EKSTRAK PISANG SEBAGAI SUPLEMEN MEDIA MS DALAM MEDIA KULTUR TUNAS PISANG RAJABULU (Musa paradisiaca L. AAB GROUP) IN VITRO
OLEH: UMMI MASLUKHAH A34303011
PROGRAM STUDI HORTIKULTURA DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
UMMI MASLUKHAH. Ekstrak Pisang sebagai Suplemen Media MS dalam Media Kultur Tunas Pisang Rajabulu (Musa paradisiacal L. AAB Group) In Vitro (Dibimbing oleh Sri Setyati Harjadi dan Darda Efendi).
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh ekstrak buah pisang dengan berbagai konsentrasi sebagai pengganti vitamin sintetis pada media pertumbuhan tunas pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) secara in vitro. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan bulan Agustus 2007, di Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT), Kampus IPB Baranang Siang, Bogor. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor, yaitu konsentrasi ekstrak buah pisang yang terdiri dari 4 taraf yaitu 0 g/l, 50 g/l, 100 g/l, dan 150 g/l. Terdapat 4 macam perlakuan yang masing-masing diulang 30 kali, sehingga terdapat 120 satuan percobaan. Sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh yang sama antara ekstrak buah pisang pada konsentrasi 50 g/l dengan vitamin sintetis terhadap jumlah tunas, panjang tunas, dan panjang daun. Namun, ada pengaruh yang nyata tidak sama antara ekstrak buah pisang pada konsentrasi 50 g/l dengan vitamin sintetis terhadap panjang planlet, jumlah daun, dan jumlah akar. Vitamin sintetis lebih bagus pengaruhnya dibandingkan dengan ekstrak buah pisang terhadap panjang planlet, jumlah daun, dan jumlah akar. Konsentrasi ekstrak buah pisang 50 g/l ternyata lebih bagus pengaruhnya pada parameter jumlah tunas, panjang tunas, jumlah daun, panjang daun, jumlah akar dan panjang akar, dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Pada konsentrasi ini jumlah tunas sebesar 3.1 tunas, panjang tunas 11.6 cm, jumlah daun sebesar 6.8 daun, panjang daun 5.9 cm, jumlah akar 8.3 akar, serta panjang akar 9.0 cm. Konsentrasi ekstrak buah pisang lebih tinggi (100 g/l dan 150 g/l) lebih jelek pengaruhnya terhadap jumlah tunas, panjang tunas, jumlah daun, panjang daun, jumlah akar dan panjang akar.
Ekstrak buah pisang pada konsentrasi 50 g/l dapat digunakan dalam media pertumbuhan tunas mikro pisang Rajabulu sebagai pengganti vitamin yang mahal harganya. Sehingga biaya produksi untuk perbanyakan tunas dapat diturunkan. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh jenis ekstrak pisang yang berbeda pada media kultur jaringan.
EKSTRAK PISANG SEBAGAI SUPLEMEN MEDIA MS DALAM MEDIA KULTUR TUNAS PISANG RAJABULU (Musa paradisiaca L. AAB GROUP) IN VITRO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
OLEH: UMMI MASLUKHAH A34303011
PROGRAM STUDI HORTIKULTURA DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Give me a fish & I’ll eat for a day Teach me to fish & I’ll eat for a life time
Cukuplah Allah sebagai Pelindung & Pemeliharaku
Spesial penulis persembahkan untuk Bapak (Alm.) dan Ibu yang telah berjuang membesarkan dan mendidik hingga jadi sarjana
LEMBAR PENGESAHAN Judul
: EKSTRAK PISANG SEBAGAI SUPLEMEN MEDIA MS DALAM MEDIA KULTUR TUNAS PISANG RAJABULU (Musa paradisiaca L. AAB GROUP) IN VITRO
Nama
: Ummi Maslukhah
NRP
: A34303011
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr Ir Sri Setyati Harjadi, MSc.
Dr Ir Darda Efendi, Msi.
NIP:130203587
NIP: 131841775
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr Ir Didy Sopandie, MAgr. NIP: 131124019
Tanggal pengesahan:……………
RIWAYAT HIDUP PENULIS Penulis dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah pada tanggal 15 Juni 1984. Penulis merupakan anak ketiga dari enam bersaudara, putri pasangan Bapak H. Masduki (Alm.) dan Ibu Hj. Muhadjaroh. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri 2 Ringin, Pamotan, Rembang, lulus pada tahun 1997. Penulis selanjutnya menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 1 Pamotan, Rembang, lulus pada tahun 2000 dan pendidikan lanjutan menengah umum di SMU Negeri 2 Rembang, lulus pada tahun 2003. Tahun 2003 penulis diterima sebagai mahasiswa IPB melalui program Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Pertanian Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah, penulis aktif pada organisasi kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB TPB-IPB) IPB) periode 20032003 2004, sebagai staf Departemen PSDM (Pengembangan Sumber Daya Manusia); FORCES (Forum for Scientific Studies) periode 2004 2004-2006, 2006, sebagai anggota; Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian (DPM (DPM-A) A) periode 2004-2005, 2004 sebagai anggota Komisi Eksternal; DKM Al Fallah Departemen Agronomi dan Hortikultura periode 2004--2005, sebagai anggota; Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (DPM KM IPB) periode 2005 2005-2006, 2006, sebagai anggota Komisi Eksternal.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Selanjutnya solawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai teladan terbaik untuk umat manusia. Skripsi ini penulis persembahkan sebagai tugas akhir dalam menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini juga merupakan laporan hasil penelitian yang termasuk komponen dari Penelitian di Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika Institut Pertanian Bogor (PKBT IPB). Penelitian ini dibiayai oleh PKBT IPB. Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang membantu baik secara moril maupun materil. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada : tim PKBT IPB, ibu dan Bapak (Alm.), Prof. Dr
Ir Sri Setyati Harjadi, MSc dan Dr Ir Darda Efendi, MSi selaku dosen pembimbing skripsi, Dr Ir Ni Made Armini Wiendi, MSi selaku dosen pembimbing akademik, keluarga dan teman-teman semuanya, serta segenap pihak yang telah berperan dalam pembuatan skripsi ini. Semoga dengan adanya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua khususnya yang berada di bidang akademik.
Bogor, Mei 2008 Penulis
DAFTAR ISI Halaman PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................. 1 Tujuan ........... ................................................................................... 3 Hipotesis........ ................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Pisang .................................................................... Perbanyakan Tanaman Pisang Secara Konvensional .............. Teknik Kultur Jaringan (In Vitro) ..................................................... Media kultur jaringan .............................................................. Penanaman Aseptik ................................................................. Kultur Jaringan (In Vitro) pada Pisang .............................................
4 5 6 7 10 11
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ........................................................................... Bahan dan Alat ................................................................................. Metode Penelitian ............................................................................. Pelaksanaan .. ...................................................................................
13 13 13 14
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum .................................................................................. 18 Pertumbuhan Tunas ........................................................................... 19 Pertumbuhan Akar ............................................................................ 24 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... ................................................................................... 31 Saran ............. ................................................................................... 31 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 32 LAMPIRAN ............ ................................................................................... 36
DAFTAR TABEL Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
1. 2. 3.
4.
5.
6.
7.
8.
Halaman Teks Jumlah Tunas Pisang Rajabulu saat Umur 2-8 MST (Minggu Setelah Tanam) .............................................................................. Panjang Tunas Pisang Rajabulu saat Umur 8 MST (Minggu Setelah Tanam) ............................................................... Jumlah Daun Pisang Rajabulu saat Umur 2-8 MST (Minggu Setelah Tanam) .............................................................................. Panjang Daun Pisang Rajabulu saat Umur 8 MST (Minggu Setelah Tanam) .............................................................................. Jumlah Akar Pisang Rajabulu saat Umur 2-8 MST (Minggu Setelah Tanam) .............................................................................. Panjang Akar Pisang Rajabulu saat Umur 2-8 MST (Minggu Setelah Tanam) .............................................................................. Hasil Pengamatan Saat 8 MST (Minggu Setelah Tanam) .............
Lampiran Komposisi Media Murashige dan Skoog ...................................... Kandungan Zat Kimia Buah Pisang Rajabulu .............................. Sidik Ragam Pengaruh Ekstrak Buah Pisang terhadap Jumlah Tunas Pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) secara In Vitro pada 2-8 MST .............................................................................. Sidik Ragam Pengaruh Ekstrak Buah Pisang terhadap Panjang Tunas Pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) secara In Vitro pada 2-8 MST .............................................................................. Sidik Ragam Pengaruh Ekstrak Buah Pisang terhadap Jumlah Daun Pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) secara In Vitro pada 2-8 MST .............................................................................. Sidik Ragam Pengaruh Ekstrak Buah Pisang terhadap Panjang Daun Pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) secara In Vitro pada 2-8 MST .............................................................................. Sidik Ragam Pengaruh Ekstrak Buah Pisang terhadap Jumlah Akar Pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) secara In Vitro pada 2-8 MST .............................................................................. Sidik Ragam Pengaruh Ekstrak Buah Pisang terhadap Panjang Akar Pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) secara In Vitro pada 2-8 MST ..............................................................................
20 21 23 24 25 27 29
37 38
39
39
40
40
41
41
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks 1. Kultur yang Berhasil Tumbuh ........................................................ 2. Kultur saat Umur 6 MST (Minggu Setelah Tanam) ......................
Halaman 19 28
PENDAHULUAN Latar Belakang Pisang (Musa paradisiaca) adalah buah yang cukup disukai di dunia, sebab pisang memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, dan murah harganya. Dibandingkan dengan buah lain, pisang memiliki tekstur lembut dengan rasa yang lezat. Selain itu, praktis dan mudah dikupas tanpa alat bantu. Pisang juga dapat dikonsumsi segar atau diolah terlebih dahulu. Karena tidak mengenal musim, buah pisang tersedia sepanjang tahun dan dengan harga terjangkau. Dewasa ini buah pisang telah menjadi komoditi industri. Pisang (Musa paradisiaca) ternyata telah menjadi bagian dari diet manusia sejak bertahun-tahun silam. Penelitian fosil di Papua Nugini menunjukkan adanya domestikasi dan budidaya tanaman ini lebih dari 10,000 tahun lalu. Seluruh bagian tanaman ini dimanfaatkan, mulai dari akar untuk obat-obatan, batang untuk rakit dan tali-temali, daun untuk pembungkus, dan tentu saja buahnya untuk dimakan (Megia, 2006). Berdasarkan data FAO, di tahun 2005 Indonesia menempati posisi ke-6 sebagai produsen buah pisang di dunia. Angka produksi pisang Indonesia saat itu adalah 641,789 ton/tahun. Sementara itu, konsumsi buah pisang orang Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan penduduk bangsa lain. Pada tahun 2005, dalam data Direktorat Bina Produksi Hortikultura, tercatat bahwa angka konsumsi buah pisang penduduk Indonesia sebesar 7.9 kg/kapita/tahun. Angka ini tergolong rendah dibanding Amerika Serikat yang angka konsumsi buah pisangnya adalah sebesar 22.1 kg/kapita/tahun (Direktorat Bina Produksi Hortikultura, 2005) dan Uganda sebesar 243 kg/kapita/tahun (Megia, 2006). Kebutuhan pisang di negara-negara lain diperkirakan juga akan terus meningkat. Volume rata-rata impor pisang dunia dalam kurun waktu 2004-2006 mencapai ±12,406,411 ton/tahun (FAO, 2007). Data tersebut menunjukkan adanya peluang bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pisang dunia. Jenis pisang Indonesia yang diminati di Saudi Arabia dan negara pengimpor lainnya, berdasarkan keterangan eksportir buah-buahan di Jakarta, terutama jenis pisang Rajabulu dan Mas.
Pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) termasuk pisang komersial. Pengertian komersial di sini adalah banyak terdapat di pasaran, baik di pasar umum maupun supermarket. Pisang rajabulu tergolong pisang yang dapat dimakan langsung setelah masak maupun diolah terlebih dahulu. Warna daging buahnya kuning berbintik coklat. Bobot tiap tandannya 7-10 kg dengan bobot rata-rata per buah 110-120 g. Satu tandan terdiri dari 6-7 sisir dan setiap sisirnya 10-15 buah. Panjang buahnya 12-18 cm dan diameternya 6-6.5 cm (PKBT, 2006). Pisang Rajabulu yang dikembangkan oleh PKBT-IPB memiliki nilai keungggulan dari segi rasa (lebih manis dan legit), penampilan buah menarik, kandungan karoten sangat tinggi serta memiliki total gula yang rendah. Di samping itu nilai glikemiks indeks cukup baik (54% dari standar glukosa) (PKBT, 2007). Oleh karena itu sangat bagus untuk dikonsumsi sebagai makanan tambahan. Tanaman pisang yang termasuk monokotil herba ini tumbuh baik di daerah tropika pada ketinggian 100-700 m dpl tetapi lebih cocok pada dataran rendah tropis basah, suhu udara 22-32o C dan curah hujan 2000-3000 mm/tahun (Sunarjono, 2002). Sehingga pisang sangat cocok apabila dikembangkan di Indonesia dalam rangka untuk meningkatkan produksi buah pisang nasional. Peningkatan produksi pisang Indonesia memerlukan perluasan penanaman. Salah satu cara adalah dengan perkebunan pisang. Perkebunan pisang membutuhkan bibit yang bermutu dalam jumlah besar. Ada dua cara untuk menyediakan bibit, yaitu konvensional dan kultur jaringan (in vitro). Perbanyakan secara konvensional melalui anakan (sucker), bonggol dan belahan bonggol membutuhkan waktu yang lama, bibit yang dihasilkan sedikit, tidak seragam dan kesehatannya tidak terjamin. Sedangkan teknik kultur jaringan (in vitro) dapat menghasilkan bibit pisang yang sehat dan seragam dalam jumlah besar dalam kurun waktu yang relatif singkat dan tidak tergantung iklim, sehingga ketersediaan bibit terjamin. Proses penyediaan bahan kimia yang tidak mudah dan mahalnya bahan kimia sebagai bahan dasar dalam pembuatan media menyebabkan perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan bahan media alternatif yang lebih murah dan mudah dibuat, tetapi tetap mampu memenuhi kebutuhan tanaman akan unsur hara
dan vitamin selama pertumbuhan, karena tanaman dalam kultur jaringan memerlukan unsur hara makro dan mikro, vitamin dan zat pengatur tumbuh untuk terus tumbuh dan berkembang. Pilihan yang dapat digunakan dalam kultur jaringan adalah penggunaan bahan organik sebagai bahan tambahan dalam media seperti air kelapa, ekstrak ragi, ekstrak buah tomat, maupun ekstrak buah pisang. Jenis pisang yang umumnya digunakan sebagai bahan tambahan media dalam kultur jaringan yaitu jenis pisang Ambon. Bubur pisang yang biasa digunakan untuk media kultur jaringan berkisar 150-200 g/liter.
Tujuan
Untuk membandingkan pengaruh ekstrak buah pisang dalam berbagai konsentrasi sebagai pengganti vitamin sintetis pada media pertumbuhan tunas pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) secara in vitro
Hipotesis
1. Terdapat pengaruh yang sama antara ekstrak buah pisang pada konsentrasi tertentu dengan vitamin sintetis terhadap pertumbuhan tunas pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) secara in vitro 2. Terdapat konsentrasi ekstrak buah pisang yang mendukung pertumbuhan tunas pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) secara in vitro
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Pisang Tanaman pisang (Musa paradisiaca) merupakan tanaman monokotil yang termasuk dalam famili Musaceae. Menurut Simmonds (1970) famili Musaceae terdiri dari dua genera yaitu genus Musa dan Ensete. Genus Musa terbagi atas empat kelompok yaitu Australimusa, Callimusa, Eumusa dan Rhodochlamys. Kelompok Callimusa dan Rhodochlamys banyak digunakan sebagai tanaman hias, sedangkan Australimusa dan Eumusa banyak dimanfaatkan untuk buah, serat dan sayuran. Kelompok Eumusa paling banyak dibudidayakan dan tersebar luas. Kelompok ini memiliki banyak jenis yang buahnya dapat dimakan. Pisang yang dikonsumsi sekarang berasal dari dua spesies liar yang merupakan kelompok Eumusa, yaitu Musa acuminata (A) dan Musa balbisiana (B). Persilangan alami kedua spesies tersebut menghasilkan Musa paradisiaca (Simmonds, 1970). Kelompok Eumusa memiliki jumlah kromosom dasar 11. Jenis-jenis pisang yang ada memiliki jumlah kromosom beragam, ada yang bersifat diploid (22), triploid (33) dan tetraploid (44). Kultivar yang mempunyai anggota paling banyak adalah yang bersifat triploid, sedangkan yang anggotanya paling sedikit adalah yang bersifat tetraploid (Simmonds, 1970). Genom dari kultivar yang bersifat diploid adalah AA (pisang Mas dan pisang Seribu) dan AB, yang bersifat triploid adalah AAA (pisang Ambon, pisang Ambon Lumut, pisang Badak dan pisang Raja Sereh), AAB (pisang Rajabulu dan pisang Tanduk), dan ABB (pisang Batu) dan yang bersifat tetraploid adalah AAAA dan ABBB (Simmonds, 1970). Simmonds (1970) juga menyatakan bahwa pisang merupakan tanaman herba tahunan dengan sistem perakaran dan batang di bawah tanah (bonggol). Bonggol pisang memiliki tunas-tunas samping yang disebut anakan (sucker). Batang yang terlihat di atas permukaan tanah adalah batang semu yang merupakan kumpulan pelepah daun yang saling membungkus rapat. Akar pisang dimulai dari bonggol dengan ketebalan 5-8 mm, berwarna putih, berdaging, jika sudah tua akan mengeras. Daun berkembang dari bagian tengah batang semu dalam keadaan
rapat membuka penuh. Bakal daun pisang tumbuh dari bonggol pisang dan dengan tekanan yang kuat meneroboskan gulungan daun keluar dari batang semu. Jika satu daun telah keluar maka di dalam batang terbentuk lagi satu daun muda. Pisang termasuk tanaman buah herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara. Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah. Jenis pisang antara lain: (1) pisang yang dimakan buahnya tanpa dimasak, yaitu M. paradisiaca var. Sapientum, M. nana atau disebut juga M. cavendishii, M. sinensis, contohnya: pisang Ambon, pisang susu, pisang raja, pisang cavendish, pisang barangan dan pisang mas; (2) pisang yang dimakan setelah buahnya dimasak, yaitu M. paradisiaca forma typica atau disebut juga M. paradisiaca normalis, contohnya: pisang nangka, pisang tanduk, dan pisang kepok; (3) pisang berbiji, yaitu M. brachycarpa yang di Indonesia dimanfaatkan daunnya, contohnya: pisang batu dan pisang kluthuk; (4) pisang yang diambil seratnya, contohnya pisang manila/abaka (PKBT, 2006). Pisang Rajabulu merupakan jenis tanaman pisang yang memiliki genom AAB yang memiliki ciri morfologi khas sehingga membedakan dengan jenis pisang yang lain. Ciri morfologi itu antara lain: tinggi tanaman 3.4 m, diameter batang 27 cm, tipe pertumbuhan daun mendatar, jumlah daun (eksis) 13, lebar helai daun 90 cm, panjang helai daun 3 m, titik pangkal helai daun pada tangkai daun tidak simetris, bentuk pangkal helai daun kedua sisi membulat, lebar tepi tangkai daun 6 cm, panjang tangkai daun 50 cm, ujung tepi tangkai daun berwarna coklat tua, tipe lekuk tangkai daun pada daun ketiga lurus dengan tepi tegak, bercak di pangkal tangkai daun sedang, warna tepi tangkai daun coklat tua, warna permukaan atas helai daun hijau tua, warna permukaan bawah helai daun hijau, warna batang semu coklat tua, hijau, dan merah muda, ada pigmentasi merah pada tepi tangkai daun, serta ada pigmentasi merah pada dasar batang semu (PKBT, 2007).
Perbanyakan Tanaman Pisang Secara Konvensional Pisang yang dapat dimakan umumnya tidak berbiji atau berbiji steril, sehingga diperbanyak secara vegetatif. Secara konvensional tanaman pisang diperbanyak dengan menggunakan bonggol (corm), belahan bonggol dan anakan
(sucker). Petani-petani tradisional di Indonesia umumnya menggunakan anakan sebagai
bahan
perbanyakan
tanaman.
Masing-masing
induk
tanaman
menghasilkan 1-2 anakan sehingga sangat terbatas jumlah bibit yang dapat dikembangkan dari anakan. Para petani di Sukamekar (Kabupaten Cianjur) memperbanyak anakan pisang dengan cara menimbun bonggol dengan tanah. Bonggol yang ditimbun, dikelupas pelepah-pelepah daun atau batang semunya terlebih dahulu sehingga seluruh bonggol terbuka. Dari bonggol tersebut akan tumbuh tunas atau anakan sekitar 4 anakan dalam waktu 6 bulan. Sedangkan pisang Rajabulu menghasilkan 6 anakan dalam setahun. Akan tetapi, perbanyakan tanaman secara konvensional memiliki kelemahan: (1) waktu yang diperlukan untuk memperbanyak anakan atau mata tunas sangat lama, (2) jumlah bibit yang dihasilkan sedikit, (3) hasil perbanyakan memungkinkan bagi meluasnya patogen, yang akan sangat nyata menurunkan produksi.
Teknik Kultur Jaringan (In Vitro) Tanaman Kultur jaringan tanaman adalah metode atau teknik mengisolasi jaringan, organ, sel, maupun protoplas tanaman, menjadikan eksplan dan menumbuhkannya di dalam media pertumbuhan yang aseptik sehingga eksplan tersebut dapat tumbuh dan berkembang, berorganogenesis dan dapat menjadi tanaman sempurna (Mattjik, 2005). Teknik kultur jaringan beranjak dari teori totipotensi (total genetic potensial) yang disampaikan oleh Sleiden dan Schwan pada tahun 1838, bahwa sel tanaman adalah suatu unit yang otonom yang di dalamnya mengandung material genetik lengkap, sehingga apabila ditumbuhkan di dalam lingkungan tumbuh yang sesuai, sel tersebut dapat tumbuh dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (Mattjik, 2005). Melalui perbanyakan teknik kultur jaringan, akan diperoleh tanaman baru dalam waktu yang singkat, dalam jumlah yang banyak, seragam, bebas patogen dan memiliki sifat seperti induknya. Aplikasi teknik kultur jaringan dalam perbanyakan tanaman telah menjadi kegiatan rutin terutama pada komoditas hortikultura (Mattjik, 2005).
