PENGARUH PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN TERHADAP INTENSI BERWIRAUSAHA MAHASISWA INSTITUT PERTANIAN BOGOR MELALUI PENDEKATAN THEORY OF PLANNED BEHAVIOR
ELIS TRISNAWATI
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi Pengaruh Pendidikan Kewirausahaan terhadap Intensi Berwirausaha Mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Pendekatan Theory of Planned Behavior adalah karya Saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2011 Elis Trisnawati NIM I24063161
ABSTRAK ELIS TRISNAWATI. Pengaruh pendidikan kewirausahaan terhadap intensi berwirausaha mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui pendekatan Theory of Planned Behavior. Dibimbing oleh LILIK NOOR YULIATI dan ALFIASARI Tingginya angka pengangguran membutuhkan strategi solusi untuk menyelesaikannya, khususnya oleh generasi muda. Kewirausahaan dapat menjadi salah satu solusi untuk masalah ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pendidikan kewirausahaan terhadap intensi berwirausaha mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui pendekatan Theory of Planned Behavior (TPB) yang terdiri dari sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, dengan lokasi penelitian di kampus IPB Darmaga. Contoh dalam penelitian ini adalah 100 mahasiswa sarjana yang masih aktif. Contoh merupakan mahasiswa semester empat sampai dengan semester delapan. Persyaratan contoh adalah yang mengikuti pendidikan kewirausahaan secara formal atau pendidikan kewirausahaan secara nonformal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suku (daerah) (p<0,05) berhubungan nyata dengan sikap. Uang saku bulanan (p<0,05) dan pendidikan kewirausahaan formal yang diikuti (p<0,05) memiliki hubungan yang nyata dan positif dengan sikap. Pendidikan ibu (p<0,05) mempunyai hubungan yang nyata dan negatif dengan kontrol perilaku. Pendidikan kewirausahaan nonformal yang diikuti (p<0,05), sikap (p<0,01), dan norma subjektif (p<0,01) memiliki hubungan yang nyata dan positif dengan intensi berwirausaha. Walaupun melalui pendekatan TPB, hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya sikap (p<0,01) yang berpengaruh terhadap intensi berwirausaha. Kata kunci: intensi berwirausaha, mahasiswa, pendidikan kewirausahaan, Theory of Planned Behavior
ABSTRACT ELIS TRISNAWATI. The effect of entrepreneurship education to the entrepreneurship intention of Bogor Agricultural University students using Theory of Planned Behavior perspective. Surpervised by LILIK NOOR YULIATI and ALFIASARI High numbers of unemployments need strategic solution to solve it, especially for young generation. Entrepreneurship can be one of solution for this problem. The purpose of this research was to analyze the effect of entrepreneurship education to the entrepreneurship intention of Bogor Agricultural University students using Theory of Planned Behavior (TPB) perspective (TPB consists of attitude, subjective norm, and perceived behavior control). This research used cross sectional study design with located at campus IPB Darmaga. Samples in this research were 100 students that consist of fourth semester until eight semester students. Requirements of the samples are they have followed formal entrepreneurship education or nonformal entrepreneurship education. Result showed that ethnic groups (p<0,05) had significant correlation with attitude. Monthly allowance (p<0,05) and formal entrepreneurship education that’s followed (p<0,05) had significant and positive correlation with attitude. Mother education (p<0,05) had significant and negative correlation with perceived behavioral control. Nonformal entrepreneurship education that’s followed (p<0,05), attitude (p<0,01), and subjective norm (p<0,01) had significant and positive correlation with entrepreneurship intention. Meanwhile, in the perspective of TPB, the research showed that only attitude (p<0,01) that had influence toward entrepreneurship intention. Keywords: entrepreneurship education, entrepreneurship intention, graduate student, Theory of Planned Behavior
RINGKASAN ELIS TRISNAWATI. Pengaruh Pendidikan Kewirausahaan terhadap Intensi Berwirausaha Mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Pendekatan Theory of Planned Behavior. Dibimbing oleh LILIK NOOR YULIATI dan ALFIASARI Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) semester pertama 2007 menunjukkan tiga dari empat lulusan perguruan tinggi memilih menjadi karyawan. Harusnya, melihat kenyataan bahwa lapangan kerja yang ada tidak memungkinkan untuk menyerap seluruh lulusan perguruan tinggi di Indonesia, para lulusan perguruan tinggi mulai memilih berwirausaha. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis pengaruh pendidikan kewirausahaan terhadap intensi berwirausaha mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui pendekatan Theory of Planned Behavior (TPB). Tujuan khususnya adalah: 1) mengidentifikasi karakteristik contoh, karakteristik keluarga, dan pendidikan kewirausahaan (formal dan nonformal) contoh, 2) menganalisis tingkat sikap, norma subjektif, kontrol perilaku, dan intensi berwirausaha contoh, 3) menganalisis hubungan antara karakteristik individu, karakteristik keluarga, dan pendidikan kewirausahaan dengan sikap, norma subjektif, kontrol perilaku, dan intensi berwirausaha contoh, 4) menganalisis hubungan antara sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku dengan intensi berwirausaha contoh, 5) menganalisis pengaruh pendidikan kewirausahaan, sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku terhadap intensi berwirausaha contoh. Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan di Institut Pertanian Bogor (IPB) yang berlokasi di Kampus IPB Darmaga. Waktu pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret sampai April 2011. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Sarjana IPB semester empat sampai semester delapan pada tahun ajaran 2010/2011 yang berjumlah 9.279 orang. Kerangka contoh dalam penelitian ini adalah mahasiswa sarjana IPB yang masih aktif, pernah mengambil mata kuliah yang berhubungan dengan kewirausahaan (pendidikan kewirausahaan secara formal) atau pernah mengikuti program atau kegiatan kewirausahaan yang ada di IPB (pendidikan kewirausahaan secara nonformal). Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah teknik probability sampling berupa proportional random sampling untuk masing-masing kelompok. Jumlah contoh yang diambil dalam penelitian ini adalah 100 orang dengan menggunakan rumus Slovin. Cara pemilihan contoh dibagi menjadi dua yaitu 50 orang yang mengikuti pendidikan kewirausahaan secara formal (24 contoh mengikuti Mata Kuliah Kewirausahaan, 10 Resiko Bisnis, serta 16 Negosiasi dan Advokasi Bisnis) dan 50 orang yang mengikuti pendidikan kewirausahaan secara nonformal (29 contoh mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKMK), 19 contoh Program Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa (PPKM), dan 2 contoh Unit Kegiatan Mahasiswa Center of Entrepreneurship Development for Youth (UKM Century). Pengelompokan data pendidikan kewirausahaan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok pendidikan kewirausahaan formal, nonformal, serta kombinasi formal dan nonformal. Data terdiri dari dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengisian kuesioner yang mencakup karakteristik contoh, karakteristik keluarga, pendidikan kewirausahaan, sikap (14 item pertanyaan), norma subjektif (4 item pertanyaan), kontrol perilaku (12 item pertanyaan), dan intensi berwirausaha (3 item pertanyaan). Pemberian skor ditujukan pada variabel sikap, norma subjektif, kontrol perilaku, dan intensi berwirausaha. Selanjutnya, skor pada variabel sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku tersebut dikalikan antara dua komponennya lalu dijumlahkan sesuai dengan model TPB. Setelah didapat skor total lalu dikategorikan dengan kategori rendah, sedang, dan tinggi dengan menggunakan interval kelas. Kategori pada variabel sikap terdiri dari rendah (7-63), sedang (64-119), dan tinggi (120175). Kategori pada variabel norma subjektif terdiri dari rendah (2-18), sedang (19-34), dan tinggi (35-50). Kategori pada variabel kontrol perilaku terdiri dari rendah (6-54), sedang (55-92), dan tinggi (93-150). Kategori pada variabel intensi berwirausaha terdiri dari rendah (3-7), sedang (8-11), dan tinggi (12-15).
Data yang dikumpulkan dari kuesioner lalu diolah melalui proses editing, coding, scoring, dan entry data ke komputer, cleaning data, dan analize data. Data disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif. Data diolah dengan menggunakan uji korelasi Chi-Square dan Pearson untuk melihat hubungan antar variabel. Uji regresi linier berganda digunakan untuk menganalisis faktor- faktor yang berpengaruh terhadap intensi berwirausaha. Secara umum usia contoh (40%) adalah 21 tahun. Lebih dari separuh contoh (61%) berjenis kelamin perempuan. Persentase terbesar contoh (46%) berasal dari suku Jawa. IPK sebagian besar contoh (69%) berada pada kisaran 2,76-3,50. Hampir seluruh contoh (84%) mempunyai uang saku bulanan yang berada pada kisaran Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000. Persentase terbesar sumber uang saku bulanan contoh (24,7%) berasal dari orang tua. Pekerjaan ayah contoh (29%) didominasi oleh PNS sedangkan lebih dari separuh pekerjaan ibu contoh (52%) adalah IRT. Persentase terbesar jenjang pendidikan ayah (45%) dan ibu contoh (35%) adalah perguruan tinggi. Lebih dari separuh contoh (52,9%) mengikuti Mata Kuliah Kewirausahaan dalam pendidikan kewirausahaan formal. Persentase terbesar contoh (35%) hanya mengikuti satu mata kuliah diantara tiga mata kuliah dalam pendidikan formalnya. Persentase keikutsertaan contoh pada program kewirausahaan dalam pendidikan kewirausahaan nonformal yaitu sebesar 52,3 persen mengikuti PKMK, 29 persen mengikuti PPKM, dan 2 persen mengikuti UKM Century. Persentase terbesar dalam tahapan PKMK yang diikuti contoh (35,4%) adalah sampai didanai. Sementara itu, pada tahapan PPKM yang pernah diikuti contoh persentase terbesarnya (14,9%) adalah sampai Stadium General. Secara umum, jumlah seminar kewirausahaan dan pelatihan kewirausahaan yang diikuti contoh adalah sebanyak 1-2 kali baik yang diselenggarakan oleh IPB maupun non IPB. Lebih dari separuh contoh (63%) mempunyai sikap dengan kategori tinggi. Hampir sebagian besar contoh (45%) mempunyai norma subjektif dengan kategori sedang. Lebih dari separuh contoh (68%) mempunyai kontrol perilaku dengan kategori rendah. Sebagian besar contoh (65%) mempunyai intensi berwirausaha dengan kategori tinggi. Suku (daerah) (r=9,225; p<0,05), uang saku bulanan (r=0,215; p<0,05), dan jumlah pendidikan kewirausahaan formal yang diikuti (r=0,248; p<0,05) memiliki hubungan yang nyata dengan sikap. Pendidikan ibu (r=-0,181; p<0,05) mempunyai hubungan nyata dan negatif dengan kontrol perilaku. Sementara itu, jumlah pendidikan kewirausahaan nonformal (r=0,198; p<0,05), sikap (r=0,383; p<0,01), dan norma subjektif (r=0,314; p<0,01) memiliki hubungan nyata dan positif dengan intensi berwirausaha. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa sebesar 15,5 persen intensi berwirausaha dapat dijelaskan oleh variabel sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku. Selain itu, intensi berwirausaha juga dapat dijelaskan oleh variabel pekerjaan ayah, pendidikan kewirausahaan, sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku dengan besarnya nilai 2 koefisien determinasi (R ) sebesar 16,6 persen. Kedua persamaan regresi menunjukkan bahwa hanya variabel sikap (p<0,01) yang berpengaruh secara signifikan terhadap intensi berwirausaha. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sikap berpengaruh terhadap intensi berwirausaha mahasiswa IPB. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk meningkatkan sikap terhadap berwirausaha. Upaya yang bisa dilakukan IPB adalah menciptakan lingkungan yang mendukung mahasiswa untuk berwirausaha dengan mempermudah akses terhadap modal usaha, memperbanyak kegiatan seminar, dan pelatihan kewirausahaan sehingga menumbuhkan sikap yang positif terhadap berwirausaha yang pada akhirnya dapat meningkatkan intensi berwirausaha mahasiswa IPB. Kata kunci:
intensi berwirausaha, mahasiswa, pendidikan kewirausahaan, Theory of Planned Behavior
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PENGARUH PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN TERHADAP INTENSI BERWIRAUSAHA MAHASISWA INSTITUT PERTANIAN BOGOR MELALUI PENDEKATAN THEORY OF PLANNED BEHAVIOR
ELIS TRISNAWATI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Depertemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
JUDUL
: Pengaruh Pendidikan Kewirausahaan terhadap Intensi Berwirausaha Mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Pendekatan Theory of Planned Behavior
NAMA
: Elis Trisnawati
NRP
: I24063161
Disetujui,
Dr. Ir. Lilik Noor Yuliati, MFSA Pembimbing I
Alfiasari, S.P., M.Si Pembimbing II
Diketahui,
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc. Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan pertolonganNya sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Pendidikan Kewirausahaan terhadap Intensi Berwirausaha Mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Pendekatan Theory of Planned Behavior. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Lilik Noor Yuliati, MFSA dan Alfiasari, S.P., M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan doa, bimbingan, perhatian, waktu, motivasi, tenaga, dan saran kepada penulis hingga selesainya skripsi ini. Selain itu, kepada Bapak dan Ibu yang bekerja di Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni, Direktorat Kemahasiswaan, dan Direktorat Manajemen mutu Pendidikan yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima Kasih kepada Ir. M. D. Djamaludin, M.Sc selaku dosen penguji, Neti Hernawati, SP, M.Si selaku dosen pemandu seminar, serta Mei Suciati dan Nur Rochimah selaku pembahas seminar atas masukan bagi perbaikan skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Papa (Ahmad Fadil), mama (Eha Julaeha), kakak (Didi Supandi dan Rony Apriyandi), seluruh keluarga besar di Kuningan, teman-teman (Revi, Lika, Evi, Neneng, Reza, Abdul, Ayip, Neng Leny) dan sahabat-sahabatku (Iya, Erika, Mba Mei, Ratih) atas segala doa, kebersamaan, dan motivasinya. Semoga Allah membalas semuanya dengan kebaikan. Demikianlah ucapan terima kasih ini dipersembahkan,dengan tulus dari lubuk hati yang paling dalam. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2011 Elis Trisnawati
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
vi
PENDAHULUAN ..................................................................................... Latar Belakang.................................................................................. Perumusan Masalah ......................................................................... Tujuan Penelitian .............................................................................. Kegunaan Penelitian.........................................................................
1 1 4 6 7
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. Theory of Planned Behavior (TPB) ................................................... Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku dan Intensi Berwirausaha ........................................................................ Kewirausahaan dan Wirausaha ........................................................
9 9 14 17
KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................................
19
METODE PENELITIAN ........................................................................... Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ............................................. Cara Pemilihan Contoh ..................................................................... Jenis dan Cara Pengumpulan Data .................................................. Pengolahan dan Analisis Data .......................................................... Definisi Operasional..........................................................................
23 23 23 24 26 29
HASIL ...................................................................................................... Kondisi Umum Lokasi Penelitian ....................................................... Karakteristik Contoh ......................................................................... Karakteristik Keluarga Contoh .......................................................... Pendidikan Kewirausahaan Contoh .................................................. Sikap ................................................................................................ Norma Subjektif ................................................................................ Kontrol Perilaku ................................................................................ Intensi Berwirausaha ........................................................................ Hubungan Antar Variabel Penelitian ................................................. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Intensi Berwirausaha .....
31 31 32 36 39 43 44 46 48 49 52
PEMBAHASAN........................................................................................
55
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... Kesimpulan ...................................................................................... Saran................................................................................................
61 61 61
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................
63
LAMPIRAN ..............................................................................................
67
DAFTAR TABEL Halaman 1 Jumlah contoh berdasarkan persentase pendidikan kewirausahaan formal....................................................................................................
24
2 Jumlah contoh berdasarkan persentase pendidikan kewirausahaan nonformal..............................................................................................
24
3 Variabel, skala, dan keterangan............................................................
25
4 Sebaran contoh berdasarkan usia dan pendidikan kewirausahaan serta rataan dan standar deviasi usia contoh……………………………
32
5 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan pendidikan kewirausahaan………………………………………………………………
33
6 Sebaran contoh berdasarkan suku daerah dan pendidikan kewirausahaan………………………………………………………………
34
7 Sebaran contoh berdasarkan indeks prestasi akademik dan pendidikan kewirausahaan serta rataan dan standar deviasi IPK contoh ……………………………………………………………….....
34
8 Sebaran contoh berdasarkan uang saku bulanan dan pendidikan kewirausahaan serta rataan dan standar deviasi uang saku bulanan contoh……………………………………………….…
35
9 Sebaran contoh berdasarkan sumber uang saku bulanan dan pendidikan kewirausahaan………………………………………………....
36
10 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua dan pendidikan kewirausahaan……………………………………………………………….
37
11 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua dan pendidikan kewirausahaan……………………………………………………………….
39
12 Sebaran contoh berdasarkan keikutsertaan dalam pendidikan kewirausahaan nonformal beserta tahapan-tahapannya…………......
41
13 Sebaran contoh berdasarkan jumlah keikutsertaan dalam seminar dan pelatihan kewirausahaan…………………………………....
42
14 Sebaran contoh berdasarkan kategori sikap dan pendidikan kewirausahaan serta rataan dan standar deviasi sikap contoh ….…..
44
15 Sebaran contoh berdasarkan kategori norma subjektif dan pendidikan kewirausahaan serta rataan dan standar deviasi norma subjektif contoh ………………………………………………..…..
45
16 Sebaran contoh berdasarkan kategori figur sosial yang mendorong berwirausaha dan pendidikan kewirausahaan…………….
46
17 Sebaran contoh berdasarkan kategori kontrol perilaku dan pendidikan kewirausahaan serta rataan dan standar deviasi kontrol perilaku contoh……………………………………………………...
47
18 Sebaran contoh berdasarkan kategori intensi berwirausaha dan pendidikan kewirausahaan serta rataan dan standar deviasi intensi berwirausaha contoh……………………………………………….
48
Halaman 19 Sebaran contoh berdasarkan tabulasi silang antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga, dan pendidikan kewirausahaan dengan sikap………………………………………….....
49
20 Sebaran contoh berdasarkan tabulasi silang antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga, dan pendidikan kewirausahaan dengan norma subjektif………………………………...
50
21 Sebaran contoh berdasarkan tabulasi silang antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga, dan pendidikan kewirausahaan dengan kontrol perilaku………………………………….
50
22 Sebaran contoh berdasarkan tabulasi silang antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga, dan pendidikan kewirausahaan dengan intensi berwirausaha…………………………..
51
23 Koefisien korelasi antar variabel penelitian menggunakan uji korelasi Pearson……………………………………………………………………...
51
24 Koefisien korelasi antara variabel sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku dengan intensi berwirausaha….……………………..…
52
25 Analisis regresi pengaruh sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku terhadap intensi berwirausaha……………………………….....
52
26 Analisis regresi pekerjaan ayah, pendidikan kewirausahaan, sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku terhadap intensi berwirausaha ..
53
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Grafik persentase sebaran responden status kerja alumni berdasarkan fakultas tahun 2010.........................................................
5
2
Model Theory of Reason Action (TRA).................................................
9
3
Model Theory of Planned Behavior (TPB)……………………………….
10
4
Kerangka pemikiran penelitian...………………………………………….
21
5
Grafik sebaran contoh berdasarkan keikutsertaan dalam pendidikan kewirausahaan formal………………………………………………………
40
Grafik sebaran contoh berdasarkan keikutsertaan jumlah mata kuliah dalam pendidikan kewirausahaan formal………………….
40
6
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Output realibilitas kuesioner Theory of Planned Behavior (TPB) ..........
67
2 Sebaran contoh berdasarkan jawaban Theory of Planned Behavior ...
68
3 Koefisien korelasi antar variabel ...........................................................
70
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah pengangguran merupakan salah satu masalah penting di suatu negara, termasuk di Indonesia. Masalah pengangguran ini terjadi karena peningkatan jumlah penduduk yang diiringi dengan jumlah angkatan kerja dan tidak diimbangi dengan jumlah peningkatan lapangan kerja yang memadai. Kondisi ini semakin diperburuk dengan adanya krisis global yang turut menimpa Indonesia.
