PENGARUH MEDIA TANAM DAN ZAT PENGATUR TUMBUH SITOKININ (BA) TERHADAP PERBANYAKAN TUNAS PISANG RAJA BULU (Musa paradisiaca L. ) DARI CACAHAN BONGGOL
GUSTI EMAN AYU SASMITA JATI A240800185
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
ABSTRACT Banana is the important and the highest production of Indonesian fruits. The propagation of banana using corm pieces known as the cheap and effective method, that also gives diseases resistance to shoots. Furthermore, this research aimed to determine the effect of growing media types and doses of BA to increase the healthy shoots and to make the propagation of Raja bulu banana from corm pieces faster. Research used Randomize Complete Block Design (RKLT) with two factors. The first factor were cytokines (BA) with four dosages (A1:10 ppm, A2:10 ppm, A3:20 ppm, and A4:30 ppm). The second factor was growing media composition consisting of B1: soil, B2: husk charcoal, B3: husk charcoal + soil, B4: and husk charcoal + cow manure. The results showed that no interaction between media and cytocines, except from dead corm percentage at 9 weeks after planting. The media's treatment only affected the variable number of buds on the hump, number of roots, number of root corms, number of roots of the root corms, and the dead corm percentage. The most number of buds on the hump was obtained from the husk charcoal + cow manure media at 2 weeks after planting. The highest of roots on 9 weeks after planting, the highest of root corms on 7 weeks after planting, and the highest of roots of the root corms on 9 weeks after planting were obtained from the husk charcoal media. The highest dead corm percentage was obtained from the soil media at 9 weeks after planting. Cytokines BA did have no significant influence to plantain bud multiplication of Raja bulu banana from corm pieces.The pests and diseases in the soil were reduced by using of husk charcoal + cow manure media. Hence, it was suggested to use husk charcoal + cow manure media without application of cytokines to produce Raja bulu banana’s shoots.
RINGKASAN GUSTI EMAN AYU SASMITA JATI. Pengaruh Media Tanam dan Zat Pengatur Tumbuh Sitokinin (BA) terhadap Perbanyakan Tunas Pisang Raja Bulu (Musa Paradisiaca L.) dari Cacahan Bonggol. (Dibimbing oleh Dr. Ir. SOBIR, Msi dan ENDANG GUNAWAN, SP, MSi) Buah-buahan merupakan komoditas penting untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Buah pisang memiliki tingkat permintaan yang tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Kebutuhan akan tersedianya bibit pisang yang berkualitas dalam jumlah banyak, murah, cepat dan dapat diaplikasikan oleh petani menuntut adanya teknologi budidaya yang dapat membantu dalam upaya pembibitan tanaman pisang. Beberapa teknologi terdahulu seperti pembibitan konvensional dengan anakan dan kultur jaringan memiliki beberapa kelemahan sehingga perlu dikembangkan teknologi budidaya yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut. Perbanyakan bibit pisang menggunakan cacahan bonggol dengan bantuan zat pengatur tumbuh dan media tanam yang sesuai menjadi salah satu teknologi yang sedang dikembangkan Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jenis media, dosis sitokinin BA, dan interaksi keduanya dalam perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan bonggol untuk menghasilkan bibit yang sehat dalam jumlah banyak, cepat, murah, dan dapat diaplikasikan oleh petani. Penelitian dilaksanakan di Kebun Penelitian IPB Tajur, Bogor, selama 3 bulan, yaitu pada bulan April 2012 – Juli 2012. Penelitian menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dua faktor, yaitu: pemberian BA dan jenis media tanam dengan masing-masing empat taraf perlakuan sehingga akan didapatkan 16 kombinasi perlakuan. Taraf media tanam terdiri dari tanah (B1), arang sekam (B2), arang sekam + tanah (B3), dan arang sekam + pupuk kandang sapi (B4).Taraf dosis BA, yaitu: 0 ppm (A1), 10 ppm (A2), 20 ppm (A3), dan 30 ppm (A4). Setiap perlakuan terdiri atas tiga ulangan sehingga terdapat 48 satuan unit penelitian. Pengamatan dilakukan dari 2-33 HST (1–9 MST) dengan mengamati 5 tanaman contoh per unit perlakuan. Peubah yang diamati yaitu: jumlah tunas tiap bonggol, jumlah bonggol bertunas, jumlah tunas dari bonggol bertunas, jumlah tunas yang dapat dipanen, jumlah tunas majemuk, tinggi bibit, jumlah
daun bibit, jumlah akar, jumlah bonggol berakar, jumlah akar dari bonggol berakar, waktu muncul tunas ke permukaan, periode pertumbuhan tunas hingga panen, waktu muncul akar, dan persentase bonggol mati. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa tidak ada interaksi antara media dan sitokinin, kecuali pada persentase bonggol mati. Perlakuan media tanam memberikan pengaruh yang nyata terhadap perbanyakan tunas pisang Raja bulu dari cacahan bonggol. Perlakuan media hanya berpengaruh pada peubah jumlah tunas di bonggol, jumlah akar, jumlah bonggol berakar, jumlah akar dari bonggol berakar, dan persentase bonggol mati. Sitokinin BA tidak memberikan pengaruh terhadap perbanyakan tunas pisang Raja bulu dari cacahan bonggol. Hasil uji lanjut BNT untuk interaksi perlakuan menghasilkan persentase bonggol mati tertinggi pada perlakuan sitokinin BA 10 ppm + media tanah terhadap jumlah bonggol mati pada 9 MST, yaitu sebanyak 10%. Perlakuan media terhadap jumlah tunas di bonggol menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang nyata pada taraf 1% untuk 2 MST. Jumlah tunas rata-rata di bonggol yang tertinggi diperoleh dari perlakuan media arang sekam + pupuk kandang sapi, yaitu sebanyak 0.3 pada 2 MST, sementara media media arang sekam dan media arang sekam + tanah memberikan jumlah tunas rata-rata di bonggol yang terendah, yaitu 0.05 pada 2 MST. Jumlah akar rata-rata yang tertinggi diperoleh dari perlakuan media arang sekam, yaitu sebanyak 3.117 pada 9 MST, sementara media tanah memberikan jumlah akar rata-rata yang terendah, yaitu 1.833 pada 9 MST. Media arang sekam memberikan hasil bonggol berakar dan jumlah akar dari bonggol berakar tertinggi, sementara media tanah memberikan hasil terendah pada peubah tersebut. Persentase bonggol mati rata-rata yang tertinggi diperoleh dari perlakuan media tanah, yaitu sebanyak 5.417% pada 9 MST, sementara media arang sekam dan arang sekam + pupuk kandang sapi memberikan persentase bonggol mati rata-rata yang terendah, yaitu 1.250% pada 9 MST. Faktor lain yang ikut mempengaruhi hasil penelitian seperti adanya hama dan penyakit yang menyerang dan faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan tanaman. Media tanah menghasilkan jumlah tunas di bonggol cukup baik, namun rawan akan hama dan penyakit yang ada di tanah. Media arang sekam baik untuk perakaran tetapi masih kurang kandungan hara. Media
campuran tanah + arang memberikan hasil yang kurang optimum untuk jumlah akar dan tunas di bonggol. Media campuran arang sekam + pupuk kandang sapi merupakan media terbaik untuk perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan bonggol karena menghasilkan jumlah akar dan jumlah tunas yang baik, selain itu media ini juga dapat membantu meminimumkan kerusakan akibat penularan penyakit tular tanah.
PENGARUH MEDIA TANAM DAN ZAT PENGATUR TUMBUH SITOKININ (BA) TERHADAP PERBANYAKAN TUNAS PISANG RAJA BULU (Musa paradisiaca L.) DARI CACAHAN BONGGOL
Skripsi sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
GUSTI EMAN AYU SASMITA JATI A240800185
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
i
Judul
: PENGARUH MEDIA TANAM DAN ZAT PENGATUR TUMBUH
SITOKININ
(BA)
TERHADAP
PERBANYAKAN TUNAS PISANG RAJA BULU (Musa paradisiaca L.) DARI CACAHAN BONGGOL Nama NIM
: GUSTI EMAN AYU SASMITA JATI : A24080185 Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Sobir, MSi NIP. 19640512 198903 1 002
Endang Gunawan, SP, MSi NIP. 19770314 200810 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB
Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr NIP. 19611101 198703 1 003
Tanggal Lulus :
ii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur pada tanggal 01 Agustus 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Almarhum Bapak Cecep Yanurianto dan Ibu Niluh Chandra Widjayati. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Sidokumpul II, Gresik pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 01 Gresik selama tiga tahun dan menamatkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 01 Gresik pada tahun 2008. Kemudian pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa jurusan Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian di Institut Pertanian Bogor pada tahun akademik 2008/2009 melalu jalur SNMPTN. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai organisasi yang dimulai sejak TPB sebagai anggota organisasi daerah (OMDA) Himasurya Plus (Himpunan Mahassiwa Surabaya Gresik Mojokerto dan Sidoarjo) dan anggota organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Panahan. Pada tahun kedua di IPB, penulis juga berkesempatan aktif sebagai sekretaris umum selama 2 tahun berturut-turut pada organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Di departemen penulis bergabung dengan AGROHOTPLATE sebagai anggota divisi PSDM dan menjadi penerima hibah Program Kreativitas Mahasiswa di bidang percobaan pada tahun 2010/2011. Penulis juga menjadi asisten praktikum biologi bagi mahasiswa TPB pada semester ganjil 2010/2011. Selain itu penulis aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan yang diadakan oleh departemen, BEM A, dan mengikuti berbagai seminar serta mengajar sebagai guru bagi siswa SD-SMP di luar kampus.
iii
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi yang berjudul “Pengaruh Media Tanam dan Zat Pengatur Tumbuh Sitokinin (BA) terhadap Perbanyakan Tunas Pisang Raja Bulu (Musa Paradisiaca L.) dari Cacahan Bonggol” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Istitut Pertanian Bogor. Penulis bermaksud menyampaikan terima kasih kepada: 1. Mama, Almarhum Ayah, Sita, Hera, dan seluruh keluarga yang telah memberi semangat dan doa yang tiada henti-hentinya kepada penulis. 2. Dr. Ir. Sobir, MSi dan Endang Gunawan, SP, MSi. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan saran, bimbingan, dan arahan selama proses pembuatan skripsi. 3. Ir. Megayani S. Rahayu, MS selaku dosen pembimbing akademik. 4. Dr. Ni Made Armini, MS selaku dosen penguji sidang. 5. Dr Ir Dhamayanti Adidharma selaku dosen PTN yang membantu kelancaran pembutan skripsi. 6. SEAMEO BIOTRAP dan PKHT atas izin percobaan dan bantuan fasilitas selama penulis melakukan percobaan, tidak lupa penulis ucapkan terima kasih terutama kepada Bapak Ibram, Mas Awang, Bu Yuyun, dan Mas Agus yang telah banyak membantu selama pelaksanaan percobaan di lapang. 7. Keluarga besar Departemen Agronomi dan Hortikultura terutama dosen yang telah memberikan pelajaran berharga selama penulis melaksanakan studi di IPB. 8. Teman-teman seperjuangan di lapang: Firza dan Ana, terima kasih atas bantuan, semangat, kebersamaan, kekompakannya, suka dan dukanya. 9. Sahabat-sahabatku: Ayu, Imanda, Agis, Fani, Rizqa, Desy, Dara, Juju, Lulu, Sailormoon Teams (Yunita, Riany, Indra, Gita, Indah, Akfia, Indira, dan Febry), Meyrinda, Gita, Nia, Fira, Fathin, Alma, Septy, Ray, Sule, Hilal, Yusak, Aries, Pipit, teman-teman Indigenous 45 dan AGH seluruhnya,
iv
keluarga besar UKM PANAHAN IPB, teman-teman OMDA HIMASURYA+, teman-teman kostan sekalian (special:Mbk Alisa, Mbk Ade, Mbk Wely dan Wulan), serta seluruh bimbingan Dr. Ir. Sobir, MSi dan Endang Gunawan, SP, MSi. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang pertanian. Bogor, 9 Januari 2013
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
x
PENDAHULUAN .................................................................................. Latar Belakang ............................................................................ Tujuan Percobaan ........................................................................ Hipotesis ......................................................................................
1 1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... Tanaman Pisang .......................................................................... Pisang Rajabulu ........................................................................... Syarat tumbuh ............................................................................. Pembibitan ................................................................................... Perbanyakan dengan Bonggol (Mini Bit).................................... Media Tanam ............................................................................... Zat Pengatur Tumbuh Sitokinin ..................................................
4 4 5 5 5 6 6 8
BAHAN DAN METODE ....................................................................... Tempat dan Waktu ...................................................................... Bahan dan Alat ............................................................................ Metode Percobaan ....................................................................... Pelaksanaan Percobaan ............................................................... Pengamatan .................................................................................
11 11 11 11 12 14
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... Hasil ............................................................................................ Pembahasan .................................................................................
16 16 30
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... Kesimpulan ................................................................................. Saran ...........................................................................................
41 41 41
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
42
LAMPIRAN ............................................................................................
48
vi
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh media dan sitokinin terhadap pertumbuhan dan perkembangan bibit pisang .............. 2.
