PENGARUH PENGELASAN GMAW TERHADAP KETAHANAN KOROSI BAJA SS400 Studi Kasus di PT. INKA Madiun Adi Kurniawan Yusim, Dr.rer.nat.Triwikantoro Jurusan Fisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Email:
[email protected] Abstrak Telah dilakukan uji ketahanan korosi pada baja SS400 yang sebelumnya dikenai pengerjaan pengelasan GMAW (Gas Metal Arc Welding) dengan variasi gas pelindung. Plat baja SS400 dengan ketebalan 9 mm dilas menggunakan tipe butt joint (bentu k huruf V) dengan variasi gas pelindung yaitu argon murni, argon 82%, dan karbondioksida murni. Gas pelindung dalam pengelasan GMAW ini bertujuan untuk mengurangi proses oksidasi selama proses pengelasan sehingga ketahanan korosi logam las tetap baik. Korosi adalah proses yang merugikan, maka diperlukan pemilihan komposisi gas pelindung yang tepat supaya sambungan logam dalam proses pengelasan memiliki ketahanan korosi yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan korosi pada baja SS400 yan g telah dilakukan pengelasan GMAW dengan variabel gas pelindung. Pengukuran laju korosi dilakukan dengan metode kehilangan berat. Hasil percobaan menunjukkan bahwa laju korosi paling tinggi dialami oleh baja SS400 dengan gas pelindung argon murni sebesar 3 ,5832 mpy, sedangkan untuk gas pelindung argon 82% dan CO2 murni masing-masing 2,9545 mpy dan 2,2991 mpy. Nilai kekerasan untuk gas pelindung argon murni 277,1 HVN; argon 82% sebesar 223,2 HVN; dan CO 2 murni 200,7 HVN. Hasil ini menunjukkan penggunaan gas pelindung yang berbeda menghasilkan ketahanan korosi dan nilai kekerasan yang berbeda pula. Hasil ini dapat dijelaskan dengan perolehan foto mikro yang menunjukkan adanya fase ferit dan perlit, serta distribusinya. Fase yang terbentuk pada pengelasan denga n gas pelindung argon murni terdapat banyak fase perlit dibandingkan gas pelindung argon 82% dan karbondioksida murni. Fase perlit memiliki sifat mudah bereaksi, energinya lebih tinggi sehingga mudah terkorosi, dan lebih keras karena densitasnya besar. Pengamatan morfologi permukaan baja yang telah terkorosi dilakukan dengan SEM (Scanning Electron Microscopy). Kata kunci : korosi, pengelasan GMAW, baja SS400 Abstract Corrosion resistance test has been performed previously on SS400 steel subjected GMAW wel ding workmanship with a variety of shielding gas. SS400 steel plate with thickness of 9 mm using a type of butt joint welded (V shape) with a variation of the shielding gas is pure argon, argon 82%, and pure carbon dioxide. Shielding gas in GMAW welding pr ocess aims to reduce oxidation during the welding process so that the corrosion resistance of welded metals is still good. Corrosion is a destructive process, it would require the selection of appropriate shielding gas composition so that the joined metal in the process of welding has good corrosion resistance. This study aimed to determine the corrosion resistance of SS400 steel GMAW welding was done with a variable shielding gas. Corrosion rate measurement used method for weight loss. The results showed t hat the highest corrosion rate was suffered by SS400 steel with pure argon shielding gas at 3,5832 mpy. While corrosion rate for 82% argon shielding gas and pure CO 2 respectively 2,9545 mpy and 2,2991 mpy. Hardness value for pure argon shielding gas 277,1 HVN; 82% argon at 223,2 HVN; and pure CO 2 200,7 HVN. These results indicate the use of different shielding gases produce different corrosion resistance and hardness value. These results can be explained by the acquisition of images that show the existence of micro-phase ferrite and pearlite, as well as their distribution. Phase that appear at welding with pure argon shielding gas is a lot of perlite compared to 82% argon shielding gas and pure carbon dioxide. Pearlite phase is easily react, higher energy so easily corroded, and harder because of its density. Observation of corroded steel surface morphology has been done by SEM (Scanning Electron Microscopy). Key words: corrosion, GMAW welding, SS400 steel
1.