Departemen
Tenaga
Kerja
tahun
2007
mencatat
jumlah
pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 10.547.917 orang, sedangkan target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah adalah enam persen. Jika diasumsikan setiap satu persen pertumbuhan ekonomi menghasilkan 265.000 lapangan kerja baru, berarti dengan pertumbuhan ekonomi enam persen, kita hanya bisa menambah jumlah lapangan kerja 1.590.000. Hal ini berarti di dalam negeri masih kekurangan 8.957.917 lapangan kerja. Di antara banyaknya pengangguran di negeri ini justru yang paling mengenaskan adalah lebih dari 50 persen sarjana menganggur, padahal sarjana inilah yang diharapkan untuk menjadi agent of change yang bisa membawa kemajuan bagi bangsa ini (Gani 2009). Menurut
Rasyidi
dalam
Ariamtisna
(2008)
banyaknya
angka
pengangguran salah satunya juga disebabkan minimnya jiwa kewirausahaan masyarakat. Pendidikan di perguruan tinggi lebih banyak menghasilkan lulusan perguruan pekerja berkualifikasi akademis tinggi padahal yang dibutuhkan adalah lulusan yang berjiwa kewirausahaan karena seharusnya jumlah wirausaha di Indonesia saat ini sedikitnya 4.400.000 atau dua persen dari total jumlah penduduk, namun saat ini baru ada 400.000 pengusaha di Indonesia. Kalangan
terdidik
cenderung
menghindari pilihan
pekerjaan
ini karena
preferensinya terhadap pekerjaan di kantor lebih tinggi. Preferensi yang lebih tinggi didasarkan pada perhitungan biaya yang telah dikeluarkan selama menempuh pendidikan dan mengharapkan tingkat pengembalian (rate of return) yang sebanding (Citra 2010). Kecenderungan menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar keinginan mendapat pekerjaan yang aman. Kalangan terdidik tidak berani mengambil pekerjaan berisiko seperti berwirausaha. Pilihan status pekerjaan utama para lulusan perguruan tinggi adalah sebagai karyawan atau
2
buruh, dalam arti bekerja pada orang lain atau perusahaan secara tetap dengan menerima upah yang rutin. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) semester pertama tahun 2007 menunjukkan tiga dari empat lulusan perguruan tinggi memilih status untuk menjadi karyawan. Hanya lima persen yang berwirausaha yaitu dengan membuka usaha yang dapat mempekerjakan buruh atau karyawan yang dibayar tetap (Darmaningtyas dalam Citra 2010). Kecilnya minat berwirausaha di kalangan lulusan perguruan tinggi sangat disayangkan. Harusnya,
melihat
kenyataan
bahwa
lapangan
kerja
yang
ada
tidak
memungkinkan untuk menyerap seluruh lulusan perguruan tinggi di Indonesia, para lulusan perguruan tinggi mulai memilih berwirausaha sebagai pilihan karir. Kewirausahaan
memiliki
peranan
yang
sangat
penting
dalam
perekonomian Indonesia karena kewirausahaan memiliki peran untuk menambah daya tampung tenaga kerja, generator pembangunan, contoh bagi masyarakat lain, membantu orang lain, memberdayakan karyawan, hidup efisien, dan menjaga
keserasian
seseorang
lingkungan.
memanfaatkan
Jiwa
peluang
kewirausahaan
yang
ada
akan
menjadi
mendorong
sesuatu
yang
menguntungkan. Pendorong utama meningkatnya kebutuhan kewirausahaan adalah munculnya ragam kesempatan berusaha dalam produksi dan pemasaran barang dan jasa (Alma 1999). Indonesia masih membutuhkan sumber daya manusia tangguh yang memiliki jiwa kewirausahaan untuk mengembangkan sektor pertanian sebagai suatu sektor yang memiliki basis sumber daya alam yang berlimpah. Hal tersebut menjadi tantangan bagi Institut Pertanian Bogor (IPB) yang merupakan perguruan tinggi negeri di bidang pertanian yang dituntut untuk menghasilkan sumber daya manusia tangguh yang dapat berperan dalam pengembangan pertanian. IPB telah mencanangkan lima pilar orientasi pendidikan untuk mempersiapkan sumber daya manusia tersebut. Kelima pilar tersebut adalah profesionalisme, kepekaan sosial, kepedulian lingkungan, jiwa kewirausahaan dan moral (Daryanto dalam Fawaqa 2006). Hal ini sesuai dengan visi Institut Pertanian Bogor, yaitu ”Menjadi universitas riset terkemuka di Asia dengan kompetensi
utama
pertanian
tropika,
berkarakter
kewirausahaan,
dan
bersendikan keharmonisan” (Panduan Program Sarjana 2008). Dari
lima
pilar
pendidikan
dan
visi
IPB
terlihat
jelas
bahwa
pengembangan jiwa kewirausahaan menjadi salah satu titik penting bagi pembinaan kemahasiswaan di IPB. Hal ini dikarenakan mahasiswa memiliki
3
potensi yang sangat luar biasa dalam bidang kewirausahaan. Mahasiswa yang berada pada proses menuju pendewasaan berfikir dan persiapan menuju kehidupan pascakampus serta ditunjang dengan semangat generasi muda yang memiliki potensi sangat besar untuk mulai berwirausaha (Azzahra 2009). Usia mendirikan usaha terlihat cukup potensial pada usia 20-24 tahun yang merupakan kisaran usia mahasiswa (Zimmerer & Scarborough dalam Azzahra 2009). Hasil penelitian terbaru terhadap wirausaha warung internet di Indonesia membuktikan bahwa usia
wirausahawan berkorelasi signifikan terhadap
kesuksesan usaha yang dijalankan (Kristiansen et al. 2003). Keinginan seseorang untuk berwirausaha dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti karakteristik individu, karakteristik keluarga, faktor psikologis, nilai budaya dan sosial, serta pendidikan. Penelitian Schiller dan Crawson dalam Indarti dan Rokhima (2008) menemukan adanya perbedaan yang signifikan dalam
hal
kesuksesan
berwirausaha
antara
perempuan
dan
laki-laki.
Berdasarkan penelitian Mazzarol et al. (1999), perempuan cenderung kurang menyukai untuk membuka usaha baru dibandingkan kaum laki-laki. Hal ini mungkin dikarenakan laki-laki mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan perempuan dalam hal penghasilan sehingga laki-laki akan berusaha untuk mendapatkan pekerjaan atau membuka usaha baru. Keluarga adalah salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang untuk berwirausaha. Orang tua akan memberikan corak budaya, suasana rumah, pandangan hidup dan pola sosialisasi yang akan menentukan sikap, perilaku serta proses pendidikan terhadap anak-anaknya. Orang tua yang bekerja sebagai wirausaha akan mendukung dan mendorong kemandirian, berprestasi dan bertanggung jawab. Dukungan orang tua ini, terutama ayah sangat penting dalam pengambilan keputusan pemilihan karir bagi anak seperti menjadi wirausaha. Orang tua memberikan dampak kuat pada pemilihan karir, penelitian menunjukkan para wirausaha biasanya memiliki orang tua yang juga seorang wirausaha (Peterman & Kennedy 2003). Menurut Hisrich dan Peters dalam Wijaya (2007), pendidikan penting bagi wirausaha. Bukan hanya gelar yang didapatkannya saja, namun pendidikan juga mempunyai peranan yang besar dalam membantu mengatasi masalah-masalah dalam bisnis seperti keputusan investasi dan sebagainya. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa 70 persen wirausahawati adalah lulusan perguruan tinggi. Secara lebih spesifik penelitian ini menemukan bahwa pendidikan yang
4
dibutuhkan untuk berwiraswasta termasuk dalam area finansial, strategi perencanaan, pemasaran dan manajemen. Kram et al. dalam Farzier dan Niehm (2008) menemukan bahwa pendidikan dan pelatihan mempengaruhi persepsi orang terhadap karir kewirausahaan, dengan menyediakan kesempatan untuk mensimulasikan memulai usaha. Intensi berwirausaha telah terbukti menjadi prediktor yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan (Krueger & Carsrud dalam Indarti dan Rokhima 2008). Menurut Ajzen (1988) intensi seseorang terhadap perilaku tertentu dipengaruhi oleh tiga variabel yaitu sikap, norma subjektif dan kontrol perilaku yang disebut dengan Theory of Planned Behavior (TPB). Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa keinginan berwirausaha para mahasiswa merupakan sumber bagi lahirnya wirausaha-wirausaha masa depan (Gorman et al. 1997). Oleh karena itu, hal yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha pada mahasiswa melalui pendekatan Theory of Planned Behavior (TPB).
Perumusan Masalah Upaya untuk mendorong minat berwirausaha mulai terlihat dilakukan oleh kalangan institusi pendidikan, termasuk perguruan tinggi dan Institut Pertanian Bogor
adalah
salah
satunya.
IPB
telah
menyelenggarakan
Program
Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa (PPKM) untuk menjaring potensi wirausaha di kalangan mahasiswa sekaligus melatih jiwa kewirausahaannya agar kelak bisa berkarir sebagai seorang wirausahawan. Potensi mahasiswa untuk berwirausaha juga terlihat pada banyaknya mahasiswa yang mengikuti berbagai program pengembangan kewirausahaan. Salah satunya adalah keaktifan mahasiswa dalam Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKMK) yang merupakan suatu ajang lomba yang berhasil menunjukkan potensi wirausaha
mahasiswa
dan
juga
sebagai
wadah
pengembangan
jiwa
kewirausahaan bagi generasi muda, yaitu mahasiswa yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti). Selain itu, di IPB juga terdapat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Century yang merupakan wadah untuk mengaplikasikan jiwa kewirausahaan mahasiswa. Adanya program kewirausahaan tersebut, diharapkan meningkatkan intensi kewirausahaan mahasiswa. Kurikulum yang telah memasukkan pelajaran atau mata kuliah
5
kewirausahaan juga telah marak di perguruan tinggi termasuk di IPB. Namun demikian, hasilnya masih belum terlihat. Para lulusan perguruan tinggi masih saja tidak mau untuk langsung terjun sebagai wirausahawan (Citra 2010). Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni (DPKHA) atau Career Development and Alumni Affairs yang sering disebut CDA IPB juga berusaha untuk meningkatkan berbagai pola pembinaan kewirausahaan, baik kepada mahasiswa maupun alumni agar dapat berusaha secara mandiri, bahkan dapat menyerap tenaga kerja. Berdasarkan hasil studi CDA periode 2005-2009, wirausaha adalah jenis profesi yang paling diminati oleh mahasiswa IPB di tingkat pertama dengan jumlah peminat yang mencapai 35-40 persen. Namun demikian, ada kecenderungan yang mengkhawatirkan karena minat mahasiswa untuk berwirausaha semakin menurun menjelang kelulusan dan alumni IPB yang benar-benar berwirausaha setelah menyelesaikan studi hanya sekitar empat persen (Nurrochmat 2009). Gambar 1 menunjukkan sebaran status kerja alumni IPB pada tahun 2010 yang mencapai jumlah 1.537 alumni. Hasil penelitian DPKHA tahun 2010 tersebut menunjukkan persentase dominan berada pada status bekerja dengan persentase sebesar 84,71 persen.
Namun sedikit sekali alumni yang
berwirausaha setelah lulus kuliah yang ditunjukkan dari sebaran status kerja yang berwirausaha hanya sebesar 4,42 persen. Sementara itu, persentase alumni yang berstatus kerja berdasarkan aktivitas lain sebesar 10,87 persen (Laporan Tracer Studi 2010).
Gambar 1 Grafik persentase sebaran responden status kerja alumni berdasarkan fakultas tahun 2010
6
Seseorang dengan intensi untuk memulai usaha akan memiliki kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dalam usaha yang dijalankan dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai usaha. Intensi dapat dijadikan sebagai pendekatan dasar yang masuk akal untuk memahami siapa-siapa yang akan menjadi wirausaha (Choo & Wong 2006). Menurut Ajzen (1988) dalam Theory of Planned Behavior (TPB), intensi dibentuk oleh tiga variabel yaitu sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku. Hal ini sangat tepat untuk dikaji lebih lanjut, mengingat banyaknya program kewirausahaan yang ada tetapi pada akhirnya, mahasiswa tetap memilih bekerja dibandingkan untuk berwirausaha. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa meskipun minat mahasiswa IPB tinggi terhadap kewirausahaan yang terlihat dari antusiasme dalam mengikuti program kewirausahaan yang ada di kampus tetapi setelah lulus ternyata hanya sedikit yang menjadi wirausaha. Oleh karenanya, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana tingkat sikap, norma subjektif, kontrol perilaku, dan intensi berwirausaha pada mahasiswa IPB? 2. Bagaimana hubungan antara karakteristik individu, karakteristik keluarga, dan pendidikan kewirausahaan dengan sikap, norma subjektif, kontrol perilaku, dan intensi berwirausaha mahasiswa IPB? 3. Bagaimana hubungan antara sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku dengan intensi berwirausaha mahasiswa IPB? 4. Bagaimana pengaruh pendidikan kewirausahaan, sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku terhadap intensi berwirausaha mahasiswa IPB? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara menganalisis
umum, pengaruh
tujuan
diadakannya
pendidikan
penelitian
kewirausahaan
ini
adalah
terhadap
untuk intensi
berwirausaha mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui pendekatan Theory of Planned Behavior. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik contoh (jenis kelamin, usia, suku (daerah), Indeks Prestasi Kumulatif, dan uang saku bulanan), karakteristik keluarga (pendidikan orang tua dan pekerjaan orang tua), dan pendidikan kewirausahaan (secara formal maupun nonformal) contoh.
7
2. Menganalisis tingkat sikap, norma subjektif, kontrol perilaku, dan intensi berwirausaha contoh. 3. Menganalisis
hubungan
antara
karakteristik
individu,
karakteristik
keluarga, dan pendidikan kewirausahaan dengan sikap, norma subjektif, kontrol perilaku, dan intensi berwirausaha contoh. 4. Menganalisis hubungan antara sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku dengan intensi berwirausaha contoh. 5. Menganalisis
pengaruh
pendidikan
kewirausahaan,
sikap,
norma
subjektif, dan kontrol perilaku terhadap intensi berwirausaha contoh.
Kegunaan Penelitian Beberapa kegunaan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: 1. Bagi peneliti. Penelitian ini berguna sebagai sarana untuk menambah wawasan, pemahaman, pengalaman, pengembangan ilmu yang berguna untuk masa depan. 2.
Bagi
mahasiswa.
Penelitian
ini
berguna
untuk
mengetahui
intensi
kewirausahaan pada mahasiswa sehingga bisa menumbuhkan perilaku berwirausaha di kalangan mahasiswa dan menjadi bahan untuk penelitian selanjutnya. 3. Bagi pihak Institusi IPB. Penelitian ini berguna memberikan informasi kepada pihak
Rektorat
Institut
Pertanian
Bogor
khususnya
Direktorat
Kemahasiswaan dan Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni (DPKHA)
terkait
dengan
program
kewirausahaan
sehingga
dapat
menumbuhkan jiwa kewirausahaan pada mahasiswa. 4. Bagi Pemerintah. Penelitian ini berguna dalam memberikan informasi kepada pihak Departemen Ketanagakerjaan dalam mengambil kebijakan mengenai peningkatan pengembangan kewirausahaan terkait dengan program serta penyediaan sarana dan prasarana untuk meningkatkan jiwa kewirausahaan di kalangan masyarakat. 5. Bagi pihak Lembaga Keuangan. Penelitian ini berguna dalam hal penyediaan modal dalam rangka meningkatkan jumlah wirausaha di Indonesia.
8
9
TINJAUAN PUSTAKA Teori Perilaku yang telah Direncanakan (Theory of Planned Behavior) Para teoritikus sikap memiliki pandangan bahwa sikap seseorang terhadap suatu objek sudah dapat dijadikan prediktor apakah ia akan melakukan suatu tindakan atau tidak. Fishbein dan Ajzen (1975) berpendapat berbeda, mereka menyatakan bahwa sikap seseorang itu belum cukup pasti untuk memunculkan suatu perilaku. Melalui Teori Aksi Beralasan (Theory of Reasoned Action) yang dikenal dengan singkatan TRA, keduanya kemudian menambahkan faktor norma subjektif sebagai faktor tekanan lingkungan yang ikut andil dalam memunculkan perilaku. Akumulasi dari faktor sikap dan norma subjektif tersebut disebut sebagai intensi atau niat (intention). Fishbein dan Ajzen (1975) menjelaskan bahwa intensi seseorang terhadap perilaku dibentuk oleh dua faktor utama yaitu sikap perilaku tertentu (attitude toward the behavior) dan norma subjektif (subjective norms). Sikap merupakan evaluasi atau penilaian positif atau negatif seseorang terhadap sejumlah kepercayaan (belief) terhadap objek tertentu. Sementara itu, norma subjektif yaitu sejauh mana keinginan individu memenuhi harapan dari sejumlah pihak yang dianggap penting berkaitan dengan perilaku tertentu. Gambar 2 dapat memperjelas pemahaman tentang intensi yang telah diuraikan di atas.
Sikap Intensi
Perilaku
Norma Subjektif Gambar 2 Model Theory of Reason Action (TRA) (Sumber : Fishbein dan Ajzen 1975)
Selain itu juga, Ajzen (1988) menjelaskan bahwa intensi melibatkan empat elemen penting yaitu TACT yang merupakan singkatan dari Target, Action, Context, dan Time. Keempat elemen itu dapat diartikan sebagai objek target pada perilaku tersebut (Target), perilaku (Action), situasi dimana perilaku harus ditampilkan (Context) dan kapan perilaku harus ditampilkan (Time). Semakin jelas keempat elemen ini maka semakin kuat intensi memprediksi perilaku tertentu.
10
TRA dinilai memiliki kelemahan karena adanya penekanan pada faktor norma subjektif yang dianggap terlalu melemahkan faktor individu sebagai pengendali atas tingkah lakunya sendiri. Oleh karena itu, TRA dikembangkan menjadi Theory of Planned Behavior (TPB) dengan menambahkan kontrol perilaku (perceived behavioral control) sebagai penentu niat seseorang. TPB menjelaskan bahwa perilaku seseorang tidak hanya dikendalikan oleh dirinya sendiri, tetapi juga kontrol yang ketersediaan sumber daya dan kesempatan tertentu (perceived behavioral control) (Ajzen 1988). Gambar 3 memberikan pemahaman bahwa intensi seseorang terhadap perilaku tertentu dipengaruhi oleh tiga variabel yaitu sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku.