Lingkungan tumbuh merupakan salah satu faktor pendukung dalam kultur jaringan. Lingkungan tumbuh yang dibutuhkan tanaman yang ditumbuhkan secara kultur in vitro dapat berbeda dengan tanaman yang ditumbuhkan secara in vivo. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kultur secara in vitro adalah cahaya, temperatur, kelembaban, CO2 dan O2 (Wetherell, 1982). Unsur cahaya yang perlu diperhatikan adalah kualitas cahaya, panjang penyinaran dan intensitas cahaya. Cahaya yang baik untuk pertumbuhan kultur adalah cahaya putih. Lampu fluoresent sangat baik dan sangat efisien dalam penggunaan energi bila dibandingkan dengan lampu pijar (Gunawan, 1992). Bentuk lampu fluoresen memungkinkan penyebaran cahaya yang lebih baik dengan panas yang dikeluarkan relatif rendah (Gunawan, 1992). Tahap persiapan eksplan dan tahap penggandaan membutuhkan penyinaran 100 footcandle, sedangkan tahap pembesaran membutuhkan penyinaran 300-1000 footcandle (Wetherell, 1982). Suhu pada kultur jaringan biasanya dipertahankan konstan pada 24-26°C. Kelembaban ruang kultur yang terlalu tinggi menyebabkan terjadinya pertumbuhan mikroba di luar kultur. Hal ini dapat menaikkan derajat kontaminasi (Wetherell, 1982).
Media kultur jaringan 1. Media dasar Media merupakan salah satu faktor yang penting dalam kultur jaringan. Media tumbuh pada sistem kultur jaringan harus dapat memenuhi kebutuhan eksplan. Umumnya, media dalam kultur jaringan merupakan campuran air dan hara yang mengandung garam-garam anorganik, dan zat pengatur tumbuh. Garam-garam anorganik menyediakan unsur-unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan Na) dan unsur-unsur hara mikro (B, Co, Mn, I, Fe, Zn, dan Cu). Menurut Gunawan (1992) media kultur jaringan dibedakan menjadi 2 yaitu media dasar dan media perlakuan. Media dasar yang sering digunakan untuk teknik kultur jaringan adalah media dasar Murashige dan Skoog (1962). Media Murashige dan Skoog yang sering digunakan mengandung unsur-unsur hara makro
dan
mikro
yang
diperlukan
tanaman
untuk
pertumbuhan
dan
perkembangannya. Media untuk kultur jaringan selain memerlukan unsur hara
juga memerlukan bahan organik lain seperti gula, vitamin, asam amino, myo inositol, zat pengatur tumbuh, dan bahan organik kompleks alami. Dikenal tiga jenis media dalam kultur jaringan, yaitu media padat, semi padat dan media cair. Unsur-unsur hara yang terkandung dalam ketiga media tersebut sama, yang membedakan adalah penggunaan pemadat agar pada media padat dan semi padat. Pemilihan media kultur jaringan tergantung pada spesies tanaman, jaringan atau organ yang akan digunakan dan tujuan dilakukannya kultur jaringan tanaman. Proses perakaran lebih baik dilakukan pada media padat sampai terbentuk tanaman lengkap. Pembentukan bagian tanaman (morfogenesis) langsung maupun tidak langsung tergantung pada jenis dan konsentrasi yang tepat dari senyawa organik, anorganik dan zat pengatur tumbuh dalam suatu media kultur. Sedangkan media cair umumnya digunakan untuk keperluan suspensi sel, keperluan isolasi dan fusi protoplas (Gunawan, 1992). Pemakaian agar merupakan hal yang terpenting mengingat jaringan eksplan harus kontak dengan media tanpa harus tenggelam di dalamnya. Penggunaan agar sebagai pemadat dilakukan agar aerasi lebih mudah. Media pemadat yang sering dipakai dan berhasil dengan baik adalah agar, gelatin, dan gel yang merupakan turunan dari pati dan silica gel (Wetherell, 1982).
2. Zat pengatur tumbuh Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam konsentrasi rendah, dan menimbulkan tanggap secara biokimia, fisiologis dan morfologis (Wattimena, 1988). Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam kegiatan kultur jaringan adalah auksin, sitokinin, giberelin dan asam absisi (Gunawan, 1992). Auksin dan sitokinin ditambahkan dalam media kultur untuk menginduksi perkembangan eksplan. Auksin yang umum digunakan dalam media kultur jaringan adalah IAA (indole acetic acid), IBA (3-indolebutyric acid), 2,4D (2,4dichlorophenoxyacetic acid), dan NAA (1-naphthylacetic acid). Auksin berperan dalam merangsang pembelahan dan pembesaran sel yang terdapat pada pucuk tanaman, dan menyebabkan pertumbuhan pucuk-pucuk baru (Wetherell, 1982).
Sitokinin terdiri dari beberapa kelompok, yaitu: zeatin, 2-iP, kinetin dan BAP. Zeatin dan 2-iP (N6-2-iso-pentenyladenine) adalah sitokinin alami dan kinetin secara sintetik adalah turunan sitokinin. Sitokinin berperan dalam pembelahan sel, meningkatkan pembentukan pucuk aksilar dan menghambat pembentukan akar. Sitokinin juga berperan dalam morfogenesis tunas dalam kultur jaringan tanaman terutama inisiasi tunas atau pembentukan pucuk
(Davies,
1995; Mauseth, 1991; Raven, 1992; Salisbury and Ross, 1992) .
Vitamin dan Bahan Organik Vitamin adalah bahan organik bagian dari enzim atau kofaktor yang esensial untuk fungsi metabolik (Lieberman dan Bruning, 1990). Vitamin diperlukan
tanaman
untuk
pertumbuhan
jaringan.
Tanaman
biasanya
menghasilkan vitamin dengan sendirinya, tetapi dalam kultur jaringan vitamin harus ditambahkan pada media sebagai penyedia sumber vitamin yang sangat dibutuhkan tanaman untuk perkembangan jaringan tanaman. Vitamin yang biasanya ditambahkan adalah vitamin B1 (thiamine), vitamin B6 (pyridoxine) dan niasin. Asam amino diperlukan dalam mensintesis protein dan diferensiasi dari jaringan, dan asam amino yang diperlukan asam aspartat, glycine, dan tirosine (Gunawan, 1992).
Bahan Organik Kompleks Pada pembuatan media kultur jaringan dapat ditambahkan bahan organik kompleks sebagai sumber gula, vitamin, ZPT dan asam amino. Contoh bahan organik kompleks itu adalah “juice” tomat, ekstrak kentang, ekstrak toge, ekstrak ubi, ekstrak pepaya, dan ekstrak pisang. Penggunaan bahan tersebut sebagai bahan tambahan media dapat berbeda pengaruhnya pada tanaman yang berbeda pula (Gunawan, 1992). Ekstrak pisang sebagai bahan tambahan media telah dicoba oleh Muawanah (2005) untuk kultur in vitro anggrek Dendrobium canayo. Melihat kandungan vitamin yang dimiliki oleh ekstrak pisang, maka dapat digunakan untuk menggantikan vitamin sintetis yang biasa digunakan dalam media MS.
Jenis pisang yang umumnya digunakan sebagai media dalam kultur jaringan yaitu jenis pisang ambon. Bubur pisang yang biasa digunakan berkisar 150-200 g/liter. Data PKBT (2007) menunjukkan bahwa vitamin yang terkandung dalam pisang adalah vitamin A, tiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), piridoksin (vitamin B6) dan asam askorbat (vitamin C) (Lampiran 2). Sedangkan gula dalam pisang terdiri atas senyawa 4.6% dextrosa, 3.6% levulosa, dan 2% sukrosa. Menurut Arditti dan Ernst (1992) bahwa dalam buah pisang terdapat hormon auksin dan giberelin. Watimena et al. (1992) juga menyatakan bahwa setiap buah yang masak terdapat hormon auksin di dalamnya. Auksin dalam kultur jaringan, selain berfungsi untuk merangsang pemanjangan sel juga pembentukan kalus, klorofil, morfogenesis akar dan tunas, serta embriogenesis.
Penanaman Aseptik 1. Eksplan Eksplan adalah bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan untuk inisiasi suatu kultur. Eksplan yang digunakan harus dalam keadaan aseptik melalui prosedur sterilisasi dengan berbagai bahan kimia. Dari eksplan aseptik kemudian diperoleh kultur aseptik yaitu kultur dengan hanya satu macam organisme yang diinginkan (Gunawan,1992). Eksplan yang digunakan dapat berukuran sangat kecil seperti kelompok sel sampai ukuran cukup besar yang sudah membentuk organ. Eksplan yang berukuran besar mudah terkontaminasi, sedangkan eksplan yang berukuran kecil tingkat pertumbuhannya lebih rendah. Stover dan Simmonds (1987) berpendapat bahwa ukuran eksplan yang baik untuk perbanyakan pisang secara in vitro adalah berkisar antara 0.2 cm – 0.6 cm. Namun, dalam penelitiannya, Pasaribu (1996) memakai eksplan sucker pisang yang berukuran ± 1.5 cm.
2. Sub kultur Sub kultur merupakan salah satu kegiatan penting dalam metode kultur jaringan (in vitro). Menurut Gunawan (1992) sub kultur adalah pemindahan kultur aseptik dari satu media kultur ke dalam media kultur yang lain, baik yang sama
maupun berbeda jenis atau komposisi media kulturnya, dengan jangka waktu tertentu. Masa saat kultur aseptik berada di dalam media disebut masa inkubasi. Setiap masa inkubasi disebut passage. Passage pertama adalah sub kultur pertama dari jaringan yang terbentuk dari eksplan awal. Sedangkan passage kedua berarti adalah sub kultur kedua, demikian seterusnya. Masa inkubasi tiap kultur berbeda untuk tiap spesies yang berbeda pula. Demikian pula untuk jumlah passage. Bahan yang diambil dari setiap sub kultur disebut inokulan. Inokulan dapat berupa eksplan maupun tunas steril. Sub kultur eksplan dilakukan dengan memindahkan eksplan yang diinginkan yang sebelumnya dipotong terlebih dahulu. Yang berarti ukuran eksplan lebih kecil dari sebelumnya, sehingga ruang untuk tunas baru yang akan terbentuk bertambah. Inilah salah satu tujuan dilakukan sub kultur. Sedangkan sub kultur tunas steril dilakukan dengan memindahkan tunas yang sebelumnya telah dipotong daunnya. Tujuannya adalah untuk mengurangi resiko kontaminasi pada kultur. Tujuan sub kultur yang lain adalah untuk pemantapan klon (Gunawan, 1992). Beberapa peneliti terdahulu melakukan teknik sub kultur dalam metode kultur jaringan. Armini (1992) melakukan sub kultur sebanyak dua kali untuk multiplikasi tunas pisang dengan selang antara sub kultur 12 minggu. Herawaty (2000) melakukan sub kultur sebanyak dua kali dengan selang empat minggu terhadap eksplan tunas melon (Cucumis melo L.). Hasil penelitian Krisnaningtyas (2003) menunjukkan bahwa perlakuan sub kultur berulang merangsang pertumbuhan dan perkembangan anyelir secara in vitro. Semakin banyak frekuensi sub kultur dapat meningkatkan jumlah tunas dan tinggi tunas Dianthus caryophyllus L.
