PENGARUH PEMBERIAN MADU TERHADAP MIKROORGANISME PADA RONGGA MULUT MAHASISWA PSPD UIN TAHUN ANGKATAN 2007
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
Oleh: Andi Fadly NIM: 107103001383
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 12 November 2009
Andi Fadly
ii
PENGARUH PEMBERIAN MADU TERHADAP MIKROORGANISME PADA RONGGA MULUT MAHASISWA PSPD UIN TAHUN ANGKATAN 2007
Laporan Penelitian Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)
Oleh Andi Fadly NIM: 107103001383
Pembimbing
Pembimbing
Zeti Harriyati, M. Biomed
Yuliati, M. Biomed
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Laporan Penelitian berjudul PENGARUH PEMBERIAN MADU TERHADAP MIKROORGANISME PADA RONGGA MULUT MAHASISWA PSPD UIN TAHUN ANGKATAN 2007yang diajukan oleh Andi Fadly (NIM: 107103001383), telah diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada 1 November 2010. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S. Ked) pada Program Studi Pendidikan Dokter. Jakarta, 1 November 2010
DEWAN PENGUJI
Pembimbing
Zeti Harriyati, M. Biomed
Pembimbing
Penguji
Yuliati, M. Biomed
drg. Laifa Annisa H, Ph. D
PIMPINAN FAKULTAS Dekan FKIK UIN
Kaprodi PSPD FKIK UIN
Prof. DR. (hc). Dr. MK. Tadjudin, SpAnd
DR. Dr. Syarief Hasan Lutfie, SpRM
iv
KATA PENGANTAR
Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan. Dengan selalu memohon ridho Allah SWT, pada akhirnya penelitian dengan judul “PENGARUH PEMBERIAN MADU TERHADAP MIKROORGANISME PADA RONGGA MULUT MAHASISWA PSPD UIN TAHUN ANGKATAN 2007”
dapat
diselesaikan. Saya menyadari tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan penelitian ini. Tidak terhitung jumlah dukungan yang penulis terima dalam penyelesaian penelitian ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1) Prof. DR. (hc). Dr. M.K. Tadjudin, SpAnd, Drs. H. Achmad Ghalib, MA, dan Dra. Farida Hamid, MPd, selaku Dekan dan Pembantu Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi dukungan serta senantiasa memberikan semangat agar terus berjuang demi tercapainya cita-cita menjadi seorang dokter muslim. 2) DR. dr. Syarief Hasan Lutfie, SpRM sebagai Kaprodi PSPD dan untuk semua dosen saya, yang telah begitu banyak membimbing dan memberikan kesempatan untuk menimba ilmu selama saya menjalani masa pendidikan di PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga dapat menambah wawasan dan daya pikir kritis dalam setiap aktivitas sehari-hari, baik dalam lingkup pengembangan institusi maupun dalam kehidupan masyarakat, rasa hormat saya atas segala yang telah mereka berikan. 3) Ibu Zeti Harriyati, M. Biomed dan Ibu Yuliati, M. Biomed selaku dosen pembimbing yang telah banyak menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan arahan dan bimbingan mulai dari awal penulisan hingga akhir penulisan penelitian ini di tengah kesibukan beliau. 4) Drg. Laifa Annisa Hendarmin, PhD selaku penanggung jawab riset PSPD 2007 yang selalu mengingatkan kami untuk segera menyelesaikan riset. 5) Mama tercinta yang telah memberi motivasi, do’a, serta nasehat dalam penyelesaian penelitian ini. Terima kasih karena telah begitu sabar mendidikku menjadi seorang pribadi yang tangguh.
v
6) Papa tercinta yang telah dipanggil Allah lebih dulu. Terima kasih untuk pesan-pesan yang telah diberikan untuk membangun aku menjadi pribadi yang tahu harus berbuat apa dalam melewati suatu ujian dan cobaan. 7) Soe Tan Han (a.k.a Theodorus Vicky), teman yang selalu kuingat dan kukenang. Kehidupanmu menjadi salah satu inspirasiku, karena “Hal yang bagi kamu adalah hal yang sangat sederhana dari Tuhan sebenarnya adalah pemberian Dia yang Dia berikan hanya padamu”. 8) Kakak-kakakku yang telah menjadi contoh baik dalam hidupku. 9) Afifah Mayangsari yang selalu menjadi pemberi semangat dan mendukung saya untuk menyelesaikan tugas riset ini. 10) Felais Hediyanto Pradana, R. Agung S. Reksoprodjo, Yutrisa Sasty. A, Ryan Tresna Putra, dan Wahid Hilmy Sulaiman yang selalu menjadi teman bermain musik dan menjadi sarana untuk menenangkan diri dari penatnya rutinitas dan deadline. 11) Teman-teman lain yang tidak mungkin disebutkan satu per-satu. Terima kasih atas dukungan semangat dari kalian, sejawat. 12) Kelompok risetku, Nurul Eliza, Ekawati Eprisman, dan Meri Novita. Sukses selalu untuk kita semua. Wassalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.
Jakarta, 11 November 2010
Penulis
vi
ABSTRAK Andi Fadly. Program Studi Pendidikan Dokter. Pengaruh Pemberian Madu Terhadap Mikroorganisme Pada Rongga Mulut Mahasiswa PSPD UIN Tahun Angkatan 2007. 1431 H/2010 M. (Bahasa Indonesia) Madu telah lama dimanfaatkan untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, dan dari penelitian, madu telah terbukti memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Bakteri dapat berperan sebagai flora normal di dalam tubuh. Salah satu bagian tubuh yang merupakan tempat perkembangbiakan bakteri adalah rongga mulut. Maka perlu dilakukan penelitian tentang mikroorganisme yang ada di rongga mulut, dan bagaimana peran madu itu sendiri. Penelitian ini adalah studi pendahuluan yang bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana peran madu sebagai antibakteri terhadap pertumbuhan mikroorganisme pada rongga mulut, dan untuk mengidentifikasi jenis-jenis dari mikroorganisme yang terdapat pada rongga mulut. Pada penelitian ini dilakukan eksperimen dengan mengamati jumlah flora normal rongga mulut yang didapatkan dari hasil swab mukosa buccalis sebelum dan sesudah diberikan kumur-kumur dengan madu berkonsentrasi 20% dan 40%. Perlakuan dilakukan sebanyak 2 kali agar hasil yang didapatkan bersifat lebih objektif, dan untuk pengamatan jumlah mikroorganisme tersebut digunakan metode pewarnaan-Gram. Dari hasil penelitian ini ditemukan beberapa mikroorganisme yang ditemukan pada rongga mulut, yaitu Candida albicans serta 3 jenis bakteri dengan ciri-ciri (1) berbentuk bulat, susunan berkelompok, dan bersifat Gram-negatif (salah satu kemungkinan bakteri tersebut adalah golongan Neisseria sp., Veillonella spp, atau Bacteroides); (2) berbentuk batang, susunan tunggal, dan bersifat Gram-positif (salah satu kemungkinan bakteri tersebut adalahCorynebacterium anaerob); (3) berbentuk bulat, susunan rantai, dan bersifat Grampositif (salah satu kemungkinan bakteri tersebut adalah spesies dari Streptococcus sp.). Pada hasil percobaan ditemukan bahwa pemberian kumur-kumur madu 20% dapat menurunkan jumlah total temuan mikroorganisme pada hasil swab mukosa buccalis hingga 75%. Kata kunci: madu; antiseptik; rongga mulut.
vii
ABSTRACT
Andi Fadly. Faculty of Medicine. .The Effect of Honey on Microorganisms’ Growth in Oral Cavity in Medical Students of UIN Year 2007. 1431 H/2010 M. Honey had been used to heal many diseases, and it has been proved that honey has antibacterial activity. This research is meant to study how honey work as antibacterial towards microorganisms’ growth in oral cavity, and to identify the types of it. In this experiment we identify the amount of normal flora in oral cavity that we got from buccalis mucosal swab before and after it was given honey that has 20% and 40% concentration. In order to make the result more objective, the honey is been given twice for every sample. And to calculate the amount of microorganisms, we used Gram’s staining method. The result of this research is that we found many microorganisms in oral cavity, such as Candida albicans and three others bacteries with (1) spherical, colonies, and negativeGram (they were suspects as Neisseria sp., Veillonella spp, or Bacteroideses); (2) rods, soliter, and positive-Gram (they were suspects as anaerob Corynebacterium); (3) spherical, chains, and positive-Gram bacteria (they were suspects as the species of Streptococcus sp.) characteritics. From the experiment, we found that gurgling with honey 20% can decrease the total amount of microorganisms identification from the buccalis mucosal swab by 75%. Key word: honey; antiseptic; oral cavity.
