25
PENGARUH PEMBERIAN BAHAN AMELIORAN TERHADAP PENURUNAN EMISI GAS CO2 PADA PERKEBUNAN SAWIT DENGAN TANAMAN SELA DI LAHAN GAMBUT
Titi Sopiawati, 1H. L. Susilawati, 1Anggri Hervani, 1Dedi Nursyamsi, 2Prihasto Setyanto dan 3Nurhayati 1
1
Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Jakenan-Jaken Km 5 Pati, Jawa Tengah 2 Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Jl. Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111 3 Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, Jl. Kaharudin Nasution No. 341 Padang M arpoyan, Pekanbaru 10210, Riau, Telp: 0761 – 35641, Fax: 0761 – 674206 (
[email protected])
Abstrak. Bahan amelioran efekt if dalam meningkat kan hasil tanaman jagung serta menurunkan emisi GRK di tanah gambut. Penelitian in i bertujuan untuk mengetahui besarnya emisi gas CO2 dari lahan gambut, penelit ian telah dilaksanakan di Kabupaten Pelalawan, Riau pada tahun 2011. Rancangan yang digunakan adalah acak kelo mpok dengan tiga ulangan, dengan perlakuan yaitu (1) pugam A, (2) pugam T, (3) pupuk kandang, (4) tandan kosong, (5) tanah mineral dan (6) Kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa emisi CO2 dapat dikurangi dengan pemberian bahan amelioran sekitar 9-22%. Pemberian bahan amelioran berupa tanah mineral menekan emisi gas CO2 tertinggi yaitu sebesar 22,1%, sedangkan pemberian pupuk kandang menekan emisi gas CO2 terendah yaitu sebesar 9,4%. Katakunci: Bahan amelioran, emisi gas CO2 dan lahan gambut.
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara keempat yang mempunyai lahan gambut terluas di dunia sehingga merupakan salah satu cadangan karbon terbesar di dunia.Terdapat sekitar 21,9 juta hektar tanah gambut di Indonesia, dimana sekitar 9,53 juta hektar berpotensi sebagai lahan pertanian. Dari areal yang berpotensi tersebut, baru 4,2 juta hektar yang sudah direklamasi oleh pemerintah sebagai daerah transmig rasi dan digunakan penduduk setempat untuk berbagai penggunaan. Upaya pemanfaatan lahan gambut sering men imbulkan kontroversi karena sifat dan perilaku lahan gambut sangat spesifik dan fragile (mudah rusak) (Wahyunto et al. 2004). Dalam keadaan alami, tanah gambut mengalami proses dekomposisi yang menghasilkan gas rumah kaca (GRK) secara perlahan, sehingga emisi yang dihasilkannya relatif seimbang dengan penyerapan oleh vegetasi alami dalam bentuk CO 2 bahkan kadang kala berperan sebagai sink karbon. Dalam t iga dekade terakh ir, lahan gambut telah
305
T. Sopiawati et al.
digunakan secara intensif untuk akt ivitas pertanian tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Alih fungsi lahan gambut untuk budidaya tanaman pertanian akan mengurangi stabilitas dan me mpercepat proses dekomposisi. Selain itu, deforestasi dan degradasi lahan gambut memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan emisi GRK nasional. Ko mit men Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26% disampaikan oleh presiden Indonesia dalam pertemuan G-20 di Copenhagen. Adanya tudingan negara barat bahwa Indonesia merupakan emitor karbon ke-3 di dunia perlu segera untuk ditindaklanjuti dengan berbagai penelitian dan upaya adaptasi dan mit igasi. Oleh karena itu perlu adanya upaya yang terintegrasi dan sistematis untuk menghambat laju pemanasan global tersebut berdasarkan hasil penelitian GRK secara akurat dan ilmiah. Penambahan bahan amelioran di lahan pertanian secara umu m bertujuan untuk memberikan tambahan unsur hara baik mikro ataupun makro serta memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Namun penambahan amelioran di lahan gambut mempunyai fungsi lain yaitu mengkhelasi asam-asam organik oleh kation polivalen membentuk rantai karbon yang lebih panjang d engan berat moleku l yang lebih tinggi. Khelasi ini menyebabkan tanah gambut tidak mudah terdegradasi sehingga emisi GRK juga dapat ditekan. Hal in i disebabkan karena ikatan polivalen Fe atau Al dengan sisa asam organik sangat kuat sehingga tanah gambut stabil. Bahan amelioran seperti pugam (pupuk gambut) efektif dalam meningkatkan hasil tanaman jagung serta menurunkan emisi GRK d i tanah gambut (Subiksa, 2010). Berbagai penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa bahan tanah mineral, terutama tanah bertekstur berat dan atau berkadar Fe t inggi (Ultisol dan Oxisol) juga efekt if men ingkatkan produksi pertanian dan menurunkan emisi GRK d i tanah gambut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya emisi gas CO 2 pada lahan gambut yang ditanami kelapa sawit dengan tanaman sela jagung.