Sikap
Intensi
Perilaku
Norma Subjektif
Kontrol perilaku Gambar 3 Model Theory of Planned Behavior (TPB) (Sumber : Ajzen 1988)
Berikut
ini
akan
dijelaskan
komponen-komponen
intensi
melalui
pendekatan Theory of Planned Behavioral. Sikap Sikap merupakan salah satu komponen dalam intensi terhadap perilaku tertentu. Sikap atau attitude merupakan suatu faktor yang ada dalam diri seseorang yang dipelajari untuk memberikan respon dengan cara konsisten yaitu suka atau tidak suka pada penilaian terhadap suatu yang diberikan. Salah satu pemahaman sikap yang juga penting adalah bahwa sikap terdiri dari tiga komponen yang dikenal dengan trilogi sikap, yaitu sikap terdiri dari afektif, kognitif dan konatif. Afektif berarti perasaan atau penilaian tertentu seseorang baik terhadap suatu objek, orang, isu maupun kejadian. Kognitif terdiri dari
11
pengetahuan, opini, dan kepercayaan terhadap suatu objek. Sedangkan komponen konatif merupakan bentuk perasaan dan evaluatif (Fishbein & Azjen 1975). Sikap dalam teori ini memiliki dua aspek pokok, yaitu: kepercayaan perilaku dan evaluasi. Kepercayaan perilaku adalah keyakinan individu bahwa menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu akan menghasilkan akibat-akibat atau hasil-hasil tertentu, dan merupakan aspek pengetahuan individu tentang obyek sikap dapat pula berupa opini individu hal yang belum tentu sesuai dengan kenyataan. Semakin positif keyakinan individu akan akibat dari suatu obyek sikap maka akan semakin positif pula sikap individu terhadap obyek sikap tersebut, demikian pula sebaliknya. Evaluasi adalah penilaian seseorang terhadap hasil-hasil yang dimunculkan dari suatu perilaku. Evaluasi akan berakibat pada perilaku penilaian yang diberikan individu terhadap tiap-tiap akibat atau hasil yang diperoleh oleh individu. Apabila menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu, evaluasi atau penilaian ini dapat bersifat menguntungkan atau merugikan (Fishbein
& Ajzen 1975). Berikut ini adalah
formulasi model sikap dalam TPB. n AB = ∑ bi . ei i=1 Keterangan :
AB b i
e n
= sikap terhadap perilaku tertentu = kepercayaan terhadap perilaku tersebut yang mengarahkan pada konsekuensi atau hasil = hasil (outcome) = evaluasi seseorang terhadap hasil = jumlah kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap perilaku tertentu
Norma Subjektif Komponen intensi lainnya dalam intensi terhadap perilaku tertentu adalah norma subjektif. Norma subjektif adalah persepsi seseorang terhadap pikiran pihak-pihak yang dianggap berperan dan memiliki harapan kepadanya untuk melakukan sesuatu dan sejauh mana keinginan untuk memenuhi harapan tersebut. Konsep norma subjektif merupakan representasi dari tuntutan atau tekanan lingkungan yang dihayati individu dan menunjukkan keyakinan individu atas adanya persetujuan atau tidak dari figur-figur sosial jika ia melakukan suatu perbuatan. Orang lain atau figur sosial dalam norma subjektif yang dimaksud biasanya ialah significant other bagi orang yang bersangkutan (Fishbein dan
12
Ajzen 1975). Figur-figur sosial yang penting bisa saja termasuk di dalamnya orang tua, teman dekat, suami atau istri, rekan kerja (Wijaya 2007). Norma subjektif dibentuk oleh dua aspek, yakni keyakinan normatif dan motivasi untuk memenuhi tuntunan lingkungan. Keyakinan normatif merupakan pandangan pihak lain yang dianggap penting oleh individu yang menyarankan individu
untuk
menampilkan
atau
tidak
menampilkan
perilaku
tertentu.
Sementara itu, motivasi untuk memenuhi tuntunan lingkungan merupakan kesediaan individu untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan pendapat atau pikiran pihak lain yang dianggap penting bahwa individu harus atau tidak harus menampilkan perilaku tertentu (Fishbein & Ajzen 1975). Rumusan norma subjektif pada intensi perilaku tertentu dirumuskan sebagai berikut. n SN = ∑ bi . mi i=1
Keterangan : SN bi mi
= norma subjektif = kepercayaan normatif = motivasi untuk mengikuti sejumlah n referensi atau i
Kontrol Perilaku Komponen ketiga dalam intensi adalah kontrol perilaku. Kontrol perilaku ini merupakan suatu acuan adanya kesulitan atau kemudahan yang ditemui seseorang dalam berperilaku tertentu. Kontrol perilaku berperan dalam Theory of Planned Behavior dalam dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung berdasarkan kontrol-kontrol yang ada pada diri seseorang. Kontrol perilaku berperan secara tidak langsung mempengaruhi perilaku yaitu melalui intensi terhadap perilaku. Selain itu, kontrol perilaku juga bisa secara langsung mempengaruhi perilaku tersebut (Ajzen 1988). Variabel ini kemudian dirumuskan sebagai berikut. PBC = ∑ Ci . Pi Keterangan :
PBC Ci Pi
= kontrol perilaku = control belief strength (kekuatan keyakinan seseorang bahwa ia bisa berbuat sesuatu) = control belief power (keyakinan seseorang akan adanya hambatan atau dukungan untuk melakukan suatu perbuatan)
13
Intensi dan Intensi Kewirausahaan Perilaku seseorang dapat diprediksi melalui pengukuran sikapnya terhadap suatu objek tertentu. Pendekatan ini dapat dijembatani dengan melihat intensi untuk menampilkan perilaku tertentu dalam diri seseorang. Intensi secara harfiah bermakna niat. Fishbein dan Ajzen (1975) mendefinisikan intensi atau niat ini sebagai kemungkinan subjektif (subjective probability) individu untuk berperilaku tertentu. Intensi merupakan dimensi probabilitas lokasi subjektif seseorang yang menghubungkan antara dirinya dengan suatu tindakan tertentu. Dengan kata lain, intensi merupakan besarnya dimensi probabilitas subjektif seseorang yang akan ditampilkan dalam bentuk perilaku tertentu. Intensi dipandang sebagai ubahan yang paling dekat dari individu untuk melakukan perilaku, maka dengan demikian intensi dapat dipandang sebagai hal yang khusus dari keyakinan yang obyeknya selalu individu dan atribusinya selalu perilaku (Fishbein & Ajzen 1975). Menurut Ajzen (1988) pembentukan intensi pada diri seseorang terikat dalam suatu perilaku tertentu. Intensi terbentuk dalam rangka memenuhi faktor-faktor kebutuhan yang memiliki dampak pada perilaku. Intensi juga menandakan bagaimana upaya seseorang bertekad untuk mencoba dan berencana untuk menampilkan perilaku tertentu. Santoso (1995) beranggapan bahwa intensi adalah hal-hal yang diasumsikan dapat menjelaskan faktor-faktor motivasi serta berdampak kuat pada tingkah laku. Hal ini mengindikasikan seberapa keras seseorang berusaha dan seberapa banyak usaha yang dilakukan agar perilaku yang diinginkan dapat dilakukan. Jika sikap positif dan individu terdorong untuk berbuat sesuai harapan lingkungan untuk melakukan suatu perbuatan, ditambah individu melihat bahwa tidak ada hambatan baginya untuk berperilaku maka kemungkinan munculnya perilaku tinggi. Dengan kata lain, niatnya besar. Bila sikap negatif, individu tidak mau menentang harapan lingkungan padanya, dan individu merasa tidak akan mampu melakukan suatu perbuatan, maka niat menjadi lemah, yang ini berarti kemungkinan dia berperilakupun rendah (Wijaya 2007). Penelitian untuk melihat aspek intensi kewirausahaan seseorang telah mendapat perhatian cukup besar dari para peneliti. Intensi kewirausahaan dapat diartikan sebagai proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembentukan suatu usaha (Katz & Gartner 1988). Seseorang dengan intensi untuk memulai usaha akan memiliki kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dalam usaha yang dijalankan dibandingkan seseorang tanpa intensi
14
untuk memulai usaha. Intensi kewirausahaan adalah prediksi yang reliabel untuk mengukur perilaku kewirausahaan dan aktivitas kewirausahaan (Krueger et al. 2000). Umumnya, intensi kewirausahaan adalah keadaan berfikir yang secara langsung dan mengarahkan perilaku individu ke arah pengembangan dan implementasi konsep bisnis yang baru (Birds, 1988 dalam Nasrudin et al. 2009).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku dan Intensi Berwirausaha Karakteristik Individu Usia. Usia ketika seseorang memulai usaha menjadi kurang penting, tetapi apabila sudah ada pelatihan dan persiapan yag memadainya sebaiknya semakin awal memulai usaha akan semakin baik daripada menunda usaha (Staw dalam Riyanti 2003). Hurlock (1980) berpendapat bahwa perkembangan karier berjalan seiring dengan proses perkembangan manusia. Roe dalam Wijaya (2007) mengatakan bahwa minat terhadap pekerjaan mengalami perubahan sejalan dengan usia tetapi menjadi relatif stabil pada post adolescent. Hasil penelitian Hijriyah (2004) menemukan bahwa umur mempengaruhi perilaku wirausaha pedagang Fried Chicken kaki lima di kota Bogor. Jenis kelamin. Jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap minat berwirausaha mengingat adanya perbedaan terhadap pandangan pekerjaan antra pria dan wanita. Manson dan Hogg dalam Wijaya (2007) mengemukakan bahwa kebanyakan wanita cenderung sambil lalu dalam memilih pekerjaan dibanding dengan pria. Wanita menganggap pekerjaan bukanlah hal yang penting. Karena wanita masih dihadapkan pada tuntutan tradisional yang lebih besar menjadi istri dan ibu rumah tangga. Seperti yang sudah diduga, bahwa mahasiswa laki-laki memiliki intensi yang lebih kuat dibandingkan mahasiswa perempuan. Secara umum, sektor wiraswasta adalah sektor yang didominasi oleh kaum laki-laki. Kolvereid (1996) menyatakan bahwa laki-laki terbukti mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Matthews dan Moser (1996) pada lulusan master di Amerika dengan menggunakan studi longitudinal menemukan bahwa minat laki-laki untuk berwirausaha konsisten dibandingkan minat perempuan yang berubah menurut waktu. Uang Saku Bulanan. Uang saku bulanan adalah uang yang diterima mahasiswa setiap bulannya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang berasal dari orang tua, beasiswa, hasil dari bekerja, berwirausaha dan lain-lain.
15
Hasil penelitian Azzahra (2009) menemukan bahwa uang saku per bulan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pengetahuan, sikap, tindakan, maupun perilaku wirausaha mahasiswa IPB peserta PPKM dan PKMK. Tren wirausaha saat ini bukan lagi ingin digeluti oleh orang yang berpenghasilan rendah, tetapi juga yang berpenghasilan tinggi. Suku (daerah). Hasil penelitian Azzahra (2009) menyatakan bahwa karakteristik suku (daerah) berhubungan nyata dengan sikap dan tindakan wirausaha. Dari sisi sikap wirausaha, hal ini disebabkan karena adanya pandangan dan persepsi positif terhadap profesi wirausaha oleh beberapa suku (daerah) di Indonesia seperti suku Minang, sehingga mempengaruhi sikap wirausaha responden. Dari sisi tindakan wirausaha, adanya adat atau kebiasaan di suku (daerah) yang lebih cepat dalam bertindak dan melakukan sesuatu dibandingkan dengan suku (daerah) lain. Adat dan kebiasaan tersebut tentunya mempengaruhi tindakan seseorang dalam berwirausaha. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) merupakan angka yang menunjukkan prestasi akademik atau kemajuan belajar mahasiswa secara kumulatif yang dicapai mulai dari semester 1 sampai dengan semester paling akhir untuk semua mata kuliah yang ditempuh (Anonim 2009). Penelitian yang dilakukan Azzahra (2009) menyatakan bahwa IPK tidak berhubungan nyata dengan perilaku wirausaha maupun unsur-unsurnya yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan wirausaha. Orang yang memiliki IPK tinggi belum tentu memiliki pengetahuan, sikap dan tindakan wirausaha yang baik. Karakteristik Keluarga Keluarga adalah tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Segala perilaku orang tua dan pola asuh yang diterapkan didalam keluarga pasti berpengaruh dalam pembentukan kepribadian atau karakter seorang anak (Schikendanz dalam Megawangi 2004). Pekerjaan Orang tua. Menurut Staw dalam Riyanti (2003) ada bukti kuat bahwa wirausaha memiliki orang tua yang bekerja mandiri atau berbasis sebagai wirausaha meskipun tidak ada studi banding dengan wirausaha yang orang tuanya bukan wirausaha, relasi dengan orang tua yang wirausaha tampaknya menjadi aspek penting yang membentuk keinginan seseorang untuk menjadi wirausaha. Pendidikan Orang tua. Tingkat pendidikan orang tua merupakan aspek yang mempengaruhi keefektifan komunikasi dalam keluarga. Tingkat pendidikan
16
yang dicapai seseorang akan membentuk cara, pola dan karakter berpikir, presepsi, pemahaman, dan kepribadian (Guhardja et al. 1992). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004) pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan anak. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka semakin besar pengetahuan orang tua akan pentingnya pendidikan. Dengan demikian, orang tua diharapkan dapat memberi stimulasi dan fasilitas yang dapat menunjang proses belajar dan prestasi akademik anak. Pendidikan Kewirausahaan Pengaruh pendidikan kewirausahaan selama ini telah dipertimbangkan sebagai salah satu faktor penting untuk menumbuhkan dan mengembangkan hasrat, jiwa dan perilaku berwirausaha di kalangan generasi muda. Pendidikan memainkan peran penting pada saat wirausaha mencoba mengatasi masalahmasalah dan mengoreksi penyimpangan dalam praktek bisnis (Kourilsky & Walstad 1998). Melalui pendidikan formal, belajar kewirausahaan dapat dilakukan melalui Mata Kuliah Kewirausahaan yang bisa memberikan pemahaman yang lebih baik tentang proses kewirausahaan, tantangan yang dihadapi para pendiri usaha baru dan masalah yang harus diatasi agar berhasil. Pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal tersebut terkait langsung dengan bidang usaha yang dikelola. Semakin banyak seseorang tertarik untuk belajar dalam dunia pendidikan akan meningkatkan dalam usahanya (Utami 2007). Rahmawati (2000) mengatakan bahwa paket pendidikan kewirausahaan akan membentuk siswa untuk mengejar karir kewirausahaan. Meski pendidikan formal bukan syarat untuk memulai usaha baru, pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal memberi dasar yang baik apalagi bila pendidikan formal tersebut terkait dengan bidang usaha yang dikelola (Riyanti 2003). Di sisi lain, kewirausahaan juga dapat dipelajari dari pendidikan nonformal. Pendidikan kewirausahaan nonformal sangat penting karena mahasiswa yang mengetahui prinsip-prinsip kewirausahaan dan pengelolaan bisnis dari pendidikan formalnya tersebut belum tentu menjadi wirausaha yang sukses. Mereka perlu dibekali dengan berbagai atribut, keterampilan dan perilaku yang dapat meningkatkan kemampuan kewirausahaan mereka dengan pelatihan kewirausahaan (Brockhaus dalam Bell 2008). Kram et al dalam Farzier dan Niehm (2008) menemukan bahwa pendidikan dan pelatihan mempengaruhi
17
persepsi orang terhadap karir kewirausahaan, dengan menyediakan kesempatan untuk mensimulasikan memulai usaha. Kewirausahaan dan Wirausaha John Kao dalam Sudjana (2004) menyebutkan bahwa kewirausahaan adalah sikap dan perilaku wirausaha. Kewirausahaan yang sering dikenal dengan
sebutan
entrepreneurship
berasal
dari
bahasa
Perancis
yang
diterjemahkan secara harfiah adalah perantara. Secara lebih luas kewirausahaan didefinisikan sebagai proses penciptaan sesuatu yang berbeda nilainya dengan menggunakan usaha dan waktu yang diperlukan, memikul resiko finansial, psikologi dan sosial yang menyertainya serta menerima balas jasa moneter dan kepuasan pribadi. Namun demikian, istilah kewirausahaan dapat pula diartikan sebagai sikap dan perilaku mandiri yang mampu memadukan unsur cipta, rasa, dan karsa serta karya atau menggabungkan kreativitas, tantangan, kerja keras, dan kepuasan untuk mencapai prestasi maksimal sehingga dapat memberikan nilai tambah maksimal terhadap jasa, barang, maupun pelayanan yang dihasilkan
dengan
mengindahkan
sendi-sendi
kehidupan
masyarakat.
Kewirausahaan merupakan suatu kualitas dari sikap seseorang daripada hanya sekedar keahlian. Seorang wirausaha memiliki kualifikasi yang tahan banting, selalu mencari peluang, dan memiliki visi (Sutanto 2002). Wirausaha adalah orang yang menciptakan kerja bagi orang lain dengan cara mendirikan, mengembangkan, dan melembagakan perusahaan miliknya sendiri dan bersedia mengambil resiko pribadi dalam menentukan peluang berusaha dan secara kreatif menggunakan potensi-potensi dirinya untuk mengenali produk, mengelola dan menentukan cara produksi, menyusun operasi untuk pengadaan produk, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya (Riyanti 2003)
18
19
KERANGKA PEMIKIRAN Institut Pertanian Bogor yang merupakan salah satu perguruan tinggi negeri dituntut untuk menghasilkan sumber daya manusia yang tangguh yang dapat berperan dalam pengembangan pertanian. Usaha untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan pada mahasiswa adalah penyelenggaraan mata kuliah yang berkaitan dengan kewirausahaan yang merupakan pendidikan formalnya. Program
Pengembangan
Kewirausahaan
Mahasiswa
(PPKM),
Program
Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKMK), dan pengadaan Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergerak di bidang kewirausahaan yaitu Century yang merupakan
pendidikan
nonformalnya.
Program
kewirausahaan
tersebut
diharapkan bisa menumbuhkan jiwa kewirausahaan pada mahasiswa sehingga dapat meningkatkan intensi berwirausaha mahasiswa. Niat seseorang untuk berwirausaha bisa diukur dengan menggunakan intensi karena menurut Choo dan Wong (2006) menyatakan bahwa intensi berwirausaha dapat dijadikan pendekatan dasar yang masuk akal untuk memahami
siapa-siapa
yang
akan
menjadi
wirausaha.
Penelitian
ini
menggunakan pendekatan Theory of Planned Behavior (TPB) untuk mengetahui intensi berwirausaha pada mahasiswa IPB. TPB merupakan salah satu teori yang sering digunakan untuk mengukur intensi. TPB menjelaskan bagaimana perilaku tertentu dapat diprediksi melalui determinan-determinan perilaku tersebut. Intensi mencakup tiga determinan yang menentukannya, yakni sikap (attitude toward behavior), norma subjektif (subjective norms) dan kontrol perilaku (perceived behavioral control) (Ajzen 1988). Artinya, jika seseorang memiliki sikap positif terhadap perilaku berwirausaha, mendapatkan dukungan lingkungan untuk melakukan suatu tindakan berwirausaha, dan ia merasa bahwa tidak ada hambatan untuk melaksanakannya maka intensi kewirausahaannya akan kuat. Dengan demikian, kemungkinan orang tersebut untuk berperilaku berwirausaha akan sangat tinggi. Selain
menggunakan
model
TPB,
keinginan
seseorang
untuk
berwirausaha atau intensi berwirausaha dapat juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti karakteristik individu, karakteristik keluarga, dan pendidikan kewirausahaan yang diikuti. Karakteristik individu yang akan diteliti berkaitan dengan intensi berwirausaha adalah jenis kelamin, umur, suku (daerah), uang saku bulanan, dan IPK. Sementara itu, karakteristik keluarga yang diteliti meliputi
20
pekerjaan orang tua dan pendidikan orang tua. Pendidikan kewirausahaan yang diteliti yaitu pendidikan secara formal dan secara nonformal yang selanjutnya diduga akan berhubungan dengan intensi berwirausaha. Bagan kerangka pemikiran pengaruh pendidikan kewirausahaan terhadap intensi berwirausaha pada mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Pendekatan Theory of Planned Behavior dapat dilihat pada Gambar 4.
21
Karakteristik individu: - Jenis kelamin - Usia - Suku (daerah) - Indeks Prestasi Kumulatif - Uang saku bulanan -
Sikap
Karakteristik keluarga: - Pekerjaan orang tua - Pendidikan orang tua
Norma Subjektif
Pendidikan kewirausahaan: - Formal - Nonformal
Kontrol Perilaku
Intensi Berwirausaha
Perilaku Berwirausaha
Keterangan:
Hubungan Antar Variabel yang Diteliti Variabel yang Diteliti Hubungan Antar Variabel yang tidak Diteliti Variabel yang tidak Diteliti
Gambar 4 Kerangka pemikiran penelitian diadaptasi dari Theory of Planned Behavior Ajzen (1988)
22
23
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini menggunakan cross sectional study yakni data dikumpulkan pada satu waktu untuk memperoleh gambaran karakteristik contoh. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode survei karena mengambil contoh dari satu populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun & Effendi 1995). Penelitian dilakukan di Institut Pertanian Bogor (IPB) yang berlokasi di Kampus IPB Darmaga. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa IPB merupakan salah satu perguruan tinggi terbesar di Indonesia dan mahasiswa IPB memiliki keinginan untuk mengikuti program dan kegiatan kewirausahaan. Waktu pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret sampai April 2011. Cara Pemilihan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Sarjana IPB semester empat sampai semester delapan tahun ajaran 2010/2011 yang berjumlah 9.279 orang. Data tersebut diperoleh melalui Direktorat Administrasi Pendidikan IPB tahun 2010. Kerangka contoh dalam penelitian ini adalah mahasiswa sarjana IPB yang masih aktif, pernah mengambil mata kuliah yang berhubungan dengan kewirausahaan
(pendidikan
kewirausahaan
secara formal), atau pernah
mengikuti program atau kegiatan kewirausahaan yang ada di IPB (pendidikan kewirausahaan
secara
nonformal).
