J Kedokter Trisakti
Januari-Maret 2004, Vol. 23 No.1
Pengaruh latihan aerobik terhadap kapasitas kardiorespirasi penderita cedera medula spinalis Maria Regina Rachmawati Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek program latihan aerobik terhadap kapasitas fungsional kardiorespirasi pada penderita cedera medula spinalis (CMS), dan hubungannya dengan tingkat CMS serta lama awitan. Untuk menilai kapasitas fungsional kardiorespirasi pada penelitian ini digunakan 2 parameter yaitu VO2 maks (kapasitas aerobik maksimal) dan VE (ventilasi menit). Studi pra dan pasca perlakuan dengan kelompok tunggal dilakukan pada 27 penyandang cacat. Sampel yang memenuhi kritera inklusi dilakukan uji kerja fisik awal untuk menilai VO2 maks awal, kemudian menjalani program latihan 3 kali seminggu dengan durasi minimal 25 menit selama 6 minggu. Setelah itu dilakukan uji kerja fisik akhir untuk menilai VO2 maks akhir dan pemeriksaan spirometri untuk menilai VE pasca latihan. Empat penderita drop out karena tidak memenuhi absensi latihan. Akhirnya didapatkan 23 sampel yang mengikuti penelitian sampai selesai yang terdiri dari 4 perempuan dan 19 laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan, setelah dilakukan latihan terjadi peningkatan VO2 maks yang bermakna pada perempuan 21,64 ± 2,94 ml.kg-1.mn-1 (p = 0,0001), pada laki-laki 25,20 ± 4,88 ml.kg1.mn-1 (p = 0,0001) dengan rerata 24,43 ± 4,84 ml.kg-1.mn-1, dan VE meningkat secara bermakna menjadi 10,17 ± 4,08 L.mn–1 (p = 0,0001). Tidak terdapat korelasi bermakna antara lama awitan dan tingkat CMS dengan nilai VO2 maks dan nilai VE. Nilai VO2 maks turun pada penderita CMS, dan terjadi peningkatan yang bermakna setelah melakukan latihan aerobik. Kata kunci : Aerobik, latihan, kardiorespirasi, cedera, medula spinalis
Effect of aerobic exercise on cardiorespiratory capacity in spinal cord injured patients ABSTRACT The purpose of this study was to evaluate the effect of aerobic exercise program on cardiorespiratory function in spinal cord injured (SCI) patients, and also their relationship with injury level and onset of injury. In this study two parameters were used to evaluate cardiorespiration function, which were VO2 max (maximal aerobic capacity), and VE (minute ventilation). The study was a pre and post test design on single group of 27 spinal cord injured patients. Samples that passed the inclusion criteria were given first exercise test to evaluate their first VO2 max. After exercise test, they underwent exercise program 3 times a week, at least 25 minute duration each session. After 6 weeks, an exercise test to evaluate VO2 max and spirometry examination to measure VE. This study showed that VO2 max and VE significantly increasing after exercise program 24.43± 4.68 ml.kg–1.mn and 10.17± 4.08 L.mn–1 (p 0.0001). No significant correlation between onset and injury level with VO2 max and VE.. There was a decrease of VO2 max in spinal cord injury people, which increased significantly after aerobic exercise program. Keywords : Aerobic, exercise, cardiorespiratory, injury, spinal cord
PENDAHULUAN Rehabilitasi pasca cedera medula spinalis (CMS) di seluruh dunia merupakan suatu tantangan,
terutama di negara berkembang yang tidak memiliki fasilitas maupun staf rehabilitasi yang 15
Rachmawati
