PENGARUH PENAMBAHAN MOLASES DAN ONGGOK TERHADAP KANDUNGAN ASAM LAKTAT DAN DERAJAT KEASAMAN PADA SILASE AMPAS TEH EFFECT OF MOLASSES AND CASSAVA POMACE ADDITION ON LACTIC ACID AND ACIDITY OF TEA WASTE SILAGE Meliyan Ari Wijaya*, Atun Budiman**, dan Tidi Dhalika** Universitas Padjadjaran *Alumni Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran 2014 ** Dosen Pengajar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan molases dan onggok terhadap kandungan asam laktat dan derajat keasaman pada silase ampas teh dan telah dilaksanakan dari 13 Oktober sampai 4 November 2014, bertempat di Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Sumedang. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan terdiri atas 6 macam perlakuan, yaitu P1: Campuran ampas teh dan onggok dengan kondisi kadar air 55%, P2: Campuran ampas teh, onggok dan molases 4% dengan kondisi kadar air 55%, P3: Campuran ampas teh dan onggok dengan kondisi kadar air 65%, P4: Campuran ampas teh, onggok dan molases 4% dengan kondisi kadar air 65%, P5: Campuran ampas teh dan onggok dengan kondisi kadar air 75%, P6 : Campuran ampas teh, onggok dan molases 4% dengan kondisi kadar air 75% dengan 4 pengulangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa penambahan onggok hingga mencapai kondisi kadar air 65% dan molases 4% pada silase ampas teh memberikan pengaruh terhadap kandungan asam laktat tertinggi (10,72%) tetapi tidak memberikan pengaruh terhadap nilai derajat keasaman. Kata kunci : Ampas Teh, Silase, Molases, Onggok, Asam Laktat, Derajat Keasaman.
ABSTRACT The objective of this research was to know the influence of the addition molasses and cassava pomace to lactic acid and acidity of the tea waste silage. The research was conducted at Ruminant Nutrition and Feed Chemistry Laboratory Faculty of Animal Husbandry, University of Padjadjaran, Sumedang from 13 October until 4 November 2014. The research used an experimental method with a Completely Randomized Design. There are six treatments, as follow P1: tea waste and cassava pomace mixture without molasses on 55% moisture, P2: tea waste and cassava pomace mixture with 4% molasses on 55% moisture, P 3: tea waste and cassava pomace mixture without molasses on 65% moisture, P4: tea waste and cassava pomace mixture with 4% molasses on 65% moisture, P5: tea waste and cassava pomace mixture without molasses on 75% moisture, P6: tea waste and cassava pomace mixture with 4% molasses on 75% moisture. Each treatment was replicated four times. The result of the research showed that the addition of cassava pomace up to 65% moisture and 4% molasses produced the highest lactic acid production but no effect on acidity. Keywords : Tea Waste, Silage, Molasses, Cassava Pomace, Lactic Acid, Acidity.
