Seminar Nasional teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
PENGARUH PEMBERIAN BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) DALAM RANSUM PADA PRODUKSI DAN KUALITAS TELUR AYAM WARENG-TANGERANG (Effect of Dietary Suplementation of Garlic (Allium sativum Linn) on Egg Production and Egg Quality of Tangerang-Wareng Chicken) SOFJAN ISKANDAR, SONI SOPIYANA, TRIANA SUSANTI dan TIKE SARTIKA Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT An experiment to observe the effect of supplementing garlic liquid pasta (Allium sativum Linn) into layer ration on performance of Wareng-Tangerang chicken was carried out for about 32 weeks. The hens were confined in the wire battery cage system, provided with feed and drinker trough. The experiment was aimed to further observation of the benefit of supplementation of garlic considered as bio-antibiotic on production and quality of egg. The garlic supplementation was in the form of liquid-pasta. The level of inclusion were R0, which was no inclusion of garlic considered as control ration. R1 was the inclusion of 20 g garlic/kg and R2 was the inclusion of 40 g garlic/kg of commercial ration for layer of Gold Coin 105 C. Results showed that there was no significant effect (P > 0.05) on egg production, feed consumption, feed conversion ratio and egg quality of Tangerang-Wareng hens. Therefore, the supplementation of garlic to chicken laying feed for increasing egg production and quality had to be reconsidered. Key Words: Garlic, Tangerang-Wareng Hens, Egg Production, Egg Quality ABSTRAK Sebuah percobaan mengenai pengaruh pemberian imbuhan bawang putih pada sebanyak 60 ekor ayam Wareng Tangerang pada fase bertelur telah dilaksanakan selama 32 minggu. Ayam dikandangkan dalam kandang batere yang dilengkapi dengan tempat ransum dan air minum. Percobaan ini bertujuan untuk melihat lebih jauh lagi manfaat bawang putih yang berfungsi sebagai bio-antibiotika terhadap produksi dan kualitas telur ayam. Tingkat pemberian imbuhan pasta encer bawang putih adalah: R0, ransum komersial petelur Gold Coin 105 C; R1, ransum yang diberi imbuhan pasta encer bawang putih sebanyak 20 g/kg ransum; dan R2, dengan imbuhan 40 g/kg ransum. Hasil menunjukkan bahwa tidak terlihat adanya pengaruh yang secara statistik nyata (P > 0,05) terhadap peubah-peubah produksi dan kualitas telur, konsumsi ransum dan efisiensi penggunaan ransum. Oleh karena itu, upaya pemberian bawang putih pada ransum ayam yang dipelihara secara intensif untuk memperbaiki kinerja disarankan untuk dipertimbangkan ulang. Kata Kunci: Bawang Putih, Ayam Wareng Tangerang, Produksi Telur, Kualitas Telur
PENDAHULUAN Semakin meningkatnya isu residu antibiotika-kimiawi dalam produk pangan peternakan, maka semakin gencar penelitian untuk menggantikan dengan bioantibiotika. Bawang putih termasuk tanaman herbal (HEAT, 1991) Pemakaian bawang putih dalam pangan selain sebagai penyedap makanan, juga bisa berfungsi sebagai anti bakteri (antibiotika) dengan bahan aktifnya yang dikenal sebagai allisin dan ajoene (SANTOSA et al., 1991;
562
ELNAY dan PO, 1991), serta senyawa flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan (KIM et al., 2000). Bawang putih mempunyai potensi untuk menstimulasi sistem kekebalan tubuh melalui peningkatan aktivitas sel T-penolong, yakni sel pusat pengendali aktivitas sistem kekebalan tubuh (ANONIMUS, 2006). MARYAM et al. (2003) melaporkan bahwa pemberian ekstrak bawang putih 4% pada ransum yang mengandung aflatoksin rendah (0,4 mg AFB1/kg) menunjukkan adanya peningkatan bobot hidup dan produksi telur ayam ras.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
