Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
PENGARUH MODEL CORE TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP IPA SISWA KELAS V DI GUGUS I NAKULA KECAMATAN NEGARA KABUPATEN JEMBRANA Michael Donny Pradana Subarjo1, I Wayan Romi Sudhita2, I Made Suarjana3 1,3
Jurusan PGSD, 2Jurusan TP, FIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
e-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pemahaman konsep IPA antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model CORE berbasis lingkungan dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional pada kelas V di Gugus I Nakula Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana tahun pelajaran 2013/2014. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu. Populasi penelitian ini adalah kelas V di Gugus I Nakula Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana tahun pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 147 orang. Sampel penelitian ini yaitu kelas V SD No. 3 Baler Bale Agung yang berjumlah 25 orang dan kelas V SD No. 5 Baler Bale Agung yang berjumlah 30 orang. Data pemahaman konsep IPA siswa dikumpulkan dengan instrumen tes berbentuk uraian. Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial (uji-t). Hasil penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan pemahaman konsep IPA yang signifikan antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model Core berbasis lingkungan dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional kelas V di Gugus I Nakula Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana tahun pelajaran 2013/2014. Perbandingan hasil perhitungan rata-rata pemahaman konsep IPA siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model Core adalah 33,67 lebih besar dari rata-rata pemahaman konsep IPA siswa yang mengikuti pembelajaran model konvensional adalah 26,23. Hal ini berarti penerapan model Core berbasis lingkungan berpengaruh terhadap pemahaman konsep IPA siswa kelas V di gugus I Nakula Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana. . Kata-kata kunci: model pembelajaran CORE, pemahaman konsep IPA Abstract The purpose of this research was to recognize understanding of science concept between the students that taught with CORE learning model based on environment and those that taught with conventional learning model at grade V Elementary School Gugus I Nakula Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana in academic year 2013/2014. This research was a quasi experimental research. The research population was all students in grade V which belong to Elementary School Gugus I Nakula Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana in academic year 2013/2014 with the total 147 students. The sampel of this research was 25 students from grade V Baler Agung 3 Elementary School and 30 students from grade V Baler Agung 5 Elementary School. In collecting the data, the writer uses description test. The data were analysed using a descriptive statistic and inferencial statistic (uji-t). The result of this research showed that there were the differences between the students taught with CORE learning model based on environment learning model and taught with conventional model learning. The comparison average score of the students taught with CORE learning model is 33,67 higher than student that taught with conventional learning model is 26,23. In this research the implementation of CORE learning model based on environment can be considered to be significant in understanding of science concept. Keyword: core leaning model, understanding of science concept
PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini telah mebuat banyak perubahan. Perubahan tersebut terjadi pada segala aspek kehidupan manusia. Di Indonesia perubahan ini berdampak positif dan memberikan berbagai macam manfaat bagi kehidupan manusia. Namun, di sisi lain dampak kemajuan teknologi ini dapat juga berdampak negatif. Salah satu dampak kemajuan teknologi secara tidak langsung akan terdapat persaingan ketat di berbagai bidang kehidupan. Dan tentunya untuk memenangkan persaingan tersebut manusia haruslah memilki sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Dalam mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan teknologi dewasa ini, dituntut adanya sumber daya manusia yang handal dan berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas nantinya akan mampu memenangkan setiap persaingan secara global. Sumber daya manusia yang berkualitas memenuhi berbagai macam aspek dalam bidang kemampuan berpikir logis, berpikir kritis, mampu bekerjasama, sistematis, kreatif dan efektif. Selain bidang kemampuan yang dimiliki, sumber daya manusia yang seperti ini akan mampu mengembangkan potensi dan kemampuan yang dimiliki dan berkompetisi maksimal dalam kemajuan teknologi. Dasar dari segala sumber daya manusia yang berkualitas terletak pada pendidikan yang dialami oleh seorang individu. Pendidikan merupakan dasar yang memberikan pemhaman terhadap berbagai macam aspek kehidupan serta konsep diri bagi individu. Seperti yang tertuang dalam Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisten Pendidikan Nasional bahwa, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negaranya. Berdasarkan Undang Undang tersebut tampak jelas bahwa Indonesia menggunakan pendidikan sebagai sebuah