Pengaruh jenis media terhadap rata-rata jumlah tunas di cacahan bonggol pisang pada 2 minggu setelah tanam...............
3.
20
Pengaruh jenis media terhadap rata-rata jumlah akar cacahan bonggol pisang pada 9 minggu setelah tanam...............
4.
19
26
Interaksi perlakuan antara jenis media dan konsentrasi sitokinin terhadap persentase cacahan bonggol pisang mati pada 9 minggu setelah tanam ......................................................
29
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Struktur kimia BAP.....................................................................
10
2.
Anakan dan bonggol pisang yang digunakan dalam percobaan .
13
3.
Hama dan penyakit yang menyerang cacahan bonggol dan bibit pisang selama percobaan ....................................................
18
Pertumbuhan rata-rata jumlah tunas di cacahan bonggol pisang periode 1-9 MST ...............................................
21
Total jumlah cacahan bonggol pisang bertunas periode 1-9 MST ......................................................................................
21
Rata-rata jumlah tunas dari cacahan bonggol pisang bertunas pada periode 1-9 MST ..................................................
21
Rata-rata jumlah tunas panen dari cacahan bonggol pisang periode 1-9 MST .........................................................................
22
8.
Tunas tunggal dan tunas majemuk ..............................................
23
9.
Rata-rata jumlah tunas majemuk di cacahan bonggol pisang periode 1-9 MST ..............................................................
23
10. Rata-rata tinggi bibit pisang dari cacahan bonggol pisang periode 1-9 MST .........................................................................
24
11. Rata-rata jumlah daun bibit pisang dari cacahan bonggol periode 1-9 MST .........................................................................
25
12. Rata-rata jumlah akar cacahan bonggol pisang periode 1-9 MST ......................................................................................
26
13. Pengaruh media terhadap total jumlah cacahan bonggol pisang berakar periode 1-9 MST.................................................
26
14. Jumlah total cacahan bonggol pisang berakar periode 1-9 MST
27
15. Pengaruh media terhadap rata-rata jumlah akar dari cacahan bonggol pisang berakar periode 1-9 MST ..................................
27
16. Rata-rata jumlah akar dari cacahan bonggol pisang berakar periode 1-9 MST ........................................................................
27
17. Rata-rata waktu muncul tunas, periode pertumbuhan tunas hingga panen, dan waktu muncul akar pada cacahan bongggol pisang ..........................................................................................
28
4. 5. 6. 7.
viii
18. Persentase total cacahan bonggol pisang mati periode 1-9 MST ......................................................................................
29
19. Rayap Macrotermes sp. Family Termitidae, rayap pada cacahan bonggol, dan Gejala bonggol berlubang dan rapuh oleh rayap selama percobaan ......................................................
40
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1.
Halaman
Layout percobaan pengaruh media tanam dan zat pengatur tumbuh sitokinin (BA) terhadap perbanyakan tunas pisang Raja bulu dari cacahan bonggol ..................................................
49
Rata-rata suhu dan kelembaban di Kota Bogor selama bulan April – Juni 2012 ........................................................................
50
Pelaksanaan percobaan pengaruh media tanam dan zat pengatur tumbuh sitokinin (BA) terhadap perbanyakan tunas pisang Raja bulu dari cacahan bonggol ......................................
50
4. Pemanenan bibit pisang dari cacahan bonggol ............................
51
2. 3.
x
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Buah-buahan adalah salah satu kelompok komoditas pertanian yang penting di Indonesia. Buah-buahan memiliki tingkat permintaan yang tinggi. Permintaan domestik terhadap komoditas buah-buahan cukup tinggi, ditandai dengan banyaknya buah-buahan impor yang banyak di pasar modern maupun tradisional Indonesia. Nilai ekspor buah-buahan pada tahun 2008 menunjukkan kenaikan ekspor sebesar 10.81% (BPS, 2008). Perkembangan ekspor buah-buahan Indonesia pada tahun 2011 dapat mencapai 66,777.905 ton (BPS, 2011). Pisang merupakan salah satu komoditas tanaman buah dengan tingkat permintaan yang tinggi karena memiliki banyak manfaat. Konsumsi buah pisang penduduk Indonesia pada tahun 2008 baru mencapai 7,728 kg per kapita setahun (BPS, 2008) sementara jumlah impor buah pisang ke Indonesia pada tahun 2005 rata-rata dapat mencapai 590,364 ton (BPS, 2005). Tingkat produksi buah pisang di Indonesia berada di atas komoditas buahbuahan lainnya. Produksi pisang pada tahun 2010 mencapai 5,755,073 ton. Hasil produksi ini lebih rendah daripada produksi tahun 2009 yang dapat mencapai 6,373,533 ton. Dibandingkan dengan produksi buah-buahan lain di Indonesia pada tahun 2010, pisang menempati urutan pertama diikuti buah jeruk (2,028,904 ton), nanas (1,406,445 ton), dan mangga (1,287,287 ton)
(BPS, 2010). Tingkat
produksi yang tinggi ini terdiri dari berbagai macam jenis pisang yang ada di Indonesia. Produktivitas pisang yang dikembangkan di masyarakat masih rendah, seperti produktivitas buah pisang di Lampung hanya 10-15 ton/ha sementara potensi produktivitasnya dapat mencapai 35-40 ton/ha. Kendala produksi pisang tersebut dapat disebabkan oleh teknik budidaya yang kurang tepat serta tingginya gangguan hama dan penyakit. Kendala tersebut dapat diatasi dengan penerapan teknologi teknik budidaya, penggunaan varietas unggul dan perbaikan varietas (Mulyani et al., 2008). Produksi buah pisang akan terus ditingkatkan oleh Departemen Pertanian dengan mengadakan kegiatan pengembangan kawasan tanaman buah pada tahun 2012 (Deptan, 2012), sehingga perlu adanya pengadaan
2
bibit pisang bernilai ekonomi tinggi yang sehat dalam jumlah banyak, cepat, murah, dan dapat dikembangkan oleh petani. Salah satu teknologi teknik budidaya yang dikembangkan untuk meningkatkan produktivitas pisang adalah penggunaan bibit unggul. Masyarakat pada umumnya menggunakan anakan pisang untuk perbanyakan tetapi mendapatkan bibit yang sehat tidak mudah karena ketersediaannya yang terbatas. Kultur jaringan muncul sebagai solusi pembibitan konvensional yang dapat menghasilkan bibit unggul bebas hama dan penyakit dengan jumlah banyak dalam kurun waktu tertentu. Pembibitan pisang melalui kultur jaringan ternyata memiliki kelemahan, yaitu adanya variasi somaklonal yang sering muncul, harga bibit mahal, dan tidak banyak petani yang mampu melakukannya. Perbanyakan pisang dengan cacahan atau pecahan bonggol merupakan salah satu teknologi pembibitan yang mulai banyak dikembangkan. Kelebihan bonggol pisang antara lain, dapat menghasilkan bibit pisang dengan jumlah yang lebih banyak serta lebih sehat dibandingkan dengan anakan pisang. Bonggol pisang juga lebih murah dan mudah diaplikasikan ke petani daripada penggunaan teknik kultur jaringan. Pencacahan bonggol diharapkan dapat memecah dormansi mata tunas sehingga lebih banyak tunas dapat dihasilkan dari satu bonggol. Percobaan dalam pembibitan pisang menggunakan cacahan bonggol masih tergolong sedikit, apalagi penggunaannya dalam kombinasi jenis media tanam dan zat pengatur tumbuh. Media tanam merupakan salah satu faktor penentu kualitas pertumbuhan tanaman. Media tanam yang baik dapat memberikan cukup hara, air, udara, dan tempat bertumpunya akar dengan baik. Tanah adalah media tanam bagi tumbuhan darat (Hardjowigeno, 2010). Arang sekam bersifat remah dan berpori sehingga baik untuk absorbsi air maupun sinar matahari karena berwarna hitam. Pupuk kandang sapi merupakan bahan organik yang baik untuk menambah hara, memperbaiki sifat fisik tanah, dan biologi tanah (Hartatik dan Widowati, 2006). Beberapa percobaan menyebutkan bahwa pemberian berbagai zat pengatur tumbuh (ZPT) penting dalam perbanyakan tanaman karena mampu merangsang pembentukan akar maupun tunas (Sitawati, 1989). Pemberian ZPT ini dapat diaplikasikan pada kondisi laboratorium maupun lapangan. ZPT yang digunakan
3
untuk menumbuhkan tunas adalah dari golongan sitokinin. Sitokinin yang paling banyak digunakan dalam kultur jaringan, yaitu: kinetin, benziladenin (BA atau BAP), dan zeatin (Zulkarnain, 2009).
Tujuan Percobaan Menentukan jenis media, dosis sitokinin BA, dan interaksi antar keduanya dalam perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan bonggol untuk menghasilkan bibit sehat dalam jumlah banyak, cepat, murah, dan dapat diaplikasikan oleh petani. Hipotesis 1. Terdapat jenis media tanam terbaik untuk perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan bonggol. 2. Terdapat dosis BA terbaik untuk meningkatkan jumlah dan kecepatan tumbuh tunas pisang Raja bulu dari cacahan bonggol. 3. Terdapat satu kombinasi perlakuan terbaik antara media tanam dan dosis BA untuk perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan bonggol.
4
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman pisang Pisang adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah (Menegristek, 2000). Nenek moyang pisang adalah M. Acuminata Colla, diploid dan berbiji yang merupakan nenek moyang dari segala jenis pisang meja yang ada sekarang. Terjadi persilangan secara alami terus-menerus dengan jenis pisang M. Balbasiana Colla yang juga diploid. Persilangan tersebut membentuk pisang jenis baru (tetraploid, triploid, dan sebagainya) yang lebih tahan panas dan beberapa penyakit. Taksonomi pisang yang dikenal sekarang masih belum jelas karena kebanyakan merupakan hasil hibrida dari M. Acuminata Colla dengan kromosom A dan M. Balbasiana Colla dengan kromosom B (Ashari, 2006). Menurut Simmonds (1959) tanaman pisang diklasifikasikan sebagai berikut: divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, keluarga Musaceae, genus Musa, dan spesies Musa spp. Genus Musa terbagi menjadi empat golongan berdasarkan lokasi, yaitu Australimusa, Callimusa, Eumusa, dan Rhodochlamys. Australimusa memiliki jumlah kromosom sepuluh, tersebar di daerah Queensland hingga Filipina, terdapat sekitar lima hingga enam spesies yang kebanyakan dimanfaatkan untuk diambil serat dan buahnya. Callimusa memiliki jumlah kromosom yang sama dengan Australimusa, tersebar di daerah dataran Indochina hingga Indonesia, terdapat sekitar lima hingga enam spesies yang kebanyakan dimanfaatkan sebagai ornamental atau pisang hias. Eumusa memiliki jumlah kromosom sebelas, tersebar di daerah India Selatan hingga Jepang dan Samoa, terdapat sekitar sembilan hingga sepuluh spesies yang kebanyakan
dimanfaatkan
untuk
disayur,
diambil
buah,
dan
seratnya.
Rhodochlamys memiliki jumlah kromosom yang sama dengan Eumusa, tersebar di daerah india hingga Indochina, terdapat sekitar lima hingga enam spesies yang kebanyakan pemanfaatannya sama dengan Callimusa sebagai pisang hias.
5
Pisang Raja bulu Pisang Raja bulu merupakan jenis pisang yang bernilai ekonomi tinggi. Menurut PKBT (2005) pisang Raja bulu merupakan jenis pisang dengan genom AAB. Bentuk buahnya silindris melengkung dengan warna daging buah kuning kemerahan. Umur tanam hingga panen mencapai 10-12 bulan sementara umur berbunga hingga panennya 2.5-3 bulan. Bobot tandan berkisar 10-12.5 kg, jumlah sisir/tandang 5-7 sisir, dan rata-rata jumlah buah/sisir 14-15 buah. Panjang buah dapat mencapai 12-17 cm, bobot 170-180 gram/buah dengan diameter buah ± 4.40 cm. Derajad kemanisan mencapai 28-30obrix dengan pH 5.2-5.4 dan indeks glikemiks 54%.
Syarat tumbuh Pisang membutuhkan iklim panas terutama di daerah tropis. Tanaman pisang membutuhkan matahari penuh dan peka terhadap angin kencang. Curah hujan bulanan yang dibutuhkan antara 200-220 mm. Kapasitas lapang tidak boleh di bawah 60-70% sehingga pengairan dianjurkan pada musim kemarau. Tanah yang baik adalah tanah gembur, kaya bahan organik (3%), berdrainase baik, dan pH antara 4.5-8.5 sedangkan pH optimumnya 6.0 (Ashari, 2006).