Pendahuluan Kereta api adalah sarana transportasi darat yang memiliki peran yang sangat strategis karena
menunjang sarana umum dan juga kepentingan orang banyak (massal). Keberadaan PT. INKA
(Persero) yang menjadi satu -satunya penyedia jasa pembuatan kereta api mendapatkan perhatian besar dari pemerintah dalam hal ini adalah Dinas Perhubungan. Kualitas dan kelayakan hasil produksi kereta api menjadi tanggungjawab sepenuhnya PT. INKA. Hasil produksi kereta api ini sangat dipengaruhi oleh proses produksi dan yang paling penting adalah teknik pengelasan. Sebagian besar yang dilakukan di PT. INKA adalah pengelasan GMAW (Gas Metal Arc Welding ) dan standarisasi material maupun alat yang dipakai dari JIS (Japanese Industrial Standard ). Proses pengelasan memang menjadi fokus utama dalam penelitian ini, walaupun ti dak melakukan test welder. Namun, kami ingin melihat kualitas hasil pengelasan dengan variabel gas pelindung. Material yang sering dipakai dalam proses kontruksi di PT. INKA adalah baja karbon. Pada penelitian ini memakai baja karbon rendah jenis SS400. Baja karbon rendah memiliki kekuatan sedang dengan keuletan yang baik dan sangat sesuai untuk tujuan kontruksi, seperti jembatan, gedung bertingkat, kapal laut, dan gerbong kereta api. Biasanya material ini banyak dijumpai dalam bentuk plat karena cenderung mudah dibentuk dan untuk tujuan kontruksi kereta api itu sendiri. Kadar karbon dalam baja karbon rendah tidak lebih dari 0,3%. Jadi, kandungan karbon inilah yang mempengaruhi sifat mekanik, fisik, dan kimia (korosi) suatu baja. Pengerjaan panas seperti pro ses pengelasan, pasti terjadi perubahan struktur mikro pada material (logam induk maupun daerah lasan). Pada penelitian ini akan dibahas mengenai pengaruh proses pengelasan terhadap laju korosi dengan variabel gas pelindung. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sifat korosi hasil pengelasan GMAW baja SS400 dengan gas pelindung argon murni, argon 82%, dan CO 2 murni. 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Pengelasan Pengelasan adalah proses penyambungan beberapa batang logam dalam keadaan cair menggunakan energi panas (Wiryosumarto, 2000). Dalam pengelasan GMAW (Gas Metal Arc Welding), logam pengisi mengalami pencairan akibat pemanasan dari busur listrik yang timbul antara ujung elektroda dan permukaan benda kerja. Busur listrik yang ada dibangkitkan dari suatu mesin las. El ektroda ini selama pengelasan akan mengalami pencairan bersama–sama dengan logam induk yang menjadi HAZ dan weld metal. Sebagai pelindung oksidasi dipakai gas pelindung yang berupa gas mulia yaitu 97% argon untuk pelat tipis dan
100% helium untuk pelat teb al (Wisconsin Wire Work Inc., 2003). Pengelasan dengan menggunakan GMAW memiliki beberapa kelebihan, antara lain (Howard, 1989): 1. Konsentrasi busur yang tinggi, sehingga memudahkan operasi pengelasan. 2. Karena menggunakan arus yang tinggi dan kecepatannya juga tinggi, sehingga efisiensinya baik. 3. Terak yang terbentuk cukup banyak. 4. Sifat mekanik sambungan las yang dihasilkan lebih baik jika dibandingkan dengan cara pengelasan yang lain. Tujuan penggunaan gas pelindung dalam proses GMAW adalah untuk melindungi logam cair (HAZ) dan daerah las ( weld metal) terhadap oksidasi dan kontaminasi lain. Logam yang reaktif seperti titanium memerlukan perlindungan di atasnya yang lebih luas di sekitar lasnya. Semua gas yang dipakai untuk pelindung dulunya adalah gas mulia (argon dan helium), tetapi sekarang CO 2 dapat dipakai secara luas, dan juga campuran antara oksigen dan CO 2 dengan gas mulia. Oleh karenanya, selain sebutan MIG, dipakai juga GMAW. 2.2 Baja dan Paduannya Baja paduan dihasilkan dengan biaya lebih mahal dibandingkan baja karbon , karena bertambahnya biaya untuk pengerjaan khusus yang dilakukan dalam industri. Baja paduan dapat didefinisikan sebagai suatu baja yang dicampur dengan satu atau lebih unsur campuran seperti nikel (Ni), kromium (Cr), molibdenum (Mo), vanadium (V), mangan (Mn), dan wolfram yang berguna untuk memperoleh sifat -sifat baja yang dikehendaki seperti sifat kuat, keras, dan liat (Amanto, 1999). Baja paduan diklasifikasikan menurut kadar karbonnya dibagi menjadi (Amanto, 1999): 1. Baja paduan rendah (low-alloy steel), jika elemen paduannya < 2,5 % wt, misalnya unsur Cr, Mn, S, Si, P. 2. Baja paduan menengah ( medium-alloy steel), jika elemen paduannya 2,5-10 % wt, misalnya unsur Cr, Mn, S, Si, P. 3. Baja paduan tinggi (high-alloy steel), jika elemen paduannya > 10 % wt, misalnya unsur Cr, Mn, S, Si, P. Baja karbon adalah paduan dari Fe, C, dengan unsur tambahan Si, P, S, Cu dan Mn. Sifat dari baja karbon dipengaruhi oleh kadar C. Makin tinggi kadar C dalam suatu paduan maka kekuatan dan kekerasannya akan meningkat, tetapi keuletan dan mampu lasnya akan berkurang. Berdasarkan kadar C yang terkandung dalam paduan maka baja karbon terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