dan NATAAMIJAYA (2003) BINTANG melaporkan bahwa tidak ada pengaruh nyata penambahan 0,02% tepung bawang putih pada pertumbuhan ayam pedaging ras umur 6 minggu; begitu juga pada kualitas karkasnya (BINTANG dan NATAAMIJAYA, 2004). Ayam Wareng Tangerang adalah salah satu sumberdaya genetik ayam lokal di Indonesia yang mempunyai potensi sebagai ayam petelur lokal tipe ringan (ISKANDAR et al., 2006). Ayam betina dewasa mempunyai bobot tubuh pertama bertelur 865 g/ekor dan umur pertama bertelur 157 hari (ISKANDAR et al., 2007). Sebagai suatu upaya untuk mengkombinasikan aplikasi bawang putih dalam ransum dengan jenis ayam lokal, maka penelitian dirancang sedemikian rupa untuk melihat sampai sejauhmana respon ayam Wareng Tangerang pada periode bertelur ini terhadap bahan imbuhan pakan bawang putih. MATERI DAN METODE Bawang putih yang dipersiapkan selama penelitian dipilih sedemikian rupa dinilai dari bentuk luarnya; mempunyai ukuran umbi yang relatif besar dan bersih. Penyediaan bawang putih tidak dilakukan sekaligus, tetapi lima kali pembelian selama penelitian. Bawang putih digeprek untuk memisahkan akar, kotoran dan kulit ari, kemudian diblender dengan air bersih dengan perbandingan 1:1 bobot/volume. Pasta encer bawang putih tersebut kemudian dicampurkan dalam ransum ayam ras petelur komersial (Gold Coin 105 crumble) dengan konsentrasi 0 % untuk ransum kontrol (Ro), 20 g/kg ransum (R1) dan 40 g/kg ransum (R2). Ransum petelur komersial yang dipakai mengandung 19,06% protein kasar, 2825 kkal ME/kg, 4,39% Ca dan 0,56% P. Ransum diberikan secara ad libitum, begitu juga dengan air minum pada tempatnya yang sudah disediakan. Sebanyak 60 ekor ayam Wareng Tangerang betina pada fase 10% produksi, dipilih dan dialokasikan pada ketiga perlakuan di atas. Masing-masing perlakuan dikelompokkan dalam lima kelompok ulangan, yang berisi masing-masing empat ekor ayam. Semua ayam dikandangkan dalam kandang batere dari kawat yang dilengkapi dengan tempat pakan di depan kandang dan tempat minum di
belakangnya. Kandang batere terdapat di dalam bangunan kandang beton permanen yang cukup dengan ventilasi dan cahaya matahari di waktu siang dan lampu pijar di malam hari. Selama pengamatan program kesehatan yang dilaksanakan hanya pemberian satu kali antibiotika dalam air minum selama lima hari berturut-turut pada saat terlihat adanya indikasi serangan pilek atau snot. Egg formula (nama merk dagang) berupa serbuk berisi campuran vitamin diberikan hampir rutin satu bulan sekali dalam air minum. Culling (pengeluaran) ayam-ayam yang sakit dilakukan penggantian pada dua minggu pertama pengamatan. Culling juga dilakukan selama pengamatan bagi ayamayam yang sakit dan dikategorikan sebagai data ayam mati. Culling dilakukan untuk menghindari dari munculnya data yang tidak sah karena ayam tidak memperlihatkan potensi produksi maksimal. Konsumsi ransum diukur satu minggu sekali untuk setiap ulangan empat ekor dan produksi telur dicatat harian untuk setiap individu ayam. Pengukuran kualitas telur dilakukan tiga kali selama pengamatan, bulan kedua, keempat dan keenam. Setiap pengukuran dilakukan pada telur yang diproduksi selama dua hari berturut-turut. Data dianalisis dengan analisis keragaman (ANOVA= analysis of variance) dan dilanjutkan dengan analisis beda nyata dari rata-rata