T2 : 6-Bmb4 T2 : 6-Cpa11; T2 : 6-Apa7; T2 : 6-Bpa2 T2 : 6-Bmb2; T2 : 6-Bmb6 T2 : 6-Cpa4; T2 : 6-Cpa7 Clade B : EU449079; T2 : 3-Bpa4 T2 : 3-Bmb2; Clade B : EU449072 T2 : 6-Cpa6; Clade B : EU449066 T2 : 3-Apa2 T2 : 3-Cpa10 Clade D : EU333707; T2 : 6-Bpa7 T2 : 6-Apa5; T2 : 6-Cpa9 Clade D : EU333708 T2 : 3-Bpa7 T2 : 3-Cpa9 T2 : 3-Cmb5; T2 : 6-Apa4 T2 : 6-Bpa10; T2 : 6-Cpa8 T2 : 6-Cmb2; T2 : 6-Cmb6 Clade C : EU333740; T2 : 6-Cpa2 T2 : 3-Cpa2; T2 : 3-Cmb3
T2 : 3-Cmb7; T2 : 6-Cpa5 T2 : 6-Cmb4; T2 : 6-Cpa12 T2 : 6-Cmb8; T2 : 3-Cpa6 Clade C : EU333735; Clade C : EU333737
2,5
2,0
1,5
1,0
0,5
0,0
Minimun distance between clusters Gambar 31. Hubungan kekerabatan DNA dari beberapa jenis zooxanthellae berdasarkan Analisis Cluster pada tahap uji diversitas DNA zooxanthellae dari jaringan polip Goniastrea aspera pasca pemutihan dalam 17 hari waktu inkubasi pada media pengkayaan zooxanthellae. Clade A diakses dari GenBank dengan kode EU449053 dan EU449026; Clade B adalah EU449070, EU449072 dan EU449066; Clade C adalah EU333740, EU333737 dan EU333735; Clade D adalah EU333707 dan EU333708. T2 : tahap kajian diversitas DNA kedua; 0 merupakan pengujian awal; 3 : pengujian minggu ketiga dan 6 : pengujian minggu keenam. A, B dan C merupakan media dengan pengkayaan Clade A, Clade B dan Clade C terhadap Goniastrea aspera pasca pemutihan; pa merupakan tempat inkubasi pada perairan alami; bm merupakan tempat inkubasi pada media binaan, pa merupakan tempat inkubasi di perairan alami dan 1, 2 ... merupakan jumlah contoh biota uji.
154
Hasil analisis diversitas DNA berdasarkan periode pengeraman 17 hari berbagai tingkat clade diperoleh keterangan bahwa : 1. Pada awal pemutihan mempunyai tingkat kualitas DNA homogen yaitu clade A 2. Baik pada media clade A, B maupun C selain terjadi transduksi bawaan pada masa pengeraman juga terjadi transduksi alami dengan clade B, C dan D 3. Pada media binaan (laboratorium) terjadi transduksi sesuai dengan clade media eksternalnya 4. Terdapat konsistensinya kandungan clade A 5. Kehomogenan awal menunjukkan tidak terkontaminasinya transduksi diindikasikan konsistensinya diversitas DNA awal dengan minggu III. 6. Tidak adanya transduksi non media eksternal pada media binaan selain jenis clade pada media eraman Berdasarkan hasil penelitian dalam dua tahap sebagaimana disajikan di atas, maka obyek penelitian yaitu jenis karang Goniastrea aspera bukan merupakan jenis yang mempunyai preferensi transduksi spesifik terhadap clade simbion tertentu. Hasil identifikasi berjenjang terhadap karang Goniastrea aspera sebagaimana diinformasikan pada kajian keragaman clade seperti pada Uji Penumbuhan Zooxanthellae, jenis clade yang dijumpai sebagai simbion adalah zooxanthellae adalah Clade A dan B. Setelah dilakukan proses pemutihan, maka diperoleh mono simbion yaitu jenis A yang ditelusur dari 15 contoh. Proses translokasi yang dilakukan memberikan penjelasan bahwa terjadi hasil positif baik dari lingkungan binaan maupun alami. Transduksi dari lingkungan alami dicirikan oleh ditemukannya jenis simbion non pengeraman. Perkembangan Kadar Zooxanthellae Pasca Translokasi Perkembangan zooxanthellae pada polip merupakan suatu akumulasi dari keberadaannya dalam jaringan polip melalui tahapan replacement. Hasil uji degradasi zooxanthellae menghasilkan informasi bahwa pemutihan total menyebabkan kematian. Dalam hal ini kejut temperatur 40oC
menyebabkan
peluluhan zooxanthellae secara total yang selanjutnya menyebabkan kematian karang pada inkubasinya di lingkungan perairan alami. Dengan diperlakukan kejut temperatur yang lebih rendah (36oC) pada media inkubasi karang Goniastrea aspera meskipun dapat menyebabkan peluluhan zooxanthellae namun masih
155
dimungkinkan karang untuk tetap hidup. Penggunaan kejut lintas temperatur mulai dari 36oC hingga 28oC telah memberikan bukti bahwa terjadi recovery pada karang melalui proses petumbuhan zooxanthellae pada jaringan polip karang. Uji translokasi dimaksudkan untuk memberikan peluang yang lebih besar terhadap transduksi zooxanthellae pada polip yang mendapat tekanan kejut temperatur. Untuk keperluan ini dilakukan pengukuran densitas zooxanthellae selama 4 bulan dengan selang pengukuran 3 minggu, dilanjutkan pengukuran hingga minggu ke 17. Hasil pengukuran tersebut adalah seperti terlihat pada Gambar 33.
Densitas (individu/cm2)
4500000 3750000 3000000 2250000 1500000 Sumber P engkayaan Clade A Sumber P engkayaan Clade B
750000
Sumber P engkayan Clade C
0
0
5
10
15
20
Waktu (minggu)
Gambar 33. Perkembangan Zooxanthellae pada Goniastrea aspera dalam Masa Inkubasi di Perairan Alami Perkembangan densitas zooxanthellae pada inang Goniastrea aspera selama masa inkubasi
di
perairan
terumbu
karang
Pulau
Panjang
Selatan
Jepara
memperlihatkan dalam masa perkembangan. Hasil analisis statistik densitas minggu ke 15 dan ke 17 masing-masing menunjukkan bahwa perkembangan zooxanthellae tidak berbeda antar pengkayaan sumber clade (ά < 0,01)(Lampiran 6). Perkembangan tersebut mengindikasikan bahwa Goniastrea aspera pasca pemutihan masih dapat bertahan dan mampu melaksanakan aktifitas faalinya. Hal ini juga ditunjang oleh sintasan contoh pada masa inkubasi. Hasil pengamatan lapang menunjukkan bahwa seluruh contoh masih dapat bertahan hidup (Sintasan =100%). Dengan kemampuannya untuk bertahan hidup dan dengan adanya
156
kegiatan faalinya selama masa inkubasi maka setelah pemutihan karang dimungkinkan terjadi proses pemulihan sel yang diikuti oleh pertumbuhan zooxanthellae secara signifikan. Perubahan Tampilan Jaringan Polip Indikasi lain selain perkembangan densitas zooxanthellae dari potensi respon faali dari polip karang pasca pemutihan adalah tertatanya kembali sejumlah zooxanthllae yang telah berkembang di dalam jaringan polipnya. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat korelasi yang positif dari perkembangan densitas zooxanthellae dengan tatanan posisi selulernya pada jaringan polip karang. Hasil analisis terhadap profil tampilan jaringan zooxanthellae tersebut adalah sebagaimana diinfomasikan pada Gambar 34.
Jaringan polip karang pada saat setelah mendapat kejut temperatur 36oC selama 6 jam
Jaringan polip karang pada saat setelah mengalami pengeraman di perairan alami selama 6 minggu
Gambar 34. Perubahan Tampilan Jaringan Polip Karang selama masa Pengeraman di Perairan Laut selama 6 minggu. Tampilan jaringan di atas memperlihatkan bahwa pada awal pemutihan terjadi degradasi seluler baik dalam bentuk pecahnya sel ataupun pelepasan sel baik pada lapisan ectoderm, mesoglea maupun endodermnya. Pada tahap ini masih memperlihatkan asosiasi secara parsial zooxanthellae pada sel polip.
157
Dengan dikembalikannya polip pada lingkungan yang normal yaitu lingkungan perairan alami terumbu karang di Selatan Pulau Panjang Jepara, maka dimungkinkan polip bertahan. Perkembangan selanjutnya pada minggu ke 15 sudah memperlihatkan pembentukan teaniolae dan sudah tersusun kembali jaringan normal pada polip. Pada hari ke 17 sudah memperlihatkan perkembangan normal dimana hampir 100 % perkembangan jaringan telah memperlihatkan taraf yang sempurna. Demikian pula dengan respon lanjutnya yaitu dalam proses pembentukan deposit CaCO3. Pertumbuhan Goniastrea aspera Pertumbuhan karang yang dimaksudkan disini adalah terbentuknya deposit CaCO3 pada rangka Goniastrea aspera, sehingga akan menambah panjang dan melebarnya koloni karang tersebut secara dimensional. Perhitungan pertumbuhan karang ini didasarkan pada peningkatan panjang pada 15 corralite pada permukaan tumbuh optimum setelah peneraan dengan teknik pewarnaan. 15 corralite yang dihitung perkembangan deposit CaCO3 dipilih pada karang dengan bagian permukaannya terkena cahaya secara langsung. Pada permukaan karang dimungkinkan terjadi proses metabolisme zooxanthellae yang optimum sehingga memberikan dukungan terhadap proses kalsifikasi (Rogers, 1979; Marubini dan Thake, 1999). Lebih jauh dikemukakan oleh Lough dan Barnes (1999) bahwa bagian permukaan karang yang terkena cahaya secara langsung di habitatnya mempunyai perbedaan pertumbuhan yang signifikan dengan bagian permukaan karang yang terlindungi. Perhitungan pertumbuhan Goniastrea aspera ini dilakukan pada karang yang telah tertransduksi melalui tahap translokasi sebagaimana dimaksudkan dalam penelitian ini. Dalam hal ini adalah jenis contoh yang tertransduksi pada media pengkayaan Clade A, Clade B dan Clade C. Hasil pengukuran terhadap pertumbuhan karang Goniastrea aspera pasca pengeraman dalam kurun waktu 17 minggu adalah sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 35.
158
Pertumbuhan (mm)
8.000
6.000
1
4.000
2 3 2.000
4 5 Rerata
0.000 Sumber Pengkayaan Clade A
Sumber Pengkayaan Clade B
Sumber Pengkayaan Clade C
Sumber Pengkayaan Clade
Gambar 35.
Pertumbuhan Specimen Goniastrea aspera Berdasarkan Sumber Pengkayaan Clade
Hasil perhitungan pada lima specimen pada 15 corralite-nya secara rata-rata pada asal sumber pengkayaan clade A adalah sebesar 5,663 mm; pada sumber pengkayaan Clade B adalah 5,3 mm dan pada sumber pengkayaan Clade C adalah 5,563 mm. Selanjutnya berdasarkan uji satu arah terhadap fenomena pertumbuhan antar clade tersebut diperoleh keterangan bahwa pertumbuhan specimen Goniastrea aspera adalah tidak menunjukkan perbedaan (σ<0,01). Ini memberikan arti bahwa perbedaan transduksi zooxanthellae tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan karang. Pembahasan Pola pemindahan obyek penelitian dari lingkungan binaan ke lingkungan alami setelah proses pemanasan dan dilanjutkan dengan pengeraman dalam media pengkayaan zooxanthellae selama 17 hari memberikan respon positif terjadinya proses translokasi. Proses translokasi zooxanthellae terjadi akibat transduksi bawaan dan alami. Hasil ini berbeda dengan hasil translokasi dengan masa pengeraman 10 hari, yang dalam hal ini translokasi hanya terjadi akibat transduksi alami. Pada beberapa kasus pasangan inang dan simbiont terjadi secara bervariasi sebagai bentuk respon dari lingkungan secara holobiont. Dua dari banyak variable lingkungan yang berkorelasi dengan distribusi pasangan inang dan simbiont
159
spesifik adalah temperatur dan cahaya. Rowan dan Knowlton (1995) menemukan variasi hubungan simbiont dengan species Montastrea pada beberapa gradient temperatur dan irradiance. Endosimbion clade A dan B ditemukan pada perairan dangkal (shallow waters < 6 m), sementara simbion clade C terbatas di perairan dalam. Dalam suatu studi diversitas simbion Symbiodinium dalam scleractinia di Great Barrier Reef (LaJeunesse et al., 2003) mengidentifikasi 9 species inang dimana tipe simbion bervariasi antara kedalaman 10 meter (perairan cukup dalam) dan 3 meter (perairan dangkal) Stylopora pistillata bersimbiosis dengan clade C1 (kedalaman <3 meter) dan pada kedalaman 10 meter jenis tersebut Stylopora pistillata bersimbiosis dengan clade C27. Kenyataannya identitas genetik Symbiodinium dapat mempengaruhi distribusi dari species inang. Sebagaimana diilustrasikan oleh Pocillopora verrucosa dan Pavona gigantea pada terumbu karang Pasifik Selatan, dimana pada perairan dangkal 0 – 6 meter komunitas karang didominasi oleh Pocillopora verrucosa; sementara pada perairan lebih dalam (6–14 m), Pavona gigantean yang lebih dominant. Symbiodinium dari tipe clade D1 (berdasarkan ITS2) adalah eksklusif pada Pocillopora verrucosa; sementara clade C1 pada Pavona gigantean (Iglesias-Prieto et al., 2004); diperlihatkan dalam studi tersebut bahwa identitas simbion memainkan peranan penting dalam distribusi tersebut. Hasil dari pengukuran fotosintetik dan percobaan transplantasi mendukung hipotesis tersebut, dengan berturut-turut P. verrucosa - clade D1; P. gigantean – Clade C1 dibatasi kualitas efek penaungan (shade effect) (Iglesias-Prieto et al., 2004). Studi yang lain menerangkan distribusi simbion pada koloni karang di sekitar perairan dangkal hanya terjadi suatu koloni inang tunggal. Hal ini menguatkan argument bahwa distribusi simbion merupakan respon perubahan tingkat irradiance (Rowan et al., 1997). Dalam koloni tunggal Montastrea anularis dan M. faveolala, clade A dan B tertransduksi pada keduanya dalam suasana irradiance tinggi, sementara clade C ditemukan pada areal terlindung (shade area) (Rowan, et al., 1997). Van Oppen et al., (2001) juga mengamati dalam struktur koloni yang mengandung populasi simbion dengan berbagai intensitas cahaya. Pada studi mereka, type C2 (didasarkan atas ITS1) ditemukan
160
pada Acropora tenuis yang terbuka dengan cahaya, sementara C1 ditemukan di shaded area (area terlindung) pada koloni yang sama. Ulstrup dan van Oppen (2003) melaporkan variasi intra koloni pada Acropora Spp. Pada studi tersebut lokasi simbion dalam individu Acropora tenuis bervariasi pada semua lokasi, sementara pada lokasi lain trend tersebut tidak teramati. Perbedaan regional dan latitude (lintang) bagi keberadaan simbion adalah akibat turunan dari respon terhadap lingkungan. Diduga pencahayaan dan temperatur yang berbeda sebagai aspek penyebab dari diversitas pasangan inang dan simbiont. Hal yang berkebalikan, pada survey 35 species octocorallia Goulet dan Cofforth (2004) tidak menemukan variasi antara Symbiodinium clade B pada koloni dari suatu kisaran wilayah dan kedalaman. Pada studi ini posisi koloni yang ditransplantasi pada suatu kisaran lingkungan dengan variasi tingkat cahaya dan komunitas ini diamati selama periode 20 bulan. Analisis menggunakan fingerprinting DNA yang mempunyai validitas tinggi. Hasilnya menerangkan bahwa populasi simbion dalam koloni individu inang tidak berubah selama masa transplantasi tersebut (Goulet dan Cofforth, 2004). Sedikit studi telah memonitor diversitas simbion secara temporal pada suatu lingkungan perairan yang berfluktuasi. Studi tersebut menerangkan bahwa sebagian besar tidak terdeteksi adanya variasi diversitas pada individu inang dalam suatu kurun waktu tertentu (Goulet dan Cofforth, 2004). Fleksibilitas tipe Symbiodinium yang tertransduksi pada berbagai tingkat inang nampak jelas; dimana variasi tipe simbion tersebut telah diobservasi pada skala yang luas dalam lingkup biogeografi region. Pada variasi lintang, pasangan inang dan simbiont telah diobservasi terhadap sejumlah species inang. Sebagai contoh, inang-inang di bagian utara Australia (tropis) berkecenderungan bersimbiosis dengan clade C, sementara inang tertentu di lintang temperate (beriklim sedang) (Bagian Selatan Australia) bersimbiosis dengan clade B (Rodriquez-Laretty et al,. 2001). Kemiripan studi ini juga dilaporkan oleh LaJeunesse et al (2003) yang menginformasikan adanya perbedaan dominansi clade tipe C3h, dimana keberadaan simbion ini jarang ditemukan pada terumbu di lintang tinggi tetapi mempunyai prevalensi pada terumbu lintang tengah. Distribusi pasangan inang dan simbiont secara lintang mempunyai kaitan dengan
161
perubahan temperatur dan faktor lingkungan lain yang terjadi sepanjang transek tersebut. Variasi pasangan inang dan simbiont juga telah didokumentasikan secara genetik dengan tipe Symbiodinium (Santos dan Coffort, 2003). Dalam hal ini dilakukan transek sepanjang 450 km di Bahama. Santos et al., (2003) mengambil contoh
sebanyak
575
individu
Pseudopterogorgia
elisabethae
dan
mengidentifikasi 23 tipe Symbiodinium B1/B184 yang bervariasi dengan koloni tersebut. Dalam bagian ini struktur populasi secara frekuansial atau parsial menyolok pada satu terumbu dari terumbu lain, demikian seterusnya. Korelasi parameter lingkungan dengan distribusi simbion memberi kesan terhadap perbedaan fisiologi diantara tipe simbion. Kondisi ini akan menghasilkan atau mempengaruhi diversitas pasangan inang dan simbiont. Karakteristik respon fisiologis dari berbagai taksa Symbiodinium terhadap perbedaan parameter lingkungan adalah dalam masa pertumbuhan, tetapi nampak bahwa variasi fisiologis ini tetap berlangsung dan mendapat respon setidaknya pada beberapa pasangan inang dan simbiont. Tipe Synbiodinium berubah-ubah dalam responnya terhadap perubahan lingkungan (Iglesias-Preto dan Trench, 1997; Rowan et al., 1997; Warner et al, 1996) seperti toleransinya terhadap temperatur (Bhagoii dan Hidaka, 2004; Perez et al., 2001; Rowan, 2004). Montipora digitata yang resisten terhadap pemutihan mengandung tipe simbion C15 (berdasar ITS2); sementara Montipora lainnya pemutihan lebih cepat dengan kandungan clade C (La Jeunesse et al., 2003). Beberapa peneliti melaporkan bahwa Symbiodinium clade D mempunyai toleransi terhadap panas (Baker et al., 2004; Chen et al., 2003; Fabricus et al., 2004; Rowan, 2004). Studi-studi tersebut melaporkan bahwa simbion clade D dominant bersimbiosis di lapangan dengan kondisi temperatur tinggi yang rutin (Fabricus et al., 2004) dan pada terumbu yang sebelumnya diselidiki mengalami pemutihan (Baker et al., 2004). Studi yang ditunjukkan oleh Fitt et al., (1993) memperlihatkan bahwa biomassa jaringan dari karang Montastrea anularis pulih kembali dengan laju yang lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan algae simbion zooxanthellae setelah kejadian pemutihan di Karibia pada 1987. Sementara itu Szmant dan Gassman (1990) dan Gleason (1993) menginformasikan bahwa sebagian besar karang di Carysfort Reef mengandung kadar normal densitas
162
zooxanthellae sebesar 1-3x106 individu/cm2 dalam kurun waktu 10 bulan pasca pemutihan. Pemutihan karang yang terjadi secara timbul tenggelam dalam kurun waktu satu tahun menyebabkan timbul tenggelamnya pula hidup karang. Kejadian dimana karang-karang yang demikian dapat bertahan hidup meskipun temperatur lingkungan luarnya masih cukup tinggi dicirikan oleh : (a) pemutihan yang tidak komplit (parsial pemutihan), dimana zooxanthellae masih normal dalam jaringan polip hidup baik dalam posisi maupun jumlahnya (Hoegh-Guldberg and Smith, 1989; Porter et al., 1989); (b) repopulasi zooxanthellae terjadi secara cepat (Hoegh-Guldberg and Smith, 1989; Jaap, 1985; Szmant dan Gassmann, 1990). Sebaliknya pemutihan yang terjadi secara total secara signifikan menyebabkan kematian karang yang dicirikan oleh pemutihan secara komplit. Kejadian yang sama juga terjadi selama penelitian ini berlangsung dengan dibahas dalam kajian ketahanan pada bagian sebelumnya. Dengan segera setelah pemutihan, karang dan simbiotik invertebrate secara normal melakukan kegiatan fotosintetiknya dan melakukan aktivitas nutrisional (Cole dan Jokiel, 1978; Glynn et al., 1985; Hoegh-Guldberg and Smith, 1989; Porter et al., 1989). Sebaliknya, pertumbuhan akan berhenti apabila bleching atau faktor yang mempengaruhinya terus berlangsung (McClanahan, 2000). Dengan keterangan lain dapat dinyatakan bahwa kejadian pemutihan dapat menyebabkan mortalitas selektif dan tekanan terhadap species yang terkena pengaruh. Gleason (1993) melaporkan hasil penelitiannya bahwa koloni-koloni karang yang mengalami pemutihan komplit pada bulan April 1991 di Pulau Moorea tidak mengalami perkembangan dan mati semua hingga Agustus 1991. Koloni-koloni yang hanya mengalami pemutihan parsial mempunyai kemampuan pulih secara komplit. Jika kejadian pemutihan terjadi secara hebat dengan frekuensi tinggi, maka faktor ini akan dengan kuat menentukan komposisi species dan merupakan sumber bagi penyediaan ruang untuk recruitment baru. Hal ini akan menyebabkan terjadinya pengisian ruang baru dengan sifat persaingan yang rendah antar species, khususnya species yang tahan terhadap pemutihan Gleason (1993). Dalam tingkat yang lebih spesifik, ketika tingkat pemutihan bervariasi sangat
163
besar diantara sesama species yang berdekatan, ada peluang besar mempengaruhi variasi genotip atau variasi kerentanan (Fisk dan Done, 1985; Harriot, 1985 dan Lang et al., 1988). Pemutihan juga dapat mempengaruhi struktur komunitas karang yang dikenainya jika pengaruh sekunder terjadi seperti meningkatnya kelimpahan algae dan sea urchin, sehingga menghasilkan pemulihan karang yang lemah (Glynn, 1990). Hoegh-Guldberg and Smith (1989) menemukan bahwa pemulihan pasca pemutihan pada karang setelah terkena pengaruh temperatur 32oC selama 7 jam adalah 23 hari. Gleason (1993) mengemukakan bahwa zooxanthellae yang tersisa setelah kejadian pemutihan dalam habitat intraselluler yang masih kaya akan nutrien akan relatif tumbuh secara cepat dibandingkan dengan karang dengan densitas yang besar. Namun demikian, hal ini masih bergantung kepada status kondisional dari zooxanthellae itu sendiri. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Glynn (1984), bahwa kematian karang yang mengalami pemutihan parsial mungkin masih akan dapat bertahan dengan asumsi bahwa kondisi zooxanthellae tidak terpengaruh secara esktrim oleh pengaruh temperatur serta kondisi seluler dari polip. Namun sebaliknya apabila pengaruh temperatur atau faktor eksternal lain secara kuat terus-menerus yang mengakibatkan tidak terkontrolnya kondisi lingkungan oleh polip karang, meskipun secara fisiologis zooxanthellae masih toleran maka hal ini akan menyebabkan lepasnya zooxanthellae dari polip dan karang akan mati (Savina, 1991; Porter dan Meier, 1992). Kondisi lingkungan pengeraman alami dilakukan pada lingkungan terumbu karang selatan Pulau Panjang Jepara pada kedalaman sekitar 3 hingga 6 meter. Hasil pengukurannya adalah seperti terlihat pada Tabel 18. Tabel 18. Hasil analisis Beberapa Peubah Lingkungan Pengeraman Biota Uji Goniastreas aspera No
Peubah
1 2 3 4 5
Temperatur Salinitas Ammonia Nitrit pH Oksigen terlarut
6
Satuan o
Kisaran Hasil Pengukuran di Lingkungan Perairan Alami Minggu ke : 0 3 6 9 12 15 17
C /oo mg/l mg/l -
28,4– 29,4 32,6 - 33,2 0 – 0,0014 0 – 0,0005 7,1 – 7,2
28,2-28,8 32,7-33,3 0 – 0,0008 0 – 0,0004 7,0 – 7,3
28,0 – 28,5 32,0 – 32,6 0 – 0,0010 0 – 0,0002 7,0 – 7,2
28,4 – 28,6 32,2 – 32,7 0 – 0,0006 0 – 0,0002 7,2 – 7,5
28,3 – 28,8 32,5 – 32,8 0 0 7,1 – 7,3
28,2 – 28,5 32,2 – 32,5 0 0 7,1 – 7,3
28,0 – 28,4 32,0 – 32,3 0 – 0,0012 0 7,2
mg/l
5,25 – 5,66
4,52 – 5,44
4,68 – 5,22
5,05 – 5,42
4,85 – 5,32
4,50 -5,22
5,22 – 5,50
o
164
Di lingkungan perairan alami, kisaran beberapa peubah kualitas air yang dipantau memperlihatkan tingkat homogenitas yang stabil selama 17 minggu. Hal ini memberikan dukungan bagi biota uji untuk dapat bertahan dan melangsungkan kegiatan faalinya. Adapun pengukuran beberapa peubah kualitas air di lingkungan perairan binaan (di bak laboratorium) yaitu tempat pengeraman biota uji Goniastrea aspera adalah seperti terlihat pada Gambar 36 berikut.
