PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN GROUP INVESTIGATION TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA Meylisa Indarti 1)
Hadi Soekamto 2)
Djoko Soelistijo 2)
Program Studi Pendidikan Geografi-Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang ABSTRACT This research aimed to determine the the influence of application of group investigation learning model for critical thinking ability of the tenth grade students of SMA Negeri 1 Tugu Trenggalek. This research included quasi experimental using subject by two classes, there are XE as the experimental class and XA as control class. The research instrument is a test for pre-test and post-test. The analysis technique used is the unpaired t test (Independent Simple Test) which can be solved with the help of SPSS 16.0 for Windows. The results showed that there are significant differences between critical thinking ability students class experiments with the control classes. The result of analysis using a t test showed that a significance of 0,00. Thus the significance value of 0,00 < 0.05, it can be concluded that the Group Investigation learning model influence to critical thinking ability of the tenth grade students of SMA Negeri 1 Tugu Trenggalek. Key Words: Group Investigation Learning Models, Critical Thinking Seiring dengan perkembangan zaman akan selalu terjadi perubahan dalam berbagai bidang kehidupan. Salah satu bidang yang mengalami perubahan secara cepat dan pesat adalah pendidikan. Hal ini mengakibatkan semua pihak membutuhkan informasi yang melimpah dan cepat dari berbagai sumber. Informasi dari berbagai sumber yang terpilih perlu diolah dengan efektif dan efisien. Apabila siswa terbiasa memilih dan berusaha mengolah informasi yang telah diperoleh, maka mereka akan terlatih untuk memecahan masalah, berpikir kritis, kreatif, sistematis, dan logis, Depdiknas (dalam Fachrurazi, 2011). Memecahkan masalah, berpikir kritis, kreatif, sistematis, dan logis termasuk dalam beberapa jenis keterampilan yang harus dimiliki oleh siswa untuk menghadapi perkembangan zaman. Pernyataan ini selaras dengan pendapat Sumarmi (2013) bahwa berpikir kritis merupakan salah satu kompetensi masa 1) Alumni Mahasiswa Geografi Universitas Negeri Malang 2) Dosen Geografi Universitas Negeri Malang
1
2
depan yang harus dimiliki oleh siswa. Kemampuan berpikir kritis perlu dilatih agar siswa lebih terbiasa untuk melakukannya. Kemampuan berpikir kritis dapat dimulai dari penyelesaian masalah kecil yang ada di sekitar kita, misalnya berusaha untuk menyelesaikan tugas dengan tepat waktu dan mengerjakannya secara maksimal. Penyelesaian masalah semacam ini dibutuhkan kemampuan berpikir kritis dari dalam diri siswa. Sesuai dengan pendapat Fachrurazi (2011) bahwa ”berpikir kritis adalah sebuah proses sistematis yang memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri”. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjadi seseorang yang mampu berpikir kritis. Haskins (2002) menjelaskan bahwa sifat berpandangan terbuka merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan berpikir kritis. Sumarmi (2013) menjelaskan bahwa untuk menjadi seorang pemikir kritis perlu menemukan fakta dan bukti untuk mendukung argumen yang dimiliki. Fakta-fakta yang dapat mendukung pendapat seseorang dapat diperoleh dari berbagai sumber infomasi yang dilakukan dengan cara banyak membaca dan bereksperimen. Melatih kemampuan berpikir kritis dapat juga dilakukan oleh guru saat pembelajaran berlangsung. Latihan berpikir kritis yang dilakukan oleh guru kepada siswanya pada mata pelajaran Geografi sesuai dengan pendapat. Sumaatmadja (2001) bahwa pembelajaran geografi dapat