viii
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR JUDUL…………………………………………………………... i LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... iii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iv KATA PENGANTAR .................................................................................... v ABSTRAK….. ................................................................................................ vii DAFTAR ISI ................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ........................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xii DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xiii BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1 1.1. Latar Belakang Masalah................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah…………………………………………………. 3 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 3 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP…............ 5 II.1. Madu………................................................................................... 5 II.1.1 Uji Klinis dan Laboratorium……....................... ..………... 9 II.1.2 Jenis Luka yang Tepat Untuk Pemberian Madu…………... 10 II.2. Flora Normal Rongga Mulut dan Traktus Respiratorius................ 11 II.2.1 Morfologi dan Sifat dari Flora Normal…............................ 11 II.2.2 Resistensi………………………………………................. 12 II.3. Sistem Imun Pada Rongga Mulut…................................................ 12 II.4. Diagnosis Laboratorium Mikrobiologi…........................................ 13 II.4.1 Pewarnaan Gram…............................................................... 13 II.4.1.1 Mekanisme reaksi pada pewarnaan-Gram.............. 14 II.4.1.2 Keterbatasan pewarnaan-Gram…........................... 15 II.4.1.3 Pemanfaatan teknik pewarnaan-Gram.................... 16 II.5. Kerangka Konsep............................................................................. 17 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN………….................................... 18 III.1. Desain…………………………...................................................... 18 III.2. Tempat dan Waktu……….............................................................. 18 III.3. Sampel…………………………………......................................... 18 III.4. Alat dan Bahan…............................................................................ 18 III.5. Subjek Penelitian……..................................................................... 19 III.6. Alur Penelitian……………………………..................................... 19 III.7. Prosedur Percobaan……………..................................................... 19 III.7.1 Sterilisasi Alat…………………………………….............. 19 III.7.2 Pembuatan Larutan Madu.................................................... 20 III.7.2.1 Madu 20%............................................................. 20 III.7.2.2 Madu 40%............................................................. 20 III.7.3 Pewarnaan Gram.................................................................. 20 III.7.4 Pengamatan……………………………………………….. 21 III.7.5 Analisis Data........................................................................ 21 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 22 IV.1. Mikroorganisme Rongga Mulut Sebelum Perlakuan...................... 22 IV.2. Mikroorganisme Setelah Pemberian Perlakuan.............................. 22 ix
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………. V.1. Kesimpulan………………………………………………………... V.2. Saran………………………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..
x
31 31 31 32
DAFTAR TABEL Tabel 1.2. Konsentrasi madu minimum (%v/v) untuk menghambat bakteri pada medium. 6 Tabel 2.2 Persyaratan standar madu di Indonesia................................................................ 7 Tabel 3.2 Komponen antibakteri dari saliva........................................................................ 13 Tabel 1.4 Persentasi pengurangan jumlah mikroorganisme beserta simpangan baku……. 30
xi
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.4 Rata-rata jumlah bakteri pada kelompok kontrol…......................................... Gambar 2.4 Rata-rata jumlah bakteri pada kelompok dengan perlakuan madu 20%…….. Gambar 3.4 Rata-rata jumlah bakteri pada kelompok dengan perlakuan madu 40%…….. Gambar 4.4 Candida albicans…………………………………………………………...... Gambar 5.4 Bakteri Gram-negatif berbentuk bulat dan susunan berkelompok…..………. Gambar 6.4 Bakteri Gram-positif berbentuk batang dan susunan tunggal.......................... Gambar 7.4 Bakteri Gram-positif berbentuk bulat dan susunan rantai……………………
xii
24 24 25 26 27 28 29
DAFTAR SINGKATAN MRSA MALT HMF TNF
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Mucosa-Associated Lymphoid Tissue Hidroksimetilfurfural Tumor Necrosis Factor
xiii
1
BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Masalah Bakteri merupakan organisme heterogen yang berukuran sangat kecil (0,2-2 μm). Pada beberapa bagian tubuh manusia, terdapat bakteri-bakteri yang hidup secara komensal. Bakteri tersebut biasa disebut dengan flora normal. Flora normal hidup pada beberapa bagian tubuh seperti misalnya kulit, rongga mulut, saluran pernapasan, dan bagian tubuh lainnya. Keberadaan flora normal ini dapat bertahan hidup dengan mempertahankan pH lingkungan mereka. Flora normal yang terdapat pada tubuh ini berfungsi mengeliminasi keberadaan patogen yang ada di tubuh manusia (Andi Putra Siregar dkk, 2010). Dalam rongga mulut ditemukan bakteri yang tergolong flora normal antara lain Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, beberapa mikrokokus berpigmen, Staphylococcus yang bersifat anaerob (ditemukan di permukaan gigi dan saliva), Streptococcus viridans (grup mitis dan salivarius), Enterococcus, Neisseria berpigmen, Veillonella spp, Corynebacterium anaerob, Actinomyces, Escherichia coli, kelompok Klebsiella-Enterobacter, Haemophilus, Bacteroides, Fusobacterium, Vibrio sputorum, beberapa Spirochaeta (Treponema denticum dan Borrelia refringens), Streptococcus pyogenes (dapat dijumpai pada 5-10% mulut normal), Streptococcus pneumoniae yang terdapat di permukaan gigi 25% orang dewasa normal (Suharto, 1994). Di samping itu, dalam rongga mulut juga ditemukan spesies Candida sebagai flora normal, dan yang paling dominan adalah Candida albicans, sebesar 50% dari seluruh flora normal mulut, tetapi dalam rongga mulut yang sehat dan bersih jamur ini hanya ditemukan dalam jumlah kecil saja yaitu kurang dari 200 sel/ml saliva (Jawetz,1996). Flora normal dalam keadaan tertentu dapat menjadi masalah. Hal tersebut dapat terjadi bila jumlah flora normal tersebut melebihi jumlah normal, atau sistem pertahanan tubuh individu tersebut tidak mampu mempertahankan agar flora normal tidak tumbuh secara berlebihan. Masalah yang paling banyak ditimbulkan akibat mikroorganisme pada rongga mulut adalah sariawan (Hanum, 2009). Lalu masalah
2
lainnya yang dapat ditimbulkan oleh mikroba pada rongga mulut antara lain bau mulut, dan karies gigi. Pada beberapa penelitian, telah dibuktikan bahwa madu dapat menghambat pertumbuhan dari beberapa jenis mikroba, termasuk mikroba yang ditemukan sebagai flora normal pada rongga mulut. Percobaan yang dilakukan oleh Hendri Wasito, dkk (2008); mengenai uji aktivitas antibakteri madu terhadap bakteri Staphylococcus aureus membuktikan bahwa madu menunjukkan aktivitas antibakteri. Jenis bakteri lain yang terbukti dapat dihambat oleh madu antara lain Staphylococcus epidermidis, Enterococcus faecium, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter cloacae, Klebsiella oxytoca dan MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus). Penelitian yang lain juga membuktikan bahwa infeksi oleh Candida albicans pada luka pasca operasi juga dapat ditanggulangi dengan pengolesan madu (Cavanagh dkk, 1970). Allah SWT berfirman dalam Al-Quran, surat An-Nahl ayat 68-69. Bahwa dalam madu terdapat obat yang menyembuhkan manusia.
Artinya : “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah; “ buatlah sarang-sarang di bukit-bukit dan di tempat-tempat yang dibuat manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu)”. Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan manusia. Sesungguhnya pada yang demikian terdapat tanda-tanda bagi orang yang memikirkan”
3
Rasulullah SAW pun bersabda : “Manfaatkanlah dua jenis penyembuhan; madu dan Al-Qur’an” (HR. Majah). Hadits ini menggabungkan penyembuhan jasmani dan Ilahiyah, obat bagi tubuh dan jiwa, obat duniawi dan samawi. Madu merupakan pembersih yang alamiah. Pada penelitian lain terbukti bahwa madu dengan konsentrasi tertentu memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus (Wasito dkk, 2008). Begitu juga madu jenis Manuka juga terbukti efektif terhadap pengurangan plak gigi dan gingivitis (H.K.P English, 2004). Madu Manuka adalah madu yang dihasilkan oleh lebah yang menghisap nektar dari pohon teh Leptospermum scoparium. Berdasarkan uraian di atas bahwa madu efektif terhadap beberapa mikroorganisme,
maka
timbul
masalah
bagaimana
peran
madu
terhadap
mikroorganisme yang ada di dalam rongga mulut. I.2
Rumusan Masalah Bagaimana
peran
madu
sebagai
antibakteri
terhadap
pertumbuhan
mikroorganisme pada rongga mulut? I.3
Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui bagaimana peran madu dalam mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada rongga mulut. 2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui jenis mikroorganisme yang ada pada rongga mulut..
Untuk mengetahui konsentrasi madu yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada rongga mulut.
I.4
Manfaat Penelitian Bagi peneliti
Sebagai salah satu syarat kelulusan dalam menyelesaikan program Sarjana Kedokteran.
4
Mengetahui bagaimana madu dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada rongga mulut.
Bagi institusi
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan gambaran bagaimana madu dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada rongga mulut.