sarana pengembangan diri serta potensi yang dimilki oleh peserta didik agar setiap individu memiliki berbgai macam aspek penunjang kehidupan yang diperlukan untuk menghadapi setiap perubahan dan perkembangan zaman. Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang universal di dalam kehidupan manusia. Pendidikan dipandang sebagai suatu kegiatan manusia untuk memeperoleh ilmu pengetahuan. Pendidikan dapat terwujud dari pendidikan formal maupun non formal. Konsep utama dalam pendidikan adalah konstruktivisme. Konstruktivisme adalah sebuah aliran atau paham yang menuntun peserta didik untuk membangun pengetahuan baru dari pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Konstruktivisme sebagai suatu konsep yang banyak membicarakan masalah pembelajaran diharapkan menjadi landasan intelektual untuk menyusun dan menganalisis problem atau masalah pembelajaran dalam pergulatan dunia pendidikan. Konstruktivisme bersifat membangun, hal ini diperjelas dengan dasar pembelajaran konstruktivisme dalam pembelajaran tidak lagi sekedar mentransfer ilmu dari guru ke peserta didik melainkan peserta didik di tuntut untuk membangun pengetahuan yang ada dan mengaitkannya dengan pengetahuan yang baru yang ia dapatkan melalui proses pembelajaran baik itu di kelas maupuan di luar kelas. Konstruktivisme tercermin dari pembelajaran, hal ini didasari oleh kenyataan bahwa setiap peserta didik memiliki kemampuan untuk membangun pengetahuan sendiri yang didapat melalui proses belajar. Konstruktivisme tercermin dalam pembelajaran dapat dikatakan sebagai suatu teknik pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk membina sendiri pengetahuan yang dimiliki dan secara aktif mengaitkannya dengan pengetahuan Menurut Hamalik, (2008:50), menjelaskan berbagai macam konsep pembelajaran bahwa, Pembelajaran merupakan suatu cara untuk dapat merangsang, memelihara, dan meningkatkan terciptanya proses berpikir dan proses belajar individu untuk
mengembangkan segala potensi dan kemampuan yang dimilki dari setiap individu yang melalui proses belajar. Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur - unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Manusia terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga laboratorium. Material, meliputi buku - buku, papan tulis, kapur, fotografi, slide dan film, serta audio dan vidio tape. Fasilitas dan perlengkapan, terdiri dari ruang kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer. Prosedur, meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian dan sebagainya. Unsur -unsur yang terkait dalam proses belajar terdiri dari motivasi siswa, bahan belajar, alat bantu belajar, suasana belajar, dan kondisi subyek yang belajar. Kelima unsur inilah yang bersifat dinamis yang sering berubah, menguat atau melemah, dan yang mempengaruhi proses belajar tersebut. Namun kenyataan, data yang dikumpulkan oleh Education for All (EFA) Global Monitroring Report 2011 dan dikeluarkan UNESCO setiap tahunnya, pendidikan Indonesia berada di peringkat 64 untuk pendidikan di seluruh dunia dari 120 negara. Walaupun sudah mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, hasil yang sementara dicapai oleh Indonesia belum bisa dikatakan baik dan cenderung rendah dari segi kualitas sumber daya manusia (Kompas, 2012). Berdasarkan hasil data dalam Education for All (EFA) Global Monitroring Report 2011 yang dikeluarkan UNESCO setiap tahunnya, Indonesia masih memiliki kualitas pendidikan yang rendah dan nampak adanya ketertinggalan di dalam mutu pendidikan. Salah satu penyebab masalah tersebut mungkin saja terjadi karena lulusan dari tenaga pendidikan kurang profesional dalam menangani peserta pendidik. Hal lain yang terjadi adalah pembelajaran di dalam kelas yang masi bersifat konvensial yang tercermin dari belum adanya pembelajaran yang inovatif yang diterapkan oleh tenaga pendidik. Pembelajaran konvensional di
dalam kelas membuat siswa menjadi kurang kreatif dan inovatif dalam menerima pembelajaran. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa pembelajaran konvensional hanya memindahkan pengetahuan secara langsung dari tenaga pendidik ke peserta didik. Berdasarkan hal tersebut peserta didik hanya menerima informasi tanpa adanya kontruktivisme yang terjadi dalam diri peserta didik. Hal ini akan berdampak pada hasil belajar yang kurang memuaskan dan akan cenderung menurun karena peserta didik hanya di tuntut untuk mendengarkan dan tidak memhami apa yang dipelajari. Semua hal tersebut akan membuat tujuan sebuah pembelajaran tidak dapat tersampaikan secara maksimal kepada peserta didik. Terlebih lagi pasti akan muncul berbagai macam masalah yang akan hadir pada diri siswa diantaranya kurak tertariknya siswa terhadap pembelajaran di dalam kelas yang cenderung atau tanpa inovasi dalam pembelajaran. Fakta ini semakin menguat dengan analisis Hasil UN siswa Sekolah Dasar (SD) khususnya di provinsi Bali, menurut Kepala Disdikpora Provinsi Bali Sujaya (dalam Bali Post, 2012:7) bahwa, Kabupaten Badung mencatat prestasi terbaik tahun ini berdasarkan nilai rata-rata perolehan UN murni SD/MI. Prestasi Kabupaten Badung itu diukur dari nilai ratarata untuk ketiga mata pelajaran yang diujikan, yakni Bahasa Indonesia, Matematika dan IPA yang mencapai 25,01. Kota Denpasar berada di posisi kedua dengan nilai rata-rata UN 24,76, diikuti Gianyar (24,21), Klungkung (22,60), Tabanan (22,56), Karangasem (22,09), Jembrana (22,02) dan Buleleng (21,58). Sedangkan posisi juru kunci ditempati Kabupaten Bangli yang mencatat nilai ratarata UN murni 21,27 untuk ketiga mata pelajaran yang diujikan. Berdasarkan pernyataan diatas, Kabupaten Jembrana menduduki peringkat ke-7 dari delapan kabupaten dan satu kota madya yang ada di Bali. Hal itu menunjukkan kualitas pendidikan SD Kabupaten Jembrana lebih rendah dibandingkan dengan kabupaten lainnya yang ada di Bali.
