Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN SSCS TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP IPA SISWA KELAS V SD DI GUGUS I KECAMATAN BULELENG 1
Ni Km. Dewi Darmadi Sarastini, 2I Dw. Pt. Raka Rasana, 3Md. Sulastri 12
Jurusan PGSD, 3BK, FIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia e-mail:
[email protected], 2raka_rasana @yahoo.co.id, 3
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pemahaman konsep IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran SSCS dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD di gugus I Kecamatan Buleleng. Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu dengan desain berupa nonequivalent posttest only control group design. Populasi penelitian ini adalah kelas V SD di gugus I Kecamatan Buleleng yang berjumlah 11 kelas. Penentuan sampel dilakukan dengan teknik cluster random sampling. Pengumpulan data pemahaman konsep IPA siswa menggunakan tes uraian yang dianalisis dengan teknik analisis statistik deskriptif dan statistik inferansial yaitu uji-t. Berdasarkan hasil perhitungan uji-t, diperoleh nilai thitung sebesar 11,28 dan ttabel sebesar 2,000, pada taraf signifikansi 5% dan db=59. Hal ini berarti thitung lebih besar daripada ttabel. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pemahaman konsep IPA yang signifikan antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran SSCS dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran SSCS berpengaruh terhadap pemahaman konsep IPA siswa kelas V di SD gugus I Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng tahun ajaran 2013/2014. Kata-kata kunci: Model SSCS, Pemahaman Konsep IPA Abstract The purpose of this research was to know the difference of the concept undertanding in natural science between the group of student who was taught by using SSCS teaching model and the group of student who was taught by using the conventional teaching model in the fifth grade students of elementary school in cluster one of Buleleng district. This was a quasi experimental research with nonequivalent posttest only control group design. The population of this research was fifth grade of elementary school in cluster one of Buleleng district which consisted of 11 classes. The sample was choosen by the use of cluster random sampling technique. The data of concept undertanding in natural science were collected by using essay test which was analyzed by using descriptive statistics analysis and inferential statistics that was t-test. Based on the t-test calculation, the research result showed that tcount value was 11,28 and ttable was 2,000, on significance standard 5% and db=59. That meant that tcount is bigger than that of ttable. The result showed that there was difference of concept undertanding in natural science between group of students who were taught by using SSCS teaching model and group of students who were taught by using conventional teaching model. Thus, can concluded that SSCS teaching model influenced the concept undertanding in natural science of fifth grade students of elementary school in cluster one of Buleleng district, Buleleng regency in academic year 2013/2014.
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) Keywords: SSCS Model , the concept undertanding in natural science
PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan alam (IPA) merupakan salah satu cabang ilmu pendidikan yang mempelajari mengenai alam dan gejala-gejala yang terjadi di dalamnya yang disusun secara sistematis berdasarkan pada hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan oleh manusia (Samatowa, 2010:3). Keterkaitan IPA dan sumber daya manusia tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Adanya pendidikan IPA yang berkualitas akan berpengaruh terhadap meningkatnya kualitas sumber daya manusia. Salah satu kualitas pendidikan IPA yang harus diperhatikan adalah pendidikan IPA di sekolah dasar yang menjadi cikal bakal pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Pemerolehan pendidikan IPA yang berkualitas pada jenjang sekolah dasar mampu dijadikan bekal pengetahuan, konsep, serta keterampilan yang akan berguna bagi kelanjutan pendidikan peserta didik ke jenjang yang lebih tinggi. Pentingnya pendidikan IPA bagi peserta didik didasarkan pada tujuan IPA sesuai yang tercantum pada KTSP (2006:1-2) yaitu IPA bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, dan teknolongi, dan masyarakat. Dalam upaya pencapaian tujuan IPA yang maksimal, maka implementasi pendidikan IPA di sekolah dasar hendaknya mampu menciptakan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik. Salah satu cara untuk mewujudkannya yaitu dengan mengaitkan sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat (salingtemas) dengan pengalaman siswa dalam kehidupannya sehari-hari. Selain itu, pengemasan pembelajaran yang menarik juga mampu meningkatkan motivasi dan semangat belajar siswa yang dapat berpengaruh terhadap pencapaian pemahaman konsep yang maksimal. Untuk mewujudkan hal tersebut, di samping peran siswa, guru juga mempunyai peranan yang
sangat penting sebagai motivator dan fasilitator yang membantu dan mengarahkan siswa dalam mencapai tujuan IPA. Kenyataannya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan IPA masih rendah. Hal ini berkaitan dengan rendahnya kualitas pembelajaran IPA yang disebabkan oleh penggunaan model pembelajaran konvensional yang masih banyak diterapkan guru. Dalam pembelajaran konvensional, penyampaian materi lebih banyak dilakukan melalui ceramah, tanya jawab, dan penugasan (Rasana, 2009:20). Hasil penelitian Sadia (2008:8) juga menyatakan bahwa “sebagian (45,6%) guru masih mempertahankan pola-pola pembelajaran yang konvensional yang berpusat pada guru (teacher centered)” Pembelajaran dengan model konvensional menempatkan guru sebagai sumber informasi dan menjadikan IPA sebagai ilmu hafalan bagi peserta didik. Selain hasil penelitian beberapa pakar, hasil observasi awal di 8 sekolah dasar di gugus I Kecamatan Buleleng juga menunjukkan hal yang sama. Pembelajaran di sekolah masih berorientasi pada pemberian pengetahuan langsung oleh guru kepada peserta didik yang masih bersifat konvensional. Sebagian besar guru mengulangi cara pembelajaran yang sama setiap hari yaitu dengan memberikan penjelasan materi secara panjang lebar dengan metode ceramah, diselingi tanya jawab, dan diakhiri pemberian tugas yang monoton. Pembelajaran yang demikian dapat menimbulkan perasaan jenus, malas, dan cenderung menyepelekan pelajaran, sehingga mendorong peserta didik untuk tetap sebagai penerima informasi yang bersifat pasif dalam proses pembelajaran. Rendahnya keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran dapat berdampak pada rendahnya pemahaman konsep siswa materi pelajaran. Berkaitan dengan rendahnya pemahaman konsep siswa, hasil tes pemahaman konsep awal IPA siswa menunjukkan bahwa rata-rata pemahaman konsep IPA siswa terlihat masih rendah.