Menjadi data dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh madu terhadap pertumbuhan mikroorganisme pada rongga mulut.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP
II.1
Madu Madu adalah larutan gula dengan saturasi tinggi yang dihasilkan oleh lebah. Lebah madu (Apis melifera) mengumpulkan cairan dari sari bunga yang disebut nektar dan dibawa ke sarang lebah. Di dalam sarang, lebah madu menambahkan enzim ke dalam nektar dan menempatkannya dalam wadah heksagonal yang mematangkan menjadi madu. Selama pematangan enzim mengubah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Kandungan madu pada umumnya terdiri dari air (17,0%); fruktosa (38,5%); glukosa (31,0%); maltosa (7,2%); karbohidrat (4,2%); sukrosa (1,5%); enzim, mineral, dan vitamin (0,5%); dan energi kalori/100 gram (294,0%) (Lamerkabel, 2008). Madu dihasilkan oleh berbagai jenis lebah madu. Di Indonesia terdapat beberapa lebah madu, baik yang telah dibudidayakan maupun yang belum. Lebah madu yang telah dibudidayakan yaitu Apis cerana, dan Apis melifera. Sementara lebah madu yang belum dibudidayakan yaitu Apis dorsata, dan Apis florea (Lamerkabel, 2008). Madu tersusun atas beberapa molekul gula seperti glukosa dan fruktosa serta sejumlah mineral seperti magnesium, kalium, potasium, sodium, klorin, sulfur, besi dan fosfat. Madu juga mengandung vitamin B1, B2, C, B6 dan B3 yang komposisinya berubah-ubah sesuai dengan kualitas madu bunga dan serbuk sari yang dikonsumsi lebah. Di samping itu di dalam madu terdapat pula tembaga, yodium dan seng dalam jumlah yang kecil, juga beberapa jenis hormon. Menurut Carvile K (1998), tujuan utama pemberian balutan madu pada luka adalah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penyembuhan. Madu yang mengandung berbagai macam zat yang dapat membantu penyembuhan luka. Menurut Molan PC (2001), dalam artikelnya yang berjudul, “Honey as a topical antibacterial agent for treatment of infected wounds”, menguraikan kandungan madu antara lain:
6
efek osmotik, hidrogen peroksida, komponen fitokimia, aktivitas limfosit dan fagositik, serta potensi sebagai anti mikroba. 1. Efek osmotik Madu memiliki efek osmotik yaitu memiliki osmolaritas yang cukup untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Madu merupakan cairan yang mengandung glukosa dengan saturasi yang tinggi yang mempunyai interaksi yang kuat terhadap molekul air. Kekurangan kadar air dapat menghambat pertumbuhan bakteri . Kandungan anti bakterial madu pertama kali dikenalkan oleh Van Ketel tahun 1982. Hal ini diasumsikan bahwa efek osmotik dihasilkan oleh kandungan gula yang tinggi di dalam madu. Madu, seperti larutan gula lainnya; sirup, memiliki osmolaritas yang cukup untuk menghambat bakteri. Madu juga telah menunjukkan pada luka yang terinfeksi Staphylococcus aureus dapat dengan cepat diubah menjadi steril. Bukti kandungan anti bakteri pada madu meningkat bila diencerkan setelah di teliti dan dilaporkan pada tahun 1919 oleh Sackett WG. Penjelasan ini berasal dari penelitian bahwa madu mengandung enzim yang memproduksi hidrogen peroksida ketika diencerkan. 2. Aktivitas hidrogen peroksida Ketika madu diencerkan oleh cairan eksudat luka, hidrogen peroksida dikeluarkan melalui reaksi enzim glukosaoksidase. Cairan ini dikeluarkan secara perlahan
untuk
menyediakan
aktivitas
antibakterial
namun
tidak
merusak
jaringan.Molan mendapatkan tujuh bakteri yang diteliti memiliki sensitivitas cukup tinggi terhadap madu. Konsentrasi minimum
madu (%) yang dibutuhkan untuk
menghambat pertumbuhan bakteri secara sempurna pada medium tergambar pada tabel 1.2 di bawah: Tabel 1.2 Konsentrasi madu minimum (%, v/v) untuk menghambat bakteri pada medium Bacterial species Manuka honey 3.7 Escherichia coli 7.3 Proteus mirabilis Pseudomonas aeruginosa 10.8 Salmonella typhimurium 6.0 6.3 Serratia marcescens 1.8 Staphylococcus aureus 3.6 Streptococcus pyogenes Sumber: Waikato Honey Research Unit
Other honey 7.1 3.3 6.8 4.1 4.7 4.9 2.6
7
Di Indonesia, madu yang beredar di pasaran harus melewati pemeriksaan standardisasi yang dilakukan oleh Badan Standardisasi Nasional. Pemeriksaan itu meliputi kandungan enzim diastase minimal, hidroksimetilfurfural (HMF), tingkat pencemaran, kadar air, kadar gula, dan pH. Tabel. 2.2 Persyaratan standar kandungan madu di Indonesia No. 1 2 3 4 5 6
Jenis Uji Aktifitas enzim diastase, min. Hidroksimetilfurfural (HMF), maks. Air, maks. Gula pereduksi (dihitung sebagai glukosa), min. Sukrosa, maks. Keasaman, maks
Padatan yang tidak larut dalam air, maks. Abu, maks. Cemaran logam: Timbal (Pb), maks. Temaga (Cu), maks. Cemaran arsen (As), maks. 10 Sumber: Badan Standardisasi Nasional SNI 01-3545-2004 7 8 9
Satuan DN Mg/kg % b/b % b/b % b/b Ml NaOH 1 N/kg % b/b % b/b
Persyaratan 3 50 22 65 5 50
Mg/kg Mg/kg Mg/kg
1,0 5,0
0,5 0,5
0,5
Kandungan hidrogen peroksida mempunyai efek yang kurang baik untuk jaringan, akan tetapi hidrogen peroksida yang terkandung dalam madu adalah berkisar 1 mmol/l atau 1000 kali lebih rendah dari 3% cairan yang umum dipakai sebagai antiseptik dan masih efektif sebagai antibakterial. Efek dari hidrogen peroksida yang bersifat merusak dapat dikurangi karena madu mempunyai anti oksidan yang dapat membersihkan radikal oksigen bebas. Telah dilaporkan bahwa hidrogen peroksida lebih efektif bila diberikan secara terus menerus. Sebuah penelitian pada Escherichia coli untuk mengetahui aliran hidrogen peroksida yang ditambahkan secara konstan, menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri dapat dihambat oleh 0,02 – 0,05 mmol/l hidrogen peroksida, konsentrasi tersebut tidak merusak sel fibroblast pada kulit manusia (Hyslop dkk, 1995). Pada penelitian lain yang dilakukan terhadap binatang didapatkan bahwa madu dapat menurunkan inflamasi dibandingkan kontrol pada luka bakar dalam (Postmes TJ dkk, 1997), dan juga pada luka bakar superfisial (Burlando F, 1978), serta luka full thickness—luka dengan diameter cukup besar dan dalam (Kumar A dkk, 1993; Kandil A, 1987; El Banby M, 1989; Oryan A dkk, 1998).
8
3. Komponen fitokimia (zat kimia yang diturunkan dari tumbuhan) Pada beberapa pengobatan madu yang menggunakan katalis untuk melepaskan aktivitas hidrogen peroksida dari madu, sejumlah faktor antibakterial non-peroksida (sifat antibakteri dari bahan-bahan selain hidrogen peroksida) tambahan juga telah teridentifikasi (Allen KL dkk, 1991; Adcock D, 1962; Bogdanov S, 1984; Molan PC dkk, 1988; Roth LA dkk, 1986). Madu Manuka (berasal dari lebah yang menghisap nektar dari pohon teh Leptospermum scoparium) juga telah ditemukan memiliki substansi dari aktivitas antibakterial non-peroksida (Allen KL dkk, 1991). Penemuan ini terjadi karena masih banyaknya komponen fitokimia yang tidak teridentifikasi, sehingga penyelidikan terhadap kandungan fitokimia madu akan tetap dilanjutkan. Penelitian yang serupa juga telah dilakukan terhadap madu yang berasal spesies Leptospermum yang tidak teridentifikasi di Australia yang disebut 'jellybush' [C. Davis, Queensland Department of Primary Industries: personal communication]. 4. Meningkatkan aktivitas fagositik dan limfosit Pada percobaan yang menggunakan kultur sel ditemukan adanya proliferasi limfosit B dan limfosit T pada darah perifer yang distimulasi oleh madu dengan konsentrasi 0,1%; fagosit diaktifkan oleh madu pada konsentrasi 0,1% (Abuharfeil N dkk, 1999). Pada konsentrasi 1% madu juga menstimulasi monosit dalam kultur sel untuk mengeluarkan sitokin; Tumor Necrosis Factor (TNF)-α, interleukin-1 dan interleukin-6; yang dapat mengaktifkan aktifitas respon imun terhadap infeksi (Tonks A dkk, 2001). Sebagai tambahan, madu juga mengandung glukosa dan pH asam (antara pH 3-4) yang dapat membantu membunuh bakteri oleh makrofag (Ryan GB dkk, 1977). Madu sebagai terapi untuk luka mempunyai beberapa segi kebaikan, diantaranya memudahkan pengangkatan balutan dan mempertahankan kelembaban sekitar luka. 5. Potensi/kemampuan sebagai anti-bakteri Madu dihasilkan dari berbagai sumber sari bunga berbeda dan menjadi produk yang asli dan olahan. Dioscorides (c.50 AD) menyatakan bahwa madu berwarna kuning pucat dari Attica yang terbaik (Gunther RT, 1934); Aristotle (384-322 BC), menunjukkan bahwa madu yang berwarna pucat baik untuk salep mata dan luka (Aristotle, 1910).
9
Kemudian sebuah survey terhadap 345 sampel madu New Zealand dari 26 sumber bunga yang berbeda ditemukan jumlah yang besar dengan aktivitas rendah (36%) sampel mempunyai aktivitas mendekati atau dibawah kadar (Allen KL dkk, 1991). Selain itu hasil survey yang tidak dipublikasikan, 340 sampel madu Australia dari 78 sumber bunga yang berbeda ditemukan 68,5% memiliki dibawah kadar yang dibutuhkan. Pada percobaan yang dilakukan secara acak ditemukan pada pasien luka eksisi dan skin graft menjadi baik dengan madu dan juga pada pengontrolan infeksi pada pasien luka bakar sedang (Subrahmanyam M, 1999). II.1.1 Uji Klinis dan Laboratorium Molan dalam artikelnya berjudul, “Honey as a tropical antibacterial agent for treatment of infected wounds” dalam World Wide Wounds, (2001) menguraikan beberapa uji klinis tentang madu antara lain : 1.
Pada suatu studi yang menggunakan madu pada sembilan bayi dengan luka bedah infeksi yang luas yang gagal dengan antibiotik IV, dicuci dengan cairan chlorhexidine 0,05% dan dibalut dengan asam fusidic ointment. Secara klinis memperlihatkan peningkatan setelah 5 hari menggunakan madu, dan seluruh luka tertutup, bersih dan bebas dari infeksi setelah hari ke-21 penggunaan madu.
2.
Pada percobaan acak dengan kelompok kontrol, 26 pasien dengan luka infeksi post-operasi diterapi dengan madu dan 24 pasien lukanya di cuci dengan etanol 70% dan povidone iodine. Kelompok yang diterapi dengan
madu
dapat
menghilangkan
infeksi
dan
mencapai
penyembuhan memerlukan ½ waktu yang dibutuhkan kelompok yang menggunakan antiseptik. 3.