Salinitas Ammonia
Temperatur
Nitrit
pH
Oksigen Terlarut
Gambar 36. Nilai Beberapa Peubah Fisika Kimia Perairan Binaan tempat Pengeraman Biota uji pasca pemutihan. Tingkat homogenitas beberapa peubah lingkungan sebagaimana diperlihatkan pada tabel di atas memungkinkan zooxanthellae dapat tumbuh dan melakukan
165
proses penataan faali untuk mengisi struktur jaringan pada polip karang Goniastreas aspera. Zooxanthellae di dalam tubuh polip pada dasarnya mempunyai jumlah yang stabil, namun tetap terjadi perubahan akibat pertukaran individu. Keadaan ini dialami karang bila kondisi lingkungan tidak mengalami deviasi terlalu lebar sebagaimana hasil pantauan selama penelitian ini berlangsung atau dalam keadaan normal (Drew, 1972). Di alam tidak dapat dihindari perubahan densitas zooxanthellae di dalam jaringan polip karang, dimana densitas zooxanthellae yang dikandung karang berfluktuasi sepanjang waktu. Hal ini disebabkan karena di alam
berbagai
faktor
lingkungan
yang
dapat
mempengaruhi
densitas
zooxanthellae dapat ditemukan setiap waktu. Perubahan peubah fisika kimia laut yang relatif kecil saja secara konsekuensial dapat mempengaruhi stabilitas zooxanthellae di dalam jaringan polip karang (Glynn, 1990). Hasil studi terhadap proses penempatan zooxanthellae pada jaringan polip yang diikuti oleh pertumbuhannya merupakan pencerminan dari mekanisme pemulihan biota uji pasca mendapatkan tekanan temperatur. Sinergisme keduanya ternyata secara konsisten ditunjang oleh sekuensi dua aspek. Yang pertama adalah ditemukannya beberapa tipe clade dalam rentang waktu pemeliharaan pada dua tipe pengeraman dan kedua adalah kemampuan tumbuh karang. Meskipun tidak dapat diperhitungkan proporsi sumbangan tiap clade zooxanthellae dalam jaringan polip karang. Seperti telah diketahui bahwa setiap koloni hermatyphic corals mengandung zooxanthellae yang hidup bersimbiosis dengan koloni karang. Zooxanthellae yang hidup di koloni karang ini memproduksi karbon sebagai sumber energi. Energi
yang dihasilkan ini ditransfer ke polyp karang yang
mendukung produksi kalsium karbonat (kapur) atau klasifikasi, untuk membentuk bangunan karang. Sehingga karang jenis ini disebut reef building coral atau jenis karang yang dapat membuat bangunan karang dari kapur. Goreau (1959) menyatakan bahwa zooxanthellae merupakan faktor yang esensial dalam proses kalsifikasi atau produksi kapur bagi hermatypic corals atau reef building corals. Kecepatan kalsifikasi ini tidak sama untuk setiap spesies. Spesies-spesies tertentu tumbuhnya sangat cepat, yaitu bisa >2cm/bulan (umumnya branching corals),
166
namun ada juga spesies karang (umumnya massive corals) yang tumbuhnya lambat, yaitu >1 cm/tahun. Simpulan Hasil penelitian memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1.
Translokasi yang terkendali oleh kondisi lingkungan khususnya temperatur memberikan respon positif terhadap proses relokasi dan pertumbuhan zooxanthellae pada jaringan polip Goniastrea aspera;
2.
Translokasi zooxanthellae pada Goniastrea aspera pasca bleaching pada lingkungan binaan terjadi pada hari ke 17, sedangkan di perairan alami dapat terjadi lebih dini.
3.
Proses recognisi, resettlement dan pertumbuhan zooxanthellae pada jaringan polip Goniastrea aspera memungkinkannya dapat tumbuh secara normal di media alami.
167
Daftar Pustaka Baker, A.C; C.J. Starger; T.R. McClanahan; P.W. Glynn. 2004. Corals adaptive response to climate change. Nature. 430:741. Bhagooli, R; M. Hidaka. 2004. Photoinhibition, bleaching suspectibility and mortality in two scleractinian corals, Platygyra ryukyuensis and Stylophora pistillata, in response to thermal and ligth stresses. Comp. Biochem. Physiol. A. 137:547-555. Buddemeier, R.W; D.G. Fautin. 1993. Coral Bleaching as an Adaptive Mechanism – A Testable Hypothesis. BioScience 43 : 320-326. Burke, L; E Selig; M. Spalding. 2002. Reef at risk in South East Asia. www.wri.org/reefatrisk. Dikunjungi tanggal 2 Maret 2002. Chen, C.A, K.K Lam; Y. Nakano; A.S. Tsai. 2003. A stable association of the stress-tolerant zooxanthellae Symbiodinium Clade D, with the lowtemperature-tolerant coral Oulastrea crispata (scleractinia : Faviidae) in subtropical non-reefal coral communities. Zoological Studies 42 (4) :540550. Coffroth, M.A; S.R. Santos; T.L. Goulet. 2001. Early ontogenic expression of specificity in the cnidarian – algal symbiosis. Mar. Ecol. Prog. Ser. 222:85-96. Coffroth, M.A, S.R. Santos, 2005. Genetic diversity of symbiotic dinoflagellates in the genus Symbiodinium. Protist, 156:19-34. Coles, S.L; C. Jokiel.1976. Synergistic effects of temperature, salinity and respiration in hermatypic corals. Mar. Biol. 49:187-195. Colley, N.J; R.K. Trench. 1983. Selectivity in phagocytosis and persistence of symbiotic algae by the scyphistoma stage of jellyfish Cassiopeia xamachana. Proc. R. Soc. Lond. Ser. B. 219:61-82 Drew, E.A. 1972. The Biology and Physiology of Alga-Invertebrate Symbiosis. II. The Density of Symbiotic Algal Cells in a Number of Hermatypic Corals and Alcyonarians From Various Depths. J. Exp. Mar. BioL Ecol, 9:71-75. Fabricus, K.E; J.C. Miego; P.L. Colin; D. Idip; M.J.H. vanOppen. 2004. Genetic variation within Symbiodinium Clade B from coral genus Madracis in the Caribbean (Netherlands Antilles). Coral Reefs 22 : 29-33. Fisk, D.A, T.J. Done. 1985. Taxonomic and bathymetric pattern of bleaching in coral, Myridon Reef (Queensland). Proc. 5th Int. Coral Reef Symp. 6 : 149-154. Fitt, W.K; F.K. Farland; M.E. Warner; G.C. Chilcoat. 2000. Seasonal patterns of tissue biomass and density of symbiotic dinoflagellates in reef corals and relation to coral bleaching. Limnol. Occeanogr. 45:677-685. Fitt, W.K.; H.J. Spero; J. Halas; M.W. White; J.W. Porter. 1993. Recovery of the Coral Montastrea annularis in the Florida Keys after 1987 Caribbean Bleaching Event. Coral Reefs 12:57-64.
168
Gleason, M.G. 1993. Effect of Disturbance on Coral Communities : Bleaching in Moorea, French Polynesia. Coral Reefs 12 : 193-201 Glynn, P.W. 1984. Widesprad coral mortality and the 1982-1983 El Nino Warming Event. Environ Conser. 11 : 133 – 146. Glynn, P.W. 1996. Coral Reef Bleaching: Fact, Hypotheses and Implications, Global Change Biology,. 2:495-509. Glynn, P.W; E.C. Peter; L. Muscatine. 1985. Coral tissue microstructure and necrosis : Relation to catastrophic coral mortality in Panama. Dis. Aquat. Org. 1:29-37. Glynn, P.W; L. D'Croz. 1990. Experimental evidence for high temperature stress as the cause of El Nino-coincident coral mortality. Coral Reefs 8: 181– 192. Goreau, T.F. 1959. The ecology of Jamaican coral reefs I. Species composition and zonation. Ecology 40: 67–90. Goulet, T; M. Coffroth, 2004. The genetic identity of dinoflagellates symbionts in Caribbean octocorals. Coral Reefs, 23: 465-472 Hallock, P. 2001. Coral reefs, carbonate sediments, nutrients and global change. In Stanly Jr. G.D. (Ed) The History and Sedimentology of Ancient Reef Systems. Springer-Verlag. New York, pp 387-427. Harriott, V.J. 1985. Mortality rates of scleractinian corals before and during a mass bleaching event. Mar. Ecol. Prog. Ser. 21:81-88. Hoegh-Guldberg, O; G.J. Smith. 1989. Light, Salinity and Temperature and the Population density, metabolism and export of Zooxanthellae from Stylophora pistillata and Seriatophora hystrix. J. Exp Mar Biol Ecol. 129 ; 279-303 Hoegh-Guldberg, O; R. Hinde. 1986. Studies on a nudibrach that contains zooxanthellae. I. Photosyntesis, respiration and the translocation of newly fixed carbon by zooxanthellae in Pteraeolidia ianthina. Proc. R. Soc. Ser. B., 228 :493-509. Iglesias-Prieto, R; R.K. Trench. 1997. Photoadaptation, photoacclimation and Niche Diversification in Invertebrate-Dinoflagellate Symbioses. Proc. 8th Int. Coral Reef Sym. 2:1319-1324. Iglesias-Prieto, R.; V. Beltrn; T. LaJeunesse; H. Reyes-Bonilla; P. Thom. 2004. Different algal symbionts explain the vertical distribution of dominant reef corals in the eastern Pacific. Proc. R. Soc. Lond. B, 271:1757-1763. Japp, W.C. 1985. An epidemic zooxanthellae expulsion during 1993 in the Lower Florida Keys coral reefs : Hyperthermic etiology. Proc. 5th Int. Coral Reef Congr. 6 : 143-148. LaJeunesse, T; W. Loh; R. vanWoesik; O. Hoegh-Guldberg; G. Schmidt; and W.K. Fitt. 2003. Low symbionts diversity in southern Great Barrier Reef corals, relative to those in the Caribbean. Limnol. Oceanogr. 48(5):20462054.
169
Lang, J.C; R.I. Wicklund; R.F. Dill. 1988. Depth and habitat related bleaching of zooxanthellae reefs organisms near Lee Stocking Island, Exuma Cays, Bahamas. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 3:269-274. Lenhoff, H.M. 1974. On the Mechanism of Action and Evolution of Receptors Associated with Feeding and Digestion. In L. Muscatine and H.M. Lenhoff (Eds). Coelenterata Biology : Riviews and New Perspectives. Academic Press. New York. Lobban, C.S; M. Schefter; A.G.B. Simposon; X. Pochon; J. Pawlowski; W. Foissner. 2002. Maristentor dinoferus n gen, n sp., a giant heterotrich cilitate (Spirotrichea : Heterotrichida) with zooxanthellae, from coral reefs on Guam, Mariana Islands. Mar. Biol. 141:411-423. Lough, J.M; D.J. Barnes. 1999. Environmental controls on groth of massive coral Poriter. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 245:225-243. Marubini, F; B. Thake. 1999. Bicarbonate addition promotes coral growth. Lymnol. Oceanogra. 44:716-720. McClanahan, T.R. 2000. Bleaching damage and recovery potensial of Maldivan coral reefs. Mar. Poll. Bull. 40:587-597. Nordemar, J; M. Nystrom; R. Dizon; 2003. Effect of elevated seawater temperature and nitrat enrichment on the branching coral Porites cylindrica in the absence of particular food. Mar. Biol. 142:669-672) Norton, J.H; M.S. Shepherd; H.M. Long; W.K. Fitt. 1992. The zooxanthllae tubular system in the giant clam. Biol Bull. 183:503-506. Perez, S.F.; C.B. Cook; W.R. Brooks. 2001. The role of symbiotic dinoflagellates in the temperature-induced bleaching response of the subtropical sea anemone Aiptasia pillada. J.Exp. Mar. Biol. Ecol. 256:1-14. Pochon, X; J. Pawlowski, L. Zaninetti; R. Rowan, 2001. High genetic diversity and relative specificity among Symbiodinium-like endosymbiotic dinoflagellates in soritid foraminiferans. Mar. Biol., 139:1069-1078. Porter, J.W; O.W. Meier. 1992. Quantifications of loss and change in Floridian reef coral populations. Am. Zool. 32:625-640. Porter, J.W; W.K. Fitt; H.J. Spero; C.S. Rogers; M.W. White. 1989. Bleaching in coral reefs : Physiological and stable isotope response. Proc. Nat. Acad. Sci. U.S.A. 86:9342-9346. Rodriquez-Laretty M; W. Loh; D. Carter; O. Hoegh-Guldberg. 2001. Latitudinal variability in simbiont specifity within the widespread scleractinian coral Plesiatrea versipora. Mar Biol 138:1176-1181. Rogers, C.M. 1979. Responses of coral reefs and reef organisms to sedimentation. Mar. Ecol. Prog. Ser. 62:185-202. Rowan, R. 2004. Thermal adaptations in reef coral symbiont. Nature, 430 : 742. Rowan, R.1998. Diversity and Ecology of Zooxanthellae on Coral Reefs. J. Phycol. 34:407-417
170
Rowan, R; D.A. Powers. 1991. Molecular genetic identification of zymbiotic dinoflagellates (zooxanthellae). Mar. Ecol Prog. Ser. 71:65-73 Rowan R; N Knowlton. 1995. Intraspecific diversity and ecological zonation in coral-algal symbiosis. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 92:2850-2853. Rowan, R; N. Knowlton; A. Baker; J. Jara. 1997. Landscape ecology of algal symbionts creates variation in episodes of coral bleaching. Nature, 388: 256 -269. Santos, S.R; M.A. Cofforth. 2003. Molecular genetic evidence that dinoflagellates belonging to the genus Symbiodinium Freudenthal are haploid. Biol Bull. 241:10-20. Savina, L.A. 1991. Naturally occuring and laboratory induced bleaching in two Carribean coral species. Am. Zool. 31:48. Schwarz, J.A; P.B. Brokstein; C. Voolstra; A. Terry; D.J. Miller; A.M. Szmant; M.A. Coffroth; M. Medina. 2008. Coral life history and symbiosis : Functional genomic resources for two reef building Caribbean corals, Acropora palmata and Montastrea faveolata. BMC Genomics. 2008;9: 97. Stoddart, D.R. 1978. Mechanical analysis of reef sediments. In Coral Reef Research Methods. UNESCO. Ed. Stoddart, D.R. and Johannes, R.E. pp 53-65. Sya’rani, L. 1993. Shallow water corals ecology of Pulau Pari complex Thousand Island Jakarta. Fisheries Departement. Diponegoro University. Semarang. Szmant, M.A; N.J. Gassman. 1990. The effects of prolonged bleaching on the tissue biomass and reproduction of the reef coral Montastrea annularis. Coral Reefs, 8:217-224 Trench, R.K. 1993. Micro-algal-invertebrate symbioses : a riview. Endocyto Cell Res. 9 : 135 – 175. Ulstrup, K; M. van Oppen, 2003. Geographic and habitat partitioning of genetically distinct zooxanthellae (Symbiodinium) in Acropora corals on the Great Barrier Reef. Mol. Ecol., 12(12):3477-3484 Van Oppen, M; F. Palstra; A. Piquet; D. Miller, 2001. Patterns of coraldinoflagellate associations in Acropora: Significance of local availability and physiology of Symbiodinium strains and host-symbiont selectivity. Proc. R. Soc. Lond B., 268:1759-1767. Wakefield, T.S; S.C. Kempf. 2001. Development of host and symbiont-specific monoclonal antibodies and confirmation of the origin of the symbio-some membrane in a cnidarian-dinoflagellate symbiosis. Biol Bull. 200:127-143. Warner, M.F; W.K. Fitt. G.W. Schmidt. 1996. Damage of Photosystem II in Symbiotic Dinoflagellates a Determinant of Coral Bleaching. Proc. Natl. Acad Sci USA 96 : 8007-8012.
PEMBAHASAN UMUM Zooxanthellae merupakan kelompok dinoflagellata fototropik yang umumnya tedapat sebagai endosimbion pada beberapa invertebrata laut (Trench, 1993). Produksi primer yang dihasilkannya menyumbang dalam berbagai kehidupan karang. Sebagian besar zooxanthellae nampak tidak berbeda satu sama lain, beberapa termasuk simbion pada individu karang (hard coral) maupun karang lunak (soft coral) atau beberapa biota sessile lain yang awalnya dipercaya sebagai species pendemic tunggal bernama Symbiodinium microadriaticum. Hasil riview Trench (1979) terhadap hasil uji culture membuktikan bahwa jenis ini bukanlah merupakan species tunggal atau bukan satu-satunya endosimbiont. Selanjutnya berkenaan dengan analisis diversitas zooxanthellae berdasarkan uji DNA yang dilakukan oleh Rowan dan Powers (1991) menunjukkan bahwa dalam inang polip karang ditemukan tidak hanya satu jenis zooxanthellae. Selanjutnya diinformasikan bahwa Pocillopopra damicornis dan Pocillopora meandrina mempunyai 2 (dua) clade zooxanthellae yang sama. Selama dua dekade terakhir ini, variasi analisis molekular telah digunakan untuk menjelaskan keragaman genetik pada zooxanthellae. Studi pertama tentang genetik molekular zooxanthellae dilakukan dengan menggunakan DNA/hibridasi (Blank dan Huss, 1989; Schoenberg dan Trench, 1980). Pada studi hibridasi Blank dan Huss (1989) diperoleh ikatan DNA beberapa isolasi Symbiodinium berbeda yang merupakan DNA dari algae berbeda klas. Rowan dan Powers (1991) melakukan urutan pemisahan dari nuclear small subunit ribosomal DNA (18SrDNA), dimana sebelumnya juga dilakukan urutan isolasi Symbiodinium dari jenis yang hidup bebas. Penemuan ini mempunyai peranan penting sebagai dasar pengembangan klasifikasi Symbiodinium. Hingga saat ini telah ditemukan adanya beberapa clade zooxanthellae yaitu : (a) Clade A, B dan C diperoleh oleh Rowan dan Powers (1991); (b) Clade D diperoleh oleh Carlos et al., (1999); (c) Clade E (Symbiodinium californium ditemukan oleh La Jeunesse dan Trench, 2000); (d) Clade F ditemukan oleh La Jeunesse (2001); (e) Clade G ditemukan oleh Pochon et al., (2001) dan (f) Clade H ditemukan oleh Pochon et al., (2004).