Kultur Jaringan (In Vitro) Pada Pisang Kultur jaringan (in vitro) pada pisang saat ini banyak dilakukan. Eksplan ujung tunas (shoot tip) dapat digunakan sebagai bahan tanaman yang dapat menghasilkan 8 tunas per 30 hari. Dalam 360 hari dapat diperoleh kurang lebih 1.000.000 tunas (Krikorian, 1993). Menurut Strosse et. al. (2004), penerapan kultur in vitro pada pisang ditujukan untuk perbanyakan tunas dan perlindungan tanaman dari penyakit. Strosse juga menambahkan ukuran optimal eksplan yang
digunakan tergantung dari tujuannya. Untuk perbanyakan cepat, ukuran eksplan 310 mm. sedangkan jika untuk tujuan menghilangkan bakteri ukuran eksplan 0.5-1 mm. Media untuk perbanyakan mikro pisang adalah MS + 30-40 g/l sukrosa, 2.25 mg/l BA + 0.175 mg/l IAA (untuk inisiasi tunas), dan pemadat agar 5-8 g/l. Penerapan kultur in vitro pada pisang Rajabulu dewasa ini juga telah banyak dilakukan. Menurut Sukma (1994) perlakuan yang terbaik pada pisang Rajabulu, dengan eksplan tunas in vitro dari sucker, adalah pada 10.5 mg/l BAP + 3.0 mg/l IAA yang menghasilkan rata-rata 7.68 tunas. Hasil penelitian Ernawati et al. (1994), dengan menggunakan eksplan dari sucker pisang Rajabulu, tunas terbanyak yaitu rata-rata 7.17 tunas dihasilkan pada perlakuan 7.0 mg/l BAP + 3.0 mg/l IAA. Eksplan yang biasa digunakan dalam perbanyakan pisang berasal dari anakan (sucker). Inisiasi tunas pisang Rajabulu tidak sulit. Pada umur 2 minggu setelah inisiasi, eksplan sudah memperlihatkan warna hijau (hidup)1). Namun, hasil percobaan Kasutjianingati (2004) yang sama dengan hasil percobaan Ernawati et al. (2000) menunjukkan bahwa dormansi apikal pisang Rajabulu/AAB lebih susah mengalami break dan memerlukan inisiasi lebih lama dibanding pisang mas/AA, Ambon Kuning/AAA dan Barangan/AAA. Percobaan Kasutjianingati juga menunjukkan bahwa penggandaan tunas dan kemampuan berakar pisang Rajabulu/AAB lebih rendah dibanding pisang mas/AA, Ambon Kuning/AAA dan Barangan/AAA. Sedangkan kombinasi BAP dan IAA yang dianjurkan untuk menghasilkan tunas layak pisang Rajabulu/AAB dan Kepok Kuning/AAB adalah BAP 5 mg/l dan IAA 3 mg/l. Sementara itu, Isnaeni (2008) melaporkan bahwa pada tahap inisiasi tunas pisang Rajabulu, penggunaan Thiadiazuron (TDZ) memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan BAP. Jumlah tunas hidup tertinggi dihasilkan oleh media dengan penambahan TDZ 0.04 mg/l. Namun, penggunaan TDZ berpengaruh lebih buruk pada multiplikasi pisang Rajabulu dibandingkan dengan media MS0.
Sumber: 1) menurut keterangan Laboran PKBT-IPB (Sulassih)
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Agustus 2007 dan dilakukan di laboratorium kultur jaringan Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika (PKBT), Kampus IPB Baranang Siang, Bogor.
Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan adalah tunas sub kultur pisang Rajabulu Cianjur (hasil inisiasi dari tim laboratorium PKBT) dan Darul Falah. Bahan untuk media adalah larutan stok untuk media MS, air suling, agar, glukosa, dan senyawa kompleks organik yaitu ekstrak buah pisang (pisang Rajabulu). Bahan untuk pengatur pH (HCl & KOH), dan ZPT (BA 2 ppm dan TDZ 0.4 µM). Alat – alat yang dibutuhkan yakni pisau, blender, timbangan analitik, gelas ukur, gelas piala, erlenmeyer, pipet, gelas kultur, gelas masak, pengaduk, labu ukur, botol ukur, pipet, autoklaf, oven, kompor, plastik penutup, spatula, karet, laminar air flow cabinet, pinset, petri dish, botol kultur, bunsen, kompor gas dan kertas label.
Metode Penelitian Percobaan yang dilakukan menggunakan 4 macam media perlakuan yaitu: P1 (kontrol) : media MS + vitamin (thiamine, nicotine, phyridoxine) P2 : media MS + ekstrak pisang 50 g/l P3
: media MS + ekstrak pisang 100 g/l
P4
: media MS + ekstrak pisang 150 g/l Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)
faktor tunggal, yaitu
bahan organik (ekstrak buah pisang) dengan 4 taraf
konsentrasi yaitu 0 g/l, 50 g/l, 100 g/l, dan 150 g/l, sehingga ada 4 macam perlakuan. Setiap perlakuan digunakan 30 ulangan (30 satuan percobaan). Tiga puluh ulangan ini diambil dari keseluruhan tunas yang diamati sebanyak 44 botol sedang dan 24 botol kecil untuk setiap perlakuannya. Setelah diuji F, dilakukan uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%.
Pelaksanaan Sterilisasi peralatan Alat-alat yang digunakan untuk penanaman harus dalam keadaan steril. Alat-alat logam dan gelas ada yang disterilkan dalam autoklaf, dan ada pula yang disterilkan dalam oven. Alat-alat tersebut dibungkus dengan kertas kemudian disterilisasi pada suhu 121°C selama 1 jam pada tekanan 17.5 psi (jika memakai autoklaf) dan selama 1 jam pada suhu 170°C (jika memakai oven). Sterilisasi botol dilakukan setelah botol dicuci terlebih dahulu. Botol kultur steril selanjutnya disimpan pada tempat yang bersih dan siap digunakan. Alat-alat tanam seperti pinset dan skalpel dapat disterilkan kembali dengan pemanasan di atas api spiritus, setelah dicelupkan pada alkohol 90% sebelum penanaman dilakukan.
Sterilisasi air suling dan media kultur Media dan air suling yang digunakan terlebih dahulu disterilkan dalam autoklaf. Air suling disterilisasi dengan menggunakan botol kultur yang berisi 100 ml air suling dan ditutup dengan plastik, dan diautoklaf selama 1 jam pada suhu 121°C dengan tekanan 17.5 psi. Media kultur yang akan digunakan disterilisasi dalam autoklaf pada suhu dan tekanan yang sama selama 30 menit. Media yang digunakan untuk penanaman disimpan selama satu minggu di ruang kultur untuk melihat terjadinya kontaminasi atau tidak pada media yang akan digunakan untuk penanaman.
Sterilisasi lingkungan kerja Lingkungan kerja dalam kultur jaringan terdiri dari lingkungan umum yaitu ruang transfer secara keseluruhan dan lingkungan khusus yaitu lingkungan di dalam laminar air flow cabinet (LAC). Kebersihan lingkungan khusus (laminar air flow cabinet) dilakukan dengan menyemprot permukaan tempat kerja dalam laminar air flow cabinet dengan alkohol 90%, dan dibersihkan dengan menggunakan tissue, hal ini dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang mungkin menempel pada permukaan dalam LAC tersebut. Sebelum digunakan blower (peniup udara) dan lampu ultra violet dalam laminar air flow cabinet dinyalakan selama 0.5-1 jam
untuk membersihkan kontaminan di permukaan tempat kerja. Permukaan tempat kerja dibersihkan kembali dengan alkohol 90% atau dengan lampu ultra violet selama 0.5-1 jam setelah penanaman selesai dilakukan.
Pembuatan media Pembuatan media MS0 dilakukan dengan memasukkan larutan stok yang terdiri dari larutan stok A, B, C, D, E, F, vitamin dan larutan Myo-inositol (Tabel lampiran 1) sesuai kebutuhan. Campuran larutan stok tersebut dimasukkan ke dalam labu takar, kemudian ditambahkan air suling sampai tanda tera (1 liter). Selanjutnya larutan tersebut ditambah 30 g/l gula dan diukur keasaman larutan dengan menggunakan pHmeter. Pemadat agar ditambahkan sebanyak 7 g/l setelah dilakukan pengukuran pH. Media MS yang akan digunakan sebagai media perbanyakan ditambahkan 2 ppm BA dan 0.4 µM TDZ.
Pembuatan media perlakuan Media yang digunakan sebagai perlakuan adalah campuran bahan media MS0 dengan ekstrak buah pisang rajabulu. Konsentrasi pisang yang digunakan antara lain 50, 100 dan 150 g/l. Pisang rajabulu yang digunakan adalah buah pisang rajabulu yang sebelumnya ditimbang lebih dulu (setelah dikupas) sesuai dengan kebutuhan. Buah pisang yang telah ditimbang selanjutnya dihancurkan dan diberi air secukupnya, lalu disaring dengan menggunakan kain saring. Sehingga yang digunakan adalah ekstrak buah pisang hasil saringan tersebut. Pencampuran dilakukan sesuai dengan perlakuan yang ada sehingga diperoleh 4 macam perlakuan. Bahan media MS0 dan ekstrak buah pisang rajabulu yang telah tercampur diencerkan sampai 1 liter larutan dan ditambahkan gula sebanyak 30 g/l. Larutan media yang telah tercampur dengan sempurna, diukur tingkat keasaman larutannya dengan menggunakan pHmeter. Keasaman larutan media yang diinginkan adalah 5.6-5.8. Apabila keasaman media yang didapatkan <5.6 maka ke dalam larutan media tersebut ditambahkan beberapa tetes larutan KOH dengan konsentrasi 1 N dan jika larutan media memiliki
keasaman >5.8 maka ke dalam larutan media tersebut ditambahkan larutan HCl 1N beberapa tetes, sehingga keasaman larutan tersebut media dapat terpenuhi. Pemadat agar sebanyak 7 g/l ditambahkan setelah pH pada larutan media sesuai dengan yang diharapkan. Pemanasan dilakukan sampai larutan media tersebut mendidih sehingga semua bahan yang ada dalam larutan media tersebut benar-benar terlarut. Larutan media yang telah dipanaskan, dimasukkan ke dalam botol kultur yang telah diautoklaf masing-masing sebanyak 20 ml, penutupan botol kultur yang telah diisi larutan media dengan menggunakan plastik yang diikat dengan karet sehingga botol-botol kultur benar-benar tertutup rapat, sehingga tidak ada udara luar yang masuk ke dalam botol kultur. Botol yang telah terisi larutan media diautoklaf selama 30 menit pada tekanan 17.5 psi dan suhu yang digunakan sebesar 121°C. Media yang sudah diautoklaf disimpan di tempat yang sejuk selama beberapa saat sebelum media tersebut digunakan untuk penanaman. Penyimpanan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya kontaminasi di dalam media kultur sebelum digunakan untuk menanam eksplan.
Penanaman Penanaman dilakukan dalam laminar air flow cabinet (LAC). LAC disterilkan dengan cara menyalakan lampu UV (ultra violet) selama 1 jam dan disemprot alkohol 90% sebelum digunakan. Semua alat yang digunakan dalam penanaman disemprot dengan alkohol 90% terlebih dulu. Botol kultur yang telah berisi tunas steril (hasil subkultur) diletakkan dalam rak kultur yang disinari lampu 15 dan 20 watt selama 16 jam/hari, intensitas cahaya rata-rata 100 ft-c, suhu 19-24°C. Tunas steril yang digunakan adalah tunas mikro Rajabulu Cianjur dan Rajabulu Darul Falah, yang merupakan hasil sub kultur. Untuk sub kultur tunas Rajabulu Cianjur dilakukan dengan menempatkan empat potongan calon tunas dalam satu botol (dalam hal ini botol sedang/botol selai), di mana tiap calon tunas berada pada tepi botol/media (dalam hal ini tiap satu tunas dianggap sebagai satu satuan percobaan). Cara ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan memakai cara ini, kita akan lebih menghemat tempat (botol) dan media, serta untuk
memudahkan saat pengamatan. Namun, kelemahannya jika salah satu tunas terkontaminasi maka yang lainnya akan ikut terkontaminasi juga. Oleh karena itu, untuk sub kultur tunas Rajabulu Darul Falah dilakukan dengan menempatkan satu potongan calon tunas dalam satu botol (dalam hal ini botol kecil). Tunas mikro yang digunakan untuk penelitian berasal dari multiplikasi dengan menggunakan media BT (BA-TDZ) cair dan media BT padat. Media BT cair dan padat sama-sama terdiri dari komposisi media MS dengan penambahan hormon auksin (BA 0.2 ppm) dan sitokinin (TDZ 0.4 µM). Perbedaan media BT cair dan padat hanya terletak pada pemakaian bahan pemadat (agar) dan ukuran botol yang dipakai, di mana media BT cair menggunakan botol sedang dan BT padat menggunakan botol kecil. Pada media BT cair, di tengahnya diletakkan kertas saring sebagai tempat berdirinya tunas. Setelah satu bulan, pada media BT cair dari 27 tunas menjadi 91 tunas, dan pada media BT padat dari 19 tunas menjadi 35 tunas. Selanjutnya tunas-tunas ini ditanam dalam media perlakuan untuk kemudian diamati perkembangannya.