METODOLOGI PENELITIAN Pengukuran emisi gas CO2 dilakukan pada bulan April 2011 s .d. Oktober 2011. Pengukuran emisi gas CO2 pada lahan gambut dilakukan di lokasi demonstrasi plot (demp lot) di Riau yaitu perkebunan kelapa sawit dengan tanaman sela (jagung). Luas lokasi penelit ian adalah 5 hektar dengan perlakuan amelio ran (1) pugam a, (2) pugam t, (3) pupuk kandang, (4) tandan kosong, (5) tanah mineral dan (6) kontrol. secara garis besar kegiatan pengukuran GRK terdiri dari dua tahap, yaitu pengambilan contoh gas di lapangan dan analisis contoh gas dengan menggunakan mobile GC t ipe Varian 490 -GC.
306
Pengaruh pemberian bahan amelioran
Pengambilan contoh gas CO2 Pengambilan contoh gas CO2 dilaku kan dengan metode close chamber close technique yang diadopsi dari IA EA (1993). Contoh gas diambil setiap satu minggu sekali pada pagi hari (jam 06.00-08.00) dan siang hari (jam 12.00-14.00), masing-masing 8 contoh gas dengan interval 3 menit. Titik pengambilan contoh gas CO 2 adalah pada piringan tanaman kelapan sawit, intergrade, dan tanaman jagung dengan mempertimbangkan pengelolaan pupuk sebagai sumber emisi gas CO 2 . Petani u mu mya memupuk dalam piringan kelapa sawit dan pada larikan jagung. Sungkup yang digunakan terdiri dari dua ukuran, yaitu 50 x 50 x 30 cm dan 50 x 15 x 30 cm. Masing-masing digunakan untuk pengambilan contoh gas pada piringan atau intergrade kelapa sawit dan tanaman sela. Diagram pengambilan contoh gas CO2 disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram pengamb ilan contoh gas pada perkebunan kelapa sawit dengan tanaman sela jagung di lahan gambut. Pengambilan contoh gas CO2 dilakukan secara manual di lapangan menggunakan sungkup. Sungkup terbuat dari mika dengan kaki-kaki terbuat dari almuniu m dengan penampang bawahnya digunakan untuk menancapkan sungkup pada tanah gambut sehingga kebocoran gas dapat dihindari. Sungkup dilen gkapi dengan fan yang dijalankan dengan baterai elemen kering serta termo meter. Fan berfungsi untuk menghomogenkan konsentrasi gas dalam sungkup. Termo meter d ipasang pada lubang yang telah tersedia di bagian atas sungkup digunakan untuk mengukur setiap perubahan suhu di dalam sungkup.