172
Hasil analisis phylogenic terhadap clade zooxanthellae diperoleh keterangan bahwa terdapat pemisahan antara clade A dengan clade E. Clade A terpisah dengan lainnya, sementara clade E mempunyai kekerabatan tertutup dengan clade lainnya (B, C, D, F, G dan H). Antara clade tersebut D dan G merupakan dasar (basal) dari clade B/C/F dan H. Clade C mempunyai kekerabatan dekat dengan clade H. Hubungan phylogenic ini diduga mempunyai hubungan gen dengan chloroplast dan mitocondria (Santos et al., 2002; Takashita et al., 2003). Dalam beberapa clade, keragaman genetik mendukung ide bahwa setiap clade terdiri dari beberapa strain atau species (Rowan, 1998). Ini berarti bahwa ditemukan genotip algae yang sama pada inang yang berbeda atau sebaliknya ditemukan genotip yang berbeda pada inang yang sama. Keterangan ini dapat dipergunakan sebagai bukti bahwa ada kemungkinan silang simbiont antar karang satu dengan lainnya, serta tidak menutup kemungkinan silang antar simbion invertebrata laut khususnya organisme yang hidup dalam satu ekosistem seperti sea anemon dan tridacna. Suatu survey dari pasangan inang dan simbiont memperlihatkan bahwa tipe-tipe simbiont
tidak secara acak menyebar diantara inang-inang yaitu
sejumlah species inang yang sama secara umum menjadi tempat berassosiasinya taxa atau species symbiodinium yang sama (Baker et al., 1997; Rowan dan Powers, 1991; Schoenberg dan Trench, 1980). LaJeunesse (2002) melakukan sampling pada berbagai taxa inang dari suatu single reef (terumbu karang yang sama), mengidentifikasi 69 type dengan mayoritas species inang yang berassosiasi dengan single simbiont type. Meskipun type-type specifik symbiodinium berasosiasi dengan species inang pada hampir semuanya, secara alami algae simbion ditemukan di dalam inang yang sudah ditransduksi sejak masa planula (Coffroth et al., 2001; Colley dan Trench, 1983; Fit, 1984; Kinzie dan Chee, 1979; Santos et al., 2001; Schoenberg dan Trench, 1980; Schwarz et al., 1999 dan Baker, 2003). Namun demikian diperoleh kenyataan lain bahwa simbiont pada suatu species inang dapat bervariasi transduksinya pada beberapa habitat inang yang dianggap sebagai suatu interaksi yang tegas khususnya oleh pengaruh lingkungan lokal (LaJeunesse dan Trench, 2000; Rodriquez-Lanetty et al., 2001; Rowan dan Knowlton; 1995; Rowan et al., 1997). Pada beberapa kasus, kondisi
173
lingkungan eksternal mempromosikan pasangan-pasangan tertentu antara partner tersebut. Hal ini termasuk kombinasi antara perbedaan kedalaman, pencahayaan (irradiance) atau gradient temperatur, lintang dan bujur serta ontogeny inang. Dari hasil perangkuman variasi clade sejak 1997 hingga saat ini diperoleh keterangan bahwa secara biogeografi tidak ditemukan clade endemi (Tabel 19). Namun, tingkat ketahannya terhadap lingkungan luar dapat terinformasikan. Berdasarkan hasil analisis genetik dengan peubah penera DNA diperoleh keterangan bahwa dari beberapa sumber inang yang telah dilakukan isolasi untuk pemurnian simbionnya didapatkan 3 jenis clade. Clade zooxanthellae yang ditemukan adalah clade A, clade B dan clade C. Secara keseluruhan dari 25 contoh yang diuji DNA nya diperoleh keterangan bahwa 60% diantaranya merupakan clade A, sementara clade B dan clade C ditemukan masing-masing 20%. Keberadaan clade A dominan ditemukan pada sea anemon dan tridacna sebesar 80% (pada 4 koloni) dan clade B 20% (pada 1 koloni), sementara clade yang ditemukan jenis karang Acropora, Favites dan Goniastrea bervariasi jenis dan persentasenya. Clade A pada Acropora dan Goniastrea ditemukan sebesar 60% (3 koloni) sedangkan pada Favites hanya ditemukan 20% (1 koloni). Pada inang Goniastrea tidak ditemukan clade C, dan pada inang Favites tidak ditemukan clade B. Clade B pada Acropora ditemukan 20% (1 koloni), pada Goniastrea sebesar 40% (2 koloni). Clade C mendominasi pada inang Favites sebesar 80% (4 koloni) dan pada Acropora hanya 20% (1 koloni). Variasi
clade
zooxanthellae
dari
beberapa
sumber
inang
ini
memperlihatkan bahwa di kawasan perairan yang ditempatinya yaitu di lingkungan terumbu karang Pulau Bokor Jepara mempunyai potensi ragam genetik clade khususnya clade A, B dan C. Selanjutnya adanya kandungan clade silang diantara inang memperlihatkan bahwa clade A, B dan C zooxanthellae bukan merupakan jenis yang bersifat endemik. Hal yang sama dikemukakan oleh Rowan dan Powers (1991) pada Pocillopora damicornis
dan Pocillopora
meandrina diperoleh keterangan bahwa clade zooxanthellae ternyata beragam. Di samping itu diinformasikan pula bahwa keduanya mempunyai dua clade zooxanthellae yang sama.
Selanjutnya dengan variasi silang antar clade
zooxanthellae memberikan arahan bahwa jenis-jenis tersebut mempunyai potensi
166
No
Jenis Clade
1
Clade A
2
Clade A
3
Clade A
4
Clade A
5
Clade A
6
Clade A
7
Clade B
8
Clade B
9
Clade C
Sumber Uji
Sumber Publikasi
Montastrea, diperoleh langsung dari blending Montastrea anularis, langsung dari blending
La Jeunesse et al., (2003)
Anthopleura japonica (Anthozoa), langsung blending A. kurogane (Anthozoa), langsung blending Parasicyonis Sp, langsung blending Dendrophyllia sp (Scleractinia), langsung blending Montastrea, diperoleh langsung dari blending Montastrea faveolala, langsung dari belending
Rodriguez-Lanetty et al., (2000) Rodriguez-Lanetty et al., (2000) Rodriguez-Lanetty et al., (2000) Rodriguez-Lanetty et al., (2000) La Jeunesse et al., (2003)
Acropora, langsung dari blending
Rowan et al., (1997)
Rowan et al., (1997)
Rowan et al., (1997)
174
Tabel 19. Variasi Clade Berdasarkan Jenis, Sumber dan Sebarannya Lokasi Temuan Kedalaman 3 meter Great Barrier Reef Australia Perairan terbuka pada kedalaman < 5 meter, Aquadargana, San Blas Panama Dangsa, Cheju Island South Korea Dangsa, Cheju Island South Korea Dangsa, Cheju Island South Korea Dangsa, Cheju Island South Korea Kedalaman 3 meter Great Barrier Reef Australia Perairan terbuka pada kedalaman < 5 meter, Aquadargana, San Blas Panama Perairan terlindung pada kedalaman < 5 meter, Aquadargana, San Blas Panama
Keterangan Tropis Tropis
Subtropis Subtropis Subtropis Subtropis Tropis Tropis
Tropis
167
Lanjutan Tabel 19 No
Jenis Clade
Sumber Uji
Sumber Publikasi
10
Clade C
Stilopora pistillata, langsung dari belending
LaJeunesse et al., (2003)
11
Clade C
Acropora, Langsung blending
Van Oppen et al., (2001)
12
Clade C
Karang (tidak disebutkan) diperoleh langsung dari blending
13
Clade C
Zooantharia, diperoleh dari blending
langsung
14
Clade C
Zooantharia, diperoleh dari blending
langsung
15
Clade C
Zooantharia, diperoleh dari blending
langsung
16
Clade C
Montastrea, diperoleh langsung dari blending
Sebastian, R dan Cowan, D.A (2009) Kode taxon : EF419286 GenBank (www.ncbi.nlm.nih.gov) Reimer, J.D dan Todd, P.A (2008) Kode taxon : EU333735 GenBank (www.ncbi.nlm.nih.gov) Reimer, J.D dan Todd, P.A (2008) Kode taxon : EU333737 GenBank (www.ncbi.nlm.nih.gov) Reimer, J.D dan Todd, P.A (2008) Kode taxon : EU333740 GenBank (www.ncbi.nlm.nih.gov) La Jeunesse et al., (2003)
17
Clade C
18
Clade C
19
Clade C
20
Clade C
Pavona gigantean, diperoleh dari culture (tidak disebutkan metodanya) Alveopora japonica (Scleractinia), langsung blending Siderastrea siderea, langsung blending Montastrea annularis, langsung blending
Lokasi Temuan
Keterangan
Perairan dengan kedalaman 3-10 meter,Great Barrier Reef Australis Perairan terlindung, Great Barrier Reef Belville, Western Cape, South Africa
Tropis
Singapura
Tropis
Singapura
Tropis
Singapura
Tropis
Kedalaman >10 meter Great Barrier Reef Australia Kedalaman 0-6 meter Pasific Selatan
Tropis
Subtropis
Chen et al., (2003)
Dangsa, Cheju Island South Korea Penghu Island, Taiwan
Chen et al., (2003)
Penghu Island, Taiwan
Subtropis
Trench (1997)
Rodriguez-Lanetty et al., (2000)
Tropis Subtropis
Tropis
Subtropis
175
168
176
Lanjutan Tabel 19 No 21
Jenis Clade Clade C
Sumber Uji Siderastrea siderea, langsung blending
Sumber Publikasi Toller et al., (2001)
Lokasi Temuan San Blas Archipelago dan Bocas Del Toro San Blas Archipelago dan Bocas Del Toro Ryukyus, Senbaru, Okinawa Jepang
Keterangan Tropis
22
Clade C
Montastrea annularis, langsung blending
Toller et al., (2001)
23
Clade D
Zooantharia, diperoleh langsung dari blending
24
Clade D
Zooantharia, diperoleh langsung dari blending
25
Clade D
26
Clade D
Pocillopora verrucosa, diperoleh dari culture (tidak disebutkan metodanya) Montastrea faveolata, langsung blending
Reimer dan Todd (2008) Kode taxon : EU333707 GenBank (www.ncbi.nlm.nih.gov) Reimer dan Todd (2008) Kode taxon : EU333708 GenBank (www.ncbi.nlm.nih.gov) Trench (1997)
Ryukyus, Senbaru, Okinawa Jepang
Subtropis
Tropis
Chen et al., (2003)
Kedalaman 0-6 meter Pasific Selatan Penghu Island, Taiwan
27
Clade D
Oulastrea crispata, langsung blending
Chen et al., (2003)
Penghu Island, Taiwan
Subtropis
28
Clade D
Montastrea franki, langsung blending
Chen et al., (2003)
Penghu Island, Taiwan
Subtropis
29
Clade D
Siderastrea siderea, langsung blending
Chen et al., (2003)
Penghu Island, Taiwan
Subtropis
30
Clade E
Siderastrea siderea, langsung blending
Toller et al., (2001)
Tropis
31
Clade E
Montastrea franki, langsung blending
Toller et al., (2001)
32
Clade E
Montastrea patula, langsung blending
Toller et al., (2001)
33
Clade E
Montastrea faveolata, langsung blending
Toller et al., (2001)
34
Clade F
Alveopora japonica langsung blending
Rodriguez-Lanetty et al., (2000)
San Blas Archipelago dan Bocas Del Toro San Blas Archipelago dan Bocas Del Toro San Blas Archipelago dan Bocas Del Toro San Blas Archipelago dan Bocas Del Toro Dangsa, Cheju Island South Korea
(Scleractinia),
Tropis Subtropis
Subtropis
Tropis Tropis Tropis Subtropis
177
untuk saling mentransduksi diantara biota inang lainnya yang hidup di kawasan tersebut. Dalam penelitian ini terinformasikan bahwa terdapat konsistensi endosimbiotik khususnya jenia clade A. Jenis ini ditenggarai sebagai salah satu clade zooxanthellae yang mempunyai tingkat ketahanan yang tinggi khususnya terhadap intensitas cahaya (Rowan et al., 1997). Hasil penelitian ini juga menjelaskan kemampuan clade A untuk dapat bertahan pada berbagai temperatur yang diaplikasikan secara buatan. Di samping hal tersebut dapat diinformasikan pula bahwa clade ini mempunyai variasi sebaran simbiotik yang cukup luas baik pada jenis karang khususnya Goniastrea aspera dan Favites; tridacna maupun sea anemon. Dengan pertimbangan tersebut maka fenomena tertandainya keberadaan clade A pada beragam jenis biota terumbu karang serta konsistensinya tersimbiotik dapat dijadikan sebagai penandaan awal sistem transduksi zooxanthellae ke dalam tubuh inangnya. Sehingga pernyataan Coffroth et al., (2005) bahwa jika dan ketika coevolusi telah terlaporkan akan terdapat keuntungan besar dari pengertian tentang mengapa tipe-tipe yang khusus dari Symbiodinium didistribusikan diantara taksa inang, dapat terinformasikan baik yang terjadi melalui proses translokasi secara binaan maupun alami sebagaimana dihasilkan dalam penelitian ini. Demikian pula bahwa penandaan genetik sebagaimana telah diinformasikan akan mendukung kajian pada masa datang. Dari keterangan di atas, dapat dinyatakan bahwa secara morfologis dan fisologis kehidupan zooxanthellae dan karang merupakan suatu bentuk kehidupan yang sinergis. Artinya bahwa kebutuhan hidup diantara keduanya adalah sama. Berkaitan dengan hal tersebut maka pembatasan hidup dari satu diantaranya akan menjadi faktor pembatas pada lainnya. Dalam hal ini setidaknya terdapat 3 faktor utama yang secara konseptual diperkirakan dapat membatasi kebutuhan hidup keduanya dengan titik berat kepada algae, yaitu temperatur, nutrien dan cahaya matahari (Parson et al., 1984). Berkenaan dengan hal tersebut maka agar dalam masa binaan dapat dipertahankan dan secara fungsional mampu melakukan kerja faali maka faktor lingkungan khususnya faktor pembatasnya diupayakan dalam kondisi optimum.
178
Berkaitan dengan fenomena diversitas DNA zooxanthellae serta potensi silang simbiosis maka untuk memberikan suatu pembuktian diperlukan upaya identifikasi dengan teknik pemurnian. Hal ini didasarkan kepada beberapa informasi yang saling berkait akan tetapi terdapat pemutusan informasi tentang potensi silang. Menurut Coffroth dan Santos (2005) dinyatakan bahwa sebagian besar transduksi zooxanthellae diturunkan dari induk sejak proses peneluran. Hal ini yang menyebabkan timbulnya kesimpulan sebagai transduksi vertikal yaitu suatu transduksi yang terjadi karena keturuan. Selanjutnya menurut HoeghGuldberg dan Smith (1989) dinyatakan bahwa transduksi dimungkinkan melalui proses seleksi di alam melalui peluang acak. Informasi terakhir dari Schwarz et al., (2008) menyebutkan bahwa justru potensi transduksi sebagian besar pada masa planula setelah telur dilepaskan oleh induk karang. Beragam informasi ini diimplementasikan pada masa pasca bleaching sebagai bagian dari kajian makro mengenai translokasi antar inang melalui pengkayaan zooxanthellae dalam media binaan. Teknik yang sesuai adalah dengan cara pemurnian zaaxanthellae. Dengan teknik pemurnian akan diperoleh keterangan tentang jenis yang tertransduksi pada suatu inang. Di samping itu, dengan teknik pemurnian akan didapatkan informasi mengenai gambaran kehidupannya mikronya sebagaimana biota ini hidup di dalam habitat jaringan polip karang. Teknik pemurnian zooxanthellae dari inang polip karang bertujuan untuk mendapatkan jenis yang murni dari satu clade. Mengingat bahwa proses pengisolasian dilakukan secara bertahap hingga densitas dalam volume yang mencukupi untuk analisis DNA dari zooxanthellae target maka mekanisme pemeliharaan ini menjadi suatu model kehidupan yang sesuai dengan kehidupan zooxanthellae dalam habitat mikronya pada jaringan polip karang. Dalam lingkungan binaan perkembangan zooxanthellae pada puncak pertumbuhan dapat mencapai rata-rata 2,4x106 individu/cm2. Sementara itu dalam lingkungan simbiosis atau dalam lingkungan polip karang pertumbuhannya mencapai 5,56± 1,3x107 individu/cm2 (Rosenthal et al., 2005). Keduanya mempunyai pola jumlah yang osilatif. Ini menunjukkan bahwa upaya pemurnian zooxanthellae melalui pemeliharaan
lingkungan
merupakan
suatu
informasi
model
zooxanthellae sebagaimana dalam habitatnya dalam polip karang.
kehidupan
179
Berdasarkan pemunian bertahap, maka model kehidupan zooxanthellae dalam lingkungan binaan dapat diinventarisir sebagai berikut : (1) pemisahan inokulan zoozanthellae awal merupakan fase kritis, konsumsi vitamin B12 dan C serta penambahan trace mineral sangat diperlukan untuk tahap adaptasi awal, (b) kisaran temperatur yang mendukung untuk tumbuh dengan baik diperlukan upaya mempertahankan dengan kisar 20–23oC kisaran ini sesuai dengan kebutuhan hidup karang, (c) Penambahan nutrien secara bertahap dengan kadar 0,0455 mg/l NaNO3 setiap 16 hari untuk mempertahankan kadar nitrogen inorganik di atas 0,283-3,8 µmol/l (D’elia dan Wiebe, 1990), dan (d) pencahayaan berkisar pada cahaya hijau yang mempunyai padanan dengan panjang gelombang sekitar 540 nm dan sesuai dengan kehidupan karang (Sorokin, 1993). Berkenaan dengan proses bleaching coral yang terjadi di alam dalam skala yang luas serta berlangsung dalam kurun waktu yang relatif lama akan sulit ditemukan proses retransduksi melalui sumber inang berbeda atas zooxanthellae. Ketidakseimbangan sistem perlindungan pada polip disebabkan oleh perubahan kondisi lingkungan khususnya temperatur dan cahaya. Pengaruh temperatur mempunyai kaitan erat dengan mekanisme integritas sel pada jaringan polip karang yang pada akhirnya dapat menyebabkan lepasnya zooxanthellae. Lemahnya integritas baik dalam jaringan maupun di membran sel polip menjadi pemicu hal tersebut. Faktor penting dalam pengendalian keduanya adalah kalsium bebas yang terdapat di dalam jaringan polip. Kalsium merupakan unsur utama yang mempun memelihara integritas struktur sel. Menurut Halliwell and Gutteridge (1999) bahwa peningkatan Ca2+ dalam sel dapat menyebabkan penggelembungan pada membran sel. Selanjutnya dari hasil penelitiannya dinyatakan bahwa peningkatan temperatur 36oC secara dramatis dapat menyebabkan peningkatan Ca dalam jaringan polip. Oleh Rega (1986); Meltzar and Berman (1984) dinyatakan pula bahwa peningkatan temperatur di perairan alami menyebabkan pengeluaran Ca pada organisme tingkat tinggi. Di alam pengaruh temperatur ini akan sinergis dengan pencahayaan khususnya radiasi ultraviolet. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa terumbu karang secara alami terjadi atau hidup pada perairan laut yang jernih yang memungkinkan sinar ultraviolet menembus hingga dasar perairan dimana karang-
180
karang tersebut hidup (Smith and Baker, 1979). Dengan demikian, maka tidak terjadi suatu penghalangan radiasi pada kehidupan komunitas karang di dasar perairan (Falkowski et al., 1984). Organisme fotosintetik termasuk zooxanthellae secara langsung akan terkena pengaruh tersebut sekaligus memanfaatkannya untuk aktivitas biogeniknya. Pengaruh pemanasan akibat radiasi cahaya ultraviolet dapat membahayakan karang melalui gangguannya terhadap membran lipid dan protein permukaan jaringan polip karang (Shick et al., 1996; Lesser, 2000). Pada panjang gelombang 280 and 320 nm dapat menyebabkan gangguan terhadap asam nukleat dan menghambat fungsi kloroplast (Jones and Kok, 1976). Pengaruh dari radiasi ultraviolet pada hubungan inang karang dan simbion zooxanthellae membuat kondisi semakin memburuk karena terjadi kondisi hyperoksik selama siang hari (>250%
saturasi; Kuhl et al., 1995) dan
fotoautotropik simbion menghasilkan oksigen yang lebih besar dibandingkan dengan konsumsinya untuk respirasi (Mangum dan Johansen, 1982; Chalker et al., 1985; Shick,1990). Hal tersebut mengakibatkan terjadinya tekanan oksidasi dalam ikatan simbiosis tersebut. Peningkatan oksigen ini dapat merangsang terbentuknya hydrogen peroksida dan hydroksil serta radikal superoksida (Dykens dan Shick 1984; DiGiulio et al., 1989; Tyrell, 1991; Dykens et al., 1992; Shick, 1993). Fenomena ini dinamakan Oxidative Theory of Coral Bleaching (Downs et al., 2002). Menurut Lesser and Farrell (2004) disebutkan bahwa apabila gejala ini berlangsung secara sinergis dengan pengaruh peningkatan temperatur dalam waktu yang lama akan mengakibatkan terjadinya necrosis dalam jaringan karang hermatipik yang selanjutnya akan diikuti oleh kerusakan karang. Hasil penelitian memperlihatkan profil jaringan histologis polip yang menyerupai efek sinergis khususnya pengaruh temperatur yaitu ditandainya oleh lepasnya jaringan ikat zooxanthellae. Pada Gambar 37 diilustrasikan adanya suatu kondisi lepasnya jaringan ikat zooxanthellae dari polip yang terjadi akibat penerapan temperatur 40oC dan 36oC masing-masing pada pemanasan selama 6 dan 12 jam. Pada gambar 3 terlihat bahwa terjadi bleaching total. Pada lapisan mesoglea maupun endoderm ikatan teaniolae antar jaringan ikat zooxanthellae telah mengalami kerusakan. Pada tahap tersebut diperkirakan karang Goniastrea aspera mengalami insiden oksidasi selluler sesuai theori yang dikemukakan oleh
181
Downs et al., (2002) yang menyebabkan kematian selama masa inkubasi di media alami. Hasil penelitian memperlihatkan mortalitas biota uji Goniastrea aspera pada penerapan tekanan temperatur 40oC dengan waktu 4 jam sebesar 100%. Sementara itu mortalitas biota uji pada penerapan tekanan temperatur 36oC dengan masa tekanan 4 jam mencapai 95% dan masa tekanan temperatur 6 jam hanya 97%.
A. Temperatur 40oC selama 4 jam
Gambar 37.
B. Temperatur 36oC selama 12 jam
Profil histologis jaringan polip karang pada pengaruh pemanasan media pada temperatur 40oC selama 6 jam dan temperatur 36oC selama 12 jam.