Dari segala macam hal yang terjadi di Indonesia khususnya masalah pendidikan. Pemerintah sebagai suatu badan yang mengelolanya tidak hanya tinggal diam. Berbagai macam upaya telah coba dilakukan oleh pemerintah mulai dari segi pelaksanaan wajib belajar 9 tahun dan wajib belajar 12 tahun hingga pergantian Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan yang terbaru yaitu Kurikulum 2013. Selain itu sekolah juga di fasilitasi sarana dan prasarana penunjang pembelajaran dari pemerintah baik itu berupa buku maupun kit kit media pembelajaran. Tenaga pendidikpun tidak luput dari sasaran perbaikan dengan memberikan penataran dan peningkatan kualitas melalui sertifikasi guru dan dosen. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan kompetensi atau tugas tugas dengan standar peformasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh pesertadidik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu (Mulyasa, 2008:39). Pembaharuan KBK menjadi KTSP merupakan suatu upaya yang menghendaki pembelajaran tidak hanya belajar mengenai teori melainkan juga mengenai aplikasi teori tersebut dalam kehidupan sehari. Berdasarkan SNP Pasal 1 ayat 15 dalam (Mulyasa,2009:17) menyatakan bahwa “kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum oprasional yang dilaksanakan oleh satuan pendidikan”. Dalam kurikulum KTSP tertuang beberapa prinsip dalam pengembangan pembelajaran, yaitu: Prinsip Kurikulum KTSP (Muslich, 2012:11), (1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. (2) Beragam dan terpadu. (3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni. (4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan. (5) Menyeluruh dan berkesinambungan. (6) Belajar sepanjang hayat. (7) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Berdasarkan pemaparan diatas, KTSP yang merupakan penyempurnaan
dari kurikulum 2004 atau KBK yang berisi banyak kesamaan dan beberapa peningkatan proses oprasinal dalam pembelajaran terutama dalam aplikasi dalam bentuk konstektual pada peserta didik. Dalam kurikulum KTSP proses pembelajaran yang diharapkan harusnya bersifat aktif, kreatif, dan produktif sesuai dengan karakter siswa demi tercapaian tujuan pembelajaran yang maksismal. Jika dihubungkan dengan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), kurikulum KTSP memilki banyak kesamaan dengan IPA. Salah satu kesamaan tersebut adalah pengaitan secara langsung masalah masalah yang muncul dalam proses pembelajaran dengan kehidupan sehari hari. Hal tersebut akan menggugah pemikiran siswa terhdap konsep yang mereka pelajari dan dapat mengaitkan pengetahuan yang mereka milki dengan pengetahuan baru yang mereka terima melaui proses belajar. IPA merupakan ilmu yang mempelajari tentang alam dan mempunyai hubungan yang sangat luas terkait dengan kehidupan manusia. Artinya, belajar IPA tidak hanya sekedar penguasaan pengetahuan yang berupa fakta, konsep, prinsip serta hukum tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Dengan menggunkan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar di masyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta dijadikan sumber belajar, Permendiknas No. 22 Tahun 2006 (Tentang Standar Isi). Dalam pembelajaran IPA untuk menggugah pemahaman konsep siswa terhadap suatu materi pelajaran haruslah menggunkan lingkungan sekitar sebagai acuan. Untuk itu, guru harus mampu merancang pembelajaran sesuai dengan tuntutan kurikulum, yaitu menciptakan suasana belajar yang aktif, kreatif, dan produktif sehingga tujuan pembelajaran tercapai dengan maksimal dan pembelajaran menjadi bermakna. Hal ini ditegaskan karena pembelajaran yang bermakna akan memberikan pemahaman yang lebih luas dan mendalam pada diri siswa.