Jumlah
contoh
yang
akan
diambil
berdasarkan rumus Slovin, yaitu salah satu teknik penentuan jumlah contoh untuk penelitian sosial yang mana dalam penelitian ini menggunakan tingkat kesalahan 10%. Menurut Umar (2003), untuk menentukan jumlah contoh yang diambil, digunakan rumus Slovin berikut: N n
=
9.279 =
(1+Ne2)
= 98,93 1 + 9.279 (0,12)
Keterangan : n = jumlah mahasiswa contoh N = populasi mahasiswa IPB e = kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan yang bisa ditolerir yaitu 10 persen
24
Berdasarkan hasil perhitungan rumus Slovin maka penelitian ini menetapkan jumlah contoh 100 orang. Contoh dipilih secara purposive dengan dibagi menjadi dua yaitu 50 orang yang mengikuti pendidikan kewirausahaan secara formal (kelompok formal) dan 50 orang yang mengikuti pendidikan kewirausahaan secara nonformal (kelompok nonformal). Contoh pada kelompok formal dipilih dari peserta mata kuliah Kewirausahaan, Resiko Bisnis, serta Negosiasi dan Advokasi Bisnis. Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah teknik probability sampling berupa proportional random sampling untuk masing-masing kelompok. Jumlah contoh berdasarkan persentase jumlah mahasiswa peserta mata kuliah Kewirausahaan, Resiko Bisnis, serta Negosiasi dan Advokasi Bisnis dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 No.
Jumlah contoh berdasarkan persentase pendidikan kewirausahaan formal Mata Kuliah
1. Kewirausahaan 2. Resiko Bisnis 3. Negosiasi dan Advokasi Bisnis Total
Jumlah Mahasiswa (N) 396 164 256 816
Persentase (%) 49 20 31 100
Jumlah contoh (n) 24 10 16 50
Sementara itu, contoh pada kelompok nonformal dipilih dari keikutsertaan dalam Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKMK), Program Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa (PPKM), dan Unit Kegiatan Mahasiswa Center of Entrepreneurship Development for Youth (UKM Century). Jumlah contoh berdasarkan persentase jumlah mahasiswa yang mengikuti PKMK, PPKM, dan UKM Century dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah contoh berdasarkan persentase pendidikan kewirausahaan nonformal No.
Program
1. PKMK 2. PPKM 3. UKM Century Total
Jumlah Mahasiswa (N) 1404 932 120 2456
Persentase (%) 57 38 5 100
Jumlah contoh (n) 29 19 2 50
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh secara langsung dari responden yang merupakan mahasiswa sarjana semester empat sampai
25
semester delapan IPB yang mengikuti pendidikan kewirausahaan formal serta nonformal. Data primer yang diambil diantaranya adalah karakteristik individu (jenis kelamin, umur, suku (daerah), uang saku bulanan, dan Indeks Prestasi Kumulatif), karakteristik keluarga (pendidikan, pekerjaan orang tua), pendidikan kewirausahaan (formal dan nonformal), sikap, norma subjektif, kontrol perilaku, dan intensi berwirausaha. Tabel 3 Variabel, skala, dan keterangan No
Variabel
1.
Jenis kelamin
2.
Umur (tahun) (Hijriyah 2004) Suku (daerah) (Azzahra 2009)
3
Skala pertanyaan pada kuesioner Nominal
Nominal
Indeks Prestasi Kumulatif
5.
Uang Saku Bulanan (Rp/bulan)
Rasio
6.
Pendidikan orang tua (lama pendidikan)
Rasio
7.
Pekerjaan orang tua (Azzahra 2009) Pendidikan kewirausahaan formal Pendidikan kewirausahaan nonformal Sikap (skor) Norma subjektif (skor) Kontrol perilaku (skor) Intensi Berwirausaha (skor)
Nominal
9. 10. 11. 12. 13.
1. Laki-laki 2. Perempuan
Rasio
4
8.
Keterangan
Interval
Rasio Rasio Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal
1. Minang 4.Sunda 7. lainnya 2. Batak 5.Jawa 3. Betawi 6. Makasar Penelitian ini mengkategorikan IPK menjadi: 1.Memuaskan (≤ 2,75) 2.Sangat memuaskan(2,76–3,50) 3.Cum laude (≥ 3.51) Penelitian ini mengkategorikan uang saku bulanan menjadi: 1.Rendah (
Rp.1.000.000) Penelitian ini mengkategorikan pendidikan orang tua menjadi: 1. Tidak sekolah (< 6 tahun) 2. Tamat SD (6 tahun) 3. Tamat SMP (9 tahun) 4. Tamat SMU (12 tahun) 5. Tamat akademi/PT (> 12 tahun) 1. Wirausaha 2. Non wirausaha Jumlah keikutsertaan mata kuliah Jumlah keikutsertaan program, seminar, dan pelatihan kewirausahaan -
Data sekunder diperoleh dari buku Panduan Program Sarjana tahun 2008 mengenai gambaran umum lokasi penelitian. Informasi
mengenai jumlah
mahasiswa diperoleh dari Direktorat Administrasi Pendidikan IPB, mengenai Program Kewirausahaan di Institut Pertanian Bogor seperti Program Kreativitas
26
Mahasiswa Kewirausahaan (PKMK) diperoleh dari Direktorat Kemahasiswaan dan mengenai Program Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa (PPKM) diperoleh dari Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni (DPKHA) atau Career Development and Alumni Affairs (CDA). Cara pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menyebarkan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Setiap responden diberikan satu paket kuesioner untuk diisi dengan menggunakan metode self-report. Skala yang digunakan adalah skala nominal, ordinal, rasio, dan interval dengan kategori yang telah disesuaikan dengan jenis variabel yang diukur.
Pengolahan dan Analisis Data Instrumen yang dibuat harus diuji reliabilitasnya. Uji reliabilitas adalah uji keterandalan instrumen yang digunakan dalam penelitian yang akan mampu mengungkapkan informasi yang sebenarnya di lapangan. Instrumen yang diukur reliabilitasnya adalah sikap, norma subjektif, kontrol perilaku, dan intensi berwirausaha. Besarnya reliabilitas pada variabel sikap sebesar 0,955, norma subjektif sebesar 0,773, kontrol perilaku sebesar 0,725, dan intensi berwirausaha sebesar 0,866 (Lampiran 1). Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dipahami. Data yang dikumpulkan dari kuesioner diolah melalui proses editing, coding, scoring, dan entry data ke komputer, cleaning data, dan analize data. Untuk menganalisis data dalam penelitian ini digunakan analisis deskriptif dan inferensia. Analisis data inferensia yang digunakan dalam penelitian ini mencakup uji korelasi dan uji regresi linear berganda. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik contoh (jenis kelamin, umur, suku (daerah), uang saku bulanan, dan Indeks Prestasi Kumulatif), karakteristik keluarga (pendidikan dan pekerjaan orang tua), pendidikan kewirausahaan (secara formal dan nonformal), sikap, norma subjektif, kontrol perilaku, dan intensi berwirausaha. Rumus untuk mengetahui sikap adalah sebagai berikut:
n AB = ∑ bi . ei i=1
27
Keterangan :
AB b i
e n
= sikap terhadap perilaku tertentu = kepercayaan terhadap perilaku tersebut yang mengarahkan pada konsekuensi atau hasil = hasil (outcome) = evaluasi seseorang terhadap hasil = jumlah kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap perilaku tertentu
Rumus untuk mengetahui norma subjektif adalah sebagai berikut: n SN = ∑ bi . mi i=1 Keterangan : SN bi mi
= norma subjektif = kepercayaan normatif = motivasi untuk mengikuti sejumlah n referensi atau i
Rumus untuk mengetahui kontrol perilaku adalah sebagai berikut: PBC = ∑ Ci . Pi Keterangan :
PBC Ci Pi
= kontrol perilaku = control belief strength (kekuatan keyakinan seseorang bahwa ia bisa berbuat sesuatu) = control belief power (keyakinan seseorang akan adanya hambatan atau dukungan untuk melakukan suatu perbuatan)
Pemberian skor ditujukan pada variabel sikap, norma subjektif, kontrol perilaku, dan intensi berwirausaha. Skor pada variabel sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku tersebut dikalikan antara dua komponennya lalu dijumlahkan sesuai dengan model TPB. Setelah didapat skor total lalu dikategorikan dengan kategori rendah, sedang, dan tinggi. Sikap terdiri dari 14 pertanyaan yaitu masing-masing 7 pertanyaan kepercayaan dan 7 pertanyaan evaluasi dengan nilai skor minimal 7 dan nilai skor maksimal 175. Kategori pada variabel sikap terdiri dari rendah (7-63), sedang (64-119), dan tinggi (120-175). Norma subjektif terdiri dari 4 pertanyaan yaitu masing-masing 2 pertanyaan kepercayaan normatif dan 2 pertanyaan motivasi untuk memenuhi tuntunan lingkungan dengan nilai skor minimal 2 dan nilai skor maksimal 50. Kategori pada variabel norma subjektif terdiri dari rendah (2-18), sedang (19-34), dan tinggi (35-50). Kontrol perilaku terdiri dari 12 pertanyaan yaitu masing-masing 6 pertanyaan control belief strength dan 6 pertanyaan control belief power dengan nilai skor minimal 6 dan nilai skor maksimal 150. Kategori pada variabel kontrol perilaku terdiri dari rendah (6-54), sedang (55-92), dan tinggi (93-150). Intensi berwirausaha terdiri dari 3 pertanyaan dengan nilai skor minimal 3 dan nilai skor
28
maksimal 15. Kategori pada variabel intensi berwirausaha terdiri dari rendah (37), sedang (8-11), dan tinggi (12-15). Interval kelas digunakan untuk mengkategorikan variabel sikap, norma subjektif, kontrol perilaku, dan intensi berwirausaha. Interval kelas dapat dihitung dengan cara sebagai berikut: Skor Maksimum (NT) – Skor Minimum (NR) Interval Kelas (I) = ∑ Kategori Keterangan
: Pengelompokkan kategori adalah sebagai berikut: Rendah = NR sampai (NR + I) Sedang = (NR + I) + 1 sampai (NR + 2 I) Tinggi = (NR + 2 I) + 1 sampai NT
Uji korelasi dilakukan untuk menganalisis adanya hubungan antara karakteristik individu, kerakteristik keluarga dan pendidikan kewirausahaan dengan sikap, norma subjektif, kontrol perilaku, dan intensi kewirausahaan contoh. Selain itu juga, untuk menganalisis adanya hubungan antara sikap, norma subjektif, kontrol perilaku terhadap intensi berwirausaha. Uji regresi linear berganda digunakan untuk memprediksi perilaku dari variabel dependen dengan menggunakan lebih dari dua independen. Faktorfaktor yang diduga mempengaruhi intensi berwirausaha berdasarkan Theory of Planned Behavior (TPB) adalah sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku yang dirumuskan sebagai berikut: Y1 = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + ε Keterangan: Y a b X1
= intensi berwirausaha = unstandardrized coefficient β = konstanta = sikap (skor)
X2 X3 ε
= norma subjektif (skor) = kontrol perilaku (skor) = galat
Uji regresi linear berganda juga digunakan untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha dengan menggunakan variabel dalam Theory of
Planned Behavior (TPB) yaitu sikap, norma subjektif, dan kontrol
perilaku serta menambahkan pekerjaan ayah, jumlah pendidikan kewirausahaan formal, jumlah pendidikan kewirausahaan nonformal yang diikuti contoh. Y1 = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + ε Keterangan: Y a b X1
= intensi berwirausaha = unstandardrized coefficient β = konstanta = pekerjaan ayah (0 = non wirausaha, 1 = wirausaha)
29
X2 X3 X4 X5 X6 ε
= jumlah pendidikan kewirausahaan formal yang diikuti contoh (skor) = jumlah pendidikan kewirausahaan nonformal yang diikuti contoh (skor) = sikap (skor) = norma subjektif (skor) = kontrol perilaku (skor) = galat
Pengelompokkan data pendidikan kewirausahaan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok pendidikan kewirausahaan formal, nonformal, serta kombinasi formal dan nonformal. Kelompok kombinasi formal dan nonformal adalah contoh yang mengikuti pendidikan kewirausahaan formal dan pendidikan kewirausahaan nonformal. Skor pada jumlah pendidikan kewirausahaan formal diperoleh dari jumlah mata kuliah yang berhubungan dengan kewirausahaan yang diikuti contoh. Sementara itu, skor pada jumlah pendidikan kewirausahaan nonformal
diperoleh
dari
jumlah
keikutsertaan
contoh
dalam
program
kewirausahaan (PKMK, PPKM, dan UKM Century), seminar kewirausahaan, dan pelatihan kewirausahaan baik yang diadakan oleh IPB maupun non IPB. Contoh yang belum pernah mengikuti kegiatan kewirausahaan nonformal masing-masing diberi skor 0 di setiap kegiatan. Skor pada setiap tahapan PKMK berbeda-beda yaitu contoh yang ikut sampai proposal diberi skor 1, didanai diberi skor 2, sampai pada tahap PIMNAS diberi skor 3, dan apabila menang di PIMNAS diberi skor 4. Sama halnya dengan PKMK, skor pada setiap tahapan PPKM juga berbeda-beda yaitu contoh yang ikut sampai pada tahap mendaftar diberi skor 0,5, Stadium General diberi skor 1, pelatihan diberi skor 2, psikotest diberi skor 3, menyusun rencana bisnis diberi skor 4, memperoleh modal kerja diberi skor 5, dan masih berwirausaha hingga penelitian diambil diberi skor 6. Contoh yang menjadi anggota Century diberi skor 2. Sementara itu, contoh yang mengikuti seminar kewirausahaan diberi skor 1 dan pelatihan kewirausahaan diberi skor 2. Definisi Operasional Jenis kelamin adalah perbedaan contoh antara kategori laki-laki dan perempuan. Umur adalah usia yang dimiliki oleh contoh dinyatakan dalam tahun dan berkisar antara remaja akhir dan dewasa awal. Suku (daerah) adalah suku asal keluarga yang diakui contoh. Uang saku bulanan adalah jumlah uang yang diterima oleh contoh setiap bulannya.
30
Indeks Prestasi Kumulatif adalah nilai yang menunjukkan prestasi akademik atau kemajuan belajar contoh secara kumulatif yang dicapai mulai dari semester 1 sampai semester terakhir yang dilalui untuk semua mata kuliah yang ditempuh. Pendidikan orang tua adalah lama pendidikan yang ditempuh orang tua contoh. Skor satu jika orang tua tidak bersekolah atau tidak tamat SD (< 6 tahun), skor dua jika pendidikan orang tua tamat SD (6 tahun), skor tiga jika pendidikan orang tua tamat Sekolah Menengah Pertama (9 tahun) atau sederajat, skor empat jika orang tua tamat Sekolah Menengah Atas (12 tahun). Terakhir, skor lima jika pendidikan orang tua mencapai akademi atau perguruan tinggi (>12 tahun). Pekerjaan orang tua adalah usaha yang dilakukan orang tua contoh untuk memperoleh uang. Skor satu jika pekerjaan orang tua sebagai wirausaha, sedangkan skor dua jika pekerjaan orang tua bukan sebagai wirausaha. Pendidikan kewirausahaan formal adalah keikutsertaan contoh dalam mata kuliah
yang
berhubungan
dengan
perilaku
berwirausaha
yaitu
Kewirausahaan, Resiko Bisnis serta Negosiasi dan Advokasi Bisnis. Pendidikan kewirausahaan nonformal adalah keikutsertaan contoh dalam kegiatan kewirausahaan nonformal yang ada di IPB, yang terdiri dari Program Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa (PPKM) yang diadakan DPKHA tahun 2010 beserta tahapannya, Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKMK) yang diadakan oleh Dikti tahun 2010 beserta tahapannya, dan UKM Century kepengurusan 2008-2011. Selain itu, ditambahkan dari keikutsertaan contoh dalam seminar dan pelatihan kewirausahaan baik yang dilakukan oleh IPB maupun non IPB. Sikap adalah suatu faktor yang ada dalam diri contoh yang dipelajari untuk memberikan respon dengan cara konsisten yaitu suka atau tidak suka pada penilaian terhadap suatu yang diberikan. Norma subjektif adalah persepsi terhadap pikiran pihak-pihak yang dianggap berperan dan memiliki harapan kepada contoh untuk melakukan sesuatu dan sejauh mana keinginan untuk memenuhi harapan tersebut. Kontrol perilaku adalah persepsi contoh tentang betapa mudah dan sulitnya untuk berperilaku tertentu. Intensi berwirausaha adalah besarnya niat contoh yang akan ditampilkan dalam bentuk perilaku berwirausaha.
31
HASIL Kondisi Umum Lokasi Penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) merupakan lembaga pendidikan tinggi sebagai kelanjutan dari lembaga pendidikan menengah dan tinggi pertanian serta kedokteran hewan yang dimulai pada awal abad ke-20 di Bogor. Jumlah mahasiswa IPB program Sarjana setiap tahunnya selalu meningkat dikarenakan bertambahnya peminat yang ingin meneruskan pendidikan ke IPB untuk mengambil jenjang pendidikan yang lebih tinggi untuk meningkatkan sumberdaya manusia. Hal ini sesuai dengan visi Institut Pertanian Bogor, yaitu ”Menjadi universitas riset terkemuka di Asia dengan kompetensi utama pertanian tropika, berkarakter kewirausahaan, dan bersendikan keharmonisan” (Panduan Program Sarjana 2008). Berdasarkan
visi
IPB,
terlihat
jelas bahwa
pengembangan
jiwa
kewirausahaan menjadi salah satu titik penting bagi pembinaan kemahasiswaan di IPB. Oleh karena itu, IPB melalui Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni (DPKHA) yang juga dikenal dengan sebutan CDA (Career Development and Alumni Affairs) menyelenggarakan Program Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa (PKMK). Program ini diadakan dalam rangka menjaring
potensi
berwirausaha
di
kalangan
mahasiswa
IPB
untuk
dikembangkan menjadi wirausaha yang sukses dengan memberikan bantuan modal usaha dalam jumlah yang memadai, pendampingan usaha, dan pembinaan terarah dengan melibatkan para pengusaha mitra, alumni, dan pihak lainnya yang berkompeten dalam pengembangan kewirausahaan (Azzahra 2009). Program lainnya yang mendukung jiwa berwirausaha pada mahasiswa adalah
Program
Kreativitas
Mahasiswa
Kewirausahaan
(PKMK)
yang
diselenggarakan oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) dalam meningkatkan kualitas peserta didik (mahasiswa) di perguruan tinggi. Program ini diberikan kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan pola pembinaan melalui penyediaan dana yang bersifat kompetitif, akuntabel, dan transparan. Program ini di IPB berada di bawah tanggung jawab Direktorat
Kemahasiswaan.