(a) Baja karbon rendah Baja karbon rendah merupakan baja dengan kadar C kurang dari 0,3%. Baja ini memiliki sifat ulet, tangguh dan mampu mesin yang baik. Baja karbon rendah banyak digunakan dalam bidang konstruksi karena mudah dibentuk dan sifat mampu las yang baik. Baja karbon rendah tidak dapat dikeraskan kecuali dengan cold rolling dan case hardening (pengerasan permukaan dengan dilapisi). Pada proses pengelasan, baja jenis ini memiliki kegagalan yang rendah akibat retak. Retak akibat plat yang terlalu tebal dapat dihindari dengan pemilihan filler yang mengandung sedikit hidro gen dan dilakukan pemanasan mula sebelum plat dilas. (b) Baja karbon sedang Baja jenis ini memiliki kandungan karbon antara 0,3%-0,4%. Baja ini memiliki sifat mampu keras dan mampu las yang jelek. Sifatnya yang mudah menjadi keras ditambah dengan adanya hidrogen difusi menyebabkan baja ini sangat peka terhadap retak las. Terjadinya retak dapat dihindari dengan pemanasan mula dengan suhu yang sangat bergantung pada kadar C atau harga ekivalen C. Untuk retak akibat hidrogen difusi dapat diminimalisir dengan penggunaan elektroda hidrogen rendah. (c) Baja karbon tinggi Baja karbon tinggi merupakan baja yang mempunyai kadar C antara 0,45% -1,7%. Pengelasan pada baja dengan kadar C lebih dari 0,65% harus dilakukan dengan teliti. Jika kekuatan lasan diharuskan sam a dengan logam induk maka diperlukan bahan filler yang khusus dan perlu adanya pemanasan awal. Pada pengelasan baja dengan kandungan C lebih dari 0,65% akan terjadi transformasi martensit pada daerah HAZ. Untuk mengurangi struktur mikro yang keras dan getas, maka proses pendinginan harus berlangsung lama jika perlu dapat dilakukan stress relieving untuk mengurangi tegangan yang terjadi. Diagram fase adalah diagram yang menampilkan hubungan antara temperatur dimana terjadi perubahan fase selama proses pendinginan dan pemanasan yang lambat dengan kadar karbon. Diagram ini merupakan dasar pemahaman untuk semua operasi perlakuan panas. Fungsi diagram fase adalah memudahkan memilih temperatur pemanasan yang sesuai untuk setiap proses perlakuan panas, baik proses anil, normalizing maupun proses pengerasan (Surdia, 2000). Macam–macam fase yang ada pada baja adalah (Beumer, 1980): 1. Ferit Ferit adalah larutan padat C dan unsur paduan lainnya pada Fe dengan struktur bcc (body center
cubic). Ferit terbentuk akibat proses pendinginan yang lambat dari austenit. Ferit biasanya ditunjukkan dengan warna terang pada gambar struktur mikro, bersifat sangat lunak, ulet dan memiliki kekerasan, serta konduktifitas yang tinggi. 2. Sementit Sementit adalah senyawa Fe dengan C yang umum dikenal sebagai karbida besi (FeC) dengan persentase C 6,67% yang bersifat keras. Pada gambar struktur mikro biasanya ditunjukkan dengan warna gelap. 3. Perlit Perlit adalah campuran sementit dan ferit. perlit yang terbentuk sedikit di bawah temperatur eutektoid memiliki kekerasan yang lebih rendah dan memerlukan waktu inkubasi yang lebih banyak. Pada gambar struktur mikro ditunjukkan dengan pola warna gelap terang. 4. Bainit Bainit merupakan fasa yang kurang stabil, diperoleh dari austenit pada temperatur lebih rendah dari temperatur transformasi ke perlit dan lebih tinggi dari transformasi ke martensit. 5. Martensit Martensit merupakan larutan padat dari C yang lewat jenuh pada Fe alfa sehingga kisi -kisi sel satuanya terdistorsi.
Gambar 1. Diagram fase Fe-Fe3C
Baja SS400 merupakan baja karbon rendah dengan sedikit kandungan Si. Beberapa hasil penelitian menemukan bahwa kandungan Si antara 0,06 dan 0,037% di dalam baja dapat meningkatkan reaksi antara Fe dan Zn selama proses galvanisasi. Akibatnya, pertumbuh an lapisan intermetalik Fe-Zn pada baja yang mengandung Si relatif cepat. Pertumbuhan lapisan tertinggi terjadi pada kandungan Si sekitar 0,07%. Reaksi tersebut akan menurun dengan menurunnya kandungan Si hingga 0,2% dan akan meningkat kembali pada kandung an Si mendekati 0,37%. Tabel 1. Komposisi kimia baja SS400 (%atom) (Syahbuddin, 2003). C 0,20
Si 0,09
Mn 0,53
P 0,01
S 0,04
Ni 0,03
Cr 0,03
Fe Balance
2.3 Korosi Korosi adalah penurunan mutu dari suatu material sebagai akibat serangan destruktif oleh lingkungan melalui proses kimia atau elektrokimia (Uhlig H, 1985). Proses korosi merupakan reaksi elektrokimia yang terdiri dari reaksi oksidasi dan reduksi. Logam yang terkorosi mengalami oksidasi menjadi kationnya, sedangkan reduksi terjadi pada komponen lingkungan korosif dengan memanfaatkan elektron yang dilepaskan pada reaksi oksidasi. Proses korosi logam dalam lingkungan asam dapat dituliskan dengan persamaan reaksi berikut (Jones, 1992): M