307
T. Sopiawati et al.
Pengambilan contoh gas CO2 menggunakan syringe ukuran 10 ml. Syringe dibungkus dengan kertas perak untuk menghindari terjad inya penurunan konsentrasi gas karena pengaruh panas dan diberi label. Ju mlah syringe yang harus disediakan adalah 8 buah setiap kali pengamb ilan contoh gas. Ujung syringe ditutup dengan rubber grip. Pengukur waktu seperti stopwatch atau jam diperlukan untuk mengetahui keakuratan waktu pengambilan contoh gas. Setiap pengambilan contoh gas menggunakan interval waktu 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, dan 24 menit. Blangko pengamatan digunakan untuk mencatat perubahan suhu dalam sungkup dan head space. Perubahan suhu dan headspace tersebut digunakan dalam p roses perhitungan emisi. Pengambilan contoh gas CO2 di tanaman kelapa sawit dan tanaman sela (jagung) menggunakan sungkup berturut-turut berukuran 50 x 50 x 30 cm dan 50 x 15 x 30 cm. Prosedurnya adalah sebagai berikut: a.
Sungkup ukuran 50 x 15 x 30 cm digunakan untuk mengamb il contoh gas pada piringan dan pada integrade tanaman kelapa sawit, sedangkan sungkup ukuran 50 x 15 x 30 cm digunakan untuk mengabil contoh gas pada tanaman sela.
b.
Sungkup diletakkan pada priringan atau integrade tanaman sawit dan pada sela-sela tanaman jagung. Sungkup dipasang tegak lurus, untuk menghindari kebocoran bagian bawah sungkup ditutup dengan tanah dan dipadatkan.
c.
Termo meter d ipasang pada lubang yang telah tersedia dan kipas dinyalakan.
d.
Biarkan sungkup terbuka selama beberapa saat, supaya kondisi dalam s ungkup men jadi normal kembali.
e.
Setelah sungkup siap, karet sebagai septum ditutup dan waktu perhitungan dimulai.
f.
Contoh gas diambil menggunakan syringe kemudian ujung syringe ditutup dengan septum sesegera mungkin untuk menghindari kebocoran.
g.
Headspace dari masing-masing sungkup dicatat.
h.
Perubahan suhu dalam sungkup pada setiap interval pengambilan contoh gas .
i.
Contoh gas segera dianalisa konsentrasinya.
Analisis Contoh Gas CO2 dengan Micro GC CP-4900 Contoh gas dianalisis menggunakan Micro GC CP-4900 yang dilengkapi dengan detektor TCD (thermal conductivity detector). Gas pembawa (carrier gas) yang digunakan adalah Heliu m dengan kategori UHP (ultra high purity) dengan kemu rnian gas 99,999%.
308
Pengaruh pemberian bahan amelioran
Gambar 2. Peralatan yang digunakan untuk mengukur fluks GRK dari lahan gambut Hasil analisis
berupa konsentrasi gas digunakan untuk menentukan laju
perubahan/fluks CO2 (c/ t ). Perh itungan fluks CO2 menggunakan persamaan sebagai berikut yang diadopsi dari IA EA (1993).
F
Bm Csp V 273.2 x x x Vm t A T 273.2
Di mana: E V A T Csp/t Bm Vm
= = = = = = =
emisi CO 2 (mg/m2/hari) volume sungkup (m3) luas dasar sungkup (m2) suhu udara rata-rata di dalam sungkup (oC) laju perubahan konsentrasi gas CO 2 (ppm/menit) berat molekul gas CO 2 dalam kondisi standar volume gas pada kondisi stp (standard temperature and pressure) yaitu 22.41 liter pada 23oK
HASIL DAN PEMBAHASAN Fluks CO2 Berdasarkan perlakuan Gambar 3 menunjukkan bahwa pola fluks CO2 sampai dengan pengamatan ke 16 berbeda pada masing-masing perlakuan. Perlakuan kontrol menunjukkan pola emisi yang selalu di atas dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal in i menunjukkan bahwa pemberian amelioran pada tanah gambut dapat menekan emisi gas CO2 . Pada pengamatan ke 12 dan seterusnya perlakuan tandan kosong kelapa sawit , flu ks CO2 lebih tinggi
309
T. Sopiawati et al.
dibandingkan perlakuan lain. Hal in i mungkin karena pengaruh tandan kosong sudah habis atau berkurang.