PENDAHULUAN Hijauan merupakan bahan pakan sebagai komponen ransum yang sangat penting bagi ternak ruminansia. Seiring dengan meningkatnya populasi ternak ruminansia, kebutuhan akan hijauan juga semakin meningkat. Dewasa ini perolehan hijauan mengalami penurunan yang disebabkan bergesernya fungsi lahan sebagai padang penggembalaan penghasil hijauan. Berdasarkan keadaan tersebut maka perlu dicari bahan pakan alternatif lain guna memenuhi kebutuhan tersebut, salah satunya dengan memanfaatkan limbah padat yang berasal dari industri pangan berupa ampas teh. Ampas teh merupakan limbah padat dari proses pengolahan daun teh yang diproduksi menjadi minuman teh sehingga menghasilkan produk utama berupa minuman teh dalam kemasan. Limbah padat ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak khususnya ruminansia, namun ampas teh memiliki kendala yaitu mengandung kadar air tinggi, sehingga diperlukan suatu pengolahan terlebih dahulu. Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan fermentasi anaerob dengan hasil akhir produk silase. Silase merupakan produk fermentasi pada bahan dari proses ensilase dengan kadar air berkisar 60-70% (Bolsen dan Sapienza, 1993). Proses ensilase dapat mempertahankan kondisi bahan tetap segar dan mampu mempertahankan warna, meningkatkan palatabilitas, dan gizi tetap baik serta awet (Susetyo, dkk., 1969). Manfaat proses fermentasi dalam pembuatan silase dapat mengubah bahan organik komplek seperti protein, karbohidrat, dan lemak menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana dan mudah dicerna (Buckle, dkk., 1987). Ditinjau dari kadar air ampas teh yang melampaui syarat untuk pembuatan silase, maka perlu dilakukan penambahan bahan lain yang memiliki kadar air lebih rendah dan mengandung karbohidrat terlarut agar mencapai kadar air yang ideal untuk dilakukan proses fermentasi serta memacu pertumbuhan bakteri asam laktat yaitu dengan penambahan molases dan onggok. Molases merupakan hasil ikutan pembuatan gula tebu dan onggok merupakan limbah padat dalam proses pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Keuntungan penambahan molases dan onggok sebagai campuran pembuatan silase ampas teh adalah rendahnya kadar air dan tingginya bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) yang dapat menurunkan kadar air pada bahan serta sebagai sumber karbohidrat terlarut yang merupakan bahan dasar pembentukan asam-asam organik terutama asam laktat dalam proses ensilase. Penambahan karbohidrat mudah larut diharapkan memicu pertumbuhan Lactobacillus sp. yang akan membentuk asam-asam organik terutama asam laktat dalam proses ensilase. Silase
menghasilkan asam laktat total sekitar 2-20% dari bahan kering (Evans, 2004) dengan demikian asam organik inilah yang akan menurunkan pH sehingga rendahnya derajat keasaman silase dapat menekan pertumbuhan bakteri anaerob yang merugikan (Bolsen dan Sapienza, 1993). Rendahnya pH menghentikan pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan seperti kapang, Enterobacteriaceae, Clostridia, dan Listeria (McDonald, dkk., 1991). Semakin rendah pH semakin banyak asam laktat yang terbentuk, rendahnya pH sangat berarti untuk mencapai keadaan stabil (Bolsen dan Sapienza, 1993). Kriteria silase yang baik mempunyai nilai derajat keasaman kurang dari 4,2 (Rukmantoro, dkk., 2001). Penambahan molases 4-5% dari berat hijauan segar terbukti dapat membuat proses fermentasi berjalan dengan baik dan menghasilkan silase yang baik (Woolford, 1984). Salah satu cara peningkatan jumlah karbohidrat mudah larut pada bahan baku silase, dapat dilakukan melalui penambahan molases 4% (Ohmomo, dkk., 2002). Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik hipotesis bahwa campuran ampas teh, onggok dan molases 4% dengan kondisi kadar air 65% pada pembuatan silase ampas teh dapat menghasilkan asam laktat tertinggi dan derajat keasaman terendah. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan yang digunakan untuk penelitian ini yaitu ampas teh sebanyak ± 310 kg, molases sebanyak ± 10 kg, dan onggok sebanyak ± 90 kg. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas enam perlakuan dengan empat ulangan sehingga terdapat 24 unit percobaan. Ampas teh, molases dan onggok dihitung kadar airnya pada setiap perlakuan untuk mencapai kadar air 55%, 65%, dan 75%. Setelah menghitung kadar air pada setiap perlakuan lalu menimbang ampas teh, molases dan onggok sesuai dengan perbandingan hasil perhitungan untuk dilakukan pencampuran yang kemudian dimasukkan ke dalam silo tong plastik dan dilakukan proses pemadatan dengan cara diinjak untuk mengeluarkan oksigen, lalu tong ditutup dengan rapat agar suasana anaerob tercapai. Bahan silase difermentasi selama 21 hari. Pada hari ke 22 silase dalam silo dikeluarkan, dihamparkan dengan ketebalan 2-3 cm dan dibagi menjadi 4 bagian. Masing-masing bagian diambil 100 g untuk dianalisis kandungan asam laktat dan nilai derajat keasaman.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Asam Laktat Asam laktat adalah asam yang dihasilkan oleh bakteri pembentuk asam laktat yang memfermentasikan karbohidrat mudah larut pada substrat. Tingginya kandungan asam laktat merupakan ciri bahwa silase tersebut berkualitas baik. Data kandungan asam laktat dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 1. Hasil Perhitungan Kandungan Asam Laktat. Perlakuan
Rataan (% BK) P4 (AT + O + M 4% kondisi KA 65%) 10,72a P3 (AT + O kondisi KA 65%) 9,99b P6 (AT + O + M 4% kondisi KA 75%) 7,35c P2 (AT + O + M 4% kondisi KA 55%) 6,26d P1 (AT + O kondisi KA 55%) 5,72e P5 (AT + O kondisi KA 75%) 5,23f Keterangan: Superscript yang berbeda menyatakan berbeda nyata (P<0,05). AT = Ampas Teh, O = Onggok, M = Molases, KA = Kadar Air Berdasarkan tabel di atas tersajikan bahwa kandungan asam laktat terendah berada pada
P5 yaitu sebesar 5,23%, sedangkan kandungan asam laktat tertinggi berada pada P 4 yaitu sebesar 10,72%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan molases dan onggok serta kondisi kadar air yang berbeda pada silase ampas teh memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap kandungan asam laktat. Pada kejadian ini dapat dijelaskan bahwa penambahan molases yang memiliki kandungan karbohidrat terlarut/BETN yang tinggi sehingga sumber energi bagi mikroorganisme pada proses fermentasi terpenuhi serta penambahan onggok guna menurunkan kadar air sampai dengan kadar optimal meningkatkan kandungan asam laktat pada silase. Penambahan molases 4% pada perlakuan P2, P4, dan P6 didasarkan pada berat total silase, hal ini setara dengan penambahan molases berdasarkan BETNnya yaitu P2(7,7%), P4(10,4%) dan P6(17%), sehingga terjadi penambahan kandungan BETN yang relatif besar dibandingkan dengan perlakuan P1, P3, dan P5, sedangkan penambahan onggok sampai dengan kadar air 55%, 65% dan 75% pada setiap perlakuan juga mempengaruhi besaran nilai BETN pada bahan silase. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan menunjukkan bahwa setiap perlakuan P1, P2, P3, P4, P5 dan P6 semuanya menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Lebih lanjut hal ini menjelaskan bahwa kandungan BETN yang tinggi akan memacu terbentuknya bakteri asam laktat sehingga menyebabkan proporsi BETN menurun dan menyebabkan terjadinya kehilangan bahan kering
selama proses ensilase (Surono, dkk., 2006). Perhitungan BETN berturut-turut ialah P1(76,6%), P2(77,2%), P3(72,8%), P4(72,5%), P5(64,5%), P6(63,6%). P1 dan P2 menunjukkan kandungan BETN tertinggi dibandingkan P3, P4, P5, dan P6 dikarenakan pencampuran onggok yang digunakan pada P1 dan P2 paling banyak guna mencapai kadar air paling rendah dari setiap perlakuan. Berdasarkan data tersebut seharusnya P1 dan P2 dengan kadar air 55% berpotensi menghasilkan asam laktat lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kandungan karbohidrat terlarut di dalam aditif sangat mempengaruhi