perlakuan dengan uji beda nyata terkecil (LSD, least significant different) pada taraf uji 5% (STEEL dan TORRIE, 1993). HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai rata-rata produksi telur, konsumsi ransum dan efisiensi penggunaan ransum disajikan pada Tabel 1. Nilai rata-rata untuk ketiga peubah di atas tidak menunjukkan adanya suatu perbedaan yang nyata secara statistik, meskipun untuk produksi telur ada terlihat untuk perlakuan tanpa imbuhan bawang putih sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan produksi telur dari kelompok ayam yang mendapat perlakuan bawang putih. Hasil pada penelitian ini sepertinya mendukung hasil penelitian yang dilaporkan MARYAM et al. (2003), yang menunjukkan tidak adanya suatu peningkatan produksi telur pada ayam ras pada ransum yang mengandung bawang putih,
563
Seminar Nasional teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Tabel 1. Produksi telur, konsumsi ransum dan konversi ransum ayam Wareng-Tangerang yang diberi ransum berisi bawang putih (Allium sativum Linn) Perlakuan ransum Peubah
Produksi telur butir/ekor/32 minggu Konsumsi ransum g/ekor/32 minggu FCR (feed conversion ratio) (g ransum/butir telur)
R0 kontrol
R1 20 g bawang putih/ kg ransum
R2 40 g bawang putih/ kg ransum
LSD (5%)
48,2 ± 16a1)
43,2 ± 10a
43,2 ± 14a
18,75
10085 ± 866a
10049 ± 1576a
10956 ± 2410a
2393
242 ± 65a
242 ± 24a
261 ± 69a
76
1)
Nilai (± standar deviasi) pada masing-masing baris yang sama dengan tanda sama, secara statistik tidak berbeda nyata (P > 0,05)
meskipun dilaporkan pula adanya suatu peningkatan produksi telur sebagai akibat pemberian imbuhan bawang putih pada ransum yang mengandung aflatoksin. CHOWDHURY et al. (2002) juga melaporkan ketidak nyataan pengaruh pemberian imbuhan bawang putih pada produksi telur, konsumsi ransum dan efisiensi penggunaan ransum ayam ras dengan pemberian pasta bawang putih 2% sampai 10%. REDDY et al. (1991) melaporkan juga bahwa pemberian 0,02% minyak bawang putih pada ransum ayam ras tidak mempengaruhi produksi telur, konsumsi ransum dan effisiensi penggunaan ransum. Ketidak berpengaruhan imbuhan bawang putih terhadap produksi telur, konsumsi dan efisiensi penggunaan ransum pada ayam ras, juga dilaporkan pula oleh YALCIN et al. (2006). Namun berbeda dengan hasil yang dilaporkan MOHAMED et al. (2000) yang mendapati bahwa ada kenaikan produksi telur pada fase awal enam minggu pada ayamayam ras yang diberi imbuhan bawang putih. Dari pembahasan mengenai aspek produksi telur, konsumsi dan efisiensi penggunaan ransum, hampir dapat dikatakan bahwa pemberian imbuhan bawang putih tidak mempengaruhi produksi telur, konsumsi dan efisiensi penggunaan ransum. Diduga bahwa ayam Wareng Tangerang ini sedikit berbeda dengan ayam-ayam petelur ras atau lokal lainnya yang mungkin mempunyai sensitivitas terhadap imbuhan bawang putih, tetapi ternyata tidak terbukti, meskipun CHOWDHURY et al. (2002) melaporkan adanya
564
suatu kenaikan produksi telur pada ayam ras galur Babcock dibandingkan dengan galurgalur ayam ras lainnya yang diamati. Produksi telur ayam Wareng Tangerang dalam pengamatan ini mencapai rata-rata 44,9 butir/224 hari atau setara dengan 20% henday, dengan konsumsi ransum rata-rata 46,3 g/hari/ekor dan FCR yang mencapai rata-rata 248 g ransum/butir telur. Dibandingkan dengan potensi produksi ayam kampung (CRESWELL dan GUNAWAN, 1982), ayam Wareng Tangerang ini relatif memperlihatkan produktivitas yang rendah, dengan keragaman produksi yang