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) Hal ini terlihat dari total 11 kelas yang ada, hanya 5 kelas yang memenuhi KKM, diantaranya: SD No. 2 Banyuning (VA) (rata-rata 73,69; KKM 71), SD No. 4 Banyuning (rata-rata 68,05; KKM 64), SD No. 7 Banyuning (rata-rata 67,85; KKM 63), SD No. 8 Banyuning (VA dan VB) (rata-rata 70,17 dan 74,68; KKM 70). Selain kelima kelas tersebut, terdapat 6 kelas lainnya yang memiliki rata-rata di bawah KKM, diantaranya: SD No. 1 Banyuning (VA dan VB) (rata-rata 61,77 dan 62,66; KKM 63), SD No. 2 Banyuning (VB) (rata-rata 66,8; KKM 71), SD No. 3 Banyuning (rata-rata 62,82; KKM 63), SD No. 5 Banyuning (ratarata 67,94; KKM 69), dan SD No. 6 Banyuning (rata-rata 63,75; KKM 65). Hal tersebut menandakan bahwa pemahaman konsep IPA siswa belum maksimal. Setelah dilakukan wawancara dengan guru mata pelajaran IPA didapat faktor yang menjadi pemicu rendahnya pemahaman konsep IPA siswa, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga faktor, yaitu: (1) minimnya pengetahuan dan pemahaman guru mengenai model pembelajaran, (2) kurangnya pemanfaatan potensi lingkungan, sarana dan prasarana sekolah sebagai media dan sumber belajar, dan (3) guru cenderung masih berpatokan pada produk dan standar hasil yang harus diraih oleh siswa sesuai kesepakatan yang berdampak pada kecenderungan siswa untuk menghafalkan materi yang akan mudah terlupakan daripada memahami materi yang dapat terekam lebih lama di dalam ingatan siswa. Salah satu solusi yang dapat dipilih untuk mengatasi permasalahanpermasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran berkaitan dengan pemahaman konsep siswa adalah dengan menggunakan model pembelajaran inovatif yang sesuai dengan karakteristik pembelajaran IPA. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan yaitu model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS). Model pembelajaran SSCS merupakan salah satu model pembelajaran yang dikembangkan pada tahun 1988 oleh Pizzini, seorang profesor pendidikan sains di Universitas Iowa. Model SSCS tergolong model pembelajaran inovatif yang sangat
tepat digunakan pada mata pelajaran IPA dengan berorientasi pada pemecahan masalah (problem solving). Dengan demikian, fokus dari penggunaan model pembelajaran SSCS adalah membantu siswa untuk melakukan pemecahan masalah secara mandiri. Steinbach (dalam Santyasa, 2009:4) mengungkapkan bahwa “pembelajaran berbasis pemecahan masalah sangat penting diterapkan karena peserta didik akan lebih cepat melupakan materi yang hanya dijelaskan secara lisan dalam belajar, sebaliknya mereka akan lebih lama mengingat jika diberikan contoh, dan memahami jika diberikan kesempatan mencoba memecahkan masalah”. Hal ini senada dengan pernyataan Pizzini (1991:3) yaitu “The SSCS Problem Solving Model is designed to expand and apply science concepts and critical thinking skills”. Menurut Pizzini, model pembelajaran SSCS yang berorientasi pemecahan masalah dirancang untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan meningkatkan pemahaman konsep ilmu siswa. SSCS terdiri dari empat tahap penyelesaian masalah. Pertama, pada tahap Search siswa mencari pertanyaan yang ingin diteliti tentang topik yang ingin mereka selidiki. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan suatu masalah yang harus dicari penyelesaiannya. Kedua, pada tahap Solve siswa mendesain rencana dan mencari solusi pertanyaan untuk memecahkan masalah yang ditemui yang dilakukan dalam kelompok kecil yang memungkinkan siswa bertukar pikiran dengan siswa lain dan mengasah kemampuan berpikirnya untuk memperoleh suatu hipotesis. Ketiga, pada tahap Create siswa mengimplementasikan rencana pemecahan masalah menjadi suatu produk berupa hasil yang sekreatif mungkin dan jika perlu siswa dapat menggunakan grafik, poster, diagram, model, atau alat peraga lain yang akan ditampilkannya kepada siswa lain. Terakhir, pada tahap Share siswa mempresentasikan atau menampilkan temuan, hasil, maupun kesimpulan yang diperoleh selama bekerja kelompok di depan kelas dan mengevaluasi solusi pemecahan masalah yang sudah diterapkannya.