Pembibitan Salah faktor yang menentukan keberhasilan usaha tani pisang adalah tersedianya bibit yang berkualitas, yaitu bibit yang bebas hama penyakit dan sehat. Jumlah bibit juga harus mencukupi dan jenis pisangnya sesuai dengan yang diinginkan. Untuk menyediakan bibit pisang adalah dengan memanfaatkan rumpun pisang sehat. Bibit bisa diperoleh dari tunas, anakan, bonggol dan bit yang diperbanyak secara tradisional maupun kultur jaringan. Teknologi perbanyakan dengan kultur jaringan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan besar karena biaya investasi awal yang sangat mahal dan belum dapat memenuhi kebutuhan varietas lokal yang beragam jumlahnya. Sehingga pembibitan secara
6
sederhana dipandang masih layak diterapkan. Ada 3 macam cara perbanyakan bibit pisang secara sederhana dengan memanfaatkan bagian rumpun pisang, yaitu: perbanyakan
pisang
anakan/minibit,
dan
dengan
anakan,
bonggol
dari
perbanyakan tanaman
pisang
yang
dengan
telah
bit
dipanen
(Mulyani et al., 2008).
Perbanyakan dengan bonggol (mini bit) Pada produksi buah pisang hanya boleh disisakan dua anakan dalam budidayanya, sehingga anakan lain yang dibuang, bonggolnya dapat digunakan untuk perbanyakan bibit. Perbanyakan dengan bonggol (mini bit) merupakan perbanyakan pisang yang didapatkan dari anakan yang telah dipisahkan dari rumpun kemudian diinduksi lebih dahulu untuk menghasilkan tunas aksilar (tunas samping). Titik tumbuh anakan dipotong untuk menghilangkan dominasi apikal sehingga merangsang pertumbuhan mata tunas samping. Anakan ini kemudian disebut bonggol yang akan ditanam hingga tumbuh tunas di permukaannya. Tunas-tunas baru hasil cacahan bonggol akan dipisahkan dan dipindahkan pada polybag dengan media tanam yang kemudian diletakkan di bawah naungan hingga siap dipasarkan (Santoso, 2008).
Media tanam Media tanaman adalah media tumbuh bagi tanaman yang dapat memasok sebagian unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Media tanaman (media tumbuh) merupakan salah satu unsur penting dalam menunjang pertumbuhan tanaman secara baik. Sebagian besar unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman didapatkan melalui media tanaman yang selanjutnya diserap oleh perakaran dan digunakan untuk proses fisiologis tanaman (BBPP, 2010). Media memiliki tiga fungsi yang primer: pertama untuk menyediakan unsur hara, kedua menyimpan air, dan ketiga sebagai tempat berpegang dan bertumpunya akar sehingga tanaman tetap tegak. Media tanam yang baik menentukan kualitas tanaman. Dengan media
7
perakaran yang baik, dapat diwujudkan bibit tanaman yang juga baik (Harjadi, 1996). Syarat media tanam yang baik antara lain: (1) memiliki sifat fisik remah untuk memudahkan akar berkembang serta untuk aerasi dan drainase yang baik; (2) tidak mengandung bahan-bahan beracun; (3) tingkat kemasaman sesuai dengan toleransi tanaman; (4) tidak mengandung hama dan penyakit; (5) memiliki daya pegang air yang cukup, selain itu media tanam yang baik juga harus mudah didapat, murah, dan tidak berdampak negatif pada tanaman (Ashari, 2006).
Tanah Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman, sehingga merupakan alat produksi pertanian. Untuk menjamin pertumbuhan yang maksimal, diperlukan keseimbangan, faktor-faktor pertumbuhan tanaman yang terdapat pada tanah, mineralogi tanah, mikrobiologi tanah, kesuburan tanah, genesa klasifikasi tanah, morfologi tanah, konservasi tanah, dll (Hidayat, 2001). Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan keras yang melapuk atau dari bahan yang lebih lunak seperti abu vulkan atau bahan endapan baru. Bahan-bahan tersebut bercampur dengan sisa-sisa bahan organik dan organisme yang hidup di atas maupun di dalamnya. Selain itu di dalam tanah terdapat pula udara dan air (Hardjowigeno, 2010). Media campuran tanah dan pasir baik untuk pertumbuhan vegetatif dan cocok dikembangkan untuk pembibitan pisang susu asal bonggol pada lokasi lahan kering di Sambelia, Lombok Timur, NTB (Tri et al., 2006).
Arang sekam Arang sekam merupakan hasil pengolahan limbah padi (sekam padi) dengan cara diasapi hingga menjadi arang berwarna hitam. Menurut Wuryaningsih dan Darliah (1994), karakteristik arang sekam sangat ringan, kasar, berpori, dan efektif mengabsorbsi sinar matahari karena warnanya yang hitam. Arang sekam sudah umum digunakan dalam komposisi media tanam. Di sisi lain penggunaan arang sekam saja tanpa media lain tidak dianjurkan karena sifat fisik arang sekam tidak memungkinkan tanaman dapat tegak sempurna. Media arang sekam
8
mempunyai kelebihan antara lain: harganya relatif murah, bahannya mudah didapat, ringan, sudah steril, dan mempunyai porositas yang baik. Kekurangannya yaitu: jarang tersedia di pasaran, yang umum tersedia
hanya bahannya
(sekam/kulit gabah) saja, dan hanya dapat digunakan dua kali (BBPP, 2010).
Pupuk kandang kotoran sapi Pupuk kandang kotoran sapi berasal dari kotoran sapi. Pupuk ini biasanya berbentuk padat. Pupuk kandang sapi memiliki kadar serat yang tinggi seperti selulosa, hal ini sesuai dengan parameter C/N rasio yang cukup tinggi >40. Tingginya kadar C mengharuskan adanya pengkomposan dalam penggunaan pupuk kandang sapi hingga rasio C/N di bawah 20. Pemanfaatan pupuk kandang sapi secara langsung berkaitan dengan kadar air yang tinggi. Kadar air yang tinggi akan menyebabkan kebutuhan tenaga kerja lebih banyak serta proses pelepasan amoniak masik berlangsung (Hartatik dan Widowati, 2006). Penggunaan campuran komposisi media tanam tanah + pasir + arang sekam memeberi hasil yang tidak berbeda nyata dengan komposisi media tanam tanah + pasir + pupuk kandang sapi, tetapi hasil keduanya lebih baik dibandingkan dengan media tanam tanah saja (Asmarawati, 2011).
Zat Pengatur Tumbuh Sitokinin Tumbuhan mengandung senyawa-senyawa yang mendorong inisiasi proses-proses biokimia yang akhirnya mengakibatkan pembentukan organ dan aspek-aspek
tumbuh
lainnya.
Senyawa-senyawa
ini
digolongkan
dalam
kelompok-kelompok auksin, giberelin, sitokinin, dan fenolik, selain itu juga ada etilen dan asam absisik. Ada senyawa untuk mengatur pertumbuhan disebut fitohormon yang mendorong inisiasi reaksi-reaksi biokimia dan perubahanperubahan komposisi kimia dalam tumbuhan (Prawiranata, 1981). Menurut Sitawati (1989) pemberian berbagai zat pengatur tumbuh (ZPT) penting dalam perbanyakan tanaman karena mampu merangsang pembentukan akar maupun tunas. Prawiranata (1981) menyatakan bahwa ZPT sitokinin memainkan peranan dalam sebagian fase dari metabolisme asam nukleik atau
9
metabolisme protein sehingga sitokinin penting dalam berbagai fase tumbuh dan perkembangan. Beberapa senyawa dengan aktivitas sitokinin telah dapat diisolasi dari sejumlah tumbuhan dan telah dapat dikenali, misalnya zeatin, ribosilzeatin, dan rebosilzeatin dengan gugusan fosfat. Sitokinin berpengaruh sangat luas pada proses-proses fisiologis dalam tumbuhan. Aktivitas utamanya adalah pendorong pencacahan sel, penghambat sel meristem pada akar, membantu perkembangan teratur dari embryo pada perkembangan biji, mendorong pembesaran sel dari lempeng daun dan kotiledon, menghambat perombakan klorofil pada daun yang dipetik dan reaksi-reaksi degradatif lainnya, serta menghambat penuaan pada tumbuhan utuh. Jenis sitokinin yang sering dipakai adalah BA (Benzyl Adenine) dan BAP (Benzyl Amino Purine), dikarenakan efektifitasnya tinggi, harganya murah, dan bisa disterilisasi (Andriana, 2005). Pada percobaan mikropropagasi
Curcuma
xanthorhyz menunjukkan bahwa media kultur pada percobaan pertama yang menggunakan 1.5 ppm BA dan 0.1 NAA memiliki jumlah tunas terbanyak tetapi induksinya lambat. Pada percobaan kedua diketahui bahwa induksi tunas optimum terdapat pada konsentrasi 3 ppm BA dengan menghasilkan 5 tunas dalam 2 bulan sehingga mikropropagasi yang terbaik adalah dengan menggunakan ½ MS media padat dengan penambahan 3 ppm BA dan 0.1 NAA (Wardiayati, 2012). Interaksi antara BA dan kultivar krisan berpengaruh nyata terhadap waktu inisiasi tunas secara in vitro. Konsentrasi BA juga berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas kultivar krisan yang terbentuk. Jumlah tunas terbanyak didapatkan dari perlakuan BA 6.66 ìM dengan jumlah tunas 8.71, sedangkan jumlah tunas terkecil didapatkan dari perlakuan tanpa BA (kontrol) (Syaifan, 2010). Inisiasi tunas mikro pisang Raja bulu terbanyak didapatkan dari media padat yang mengandung BAP 9 mg/l + IAA 1 mg/l sementara untuk eksplan anakan dipadatkan dari media BAP 7 mg/l + IAA 3 mg/l (Ernawati et al., 2005). Perlakuan terbaik untuk pertumbuhan mata tunas aksilar tanaman aglaonema Pride of Sumatera, yaitu perlakuan 10 mg/l BAP + 2 mg/l 2,4-D karena menghasilkan jumlah dan panjang mata tunas aksilar tertinggi (Agung, 2011). BA memiliki susunan formula molekul C12H11N5 dengan struktur kimia sebagai berikut:
10
Gambar 1. Struktur Kimia 6BA
11
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Tajur, Bogor. Pembuatan larutan perlakuan BA dilakukan di Laboratorium Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT), Bogor. Analisis organisme penyakit tanaman dilakukan di Klinik Tanaman Depeartemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Percobaan dilaksanakan pada bulan April 2012 – Juli 2012.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah bonggol yang berasal dari anakan pedang pisang Raja bulu yang diambil dari Kebun Percobaan IPB Tajur, Bogor. Media tanam yang digunakan, yaitu: tanah, arang sekam, dan pupuk kandang sapi. Pembuatan larutan perlakuan BA menggunakan sitokinin BA, NaOH 4%, dan aquades. Pestisida yang digunakan adalah dithane M-45 dan agrep dengan dosis masing-masing 2 g/l. Bahan lainnya, yaitu: polybag hitam ukuran 20 cm x 20 cm, dan bahan laboratorium. Alat yang digunakan, yaitu: pisau atau cutter, ember, sarung tangan, masker, gembor, alat pertanian, alat laboratorium, dan alat tulis.
Metode Percobaan Percobaan ini menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dua faktor, yaitu: pemberian BA dan jenis media tanam dengan masingmasing empat taraf perlakuan sehingga akan didapatkan 16 kombinasi perlakuan. Taraf media tanam terdiri dari tanah (B1), arang sekam (B2), arang sekam + tanah (B3), dan arang sekam + pupuk kandang sapi (B4). Taraf dosis BA, yaitu: 0 ppm (A1), 10 ppm (A2), 20 ppm (A3), dan 30 ppm (A4). Tiap perlakuan terdiri atas tiga ulangan sehingga terdapat 48 satuan percobaan. Masing-masing satuan percobaan terdiri atas 20 pecahan bonggol dengan berat rata-rata 1-2 gram, sehingga populasi pisang Raja bulu seluruhnya
12
adalah 960 bonggol. Perlakuan diatur pada bedengan dengan pengambilan contoh sebanyak 5 cacahan bonggol. Model statistika untuk rancangan yang diajukan adalah: Yij = µ + βi + Bj + Ak + (AB)ijk + εijk Yijk = Pertumbuhan tanaman dari komposisi media ke-i dan dosis BA ke-j µ
= Nilai rataan umum hasil pengamatan
βi
= Pengaruh aditif dari ulangan ke-i (i = 1, 2, 3,)
Bj
= Pengaruh media pada faktor pertumbuhan ke-j (j = 1, 2, 3, 4, 5)
Ak
= Pengaruh aditif dari dosis BA ke-k (k = 1, 2, 3, 4, 5)
(AB)ijk = Pengaruh interaksi media ke-j dan dosis BA ke-k εijk = Pengaruh acak dari komposisi media ke-j dan dosis BA ke-k Data analisis mengunakan analisis ragam (uji F) pada taraf 5%. Apabila hasilnya berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut BNJ dan BNT untuk melihat perbandingan
rata-rata
tiap
peubah
yang
diamati
antar
lokasi
(Gomez dan Gomez, 2007).
Pelaksanaan Percobaan
Pembutan larutan perlakuan BA Larutan NaOH 4% dibuat dengan cara melarutkan 4 gram NaOH dengan 100 ml aquades. Larutan perlakuan BA dibuat dengan melarutkan 0.6 mg BA dengan larutan NaOH 4% dan ditambahkan aquades hingga mencapai volume 1 liter.