Gambar 3. Pola flu ks CO2 berdasarkan perlakuan amelio ran dari titik yang mendapat perlakuan (p iringan dan tanaman sela) Perlakuan pugam T memberikan pola fluks yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pugam mengandung hara P, Ca dan Mg. Selain itu pugam juga kaya dengan kation polivalen dan unsur mikro yang sangat diperlukan untuk menetralisir asam organik beracun. Kation polivalen inilah yang dapat mengikat sisa asam organik men jadi bentuk ko mplek dan atau khelat sehingga tanah gambut stabil, deko mposisinya berkurang dan emisinya turun (Subiksa, 2010). Berdasarkan waktu sampling Fluks CO2 pada siang hari lebih tinggi dibandingkan pagi hari. Hal ini menunjukkan bahwa flu ks CO2 dipengaruhi oleh temperatur udara. Temperatur udara dalam chamber pada siang hari lebih tinggi dibandingkan pagi hari sehingga fluks CO 2 pada siang hari men jadi lebih t inggi (Gambar 4). Gas CO2 yang dihasilkan dari deko mposisi bahan organik pada lahan gambut dikendalikan oleh perubahan suhu, kondisi hidrologi, ketersdiaan dan kualitas bahan gambut. Selain itu, deko mposisi juga tergantung pada faktor lingkungan, sifat tanah, dan teknik budidaya pertanian. Pada suhu tinggi, gas CO2 dan CH4 merupakan bentuk gas yang segera terbentuk dalam ju mlah banyak. Suhu dan kelembaban baik udara maupun tanah gambut di kawasan tropik sangat dipengaruhi oleh jen is dan kerapatan vegetasi yang menutupinya. Suhu yang tinggi pada keadaan terbuka akan merangsang aktifitas mikroorganis me sehingga perombakan gambut leb ih cepat ( Noor, 2001 dalam Putri Yun iastuti, 2011).
310
Pengaruh pemberian bahan amelioran
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
1200
900
600
300
0
Pagi
Waktu
Siang
Gambar 4. Fluks CO2 berdasarkan waktu pengambilan sampel Berdasarkan jarak dari kanal
Fluks (mg CO2/m2/jam)
1000 800
651.4
630.3
612.2
600 400
200 0
0
50
100 Jarak (m)
150
200
Gambar 5. Fluks CO2 berdasarkan jarak dari kanal. Semakin jauh jarak dari kanal, maka fluks CO2 semakin tinggi pula. Hasil penelitian Pusat Penelitian Kelapa Sawit (2009) mendapatkan bahwa setiap ha perkebunan sawit di lahan gambut yang air tanahnya diturunkan sekit ar 40 – 70 cm, akan mengemisikan 25- 45 t CO2 ha-1 tahun -1 . Bahkan jika air tanah diturunkan hingga 80 cm akan dapat mengemisikan CO2 sebesar 51 ton CO2 ha-1 tahun -1 (atau sekitar 14 gr CO2 m-2 hari-1 ). Semakin dalam air tanah gambut di drainase, semakin besar tingkat emisi CO2 .
311
T. Sopiawati et al.
Berdasarkan letak sampling
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
1200
Piringan
Antar Tan Thn
Tanaman Sela
900 600 300 0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15 P16 Pengamatan
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
Gambar 6. Pola fluks CO2 berdasarkan letak pengamatan (rata-rata dari semua perlakuan)
2000
Piringan
Antar Tan Thn
Tanaman Sela
1600 1200
800 400 0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15 P16 Pengamatan
Gambar 7. Pola flu ks CO2 berdasarkan letak pengamatan (rata-rata hanya dari perlakuan kontrol) Fluks CO2 pada lokasi tanaman sela leb ih rendah dibandingkan pada titik piringan dan antar tanaman tahunan. Flu ks CO2 tertinggi terdapat pada piringan. Hal in i disebabkan karena respirasi akar di piringan lebih tinggi d ibandingkan diantara tanaman tahunan dan di tanaman sela. Selain itu, pemupukan biasanya dilakukan di piringan sehingga aktifitas mikroba di piringan juga lebih t inggi dibandingkan diantara tanaman tahunan dan di tanaman sela. Hal tersebut menyebabkan fluks CO2 di piringan lebih tinggi seperti yang tertera pada Gambar 8.