Mn+ + ne-
(c) Korosi sumuran Korosi sumuran adalah korosi yang terpusat pada suatu titik dengan kedalaman tertentu. Biasanya korosi sumuran ini relatif kecil dan biasanya seperti kotoran sehingga seperti permukaan yang kasar saja. Korosi sumuran, karena sulit dideteksi, merupakan korosi yang sangat merugikan (Supomo, 2003). 3. Diagram/Skema Kerja Adapun proses secara menyeluruh pada penelitian ini ditunjukkan dengan Gambar 2: Bahan: Baja SS400
(1)
Korosi logam oleh suatu lingkungan hanya akan terjadi bila potensi al reduksi lingkungan lebih tinggi daripada potensial oksidasi logam. Pada lingkungan korosif yang menghasilkan ion OH-, produk korosi logam dapat berupa senyawa M2On. Jika senyawa ini merupakan film yang rapat dan melekat kuat di permukaan logam, maka pro duk korosi tersebut dapat berfungsi sebagai lapisan pasif yang melindungi logam dari serangan korosi (Jones, 1992). Korosi banyak jenisnya, sehingga suatu material yang terkena korosi tidak berdiri sendiri melainkan meliputi beberapa indikasi bentuk dan penyebab korosi material tersebut. Adapun jenis jenis korosi, antara lain: (a) Korosi logam tak sejenis Korosi logam tak sejenis ( dissimilar metals) adalah korosi akibat dua logam tak sejenis yang tergandeng ( coupled) membentuk sebuah sel korosi basah sederhana. Sebutan lain yang juga sering digunakan adalah korosi dwilogam atau korosi galvanik, karena korosi ini pada dasarnya bersifat galvanik. Efek galvanik juga menyebabkan korosi di lingkungan air . (Trethewey, 1991). Pada proses pengelasan terjadi penyambungan antara logam induk (base metal) dan elektroda (logam pengisi). Komposisi elektroda berbeda dengan komposisi paduan pada logam induk. Hal inilah yang memungkinkan terjadi adanya korosi logam tak sejenis. (b) Korosi batas butir Korosi batas butir adalah korosi yang menyerang daerah batas butir pada suatu material. Batas butir merupakan daerah pengendapan (precipitation). Menurut (Uhlig, 1985), batas butir mempunyai energi yang besar dan lebih reaktif secara kimia. P ada proses pengkorosian, batas butir akan tamp ak gelap. Hal ini disebabkan batas butir terkena serangan lebih para dibandingkan butir.
Preparasi
Sampel
Pengelasan GMAW
Pengujian struktur dan morfologi: MO + SEM
Pengujian korosi dengan weight loss
Struktur mikro dan morfologi
Laju korosi
Analisis Data dan Pembahasan
Kesimpulan
Gambar 2. Blok diagram sistem.
4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Pengaruh Gas Pelindung terhadap Struktur Mikro Baja SS400 pada Proses Pengelasan GMAW Pengelasan GMAW dengan pemakaian gas yang berbeda akan menghasilkan bentuk permukaan las dan penetrasi yang berbeda pula. Hal ini telah dibuktikan dar i hasil uji foto makro (Gambar 3.) yang sudah dilakukan terhadap sampel uji baja SS400 dengan 3 variasi gas pelindung, yaitu gas argon murni, campuran gas argon dan karbondioksida (Ar 82%), s erta gas karbondioksida murni. Berdasarkan Gambar 3. terlihat bahwa penggunaan gas pelindung argon murni menghasilkan bentuk permukaan las yang cekung dan bentuk penetrasinya dalam. Penambahan gas CO 2 ternyata menghasilkan bentuk permukaan yang cekung pula , (namun mendekati datar) dan penetrasinya dangkal. Pelindung gas CO 2 murni menghasilkan bentuk
permukaan yang cukup datar dan penetrasinya lebih dangkal daripada argon 82%. Hal ini dimungkinkan energi panas yang dihasilkan untuk ketiga jenis gas pelindung berbeda, sehingga menghasilkan bentuk permukaan dan penetrasi yang berbeda pula. Pada saat proses pengelasan berlangsung penggunaan gas pelindung argon menimbulkan efek panas yang paling tinggi. Inilah yang menyebabkan hasil las terjadi cacat pada bibir las (undercut). Tinjauan fisis mengenai fenomena bentuk penetrasi dan permukaan las yang berbeda ini bisa dijelaskan dengan kapasitas (absorb) panas dari masingmasing gas pelindung. Gas argon memiliki kapasitas panas yang lebih rendah dibandingkan gas karbondioksida pada suhu pengelasan yang sama. Kemampuan menyerap panas yang rendah oleh gas argon inilah yang menyebabkan lingkungan sekitar pengelasan menjadi sangat panas dan terjadi undercut. Lingkungan yang panas menjadikan kawat las meleleh lebih cepat sehingga penetrasi (daya tembus) kawat las yang meleleh menjadi lebih dalam. Kemampuan alir (fluiditas) gas argon sangat tinggi karena ikatan antar atomnya kecil sehingga memerlukan campuran gas lain (karbondioksida) untuk menstabilkan busur lasnya. undercut
( a )
Gambar 3. Struktur makro baja SS400 setelah pengelasan dengan variasi gas pelindung : (a) argon murni, (b) karbondioksida + argon 82%, dan (c) karbondioksida murni.