Persiapan media Bedengan diolah dan disiapkan dengan perbandingan 1:1 (v/v/v) untuk media campuran. Bedengan berukuran 1 x 50 meter dibuat sesuai layout percobaan dengan jarak antar perlakuan 30 cm dalam tiap perlakuan (Lampiran 3). Masing-masing perlakuan berisi bonggol dengan jarak tanam 5 cm x 5 cm tiap cacahan bonggol.
13
Perbanyakan Anakan yang digunakan merupakan anakan pedang dan rebung dengan berat 1–2 kg, tinggi 40-150 cm dan berdiameter 7-12 cm, sehat, tidak terserang hama dan penyakit, bentuk pertumbuhan normal, dan tidak cacat. Anakan diambil dari rumpunnya menggunakan linggis dengan hati-hati agar tidak rusak. Anakan dibersihkan dari tanah dan akar, kemudian dipotong hingga tidak ada titik tumbuhnya sama sekali. Bonggol dicuci bersih menggunkan air, dibelah menjadi empat hingga delapan bagian dengan berat masing-masing 1-2 gram, kemudian cacahan bonggol dipotong bagian lancipnya agar tidak bergoyang sehingga lebih mudah ditanam di lahan. Cacahan bonggol dicelupkan ke dalam larutan fungisida dithane-M45 5 g/l dan bakterisida agrep 5 g/l. Setelah dikeringanginkan segera direndam dalam larutan perlakuan BA selama 20–30 menit kemudian ditanam pada bedengan (Lampiran 3).
c a b
Gambar 2. Anakan dan bonggol pisang yang digunakan dalam percobaan; anakan pedang (a), anakan rebung (b) dan bonggol yang telah dipotong titik tumbuhnya (c). Pemeliharaan Pemeliharaan selama percobaan yang dilakukan adalah penyiraman, penyiangan, dan pengendalian hama penyakit yang dilakukan secara manual. Aplikasi penyiraman dengan air dilakukan setiap dua hari sekali dengan dosis sesuai kapasitas lapang pada masing-masing komposisi media.
14
Panen dan pindah tanam Panen tunas dilakukan setelah memenuhi kriteria panen, yaitu: tunas muncul akar dan minimal terdapat dua daun yang telah terbuka lebar. Bonggol dibongkar secara berlahan-lahan kemudian dipotong sekecil mungkin mendekati tunas yang akan dipanen dengan menyertakan sedikit akarnya. Potongan membujur dari permukaan atas bonggol sampai dasar sebanyak tunas yang tumbuh memenuhi kriteria panen. Setelah dipotong langsung pindahkan ke dalam ember yang berisi larutan fungisida. Polybag 20 cm x 20 cm disiapkan dengan media tanam berisi campuran tanah, sekam dan pupuk kandang sapi dengan perbandingan 1:1:1 (v/v/v). Tunas yang telah dipanen ditanam dalam polybag yang diberi 5 gram pupuk NPK pada 5 cm di sekitar akar kemudian siram dengan larutan fungisida. Bibit dipindahkan ke tempat yang teduh dengan paranet berintensitas 65% (Lampiran 4).
Pengamatan Pengamatan dimulai 2–33 HST (Hari Setelah Tanam) atau sama dengan 1–9 MST (Minggu Setelah Tanam). Peubah yang diamati antara lain: 1. Jumlah tunas di bonggol. Jumlah tunas yang muncul dari bonggol dihitung 2 hari sekali. 2. Jumlah Bonggol Bertunas Jumlah bonggol yang mengeluarkan tunas dari setiap satuan percobaan dihitung 2 hari sekali. 3. Jumlah Tunas dari Bonggol Bertunas Rata–rata jumlah tunas dari bonggol yang mengeluarkan tunas dihitung 2 hari sekali. 4. Jumlah tunas yang dapat dipanen. Jumlah tunas yang dapat dipanen sesuai dengan kriteria panen. 5. Jumlah tunas majemuk. Jumlah tunas di bonggol yang berjumlah lebih dari satu dan bergerombol dihitung 2 hari sekali.
15
6. Tinggi bibit Pengukuran tinggi bibit diukur dari permukaan tanah hingga titik tumbuh bibit diukur selama 1 bulan dari pindah tanam ke polybag. 7. Jumlah daun pada bibit Jumlah daun yang dimiliki bibit pisang selama 1 bulan dari pindah tanam ke polybag. 8. Jumlah akar. Jumlah akar yang muncul dari bonggol dihitung 2 hari sekali. 9. Jumlah Bonggol Berakar Jumlah bonggol yang mengeluarkan akar dari setiap satuan percobaan dihitung 2 hari sekali. 10. Jumlah Akar dari Bonggol Berakar Rata–rata jumlah akar dari bonggol yang mengeluarkan akar dihitung 2 hari sekali. 11. Waktu munculnya tunas ke permukaan. Waktu munculnya tunas diukur mulai dari 2 HST satu kali untuk setiap bonggol pada tiap perlakuan. 12. Waktu muncul tunas ke permukaan tanah hingga siap panen Waktu muncul tunas ke permukaan tanah hingga siap panen dihitung saat pertama kali tunas muncul hingga memenuhi kriteria panen. 13. Waktu munculnya akar. Waktu munculnya akar diukur mulai dari pertama kali akar muncul dari setiap bonggol pada tiap perlakuan. 14. Persentase bonggol mati. Persentase bonggol mati pada saat percobaan dihitung 2 hari sekali.
16
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Tajur, Bogor. Lahan yang digunakan untuk percobaan merupakan lahan bekas pembibitan nanas dengan media tanam sekam dan paranet 65%. Percobaan dilakukan pada bulan April 2012 dan berakhir pada bulan Juli 2012. Kondisi cuaca pada saat percobaan rata-rata sebagai berikut: curah hujan berkisar 227.7 mm/bulan dengan temperatur 25.520-26.380C, kelembaban udara 84%, dan intensitas penyinaran matahari sebesar
254.7 cal/cm2 (Lampiran 2). Masing-masing pH dari perlakuan media,
yaitu: media tanah sebesar 5.1, media arang sekam sebesar 4.9, media arang sekam + tanah sebesar 4.8, dan media arang sekam + pupuk kandang sapi sebesar 4.8. Greenhouse tempat menyimpan bibit pisang yang telah dipanen ditutupi dengan paranet 65% dan atap fiber. Curah hujan yang cukup tinggi menyebabkan masa persiapan percobaan membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal ini menimbulkan beberapa kesulitan seperti adanya bonggol anakan yang membusuk dan beberapa prosedur persiapan percobaan yang menjadi terganggu. Pada saat pengamatan ditemukan beberapa bonggol membusuk di lapangan kemudian mati pada pengamatan ke-17 (34 HST) (Gambar 3). Pada pengamatan di Greenhouse beberapa bibit mengalami nekrosis di bagian ujung, sisi pinggir dan tengah daunnya. Nekrosis terjadi dengan gejala awal daun menguning hingga coklat dan mengering (Gambar 3). Terdapat bibit yang mengalami nekrosis dengan gejala serangan yang tinggi pada seluruh daun yang dimiliki hingga mengakibatkan kematian (Gambar 3). Menurut hasil identifikasi diakhir pengamatan, gejala ini disebabkan oleh nematoda Radopholus similis (Gambar 3). Nematoda tersebut hidup di dalam tanah yang lembab dan merusak jaringan akar sehingga mengakibatkan gejala defisiensi hara pada daunnya (Mustika, 2003). Nematoda ini biasanya berinteraksi sinergis dengan cendawan Fusarium oxysporum dan Rhizoctonia solani yang kemungkinan besar
17
cendawan-cendawan ini yang lebih banyak menimbulkan kerusakan pada tanaman (Feakin, 1971). Terdapat serangan hama dengan gejala bonggol berlubang (Gambar 3). Hama penyebab berlubangnya bonggol tersebut tidak dapat ditemukan, namun serangan dengan gejala tersebut diduga disebabkan oleh kumbang penggerek pisang (Cosmopolites sordidus) (Gambar 3). Hama ini berasal dari Asia Tenggara, tetapi telah tersebar ke semua areal penanaman pisang. Larvanya dari hama ini menggerek bonggol dan menjadi pupa di lorong-lorong yang dibuatnya. Sebagian besar jaringan bonggol akan rusak, akibatnya akan menurunkan kemampuan pengambilan air dan hara, juga kemampuan tertancapnya tanaman. Serangga dewasanya meletakkan telur pada jaringan-jaringan bonggol atau di sekitarnya (Hanum, 2008). Pengendalian khusus terhadap hama kumbang penggerek pisang tidak dilakkan. Gulma yang tumbuh pada lahan percobaan tidak mengganggu pertumbuhan tanaman. Pengendalian tetap dilakukan dengan cara manual, yaitu mencabut dan membuang dari lingkungan tumbuh bibit agar tidak terjadi persaingan yang dapat merugikan atau menghambat pertumbuhan bibit dalam hal persaingan unsur hara, cahaya dan air.
18
a
b
e
d
c
f
Gambar 3. Hama dan penyakit yang menyerang cacahan bonggol dan bibit pisang selama percobaan; bonggol yang membusuk (a), gejala nekrosis pada daun pisang (b), bibit pisang yang mati (c), bonggol yang terserang kumbang penggerek pisang (d), hama penggerek pisang (Cosmopolites sorsidus), dan nematoda Radopholus similis (f).
Rekapitulasi Sidik Ragam Rekapitulasi hasil sidik ragam dari data yang diperoleh disajikan pada Tabel 1. Interaksi antara perlakuan media tanam dengan konsentrasi BA hanya terdapat pada persentase bonggol mati 9 MST. Perlakuan media tanam berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas di bonggol pada 2 MST, peubah jumlah akar pada 5–6 MST dan 8–9 MST, jumlah akar dari bonggol berakar 5 MST dan 9 MST, serta persentase bonggol mati pada 6–9 MST. Selain itu, perlakuan media berpengaruh nyata pada peubah jumlah akar 3–4 MST, jumlah bonggol berakar 7 MST, serta jumlah akar dari bonggol berakar 3 MST dan 6 MST. Perlakuan sitokinin tidak memberikan pengaruh yang nyata pada setiap peubah.
19
Tabel 1. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh media dan sitokinin terhadap pertumbuhan dan perkembangan bibit pisang. No.
Peubah Pengamatan
1
Jumlah Tunas di Bonggol 1 MST dan 3 - 9 MST Jumlah Tunas di Bonggol 2 MST Jumlah Bonggol Bertunas 1 - 9 MST Jumlah Tunas dari Bonggol Bertunas 1 - 9 MST Jumlah Tunas Panen Jumlah Tunas Majemuk Tinggi Bibit Jumlah Daun Bibit Jumlah Akar 1 - 2 MST dan 7 MST Jumlah Akar 3 - 4 MST Jumlah Akar 5 - 6 MST dan 8 - 9 MST Jumlah Bonggol Berakar 1-6 MST dan 8 - 9 MST Jumlah Bonggol Berakar 7 MST Jumlah Akar dari Bonggol Berakar 1 - 2 MST, 4 MST, dan 7 - 8 MST Jumlah Akar dari Bonggol Berakar 3 MST dan 6 MST Jumlah Akar dari Bonggol Berakar 5 MST dan 9 MST Waktu Tunas Muncul Waktu Tunas Muncul Hingga Panen Waktu Akar Muncul Persentase Bonggol Mati 1 - 5 MST Persentase Bonggol Mati 6 - 8 MST Persentase Bonggol Mati 9 MST
2 3 4 5 6 7 8
9
10
11 12 13 14
Interaksi Sitokinin dan Media
Media
Sitokinin
tn
tn
tn
tn tn
** tn
tn tn
tn
tn
tn
tn tn tn tn tn tn
tn tn tn tn tn *
tn tn tn tn tn tn
tn
**
tn
tn
tn
tn
tn
*
tn
tn
tn
tn
tn
*
tn
tn
**
tn
tn tn tn tn tn **
tn tn tn tn ** **
tn tn tn tn tn tn
Keterangan: seluruh data merupakan hasil transformasi ; (tn) tidak berpengaruh signifikan; (*) berpengaruh nyata pada taraf 5%; (**) berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%.
20
Tunas Terdapat tiga peubah tunas yang diamati, yaitu: jumlah tunas di bonggol, jumlah bonggol bertunas, dan jumlah tunas dari bonggol bertunas. Interaksi perlakuan terhadap peubah tunas tidak ada. Hasil uji lanjut BNJ untuk perlakuan media terhadap jumlah tunas di bonggol (Tabel 2) yang menunjukkan bahwa perlakuan media arang sekam + pupuk kandang sapi memberikan hasil rata-rata yang tertinggi, sementara media arang sekam dan arang sekam + tanah memberikan hasil rata-rata yang terendah terhadap jumlah tunas di bonggol pada 2 MST. Perlakuan sitokinin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas di bonggol. Pertumbuhan rata-rata jumlah tunas disajikan pada Gambar 4. Pengaruh media dan sitokinin terhadap jumlah bonggol yang bertunas tidak berpengaruh nyata, begitu pula dengan pengaruh media dan sitokinin terhadap rata–rata jumlah tunas dari bonggol yang bertunas. Total jumlah cacahan bonggol pisang bertunas disajikan pada Gambar 5 dan rata-rata jumlah tunas dari cacahan bonggol pisang bertunas disajikan pada Gambar 6.