312
Pengaruh pemberian bahan amelioran
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
1000 800 600 400 200 0 Piringan
Antar Tnm Thn
Tnm Sela
Letak
Gambar 8. Fluks CO2 dari berdasarkanletak pengamatan Berdasarkan perlakuan vs jarak dari kanal
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
1800 1500
Pugam A Tankos Luar Demplot
Pugam T Tanah Mineral
Pukan Kontrol
1200
900 600 300
0 18
70
170
Jarak (m)
Gambar 9. Fluks CO2 berdasarkan perlakuan vs jarak dari kanal Gambar 9 menunjukkan bahwa dari s etiap jarak yang berbeda pengaruh pemberian amelioran hampir sama. Kecuali pada perlakuan pugam A pada jarak 170 m menunjukkan nilai fluks yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini d iduga pada titik pengamatan tersebut terdapat bahan atau material yang dapat memicu pembentukan gas CO2 yang berlebihan (untuk pembahasan selanjutnya nilai fluks CO 2 pada perlakuan pugam pada jarak 170 m t idak d igunakan).
313
T. Sopiawati et al.
Berdasarkan perlakuan vs waktu sampling
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
1500
Pagi
Siang
Pukan
Tankos
1200 900
600 300 0 Pugam A Pugam T
Tanah Mineral
Kontrol
Luar Demplot
Perlakuan
Gambar 10. Flu ks CO2 berdasarkan perlakuan vs waktu sampling Gambar 10 menunjukkan bahwa fluks CO2 siang hari lebih tinggi daripada pagi hari. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa temperatur udara sangat mempengaruhi pembentukan gas CO2 di lahan gambut. Pen ingkatan emisi CO2 pada siang hari d isamp ing peranan dari mikroorganis me aerobik, juga disebabkan karena suhu pada siang hari lebih tinggi dibandingkan suhu pada pagi hari sehingga proses dekomposisi gambut pun men jadi lebih t inggi. Berdasarkan perlakuan vs letak sampling
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
1500
Piringan
Antar Tnm Thn
Tanaman sela
1200
900 600
300 0
Pugam A Pugam T
Pukan
Tankos
Tanah Mineral
Kontrol
Luar Demplot
Perlakuan
Gambar 11. Flu ks CO2 berdasarkan perlakuan vs letak samp ling
314
Pengaruh pemberian bahan amelioran
Fluks CO2 pada berbagai letak pengamatan menunjukkan variasi antar perlakuan, tidak ada konsistensi nilai fluks CO2 dari masing-masing perlakuan dengan letak yang sama(Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa pemb erian pupuk memberikan pengaruh yang berbeda pada setiap lokasi pengamatan. Berdasarkan jarak dari kanal vs letak sampling Pengaruh kombinasi antara jarak dari kanal dengan letak terhadap flu x CO 2 disajikan pada Gambar 12. Gambar tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh antara jarak dari kanal dengan letak pengambilan contoh GRK terutama di piringan dan tanaman sela.
18
70
176
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
1200
900
600
300
0
Piringan
Antar Tnm Thn
Tanaman sela
Letak
Gambar 12. Flu ks CO2 berdasarkan jarak vs letak samp ling Berdasarkan waktu vs letak sampling Pengaruh kombinasi antara waktu dengan letak sampling terhadap flux CO2 disajikan pada Gambar 13. Gambut tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh ko mb inasi antara jarak dari kanal dengan letak pengambilan contoh GRK terutama di piringan dan tanaman sela.
