PENGARUH PENGGUNAAN TEMPE SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBUATAN ISIAN BURGER TERHADAP KOMPOSISI ZAT GIZI DAN DAYA TERIMANYA (The influence of tempeh as ingredients in the making of patty to the nutrient composition and the acceptable) Nurwahyu Utami1, Jumirah2, Albiner Siagian2 Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU 2 Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU 1
ABSTACT Tempeh burger is one of an innovative product of burgers, which has high phyto-protein. Most of people know that tempeh only made from soybean, but the other legume such as mung bean and red kidney bean can also be processed into tempeh because they almost have the similar nutrient composition with soybean. This was an experimental study that aims to determine the nutrient composition and the acceptable of patty with the difference of tempeh ingredients, such as soybean, mung bean, and red kidney bean. Based on laboratory test at the Laboratory of Nutrition FKM and Food Technology Laboratory FP USU, showed that the soybean tempeh patty has highest content of energy, fat, and carbohydrate; while the highest content of protein and ash belongs to the mung bean tempeh patty. Based on the organoleptic test by 30 students of FKM USU as a panelist, showed that the soybean tempeh patty was the most preferred. With Anova Test, the difference of tempeh for making the tempeh patty was only influenced different variety of color, aroma, and texture, but not for the taste. It’s recommended that consumer, especially those who like burgers but limiting meat consumption, make tempeh burger as their alternative snack. The mung bean tempeh patty was the best choice for young people who are still in their growth stage, because it had highest content of protein and ash. It is also need to do the further study to eliminate unpleasant contained in mung bean and red kidney bean tempeh patty. Keywords: Tempeh Patty, Nutrient Composition, Acceptability PENDAHULUAN Burger telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu. Bermula dari pedagang asal Timur Tengah yang menikmati daging kambing cincang di salah satu restoran di Hamburg, Jerman. Hamburg kala itu adalah pusat perdagangan dan juga sebagai tempat berkumpulnya para pedagang asal Arab (Hardiman, 2011). Burger sangat popular hingga kini, penggemarnya tidak sedikit. Tua muda, kecil dewasa, menyukai burger. Karena itu, banyak orang yang menjadikan burger sebagai salah satu komoditas dalam usaha jasa boga. Dan ternyata burger juga bisa membuat orang kaya raya, karena bisnis ini sangat menjanjikan dan sudah menjadi makanan berbagai kalangan karena banyak dijual oleh jaringan restoran
cepat saji atau kafe-kafe, bahkan burger saat ini sudah lazim dijajakan di sekolah-sekolah menggunakan gerobak sepeda atau stand semi permanen (Sarwono, 2010). Burger tempe merupakan salah satu olahan inovatif dari burger. Burger tempe kaya akan protein nabati yang berasal dari tempe itu sendiri. Hadirnya burger tempe merupakan salah satu inovasi di bidang kuliner, di mana tempe (bahan pangan nabati) sebagai makanan khas Indonesia dijadikan sebagai bahan pengganti daging (bahan pangan hewani) dalam pembuatan isian burger, juga dapat menjadi pilihan bagi orangorang yang dengan alasan tertentu tidak dapat memakan daging. Sebagai bahan makanan yang sehat dengan harga ekonomis, tempe 1
Pengaruh Penggunaan Tempe sebagai Bahan Dasar Pembuatan Isian Burger Terhadap Komposisi Zat Gizi dan Daya Terimanya Nurwahyu Utami (091000006)
[email protected] /
[email protected]
layak dijadikan sebagai bahan pembuatan makanan populer, seperti burger. Erwin (2006), menyatakan bahwa saat ini masyarakat sudah mulai memerhatikan pola makan yang sehat alami. Bahan pangan sumber protein nabati mulai lebih banyak dikonsumsi sebagai pengganti bahan pangan sumber protein hewani yang perlu dibatasi pemakaiannya, terutama karena kondisi kesehatan tertentu, misalnya karena mengalami hiperkolesterolemia, atau penyakit kardiovaskular lainnya yang terkait dengan konsumsi lemak atau kolesterol yang berlebihan. Konsumsi tempe di Indonesia sendiri sekitar 6,45 kg per orang per tahunnya, dan 2,4 juta ton per tahunnya, Indonesia sekarang ini adalah negara pengonsumsi tempe terbesar di dunia (Setiadi, 2012). Seperti halnya kedelai, kacang hijau dan kacang merah pun merupakan sumber protein nabati yang tidak kalah jika dibandingkan dengan sumber protein hewani. Bukan hanya mengandung protein, zat gizi lain seperti karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral juga terkandung di dalamnya, selain itu kedua jenis kacang ini pun relatif mudah diolah menjadi tempe jika dibandingkan dengan jenis kacangkacangan lainnya. Potensi dari kedua jenis kacangkacangan tersebut untuk dijadikan tempe memungkinkan dapat diolah menjadi berbagai jenis penganan, salah satunya adalah isian burger. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh penggunaan tempe (tempe kacang kedelai, kacang hijau, dan kacang merah) sebagai bahan dasar pembuatan isian burger terhadap komposisi zat gizi serta daya terimanya berdasarkan indikator warna, rasa, aroma, dan tekstur. Sehingga dapat memberikan informasi baik kepada masyarakat, maupun produsen tempe mengenai pembuatan tempe berbahan selain kedelai dan penggunaan bahan pangan nabati sebagai alternatif untuk menggantikan bahan pangan hewani, terutama daging yang harganya relatif lebih mahal. Selain itu, hal ini juga merupakan salah satu cara mengoptimalkan pemanfaatan bahan pangan lokal sebagai salah satu realisasi diversifikasi
pangan, alternatif pengolahan tempe sebagai penganan yang tidak kalah saing dengan penganan populer asal mancanegara, alternatif jajanan sehat dengan harga ekonomis yang dapat dibuat di rumah dan dikonsumsi semua kalangan, terutama orang-orang yang dengan alasan kesehatan atau alasan tertentu lainnya membatasi konsumsi daging yang biasanya digunakan sebagai bahan dalam pembuatan isian burger. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat eksperimen dengan menggunakan desain penelitian deskriptif. Sedangkan untuk mengetahui pengaruhnya, maka digunakan uji statistik. Pembuatan isian burger tempe dan pengujian daya terima terhadap mahasiswa yang berjumlah 30 orang di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dilakukan pada bulan Mei 2013. Komposisi zat gizi isian burger tempe (kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat, dan energi) diketahui melalui uji laboratorium yang dilakukan di Laboratorium Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian – Universitas Sumatera Utara dilakukan pada bulan Mei 2013. Untuk mengetahui kadar air dan abu digunakan metode gravimetri, kadar protein menggunakan metode Kjeldahl, dan kadar lemak menggunakan metode ekstraksi (Soxhletasi). Sementara kadar karbohidrat dan energi diperoleh melalui perhitungan. Penerimaan panelis terhadap isian burger tempe berdasarkan uji kesukaan (hedonik) yang diperoleh kemudian ditabulasikan dan dianalisis menggunakan uji varians (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Ganda Duncan (Duncan’n Multiple Ranges Test). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Isian Burger Tempe Penggunaan tempe kacang kedelai, kacang hijau, dan kacang merah dalam pembuatan isian burger menghasilkan isian burger tempe dengan karakteristik yang berbeda. Isian burger tempe kacang kedelai (A1) berwarna kuning keemasan, memiliki rasa khas tempe dan gurih, beraroma khas tempe, dan bertekstur lembut. Isian burger 2
Pengaruh Penggunaan Tempe sebagai Bahan Dasar Pembuatan Isian Burger Terhadap Komposisi Zat Gizi dan Daya Terimanya Nurwahyu Utami (091000006)
[email protected] /
[email protected]
tempe kacang hijau (A2) berwarna kuning kecokelatan, memiliki rasa gurih dan diakhir terasa agak langu, beraroma khas tempe namun tercium langu, dan bertekstur agak lembut. Sedangkan isian burger tempe kacang merah (A3) berwarna kehitam-hitaman, memiliki rasa khas kacang merah dan diakhir terasa agak langu, beraroma khas tempe namun agak langu, dan bertekstur lembut. Analisis Komposisi Zat Gizi Isian Burger Tempe Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi Berdasarkan uji laboratorium yang dilakukan, komposisi zat gizi yang terkandung dalam setiap 100 gram isian burger tempe dapat dilihat pada Tabel 1. berikut. Tabel 1. Komposisi Zat Gizi Per 100 gram Isian Burger Tempe Isian Burger Tempe ZatGizi A1 A2 A3 Energi (Kkal) 268,56 155,68 227,92 Kadar Karbohidrat (%) 33,37 9,15 28,52 Kadar Air (%) 42,86 63,93 51,52 Kadar Protein (%) 6,77 13,84 5,96 Kadar Abu (%) 5,00 6,00 4,00 Kadar Lemak (%) 12,00 7,08 10,00
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa komposisi zat gizi yang terdapat pada isian burger tempe lebih rendah jika dibandingkan dengan komposisi zat gizi yang terdapat pada kacang-kacangan yang dipakai sebagai bahan pembuatan tempenya. Hal tersebut dikarenakan perendaman kacangkacangan yang terlalu lama dapat menyebabkan penurunan kandungan gizinya. Hasil penelitian Lo et al. dalam Koswara (1992) mengungkapkan bahwa perendaman kacang kedelai selama 24 jam dan 76 jam berturut-turut akan menurunkan kandungan protein sebesar 36 dan 38 % dari jumlah protein semula. Oleh karena itu pengolahan kacang-kacangan yang melalui proses perendaman dapat menurunkan kandungan gizinya. Namun, kandungan anti gizi dan senyawa penyebab off-flavor (menimbulkan bau dan rasa yang tidak dikehendaki) yang terdapat pada kacang-kacangan, terutama kacang kedelai akan menurun dengan proses
perendaman, perebusan, ataupun pengukusan. Kandungan anti gizi dalam kacang kedelai antara lain anti tripsin, hemaglutinin, fitat, dan oligosakarida penyebab flatulensi, sedangkan kelompok senyawa penyebab off-flavor antara lain penyebab bau langu (beany flavor), penyebab rasa pahit dan penyebab rasa kapur (chalky flavor) (Koswara, 1992). Berikut disajikan analisis komposisi zat gizi isian burger tempe berdasarkan angka kecukupan gizi per 50 gram isian burger tempe (per keping isian burger tempe). Tabel 2. Analisis Komposisi Zat Gizi Isian Burger Tempe Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi Laki-Laki Usia 19 – 29 Tahun Isian Burger Tempe Zat Gizi AKG A1 A2 A3 Energi (kkal) 134,28 77,84 113,96 2550* 5,27 3,05 4,47 % Sumbangan Protein (gr) 3,34 6,92 2,98 60* 5,56 11,53 4,49 % Sumbangan * Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2004 dalam Almatsier (2011)
Berdasarkan Tabel 2, dapat diketahui bahwa penggunaan tempe kacang kedelai (A1) sebagai bahan dasar pembuatan isian burger menyumbang kecukupan energi terbesar, yaitu 5,27% dari kebutuhan energi sehari lakilaki usia 19 – 29 tahun. Sedangkan penggunaan tempe kacang hijau (A2) sebagai bahan dasar pembuatannya menyumbang kecukupan protein terbesar, yaitu 11,53% dari kebutuhan protein sehari laki-laki berusia 19 – 29 tahun. Tabel 3. Analisis Komposisi Zat Gizi Isian Burger Tempe Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi Perempuan Usia 19 – 29 Tahun Isian Burger Tempe Zat Gizi AKG A1 A2 A3 Energi (kkal) 134,28 77,84 113,96 1900* 7,07 4,10 6,00 % Sumbangan Protein (gr) 3,34 6,92 2,98 50* 6,68 13,84 5,96 % Sumbangan * Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2004 dalam Almatsier (2011)
Berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui bahwa penggunaan tempe kacang kedelai (A1) sebagai bahan dasar pembuatan isian burger menyumbang kecukupan energi terbesar, yaitu 7,07% dari kebutuhan energi sehari perempuan usia 19 – 29 tahun. Sedangkan 3
Pengaruh Penggunaan Tempe sebagai Bahan Dasar Pembuatan Isian Burger Terhadap Komposisi Zat Gizi dan Daya Terimanya Nurwahyu Utami (091000006)
[email protected] /
[email protected]
penggunaan tempe kacang hijau (A2) sebagai bahan dasar pembuatannya menyumbang kecukupan protein terbesar, yaitu 13,84% dari kebutuhan protein sehari perempuan berusia 19 – 29 tahun. Analisis Organoleptik Warna Isian Burger Tempe Pengujian organoleptik terhadap warna yang dihasilkan dari isian burger tempe oleh panelis menunjukkan bahwa warna isian burger dengan tempe kacang kedelai (A1) dan kacang hijau (A2) sebagai bahan dasar pembuatannya sama-sama disukai sedangkan warna yang dihasilkan dari isian burger dengan tempe kacang merah (A3) sebagai bahan dasar pembuatan isiannya tidak disukai. Hal ini dikarenakan warna yang dihasilkan dari isian burger tempe kacang kedelai (A1) dan kacang hijau (A2) cenderung terang, dan dianggap menimbulkan daya tarik saat dilihat. Tabel 4. Hasil Analisis Organoleptik Warna Isian Burger Tempe Isian Burger Tempe A1 A2 A3 Panelis Skor Panelis Skor Panelis Skor Sangat Suka 8 32 2 8 2 8 Suka 20 60 17 51 1 3 Agak Suka 2 4 11 22 10 20 Tidak Suka 0 0 0 0 17 17 Total 30 96 30 81 30 48 % 80,00 67,50 40,00 Skala Hedonik
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam terhadap warna dari ketiga perlakuan pada isian burger tempe (lihat Tabel 5) diperoleh FHitung (51,54) > FTabel (3,15) yang bermakna bahwa perbedaan bahan dasar tempe sebagai bahan dasar pembuatan isian burger memberi pengaruh yang nyata terhadap warna isian burger tempe yang dihasilkan. Tabel 5. Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Isian Burger Tempe Berdasarkan Indikator Warna F F tabel Sumber Db JK KT Ket Keragaman hitung
Sampel Panelis Error Total
2 29 58 89
40,20 20,10 51,54 17,83 0,61 22,47 0,39 80,50
(0,05)
3,15
Ada Perbe daan
Berdasarkan Uji Ganda Duncan (lihat Tabel 6), dapat disimpulkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap warna isian burger
tempe kacang kedelai, kacang hijau, dan kacang merah berbeda satu sama lain dan yang paling disukai adalah warna yang dihasilkan oleh isian burger tempe kacang kedelai (A1). Tabel 6. Hasil Uji Duncan’s Multiple Ranges Test Isian Burger Berdasarkan Indikator Warna Tempe Tempe Tempe Perlakuan Kacang Kacang Kacang Merah (C) Hijau (B) Kedelai (A) Rata-rata 1,60 2,70 3,20 B – C = 2,70 – 1,60 = 1,10 > 0,31 Jadi, B ≠ C A – C = 3,20 – 1,60 = 1,60 > 0,33 Jadi, A ≠ C A – B = 3,20 – 2,70 = 0,50 > 0,31 Jadi, A ≠ B
Suatu bahan yang bernilai gizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak menarik atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya (Winarno, 2002). Oleh karena itu, isian burger dengan tempe kacang merah sebagai bahan dasar pembuatannya tidak disukai, sebab warnanya kurang menarik (kehitam-hitaman), bahkan menimbulkan kesan bahwa isian burger tempe tersebut gosong. Padahal beberapa orang panelis menyebutkan bahwa warna yang paling mendekati isian burger pada umumnya adalah sampel berkode A3 (isian burger tempe kacang merah). Analisis Organoleptik Rasa Isian Burger Tempe Pengujian organoleptik terhadap rasa yang dihasilkan dari isian burger tempe oleh panelis menunjukkan bahwa rasa isian burger dengan tempe kacang kedelai (A1) dan kacang merah (A3) sebagai bahan dasar pembuatannya sama-sama disukai, sedangkan rasa yang dihasilkan dari isian burger dengan tempe kacang hijau (A2) sebagai bahan dasar pembuatan isiannya termasuk kategori agak disukai. Tabel 7. Hasil Analisis Organoleptik Rasa Isian Burger Tempe Isian Burger Tempe A1 A2 A3 Panelis Skor Panelis Skor Panelis Skor Sangat Suka 4 16 3 12 7 28 Suka 20 60 10 30 9 27 Agak Suka 5 10 15 30 10 20 Tidak Suka 1 1 2 2 4 4 Total 30 87 30 74 30 79 % 72,50 61,67 65,83 Skala Hedonik
4 Pengaruh Penggunaan Tempe sebagai Bahan Dasar Pembuatan Isian Burger Terhadap Komposisi Zat Gizi dan Daya Terimanya Nurwahyu Utami (091000006)
[email protected] /
[email protected]
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam terhadap rasa yang dihasilkan dari ketiga perlakuan pada isian burger tempe (lihat Tabel 8) diperoleh Fhitung (2,82) < Ftabel (3,15), dapat disimpulkan bahwa perbedaan bahan dasar tempe sebagai bahan dasar pembuatan isian burger tempe tidak memberi pengaruh yang nyata terhadap rasa isian burger tempe yang dihasilkan. Tabel 8. Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Isian Burger Tempe Berdasarkan Indikator Rasa F Ftabel Sumber Db JK KT Ket Keragaman hitung
Sampel Panelis Error Total
2 2,87 29 29,33 58 29,80 89 62,00
(0,05)
1,44 2,82 3,15 Tidak Ada 1,01 Perbedaan 0,51
Menurut Winarno (2002), meskipun rasa dapat dijadikan standar dalam penilaian mutu, di sisi lain rasa adalah suatu yang nilainya sangat relatif. Pada umumnya, bahan pangan tidak hanya terdiri dari salah satu rasa saja, tetapi merupakan gabungan dari berbagai rasa secara terpadu sehingga menimbulkan cita rasa yang utuh. Analisis Organoleptik Aroma Isian Burger Tempe Menurut Winarno (2002), aroma makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan tersebut. Aroma baru dapat dikenali bila berbentuk uap, dan molekul-molekul komponen bau tersebut harus sempat menyentuh silia sel olfactory, dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls listrik oleh ujung-ujung syaraf olfactory. Pada umumnya, bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai ramuan atau campuran empat bau utama, yaitu harum, asam, tengik, dan hangus. Pengujian organoleptik terhadap aroma yang dihasilkan dari isian burger tempe oleh panelis menunjukkan bahwa aroma isian burger dengan tempe kacang kedelai (A1) dan kacang merah (A3) sebagai bahan dasar pembuatannya sama-sama disukai, sedangkan aroma yang dihasilkan dari isian burger dengan tempe kacang hijau (A2) sebagai bahan dasar pembuatan isiannya termasuk
kategori agak disukai. Hal ini dikarenakan aroma yang ditimbulkan tempe kacang kedelai dan kacang merah merupakan khas aroma tempe dan aroma kacang merah, sedangkan isian burger dengan tempe kacang hijau beraroma khas tempe dan agak langu. Tabel 9 Hasil Analisis Organoleptik Aroma Isian Burger Tempe Isian Burger Tempe A1 A2 A3 Panelis Skor Panelis Skor Panelis Skor Sangat Suka 7 28 2 8 5 20 Suka 16 48 12 36 10 30 Agak Suka 7 14 14 28 11 22 Tidak Suka 0 0 2 2 4 4 Total 30 90 30 74 30 76 % 75,00 61,67 63,33 Skala Hedonik
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam terhadap aroma yang dihasilkan dari ketiga perlakuan pada isian burger tempe (lihat Tabel 9) diperoleh Fhitung (5,64) > Ftabel (3,15), dapat disimpulkan bahwa perbedaan bahan dasar tempe sebagai bahan dasar pembuatan isian burger memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap aroma isian burger tempe yang dihasilkan. Tabel 9. Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Isian Burger Tempe Berdasarkan Indikator Aroma F Ftabel Sumber Db JK KT Ket Keragaman hitung
Sampel Panelis Error Total
2 5,07 29 26,67 58 26,26 89 58,00
(0,05)
2,54 5,64 3,15 0,92 0,45
Ada Perbe daan
Berdasarkan Uji Ganda Duncan (lihat Tabel 10) terhadap aroma dari ketiga perlakuan, disimpulkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap aroma isian burger dengan tempe kacang hijau dan kacang merah sebagai bahan dasar pembuatannya adalah sama, namun aroma isian burger dengan tempe kacang kedelai sebagai bahan dasar pembuatannya berbeda dengan kedua isian burger tempe lainnya. Hal ini berarti bahwa aroma isian burger tempe kacang kedelai lebih disukai daripada aroma isian burger tempe yang lain karena isian burger tempe kacang kedelai memiliki nilai yang paling tinggi (3,00), di mana semakin tinggi penilaian, maka aroma isian burger tempe akan semakin disukai. 5
Pengaruh Penggunaan Tempe sebagai Bahan Dasar Pembuatan Isian Burger Terhadap Komposisi Zat Gizi dan Daya Terimanya Nurwahyu Utami (091000006)
[email protected] /
[email protected]
Tabel 10. Hasil Uji Duncan’s Multiple Ranges Test Isian Burger Berdasarkan Indikator Aroma Tempe Tempe Tempe Perlakuan Kacang Kacang Kacang Hijau (C) Merah (B) Kedelai (A) Rata-rata 2,47 2,53 3,00 B – C = 2,53 – 2,47 = 0,06 > 0,34 Jadi, B = C A – C = 3,00 – 2,47 = 0,53 > 0,36 Jadi, A ≠ C A – B = 3,00 – 2,53 = 0,47 > 0,34 Jadi, A ≠ B
Analisis Organoleptik Tekstur Isian Burger Tempe Menurut Winarno (2002), tekstur dan konsistensi suatu bahan akan memengaruhi cita rasa yang ditimbulkan bahan tersebut karena dapat memengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap kelenjar air liur. Agar suatu senyawa dapat dikenal rasanya, senyawa tersebut harus dapat larut dalam air liur sehingga dapat mengadakan hubungan dengan mikrovilus dan impuls yang terbentuk dikirim melalui syaraf ke pusat susunan syaraf. Semakin kental konsistensi suatu senyawa, maka akan semakin lama senyawa tersebut larut dalam air liur, maka akan semakin lama pula rasa dari senyawa tersebut dapat dikenali. Pengujian organoleptik terhadap tekstur yang dihasilkan dari isian burger tempe oleh panelis menunjukkan bahwa tekstur isian burger dengan tempe kacang kedelai (A1) dan kacang merah (A3) sebagai bahan dasar pembuatannya sama-sama disukai, sedangkan tekstur yang dihasilkan dari isian burger dengan tempe kacang hijau (A2) sebagai bahan dasar pembuatan isiannya termasuk kategori agak disukai. Hal ini dikarenakan tekstur yang ditimbulkan tempe kacang kedelai dan kacang merah cenderung lembut, sedangkan isian burger dengan tempe kacang hijau cenderung agak kasar meskipun pada saat proses pelunakannya sudah dilakukan agak lama. Hal ini dikarenakan pada saat proses pembuatan tempe, kacang hijau mendapatkan perlakuan untuk pelunakan kacang yang lebih sedikit dibandingkan dengan kacang kedelai dan kacang merah, sebab pelunakan yang lebih
akan mengakibatkan kacang hijau tidak dapat ditumbuhi oleh kapang. Tabel 11. Hasil Analisis Organoleptik Tekstur Isian Burger Tempe Isian Burger Tempe A1 A2 A3 Panelis Skor Panelis Skor Panelis Skor Sangat Suka 4 16 1 4 10 40 Suka 20 60 12 36 9 27 Agak Suka 6 12 14 28 6 22 Tidak Suka 0 0 3 3 5 5 Total 30 88 30 71 30 84 % 73,30 59,17 70,00 Skala Hedonik
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam terhadap tekstur yang dihasilkan dari ketiga perlakuan pada isian burger tempe (lihat Tabel 12) diperoleh Fhitung (3,94) > Ftabel (3,15), dapat disimpulkan bahwa perbedaan bahan dasar tempe sebagai bahan dasar pembuatan isian burger memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap tekstur isian burger tempe yang dihasilkan. Tabel 12. Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Isian Burger Tempe Berdasarkan Indikator Tekstur F Ftabel Sumber Db JK KT Ket Keragaman hitung
Sampel Panelis Error Total
2 5,27 29 20,90 58 38,73 89 64,90
(0,05)
2,64 3,94 3,15 0,72 0,67
Ada Perbe daan
Berdasarkan Uji Ganda Duncan (lihat Tabel 13) terhadap tekstur dari ketiga perlakuan, disimpulkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur isian burger dengan tempe kacang kedelai dan kacang merah sebagai bahan dasar pembuatannya adalah sama, namun tekstur isian burger dengan tempe kacang hijau sebagai bahan dasar pembuatannya berbeda dengan kedua isian burger tempe lainnya. Hal ini berarti bahwa tekstur isian burger dengan tempe kacang kedelai dan tempe kacang merah sebagai bahan dasar pembuatannya lebih disukai daripada tekstur isian burger dengan tempe kacang hijau sebagai bahan dasar pembuatannya karena isian burger dengan tempe kacang hijau sebagai bahan dasar pembuatannya memiliki nilai yang paling rendah (2,37), di mana semakin rendah 6
Pengaruh Penggunaan Tempe sebagai Bahan Dasar Pembuatan Isian Burger Terhadap Komposisi Zat Gizi dan Daya Terimanya Nurwahyu Utami (091000006)
[email protected] /
[email protected]
penilaian, maka tekstur isian burger tempe akan semakin tidak disukai. Tabel 13. Hasil Uji Duncan’s Multiple Ranges Test Isian Burger Berdasarkan Indikator Tekstur Tempe Tempe Tempe Perlakuan Kacang Kacang Kacang Hijau (C) Merah (B) Kedelai (A) Rata-rata 2,37 2,80 2,93 B – C = 2,80 – 2,37 = 0,43 > 0,42 Jadi, B ≠ C A – C = 2,93 – 2,37 = 0,56 > 0,36 Jadi, A ≠ C A – B = 2,93 – 2,80 = 0,13 > 0,42 Jadi, A = B
Penerimaan Konsumen Terhadap Isian Burger Tempe Berdasarkan uji organoleptik terhadap warna, rasa, aroma dan tekstur; isian burger tempe kacang kedelai memiliki skor penilaian yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa isian burger tempe kacang kedelai (A1) lah yang paling disukai dibandingkan dengan isian burger jenis lainnya. Namun, jika dilihat dari kategori kesukaan, isian burger tempe kacang kedelai dan kacang hijau sama-sama masih dalam kategori suka (antara 62,50 – 81,24%). Proses penginderaan terdiri dari tiga tahap, yaitu adanya rangsangan terhadap indera kita oleh suatu benda, kemudian diteruskan oleh sel-sel syaraf dan datanya diproses oleh otak, sehingga kita akan memperoleh kesan tertentu terhadap benda tersebut. Dengan adanya rekaman memori yang ada pada otak kita, maka otak akan menginterpretasikan, mengatur, dan mengintergrasikan rangsangan yang masuk menjadi persepsi. Kemudian tanggapan atau respon diformulasikan berdasarkan persepsi kita (Setyaningsih dkk, 2010). Oleh karena itu, orang yang cenderung terbiasa mengonsumsi tempe kecang kedelai atau makanan lain pada umumnya, akan mengatakan menyukai makanan tersebut karena telah terbiasa baik dengan warna, rasa, aroma, maupun teksturnya. Tambah lagi, Setyaningsih dkk (2010) menyatakan bahwa pada kenyataannya, manusia kerap memberikan respon yang berbeda-beda terhadap rangsangan yang sama. Harus dipahami juga bahwa perbedaan yang terjadi antara dua orang dapat disebabkan oleh adanya perbedaan sensasi yang diterima
karena perbedaan sensitivitas organ penginderaannya, atau karena kurangnya pengetahuan terhadap beberapa bau atau rasa tertentu (dipengaruhi oleh rekaman memori otak), atau juga karena kurangnya pelatihan dalam mengekspresikan apa yang mereka rasakan dalam kata-kata atau angka. KESIMPULAN 1. Jika dilihat dari energi dan lemak yang dihasilkan oleh isian burger tempe, maka isian burger tempe kacang kedelai merupakan penyumbang energi dan lemak yang paling besar, sedangkan isian burger tempe kacang hijau menyumbang energi dan lemak yang paling sedikit. 2. Karbohidrat yang terkandung dalam isian burger tempe kacang kedelai merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan isian burger tempe yang lain, sedangkan kandungan karbohidrat terendah terdapat pada isian burger tempe kacang hijau. 3. Jika dilihat dari kadar protein dan kadar abunya, isian burger tempe kacang hijaulah yang memiliki kadar protein dan kadar abu tertinggi, sedangkan yang terendah terdapat pada isian burger tempe kacang merah. 4. Pada umumnya ketiga jenis isian burger tempe dengan perbedaan bahan dasar tempe dapat diterima oleh konsumen. 5. Isian burger yang paling disukai oleh konsumen (dengan kategori kesukaan suka) adalah isian burger tempe kacang kedelai, diikuti isian burger tempe kacang hijau, dan yang terakhir adalah isian burger tempe kacang merah. 6. Warna isian burger tempe kacang kedelai dan isian burger tempe kacang hijau disukai, sedangkan warna isian burger tempe kacang merah tidak disukai. 7. Rasa, aroma, dan tekstur isian burger tempe kacang kedelai dan isian burger tempe kacang merah disukai; sedangkan rasa, aroma, dan tekstur isian burger tempe kacang hijau agak disukai. 8. Berdasarkan analisa sidik ragam, perbedaan penggunaan tempe sebagai bahan dasar pembuatan isian burger hanya memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna, aroma, dan tekstur, tetapi tidak terhadap rasanya. 7
Pengaruh Penggunaan Tempe sebagai Bahan Dasar Pembuatan Isian Burger Terhadap Komposisi Zat Gizi dan Daya Terimanya Nurwahyu Utami (091000006)
[email protected] /
[email protected]
SARAN 1. Disarankan bagi mereka yang menyukai burger, namun dengan alasan tertentu membatasi asupan akan daging yang umumnya menjadi bahan dasar pembuatan isian burger untuk menjadikan burger tempe sebagai alternatif penganan pilihannya. 2. Bagi mereka yang masih dalam masa pertumbuhan disarankan untuk memilih burger tempe dengan penggunaan tempe kacang hijau sebagai bahan dasar pembuatan isiannya, karena memiliki kandungan protein dan mineral yang lebih tinggi dibandingkan dengan isian burger jenis lain. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meminimalisir rasa langu yang terdapat pada isian burger tempe dengan penggunaan tempe kacang hijau dan kacang merah sebagai bahan dasar pembuatannya.
ws+News/id/10883/print. Diakses pada tanggal 03 April 2013 Setyaningsih, D., dkk. 2010. Analisis Sensori : untuk Industri Pangan dan Agro. Cetakan I. Bogor : IPB Press.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S., dkk. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan.Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Erwin, L. T. 2006. Masakan Tempe dan Tahu Lezat dan Sehat Alami.Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Hardiman, I. 2011. Aneka Burger Bungkus Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Hardiman, I. 2011. Resep Hamburger Favorit Sehat dan Lezat di Bawah 500 Kalori. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai : Menjadikan Makanan Bermutu. Cetakan I. Jakarta : PT. Penebar Swadaya. Sarwono, B. 2010. Usaha Membuat Tempe dan Oncom. Jakarta : Penebar Swadaya. Setiadi, B. 2012. Menjadikan Tempe sebagai Pangan Dunia http://ristek.go.id/index.php/module/Ne 8 Pengaruh Penggunaan Tempe sebagai Bahan Dasar Pembuatan Isian Burger Terhadap Komposisi Zat Gizi dan Daya Terimanya Nurwahyu Utami (091000006)
[email protected] /
[email protected]
PEMANFAATAN IKAN PORA-PORA SEBAGAI BAHAN BAKU TAMBAHAN PEMBUATAN KERUPUK DAN DAYA TERIMANYA (The utilization of pora-pora fish as an additional ingredient in making of cracker and its acceptability) Yati Oktaviani Br Keliat1, Zulhaida Lubis2, Albiner Siagian2 1
Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ² Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT Crackers that is made with the addition of pora-pora fish is expected to increase the diversity of fish crackers that has been on the market and also increase the nutritional value of the cracker itself. The purpose of this study was to determine the effect of pora-pora fish to the nutrients composition and acceptability of crackers. This research use experimental design consisting of a treatment i.e the addition of pora-pora fish in making crackers with three concentrations (5%, 10%, and 15%). Protein content of pora-pora fish crackers P1, P2, and P3 is 2,00%, 4,11%, and 6,40%. Calcium content of pora-pora fish crackers P1, P2, and P3 is 28,6 mg, 51,3 mg, 77,1 mg. Based on organoleptic test of color and texture the most preferred is crackers with the addition of pora-pora fish 5%, while the flavor and taste the most preferred is cracker with the addition of pora-pora fish 15%. Based on the analysis of variance, the addition of porapora fish with deffrent concentration in making crackers gave a significantly different effect on the color and texture, but the addition of fish pora-pora different concentration, does not give a different effect on the flavor and taste of the crackers. It is suggestioned for consumer to make pora-pora fish crackers as an alternative food precent variations in household and industry levels. Also be made to introduce pora-pora fish crackers to cooperate with the school canteen and other foods made with the addition of the diversification of pora-pora fish. Keyword : Crackers, Pora-Pora Fish, Acceptability Test PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara maritim yang terbagi atas pulau-pulau dan sebagian wilayahnya merupakan perairan yang cukup luas. Potensi yang cukup luas terdapat di laut Indonesia berupa sumber daya alam yang melimpah, termasuk didalamnya terdapat banyak spesies ikan khususnya ikan yang dapat dikonsumsi. Tidak hanya di lautan namun, di air tawar juga terdapat ikan yang melimpah. Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang sangat potensial untuk dikembangkan. Peningkatan konsumsi ikan diharapkan dapat menanggulangi masalah kekurangan protein yang masih banyak ditemui pada anak-anak pra-sekolah, ibu hamil dan ibu menyusui di Indonesia. Dari data yang telah didapat dapat diketahui bahwa selama lima tahun terakhir
yakni, dari 2007-2011, konsumsi ikan per kapita masyarakat Indonesia terus meningkat, Rata-rata kenaikan sebesar 5,06 %. Hal ini dapat menjelaskan bahwa tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia diharapkan dapat terus meningkat dari tahun ketahun. Dilihat dari rata-rata konsumsi ikan di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun terakhir yaitu 29,40 kg/kapita/tahun, besaran angkanya ini masih di bawah Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 30,40 kg/kapita/tahun (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011). Selain mengandung protein ikan juga mengandung kalsium yang banyaknya hampir setara dengan kalsium yang ada dalam susu. Peranan kalsium selain sebagai pembentukan tulang dan gigi tetapi juga memegang peranan penting pada berbagai proses fisiologik dan biokhemik di dalam tubuh (Krisno, 2009). 1
Kalsium yang baik juga terdapat pada ikan kecil karena ikan kecil dimakan seluruh tubuhnya termasuk tulangnya sehingga memberikan persentasi tinggi kalsium yang berasal dari tulang belulangnya tersebut. Ikan kecil segar merupakan sumber yang paling penting untuk kalsium bagi anak-anak yang sedang tumbuh (Ellya, 2010). Ikan pora-pora merupakan salah satu pangan lokal yang berasal dari Danau Toba. Berdasarkan harga jual pasar, harga ikan porapora berkisar Rp. 6.000 sampai Rp. 7000 per kg. Selain harganya yang murah ikan porapora ini juga memiliki nilai gizi yang cukup tinggi terutama kandungan protein dan kalsiumnya. Pemanfaatan ikan pora-pora untuk di daerah sekitar Danau Toba sudah mulai digalakkan, namun untuk daerah diluar Danau Toba pemanfaatan ikan pora-pora masih kurang. Pada umumnya salah satu makanan hasil olahan dari ikan adalah kerupuk ikan. Produk makanan kering dengan bahan baku ikan dicampur dengan tepung tapioka ini sangat digemari masyarakat bahkan kerupuk sudah dikenal baik disegala usia maupun tingkat sosial. Makanan ini menjadi makanan kegemaran masyarakat dikarenakan rasanya yang enak, gurih, dan ringan, selain itu juga memiliki kandungan zat kimia yang dibutuhkan oleh tubuh manusia (Wahyono dan Marzuki, 2003). Dengan melihat hal tersebut saya berkeinginan untuk membuat alternatif agar ikan pora-pora dapat dikonsumsi masyarakat dengan melakukan diversifikasi terhadap ikan pora-pora yang juga merupakan salah satu penganekaragaman pangan. Pada pembuatan kerupuk ikan porapora ini akan menggunakan konsentrasi yang berbeda dimana penentuan konsentrasi ini diambil batas bawah dan batas atas adonan, dimana dalam menentukan batas bawah disesuaikan dengan warna kerupuk yang biasa yaitu putih kekuning-kuningan sedangkan untuk batas atas ditentukan dengan sampai batas adonan dapat dibuat. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh penambahan ikan porapora sebagai bahan baku tambahan dalam pembuatan kerupuk terhadap komposisi zat gizi protein dan kalsium kerupuk.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat eksperimen dengan rancangan acak lengkap yang terdiri atas satu faktor yaitu penambahan ikan pora-pora dalam pembuatan kerupuk dimana yang berbeda hanya konsentrasi yang digunakan yaitu 5%, 10% dan 15% (r=3) dengan simbol P1, P2, dan P3 yang semuanya diulang sebanyak 2 kali (i=1,2). Pembuatan kerupuk dengan penambahan ikan pora-pora dilakukan pada bulan April 2013. Pengambilan data untuk uji daya terima dilaksanakan pada bulan April 2013 di SD Negeri No. 060971 Kemenangan Tani Medan terhadap siswa kelas V. Data yang dikumpulkan, diolah secara manual. Hasil nilai rata-rata dianalisis untuk mengetahui data yang berdistribusi normal dengan menggunakan Uji Kesamaan Varians (Uji Bartlet). Selanjutnya dilakukan Analisa Sidik Ragam dan Uji Ganda Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian pembuatan kerupuk ikan pora-pora ini bahan yang digunakan salah satunya adalah ikan pora-pora segar, dengan ciri-ciri berwarna hitam, memiliki sisik putih dan halus, panjang 10-12 cm dan memiliki ekor berwarna kuning. Berat utuh ikan porapora yang diperlukan dalam penelitian ini berkisar 300-400 gram yang diperoleh dari Pasar Pancur Batu. Karakteristik kerupuk ikan pora-pora 5% (P1) berwarna putih kekuningan, beraroma khas kerupuk, rasanya khas kerupuk, dan teksturnya renyah. Kerupuk ikan pora-pora 10% (P2) berwarna kuning kecokelatan, rasa kerupuknya sedikit didominasi oleh rasa ikan pora-pora, dan aromanya sudah mulai tercium aroma ikan pora-pora, sedangkan untuk tekstur sedikit keras. Kerupuk ikan pora-pora 15% (P3) berwarna kuning kecokelatan, aroma didominasi dengan aroma ikan pora-pora, rasa khas ikan pora-pora, dan untuk tekstur sedikit keras. Berdasarkan pengujian organoleptik terhadap warna oleh panelis menunjukkan bahwa kerupuk ikan pora-pora P1, P2 dan P3 yang paling disukai yaitu kerupuk ikan porapora P1 sedangkan untuk kerupuk ikan porapora P2 dan P3 masih kurang disukai dari segi 2
warna. Hal ini dikarenakan warna yang dihasilkan dari kerupuk ikan pora-pora P1 masih tidak terlalu berbeda dengan warna kerupuk pada dasarnya yaitu putih kekuningan sehingga lebih kelihatan menarik. Sedangkan untuk kerupuk ikan pora-pora P2 dan P3 warnanya kuning kecokelatan sehingga menjadi kurang menarik. Penilaian organoleptik terhadap warna kerupuk ikan pora-pora dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 3. Hasil Uji Ganda Duncan terhadap Warna
Tabel 1. Hasil Analisa Organoleptik Warna Kerupuk Ikan Pora-Pora
Berdasarkan uji ganda duncan terhadap warna dari ketiga perlakuan pada kerupuk yang dihasilkan maka diketahui ada perbedaan secara nyata antara perlakuan dan berdasarkan uji ganda duncan dapat disimpulkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap warna yang paling disukai yaitu kerupuk ikan pora-pora P1. Suatu makanan yang dinilai bergizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memilki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Warna makanan yang menarik akan meningkatkan cita rasa suatu makanan ( Winarno,1992). Penilaian organoleptik terhadap aroma kerupuk ikan pora-pora dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
Perlakuan Rata-rata skor warna
P1
P2
P3
Kriteria
S k o r
Suka
3
Pa ne lis 21
63
52
Pa ne lis 12
36
30,0
Pa ne lis 13
39
32
K. Suka
2
16
32
26
23
46
38,3
15
30
25
T. Suka
1
3
3
3
5
5
4,2
12
12
10
98
81
87
72,4
40
81
67
Total
40
% Skor
% Skor
40
% Skor
Hasil analisa sidik ragam terhadap warna kerupuk ikan pora-pora dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini : Tabel 2. Hasil Analisa Sidik Ragam terhadap Warna Sum Keragaman
Db
JK
KT
Perlakuan Galat
2 117
3,27 60,5
1,63 0,52
0,05 3,16
3,07
Ket Ada perbe daan
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam terhadap warna dari ketiga perlakuan pada kerupuk yang dihasilkan ( (3,16) > (3,07)) bermakna bahwa penambahan ikan pora-pora dengan berbagai variasi memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna kerupuk yang dihasilkan. Hasil uji ganda duncan terhadap warna kerupuk ikan pora-pora dapat dilihat pada Tabel 3.
P2 2,175
P1 – P2 = 2,425 – 2,175 = 0,25 < 0,32 P1 – P3 = 2,425 – 2,025 = 0,40 > 0,38 P2 – P3 = 2,175 – 2,025 = 0,15 < 0,32
Perlakuan Pembuatan Kerupuk
Warna
P3 2,025
P1 2,425
Jadi P1 = P2 Jadi P1 ≠ P3 Jadi P2 = P3
Tabel 4. Hasil Analisa Organoleptik Aroma Kerupuk Ikan Pora-Pora Perlakuan Pembuatan Kerupuk
Warna
Kriteria
S k o r
Suka
3
K. Suka
2
T. Suka
1
Total
P1 Pa ne lis 14
P2 %
Skor 42
35
22
44
36
4 40
4 90
3,4 75
Pa ne lis 14
P3 %
42
35
Pa ne lis 20
17
34
28
9 40
9 85
8 70
Skor
% Skor 20
50,0
12
12
20,0
8 40
8 92
76,6
6,6
Pengujian organoleptik terhadap aroma oleh panelis menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai aroma kerupuk ikan pora-pora P3 dengan skor tertinggi 92 (76,6%) dan skor ini masuk dalam kategori kurang suka.
3
Hasil analisa sidik ragam terhadap aroma kerupuk ikan pora-pora dapat dilihat pada tabel 5.
bumbu yang sesuai untuk menghilangkan bau amis ikan. Namun, rasa pahit ataupun rasa yang khas dari ikan tidak akan hilang dan akan tetap ada. Rasa pahit pada kerupuk bisa diakibatkan adanya pencemaran dari empedu pada ikan (Hanny, 2011). Hasil analisa sidik ragam terhadap rasa kerupuk ikan pora-pora dapat dilihat pada tabel 7 berikut
Tabel 5. Hasil Analisa Sidik Ragam Terhadap Aroma Sumber Keragaman Perlakuan Galat
Db
JK
KT
2 117
0,65 62,3
0,32 0,53
0,05 0,61
3,07
Ket Tidak ada perbe daan
Tabel 7. Hasil Analisa Sidik Ragam terhadap Rasa
Berdasarkan hasil analisia sidik ragam terhadap aroma dari ketiga perlakuan pada kerupuk ikan pora-pora dengan nilai
Sumber Keragaman Perlakuan Galat
0,610 ternyata lebih kecil dari 3,07 bermakna bahwa penambahan ikan pora-pora dengan berbagai variasi konsentrasi tidak memberi pengaruh secara nyata terhadap aroma kerupuk ikan pora-pora. Munculnya aroma pada kerupuk ikan pora-pora disebabkan oleh bahan-bahan yang digunakan yaitu ikan pora-pora yang memiliki aroma yang khas. Menurut winarno (1992), aroma suatu makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan, dan dalam hal ini aroma lebih banyak sangkut pautnya dengan alat panca indera penghidu. Pengujian organoleptik terhadap rasa pada kerupuk ikan pora-pora yaitu yang mendapat skor tertinggi yaitu kerupuk ikan pora-pora P3 dengan skor 106 (88,33%). Begitupun kerupuk dengan perlakuan yang lain mendapat skor yang tidak jauh berbeda dengan kerupuk ikan pora-pora P3. Penilaian organoleptik terhadap rasa kerupuk ikan porapora dapat dilihat pada Tabel 6.
Kriteria Suka
3
K. Suka T. Suka Total
2 1
P1 Pa ne lis 26 13 1 40
P2 %
Skor 78
65
26
22
1
1
105
88
Pa ne lis 24 10 6 40
%
72
60
Pa ne lis 29
20
17
6
5
98
82
0,48 0,41
1,17
3,07
Ket Tidak ada perbe daan
Perlakuan Pembuatan Kerupuk
%
72,5
8
16
13,3
3
3
2,50
106
88,33
P1
Kriteria
S k o r
Suka
3
Pa ne lis 29
K. Suka
2
11
T. Suka
1
Total
Skor
Rasa pada ikan yang khas dan lezat akan muncul, apabila pada saat pembuatan kerupuk ikan dilakukan dengan penambahan
0,95 47,4
Warna
87
40
2 117
0,05
Tabel 8. Hasil Analisa Organoleptik Tekstur Kerupuk Ikan Pora-Pora
P3
Skor
KT
1,17 < 3,07 yang bermakna bahwa penambahan ikan pora-pora dengan berbagai variasi tidak memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasa kerupuk ikan pora-pora yang dihasilkan. Penilaian organoleptik terhadap tekstur kerupuk ikan pora-pora dapat dilihat pada Tabel 8 berikut
Perlakuan Pembuatan Kerupuk S k o r
JK
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam terhadap rasa dari ketiga perlakuan pada kerupuk ikan pora-pora diperoleh
Tabel 6. Hasil Analisa Organoleptik Rasa Kerupuk Ikan Pora-Pora Warna
Db
P2 %
P3
87
73
Pa ne lis 13
26
22
Pa ne lis 26
22
18
15
30
25
5
Skor
% Skor
% Skor 78
65,0
10
8,3
0
0
0
12
12
10
9
9
7,5
40
109
91
40
68
57
40
106
80,83
Pengujian organoleptik terhadap tekstur pada kerupuk ikan pora-pora oleh panelis menunjukkan bahwa panelis menyukai tekstur kerupuk ikan pora-pora P1 dengan skor tertinggi yaitu 109 (91%). Kerupuk ikan porapora yang dihasilkan memiliki tekstur yang renyah sehingga lebih disukai panelis. Sedangkan tekstur kerupuk ikan pora-pora P2 mendapat skor terendah yaitu 68 (56,67%), karena pada kerupuk ikan pora-pora ini memiliki tekstur yang sedikit keras 4
dikarenakan jumlah ikan pora-pora sudah lebih banyak dibandingkan yang pertama sehingga menurunkan nilai kesukaan dari panelis. Hasil analisa sidik ragam terhadap tekstur kerupuk ikan pora-pora dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 9. Hasil Analisa Sidik Ragam Terhadap Tekstur Sumber Keragaman
Db
JK
KT
Perlakuan Galat
2 117
10,0 70,5
5,03 0,69
0,05
7,32
3,07
Ket
Ada perbe daan
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam terhadap tekstur dari ketiga perlakuan pada kerupuk ikan pora-pora diperoleh 7,32 > 3,07 yang bermakna bahwa penambahan ikan pora-pora dengan berbagai variasi konsentrasi memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap tekstur kerupuk ikan pora-pora yang dihasilkan. Hasil uji ganda duncan terhadap tekstur kerupuk ikan pora-pora dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil Uji Ganda Duncan terhadap Tekstur Perlakuan Rata-rata skor tekstur P1 – P3 = 2,675 – 2,425 = 0,25 < 0,36 P1 – P2 = 2,675 – 1,975 = 0,70 > 0,44 P3 – P2 = 2,425 – 1,975 = 0,45 > 0,36
P2 1,975
P3 2,425
P1 2,675
Jadi P1 = P3 Jadi P1 ≠ P2 Jadi P3 ≠ P2
Berdasarkan Uji Ganda Duncan dapat disimpulkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur kerupuk ikan pora-pora P1 sama dengan tekstur kerupuk ikan pora-pora P3, namun tekstur kerupuk ikan pora-pora P2 berbeda dengan kedua kerupuk ikan pora-pora yang lain. Hasil analisis kerupuk ikan pora-pora dapat dilihat dari tabel 11 dibawah ini, dimana parameter yang diuji yaitu protein dan kalsium.