Tabel 2. Pengaruh jenis media terhadap rata-rata jumlah tunas di cacahan bonggol pisang pada 2 minggu setelah tanam. Media
2 MST
Tanah
0.133 ab
Arang sekam
0.050 b
Arang sekam + Tanah
0.050 b
Arang sekam + Pupuk Kandang Sapi
0.300 a
** (kk transformasi: 13.041%) Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan memberikan hasil yang berbeda nyata menurut uji BNJ taraf 5%. Hasil Uji F
21
Jumlah Tunas di Bonggol
1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 1
2
3
4
5 MST
6
7
8
9
Jumlah Bonggol Bertunas
Gambar 4. Pertumbuhan rata-rata jumlah tunas di cacahan bonggol pisang periode 1-9 MST. 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1
2
3
4
5 MST
6
7
8
9
Gambar 5. Total jumlah cacahan bonggol pisang bertunas periode 1-9 MST.
Jumlah Tunas dari Bonggol Bertunas
1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 1
2
3
4
5 MST
6
7
8
9
Gambar 6. Rata-rata jumlah tunas dari cacahan bonggol pisang bertunas pada periode 1-9 MST.
22
Jumlah Tunas Panen Tunas yang dipanen merupakan tunas yang telah memenuhi kriteria panen, yaitu: memiliki akar dan terdapat minimal dua daun yang telah terbuka lebar sehingga dapat dijadikan bibit. Interaksi perlakuan terhadap jumlah tunas panen tidak ada. Perlakuan jenis media dan sitokinin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas panen pada setiap minggunya. Panen dilakukan lima kali selama masa penelitan. Panen pertama dilakukan pada 4 MST dengan jumlah perlakuan terpanen sebanyak dua, panen kedua dan ketiga dilakukan pada 6 MST dengan jumlah perlakuan terpanen sebanyak tiga belas. Panen keempat dilakukan pada 7 MST dengan jumlah perlakuan terpanen sebanyak sepuluh. Panen kelima dilakukan pada 8 MST dengan jumlah perlakuan terpanen sebanyak tiga belas. Secara umum tunas dapat dipanen setelah berumur satu bulan setelah tanam. Ratarata jumlah tunas panen dari cacahan bonggol pisang disajikan pada Gambar 7.
Jumlah Tunas Panen
0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 1
2
3
4
5 MST
6
7
8
9
Gambar 7. Rata-rata jumlah tunas panen dari cacahan bonggol pisang periode 1-9 MST.
Jumlah Tunas Majemuk Terdapat tunas majemuk sebanyak 3.958% dari total bonggol yang ditanam selama masa percobaan. Sebanyak 10 tunas majemuk didapatkan dari perlakuan sitokinin 0 ppm pada 9 MST. Masing-masing dua dari perlakuan media tanah serta media arang sekam. Sisanya, masing-masing tiga dari perlakuan media
23
arang sekam + tanah serta media arang sekam + pupuk kandang sapi. Tunas majemuk merupakan tunas di bonggol yang berjumlah lebih dari satu dan tumbuh bergerombol (Gambar 8). Interaksi perlakuan terhadap jumlah tunas majemuk tidak ada. Perlakuan media dan sitokinin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas majemuk pada setiap minggunya. Menurut uji statistik perlakuan media dan sitokinin tidak menyebabkan munculnya tunas majemuk. Rata-rata jumlah tunas majemuk di cacahan bonggol pisang disajikan pada Gambar 9.
Jumlah Tunas Majemuk
Gambar 8. Tunas tunggal (atas) dan tunas majemuk (bawah) 0.2 0.15 0.1 0.05 0 1
2
3
4
5 MST
6
7
8
9
Gambar 9. Rata-rata jumlah tunas majemuk di cacahan bonggol pisang periode 1-9 MST.
24
Tinggi Bibit Tinggi bibit didapatkan dari rata–rata tinggi tunas yang memenuhi kriteria panen dan telah dipindahtanamkan ke greenhouse. Interaksi perlakuan terhadap rata-rata tinggi bibit pisang tidak ada. Perlakuan media dan sitokinin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi bibit pada setiap minggunya. Secara umum perlakuan media dan sitokinin tidak menaikkan tinggi bibit. Ratarata tinggi bibit pisang dari cacahan bonggol pisang disajikan pada Gambar 10.
6
Tinggi Bibit (cm)
5 4 3 2 1 0 1
2
3
4
MST
Gambar 10. Rata-rata tinggi bibit pisang dari cacahan bonggol pisang periode 1-9 MST. Jumlah Daun Bibit Sama halnya dengan tinggi bibit, jumlah daun pada bibit didapatkan dari rata–rata jumlah daun tunas yang memenuhi kriteria panen dan telah dipindahtanamkan ke greenhouse. Interaksi perlakuan terhadap rata-rata jumlah daun bibit pisang tidak ada. Perlakuan media dan sitokinin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rata-rata jumlah daun bibit pisang pada setiap minggunya. Secara umum perlakuan media dan sitokinin tidak meningkatkan jumlah daun pada bibit. Rata-rata jumlah daun bibit pisang dari cacahan bonggol disajikan pada Gambar 11.
25
1.65
Jumlah Daun Bibit
1.6 1.55 1.5 1.45 1.4 1.35 1
2
3
4
MST
Gambar 11. Rata-rata jumlah daun bibit pisang dari cacahan bonggol periode 1-9 MST. Akar Terdapat tiga peubah akar yang diamati, yaitu: jumlah akar, jumlah bonggol berakar, dan jumlah akar dari bonggol berakar. Interaksi perlakuan terhadap ketiga peubah akar tidak ada. Hasil uji lanjut BNJ untuk perlakuan media terhadap jumlah akar pada 9 MST dapat dilihat pada Tabel 3. Perlakuan media arang sekam memberikan hasil rata-rata yang tertinggi, sementara media tanah memberikan hasil rata-rata yang terendah terhadap jumlah akar pada akhir percobaan. Pada Gambar 13 disajikan bahwa jumlah bonggol berakar paling tinggi berasal dari media arang sekam, begitu pula dengan rata–rata jumlah akar dari bonggol yang berakar (Gambar 15). Sitokinin tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah akar, jumlah bonggol berakar, dan jumlah akar dari bonggol berakar pada setiap minggunya. Rata-rata jumlah akar cacahan bonggol pisang disajikan pada Gambar 12, jumlah total cacahan bonggol pisang berakar disajikan pada Gambar 14, dan rata-rata jumlah akar dari cacahan bonggol pisang berakar disajikan pada Gambar 16.
26
Tabel 3. Pengaruh jenis media terhadap rata-rata jumlah akar cacahan bonggol pisang pada 9 minggu setelah tanam. Media
9 MST
Tanah
1.833 b
Arang sekam
3.117 a
Arang sekam + Tanah
2.750 ab
Arang sekam + Pupuk Kandang Sapi
1.867 b
** (kk transformasi: 15.925%) Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan memberikan hasil yang berbeda nyata menurut uji BNJ taraf 5%. Hasil Uji F
3
Jumlah Akar
2.5 2 1.5 1 0.5 0 1
2
3
4
5 MST
6
7
8
9
Gambar 12. Rata-rata jumlah akar cacahan bonggol pisang periode 1-9 MST. Tanah
Arang sekam
Arang sekam + Tanah
Arang sekam + Pupuk kandang sapi
Jumlah Bonggol Berakar
12 10 8 6 4 2 0 1
2
3
4
5 MST
6
7
8
9
Gambar 13. Pengaruh media terhadap total jumlah cacahan bonggol pisang berakar periode 1-9 MST.
Jumlah Bonggol Berakar
27
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1
2
3
4
5 MST
6
7
8
9
Gambar 14. Jumlah total cacahan bonggol pisang berakar periode 1-9 MST.
Jumlah Akar dari Bonggol Berakar
Tanah Arang sekam + Tanah
Arang sekam Arang sekam + Pupuk kandang sapi
5 4 3 2 1 0 1
2
3
4
5 MST
6
7
8
9
Jumlah Akar dari Bonggol Berakar
Gambar 15. Pengaruh media terhadap rata-rata jumlah akar dari cacahan bonggol pisang berakar periode 1-9 MST. 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 1
2
3
4
5 MST
6
7
8
9
Gambar 16. Rata-rata jumlah akar dari cacahan bonggol pisang berakar periode 1-9 MST.
28
Waktu Muncul Tunas, Periode Petumbuhan Tunas hingga Panen, dan Waktu Muncul Akar Waktu yang diamati pada percobaan ini, yaitu: waktu muncul tunas, periode pertumbuhan tunas hingga dipanen, dan waktu muncul akar. Interaksi perlakuan terhadap ketiga peubah waktu tidak ada. Perlakuan media dan sitokinin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap ketiga peubah waktu terhadap waktu muncul tunas, periode pertumbuhan tunas hingga dipanen, dan waktu muncul akar. Perlakuan media dan sitokinin tidak mempengaruhi cepat atau lambatnya tunas dan akar muncul dari bonggol, serta tidak mempengaruhi periode pertumbuhan tunas hingga dipanen. Rata-rata waktu muncul tunas, periode pertumbuhan tunas hingga panen, dan waktu muncul akar disajikan pada Gambar 17.
Waktu (Hari Setelah Tanam)
35 30
28.7
25 20 15
12.58
10 4.44
5 0 Waktu Muncul Tunas
Periode Pertumbuhan Tunas hingga Panen
Waktu Muncul Akar
Gambar 17. Rata-rata waktu muncul tunas, periode pertumbuhan tunas hingga panen, dan waktu muncul akar pada cacahan bongggol pisang.
Persentase Bonggol Mati Interaksi perlakuan 9 MST dapat dilihat pada Tabel 4. Pada 9 MST kombinasi perlakuan tanah dan sitokinin BA 10 ppm menunjukkan hasil tertinggi untuk persentase bonggol mati. Hasil uji lanjut BNJ untuk perlakuan media terhadap persentase bonggol mati dapat dilihat pada Tabel 4. Perlakuan media tanah memberikan hasil rata-rata yang tertinggi, sementara media arang sekam
29
dan media arang sekam + pupuk kandang sapi memberikan hasil rata-rata yang terendah terhadap persentase bonggol mati pada 9 MST. Persentase bonggol mati diakibatkan oleh adanya hama dan penyakit pada media tanam, yaitu: nematoda Radopholus similis (57.69%), rayap Macrotermes sp. (26.92%), dan penggerek bonggol (15.38%). Persentase total cacahan bonggol pisang mati disajikan pada Gambar 18.
Tabel 4. Interaksi perlakuan antara jenis media dan konsentrasi sitokinin terhadap persentase cacahan bonggol pisang mati pada 9 minggu setelah tanam. Tanah
Perlakuan
Persentase bonggol mati (%) Arang Arang Arang sekam sekam sekam + + Pupuk Tanah Kandang Sapi
Persentase Bonggol Mati (%)
BA 0 ppm 3.33 bc 0.00 c 8.33 ab 3.33 bc BA 10 ppm 10.00 a 0.00 c 0.00 c 0.00 c BA 20 ppm 3.33 bc 5.00 abc 0.00 c 1.67 c BA 30 ppm 5.00 abc 0.00 c 5.00 abc 0.00 c Rata-rata 5.42 A 1.25 B 3.33 AB 1.25 B Keterangan : angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada baris dan kolom yang sama pada tiap faktor tidak berbeda nyata pada uji lanjut BNT taraf 5% (kolom jenis media dan baris konsentrasi sitokinin); angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris rata-rata persentase bonggol mati (%) yang sama pada tiap faktor tidak berbeda nyata pada uji lanjut BNJ taraf 5%. 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 1
2
3
4
5 MST
6
7
8
9
Gambar 18. Persentase total cacahan bonggol pisang mati periode 1-9 MST.