Percobaan
kllinis
yang membandingkan madu dengan silver
sulfadiazine ointment pada luka bakar derajat II. Dari keduanya menunjukkan bahwa madu memberikan kontrol infeksi yang lebih baik. 4.
Luka infeksi oleh Pseudomonas, tidak ada respon dengan terapi lain, terjadi pembersihan infeksi cepat dengan menggunakan madu.
10
5.
Pada pasien dengan luka infeksi yang bakteri yang resisten, tidak ada respon terapi antibiotik, hasil baik dicapai setelah 5 minggu perawatan dengan madu. Bakteri yang mengenfeksi luka yang ditemukan resisten terhadap ampicilin, oxytetracycline, gentamicin, chloramphenicol dan cephadine. Luka yang terinfeksi MRSA juga dapat diatasi infeksinya dan sembuh menggunakan balutan madu termasuk ulkus kaki, luka berongga akibat haematom dan luka operasi.
6.
Pada percobaan yang dilakukan oleh Hendri Wasito dkk (2008) menemukan bahwa madu dengan konsentrasi 5 %, 10 %, 25 %, 50 % (v/v) dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.
7.
Efem (1993) melaporkan suatu percobaan pada 20 kasus gangren yang tidak dioperasi dan setiap hari diberikan madu, dibandingkan dengan 21 kasus yang sama dengan tata laksana bedah pengangkatan jaringan yang terinfeksi serta dengan antibiotik sistemik. Hasil yang sama didapatkan pada kedua perlakuan, namun respon yang lebih cepat didapatkan pada pasien yang diberikan madu. Luka yang diberikan madu menjadi steril dalam 1 minggu, dan tidak memerlukan operasi plastik.
II.1.2 Jenis Luka yang Tepat Untuk Pemberian Madu Madu
biasanya
digunakan
sebagai
antibakteri
topikal
untuk
penanganan infeksi pada tipe luka yang luas seperti : leg ulcers, pressure ulcers, diabetic foot ulcers, luka infeksi akibat kecelakaan atau pembedahan dan luka bakar. Madu lebih efektif digunakan bila kondisi luka yang sesuai dengan kemampuan madu itu sendiri. Pada leg ulcer lebih efektif digunakan bila luka sudah kronis, atau dengan eksudat yang banyak khususnya venous ulcer. Untuk pressure ulcers, madu efektif bila luka dalam kondisi eksudat banyak, namun kurang efektif untuk luka nekrotik, demikian pula untuk luka diabetik. Luka infeksi akibat pembedahan atau kecelakaan sangat baik diberi madu karena madu mempunyai efek osmolaritas, antimikrobia dan fitokimia yang dapat menghambat kuman. Jenis bakteri yang terbukti dapat dihambat oleh madu antara lain Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Enterococcus
faecium,
Escherichia
coli,
Pseudomonas
aeruginosa,
Enterobacter cloacae, Klebsiella oxytoca dan MRSA. Sedangkan luka bakar
11
yang dapat didukung proses penyembuhannya oleh madu adalah luka bakar superfisial dan full thickness karena dapat menurunkan proses inflamasi. II.2
Flora Normal Rongga Mulut dan Traktus Respiratorius Mikroorganisme ditemukan antara lain di rongga mulut, nasofaring, orofaring, dan tonsil. Sedangkan laring, trakea, bronkus, bronkiolus, alveolus, dan sinus biasanya tidak ditemukan mikroorganisme (Suharto, 1994). II.2.1 Morfologi dan Sifat dari Flora Normal Rongga mulut amat kaya akan mikroorganisme Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, beberapa mikrokokus berpigmen, dan Staphylococcus yang bersifat anaerob ditemukan di permukaan gigi dan saliva. Dijumpai
pula
Streptococcus
viridans
(grup
mitis
dan
salivarius),
Enterococcus, Neisseria berpigmen, Veillonella spp, Corynebacterium anaerob, Actinomyces, Escherichia coli, kelompok Klebsiella-Enterobacter, Haemophilus, Bacteroides, Fusobacterium, Vibrio sputorum, dan beberapa Spirochaeta (Treponema denticum dan Borrelia refringens). Streptococcus pyogenes dapat dijumpai pada 5-10% mulut normal. Streptococcus pneumoniae terdapat di permukaan gigi 25% orang dewasa normal (Suharto, 1994). Staphylococcus
epidermidis,
Staphylococcus
aureus,
dan
Staphylococcus sp. lainnya adalah bakteri yang berbentuk kokus (bola). Biasanya ditemukan dalam kelompokan-kelompokan atau berpasang-pasangan (diplokokus). Sifat dari bakteri ini adalah Gram-positif. Streptococcus viridans, Streptococcus pyogenes, dan
Streptococcus pneumoniae adalah
bakteri yang berbentuk kokus, biasanya ditemukan dalam bentuk susunan seperti rantai, dan bersifat Gram-positif. Enterococcus sp. adalah bakteri yang biasa ditemukan dengan ciri-ciri morfologi berbentuk kokus, susunan diplokokus, dan bersifat Gram-positif. Secara karakteristik fisik, Enterococcus sp. sangat sulit dibedakan dengan Streptococci (Gilmore MS, dkk, 2002). Veillonella sp., Bacteroides, dan Neisseria sp. adalah bakteri yang berbentuk kokus, susunan diplokokus atau berkelompok, dan bersifat Gramnegatif. Haemophilus sp. adalah bakteri yang berbentuk kokobasil, susunan
12
tunggal, dan bersifat Gram-negatif. Escherichia coli adalah bakteri yang berbentuk batang, susunan tunggal, dan bersifat Gram-negatif (Jawetz,1996). Dalam rongga mulut juga terdapat spesies Candida sebagai flora normal, dan spesies yang paling dominan adalah Candida albicans, yaitu sebesar 50% dari seluruh flora normal mulut, tetapi dalam rongga mulut yang sehat dan bersih jamur ini hanya ditemukan dalam jumlah kecil saja yaitu kurang dari 200 sel/ ml saliva (Jawetz,1996). Candida albicans bila diberikan pewarnaan dengan metode pewarnaan-Gram akan terlihat memiliki sifat Gram-positif. Organisme yang dominan di saluran napas, terutama faring adalah Streptokokus non hemolitik dan α-hemolitik dan Neisseria. Juga terdapat Staphylococcus
epidermidis, Diphteroid,
Haemophilus,
Pneumococcus,
Mycoplasma, dan Bacteroides. Eliminasi flora normal pada faring dengan penisilin dosis tinggi dapat menyebabkan overgrowth dari bakteri Gramnegatif seperti Escherichia coli, Klebsiella, Proteus, Pseudomonas, atau jamur (Suharto, 1994). II.2.2 Resistensi Resistensi bakteri-bakteri yang tergolong dalam flora normal pada rongga mulut tercatat antara lain Escherichia coli, dan Staphylococcus aureus yang menunjukkan penurunan sensitivitas terhadap gentamisin (A. G.
Whitelaw et al, 1974).Bakteri lain yang menunjukkan resistensi yaitu golongan dari Staphylococcus sp. yang telah menjadi resisten terhadap semua jenis antibiotika jenis beta-laktam. Golongan Staphylococcus sp. ini disebut dengan MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus). II.3
Sistem Imun Pada Rongga Mulut Sistem imun pada tubuh kita merupakan suatu integrasi dari berbagai komponen yang bertugas mempertahankan tubuh kita dari agen-agen dan organismeorganisme yang berpotensi untuk membahayakan tubuh kita, atau yang kita sebut dengan patogen. Sistem imun terdiri atas komponen-komponen seperti limfosit, jaringan limfoid, pembuluh limfatik, sitokin, dan imunoglobulin.