adekuat. World Health Organisation (WHO) melakukan studi di negara berkembang melalui program rehabilitasi dan diperoleh hasil bahwa sebagian besar pasien CMS tidak mengetahui cara untuk mencapai kapasitas fungsional yang maksimal.(1) Pada penderita CMS hampir selalu terjadi penurunan fungsi kardiovaskular, hal ini disebabkan menurunnya fungsi otot, buruknya aliran balik vena, dan buruknya dinamika ventilasi. Penderita CMS yang melakukan latihan fisik akan terjadi peningkatan denyut jantung dan kapasitas aerobik (konsumsi oksigen), tetapi tingkat yang dicapai lebih rendah dibandingkan orang normal. Sedangkan kebanyakan penderita CMS memiliki aktivitas fisik yang rendah, sehingga dapat dipastikan mereka memiliki kapasitas aerobik yang rendah.(2) Kebutuhan fundamental untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) adalah kemampuan untuk melakukan aktivitas aerobik. Aktivitas tersebut memerlukan usaha yang terintegrasi pada sistem kardiorespirasi yaitu jantung, paru dan sirkulasi darah, termasuk komponen darah yang adekuat (sel darah merah, hemoglobin/Hb, hematokrit/Ht dan volume darah) untuk menghantarkan O2 ke metabolisme otot yang aktif. (3,4) Beberapa studi menunjukkan bahwa aktivitas fisik yang rendah bertanggung jawab terhadap terjadinya penyakit jantung iskemik (PJI), hal ini juga terbukti pada penelitian yang dilakukan oleh Yekutiel yaitu adanya peningkatan prevalensi PJI dan hipertensi pada penderita CMS dibandingkan kontrol.(5-8) Klasifikasi CMS menurut International Standards for Neurological and Functional Classification of Spinal Cord Injury (ISCSCI) oleh American Spinal Injury Association-International Medical Society of Paraplegy (ASIA/IMSOP) terdiri dari lima tingkat A sampai E yang sesuai dengan luasnya cedera. Tingkat A merupakan lesi komplit dimana tidak ditemukan fungsi motorik atau sensorik pada segmen sakral S 4-5 dan tingkat E di mana terdapat hasil pemeriksaan sensorik dan motorik yang normal.(7,8) Aktivitas aerobik maksimal atau kapasitas aerobik (VO 2 maks) dapat diartikan sebagai kapasitas maksimal dalam melakukan aktivitas 16
Cedera medula spinalis
aerobik, di mana tercapai jumlah atau konsumsi O2 terbesar (maksimal) yang digunakan pada saat kerja fisik dengan intensitas tinggi.(3,4) Nilai VO2 maks dipengaruhi oleh tingkat cedera dan lama awitan. Tingkat cedera yang lebih tinggi dan lama awitan yang lebih panjang akan menurunkan kapsitas kardiorespirasi. Penilaian kapasitas aerobik biasanya dilakukan melalui program uji kerja fisik, tetapi uji ini memiliki risiko tinggi bila dilakukan pada penderita CMS di atas Torakal 6 (T6) karena dapat meningkatkan tonus simpatis yang berlebihan.(2,7,8) Penelitian yang dilakukan oleh Ellenberg dengan menggunakan ergometer lengan sebagai alat untuk uji kerja fisik membuktikan adanya penurunan kapasitas aerobik pada pasien paraplegi awal (2-12 minggu pasca onset) yaitu ratarata 4,2 MET (52% VO 2 maks) dan terjadi peningkatan VO2 maks setelah latihan, tetapi tetap tidak dapat mencapai nilai normal.(9) Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian untuk menilai efek latihan aerobik terhadap kapasitas kardiorespirasi yaitu VO2 maks dan ventilasi menit (V E) pada penderita CMS (paraplegi) tingkat di bawah Torakal 6 (T6). METODE Rancangan penelitian Studi intervensi pra dan pasca perlakuan pada kelompok tunggal dilakukan di rumah sakit Fatmawati Jakarta Selatan mulai bulan Februari 2002 sampai April 2003. Populasi dan sampel Populasi adalah semua penderita paraplegi yang ada di Wisma Chesire Cilandak dan Panti Sosial Pondok Bambu. Adapun kriteria penerimaan sampel sebagai berikut: penderita paraplegi usia 15 – 55 tahun, onset cedera medula spinalis kapan saja, tingkat cedera medula spinalis di bawah T6, tidak mempunyai kebiasaan olah raga kursi roda secara teratur, penderita melakukan ambulasi dengan kursi roda, penyebab cedera karena trauma/kecelakaan, mampu menjalani uji kerja fisik, menyetujui mengikuti penelitian dan bersedia mengikuti program latihan secara berkala 3x/minggu di Instalasi Rehabilitasi Medik Rumah Sakit