cukup tinggi. Oleh karena itu ayam Wareng Tangerang ini keragaman kinerja produksi telur individu cukup tinggi, meskipun mempunyai ciri khas warna bulu putih yang hampir homogen (90%) (ISKANDAR et al., 2007). Kualitas telur ditinjau dari aspek bobot, warna kuning, albumin dan kerabang telur secara statistik tidak nyata (P>0,05) dipengaruhi pemberian imbuhan bawang putih dalam ransumnya. Seperti halnya yang dilaporkan oleh CHOWDHURY et al. (2002), pemberian imbuhan bawang putih dalam ransum tidak nyata mempengaruhi bobot kuning telur. Produksi telur tidak dipengaruhi oleh pemberian imbuhan bawang putih pada ransum ayam ras dan ternyata pemberian inipun tidak berpengaruh terhadap kualitas telur dalam cakupan warna dan bobot kuning dan putih telur, serta bobot dan ketebalan kerabang telur.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Tabel 2. Kualitas telur ayam Wareng Tangerang yang diberi ransum berisi bawang putih (Allium sativum Linn) Perlakuan ransum Peubah
Bobot telur (g/butir)
R0 kontrol
R1 20 g bawang putih/ kg ransum
R2 40 g bawang putih/ kg ransum
LSD (5%)
36,8 ± 3a1)
36,4 ± 4a
38,4 ± 4a
2,7
9,6 ± 2a
1,1
a
a
Warna kuning telur (Skala Roche)
8,9 ± 1
9,4 ± 2
Bobot kuning telur (g/butir)
12,5 ± 1a
12,1 ± 2a
12,2 ± 1a
0,9
90 ± 9a
87 ± 8a
Haugh Unit
a
88 ± 9a
6,2
a
20,8 ± 3a
2,0
Bobot putih telur (g/butir)
18,2 ± 3
19,1 ± 3
Bobot kerabang telur (g/butir)
3,25 ± 1a
3,25 ± 1a
3,50 ± 1a
0,6
Tebal kerabang telur (micron)
30 ± 4a
33 ± 3a
33 ± 4a
2,58
1)
Nilai pada masing-masing baris yang sama dengan tanda sama, secara statistik tidak berbeda nyata (P > 0,05)
Perlu dikemukakan bahwa jumlah ayam mati yang berjumlah tiga (15%), delapan (40%) dan empat (20%) ekor masing-masing untuk perlakuan kontrol, R1 dan R2, yang kejadiannya pada empat minggu terakhir masa pengamatan sulit untuk dipertimbangkan sebagai akibat pemberian imbuhan bawang putih, tetapi lebih pada indikasi penyakit Mareks. Indikasi Mareks ini telihat dengan adanya bercak-bercak putih kekuningan pada hati sewaktu pemeriksaan post partum. KESIMPULAN Pemberian imbuhan bawang putih pasta encer 1 : 1 bobot/volume air pada taraf 2% dan 4% ke dalam ransum, tidak nyata secara statistik mempengaruhi kinerja perteluran dan kualitas telur ayam Wareng Tangerang. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami sampai kepada Bapak Endang Wahyu dan Bapak Adang yang telah melaksanakan pemeliharaan dan pencatatan, serta evaluasi kualitas telur selama percobaan ini. Ucapan terima kasih ini kami sampaikan
pula kepada Bapak M.E. Yusnandar yang telah membantu melakukan analisis data. DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 2006. Garlic. http//www.crescentlife. com/dietnutrition/galic.htm. (16 Maret 2006). BINTANG, I A.K. dan G. NATAAMIJAYA. 2003. Pengaruh penambahan tepung kencur (Kaempferia galangal Linn) dan tepung bawang putih (Allium sativum Linn) ke dalam pakan terhadap performans broiler. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 395 – 397. BINTANG, I A.K. dan G. NATAAMIJAYA. 2004. Pengaruh penambahan tepung kencur (Kaempferia galangal Linn) dan tepung bawang putih (Allium sativum Linn) ke dalam pakan terhadap karkas dan bagian-bagian karkas ayam ras pedaging. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4 – 5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 469 – 472. CHOWDHURY, S.R., S.D. CHOWDHURY and T.K. SMITH. 2002. Effects of dietary garlic on cholesterol metabolism in laying hens. Poult. Sci. 81: 1856 – 1862.