Mortalitas dan sintasan biota uji Goniastrea aspera akibat penarapan tekanan variasi temperatur mempunyai kaitan erat dengan aspek penyebab berupa besaran temperatur, waktu serta aspek akibat yaitu densitas dan tampilan histologi. Dua indikasi yang telah dicobakan dalam penelitian yaitu penerapan temperatur tetap dan penerapan lintas temperatur. Pada percobaan penerapan temperatur tetap diperoleh keterngan bahwa resistensi zooxanthellae pada media bertemperatur 32oC dan 28oC memperlihatkan kemampuan bertahannya zooxanthellae sampai dengan 40 jam penerapan temperatur. Kadar zooxanthellae berosilasi hingga akhir percobaan, namun ada kecenderungan menurun pada media bertemperatur 32oC. Pada media dengan temperatur 28oC dan 32oC karang
182
masih dapat bertahan hingga akhir percobaan. Pada penerapan media dengan temperatur 36oC dan 40oC menyebabkan menurunnya kadar zooxanthellae pada polip karang Goniastrea aspera secara linier dengan model penurunan masingmasing adalah Y=5.879.590,72–631.102,28 (R=-0,68) dan Y=6.467.176,15 – 986.679,73 (R=-0,74). Dengan model tersebut, maka secara teoritis kematian karang pada dua media tersebut akan terjadi pada masing-masing 9 jam dan 6,5 jam. Sementara itu percobaan lintas temperatur, dengan cara temperatur tinggi diperlakukan pada media 36oC yang ke dalamnya diinkubasikan Goniastrea aspera selama 6 jam, kemudian obyek penelitian yang sama dipindahkan ke dalam media bertemperatur 32oC selama 10 jam. Dari media terakhir kemudian dipindahkan lagi ke media bertemperatur 28oC hingga
36 jam. Hasil yang
diperoleh adalah bahwa zooxanthellae pada inang biota uji Goniastrea aspera pada media temperatur 36oC dalam kurun waktu 4 jam mengalami penurunan secara linier. Selama masa adaptasi 10 jam pada media 32oC dan dilanjutkan selama 18 jam pada media 28oC, zooxanthellae telah memperlihatkan adaptasi dilanjutkan dengan pertumbuhannya di jaringan selular polip karang Goniastrea aspera. Kadar terukur ini selanjutnya akan meningkat hingga mencapai 2,1 x 106 individu/cm2 dari hasil adaptasinya selama masa pengeramannya di media binaan. Fenomena tersebut mempunyai bentuk yang sama dalam studi pemulihan dalam skala luas sebagaimana diamati oleh Gleason (1993). Dalam hal ini dikemukakan bahwa bleaching karang yang terjadi secara timbul tenggelam dalam kurun waktu satu tahun menyebabkan timbul tenggelamnya pula hidup karang. Kejadian dimana karang-karang yang demikian dapat bertahan hidup meskipun temperatur lingkungan luarnya masih cukup tinggi dicirikan oleh : (a) pemutihan yang tidak komplit (parsial bleaching), dimana zooxanthellae masih normal dalam jaringan polip hidup baik dalam posisi maupun jumlahnya (HoeghGuldberg dan Smith, 1989; Porter et al., 1989); (b) repopulasi zooxanthellae terjadi secara cepat (Hoegh-Guldberg and Smith, 1989; Jaap, 1985; Szmant dan Gassmann, 1990). Sebaliknya pemutihan yang terjadi secara total signifikan menyebabkan kematian karang. Dengan indikasi tersebut, maka pemutihan yang mampu diadaptasi mempunyai pembatasan-pembatasan tertentu. Hasil kajian
183
terhadap potensi pulih diri berdasarkan fenomena histologis dan perkembangan densitas zooxanthellae akibat tekanan temperatur dengan titik kritis adalah sebesar 36oC selama 6 jam. Potensi pulih diri dari karang telah diperlihatkan dari dua aspek dalam penelitian ini. Pertama didasarkan pada kajian uji degradasi dan ketahanan biota uji pasca penerapan temperatur dan dalam proses pemulihan kembali terjadi transduksi baik alamiah maupun buatan zooxanthellae. Dengan kriteria temperatur optimum untuk dapat mempertahankan diri yaitu 36oC selama 6 jam serta kriteria ikutannya yaitu parsial bleaching maka dimungkinkan terjadi proses reposisi dan repopulasi zooxanthellae dalam jaringan polip karang Goniastrea aspera. Kedua, proses reposisi dan repopulasi ini terbentuk melalui regulasi sel sebegaimana dijabarkan oleh Campbell (1968) yaitu melalui pembentukan teaniolae. Tahapantahapan addisi sel ditunjukkan pada perkembangan histologis dalam penelitian ini. Pada tingkat digestive sel, dimungkinkan berkembangnya zooxanthellae pada masing-masing posisi dalam jaringan polip karang menuju pada fase kenormalan. Dalam penelitian ini, waktu yang ditempuh untuk mencapai pemulihan atas dasar hal tersebut adalah kurun waktu minggu ke 12. Dalam publikasi di harian Kompas tanggal 11 Januari 2010 dikemukakan selama ini berkembang pendapat bahwa terumbu karang yang rusak akibat perubahan iklim tidak mampu memulihkan diri. Berdasarkan temuan para periset Universitas Exeter Inggris ternyata terumbu karang mempu memulihkan diri dari dampak perubahan iklim. Survei para peneliti dilakukan di Laut Bahama selama 2,5 tahun. Terumbu karang yang diriset telah rusak berat dan telah terjadi bleaching akibat badai Frances pada musim panas 2004. Pada awal riset, terumbu karang yang diamati hanya dalam keadaan 7% hidup dari kawasan yang tertutup oleh karang. Ini berarti tergolong rusak Gomez et al., (1981). Pada akhir riset, terumbu karang meningkat menjadi 19%. Desain dari perubahan ini diperkirakan dapat disumbangkan dari hasil penelitian uji degradasi dari ketahanan karang yang dalam hal ini diwakili oleh Goniastrea aspera sebagaimana dilakukan dalam tahap kedua dalam penelitian ini. Desain pemulihan yang berikutnya adalah proses transduksi atau tahap translokasi antar inang.
184
Dari sisi dimungkinkannya suatu proses perangsangan untuk transduksi antara zooxanthellae bebas terhadap suatu inang baru, mekanisme awal adalah melalui tahap recognisi. Fase ini diikuti dengan settling dan tumbuh berkembang di dalam sel-sel jaringan endoderm (Muscatine, 1974). Sebagai biota fitofototropik serta bersifat mikro, maka secara mendasar perkembangannya ditentukan atau dibatasi oleh 3 variabel utama yaitu cahaya, nutrient dan temperatur (Parson et al., 1984). Peranan cahaya sangat penting karena fungsinya berperan dalam proses aktivitas reduksi pigmen untuk melakukan proses pengubahan energi kinetik dari pancaran berbagai sinar gelombang cahaya menjadi energi potensial (Page, 1990). Respon biotik dari fitoplankton umumnya dan khususnya zooxanthellae terhadap eksitasi elektronik cahaya akan diterima dalam berbagai nilai panjang gelombang. Secara teoritis kelengkapan baik photosystem I dan photosystem II dari fitoplankton ini mampu menerima efek pencahayaan, namun seringkali dalam kondisi tertentu (misalnya pada pencahayaan yang kuat dengan keberadaannya di perairan dangkal) eksitasi elektronik yang terjadi tidak cukup mampu diterima fitoplankton, sebaliknya pada kedalaman yang tinggi eksitasi elektronik tidak cukup untuk merespon reduksi sel pigmen (Page, 1990). Kondisi inilah yang dapat menyebab efek cahaya dapat bersifat inhibiting (menghambat) khususnya di perairan dangkal dan sekaligus limiting (pembatas) pada perairan yang lebih dalam. Pengaruh temperatur lebih banyak berperan terhadap katalisasi proses enzimatik yang berkaitan dengan proses respirasi. Di samping itu secara signifikan berpengaruh terhadap penangkapan nitrien. Sedangkan nutrien berkaitan dengan pemenuhan nutrisi fitoplankton. Inipun menjadi riskan dalam jumlah besar di perairan terumbu karang. Efek-efek eutrifikasi yang terpacu oleh adanya nutrien pada akhirnya mempengaruhi karang secara makro di ekosistemnya. Kombinasi ketiga variable tersebut serta diaplikasikan kepada kehidupan karang sebagai inang zoozanthellae maka nampaknya sangat berpengaruh terhadap pola perilaku zooxanthellae. Sebagai peubah penentu kehidupan di lingkungan laut, maka dimungkinkan ketiganya berperan aktif sebagai faktor perangsang (trigerring) dalam memacu proses transduksinya terhadap polip karang. Percobaan tentang ultraviolet, temperatur dan nutrien seperti dilakukan
185
oleh beberapa peneliti Nystrom et al., 2000; River et al., 2000; Bynagle et al., 2002) menunjukkan bahwa terdapat batasan-batasan tertentu terhadap respon perangsangan (trigerring) proses endosimbiosis. Dalam hal ini, kadar-kadar mana masih bertahan yang berarti memacu kondisi seimbang simbiosis tercapai ataupun kadar-kadar mana terjadi proses pelepasan sebagai ekspresi destruktif dapat dijadikan sebagai dasar kondisi eksternal untuk direspon dalam kesimbangan endosimbisis, meskipun belum dapat dinyatakan sebagai aspek perangsang (trigerring). Beberapa peneliti mencoba untuk membuat perlakuan nutrien sebagai unsur perangsang untuk dapat diperoleh proses transduksi karang dengan zooxanthellae. Hoegh-Guldberg (1994) mengemukakan bahwa kadar NH4Cl sebesar 20 μM mendukung perkembangan populasi endosimbiont zooxanthellae pada Pocillopora damicornis. Sedangkan Nystrom et al., (2000) menggunakan inorganic NO3-N sebagai media penyelia pada kondisi temperatur yang ditingkatkan menemukan kadar 15 μM sebagai media yang dapat mendukung tertahannya zooxanthellae dalam inang. Meskipun belum begitu banyak informasi tentang trigerring treatment dalam memacu proses transduksi, namun setidaknya faktor-faktor pembatas kehidupan zooxanthellae yang memungkinkan masih bertahan dan berkembangnya biota ini dalam jaringan karang merupakan suatu informasi yang sangat baik untuk mendukung proses perangsangan transduksi. Dari sisi karang itu sendiri, nampaknya bukan merupakan persoalan sederhana untuk membahas mengenai proses perangsangan transduksi simbion bebas ke dalam jaringannya. Suatu kemungkinan sebagaimana diuraikan dalam proses transduksi pada bagian sebelumnya dinyatakan oleh Hoegh-Guldberg (1994) melalui proses chemosensory barangkali dapat digabungkan dengan proses feeding aktif biota karang. Ini mungkin dapat dijelaskan mekanisme sebagaimana diuraikan oleh Lenhoff (1974) melalui proses yang diberi nama Integrasi receptor-effector system pada mekanisme pemangsaan kelompok cnidaria. Dalam hal ini terjadinya proses transduksi tidak lepas dari sistem gerak yang menetap dari polip karang (hanya tentakularnya) dalam hal ini diterangkan terjadi melalui proses pengeluaran sistem kimiawi. Proses pergerakan tentakel terjadi karena adanya kontak individu karang dengan pergerakan (agitasi) mekanik di
186
lingkungan eksternalnya (laut), yaitu pada saat mana dimungkinkan zooxanthellae bergerak secara leluasa di perairan. Jenis unsur kimia yang direspon oleh cnidaria secara sempurna dan seksama akan direspon oleh seluruh organ Cnidaria untuk bergerak dengan assosiai bioelektrikal, pembukaan mulut serta dukungan sistem syarafnya yang disebut neck formation. Unsur kimia tersebut adalah glutathione yang mengandung unsur-unsur asam amino. Apabila mekanisme ini dikaitkan dengan penelitian Nystrom et al., (2000) dan Hoegh-Guldberg (1994), maka unsur nutrien khususnya nitrogen memberikan potensi sebagai trigerring dalam proses pengikatan zooxanthellae ke dalam polip karang. Ketersediaan
nitrogen
dan
fosfor
bagi
phytoplankton
termasuk
zooxanthellae yang sedang tumbuh bergantung kepada serangkaian reaksi biologis perantara yang rumit sebagaimana diuraikan pada reaksi yang melibatkan cahaya tersebut di atas. Nitrogen di dalam lingkungan perairan terdapat dalam beragam bentuk dan mempunyai gabungan kimiawi luas yang meliputi keadaan oksidasi yang berbeda. Nitrogen organik terikat pada unsur pokok sel dan makhluk hidup yang masih hidup, sebagai contoh : purin, peptida dan asam amino. Sedangkan nitrogen inorganik sebagai contoh berada dalam bentuk amonia, nitrit, nitrat dan gas nitrogen kesemuanya terlarut
dalam massa air. Perubahan bentuk dalam
massa air dari nitrogen inorganik menjadi nitrogen organik terjadi melalui pertumbuhan fotosintetik pada tanaman air. Kebalikan dari proses ini menghasilkan pembentukan ammonia dan bahan organik oleh sejumlah mekanisme yang melibatkan otolisis sel, jasad renik dan pembuangan dari makhluk hidup yang lebih besar. Ammonia dapat hilang dari air oleh penguapan tetapi oksidasinya menghasilkan nitrifikasi terutama oleh jasad renik dan menghasilkan nitat yang tidak dapat menguap. Nitrat dapat melakukan proses denitrifikasi yang dapat menyebabkan hilangnya gas nitrogen dan masuk ke dalam atmosfer (Szmant, 2002). Fiksasi nitrogen dapat dilakukan oleh bermacam-macam makhluk hidup tetapi dipastikan oleh adanya suatu proses adaptif yang hanya penting bagi keseluruhan proses jika nitrogen merupakan pasokan terbatas. Fosfor terdapat dalam suatu keadaan oksidasi tunggal sebagai fosfor anorganik dan fosfor anorganik. Bentuk anorganik terutama adalah orthofosfat (PO43-) dan polifosfat. Bentuk organik selalu digabungkan dengan senyawaan zat
187
selular dan sebagian besar fosfor dalam air alamiah adalah dalam bentuk organik. Bentuk anorganik khususnya dalam bentuk orthofosfat siap diasimilasi selama fotosintesis. Sedimen berperan utama dalam ketersedian fosfor di banyak daerah perairan termasuk di lingkungan ekosistem terumbu karang. Proporsi fosfor yang tinggi dalam masa air berkurang oleh adanya penyerapan ke dalam mineral sedimen. Satu fraksi penyerap kedalam keadaan anionik dan lainnya ke dalam struktur kisi kristal dengan mengganti ion-ion hidroksil. Faktor utama yang mempengaruhi proses ini adalah kemampuan oksidasi reduksi, pH dan kepekatan zat-zat lainnya. Selanjutnya apabila hal ini dikaitkan dengan kondisi lingkungan ekosistem terumbu karang sebagaimana diungkapkan oleh beberapa penelitian dan kemudian dirangkum oleh Sorokin (1993) diketemukan bahwa unsur nitrogen lebih banyak berperan dalam penyediaan nutrien di lingkungan karang dengan detritus pool sebagai bentuk pencadangannya. Sedangkan rendahnya fosfor terutama terkait dengan tingginya pH yang menyebabkan lebih cepatnya terikat oleh Ca menjadi produk hidroksi apatit yang sulit larut ke dalam media perairan (Stumm dan Morgan, 1991). Dengan demikian unsur fosfor di perairan karang seringkali dijumpai sangat miskin. Adapun hasil rangkuman kadar nitrogen perairan oleh D’elia dan Wiebe (1990) dirangkum dan disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Tipe Kelarutan Konsentrasi Nitrogen Inorganik (dalam mol/l) di Beberapa Lokasi Terumbu Karang di Dunia No 1
2
3
Lokasi Laut Karibia (Atlantik) Teluk Jamaica Bermuda Kepulauan Virgin Samudera Hindia Kepulauan Abrolhos Atoll Kavarati Peros Banhos, Maldives Atoll Salomon, Maldives Samudera Pasifik Atoll Canton Kepulauan Marshal Great Barrier Reef Teluk Pago, Guam Teluk Tuman Pulau Sasoko, Okinawa Tarawa Lagoon, Kiribati
Sumber : D’elia dan Wiebe (1990)
Kadar pada Muka Belakang Terumbu Terumbu
Sumber
0,59 0,5 >0,283
3,6 >0,512
D’elia et al., (1981) D’elia (Tidak dipublikasikan Morris et al., (1985)
1,503 0,982 1,20 0,4 0,98
0,51 1,20
Johannes et al., (1983) Johannes et al., (1983) Wafar et al., (1985) Rayner et al., (1984) Rayner et al., (1984)
3,8 0,349 0,69 1,02 0,22 0,86 0,4 3,02
0,912 1,26 0,45 8,14 1,8 -
Smith and Jokiel (1978) Johannes et al., (1972) Risk dan Miller (1983 Crossland dan Barnes (1983) Marsh (1977) Crossland (1982) Kimmerrer dan Walsh (1981)
188
Kadar nutrien ini dapat digolongkan ke dalam lingkungan yang miskin, sehingga hanya organisme fitobiotik tingkat tinggi yang pada umumnya resisten dan dapat tumbuh di lingkungan ini. Tanaman tingkat tinggi ini lebih banyak memanfaatkan nutrien yang bersumber dari sedimen tempat pelekatannya dibandingkan dari medium eksternalnya (Berner dan Izaki, 1994). Lebih lanjut dikemukakan bahwa deposit organik menjadi sumber utama makroalgae yang ada di perairan lingkungan karang. Keadaan ini berbeda dengan phytoplankton lainnya yang memerlukan nutrien dari media perairan. Bagi zooxanthellae dengan miskinnya nutrien dalam media perairan bukan merupakan kendala yang berarti. Hal ini disebabkan rangka karang yang porous ternyata menyimpan cadangan nutrien yang cukup tinggi. Dengan demikian, maka pada dasarnya lingkungan karang ini umumnya lebih miskin nutrien. Dalam hal ini ketersediaan nutrien internal lebih dominan dalam menentukan baik perangsangan relokasi maupun keperluan fungsional faalinya. Sebagai dukungan terhadap hal ini adalah bahwa rangka karang yang menyangga tubuh polip dengan tingkat porositasnya yang tinggi ternyata merupakan gudang nutrien internal dari karang. Alasan dari hal ini didukung oleh model struktur kristalin dari rangka karang (Gambar 38) dan hasil temuan dari Ferrer dan Szmant (1988) yang mengemukakan bahwa kadar ammonium dapat ditemukan dalam kadar 0,0412 mg/l di rangka. Nilai ini melebihi kadar status perairan terumbu karang di beberapa lokasi sebagaimana disitir oleh D’elia dan Wiebe (1990). Di sisi lain, cadangan dalam rangka karang yang pada umumnya merupakan deposit organik kiranya bukan menjadi halangan masih tetap berlangsungnya proses perombakan internal. Hal ini disebabkan karena oksigen selalu tersedia dan tertransfer aktif melalui kisi-kisi rangka melalui polip karang. Adanya oksigen yang juga bukan menjadi pembatas mengakibatkan proses perombakan bahan organik berlangsung dengan normal (D’elia dan Wiebe. 1990). Selanjutnya bahwa dengan kondisi pH yang juga terpelihara tingkat fluktuasinya menjadi penyebab mengapa proses-proses hidrolisis dari materi kontaminannya dapat berlangsung secara normal pula. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa mekanisme faali bagi pertumbuhan karang baik dalam bentuk
189
ekspresi kalsifikasi maupun penambahan polip dimungkinkan masih akan berlangsung secara normal meskipun lingkungan perairan miskin nutrien N dan P.