Tabel 11. Hasil Analisa Kandungan Gizi Kerupuk Ikan Pora-Pora Protein
Kerupuk Ikan Pora-Pora P1 P2 P3 2,00 % 4,11 % 6,40 %
Kalsium
28,6 mg
Parameter
51,3 mg
77,1 mg
Dilihat dari hasil ini kadar protein dan kalsium pada kerupuk ikan pora-pora meningkat sesuai dengan semakin tinggi konsentrasi ikan pora-pora dalam pembuatan kerupuk. Kadar protein pada kerupuk ikan porapora ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan kerupuk ikan dengan pati. Hal ini mungkin dikarenakan adanya proses pemanasan yang dilakukan beberapa kali seperti pengukusan, penjemuran dan proses penggorengan pada suhu yang sangat tinggi sehingga dapat mengakibatkan protein terdenaturasi (Tababaka, 2004). Namun, jika dibandingkan dengan kerupuk dengan penambahan tulang ikan patin dengan konsentrasi 30% kandungan protein kerupuk ikan pora-pora masih lebih tinggi, hal ini dapat terjadi karena berbeda species ikan yang digunakan dalam pembuatan kerupuk. Kerupuk ikan pora-pora 15% yang dapat dikategorikan sebagai kerupuk sumber protein karena menurut SII (1990), syarat minimal kadar protein dari kerupuk sumber protein adalah 5%. Dalam mengkonsumsi kerupuk ikan pora-pora sebanyak 100 gram dapat menambah asupan protein 3% dari kebutuhan perharinya untuk anak sekolah. Dengan melihat hal ini maka sangat baik disarankan bagi anak sekolah untuk mengkonsumsi kerupuk ikan pora-pora P3 baik dijadikan sebagai pelengkap makan maupun sebagai camilan, dikarenakan anak pada usia sekolah 6-15 tahun masih dalam masa pertumbuhan sehingga membutuhkan lebih banyak asupan protein dibandingkan orang dewasa normal. Sehingga dengan mengkonsumsi kerupuk ini akan dapat menambah asupan protein anak sekolah selain dari makanan yang dimakannya (Devi, 2012). Kadar kalsium pada kerupuk ikan porapora lebih tinggi dibandingkan kerupuk ikan dengan pati. Kandungan kalsium kerupuk ikan pora-pora ini juga masih lebih tinggi jika 5
dibandingkan dengan kandungan kalsium kerupuk dengan penambahan tulang ikan patin. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan jenis ikan yang digunakan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan kerupuk ikan. Berdasarkan Novarno dalam Tababaka (1990) menyatakan bahwa kandungan mineral pada ikan tergantung pada species, dan bagian tubuh ikan yang digunakan. Faktor penyumbang kalsium pada kerupuk ikan pora-pora ini adalah dari tulang ikan pora-pora karena pada pembuatan kerupuk ikan pora-pora ini ikan pora-pora dihaluskan bersama dengan tulang belulangnya. Dan diketahui bahwa tulang pada ikan dapat memberikan persentasi tinggi kalsium (Ellya, 2010). Jika dilihat dari kandungan kalsiumnya maka kerupuk ikan pora-pora ini sangat baik dikonsumsi oleh anak sekolah dikarenakan pada usia ini kebutuhan akan kalsium juga meningkat dimana saat usia anak 10 tahun sampai 18 tahun, yaitu mencapai 1.000 mg per hari. Dengan melihat jumlah kalsium yang harus dipenuhi oleh anak usia 10-18 tahun yang disarankan untuk dikonsumsi yaitu kerupuk ikan pora-pora P3 dimana dengan mengkonsumsi kerupuk ikan pora-pora ini sebanyak 100 gram maka dapat menambah asupan kalsium 8% dari kebutuhan perharinya. Hasil analisa penerimaan konsumen terhadap kerupuk dengan penambahan ikan pora-pora dengan melihat berdasarkan indikator yang dinilai dapat dilihat pada tabel 12 berikut ini : Tabel 12. Penerimaan konsumen terhadap Kerupuk Ikan Pora-Pora dengan Melihat Berdasarkan Indikator Indikator yang Dinilai Warna Aroma Rasa Tekstur Total Rata-Rata Persentase
Kerupuk P1
Kerupuk P2
Kerupuk P3
98 90 105 109 402 100,50 83,75
87 85 98 68 338 84,50 70,42
81 92 106 97 376 94 78,33
Keterterimaan konsumen terhadap bahan makanan umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain citarasa ( aroma, tekstur, rasa dan warna, harga, gengsi serta nilai gizi kesehatan (Gidion, 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dilihat dari aspek citarasa, keterterimaan konsumen terhadap kerupuk ikan pora-pora P1 dan P3 sama-sama disukai oleh konsumen. Berdasarkan aspek keterterimaan konsumen terhadap citarasa kerupuk ikan pora-pora dan aspek gizi maka yang layak untuk diperkenalkan kepada masyarakat sebagai variasi pangan yaitu kerupuk ikan pora-pora P3 dikarenakan dari faktor keterterimaan konsumen terhadap citarasa kerupuk ikan pora-pora P3 ini termasuk kategori suka dan dari aspek gizi hanya kerupuk P3 yang telah memenuhi syarat kerupuk sumber protein dan juga mengandung kadar kalsium yang tinggi. KESIMPULAN 1. Penambahan ikan pora-pora memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna dan tekstur kerupuk ikan pora-pora yang dihasilkan. Semakin banyak ikan pora-pora maka semakin tidak disukainya warna kerupuk ikan pora-pora sedangkan untuk tekstur yang tidak disukai pada kerupuk ikan pora-pora dengan penambahan ikan pora-pora 10% (P2). 2. Penambahan ikan pora-pora dengan berbagai jenis variasi tidak memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap aroma dan rasa kerupuk ikan pora-pora yang dihasilkan. 3. Kerupuk ikan pora-pora dengan penambahan ikan pora-pora 5%, 10%, dan 15% masing-masing memberi sumbangan protein per 100 gram yaitu 2,00 % b/b, 4,11% b/b, dan 6,40% b/b. 4. Kerupuk ikan pora-pora dengan penambahan ikan pora-pora 5%, 10%, dan 15% masing-masing memberi sumbangan kalsium per 100 gram yaitu 28,6 mg, 51,3 mg, dan 77,1 mg. 5. Kerupuk yang memenuhi syarat sebagai kerupuk sumber protein adalah kerupuk ikan pora-pora P3 dengan kadar protein 6,40 % b/b sesuai dengan Standar Industri Indonesia (SII). 6
SARAN 1. Agar masyarakat menjadikan kerupuk ikan pora-pora sebagai alternatif variasi pangan ditingkat rumah tangga ataupun tingkat industri. 2. Perlu dilakukan upaya untuk lebih memperkenalkan kerupuk ikan pora-pora kepada masyarakat seperti bekerjasama dengan pihak kantin sekolah untuk memperkenalkan kerupuk ikan pora-pora pada anak sekolah. 3. Perlu dilakukan penelitian lain terkait penambahan ikan pora-pora dalam rangka penganekaragaman makanan. 4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait kandungan gizi lain dalam kerupuk ikan pora-pora. DAFTAR PUSTAKA Devi, N. 2012. Gizi Anak Sekolah. PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta Ellya, E.S. 2010. Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi. Cetakan Pertama. Jakarta : TIM Gidion. 2005. Daya Terima Konsumen terhadap Jus Lidah Buaya yang Ditambahi Markisa dan/atau Lemon. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan Hanny, I. 2011. Teknologi Pengolahan Pangan : Rambak Kulit Ikan. Jakarta : Kanisius Kementerian Kelautan dan Perikanan. Group 16. Konsumsi Ikan perkapita Penduduk Indonesia 5 Tahun Terakhir. Diakses 24 Januari 2012 ; http://suarakarya.com Krisno, A.B. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Cetakan Keempat. UMM press, Malang Tababaka, R. 2004. Pemanfaatan Tulang Ikan Patin (Pangasius sp) Sebagai Bahan Tambahan Kerupuk. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Winarno. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Cetakan Keenam. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Wahyono, R dan Marzuki. 2003. Pembuatan Aneka Kerupuk. Niaga Swadaya 7
PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG DAN HASIL PARUTAN BIT MERAH DALAM PEMBUATAN BISKUIT TERHADAP KANDUNGAN GIZI The influence of addition beetroot flour and grated to making biscuit of nutrient composition) Winda Melisa Br. Ginting1, Evawany², Jumirah² 1
Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ² Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT Beetroot (Beta vulgaris L) is significantly suitable to consider in supporting the food diversification. To support food diversification, need to be introduced products beetroot to get a new food alternatives. Beetroot is potential as a source of nutrients, as well of its macro and micro nutrients contents. One of processed that can be made from beetroot that is biscuit that can be kind of biscuit on the market. This study was the experiment of making biscuit with the addition beetroot flour and grated for 20%. The purpose of this experimental study to know the influence of addition beetroot flour and grated on nutrients composition biscuit. Content of phosphorus, calcium, iron based on the analysis of AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry), content of energy, carbohydrate, protein and fat calculation based of DKBM (Lisf of Food Composition). The result of this experiment showed that content of phosphorus, calsium, iron more higher than the biscuit without addition of beetroot. Biscuit beetroot flour have content of phosphorus 129,73 mg, calsium 91,26 mg, iron 3,95 mg, meanwhile biscuit beetroot grated have content of phosphorus 91,53 mg, calsium 65,81 mg, iron 3,11 mg. Based on calculation of DKBM (List of Food Composition), showed that the biscuit beetroot flour has highest content of energy, carbohydrate, fat, meanwhile the biscuit beetroot grated only content of fat that high. It’s recommended for people to take beetroot biscuit as alternative food. Also, it is necessary to research to use beetroot for other foods diversification. Keywords: biscuit, beetroot, nutrient composition. PENDAHULUAN Indonesia merupakan daerah tropis yang kaya akan hasil sumber daya alam. Salah satu hasilnya adalah sayuran. Seperti yang kita ketahui sayuran merupakan salah satu sumber pangan yang begitu penting untuk dikonsumsi oleh masyarakat, karena kandungan gizi pada sayuran sendiri sudah terbukti berperan penting dalam menunjang kesehatan tubuh. Untuk hidup sehat, makanan yang kita konsumsi harus mengandung zat gizi, seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin. Zat gizi vitamin dan mineral banyak dikandung oleh sayuran dan buah-buahan. Sayuran merupakan bahan pangan yang mudah didapatkan diberbagai tempat. Hanya saja, masih banyak orang yang tidak suka mengonsumsinya dengan berbagai alasan. Padahal dengan kandungan vitamin dan
mineralnya yang begitu lengkap serta bervariasi, sayuran merupakan bahan pangan yang sangat penting bagi kita. Selain kandungan vitamin dan mineralnya, sayuran juga banyak mengandung serat yang melancarkan pencernaan (Novary,1997). Komoditas sayuran sangat layak untuk dipertimbangkan dalam menunjang program diversifikasi pangan. Mengingat, Indonesia sudah lama menerapkan sistem diversifikasi pangan. Pemerintah sendiri sudah menyadari pentingnya dilakukan diversifikasi pangan, karena program tersebut dapat meningkatkan mutu gizi makanan yang dikonsumsi sehingga dapat meningkatkan status gizi masyarakat (Almatsier, 2011). Salah satu sayuran yang mempunyai potensi untuk dikembangkan di Indonesia adalah bit. Pemilihan bit merah sebagai bahan 1
penambahan karena bit merah merupakan salah satu jenis sayuran yang mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan. Menurut Wirakusumah (2007) beberapa nutrisi yang terkandung dalam umbi bit antara lain, vitamin A, B, C. Selain vitamin, umbi bit juga merupakan sumber mineral seperti fosfor, kalsium dan zat besi. Selain itu, kandungan zat gizi lain yang terkandung dalam umbi bit adalah serat atau fiber jenis selulosa yang dapat membantu mengatasi gangguan kolesterol. Biskuit adalah salah satu jenis kue kering yang sampai saat ini banyak digemari oleh masyarakat sebagai makanan jajanan atau camilan dari berbagai kelompok ekonomi dan kelompok umur. Menurut Moehji (2000) biskuit sering dikonsumsi oleh anak balita, anak usia sekolah, dan orang tua, yang biasa dikonsumsi sebagai makanan selingan atau makanan bekal. Harga biskuit yang terjangkau oleh berbagai kelompok ekonomi juga menjadi satu alasan mengapa biskuit banyak disukai oleh masyarakat. Menurut SNI (1992), biskuit merupakan jenis kue kering yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat, dapat berkadar lemak tinggi atau rendah. Konsumsi rata-rata kue kering di kota besar dan pedesaan di Indonesia 0,40 kg/kapita/tahun. Secara umum bahan utama pembuatan biskuit adalah tepung terigu, sehingga biskuit yang biasa dikonsumsi hanya mengandung zat gizi makro saja, dan sedikit mengandung zat gizi mikro. Dengan adanya teknologi fortifikasi diharapkan biskuit tidak lagi sekedar makanan ringan yang mengandung zat gizi makro. Pada penelitian ini dilakukan penambahan tepung dan hasil parutan bit dalam pembuatan biskuit terhadap kandungan gizi, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kandungan zat besi, kalsium, dan fosfor. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukan penambahan bit dalam berbagai jenis pangan menunjukkan peningkatan kandungan vitamin dan mineral pada makanan tersebut. Lily Yenawaty (2011) melakukan penelitian dalam rangka penggunaan bit yang dimanfaatkan sebagai
pewarna alami pada mie dan menunjukkan bahwa kandungan vitamin A, C dan khususnya antioksidan lebih tinggi jika dibandingkan dengan mie pada umumnya. Berdasarkan hasil penelitian Herrisdiano Ajuan (2008), aplikasi penggunaan bubuk ekstrak bit yang digunakan dalam pembuatan terasi, menunjukkan bahwa aplikasi pewarna bit sebagai pewarna alami masih memenuhi standar mutu terasi udang menurut Ditjen Perikanan. Menurut hasil penelitian Giwang Petriana, dkk (2013) umbi bit merah juga dimanfaatkan dalam pembuatan sirup dengan konsentrasi 2,5%, 5%, 7,5%, 10%, dan 12,5%. Dan untuk daya terima sirup terhadap panelis bahwa konsentasi sirup yang paling disukai adalah 5%. Selain itu, ada juga hasil program kreativitas mahasiswa pada pembuatan biskuit bit yang dikombinasikan dengan tepung limbah tahu sebagai salah satu pengembangan produk inovatif yang bergizi tinggi dalam upaya pemenuhan gizi masyarakat. Dalam hal ini, penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah merupakan salah satu bentuk pengolahan makanan tambahan atau jajanan yang dimana dapat memberi sumbangan zat gizi yang dibutuhkan sehingga dapat memberikan manfaat yang besar untuk mengurangi kekurangan zat gizi mikro di Indonesia. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini bersifat eksperimen dengan menggunakan desain penelitian deskriptif. Eksperimen dilakukan di Laboratorium Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara (FKM-USU), sedangkan untuk pengujian zat gizi biskuit dilakukan di Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Mei 2013. Penggunaan bahan di dalam eksperimen ini, dipilih bahan yang berkualitas baik, misalnya kondisi bahan masih baik, tidak busuk, tidak berubah warna dan tidak kadaluarsa. Adapun bahan yang digunakan di dalam eksperimen ini yaitu : 2
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Biskuit yang Dihasilkan Penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah dalam pembuatan biskuit menghasilkan biskuit dengan karakteristik yang berbeda. Biskuit dengan penambahan tepung bit merah (A1) berwarna cokelat, beraroma khas bit, rasanya didominasi oleh bit sehingga menyebabkan adanya rasa sedikit pahit pada biskuit, dan teksturnya sedikit keras. Sedangkan biskuit dengan penambahan hasil parutan bit merah (A2) berwarna merah muda, beraroma khas biskuit, rasanya khas biskuit dan teksturnya renyah. Pada penelitian ini, pembuatan biskuit terdiri dari dua bahan utama yaitu penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah yang ditambahkan ke dalam adonan biskuit. Jumlah yang digunakan dalam masing-masing adonan dengan penambahan tepung bit merah 50 gr dan hasil parutan bit adalah 50 gr yang terdiri dari tepung terigu serta ditambahkan bahan-bahan lainnya. Penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah yang dilakukan adalah 20% (50 gr tepung bit merah : 200 gr tepung terigu) dan (50 gr hasil parutan bit merah : 200 gr tepung terigu). Setiap perlakuan penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah (adonan) menghasilkan 500 gr biskuit yaitu 50 keping biskuit dengan berat 10 gr/keping. Kandungan Zat Gizi Biskuit dengan Penambahan Tepung Bit Merah dan Hasil Parutan Bit Merah Berdasarkan perhitungan ang mengacu pada DKBM (Daftar Komposisi Bahan Makanan), kandungan zat gizi yang
terkandung dalam setiap 100 gram biskuit ( 10 keping biskuit) dapat dilihat pada tabel 1 berikut. Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Biskuit per 100 gr Zat Gizi Kandungan Gizi Biskuit * A1 A2 Kalori (kkal) 458 474,84 447,4 Protein (gr) 6,9 7,84 6,4 Lemak (gr) 14,4 20,98 20,92 Karbohidrat (gr) 75,1 64,4 59,3 *Dikutip dari Daftar Komposisi Bahan Makanan Depkes RI, 2005.
Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa ada perbedaan kandungan zat gizi yang dari kedua perlakuan. Analisis Kandungan Mineral Biskuit dengan Penambahan Tepung Bit Merah dan Hasil Parutan Bit Merah Hasil analisis kandungan mineral biskuit dapat dilihat pada gambar 1
(mg)
a. Bahan untuk pembuatan biskuit Air, baking powder, bit segar, garam, gula halus, kuning telur, maizena, tepung terigu, dan susu bubuk. b. Bahan untuk penilaian zat gizi biskuit Ammonium molibdat, ammonium metavanadat, aquadest, asam sitrat, asam perklorat, HCl, HNO3,kalium hidrogen fosfat, larutan standart Ca, larutan standart Cl3, larutan standart Fe, larutan standart fosfor, dan larutan standart Mg.
129.73 140 120 91.53 100 91.26 65.81 80 60 40 20 3.95 3.11 0 A1 A2
Zat besi
Kalsium Fosfor
Gambar 1. Histogram Hasil Analisis Mineral Biskuit
Berdasarkan gambar 1 biskuit dengan penambahan tepung bit merah memiliki kandungan fosfor sebesar 129,73 mg, kalsium sebesar 91,26 mg dan zat besi sebesar 3,95 mg. Sedangkan biskuit dengan penambahan hasil parutan bit merah memiliki kandungan fosfor 91,53 mg, kalsium sebesar 65,81 mg dan zat besi sebesar 3,11 mg. Terjadi peningkatan kandungan fosfor, kalsium dan zat besi jika dibandingkan dengan biskuit tanpa penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, biskuit yang disarankan untuk dikonsumsi adalah biskuit dengan penambahan tepung bit 3
merah. Biskuit bit yang kaya akan kandungan mineral cocok dikonsumsi oleh setiap kalangan karena dapat menyumbangkan sejumlah mineral yang dibutuhkan. Terutama pada kelompok usia yang membutuhkan asupan mineral yang lebih banyak seperti, pada anak usia 1-9 tahun, ibu hamil dan ibu menyusui. Dalam hal ini, zat besi (Fe) berperan dalam proses pembentukan sel darah merah. Fe berfungsi dalam produksi hemoglobin, dan sebagai bagian dari enzim oksidatif, dalam transportasi dan pendayagunaan oksigen. Kekurangan zat besi dapat mengakibatkan anemia gizi atau yang dikenal masyarakat sebagai penyakit kurang darah. Kalsium berfungsi dalam pembentukan tulang dan gigi, mencegah osteoporosis, pertumbuhan, mengaktifkan saraf, kontraksi otot, mencegah penyakit jantung, mengurangi keluhan saat haid dan menopause, mencegah hipertensi, melancarkan peredaran darah, mencegah obesitas, mencegah kencing manis, mengatasi kram, sakit pinggang, wasir dan rematik, menurunkan risiko kanker usus dan menjaga keseimbangan cairan tubuh. Kekurangan kalsium mengakibatkan osteoporosis, osteomalasia,tulang menjadi lunak dan mudah bengkok, stimulasi sel saraf rusak, kontraksi otot tidak terkontrol, tekanan darah tinggi, kanker kolon dan dapat menyebabkan detak jantung tidak beraturan. Fosfor merupakan bagian dari ATP, RNA atau DNA dan bagian dari fosfolipida membran. Fosfor berperan dalam pembentukan tulang dan gigi serta memelihara keseimbangan asam dan basa dalam tubuh. Berikut disajikan analisis komposisi zat gizi biskuit berdasarkan angka kecukupan pada anak usia 1-9 tahun, ibu hamil dan ibu menyusui.
Tabel 2. Sumbangan Kecukupan Gizi Biskuit Bit Merah pada Anak Usia 1-9 tahun, Ibu Hamil, dan Ibu Menyusui. Zat Gizi Zat Kalsium Fosfor (mg) Besi 0,08 1,8 2,6 Kandungan A1 Biskuit per 0,06 1,3 1,8 keping A2 (10 gr) 3,95 91,26 129,73 Kandungan A1 Biskuit per 3,11 65,81 91,53 (100 gr) A2 1-9 thn Bumil Busui 1-9 thn % AKG Bumil Busui *Dikutip dari Widyakarya 2004. AKG *
10 600 39 950 32 950 39,5 15,21 10,0 9,6 12,0 9,6 Nasional Pangan dan
400 600 200 32,4 21,6 21,6 Gizi,
Berdasarkan analisis dengan menggunakan acuan biskuit bit A1, diperoleh takaran saji sebesar 100 gram (± 10 keping biskuit). Konsumsi satu takaran saji biskuit A1 dapat memenuhi 15,21% kecukupan kalsium, 32,4% kecukupan fosfor dan 39,5% kecukupan zat besi anak usia 7-9 tahun. Konsumsi satu takaran saji biskuit A1 juga dapat memenuhi 9,6% kecukupan kalsium, 10,0% kecukupan zat besi, 21,6% kecukupan fosfor, pada ibu hamil. Sedangkan untuk ibu menyusui konsumsi satu takaran saji biskuit A1 dapat memenuhi 9,6% kecukupan kalsium, 12,0% kecukupan zat besi, dan 21,6% kecukupan fosfor. Untuk memenuhi kandungan zat gizi mikro khususnya vitamin A, dan C baik pada anak usia 1-9 tahun, ibu hamil, maupun ibu menyusui, dapat mengonsumsi bit merah dengan cara pengolahan dijus. KESIMPULAN 1. Penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah dapat meningkatkan kandungan zat besi, kalsium, dan fosfor, jika dibandingkan dengan biskuit tanpa penambahan bit merah. 2. Berdasarkan perhitungan DKBM (Daftar Komposisi Bahan Makanan), jika dilihat dari energi, karbohidrat dan protein maka biskuit penambahan tepung bit merahlah yang memiliki kadar energi, karbohidrat dan protein yang tertinggi jika 4
dibandingkan dengan biskuit penambahan hasil parutan bit merah dan biskuit tanpa penambahan bit merah. 3. Konsumsi satu takaran saji biskuit A1 sebesar 100 g (±10 keping biskuit) dapat memberikan kontribusi 15,21% kecukupan kalsium, 32,4% kecukupan zat besi, dan 39,5% kecukupan fosfor, anak usia 1-9 tahun. 4. Konsumsi satu takaran saji biskuit A1 sebesar 100 g (± 10 keping biskuit) dapat memberikan kontribusi 9,6% kecukupan kalsium, 10,0% kecukupan zat besi, dan 21,6% kecukupan fosfor, pada ibu hamil. 5. Konsumsi satu takaran saji biskuit A1 sebesar 100 g (± 10 keping biskuit) dapat memberikan kontribusi 9,6% kecukupan kalsium, 12,0% kecukupan zat besi, dan 21,6% kecukupan fosfor, pada ibu menyusui. SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, hal yang dapat disarankan adalah: 1. Diharapkan masyarakat dapat menjadikan biskuit bit sebagai salah satu makanan alternatif baik pada anak usia 1-9 tahun, ibu hamil maupun ibu menyusui karena mengandung zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dalam rangka penganekaragaman makanan lainnya dengan penambahan tepung bit merah dan hasil parutan bit merah sebagai makanan yang kaya akan zat gizi. DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Novary, E. 1997. Penanganan dan Pengolahan Sayuran Segar. Penebar Swadaya. Jakarta. Moehji, Sjahmien. 2000. Ilmu Gizi dan Diet. Bharata Karya Aksara. Jakarta. Petriana, Giwang. 2013. Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Degradasi Warna Sirup yang Diwarnai Umbi Bit Merah (Beta vulgaris L. var. rubra. L). Program Studi Kimia. Fakultas Sains dan Matematika. Universitas Kristen Satya Wacana. Standar Nasional Indonesia. 1992. Syarat Mutu Biskuit. Departemen Perindustrian Republik Indonesia. Wirakusumah, E.S. 2007. 202 Jus Buah dan Sayur. Penebar Plus + Jakarta. Yenawaty, Lily. 2011. Pengaruh Suhu dan Waktu Penggorengan Terhadap Aktivitas Antioksidan “Snack Mie Pelangi” yang Disuplementasi dengan Sawi Hijau (Brassica juncea), Bit (Beta vulgaris), dan Kunyit (Curcuma domestica Val). Skripsi. Program studi Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.
Arjuan, Herrisdiano, 2008. Aplikasi Pewarna Bubuk Ekstrak Umbi Bit (Beta vulgaris) Sebagai Pengganti Pewarna Tekstil Pada Produk Terasi Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Skripsi. Program Studi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.
5
KARAKTERISTIK PENDERITA AIDS DAN INFEKSI OPURTUNISTIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT (RSUP) H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012
Andy Yusri1, Sori Muda2, Rasmaliah2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155 Email:
[email protected]
ABSTRACT AIDS is a set of symptomps due to the decreased of immune system caused by HIV. One of the causes of the high mortality of AIDS patients is Opportunistic Infection (OI). Ministry of Health Republic of Indonesia reported the highest OI is Oral Candidiasis (80,8%), TB Paru (40,1%), Cytomegalovirus (28,8%), Toxoplasma Encephalitis (17,3%), Pneumocystis Carinii Pneumonia (13,4%), Herpes Simplex (9,6%), Mycobacterium Avium Complex (4,0%), Criptosporodiosis (2,0%), and Pulmo Hystoplasmosis (2,0%). To determine the characteristics of AIDS patients and OI, conducted a research at RSUP H. Adam Malik Medan with case series design. Population and sample was 223 patients in 2012 and recorded in hospital medical records. Univariate data were analyzed descriptively while bivariate data were analyzed using Chi-square test with 95% CI. Based on sosiodemographic, the highest population is in the age group of 29-35 years old (41,7%), male (74,0%), Batak (78,5%), graduated high school/equivalent (62,8%), work (83,0%), married (70,4%), and came from Medan area (52,0%). The highest OI type is Oral Candidiasis (35,3%), heterosexual transmission (67,3%), CD4 count < 200 cells/mL (80,7%), and underweight (72,2%). There is a significant differentiation of proportion between the work based on the transmissions infection (p=0,024). There is no significant differentiation of proportion between age based on the transmissions infection, sex based on the transmissions infection, married based on the transmissions infection, the BMI based on CD4 count, and CD4 count based on clinical stadium. Statistical test can not be performed for tribe based on place. It is hoped the high risk group of HIV/AIDS in order to prevent with “ABC”, to stop at all or does not use needles, to the parties to concern in implementing effective screening, to people living in HIV to improve nutrition and take ARV obediently, to officers of medical records to complete the record of adherence and BMI and to coordinate the data in the hospital medical records with the data source from Pusyansus VCT in order not to make misunderstanding. Keywords : AIDS, Oppurtunistic Infection, Characteristics of Patients, RSUP H. Adam Malik Medan 2012 mengkodekan RNA yang dimilikinya menjadi DNA rantai ganda sehingga terintegrasi pada sel genom host.2 Kasus AIDS pertama kali dikenal pada tahun 1981, dimana majalah The Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR) memuat berita mengenai tercatatnya lima kasus pneumonia pneumocystis carinii (PCP) pada pria homoseksual di California.3
PENDAHULUAN Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala akibat penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi human immunodeficiency virus (HIV).1 Virus ini merupakan kelompok retrovirus yang memiliki enzim reverse transcriptase untuk 1
United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) melaporkan di SubSahara Afrika penderita HIV pada tahun 2009 sebanyak 22,9 juta, sekitar dua per tiga kasus di dunia. Pada tahun 2010, angka kematian AIDS sebesar 1,2 juta orang dan 1,9 juta orang dilaporkan terinfeksi HIV.4 Prevalensi penderita HIV di Amerika Serikat pada tahun 2009 tertinggi pada kelompok umur 20-24 tahun sebesar 36,9 per 100.000 penduduk. Sementara itu, prevalensi penderita yang didiagnosis AIDS adalah 11,2 per 100.000 penduduk. Proporsi penderita AIDS remaja dan dewasa adalah 73,1%.5 Indonesia termasuk sebagai negara dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level epidemic), dimana prevalensi AIDS di atas 5% terjadi pada subpopulasi tertentu, misalnya PSK, kelompok penyalahguna NAPZA, dan anak jalanan.6 Berdasarkan laporan Dirjen PP&PL (2012) jumlah kumulatif AIDS di Indonesia pada tahun 2005 sebanyak 5.321 kasus dan 1.332 diantaranya meninggal dunia atau case fatality rate (CFR) 25,03%. Pada tahun 2007 jumlah kumulatif kasus AIDS meningkat menjadi 10.034 orang dengan prevalensi sebesar 4,57 per 100.000 penduduk. Laporan di tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah kumulatif kasus AIDS di Indonesia sebanyak 22.726 kasus di 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota. Pada tahun 2012 jumlah kumulatif AIDS meningkat mencapai 39.434 kasus, dengan jumlah tertinggi ditemukan di Papua dengan 7.527 kasus, diikuti DKI Jakarta dengan 6.299 kasus. CFR AIDS menurun dari 2,8% pada tahun 2011 menjadi 1,4% pada tahun 2012.7 Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara (2011) jumlah kumulatif kasus AIDS di Sumatera Utara pada tahun 2011 mencapai 500 kasus, dengan penderita terbanyak berada di wilayah Kota Medan yaitu sebanyak 120 kasus8. Sementara itu menurut data dinas kesehatan Kota Medan (2012), sejak Januari 2006 sampai Mei 2012, jumlah penderita HIV/AIDS di Medan mencapai 3.175 orang. Dengan angka kematian pada usia produktif lebih dari 10%.9
Tingginya tingkat keparahan dan kematian penderita AIDS disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor adalah penatalaksanaan penderita yang kurang tepat, termasuk terlambatnya diagnostik infeksi opurtunistik pada penderita AIDS. Infeksi opurtunistik mengakibatkan hampir 80% kematian pada pasien AIDS.10 Infeksi opurtunistik (IO) adalah infeksi mikroorganisme akibat adanya kesempatan untuk timbul pada kondisikondisi tertentu yang memungkinkan. Pengidap HIV di Indonesia cenderung mudah masuk ke stadium AIDS karena mengalami IO. Secara klinis digunakan hitung jumlah limfosit Cluster of differentiation 4 (CD4) sebagai pertanda munculnya IO pada penderita AIDS. Penurunan CD4 disebabkan oleh kematian CD4 yang dipengaruhi oleh HIV. Jumlah CD4 yang normal berkisar antara 410-1.590 sel/mL darah. Ketika jumlahnya berada di bawah 350 sel/mL darah, kondisi tersebut sudah dianggap sebagai AIDS. Infeksi-infeksi opurtunistik umumnya terjadi bila jumlah CD4 < 200 sel/mL atau dengan kadar lebih rendah.11 World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa proporsi IO di berbagai negara berbeda-beda. Di Amerika Serikat, IO yang paling banyak ditemukan adalah Sarkoma Kaposi (21%), diikuti Oral candidiasis (13%), cryptococcosis (7%), Cryptosporidiosis-Isosporiasis (6,2%), Cytomegalovirus (5%), serta Toksoplasmosis dan TB Paru masing-masing 3%. Sedangkan di Mexico, Sarkoma Kaposi paling sering dijumpai (30-43%), diikuti TB Paru (28%), PCP (24%), serta Toksoplasmosis (17%).12 Penelitian di India, tepatnya di Mangalore didapatkan diantara IO yang ditemukan, Tuberkulosis memiliki proporsi terbanyak, yaitu 45,3%, diikuti Oral Candidiasis sebanyak 34,5%.13 Data Departemen Kesehatan RI (2007) menunjukkan proporsi IO pada penderita AIDS di Indonesia adalah Kandidiasis Mulut (80,8%), Tuberkulosis (40,1%), Sitomegalovirus (28,8%), Ensefalitis Toksoplasma (17,3%), PCP (13,4%), Herpes Simpleks (9,6%), Mycobacterium Avium Complex (4,0%), Kriptosporodiosis (2,0%), dan Histoplasmosis Paru (2,0%).14 2
Hasil penelitian Merati (2007) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menunjukkan bahwa sebesar 40% penderita AIDS menderita IO Kandidiasis (Orofaring dan Esophagus), 37,1% menderita TB Paru, 27,1% menderita Diare Kronis, 16,7% menderita Pneumonia Bakteri, 12,0% menderita Toksoplasma Ensefalitis, 11,8% menderita TB Ekstraparu, dan 6,3% menderita Herpes Zoster.15 Hasil penelitian Lubis (2011) di RSPI Sulianti Saroso bahwa IO terbanyak pada penderita AIDS adalah Tuberkulosis (67,4%), Toksoplasmosis (22,8%), Kandidiasis (5,4%), Diare Kronis (3,3%), dan Hepatitis C (1,1%). 16 Dari hasil survei pendahuluan yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan diketahui bahwa jumlah penderita AIDS pada tahun 2012 berjumlah 223 orang. Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian mengenai karakteristik penderita AIDS dan infeksi opurtunistik pada penderita AIDS di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012. Perumusan masalah adalah belum diketahui karakteristik penderita AIDS dan infeksi opurtunistik di RSUP H. Adam Malik tahun 2012. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui karakteristik penderita AIDS dan infeksi opurtunistik di RSUP H. Adam Malik tahun 2012, mencakup sosiodemografi (umur, jenis kelamin, suku, pendidikan, pekerjaan, pernikahan, daerah asal), jenis IO, transmisi penularan, jumlah CD4, indeks massa tubuh (IMT), umur berdasarkan transmisi penularan, jenis kelamin berdasarkan transmisi penularan, pernikahan berdasarkan transmisi penularan, pekerjaan berdasarkan transmisi penularan, suku berdasarkan transmisi penularan, IMT berdasarkan jumlah CD4, jumlah CD4 berdasarkan stadium klinis. Manfaat penelitian adalah sebagai bahan masukan bagi RSUP H. Adam Malik Medan dan instansi yang terkait dalam meningkatkan pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan IO pada penderita AIDS, sebagai bahan untuk melakukan penelitian selanjutnya, serta sebagai sarana bagi penulis untuk menambah wawasan mengenai infeksi opurtunistik pada penderita AIDS.
METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series. Penelitian ini dilaksanakan di RSUP H. Adam Malik Medan. Waktu penelitian dilakukan sejak bulan Januari sampai Mei 2013. Populasi penelitian adalah semua data penderita AIDS dengan IO yang tercatat di rekam medis rumah sakit tahun 2012 yang berjumlah 223 orang. Besar sampel sama dengan besar populasi (total sampling). Data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dengan chisquare 95% CI. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosiodemografi. Distribusi proporsi penderita berdasarkan jenis kelamin tertinggi adalah laki-laki pada kelompok umur 29-35 tahun yaitu sebesar 30,9%, sedangkan pada perempuan tertinggi pada kelompok umur 29-35 tahun sebesar 10,8%. Laporan Kementerian Kesehatan RI (2012) bahwa sebesar 75,4% AIDS terjadi pada kelompok umur 20-39 tahun.7 Penderita yang didiagnosis pada umur 29-35 tahun sudah terpapar virus HIV pada saat remaja akhir dan dewasa awal. Berdasarkan rasio jenis kelamin ditemukan laki-laki banding perempuan sekitar 3:1. Hal ini juga sesuai dengan laporan Kementerian Kesehatan RI (2012) bahwa proporsi laki-laki 3 kali lebih banyak dibandingkan perempuan.7 Proporsi suku adalah Batak 175 orang (78,5%) dan terendah adalah Melayu 3 orang (1,3%). Proporsi pendidikan tertinggi adalah tamat SLTA/sederajat 140 orang (62,8%) dan terendah adalah tidak sekolah/tidak tamat SD 2 orang (0,9%). Proporsi pekerjaan tertinggi adalah bekerja 185 orang (83,0%) dan terendah tidak bekerja 38 orang (17,0%). Proporsi status pernikahan tertinggi adalah menikah 157 orang (70,4%) dan terendah tidak menikah 65 orang (29,6%). Proporsi daerah asal tertinggi adalah dari Medan 116 orang (52,0%) dan terendah dari luar Medan 107 orang (48,0%).
3
Distribusi Proporsi Jenis IO Tabel 1.
Distribusi Proporsi Stadium Klinis Proporsi penderita AIDS tertinggi adalah dengan stadium klinis 3 sebanyak 167 orang (74,9%) dan terendah stadium 4 sebanyak 56 orang (25,1%).
Distribusi Proporsi Penderita AIDS Berdasarkan Jenis Infeksi Opurtunistik
Jenis Infeksi Opurtunistik TB Paru Oral Candidiasis Oral Candidiasis, TB Paru Diare Kronis Oral Candidiasis, Diare Kronis Pneumocystis Carinii Pneumonia Oral Candidiasis, Pneumocystis Carinii Pneumonia Toksoplasma Encephalitis Oral Candidiasis, TB Paru, Diare Kronis Oral Candidiasis, TB Paru, Pneumocystis Carinii Pneumonia Oral Candidiasis, Sarkoma Kaposi TB Paru, Pneumocystis Carinii Pneumonia Sarkoma Kaposi TB Paru, Diare Kronis Pneumocystis Carinii Pneumonia, Diare Kronis TB Paru, Toksoplasma Encephalitis Criptosporodiosis Herpes Zoster Oral Candidiasis, TB Paru, Herpes Zoster Oral Candidiasis, TB paru, Sarkoma Kaposi Oral Candidiasis, Toksoplasma Encephalitis Oral Candidiasis, Diare Kronis Pneumocystis Carinii Pneumonia, Sarkoma Kaposi Jumlah
f 53 49 26 13 13 12 11
% 23,8 22,0 11,7 5,8 5,8 5,4 4,9
9 7 5
4,0 3,1 2,2
4 4 3 3 2 2 1 1 1 1 1 1 1
1,8 1,8 1,3 1,3 0,9 0,9 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4
223
100,0
Distribusi Proporsi Transmisi Penularan Tabel 3. Distribusi Proporsi Transmisi Penularan Transmisi Penularan Heteroseksual Penasun Homoseksual Tato Riwayat transfusi darah Transmisi vertikal Jumlah
Distribusi Proporsi Jenis Infeksi Opurtunistik
Jenis Infeksi opurtunistik Oral Candidiasis TB Paru Diare Kronis Pneumocystis Carinii Pneumonia Toksoplasma Encephalitis Sarkoma Kaposi Herpes Zoster Criptosporodiosis Jumlah
f 109 102 39 35 12 9 2 1 309
% 67,3 21,1 5,8 2,7 2,2 0,9 100,0
Berdasarkan Tabel 3. dapat dilihat bahwa proporsi penularan melalui hubungan seksual adalah tertinggi sebanyak 150 orang (67,3%) dan terendah adalah transmisi vertikal 2 orang (0,9%). Hubungan heteroseksual yang tidak aman masih merupakan transmisi utama HIV/AIDS di Indonesia (81,9%) diikuti penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (7,2%).7 Tingginya penasun disebabkan oleh tingginya pemakai jarum suntik di Kota Medan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Medan (2012) bahwa pengguna jarum suntik (penasun) berkisar 984 orang.9 Sementara itu, terdapatnya penderita yang tertular HIV melalu hubungan homoseksual juga dimungkinkan. Data Dinas Kesehatan Kota Medan (2012) menemukan sekitar 1.699 orang sebagai homoseksual, termasuk gay/LSL (lelaki suka lelaki) dan lesbian.9 Homoseksual berisiko menderita HIV/AIDS disebabkan oleh perilaku mereka dalam melakukan hubungan seksual yang tidak aman, diantanra melalui anus (anal sex) dan tidak menggunakan kondom.
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa dari 223 penderita AIDS, sebanyak 53 orang (23,8%) menderita IO TB Paru dan beberapa penderita menderita lebih dari satu jenis IO. Distribusi proporsi jenis IO pada penderita dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2.
f 150 47 13 6 5 2 223
% 35,3 33,0 12,7 11,4 3,8 2,9 0,6 0,3 100,0
Berdasarkan Tabel 2. dapat dilihat bahwa jenis IO yang paling sering ditemukan adalah Oral Candidiasis sebanyak 109 kasus (35,3%) dan terendah Criptosporodisosis 1 kasus (0,3%). Tingginya proporsi Oral Candidiasis diakibatkan oleh karena infeksi ini merupakan manifestasi paling umum dan dini sebagai tanda permulaan dari infeksi HIV. Bahkan stadium 3 infeksi HIV sudah menunjukkan gejala Oral Candidiasis. 11 Selain itu, 50% rongga mulut manusia yang sehat membawa jamur ini sebagai mikroflora normal.17
Distribusi Proporsi Jumlah CD4 Proporsi jumlah CD4 tertinggi adalah di bawah 200 sel/mL 180 orang (80,7%) dan terendah di atas 200 sel/mL 43 orang (19,3%). Tingginya jumlah penderita dengan CD4 di bawah 200 sel/mL diakibatkan oleh penderita memeriksakan dirinya ketika IO sudah muncul, padahal pada saat ini imunitas sudah menurun yang ditandai dengan CD4 di bawah normal.
4
dengan transmisi darah dan produk darah, proporsi tertinggi adalah laki-laki 45 orang (77,6%). Hasil analisis statistik diperoleh nilai p= 0,494, artinya tidak terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin berdasarkan transmisi penularan. Tingginya transmisi penularan melalui hubungan seksual dan darah serta produknya pada laki-laki diasumsikan karena banyaknya laki-laki yang melakukan hubungan seksual berisiko dan menggunakan napza suntik (penasun) dibandingkan perempuan. Dalam penelitian ini, ditemukan transmisi homoseksual yang terjadi pada 8 orang lakilaki dan 5 orang perempuan. Sementara itu, tingginya proporsi perempuan dengan transmisi penularan melalui hubungan seksual adalah karena mendapatkannya dari pasangan seksual mereka.
Distribusi Proporsi Indeks Massa Tubuh (IMT) Proporsi tertinggi IMT adalah dengan berat badan kurang 161 orang (72,2%) dan terendah berat badan normal 62 orang (27,8%). Penderita cenderung memiliki kategori berat badan kurang atau IMT kurang dari 18,5 kg/m2 diakibatkan karena infeksi opurtunistik yang terjadi serta faktor psikologis ketika mereka mengetahui dirinya sebagai ODHA. Status gizi yang buruk menyebabkan semakin menurunnya kondisi imunitas ODHA sehingga memunculkan berbagai jenis infeksi, yang juga menyebabkan status gizi menurun. Analisis Bivariat Umur Berdasarkan Transmisi Penularan Tabel 4.
Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Transmisi Penularan
Transmisi Penularan Hubungan seksual Darah dan produk darah
Umur (tahun) 0-39 > 39 f % f % 121 74,2 42 25,8
f 163
% 100
44
58
100
75,9
14
24,1
Status Pernikahan Berdasarkan Transmisi Penularan
Total
Tabel 6.
Transmisi Penularan
Berdasarkan tabel 4. dapat dilihat dari 163 dengan transmisi hubungan seksual, proporsi tertinggi adalah dengan kelompok umur 0-39 tahun 121 orang (74,2%). Demikian halnya dengan transmisi darah dan produk darah, proporsi tertinggi adalah kelompok umur 0-39 tahun 44 orang (75,9%). Hasil analisis statistik diperoleh nilai p=0,806, artinya tidak terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara umur berdasarkan transmisi penularan.
Hubungan seksual Darah dan produk darah
Tabel 5. Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Berdasarkan Transmisi Penularan
Hubungan seksual Darah dan produk darah
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan f % f % 119 73,0 44 27,0
f 163
% 100
45
58
100
77,6
13
22,4
Pernikahan
Status Pernikahan Tidak menikah f % f % 120 73,6 43 26,4
f 163
% 100
37
58
100
Total
Menikah
63,8
21
36,2
Berdasarkan tabel 6. dapat dilihat bahwa dari 163 dengan transmisi hubungan seksual, proporsi tertinggi adalah dengan status menikah 120 orang (73,6%). Demikian halnya dari 58 dengan transmisi darah dan produk darah, proporsi tertinggi adalah dengan status menikah 37 orang (63,8%). Hasil analisis statistik diperoleh nilai p=0,156, artinya tidak terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara status pernikahan berdasarkan transmisi penularan.
Jenis Kelamin Berdasarkan Transmisi Penularan Transmisi Penularan
Distribusi Proporsi Status Berdasarkan Transmisi Penularan
Pekerjaan Penularan
Total
Tabel 7.
Hubungan seksual Darah dan produk darah
5
Transmisi
Distribusi Proporsi Pekerjaan Transmisi Penularan
Transmisi Penularan
Berdasarkan tabel 5. dapat diketahui bahwa dari 163 dengan transmisi hubungan seksual, proporsi tertinggi adalah laki-laki 119 orang (73,0%). Demikian halnya dari 58
Berdasarkan
Berdasarkan
Status Pekerjaan Bekerja Tidak Bekerja f % f % 131 80,4 32 19,6
f 163
% 100
54
58
100
93,1
4
6,9
Total
Berdasarkan tabel 7. dapat dilihat bahwa dari 163 dengan transmisi hubungan seksual, proporsi tertinggi adalah bekerja 131 orang (80,4%). Demikian halnya dari 58 dengan transmisi darah dan produk darah, proporsi tertinggi adalah bekerja 54 orang (93,1%). Hasil analisis statistik diperoleh nilai p=0,024, artinya terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara pekerjaan berdasarkan transmisi penularan. Proporsi penderita AIDS yang bekerja lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak bekerja, hal ini sesuai dengan laporan Dirjen PP&PL Kementerian Kesehatan RI 2012 yang menyebutkan bahwa sebesar 76,9% penderita AIDS sudah bekerja.7 Penderita yang tidak bekerja namun tertular melalui hubungan seksual dimungkinkan, karena mereka sebagian besar adalah perempuan yang sudah kawin dan mendapatkannya dari suami mereka. Sementara itu, penderita yang tidak bekerja dan tertular melalui darah dan produk darah adalah remaja pecandu narkoba serta anak-anak yang mendapatkannya melalui transmisi vertikal.
IMT Berdasarkan Jumlah CD4
Suku Berdasarkan Daerah Asal
Tabel 10.
Tabel 9.
Jumlah CD4 (sel/mL) < 200 ≥ 200
Batak Jawa Melayu Aceh Lain-lain Total
52,0
107
Total f 180 43
% 100 100
Jumlah CD4 Berdasarkan Stadium Klinis
Daerah Asal Medan Luar Medan f % f % 94 42,4 81 36,3 17 7,6 10 4,5 1 0,4 2 0,9 0 0,0 7 3,1 4 1,8 7 3,1 116
IMT BB kurang BB normal f % f % 128 71,1 52 28,9 33 76,7 10 23,3
Berdasarkan tabel 9. dapat dilihat dari 180 penderita dengan CD4 di bawah 200, proporsi tertinggi adalah BB kurang 128 orang (71,1%). Dari 43 penderita dengan CD4 di atas 200, proporsi tertinggi adalah BB kurang 33 orang (76,7%). Hasil analisis statistik diperoleh nilai p=0,459, artinya tidak terdapat perbedaan proporsi yang bermaknsa antara IMT berdasarkan jumlah CD4. Penderita dengan berat badan kurang namun memiliki jumlah CD4 di atas 200 sel/mL diasumsikan karena ARV yang dikonsumsi. Sementara itu, penderita dengan berat badan normal namun memiliki jumlah CD4 di bawah 200 sel/mL diasumsikan karena infeksi opurtunistik yang menyertai perjalanan penyakitnya.
Tabel 8. Distribusi Proporsi Suku Berdasarkan Daerah Asal Suku
Distribusi Proporsi IMT Berdasarkan Jumlah CD4
Distribusi Proporsi Jumlah CD4 Berdasarkan Stadium Klinis HIV/AIDS
Stadium Klinis Stadium 3 Stadium 4
Jumlah CD4 (sel/mL) < 200 ≥ 200 f % f % 135 80,8 32 19,2 45 80,4 11 19,6
Total f 167 56
% 100 100
Berdasarkan tabel 10. dapat dilihat bahwa dari 167 penderita stadium 3, proporsi tertinggi adalah dengan CD4 di bawah 200 yaitu 135 orang (80,8%). Demikian halnya dari 56 penderita stadium 4, proporsi tertinggi adalah dengan CD4 di bawah 200 yaitu 45 orang (80,4%). Stadium klinis HIV/AIDS menunjukkan gejala infeksi yang khas yang disertai dengan penurunan jumlah CD4 yang semakin parah seiring dengan memasuki stadium 4. Tingginya proporsi penderita dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mL pada stadium 3 diasumsikan karena IO yang diderita. Dalam penelitian ini, oral candidiasis adalah IO yang paling banyak dilaporkan, dimana IO ini juga sudah muncul pada stadium klinis 3.
48,0
Berdasarkan tabel 8. dapat dilihat bahwa dari 116 penderita berasal dari Medan, proporsi suku tertinggi adalah Batak 94 orang (42,4%) dan terendah adalah Aceh 0%. Dari 107 penderita berasal dari luar Medan, proporsi tertinggi adalah Batak 81 orang (36,3%) dan terendah adalah Melayu 2 orang (0,9%). Analisis statistik dengan uji ChiSquare tidak dapat dilakukan karena terdapat 4 sel (40%) yang nilai harapannya kurang dari 5.
6
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Distribusi proporsi penderita AIDS tertinggi pada kelompok umur 29-35 tahun 41,7%, jenis kelamin laki-laki 74,0%, suku Batak 78,5%, pendidikan tamat SLTA/sederajat 62,8%, bekerja 83,0%, menikah 70,4%, serta berasal dari Medan 52,0%. Proporsi kasus infeksi opurtunistik tertinggi adalah TB paru 23,8% sementara itu jenis infeksi opurtunistik yang paling sering muncul adalah oral candidiasis 35,3%. Proporsi transmisi penularan tertinggi adalah melalui hubungan heteroseksual 67,3%. Proporsi jumlah CD4 tertinggi adalah < 200 sel/mL 80,7%. Proporsi indeks massa tubuh (IMT) tertinggi adalah dengan berat badan kurang atau IMT < 18,5 kg/m2 72,2%. Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur berdasarkan transmisi penularan (p=0,806). Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin berdasarkan transmisi penularan (p=0,494), status pernikahan berdasarkan transmisi penularan (p=0,156), indeks massa tubuh (IMT) berdasarkan jumlah CD4 (p=0,459), serta jumlah CD4 berdasarkan stadium klinis HIV/AIDS (p=0,937). Ada perbedaan proporsi yang bermakna antara pekerjaan berdasarkan transmisi penularan (p=0,024). Tidak dapat dilakukan analisis statistik uji Chi-Square antara suku berdasarkan daerah asal sebab terdapat 4 sel (40%) yang nilai harapannya di bawah 5.
1. Departemen Kesehatan RI . 2007. Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja Edisi Kedua. Diakses dari http://spiritia.or.id/Dok/pedomanart2. pdf pada 12 Januari 2013 2. Drew, W. Lawrence. 2001. HIV & Other Retroviruses. USA: The McGrawHill Companies 3. Nasronudin. 2007. HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial. Surabaya: Airlangga University Press 4. United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). 2011. World AIDS Day Report 2011. Diakses dari http://www.unaids.org/en/resources/ presscentre/pressreleaseandstatement archive/2011/november/20111121wa d2011report/ pada 2 Maret 2013 5. Center for Diseases Control (CDC). 2009. HIV Surveillance Report. Diakses dari http://www.cdc.gov/hiv/surveillance/ resources/reports/2009report/pdf/200 9SurveillanceReport.pdf pada 3 Februari 2013 6. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terap Antiretroviral. Jakarta.
SARAN Diharapkan kepada kelompok berisiko tinggi HIV/AIDS untuk melakukan pencegahan “ABC”, berhenti sama sekali atau tidak menggunakan jarum suntik bergantian, kepada pihak terkait untuk melaksanakan skrining dengan efektif, kepada ODHA untuk meningkatkan gizi dan mengonsumsi ARV dengan patuh, kepada petugas rekam medis agar melengkapi nilai pencatatan kepatuhan minum obat serta IMT dan mengoordinasikan data di rekam medis rumah sakit dengan data di Pusyansus VCT agar tidak terjadi kesimpangsiuran.
7. Dirjen PP&PL Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia Triwulan III tahun 2012 8. Profil Kesehatan Sumatera Utara 2011. Diakses dari http://id.pdfsb.com/profil+kesehatan +sumut+2011 pada 2 Maret 2013 9. Dinas Kesehatan Kota Medan. 2012. Gambaran Kasus HIV dan AIDS di Sumatera Utara sampai dengan 2012. Diakses dari 7
http://www.dinkes-kotamedan.org/data-kasus.html/ pada 12 Januari 2013 10. Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., Mitchell, R.N., 2007. Diseases of the Immune System. Edisi-8 11. Pohan, H.T. 2006. Infeksi Dibalik Ancaman HIV. Jakarta: Farmacia 12. World Health Organization. 2010. HIVrelated Opportunistic Diseases. Diakses dari http://www.who.int/hiv/pub/amds/op portu_en.pdf pada 4 Februari 2013 13. Saldanha, Dominic, Nitika Gupta, Shalini Shenoy, Vishwas Saralaya. 2008. Prevalence of opportunistic infections in AIDS patients in Mangalore, Karnataka. Diakses dari http://td.rsmjournals.com/content/38/ 3/172.short pada 12 Januari 2013 14. Departemen Kesehatan RI. 2007. Statistik Kasus sampai dengan September 2007. Diakses dari http://www-aidsindonesia.or.id/ pada 13 Januari 2013 15. Merati, Tuti Parwati dan Djauzi, Samsuridjal. 2007. Respons Imun Infeksi HIV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 16. Lubis, Zaki Dinul. 2011. Gambaran Karakteristik Individu dan Faktor Risiko Terhadap Terjadinya Infeksi Oportunistik Pada Penderita HIV/AIDS Di rumah Sakit Penyakit Infeksi Suliati Saroso Tahun 2011. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 17. Silverman, S. 2001. Essential of Oral Medicine. London: Decker Inc. Hamilton
8
POTENSI TEPUNG KECAMBAH JAGUNG SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN DASAR MAKANAN PENDAMPING AIR SUSU IBU (THE POTENTIAL OF CORN SPROUT FLOUR AS AN ALTERNATIVE AS BASIC MATERIALS OF WEANING FOOD) Humaira Anggie Nauli1, Albiner Siagian2, Posman Sibuea3 1
Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara Profesor Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara 3 Profesor Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, UNIKA St. Thomas Medan
2
Abstract Weaning food given to babies older than 6 months. Weaning food intake should come from different types of materials adapted to the manufacture of the local food supply. Corn (Zea mays) is one of Indonesian eminent local food but is not used as well as possible as weaning food. The germination aims to increase corn’s nutritions like protein and mineral. This is a descriptive explorational research. The corn sprout flour was made in one way then its nutritional value determinated. The determinations are analysis of protein, fat, carbohidrate, water, Fe, and zinc. The Corn sprout flour’s nutrition value is compared to instant weaning food regulation of Indonesia and also local weaning food guidance. There is also determination of corn sprout flour’s water absorption to understand it as nutrient dense weaning food. Result showed that corn sprout flour has 4,5 g protein; 4,04 g fat, 60,10 g carbohidrate, 11,44 g water, 1,55 mg Fe, 2,94 mg zinc, and 19,92 g ash every 100 g. It has a low water absorption which it can be one of nutrient dense weaning food. In accordance with 7-11 months baby and 1-3 years young children, corn sprout flour is marvelous zinc source. While the protein, fat, carbohidrate, water, and ferrum are not balance enough if used as single component of weaning food. Therefore, it is recommended to combine corn sprout flour with another food to appropriate the weaning food standart. It is recommended to review another nutrient of corn sprout flour especially vitamin and mineral and also to make weaning food formula based corn sprout flour. Keywords : corn sprout flour, weaning food, local food.