4.2 Pengaruh Gas Pelindung terhadap Kekerasan Baja SS400 pada Proses Pengelasan GMAW Nilai kekerasan baja SS400 yang dilas dengan 3 variasi gas pelindung ditunjukkan pada Gambar 4. Gambar 4. menunjukkan bahwa weld metal memiliki nilai kekerasan yang paling tinggi dibandingkan dengan HAZ dan base metal. Hal ini disebabkan karena ada nya tegangan sisa yang banyak terdapat pada weld metal. Tegangan sisa akan menghalangi gerak dislokasi sehingga nilai kekerasannya semakin meningkat. Nilai kekerasan yang meningkat ini juga bisa dijelaskan dari struktur mikro masing -masing
daerah. Jumlah dari fase ferit, perlit, dan distribusinya sangat mempengaruhi nilai kekerasan. Diagram Fe -C menunjukkan transformasi fase baja yang dilas (disambungkan) dan elektroda yang melebur menjadi weld metal adalah ferit dan perlit (ferit dan sementit). Kawat elektroda yang mencair pada suhu las 1250 oC akan membentuk austenit, namun akan bertransformasi lagi menjadi ferit dan perlit pada pendinginan normal menjadi suhu kamar.
Gambar 4. Nilai kekerasan pada tiap-tiap daerah untuk gas pelindung bervariasi.
Berdasar Gambar 5. dan 6., terlihat bahwa jumlah fase perlit weld metal lebih banyak dibandingkan dengan HAZ. Fungsi fase ferit dan perlit adalah sebagai penghalang gerak dislokasi sehingga kekerasannya meningkat. Fase perlit lebih keras dibandingkan deng an ferit karena fase perlit adalah gabungan antara fase ferit dan sementit (Fe3C). Jadi, dalam fase perlit terdapat banyak sisipan (interstisi) atom C, sehingga kekerasannya meningkat (faktor densitas). Berdasar Gambar 4. juga menunjukkan bahwa dengan penggunaan gas pelindung argon murni menyebabkan kekerasan baja SS400 meningkat. Gas argon pada saat terjadi pengelasan menimbulkan efek quenching (pendinginan cepat). Hal ini sesuai dengan Jominy test, bahwa daerah yang mengalami pendinginan lebih awal akan memperoleh nilai kekerasan yang paling tinggi. Gambar 5. menunjukkan struktur mikro yang heterogen dari baja SS400 (daerah HAZ). Berdasar metal handbook atlas microstructur , 2001 warna butir yang berbeda menunjukkan adanya fasa yang berbeda. Warna terang menunjukkan fase ferit yang bersifat lunak dan warna gelap adalah fasa perlit yang sifatnya keras. Gambar 5.(a) menunjukkan struktur mikro HAZ dengan pelindung gas argon murni, memiliki jumlah perlit lebih banyak daripada ferit dan distribusinya cukup merata . Hal inilah yang menjadikan nilai kekerasan dengan pelindung gas argon murni paling tinggi. Gambar 5.(b) menunjukkan struktur mikro HAZ dengan pelindung gas argon 82%, terlihat jumlah fasa
ferit dan perlit yang seimbang serta distribu si yang tidak merata. Gambar 5.(c) memperlihatkan stuktur mikro HAZ dengan pelindung gas CO2 murni, terlihat fasa ferit lebih banyak dibandingkan dengan perlit serta distribusi fasanya tidak merata. ferit
ferit
perlit
perlit
(a)
(b)
ferit perlit
(c) Gambar 5. Hasil uji struktur mikro baja SS400 daerah HAZ dengan perbesaran 500x: (a) argon murni, (b) argon 82%, dan (c) karbondioksida murni.
ferit
ferit perlit
perlit
(a)
(b) ferit
perlit
(c) Gambar 6. Hasil uji struktur mikro baja SS400 daerah weld metal dengan pembesaran 500x: (a) argon murni, (b) argon 82%, (c) karbondioksida murni.
4.3 Pengaruh Pengelasan GMAW terhadap Laju Korosi Baja SS400 Pengelasan merupakan proses perlakuan panas yang diikuti dengan proses normalizing dan quenching untuk mendapatkan material yang tersambungkan dalam sebuah kontruksi. Proses pengelasan ini dilakukan pada suhu 1,250-1,350 o C yang menyebabkan elektroda dan sebagian base metal dalam keadaan cair saat penyambungan. Menurut penelitian (Schijve, 2001), dalam proses pengelasan, bagian yang dilas menerima panas setempat dan selama proses berjalan suhunya berubah terus sehingga distribusi suhu tidak merata. Panas tersebut menyebabkan bagian yang dilas terjadi pengembangan termal. Pada bagian yang dingin tidak berubah sehingga terbentuk penghalangan pengembangan dan
dapat mengakibatkan terjadinya per egangan. Peregangan ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk tetap. Perubahan bentuk yang terjadi regangan secara spontan, terjadi juga tegangan yang sifatnya tetap disebut sebagai tegangan sisa. Secara terminologi tegangan sisa adalah distribusi sisa tegangan pada material yang ditinggalkan sebagai akibat dari ketidakhomogenan deformasi plastis. Munculnya tegangan sisa tarik dalam pengelasan sangat penting untuk diperhatikan karena adanya tegangan sisa tarik ini akan mempengaruhi munculnya korosi retak tegang (stress corrosion cracking) dan ketahanan fatik. Menurut penelitian (Gadang, 2005), jenis korosi yang banyak terjadi pada baja karbon rendah adalah korosi sumuran dan korosi merata. Produk hasil korosi mengandung ion klorida. Kerusakan lokal akibat