Gambar 38. Bentukan Struktur Diameter Rongga pada Rangka Karang Dari aspek ini maka menunjukkan bahwa proses perombakan internal yang dilakukan oleh suatu polip karang bersimbiosis memberikan kemanfaatan bagi proses endosimbiosis. Ini akan berbeda apabila deposit organik yang ada dalam rongga rangka karang tidak terdekomposisi dan termanfaatkan. Akibatnya adanya unsur-unsur tersebut justru akan menjadi faktor lethal bagi biota karang itu sendiri. Dengan demikian maka bagi karang kehadiran endosimbion memang mutlak diperlukan dalam proses kehidupannya, meskipun dalam regulasinya di jaringan inang tipis atau rendah sebagai ekspresi dari tekanan lingkungan lain non nutrien; khususnya cahaya. Berikutnya adalah dukungannya dalam proses kalsifikasi. Proses kalsifikasi merupakan salah satu mekanisme pertumbuhan karang. Proses ini
190
terbentuk oleh karena adanya jalinan yang bersifat sinergis antara berbagai aktivitas dinamik dalam lingkungan internal dan eksternal tubuh polip karang. Kegiatan-kegiatan penunjangnya adalah : 1. Adanya sistem karbonat air laut yang aktif; 2. Unsur Ca2+ air laut yang bukan merupakan pembatas (limiting faktor); 3. Aktifnya produk enzymatic selluler karang pendukung proses kalsifikasi; 4. Respirasi eksternal dan internal yang aktif Bagi biota karang berlangsungnya reaksi aktif sistem karbonat dan ketersediaan ion Ca2+ dapat mendukung terselenggaranya proses kalsifikasi. Menurut Muscatine (1974) reaksi bikarbonat menjadi karbonat memberikan implikasi yang positif dalam pembentukan deposit CaCO3 pada rangka karang. Namun demikian persyaratan kestabilan pH yang tinggi diperlukan dalam terlaksananya proses tersebut (Muscatine, 1974). Ini mungkin secara intraselluler dapat terjamin dalam lingkungan tubuh polip karang mengingat di lingkungan sellulernya tersedia zooxanthellae yang secara aktif melakukan proses respirasi. Kekuatan kalsifikasi pada polip karang yang secara teoritis dapat terlaksana hanya melalui proses kesetimbangan kimia akan menjadi suatu ikatan yang lebih kuat, karena proses pembentukan kristalinnya dibantu dan dipacu dengan kerja enzymatic di sekitar pangkal polipnya (coenosarc). Enzym yang berperan dalam pembentukan kristal deposit CaCO3 rangka adalah enzym carbonic anhydrase (Chapman, 1974). Berdasarkan uraian di atas, maka menjadi jelas bahwa keberadaan unsur Ca khususnya memegang peranan yang sangat penting tidak saja dalam kaitannya dengan pembangunan struktur terumbu akan tetapi juga terhadap fungsi fisiologis lainnya. Sehingga pada lingkungan dengan kadar Ca dan Mg serta salinitas rendah sulit dimungkinkan terbentuknya struktur terumbu karang dan bahkan hidup dari karang. Berdasarkan uraian di atas maka secara fisiologis manfaat dari simbiosis antara binatang karang dengan zooxanthellae dapat dirinci sebagai berikut : a. Merombak sisa metabolik (Veron, 1995) b. Meningkatkan proses kalsifikasi (Veron, 1995),
191
c. Memberikan konstribusi nutrien secara langsung dan d. Mendaur ulang (recycling) nutrien pembatas, termasuk nitrogen dan fosfor. Dengan adanya simbiosis, semua kegiatan tersebut atau semua manfaat tersebut akan terlaksana (Muscatine, 1990); dan dengan adanya simbiosis ini maka secara phototropikal dapat memperpanjang kehidupan karang dalam suatu periode tertentu dan jika tidak untuk jangka waktu tak terbatas memberikan tambahan nutrien minor. Berdasarkan keterangan maka dapat dinyatakan karang tidak akan hidup tanpa simbiosis dengan zooxanthellae. Yang dimaksud
dengan teknik translokasi
adalah
upaya
untuk
memindahkan zooxanthellae antar satu inang dengan inang lainnya. Proses translokasi itu sendiri merupakan upaya implementasi dari teori yang dikemukakan oleh Buddemeir dan Futin (1983) tentang mekanisme adaptasi dari karang pasca tekanan fisik lingkungan eksternalnya. Statemen tersebut, meskipun mendapat beberapa tantangan namun secara konseptual sebagaimana telah diuraikan di atas cukup terdukung. Untuk membuktikan hal ini diperlukan suatu telaah sistematik mulai dari pemisahan zooxanthellae secara berjenjang hingga memperhitungkan tingkat kebutuhan lingkungan untuk memperoleh pertumbuhan optimum bagi tiap clade. Selanjutnya dilakukan tahapan uji translokasi dengan melakukan upaya memberikan tekanan pada biota uji dan menginkubasikannya pada media tersebut di atas. Pendekatan bioteknik translokasi untuk meningkatkan intensitas transduksi zooxanthellae terhadap biota uji Goniastrea aspera mengadaptasi fenomena peluang acak sebagaimana dikemukakan oleh HoeghGuldberg dan Smith (1989). Adapun translokasi zooxanthellae yang dipindahkan dari inang yang berbeda secara fundamental diperlukan untuk mendukung pandangan adaptasi karang terkait dengan batasan kuantitatif terhadap perilaku pemulihan setelah mengalami tekanan lingkungan khususnya temperatur. Ada dua hal yang dapat diinformasikan dengan teknik ini, yaitu bahwa dimungkinkannya prosesi secara alami terjadi proses translokasi; sehingga setidaknya pertanyaan akan proses pemulihan dalam tekanan jangka pendek pada kawasan terumbu terhadap struktur karang akan terjawab. Ini dilandasi oleh dua aspek, pertama bahwa dalam
192
pembentukan struktur karang seperti yang selama ini terjadi terbentuk melalui proses adaptasi antar species dan bahkan genus untuk dapat berdampingan hidup. Komponen ini secara jelas diinformasikan oleh Sorokin (1993) bahwa struktur karang penyusun terumbu terbentuk melalui serangkaian proses ekologi adaptasi diantara masing-masing species dan
genus. Kedua bahwa proses
ini
dimungkinkan terjadi karena adanya fenomena bahwa tiap genus karang mempunyai profil nematocyt (sel penyengat) yang berbeda (Mariscal, 1974). Nematocyt itu sendiri merupakan komponen kimiawi yang dihasilkan oleh masing-masing karang yang berfungsi tidak hanya untuk mengidentifikasi pakan akan tetapi juga mempunyai fungsi yang lain. Selanjutnya dikemukakan bahwa ada empat tipe nematocyt dengan fungsi yang berbeda, yaitu : 1. Stenoteles, yaitu tipe nematocyt yang berfungsi sebagai penetrasi untuk menangkap prey; 2. Desmonemes, yaitu type nematocyt yang berfungsi untuk merekatkan polip dengan prey tangkapan; 3. Atrichous isorhizas, yaitu tipe nematocyt yang berfungsi sebagai sarana melakukan monitoring terhadap substrat, umumnya berfungsi selama masa planktonik untuk melakukan penempelan (settling) dan 4. Holotrichous isorhizas, sebagai tipe nematocyt yang berfungsi sebagai alat defensif terutama terhadap bahaya serta penguasaan relung. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa transduksi secara acak dapat terjadi baik di lingkungan perairan alami maupun di lingkungan binaan. Transduksi di perairan alami dibuktikan dengan ditemukannya clade D pada contoh yang diinkubasi di alam setelah pengeraman dengan clade A, B dan C. Transduksi di lingkungan binaan juga dapat terjadi dengan ditemukannya clade eraman selama masa inkubasi di lingkungan alami maupun binaan. Intensitas pengeraman memegang peranan penting dalam memacu proses translokasi. Dalam hal ini untuk terjadi translokasi di lingkungan binaan memerlukan waktu pengeraman selama 17 hari. Waktu ini lebih lambat dibandingkan dengan transduksi di lingkungan perairan alami. Dengan demikian, maka telaah translokasi akan memberikan sumbangan terhadap beberapa pertanyaan mendasar tentang masa depan karang dan terumbu karang akibat meningkatnya tekanan
193
eksternalnya sebagaimana dikemukakan oleh Westmacott et al., (2000). Telaahan ini juga sekaligus dimungkinkan dapat menjawab tentang mengapa proses pemulihan karang menjadi lama, selain melalui tahapan-tahapan pembentukan bioaktif juga akan mengalami proses suksesi regulasinya di dalam jaringan polip karang. Kedua bahwa adanya kecenderungan menempatkan karang sebagai komoditas ekspor memerlukan suatu teknik baru tidak hanya sekedar mempertahankan warna alaminya. Dalam hal ini dikenal beberapa jenis karang yang mempunyai sifat kehadiran sama persis seperti tanaman mangrove. Umumnya jenis-jenis yang tahan terhadap tekanan fisik adalah jenis-jenis yang bersifat pioneer. Jenis-jenis ini adalah seperti Acropora sp; Porites sp; Goniophora sp, Goniastrea sp; atau yang pada umumnya hidup di lingkungan reef flat. Di samping mempunyai ketahanan hidup yang tinggi, maka jenis-jenis ini adalah jenis karang yang mempunyai laju pertumbuhan atau kalsifikasi yang cukup tinggi dibandingkan dengan jenis karang lainnya. Aplikasi teori ini sangat berguna untuk menelaah tentang proses-proses recoveri terumbu karang yang rusak secara alamiah. Hal ini disadari mengingat kasus-kasus besar yang bersifat regional sangat dimungkinkan terjadi dalam kurun waktu pulih yang sangat lama. Teori recruitmen mungkin menjadi tumpuan dari proses recoveri yang dianut selama ini dan tentu saja ini sangat logis pada kawasan yang tertekan secara komplit pada suatu kawasan. Namun demikian khasanah pemulihan karang pasca bleaching perlu dipandang lain dari sisi pengembangan teori dan teori adaptasi ini telah terbukti secara aplikatif dalam penelitian ini.
195
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan serangkaian penelitian yang dilakukan, maka penelitian ini dapat memberikan simpulan terhadap beberapa aspek pengembangan, yaitu : A. Berdasarkan Pengembangan Metodologi a.
b.
c.
d.
e.
Untuk mendapatkan jenis clade zooxanthellae murni dari inangnya di alam yang mencerminkan jenis sesungguhnya diperlukan tahapan uji melalui teknik pemurnian. Teknik pemurnian zooxanthellae dari berbagai sumber inang menghasilkan informasi mengenai model kehidupan sesungguhnya dari simbion dalam bentuk ukuran-ukuran parametrik yang dapat diaplikasikan dalam pembudidayaan media binaan. Model dasar dari pengembangan kultur zooxanthellae adalah pengaturan temperatur media yang berkisar 20-23oC dengan pencahayaan hijau berkekuatan 84,56 sampai dengan 102,78 µmol quanta m-2 dt-1 serta sediaan nutrien awal NaNO3 sebesar 200 µM. Pengaturan nutrien memungkinkan dapat dipertahankannya pertumbuhan optimum zooxanthellae dengan mengetahui waktu pengisian ulang nutrien yaitu sebesar 0,0455 mg NO3-N/l dengan selang pengisian kembali 16 hari. Transduksi simbion diawali dengan masa pengenalan (recognisi) yang cukup.
B. Berdasarkan Pengembangan Keilmuan a.
b. c.
Ragam clade dalam jaringan polip beberapa sumber inang adalah clade A, clade B dan clade C. Sea anemon mengandung zooxanthellae clade A (80%) dan clade B (20%), Tridacna mengandung zooxanthellae clade A (80%) dan clade B (20%), Acropora mengandung zooxanthellae clade A (60%), clade B (20%) dan clade C (20%), Favites mengandung zooxanthellae clade A (20%) dan clade C (80%) serta Goneastrea mengandung zooxanthellae clade A (60%) dan clade B (40%). Clade A merupakan jenis zooxanthellae yang mempunyai ketahanan terhadap temperatur tinggi. Karang dapat mengalami pemulihan pasca pemutihan dengan ketentuan stressor tertinggi 36oC dengan masa tekanan selama 6 jam; sifat histologis simbion adalah parsial.
196
d. e. f.
g. h.
Pemulihan pasca pemutihan dapat berlangsung dalam kondisi sistem syaraf masih terbentuk secara terstruktur. Transduksi zooxanthellae dapat terjadi secara silang di lingkungannya pasca pemutihan pada batasan stressor. Translokasi baik secara buatan maupun secara alami dapat terjadi dalam batasan stressor optimum dan mengalami proses pemulihan melalui terbentuknya teaniolae. Translokasi secara binaan dapat terjadi dalam waktu 17 hari, sementara di lingkungan alami dapat lebih cepat. Translokasi buatan maupun alami yang dapat direspon dalam bentuk regulasi zooxanthellae pada jaringan polip, dapat memacu pemulihan melalui peningkatan sintasan maupun kalsifikasi.
C. Berdasarkan Terapan Aplikasi Keilmuan a.
Pengembangan metodologi dalam kajian sekuen translokasi dapat diaplikasikan dalam percobaan kultur secara massal untuk setiap clade yang ditemukan.
b.
Proses translokasi dan keberadaan clade A selama tekanan masa pemutihan optimum dalam lingkup binaan merupakan suatu jawaban mengenai dimungkinkannya terumbu karang dapat pulih. Saran
Hasil penelitian secara inspiratif akan dapat memberikan beberapa usul pengembangan. Dalam hal ini dapat dipilah dalam 3 aspek usul saran yaitu terkait dengan : A. Pengembangan aplikatif Translokasi dapat memperkuat dan meningkatkan ketahanan biota karang atau biota laut lain seperti molusca, sehingga dapat diaplikasikan sebagai perantara tingkat ketahanannya untuk uji-uji lanjut. B. Pengembangan diversitas 1. Kajian diversitas yang perlu dikembangkan adalah aplikasi pemutakhiran teknik analisis DNA untuk mencari clade yang lebih detail dari clade utama yang ditemukan.
197
2. Telaah timbul tenggelamnya jenis clade dan hubungannya dengan fenomena timbul tenggelamnya kondisi terumbu karang terkait dengan berbagai potensi perubahan kondisi lingkungan khususnya tentang perubahan temperatur dan cahaya. 3. Kajian tentang proporsi jumlah atau persentase keberadaan clade dengan tipe pewarnaan inang. C. Pengembangan perspektif. Zooxanthellae sebagai fitobiotik masih menyimpan berbagai potensi telaah secara parsial dengan biota inangnya. Dengan potensi faalinya dalam merespon berbagai tingkat perubahan lingkungannya maka masih diperlukan kajian pemanfaatannya. Usul pengembangan aplikatif lebih banyak mendukung pada tingkat penyediaan zooxanthellae secara binaan dan terkendali serta tingkat pemanfaatan yang bersifat assosiatif. Adapun usul penelitian lanjut yang bersifat perspektif terhadap zooxanthellae beserta ragam clade lebih diarahkan kepada telaah fitokimianya, seperti misalnya evaluasi proksimat serta uji-uji biofarma lainnya. Usul penelitian dalam telaah integritas zooxanthellae sebagaimana disebutkan di atas sangat prospektif dikembangkan mengingat bahwa potensi diversitas zooxanthellae terindikasi sangat beragam dan melimpah di perairan Indonesia. Keragaman dan kemelimpahan potensi ini dalam telaah integritas zooxanthellae akan semakin meningkatkan kemanfaatan keberadaan ekosistem terumbu karang di Indonesia, tidak saja sebagai pusat penyebaran (center of origin) semata akan tetapi juga perpektif sebagai pusat potensi biofarma laut.
199
Daftar Pustaka Abrar, M. 1999. Coral colonization (Scleractinian) on artificial substrat at Sikuwai Island Bungus, Teluk Kabung Padang, West Sumatra : A Conservation for Demaged Coral Reef. Di dalam Soemodihardjo (Ed.) Prosiding Lokakarya Pengelolaan dan Iptek Terumbu Karang Indonesia, Jakarta, 22-23 November 1999. Jakarta LIPI, hal 173-176. Allen, G.R; R.C. Steene. 1990. Reefs Fishes on the Indian Ocean. Mar. Sci. Tech. Perth Australia. Atkinson, M.J. 1988. Are coral reefs nutrient limited? In J.H. Choat (Ed), Proc. 6th Int. Coral Reefs Symp. I:157-166. James Cook Univ. Press., Townsville Australia. Atkinson, M.J; E. Kotler; P. Newton. 1994. Effect of Water Velocity on Respiration, Calcification, and Ammonium Uptake of a Porites compressa Community, Pacif. Sci., 48: 296-303 Baker, A.C. 2003. Flexibility and specificity in coral – algal symbiosis : diversity, ecology and biogeography of Symbiodinium. Annu Rev. Ecol. Evol. Syst. 34:661-689. Baker, A.C; C.J. Starger; T.R. McClanahan; P.W. Glynn. 2004. Corals adaptive response to climate change. Nature 430:741. Baker, A.C; R. Rowan, 1997. Diversity of symbiotic dinoflagellates (zooxanthellae) in scleractinian corals of the Caribbean and eastern Pacific. Proc. 8th Int. Coral Reef Symp., Panama. 2: 1301-1306. Berkelmans, R; J.C. Hendee; P.A. Marshall; P.V. Ridd; A.R. Orpin; D. Irvine. 2002. Automatic weather stations: Tools for managing and monitoring potential impacts to coral reefs. Mar. Tech. Soc. J. 36(1):29-38 Barneah, O; V.M. Weis. Perez; S. Beneyahu. 2004. Diversity of Dinoflagellate Symbiont in Red Sea Soft Coral : Mode of Symbiont Acquasition Matters. Mar. Biol. Prog. Ser. 275:89-95. Barnes, D.J; B.E. Chalker. 1990. Calcification and photosynthesis in reef-building corals and algae. In Z. Dubinsky (Ed) Ecosystems of the World. Vol. 25 Coral Reefs. New York : Elsevier, pp 109-131. Berner, T; I. Izhaki, 1994. Effect of exogenous nitrogen levels on ultrastructure of zooxanthellae from the hermatypic coral Pocillopora damicornis. Pac. Sci. 48:254-262. Bhagooli, R; M. Hidaka. 2004. Photoinhibition, bleaching suspectibility and mortality in two scleractinian corals, Platygyra ryukyuensis and Stylophora pistillata, in response to thermal and ligth stresses. Comp. Biochem. Physiol. A. 137:547-555. Blank, R.J; R.K. Trench. 1985. Nomenclature of endosymbiotic dinoflagellates. Taxon 35:286–658.
200
Blank, R.J; V.A.R. Huss.1989. DNA Divergency and Speciation in Symbiodinium (Diniphyceae). Plant. Syst. Evol. 163:153-163. Borneman, E. 1998. Getting Up-To-Date on Zooxanthellae. www.aquarium.net/ 0998/0998. Dikunjungi tanggal 2 Maret 2002. Brody, S. 1945. Bioenergetics and Growth. Reinhold Publication Corp. New York. Brown, B.E. 1997. Coral bleaching : causes and qonsequences. Proc 8th Int. coral Reef Sym. 1:65-74 Brown, B.E; M.D.A. Le Tissier and R.P. Dunne. 1994. Tissue retraction in the scleractinian coral Coeloseris mayeri, its effect upon coral pigmentation and preliminary implications for heat balance. Mar.Ecol. Prog. Ser. 105:209-218. Brown, B.E; Suharsono; 1990. Damage and recovery of coral reefs affected by El Nino related seawater warming in the Thousand Islands, Indonesia. Coral Reefs 8:163-70. Buddemier, R.W.; D.G. Fautin. 1993. Coral Bleaching as an adaptive mechanism. BioScience, 43:320-326. Burke, L.E; Selig; M. Spalding. 2002. Reef at risk in South East Asia. www.wri.org/reefatrisk. Dikunjungi tanggal 2 Maret 2002. Burn, T.P. 1985; Hard coral distribution and cold water disturbances in South Florida : Variation with depth and location. Coral Reefs, 4:117-24 Burnett, A.L. 1961. The growth process in hydra. J. Exp. Zool. 146 :21-83 Bynagle; Peterson (2003) Temperature And Uv Stress Interact To Change The Pigment Composition Of Coral Zooxanthellae. www.ac.wwu.edu/ ~gisele/pigments2. Dikunjungi tanggal 2 Maret 2002. Campbell. R.D. 1968. Cell behavior and morphogenesis in hydroids. In vitro 3:2232. Campbell, J.W; T. Aarup. 1989. Photosynthetically available radiation at high latitude. Limnol. Oceanogr. 34:1490-1499. Carlos, A.A.; B.K. Baillie; M. Kawachi and T. Maruyama. 1999. Phylogenetic Position of Symbiodinium (Dinophyceae) isolates from Tridacna (Bivalvia), Cardiids (Bivalvia), a Sponge (Porifera), a Soft Coral (Anthozoa) and free Living Strain. J. Phycol. 35:1054-1062. Chalker, B.E. 1984. Seasonal changes in primary production and photoadaptation by the reef coral Acropora granulosa on the Great Barrier Reef. In. HolmHansen O. (Ed.) Marine Phytoplankton. Springer-Verlag. Berlin : 73-87. Chalker, B.E; K. Carr; E. Gill. 1985. Measurement of primary production and calcification in situ on coral reefs using electrode techniques. Proc 5th Int Coral Reef Cong., Tahiti 6: 167-172
201
Chapman, G. 1974. The skeletal system. In. L. Muscatine and H.M. Lenhoff (Eds). Colenterate Biology : Reviews and New Perspectives. Academic Precc. London. Chen, C.A; K.K. Lam; Y. Nakano; A.S. Tsai. 2003. A stable association of the stress-tolerant zooxanthellae Symbiodinium Clade D, with the lowtemperature-tolerant coral Oulastrea crispata (scleractinia : Faviidae) in subtropical non-reefal coral communities. Zool. Studies, 42(4):540-550. Coffroth, M; S. Santos, 2005. Genetic diversity of symbiotic dinoflagellates in the genus Symbiodinium. Protist, 156:19-34. Coles, S.L; C. Jokiel.1976. Synergistic effects of temperature, salinity and respiration in hermatypic corals. Mar. Biol. 49:187-195. Coffroth, M.A; S.R. Santos; T.L. Goulet. 2001. Early ontogenic expression of specificity in the cnidarian – algal symbiosis. Mar. Ecol. Prog. Ser. 222:85-96. Coles, S.L; Y.H. Fadlallah. 1991. Reef coral survival dan mortality at low temperatures in arabian Gulf : a new species-specific lower temperature limits. Coral Reefs, 9 : 231-7. Colley, N.J; R.K. Trench. 1983. Selectivity in phagocytosis and persistence of symbiotic algae by the scyphistoma stage of jellyfish Cassiopeia xamachana. Proc. R. Soc. Lond. Ser. B. 219:61-82 Commbs, J; D.O. Hall, 1982. Techniques in Bioproductivity and photosynthesis. Pergamon. Press. Oxford. Connell, D.W; G.J Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Dialih bahasakan oleh Yanti Kastoer. UI. Prees Jakarta. Cook, C.B; A. Logan; J. Ward; B. Luckhurst; C.J. Berg Jr. 1990. Elevated Temperatures and Bleaching on a High Latitude Coral Reef : The 1988 Bermuda Event. Coral Reefs, 9:45-49. COREMAP, 2001. Kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang di Indonesia (Buku II). Jakarta : Coral Reef Rehabilitation and Management Program. Crossland, C.J. 1984. Seasonal variation in the rates of calcification and productivity in the coral Acropora formosa on a high latitude reef. Mar. Ecol. Prog. Ser. 15 :135-140. David, C.N. 1973. Quantitative method for maceration of hydra tissue. Wilhelm Roux’ Arch. Entwicklungsmech. Organism. 171:259-568. Davies, P.S. 1993. Endosymbiosis in marine cnidarians. In DM John, S.J. Hawkins and J.H. Price (Eds). Plant-animal interactions in the marine benthos. Oxford, UK Clarendon Press, pp 551-540. Davis, G.E. 1982. A century of natural change in coral distribution in the dry Tortugas : a comparison of reef map from 1881 and 1976. Bull. Mar. Sci. 32:233-258.
202
D’elia, C.F; W.J Wiebe,. 1990. Biogeochemical Nutrient Cycle in coral reef ecosystems. In. Dubinsky (Ed.). Ecosystem in the World 23. Elsevier, Amsterdam. DiGiulio, R.T; P.C. Washburn; R.J. Wenning; G.W. Winston, C.S. Jewell. 1989. Biochemical responses in aquatic animals: a review of determinants of oxidative stress. Env. Tox. Chem. 8: 1103-1123 Dodge, R.E. and J.C. Lang, 1983. Environmental correlates of hermatypic coral (Montastrea anularis) growth on the East Flower Garden Bank, northwest Gulf of Mexico. Limnol. Oceanogr. 28 : 228-240. Done, T.J. 1992. Constancy and change in some Great Barrier Reef coral communities Dubinsky, Z.; N. Stambler, M. Ben-Zion; R. McClosky, L. Muscatine and P.G. Falkowski. 1990. The effect of External Nutient Resources on the Optical Properties and Photosyntetic efficiency of Stylophora pistillata. Proc. of the Royal Soc. Lond. Ser. B 239:231-246. Downs, C.A; J.E. Fauth; J.C. Halas; P. Dustan; J. Bemis; C.M. Woodley. 2002. Oxidative stress and seasonal coral bleaching. Rad. Biol. Med., 33:533543. Drew, E.A. 1972. The Biology and Physiology of Alga-Invertebrate Symbiosis. II. The Density of Symbiotic Algal Cells in a Number of Hermatypic Corals and Alcyonarians From Various Depths, J. Exp. Mar. BioL Ecol, 9: 71-75. Dykens, J.A; J.M. Shick. 1984. Photobiology of the symbiotic sea anemone, Anthopleura elegantissima: Defences against photodynamic effects, and seasonal photoacclimatization. Biol. Bull. 167: 683-697. Dykens, J.A; J.M. Shick; C. Benoit; G.R. Buettner; G.W. Winston. 1992. Oxygen radical production in the sea anemone Anthopleura elegantissima and its endosymbiotic algae. J. Exp. Biol. 168: 219-241. Dubinsky, Z.1990. Coral Reefs, ecosystem in the world. Elsevier. Amsterdam Dunstan, P.K; C.R. Johnson. 1998 Spatio-temporal variation in coral recruitment at different scales on Heron Reef, southern Great Barrier Reef. Coral Reefs, 17:71–81 Edinger, E.H; J. Jompa; G.V. Limmon; W. Widjatmoko; M.J. Risk. 1998. Reef degradation and coral biodiversity in Indonesia : Effects of land-based pollution, destructive fishing practices and changes over time. Mar. Poll. Bull. 36(8):617-630. Edward. A. 1983. Phytoplankton. The Intitute of Biology. London. Fabricus, K.E; J.C. Miego; P.L. Colin; D. Idip; M.J.H. vanOppen. 2004. Genetic variation within Symbiodinium Clade B from coral genus Madracis in the Caribbean (Netherlands Antilles). Coral Reefs, 22 : 29-33. Falkowski , P.G; Z. Dubinsky; L. Muscatine; J.W. Porter. 1984. Light and the Bioenergetic of a Symbiotic Coral. Bioscience, 34 : 705 – 709.