PENDAHULUAN Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Periode emas tersebut dapat diwujudkan apabila pada masa ini, bayi dan anak mendapatkan asupan gizi yang optimal. Pada bayi dan anak, kekurangan gizi mampu mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang bahkan dapat berlanjut hingga dewasa bila tidak diatasi sedari dini. Pada kelompok balita, satu dari tiga anak di dunia menderita kekurangan gizi dalam bentuk gangguan pertumbuhan karena kurang energi dan protein (World Bank, tanpa tahun). Penulis Korespondensi :
[email protected]
Dalam kenyataannya, gambaran klinis kekurangan energi dan protein (kwashiorkor dan marasmus) biasanya sering disertai komplikasi defisiensi vitamin dan mineral seperti vitamin A dan zat besi. Masalah pertumbuhan seperti stunting juga dipengaruhi oleh kurangnya asupan seng. Diantara sumber-sumber seng, sumber seng yang mudah dicerna oleh tubuh ialah serealia dan biji-bijian utuh misalnya jagung. Sekitar satu milyar anak dan orang dewasa di dunia juga menderita berbagai bentuk kekurangan zat gizi mikro. Kekurangan zat besi dapat menyebabkan anemia. Anemia pada anak prasekolah akan meninggalkan dampak seperti
berkurangnya keterampilan anak, menurunnya daya konsentrasi, dan menurunnya kapasitas daya ingat walaupun anemia yang dideritanya telah berhasil disembuhkan (World Bank, 1994). Maka mempersiapkan gizi yang baik untuk anak-anak bayi dan prasekolah merupakan sebuah tantangan yang nyata. Makanan yang terbaik bagi bayi hanya Air Susu Ibu (ASI). ASI mampu memenuhi seluruh kebutuhan bayi sampai bayi berumur 6 bulan. Namun ASI tidak mampu memenuhi kebutuhan bayi sejak berusia 7 bulan maka bayi harus diberi makanan pendamping ASI untuk melengkapi asupan gizinya. Berbagai jenis makanan yang diberikan pada bayi harus ditingkatkan keberagamannya. Makanan pendamping ASI di Indonesia kebanyakan dibuat dari bahan dasar serealia atau tepung serealia. Penganekaragaman memanfaatkan komoditas bahan pangan yang unggul di suatu negara. Salah satu komoditas yang unggul di Sumatera Utara adalah jagung. Sumatera Utara sendiri merupakan wilayah produsen jagung terbanyak ketiga di Indonesia hingga 2010 silam. Selain di negara-negara Amerika seperti Brazil, produksi jagung Indonesia juga cukup banyak. Dewasa ini, beras merupakan komoditas pangan yang cukup mendominasi bahan dasar makanan pendamping ASI lokal maupun pabrikan. Seperti yang diketahui bahwa konsumsi yang didominasi suatu bahan pangan dapat merawankan ketahanan pangan. Padahal bahan pangan yang dapat dijadikan makanan pokok masyarakat sangat beragam dan bisa didapatkan dari banyak jenis serealia dan biji-bijan. Tepung kecambah biji-bijian sebagai bahan pangan belum cukup dimanfaatkan oleh masyarakat. Beberapa penelitian di bidang teknologi pangan sudah mulai menggunakan tepung kecambah jagung dan kacang-kacangan lainnya sebagai campuran dalam formula makanan pendamping air susu ibu. Junaidi
(2012) menganalisis protein dan vitamin C dari formula campuran tepung kecambah kacang kedelai, kacang hijau, dan kacang tolo. Penelitian mengenai formula makanan pendamping air susu ibu berbasis tepung kecambah biji-bijian masih terbatas pada campuran kecambah biji-bijian. Padahal dengan mengetahui potensi gizi tepung kecambah jagung sebagai satu bahan yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan makanan pendamping air susu ibu, pengelolaannya dapat lebih beragam dan tak terbatas sebagai campuran dengan tepung kecambah biji-bijian lainnya. Aminah, Hersoelistyorini, dan Wikanasti (2012) menganalisis kadar protein, lemak, air, serat, dan total phenol dari tepung kecambah biji-bijian dengan blaching. Berbagai penelitian mengenai tepung kecambah biji-bijian lokal Indonesia belum juga menganalisis kandungan mineral. Padahal mineral merupakan salah satu zat gizi yang essensial bagi pertumbuhan misalnya seng. Pemanfaatan jagung sebagai bahan makanan bayi sudah dilakukan menjadi beberapa jenis produk seperti sereal instan, corn meal, dan corn starch. Namun dengan melakukan upaya penanganan jagung menjadi kecambah jagung, nilai gizinya diharapkan lebih baik. Adapun proses perkecambahan dapat menyebabkan terjadinya perubahan nilai nutrisi yang terkandung dalam biji (Suhendra, 2009). Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian mengenai tepung kecambah jagung yang memiliki potensi besar untuk dapat digunakan sebagai alternatif bahan dasar makanan pendamping ASI di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan memaparkan potensi tepung kecambah jagung untuk digunakan sebagai bahan dasar makanan pendamping ASI. Kemudian dalam penelitian ini dianalisis kadar protein, lemak, air, karbohidrat, zat besi, dan seng, serta daya serap air dari tepung kecambah jagung.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian deskriptif menurut cara penjelasannya dan penelitian eksploratif menurut tujuannya. Prosedur pengecambahan jagung dan pembuatan tepung dilakukan sesuai dengan hasil penelitian terkini yang dimodifikasi. Kemudian dilakukan pengukuran terhadap daya serap air, kandungan protein, lemak, kadar air, karbohidrat, zat besi, dan seng dari tepung kecambah jagung. Pengecambahan jagung dan pembuatan tepung kecambah jagung kemudian pelaksanaan uji untuk menganalisa daya serap air, kadar lemak, kadar air dan abu dilakukan di Laboratorium Gizi Pangan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Pengujian kadar protein dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Analisis kuantitatif zat besi dan seng dilakukan di Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Penelitian dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2013. Jagung yang digunakan merupakan biji jagung pipil dan diperoleh dari Pasar Melati, Medan, yang menjual jagung lokal. Pertama-tama dilakukan sortasi untuk menghilangkan biji jagung yang rusak. Jagung kemudian dicuci kemudian direndam air selama 3 jam untuk sortasi dan menyiapkan cadangan air. Lalu nampan dialasi kain katun yang relatif banyak menyerap air. Rendaman jagung ditiriskan selama 15 menit kemudian dipindahkan ke nampan. Setelah itu nampan jagung diperam dengan ditutup dengan daun pisang untuk mendapatkan kelembapan. Kemudian dilakukan penyiraman sekali setiap dua belas jam. Proses perkecambahan dihentikan setelah 30 jam. Alat-alat yang digunakan untuk membuat tepung kecambah jagung yaitu pembuat tepung (Healthy mix), spatula, baki alumunium, kertas perkamen, wadah, dan ayakan. Mempersiapkan baki
alumunium bersih dengan mencuci, meniriskan, dan mengeringkannya dalam oven 70o C selama 15 menit. Kecambah jagung ±1 cm diletakkan di baki alumunium yang telah dilapisi kertas perkamen (kertas pembungkus obat). Lalu dikeringkan dengan cabinet dryer pada suhu 70o C selama tiga jam. Setelah itu digiling dan diayak pada 100 mesh hingga dihasilkan tepung yang homogen. Kemudian dilakukan pengukuran daya serap air, kadar air, kadar abu, kandungan protein, lemak, karbohidrat, zat besi dan seng. Kemudian dilakukan analisis zatzat gizi dan karakteristik kimia lainnya seperti daya serap air (Sathe & Salunke, 1981; Fardiaz, 1992). Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode penimbangan (AOAC, 1995; dengan modifikasi). Sedangkan analisis kadar protein tepung kecambah jagung dilakukan dengan metode mikro kjeldahl (AOAC, 1995). Penentuan kadar lemak dilakukan dengan metode soxhlet (AOAC, 1995). Kemudian dilakukan analisis analisis kadar abu (SNI 01-3451-1994) untuk mengetahui kadar karbohidratnya. Analisis kadar karbohidrat dilakukan dengan metode by difference (Sudarmadji, 1997). Analisis Kadar Zat Besi (Fe) dilakukan dengan Metode Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) atau Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) (Basset, 1994). Pertama, dilakukan proses pengabuan. Kedua, pembuatan larutan sampel (Horwitz, 2000, dengan modifikasi). Ketiga, membuat kurva kalibrasi. Keempat, analisis kuantitatif zat besi menggunakan spektrofotometer serapan atom yang dikondisikan panjang gelombang 248,3 nm dan nyala udaraasetilen. Terakhir, validasi prosedur analisis dilakukan dengan melihat secara teliti nilai simpangan baku relatif atau (RSD). Sebagai syarat presisi, simpangan baku relatif yang diperoleh harus memiliki nilai
lebih kecil dari 2% (Miller, 2005). Analisis Kadar Seng (Zn) juga dilakukan dengan metode AAS namun menggunakan panjang gelombang 213,9 nm. Data yang didapatkan dari hasil pengujian di laboratorium, dikumpulkan, dan dijelaskan secara deskriptif untuk mengetahui hasil analisis beberapa indikator yang menjelaskan potensi tepung kecambah jagung bila digunakan sebagai bahan MP-ASI. Nilai-nilai gizi tepung kecambah jagung yang diuji berupa kadar protein, air, karbohidrat, zat besi, dan seng, selain zat gizi daya serap air juga dianalisis sebagai salah satu karakteristik tepung kecambah jagung. HASIL DAN PEMBAHASAN Jagung yang digunakan dalam penelitian dibeli di Pasar Melati Kecamatan Medan Tuntungan. Pemilihan cara pengambilan sampel jagung ini diharapkan dapat menginterpretasikan jenis jagung yang sering atau yang paling mungkin dikonsumsi oleh masyarakat yaitu jagung yang tersedia di pasar. Di pasar tersebut jagung pipil yang dijual hanya terdiri dari satu jenis. Jagung yang digunakan dalam penelitian merupakan jagung (Zea mays) varietas Bisi 12. Jagung dari varietas ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kandungan protein makanan pendamping ASI yang tinggi seperti pada penelitian Daulay (2009) di Medan bahwa mie instan yang sebagian bahannya disubtitusi dengan tepung jagung varietas hibrida Bisi 12 lebih tinggi kadar proteinnya dibandingkan dengan mie instan yang sebagian bahannya disubtitusi dengan tepung jagung varietas lokal dan hibrida lainnya. Kecambah jagung yang dihasilkan memiliki panjang ± 1 – 2 cm. Kemudian kecambah jagung berumur 30 jam tersebut pun siap dikeringkan dan diolah menjadi tepung kecambah jagung. Tepung diayak dengan ayakan 80 mesh. Tepung kecambah jagung yang dihasilkan
memiliki tekstur khas yang tidak terlalu halus dan berwarna kuning. Keseluruhan hasil analisis yang dilakukan terhadap tepung kecambah jagung dirangkum dalam Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik & Kandungan Gizi Tepung Kecambah Jagung Kandungan Gizi No Nilai (satuan) Kandungan gizi : 4,50 1 Protein (g/100 g) 4,04 2 Lemak (g/100 g) 60,10 3 Karbohidrat (g/100 g) 1,55 4 Zat besi/Fe (mg/100 g) 2,94 5 Seng/Zn (mg/100 g) 11,44 6 Air (g/100 g) Karakteristik kimia : 19,92 7 Abu (g/100 g) 0,68 8 Daya Serap Air (g/g) Berdasarkan hasil penelitian dapat dilakukan pembahasan terhadap tepung kecambah jagung agar dapat menjadi alternatif bahan dasar makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) yang baik. Tepung kecambah jagung sebagai bahan MP-ASI semestinya merupakan bahan pangan lokal yang baik serta mampu memenuhi kebutuhan gizi berdasarkan syarat mutu MP-ASI. Kesesuaian Tepung Kecambah Jagung terhadap syarat MP-ASI Berstandar Standar MP-ASI diberlakukan bagi produk MP-ASI yang diproduksi pabrik atau perusahaan dan diperjualbelikan secara komersial atau bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Tepung kecambah jagung sangat baik untuk kebutuhan seng (Zn) sesuai dengan Kepmenkes No.224/Menkes/SK/II/2007. Keunggulan tersebut menyebabkan tidak diperlukannya dana dan tenaga untuk fortifikasi seng ke dalam produk. Namun bilamana digunakan sebagai bahan dasar MP-ASI berstandar, tepung kecambah jagung memiliki potensi yang cukup baik sebab produk MP-ASI biasanya terdiri dari berbagai macam bahan pangan yang bertujuan agar dapat
tercapai keseimbangan gizi. Sehingga dengan dilakukannya pengkombinasian tepung kecambah jagung dengan bahan pangan lainnya diharapkan produk tersebut dapat memenuhi standar mutu MP-ASI berstandar. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) Bubuk Instan secara umum terbuat dari campuran beras dan atau beras merah, kacang hijau dan atau kedelai, susu, gula, minyak nabati, dan diperkaya dengan vitamin dan mineral serta ditambah dengan penyedap rasa dan aroma (flavour). Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) Biskuit terbuat dari campuran terigu, margarin, gula, susu, lesitin kedelai, garam bikarbonat, dan diperkaya dengan vitamin dan mineral serta ditambah dengan penyedap rasa dan aroma (flavour). Gula yang digunakan dalam bentuk sukrosa dan atau fruktosa dan atau sirup glukosa dan atau madu. Kombinasi bahan-bahan pangan tersebut dalam membangun sebuah produk MP-ASI dapat menyeimbangkan kekurangan maupun kelebihan tepung kecambah jagung apabila digunakan sebagai bahan dasar MP-ASI. Standar mutu MP-ASI dapat dilihat pada SNI 01-711.1-2005 Peraturan tersebut kemudian diperbaharui dalam Kepmenkes No.224/Menkes/SK/II/2007 namun peraturan sebelumnya masih digunakan untuk melengkapinya. Tabel 5.1 memuat perbandingan antara nilai gizi tepung kecambah jagung dengan standar MP-ASI yang biasanya digunakan pada produk pabrikan. Syarat mutu makanan pendamping air susu ibu dari SNI 01-711.1-2005 dan Kepmenkes No.224/Menkes/SK/II/2007 merupakan syarat bagi makanan pendamping air susu ibu yang terdiri dari campuran berbagai bahan pangan maupun tambahan pangan. Seperti diketahui sebelumnya bahwa kebutuhan gizi anak berusia lebih dari 6 bulan meningkat seiring meningkatnya aktifitas dan pertumbuhan anak. Pada usia tersebut, anak perlu diberi makanan dengan frekuensi makan 3-5 kali
sehari. ASI atau air susu ibu memenuhi sebagian kecukupan gizi anak berusia di atas 6 bulan. Pemberian MP-ASI harus diperhitungkan sehingga memenuhi kelengkapan gizi juga dapat membantu merangsang perkembangan anak dalam kecerdasan motorik seperti mengunyah dan menelan. Angka kecukupan gizi anak yang mengonsumsi MP-ASI terbagi menjadi 2 golongan umur. Dalam Tabel 5.2 mencakup informasi mengenai kecukupan gizi yang dapat disumbang dari 100 g tepung kecambah jagung. Informasi gizi praktis yang dapat dilihat antara lain kecukupan energi, protein, zat besi, seng, dan air. Tabel 2. Angka Kecukupan Gizi dari 100 g Tepung Kecambah Jagung No
1 2 3 4 5
Kecukupan Gizi
Energi (karbohidrat + protein + lemak) Protein Zat besi (Fe) Seng (Zn) Air
Kelompok Umur 7 – 11 1–3 bulan tahun (%) (%)
45,35
29,45
28,12 22,09 39,21 1,10
18,00 19,34 35,87 1,04
Dari Tabel 2 diketahui bahwa kecukupan energi dari tepung kecambah jagung cukup tinggi yaitu memenuhi hampir setengah kebutuhan harian bayi berusia 7-11 bulan dan hampir sepertiga kebutuhan harian anak balita usia 1-3 tahun dari setiap 100 gram tepung kecambah jagung. Dengan daya serap air yang cukup rendah maka kecukupan energi tepung kecambah jagung dapat dikatakan baik. Tepung kecambah jagung cukup baik kandungan proteinnya yaitu mampu memenuhi sekitar 50% kebutuhan protein MP-ASI berstandar. Namun bila produk MP-ASI terdiri dari campuran tepung kecambah jagung dengan kedelai, kacang hijau, kacang-kacangan lain atau turunannya
yang memiliki nilai protein lebih tinggi dari jagung, maka produk tersebut dapat memenuhi 100% kebutuhan protein dari MP-ASI. Kadar air tepung kecambah jagung mungkin sangat sedikit dibandingkan kecukupan gizi yang diharapkan. Akan tetapi sebagai makanan pendamping air susu ibu, tepung kecambah jagung akan dikonsumsi dengan penambahan air. Kadar protein tepung kecambah jagung 4,48 % atau 4,48 g/100 g tepung kecambah jagung. Nilai ini juga sudah cukup untuk memenuhi sekitar 28 % kebutuhan protein bayi berusia 7-12 bulan dan memenuhi sekitar 18 % kebutuhan protein anak balita berusia 1 hingga 3 tahun. Kemudian masih diperlukan juga penelitian lanjutan mengenai jumlah asam amino essensial yang terkandung dalam tepung kecambah jagung sebab berdasarkan penelitian beberapa tahun terakhir juga perkecambahan dapat mengakibatkan peningkatan beberapa zat gizi diantaranya peningkatan kadar total asam amino essensial. Makanan pendamping ASI dengan bahan dasar tepung kecambah jagung dapat diolah bersamaan dengan bahan pangan lain yang memiliki kadar protein lebih tinggi. Beberapa jenis pangan yang memiliki kadar protein tinggi diantaranya kacang kedelai, kacang tanah, ikan, dan sumber protein hewani lainnya. Tepung kecambah jagung juga mengandung 4,04 % lemak. Lemak berfungsi sebagai salah satu zat gizi sumber energi. Kandungan lemak dalam makanan juga berkorelasi positif dengan peningkatan rasa nikmat atau lezat dari suatu bahan pangan. Dari kandungan zat pati, jagung juga merupakan pangan yang mudah diterima oleh pencernaan. Kadar karbohidrat tepung kecambah jagung diperoleh dengan analisis proksimat atau by difference. Oleh karena itu terlebih dahulu dilakukan analisis kadar abu dan diperoleh nilai 19,92%. Dengan demikian,
kadar karbohidrat tepung kecambah jagung ialah 60,10 %. Analisis mineral yang dilakukan pada penelitian ini yaitu analisis kuantitatif zat besi dan seng dari tepung kecambah jagung. Analisis kedua jenis mineral tersebut dilakukan dengan Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) atau Spektrofotometri Serapan Atom tipe Hitachi Z-2000 dengan panjang gelombang 248,3 nm untuk zat besi dan 213,9 nm untuk seng. Analisis menunjukkan bahwa kadar seng tepung kecambah jagung cukup tinggi yaitu sebesar 29,41 µg/g. Seng berfungsi dalam regulasi enzim sebagai kofaktor enzim Superoxide dismutase. Seng juga berperan dalam sintesis protein, pengaturan induk sel-sel dalam sistem kekebalan tubuh. Seng dapat membantu pencegahan penyakit. Pada masa bayi dan balita, seng bermanfaat dalam pertumbuhan dan perkembangan. Selain itu seng juga berperan dalam produksi neurotransmitter otak. Enzim Superoxide dismutase berperan dalam metabolisme sel dan menangkal radikal bebas. CuZn-SOD adalah salah satu bentuk enzim Superoxide dismutase yang terletak dalam sitoplasma. Maka SOD memegang peranan kunci sebagai antioksidan. Enzim ini termasuk dalam golongan metaloenzim. Copper, zinc superoxide dismutase (Cu, Zn-SOD) terdapat dalam sitoplasma mamalia (Brotons, Sivan, Gault, Renard, Geffrotin, Delanian, Lefaix, Martin; 2001). Seng diperlukan sebanyak 2-8 mg/hari sesuai kelompok umur. Anak usia 0-6 bulan yakni 2 mg namun kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh air susu ibu. Selanjutnya kandungan seng dari air susu ibu berkurang setelah anak berusia 7 bulan, kebutuhan seng anak usia 7 bulan sampai 3 tahun agar mencukupi 3 mg harus ditambah dari makanan pendamping air susu ibu. Tanda-tanda kekurangan seng diantaranya tekanan darah rendah, kehilangan nafsu makan, depresi kulit, diare, serta turunnya berat badan.
Kurangnya asupan seng dapat mengakibatkan masalah pertumbuhan seperti stunting. Oleh sebab itu kecukupan seng yang cukup tinggi dalam tepung kecambah jagung harus ditingkatkan dalam hal pemanfaatannya mengingat masih besarnya jumlah anak pendek dan kurus atau stunting di Indonesia hingga saat ini. Tepung kecambah jagung memiliki kandungan seng yang cukup tinggi. Sebab 100 gram tepung kecambah jagung dapat memenuhi hampir 40% kebutuhan seng (Zn) bayi berusia 7-11 bulan dan 35,87% kebutuhan seng anak balita usia 1-3 tahun. Hal ini dapat membantu menurunkan biaya fortifikasi zink pada produk MP-ASI sebab zink juga merupakan salah satu zat gizi selain zat besi yang biasa ditambahkan dalam MP-ASI. Tepung kecambah jagung mengandung zat besi (Fe) sebesar 15,47 µg/g. Nilai ini cukup tinggi untuk kandungan zat besi suatu jenis pangan. Biji yang tidak berkecambah diketahui memiliki nilai zat besi asupan dan zat besi serapan yang lebih rendah daripada biji yang berkecambah. Fungsi zat besi bagi manusia diantaranya berperan sebagai penyusun haemoglobin, pengikat oksigen dengan sel darah merah, pengatur temperatur tubuh, penyusun sitokrom mioglobin, aktivitas otot, imunitas, pengembangan dan fungsi otak, metabolisme katakolamin, keseimbangan dan kecerdasan motorik. Kekurangan zat besi pada usia 6-24 bulan juga dapat menyebabkan kesulitan berbahasa. Bagi anak berusia 6-24 bulan, asupan zat besi dan seng diperoleh dari ASI dan MP-ASI. Pada umumnya kandungan zat besi maupun seng diperoleh dari fortifikasi. Kadar zat besi tepung kecambah jagung dapat memenuhi seperlima kebutuhan bayi dan anak balita setiap 100 gram. Kekurangan akan zat besi tetap dapat dipenuhi dengan fortifikasi dan konsumsi bahan-bahan pangan lainnya.
Tepung Kecambah Jagung sebagai MPASI Lokal Makanan pendamping ASI (weaning food) bermanfaat untuk melengkapi gizi ASI setelah anak berusia 6 bulan. Anak mengalami pertumbuhan fisik yang cukup signifikan dan peningkatan kebutuhan gizi sehingga pada usia tersebut terjadi kekurangan zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh anak jika hanya mengonsumsi ASI saja. Proses pembuatan makanan pendamping air susu ibu dapat dilakukan secara mandiri oleh ibu atau anggota keluarga lainnya atau dengan membeli produk MP-ASI yang dijual. MP-ASI harus memenuhi kebutuhan bayi agar tercapai gizi seimbang, bahannya pun sebaiknya mudah didapat atau merupakan bahan-bahan lokal. Jagung (zea mays) merupakan salah satu serealia yang tersedia di Indonesia dan belum cukup dimanfaatkan. Pasar produk jagung yang terbuka baik di dalam negeri maupun luar negeri merupakan peluang bagi Indonesia yang mempunyai potensi lahan yang cukup besar bagi peningkatan produksi jagung. Pemanfaatan jagung dapat dilejitkan dengan menggunakan salah satu konsep dalam dunia gizi bahwa perkecambahan dapat meningkatkan nilai gizi, tercetuslah kecambah jagung. Kecambah jagung atau kecambahkecambah lainnya diolah dalam bentuk tepung agar lebih menguntungkan karena mudah difortifikasi dengan nutrisi tambahan, lebih fleksibel, mudah dibuat berbagai olahan makanan, tempat penyimpanan lebih efisien, daya tahan simpan lebih lama dan juga sesuai tuntutan kehidupan modern. Diharapkan dalam bentuk ini, pengembangan MP-ASI dapat lebih beragam dalam hal rasa, aroma, warna, dan tekstur agar dapat diterima oleh bayi dalam rangka meningkatkan kualitas MP-ASI. Tepung kecambah jagung memiliki kesesuaian dengan 4 hal yang menjadi ketentuan bahan pangan yang sangat baik
untuk diolah menjadi MP-ASI lokal oleh Depkes yaitu bergizi, dapat mengembangkan kebutuhan bayi untuk menerima beraneka rasa dan bentuk, mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan, serta merupakan bahan pangan lokal. Sebagai salah satu bahan pangan lokal yang unggul, jagung memiliki tren produksi yang kian meningkat dari tahun ke tahun yakni lebih dari 3,5 ton/hektar (BPS dan Pusat Data Pertanian, 2006). Namun konsumsi jagung malah mengalami penurunan yakni diperkirakan hanya 12,5 kg/kapita/tahun (BPS dan Susenas, 2002). Hingga tahun ini konsumsi jagung juga masih mengalami penurunan. Oleh sebab itu upaya-upaya eksplorasi nilai tambah yang mungkin dilakukan pada jagung dan pangan-pangan lokal lainnya menjadi penting. Upaya perbaikan konsumsi pangan yang dirumuskan dalam bentuk kebijakan diversifikasi pangan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap arti pentingnya konsumsi pangan yang beraneka ragam. Jagung sebagai salah satu pangan yang berperan penting dalam perekonomian nasional juga harus didukung untuk menunjang perbaikan konsumsi masyarakat seiring dengan berkembangnya industri pangan yang ditunjang oleh teknologi budi daya dan varietas unggul. Oleh sebab itu tepung kecambah jagung sebagai salah satu pangan lokal dapat menjadi alternatif makanan yang dapat dipenetrasikan kepada masyarakat mulai dari bayi berusia 7 bulan dan lebih atau sebagai makanan pendamping air susu ibu. Keunggulan lainnya dari tepung kecambah jagung ialah daya serap airnya. Daya serap air merupakan kemampuan bahan pangan untuk mempertahankan air yang ditambahkan dan yang terkandung dalam bahan pangan itu sendiri selama proses pengolahan. Menurut Jayusmar (2002) daya serap air ialah parameter yang menunjukkan kemampuan untuk menyerap air disekelilingnya untuk berikatan dengan
partikel bahan. Dalam penelitian ini daya serap air diperoleh dengan metode sentrifugasi. Hasil analisis daya serap air tepung kecambah jagung menunjukkan nilai 0,7 g/g. Diketahui bahwa semakin rendah daya serap air makanan pendamping ASI juga menyebabkan semakin sedikit air liur yang dibutuhkan untuk melunakkan makanan sehingga lebih mudah dimakan. Makanan pendamping ASI berdaya serap air rendah seperti tepung kecambah jagung diharapkan mengandung protein yang lebih banyak dengan semakin menurunnya daya serap air suatu formula makanan. Sebab molekul karbohidrat memiliki kemampuan menyerap air enam hingga tujuh kali lebih besar daripada protein. Dengan demikian, tepung kecambah jagung termasuk salah satu pangan lokal yang harus diperkenalkan kepada masyarakat. Apalagi dengan kandungan gizi yang baik dan daya serap air yang cukup rendah, tepung kecambah dapat menjadi alternatif bahan dasar makanan pendamping air susu ibu yang bergizi. KESIMPULAN Konsumsi tepung kecambah jagung sebagai makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) mampu memenuhi kecukupan seng harian dari MP-ASI sebab kandungan seng tepung kecambah jagung sebesar 2,94 mg/100 g. Kandungan protein dan lemak tepung kecambah jagung cukup besar namun untuk memenuhi syarat mutu MPASI instan, tepung kecambah jagung sebagai bahan dasar MP-ASI sebaiknya dicampur dengan bahan pangan lain. Kandungan zat besi tepung kecambah jagung sedikit maka dapat dilakukan fortifikasi zat besi. Kadar air dan abu tepung kecambah jagung pun relatif tinggi. SARAN Mengingat tepung kecambah jagung memiliki potensi yang baik untuk menjadi bahan dasar MP-ASI terutama Zn
yang sudah memenuhi standar MP-ASI, perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mengetahui zat-zat gizi lain terutama vitamin dan mineral. Diperlukan pula kajian pembuatan formula MP-ASI berbasis tepung kecambah jagung. Kandungan Zn yang tinggi dalam tepung kecambah jagung selain membuatnya menjadi bahan dasar yang baik untuk MP-ASI, juga baik untuk dikonsumsi oleh ibu hamil dan ibu menyusui terutama di daerah-daerah penghasil jagung di Indonesia seperti Sumatera Utara dan Gorontalo. DAFTAR PUSTAKA Aminah, Siti; Hersoelistyorini, Wikanastri. 2012. Karakteristik Kimia Tepung Kecambah Serealia dan KacangKacangan dengan Variasi Blanching. Semarang : Universitas Muhammadiah Semarang. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association Analytical Chemistry Inc. Washington D. C : The Association Analytical Chemistry. Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2005a. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP –ASI) – Bagian 1 : Bubuk Instan. Standar Nasional Indonesia, SNI 01-7111.1-2005. Jakarta: BSN. Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2005b. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP –ASI) – Bagian 2 : Biskuit. Standar Nasional Indonesia, SNI 01-7111.2-2005. Jakarta: BSN. Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2005c. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP –ASI) – Bagian 3 : Siap Masak. Standar Nasional Indonesia, SNI 01-7111.3-2005. Jakarta: BSN. Basset, J. 1994. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta : EGC. BPS; Pusat Data Pertanian. 2006. Produktivitas Jagung di Provinsi Sentra Produksi dalam Gambaran
Ekonomi Jagung di Indonesia. Jakarta : Litbang Deptan. BPS; Susenas. 2002. Perubahan Konsumsi Bahan Makanan di Indonesia dalam Gambaran Ekonomi Jagung di Indonesia. Jakarta : Litbang Deptan. Horwitz, William. (2000). Official Methods of Analysis of AOAC th International 17 ed. Gaithersburg : AOAC International Jayusmar, E. Trisyulianti dan J. Jacja. 2002. Pengaruh suhu dan tekanan pengempaan terhadap sifat fisik wafer ransum dari limbah pertanian sumber serat dan leguminosa untuk ternak ruminansia. Media Peternakan 24 (3) : 76-80. Junaidi, Muhammad; Aminah, Siti; Teguh, Joko Isworo. 2012. Kadar Protein, Vitamin C, dan Sifat Organoleptik Bubur Bayi dari Campuran Tepung Kecambah Kacang-kacangan dan Jagung. Semarang : Universitas Muhammadiah Semarang. Miller, J.N. and J.C. Miller. 2005. Statistics Chemometrics for Analytical Chemistry (107). Sathe, S. K. dan D. K. Salunkhe. 1981. Isolation Partion, Characterization and Modification of The Great Northem Bean (Phaseulus vulgaris) Starch. Jurnal Food Science (46) : 617 – 621. Sudarmadji, S; Hariono, B; Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta. World Bank, tanpa tahun. Investing in Nutrition with World Bank Assistance. To Nourish a Nation. Washington D.C. : World Bank. World Bank. 1994. Enriching Lives, Overcoming Vitamin and Mineral Malnutrition in Developing Countries. Washington D.C. : World Bank.
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN DISMENORE PADA SISWI SMK NEGERI 10 MEDAN TAHUN 2013 Frenita Sophia1, Sori Muda2, Jemadi2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155 Email:
[email protected]
Abstract Dysmenorrhea is menstrual pain and cramping that usually centered in the lower abdomen that occurs before or during menstruation. The prevalence of dysmenorrhea in Indonesia in 2008 was 64.25%, consisting 54.89% primary dysmenorrhea and 9.36% secondary dysmenorrhea. The results of Novia research at SMA St. Thomas Medan in 2012 showed 84.4% of adolescents had dysmenorrhea, with mild pain intensity of 46.7%, 30.0% moderate pain, and severe pain 23.3%. To determine factors associated with dysmenorrhea at SMK Negeri 10 Medan in 2013, conducted research using cross sectional design. Sample was many 171 students were taken by simple random sampling. Univariate data were analyzed descriptively and bivariate data were analyzed using the chi square test with 95% CI. The result of the research shown that proportion prevalence of dysmenorrhea was 81,30%. The highest proportion of the dysmneorrhea of the respondent at the category ages 15 – 17 years old (85,90%), ages of menarche ≤ 12 years old (83,70%), normal menstrual cycles (82.90%), long periods ≥ 7 days (87.20%), family history (87.10%), underweight (88.00%), and less exercise (85.80%). the result of bivariate analysis, Generally there is a significant association between age (p = 0.020), age of menarche (p = 0.031), duration of menstruation (p = 0.046), family history (p = 0.019), nutritional status (p = 0.043), and exercise habits (p = 0.019) and dysmenorrhea. And there was no significant correlation between menstrual cycle and dysmenorrhea. It is expected that students who have dysmenorrhea accompanied fast menarche age, long term periods, irregular menstrual cycles, and family history of dysmenorrhea in order to see a doctor. And always exercise and keep normal body weight. Keywords: Dysmenorrhea, Adolescent, Risk Factors terjadi pada usia 11 tahun dan berlangsung hingga menopause (pada usia 45 – 55 tahun).3 Gangguan ginekologi pada masa remaja yang sangat sering terjadi adalah gangguan yang berhubungan dengan siklus menstruasi, pendarahan uterus disfungsi, yang termasuk di dalamnya adalah dismenore, pre menstrual syndrome, dan hirsutisme. Gangguan yang paling sering terjadi adalah dismenore.4 Dismenore adalah nyeri haid yang biasanya bersifat kram dan berpusat pada
Pendahuluan Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan biologis, psikologis, dan sosial. World Health Organization (WHO) menentukan usia remaja antara 12 – 24 tahun.1 Salah satu tanda seorang perempuan telah memasuki usia pubertas adalah terjadinya menstruasi. Menstruasi adalah pengeluaran cairan secara berkala dari vagina selama usia reproduksi.2 Menstruasi biasanya 1
nyeri ringan 46,7%, nyeri sedang 30,0%, dan nyeri berat 23,3% .14 Dari hasil survei pendahuluan yang telah dilakukan pada tanggal 3 Februari 2013 pada 10 siswi SMK Negeri 10 Medan, ditemukan 8 siswi mengalami dismenore dan 3 dari siswi tersebut mengalami dismenore yang sangat menganggu aktivitas mereka dan biasanya tidak masuk sekolah pada hari pertama menstruasi. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahui faktor – faktor yang berhubungan dengan dismenore pada siswi SMK Negeri 10 Medan tahun 2013 Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan dismenore pada siswi SMK Negeri 10 Medan tahun 2013 dan tujuan khususnya adalah untuk mengetahui proporsi prevalens dismenore, distribusi proporsi kejadian dismenore, hubungan antara umur dengan kejadian dismenore, hubungan antara umur menarche dengan kejadian dismenore, hubungan antara siklus menstruasi dengan kejadian dismenore, hubungan antara lama menstruasi dengan kejadian dismenore, hubungan antara riwayat dismenore pada keluarga dengan kejadian dismenore, hubungan antara status gizi dengan kejadian dismenore, hubungan antara kebiasaan olahraga dengan kejadian dismenore pada siswi SMK Negeri 10 Medan tahun 2013.
perut bagian bawah yang terasa sebelum atau selama menstruasi, terkadang sampai parah sehingga mengganggu aktivitas.5 Dismenore dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu dismenore primer dan dismenore sekunder. Dismenore primer yaitu nyeri pada saat menstruasi yang dijumpai tanpa adanya kelainan pada alat-alat genitalia yang nyata, sedangkan dismenore sekunder yaitu nyeri pada saat menstruasi yang disebabkan oleh kelainan ginekologi seperti salpingitis kronika, endometriosis, adenomiosis uteri, stenosis servitis uteri, dan lain-lain.6 Pada tahun 2005 sebanyak 75% remaja wanita di Mesir mengalami dismenore, 55,3 % dismenore ringan, 30% dismenore sedang, dan 14,8% dismenore berat.7 Pada tahun yang sama di Jepang angka kejadian dismenore primer 46 %, dan 27,3 % dari penderita absen dari sekolah dan pekerjaannya pada hari pertama menstruasi.8 Hasil penelitian di China tahun 2010 menunjukkan sekitar 41,9% - 79,4% remaja wanita mengalami dismenore primer. 31,5% 41,9 % terjadi pada usia 9 – 13 tahun dan 57,1% - 79,4% pada usia 14 – 18 tahun.9 Pada tahun 2012 prevalensi dismenore primer di Amerika Serikat pada wanita umur 12 – 17 tahun adalah 59,7%, dengan derajat kesakitan 49% dismenore ringan, 37% dismenore sedang, dan 12% dismenore berat yang mengakibatkan 23,6% dari penderitanya tidak masuk sekolah.10 Prevalensi dismenore di Indonesia tahun 2008 sebesar 64,25% yang terdiri dari 54,89% dismenore primer dan 9,36% dismenore sekunder.11 Pada tahun 2010 di Manado 98,5% siswi Sekolah Menengah Pertama pernah mengalami dismenore, 94,5% mengalami nyeri ringan, sedangkan yang mengalami nyeri sedang dan berat 3,5% dan 2%.12 Hasil penelitian Mahmudiono pada tahun 2011, angka kejadian dismenore primer pada remaja wanita yang berusia 14 – 19 tahun di Indonesia sekitar 54, 89%.13 Hasil penelitian Novia pada tahun 2012 menunjukkan 84.4 % remaja usia 16 – 18 tahun di SMA St. Thomas 1 Medan mengalami dismenore. Dengan intensitas
Metode Penelitian Penelitian ini bersifat observasional analitik, dengan menggunakan desain cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di SMK Negeri 10 Medan pada bulan Februari – Juni 2013. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswi SMK Negeri 10 Medan, dari kelas X – XI yang berjumlah 404 orang. Perhitungan sampel penelitian ini menggunakan rumus besar sampel dengan jumlah populasi yang diketahui. 15 n= Z2 [p (1-p)] N 2 Z [p (1-p)] + (N-1) E2 n N Z p E 2
: Besar sampel minimal : Jumlah populasi : Tingkat kepercayaan (95% = 1,96) : Proporsi penderita dismenore (0,74) : Kesalahan pengambilan sampel yang dikehendaki (5%)
umumnya terjadi 2 – 3 tahun setelah menarche, dimana usia ideal mengalami menstruasi yang pertama adalah 13 – 14 tahun.16
Dengan menggunakan rumus tersebut diketahui sampel sebanyak 171 orang. Data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari siswi dengan menggunakan metode wawancara dengan menggunakan kuesioner dan pengukuran tinggi serta berat badan siswi, sedangkan data sekunder diperoleh dari tempat dilakukannya penelitian yaitu SMK Negeri 10 Medan. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dengan chi-square 95% CI.
Distribusi proporsi umur menarche pada siswi SMK Negeri 10 Medan Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini Tabel 3 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Umur Menarche pada Siswi SMK Negeri 10 Medan Tahun 2013 Frekuensi Proporsi (%) Umur Menarche (Tahun) ≤ 12 86 50,30 13 – 14 72 42,10 > 14 13 7,60 Jumlah 171 100,00
Hasil dan Pembahasan Analisis Univariat Proporsi prevalens kejadian dismenore pada siswi SMK Negeri 10 Medan tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini Tabel
Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa berdasarkan umur menarche, proporsi responden tertinggi ada pada kelompok umur ≤ 12 tahun (50,30%) dan yang terendah adalah pada kelompok umur > 14 tahun (7,60%). Menarche atau menstruasi pertama pada umumnya dialami remaja pada usia 13 – 14 tahun, namun pada beberapa kasus dapat terjadi pada usia ≤ 12 tahun.17 Usia menarche yang cepat dapat terjadi karena 2 faktor, faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor genetik yang diturunkan, sedangkan faktor eksternal seperti faktor makanan, pola hidup, dan status gizi.18
1
Proporsi Prevalens Kejadian Dismenore pada Siswi SMK Negeri 10 Medan Tahun 2013 Kejadian Frekuensi Proporsi Dismenore (%) Dismenore 139 81,30 Tidak Dismenore 32 18,70 Jumlah 171 100,00
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa proporsi prevalens kejadian dismenore pada siswi SMK Negeri 10 Medan tahun 2013 adalah 81,30%. Distribusi proporsi responden berdasarkan umur di SMK Negeri 10 Medan tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini Tabel
Distribusi proporsi siklus menstruasi pada siswi SMK Negeri 10 Medan Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini
2
Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Umur di SMK Negeri 10 Medan Tahun 2013 Umur Frekuensi Proporsi (%) (Tahun) ≤ 14 14 8,20 15 – 17 142 83,00 > 17 15 8,80 Jumlah 171 100,00
Tabel 4 Distribusi Proporsi Siklus Menstruasi Pada Siswi SMK Negeri 10 Medan Tahun 2013 Siklus Frekuensi Proporsi (%) Menstruasi Normal 129 75,40 Tidak normal 42 24,60 Jumlah 171 100,00
Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa berdasarkan kelompok umur, proporsi responden tertinggi ada pada kelompok umur 15 – 17 tahun (83,00%) dan yang terendah adalah pada kelompok umur ≤ 14 tahun (8,20%). Hal ini dapat terjadi karena pada umumnya siswa SMA berada pada usia 14 – 18 tahun. Pada penelitian ini dipakai rentang usia tersebut karena dismenore pada
Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa berdasarkan siklus menstruasi, proporsi tertinggi adalah responden dengan siklus menstruasi normal (75,40%) dan yang terendah adalah responden dengan siklus menstruasi tidak normal (24,60%). Dari hasil penelitian diketahui 75,40 % siswi SMK Negeri 10 Medan tahun 2013 bersiklus 3
menstruasi normal. Hal ini terjadi karena pada umumnya 3 tahun setelah menarche siklus menstruasi akan teratur (24 – 31 hari), karena hormon – hormon reproduksi telah berfungsi dengan baik.19
Tabel 7 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Status Gizi pada Siswi SMK Negeri 10 Medan Tahun 2013 Status Gizi Frekuensi Proporsi (%) Underweight 75 43,90 Normal 80 46,80 Overweigth 16 9,30 Jumlah 171 100,00
Distribusi proporsi lama menstruasi pada siswi SMK Negeri 10 Medan Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Pada tabel 7 dapat dilihat bahwa berdasarkan status gizi, proporsi tertinggi adalah responden dengan status gizi normal (46,80%) dan yang terendah adalah responden dengan status gizi lebih (overweight) (9,30%). Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dengan penggunaan zat – zat gizi di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih.21
Tabel 5
Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Lama Menstruasi pada Siswi SMK Negeri 10 Medan Tahun 2013 Lama Frekuensi Proporsi (%) Menstruasi ≥ 7 hari 86 50,30 < 7 hari 85 49,70 Jumlah 171 100,00
Pada tabel 5 dapat dilihat bahwa berdasarkan lama menstruasi, proporsi tertinggi adalah responden dengan lama menstruasi ≥ 7 hari (50,30%) dan yang terendah adalah responden dengan lama menstruasi < 7 hari (49,70%).
Distribusi proporsi kebiasaan olahraga pada siswi SMK Negeri 10 Medan Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini Tabel 8
Distribusi Proporsi Kebiasaan Olahraga pada Siswi SMK Negeri 10 Medan Tahun 2013 Olahraga Frekuensi Proporsi (%) Jarang 120 70,20 Sering 51 29,80 Jumlah 171 100,00
Distribusi proporsi riwayat dismenore pada keluarga pada siswi SMK Negeri 10 Medan Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah Tabel 6
Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Riwayat Dismenore pada Keluarga pada Siswi SMK Negeri 10 Medan Tahun 2013 Riwayat Frekuensi Proporsi (%) Keluarga Ada 101 59,10 Tidak ada 70 40,90 Jumlah 171 100,00
Pada tabel 8 dapat dilihat bahwa berdasarkan kebiasaan olahraga, proporsi responden tertinggi adalah yang jarang berolahraga (70,20%) dan yang proporsi responden terendah adalah yang sering berolahraga (29,80%).
Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa berdasarkan riwayat keluarga, proporsi tertinggi adalah responden yang memiliki riwayat keluarga dismenore (59,10%) dan yang terendah adalah responden yang tidak memiliki riwayat keluarga dismenore (40,90). Riwayat penyakit pada keluarga adalah riwayat medis di masa lalu dari anggota keluarga yang mempunyai hubungan darah. Pada umumnya terdapat persamaan kondisi fisik dalam keluarga.20
Analisis Bivariat Hubungan Umur dengan Dismenore Tabel 9 Tabulasi Silang Hubungan Umur dengan Kejadian Dismenore pada Siswi SMK Negeri 10 Tahun 2013 Kejadian Dismenore Umur
Distribusi proporsi status gizi pada siswi SMK Negeri 10 Medan Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 7
Jumlah Dismenore
Tidak Dismenore
f
%
f
%
f
%
≤ 14
9
64,3
5
35,7
14
100
15 - 17
122
85,9
20
14,1
142
100
> 17
8
53,3
7
46,7
15
100
p
0,02
RP (CI = 95%)
1,050 (0,917 – 1,203) 1,611 (0,153 – 0,594)
Berdasarkan tabel 9 dapat dilihat bahwa proporsi dismenore tertinggi pada 4
kelompok umur 15 – 17 tahun yaitu 85,90% dan yang terendah pada kelompok umur > 17 tahun yaitu 53,30%. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,020 yang berarti secara umum terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian dismenore pada siswi SMK Negeri 10 Medan tahun 2013. Sedangkan jika dibandingkan menurut kelompok umur ≤ 14 tahun dengan kelompok umur 15 – 17 tahun, yang merupakan umur yang berisiko mengalami dismenore, hasil uji statistik dengan menggunkan uji chi square diperoleh nilai p=0,486 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian dismenore. Untuk kelompok umur 15 – 17 tahun jika dibandingkan dengan kelompok umur > 17 tahun dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,001 yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian dismenore. Rasio prevalens kejadian dismenore pada kelompok umur 15 – 17 tahun dengan kelompok umur > 17 tahun adalah 1,611 (0,513 – 0,594). Artinya siswi pada kelompok umur 15 – 17 tahun memiliki kemungkinan resiko 1,6 kali lebih besar mengalami dismenore dibandingkan dengan siswi pada kelompok umur > 17 tahun. Dismenore pada umumnya terjadi 2 – 3 tahun setelah menarche, umur menarche yang ideal adalah 13 – 14 tahun, sehingga dismenore lebih banyak terjadi pada usia 15 – 17 tahun. Selain itu pada usia tersebut terjadi perkembangan organ – organ reproduksi dan perubahan hormonal yang signifikan.16 Pada awal masa menstruasi sering terjadi siklus menstruasi yang anovulatoir atau menstruasi tanpa pelepasan sel telur yang disebabkan kurangnya respons umpan balik dari hipotalamus terhadap estrogen dan ovarium. Paparan estrogen yang terus menerus pada ovarium dan peluruhan endometrium yang berproliferasi mengakibatkan pola menstruasi yang tidak teratur dan sering disertai dengan rasa nyeri.22
Hubungan Dismenore
Umur
Menarche
dengan
Tabel 10 Tabulasi Silang Hubungan Umur Menarche dengan Kejadian Dismenore pada Siswi SMK Negeri 10 Medan Tahun 2013 Umur Menar che
Kejadian Dismenore Jumlah Dismenore
Tidak Dismenore
f
%
f
%
f
%
≤ 12
72
83,7
14
16,3
86
100
13 - 14
60
83,3
12
16,7
72
100
> 14
7
53,8
6
46,2
13
100
p
0,031
RP (CI = 95%)
1,568 (0,598 0,716 1,117 (0,539 1,026)
Berdasarkan tabel 10 dapat dilihat bahwa proporsi dismenore tertinggi pada kelompok umur menarche < 12 tahun yaitu 83,70% dan terendah pada kelompok umur > 14 tahun yaitu 46,20%. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,031 artinya secara umum terdapat hubungan yang bermakna antara umur menarche dengan kejadian dismenore pada siswi SMK Negeri 10 Medan tahun 2013. Sedangkan jika dibandingkan menurut kelompok umur menarche ≤ 12 tahun dengan kelompok umur menarche 13 – 14 tahun, yang merupakan umur ideal remaja perempuan mengalami menstruasi pertama, hasil uji statistik dengan menggunkan uji chi square diperoleh nilai p=0,037 yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian dismenore. Rasio prevalens kejadian dismenore pada kelompok umur menarche ≤ 12 tahun dengan kelompok umur menarche 13 - 14 tahun adalah 1,568 (0,598 – 0,716). Artinya siswi yang menstruasi pada umur ≤ 12 tahun memiliki kemungkinan resiko 1,6 kali lebih besar mengalami dismenore dibandingkan dengan siswi yang menstruasi pada umur 13 – 14 tahun. Untuk kelompok umur menarche 13 – 14 tahun jika dibandingkan dengan kelompok umur menarche > 14 tahun dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,210 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian dismenore. 5
Hubungan Lama Menstruasi dengan Kejadian Dismenore
Pubertas adalah suatu masa transisi antara masa anak – anak dan dewasa yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan organ – organ reproduksi. Salah satu tanda remaja wanita sudah memasuki masa pubertas adalah menarche. Menarche atau menstruasi pertama pada umumnya dialami remaja pada usia 13 – 14 tahun, namun pada beberapa kasus dapat terjadi pada usia ≤ 12 tahun.17 Umur menarche yang terlalu muda (≤ 12 tahun) dimana organ – organ reproduksi belum berkembang secara maksimal dan masih terjadi penyempitan pada leher rahim, maka akan timbul rasa sakit pada saat menstruasi. karena organ reproduksi wanita belum berfungsi secara maksimal.23 Hubungan Dismenore
Siklus
Menstruasi
Tabel 12 Tabulasi Silang Hubungan Lama Menstruasi dengan Kejadian Dismenore pada Siswi SMK Negeri 10 Tahun 2013 Lama Menstru asi
dengan
Tabel 11 Tabulasi Silang Hubungan Siklus Menstruasi dengan Kejadian Dismenore pada Siswi SMK Negeri 10 Medan Tahun 2013 Kejadian Dismenore Siklus Menstruasi
Dismenore
Tidak Dismenore
Normal
f 107
f 22
Tidak normal
Jumlah
32
% 82,9 76,2
10
% 17,1 23,8
f 129 42
p
RP (CI = 95%)
0,33
1,089 (0,904 – 1,312)
% 100 100
Berdasarkan tabel 11 dapat dilihat bahwa proporsi dismenore tertinggi pada kelompok siswi dengan siklus menstruasi normal yaitu 82,90% dan terendah pada kelompok siswi dengan siklus menstruasi tidak normal yaitu 76,20%. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,330 artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara siklus menstruasi dengan kejadian dismenore.