mengembangkan kemampuan intelektual tiap orang atau secara khusus para siswa yang mempelajarinya. Dengan demikian, Geografi memiliki peran untuk melatih siswa dalam berpikir dan mengembangkan keterampilannya. Keberhasilan dari sebuah tujuan pembelajaran yakni melatih kemampuan berpikir kritis siswa dapat diukur dari beberapa indikator. Indikator-indikator tersebut masing-masing memiliki kriteria untuk mengukurnya. Beberapa indikator yang digunakan, yaitu merumuskan masalah, mengidentifikasi informasi, memecahkan masalah, memberikan solusi dari masalah, dan membuat kesimpulan. Skor untuk setiap indikator diwujudkan dengan menggunakan rentang nilai 1-4. Kemampuan berpikir kritis dapat diketahui dari beberapa aspek. Dari beberapa aspek tersebut dibagi ke dalam beberapa indikator kemampuan berpikir
3
kritis. Indikator berpikir kritis yang digunakan untuk penelitian dan sesuai dengan model pembelajaran Group Investigation sebagai berikut. Tabel 2.1 Indikator Kemampuan Berpikir Kritis No Kemampuan Berpikir Indikator Kritis 1. Merumuskan masalah Merumuskan permasalahan dan memberi arah untuk memperoleh jawaban 2. Memberikan argumen Memberikan argumen disertai saran 3. Melakukan deduksi Memberikan penjelasan dimulai dari hal umum ke khusus 4. Melakukan induksi Membuat simpulan terkait masalah 5. Melakukan evaluasi Melakukan evaluasi berdasarkan fakta 6. Memutuskan dan Menentukan solusi alternatif dari melaksanakan masalah untuk dapat direncanakan dan dilaksanakan Sumber: Modifikasi dari Ennis (dalam Agustina, 2012:20)
Keberhasilan pengembangan keterampilan berpikir kritis siswa dapat dipengaruhi oleh pemilihan model pembelajaran yang digunakan. Model pembelajaran yang dipilih harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai, dalam hal ini berpikir kritis. Salah satu model pembelajaran alternatif yang dapat membidik kemampuan berpikir kritis dan melatih kerjasama siswa dalam kerja kelompok adalah Group Investigation (Fachrurazi, 2011). Keunggulan lain yang dapat diperoleh dari adanya diskusi pada model pembelajaran Group Investigation adalah mengajak siswa untuk mengenal lingkungan sekitarnya. Keterkaitan pembelajaran dengan lingkungan tersebut merupakan wujud dari interaksi langsung dengan sumber belajar. Sumber belajar terbagi menjadi dua macam, yaitu sumber yang sengaja dibuat dan dipergunakan untuk membantu pembelajaran dan sumber lainnya yang digunakan tanpa rancangan karena telah ada di sekeliling kita (Muhtadi, 2006). Sumber belajar yang sengaja dibuat, misalnya modul, slide, audio sedangkan yang telah ada di sekeliling kita, misalnya pasar ataupun sungai. Di dalam pelaksanaannya model pembelajaran Group Investigation memanfaatakan kedua sumber belajar tersebut, (Sumarmi, 2012). Urutan pelaksanaan model perlu diperhatikan dalam pembelajaran. Hal ini dilakukan agar manfaat kegiatan pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan
4
yang diharapkan. Slavin (2005) menjelaskan bahwa langkah-langkah model pembelajaran Group Investigation dapat dilakukan dengan mengidentifikasi topik dan mengatur murid ke dalam kelompok, melaksanakan investigasi, menyiapkan laporan akhir, presentasi, serta evaluasi. Langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran Group Investigation diarahkan untuk mencapai kemampuan berpikir kritis. Seseorang dikatakan mampu berpikir kritis jika dapat merumuskan masalah dan memberikan alternatif pemecahan masalah. Model pembelajaran Group Investigation yang disampaikan pada mata pelajaran Geografi dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini sesuai dengan tujuan mempelajari Geografi yakni dapat memecahkan masalah-masalah lingkungan, Sumaatmaja (1988). Pendapat tersebut didukung oleh hasil penelitian Tejeda (2002), Dumas (2003), Konberg dan Gifin (2000), (dalam Arnyana, 2006) bahwa ”salah satu model pembelajaran yang dapat melatih siswa untuk berpikir kritis adalah Group Investigation”. Kemampuan berpikir kritis siswa juga dapat dilatih dengan menggunakan sebuah strategi pembelajaran. Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi untuk mengajarkan kemampuan berpikir kritis. Bonie dan Potts (dalam Amri, 2012) menjelaskan bahwa ”ada tiga buah strategi untuk mengajarkan kemampuan berpikir kritis, yaitu: building categories (membuat klasifikasi), finding problem (menemukan masalah), dan enhanching the environment (mengkondusifkan lingkungan)”. Ketiga langkah dalam strategi yang dapat dilakukan tersebut hampir sama dengan langkah-langkah dalam pelaksaanaan model pembelajaran Group Investigation. Dengan demikian, Group Investigation dapat digunakan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Model pembelajaran Group Investigation dapat diterapkan pada berbagai jenis materi, baik yang bersifat fisik ataupun sosial. Hal ini terbukti dari beberapa penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya bahwa model pembelajaran Group Investigation telah dilakukan pada mata pelajaran Fisika. Dari penelitian tersebut model pembelajaran Group Investigation dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran Fisika di SMA Negeri Ngoro Jombang, Sayidatutakhiyati (2010).
5
Pada bidang sosial, model pembelajaran Group Investigation pernah diujicobakan dalam mata pelajaran Sejarah. Penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan berfikir kritis tersebut dilakukan pada siswa kelas VIII.2 SMP Negeri 6 Malang . Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, Devi (2008) menjelaskan bahwa penerapan model Group Investigation dapat meningkatkan kemampuan berfikir kritis kelas VIII.2 SMP Negeri 6 Malang tahun ajaran 2007/2008. Penelitian yang menggunakan model pembelajaran Group Investigation sudah banyak dilakukan pada mata pelajaran Geografi. Beberapa materi yang disampaikan dengan menggunakan model pembelajaran Group Investigation ini masuk dalam kompetensi dasar menganalisis. Beberapa materi dalam Geografi yang pernah disampaikan dengan menggunakan model pembelajaran Group Investigation yaitu materi Sumber Daya Alam. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dijelaskan bahwa penerapan model pembelajaran Group Investigation (GI) berpengaruh terhadap hasil belajar Geografi siswa kelas XI khususnya pada materi Sumber Daya Alam (Almarumi, 2011). Materi dalam mata pelajaran Geografi lainnya adalah lingkungan hidup (Kurniawan, 2012) dan menunjukkan hasil bahwa keaktifan belajar siswa mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II. Penelitian lain dilakukan oleh Prastiwi (2011) pada materi lithosfer dan pedosfer. Berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa aktivitas dan hasil belajar siswa mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II.
METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasi experiment) yang tergolong penelitian kuantitatif. Rancangan penelitian yang dikembangkan adalah Pretest-postest Control Group Design dengan subyek penelitan terdiri dari kelas kontrol dan kelas eksperimen. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas X di SMA Negeri 1 Tugu Kabupaten Trenggalek semester genap tahun pelajaran 2012-2013 yang terdiri dari 5 kelas. Berdasarkan subjek penelitian yang ada dipilih dua kelas yang kemampuan akademisnya homogen berdasarkan nilai rata-rata UTS Geografi materi pedosfer
6