13
Walker, DM (2004) dalam artikelnya yang berjudul “Oral Mucosal Immunology” menuliskan bahwa mongga mulut juga memiliki sistem imun. Peranan imun pada rongga mulut sangatlah penting, mengingat rongga mulut sangat sering terpajan dengan dunia luar yang sangat berpeluang untuk menjadi jalan masuknya patogen ke dalam tubuh. Sistem imun pada rongga mulut merupakan suatu kompartemen khusus dari MALT (Mucosa-Associated Lymphoid Tissue). Pertahanan setiap individu bervariasi dan tergantung pada lingkungan mikro dari rongga mulut yang dipengaruhi oleh mukosa oral, kelenjar saliva, saliva, dan celah-celah gigi. Mukosa oral adalah salah satu bagian pembentuk sistem imun pada mulut yang mengandung komponen sel Langerhans intra-epitelial yang bertugas memproses antigen.Beberapa komponen imun yang berikutnya adalah kelenjar saliva dan saliva yang memiliki efek mekanis, yaitu membilas mikroorganisme dari mukosa dan permukaan gigi. Saliva juga memiliki agen-agen antimikroba penting. Berikut komponen-komponen antibakteri yang ditemukan pada saliva. Tabel 3.2 Komponen Antibakteri dari Saliva Agen antimikroba IgA sekretori (meliputi s-IgG, s-IgM)
Laktoferin Lisozim Aglutinin Sistem mieloperoksidase Sistem peroksidase saliva Komplemen Leukosit
Aktivitas Menghambat perlekatan Mengaglutinasi bakteri Netralisasi virus IgA adalah antibodi mayor pada saliva Mengikat Fe Bakteriostatik Efektif melawan S. mutans. Glikoprotein, mucin, fibronectin, 2-mikroglobulin, histatin, protein kaya prolin Bakterisidal pada kandungannya di thiocyanate/halide-H2O2 Enzim thiocyanate-H2O2
C3 diduga merupakan turunan dari cairan yang berasal dari celah gigi. >98% merupakan neutrofil, tapi sampai dengan 50% tidak mampu melakukan fagositosis Sumber: DM Walker. 2004. Oral Mucosal Immunology: An Overview
II.4
Diagnosis Laboratorium Mikrobiologi II.4.1 Pewarnaan-Gram Rao Sridhar, seorang asisten profesor di Departemen Mikrobiologi JJMMC—Davangere, dalam artikelnya yang berjudul Gram’s staining menuliskan bahwa metode pewarnaan Gram adalah metode yang dilakukan oleh seorang bakteriolog berkebangsaan Denmark bernama Hans Christian
14
Gram (1853-1938) pada tahun 1882 (namun baru dipublikasikan tahun 1884) untuk membedakan Pneumococcus dan bakteri Klebsiella pneumoniae pada jaringan paru. Ini merupakan metode pewarnaan diferensial untuk membedakan spesies bakteri menjadi 2 kelompok besar (Gram-positif dan Gram-negatif) berdasarkan bahan penyusun dinding sel secara fisik dan kimiawi. Reaksi ini membagi eubakteria menjadi dua kelompok mendasar sesuai dengan kemampuannya menyerap warna. Pewarnaan Gram tidak digunakan untuk mengklasifikasikan archaea, karena mikroorganisme ini memberikan respon yang sangat berbeda-beda. Sridhar menuliskan pewarnaan Gram terdiri atas 4 komponen, yaitu:
Pewarna primer (kristal violet, metil violet, atai Gentian violet)
Pengikat zat warna (iodin Gram)
Decolorizer (etil alkohol, aseton, atau campuran etanol-aseton 1:1)
Counterstain (larutan fukhsin karbol, safranin, atau neutral red)
II.4.1.1 Mekanisme reaksi pada pewarnaan-Gram Rao Sridhar menuliskan banyak teori telah diajukan untuk menjelaskan mengapa beberapa bakteri dapat mempertahankan pewarnaan, dan yang lainnya tidak. Teori perbedaan pH sitoplasma (pH 2 pada bakteri Gram-positif dan pH 3 pada bakteri Gram-negatif), dan keberadaan Magnesium ribonukleat pada bakteri Gram-positif dan absensinya pada bakteri Gram-negatif tidak mendapatkan pengakuan secara luas. Ketebalan dari dinding sel bakteri Gram-positif dan kandungan lipid yang lebih banyak pada dinding sel bakteri Gram-negatif memiliki alasan yang lebih dapat diterima untuk menjelaskan reaksi pewarnaan Gram. Dipercaya bahwa muatan positif kristal violet yang melewati dinding sel serta membran sel berikatan dengan komponen bermuatan negatif pada bagian dalam sel. Tambahan dari muatan negatif iodin berikatan dengan muatan positif pewarna dan membentuk suatu kompleks ikatan pewarna-iodin yang besar di dalam sel. Kristal violet (heksametil-para-rosanilin klorida) berinteraksi dengan KI-I2 cair melalui suatu pertukaran anion sederhana untuk menghasilkan presipitat kimia. Anion klorida yang kecil digantikan
15
dengan iodida yang sangat besar, lalu kompleks tersebut terbentuk dan terlarut dalam air. Selama proses penghilangan warna, alkohol memecah lipid yang berada pada membran luar dari sel bakteri Gramnegatif dan melepaskan kompleks pewarna-iodin pada bagian luar sel. Suatu lapisan peptidoglikan tipis tidak pula memberikan ketahanan yang cukup. Kompleks pewarna-iodin terlepaskan dari sel Gramnegatif bersamaan dengan membran luar. Sehingga sel Gram-negatif kehilangan warna. Di sisi lain, sel Gram-positif mengalami dehidrasi akibat pemberian etanol dan menutup pori-porinya bersamaan dengan penyusutan dinding sel selama dehidrasi. Kompleks pewarna-iodin terperangkap di dalam lapisan tebal dari peptidoglikan, dan tidak terbilas oleh etanol. II.4.1.2 Keterbatasan pewarnaan-Gram Rao Sridhar juga menuliskan dalam artikelnya bahwa beberapa bakteri Gram-positif akan melepas pewarna dengan mudah, sehingga akan terlihat sebagai suatu campuran dari bakteri Gram-positif, dan Gram-negatif (Gram-variabel). Bila pewarnaan berlebihan, maka bakteri Gram-positif akan terlihat berwarna merah muda dan bila pewarnaan kurang maka bakteri Gram-negatif akan terlihat seolah-olah bersifat Gram-positif. Reaksi Gram juga tergantung pada usia dari sel. Usia kultur yang tua dari bakteri Gram-positif (sehingga dinding sel melemah) akan dengan mudah kehilangan zat pewarna. Sel-sel Grampositif dipengaruhi oleh agen-agen aktif pada dinding sel seperti lisozim atau antibiotik, sehingga sifatnya akan terlihat seperti Gramnegatif. Bakteri
Gram-positif
seperti
Acetomyces,
Arthobacter,
Corynebacterium, Mycobacterium, dan Propionibacterium memiliki dinding sel yang cenderung rapuh pada saat pembelahan sel, sehingga akan menghasilkan pewarnaan seperti Gram-negatif pada sel ini. Pada kultur Bacillus dan Clostridium, terjadi suatu penurunan ketebalan peptidoglikan selama pertumbuhan sel. Sehingga beberapa dari nya akan terlihat seperti bersifat Gram-negatif. Beberapa kelompok dari bakteri akan menampilkan beberapa respon yang bervariasi terhadap pewarnaan, dan hal tersebut dapat saja
16
berhubungan dengan stress saat proses pertumbuhan (misalnya ketidakcukupan nutrisi, temperatur, pH, atau elektrolit) yang akan mengakibatkan terdapat mikroorganisme yang tidak hidup, sel-sel Gram-negatif pada suatu kultur Gram-positif, dan beberapa spesies bakteri (yang diketahui variabilitas Gramnya) yang dapat bertahan hidup dalam kondisi di bawah pertumbuhan optimal tersebut. Beberapa bakteri cenderung untuk terlihat bersifat Gram-negatif saat dibiakkan pada medium yang bersifat asam. Kehilangan dinding sel yang dialami oleh bakteri Gram-positif dapat membuat bakteri-bakteri tersebut akan terwarnai dan terlihat seolah-olah bersifat Gram-negatif. Bakteri yang sama sekali tidak memiliki dinding sel (Mycoplasma) akan selalu bersifat Gram-negatif, meskipun secara filogenetik bersifat Gram-positif. Bakteri seperti Mycobacterium yang memiliki unsur waxy lebih banyak akan sulit untuk diwarnai. Bakteri yang berukuran kecil dan tipis seperti Treponema, Chlamydia, dan Rickettsia juga seringkali sulit untuk diwarnai dengan metode Gram. Bakteri Gram-positif yang telah difagositosis juga akan terlihat seperti Gram-negatif. II.4.1.3 Pemanfaatan teknik pewarnaan-Gram Pewarnaan-Gram banyak dimanfaatkan dalam dunia sains. Beberapa manfaat yang didapatkan dari teknik pewarnaan-Gram antara lain dalam diferensiasi antara bakteri Gram-positif dan Gram-negatif yang merupakan tahap pertama dari klasifikasi bakteri. PewarnaanGram juga merupakan suatu tahap awal dari identifikasi bakteri pada kultur, dan berguna dalam estimasi jumlah total suatu bakteri. Laporan dari hasil pewarnaan-Gram dapat dijadikan dasar dalam pemilihan media kultur untuk inokulasi bakteri. Pewarnaan-Gram telah digunakan pula dalam dunia medis. Salah satunya adalah untuk mengobservasi bakteri pada spesimen klinis yang bertujuan untuk memberikan petunjuk penting dalam mendiagnosis suatu penyakit. Laporan hasil dari pewarnaan-Gram juga dapat dijadikan dasar dalam pemilihan antibiotik yang tepat untuk digunakan dalam pengobatan penyakit infeksi.
17
II.5
Kerangka Konsep Mikroorganisme rongga mulut
Madu Peningkatan atau penurunan jumlah dari mikroorganisme
18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
III.1
Desain Penelitian ini sebagai studi awal yang dilakukan dengan metode eksperimen.
III.2
Tempat dan Waktu Penelitian in dilakukan pada bulan September – Oktober 2010 di laboratorium FKIK UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
III.3
Sampel Sampel yang digunakan adalah 6 orang mahasiswa PSPD tahun angkatan 2007 dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling.
III.4
Alat dan Bahan Alat:
Labu ukur 200 dan 500 ml
Bunsen
Kaca objek
Mikroskop Nikon® Eclipse E100 binokular
Pipet tetes
Bekker glass 200 dan 1000 ml
Swab steril
Kertas tissue
Bahan:
Aquades
Madu hutan Sumbawa (Apis
dorsata;
DINKES
109317105064) (berdasarkan penelitian Sulistiani, 2009)
Ungu Gentian
Lugol
P-IRT No.
19
III.5
Safranin
Alkohol (decolorant)
Subjek Penelitian Seluruh subjek penelitian akan diberikan inform consent mengenai perlakuan yang akan diberikan, lalu dimintai persetujuannya untuk menjadi sampel. Bila yang bersangkutan menyetujuinya, maka ia akan menjadi salah satu sampel dari penelitian ini.
