PENGARUH MANAJEMEN LABA, UKURAN PERUSAHAAN, KINERJA PERUSAHAAN, CORPORATE COMPLEXITY, DAN CEO HOLDINGS TERHADAP SKEMA BONUS Zaenal Fanani dan Ahmad Mikail Universitas Airlangga
ABSTRACT This research was aimed to examine and to obtain empirical evidence on earnings management, firm size, company performance, corporate complexity, CEO holdings toward bonus schemes. Sample of this research were chosen by using purposive sampling of 129 manufacturing business listed in the Indonesia Stock Exchange (BEI), in the year 2007. Results show that company performance have significant effect on bonus schemes, but earnings management, firm size, company performance, corporate complexity and CEO holdings don't have significant effect on bonus schemes. Keywords: Earnings Management, Firm Size, Company Performance, Corporate Complexity, CEO Holdings, Bonus Schemes
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Di Indonesia, fenomena persaingan perusahaan yang demikian tajam dapat dilihat dari perkembangan jumlah perusahaan manufaktur di Indonesia yang terus menurun pasca berlakunya berbagai perdagangan bebas. Data yang bersumber dari BPS (2005) menunjukkan bahwa sejak tahun 1998 sampai 2002, jumlah perusahaan manufaktur mengalami penurunan. Sejak tahun 1998, perusahaan manufaktur di Indonesia yang berjumlah 21.423 perusahaan, mengalami penurunan pada tahun 1999 menjadi 21.051 perusahaan. Penurunan tersebut terus berlangsung seperti itu sampai pada tahun 2005, jumlah perusahaan manufaktur di Indonesia berjumlah 20.023 perusahaan. Dengan demikian banyak perusahaan yang tidak mampu meneruskan persaingan dan menghentikan operasinya. Melihat fenomena persaingan perusahaan yang demikian tajam tersebut, perlu di upayakan langkah-langkah yang tepat agar perusahaan Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
33
manufaktur mampu meneruskan persaingan dan tidak menghentikan operasinya. Sebagai salah satu upaya membangkitkan persaingan pada perusahaan manufaktur, maka diperlukan sebuah motivasi yang dimiliki oleh seluruh pihak dalam perusahaan, terutama dewan direksi. Dan untuk membangkitkan profesionalisme dan memotivasi manajemen perusahaan manufaktur untuk meningkatkan kinerja perusahaan, perlu adanya penyesuaian, yaitu mencakup perhitungan gaji, fasilitas, santunan purna jabatan, dan tantiem (bonus) yang perhitungannya sebagian besar didasarkan pada ukuran kinerja keuangan khususnya laba perusahaan. Dari keempat jenis remunerasi tersebut, bonus (tantiem) adalah yang paling menarik untuk dibahas. Pertama, bonus diberikan kepada Direksi setiap tahun jika perusahaan membukukan laba. Kedua, tidak seperti perhitungan ketiga jenis remunerasi lainnya, komponen perhitungan bonus tidak semata tergantung pada kinerja keuangan perusahaan tahun bersangkutan tetapi juga pada kinerja tahun lalu dan target anggaran (budget) perusahaan. Penggunaan ukuran kinerja, standar kinerja dan struktur hubungan antara pembayaran bonus dan kinerja dalam skema bonus, menjadikan skema bonus menjadi sangat firm-spesific dan implikasinya juga menjadi lebih kompleks. Oleh karena hal tersebut, motivasi penulis dilakukannya penelitian ini adalah pertama, untuk memberikan kontribusi kepada penelitian di bidang akuntansi keuangan, terutama penelitian terhadap pengaruh manajemen laba, ukuran perusahaan, kinerja perusahaan, corporate complexity, dan CEO Holdings terhadap skema bonus, karena masih sedikit sekali riset atau penelitian yang mengarah kepada pemahaman tentang skema bonus sebagai motivasi direksi yang bertujuan untuk mencapai tujuan perusahaan dan dapat terus bersaing dengan perusahaan lain. Dan juga faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi skema bonus tersebut. Kedua, penelitian ini berbeda dengan penelitian Suryatiningsih dan Siregar (2008). Penelitian Suryatiningsih dan Siregar (2008) menguji pengaruh skema bonus terhadap manajemen laba. Sementara penelitian ini menguji pengaruh manajemen laba terhadap skema bonus. Hal ini dilakukan karena manajer atau direksi melakukan tindakan manajemen laba agar dapat mempengaruhi penerimaan bonus yang akan mereka dapatkan, dan tentu saja memaksimalkan penerimaan bonusnya. Bahkan Healy (1985), menemukan bukti bahwa manajer perusahaan dengan skema bonus berbasis laba bersih secara sistematis melakukan penyesuaian diskresioner atas akrual maupun menggeser laba antar periode untuk memaksimalkan ekspektasi bonus mereka.
Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
34
Ketiga, penelitian ini mengembangkan hasil penelitian Finkelstein dan Hambrick (1989). Finkelstein and Hambrick (1989) menguji pengaruh market and political factors terhadap skema bonus, dimana market factors nya terdiri dari firm size, corporate performance, corporate complexity dan human capital. Sedangkan political factorsnya terdiri dari CEO power dan board vigilance dan menjelaskan faktor-faktor pasar dan politik tersebut dalam hal hubungannya dengan skema bonus direksi dengan menembahkan variabel manajemen laba. Keempat, Penelitian ini juga mengembangkan pengukuran skema bonus Finkelstein, dan Hambrick (1989) dengan menggunakan Suryatiningsih dan Siregar (2008), karena pengukuran skema bonus yang dilakukan Finkelstein dan Hambrick (1989) tidak semua komponen variabelnya tersedia dan dipaparkan dalam laporan keuangan tahunan, khususnya pada perusahaan manufaktur di Indonesia. Mengingat skema bonus dalam penelitian ini menggunakan laba bersih sebagai ukuran kinerja, maka diindikasikan bahwa skema bonus dimaksud juga akan memberikan insentif kepada direksi untuk melakukan manajemen laba baik melalui akrual diskresioner guna memaksimalkan penerimaan bonus mereka. Selain itu karena penelitian ini menggunakan laba bersih sebagai ukuran, maka semakin besar laba, semakin besar juga bonus yang mereka terima. Beberapa hal yang mempengaruhi besarnya bonus pada perusahaan adalah ukuran perusahaan, kinerja perusahaan, dan corporate complexity, yang selanjutnya akan dijelaskan dalam penelitian ini. Dan juga terdapat hal lain yang dapat mempengaruhi besaran bonus yang akan diterima direksi, yang tidak diukur dari kinerja perusahaannya, yaitu CEO Holdings. Dimana jika terdapat dewan direksi yang juga memiliki saham atas perusahaan yang dipimpinnya, maka akan semakin meningkatkan besaran bonus yang akan diterima oleh direksi tersebut. Apalagi jika kepemilikan saham pada perusahaan tersebut cukup signifikan, maka segala keputusan yang menentukan perusahaan tersebut dapat diputuskan sendiri. Untuk menguji kebenaran dugaan-dugaan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh aktivitas manajemen laba, ukuran perusahaan, kinerja perusahaan, corporate complexity, dan CEO Holdings terhadap skema bonus direksi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat: 1) bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian terdahulu sehubungan dengan pengaruh aktivitas manajemen laba, ukuran perusahaan, kinerja perusahaan, corporate complexity, dan CEO Holdings terhadap skema bonus, terutama pada perusahaan manufaktur di Indonesia. 2) studi ini diharapkan dapat memberikan bukti mengenai adanya indikasi skema bonus yang disebabkan adanya aktivitas manajemen laba, ukuran perusahaan, kinerja perusahaan, corporate complexity, dan CEO Holdings. 3) bagi para Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
35
pembaca, studi ini diharapkan dapat menambahkan wawasan dan pengetahuannya mengenai pengaruh aktivitas manajemen laba, ukuran perusahaan, kinerja perusahaan, corporate complexity, dan CEO Holdings terhadap skema bonus ( studi empiris pada perusahaan manufaktur di Indonesia).
KAJIAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Rerangka Konseptual Penelitian Rerangka konseptual penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1. Perumusan Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penellitian, andasan teori, dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pengaruh dari aktivitas manajemen laba, ukuran perusahaan, kinerja perusahaan, corporate complexity, dan CEO Holdings terhadap skema bonus, maka perumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pengaruh Manajemen Laba terhadap Skema Bonus Menurut Davidson, Stickney, dan Weil (1987), manajemen laba merupakan proses untuk mengambil langkah tertentu yang disengaja dalam batas-batas prinsip akuntansi berterima umum untuk menghasilkan tingkat yang diinginkan dari laba yang dilaporkan. Bahkan, menurut National Association of Certified Fraud Examiners (1993), Manajemen laba adalah kesalahan atau kelalaian yang disengaja dalam membuat laporan mengenai fakta material atau data akuntansi sehingga menyesatkan ketika semua informasi itu dipakai untuk membuat pertimbangan yang akhirnya akan menyebabkan orang yang membacanya akan mengganti atau mengubah pendapat atau keputusannya, dalam hal ini, memanipulasi laba untuk memaksimalkan penerimaan bonusnya. Hasil-hasil penelitian sebagian besar mengarah pada bukti adanya pola manajemen laba yang meningkatkan laba atau income increasing (Watts, 1977; Watts dan Zimmerman, 1978; Dye, 1988; Scott, 1997) dan the big bath accounting dan/atau income decreasing ketika kinerja atau laba rendah (Healy, 1985; McNichols dan Wilson, 1988; Pourciau, 1993; Burgstahler dan Dichev, 1997) yang semuanya bertujuan untuk memaksimalkan penerimaan bonus (the bonus plan hypothesis). Metode akrual biasa digunakan dalam pola manajemen laba yang ditujukan untuk memaksimalkan bonus. Healy (1985) menemukan bukti bahwa manajer Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
36