315
T. Sopiawati et al.
Gambar 13. Flu ks CO2 berdasarkan waktu vs letak samp ling Emisi CO2 dan Potensi Penurunannya dengan Penambahan Amelioran Persentase emisi berdasarkan letak pengamatan Gambar 14 menunjukkan persentase emisi gas CO 2 pada perkebunan sawit tanpa diberi perlakuan amelioran (kontrol). Pada tit ik tanaman sela emisi gas CO 2 lebih rendah dibandingkan dari titik pengamatan piringan dan antara tanaman kelapa sawit. Emisi CO 2 di bawah naungan sangat di pengaruhi oleh adanya respirasi akar pada kelapa sawit dan aktivitas metabolisme dari mikroorganisme di daerah perakaran. Fenomena tersebut menyebabkan emisi CO2 lebih banyak pada daerah di bawah naungan. Data lain juga menunjukkan bahwa ju mlah CO2 yang dihasilkan oleh akar akan lebih besar bila ada akar hidup pada tanah yang semakin dalam. Selain itu, akan ada peningkatan jumlah mikroorganis me tanah yang memanfatkan eksudat akar sehingga meningkatkan proses respirasi akar (Melling et al. 2005 dalam Yuniastuti, 2011).
Piringan
Antar tnm thn
Tnm sela
26% 38%
36%
Gambar 14. Persentasi emisi berdasarkan letak samp ling
316
Pengaruh pemberian bahan amelioran
Total emisi CO2 dari Berbag ai Perlakuan Tabel 1. Total emisi CO2 dan penurunanya dari berbagai perlakuan amelioran Perlakuan Pugam A Pugam T Pukan Tankos Tanah Mineral Kontrol Luar Demplot
Emisi CO2 (t ha-1 tahun -1 )
SD
CV (%)
% Penurunan
49.3 51.0 54.1 48.7 46.5 59.7 82.1
10.3 13.5 13.1 12.6 10.7 15.6 17.3
20.8 26.4 24.2 25.9 23.0 26.1 21.1
-17.4 -14.5 -9.4 -18.4 -22.1
Total emisi gas CO2 terendah diberikan oleh perlakuan tanah mineral yaitu sebesar 46,5 t ha-1 tahun -1 , disusul perlakuan tandan kosong, pugam A, pugam T, pupuk kandang dan kontrol yaitu sebesar berturut-turut 48,7; 49,3; 51; 54,1 dan 59,7 t ha-1 tahun -1 . Pemberian Tanah Mineral dapat menekan emisi gas CO 2 tertinggi yaitu sebesar 22,1%, sedangkan pupuk kandang menekan emisi gas CO2 terendah yaitu sebesar 9,4% (Tabel 1). Pugam mengandung unsur hara P, Ca dan Mg. Selain itu pugam juga kaya dengan kation polivalen dan unsur mikro yang sangat diperlukan untuk menetralisir asam organik beracun (Subiksa, 2010). Persentase Penuruan CO2 pada Piringan Tabel 2.
Emisi CO2 dan penurunanya dari berbagai perlakuan amelioran beradasarkan letak p iringan
Perlakuan Pugam A Pugam T Pukan Tankos Tanah Mineral Kontrol Luar Demplot
Emisi CO2 piringan (t ha-1 tahun -1) 9.8 6.0 11.2 11.5 5.8 10.5 13.4
SD
CV (%)
2.7 1.6 3.4 3.1 2.1 3.7 1.5
27.3 26.5 30.1 27.3 35.5 35.0 11.1
% Penurunan -7.1 -42.8 6.9 9.6 -44.7
Piringan merupakan area di sekeliling seluas tajuk tanaman kelapa sawit, pada area ini diberikan perlakuan pemupukan. Pemberian Tanah Mineral, Pugam T dan Pugam A bisa menurunkan emisi gas CO2 masing-masing sebesar 44,7; 42,8 dan 7,1% dengan nilai total emisi gas CO2 masing-masing 5,8; 6,0 dan 9,8 t/ha/tahun. Sebaliknya terjadi kenaikan emisi pada piringan yang diberi perlakuan pupuk kandang dan tandan kosong dengan nilai kenaikan masing-masing sebesar 6,9 dan 9,6% dengan nilai total emisi gas