30
Pembahasan Interaksi perlakuan media dan sitokinin hanya terdapat pada persentase bonggol mati. Perlakuan media hanya memberikan berpengaruh nyata pada jumlah akar, jumlah bonggol berakar, jumlah akar dari bonggol berakar, jumlah tunas di bonggol, dan persentase bonggol mati. Perlakuan sitokinin tidak berpengaruh nyata terhadap seluruh peubah, yaitu: jumlah akar, jumlah bonggol berakar, jumlah akar dari bonggol berakar, jumlah tunas di bonggol, jumlah bonggol bertunas, jumlah tunas dari bonggol bertunas, jumlah tunas panen, jumlah tunas majemuk, pesrsentase bonggol mati, tinggi bibit, jumlah daun pada bibit, waktu muncul akar, waktu muncul tunas, dan waktu muncul tunas hingga panen. Interaksi antar perlakuan media dan sitokinin tidak ada, kecuali pada persentase bonggol mati. Hal ini diduga disebabkan oleh perlakuan sitokinin yang tidak berpengaruh nyata pada seluruh peubah pengamatan. Media tanah pada percobaan ini cenderung liat. Jumlah tunas di bonggol memberikan hasil yang cukup baik pada media tanah, hal ini dapat disebabkan oleh hara yang terkandung dalam tanah mendukung terbentuknya tunas baru walaupun masih belum optimum, sementara jumlah akar yang dihasilkan rendah pada tanah dengan tekstur liat. Partikel tanah liat bermuatan negatif sehingga aktif bermuatan listrik dan menarik ion–ion yang bermuatan positif, seperti: H+, K+, Ca++, Mg++, dll (Harjadi, 1996). Penambahan bahan organik dapat memperbaiki struktur dan menambah hara pada media tanah sehingga dapat meningkatkan jumlah akar dan tunas di bonggol. Media arang sekam dapat digunakan dua kali (BBPP, 2010). Media arang sekam yang digunakan dalam percobaan ini merupakan media bekas pembibitan nanas, namun kualitas jumlah tunas di bonggol dan jumlah akar menunjukkan hasil yang cukup baik. Persentase bonggol mati pada media arang sekam pun paling rendah diantara perlakuan media lainnya. Menurut
Douglas (1985)
keuntungan arang sekam sebagai media adalah tingginya hasil pertanaman dengan kualitas baik, meminimumkan kerusakan karena penyakit, hampir 100% dalam penggunaan, dan ekonomis dalam penggunaan air. Media ini menghasilkan jumlah tunas yang terendah bersamaan dengan media campuran tanah + arang sekam. Hal ini kemungkinan karena kurangnya hara tersedia untuk pembentukan
31
tunas. Valentino (2012) menyatakan bahwa kekurangan dari arang sekam adalah cenderung miskin hara. Media campuran tanah + arang sekam memberikan hasil terendah untuk jumlah tunas di bonggol dan hasil yang cukup baik untuk jumlah akar. Media tanah + arang sekam dapat digunakan untuk mengurangi penyakit tular tanah karena menghasilkan persentase bonggol mati terbanyak kedua setelah media tanah. Pemilihan jenis tanah sebagai campuran media harus dipertimbangkan karena teksturnya dapat mempengaruhi kandungan hara yang tersedia dapat mempengaruhi pertumbuhan jumlah tunas di bonggol serta pertumbuhan akar. Menurut Harjadi (1996) bila salah dalam penggunaan tanah maka tanaman menjadi kurang produktif. Pengaruh media arang sekam + pupuk kandang sapi menghasilkan jumlah tunas di bonggol yang tinggi dan jumlah akar yang cukup baik. Kemungkinan besar disebabkan oleh kandungan hara yang cukup tersedia bagi pertumbuhan bonggol pisang. Miller dan Donahue (1990) menyatakan bahwa rata-rata bahan kering jenis pupuk kandang mengandung 3% N, 0.8% P (1.8% P2O5), 2% K (2.4% K2O), 25% karbon organik, dan bermacam-macam sejumlah unsurunsur lain yang penting untuk pertumbuhan tanaman, sedangkan Sutedjo (1994) menyatakan bahwa pupuk kandang sapi mengandung 0.40% N, 0.20% P2O5, dan 0.10% K2O. Menurut Rismunandar (2001) pada umumnya tanaman pisang membutuhkan zat mineral tertentu dalam jumlah yang banyak, yaitu kalium, diikuti nitrogen dan kapur (CaO), kemudian fosfat. Perlakuan sitokinin yang tidak memberikan pengaruh terhadap seluruh peubah pengamatan dapat disebabkan oleh jenis sitokinin, konsentrasi, dan teknik aplikasi yang kurang tepat. Menurut Abidin dan Lontoh (1984) pada pemakaian praktis perlu diperhatikan sifat–sifat zat tumbuh yang digunakan, cara pemberian, dan konsentrasinya untuk jenis–jenis tanaman yang akan dibiakkan agar memberikan respon pada tanaman seperti yang diharapkan. Jenis sitokinin tertentu akan memberikan pengaruh yang berbeda pada setiap jenis tanaman. Hal ini dapat disebabkan oleh struktur molekul kimia yang berbeda–beda pada setiap jenis sitokinin. Struktur kimia sitokinin adalah turunan adenine (BAP/BA, kinetin, zeatin) dan turunan fenilurea (TDZ). Adenine dan
32
TDZ mempunyai respon fisiologi yang sama, yaitu: berperan dalam regulasi pembelahan sel, diferensiasi dan pertumbuhan jaringan, organ serta biosintesis klorofil (Gaba, 2005). Kecocokan penggunaan jenis sitokinin terhadap jenis tanaman tertentu akan memberikan hasil yang diinginkan. Menurut Fratini dan Ruiz (2002) efektivitas sitokinin pada tanaman lentil (Lensculinaris medik) memberikan hasil bahwa dalam menginduksi tunas di kultur jaringan, efektivitas TDZ > BA > kinetin > zeatin, sementara untuk pemanjangan tunas berlaku sebaliknya TDZ < BA < kinetin < zeatin. Kesalahan teknik aplikasi yang salah dapat memberikan pegaruh yang buruk pada tanaman. Perendaman sitokinin dapat dilakuan lebih lama agar meresap hingga ke jaringan atau sel bonggol pisang. Abidin dan Lontoh (1984) menemukan bahwa lama perendaman bonggol pisang dengan IBA selama 16 jam lebih baik daripada 24 jam terhadap waktu munculnya tunas, saat daun mulai membuka, persentase tumbuh, tinggi tanaman, lingkar batang, dan indeks luas daun. Cacahan bonggol yang terlalu basah saat ditanam di lahan dengan media yang tidak disterilkan terlebih dahulu akan memudahkan tanaman terserang penyakit lewat bekas sayatan pada bonggol. Pada daerah yang terdapat penyakit cendawan pisang dalam tanah, penggunaan cacahan bonggol sebagai bibit merupakan cara yang kurang baik karena potongan bonggol yang terluka mudah menjadi sarang penyakit cendawan (IKAPI, 1985). Teknik aplikasi yang kurang tepat dapat mempengaruhi daya serap tanaman terhadap zat pengatur tumbuh. Hasil percobaan Rabani (2009) menunjukkan bahwa penyemprotan pada bonggol pisang diduga menjadi salah satu penyebab kurangnya respon bonggol terhadap BA pada teknik toping. Jika zat pengatur tumbuh tidak terserap dengan baik maka hasil yang diinginkan tidak akan didapatkan. Konsentrasi sitokinin dapat ditinjau kembali. Abidin dan Lontoh (1984) menemukan bahwa semakin besar taraf IBA maka semakin lambat saat keluarnya tunas dari bonggol pisang Hasil percobaan Rabani (2009) menunjukkan bahwa perlakuan pemberian BA pada taraf konsentrasi 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm tidak meningkatkan hasil perbanyakan benih pisang dengan teknik toping pada jenis klon pisang yang berasal dari anakan maupun kultur jaringan. Bonggol pisang diduga memproduksi sitokinin secara endogen sehingga perlakuan dengan
33
konsentrasi sitokinin yang rendah (0 ppm dan 10 ppm) masih dapat menghasilkan sejumlah tunas yang tidak berbeda jauh dengan konsentrasi sitokinin yang tinggi (20 ppm dan 30 ppm). Menurut Hendaryono (1994) mata tunas yang dorman menghasilkan sitokinin dan ujung akar merupakan tempat penting biosintesis sitokinin. Bonggol pisang pada dasarnya terdiri dari jaringan parenkim yang mengandung zat tepung. Bagian pinggir bawah bonggol merupakan tempat tumbuhnya akar dan bagian pinggir atas merupakan tempat tunas muda akan muncul (Simmonds, 1959). Dalam kondisi normal tanpa perlakuan, hormon– hormon pertumbuhan terdapat dalam jumlah yang cukup untuk memunculkan akar dan tunas pada bonggol pisang. Pengaruh media terhadap jumlah tunas di bonggol terlihat sangat nyata di awal percobaan. Jumlah tunas di bonggol terbanyak terdapat pada media arang sekam + pupuk kandang sapi. Hal ini dapat dikarenakan media arang sekam + pupuk kandang sapi menyediakan hara dengan jumlah yang lebih dari media lain untuk menghasilkan tunas. Pupuk kandang adalah sumber beberapa hara seperti nitrogen, fosfor, kalium, dan lainnya. Nitrogen adalah salah satu hara umum yang dibutuhkan tanaman yang dapat diperoleh dari pupuk kandang (Hartatik dan Widowati, 2006). Media arang sekam + pupuk kandang sapi menghasilkan jumlah tunas terbanyak, walaupun jumlah akar yang dihasilkan tidak begitu tinggi. Hasil tersebut cukup baik karena menurut Simmond (1959) bonggol
yang
sehat
memiliki
2–300
akar
serta
hasil
percobaan
Abidin dan Lontoh (1984) menunjukkan bahwa beberapa bibit cacahan bonggol ada yang belum membentuk akar walaupun sudah mempunyai tunas setinggi 3 cm. Bonggol pisang terbungkus oleh bekas lapisan daun yang saling menumpuk dengan jarak yang pendek. Bekas ini membentuk lingkaran dan berisi banyak mata tunas yang posisinya saling tidak beraturan. Tunas tumbuh dari bagian tengah hingga atas dari bonggol. Tunas akan tumbuh dekat dan mendekati permukaan tanah hingga akhirnya muncul dan tumbuh di atas permukaan tanah. Masing–masing tunas akan kesulitan untuk tumbuh jika terdapat tunas lain di dalam tanah dalam satu bonggol. Setiap tunas yang telah mencapai permukaan akan mengalami perubahan pada jaringannya. Masing-masing pangkal daun berhubungan dengan tunas, beberapa dari mereka akan tumbuh dan jarang
34
terdapat lebih dari tiga atau empat tunas terlihat muncul tanpa mikroskop dalam satu bonggol (Simmonds, 1959). Jumlah tunas yang muncul di bonggol mencapai setengah dari total yang ditanam dan jumlah yang dapat dipanen hanya sedikit selama dua bulan percobaan. Jumlah ini masih dapat bertambah karena banyak tunas dan bibit pisang di lapangan yang belum terhitung akibat keterbatasan waktu percobaan. Menurut Simmonds (1959) masing–masing tunas akan kesulitan untuk tumbuh jika terdapat tunas lain di dalam tanah dalam satu bonggol. Hasil percobaan Rabani (2009) menunjukkan bahwa tunas yang belum tumbuh menjadi bibit diduga terjadi karena persaingan dengan tunas lain dalam pertumbuhannya. Tunas majemuk akan tumbuh seperti tunas tunggal lainnya, namun seiring pertumbuhannya beberapa tunas akan mati dan yang lainnya akan tumbuh dengan baik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh persaingan cadangan makanan dalam pertumbuhannya. Tunas yang dapat bertahan kebanyakan berkisar dua hingga tiga tunas dengan kecepatan tumbuh yang berbeda–beda. Masing–masing tunas akan kesulitan untuk tumbuh jika terdapat tunas lain di dalam tanah dalam satu bonggol (Simmonds, 1959). Tunas majemuk ini jika memenuhi syarat untuk dipanen menjadi bibit, akan sulit dalam menjalankan prosedur pemanenannya. Letak tunas yang saling berdekatan satu dengan yang lain membuat pemisahan tunas yang memenuhi syarat dan yang tidak menjadi sulit, jika tidak berhati–hati maka akan menggangu dan merusak pertumbuhan tunas yang belum siap panen. Kesulitan juga didapatkan ketika akan menyertakan sedikit akar untuk tunas yang akan dipindahkan karena letak akar yang berjauhan dengan tunas tersebut. Terdapat bibit yang terdiri dari dua tunas karena tidak jika dipisahkan justru akan merusak bibit tersebut. Terbentukanya tunas majemuk ini diduga disebabkan oleh pemecahan dormansi mata tunas yang hampir bersamaan dan berdekatan dalam satu bonggol serta adanya proliferasi tunas, walaupun jumlahnya sangat sedikit. Pemecahan dormansi mata tunas dapat terjadi karena pencacahan bonggol atau dikarenakan pengaruh sitokinin. Terdapatnya tunas majemuk pada perlakuan sitokinin 0 ppm dapat dikarenakan yang adanya sejumlah sitokinin di dalam media tanam. Menurut Hanafiah (2007) akar tanaman akan menyerap nutrisi dari tanah baik berupa ion-ion organik (N, P, K, dan lain-lain), senyawa organik
35
sedehana, serta zat-zat pemacu tumbuh, seperti vitamin, hormon, dan asam-asam organik. Bahan organik tanah dan aktivitas mikroba dapat menghasilkan zat pengatur tumbuh dalam tanah. Hal ini diduga juga berlaku dengan perlakuan media lainnya. Perlakuan tidak berpengaruh pada tinggi dan jumlah daun pada bibit pisang yang telah dipindahkan ke greenhouse. Hal ini menunjukkan bahwa setiap perlakuan media dan sitokinin dalam percobaan ini memberikan pengaruh yang hampir sama untuk tinggi dan jumlah daun bibit pisang. Perlakuan khusus pada bibit setelah dipindahtanamkan ke greenhouse tidak ada, sehingga diduga menjadi salah satu peneyebab dari tidak adanya respon lanjutan dari perlakuan. Hasil percobaan Rabani (2009) menunjukkan bahwa jenis klon berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi benih pisang dengan teknik toping yang dipanen 5-8 MST. Jumlah daun dan peningkatannya pada tanaman pisang ditentukan oleh umur dan jenis klonnya (Suhardiman, 2004). Umur bibit pisang pada percobaan ini hampir sama dan jenis klon yang digunakan pun sama, sehingga menghasilkan tinggi dan jumlah daun yang hampir sama untuk semua perlakuan. Perlakuan media memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah akar, seperti jumlah akar, jumlah bonggol berakar, dan jumlah akar dari bonggol berakar. Perlakuan media sekam memberikan hasil terbaik. Suri (2000) menyatakan bahwa arang sekam baik untuk dijadikan media karena teksturnya yang remah, bahan organiknya tinggi, dan mudah didapat. Valentino (2012) menambahkan bahwa arang sekam mudah mengikat air, mudah menggumpal dan memadat sehingga mempermudah pertumbuhan akar tanaman. Menurut Rismunandar (2001) akar tanaman pisang merupakan akar serabut yang keluar dari umbi bagian samping dan tumbuh mendatar hingga 4–5 meter, sedangkan yang dari bagian bawah akan tumbuh ke bawah dengan kedalaman 75–150 cm. Dengan tekstur sekam yang demikian akan baik untuk perkembangan perakaran pisang yang dangkal. Perlakuan media tanah memberikan hasil paling rendah terhadap jumlah akar, jumlah bonggol berakar, dan jumlah akar dari bonggol berakar. Tanaman pisang yang membutuhkan tanah yang gembur dan kaya bahan organik untuk tumbuh akan menghasilkan akar yang kurang baik dengan kondisi tanah di
36
lapangan dengan tekstur liat. Tanah dengan tekstur liat tinggi akan sulit ditembus oleh akar – akar muda tanaman pisang, selain itu jika bonggol ditanam terlalu dalam di tanah liat maka mata tunas akan sulit menembus permukaan tanah (IKAPI, 1985). Tanah liat yang pori–porinya penuh terisi air akan kekurangan oksigen dan dapat menghambat pertumbuhan akar (Harjadi, 1996). Penyebaran akar tanaman pisang menjadi kurang optimal pada tanah padat, lapisan tanah kedap air, dan tanah liat (Suhardiman, 2004). Jumlah akar mengalami peningkatan tetapi tidak stabil. Penurunan ini dapat diakibatkan oleh serangan nematoda Radopholus similis yang merusak akar, jika tingkat serangan parah bonggol pisang tidak akan dapat menghasilkan akar baru sehingga lama–kelamaan akan mati. Penyebab turunnya jumlah akar juga dapat disebabkan oleh gangguan berupa intensitas pembongkaran bonggol yang tinggi saat pengamatan yang
dapat menghambat pertumbuhan tunas pisang.