Namun dalam kenyataannya, proses pembelajaran IPA di sekolah dasar belum dapat berlangsung sesuai dengan tuntutan kurikulum KTSP. Sebagai bukti dari penjelasan tersebut adalah hasil observasi dan wawancara dengan lima guru IPA Kelas V di SD Gugus I Nakula Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana pada tanggal 2-3 Desember 2013 menunjukkan bahwa pembelajaran IPA belum memenuhi kriteria ketuntasan minimal yang di tetapkan. Hal ini di tunjukkan dengan nilai rata rata UTS siswa dalam pembelajaran IPA. Nilai ratarata yang diperoleh siswa pada setiap SD dijabarkan sebagai berikut: SD N 1 Baler Bale Agung (68,55), SD N 2 Baler Bale Agung (64,76), SD N 3 Baler Bale Agung (67,00), SD N 4 Baler Bale Agung (64,22), dan SD N 5 Baler Bale Agung (66,53). Nilai rata rata tersebut tergolong rendah jika dibandingkan dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dengan nilai 75. Berdasarkan hasil UTS mata pelajaran IPA yang di selenggarakan pada masing-masing sekolah di Gugus I Nakula pada siswa kelas V Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana, tampak jelas rendahnya hasil belajar mereka terhadap materi pembelajaran IPA. Rendahnya hasil belajar akan berakibat pada rendahnya pemahaman konsep IPA yang dimiliki siswa. Karena pemahaman konsep IPA sendiri bertitik tumpu pada nilai Kognitif dalam hasil belajar peserta didik. Aspek kognitif merupakan dasar utama dalam menilai pemahaman siswa terhadap konsep yang diajarkan. Secara detail, penyebab rendahnya pemahaman konsep siswa ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut hasil penelitian (Kawit, 2012) tentang pemahaman konsep IPA, di temukan beberapa faktor yang mempengaruhi kurangnya pemahaman konsep siswa dalam pembelajaran. Masalah ini dijabarkan sebagai berikut: Pertama, proses pembelajaran yang kurang menarik minat dan motivasi siswa dalam belajar. Kedua, pada proses pembelajaran IPA guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara aktif, seperti melakukan percobaan, menggunakan alat, mengamati, mengukur, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, dan menyimpulkan. Semua itu
merupakan aspek-aspek keterampilan proses yang perlu ditumbuhkembangkan dalam proses pembelajaran. Ketiga, kurangnya pemahaman siswa terhadap materi terutama dalam proses pengaitan pengetahuan yang dimilki dengan pengetahuan baru yang di dapat. Faktor lain yang sangat berpengaruh adalah kurangnya media pembelajaran sebagai medium dalam penyampaian materi pelajaran yang memiliki peran penting dalam proses belajar mengajar. Bertolak dari permasalahan tersebut, maka perlu diterapkannya suatu pembelajaran inovatif yang dapat membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna. Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE). Model pembelajaran CORE merupakan suatu pembelajaran yang menekankan kemampuan berpikir siswa untuk menghubungkan, mengorganisasikan, mendalami, mengelola, dan mengembangkan informasi yang didapat. Dalam model ini, siswa dituntut untuk dapat mengolah segala informasi yang di dapatnya dalam proses pembelajaran. CORE merupakan salah satu model pembelajran inovatif yang menuntut adanya kerjasama antar siswa dalam memecahkan permasalahan yang terjadi. Dengan pengetahuan awal siswa dan interaksi terhadap lingkungan, model pembelajaran CORE akan mampu meningkatkan pemahaman konsep siswa. Model pembelajaran CORE dilakukan dalam empat tahapan. (1) Tahap connecting, koneksi antara pengetahuan lama ke pengetahuan baru dan antar konsep. (2) Tahap organizing,organisasi ide untuk memhami materi. (3) Tahap reflecting, artinya memikirkan kembali, mendalami, dan menggali. (4) Tahap extending,menggunakan, memperluas, menggunakan, dan menemukan (Suyatno. 2009:67). Melalui tahapan pembelajaran tersebut, siswa diberi ruang untuk berpendapat, mencari solusi, serta membangun pengetahuannya sendiri dengan mengaitkan pengetahuan awalnya dengan pengetahuan baru yang didapat melalui proses belajar. Hal ini akan memberikan pengalaman yang berbeda
bagi setiap siswa, model ini diharapkan akan mampu meningkatkan pemahaman siswa terhadap berbagai macam konsep yang mereka pelajari. Suatu model pembelajaran pelaksanaannya akan lebih bermakna, apabila selama proses pembelajaran guru memberikan pembelajaran yang konkrit dalam arti siswa terlibat aktif untuk membangun pengetahuannya dengan media yang konkrit. Hal ini dikarenakan belajar pada hakekatnya adalah suatu interaksi antara individu dan lingkungan. Pemanfaatan lingkungan dapat ditempuh dengan melakukan kegiatan dimana peserta didik di bawa kelingkungan seperti karyawisata ataupun praktek lapangan. Namun, dalam proses pembelajaran tidak selalu siswa diajak terjun langsung ke lingkungan karena dengan pendekatan lingkungan saja, guru dapat memberi informasi yang berkaitan dengan lingkungan melalui berbagai macam media pembelajaran. Berdasarkan paparan di atas, maka penelitian ini