Kejadian Dismenore Jumlah Dismenore
Tidak Dismenore
≥ 7 hari
f 75
% 87,2
f 11
% 12,8
f 86
% 100
< 7 hari
64
75,3
21
24,7
85
100
p
RP (CI = 95%)
0,046
1,158 (0,746 – 0,999)
Berdasarkan tabel 12 dapat dilihat bahwa proporsi dismenore tertinggi pada kelompok siswi dengan lama menstruasi ≥ 7 hari yaitu 87,20% dan terendah pada kelompok siswi dengan lama menstruasi < 7 hari yaitu 73,30%. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,046 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara lama menstruasi dengan kejadian dismenore. Rasio prevalens siswi dengan lama menstruasi ≥ 7 hari dan < 7 hari adalah 1,158 (0,746 – 0,999). Yang berarti siswi dengan lama menstruasi ≥ 7 hari kemungkinan berisiko mengalami dismenore 1,2 kali lebih besar daripada siswi dengan lama menstruasi < 7 hari. Semakin lama menstruasi terjadi, maka semakin sering uterus berkontraksi, akibatnya semakin banyak pula prostaglandin yang dikeluarkan. Akibat prostaglandin yang berlebihan maka timbul rasa nyeri pada saat menstruasi.24 Hubungan Riwayat Dismenore pada Keluarga dengan Kejadian Dismenore Tabel 13 Tabulasi Silang Hubungan Riwayat Dismenore pada Keluarga dengan Kejadian Dismenore pada Siswi SMK Negeri 10 Medan Tahun 2013 Riwayat Keluarga
Ada Tidak ada
6
Kejadian Dismenore Jumlah Dismenore
Tidak Dismenore
f 88
f 13
51
% 87,1 72,9
19
% 12,9 27,1
f 101 70
p
RP (CI = 95%)
0,019
1,194 (0,712 – 0,983)
% 100 100
Berdasarkan tabel 13 dapat dilihat bahwa proporsi dismenore tertinggi pada kelompok siswi yang memiliki riwayat dismenore pada keluarga yaitu 87,10% dan terendah pada kelompok siswi yang tidak memiliki riwayat dismenore pada keluarga yaitu 72,90%. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,019 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat dismeore pada keluarga dengan kejadian dismenore. Rasio prevalens kejadian dismenore pada siswi yang memiliki riwayat dismenore pada keluarga dan yang tidak memiliki riwayat dismenore pada keluarga adalah 1,194 (0,712 – 0,983). Yang berarti siswi yang memiliki riwayat dismenore pada keluarga memiliki kemungkinan berisiko 1,2 kali lebih besar mengalami dismenore daripada siswi yang tidak memiliki riwayat dismenore pada keluarga. Riwayat keluarga (ibu atau saudara perempuan kandung) merupakan salah satu faktor risiko dismenore. Kondisi anatomi dan fisiologis dari seseorang pada umumnya hampir sama dengan orang tua dan saudara – saudaranya.24 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Dismenore Tabel 14 Tabulasi Silang Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Dismenore pada Siswi SMK Negeri 10 Tahun 2013 Kejadian Dismenore Status Gizi
Jumlah Dismenore
Tidak Dismenore
f 66
% 88,0
f 9
% 12,0
f 75
% 100
Normal
63
78,7
17
21,3
80
100
Over weight
10
62,5
6
37,5
16
100
Under weight
p
RP (CI= 95%)
1,238 (0,729– 0,819) 0,043 1,117 (0,328– 0,729)
Berdasarkan tabel 14 dapat dilihat proporsi dismenore tertinggi pada status gizi rendah (underweight) yaitu 88,00% dan yang terendah pada status gizi lebih yaitu 62,50%. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,043 artinya secara umum terdapat 7
hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian dismenore pada siswi SMK Negeri 10 Medan tahun 2013. Sedangkan jika dibandingkan status gizi rendah (underweight) dengan status gizi normal, hasil uji statistik dengan menggunkan uji chi square diperoleh nilai p=0,006 yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian dismenore. Rasio prevalens kejadian dismenore pada siswi dengan status gizi rendah (underweight) dengan status gizi normal adalah 1,238 (0,329 – 0,819). Artinya siswi dengan status gizi rendah (underweight) memiliki kemungkinan resiko 1,2 kali lebih besar mengalami dismenore dibandingkan dengan siswi dengan status gizi normal Untuk siswi dengan status gizi normal jika dibandingkan dengan siswi dengan status gizi lebih (overweight) dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,039 yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian dismenore. Rasio prevalens kejadian dismenore pada siswi dengan status gizi lebih (overweight) dengan siswi yang berstatus gizi normal adalah 1,117 (0,328 – 0,729). Artinya siswi dengan status gizi lebih (overweight) memiliki kemungkinan resiko 1,1 kali lebih besar mengalami dismenore dibandingkan dengan siswi yang berstatus gizi normal. Status gizi yang rendah (underweight) dapat diakibatkan karena asupan makanan yang kurang, termasuk zat besi yang dapat menimbulkan anemia. Anemia merupakan salah satu faktor konstitusi yang menyebabkan kurangnya daya tahan tubuh terhadap rasa nyeri sehingga saat menstruasi dapat terjadi dismenore.25 Sedangkan status gizi lebih (overweight) dapat juga mengakibatkan dismenore karena terdapat jaringan lemak yang berlebihan yang dapat mengakibatkan hiperplasi pembuluh darah atau terdesaknya pembuluh darah oleh jaringan lemak pada organ reproduksi wanita, sehingga darah yang seharusnya mengalir pada proses menstruasi terganggu dan mengakibatkan nyeri pada saat menstruasi.23
Hubungan Kebiasaan Kejadian Dismenore
Olahraga
dengan
Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Proporsi prevalens dismenore pada siswi SMK Negeri 10 Medan tahun 2013 adalah 81,30%. b. Proporsi siswi yang mengalami dismenore di SMK Negeri 10 Medan tahun 2013 yang tertinggi pada kelompok umur 15 – 17 tahun (85,90%), umur menarche ≤ 12 tahun (83,70%), siklus menstruasi normal (82,90%), lama menstruasi ≥ 7 hari (87,20%), memiliki riwayat keluarga (87,10%), status gizi rendah (88,00%), dan jarang berolahraga (85,80%). c. Secara umum terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian dismenore pada siswi SMK Negeri 10 Medan tahun 2013 (p=0,020 ; χ2=12,365). d. Secara umum terdapat hubungan yang bermakna antara umur menarche dengan kejadian dismenore pada siswi SMK Negeri 10 Medan tahun 2013 (p=0,031 ; χ2=6,968). e. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara siklus menstruasi dengan kejadian dismenore pada siswi SMK Negeri 10 Medan tahun 2013 (p=0,330) f. Terdapat hubungan yang bermakna antara lama menstruasi dengan kejadian dismenore pada siswi SMK Negeri 10 Medan tahun 2013 (p=0,046 ; χ2=3,990 ; RP=1,158 (95% CI=0,746 – 0,999). g. Terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga dengan kejadian dismenore pada siswi SMK Negeri 10 Medan tahun 2013 (p=0,019 ; χ2=5,536 ; RP=1,194 (95% CI=0,712 – 0,983)). h. Secara umum terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian dismenore pada siswi SMK Negeri 10 Medan tahun 2013 (p=0,043 ; χ2=6,273) i. Terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan olahraga dengan kejadian dismenore pada siswi SMK Negeri 10 Medan tahun 2013 (p=0,019 ; χ2=5,468 ; RP=1,215 (95% CI=1,004 – 1,473).
Tabel 15 Tabulasi Silang Hubungan Kebiasaan Olahraga dengan Kejadian Dismenore pada Siswi SMK Negeri 10 Medan Tahun 2013 Kejadian Dismenore Olahraga
Jumlah Dismenore
Tidak Dismenore
Jarang
f 103
% 85,8
f 17
% 14,2
f 120
% 100
Sering
36
70,6
15
29,4
51
100
p
RP (CI = 95%)
0,0 19
1,215 (1,004 – 1,473)
Berdasarkan tabel 15 dapat dilihat bahwa proporsi dismenore tertinggi pada kelompok siswi yang jarang berolahraga yaitu 85,80% dan terendah pada kelompok siswi yang sering berolahraga yaitu 70,60%. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,019 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan olahraga dengan kejadian dismenore. Rasio prevalens kejadian dismenore siswi yang jarang berolahraga dan yang yang sering berolahraga adalah 1,215 (1,004 – 1,473). Siswi yang jarang berolahraga memiliki kemungkinan risiko 1,2 kali lebih besar mengalami dismenore daripada siswi yang sering berolahraga. Adanya hubungan kebiasaan olahraga terhadap kejadian dismenore dapat disebabkan karena olahraga merupakan salah satu teknik relaksasi yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri. Hal ini disebabkan saat melakukan olahraga tubuh akan menghasilkan endorphin. Endorphin dihasilkan oleh otak dan susunan syaraf tulang belakang. Sesuai dengan teori Endorfin-Enkefalin mengenai pemahaman mekanisme nyeri adalah ditemukannya reseptor opiate di membran sinaps dan kornu dorsalis medulla spinalis. Terdapat tiga golongan utama peptide opioid endogen, yaitu golongan enkefalin, beta-endorfin, dan dinorfin. Beta-endofin yang dikeluarkan saat olahraga sangat efektif untuk mengurangi rasa nyeri.25
2. Saran a. Diharapkan kepada siswi yang mengalami dismenore disertai umur menarche yang cepat, lama menstruasi yang panjang, 8
10. Omidvar, S, 2012. Characteristics and Determinants of Primary Dysmenorrhea in Young Adults. American Medical Journal. 11. Santoso, 2008. Angka Kejadian Nyeri Haid pada Remaja Indonesia. Journal of Obstretics & Gynecology. 12. Lestari, H, 2010. Gambaran Dismenorea pada Remaja Putri Sekolah Menengah Pertama di Manado. Jurnal Pediatri Volume 2. 13. Mahmudiono, T, 2011. Fiber, PUFA and Calcium Intake is Associated With The Degree of Primary Dysmenorrhea In Adolescent Girl Surabaya, Indonesia. Journal of Obstretics & Gynecology. 14. Novia, D, 2012. Hubungan Dismenore dengan Olahraga pada Remaja di SMA St. Thomas 1 Medan. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 15. Eriyanto, 2007. Teknik Sampling Analisis Opini Publik. PT Pelangi Aksara : Yogyakarta 16. Baradero, M, 2006. Gangguan Sistem Reproduksi dan Seksualitas. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta. 17. Manuaba. 2001, Kapita Selekta Pelaksanaan Rutin Obsterti Penerbit Ginekologi dan KB. Buku Kedokteran EGC : Jakarta. 18. Santrock, JW, 2003. Adolenscence, Perkembangan Remaja. Erlangga : Jakarta. 19. Hamilton, P, 1995. Dasar – Dasar Keperawatan Maternitas. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta 20. Burnside, J, 1995. Diagnosis Fisik. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta 21. Almatsier, S, 2005. Prinsip Dasar Gizi. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta 22. Widjanarko, B, 2006. Dismenore Tinjauan Terapi pada Dismenore Bagian Ilmu Kebidanan Primer. dan Penyakit Kandungan Fakultas Kedokteran Rumah Sakit Unika Atma Jaya 23. Ehrenthal, D, 2006. Menstrual Disorders. Versa Press : USA.
siklus menstuasi yang tidak teratur, dan riwayat dismenore pada keluarga agar memeriksakan diri ke dokter. b. Diharapkan kepada siswi agar rajin berolahraga karena dapat menurunkan kadar prostaglandin dan mengeluarkan hormon endorphin yang dapat mengurangi rasa nyeri serta menjaga berat badan normal karena berat badan yang kurang dan lebih merupakan faktor risiko dari dismenore. c. Diharapkan kepada pihak sekolah agar dapat memberikan penyuluhan kepada siswi tentang masalah kesehatan reproduksi khususnya dismenore. Daftar pustaka 1. Kusmiran, E, 2011. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Salemba Medika : Jakarta. 2. Ramaiah. 2006, Gangguan Menstruasi. Yogyakarta : Digiosa Media. 3. Benson, R, 2009. Obstetri Ginekologi. Edisi 9. Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC. 4. Edmonds, K, 2007. Gynaecological Disorders of Childhood and Adolescense : Dewhurst’s Textbook of Obstetrics and Gynaecological 7thEdition. Blackwell Publishing : London. 5. Fritz, M & Speroff L, 2010. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. Lippincott Williams & Wilkins. USA. 6. Prawirohardjo, S, 2008. Ilmu Kandungan. PT Bina Pustaka : Jakarta. 7. Badawi, K. 2005, Epidemiologi of Dysmenorrhoea among Adolescent Students in Mansoura, Egypt. Eastern Mediterranean Health Journal,Volume 11. 8. Osuga, Y. 2005, Dysmenorrhoea in Japanese Women. International Journal of Gynecology and Obstetrics. 9. Gui-zhou, H, 2010. Prevalence of Dysmenorrhoea in Female Students in a Chinese University : A Prospective Study. Health Journal. 9
24. Pilliteri, A, 2003. Maternal & Child Health Nursing, Care of the Childbearing & Childearing Family 4th Edition. Lippincott William & Wilkins : Philadelphia. 25. Sylvia, W and M. Lorrainne. 2006. Patofisologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta .
10
KARAKTERISTIK PENDERITA TUBERKULOSIS PARU ANAK YANG RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA PADANGSIDIMPUAN TAHUN 2012 CHARACTERISTICS OF PULMONARY TUBERCULOSIS PATIENTS WHO WERE HOSPITALIZED IN GENERAL HOSPITAL PADANGSIDIMPUAN CITY IN 2012
Veni Hardianti1, Hiswani2, Jemadi2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155
Abstract Pulmonary tuberculosis (TB) is a infection disease of pulmonary chronic caused by Mycobacterium tuberculosis. In 2011, number of case pulmonary TB in the age group 0-14 years 1727 cases in Indonesia, North Sumatera province there were 104 cases. In 2010 in Medan city there were 194 children who suffer from TB. In 2011, there were 1580 Padangsidimpuan City children who suffer from TB. To determine the characteristics of pulmonary tuberculosis patients who were hospitalized in RSUD Padangsidimpuan city in 2012, conducted a research with case series design and statistical analysis with Chi-Square, Exact Fisher, t-independent and Anova test. Population was 115 patients data with samples all of population (total sampling). Based on sosiodemographic, the highest population is in the age group of 0-4 years old (57.4%), male (53.0%), Islam (87.8%), came from outer Padangsidimpuan City (51.3%), primary pulmonary TB (97.4%), had history of pulmonary TB in the family (60.0%), maintainability long on average 4.64 days, not alone cost (60.0%), recover (90.4%). There was no significant difference between the sexes based on the natural history of disease (p=0.600), there was no significant difference between the average long care based on natural history of disease (p=0.990), there was no significant difference between the average long care based on costs source (p=0.137), there was no significant difference between the average long care based on while come back of home (p=0.528). For parents to give BCG immunization as soon as the child was born because there were many TB case in children and more respon to complaints and symptoms of pulmonary TB in children. To family members who suffer from pulmonary TB as soon as checked up and complete their treatment regularly until 6 months. Keywords : Child Pulmonary Tuberculosis, Characteristics nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut.2 World Health Organization (WHO) melaporkan pada tahun 2011 terdapat 8,7 juta orang yang menderita TB paru dan 1,4 juta orang meninggal karena penyakit ini. Lebih dari 95% kematian akibat TB paru terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Insidensi TB paru terbesar pada tahun 2011 di Asia, yaitu 60% dari insidensi TB paru secara global. Di Afrika insidensi TB paru yaitu 260
Pendahuluan TB paru adalah suatu penyakit infeksi kronik jaringan paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan sudah sangat lama dikenal pada manusia.1 Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2000, TB paru merupakan pembunuh nomor satu dari penyakit menular yang menyebabkan sekitar 100.000 kematian setiap tahunnya dan merupakan penyebab kematian 1
kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2011.3 Data Global Tuberculosis Control WHO Report tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi TB di Indonesia 289 per 100.000 penduduk, insidensi TB 189 per 100.000 penduduk dan angka mortalitas TB 27 per 100.000 penduduk. Insidensi TB basil tahan asam (BTA) positif di Sumatera 164 per 100.000 penduduk, Jawa 107 per 100.000 penduduk, Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta dan Bali 64 per 100.000 penduduk, Kawasan Timur Indonesia (KTI) 210 per 100.000 penduduk.4 Beberapa negara tropis, TB anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Penyakit ini merupakan penyakit berat yang sering ditemui pada anak-anak, sebagian besar karena kepadatan, kemiskinan, dan malnutrisi.5 Dengan meningkatnya kejadian TB pada orang dewasa, maka jumlah anak yang terinfeksi TB akan meningkat dan jumlah anak dengan penyakit TB juga meningkat.6 TB anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena jumlah anak berusia <15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi. Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun adalah 5-6% dari total kasus TB.5 Sekitar setengah juta anakanak (0-14 tahun) menderita TB, dan 64.000 anak meninggal karena penyakit ini pada tahun 2011.3 Pada TB anak permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan, dan pencegahan. Berbeda dengan TB dewasa, TB pada anak seringkali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB pada pemeriksaan mikrobiologik. Pada anak hal itu sulit didapatkan, sekalipun spesimen dapat diperoleh pada pemeriksaan mikrobiologik, mikroorganisme penyebab jarang ditemukan pada sediaan langsung dan kultur. Di negara berkembang dengan fasilitas tes Mantoux dan foto Rontgen paru yang masih kurang, diagnosis TB anak menjadi lebih sulit.8 Berdasarkan data dari RSU Sumedang pada tahun 2003, jumlah anak yang terdiagnosa menderita TB paru dan kelenjar adalah sejumlah 3.629 orang. Kecamatan Paseh merupakan kecamatan dengan angka
tertinggi untuk jumlah pasien penderita TB pada anak di RSU Sumedang. Menurut data dari Puskesmas Paseh terdapat 163 orang anak yang terdiagnosa menderita TB dengan rincian 138 anak menderita TB kelenjar dan 25 anak menderita TB paru.9 Berdasarkan data dari Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta yang merupakan tempat rawat jalan untuk pengobatan penyakit paru, termasuk penyakit TB paru, selama tahun 2007 jumlah kunjungan semua pasien TB 39.351 dengan perincian pasien baru 10.270 orang dan pasien lama 29.081 orang, sedangkan jumlah kunjungan pasien baru TB anak 351 orang.10 Proporsi TB anak diantara seluruh pasien TB di Indonesia pada tahun 2008 11%, tahun 2009 10%, tahun 2010 dan 2011 9%.4 Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011, jumlah kasus TB paru pada kelompok umur 0-14 tahun di Indonesia 1.727 kasus. Pada kelompok umur yang sama di tingkat provinsi, jumlah kasus tertinggi di provinsi Jawa Barat 267 kasus, Jawa Timur 234 kasus, Jawa Tengah 202 kasus, dan provinsi Sumatera Utara berada di urutan ke-4 dengan jumlah kasus 104 kasus.11 Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2010, jumlah anak yang menderita TB 194 orang.12 Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan tahun 2011, terdapat 1.580 anak yang menderita penyakit TB.13 Dari hasil survei pendahuluan yang dilakukan di RSUD Kota Padangsidimpuan diketahui jumlah penderita TB paru anak yang rawat inap tahun 2012 berjumlah 115 orang. Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik penderita TB paru anak yang rawat inap di RSUD Kota Padangsidimpuan tahun 2012. Perumusan Masalah Belum diketahui karakteristik penderita TB paru anak yang rawat inap di RSUD Kota Padangsidimpuan tahun 2012. Tujuan Penelitian Mengetahui karakteristik penderita TB paru anak yang rawat inap di RSUD Kota 2
Padangsidimpuan tahun 2012. Tujuan khusus penelitian ini adalah: Mengetahui distribusi proporsi penderita TB paru anak yang rawat inap berdasarkan sosiodemografi (umur, jenis kelamin, agama, dan tempat tinggal); riwayat alamiah penyakit; riwayat TB paru dalam keluarga; lama rawatan rata-rata penderita; sumber biaya; keadaan sewaktu pulang. Mengetahui perbedaan distribusi proporsi jenis kelamin berdasarkan riwayat alamiah penyakit. Mengetahui perbedaan lama rawatan rata-rata berdasarkan riwayat alamiah penyakit, sumber biaya, dan keadaan sewaktu pulang. Mengetahui perbedaan distribusi proporsi sumber biaya berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Manfaat penelitian ini adalah: Sebagai masukan dalam rangka meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit TB paru khususnya di wilayah Kota Padangsidimpuan. Sebagai informasi dan bahan masukan bagi pihak RSUD Kota Padangsidimpuan untuk membuat rencana program pelayanan kesehatan dan penyediaan fasilitas perawatan dan pengobatan bagi penderita TB paru. Sebagai sarana untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis khususnya serta pihak lain tentang penyakit TB paru.
jenis kelamin, agama, dan tempat tinggal dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 1. Distribusi Proporsi Penderita TB Paru Anak yang Rawat Inap Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Agama, dan Tempat Tinggal di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2012 No. Sosiodemografi f % 1. Umur (Tahun) 0-4 66 57,4 5-9 28 24,3 10-14 21 18,3 Jumlah 115 100,0 2. Jenis Kelamin Laki-laki 61 53,0 Perempuan 54 47,0 Jumlah 115 100,0 3. Agama Islam 101 87,8 Kristen Protestan 12 10,5 Kristen Katolik 2 1,7 Jumlah 115 100,0 4. Tempat Tinggal Kota Padangsidimpuan 56 48,7 Luar Kota 59 51,3 Padangsidimpuan Jumlah 115 100,0
Dari tabel 1. dapat dilihat bahwa berdasarkan umur proporsi tertinggi pada kelompok umur 0-4 tahun yaitu 66 orang (57,4%), sedangkan terendah pada kelompok umur 10-14 tahun yaitu 21 orang (18,3%). Anak berusia kurang dari 5 tahun mempunyai resiko lebih besar mengalami progresi menjadi sakit TB paru karena imunitas selularnya belum berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi resiko untuk menjadi sakit TB paru ini akan berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Sehingga anak <5 tahun lebih banyak terinfeksi kuman TB.7 Berdasarkan jenis kelamin, proporsi tertinggi pada laki-laki yaitu 61 orang (53,0%), sedangka pada perempuan 54 orang (47,0%). Hampir tidak ada perbedaan di antara laki-laki dan perempuan sampai umur pubertas. Anak-anak pada kedua jenis kelamin memiliki daya tahan tubuh yang lemah dan belum terbentuk sempurna.14 Berdasarkan agama, proporsi tertinggi pada agama Islam yaitu 101 orang (87,8%), sedangkan agama Kristen Protestan 12 orang (10,5%), dan Kristen Katolik 2 orang (1,7%). Hal ini bukan berarti agama Islam merupakan
Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series. Penelitian ini berlokasi di RSUD Kota Padangsidimpuan. Waktu penelitian dilakukan sejak bulan Novemver 2012 sampai dengan Juli 2013. Populasi penelitian adalah seluruh data anak penderita TB paru yang rawat inap di RSUD Kota Padangsidimpuan tahun 2012 sebanyak 115 orang. Besar sampel sama dengan besar populasi (total sampling). Data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dengan uji Chi-Square, uji Exact Fisher, uji t-independent, dan uji Anova. Hasil dan Pembahasan Distribusi proporsi penderita berdasarkan sosiodemografi meliputi umur, 3
faktor resiko untuk menderita TB paru, tetapi menunjukkan penderita yang datang berobat mayoritas beragama Islam dan karena penduduk Kota Padangsidimpuan dan sekitarnya mayoritas beragama Islam. Berdasarkan tempat tinggal, proporsi tertinggi di luar Kota Padangsidimpuan yaitu 59 orang (51,3%), sedangkan di Kota Padangsidimpuan 56 orang (48,7%). Hal ini karena letak RSUD Kota Padangsidimpuan yang strategis dan mudah dijangkau. Distribusi proporsi penderita berdasarkan riwayat alamiah penyakit dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
orang dewasa, mengingat daya tahan dan kekebalan tubuh anak yang lemah.2 Lama rawatan rata-rata (hari) penderita dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4. Lama Rawatan Rata-rata (hari) Penderita TB Paru Anak yang Rawat Inap di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2012 Lama Rawatan Rata-rata (hari) Mean 4,64 Standard deviation 3,272 95% CI 4,04 – 5,25 Min 2 Max 21
Dari tabel 4. dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata penderita adalah 4,64 hari (5 hari) dengan Standard Deviasi (SD) 3,272 hari. Lama rawatan paling singkat adalah 2 hari dan paling lama adalah 21 hari. Berdasarkan 95% Confidence Interval diperoleh lama rawatan rata-rata 4,04 – 5,25 hari. Distribusi proporsi penderita berdasarkan sumber biaya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Distribusi Proporsi Penderita TB Paru Anak yang Rawat Inap Berdasarkan Riwayat Alamiah Penyakit di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2012 Riwayat Alamiah f % Penyakit TB paru primer 112 97,4 TB paru post primer 3 2,6 Jumlah 115 100,0
Dari tabel 2. dapat dilihat bahwa proporsi penderita tertinggi adalah TB paru primer 112 orang (97,4%) sedangkan TB paru post primer 3 orang (2,6%). TB paru primer adalah keradangan paru yang disebabkan oleh basil TB pada tubuh penderita yang belum pernah mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil tersebut.12 Distribusi proporsi penderita berdasarkan riwayat TB paru dalam keluarga dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5. Distribusi Proporsi Penderita TB Paru anak yang Rawat Inap Berdasarkan sumber Biaya di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2012 Sumber Biaya f % Biaya sendiri 46 40,0 Bukan biaya sendiri 69 60,0 (ASKES, Jamkesmas, Jamkesda) Jumlah 115 100,0
Tabel 3. Distribusi Proporsi Penderita TB Paru Anak yang Rawat Inap Berdasarkan Riwayat TB Paru dalam Keluarga di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2012 Riwayat TB paru dalam f % Keluarga Ada 69 60,0 Tidak ada 46 40,0 Jumlah 115 100,0
Dari Tabel 5. dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi yaitu bukan biaya sendiri 69 orang (60,0%), sedangkan penderita dengan menggunakan biaya sendiri 46 orang (40,0%). Hal ini diasumsikan bahwa penderita TB paru anak yang rawat inap di RSUD Kota Padangsidimpuan sebagian besar sudah memiliki kartu jaminan kesehatan berupa ASKES, Jamkesmas, dan Jamkesda. Sementara itu masih banyaknya penderita TB paru anak yang berobat dengan biaya sendiri, hal ini kemungkinan karena panjangnya prosedur berobat di Rumah Sakit dengan menggunakan kartu jaminan kesehatan, terutama bagi penderita yang berasal dari Luar Kota Padangsidimpuan.
Dari tabel 3. dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi yaitu penderita yang ada riwayat TB paru keluarga 69 orang (60,0%), sedangkan penderita yang tidak ada riwayat TB paru keluarga 46 orang (40,0%). Sumber penularan TB pada anak adalah orang dewasa yang menderita TB aktif (BTA positif). Anakanak sangat rentan tertular bakteri TB dari 4
Distribusi proporsi penderita berdasarkan keadaan sewaktu pulang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
bermakna antara jenis kelamin berdasarkan riwayat alamiah penyakit. Distribusi lama rawatana rata-rata (hari) berdasarkan riwayat alamiah penyakit dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 6. Distribusi Proporsi Penderita TB Paru Anak yang Rawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2012 Keadaan Sewaktu f % Pulang Sembuh 104 90,4 PAPS 8 7,0 Meninggal 3 2,6 Jumlah 115 100,0
Tabel 8. Distribusi Lama Rawatan Rata-rata (hari) Berdasarkan Riwayat Alamiah Penyakit Penderita TB Paru Anak yang Rawat Inap di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2012 Lama Rawatan RataRiwayat Alamiah rata (hari) Penyakit f Mean SD TB paru primer 112 4,64 3,293 TB paru post primer 3 4,67 2,887
Dari Tabel 6. dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi adalah sembuh 104 orang (90,4%) dan terendah meninggal 3 orang (2,6%). TB paru primer cenderung dapat disembuhkan, tetapi sebagian dapat menyebar lebih lanjut dan dapat menimbulkan komplikasi.15 Penderita TB paru anak yang meninggal datang berobat ke RSUD Kota Padangsidimpuan sudah mengalami komplikasi berat seperti meningitis TB dan TB milier.
Dari tabel 8. dapat dilihat bahwa terdapat 112 penderita dengan riwayat alamiah penyakit TB paru primer mempunyai lama rawatan rata-rata 4,64 hari (5 hari) dan nilai SD=3,293. Terdapat 3 penderita dengan riwayat alamiah penyakit TB paru post primer mempunyai lama rawatan rata-rata 4,67 hari (5 hari) dan nilai SD=2,887. Hasil uji t-independent diperoleh nilai p=0,990 (p>0,05), artinya tidak ada perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata penderita berdasarkan riwayat alamiah penyakit. Baik TB paru primer maupun TB paru post primer membutuhkan perawatan sampai keadaan penderita membaik agar kuman TB tidak menyebar ke berbagai organ tubuh lain dan menyebabkan komplikasi. Distribusi lama rawatan rata-rata (hari) berdasarkan sumber biaya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Analisa Statistik Proporsi jenis kelamin penderita berdasarkan riwayat alamiah penyakit dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 7. Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Berdasarkan Riwayat Alamiah Penyakit TB Paru Anak yang Rawat Inap di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2012
Riwayat Alamiah Penyakit TB paru primer TB paru post primer
Jenis Kelamin LakiPerempuan laki f % f %
Jumlah f
%
60
53,6
52
46,4
112
100,0
1
33,3
2
66,7
3
100,0
Tabel 9. Distribusi Lama Rawatan Rata-rata (hari) Berdasarkan Sumber Biaya Penderita TB Paru Anak yang Rawat Inap di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2012 Lama Rawatan Ratarata (hari) Sumber Biaya f Mean SD Biaya sendiri 46 4,09 2,751 Bukan biaya sendiri (ASKES, Jamkesmas, 69 5,01 3,567 Jamkesda)
Dari tabel 7. dapat dilihat bahwa dari 112 penderita dengan riwayat alamiah penyakit TB paru primer terdapat 60 orang (53,6%) laki-laki dan 52 orang (46,4%) perempuan. Dari 3 orang penderita dengan riwayat alamiah penyakit TB paru post primer, 1 orang (33,3%) laki-laki dan 2 orang (66,7%) perempuan. Hasil uji Exact Fisher diperoleh nilai p=0,600 (p>0,05), artinya tidak ada perbedaan
Dari tabel 9. dapat dilihat bahwa terdapat 46 orang dengan menggunakan biaya sendiri mempunyai lama rawatan rata-rata 4,09 hari (4 hari) dan nilai SD=2,751. 5
Terdapat 69 orang dengan menggunakan bukan biaya sendiri (ASKES, Jamkesmas, Jamkesda) mempunyai lama rawatan rata-rata 5,01 hari (5 hari) dan nilai SD=3,567. Hasil uji t-independent diperoleh nilai p=0,137 (p>0,05), artinya tidak ada perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata penderita berdasarkan sumber biaya. Distribusi lama rawatan rata-rata (hari) berdasarkan keadaan sewaktu pulang dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 11.
Distribusi Proporsi Sumber Biaya Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Penderita TB Paru Anak yang Rawat Inap di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2012 Sumber Biaya Keadaan Bukan Jumlah Biaya Sewaktu Biaya Sendiri Pulang Sendiri f % f % f % Sembuh 38 36,5 66 63,5 104 100,0 PAPS 7 87,5 1 12,5 8 100,0 Meninggal 1 33,3 2 66,7 3 100,0
Tabel 10.
Dari tabel 11. dapat dilihat bahwa dari 104 penderita yang keadaan sewaktu pulangnya sembuh terdapat 38 orang (36,5%) dengan menggunakan sumber biaya sendiri, dan 66 orang (63,5%) dengan menggunakan bukan biaya sendiri (ASKES, Jamkesmas, dan Jamkesda). Dari 8 penderita yang pulang atas permintaan sendiri (PAPS) terdapat 7 orang (87,5%) dengan menggunakan biaya sendiri, dan 1 orang (12,5%) dengan menggunakan bukan biaya sendiri. Dari 3 penderita yang keadaan sewaktu pulangnya meninggal dunia terdapat 1 orang (33,3%) dengan menggunakan biaya sendiri, dan 2 orang (66,7%) dengan menggunakan bukan biaya sendiri. Hasil uji Chi-Square terdapat 4 sel (66,7%) yang mempunyai expected count kurang dari 5 sehingga analisa statistik tidak dapat dilakukan.
Distribusi Lama Rawatan Rata-rata (hari) Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Penderita TB Paru Anak yang Rawat Inap di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2012 Lama Rawatan Rata-rata Keadaan Sewaktu (hari) Pulang f Mean SD Sembuh 104 4,74 3,370 PAPS 8 3,38 1,685 Meninggal 3 4,67 2,887
Dari tabel 10. dapat dilihat bahwa terdapat 104 penderita dengan keadaan sewaktu pulang sembuh mempunyai lama rawatan rata-rata 4,74 hari (5 hari) dan nilai SD=3,370. Terdapat 8 penderita dengan pulang atas permintaan sendiri (PAPS) mempunyai lama rawatan rata-rata 3,38 hari (3 hari) dan nilai SD=1,685. Terdapat 3 penderita dengan keadaan pulang meninggal mempunyai lama rawatan rata-rata 4,67 hari (5 hari) dan nilai SD=2,887 Hasil uji Anova diperoleh nilai p=0,360 (p>0,05), artinya tidak ada perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata penderita berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Karakteristik penderita TB paru anak dengan lama rawatan rata-rata paling lama berdasarkan keadaan sewaktu pulang meninggal dunia adalah jenis kelamin lakilaki yang bertempat tinggal di luar Kota Padangsidimpuan dan datang berobat sudah dengan komplikasi TB milier. Distribusi proporsi sumber biaya berdasarkan keadaan sewaktu pulang penderita dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Berdasarkan sosiodemografi, proporsi tertinggi pada umur 0-4 tahun (57,4%), jenis kelamin laki-laki (53,0%), agama Islam (87,8%), dan tempat tinggal di luar Kota Padangsidimpuan (51,3%). b. Berdasarkan riwayat alamiah penyakit, proporsi tertinggi yaitu TB paru primer (97,4%). c. Berdasarkan riwayat TB paru dalam keluarga proporsi tertinggi yaitu ada riwayat TB paru dalam keluarga (60,0%). d. Lama rawatan rata-rata penderita adalah 4,64 hari (5 hari) dengan 95% CI diperoleh lama rawatan rata-rata 4,04-5,25, SD=3,272 hari dengan rawatan paling singkat 2 hari dan paling lama 21 hari. 6
e. Berdasarkan sumber biaya, proporsi tertinggi yaitu bukan biaya sendiri (60,0%). f. Berdasarkan keadaan sewaktu pulang, proporsi tertinggi yaitu sembuh (90,4%). g. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara distribusi proporsi jenis kelamin berdasarkan riwayat alamiah penyakit (p=0,600). h. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata penderita TB paru anak berdasarkan riwayat alamiah penyakit (4,67 : 4,64 ; p=0,990). i. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata penderita TB paru anak berdasarkan sumber biaya (5,01 : 4,09 ; p=0,137). j. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata penderita TB paru anak berdasarkan keadaan sewaktu pulang (4,74 : 4,67 : 3,38 ; F=0,643 ; p=0,528). k. Uji Chi-square tidak dapat dilakukan untuk mengetahui sumber biaya berdasarkan keadaan sewaktu pulang karena terdapat 4 sel (66,7%) yang mempunyai expected count <5.
3. WHO. 2013. Tuberculosis. http://www.who.int/mediacentre/fa ctsheets/fs104/en/ Diakses tanggal 21 Februari 2013. 4. Kemenkes RI. 2012. Situasi Epidemiologi TB di Indonesia JanuariDesember 2012. Ditjen PP&PL, Jakarta. 5. Jelliffe, D.B. 1994. Kesehatan Anak di Daerah Tropis. Bumi Aksara, Jakarta. 6. Ink. 2000. Tuberculosa Pada Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma. Surabaya. 7. Rahajoe, N.N. 2010. Buku Ajar Respirologi Anak. Cetakan kedua. Edisi pertama. Badan Penerbit IDAI, Jakarta. 8. Depkes RI. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak. Jakarta. 9. Nurhidayah, I., dkk. 2007. Hubungan Antara Karakteristik Lingkungan Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Pada Anak di Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang.
2. Saran a. Diharapkan kepada pihak rumah sakit agar dapat melengkapi data-data yang berkaitan dengan penyakit khususnya penyakit TB paru anak di RSUD Kota Padangsidimpuan tahun 2012 seperti hasil foto rontgen, dan status imunisasi anak. b. Kepada petugas kesehatan agar memberikan penyuluhan kepada keluarga jika terdapat anggota keluarga yang dicurigai menderita TB paru. c. Kepada orangtua agar memberikan imunisasi BCG segera setelah anak lahir dan agar lebih cepat tanggap terhadap keluhan dan gejala-gejala TB paru yang dialami anak.
10. Mustangin. 2008. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Orangtua tentang TB Paru dengan Kejadian TB pada Anak di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Skripsi Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. 11. Kemenkes RI. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta. 12. Dinkes Kota Medan. 2010. Profil Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2010. Medan.
Daftar Pustaka 1. Sudoyo, A., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi kelima. Jilid 3. InternaPublishing, Jakarta.
13. Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan. 2011. Profil Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan Tahun 2011. Padangsidimpuan.
2. Depkes RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan kedelapan. Jakarta. 7
14. Gea, B. 2005. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru yang Berobat dengan Menggunakan Strategi DOTS di Puskesmas Gunung Sitoli Tahun 2000-2004. Skripsi FKM USU. 15. Nelson, dkk. 2012. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15. Volume 2. EGC, Jakarta.
8
Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus Dengan Komplikasi Yang Di Rawat Inap Di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 Fitriana Butarbutar1, Hiswani2, Jemadi2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155
Abstract Diabetes Mellitus (DM) is a group of metabolic diseases that a problem in many countries including Indonesia. According to the American Diabetes Association (2004) the number of people with diabetes in Indonesia ranked 4th largest (8.4 million people) in the world. In North Sumatra province in 2008, prevalence of DM 1.21%. DM is known as "the great imitator" because it can affect all organs of the body and cause complications slowly. Studies using case-series design and sample size was as same as 186 equal to the number ofpopoulasi data The results showed the proportion of diabetic patients with complications of the highest in the age group 51-60 years (41.4%), female (58.6%), Malay (45.2%) Islam (75.3%), graduated primary school (40.9%), housewives work (43.5%), type 2 (96.2%), type of complications of hypertension (34.9%), chronic complications (88.2%), treatment OHO (66.1%), average length of stay (ALOS) 5.61 days (6 days), not cost alone (74.7%), outpatient home (91.4%). Statistical test results, there was no significant difference in age by sex (p = 0.720), ALOS by category of complications (p = 0.994) and there was significant difference in the ALOS based on funding source (p = 0.009). It couldn’t be performed statistical tests age bycategory of complications, categoryof complicationsby sex, category of complications based medical treatment, and category of complications based on the circumstances when home To the hospital should undergo HbA1c levels to monitor patient compliance in treatment, it is also expected pay attention to the efficiency of ALOS so that patients can be dealt with quickly and appropriately. The DM patients with complications to perform HbA1c checks, perform the recommended diet, regular exercise and taking medication on a regular basis so that blood sugar levels can be controlled to prevent more serious complications. Keywords: Characteristics, Diabetes Mellitus with Complication Pendahuluan Penyakit Tidak Menular (PTM) sudah menjadi penyebab kematian yang lebih umum bila dibandingkan dengan penyakit akibat infeksi di negara sedang berkembang. Oleh karena itu, negara yang sedang berkembang dihadapkan pada dua beban kesehatan, yaitu beban terhadap penyakit infeksi yang besar dan juga meningkatnya beban penyakit tidak menular. Indonesia adalah salah satu negara sedang berkembang dimana proporsi kematian akibat penyakit menular dalam 12 tahun telah mengalami penurunan dari 44% menjadi 28% dan proporsi kematian akibat
PTM mengalami peningkatan dari 42% menjadi 60%.1 Salah satu PTM yang menjadi masalah pada berbagai negara yaitu Diabetes Mellitus (DM). Menurut American Diabetes Association (ADA), DM atau yang lebih sering disebut dengan penyakit kencing manis adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik kadar glukosa darah di atas normal yang terjadi karena defisiensi insulin oleh pankreas, penurunan efektivitas insulin, atau kedua-duanya.2 Berdasarkan WHO (2003) 194 juta jiwa penduduk dunia yang berusia 20 – 79
tahun atau 5,1% dari jumlah penduduk pada kelompok umur tersebut menderita DM dan pada tahun 2025 akan meningkat menjadi 333 juta jiwa atau 6,3% dari jumlah penduduk pada kelompok umur tersebut.3 Menurut ADA (2004) Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar (8,4 juta orang) di dunia setelah India (31,7 juta orang), Cina (20,8 juta orang), dan Amerika Serikat (17,7 juta orang). Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia mencapai 21,3 juta orang.4 Pada tahun 2007, prevalensi DM tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Maluku Utara (masingmasing 11,1%), diikuti Provinsi Riau (10,4%), dan Provinsi Aceh (8,5%) sedangkan prevalensi DM terendah terdapat di Provinsi Papua (1,7%) dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (1,8%).1 Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2007, Diabetes Mellitus merupakan salah satu penyakit tidak menular yang terdaftar pada sepuluh prevalensi PTM di Provinsi Sumatera Utara tahun 2007 dan menempati urutan ke tujuh terbesar dengan prevalensi 1,21%. Prevalensi penyakit DM tertinggi terdapat di Kabupaten Pakpak Barat yaitu 1,6% dan terendah terdapat di Kabupaten Tapanuli Utara dengan prevalensi 0,2%.5 DM dikenal sebagai “the great imitator” karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan komplikasi secara perlahan-lahan seperti hipertensi, penyakit jantung dan pembuluh darah, stroke, gagal ginjal, dan kebutaan. Penderita DM biasanya memeriksakan kesehatannya setelah terjadi komplikasi. Berdasarkan penelitian Tarigan (2011), jenis komplikasi DM yang ada di RSU Herna Medan Tahun 2009-2010 adalah Ulcus-gangren (26,1%), hipoglikemia (6,7%), hiperglikemia (4,5%), hipertensi (15,7%), PJK (3,7%), TB Paru (12,8%), stroke (6,7%), retinopati diabetik (1,5%), nefropati diabetik (13,4%), neuropati diabetik (5,2%), dan dispepsia (3,7%).6 Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan peneliti di RSUD Deli Serdang tahun 2012, dari 210 orang pasien
DM yang dirawat inap, terdapat 186 orang (88,6%) yang menderita DM dengan komplikasi. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap di RSUD Deli Serdang tahun 2012. Perumusan Masalah Perumusan masalah yaitu belum diketahuinya karakteristik penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap di RSUD Deli Serdang tahun 2012. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui karakteristik penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap di RSUD Deli Serdang tahun 2012, sedangkan tujuan khususnya adalah mengetahui distribusi proporsi penderita DM dengan komplikasi berdasarkan sosiodemografi (umur, jenis kelamin, suku, agama, pendidikan, dan pekerjaan), tipe DM, jenis komplikasi, kategori komplikasi, penatalaksanaan medis, ada atau tidaknya pemeriksaan HbA1c (hemoglobin glikosilasi), lama rawatan rata-rata,sumber biaya, keadaan sewaktu pulang, proporsi umur berdasarkan jenis kelamin, proporsi umur berdasarkan kategori komplikasi, proporsi jenis kelamin berdasarkan kategori komplikasi, proporsi kategori komplikasi berdasarkan penatalaksanaan medis, proporsi kategori komplikasi berdasarkan keadaan sewaktu pulang, lama rawatan rata-rata berdasarkan kategori komplikasi, lama rawatan rata-rata berdasarkan sumber biaya. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian sebagai bahan masukan dan informasi bagi pihak RSUD Deli Serdang untuk mengetahui distribusi proporsi penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap sehingga dapat membuat suatu perencanaan untuk tindakan pengobatan yang lebih lanjut, menambah wawasan penulis tentang permasalahan DM komplikasi dan sarana menerapkan ilmu yang diperoleh selama di bangku perkuliahan, dan Sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk
menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Medan. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan desain case series. Lokasi penelitian ini di lakukan di RSUD Deli Serdang, berlangsung dari bulan Februari–Juli 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah data seluruh penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap di RSUD Deli Serdang. Jumlah sampel sama dengan jumlah populasi yaitu 186 data penderita (total sampling). Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang tercatat pada kartu status penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap di RSUD Deli Serdang tahun 2012 dan dicatat sesuai dengan variabel yang diteliti. Kemudian data dianalisis dengan menggunakan uji exact-fisher, t-test, dan uji Anova, lalu disajikan dalam bentuk narasi, tabel distribusi proporsi, diagram pie, dan diagram bar. Hasil dan Pembahasan Analisis Univariat Distribusi proporsi penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 berdasarkan data sosiodemografi dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 1 Distribusi Proporsi Penderita DM dengan Komplikasi yang Dirawat Inap Berdasarkan Sosiodemografi di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 No. 1.
2.
3.
Sosiodemografi Umur (tahun) ≤40 41-50 51-60 61-70 ≥71 Total Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Suku
f
%
8 40 77 46 15 186
4,3 21,5 41,4 24,7 8,1 100,0
77 109 186
41,4 58,6 100,0
Melayu Batak Jawa Minang Tionghoa Nias Total
4.
5.
6.
Agama Islam Kristen Protestan Buddha Kristen Katolik Total Pendidikan Tidak Sekolah/Tidak tamat SD SD/Sederajat SMP/Sederajat SMA/Sederajat Akademi/Perguruan Tinggi Total Pekerjaan PNS/BUMN Pensiunan Pegawai Swasta Wiraswasta Ibu Rumah Tangga Petani Tidak Bekerja Total
84 57 37 4 3 1 186
45,2 30,6 19,9 2,2 1,6 0,5 100,0
140 42 3 1 186
75,3 22,6 1,6 0,6 100,0
12
6,5
76 25 58 15 186
40,8 13,4 31,2 8,1 100,0
27 8 5 37 81 13 15 186
14,5 4,3 2,7 19,9 43,5 7,0 8,1 100,0
Berdasarkan tabel 1 di atas diketahui bahwa proporsi terbesar penderita DM dengan komplikasi berdasarkan umur terdapat pada kelompok umur 51 – 60 tahun 41,4% dan proporsi terkecil pada kelompok umur ≤ 40 tahun 4,3%. Proporsi penderita DM cenderung meningkat dengan bertambahnya usia, terutama pada umur >40 tahun. Pada penelitian ini, proporsi penderita DM dengan komplikasi yang berusia 51 – 60 tahun lebih banyak (41,4%) karena penderita mencari pelayanan kesehatan setelah terjadi komplikasi. Namun proporsi pada usia 61 tahun ke atas semakin menurun, kemungkinan pada kelompok umur tersebut pasien DM sudah mengalami komplikasi yang berat sehingga tidak dapat datang berobat ke rumah sakit atau kemungkinan pasien sebagian besar sudah meninggal. Proporsi terbesar penderita DM dengan komplikasi berdasarkan jenis kelamin adalah perempuan 58,6% sedangkan laki-laki 41,4%. Hal ini menunjukkan bahwa yang
lebih banyak datang berobat ke RSUD Deli Serdang adalah perempuan. Proporsi terbesar penderita DM dengan komplikasi berdasarkan suku adalah Melayu (45,2%) dan proporsi terkecil adalah Nias (0,5%). Proporsi suku Melayu lebih banyak (45,2%) datang berobat ke RSUD Deli Serdang karena Penduduk Kabupaten Deli Serdang mayoritas Suku Melayu. Proporsi terbesar penderita DM dengan komplikasi berdasarkan agama yaitu Islam 75,3%dan proporsi terkecil Kristen Katolik (0,5%). Proporsi agama Islam lebih banyak karena penduduk Kabupaten Deli Serdang mayoritas beragama Islam. Proporsi terbesar pendidikan penderita DM dengan komplikasi tamat SD 40,9% dan proporsi terkecil penderita DM yang tidak sekolah/tidak tamat SD 6,5%. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian DM tersebar pada semua tingkatan pendidikan. Walaupun memiliki pengetahuan tentang faktor risiko diabetes, tidak menjamin seseorang terhindar dari DM. Adanya kesadaran untuk hidup sehat dan dukungan dari keluarga atau lingkungannya sangat diperlukan untuk terhindar dari DM.7 Proporsi terbesar pekerjaan penderita DM dengan komplikasi adalah ibu Rumah Tangga (IRT) 43,5% dan proporsi terkecil yaitu Pegawai swasta 2,7%. Hasil penelitian ini bukan menunjukkan bahwa IRT yang lebih berisiko menderita DM dengan komplikasi tetapi IRT lebih banyak datang berobat ke RSUD Deli Serdang dan sesuai hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin sebagian besar (58,6%) penderita DM adalah perempuan walaupun pekerjaan perempuan tidak hanya berpusat pada IRT. Distribusi proporsi penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 berdasarkan Tipe DM dapat dilihat pada tabel berikut ini Tabel 2 Distribusi Proporsi Penderita DM dengan Komplikasi yang Dirawat Inap Berdasarkan Tipe DM di RSUD Deli Tahun 2012 Tipe DM DM Tipe 1 DM Tipe 2
f 7 179
% 3,8 96,2
Total
186
100,0
Berdasarkan tabel 2 di atas diketahui bahwa proporsi terbesar adalah DM Tipe 2 sebesar 96,2% sedangkan proporsi terkecil adalah DM Tipe 1 sebesar 3,8%. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa proporsi DM tipe 1 < 10% dibandingkan DM tipe 2 > 90%.8 Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Marpaung (2006) di Rumah Sakit Umum Pematangsiantar tahun 20032004 bahwa proporsi DM tipe 1 hanya 1,13% dibandingkan DM tipe 2 dengan proporsi 98,87%.9 Distribusi proporsi penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 berdasarkan jenis komplikasi dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 3 Distribusi Proporsi Penderita DM dengan Komplikasi yang Dirawat Inap Berdasarkan Jenis Komplikasi di RSUD Deli Tahun 2012 Jenis Komplikasi Hipertensi Gangguan Pencernaan Kaki Diabetik PJK Hiperglikemia Nefropati Diabetik TB Paru Pneumonia Hipoglikemia Neuropati Diabetik Stroke Retinopati Diabetik
f 65 47 33 18 15 11 11 10 9 9 8 1
% 34,9 25,3 17,7 9,7 8,1 5,9 5,9 5,4 4,8 4,8 4,3 0,5
Berdasarkan tabel 3 di atas diketahui bahwa proporsi terbesar jenis komplikasi DM adalah hipertensi 34,9% dan proporsi terkecil adalah retinopati diabetik 0,5%. Hipertensi merupakan salah satu komplikasi kronik DM. Resistensi insulin yang terjadi dalam waktu yang lama pada penderita DM akan mengakibatkan hipertropi sel otot polos pembuluh darah sehingga mendorong terjadinya hipertensi.10
Distribusi proporsi penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 berdasarkan kategori komplikasi dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4 Distribusi Proporsi Penderita DM dengan Komplikasi yang Dirawat Inap Berdasarkan Kategori Jenis Komplikasi di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 Kategori Jenis Komplikasi Komplikasi Akut Komplikasi Kronik Komplikasi Akut Kronik Total
+
f
%
8 164 14
4,3 88,2 7,5
186
100,0
Berdasarkan tabel 4 di atas diketahui bahwa proporsi terbesar kategori komplikasi DM adalah komplikasi kronik 88,2% kemudian komplikasi akut dan kronik 7,5%, dan komplikasi akut 4,3%. Data tersebut menunjukkan bahwa penderita DM datang memeriksakan dirinya ke RSUD Deli Serdang setelah terjadi komplikasi kronik. Pasien tidak menyadari bahwa beberapa tahun sebelumnya telah menderita DM. Komplikasi kronik DM terjadi karena kontrol glukosa dan tekanan darah yang tidak baik pada penderita DM. Kontrol glukosa dan tekanan darah yang baik pada penderita DM dapat mencegah dan memperlambat 10 timbulnya komplikasi kronik. Distribusi proporsi penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 berdasarkan penatalaksanaan medis dapat dilihat pada tabel berikut ini Tabel 5 Distribusi Proporsi Penderita DM dengan Komplikasi yang Dirawat Inap Berdasarkan Penatalaksanaan Medis di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 Penatalaksanaan Medis OHO Suntik Insulin OHO + Suntik Insulin
f 123 5 58
% 66,1 2,7 31,2
Total
186
100,0
Berdasarkan tabel 5 di atas diketahui bahwa proporsi terbesar penderita DM
berdasarkan penatalaksanaan medis yaitu Obat Hipoglikemik Oral (OHO) 67,4%, kemudian diikuti Kombinasi OHO dan suntik insulin 31,8%, dan proporsi terkecil yaitu suntik insulin 0,8%. Tingginya penggunaan OHO karena proporsi penderita DM tipe 2 juga yang tinggi di RSUD Deli Serdang. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa penderita DM tipe 2 yang telah terjadi komplikasi dianjurkan untuk mendapat terapi OHO, sedangkan kombinasi OHO dan insulin diberikan jika dengan pemberian OHO dosis maksimal tidak dapat mengontrol kenaikan kadar gula darah, kemudian pemberian kombinasi terapi ini bertujuan untuk memberikan insulin dengan dosis yang lebih rendah dibandingkan bila insulin diberikan sebagai terapi tunggal yang mana dapat menimbulkan hipoglikemia. 37 Pada saat pengumpulan data, hanya 1 orang yang dilakukan pemeriksaan HbA1c baik untuk mengetahui kadar glikemik jangka panjang maupun untuk mengetahui efektifitas dari suatu pengobatan. Distribusi proporsi penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 berdasarkan lama rawatan rata-rata dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 6 Distribusi Proporsi Penderita DM dengan Komplikasi yang Dirawat Inap Berdasarkan Lama Rawatan Rata-rata di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 Lama rawatan rata-rata (hari) Mean 5,61 Standar Deviasi (SD) 4,736 95% Confidence Interval 4,92 – 6,29 Minimum 1 Maksimum 33
Lama rawatan rata-rata penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap di RSUD Deli Serdang tahun 2012 adalah 5,61 hari (6 hari). Lama rawatan tersingkat adalah 1 hari dan lama rawatan terlama 33 hari. Standar nasional lama rawatan ratarata pasien di rumah sakit adalah 6-9 hari.44 Pasien DM di RSUD Deli Serdang memiliki lama rawatan rata-rata di dalam standar nasional (6 hari). Hal ini menunjukkan bahwa
secara umum, pasien ditangani oleh medis secara cepat dan tepat yaitu dari penegakan diagnosis sampai pengobatan pasien. Distribusi proporsi penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 berdasarkan sumber biaya dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 7 Distribusi Proporsi Penderita DM dengan Komplikasi yang Dirawat Inap Berdasarkan Sumber Biaya di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 Sumber biaya Askes Askin Biaya Perusahaan Biaya Sendiri Total
f 55 82 2 47 186
% 29,6 44,0 1,1 25,3 100,0
Berdasarkan tabel 7 di atas diketahui proporsi terbesar sumber biaya penderita DM yang digunakan selama perawatan di rumah sakit yaitu Askin (Jamkesmas dan Jamkesda) 44,0% kemudian Askes 25,3%, biaya sendiri 25,3%, dan biaya perusahaan 1,1%. RSUD Deli Serdang adalah rumah sakit pemerintah yang melayani pasien dengan Askin (Jamkesmas dan Jamkesda), Askes, biaya perusahaan, dan umum/ biaya sendiri. Penderita DM dengan komplikasi yang datang berobat lebih banyak menggunakan bukan biaya sendiri terutama yang berasal dari Askes. Hal ini terjadi karena penderita DM di RSUD Deli Serdang ada yang bekerja sebagai PNS. Selain itu ibu rumah tangga juga menggunakan kartu Askes karena suami yang bekerja sebagai PNS.