Pengamatan Pengamatan dilakukan setiap minggu mulai dari 2 MST hingga 8 MST. Keseluruhan tunas yang diamati sebanyak 176 tunas botol sedang dan 96 tunas botol kecil. Parameter yang diamati antara lain: 1. Pada 2 MST hingga 8 MST: a. jumlah tunas b. jumlah daun c. jumlah akar 2. Pada 8 MST (saat aklimatisasi): a. panjang planlet (cm), diukur dari pangkal planlet sampai ujung daun yang terpanjang b. panjang daun (cm), diukur dari pangkal daun hingga ujung daun yang terpanjang c. panjang akar (cm), diukur dari pangkal batang hingga ujung akar yang terpanjang
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Keadaan kultur pada minggu pertama secara keseluruhan dapat tumbuh dengan baik. Pada 2 MST (Minggu Setelah Tanam) mulai terlihat kultur yang terkontaminasi, dan terus berlangsung sampai 8 MST, kontaminasi kultur terjadi pada semua perlakuan. Kontaminasi terbanyak diperoleh pada kultur yang menggunakan konsentrasi ekstrak pisang 100 g/l sebagai pengganti vitamin. Kontaminasi tersebut disebabkan oleh cendawan dan bakteri. Cendawan ini pada awalnya berwarna putih dan lama kelamaan bertambah banyak dan berwarna hitam keabu-abuan. Kontaminasi bakteri dapat diketahui dengan terlihatnya lapisan seperti lendir di sekitar dan bawah kultur, serta di tepi media. Koloni bakteri ada yang berwarna putih, kuning dan merah muda. Sekitar 8.5% kultur yang terkontaminasi disebabkan oleh cendawan dan bakteri pada minggu pertama. Diduga bakteri berasal dari bagian dalam kultur atau dari ekstrak pisang. Kontaminasi pada minggu kedua sebesar 28.1% disebabkan oleh bakteri (13.1%) dan cendawan (4%). Pada 8 MST kontaminasi yang disebabkan bakteri (10%) lebih banyak jika dibandingkan dengan kontaminasi yang disebabkan oleh cendawan (9.4%). Kontaminasi yang terjadi bervariasi. Media P1/kontrol lebih sedikit yang terkontaminasi dibandingkan dengan media lain. Saat 2 MST kontaminasi media P1/kontrol sebesar 12.5%, media P2 sebesar 28.1%, media P3 sebesar 28.1%, dan media P4 sebesar 18.8%. Selain kontaminasi, terdapat pula kultur yang mati. Kematian pada kultur diawali dengan proses pencoklatan (browning), pencoklatan kemungkinan disebabkan oleh adanya aktivitas enzim pengoksidasi seperti polifenol oksidase dari dalam yang terbentuk pada eksplan yang terluka. Kultur yang berhasil tumbuh terlihat hijau, dan mengeluarkan bakal tunas pada 2 MST (Gambar 1), yang terus berkembang menjadi tunas. Tunas yang muncul diawali dengan pembengkakan pangkal tunas dan munculnya bintik tunas. Bintik tunas tersebut terus berkembang dan membentuk kubah, yang selanjutnya muncul daun primordial.
Gambar 1. Kultur yang berhasil tumbuh terlihat hijau, dan mengeluarkan bakal tunas pada 2 MST (Minggu Setelah Tanam). Pertumbuhan Tunas 1. Jumlah tunas Tunas baru mulai muncul pada saat 1 MST. Tunas yang muncul merupakan tunas baru selain tunas yang disub kultur, dalam hal ini tunas yang disub kultur telah bertambah jumlahnya atau dengan kata lain mengalami multiplikasi. Multiplikasi adalah penggandaan atau perbanyakan, yang dalam percobaan ini adalah tunas. Sebenarnya terdapat permasalahan dalam perbanyakan tunas pisang Rajabulu. Hasil percobaan Kasutjianingati (2004) yang sama dengan hasil percobaan Ernawati et al. (2000) menunjukkan bahwa dormansi apikal pisang Rajabulu/AAB lebih susah mengalami break dan memerlukan inisiasi lebih lama dibanding pisang mas/AA, Ambon Kuning/AAA dan Barangan/AAA. Percobaan Kasutjianingati juga menunjukkan bahwa penggandaan tunas dan kemampuan berakar pisang Rajabulu/AAB lebih rendah dibanding pisang mas/AA, Ambon Kuning/AAA dan Barangan/AAA. Menurut Wattimena et al. (1992) bahwa untuk menginduksi tumbuhnya mata tunas yang dorman diperlukan giberelin. Jadi, hal ini teratasi dengan adanya ekstrak buah pisang. Dalam buah pisang terkandung hormon giberelin (Arditti dan Ernst, 1992). Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas pisang Rajabulu yang dihasilkan pada pada 8 MST (Tabel 1). Hasil percobaan ini berbeda dengan hasil pengamatan Widiastoety dan Surachmat (1994) bahwa penambahan bahan nabati pisang, kentang, tomat,
jagung dan taoge pada media kultur anggrek Dendrobium memberikan hasil yang lebih baik pada pembentukan jumlah tunas anakan yaitu rata-rata 2-3 tunas bila dibandingkan dengan tanpa penambahan bahan nabati atau kontrol.
Tabel 1. Jumlah Tunas Pisang Rajabulu saat Umur 2-8 MST (Minggu Setelah Tanam) Perlakuan 2 MST 3 MST 4 MST 6 MST 8 MST P1(MS+vitamin/control)
2.77 (0.34)
2.80 (1.22)
3.20 (0.61)
3.47 (0.67)
4.03 (0.54)
P2(MS+ekst. pis. 50g/l)
1.83 (0.21)
2.33 (1.19)
2.63 (0.63)
2.83 (0.70)
3.13 (0.60)
P3(MS+ekst. pis. 100g/l) 1.90 (0.21)
1.97 (1.15)
2.20 (0.68)
2.37 (0.77)
2.83 (0.63)
P4(MS+ekst. pis. 150g/l) 2.03 (0.23)
2.13 (1.67)
2.33 (0.66)
2.40 (0.75)
2.43 (0.66)
tn
tn
tn
tn
tn
Log x
x-0.5
(x+0.5)-0.5
x-0.5
(x+0.5)-0.5
Uji F Data ditransformasi Ket: -
tn = tidak berbeda nyata pada uji F 5% x : x = data asli angka dalam kurung = data hasil transformasi
Kultur yang ditanam pada media MS dan ekstrak pisang memproduksi tunas pada 2 MST dan jumlah tunas yang ada terus bertambah setiap minggu (Tabel 1). Gunawan (1992) menyatakan bahwa media MS mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM dalam bentuk NH4+. Penggunaan MS tanpa vitamin sintetis dan ekstrak pisang dapat menghasilkan jumlah tunas yang sama (berdasarkan sidik ragam) karena diduga pada pisang yang digunakan memiliki kandungan vitamin yang diperlukan untuk pertumbuhan tunas. Menurut Mac Donald (2002) vitamin pada umumnya dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman, khususnya untuk jaringan tanaman yang sedang aktif tumbuh. Vitamin pada tanaman diperlukan sebagai katalis dalam berbagai proses metabolik. Tanaman umumnya mendapatkan vitamin dari tanaman itu sendiri tetapi tidak pada tanaman yang dikulturkan secara in vitro perlu penambahan dari luar. Ekstrak pisang mengandung vitamin seperti vitamin A, tiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), pyridoxine (vitamin B6), dan ascorbic acid (vitamin C) (PKBT, 2007). Cara perbanyakan in vitro ditujukan untuk menghasilkan jumlah tunas yang banyak dan berkualitas dalam waktu yang singkat dan biaya yang dapat
ditekan. Penggunaan bahan organik sebagai media tumbuh harus dicari yang konsentrasi optimumnya paling rendah. Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa konsentrasi ekstrak pisang yang mendukung untuk perkembangan tunas in vitro pisang Rajabulu adalah sebesar 50 g/l. Jadi, ekstrak pisang pada konsentrasi ini dapat digunakan untuk menggantikan fungsi vitamin sintetis yang mahal harganya. Sehingga biaya produksi untuk perbanyakan tunas dapat ditekan. Diduga vitamin yang terkandung dalam buah pisang mendukung pembentukan tunas. Menurut Arditti dan Ernst (1992) bahwa dalam buah pisang terdapat hormon auksin dan giberelin. Watimena et al. (1992) juga menyatakan bahwa setiap buah yang masak terdapat hormon auksin di dalamnya. Salah satu peran auksin dalam kultur jaringan adalah morfogenesis akar dan tunas.
2. Panjang tunas Tabel 2. Panjang Tunas (cm) Pisang Rajabulu saat Umur 8 MST (Minggu Setelah Tanam) Perlakuan 8 MST P1 (MS+vitamin)/kontrol
12.09 a
P2 (MS+ekstrak pisang 50g/l)
11.55 a
P3 (MS+ekstrak pisang 100g/l)
7.56 b
P4 (MS+ekstrak pisang 150g/l)
7.64 b
Ket: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata uji BNJ pada taraf 1%
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pengaruh ekstrak pisang terhadap panjang tunas terlihat sangat nyata pada pengamatan 8 MST. Dari Tabel 2 diketahui bahwa antara media kontrol dan media dengan konsentrasi ekstrak pisang 50 g/l tidak berbeda nyata pengaruhnya. Sedangkan media dengan penambahan ekstrak pisang 100 g/l dan 150 g/l menghasilkan tunas yang lebih pendek dibandingkan dengan P2. Media dengan ekstrak buah pisang konsentrasi 50 g/l menghasilkan panjang tunas paling tinggi dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Kultur pada media dengan konsentrasi ekstrak lebih tinggi secara morfologis lebih banyak yang tumbuh kerdil dibandingkan dengan yang tumbuh normal.
Fajar (1998) melaporkan bahwa penambahan ekstrak pisang 50 g/l pada media kultur anggrek Dendrobium in vitro menghasilkan jumlah anakan 1.3 dan tinggi tanaman 8.2 menunjukkan penambahan yang paling baik. Hasil penelitian Muawanah (2005) menunjukkan bahwa penggunaan hyponex dan ekstrak buah pisang memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi planlet anggrek Dendrobium pada taraf perlakuan yang digunakan. Kondisi kultur yang memiliki ukuran planlet paling tinggi yaitu planlet yang ditanam pada media hyponex 1 g/l + ekstrak pisang 100 g/l. Sementara itu hasil percobaan Hadi (2006) mengenai kultur Anggrek Dendrobium pula, menunjukkan bahwa media Vitabloom 2 g/l + vitamin (1.8 cm) dan Vitabloom 2 g/l + bubur pisang 100 g/l (2.4 cm) menghasilkan tinggi tanaman yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan media Vitabloom 1 g/l + vitamin (4.1 cm). Ada lagi hasil percobaan perbesaran planlet anggrek Dendrobium oleh Afriani (2006) menunjukkan bahwa media kombinasi Gandasil 2 g/l + ekstrak pisang 50 g/l menghasilkan planlet paling tinggi (3.2 cm) pada 24 MST. Menurut Gunawan (1992) penggunaan bahan organik sebagai bahan tambahan media kultur berbeda pengaruhnya pada tanaman yang berbeda pula. Dari hasil pengamatan terhadap panjang tunas, ekstrak buah pisang pada konsentrasi 50 g/l dapat digunakan untuk menggantikan fungsi vitamin sintetis yang biasa digunakan. Vitamin serta hormon auksin dalam ekstrak buah pisang mendukung pertumbuhan memanjang tunas. Di dalam ekstrak buah pisang selain mengandung auksin juga mengandung asam giberelat (Arditti dan Ernst, 1992). Menurut Krishnamoorthy (1981) penggunaan asam giberelat dapat meningkatkan panjang batang. Pertambahan panjang batang disebabkan karena asam giberelat dapat meningkatkan aktivitas pembelahan sel di bawah meristem pucuk. Pemanjangan batang terjadi melalui dua proses yaitu pembelahan sel dan pembesaran sel. Sel membesar dan mencapai ukuran maksimum, selanjutnya diikuti oleh pembelahan sel.