perusahaan dengan skema bonus berbasis laba bersih secara sistematis mengadopsi kebijakan akrual untuk memaksimalkan ekspektasi bonus mereka. Mengingat bahwa skema bonus berdasarkan laba merupakan cara yang paling populer dalam memberikan penghargaan kepada eksekutif perusahaan, maka adalah logis bila manajer yang remunerasinya didasarkan pada tingkat laba akan mengupayakan laba tersebut untuk memaksimalkan penerimaan remunerasinya. Watts (1977) dan Watts dan Zimmerman (1978) menyatakan bahwa skema bonus menciptakan insentif bagi manajemen untuk meningkatkan present value dari penerimaan bonus mereka. Dari hal-hal yang telah diungkapkan tersebut, maka semakin tinggi tingkat manajemen laba pada suatu perusahaan, maka akan dapat meningkatkan pula penerimaan bonus yang diperoleh direksi. Ringkasnya, pola manajemen laba diharapkan dapat memberikan pengaruh pada bonus yang akan diterima. Dimana akan membentuk hipotesis pertama atau H1 sebagai berikut. H1: Manajemen Laba Berpengaruh terhadap Skema Bonus Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Skema Bonus Sumber-sumber bacaan tentang kompensasi direksi telah banyak yang berfokus pada firm size atau ukuran perusahaan sebagai salah satu faktor penting dari skema bonus direksi. Alasannya adalah karena dalam mengelola ukuran perusahaan dengan skala besar, akan membutuhkan kemampuan dan keahlian yang lebih jika dibandingkan dengan perusahaan dengan ukuran yang lebih kecil. Karena memiliki kemampuan yang lebih itu, maka permintaan akan direksi yang seperti itu akan besar pula. Dan untuk menjaga direksi tersebut agar tetap pada perusahaan, maka direksi tersebut akan diberikan bonus yang lebih besar, apalagi bila dibandingkan dengan perusahaan dengan ukuran yang lebih kecil. Dalil Baumol (1959) mengatakan bahwa operasi perusahaan dengan meningkatkan ukuran perusahaan menghasilkan sebuah hubungan positif antara pendapatan perusahaan dan bonus direksi telah disajikan sebagai basis utama untuk sebagian besar penelitian tentang bonus direksi. Jadi, semakin besar ukuran perusahaan, maka semakin besar juga bonus yang diterima direksi. Berdasarkan penjelasan diatas, maka diusulkan hipotesis sebagai berikut: H2: Ukuran Perusahaan Berpengaruh terhadap Skema Bonus
Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
37
Pengaruh Kinerja Perusahaan terhadap Skema Bonus Pertanyaan pembuka dalam menyusun skema bonus adalah apakah skema bonus tersebut dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Dan bagi para direksi, apakah dengan meningkatkan kinerja mereka akan dapat menghasilkan peningkatan bonus. Semakin baik kinerja perusahaan (dengan berdasarkan apapun pengukurannya) pada suatu perusahaan, maka akan semakin besar pula bonus yang mereka akan dapatkan. Sebagai salah satu upaya untuk membangkitkan profesionalisme dan memotivasi manajemen untuk meningkatkan kinerja perusahaan, skema bonus dimaksudkan agar dapat mendorong manajer yang remunerasinya didasarkan pada tingkat laba untuk mengupayakan laba tersebut guna memaksimalkan penerimaan bonusnya. Karena rata-rata perhitungan bonus berdasarkan laba, maka agar penerimaan bonus yang mereka dapatkan bisa maksimal, pihak manajemen harus berupaya memaksimalkan pula laba yang diterima perusahaan, dengan cara yaitu meningkatkan kinerja perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan manufaktur meningkatkan kinerjanya dengan cara melakukan penjualan yang optimal, yang didukung dengan efisiensi dan efektifitas pemakaian dan penggunaan biaya oleh perusahaan manufaktur tersebut. Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat menghasilkan hipotesis sebagai berikut: H3: Kinerja Perusahaan Berpengaruh terhadap Skema Bonus. Pengaruh Corporate Complexity terhadap Skema Bonus Setelah para dewan direksi melakukan pengendalian dalam hal ukuran perusahaan, maka dalam rangka meningkatkan lingkup perusahaan, dewan direksi mulai berfokus pada menambah ragam bisnis atau ragam usaha perusahaan. Corporate complexity menandakan diskresi atau kebijaksanaan yang lebih baik dari pada yang dimiliki oleh dewan direksi yang dipusatkan pada satu ragam usaha. Sebagian perusahaan mungkin telah menutup perencanaan tentang pertanyaan strategis, “Bisnis apa lagi yang akan perusahaan jalankan?”. Tentu saja hal ini akan mengurangi jangkauan diskresi dari direksi (Hambrick and Finkelstein, 1987). Dan juga hal ini mengurangi peranan potensial dari direksi, dan juga berakibat mengurangi nilai potensial dan bonus dari direksi tersebut. Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
38
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin besar corporate complexity yang dijalankan perusahaan, maka akan semakin besar juga bonus yang akan diterima oleh dewan direksi perusahaan tersebut. Hal ini membentuk hipotesis ke empat, yaitu: H4: Corporate Complexity Berpengaruh terhadap Skema Bonus. Pengaruh CEO Holdings terhadap Skema Bonus A second source of power that is expected to affect compensation is the executive’s shareholdings in the firm (Sallancik and Pfeffer, 1980). Dimana dijelaskan bahwa sumber kekuatan kedua yang diharapkan dapat mempengaruhi kompensasi adalah kepemilikan saham dari dewan direksi di dalam perusahaan. Seorang direksi yang secara signifikan memiliki porsi saham yang besar dalam perusahaan, akan dapat mengendalikan tidak hanya keputusan operasional, tetapi juga dapat mengendalikan keputusan dewan. Bahkan, jika terdapat direksi yang memiliki porsi yang besar dalam kepemilikan saham, direksi tersebut seperti dapat mengatur sendiri bonus yang akan diperolehnya. Oleh karena itu, direksi tersebut akan berupaya agar perusahaan yang dijalankan tersebut dapat mencapai target-target yang telah dirancang, yang akhirnya bertujuan juga agar dapat memaksimalkan bonus yang akan diterimanya. Ringkasnya, semakin besar kepemilikan saham yang dimiliki oleh direksi, maka diharapkan akan semakin besar pula penerimanaan bonus yang akan diperoleh direksi tersebut. Berdasarkan hal ini, dapat menyimpulkan hipotesis ke lima, bahwa : H5: CEO Holdings Berpengaruh terhadap Skema Bonus.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Berdasarkan karakteristik masalah yang diteliti, penelitian ini dapat diklasifikasikan ke dalam penelitian kausal komparatif (Indriantoro dan Supomo, 1999:29).
Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
39
Definisi Operasional Variabel Untuk memberikan pemahaman yang lebih spesifik terhadap variabelvariabel penelitian ini, maka variabel tersebut didefinisikan secara operasional disajikan pada Tabel 2. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini menggunakan perusahaan go public pada sektor manufaktur yang terdaftar di BEI pada tahun 2007, yang terdiri dari 142 perusahaan. Pemilihan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan purposive sampling dari populasi penelitian yaitu semua laporan keuangan perusahaan sektor manufaktur yang tersedia pada tahun 2007. Berdasarkan data yang didapat dari Indonesian Capital Market Directory 2007, jumlah perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2007 adalah 142 perusahaan. Tetapi sebanyak 13 perusahaan dikeluarkan dari sampel karena tidak tersedianya laporan keuangan tahunannya yang didapatkan dari ww.idx.co.id untuk 13 perusahaan tersebut. Jadi penelitian ini akan dilakukan terhadap 129 perusahaan yang termasuk dalam sektor manufaktur pada tahun 2007. Jumlah tersebut sama dengan 90.85% dari total perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di BEI pada tahun 2007. Model Penelitian Model yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah sebagai berikut. Y = a + b1x1 + b2x2 + b3x3 + b4x4 + b5x5 + e Keterangan: Y = Skema Bonus a = Konstanta x1 = Manajemen laba x2 = Ukuran perusahaan x3 = Corporate performance x4 = Corporate complexity x5 = CEO Holdings b1 = Koefisien manajemen laba b2 = Koefisien ukuran perusahaan b3 = Koefisien corporatePerformance Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
40
b4 b5 e
= Koefisien corporate complexity = Koefisien CEO Holdings = Error (variabel lain yang tidak dijelaskan dalam model)
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengujian Asumsi Klasik
Uji Normalitas Berdasarkan Teori Central Limit, apabila jumlah sampel yang diambil besar yaitu n≥100 maka distribusi data dapat dianggap normal (Trihendradi, 2005:27). Dan pada penelitian ini menggunakan 129 sampel, berarti distribusi data dalam penelitian ini adalah normal. Uji Non-Autokorelasi Berdasarkan hasil perhitungan DW dengan menggunakan regresi (lihat Tabel 3) menunjukkan bahwa tidak ada korelasi serial diantara residual, sehingga variabel tersebut independen (tidak terjadi autokorelasi) yang ditunjukkan dengan nilai dw sebesar 1,524 (angka D-W di antara -2 dan 2 berarti tidak terdapat autokorelasi). Uji Non-Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji gleijser. Dari Tabel 9 dapat disimpulkan bahwa untuk (manajemen laba, ukuran perusahaan,kinerja perusahaan, corporate complexity, dan CEO holdings) terhadap absolut Residual (absu) tidak terjadi heterosdastisitas dengan ditunjukkan signifikansi lebih besar dari 0,05. Uji Non-Kolinieritas Ganda (Multicolinearity) Untuk mendeteksi adanya multikolinearitas dapat dilihat dari Variance Inflation Factor (VIF). Dari Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa untuk variabel (manajemen laba, ukuran perusahaan,kinerja perusahaan, corporate complexity, dan CEO holdings) tidak terjadi multikolineritas dengan ditunjukkan nilai VIF lebih kecil dari 10. Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
41
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam pengolahan data dengan menggunakan regresi linear, menunjukkan pengaruh yang signifikan dan positif pada variabel kinerja perusahaan sedangkan untuk variabel manajemen laba, ukuran perusahaan, corporate complexity, dan CEO holdings tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Skema Bonus Pengaruh manajemen laba terhadap skema bonus menujukkan hasil yang tidak signifikan ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar 0,361, nilai ini lebih besar dari 0,05 (0,361 > 0,05). Dengan demikian pengujian menunjukkan H1 ditolak. Hasil yang tidak signifikan ini menunjukkan bahwa besar kecilnya manajemen laba tidak mempengaruhi besar kecilnya skema bonus. Hasil penelitian ini tidak mendukung Healy, 1985; McNichols dan Wilson, 1988; Pourciau, 1993; Burgstahler dan Dichev, 1997 menunjukkan bahwa manajemen akan melakukan income decreasing ketika kinerja atau laba rendah yang semuanya bertujuan untuk memaksimalkan penerimaan bonus. Hasil penelitian ini juga tidak mendukung argumen Healy (1985) menemukan bukti bahwa manajer perusahaan dengan skema bonus berbasis laba bersih secara sistematis mengadopsi kebijakan akrual untuk memaksimalkan ekspektasi bonus mereka. Hasil yang tidak signifikan pada variabel manajemen laba terhadap skema bonus ini disebabkan karena pada dasarnya, tujuan manajemen laba adalah untuk kepentingan ke luar perusahaan. Manajemen laba biasa digunakan untuk kepentingan pajak perusahaan, yaitu dengan memperkecil laba. Dan juga untuk menarik investor, dengan cara memperbesar laba perusahaan. Selain itu, jika manajemen laba digunakan untuk kepentingan internal perusahaan, dalam hal ini untuk meningkatkan penerimaan bonus direksi dengan cara menaikkan laba, maka akan terbentur oleh komite audit internal perusahaan dan akan berurusan dengan pemilik modal. Semakin dewasanya pemilik modal dalam hal pemberian bonus. Perusahaan tidak hanya langsung melihat laporan keuangan yang telah dibuat tanpa dengan menelusurinya terlebih dahulu. Perusahaan tidak hanya langsung melihat besaran laba yang dihasilkan perusahaan, tetapi Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
