Jurnal Teknik Material dan Metalurgi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 2010
PENGARUH VARIASI INPUT PANAS PADA PENGELASAN SMAW DAN GTAW TERHADAP STRUKTUR MIKRO, KEKERASAN DAN KETAHANAN KOROSI SUMURAN DUPLEX SA240 S31803 Roofi Syamsi Arief (2705100026) Herman Arif Prakosa (2705100028) Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Abstrak : Baja tahan karat jenis duplex tipe SA240 S31803 banyak digunakan di industri. Salah satu aplikasinya adalah sebagai material untuk pressure vessel. Baja tahan karat ini memiliki kombinasi sifat mekanik dan ketahanan korosi yang baik dikarenakan komposisi kimia dan kesetimbangan struktur mikronya. Dalam prakteknya rasio kesetimbangan ferit-austenit berubah karena adanya pengaruh panas pada proses pengelasan. Pada penelitian ini dilakukan pengelasan SM AW pada logam SA240 S31803 dengan input panas 1,25 kJ/mm dan 1,7 kJ/mm dan pengelasan GTAW dengan input panas 1,1 kJ/mm dan 1,6 kJ/mm Setelah proses pengelasan dilakukan uji metallography untuk melihat struktur mikro yang terbentuk, uji korosi sumuran dan uji kekerasan. Hasil yang didiapatkan menunjukkan bahwa semakin tinggi input panas yang diberikan maka kekerasan akan semakin tinggi dan kandungan ferit yang terbentuk akan semakin rendah. Kekerasan tertinggi dimiliki oleh spesimen dengan pengelasan GTAW dengan input panas sebesar 1,6 kJ/mm pada HAZ yaitu sebesar 298,1HV dengan kandungan ferit paling rendah yaitu 30,23 % Kata Kunci : SA240 S31803, GTAW, SMAW, input panas, korosi sumuran, kekerasan, struktur mikro.
LATAR BELAKANG Baja tahan karat jenis duplex SA240 S31803 banyak digunakan diberbagai macam Industri. Baja tahan karat duplex SA240 S31803 merupakan paduan Chrom-Nickel dengan struktur austenitik – feritik dengan struktur yang stabil dan secara umum merata. Paduan ini memiliki ketahanan terhadap tegangan lokal dan tegangan akibat korosi yang baik. Baja tahan karat ini memiliki kekuatan yield hampir dua kali lebih besar daripada baja tahan karat austenitik. Temperatur Operasional yang umum adalah sekitar -50oC sampai 280oC. Salah satu aplikasi baja tahan karat jenis ini adalah untuk pressure vessel. Untuk proses produksinya dilakukan pengelasan akan tetapi sering dijumpai permasalahan berupa kandungan ferit yang terlampau banyak pada daerah weld metal maupun HAZ. Hal ini
terjadi karena terjadinya perubahan fasa pada daerah HAZ sehingga berpengaruh pula pada kekerasan dan ketahanan korosinya. Penggunaan variasi input panas yang berbeda pada proses pengelasan baja tahan karat jenis duplex SA240 S31803 menghasilkan sifat mekanik yang berbeda-beda. Pada baja tahan karat duplex telah ditemukan bahwa kandungan ferit merupakan fungsi dari input panas/kecepatan pendinginan. Semakin rendah input panas maka semakin banyak kandungan feritnya dan semakin rendah ketangguhan impaknya. Penjelasan singkat tentang fenomena ini adalah semakin tinggi laju kecepatan pendinginan akan menekan proses difusi pada pembentukan ulang austenit, yang nantinya akan menyebabkan berubahnya rasio komposisi fasa ferit-austenit yang berimbang menjadi lebih banyak kandungan ferit.