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) Berdasarkan deskripsi masingmasing tahap dalam model pembelajaran SSCS, terlihat bahwa model pembelajaran SSCS memiliki banyak keunggulan. Salah satunya, siswa diajak terlibat langsung dalam menentukan solusi penyelesaian masalah yang dilanjutkan dengan pemecahan masalah. Hal ini akan membuat siswa menjadi lebih aktif dan terlibat lebih mendalam saat proses pembelajaran. Model pembelajaran SSCS efektif karena bersifat student centered yang lebih mengutamakan peran peserta didik sebagai pusat pembelajaran. Dalam pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaraan SSCS siswa tidak hanya berpatokan pada pengetahuan yang ada, melainkan lebih mengutamakan proses pemerolehan pengetahuan tersebut. Dengan mengutamakan proses, siswa diharapkan tidak hanya sekedar menghafal ilmu, tetapi memahami lebih mendalam sehingga ilmu yang diperoleh terus melekat dan diingat siswa. Dengan demikian, pemahaman konsep siswa khususnya pada mata pelajaran IPA dapat ditingkatkan. Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan yang signifikan pemahaman konsep IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD di Gugus I Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng tahun ajaran 2013/2014. METODE Penelitian ini berjenis penelitian eksperimen semu (quasi eksperimen). Tempat penelitian dilaksanakan di SD Gugus I Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng pada rentangan waktu semester genap pada tahun ajaran 2013/2014. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa kelas V SD di gugus I kecamatan Buleleng yang terdiri dari 11 kelas dengan jumlah siswa sebanyak 286 orang. Setelah
dilakukan uji kesetaraan, kemudian dipilih dua kelas yang akan dijadikan sampel. Penentuan sampel menggunakan teknik probability sampling jenis cluster random sampling karena sampel yang dipilih secara random adalah kelompok-kelompok kelas yang telah dipaketkan. Paket kelas yang terpilih yaitu kelas VA dan kelas VB yang termasuk ke dalam SD No. 1 Banyuning kemudian diundi kembali sehingga diperoleh kelas VA sebagai kelas kontrol yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional dan kelas VB sebagai kelas eksperimen yang dibelajarkan dengan model pembelajaran SSCS. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonequivalent posttest only control group design. Variabel yang diteliti yaitu variabel bebas berupa model pembelajaran SSCS dan variabel terikat berupa pemahaman konsep IPA. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes. Data pemahaman konsep IPA dikumpulkan melalui tes uraian yang diberikan pada saat post-test. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial. Hasil perhitungan statistik deskriptif berupa mean, median, modus, standar deviasi, dan varians kemudian disajikan dalam bentuk grafik poligon. Sebelum dilakukan analisis tatistik inferensial, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat berupa uji normalitas dan uji homogenitas. Analisis statistik inferensial dilakukan setelah data yang yang diperoleh berdistribusi normal dan bersifat homogen. Pada analisis statistik inferensial, metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah independent sample t-test (uji-t) berupa polled varians. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perhitungan analisis statistik deskriptif yang diperoleh dalam penelitian ini direkapitulasi seperti pada tabel berikut.
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Skor Pemahaman Konsep IPA Siswa Statistik Kelompok Kelompok Eksperimen Kontrol Mean 33,60 19,11 Median 34 18,14 Modus 38,1 15,5 Skor minimum 23 10 Skor maksimum 39 30 Rentangan 16 20 Mean (M), Median (Me), Modus (Mo) pemahaman konsep IPA siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol selanjutnya disajikan ke dalam kurva polygon dengan tujuan untuk menafsirkan sebaran data pemahaman konsep IPA pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Adapun kurva polygon kedua kelompok seperti pada gambar 1 dan 2. Frekuensi Interval
Mo = 38 Md = 34 M = 33,60
Gambar 1 Kurva Poligon Data Hasil Pemahaman Konsep IPA Siswa Kelompok Eksperimen Berdasarkan Tabel 1 diketahui Mo>Me>M (38>34>33,60) menyebabkan kurva pada gambar 1 membentuk kurva juling negatif yang berarti sebagian besar skor cenderung tinggi.