III.6
Alur Penelitian Kelompok kontrol (aquades); 2 orang
Kelompok madu 20%; 2 orang
Kelompok madu 40%; 2 orang
Swab rongga mulut sebelum dan setelah pemberian madu
Pewarnaan Gram
Pengamatan di bawah mikroskop
III.7 Prosedur Percobaan III.7.1 Sterilisasi Alat Peralatan yang perlu disterilkan antara lain swab steril, labu ukur 200 dan 500 ml, bekker glass 200 dan 1000 ml. Langkah pertama adalah membungkus
peralatan-peralatan
(yang
perlu
disterilisasi)
dengan
menggunakan kertas atau alumunium foil. Masukkan alat-alat yang sudah dibungkus ke dalam autoklaf. Tutup autoklaf, lalu tunggu selama ±15 menit pada suhu 121 °C, dan tekanan 15 atm.
20
III.7.2 Pembuatan Larutan Madu III.7.2.1 Madu 20% Tuangkan aquades sebanyak 100 ml ke dalam bekker glass 200 ml. Tuangkan madu ke dalam bekker glass 200 ml yang telah terisi aquadestersebut sebanyak 25 ml. Aduk hingga merata. III.7.2.2 Madu 40% Tuangkan aquades sebanyak 37,5 ml ke dalam bekker glass 200 ml. Tuangkan madu ke dalam bekker glass yang telah terisi aquades tersebut sebanyak 25 ml. Aduk hingga merata. III.7.3 Cara Kerja 1. Ambil spesimen mukosa buccalis semua sampel dengan menggunakan swab steril. 2. Hasil swab dioleskan ke atas kaca objek yang telah dibersihkan 3. Fiksasi dengan melewatkan di atas api sebanyak 3x. 4. Spesimen ditetesi dengan ungu Gentian selama 2 menit. 5. Cuci spesimen dengan air. 6. Lalu spesimen diteteskan dengan lugol selama 1 menit. 7. Spesimen dicuci dengan air. 8. Spesimen diteteskan dengan alkohol 96% sampai 30 detik. 9. Spesimen dicuci dengan air. 10. Spesimen diteteskan dengan safranin selama 1 menit. 11. Cuci spesimen dengan air. 12. Keringkan dengan kertas tissue. 13. Tetesi kaca objek dengan minyak imersi. 14. Amati hasil di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000x (lapang pandang besar). 15. Berikan kumur-kumur madu 20% kepada sampel III dan IV, dan madu 40% kepada sampel V dan VI, serta aquades kepada kelompok kontrol (sampel I dan II) selama 1 menit. 16. Ulangi prosedur nomor 3-16. 17. Setelah 15 menit, ulangi prosedur nomor 17 dan 18.
21
18. Catat hasil penghitungan mikroorganisme pada hasil III.7.4 Pengamatan Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya. Dalam pengamatan, hal-hal yang diamati antara lain: 1. Identifikasi mikroorganisme rongga mulut, meliputi: a. Morfologi bakteri (kokus/batang/spiral) b. Susunan (berkelompok/tunggal) c. Sifat dalam pewarnaan-Gram (Gram-positif/Gram-negatif) 2. Jumlah mikroorganisme sebelum dan sesudah perlakuan Menghitung jumlah bakteri berdasarkan bentuk, susunan, dan sifat dalam pewarnaan-Gram. III.7.5 Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menghitung persentasi serta standar deviasi mikroorganisme rongga mulut sebelum dan sesudah perlakuan pemberian madu.
22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1
Mikroorganisme Rongga Mulut Sebelum Perlakuan Dari hasil identifikasi awal dengan pengambilan swab mukosa buccalis pada sampel sebelum diberikan perlakuan ditemukan 4 kelompok mikroorganisme yang dibedakan berdasarkan bentuk, susunan, dan sifat pewarnaan-Gram. Pertama, terdapat bakteri dengan ciri-ciri berbentuk bulat, susunan berkelompok, dan bersifat Gramnegatif. Dari literatur yang didapat mengenai flora normal pada rongga mulut, kemungkinan bakteri yang ditemukan dengan ciri-ciri seperti ini antara lain golongan Neisseria, Veillonella spp, dan Bacteroides. Kedua, terdapat bakteri dengan ciri-ciri berbentuk batang, susunan tunggal, dan bersifat Gram-positif. Dari literatur yang didapat, flora normal yang sesuai dengan ciri-ciri tersebut yaitu Corynebacterium anaerob. Ketiga, terdapat bakteri dengan ciri-ciri berbentuk bulat, susunan seperti rantai, dan bersifat Gram-positif. Ciri-ciri tersebut sesuai dengan bakteri dari spesies Streptococcus. Keempat, ditemukan mikroorganisme yang sesuai dengan ciri-ciri dari bentuk spesies Candida. Menurut Jawetz (1996), pada rongga mulut, spesies Candida yang paling dominan adalah Candida albicans.
IV.2
Mikroorganisme Setelah Pemberian Perlakuan Pada pengamatan spesimen sebelum pemberian perlakuan pada kelompok kontrol (sampel I dan II; pemberian perlakuan dengan aquades), didapatkan bakteri dengan ciri-ciri berbentuk bulat, susunan berkelompok, dan bersifat Gram-negatif dengan rata-rata jumlah dari kedua sampel adalah sebanyak 102 bakteri. Tetapi setelah dilakukan pemberian aquades, didapatkan jumlah rata-rata dari kedua sampel untuk bakteri ini adalah sebanyak 49 bakteri. Setelah pemberian aquades diulang, didapatkan jumlah rata-rata dari kedua sampel untuk bakteri ini adalah sebanyak 47 bakteri. Pada hasil tersebut didapatkan pengurangan bakteri dengan ciri-ciri berbentuk bulat, susunan berkelompok, dan bersifat Gram-negatif dengan aquades adalah sebanyak 52,9%, dengan standar deviasi 31,193. Aquades tidak memiliki kandungan mineral seperti amonia, kalsium, magnesium, klor, nitrat dan sulfat, logam berat, dan
23
memiliki sifat netral dengan kandungan pH 7,00 (WHO, 2011). Dengan sifat tersebut, kemungkinan terdapat faktor lain yang berperan dalam pengurangan jumlah mikroorganisme setelah kelompok kontrol diberikan perlakuan dengan aquades. Sementara pada kelompok yang mendapat perlakuan kumur-kumur dengan madu 20% (sampel III dan IV), sebelum perlakuan didapatkan jumlah bakteri dengan ciri-ciri berbentuk bulat, susunan berkelompok, dan bersifat Gram-negatif tersebut dengan rata-rata jumlah dari kedua sampel sebanyak 160 bakteri. Setelah dilakukan pemberian perlakuan, jumlah bakteri ini menjadi 85 bakteri, dan setelah pengulangan perlakuan didapatkan jumlah bakteri sebanyak 40 bakteri. Pada hasil tersebut didapatkan pengurangan bakteri dengan ciri-ciri berbentuk bulat, susunan berkelompok, dan bersifat Gram-negatif dengan aquades adalah sebanyak 60,9%, dengan standar deviasi 60,622. Pada kelompok dengan perlakuan kumur-kumur dengan madu 40% (sampel V dan VI), sebelum perlakuan didapatkan bakteri dengan ciri-ciri berbentuk bulat, susunan berkelompok, dan bersifat Gram-negatif tersebut dengan rata-rata jumlah dari kedua sampel sebanyak 84 bakteri. Setelah diberikan pemberian perlakuan, didapatkan rata-rata jumlah bakteri menjadi 65 bakteri, dan pada pengulangan perlakuan didapatkan rata-rata jumlah bakteri menjadi 15 bakteri. Pada hasil tersebut didapatkan pengurangan bakteri dengan ciri-ciri berbentuk bulat, susunan berkelompok, dan bersifat Gram-negatif dengan aquades adalah sebanyak 52,4%, dengan standar deviasi 35,642. Pada penelitian yang dilakukan oleh Willix, dkk (1992) menunjukkan bahwa madu memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan bakteri Gram-negatif, misalnya Escherichia coli, pada penelitian tersebutdigunakan madu jenis Manuka. Untuk bakteri dengan ciri-ciri berbentuk batang, susunan tunggal, dan bersifat Gram-positif, pada kelompok kontrol (sampel I dan II; mendapatkan perlakuan dengan aquades), didapatkan jumlah rata-rata dari kedua sampel adalah sejumlah 1 bakteri. Setelah diberikan perlakuan kumur-kumur dengan aquades, didapatkan jumlah rata-rata dari kedua sampel pada kelompok kontrol adalah sejumlah 1 bakteri. Pada pengulangan perlakuan, didapatkan jumlah rata-rata dari bakteri dengan ciri-ciri berbentuk batang, susunan tunggal, dan bersifat Gram-positif tersebut adalah 1 bakteri. Untuk bakteri tersebut, tidak didapatkan pengurangan jumlah pada kelompok kontrol.