Distribusi proporsi penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 berdasarkan keadaan sewaktu pulang dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 8 Distribusi Proporsi Penderita DM dengan Komplikasi yang Dirawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 Keadaan sewaktu pulang PBJ PAPS Meninggal
f 170 15 1
% 91,4 8,1 0,5
Total
186
100,0
Berdasarkan tabel 8 di atas diketahui bahwa proporsi terbesar penderita DM berdasarkan keadaan sewaktu pulang adalah Pulang Berobat Jalan (PBJ) 91,4% kemudian Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) 8,1%, dan proporsi terkecil adalah meninggal 0,5%. Penderita DM mencari pelayanan kesehatan terkait komplikasi yang ditimbulkan. Penatalaksanaan medis yang dilakukan pada penderita DM hanya untuk mengontrol glukosa darah disamping diet dan olahraga. Selain itu, penderita DM diberi perawatan terkait komplikasinya. Setelah keadaan pasien pulih, maka dokter akan mengijinkan pasien untuk pulang dan tetap mengonsumsi obat pengontrol glukosa darah. Analisis Bivariat Distribusi proporsi umur penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap berdasarkan jenis kelamin di RSUD Deli Serdang tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 9 Distribusi Proporsi Umur Penderita DM dengan Komplikasi yang Dirawat Inap Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Umur (tahun) ≤ 40 > 40 f % f % 4 5,2 73 94,8 4 3,7 105 96,3
Total f 77 109
% 100,0 100,0
Berdasarkan tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa penderita DM dengan komplikasi pada jenis kelamin laki-laki, terdapat 4 orang (5,2%) pada kelompok umur ≤ 40 tahun dan 73 orang (94,8%) pada kelompok umur > 40 tahun sedangkan pada perempuan terdapat 4 orang (3,7%) pada kelompok umur ≤ 40 tahun dan 105 orang (96,3%) pada kelompok umur > 40 tahun. Analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square tidak memenuhi syarat karena terdapat 2 sel (50,0%) yang memiliki expected count yang besarnya kurang dari 5, kemudian dilanjutkan dengan uji Exact Fisher. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Exact Fisher diperoleh p > 0,05 (p = 0,720) berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara umur berdasarkan jenis kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian DM pada kelompok umur ≤ 40 tahun dan > 40 tahun dapat terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan. Distribusi proporsi umur penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap berdasarkan kategori komplikasi di RSUD Deli Serdang tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 10 Distribusi Proporsi Umur Penderita DM dengan Komplikasi yang Dirawat Inap Berdasarkan Kategori Komplikasi di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 Kategori komplikasi Komplikasi Akut Komplikasi Kronik Komplikasi Akut+Kronik
Umur (tahun) ≤ 40 > 40 f % f % 0 0 8 100,0
Total f 8
% 100,0
6
3,7
158
96,3
164
100,0
2
14,3
12
85,7
14
100,0
Berdasarkan tabel 10 di atas dapat dilihat bahwa tidak ada penderita DM dengan komplikasi akut pada kelompok umur ≤ 40 tahun sedangkan pada kelompok umur >40 tahun 100%. Proporsi penderita DM dengan komplikasi kronik pada kelompok umur ≤40 tahun adalah 3,7%sedangkan pada kelompok umur >40 tahun 96,3%. Proporsi penderita DM dengan komplikasi akut dan kronik pada
kelompok umur ≤40 tahun adalah 14,3% sedangkan pada kelompok umur >40 tahun 85,7%. Analisis statistik dengan uji chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 2 sel (33,3%) yang memiliki expected count yang besarnya kurang dari 5. Distribusi proporsi jenis kelamin penderita DM yang dirawat inap berdasarkan kategori komplikasi di RSUD Deli Serdang tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 11 Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Penderita DM dengan Komplikasi yang Dirawat Inap Berdasarkan Kategori Komplikasi di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 Kategori komplikasi Komplikasi Akut Komplikasi Kronik Komplikasi Akut + Kronik
Jenis Kelamin LakiPerempuan laki f % f % 3 37,5 5 62,5
Total f 8
% 100,0
66
40,2
98
59,8
164
100,0
8
57,1
6
42,9
14
100,0
Berdasarkan tabel 11 di atas dapat dilihat proporsi penderita DM dengan komplikasi akut pada laki-laki 37,5% sedangkan pada perempuan 62,5%. Proporsi penderita DM dengan komplikasi kronik pada laki-laki 40,2% sedangkan pada perempuan 59,8%. Proporsi penderita DM dengan komplikasi akut dan kronik pada laki-laki 57,1% sedangkan pada perempuan 42,9%. Analisis statistik dengan uji chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 2 sel (33,3%) yang memiliki expected count yang besarnya kurang dari 5.
Distribusi proporsi kategori komplikasi penderita DM yang dirawat inap berdasarkan penatalaksanaan medis di RSUD Deli Serdang tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 12 Distribusi Proporsi Kategori Komplikasi Penderita DM yang Dirawat Inap Berdasarkan Penatalaksanaan Medis di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 Penatal aksana an Medis OHO Suntik Insulin OHO + Suntik Insulin
Kategori Komplikasi Kompli Komplik Komplikas kasi asi Akut i Kronik Akut + Kronik f % f % f % 3 2,5 111 90,2 9 7,3 1 20,0 2 40,0 2 40,0
f 123 5
% 100,0 100,0
4
58
100,0
6,9
51
87,9
3
5,2
Total
Berdasarkan tabel 12 di atas diketahui bahwa proporsi penderita DM dengan komplikasi berdasarkan penatalaksanaan medis OHO mengalami komplikasi akut 2,5%, komplikasi kronik 90,2%, dan komplikasi akut maupun kronik 7,3%. Proporsi penderita DM dengan komplikasi berdasarkan penatalaksanaan medis suntik insulin mengalami komplikasi akut 20,0%, komplikasi kronik 40,0%, dan komplikasi akut maupun kronik 40,0%. proporsi penderita DM dengan komplikasi berdasarkan penatalaksanaan medis kombinasi OHO dan suntik insulin mengalami komplikasi akut 6,9%, komplikasi kronik 87,9%, dan komplikasi akut maupun kronik 5,2%. Analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square tidak dapat dilakukan karena terdapat 5 sel (55,6%) dengan expected count yang besarnya kurang dari 5.
Distribusi proporsi kategori komplikasi penderita DM yang dirawat inap berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD Deli Serdang tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 13 Distribusi Proporsi Kategori Komplikasi Penderita DM yang Dirawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 Keadaan Sewaktu Pulang PBJ PAPS Meninggal
Kategori Komplikasi Komplik Komp Komplikasi asi Akut likasi Kronik + Akut Kronik f % f % f % 7 4,1 149 87,6 14 8,3 1 6,7 14 93,3 0 0 0 0 1 100,0 0 0
Total
f 170 15 1
% 100,0 100,0 100,0
Berdasarkan tabel 13 di atas dapat dilihat proporsi penderita DM yang pulang berobat jalan terdapat 4,1% yang mengalami komplikasi akut, 87,6% yang mengalami komplikasi kronik, dan 8,3% yang mengalami komplikasi akut dan kronik. Proporsi penderita DM yang pulang atas permintaan sendiri terdapat 6,7% yang mengalami komplikasi akut, 93,3% yang mengalami komplikasi kronik, dan tidak ada penderita yang mengalami komplikasi akut dan kronik. Penderita DM yang meninggal ada 1 orang dan mengalami komplikasi kronik. Pada penelitian ini, keadaan sewaktu pulang dari rumah sakit yaitu pulang berobat jalan, pulang atas permintaan sendiri, maupun meninggal lebih banyak pada pasien yang mengalami komplikasi kronik. Hal ini menunjukkan bahwa penderita DM yang datang berobat ke rumah sakit ini lebih banyak mengalami komplikasi kronik. Analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square tidak dapat dilakukan karena terdapat 5 sel (55,6%) dengan expected count yang besarnya kurang dari 5.
Lama rawatan rata-rata penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap berdasarkan kategori komplikasi di RSUD Deli Serdang tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 14 Lama Rawatan Rata-Rata Penderita DM dengan Komplikasi yang Dirawat Inap Berdasarkan Kategori Komplikasi di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 Kategori komplikasi Komplikasi Akut Komplikasi Kronik Komplikasi Akut + Kronik
Lama rawatan rata-rata f Mean SD 8 5,50 4,309 164 5,60 4,906 14 5,71 2,730
Berdasarkan tabel 14 di atas diketahui bahwa penderita DM dengan komplikasi akut menjalani perawatan di rumah sakit selama 5,5 hari (6 hari), penderita DM dengan komplikasi kronik selama 5,6 hari (6 hari), dan penderita DM dengan komplikasi akut dan kronik selama 5,71 hari (6 hari). Berdasarkan hasil test of homogenity of variances diperoleh p > 0,05 (p = 0,589) yang berarti memiliki varians yang sama sehingga dapat dilanjutkan dengan uji Anova. Berdasarkan uji Anova diperoleh p > 0,05 (p = 0,994) berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan kategori komplikasi. Hal ini menunjukkan bahwa penderita DM yang mengalami komplikasi akut, atau kronik atau kombinasi akut dan kronik tidak menjadikan lama rawat inap berbeda.
Lama rawatan rata-rata penderita DM dengan komplikasi yang dirawat inap berdasarkan sumber biaya di RSUD Deli Serdang tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 15 Lama Rawatan Rata-Rata Penderita DM dengan Komplikasi yang Dirawat Inap Berdasarkan Sumber Biaya di RSUD Deli Serdang Tahun 2012 Sumber biaya Biaya sendiri Bukan biaya sendiri
f
Lama rawatan rata-rata Mean SD
47 139
4,06 6,13
4,748 4,634
Berdasarkan tabel 15 di atas diketahui bahwa lama rawatan rata-rata penderita DM dengan komplikasi menggunakan biaya sendiri lebih singkat yaitu 4,06 hari (4 hari) dibandingkan dengan menggunakan bukan biaya sendiri yang berasal dari Askes, Askin (Jamkesmas dan Jamkesda), dan biaya perusahaan yaitu selama 6,13 hari (6 hari). Analisis statistik menggunakan uji t diperoleh p < 0,05 (p = 0,009 ) berarti secara statistik menunjukkan ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan sumber biaya. Hal ini menunjukkan bahwa lama rawatan rata-rata penderita DM dengan komplikasi menggunakan bukan biaya sendiri lebih lama dibandingkan jika menggunakan biaya sendiri. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Proporsi penderita DM dengan komplikasi berdasarkan sosiodemografi, proporsi tertinggi pada kelompok umur 51-60 tahun 41,4%, jenis kelamin perempuan 58,6%, Suku Melayu 45,2%, Agama Islam 75,3%, pendidikan dengan tamat SD/sederajat 40,9%, dan pekerjaan Ibu Rumah Tangga 43,5%. 2. Proporsi penderita DM dengan komplikasi berdasarkan tipe DM diperoleh proporsi tertinggi pada DM tipe 2 yaitu 96,2%. 3. Proporsi penderita DM dengan komplikasi berdasarkan jenis komplikasi DM diperoleh proporsi tertinggi pada penderita DM yang mengalami komplikasi Hipertensi 34,9%
4. Proporsi penderita DM dengan komplikasi berdasarkan kategori komplikasi diperoleh proporsi tertinggi pada penderita DM yang mengalami komplikasi kronik 88,2% 5. Proporsi penderita DM dengan komplikasi berdasarkan pengobatan diperoleh proporsi tertinggi pada penderita DM dengan komplikasi yang mendapat pengobatan dengan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) 66,1%. 6. Lama rawatan rata-rata penderita DM dengan komplikasi adalah 5,61 hari (6 hari) 7. Proporsi penderita DM dengan komplikasi berdasarkan sumber biaya diperoleh proporsi tertinggi pada bukan biaya sendiri (Askes, Jamkesmas, Jamkesda, dan biaya perusahaan) 74,7%. 8. Proporsi terbesar penderita DM dengan komplikasi berdasarkan keadaan sewaktu pulang yaitu pulang berobat jalan (PBJ) 91,4% 9. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara umur berdasarkan jenis kelamin pada penderita DM dengan komplikasi (p = 0,720) 10. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan kategori komplikasi pada penderita DM dengan komplikasi. (p = 0,994) 11. Ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan sumber biaya pada penderita DM dengan komplikasi. (p = 0,009 ). Saran 1. Kepada pihak rumah sakit sebaiknya melakukan pemeriksaan kadar HbA1c untuk penegakan diagnosis yang lebih akurat dan untuk memantau kadar glikemik jangka panjang dan kepatuhan pasien dalam mengontrol gula darahnya. Selain itu pihak rumah sakit seharusnya memperhatikan efisiensi lama rawatan (Length of Stay; LOS) sehingga pasien dapat ditangani dengan cepat dan tepat. 2. Kepada penderita DM dengan komplikasi untuk melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah secara rutin, melakukan pemeriksaan kadar HbA1c, melakukan diet yang dianjurkan, olahraga yang rutin dan mengkonsumsi obat secara teratur
sehingga kadar gula darah bisa terkontrol untuk mencegah komplikasi yang lebih berat. Daftar Pustaka 1. Departemen Kesehatan R.I., 2008. Hasilhasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Badan Litbangkes, Jakarta 2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2 di Indonesia, Jakarta 3. Departemen Kesehatan R.I., 2008. Pedoman Pengendalian Diabetes Mellitus dan Penyakit Metabolik, Jakarta 4. American Diabetes Association (ADA), 2004.Global Prevalence of Diabetes; Estimates for the year 2000 and projections for 2030 5. Departemen Kesehatan R.I., 2008. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007, Jakarta 6. Tarigan, L. Andriani, 2011. Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus dengan Komplikasi yang Dirawat Inap di RSU Herna Medan Tahun 2009-2010. Skripsi Mahasiswa FKM USU 7. Suyono, S., 2009. Diabetes Mellitus Di Indonesia. Dalam: Aru W, dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi V. Interna Publishing, Jakarta 8. Misnadiarly, 2006. Diabetes Mellitus: Gangren, Ulcer, Infeksi, Edisi Pertama. Pustaka Populer Obor, Jakarta 9. Marpaung, J., 2006. Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Pematang Siantar Tahun 2003-2004. Skripsi Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara 10. Soegondo, S. dan Dyah P. 2009. Sindrom Metabolik. Dalam: Aru W, dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi V. Interna Publishing, Jakarta.
KARAKTERISTIK PENDERITA HERNIA INCARCERATA YANG DIRAWAT INAP DI RSUD Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN TAHUN 2011
Sari Purnama1, Sori Muda2, Rasmaliah2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155 Email:
[email protected]
Abstract Incarcerated hernia is one kind of hernia that can not be repositioned into the abdominal cavity. According to WHO (2005), incarcerated hernia is one acute abdominal disease with the incidence of incarcerated hernia occurs approximately 6-10% of indirect inguinal hernia in adults and 14-56% in the femoral hernia. To know the characteristics of patients with incarcerated hernia who take care at RSUD Dr. Pirngadi Medan in 2011, conducted research with a descriptive case series design. The study population was as much as 121 cases, with a sample of the entire population (total sampling) and analyzed with Chi-square Fisher Exact, Mann-Whitney, and ANOVA test. The result of study is found the highest proportion of patients with hernias incarcerated characteristics: age> 60 years (24.8%), male (86.8%), sex ratio 625 or 6.57 (7): 1, Islam (72.7%), education senior high school (56.2%), occupation self-employed (43.8%), marital status married (68.6%), residence in Medan (81.0%), the main complaint of remain lumps + painful + constipation (52.9%), the location of hernia incarceration hernia inguinal (88.4%), maintainability long on the average 5.41 days with SD = 3,172 days, the cost sources JPKMS (36.4%), while come back of home with condition recover (50.4%), there are significant difference proportions between the sexes based on the location of the hernia had incarceration (p = 0.021), Chi-square test can not be used to see the difference proportions between the sexes based on while come back of home, the ages based on the location of the hernia had incarceration, there are significant difference the average long care based on costs source (p=0.003);based on the while come back of home (p = 0.000). To the public suffer hernia disease if it looks a lump that can not go back or signs indicating incarcerated hernia immediately went to the hospital or doctor in order to avoid a more severe condition. The health professionals are expected to provide health education to the community about hernia disease through health centers, neighborhood health center so that people know what action to be done.
Keywords: Characteristics, Incarcerated Hernia, RSUD Dr.Pirngadi penonjolan peritoneum yang berisi alat viscera (alat perut) dari rongga abdomen melalui suatu lokus minoris resistensi (tempat atau daerah yang lemah) baik bawaan maupun didapat. 3 Hernia banyak diderita oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah khususnya pekerja berat, kemudian pada
Pendahuluan Hernia merupakan penonjolan bagian organ atau jaringan melalui lubang abnormal.1 Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek (saluran yang lemah) atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Hernia terdiri atas cincin, kantong dan isi hernia.2 Hernia adalah adanya 1
orang yang rutin melakukan olahraga beban, selain itu kebiasaan seseorang yang selalu mengejan saat buang air, bahkan pada orang yang mengalami batuk kronis serta pada usia lanjut.3 Berdasarkan Riskesdas tahun 2007, hernia merupakan 10 penyakit pola penyebab kematian bayi (0-11 bulan) terbanyak di Indonesia pada sosioekonomi rendah di daerah pedesaan sebesar 2,3%.4 Hernia incarcerata merupakan salah satu hernia yang tidak dapat direposisi ke dalam kavitas abdominalis.5 Hernia incarcerata adalah hernia dimana isi kantong tidak dapat dikembalikan ke dalam abdomen; di sini tidak terdapat peradangan pada kantong atau isinya dan tidak berpengaruhnya pada aliran darah.6 Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2005, hernia incarcerata merupakan salah satu penyakit akut abdomen dimana insiden penyakit hernia incarcerata terjadi sekitar 6-10% dari hernia inguinal indirek pada orang dewasa dan 14-56% pada hernia femoralis. Insiden hernia strangulata dan incarcerata pada anak-anak adalah 1020%, sebesar 50% diantaranya terjadi pada bayi usia kurang dari enam bulan, sekitar 1030% anak-anak memiliki hernia dinding perut, sebagian besar hernia ini menutup saat berusia satu tahun.7 Pada tahun 2007, lebih dari 1 juta orang menderita hernia abdominalis di Amerika Serikat menjalani operasi, diantaranya terhadap hernia inguinalis sebesar 770.000 kasus (77%). Sebesar 25 % laki-laki dan 2% wanita mengalami hernia inguinalis, sekitar 75 % dari hernia inguinal merupakan hernia inguinal lateralis dan 25% merupakan hernia inguinalis medialis. 5,8 Berdasarkan cacatan medis American Society of Anesthesiologis (ASA), Service of General Surgery, Hospital San Agustin, Amerika dari bulan Januari 1992 sampai dengan bulan Desember 2001 ada 230 pasien hernia incarcerata eksternal, 147 pasien hernia di daerah lipat paha dimana 77 pasien hernia femoralis dan 70 pasien hernia inguinal, median umur 7±15,2 tahun (range 24-96 tahun), 98 pasien (66,7%) berumur 65 tahun ke atas, 77 orang laki-laki (52,4%) dan 70 orang perempuan (47, 6%).9
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Predrag Milosevic dan Marija Kolinovic (2011) di General Hospital Danilo I, Cetinje, Montenegro ditemukan 299 orang (27,16%) menderita hernia incarcerata dari 964 pasien hernia (data dari 2005-2010) dimana 38 orang (5,81%) hernia inguinal incarcerata (29 laki-laki dan 9 perempuan), 56 orang (41,79%) hernia inguinoscrotal incarcerata, 194 orang (65,10%) hernia ventral incarcerata (91 laki-laki dan 103 perempuan) dan 11 orang (73,33%) hernia femoralis incarcerata (4 laki-laki dan 7 perempuan), terbanyak pada kelompok umur 65 ke atas.10 Berdasarkan data yang diperoleh dari Departement of Neonatal Surgery Wuhan Children’s Hospital, Cina (2012) bahwa ditemukan 131 bayi menderita hernia inguinal incarcerata dimana dari 131 kasus yang ada terdapat 14 kasus menunjukkan adanya nekrosis usus.11 Berdasarkan catatan medis Rumah Sakit Korea, angka penderita yang mengalami hernia inguinal dari bulan Mei 2002 sampai Mei 2010 berjumlah 945 orang dimana terdapat sekitar 66 orang menderita hernia incarcerata; (95% merupakan hernia inguinal indirek).12 Penelitian yang dilakukan oleh H. Wardhani, ddk (1993) ada 463 pasien menjalani operasi hernia inguinal di Rumah Sakit Ibu dan Anak, Jakarta dari bulan Januari 1986 sampai dengan Desember 1991 dimana hernia incarcerata terjadi sebesar 43 kasus (9,29%), 51,1% pasien hernia incarcerata di bawah 1 tahun, 43,9% pasien hernia incarcerata pada umur 1-3 tahun dan 4,9% pada umur di atas 3 tahun.13 Berdasarkan hasil survei awal terhadap data penderita hernia incarcerata yang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan tahun 2011 berjumlah 121 kasus. Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik penderita hernia incarcerata yang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan tahun 2011. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahui karakteristik penderita hernia incarcerata yang dirawat 2
inap di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan tahun 2011. Adapun tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik penderita hernia incarcerata yang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan tahun 2011. Tujuan khusus penelitian ini adalah: mengetahui distribusi proporsi penderita hernia incarcerata menurut sosiodemografi yaitu: umur dan jenis kelamin, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan tempat tinggal, distribusi proporsi penderita hernia incarcerata berdasarkan keluhan utama, letak hernia yang mengalami inkarserasi, lama rawatan rata-rata penderita hernia incarcerata, sumber biaya, keadaan sewaktu pulang, jenis kelamin berdasarkan letak hernia yang mengalami inkarserasi, jenis kelamin berdasarkan keadaan sewaktu pulang, umur berdasarkan letak hernia yang mengalami inkarserasi, lama rawatan rata-rata berdasarkan sumber biaya, lama rawatan ratarata berdasarkan keadaan sewaktu pulang.
RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan tahun 2011 sebesar 121 kasus. Besar sampel adalah sama dengan populasi (total sampling). Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang tercatat di kartu status penderita hernia incarcerata yang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan tahun 2011 yang diperoleh dari rekam medik dan dicatat sesuai dengan variabel yang dibutuhkan. Data yang dikumpulkan, dicatat dan diolah dengan menggunakan bantuan komputer kemudian dianalisa dengan univariat dan dilanjutkan dengan analisa bivariat menggunakan uji Chi-square, uji Exact Fisher, uji Mann-Whitney, dan uji Anova. Hasil dan Pembahasan Karakteristik Penderita Incarcerata
Hernia
Umur dan Jenis Kelamin Distribusi proporsi penderita hernia incarcerata berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Manfaat penelitian ini adalah: Sebagai bahan masukan bagi pihak Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan untuk meningkatkan pelayanan dan penatalaksanaan penderita hernia incarcerata. Sebagai bahan referensi di perpustakaan, informasi dan data tambahan dalam penelitian selanjutnya di bidang kesehatan serta untuk dikembangkan bagi penelitian selanjutnya dalam lingkup yang sama. Menambah pengetahuan dan wawasan penulis khususnya mengenai karakteristik penderita hernia incarcerata dan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) USU Medan
Tabel 1
Umur (Tahun ) <1 1-15 16-30 31-45 46-60 > 60 Total
Distribusi Proporsi Penderita Hernia Incarcerata yang Dirawat Inap Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2011
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan f % f % 4 3,3 0 0 17 14,0 4 3,3 12 9,9 4 3,3 20 16,5 4 3,3 23 19,0 3 2,5 29 24,0 1 0,8 105 86,8 16 13,2
Total f 4 21 16 24 26 30 121
% 3,3 17,4 13,2 19,8 21,5 24,8 100,0
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa proporsi penderita hernia incarcerata berdasarkan umur, tertinggi adalah kelompok umur >60 tahun sebesar 24,8% dengan proporsi laki-laki 24% dan pada perempuan 0,8% dan terendah adalah kelompok umur <1 tahun sebesar 3,3% dengan proporsi laki-laki 3,3% dan pada perempuan tidak ada. Proporsi penderita hernia incarcerata tertinggi pada laki-laki sebesar 86,8% dan proporsi pada perempuan sebesar 13,2% dengan sex ratio 6,57 ( 7):1. Pada laki-laki, proporsi penderita hernia incarcerata meningkat seiring bertambahnya umur sedangkan pada perempuan proporsi penderita hernia incarcerata menurun seiring bertambahnya
Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan dengan pertimbangan tersedianya data penderita hernia incarcerata yang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan tahun 2011. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari s/d Juli 2013. Populasi adalah semua data penderita hernia incarcerata yang dirawat inap di 3
umur dan pada umur di bawah satu tahun tidak ada penderita. Berdasarkan teori hernia indirek (hernia inguinal lateralis) lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dimana perbandingannya 7:1. Pada laki-laki dalam perkembangan janin terjadi penurunan testis dari rongga perut. Apabila saluran testis ini tidak menutup dengan sempurna, akan menjadi jalan lewatnya hernia inguinalis indirek. Hal ini juga berhubungan dengan pekerjaan, pada pria selalu melakukan pekerjaan (faktor profesi) angkat berat yang dilakukan dalam waktu jangka lama yang meninggikan tekanan intraabdomen dan berkurangnya kekuatan jaringan penunjang sehingga dapat melemahkan dinding perut sebagai memicu terjadinya hernia.2,8,14 Pada wanita sering terjadi pada orang yang berumur 30-45 tahun, pada orang tua atau usia lanjut dan gambaran klinis sangat jarang terjadi pada usia sebelum mencapai 15 tahun. Peninggian tekanan intraabdomen akan mendorong lemak preperitoneal ke dalam kanalis femoralis yang akan menjadi pembuka jalan terjadinya hernia. Faktor penyebab lainnya adalah kehamilan multipara, obesitas, dan degenerasi jaringan ikat karena faktor usia lanjut. 2,5,15 Hal ini sesuai dengan penelitian Kulah B, et al (2001) di Ankara Numune Teaching and Research Hospital, Bahcelievler, Ankara, Turki dari bulan Agustus 1996 sampai dengan bulan Oktober 1999 ada 385 orang menjalani operasi hernia incarcerata pada penderita yang berumur berkisar 15 sampai 100 tahun (mean 55,1), terdapat 250 orang laki-laki dan 135 orang perempuan dimana sebany ak 165 orang (42,9%) berumur di atas 60 tahun.16
Pendidikan Tidak Tamat SD/Tidak sekolah SD SLTP SLTA Diploma/ Sarjana Total Pekerjaan Pensiunan/PNS Pegawai Swasta Wiraswasta Pelajar/ Mahasiswa Ibu Rumah Tangga Tidak bekerja/Di Bawah Umur Total Status Perkawinan Kawin Belum Kawin Total Tempat Tinggal Kota Medan Luar Kota Medan Total
Tabel 2 Distribusi Proporsi Penderita Hernia Incarcerata yang Dirawat Inap Berdasarkan Sosiodemografi di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2011
Agama Islam Kristen Total
Jumlah f
%
88 33 121
72,7 27,3 100,0
% 14,9
17 12 68 6 121 f 15 11 53 18 7 17
14,0 9,9 56,2 5,0 100,0 % 12,4 9,1 43,8 14,9 5,8 14,0
121 f 83 38 121 f 98 23 121
100,0 % 68,6 31,4 100,0 % 81,0 19,0 100,0
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui juga proporsi penderita hernia incarcerata berdasarkan agama, tertinggi adalah Islam sebesar 2,7% dan terendah adalah Kristen sebesar 27,3%. Berdasarkan pendidikan, proporsi tertinggi adalah SLTA sebesar 56,2%, dan terendah adalah Diploma/Sarjana sebesar 5,0%. Berdasarkan pekerjaan, proporsi tertinggi adalah wiraswasta sebesar 43,8% dan terendah ibu rumah tangga sebesar 5,8%. Berdasarkan status perkawinan, proporsi tertinggi adalah kawin sebesar 68,6% dan terendah adalah belum kawin sebesar 31,4%. Berdasarkan tempat tinggal, proporsi tertinggi adalah Kota Medan sebesar 81,0% dan terendah adalah luar Kota Medan sebesar 19,0%. Berdasarkan teori bahwa pekerjaan dapat menyebabkan terjadinya penyakit hernia. Pekerjaan wiraswasta, jenisnya bermacam-macam dapat seperti buruh angkat barang, kuli bangunan, pedagang dan lain-lain yang membutuhkan daya fisik atau aktivitas fisik yang lebih besar. Aktivitas fisik yang berat mengakibatkan peningkatan tekanan yang terus menerus pada otot-otot abdomen. Peningkatan tekanan tersebut dapat menjadi pencetus terjadinya prostusi atau penonjolan organ melalui dinding organ lemah. 2,8 Hal ini sesuai juga dengan Keputusan Menaker RI Nomor 609 tahun
Sosiodemografi Distribusi proporsi penderita hernia incarcerata berdasarkan sosiodemografi dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Sosiodemografi
f 18
4
2012 Tentang Pedoman Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja bahwa penyakit hernia yang ada faktor bawaan merupakan salah satu penyakit hubungan kerja/ penyakit terkait kerja. Penyakit yang dicetuskan atau diperberat oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.17
inkarserasi, tertinggi adalah hernia inguinalis sebesar 88,4% dan dan terendah adalah hernia labialis sebesar 0,8%. Menurut teori bahwa sekitar 10-20% dari semua hernia inguinalis menjadi hernia incarcerata dimana kejadian hernia inguinalis terjadi sebesar 73% dari semua hernia. Sedangkan 20-25 % dari semua hernia femoralis menjadi hernia incarcerata dimana kejadian hernia femoralis terjadi sebesar 17% dari semua hernia dan selebihnya untuk jenis hernia lainnya.2,5
Keluhan Utama Distribusi proporsi penderita hernia incarcerata berdasarkan keluhan utama dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 3
Distribusi Proporsi Penderita Hernia Incarcerata yang Dirawat Inap Berdasarkan Keluhan Utama di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2011 f % Keluhan Utama Benjolan + nyeri + nafsu makan kurang 16 13,2 Benjolan + nyeri + sulit BAB (konstipasi) 64 52,9 Benjolan +nyeri+ mual + muntah+ perut 41 33,9 kembung Jumlah 121 100,0
Lama Rawatan Rata-rata Lama rawatan rata-rata penderita hernia incarcerata dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 5 Lama Rawatan Rata-rata Penderita Hernia Incarcerata yang Dirawat Inap di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2011
Lama Rawatan Rata-rata (Hari) Mean 5,41 Standar Deviasi 3,172 95% Confidence Interval 4,84-5,98 Variance 10,061 COV 58,63 Median 5,00 Minimum 2 Maximum 19
Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa proporsi penderita hernia incarcerata berdasarkan keluhan utama, tertinggi adalah benjolan+ nyeri+ sulit BAB (konstipasi) sebesar 52,9% dan terendah adalah benjolan+ nyeri+ nafsu makan kurang sebesar 13,2%. Pada hernia incarcerata terjadi penyumbatan pada saluran makanan pada bagian isi perut yang terjepit Benjolan juga sudah menetap dan gejala klinis yang muncul adalah pasien mengalami nyeri yang kadang disertai mual, muntah, perut kembung, dan anoreksia (nafsu makan berkurang 2,5,18 drastis).
Berdasarkan tabel 5 di atas, dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata penderita hernia incarcerata yang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan tahun 2011 adalah 5,41 hari (5 hari), SD 3,172 hari, variance 10,061, COV sebesar 58,63% artinya lama rawatan penderita hernia incarcerata bervariasi, dengan lama rawatan minimum adalah 2 hari dan maksimum adalah 19 hari.
Letak Hernia yang Mengalami Inkarserasi Distribusi proporsi penderita hernia incarcerata berdasarkan letak hernia yang mengalami inkarserasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Sumber Biaya Distribusi proporsi penderita hernia incarcerata berdasarkan sumber biaya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4 Distribusi Proporsi Penderita Hernia Incarcerata yang Dirawat Inap Berdasarkan Letak Hernia yang Mengalami Inkarserasi di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2011
Letak Hernia yang Mengalami Inkarserasi Hernia Inguinalis Hernia Femoralis Hernia Skrotalis Hernia Insisional (Ventral) Hernia Labialis Total
f
%
107 3 5 5 1 121
88,4 2,5 4,1 4,1 0,8 100,0
Tabel 6 Distribusi Proporsi Penderita Hernia Incarcerata yang Dirawat Inap Berdasarkan Sumber Biaya di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2011
Sumber Biaya Umum JPKMS Jamkesmas JPKMU JPKPROVSU ASKES Total
Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa proporsi penderita hernia incarcerata berdasarkan letak hernia yang mengalami 5
f 12 44 33 2 3 27 121
% 9,9 36,4 27,3 1,7 2,5 22,3 100,0
Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat bahwa proporsi penderita hernia incarcerata berdasarkan sumber biaya, tertinggi adalah JPKMS sebesar 36,4% dan terendah adalah JPKMU sebesar 1,7%. Hal ini terjadi karena sebagian besar penderita yang datang berobat di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan berdomisili di Kota Medan dan mereka menggunakan JPKMS yang merupakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat yang tidak mampu yang berdomisili di Kota Medan yang diberikan oleh Pemerintah Medan. RSUD Dr. Pirngadi merupakan rumah sakit pemerintah yang melayani peserta JPKMS.
Letak Hernia yang Mengalami Inkarserasi Hernia Inguinalis Hernia Lainnya
Distribusi Proporsi Penderita Hernia Incarcerata yang Dirawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2011
Keadaan Sewaktu Pulang Sembuh Pulang berobat jalan (PBJ) Pulang atas permintaan sendiri Meninggal Total
f 61 53 6 1 121
Total
f
%
f
%
f
%
96
89,7
11
10,3
107
100
9
64,3
5
35,7
14
100
Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat dari 107 penderita hernia incarcerata yang hernia inguinalis ada 89,7% laki-laki dan 10,3% perempuan. Dari 14 orang penderita hernia incarcerata yang letak hernia mengalami inkarserasi pada hernia lainnya ada 64,3% laki-laki (1 hernia femoralis, 5 hernia skrotalis, dan 3 hernia insisional/ventral) dan 35,7% perempuan (2 hernia femoralis, 2 hernia insisional/ventral dan 1 hernia labialis) . Uji Chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 1 sel (25,0%) mempunyai expected count <5, kemudian dilanjutkan dengan uji Exact Fisher. Hasil analisis statistik dengan menggunakan Exact Fisher diperoleh p (=0,021) < 0,05 berarti ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin berdasarkan letak hernia yang mengalami inkarserasi. Baik laki-laki dan perempuan terjadi di daerah inguinalis.
Keadaan Sewaktu Pulang Distribusi proporsi penderita hernia incarcerata berdasarkan keadaan sewaktu pulang dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 7
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
% 50,4 43,8 5,0 0,8 100,0
Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat bahwa proporsi penderita hernia incarcerata berdasarkan keadaan sewaktu pulang, tertinggi adalah sembuh sebesar 50,4% dan terendah adalah meninggal sebesar 0,8%. Proporsi penderita hernia incarcerata yang dirawat inap dirawat inap yang dinyatakan sembuh lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa penatalaksanaan medis dan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit ini dapat dikatakan cukup baik.
Jenis Kelamin Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Distribusi proporsi penderita hernia incarcerata jenis kelamin berdasarkan keadaan sewaktu pulang dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 9
Keadaan Sewaktu Pulang Sembuh PBJ PAPS Meninggal
Analisa Bivariat Jenis Kelamin Berdasarkan Letak Hernia yang Mengalami Inkarserasi Distribusi proporsi jenis kelamin penderita hernia incarcerata berdasarkan letak hernia yang mengalami inkarserasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Penderita Hernia Incarcerata yang Dirawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2011
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan f % f % 52 85,2 9 14,8 47 88,7 6 11,3 6 100,0 0 0 0 0 1 100,0
Total f 61 53 6 1
% 100 100 100 100
Berdasarkan tabel 9 dapat diketahui bahwa dari 61 orang penderita hernia incarcerata yang sembuh 85,2% laki-laki dan 14,8% perempuan. Dari 53 orang penderita hernia incarcerata yang pulang berobat jalan (PBJ) 88,7% laki-laki dan 11,3% perempuan.
Tabel 8 Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Penderita Hernia Incarcerata yang Dirawat Inap Berdasarkan Letak Hernia yang Mengalami Inkarserasi di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2011
6
Kemudian dari 6 orang (100%) penderita hernia incarcerata yang pulang atas permintaan sendiri (PAPS) semuanya berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan 1 orang (100,0%) penderita hernia incarcerata yang meninggal berjenis kelamin perempuan. Uji Chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 3 sel (37,5%) mempunyai expected count <5.
Letak Hernia yang Mengalami Inkarserasi Hernia Inguinalis Hernia Lainnya
Distribusi Proporsi Umur Penderita Hernia Incarcerata yang Dirawat Inap Berdasarkan Letak Hernia yang Mengalami Inkarserasi di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2011 Umur (tahun) <15 15-45 >45 Total f
%
f
%
f
%
f
22
20,6
36
33,6
49
45,8
107
100
3
21,4
4
28,6
7
50,0
14
100
%
Biaya Sendiri Bukan dari Biaya Sendiri
12 109
3,42 5,63
1,379 3,239
40,32 57,53
Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Distribusi proporsi lama rawatan ratarata penderita hernia incarcerata berdasarkan keadaan sewaktu pulang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Berdasarkan tabel 10. dapat dilihat bahwa dari 107 orang penderita hernia incarcerata yang hernia inguinalis 20,6% berumur < 15 tahun, 33,6% berumur 15-45 tahun dan 45,8% berumur >45 tahun. Dari 14 orang penderita hernia incarcerata yang hernia lainnya (hernia femoralis, hernia skrotalis, hernia insisional/ ventral dan hernia labialis) ada 21,4% berumur <15 tahun, 28,6% berumur 15-45 tahun dan 50,0% berumur >45 tahun. Uji Chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 2 sel (33,3%) mempunyai expected count <5.
Tabel 12
Distribusi Proporsi Lama Rawatan Ratarata Penderita Hernia Incarcerata yang Dirawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2011
Keadaan Sewaktu Pulang
n
x
SD
COV
Sembuh PBJ PAPS Meninggal
61 53 6 1
6,56 4,53 2,17 2,00
3,486 2,325 0,408
53,14 51,32 18,80
Lama Rawatan Rata-rata
Berdasarkan tabel 12 dapat dilihat bahwa dari dari 61 penderita hernia incarcerata yang sembuh mempunyai lama rawatan rata-rata 6,56 hari (7 hari), SD=3,486, COV 53,14%, 53 penderita hernia incarcerata yang pulang berobat jalan (PBJ) mempunyai lama rawatan rata-rata 4,53 hari (5 hari), SD=2,325, COV 51,32%, 6 penderita hernia incarcerata yang pulang atas permintaan sendiri (PAPS) mempunyai lama
Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Sumber Biaya Distribusi proporsi lama rawatan ratarata penderita hernia incarcerata berdasarkan sumber biaya dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 11
Lama Rawatan Rata-rata n SD COV x
Berdasarkan tabel 11 dapat dilihat bahwa 12 penderita hernia incarcerata yang biaya sendiri mempunyai lama rawatan ratarata 3,42 hari (3 hari), SD= 1,379, COV 40,32% dan 109 penderita hernia incarcerata yang bukan biaya sendiri mempunyai lama rawatan rata-rata 5,63 hari (6 hari), SD= 3,239, COV 57,53%. Dari seluruh sumber biaya penderita hernia incarcerata baik biaya sendiri maupun bukan dari biaya sendiri diperoleh COV > 10% berarti lama rawatan rata-rata berdasarkan sumber biaya bervariasi. Berdasarkan hasil uji kenormalan data, diperoleh bahwa p< 0,05 yang artinya bahwa lama rawatan rata-rata penderita tidak berdistribusi normal. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney diperoleh nilai p (=0,003) < 0,05 artinya terdapat perbedaan bermakna lama rawatan rata-rata berdasarkan sumber biaya.
Umur Berdasarkan Letak Hernia yang Mengalami Inkarserasi Distribusi proporsi umur penderita hernia incarcerata berdasarkan letak hernia yang mengalami inkarserasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 10
Sumber Biaya
Distribusi Proporsi Lama Rawatan Ratarata Penderita Hernia Incarcerata yang Dirawat Inap Berdasarkan Sumber Biaya di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2011
7
rawatan rata-rata 2,17 hari (2 hari), SD=0,408, COV 18,80% dan 1 penderita hernia incarcerata yang meninggal mempunyai lama rawatan rata-rata 2 hari. Berdasarkan hasil uji Anova diperoleh nilai p (=0,000) < 0,05 artinya terdapat perbedaan bermakna lama rawatan rata-rata berdasarkan keadaan sewaktu pulang.
2. Saran Kepada penderita hernia bila menunjukkan tanda penyakit hernia incarcerata terutama adanya benjolan yang tidak bisa masuk kembali segera memeriksakan diri ke rumah sakit atau dokter. Kepada petugas kesehatan diharapkan memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat mengenai penyakit hernia melalui puskesmas, posyandu agar masyarakat mengetahui tindakan apa yang harus dilakukannya. Kepada dokter dan petugas medis RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan diharapkan memberikan pemahaman kepada penderita post operasi dan keluarga mengenai penyakit hernia incarcerata agar tidak memperparah keadaan dan mengurangi kecacatan.
Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Proporsi umur tertinggi penderita hernia incarcerata pada kelompok umur > 60 tahun (24,8%) dengan proporsi laki-laki (24,0%) dan perempuan (0,8%), proporsi jenis kelamin laki-laki (86,8%) dan perempuan (13,2%) dengan sex ratio 6,57 ( 7):1, proporsi tertinggi agama Islam (72,7%),pendidikan SLTA (56,2%), pekerjaan wiraswasta (43,8%), status perkawinan kawin (68,6%), tempat tinggal kota Medan (81,0%). Proporsi tertinggi keluhan utama adalah benjolan+ nyeri+ sulit BAB (konstipasi) (52,9%). Proporsi tertinggi letak hernia yang mengalami inkarserasi adalah hernia inguinalis (88,4%). Lama rawatan rata-rata penderita hernia incarcerata 5,41 hari dengan SD= 3,172 hari. Proporsi tertinggi sumber biaya adalah JPKMS (36,4%). Proporsi tertinggi keadaan sewaktu pulang adalah sembuh (50,4%). Ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin berdasarkan letak hernia yang mengalami inkarserasi (p=0,021). Analisa statistik dengan uji Chisquare tidak dapat digunakan untuk melihat perbedaan proporsi antara jenis kelamin berdasarkan keadaan sewaktu pulang karena terdapat 3 sel (37,5%) yang mempunyai expected count <5. Analisa statistik dengan uji Chi-square tidak dapat digunakan untuk melihat perbedaan proporsi antara umur berdasarkan letak hernia yang mengalami inkrserasi karena terdapat 2 sel (33,3%) yang mempunyai expected count <5. Ada perbedaan bermakna lama rawatan rata-rata berdasarkan sumber biaya (p=0,003). Ada perbedaan bermakna lama rawatan ratarata berdasarkan keadaan sewaktu pulang (p=0,000).
Daftar Pustaka 1. Saunders Company, W.B. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Alih bahasa Poppy Kumala, dkk. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. 2. Sjamsuhidajat, R, de Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. 3. A. Mansjoer, Suprohaita, W. K. Wardhani, W. Setiowulan. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III, Jilid II. Penerbit Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 4. Rachmawati, T., ddk. 2007. Pola Penyakit Penyebab Kematian Bayi Di Pedesaan dan Perkotaan, Kondisi Sosioekonomi Pada Kejadian Kematian Bayi Di Indonesia Hasil RisKesDas 2007. www.depkes.go.id. Diakses pada tanggal 12 April 2013. 5. Sabiston, D.C. 1994. Buku Ajar Bedah. Alih Bahasa Petrus Andrianto. EGC: Jakarta. 6. Dunphy, J. E. dan W. Botsford, Thomas. 1993. Pemeriksaan Fisik Bedah. 8
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Cet. 5. Alih Bahasa Th. Susanto dkk. Yayasan Essentia Medica: Yogyakarta. WHO. 2005. Incarcerated Hernia. www.who.int. Diakses pada tanggal 11 Januari 2013 Latifah, N. 2011. Asuhan Keperawatan. KTI. StiKes Muhammadiyah Lamongan. http://www.latifah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 11 Januari 2013. Alvarez, J.A. 2003. Incarcerated Groin Hernia in Adult: Presentation and Outcome.. http://www.education.surgery.ulf.e du. Diakses pada tanggal 12 April 2013 Milosevic, P. & Marija Kolinovic. 2011. Surgical Management of Abdominal Wall Hernias In Adults-Epidemiological Aspects and Our Experiences. http://www.priory.com. Diakses pada tanggal 11 Januari 2013. Zeng, C., dkk. 2012. Logistic Regression Analiysis of High-Risk Factors for Neonatal Incarcerated Hernia With Intestinal Necrosis. http://europepmc.org. Diakses pada tanggal 11 Januari 2013 Choi, Yoon Young, Zisun Kim, dan Kyung Yul Hur. 2011. Lapararoscopic total extraperitoneal repair for incarcerated inguinal hernia. http://www.researchgate.net. Diakses pada tanggal 11 Januari 2013 Wardhani, H, dkk. 1993. Ingunal Hernia in Children in Indonesia. Medical School, University Indonesia, Childrens and Maternity Hospital. http:www//link.spinger.com. Diakses pada tanggal 12 Januari 2013. Napitupulu, S. Prevalensi Hernia Inguinalis pada Anak di RSUP
15.
16.
17.
18.
9
H. Adam Malik Medan Periode Juli 2008-Juli 2010. KTI. FK USU Medan.http://www.repository.usu.a c.id. Diakses 11 Januari 2013. Schrock, T. R. 2006. Ilmu Bedah. Alih bahasa Dharma A, ddk. Edisi 7. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. Kulah, B., dkk. 2001. Presentation and Outcome of Incarcerated External Hernias in Adults. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Diakses pada tanggal 13 April 2013. Kemenaker RI Nomor 609 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja. http: ml.scribd.com. Diakses pada tanggal 13 Juni 2013. Iscan, H. 2010. Perbandingan Nyeri Pasca Operasi Herniorrhaphy secara Lichtenstein dengan Trabucco. Tesis. FK UNAND Padang.http://repository.unand.ac. id. Diakses pada tanggal 5 Januari 2013.
KARAKTERISTIK PENDERITA MALARIA DENGAN PARASIT POSITIF YANG DIRAWAT INAP DI RSUD DR. M. YUNUS KOTA BENGKULU TAHUN 2012
Dwi Putri1, Sori Muda2, Hiswani2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155
Abstract API national in 2011 is 1,75‰. API Bengkulu in 2011 is 3,02‰. CFR malaria Indonesia in 2011 is 0,03%. There are 711 malaria patients of parasites positive hospitalized in RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu in 2012 (IR is 53,61%). To determine the characteristics of malaria patient of parasites positive hospitalized in RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu doing research with a descriptive case series design. The sampel is 248 patient were taken at Systematic Random Sampling. Sociodemographic highest proportion in the age group 1-10 years 41,5%, male 54,4%, Muslim 96%, unemployer 34,4%, and living in Bengkulu city 63,7%. The highest parasites species proportion is Plasmodium vivax 94,4%. The highest malaria symptom is fever 100%. The highest complication types is >1 complication 2,4%. The average length of stay is 3,63 (4 days). The highest condition of patients after treatment is recover42,3%. There was no significant difference in the proportion ages based on complication types (p=0,319), duration of treatment on eaverage based on parasites species (p=0,370), duration of treatment on average based on complication status (p=0,842). There was significant difference in complication status based on parasites species (p=0,00), and complication status based on condition patients after treatment (p=0,00). There is no statistical test can be done parasites species based on condition patients after treatment because there are 3 cell (37,5%) with expected frequency <5. CFR in 2012 5,24%, based on parasites species P. falciparum 78,5% and P. vivax 0,85%. RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu should give increased illumination, socialization active management and malaria treatment and then completing the inspection records Splenomegali. Keywords: Characteristics, Malaria Parasites Positive, RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu Malaria adalah suatu penyakit yang agent infeksinya protozoa dari genus Plasmodium sp. Malaria pada manusia bisa disebabkan Plasmodium malariae, Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, dan Plasmodium ovale. Penularan malaria dilakukan oleh nyamuk betina Anopheles sp yang infektif. Selain oleh gigitan nyamuk Anopheles yang infektif, malaria dapat ditularkan secara langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar darah penderita malaria serta dari ibu hamil kepada bayinya.3
Pendahuluan Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang memengaruhi angka kesakitan dan kematian bayi, anak balita dan ibu melahirkan serta dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja.1 Setiap tahun lebih dari 500 juta penduduk dunia terinfeksi malaria dan lebih dari satu juta orang meninggal dunia. Kasus terbanyak terdapat di Afrika dan beberapa Negara Asia termasuk Indonesia, Amerika Latin, Timur Tengah dan beberapa bagian Negara Eropa. 2
1
Berdasarkan World Health Organization (WHO) tahun 2006, Incidence Rate (IR) malaria pada daerah yang berisiko 7,48% (247 juta kasus) dan Case Fatality Rate (CFR) 0,36% dimana hampir satu juta kematian terjadi pada anak-anak < 5 tahun. Kasus malaria terbanyak terjadi di Afrika yaitu 212 juta kasus (IR 32,77%).4 Pada tahun 2010, WHO menyatakan penyakit malaria masih terjadi di 99 negara. Ada 3,3 juta orang memiliki risiko terkena malaria. Ada 86% kematian terjadi pada anak < 5 tahun dan sebagian besar berada di SubSahara Afrika. Kasus malaria menurun menjadi 17% secara global pada tahun 2010 dengan mortality rate malaria 26%.5 Berdasarkan Ditjen PP dan PL Depkes RI pada tahun 2009, KLB dilaporkan terjadi di Pulau Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten), Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, NAD, Sumatera Barat, dan Lampung dengan jumlah penderita 1.869 orang dan meninggal 11 orang (CFR 0,58%).6 Berdasarkan Ditjen Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan tahun 2008 angka kematian (CFR) penderita malaria di Indonesia 0,56%. Angka ini menurun pada tahun 2009 menjadi 0,01%. Pada tahun 2011 CFR malaria kembali meningkat menjadi 2x lipat yaitu 0,03%7 Berdasarkan Balitbangkes, Kemenkes RI Riskesdas 2010, prevalensi malaria di Indonesia tahun 2010, Provinsi Papua Barat memiliki angka prevalensi malaria tertinggi yaitu 10,6%, lalu ada Papua 10,1% dan diikuti provinsi lainnya seperti NTT 4,4%, Maluku Utara 3,6%, Sulawesi Utara 1,9% dan Bengkulu 1,9%.8 Menurut Ditjen PP dan PL Kepmenkes RI 2012, Annual Parasit Incidence (API) Nasional tahun 2011 adalah 1,75 per 1.000 penduduk. Provinsi dengan API yang tertinggi adalah Papua Barat 32,25 per 1.000 penduduk, Papua 23,34 per 1.000 penduduk dan NTT 14,75 per 1.000 penduduk. Masih terdapat 11 provinsi lagi yang angka API diatas angka nasional seperti Maluku 3,97 per 1000 penduduk, Sulawesi Tengah 3,08 per 1000 penduduk, Kalimantan Tengah 3,08 per 1000 penduduk, Bengkulu 3,02 per 1000 penduduk, Sulawesi Utara 2,52 per 1000 penduduk, Maluku Utara 2,37 per 1000
penduduk, Kalimantan Selatan 2,29 per 1000 penduduk, Bangka Belitung 2,28 per 1000 penduduk, Kalimantan Barat 1,91 per 1000 penduduk, Sulawesi Barat 1,91 per 1000 penduduk dan Gorontalo 1,90 per 1000 penduduk.9 Pada tahun 2011, API di Provinsi Bengkulu 3,02 per 1.000 penduduk. Angka ini merupakan yang tertinggi di Sumatera, diurutan kedua ada Bangka Belitung 2,28 per 1.000 penduduk dan ada Jambi diurutan ketiga dengan 1,60 per 1.000 penduduk. Kota Bengkulu merupakan daerah endemis malaria.9 Menurut profil data kesehatan Indonesia tahun 2012, API Provinsi Bengkulu pada tahun 2011 3,02 per 1000 penduduk. Angka ini menurun dibandingkan dengan API pada tahun 2010 4,26 per 1.000 penduduk. Dilihat dari jumlah kasus dan angka kesakitan malaria per 1.000 penduduk berisiko di Provinsi Bengkulu tahun 2011, populasi yang berisiko ada 1.751.914. Penduduk dengan malaria klinis 44.368, dan yang dinyatakan positif malaria lebih sedikit dari malaria klinis yaitu 5.295. Jika ditetapkan penyakit malaria hanya yang positif saja, seakan-akan kunjungan malaria sangat kecil. Padahal pemeriksaan laboratorium untuk malaria masih mengalami kendala dalam pembuatan spesimen dan rujukan pemeriksaan.9 Berdasarkan data survei awal yang diperoleh dari RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu diketahui jumlah penderita malaria dengan parasit positif yang dirawat inap tahun 2012 yaitu 711 penderita dari 1.326 penderita malaria (IR 53,61%). Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik penderita malaria dengan parasit positif yang dirawat inap di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu tahun 2012. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Belum diketahui karakteristik penderita malaria dengan parasit positif yang dirawat inap di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu tahun 2012. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah Mengetahui karakteristik penderita malaria dengan parasit positif yang dirawat inap di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu tahun 2
2012. Tujuan khusus penelitian ini adalah: Mengetahui distribusi proporsi penderita malaria dengan parasit positif berdasarkan sosiodemografi, antara lain: umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, dan tempat tinggal, distribusi proporsi berdasarkan jenis parasit, distribusi proporsi berdasarkan gejala malaria, distribusi proporsi berdasarkan status komplikasi, distribusi proporsi berdasarkan jenis komplikasi, distribusi proporsi berdasarkan lama rawatan rata-rata, distribusi proporsi berdasarkan keadaan sewaktu pulang, distribusi proporsi umur berdasarkan status komplikasi, distribusi proporsi status komplikasi berdasarkan jenis parasit, distribusi lama rawatan rata-rata penderita malaria berdasarkan jenis parasit, distribusi lama rawatan rata-rata berdasarkan status komplikasi, distribusi proporsi jenis parasit berdasarkan keadaan sewaktu pulang, distribusi proporsi status komplikasi berdasarkan keadaan sewaktu pulang.