Frekuensi M = 19,11 Me = 18,14 Mo = 15,5
Interval
Gambar 2 Kurva Poligon Data Hasil Pemahaman Konsep IPA Siswa Kelompok Kontrol
Berdasarkan Tabel 1 diketahui Mo>Me>M (15,5<18,14<19,11) menyebabkan kurva pada gambar 2 membentuk kurva juling positif yang berarti sebagian besar skor cenderung rendah. Sebelum dilanjutkan ke uji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat meliputi uji normalitas dan uji homogenitas. Hasil uji normalitas dengan menggunakan rumus Chi-Square ( 2 ), menunjukkan bahwa data pemahaman konsep IPA siswa kelompok kontrol dan kelompok eksperimen berdistribusi normal. Demikian halnya pada uji homogenitas dengan menggunakan rumus uji F, diperoleh hasil bahwa data pemahaman konsep IPA kedua kelompok adalah homogen. Setelah uji prasyarat terpenuhi, dilanjutkan dengan uji hipotesis menggunakan independent sample t-test (tidak berkorelasi) dengan rumus polled varians. Hipotesis yang diuji dalam penelitiian ini adalah terdapat perbedaan yang signifikan pada pemahaman konsep IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional. Kriteria pengujian hipotesis yaitu H0 ditolak jika thitung > ttabel. Berdasarkan hasil perhitungan uji-t diperoleh bahwa terdapat perbedaan pemahaman konsep IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran SSCS dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD di Gugus I Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng tahun ajaran 2013/2014. Ringkasan hasil uji hipotesis disajikan pada tabel 2.
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) Tabel 2 Ringkasan Hasil Uji Hipotesis No. 1 2
Data Pemahaman Konsep Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol
Standar Deviasi 19,87 30,23
Model pembelajaran SSCS yang digunakan pada kelompok eksperimen dan model pembelajaran konvensional yang digunakan pada kelompok kontrol dalam penelitian ini menunjukkan pengaruh yang berbeda pada pemahaman konsep IPA siswa. Secara deskriptif, pemahaman konsep IPA siswa kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan siswa kelompok kontrol. Tinjauan ini didasarkan pada ratarata skor pemahaman konsep IPA. Ratarata skor pemahaman konsep IPA siswa kelompok eksperimen adalah 33,60 berada pada katagori tinggi, sedangkan rata-rata skor pemahaman konsep IPA siswa kelompok kontrol adalah 19,11 berada pada katagori sedang. Jika skor pemahaman konsep IPA siswa kelompok eksperimen digambarkan dalam grafik poligon tampak bahwa kurva sebaran data merupakan juling negatif yang artinya sebagian besar skor siswa cenderung tinggi. Pada kelompok kontrol, jika skor pemahaman konsep IPA siswa digambarkan dalam grafik poligon tampak bahwa kurva sebaran data merupakan juling positif yang artinya sebagian besar skor siswa cenderung rendah. Berdasarkan analisis data menggunakan uji-t, diperoleh nilai thitung sebesar 11,28 dan ttabel sebesar 2,000 (pada db = 59 dan taraf signifikansi 5%). Dengan demikian, thitung lebih besar dari ttabel yang menunjukkan bahwa hasil penelitian adalah signifikan. Artinya, terdapat perbedaan pemahaman konsep IPA yang signifikan antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran SSCS dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD di gugus I Kecamatan Buleleng tahun ajaran 2013/2014. Adanya perbedaan yang signifikan menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model
n
Db
thitung
ttabel
Kesimpulan
31 30
59
11,28
2,000
thitung > ttabel H0 ditolak
pembelajaran SSCS berpengaruh terhadap pemahaman konsep IPA siswa. Perbedaan pemahaman konsep IPA yang ditunjukkan oleh siswa kelompok eksperimen dan siswa kelompok kontrol disebabkan karena adanya perbedaan perlakuan antara kedua kelompok pada saat proses pembelajaran. Pembelajaran di kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran konvensional cenderung bersifat pasif. Hal ini disebabkan oleh proses pembelajaran yang didominasi dengan kegiatan ceramah, tanya jawab, dan penugasan. Penyampaian materi oleh guru dilaksanakan dengan metode ceramah yang memusatkan guru sebagai sumber informasi (teacher-centered). Dalam penyajian materi, guru juga jarang mengaitkan kehidupan