yang relatif sama yaitu kelas XA dan XE. Penentuan kelas ekperimen dan kelas kontrol dilakukan secara acak. Kelas XE sebagai kelas eksperimen dan kelas XA sebagai kelas kontrol. Sebelum masing-masing kelas diberi perlakuan yang berbeda, dilaksanakan pre-test dengan soal subjektif 5 nomer dan berupa 8 butir soal. Soal yang diberikan telah diujicobakan pada kelas yang tidak digunakan dalam penelitian. Uji coba dilakukan di kelas XA SMA Islam Lumajang. Uji coba instrumen dalam penelitian ini meliputi analisis tingkat kesukaran, daya beda, validitas, dan reliabilitas. Kegiatan inti dari sebuah penelitian eksperimen adalah memberikan perlakuan yang berbeda pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen mendapat perlakukan berupa model pembelajaran Group Investigation. Perlakuan di kelas kontrol berupa metode pembelajaran ceramah dan tanya jawab. Kegiatan berikutnya, melakukan post-test dengan jumlah dan jenis soal sama pada masing-masing kelas baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Skor pre-test dan post-test dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut. (Purwanto, 2010:16) Keterangan: n : nilai akhir ∑B : jumlah benar (skor yang dapat dicapai siswa) Smi :Skor maksimal ideal (32) n maks :nilai maksimal yang digunakan (100)
Skor yang diperoleh berdasarkan persamaan di atas kemudian disajikan di dalam distribusi frekuensi sesuai dengan kualifikasi rentangan nilai untuk mengetahui tingkat kemampuan berpikir kritis. Kualifikasi rentangan nilai dapat dilihat pada Tabel 3.3. Tabel 3.3 Kriteria Kemampuan Berpikir Kritis Kualifikasi Nilai Keterangan Sangat kritis 81, 25< x 100 Kritis 62,50 < x 81,25 Cukup Kritis 43,75 < x 62, 5 Kurang Kritis 25 < x 43,75 Sumber: Purwanto, dkk (2012: 4)
7
Setelah penskoran selesai dilaksanakan, tahap selanjutnya mengolah data dengan menggunakan uji hipotesis. Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji t dua sampel tidak berpasangan (Independent sampel t test) dengan taraf signifikansi 0,05. Nilai yang digunakan untuk uji hipotesis adalah gain score dari masing-masing kelas kontrol dan eksperimen. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS for Windows.
HASIL Hasil penelitian meliputi data kemampuan awal siswa yang diperoleh dari skor pre-test kelas eksperimen dan kontrol sebelum diberi perlakuan. Kemampuan berpikir kritis siswa diperoleh dari skor post-test kelas eksperimen dan kontrol setelah diberi perlakuan. Berdasarkan data yang telah diperoleh, maka disusun distribusi frekuensi sebagai berikut.
a. Data Kemampuan Awal Kelas Eksperimen Berdasarkan data yang telah diperoleh dari skor hasil pre test, maka disusun distribusi frekuensi kemampuan awal kelas eksperimen yang dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kemampuan Awal (Pretest) Kelas Eksperimen Klasifikasi Nilai Kualifikasi Frekuensi Persentase (%) Sangat kritis 0 0 81, 25< x 100 Kritis 3 11, 53 62,50 < x 81,25 Cukup Kritis 17 65, 38 43,75 < x 62, 5 Kurang Kritis 6 23, 07 25 < x 43,75 Jumlah 26 100 Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen hampir separuh siswa (65, 38%) masuk dalam kategori cukup kritis, sebagian kecil kritis (11, 53%), dan sisanya (23,07%) kurang kritis.
b. Data Kemampuan Awal Kelas Kontrol Berdasarkan data yang telah diperoleh dari skor hasil pre test, maka distribusi frekuensi kemampuan awal kelas kontrol dapat dilihat pada Tabel 4.2.
8
Table 4.2 Distribusi Frekuensi Kemampuan Awal (Pretest) Kelas Kontrol
Klasifikasi Nilai Kualifikasi Frekuensi Persentase (%) Sangat kritis 0 0 81, 25< x 100 Kritis 0 0 62,50 < x 81,25 Cukup Kritis 19 76 43,75 < x 62, 5 Kurang Kritis 6 24 25 < x 43,75 Jumlah 25 100 Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen hampir separuh siswa (76%) cukup kritis dan sisanya (24%) kurang kritis.