pengerjaan mekanis pada lapisan proteksi dan tidak adanya unsur krom dapat mempercepat terjadinya korosi di lingkungan industri. Awal kegagalan suatu material baja lunak berupa korosi sumuran merupakan jenis korosi menyerang logam secara selektif yang menghasilkan penampakan lubang lubang di permukaan logam. Korosi ini menyerang pada permukaan logam yang selaput pasif oksida rusak akibat perlakuan mekanik. Setelah beberapa waktu daerah korosi semakin meluas di atas permukaan sehingga menimbulkan jenis korosi seragam yang merupakan jenis korosi yang menyerang material logam yang dikarakterisasi oleh reaksi kimia atau elektrokimia dengan luas daerah yang besar atau menyeluruh sehingga logam akan menipis dan berbentuk tidak beraturan karena produk korosi yang banyak. Pengujian korosi menggunakan NaCl dikarenakan larutan ini mempunyai ion Cl termasuk dalam kategori ion -ion agresif yang dapat menyebabkan logam terkorosi. Setelah dilas sampel didinginkan pada udara bebas, karena udara bebas mempunyai daya serap panas yang buruk sehingga atom-atom terlarut dan atom-atom pelarut mempunyai kesempatan untuk menata diri kembali. Pada keadaan ini struktur mikro bahan uji tidak sama dengan keadaan panasnya. Tabel 2. menunjukkan data laju korosi baja SS400 yang dilas GMAW dengan variasi gas pelindung yaitu argon murni, argon 82% ditambah 18% karbondioksida, dan karbondioksida murni. Sampel ini dikorosikan dalam larutan NaCl 3,5% selama 42,5 jam. Selanjutnya, sampel secara bergantian dihentikan proses korosinya dengan menggunakan larutan HCl 8%. Setelah itu, produk korosi dari sampel dirontokkan dengan menggunakan larutan HCl 10% sehingga didapatkan berat yang berkurang
sesuai dengan metode yang dipakai adalah laju korosi dengan kehilangan berat ( weight loss). Tabel 2. Data laju korosi baja SS400 yang dilas GMAW dengan variasi gas pelindung. Sampel
m1 (mg)
m2 (mg)
Ar 100%
37465,9
Ar 82% CO 2 100%
T (jam)
A (in2)
37459,1
Wloss m1-m2 (mg) 6,8
42,5
3,7492
Laju korosi (mpy) 2,8956
40231
40223,8
7,2
42,5
4,0355
2,8484
52514,9
52509
5,9
42,5
4,567
2,0625
Berdasarkan Tabel 2., sampel yang dilas GMAW menggunakan gas pelindung argon murni memiliki laju korosi paling tinggi dibandingkan dengan sampel menggunakan gas pelindung argon 82% dan karbondioksida murni, yaitu 2,8956 mpy. Laju korosi untuk sampel dengan gas pelindung argon 82% dan karbondioksida murni masing-masing adalah 2,8484 mpy dan 2,0625 mpy. Pemakaian gas pelindung karbondioksida murni ketahanan korosinya paling tinggi karena terdapat banyak ferit pada hasil foto mikro. Berdasar penelitian sebelumnya (Mangonon, 1993), fase ferit berfungsi untuk memaksimalkan ketahanan korosi pada lingkungan spesifik. Nilai laju korosi juga bisa didapatkan untuk sampel dengan daerah yang lebih spesifik lagi yaitu daerah base metal, HAZ, dan weld metal. Ketiga daerah ini memiliki ketahanan korosi yang berbeda pula. Hal ini sesuai dengan Gambar 7. yang menunjukkan grafik hubungan laju korosi dengan daerah pengerjaan pengelasan.
(a)
(b)
(c) Gambar 7. Grafik hubungan daerah kerja las dan media pengkorosi terhadap laju korosi baja SS400 : (a) base metal, (b) HAZ, dan (c) weld metal.
Berdasar Gambar 7. terlihat bahwa sampel yang dimasukkan pada media korosi dalam hal ini larutan NaCl dengan kadar paling besar menyebabkan laju korosi paling besar pula. Hal ini disebabkan karena larutan ini mempunyai ion Cl - yang termasuk dalam
kategori ion-ion agresif yang dapat menyeba bkan logam terkorosi. Gambar 7. (a) menunjukkan kenaikan laju korosi seiring dengan penambahan kadar NaCl pada base metal. HAZ memiliki ketahanan korosi sedang, terlihat pada Gambar 7. (b). Pada daerah ini laju korosi tertinggi oleh gas pelindung argon murni. Hal ini disebabkan karena secara mikro, kandungan perlit lebih banyak dibandingkan dengan feritnya. Perlit adalah fasa metastabil yang mudah terkorosi. Weld metal memiliki ketahanan korosi yang paling rendah. Gambar 7. (c) menunjukkan bahwa laju korosi terendah dialami oleh gas pelindung karbondiksida. Hal ini sesuai dengan hasil uji mikroskop optik, fasa ferit pada sampel ini lebih banyak dibandingkan dengan fasa perlitnya. Menurut (Mangonon, 1993), ferit ini akan memaksimalkan ketahanan korosi pada lingkungan spesifik. Hal lain yang menyebabkan laju korosi pada weld metal lebih besar dibandingkan base metal yaitu karena weld metal merupakan material bentukan dari kawat elektroda memiliki kandungan Cr yang lebih tinggi dibandingkan pada base metal. Menurut penelitian (Davis, 1995), kromium (Cr) dalam baja mempunyai afinitas (daya tarik-menarik) yang lebih besar terhadap karbon dibandingkan besi. Ketika baja karbon atau baja paduan rendah dilas dengan logam pengisi yang memiliki kandungan kromium tinggi, karbon akan