nyata dan masalah-masalah siswa dalam kehidupannya sehari-hari dengan materi yang dibahas, melainkan lebih cenderung berpatokan pada buku sumber. Diselasela kegiatan penyampaian materi, terjadi tanya jawab antara guru dan siswa. Namun, kegiatan tanya jawab hanya didominasi oleh siswa tertentu saja. Setelah kegiatan tanya jawab, guru memberikan tugas yang dikerjakan siswa secara individu maupun berpasangan. Kegiatan pembelajaran yang demikian dilakukan secara berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama. Dalam kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran konvensional, terlihat jelas bahwa siswa kurang dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran dan antusiasme siswa dalam belajar juga rendah, sehingga semakin menambah kecenderungan siswa untuk menghapal materi. Temuan tersebut didukung oleh Suleman (dalam Rasana, 2009:18) yang mengungkapkan bahwa “pembelajaran konvensional merupakan metode yang paling efisien dalam mengajar yang bersifat hafalan (ingatan)”. Pembelajaran
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) yang demikian berdampak pada kurangnya pemerolehan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep dan materi yang diberikan. Berbeda halnya dengan pembelajaran pada kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran SSCS. Apabila dilihat dari segi antusiasme dan keaktifan siswa dalam belajar, siswa di kelas eksperimen memiliki antusiasme dan keaktifan yang tinggi dalam proses pembelajaran. Hal ini tidak terlepas dari peranan guru dan aktivitas siswa yang terjadi pada setiap langkah-langkah model pembelajaran SSCS yang meliputi menyelidiki masalah (search), merencanakan pemecahan masalah (solve), mengkonstruksi pemecahan masalah (create), dan yang terakhir adalah mengkomunikasikan penyelesaian yang diperolehnya (share) (Irwan: 2011:4). Model pembelajaran SSCS berorientasi problem solving yang menekankan pada kemampuan siswa dalam pemecahan masalah yang telah dirumuskan. Pada tahap search, siswa dituntun dan dilatih untuk mampu mengumpulkan informasi terkait pembelajaran. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui membaca buku sumber maupun berdasarkan pengalamannya di kehidupan sehari-hari. Selain itu, siswa juga dituntun untuk mampu mengidentifikasi permasalahan yang diberikan kepadanya. Kegiatan siswa pada tahap ini dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memahami sesuatu yang mereka pelajari berkaitan dengan konsep-konsep. Sebaliknya, peran guru dalam tahap ini hanya sebagai fasilitator dan pembimbing yang menuntun dan mengarahkan siswa untuk mampu memperoleh informasi dan mengidentifikasi permasalahan yang ada. Dengan demikian, siswa akan lebih aktif dan berperan lebih dominan dalam proses pembelajaran sehingga pembelajaran akan bersifat student-centered. Setelah tahap search dilanjutkan dengan tahap solve. Pada tahap ini, siswa dilatih untuk mampu merumuskan dan membuat suatu rancangan penyelesaian masalah. Setelah siswa
berhasil mengidentifikasi masalah pada tahap search, kemudian secara berkelompok siswa dituntun untuk berdiskusi membuat perencanaan penyelesaian masalah. Pembagian kelompok yang dilakukan secara heterogen menyebabkan adanya interaksi antara siswa yang pandai dan kurang pandai sehingga siswa yang pandai dapat membantu siswa yang kurang pandai. Diskusi dalam kelompok kecil ini juga memungkinkan siswa bertukar pikiran dengan siswa lain untuk mengutarakan ide-ide sehingga mampu mengasah kemampuan berpikir kritis dan kreatifnya dalam merancang suatu penyelesaian masalah berupa hipotesis atau dugaan jawaban sementara. Secara tidak langsung, dalam kegiatan diskusi tersebut akan tercipta sikap saling menghargai pendapat dari siswa lain yang mengutarakan ide-idenya. Ide-ide mengenai rancangan pemecahan masalah yang terbaik dipilih untuk diimplementasikan pada tahap berikutnya. Setelah tahap solve dilanjutkan dengan tahap create. Pada tahap create, siswa dituntun untuk mampu menerapkan rencana pemecahan masalah yang telah dipilih pada tahap sebelumnya. Dalam menerapkan rencana yang telah dipilih tersebut, siswa