PKMK
merupakan
kreativitas
penciptaan
keterampilan berwirausaha dan berorientasi pada profit. Umumya didahului oleh
32
survai pasar, karena relevansinya tinggi terhadap terbukanya peluang perolehan profit bagi mahasiswa. Selain itu juga, direktorat Kemahasiswaan IPB menaungi
Unit
Kegiatan
Mahasiswa
(UKM)
yang
bergerak
di
dalam
pengembangan kewirausahaan yaitu UKM Century (Center of Entrepreneurship Development for Youth) yang bertujuan untuk meningkatkan jiwa kepemimpinan dan kreatifitas kewirausahaan mahasiswa, membentuk mahasiswa yang mandiri, professional dan berdaya saing tinggi serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mahasiswa dalam berwirausaha (Panduan Kemahasiswaan IPB 2008). Selain itu, di IPB juga diselenggarakan mayor Agribisnis dan menawarkan minor Pengembangan Usaha Agribisnis dan minor Kewirausahaan Agribisnis. dengan
mata
kuliah
Dasar-Dasar Bisnis, Tataniaga
Produk Agribisnis,
Perencanaan Bisnis, dan Studi Kelayakan Bisnis yang bisa diambil pada semester ganjil. Sementara itu, mata kuliah Kewirausahaan, Resiko Bisnis serta Negosiasi dan Advokasi Bisnis bisa diambil pada semester genap. Mata Kuliah tersebut bisa diambil oleh mahasiswa IPB pada strara Sarjana yang mengambil minor tersebut (Panduan Program Sarjana 2008). Karakteristik Contoh Usia Usia contoh pada penelitian ini berkisar antara 18 sampai 23 tahun. Berdasarkan Tabel 4, sebagian besar contoh pada kelompok nonformal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal berusia 21 tahun dengan persentase masing-masing sebesar sembilan persen dan 21 persen dari total persen keseluruhan contoh. Sementara itu, sebagian besar contoh pada kelompok formal berusia 20 tahun dengan persentase sebesar 14 persen. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan usia dan pendidikan kewirausahaan serta rataan dan standar deviasi usia contoh No 1 2 3 4 5 6
Usia 18 tahun 19 tahun 20 tahun 21 tahun 22 tahun 23 tahun Total
Formal 3 10 14 10 2 0 39
Pendidikan Kewirausahaan (%) Kombinasi Nonformal Formal dan Nonformal 0 0 2 3 5 7 9 21 4 7 2 1 22 39
Total 3 15 26 40 13 3 100
33
Rata-rata std
19,95 1,025
20,95 1,090
20,90 0,882
20,54 1,086
Tidak ada contoh yang berusia 18 tahun pada kelompok nonformal serta kombinasi formal dan nonformal. Sementara itu, pada kelompok formal, tidak ada contoh yang berusia 23 tahun. Rata-rata usia menunjukkan contoh dari kelompok nonformal memiliki usia yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok formal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal. Jenis Kelamin Jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap minat berwirausaha mengingat adanya perbedaan terhadap pandangan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan menganggap pekerjaan bukanlah hal yang penting karena masih dihadapkan pada tuntutan tradisional yang lebih besar yaitu menjadi istri dan ibu rumah tangga. Sementara itu, laki-laki lebih berusaha dalam berwirausaha karena nantinya akan menjadi pencari nafkah untuk keluarga. Berdasarkan Tabel 5, diketahui bahwa secara keseluruhan contoh yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki, yaitu 28 persen pada kelompok formal, sembilan persen pada kelompok nonformal, serta 24 persen pada kelompok kombinasi formal dan nonformal. Namun, contoh pada kelompok kombinasi formal dan nonformal yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan persentase sebesar 13 persen. Tabel
No 1 2
5
Sebaran contoh kewirausahaan
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
berdasarkan
Formal 11 28 39
jenis
kelamin
dan
Pendidikan Kewirausahaan (%) Kombinasi Nonformal Formal dan Nonformal 13 15 9 24 22 29
pendidikan
Total 39 61 100
Suku (daerah) Suku (daerah) mempunyai adat dan kebiasaan tertentu yang bisa mempengaruhi
tindakan
seseorang.
Karakteristik
suku
(daerah)
juga
mempengaruhi pandangan dan persepsi seseorang terhadap sesuatu hal termasuk berwirausaha (Azzahra 2009). Berdasarkan Tabel 6, diketahui bahwa secara keseluruhan contoh berasal dari suku Jawa yaitu 23 persen pada kelompok formal, 10 persen pada kelompok nonformal, serta 13 persen pada kelompok kombinasi formal dan nonformal. Persentase asal suku contoh yang terkecil secara keseluruhan adalah suku Batak sebesar empat persen. Contoh
34
yang berasal dari suku Minang hanya sebesar 13 persen dengan rincian sebesar lima persen pada kelompok formal, dua persen pada kelomok nonformal, serta enam persen pada kelompok kombinasi formal dan nonformal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa contoh yang berasal dari suku Minang pada kelompok kombinasi formal dan nonformal lebih banyak dibandingkan dengan kelompok formal dan kelompok nonformal. Tabel
6
Sebaran contoh kewirausahaan
berdasarkan
suku
(daerah)
dan
Pendidikan Kewirausahaan (%) Kombinasi No Suku (daerah) Formal Nonformal Formal dan Nonformal 1 Minang 5 2 6 2 Batak 1 1 2 3 Betawi 3 2 7 4 Sunda 7 4 9 5 Jawa 23 10 13 6 Lainnya* 0 3 2 Total 39 22 39 *Keterangan : suku Kaili, Tionghoa, Aceh, Mandar
pendidikan
Total 13 4 12 20 46 5 100
Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) merupakan angka yang menunjukkan prestasi akademik atau kemajuan belajar mahasiswa secara kumulatif yang dicapai mulai dari semester satu sampai dengan semester paling akhir untuk semua mata kuliah yang ditempuh (Anonim 2009). Tabel 7 menunjukkan bahwa IPK sebagian besar contoh secara keseluruhan berada pada kisaran 2,76-3,50. Rinciannya pada kelompok formal sebesar 25 persen, 16 persen pada kelompok nonformal, serta 28 persen pada kelompok kombinasi formal dan nonformal. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan Indeks Prestasi Kumulatif dan pendidikan kewirausahaan serta rataan dan standar deviasi IPK contoh No 1 2 3
IPK <2,75 2,76-3,50 >3,50 Total Rata-rata std
Pendidikan Kewirausahaan (%) Kombinasi Formal Nonformal Formal dan Nonformal 7 5 9 25 16 28 7 1 2 39 22 39 3,14 0,405 2,99 0,316 3,09 0,363
Total 21 69 10 100 3,09 0,371
Persentase IPK contoh yang terkecil berada pada kisaran di atas 3,50 yaitu satu persen pada kelompok nonformal serta dua persen pada kelompok
35
kombinasi formal dan nonformal. Sementara itu, pada kelompok formal, contoh yang memiliki IPK di bawah 2,75 dan di atas 3,50 mempunyai persentase yang sama yaitu sebesar tujuh persen. Rata-rata IPK menunjukkan contoh dari kelompok pendidikan kewirausahaan formal memilki IPK yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok nonformal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal. Uang Saku Bulanan Uang saku bulanan adalah uang yang diterima mahasiswa setiap bulannya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang berasal dari orang tua, beasiswa, hasil dari bekerja, berwirausaha dan lain-lain. Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh secara keseluruhan mempunyai uang saku bulanan yang berada pada kisaran Rp 500.000 hingga Rp. 1.000.000 yaitu sebesar 32 persen pada kelompok formal, 18 persen pada kelompok nonformal, serta 34 persen pada kelompok kombinasi formal dan nonformal. Persentase uang saku bulanan contoh terkecil berada di bawah Rp. 500.000 yaitu masing-masing satu persen pada kelompok formal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal. Sementara itu, pada kelompok nonformal, contoh yang memiliki uang saku bulanan di bawah Rp. 500.000 dan di atas Rp. 1.000.000 mempunyai persentase yang sama yaitu sebesar dua persen. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan uang saku bulanan dan pendidikan kewirausahaan serta rataan dan standar deviasi uang saku bulanan contoh No 1 2 3
Uang Saku Bulanan (Rp/bulan) <500.000 500.000-1.000.000 >1.000.000 Total Rata-rata std
Formal 1 32 6 39 833.000 311.476,39
Pendidikan Kewirausahaan (%) Kombinasi Nonformal Formal dan Nonformal 2 1 18 34 2 4 22 39 725.000 808.000 223.473,66 252.497,65
Total 4 84 12 100 800.000 272.056,79
Rata-rata uang saku bulanan contoh pada tiap kelompok pendidikan kewirausahaan adalah Rp. 833.000 per bulan pada kelompok formal Rp. 725.000 per bulan untuk kelompok nonformal, dan Rp 808.000 per bulan pada kelompok kombinasi formal dan nonformal. Rata-rata uang saku bulanan menunjukkan contoh dari kelompok formal memiliki uang saku bulanan yang lebih besar
36
dibandingkan dengan kelompok nonformal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal. Sumber uang saku bulanan contoh bisa berasal dari orang tua, beasiswa, bekerja pada orang lain, dan bekerja secara mandiri atau berwirausaha. Selain itu, uang saku bulanan tidak selalu berasal dari satu sumber saja. Berdasarkan Tabel 9, sumber uang saku bulanan contoh sebagian besar pada ketiga kelompok pendidikan kewirausahaan berasal dari orang tua yaitu pada kelompok formal sebesar 23,3 persen dari total persen keseluruhan contoh, pada kelompok nonformal sebesar 13,0 persen, serta pada kelompok kombinasi formal dan nonformal sebesar 24,7 persen. Sumber uang saku contoh dengan persentase terkecil berasal dari hasil bekerja pada orang lain dan berwirausaha masing-masing sebesar dua persen pada kelompok formal dan 1,4 persen pada kelompok nonformal. Sementara itu, persentase terkecil pada kelompok kombinasi formal dan nonformal berasal dari hasil bekerja yaitu sebesar 3,4 persen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber uang saku bulanan contoh dari hasil berwirausaha pada kelompok kombinasi formal dan nonformal lebih banyak dibandingkan dengan kelompok formal dan kelompok nonformal. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan sumber uang saku bulanan dan pendidikan kewirausahaan Pendidikan Kewirausahaan (%) Kombinasi Sumber No Formal Nonformal Formal dan Uang saku bulanan* Nonformal n % n % n % 1 Orang tua 34 23,3 19 13,0 36 24,7 2 Beasiswa 12 8,2 6 4,1 17 11,6 3 Bekerja pada orang lain 3 2,0 2 1,4 5 3,4 4 Berwirausaha (bekerja mandiri) 3 2,0 2 1,4 7 4,8 *keterangan: jawaban boleh lebih dari satu
Karakteristik Keluarga Contoh Pekerjaan Orang Tua Menurut Staw dalam Riyanti (2003) ada bukti kuat bahwa wirausaha memiliki orang tua yang bekerja mandiri atau berbasis sebagai wirausaha meskipun tidak ada studi banding dengan wirausaha yang orang tuanya bukan wirausaha, relasi dengan orang tua yang wirausaha tampaknya menjadi aspek penting yang membentuk keinginan seseorang untuk menjadi wirausaha.
37
Tabel 10 menunjukkan bahwa persentase terbesar pekerjaan ayah contoh pada kelompok formal dan kelompok nonformal masing-masing adalah swasta sebesar 13 persen dan PNS sebesar tujuh persen. Persentase terbesar pekerjaan ayah contoh pada kelompok kombinasi formal dan nonformal adalah PNS sebesar 11 persen. Sementara itu, persentase terkecil pekerjaan ayah pada kelompok formal adalah sebagai pensiun sebesar dua persen, serta pekerjaan ayah pada kelompok kombinasi formal dan nonformal masing-masing sebesar tiga persen adalah swasta dan tidak bekerja. Tidak ada ayah contoh pada kelompok nonformal yang tidak bekerja. Ayah contoh yang menjadi seorang wirausaha hanya tujuh persen pada kelompok formal, empat persen pada kelompok nonformal, dan 10 persen pada kelompok kombinasi formal dan nonformal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekerjaan ayah contoh sebagai wirausaha pada kelompok kombinasi formal dan nonformal lebih banyak dibandingkan dengan kelompok formal dan kelompok nonformal. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua dan pendidikan kewirausahaan No
Pekerjaan Orang Tua
Formal
Ayah Tidak bekerja 3 Wirausaha 7 PNS 11 Swasta 13 Pensiun 2 Lain-lain* 3 Total 39 2 Ibu IRT 23 Wirausaha 5 PNS 7 Swasta 3 Pensiun 1 Buruh 0 Total 39 *Keterangan : sopir, petani, buruh
Pendidikan Kewirausahaan (%) Kombinasi Nonformal Formal dan Nonformal
Total
1
0 4 7 5 2 4 22
3 10 11 3 6 6 39
6 21 29 21 10 13 100
11 2 6 2 1 0 22
18 10 8 1 1 1 39
52 17 21 6 3 1 100
Persentase terbesar pekerjaan ibu contoh secara keseluruhan adalah Ibu Rumah Tangga (IRT) yaitu sebesar 23 persen pada kelompok formal, 11 persen pada kelompok nonformal, serta 18 persen pada kelompok kombinasi formal dan nonformal. Sementara itu, secara keseluruhan persentase terkecil pekerjaan ibu contoh adalah buruh sebesar satu persen pada kelompok kombinasi formal dan
38
nonformal, pada kelompok formal dan kelompok nonformal tidak ada ibu contoh yang bekerja sebagai buruh. Ibu contoh yang menjadi seorang wirausaha hanya lima persen pada kelompok formal, dua persen pada kelompok nonformal, serta 10 persen pada kelompok kombinasi formal dan nonformal. Sama halnya dengan pekerjaan ayah, pekerjaan ibu contoh sebagai wirausaha pada kelompok kombinasi formal dan nonformal lebih banyak dibandingkan dengan kelompok formal dan kelompok nonformal. Pendidikan Orang Tua Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak, dengan pendidikan yang baik maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang pengasuhan anak yang baik, menjaga kesehatan dan pendidikan anaknya. Setiap orang tua mempunyai tingkat pendidikan yang berbeda-beda dari segi kualitas maupun kuantitas (Soetjiningsih 1995). Tabel 11 menunjukkan bahwa persentase terbesar jenjang pendidikan ayah contoh sampai Perguruan Tinggi pada kelompok formal sebesar 21 persen dan 12 persen pada kelompok nonformal. Sementara itu, pada kelompok kombinasi formal dan nonformal jenjang pendidikan ayah contoh sampai SMA sebesar 17 persen. Persentase terkecil jenjang pendidikan ayah contoh pada kelompok formal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal adalah tidak sekolah masing-masing sebesar dua persen dan satu persen, pada kelompok nonformal tidak ada ayah contoh yang jenjang pendidikannya sampai SMP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan ayah contoh sampai Perguruan Tinggi pada kelompok formal lebih banyak dibandingkan dengan kelompok nonformal dan kelompok kombinasi formal dan nonformal. Persentase terbesar jenjang pendidikan ibu contoh sampai Perguruan Tinggi pada kelompok formal sebesar 15 persen dan sembilan persen pada kelompok nonformal. Sementara itu, persentase terbesar jenjang pendidikan ibu contoh pada kelompok kombinasi formal dan nonformal sampai SMA sebesar 13 persen. Persentase terkecil jenjang pendidikan ibu contoh pada kelompok formal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal adalah tidak sekolah masingmasing sebesar dua persen dan satu persen. Sementara itu, persentase terkecil jenjang pendidikan ibu contoh pada kelompok nonformal hanya sampai SMA sebesar dua persen. Sama halnya dengan pendidikan ayah, pendidikan ibu
39
contoh sampai Perguruan Tinggi pada kelompok formal lebih banyak dibandingkan dengan dua kelompok lainnya. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua dan pendidikan kewirausahaan Pendidikan Orang Tua
No 1
2
Ayah Tidak sekolah SD SMP SMA PT Total Ibu Tidak sekolah SD SMP SMA PT Total
Formal
Pendidikan Kewirausahaan (%) Kombinasi Nonformal Formal dan Nonformal
Total
2 3 3 10 21 39
2 5 0 3 12 22
1 4 5 17 12 39
5 12 8 30 45 100
2 5 3 14 15 39
3 4 4 2 9 22
1 7 7 13 11 39
6 16 14 29 35 100
Pendidikan Kewirausahaan Contoh Pendidikan Kewirausahaan Formal Melalui pendidikan formal, belajar kewirausahaan dapat dilakukan melalui mata kuliah kewirausahaan yang bisa memberikan pemahaman yang lebih baik tentang proses kewirausahaan, tantangan yang dihadapi para pendiri usaha baru dan masalah yang harus diatasi agar berhasil. Rahmawati (2000) mengatakan bahwa
paket
pendidikan
kewirausahaan
pada
pendidikan formal
akan
membentuk siswa untuk mengejar karir kewirausahaan. Oleh karena itu, meski pendidikan formal bukan syarat untuk memulai usaha baru, pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal memberi dasar yang baik apalagi bila pendidikan formal tersebut terkait dengan bidang usaha yang dikelola (Riyanti 2003). Pendidikan kewirausahaan formal dilihat dari keikutsertaan contoh dalam mata kuliah yang berhubungan dengan berwirausaha yaitu Mata Kuliah Kewirausahaan, Negosiasi dan Advokasi Bisnis, serta Resiko Bisnis. Gambar 5 menunjukkan bahwa persentase terbesar contoh yang mengikuti mata kuliah dalam pendidikan kewirausahaan formal sebesar 52,9 persen pada Mata Kuliah Kewirausahaan. Sementara itu, contoh yang mengikuti Mata Kuliah Negosiasi dan Advokasi Bisnis sebesar 33.1 persen. Persentase terkecil contoh yang
40
mengikuti mata kuliah dalam pendidikan kewirausahaan formal sebesar 14,0 persen pada Mata Kuliah Resiko Bisnis.