203
Fang, L.S; Wang J.T; K.L. Lin. 1998. The subcellular mechanism of the release of zooxanthellae during coral bleaching. Proc. of the Natl. Sci. Co. 22:150– 158. Ferrer, L.M; A.M. Szmant. 1988. Nutrient Regeneration by the Endolitic Community in Coral Skeletons. 6th Int. Coral Reef Symp. In Press. Ferrier-Pages, C; J.P. Gattuso; S. Dallot; J. Jaubert. 2000. Effect of Nutrient Enrichment on Growth ang Photosyntesis of Zooxanthellae coral Stylophora pistillata. Coral Reefs, 19:303-113. Fisk, D.A; T.J. Done. 1985. Taxonomic and bathymetric pattern of bleaching in coral, Myridon Reef (Queensland). Proc. 5th Int. Coral Reef Symp. 6 : 149-154. Fitt, W.K. 1984. The role of chemosensory behavior of Symbiodinium microadriaticum, intermediate hosts, and host behavior in the infection of coelenterates and molluscs with zooxanthellae. Mar. Biol. 81:9-17. Fitt, W.K; B.E. Brown; M.E. Warner; R.P. Dunne. 2001. Coral bleaching : interpretation of thermal tolerance limits and thermal thresholds in tropical marine cnidarian. Mar. Biol. 139:507-517. Fitt, W.K; H.J. Spero; J. Halas; M.W. White; J.W. Porter. 1993. Recovery of the Coral Montastrea annularis in the Florida Keys after 1987 Caribbean Bleaching Event. Coral Reefs, 12:57-64. Fitt, W.K; F.K. Farland; M.E. Warner; G.C. Chilcoat. 2000. Seasonal patterns of tissue biomass and density of symbiotic dinoflagellates in reef corals and relation to coral bleaching. Limnol. Occeanogr. 45:677-685. Fitzhardinge, R.C. 1989 Coral recruitment: the importance of interspecific differences in juvenile growth and mortality. Proc 6th Int Coral Reef Cong. 2:673–678. Fogg, G.E. 1969. Algal cultures and phytoplankton ecology. University of Wisconsin Press. Madison. Gates, R.D.; G. Baghdasarian; L. Muscatine. 1992. Temperature Stress Causes Detachment in Symbiotic Cnidarians : Implication for Coral Bleaching. Biol. Bull. 182:324-332. GenBank. 2009. Data Base of Clade Zooxanthellae and Symbiodinium Sp. www.ncbi.nlm.nih.gov. Dikunjungi tanggal 28 Februari 2009. Gleason, M.G. 1993. Effect of Disturbance on Coral Communities : Bleaching in Moorea, French Polynesia. Coral Reefs, 12 : 193-201 Glynn, P.W. 1984. Widesprad coral mortality and the 1982-1983 El Nino Warming Event. Environ Conser. 11 : 133 – 146. Glynn, P.W. 1996. Coral Reef Bleaching: Fact, Hypotheses and Implications, Global Change Biology, 2:495-509. Glynn, P.W. 1993. Reports Coral reef bleaching : ecological perspectives. Coral Reefs, 12:1-17.
204
Glynn, P.W; E.C. Peter, L. Muscatine. 1985. Coral tissue microstructure and necrosis : Relation to catastrophic coral mortality in Panama. Dis. Aquat. Org. 1:29-37. Glynn, P.W; L. D'Croz. 1990. Experimental evidence for high temperature stress as the cause of El Nino-coincident coral mortality. Coral Reefs 8: 181– 192. Gomez, E.D., A.C. Alcala; A.C. San Diego. 1981. Status of Philippine coral reefs. Proc. 4th Int. Coral Reef Symp., Philippines Goreau, T.F. 1959. The ecology of Jamaican coral reefs I. Species composition and zonation. Ecology 40: 67–90. Goreau, T.J; A.H. Macfarlane. 1990. Reduced growth rate of Montastrea annularis following the 1987-1988 coral bleaching event. Coral Reefs 8:221-215. Goreau, T. T. MacClanahan, R. Hayes, A.Strong. 2000. Conservation of Coral Reefs After the 1998 Global Bleaching Event. Cons. Biol. 14:5-15. Goulet, T; M. Coffroth, 2004. The genetic identity of dinoflagellates symbionts in Caribbean octocorals. Coral Reefs, 23:465-472 Guillard, R.R.L; J.H. Ryther. 1962. Studies of marine planktonic diatoms. I. Cycotella nana hustedl, and Detonula confervacea (cleve) gran. Can. J.Microbiol. 8:229-39 Guzman, H.M.; J. Cortes, 1992. Coral reef community structure at Cano Island, Pacific Costa Rica. Mar. Ecol. 10 : 23-41. Hall, D.O; K.K. Rao. 1987. Photosynthesis. 4th eds. Cambridge Univ. Press. Halliwell, B; J.M.C. Gutteridge. 1999. Free radicals in biology and medicine. New York : Oxford Univ. Press, Inc. Hallock, P. 2001. Coral reefs, carbonate sediments, nutrients and global change. In Stanly Jr. G.D. (Ed) The History and Sedimentology of Ancient Reef Systems. Springer-Verlag. New York, pp 387-427. Hapette, A.M; S.A. Poulet. 1990. Variation of vitamin C in some common species of marine plankton. Mar. Ecol. Prog. Ser. Vol. 64: 69-79, Harriott, V.J. 1985. Mortality rates of scleractinian corals before and during a mass bleaching event. Mar. Ecol. Prog. Ser. 21:81-88. Harris, I. 1976. The Physiological Ecology of Phytoplankton. Blackwell Sci. Publ. Oxford. Haynes. J.F; A.L. Burnett; L.E. Davis.1967. Histological and ultrastructural study of the muscular and nervous systems in hydra. I. The Muscular system and mesoglea. J. Exp. Zool. 167:283-293. Hoegh-Guldberg, O. 1994. Population Dynamics of Symbiotic Zooxanthellae in the Coral Pocillophora damicornis Exposed to Elevated Ammonium Concentrations. Pac. Sci. 48:263-272.
205
Hoegh-Guldberg, O; G.J Smith. 1989. Light, Salinity and Temperature and the Population density, metabolism and export of Zooxanthellae from Stylophora pistillata and Seriatophora hystrix. J. Exp Mar Biol Ecol 129 ; 279-303 Hoegh-Guldberg, O.;M. Takabayashi. G. Moreno. 1997. The Impact of long-term Nutrient Enrichment on Coral Calsification and Growth. In Lessios, H.A. and MacIntyre (Eds). Procceding of the 8th International Coral Reef Symp. Vol. I Smithsonian Tropical Reseacrh Institute Balboa Panama, pp 861-866. Hoegh-Guldberg, O; R Hinde. 1986. Studies on a nudibrach that contains zooxanthellae. I. Photosyntesis, respiration and the translocation of newly fixed carbon by zooxanthellae in Pteraeolidia ianthina. Proc. R. Soc. Ser. B., 228:493-509. Hughes, T.P; D. Connel, 1999. Multiple stressors on coral reefs : a long term perpective. Limnol. Oceanog. 44:932-940. Iglesias-Prieto, R, J.L. Matta; W.A. Robins; R.K. Trench. 1992. Photosynthetic response to elevated temperatures in the symbiotic dinoflagellate Symbiodinium microadriaticum in culture. Proceedings of the National Academy of Sciences USA 89:10302–10305 Iglesias-Prieto, R; R.K. Trench. 1997. Acclimation and adaptation to irradiance in symbiotic dinoflagellates. II Response of chlorophyll 2-protein complexes to different photon-flux densities. Mar. Biol. 130: 23–33. Iglesias-Prieto, R; R.K Trench. 1997. Photoadaptation, photoacclimation and Niche Diversification in Invertebrate-Dinoflagellate Symbioses. Proc. 8th Int. Coral Reef Sym. 2:1319-1324. Iglesias-Prieto, R.; V. Beltrn; T. LaJeunesse; H. Reyes-Bonilla; P. Thom. 2004. Different algal symbionts explain the vertical distribution of dominant reef corals in the eastern Pacific. Proc. R. Soc. Lond. B, 271:1757-1763. Japp, W.C. 1985. An epidemic zooxanthellae expulsion during 1993 in the Lower Florida Keys coral reefs : Hyperthermic etiology. Proc. 5th Int. Coral Reef Congr. 6 : 143-148. Jasques, T.G. 1983. Experimental ecology of the temperate schleractinia coral Astrangia danae. II. Effect of temperature, light intensity and symbiosis with zooxanthellae on metabolic rate and calcification. Mar. Biol. 76 : 135-48. Jokiel, P.L; S.L. Coles, 1990. Response of Hawaiian and other Indo-Pacific reef corals to elevated tempareture. Coral Reefs 8:155-162. Jones, L.W; B. Kok. 1976. Biological impact caused by changes on a tropical reef. EPA-600/3-76-027. NTIS Springfield, VA. 209 pp Jones. R.J; S. Ward; A.Y. Amri; O Hoeg-Guldberg. 2000. Changes in quantum efficiency of photosystem II of symbiotic dinoflagellates of corals after heat stress and of bleached corals sampled after 1998 Great Barrier Reef mass bleaching event. Mar. Freshw. Res. 51:63-71.
206
Josephson, R.K; J. Uhrich. 1969. Inhibition of pacemaker systems in the hydroid Tubularia. J. Exp. Biol. 51:1-14. Kinzie, III R.A; G.S. Chee. 1979. The effect of different zooxanthellae on the growth of experimentally reinfected hosts. Bio. Bull. 156:315-327. Klein R.M; Klein D.T. 1970. Research methods in plant science. American Mus Nat Hist Press. Garden City, NY. 756 pp Kuhl, M; Y. Cohen; T. Dalsgaard; B.B. Jorgensen; N.P. Revsbech. 1995. Micro environment and photosynthesis of zooxanthellae in scleractinian corals studied with microsensors for O2, pH, and light. Mar. Ecol. Prog. Ser. 117:159-172 LaJeunesse, T.C.; R.K. Trench. 2000. Biogeography of two species of Symbiodinium (Freudenthal) inhibiting the intertidal sea anemone Anthopleura elegantissima (Brandt). Biol. Bull. 199:126–134. LaJeunesse, J.C. 2001. Investigating the Biodiversity, Ecology and Phylogeny of Endosymbiotic Dinoflagellates in the Genus Symbiodinium using the Internal Transcribed Spencer Region : in Search of Species level marker. J. Phycol. 37:866-880. LaJeunesse, T.C. 2002. Diversity and community structure of symbiotic dinoflagellates from Caribbean coral Reefs. Mar. Biol. 141:387-400. LaJeunesse, T; W. Loh; R. vanWoesik; O. Hoegh-Guldberg; G. Schmidt; W.K. Fitt. 2003. Low symbionts diversity in southern Great Barrier Reef corals, relative to those in the Caribbean. Limnol. Oceanogr., 48(5):2046-2054. Lang, J.C; R.I. Wicklund; R.F. Dill. 1988. Depth and habitat related bleaching of zooxanthellae reefs organisms near Lee Stocking Island, Exuma Cays, Bahamas. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 3:269-274. Lapointe, B.E. 1997. Nutrient Thresholds for Bottom-up Control of Microalgal Blooms on Coral Reefs in Jamaica and Southeast Florida. Limnol. Oceanogr. 42:1119-1131. Lenhoff, H.M. 1974. On the mechanism of action and evolution of receptors associated with feeding and digestion. In. L. Muscatine; H.M. Lenhoff (Eds). Coelenterate Biology : Reviews and News Perspectives. Academic Press New York. Lesser, M.P. 2000. Depth-dependent photoacclimatization to solar ultraviolet radiation in the Caribbean coral Montastraea faveolata. Mar Ecol Prog Ser 192: 137-151 Lesser, M.P; J.H. Farrell. 2004. Exposure to solar radiation increases damage to both host tissues and algal symbionts of corals during thermal stress. Coral Reefs, 23: 367-377 Lessios, H.A. 1983. Mass mortalities of coral reef organism. Science, 222:715.
207
Lobban, C.S; M. Schefter; A.G.B. Simposon; X. Pochon; J. Pawlowski; W. Foissner. 2002. Maristentor dinoferus n gen, n sp., a giant heterotrich cilitate (Spirotrichea : Heterotrichida) with zooxanthellae, from coral reefs on Guam, Mariana Islands. Mar. Biol, 141 : 411-423. Lough, J.M; D.J. Barnes. 2000. Environmental controls on groth of massive coral Poriter. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 245:225-243. Mangum, C.P; K. Johansen. 1982. The influence of symbiotic dinoflagellates on respiratory processes in the giant clam Tridacna squamosa. Pac. Sci. 36: 395-401. Mariscal, R.N. 1974. Nematocysts. In. L. Muscatine; H.M. Lenhoff (Eds). Coelenterate Biology : Reviews and News Perspectives. Academic Press New York. Marubini, F; P.S. Davies. 1996. Nitrat Increase Zooxanthellae Population Density and reduces Skeletonogenesis in Corals. Mar. Biol. 127 ; 319-328. Marubini, F; B. Thake. 1999. Bicarbonate addition promotes coral growth. Lymnol. Oceanogr. 44:716-720. McClanahan, T.R. 2000. Bleaching damage and recovery potensial of Maldivan coral reefs. Mar. Poll. Bull. 40:587-597. McGuire, M.P. 1997. The Biology of Coral Porites astreoides : Reproduction, Larval Settlement Behavior and Responses to Ammonium Enrichment. Ph.D. Dissertation, University of Miami, miami Florida. Meeks, J.C. 1974. Chlorophylls. In : Algal physiology and Biochemistry (Ed. By Stewart W.D.P). Botanical Monographs Vol. 10. Blackwell Sci. Publ. Meltzar; S; M.C Berman. 1984. Effects of pH, temperature, and calcium concentration on the stoichiometry of the calcium pump of sarcoplasmic reticulum. J. Biol. Chem. 259:4244-4253. Muller-Parker G; C.F. D’Elia. 1997. Interactions between corals and their symbiotic algae. In Birkeland C (Ed) Life and Death of Coral Reefs. Chapman & Hall, New York, pp : 96-113. Muscatine, L. 1974. Endosymbiosis of Cnidarians and Algae. In L. Muscatine and H.M. Lenhoff (Eds). Coelenterata Biology : Riviews and New Perspectives. Academic Press. New York. Muscatine, L.1990. The role of symbiotic algae in carbon and energy flux in reef coral. In. Dubinsky Z. (Ed). Coral Reefs, ecosystem in the world. Elsevier. Amsterdam. Muscatine, L; J.W. Porter. 1977. Reef corals : mutualistic symbioses adapted to nutrient poor environmnts. BioScience, 27 : 454-460. Muscatine, L, P.G. Falkowski; J.W. Porter; Z. Dubinski. 1984. Fate of photosynthetic fixed carbon in light and shaded adapted colonies of the symbiotic coral Stylophorapistillata. Proc. Royal Soc. London B. 222: 181–202.
208
Nomura, K. 1986. Stony corals of Kuroshima which did not recover : Death of stony corals due to low water temperature. Mar. Pavilion, 15(7), 3-4. Nordemar, J; M. Nystrom; R. Dizon; 2003. Effect of elevated seawater temperature and nitrat enrichment on the branching coral Porites cylindrica in the absence of particular food. Mar. Biol. 142:669-672. Norton, J.H; M.S. Shepherd; H.M. Long ; W.K. Fitt. 1992. The zooxanthllae tubular system in the giant clam. Biol. Bull. 183:503-506. Nystrom, M; C. Folke; F. Moberg. 2000. Coral reef disturbance and resilience in a human dominated environment. Trends Ecol. Evol. 15:413-417. Page, D.S. 1990. Principles of Biological Chemistry. 2eds. Willard Grant Press. New York. Parrish J.A; R.R. Anderson; F. Urbach; D. Pitts. 1978. UVA: Biological effects of ultraviolet radiation with emphasis on human responses to long-wave ultraviolet. Plenum Press, NY. 262 pp. Parson, T.R; M. Takahashi; B. Hargrave. 1984. Biological Oceanographic Processes. 3th edt. Pergamon Press. Oxford. Passano, K.N; L.M. Passano. 1971. The endodermal nerve net of Scyphozoa. J. Morphol. 133:105-124. Perez, J.M., 1982. Structure and dynamics of assemblages in the pelagial. Ed. By O. Kinne. In Marine Ecology : A comprehensive, integrated tretise on life in oceans and coastal waters Vol. 1. John Wiley & Sons, Ltd. New York. Perez, S.F; C.B. Cook; W.R. Brooks. 2001. The role of symbiotic dinoflagellates in the temperature-induced bleaching response of the subtropical sea anemone Aiptasia pillada. J.Exp. Mar. Biol. Ecol. 256 : 1-14. Peters, E.C. 1997. Deseases pf coral reef organisms. In. Birkeland C. (Ed). Life and death coral reefs. Chapman and Hall. New York. Pochon, X; J. Pawlowski; L. Zaninetti; R. Rowan, 2001. High genetic diversity and relative specificity among Symbiodinium-like endosymbiotic dinoflagellates in soritid foraminiferans. Mar. Biol., 139:1069-1078. Pochon, X; T. LaJeunesse; J. Pawlowski, 2004. Biogeographical partitioning and host specialization among foraminiferan dinoflagellates symbionts (Symbiodinium: Dinophyta). Mar. Biol., 146:17-27. Porter, J.W; O.W. Meier. 1992. Quantifications of loss and change in Floridian reef coral populations. Am. Zool. 32:625-640. Porter, J.W; S.K. Lewis; K.G. Porter. 1999. The effects of multiple stressor on the Florida keys coral reef ecosystem : a landscape hypothesis and a physiological test. Limnol Oceanogr. 44:941-949. Porter, J.W; W.K. Fitt; H.J. Spero; C.S. Rogers; M.W. White. 1989. Bleaching in coral reefs : Physiological and stable isotope response. Proc. Nat. Acad. Sci. U.S.A. 86:9342-9346.
209
Primack, R.B. 1995. A Primer of conservation biology. Sinauer Associates Inc. Pub. Sunderland, Massachusetts USA. Radionov, D.A., A.G. Vitreschak, A.A. Moronov and M.S. Gelfand. 2003. Comparative genomics of the vitamin B12 metabolism and regulation in prokaryotes. J. Biol. Chem. 278: 4 1 1 4 8 – 4 1 1 5 9 . Rega, A.F. 1986. Other properties and coupling of Ca2+ transport and ATP hydrolysis: p. 91-104. In: A.F. Rega & P.J. Garrahan, The Ca2+ pump of plasma membranes. CRC Press, Boca Raton, Florida, USA. Riddle, D. 2004. Playing with poison: Ultraviolet radiation. Advanced Aquarist Online 3(8), August 2004. (http://www.advanceaquarist.com/issues/ aug2004/ feature.htm) River,T; E. Macri and A. Miller, 2002. The effects of elevated UV-B radiation on productivity and bleaching of zooxanthellae in the coral Montastrea faveolata. www.ac.wwu.edu/ ~gisele/pigments2. Dikunjungi tanggal 2 Maret 2003. Rodriquez-Laretty M; W. Loh; D. Carter; O. Hoegh-Guldberg. 2001. Latitudinal variability in simbiont specifity within the widespread scleractinian coral Plesiatrea versipora. Mar. Biol. 138 : 1176-1181. Rogers, C.M. 1979. Responses of coral reefs and reef organisms to sedimentation. Mar. Ecol. Prog. Ser. 62:185-202. Rosen, B.R. 1984. Reef coral biogeography and climate through the late Cainozoic : just islands in the sun or a critical pattern of islands. In. Brenchley P. (Ed.). Fossiles and Climate. John Wiley & Sons. New York. Rosenberg; Y. Ben Haim. 2002. Microbial disease of coral and global warming. Environ. Microbiol. 4:318-326 Rosenthal, H.T; S. Zielke; R. Owen; L. Buxton; B. Boeing; R. Bhabooli; J. Archer. 2005. Increased zooxanthellae nitric oxide synthase activity is associated with coral bleaching. Biol. Bull. 208:3–6. Rowan, R.1998. Diversity and Ecology of Zooxanthellae on Coral Reefs. J. Phycol. 34:407-417 Rowan, R. 2004. Thermal adaptations in reef coral symbiont. Nature 430 : 742. Rowan R; N. Knowlton. 1995. Intraspecific diversity and ecological zonation in coral-algal symbiosis. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 92: 2850-2853. Rowan, R; N. Knowlton; A. Baker; J. Jara. 1997. Landscape ecology of algal symbionts creates variation in episodes of coral bleaching. Nature 388 : 256 -269. Rowan, R; D.A. Powers. 1991. Molecular genetic identification of zymbiotic dinoflagellates (zooxanthellae). Mar. Ecol Prog. Ser. Vol 71 : 65-73
210
Salih, A; O. Hoegh-Guldberg; G. Cox. 1998. Bleaching responses of symbiotic dinoflagellates in corals : The effect of light and elevated temperature on their morphology and physiology. In: Greenwood J.G. and Hall N.J. (Eds). Procceding of the Australian Coral Reef Society 75th Anniversary Conference. Heron Island October 1997. The University of Queensland, Brisbane. Pp 199-216. Santos, S; D. Taylor; M. Coffroth, 2001. Genetic comparisons of freshly isolated versus cultured symbiotic dinoflagellates: Implications to extrapolating to the intact symbiosis. J. Phycol., 37:900-912. Santos, S.R; D.J. Taylor; R.A. Kinzie; M. Hidaka; K. Sakai; M.A. Coffroth. 2002. Fine scale diversity and specifity in the most prevalent lineage of symbiotic dinoflagellates (Symbiodinium,Dinophyceae) of the Carribean. Mol. Ecol. 13:459-469. Santos, S.R; M.A. Cofforth. 2003. Molecular genetic evidence that dinoflagellates belonging to the genus Symbiodinium Freudenthal are haploid. Biol Bull. 241 : 10-20. Savage, A.M; R.H. Trapido; A.E. Douglas. 2002. On the functional significance of molecular variation in Symbiodinium, the symbiotic algae of Cnidaria : photosynthetic response to irradiance. Mar. Ecol. Prog. Ser. 244 : 27 – 37. Savina, L.A. 1991. Naturally occuring and laboratory induced bleaching in two Carribean coral species. Am. Zool. 31:48A Schoenberg, D.A; R.K Trench. 1980. Genetic variation in Symbiodinium (=Gymnodinium) microadriaticum Freudenthal, and Specificity with Marine Invertebrates. III. Specificity and Infectivity of Symbodinium microadriaticum. Proc. R. Soc. Lond. B. 207 : 445-460. Schwarz, J.A; P.B. Brokstein; C. Voolstra; A. Terry; D.J. Miller; A.M. Szmant; M.A. Coffroth; M. Medina. 2008. Coral life history and symbiosis : Functional genomic resources for two reef building Caribbean corals, Acropora palmata and Montastrea faveolata. BMC Genomics. 2008; 9: 97. Schwarz, J.A; V.M. Weis; D.C. Potts. 1999. Feeding behavior and aquisition of zooxanthellae by the planulae larvae of the sea anemones Anthopleura elegantissima. Mar. Biol. 140:417-478. Science-Daily. 2007. Vitamin C Is Essential For Plant Growth. (http://www. sciencedaily.com/releases/2007/09/070923205844.htm. Dikunjungi tanggal 6 April 2011. Sebens, K.P. 1997. Coelenterata. In T.J. Pandian and F.J. Vernberg (eds). Animal energetics. Academic Press, San Diego California. Shiah, F.K; G.C. Gong; K.K. Liu. 1996. Light Effect on Phytoplankton Photosyntesis Performance in the Southern East China Sea North of Taiwan. Bot.Bull.Acad.Sin. 37 : 133-140. Shick, J.M. 1990. Diffusion limitation and hyperoxic enhancement of oxygen consumption in zooxanthellate sea anemones, zoanthids, and corals. Biol. Bull. 179: 148-158
211
Shick, J.M. 1993. Solar UV and oxidative stress in algal-animal symbiosis. In: A. Shima, M. Ichihashi, Y. Fujiwara, H. Takebe (eds.). Frontiers of Photobiology. Proc 11th International Congress of Photobiology. Elsevier, Amsterdam. pp 561-564 Shick, J.M; M.P. Lesser; P.L. Jokiel. 1996. Effects of ultraviolet radiation on coral and other coral reef organisms. Global Change Biol. 2: 527-545 Shick, J; W. Dunlap; J. Pearse; V. Pearse, 2002. Mycosporine-like amino acid content in four species of sea anemones in the genus Anthopleura reflects phylogenetic but not environmental or symbiotic relationships. Biol. Bull., 203:315-330.Sorokin, Y.I. 1993. Coral Reef Ecology. Springer-Verlag. New York. Smith, S.V. 1981. The Houtman Albarhos Islands : carbon metabolism of coral reefs at high latitude. Limnol. Oceanogr. 26 : 612-21. Smith; R.C; Baker K.S. 1979. Penetration of UVB and biologically effective doserates in natural waters. Photochem Photobiol. 29: 311-323 Smith, S.V; R.W. Buddemeier. 1992. Global change and coral reef ecosystems. Annu. Rev. Ecol. Syst. 23 : 89-118. Sorokin, Y.I. 1993. Coral Reef Ecology. Springer-Verlag. New York. Stambler, N; C.E.F. Vago. 1994. Effect of ammonium enrichment on respiration, zooplankton densities, and pigment concentrations in two species of Hawaiian corals. Pac. Sci. 48:284-290. Stambler, N; N. Popper, Z. Dubinsky; J. Stimson. 1991. Effect of Nutrient Enrichment and Water Motion on the Coral Pocillophora damicornis. Science, 45:299–307. Stimson, J; R.A. Kinzie, 1991; The Temporal Pattern and Rate of Release of Zooxanthellae from the reef Coral Pocillophora damicornis (Linnaeus) under Nitrogen Enrichment and Control Conditions. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 153:63-74. Stoddart, D.R. 1978. Mechanical analysis of reef sediments. In Coral Reef Research Methods. UNESCO. Ed. Stoddart, D.R. and Johannes, R.E. pp 53-65. Stokes, D.R. 1972. The functional organization of conducting systems in the colonial hydroid Hydractinia echinata Fleming. Ph.D. Thesis, University of Hawaii, Honolulu. Stumm, W; J.J. Morgan, 1991. Aquatic chemistry : an introduction emphasizing chemical equilibria in natural waters. John Wiley and Sons. New York. Suharsono. 1998. Condition of coral reef resources in Indonesia. Jurnal Pesisir dan Lautan. PKSPL-IPB. 1(2):44-52. Suharsono. 1999. Bleaching event followed by mass mortality of coral in 1998 in Indonesia waters. In Romimohtarto (Ed.) Proceedings the ninth joint Seminar on Marine and Fisheries Sciences. Bali, 7-9 Desember 1998. Jakarta : JSPS dan LIPI, hal. 179-187.