24
120 100 80 60
Sebelum perlakuan Pemberian I aquades
40
Pemberian II aquades*)
20 0 Bulat, Batang, Bulat, rantai, berkelompok, tunggal, Gram Gram (+) Gram (-) (+)
Candida albicans
Keterangan: *)pemberian II dilakukan 15 menit setelah pemberian I
Gambar 1.4 Rata-rata jumlah bakteri pada kelompok kontrol
180 160 140 120 100
Sebelum perlakuan
80
Pemberian I madu 20%
60
Pemberian II madu 20%*)
40 20 0 Bulat, Batang, Bulat, rantai, berkelompok, tunggal, Gram Gram (+) Gram (-) (+)
Candida albicans
Keterangan: *)pemberian II dilakukan 15 menit setelah pemberian I
Gambar 2.4 Rata-rata jumlah bakteri pada kelompok dengan perlakuan madu 20%
25
140 120 100 80 Sebelum perlakuan
60
Pemberian I madu 40% Pemberian II madu 40%*)
40 20 0 Bulat, Batang, berkelompok, tunggal, Gram (-) Gram (+)
Bulat, rantai, Gram (+)
Candida albicans
Keterangan: *)pemberian II dilakukan 15 menit setelah pemberian I
Gambar 3.4 Rata-rata jumlah bakteri pada kelompok dengan perlakuan madu 40% Sementara pengamatan untuk bakteri dengan ciri-ciri berbentuk batang, susunan tunggal, dan bersifat Gram-positif pada kelompok yang mendapatkan perlakuan berupa kumur-kumur dengan madu 20% (sampel III dan IV) didapatkan rata-rata jumlah sebanyak 4 bakteri pada waktu sebelum diberikan perlakuan. Ratarata jumlah bakteri tersebut didapatkan sebanyak 1 bakteri, baik pada pemberian perlakuan, maupun pada pengulangan perlakuan. Pada kelompok perlakuan madu 20% didapatkan pengurangan jumlah sebanyak 75%, dengan standar deviasi 1,732. Jumlah rata-rata bakteri dengan ciri-ciri berbentuk batang, susunan tunggal, dan bersifat Gram-positif pada kelompok dengan perlakuan madu 40% (sampel V dan VI) sebelum pemberian perlakuan adalah sebanyak 9 bakteri. Jumlah rata-rata tersebut berkurang menjadi 5 bakteri setelah kelompok tersebut diberikan kumurkumur dengan madu 40%. Setelah pengulangan perlakuan, bakteri dengan ciri-ciri berbentuk batang, susunan tunggal, dan bersifat Gram-positif tersebut tidak ditemukan kembali pada spesimen. Pengurangan bakteri dengan ciri-ciri tersebut pada kelompok dengan perlakuan madu 40% adalah sejumlah 72,2%, dengan standar deviasi 4,509.
26
Gambar 4.4 Candida albicans pada hasil swab
Pada pengamatan spesimen sebelum pemberian perlakuan untuk bakteri dengan ciri-ciri berbentuk bulat, susunan rantai, dan bersifat Gram-positif pada kelompok kontrol (sampel I dan II; mendapatkan perlakuan kumur-kumur dengan aquades) didapatkan jumlah rata-rata sebanyak 112 bakteri. Jumlah rata-rata bakteri tersebut berkurang menjadi 97 bakteri setelah pemberian kumur-kumur dengan aquades. Pada pengulangan perlakuan, didapatkan jumlah rata-rata bakteri yang didapatkan adalah 67 bakteri. Untuk bakteri dengan ciri-ciri berbentuk bulat, susunan rantai, dan bersifat Gram-positif didapatkan pengurangan jumlah bakteri sebanyak 26,8%, dengan standar deviasi 22,913. Jumlah rata-rata bakteri dengan ciri-ciri berbentuk bulat, susunan rantai, dan bersifat Gram-positif tersebut pada kelompok dengan perlakuan madu 20% (sampel III dan IV) sebelum perlakuan adalah sejumlah 89 bakteri. Setelah pemberian perlakuan kumur-kumur, didapatkan jumlah rata-rata dari bakteri tersebut adalah 54 bakteri, dan setelah pengulangan perlakuan didapatkan jumlah rata-rata bakteri menjadi 36 bakteri. Pengurangan bakteri dengan ciri-ciri berbentuk bulat, susunan rantai, dan bersifat Gram-positif pada kelompok yang mendapatkan perlakuan kumurkumur dengan madu 20% adalah sebanyak 49,4%, dengan standar deviasi 26,951. Sementara pada kelompok yang mendapatkan perlakuan kumur-kumur dengan madu 40% (sampel V dan VI) didapatkan jumlah rata-rata dari bakteri dengan ciri-ciri berbentuk bulat, susunan rantai, dan bersifat Gram-positif pada saat sebelum perlakuan adalah sebanyak 126 bakteri. Jumlah rata-rata tersebut berkurang menjadi 89 bakteri setelah kedua sampel diberikan perlakuan. Setelah pengulangan perlakuan,
27
didapatkan jumlah rata-rata dari bakteri dengan ciri-ciri berbentuk bulat, susunan rantai, dan bersifat Gram-positif menjadi 60 bakteri. Pengurangan jumlah bakteri dengan ciri-ciri tersebut pada kelompok yang mendapatkan perlakuan berupa kumurkumur dengan madu 40% adalah sebanyak 40,9%, dengan standar deviasi 33,081. Pada pengamatan spesimen untuk penghitungan Candida albicans sebelum pemberian perlakuan pada kelompok kontrol (sampel I dan II; mendapatkan perlakuan kumur-kumur dengan aquades) didapatkan jumlah rata-rata sebanyak 19 Candida albicans. Pengamatan dilakukan dengan menghitung per individu dari Candida albicans. Setelah dilakukan pemberian perlakuan dengan memberikan kumur-kumur aquades terhadap kedua sampel didapatkan jumlah rata-rata Candida albicans menjadi 14 Candida albicans. Pada pengamatan jumlah setelah pengulangan perlakuan, didapatkan jumlah rata-rata dari Candida albicans adalah sebanyak 17 Candida albicans. Pemberian kumur-kumur dengan aquades pada kedua sampel kontrol menunjukkan pengurangan jumlah sebanyak 44,7%, dengan standar deviasi 2,517.
Gambar 5.4 Bakteri Gram-negatif berbentuk bulat dan susunan berkelompok
28
Gambar 6.4 Bakteri Gram-positif berbentuk batang dan susunan tunggal Jumlah rata-rata Candida albicans pada kelompok dengan perlakuan pemberian kumur-kumur madu 20% (sampel III dan IV) saat pengambilan spesimen sebelum diberikan perlakuan adalah sebanyak 16 Candida albicans. Jumlah rata-rata dari kedua sampel tersebut berkurang menjadi 11 Candida albicans setelah pemberian kumur-kumur dengan madu 40%. Setelah pengulangan perlakuan, didapatkan jumlah dari Candida albicans menjadi 9 Candida albicans. Pengurangan jumlah dari Candida albicans pada sampel III dan IV tersebut adalah sebanyak 37,5%, dengan standar deviasi sebanyak 3,606. Sementara pada kelompok dengan perlakuan kumur-kumur madu 40% (sampel V dan VI) didapatkan jumlah rata-rata Candida albicans dari kedua sampel sebelum pemberian perlakuan adalah 14 Candida albicans. Setelah dilakukan pemberian perlakuan, jumlah dari Candida albicans menjadi 10 Candida albicans. Pada penghitungan spesimen setelah pengulangan perlakuan, didapatkan jumlah tersebut berkurang menjadi 8 Candida albicans. Pengurangan jumlah dari Candida albicans pada kelompok dengan perlakuan kumur-kumur madu 40% adalah sebanyak 35,7%, dengan standar deviasi 3,055.
29
Gambar 7.4 Bakteri Gram-positif berbentuk bulat dan susunan rantaidalam bentuk susunan berkelompok
Aktivitas madu dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans telah dibuktikan oleh Cavanagh, dkk (1970) yang menggunakan madu rumah tangga biasa. Namun sayangnya tanaman sumber madu tersebut tidak tercatat. Penelitian yang dilakukan Cavanagh, dkk tersebut membuktikan bahwa infeksi oleh Candida albicans pada luka pasca operasi dapat ditanggulangi dengan pengolesan madu. Madu memiliki aktivitas sebagai antimikroba atau anti bakteri karena madu memiliki kadar air yang relatif rendah yakni kurang dari 20% dan kadar gula yang tinggi, kondisi tersebut sangat tidak mendukung untuk pertumbuhan mikroorganisme karena menimbulkan efek osmosis yang dapat membunuh mikroorganisme (Tonks et al, 2003). Lalu madu juga memiliki lisozim yang aktivitasnya dapat melisis bakteri. Lisozim juga terdapat dalam saliva. Sehingga dalam hal ini, madu dapat membantu saliva dalam melisis bakteri. Selain itu madu juga memiliki hidrogen peroksida (komponen fitokimia) yang dikeluarkan melalui kerja enzim glukosaoksigenase, serta mengoptimalkan aktivitas limfosit dan fagositik (Molan PC, 2001). Hal-hal tersebut yang mengakibatkan pengurangan jumlah pada kelompok dengan perlakuan pemberian madu 20% dan 40%. Dari hasil percobaan didapatkan bahwa madu dengan konsentrasi 20% dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan ciri-ciri berbentuk batang, susunan tunggal, bersifat Gram-positif dan bakteri dengan ciri-ciri berbentuk bulat, susunan seperti rantai, bersifat Gram-positif lebih baik dibandingkan dengan madu 40%. Sementara madu dengan konsentrasi 40% dapat menghambat
30
pertumbuhan bakteri dengan ciri-ciri berbentuk bulat, susunan berkelompok, dan bersifat Gram-negatif, serta Candida albicans lebih baik daripada madu 20%. Tabel 1.4 Persentasi pengurangan jumlah mikroorganisme beserta simpangan baku Bulat; berkelompok; Gram (-) K 20% 40% 102 160 84 P0 49 85 65 P1 47 40 15 P2 Penghitungan 52,9% 60,9% 52,4% % S.D 31,193 60,622 35,642
Batang; tunggal; Gram (+) K 20% 40% 1 4 9 1 1 5 1 1 0 0% -
75% 1,732
72,2% 4,509
Bulat; rantai; Gram (+)
Candida albicans
K 112 97 67
20% 89 54 36
40% 126 89 60
K 19 14 17
20% 16 11 9
40% 14 10 8
26,8% 22,913
49,4% 26,951
40,9% 33,081
44,7% 2,517
37,5% 3,606
35,7% 3,055
Hal lain yang mungkin mempengaruhi penurunan jumlah dari mikroorganisme yang ditemukan pada spesimen pada penelitian ini adalah kumur-kumur. Karena terlihat pada sampel I dan II beberapa kali terjadi penurunan jumlah mikroorganisme walaupun pada sampel I dan II hanya diberikan kumur-kumur dengan aquades. Lalu penghitungan jumlah mikroorganisme juga sangat ditentukan oleh ketelitian peneliti dalam menghitung jumlah mikroorganisme, dan kualitas hasil pewarnaan-Gram yang dilakukan. Karena hasil pewarnaan-Gram sangat bervariasi dalam hal kualitas. Hal tersebut disebabkan oleh pewarnaan-Gram memiliki beberapa tahap yang sangat membutuhkan ketepatan dalam hal waktu. Misalnya bila pemberian zat warna ungu Gentian hanya 2 menit, sedangkan zat warna Safranin diberikan selama 3 menit (dari yang seharusnya 1 menit), maka bakteri yang seharusnya Grampositif dapat berubah menjadi bakteri Gram-negatif. Dengan demikian, untuk memastikan mikroorganisme yang diwarnai diperlukan suatu uji, salah satunya bisa dengan melakukan uji biokimia dan dengan melakukan kultur untuk mengetahui secara tepat jenis bakteri yang diamati.