1. Data Kemampuan Akhir Siswa a. Data Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Eksperimen Setelah Perlakuan Berdasarkan data yang telah diperoleh dari kegitan post test, maka disusun distribusi frekuensi kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen. Adapun distribusi frekuensi kemampuan akhir siswa dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kemampuan Akhir (post test) Kelas Eksperimen
Klasifikasi Nilai Kualifikasi Frekuensi Persentase (%) Sangat kritis 3 11, 54 81, 25< x 100 Kritis 14 53, 85 62,50 < x 81,25 Cukup Kritis 9 34, 61 43,75 < x 62, 5 Kurang Kritis 0 0 25 < x 43,75 Jumlah 26 100 Berdasarkan Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen hampir separuh siswa (34,61%) dikategorikan cukup kritis, lebih dari separuh siswa (53,85%) kritis, dan sisanya (11, 54%) sangat kritis.
a. Data Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Kontrol Setelah Perlakuan Berdasarkan data yang telah diperoleh dari kegiatan post test, maka disusun distribusi frekuensi data hasil belajar kelas eksperimen yang dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Kemampuan Akhir (post test) Kelas Kontrol
Klasifikasi Nilai Kualifikasi Sangat kritis 81, 25< x 100 Kritis 62,50 < x 81,25 Cukup Kritis 43,75 < x 62, 5 Kurang Kritis 25 < x 43,75 Jumlah
Frekuensi 0 5 18 2 25
Persentase (%) 0 20 72 8 100
9
Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen hampir separuh siswa (72%) cukup kritis, sebagian kecil kurang kritis (8 %), dan sisanya (20%) kritis.
2. Data (Gain Score) Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Data kemampuan berpikir kritis siswa diperoleh dari selisih skor siswa yaitu skor kemampuan akhir (postest) dikurangi skor kemampuan awal (pretest). Analisis statistik deskriptif data kemampuan berpikir kritis siswa (gain score) dapat dilihat pada tabel 4.3 Tabel 4.5 Analisis Statistik Deskriptif Data Kemampuan Berpikir Kritis (Gain Score)
N
Minimum Maximum
Mean
Std. Deviation
Variance
KelasEksperimen 26 -3.00 32.00 17.1538 10.07052 101.415 KelasKontrol 25 -6.00 22.00 7.6000 7.41620 55.000 Valid N 25 (listwise) Berdasarkan tabel 4.5 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata dari gain score kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol. Nilai maksimum dari kelas eksperimen juga lebih tinggi dari kelas kontrol. Kelas eksperimen memiliki kemampuan berpikir kritis lebih tinggi dari kelas kontrol. Skor yang diperoleh dari pre test, post test, dan gain score dianalisis menggunakan uji hipotesis dengan bantuan SPSS 16.00 for Windows. Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji t dua sampel tidak berpasangan (independent samples t-test). Hasil output uji t tidak berpasangan gain score dari kemampuan berpikir kritis siswa pada lampiran diperoleh nilai P-value sebesar 0,00. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh tersebut jelas bahwa P-value < 0,05, berarti ada perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Skor gain score rata-rata kelas kontrol sebesar 17,15 sedangkan kelas kontrol 7,6. Nilai rata-rata kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Apabila nilai rata-rata kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol, maka H1 diterima sebagai hasil penelitian.