3. Jumlah daun Percobaan yang telah dilakukan menggunakan eksplan hasil sub kultur yang telah dipotong daunnya. Saat kultur umur 1 MST masih belum ada daun yang muncul. Namun, saat 2 MST sudah ada kultur yang memiliki daun yang berjumlah 1-2 daun. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, saat tunas berumur 8 MST media kontrol (P1) berbeda nyata dengan P2, dan berbeda sangat nyata dengan P3 dan P4 (Tabel 3). Ini berarti bahwa penggunaan ekstrak buah pisang menghasilkan jumlah daun yang berbeda jika dibandingkan dengan penggunaan vitamin yang biasa digunakan. Penggunaan vitamin menghasilkan jumlah daun yang lebih banyak. Tabel 3. Jumlah Daun Pisang Rajabulu saat Umur 2-8 MST (Minggu Setelah Tanam) Perlakuan
2 MST
3 MST
4 MST 6 MST 8 MST
P1(MS+vitamin)
2.60 a
4.43 a
5.90 a
7.30 a
9.80 a
P2(MS+eks. pis. 50g/l)
1.73 c
3.03 b
4.33 a
5.47 a
6.80 b
P3(MS+eks. pis. 100g/l)
1.43 c
2.27 c
2.87 c
4.13 c
6.13 c
P4(MS+eks. pis. 150g/l)
1.43 c
2.37 c
3.67 c
4.83 c
5.83 c
Ket: Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata uji BNJ pada taraf 5%
Media dengan konsentrasi ekstrak buah pisang 50 g/l menghasilkan jumlah daun lebih banyak dibandingkan dengan media dengan konsentrasi 100 g/l dan 150 g/l. Percobaan Muawanah (2005) dan Hadi (2006) menunjukkan bahwa pada media kultur Anggrek Dendrobium dengan konsentrasi bubur pisang 100 g/l cenderung menghasilkan jumlah daun yang lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Akan tetapi, percobaan Afriani (2006) menunjukkan bahwa pada perbesaran planlet Anggrek Dendrobium, media dengan ekstrak pisang 50 g/l menghasilkan planlet paling tinggi dan jumlah daun terbanyak (pada 24 MST) dibandingkan dengan konsentrasi ekstrak pisang yang lebih tinggi. Penggunaan pisang sebagai vitamin dalam komposisi media yang ada menghasilkan jumlah daun yang tidak berbeda nyata dengan penggunaan vitamin
yang umumnya digunakan dalam perbesaran kultur jaringan. Walaupun demikian, apabila dilihat dari hasil pengamatan pada 6 MST, diketahui bahwa ekstrak pisang pada konsentrasi 50 g/l dapat digunakan untuk menggantikan vitamin sintetis yang biasa digunakan. Sehingga dari segi ekonomi, biaya produksi tunas dapat ditekan. 4. Panjang daun Tabel 4. Panjang Daun (cm) Pisang Rajabulu saat Umur 8 MST (Minggu Setelah Tanam Perlakuan
8 MST
P1 (MS+vitamin)/kontrol
6.60 a
P2 (MS+ekstrak pisang 50g/l)
5.89 a
P3 (MS+ekstrak pisang 100g/l)
3.78 b
P4 (MS+ekstrak pisang 150g/l)
3.95 b
Ket: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata uji BNJ pada taraf 1%
Hasil pengamatan panjang daun saat 8 MST menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak buah pisang 50 g/l pada media memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Pada konsentrasi yang lebih tinggi (100 g/l dan 150 g/l), ekstrak buah pisang memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap panjang daun dibandingkan dengan kontrol. Kontrol lebih bagus pengaruhnya terhadap panjang daun pisang Rajabulu. Selain itu, daun yang dihasilkan pada media dengan konsentrasi ekstrak buah pisang 50 g/l, lebih panjang dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi (100 g/l dan 150 g/l). Ahmadi (1996) melaporkan bahwa ekstrak pisang pada dosis 50 g/l memberikan pengaruh nilai yang tertinggi terhadap parameter panjang daun dan berat basah planlet anggrek dendrobium dibandingkan dengan dosis yang lebih tinggi. Muawanah (2005) melaporkan bahwa respon pertambahan panjang daun kultur anggrek Dendrobium canayo paling lambat didapatkan pada komposisi media dengan ekstrak pisang 300 g/l, pertambahan panjang daun selama 8 minggu pengamatan berlangsung hanya 1 mm. Diduga konsentrasi pisang yang terlampau
tinggi tidak mendorong pembelahan sel yang dapat mendorong pertambahan panjang daun. Demikian pula hasil penelitian Widiastoety dan Syafril (1993) memperlihatkan bahwa pada penambahan bahan nabati air kelapa 300 ml/l pada media kultur in vitro anggrek Dendrobium terjadi penurunan pertumbuhan planlet, yang diduga karena konsentrasi air kelapa yang ditambahkan dalam medium terlampau tinggi. Konsentrasi yang sangat tinggi menyebabkan terjadinya kerusakan pada jaringan tanaman seperti pecahnya dinding sel (lisis) dan juga plasmolisis. Pada pengamatan terhadap panjang daun, diketahui bahwa ekstrak buah pisang pada konsentrasi 50 g/l dapat digunakan untuk menggantikan fungsi vitamin sintetis yang biasa digunakan. Hal ini disebabkan vitamin dan hormon auksin dalam ekstrak buah pisang mendukung pertumbuhan memanjang daun. Widiastoety dan Syafril (1993) menyatakan bahwa terjadinya pertumbuhan panjang, lebar dan jumlah daun disebabkan oleh adanya pembesaran atau pemanjangan sel, yang tidak terlepas dari pengaruh aktivitas auksin yang terkandung dalam ekstrak buah pisang. Auksin sangat berpengaruh terhadap plastisitas dan elastisitas dinding sel, viskositas sitoplasma dan aktivitas enzim. Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Bidwell (1974) bahwa fungsi auksin adalah meningkatkan penyerapan air, sehingga sel membesar. Produksi auksin terjadi pada daun yang muda yaitu setelah proses mitosis berakhir dan dilanjutkan dengan pembesaran sel. Menurut Krishnamoorthy (1981) pertambahan panjang dan lebar daun disebabkan oleh pembelahan sel yang menghasilkan sel-sel baru, serta pemanjangan sel, atau pembesaran sel itu sendiri.
Pertumbuhan Akar 1. Jumlah akar Tabel 5. Jumlah Akar Pisang Rajabulu saat Umur 2-8 MST (Minggu Setelah Tanam) Perlakuan
2 MST
3 MST
4 MST
6 MST
8 MST
P1(MS+vitamin)
3.07 a
4.90 a
6.20 a
7.23 a
11.90 a
P2(MS+ekst. pis. 50g/l)
2.83 a
3.70 a
5.37 a
6.60 a
8.30 b
P3(MS+ekst. pis. 100g/l)
1.93 b
2.90 c
3.60 c
6.70 a
7.80 b
P4(MS+ekst. pis. 150g/l)
1.93 b
3.33 b
5.17 a
7.37 a
7.37 c
Ket: Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata uji BNJ pada taraf 5%
Tunas yang ditanam pada media komposisi antara MS dan ekstrak buah pisang adalah tunas yang diharapkan dapat tumbuh dan berkembang sehingga dapat dihasilkan planlet pisang Rajabulu. Pada saat ditanam belum terdapat tunas yang berakar. Tunas yang ditanam baru menghasilkan akar rata-rata pada 2 MST. Jumlah akar terus bertambah tiap minggunya. Akan tetapi, pertambahan jumlah akar tidak terlalu signifikan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh terhadap jumlah akar. Hal ini berarti bahwa pemberian ekstrak buah pisang tidak sama dengan pemberian vitamin pada media tumbuh tunas pisang Rajabulu secara in vitro, di mana pemberian vitamin menghasilkan jumlah akar yang lebih banyak. Sedangkan penelitian Muawanah (2005) pada tanaman anggrek menunjukkan bahwa komposisi media dengan penggunaan ekstrak buah pisang 300 g/l menghasilkan jumlah akar yang lebih sedikit, penggunaan konsentrasi pisang yang lebih tinggi cenderung menghasilkan jumlah akar yang lebih sedikit. Penelitian Afriani (2006) pada tanaman anggrek pula, menunjukkan bahwa media kombinasi MS + ekstrak pisang 100 g/l menghasilkan planlet dengan jumlah akar terbanyak (pada 24 MST) dibandingkan dengan konsentrasi lebih tinggi. Tetapi hasil penelitian Hadi (2006) pada tanaman yang
sama menunjukkan bahwa media kontrol menghasilkan jumlah akar terbanyak dibandingkan dengan media yang ditambahkan bubur pisang. Pada saat kultur berumur 6 MST, dari hasil pengamatan terhadap jumlah akar, ekstrak buah pisang pada konsentrasi 50 g/l dapat digunakan untuk menggantikan fungsi vitamin sintetis yang biasa digunakan. Vitamin dan auksin dalam ekstrak buah pisang berperan dalam hal ini. Salah satu fungsi auksin adalah menstimulasi perkembangan akar dalam kultur jaringan (Davies, 1995; Mauseth, 1991; Raven, 1992; Salisbury and Ross, 1992).
Sebenarnya terdapat permasalahan dalam kultur jaringan pisang Rajabulu. Percobaan Kasutjianingati menunjukkan bahwa penggandaan tunas dan kemampuan berakar pisang Rajabulu/AAB lebih rendah dibanding pisang mas/AA, Ambon Kuning/AAA dan Barangan/AAA. Hal ini teratasi dengan adanya ekstrak buah pisang yang mengandung auksin (Arditti dan Ernst, 1992). Auksin dalam kultur jaringan mendorong morfogenesis akar dan tunas (Wattimena et al., 1992). Dalam ekstrak buah pisang terdapat auksin. Menurut Widiastoety dan Syafril (1993), penambahan auksin atau sitokinin dari luar (eksogen) akan mengubah kadar auksin atau sitokinin dalam sel (endogen). Auksin dalam kultur jaringan berperan dalam pembelahan dan pembesaran sel, pembentukan kalus, dan pembentukan akar. Secara alami beberapa eksplan memproduksi auksin dalam jumlah yang cukup, tetapi untuk memacu pertumbuhannya membutuhkan tambahan auksin dari luar. Gamborg dan Shyluk (1981) menambahkan bahwa seringkali penambahan auksin dalam jumlah besar cenderung menyebabkan terbentuknya kalus dan menghambat regenerasi pucuk tanaman, sehingga informasi tentang kebutuhan auksin secara optimal perlu diketahui. Menurut Street (1979) konsentrasi auksin yang tinggi diperlukan untuk merangsang pembentukan akar. Wetherell (1982) melaporkan bahwa kadar auksin optimal untuk merangsang pembentukan primordia akar, umumnya lebih tinggi daripada untuk merangsang perpanjangan akar. Oleh karena itu untuk merangsang pertumbuhan akar dan penguatan tanaman, kadar auksin optimal bagi pembentukan akar tidak sesuai.