berdifusi dari logam dasar ke logam las pada temperatur di atas 450 oC dan akan meningkat lebih cepat pa da temperatur 595 oC atau lebih. Atom C dan Cr akan banyak mengendap pada weld metal sehingga energinya semakin tinggi dan mudah bereaksi, serta mudah terserang korosi. Base metal merupakan material asli dari baja SS400. Kandungan dan distribusi Cr inilah yang mempengaruhi ketahanan korosi suatu baja. Kandungan Cr yang semakin banyak pada baja, semakin tinggi ketahanan korosinya. Untuk daerah HAZ sendiri adalah daerah pengaruh panas dari peleburan kawat las (elektroda) yang memiliki ketahanan korosi lebih r endah dibandingkan base metal. Hal ini disebabkan karena lapisan pasif oksida baja SS400 mengalami kerusakan pada saat proses pengelasan. Rusaknya lapisan oksida ini yang menyebabkan ketahanan korosi suatu baja semakin menurun. Di dalam buku korosi (Trethewey, 1991), bahan yang banyak mengandung tegangan sisa akan mengakibatkan garis -garis dislokasi mengalami peningkatan yang berakibat pada peningkatan nilai kekerasan bahan. Pada weld metal dan HAZ sangat dimungkinkan banyak terdapat tegangan sisa. Berdasa rkan kajian teori tentang korosi bahwa adanya garis -garis dislokasi pada bahan menjadikan faktor pemicu
terbentuknya daerah anodik dan katodik. Semakin banyak garis-garis dislokasi yang terbentuk, maka akan semakin rentan bahan tersebut terserang korosi. O leh karena itu nilai laju korosi bahan awal lebih tinggi dibandingkan bahan yang telah mengalami perlakuan panas. Secara termodinamika daerah batas butir mempunyai energi bebas aktivasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah butir artinya daerah batas butir bersifat lebih anodik dibandingkan daerah butir. Oleh karena itu, paduan dengan ukuran butir yang lebih kecil mempunyai daerah batas butir yang lebih banyak, sehingga baja karbon SS400 pada keadaan awal (sebelum proses pengelasan) ketika berada dalam lingkungan yang korosif (NaCl) akan lebih mudah melepas energi bebasnya dengan kata lain lebih mudah terkorosi. Gambar 8. menunjukkan bahwa butir dan batas butir hanya terlihat pada base metal. Menurut buku korosi dan kontrol korosi (Uhlig, 1985), batas butir mempunyai energi yang besar dan lebih reaktif secara kimia. Pada proses pengkorosian, batas butir akan tampak gelap. Hal ini disebabkan batas butir terkena serangan lebih parah dibandingkan butir. Pada HAZ dan weld metal tidak terlihat butir ataupun batas butir. Hal ini dimungkinkan pada saat pengelasan menyebabkan struktur baja SS400 (HAZ) terbentuk banyak endapan. B a t a s b u t i r
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lukman (2009), proses korosi sumuran terjadi ketika baja SS400 berada dalam larutan yang mengandung ion klorida (contoh: NaCl), maka baja ini akan bereaksi menghasilkan besi (II) klorida (FeCl 2) atau besi (III) klorida (FeCl 3). Dalam kondisi asam, akan diha silkan Fe 2O3. Semakin banyak endapan Fe 2O3 pada permukaan baja menunjukkan bahwa unsur Fe dalam baja tersebut terlarut menjadi ion Fe sehingga pembentukan senyawa Fe 2O3 menjadi bertambah. Kondisi seperti ini dapat dikatakan bahwa baja sedang terserang korosi jenis pitting corrosion.
Gambar 9. Analisis SEM daerah yang terkorosi pada base metal permukaan baja SS400.
ferit ferit
perlit perlit
(b)
(a)
ferit
perlit
(c) Gambar 8. Foto mikro yang menunjukkan butir dan batas butir baja SS400 : (a) base metal, (b) HAZ, dan (c) weld metal.
4.4 Analisa Mikrostruktur SS400 yang telah Dikorosikan dengan SEM Gambar 9. menunjukkan morfologi dari permukaan baja SS400 di daerah base metal. Berdasar Gambar 9. tersebut terlihat permukaan base metal yang tidak rata. Ketidakmerataan permukaan disebabkan oleh produk-produk korosi yang masih menempel. Selain itu, terlihat beberapa lubang yang menonjol pada permukaan base metal. Lubang-lubang ini adalah produksi dari pitting corrosion (korosi sumuran).
Gambar 10. Morfologi serangan korosi pada baja karbon rendah: (a) Distribusi korosi, (b) Insert produk korosi pengaruh unsur korosif air hujan, (c) Puncak spektrum EDX, (d) Analisis globular daerah terkorosi dengan EDX.
Analisis permukaan dan komposisi baja karbon rendah yang terkorosi juga diperoleh dari penelitian Lukman (2009) yang ditunjukkan pada Gambar 10. Berdasar Gambar 10. digunakan untuk membandingkan dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini mengenai analisis permukaan baja SS400 yang terkorosi. Berdasarkan Gambar 10. tampak terjadi serangan korosi lokal yang ditunjukkan dengan permukaan sampel yang tidak rata dan terserang ion Cl-. Morfologi serangan korosi pada HAZ dan weld metal permukaan baja SS400 menggunakan SEM ditunjukkan pada Gambar 11. Berdasar Gambar 11. terlihat bahwa baja SS400 mengalami serangan korosi pada HAZ dan weld
6.