secara berkelompok membuat suatu produk sekreatif mungkin. Untuk dapat membuat suatu produk, kekompakan dan kerjasama dalam kelompok sangat diperlukan. Dengan demikian, pada tahap ini siswa juga diajarkan untuk bekerja sama satu sama lain dalam menciptakan produk yang diinginkan. Produk yang telah dibuat akan menjawab hipotesis yang telah dirumuskan benar atau salah. Tahap terakhir yaitu tahap share. Pada tahap share, siswa mempresentasikan dan menampilkan hasil temuan, solusi, maupun kesimpulan yang telah diperoleh selama bekerja kelompok kepada siswa lainnya di depan kelas. Siswa yang presentasi dan siswa yang menyimak dapat saling bertukar pikiran, berbagi ide, memberikan masukan dan saran, serta menilai penyajian maupun produk yang telah dipresentasikan. Hal tersebut dapat
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) melatih kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan segala sesuatu yang mereka buat dan hal-hal yang ada di pikiran mereka. Pada tahap ini akan terlihat seberapa jauh siswa mampu memahami materi dan konsep-konsep yang telah dipelajari melalui kemampuan siswa memberikan masukan dan menanggapinya dengan benar. Dengan demikian, ilmu yang dimiliki siswa akan lebih lama diingat terutama berkaitan dengan pemahamannya terhadap konsepkonsep. Berdasarkan langkah-langkah model pembelajaran SSCS yang dilakukan pada proses pembelajaran, terlihat bahwa keunggulan pembelajaran dengan model pembelajaran SSCS yaitu peran guru yang tidak lagi sebagai sumber informasi (teacher-centered), melainkan berubah menjadi fasilitator, motivator, mediator, dan pembimbing yang mengarahkan siswa untuk mampu menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan sebelumnya yang dimiliki siswa. Pembelajaran dengan menggunakan model SSCS lebih menekankan pada kemampuan siswa untuk memecahkan masalah secara mandiri. Dengan demikian pembelajaran akan lebih berpusat pada siswa yang mampu memacu keterampilan berpikir kritisnya dan meningkatkan pemahaman konsep ilmu yang dimiliki siswa. Perbedaan proses pembelajaran yang terjadi pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memberikan dampak yang berbeda pula pada pemahaman konsep yang dimiliki siswa. Pembelajaran dengan model SSCS menyebabkan siswa aktif dalam proses pembelajaran. Siswa terlatih untuk mampu menemukan dan memecahkan permasalahan yang ditemui, bekerja sama dengan siswa lainnya, menyampaikan pendapat, dan mengkomunikasikan sesuatu yang ada di pikirannya kepada guru dan siswa lain. Ilmu yang diperoleh siswa juga akan lebih lama diingat karena diperoleh berdasarkan kerja kerasnya sendiri, sehingga pemahaman siswa terhadap konsep juga akan meningkat. Dengan demikian, pemahaman konsep
IPA pada kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran SSCS lebih baik dibandingkan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian mengenai penggunaan model pembelajaran SSCS yang dilakukan oleh Warmini (2013) yang menyatakan bahwa model pembelajaran SSCS berbantuan media visual dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil perhitungan yang menunjukkan bahwa thitung lebih besar dari ttabel (4,04> 2,00) sehingga dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika antara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran SSCS berbantuan media visual dan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional. Selanjutnya, Periartawan (2014) juga menyatakan bahwa model pembelajaran SSCS yang digunakan mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa model pembelajaran SSCS mampu meningkatkan hasil belajar siswa yang di dalamnya mencangkup meningkatnya pemahaman konsep siswa. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil perhitungan yang menunjukkan bahwa thitung lebih besar dari ttabel (10,53> 2,00) sehingga dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. PENUTUP Berdasarkan paparan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada pemahaman konsep IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran Search Solve Create and Share (SSCS) dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan pembelajaran konvensional pada siswa kelas V Sekolah Dasar di Gugus I Kecamatan Buleleng tahun ajaran 2013/2014. Hasil tersebut dibuktikan dari