Input panas yang berlebih dapat mengurangi kandungan ferit tetapi meningkatkan kecenderungan terbentuknya fasa presipitat intermetalik. Sebagai tambahan input panas yang tinggi akan menyebabkan material berada pada temperatur puncak untuk waktu yang lama akan menyebabkan pertumbuhan butir yang nantinya akan mempengaruhi sifat mekaniknya. Pada pengelasan multipass, HAZ dari siklus pertama dapat dipanasi oleh pass selanjutnya ke derajat yang besarnya tergantung dari posisi HAZ terhadap sumber panas. Hal ini berarti tidak semua daerah HAZ terpengaruh oleh siklus kedua. Daerah HAZ yang terpengaruh siklus kedua akan mengalami perubahan strukturmikro yang signifikan. Dalam pengelasan multipass logam lasan yang dibawah akan dipanasi kembali oleh tiap pass selanjutnya yang juga akan mendorong perubahan strukturmikro. Baja tahan karat duplex sebaiknya dilas dengan temperatur maksimum tiap interpass sebesar 150o C (302oF) untuk pengelasan multipass. Semakin tinggi temperatur interpass maka laju pendinginan akan semakin lambat, dimana pada baja tahan austenitik akan menyebabkan sensitisasi dan pada baja tahan karat duplex akan menyebabkan presipitasi dari beragam fasa sekunder yang tidak dihendaki. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh input panas pengelasan pada proses pengelasan terhadap struktur mikro,kekerasan dan ketahanan korosi sumuran baja tahan karat jenis duplex SA240 S31803. PERSIAPAN SPESIMEN Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah plat duplex stainless steel SA240 S31803 dengan dimensi 600x50x12mm unutk pengelasan GTAW dan dimensi 600x50x20mm. Pengelasan dilakukan dengan penyambungan butt joint. Komposisi kimia duplex stainless steel SA240 S31803 adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Komposisi kimia stainless steel duplex SA240 S31803
Paduan ini memiliki ketahanan terhadap tegangan lokal dan tegangan akibat korosi yang baik. Baja ini memiliki kandungan 22% Cr dan 3% Mo yang membuat ketahanan korosifnya lebih baik daripada baja tahan karat 316L pada hampir semua media yang korosif. Paduan ini juga memiliki ketahanan korosi sumuran yang baik dengan PREN 38. Pengelasan dilakukan dengan filler metal E2209-17 untuk pengelasan SMAW dan E2209 untuk pengelasan GTAW dengan diameter 3.2mm. komposisi kimia dari kedua filler metal dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Komposisi Kimia Elektroda E2209 dan E2209-17
Pengelasan dilakukan dengan input panas sebesar 1,25 kJ/mm dan 1,7 kJ/mm dengan menggunakan mesin las SMAW dan input panas sebesar 1,1 kJ/mm dan 1,7 kJ/mm untuk pengelasan SMAW. Masing-masing plat yang telah di las dipotong dengan ukuran panjang 10 cm, lebar 2 cm memotong daerah las.
PENELITIAN PENGUJIAN METALOGRAFI Pengujian metalography dilakukan untuk mengetahui struktur mikro yang terdapat pada spesimen, dimana hasil dari pengujian metalografi ini digunakan untuk mendukung hasil pengujian kekerasan. Langkah-langkah dalam pengujian ini adalah preparasi spesimen yaitu grinding, polishing dan etching. Grinding dilakukan mulai dari grid 120, 400, 600, 800, 1000 sampai dengan grid 1500 atau grid 2000 sambil dialiri air dan untuk proses polishing digunakan bubuk alumina 0.05 mikron dengan menggunakan kain bludru. Setelah mengkilap seperti kaca dan tidak ada goresan maka dilakukan proses selanjutnya yaitu etching. Etching Reagent larutan NaOH yang dibuat dengan mencampurkan 100 ml air dan 20 gram NaOH. Sedangkan untuk pengujian mikro diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran dari 200x dan 500x. Daerah yang diamati adalah bagian permukaan masingmasing spesimen. Kemudian dilakukan pengambilan foto metalografi. PENGUJIAN KEKERASAN Pada pengujian ini, spesimen yang digunakan adalah spesimen yang berstandard ASTM Section 3 vol. 03-01 E92-82. Uji kekerasan dilakukan dengan metode Vikers. Dilakukan indentasi sebanyak 27 titik pada masing-masing spesimen dan pada tiap daerah las (weld metal,HAZ dan base metal)