akan difokuskan pada peneliatian tentang pengaruh model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) berbasis lingkungan terhadap pemahaman konsep pada pembelajaran IPA siswa kelas V SD di Gugus I Nakula Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana Tahun Pelajaran 2013/2014. METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi experiment atau yang lebih di kenal dengan penelitian semu. Ini dikarenakan tidak semua variabel yang muncul dapat dikontrol secara ketat. Adapun desain penelitian yang digunakan adalah non equivalent post-test only control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD di Gugus I Nakula Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana. Gugus I Nakula terdiri atas 5 SD. Jumlah seluruh siswa kelas V pada SD tersebut adalah 154 siswa yang terdistribusi menjadi 5 kelas. Untuk mengetahui
kesetaraan pemahaman konsep IPA siswa kelas V di masing-masing SD, maka terlebih dahulu dilakukan uji kesetaraan. Uji kesetaraan pada penelitian menggunakan uji ANAVA satu jalur. Data yang digunakan pada dalam uji kesetaraan ini adalah data hasil UTS IPA pada siswa kelas V SD di Gugus I Nakula Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana. Berdasarkan analisis ANAVA diperoleh hasil bahwa populasi dinyatakan setara. Sedangkan sampel penelitian diambil dengan menggunakan teknik class random sampling, dan didapat SD N 3 Baler Bale Agung sebagai kelas Eksperimen dan SD N 5 Baler Bale Agung sebagai kelas kontrol. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah Pemahaman Konsep IPA siswa kelas V. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes. Sesuai dengan metode, maka instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar soal tes essay, yang diberikan pada akhir pembelajaran. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif yang digunakan meliputi mean, median, modus. Hasil perhitungan mean median modus kemudian nantinya disajikan dalam bentuk kurva polygon. Adapun statistik inferensial menggunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah uji-t sampel independent (tidak berkorelasi) dengan rumus polled varians. Sebelum menggunakan formula uji-t, dilakukan terlebih dahulu uji prasarat yang meliputi uji normalitas dengan uji Chi-Square dan uji homogenitas varians dengan uji-F. HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil penelitian ini adalah skor pemahaman konsep IPA siswa kelas V SD, sebagai akibat dari penerapan model pembelajaran CORE pada kelas Eksperimen dan model pembelajaran Konvensional pada kelas kontrol. Berikut data hasil post-test kelas Esperiment dan kelas Kontrol yang dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Pemahaman Konsep IPA Siswa Kelas V Sampel
M
Md
Mo
S
s2
Eksperiment Kontrol
33,68 26,23
33,38 26,30
32,39 26,38
2,32 2,55
5,39 6,52
Skor Maksimal 39 32
Skor Minimal 30 22
R 9 10
Keterangan Tabel: M = Mean, Md = Median, Mo = Modus, s = Standar Deviasi, s 2 = Varians dan R = Rentangan Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa skor rata-rata pemahaman konsep IPA siswa kelas eksperimen adalah 33,68 Jika dikonversi ke dalam PAP Skala Lima berada pada kategori sangat tinggi. Distribusi frekuensi data pemahaman konsep IPA siswa kelas V di kelas eksperimen yang menerapkan model pembelajaran CORE disajikan pada gambar 1 berikut ini
Distribusi frekuensi data pemahaman konsep IPA siswa kelas V di kelas kontrol yang menerapkan model pembelajaran Konvensional disajikan pada gambar 2 berikut ini.
Gambar 2. Kurva Poligon Skor Kemampuan Berpikir Kritis Kelas Kontrol Gambar 1. Kurva Poligon Skor Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Eksperimen Berdasarkan gambar diatas diketahui bahwa sebaran data kelas eksperiment yang menggunakan model pembelajaran CORE juling positif M>Md>Mo (33,68>33,38>32,92). Hal ini berarti bahwa sebagian besar skor cenderung rendah. Kecenderungan skor ini dapat dibuktikan dengan melihat frekuensi relatif, dimana frekuensi relatif skor yang berada di atas rata-rata adalah 20%, lebih kecil dibandingkan frekuensi relatif skor yang berada di bawah rata-rata yakni 52%, sedangkan frekuensi relatif skor yang berada di sekitar rata-rata adalah 20%.
Berdasarkan gambar diatas diketahui bahwa sebaran data kelas kontrol yang menerakan model pembelajaran Konvensional juling negatif M<Md<Mo (26,23<26,30<26,38). Hal ini berarti bahwa sebagian besar skor cenderung tinggi. Kecenderungan skor ini dapat dibuktikan dengan melihat frekuensi relatif, dimana frekuensi relatif skor yang berada di bawah rata-rata adalah 29,66%, lebih kecil dibandingkan frekuensi relatif skor yang berada di atas rata-rata yakni 36,66%, sedangkan frekuensi relatif skor yang berada di sekitar rata-rata adalah 33,33%. Berdasarkan analisis data diketahui bahwa mean pemahaman konsep IPA siswa pada kelas kontrol adalah 26,23. Jika dikonversi ke dalam PAP skala lima berada pada kategori tinggi.