J Kedokter Trisakti
Fatmawati selama 6 minggu. Sedangkan kriteria penolakan sampel adalah sebagai berikut: terdapat kontra indikasi absolut maupun relatif untuk dilakukan uji kerja fisik, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) sedang-berat. Subyek dinyatakan drop out bila tidak mengikuti latihan selama 3 kali berturut-turut atau tidak mengikuti latihan selama 5 kali tidak berturut-turut. Perkiraan jumlah sampel minimal berdasarkan rumus kelompok tunggal besarnya 21 orang.(10) Pengumpulan data Cara pengumpulan data dengan seleksi subyek berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, klasifikasi neurologi dan fungsional CMS sesuai ASIA Impairment Scale (AIS).(11) Semua pasien paraplegi yang memenuhi kriteria penerimaan dilakukan beberapa pemeriksaan penapisan yaitu elektrokardiogram (EKG), dan laboratorium darah lengkap. Pasien yang memiliki hasil normal dilakukan pemeriksaan spirometri untuk melihat VE pra latihan, dan uji kerja fisik (exercise test) untuk menilai VO2 maks awal. Kemudian dibuat program latihan aerobik yaitu dengan intensitas 70-85% denyut nadi maksimal selama 25 menit dengan frekuensi 3 kali seminggu selama 6 minggu. Setelah program latihan dilakukan evaluasi yaitu pemeriksaan spirometri dan uji kerja fisik untuk menilai VE dan VO2 maks pasca latihan. Uji kerja fisik dilakukan secara bertingkat dengan periode tiap tingkat selama 1-3 menit dan penambahan beban 10 watt tiap tingkat.(4,12,13) Pada awal studi dilakukan uji kerja fisik dengan periode 1 menit setiap tahap dengan meningkatkan 10 watt tiap tahap sampai dicapai denyut jantung (DJ) steady state, karena pada prosedur ini didapatkan hasil VO2 maks paling tinggi. Tekanan darah (TD) diukur dengan tensimeter (merek Nova) dan denyut jantung (DJ) diukur dengan menggunakan Polar dicatat setiap menit, pada 3 detik terakhir setiap tahap. TD diperiksa dengan doppler (Mini Dopplex D 500) pada pembuluh nadi dorsalis pedis, karena sulit untuk mengukur TD pada pembuluh nadi brachialis. Posisi pasien saat mengerjakan ergometer lengan (merek Monark 881E) dalam posisi duduk di kursi roda, lengan sedikit menekuk, tinggi pedal diatur setinggi bahu.
Vol. 23 No.1
Program latihan dilakukan 3 kali seminggu dengan durasi minimal 25 menit tiap peserta, yang terdiri dari 2 menit peregangan, 5 menit pemanasan, 15 menit latihan inti dengan ergometer Monark 881E, 5 menit pendinginan dan diakhiri dengan 2 menit peregangan. Latihan dilakukan di bawah pengawasan peneliti selama 6 minggu. Uji-t pasangan digunakan untuk menguji perbedaan VO2 maks dan VE pra dan pasca latihan aerobik. Bila penyebaran data tidak normal dilakukan uji Wilcoxon mathched-pairs signedrank test, Spearman correlation coefficients dan Mann-Whitney U test. HASIL Sebanyak 30 penderita CMS bersedia diperiksa untuk berpartisipasi dalam penelitian. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, laboratorium darah lengkap dan EKG didapatkan 27 orang yaitu 5 perempuan dan 22 laki-laki yang memenuhi kriteria inklusi. Tiga orang tidak dimasukkan dalam penelitian karena menderita hipertensi, yaitu dengan tekanan sistolik rata-rata 176,66 mmHg dan tekanan diastolik rata-rata 113,33 mmHg. Sebanyak 4 orang, 1 perempuan dan 3 laki-laki dinyatakan drop out (DO) karena tidak memenuhi protokol penelitian. Yang berhasil mengikuti penelitian sampai selesai banyaknya 23 orang yaitu 4 perempuan dan 19 laki-laki. Karakteristik umum peserta penelitian adalah sebagian besar laki-laki (78,3%), tingkat pendidikan sebagain besar tingkat rendah (SDSLTA tidak tamat) 18 (78,3%) orang, tingkat menengah (SLTA tamat) 4 (17,4%) orang, dan tingkat tinggi (Diploma) 1 (4,3%) orang. Seluruh peserta penelitian putus sekolah atau keluar dari pekerjaan semula setelah mengalami CMS. Sebagian besar tidak menikah (52,2%), menikah (30,4%), duda (8,7%), dan janda (8,7%). Rentang lama awitan bervariasi antara 2 sampai 27 tahun, sebagian besar di atas 10 tahun (65,2%). Sebagian besar penyebab terjadinya CMS adalah kecelakaan lalu lintas (KLL) (52,2%) selanjutnya karena jatuh (21,7%), tertimpa (13,1%), aniaya (4,3%) dan pasca bedah (8,7%). BB rerata adalah 46,87 ± 12,62 kg, dan IMT rerata adalah 18,68 ± 4,1 (Tabel 1). 17
Rachmawati
Cedera medula spinalis
Tabel 1. Karakteristik umum pasien penelitian Karakteristik
n=23(%)
34,74 ± 7,63* 19 (82,6) 4 (17,4) Berat badan (kg) 46,87 ± 12,62* Panjang badan (cm) 158,25 ± 10,25* IMT 18,68 ± 4,1* Kurang (<18,5) 14 (60,9) Normal (18,5-22,9) 7 (30,4) Obesitas (> 23) 2 (8,7) Tingkat cedera T7 4 (17,4) T10 2 (8,7) T11 5 (21,7) T12 4 (17,4) L1 4 (17,4) L2 3 (13) L3 1 (4,3) AIS A 14 (60,9) B 3 (13) C 6 (26,1) Pendidikan SD 10 (43,5) SLTP 8 (34,8) SLTA 4 (17,4) Diploma 1 (4,3) Perkawinan TM 12 (52,2) M 7 (30,4) D 2 (8,7) J 2 (8,7) Lama awitan (tahun) 12,22 ± 7,32* Usia saat CMS 10-20 7 (30,4) 21-30 14 (60,9) 31-40 2 (8,7) Penyebab CMS Jatuh 5 (21,7) KLL 1 (52,2) Tertimpa 3 (13,1) Tindak kekerasan 1 (4,3) Pasca op 2 (8,7) Pekerjaan Pengrajin 23 (100) Mobilisasi Mampu dengan crutches 3 (13) Dengan wheel chair 20 (87) Umur (tahun) Jenis kelamin
laki-laki perempuan
Keterangan: * Mean ± SD L : Laki-laki; P: Perempuan; T: Torakal; L: Lumbal; IMT: Indeks massa tubuh; AIS: ASIA Impairment Scale; SD: Sekolah Dasar; SLTP: Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama; SLTA: Sekolah Lanjutan Tingkat Akhir; TM: Tidak menikah; M: Menikah; D: Duda; J: Janda; KLL: Kecelakaan lalu lintas; Pasca op: Pasca operasi tulang belakang 18
Pengaruh program latihan Nilai VO2 maks sebelum latihan besarnya 13,87 ± 3,53 ml.kg-1.mn-1 untuk perempuan dan 15,58 ± 3,28 ml.kg -1 .mn -1 untuk laki-laki, sedangkan rerata VO2 maks besarnya 15,21 ± 3,33 ml.kg-1.mn-1. Nilai VO2 maks setelah melakukan uji kerja fisik selama 6 minggu adalah 21,67 ± 3,53 ml.kg-1.mn-1 untuk perempuan dan 25,20 ± 4,89 ml.kg-1.mn-1 untuk laki-laki, sedangkan rerata VO2 maks setelah latihan besarnya 24,43 ± 4,68 ml.kg-1.mn-1. Terdapat peningkatan yang bermakna pada VO2 maks pasca latihan dibandingkan VO2 pra latihan (p = 0,0001) baik pada perempuan maupun laki-laki (Tabel 2). Nilai VE pra melakukan program latihan besarnya 5,93 ± 3,29 L.mn-1, VE pasca program latihan adalah 10,74 ± 4,08 L.mn-1. Uji Wilcoxon matched–pairs sign rank menunjukkan peningkatan yang bermakna pada VE setelah melakukan uji kerja fisik (p = 0,0001) (Tabel 2). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lama awitan dengan rerata VO2 maks dan VE baik pra maupun pasca latihan (p > 0,005) (Tabel 3). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara rerata VO2 maks dan VE 1,2 baik pra maupun pasca latihan kerja fisik berdasarkan tingkat CDM T7-12 dan L1-3 (Tabel 4). PEMBAHASAN Usia saat terjadi CDM sebagian besar di bawah 30 tahun (86,9%) dan penyebab CDM sebagian besar akibat kecelakaan (52,2%). Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan penyebab CMS tersering karena kecelakaan kendaraan bermotor (44,5%) dan lebih dari setengah CMS terjadi pada usia di bawah 30 tahun. (2,7,8) Sebagian besar (60,9%) penderita memiliki cedera yang lengkap berdasarkan klasifikasi AIS. Nilai VO2 maks pra dilakukan program latihan besarnya 13,87 ± 3,53 ml.kg -1 .mn -1 untuk perempuan dan 15,58 ± 3,23 ml.kg-1.mn-1 untuk laki-laki, sedangkan rerata VO2 maks besarnya 15,21 ± 3,33 ml.kg-1.mn-1 yang berarti termasuk kriteria memerlukan peningkatan kapasitas aerobik baik laki-laki maupun perempuan.(13)