212
Suharyadi. 2003. Pengaruh Perbedaan Musim terhadap perubahan komunitas karang di kawasan terumbu karang selatan Pulau Panjang Jepara. Skripsi FPIK-UNDIP, Semarang Swift, D.G. 1980. Vitamins and Phytoplankton Gowth. In I. Morris (Ed). The Physiological Ecology of Phytoplankton. Blackwell Sci. Pub. London. Sya’rani, L. 1993. Shallow water corals ecology of Pulau Pari complex Thousand Island Jakarta. Fisheries Departement. Diponegoro University. Semarang. Szmant, A.M. 2002. Nutrient enrichment on coral reefs : Is it a major cause of coral reef decline?. Estuaries 25 : 743-766. Szmant, A; N.J. Gassman. 1990. The effects of prolonged bleaching on the tissue biomass and reproduction of the reef coral Montastrea annularis. Coral Reefs. 8: 217-224 Taff, C.A. 1988. Manajemen Transportasi dan Distribusi Fisis. Penerbit Erlangga Jakarta. Takashita, K; M. Ishikura; K. Koike; T. Maruyama. 2003. Comparison of phylogenies based on nuclear-encoded SSU rDNA and Plastid-encoded psbA in the symbiotic dinoflagellate genus Symbiodinium. Phycologia. 42 :285-291. Taylor, D.L.1974. Symbiotic Marine Algae : Taxonomy and Biology Fitness. Symbiosis in the Sea. Pp. 245-258. Tchernov, D; M. Gorbunov; C. de Vargas; S. Yadav; A. Milligan; M. Hggblom; P. Falkowski, 2004. Membrane lipids of symbiotic algae are diagnostic of sensitivity to thermal bleaching in corals. Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 101, 37: 13531-13535. Toller, W.W.; R. Rowan; N. Knowlton. 2001. Zooxanthellae of the Montastrea annularis Species Complex : Patterns of Distribution of Four Taxa of Symbiodinium on Different Reefs and Across Depths. Bioll.Bull. 201:348359. Tom Beer. 1997. Environmental Oceanography. CRC Press. New York. Trench. R.K. 1979. The cell biology of plant animals symbiosis. Ann. Rev. Plant. Physiol. 30 : 485-531. Trench, R.K. 1993. Micro-algal-invertebrate symbioses : a riview. Endocyto Cell Res. 9:135–175. Tyrell, R.M. 1991. UVA (320-380 nm) radiation as an oxidative stress. In H. Sies (ed.). Oxidative Stress: Oxidants and antioxidants. Acad Press, San Diego, CA. pp 57-8 Ulstrup, K; M. van Oppen, 2003. Geographic and habitat partitioning of genetically distinct zooxanthellae (Symbiodinium) in Acropora corals on the Great Barrier Reef. Mol. Ecol., 12(12): 3477-3484 Valentine, J.W. 1984. Climate and evolution in the shallow sea. In. Brenchley P. (Ed.). Fossiles and Climate. John Wiley & Sons. New York.
213
Van Oppen, M; A. Mahiny; T. Done, 2005. Geographical distribution of zooxanthella types of three coral species of the Great Barrier Reef sampled after the 2002 bleaching events. Coral Reefs, in press. Van Oppen, M; F. Palstra; A. Piquet; D. Miller, 2001. Patterns of coraldinoflagellate associations in Acropora: Significance of local availability and physiology of Symbiodinium strains and host-symbiont selectivity. Proc. R. Soc. Lond B., 268: 1759-1767. Veron, J.E.N. 1992. Conservation of biodiversity : a critical time for the corals of Japan. Coral Reefs 11 : 13-21. Veron, J.E.N. 1995. Coral in space and time. Australian Institute of Marine Science Cape Ferguson, Townsville, Quensland. Veron, J.E.N; P.R. Minchin. 1992. Correlation between sea surface temperature, circulation patterns and the distribution of hermatypic corals of Japan. Cont. Self Res. 12 : 835-57. Wakefield, T.S; S.C. Kempf. 2001. Development of host and symbiont-specific monoclonal antibodies and confirmation of the origin of the symbio-some membrane in a cnidarian-dinoflagellate symbiosis. Biol Bull. 200 : 127143. Warner, M.F; W.K. Fitt; G.W. Schmidt . 1996. Damage of Photosystem II in Symbiotic Dinoflagellates a Determinant of Coral Bleaching. Proc. Natl. Acad Sci. USA 96 : 8007-8012. Westmacott, S; K. Teleki; S. Wells; J. West. 2000. Pengelolaan terumbu karang yang telah memutih dan rusak. IUCN, Switzerland and Cambridge. Wicaksono, H. 2005. Analisis kualitas air dan keragaman terumbu karang di lingkungan Pulau Panjang Jepara. Skripsi, FPIK-UNDIP semarang. Wilkinson, C.R. 1999. Global and local threats to coral reef functioning and existences : Review and predictions. Mar. Fresw. Res. 50: 867-878 Wilkinson, C.R. 2000. Status of coral reefs of the world : 2000. Australian Institute of Marine Science. Townsville, Australia. Wilkinson, C.R; R.W. Buddemeier. 1984. Global climatic change and coral reefs : implications of people and reefs. Report of the UNEP-IOC-ASPEI-IUCN global task team on the implications of climate change on coral reefs. IUCN. Williams, E.H; L. Bunkley-Williams. 1990. The world wide coral reef bleaching cycle and related sources of coral mortality. Atoll Res. Bull. 3335 : 1-71. Yacobovitch, T; Y. Benayahu; V.M. Weis. 2004. Motility of zooxanthellae isolated from Red Sea soft coral Heteroxenia fuscescens (Cnidaria). J. Exp. Mar. Biol and Ecol. 298:35-48. Yentsch, C.S. 1980. Ligth Attenuation and Phytoplankton Photosyntesis. In I. Morris (Ed). The Physiological Ecology of Phytoplankton. Blackwell Sci. Pub. London.
214
Yuwono, 1994. Pengaruh Berbagai Taraf Perbedaan N dan P terhadap Pertumbuhan Nitschia di Laboratorium. Fakultas Perikanan Universitas Pekalongan. Zamani, N.P. 1995. Effects of environmental stress on cell division and other cellular parameters of zooxanthellae in the tropical symbiotic anemone Heteractis malu, Huddon and Shackleton. Ph.D. Thesis in tropical coastal management the Univ. of Newcastle upon tyne, UK., 261p
215
Lampiran 1. Pencacahan Densitas Zooxanthellae pada Tahap Adaptasi 1. Perkembangan Zooxanthellae pada media dengan pencahayaan TL white (tinggi 60 watt) dengan suhu kamar (dalam media terukur berfluktuasi antara 24–27oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 μM No.
Inang
Ulangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
SA
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Tr
Ac
Fv
Gn
Densitas zooxanthellae (x1000 ind/lt) pada hari ke : 0 27.41 25.21 21.12 22.04 21.28 21.34 20.26 23.15 24.21 23.29 24.26 21.64 22.96 21.06 24.28 21.45 22.32 24.16 24.23 22.18 24.32 22.31 21.32 22.26 21.18
3 32.89 30.50 27.46 26.45 28.09 19.21 24.51 28.47 28.81 27.48 29.84 26.18 26.86 25.90 29.38 26.38 29.46 34.55 34.41 29.50 34.53 29.45 25.80 26.27 25.63
6 90.56 85.41 72.74 74.67 70.90 78.87 71.48 82.32 83.38 76.30 82.87 75.13 84.22 77.84 84.98 66.68 66.75 78.06 64.50 81.19 83.23 72.82 58.26 61.87 47.51
9 129.38 122.02 103.91 106.67 101.29 112.68 102.11 117.60 119.11 109.00 118.39 107.33 120.31 111.20 121.40 82.80 94.41 103.65 126.24 73.86 87.55 96.38 103.62 103.95 106.32
12
15
245.81 233.05 207.82 202.68 204.61 180.28 195.03 226.97 225.12 204.91 228.49 205.01 224.98 214.61 231.87 180.80 191.37 226.27 243.76 179.43 207.55 200.04 183.63 184.54 176.16
654.64 617.40 525.79 539.77 512.54 570.14 516.68 595.07 602.71 551.53 599.05 543.11 562.26 490.48 583.98 519.78 547.68 598.39 575.75 517.35 557.30 518.63 503.16 529.64 525.47
18 1276.21 1218.15 1034.88 1065.19 1068.47 1088.34 963.16 1087.59 1173.70 1146.33 1183.89 1073.34 1203.10 1075.11 1214.00 1019.95 1038.77 1213.32 1173.46 1091.70 1149.61 1120.41 1045.53 1073.38 1032.53
21 1192.32 1124.50 957.64 983.10 933.51 1038.41 941.05 1083.82 1097.75 1004.52 1091.07 989.19 1034.37 909.31 1070.34 938.34 983.08 1082.31 1024.41 957.66 1024.85 946.32 898.26 946.42 916.77
2. Perkembangan Zooxanthellae pada media dengan pencahayaan TL white (sedang 20 watt) dengan suhu kamar (dalam media terukur berfluktuasi antara 24–27oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 μM; No.
Inang
Ulangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
SA
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Tr
Ac
Fv
Gn
Densitas zooxanthellae (x1000 ind/lt) pada hari ke : 0 22.72 22.48 22.80 21.76 21.90 22.88 22.51 22.27 22.48 21.17 20.05 23.58 20.76 19.63 20.75 23.94 22.78 20.07 20.76 22.72 20.02 20.65 20.65 23.61 22.00
3 33.03 33.37 34.88 33.21 30.98 32.37 35.22 34.38 32.90 30.84 28.39 32.23 29.02 29.40 27.91 35.11 34.53 32.79 33.87 34.45 31.06 34.89 33.11 36.42 31.28
6 159.54 165.16 168.75 159.43 134.88 153.35 172.54 165.92 162.88 151.86 137.66 157.39 140.94 145.64 132.02 171.48 172.00 166.04 171.90 165.34 147.21 173.82 163.73 182.94 147.89
9 215.44 219.44 246.42 216.59 222.27 219.98 217.15 219.15 212.82 197.79 189.77 211.94 184.55 196.54 183.57 234.72 226.51 198.28 202.92 216.60 183.33 192.09 217.76 233.54 205.70
12 255.13 269.82 326.44 256.86 302.55 319.34 293.03 304.37 269.67 225.95 252.81 297.22 273.13 258.30 265.80 243.50 251.03 284.40 205.39 244.98 248.64 253.69 200.80 213.36 222.42
15 700.20 696.99 723.91 847.63 622.01 784.40 758.22 826.83 776.36 745.32 578.77 668.79 587.46 586.69 537.24 795.58 727.23 708.61 703.82 738.35 645.87 696.27 665.84 833.37 702.49
18 1356.73 1278.04 1339.56 1386.61 1290.21 1283.17 1378.16 1381.31 1270.03 1219.25 1241.63 1407.83 1290.86 1178.52 1290.50 1363.73 1498.93 1128.85 1419.30 1298.88 1133.79 1190.04 1261.08 1353.93 1347.69
21 1224.62 1178.49 1224.01 1150.74 1089.72 1159.17 1194.94 1212.24 1135.72 1089.56 1046.47 1183.92 1120.15 1018.93 1117.95 1220.90 1125.10 1009.23 876.31 1127.92 1030.03 1072.19 1062.81 1194.15 1151.21
216
3.
Perkembangan Zooxanthellae pada media dengan pencahayaan TL green (rendah 10 watt) dengan suhu kamar (dalam media terukur berfluktuasi antara 24–27oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 μM No.
Inang
Ulangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
SA
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
4.
Tr
Ac
Fv
Gn
0 21.66 23.62 23.34 22.85 23.74 23.74 28.02 26.46 23.86 26.06 24.22 22.94 23.71 24.17 24.54 25.78 25.72 25.98 24.20 28.02 25.42 25.29 26.59 25.46 25.31
Densitas zooxanthellae (x1000 ind/lt) pada hari ke : 3 6 9 12 15 18 40.71 174.24 309.22 489.17 1140.27 1278.09 46.46 196.46 351.55 581.62 1275.05 1429.16 46.25 212.02 407.61 578.93 1280.76 1435.56 44.81 188.44 334.41 636.09 1233.17 1382.22 39.14 211.78 413.41 489.91 1259.92 1412.20 46.72 172.30 361.83 584.86 1210.29 1356.57 63.11 226.86 442.85 790.05 1437.90 1611.69 56.15 220.99 395.44 702.88 1349.14 1512.21 49.49 186.74 325.87 619.51 1227.68 1376.07 46.89 224.81 402.29 586.96 1365.08 1530.08 43.46 163.46 384.28 544.07 1426.29 1598.68 47.05 198.62 355.42 589.00 1289.07 1444.88 47.28 210.39 382.70 665.83 1343.26 1505.62 46.87 200.93 353.61 586.80 1325.97 1486.24 47.13 192.47 335.87 638.63 1280.91 1435.73 49.42 194.72 354.20 618.62 1364.37 1529.28 51.98 203.93 398.09 650.72 1370.73 1536.40 57.54 226.35 478.69 720.28 1408.46 1578.70 53.63 254.23 377.69 671.31 1238.00 1387.63 54.56 176.19 346.56 683.03 1463.67 1640.58 46.71 216.63 394.05 520.01 1383.10 1550.28 45.18 215.49 385.60 500.14 1398.55 1567.59 48.31 231.48 400.53 537.64 1449.43 1624.62 50.57 234.83 427.16 571.92 1330.34 1491.14 43.11 217.48 389.16 476.93 1350.30 1513.51
21 1298.71 1452.21 1458.72 1404.51 1434.98 1378.45 1637.69 1536.60 1398.26 1554.75 1624.47 1468.18 1529.90 1510.21 1458.89 1553.94 1561.18 1604.16 1410.01 1667.04 1575.28 1592.87 1650.82 1515.19 1537.92
Perkembangan Zooxanthellae pada media dengan pencahayaan TL green (rendah 10 watt) dengan suhu manipulasi (penambahan es dalam media, suhu terukur berfluktuasi antara 20–23oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 μM;
No.
Inang
Ulangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
SA
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Tr
Ac
Fv
Gn
Densitas zooxanthellae (x1000 ind/lt) pada hari ke : 0 21.33 20.46 22.13 22.26 22.31 24.89 23.15 20.64 21.81 21.23 21.33 18.68 21.23 22.78 23.10 20.82 21.69 23.97 20.92 24.05 23.60 23.16 23.08 24.76 23.11
3 62.94 59.91 66.57 63.26 67.76 76.47 69.23 63.20 64.35 63.22 62.17 58.53 66.73 77.25 72.60 64.63 67.76 78.93 67.26 80.26 75.35 73.33 75.98 82.62 71.74
6 251.93 245.91 277.77 259.67 273.54 342.44 295.93 272.27 268.50 250.93 257.28 246.22 296.56 345.89 307.86 243.42 282.65 308.95 216.94 355.97 312.41 289.99 299.34 328.33 307.62
9 393.02 386.82 469.43 405.09 469.39 400.65 465.49 435.35 415.37 384.92 411.39 387.30 451.07 553.08 484.27 389.23 485.02 574.34 400.48 615.48 576.70 497.62 470.87 503.66 483.89
12 670.42 672.06 852.38 700.67 845.15 609.57 825.91 781.76 721.55 647.13 724.04 681.60 802.45 1011.42 855.76 650.17 886.84 1057.98 664.37 1159.69 1085.79 886.97 799.78 847.37 859.94
15 1634.96 1492.71 1775.93 1821.53 1464.00 1953.95 1834.48 1684.22 1568.80 1543.60 1575.06 1419.04 1674.91 1818.23 1882.29 1696.57 1722.48 1947.10 1684.89 2126.46 2207.52 2048.14 1982.34 1948.13 1991.70
18 1650.53 1630.22 1951.82 1808.89 1848.30 1953.38 1822.47 1657.34 1685.35 1618.91 1647.94 1489.91 1673.76 2023.54 1812.81 1811.16 1912.99 2101.15 1813.82 2034.09 1917.70 1910.70 2158.27 2172.59 1916.74
21 1831.01 1815.99 2010.49 1959.72 1979.80 2053.22 2139.65 1954.59 1935.28 1776.86 1940.61 1847.16 1999.96 2162.56 2202.16 2002.83 2253.64 2745.12 2244.98 2469.05 2524.79 2317.64 2102.88 2220.43 2163.71
217
Lampiran 2. Hasil Uji antar perlakuan pada tiap tahap pertumbuhan zooxanthellae 1. Perkembangan Zooxanthellae pada media dengan pencahayaan TL white (tinggi 60 watt) dengan suhu kamar (dalam media terukur berfluktuasi antara 24–27oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 μM ANOVA SK Perlakuan Galat Total
db 4 20 24
JK
KT
Fhit
152380842.3 1300133580 1452514422
38095211 65006679
0.58602
0.05
0.01
2.87
4.43
2. Perkembangan Zooxanthellae pada media dengan pencahayaan TL white (sedang 20 watt) dengan suhu kamar (dalam media terukur berfluktuasi antara 24–27oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 μM; ANOVA SK Perlakuan Galat Total
db
JK 4 20 24
KT
24010.46 172498.46 196508.92
6002.62 8624.92
Fhit 0.70
0.05
0.01
2.87
4.43
3. Perkembangan Zooxanthellae pada media dengan pencahayaan TL green (rendah 10 watt) dengan suhu kamar (dalam media terukur berfluktuasi antara 24–27oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 μM ANOVA SK Perlakuan Galat Total
db
BNT0.5 BNT0.1 SA Tr Ac Gn Fv
JK 4 20 24
83628.98 130079.41 213708.39
2.086 2.845
22.81047 22.81047
SA 1409.83 1501.15 1518.33 1559.27 1574.42
Tr
KT 20907.25 6503.97
Fhit 3.21
0.05 2.87
Gn 149.44 58.12 40.94 0
Fv 164.59 73.26 56.09 15.15 0
0.01 4.43
47.583 64.896 Ac
91.33 0
108.50 17.18 0
4. Perkembangan Zooxanthellae pada media dengan pencahayaan TL green (rendah 10 watt) dengan suhu manipulasi (penambahan es dalam media, suhu terukur berfluktuasi antara 20–23oC) serta penambahan NaNO3 sebesar 6,5 μM); ANOVA SK Perlakuan Galat Total BNT0.5 BNT0.1 SA Tr Ac Gn Fv
db 4 20 24
JK 701460.89 615726.77 1317187.66
KT 175365 30786.3
2.086 2.845
49.62768 49.62768
103.52 141.19
SA 1919.40 1971.92 2030.49 2265.89 2343.13
Tr
Ac 52.52 0
111.09 58.57 0
Fhit 5.6962
0.05 2.87
Gn 346.49 293.97 235.40 0
Fv 423.72 371.20 312.64 77.23 0
0.01 4.43
218
Lampiran 3. Densitas Zooxanthellae pada percobaan pertumbuhan antar clade dan tingkat nutrien A.
N-1 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 50 μM Zooxanthellae (1000 individu/liter)
Waktu (hari)
B.