Sebelum uji hipotesis dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pengujian prasyarat terhadap sebaran data yang
meliputi uji homogenitas, berikut.
normalitas dan uji dengan hasil sebagai
Tabel 2. Rangkuman Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas V pada Mata Pelajaran IPA Kelompok Data Hasil Belajar
χ2
Post-test Eksperimen Post-test Kontrol
1,88 2,16
Kriteria pengujian, jika 2 hit 2 tab dengan taraf signifikasi 5% (dk = jumlah kelas dikurangi parameter, dikurangi 1), maka data berdistribusi normal. Baik data eksepriment maupun data kelas kontrol memiliki 2 hit 2 tab maka data kedua kelas berdistribusi normal.
Nilai Kritis dengan Taraf Status Signifikansi 5% 7.81 Normal 7,81 Normal Uji homogenitas dilakukan terhadap varians pasangan antar kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan data sebagai berikut.
Tabel 3. Rangkuman Hasil Uji Homogenitas Varians antar Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Sumber Data
Fhit
Ftab dengan Taraf Signifikansi 5%
Post-test Kelas Eksperimen dan Kontrol
1,21
1,94
Uji yang digunakan adalah uji-F dengan kriteria data homogen jika Fhit < Ftab. Dari tabel 3. diketahui bahwa Fhit < Ftab sehingga varians data kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah homogen. Berdasarkan uji prasyarat analisis data, diperoleh bahwa data hasil post-test kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah normal dan homogen. Setelah diperoleh hasil dari uji prasyarat analisis data,
Status Homogen
dilanjutkan dengan pengujian hipotesis penelitian (H1) dan hipotesis nol (H0). Pengujian hipotesis tersebut dilakukan dengan menggunakan uji-t sampel independent (tidak berkorelasi) dengan rumus polled varians dengan kriteria tolak H0 jika thit > ttab dan terima H0 jika thit < ttab. Rangkuman hasil perhitungan uji-t antar kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 4. Rangkuman Hasil Perhitungan Uji-t Data Hasil Belajar
Kelompok Eksperimen Kontrol
N 25 30
Berdasarkan tabel hasil perhitungan uji-t diatas, diperoleh thit sebesar 11,46. Sedangkan ttab dengan taraf signifikansi 5%
X 33,68 26,23
s2 5,39 6,53
thit
ttab (t.s. 5%)
11,46
2,0545
adalah 2,0545. Hal ini berarti, thit lebih besar dari ttab (thit > ttab), sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat
diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pemahaman konsep IPA antara kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran CORE dan kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran Konvensional pada mata pelajaran IPA kelas V SD di Gugus I Nakula Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana Tahun Pelajaran 2013/2014. Berdasarkan deskripsi data hasil penelitian, kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model CORE berbasis lingkungan memiliki pemahaman konsep yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional. Tinjauan ini didasarkan pada rata-rata skor pemahaman konsep siswa. Rata-rata skor pemahaman konsep yang mengikuti pembelajaran dengan model CORE berbasis lingkungan adalah 33,68 dan rata-rata skor pemahaman konsep siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional adalah 26,23. Berdasarkan pengujian hipotesis, diketahui nilai thitung = 11, 22 dan nilai ttabel dengan taraf signifikansi 5%= 2,0545. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa nilai thitung lebih besar dari nilai ttabel (thitung > ttabel) sehingga hasil penelitian adalah signifikan. Hal ini berarti, terdapat perbedaan pemahaman konsep IPA yang signifikan antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model CORE berbasis lingkungan dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional. Perbedaan yang signifikan antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model CORE berbasis lingkungan dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional disebabkan oleh perbedaan perlakuan pada langkah-langkah pembelajaran dan proses penyampaian materi. Pembelajaran dengan model CORE berbasis lingkungan menekankan aktivitas siswa dan guru melalui langkah-langkah, yaitu: connecting, organizing, reflecting, extending. Pada tahap connecting, guru mengaitkan pengetahuan awal siswa
dengan penegtahuan baru yang diterimanya. Guru membuat strategi dengan melakukan aplikasi ataupun cerita tentang pelajaran yang bersangkutan manfaat yang didapatkan dari kegiatan ini adalah siswa menjadi lebih aktif dalam menggali pengetahuanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Djamarah dan Zain (2002:52) yang menyatakan siswa dalam kegiatan belajar mengajar terlibat dalam sebuah interaksi dengan peserta didiklah yang lebih aktif sedangkan guru sebagai motivator dan fasilitator. Pada tahap organizing, guru memanfaatkan pengetahuan dan keingintahuan siswa berdasarkan pengalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya, siswa dapat bertukar pikiran mengenai masalah tersebut dan tentunya siswa akan mendapatkan berbagai macam pemikiran baru yang nantinya digunakan sebagai bahan untuk memecahkan masalah