Persentase Mata Kuliah
Gambar 5 Grafik sebaran contoh berdasarkan keikutsertaan dalam pendidikan kewirausahaan formal Jumlah mata kuliah dalam pendidikan formal yang diikuti contoh bermacam-macam. Berdasarkan Gambar 6, sebaran contoh berdasarkan keikutsertaan jumlah mata kuliah dalam pendidikan formal menunjukkan persentase terbesar contoh hanya mengikuti satu mata kuliah diantara tiga mata kuliah dalam pendidikan formalnya yaitu sebesar 35 persen. Sementara itu, contoh yang mengikuti dua mata kuliah dan tidak mengikuti mata kuliah satupun masing-masing sebesar 28 persen dan 22 persen. Persentase terkecil jumlah mata kuliah dalam pendidikan kewirausahaan formal yang diikuti contoh adalah tiga mata kuliah sebesar 15 persen. Persentase
Jumlah Mata Kuliah
Gambar 6 Grafik sebaran contoh berdasarkan keikutsertaan jumlah mata kuliah dalam pendidikan kewirausahaan formal
41
Pendidikan Kewirausahaan Nonformal Kram et al dalam Farzier dan Niehm (2008) menemukan bahwa pendidikan dan pelatihan mempengaruhi persepsi orang terhadap karir kewirausahaan, dengan menyediakan kesempatan untuk mensimulasikan memulai usaha. Pendidikan kewirausahaan nonformal dilihat dari keikutsertaan contoh
dalam
program
kewirausahaan
(Program
Kreatifitas
Mahasiswa
Kewirausahaan (PKMK), Program Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa (PPKM), dan Unit Kegiatan Mahasiswa Century) yang ada di Institut Pertanian Bogor untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan pada mahasiswa. Selain itu juga dilihat dari keikutsertaan contoh dalam seminar kewirausahaan dan pelatihan kewirausahaan baik yang diadakan oleh pihak IPB maupun non IPB. Tabel 12 menunjukkan bahwa persentase keikutsertaan contoh pada program kewirausahaan dalam pendidikan kewirausahaan nonformal yaitu sebesar 52,3 persen mengikuti PKMK, 29 persen mengikuti PPKM, dan dua persen mengikuti UKM Century. Persentase terbesar dalam tahapan PKMK yang diikuti contoh adalah sampai didanai sebesar 35,4 persen. Contoh yang mengikuti PKMK sampai tahapan proposal dan menang di PIMNAS masingmasing mempunyai persentase sebesar 15,9 persen dan satu persen. Tidak ada contoh yang mengikuti PKMK sampai tahapan PIMNAS. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan keikutsertaan dalam pendidikan kewirausahaan nonformal beserta tahapan-tahapannya No
Program Kewirausahaan*
PKMK Belum pernah Proposal Didanai PIMNAS Menang 2 PPKM Belum pernah Daftar Stadium general Pelatihan Psikotest Menyusun rencana bisnis Modal kerja Masih berwirausaha 3 UKM Century Belum pernah Pernah *Keterangan : jawaban boleh lebih dari satu
Total n
%
51 17 38 0 1
47,7 15,9 35,4 0 1,0
74 3 15 2 2 3 1 4
71,0 2,8 14,9 1,9 1,9 2,8 0,9 3,8
98 2
98,0 2,0
1
42
Sementara itu, pada tahapan PPKM yang pernah diikuti contoh persentase terbesarnya adalah sampai Stadium General sebesar 14,9 persen. Contoh yang mengikuti PPKM dan sekarang masih berwirausaha hanya sebesar 3,8 persen. Selanjutnya, contoh yang mengikuti PPKM sampai menyusun rencana bisnis dan baru mendaftar PPKM mempunyai nilai persentase yang sama yaitu sebesar 2,8 persen. Contoh yang mengikuti PPKM sampai tahapan pelatihan dan psikotest mempunyai persentase masing-masing sebesar 1,9 persen. Persentase terkecil contoh yang mengikuti PPKM adalah sampai tahapan modal kerja hanya 0,9 persen. Beberapa seminar dan pelatihan kewirausahaan juga sering diadakan di IPB baik diselenggarakan oleh pihak IPB sendiri maupun pihak non IPB. Pelatihan dan seminar kewirausahaan dari IPB dan non IPB termasuk pendidikan kewirausahaan nonformal contoh selain program kewirausahaan sepserti PKMK, PPKM, dan UKM Century. Pelatihan yang diselenggarakan oleh IPB ini adalah di luar pelatihan pada program PPKM. Berdasarkan Tabel 13, diketahui bahwa persentase keikutsertaaan contoh dalam seminar kewirausahaan dan pelatihan kewirausahaan baik diselenggarakan oleh IPB maupun non IPB adalah sebesar 34 persen mengikuti seminar dari IPB, 13 persen mengikuti pelatihan dari IPB, 20 persen mengikuti seminar dari non IPB, dan tujuh persen mengikuti pelatihan dari non IPB. Secara umum, jumlah seminar dan pelatihan kewirausahaan yang diikuti contoh sebanyak 1-2 kali yaitu pada seminar dari IPB sebesar 30 persen, 12 persen pada pelatihan dari IPB, 18 persen pada seminar non IPB, dan enam persen pada pelatihan non IPB. Tidak ada contoh yang mengikuti seminar dari IPB, pelatihan dari IPB, dan pelatihan dari non IPB lebih dari atau sama dengan lima kali. Hanya satu persen contoh yang mengikuti seminar dari non IPB lebih dari atau sama dengan lima kali. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan jumlah keikutsertaan dalam seminar dan pelatihan kewirausahaan No 1 2 3 4
Seminar dan Pelatihan Seminar dari IPB Pelatihan dari IPB Seminar dari non IPB Pelatihan dari non IPB
Jumlah Keikutsertaan Contoh (%) Tidak pernah 1-2 kali 3-4 kali ≥ 5 kali 66 30 4 0 87 12 1 0 80 18 1 1 93 6 1 0
43
Sikap Sikap merupakan suatu faktor yang ada dalam diri seseorang yang dipelajari untuk memberikan respon dengan cara konsisten yaitu suka atau tidak suka pada penilaian terhadap suatu yang diberikan. Sikap terhadap perilaku memiliki dua aspek pokok, yaitu:
kepercayaan perilaku
dan evaluasi.
Kepercayaan perilaku adalah keyakinan individu bahwa menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu akan menghasilkan akibat-akibat atau hasil-hasil tertentu, dan merupakan aspek pengetahuan individu tentang obyek sikap dapat pula berupa opini individu hal yang belum tentu sesuai dengan kenyataan. Evaluasi adalah penilaian seseorang terhadap hasil-hasil yang dimunculkan dari suatu perilaku. Evaluasi akan berakibat pada perilaku penilaian yang diberikan individu terhadap tiap-tiap akibat atau hasil yang diperoleh oleh individu (Fishbein & Azjen 1975). Komponen sikap pada penelitian ini terdiri dari dua aspek yaitu kepercayaan berwirausaha dan evaluasi berwirausaha. Berdasarkan data yang diambil pada aspek kepercayaan berwirausaha menunjukkan bahwa sebagian besar contoh menyatakan sangat mungkin jika berwirausaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan yaitu sebesar 66 persen, sangat setuju berwirausaha agar menjadi orang yang kreatif sebesar 49 persen, dan sangat mungkin berwirausaha untuk mengurangi pengangguran sebesar 48 persen. Hal ini sejalan dengan aspek evaluasi berwirausaha contoh yang menunjukkan bahwa sebagian besar contoh menyatakan sangat baik jika menciptakan lapangan pekerjaan dengan berwirausaha yaitu sebesar 67 persen, sangat baik jika mengurangi pengangguran dengan berwirausaha sebesar 67 persen, dan sangat berharga jika menjadi orang yang kreatif dengan berwirausaha sebesar 52 persen (Lampiran 2). Tabel 14 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh mempunyai sikap dengan kategori tinggi dengan persentase sebesar 63 persen dari total persen keseluruhan contoh dengan rincian 27 persen pada kelompok formal, 10 persen pada kelompok nonformal, serta 26 persen pada kelompok kombinasi formal dan nonformal. Namun, untuk kelompok nonformal persentase terbesar contoh berada pada kategori sedang yaitu sebesar 11 persen. Tidak ada contoh dengan kategori rendah pada kelompok formal sedangkan contoh dengan kategori rendah pada kelompok nonformal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal masing-masing sebesar satu persen dan dua persen. Rata-rata sikap
44
pada kelompok formal lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok nonformal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan kategori sikap dan pendidikan kewirausahaan serta rataan dan standar deviasi sikap berwirausaha contoh No
Sikap
Formal
1 2 3
Rendah 0 Sedang 12 Tinggi 27 Total 39 Rata-rata std 131,82 26,238 Kisaran (min-max) 80-175
Pendidikan Kewirausahaan (%) Kombinasi Nonformal Formal dan Nonformal 1 2 11 11 10 26 22 39 116,73 26,070 129,33 29,333 63-175 57-175
Total 3 34 63 100 127,53 27,805 57-175
Norma Subjektif Komponen intensi lainnya dalam intensi berwirausaha adalah norma subjektif. Norma subjektif adalah persepsi contoh terhadap pikiran pihak-pihak yang dianggap berperan dan memiliki harapan kepadanya untuk melakukan sesuatu dan sejauh mana keinginan untuk memenuhi harapan tersebut. Norma subjektif dibentuk oleh dua aspek, yakni: keyakinan normatif dan motivasi untuk memenuhi tuntunan lingkungan. Keyakinan normatif merupakan pandangan pihak lain yang dianggap penting oleh individu yang menyarankan individu untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu. Sedangkan motivasi untuk memenuhi tuntunan lingkungan merupakan kesediaan individu untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan pendapat atau pikiran pihak lain yang dianggap penting bahwa individu harus atau tidak harus menampilkan perilaku tertentu (Fishbein & Ajzen 1975). Komponen norma subjektif pada penelitian ini terdiri dari dua aspek yaitu aspek kepercayaan normatif dan aspek motivasi untuk memenuhi harapan di lingkungan sekitar. Berdasarkan data yang diambil pada kedua aspek norma subjektif menunjukkan bahwa sebagian besar contoh menyatakan netral dengan persentase masing-masing sebesar 54 persen dan 42 persen untuk aspek kepercayaan normatif dan untuk aspek motivasi untuk memenuhi harapan di lingkungan sekitar, persentase jawaban netral contoh sebesar 34 persen dan 43 persen. Hanya 11 persen contoh menyatakan sangat benar orang yang berpengaruh dalam hidupnya adalah wirausahawan dan 31 persen contoh menyatakan harus pada pernyataan orang yang penting dalam hidupnya berfikir
45
bahwa
dia
berwirausaha.
Kedua
pernyataan
tersebut
mewakili
aspek
kepercayaan normatif. Sementara itu, pada aspek motivasi untuk memenuhi harapan di lingkungan sekitar, contoh menyatakan sering berwirausaha pada pernyataan
orang
yang
memotivasinya
menjadi
wirausahawan
dengan
persentase sebesar 33 persen, dan menyatakan mendorong pada pernyataan seberapa besar orang yang penting bagi hidupnya mendorongnya untuk berwirausaha dengan persentase sebesar 29 persen (Lampiran 2). Tabel 15 menunjukkan bahwa secara umum contoh mempunyai norma subjektif dengan kategori sedang dengan persentase sebesar 45 persen dari total persen keseluruhan contoh dengan rincian 17 persen pada kelompok formal, sembilan persen pada kelompok nonformal, serta 19 persen pada kelompok kombinasi formal dan nonformal. Hanya sedikit contoh dengan kategori tinggi yaitu pada kelompok formal persentasenya sebesar delapan persen, pada kelompok nonformal sebesar empat persen, serta pada kelompok kombinasi formal dan nonformal sebesar lima persen. Rata-rata norma subjektif menunjukkan bahwa contoh pada kelompok nonformal memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan kedua kelompok yang lainnya. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan kategori norma subjektif dan pendidikan kewirausahaan serta rataan dan standar deviasi norma subjektif contoh No 1 2 3
Norma Subjektif
Rendah Sedang Tinggi Total Rata-rata std Kisaran (min-max)
Pendidikan Kewirausahaan (%) Kombinasi Formal Nonformal Formal dan Nonformal 14 9 15 17 9 19 8 4 5 39 22 39 24,26 10,745 24,41 9,659 23,10 9,284 8-50 12-50 2-45
Total 38 45 17 100 23,84 9,877 2-50
Konsep norma subjektif merupakan representasi dari tuntutan atau tekanan lingkungan yang dihayati individu. Norma Subjektif menunjukkan keyakinan individu atas adanya persetujuan atau tidak dari figur-figur sosial jika ia melakukan suatu perbuatan. Dalam norma subjektif orang lain yang dimaksud biasanya ialah significant other bagi orang yang bersangkutan (Fishbein & Ajzen 1975). Figur-figur sosial yang penting bisa saja termasuk di dalamnya orang tua, teman dekat, suami atau istri, dan rekan kerja (Wijaya 2007). Tabel 16 menunjukkan bahwa hampir separuh contoh pada ketiga kelompok pendidikan kewirausahaan menjawab teman adalah figur sosial yang
46
paling mendorong contoh untuk berwirausaha dengan persentase secara keseluruhan yaitu sebesar 41 persen, rinciannya adalah 16 persen pada kelompok formal, 10 persen pada kelompok nonformal, serta 15 persen pada kelompok kombinasi formal dan nonformal. Kemudian disusul oleh motivator bisnis sebesar 26 persen. Contoh yang menganggap orang tua sebagai orang yang paling mendorongnya untuk berwirausaha berada pada urutan ketiga yaitu sebsar 15 persen. Sementara itu, sebesar 10 persen contoh menganggap dirinya sendiri yang paling mendorongnya untuk berwirausaha. Persentase terkecil adalah saudara yaitu sebesar tiga persen. Tabel
No 1 2 3 4 5 6
16
Sebaran contoh berdasarkan figur sosial berwirausaha dan pendidikan kewirausahaan
Figur Sosial Orang tua Teman Saudara Motivator bisnis Pasangan Diri sendiri Total
Formal 6 16 0 8 5 4 39
yang
Pendidikan Kewirausahaan (%) Kombinasi Nonformal Formal dan Nonformal 5 4 10 15 2 1 5 13 0 0 0 6 22 39
mendorong
Total 15 41 3 26 5 10 100
Kontrol Perilaku Komponen ketiga dalam intensi adalah kontrol perilaku. Kontrol perilaku ini merupakan suatu acuan adanya kesulitan atau kemudahan yang ditemui seseorang dalam berperilaku tertentu. Kontrol perilaku berperan dalam Theory of Planned Behavior dalam dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Kontrol perilaku berperan secara tidak langsung mempengaruhi perilaku yaitu melalui intensi terhadap perilaku (Ajzen 1988). Komponen kontrol perilaku pada penelitian ini terdiri dari dua aspek yaitu aspek kekuatan keyakinan contoh untuk bisa berbuat sesuatu (control belief strength) dan aspek keyakinan contoh akan adanya hambatan atau dukungan bagi contoh untuk melakukan suatu perbuatan
(control belief power).
Berdasarkan data yang diambil pada aspek kekuatan keyakinan seseorang bahwa ia bisa berbuat sesuatu kepercayaan berwirausaha, persentase skor rataan paling tinggi adalah pernyataan bahwa contoh berwirausaha karena orang tua contoh mengizinkan untuk menjadi wirausahawan dengan rataan skor sebesar 3,20 persen. Sementara itu, persentase skor rataan yang rendah adalah
47
pernyataan bahwa contoh berwirausaha karena harus meneruskan bisnis keluarga dan karena tidak mendapatkan pekerjaan dengan rataan skor masingmasing sebesar 2,03 persen dan 2,08 persen. Hal ini sejalan dengan aspek keyakinan seseorang akan adanya hambatan atau dukungan bagi dia untuk melakukan suatu perbuatan, persentase skor rataan paling tinggi adalah pernyataan bahwa orang tua contoh mengizinkan menjadi wirausahawan yang memudahkan
berwirausaha
dengan
rataan
skor
sebesar 3,94
persen.
Sementara itu, persentase skor rataan yang rendah adalah pernyataan bahwa contoh harus meneruskan bisnis keluarga dan contoh tidak mendapatkan pekerjaan dengan rataan skor masing-masing sebesar 2,86 persen dan 2,89 persen (Lampiran 2). Tabel 17 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh mempunyai kontrol perilaku dengan kategori rendah dengan persentase sebesar 68 persen dari total persen keseluruhan contoh dengan rincian 29 persen pada kelompok formal, 11 persen pada kelompok nonformal, serta 28 persen pada kelompok kombinasi formal dan nonformal. Contoh pada kelompok nonformal memiliki persentase yang sama antara kategori rendah dan kategori sedang yaitu sebesar 11 persen. Hanya sedikit contoh dengan kategori tinggi yaitu pada kelompok formal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal mempunyai persentase yang sama yaitu masing-masing sebesar satu persen. Tidak ada contoh pada kelompok nonformal dengan
kategori
tinggi.
Rata-rata
kontrol perilaku
menunjukkan bahwa contoh pada kelompok nonformal memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan kelompok formal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kategori kontrol perilaku dan pendidikan kewirausahaan serta rataan dan standar deviasi kontrol perilaku contoh No 1 2 3
Kontrol Perilaku
Rendah Sedang Tinggi Total Rata-rata std Kisaran (min-max)
Pendidikan Kewirausahaan (%) Kombinasi Formal Nonformal Formal dan Total Nonformal 29 11 28 68 9 11 10 30 1 0 1 2 39 22 39 100 46,72 16,863 55,00 18,984 50,00 17,592 49,82 17,724 17-99 16-92 17-107 16-107
48
Intensi Berwirausaha Perilaku seseorang dapat diprediksi melalui pengukuran sikapnya terhadap suatu objek tertentu. Pendekatan ini dapat dijembatani dengan melihat intensi untuk menampilkan perilaku tertentu dalam diri seseorang. Intensi secara harfiah bermakna niat. Intensi atau niat ini sebagai kemungkinan subjektif (subjective probability) individu untuk berperilaku tertentu (Fishbein dan Ajzen 1975) sehingga menurut Krueger et al. (2000) intensi kewirausahaan adalah prediksi yang reliabel untuk mengukur perilaku kewirausahaan dan aktivitas kewirausahaan. Berdasarkan data yang diambil pada komponen intensi berwirausaha menunjukkan bahwa hampir sebagian besar contoh menyatakan sangat menyenangkan jika contoh akan berwirausaha yaitu sebesar 40 persen, sangat setuju contoh berencana untuk berwirausaha sebesar 33 persen, dan sangat benar contoh akan mencoba berwirausaha sebesar 32 persen. Tabel 18 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh mempunyai intensi berwirausaha dengan kategori tinggi dengan persentase sebesar 65 persen dari total persen keseluruhan contoh dengan rincian 26 persen pada kelompok formal, 14 persen pada kelompok nonformal, serta 25 persen pada kelompok kombinasi formal dan nonformal. Hanya sedikit contoh dengan kategori rendah yaitu pada kelompok formal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal mempunyai persentase yang sama yaitu masing-masing sebesar dua persen. Tidak ada contoh pada kelompok nonformal dengan kategori rendah. Rata-rata intensi berwirausaha menunjukkan bahwa contoh pada kelompok nonformal memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan kelompok formal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan kategori intensi berwirausaha dan pendidikan kewirausahaan serta rataan dan standar deviasi intensi berwirausaha contoh No 1 2 3
Intensi Berwirausaha Rendah Sedang Tinggi Total Rata-rata std Kisaran (min-max)
Pendidikan Kewirausahaan (%) Kombinasi Formal Nonformal Formal dan Total Nonformal 2 0 2 4 11 8 12 31 26 14 25 65 39 22 39 100 11,97 2,206 12,50 2,133 11,87 2,483 12,05 2,293 7-15 9-15 5-15 5-15
49
Hubungan Antar Variabel Penelitian Hubungan antara Karakteristik Contoh, Pendidikan Kewirausahaan dengan Sikap
Karakteristik Keluarga, dan
Sumarwan (2002) menyatakan bahwa sikap merupakan ungkapan perasaan konsumen tentang suatu objek apakah disukai atau tidak, dan sikap juga bisa menggambarkan kepercayaan konsumen terhadap berbagai atribut dan manfaat dari objek tersebut. Hasil uji korelasi Chi Square pada Tabel 19 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara suku (daerah) dengan sikap (p<0,05). Hasil uji korelasi Pearson pada Tabel 23 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan nyata antara uang saku bulanan dengan sikap (p<0,05). Artinya semakin tinggi uang saku bulanan maka semakin baik sikap contoh. Selain itu, terdapat hubungan yang positif dan nyata antara jumlah pendidikan kewirausahaan formal dengan sikap (p<0,05). Artinya semakin banyak jumlah mata kuliah yang diikuti dalam pendidikan kewirausahaan formal maka semakin baik sikap contoh. Tabel 19
No 1
Sebaran contoh berdasarkan tabulasi silang antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga, dan pendidikan kewirausahaan dengan sikap
Variabel Jenis kelamin
Kategori Rendah 0 3 1 2 3 0 0 1 2
Perempuan Laki-laki 2 Suku (daerah) Non minang Minang 3 Pekerjaan ayah Non wirausaha Wirausaha 4 Keikutsertaan Formal pendidikan Nonformal kewirausahaan Kombinasi formal dan nonformal Keterangan: **nyata pada P<0,01, *nyata pada P<0,05
Sikap Sedang 21 13 32 2 28 6 12 11 11
Sig. Tinggi 40 23 54 9 48 15 37 10 26
0,088 0,010* 0,515 0,240
Hubungan antara Karakteristik Contoh, Karakteristik Keluarga, dan Pendidikan Kewirausahaan dengan Norma Subjektif Definisi norma subjektif adalah persepsi seseorang atas pikiran kebanyakan orang lain yang penting baginya bahwa ia seharusnya berbuat sesuatu atau tidak. Hasil uji korelasi Chi Square pada Tabel 20 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara jenis kelamin, suku (daerah), pekerjaan ayah, dan keikutsertaan pendidikan kewirausahaan dengan norma subjektif. Selanjutnya hasil uji korelasi Pearson pada Tabel 23 juga tidak menunjukkan adanya hubungan yang nyata dengan norma subjektif.