Clade A 1
2
Clade B 3
1
Clade C
2
3
1
2
3
2
57,55
62,75
62,01
71,40
74,18
75,70
71,68
74,10
75,53
4
81,49
119,03
101,69
112,10
100,83
98,45
97,87
118,52
137,40
6
112,24
169,02
141,86
155,66
141,91
138,54
137,36
165,11
196,45
8
171,59
265,00
226,56
247,49
211,20
237,95
219,16
263,19
317,20
10
221,43
359,53
295,47
321,64
267,68
324,32
297,92
342,40
417,92
12
388,34
597,71
461,74
498,56
434,59
519,48
479,20
533,86
660,38
14
1311,27
2112,68
1824,52
1835,04
2340,44
2529,83
2330,07
2056,63
2034,00
16
2853,49
4092,51
3293,79
4572,57
3963,55
4162,06
3848,83
4929,61
4830,28
18
9017,03
9621,27
13158,34
14971,44
12524,81
16940,65
12162,30
16354,18
11511,82
20
10327,79
11337,34
12700,21
15379,46
14204,21
15764,69
15655,23
15895,96
15288,00
22
10568,22
12351,29
10408,39
14040,97
14816,62
13152,12
12518,00
15029,97
13255,00
24
10458,90
12709,08
10052,95
11389,69
12760,90
11704,07
10882,00
12374,76
11503,29
26
10336,80
12431,25
8195,47
8211,40
9577,03
7256,52
9685,00
9192,01
10266,00
28
7417,41
7619,40
7615,56
7692,15
8926,45
6827,00
8734,00
8569,46
9638,00
30
4598,79
7173,22
4707,30
7013,85
6458,49
5541,00
6730,15
7412,80
8633,00
32
3127,18
4706,45
3920,20
4446,00
4391,77
4934,44
4576,50
5040,70
5108,12
34
2720,65
3927,85
3250,40
3987,00
3820,84
4292,96
3981,56
4385,41
4444,06
36
1795,63
2653,70
2561,90
2496,00
2521,76
2833,35
2627,83
2894,37
2933,08
N-2 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 100 μM Zooxanthellae (1000 individu/liter) Waktu (hari)
Clade A 1
2
Clade B 3
1
2
Clade C 3
1
2
3
2
79,24
72,80
62,99
72,40
77,65
85,70
76,70
80,38
81,20
4
123,44
113,58
85,71
122,03
123,67
139,23
108,87
108,93
129,27
6
171,53
157,35
120,62
174,64
172,41
195,24
175,64
155,73
180,02
8
266,55
246,73
195,66
347,80
273,17
323,20
288,13
240,10
286,64
10
349,15
319,13
295,20
443,75
354,42
427,57
384,00
322,97
373,88
12
541,77
493,25
465,04
765,25
553,53
672,27
628,63
520,41
582,49
14
2046,20
1790,05
2098,51
2456,33
2158,67
2763,60
2009,33
2601,40
2242,49
16
4639,13
4238,29
4314,18
5091,02
4666,17
5919,12
5056,37
4324,69
5216,40
18
14499,60
13487,28
14560,66
16258,00
13062,83
17820,08
15068,00
13666,01
16585,82
20
14878,34
13839,31
14273,73
17566,00
15417,02
18376,54
17922,00
16169,42
15937,79
22
13790,32
13786,93
13860,85
18024,00
14781,90
15711,21
12059,04
17188,42
15773,97
24
11529,68
10454,58
13081,50
16382,00
14595,26
12511,48
11978,40
12669,00
13117,65
26
8820,27
7751,62
8520,40
15204,00
14583,28
11514,28
10090,03
11956,12
9931,87
28
8249,03
7281,30
7034,60
7964,00
10416,92
9275,00
9396,62
9635,00
9250,86
30
7496,24
6666,53
5355,85
7652,00
8071,18
8669,04
8627,00
7753,29
8358,50
32
6862,31
6148,82
4220,03
5632,00
6840,95
7503,52
5872,00
5426,00
6877,44
34
6604,77
5938,50
3671,42
4977,12
5951,63
5423,00
4068,00
4198,00
5983,37
36
5931,22
5388,44
2423,14
3284,90
3928,08
3948,00
3726,00
3327,00
3949,03
219
C.
N-2 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 150 μM Zooxanthellae (1000 individu/liter) Waktu (hari)
D.
Clade A 1
Clade B 1
2
Clade C
2
3
2
68,98
68,23
64,28
87,55
74,18
3 87,55
1 82,70
74,58
2
3 81,45
4
102,79
95,78
108,64
120,07
125,62
153,87
131,56
106,83
110,27
6
147,94
134,40
153,42
163,00
179,58
218,66
183,21
195,82
157,68
8
238,62
206,41
286,00
264,40
285,61
395,31
291,68
321,67
243,31
10
308,69
272,38
474,01
350,67
378,49
565,28
380,60
417,58
327,29
12
524,45
435,92
778,86
596,64
636,13
947,81
592,88
651,00
527,37
14
1906,27
2339,33
2313,10
2859,01
2280,33
3069,10
2282,28
2241,33
2636,19
16
3928,70
3908,64
3889,79
4847,22
5093,02
6050,56
5277,93
5642,00
4382,53
18
10900,40
13886,84
11723,52
15317,20
16282,46
18880,37
16733,61
17255,00
13848,79
20
11493,70
14776,40
15307,49
19225,93
16743,21
19651,98
17232,97
18922,00
16385,68
22
13878,80
14728,46
15910,84
19640,11
18275,37
17189,74
15933,03
17262,00
17418,31
24
14324,20
14599,75
14512,60
18486,32
15503,03
13512,18
13276,44
16841,05
17290,10
26
13297,40
14401,15
14157,64
13569,31
13428,00
11250,27
11736,08
12610,00
17066,30
28
13025,40
10229,92
9093,30
9565,00
12067,00
10211,64
10992,00
10670,41
12116,03
30
10492,40
6342,55
7559,90
8412,97
10060,23
9114,68
8488,06
7526,00
7511,94
32
9028,70
4312,94
6347,80
7356,00
8355,00
7206,00
6184,46
6038,00
7885,00
34
5310,80
3752,25
5105,51
5720,82
6304,00
5834,00
5380,48
5549,00
6258,00
36
4608,70
2476,49
4428,17
4213,00
4816,00
4114,63
3551,12
4328,00
5902,00
N-2 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 200 μM Zooxanthellae (1000 individu/liter) Waktu (hari)
Clade A 1
2
Clade B 3
1
2
Clade C 3
1
2
3
2
69,21
66,05
66,47
81,70
80,40
79,55
80,28
75,60
71,60
4
103,14
125,28
112,34
137,71
135,83
119,87
135,64
128,56
121,76
6
148,44
175,79
158,64
197,07
193,59
182,77
193,19
183,24
173,54
8
239,43
269,98
295,74
392,48
341,33
288,53
350,72
320,67
303,71
10
309,74
356,27
490,15
500,75
436,50
378,17
497,84
447,03
423,38
12
526,23
570,18
805,38
863,55
781,00
626,38
837,75
751,60
711,83
14
2845,85
3059,86
2391,86
2771,86
2308,00
1802,67
2726,71
2515,35
2382,27
16
4896,22
5112,51
4022,23
5744,98
5535,38
4851,28
5272,10
4942,73
4681,21
18
15472,05
16155,54
12122,70
18346,39
12814,47
16226,00
15828,37
14558,97
13788,66
20
17721,15
18164,04
15828,70
19822,41
18635,00
23744,64
18479,91
16828,17
17077,86
22
18133,69
19264,88
16452,60
20339,24
19251,00
23044,00
21443,00
21582,00
22387,00
24
17946,10
19096,53
15006,75
19404,02
17325,00
18324,00
19115,46
18329,30
17359,50
26
17736,60
18836,76
14396,83
17157,00
16026,00
16227,00
17298,17
16627,82
15748,04
28
12727,30
13380,78
11288,85
14698,10
12007,74
13259,00
15347,27
14983,11
14190,35
30
7890,93
8296,08
8387,45
12612,85
10836,76
10424,55
12187,85
11826,41
11200,68
32
5365,83
5641,34
7639,53
8300,90
7350,95
9674,08
8697,00
6284,19
7607,03
34
4668,27
4907,96
5279,35
6355,45
7058,35
8864,95
7354,51
5467,25
7301,75
36
3081,06
3239,26
4578,95
4754,17
6293,11
7426,26
6124,24
3608,38
6503,32
220
N-2 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 200 μM Zooxanthellae (1000 individu/liter)
E.
Clade A
Waktu (hari)
1
Clade B 1
2
Clade C
2
3
2
71,57
63,03
59,59
74,10
85,50
3 81,35
1 71,68
74,15
2
3 81,15
4
106,66
119,55
100,71
124,90
144,80
142,97
121,11
126,09
138,00
6
152,65
169,76
141,18
176,98
204,97
201,19
170,95
178,04
194,85
8
242,93
266,16
250,13
330,29
319,86
345,55
296,17
299,33
327,59
10
311,99
361,11
377,39
417,97
416,97
470,98
402,60
402,65
440,66
12
515,44
600,34
594,51
682,41
676,95
754,39
647,57
648,79
710,04
14
2787,53
2121,98
2682,74
3269,99
3645,64
3673,85
3148,74
3243,13
3549,30
16
4795,88
4311,01
4210,80
5543,99
6173,92
6044,20
5201,12
5391,54
5900,52
18
15154,98
12176,01
13306,12
17519,02
18510,00
19099,66
16435,55
17037,28
18645,65
20
17357,98
14347,75
16236,00
21989,61
19126,00
19984,00
19782,75
20158,25
22061,25
22
17762,08
18635,30
18614,41
21463,00
21079,00
21601,00
21155,72
21428,63
23451,57
24
17578,33
17447,79
17249,90
21198,00
20025,00
20338,00
20969,56
21270,90
23278,94
26
17373,12
15732,13
12796,25
20980,00
19735,00
19014,00
20697,00
20995,57
22977,62
28
12466,48
14229,37
10228,90
15519,87
16226,17
16996,79
14669,03
14905,58
16312,71
30
7729,22
10772,62
7933,68
9622,32
11278,83
10538,01
9094,80
9241,46
10113,88
32
5255,87
10006,12
5394,90
6543,18
8102,92
7165,84
7722,96
9979,45
9451,44
34
4572,61
9077,93
4693,56
5692,57
7153,06
6234,28
7412,14
7445,60
7051,65
36
3017,92
8149,74
3097,75
3757,09
6954,00
6821,00
6599,22
6311,88
5977,92
Analisis varian terhadap pengaruh pemberian nutrien dan perbedaan pertumbuhan zooxanthellae antar clade SK Ulangan
db
JK
KT
Fhit
2
2077485,34
1038742,67
0,919352
14
285863629,83
20418830,70
18,071941
Strain
2
116,56
58,28
0,000052
Pupuk
4
246,43
61,61
0,000055
SxP
8
4,74
0,59
0,000001
Galat
28
31636183,95
1129863,71
Umum
44
4,74
Perlakuan
N-5 N-4 N-3 N-2 N-1
61,730236
0,864218
60,866017
8,831271
52,034746
3,199687
48,835060
5,364507
43,470553
ns s s s
Ftabel 0,05 3,34
0,01 5,45
221
Lampiran 4. Analisis Perubahan NO3-N (mg/l) pada Media Budidaya Zooxanthellae N-1 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 50 μM N-2 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 100 μM N-3 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 150 μM N-4 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 200 μM N-5 adalah menerapkan penambahan NaNO3 sebesar 250 μM 1. Media Dengan Perlakuan N-1 Jenis Clade Zooxanthellae Waktu (hr) A
B
C
2
0,0408
0,0286
0,0322
4
0,0286
0,0258
0,0257
6
0,0147
0,0166
0,0183
8
0,0132
0,0136
0,0133
10
0,0145
0,0107
0,0128
12
0,0066
0,0084
0,0084
14
0,0080
0,0071
0,0086
16
0,0054
0,0062
0,0060
18
0,0053
0,0062
0,0057
20
0,0043
0,0048
0,0043
22
0,0027
0,0031
0,0032
24
0,0003
0,0027
0,0016
26
0,0018
0,0016
0,0010
28
0,0001
0,0011
0,0009
30
0,0004
0,0007
0,0003
32
0,0001
0,0003
0,0002
34
0,0000
0,0000
0,0006
36
0,0001
0,0000
0,0000
2. Media Dengan Perlakuan N-2 Waktu (hr)
Jenis Clade Zooxanthellae A
B
C
2
0,0377
0,0368
0,0366
4
0,0327
0,0380
0,0354
6
0,0197
0,0203
0,0204
8
0,0162
0,0131
0,0134
10
0,0132
0,0125
0,0114
12
0,0107
0,0107
0,0087
14
0,0084
0,0103
0,0073
16
0,0071
0,0067
0,0058
18
0,0062
0,0065
0,0043
20
0,0062
0,0059
0,0038
22
0,0048
0,0035
0,0024
24
0,0031
0,0022
0,0018
26
0,0027
0,0023
0,0012
28
0,0016
0,0012
0,0007
30
0,0011
0,0006
0,0005
32
0,0007
0,0004
0,0002
34
0,0003
0,0006
0,0000
36
0,0002
0,0001
0,0000
222
3. Media Dengan Perlakuan N-3 Waktu (hr)
Jenis Clade Zooxanthellae A
B
C
2
0,0498
0,0466
0,0421
4
0,0346
0,0354
0,0240
6
0,0218
0,0193
0,0205
8
0,0208
0,0144
0,0207
10
0,0198
0,0148
0,0203
12
0,0192
0,0128
0,0093
14
0,0168
0,0119
0,0111
16
0,0109
0,0080
0,0076
18
0,0084
0,0069
0,0074
20
0,0087
0,0048
0,0060
22
0,0058
0,0047
0,0038
24
0,0042
0,0030
0,0005
26
0,0032
0,0030
0,0025
28
0,0008
0,0018
0,0001
30
0,0007
0,0001
0,0005
32
0,0006
0,0001
0,0002
34
0,0001
0,0003
0,0000
36
0,0001
0,0001
0,0001
4. Media Dengan Perlakuan N-4 Waktu (hr)
Jenis Clade Zooxanthellae A
B
C
2
0,0501
0,0513
0,0527
4
0,0528
0,0321
0,0416
6
0,0316
0,0258
0,0198
8
0,0217
0,0197
0,0172
10
0,0204
0,0166
0,0168
12
0,0168
0,0132
0,0166
14
0,0114
0,0107
0,0167
16
0,0087
0,0084
0,0081
18
0,0073
0,0071
0,0064
20
0,0058
0,0062
0,0062
22
0,0043
0,0062
0,0054
24
0,0038
0,0048
0,0038
26
0,0024
0,0031
0,0027
28
0,0018
0,0027
0,0006
30
0,0012
0,0016
0,0001
32
0,0007
0,0011
0,0001
34
0,0005
0,0007
0,0001
36
0,0002
0,0003
0,0001
223
5. Media Dengan Perlakuan N-5 Waktu (hr)
Jenis Clade Zooxanthellae A
B
C
2
0,0769
0,0620
0,0716
4
0,0570
0,0439
0,0523
6
0,0379
0,0368
0,0340
8
0,0271
0,0303
0,0258
10
0,0235
0,0257
0,0232
12
0,0212
0,0228
0,0197
14
0,0186
0,0193
0,0163
16
0,0130
0,0147
0,0111
18
0,0101
0,0113
0,0092
20
0,0090
0,0100
0,0081
22
0,0078
0,0086
0,0073
24
0,0063
0,0071
0,0057
26
0,0041
0,0046
0,0037
28
0,0029
0,0037
0,0026
30
0,0016
0,0022
0,0015
32
0,0008
0,0010
0,0010
34
0,0005
0,0006
0,0007
36
0,0003
0,0004
0,0003
224
Lampiran 5. Densitas Zooxanthellae dan Analisis Ragam Model Perubahan Zooxanthellae pada penerapan beberapa level shock suhu A. Densitas Zooxanthellae Jam ke 0 4 6 8 12 18 24 30 36
Jam ke 0 4 6 8 12 18 24 30 36
Jam ke 0 4 6 8 12 18 24
Jam ke 0 4 6 8 12 18
Densitas Zooxanthellae pada penerapan shock suhu 28oC pada ulangan ke : 1 2 3 7.900.000 7.600.000 8.900.000 8.532.000 6.764.000 9.968.000 7.764.120 7.846.240 9.270.240 7.472.226 7.689.315 7.959.538 6.324.051 6.213.813 7.842.636 7.642.994 7.150.577 6.887.800 9.115.914 5.380.171 10.695.875 8.651.638 4.608.213 10.151.132 6.141.118 3.607.980 10.760.199 Densitas Zooxanthellae pada penerapan shock suhu 32oC pada ulangan ke : 1 2 3 8.700.000 7.900.000 7.800.000 6.369.643 8.374.000 5.986.047 5.146.899 7.497.651 5.681.176 4.855.565 7.073.256 5.568.677 4.557.633 6.814.001 6.014.171 4.802.436 7.200.282 6.877.592 3.265.321 4.914.768 4.743.496 2.525.181 4.019.188 4.380.924 1.989.026 3.249.147 3.676.325 Densitas Zooxanthellae pada penerapan shock suhu 36oC pada ulangan ke : 1 2 3 8.500.000 8.400.000 8.700.000 2.423.473 2.372.153 2.506.089 218.199 129.760 323.672 80.733 245.990 81.749 10.474 8.175 14.599 0 0 0 0 0 0 Densitas Zooxanthellae pada penerapan shock suhu 40oC pada ulangan ke : 1 2 3 8.200.000 7.600.000 8.900.000 405.014 281.534 502.387 55.406 28.379 39.789 20.500 10.500 14.722 0 0 0 0 0 0
Rataan 8.133.333 8.421.333 8.293.533 7.707.026 6.793.500 7.227.124 8.397.320 7.803.661 6.836.433
Rataan 8.133.333 6.909.896 6.108.575 5.832.499 5.795.269 6.293.437 4.307.861 3.641.764 2.971.499
Rataan 8.533.333 2.433.905 223.877 136.157 11.082 0 0
Rataan 8.233.333 396.312 41.191 15.241 0 0
225
B. Analisis Ragam pada Model Degradasi Densitas Zooxanthellae pada penerapan suhu 36oC XLSTAT 2009.6.04 - Linear regression - on 11/01/2011 at 8:56:25 Y / Quantitative: Workbook = Book1 / Sheet = Sheet1 / Range = Sheet1!$C$3:$C$17 / 14 rows and 1 column X / Quantitative: Workbook = Book1 / Sheet = Sheet1 / Range = Sheet1!$B$3:$B$17 / 14 rows and 1 column Confidence interval (%): 95 Regression of variable 8500000: Goodness of fit statistics: Observations Sum of weights DF R² Adjusted R² MSE RMSE MAPE DW Cp AIC SBC PC
14,000 14,000 12,000 0,681 0,655 3128816815575,690 1768846,182 3854,807 0,597 2,000 404,645 405,923 0,425
Analysis of variance: Source Model Error Corrected Total
DF 1 12 13
Sum of squares 80227002273413,900 37545801786908,200 117772804060322,000
Mean squares 80227002273413,900 3128816815575,690
F 25,641
Pr > F 0,000
Computed against model Y=Mean(Y) Model parameters: Source
Value
Intercept 0
Standard error
t
Pr > |t|
Lower bound (95%)
Upper bound (95%)
5879590,719
930278,140
6,320
< 0,0001
3852688,776
7906492,662
-631102,276
124631,991
-5,064
0,000
-902652,056
-359552,495
Persamaan : Y = 5.879.590,72 – 631.102,28 X
226
C. Analisis Ragam pada Model Degradasi Densitas Zooxanthellae pada penerapan suhu 40oC XLSTAT 2009.6.04 - Linear regression - on 11/01/2011 at 9:11:06 Y / Quantitative: Workbook = Book1 / Sheet = Sheet1 / Range = Sheet1!$C$140:$C$151 / 11 rows and 1 column X / Quantitative: Workbook = Book1 / Sheet = Sheet1 / Range = Sheet1!$B$140:$B$151 / 11 rows and 1 column Confidence interval (%): 95
Regression of variable 8500000: Goodness of fit statistics: Observations Sum of weights DF R² Adjusted R² MSE RMSE MAPE DW Cp AIC SBC PC
11,000 11,000 9,000 0,744 0,716 3084936998158,080 1756398,872 3298,217 1,030 2,000 318,126 318,921 0,370
Analysis of variance: Source Model Error Corrected Total
DF 1 9 10
Sum of squares 80715059308468,200 27764432983422,700 108479492291891,000
Mean squares 80715059308468,200 3084936998158,080
F 26,164
Pr > F 0,001
Computed against model Y=Mean(Y) Model parameters: Source
Value
Standard error
t
Pr > |t|
Lower bound (95%)
Upper bound (95%)
Intercept
6467176,152
1084964,060
5,961
0,000
4012816,944
8921535,359
0
-986679,735
192895,490
-5,115
0,001
-1423039,646
-550319,824
Persamaan : Y = 6.467.176,15 – 986.679,73 X
227
Lampiran 6.
Analisis ragam densitas zooxanthellae pada polip karang Goneastrea aspera pada pengkayaan ragam Clade (A, B dan C) pada minggu ke 15 dan 17 pasca pengeraman di perairan alami
A. Densitas zooxanthellae pada minggu ke-15
Jumlah zooxanthellae pada pengkayaan Clade A Clade B Clade C
Ulangan 1 2 3 Rataan
3.012.145 3.151.533 3.290.918 3.151.532
3.409.322 3.109.857 3.404.137 3.307.772
2.956.876 3.634.534 3.312.472 3.301.294
Analisis Ragam Variable
Minimum
Maximum
Mean
3012144,8
3151533,200
3290918,000
3221225,600
98559,937
3409322
3109857,000
3404137,000
3256997,000
208087,384
2956876
3312472,000
3634534,000
3473503,000
227732,224
Difference t (Observed value) t (Critical value) DF p-value (Two-tailed) alpha
Std. deviation
3221225,600 46,221 12,706 1 0,014 0,05
Kesimpulan : nilai p < alpha, sehingga rataan nilai densitas zooxanthellae tidak berbeda nyata antar pengkayaan clade. B. Densitas zooxanthellae pada minggu ke-17 Jumlah zooxanthellae pada pengkayaan Clade A Clade B Clade C
Ulangan 1 2 3 Rataan
3.849.585 3.329.324 3.555.364 3.578.091
3.947.884 3.240.945 3.824.511 3.671.113
3.928.237 3.434.853 3.782.852 3.715.314
Analisis Ragam Variable
3849585 3947884 3928237
Minimum
Maximum
3329324,000 3555364,212 3240945,000 3824511,281 3434853,000 3782851,946
Mean
3442344,106 3532728,140 3608852,473
Std. deviation
159834,567 412643,674 246072,414
228
Difference t (Observed value) t (Critical value) DF p-value (Two-tailed) alpha
3442344,106 30,458 12,706 1 0,021 0,05
Kesimpulan : nilai p < alpha, sehingga rataan nilai densitas zooxanthellae tidak berbeda nyata antar pengkayaan clade.