tersebut. aman siswa dan mampu mengasah otak siswa agar dapat menyelesaikan masalah. Pada tahap ini, siswa juga dapat menggunakan berbagai macam alat bantu pelajaran yang tercermin dari model pembelajaran dengan basis lingkungan baik itu berupa media maupun wacana yang disiapkan oleh guru. Pada tahap reflekting, guru mengarahkan siswa untuk merefleksi diri dengan menyampaikan materi atau konsep yang sudah dimengerti maupun yang belum dimengerti oleh siswa dengan interaksi antar sesama siswa dilanjutkan interaksi antara guru dan siswa. Sedangkan siswa merefleksi diri atau memikirkan secara mendalam terhadap konsep yang dipelajarinya dengan menyampaikan materi atau konsep yang sudah maupun yang belum dimengerti dan sebelumnya telah dibahas dengan teman 1 kelompoknya. Temuan ini didukung oleh pendapat Winataputra, dkk (2001) yang menyatakan pembelajaran IPA tidak hanya merupakan kumpulan pengetahuan tentang benda atau mahluk hidup, tetapi merupakan cara kerja, cara berfikir dan cara memecahkan masalah. Oleh karena itu, pembelajaran IPA di SD menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung yang menekankan pada siswa cara berfikir yang lebih mendalam pada konsep yang di
pelajari. Pada tahap extending, siswa memahami penjelasan guru dan dapat memperluas serta memperbaharui materi pelajaran dengan menekankan pada pemahaman di setiap konsep dalam materi pelajaran yang tentunya dengan menggunakan berbagai macam sumber dan media terutama lingkungan sebagai media yang nyata dan dekat dengan siswa. Berdasarkan temuan diatas jelaslah bahwa model pembelajaran CORE berbasis lingkungan lebih menekankan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Berbeda halnya dalam pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional yang bercirikan pembelajaran berpusat pada guru (teacher centered). Menurut Suyatno (2009) model pembelajaran konvensional sebenarnya cukup baik diterapkan namun cara mengajar guru yang mengintimidasi siswa membuat siswa akan merasa bosan dan berpengaruh pada proses perkembangan pengetahuan siswa itu sendiri. Di dalam pembelajaran konvensional siswa cenderung lebih pasif karena hanya mendengarkan ceramah yang diberikan oleh guru, ditambah lagi proses berpikir siswa sangat kurang saat ceramah oleh guru berlangsung. Siswa dalam belajar hanya dengan berhayal dalam arti terpisah dengan dunia nyata (tidak kontekstual) sehingga proses belajar menjadi kurang bermakna. Melalui model pembelajaran konvensional siswa cenderung menjadi objek belajar, sedangkan yang menjadi subjek belajar adalah guru. Kemudian guru berusaha memindahkan pengetahuan yang guru miliki kepada siswa. Keadaan ini cenderung membuat siswa pasif dalam menerima peajaran dari guru. Selain itu, pada pembelajaran konvensional masih menggunakan penilaian yang bersifat konvensional juga. Dampak utamanya, tentu akan berpengaruh pada konsep konsep dasar yang harusnya di pahami siswa dalam setiap pembelajran. Jika siswa tidak dapat memahami konsep tersebut dengan baik tentunya berpengaruh pada hasil belajar siswa yang kurang memuaskan. Hal ini tentunya tidak mampu membangkitkan semua potensi yang dimilikinya secara optimal.
Perbedaan cara pembelajaran antara pembelajaran dengan model CORE berbasis lingkungan dan pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional tentunya memberikan dampak yang berbeda pula terhadap pemahaman konsep siswa. Penerapan model CORE berbasis lingkungan dalam pembelajaran memungkinkan siswa untuk tahu manfaat dari materi yang dipelajari bagi kehidupannya, aktif dalam kegiatan pembelajaran, menemukan sendiri konsepkonsep yang dipelajari tanpa harus selalu tergantung pada guru, mampu memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan konsep yang dipelajari, bekerja sama dengan siswa lain, dan berani untuk mengemukakan pendapat. Siswa menjadi lebih tertantang untuk belajar dan berusaha menyelesaikan semua permasalahan IPA yang ditemui sehingga pengetahuan yang diperoleh akan lebih diingat oleh siswa. Dengan demikian, pemahaman konsep IPA siswa yang diajar dengan model CORE berbasis lingkungan lebih baik dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil dari beberapa penelitian tentang penerapan model CORE. Yuniarti (2013) melakukan penelitian dengan menggunakan Model CORE dan terbukti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara siswa yang mengikuti pembelajaran matematika melalui model CORE berbasis kontekstual dengan siswa yang mengikuti pembelajaran biasa. Pada umumnya, siswa memiliki respon positif terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model CORE berbasis kontekstual. Renita (2012) juga melakukan penelitian dengan menggunakan Model CORE dan memperoleh hasil bahwa skor keterampilan berpikir kritis dalam pembelajaran IPA pada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional cenderung rendah dan skor keterampilan berpikir kritis dalam pembelajaran IPA pada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model CORE berbantuan lingkungan sekitar