2. Panjang akar Tabel 6. Panjang Akar (cm) Pisang Rajabulu saat Umur 8 MST (Minggu Setelah Tanam) Perlakuan P1 (MS+vitamin)/kontrol
8 MST 12.21 a
P2 (MS+ekstrak pisang 50g/l)
8.95 b
P3 (MS+ekstrak pisang 100g/l)
4.22 c
P4 (MS+ekstrak pisang 150g/l)
4.00 c
Ket: Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada taraf 1%
Media perlakuan yang digunakan memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata pada peubah panjang akar. Dari tabel 6 diketahui bahwa kontrol berbeda sangat nyata pengaruhnya dibandingkan dengan P2. Hal ini berarti bahwa pemberian ekstrak buah pisang dengan konsentrasi 50 g/l pada media tumbuh in vitro pisang Rajabulu memberikan pengaruh yang tidak sama dengan pemberian vitamin yang umum ditambahkan pada media MS, yang berarti pula bahwa penggunaan ekstrak buah pisang menghasilkan akar yang lebih pendek dibandingkan dengan penggunaan vitamin. Namun, penggunaan ekstrak buah pisang dengan konsentrasi 50 g/l menghasilkan akar yang lebih panjang jika dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Yang berarti bahwa makin tinggi konsentrasi ekstrak buah pisang Rajabulu, maka akar tunas in vitro pisang Rajabulu makin pendek. Ini diduga konsentrasi ekstrak pisang yang tinggi menghambat pembelahan sel tanaman sehingga pertambahan panjang akar juga terhambat.
P1
P2
P3
P4
Gambar 2. Kultur saat umur 6 MST, tampak bahwa media P1(kontrol) dengan P2 menghasilkan tunas yang tidak berbeda jauh Ketika berumur 6 MST, tunas yang dihasilkan pada media P1/kontrol dengan P2 (MS+ekstrak pisang 50 g/l) tidak berbeda jauh pertumbuhannya (Gambar 2). Sedangkan tunas yang dihasilkan oleh media P3 (MS+ekstrak pisang 100 g/l) dan P4 (MS+ekstrak pisang 150 g/l) lebih buruk kondisinya. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak buah pisang semakin tidak bagus pertumbuhan tunasnya. Dengan demikian pemberian ekstrak buah pisang dengan konsentrasi tinggi tidak mendukung pertumbuhan tunas menjadi lebih baik, bahkan sebaliknya. Menurut Widiastoety dan Syafril (1993), konsentrasi bahan nabati tambahan pada media kultur in vitro yang sangat tinggi menyebabkan terjadinya kerusakan pada jaringan tanaman seperti pecahnya dinding sel (lisis) dan juga plasmolisis.
Hasil pengamatan saat 8 MST Tabel 7. Hasil Pengamatan Saat 8 MST (Minggu Setelah Tanam) Parameter/ Perlakuan
Jumlah
Panjang
Jumlah
Panjang
Jumlah
Panjang
Tunas
Tunas
Daun
Daun
Akar
Akar
P1(MS+vitamin)/kontrol
4.03 a
12.09 a
9.80 a
6.60 a
11.90 a
12.21 a
P2(MS+ekstrak pisang 50g/l)
3.13 a
11.55 a
6.80 b
5.89 a
8.30 b
8.95 b
P3(MS+ekstrak pisang 100g/l)
2.83 a
7.56 b
6.13 c
3.78 b
7.80 b
4.22 c
P4(MS+ekstrak pisang 150g/l)
2.43 a
7.64 b
5.83 c
3.95 b
7.37 c
4.00 c
Ket: Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada taraf 5%
Berdasarkan Tabel 7, diperoleh informasi bahwa untuk parameter jumlah daun, jumlah akar, dan panjang akar, pemberian ekstrak buah pisang pada media kultur tidak mendukung pertumbuhan tunas pisang menjadi lebih baik, tetapi sebaliknya. Ini berbeda dengan hasil penelitian Muawanah (2005) dan Hadi (2006) yang menunjukkan bahwa penambahan ekstrak pisang pada media kultur anggrek Dendrobium canayo mendukung pertumbuhan tunas menjadi lebih baik, di mana konsentrasi yang optimum untuk pertumbuhan tunas adalah 100 g/l. Percobaan Afriani juga menunjukkan bahwa jumlah akar kultur anggrek yang paling banyak diperoleh pada media dengan penambahan ekstrak pisang 100 g/l. Menurut Gunawan (1992) penggunaan bahan organik sebagai bahan tambahan media dapat berbeda pengaruhnya pada tanaman yang berbeda pula. Dalam penelitian ini tanaman yang dikulturkan adalah pisang, sedangkan penelitian Muawanah (2005), Hadi (2006), dan Afriani (2006) menggunakan tanaman anggrek. Selain perbedaan jenis tanaman yang diuji, jenis buah pisang yang digunakan sebagai bahan tambahan dalam media kultur juga berbeda. Pada penelitian-penelitian sebelumnya (Muawanah, 2005; Hadi, 2006; Afriani, 2006) jenis pisang yang digunakan adalah pisang Ambon Lumut, sedangkan pada penelitian ini jenis pisang yang digunakan adalah pisang Rajabulu. Jenis bahan berbeda yang ditambahkan pada suatu media kultur akan memberikan pengaruh yang berbeda pula.
Menurut pengalaman banyak orang, buah pisang Rajabulu lebih manis rasanya dibandingkan dengan buah pisang Ambon Lumut. Yang berarti kandungan gula buah pisang Rajabulu lebih tinggi dibandingkan dengan buah pisang Ambon Lumut. Dalam penelitian ini, media kultur telah diberikan gula dengan konsentrasi 30 g/l. Jika konsentrasi melebihi batas yang diperlukan tunas maka akan terjadi toksisitas (keracunan) pada kultur. Diduga gula buah dalam ekstrak pisang Rajabulu ini menjadi faktor pengganggu pertumbuhan tunas. Ini dibuktikan dari hasil pengamatan di mana kultur dengan perlakuan ekstrak pisang dengan konsentrasi makin tinggi maka pertumbuhan tunas makin tidak bagus. Karena media dengan konsentrasi ekstrak buah pisang makin tinggi berarti memiliki kandungan bahan pengganggu (toksik) makin tinggi pula. Inilah yang menghambat pertumbuhan tunas. Akan tetapi, berdasarkan parameter jumlah tunas, panjang tunas, dan panjang daun, dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pada media dengan konsentrasi ekstrak buah pisang 50 g/l jika dibandingkan dengan kontrol tidak berbeda nyata. Berarti pemberian ekstrak pisang dengan konsentrasi 50 g/l memberikan pengaruh yang sama dengan pemberian vitamin sintetis pada umumnya. Ahmadi (1996) melaporkan bahwa ekstrak pisang pada dosis 50 g/l memberikan pengaruh nilai yang tertinggi terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah akar, panjang akar, panjang daun, dan berat basah planlet anggrek dendrobium dibandingkan dengan dosis yang lebih tinggi. Afriani (2006) juga melaporkan bahwa penambahan ekstrak pisang 50 g/l pada media kultur anggrek Dendrobium menghasilkan planlet paling tinggi dan jumlah daun terbanyak dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Dengan demikian, ekstrak buah pisang 50 g/l dapat menggantikan fungsi vitamin sintetis pada media kultur (MS). Sehingga secara ekonomis, biaya produksi untuk perbanyakan tunas dapat diturunkan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh yang sama antara ekstrak buah pisang pada konsentrasi 50 g/l dengan vitamin sintetis terhadap jumlah tunas, panjang tunas, dan panjang daun. Namun, ada pengaruh yang nyata tidak sama antara ekstrak buah pisang pada konsentrasi 50 g/l dengan vitamin sintetis terhadap panjang planlet, jumlah daun, dan jumlah akar. Vitamin sintetis lebih bagus pengaruhnya dibandingkan dengan ekstrak buah pisang terhadap panjang planlet, jumlah daun, dan jumlah akar. Konsentrasi ekstrak buah pisang 50 g/l ternyata lebih bagus pengaruhnya pada parameter jumlah tunas, panjang tunas, jumlah daun, panjang daun, jumlah akar dan panjang akar, dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Pada konsentrasi ini nilai jumlah tunas sebesar 3.1 tunas, panjang tunas 11.6 cm, jumlah daun sebesar 6.8 daun, panjang daun 5.9 cm, jumlah akar 8.3 akar, serta panjang akar 9.0 cm. Konsentrasi ekstrak buah pisang lebih tinggi (100 g/l dan 150 g/l) lebih jelek pengaruhnya terhadap jumlah tunas, panjang tunas, jumlah daun, panjang daun, jumlah akar dan panjang akar.
Saran 1. Ekstrak buah pisang pada konsentrasi 50 g/l dapat digunakan dalam media pertumbuhan tunas mikro pisang Rajabulu sebagai pengganti vitamin sintetis yang umumnya digunakan, sehingga biaya produksi untuk perbanyakan tunas dapat diturunkan. 2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai optimasi konsentrasi ekstrak buah pisang pada kisaran 50 g/l.
DAFTAR PUSTAKA Afriani, A. T. 2006. Penggunaan Gandasil, Air Kelapa dan Ekstrak Pisang pada Perbanyakan Tunas dan Perbesaran Planlet Anggrek Dendrobium (Dendrobium Kanayao) secara In Vitro. Skripsi. Program Studi Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 42 hal. Ahmadi, S. A. 1996. Pengaruh Berbagai Jenis dan Dosis Ekstrak Pisang terhadap Pertumbuhan Protocorm Anggrek Dendrobium pada Kultur In Vitro (hasil penelitian). http://biotek.umm.ac.id. 24 Juni 2008. Arditti, J. and R. Ernst. 1992. Micropropagation of Orchids. Departemen of Horticulture. Second Edition. Butterworth-Heinemann Ltd. Jordan Hill. P.38. Armini, N. M. 1992. Pengaruh Air Kelapa, Zeolit dan Sub Kultur Beruntun terhadap Daya Multiplikasi Tunas Pisang Tanduk secara In Vitro. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Bidwell, R. G. S. 1974. Plant Physiology. Macmillan Publishing Co. Inc., New York. 643p. Davies, P. J. (1995). Plant Hormones: Physiology, Biochemistry and Molecular Biology. Dordrecht: Kluwer. Departemen Kesehatan (DEPKES). 1979. Kandungan Zat Kimia Buah Pisang Rajabulu. Indonesia. Dinas Bina Produksi Hortikultura (DBPH). 2005. Data Konsumsi Buah Pisang Dunia. Departemen Pertanian. Indonesia. Ernawati A, Purwito A, dan Suketi K. 1994. Studi Perbanyakan Cepat Pisang Rajabulu, Pisang Ambon Kuning dan Pisang Barangan dengan Teknik Kultur Jaringan (laporan penelitian). Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Fajar, N. 1998. Penambahan Ekstrak Pisang dan Kentang Pada Media Pertumbuhan Anggrek Dendrobium sp. Secara In Vitro (hasil penelitian). http://biotek.umm.ac.id. 24 Juni 2008. Food and Agricultural Organization. 2007. Produsen Pisang di Dunia. www.fao.org. 11 Januari 2007 Gamborg, O. L. dan J. P. Shyluk. 1981. Nutrition, media, and characteristic of plant cell and tissue culture. In: Plant tissue culture methods and applications in agriculture. Thorpe, T. A. (ed), Academic Press, New York. 21p.