42
juga menelusuri apakah hasil besaran laba tersebut merupakan hasil yang sebenarnya, yang tidak terdapat unsur manajemen laba di dalamnya. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Skema Bonus Pengaruh ukuran perusahaan terhadap skema bonus menujukkan hasil yang tidak signifikan ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar 0,390, nilai ini lebih besar dari 0,05 (0,390 > 0,05). Dengan demikian pengujian menunjukkan H2 ditolak. Hasil yang tidak signifikan ini menunjukkan bahwa besar kecilnya variabel ukuran perusahaan tidak mempengaruhi besar kecilnya skema bonus. Hasil penelitian ini tidak mendukung dalil Baumol (1959) yang mengatakan bahwa operasi perusahaan dengan meningkatkan ukuran perusahaan menghasilkan sebuah hubungan positif antara pendapatan perusahaan dan bonus direksi telah disajikan sebagai basis utama untuk sebagian besar penelitian tentang bonus direksi. Alasannya adalah karena dalam mengelola ukuran perusahaan dengan skala besar dan kecil tetap membutuhkan kemampuan dan keahlian yang tidak jauh berbeda. Hal ini terjadi karena sampel penelitian ini menggunakan perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia yang sudah diatur jumlah direksinya, sehingga permintaan akan direksi antara perusahaan kecil dan besar hampir sama. Dan untuk menjaga direksi tersebut agar tetap pada perusahaan, maka direksi tersebut akan diberikan bonus yang tidak jauh berbeda pada perusahaan besar dan kecil, tergantung pada prestasi direksi dalam menghasilkan pendapatan bagi perusahaan. Pengaruh Kinerja Perusahaan terhadap Skema Bonus Pengaruh kinerja perusahaan terhadap skema bonus menujukkan hasil yang positif dan signifikan ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar 0,045, nilai ini lebih kecil dari 0,05 (0,045 < 0,05). Dengan demikian pengujian menunjukkan H3 tidak ditolak. Hasil yang signifikan ini menunjukkan bahwa besar kecilnya kinerja perusahaan mempengaruhi besar kecilnya skema bonus. Hal ini berarti semakin baik kinerja direksi (dengan berdasarkan apapun pengukurannya), maka akan semakin besar pula bonus yang mereka akan dapatkan. Sebagai salah satu upaya untuk membangkitkan profesionalisme dan memotivasi manajemen untuk meningkatkan kinerja perusahaan, skema bonus dimaksudkan agar dapat mendorong manajer yang remunerasinya didasarkan pada tingkat laba untuk mengupayakan Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
43
laba tersebut guna memaksimalkan penerimaan bonusnya. Karena ratarata perhitungan bonus berdasarkan laba, maka agar penerimaan bonus yang mereka dapatkan bisa maksimal, pihak manajemen harus berupaya memaksimalkan pula laba yang diterima perusahaan, dengan cara yaitu meningkatkan kinerja perusahaan. Pengaruh Corporate Complexity terhadap Skema Bonus Pengaruh Corporate Complexity terhadap skema bonus menujukkan hasil yang tidak signifikan ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar 0,542, nilai ini lebih besar dari 0,05 (0,542 > 0,05). Dengan demikian pengujian menunjukkan H4 ditolak. Hasil yang tidak signifikan ini menunjukkan bahwa besar kecilnya corporate complexity tidak mempengaruhi besar kecilnya skema bonus. Corporate Complexity adalah komponen perusahaan yang dapat dibedakan dalam menghasilkan produk atau jasa (baik produk atau jasa individual maupun kelompok produk atau jasa terkait) dan komponen itu memiliki risiko dan imbalan yang berbeda dengan risiko dan imbalan segmen lain. Hasil yang tidak signifikan antara variabel corporate complexity terhadap skema bonus ini disebabkan karena dalam penelitian ini, variabel skema bonus terdiri dari tiga komponen yang pada ketiga komponen tersebut masing-masing terdapat faktor laba, yaitu laba bersih maupun laba usaha. Sehingga bisa juga disimpulkan kalau perhitungan bonus pada penelitian ini berdasarkan pada laba. Sedangkan corporate complexity diukur untuk mengetahui jumlah segmen usaha perusahaan, dan bukan untuk mengetahui dan menganalisis besaran bonusnya. Semakin banyak segmen yang dihasilkan perusahaan tidak menjamin labanya akan besar juga, begitupun sebaliknya. Maka tidak akan sigifikan pula pengaruhnya terhadap skema bonus. Pengaruh CEO Holdings terhadap Skema Bonus Pengaruh CEO Holdings terhadap skema bonus menujukkan hasil yang tidak signifikan ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar 0,805, nilai ini lebih besar dari 0,05 (0,805 > 0,05). Dengan demikian pengujian menunjukkan H5 ditolak. Hasil yang tidak signifikan ini menunjukkan bahwa besar kecilnya variabel CEO Holdings tidak mempengaruhi besar kecilnya skema bonus. Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