565
Seminar Nasional teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
CRESWELL, D.C. dan B. GUNAWAN. 1982. AyamAyam Lokal di Indonesia. Sifat-sifat produksi pada lingkungan yang baik. Laporan No. 2. Balai Penelitian Ternak, Bogor. hlm. 9 – 14. ELNAY MC, J.C. and A.L.W. PO. 1991. Dietary supplements. (8) Garlic. Pharma. J. (246): 324 – 326. HEAT, H.B. 1981. Source Book of Flavour. The Avi Publishing Company, Westport, Connecticut. ISKANDAR, S., T. SARTIKA, T. SUSANTI, S. SOPIYANA, E. WAHYU, K. SUWARMAN, YONO, UMI, DEDI, N. FAHSYIANI dan D. SARTIKA. 2007. Evaluasi dan karakterisasi ayam Wareng dan Sentul. Laporan Hasil Kegiatan Penelitian TA 2006. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. 27 hlm. ISKANDAR, S., T. SUSANTI, S. SOPIYANA dan E. WAHYU. 2006. Evaluasi plasma nutfah ayam Wareng dan upaya pelestarian spermatozoa ayam lokal melalui pembekuan semen. Laporan Hasil Penelitian TA 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. 28 hlm. KIM, M., S. CHOI and S. CHUNG. 2000. Antioxidative flavonoids from garlic (Allium sativum Linn) shoot. Food Sci. Biotechnol. 9(4): 199 – 203. MARYAM, R., Y. SANI, S. JUARIAH, R. FIRMANSYAH dan MIHARJA. 2003. Efektifitas bawang putih
(Allium sativum Linn) dalam penanggulangan aflatoksikosis pada ayam petelur. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 454 – 460. MOHAMED, F.R., S.M.S. SIAM and A.K.A. EL-DIN. 2000. The influence of garlic and onionon the productive performance and some physiological traits of laying hens. Egyptian Poult. Sci. J. 20(1): abstract on http//www.cab abstract.asp?AcNo=200530 16969. (28 Juni 2007). SANTOSA, M., N. BASUKI, A. CHOLIL, D.A. DHARMA dan SYEKHFANI. 1991. Pengembangan bawang putih di dataran medium (400 m dpl). Risalah Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional LIPI, Jakarta STEEL, R.G.D. dan J.H. TORRIE. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrika. Gramedia, Jakarta. YALCIN, S., E.B. OBASILAR, Z. REISLI and S. YALCIN. 2006. Effect of garlic powder on the performance, egg traits and blood parameters of laying hens. J. Sci. of Food and Agriculture 8(9): Abstract on http//www.ingentaconnect. com/content/ jws/jsfa/ 2006/ 00000086/0000 0009/art0008?crawler=true. (28 Juni 2007).
DISKUSI Pertanyaan: 1. Bagaimana kriteria kualitas telurnya yang diberi bawang putih? 2. Pemberian bawang putih-nya dalam bentuk apa? 3. Apa ada pengaruh bau pada kuning telur? Jawaban: 1. Bobot telur, warna kuning telur, bobot kuning telur, dll. 2. Bawang putih digeprek, dijus lalu dicampurkan bawang putih. 3. Tidak ada bau.
566