Jumlah akar yang menurun akibat intensitas pembongkaran ini akan naik lagi dua–tiga minggu kemudian. Akar merupakan bagian penting tumbuhan untuk pembentukan tunas. Pada percobaan ini, struktur morfologi yang pertama kali muncul pada mayoritas bonggol saat ditanam adalah akar. Setelah akar cukup banyak untuk mengumpulkan kebutuhan tanaman, maka tunas akan muncul dan dapat tumbuh dengan baik. Menurut Hartman et al. (1990) dalam perbanyakan vegetatif melalui stek pertumbuhan akar merupakan faktor awal yang sangat penting selama pertumbuhan tanaman. Valentino (2012) menambahkan bahwa tumbuh kembang akar sebagai salah satu unsur vital tanaman sangat dipengaruhi oleh media tumbuh. Semakin baik kualitas tempat tumbuh, maka semakin baik akar yang berkembang yang kemudian mendukung pekembangan bagian lain dari tanaman seperti batang, daun, dan sebagainya. Waktu muncul tunas, periode pertumbuhan tunas hingga panen, dan waktu muncul akar memberikan hasil tidak nyata pada seluruh perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap perlakuan media dan sitokinin dalam percobaan ini memberikan pengaruh yang hampir sama untuk setiap peubah waktu pada bonggol pisang. Rata–rata waktu muncul tunas cukup lama, yaitu berkisar 27–28 hari (3–4 MST). Menurut Zaedin (1985) dalam jangka waktu 1–2 MST tunas akan mulai keluar dari bonggol dan setelah 4–6 MST dengan tinggi tunas
37
20–30 cm sudah dapat dipindahkan sebagai bibit. Hasil percobaan Rabani (2009) menunjukkan bahwa benih pisang dengan teknik toping dapat dipanen pada 5– 6 MST. Pada percobaan ini pemanenan dilakukan rata–rata pada 6 MST. Tunas yang belum dapat dipanen
menyebabkan periode pertumbuhan tunas hingga
panen menjadi lebih lama. Simmonds (1959) dan Rabani (2009) menyatakan bahwa tunas yang belum tumbuh menjadi bibit diduga terjadi karena persaingan dengan tunas lain dalam pertumbuhannya. Rata–rata kemunculan akar dari percobaan ini cukup baik, yaitu berkisar 3-4 hari. Penyebaran perakaran dimulai 15 hari setelah tanam, berjumlah 14–20 akar sepanjang 10–50 cm dan pembentukan
akar
berlangsung
sampai
tanaman
berumur
75–90
hari
(Suhardiman, 2004). Interaksi perlakuan media dan sitokinin terhadap persentase bonggol mati terdapat pada 9 MST. Interaksi yang baru muncul pada 9 MST diduga karena sitokinin membutuhkan waktu untuk bereaksi. Interaksi yang menunjukkan hasil tertinggi didapatkan dari perlakuan media tanah, hal ini diduga karena adanya penularan penyakit black had topling disease. Perlakuan media yang tidak terdapat tanah dalam perlakuannya, hasil interaksi cenderung rendah. Sementara pada perlakuan sitokinin sulit untuk melihat pada konsentrasi berapa sitokinin berperan dalam matinya bonggol karena hasil uji yang tidak nyata. Perlakuan media juga memberikan pengaruh yang sangat nyata pada persentase bonggol mati. Media tanah merupakan perlakuan yang memberikan hasil persentase bonggol mati tertinggi, sementara media arang sekam serta media arang sekam + pupuk kandang sapi menghasilkan persentase bonggol mati terendah. Di lapangan ditemukan tiga gejala matinya bonggol, yaitu: bonggol mati karena adanya bekas penggerek, bonggol busuk, dan karena keropos. Penyebab kematian bonggol ini dikarenakan adanya organisme pengganggu tanaman yang habitatnya berada dalam media tanam, sehingga pemilihan media penting untuk menghasilkan bibit pisang yang sehat dari cacahan bonggol. Kematian bonggol ini kemungkinan saling berkaitan satu sama lain. Terlihat gejala terserangnya bonggol oleh penggerek Cosmopolites sordidus dan ditemukannya nematoda Radopholus similis yang dapat menyebabkan patogen lain merusak ke bonggol sampai mengakibatkan kematian, sehingga timbul gejala lain seperti serangan
38
rayap yang sebenarnya hanya memakan jaringan mati tanaman sehingga bonggol keropos. Bonggol mati karena penggerek Cosmopolites sordidus dapat disebabkan oleh terowongan yang dibuat oleh larva dan merupakan tempat untuk masuknya patogen lain seperti Fusarium, sehingga dapat menyebabkan kerusakan dan busuknya jaringan bonggol pisang. Pada serangan berat, bonggol pisang dipenuhi lubang gerekan yang kemudian menghitam dan membusuk. Kerusakan yang diakibatkan oleh hama ini menyebabkan tanaman muda mati, lemahnya sistem perakaran, transportasi zat makanan terhambat, daun menguning, dan ukuran tandan berkurang sehingga produksi menurun (Direktorat
Perlindungan
Hortikilturan, 2012). Bonggol mati karena busuk diakibatkan oleh nematoda Radopholus similis dimana penyebarannya melalui media yang tidak steril dan bibit yang sudah telah terserang sebelumnya. Nematoda yang masuk ke bagian–bagian tanaman dapat melukai jaringan tanaman secara luas sehingga mengakibatkan busuk pada jaringan tersebut. Busuknya bonggol ini kemungkinan juga disebabkan oleh organisme lain yang masuk ketika nematoda merusak (Mustika, 2003). Penyakit yang disebabkan oleh nematoda Radopholus similis adalah black had topling disease. Gejala penyakit ini mulai terlihat pada akar yang rusak hingga mati sehingga tanaman tidak mampu mensuplai hara. Akar pisang yang awalnya berwarna putih akan berubah menjadi kuning kemudian menghitam dan mati. Pada bonggol akan ditemukan tanda–tanda kerusakan berwarna hitam diikuti garis–garis merah. Tanaman yang terserang tidak akan merespon pemupukan, pengairan, atau perlakuan budidaya lainya. Daun pisang akan mengalami klorosis karena defisiensi hara yang disebabkan oleh kerusakan akar akibat nematoda (Feakin, 1971). Nematoda Radopholus similis (Burrowing Nematoda) hidup di dalam tanah yang menyerang epidermis akar, rambut akar, sel–sel korteks atau sel–sel di dekat stele. Radopholus similis merupakan endoparasit migrator yang dapat berpidah dari akar sakit ke akar yang sehat. Masuknya Radopholus similis dapat melalui luka. Radopholus similis dapat menjadi patogen penyebab penyakit dan sebagai organisme yang membuat tanaman menjadi lebih mudah terserang oleh patogen lainnya (Mustika, 2003). Serangan nematoda dapat dikurangi dengan
39
merendam bahan tanam dalam air hangat selama 15-20 menit atau menggunakan akarisida dan nematosida sesuai dosis dan aplikasi pemakaian. Bonggol mati karena keropos kemungkinan besar disebabkan oleh serangan nematoda Radopholus similis yang menyebabkan jaringan bonggol rusak dan rayap memakan bagian yang rusak tersebut sehingga terlihat seakan-akan bonggol keropos seperti terserang rayap. Rayap ini merupakan jenis Macrotermes sp. Family Termitidae ditemukan yang pertama kali ditemukan di bonggol pada 1 MST (Gambar 19). Rayap bukan merupakan hama penting tanaman pisang karena biasanya rayap hanya memakan jaringan–jaringan rusak atau mati pada tanaman. Terdapat bonggol berlubang dan rapuh yang merupakan gejala serangan rayap ditemukan pertama kali pada 4 MST (Gambar 19). Terdapatnya gejala serangan rayap merupakan salah satu indikasi bahwa bonggol telah terserang oleh nematoda Radopholus similis sejak 1–4 MST yang membuat jaringannya rusak atau mati sehingga diserang oleh rayap. Lingkungan juga berpengaruh terhadap pembibitan pisang dari cacahan bonggol. Pisang membutuhkan matahari penuh dengan curah hujan bulanan antara 200–220 mm dan pH antara 4.5-8.5, dengan pH optimumnya 6.0 (Ashari, 2006). Menurut Sunarjono (2003) tanaman pisang merupakan tanaman dengan tipe iklim basah. Suhu yang dibutukan berkisar antara 22o–35oC dengan suhu optimal 26o– 30oC. Mulyanti et al. (2008) menyatakan bahwa curah hujan yang baik paling tidak 100 mm/bulan, sementara suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 27oC dan suhu maksimumnya 38oC. Curah hujan pada saat percobaan cukup tinggi berkisar 227.7 mm/bulan. Pada saat persiapan percobaan beberapa bonggol yang merupakan bahan tanam banyak mengalami kebusukan. Bonggol anakan sebaiknya ditanam satu minggu setelah diambil dari tanah dan disimpan di tempat yang teduh dan kering sehingga akan terhindar dari kebusukan karena curah hujan yang tinggi. Suhu rata–rata di lapangan saat percobaan adalah 26.1oC dengan kelembaban udara 84%, intensitas penyinaran matahari sebesar 254.7 cal/cm2, dan pH masing-masing media berkisar 4.8-5.1 memberikan lingkungan yang cukup baik bagi pertumbuhan bibit pisang di lapangan selama percobaan. Pada percobaan pembibitan pisang dengan cacahan bonggol ini dapat menghasilkan rata-rata hingga tiga tunas untuk setiap bonggolnya, tergantung
40
ukuran bonggol. Dari tunas yang tumbuh dapat dipanen satu hingga dua bibit pisang dalam kurun waktu dua bulan. Anakan pohon pisang dapat mencapai 2-4 anakan dalam waktu 6 bulan (Tri et.al, 2006). Dari jumlah tersebut, jika dijadikan bibit hanya akan menghasilkan 2 bibit pisang dari anakan dalam waktu 6 bulan, sementara dengan menggunakan cacahan bonggol akan didapatkan 3-6 bibit siap tanam dalam waktu 6 bulan. Dibandingkan dengan kultur jaringan metode ini tergolong murah dan mudah dilakukan oleh petani karena menurut percobaan ini cukup membutuhkan media yang baik dalam aplikasinya, walaupun dari segi jumlah dan kecepatan produksi kultur jaringan masih lebih unggul.
a
b
c
Gambar 19. Rayap Macrotermes sp. Family Termitidae (a), rayap pada cacahan bonggol (b), dan Gejala bonggol berlubang dan rapuh oleh rayap selama percobaan(c).