50
Tabel 20
No 1
Sebaran contoh berdasarkan tabulasi silang antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga, dan pendidikan kewirausahaan dengan norma subjektif
Variabel
Kategori
Jenis kelamin
Norma Subjektif Rendah Sedang Tinggi 21 28 12 17 17 5 31 40 16 7 5 1 33 33 13 5 12 4 14 17 8 9 9 4 15 19 5
Perempuan Laki-laki 2 Suku (daerah) Non minang Minang 3 Pekerjaan ayah Non wirausaha Wirausaha 4 Keikutsertaan Formal pendidikan Nonformal kewirausahaan Kombinasi formal dan nonformal Keterangan: **nyata pada P<0,01, *nyata pada P<0,05
Sig. 0,546 0,389 0,310 0,907
Hubungan antara Karakteristik Contoh, Karakteristik Keluarga, dan Pendidikan Kewirausahaan dengan Kontrol Perilaku Kontrol perilaku mengarah pada tingkatan dimana individu merasa bahwa dalam menunjukkan atau tidak menunjukkan sebuah perilaku adalah di bawah kontrol kehendaknya. Individu akan membentuk intensi yang kuat dalam menunjukkan perilaku jika individu tersebut mempunyai sumber daya dan kesempatan (Ajzen 1988). Berdasarkan hasil uji korelasi Chi Square pada tabel 21 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara jenis kelamin, suku (daerah), pekerjaan ayah, dan keikutsertaan pendidikan kewirausahaan dengan kontrol perilaku. Sementara itu, hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan nyata antara pendidikan ibu dengan kontrol perilaku (p<0,05). Artinya semakin rendah pendidikan ibu contoh maka semakin baik kontrol perilaku contoh (Tabel 23). Tabel 21
No 1
Sebaran contoh berdasarkan tabulasi silang antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga, dan pendidikan kewirausahaan dengan kontrol perilaku
Variabel Jenis kelamin
Kategori
Kontrol Perilaku Rendah Sedang Tinggi 42 17 2 26 13 0 59 26 2 9 4 0 55 22 2 13 8 0 29 9 1 11 11 0 28 10 1
Perempuan Laki-laki 2 Suku (daerah) Non minang Minang 3 Pekerjaan ayah Non wirausaha Wirausaha 4 Keikutsertaan Formal pendidikan Nonformal kewirausahaan Kombinasi formal dan nonformal Keterangan: **nyata pada P<0,01, *nyata pada P<0,05
Sig. 0,465 0,859 0,533 0,220
51
Hubungan antara Karakteristik Contoh, Karakteristik Keluarga, dan Pendidikan Kewirausahaan dengan Intensi Berwirausaha Intensi kewirausahaan dapat diartikan sebagai proses pencarian informasi untuk mencapai tujuan pembentukan suatu usaha (Katz & Gartner dalam Indarti & Rokhima 2008). Wijaya (2007) menyatakan bahwa intensi berwirausaha adalah niat seseorang untuk membangun sebuah usaha. Hasil uji korelasi korelasi Chi Square pada Tabel 22 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara jenis kelamin, suku (daerah), pekerjaan ayah dan keikutsertaan pendidikan kewirausahaan dengan intensi berwirausaha. Tabel 22
No 1
Sebaran contoh berdasarkan tabulasi silang antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga, dan pendidikan kewirausahaan dengan intensi berwirausaha
Variabel
Kategori
Intensi Berwirausaha Rendah Sedang Tinggi 1 19 41 3 12 24 3 27 57 1 4 8 3 29 47 1 2 18 2 11 26 0 8 14 2 12 25
Jenis kelamin
Perempuan Laki-laki 2 Suku (daerah) Non minang Minang 3 Pekerjaan ayah Non wirausaha Wirausaha 4 Keikutsertaan Formal pendidikan Nonformal kewirausahaan Kombinasi formal dan nonformal Keterangan: **nyata pada P<0,01, *nyata pada P<0,05
Sig. 0,317 0,764 0,056 0,834
Sementara itu, hasil uji korelasi Pearson pada Tabel 23 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan nyata antara jumlah pendidikan kewirausahaan nonformal dengan intensi berwirausaha (p<0,5). Artinya semakin banyak contoh mengikuti kegiatan kewirausahaan nonformal dalam pendidikan kewirausahaan nonformal maka semakin baik intensi berwirausaha contoh. Tabel 23 Koefisien korelasi antar variabel penelitian menggunakan uji korelasi Pearson No 1 2 3 4 5
Variabel
Keterangan Tahun Nilai Rupiah Tahun Skor
Sikap
Norma subjektif 0,030 -0,072 0,153 -0,122 -0,054
Usia contoh 0,065 IPK 0,053 Uang saku bulanan 0,215* Pendidikan ibu 0,008 Jumlah pendidikan 0,248* kewirausahaan formal yang diikuti 6 Jumlah pendidikan Skor 0,165 0,149 kewirausahaan nonformal yang diikuti Keterangan: **nyata pada P<0,01, *nyata pada P<0,05
Kontrol perilaku 0,084 -0,010 0,000 -0,181* -0,132
Intensi
-0,069
0,198*
0,066 0,031 0,088 -0,024 -0,012
52
Hubungan antara Sikap, Norma Subjektif, dan Kontrol Perilaku dengan Intensi Berwirausaha Hasil uji korelasi Pearson pada Tabel 24, diketahui bahwa terdapat hubungan yang positif dan nyata antara sikap dengan intensi berwirausaha (p<0,01). Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa semakin baik sikap maka semakin besar intensi berwirausaha. Selain itu, terdapat hubungan yang nyata dan positif antara norma subjektif dengan intensi berwirausaha (p<0,01). Artinya semakin baik norma subjektif maka semakin besar intensi berwirausaha. Kontrol perilaku tidak berhubungan dengan intensi berwirausaha. Tabel 24 Koefisien korelasi antara variabel sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku dengan intensi berwirausaha No Variabel Keterangan 1 Sikap Skor 2 Norma subjektif Skor 3 Kontrol perilaku Skor Keterangan: **nyata pada P<0,01, *nyata pada P<0,05
Intensi Berwirausaha 0,383** 0,314** -0,028
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Intensi Berwirausaha Pengaruh Sikap, Norma Subjektif, dan Kontrol Perilaku terhadap Intensi Berwirausaha Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya sikap yang mempengaruhi intensi berwirausaha. Terdapat pengaruh yang positif dan nyata antara sikap terhadap intensi berwirausaha (p<0,01) (Tabel 25). Artinya semakin tinggi sikap contoh maka semakin besar intensi berwirausahanya. Variabel norma subjektif dan kontrol perilaku dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap intensi berwirausaha contoh. Tabel 25 menunjukkan bahwa sebesar 15,5 persen intensi berwirausaha dapat dijelaskan oleh variabel-variabel pada model, yaitu sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku. Sisanya sebesar 84,5 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar variabel yang digunakan. Tabel 25 Analisis regresi pengaruh sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku terhadap intensi berwirausaha No
Model
Keterangan
Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Error Beta 1 Konstanta 8,358 1,175 2 Sikap Skor 0,024 0,009 0,289 3 Norma subjektif Skor 0,050 0,025 0,214 4 Kontrol perilaku Skor -0,011 0,013 -0,083 Adjusted R Square 0,155 Keterangan: **nyata pada P>0,01, *nyata pada P>0,05
Sig.
0,000 0,006** 0,051 0,397
53
Pengaruh Pekerjaan Ayah, Pendidikan Kewirausahaan, Sikap, Norma Subjektif, dan Kontrol Perilaku terhadap Intensi Berwirausaha Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya sikap (p<0,01) yang mempengaruhi intensi berwirausaha jika variabel bebas yang digunakan dalam uji pengaruh yaitu pekerjaan ayah, pendidikan kewirausahaan, sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku. Tabel 23 menunjukkan bahwa sebesar 16,6 persen intensi berwirausaha dapat dijelaskan oleh variabel-variabel pada model, yaitu pekerjaan ayah, pendidikan kewirausahaan, sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku. Sisanya sebesar sebesar 83,4 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar variabel yang digunakan. Tabel 23 Analisis regresi pengaruh pekerjaan ayah, pendidikan kewirausahaan, sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku terhadap intensi berwirausaha No 1 2
3
Model Konstanta Pekerjaan ayah
Keterangan
0=non wira usaha,1= wirausaha Skor
Unstandardized Coefficients B Std. Error 8,446 1,177 0,713 0,528
Jumlah pendidikan -0,233 0,224 kewirausahaan formal yang diikuti 4 Jumlah pendidikan Skor 0,071 0,055 kewirausahaan nonformal yang 5 diikuti Skor 0,025 0,009 6 Sikap Skor 0,037 0,026 7 Norma subjektif Skor -0,011 0,013 8 Kontrol perilaku Adjusted R Square Keterangan: **nyata pada P>0,01, *nyata pada P>0,05
Standardized Coefficients Beta
Sig.
0,127
0,000 0,181
-0,101
0,301
0,122
0,197
0,306 0,158 -0,088
0,006** 0,157 0,371
0,166
54
55
PEMBAHASAN Berdasarkan karakteristik contoh dan karakteristik keluarga contoh, hasil penelitian menunjukkan bahwa profil contoh mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) pada contoh yang hanya mengikuti pendidikan kewirausahaan formal, contoh paling banyak adalah berjenis kelamin perempuan, berasal dari suku Jawa dengan rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan uang saku bulanan lebih besar dibandingkan dengan kedua kelompok contoh yang lainnya, dan juga mempunyai ayah dan ibu dengan jenjang pendidikan tertinggi yaitu sampai perguruan
tinggi;
(2)
pada
contoh
yang
hanya
mengikuti
pendidikan
kewirausahaan nonformal, contoh paling banyak adalah berjenis kelamin lakilaki, rata-rata usia lebih tinggi dibandingkan dengan kedua kelompok contoh yang lainnya, namun rata-rata uang saku bulanan lebih kecil dibandingkan kedua kelompok contoh yang lainnya; (3) pada contoh yang mengikuti pendidikan kewirausahaan kombinasi formal dan nonformal, persentase suku Minang terbesar ada pada kelompok ini, begitu juga ayah dan ibu contoh yang bekerja sebagai wirausaha kebanyakan berada di kelompok ini. Perilaku berwirausaha dapat dilihat melalui intensi karena intensi telah terbukti menjadi prediktor yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan (Krueger & Carsrud dalam Indarti dan Rokhima 2008). Seseorang dengan intensi untuk memulai usaha akan memiliki kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dalam usaha yang dijalankan dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai usaha. Intensi dapat dijadikan sebagai pendekatan dasar yang masuk akal untuk memahami siapa-siapa yang akan menjadi wirausaha (Choo & Wong 2006). Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) intensi seseorang terhadap perilaku dibentuk oleh dua faktor utama yaitu sikap perilaku tertentu (attitude toward the behavior) dan norma subjektif (subjective norms) yang dikenal dengan Theory of Reasoned Action (TRA). TRA dinilai memiliki kelemahan, adanya penekanan pada faktor norma subjektif dianggap terlalu melemahkan faktor individu sebagai pengendali atas tingkah lakunya sendiri. Oleh karenanya, pada tahun 1985 Icek Ajzen mengembangkan TRA menjadi Theory of Planned Behavior (TPB). Dalam TPB satu lagi faktor ditambahkan sebagai penentu niat seseorang, yakni kontrol perilaku (perceived behavioral control). Selanjutnya Ajzen menjelaskan bahwa perilaku seseorang tidak hanya dikendalikan oleh dirinya sendiri, tetapi juga kontrol
yang
ketersediaan
sumber
daya
dan
kesempatan
tertentu.
56
Kesimpulannya, intensi seseorang terhadap perilaku tertentu dipengaruhi oleh tiga variabel yaitu sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku (Ajzen 1988). Secara umum, jika seseorang memiliki sikap positif terhadap
perilaku
berwirausaha, mendapatkan dukungan lingkungan untuk melakukan suatu tindakan berwirausaha, dan ia merasa bahwa tidak ada hambatan untuk melaksanakannya,
maka
intensi
kewirausahaannya
akan
kuat.
Dengan
demikian, kemungkinan orang tersebut untuk berperilaku sangat tinggi. Sebagian besar contoh mempunyai sikap dengan kategori tinggi. Sikap contoh pada kelompok formal lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok nonformal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal. Artinya mata kuliah yang berhubungan dengan kewirausahaan yang diikuti contoh dalam pendidikan kewirausahaan formal dapat membentuk sikap positif
contoh terhadap
berwirausaha. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Azzahra (2009), bahwa pengambilan Mata Kuliah Kewirausahaan memiliki hubungan nyata dengan sikap. Hal ini berarti kuliah Kewirausahaan yang diikuti contoh dapat membentuk sikap positif tentang wirausaha. Variabel yang berhubungan nyata dengan sikap adalah suku (daerah), uang saku bulanan, dan jumlah pendidikan kewirausahaan formal yang diikuti contoh. Suku (daerah) mempunyai hubungan yang nyata dengan sikap (Tabel 19). Hasil penelitian Azzahra (2009) mengungkapkan bahwa karakteristik suku (daerah) memiliki hubungan nyata dengan sikap dan tindakan wirausaha. Hal ini disebabkan karena adanya pandangan dan persepsi positif terhadap profesi wirausaha oleh beberapa suku (daerah) di Indonesia seperti suku Minang yang terkenal dengan jiwa wirausaha yang tinggi, sehingga bisa mempengaruhi sikap wirausaha contoh. Penilaian sosial kewirausahaan menunjukkan bagaimana kebudayaan berperan dalam menentukan perilaku berwirausaha (Zahra et al. 1999). Uang saku bulanan mempunyai hubungan yang positif dan nyata dengan sikap (Tabel 23). Artinya semakin tinggi uang saku bulanan maka semakin baik sikap contoh untuk berwirausaha. Hal ini dapat terjadi karena untuk mendapatkan informasi yang dapat membentuk sikap seseorang terhadap berwirausaha
membutuhkan
biaya
seperti
biaya
mengikuti
seminar
kewirausahaan, pelatihan kewirausahaan, mata kuliah yang berhubungan dengan kewirausahaan, dan lain-lain. Contoh yang banyak mendapatkan
57
paparan informasi kewirausahaan bisa membentuk sikap dan persepsi yang positif terhadap kewirausahaan. Selain
itu,
jumlah
pendidikan
kewirausahaan
formal
mempunyai
hubungan yang positif dan nyata dengan sikap (Tabel 23). Artinya semakin banyak jumlah mata kuliah yang diikuti dalam pendidikan kewirausahaan formal maka semakin baik sikap contoh untuk berwirausaha. Hal ini juga terlihat dari rata-rata sikap pada kelompok formal yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok nonformal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal. Temuan ini menegaskan hasil penelitian Hansemark (1998) yang menerangkan bahwa pendidikan kewirausahaan formal mempengaruhi sikap mahasiswa terhadap kewirausahaan sebagai pilihan karir. Hampir separuh contoh mempunyai norma subjektif dengan kategori sedang. Norma subjektif contoh pada kelompok nonformal memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan kelompok formal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal. Hal ini dapat terjadi karena semua contoh pada kelompok ini merasa bukan diri mereka sendirilah yang mendorong mereka untuk berwirausaha. Norma Subjektif menunjukkan keyakinan individu atas adanya persetujuan atau tidak dari figur-figur sosial jika ia melakukan suatu perbuatan (Fishbein & Ajzen 1975). Figur-figur sosial yang penting bisa saja termasuk di dalamnya orang tua, teman dekat, suami atau istri, rekan kerja (Wijaya 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir separuh contoh menjawab teman adalah figur sosial yang paling mendorong contoh untuk berwirausaha. Hal ini sesuai dengan pendapat Al-Mighwar (2006) yang menyatakan bahwa anak yang beranjak dewasa menghabiskan sebagian waktunya di luar rumah bersama dengan teman sebayanya, maka dapat dimengerti bahwa pengaruh teman sebaya terhadap sikap, minat pembicaraan, penampilan dan perilaku lebih besar dibandingkan dengan keluarga. Teman diartikan sebagai anak-anak yang mempunyai umur sebaya, mempunyai tingkat kematangan yang sama, memiliki minat, dan kegemaran yang sama. Lebih dari separuh contoh mempunyai kontrol perilaku dengan kategori rendah. Kontrol perilaku contoh pada kelompok nonformal memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan kelompok formal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal. Pendidikan ibu mempunyai hubungan yang negatif dan nyata dengan kontrol perilaku (Tabel 23). Artinya semakin tinggi pendidikan yang dimiliki ibu contoh maka contoh tidak semakin tergantung pada kesempatan dan sumber
58
daya eksternal dalam menampilkan perilaku berwirausaha. Dalam hal ini semakin contoh mempunyai ibu yang tingkat pendidikannya tinggi, pendidikan contoh akan semakin baik. Contoh yang mempunyai pendidikan yang baik tidak terlalu tergantung pada kesempatan dan sumber daya eksternal dalam menampilkan perilaku berwirausaha. Hal ini dapat terjadi karena ibu dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi mempunyai pengetahuan yang lebih banyak sehingga diharapkan dapat memberikan pengasuhan yang lebih baik dengan memberikan stimulasi yang tepat pada anak. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004) pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan anak. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka semakin besar pengetahuan orang tua akan pentingnya pendidikan. Anak yang mendapatkan pendidikan yang tinggi akan membentuk cara berfikirnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Guhardja et al. (1992) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan membentuk cara, pola dan karakter berpikir, presepsi,
pemahaman,
dan
kepribadian.
Kontrol
perilaku
contoh
akan
membentuk intensi yang tinggi jika ada kesempatan dan sumber daya. Lebih dari separuh contoh mempunyai intensi berwirausaha dengan kategori tinggi. Intensi berwirausaha contoh pada kelompok nonformal memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan kelompok formal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Azzahra (2009) bahwa terdapat hubungan nyata antara keikutsertaan pada seminar/pelatihan kewirausahaan dengan tindakan dan perilaku wirausaha mahasiswa IPB peserta PKMK dan PPKM. Hubungan ini menunjukkan bahwa seminar/pelatihan kewirausahaan yang diikuti oleh contoh bukan lagi ditujukan untuk merubah pengetahuan contoh mengenai kewirausahaan, melainkan sudah ditujukan untuk melakukan tindakan berwirausaha sehingga berhubungan nyata pula dengan intensi berwirausahanya. Variabel
yang
berhubungan
positif
dan
nyata
terhadap
intensi
berwirausaha adalah jumlah pendidikan kewirausahaan nonformal yang diikuti, sikap, dan norma subjektif. Jumlah pendidikan kewirausahaan nonformal mempunyai hubungan yang positif dan nyata dengan intensi berwirausaha (Tabel 23). Artinya semakin banyak contoh yang mengikuti pendidikan kewirausahaan nonformal maka semakin baik intensi berwirausaha contoh. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata intensi berwirausaha contoh pada kelompok nonformal memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan kelompok formal serta
59
kelompok kombinasi formal dan nonformal. Kram et al dalam Farzier dan Niehm (2008) menemukan bahwa pendidikan dan pelatihan mempengaruhi persepsi orang terhadap karir kewirausahaan, dengan menyediakan kesempatan untuk mensimulasikan memulai usaha. Dari ketiga komponen TPB, hanya sikap dan norma subjektif yang berhubungan positif dan nyata dengan intensi berwirausaha. Artinya semakin baik
sikap
dan
norma
subektif
contoh
maka
semakin
besar
intensi
berwirausahanya. Menurut Citra (2010) secara umum, orang yang meyakini bahwa melakukan perilaku tertentu dengan probabilitas yang tinggi dapat memberikan hasil yang paling positif. Hal ini akan menyebabkan orang itu akan memiliki sikap yang mendukung perilaku tersebut. Hasil penelitian ini juga memperkuat hasil penelitian Kusminanti (2005) yang menunjukkan bahwa norma subjektif memiliki hubungan yang signifikan terhadap intensi. Sementara itu, uji lanjutan dengan menggunakan uji regresi menunjukkan bahwa hanya sikap yang mempunyai pengaruh positif dan nyata terhadap intensi berwirausaha (p<0,01) dengan menggunakan model TPB. Artinya semakin tinggi sikap contoh maka semakin besar intensi berwirausahanya. Apabila model TPB digabungkan dengan variabel lain seperti pekerjaan ayah dan pendidikan kewirausahaan dalam satu model regresi, ternyata sikap masih merupakan variabel yang berpengaruh terhadap intensi berwirausaha. Kedua persamaan regresi menunjukkan betapa kuatnya pengaruh sikap terhadap intensi berwirausaha meskipun kedua variabel lain dalam model TPB tidak berpengaruh. Namun uji hubungan seperti yang disajikan pada Lampiran 3 menunjukkan bahwa norma subjektif berhubungan positif dan nyata dengan sikap (r=0,427; p<0,01). Artinya semakin baik norma subjektif maka sikap contoh terhadap berwirausaha semakin besar. Norma subjektif pada penelitian ini mempengaruhi intensi berwirausaha melalui sikap. Hasil uji hubungan juga menunjukkan bahwa kontrol perilaku berhubungan positif dan nyata dengan norma subjektif (r=0,287; p<0,01). Artinya semakin baik kontrol perilaku maka norma subjektif contoh semakin besar. Kontrol perilaku pada penelitian ini tidak secara langsung mempengaruhi intensi berwirausaha tetapi dengan melalui norma subjektif dan sikap. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kontrol perilaku berhubungan positif dan nyata dengan norma subjektif. Selanjutnya, norma subjektif berhubungan positif dan nyata dengan sikap. Akhirnya sikap berhubungan dan
60
berpengaruh positif
dan
nyata
terhadap
intensi berwirausaha.