proses terbentuknya asam laktat, karena bakteri penghasil asam laktat akan melakukan fermentasi yang paling utama pada kerbohidrat terlarut (Smith, 1973). Semakin tinggi kandungan karbohidrat terlarut, maka akan semakin tinggi asam laktat yang dihasilkan, namun berdasarkan hasil data yang diperoleh asam laktat yang tertinggi terjadi pada P4 diikuti dengan P3 dengan kadar air 65%, dan mengalami penurunan yang signifikan pada perlakuan P5 dan P6 dengan kadar air 75%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan BETN yang memacu terbentuknya bakteri asam laktat memerlukan kondisi kadar air tertentu. Kadar air silase yang kurang dari 65% akan mengakibatkan proses anaerob pada ensilase sukar diperoleh sehingga jamur akan tumbuh, namun pada kadar air silase lebih dari 75% akan mengakibatkan bakteri Clostridia dapat berkembang biak sehingga banyak menghasilkan senyawa asam butirat dan senyawa nitrogen terlarut yang akan menurunkan nutrisi silase. Hal ini sesuai dengan pendapat Bolsen dan Sapienza (1993), kadar air bahan pembuatan silase sebaiknya berkisar 60-70%. Pada perlakuan P3 dan P4 dengan kadar air 65%, efektivitas fermentasi yang dilakukan oleh bakteri asam laktat untuk memproduksi asam laktat secara optimum. Coblentz (2003), menyatakan bahwa kadar air optimum untuk pembuatan silase ialah 65%. Bakteri asam laktat pada umumnya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Pada golongan homofermentatif hasil fermentasi terbesar merupakan asam laktat yaitu sekitar 90%, sedangkan pada heterofermentatif jumlah asam laktat yang dihasilkan kurang dari 90% atau seimbang dengan hasil lainnya seperti asam asetat, etanol, CO2 dan sebagainya (Moat, dkk., 2002). Peningkatan kandungan asam laktat akan terjadi apabila di dalam silase terdapat populasi bakteri homofermentatif yang cukup banyak, sedangkan kandungan asam asetat akan meningkat jika di dalam silase jumlah populasi bakteri heterofermentatif lebih dominan. Bakteri heterofermentatif juga dapat mengurangi kandungan asam laktat di dalam silase dikarenakan adanya perombakan asam laktat menjadi asam asetat. Bakteri-bakteri heterofermentatif yang merubah asam laktat menjadi asam asetat adalah L.plantarum, L.brevis, dan beberapa dari jenis Pediococcus sp.
(McDonald, dkk., 1991). Menurut Lindgren (1991), L. plantarum baru akan menghasilkan asam asetat jika bereaksi dengan asam sitrat. Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman merupakan suatu indikator keberhasilan ensilase. Rendahnya nilai derajat keasaman menunjukan bahwa silase yang dihasilkan memiliki daya awet yang cukup lama. Data nilai derajat keasaman (pH) dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 2. Hasil Perhitungan Nilai Derajat Keasaman (pH) Perlakuan Rataan P1 (AT + O kondisi KA 55%) 3,89a P2 (AT + O + M 4% kondisi KA 55%) 3,88 a P3 (AT + O kondisi KA 65%) 3,82 a P4 (AT + O + M 4% kondisi KA 65%) 3,83 a P5 (AT + O kondisi KA 75%) 3,85 a P6 (AT + O + M 4% kondisi KA 75%) 3,91 a Keterangan: Superscript yang tidak berbeda menyatakan tidak berbeda nyata (P≥0,05). AT = Ampas Teh, O = Onggok, M = Molases, KA = Kadar Air Berdasarkan tabel di atas tersajikan bahwa rataan dari setiap perlakuan secara berturutturut P1(3,89), P2(3,88), P3(3,82), P4(3,83), P5(3,85), dan P6(3,91), semua perlakuan berada dalam kisaran normal sebagai silase yang baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Skerman dan Riveros (1990), silase dengan kategori baik memiliki nilai derajat keasaman ≤ 4,2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan molases dan onggok serta kondisi kadar air yang berbeda pada silase ampas teh tidak memberikan pengaruh yang nyata (P≥0,05) terhadap nilai derajat keasaman. Pada kejadian ini dapat dijelaskan bahwa kondisi asam yang terbentuk pada setiap perlakuan memiliki nilai derajat keasaman (pH) yang sama. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh molases dan onggok yang mengandung karbohidrat terlarut tinggi, dimana karbohidrat tersebut akan difermentasi oleh bakteri anaerob seperti bakteri asam laktat untuk membentuk asam-asam organik yang akan menghasilkan pH rendah, sehingga proses pengawetan berjalan dengan baik. Bakteri asam laktat akan menggunakan karbohidrat terlarut selama proses fermentasi sampai terbentuk asam sehingga menurunkan pH silase. Asam yang terbentuk selama proses tersebut antara lain adalah asam laktat, asam asetat dan asam butirat serta beberapa senyawa lain seperti etanol, karbondioksida, gas methan, karbon monooksida, nitrit dan panas (McDonald, dkk., 1991). Kondisi air yang berbeda akan menyebabkan jenis asam organik yang diproduksi mempunyai proporsi yang berbeda. Kadar air yang tinggi mengakibatkan
proporsi kandungan asam laktat yang diproduksi lebih sedikit sehingga kemungkinan asamasam organik lain menjadi lebih tinggi sehingga asam-asam organik lain tersebut yang menurunkan nilai pH. Hal ini sesuai dengan pendapat Hanafi (2004), Kadar air silase yang terlalu rendah menyebabkan suhu silase meningkat, sedangkan kadar air silase terlalu tinggi akan memacu pertumbuhan jamur dan memicu tumbuhnya asam butirat yang menyebabkan kualitas silase menurun. Ensminger (1974), kadar air optimum untuk silase antara 62-67%, karena kadar air di atas 67% akan menghasilkan silase yang berair dan busuk karena adanya asam butirat dan asam lain yang tidak diinginkan. SIMPULAN Penambahan molases dan onggok dalam pembuatan silase ampas memberikan berpengaruh positif terhadap jumlah produksi asam laktat tetapi tidak berpengaruh terhadap derajat keasaman (pH). Komposisi penambahan onggok hingga mencapai kondisi kadar air 65% dengan penambahan molases 4% pada silase ampas teh memberikan nilai kandungan asam laktat maksimum. DAFTAR PUSTAKA Bolsen, K. K., dan D. A. Sapienza. 1993. Teknologi Silase. Diterjemahkan Oleh R.B. Sudjono. Pioneer Seed. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Pleet, dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta. 24. Coblenz, W. 2003. Principles of Silase Making. University of Arkansas, Payetteville. Ensminger, M, E. 1974. Feeds and Nutrition Complete. 1st ed. The Ensminger Publishing Company, Clovis, California. Evans, B. 2004. Interpreting Grass Silage Analysis. Grassland Development Centre. Institute of Grassland and Environtmental Research. Aberystwyth, Ceredigion. United Kingdom. Hanafi, N. D. 2004. Perlakuan Silase dan Amoniasi Daun Kelapa Sawit sebagai Bahan Baku Pakan Domba. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian-Program Studi Produksi ternak Universitas Sumatera Utara, Medan. McDonald, D., A. R. Henderson, and S. J. E. Heron. 1991. The Biochemistry of Silage. 2nd Ed. Chalcombe Publications. Marlow. Bucks. UK. Moat, A. G., J. W. Foster, and M. P. Spector. 2002. Microbial Physiology. 4th ed. Canada: Wiley-Liss Publication. p 417-423.
Ohmomo, S., O. Tanaka, H. K. Kitamoto, and Y. Cai. 2002. Silage and Microbial Performance, Old Story but New Problems. J. JARQ 36 (2) 59 – 71 Rukmantoro, S., H. Walujono, R. Amirudin, I. Budi, dan M. Nakatini. 1999. Manajemen Pengolahan Kebun Rumput dan Pengawetan Hijauan Makanan Ternak. Sony Sugema Presindo, Bandung. 41-51. Skerman, P. J. and F. Riveros. 1990. Tropical Grasses. FAO Plant Production Series (23). Food and Agriculture of the United Nation, Rome. Smith, D. 1973. Nonstructural Carbohydrates. In : G.W. Butler, and R.W. Bailey, ed. Chemistry and Biochemistry of Herbage. Academic Press, London. Surono, M. Soejono, dan S. P. S. Budhi. 2006. The Dry Matter amd Organic Matter Loss of Napier Grass Silage at Different Age of Defoliation and Level of Additive. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 31. Susetyo, S., Kismono, dan B. Suwardi. 1969. Hijauan Makanan Ternak. Direktorat Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. 66-67. Woolford, M. K. 1984. The Silage Fermentation. Marcel Dekker Inc., New York. USA