Keterangan : d = Penyimpangan terhadap populasi/ketepatan yang diinginkan = 0,05 n = Jumlah sampel yang dibutuhkan t = Tingkat kepercayaan (digunakan 95%, sehingga t = 1,96) P = Proporsi karakteristik (0,54) Q=1–P Dengan menggunakan rumus tersebut diketahui sampel sebanyak 248 orang. Data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dengan chisquare 95% CI. Hasil dan Pembahasan Distribusi proporsi umur dan jenis kelamin penderita malaria dengan parasit positif dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 1. Distribusi Proporsi Umur dan Jenis Kelamin Penderita Malaria dengan Parasit Positif yang Dirawat Inap di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu Tahun 2012
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan masukan bagi pihak RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu untuk meningkatkan pelayanan dan penatalaksanaan penderita malaria. Sebagai bahan referensi di perpustakaan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Sumatera Utara (USU) Medan dan peneliti lain yang membutuhkan. Sebagai sarana meningkatkan wawasan dan pengetahuan penulis mengenai malaria dan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.
Umur (Tahun)
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-laki f %
Perempuan f %
1-10 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 > 70
60 25 15 6 13 9 5 2
24,2 10,1 6,0 2,4 5,2 3,6 2,0 0,8
43 23 20 10 10 5 1 1
17,3 9,3 8,1 4,0 4,0 2,0 0,4 0,4
103 48 35 16 23 14 6 3
Jumlah
135
54,4
113
45,6
248
f
% 41,5 19,4 14,1 6,5 9,3 5,6 2,4 1,2 100
Dari tabel 1. dapat diketahui bahwa berdasarkan kelompok umur proporsi penderita malaria dengan parasit positif tertinggi adalah kelompok umur 1-10 tahun 41,5% dan yang terendah adalah kelompok umur > 70 tahun 1,2%. Umur termuda adalah 1 tahun dan tertua adalah 84 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Laki-laki 135 orang (54,4%) dan Perempuan 113 orang (45,6%) dengan sex ratio 54,4% : 45,6% = 1,19. Anak-anak lebih rentan dibanding orang dewasa terhadap infeksi parasit malaria karena daya tahan tubuhnya (imun) lebih
Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu. Waktu penelitian dilakukan sejak bulan Februari sampai Juli 2013. Populasi penelitian adalah semua data penderita malaria dengan parasit positif yang tercatat di rekam medis rumah sakit tahun 2012 yang berjumlah 711 orang. Perhitungan sampel penelitian ini menggunakan rumus besar sampel dengan jumlah populasi yang diketahui.10 3
rendah dari pada orang dewasa. Anak usia <5 tahun adalah kelompok terbanyak yang berisiko terhadap malaria. Secara umum, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria. Perbedaan angka kesakitan malaria pada laki-laki dan perempuan atau pada berbagai golongan umur dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti kekebalan, keadaan gizi, kebiasaan, lingkungan tempat tinggal dan hal lainnya yang mendukung. Namun jika dilihat dari usia, anak-anak lebih rentan terhadap infeksi parasit malaria dibandingkan orang dewasa.6,11
Distribusi proporsi jenis parasit penderita malaria dengan parasit positif dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Distribusi proporsi agama, pekerjaan, dan tempat tinggal penderita malaria dengan parasit positif dapat dilihat pada table dibawah ini:
Distribusi proporsi gejala malaria penderita malaria dengan parasit positif dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 3. Distribusi Proporsi Jenis Parasit Penderita Malaria dengan Parasit Positif yang Dirawat Inap di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu Tahun 2012 Jenis Parasit Plasmodium vivax Plasmodium falciparum Jumlah
Agama Islam Kristen Protestan/Katolik Jumlah Pekerjaan Belum Bekerja Pelajar PNS/TNI/Polri Wiraswasta Mahasiswa IRT Karyawan Swasta Jumlah Tempat Tinggal Kota Bengkulu Luar Kota Bengkulu Jumlah
f
%
238 10 248
96,0 4,0 100
85 62 25 23 21 17 15 248
34,3 25,0 10,0 9,3 8,5 6,9 6,0 100
158 90 248
63,7 36,3 100
(%) 94,4 5,6 100
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa jenis parasit tertinggi adalah Plasmodium vivax 94,4% dan yang terendah adalah Plasmodium falciparum 5,6%.
Tabel 4. Distribusi Proporsi Gejala Malaria Penderita Malaria dengan Parasit Positif yang Dirawat Inap di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu Tahun 2012
Tabel 2. Distribusi Proporsi Agama, Pekerjaan, dan Tempat Tinggal Penderita Malaria dengan Parasit Positif yang Dirawat Inap di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu Tahun 2012 Sosiodemografi
f 234 14 248
Gejala Malaria (n=248) Demam Mual/Muntah Menggigil Diare Sakit Kepala Nyeri Otot Batuk
f 248 191 162 132 89 80 47
% 100,0 77,0 65,3 53,2 35,9 32,3 19,0
Berdasarkan tabel 4. dapat dilihat bahwa proporsi gejala malaria tertinggi adalah demam dengan sensitivitas 100%, kemudian menggigil dengan sensitivitas 65,3% dan yang terendah adalah batuk 19%. Hal ini menunjukan bahwa penderita malaria yang dirawat inap pada umumnya datang dengan gejala demam, menggigil, mual/muntah, dan sakit kepala dimana gejala ini merupakan gejala klinis yang sering dirasakan oleh penderita malaria.
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa proporsi penderita malaria dengan parasit positif berdasarkan agama tertinggi adalah Islam yaitu 96% (238 orang) sedangkan Kristen Protestan/Katolik 4% (10 orang). Berdasarkan pekerjaan penderita malaria dengan parasit positif adalah belum bekerja yaitu 34,3% dan yang terendah adalah karyawan swasta yaitu 6,0%. Berdasarkan tempat tinggal penderita malaria dengan parasit positif tertinggi diwilayah Kota Bengkulu yaitu 63,7% dan yang terendah adalah berada di luar Kota Bengkulu.
Distribusi proporsi status komplikasi penderita malaria dengan parasit positif dapat dilihat pada table dibawah ini: Tabel 5. Distribusi Proporsi Status Komplikasi Penderita Malaria dengan Parasit Positif yang Dirawat Inap di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu Tahun 2012 Status Komplikasi Tidak ada komplikasi Ada komplikasi Jumlah
4
f 226 22 248
% 91,1 8,9 100
Tabel 7. Lama Rawatan Rata-Rata Penderita Malaria dengan Parasit Positif yang Dirawat Inap di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu Tahun 2012
Berdasarkan tabel 5 di atas, dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi berdasarkan status komplikasi adalah tidak ada komplikasi 91,1% (226 orang) dan yang terendah adalah ada komplikasi 8,9% (22 orang).
Lama Rawatan Rata-Rata (Hari) Mean 3,63 SD 2,135 Coefficient Of Variation 58,82% 95% Confidence Interval 3,36-3,89 Minimum 1 Maksimum 14
Distribusi proporsi jenis komplikasi penderita malaria dengan parasit positif dapat dilihat pada table di bawah ini: Tabel 6. Distribusi Proporsi Jenis Komplikasi Penderita Malaria dengan Parasit Positif yang Dirawat Inap di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu Tahun 2012 Jenis Komplikasi (n= 22) >1 komplikasi Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa Kejang umum Anemia berat Edema paru Malaria cerebral
f 6
% 2,4
5
2,0
4 3 3 1
1,6 1,2 1,2 0,4
Berdasarkan tabel 7. dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata penderita malaria dengan parasit positif yang dirawat inap adalah 3,63 hari (4 hari) dan standar deviasi 2,135. Coeffisient Of Variation > 10% artinya lama rawatan penderita malaria bervariasi dimana lama rawatan minimum 1 hari dan maksimum 14 hari. Distribusi proporsi keadaan sewaktu pulang penderita malaria dengan parasit positif dapat dilihat pada table di bawah ini:
Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat bahwa proporsi komplikasi penderita malaria dengan parasit positif terbanyak adalah >1 komplikasi yaitu 2,4% dan yang terendah adalah malaria cerebral 0,4%. Komplikasi ini banyak diderita oleh penderita malaria dengan jenis Plasmodium falciparum. Jenis parasit ini memang yang paling berbahaya diantara keempat jenis parasit malaria karena penyakit yang ditimbulkannya dapat menjadi berat. Pasien dengan malaria berat dan berkomplikasi dapat ditemukan dalam keadaan gangguan kesadaran (tetapi masih dapat dibangunkan), sangat lemah, dan ikterus (kadar bilirubin darah >3mg%) sehingga disebut malaria biliosa. Selain itu dapat disertai dengan komplikasi: Malaria cerebral, kejang umum, gagal ginjal, hipoglikemia, gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa, edema paru, kolaps sirkulatorik dan syok, perdarahan spontan pada gusi dan hidung, hiperpireksia/hipertermia, hiperparasitemia, hemoglobinuria malaria dan anemia berat.12
Tabel 8. Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Pulang Penderita Malaria dengan Parasit Positif yang Dirawat Inap di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu Tahun 2012 Keadaan Sewaktu Pulang Sembuh Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) Pulang Berobat Jalan (PBJ) Meninggal Jumlah
f 105
% 42,3
83
33,5
47 13 248
19,0 5,2 100
Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi adalah sembuh 42,3% dan yang terendah adalah meninggal yaitu sebanyak 5,2%. Dari 14 orang penderita yang memiliki jenis parasit Plasmodium falciparum, 13 orang diantaranya meninggal dengan 6 orang penderita mengalami >1komplikasi. Hal ini disebabkan karena penderita tidak mengenali gejala malaria jenis apa yang mereka derita sehingga pada saat datang ke rumah sakit penderita sudah dalam keadaan yang sudah cukup parah. Penderita terlambat mendapatkan penangan dan pengobatan sehingga parasit telah menyebar dan menyerang organ tubuh lainnya.
Lama rawatan rata-rata penderita malaria dengan parasit positif dapat dilihat pada table di bawah ini:
5
Analisis Statistik Umur Berdasarkan Status Komplikasi
komplikasi komplikasi.
Tabel 9. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Status Komplikasi Penderita Malaria dengan Parasit Positif yang Dirawat Inap Di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu tahun 2012
Lama Rawatan Rata-Rata Berdasarkan Jenis Parasit
Umur (Tahun)
Status Komplikasi Ada Komplikasi Tidak ada komplikasi
< 14
15-65
f
%
f
%
9
40,9
11
50,0
2
111
49,1
108
47,8
7
f
%
9,1
22
100
3,1
226
100
Plasmodium falciparum Plasmodium vivax
ada
Distribusi Proporsi Status Komplikasi Berdasarkan Jenis Parasit Penderita Malaria dengan Parasit Positif yang Dirawat Inap Di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu tahun 2012 Status Komplikasi Total
Jenis Parasit
Ada komplikasi f %
Tidak ada komplikasi f %
f
%
P. falciparum
12
85,7
2
14,3
14
100
P. vivax
10
54,3
224
95,7
234
100
n
x
SD
14
4,21
2,694
234
3,59
2,099
Berdasarkan tabel 11. dapat dilihat bahwa bahwa lama rawatan rata-rata pada 14 penderita malaria parasit Plasmodium falciparum adalah 4,21 hari (4 hari) dengan standar deviasi 2,694, dan lama rawatan ratarata pada 234 penderita malaria dengan parasit Plasmodium vivax adalah 3,59 hari (4 hari) dengan standar deviasi 2,099. Pada uji Tests of Normality, lama rawatan rata-rata berdasarkan jenis parasit Plasmodium falciparum mempunyai nilai p=0,021, sedangkan jenis parasit Plasmodium vivax p=0,000. Nilai p<0,05, artinya data tersebut berdistribusi tidak normal. Berdasarkan hasil uji statistik Mann-Whitney diperoleh (p=0,370), p>0,05 artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata penderita malaria dengan jenis parasit Plasmodium falciparum dan penderita malaria jenis parasit Plasmodium vivax.
Status Komplikasi Berdasarkan Jenis Parasit 10.
tidak
Lama Rawatan Rata-Rata Jenis Parasit
Berdasarkan tabel 9 dapat dilihat penderita malaria dengan status ada komplikasi tertinggi pada kelompok umur 1564 tahun 50% dan penderita malaria dengan status tidak ada komplikasi tertinggi pada kelompok umur < 14 tahun 49,1%. Hasil analisa statistik dengan uji Chi Square diperoleh nilai (p= 0,319), p>0,05 artinya tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur dengan status komplikasi pada penderita malaria yang dirawat inap.
Tabel
yang
Tabel 11. Distribusi Proporsi Status Komplikasi Berdasarkan Jenis Parasit Penderita Malaria dengan Parasit Positif yang Dirawat Inap Di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu tahun 2012
Total
≥ 65 f %
dengan
Lama Rawatan Rata-Rata Berdasarkan Status Komplikasi
Berdasarkan tabel 10. dapat diketahui bahwa penderita malaria dengan jenis parasit Plasmodium falciparum terbanyak pada penderita yang memiliki komplikasi 85,7%, dan pada penderita malaria jenis parasit Plasmodium vivax adalah tidak ada komplikasi 95,7 %. Tabel 10 merupakan tabel kontingensi 2x2 dan dijumpai nilai yang diharapkan kurang dari 5, maka uji yang digunakan adalah Fisher Exact. Berdasarkan hasil uji Fisher Exact diperoleh p= 0,000, (p < 0,05) artinya terdapat perbedaan yang bermakna jenis parasit antara penderita malaria yang ada
Tabel 12.
Lama Rawatan Rata-Rata Berdasarkan status komplikasi Penderita Malaria dengan Parasit Positif yang Dirawat Inap Di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu tahun 2012 Lama Rawatan Rata-Rata
Status Komplikasi Ada Komplikasi Tidak Ada Komplikasi
n
x
SD
22
4,09
2,942
226
3,58
2,043
Berdasarkan tabel 12. dapat dilihat bahwa terdapat 22 penderita malaria yang memiliki komplikasi dimana lama rawatan rata-rata 4,09 (4 hari) dengan standar deviasi 2,942, dan terdapat 226 penderita malaria 6
yang tidak memiliki komplikasi dimana lama rawatan rata-rata 3,58 (4 hari) dengan standar deviasi 2,043. Pada uji Tests of Normality, lama rawatan rata-rata berdasarkan status ada komplikasi mempunyai nilai p=0,000, sedangkan status tidak ada komplikasi p=0,000. Nilai p<0,05, artinya data tersebut berdistribusi tidak normal. Berdasarkan hasil uji statistik Mann-Whitney diperoleh (p=0,842), p>0,05 artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata penderita malaria dengan status ada komplikasi dan penderita malaria dengan status tidak ada komplikasi.
falciparum adalah 78,5% (11 orang meninggal), sedangkan pada Plasmodium vivax 0,85% (2 orang meninggal). Status Komplikasi Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Tabel 14.
Keadaan Sewaktu Pulang
Jenis Parasit Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Tabel 13.
Keadaan Sewaktu Pulang
Distribusi proporsi jenis parasit berdasarkan keadaan sewaktu pulang Penderita Malaria dengan Parasit Positif yang Dirawat Inap Di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu tahun 2012
PAPS
f 82
% 98,8
PBJ
0
47
0
Total
P. vivax f 83
% 100
100
47
100 100 100
Sembuh
2
1,9
103
98,1
105
Meninggal
11
84,6
2
15,4
13
Status Komplikasi Ada komplikasi f %
Tidak Ada Komplikasi f %
Total f
%
PAPS
2
2,4
81
97,6
83
100
PBJ
2
4,3
45
95,7
47
100
Sembuh
5
4,8
100
95,2
105
100
Meninggal
13
100
0
0
13
100
Berdasarkan tabel 14. dapat dilihat dari 83 penderita malaria dengan parasit positif yang pulang atas permintaan sendiri (PAPS) tertinggi adalah penderita yang tidak ada komplikasi 97,6% (81 orang), dari 47 penderita malaria dengan parasit positif yang pulang berobat jalan (PBJ) tertinggi adalah penderita yang tidak memiliki komplikasi 95,7% (45 orang), dari 105 penderita malaria dengan parasit positif yang sembuh tertinggi adalah penderita yang tidak memiliki komplikasi 95,2% (100 orang), dan 13 dari penderita yang meninggal tertinggi adalah penderita yang memiliki komplikasi 100%. Analisa statistik dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh nilai (p=0,000), p<0,05 artinya terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara status komplikasi dengan keadaan sewaktu pulang. Dari tabel 14 dapat dilihat bahwa Case Fatality Rate (CFR) penderita malaria dengan parasit positif yang dirawat inap di RSUD Dr. M. Yunus pada tahun 2012 dengan komplikasi adalah 5,24% (13 orang meninggal), sedangkan pada penderita malaria yang tidak ada komplikasi tidak dijumpai penderita yang meninggal.
Jenis parasit P. falciparum f % 1 1,2
Distribusi Proporsi Status Komplikasi Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Penderita Malaria dengan Parasit Positif yang Dirawat Inap Di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu tahun 2012
Berdasarkan tabel 13 dapat dilihat bahwa dari 83 penderita malaria yang pulang atas permintaan sendiri (PAPS) tertinggi adalah jenis parasit Plasmodium vivax 98,8%, dari 47 penderita malaria yang pulang berobat jalan (PBJ) tertinggi adalah jenis parasit Plasmodium vivax 100%, dari 105 penderita sembuh tertinggi adalah jenis parasit Plasmodium vivax 98,1%, dan 13 dari penderita yang meninggal tertinggi adalah jenis parasit Plasmodium falciparum 84,6%. Analisa statistik dengan menggunakan uji Chi Square tidak dapat dilakukan karena ada 3 sel (37,5%) dengan frekuensi harapan < 5. Dari tabel 13 dapat dilihat bahwa Case Fatality Rate (CFR) penderita malaria dengan parasit positif yang dirawat inap di RSUD Dr. M. Yunus pada tahun 2012 adalah 5,24% (13 orang meninggal). Berdasarkan jenis parasit, Case Fatality Rate (CFR) penderita malaria dengan Plasmodium
Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Proporsi penderita malaria dengan parasit positif yang dirawat inap tertinggi pada kelompok umur 1-10 tahun 41,5%, jenis 7
kelamin laki-laki 54,4%, agama islam 96%, pekerjaan tidak bekerja 34,3%, dan tempat tinggal di wilayah Kota Bengkulu 63,7%; berdasarkan jenis parasit yang tertinggi adalah Plasmodium vivax 94,4%; berdasarkan gejala malaria yang tertinggi adalah demam 100% (sensitivitas 100%); berdasarkan status komplikasi yang tertinggi adalah tidak ada komplikasi 91,1%; berdasarkan jenis komplikasi yang tertinggi adalah >1 komplikasi 2,4%; lama rawatan rata-rata penderita malaria dengan parasit positif yang dirawat inap adalah 3,63 hari (4 Hari); berdasarkan keadaan sewaktu pulang tertinggi adalah sembuh 42,3%. Dari hasil statistik tidak ada perbedaan yang bermakna antara umur penderita malaria dengan parasit positif berdasarkan status komplikasi (p=0,319); lama rawatan rata-rata penderita malaria dengan parasit positif berdasarkan jenis parasit (p=0,370); lama rawatan rata-rata penderita malaria dengan parasit positif berdasarkan status komplikasi (p=0,842). Terdapat perbedaan yang bermakna antara status komplikasi penderita malaria dengan parasit positif berdasarkan jenis parasit (p=0,000), status komplikasi penderita malaria dengan parasit positif berdasarkan keadaan sewaktu pulang (p=0,000). Analisa statistik pada distribusi proporsi jenis parasit berdasarkan keadaan sewaktu pulang pada penderita malaria dengan parasit positif dengan menggunakan uji Chi Square tidak dapat dilakukan karena ada 3 sel (37,5%) dengan frekuensi harapan <5. Case Fatality Rate (CFR) penderita malaria dengan parasit positif yang dirawat inap di RSUD Dr.M.Yunus Kota Bengkulu tahun 2012 5,24%. Berdasarkan jenis parasit, Plasmodium falciparum 78,5% dan Plasmodium vivax 0,85%. Berdasarkan status komplikasi penderita yang memiliki komplikasi 5,24% sedangkan penderita yang tidak ada komplikasi tidak ada yang meninggal.
M. Yunus Kota Bengkulu sebaiknya meningkatkan penyuluhan dan sosialisasi tentang pemeriksaan dan pengobatan yang sesuai, sedangkan kepada penderita malaria agar dapat membedakan gejala malaria Tropicana dengan malaria Tertiana sehingga mendapatkan pengobatan dan perawatan yang aktif dan sesuai. Tingginya proporsi penderita malaria pada kelompok umur anak-anak diharapkan kepada orang tua untuk meningkatkan perlindungan terhadap anak terutama usia 1-15 tahun dari penyakit malaria karena siapa saja dapat tertular tidak terkecuali anak-anak. Diharapkan kepada pihak RSUD Dr. M.Yunus Kota Bengkulu agar dapat melengkapi sistem pencatatan kartu status yang berkaitan dengan pemeriksaan Splenomegali. Daftar Pustaka 1. Depkes RI. 2003. Modul Surveilans Malaria. Ditjen PPM Dan PLP. Jakarta. 2. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Bersama Kita Berantas Malaria. Jakarta.http://www.depkes.go.id/bersa ma-kita-berantas-malaria.html. Diakses pada tanggal 2 Januari 2013 3. Widoyono. 2005. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya. Erlangga Medical Series. Jakarta. 4. WHO. 2008. World Malaria Report 2008. http://www.who.int/malaria/wmr2008. Diakses pada tanggal 2 Januari 2013. 5. WHO. 2010. World Malaria Report 2010.http://www.who.int/malaria/wmr 2010. Diakses pada tanggal 2 Januari 2013. 6. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Epidemiologi Malaria di Indonesia. Ditjen PP dan PL Depkes RI. Jakarta.
2. Saran Tingginya Case Fatality Rate (CFR) pada penderita malaria dengan parasit positif karena >1 komplikasi berat yang disebabkan oleh jenis parasit Plasmodium falciparum sehingga disarankan kepada pihak RSUD Dr.
7. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Profil Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan Tahun 2009. Ditjen Pengendalian Penyakit dan 8
Kesehatan Lingkungan. Jakarta. http://news.softpedia.com/. Diakses pada tanggal 13 Maret 2013. 8. Balitbangkes, Kemkes RI Riskesdas. 2010. Data/Informasi Kesehatan Provinsi Bengkulu. Bengkulu 9. Kementerian Kesehatan RI. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011.Jakarta. 10. Cochran, W.G. 1991. Teknik Penarikan Sampel Edisi Ketiga. UI PRESS. Jakarta. 11. Depkes RI. 2000. Modul Epidemiologi Malaria. Ditjen P2M dan PLP, Jakarta. 12. WHO. 1997. Penatalaksanaan Malaria Berat dan Berkomplikasi. Penerbit Hipokrates. Jakarta.
9
KARAKTERISTIK IBU BERSALIN DENGAN SECTIO CAESAREA DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. PIRNGADI MEDAN TAHUN 2011-2012 Siti Maisyaroh Fitri Siregar1, Rasmaliah2, Jemadi2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155 Email:
[email protected]
Abstract Caesarean section is defined as the birth of the fetus through an incision in the abdominal wall and uterus wall. RI Department of Health in 2000 sets the number of births sectio Caesarea for referral teaching hospital or province 20% of all deliveries, while private hospitals 15% of all deliveries. To determine maternal characteristics by Caesarea section in Hospital of Dr. Pirngadi Medan research conducted in 2011-2012 with a descriptive case series design. Population of 858 women giving birth by Caesarean section and the sample was 87 mothers. Data were analyzed using ANOVA, t-test and chi-square. The highest proportion of women giving birth by caesarean section in the age group 20-35 years old 78.20%, 70.11% Moslem, graduating high school / equivalent 83.91%, 75.86% housewives,, primiparous 34.48%, delivery within 2-3 years 55.17%, not 75.86% no history of the disease, no history of poor obstetric 75.68%, giving birth history by caesarean section 84.48%, 90.80% medical indications, maternal factors that previous history of caesarean Setion 42.19%, fetal distress fetal factors with 46.66%, not referenced / Dating own 42.53%, 96.55% normal birth weight, antenatal care at health centers / midwives 62.07%, long maintainability an average of 3.92 days, source their own expense the cost instead of 92.95%, while home mom living circumstances of 98.85%. There is no significant difference between the average treatment time is based on parity mothers (p = 0.808), history of disease (p = 0.354), poor obstetric history (p = 0.546). There is a significant difference between the average treatment time based on the circumstances when home mother (p = 0.019). There is no significant difference between the birth weight by Caesarean section indications (p = 0.746). Health professionals is expected to provide education on the benefits of normal parturition to pregnant women especially during pregnancy,and pregnant women are expected to maintain nutrient intake and do regular antenatal care and routine physical and activities supported by the role of husband. Keyword : caesarean section, characteristic Pendahuluan Di negara-negara berkembang kesakitan dan kematian ibu masih menjadi masalah hingga saat ini.Kematian ibu terutama terjadi pada masa kehamilan dan persalinan.Bahkan World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun terjadi 210 juta kehamilan di
seluruh dunia. Dari jumlah tersebut 20 juta perempuan mengalami kesakitan akibat kehamilan, diantaranya 8 juta kasus mengalami komplikasi yang mengancam jiwa, dan lebih 500.000 meninggal, dan hampir 50% kematian tersebut terjadi di Negara Asia Selatan dan Tenggara termasuk Indonesia.
Menurut Survei Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) 1994 angka kematian ibu adalah 390/100.000 kelahiran hidup, pada SDKI tahun 2002/2003 angka kematian ibu adalah 307/100.000 kelahiran hidup, selanjutnya SDKI tahun 2007 angka kematian ibu adalah 228/100.000 kelahiran hidup.1 WHO, UNICEF, dan UNFPA, memperkirakan kematian ibu diseluruh dunia dari tahun 1990 hingga 2010, yakni dari 400/100.00 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 210/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010.2 Sebuah penelitian yang dilakukan di seluruh 98 rumah sakit di Belanda yang dimulai pada Januari tahun 2005 hingga Desember tahun 2007 terdapat persalinan dengan sectio caesarea dengan tingkat persentase per rumah sakit mulai dari 23% hingga 55% dari 258.676 persalinan, namun dengan tingginya tingkat persalinan sectio caesarea tersebut tidak juga meningkatkan kondisi perinatal itu sendiri.3 Berdasarkan persentase sectio caesarea RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 1999-2000, 13,9% sectio caesarea dilakukan tanpa indikasi medis.Berdasarkan data di salah satu rumah sakit swasta besar di Surabaya pada tahun 2000-2005 persentase sectio caesarea dengan indikasi medis adalah 65,18% sedangkan tanpa indikasi medis adalah 34,82%.4 Di RSU Lubuk Pakam tahun 2002-2003 proporsi persalinan dengan sectio caesarea tercatat 66,14% yaitu sebanyak 254 kasus dari 384 persalinan, dengan indikasi medis sebesar 93,6% dan indikasi sosial sebesar 6,4%.5 Di RSUD Sidikalang tahun 2007 proporsi persalinan dengan sectio caesarea tercatat 57,6% yaitu sebanyak 726 kasus dari 1260 persalinan, dengan indikasi medis sebesar 93% dan indikasi sosial sebesar 7%.6 Departmen Kesehatan RI tahun 2000 menetapkan angka kelahiran sectio caesarea untuk rumah sakit pendidikan atau rujukan provinsi 20% dari seluruh
persalinan, sedangkan untuk rumah sakit swasta 15% dari seluruh persalinan. Hasil survei pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012, diketahui jumlah ibu bersalin dengan sectio caesarea pada tahun 2011 yaitu sebanyak 424 dari 730 persalinan, Sedangkan pada tahun 2012 terdapat 434 persalinan sectio caesarea dari 2005 persalinan. Dengan demikian proporsi ibu bersalin dengan sectio caesarea di Rumah Sakit tersebut tahun 2011-2012 adalah sebesar 31.37%. Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik ibu bersalin dengan sectio caesarea di RSU. DR. Pirngadi Medan tahun 2011-2012. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahui karakteristik ibu
bersalin dengan sectio caesarea di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan tahun 2011-2012. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik ibu bersalin dengan sectio caesarea di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan tahun 2011-2012. Tujuan khusus penelitian ini adalah : Mengetahui distribusi proporsi ibu bersalin dengan sectio caesarea berdasarkan faktor sosiodemografi(umur, agama, tingkat pendidikan dan pekerjaan), faktor mediko obstetric(paritas, jarak persalinan, riwayat penyakit, riwayat obstetri jelek dan riwayat persalinan), indikasi sectio caesarea, asal rujukan, berat lahir bayi, Antenatal Care, lama rawatan rata-rata, sumber biaya, kedaaan ibu sewaktu pulang dan Mengetahui lama rawatan rata-rata berdasarkan riwayat penyakit, paritas, riwayat obstetri jelek, keadaan ibu sewaktu pulang, serta mengetahui distribusi berat badan lahir berdasarkan indikasi sectio caesarea Manfaat penelitian ini adalah : a. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi pihak RSUD Dr. Pirngadi Medan dalam upaya peningkatan pelayanan
kesehatan terutama dalam menangani masalah sectio caesarea. b. Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan penulis. c. Sebagai sarana dalam meningkatkan pengetahuan dan wawasan penulis mengenai persalinan dengan sectio caesarea Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series.Penelitian ini dilaksanakan di RSUD DR. Pirngadi Medan.Waktu penelitian dilakukan sejak bulan November 2012 sampai Juli 2013. Populasi penelitian adalah semua data ibu bersalin dengan sectio caesarea di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2011-2012 yaitu sebanyak 858 orang. Besar sampel dihitung dengan meggunakan rumus sebagai berikut :7 n=
n=
t 2 PQ d2 1 t 2 PQ 1+ −1 N d2 1.962 (0.5)(0.5) 0.12
1 1.962 0.5 (0.5) -1 858 0.12
1+
n= 86,429 ≈ 87 Data dalam penelitian ini adalah data sekunder,dianalisa dengan menggunakan uji Anova, chi-square dan t-test. Hasil dan Pembahasan Faktor Sosiodemografi Distribusi proporsi ibu bersalin dengan sectio caesarea berdasarkan faktor sosiodemografi di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 1 Distribusi Proporsi Ibu Bersalin dengan Sectio caesarea Berdasarkan Faktor Sosiodemografi di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2012 Faktor Sosiodemografi f % Umur 20-35 tahun 68 78,20 <20 tahun dan >35 tahun 19 21,80 Total 87 100 Agama Islam 61 70,11 Kristen Protestan 25 28,74 Kristen Katolik 1 1,15 Total
87
100
3 5 73 6
3,45 5,75 83,91 6,89
Total
87
100
Pekerjaan Ibu Rumah tangga Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pegawai Swasta/ Wiraswasta Total
66 14 7
75,86 16,09 8,05
87
100
Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD/Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat Akademi/Perguruan Tinggi
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa proporsi ibu bersalin dengan sectio caesarea berdasarkan umur terbesar adalah pada kelompok 20-35 tahun sebanyak 68 orang (78,20%) dan terkecil adalah kelompok umur <20 tahun dan >35 tahun sebanyak 19 orang (21,80%). Berdasarkan agama terbesar adalah agama Islam sebanyak 61 orang (70,11%) dan terkecil adalah agama Kristen Katolik 1 orang (1,15%). Berdasarkan tingkat pendidikan terbesar adalah Tamat SLTA/sederajat yaitu sebanyak 73 orang (83,91%) dan terkecil adalah tidak tamat SD/tamat SD/sederajat sebanyak 3 orang (3,45%). Berdasarkan pekerjaan terbesar adalah ibu rumah tangga sebanyak 66 orang (75,86%) dan terkecil adalah pegawai swasta/wiraswasta sebanyak 7 orang (8,05%).
Faktor Mediko Obstetri Distribusi proporsi ibu bersalin dengan sectio caesarea berdasarkan faktor mediko obstetri di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 2 Distribusi Proporsi Ibu Bersalin dengan Sectio caesarea Berdasarkan Faktor Mediko Obstetri di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2012 Faktor Mediko f % Obstetri Paritas Nullipara 29 33,33 Primipara 30 34,48 Multipara 25 28,74 Grandemutipara 3 3,45 Total 87 100 Jarak Persalinan 1 tahun 6 10,35 2-3 tahun 32 55,17 >3 tahun 20 34,48 Total 58 100 Riwayat Penyakit Tidak ada 66 75,86 Ada 21 24,14 Total 87 100 Riwayat Obstetri 56 75,68 Jelek Tidak ada 18 24,32 Ada Total 74 100 Riwayat Persalinan Sectio caesarea 49 84,48 Partus spontan 8 13,79 Ekstraksi 1 1,37 vakum/Forcep Total 58 100
Pada tabel 2 menunjukkan bahwa proporsi ibu bersalin dengan sectio caesarea berdasarkan paritas yang terbesar adalah Primipara sebanyak 30 orang (34,48%) dan terkecil adalah grandemultipara sebanyak 3 orang (3,45%). Berdasarkan jarak persalinan terbesar adalah 2-3 tahun sebannyak 32 orang (55,17%) dan terkecil adalah jarak persalinan 1 tahun yaitu sebanyak 6 orang (10,35%). Berdasarkan riwayat penyakit terbesar adalah ibu yang tidak memiliki riwayat penyakit yaitu sebanyak 66 orang (75,86%) dan proporsi terkecil adalah ibu
yang memiliki riwayat penyakit yaitu sebanyak 21 orang (24,14%). Berdasarkan riwayat obstetrik jelek terbesar adalah ibu tanpa riwayat obstetrik jelek pada persalinan sebelumnya yaitu sebanyak 56 orang (75,68%) dan yang terkecil adalah ibu dengan riwayat obstetrik jelek yaitu 18 orang (24,32%). Berdasarkan riwayat persalinan terbesar adalah sectio caesarea yaitu sebanyak 49 orang (84,48%) dan terkecil adalah ekstraksi vakum/forcep 1 orang (1,73%). Indikasi Sectio Caesarea Distribusi proporsi ibu bersalin dengan sectio caesarea berdasarkan indikasi sectio caesarea di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah ini Tabel 3 Distribusi Proporsi Ibu Bersalin dengan Sectio caesarea Berdasarkan Indikasi Sectio caesarea di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2012 Indikasi Sectio f % caesarea Indikasi Medis 79 90,80 Indikasi Sosial 8 9,20 Total
87
100
Pada tabel 3 menunjukkan bahwa proporsi ibu bersalin dengan sectio caesarea berdasarkan indikasi sectio caesarea yang terbesar adalah indikasi medis yaitu sebanyak 79 orang (90,80%) dan yang terkecil adalah indikasi sosial yaitu sebanyak 8 orang (9,20%). Indikasi Medis Distribusi proporsi ibu bersalin dengan sectio caesarea berdasarkan indikasi medis di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 20112012 dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4 Distribusi Proporsi Ibu Bersalin dengan Sectio caesarea Berdasarkan Indikasi Medis di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2012 Indikasi Medis f % Faktor Ibu Riwayat Sectio 27 42,19 caesarea sebelumnya
Disproporsi sefalopelvik Kegagalan partus normal Preekampsia berat, penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus Plasenta previa Distosia jaringan lunak Total Faktor Janin Gawat Janin Distosia Persentasi bokong Total
15 8 8
23,44 12,50 12,50 6,25 3,12
4 2 64
100
7 4 4 15
46,66 26,67 26,67 100
Pada tabel 4 menunjukkan bahwa proporsi indikasi medis sectio caesarea berdasarkan faktor ibu terbesar adalah riwayat sectio caesarea sebelumnya yaitu sebanyak 27 orang (42,19%) dan yang terkecil adalah distosia jaringan lunak yaitu sebanyak 2 orang (3,12%).Hal ini dikarenakan uterus yang mengalami jaringan parut akibat sectio caesarea terdahulu dianggap merupakan kontraindikasi untuk persalinan normal karena adanya faktor resiko ruptur uterus.12 Berdasarkan faktor janin terbesar adalah gawat janin yaitu sebanyak 7 orang (46,66%) dan yang terkecil adalah distosia dan presentasi bokong masing-masing 4 orang (26,67%). Asal Rujukan Distribusi proporsi ibu bersalin dengan sectio caesarea berdasarkan asal rujukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 20112012 dapat dilihat pada tabel dibawah ini Tabel 5 Distribusi Proporsi Ibu Bersalin dengan Sectio caesarea Berdasarkan Asal Rujukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2012 Asal Rujukan f % Tidak dirujuk/datang 37 42,53 sendiri 32 36,78 Rumah sakit/klinik 10 11,49 Bidan 8 9,20 Puskesmas Total 87 100
Pada tabel 5 menunjukkan bahwa proporsi ibu bersalin dengan sectio caesarea berdasarkan asal rujukan terbesar adalah tidak dirujuk/datang sendiri yaitu 37 orang (42,53%) dan terkecil adalah dirujuk puskesmas yaitu sebanyak 8 orang (9,20%). Berat Lahir Bayi Distribusi proporsi bayi yang dilahirkan dengan sectio caesarea berdasarkar berat lahir bayi di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah ini Tabel 6 Distribusi Proporsi Bayi yang Lahir melalui Persalinan dengan Sectio caesarea Berdasarkan Berat Lahir Bayi di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2012 Berat Lahir Bayi f % Berat Lahir Normal 84 96,55 Berat Lahir Rendah 3 3,45 Total
87
100
Pada tabel 6 menunjukkan bahwa proporsi bayi yang lahir melalui persalinan sectio caesarea berdasarkan berat lahir bayi terbesar adalah berat badan normal yaitu sebanyak 84 bayi(96,55%) dan terkecil adalah berat badan lahir rendah (BBLR) sebanyak 3 orang (3,45%). Bayi dengan berat lahir rendah dilahirkan dari ibu dengan indikasi medis faktor ibu yakni indikasi preeklamsi/eklamsi 2 orang dan indikasi plasenta previa 1 orang. Antenatal Care Distribusi proporsi ibu bersalin dengan sectio caesarea berdasarkan antenatal care di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 20112012 dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 7 Distribusi Proporsi Ibu Bersalin dengan Sectio caesarea yang melakukan Antenatal Care di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2012 Antenatal Care f % Puskesmas/bidan 54 62,07 RSUDDr. Pirngadi Medan 19 21.84 Dokter kandungan/dokter umum 13 14,94 Tidak ada 1 1,15 Total 87 100
Pada tabel 7 menunjukkan bahwa proporsi ibu bersalin dengan sectio caesarea yang melakukan antenatal care terbesar adalah di puskesmas/bidan yaitu sebanyak 54 orang (62,07%) dan proporsi terkecil adalah tidak ada melakukan antenatal care yaitu 1 orang (1,15%). Ibu yang melakukan antenatal care di puskesmas/bidan namun asal rujukan dari rumah sakit/klinik karena saat waktu kelahiran ibu memilih mengunjungi rumah sakit/klinik. Lama Rawatan Rata-rata Lama rawatan rata-rata ibu bersalin dengan sectio caesarea di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah ini Tabel 8 Lama Rawatan Rata-rata Ibu yang Bersalin dengan Sectio caesarea di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2012 Lama Rawatan Rata-rata Mean 3,92 Standard deviation 1,26 95% CI 3,65-4,19 Min 1 Max 8
Berdasarkan tabel 8 diatas dapat disimpulkan bahwa lama rawatan rata-rata adalah 3,92 hari, SD=1,26 hari , dan lama rawatan minimum adalah 1 hari sedangkan lama rawatan maksimum adalah 8 hari. Ibu dengan lama rawatan 1 hari adalah ibu dengan keadaan ibu sewaktu pulang meninggal dimana ibu berumur 47 tahun dengan indikasi plasenta previa dan bayi yang dilahirkan memiliki berat lahir rendah yaitu 2300 gram. Lama rawatan 8 hari pada ibu bersalin dengan indikasi eklampsi dan bayi yang dilahirkan memiliki berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu 1500 gram. Sumber Biaya Distribusi proporsi ibu bersalin dengan sectio caesarea berdasarkan sumber biaya di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 20112012 dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 9 Distribusi Proporsi Ibu Bersalin dengan Sectio caesarea berdasarkan Sumber Biayadi RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2012 Sumber Biaya f % Bukan Biaya Sendiri 80 92,95 Biaya Sendiri 7 8,05 Total
87
100
Pada tabel 9 menunjukkan bahwa proporsi ibu bersalin dengan sectio caesarea berdasarkan sumber biaya terbesar adalah bukan biaya sendiri yaitu sebanyak 80 orang (92,95%) dan terkecil adalah biaya sendiri sebanyak 7 orang (8,05%). Adapun distribusi sumber biaya bukan biaya sendiri dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 10 Distribusi Proporsi Ibu Bersalin dengan Sectio caesarea berdasarkan Asal Sumber Bukan Biaya Sendiri di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2012 Sumber Biaya f % Askes 17 21,25 Jamkesmas 18 22,50 Jampersal 31 38,75 Kartu Sehat 14 17,50 Total 80 100
Pada tabel 10 menunjukkan bahwa proporsi sumber ibu bersalin dengan sectio caesarea berdasarkan asal sumber bukan biaya sendiri itu sendiri terbesar adalah sumber biaya yang berasal dari jampersal yaitu sebanyak 31 orang (38,75%) dan yang terkecil adalah kartu sehat yaitu sebanyak 14 orang (17,50%). Keadaan Ibu Sewaktu Pulang Distribusi proporsi ibu bersalin dengan sectio caesarea berdasarkan keadaan ibu sewaktu pulang di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 11 Distribusi Proporsi Ibu Bersalin dengan Sectio caesarea Berdasarkan Keadaan Ibu Sewaktu Pulang di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2012 Keadaan Ibu Sewaktu f % Pulang Dipulangkan/ Hidup 86 98,85 Meninggal 1 1,15 Total
87
100
Pada tabel 11 menunjukkan bahwa proporsi ibu bersalin dengan sectio caesarea berdasarkan keadaan ibu sewaktu pulang terbesar adalah dipulangkan/hidup yaitu sebanyak 86 orang (98,85%) dan yang terkecil adalah meninggal 1 orang (1,15%). Analisa Statistik Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Paritas Distribusi lama rawatan rata-rata ibu bersalin dengan sectio caesarea di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2011-2012 berdasarkan paritas dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 12 Distribusi Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Paritas Ibu Bersalin dengan Sectio caesarea di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2012 Paritas Lama Rawatan Rata-rata f Mean SD Nullipara 29 4,10 1,345 Primipara 30 3,83 1,117 Multipara 25 3,80 1,190 Grandemultipara 3 4,00 2,646
Pada tabel 12 diatas dapat dilihat bahwa terdapat 29 ibu dengan paritas nullipara dengan lama rawatan rata-rata 4,10 hari dan SD=1,345. Terdapat 30 ibu dengan paritas primipara dengan lama rawatan rata-rata 3,83 hari dan SD=1,117. Terdapat 25 ibu dengan paritas multipara dengan lama rawatan rata-rata 3,80 dan SD=1,190. Serta terdapat 3 ibu dengan paritas grandemultipara dengan lama rawatan rata-rata 4 hari dan SD=2,646. Berdasarkan hasil test of homogeneity of variances diperoleh p=0,155 (p>0,05), artinya terdapat varians yang sama
sehingga anaisis selanjutnya dapat dilakukan. Analisa statistik dengan menggunakan uji Anova diperoleh p=0.808 (p>0,05), sehingga secara statistik dapat diartikan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan paritas ibu. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Riwayat Penyakit Distribusi lama rawatan rata-rata ibu bersalin dengan sectio caesarea di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2011-2012 berdasarkan riwayat penyakit dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 13 Distribusi Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Riwayat Penyakit Bersalin dengan Sectio caesarea di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2012 Riwayat Lama Rawatan Rata-rata Penyakit f Mean SD Tidak ada 66 3,85 1,218 Ada 21 4,14 1,389
Pada tabel 13 dapat dilihat bahwa terdapat 66 ibu yang tidak memiliki riwayat penyakit dengan lama rawatan rata-rata 3,85 hari dan nilai SD=1,218 sedangkan ibu dengan riwayat penyakit dengan lama rawatan rata-rata 4,14 hari dan nilai SD=0,354. Analisa statistik dengan menggunakan uji t-test diperoleh p=0.354 (p>0,05), sehingga secara statistik dapat diartikan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan riwayat penyakit ibu. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Riwayat Obstetri Jelek Distribusi lama rawatan rata-rata ibu bersalin dengan sectio caesarea di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2011-2012 berdasarkan riwayat obstetri jelek dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 14 Distribusi Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Riwayat Obstetri Jelek Ibu Bersalin dengan Sectio caesarea di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2012 Riwayat Obstetri Lama Rawatan Rata-rata Jelek f Mean SD Tidak Ada 56 3,93 1,110 Ada 18 3,72 1.638
Pada tabel 14 diatas dapat dilihat bahwa terdapat 56 ibu tidak memiliki riwayat obstetri jelek dengan lama rawatan ratarata 3,93 hari dan SD=1,110. Terdapat 18 ibu yang memiliki riwayat obstetri jelek dengan lama rawatan rata-rata 3,72 hari dan SD=1,638. Analisa statistik dengan menggunakan uji t-test diperoleh p=0,546 (p>0,05), sehingga secara statistik dapat diartikan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan riwayat obstetri jelek. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Keadaan Ibu Sewaktu Pulang Distribusi lama rawatan rata-rata ibu bersalin dengan sectio caesarea di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2011-2012 berdasarkan keadaan ibu sewaktu pulang dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 15 Distribusi Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Keadaan Ibu Sewaktu Pulang yang Bersalin dengan Sectio caesarea di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2012 Keadaan Ibu Lama Rawatan RataSewaktu Pulang rata f Mean SD Dipulangkan/sehat 86 3,95 1,226 Meninggal 1 1,00
Pada tabel 15 diatas dapat dilihat bahwa terdapat 86 ibu dipulangkan/sehat setelah bersalin dengan sectio caesarea dengan lama rawatan rata-rata 3,95 hari dan SD=1,226. Serta hanya 1 ibu yang meninggal setelah bersalin dengan sectio caesarea dengan lama rawatan 1 hari. Analisa statistik dengan menggunakan uji t-test diperoleh p=0.019 (p<0,05), sehingga secara statistik dapat diartikan bahwa ada perbedaan yang bermakna
antara lama rawatan rata-rata berdasarkan keadaan ibu sewaktu pulang. Berat Lahir Bayi Berdasarkan Indikasi Sectio Caesarea Distribusi proporsi berat bayi yang dilahirkan dengan sectio caesarea di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 20112012 berdasarkan indikasi sectio caesarea dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 16 Distribusi Proporsi Berat Bayi Lahir Berdasarkan Indikasi Sectio caesarea di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2012 Berat Bayi Lahir Berat Berat Jumlah Indikasi Sectio Lahir Lahir caesarea Rendah Normal F % f % f % 3 4 76 96 79 100 Indikasi Medis 0 0 8 100 8 100 Indikasi Sosial
Pada tabel 16 diatas dapat dilihat bahwa dari 79 bayi yang dilahirkan dengan sectio caesarea berdasarkan indikasi medis, proporsi tertinggi adalah bayi dengan berat lahir normal 96%. Dari 8 bayi yang dilahirkan dengan sectio caesarea berdasarkan indikasi sosial 100% memiliki berat lahir normal. Analisa statistik dengan menggunakan uji Chi-square tidak dapat dilakukan karena terdapat 2 sel yang nilai expected count kurang dari 5 sehingga menggunakan uji Exact Fisher. Hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Exact Fisher diperoleh p=0,746 yang berarti p>0,05 sehingga secara statistik dapat diartikan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara berat badan lahir dengan indikasi sectio caesarea. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Karakteristik ibu bersalin dengan sectio caesarea berdasarkan faktor sosiodemografi terbesar pada umur 2035 tahun 78,2%, agama Islam 70,11%, pendidikan tamat SLTA 83,91%, pekerjaan ibu rumah tangga 75,86%,
b. Berdasarkan faktor mediko obstetri paritas primipara 34,48%, jarak persalinan 2-3 tahun 55,17%, tidak ada riwayat penyakit 75,86%, tidak ada riwayat obstetri 75,68%, riwayat persalin sectio caesarea sebelumnya 84,48%. c. Berdasarkan indikasi sectio caesarea terbesar indikasi medis 90,80%, faktor ibu dengan riwayat sectio caesarea sebelumnya 42,19% dan faktor janin yaitu gawat janin 46,66%. d. Berdasarkan pelayanan rumah sakit, tidak dirujuk/datang sendiri 42,53%, berat lahir bayi adalah normal 96,55%, proporsi terbesar antenatal care di puskesmas 62,07%, lama rawatan ratarata ibu bersalin dengan sectio caesarea adalah 3,92 hari, sumber biaya bukan biaya sendiri 92,95%, keadaan ibu sewaktu pulang yaitu dipulangkan/sehat 98,85%. e. Tidak ada perbedaan yang bermakna lama rawatan rata-rata berdasarkan paritas ibu (p=0.808) f. Tidak ada perbedaan yang bermakna lama rawatan rata-rata berdasarkan riwayat penyakit (p=0.354) g. Tidak ada perbedaan yang bermakna lama rawatan rata-rata berdasarkan riwayat obstetri jelek (p=0.546) h. Lama rawatan rata-rata ibu bersalin dengan sectio caesarea yang dipulangkan/sehat secara bermakna lebih lama dari pada yang meninggal dunia (p=0.019) i. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara berat badan lahir dengan indikasi sectio caesarea (p=0,746)
kehamilan pertama bahkan wanita PUS mengenai keuntungan dan manfaat partus normal dibanding sectio caesarea yang salah satunya ibu dapat memberikan ASI dini. b. Diharapkan kepada ibu dengan kehamilan pertama agar melakukan aktifitas fisik dan menjaga asupan gizi serta melakukan antenatal care secara berkala dan teratur untuk menghindari faktor resiko yang menimbulkan indikasi dilakukan persalinan sectio caesarea dimana hal tersebut diatas diperlukan peran suami untuk memotivasi istri. c. Diharapkan kepada pihak rumah sakit agar melengkapi data-data yang berkaitan dengan persalinan di RSUD Dr. Pirngadi Medan seperti riwayat penyakit, riwayat obstetri jelek, alasan indikasi sosial
2. Saran a. Diharapkan kepada tenaga kesehatan untuk memberikan penyuluhan kepada ibu hamil khususnya ibu dengan
4. Annisa S.U. 2010. Faktor-faktor Resiko Persalinan Seksio Sesarea di RSUD Dr. Adjidarmo Lebak pada Bulan Oktober-Desember
Daftar Pustaka 1. Wahyuningsih H.P, Mc Ircham, Indriyani A, dan Santi M. 2008. Dasar-dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat dalam Kebidanan. Fitrayama. Yogyakarta. 2. WHO. 2004. Stopping The Invisible Epidemic Of Maternal Deaths. http://www.who.int/mediacentre/ne ws/releases/2004/pr65/en/. Diakses pada tanggal 14 Maret 2013. 3. WHO. 2012. Maternal Mortality Dropping But Still Unacceptably High-New Estimates. http://www. who.int/reproductivehealth/topics/ monitoring/en/. Diakses pada tanggal 14 Maret 2013.