44
Struktur kepemilikan saham mencerminkan distribusi kekuasaan dan pengaruh di antara pemegang saham atas kegiatan operasional perusahaan. Salah satu karakteristik struktur kepemilikan adalah konsentrasi kepemilikan yang terbagi dalam dua bentuk struktur kepemilikan: kepemilikan terkonsentrasi, dan kepemilikan menyebar. Hasil yang tidak signifikan pada variabel CEO holdings terhadap skema bonus, disebabkan oleh karena adanya tanggung jawab moral dari direksi tersebut terhadap perusahaan, stake holder dan pemegang saham lainnya. Dengan memiliki kepemilikan saham yang lebih besar, direksi tersebut akan merasa memiliki perusahaan, dan akan lebih memilih agar perusahaannya dapat going concern dari pada memperkaya diri sendiri dengan meningkatkan bonusnya. Bahkan direksi tersebut malah akan mengurangi penerimaan bonusnya agar pada periode berikutnya, perusahaan akan dapat terus beroperasi dengan lebih baik. KESIMPULAN, SARAN DAN KETERBATASAN Berdasarkan hasil penelitian yang didasarkan pada tujuan penelitian di atas dan hasil pengujian hipotesis-hipotesis pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh manajemen laba, ukuran perusahaan, kinerja perusahaan, corporate complexity, dan CEO Holdings terhadap skema bonus. Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1) Manajemen laba tidak berpengaruh secara signifikan terhadap skema bonus. Karena tujuan manajemen laba adalah untuk kepentingan eksternal perusahaan, yaitu menurunkan laba untuk menghindari pajak, dan meningkatkan laba untuk menarik investor, bukan untuk meningkatkan bonus direksi, 2) Ukuran perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap skema bonus. Dalam penelitian ini skema bonus didasarkan pada laba, sedangkan ukuran perusahaan diukur dari total aktiva. Tidak ada jaminan bahwa perusahaan dengan total aktiva besar, maka labanya juga besar, begitupun sebaliknya. Karena laba tidak hanya diukur dengan aktiva, 3) Kinerja perusahaan berpengaruh secara signifikan terhadap skema bonus. Karena dengan kinerja perusahaan yang baik adalah hasil kinerja yang baik pula dari elemen perusahaan terutama direksi. Maka, Semakin baik kinerja direksi (dengan berdasarkan apapun pengukurannya), maka akan semakin besar pula bonus yang mereka akan dapatkan, 4) Corporate complexity tidak berpengaruh secara signifikan Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
45
terhadap skema bonus. Karena dalam diversifikasi produk, direksi menjadi tidak fokus terhadap satu jenis barang yang dipriduksi, sehingga tidak mencapai target perusahaan, dan 5) CEO holdings tidak berpengaruh secara signifikan terhadap skema bonus. Karena engan memiliki kepemilikan saham yang lebih besar, direksi tersebut akan merasa memiliki perusahaan, dan akan lebih memilih agar perusahaannya dapat going concern dari pada memperkaya diri sendiri dengan meningkatkan bonusnya. Saran Dari simpulan di atas, peneliti dapat memberikan saran sebagai berikut. 1) Berdasarkan hasil uji t, dalam penelitian ini hanya kinerja perusahaan yang memiliki pengaruh signifikan terhadap skema bonus. Oleh karena itu, direksi sebaiknya lebih memperhatikan faktor-faktor yang dapat menunjang kinerja perusahaan yang lebih baik sehingga dapat tercapai kinerja perusahaan yang optimal, dan tentu saja akan memaksimalkan juga penerimaan bonus direksi tersebut, 2) menggunakan jumlah besaran bonus yang diterima direksi sebagai variabel terikat, 3) Memasukkan semua komponen perhitungan bonus ke dalam model penelitian sehingga diharapkan dapat memperoleh hasil yang lebih komprehensif., 4) Akan lebih baik lagi bila penelitian selanjutnya juga memasukkan komponen remunerasi lainnya seperti gaji dan insentif ke dalam model penelitian, 5) Melakukan penelitian yang melibatkan sampel yang lebih besar, dan 6) Menambah variabel bebas yang digunakan dalam penelitian agar diperoleh hasil yang lebih baik atau yang lebih berpengaruh terhadap skema bonus direksi. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan sebagai berikut. 1) Tidak menggunakan jumlah bonus yang diterima direksi karena ketidaktersediaan data, dan 2) Tidak memasukkan seluruh komponen perhitungan bonus direksi BUMN. Hal ini terjadi karena tidak tersedianya data yang dibutuhkan untuk penelitian secara lengkap.
Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
46
DAFTAR PUSTAKA Baumol, W. J., 1959. Business Behaviour, Value and Growth, New York: MacMillan. Burgstahler, D and I. Dichev. 1997. Earnings Management to Avoid Earning Decreases And Losses. Journal of Accounting and Economics. Chen, J. 2001. Ownership Structure as Corporate Governance Mechanism: Evidance from Chinese Listed Companies. Economic of Planning 34, pg 53-72. Ciscell, D. H. and T. M. Carroll. 1980. The Determinants of Executive Salaries: An Economic Survey, Review of Economics and Statistics, 62:1, 7–33. Claessens, S., Djankov, S., and Nenova, T. 2000. Corporate Risk Around the World. Policy Research, Working Paper Series 2271, The World Bank. Dallas, George. 2004. Governance and Risk. Analytical Hand books for Investors, Managers, Directors and Stakeholders, p.21. Standard and Poor. Governance Services, MC. Graw Hill. New York. Davidson, Sidney, Clyde P. Stickney, Roman L. Weil. 1987. Accounting: The Language of Business, seventh Edition. Sun Lakes: Thomas Jorton and Daughters. Davis, B. J. and R. M. Shelor. 1995. Executive Compensation and Financial Performance in the Real Estate Industry, Journal of Real Estate Research, 10:2, 141–51. Dechow, P. M., R.G. Sloan, and A.P. Sweeney. 1995. Detecting Earning Management. The Accounting Review, Vol. 70, No. 2, April, pp 194-225. Demsetz, H. and B.Villalonga. 2001. Ownership Structur and Corporate Performance. Journal of Corporate Finance 7, pg.209-233. Dye, R.A. 1988. Earning Management in an Overlapping Generations Model. Journal of Accounting Research. Finkelstein, Sydney; Hambrick, Donald, C. 1989. Chief Executive Compensation: A Study of Intersection of Markets and Political Pocesses. Strategic Management Journal; Mar/Apr 1989; 10, 2; ABI/INFORM Global. Flippo, Edwin B. (1988). Personnel Management. Terjemahan. Jakarta: Erlangga. Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
47
Fisher, Marilyn, dan Kenneth Rosenzweigh. (1995). Attitudes of Students and accounting Practitioners Concerning the Ethical Acceptability of Earnings Management. Journal of Business Ethics, Volume 14, hal. 443-444. Forbes. “How Posner Profited Eventhough His Companies Didn’t”. 135. 8 April 1985. pp 42-45. Ghozali, Imam, 2006. Structural Equation Modeling: Metode Alternatif dengan PartialLeast Square. Semarang: Badan Penerbit, Universitas Diponegoro. Gujarati, Demodar N. 1999. Basic Econometrics. New York:McGraw-Hill Publishing, Inc. Handoko, T. Hani. (1998). Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE. Hardin, William G. 1998. Executive Compensation in EREITs: EREIT Size is but One Determinant. Journal of Real Estate Research. Harto, Puji, 2005, Kebijakan Diversifikaasi Perusahaan dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja: Studi Empiris pada Perusahaan Publik di Indonesia, Simposium Nasional Akuntansi VIII Solo. Healy, Paul M. 1985. The Effect of Bonus Schemes on Accounting Decisions. Journal of Accounting and Economics, 7, 85-107. Healy, Paul M. and J.M. Wahlen. 1999. A Review Of The Earnings Management Literature And Its Implications For Standard Setting, Accounting Horizons 13, 365-383. Hubert Ooghe and Tine De Langhe. 2002. The Anglo-American Versus The Continental European Corporate Governance Model: Empirical Evidance of Board Composition in Belgium. Europen Business Review, volume 14, number 6-2002-pp.437-449. Indriantoro, N. dan B. Supomo, 1999. Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen. Edisi pertama. BPFE. Yogyakarta. Jensen, Michael C. dan W.H. Meckling. 1976. Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3. hal. 305-360. Kaplan, Robert. S., and David. P. Norton. 2000. The Strategy-Focused Organization: How Balanced Scorecard Companies Thrive in the New Business Environment. Cambridge: Harvard Business School Press. Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
48
Kent, Pamela and Karen Ung. 2003. Voluntary Disclosure of ForwardLooking Earning Information in Australia. Australian Journal of Management, Vol. 28 No.3 (December): The Australian Graduate School of Management. La Porta R,.F. and Lopez-De Silanez. 1999. Corporate Ownership around the word. Journal of Finance 54, 471-518. Lewellan, W. and B. Huntsman. 1970. Managerial Pay and Corporate Performance, American Economic Review 60: 710–20. Manulang, M., dan Marihot AMH Manulang. (2004). Manajemen Personalia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Marzuki. 2008. Pengaruh Pemberian Insentif Dalam Upaya Meningkatkan Kinerja Guru. Jakarta. McNichols, M. And G.P. Wilson. 1998. Evidence of earning management from provision for bad debts. Journal of Accounting Research. Morck, R,.M. Nakamura and A.Shivdasani.1988. Management Ownership and Market Valuation: An empirical analysis. Journal of Financial Economics 20.293-315. Musnadi, Said. 2006. Kajian tentang Struktur Kepemilikan Terkonsentrasi,Tipe Kepemilikan dan Tipe Pengendalian sebagai Mekanisme Corporate Governance, serta Dampaknya terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan. Disertasi. Universitas Padjadjaran Bandung. Nuryaman. 2008. Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Mekanisme Corporate Governance terhadap Manajemen Laba. Simposium Nasional Akuntansi XI Pontianak. Petersen, Christian; Thomas Plenborg. 2008. Design Issues in Bonus Contracts. Corporate Finance Review; Jan/Feb 2008; 12, 4; ABI/INFORM Global. Porciau, S. 1993. Earning Management and Nonroutine Excecutive Changes. Journal of Accounting and Economics. Salancik, G. and J. Pfeffer. 1980. “Effects of Ownership and performance on executive Tenure in U.S. Corporations”. Academy of Management Journal. 23. pp. 653-664. Schipper, Katherine. (1989). Comentary Management. Accounting Horizon.