41
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Media tanam yang berbeda berpengaruh nyata pada peubah jumlah akar, jumlah tunas di bonggol, dan jumlah bonggol mati. Jumlah tunas di bonggol terbanyak didapatkan dari media arang sekam + pupuk kandang sapi, jumlah akar terbanyak didapatkan dari media arang sekam, dan jumlah bonggol mati terbanyak didapatkan dari media tanah. Jenis media tanam terbaik untuk perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan bonggol adalah media arang sekam + pupuk kandang sapi yang menghasilkan jumlah tunas di bonggol terbanyak. Perbedaan konsentrasi sitokinin BA tidak berpengaruh terhadap semua peubah pertumbuhan dan perkembangan pisang raja bulu dari cacahan bonggol. Interkasi perlakuan media dan sitokinin berpengaruh terhadap persentase bonggol mati pada akhir penelitian dengan perlakuan tertinggi didapatkan dari sitokinin 10 ppm dan media tanah.
Saran Penggunaan media campuran arang sekam + pupuk kandang sapi merupakan media terbaik untuk
perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan
bonggol karena selain menghasilkan jumlah tunas dan akar yang cukup baik, media ini juga akan membantu meminimumkan kerusakan akibat penularan organisme pengganggu tanaman yang berhabitat di dalam tanah, sehingga menghasilkan bibit yang sehat.
42
DAFTAR PUSTAKA Abidin, A.S., dan A. P. Lontoh. 1984. Usaha Perbanyakan Tanaman Secara Cepat dengan Teknik Pembiakan Vegetatif dan Pemakaian Zat Tumbuh. Lapaoran Percobaan Kelompok. Proyek Peningkatan atau Pengembangan Perguruan Tinggi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 77 hal.
Agung, L. 2011. Induksi Pertumbuhan Mata Tunas Aksilar Aglaonema Pride of Sumatra secara In Vitro melalui Penambahan BAP dan 2,4-D. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 36 hal.
Andriana, D. 2005. Pengaruh Konsentrasi BAP terhadap Multiplikasi Tunas dan Giberelin terhadap Kualitas tunas Pisang FHIA-17 In Vitro. Skripsi. Program Studi Hortikulturan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 35 hal.
Ashari, S. 2006. Hortikultura Aspek Budidaya Edisi Revisi. UI Press. Jakarta. 485 hal.
Asmarawati, M. 2011. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh terhadap Pertumbuhan Bibit Pisang (Musa Paradisiaca L.) Kultivar Kepok Kuning Asal Cacahan Bonggol (BIT) pada berbagai Media Tanam. Skripsi. Progaram Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas PGRI Yogyakarta. Yogyakarta. 11hal.
BBPP. 2010. Media tanaman hidroponik dari arang sekam. www2.bbpplembang.info. [01 Maret 2012]
BPS. 2005. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri (Import). Badan Pusat Statistik. Jakarta. 161 hal.
____. 2008. Analisa Komoditi Ekspor 2002-2008. Badan Pusat Statistik. Jakarta. 140 hal.
____. 2010. Produksi buah-buahan di Indonesia 1995-2010. http://www.bps.go.id. [ 20 Februari 2012].
43
____. 2011. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri; Ekspor. Badan Pusat Statistik. Jakarta. 116 hal.
Deptan. 2012. Buku pedoman peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu produk tanaman buah berkelanjutan 2012. http://www.hortikultura.go.id/home/?q=node/286. [ 20 Februari 2012]
Direktorat Perlindungan Hortikultura. 2012. Penggerek http://ditlin.hortikultura.go.id. [18 November 2012].
Bonggol.
Douglas, J. S. 1985. Advanced Guide to Hydroponics. Pelham Books. London. 61 – 82 p.
Ernawati, A., A. Purwito, dan J. M. Pasaribu. 2005. Perbanyakan tunas mikro pisang rajabulu (Musa AAB Group) dengan eksplan anakan dan jantung. Bul. Agron. (33) (2): 31-38.
Feakin, S.D. 1971. Nematodes, p. 77-84. In B.Steele, A.Ward, and S.J. Maclay (Eds.). Pest Control in Bananas. Pans. London.
Fratini, R., Ruiz MS. 2002. Comparative study of different cytokinin in the induction of morphogenesis in lentil (Lensculinaris medik). In Vitro Cell Dev. Biol. Plant. 38:46-51.
Gaba VP. 2005. Plant Growth Regulators in Plant Tissue Culture and Developmant, p. 87-99. In Trigiano RN, and Gray JD (Eds.). Plant Development and Biotechnology. CRC Press. New York.
Gomez, K.A. dan A.A. Gomez. 2007. Prosedur Statistika untuk Percobaan Pertanian (diterjemahkan dari : Statistical Procedures for Agricultural Research, penerjemah : E. Sjamsudin dan J.S. Baharsjah). Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. 698 hal.
Hanafiah, K. A. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 360 hal.
44
Hanum, C. 2008. Teknik Budidaya Tanaman. Jilid 2. Direktorat Pembinaan Sekolah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. 549 hal.
Harjadi, M.M.S.S. 1996. Pengantar Agronomi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 197 hal.
Hardjowigeno, S. 2010. Ilmu Tanah. CV Akademika Pressindo. Jakarta. 288 hal.
Hartatik, W. dan L.D. Widowati. 2006. Pupuk kandang, p.59-82. Dalam R.D.M. Simanungkalit, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, dan W. Hartatik (Eds). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Percobaan dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Hartman, H.T., Davies F.T., and D. E. Kester. 1990. Plant Propagation: Principles and Practices. 5st ed. Prentice Hall Inc. New Jersey. 759 p.
Hendaryono, Daisy dan Arie W. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Kanisius. Yogyakarta. 144 hal.
Hidayat, A. 2001. Menyiapkan Media Tanam. Departemen Pendidikan Nasional. Bandung. 59 hal.
IKAPI. 1985. Bertanam Pohon Buah-buahan 2. Kanisius. Yogyakarta. 79 hal.
Isnaeni, N. 2008. Pengaruh TDZ terhadap Inisiasi dan Multiplikasi Kultivar In Vitro Pisang Raja bulu (Musa paradisiaca L. AAB Group). Skripsi. Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 47 hal.
Menegristek. 2000. Pisang. Kementrian Negara Riset dan Teknologi, Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu dan Teknologi. Jakarta. 13 hal.
Miller, R.W. and R.L. Donahue. 1990. Soils an Introduction to Soil and Plant Growth. Prentice Hall, Inc., Eaglewood Cliffs. New Jersey. 768 p.
45
Mulyanti, N., Suprapto, dan J. Hendra. 2008. Teknologi Budidaya Pisang. Agro Inovasi. Bogor. 28 hal. Mustika, I. 2003. Penyakit – penyakit Utama yang Disebabkan oleh Nematoda. Pelatihan Identifikasi dan Pengelolaan Nematoda Parasit Utama Tanaman. PKPHT-HPT, IPB. Bogor. 30-63 hal.
PKBT. 2005. Laporan Akhir Riset Unggulan Nasional Pengembangan Buahbuahan Unggulan Indonesia. IPB.Bogor.
Prawiranata, W., S. Harran, dan P. Tjondronegoro. 1981. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Jilid II. Departemen Botani, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 224 hal.
Rabani, B. 2009. Aplikasi Teknik Topingpada Perbanyakan Benih Pisang (Musa paradisiaca L.) dari Benih Anakan dan Kultur Jaringan. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertaninan Bogor. Bogor. 42 hal.
Rismunandar. 2001. Bertanam Pisang. Sinar Baru Algensindo. Bandung. 91 hal.
Santoso, P. J. 2008. Produksi benih pisang dari rumpun in situ. Iptek Hortikultura 4:25-33.
Rizqi, M. 2011. Cosmopolites sordidus (Penggerek www.labscorner.org [18 November 2012].
Bonggol
Pisang).
Simmonds, N. W. 1959. Bananas. Longman Ltd. London. 512p.
Sitawati dan N. Soewarno. 1989. Pengaruh panjang turus dan pemberian zat tumbuh terhadap pertumbuhan turus apel liar (Malus sp.). Agrivita vol.12 no.1:1-3.
Suhardiman, P. 2004. Budidaya Pisang Cavendish. Kanisius. Yogyakarta. 79 hal. Sunarjono, H. 2003. Ilmu Produksi Tanaman Buah – buahan. Sinar Baru Algensindo. Bandung. 209 hal.
46
Supramana. 2003. Identifikasi Nematoda Parasit Utama Tumbuhan. Pelatihan Identifikasi dan Pengelolaan Nematoda Parasit Utama Tanaman. PKPHTHPT, IPB. Bogor. 73-88 hal.
Suri, F. V. 2000. Pengaruh Media Tanam dan Larutan Nutrisi Tanaman terhadap Produksi Stek Mini Kentang (Solanum tuberosum L.). Skripsi. Jurusan Budi Daya Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 40 hal.
Suriadikarta, D.A. dan R.D.M. Simanungkalit. 2006. Pendahuluan, p.1-10. Dalam R.D.M. Simanungkalit, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, dan W. Hartatik (Eds). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Percobaan dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Sutedjo, M. M. 1994. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Citra. IKAPI. Jakarta. 165 hal.
Syaifan, U. 2010. Pengaruh Benzyl Adenine (BA) terhadap Pertumbuhan Eksplan Dua Kultivar Krisan (Dendranthema grandiflora Tzelev Syn.) secara In Vitro. Skripsi. Program Studi Agronomi, fakultas Pertanian Bogor. Bogor. 51 hal.
Tri, R. E., Awaludin, A. Susanto. 2006. Pengaruh media terhadap pertumbuhan bibit pisang susu asal bonggol di Sambelia, Lombok Timur, NTB. BPTP NTB. Lombok Timur.
____. 2006. Pengaruh asal bibit terhadap pertumbuhan beberapa jenis pisang di lahan kering. BPTP NTB. Lombok Timur.
Valentino, N. 2012. Pengaruh Pengaturan Kombinasi Media terhadap Pertumbuhan Anakan Cabutan Tumih [Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser]. Skripsi. Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 47 hal.
Wardiyati, T. et al. 2012. Micropropagation of Curcuma xanthorhyza. http://tatiekw.lecture.ub.ac.id/2012/03/micropropagation-of-curcumaxanthorhyza. [24September 2012]
47
Wuryaningsih, S. dan Darliah. 1994. Pengaruh media sekam padi terhadap pertumbuhan tanaman hias pot Spathiphyllum. Buletin Percobaan Tanaman Hias 2(2): 119-129.
Zaedin, O. 1985. Membuat dan Melipatgandakan Bibit Pohon Buah-buahan. PT Intemasa. Jakarta. 51 hal.
Zulkarnain, H. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta. 249 hal.
48
LAMPIRAN
49
Lampiran 1. Layout percobaan pengaruh media tanam dan zat pengatur tumbuh sitokinin (BA) terhadap perbanyakan tunas pisang Raja bulu dari cacahan bonggol. KELOMPOK 1 A4B1 A2B4 A2B1 A2B2 A4B4 A3B1 A1B1 A4B3 A1B4 A3B3 A1B3 A1B2 A4B2 A3B2 A2B3 A3B4
KELOMPOK 2 A3B3 A3B1 A2B4 A4B1 A3B4 A2B1 A2B3 A4B2 A3B2 A1B2 A4B4 A1B4 A4B3 A1B1 A1B3 A2B2
KELOMPOK 3 A1B4 A4B4 A2B3 A2B4 A1B1 A3B4 A2B2 A3B3 A4B3 A1B3 A3B1 A4B2 A2B1 A4B1 A1B2 A3B2
Keterangan arah mata angin U
Keterangan: Media: B1 : Tanah B2 : Arang sekam B3 : Arang sekam + tanah B4 : Arang sekam + pupuk kandang sapi
Konsentrasi BA: A1 : 0 ppm A2 : 10 ppm A3 :20 ppm A4 : 30 ppm
50
Lampiran 2. Rata-rata suhu dan kelembaban di Kota Bogor selama bulan April – Juni 2012.
Bulan
Suhu (°C)
RH (%)
Pagi
Siang
Pagi
Siang
April
26.38
32.31
88.15
75.38
Mei
25.52
33.55
88.45
59.19
Juni
25.78
34.67
78.00
58.33
Lampiran 3. Pelaksanaan percobaan pengaruh media tanam dan zat pengatur tumbuh sitokinin (BA) terhadap perbanyakan tunas pisang Raja bulu dari cacahan bonggol. . 3
2
1
4
5
Keterangan: 1. Pengolahan tanah. 2. Bonggol dipotong hingga beratnya sekitar 1-2 gram. 3. Bonggol direndam dalam larutan perlakuan, fungisida, dan bakterisida. 4. Bonggol ditanam di lahan dengan jarak tanam 5 cm x 5 cm. 5. Bonggol ditutup dengan media.
51
Lampiran 4. Pemanenan bibit pisang dari cacahan bonggol.
1
3
2
4
5
6
Keterangan: 1. Pilih tunas yang telah memenuhi kriteria panen. 2. Potong tunas dengan menyisakan sedikit bonggol dan akar. 3. Sisa bonggol ditanam kembali. 4. Bibit siap yang dipindahkan ke polybag. 5. Bibit dipindah ke dalam polybag dengan media tanah, sekam dan pupuk kandang. 6. Bibit siap salur.