2010. http://perpus.fkik.uinjkt.ac. id/file_digital/Silvia%20Aulia%20 Annisa.pdf . Diakses pada tanggal 14 Maret 2013. 5. Ramadhani J. 2004. Karakteristik Ibu Bersalin Dengan Seksio Sesarea Di Rumah Sakit Umum Lubuk Pakam Tahun 2002-2004. Skripsi FKM USU. 6. Sinaga E.M.,2007.Karakteristik Ibu yang Mengalami Persalinan dengan Seksio Sesarea yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 2007. Skripsi FKM USU. 7. Cochran W.G. 1991. Teknik Penarikan Sampel. Edisi Ketiga. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
GAMBARAN ASUPAN ZAT GIZI, STATUS GIZI, DAN PRODUKTIVITAS KERJA PADA PEKERJA PABRIK KELAPA SAWIT BAGERPANG ESTATE PT. PP. LONSUM 2013 (Description nutrition intake, nutritional status, and work productivity of workers in Bagerpang Palm Oil Mill PT. PP. Lonsum 2013) Farah Marlinda Syam1, Zulhaida Lubis2, Mhd. Arifin Siregar2 1
2
Mahasiswa Gizi kesehatan masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU
ABSTRACT Nutrition intake of worker is one of the important contributing factors in supporting of work produktivity. Fulfillment of nutrients will produce better work productivity. The aim of research to know description nutrient intake, nutritional status and work productivity of worker in the Palm Oil Mill Bagerpang Estate PT. PP. Lonsum 2013. This descriptive reaserch with samples of all worker in the produce station and workshop station as many as 72 people.The data collected by interview using food recall forms,quetionnairesof work productivity and measure weight and height workers. Result of the research showed that 45.8% workers had energi adequacy levels on normal stage, with an average contribution of energy derived from carbohydrate 67.7%, 20.5% came from fat and 11% from protein. As many as 48,6% of workers had protein adequacy levels on normal stage. Meanwhile more than a half (95,8%) of workers had iron adequacy levels on less category. Nutritional status of workers based on BMI, half of workers (59,7%) had a normal nutritional status and 40,3% workers had nutrition status of over. More than half (69.4%) Bagerpang palm oil mill workers had work productivity on good level and 30.6% workers on enough level. Based on this research suggested to company’s Bagerpang palm oil mill PT. PP. Lonsum especially for health section to give direction or guidance to workers to improve their knowledge about nutrition and conduct nutritional status routine inspection. Keywords : Nutrition Intake, Nutritional Status, Work Produktivity, Factory Workers
PENDAHULUAN Produktivitas merupakan prioritas utama yang dituntut dari setiap tenaga kerja untuk dapat menghasilkan produk. Mutu kehidupan tenaga kerja mempunyai kaitan yang erat terhadap tingkat produktivitas kerjanya, sebagaimana yang diarahkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) mutu kehidupan tenaga kerja perlu secara terus menerus ditingkatkan. Salah satu bentuk dari usaha peningkatan mutu kehidupan tenaga kerja
yaitu dengan menyelaraskan antara asupan makanan yang dikonsumsi tenaga kerja dengan pekerjaan yang mereka lakukan (Surat Edaran Mentri Tenaga Kerja, 1979). Gizi pada pekerja mempunyai peran penting, baik bagi kesejahteraan maupun dalam rangka meningkatkan disiplin dan produktivitas. Oleh karena itu pekerja perlu mendapatkan asupan gizi yang cukup dan sesuai dengan jenis atau beban pekerjaan yang dilakukannya. Kekurangan nilai gizi pada makanan yang dikonsumsi tenaga kerja sehari-hari akan
membawa akibat buruk terhadap tubuh, seperti: pertahanan tubuh terhadap penyakit menurun, kemampuan fisik kurang, berat badan menurun, badan menjadi kurus, muka pucat kurang bersemangat, kurang motivasi, bereaksi lamban dan apatis dan lain sebagainya. Dalam keadaan yang demikian itu tidak bisa diharapkan tercapainya efisiensi dan produktivitas kerja yang optimal (Aisyah, 2010). Produktivitas kerja menurut Sagir (dalam Azziza, 2008) merupakan perbandingan antara jumlah pengeluaran dengan nilai tambah terhadap jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan produk yang diinginkan. Menurut Cascio (dalam Almigo, 2004) produktivitas sebagai pengukuran output berupa barang atau jasa dalam hubungannya dengan input yang berupa karyawan, modal, materi atau bahan baku dan peralatan. Penelitian yang dibuat oleh Suci Widiastuti (2011) berjudul Faktor Determinan Produktivitas Kerja pada Pekerja Wanita didapatkan hasil adanya hubungan antara asupan energi, persentase lemak tubuh, IMT, dan kadar hemoglobin dengan produktivitas kerja. Variabel yang paling berhubungan dengan produktivitas adalah kadar hemoglobin pekerja (Widiastuti, 2011). Penelitian tentang gizi kerja hubungannya dengan kelelahan dilakukan oleh Dyahumi dan Nur Ulfah (2012) pada salah satu Perusahaan penghasil bulu mata palsu di Purbalingga didapatkan hasil sebanyak 50 % pekerja mengalami defisit konsumsi energi. Setelah diuji dengan menggunakan analisis Regresi Logistik dapat disimpulkan bahwa pekerja yang mempunyai tingkat konsumsi energi defisit akan mempunyai probabilitas 75,57 % (apabila variabel yang dimasukkan hanya energi dan protein) atau 77,8 % (apabila variabel yang dimasukkan energi, protein dan anemia) untuk terjadinya kelelahan. Penelitian lain dilakukan oleh Anisa Rosyida (2010) dengan judul
penelitian Tingkat Konsumsi Energi dan zat Besi (Fe), Status Gizi dan Produktivitas Kerja Karyawan pada Bagian Produksi PT Air Mancur Palur, Karanganyar didapat hasil hubungan tingkat konsumsi Fe (zat besi) dengan produktivitas pekerja pada sub bagian Mesin Aduk-Param. Artinya, peningkatan tingkat konsumsi zat besi membawa peningkatan jumlah yang dihasilkan dalam sehari (output/hari). Asupan gizi tenaga kerja yang baik dan sesuai dengan aktivitas fisik yang dilakukan, akan mengasilkan daya tahan dan kesehatan serta status gizi pekerja yang baik. Kelebihan energi diakibatkan rendahnya aktivitas fisik akan mempengaruhi resiko terjadinya kegemukan atau obesitas, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu angka kebutuhan energi individu disesuaikan oleh tingkat aktivitas fisik individu tersebut(FAO/WHO/UNU, 2001). PT. PP. Lonsum merupakan salah satu perusahaan yang menyerap banyak tenaga kerja. PT. PP. Lonsum bergerak dalam bidang perkebunan yang terdiri dari perkebunan kelapa sawit, Perkebunan Karet, Perkebunan Coklat, Perkebunan Kopi, Perkebunan Kelapa, dan Perkebunan Teh. Di Bagerpang estate terdapat pabrik pengolahan minyak kelapa sawit yang memiliki cukup banyak tenaga kerja. Dari survei awal penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara serta melihat langsung ke tempat kerja didapatkan informasi tentang gambaran pekerja pabrik kelapa sawit Bagerpang estate. Pada pabrik kelapa sawit Bagerpang estate memiliki 4 station pekerjaan antara lain office, laboratorium, workshop (bengkel), dan proses. Jumlah total dari pekerja pabrik Bagerpang adalah 116 orang. Pada umumnya pekerja yang bekerja di pabrik ini mempunyai jam kerja selama 7 jam setiap hari. Stasiun proses dan bengkel merupakan stasiun yang menyerap lebih banyak tenaga kerja dibanding stasiun yang lainnya yaitu 50 pekerja pada stasiun proses dan 22 pekerja pada stasiun
bengkel. Pada station proses dan bengkel yang bekerja hanya laki-laki dan mereka mempunyai beban kerja mulai dari sedang sampai berat. Melihat beban kerja dan lama kerja, pekerja pada station proses diberikan ekstra puding kacang hijau, namun untuk beberapa bagian terutama pada station yang terpapar kimia diberikan ekstra puding susu. Berdasarkan wawancara dengan bagian kesehatan menyatakan bahwa terdapat pekerja pernah mengalami beberapa gangguan kesehatan seperti gangguan pendengaran, gangguan pencernaan, gangguan pada otot, serta terdapat pekerja yang mengalami anemia serta keluhan lemas-lemas. Berdasarkan data pemeriksaan kesehatan berkala pekerja Bagerpang Oil Mill tahun 2012 terdapat sekitar 50 % pekerja mempunyai kelebihan berat badan, dimana 32,8% pekerja mengalami kelebihan berat badan tingkat rendah dan 17,2% pekerja mempunyai kelebihan berat badan tingkat tinggi, serta terdapat sekitar 37,1% pekerja mengalami anemia. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian gambaran asupan zat gizi, status gizi dan produktivitas kerja pada pekerja pabrik kelapa sawit di Bagerpang Estate PT. PP Lonsum 2013. Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah dengan jumlah jam kerja 7 jam dalam sehari terdapat separuh dari pekerja yang memiliki status gizi lebih serta beberapa pekerja yang mengalami anemia, sehingga penliti tertarik untuk mengetahui gambaran asupan zat gizi energi (karbohidrat, protein dan lemak) dan zat besi (Fe) serta status gizi dan produktivitas kerja pada pekerja pabrik kelapa sawit Bagerpang Estate PT. PP Lonsum. Secara umum penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui gambaran asupan zat gizi, status gizi dan produktivitas kerja pada pekerja di pabrik kelapa sawit Bagerpang Estate PT. PP. Lonsum. Tujuan khusus penelitian ini untuk mengetahui gambaran kecukupan
energi, protein dan Fe pekerja pabrik kelapa sawit di Bagerpang Estate PT. PP. Lonsum, mengetahui gambaran kontribusi karbohidrat, protein, dan lemak terhadap total asupan energi pekerja pabrik, mengetahui kemampuan, ketepatan waktu, kesesuaian SOP dan tingkat kesalahan yang dilakukan pekerja pabrik Bagerpang Estate dalam menyelesaikan pekerjaan, mengetahui absensi pekerja pabrik Bagerpang Estate PT. PP. Lonsum. Sebagai informasi dan masukan bagi pihak perusahaan tentang gambaran asupan zat gizi energi dan Fe, serta status gizi pekerja dan produktivitas kerja pada pekerja pabrik kelapa sawit Bagerpang Estate PT. PP. Lonsum dan diharapkan dapat menjadi dasar kebijakan selanjutnya, bagi pekerja sebagai pedoman untuk menpertahankan atau meningkatkan status gizinya dengan mengkonsumsi makanan yang seimbang, sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya, khususnya penelitian yang berhubungan dengan gizi pada pekerja. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan secara deskriptif yaitu dengan melihat gambaran asupan zat gizi energi (karbohidrat, protein dan lemak) dan zat besi serta status gizi dan produktivitas kerja pada pekerja pabrik kelapa sawit Bagerpang Estate PT. PP. LONSUM. Penelitian dilakukan di pabrik kelapa sawit Bagerpang estate PT.PP. Lonsum Indonesia dengan alamat Desa Batu Lokong Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang. Populasi dari penelitian merupakan seluruhan pekerja pabrik kelapa sawit Bagerpang estate stasiun proses dan bengkel sebanyak 72 orang. Sampel penelitian adalah seluruh seluruhan pekerja pabrik kelapa sawit Bagerpang estate stasiun proses dan bengkel sebanyak 72 orang, yaitu 50 orang pekerja pada stasiun proses dan 22 orang pekerja pada stasiun bengkel. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang diperoleh dari wawancara langsung kepada pekerja dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari karakteristik pekerja, asupan zat gizi, statu gizi dan produktivitas kerja. Data asupan zat gizi diperoleh dengan menggunakan formulir food recall, data produktivitas diperoleh dengan wawancara kepada setiap kepala stasiun serta memperoleh data status gizi dengan menghitung IMT responden. Data sekunder adalah data yang telah tersedia di perusahaan yaitu data pemeriksaan kesehatan tahun 2012. Analisis dilakukan secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pekerja Pada penelitian ini yang menjadi responden adalah seluruh pekerja pabrik pada stasiun proses dan bengkel (workshop). Adapun karakteristik pekerja pabrik pada penelitian ini dapat terlihat pada table dibawah ini : Tabel 1. Distribusi Pekerja Berdasarkan Stasiun No 1.
Karakteristik Pekerja Stasiun : - Proses (produksi) - Bengkel (workshop)
Total Pendidikan : 2. - SD - SMP - SMA/STM/Sederajat - D3 - S1 3.
4.
Total Umur : - 19 – 29 - 30 – 49 - 50 – 64 Total Masa Kerja : - < 10 tahun - 10 – 19 tahun - 20 – 29 tahun - 30 – 39 tahun Total
n
(%)
50 22 72
69,4 30,6 100,0
6 12 51 0 3
8,3 16,7 70,8 0 4,2
72
100,0
9 54 9 72
12,5 75,0 12,5 100,0
23 18 25 6 72
31,9 25,0 34,7 8,3 100,0
Berdasarkan tabel di atas dapat diliha bahwa jumlah pekerja kedua stasiun
adalah 72 orang pekerja, dimana pada stasiun proses adalah 50 orang pekerja dan pada stasiun bengkel terdapat 22 orang. 51 orang (70,8%) pekerja mempunyai pendidikan pada tingkat SMA/STM/sederajat. Sebanyak 54 orang pekerja (75,0%) pekerja berumur diantara 30 sampai dengan 49 tahun. Sebanyak 9 orang (12,5%) pekerja berada pada umur 19 sampai dengan 29 dan 50 sampai dengan 64 tahun. Sebagian besar pekerja mempunyai masa kerja antara 20 – 29 tahun yaitu sebanyak 34,7%. Gambaran Asupan Zat Gizi Pekerja Asupan zat gizi yang dilihat pada penelitian ini yaitu tingkat kecukupan energi, protein, dan zat besi serta kontribusi karbhidrat, lemak dan protein dari total asupan energi pekerja yang diukur dengan menggunakan food recall 24 jam. Tabel 2. Rata-rata Tingkat Kecukupan Asupan Energi Berdasarkan Umur Pekerja No.
Umur
1. 2. 3.
19 – 29 30 – 49 50 – 64
Rata-rata Konsumsi (Kal) 2241,3 2243,2 2149,2
Rata-rata Tingkat Konsumsi (% AKG) 87,9 95,5 95,5
Kisaran umur 19-29 tahun mempunyai rata-rata tingkat kecukupan asupan energi defisit tingkat rendah. Pada kisaran umur 30-49 dan 50-64 tahun memiliki rata-rata tingkat kecukupan asupan energi normal. Tingkat asupan energi tertinggi pekerja pabrik kelapa sawit Bagerpang Estate adalah 2757,2 kalori dan asupan energi terendah adalah 1446,2 kalori. Adapun distribusi pekerja pabrik berdasarkan tingkat kecukupan energi seperti yang tertera pada tabel 4.6. Tabel 3. Distirbusi pekerja pabrik Bagerpang estate berdasarkan tingkat kecukupan energi Tingkat Kecukupan No. n (%) Energi Defisit tingkat berat 7 9,7 1.
2. 3. 4. 5.
Defisit tingkat sedang Defisit tingkat rendah Normal Di atas angka kebutuhan Total
11 17 33 4 72
15,3 23,6 45,8 5,6 100,0
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa sebanyak 33 orang (45,8%) pekerja pabrik mempunyai tingkat kecukupan energi yang normal. Energi diperoleh dari karbohidrat, protein dan lemak. Dari hasi penelitian diperoleh dari rata-rata total asupan energi 67,7% berasal dari karbohidrat ( 1511,8 kalori), 11% berasal dari protein (244,73 kalori), dan 20,5% berasal dari lemak (456,6 kalori). Asupan karbohidrat tertinggi adalah sebanyak 517,5 gram (2070 kalori) dan asupan karbohidrat pekerja pabrik Bagerpang Estate terendah sebanyak 185,5 gram (743,2 kalori) dengan standar deviasi 61,3 gram (245,1 kalori). kontribusi karbohidrat terhadap setiap kategori tingkat kecukupan gizi berada diatas 60% dan kontribusi protein terhadap setiap kategori tingkat kecukupan energi diantara 10% - 15%. Pada kontribusi lemak terhadap setiap kategori kecukupan asupan energi pekerja berada pada tingkat di bawah 25% kecuali pada tingkat defisit berat dan tingkat diatas kebutuhan berada pada rentang 25% - 35%. Adapun distribusi asupan karbohidrat, protein dan lemak pekerja pabrik kelapa sawit Bagerpang Estate berdasarkan standar kecukupan energi (AKG 2004) dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4. Distribusi Tingkat Asupan Karbohidrat, Protein dan Lemak Pekerja Berdasarkan Energi (AKG) No. Asupan Zat Gizi n (%) Asupan Karbohidrat : 1. - < 50% 8 11,1 - 50% - 60% 15 20,8 - > 60% 49 68,1 Total 72 100,0 Asupan Protein : 2. - < 10% 59 81,9 - 10% - 15% 11 15,3 - > 15% 2 2,8
3.
Total Asupan Lemak : - < 25% - 25% - 35% - > 35% Total
72
100,0
29 43 0 72
40,3 59,7 0 100,0
Berdasarkan hasil diperoleh sebanyak 68,1% pekerja mempunyai asupan karbohidrat > 60%. Pada asupan protein sebanyak 81,9% pekerja mempunyai asupan protein < 10% dan sebanyak 59,7% pekerja mempunyai asupan lemak 25% - 35%. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rata-rata tingkat kecukupan asupan protein pada pekerja pabrik kelapa sawit Bagerpang Estate dalam kategori normal yaitu 61,2 gr, dengan sebaran sebagai berikut Tabel 5. Distribusi Pekerja Berdasarkan Tingkat Kecukupan Protein No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tingkat Kecukupan Protein Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat rendah Normal Di atas angka kebutuhan Total
n
(%)
5 8 13 35 11 72
6,9 11,1 18,1 48,6 15,3 100,0
Berdasarkan tabel 5. diatas dapat dilihat bahwa 48,6% pekerja dari total 72 pekerja pabrik mempunyai tingkat kecukupan protein normal. Rata-rata tingkat kecukupan asupan zat besi (Fe) pekerja pabrik kelapa sawit Bagerpang Estate pada kategori kurang yaitu 6,4 gram. Asupan zat besi tertinggi pekerja pabrik adalah 10,9 gram dan asupan zat gizi terendah adalah 4 gram dengan standar deviasi 1,5 gram. Sebaran tingkat kecukupan asupan Fe dapat dilihat sebagai berikut : Tabel 6. Distribusi Pekerja Pabrik Berdasarkan Tingkat Kecukupan Zat Besi (Fe) No. 1. 2.
Tingkat Kecukupan Fe Kurang Cukup
n 69 3
Persentase (%) 95,8 4,2
Total
72
100,0
Berdasarkan tabel 6. dapat dilihat bahwa hampir keseluruhan pekerja mempunyai tingkat kecukupan zat besi di bawah angka normal yaitu sebanyak 69 orang (95,8%) pekerja. Pekerja yang mempunyai tingkat kecukupan zat besi normal sebanyak 3 orang (4,2%). Gambaran Status Gizi Pekerja Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan diperoleh data status gizi pekerja pabrik kelapa sawit Bagerpang Estate seperti pada tabel berikut : Tabel 7. Distribusi Pekerja Pabrik Berdasarkan Status Gizi No. 1. 2. 3.
Status Gizi Normal/ Cukup Kelebihan BB tingkat ringan Kelebihan BB tingkat berat Total
n 43 21 8 72
(%) 59,7 29,2 11,1 100,0
Dari hasil dilihat bahwa sebanyak 43 orang (59,7%) pekerja pabrik mempunyai status gizi normal. Sebanyak 29 orang (40,3%) pekerja mempunyai status gizi lebih, dimana 21 orang (29,2%) pekerja memiliki kelebihan berat badan tingkat ringan, dan 8 orang (11,1%) pekerja memiliki kelebihan berat badan tingkat berat. Gambaran Tingkat Kecukupan Zat Gizi Berdasarkan Status Gizi Pekerja Status gizi merupakan keadaan dari penampilan seseorang yang diakibatkan keseimbangan antara asupan dan pengeluaran zat gizi yang diperoleh dari makanan yang dimakan setiap hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil distribusi statu gizi pekerja pabrik kelapa sawit Bagerpang Estate berdasarkan asupan zat gizi yaitu sebagian besar pekerja yang memiliki status gizi normal mempunyai tingkat kecukupan energi pada kategori normal yaitu 25 pekerja dari 43 pekerja berstatus gizi normal. Demikian pada distribusi status gizi pekerja berdasarkan tingkat
Gambaran Produktivitas Pekerja Produktivitas pekerja merupakan prioritas utama yang dituntut setiap perusahaan kepada setiap pekerja. Dari hasil penelitian diperoleh ratarata produktivitas kerja pada pekerja pabrik kelapa sawit Bagerpang Estate adalah pada kategori cukup dengan nilai rata-rata 9,96. Nilai tertinggi produktivitas kerja pada pekerja pabrik kelapa sawit Bagerpang Estate adalah 11 dan nilai terendah adalah 8 dengan standar deviasi 0,83. Berikut data distribusi pekerja pabrik berdasarkan produktivitas kerja yang diperoleh: Tabel 8. Distribusi Pekerja Berdasarkan Tingkat Produktivitas Kerja No. 1. 2. 3.
Produktivitas Kerja Kurang Cukup Baik Total
n 0 22 50 72
(%) 0 30,6 69,4 100,0
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sebanyak 50 orang atau 69,4% pekerja dari total keseluruahan pekerja mempunyai produtivitas yang baik dan 22 orang atau 30,6% pekerja mempunya tingkat produktivitas yang cukup. kecukupan protein diperoleh sebagian besar pekerja (17 pekerja) yang memiliki status gizi normal (43 pekerja) mempunyai tingkat kecukupan energi normal. Pada distribusi status gizi pekerja berdasarkan tingkat kecukupan Fe diperoleh hasil yaitu sebagian besar tingkat kecukupan zat gizi (Fe) pekerja pabrik kelapa sawit Bagerpang Estate mengalami kekurang. Sebanyak 3 pekerja mempunyai status gizi normal dan mempunyai tingkat kecukupan asupan Fe cukup. Selain itu terlihat pada seluruh tingkat kecukupan zat gizi yang defisit, baik tingkat kecukupan energi, protein, dan Fe pekerja seluruhnya masih memiliki status gizi yang normal sampai dengan lebih. Mengingat tahun 2012 terdapat
sebanyak 50% pekerja pabrik Bagerpang Estate mengalami kelebihan berat badan, maka bagian kesehatan menyarankan kepada para pekerja untuk menurunkan berat badan agar memperoleh status gizi normal. Jika dilihat berdasarkan asupan pekerja yang defisit, hal ini dikarenakan adanya usaha pekerja dalam memperbaiki status gizi. Namun, terlihat hampir seluruh asupan zat gizi mengalami defisit terutama asupan Fe. Hal ini dapat dikarenakan kurang pahamnya pekerja dalam usaha memperbaiki atau menjaga status gizi pekerja. Jika dilihat pada data pemeriksaan kesehatan pekerja tahun 2012 terdapat sebanyak 37,1% pekerja mengalami anemia. Data ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan bahwa lebih dari separuh pekerja mempunyai tingkat kecukupan Fe yang kurang. Kekurangan Fe dapat menyebabkan anemia mikrositik. Anemia mikrositik merupakan anemia yang paling banyak terdapat di dunia, dimana 60-70% anemia mikrositik disebabkan karena kekurangan Fe. Fe akan mengikat 4 oksigen di dalam hemoglobin, sehingga kekurangan Fe akan menyebabkan rendahnya peredaran oksigen dalam tubuh sehingga mengakibatkan mudah pusing, lelah, letih, lesu dan turunnya konsentrasi berfikir (Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007). Gambaran Tingkat Kecukupan Zat Gizi Berdasarkan Produktivitas Kerja Energi dibutuhkan untuk melakukan gerakan dan pekerjaan fisik dan menggerakan proses di dalam tubuh. Energi dapat diperoleh dari karbohidrat, protein dan lemak yang merupakan zat gizi penghasil energi. Selain itu, zat besi merupakan salah satu zat gizi mikro yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Walaupun jumlah kebutuhannya sedikit, namun kekurangan zat besi akan menyebabkan anemia gizi besi. Anemia dapat menurunkan kenerja fisik, hambatan perkembangan,
menurunkan kognitif, dan dapat menurunkan daya tahan tubuh. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa produktivitas kerja pada pekerja pabrik Bagerpang Estate berada pada kategori cukup dan baik. Pekerja ynag memiliki tingkat kecukupan energi dan protein yang normal lebih cenderung mempunyai produktivitas kerja yang baik yaitu sebanyak 75,8% pekerja pada tingkat kecukupan energi yang normal dan 80,0% pekerja yang memiliki tingkat kecukupan protein normal. Pada tingkat kecukupan energi dan protein yang defisit, penilaian produktivitas kerja pada pekerja pabrik kelapa sawit Bagerpang estate juga masih dalam kategori cukup dan baik. Dapat diambil kesimpulan bahwa tingkat kecukupan energi dan protein tidak mempengaruhi produktivitas kerja. Demikian pula pada tingkat kecukupan Fe pekerja, sebagian besar pekerja yang memiliki tingkat kecukupan Fe kurang tetap memiliki penilaian produktivitas kerja yang baik. Hal ini dikarenakan pekerja pabrik kelapa sawit Bagerpang estate sedang melakukan perbaikan status gizi, sehingga terlihat adanya tingkat kecukupan zat gizi yang defisit. Namun, jika dilihat tingkat kecukupan Fe berdasarkan setiap indikator pertanyaan diperoleh hasil tingkat kecukupan Fe pekerja yang kurang sebagian besar cenderung kurang tepat waktu dalam menyelesaikan pekerjaannya yaitu sebanyak 71,0% pekerja. Gambaran Status Gizi Pekerja Berdasarkan Produktivitas Kerja Status gizi pekerja merupakan gambaran keadaan fisik pekerja yang disebabkan dari keseimbangan antara asupan zat gizi pekerja yang diperoleh dari makanan sehari-hari dengan zat gizi yang dikeluarkan untuk menunjang aktivitas pekerjaan mencapai target produktivitas. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh distribusi produktivitas pekerja berdasarkan status gizi seperti pada tabel berikut :
Tabel 9. Distribusi Produktivitas Kerja Berdasarkan Status Gizi Pekerja. N o
Status Gizi
1
Normal
2
Kelebihan BB tingkat ringan Kelebihan BB tingkat berat
3
Produktivitas Kerja Cukup Baik n (%) n (%) 17 39,5 26 60,5
n
(%)
43
100
5
23,8
16
76,2
21
100
0
0
8
100
8
100
Dari hasil dilihat bahwa dari 43 pekerja mempunyai status gizi normal, dimana 39,5% pekerja pada kategori pekerja yang memiliki produktivitas cukup dan sebanyak 60,5% pekerja yang memiliki produktivitas kerja baik. Dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa semakin baik status gizi maka akan semakin baik produktivitas kerja. Selain itu diperoleh absensi pekerja pabrik dalam satu bulan terakhir ini beserta keterangannya seperti pada tabel berikut : Tabel 10. Distribusi Absensi Pekerja Berdasarkan Keterangannya N Keteran o gan 1 Selalu Masuk 2 Sakit (s) 3 Izin/cuti (i)
Absen Selalu 1-3 hari Masuk n (%) n (%) 30 100 0 0 0 0
0 0
3 39
100 100
n
(%)
30
100
3 39
100 100
Dari tabel di atas dapat dilihat sebanyak 39 pekerja yang dalam sebulan terakhir mempunyai absensi tidak masuk kerja mempunyai keterangan izin atau cuti. Dimana setiap pekerja memiliki hak cuti sekali dalam sebulan serta lama ketidak hadiran pekerja hanya sekitar 1-3 hari dan sebanyak 3 pekerja pabrik tidak hadir kerja dikarenakan sakit. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Tingkat kecukupan energi pekerja pabrik kelapa sawit Bagerpang Estate sebagian besar dalam kategori normal. Namun demikian, masih terdapat pekerja yang mempunyai tingkat kecukupan energi dalam kategori defisit berat. 2. Rata-rata asupan karbohidrat pekerja sebesar 67,7% dari total asupan energi, asupan protein 11% dari total asupan energi dan asupan lemak 20,5% dari total asupan energi. 3. Tingkat kecukupan protein pekerja sebagian besar pada kategori normal dan sebagian besar tingkat kecukupan zat besi pekerja pabrik Bagerpang Estate pada kategori kurang. 4. Sebagian besar pekerja pabrik Bagerpang Estate memiliki status gizi normal, dengan produktivitas kerja pekerja pabrik pada kategori baik cenderung memiliki status gizi normal. 5. Pekerja pabrik Bagerpang Estate dalam satu bulan terakhir tercatat sebagian besar tidak masuk kerja dengan lama waktu 1-3 hari tidak dikarenakan gangguan kesehatan melaikan mengambil cuti, dimana perusahaan memberikan kepada setiap pekerja pabrik hak untuk cuti satu kali dalam satu bulan. Saran 1. Sebaiknya dari pihak perusahaan pabrik kelapa sawit Bagerpang estate khususnya melalui bagian kesehatan melakukan pemeriksaan rutin setiap bulan guna memantau dan menjaga status gizi pekerja serta memberikan arahan atau bimbingan kepada pekerja dalam memperbaiki status gizi pekerja kearah prinsip gizi seimbang dan untuk menambah pengetahuan pekerja tentang pengaturan gizi. 2. Sebaiknya dilakukan penanganan terhadap kurangnya asupan zat besi, seperti memberikan obat penambah Fe jika diperlukan dalam jangka pendek,
atau menyediakan penyelenggaraan makanan bagi pekerja.
status%20gizi%20wanita%20pemeti k%20teh.pdf. (14 Februari 2012)
DAFTAR PUSTAKA Almigo, Nuzsep. 2004. Hubungan Antara Kepuasan Kerja dengan Produktivitas Kerja Karyawan. Jurnal Psyche 1,(1), 53.
Rosyida, Anisa. 2010. Tingkat Konsumsi Energi dan Zat Besi (Fe), Status Gizi dan Produktivitas Kerja Karyawan pada Bagian Produksi PT Air Mancur Palur, Karanganyar. Skripsi Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/h andle/123456789/27250/I10aro_abst ract.pdf. (23 Maret 2013)
Azziza, Farah. 2008. Analisis Aktivitas Fisik, Konsumsi Pangan, dan Status Gizi dengan Produktivitas Kerja Pekerja Wanita di Industri Konveksi. Skripsi Sarjana Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/h andle/123456789/1866/A08faz.pdf?s equence=5. (30 Juli 2012). Dyahumi, dan Nur Ulfah. 2012. Pekerja dengan Tingkat Konsumsi Energi Defisit Rentan Terhadap Kelelahan. http://artikelgizikesehatan.blogspot.c om/2012/04/pekerja-dengan-tingkatkonsumsi-energi.html. (28 Agustus 2012). Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat, Edisi Revisi. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta. FAO/WHO/UNU. 2001. Human Energy Requirement, Report of Joint FAO/WHO/UNU Expert Consultation. 17-24 October, Rome. Mahardikawati, Venny Agustiani. 2008. Aktivitas Fisik, Asupan Energi dan Status Gizi Wanita Pemetik Teh di PTPN VIII Bandung, Jawa Barat. Jurnal Gizi dan Pangan. Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB : Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/h andle/123456789/52963/aktivitas%2 0fisik,asupan%20energi%20dan%20
Surat Edaran Mentri Tenaga Kerja. 1979. Pengadaan Kantin dan Ruang Tempat Makan. Jakarta Widiastuti, Suci. 2011. Faktor Determinan Produktivitas Kerja pada Pekerja Wanita. Artikel Penelitian Program Studi Ilmu Gizi Fakutas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
NILAI GIZI DONAT YANG DIMODIFIKASI DENGAN JAGUNG DAN BAYAM (Nutritional value doughnut modified with corn and spinach)
Atina Travianita1, Zulhaida Lubis2, Evawany2 1
2
Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT
Food diversification efforts can be done using local food as food diversity. Donuts are usually made using wheat flour is imported foodstuffs, can be modified by making use of local foods such as corn and spinach. Donuts are modified with corn and spinach are also potentially contribute nutrients such as protein, fat, calcium, phosphorus, iron, vitamin A, vitamin B1, and vitamin C. This study aims to determine the acceptability test based on organoleptic properties include color, aroma, flavor, and texture are tested through hedonic test and nutritional content. This study is an experimental research making donuts with the addition of corn and spinach (spinach corn donuts) with different composition ratio of wheat flour, corn, and spinach (5:2,5:2,5, 5:3:2, and 5:2: 3). The results showed that the organoleptic test based on color, aroma, flavor, and texture, spinach corn donuts panelist is the most preferred donuts made with spinach corn 5:2,5:2,5 comparison. Based on the analysis of variance, the addition of corn and spinach with various levels of comparison in the manufacture of corn spinach donut gives a significantly different effect on flavor, aroma, color, and texture of the spinach corn donut generated. The addition of corn and spinach in making donuts increase the content of calcium, phosphorus, iron, vitamin A, vitamin B1, and vitamin C than regular donuts. Advised consumers to make donuts with the addition of corn and spinach as an alternative to reducing food consumption of wheat flour. Diversification also be carried out with the addition of other food as corn and spinach nutrient-rich food. Keywords
: Dounut, corn-spinach, nutritive value
Pendahuluan Upaya diversifikasi pangan dapat dilakukan dengan memodifikasi pangan yang berbahan dasar terigu dengan pangan lokal yang ada di Indonesia. Salah satunya diversifikasi pangan dengan jagung sebagai alternatif pangan, harus diikuti dengan perancangan olahan jagung untuk meningkatkan penerimaan komsumen. Produk olahan yang sekiranya dapat dijadikan sebagai alternatif pangan
adalah donat yang dimodifikasi dengan jagung dan bayam (Haryanto, 2004). Salah satu makanan jajanan adalah donat yang disukai anak-anak. Dan merupakan salah satu kue yang trend dan favorit banyak orang, Donat dapat bertahan dua sampai tiga hari tanpa bahan pengawet. Membuat donat relatif mudah, pemula pun dapat belajar dalam waktu singkat (Sufi, 2009).
1
Donat biasanya dibuat dengan menggunakan tepung terigu, namun donat juga bias dibuat dengan menambahkan jagung dan bayam sebagai pemanfaatan pangan lokal. Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 1991 daerah sentrum produksi jagung paling luas di Indonesia adalah provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Lampung, dan Jawa Barat. Areal pertanaman jagung sekarang sudah terdapat di seluruh provinsi di Indonesia (Rukmana, 1997). Jagung mengandung antioksidan dan kaya betakaroten sebagai pembentuk vitamin A. tidak hanya itu, jagung merupakan sumber asam lemak esensial linoleat yang penting untuk pertumbuhan dan kesehatan kulit dan kaya serat. (Haryanto, 2004). Bayam disebut “King of Vegetable” karena menduduki tempat tertinggi kandungan gizinya di antara sayuran lain. Bayam adalah sumber protein dan asam amino yang sangat penting untuk pembentukan otak. Bayam merupakan sumber vitamin A, C, Fe, Ca dan k. kandungan Fe nya cukup tinggi yaitu dua kali lebih banyak disbanding dengan sayuran lain. Kandungan vitamin A yang tinggi pada bayam hijau sebesar 6.090 mg, sedangkan dalam bayam merah sebesar 5.800 mg. (IKAPI, 2012). Masalah lain di Indonesia terkait gizi yg lainnya adalah masih tingginya penyakit akibat kekurangan vitamin A (KVA) dan anemia gizi besi (AGB). Kekurangan vitamin A (KVA) dikenal sebagai buta senja atau xeroftalmia (mata kering) yang dapat berlanjut pada kebutaan. Sejak tahun 1980-an, diketahui terjadi peningkatan angka kematian balita yang kurang vitamin A, bahkan sebelum terlihat tanda-tanda xeroftalmia. (Baliwati , 2010).
Di Indonesia kekurangan vitamin A juga menggerogoti ratusan ribu anak setiap tahun. Sekitar 2,8 juta orang balita (WHO 1995) menampakkan tanda-tanda klinis xeroftalmia. Sementara 251 juta anak lainnya mengalami kekurangan vitamin A, sehingga resiko kematian akibat infeksi berat meningkat. WHO (2001) melaporkan bahwa setiap 1 menit, 12 orang anak di dunia menjadi buta, dan 4 di antaranya bermukin di Asia Tenggara. (Arisman, 2009). Memodifikasi donat dengan jagung dan bayam juga dapat memberikan manfaat yang besar. Kandungan vitamin A dalam daun bayam dan jagung berguna untuk memberikan ketahanan tubuh dalam menanggulangi penyakit mata, dan mengurangi KVA di Indonesia. kandungan zat besi yang tinggi pada bayam juga memberikan manfaat yang besar untuk mengurangi AGB di Indonesia (Bandini, 2004) Bahan utama pembuatan donat adalah tepung terigu, sehingga diharapkan dengan penambahan jagung dan bayam dapat memperbaiki kandungan gizi donat terutama kandungan vitamin, kalsium, fosfor, besi. Dan juga dapat mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu yang merupakan bahan impor dan menduduki porsi terbesar dalam pembuatan donat. Donat yang dimodifikasi dengan jagung dan bayam juga belum pernah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk membuat donat yang dimodifikasi dengan jagung dan bayam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai gizi donat dengan penambahan jagung dan bayam.
2
Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat eksperimen dengan rancangan acak lengkap yang terdiri atas dua faktor yaitu jagung dan bayam dengan 3 perlakuan penambahan jagung dan bayam 5:2,5:2,5, 5:3:2, 5:2:3, dan (r = 3) dengan simbol A1, A2, dan A3 yang semuanya diulang sebanyak 2 kali (i = 1, 2). Pembuatan donat dengan penambahan jagung dan bayam dilakukan di Jl. Jamin Ginting No. 5 Medan pada bulan Mei 2013. Analisis data dilakukan secara manual dengan menggunakan kalkulator. Hasil Dan Pembahasan Berdasarkan ketiga perlakuan yang berbeda terhadap donat dengan penambahan jagung dan bayam maka dihasilkan donat jagung bayam dengan karakterisrik yang berbeda. Donat jagung bayam A1 berwarna hijau muda terang, beraroma khas jagung bayam, rasanya khas jagung bayam, dan teksturnya lembut. Donat jagung bayam A2 berwarna hijau kekuningan, rasanya khas jagung, beraroma khas jagung, dan teksturnya sedikit kasar. Donat jagung bayam A3 berwarna hijau tua, beraroma khas bayam, rasanya khas bayam, dan memiliki tekstur yang kasar. Pada penelitian ini dilakukan perhitungan kandungan zat gizi donat jagung bayam berdasarkan kandungan zat gizi bahan dasar donat yang dilihat dari Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) dapat dilihat perbedaan kandungan zat gizi dalam nasi labu jagung A1, A2, dan A3. Hasil perhitungan kandungan zat gizi donat jagung bayam dapat dilihat pada tabel 1 berikut
Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Donat per 100 gr Kandungan Gizi Zat Gizi Kalori (kkal) Protein (gr) Lemak (gr) Karbohidrat (gr) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Fe (mg) Vitamin A (S.I) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg)
Donat Bias a 367,25 6,85 10,35 61,12
267,58 5,13 10,16 40,42
269.58 5,13 10.18 40,78
265,58 5,13 10,15 39,69
14,46
54,12
45,32
62,92
106,99 1,31 651,33
101,33 1,68 1733
102,79 1,50 1543,33
99,86 1,78 1922,67
60,08
60,14
60,16
60,07
-
15,33
13,07
17,6
A1
A2
A3
Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat bahwa ada perbedaan kandungan zat gizi yang dihasilkan dari donat biasa dengan ketiga perlakuan donat lainnya. Penambahan Jagung dan Bayam dalam Pembuatan donat dapat menambah zat gizi mikro yang hanya sedikit di dalam donat biasa. Seperti kalsium yang tertinggi adalah pada donat A3 (62,92), Fosfor yang tertinggi adalah pada donat A2 (102,79), Fe yang tertinggi adalah pada donat A3 (1,78), vitamin A yang tertinggi adalah pada donat A3 (1922,67), vitamin B1 yang tertinggi adalah pada donat A2 (60,16), vitamin C yang tertinggi adalah pada donat A3 (17,6). Selain terjadinya kenaikan beberapa kandungan gizi dalam pembuatan donat jagung bayam, terjadi pula penurunan kandungan energi dan karbohidrat. Terjadi penurunan energi sebesar 99,67 kkal pada donat jagung bayam A1, 97,67 kkal pada donat jagung bayam A2, dan 101,67 kkal pada donat jagung bayam A3. Terjadi pula penurunan karbohidrat sebesar 20,7 gr pada donat jagung bayam A1, 20,34 gr pada donat jagung bayam A2, dan 21,43 gr pada donat jagung bayam A3. Kandungan energi dan karbohidrat
3
yang rendah pada donat jagung bayam disebabkan oleh rendahnya kandungan energi dan karohidrat pada jagung dan bayam. Ketiga donat jagung bayam yang dihasilkan memiliki kandungan kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, Fe, vitamin A, vitamin B1, dan vitamin C yang berbeda. Kandungan gizi yang paling menonjol pada nasi labu jagung adalah kandungan zat gizi mikro yaitu kalsium, fosfor, vitamin A, dan vitamin C yang jumlahnya sedikit pada donat biasa. Donat jagung bayam yang kaya akan kandungan vitamin dan mineral cocok untuk dikonsumsi oleh setiap kalangan karena dapat menyumbangkan sejumlah vitamin dan mineral yang dibutuhkan. Selain itu, donat jagung bayam juga dapat membantu memenuhi kebutuhan energi seseorang. Kesimpulan Dan Saran Penambahan jagung dan bayam dalam pembuatan donat memberikan sumbangan vitamin seperti vitamin A, vitamin B1, dan vitamin C. Donat jagung bayam yang memiliki kandungan vitamin A tertinggi yaitu donat A3 1922,67 SI, kandungan vitamin B tertinggi yaitu donat A2 60,0879 mg, kandungan vitamin C tertinggi yaitu donat A3 17,6 mg. Penambahan jagung dan bayam dalam pembuatan donat memberikan sumbangan mineral seperti kalsium, fosfor, dan zat besi yang hanya sedikit dalam donat biasa. Donat jagung bayam yang memiliki kandungan kalsium tertinggi yaitu donat A3 62,92 mg, kandungan fosfor tertinggi yaitu donat A1 101,33 mg, kandungan zat besi tertinggi yaitu donat A3 1,78 mg. Disarankan agar donat jagung bayam ini dapat dimanfaatkan oleh keluarga sebagai makanan sehat untuk
memenuhi kebutuhan sayur pada anak yang sulit makan sayur. Agar donat jagung bayam dapat dijadikan jajanan sehat disekolah, karena mengandung zat gizi yang diperlukan tubuh. Agar donat jagung bayam dapat dikonsumsi bagi ibu hamil, karena mengandung zat gizi penting yang diperlukan oleh tubuh. Daftar Pustaka Almatsier, S. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Arisman. 2009. Gizi Dalam Daur Kehidupan. EGC. Jakarta. Baliwati.Y.F.dkk. 2010. Pengantar Pangan Dan Gizi. Penebar Swadaya. Jakarta. Bandini Yusni dan Azis Nurudin. 2004. Bayam. Penebar Swadaya. Depok. IKAPI, 2012. Keajaiban Antioksidan Bayam. PT Elex Media. Jakarta. Rukmana, Rahmat. 1997. Usaha Tani Jagung. Kanisius. Jakarta. Sufi, S.Y. 2009. Sukses Bisnis Donat. Kriya Pustaka. Jakarta.
4
FAKTOR FAKTOR YANG MEMENGARUHI TERJADINYA ASPHYXIA NEONATORUM DI RUMAH SAKIT UMUM ST ELISABETH MEDAN TAHUN 2007 – 2012 FACTORS AFFECTING THE OCCURRENCE ASPHYXIA NEONATORUM IN ST ELISABETH GENERAL HOSPITAL 2007 – 2012
Herianto1, Sori Muda Sarumpaet2, Rasmaliah2 1
Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Peminatan Epidemiologi Staf Pengajar Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155 Email :
[email protected]
2
Abstract The incidence of neonatorum asphyxia is a condition where the baby can not breathe spontaneously and regularly after birth. Infants with neonatorum asphyxia if not given immediate nursing actions, it would be fatal to their survival. It was estimated that approximately 27% of all neonatal deaths worldwide were caused by neonatorum asphyxia. This study aims to determine the factors that influence the occurrence of neonatorum asphyxia at St Elisabeth Hospital Medan in 2007-2012. This type of observational analytic study with casecontrol design with a sample of cases and controls amounted to 156 babies. Data analysis methods used include bivariate analysis using chi-square and multivariate analysis using logistic regression. Results of this study showed that the incidence significantly Asphyxia neonatorum at St Elisabeth Hospital Medan influenced by maternal age, maternal parity, history of maternal anemia at delivery and birth weight babies. Logistic regression analysis to get the factors have the most dominant factor is maternal age (OR 2.51, PAR 14,2%, 95% CI 1.60 to 10.58), parity (OR 3.12, PAR 14,8%, 95% CI 1.09 to 7.53) and infant birth weight (OR 3.51, PAR 7,4%, 95% CI 1.26 to 9.7). To prevent the incidence of neonatal asphyxia expected on health care workers and stakeholders such as the Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) to provide education and socialization regarding the optimal age to become pregnant from variety of information media, pregnant women do recommend at least 4 times antenatal care during pregnancy and ongoing training on the management of neonatal asphyxia in newborns. Keywords : Baby, Neonatorum Asphyxia Latar Belakang Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan di Indonesia telah cukup berhasil meningkatkan derajat kesehatan. Namun demikian derajat kesehatan di Indonesia masih terhitung rendah apabila dibandingkan dengan negara tetangga. Permasalahan utama yang dihadapi adalah rendahnya kualitas kesehatan penduduk yang antara lain ditunjukkan dengan masih tingginya Angka Kematian Bayi (AKB), anak balita dan
ibu serta tingginya proporsi balita yang menderita gizi kurang.1 Salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi pada saat kelahiran bayi dan mengakibatkan kematian bayi adalah asfiksia. WHO menyebutkan bahwa pada tahun 2000 – 2010, Case Fatality Rate (CFR) asfiksia untuk bayi yang berusia dibawah 5 tahun di Indonesia setiap tahunnya mencapai 11%.2 Bayi yang mengalami asfiksia neonatorum bila tidak segera diberikan tindakan keperawatan, maka akan berakibat fatal bagi
kelangsungan hidupnya. Diperkirakan bahwa sekitar 27% seluruh angka kematian neonatus di seluruh dunia disebabkan oleh asfiksia neonatorum.3 Laporan WHO juga menyebutkan bahwa AKB kawasan Asia Tenggara merupakan kedua yang paling tinggi yaitu sebesar 142 per 1.000 setelah kawasan Afrika. Di tahun 2011, Indonesia merupakan negara dengan AKB tertinggi kelima untuk negara ASEAN yaitu 35 per 1.000, dimana Myanmar 48 per 1.000, Laos dan Timor Leste 46 per 1.000, Kamboja 36 per 1.000.4 Berdasarkan Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2010 menyebutkan AKB di Sumatera Utara hanya 8/1.000 kelahiran hidup. Rendahnya angka ini mungkin disebabkan karena kasus-kasus yang terlaporkan adalah kasus kematian yang terjadi di masyarakat belum seluruhnya terlaporkan.5 Berdasarkan survei pendahuluan di RS Umum St Elisabeth Medan diketahui bahwa bahwa bayi yang menderita asphyxia neonatorum tahun 2007-2012 sebanyak 66 (3,16%) dari 2087 bayi yang lahir. Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya faktorfaktor apa saja yang memengaruhi terjadinya asphyxia neonatorum pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum St Elisabeth Medan tahun 2007 – 2012. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi dan faktor yang paling dominan terjadinya asphyxia neonatorum di Rumah Sakit Umum St Elisabeth Medan tahun 2007 – 2012. Tujuan Khusus Untuk mengetahui proporsi kejadian asphyxia neonatorum pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum St. Elisabeth Medan tahun 2007 - 2012. Untuk mengetahui karakteristik berdasarkan umur, paritas, hipertensi dan anemia pada ibu, berdasarkan status berat lahir dan gemeli pada bayi dan berdasarkan cara persalinan dan lama persalinan.
Untuk mengetahui pengaruh umur, paritas, hipertensi dan anemia terhadap kejadian asphyxia neonatorum pada bayi baru lahir. Untuk mengetahui pengaruh status berat lahir dan gemelli dengan kejadian asphyxia neonatorum pada bayi baru lahir. Untuk mengetahui pengaruh cara persalinan dan partus lama terhadap kejadian asphyxia neonatorum pada bayi baru lahir. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu, menambah pengetahuan dan pengalaman bagi penulis dalam penerapan ilmu yang didapat selama pendidikan khususnya metodologi penelitian. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi bagi petugas kesehatan dalam memahami faktor yang memengaruhi terjadinya asphyxia neonatorum dan juga dapat digunakan sebagai informasi dan masukan dalam menyusun perencanaan pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) dalam upaya menurunkan angka kematian bayi asphyxia neonatorum. Metode penelitian Jenis penelitian ini bersifat observasional analitik dengan desain kasus kontrol. Penelitian ini dilakukan sejak bulan Februari 2012 – Juni 2013. Populasi kasus adalah semua bayi yang menderita asphyxia neonatorum yang dirawat di Rumah Sakit Umum St Elisabeth Medan periode Januari 2007 sampai Desember 2012 sebanyak 66 bayi. Populasi kontrol adalah semua bayi yang tidak menderita asphyxia neonatorum yang dirawat di Rumah Sakit Umum St Elisabeth Medan periode Januari 2007 sampai Desember 2012 sebanyak 2087 bayi. Sampel kasus yaitu bayi yang lahir dengan menderita asphyxia neonatorum yang dirawat di Rumah Sakit Umum St Elisabeth Medan periode Januari 2007 sampai Desember 2012. Sampel kontrol yaitu bayi yang lahir dengan tidak menderita asphyxia neonatorum yang dirawat di Rumah Sakit Umum St Elisabeth Medan periode Januari 2007 sampai Desember 2012.