J Kedokter Trisakti
Vol. 23 No.1
Tabel 2. Rerata nilai VO2 maks dan VE pra dan pasca latihan Variabel VO2 maksimum (ml.kg-1mn-1)* Laki-laki Perempuan VE(L.mn-1)**
Latihan 15,21 ± 3,33 15,58 ± 3,28 13,87 ± 3,53 5,93 ± 3,29
24,43 ± 4,68 25,20 ± 4,89 21,67 ± 3,53 10,17 ± 4,08
P 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001
* uji t pasangan ** uji Wilcoxon matched-pairs signed-ranks Tabel 3. Korelasi antara lama awitan dan VO2 maks serta VE pra dan pasca latihan
Lama awitan*
Pra latihan VO2 maks r=-0,033 (p=0,881)
VE r=0,388 (p=0,067)
Pasca latihan VO2 maks VE r=0,2591 r=0,388 (p=0,233) (p=0,067)
* r= Spearman correlation coefficients Terdapat peningkatan yang bermakna pada VO2 maks setelah latihan dibandingkan VO2 pra latihan (p = 00001) baik pada perempuan maupun laki-laki, tetapi hasil tersebut belum mencapai kriteria sedang untuk usia di bawah 54 tahun. Hasil ini sesuai dengan temuan peneliti sebelumnya yang menyatakan bahwa VO2 maks penderita paraplegi adalah rendah dan akan mengalami peningkatan setelah latihan, tetapi peningkatan yang dicapai belum mencapai nilai normal. Hal ini disebabkan VO2 maks pada studi ini diperoleh melalui uji lengan yang hasilnya 65-70% dari VO2 maks yang diperoleh melalui uji tungkai, dan kurangnya lama latihan.(9,14,15) Nilai V E pra melakukan program latihan besarnya 5,93 ± 3,29 L.mn-1, yang berarti sedikit di bawah nilai normal yaitu 6 L.mn-1.(14) Nilai VE
pasca program latihan adalah 10,74 ± 4,08 L.mn-1. Terdapat peningkatan yang bermakna pada VE setelah melakukan uji kerja fisik pada hampir semua subjek, kecuali satu subyek tidak mengalami peningkatan, karena menderita skoliosis berat (sudut 1100). Hal ini menjadi peyebab keterbatasan pengembangan rongga toraks, sehingga menghambat peningkatan volume ventilasi paru. Tidak terdapat hubungan bermakna antara lama awitan dengan rerata VO2 maks dan VE baik pra maupun pra latihan. Hubungan yang tidak bermakna ini kemungkinan disebabkan seluruh sampel memiliki lama awitan menahun, di mana lama awitan minimal yaitu 2 tahun, dan semuanya memiliki pola hidup tidak aktif yaitu bekerja sebagai pengrajin dan tidak menjalani olah raga teratur.
Tabel 4. Perbandingan nilai VO2 maks dan VE pra dan pasca latihan berdasarkan tingkat CMS yaitu Torakal bawah (T7-12) dan Lumbal (L1-3)
VO2 maks pra latihan (ml.kg-1.mn-1) VO2 maks pasca latihan (ml.kg-1.mn-1) VE pra latihan (L.mn-1) VE pasca latihan (L.mn-1)
Kel.I (T 7-12) (n=15)
Kel.II (L 1-3) (n=8)
P
15,76 ± 3,26 25,43 ± 5,14 6,23 ± 3,82 10,42 ± 4,23
14,17 ± 3,40 22,56 ± 3,18 5,38 ± 2,089 9,72 ± 3,88
0,298* 0,114* 0,495** 0,695**
* t-test ** Mann-Whiney U test 19
Rachmawati
Tidak terdapat perbedaan bermakna antara rerata VO2 maks dan VE baik pra maupun pasca latihan dan tingkat CDM. Hasil ini berbeda dengan peneliti pranya yang menyatakan bahwa kapasitas aerobik lebih tinggi pada penderita dengan CMS tingkat lebih rendah.(16) Perbandingan yang tidak bermakna ini kemungkinan disebabkan oleh jumlah sampel yang kecil dan distribusi sampel yang tidak merata pada tiap kelompok.