Gunawan, L. W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Depdikbud. Dirjen Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Boiteknologi. IPB. Bogor. 165 hal. Hadi, S. 2006. Penggunaan Pupuk Majemuk, Ekstrak Tauge dan Bubur Pisang Pada Perbanyakan Dan Perbesaran Anggrek Dendrobium Kanayao secara In Vitro. Skripsi. Program Studi Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 36 hal. Herawaty, T. 2000. Pengaruh Posisi Eksplan dan Banyaknya Sub Kultur terhadap Perbanyakan Melon (Cucumis melo L.) secara In Vitro. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Isnaeni, N. 2008. Pengaruh TDZ terhadap Inisiasi dan Multiplikasi Kultur In Vitro Pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group). Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 48 hal. Kasutjianingati. 2004. Pembiakan Mikro Berbagai Genotipe Pisang (Musa spp) dan Potensi Bakteri Endofitik Terhadap Layu Fusarium (Fusarium oxysporum f. sp. cubense). Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Krikorian, A. D. 1993. Baseline tissue and cell culture studies for use in banana improvement schemes, p.127-133. In: R. C. Ploetz (Ed.). Fusarium Wilt of Banana. The American Phytopathological Society. St. Paul, Minnesota, USA. Krishnamoorthy, H. N. 1981. Plant Growth Substances. Tata Mc Graw-Hill Publishing Co. Ltd., New Delhi. 214p. Krisnaningtyas, E. T. T. 2003. Pengaruh Radiasi Sinar Gamma dan Sub Kultur Berulang terhadap Keragaman Somaklonal Tanaman Dianthus caryophyllus L. secara In Vitro. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 43 halaman. Lieberman, S., and Bruning, N. 1990. The Real Vitamin & Mineral Book. Avery Group. New York. Macdonald, B. 2002. Practical Woody Plant Propagation For Nursery Growers. Timber Press Inc. Portland. Oregon. Mattjik, N. A. 2005. Peran Kultur Jaringan dalam Perbaikan Tanaman. Orasi Ilmiah. Guru Besar Tetap Kultur Jaringan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 102 hal. Mauseth, J. D. 1991. Botany: An Introduction to Plant Biology. Philadelphia: Saunders. pp. 348-415.
Megia, R. 2006. Cukup dua saja!. www.intisari-online.com. 520:1-3. 4 Februari 2007. Muawanah, G. 2005. Penggunaan Pupuk Hyponex, Ekstrak Tomat dan Ekstrak Pisang dalam Perbanyakan dan Perbesaran Planlet Anggrek Dendrobium (Dendrobium canayo) secara In Vitro. Skripsi. Program Studi Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 49 hal. Pasaribu, J. M. 1996. Perbanyakan Tunas In Vitro Pisang Rajabulu (Musa AAB Group) dengan Eksplan yang Berasal dari Sucker (Anakan) dan Jantung. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 91 hal. Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika (PKBT). 2006. Pisang Rajabulu dan Tanduk. LPPM. Institut Pertanian Bogor. Pusat
Kajian Buah-Buahan Tropika www.rusnasbuah.or.id. 8 Mei 2008.
(PKBT).
2007.
Pisang.
Raven, P. H., Evert, R. F., and S. E. Eichhorn. 1992. Biology of Plants. New York: Worth. pp. 545-572. Salisbury, F. B., and C. W. Ross. 1992. Plant Physiology. Belmont, CA: Wadsworth. pp. 357-407, 531-548. Simmonds, N. W. 1970. Bananas. Second Impression. T. & A. Constable Ltd Edinburgh. Great Britain. 512 pages. Stover, R. H. and N. W. Simmonds. 1987. Bananas. Third edition. Longman Scientific & Technical with John Wiley & Sons. Inc. New York. 468 pages. Street, N. E. 1979. Embryogenesis and chemically induced organogenesis. In: Plant cell and tissue culture principles and applications. Ohio State Uris. Press. Columbus. Strosse, H., I Van Den Houwe, and B. Panis. 2004. Banana cell and tissue culture – review, p. 1-12. In: S. Mohan Jain and Ronny Swennen (Eds.). Banana Improvement: Celluler, molecular biology, and induced mutations. Science Publishers, Inc. Enfield (NH), USA and Plymouth, UK. Sukma, D. 1994. Pengaruh IAA dan BAP terhadap perbanyakan tunas mikro pisang Mas (Musa acuminata L. AA Group), Ambon dan Barangan (Musa acuminata L. AAA Group) dan Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) secara in vitro. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sunarjono, H. 2002. Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Wattimena, G. A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 145 hal. Wattimena, G. A., N. A. Armini, dan L. W. Gunawan. 1992. Perbanyakan Tanaman, hal. 12-101. Dalam: Achmad Sukardi Abidin (Ed.). Bioteknologi Tanaman: Laboratorium kultur jaringan. DEPDIKBUD. DIRJEN Pendidikan Tinggi. PAU Bioteknologi. IPB. Bogor. Wetherell, D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro. IKIP Semarang Press. Semarang. 110 hal. Widiastoety, D. dan Surachmat. 1994. Pengaruh Berbagai Macam Bahan Nabati pada Pertumbuhan Bibit Anggrek Dendrobium secara In Vitro. Bul. Penel. Tan. Hias. Widiastoety, D. dan Syafril. 1993. Pengaruh Air Kelapa terhadap Pertumbuhan Protocorm Like Bodies Anggrek Dendrobium dalam Medium Padat. Bul. Penel. Tan. Hias.
LAMPIRAN
Tabel Lampiran 1. Komposisi Media Murashige dan Skoog Larutan stok
A B C
Bahan
Konsentrasi Stok (g/l)
NH4NO3 KNO3 KH2PO4 H3BO3 KI Na2MoO4.2H2O CaCl2.6H2O D CaCl2.H2O E MgSO4.7H2O MnSO4.4H2O ZnSO4.4H2O CuSO4.7H2O F Na2EDTA.2H2O FeSO4.7H2O Myo Myoinositol Vitamin Thiamine Nicotine Phyridoxine Asam amino Glycine Gula Sukrosa Sumber : George and Sherrington, 1984.
82.500 95.000 34.000 1.240 0.166 0.050 0.005 88.000 74.000 4.460 1.720 0.005 3.730 2.780 10.000 0.010 0.050 0.050 0.200 30.000
Volum Stok dalam Media (ml/l) 20 20 5
5 5
10 10 10
Pemakaian (mg/l) 1650.000 1900.000 170.000 6.200 0.830 0.250 0.025 440.000 370.000 22.000 8.600 0.025 37.300 27.800 100.000 0.100 0.500 0.500 2.000 300.000
Tabel Lampiran 2. Kandungan Zat Kimia Buah Pisang Rajabulu Jenis Analisis Berat dapat dimakan (%) Densitas (g/ml)
Konsetrasi /100g 70.90 1.00
Energi (Kkal)
118.92
Total gula (g)
25.94
Air (g)
70.20
Abu (g)
0.52
Protein (g)
1.48
Lemak (g)
0.36
Karbohidrat (g)
27.44
Asam folat (µg)
9.39
B1-tiamin (mg)
0.17
B2-riboflavin (mg) B6-piridoksin (mg) Karoten total (mg) Vitamin C (mg)
0.14 0.80 0.34 4.49
Ca (mg)
19.76
Fe (mg)
0.49
K (mg)
310.00
Na (mg)
1.28
P (mg)
0.32
Sumber: PKBT-IPB, 2007
Bahan Organik Kalori (Kkal)
Konsetrasi /100g 120.00
Karbohidrat (g)
31.80
Protein (g)
1.20
Lemak (g)
0.20
Kalsium (Ca) (mg)
10.00
Fosfor (P) (mg)
22.00
Besi (Fe) (mg)
0.80
Vitamin A (SI)
950.00
Tiamin (Vitamin B1) (mg) Asam Ascorbic (Vitamin C) (mg) Air (g) Sumber: DEPKES RI, 1979
0.06 10.00 65.80
Tabel Lampiran 3. Sidik Ragam Pengaruh Ekstrak Buah Pisang terhadap Jumlah Tunas Pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) secara In Vitro pada 2-8 MST MST 2
SK db JK Perlakuan 3 0.0851 Galat 116 1.9317 Total 119 2.0167 Data ditransformasi log x 3 Perlakuan 3 0.1047 Galat 116 4.5564 Total 119 4.6611 Data ditransformasi x-0.5 4 Perlakuan 3 0.0746 Galat 116 3.2523 Total 119 3.3269 Data ditransformasi (x+0.5)-0.5 6 Perlakuan 3 0.1889 Galat 116 6.2337 Total 119 6.4226 Data ditransformasi x-0.5 0.2086 8 Perlakuan 3 Galat 116 3.2969 Total 119 3.5055 Data ditransformasi (x+0.5)-0.5
KT F hitung 0.0284 1.703 0.0167
Pr>F 0.170
KK (%) 52.61
0.0349 0.890 0.0393
0.449
16.77
0.0248 0.89 0.0280
0.450
25.98
0.0630 1.17 0.0537
0.324
32.04
0.0695 2.45 0.0284
0.067
27.84
Tabel Lampiran 4. Sidik Ragam Pengaruh Ekstrak Buah Pisang terhadap Panjang Tunas Pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) secara In Vitro pada 8 MST MST 8
SK db JK KT F hitung Pr>F KK (%) Perlakuan 3 539.05 179.68 10.69 0.000 42.21 Galat 116 1948.98 16.80 Total 119 2488.03
Tabel Lampiran 5. Sidik Ragam Pengaruh Ekstrak Buah Pisang terhadap Jumlah Daun Pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) secara In Vitro pada 2-8 MST MST 2
3
4
6
8
SK Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
db 3 116 119 3 116 119 3 116 119 3 116 119 3 116 119
JK
KT F hitung Pr>F KK (%) 27.4 9.133 10.21 0.000 52.56 103.8 0.895 131.2 89.8 29.919 9.72 0.000 58.01 357.2 3.079 446.9 149.1 49.697 8.10 0.000 59.09 711.5 6.134 860.6 166.1 55.356 6.15 0.001 55.20 1043.4 8.995 1209.5 297.4 99.119 5.43 0.002 59.82 2117.2 18.252 2414.6
Tabel Lampiran 6. Sidik Ragam Pengaruh Ekstrak Buah Pisang terhadap Panjang Daun Pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) secara In Vitro pada 8 MST MST 8
SK db JK KT F hitung Pr>F KK (%) Perlakuan 3 178.29 59.43 10.87 0.000 46.29 Galat 116 633.95 5.47 Total 119 812.24
Tabel Lampiran 7. Sidik Ragam Pengaruh Ekstrak Buah Pisang terhadap Jumlah Akar Pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) secara In Vitro pada 2-8 MST MST 2
3
4
6
8
SK Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
db 3 116 119 3 116 119 3 116 119 3 116 119 3 116 119
JK KT F hitung Pr>F KK (%) 31.83 10.61 4.81 0.003 60.89 255.77 2.21 287.59 66.43 22.14 5.63 0.001 53.46 456.37 3.93 522.79 106.03 35.34 4.89 0.003 52.90 839.13 7.23 945.17 13.09 4.36 0.23 0.875 62.41 2197.83 18.95 2210.92 387.22 129.07 4.94 0.003 57.81 3030.77 26.13 3417.99
Tabel Lampiran 8. Sidik Ragam Pengaruh Ekstrak Buah Pisang terhadap Panjang Akar Pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) secara In Vitro pada 8 MST MST 8
SK db JK KT F hitung Pr>F KK (%) Perlakuan 3 1418.57 472.86 40.89 0.000 46.30 Galat 116 1341.43 11.56 Total 119 2760.00