10
PEMBAHASAN Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model Group Investigation berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Pengaruh tersebut diduga disebabkan oleh: pertama, siswa kelas eksperimen lebih aktif daripada kelas kontrol. Keaktifan ini ditunjukkan dari kemampuan siswa di kelas ekperimen untuk berpendapat. Berani untuk menyampaikan pendapat merupakan salah satu ciri-ciri dari kemampuan berpikir kritis (Suprijono, 2011: 13). Penyebab kedua, diduga disebabkan oleh kemampuan siswa untuk menentukan topik masalah. Topik masalah diperoleh siswa dari bantuan gambargambar yang ditunjukkan oleh guru. Gambar yang ditunjukan pada materi atmosfer dan dampaknya terhadap kehidupan di muka bumi, yaitu lalu lalang kendaraan dan aktivitas pabrik yang menghasilkan asap-asap sisa pembakaran, lapisan atmosfer (troposfer, stratosfer, mesosfer, termosfer, dan eksosfer), aktivitas masyarakat yang tidak memanfaatkan kendaraan bermotor, dan sebuah ruang yang ditumbuhi pepohonan sehingga tampak asri. Berdasarkan gambar yang telah ditunjukkan, beberapa siswa berusaha menyampaikan beberapa topik masalah. Setelah menyampaikan topik masalah siswa juga mencari rumusan masalah dari topik tersebut. Kemampuan merumuskan masalah dan mencari alterntif jawaban merupakan salah satu indikator berpikir kitis, Ennis (dalam Agustina, 2012: 20). Dari kedua puluh lima jumlah siswa di kelas eksperimen hampir keseluruhan antusias untuk berpendapat. Setelah penyampaian gagasan untuk menentukan topik masalah dirasa telah mencukupi, akhirnya terpilih tiga topik masalah materi atmosfer untuk didiskusikan, yaitu: polusi udara, pemanasan global, dan pasang surut air laut. Setelah melalui beberapa pertimbangan, topik masalah tentang polusi udara dan pemanasan global tetap akan didiskusikan, sedangkan pasang surut air laut diganti menjadi El Nina dan El Nino. Penyebab ketiga adalah kegiatan diskusi yang dilaksanakan di kelas eksperimen. Kegiatan diskusi di kelas eksperimen yang menggunakan pembelajaran Group Investigation melatih siswa untuk cakap berbicara dan mengutarakan pendapatnya. Kegiatan diskusi di kelas eksperimen dapat melibatkan setiap siswa untuk berkomunikasi dan berpendapat serta bertanggung
11
jawab pada semua hal yang telah diucapkannya karena disertai bukti relevan (Suprijono, 2011: 13). Berbeda dengan pembelajaran pada kelas kontrol yang terbiasa dengan metode ceramah dan tanya jawab. Saat siswa diajak untuk berdiskusi, mereka kurang terlatih untuk berpikir mandiri dan berpendapat. Siswa di kelas kontrol masih cenderung kurang dalam menggali kemampuan berpikirnya. Kemudian, siswa juga kurang memiliki inisiatif untuk melakukan penyelesaikan terhadap suatu permasalahan dan kurang mampu mengembangkan kemampuan berpikirnya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sriartha (2006: 3) bahwa pembelajaran yang berpusat pada guru kurang mampu mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Selaras pula dengan pendapat Thobroni (2011:86) bahwa murid yang mendengarkan dengan tertib penjelasan guru kurang mampu menyelesaikan masalah yang muncul secara temporer. Adanya perbedaan pemanfaatan model Group Investigation dalam pembelajaran akan berpengaruh pada kemampuan berpikir kritis siswa. Kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol karena tidak menggunakan model Group Investigation dalam pembelajaran. Di kelas kontrol guru jarang memberikan kesempatan pada siswa untuk secara mandiri melakukan investigasi terhadap materi yang dipelajari. Dengan demikian siswa tidak terbiasa bekerja sama memecahkan masalah atau membangun sendiri pengetahuan dan pemahamannya, sehingga siswa tidak terbiasa untuk menampilkan kemampuan berpikir kritisnya.
SIMPULAN Berdasarkan rumusan masalah dan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan model pembelajaran Group Investigation berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelas X di SMA Negeri 1 Tugu Trenggalek. Rata-rata hasil belajar kelas yang menggunakan model pembelajaran Group Investigation lebih tinggi daripada kelas yang tidak menggunakan pembelajaran model Group Investigation.
12
SARAN Sesuai dengan kesimpulan tersebut, maka dapat diajukan beberapa saran. Guru hendaknya menggunakan Group Investigation sebagai alternatif model pembelajaran untuk melatih kemampuan berpikir kritis siswa. Kepala sekolah hendaknya berperan sebagai inisiator agar guru menggunakan model pembelajaran Group Investigation pada pembelajaran terutama pada materi dengan kompetensi dasar analisis dan yang menuntut siswa berpikir kritis. Hendaknya peneliti lanjut mengujicobakan model pembelajaran Group Investigation pada materi yang sama di sekolah lain yang kemampuan awal mereka lebih rendah.