Hal ini
menunjukkan untuk meningkatkan intensi berwirausaha mahasiswa perlu upaya untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dengan menyediakan kesempatan dan sumber daya berupa modal usaha untuk berwirausaha (adanya kontrol perilaku). Sumber daya dan kesempatan berwirausaha akan membuat figur sosial berpikiran positif terhadap berwirausaha dan mempunyai harapan yang tinggi agar mahasiswa berwirausaha sehingga keinginan contoh untuk memenuhi harapan tersebut juga semakin tinggi karena adanya dukungan dari pihak-pihak yang berperan penting dalam hidupnya (adanya norma subjektif). Akhirnya dengan adanya sumber daya dan dukungan terhadap mahasiswa maka sikap mahasiswa dalam hal berwirausaha akan semakin tinggi yang dapat meningkatkan intensi berwirausahanya. Model pada penelitian ini hanya memberikan kontribusi terhadap intensi berwirausaha dengan besarnya nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 15,5 persen dan 16,6 persen. Variabel-variabel lain yang diduga mempengaruhi intensi berwirausaha menurut Brockhaus dalam Fawaqa (2006) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang berwirausaha dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: (1) karakteristik psikologi (need for achievement, locus of control, risk taking propensity, dan personal value), (2) efek pengalaman (pengalaman kerja sebelumnya, efek pengalaman orang lain sebagai role model juga dapat menjadi pemicu keputusan wirausaha), dan (3) karakteristik personal (umur, pendidikan, dan kediaman). Hasil penelitian Wijaya (2007) menyatakan bahwa kecerdasan dalam menghadapi rintangan (Adversity Intelligence) memberikan kontribusi terhadap intensi berwirausaha yang ditunjukkan dengan besarnya nilai koefisien determinasi (R 2) sebesar 11 persen.
61
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Lebih dari separuh contoh berjenis kelamin perempuan dan mempunyai IPK pada kisaran 2,76-3,50. Persentase terbesar usia contoh adalah 21 tahun dan berasal dari suku Jawa. Hampir seluruh contoh secara keseluruhan mempunyai uang saku bulanan yang berada pada kisaran Rp 500.000 hingga Rp. 1.000.000. Pekerjaan ayah contoh didominasi oleh PNS sedangkan lebih dari separuh pekerjaan ibu contoh adalah IRT. Jenjang pendidikan ayah dan ibu contoh sampai Perguruan tinggi. Lebih dari separuh contoh mengikuti mata kuliah Kewirausahaan dalam pendidikan kewirausahaan formal. Jumlah mata kuliah dalam pendidikan formal yang diikuti contoh umumnya satu mata kuliah. Persentase terbesar dalam tahapan PKMK yang diikuti contoh adalah sampai didanai. Sementara itu, pada tahapan PPKM yang pernah diikuti contoh persentase terbesarnya adalah sampai Stadium General. Sedikit sekali contoh yang mengikuti UKM Century. Secara umum, jumlah seminar dan pelatihan kewirausahaan yang diikuti contoh sebanyak 1-2 kali. Lebih dari separuh contoh pada ketiga kelompok mempunyai sikap berwirausaha dengan kategori tinggi. Hampir sebagian besar contoh mempunyai norma subjektif dengan kategori sedang. Lebih dari separuh contoh mempunyai kontrol perilaku yang dirasakan dengan kategori rendah. Sebagian besar contoh mempunyai intensi berwirausaha dengan kategori tinggi. Suku (daerah), uang saku bulanan dan jumlah pendidikan kewirausahaan formal yang diikuti memiliki hubungan yang nyata dengan sikap berwirausaha. Pendidikan ibu mempunyai hubungan nyata dan negatif dengan kontrol perilaku yang dirasakan. Sementara itu, jumlah pendidikan kewirausahaan nonformal, sikap, dan norma subjektif memiliki hubungan nyata dan positif dengan intensi berwirausaha. Hanya sikap yang berpengaruh terhadap intensi berwirausaha. Saran Hasil
penelitian
ini
memperlihatkan
bahwa
jumlah
pendidikan
kewirausahaan nonformal berhubungan positif dan nyata dengan intensi berwirausaha sehingga disarankan kepada Institut Pertanian Bogor melalui Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni ataupun Direktorat Kemahasiswaan
termasuk
lembaga-lembaga
kemahasiswaan
dapat
62
memperbanyak kegiatan seminar dan pelatihan kewirausahaan sehingga dapat meningkatkan intensi berwirausaha serta mengembangkan potensi wirausaha di kalangan mahasiswa. Selain itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kontrol perilaku berhubungan positif
dan nyata dengan norma subjektif
yang
berhubungan positif dan nyata dengan sikap yang akhirnya sikap berhubungan dan berpengaruh terhadap intensi berwirausaha. Oleh karena itu, untuk meningkatkan intensi berwirausaha pada mahasiswa, IPB dapat melakukan penguatan
sikap
berwirausaha
pada
mahasiswa
dengan
menciptakan
lingkungan yang kondusif yang menyediakan kesempatan mahasiswa untuk berwirausaha dan juga memudahkan akses terhadap modal usaha agar bisa memudahkan mahasiswa untuk memulai berwirausaha. Adanya kemudahan untuk berwirausaha dan dukungan dari berbagai pihak termasuk orang tua dapat mempengaruhi sikap mahasiswa dalam hal berwirausaha yang pada akhirnya dapat meningkatkan intensi berwirausaha pada mahasiswa IPB. Beberapa rekomendasi penelitian mendatang yang dapat diberikan dari penelitian ini antara lain, adalah: 1. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk melihat seberapa besar pengaruh intensi berwirausaha terhadap perilaku wirausaha mahasiswa setelah lulus kuliah. 2. Penelitian ke depan juga perlu mencari faktor-faktor lain yang berpengaruh
terhadap
intensi
berwirausaha
mahasiswa
misalnya
karakteristik psikologi seperti need for achievement, locus of control, risk taking propensity, dan personal value.
63
DAFTAR PUSTAKA Ajzen I. 1988. Attitude, Personality and Behavior. Open University Press: Milton Keynes Alma B. 1999. Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta Al-Mighwar M. Psikologi Remaja, Petunjuk bagi Guru dan Orang tua. Bandung: Pustaka Setia Anonim. 2009. Indeks Prestasi Kumulatif. [terhubung http://baak.unikom.ac.id/evaluasi/ipk.html. [10 Februari 2011]
berkala].
Ariamtisna L. 2008. Studi kewirausahaan pada mahasiswa Universitas Brawijaya. Jurnal Eksekutif 5:281-292 Azzahra R. 2009. Perilaku wirausaha mahasiswa Institut Pertanian Bogor peserta Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKMK) dan Program Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa (PPKM) [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Bell JR. 2008. Utilization of problem based-learning in an entrepreneurship business planning course. New England Journal of Entrepreneurship Choo S, dan Wong M. 2006. “Entrepreneurial intention: triggers and barriers to new venture creations in Singapore”. Singapore Management Review. 28: 47-64 Citra M. 2010. Mendorong pilihan karir berwirausaha pada mahasiswa guna mengentaskan pengangguran terdidik di indonesia. [terhubung berkala]. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/06/mendorong_pilihan _karir_berwirausaha.pdf. [5 Desember 2010] [Ditmawa IPB]. Direktorat Kemahasiswaan IPB. 2008. Kemahasiswaan. Bogor. Institut Pertanian Bogor
Buku
Panduan
[DPKHA]. Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni. 2010. Laporan Tracer Study. Bogor. Institut Pertanian Bogor Farzier B, Niehm LS. 2008. FCS Students' attitudes and intentions toward entrepreneurial careers. Journal of Family and Consumer Science Fawaqa L. 2006. Potensi wirausaha di kalangan mahasiswa (perbandingan antara mahasiswa yang mendapat dengan yang tidak mendapat Mata Kuliah Kewirausahaan) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Fishbein M, Ajzen I. 1975. Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory and Research. Menlo Park California: AddisonWesley Publishing Company Inc
64
Gani H. 2009. Panduan Program Mahasiswa Wirausaha. [terhubung berkala]. http://www.pdf-finder.com/pdf/program-mahasiswa.html. [5 Desember 2010] Gorman G, Hanlon D, King W. 1997. Entrepreneurship education: the Australian perspective for the nineties. Journal of Small Business Education 9:1-14 Guhardja S, Puspitawati H, Hartoyo, Hastuti D. 1992. Manajemen Sumberdaya Keluarga. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian. Bogor:Institut Pertanian Bogor Gunarsa SD, Gunarsa SY. 2004. Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta: PT. BPK. Gunung Mulia Hansemark O. 1998. The effects of an entrepreneurship programme on need for achievement and locus of control of reinforcement. International Journal of Entrepreneurship Behaviour and Research 4:28-50 Hijriyah R. 2004. Perilaku wirausaha pedagang fried chicken kaki lima di Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga Indarti N, Rokhima R. 2008. Intensi kewirausahaan mahasiswa: studi perbandingan antara Indonesia, Jepang dan Norwegia. Jurnal Ekonomika dan Bisnis Indonesia 23:281-292 [IPB]. Institut Pertanian Bogor. 2007. Panduan Program Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor Katz J, dan Gartner W. 1988. “Properties of emerging organizations”. Academy Of Management Review. 13: 429-441 Kolvereid L. 1996. “Prediction of employment status choice intentions”. Entrepreneurship Theory and Practice. 21: 47-57 Kourilsky ML, Walstad WB. 1998. Entrepreneurship and female youth: knowledge, attitude, gender differences, and educational practices. Journal of Business Venturing 13:77-88 Kristiansen S, Furuholt B, Wahid F. 2003. Internet cafe entrepreneurs: pioneers in information dissemination in Indonesia. The International Journal of Entrepreneurship and Innovation 4:251-263 Krueger NF, Reilly MD, Carsrud AL. 2000. Competing models of entrepreneurial intentions. Journal of Business Venturing 15:411-432 Kusminanti Yuni. 2005. Sumbangan sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control terhadap intensi untuk menggunakan helm pada pekerja konstruksi bangunan [tesis]. Depok: Program Pascasarjana, Universitas Indonesia
65
Mathews CH, Moser SB. 1996. A longitudinal investigation of the impact of family background and gender on interest in small firm ownership. Journal of Small Business Management 34:29-43 Mazzarol T, Volery T, Doss N, Thein V. 1999. “Factors influencing small business start-ups”. International Journal of Entrepreneurial Behaviour and Research 5:48-63 Megawangi R. 2004. Pendidikan Karakter, Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation Nasrudin AM, Noor HA, Chew EL. 2009. Examining a model of entrepreneurial intention among Malaysians using SEM procedure. European Journal of Scientific Research 33:365-373 Nazir. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Nurrochmat DR. 2009. Kata Pengantar. Di dalam: Modul Pelatihan Program Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa. IPB. Bogor Peterman N, Kennedy J. 2003. Enterprise education: Influencing students perceptions of entrepreneurship. Entrepreneurship: Theory and Practice 28:129-144 Rahmawati, 2000. Pendidikan Wirausaha Dalam Globalisasi. Yogyakarta: Liberty Riyanti BDP. 2003. Kewirausahaan dari Sudut Pandang Psikologi Kepribadian. Jakarta:Grasindo. Santoso S. 1995. Data Statistik. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Singaribun M, Effendi S. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Sosial Sudjana D. 2004. Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan Nonformal dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung : Falah Production Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Di Dalam: IG. N Gde Ranuh, editor. Jakarta: EGC Sumarwan U. 2002. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Jakarta: Ghalia Indonesia Suryana. 2003. Kewirausahaan: Pedoman Praktis, Kiat dan Proses Menuju Sukses. Jakarta: Salemba Empat Sutanto A. 2002. Kewirausahaan. Jakarta: Ghalia Indonesia Umar H. 2003. Metode Riset Perilaku Konsumen Jasa. Jakarta: Ghalia Indonesia
66
Utami ED. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi minat berwiraswasta (studi deskriptif pada usahawan rental komputer di Sekaran Gunung Pati Semarang) [skripsi]. Semarang: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang Wijaya
Toni. 2007. Hubungan Adversity Intelligence dengan berwirausaha. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan 9:117-127
intensi
Zahra S.A., Jennings D.F., Kuratko D.F. 1999. “The antecedents and consequences of firm-level entrepreneurship: The state of the field”. Entrepreneurship Theory and Practice 24:45-63
1
LAMPIRAN
67
Lampiran 1 Output Realibilitas Kuesioner Theory of Planned Behavior (TPB) Hasil realibilitas variabel sikap, norma subjektif, kontrol perilaku, dan intensi berwirausaha No
Data Statistik Sikap
1 2 3 4 5 6
Alpha Cronbach Alpha Cronbach standar Rata-rata Varian Standar deviasi Jumlah pertanyaan
0,955 0,957 57,530 121,552 11,025 14
Norma subjektif 0,773 0,790 14,130 9,267 3,044 4
Variabel Kontrol perilaku 0,725 0,695 33,930 33,210 3,763 12
Intensi berwirausaha 0,866 0,897 12,800 4,171 2,042 3
68
Lampiran 2 Sebaran Contoh Berdasarkan Jawaban Theory of Planned Behavior 1. Sikap No 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7
Atribut Kepercayaan Penghasilan yang banyak Bos bagi diri sendiri Waktu yang fleksibel Menciptakan lapangan pekerjaan Berani mengambil resiko Mengurangi pengangguran Orang yang kreatif Evaluasi Penghasilan yang banyak Bos bagi diri sendiri Waktu yang fleksibel Menciptakan lapangan pekerjaan Berani mengambil resiko Mengurangi pengangguran Orang yang kreatif
Persentase Sikap 3 4 5
1
2
Rata-rata
0 0 0 0 0 0 0
6 3 10 1 5 2 0
31 28 26 8 20 12 12
40 39 34 25 55 38 39
23 30 30 66 20 48 49
3,80 3,96 3,84 4,56 3,90 4,32 4,37
0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 0 1 0 0
23 19 14 7 19 11 11
31 36 42 26 45 22 37
45 44 43 67 35 67 52
4,20 4,23 4,27 4,60 4,14 4,56 4,41
1
Persentase Norma Subjektif 2 3 4 5 Rata-rata
2. Norma Subjektif No
Atribut
Kepercayaan Normatif Orang yang berpengaruh adalah 7 18 wirausahawan 2 Pikiran orang yang penting agar 1 12 berwirausaha Motivasi untuk memenuhi harapan di lingkungan sekitar 1 Orang yang memotivasi menjadi 3 9 wirausahawan 2 Dorongan orang yang penting 1 9 untuk berwirausaha 1
54
10
11
3,00
42
31
14
3,45
34
33
21
3,60
43
29
18
3,54
3. Kontrol Perilaku No 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
Atribut control belief strength Orang tua wirausahawan Tidak mendapatkan pekerjaan Meneruskan bisnis keluarga Modal usaha Orang tua memberi izin Mendapat warisan keluarga control belief power Orang tua wirausahawan Tidak mendapatkan pekerjaan Meneruskan bisnis keluarga Modal usaha berwirausaha Orang tua memberi izin Mendapatkan warisan keluarga
1
Persentase kontrol perilaku 2 3 4 5 Rata-rata
19 31 37 11 6 37
25 38 33 29 15 30
32 23 23 34 42 25
16 8 4 20 27 7
8 0 3 6 10 1
2,69 2,08 2,03 2,81 3,20 2,05
6 7 10 2 0 9
7 17 19 9 5 13
50 59 53 36 44 48
23 14 11 34 33 22
14 3 7 19 18 8
3,32 2,89 2,86 3,59 3,94 3,07
69
4. Intensi Berwirausaha No 1 2 3
Pernyataan Saya akan berwirausaha Saya akan mencoba berwirausaha Saya berencana untuk berwirausaha
1 0 4 5
Persentase Intensi Berwirausaha 2 3 4 5 Rata-rata 2 19 39 40 4,17 1 25 38 32 3,93 1 21 40 33 3,95
70
70
Lampiran 3 Koefisien Korelasi Antar Variabel a. Menggunakan Pearson variabel
Usia
IPK
Uang saku bulanan -0,218* -0,011 1
Pendidikan ibu -0,163 -0,011 0,221* 1
Usia 1 -0,042 IPK 1 Uang saku bulanan Pendidikan ibu Jumlah pendidikan kewirausahaan formal yang diikuti Jumlah pendidikan kewirausahaan nonformal yang diikuti Sikap Norma subjektif Kontrol perilaku Intensi berwirausaha Keterangan: **nyata pada P<0,01, *nyata pada P<0,05
Jumlah pendidikan kewirausahaan formal yang diikuti -0,136 0,281** 0,194 0,036 1
Jumlah pendidikan Kewirausahaan nonformal yang diikuti 0,432** 0,009 0,015 -0,177 0,036
Sikap
Norma subjektif
Kontrol perilaku
0,065 0,053 0,215* 0,008 0,248*
0,030 -0,072 0,153 -0,122 -0,054
0,084 -0,010 0,000 -0,181* -0,132
Intensi berwirausaha 0,066 0,031 0,088 -0,024 -0,012
1
0,165
0,149
-0,069
0,198*
1
0,427** 1
-0,022 0,287** 1
0,383** 0,314** -0,028 1
71
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kuningan pada tanggal 16 Desember 1987 dari ayah Ahmad Fadil dan Ibu Eha Julaeha. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan penulis di Kuningan, Jawa Barat. Pendidikan sekolah menengah atas ditamatkan penulis di SMA Negeri 1 Kuningan dari tahun 2003 hingga 2006. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan sarjana di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), dengan Mayor Ilmu Keluarga dan Konsumen serta Minor Gizi Masyarakat. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis terlibat dalam organisasi kemahasiswaan, yaitu Ikatan Mushola TPB sebagai Staf Informasi dan Komunikasi Mushola Astri A2, Staf Pengembangan Minat Bakat Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB), Anggota Himpunan Mahasiswa Aria Kamuning Kuningan (HIMARIKA), Staf Syiar Forum Syiar Islam FEMA (FORSIA), Staf Ilmiah Pustaka Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen (HIMAIKO), Anggota Klub HIMAIKO, Koordinator Informasi dan Komunikasi Rohis Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Staf Pendidikan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (BEM KM), dan Staf Forum Diskusi Leadership Community Rumah Peradaban Beasiswa PPSDMS Nurul Fikri.