PENGUJIAN KETAHANAN KOROSI SUMURAN Pengujian korosi sumuran (corrosion pitting test) dilakukan untuk mengetahui ketahanan material terhadap korosi terutama korosi sumuran, dimana hasil dari pengujian ini dapat digunakan untuk menentukan efek dari variasi input panas terhadap ketahanan korosi. Pengujian ini dilakukan berdasarkan standart ASTM Section 3 vol. 03-01 G48,
dengan langkah-langkah pengujian sebagai berikut : 1. Disiapkan masing-masing satu buah spesimen las dengan input panas 1,1 kj/mm dan input panas 1,6 kj/mm dengan panjang 50 mm, lebar 25 mm dan tebal 12 mm. 2. Spesimen ditimbang untuk menentukan berat awal. 3. Spesimen dicelupkan kedalam larutan dengan 20% HNO3 + 5% HF dengan temperatur 60o C selama 10 menit. 4. Spesimen dicuci dengan aquades. 5. Spesimen dicelupkan kedalam larutan ferric-chloride (FeCl3.H2 O) dan dieskpose selama 72 jam. 6. Spesimen dicuci menggunakan aquades dan dibersihkan dengan acetone kemudian ditimbang. Material dianggap tahan korosi sumuran apabila corrossion rate tidak lebih dari 10 mdd (miligram per day per dm2). HASIL PENELITIAN UJI METALOGRAFI Pengujian metalografi dilakukan untuk mengetahui lebar daerah HAZ dan komposisi fasa yang terbentuk pada tiap daerah las. Pada pengelasan SMAW dan GTAW pada tiap input panas didapatkan bahwa lebar HAZ sangat kecil. Hal ini dapat dilihat pada foto struktur makro yang terbentuk (gambar 1 dan 2). Lebar HAZ yang kecil disebabkan karena perubahan fasa yang terjadi tidak terlalu signifikan dan mikrostruktur yang terbentuk tetap (feritaustenit) sehingga tidak menimbulkan perbedaan warna yang mencolok pada struktur makronya.
(a)
(b)
Gambar 1. Struktur makro spesimen dengan pengelasan SMAW dengan input panas sebesar 1,25 kJ/mm (a) dan 1,7 kJ/mm (b). etsa NaOH 5 volt selama 15 detik .
ferit austenit (a) (b) Gambar 2. Struktur makro spesimen dengan pengelasan GTAW dengan input panas sebesar 1,1 kJ/mm (a) dan 1,6 kJ/mm (b). etsa NaOH 5 volt selama 15 detik.
(e)
(b)
ferit
Pada struktur mikro terlihat pengaruh input panas dapat terlihat dengan jelas baik dengan pengelasan SMAW ataupun pengelasan GTAW. Pada weld metal, Strukturmikro pada setiap spesimen mempunyai bentuk yang sama. Austenit berbentuk serabut (dendritik) yang tersebar merata. Pada pengelasan SMAW, austenit weld metal dengan input panas 1,25 kJ/mm memiliki bentuk yang lebih besar dibandingkan dengan input panas 1,7 kJ/mm. Hal ini akan mengakibatkan nilai kekerasan pada weld metal input panas 1,7 kJ/mm tinggi. Pada HAZ besar butiran dan distribusi fasa berbeda dari baja induknya. Pada HAZ butiran lebih halus dan rapat. Perbandingan struktur mikro dengan pengelasan SMAW ini dapat dilihat pada gambar 3. Pemanasan yang diberikan juga merubah komposisi fasa menjadi lebih banyak austenit yang terbentuk. Pemanasan pada proses pengelasan memberikan waktu austenit untuk bertumbuh sehingga komposisi fasa menjadi lebih banyak austenit daripada ferit. Semakin tinggi input panas yang diberikan maka semakin lambat laju pendinginan yang menyebabkan lebih banyak austenit yang terbentuk sehingga menurunkan kandungan ferit. Pada weld metal dengan input panas 1,25 kJ/mm kandungan ferit sebesar 43% dan pada pengelasan dengan input panas 1,7 kJ/mm turun menjadi 39%. Hal ini juga terjadi pada HAZ seperti yang ditunjukkan tabel 3.