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) hasil uji-t yang menunjukkan bahwa thitung = 11,28 lebih besar dari ttabel = 2,000, pada taraf signifikansi 5% dan db = 59. Selain itu, perbandingan perhitungan rata-rata pemahaman konsep IPA siswa kelompok eksperimen lebih besar dari rata-rata pemahaman konsep IPA siswa kelompok kontrol (33,60 > 19,11). Adanya perbedaan yang signifikan menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan model pembelajaran SSCS berpengaruh terhadap pemahaman konsep IPA siswa dibandingkan dengan model konvensional. Saran yang dapat disampaikan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. 1) Siswa-siswa di sekolah dasar hendaknya lebih aktif dalam proses pembelajaran dan terus mengembangkan daya nalar, kemampuan berpikir kritis, kreatifitas, serta keterampilan berkomunikasi yang telah dimiliki melalui kegiatan pemecahan masalah sehingga dapat meningkatkan pemahaman konsep IPA siswa; 2) Guru hendaknya meminimalisir pembelajaran yang mengutamakan ketercapaian materi dan cenderung mengabaikan proses yang berdampak pada pembelajaran yang terkesan hapalan bagi siswa. Para guru disarankan untuk menggunakan modelmodel pembelajaran inovatif dengan beberapa modifikasi agar sesuai dengan karakteristik peserta didik dan kondisi sekolah. Salah satunya yaitu penggunaan model pembelajaran SSCS yang dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa; 3) Peneliti yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut dalam skala luas dan variabel yang beragam mengenai model pembelajaran SSCS agar dapat memperhatikan kendala-kendala yang dihadapi seperti keterbatasan waktu dan biaya yang menyebabkan penelitian hanya dilakukan pada mata pelajaran IPA saja. Dengan demikian, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menyempurnakan penelitian selanjutnya. DAFTAR RUJUKAN Irwan. 2011. Pengaruh Pendekatan Problem Posing Model Search Solve Create and Share (SSCS)
dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Mahasiswa Matematika. Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol 12 No. 1. Tersedia pada http://jurnal.upi.edu/file/irwan.pdf (diakses tanggal 12 November 2013). Kurikulum 2006 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Standar Kompetensi Mata Pelajaran SAINS. 2006. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Periartawan, Eka. 2014. Pengaruh Model Pembelajaran SSCS terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas IV di Gugus XV Kalibukbuk. Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol:2 No. 1 Tahun 2014). Tersedia pada http://http://ejournal.undiksha.ac.id/ index.php/JJPGSD/article/downloa d/2045/1783 (diakses tanggal 10 Februari 2014) Pizzini,
Edward L. 1991. SSCS Implementation Handbook. Iowa: The University of Iowa.
Rasana, I D. P. R. 2009. Model-model Pembelajaran. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Sadia,
I Wayan. 2008. Model Pembelajaran Yang Efektif Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis (Suatu Persepsi Guru). Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 2 Th. XXXXI April 2008.
Samatowa, Usman. 2010. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Jakarta: Permata Puri Media. Santyasa, I Wayan. 2009. Pengembangan Pemahaman Konsep dan Kemampuan Pemecahan Masalah Fisika Bagi Siswa SMA Dengan Pemberdayaan Model Perubahan
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) Konseptual Berseting Investigasi Kelompok, (Online) tersedia pada http://www.freewebs.com/santyasa /pdf2/PENGEMBANGAN_PEMAH AMAN_KONSEP.pdf (diakses tanggal 12 November 2013). Warmini, Ni Kadek. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Seacrh, Solve, Create, and Share (SSCS) Berbantuan Media Visual terhadap Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas IV Semester Genap Tahun Pelajaran 2012/2013 di Sekolah Dasar gugus VII Kecamatan Busungbiu Kabupaten Buleleng. Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan PGSD, Undiksha Singaraja.