DAFTAR RUJUKAN Agustina, Sri. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Mahasiswa Universitas Kanjuruhan Malang Pada Matakuliah Hidrologi. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Almarumi, F. A. 2011. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation terhadap Hasil Belajar Geografi Siswa Kelas XI SMA Laboraturium Universitas Negeri Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Amri, S., Ahmadi, I. K. 2012. Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif dalam Kelas. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Arnyana, I. B. P. 2006. Pengaruh Penerapan Strategi Pembelajaran Inovatif Pada Pelajaran Biologi Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/39306496515.pdf, (online). diakses tanggal 3 Desember 2013. Devi, N. 2008. Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif Model Group Investigation (GI) Untuk Peningkatan Kemampuan Berfikir Kritis Siswa Terhadap Pelajaran Sejarah di SMP 06 Malang Kelas VIII.2. http://karyailmiah.um.ac.id/index.php/sejarah/article/view/798, (online). diakses tanggal 20 Juni 2013. Fachrurazi. 2011. Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar. (online), (http://jurnal.upi.edu/file/8-Fachrurazi.pdf), diakses 5 Desember 2012. Haskins, G. R. 2002. Sebuah Panduan Praktis Untuk Berpikir Kritis http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://skepdi c.com/essays/Haskins.html (online). diakses tanggal 16 Desember 2012. Kurniawan, D. 2012. Penerapan Model Pembelajaran group Investigation Berbasis Lapangan untuk Meningkatkan Keaktifan Belajar Kelas XI IPS 2 SMAN 2 Kota Blitar. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Muhtadi, Ali. 2006. Manajemen Sumber Belajar. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/MANAJEMEN%20SUMBER%20BE LAJAR.pdf, (online). diakses tanggal 20 Juni 2013.
13
Prasitiwi, R. B. 2011. Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa dengan Penerapan Model Pembelajaran Group Investigation Kelas XE SMA Islam Malang Pada Mata Pelajaran Geografi Pokok Bahasan Lithosfer dan Pedosfer. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Purwanto, E. 2005. Evaluasi Proses dan Hasil dalam Pembelajaran Aplikasi dalam Bidang Studi Geografi. Malang: UM Press. Riadi, Muchlisin. 2012. Model Pembelajaran Group Investigation. http://www.kajianpustaka.com/2012/10/model-pembelajaran-groupinvestigation.html#ixzz2JbABhTzp, (online). dsiakses tanggal 1 Februari 2013. Sayidatutakhiyati. 2010. Metode Pembelajaran Kooperatif Model Group Investigation untuk Meningkatkan Kemampuan /berpikir Kritis Siswa Kelas X-4 SMA Negeri Ngoro Jombang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Slavin, R. E. 2005. Cooperative Learning Teori, Riset, dan Praktik. Bandung: Nusa Media. Sumaatmadja, N. 1988. Metodologi Pembelajaran Geografi. Jakarta: Bumi Aksara. Sumaatmadja, N. 2001. Metodologi Pembelajaran Geografi. Jakarta: Bumi Aksara. Sumarmi. 2012. Model-Model Pembelajaran Geografi. Malang: Aditya Media Publishing. Sumarmi. 2013. Pembelajaran Geografi yang Berkarakter Sesuai Kurikulum 2013. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional HMJ Geografi (Volcano) 2013 Universitas Negeri Malang, Malang, 8 Juni 2013. Suprijono, A. 2011. Cooperative Learning Teoro dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Yuliana, dkk. 2011. Strategi Pembelajaran untuk Meningkatkan Pemahaman dan Keterampilan Berpikir Kritis (Critical Thinking) pada Perkuliahan Manajemen Pendidikan melalui Implementasi Pembelajaran Group Investigation (GI) bagi Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta menuju World Class Univesrsity, http://staff.uny.ac.id/sites.pdf, (online). diakses tanggal 1 Juli 2013.