austenit
(f)
(c)
Gambar 3. Struktur mikro spesimen dengan pengelasan SMAW dengan input panas 1,25 kJ/mm (kanan) dan 1,7 kJ/mm (kiri) pada weld metal (a,d), HAZ (b,e) dan base metal (c,f)
Pada pengelasan GTAW struktur mikro yang terbentuk memiliki tren yang sama seperti pada pengelasan SMAW. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada weld metal austenit berbentuk serabut. Austenit pada weld metal dengan input panas 1,1 kJ/mm memiliki bentuk yang lebih besar dibandingkan dengan pengelasan 1,6 kJ/mm. Dapat dilihat pada gambar 4 (a) dan (c) bahwa semakin tinggi input panas maka semakin besar besar butir austenit dan semakin sedikit kandungan ferit yang terbentuk. Pada HAZ tren yang terjadi juga sama dengan HAZ pada pengelasan SMAW. Semakin tinggi input panas yang diberikan maka semakin sedikit kandungan ferit yang terbentuk hal ini dibuktikan pada gambar 4 dan tabel 3. ferit
austenit (a)
(c)
ferit
austenit (d)
(b)
ferit austenit (d)
(a)
Gambar 4. Struktur mikro spesimen dengan pengelasan GTAW dengan input panas 1,1 kJ/mm (kanan) dan 1,6 kJ/mm (kiri) pada weld metal (a,c) dan HAZ (b,d). Tabel 3. Perbandingan persentase ferrit
Pengelasan
SMAW GTAW
Input Panas (kJ/mm) 1,25 1,7 1,1 1,6
Kandungan Ferit (%) Weld
HAZ
43,05 39,29
44 42,11
36,42 36,37
33,35 30,23
UJI KEKERASAN Pengujian kekerasan dilakukan untuk mengetahui distribusi kekerasan pada daerah base metal, HAZ dan weld metal. Pada gambar 5 (a) dan (b) dapat dilihat bahwa pengujian kekerasan pada spesimen dengan pengelasan SMAW memiliki tren distribusi kekerasan yang berbeda. Pada pengelasan SMAW dengan input panas 1,25 kJ/mm kekerasan paling tinggi dimiliki oleh weld metal dengan angka kekerasan rata-rata 276,44 Hv diikuti oleh HAZ dengan angka kekerasan 272,89 Hv dan base metal dengan angka kekerasan 265,11 Hv. Pada spesimen dengan input panas 1,7 kJ/mm nilai kekerasan tertinggi dimiliki oleh HAZ dengan angka kekerasan rata-rata 281,89 Hv diikuti oleh weld metal dengan angka
kekerasan 278,44 Hv dan base metal dengan angka kekerasan 265,78 Hv. Pada pengelasan GTAW dapat dilihat bahwa semua spesimen memiliki tren distribusi kekerasan yang sama yaitu pada daerah HAZ dan weld metal memiliki kekerasan yang lebih tinggi dari pada base metal. Dari gambar 5 terlihat bahwa rata-rata nilai kekerasan paling tinggi pada daerah weld metal dan HAZ didominasi oleh spesimen dengan input panas sebesar 1,6 kJ/mm. Angka kekerasan tertinggi terdapat pada daerah HAZ yaitu 322 hV. Angka kekerasan yang berbeda ini merupakan akibat dari besar butir austenit dan kandungan ferit yang terbentuk. Seperti yang ditunjukkan gambar 3, gambar 4 dan tabel 3, besar butiran austenit dan kandungan ferit yang terbentuk berbeda pada daerah weld metal, HAZ dan base metal sehingga kekerasan akan lebih tinggi pada daerah ini. Daerah las yang memiliki kandungan ferit yang lebih rendah memiliki angka kekerasan lebih tinggi.