31
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Pada hasil penelitian ini ditemukan beberapa mikroorganisme yang ditemukan pada rongga mulut, yaitu Candida albicans serta 3 jenis bakteri dengan ciri-ciri (1) berbentuk bulat, susunan berkelompok, dan bersifat Gram-negatif (salah satu kemungkinan bakteri tersebut adalah golongan Neisseria, Veillonella spp, atau Bacteroides); (2) berbentuk batang, susunan tunggal, dan bersifat Gram-positif (salah satu kemungkinan bakteri tersebut adalahCorynebacterium anaerob); (3) berbentuk bulat, susunan rantai, dan bersifat Gram-positif (salah satu kemungkinan bakteri tersebut adalah spesies dari Streptococcus). 2. Pada hasil percobaan ditemukan bahwa pemberian kumur-kumur madu 20% dapat menurunkan jumlah total temuan mikroorganisme pada hasil swab mukosa buccalis hingga 75%. 3. Dari hasi penelitian, madu dengan konsentrasi 20% dapat menghambat pertumbuhan bakteri lebih baik dibandingkan dengan madu 40%. V.2 SARAN Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan: 1. Kumur-kumur
dengan
madu
20%
dapat
menghambat
pertumbuhan
mikroorganisme pada rongga mulut sehingga kemungkinan dapat digunakan untuk menjaga kesehatan rongga mulut dan menurunkan risiko mengalami gangguan kesehatan mulut, seperti sariawan dan timbulnya bau mulut. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjut dengan jumlah sampel yang lebih banyak. 3. Perlu dilakukan uji biokimia dan kultur.
32
DAFTAR PUSTAKA Allen K L, Molan P C, Reid G M. (1991). A Survey of the Antibacterial Activity of Some NewZealand Honeys. J. Pharm. Pharmacol. 43, 817-822. Allen K L, Molan P C, Reid G M. (1991). The Variability of the Antibacterial Activity of Honey.Apiacta26, 114-121. Aristotle (350 B.C.). Translated by Thompson DÕA W. Historia Animalium in: The Works of Aristotle (Smith J A, Ross W D editors) Oxford University Press Oxford 1910 VolumeIV. Armon P J. (1980). The Use of Honey in the Treatment of Infected Wounds. Trop. Doct. 10, 91. Badan Standardisasi Nasional. (2000). Standar Nasional Indonesia: Madu. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Bhisma-Murti. (1997). Prinsip dan Metoda Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mata University Press. Blomfield R. (1973). Honey for Decubitus Ulcers. J. Am. Med. Assoc. 224, 905. Bose B. (1982). Honey or Sugar in Treatment of Infected Wounds? Lancet i, 963. Bulman M W. (1955). Honey as a Surgical Dressing. Middlesex Hosp. J. 55, 188-189. Burlando F. (1978). Sull'azione Terapeutica del Miele nelle Ustioni. Minerva Dermat. 113, 699-706. Cavanagh D, Beazley J, Ostapowicz F. (1970). Radical Operation for Carcinoma of the Vulva. ANew Approach to Wound Healing. J. Obstet. Gynaecol. Br. Cmwlth. 77, 1037 1. Dumronglert E. (1983). A Follow-up Study of Chronic Wound Healing Dressing with Pure Natural Honey. J. Natl Res. Counc. Thail. 15, 39-66. Dustmann J H. (1979). Antibacterial Effect of Honey. Apiacta 14, 7-11. Efem SEE. (1993). Recent advances in the management of Fournier's gangrene: Preliminary observations. Surgery 113 (2) 200-204. English, H.K.P., A.R.C. Pack, dan P.C. Molan. (2004). The effects of manuka honey on plaqueand gingivitis: a pilot study. Journal. Dalam http://www.perioiap.org/absapr04.htm (diunduh pada 23 Oktober 2009) Farouk A, Hassan T, Kashif H, Khalid S A, Mutawali I, Wadi M. (1988). Studies on SudaneseBee Honey: Laboratory and Clinical Evaluation. Int. J. Crude Drug Res. 26,
33
161-168. Gilmore MS, et al, ed. (2002). The Enterococci: Pathogenesis, Molecular Biology, and Antibiotic Resistance. Washington, D.C.: ASM Press. ISBN 9781555812348. Green A E.(1988). Wound Healing Properties of Honey. Br. J. Surg. 75, 1278. Gunther R T. (1959). The Greek Herbal of Dioscorides (Translated by Goodyear J, 1655). Hafner N. Y. 1934, reprinted 1959. Hansen, Richard T. (2009). Oral Immunity—The Mouth’s Own Defense System. Dalam http://www.healthanddentistry.org/oralimmune.html (diunduh pada 1 Oktober 2010 21:15) Hanum, Sri Yusfinah M. (2009). Hubungan Kadar CD4 Dengan Infeksi Jamur Superfisialis Pada Penderita HIV di RSUP H. Adam Malik Medan. Hutton D J. (1966). Treatment of Pressure Sores. Nurs. Times 62, 1533-1534. Hyslop PA, Hinshaw DB, Scraufstatter IU, Cochrane CG, Kunz S, Vosbeck K. Hydrogen peroxide as a potent bacteriostatic antibiotic: implications for host defense. Free Radic Biol Med 1995; 19 (1): 31- 7 Jawetz, E., 1996 : Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology). Alih bahasa : Edi Nugroho dan Maulany, edisi 20, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Kandil A, Elbanby M, Abd-Elwahed K, Abou Sehly G, Ezzat N. (1987). Healing Effect of TrueFloral and False Nonfloral Honey on Medical Wounds. J. Drug Res. (Cairo) 17, 71 72. Lamerkabel, J. S. A. 2008. Lebah Madu: Hasil Hutan Ikutan dan Ternak Harapan. Dalam http://www.unpatti.ac.id/ (diunduh pada 28-10-2010 23:09) Lemeshow, S. & David W.H.Jr. (1997). Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan (terjemahan).Yogyakarta: Gadjahmada University Press. Majno G. (1975). The Healing Hand. Man and Wound in the Ancient World. , Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. McInerney R J F. (1990). Honey - a Remedy Rediscovered. J. Royal Soc. Med. 83, 127. Molan, PC. Associate Professor of Biochemistry and Director of the HoneyResearch Unit Department of Biological Sciences, University of Waikato Private Bag 3105, Hamilton, New Zealand. Honey as a topical antibacterial agent for treatment of infectedwounds. Dalam http://www.worldwidewounds.com. (diunduh pada 14-12-2009) Molan P C. (1992). The Antibacterial Activity of Honey. 1. The Nature of the Antibacterial Activity. Bee World 73, 5-28. Molan P C. (1992). The Antibacterial Activity of Honey. 2. Variation in the Potency of the
34
Antibacterial Activity. Bee World 73, 59-76. Peri. (2004). Peramalan penjualan dan keuntungan kotor produk olahan lebah madu apiari pramuka. Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. PN, Rao Sridhar. Asisten Profesor Departemen Mikrobiologi JJMMC,Davangere. Gram’s staining.
Dalam
www.microrao.com
(diunduh
pada
26
September
201020:15)Ransome H M. (1937). The Sacred Bee in Ancient Times and Folklore. London: George Allenand Unwin. Sarwono, B. (2001). Lebah Madu. Tangerang: AgroMedia Pustaka. Siregar, Andi Putra, et al. (2010). Flora Normal Vagina. Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Snedecor GW & Cochran WG. (1967). Statistical Methods 6th ed, Ames. IA: Iowa State University Press. Supranto, J. (2000). Teknik Sampling untuk Survei dan Eksperimen. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sulistiani, Ratna. (2009). Pengaruh Madu Sumbawa Terhadap Pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa. Dalam http://www.unissula.ac.id (diunduh pada 28 September 2010) Syahrurachman, Agus, et al. (1994). Buku ajar mikrobiologi kedokteran, edisi revisi. Jakarta: Binarupa Aksara. Tonks, A. J., et al. (2003). Honey Stimulates inflammatory cytokine production from monocytes. Cytokine, 7; 21 Walker, DM. (2004). Oral Mucosal Immunology: An Overview. Australia: University of Sidney. Wasito, Hendri, Priani, Sani Ega, Lukmayani, Yani. (2008). Uji Aktivitas Antibacteri Madu Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus. Universitas Islam Bandung. Whitelaw, A G, H Holzel, N N Farrag. (1974). Gentamicin-resistant Escherichia coli. Dalam British Medical Journal. WHO (2011). The International Pharmacopoeia, 4th edition. Dalam http://apps.who.int/phint/en/p/docf/ (diunduh pada 27 Mei 2013 19:57) Zumla A, Lulat A. (1989). Honey - a Remedy Rediscovered. J. Royal Soc. Med. 82, 384-3