317
T. Sopiawati et al.
CO2 masing-masing sebesar 11,2 dan 11,5 t ha-1 tahun -1 (Tabel 2). Pemberian pupuk kandang dan tandan kosong dimungkinkan akan mempengaruhi respirasi akar pada kelapa sawit dan aktivitas metabolis me dari mikroorganisme di dekat daerah perakaran sehingga akan menghasilkan emisi gas CO2 yang lebih tinggi. Persentase Penuruan CO2 pada Tanaman Sela Pemberian perlakuan selain pada piringan tanaman kelapa sawit juga diberikan pada tanaman sela. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk pada tanaman sela yang dapat menekan emisi gas CO2 adalah perlakuan tanah mineral dan pugam T dengan penurunan masing-masing sebesar 21,3 dan 14,6% dengan nilai emisi gas CO 2 masing-masing sebesar 13,0 dan 14,1 t ha-1 musim-1 . Sementara itu, pemberian Pugam A, tandan kosong dan pupuk kandang bisa men ingkatkan emisi gas CO2 pada area tanaman sela dengan nilai kenaikan masing-masing sebesar 5,8; 11,4 dan 12,4% dengan nilai emisi gas CO2 masing-masing sebesar 17,4; 18,3 dan 18,5 t ha-1 tahun -1 (Tabel 3). Hal ini dimungkinkan pemberian pupuk meningkat kan proses terjadinya dekomposisi gambut sehingga meningkat kan laju emisi gas CO2 . Tabel 3.
Emisi CO2 dan penurunanya dari berbagai perlakuan amelioran beradasarkan letak tanaman sela
Perlakuan
Emisi CO 2 tan. Sela (t/ha/tahun)
Pugam A Pugam T Pukan Tankos Tanah M ineral Kontrol Luar Demplot
17.4 14.1 18.5 18.3 13.0 16.5 27.4
SD
CV (%)
5.1 3.7 6.9 7.3 3.7 4.9 8.2
29.3 26.5 37.1 39.8 28.2 29.7 29.7
% Penurunan 5.8 -14.6 12.4 11.4 -21.3
KESIMPULAN Hasil penelit ian menunjukkan bahwa emisi CO2 dapat dikurangi dengan pemberian bahan amelioran sekitar 9-22%. Pemberian bahan amelioran berupa tanah mineral menekan emisi gas CO2 tertinggi yaitu sebesar 22,1%, sedangkan pemberian pupuk kandang menekan emisi gas CO2 terendah yaitu sebesar 9,4%.
DAFTAR PUSTAKA IAEA (International Atomic Energy Agency). 1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emission fro m Agricultural Vienna: IAEA. 318
Pengaruh pemberian bahan amelioran
Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2009. CO2 Emission on Oil Palm Plantation: Field Observation. Paper presented during the Indonesian Palm Oil Conference and Price Outlook 2010. Bali International Convention Center - The Westin Resort, Nusa Dua, Bali 1 - 4 December 2009. Subiksa, I G., Made, 2010. Pengembangan Fomula A melioran dan Pupuk "Pugam" Spesifik Lahan Gambut Diperkaya Bahan Pengkhelat untuk Meningkatkan Serapan Hara dan Produksi Tanaman > 50% dan Menurunkan Emisi Gas Ru mah Kaca (GRK) >30%.http://km.ristek.go.id/index. php/klasifikasi/ detail/ 20885 . Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo (2004). Peta Sebaran Lahan Gambut, Luas dan Kandungan Karbon di Kalimantan / Map of Peatland Distribution Area and Carbon Content in Ka limantan, 2000 – 2002. Yun iastuti, P. 2011. Pengaruh Waktu dan Titik Pengukuran Terhadap Emisi Karbon Dio ksisa dan Metan di Lahan Gambut Kebun Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu, Su matera Utara.Skripsi Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.
319
T. Sopiawati et al.
320