(a)
(b)
weld
(c) (a)
base
weld
(d) Gambar 5.Distribusi Kekerasan pada pengelasan SMAW dengan input panas 1,25 kJ/mm (a) dan 1,7 kJ/mm (b). Pengelasan GTAW dengan input panas 1,1 kJ/mm (c) dan 1,6 kJ/mm (d)
UJI KOROSI SUMURAN Pada pengujian ketahanan korosi sumuran laju korosi yang didapatkan pada setiap spesimen relatif kecil seperti yang ditunjukkan pada tabel 4. Menurut standart pengujian ketahanan korosi sumuran, nilai laju korosi ini merupakan nilai yang diperbolehkan karena tidak melebihi 10ddm. Laju korosi yang terjadi sebanding dengan luasan spesimen yang berarti tidak terdapat korosi lokal pada spesimen yang menyebabkan penurunan berat yang berlebih. Pada gambar 6 yang merupakan foto makro dengan perbesaran 20 kali dari spesimen uji juga tidak menunjukkan adanya indikasi korosi pitting. Tidak adanya indikasi korosi pitting disebabkan karena pengujian dilakukan pada temperatur dibawah nilai PREN dari duplex SA240 S31803 yaitu sebesar 38. Hal ini menunjukkan bahwa pengelasan dengan input panas sebesar 1,25 kJ dan 1,7 kJ tidak merubah ketahanan weld metal dan HAZ duplex terhadap korosi sumuran pada temperatur kamar.
(b)
base
base
(c)
weld
base
(d)
weld
Gambar 6. Foto makro spesimen yang telah diekspose selama 72 jam dalam larutan ferric chloride. Spesimen dengan pengelasan SMAW dengan input panas 1,25 kJ/mm (a) dan 1,7 kJ/mm (b). Spesimen dengan pengelasan GTAW dengan input panas 1,1 kJ/mm dan 1,6 kJ/mm.
Tabel 4 Data perhitungan laju korosi merata
SMAW 1,25 kJ/mm SMAW 1,70 kJ/mm GTAW 1,10 kJ/mm GTAW 1,60 kJ/mm
Weight loss (gram)
Corrosion Rate (mdd)
0,0133
7,92
0,0134
7,92
0,0091
6,81
0,0084
6,42
KESIMPULAN Dari penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Semakin tinggi Input panas yang diberikan maka nilai kekerasan pada weld metal dan HAZ akan meningkat baik pada pengelasan SMAW ataupun GTAW. 2. Semakin tinggi Input panas yang diberikan menurunkan jumlah kandungan ferit pada weld metal dan HAZ. 3. Angka kekerasan tertinggi didapatkan pada pengelasan GTAW dengan input panas 1,6 kJ/mm sebesar 298,1HV dengan kandungan ferit paling rendah sebesar 30,23 % . 4. Input panas yang diberikan tidak mempengaruhi ketahanan korosi sumuran pada weld metal maupun HAZ. REFERENSI Songqing Wen., Carl D. Lundin., dan Greg Batten. 2005. Metallurgical Evaluation Of Cast Duplex Stainless Steels And Their Weldment. Knoxville:The University Of Tennesse.
Gunn, R., ed. 1997. Duplex Stainless Steels Microstructure, Properties and Applications. Abington :Cambridge England. Charles, J., 1991. Super Duplex Stainless Steel: Structure and Properties. in 2nd. Duplex Stainless Steels. Bernhardsson, S., 1991. The Corrosion Resistance of Duplex Stainless Steels. In Duplex Stainless Steels 91. Farrar, R.A., 1995. The Importance of Microstructural Transformations for Welding and the Stability of Long Term Service Properties. Welding in the World, vol. 36: p. 143-151. Atamert, S.a.K., J.E., 1991. Elemental Partitioning and Microstructural Development in Duplex Stainless Steel Weld Metal. Acta. Metall. Mater., 39(3): p. 273-285. Lippold, J.C., Varol, I. and Baeslack III, W.A. 1991. Microstructural Evolution in Duplex Stainless Steel Weldments. in Duplex Stainless Steel 91. William, F.S. 1993. Structure and Properties of Engineering Alloys. second Edition. University of Central Florida. ........,.ASM volume 08, 1973, Mettallography, Structures and Phase Diagram, New York. Oates, William R., dan Saitta, Alexander M. 1998. Welding Handbook Volume 4 Materials and Applications Part 2. American Welding Society. LeJeune Road, Miami. Forlais, G., Kardatos, J.D., dan Papadimitriou, G. 2000. The Effect of Cooling Rate on The Mechanical and Corrosion Properties of SAF 2205 (UNS 31803) Duplex Stainless Steel Welds. Swansea: University of Wales Swaansea. .........,Duplex Stainless Steel AL 2205TM Alloy Technical Data Blue Sheet. Allegheny Ludlum Steel Co. ..........,Stainless Steel Covered Electrodes. Avesta Welding LLC