cenderung tinggi sehingga dapat di simpulkan terdapat perbedaan yang signifikan pada keterampilan berpikir kritis antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran CORE berbantuan lingkungan sekitar dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional, dengan thit > ttab (thit = 10,60 > ttab = 2,000). Ada beberapa hal yang diduga menjadi penyebab model CORE berbasis lingkungan secara optimal belum mampu membantu siswa untuk mencapai pemahaman konsep yang secara deskriptif dapat dikategorikan sangat baik yaitu: 1) Siswa belum memahami dan terbiasa belajar dengan menerapkan model CORE berbasis lingkungan, 2) Banyak waktu tersita untuk membiasakan siswa menggunakan model CORE berbasis lingkungan, dan 3) Siswa belum terbiasa dengan bentuk tes essai yang digunakan. Dalam evaluasi yang sering digunakan di sekolah, mereka terbiasa menggunakan tes objektif yang hanya menuntut satu jawaban tanpa menyertakan alasan terhadap jawabannya. Kemudian siswa juga dapat berspekulasi dalam menjawab, yaitu hanya dengan menerka. Bentuk tes uraian yang digunakan dalam penelitian ini, menuntut siswa mengemukakan konsep atau prinsip dan bukti perhitungan sebagai alasan dasar pemikiran mereka dan tentunya hal ini membuat siswa terbebani dalam mengerjakan tes. Berdasarkan paparan di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model CORE berbasis lingkungan memiliki tingkat pemahaman konsep yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan pembahasan, maka simpulan penelitian ini menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pemahaman konsep IPA antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model CORE berbasis lingkungan dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model
pembelajaran konvensional. Kualifikasi pemahaman konsep siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model CORE berbasis lingkungan berada pada kategori sangat tinggi sedangkan pemahaman konsep siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional berada pada kategori tinggi. Perbandingan hasil perhitungan rata-rata pemahaman konsep IPA dengan model CORE berbasis lingkungan adalah 33,68 lebih besar dari rata-rata pemahaman konsep IPA model pembelajaran konvensional sebesar 26,23. Saran yang dapat disampaikan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: (1) Guru disarankan agar mengggunakan model CORE berbasis lingkungan dalam melakukan pembelajaran di kelas untuk siswa memahami konsepkonsep IPA karena model ini lebih banyak menuntut keaktifan siswa (student centered) dan siswa belajar tentang IPA sesuai dengan keadaan lingkungan sekitarnya. (2) Guru disarankan tidak hanya menggunakan tes objektif dalam evaluasi pembelajaran karena tes objektif hanya menuntut satu jawaban tanpa menyertakan alasan terhadap jawabannya. Kemudian siswa juga dapat berspekulasi dalam menjawab, yaitu hanya dengan menerka oleh karena itu guru bisa menggunakan tes urain sebagai alternatif tes untuk memahami konsep IPA oleh siswa. (3) Untuk menciptakan siswa lebih aktif dalam pembelajaran hendaknya pihak sekolah dan guru memperhatikan tiga hal pokok yaitu materi/sumber, aktivitas pembelajaran, dan pelaksanaan evaluasinya harus melalui autentik assesmen. (4) Peneliti yang berminat agar mengadakan penelitian lebih lanjut tentang model CORE berbasis lingkungan dalam bidang ilmu IPA maupun bidang ilmu lainnya yang sesuai agar memperhatikan kendala-kendala yang dialami dalam penelitian ini sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan dan penyempurnaan penelitian yang akan dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA Hamalik, Oemar. 2008. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: PT Bumi Aksara. Kompas. 2012. Peringkat Pendidikan Indonesia Turun. Tersedia pada: http://edukasi.kompas.com/read/201 1/03/03/04463810/Peringkat.Pendid ikan.Indonesia.Turun.html. Diakses tanggal 1 November 2013. Mulyasa. 2009. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Roskarya Muslich, Masnur. 2012. KTSP Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta: Bumi Aksara Renita,
Fila. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran CORE Terhadap Kemampuan Berfikir Kritis Siswa Kelas V. Singaraja. Universitas Pendidikan Ganesha
Sugandika, Kawit. 2012. PengaruhModel Pembelajaran Quantum Teaching Terhadap Pemahaman Konsep IPA Kelas IV. Singaraja. Universitas Pendidikan Ganesha
Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Sidoarjo: Mas Media Buana Pustaka Undang-Undang No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. Winataputra,dkk. 2001. Strategi Belajar Mengajar IPA. Jakarta: Universitas Terbuka Yuniarti, Santi. 2013. Pengaruh Model Core Berbasis Kontekstual Terhadap Kemampuan Pemahaman Matematik Siswa. Jurnal Pendidikan. Program Studi Pendidikan Matematika Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Siliwangi Bandung. Tersedia pada http://publikasi.stkipsiliwangi.ac.id/fil es/2013/01/Santi-Yuniarti.pdf.Jurnal Diakses tanggal 4 Januari 2013