Besar sampel dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut 6, 𝒏=
{𝒁𝟏−∝ 𝟐
(𝟐𝑷𝟐 𝟏 − 𝑷𝟏 + 𝒁𝟏−𝜷
𝑷𝟏 𝟏 − 𝑷𝟏 + 𝑷𝟐 𝟏 − 𝑷𝟐 }𝟐
(𝑷𝟏 − 𝑷𝟐)𝟐
besarnya sampel ditentukan dengan memperkirakan proporsi populasi terpapar pada kasus (P1) dengan menggunakan rumus 𝑷𝟏 =
𝑶𝑹 𝑷𝟐 𝑶𝑹 𝑷𝟐 + (𝟏 − 𝑷𝟐)
Keterangan: n : jumlah sampel minimal α : tingkat kemaknaan 5 % β : kekuatan penelitian 80% P2 : proporsi terpapar pada kontrol OR : Odds Ratio Berikut ini adalah hasil penelitian yang dilakukan peneliti terdahulu sebagai dasar dalam perhitungan sampel. Tabel 1 Nilai Odd Rasio Untuk Setiap Variabel No 1 2 3 4 5 6 7
Variabel Bayi KMK Kala II lama Persalinan SC Berat bayi lahir BBLR Paritas Partus lama
P2 0,78 0.87 0,87 0,42 0,20 0,40 0,30
OR 3,43 9,73 8,62 2,79 5,13 2,64 2,94
Nama Peneliti Dewi, N (2005) Dewi, N (2005) Dewi, N (2005) Trisnaratih, A (2004) Desfauza, E (2008) Desfauza, E (2008) Chen, ZL (2009)
Maka dari penyajian Tabel 1 diatas digunakan P2 dan OR dari hasil penelitian Evi Desfauza sebagai dasar perhitungan sampel, hal ini didasarkan pada OR yang paling kecil untuk mendapatkan besar sampel minimal. Dari hasil perhitungan didapatkan jumlah sampel sebanyak 66 bayi. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan metode purposive sampling dengan perbandingan 1 : 2. Pemilihan sampel kasus dan kontrol akan dibatasi oleh kriteria inklusi dan ekslusi. Adapun kriteria inklusi dalam pemilihan sampel kasus dan kontrol yaitu :
1. Memiliki catatan rekam medis yang lengkap; 2. Dilahirkan pada tanggal yang sama. Sedangkan kriteria eksklusi adalah semua karakteristik objek penelitian yang tidak lengkap dan tidak sesuai dengan kriteria inklusi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari catatan rekam medik yang ada di Rumah Sakit Umum St Elisabeth Medan. Data yang diperoleh diolah dan dianalisa dengan menggunakan sistem komputerisasi secara bivariat menggunakan uji statistik uji chisquare dan multivariat menggunakan regressi logistik. Selain itu dilakukan juga perhitungan Odd Rasio (OR) untuk melihat estimasi risiko terjadinya outcome, sebagai pengaruh adanya variabel independen. Kemudian dilanjutkan dengan perhitungan Population Attributable Risk (PAR), nantinya akan digunakan untuk melihat estimasi penurunan terjadinya outcome, sebagai pengaruh adanya faktor risiko. Hasil dan Pembahasan Proporsi kejadian asphyxia neonatorum di RSU St Elisabeth Medan tahun 2007 – 2012 sebesar 3,16 %. Dari 63 kasus hanya 60 kasus yang memiliki rekam medis yang baik. Dari hasil penelitian didapatkan sebanyak 108 sampel dengan perbandingan 1:2 yaitu 36 sampel kasus dan 72 sampel kontrol. Hal ini jauh lebih kecil dari besar sampel yang diharapkan, maka dengan pertimbangan substansi 24 sampel kasus lainnya tetap dijadikan sampel dengan perbandingan 1:1. Maka besar sampel dalam penelitian ini sebesar 60 sampel kasus dan 96 sampel kontrol.
Tabel 2 Distribusi Proporsi Faktor Ibu yang Melahirkan dalam Kelompok Kasus dan Kontrol di Rumah Sakit St Elisabeth Medan Tahun 2007-2012 No
Faktor Ibu Penyebab Asfiksia F
Umur Ibu (tahun) < 20 dan > 35 20 – 35 Total 2 Paritas Nullipara dan Grandemultipara Primipara dan Multipara Total 3 Hipertensi Ya Tidak Total 4 Anemia Ya Tidak anemia Total * bermakna secara statistik
Kasus %
Kontrol F %
p value
OR (95%CI)
1
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa proporsi ibu yang melahirkan pada umur 20-35 tahun lebih besar pada kelompok kasus dan kontrol. Secara statistik terdapat hubungan yang signifikan antara umur ibu dengan kejadian asphyxia neonatorum dengan nilai OR sebesar 3,55 ( 95%CI 1,74–7,24). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ahmad tahun 2002 menemukan bahwa usia ibu kurang 20 tahun dan lebih dari 35 tahun mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian asphyxia neonatorum.8 Pertambahan umur akan diikuti oleh perubahan perkembangan dari organ organ dalam rongga pelvis. Keadaan ini akan memengaruhi kehidupan janin dalam rahim. Berdasarkan paritas dapat dilihat bahwa ibu dengan paritas yang berisiko lebih besar pada kelompok kasus. Paritas yang tidak berisiko lebih dominan pada kelompok kontrol. Berdasarkan analisis chi square terdapat hubungan yang signifikan antara paritas dengan kejadian asphyxia neonatorum. Hal ini sejalan dengan penelitian Niluvar Shireen tahun 2004 dan penelitian Selly Fani Martha tahun 2011.9,10
28 32 60
46,7 53,3 100,0
19 77 96
19,8 80,2 100,0
0,001*
3,55 (1,74 – 7,24)
40 20 60
66,7 33,3 100,0
35 61 96
36,5 63,5 100,0
0,001*
3,49 (1,77-6,87)
12 48 60
20,0 80,0 100,0
14 82 96
14,6 85,4 100,0
0,377
1,46 (0,63-3,42)
11 49 60
18,3 81,7 100,0
4 92 96
4,2 95,8 100,0
0,004*
5,16 (1,56-17,07)
Didapatkan OR yang besarnya 3,49 (95%CI 1,77-6,87) menjelaskan bahwa paritas ibu memberikan risiko terjadinya asphyxia neonatorum. Kehamilan dan persalinan yang mempunyai risiko adalah anak pertama dan persalinan anak keempat atau lebih karena pada anak pertama adanya kekakuan dari otot dan cervik yang kaku dapat memperpanjang persalinan sedangkan pada anak keempat atau lebih adanya kemunduran daya lentur (elastisitas) jaringan yang sudah berulang kali diregangkan kehamilan, sehingga kekuatan mendesak tidak optimal dan memperpanjang proses persalinan.11 Dari hasil analisa uji statistic chisquare menunjukkan tidak ada hubungan antara hipertensi tehadap kejadian asphyxia neonatorum. Hal ini berbeda dengan penelitian Tri Sundari Tika tahun 2011 yang diketahui bahwa terdapat hubungan antara hipertensi dengan asphyxia neonatorum.12 Walaupun secara teori menyebutkan hipertensi yang diderita ibu akan meningkatkan hambatan pada pembuluh darah dimana keadaan ini menimbulkan gangguan pernafasan.13 Berdasarkan riwayat anemia menunjukkan bahwa ibu yang menderita anemia lebih kecil dari proporsi ibu yang tidak menderita anemia. Hal ini dapat
dilihat pada kelompok kasus dan kelompok kontrol. Uji statistik chi square menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara anemia dengan kejadian asphyxia neonatorum dengan OR yang besarnya 5,16 (95%CI 1,56-17,07). Anemia yang dialami ibu pada saat hamil akan berpengaruh pada janin yang
dikandungnya. Pada anemia yang terjadi secara akut, penderita sering mengalami perburukan yang tiba-tiba seperti pada krisis aplastik ataupun perdarahan. Sedangkan pada anemia kronis, perburukan dijumpai bila telah terjadi disfungsi sistem organ tubuh, salah satunya disfungsi jantung.14
Tabel 3 Distribusi Proporsi Faktor Bayi dalam Kelompok Kasus dan Kontrol di Rumah Sakit St Elisabeth Medan Tahun 2007-2012 No
Faktor Bayi Penyebab Asfiksia
f
Berat Bayi Lahir Berat Bayi Lahir Rendah (<2500 gr) Berat Bayi Normal (>2500 gr) Total 2 Gemeli Ya Tidak Total * bermakna secara statistik
Kasus %
Kontrol f %
p value
OR (95%CI)
1
Berdasarkan berat badan lahir dapat dilihat bahwa proporsi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) lebih kecil dari proporsi berat lahir normal. Secara statistik menunjukkan adanya hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian asphyxia neonatorum dimana OR sebesar 3,5 (95%CI 1,56-7,86), menjelaskan kemungkinan kejadian asphyxia neonatorum 3,5 kali terjadi pada bayi BBLR dibandingkan dengan bayi yang beratnya normal. BBLR bisa terjadi karena
20 40 60
33,3 66,7 100,0
12 84 96
12,5 87,5 100,0
0,002*
3,50 (1,56-7,86)
3 57 60
5,0 95,0 100,0
2 94 96
2,1 97,9 100,0
0,314
2,47 (0,40-15,57)
prematur dan dismatur. Bayi prematur organ-organ tubuh belum sempurna sehingga mudah terjadi gangguan pernafasan dan asphyxia neonatorum. Berdasarkan gemeli dapat dilihat bahwa proporsi gemeli jauh lebih kecil dibandingkan dengan tidak gemeli. Secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara bayi gemeli dengan kejadian asphyxia neonatorum. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Eva Desfauza tahun 2008.15
Tabel 4 Distribusi Proporsi Faktor Persalinan dalam Kelompok Kasus dan Kontrol di Rumah Sakit St Elisabeth Medan Tahun 2007-2012 No
Faktor Bayi Penyebab Asfiksia F
Cara Persalinan Partus dengan Tindakan Partus spontan Total 2 Persalinan Lama Ya Tidak Total * bermakna secara statistik
Kasus %
Kontrol f %
p value
OR (95%CI)
1
Berdasarkan persalinan menunjukkan proporsi persalinan yang dibantu dengan tindakan yang lebih besar dari persalinan spontan. Uji statistik chi-square
28 32 60
46,7 53,3 100,0
39 57 96
40,6 59,4 100,0
0,458
1,28 (0,67-2,45)
6 54 60
10,0 90,0 100,0
12 84 96
12,5 87,5 100,0
0,634
0,78 (0,28-2,20)
menunjukkan tidak ada hubungan antara persalinan tindakan dengan kejadian asphyxia neonatorum. Hal ini berbeda dengan penelitian Fani Marta Selli tahun
kejadian asphyxia neonatorum10. Hal ini didukung oleh pengetahuan dari pasien bahwa melahirkan secara pembedahan bukan lagi hal yang menakutkan. Selanjutnya dilakukan analisis multivariat untuk melihat variabel yang memiliki pengaruh paling besar terhadap kejadian asphyxia neonatorum di Rumah Sakit Umum St Elisabeth Medan tahun 2007 – 2012. Analisis multivariat yang digunakan uji regresi logistik ganda dengan metode enter. Variabel yang pada saat analisis bivariat memiliki nilai p value < 0,25 dan mempunyai kemaknaan secara substansi dapat dijadikan kandidat yang akan dimasukkan ke dalam model multivariat.
2011, bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara persalinan tindakan dengan kejadian asphyxia neonatorum.10 Hal ini mungkin karena adanya upaya-upaya untuk pencegahan asphyxia neonatorum pada bayi baru lahir dengan mengurangi tekanan langsung pada kepala, menekan pusat-pusat vital pada medula oblongata. Berdasarkan lama persalinan proporsi persalinan lama lebih besar dari persalinan normal. Uji statistik chi-square menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara persalinan lama dengan kejadian asphyxia neonatorum. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Fani Marta Selli tahun 2011, dimana terdapat hubungan antara persalinan lama dengan
Tabel 5 Hasil Analisa Bivariat dari Umur, Paritas, Hipertensi, Anemia, Berat Bayi Lahir, Gemeli, Persalinan Tindakan dan Persalinan Lama dan Persalinan Tindakan dengan Kejadian Asphyxia Neonatorum No Variabel Umur* 1 Paritas* 2 Hipertensi 3 Anemia * 4 Berat Badan Lahir* 5 Gemeli 6 Persalinan Tindakan 7 Persalinan Lama 8 *bermakna secara statistik
OR 3,546 3,486 1,464 5,163 3,500 2,474 1,279 0,778
95% CI 1,737 - 7,2390 1,768 - 6,8720 0,626 - 3,4240 1,562 - 17,069 1,559 - 7,8570 0,401 - 15,255 0,677 - 2,4510 0,275 - 2,1960
p value 0,001 0,001 0,377 0,004 0,002 0,314 0,458 0,634
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa dari analisis bivariat hanya umur, paritas, anemia dan berat badan lahir yang masuk dalam analisis multivariat. Tabel 6 Hasil Analisa Regresi Logistik antara Umur, Paritas, Anemia, dan Berat Bayi Lahir dengan Kejadian Asphyxia Neonatorum No 1 2 3 4
Variabel Umur Paritas Anemia * Berat Badan Lahir Konstan *dikeluarkan pada tahap selanjutnya
B 0,943 1,131 1,080 0,846 -2,354
p value 0,017 0,003 0,146 0,108 0,001
Adjusted OR 2,568 3,100 2,945 2,330 0,095
95% CI 1,182-5,5800 1,480-6,4940 0,686-12,642 0,831-6,5320
Pada uji tahap pertama variabel anemia dikeluarkan karena memiliki p value yang paling besar dari seluruh variabel sehingga dikeluarkan untuk uji tahap selanjutnya.
Tabel 7 Hasil Analisa Regresi Logistik dari Umur, Paritas, dan Berat Bayi Lahir, Gemeli dengan Kejadian Asphyxia Neonatorum No 1 2 3
Variabel Umur* Paritas* Berat Badan Lahir* Konstan * Bermakna secara statistik
B 0,923 1,137 1,256 -1,693
p value 0,019 0,002 0,005 0,001
Berdasarkan hasil uji regresi logistik didapat variabel paritas, anemia dan berat badan lahir berpengaruh secara bermakna dengan kejadian asphyxia neonatorum dan merupakan model akhir faktor menentu kejadian asphyxia neonatorum. Maka probabilitas untuk terjadi kejadian asphyxia neonatorum di Rumah Sakit Umum St Elisabeth Medan tahun 2007 – 2012 dapat diketahui 𝑃(𝑦) =
1 1 + 𝑒 −(−1,693+0,923+ 1,137𝑋2 + 1,256𝑋3 )
× 100%
Model ini diasumsikan dengan umur ibu (20 – 35 tahun = 0, dan< 20 tahun dan > 35 tahun = 1), paritas ibu (primipara dan multipara = 0 dan nullipara dan multigrandepara = 1) dan
Adjusted OR 2,52 3,12 3,51 0,19
95% CI 1,166-5,431 1,497-6,492 1,455-8,477
berat badan bayi (>2500gr = 0 dan <2500gr = 1). Apabila semua faktor yang berpengaruh memiliki nilai 0 (tidak berisiko), maka probabilitas yang didapat adalah 15,54%. Namun apabila semua faktor yang berpengaruh memiliki nilai 1 (berisiko), maka probabilitas yang memiliki kemungkinan mengalami kejadian asphyxia neonatorum sebesar 83,52%. Selanjutnya akan dilakukan perhitungan nilai PAR pada faktor faktor yang dominan dalam memengaruhi kejadian asphyxia neonatorum.
Tabel 8 Perhitungan Nilai PAR dari Umur, Paritas dan Berat Bayi Lahir No 1 2 3
Variabel Umur Paritas Berat Bayi Lahir
Adjusted OR 2,52 3.12 3,51
Dapat dilihat bahwa variabel dengan nilai adjusted OR yang paling besar adalah berat badan lahir yaitu sebesar 2,52 (95%CI 1,167–5,431). Nilai PAR yang paling besar adalah nilai PAR variabel paritas yaitu sebesar 13,8. Kesimpulan Proporsi kejadian asphyxia neonatorum pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum St. Elisabeth Medan tahun 2007 – 2012 yaitu sebesar 3,16% dimana hampir mendekati angka kejadian kejadian asphyxia neonatorum nasional yaitu sebesar 4%.. Berdasarkan umur ibu diketahui bahwa ibu yang berumur <20 tahun dan >35 tahun sebesar 46,7% pada kelompok
95% CI 1,60 – 10,58 1,09 – 7,530 1,26 – 9,700
Nilai PAR (%) 9,1 13,8 6,2
kasus dan sebesar 19,8% pada kelompok kontrol. Berdasarkan paritas ibu diketahui bahwa ibu dengan paritas nullipara dan grandemultipara sebesar 66,7% pada kelompok kasus dan sebesar 36,5% pada kelompok kontrol. Berdasarkan riwayat hipertensi ibu diketahui bahwa ibu yang mengalami hipertensi sebesar 20% pada kelompok kasus dan sebesar 14,6% pada kelompok kontrol. Berdasarkan riwayat anemia ibu diketahui bahwa ibu yang menderita anemia sebesar 18,3% pada kelompok kasus dan sebesar 4,2% pada kelompok kontrol. Berdasarkan berat bayi lahir diketahui bahwa bayi dengan berat lahir rendah sebesar 33,3% pada kelompok kasus dan sebesar 12,5% pada kelompok
kontrol. Berdasarkan gemeli diketahui bahwa bayi gemeli sebesar 5% pada kelompok kasus dan sebesar 2,1% pada kelompok kontrol. Berdasarkan persalinan tindakan diketahui bahwa ibu dengan persalinan tindakan sebesar 46,7% pada kelompok kasus dan sebesar 40,6% pada kelompok kontrol. Berdasarkan lama persalinan diketahui bahwa ibu dengan persalinan lama sebesar 10% pada kelompok kasus dan sebesar 12,5% pada kelompok kontrol. Berdasarkan faktor ibu diketahui bahwa hanya umur ibu, paritas dan anemia yang berhubungan secara bermakna dengan kejadian asphyxia neonatorum pada bayi baru lahir. Berdasarkan faktor bayi diketahui bahwa hanya berat bayi lahir yang berhubungan secara bermakna berhubungan dengan kejadian asphyxia neonatorum pada bayi baru lahir. Berdasarkan faktor persalinan diketahui bahwa tidak ada satupun variabel yang secara bermakna berhubungan dengan kejadian asphyxia neonatorum pada bayi baru lahir. Setelah dilakukan uji multivariat didapat 3 variabel faktor penentu yang merupakan model akhir dan secara statistik mempunyai pengaruh yang sangat dominan dengan kejadian asphyxia neonatorum di RSU St Elisabeth Medan yaitu variabel umur dengan Adjusted Odds Ratio (adjusted OR)sebesar 2,52, paritas dengan Adjusted OR sebesar 3,51 dan berat bayi lahir dengan Adjusted OR sebesar 3,51. Saran Untuk mencegah terjadinya kejadian asphyxia neonatorum diharapkan pada petugas kesehatan maupun pihak yang terkait seperti Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk memberikan penyuluhan dan sosialisasi mengenai umur yang optimal untuk hamil dari berbagai media informasi.
Untuk mengurangi kejadian kelahiran Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dan paritas yang berisiko maka diharapkan pada bidan untuk menganjurkan pada ibu hamil melakukan pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali selama hamil atau sesuai dengan keadaan ibu/kondisi ibu hamil dan mengatur jarak kelahiran minimal 3 tahun menerapkan keluarga kecil sehat dan sejahtera dengan mengikuti program keluarga berencana. Daftar pustaka 1. Depkes RI., 2005. Program Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir dan Anak HSP – Health Services Program. Departemen Kesehatan. Jakarta. 2. WHO., 2012. Cause-specific mortality and morbidity: Causes of deaths among children. http://apps.who.int/gho/data/?them e=main&node=24# 3. Diakses pada 19 februari WHO., 2013. Causes of child mortality for the year 2010. http://www.who.int/gho/child_healt h/mortality/mortality_causes_text/e n/. Diakses pada 18 Februari 2013. 4. WHO., 2012. Mortality and burden of disease: Child mortality. http://apps.who.int/gho/data/?them e=main&node=10# Diakses pada 18 Februari 2013. 5. Dinkes Propsu., 2011, Profil Kesehatan Propinsi Sumatera Utara Tahun 2010. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Medan. 6. Lemeshow,S., Hosmer Jr.D.W.,Klar.J., Lwanga.S.K., 1997. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan ,Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 7. Ahmad. 2002. Laporan Penelitian Hubungan Persalinan Lama Dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum pada Bayi Baru Lahir di RSUD Dr Adjidarmo
Rangkasbitung Rangkasbitung.
Tahun
2000.
8. Shireen, Nilufar. 2009. Risk Factors And Short-Term Outcome Of Birth Asphyxiated Babies In Dhaka Medical College Hospital. Bangladesh J Child Health. 9. Selly, Fani Marta. 2011. FaktorFaktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum Di Rsup Dr. M. Djamil Padang Tahun 2010. Thesis Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 10. Sastrawinata, S. 1983. Obstetri Fisiologi Bagian Obstetri & Ginekologi. Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Bandung. 11. Sundari Tika, Tri. 2011. Faktor faktor Risiko Terjadinya Asfiksia Neonatorum Di RSD Jombang
Periode 1 Januari 31- Desember 2007. Skripsi Mahasiswa Fakultas KedokteranMuhammadiyah Malang 12. Zein U., 2008. Penyakit-penyakit yang mempengaruhi Kehamilan dan Persalinan. USU Press. Medan 13. Glader B. 2008. text book of pediatrics. Penyunting Nelson. Edisi ke-18. Saunders, Philadelpia. 14. Pisatwong, Chasayak., 2011. Thai Journal of Obstetrics and Gynaecology. Phramongkutklao Hospital. Bangkok.
15. Desfauza, Evi. 2008. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Asphyxia Neonatorum Pada Bayi Baru Lahir Yang Dirawat Di RSU Dr Pirngadi Medan Tahun 2007, Thesis Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
KARAKTERISTIK PENDERITA ABORTUS INKOMPLETUS DI RSUD DR.PIRNGADI KOTA MEDAN TAHUN 2010 – 2011
Rizqiana Halim1, Sori Muda2, Hiswani2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155
Abstract Abortion is an important public health problem. It’s often associated with maternal mortality in the form of bleeding complications (30%). The most common type of abortion is incomplete abortion. It should be addressed cause can make heavy bleeding and death. According to Panjaitan study in Martha Friska Hospital (2011), there were 105 cases of incomplete abortion from 175 cases of abortion. According to the data of Labuang Baji General Hospital (2012), there were 200 cases of incomplete abortion from 270 cases of abortion. To know the characteristics of incomplete abortion patients in Dr.Pirngadi General Hospital Medan in 2010 - 2011, conducted a study with case series design and total sampling for 100 patients. The highest proportion is 61% at low risk age group (20-35 years), 96% married, 59% senior high school, 69% a housewife, 56% Muslim, 78% in the city of Medan, 38% of gestational age 9 week, 54% multiparous, 70% miscarriage, 73% normal labor, 70% have a history of spontaneous abortion, 87% no history of the disease, 98% no complications, 94% curettage, The old patient care average is 2.23 days, and 59% healthy after treatment. The job by pregnancy history (housewife 70% had miscarried),age by parity (p=0.001), parity by pregnancy history (p=0.042), parity by abortion history (p=0.042), medical management by circumstances after treatment (healthy 96,5% curettage), length of treatment by the average gestational age (5-10 weeks of 2.09 days, 11-16 days 4.14 weeks). Dr.Pirngadi General Hospital expected to increase quality of services, especially on incidence of incomplete abortion. The authorities expected to increase the health promotion and education of abortion on adolescents and adults as a preventive incidence of abortion, including incomplete abortion. Keywords: Characteristics, Incomplete Abortion, Dr.Pirngadi General Hospital hidup.3,4 Provinsi Sumatera Utara termasuk salah satu dari 20 provinsi di Indonesia dengan laju AKI yang masih tinggi5 Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2007, tercatat laju AKI di Provinsi Sumatera Utara sebesar 132 per 100.000 kelahiran hidup, dan laju AKI di Kota Medan sebesar 27 per 100.000 6 kelahiran hidup. Penyebab kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan (30%), Infeksi (12%), eklampsi (25%), abortus (5%), partus lama (5%), emboli obstetrik (3%), komplikasi masa
Pendahuluan Menurut “CIA World Factbook” di dunia pada tahun 2010, Indonesia menduduki urutan ke-51 dari 183 negara di dunia dengan laju AKI sebesar 220 per 100.000 kelahiran hidup. 1,2 Di Indonesia laju AKI cenderung menurun, tetapi masih tinggi. Berdasarkan SDKI 2007, AKI di Indonesia sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Kemudian pada tahun 2010 menjadi 220 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut masih belum sesuai dengan kesepakatan MDG pada tahun 2015, yaitu 115 per 100.000 kelahiran 1
nifas (8%), dan penyebab lainnya (12%). Komplikasi terbanyak pada kehamilan ialah terjadinya perdarahan. Perdarahan dapat terjadi pada setiap usia kehamilan.7 Menurut The Lancet tahun 2007, jumlah aborsi di dunia tahun 1995 sebesar 45,6 juta kasus, tahun 2003 sebesar 41.6 juta kasus, dan tahun 2008 sebesar 43,8 juta kasus.8 Menurut KPAI tahun 2011, dalam kurun tiga tahun selama tahun 2008 – 2010 terus terjadi peningkatan kasus aborsi di Indonesia. Pada tahun 2008 tercatat kasus aborsi sebesar 2 juta kasus, tahun 2009 terjadi peningkatan menjadi 2,3 juta kasus, dan tahun 2010 menjadi 2,5 juta kasus aborsi.9 Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2006 diperoleh bahwa terdapat 42.354 kasus abortus dari 117.228 total persalinan. Berdasarkan profil kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2000, diperoleh bahwa terdapat 469 kasus abortus dari 6.323 total persalinan.10,11 Abortus sebenarnya mendekati angka 50% sebagai penyumbang AKI, namun lebih sering dilaporkan dalam bentuk perdarahan bukan dalam bentuk abortus. Banyak penelitian melaporkan bahwa kematian yang berhubungan dengan aborsi mengambil proporsi kematian ibu yang sangat besar.12 Jenis abortus yang paling sering terjadi adalah abortus inkompletus yang biasa disebut dengan aborsi tidak lengkap, dimana janin yang dikandungnya sudah keluar sebagian dan sebagian lagi tinggal di dalam rahim. Bila keguguran ini terjadi, maka harus segera ditangani untuk mengatasi perdarahan karena perdarahan yang banyak dapat menyebabkan kematian ibu.13 Data kejadian abortus di Rumah Sakit Aliyah Kota Kendari menunjukkan bahwa dari 379 total kasus abortus, terdapat kasus abortus inkompletus sebanyak 160 kasus (42,21%). Angka ini perlu diperhatikan karena kejadian abortus inkompletus dapat menyebabkan perdarahan, perforasi, sepsis dan syok yang dapat berakhir pada kematian ibu.14 Menurut penelitian Pasabi di RS Elim Rantepao tahun 2009 bahwa terdapat kejadian abortus inkompletus sebesar 164 kasus dari total 172 kasus abortus.15 Menurut penelitian Panggabean di RS Haji Medan tahun 2010
bahwa dari 81 wanita yang mengalami abortus, terdapat 52 kejadian abortus inkompletus.16 Menurut data di Badan Rumah Sakit Umum 45 Kuningan tahun 2007, dari 94 kasus abortus yang paling tinggi adalah abortus inkompletus sebanyak 54 kasus (57,45%).17 Menurut data yang diperoleh dari RSUD Labuang Baji Makassar, jumlah kasus abortus pada tahun 2012 sebanyak 270 kasus, dengan kasus abortus inkompletus sebanyak 200 kasus.18 Menurut hasil penelitian Panjaitan di RS Martha Friska Medan tahun 2011 bahwa berdasarkan klasifikasi abortus secara klinis dari 175 penderita abortus, proporsi tertinggi adalah abortus inkompletus, yaitu 105 penderita (57,4%).19 Uraian-uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian mengenai abortus inkompletus. Berdasarkan survei yang dilakukan tanggal 04 – 12 September 2012 pada Bidang Pengolahan Data & Rekam Medik di RSUD Dr.Pingadi Kota Medan diperoleh data abortus inkompletus sebesar 100 kasus selama tahun 2010 – 2011. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Belum diketahuinya karakteristik penderita abortus inkompletus di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan pada tahun 2010 – 2011. Adapun tujuan penelitian ini adalah Mengetahui bagaimana karakteristik penderita abortus inkompletus di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan tahun 2010 – 2011. Tujuan khusus penelitian ini adalah: mengetahui sosiodemografi, faktor mediko obstetrik, dan status rawatan penderita abortus inkompletus. Mengetahui pekerjaan penderita berdasarkan riwayat kehamilan, kategori risiko umur penderita berdasarkan paritas, paritas penderita berdasarkan riwayat kehamilan, paritas penderita berdasarkan riwayat kejadian abortus, penatalaksanaan medis penderita berdasarkan keadaan sewaktu pulang, serta mengetahui lama rawatan ratarata penderita berdasarkan usia kehamilan. Manfaat penelitian ini adalah: Sebagai bahan masukan untuk pihak institusi terkait agar tetap menjaga dan terus meningkatkan pelayanan kesehatan, khususnya di bidang pertolongan persalinan 2
dan perawatan ibu bersalin, menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi pihak akademik, dalam hal ini FKM USU, serta dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya sehubungan dengan abortus inkompletus serta membuka dan memperluas wawasan pengetahuan peneliti mengenai masalah kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan abortus inkompletus.
Tabel.2 Distribusi proporsi sosiodemografi penderita abortus inkompletus di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan tahun 2010 – 2011 No. 1
2
Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan dengan pertimbangan tersedianya data penderita abortus inkompletus tahun 2010 – 2011. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari s/d Juli 2013. Populasi adalah semua data penderita abortus inkompletus di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan tahun 2010 – 2011 sebanyak 100 kasus. Besar sampel adalah sama dengan populasi (total sampling). Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang tercatat di kartu status penderita abortus inkompletus di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan tahun 2010 – 2011 yang diperoleh dari rekam medik dan dicatat sesuai dengan variabel yang dibutuhkan. Data yang telah dikumpulkan, diolah dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution), kemudian dianalisa secara deskriptif kemudian disajikan dalam bentuk narasi, tabel, dan diagram.
3
4
6
7
Sosiodemografi Umur Umur risiko tinggi (<20 tahun atau >35 tahun) Umur risiko rendah (20 – 35 tahun) Total Status Perkawinan Kawin Tidak kawin Total Pendidikan SD SMP SMA D3 Sarjana Total Pekerjaan Ibu rumah tangga (IRT) Pegawai Negeri Sipil (PNS) Karyawan swasta Wiraswasta Pelajar Total Agama Islam Kristen Total Tempat Tinggal Kota Medan Luar Kota Medan Total
f
%
39
39,0
61
61,0
100
100,0
96 4 100
96,0 4,0 100,0
6 18 59 6 11 100
6,0 18,0 59,0 6,0 11,0 100,0
69 13 7 7 4 100
69,0 13,0 7,0 7,0 4,0 100,0
56 44 100
56,0 44,0 100,0
78 22 100
78,0 22,0 100,0
Berdasarkan tabel.2 dapat dilihat bahwa berdasarkan umur proporsi tertinggi adalah pada kelompok umur risiko rendah 61%. Memang di rentang usia tersebut merupakan keadaan yang optimal bagi seorang wanita untuk hamil dan melahirkan sesuai dengan Azhari (2002) bahwa umur reproduksi sehat atau umur yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah umur 20 – 35 tahun.20,21 Hasil penelitian Arimbi (20002001) di RSUP Adam Malik Medan dalam Panjaitan (2011) juga menunjukkan bahwa kejadian abortus, termasuk abortus inkompletus, paling banyak terjadi pada wanita berumur 20 – 35 tahun dengan proporsi 68,5%.19 Berdasarkan status perkawinan, proporsi tertinggi adalah pada status kawin atau sudah menikah dengan proporsi 96%. Menurut Depkes RI (2001) bahwa wanita berstatus menikah yang melakukan abortus
Hasil dan Pembahasan Distribusi proporsi sosiodemografi penderita abortus inkompletus sebagai berikut:
3
masih tinggi dengan alasan tidak menggunakan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Namun, tidak menutupi kecenderungan kalangan wanita yang belum menikah untuk melakukan abortus.10 Tercatat 4 penderita abortus inkompletus yang berstatus belum kawin adalah pelajar, dimana umur penderita tersebut masing-masing 16 tahun, 18 tahun, 20 tahun, dan 21 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa angka kejadian abortus, termasuk abortus inkompletus, pada usia muda dan dengan status belum menikah mungkin saja lebih banyak dari angka yang tercatat dikarenakan faktor psikososial.22 Menurut Chalik (1998) bahwa banyak wanita yang terlanjur hamil menggugurkan kandungannya secara sembunyi-sembunyi dan baru muncul ke permukaan bila terjadi komplikasi.23 Berdasarkan pendidikan, proporsi tertinggi adalah pada tingkat SMA yaitu 59%. Hal ini bukan berarti bahwa wanita yang berpendidikan terakhir SMA berisiko tinggi terhadap kejadian abortus inkompletus, hanya saja kebanyakan penderita abortus inkompletus yang datang berobat ke RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan tahun 2010 – 2011 berpendidikan terakhir SMA. Berdasarkan pekerjaan, proporsi tertinggi adalah sebagai ibu rumah tangga (IRT) dengan proporsi 69%. hal ini hanya menunjukkan bahwa pekerjaan penderita abortus inkompletus yang datang berobat ke RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan tahun 2010 – 2011 mayoritas tercatat sebagai ibu rumah tangga. Hal ini sama dengan hasil penelitian Panjaitan (2011) di RS Martha Friska Medan bahwa 74,3% penderita abortus adalah sebagai ibu rumah tangga.19 Berdasarkan agama, proporsi tertinggi adalah beragama Islam dengan proporsi 56%. Besar kecilnya proporsi agama pada catatan pelayanan kesehatan bergantung pada banyaknya penderita penganut suatu agama yang datang berobat ke pelayanan kesehatan tersebut. Hasil penelitian oleh Panjaitan (2011) juga menunjukkan bahwa penderita abortus, dengan proporsi tertinggi abortus inkompletus, di RS Martha Friska adalah beragama Islam sebesar 73,8%.19 Berdasarkan daerah tempat tinggal, proporsi tertinggi adalah bertempat tinggal di
Kota Medan dengan proporsi 78%. Hal ini berkaitan dengan jarak tempuh dari tempat tinggal menuju fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia. Adapun penderita abortus inkompletus yang tercatat bertempat tinggal di luar Kota Medan (Simalungun, Deli Serdang, Aceh Timur) biasanya adalah penderita yang kebetulan sedang datang ke Kota Medan kemudian mengalami kejadian abortus inkompletus dan mencari pengobatan ke RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan. Distribusi proporsi faktor mediko obstetrik penderita abortus inkompletus sebagai berikut: Tabel.3 Distribusi proporsi faktor mediko obstetrik penderita abortus inkompletus di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan tahun 2010 – 2011 No. 1 a. b. d. e. f. g. h.
c.
2
3
4
5
6
4
Faktor Mediko Obstetrik Usia Kehamilan 5 minggu 7 minggu 8 minggu 9 minggu 10 minggu 12 minggu 16 minggu Total Paritas Nullipara Primipara Multipara Grandemultipara Total Riwayat Kehamilan Keguguran Lahir Hidup Belum Pernah Hamil Sebelumnya Total Riwayat Tindakan Persalinan Tindakan Normal Belum Pernah Hamil Sebelumnya Total
Riwayat Kejadian Abortus Abortus spontan Tidak Ada Total Riwayat Penyakit Ada Tidak ada Total
f
%
8 17 30 38 4 2 1 100
8,0 17,0 30,0 38,0 4,0 2,0 1,0 100,0
3 29 54 14 100
3,0 29,0 54,0 14,0 100,0
70 27 3
70,0 27,0 3,0
100
100,0
24 73 3
24,0 73,0 3,0
100
100,0
70 30 100
70,0 30,0 100,0
13 87 100
13,0 87,0 100,0
7
8
9
Ada Riwayat Penyakit Penyakit Menular Penyakit Tidak Menular Total Komplikasi Ada Tidak ada Total Ada komplikasi Perdarahan Total
3 10 13
23,1 76,9 100,0
2 98 100
2,0 98,0 100,0
2 2
100,0 100,0
jelek pada kehamilan sebelumnya, seperti keguguran, lahir belum cukup bulan, lahir mati, lahir hidup kemudian mati dalam waktu ≤ 7 hari akan meningkatkan risiko pada persalinan berikutnya.24Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Malpas dan Eastman yang menyatakan bahwa terjadinya abortus lagi pada seorang wanita yang pernah mengalami abortus ialah 73% – 83,6%. 19,23 Berdasarkan riwayat tindakan persalinan, proporsi tertinggi adalah normal 73%. Selebihnya terdapat 24 penderita abortus inkompletus dengan riwayat tindakan persalinan, yaitu sectio caesaria (SC), dan 3 penderita abortus inkompletus dengan tidak ada riwayat tindakan persalinan karena belum pernah hamil sebelumnya. Berdasarkan riwayat kejadian abortus, proporsi tertinggi adalah abortus spontan 70%. Menurut Prawirohardjo (2009) bahwa setelah 1 kali abortus spontan, pasangan akan mempunyai risiko sebesar 15% mangalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali, risikonya akan meningkat 25%, dan setelah 3 kali mengalami abortus berturut-turut akan mempunyai risiko untuk keguguran lagi sebesar 30 – 45%. 7 Berdasarkan riwayat penyakit, proporsi tertinggi adalah tidak ada memiliki riwayat penyakit 87%. Berdasarkan adanya riwayat penyakit yang dimiliki oleh penderita abortus inkompletus, proporsi tertinggi adalah pada penyakit tidak menular 76,9%. Bahwa dari 100 penderita abortus inkompletus terdapat 13 penderita yang memiliki riwayat penyakit. Dari 13 penderita abortus inkompletus yang memiliki riwayat penyakit tersebut terdapat 10 penderita adalah dengan riwayat penyakit tidak menular, yaitu diabetes, hipotensi, hipertensi, dan asma. Selebihnya 3 penderita lain adalah dengan riwayat penyakit menular, yaitu TBC, TORCH dan chikungunya. Riwayat penyakit yang mungkin telah terjadi sebelum kehamilan dan diperburuk oleh kehamilan, misalnya penyakit jantung, anemia, hipertensi esensial, diabetes mellitus, hemoglobinopati, keracunan, peritonitis umum, pneumonia, tifus abdominalis, malaria dapat menurunkan keadaan umum penderita dan menyebabkan abortus.12,23,25
Berdasarkan tabel.3 dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi penderita abortus inkompletus berdasarkan usia kehamilan adalah pada usia kehamilan 9 minggu 38%. Bila ditinjau dari data, penderita yang mengalami abortus inkompletus pada usia kehamilan 9 minggu dikarenakan penderita memang memiliki riwayat kehamilan keguguran pada kehamilan sebelumnya, memiliki paritas multipara atau grandemultipara dimana paritas tersebut termasuk paritas yang tidak aman, serta mungkin disebabkan oleh adanya riwayat penyakit menular maupun tidak menular bahkan mungkin disebabkan adanya trauma sehingga menurunkan keadaan penderita. Sesuai dengan Chalik (1998) bahwa abortus inkompletus memang terjadi pada usia lebih dari 8 minggu karna villi koriales telah tumbuh dan menembus lapisan desidua jauh lebih tebal sehingga pelepasannya biasanya tidak sempurna dan masih ada bagian yang tersisa melekat di dinding rahim.23 Hasil penelitian Panjaitan (2011) di RS Martha Friska Medan juga menunjukkan bahwa berdasarkan umur kehamilan yang tercatat proporsi tertinggi adalah penderita pada usia kehamilan 7 – 9 minggu dengan proporsi 32,7%.19 Berdasarkan paritas, proporsi tertinggi adalah multipara 54%. Dalam penelitian ini, hampir semua penderita abortus inkompletus yang memiliki paritas multipara adalah penderita dengan usia risiko rendah, yaitu 20 – 35 tahun dan memiliki riwayat keguguran. Dengan adanya riwayat keguguran pada kehamilan sebelumnya maka risiko abortus, termasuk abortus inkompletus, akan semakin tinggi dengan bertambahnya paritas ibu.12,24 Berdasarkan riwayat kehamilan, proporsi tertinggi adalah keguguran 70%. Menurut Kusumawati (2006) bahwa seorang wanita yang memiliki riwayat kehamilan yang 5
Berdasarkan komplikasi, proporsi tertinggi adalah tidak ada komplikasi 98%. Bahwa dari 100 penderita abortus inkompletus hanya terdapat 2 penderita yang memiliki komplikasi dan kedua penderita tersebut masing-masing berumur 16 tahun dan 42 tahun dengan jenis komplikasi perdarahan. Sesuai dengan Chalik (1998) dan Prawirohardjo (2009) bahwa risiko komplikasi akibat abortus inkompletus antara lain: perdarahan akibat pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi.7,23 Berdasarkan adanya komplikasi, proporsi tertinggi adalah perdarahan, yaitu dengan proporsi 100%.
Tabel.5 Lama rawatan rata-rata penderita abortus inkompletus di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan tahun 2010 – 2011 Lama Rawatan Rata-Rata (Hari) 2,23 Mean 1,246 Standard Deviation (SD) 1,98 – 2,48 95% CI 0 Min 6 Max
Berdasarkan tabel.5 dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata penderita abortus inkompletus di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan pada tahun 2010 – 2011 adalah 2,23 hari. Artinya, lama rawatan rata-rata penderita abortus inkompletus di RSUD Dr.Pirngadi adalah 2 hari, dimana lama rawatan yang paling singkat adalah 0 hari dan lama rawatan yang paling lama adalah 6 hari. Di dalam penelitian ini, 1 penderita yang dirawat selama 6 hari adalah penderita berumur 42 tahun, memiliki paritas grandemultipara, dan mengalami komplikasi perdarahan sehingga memerlukan perawatan yang cukup sampai kondisi penderita benarbenar pulih.
Distribusi proporsi status rawatan penderita abortus inkompletus sebagai berikut: Tabel.4 Distribusi proporsi status rawatan penderita abortus inkompletus di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan tahun 2010 – 2011 No. 1
2
3
Status Rawatan Penatalaksanaan Medis Kuretase Obat Oral Aspirasi Vakum Total Lama Rawatan 0 hari 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari Total Keadaan Sewaktu Pulang Sehat PBJ Total
f
%
94 4 2 100
94,0 4,0 2,0 100,0
5 23 36 25 3 7 1 100
5,0 23,0 36,0 25,0 3,0 7,0 1,0 100,0
59 41 100
59,0 41,0 100,0
Distribusi riwayat kehamilan penderita abortus inkompletus berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel.6 Distribusi pekerjaan penderita abortus inkompletus di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan tahun 2010 – 2011 berdasarkan riwayat kehamilan Pekerjaan
Berdasarkan tabel.4 dapat dilihat bahwa berdasarkan penatalaksanaan medis, proporsi tertinggi adalah kuretase dengan proporsi 94%. Berdasarkan lama rawatan, proporsi tertinggi adalah 2 hari 36%. Berdasarkan keadaan sewaktu pulang, proporsi tertinggi adalah sehat 59%.
Total
Riwayat
IRT
Kehamilan
PNS
K.S
Wira
Pelajar
f
%
f
%
f
%
f
%
f
%
f
%
Keguguran
49
70,0
11
15,7
5
7,1
4
5,7
1
1,4
70
100,0
Lahir Hidup
20
74,1
2
7,4
1
3,7
3
11,1
1
3,7
27
100,0
Berdasarkan tabel.6 dapat dilihat bahwa dari 70 penderita abortus inkompletus dengan riwayat kehamilan keguguran, proporsi tertinggi adalah bekerja sebagai IRT 70%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak dapat menggunakan uji ChiSquare dikarenakan terdapat 6 sel (60,0%) memiliki nilai expected count < 5.
Lama rawatan rata-rata penderita abortus inkompletus dapat dilihat pada tabel berikut ini:
6
Distribusi kategori risiko umur penderita abortus inkompletus berdasarkan paritas dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel.7 Distribusi kategori risiko umur penderita abortus inkompletus di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan tahun 2010 – 2011 berdasarkan paritas Paritas
Nullipara Primipara Multipara Grandemultipara
Kategori Risiko Umur Umur Umur Risiko Risiko Tinggi Rendah f % f % 2 66,7 1 33,3 5 17,2 24 82,8 21 38,9 33 61,1 11 78,6 3 21,4
riwayat kejadian abortus dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel.9 Distribusi paritas penderita abortus inkompletus di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan tahun 2010 – 2011 berdasarkan riwayat kejadian abortus Riwayat Kejadian Abortus
Abortus Spontan Tidak Ada
Total f 3 29 54 14
% 100,0 100,0 100,0 100,0
Keguguran Lahir Hidup
f 70
% 100,0
9
18
27
100,0
33,3
66,7
0
0,0
%
f
%
20
28,6
36
51,4
9
33,3
18
66,7
f 14
% 20,0
f 70
% 100,0
0
0,0
27
100,0
Distribusi penatalaksanaan medis penderita abortus inkompletus berdasarkan keadaan sewaktu pulang dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel.10 Distribusipenatalaksanaan medis penderita abortus inkompletus di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan tahun 2010 – 2011 berdasarkan keadaan sewaktu pulang
Distribusi paritas penderita abortus inkompletus berdasarkan riwayat kehamilan dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel.8 Distribusi paritas penderita abortus inkompletus di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan tahun 2010 – 2011 berdasarkan riwayat kehamilan Paritas Multi Grandemulti f % F % 36 51,4 14 20,0
f
Total
Grandemulti
Berdasarkan tabel.9 dapat dilihat bahwa dari 70 penderita abortus inkompletus yang memiliki riwayat kejadian abortus spontan, proporsi tertinggi adalah multipara, yaitu dengan proporsi 51,4%. Hasil uji Chi Square diperoleh nilai p < 0,05 artinya secara statistik terdapat perbedaan proporsi paritas penderita abortus inkompletus berdasarkan riwayat kejadian abortus.
Berdasarkan tabel.7 dapat dilihat bahwa dari 54 penderita abortus inkompletus dengan paritas multipara, proporsi tertinggi adalah termasuk dlm kategori umur risiko rendah (20 – 35 tahun) 66,1%. Hasil uji Chi Square diperoleh nilai p < 0,05 artinya secara statistik terdapat perbedaan yang bermakna proporsi kategori risiko umur penderita abortus inkompletus berdasarkan paritas.
Primi f % 20 28,6
Multi
p=0,042
p=0,001
Riwayat Kehamilan
Paritas Primi
Keadaan Sewaktu Pulang Sehat PBJ
Total
Penatalaksanaan Medis Obat Aspirasi Kuretase Oral Vakum f % f % f % 55 96,5 2 3,5 0 0,0 37 92,5 2 5,0 1 2,5
Total f 94 4
% 100,0 100,0
Berdasarkan tabel.10 dapat dilihat bahwa dari 94 penderita abortus inkompletus yang berkeadaan sehat sewaktu pulang, proporsi tertinggi adalah dengan penatalaksanaan medis kuretase, yaitu dengan proporsi 96,5%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak dapat menggunakan uji Chi-Square dikarenakan terdapat 4 sel (66,7%) memiliki nilai expected count < 5.
p=0,042
Berdasarkan tabel.8 dapat dilihat bahwa dari 70 penderita abortus inkompletus yang memiliki riwayat keguguran, proporsi tertinggi adalah dengan paritas multipara 51,4%. Hasil uji Chi Square diperoleh nilai p < 0,05 artinya secara statistik terdapat perbedaan proporsi paritas penderita abortus inkompletus berdasarkan riwayat kehamilan.
Distribusi lama rawatan rata-rata penderita abortus inkompletus berdasarkan usia kehamilan dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Distribusi paritas penderita abortus inkompletus di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan tahun 2010 – 2011 berdasarkan 7
h. Pada penderita abortus inkompletus yang berkeadaan sehat sewaktu pulang, proporsi tertinggi adalah kuretase 96,5%. i. Pada penderita abortus inkompletus dengan usia kehamilan ≤ 9 minggu, lama rawatan rata-rata adalah 2,09 hari (2 hari) dan pada penderita abortus inkompletus dengan usia kehamilan > 9 minggu, lama rawatan rata-rata adalah 4,14 hari (4 hari).
Tabel.11 Distribusi lama rawatanrata-rata penderita abortus inkompletus di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan tahun 2010 – 2011 berdasarkan usia kehamilan
i.
Usia Kehamilan ≤ 9 minggu > 9 minggu
Lama Rawatan Rata-Rata (hari) n Mean SD 93 2,09 1,148 7 4,14 0.900
Berdasarkan tabel.11 dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata dari 93 penderita abortus inkompletus dengan usia kehamilan ≤ 9 minggu adalah 2,09 hari (2 hari). Sedangkan pada 7 penderita abortus inkompletus dengan usia kehamilan > 9 minggu, lama rawatan rata-ratanya adalah 4,14 hari (4 hari).
2. Saran a. Kepada pihak RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan, untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas pelayanan khususnya terhadap kejadian abortus inkompletus. b. Meningkatkan kegiatan promosi dan pendidikan kesehatan reproduksi khususnya mengenai abortus disekolahsekolah untuk para remaja dan di posyandu untuk dewasa. c. Menggali penyebab abortus dari penderita dan memberi penyuluhan kepada penderita tersebut mengenai pencegahan abortus agar menghindari kejadian abortus pada kehamilan berikutnya.
Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Berdasarkan sosiodemografi, proporsi tertinggi penderita abortus inkompletus pada kelompok umur risiko rendah (20 – 35 tahun) 61%, kawin 96%, SMA 59%, IRT 69%, Islam 56%, dan tempat tinggal di Kota Medan 78%. b. Berdasarkan faktor mediko obstetrik, proporsi tertinggi penderita abortus inkompletus pada usia kehamilan 9 minggu 38%, multipara 54%, keguguran 70%, persalinan normal 73%, riwayat kejadian abortus spontan 70%, riwayat penyakit tidak ada 87%, dan komplikasi tidak ada 98%. c. Berdasarkan status rawatan, proporsi tertinggi penderita abortus inkompletus pada kuretase 94%, lama rawatan rata-rata 2,23 hari, dan keadaan sewaktu pulang sehat 59%. d. Pada penderita abortus inkompletus yang memiliki riwayat kehamilan keguguran, proporsi tertinggi adalah sebagai IRT 70%. e. Terdapat perbedaan yang bermakna proporsi kategori risiko umur penderita abortus inkompletus berdasarkan paritas (p=0,001). f. Terdapat perbedaan proporsi paritas penderita abortus inkompletus berdasarkan riwayat kehamilan (p=0,042). g. Terdapat perbedaan proporsi riwayat kejadian abortus penderita abortus inkompletus berdasarkan paritas (p=0,042).
Daftar Pustaka 1.
2.
3. 4.
5.
6. 7.
8.
8
Anonim. 2012. Demographic: Maternal Mortality Rate in World. www.indexmundi.com. Diakses pada tanggal 08 Februari 2013. Anonim. 2012. Demographic: Maternal Mortality Rate in Asia. www.indexmundi.com. Diakses pada tanggal 08 Februari 2013. Depkes RI, 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta. Yulifah, R., dkk. 2009. Asuhan Kebidanan Komunitas. Penerbit Salemba Medika, Jakarta. Faizal, EB. 2012. Maternal, Infant Death in 20 Provinces Remain High. www.thejakartapost.com. Diakses pada tanggal 09 Februari 2013. Depkes RI, 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta. Prawirohardjo, S. 2009. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Sedgh G, dkk. 2007. Induced Abortion: Estimated Rates and Trens Worldwide. www.guttmacher.org. Diakses pada tanggal 12 Maret 2013.
9.
10. 11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Anonim, 2011. Catatan Akhir Tahun 2011 KomNas Perlindungan Anak. Diakses www.komnaspa.or.id. Diakses pada tanggal 12 Maret 2013. Depkes RI, 2001. Profil Kesehatan Indonesia 2000. Jakarta. BKKBN. 2009. Tren Aborsi di Indonesia. www.bkkbn.go.id. Diakses pada tanggal 12 Maret 2013. Perinasia.1994. Pencegahan Kematian Ibu Hamil. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta. Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Safitri, I. 2010. Gambaran Kejadian Abortus Imminens di Rumah Sakit Aliyah Kota Kendari tahun 2010. Akademi Kebidanan Pelita Ibu. Kota Kendari. Pasabi, YT. 2010. Gambaran Kejadian Abortus Inkompletus Ditinjau dari Segi Umur dan Pendidikan di RS Elim Rantepao Tahun 2009. Akademi Kebidanan Bina Sejahtera. Kabupaten Toraja Utara. Panggabean, MY. 2011. Hubungan Karakteristik Ibu dengan Abortus Inkompletus di RS Haji Medan Periode Januari 2008–April 2010. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Kota Medan. Mutmainah, ND. 2008. Gambaran Angka Kejadian Abortus Inkompletus Berdasarkan karakteristik Ibu di Ruang Kebidanan RSUD’45 Kuningan Tahun 2008. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kuningan. Kabupaten Kuningan. Yasing, H. 2012. Manajemen Asuhan Kebidanan Pada Ibu Dengan Abortus Inkomplit di RSUD Labuang Baji Makassar. Akademi Kebidanan Mega Rezky. Makassar. Panjaitan, AA. 2011. Karakteristik Penderita Abortus di RS Martha Friska Medan Tahun 2007 – 2009. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Kota Medan. Azhari, 2002. Masalah Abortus dan Kesehatan Reproduksi Perempuan. Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Palembang.
21. Lisda, T. 2009. Karakteristik Penderita Abortus di RSU Kabanjahe 20042008. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Kota Medan 22. Wiknjosastro, H. 2002. Ilmu Kebidanan. Edisi III. Penerbit Yayasan Bina Pustaka. Jakarta. 23. Chalik, TMA., 1998. Hemoragi Utama Obstetri dan Ginekologi. Penerbit Widya Medika, Jakarta. 24. Kusumawati, Y. 2006. Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Persalinan Dengan Tindakan di RS dr.Moewardi Surakarta. PascaSarjana Universitas Diponegoro. Semarang. 25. Hawari, D. 2006. Aborsi. Penerbit Fakultas Kedokteran - Universitas Indonesia. Jakarta.
9