Katherine
on
Earnings
Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
49
Scott, William R., 2003. Financial Accounting Theory. Third Edition, Toronto, Ontario: Pearson Education Canada Inc. Scott, William R., 1997. Financial Accounting Theory, Second Edition, Prentice Hall Canada Inc. Suryatiningsih, Neneng dan Sylvia Veronica Siregar, 2008, Pengaruh Skema Bonus Direksi terhadap Aktivitas Manajemen Laba (Studi Empiris pada Badan Usaha Milik Negara) Periode Tahun 2003 – 2006, Simposium Nasional Akuntansi XI Pontianak. U-Thai, Kriengkrai Boonlert. 2005. Earning Attributes and Investor Protection: International Evidance, Working paper, http://papers.ssrn.com Watts, R.L., dan J. Zimmerman. 1978. Towards A Positive Theory of The Determination of Accounting Standards. The Accounting Review. Watts, R.L., dan J. Zimmerman. 1986. Positive Accounting Theory, Prentice Hall, Englewood Cliffs, NJ. www.idx.co.id
Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
50
Gambar 1. Rerangka Konseptual Penelitia
Manajemen Laba (X1) Ukuran Perusahaan (X2) Kinerja Perusahaan (X3)
Skema Bonus (Y)
Corporate Complexity (X4) CEO Holdings (X5)
No 1
Tabel 1. Definisi Operasional, Pengukuran dan Sumber Variabel Variabel Skema Bonus
Definisi dan Pengukuran Uang yang diberikan sebagai balas jasa yang diberikan secara ikatan dimasa datang dan diberikan kepada karyawan yang berhak menerimanya atau yang berprestasi. Skema bonus ini merupakan composite variable yang diukur dari tiga komponen perhitungan bonus yaitu: 1) Laba dibagi (PROFIT) adalah jumlah laba bersih setelah dikurangi dengan: a) akumulasi rugi tahun sebelumnya; b) laba penjualan aktiva; c) laba penjualan saham anak perusahaan; dan d) pendapatan lain-lain dari restitusi pajak tahun buku sebelumnya. 2) Indeks Trend Laba Usaha (ITRENDLU) yang diperoleh berdasarkan konversi atas persentase pencapaian Laba Usaha tahun t terhadap Laba Usaha tahun t–1. Nilai indeks berkisar antara 0 (persentase pertumbuhan laba
Sumber Modifikasi Manulang, 1996:4)
Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
51
2
Manajemen laba
3
Ukuran perusahaan
4
Kinerja perusahaan
5
Corporate complexity
6
CEO holdings
usaha ≤ 20%) sampai dengan 100 (persentase pertumbuhan laba usaha ≥ 105%). 3) Indeks Trend Laba Bersih (ITRENDLB) yang dihitung berdasarkan konversi atas persentase pencapaian Laba Bersih tahun t terhadap Laba Bersih tahun t–1. Nilai indeks berkisar antara 0 (persentase pertumbuhan laba bersih ≤ 20%) sampai dengan 100 (persentase pertumbuhan laba bersih ≥ 105%). Suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi. Manajemen laba diukur dengan menggunakan Modified Jones Model (Dechow et al., 1995) Variabel yang menggambarkan nilai kekayaan suatu perusahaan, yang diukur dengan cara menentukan logaritma natural dari total asset perusahaan masing-masing pada tahun pelaporan selama periode penelitian Prestasi yang dicapai perusahaan sebagai hasil dari keputusan yang dibuat secara terus menerus oleh manajemen. Kinerja perusahaan diukur dengan menggunakan return of equity (ROE) Tingkat pengembangan yang dilakukan perusahaan melalui jumlah perusahaan yang dikelola maupun tingkat segmen usaha yang dimiliki, minimal 2 segmen usaha. Corporate complexity diukur dengan menggunakan jumlah diversifikasi atau segmen produk yang dihasilkan perusahaan Persentase tingkat kepemilikan saham yang dimiliki oleh dewan direksi, diukur oleh proporsi saham yang dimiliki direksi (CEO) pada akhir tahun yang dinyatakan dalam %.
(Schipper, 1989)
(Kent and Ung, 2003) (Harahap, 1998:300). (Harto, 2005).
(Sallancik and Pfeffer, 1980)
Tabel 2. Hasil Uji Heteroskedastisitas Variabel
Signifikansi
Konstanta (a) Manajemen laba (X1) Ukuran perusahaan (X2) Kinerja Perusahaan (X3) Corporate complexity (X4) CEO Holdings (X5) Sumber: Data Sekunder Diolah
0,946 0,807 0,732 0,845 0,840 0,813
Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
52
Tabel 3. Hasil Uji Regresi Linear Berganda Koefisien regresi
Variabel
Collinearity Statistics Signifikansi
Tolerance
VIF
Konstanta (a)
-1,126
Manajemen laba (X1)
0,273
0,361
0,960
1,042
Ukuran perusahaan (X2)
0,037
0,290
0,953
1,049
Kinerja Perusahaan (X3)
0,243
0,045
0,935
1,070
Corporate complexity (X4)
0,038
0,542
0,943
1,060
CEO Holdings (X5)
-0,011
0,805
0,887
1,128
Multiple R
:
0,223
R Square (R2)
:
0,05
Durbin-Watson
:
1,524
Sumber: Data Sekunder Diolah
Jurnal Strategi Akuntansi Vol. 2 Nomor 1 Januari 2010
53