(a)
(b)
Gambar 11. Morfologi serangan korosi baja SS400 dalam larutan 3,5 NaCl: (a) HAZ dan (b) weld metal.
metal. Korosi paling parah dengan laju korosi 4,4248 mpy untuk daerah weld metal dimana serangan korosi (gumpalan putih berupa senyawa) hampir terjadi pada seluruh permu kaan sampel. Jadi, semakin banyak gumpalan putih menyebabkan ketahanan korosi baja SS400 semakin rendah. Selain itu, serangan korosi bisa dilihat dari adanya bentuk semacam retakan yang tampak pada permukaan sampel yang di SEM. Retakan ini mengindikasikan adanya tegangan sisa pada daerah tersebut. Semakin banyak bentuk retakan maka ketahanan koro sinya semakin rendah. Gambar 11. menunjukkan bahwa weld metal memiliki gumpalan putih dan bentuk retak yang paling banyak dibandingkan dengan HAZ dan base metal. 5.
Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan secara mendetail, baik sifat mekanik (nilai kekerasan HVN) maupun perilaku korosinya serta morfologi permukaan baja SS400, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Proses pengelasan GMAW dengan menggunakan gas pelindung yang berbeda menghasilkan nilai kekerasan HVN (Hardness Vickers Number) yang berbeda. Penggunaan gas pelindung argon murni menghasilkan nilai kekerasan paling tinggi yaitu 277,1 HVN pada weld metal. Nilai kekerasan penggunaan gas pelindun g argon 82% dan CO 2 murni masing-masing 223,2 HVN dan 200,7 HVN. 2. Laju korosi paling tinggi dialami oleh baja SS400 dengan gas pelindung argon murni sebesar 3,5832 mpy. Sedangkan penggunaan gas pelindung argon 82% dan CO 2 masing-masing 2,9545 mpy dan 2,2991 mpy.
Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan perlu sekali penulis memberikan saran : 1. Penggunaan gas pelindung argon murni pada pengelasan GMAW dengan material baja SS400 sebaiknya dihindari karena laju korosinya terlalu tinggi . 2. Perlu dilakukan uji XRD (X-Ray Diffraction) untuk mengetahui komposisi produk-produk korosi dan fase yang terbentuk setelah proses pengelasan. DAFTAR PUSTAKA Akbar, M.C.N., 2003, Pengaruh Arus Pengelasan Pada Baja SS400 dengan Uji Tak Merusak melalui Metode Ultrasonik dan Radiografi, Tugas Akhir Jurusan Fisika FMIPA ITS Surabaya. Amanto, Hari, dan Daryanto. 1999. Ilmu Bahan, Jakarta : PT. Bumi Aksara. Amstead, B.H, 1993. Teknologi Mekanik. Terjemahan Ir. Sriati Djaprie. Edisi k -7. Jilid I. Jakarta : Erlangga. Cary, B. Howard (1989). Modern Welding Technology, second edition, Prentice Hall International Inc. Engewood. New Jersy. Donald, R. Askeland. 1984. The Science And Engineering Of Material. Hollingsworth, E.H., dan Hunsicker, H.Y., 2001, Corrosion, volume 13, ASM Meta ls Handbook, Ohio: ASM Internasional. Jones, D.A. 1992. Principles and Prevention of Corrosion. United State of America:Macmillan Publishing Company. Lukman. 2009. Pengaruh Unsur Korosif pada Air Hujan terhadap Perilaku Korosi Baja Karbon Rendah. Tesis Jurusan Fisika FMIPA ITS Surabaya. Mangonon Pat L, 1993, The Principels of Material Selection for Engineering Design, Prentice Hall USA. Metalography and Microstructures, American Society for Metal. Volume 7. Schijve J., 2001, Fatigue of Structures and Mateials, Faculty of Aerospace Engineering University of Technology, Netherlands. Smallman, R.E. dan Bishop, R.J., 2000, Metalurgi Fisik Modern dan Rekayasa Material, Edisi Keenam, Erlangga, Jakarta. Sonawan dan Suratman, 2004, Pengantar untuk Memahami Proses Pengelasan Logam, Alfabeta, Bandung. Suhardi, AC., Teknologi Proses Pengelasan dan Peralatannya, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Bahan dan Barang Teknik, Jakarta.
Syahbuddin dan Abdul Rahmam, 2003. Pertumbuhan Lapisan Intermetalik Fe Zn pada Permukaan Sambungan Las Baja Struktur SS400 selama Galvanis pada 460 oC, jurnal desain dan kontruksi volume 2 no. 1. Trethewey, KR. dan Chamberlain, J., 1991, KOROSI untuk Mahasiswa dan Rekayasawan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Uhlig, H.H, Revie, R.W, 1985, Corrosion And Corrosion Control, Third Edition, John Wiley And Sons, New York. Vernon, John. 1984. Testing of Materials, Mc. Milan, New York. Wiryosumarto, Harsono, 2000, Teknologi Pengelasan Logam, Pradnya Paramita, Jakarta. Wisconsin Wire Work Inc., 2003, Welding Dissimilar Metals with Wisconsin Wire Works Copper-Base filler Metals, USA.