Cedera medula spinalis
6. 7.
8.
KESIMPULAN Setelah diberi latihan aerobik terjadi peningkatan VO2 maks dan VE yang bermakna dibandingkan pra latihan, tetapi nilai VO2 maks tidak mencapai kriteria sedang. Nilai VO2 maks dan V E pra dan pasca latihan tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan lama awitan. Nilai VO2 maks dan VE pra dan pasca latihan tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan tingkat CMS.Penderita paraplegi yang tidak terlatih memiliki VO2 maks yang rendah, sehingga dapat diprediksi mempunyai risiko tinggi untuk menderita PJI. Daftar Pustaka 1.
2.
3.
4.
5.
20
World Health Organization. Promoting independence following a spinal cord injury. A manual for mid-level rehabilitation workers. Geneva: WHO; 1996. Staas WE, Formal CS, Freedman MK, Fried GW, Read MW. Rehabilitation of the spinal cord injured patient. In: DeLisa JA, Gans BM, Currie DM, editors. Rehabilitation medicine - principles and practice. 2nd ed. Philadelphia: JB Lippincott Company; 2000. p. 1259-82. Fleg JL, Pina IL, Balady GJ, Chaitman BR, Fletcher B, Lavie C, et al. Assesment of functional capacity in clinical and research applications an advisory from the committee on exercise, rehabilitation, and prevention. Circulation 2000; 102: 1591-7. Pollock ML, Wilmore JH. Exercise in health and disease evaluation and prescription for prevention and rehabilitation. Philadelphia: WB Saunders Company; 1990. Yekutiel M, Brooks ME, Ohry A, Yarom J, Carel. The prevalence of hypertension, ischaemic heart
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
disease and diabetes in traumatic spinal cord injured patients and amputees. Paraplegia 1989; 27: 5862. Balado D. Exercise physiology. Baltimore: Williams & Wilkins; 1996. Yarkony GM, Chen D. Rehabilitation of patients with spinal cord injuries. In: Braddom RL, editor. Physical medicine & rehabilitation. Philadelphia: WB Saunders Company; 1996. p. 1149-72. Lanig I, Donovan WH. Spinal cord injury. In: Garrison SJ, editor. Handbook of physical medicine and rehabilitation basics. Philadelphia: JB. Lippincott Company; 1995. p. 335-67. Ellenberg M, MacRitchie M, Franklin B, Johnson S, Wrisley. Aerobic capacity in early paraplegia: Implications for rehabilitation. Paraplegia 1989; 27: 261-8. Dowson B, Trapp RG. Research question about are group. In: Basic-clinical biostatistics 3rd ed. New York: Lange Medical Books/Mc Graw-Hill; 2001. p. 92-131. American Spinal Injury Association International Medical Society of Paraplegi (ASIA/IMSOP). International standards of neurological and functional classification of spinal cord injury. Revised 1996. Chicago: American Spinal Injury Association; 1996. Freed MM. Traumatic and congenital lesions of the spinal cord. In: Kottke FJ, Lehmannn JF, editors. Krusen’s handbook of physical medicine and rehabilitation. 4nd ed. Philadelphia: WB saunders; 1990. p. 717-48. American College of Sports Medicine. Clinical exercise testing. Guidelines for exercise testing and prescription. 5th ed. Baltimore: William & Wilkins; 1995. p. 63-71. Balady GJ, Weiner DA, Rose L, Ryan TJ. Physiologic responses to arm ergometry exercise relative to age and gender. JACC 1990; 16: 130-5. Jackson AW, Morrow JR, Hill DW, Dishman RK. Physical activity for health and fitness. Hongkong: Human Kinetic; 1999. Bar-Or O, Zwiren LD. Maximal oxygen consumption test during arm exercise-reliability and validity. J Appl Physiol 1975; 38: 424-6. Sawka MN, Foley ME, Pimental NA, Toner MM, Pandolf KB. Determination of maximal aerobic power during upper-body exercise. J Appl Physiol 1983; 54: 113-7.